Professional Documents
Culture Documents
MEKANIKA KUANTUM
Model Matematis Gejala Alam Mikroskopis
Tinjauan Takrelativistik
2
@
I
@
00 (t)
@
@
6
@
@
@
@
: 0 (t2 )
@
=
6 @
n0
C
z
Q
Q
C Q
Q
9
C
(t)
Q lim
0 (t1 + )
C
Q
Q
C
Q = n
1
C
Q
s
Q
C
R
+
C 0
(0) =
C (t)
CW
(t1 )
lim0 (t2 + )
Diterbitkan oleh
ii
MEKANIKA KUANTUM
Model Matematis Fenomena Alam Mikroskopis
Tinjauan Nonrelativistik
M. F. ROSYID
Departemen Fisika
iii
iv
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Diperuntukkan buat
Ani Rosdiana,
Amalia, Natsir, Ibrahim dan Aida
vi
PENGANTAR
Karena sesungguhnya bersama kesulitan adalah kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Rabbmu (Tuhanmu)
sajalah hendaknya kamu berharap.
(Alam Nasyrah : 5-8)
Teori kuantum lahir pada tanggal 14 Desember 1900 ketika Max Planck
menyampaikan kuliah yang mashur dengan judul Zur Theorie des Gesetzes
der Energieverteilung im Normalspektrum di depan Deutsche Physikalische Gesellschaft [vdW]. Tahap perkembangan pertama ini (sejak dari kuliah Planck tersebut hingga keberhasilan Einstein menjelaskan gejala fotolistrik pada tahun 1905) di kemudian hari dikenal sebagai era primitif bagi
teori kuantum. Pada tahap perkembangan selanjutnya, di bawah sentuhan
sekian banyak figur (de Broglie, Heisenberg, Bohr, Schrodinger, Dirac, Jordan, Born, dll.), teori ini berkembang menjadi the top of human intelectual triumph, yakni puncak kemenangan intelektual manusia. Oleh karena
itu, teori kuantum merupakan karya kolektif lintas bangsa, walaupun Pauli
dengan sinis mengatakan bahwa teori ini cenderung mengikuti selera kroni
Gottingen, dalam suratnya kepada Kronig dia katakan: noch etwas vom
G
ottinger formalen Gelehrsamkeitsschwall befreiet werden must [vdW].
Berdasarkan teori inilah kelakuan-kelakuan alam mikroskopis dapat
dijelaskan secara memuaskan dan berbagai hasil eksperimen dapat diramalkan dengan sangat akurat. Sesuai dengan yang telah digariskan oleh
adagium Sains adalah peretas jalan bagi teknologi, maka begitu sains mulai mampu merambah ranah (domain) mikroskopis, perkembangan teknologi pun mulai menapaki ranah tersebut. Sebagai konsekuensi, pada gilirannya muncullah teknologi-teknologi yang berbasiskan pengetahuan alam
mikroskopis ini. Sekedar untuk disebutkan, teknologi-teknologi itu di anvii
viii
taranya adalah teknologi zat padat (solid state technology), teknologi nuklir,
teknologi laser dll. Inilah teknologi yang secara dominan mewarnai perikehidupan manusia sejak pertengahan abad keduapuluh. Penemuan Scanning
Tunneling Microscopy (STM) oleh Rohrer dan Binnig tahun 1980-an pada gilirannya membuka cakrawala baru bagi penyelidikan alam berukuran
nanometer (1 sampai 100 nanometer) secara eksperimental. Sejak saat itu
orang mulai menengok kemungkinan untuk mendapatkan peranti-peranti
yang secara fungsional sama namun berukuran jauh lebih kecil (sampai
berukuran nano) dibanding yang telah ada. Maka sekarang ini terjadilah
booming nanoteknologi : quantum dots, peranti-peranti elektronik berukuran nano semacam nanotransistor, komputer nano, dll.
Di mata sebagian besar mahasiswa teori kuantum dianggap sebagai
subjek yang sangat sulit, terlalu matematis, jauh dari jangkauan kemampuan nalar umumnya mahasiswa dan sekian banyak anggapan yang sering
diungkapkan dengan nada-nada kekecewaan lainnya. Terus terang . . .
persepsi itu banyak benarnya. Itu semua barangkali karena ia, sekali lagi, merupakan the top of human intelectual triumph. Untuk memahaminya
dibutuhkan komitmen, yakni komitmen untuk menggeser cara pandang dan
cara berpikir kita dari cara pandang dan cara berpikir klasik menuju ke cara
pandang dan cara berpikir kuantum.
Ada ratusan buku mekanika kuantum yang telah ditulis orang. Masingmasing memiliki kekhasan dalam pendekatan maupun penyajian. Dalam
pendekatan historis gradual, proses kelahiran dan perkembangan mekanika
kuantum dipaparkan sedemikian rupa seolah-olah dari satu perkembangan
ke perkembangan berikutnya berlangsung secara runtut dalam rangkaian
kronologis yang rapi dalam satu kesatuan skenario. Hal ini tentu memberi
kesan bahwa mekanika kuantum dikembangkan dalam tahap-tahap yang
sistematis. Padahal tidak demikian yang terjadi [vdW]. Yang mengambil pendekatan ini misalnya [Par], [HW] dan [Sch]. Pendekatan yang lain
adalah shock method. Dalam pendekatan ini, pembaca langsung dihadapkan dengan perilaku sistem fisis mikroskopis (yang sangat kontras dengan
perilaku sistem fisis makroskopis) dan diajak memahami perilaku sistem
tersebut secara kuantum. Pendekatan semacam ini menafikan urgensi sejarah perkembangan mekanika kuantum, oleh karena itu disebut juga pendekatan ahistoris. Yang mengambil pendekatan ini misalnya adalah [Sak],
[Tow], [Che] dan [CDL2]. Dari aspek penyajian, ada yang cenderung bernuansakan filosofis (misalnya [Gos]), matematis (misalnya [CDL2], [Lud], [Pru]
dan [Bus]), maupun secara grafis (misalnya [BraDa1]). Ada pula yang ap-
ix
likatif (misalnya [Yar], [Kit], dan [Sla]) atau yang melibatkan teknologi
komputer (misalnya [BraDa2] dan [Hor]).
Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa di samping subjek ini memang cukup penting, telah juga disadari bahwa ia merupakan subjek yang
tidak mudah untuk dipahami. Pendekatan yang diambil dalam buku ini
mencoba mendudukkan mekanika kuantum dan mekanika klasik dalam kesamaan struktur model. Kesamaan struktur model ini disarikan sebagai
prinsip umum mekanika yang akan disebut metamekanika. Diharapkan dengan pendekatan semacam ini, para pembaca yang umumnya telah
memahami mekanika klasik tidak akan merasa asing dengan struktur yang
ada dalam mekanika kuantum.
Satu hal lagi yang akan menambah novelty buku ini adalah peran utama yang dimainkan oleh teori peluang dan statistika dalam perumusan
baik metamekanika, mekanika klasik maupun mekanika kuantum. Hal ini
diharapkan dapat membuat para pembaca (khususnya mahasiswa) lebih
mudah lagi untuk memahami mekanika kuantum mengingat mereka tentu telah terbiasa dengan seluk-beluk teori peluang dan statistika sejak di
sekolah lanjutan. Buku ini akan menunjukkan bahwa mekanika kuantum
(juga mekanika klasik) dapat dipahami sebagaimana memahami pelemparan dadu ataupun pelemparan coin. Artinya, belajar mekanika kuantum
(juga mekanika klasik) sama mudahnya dengan bermain dadu ataupun
mengundi dengan coin. Bagi mahasiswa ilmu matematika maupun statistika, buku ini dapat dirasakan sebagai apresiasi terhadap bidang-bidang
ilmu yang mereka dalami. Bagi mereka pula, semoga buku ini mampu
menguak difragma lebih lebar ke bidang ilmu tempat sesuatu yang telah
mereka tekuni selama beberapa semester mendapatkan peran yang begitu
mencolok.
Kehadiran buku mekanika kuantum ini diharapkan pula mampu mengisi
kekurangan kalau tidak boleh dikatakan sebagai ketiadaan literatur
berbahasa Indonesia dalam subjek ini.
Menutup pengantar ini, penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih
kepada berbagai pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak
langsung dalam penulisan buku ini. Terutama kepada para mahasiswa yang
telah menghidupkan berbagai diskusi di kelompok underground Working Group on Mathematical Physics and Center for Differential Geometry
(WGMPCDG) dan rekan-rekan di I-Es-Ye atas gagasan-gagasan segar yang
kreatif dan menjanjikan. Khusus bagi saudara Joko Purwanto dan Romy
x
Hanang Setiabudi SSi diucapkan terimaksih sebanyak-banyaknya, jazakumullahukhoironkatsiro, atas keluangan waktunya untuk memeriksa naskah
awal buku ini, terutama yang berkaitan dengan salah cetak serta inkonsistensi kosakata dan berbagai kritik dan saran. Tentu saja, penulis juga
menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Fakultas MIPA
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan tambahan pendanaan
pada saat penulisan naskah buku ini mendekati tahap akhir.
Ambarketawang, 1 Muharram 1427 H
M. F. R.
xii
sa suatu partikel. Sekali lagi yang penting adalah besaran yang diwakili
oleh notasi tersebut. Yang penting adalah deklarasi notasi, yakni kalimat yang menyatakan bahwa suatu notasi mewakili suatu besaran. Kita
akan lebih bebas, dalam arti, tidak terikat oleh hal-hal yang justru akan
menyulitkan kita.
Daftar Isi
1 TEORI PELUANG DAN STATISTIKA
1.1
1.2
Batasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.2.1
Ruang Peristiwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.2.2
Batasan Aksiomatik . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Peubah Acak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
15
1.3.1
17
1.3.2
18
1.3.3
20
1.3
1.4
. . . . . . . . . . . .
22
1.4.1
Nilai Harap . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
22
1.4.2
Penyimpangan Baku . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24
1.5
25
1.6
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
32
2 METAMEKANIKA
37
2.1
Semantika Matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
38
2.2
39
2.3
Principia Universalis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
xiii
xiv
DAFTAR ISI
2.3.1
Kinematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
2.3.2
Dinamika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
44
47
3.1
Ruang Keadaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
47
3.2
51
3.2.1
Himpunan Lengkap
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
52
3.2.2
53
3.3
Dinamika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
55
3.4
57
3.5
60
3.6
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
62
65
Ruang Hilbert . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
66
4.1.1
Basis Eksternal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
78
81
4.2.1
Masalah Swanilai . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
85
4.2.2
Spektrum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
89
4.3
91
4.4
4.2
4.5
4.4.1
4.4.2
4.4.3
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 112
115
DAFTAR ISI
5.1
5.2
xv
5.1.2
5.1.3
5.3
5.4
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127
129
6.1.2
. . . . . . . . . . . . . . 136
6.2
6.3
6.4
6.3.1
6.3.2
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 145
7 PENGKUANTUMAN
147
7.1
7.2
7.3
7.2.1
7.2.2
7.2.3
Dinamika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 157
xvi
DAFTAR ISI
8.2
8.1.2
8.1.3
8.1.4
8.3
159
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 181
183
9.1
9.2
9.3
9.4
9.5
9.4.1
9.4.2
Soal-soal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 205
10 KESETANGKUPAN
207
DAFTAR ISI
xvii
241
261
277
xviii
DAFTAR ISI
293
311
323
B Fungsi -Dirac
335
Bab 1
Dalam bab paling awal ini, hendak disajikan seperlunya saja pernik-pernik
teori peluang dengan harapan agar tercapai kesamaan pemahaman dan notasi mengingat keberagaman konsep dan notasi yang telah dipakai secara
luas dalam berbagai literatur teori peluang. Bagi pembaca yang menghendaki perinciannya dapat menengok [PaPi, Bil, Pit, Gne]. Bagi yang telah
terbiasa atau familier dengan teori peluang dapat mengabaikan bab ini
tanpa mengganggu pemahaman bab-bab selanjutnya.
1.1
Terma eksperimen dalam buku ini selalu diartikan sebagai kegiatan pemaparan (exposing, subjecting) suatu barang (objek) dalam suatu situasi dan
kondisi tertentu yang telah diatur dilanjutkan dengan pengamatan (observing) apa yang terjadi dengan objek tersebut. Pelemparan sekali sebuah
dadu merupakan contoh sebuah eksperimen. Pelemparan dua kali sebuah
dadu merupakan eksperimen yang lain lagi. Dalam suatu eksperimen selalu
terdapat apa yang disebut sebagai hasil eksperimen atau keluaran atau
1
outcome. Didapatkannya muka nomor enam dalam pelemparan sekali sebuah dadu merupakan sebuah outcome bagi eksperimen pelemparan sekali
sebuah dadu. Himpunan yang beranggotakan semua hal yang mungkin
(potensial) untuk keluar sebagai outcome dalam suatu eksperimen disebut
ruang sampel. Himpunan yang beranggotakan semua muka dadu merupakan ruang sampel bagi eksperimen pelemparan sekali sebuah dadu. Himpunan yang beranggotakan semua pasangan dua muka dadu merupakan ruang sampel bagi pelemparan dua kali sebuah dadu. Ruang sampel disebut
juga spektrum. Perhatikanlah bahwa terdapat korespondensi satu-satu
antara eksperimen dengan ruang sampel :
Satu eksperimen Satu ruang sampel.
(1.1)
Suatu peristiwa adalah suatu himpunan tertentu yang memuat beberapa anggota ruang sampel. Satu contoh peristiwa yang khas adalah
ruang sampel itu sendiri yang dikenal sebagai peristiwa pasti. Peristiwa
lain yang juga khas adalah himpunan kosong. Peristiwa ini disebut peristiwa mustahil. Jika dalam suatu eksperimen salah satu anggota peristiwa
muncul sebagai keluaran, maka dikatakan bahwa peristiwa itu terjadi. Ruang sampel sebagai peristiwa akan selalu terjadi dalam setiap eksperimen,
sebab setiap keluaran adalah anggota ruang sampel. Himpunan kosong sebagai peristiwa tidak akan pernah terjadi dalam eksperimen manapun, sebab tidak satupun anggota ruang sampel yang menjadi anggota himpunan
kosong. Maka, jelaslah sekarang mengapa ruang sampel disebut peristiwa
pasti sedang himpunan kosong disebut peristiwa mustahil. Peristiwa yang
hanya memuat satu anggota ruang sampel disebut peristiwa keunsuran.
Untuk lebih memahami istilah-istilah di atas perhatikanlah beberapa
contoh berikut.
Contoh :
Dilempar dua buah dadu bersamaan. Maka spektrum bagi eksperimen
ini adalah himpunan { (muka i, muka j) |i, j = 1, 2, , 6} yang beranggotakan semua pasangan dua muka dadu. Jadi, terdapat 36 pasangan sebagai anggota spektrum atau ruang sampel. Ketigapuluhenam pasangan
itulah yang potensial atau mungkin akan muncul dalam eksperimen pelemparan dua buah dadu itu. Himpunan semua pasangan dua muka dadu yang
1.2. BATASAN
(1.2)
(1.3)
Ini adalah peristiwa munculnya muka nomor 1 pada dadu pertama. Irisan
kedua peristiwa di atas adalah peristiwa keunsuran { (muka 1, muka 6) }.
Oleh karena itu, pasangan (muka 1, muka 6) adalah satu-satunya pasangan
yang muncul sebagai keluaran bila kedua peristiwa di atas terjadi sekaligus.
Contoh :
Dilempar tiga buah koin bersamaan. Ruang sampel bagi eksperimen ini
adalah
{(A, A, A), (G, G, G), (A, A, G), (A, G, A), (G, A, A),
(G, A, G), (G, G, A), (A, G, G)},
(1.4)
(1.5)
1.2
Batasan
Terdapat paling tidak tiga cara dalam pendefinisian peluang. Yang pertama adalah batasan klasik : dalam hal ini peluang terjadinya peristiwa A
dalam suatu eksperimen, ditulis sebagai P(A), didefinisikan sebagai nisbah
P(A) =
NA
,
N
(1.6)
6
1
= .
36
6
(1.7)
6
1
= .
36
6
(1.8)
1
.
36
(1.9)
Kevalidan penerapan batasan ini sangat tergantung pada kevalidan anggapan bahwa semua anggota ruang sampel memiliki kemungkinan yang sama.
Yang kedua adalah batasan frekuensi relatif : peluang terjadinya
suatu peristiwa A diberikan oleh
P(A) = lim
nA
,
n
(1.10)
1.2. BATASAN
1.2.1
Ruang Peristiwa
Seperti yang telah disinggung pada beberapa bagian yang lalu, ada beberapa subhimpunan dari ruang sampel yang disebut peristiwa. Dalam batasan
berikut ini ditentukan subhimpunan-subhimpunan yang mana saja dari ruang sampel yang akan dipilih sebagai peristiwa.
Definisi 1.2.1 Andaikan ruang sampel dari suatu eksperimen. Suatu
himpunan E yang beranggotakan subhimpunan-subhimpunan dari disebut
ruang peristiwa dari bila syarat-syarat berikut dipenuhi
Suatu ruang peristiwa dari disebut juga -aljabar dari . Setiap anggota
ruang peristiwa disebut peristiwa.
Syarat pertama dalam batasan di atas menyatakan bahwa ruang sampel
adalah peristiwa. Syarat kedua menyatakan bahwa komplemen dari suatu peristiwa juga merupakan peristiwa. Sedang syarat ketiga menyatakan
bahwa gabungan dua peristiwa atau lebih merupakan peristiwa.
Dari batasan tersebut dapat disimpulkan sifat-sifat berikut
1. Himpunan kosong merupakan peristiwa, sebab dari syarat pertama
dan kedua didapat = .
2. Jika E1 , E2 , merupakan barisan peristiwa, maka E1 E2 juga
merupakan peristiwa. Ini adalah konsekuensi dari syarat kedua dan
ketiga serta berlakunya dalil de Morgan.
3. Jika E dan E 0 peristiwa, maka gabungannya E E 0 , irisannya E E 0
serta selisihnya E E 0 dan E 0 E juga merupakan peristiwa.
4. Jika E dan E 0 peristiwa, maka (E E 0 ) (E 0 E) juga merupakan
peristiwa.
Contoh :
Power set P dari suatu ruang sampel adalah himpunan yang beranggotakan semua subhimpunan dari . Power set P merupakan suatu ruang
peristiwa dari .
Himpunan-himpunan Borel pada Garis Riil
Misalkan suatu eksperimen memiliki ruang sampel R, yakni himpunan
yang beranggotakan semua bilangan riil. Jadi, dalam eksperimen itu yang
1.2. BATASAN
akan muncul sebagai keluaran adalah suatu bilangan riil. Ruang peristiwa yang lazim dipakai dalam eksperimen semacam ini adalah himpunan
B(R), yakni himpunan yang beranggotakan semua himpunan Borel pada
garis riil R. Himpunan B(R) didefinisikan sebagai suatu subhimpunan dari
power set P R sedemikian rupa sehingga B(R) merupakan himpunan terkecil
yang memuat semua interval terbuka dan memenuhi kesemua syarat dalam
Definisi 1.2.1 di atas. Himpunan-himpunan Borel oleh karena itu meliputi
misalnya
semua interval terbuka beserta semua gabungan-gabungannya,
semua interval tertutup beserta semua gabungan-gabungannya,
semua himpunan yang beranggotakan bilangan riil tunggal (atau singleton) beserta gabungan-gabungannya,
semua interval setengah terbuka beserta gabungan-gabungannya.
Himpunan-himpunan Borel pada Bidang
Sebuah eksperimen bisa saja memiliki ruang sampel R2 , semisal eksperimen mengukur posisi sebuah partikel yang hidup pada bidang-XY. Dalam
eskperimen semacam itu, yang akan muncul sebagai keluaran adalah titiktitik pada bidang. Bila pada bidang tersebut dipasang koordinat kartesius
sedemikian rupa sehingga setiap titik pada bidang tersebut dapat dicirikan
oleh sepasang bilangan riil (x, y), maka sebagai keluaran adalah pasanganpasangan bilangan seperti itu. Ruang peristiwa untuk spektrum semacam
ini adalah himpunan B(R2 ) yang beranggotakan semua wilayah Borel pada bidang tersebut. Himpunan B(R2 ) didefinisikan sebagai suatu subhim2
punan dari power set P R sedemikian rupa sehingga B(R2 ) merupakan himpunan terkecil yang memuat semua cakram terbuka dan memenuhi kesemua
syarat dalam Definisi 1.2.1. Himpunan-himpunan Borel pada R2 oleh karena itu meliputi misalnya
semua cakram terbuka beserta semua gabungan-gabungannya,
semua cakram tertutup beserta semua gabungan-gabungannya,
semua himpunan yang hanya beranggotakan sebuah titik tunggal pada R2 (atau singleton) beserta gabungan-gabungannya,
(1.11)
(1.12)
(1.13)
yakni himpunan yang beranggotakan semua irisan 0 E (E E), merupakan suatu ruang peristiwa pada 0 . Ruang peristiwa ini disebut ruang
peristiwa yang diwarisi oleh 0 dari E.
Bukti : 0 jelas ada di E 0 sebab 0 = 0 . Jika E 0 E 0 , maka terdapat
E E sedemikian rupa sehingga E 0 = E 0 . Oleh karena itu, dengan
dalil de Morgan diperoleh
0 E 0 = 0 (E 0 ) = (0 E) (0 0 ) = 0 E.
Tetapi, 0 E = ( E) 0 . Berhubung E E, E juga ada di
E. Hal ini menunjukkan bahwa ada F := E sedemikian rupa sehingga
0 E 0 = F 0 , yakni bahwa 0 E 0 ada di E 0 . Andaikan E10 , E20 , E 0 .
Maka terdapat E1 , E2 , E sedemikian rupa sehingga E10 = E1 0 , E20 =
E2 0 , dst. Oleh karena itu, E10 E20 = (E1 0 ) (E2 0 ) .
Dari distributivitas, didapatkan E10 E20 = (E1 E2 ) 0 .
1.2. BATASAN
1.2.2
Batasan Aksiomatik
Definisi 1.2.2 Andaikan suatu ruang sampel atau spektrum dan E suatu ruang peristiwa dari . Peluang dari peristiwa-peristiwa di E adalah
pemetaan P : E R yang memenuhi syarat-syarat berikut
1. P() = 1,
2. P(E) 0 untuk setiap E E,
3. jika E1 , E2 , E dan Ei Ej = untuk i 6= j, maka
P(E1 E2 ) = P(E1 ) + P(E2 ) +
Bilangan P(E) untuk setiap E E dibaca peluang terjadinya peristiwa E.
Dari batasan tersebut dengan mudah dapat diturunkan sifat-sifat berikut :
1. P() = 0.
Bukti : Dimaklumi bahwa E = dan E = E. Oleh karena
itu dari syarat 2 didapatkan P(E) = P(E ) = P(E) + P(). Jadi,
P() = 0.
2. P(E E 0 ) = P(E) + P(E 0 ) jika E E 0 = .
Bukti : Ambil barisan E, E 0 , , , . Ini adalah barisan dari
peristiwa-peristiwa yang saling asing. Oleh karena itu dari syarat
ketiga Definisi 1.2.2 dan sifat 1 didapatkan
P(E E 0 ) = P(E E 0 ) =
P(E) + P(E 0 ) + 0 + 0 + = P(E) + P(E 0 )
(1.14)
10
(1.15)
(1.16)
dan
F = (E F ) (( E) F ).
1.2. BATASAN
11
Suatu wilayah pada suatu bidang dikatakan terbuka bila wilayah itu tidak memiliki
batas. Suatu wilayah pada suatu bidang dikatakan tertutup bila wilayah itu dilingkupi
oleh batas.
12
luas wilayah I
.
luas ruang sampel
(1.17)
(1.18)
Titik-titik (tA , tB ) pada ruang (bidang) sampel yang memenuhi pertidaksamaan terakhir merupakan titik-titik yang berada pada wilayah J
yang diperlihatkan oleh Sketsa 1.3. Wilayah J merupakan wilayah Borel
1.2. BATASAN
13
(lihat Teorema 1.2.1). Oleh karena itu peluang terjadinya pertemuan antara pebisnis A dan B merupakan peluang terjadinya peristiwa J, yakni
P(J) =
luas wilayah J
602 402
= 0, 56.
=
luas ruang sampel
602
(1.19)
Contoh :
Ditinjau sebuah fungsi f yang kontinyu pada garis riil R sedemikian rupa
sehingga
Z
f (x)dx = 1
(1.20)
f (x)dx
E
E B(R),
(1.21)
14
bila E dapat ditulis sebagai gabungan dari interval-interval dengan batasbatas bawah a, c, dst. dan batas atas b, d, dst.
Contoh :
Suatu partikel bermassa m hidup dalam ruang satu dimensi. Andaikan
partikel tersebut berada dalam keadaan yang diwakili oleh fungsi gelombang (lihat Bab 8) yang diberikan oleh
1
2
4
1
x2
4 ,
(x) =
< x < ,
(1.22)
e
2 2
dengan suatu tetapan yang berdimensi panjang. Keberadaan partikel
tersebut disuatu tempat sepanjang sumbu-x hanya dapat diketahui secara
probabilistik. Oleh karena itu, sumbu-x merupakan ruang sampel bagi
eksperimen pengukuran posisi partikel. Pemetaan P : B(R) R yang
didefinisikan sebagai
Z
Z
x2
1
2
P (E) =
|(x)| dx =
e 22 dx
(1.23)
2
E
E
untuk setiap peristiwa E B(R) merupakan peluang yang didefinisikan
pada B(R), sebab
Z +
x2
1
(1.24)
e 22 dx = 1
2
(lihat contoh sebelumnya). Peluang P (E) dibaca sebagai peluang menemukan partikel di daerah E.
Sekarang, andaikan E1 = (2, 8) dan E2 = (10, 15). Peluang menemukan partikel didaerah E1 atau di daerah E2 diberikan oleh
Z 8
Z 15
2
x2
1
1
x2
2
P (E1 E2 ) =
dx +
e
e 22 dx
2
2
2
10
= P (E1 ) + P (E2 ).
(1.25)
Peluang menemukan partikel di daerah E1 dan di daerah E2 nilainya nol
mengingat E1 E2 = .
15
Definisi 1.2.3 Andaikan suatu ruang sampel dan E suatu ruang peristiwa dari serta P suatu peluang pada E. Dua peristiwa E, F 0 E dikatakan
tidak gayut menurut peluang P jika berlaku P(E F ) = P(E)P(F ).
1.3
Peubah Acak
Peubah acak atau random variable adalah penyematan suatu nilai bagi
tiap anggota ruang sampel. Jika, suatu anggota ruang sampel muncul
sebagai keluaran dalam suatu eksperimen, maka muncul pula nilai yang
disematkan padanya. Jadi, muncul tidaknya nilai yang disematkan pada
suatu anggota ruang sampel tergantung pada muncul tidaknya anggota
ruang sampel itu sebagai keluaran. Karena kemunculan anggota-anggota
ruang sampel sebagai keluaran dari suatu eksperimen bersifat probabilistik
(acak), maka nilai-nilai yang disematkan itupun muncul secara acak pula.
Inilah sebabnya disebut peubah acak.
Definisi 1.3.1 Andaikan ruang sampel dan E ruang peristiwa pada .
Suatu peubah acak riil X pada ruang sampel relatif terhadap ruang
peristiwa E adalah pemetaan X : R sedemikian rupa sehingga berlaku
X 1 (E 0 ) E untuk setiap E 0 B(R).
Dalam definisi terakhir, X 1 (E 0 ) adalah inverse image dari E 0 terhadap
X, yakni himpunan yang didefinisikan oleh
X 1 (E 0 ) := { |X() E 0 }.
(1.26)
Jadi, suatu peubah acak riil pada ruang sampel relatif terhadap ruang
peristiwa E adalah fungsi bernilai riil yang didefinisikan pada sedemikian
rupa sehingga inverse image dari setiap himpunan Borel pada R merupakan
anggota ruang peristiwa E.
Contoh :
Andaikan suatu ruang sampel dan E suatu ruang peristiwa dari . Bila
R suatu tetapan riil, maka pemetaan X : R dengan X() =
untuk setiap merupakan peubah acak riil.
16
Contoh :
Dalam eksperimen melempar koin, bila untuk gambar G diberi nilai 1 dan
untuk angka A diberi nilai 0, maka diperoleh peubah acak berikut
0 x=A
X : {A, G} R dengan X(x) =
(1.27)
1 x=G
Contoh :
Andaikan sebagai ruang sampel adalah himpunan R disertai dengan ruang peristiwa B(R). Setiap fungsi kontinyu bernilai riil yang didefinisikan
pada = R merupakan peubah acah pada R relatif terhadap B(R). Hal ini
mudah dimaklumi mengingat definisi kekontinyuan suatu fungsi bernilai riil
yang didefinisikan pada garis riil. Suatu fungsi bernilai riil dikatakan kontinyu pada garis riil jika inverse image setiap interval terbuka merupakan
gabungan dari interval-interval terbuka. Dari sifat ini dapat ditunjukkan
bahwa suatu fungsi riil kontinyu pada garis riil jika dan hanya jika inverse
image setiap interval tertutup merupakan gabungan interval-interval tertutup. Demikian juga berlaku untuk himpunan Borel yang lain [Mun].
(1.28)
17
Bukti : Teorema ini merupakan implementasi dari Teorema 13.1 dari [Bil].
Teorema tersebut mengatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu
fungsi bernilai riil yang didefinisikan pada suatu ruang sampel merupakan
peubah acak atau bukan cukup dengan menguji apakah inverse image dari
setiap interval terbuka dari garis riil berada dalam ruang peristiwa atau
tidak. Jadi, orang tidak perlu menguji semua jenis subhimpunan yang ada
di B(R).
1.3.1
Andaikan X peubah acak riil pada suatu ruang sampel relatif terhadap
ruang peristiwa E. Karena X merupakan fungsi riil pada , maka himpunan X() = {X()| }, yakni bayangan dari terhadap pemetaan
X, merupakan subhimpunan dari R. Himpunan X() dalam beberapa
buku juga ditulis sebagai J m(X). Berdasarkan Teorema 1.2.1 himpunan
EX yang didefinisikan oleh
EX = {X() A|A B(R)}
(1.29)
merupakan suatu ruang peristiwa dari X(). Bila Y suatu peubah acak
pada X() relativ terhadap ruang peristiwa EX , maka komposisi Y X
juga merupakan peubah acak riil pada relatif terhadap E.
Bila Y adalah peubah acak riil pada ruang sampel relatif terhadap
ruang peristiwa E, maka jumlahan X + Y sedemikian rupa sehingga
(X + Y )() = X() + Y (),
(1.30)
merupakan peubah acak riil pada ruang sampel relatif terhadap ruang
peristiwa E.
Perkalian XY sedemikian rupa sehingga
(XY )() = X()Y (),
(1.31)
juga merupakan peubah acak riil pada ruang sampel relatif terhadap
ruang peristiwa E.
Contoh :
Andaikan sebuah bilangan riil yang tetap dan X peubah acak riil pada
suatu ruang sampel . Selanjutnya, andaikan pula bahwa Y : R R
18
(n buah faktor),
(1.32)
untuk setiap . Dapat ditunjukkan dengan induksi bahwa X n merupakan peubah acak riil pada relatif terhadap ruang peristiwa E.
1.3.2
Andaikan X peubah acak riil pada suatu ruang sampel relatif terhadap
ruang peristiwa E dan P peluang yang didefinisikan pada E. Untuk setiap
himpunan Borel E 0 X(), himpunan X 1 (E 0 ) = { |X() E 0 }
merupakan sebuah peristiwa pada . Bilangan P(X 1 (E 0 )) oleh karena itu
merupakan peluang terjadinya peristiwa X 1 (E 0 ) . Tetapi, bilangan
tersebut dapat pula dimaknai sebagai peluang terjadinya peristiwa E 0
X(). Jadi, peluang P pada E mengimbas adanya suatu peluang X pada
ruang peristiwa B(X()) yang beranggotakan semua subhimpunan Borel
dari X(). Peluang ini diberikan oleh
X (E 0 ) = P(X 1 (E 0 )).
(1.33)
< x < .
(1.34)
Jadi, F (x) merupakan peluang munculnya nilai peubah acak X pada interval (, x], yakni peluang munculnya nilai X yang kurang atau sama
dengan x.
19
(1.35)
dengan > 0 .
Bukti : Dari sifat 6, dengan x1 = x dan x2 = x didapatkan
P(X 1 (x , x]) = F (x) F (x )
Jika diambil limit dengan 0, maka didapatkanlah pers.(1.35).
8. Untuk setiap interval terbuka (x1 , x2 ) berlaku
P(X 1 (x1 , x2 )) = lim F (x2 ) F (x1 ),
0
(1.36)
20
1.3.3
Agihan Diskret
Suatu peubah acak X pada ruang sampel relatif terhadap ruang peristiwa
E dikatakan memiliki agihan diskret jika himpunan X() := {X()|
} merupakan himpunan yang anggotanya diskret. Bila X memiliki agihan
diskret, maka terdapat apa yang dikenal sebagai fungsi peluang. Jika P
peluang yang didefinisikan pada E, maka fungsi peluang fP dari X yang
diimbas oleh P adalah pemetaan fP : X() R yang didefinisikan oleh
fP (x) = P(X 1 (x)).
Bila X() = {x1 , x2 , x3 , }, maka dengan mudah dapat dibuktikan
bahwa
X
fP (xi ) = 1.
(1.37)
seluruh i
21
Contoh :
Ditinjau suatu mesin yang mampu menghasilkan suatu jenis barang tertentu. Andaikan mesin tersebut memiliki kemungkinan menghasilkan produk
yang cacat dengan peluang p dan kemungkinan menghasilkan produk yang
sempurna dengan peluang q = 1 p. Andaikan kita menguji n buah produk dari mesin tersebut. Bila X menyatakan jumlah yang cacat, maka
terdapat n + 1 buah nilai X yang mungkin, yakni 0, 1, 2, , n. Masalah
ini termasuk ke dalam apa yang disebut undian Bernoulli. Ruang sampel dari masalah ini adalah seluruh pola barisan dari n buah item yang
masing-masing sukunya memiliki dua kemungkinan : cacat atau sempurna. Jumlah anggota ruang sampel oleh karena itu ada 2n . Jadi, X, sebagai
peubah acak, memiliki distribusi yang diskret. Peluang terjadinya x buah
produk yang cacat diberikan oleh
P(X 1 (x)) =
n!
px q nx .
(n x)!x!
(1.38)
(1.39)
Agihan diskret semacam ini dikenal sebagai agihan binomial dengan parameter n dan p [Pit].
Agihan Kontinyu
Suatu peubah acak X pada ruang sampel relatif terhadap ruang peristiwa
E dikatakan memiliki agihan kontinyu relatif terhadap peluang P yang
didefinisikan pada E jika terdapat fungsi X yang nilainya tidak pernah
negatif pada garis riil R sedemikian rupa sehingga
Z
P(X 1 (A)) =
X (x)dx,
(1.40)
A
22
1.4
Dari fungsi agihan ataupun kerapatan agihan dapat diperoleh suatu nilai
yang merupakann rerata hasil eksperimen-eksperimen dan rerata penyimpangan terhadap nilai tersebut. Rerata hasil eksperimen-eksperimen disebut nilai harap sedangkan rerata penyimpangan terhadap nilai itu disebut
penyimpangan baku.
1.4.1
Nilai Harap
xfP (x).
(1.42)
Jika bayangan dari X, yakni X(), memiliki anggota yang jumlahnya finit,
maka tidak ada masalah dengan jumlahan pers.(1.42). Jika X() memiliki
anggota yang jumlahnya infinit, maka jumlahan pers.(1.42) mungkin tidak
mengerucut (konvergen). Bila ini terjadi, maka X dikatakan tidak memiliki
nilai harap. Nilai harap (X) ada jika dan hanya jika
X
(1.43)
23
Nilai harap (X) untuk agihan kontinyu dikatakan ada jika dan hanya jika
Z
|x|X (x)dx < .
(X) =
(1.45)
X()
Contoh :
Pada kasus partikel yang hidup dalam ruang satu dimensi, andaikan dilakukan eksperimen pengukuran posisi. Telah dikatakan bahwa ruang sampel untuk masalah ini adalah sumbu-x yang merupakan garis rill R. Bila
didefinisikan pemetaan X : R R mennurut X(x) = x untuk setiap x R,
maka fungsi ini merupakan peubah acak sebab X kontinyu. Seperti telah
disebutkan dalam contoh terdahulu yang mengupas masalah ini, bilangan
Z
|(x)|2 dx
P (E) =
E
merupakan peluang didapatkannya partikel berada dalam daerah E. Karena X(E) = E, maka
P (X
Z
(E)) =
|(x)|2 dx.
Karena |(x)|2 juga tidak pernah negatif, maka |(x)|2 merupakan fungsi
kerapatan peluang dan X merupakan peubah acak yang memiliki agihan
yang kontinyu. Nilai harap dari X oleh karena itu diberikan oleh
Z
(X) =
x|(x)| dx =
x2
1
xe 22 dx = 0.
2
(1.46)
= 2
= 2
x2
1
|x|e 22 dx
2
x2
1
xe 22 dx
2
|x||(x)| dx =
0
2
< .
(1.47)
24
(Y X) =
Y (X(x))X (x)dx,
(1.48)
1.4.2
(1.49)
i=1
Penyimpangan Baku
Andaikan X suatu peubah acak riil pada ruang sampel relatif terhadap
ruang peristiwa E. Bila (X) nilai harap peubah acak X relatif terhadap
peluang P yang didefinisikan pada E, maka fungsi X (X) menurut
bagian 1.3.1 merupakan peubah acak riil pada . Demikian pula halnya
fungsi (X(X))2 . Selanjutnya, varian dari X (selanjutnya ditulis sebagai
Var(X)) didefinisikan sebagai nilai harap dari peubah acak riil (X (X))2 ,
yakni
Var(X) = [(X (X))2 ].
(1.50)
25
Karena Var(X) merupakan nilai rata-rata dari peubah acak positif, yakni
(X (X))2 , maka Var(X) selalu positif. Varian merupakan ukuran penyebaran nilai-nilai peubah acah X di sekitar nilai harapnya. Varian yang
kecil menandakan bahwa agihan peluang terkonsentrasi penuh di sekitar
nilai harap (X). Di lain pihak, varian yang besar menunjukkan bahwa
agihan peluang menyebar landai di sekitar (X). Penyimpangan baku
(standard deviation) dari peubah acak X didefinisikan sebagai akar positif
dari varian Var(X). Di kalangan eksperimentator, penyimpangan baku ini
dikenal sebagai ralat.
Sifat-sifat Varian
Berikut adalah sifat-sifat varian :
1. Var(X) = 0 jika dan hanya jika terdapat bilangan nyata c dalam range
X sedemikian rupa sehingga peluang munculnya X = c besarnya
100%.
2. Untuk sembarang tetapan a dan b serta peubah acak X berlaku
Var(aX + b) = a2 Var(X).
3. Untuk sembarang peubah acak X, Var(X) = (X 2 ) ((X))2 .
1.5
26
(1.51)
1
2 2
(1.52)
x2 + y 2
exp
2 2
E
dxdy,
(1.53)
=
e 2 dx
e 2 dy ,
2 2
2 2
= 1.
(1.54)
Kedua, harus ditunjukkan bahwa P (E) 0 untuk setiap wilayah
Borel E pada bidang-XY. Sifat ini dijamin oleh kenyataan bahwa
integrand pada pers.(1.53) tidak pernah negatif pada bidang-XY.
Ketiga, harus ditunjukkan bahwa
P (E1 E2 E3 ) = P (E1 ) + P (E2 ) + P (E3 ) + ,
(1.55)
untuk setiap barisan E1 , E2 , E3 , ... dari wilayah-wilayah Borel yang
saling asing. Berlakunya sifat ini dijamin oleh sifat integral bahwa
27
(1.56)
dan
Y
: R
: (x, y) 7 Y (x, y) = y.
(1.57)
(1.58)
Jadi, X 1 (E 0 ) merupakan wilayah pada bidang-XY (= ) yang beranggotakan titik-titik (x, y) dengan absis x E 0 . Oleh karena itu2 ,
X 1 (E 0 ) = {(x, y) |x E 0 , y R} = E 0 R.
(1.60)
Demikian juga
Y 1 (E 00 ) = {(x, y) |Y (x, y) = y E 00 } ,
(1.61)
2
Andaikan A dan B sembarang dua himpunan, maka produk kartesius antara himpunan A dan B adalah himpunan A B yang didefinisikan sebagai
(1.59)
28
(1.62)
: B(R) R
: E 0 7 X (E 0 ) = P (X 1 (E 0 ))
(1.63)
dan
Y
: B(R) R
: E 0 7 Y (E 0 ) = P (Y 1 (E 0 )).
(1.64)
dxdy
=
2 2 E 0 R
2 2
Z
Z
2
2
1
1
x2
y2
=
e 2 dx
e 2 dy ,
2 2 E 0
2 2 R
Z
Z
2
2
1
1
x2
y2
2
2
=
dx
dy ,
e
e
2 2Z E 0
2 2
x2
1
e 22 dx
(1.65)
=
2 2 E 0
Dengan cara yang serupa didapatkan
Y (E 0 ) =
y2
1
2 2
e 22 dy.
(1.66)
E0
x2
1
2 2
e 22
(1.67)
dan
Y (y) =
1
2 2
y2
e 22 .
(1.68)
29
(1.69)
dan
Z
yY (y)dy =
(Y ) =
1
2 2
y2
ye 22 dy = 0.
(1.70)
Jadi, rata-rata posisi partikel tersebut ialah titik (0, 0). Varian bagi
kedua peubah acak itu dapat dihitung dengan menggunakan sifat
nomor 3 dari varian, yakni
Var(X) = (X 2 ) ((X))2 = (X 2 )
(1.71)
(1.72)
dan
Z
x2
1
=
x2 e 22 dx
2 2
= 2
(1.73)
Var(Y ) = (Y 2 )
Z
=
y 2 Y (y)dy
Z
y2
1
=
y 2 e 22 dy
2 2
2
= .
(1.74)
dan
30
V ar(Y ) = .
(1.76)
(1.77)
(1.78)
dengan > 0 sembarang bilangan positif. Andaikan eksperimen tersebut berlangsung sedemikian rupa sehingga peluang munculnya nilai
(2n + 1)/2 sebagai outcome diberikan oleh
P (n) =
N
,
(2n + 1)6
(n = 0, 1, 2, )
3
5
7
(2n + 1)6
6
= N
.
(1.79)
960
Jadi, karena
P () = N
6
=1
960
(1.80)
maka
N=
960
.
6
(1.81)
31
(2n + 1)
.
2
(1.82)
Maka = {0 , 1 , 2 , } dan
X1 () = {X1 ()| } = {02 , 12 , 22 , }.
(1.83)
960
.
+ 1)6
6 (2n
(1.84)
X
n=0
X
n=0
=
=
=
n2 fP (n2 )
960
(2n + 1)2 2
6
4
(2n + 1)6
9602 X
1
6
4
(2n + 1)4
n=0
9602
1
1
1
1
1 + 4 + 4 + 4 + +
+
4 6
3
5
7
(2n + 1)4
52
.
(1.85)
2 2
(1.86)
32
=
=
X
n=0
X
n=0
=
=
=
=
n4 fP (n2 )
960
(2n + 1)4 4
16
6 (2n + 1)6
9604 X
1
16 6
(2n + 1)2
n=0
9604
1
1
1
1
1 + 2 + 2 + 2 + +
+
16 6
3
5
7
(2n + 1)2
9604 2
16 6 8
304
.
(1.87)
4 4
54
304 254
=
4 4
4 4
4 4
(1.88)
X1 =
Var(X1 ) =
52
.
2 2
(1.89)
1.6
Soal-soal
1.6. SOAL-SOAL
33
(x2
+ 2 )
(1.90)
(1.91)
dengan
Z
Pf (E) =
f (x)dx
(1.92)
(1.94)
34
(1.95)
dengan d(x, y) = x2 + y 2 untuk setiap (x, y) D. Hitunglah peluang bahwa titik yang terpilih terletak pada radius tidak kurang dari
1 satuan!
(c) Hitunglah fungsi kerapatan peluang d dari d relatif terhadap
peluang tersebut!
(d) Hitunglah nilai harap (d)!
10. Akan dipilih secara acak seorang mahasiswa yang pernah mengikuti
kuliah Fisika Kuantum A.
(a) Sebutkanlah spektrum dan ruang peristiwa untuk eksperimen
ini!
(b) Sebutkanlah contoh peubah acak untuk eksperimen ini sebanyak mungkin!
11. Ditinjau suatu eksperimen dengan ruang sampel
= {4E, 9E, 16E, 25E, 36E , n2 E, },
dengan E suatu bilangan positif sembarang.
(a) Konstruksilah ruang peristiwa E() dari !
(1.96)
1.6. SOAL-SOAL
35
(1.97)
4
,
1)
3(n2
untuk n = 2, 3, 4, .
(1.98)
36
Bab 2
METAMEKANIKA
Seseorang tidak harus menjadi filsuf yang
lebih baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak;
Azas-azas serta metode-metode dan konsep-konsep yang umumlah
yang harus ia pelajari dari ilmu, . . . (Bertrand Russel)
38
BAB 2. METAMEKANIKA
plit1 telah cukup meyakinkan mereka akan ketiadaan matematika yang besarnya melebihi (atau setidak-tidaknya menyamai) alam ini. Karena alam
lebih besar dari matematika manapun, maka bagi kaum internalis keyakinan bahwa alam itu matematis perlu ditinggalkan. Akan tetapi, keyakinan bahwa deskripsi terbaik pola-pola keteraturan alam adalah deskripsi
matematis tetap harus dipertahankan. Yang diupayakan adalah deskripsi
matematis maksimal bagi keteraturan alam ini.
Gambar 2.1: Acak yang teratur : cabang-cabang pohon yang tumbuh mendatar
dari batang (kiri) dan sebuah galaksi yang berbentuk spiral (kanan).
2.1
Semantika Matematika
Yang konsisten tidak komplit, sedang yang komplit tidak konsisten. Untuk lebih
rinci dapat dilihat misalnya dalam [Hein]
39
itu, malahan lebih banyak bagian konsep tentang kambing yang tidak dapat dipindahkan oleh pemahat tadi. Banyak tidaknya bagian konsep tentang kambing yang dapat dipindahkan oleh pemahat tersebut tergantung
pada beberapa hal. Pertama, seberapa dalam pemahaman sang pemahat akan konsep tentang kambing. Semakin dalam pemahamannya tentang anatomi kambing misalnya, maka patung kambing yang ia selesaikan
semakin mendekati realitas seekor kambing. Kedua, media yang dipakai
untuk menampung konsep tentang kambing itu. Bahan yang terlalu lembek dan tidak pernah bisa mengeras tentu sulit untuk dipakai membuat
patung. Ketiga, kemampuan memahat sang pemahat. Patung kambing
yang dipahat oleh seorang pemahat berbakat yang telah berpengalaman
tentu akan lebih baik dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh seorang
yang sedang belajar memahat. Seorang fisikawan yang sedang menyusun
model matematik bagi suatu fenomena alam, sesungguhnya sedang memindahkan konsep yang berada dibalik fenomena alam itu ke dalam realitas matematis. Sayangnya, untuk dapat menampung konsep yang ada
dibalik fenomena alam secara utuh dibutuhkan matematika yang semakin
rumit. Bahkan seringkali bahwa matematika yang diperlukan bagi perumusan suatu kaidah belum dikonstruksi oleh para matematikawan. Dalam
hal ini fisika menunjukkan perannya menentukan arah pengembangan ilmu matematika. Pengembangan aljabar operator, geometri nonkomutatif
dan grup kuantum menegaskan fitur semacam ini. Sekali lagi, seandainya
matematika berperan sebagai film, maka kualitas gambar yang dihasilkan
selain tergantung pada cara pengambilan dan kecanggihan kamera yang
dipakai juga sangat tergantung pada kualitas film yang digunakan. Maka janganlah berharap banyak bila matematika yang anda gunakan untuk
menangkap bayangan alam hanya merupakan film bermutu rendah.
2.2
Untuk mewujudkan obsesi tersebut sebagian fisikawan yang dikenal sebagai teoriwan atau fisikawan teori berusaha menyusun model-model
hukum alam dengan memanfaatkan matematika sebagai media untuk merealisasikannya. Penyusunan model-model ini harus dipandu oleh data-data
yang digali oleh sebagian fisikawan yang lain dikenal sebagai eksperimentator melalui serangkaian eksperimen. Model hukum alam yang
diusulkan, tentu saja, tidak mungkin identik dengan hukum alam yang
40
BAB 2. METAMEKANIKA
sesungguhnya (yakni yang dimodelkannya), melainkan hanya sekedar pendekatan semata. Oleh karena itu diperlukan ukuran apakah model-model
yang diusulkan diterima atau ditolak. Ukuran tersebut haruslah terkait
dengan kesesuaian model-model tersebut dengan perilaku alam yang yang
diwakilinya. Model yang paling sesuai dengan perilaku alam merupakan
model yang paling diterima. Dominasi kaum empiris dalam Fisika (dan
juga sains secara umum) ketimbang kaum rasionalis membawa kecenderungan untuk mengambil eksperimen sebagai penentu kesesuaian suatu model
dengan perilaku alam yang diwakilinya. Selain dituntut mampu menjelaskan hasil-hasil eksperimen yang telah dilakukan, model yang diusulkan
dituntut pula mampu meramalkan hasil-hasil eksperimen yang akan dilakukan. Jadi, semakin banyak hasil eksperimen yang dapat dijelaskan
dan diramalkan oleh suatu model secara tepat, maka model tersebut semakin diterima. Maka dapatlah dikatakan bahwa para eksperimentator
merupakan hakim dalam fisika (sains), yakni menentukan apakah suatu
model diterima ataukah ditolak (tentu saja melalui eksperimen). Akan
tetapi, walaupun suatu model telah mampu memainkan peran tersebut secara memuaskan, ia terpaksa harus pula ditinggalkan atau paling tidak
direvisi bila terdapat paling sedikit sebuah eksperimen yang tidak mampu dijelaskannya atau diramalkannya. Jadi, tidak ada model hukum alam
yang diterima secara langgeng. Kata Einstein, No number of experiments
can prove me right; a single experiment can prove me wrong.
41
42
BAB 2. METAMEKANIKA
2.3
Principia Universalis
Sekarang adalah saatnya untuk menyajikan prinsip-prinsip umum mekanika, yakni struktur essensial bersama (common essential structure) yang
dimiliki oleh entah itu mekanika klasik atau mekanika kuantum maupun
mekanika-mekanika yang lain (kalau ada). Sesuai dengan namanya, prinsipprinsip yang hendak disebutkan ini berlaku untuk setiap model mekanika
yang manapun. Prinsip-prinsip tersebut merupakan saripati, oleh karena itu bersifat minimal. Artinya, prinsip-prinsip tersebut setidak-tidaknya
harus ada dalam setiap model mekanika.
2.3.1
Kinematika
43
merupakan model matematis bagi sebuah besaran fisis. Setiap unsur di O mewakili sebuah besaran fisis yang informasi tentangnya
dimuat oleh keadaan di mana sistem tersebut sedang berada.
3. Prosedur (Aturan) Akses. Andaikan suatu sistem fisis berada
pada keadaan . Prosedur akses mengatur bagaimana orang dapat meng-akses informasi (terutama nilai besaran-besaran fisis yang
relevan dengan sistem fisis itu) tentang sistem fisis itu yang dimuat
oleh keadaan . Prosedur ini menuntun kita untuk dapat mengetahui, misalnya, nilai-nilai yang akan keluar sebagai hasil ukur bila suatu besaran fisis (observabel) tersebut diukur dan berapa peluang bagi masing-masing nilai itu untuk keluar sebagai hasil ukur bila sistem yang ditinjau berada pada suatu keadaan tertentu. Himpunan nilai-nilai ini disebut spektrum dari observabel yang akan
diukur. Termasuk ke dalam spektrum adalah nilai-nilai yang disebut swanilai dari observabel tersebut. Spektrum suatu observabel
berperan sebagai spektrum atau ruang sampel suatu eksperimen sebagaimana dalam teori peluang. Pengukuran suatu observabel oleh
karena itu merupakan suatu eksperimen dalam pengertian yang telah
dibeberkan dalam bagian 1.1 : sebagai outcome adalah salah satu
dari anggota spektrum observabel tersebut.
Secara teknis matematis3 prosedur ini dimodelkan dengan peluang
P,A yang berparameterkan anggota-anggota himpunan S dan O.
P,B (U ), misalnya, merupakan nilai peluang berlakunya pernyataan
Besaran fisis B O memiliki suatu nilai yang terletak pada himpunan U R bila sistem berada pada keadaan .
Jika a anggota spektrum dari suatu observabel A, maka keadaan
a yang mengakibatkan P,A ({a}) = 1, yakni keadaan pada mana
peluang memperoleh nilai a sebagai hasil ukur besarnya 100% disebut swakeadaan kepunyaan a. Korespondensi antara nilai ukur
dengan swakeadaan semacam ini bukanlah korespondensi satu-satu,
melainkan korespondensi satu-banyak. Artinya, terdapat anggotaanggota spektrum yang memiliki lebih dari satu swakeadaan yang
berbeda4 . Bilamana suatu anggota spektrum mempunyai g buah
3
Bagi yang kurang suka dengan formalisme matematis bagian ini sebenarnya dapat
dilompati walaupun akan sedikit mengganggu keutuhan pemahaman.
4
Dalam hal ini, kata berbeda memiliki pengertian yang sangat khusus. Pengertian
khusus ini bervariasi dari satu mekanika ke mekanika yang lain.
44
BAB 2. METAMEKANIKA
swakeadaan yang berbeda, maka anggota spektrum yang semacam
ini dikatakan merosot sejauh g derajad. Jika sistem yang ditinjau dipersiapkan berada pada swakeadaan kepunyaan suatu anggota
spektrum suatu observabel, maka pengukuran observabel tersebut
akan menghasilkan anggota spektrum itu sebagai hasil ukur yang
akurat (yakni, dengan ralat nol) dan sistem tidak akan terganggu
oleh proses pengukuran itu, yakni sesaat setelah pengukuran sistem
tetap berada pada swakeadaan sebagaimana sebelum pengukuran.
Peluang-peluang tersebut pada gilirannya dimanfaatkan untuk menggali informasi-informasi yang tersimpan dalam kedaan-keadaan sistem (yakni anggota-anggota ruang keadaan S) sehingga diperoleh
sesuatu yang dapat dihubungkan dengan hasil-hasil eksperimen yang
akan dilakukan. Informasi-informasi ini, misalnya, adalah prediksi nilai harap dan ralat pengukuran besaran-besaran fisis bilamana
besaran-besaran tersebut diukur.
2.3.2
Dinamika
45
46
BAB 2. METAMEKANIKA
Bab 3
PRINSIP PRINSIP
MEKANIKA KLASIK
It is not that they can not see the solution.
It is that they can not see the problem.
(G.K. Chesterton)
3.1
Ruang Keadaan
Dalam mekanika klasik, yang bertindak sebagai ruang keadaan adalah ruang fase klasik M , yakni suatu ruang yang secara lokal1 memiliki sistem
koordinat kanonis (q, p) := (q 1 , , q n , p1 , , pn ), dengan q 1 , , q n disebut koordinat umum dan p1 , , pn disebut momentum umum. Jadi, ruang
1
yakni bahwa sistem koordinat ini hanya terdefinisikan pada wilayah tertentu saja
pada ruang itu.
47
48
fase klasik adalah ruang yang berdimensi genap2 2n, dengan n bilangan asli.
Sketsa 3.1 Torus (kiri) dan silinder tak terhingga (kanan) sebagai ruang fase
klasik (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F. Rosyid)
Dalam mekanika Nambu [Nam] ruang fase klasik tidak mesti berdimensi genap.
Begitu mendengar istilah teknis dalam geometri diferensial ini, para pembaca dimohon tidak lantas skeptis dengan apa yang akan segera dipaparkan. Manifold, mudahnya
berbicara, adalah suatu wilayah dalam ruang Rn yang secara lokal mirip potongan ru0
ang Rn , dengan n0 n. Bilangan n0 disebut dimensi dari manifold yang bersangkutan.
Garis lurus yang panjangnya tak terhingga, bidang datar yang luasnya tak terhingga dan
ruang riil tiga dimensi adalah tiga contoh manifold sederhana yang sering bersinggungan
dengan kita dalam kehidupan keseharian. Permukaan bola dan lingkaran adalah dua
contoh manifold berikutnya. Seandainya kulit bola itu kita kelupas sedikit saja, maka
3
49
yang padanya dapat ditemukan suatu objek matematis yang dikenal sebagai
struktur simplektik [MaRa]. Struktur simplektik ini berupa tensor kovarian
antisimetrik berderajad dua yang tertutup dan tak merosot. Tidak pada
setiap manifold dapat ditemukan sebuah struktur simplektik. Tetapi ada
pula manifold yang memiliki lebih dari satu struktur smplektik. Struktur
simplektik yang telah dipilih inilah yang nantinya menentukan persamaan
gerak dalam mekanika klasik (persamaan gerak Hamilton) sekaligus menentukan juga apa yang dikenal sebagai kurung Poisson. Manifold simplektik
ini pun secara lokal memiliki koordinat kanonis.
Sketsa 3.2 Tidak pada setiap manifold terdapat struktur symplektik. Pita
Mobius ini adalah contoh manifold semacam itu. (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F. Rosyid)
kelupasan yang kita dapatkan merupakan bagian dari bidang dua dimensi. Jadi, permukaan bola adalah manifold berdimensi dua. Bagaimana dengan permukaan kue donat
atau torus dan silinder?
50
bi
Sketsa 3.3 Manik-manik yang diuntai pada sebuah gelang sebagai sistem fisis
(Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F. Rosyid)
0
0
0 1 0 0
0
0
0 0 1 0
0
0
0
0
0
1
.
(3.1)
J=
1 0
0 0 0 0
0 1 0 0 0 0
0
1 0 0 0
(3.2)
dengan
:=
x
y
z
px
py
pz
dan
5r,p H :=
H
x
H
y
H
z
H
px
H
py
H
pz
(3.3)
dy
H
=
,
dt
py
dz
H
=
dt
pz
(3.4)
51
dan
dpx
H
=
,
dt
x
dpy
H
=
,
dt
y
dpz
H
=
.
dt
z
(3.5)
3.2
Andaikan M suatu ruang fase klasik berdimensi 2n, dengan sistem koordinat kanonis (q, p) := (q 1 , , q n , p1 , , pn ). Fungsi f yang didefinisikan
pada M dikatakan differensiabel jika fungsi f itu dapat diturunkan secara
terus-menerus tanpa batas terhadap koordinat-koordinat kanonis pada M .
Suatu fungsi yang didefinisikan pada M disebut fungsi riil jika nilai fungsi
itu di berbagai tempat pada M bernilai riil. Selanjutnya, aljabar observabel
untuk mekanika klasik adalah himpunan C (M, R) yang beranggotakan semua fungsi riil pada M yang diferensiabel disertai dengan kurung Poisson
52
,
{f, g}KP :=
q i pi pi q i
(3.6)
i=1
(3.7)
(3.8)
dan
untuk setiap f, g, h C (M, R),
3. Identitas Jacobi, yakni
{f, {g, h}KP }KP + {g, {h, f }KP }KP + {h, {f, g}KP }KP = 0. (3.9)
Seandainya kurung Poisson {f, g}KP antara f dan g ditulis sebagai f g,
maka kurung Poisson dapat dipandang sebagai perkalian yang didefinisikan
pada himpunan C (M, R). Karena perkalian ini memenuhi syarat antisimetri, linier pada kedua faktor dan identitas Jacobi, maka perkalian ini
disebut perkalian Lie (Lihat bagian 10.4!).
3.2.1
Himpunan Lengkap
Masih dalam ruang fase berdimensi 2n, himpunan {f1 , f2 , , f2n } yang
beranggotakan 2n buah fungsi disebut himpunan lengkap observabel
klasik bilamana syarat berikut terpenuhi : jika {g, fi }KP = 0 untuk setiap
fi dalam himpunan tersebut, maka g merupakan fungsi konstan. Syarat
tersebut kira-kira semakna dengan kemampuan himpunan tersebut membedakan titik-titik pada ruang fase klasik : untuk setiap dua titik m1 dan
m2 yang berbeda pada ruang fase klasik berlaku
(f1 (m1 ), f2 (m1 ), , f2n (m1 )) 6= (f1 (m2 ), f2 (m2 ), , f2n (m2 )).
(3.10)
53
Oleh karena itu, himpunan yang lengkap berpotensi menjadi sistem koordinat lokal bagi ruang fase klasik. Contoh sederhana dalam ruang fase R2n
adalah himpunan fungsi-fungsi koordinat kanonis {q 1 , , q n , p1 , , pn }.
3.2.2
Dalam kaitannya dengan aturan akses, terdapat suatu prespektif lain dalam
mekanika klasik yang dapat membantu kita memahami adanya paralelisasi
antara struktur matematis dalam mekanika klasik dan struktur matematis dalam mekanika kuantum. Prespektif tersebut menyangkut masalah
spektrum suatu observabel, yaitu nilai-nilai yang akan keluar sebagai hasil
ukur (lihat kembali bab 2). Andaikan f sebuah observabel klasik. Himpunan (f ) yang beranggotakan semua bilangan riil a sedemikian rupa
sehingga fungsi (f a)1 tak terdefinisikan pada M disebut spektrum dari
observabel f [Ld]. Dapat dibuktikan bahwa a (f ) jika dan hanya jika
a termuat oleh himpunan4 f (M ) := {f (m)|m M }, yaitu daerah hasil
(range) dari fungsi f . Oleh karena itu nilai-nilai yang mungkin keluar
dalam pengukuran suatu observabel klasik tercakup dalam range fungsi
yang mewakili observabel klasik itu. Karena fungsi-fungsi yang mewakili
besaran fisis merupakan fungsi-fungsi yang diferensiabel, maka fakta bahwa spektrum suatu besaran fisis sama dengan daerah hasil fungsi yang
mewakilinya menunjukkan bahwa spektrum besaran fisis dalam mekanika
klasik selalu kontinyu. Jika a (f ), maka semua titik m di ruang fase M
yang memenuhi f (m) = a adalah swakeadaan dari f kepunyaan a. Oleh
karena itu, semua titik pada ruang fase klasik merupakan swakeadaan bagi
observabel yang diwakili oleh f . Untuk setiap keadaan m M fungsi peluang klasik Pm,f bersifat dikotomis, yakni bernilai 0 atau 1. Untuk U R
peluang Pm,f (U ) bernilai 1 bila U mengandung f (m) dan bernilai 0 bila U
tidak mengandung f (m), atau secara singkat
0 untuk f (m)
/U
Pm,f (U ) =
(3.11)
1 untuk f (m) U.
Khususnya, Pm,f ({f (m)}) bernilai 1.
Bahwa spektrum atau ruang sampel (f ) suatu observabel klasik f
merupakan daerah hasil dari f (sebagai fungsi riil pada ruang fase klasik)
menunjukkan bahwa spektrum (f ) beranggotakan bilangan-bilangan riil.
4
Khusus dalam bagian ini, m menotasikan titik pada ruang fase klasik M .
54
Hal ini mengandung konsekuensi bahwa peubah acak yang lazim terlibat
dalam mekanika klasik adalah peubah acak netral pada spektrum (f ),
Xe : (f ) R
: t 7 Xe (t) = t.
(3.12)
Dalam hal ini, daerah hasil dari fungsi Xe adalah himpunan Xe ((f )) yang
didefinisikan sebagai himpunan {Xe (t)|t (f )}. Jadi, Xe ((f )) tidak lain
adalah (f ) itu sendiri. Karena spektrum setiap observabel klasik merupakan himpunan kontinyu, maka peubah acak netral Xe memiliki agihan
kontinyu. Andaikan E sebuah wilayah Borel pada daerah hasil dari Xe .
Jika sistem fisis yang ditinjau berada pada keadaan m, hukum atau agihan
dari peubah acak Xe adalah peluang Xe yang diberikan oleh
Xe (E) = Pm,f (Xe1 (E)) = Pm,f (E).
(3.13)
Oleh karena itu, berdasarkan persamaan (1.40) dan (3.11), fungsi kerapatan
peluang Xe dari peubah acak Xe relatif terhadap peluang Pm,f haruslah
memenuhi persamaan
Z
0 untuk f (m)
/E
1
(3.14)
Pm,f (Xe (E)) =
Xe (x)dx =
1
untuk
f
(m)
E.
E
Dengan mengingat sifat-sifat fungsi -Dirac (lihat misalnya pada Lampiran B), persamaan terakhir memberi petunjuk kepada kita bahwa fungsi
kerapatan peluang Xe dari peubah acak Xe memenuhi persamaan
Xe (x) = (x f (m)),
(3.15)
untuk setiap x (f ).
Nilai Harap dan Penyimpangan Baku
Nilai harap pengukuran observabel klasik f bilamana sistem berada pada
keadaan m M dapat dihitung dengan mudah, yakni (lihat persamaan
(1.44))
Z
Z
(Xe ) =
xXe (x)dx =
x(x f (m))dx = f (m).
(3.16)
(f )
(f )
3.3. DINAMIKA
55
yang telah diungkapkan dalam Bab 1). Nilai harap dari peubah acak Xe2
diperoleh menurut
Z
Z
x2 (x f (m))dx = f (m)2 . (3.17)
x2 Xe (x)dx =
(Xe2 ) =
(f )
(f )
(3.18)
Hal ini menunjukkan bahwa hasil ukur besaran f senilai f (m) bersifat
pasti bila sistem yang ditinjau berada pada keadaan m. Jadi, situasi ini
menegaskan kembali bahwa setiap m M merupakan swakeadaan dari
observabel f dengan swanilai f (m).
Karena setiap titik dalam ruang fase klasik merupakan swakeadaan bagi
semua besaran fisis, maka bila suatu sistem fisis berada pada suatu keadaan,
semua besaran fisis secara prinsip dapat diukur pada saat yang sama dengan ralat masing-masing besaran itu nol. Jadi, semua besaran fisis bersifat kompatibel dalam artian bahwa mereka dapat diukur secara serempak
sedemikian rupa sehingga hasil ukur mereka dapat diusahakan seakurat
mungkin tanpa batas.
Karena semua keadaan klasik adalah swakeadaan bagi semua besaran
fisis, maka pengukuran besaran-besaran fisis itu tidak akan menciderai
keadaan sistem fisis. Pengukuran besaran fisis seberapapun banyaknya
dilakukan, tidak berpengaruh terhadap keadaan sistem. Dalam bentuk
metafornya, air tidak akan menjadi keruh ketika ikan-ikannya diambil.
3.3
Dinamika
Dalam pemaparan ini sekali lagi kita tinjau sistem-sistem mekanik yang
berpadanan dengan ruang fase yang dikoordinasi oleh sistem koordinat
kanonik (q, p) = (q 1 , , q n , p1 , , pn ), (n bilangan asli), dengan q i koordinat umum dan pi momentum umum. Besaran fisis yang memegang
peran penting dalam dinamika adalah tenaga total yang secara umum diungkapkan sebagai jumlahan tenaga kinetik dan tenaga potensial. Besaran
ini diwakili oleh fungsi Hamilton H. Dinamika sistem digambarkan dengan
kurva pada ruang fase klasik yang merupakan penyelesaian terhadap persamaan Hamiltonan. Secara teknis matematis kurva ini merupakan kurva integral dari medan vektor Hamiltonan yang dibangkitkan oleh fungsi
56
dpi
H
= i,
dt
q
(3.19)
t (, )
(3.20)
p1
6
'
@
@
(q(t), p(t))
@
@
@
p2 @
pi
q1
'
%
@
@
q i
@
@
XX
A XXX
XXX
A
XXX
% A
A
A
A
q 2 AA
Sketsa 3.4 Dinamika klasik merupakan kurva dalam ruang fase klasik. Dilakukannya pengukuran suatu besaran fisis tidak mengusik sistem fisis itu keluar
dari lintasan tersebut. (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F.Rosyid)
Jika A suatu observabel klasik, maka A merupakan fungsi riil pada ruang fase klasik. A barangkali juga tergantung secara eksplisit terhadap
57
=
=
n
n
A X A dq i X A dpi
+
+
t
q i dt
pi dt
i=1
i=1
n
A H
A X A H
+
t
q i pi
pi q i
i=1
A
+ {A, H}KP .
t
(3.21)
Tentu saja, kalau besaran A tidak gayut pada waktu secara eksplisit, maka
laju perubahan A terhadap waktu diberikan oleh
dA
= {A, H}KP .
dt
(3.22)
3.4
p2
1
+ 2 x2 ,
2 2
(3.23)
p2
1
+ 2 x2 = E.
2 2
(3.24)
58
(3.25)
Mengingat E selalu positif, maka persamaan terakhir ini merupakan persamaan elips yang berpusat di (0,0). Jika
1. 2 2 p
< 1, maka sumbu panjangnya terletak
sepanjang sumbu-x,
dan
dp
Hosc
=
= 2 x.
(3.27)
dt
x
Persamaan kedua sama artinya dengan berlakunya hukum Hooke dengan
tetapan elastisitas k = 2 , yakni gaya konservatif yang bekerja pada osilator diberikan oleh
dp
F =
= 2 x = kx.
dt
Jika pers.(3.26) diturunkan terhadap waktu dan disubtitusikan ke dalam
pers.(3.27), maka diperoleh
d2 x
+ 2 x = 0.
dt2
(3.28)
59
Demikian juga bila pers.(3.27) diturunkan terhadap waktu dan disubtitusikan ke dalam pers.(3.26), maka didapatkanlah
d2 p
+ 2 p = 0.
dt2
(3.29)
Penyelesaian kedua persamaan terakhir ini, yakni x(t) dan p(t) (sangat
tergantung nantinya pada apa yang disebut syarat awal), menentukan kurva
c : t 7 c(t) = (x(t), p(t))
(3.30)
(3.31)
(3.32)
dan
dengan A, B, A0 dan B 0 tetapan-tetapan yang ditentukan dari syarat awal. Bila pada saat t = 0, berlaku x(0) = 0 dan osilator harmonis tersebut
memiliki tenaga sebesar E,
ungkapan untuk Hosc terda maka berdasarkan
pat dua nilai bagi p(0) : 2E dan 2E. Kedua nilai ini hanya berkaitan dengan arah gerakan pada
saat itu. Oleh karena itu, tanpa membatasi
hasil, diambil nilai p(0) = 2E. Karena x(0) = 0, maka pers.(3.31)
0 =
maka pers.(3.32)
mengharuskan
berlakunya
p(0)
=
A
2E.
Jadi,
x(t) =
2E
B0
sin(t)
cos(t).
(3.34)
p
2E
sin(t) dan p(t) = 2E cos(t).
(3.35)
x(t) =
60
berupa ellips.
p
6
(0, 2E)
c(t) = (x(t), p(t))
-x
*
@
I
@
2E
(
, 0)
Sketsa 3.5 Lintasan osilator harmonis dalam ruang fase klasik yang menggambarkan dinamika klasik. (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F. Rosyid)
3.5
(3.37)
Dari persamaan terakhir ini terlihat bahwa spektrum tenaga dari partikel
bebas beranggotakan seluruh bilangan riil yang tak negatif, yakni [0, ).
Bilamana sistem berada pada keadaan ma = (ra , pa ) R6 dan andaikan E
suatu bilangan riil tak negatif anggota spektrum dari H, maka dengan mudah dapat ditentukan nilai Pma ,H ({E}), yakni peluang didapatinya sistem
(3.38)
(3.39)
Secara umum, jika (a, b) suatu interval terbuka yang termuat dalam [0, ),
maka
/ (a, b)
0 jika p2a /(2)
Pma ,H ((a, b)) =
.
(3.40)
2
1 jika pa /(2) (a, b)
Dinamika partikel bebas ini digambarkan oleh penyelesaian dari persamaan Hamiltonan (lihat [Gol])
H
px
dx
=
= ,
dt
px
py
dy
H
=
= ,
dt
py
dz
H
pz
=
=
dt
pz
(3.41)
dpz
H
=
= 0.
dt
z
(3.42)
dan
dpx
H
=
= 0,
dt
x
dpy
H
=
= 0,
dt
y
62
dan
lz = xpy ypx = (x y t + x y ) (y x t + y x ) = x y y x .
(3.46)
Laju perubahan komponen momentum sudut dapat langsung dievaluasi
dari persamaan terakhir ini :
dlx
d
= (y z z y ) = 0,
dt
dt
(3.47)
dly
d
= (z x x z ) = 0,
dt
dt
(3.48)
dan
d
dlz
= (x y y x ) = 0.
dt
dt
Namun bisa juga langsung dihitung melalui kurung Poisson-nya :
dan
3.6
(3.49)
dlx
= {lx , H}KP = 0,
dt
(3.50)
dly
= {ly , H}KP = 0,
dt
(3.51)
dlz
= {lz , H}KP = 0.
dt
(3.52)
Soal-soal
= lz ,
{ly , lz }KP = lx ,
dan
{lx , lx }KP
(3.54)
3.6. SOAL-SOAL
63
3
X
ijk lk ,
untuk i, j = 1, 2, 3!
(3.55)
k=1
.
(3.56)
Xf =
pi xi xi pi
i=1
.
(3.57)
Xf (h) =
pi xi xi pi
i=1
pz
+y
z ,
pz
py
z
y
(3.58)
X ly = pz
px
+z
x ,
px
pz
x
x
(3.59)
py
+x
y
!
py
px
y
x
(3.60)
dan
X lz = px
4. Masih terkait dengan soal sebelumnya, andaikan Xf dan Xg berturutturut merupakan medan vektor Hamiltonan yang dibangkitkan oleh
besaran f dan g. Komutator antara Xf dan Xg didefinisikan sebagai
operator diferensial [Xf , Xg ] sedemikian rupa sehingga
[Xf , Xg ](h) = Xf (Xg (h)) Xg (Xf (h)),
(3.61)
64
untuk setiap fungsi h yang diferensiabel pada ruang keadaan. Tunjukkanlah bahwa
[Xf , Xg ] = X{f,g}KP ,
(3.62)
(3.63)
dan
[Xlx , Xlx ] = [Xly , Xly ] = [Xlz , Xlz ] = 0
(3.64)
atau
[Xli , Xlj ] =
3
X
ijk Xlk .
(3.65)
k=1
Sebagai catatan futuristik, baik pers.(3.55) maupun pers.(3.65) mempunyai analogi pada tataran kuantum.
5. Ditinjau suatu sistem fisis klasik berupa sebuah benda bermassa 5
kg yang hidup dalam ruang konfigurasi berdimensi satu, katakanlah sebagai sumbu-X. Ruang fase klasik bagi sistem ini adalah R2 ,
katakanlah sebagai bidang-XP dengan koordinat (x, p). Ditinjau sebuah observabel klasik K(x, p) = xp.
(a) Tuliskanlah spektrum bagi observabel K!
(b) Bila sistem tersebut berada pada keadaan (2 m, 4 kg.m/s),
berapakah peluang memperoleh suatu hasil ukur besaran K yang
berada pada interval terbuka (5 kg.m2 /s, 20 kg.m2 /s)?
(c) Bila sistem tersebut berada pada keadaan (2 m, 4 kg.m/s),
berapakah peluang memperoleh suatu hasil ukur besaran K yang
berada pada interval tertutup [1 kg.m2 /s, 20 kg.m2 /s]?
(d) Tuliskan fungsi kerapatan peluang bagi tenaga tenaga kinetik
T , bila sistem tersebut berada pada keadaan (2 m, 4 kg.m/s)!
Bab 4
PRINSIP PRINSIP
MEKANIKA KUANTUM
Die Geometrie ist eine Wissenschaft, welche im Wesentlichen so weit
fortgeschritten ist, dass alle ihre Tatsachen bereits durch logische Schl
usse aus
fr
uheren abgeleitet werden k
onnen. Ganz anders wie z.B. die Elektrizitatstheorie
oder Optik, in der noch heute immer neue Tatsachen entdeckt werden.
. . .
Nach dem Muster der Geometrie sind nun auch alle anderen Wissenschaften in
ester Linie Mechanik, hernach aber auch Optik, Elektrizitatstheorie usw. zu
behandeln.1 (David Hilbert)
Geometri merupakan ilmu pengetahuan (sains) yang telah sedemikian lanjut, sehingga seluruh fakta-faktanya sudah dapat diturunkan melalui deduksi secara logis dari
fakta-fakta yang telah diketahui sebelumnya. Jauh berbeda, misalnya, teori kelistrikan
ataupun optika, di mana dewasa ini masih selalu ada fakta-fakta baru yang ditemukan.
. . .
Sekarang, mengikuti jejak geometri, semua ilmu penegtahuan terutama mekanika, kemudian juga optika, teori kelistrikan dll., akan diperlakukan seperti itu.
65
66
bicarakan serba sedikit tentang ruang Hilbert. Bagi yang merasa kurang
cukup dengan uraian ini dapat melihat buku-buku yang cukup melimpah
keberadaannya [Boc, ReSi].
4.1
Ruang Hilbert
67
( 0 | 0 ).
(4.1)
Konsep jarak ini menjadi penting (sebagaimana pada garis riil) bilamana
orang mempertanyakan kekonvergenan suatu barisan dalam ruang praHilbert. Dalam kaitan ini terdapat dua konsep tentang barisan. Yang
pertama, suatu barisan disebut barisan Cauchy atau fundamental bila (mudahnya mengatakan) jarak antar suku semakin dekat. Yang kedua, suatu
barisan dikatakan konvergen ke suatu vektor anggota ruang pra-Hilbert bila
suku-suku barisan itu semakin dekat ke vektor itu. Suatu ruang pra-Hilbert
disebut ruang Hilbert bila setiap barisan Cauchy dalam ruang itu merupakan barisan konvergen. Terdapat suatu teorema yang cukup mashur yang
menyatakan bahwa untuk setiap ruang pra-Hilbert H0 , katakanlah dengan
produk sekalar (|)pra , terdapat sebuah ruang Hilbert H dengan produk
skalar (|) sedemikian rupa sehingga H0 merupakan himpunan bagian yang
mendominasi H dan berlaku (0 | 0 )pra = (0 | 0 ) untuk semua 0 , 0 H0 .
Ruang Hilbert H disebut sebagai penyempurnaan bagi ruang pra-Hilbert
H0 . Kata mendominasi dalam hal ini berarti bahwa setiap lingkungan3
dari masing-masing vektor dalam ruang Hilbert H memuat vektor-vektor
anggota H0 . Secara sosiologis hal ini dapat dianalogikan dengan perkataan
bahwa orang Jawa mendominasi kota Jogjakarta. Artinya, di setiap tempat
di kota Jogjakarta dengan mudah dapat ditemukan orang Jawa. Karena
ruang H0 mendominasi ruang H, maka adalah telah cukup kalau hanya
mempertimbangkan anggota-anggota dari H0 . Oleh karena itu pembaca
tidak perlu merisaukan hal-hal yang berkaitan dengan unsur-unsur dari
H yang bukan unsur dari H0 . Sejatinya para pembaca pun telah mengenal contoh nyata dalam masalah ini, yakni berkaitan dengan pemakaian
bilangan rasional dalam berbagai perhitungan. Himpunan Q yang beranggotakan semua bilngan rasional disertai dengan perkalian bilangan biasa
merupakan ruang pra-Hilbert riil. Akan tetapi ruang Q ini bukan ruang
Hilbert. Penyempurnaannya adalah himpunan R yang beranggotakan semua bilangan riil. Akan tetapi dalam perhitungan-perhitungan keseharian,
Pada garis bilangan riil jarak antara titik x dan titik y didefinisikan sebagai |x y 0 |.
Suatu lingkungan bagi suatu vektor dalam ruang Hilbert H dapat dipahami sebagai
himpunan bagian tertentu dari H yang memuat .
2
68
Sebenarnya, separabilitas memiliki akar pada ranah topologis [Mun]. Akan tetapi
untuk kebutuhan kita definisi yang kita kemukakan di sini telah mencukupi.
69
i=1
||||
n
X
|(i |)|2 .
(4.3)
i=1
Selanjutnya, karena {} ortogonal, maka {/||||} merupakan himpunan ortonormal. Oleh karena itu, berdasarkan ketaksamaan Bessel di
atas berlaku
|)|2
(4.4)
||||2 |(
||||
atau
||||2 ||||2 |(|)|2 .
(4.5)
Ketaksamaan terakhir ini dikenal sebagai ketaksamaan Schwartz. Ketaksamaan ini semakna dengan fakta dalam hitung vektor elementer bahwa nilai mutlak hasil kali skalar antara dua buah vektor selalu kurang dari hasil
kali antara panjang kedua vektor itu : jika A dan B sembarang dua vektor,
maka |A B| |A||B|. Hal ini dikarenakan |A B| = ||A||B| cos(A, B)|.
Suatu himpunan ortonormal B dalam ruang Hilbert H disebut basis
ortonormal bila B maksimum, artinya, tiada himpunan ortonormal lain
yang memuat B sebagai himpunan bagian5 . Kabar gembira : setiap ruang
Hilbert memiliki basis ortonormal [ReSi]. Sebuah basis B dalam pengertian ini berperan sebagaimana basis dalam pengertian ruang vektor, yakni
membentang ruang Hilbert H. Hal ini diungkapkan oleh teorema berikut
ini.
Dengan kata lain, jika B0 himpunan ortonormal sedemikian rupa sehingga B B0
maka B0 B
5
70
|(i |)|2
(4.7)
(4.9)
untuk sembarang (z1 , z2 , z3 , , zn ), (z10 , z20 , z30 zn0 ) Cn dan C. Ruang Cn ini disertai dengan produk skalar
(z|z0 ) =
n
X
zi zi0 ,
(4.10)
i=1
untuk sembarang z = (z1 , z2 , , zn ), z0 = (z10 , z20 , , zn0 ) Cn , merupakan ruang Hilbert. Himpunan {z1 , z2 , , zn }, dengan
z1 = (1, 0, 0, 0, 0, , 0),
z
= (0, 1, 0, 0, 0, , 0),
= (0, 0, 1, 0, 0, , 0),
= (0, 0, 0, 1, 0, , 0),
.. ..
..
. .
.
,
zn = (0, 0, 0, 0, 0, , 1)
(4.11)
71
n
X
zi z i .
(4.12)
i=1
Ruang Cn merupakan ruang Hilbert baku bagi semua ruang Hilbert berdimensi n, yakni bahwa setiap ruang Hilbert berdimensi n konkruen dengan
Cn dalam pengertian yang akan dijelaskan sebentar lagi.
Contoh : Ruang Hilbert l2
Andaikan l2 himpunan yang beranggotakan semuaPbarisan bilangan kompleks = {z1 , z2 , } sedemikian rupa sehingga n |zn | < . l2 merupakan ruang vektor kompleks dengan penjumlahan dan perkalian dengan
skalar didefinisikan oleh
{z1 , z2 , z3 , } + {z10 , z20 , z30 } = {z1 + z10 , z2 + z20 , } (4.13)
{z1 , z2 , z3 , } = {z1 , z2 , z3 , },
(4.14)
zi zi0 ,
(4.15)
i=1
= (0, 1, 0, 0, 0, ),
= (0, 0, 1, 0, 0, ),
(4.16)
= (0, 0, 0, 1, 0, ),
.. ..
..
. .
.
,
X
i=1
zi i .
(4.17)
72
Ruang Hilbert ini sering dikatakan sebagai ruang Hilbert standard (baku)
bagi ruang Hilbert separabel yang berdimensi infinit. Hal ini dikarenakan
setiap ruang Hilbert separabel yang berdimensi finit konkruen, dalam artian
yang akan segera diterangkan, dengan l2 .
(4.18)
(4.19)
(4.20)
(4.21)
Walaupun demikian, akan lebih baik jikalau para pembaca memahami masalah ini.
73
bagi suatu fungsi untuk menjadi anggota dari C([, ]). (Mengapa?)
Ruang Hilbert L2 ([, ]) adalah penyempurnaan bagi C([, ]). Produk
skalar dalam L2 ([, ]) didefinisikan menurut
Z
0
(| ) =
(x)(x)dx.
(4.23)
L2 [, ]
Ruang
memuat semua fungsi kompleks yang square integrable
dalam pengertian Lebesgue pada interval [, ].
Himpunan { , 1 , 0 1 , 2 , }, dengan
n = (2)1/2 einx ,
n bilangan bulat,
(4.24)
X
X
(x) =
n n = (2)1/2
n einx ,
(4.25)
n=
n=
dengan
1/2
n = (2)
1/2
(x)(x)dx = (2)
(x)einx dx.
(4.26)
74
Z
(f |g) =
f (x)g(x)dx
(4.28)
merupakan ruang pra-Hilbert. Penyempurnaan terhadap ruang ini menghasilkan ruang Hilbert L2 ((1, 1)). Himpunan {v0 , v1 , v2 , }, dengan
vn (x) = xn ,
n = 0, 1, 2, 3, 4, ,
(4.29)
merupakan basis bagi L2 ((1, 1)). Melalui suatu prosedur yang disebut
ortonormalisasi Gram-Schmidt diperoleh basis ortonormal {u0 , u1 , u2 , }.
Masing-masing un (x) diberikan oleh
r
un (x) =
2n + 1
Pn (x),
2
n = 0, 1, 2, 3, 4, ,
(4.30)
dengan
Pn (x) =
1 dn 2
(x 1)n ,
2n n! dxn
x (1, 1)
(4.31)
(Lihat misalnya dalam [Kre]). Fungsi-fungsi Pn (x) disebut polinom Legendre berderajad n. Jadi, setiap fungsi riil f anggota ruang C((1, 1)) dapat
dituliskan sebagai kombinasi linier berikut
f (x) =
X
n=0
2n + 1
n (x)Pn (x),
2
(4.32)
2n + 1
2
f (x)Pn (x)dx.
(4.33)
d 2 Pn
dPn
2x
+ n(n + 1)Pn = 0,
2
dx
dx
(4.34)
75
exp(im), (4.36)
4 (l + m)!
2l l!
d(cos )l+m
merupakan basis ortonormal pada L2 (S 2 ). Oleh karena itu berlaku
0
(Ylm |Ylm
0 ) = ll0 mm0 .
(4.37)
(x) 0 (x)dx
(4.39)
76
dn x2
e
dxn
(4.41)
(4.42)
(Lihat dalam [Kre]). Polinom ini akan terpakai, misalnya, dalam pembicaraan tentang getaran selaras.
Contoh : Ruang Hilbert L2 ([0, ))
Ruang vektor C([0, )) yang beranggotakan semua fungsi riil yang kontinyu pada interval [0, ) dan memenuhi syarat
Z
|(x)|2 dx <
(4.43)
0
(x) 0 (x)dx
(4.44)
n = 0, 1, 2, .
(4.45)
Fungsi-fungsi
0 (x) = 1
n (x) =
exp(x) dn n
(x exp(x)),
n! dxn
n = 1, 2, (4.46)
77
Dua buah ruang Hilbert H1 dan H2 masing-masing disertai dengan produk skalar (|)1 dan (|)2 dikatakan konkruen bila terdapat suatu pemetaan
f : H1 H2 sedemikian rupa sehingga
(f ()|f ( 0 ))2 = (|)1 ,
(4.48)
(4.49)
(| )H =
n
X
(i |)H (i | 0 )H = (z |z0 ).
i=1
7
(4.50)
78
|i |2 =
i=1
i=1
Jadi, {(1 |)H , (2 |)H , (3 |)H , } l2 . Oleh karena itu terdapat korespondensi
= {(1 |)H , (2 |)H , (3 |)H , }
(4.51)
(i |)H (i | 0 )H = ( |0 ).
(4.52)
i=1
4.1.1
Basis Eksternal
Kembali kita tengok ruang Hilbert L2 (R). Andaikan sebuah fungsi kompleks anggota ruang L2 (R). Transformasi Fourier dari dari adalah fungsi
kompleks yang didefinisikan pada garis riil R menurut
Z +
1
(x) exp(ikx)dx.
(4.53)
(k)
=
2
Transformasi Fourier balik diberikan oleh
Z +
1
exp(ikx)dk.
(x) =
(k)
2
(4.54)
(4.55)
79
k (x)(x)dx.
(k) =
(4.56)
(x) =
(k)
k (x)dk.
(4.57)
Mengingat bahwa integrasi dapat dipandang sebagai jumlahan dengan indek kontinyu, maka persamaan terakhir ini menyatakan bahwa setiap fungsi
dalam ruang L2 (R) dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari basis yang beranggotakan fungsi-fungsi k , dengan koefisien kombinasi linier
diberikan oleh
Z +
(4.59)
(k |) =
k (x)(x)dx.
(4.60)
dengan (k k 0 ) merupakan fungsi -Dirac (lihat lampiran B) satu dimensi. Berikutnya, mudah untuk dipahami bahwa fungsi-fungsi k (x) juga
memenuhi persamaan
Z +
k (x)k (x0 )dk = (x x0 ).
(4.61)
Akan tetapi semua fungsi k bukanlah anggota dari ruang Hilbert L2 (R),
sebab
||k || = (k |k ) , k R.
(4.62)
Itulah alasannya mengapa basis seperti {k |k R} ini dinamakan basis
eksternal.
Selanjutnya, kita hendak menyikapi kemungkinan adanya basis eksternal ini dalam sembarang ruang Hilbert dengan menyusun konsep umum
80
(4.63)
yang beranggotakan objek-objek yang tak tercacah (uncountable) hendak disebut basis kontinyu ortonormal jika ketiga syarat berikut ini terpenuhi
1. produk skalar ( | ) dan ( |) terdefinisikan secara layak untuk
semua , B dan setiap H,
2. ( | ) = ( )
3. setiap vektor dalam ruang H dapat ditulis sebagai kombinasi linier
Z
=
( |) d,
(4.64)
V
Dalam hal ini koefisien kombinasi linier (r) := (%r |) tidak lain adalah
apa yang sering disebut fungsi gelombang.
Terdapat pula kemungkinan adanya basis ortonormal yang tersusun
atas vektor-vektor yang tercacah n dan vektor-vektor yang tak tercacah
sedemikian rupa sehingga
(n |n0 ) = nn0
(4.66)
(n | ) = 0
( | ) = ( ).
Sembarang vektor dalam ruang Hilbert dapat ditulis sebagai
Z
X
=
(n |)n + ( |) d.
n
8
(4.67)
4.2
81
sebuah operator pada H maka domain dari akan ditulis sebagai Dom().
H oleh
akan dijodohkan dengan
Oleh karena itu setiap Dom()
n
n
n
n
X
X
X
X
Az = (
z 7
A1j zj ,
A2j zj ,
A3j zj , ,
Anj zj ),
j=1
j=1
j=1
(4.68)
j=1
0
0
0
karena itu z dapat dituliskan sebagai barisan (z1 , z2 , , zn0 ). Masingmasing zi0 diperoleh dari z0 melalui zi0 = (zi |z0 ), dengan {z1 , z2 , , zn } ba
sis pada Cn yang diberikan oleh pers.(4.11). Oleh karena itu zi0 P
= (zi |z).
n
2
Tetapi sebagai anggota dari C , z dapat dituliskan sebagai z = j=1 zj zj .
Maka
n
n
X
X
0
i
j
j )zj .
zi = (z |
zj z ) =
(zi |z
(4.69)
j=1
j=1
Bila matriks A didefinisikan sebagai matriks yang unsur-unsurnya berben j ), maka persamaan terakhir dapat dituliskan sebagai
tuk (A )ij := (zi |z
zi0 =
n
X
j=1
(A )ij zj .
(4.70)
82
Jadi,
n
n
n
X
X
X
z = z = ( (A )1j zj ,
(A )2j zj , ,
(A )nj zj ).
0
j=1
j=1
(4.71)
j=1
=
A . Korespondensi satu-satu A
Hal ini menunjukkan bahwa
A z = (
A1j zj ,
A2j zj ,
A3j zj , ,
Anj zj )
j=1
j=1
j=1
(4.72)
j=1
dan
n
n
n
n
X
X
X
X
A z0 = (
A1j zj0 ,
A2j zj0 ,
A3j zj0 , ,
Anj zj0 ).
j=1
j=1
j=1
(4.73)
j=1
A z dan
A z0 merupakan anggota dari Cn , maka
Oleh karena
!
!
n
n
n
n
n
X
X
X
X
X
A z|
A z0 ) =
j=1
k,j=1
k=1
i=1
(4.74)
Faktor
Pn
n
X
Aji Aik .
i=1
Pn
83
n
X
k,j=1
jk zj zk0 =
n
X
zj zj0 = (z|z0 ).
(4.75)
j=1
(4.76)
(|
).
(4.77)
((
).
(4.78)
) = .
(4.79)
=
,
()
(4.80)
1
2 ) =
(
2 1,
(4.81)
1,
2 dan
pada ruang Hilbert H serta untuk
untuk setiap operator
setiap bilangan kompleks .
pada H disebut operator yang Hermitean atau
Suatu operator
self-adjoint bila
0
0 ),
(|
) = (|
(4.82)
84
= .
pada H dikatakan uniter jika
Suatu operator
0 ) = (| 0 ),
(|
(4.83)
n
n
n X
n
n
n
X
X
X
X
X
A z|z0 ) =
(
Aij zj zi0 =
(Aij ) zj zi0 =
zj
Aji zi0
i=1
j=1
i=1 j=1
A z0 ).
= (z|
j=1
i=1
(4.84)
=
A .
Oleh karena itu
A
Berdasarkan kenyataan terakhir ini, jika matriks A self-adjoint, yakni
A =
A . Hal ini menunjukkan bahwa jika
=
jika A = A, maka
A
A pun juga selfadjoint atau Hermatriks A self-adjoint, maka operator
mitean. Jika matriks A uniter yakni A = A1 , maka operator A pun
juga uniter. Hal ini disebabkan 1
A = A1 (buktikan!).
Hermitean atau self-adjoint, maka matriks
Sebaliknya, jika operator
uniter, maka matriks A pun uniter.
A juga self-adjoint. Jika operator
dan
0 dua buah operator, maka komutator kedua operator itu
Jika
0 ] yang didefinisikan menurut
adalah operator [,
0] =
0
0 .
[,
(4.85)
dan
0 dikatakan saling komutatif jika komutator kedua
Dua operator
0 =
0 .
Sifat-sifat komutator
operator itu lenyap. Dalam hal ini
berikut segera dapat dibuktikan dengan perhitungan langsung :
85
1. Antisimetri :
0 ] = [
0 , ]
[,
(4.86)
(4.87)
1 +
2 , ]
= [
1 , ]
+ [
2 , ],
(4.88)
dan
3. Identitas Jacobi :
1,
2 ],
3 ] + [[
2,
3 ],
1 ] + [[
3,
1 ],
2 ] = 0.
[[
(4.89)
4.
1
2,
3] =
1 [
2,
3 ] + [
1,
3 ]
2.
[
(4.90)
1 , ]
ditulis sebagai
1
2 maka komutator merupakan
Jika komutator [
perkalian yang didefinisikan pada himpunan semua operator dalam ruang
Hilbert. Artinya, dengan mengkomutatorkan dua operator orang dapat
memperoleh operator baru. Perkalian ini merupakan perkalian Lie karena
komutator memiliki sifat-sifat : antisimetri, linier pada kedua faktor dan
memenuhi identitas Jacobi (Lihat lampiran 10.4!).
4.2.1
Masalah Swanilai
(4.91)
86
(4.92)
= (|)
Karena (|)
dan (|) = (|), maka (|)
dan (|)
keduanya riil. Akibatnya, dari pers.(4.92) pun harus riil.
Tentang masalah spektrum yang lebih rinci dapat dilihat pada bagian 4.2.2.
87
Bukti : Andaikan dan 0 berturut-turut dua swavektor kepunyaan swanilai dan 0 . Oleh karena itu, berlaku
=
(4.93)
0 = 0 0 .
(4.94)
dan
Dari kedua persamaan terakhir ini, dengan mengalikan keduanya berturutturut dengan 0 dan didapat
= (0 |)
(0 |)
(4.95)
0 ) = 0 (|0 ).
(|
(4.96)
dan
Hermitean, maka berdasarkan teorema sebelumnya, dan 0 rill.
Karena
Oleh karena itu, pers.(4.96) dapat dituliskan sebagai
= 0 (0 |).
(0 |)
(4.97)
(4.98)
(4.99)
(4.100)
88
didefinisikan. Jika
gn
XX
(inn |)inn .
(4.101)
n=1 in =1
Jika
dikatakan lengkap bilamana himpunan
(4.102)
()
spektrum dari .
Demikian pula untuk suatu operator yang
dengan ()
memiliki spektrum campuran.
1 dan
2 dua operator yang saling komutatif dan swavekAndaikan
1 = . Jika
tor bagi operator 1 dengan swanilai . Jadi, berlaku
2 dari kiri, maka didapat
1 (
2 ) =
kedua ruas persamaan ini dikenai
1
(2 ). Oleh karena itu, tampak bahwa 2 adalah swavektor dari
kepunyaan swanilai . Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan :
2 dapat dituliskan sebagai perkalian
1. Bila tidak merosot, maka
dengan suatu skalar, yakni
2 = ,
(4.104)
89
(4.105)
Dengan demikian untuk masing-masing K dapat dipilih swavektor 2 sebagai vektor-vektor basis dalam subruswavektor dari operator
ang K . Swavektor-swavektor ini sekaligus, tentu saja, juga meru 1 kepunyaan .
pakan swavektor-swavektor dari
Hal terpenting yang perlu kita perhatikan dengan seksama disimpulkan
dalam teorema berikut.
Teorema 4.2.3 Jika dua operator Hermitean yang lengkap pada suatu ruang Hilbert saling komutatif, maka dapat disusun suatu basis ortonormal
bagi ruang Hilbert itu yang tersusun atas swavektor-swavektor bersama kedua operator itu.
4.2.2
Spektrum
Dalam bagian ini kita mencoba melihat masalah swanilai pers.(4.91) dari
prespektif lain yang beresonansi dengan subbagian 3.2.2. Pers.(4.91) dapat ditulis menurut
I)
= 0,
(
(4.106)
90
()
:= (
I)
1 diseUntuk setiap bilangan kompleks , operator R
di . Himpunan semua bilangan kompleks
but operator resolven bagi
kontinyu dan
(2) R ()
()
mendominasi H.
(3) domain dari operator R
disebut spektrum dari
dan ditulis sebagai ().
Komplemen C ()
Himpunan bilangan kompleks yang tidak memenuhi syarat (1) disebut
Himpunan ini tidak lain adalah
spektrum titik dan ditulis sebagai p ().
Himpunan bilangan kompleks
himpunan semua swanilai dari operator ).
yang memenuhi syarat (1) dan (3) disebut spektrum kontinyu dan
Sedang himpunan bilangan kompleks yang memenuhi syarat
ditulis c ().
Oleh
(1) saja disebut spektrum residual dan dituliskan sebagai r ().
karena itu spektrum dari operator tersusun atas tiga komponen, yakni
= p ()
c ()
r ().
()
(4.107)
.
Sekedar contoh, ditinjau ruang Hilbert L2 (R). Andaikan D(
x) subruang
2
dari L (R) yang didefinisikan oleh
2
D(
x) = { L (R)|
(4.108)
Operator posisi x
pada ruang Hilbert L2 (R) adalah operator yang menjodohkan setiap D(
x) ke vektor x
H, dengan
x
(x) = x(x).
(4.109)
Jadi, D(
x) adalah domain dari x
. Spektrum dari x
hanya mengandung
komponen kontinyu c (
x) saja. Jadi, (
x) = c (
x). Bukti lengkap fakta
ini dapat dilihat, misalnya, pada [Boc].
10
91
Setiap swanilai (yakni setiap anggota spektrum titik) mempunyai subruang swanilai yang beranggotakan semua swavektor-swavektor, sedemikian
rupa sehingga pers.(4.91) berlaku. Bagaimana dengan anggota-anggota
spektrum kontinyu dan residual? Khusus untuk spektrum residual, kita
tidak akan merisaukannya di sini karena sejauh ini belum tampak relevansinya. Untuk spektrum kontinyu, kita dapat membayangkan adanya
suatu himpunan lengkap yang beranggotakan objek-objek di luar ruang
Hilbert. Objek-objek tersebut berpadanan dengan anggota-anggota spektrum kontinyu. Setiap anggota spektrum kontinyu itu, bolehlah, selanjutnya disebut juga sebagai swanilai kontinyu dan objek-objek eksternal yang
berpadanan dengan swanilai kontinyu itu dinamakan swavektor-swavektor
kepunyaan swanilai itu. Himpunan alien tersebut diasumsikan memiliki
sifat semacam basis eksternal yang lengkap dengan aturan ortonormalitas suatu operator
nya (lihat kembali bagian 4.1.1). Oleh karena itu, bila
(4.110)
Ruang Hilbert yang dititipi unsur-unsur asing ini disebut ruang Hilbert
yang diperluas.
4.3
92
liknya mengakibatkan pemuaian ataupun penyusutan air raksa pada termometer. Dari pemuaian dan penyusutan ini kita dapat mengetahui suhu
cairan itu. Tentu saja tak dapat disangkal bahwa pipa termometer, betapapun kecilnya, akan mengusik keadaan sesungguhnya yang ingin kita
ketahui dari cairan itu. Persinggungan antara pipa termometer dengan
cairan telah mengganggu keseimbangan (termodinamis) yang telah dimiliki oleh cairan sehingga diperoleh keseimbangan baru. Jelasnya, masuknya
pipa termometer ke dalam cairan sedikit banyak telah merubah temperatur
cairan yang akan diukur. Akan tetapi gangguan ini sedemikian kecilnya dan
selalu dapat diusahakan sekecil mungkin11 sehingga perbedaan antara suhu
cairan yang sesungguhnya dengan hasil yang dibaca pada skala termometer dapat diabaikan. Dalam kaitan ini, cairan itu dikatakan sebagai sistem
fisis yang makroskopis. Berbeda situasinya bila dibandingkan dengan usaha orang untuk mengukur secara serempak posisi dan momentum elektron
dengan menggunakan mikroskop yang sangat powerfull. Bila pengukuran
posisi diharapkan dapat memberikan hasil yang cukup akurat maka dibutuhkan pencahayaan berfrekuensi tinggi. Akan tetapi, pada pencahayaan
berfrekuensi tinggi foton-foton memiliki momentum yang cukup tinggi pula.
Akibatnya, ketika foton-foton itu menabrak elektron, elektron itu akan terpental cukup keras hingga momentumnya berubah jauh dari yang semula.
Ini berarti ketidakakuratan pengukuran momentum elektron. Sebaliknya,
ketika digunakan pencahayaan berfrekuensi rendah (sehingga gejala terpentalnya elektron dapat dikurangi), pengukuran posisi memberikan hasil
yang jauh dari akurat. Begitulah sistem fisis mikroskopis.
Setiap sistem fisis yang harus digambarkan secara kuantum disebut sistem kuantum. Suatu sistem fisis dikatakan harus digambarkan secara
kuantum jika sistem fisis itu relatif kecil, yakni sedemikian rupa sehingga
gangguan-gangguan yang diakibatkan oleh pengukuran tidak dapat diabaikan dan secara prinsip tidak dapat direduksi (disusutkan). Jadi, sistem fisis mikroskopis merupakan sistem kuantum. Maka dari itu sistem
mikroskopis harus digambarkan secara kuantum.
Telah disebutkan pada awal bab ini bahwa mekanika kuantum, sebagai suatu penafsiran matematis terhadap suatu sistem fisis, pada tataran
kinematik (sebagaimana mekanika klasik) memiliki tiga unsur pokok : ruang keadaan, aljabar observable dan prosedur untuk meng-akses informasi.
11
Hal ini dapat diusahakan, misalnya, melalui pemilihan bahan pipa termometer dan
minimalisasi ukuran diameter pipa.
93
Secara teknis matematis, keadaan-keadaan sistem kuantum berkorespondensi satusatu dengan vektor-vektor ruang Hilbert proyektif.
94
(4.111)
(4.112)
dan
Oleh karena itu, koefisien-koefisien dan pada vektor +
berturut-turut menentukan kecenderungan sistem untuk berada pada
atau jika sistem dipersiapkan berada pada keadaan + .
Kelihatan bahwa vektor-vektor yang saling tegak lurus (ortogonal)
menyediakan kemudahan-kemudahan tersendiri dalam perhitunganperhitungan. Oleh karena itu, dalam mekanika kuantum, basis-basis
yang ortonormal memiliki peran yang cukup penting.
2. Setiap besaran fisis yang dapat diukur ( atau observabel ) diwakili
oleh sebuah operator Hermitean yang lengkap pada ruang Hilbert
yang berpadanan dengan sistem fisis yang ditinjau.
dikatakan lengkap bila
Sekali lagi, suatu operator Hermitean
himpunan
{11 , , 1g1 , 21 , , 2g2 , , ()}
(4.113)
baik yang
yang beranggotakan seluruh swavektor dari operator
diskret maupun yang kontinyu merupakan basis bagi H. Himpunan
tersebut dapat diortonormalkan, sehingga didapat basis ortonormal.
= {1 , 2 , , } yang beranggotakan semua swaniSpektrum ()
.
3. Hasil yang mungkin diperoleh dalam pengukuran suatu besaran fisis
adalah salah satu dari anggota spektrum operator Hermitean yang
mewakilinya. Tidak ada pengukuran yang menghasilkan suatu nilai
di luar spektrum operator itu. Jika sistem berada pada keadaan yang
diwakili oleh swavektor suatu operator yang mewakili suatu besaran
fisis, maka pengukuran besaran fisis itu pasti menghasilkan swanilai13 dari swavektor itu. Keadaan yang diwakili oleh suatu swavektor
13
95
(4.116)
96
(a.2) Spektrum diskret merosot. Sekarang ditinjau suatu ob yang memiliki swanilai-swanilai diskret n yang merosot,
servable
masing-masing sejauh gn derajad. Andaikan nin (in = 1, 2, 3, gn )
kepunyaan n . Selanjutnya, andaikan himpunan
swavektor dari
telah dinormalkan dan diortonormalkan sesemua swavektor dari
hingga membentuk basis ortonormal. Bila sistem mula-mula dipersiapkan berada pada keadaan (telah dinormalkan), maka peluang
untuk mendapatkan hasil ukur n diberikan oleh
P(, n ) =
gn
X
|(nin |)|2 .
(4.117)
in =1
gn
X
|(nin |)|2 =
in =1
gn
X
in =1
(4.118)
Hal ini menunjukkan bahwa jika sistem dipersiapkan berada pada
keadaan yang diwakili oleh suatu vektor anggota subruang swanilai
suatu swanilai maka peluang mendapatkan swanilai tersebut sebagai
hasil ukur adalah sebesar 100%.
R suatu peubah acak pada (),
dengan
Andaikan X : ()
n fP (n ) =
gn
XX
n in =1
Karena
nin )(nin |),
n |(nin |)|2 = (|n nin )(nin |) = (|
(4.120)
maka
<> =
gn
XX
n in =1
(4.121)
97
akhirnya didapatkan
Dengan syarat kelengkapan operator ,
(4.122)
(b) Spektrum kontinyu. Agar jauh lebih sederhana tanpa mengurangi keumuman dalam bagian ini hendak ditinjau ob yang memiliki spektrum kontinyu yang tidak merosot.
servable
Andaikan swavektor yang telah dinormalkan kepunyaan swani lengkap, maka terdapat himpunan basis ortonormal
lai . Karena
Sembarang keadaan
yang tersusun atas swavektor-swavektor dari .
dapat ditulis sebagai kombinasi linier
Z
=
( |) d.
(4.123)
()
(4.124)
<> =
()d =
|( |)|2 d = (|).
(4.125)
()
()
(t)
= H(t),
t
(4.126)
98
2
@
I
@
@ 00 (t)
@
@
@
@
6
@
@
: 0 (t2 )
@
6@
= n0
@
Q
z
C Q
C Q
Q
C
9
Q
(t)
0
Q
C
Q lim0 (t1 + )
C
Q
Q = n
C
Q
1
C
s
Q
C
R
+
C
(0) =
C 0 (t)
C
CW
(t1 )
lim0 00 (t2 + )
99
100
4
@
I
3 @
@
@
@
(t)
@
@
@
@
U
6
2
@
P
A PPP
PP
A
PP
PP
A
9
PP
(t0 )
q
A
A
A
A
1
A
A
A
i A
AU
Sketsa 4.2 Dinamika kuantum tanpa adanya pengukuran merupakan suatu lintasan tunggal dalam ruang keadaan kuantum. (Sketsa ini dirancang dan digambar
oleh M.F.Rosyid)
4.4
4.4.1
Beberapa Contoh :
Partikel Dalam Suatu Potensial
Sebuah partikel dipengaruhi oleh suatu potensial sedemikian rupa sehingga keadaan kuantumnya tiap saat diwakili oleh vektor (t). Andaikan F
berturut-turut merupakan dua operator Hermitean yang mewakili
dan G
besaran F dan G yang relevan dengan sistem fisis (partikel) tersebut. Se 6= 0 (yakni, F dan G tidak komutatif) dan
lanjutnya, andaikanlah [F , G]
kedua operator itu masing-masing memiliki spektrum diskret yang tidak
101
(4.127)
j
G
(4.128)
untuk n = 1, 2, 3, dan
= j j ,
untuk j = , 3, 2, 1, 0, 1, 2, 3, .
1. Tuliskanlah spektrum dari besaran F dan juga spektrum dari besaran
G!
2. Andaikan sebuah bilangan riil. Bila pada sembarang saat t dilakukan pengukuran besaran F , berapakah peluang mendapatkan nilai sebagai hasil ukur?
3. Dapatkah disimpulkan bahwa (n |j ) = 0, yakni bahwa vektor n
ortogonal terhadap vektor j ?
4. Pada saat t = t1 dilakukan pengukuran besaran G dengan hasil 5 .
Berada pada keadaan yang manakah partikel tersebut tepat setelah
pengukuran itu dilakukan? Bila tepat setelah pengukuran G itu dilakukan pengukuran besaran F , maka hasil ukur manakah yang didapatkan? Berapakah peluang mendapatkan hasil ukur itu?
5. Pada saat t = t2 dengan t2 > t1 dilakukan pengukuran besaran F dan
didapatkan 20 sebagai hasil ukur. Bila tepat setelah pengukuran
itu dilakukan lagi pengukuran besaran F , hitunglah peluang masingmasing anggota spektrum dari besaran F untuk keluar sebagai hasil
ukur!
6. Andaikan pada saat t = t3 dengan t3 > t2 partikel tersebut berada
pada keadaan
(t3 ) =
6
5
4
3
2
1 +
2 +
3 +
5 +
6
140
140
140
140
140
1
7
+
8 +
10 .
140
140
Gambarlah seketsa grafik yang memperlihatkan peluang bagi masingmasing anggota spektrum dari besaran F untuk keluar sebagai hasil
ukur seandainya besaran F diukur pada keadaan (t3 ) itu! (sumbu-x
menyatakan spektrum besaran F dan sumbu-y menyatakan peluang)
102
Jawab :
1. Spektrum dari besaran F adalah himpunan (F ) yang beranggotakan semua swanilai operator F . Jadi,
(F ) = {1 , 2 , 3 , }.
Demikian pula halnya dengan besaran G, spektrumnya adalah himpunan
yang beranggotakan semua swanilai operator G.
Jadi,
(G)
= { , 2 , 1 , 0 , 1 , 2 , 3 , }.
(G)
2. Jika bukan anggota spektrum besaran F , yakni jika
/ (F ), maka
tidak memiliki peluang untuk keluar sebagai hasil ukur. Jadi, peluangnya
nol. Jika merupakan salah satu anggota dari (F ), katakanlah = n ,
maka peluang bagi untuk keluar sebagai hasil ukur adalah |(n |(t))|2 .
3. Memang betul bahwa (n |n0 ) = (j |j 0 ) = 0 untuk sembarang
n 6= n0 dan j 6= j 0 . Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa (n |j ) = 0 juga
tidak komutatif.
berlaku sebab F dan G
4. Tepat setelah pengukuran G dengan hasil 5 , partikel berada pada keadaan 5 . Bila tepat setelah pengukuran dengan hasil 5 itu juga
dilakukan pengukuran besaran F , maka hasilnya adalah salah satu n
anggota spektrum (F ). Peluang bagi n (F ) untuk keluar sebagai
hasil ukur adalah |(n |5 )|2 .
5. Tepat setelah pengukuran F dengan hasil 20 , partikel berada pada
swakeadaan 20 . Oleh karena itu bila saat itu dilakukan lagi pengukuran
103
P((t3 ), 2 ) =
25
,
140
P((t3 ), 3 ) =
16
,
140
P((t3 ), 4 ) = 0,
P((t3 ), 5 ) =
9
,
140
P((t3 ), 6 ) =
4
,
140
P((t3 ), 7 ) = 0,
P((t3 ), 8 ) =
1
,
140
P((t3 ), 9 ) = 0,
P((t3 ), 10 ) =
49
140
P((t3 ), 1 ) =
10
11
Spektrum F
Sketsa 4.3 Grafik peluang bagi nilai n untuk keluar sebagai hasil ukur bila
dilakukan pengukuran besaran F .
104
7. Nilai harap < F > dan < G > dapat dihitung dengan rumus baku
nilai harap pada teori peluang maupun dengan rumus singkat < F > =
3 )). Dalam kesempatan ini hen((t3 )|F (t3 )) dan < G > = ((t3 )|G(t
dak ditempuh cara yang pertama.
Dalam kasus ini, karena peubah acak X(n ) = n (untuk n = 1, 2, )
bersifat diskret, maka dengan rumus baku nilai harap dalam teori peluang
didapat
<F > =
(t3 )
n fP
(n ).
(4.129)
n=1
(t )
fP
(n ) = P((t3 ), n ),
untuk n = 1, 2, 3, .
n P((t3 ), n ).
n=1
36
25
16
9
4
1
49
+ 2
+ 3
+ 5
+ 6
+ 8
+ 10
140
140
140
140
140
140
140
(t3 )
n fP
(n ).
j=
(t3 )
Fungsi peluang fP
(t3 )
fP
diberikan oleh
untuk j = , 2, 1, 0, 1, 2, . Jadi,
6
(j |1 ) +
140
3
2
+
(j |5 ) +
(j |6 ) +
140
140
(t3 )
fP
(j ) = |
5
4
(j |2 ) +
(j |3 )
140
140
1
7
(j |8 ) +
(j |10 )|2 .
140
140
105
4.4.2
Sebuah kasus konkrit yang terkait dengan contoh pertama adalah partikel
yang dimasukkan ke dalam sumur potensial tak terhingga (lebih detailnya
silahkan lihat bagian 9.2). Dalam kasus ini, ruang Hilbert yang dipakai
adalah ruang L2a (R, dx) yang beranggotakan semua fungsi bernilai kompleks
yang kontinyu pada garis riil R dan lenyap diluar wilayah [a, a], dengan
a > 0. Sebagai besaran F adalah tenaga total partikel dan sebagai G adalah
momentum linier partikel. Jadi, F = E dan G = p. Bila ruang Hilbert
yang dipakai semacam itu, maka operator tenaga total dan momentum
linier diberikan oleh
2
= ~ d + V (x)
H
2m dx2
dan
p = i~
d
.
dx
(4.130)
n = 1, 2, 3, ,
(4.131)
dengan
En =
~2 2 n2
= n 2 E1
8ma2
(4.132)
dan
(
n (x) =
1
a
0,
cos nx
2a ,
untuk x [a, a]
untuk x
/ [a, a]
(4.133)
106
bila n ganjil dan
(
n (x) =
1
a
sin nx
2a ,
0,
untuk x [a, a]
untuk x
/ [a, a]
(4.134)
pj = pj j ,
(4.135)
dengan
pj =
~j
2a
(4.136)
dan
(
j (x) =
j
1 ei 2a x ,
2a
0,
untuk x [a, a]
untuk x
/ [a, a]
(4.137)
xR
(4.138)
xR
(4.139)
(4.140)
i
i
(j |n ) = nj + nj
2
2
(4.141)
untuk n genap.
Andaikan pada suatu saat partikel tersebut berada pada keadaan
=
5
4
3
2
6
1 +
2 +
3 +
5 +
6
140
140
140
140
140
1
7
+
8 +
10 .
140
140
107
Jawab :
1. Fungsi peluang fP (En ) dihitung sebagaimana contoh sebelumnya,
yakni fP (En ) = |(n |)|2 untuk setiap n. Hasilnya sama kecuali bahwa
setiap n diganti dengan En . Nilai fungsi fP (En ) untuk sepuluh En yang
pertama diperlihatkan pada kolom pertama dan kedua tabel berikut ini.
Nilai fungsi peluang fP (En ) untuk En yang lain lenyap.
Tabel 4.1 Nilai fungsi peluang fP (En ) untuk sepuluh nilai En yang pertama.
En
(dalam E1 =
1
4
9
16
25
36
49
64
81
100
2 2
~
8ma2 )
fP (En )
(dalam
36
25
16
0
9
4
0
1
0
49
1
140 )
En fP (En )
E1
(dalam 140
)
36
100
144
0
225
144
0
64
0
4900
108
(j |)j .
(4.142)
j=
Persamaan terakhir ini memperlihatkan pentingnya perhitungan hasilkali skalar (j |). Untuk itu pers.(4.142), (4.140) dan (4.141) diperlukan.
Melalui persamaan-persamaan tersebut didapatkan
6
5
4
3
(j |1 ) +
(j |2 ) +
(j |3 ) +
(j |5 )
140
140
140
140
2
1
7
+
(j |6 ) +
(j |8 ) +
(j |10 )
140
140
140
6
i5
4
=
(1j + 1j ) +
(2j 2j ) +
(3j + 3j )
280
280
280
3
i2
i
+
(5j + 5j ) +
(6j 6j ) +
(8j 8j )
280
280
280
i7
(10j 10j ).
(4.143)
+
280
(j |) =
6
i5
4
(1 + 1 ) +
(2 2 ) +
(3 + 3 )
280
280
280
3
i2
i
+
(5 + 5 ) +
(6 6 ) +
(8 8 )
280
280
280
i7
+
(10 10 ).
280
i7
i
i2
3
4
10 +
8 +
6 +
5 +
3
280
280
280
280
280
i5
6
6
i5
4
3
+
2 +
1 +
1 +
2 +
3 +
5
280
280
280
280
280
280
i2
i
i7
+
6 +
8 +
10 .
(4.144)
280
280
280
109
(4.145)
36
,
280
49
,
280
~
2a )
fP (pj )
(dalam
49
0
1
0
4
9
0
16
25
36
1
280 )
pj
(dalam
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
~
2a )
fP (pj )
(dalam
1
280 )
36
25
16
0
9
4
0
1
0
49
110
4.4.3
Spin Elektron
Ditinjau sebuah sistem fisis yang tersusun atas sebuah elektron yang berada
dalam pengaruh suatu potensial. Dalam kasus semacam ini, besaran fisis
yang relevan di antaranya adalah komponen spin ke arah sumbu-z, yakni
Sz . Operator bagi besaran Sz hendak ditulis sebagai Sz . Operator Sz hanya
memiliki dua swanilai, yaitu ~/2 dan ~/2 serta memenuhi persamaan
~ z
z
Sz +
= +
2
dan
~ z
z
Sz
=
,
2
(4.146)
dan ~/2. Andaikan pada suatu saat elektron itu menghuni keadaan
z
i z
+
,
= +
5
5
(4.147)
1 z z
i z z
i z z
||2 z z
(+ |+ ) + (+
| ) +
( |+ ) +
( | )
5
5
5
5
= 1.
(|) =
(4.148)
111
z
z
z | z ) =
mitean, maka kedua vektor itu ortonormal, artinya, (+ | ) = (
+
z
z
z
z
0 dan ( | ) = (+ |+ ) = 1. Dari persamaan (4.148), diperoleh
1 + ||2 = 5
atau
||2 = 4.
Jadi, adalah sembarang bilangan kompleks dengan modulus sama dengan
2. Dari konsep bilangan kompleks, = 2ei , dengan sembarang bilangan
riil.
2. Ruang sampel atau spektrum dalam eksperimen pengukuran Sz ini
adalah {~/2, ~/2}. Bila elektron menghuni keadaan , maka peluang
munculnya ~/2 dan ~/2 berturut-turut adalah
z
P(, ~/2) = |(+
|)|2 =
1
5
dan
z
P(, ~/2) = |(
|)|2 =
fP (x) =
P(, ~/2) =
4
5
||2
4
= .
5
5
untuk x = ~/2
untuk x = ~/2
fP (~/2) +
fP (~/2)
< Sz > =
2
2
~
1
~
4
=
+
2
5
2
5
3~
= .
10
3. Karena spektrum besaran Sz hanya memuat dua nilai, yaitu ~/2
dan ~/2, maka entry data hasil pengukuran Sz hanya terdiri atas dua
macam nilai saja. Berdasarkan peluangnya, maka dari dua puluh pengukuran itu nilai ~/2 akan muncul 4 kali, sedangkan nilai ~/2 akan muncul 16
kali.
112
4.5
Soal-soal
n un (x),
(4.149)
n = 0, 1, 2, 3, 4, ,
(4.150)
n=0
dari fungsi-fungsi
r
un (x) =
2n + 1
Pn (x),
2
4.5. SOAL-SOAL
113
8. Suatu operator
dapat
(a) Tunjukkan bahwa setiap operator anti-Hermitean
0
0
X
n
()
n=0
n!
(4.151)
(|A)
yang Hermitean, merupakan operator positif!
suatu observabel kuantum dengan spektrum ()
=
11. Andaikan
R peubah acak pada
{1 , 2 , } yang diskret dan X : ()
114
Bab 5
PENGUKURAN DALAM
MEKANIKA KUANTUM
. . . Heisenbergs neue Arbeit, die bald erscheint, sieht sehr mystisch aus,
ist aber sicher richtig und tief 1 . . .
(Surat dari Max Born kepada Albert Einstein, 1925)
5.1
Teori Pengukuran
Andaikan suatu sistem fisis dipersiapkan berada pada suatu keadaan dan
andaikan pula persiapan semacam ini selalu dapat diulang (reproduceable)
setiap kali selesai pengukuran suatu besaran fisis. Situasi semacam ini tentu
saja dapat diganti dengan beberapa sistem fisis identik yang dipersiapkan
berada pada keadaan yang sama. Kumpulan sistem fisis semacam ini disebut ensembel. Khususnya, bila sistem-sistem fisis itu merupakan sistem
kuantum, maka yang kita tangani adalah ensembel kuantum.
operator Hermitean yang mewakili suatu besaran fisis
Andaikan
dan ensembel kuantum dipersiapkan berada pada keadaan kuantum yang
diwakili oleh vektor dalam ruang Hilbert H (yang diperluas). Bila pada ensembel kuantum tersebut dilakukan pengukuran besaran , artinya
pada setiap sistem kuantum dalam ensembel itu dilakukan pengukuran ,
maka pengukuran besaran pada masing-masing sistem dalam ensem1
...Karya Heisenberg yang baru, yang segera akan diterbitkan, tampak sangat mistis,
tetapi sahih dan mendalam...
115
116
bel akan menghasilkan nilai ukur yang sama bila merupakan salah satu
dan hasil ukur tersebut adalah swanilai operator
swakeadaan observabel
kepunyaan swavektor . Sebaliknya, pengukuran besaran pada en
sembel itu akan menghasilan nilai ukur yang berbeda-beda bila bukan
Meskipun demikian
salah satu dari swakeadaan-swakeadaan observabel .
nilai-nilai yang dihasilkan dalam pengukuran-pengukuran itu merupakan
Frekuensi keluarnya suatu swanilai sebagai hasil ukur
anggota spektrum .
ditentukan oleh kontribusi swavektor kepunyaan swanilai tersebut pada
dalam bentuk koefisien kombinasi linier. Frekuensi inilah yang akhirnya
menentukan nilai harap atau nilai rata-rata pengukuran. Pengukuranpengukuran besaran tersebut akan memberikan rerata hasil ukur sebesar
5.1.1
Telah disebutkan di atas bahwa nilai rerata pengukuran suatu besaran fisis
d
i
])
(5.1)
5.1.2
Ralat Pengukuran
=
rangi keumuman, diandaikan bahwa memiliki spektrum diskret ()
117
(5.2)
menurut X (n ) = n . Selanjutnya, andaikan setiap sistem fisis dalam ensembel dipersiapkan berada pada keadaan . Bila n swavektor kepunyaan
n , maka peluang mendapatkan hasil ukur n adalah
P(n , ) = |(n |)|2 .
(5.3)
< > = (X ) =
n fP =
n |(n |)|2 = (|),
(5.4)
n
yaitu yang telah diperoleh pada bagian sebelumnya. Varian dari peubah
acak X diberikan oleh
Var(X ) = [(X (X ))2 ]
X
=
(n (X ))2 fP
n
n |(n |)|2
n
2
+ <>
|(n |)|
2 ) < >2 .
= (|
(5.5)
Varian Var(X ) ini biasanya ditulis sebagai < ()2 >. Oleh karena itu
2 ) < >2 .
< ()2 >= (|
(5.6)
118
(5.8)
d 2 := (
< >)2 disebut operator varian. Ralat pengukuOperator
ran, yakni penyimpangan baku dari peubah acak X , dengan demikian
diberikan oleh
q
q
2 ) < >2 = (|
d 2 ).
= (|
(5.9)
Kasus khusus terjadi, bilamana merupakan salah satu swakeadaan
Bila swavektor kepunyaan swanilai n0 , maka
dari observabel .
P(, n0 ) = fP (n0 ) = 100%.
(5.10)
Oleh karena itu, < ()2 > = 0, yakni berdasarkan sifat 1 dari varian (lihat bagian 1.4.2). Hal ini tentu saja concomitant (sejalan) dengan
salah satu prinsip yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa
pengukuran suatu observabel akan memberikan nilai ukur dengan ralat nol
bila sistem fisis yang bersangkutan dipersiapkan berada pada salah satu
swakeadaannya.
5.1.3
Dalam bagian ini kita kembali menengok masalah partikel dalam sumur
potensial tak terhingga yang telah disinggung pada bagian 4.4.2. Dalam
bagian 4.4.2 itu telah dihitung nilai harap pengukuran tenaga total dan momentum linier partikel bila partikel itu menghuni keadaan yang diberikan
oleh pers.(4.142). Dalam perhitungan nilai harap kedua besaran itu telah
digunakan nilai fungsi peluang fP (En ) dan fP (pj ) yang disajikan berturutturut dalam Tabel 4.1 dan 4.2 untuk beberapa nilai En dan pj yang penting.
Hasil perhitungannya, < H > = 40, 1E1 dan < p > = 0.
119
(dalam E12 =
fP (En )
(dalam
1
16
81
256
625
1296
2401
4096
6561
10000
1
140 )
36
25
16
0
9
4
0
1
0
49
En2 fP (En )
E12
(dalam 140
)
36
400
1296
0
5625
5184
0
4096
0
490000
Nilai fungsi peluang fP (En2 ) untuk En2 yang lain lenyap. Rerata < H 2 >
tentu saja merupakan jumlahan kolom ketiga Tabel 5.1, yakni < H 2 > =
3618, 8E12 . Karena < H > = 40, 1E1 , maka
H = (< H 2 > < H >2 )1/2
q
=
3618, 8E12 (40, 1E1 )2
q
=
3618, 8E12 1608, 0E12
= 44, 84E1 .
Oleh karena itu hasil pengukuran tenaga total partikel adalah
H = (40, 1 44, 84)E1 .
(5.11)
120
<p >=
(5.12)
j=
(5.13)
~
4a2
100
81
64
49
36
25
16
9
4
1
5.2
2 2
fP (p2j )
)
(dalam
49
0
1
0
4
9
0
16
25
36
1
280 )
p2j
(dalam
2 2
~
4a2
fP (p2j )
)
(dalam
1
4
9
16
25
36
49
64
81
100
1
280 )
36
25
16
0
9
4
0
1
0
49
Sebagaimana telah disebutkan di muka, dalam mekanika klasik setiap besaran fisis diwakili oleh sebuah fungsi bernilai nyata (riil) yang dapat diturunkan terus-menerus dan terdefinisikan pada ruang fase klasik. Jadi,
besaran-besaran fisis dalam mekanika klasik merupakan anggota dari suatu aljabar observabel yang beranggotakan seluruh fungsi semacam itu.
Aljabar observable ini merupakan aljabar observabel yang komutatif : bila
f dan g fungsi riil anggota aljabar tersebut, maka perkalian fungsi f g sama
121
122
Sketsa 5.1 Dua buah balon yang tidak kompatibel : Jika balon sebelah kanan
diperkecil, maka balon sebelah kiri membesar. Jika yang sebelah kiri diperkecil,
maka yang kanan membesar. (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F.Rosyid)
Tetapi, hal ini tidak boleh diartikan sebaliknya, yakni bahwa jika dua buah operator
memiliki swavektor bersama, maka komutator dua operator itu lenyap
5.2.1
123
Ketidakpastian Heisenberg
Subbagian ini dalam beberapa hal merupakan converse dari ungkapan untuk kompatibilitas yang baru saja diberikan, yaitu menjawab pertanyaan
1
yang berkaitan dengan ralat-ralat pengukuran observabel-observabel
(5.14)
atau
1
1,
1 ] > |.
1 2 | < [
(5.15)
2
Ketaksamaan terakhir ini dikenal sebagai ketakpastian Heisenberg. Ke 1 dan
taksamaan tersebut secara nyata menunjukkan bahwa observabel
2 tidak dapat diukur serempak dengan ralat nol, bila keduanya tidak kom
patibel. Bahkan yang satu memposisikan diri sebagai antagonis terhadap
1 diusahakan seakurat mungkin, maka justru
yang lain : jika pengukuran
ralat bagi pengukuran 2 membesar. Demikian pula sebaliknya. Keterbatasan ini merupakan hukum alam, bukan keterbatasan subjektif seorang
eksperimentator. Dua observabel yang memiliki sifat semacam ini, misal dan posisi r (lihat bab berikutnya). Komutator
nya, adalah momentum p
kedua operator itu adalah [
x, px ] = [
y , py ] = [
z , pz ] = i~. Oleh karenanya,
berdasarkan pers.(5.15), diperoleh
xpx
~
,
2
(5.16)
ypy
~
,
2
(5.17)
zpz
~
.
2
(5.18)
dan
Jadi, bila kita mendapatkan informasi yang akurat tentang posisi suatu partikel (ralat pengukuran posisi menuju nol), maka kita kehilangan
informasi tentang momentumnya (ralat pengukuran momentum sangat besar menuju tak terhingga) dan sebaliknya. Bentuk metafor bagi fakta ini
adalah cerita tentang buah simalakama : Bila dimakan maka ayah akan
mati dan bila tidak dimakan maka ibu yang akan tiada.
124
Gambar 5.1: Werner Heisenberg (1901-1976), fisikawan Jerman, adalah salah satu
founding father mekanika kuantum (kiri). Helgoland, sebuah pulau di laut utara,
tempat Heisenberg menghabiskan hari-harinya menjelang didapatkan rumusan
mekanika matriks (salah satu wujud mekanika kuantum) olehnya (kanan).(Foto
diambil dari situs www.-groups.dcs.st-and.ac.uk dan www.Helgoland.de)
d2 2 ) = (
d2 |
d2 ) = ||
d2 ||2 .
< (2 )2 >= (|
2
2
(5.19)
1
2i
d1 ,
d2 } > keduanya
< {
d1
d2 > |2 = 1 | < [
d1 ,
d2 ] > |2 + 1 | < {
d1 ,
d2 } > |2 .
| <
4
2
(5.20)
Berdasarkan pers.(5.19) dan pers.(5.20) diperoleh ketaksamaan
1
d1 ,
d2 ] > |2 + 1 | < {
d1 ,
d2 } > |2 .
| < [
4
2
(5.21)
Dan, pada akhirnya, tentu saja ketakpastian Heisenberg
< (1 )2 >< (2 )2 >
1
| < [1 , 2 ] > |2 ,
4
(5.22)
d1 ,
d2 } > |2 selalu positif dan [
d1 ,
d2 ] = [1 , 2 ].
karena 12 | < {
5.3
126
adalah salah satu swanilai A yang merosot sejauh ga . Adalah tidak cukup
kalau hanya mengandalkan swanilai a untuk pelabelan swavektor-swavektor
kepunyaan a, misalnya a . Diperlukan label lain guna membedakan satu
swavektor kepunyaan a dengan swavektor kepunyaan a yang lain. Sebagaimana yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya, orang memakai superindeks untuk tujuan itu, misalnya ai , dengan i = 1, 2, , ga . Sekarang
observabel lain yang kompatibel dengan A,
yakni [B,
A]
=
andaikan B
operator A yang merosot, pada umumnya bukan swavektor-swavektor ba Akan tetapi, sekali lagi masih menurut bagian 4.2.1, dagi operator B.
pat dikonstruksi (melalui pendiagonalan) swavektor-swavektor baru bagi
sehingga swavektor-swavektor
A yang juga merupakan swavektor bagi B,
kepunyaan suatu swanilai a yang merosot sejauh ga dapat ditulis sebagai
ab . Penulisan semacam ini telah mencukupi seandainya tidak satupun
yang merosot. Tetapi, dapat pula terjadi, beswanilai dari operator B
juga merosot. Masalah ini dapat diselesaikan,
berapa swanilai b dari B
i , dengan
misalnya, dengan menggunakan superindeks. Sebagai contoh, ab
i = 1, 2, , gb . Namun, terdapat cara lain yang lebih elegan, yakni dengan
Bila
mendatangkan observabel lain yang kompatibel dengan A maupun B.
C adalah observabel yang dimaksud, maka (dengan cara serupa) diperoleh
B
dan C.
Swavektorswavektor-swavektor bersama bagi observabel A,
swavektor bersama tersebut dapat ditulis sebagai abc , dibaca swavektor
B
dan C dengan swanilai berturut-turut a, b dan c. Bila ini
bersama bagi A,
telah cukup menjadikan notasi abc mampu membedakan satu swavektor
B,
C}
disebut himpunan
dengan swavektor yang lain, maka himpunan {A,
observabel yang saling komutatif dan lengkap. Bila abc belum cukup untuk tujuan tersebut, maka perlu didatangkan observabel keempat dan
seterusnya sehingga diperoleh himpunan observabel yang saling komutatif
dan lengkap. Pada saat kita nanti membahas masalah elektron dalam suatu
atom, kita akan berurusan dengan masalah ini : swavektor nlm , dengan
n bilangan asli, l = 0, 1, 2, , n 1 dan m = l, l + 1, , l 1, l,
kuadrat momerupakan swavektor bersama bagi operator tenaga total H,
z . Dalam conmentum sudut orbital L2 dan komponen komentum sudut L
5.4. SOAL-SOAL
5.4
127
Soal-soal
1. Buktikan pers.(5.1)!
2. Hitunglah laju perubahan penyimpangan baku pengukuran suatu besaran fisis!
yang
3. Turunkan nilai rerata dan penyimpangan baku dari observabel
memiliki spektrum kontinyu!
4. Turunkan pers.(5.8) dari pers.(5.6)!
d1 ,
d2 ] = [
1,
2 ] untuk sembarang operator
5. Tunjukkan bahwa [
1 dan
2!
128
Bab 6
WAKILAN MATRIKS
MEKANIKA KUANTUM
Die Zahl regiert das Universum1 . (Phytagorian)
Sebagaimana telah disebutkan oleh prinsip terakhir mekanika kuantum (lihat kembali bab 4), dinamika suatu sistem kuantum (yakni perkembangan
keadaan sistem kuantum terhadap waktu) merupakan lintasan yang ditempuh oleh sistem kuantum tersebut dalam ruang keadaan (ruang Hilbert).
Lintasan tersebut ditentukan oleh persamaan Schrodinger
i~
(t)
= H(t)
t
(6.1)
beserta keadaan awal sistem kuantum itu, yakni keadaan sistem pada suatu saat tertentu. Dari persamaan tersebut terlihat dengan jelas bahwa
sangat menentukan dinamika dari sistem kuantum
operator Hamiltonan H
yang ditinjau. Jadi, sebagaimana dalam mekanika klasik, dalam mekanika
kuantum pun operator Hamiltonan (atau lebih singkat Hamiltonan) merupakan ciri utama suatu sistem kuantum. Artinya, suatu sistem kuantum
dapat dikenali dari bentuk operator Hamiltonannya.
Untuk mempelajari dinamika suatu sistem kuantum, langkah pertama
=
adalah penyelesaian masalah swanilai operator Hamiltonan, yakni H
E. Langkah ini menghasilkan dua hal : spektrum tenaga dan himpunan
1
129
130
6.1
(n |(t))n
(6.2)
(lihat kembali bagian 4.2). Karena koefisien kombinasi linier (n |) tunggal, maka keadaan (t) untuk setiap t berpadanan dengan matriks kolom
2
6.1. WAKILAN MATRIKS PERSAMAAN SCHRODINGER
131
(1 |(t))
(2 |(t))
..
.
.
(t)
(n |(t))
..
.
(6.3)
(1 |i~ (t)
)
t
(2 |i~ (t)
t )
(t)
..
i~
(6.4)
.
.
t
(n |i~ (t) )
t
..
.
Tetapi, karena masing-masing n tidak gayut waktu, maka
(1 |(t))
i~ t
(1 |(t))
i~ (2 |(t))
(2 |(t))
t
..
..
(t)
.
i~
= i~
.
t
t
i~ (n |(t))
(
|(t))
t
n
..
..
.
.
. (6.5)
(1 |H(t))
(2 |H(t))
..
(6.6)
H(t)
( |H(t))
n
..
.
(n |H(t))
= (n |H
(n0 |(t))n0 ) =
(n |H
n0
n0
132
H(t)
1 ) (1 |H
2)
(1 |H
1 ) (2 |H
2)
(2 |H
..
..
..
.
.
.
(n |H1 ) (n |H2 )
..
..
..
.
.
.
n)
(1 |H
n)
(2 |H
..
.
n)
(n |H
..
.
..
.
(1 |(t))
(2 |(t))
..
.
(n |(t))
..
..
.
.
(6.8)
(1 |(t))
(2 |(t))
..
=
.
i~
(n |(t))
..
.
1 ) (1 |H
2)
(1 |H
2)
1 ) (2 |H
(2 |H
..
..
..
.
.
.
(n |H1 ) (n |H2 )
..
..
..
.
.
.
n)
(1 |H
n)
(2 |H
..
.
n)
(n |H
..
.
..
.
(1 |(t))
(2 |(t))
..
.
(n |(t))
..
..
.
.
(6.9)
Matriks
1 ) (1 |H
2)
(1 |H
(2 |H1 ) (2 |H2 )
..
..
..
.
.
.
1 ) (n |H
2)
(n |H
..
..
..
.
.
.
n)
(1 |H
n)
(2 |H
..
.
n)
(n |H
..
.
..
.
..
.
(6.10)
6.1. WAKILAN MATRIKS PERSAMAAN SCHRODINGER
133
6.1.1
E1 0
0 E2
..
.. . .
.
.
.
0
0
..
.. . .
.
.
.
0
0
..
.
En
..
.
..
.
..
.
(6.11)
134
(1 |(t))
E1 0 0
(1 |(t))
(2 |(t)) 0 E2 0 (2 |(t))
..
..
.. . .
.. . .
..
. (6.12)
.
.
.
.
.
.
i~
= .
t
0
(n |(t))
(
|(t))
0
n
n
..
..
.. . .
.. . .
..
.
.
.
.
.
.
.
Untuk setiap n = 1, 2, 3, didapatkan persamaan
i~
(n |(t)) = En (n |(t)).
t
(6.13)
n = 1, 2, 3,
(6.14)
Hasil serupa akan diperoleh pada bab 13 dari penerapan operator translasi
waktu.
Contoh :
Andaikan pada saat t = 0 sistem kuantum yang baru saja ditinjau berada
pada keadaan (0) = n0 , yakni suatu swakedaan dari operator Hamiltonan
Dari pers.(6.15) diperoleh
H.
(0) =
Cn n = n0 .
0 untuk n 6= n0
1 n = n0
6.1. WAKILAN MATRIKS PERSAMAAN SCHRODINGER
135
(6.16)
Terlihat bahwa untuk setiap t keadaan (t) berbeda dari (0) hanya oleh
faktor fase exp[iEn0 t/~]. Ini menunjukkan bahwa (t) mewakili keadaan
yang sama dengan yang diwakili oleh (0). Secara umum dapat disim
pulkan bahwa jika keadaan awal sistem merupakan swavektor operator H,
maka keadaan sistem setiap saat (t) tidak berbeda dari keadaan awal
tersebut. Fakta semacam ini dapat dijelaskan secara elegan dengan melibatkan konsep simetri (kesetangkupan) dan teori grup dalam fisika (lihat
bab 10).
Contoh :
yang ditinjau di atas adalah Hamiltonan getaran
Andaikan Hamiltonan H
selaras. Masalah ini akan dibahas secara mendalam di bab 9.4. Di sini
disebutkan hanya sebagai contoh saja. Di bab 9.4 akan ditunjukkan bahwa
swanilai tenaga untuk getaran selaras tidak merosot dan diberikan oleh
1
En = (n + )~,
2
n = 0, 1, 2, 3,
X
N
(0) =
n ,
(n + 1)
n=0
dengan N suatu tetapan. Jadi, kedaan awal sistam bukan salah satu dari
swakeadaan operator Hamiltonan. Agar (0) ternormalkan, maka haruslah
berlaku
1 = ((0)|(0)) =
X
n=0 n0 =0
X
2
= |N |
n=0
N
N
(n |n0 )
(n + 1) (n0 + 1)
1
.
(n + 1)2
(6.17)
136
X
n=0
1
2
=
,
(n + 1)2
6
maka pers.(6.17)
memberikan nilai |N | = 6/. Jadi, N diberikan oleh
(n + 1)
n=0
X
Cn n .
(0) =
n=0
Jadi,
n=0
n=0
X
6X
1
n =
Cn n .
(n + 1)
X
1
6
(t) =
ei(n+ 2 )t n .
(n + 1)
6
(n+1) .
Oleh
(6.19)
n=0
Terlihat bahwa keadaan (t) berbeda sama sekali dari keadaan awal. Boleh
disimpulkan bahwa jika keadaan awal bukan salah satu dari swakeadaan H,
maka kedaan sistem setiap saat (t) berbeda dari keadaan awal.
6.1.2
(6.20)
6.1. WAKILAN MATRIKS PERSAMAAN SCHRODINGER
137
E1 0
0 0
.. . .
.
.. . .
. ..
.
. ..
. ..
.
.
0 E1 0 0
0 0 E2 0
(6.21)
.
.. . .
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
. .
. .
.
.
0 0
.. . .
..
.. . .
.. . .
.
.
.
.
.
.
.
Dalam matriks tersebut terdapat g1 buah unsur diagonal yang nilainya E1 ,
g2 buah unsur diagonal yang nilainya E2 dan sterusnya. Oleh karenanya
pers.(6.9) dapat dituliskan sebagai persamaan matriks berikut
(11 |(t))
..
g1 .
( |(t))
1
i~ (2 |(t)) =
t
.
.
g .
( 2 |(t))
2
..
.
E1
.. . .
.
.
.. . .
.
.
.. . .
.
.
5
0
..
.
0
..
.
..
.
..
.
E1 0
0 E2
..
..
.
.
0
0
..
.. . .
.
.
.
0
..
.
0
0
..
.
E2
..
.
(11 |(t))
..
g1 .
( |(t))
1
(1 |(t))
2
.
..
g .
2
(2 |(t))
..
..
.
.
(6.22)
..
.
..
.
138
in
( |(t)) = En (inn |(t))
t n
(6.23)
(6.24)
Tetapan Cnin di atas ditentukan dari syarat awal dan tuntutan normalisasi.
Oleh karena itu keadaan sistem setiap saat diberikan oleh
(t) =
gn
XX
n in =1
(inn |(t))inn
gn
XX
(6.25)
n in =1
Catatan :
Hal-hal yang telah dibeberkan di atas berlaku pula tentunya untuk sistem
dengan operator Hamiltonan yang memiliki spektrum diskret yang finit.
Dengan kata lain, hal-hal tersebut di atas berlaku pula untuk sistem kuantum yang berpadanan dengan ruang Hilbert berdimensi finit.
6.2
Setelah didapatkan spektrum dan himpunan ortonormal lengkap operator Hamiltonan serta dinamika sistem, maka orang dapat mendapatkan
berbagai informasi tentang sistem kuantum tersebut. Dari sudut pandang komputasi, salah satu hal penting adalah wakilan matriks observabelobservabel yang relevan dengan sistem kuantum tersebut relatif terhadap
basis ortonormal yang tersusun atas swakeadaan-swakeadaan tenaga.
suatu observabel yang relevan dengan sistem kuantum yang
Andaikan
sedang ditinjau. Hendak diselesaikan masalah swanilai
= .
139
(a) Jika spektrum tenaga tidak merosot maka masalah swanilai itu dapat disajikan dalam bentuk persamaan matriks berikut
1 ) (1 |
2 ) (1 |
n)
(1 |
(1 |)
(2 |
1 ) (2 |
2 ) (2 |
n ) (2 |)
..
..
..
..
..
..
.
.
.
.
.
.
( |
(
|)
)
(
|
(
|
n
1
n
2
n
n
n
..
..
..
..
..
..
.
.
.
.
.
.
(1 |)
(2 |)
..
.
(n |)
..
.
(6.26)
1 ) (1 |
2 ) (1 |
n)
(1 |
(1 |)
(2 |
1 ) (2 |
2 ) (2 |
n ) (2 |)
.
.
.
.
.
.
.
..
..
..
..
..
=
.
( |
(
|)
)
(
|
(
|
n
1
n
2
n
n
n
..
..
..
..
..
..
.
.
.
.
.
.
(1 |)
0 0
0 0 (2 |)
.. .. . .
..
.. . .
. .
.
.
.
.
0 0 (n |)
.. .. . .
.. . .
..
.
.
.
.
. .
atau
1)
2)
(1 |
(1 |
( |
1)
2)
(2 |
2
..
..
..
.
.
.
( |
1)
2)
(n |
..
..
..
.
.
.
n)
(1 |
(1 |)
(2 |)
n)
(2 |
..
= 0.
..
.
..
.
.
(n |)
n)
(n |
..
.
..
..
.
.
140
Tentu saja, persamaan terakhir ini memiliki penyelesaian tak sepele jika
matriks berikut
1)
(1 |
1)
(2 |
..
.
1)
(n |
..
.
2)
(1 |
2)
(2 |
..
..
.
.
(n |2 )
..
..
.
.
n)
(1 |
n)
(2 |
..
..
.
.
(n |n )
..
..
.
.
(6.27)
tidak memiliki inverse. Hal ini selaras dengan yang telah dijelaskan pada
adalah bilanganbagian 4.2.2. Selanjutnya, swanilai-swanilai operator
bilangan yang mengakibatkan matriks pers.(6.27) tidak memiliki inverse.
Khususnya, jika sistem fisis yang ditinjau sedemikian rupa sehingga
berukuran6 finit, misalnya k k, maka syarat
wakilan matriks operator
bahwa matriks pers.(6.27) tidak memiliki invers sama artinya dengan
1)
2)
(1 |
(1 |
(2 |
1)
2)
(2 |
..
..
..
.
.
.
( |
(k |2 )
1)
k
k)
(1 |
(2 |k ) = 0.
..
.
k)
(k |
(6.28)
141
..
.
..
.
..
.
(11 |)
..
g1.
( |)
1
(1 |)
2
.
.
g.
( 2 |)
2
..
.
1)
g1 ) (1 |
(11 |
1
2
1
..
..
.
.
g1 1
g1 g1
(1 |1 ) (1 |2 )
1)
g1 ) (1 |
(12 |
2
2
1
..
..
.
.
g2 1
g2 g1
(2 |1 ) (2 |2 )
..
..
.
.
.. . .
.
.
0
0
.. . .
.
.
0
.. . .
.
.
0
.. . .
.
.
0
0
.. .. . .
.
. .
0 0
.. .. . .
.
. .
0
..
.
..
.
..
.
..
.
g2 )
(11 |
2
..
.
g1 g2
(1 |2 )
g2 )
(12 |
2
..
.
g2 g2
(2 |2 )
..
.
0
.. . .
.
.
.. . .
.
.
.. . .
.
.
..
.
..
.
..
.
(11 |)
..
g1
(1 |)
(12 |)
.
..
g2
(2 |)
..
.
(6.29)
6.3
Bila pada bagian-bagian sebelumnya dibahas wakilan matriks operatoroperator dan masalah swanilai dalam kaitannya dengan dinamika sistem
kuantum, maka dalam bagian ini hendak dipaparkan wakilan matriks secara umum, yakni wakilan matriks yang tidak harus ada kaitannya dengan
dinamika suatu sistem fisis.
6.3.1
Masalah Swanilai
142
1)
(1 |
1)
(2 |
2)
(1 |
n)
(1 |
2)
(2 |
..
.
..
.
..
1)
(n |
2)
(n |
..
.
..
.
..
(1 |)
n)
(2 |
(2 |)
..
..
..
.
.
.
n)
(n |
(n |)
..
..
..
.
.
.
= 0.
1)
(1 |
1)
(2 |
2)
(1 |
2)
(2 |
..
.
..
.
..
1)
(n |
2)
(n |
..
.
..
.
..
n)
(1 |
n)
(2 |
..
..
.
.
n)
(n |
..
..
.
.
bekerja
tidak memiliki invers. Khususnya, jika ruang Hilbert tempat
meruberdimensi finit (katakanlah k), maka swanilai-swanilai operator
pakan akar-akar dari persamaan karakteristik
1)
2)
(1 |
(1 |
(2 |
2)
1)
(2 |
..
..
..
.
.
.
( |
1)
2)
(k |
k)
(1 |
(2 |k )
= 0.
..
.
(k |k )
(6.30)
143
n0 )(n0 |) = (n |),
(n |
n = 1, 2, .
(6.31)
n0
6.3.2
Matriks
:=
[]
1 ) (1 |
2)
(1 |
1 ) (2 |
2)
(2 |
..
..
..
.
.
.
(n |1 ) (n |2 )
..
..
..
.
.
.
n)
(1 |
n)
(2 |
..
.
n)
(n |
..
.
..
.
..
.
(6.32)
Un0 1 n0
n0
Un0 2 n0
n0
..
. =
..
.
..
.
..
.
..
.
Un0 n n0
n0
..
. =
..
.
..
.
..
.
..
.
(6.33)
144
(n0 |
Un000 n n000 |
Un00 n0 n00 )
n
n000
n00
n00 )
Un000 n Un00 n0 (n000 |
n000 ,n00
Unn
000 (n000 |n00 )Un00 n0
n000 ,n00
Unn
000 (n000 |n00 )Un00 n0 ,
n000 ,n00
karena U uniter. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wakilan matriks opera relativ terhadap basis { 0 , 0 , 0 , } dapat diperoleh dari wakilan
tor
1
2
3
operator tersebut relatif terhadap basis {1 , 2 , 3 , } melalui persamaan
0 ] = U 1 []U,
(6.34)
dengan
0
] :=
[
0 ) ( 0 |
0)
(10 |
1
1
2
0 ) ( 0 |
0)
(20 |
1
2
2
..
..
..
.
.
.
0
0
0
0
(n |1 ) (n |2 )
..
..
..
.
.
.
0)
(10 |
n
0)
(20 |
n
..
.
0)
(n0 |
n
..
.
..
.
..
.
(6.35)
Orang dapat memilih matriks uniter U sedemikian rupa sehingga masingmasing vektor n0 anggota basis {10 , 20 , 30 , } merupakan swakeadaan
Dalam situasi demikian ini, matriks [
0 ] merupakan madari operator .
triks diagonal dan unsur-unsur diagonalnya merupakan swanilai-swanilai
Jadi, penyelesaian masalah swanilai bagi operator
setara
operator .
dengan proses pendiagonalan wakilan matriksnya melalui pemilihan matriks uniter U yang tepat.
sebuah operator yang memenuhi [f,
]
= 0. Jika matriks
Andaikan f
6.4. SOAL-SOAL
6.4
145
Soal-soal
1. Turunkanlah wakilan-wakilan matriks untuk masalah swanilai sebagaimana yang telah disajikan pada bagian 6.2.
2. Carilah swanilai dan swavektor dari matriks berikut
q p p
A = p q p !
p p q
(6.36)
matriks operator f!
sembarang dua operator yang bekerja pada suatu
5. Andaikan A dan B
ruang Hilbert dengan domain seluruh ruang Hilbert tersebut.
relatif
(a) Tunjukkanlah bahwa wakilan matriks operator A + B
terhadap suatu basis identik dengan jumlahan matriks antara wakilan
relatif terhadap
matriks operator A dan wakilan matriks operator B
basis tersebut!
relatif ter(b) Tunjukkanlah bahwa wakilan matriks operator AB
hadap suatu basis identik dengan jumlahan matriks antara wakilan
relatif terhadap
matriks operator A dan wakilan matriks operator B
basis tersebut!
(c) Bila suatu skalar, tunjukkanlah bahwa wakilan matriks bagi
operator A relatif terhadap suatu basis identik dengan perkalian
wakilan matriks operator A relatif terhadap basis tersebut dengan
skalar !
B]
relatif
(a) Tunjukkanlah bahwa wakilan matriks komutator [A,
terhadap suatu basis identik dengan komutator antara antara wakilan
relatif terhadap
matriks operator A dan wakilan matriks operator B
basis tersebut!
146
Bab 7
PENGKUANTUMAN
Unsere Gedichte sind in einer recht speziellen Sprache
geschrieben, der mathematischen Sprache, ...
und leider sind diese Gedichte nur in der originalen Sprache zu verstehen1 .
(Armand Borel)
Puisi-puisi kita ditulis dalam bahasa yang sangat khusus, yakni bahasa matematik,
. . . dan sayang sekali bahwa puisi-puisi tersebut hanya dapat dipahami dalam bahasa
aslinya.
147
148
BAB 7. PENGKUANTUMAN
ka kuantum dapat dipandang sebagai dua pengejawantahan yang berbeda keempat unsur tersebut. Dalam terminologi yang lebih mentereng,
mekanika kuantum dan mekanika klasik merupakan dua macam wakilan
yang berbeda bagi mekanika abstrak yang berisi keempat unsur itu. Berangkat dari cara pandang (keyakinan) semacam ini, baik para fisikawan
maupun matematikawan berusaha menghubungkan kedua wakilan tersebut. Terma menghubungkan ini hendaknya diartikan sebagai menyusun
suatu prosedur yang diharapkan mampu memainkan peran sebagai compiler di antara kedua macam wakilan itu (mekanika klasik dan kuantum).
Compiler ini diharapkan dapat menterjemahkan setiap objek klasik menjadi objek kuantum padanannya. Misalnya, operator Hermitean seperti apa
yang harus menjadi padanan bagi fungsi yang mewakili besaran tenaga total (fungsi Hamilton), operator Hermitean yang mana yang harus menjadi
padanan bagi fungsi-fungsi yang mewakili komponen-komponen momentum linier, dan lain sebagainya. Compiler yang diimpikan itu dinamakan
metode pengkuantuman.
CLASSICAL WORLD
QUANTUM WORLD
Sketsa 7.1 Pengkuantuman dapat juga dipahami sebagai upaya berpindah dari
dunia klasik ke dunia kuantum atau sebaliknya. (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh M.F. Rosyid)
149
7.1
Pengkuantuman Geometrik
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pengkuantuman erat kaitannya dengan penjodohan antara objek-objek klasik dengan objek-objek
kuantum. Masalah penjodohan secara matematis selalu direalisasikan
dalam bentuk pemetaan. Oleh karena itu pengkuantuman secara matematis dimodelkan dengan pemetaan.
Dalam satu bab terdahulu telah disebutkan bahwa dalam himpunan
yang beranggotakan semua fungsi riil yang diferensiabel pada ruang fase
klasik terdapat suatu perkalian tak asosiatif yang disebut kurung Poisson. Himpunan fungsi-fungsi riil itu disertai kurung Pisson merupakan
sebuah aljabar Lie yang disebut aljabar observabel klasik. Kurung Poisson ini di antaranya berperan dalam penggambaran perkembangan suatu
besaran fisis seiring dengan berjalanya waktu. Perkalian kurung Poisson
ini memenuhi tiga syarat untuk disebut sebagai perkalian Lie, yakni antisimetri, linier pada kedua faktor dan memenuhi identitas Jacobi.
Di lain pihak, tidak seperti kurung Poisson pada mekanika klasik, komutator bukan merupakan perkalian jika ia dibatasi hanya pada himpunan
150
BAB 7. PENGKUANTUMAN
yang beranggotakan seluruh operator yang Hermitean, sebab dapat dibuktikan dengan mudah bahwa komutator dari dua operator yang Hermitean
merupakan operator yang antihermitean :
1,
2 ] = [
1,
2 ].
[
(7.1)
Dari kuotasi di atas tampak jelas bahwa komutator diharapkan mampu berperan sebagai kurung Poisson dalam mekanika kuantum. Dalam
definisi berikut ini relasi istimewa antara kurung Poisson dan komutator
mendapatkan tempat tersendiri sebagai salah satu aksioma.
Andaikan M ruang fase klasik dan H suatu ruang Hilbert. Seperti sebelumnya, aljabar observable klasik hendak ditulis sebagai C (M, R) dan
aljabar observabel kuantum hendak ditulis sebagai SA(H). Untuk memudahkan pembicaraan kita anggap saja bahwa M = R2n . Pengkuantuman
kanonis atau masalah Dirac adalah pemetaan
: C (M, R) SA(H)
: f 7 f
2
P.B. dalam kuotasi ini kepanjangan dari Poisson Bracket = kurung Poisson.
(7.2)
151
Contoh :
Ditinjau suatu sistem fisis yang hidup dalam ruang satu dimensi. Ruang
fase klasik untuk sistem semacam itu adalah R2 . Andaikan (q, p) koordinat
kanonis pada ruang fase klasik tersebut. Bila sebagai ruang Hilbert diambil ruang L2 (R2 ) yang beranggotakan semua fungsi kompleks yang square
integrable pada R2 , maka himpunan operator SA(L2 (R2 )) beranggotakan
semua operator diferensial yang Hermitean. Pemetaan
f 7 f
(7.3)
152
BAB 7. PENGKUANTUMAN
p
f = f i~
p q
q p
p
(7.4)
memenuhi Q1, Q2, Q3 dan Q4, tetapi tidak Q5. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut : fungsi koordinat q dan momentum p oleh pemetaan
tersebut dijodohkan berturut-turut dengan operator
(7.5)
.
q
(7.6)
q = q + i~
dan
p = i~
A :=
p
(7.7)
:= + i p
B
q ~
(7.8)
dan operator
7.2. WAKILAN SCHRODINGER
153
7.2
7.2.1
Wakilan Schr
odinger
Wakilan posisi
Ditinjau sistem fisis dengan ruang fase klasik R2n yang dikoordinasi dengan
koordinat kanonis (q1 , , qn , p1 , , pn ). Sebagai ruang Hilbert diambil
ruang L2 (Rnq ) yang beranggotakan seluruh fungsi bernilai kompleks yang
square integrable pada ruang posisi Rn disertai dengan produk skalar
Z +
Z +
(, ) =
untuk setiap , L2 (Rnq ). Selanjutnya himpunan Q didefinisikan sebagai himpunan bagian dari aljabar klasik C (R2n , R) yang hanya memuat
fungsi-fungsi yang berbentuk
n
X
i=1
(7.10)
154
BAB 7. PENGKUANTUMAN
Dalam kaitan ini, setiap fungsi anggota Q disebut fungsi yang quantizable
(dapat dikuantumkan). Jadi, jika f terkuantumkan, maka terdapat n buah
fungsi i , (i = 1, 2, , n), dan yang kesemuanya tergantung pada koordinat q1 , , qn sedemikian rupa sehingga
f=
n
X
i pi + .
(7.11)
i=1
n
n
X
X
1
j
+
j
(7.12)
f = i~
2
qj
qj
j=1
j=1
,
qj
j = 1, 2, , n
j = 1, 2, , n.
(7.13)
(7.14)
y
1 y2
= 3,
y r
r
r
z
1 z2
= 3.
z r
r r
(7.16)
7.2. WAKILAN SCHRODINGER
155
1 r
1
.
+ 5 = i~
+
r r
r r
(7.17)
Hal ini bersesuaian dengan apa yang akan kita temukan nanti pada bagianbagian mendatang.
7.2.2
Wakilan momentum
Sekarang sebagai ruang Hilbert hendak diambil ruang L2 (Rnp ) yang beranggotakan seluruh fungsi bernilai kompleks yang square integrable pada ruang
momentum Rn disertai dengan produk skalar
Z +
Z +
)
(p1 , , pn )(p
1 , , pn )dp1 dp2 dpn , (7.18)
(,
=
(7.19)
i=1
n
n
X
X
f = + i~
+
j
2
pj
pj
j=1
(7.21)
j=1
156
BAB 7. PENGKUANTUMAN
,
pj
j = 1, 2, , n
(7.22)
dan
pj = pj ,
j = 1, 2, , n.
(7.23)
Sekali lagi, berdasarkan teorema Stone-von Neumann, himpunan yang beranggotakan operator-operator q1 , qn , p1 , , pn seperti yang diberikan
oleh pers.(7.22) dan pers.(7.23) merupakan himpunan yang lengkap. Jadi,
syarat Q5 pun terpenuhi.
7.2.3
Dinamika
Ditinjau sebuah sistem fisis dalam ruang fase klasik R6 dengan koordinat
kanonis (x, y, z, px , py , pz ). Andaikan di dalam ruang posisi R3r hadir potensial V (x, y, z). Baik dengan menggunakan transformasi BKS maupun dengan mekanisme pengkuantuman Borel diperoleh bahwa dinamika kuantum
bagi sistem fisis tersebut diatur oleh persamaan Schrodinger
i~
(7.24)
dengan massa sistem yang ditinjau. Jadi, operator yang mewakili fungsi
Hamilton H diberikan oleh
=
H
(7.25)
diberikan oleh
Dalam wakilan posisi H
2
= ~ 52 +V (x, y, z),
H
q
2
(7.26)
dengan
2
2
2
+
+
.
x2 y 2 y 2
Oleh karena itu persamaan Schrodinger di atas menjadi
52q =
i~
~2 2
(x, y, z, t) =
5q (x, y, z, t) + V (x, y, z)(x, y, z, t).
t
2
(7.27)
(7.28)
Pembahasan dinamika kuantum akan disajikan secara rinci dalam satu bab
tersendiri di belakang.
7.3. SOAL-SOAL
7.3
157
Soal-soal
158
BAB 7. PENGKUANTUMAN
Bab 8
WAKILAN SCHROEDINGER
LEBIH JAUH
Pada tahun 1926 E. Schrodinger mempublikasikan empat karya ilmiah secara berurutan yang masing-masing diberi judul Quantisierung als Eigenwertproblem. Di dalamnya, Schrodinger memperkenalkan apa yang dikenal
secara luas pada masa sesudahnya sebagai mekanika gelombang (Wellenmechanik). Dalam tinjauannya Schrodinger berangkat dari pandangan bahwa aras-aras tenaga elektron dalam suatu atom dapat diperlakukan sebagaimana fenomena gelombang tegak (standing wave)1 .
Istilah fungsi gelombang baru disebutkan oleh Schrodinger dalam artikel ke empat. Meskipun Schrodinger menafsirkan fungsi gelombang sebagai Gewichtsfunktion im Konfigurationsraum (fungsi bobot dalam ruang
konfigurasi) sedemikian rupa sehingga fungsi gelombang dapat dikaitkan
dengan pernik-pernik statistik, namun, sejatinya Schrodinger merupakan
penganut fanatis pandangan klasik yang lebih cenderung mengaitkan fungsi
gelombang dengan agihan (distribusi) massa ataupun muatan listrik dalam
ruang atau dengan besaran-besaran fisis yang lain semisal medan elektromagnetik.
Penafsiran statistik terhadap fungsi gelombang sebagai amplitudo peluang, yakni bahwa kuadrat nilai mutlak suatu fungsi gelombang pada suatu
titik dan pada suatu saat merupakan rapat peluang ditemukannya partikel
pada titik itu dan saat itu, berasal dari M. Born. Dalam artikel tahun 1926
1
159
160
Pemahaman Born akan peran fungsi gelombang sebagaimana yang disebutkan dalam kuotasi di atas sebagian besar sesuai dengan pemahaman
kita dewasa ini. Hanya saja, satu hal yang secara filosofis perlu mendapatkan kritikan adalah pandangan Born bahwa partikel-pertikel menentukan sendiri (walaupun dengan kebolehjadian) lintasan-lintasan yang hendak mereka tempuh. Perdebatan mengenai masalah ini bersama masalah2
Persepsi semacam ini bagi saya tidak memuaskan. Di sini, saya akan mencoba
memberikan penafsiran ketiga dan mengujinya pada peristiwa tumbukan. Oleh karena
itu saya bertolak dari catatan Einstein tentang perilaku medan gelombang dan kuantakuanta cahaya (foton, penulis); dia kurang lebih mengatakan bahwa gelombang ada
hanya untuk menunjukkan jalan bagi kuanta-kuanta cahaya dan dia dalam kaitan ini
berbicara tentang suatu medan roh halus. Medan ini menentukan peluang bahwa suatu kuanta cahaya, yang merupakan pembawa tenaga dan momentum, menempuh jalan
tertentu; tetapi medan itu sendiri tidak memiliki tenaga dan momentum. . . . Lintasanlintasan kuanta-kuanta cahaya (foton-foton) paling jauh hanya dapat ditentukan, sebab
tenaga dan momentum dibatasi oleh mereka. Selain itu, peluang bagi suatu lintasan
yang akan ditempuh ditentukan oleh agihan nilai fungsi . Orang dapat menyimpulkan
semacam paradoks kira-kira sebagai berikut : Gerakan dari partikel-partikel itu tunduk
pada hukum probabilitas, sedangkan peluang (probabilitas) itu sendiri menyebar sesuai
dengan hukum kausalitas.
161
masalah filosofis yang lain telah menghiasi pertemuan-pertemuan ilmiah
dan menguras perhatian para fisikawan dalam kurun waktu yang cukup
panjang. Perdebatan ini (yang dikenal sebagai debat Bohr-Einstein) sebenarnya merupakan cerminan perbenturan antara paham idealisme (N. Bohr
dkk.) melawan paham realisme (A. Einstein dkk.)
Mekanika gelombang secara historis merupakan prototipe awal mekanika
kuantum. Akan tetapi, bila orang berangkat dari prinsip-prinsip mekanika
kuantum sebagaimana yang telah dibeberkan pada bab 4, maka mekanika
gelombang dapat dipandang sebagai suatu realisasi dari mekanika kuantum.
Realisasi ini di kemudian hari lebih dikenal sebagai mekanika kuantum
dalam wakilan atau gambaran Schrodinger.
Gambar 8.1: Max Born (1882-1970), fisikawan Jerman. Dialah yang memiliki
andil paling besar dalam perkembangan penafsiran terhadap fungsi gelombang.
Penafsirannya terhadap fungsi gelombang sebagai amplitudo peluang telah membelokkan gagasan awal bahwa fungsi gelombang merupakan usikan suatu besaran
fisis yang dirambatkan sebagaimana gelombang elektromagnetik. (Foto diambil
dari situs www.-groups.dcs.st-and.ac.uk.)
Dalam bab ini akan dibahas lebih rinci lagi mekanika kuantum dalam
wakilan Schrodinger. Pembicaraan dibatasi pada lingkup sistem-sistem fisis
dengan ruang konfigurasi R3 , yakni ruang riil tiga dimensi dengan struktur
Euclid. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya
(pada akhir bab 7), ruang Hilbert untuk wakilan ini adalah L2 (R3 ) yang
162
beranggotakan semua fungsi terukur3 bernilai kompleks yang square integrable. Telah pula disebutkan bahwa dalam kategori wakilan Schrodinger
paling tidak terdapat dua macam wakilan yang setara, yakni wakilan posisi
dan wakilan momentum. Dalam bab ini pembahasan dititikberatkan pada
wakilan koordinat. Wakilan momentum dan interelasinya dengan wakilan
posisi dibahas seperlunya. Akan ditunjukkan pula bahwa mekanika kuantum wakilan Schrodinger merupakan suatu realisasi dari prinsip-prinsip
mekanika kuantum yang telah kita sajikan pada bab 4.
8.1
Wakilan Posisi
Dalam wakilan ini, berbagai informasi tentang partikel tak berspin (terutama nilai-nilai besaran fisis yang terkait) secara probabilistik dikandung oleh
fungsi gelombang, yakni suatu fungsi bernilai kompleks (r, t) yang gayut
pada posisi dan waktu. Jadi, dalam wakilan ini keadaan sistem diwakili oleh fungsi gelombang. Fungsi (r, t) disebut pula sebagai amplitudo
peluang. Sebutan ini mudah dipahami mengingat nilai
(r, t) := |(r, t)|2
(8.1)
SR
secara Lebesgue
Dalam hal ini SR adalah singkatan dari Seluruh Ruang, maksudnya, integrasi
dilakukan meliputi seluruh ruang.
4
163
|0 (r, t)|dxdydz
1/2
.
(8.6)
SR
~2 2
(r, t) =
5r (r, t) + V (r)(r, t),
t
2
(8.7)
dengan
52r =
2
2
2
+
+
.
x2 y 2 y 2
(8.8)
(8.9)
164
berlaku setiap saat bilamana sifat itu berlaku pada saat awal, yakni berlaku
untuk (r, 0). Bila ruas kiri persamaan (8.10) diturunkan terhadap waktu,
maka didapat
Z
Z
d
(r, t)
(r, t)
2
+
t
t
=
=
i~ 2
5r 52r
2
i~
5r [ 5r 5r ] .
2
(8.12)
165
d
2
|(r, t)| dxdydz =
|(r, t)|2 dxdydz
dt V
V t
Z
~
= 5r
{ 5r 5r } dxdydz.
2i
V
(8.15)
Karena persamaan terakhir ini berlaku untuk sembarang wilayah yang yang
diselubungi oleh permukaan tertutup A, maka dapat disimpulkan bahwa
~
|(r, t)|2 + 5r
( 5r 5r ) = 0.
(8.16)
t
2i
Bila didefinisikan medan vektor
~J(r, t) := ~ ( 5r 5r ) ,
2i
(8.17)
(8.18)
8.1.1
(8.19)
Jadi, jika h anggota C (R3r , R), maka h = h(r) = h(x, y, z) dan h dapat diturunkan
terus-menerus terhadap peubah x, y ataupun z tanpa batas.
5
166
3
3
X
X
j
1
1
f = i~
+
= i~( 5 ~ + ~ 5), (8.20)
j
2
xj
xj
2
j=1
j=1
(r)
[(r)]
(r)dxdydz
(8.21)
SR
SR
(8.23)
Dengan demikian ruas suku ketiga ruas kanan pers.(8.22) dapat ditulis
menjadi
Z
Z
i~
(r)~ 50 (r)dxdydz = i~
~ 5[ (r)0 (r)]dxdydz +
SR
Z SR
i~
[~ 5 (r)]0 (r)dxdydz.(8.24)
SR
167
(8.25)
diperoleh
Z
Z
0
~
~
5 [ (r)0 (r)]dxdydz
(r) 5 (r)dxdydz = i~
i~
SR
SR
Z
~ 0 (r)dxdydz
(r)[5 ]
+i~
SR
Z
[~ 5 (r)]0 (r)dxdydz.
+i~
SR
(8.26)
Suku pertama ruas kanan persamaan terakhir ini lenyap berdasarkan teorema Gauss dan fakta bahwa 0 lenyap di . Bila pers.(8.26) disubtitusikan ke pers.(8.22), maka didapatkanlah
Z
Z
(r)f (r)dxdydz =
[(r)] 0 (r)dxdydz
SR
SR
Z
1
~ 0 (r)dxdydz
+i~
(r)[5 ]
2 SR
Z
+i~
[~ 5 (r)]0 (r)dxdydz. (8.27)
SR
diberikan oleh
x
= x.
(8.29)
168
(8.30)
(8.31)
(8.32)
= i~ i
p
+j
+k
= i~ 5 .
(8.33)
x
y
z
di atas dapat
Selanjutnya, dengan ungkapan-ungkapan untuk r dan p
ditunjukkan bahwa [
x, px ] = [
y , py ] = [
z , pz ] = i~ dan [
x, py ] = [
x, pz ] =
= [
z , py ] = 0. Semua relasi tersebut juga dapat diperoleh secara langsung dari syarat Q4 pada definisi pengkuantuman sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam bab pengkuantuman sebab {xi , pj } = ij .
8.1.2
Andaikan partikel yang ditinjau berada pada keadaan yang diwakili oleh
(r, t) pada saat t. Karena (r, t)dxdydz = |(r, t)|2 dxdydz merupakan
peluang didapatinya partikel di sekitar titik dengan posisi r pada saat t,
maka (r, t) tidak lain adalah fungsi kerapatan peluang X bagi variable
acak X(r) = r. Akibatnya nilai rerata pengukuran posisi partikel diberikan
oleh
Z
Z
<r>=
(r, t)r(r, t)dxdydz =
r|(r, t)|2 dxdydz. (8.34)
SR
SR
169
(r) observabel klasik tersebut, maka tentulah terdapat operator yang Her yang merupakan fungsi dari operator r, yakni (r). Berdasarkan
mitean
teori probabilitas (lihat misalnya di [PaPi]) nilai rerata observabel oleh
karena itu diberikan oleh
Z
Z
r)(r, t)dxdydz.
<> =
(r)|(r, t)|2 dxdydz =
(r, t)(
SR
SR
(8.35)
Untuk tiga observable x (r), y (r) dan z (r) yang membentuk medan
~
~
vektor (r)
= x (r)i + y (r)j + z (r)k, nilai rerata observable vektor
diberikan oleh
Z
Z
2
~
SR
SR
Z
z (r)|(r, t)|2 dxdydz.
+k
(8.36)
SR
Perilaku < > terhadap waktu dapat dilihat dengan menurunkan ungkapan (8.35) terhadap t, sehingga diperoleh
Z
d
<> =
(r)
|(r, t)|2 dxdydz
dt
t
SR
Z
dxdydz
=
(r)
t
SR
Z
=
(r)
5 ~J dxdydz
ZSR
Z
=
5 [(r)~J] dxdydz +
[5(r)] ~J dxdydz
SR
SR
Z
=
[5(r)] ~J dxdydz,
(8.37)
SR
yakni karena 5[(r)~J] meluruh menuju nol cukup cepat di . Oleh karena
~
itu untuk observable vektor (r)
berlaku
Z
Z
d
~ > = i
<
[5x (r)] ~J dxdydz + j
[5y (r)] ~J dxdydz
dt
SR
SR
Z
+k
[5z (r)] ~J dxdydz.
(8.38)
SR
~
Khususnya, jika (r)
= r, maka
d
<r>=
dt
Z
SR
~J dxdydz.
(8.39)
170
=
5 dxdydz
SR
i
(8.40)
atau
d
<r>=
dt
SR
~
5 dxdydz.
i
(8.41)
Dapat ditunjukkan (lihat soal-soal di akhir bab ini!) bahwa laju perubahan
nilai rerata momentum memenuhi kaitan Ehrenfest
Z
d
<p> =
(r, t) 5 V (r, t)dxdydz = < 5V > = < F >,
dt
SR
(8.43)
dengan V adalah tenaga potensial yang mempengaruhi partikel melalui
medan gaya konservatif F. Dalam hal ini diharapkan pula berlakunya
hukum kelestarian rerata tenaga total
Z
< H > = < T > + < V >= < T > +
(r, t)V (r)(r, t)dxdydz.
SR
(8.44)
Akan tetapi kita belum mengetahui cara mengungkapkan rerata < H >
dan < T > dengan fungsi gelombang. Dari pers.(8.7) didapatkan
Z
Z
~2 2
(8.45)
171
Dapat ditunjukkan bahwa kedua ruas persamaan terakhir ini tidak gayut
pada waktu. Oleh karena itu suku pertama ruas kanan dapat diidentikkan
dengan rerata tenaga kinetik < T >. Jadi,
Z
<T >
=
ZSR
=
(r, t)
~2 2
5 (r, t)dxdydz
2
(8.46)
SR
dengan T =
~2 2
2 5r .
Secara umum bila (r, p) observabel klasik yang diwakili oleh operator
maka nilai rerata pengukuran observabel terhadap sistem
differensial ,
fisis yang berada dalam keadaan diberikan oleh
Z
<>=
(r, t)(r,
t)dxdydz = ((t)|(t)).
(8.47)
SR
8.1.3
(8.48)
Suku kinetik T ditentukan menurut T = p2 /(2), dengan massa partikel tersebut. Oleh karena itu Hamiltonan sistem di atas dapat dituliskan
sebagai
p2
H(p, r, t) =
+ V (r, t).
(8.49)
2
Sedang, secara kuantum operator Hamiltonan diberikan oleh
= T + V ,
H
(8.50)
172
yang dalam wakilan posisi diberikan oleh (lihat kembali subbagian 7.2.3)
2
= ~ 52 +V (x, y, z, t).
H
r
2
(8.51)
Dari persamaan (8.49) maupun (8.51) terlihat bahwa ciri khas suatu sistem
fisis lebih ditentukan oleh bentuk suku potensialnya sebab suku kinetik suatu Hamiltonan merupakan bentuk baku yang tetap bentuknya dari satu
sistem ke sistem fisis yang lain (selagi masih dalam tinjauan nonrelativistik).
Ditinjau persamaan Schrodinger
i~
(r, t)
= H(r,
t).
t
(8.52)
1 d(t)
1
=
H(r).
(t) dt
(r)
(8.53)
Ruas kanan persamaan terakhir ini hanya gayut pada posisi sedangkan ruas
kirinya hanya gayut pada waktu. Oleh karena itu kedua ruas tentulah suatu
tetapan. Bila tetapan ini disebut E, maka diperolehlah sistem persamaan
differensial yang saling bebas (tidak terkopling) :
d(t)
= E(t)
dt
H(r)
= E(r).
i~
(8.54)
(8.55)
(8.56)
(8.57)
173
Jawaban bagi persamaan ini tergantung dari bentuk Hamiltonan H. Sedan tergantung sistem kuantum yang dihadapi.
gkan bentuk Hamiltonan H
8.1.4
Demi mendapatkan gambaran yang agak kongkrit tentang apa yang telah
dijelaskan pada bagian-bagian yang lalu, hendak ditinjau suatu sistem fisis yang berupa sebuah zarah bebas bermassa yang hidup dalam ruang
konfigurasi tiga dimensi. Hamiltonan atau tenaga total zarah semacam itu
diberikan oleh
p2x + p2y + p2z
p2
H=
=
,
(8.59)
2
2
dengan p = px i + py j + pz k momentum linier zarah tersebut. Dalam koordinat kartesius wakilan posisi operator momentum linier diberikan oleh
= i~5 = i~ i
p
+j
+k
.
(8.60)
x
y
z
Oleh karenanya operator hamiltonan zarah bebas itu adalah
~ 2
2
2
p
=
H=p
+
+
.
2 x2 y 2 z 2
(8.61)
Jadi, untuk sistem fisis yang tersusun oleh sebuah zarah bebas kita memiliki
masalah swanilai
~ 2 2 2
+
+
= E,
(8.62)
2 x2
y 2
z 2
dengan = (x, y, z). Andaikan k suatu tetapan sedemikian rupa sehingga
E=
~2 k 2
.
2
(8.63)
174
(8.64)
Selanjutnya, diandaikan bahwa (x, y, z) dapat dituliskan dengan pemisahan peubah menurut (x, y, z) = X(x)Y (y)Z(z). Bila ungkapan terakhir
ini disubtitusikan ke dalam pers.(8.64), maka didapatlah
1 d2 X
1 d2 Y
1 d2 Z
+
+
= k 2 .
X dx2
Y dy 2
Z dz 2
Persamaan terakhir ini semakna dengan persamaan berikut
1 d2 X
1 d2 Y
1 d2 Z
2
=k +
+
.
X dx2
Y dy 2
Z dz 2
(8.65)
(8.66)
Sementara ruas kiri persamaan terakhir ini hanya tergantung pada x, ruas
kanannya tergantung pada peubah y dan z. Oleh karena itu kedua ruas itu
tentu merupakan tetapan. Bila tetapan ini disebut kx2 , maka diperolehlah
dua persamaan
1 d2 X
= kx2
2
X
dx
1 d2 Z
1 d2 Y
2
+
= kx2 .
k +
Y dy 2
Z dz 2
(8.67)
(8.68)
1 d2 Z
1 d2 Y
=
.
2
Z dz
Y dy 2
(8.69)
Ruas kiri persamaan terakhir ini gayut hanya pada z, sedangkan ruas kanan
gayut hanya pada y. Oleh karena itu kedua ruas tentulah merupakan suatu
tetapan yang hendak disebut sebagai ky2 . Jadi,
1 d2 Y
Y dy 2
1 d2 Z
k 2 kx2 +
Z dz 2
= ky2
(8.70)
= ky2 .
(8.71)
1 d2 Z
.
Z dz 2
(8.72)
175
Jika kz2 suatu tetapan yang didefinisikan oleh kz2 := k 2 kx2 ky2 , maka
didapatlah persamaan
1 d2 Z
= kz2 .
Z dz 2
(8.73)
(8.74)
(8.75)
dengan A tetapan-tetapan. Bagian X+ := A+ exp(ikx x) memiliki kaitan dengan gelombang yang merambat ke arah sumbu-x positif, sedangkan
X := A exp(ikx x) berkaitan dengan gelombang yang merambat ke arah
sumbu-x negatif. Dengan cara serupa diperoleh
Y (y) = B+ exp(iky y) + B exp(iky y)
(8.76)
(8.77)
Bila yang diperhatikan hanyalah gelombang yang merambat ke arah sumbux, sumbu-y dan sumbu-z positif, maka
(x, y, x) = X+ Y+ Z+ = A+ B+ C+ exp(ik r),
(8.78)
dengan k = kx i + ky j + kz k.
Karena ketergantungan pada k, maka selanjutnya fungsi gelombang
(x, y, z) hendak ditulis sebagai k (r), yakni
k (r) = N exp(ik r).
(8.79)
dengan
Fungsi gelombang k (r) merupakan swafungsi bagi operator H
2
2
swanilai Ek = ~ k /2. Fungsi k (r) juga merupakan swafungsi opera dengan swanilai pk = ~k. Perhatikanlah bahwa Ek hanyalah gayut
tor p
pada |pk | = pk (bukan pada pk sendiri). Oleh karena itu dua swanilai pk
berkaitan dengan swanilai tenaga Ek yang sama
dan pk0 dari operator p
bila |pk | = |pk0 |. Secara geometris himpunan semua swanilai dari operator
176
(8.80)
dengan
k2
~.
(8.81)
2
Fungsi k (r, t) mewakili gelombang datar yang menjalar dengan laju v =
/k ke arah yang ditunjukkan oleh vektor k. Tetapan N ditentukan dengan
memberlakukan syarat
Z
0
0
|N |2 ei(k k)r dxdydz = (k0 k),
(8.82)
(k |k ) =
=
SR
(k0
dengan
k) adalah fungsi delta-Dirac. Syarat seperti ini menuntut
3/2
N = (2)
. Jadi,
k (r, t) = (2)3/2 exp[i(k r t)],
(8.83)
p
p
] = 0 maka {H,
} membentuk himpunan lengkap
Karena berlakunya [H,
beranggotakan obeservable-observable yang komutatif satu dengan yang
lain. Oleh sebab itu, setiap fungsi gelombang (r, t) bagi zarah bebas
dapat dituliskan sebagai kombinasi linear dari k (r), yakni
Z
(r, t) =
(k,
t)k (r)dkx dky dkz
(8.84)
SR
Z
= (2)3/2
(k,
t) exp[ik r]dkx dky dkz .
SR
(k,
t) = (2)3/2
(r, t) exp[ik r]dxdydz.
(8.85)
SR
Fungsi (k,
t) dalam pers.(8.85) tentu dapat pula dipandang sebagai produk skalar
(k,
t) = (k |(t)),
(8.86)
karena {k |k R3p } merupakan himpunan ortonormal lengkap (eksternal).
8.2
177
(8.87)
Dengan andaian semacam ini, maka setiap fungsi gelombang (r, t) dapat
dituliskan sebagai
Z
(r, t) =
r0 ,t %r0 (r)d3 r0 ,
(8.88)
SR
(8.89)
SR
Bila persamaan terakhir ini dibandingkan dengan pers.(8.88), maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa fungsi gelombang tidak lain merupakan
koefisien kombinasi linier relatif terhadap basis eksternal {%r0 |r0 R3r } yang
tersusun atas swafungsi-swafungsi operator posisi, yakni bahwa
(r, t) = r,t = (%r |(t)).
(8.91)
178
(8.93)
p (r) = pp (r),
p
(8.94)
Sekarang berlaku
untuk setiap p R3p . Oleh karena itu, persamaan (8.84) dapat ditulis
menjadi
Z
(r, t) =
(p,
t)p (r)d3 p
SR
Z
3/2
= (2~)
(p,
t) exp[ip r/~]d3 p,
(8.95)
SR
dengan
(p,
t) = (p |(t)) = (2~)3/2
(8.96)
SR
6
Subskrib r dan p muncul agar tidak ada kerancuan antara yang berada pada ruang
konfigurasi dan ruang momentum. Ruang momentum R3p adalah ruang Euclid tiga dimensi yang dikoordinasi dengan (px , py , pz ) untuk membedakan dari ruang konfigurasi
R3r yang dikoordinasi dengan (x, y, z).
179
|(p,
t)|2 d3 p merupakan nilai peluang mendapatkan hasil ukur momentum
di sekitar p bila partikel berada dalam keadaan yang diwakili oleh fungsi
8.2.1
Wakilan Momentum
= (p p ).
(8.97)
(8.98)
mom (p, t) :=
p
(i~ 5r (r, t)) exp[ip r/~]d3 r
(2~)3/2 SR
Z
1
=
(i~) 5r ((r, t) exp[ip r/~])d3 r
(2~)3/2 SR
Z
1
= p(p, t),
(8.99)
180
rmom (p,
t) = i~ 5p (p,
t),
(8.100)
+j
+k
.
px
py
pz
(8.101)
(p, t)
<p>=
p|(p,
t)|2 d3 p =
pmom (p,
t)d3 p.
(8.104)
SR
SR
Bila (p) besaran klasik yang tergantung hanya pada momentum linier
maka tentu saja besaran ini dapat dikuantumkan dalam wakilan momen mom = (p). Menurut teori probabilitas,
tum. Hasilnya adalah operator
8.3. SOAL-SOAL
181
(p, t)
mom (p,
(p)|(p,
t)|2 d3 p =
t)d3 p. (8.105)
<>=
SR
SR
Sebagai contoh adalah tenaga kinetik T yang secara klasik diberikan oleh
ungkapan T = p2 /(2) = (pp)/(2), dengan massa zarah yang ditinjau.
Operator Tmom yang mewakili besaran ini memenuhi persamaan
pp
Tmom (p,
t) =
(p, t),
2
(8.106)
|(p, t)|2 d3 p =
t)d3 p. (8.107)
<T >=
2
SR
SR
Dapat pula ditunjukkan bahwa rerata pengkukuran posisi diberikan oleh
Z
(p, t)rmom (p,
<r>=
t)d3 p.
(8.108)
SR
mom rerata
Secara umum untuk observabel O yang diwakili oleh operator O
pengukurannya diberikan oleh
Z
(p, t)O
mom (p,
mom (t)).
<O>=
t)d3 p = ((t)|
O
(8.109)
SR
8.3
Soal-soal
dan
V
d
< px > = <
>=< Fx >,
dt
x
(8.110)
d
V
< py > = <
>=< Fy >,
dt
y
(8.111)
d
V
< pz > = <
>=< Fz > .
dt
z
(8.112)
182
Bab 9
Dalam bab ini akan dibahas sistem-sistem fisis yang hidup dalam ruang konfigurasi berdimensi satu dan memiliki suku potensial V yang bebas
waktu dan sederhana, dalam artian, masih dimungkinkan adanya penyelesaian secara analitik. Dengan pembatasan-pembatasan di atas, operator
hamiltonan diberikan oleh
2
2
= ~ + V (x).
H
2 x2
(9.1)
183
184
9.1
Partikel Bebas
Dalam sistem fisis ini, partikel hidup dalam pengaruh potensial V (x) = 0
di mana-mana. Oleh karena itu
2
2
= ~ ,
H
2 x2
(9.2)
~2 2
(9.3)
2
2 (x) dx
(t) dt
Ruas kiri persamaan (9.4) gayut hanya pada variabel posisi x, sedang ruas
kanannya gayut hanya pada variabel waktu t. Oleh karenanya, kedua
ungkapan itu (ruas kiri dan ruas kanan pers.(9.4)) haruslah merupakan
tetapan. Bila tetapan ini dituliskan sebagai ~, maka diperolehlah dua
persamaan diferensial biasa :
d
= i
dt
(9.5)
dan
d2 2
+
= 0.
dx2
~
Penyelesaian umum persamaan (9.5) adalah
(t) = Ceit ,
(9.6)
(9.7)
dengan C tetapan yang ditentukan sesuai keperluan. Agar sederhana, tanpa mempengaruhi hasil keseluruhan, dipilihlah C = 1. Kemudian, hendak
dipilih tetapan yang riil sehingga (x, t) = (x) (t) periodik terhadap
perubahan waktu dan (x, t) stasioner, yakni |(x, t)|2 bebas waktu. Tetapan juga harus positif karena hal ini menjamin positifitas swanilai tenaga
kinetik (yang memang selalu positif). Untuk menyingkat penulisan, maka
didefinisikan tetapan k dengan
2
= k2 .
~
(9.8)
185
(9.9)
(9.10)
(9.11)
(9.12)
(9.13)
Sejauh tidak ada alasan khusus (syarat batas misalnya), maka orang
dibolehkan memilih salah satu dari kedua gelombang itu. Kesimpulannya
adalah
(x, t) = N ei(kxt) ,
(9.14)
186
dengan
2
~
~k
~J =
|N |2 i.
k2 =
E = ~,
= |N |2 ,
(9.15)
~2 k 2
.
2
(9.16)
~k
p
=
i.
(9.17)
Yang terakhir ini tentu saja tidak identik dengan kecepatan fase dari gelombang (x, t) sebab vf = /k = E/p = v/2 dengan v = |v|. Yang benar,
kecepatan partikel identik dengan kecepatan grup gelombang yang besarnya
diberikan oleh
d
dE
vgr =
=
= v.
(9.18)
dk
dp
9.2
Dalam bagian ini, ditinjau suatu partikel yang berada dalam pengaruh
potensial V (x), dengan
0 untuk |x| a
(9.19)
V (x) =
untuk |x| > a.
Boleh dikatakan bahwa partikel tersebut terkukung dalam suatu sumur
potensial sebab dengan tenaga kinetik seberapapun partikel itu tidak dapat
menembus dinding potensial yang tingginya tak terhingga. Jadi, partikel
terlarang memasuki wilayah x < a ataupun x > a. Hal ini mengandung
arti bahwa peluang ditemukannya partikel pada kedua wilayah itu nol atau
fungsi gelombang pada kedua wilayah itu lenyap. Oleh karena itu yang
perlu diperhatikan adalah penyelesaian di wilayah a x a. Tetapi
di wilayah ini partikel tidak dipengaruhi gaya (potensial) apapun, yakni
merupakan partikel bebas. Dalam hal ini berlaku syarat batas (a) =
187
(a) = 0 sebab fungsi gelombang harus kontinyu. Ada lagi yang harus
dipenuhi, yakni bahwa fungsi gelombang (x) sebagai anggota dari ruang
Hilbert L2 (R) harus ternormalkan. Dari pers.(9.10) dan syarat batas di
atas didapatkan sistem persamaan linier homogen
Aeika + Beika = 0,
Aeika + Beika = 0,
(9.20)
dengan variabel yang dicari A dan B. Persamaan tersebut akan memberikan jawaban tidak sepele (yakni A dan B tidak semuanya lenyap) jika
ika
e
eika
2
(9.21)
eika eika = 0 atau sin (ka) = 0.
6
6
V
=0
=0
Sketsa 9.1 Sumur Potensial Takterhingga (Sketsa ini dirancang dan digambar
oleh M.F.Rosyid)
n
2a
n = 1, 2, 3, .
(9.22)
Nilai k = 0 juga memenuhi persyaratan di atas, hanya saja nilai ini menghalangi normalisasi. Jadi, k = 0 tidak dipakai. Berdasarkan pers.(9.16),
syarat bagi nilai k semacam ini berimbas pada syarat swanilai tenaga, yakni
188
bahwa nilai-nilai tenaga yang dibolehkan untuk dimiliki oleh partikel tersebut diberikan oleh
~2 2 2
En =
n .
(9.23)
8a2
E4 = 16E1
E3 = 9E1
E2 = 4E1
=0
=0
E1
a
Sketsa 9.2 Aras-aras Tenaga Dalam Sumur Potensial Takterhingga (Sketsa ini
dirancang dan digambar oleh M.F.Rosyid)
189
(9.26)
n = 2, 4, .
(9.27)
(x) =
n (x) := A sin(kn x) = A sin
,
n (x) = sin
2a
a
+
Swafungsi ganjil +
n (x) tidak tergantung dari tanda n, artinya n (x) =
+
da n, yakni
n (x) = n (x). Tetapi baik n (x) maupun n (x) mewakili swakeadaan yang sama karena kedua swafungsi itu berbeda hanya oleh
tetapan 1. Oleh karena itu, secara keseluruhan, tidak menjadi persoalan
jika indeks n diambil yang positif saja.
n = 1,
E1 =
n = 2,
E2 = 4E1
n = 3,
E3 = 9E1
n = 4,
E4 = 16E1
1
x
1 (x) = cos
2a
a
1
x
+
2 (x) = sin
a
a
1
3x
3 (x) = cos
2a
a
1
2x
.
+
4 (x) = sin
a
a
(9.28)
(9.29)
(9.30)
(9.31)
190
9.3
0
U
untuk x < 0
untuk x 0.
(9.32)
Daerah I
Daerah II
~ 2 d 2 1
= E1 .
2 dx2
(9.33)
Pada wilayah ini tenaga total yang dimiliki oleh partikel seluruhnya adalah
tenaga kinetik. Kemudian didefinisikan suatu tetapan k1 sebagai
2E
= k12 ,
~2
(9.34)
191
(9.35)
(9.36)
+ (U E)2 = 0
(9.37)
2 dx2
Sekarang, didefinisikan tetapan k2 menurut
2(E U )
= k22 ,
~2
(9.38)
(9.39)
(9.40)
,
1 (x) = Be
di wilayah I dan
ik2 x
+
2 (x) = Ce
192
(9.41)
(9.42)
k2
C.
k1
(9.43)
dan
1 k2 /k1
B
=
.
A
1 + k2 /k1
(9.44)
|~J+
2|
+
|~J |
dan
R=
|~J
1|
,
+
|~J |
(9.45)
~
~+
dengan ~J+
1 , J1 dan J2 berturut-turut merupakan rapat arus peluang untuk
+
+
gelombang 1 (x),
1 (x) dan 2 (x). Dengan mudah dapat dihitung bahwa
~k1 2
|A| i,
~k1
=
|B|2 i
~k2 2
=
|C| i.
~J+ =
1
(9.46)
~J
1
(9.47)
~J+
2
(9.48)
193
dan
1 k2 /k1 2
.
R =
1 + k2 /k1
(9.50)
9.4
Getaran Selaras
Getaran selaras satu dimensi adalah sistem fisis yang memiliki potensial
kuadratik
1
Vosc (x) = 2 x2 ,
(9.52)
2
dengan suatu tetapan positif yang disebut frekuensi sudut dan massa partikel yang terlibat dalam getaran selaras yang ditinjau. Potensial
semacam ini dalam prakteknya menjadi penting sebab potensial semacam
ini merupakan pendekatan bagi potensial sembarang V (x) di sekitar titiktitik setimbang stabil lokal (kalau ada), yakni titik-titik tempat berlakunya
dua syarat berikut :
dV
=0
dx
dan
d2 V
> 0.
dx2
(9.53)
dV
1 d2 V
|x=xs (x xs ) +
|x=xs (x xs )2 + .
dx
2 dx2
(9.54)
194
Jika xs suatu titik setimbang stabil lokal dan suku pangkat tiga keatas
diabaikan, maka didapatlah
1 d2 V
(9.55)
|x=xs (x xs )2 .
2 dx2
Selanjutnya, transformasi koordinat x 7 x0 = x xs menghasilkan ungkapan
1 d2 V
2
V (x0 + xs ) = V (xs ) +
|x=0 x0 .
(9.56)
2 dx2
V (x) = V (xs ) +
V
6
V (x)
xs
V (xs )
Sketsa 9.4 Potensial di sekitar titik setimbang stabilnya (Sketsa ini dirancang
dan digambar oleh M.F.Rosyid)
Kemudian V (xs ) diatur sebagai titik nol2 bagi potensial V dan V (x0 + xs )
hendak ditulis saja sebagai V (x0 ). Oleh karena itu didapatkanlah ungkapan
V (x) =
2
1 d2 V
|x=0 x2 .
2 dx2
(9.57)
Hal semacam ini dimungkinkan karena tenaga potensial tidak memiliki nilai nol mutlak (Lihat misalnya [Gol])
195
Karena d2 V /dx2 |x=0 > 0, maka terdapat bilangan riil yang memenuhi
persamaan
1 d2 V
|x=0 = 2 .
dx2
Jadi, pada daerah di sekitar titik setimbang stabilnya, potensial V (x) dapat
dituliskan sebagai
1
V (x) = 2 x2 ,
(9.58)
2
yang tidak lain adalah potensial untuk getaran selaras.
Persamaan swanilai tenaga untuk getaran selaras dalam wakilan posisi
oleh karena itu dapat dituliskan sebagai
2 2
= ~ d + 1 2 x2 = E.
H
2 dx2
2
(9.59)
(9.60)
Karena potensial Vosc tidak terbatas di atas, maka secara klasik gerak
getaran itu terbatas. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa swanilai tenaga getaran selaras bersifat diskret. Masalah swanilai ini hendak
diselasaikan dengan cara rekursi maupun cara aljabar.
9.4.1
Cara Rekursi
Mula-mula didefinisikan suatu satuan panjang x0 , sedemikian rupa sehingga koordinat x dapat dituliskan sebagai x = x0 dengan tidak berdimen
si3 . Dengan menuliskan (x) sebagai (x) = (),
diperolehlah ungkapanungkapan
d
1 d
=
(9.61)
dx
x0 d
dan
d2
1 d2
=
.
dx2
x20 d 2
(9.62)
Untuk bagian ini tanda tidak diartikan sebagai transformasi Fourier dari .
196
= 0.
d 2
~2
~2
(9.63)
= 2 ,
d
d2
d
= 2 + 2
= (2 + 42 2 ).
2
d
d
(9.66)
()
= g() exp( 2 /2).
(9.67)
Darinya didapat
d
dg
=
g exp( 2 /2),
d
d
2
d2
d g
dg
2
+ ( 1)g exp( 2 /2)
=
2
d 2
d 2
d
dan persamaan differensial untuk g
d2 g
dg
2
+ ( 1)g = 0.
2
d
d
(9.68)
(9.69)
(9.70)
197
Kita hendak menyelesaikan persamaan diferensial ini dengan metode rekursi. Mula-mula diandaikan bahwa g dapat ditulis sebagai deret
g() =
an n .
(9.71)
n=0
X
dg X
=
nan n1 =
(l + 1)al+1 l
d
n=0
(9.72)
l=0
dan
X
d2 g X
l1
=
l(l
+
1)a
=
(m + 1)(m + 2)am+2 m .
l+1
d 2
(9.73)
m=0
l=0
(9.74)
n=0
2n + 1
an .
(n + 2)(n + 1)
(9.75)
(9.76)
X
X
X
1 2n
1
=
n =
bn n ,
n!
(n/2)!
n genap
n=0
n=0
(9.77)
198
an n
dan
gga () =
n genap
(9.79)
X
an n
(9.80)
n ganjil
(n0 + 1)n0
an0 +1 .
2
(9.81)
Demikian juga suku-suku an0 3 , an0 5 , , a1 pun tentu saja juga lenyap.
Akibatnya,
g() = gge () = a0 + a2 2 + + an0 n0 .
(9.82)
Jika n0 ganjil, maka dengan alasan yang serupa diperoleh
g() = gga () = a1 + a3 3 + + an0 n0 .
(9.83)
199
dengan n = 0, 1, 2, . Ini tidak lain adalah persamaan differensial Hermite dengan g() = Hn () (Lihat kembali bagian 4.1). Oleh karena itu,
penyelesaian persamaan (9.65) yang telah dinormalkan diberikan oleh
1
2
n () = p
exp( /2)Hn (),
n
2 n!
p
( = x /~ = x/x0 )
(9.85)
1
En = (1/2)~ = (n + )~.
2
(9.86)
Vosc (x) = 21 x2
E6
E5
E4
E3
E2
E1
Sketsa 9.5 Sketsa Aras-aras Tenaga Getaran Selaras (Sketsa ini dirancang dan
digambar oleh M.F.Rosyid)
200
[n ()] d
[n ()] dx = x0
[n ()]2 d = x0 .
= x0
x0
(9.87)
Oleh sebab itu swakeadaan-swakeadaan yang ternormalkan untuk masalah
swanilai (9.59) diberikan oleh
1
1
x2
q
n (x) = (x/x
)
=
exp(
)Hn (x/x0 ),
0
x0
2x20
2n n! x0
(9.88)
untuk n = 0, 1, 2, .
9.4.2
Cara Aljabar
Dalam bagian ini hendak diselesaikan masalah swanilai tenaga getaran selaras melalui cara yang sifatnya aljabar. Cara ini perlu disajikan berhubung
peran penting yang nantinya akan dimainkan (terutama dalam masalah
banyak partikel dan teori medan kuantum) oleh beberapa operator yang
muncul dalam pembahasan semacam ini.
Mula-mula didefinisikan operator a
sebagai
a
= x
+ i
p,
(9.89)
dengan dan tetapan riil yang akan dipilih kemudian. Dengan mudah
diperoleh adjoin dari a
sebagai
a
= x
i
p.
(9.90)
1
(
a a
),
2i
(9.91)
x
=
1
(
a +a
).
2
(9.92)
dan
Komutator [
a , a
] pun dapat segera dihitung. Hasilnya (lihat soal-soal 9.5)
diberikan oleh
[
a, a
] = 2~.
(9.93)
201
Dengan ungkapan-ungkapan ini, operator Hamiltonan getaran selaras dapat dituliskan sebagai
2
2
= 1 (
a
)
+
(
a +a
)2
H
82
8 2
2
2
1
1
2
2
=
((
a ) +a
)+
(
a a
+a
a
).
+
8 2
82
8 2
82
(9.94)
Sejauh ini tetapan dan belum ditentukan. Kedua tetapan ini hendaknya
dipilih sedemikian rupa sehingga didapat ungkapan-ungkapan yang sesederhana mungkin. Tetapan dan hendak dipilih sedemikian rupa sehingga
[
a, a
] = 1 dan suku pertama ungkapan untuk operator Hamiltonan pada
persamaan (9.94) lenyap. Hal ini mengharuskan
=
1
2~
dan
2 =
2
.
2
(9.95)
Penyelesaiannya adalah
r
=
1
2~
r
dan
.
2~
(9.96)
Terlihat ada empat alternatif. Namun, yang akan dipakai hanyalah dan
yang bertanda positif. Dengan demikian Hamiltonan getaran selaras dapat
ditulis lebih sederhana lagi,
= ~ (
H
a a
+a
a
).
2
(9.97)
(9.98)
Jika swanilai tenaga ditulis E := ~, maka masalah swanilai untuk getaran
selaras ini menjadi
1
a
a
= ( ).
(9.99)
2
:= a
merupakan operator hermitan (mengaDefinisikan N
a
. Operator N
pa?). Persamaan (9.99) menyatakan bahwa setiap swavektor bagi Hamil dan sebaliknya. Oleh
tonan juga merupakan swavektor bagi operator N
.
karena itu, kita cukup mencari swanilai dan swakeadaan bagi operator N
202
(9.100)
Dari komutator
, a
[N
] = a
dan
, a
[N
] = a
,
(9.101)
didapatkan
n = (n + 1)
a
, a
a n
N
n = [N
]n + a
N
(9.102)
dan
a
N
n = (n 1)
an .
(9.103)
Terlihat bahwa a
n dan a
n merupakan swakeadaan bagi operator N
dengan swanilai berturut-turut n + 1 dan n 1. Oleh karena itu
a
n = (tetapan)n+1 = c+ n+1
(9.104)
a
n = (tetapan)n1 = c n1 .
(9.105)
dan
Andaikan n untuk setiap n telah dinormalkan. Maka didapatkan
n ) = n = (c n1 |c n1 ) = |c |2 .
(
an |
an ) = (n |
a a
n ) = (n |N
(9.106)
Jika kemudian dipilih tetapan yang riil dan positif, maka c = n dan
a
n = n n1 .
(9.107)
Dengan cara yang serupa didapat
a
n =
n + 1 n+1 .
(9.108)
a
2 n = n 1 n n2 .
(9.109)
Bila perlakuan di atas diulangi terus, maka didapatkan
a
3 n =
n 2 n 1 n n3 ,
a
4 n =
n 3 n 2 n 1 n n4 ,
..
..
..
..
.
.
.
.
k
a
n =
n k + 1 n 3 n 2 n 1 n nk
..
..
..
..
.
.
.
.
(9.110)
203
a
n n = 1 2 n 3 n 2 n 1 n 0
(9.111)
sebab
a
a
n n = a
n+1 n =
1 2 n 3 n 2 n 1 n 1 = 0. (9.112)
(9.113)
n = 0, 1, 2, .
(9.114)
Karena
n = ~(N
+ 1 )n = ~(n + 1 )n ,
(9.115)
H
2
2
n juga merupakan swakeadaan bagi operator Hamiltonan dengan swanilai
1
En := (n + )~.
2
(9.116)
(9.117)
1
d
x+i
(i~)
0 (x) = 0
(9.118)
2~
2~
dx
204
atau
d0
+
x0 = 0.
dx
~
Jawaban umum bagi persamaan diferensial ini adalah
0 (x) = A exp(
x2
),
2x20
(9.119)
(9.120)
p
dengan x0 = ~/ dan A tetapan yang harus dihitung sebagai tetapan
normalisasi. Tetapan ini besarnya diberikan oleh
A=
1
.
1/4 x0
(9.121)
Jadi,
0 (x) =
1
x2
exp( 2 ).
1/4 x0
2x0
(9.122)
2 d
0 (x)
1 (x) = a
0 (x) =
x x0
dx
2x0
2
2
(
a )2
1
1
2 d
2 (x) = 0 (x) =
x x0
0 (x)
dx
2
2
2x0
..
..
..
..
.
.
.
.
n
n
1
(
a )n
1
2 d
n (x) = 0 (x) =
x x0
0 (x).(9.123)
dx
2x0
n!
n!
Dari ungkapan (9.122) untuk 0 (x), swafungsi n (x) dapat ditulis secara
lebih eksplisit sebagai
n
1
x2
2 d
n (x) =
exp(
).
(9.124)
x
0
dx
2x20
1/4 2n n!xn0 x0
Bila didefinisikan sebagaimana sebelumnya, yakni = x/x0 , maka didapatkan
1
d n
n (x) =
exp( 2 /2)
d
1/4 2n n! x0
1
d n
2
2
exp( 2 /2)
=
exp( /2) exp( /2)
1/4
n
d
2 n! x0
1
2
=
(9.125)
exp( /2)Hn (),
1/4
2n n! x0
9.5. SOAL-SOAL
205
dengan
d
Hn () = exp( /2)
d
2
n
exp( 2 /2).
(9.126)
dn
exp( 2 ).
d n
(9.127)
Ini tidak lain adalah polinom Hermite. Jadi diperoleh penyelesaian sebagaimana penyelesaian yang didapat dari cara terdahulu.
9.5
Soal-soal
206
Bab 10
KESETANGKUPAN
Kesetangkupan atau simetri memiliki saham yang tak kecil dalam perkembangan ilmu fisika. Jejak-jejak perannya dapat ditemukan pada kristalografi, teori kuantum, fisika partikel dan lain sebagainya, baik peran fundamental maupun komputasional. Dirac sendiri telah meyakini dan menggantungkan harapannya sebagaimana kuotasi berikut ini [Roc] :
It is the essential beauty of the theory which
I feel is the real reason in believing in it.
This must dominate the whole future development of physics.
Istilah simetri berasal dari bahasa Yunani Kuno. Makna kata simetri
sendiri telah sungguh-sungguh mengalami perubahan yang cukup jauh dari
makna aslinya selama kurun waktu dua milenium. Bahkan sedemikian rupa
sehingga banyak artian teknisnya yang tidak lagi dimengerti oleh umumnya orang-orang Yunani sendiri. Kata simetri dapat berarti proporsional,
harmoni dan keindahan bentuk. Dalam geometri, Euclid memakai kata
symmetrical yang memiliki persamaan makna dengan yang dikandung
oleh kata sepadan. Kata simetri diperkenalkan dalam aljabar pada akhir
abad ke delapan belas dalam artian invariansi dari suatu fungsi terhadap
pertukaran koefisien-koefisien dalam persamaan-persamaan tertentu. Andrian Legendre (1752-1833) sekali lagi memperkenalkan simetri dalam
geometri sebagai simetri reflektif dan timbal-balik antara dua bangun. Selanjutnya, gabungan serta perluasan kedua pengertian inilah yang mendominasi perkembangan makna istilah simetri dalam matematika dan fisika
[Roc].
207
208
10.1
Transformasi keadaan dari suatu sistem adalah pemetaan dari suatu ruang keadaan sistem itu ke dirinya sendiri. Oleh suatu transformasi suatu
keadaan dibawa ke sebuah keadaan yang lain. Korespondensi ini merupakan korespondesi satu-satu. Andaikan S suatu ruang keadaan bagi suatu
sistem. Suatu transformasi oleh karena itu merupakan pemetaan T : S S
dari ruang S ke S. Pemetaan ini dapat pula ditulis sebagai
T
s1 s2 ,
(10.1)
dengan s1 , s2 S. Dua transformasi keadaan dapat dikomposisikan sehingga didapatkan suatu transformasi kedaan sesuai dengan komposisi fungsi
berikut :
T 0 T := T 0 T : S S
(10.2)
atau
T 0T
s1 s3
(10.3)
s1 s2 s3
bila
T0
s2 s3 .
(10.4)
(10.5)
209
s2 s1 ,
(10.7)
jika
T
s1 s2 .
(10.8)
Oleh karena itu berlaku T T 1 = T 1 T = I. Dengan sifat-sifat itu, himpunan T (S) yang beranggotakan semua transformasi dari S ke dirinya
sendiri membentuk suatu struktur aljabar yang disebut grup.
Grup yang beranggotakan semua transformasi pada suatu himpunan
boleh dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya konsep grup abstrak [Wey].
Sebuah grup adalah suatu himpunan G yang di dalamnya ada (atau dapat
didefinisikan) perkalian (penjumlahan) sedemikian rupa sehingga keempat
syarat berikut ini dipenuhi :
1. Untuk sembarang g1 dan g2 anggota himpunan G, berlaku bahwa
g1 g2 juga merupakan anggota G.
2. Perkalian atau penjumlahan tersebut bersifat asosiatif, yakni untuk
sembarang g1 , g2 dan g3 anggota himpunan G, berlaku g1 (g2 g3 ) =
(g1 g2 )g3 .
3. Di dalam himpunan G terdapat sebuah anggota e yang istimewa
sedemikian rupa sehingga eg = ge = g untuk setiap g G. Unsur istimewa e ini disebut unsur identitas.
4. Untuk setiap g anggota himpunan G terdapat secara tunggal sebuah
anggota dari himpunan G, ditulis g 1 , sedemikian rupa sehingga
gg 1 = g 1 g = e. Unsur g 1 disebut invers dari g.
10.2
Ruang keadaan bagi suatu sistem merupakan ruang abstrak yang tidak
dapat diakses langsung oleh pengamatan. Sementara itu ruang kongkrit
210
yang assesible bagi pengamatan adalah apa yang disebut ruang konfigurasi,
yaitu himpunan yang memuat semua posisi yang mungkin bagi sistem atau
penyusun-penyusun sistem. Setiap transformasi pada ruang konfigurasi secara paralel akan disertai oleh transformasi di ruang keadaan. Metafora
pewayangannya : ruang konfigurasi adalah alam mayapada sedangkan ruang keadaan adalah khayangan njonggling saloka, setiap huru-hara di alam
mayapada selalu berimbas pada situasi di khayangan.
Oleh karena itu perlu pula dibicarakan transformasi pada ruang konfigurasi. Dalam bagian ini kita akan membahas beberapa transformasi yang
penting, yaitu pergeseran (translasi), perputaran (rotasi) dan campuran.
Sebagaimana yang kita lakukan pada bagian-bagian yang telah lalu,
ruang nyata tiga dimensi R3r hendak dikoordinasi secara kartesius dengan
persumbuan yang saling tegak lurus : sumbu-x, sumbu-y dan sumbu-z.
Artinya, tiap titik dalam ruang konfigurasi ini hendak ditengarai dengan
tiga bilangan nyata yang disusun dalam bentuk (x, y, z) atau dalam bentuk
matriks kolom
x
y
(10.9)
z
atau dengan vektor posisi r = xi + yj + zk dengan i, j dan k berturut-turut
merupakan vektor-vektor satuan ke arah sumbu-x, sumbu-y dan sumbu-z.
10.2.1
Pergeseran keruangan
(10.10)
x
x + ax
y 7 y + ay .
(10.11)
z
z + az
Pergeseran yang baru saja didefinisikan merupakan pergeseran aktif dalam
artian bahwa titik atau sistem digeser dari posisi lama r ke posisi baru r0
yang letaknya ditunjukkan oleh vektor a relatif terhadap posisi awal. Jenis pergeseran yang lain adalah pergeseran pasif. Untuk transformasi jenis
211
10.2.2
Perputaran
Ditinjau sebuah zarah yang terletak di suatu titik dalam ruang konfigurasi
dengan vektor posisi r = xi + yj + zk. Bila zarah tersebut diputar sejauh
(infinitisimal) memutari sumbu yang berimpit dengan vektor satuan
n = nx i + ny j + nz k sedemikian rupa sehingga arah perputaran dan vektor
n memenuhi kaidah putar kanan. Maka diperolehlah posisi yang baru dari
zarah menurut
~ r,
r 7 r0 = r +
(10.12)
~ := n.
dengan
C
C
C I
Q
kQ r
Q
C
Q
(
((((
C (
(
(
C(
C
C
C
r
r0
C
C
COC
n C
C
C
C
C
~ = n (Sketsa ini dirancang dan
Sketsa 10.1 Rotasi infinitisimal sejauh
digambar oleh M.F.Rosyid)
212
1
z y
1
x
R(; n) = z
(10.14)
y x
1
disebut matriks rotasi infinitisimal.
Contoh :
Jika n = k, maka sumbu rotasi adalah sumbu-z dan x = y = 0 serta
z = . Oleh karena itu
1 0
1
0 .
R(; k) =
0
0
1
(10.15)
1 0
x
x y
x0
y 0 =
1
0 y = y + x .
0
0
0
1
z
z
z
(10.16)
Untuk perputaran sejauh yang finit, vektor posisi yang baru diperoleh
melalui persamaan
x0
R11 R12 R13
x
y 0 = R21 R22 R23 y ,
z0
R31 R32 R33
z
(10.17)
213
dengan
0
z y
X
1
z
0
x
=
n!
n=0
y x
0
Contoh :
Jika n = k, maka matriks R(; k) diberikan oleh
0
X
1
0
R(; k) = =
n!
n=0
0 0
1 2!1 2 +
= 3!1 3
0
cos sin
= sin cos
0
0
n
0
0
0
+ 3!1 3 +
1 2!1 2 +
0
0
0 .
1
(10.19)
0
0
1
0
x cos y sin
x
cos sin 0
x
y 0 = sin cos 0 y = x sin + y cos . (10.20)
z
z0
0
0
1
z
Dengan perhitungan yang relatif mudah dilakukan, dapat ditunjukkan
bahwa transformasi perputaran melestarikan produk sekalar antara dua
buah vektor : jika r1 dan r2 dua buah vektor sedemikian rupa sehingga
hasil perputarannya berturut-turut r01 dan r02 , maka berlaku r1 r2 = r01 r02 .
Akibatnya, berlakulah bahwa
R(; n)R(; n)T
(10.21)
214
(10.22)
Setiap transformasi linier dalam ruang R3r dapat disajikan dalam bentuk
(diwakili oleh) matriks yang determinannya tidak lenyap atau matriks yang
memiliki invers. Oleh karena itu transformasi rotasi atau perputaran hendak diperluas batasannya sebagai semua transformasi linier yang sajian
matriksnya memenuhi persamaan sebagaimana yang dipenuhi oleh matriks
R diatas (pers.(10.21)). Matriks-matriks yang memenuhi persamaan itu
disebut matriks ortogonal. Himpunan semua perputaran dalam ruang riil tiga dimensi (oleh karenanya) termuat dalam himpunan semua matriks
ortogonal O(3). Himpunan O(3) disertai dengan perkalian matriks meruR
1
pakan sebuah grup yang dikenal sebagai grup ortogonal. Andaikan r
r0
R
2
rotasi yang diwakili oleh matriks O1 dan r0 r00 rotasi yang diwakili oleh
R2 R1 0
matriks O2 . Maka rotasi r
r diwakili oleh matriks O2 O1 . Grup ini
termasuk ke dalam golongan grup Lie (lihat bagian 10.4!).
Oleh karena itu tidak setiap anggota O(3) mewakili perputaran dalam
artian keseharian. Sementara itu himpunan semua perputaran dalam artian keseharian disertai komposisi pemetaan juga membentuk sebuah grup.
Grup ini disebut grup SO(3) atau grup ortogonal khusus. Ini adalah himpunan semua matriks ortogonal yang memiliki determinant 1.
Unsur-unsur dari grup O(3) yang tidak mewakili perputaran dalam ruang riil adalah matriks-matriks dengan determinan 1. Matriks-matriks
ini mewakili transformasi dalam ruang R3r yang dikenal sebagai rotasi tak
wajar. Sebagai contoh, matriks
1 0 0
0 1 0
(10.23)
0 0 1
merupakan anggota dari O(3) yang tidak mewakili perputaran dalam artian
keseharian. Matriks ini mewakili pencerminan terhadap bidang XY.
Perlu juga ditekankan di sini, untuk setiap vektor (tidak harus vektor
posisi) komponen-komponennya akan mengalami transformasi sebagaimana
yang dialami oleh vektor posisi. Jadi, kalau A = Ax i+Ay j+Az k sembarang
215
vektor
vektor, maka oleh rotasi yang diwakili oleh matriks ortogonal O,
tersebut mengalami transformasi menjadi
0
Ax
Ax
O11 O12 O13
A0y = O21 O22 O23 Ay .
(10.24)
0
Az
O31 O32 O33
Az
Yang barusan kita bahas adalah perputaran aktif, yakni perputaran yang
langsung dilakukan terhadap sistem fisis. Adapun perputaran pasif adalah
perputaran yang dilakukan terhadap sistem koordinat. Perputaran aktif
bersesuaian dengan perputaran aktif dengan arah yang berlawanan. Karena kita telah memilih kaidah tangan kanan untuk menentukan arah positif
pada perputaran aktif, maka arah positif pada perputaran pasif ditentukan
berdasarkan kaidah tangan kiri.
10.2.3
Campuran
(10.25)
(10.26)
(10.27)
216
didefinisikan oleh
[R(; n)|Ta ] [R(0 ; n0 )|Tb ] = [R(; n)R(0 ; n0 )|TR(0 ;n0 )(a)+b ]
(10.28)
10.3
10.3.1
dt q
q
217
(10.30)
=1
(10.32)
Jadi, jika sistem fisis invarian terhadap pergeseran ruang, maka momentum
linier sistem p bersifat lestari.
Isotropi ruang
Isotropi ruang berarti invariansi terhadap perputaran ruang. Ditinjau sebuah zarah yang hidup dalam ruang riil tiga dimensi sebagai ruang konfigurasi. Dalam hal ini, n = 3 dan q 1 = x, q 2 = y serta q 3 = z. Ditinjau
~ r, dengan
~ = n. Setiap vektor dalam ruang
rotasi r 7 r0 = r +
akan terotasi menurut cara serupa dengan yang dialami oleh r. Oleh karena
itu, kecepatan zarah v akan tertransformasi menurut
~ v.
v 7 v0 = v +
(10.33)
L
xi +
vi
xi
vi
= 0.
(10.34)
218
(10.35)
~ v.
v = vx i + vy j + vz j =
(10.36)
dan
Karena L/xi = dpi /dt (lihat kembali persamaan Euler-Lagrange), maka
pers.(10.34) semakna dengan
dp ~
dp
~
~
( r) + p ( v) = r
+vp
dt
dt
~ d (r p) = 0
(10.37)
=
dt
atau
dL
= 0,
dt
Yaitu, kelestarian momentum sudut.
(10.38)
Homogenitas waktu
Homogenitas waktu berarti invariansi terhadap pergeseran waktu. Dalam
hal ini hukum fisika bagi sistem yang tertutup pada suatu saat t sama
dengan hukum fisika pada saat t + t0 . Jika dilakukan pergeseran waktu
t 7 t0 = t + t, maka Lagrangan sistem berubah sebesar
L =
L
t.
t
(10.39)
(10.40)
=1
=1
=1
(10.41)
n
X
=1
Padahal
E :=
!
L
q
L = 0.
q
n
X
=1
L
L
q
219
(10.42)
(10.43)
merupakan tenaga total sistem mekanis yang ditinjau. Oleh karena itu
pers.(10.42) menyatakan kelestarian tenaga total sistem.
10.3.2
Homogenitas ruang
Ditinjau suatu keadaan dari suatu sistem kuantum yang diwakili oleh fungsi
gelombang (r, t). Jika sistem kuantum tersebut digeser sejauh a, maka
(masih dengan sistem koordinat yang lama) akan didapat keadaan baru
yang diwakili oleh, katakanlah (r, t) sedemikian rupa sehingga berlaku
0 (r + a, t) = 0 (Ta r, t) = (r, t).
(10.44)
z
6
0 (r, t)
:
3
r0
a
(r, t)
HH
H
r HH
j
- y
x
Sketsa 10.2 Fungsi gelombang (r, t) suatu partikel yang digeser sejauh a dalam
ruang konfigurasi. Hasilnya adalah 0 (r, t) = (ra, t). Perlu diperhatikan bahwa
tinggi fungsi gelombang dalam sketsa ini tidak diukur terhadap sumbu-z. (Sketsa
ini dirancang dan digambar oleh M.F. Rosyid)
220
(10.45)
(10.46)
(10.47)
(a)(r, t) = 0 (r, t) = (r a, t)
U
(10.48)
maka
atau
Bila a = ~
infinitisimal, maka dengan penderetan Taylor di sekitar r
didapat
(r ~
, t) = (r, t) ~
5(r, t) +
~
i
( 5)(r, t) +
= (r, t) ~
~
i
i
(r, t) + .
= (r, t) ~
p
~
(10.49)
(10.50)
(~
). Dengan mudah dapat ditunjukkan
Oleh karena itu U
) = (I ~i ~
p
bahwa U (~
) merupakan operator yang uniter. Dalam kaitan ini, operator
disebut pembangkit pergeseran ruang.
momentum linier p
(a), dengan pergeseran a yang finit, maGuna mendapatkan operator U
ka a harus dipotong-potong menjadi segmen-segmen a/N yang ukurannya
sekecil mungkin (hal ini sama artinya dengan membuat bilangan asli N
sebesar mungkin). Dengan demikian diperoleh operator-operator pergeser (a/N ), bila N menuju ke tak terhingga. Operator U
(a)
an infinitisimal U
diperoleh sebagai limit
N
N
i
i a
.
= lim I
p
= exp a p
U (a) = lim U (a/N )
N
N
~N
~
(10.51)
221
(r, t) = H(r,
t),
t
(10.52)
0
0 (r, t).
(r, t) = H
t
(10.53)
Lalu, syarat apa sajakah yang harus dipenuhi agar persamaan terakhir ini
berlaku? Dengan mudah dapat dibuktikan bahwa
i~
0
(a)H
U
(a)0 (r, t).
(r, t) = U
t
(10.54)
U
(10.55)
atau
(a), H]
= 0.
[U
(10.56)
= 0. Oleh sebab
Persamaan terakhir ini berlaku jika dan hanya jika [
p, H]
itu, syarat agar suatu sistem kuantum invarian terhadap pergeseran adalah
ke-komutatif-an operator momentum linier dengan operator Hamiltonan
secara eksplisit
sistem kuantum tersebut. Selanjutnya, karena operator p
tidak gayut pada waktu, maka
d
i
] > = 0.
< p > = < [H,
p
dt
~
(10.57)
Jadi, invariansi sistem kuantum terhadap pergeseran ruang berakibat kelestarian nilai harap momentum linier. Inilah versi kuantum dari teorema
Noether untuk pergeseran ruang.
222
Isotropi ruang
Dalam bagian ini hendak ditinjau dua kasus : perputaran ruang untuk
fungsi gelombang skalar dan fungsi gelombang vektor.
sumbu putar
*
HH
H
0 (r, t)
H
HH
HH
H
@
I
H
@
@
@
@
r@
r0 = r + n r
n
6
@
@
@
(r, t)
O
Sketsa 10.3 Fungsi gelombang (r, t) suatu partikel yang diputar sejauh
memutari sumbu yang berimpit dengan vektor satuan n dalam ruang konfigurasi.
Hasilnya adalah 0 (r, t) = (r n r, t). (Sketsa ini dirancang dan digambar
oleh M.F. Rosyid)
(10.58)
~ r.
r = r0 r =
(10.59)
dengan
223
(10.60)
(10.61)
Selanjutnya, dengan penderetan yang dipotong hanya pada suku berderajad satu, didapat
~ r) 5(r, t)
0 (r, t) = (r, t) (
i ~
(r, t)
= (r, t) (
r) p
~
i ~
=
I
L (r, t).
~
(10.62)
~ diberikan oleh
()
Oleh karena itu operator U
~ = I i
~ L.
()
U
~
(10.63)
disebut pembangkit
Dalam kaitan ini operator momentum sudut orbital L
~ merupakan operator uniter.
()
perputaran ruang. Operator U
~ untuk perputaran finit
~ = n diperoleh dengan cara
()
Operator U
yang serupa dengan yang dipergunakan pada pergeseran finit. Operator
~ diberikan oleh
()
U
~ = exp i
~L
()
U
(10.64)
~
Agar 0 (r, t) memenuhi persamaan Schrodinger sebagaimana fungsi gelombang oleh (r, t), haruslah
~ H]
(),
= 0.
[U
(10.65)
H]
= 0. Jadi, agar sistem kuantum
Hal ini semakna dengan berlakunya [L,
yang ditinjau invarian terhadap perputaran, maka Hamiltonannya harus
komut dengan momentum sudut orbital. Selanjutnya, diperoleh pula kelestarian nilai rerata momentum sudut
d
i
< L > = < [H,
L] > = 0.
dt
~
(10.66)
224
1 (r, t)
~
(r,
t) = 2 (r, t) .
(10.67)
3 (r, t)
t).
(10.68)
n)1 r, t) = (r
(10.69)
~ r. Berdasarkan pembahasan sebelumya
dengan r =
i ~ ~
~ r, t) = (r,
~ r, t) = (r
~
~
L)(r, t).
(r
t) (
~
(10.70)
t) (
L)(r, t) +
t),
~
(10.71)
~
~ L
(r,
~
dengan suku
t) diabaikan. Sekarang kita hendak memper~
~
hatikan suku (r, t). Bila dituliskan perkomponen diperoleh
~ (r,
~
[
t)]i =
3
X
ijk j k
(10.72)
j,k=1
3
X
j,k=1
i
( )(i~ijk )j k
~
3
i X
j (Sj )ik k ,
~
j,k=1
1
Contoh paling familier zarah yang keadaan-keadaan kuantumnya diwakili oleh fungsi
gelombang vektor adalah foton yang memenuhi persamaan Maxwell. Contoh lainnya
adalah meson vektor yang memenuhi persamaan Proca. Lihat selanjutnya di [Rd].
2
~
Rotasi R(; n) pada ruas kanan diperlukan karena fungsi gelombang (r,
t) sebagai
vektor juga mengalami perputaran.
225
dengan (Sj )ik = i~ijk adalah unsur matriks Sj . Dari persamaan terakhir
ini didapatkan
~ (r,
~
t) =
3
X
i=1
i ~ ~
~ (r,
~
[
t)]i ei = (
S)(r, t),
~
(10.73)
0 0 0
S1 = i~ 0 0 1
0 1 0
(10.74)
(10.75)
0 0 1
S2 = i~ 0 0 0
1 0 0
(10.76)
0 1 0
S3 = i~ 1 0 0
0 0 0
(10.77)
i , yakni [L
i, L
j ] =
sebagaimana
yang dipenuhi oleh momentum sudut L
P
k . Karena Si tak gayut pada variabel keruangan dan memenuhi
i~ k ijk L
disebut momentum sudut
aturan komutasi untuk momentum sudut, maka S
j ] = 0. Akibatnya, kita
intrinsik atau spin. Karena itu, maka berlaku [Si , L
dapatkan
X
i + Si ), (L
j + Sj )] = i~
k + Sk ).
[(L
ijk (L
(10.79)
k
:= L+
S
sebagai momentum sudut total, maka operator
Bila didefinisikan J
~ diberikan oleh
()
uniter U
~ = I i
~ J.
()
U
~
(10.80)
226
~ operator U
~ diberikan oleh
()
Untuk rotasi finit
i~
~
U () = exp J .
~
(10.81)
H]
=
Sebagaimana sebelumnya, invariansi terhadap rotasi menghendaki [J,
0 dan rerata < J > lestari.
10.4
Dari yang telah dipaparkan dalam bab ini jelaslah kiranya betapa penting
peran yang dimainkan oleh kesetangkupan untuk mempelajari suatu sistem
fisis. Dari kesetangkupan itulah dapat disimpulkan sifat-sifat sistem fisis
tersebut. Karena setiap kesetangkupan berpadanan dengan sebuah grup
(disebut grup setangkup dari sistem fisis yang terkait), maka peran yang
dimainkan oleh teori grup pun setara dengan yang dimainkan oleh kesetangkupan. Jadi, sifat-sifat sistem fisis dapat disimpulkan dari sifat-sifat
yang dimiliki oleh grup setangkupnya.
10.4.1
Grup Lie
Secara teknis matematis, grup Lie didefinisikan sebagai suatu manifold licin
yang memiliki struktur grup sedemikian rupa sehingga struktur differensialnya kompatibel dengan struktur grup tersebut. Bagi sebagian pembaca batasan yang sangat teknis seperti ini boleh jadi dirasakan sebagai
hambatan dalam upaya memahami fitur-fitur bermanfaat yang ditawarkan
oleh grup Lie. Namun, definisi yang lebih longgar berikut ini sering sangat
membantu para pembaca yang mengalami kesulitan : grup Lie adalah grup
yang unsur-unsurnya bervariasi secara kontinyu (tidak diskret)3 , yakni suatu grup yang unsur-unsurnya dapat dilabeli dengan beberapa parameter
riil yang kontinyu. Jumlah parameter riil menunjukkan dimensi dari grup
Lie yang bersangkutan. Walaupun jauh untuk dikatakan tepat, namun
batasan kasar semacam ini seringkali sangat membantu dalam memahami
konsep grup Lie. Beruntung pula bahwa semua grup Lie yang muncul dalam
3
Oleh karena itulah, di kalangan fisikawan, grup Lie disebut juga grup kontinyu. Bagi
para matematikawan, terma grup kontinyu memiliki pengertian tersendiri. Setiap grup
Lie merupakan grup kontinyu, tetapi tidak sebaliknya.
227
pembicaraan ini kecuali grup pergeseran ruang dan waktu merupakan grup
linier. Artinya, mereka adalah grup yang beranggotakan matriks-matriks.
Oleh karena itu, kalau hanya berbekalkan batasan kasar di atas, lebih baik
untuk menyebutkan satu-persatu grup Lie yang relevan dengan pokok pembahasan kita :
Andaikan gl(2, C) himpunan semua matriks kompleks 2 2. Himpunan Gl(2, C) := {A gl(2, C) : det(A) 6= 0} disertai perkalian
matriks dikenal sebagai grup linier umum kompleks 2 2. Jadi, grup linier umum kompleks 2 2 beranggotakan semua matriks
kompleks 2 2 yang memiliki invers.
Andaikan gl(3, R) himpunan semua matriks riil 3 3. Himpunan
Gl(3, R) := {A gl(3, R) : det(A) 6= 0} disertai perkalian matriks
dikenal sebagai grup linier umum riil 3 3. Jadi, grup ini beranggotakan seluruh matriks riil 3 3 yang mempunyai invers.
Himpunan U (2) := {A Gl(2, C) : A = A1 } yang beranggotakan
semua matriks uniter 2 2 disertai dengan perkalian matriks biasa
merupakan sebuah grup yang dikenal sebagai grup uniter U (2).
Matriks-matriks riil berukuran 33 yang ortogonal disertai perkalian
matriks merupakan sebuah grup yang telah diperkenalkan didepan
sebagai grup ortogonal O(3). Jadi, O(3) := {A Gl(3, R) : AT =
A1 }.
Matriks-matriks kompleks anggota dari U (2) yang memiliki nilai determinant 1 disertai perkalian matriks merupakan sebuah grup yang
dinamakan grup uniter khusus SU (2). Secara singkat, SU (2) :=
{A U (2) : det A = 1}.
Demikian juga dengan himpunan SO(3) := {A O(3) : det A =
1}, disertai dengan perkalian matriks merupakan sebuah grup yang
dikenal sebagai grup ortogonal khusus.
10.4.2
Aljabar Lie
Andaikan A suatu ruang vektor (boleh kompleks ataupun riil). Suatu hasil
kali atau produk yang didefinisikan pada himpunan A disebut perkalian
Lie jika semua syarat-syarat berikut ini dipenuhi
228
Gambar 10.1: Sophus Lie (1842-1899), matematikawan kelahiran Nordfjordeide, Norwegia. Namanya diabadikan atas jasanya dalam pengembangan teori grup
transformasi kontinyu (kiri). Hermann Weyl (1885-1955), matematikawan kelahiran Hamburg, Jerman. Memberikan sumbangan besar dalam applikasi teori grup
(grup Lie) dalam mekanika kuantum (kanan). (Foto diambil dari situs www.groups.dcs.st-and.ac.uk.)
1. Antisimetri : a b = b a, untuk semua a, b A,
2. Linier pada kedua faktor :
a (b + c) = a b + a c
(10.82)
(b + c) a = b a + c a,
(10.83)
dan
untuk semua skalar , dan semua a, b, c A,
3. Identitas Jacobi : a (b c) + b (c a) + c (a b) = 0, untuk semua
a, b, c A.
Dapat ditunjukkan dengan mudah bahwa syarat pertama dari batasan di
atas setara dengan syarat : aa = 0 untuk setiap a. Sedangkan syarat ketiga menyatakan ketidakassosiatifan perkalian Lie. Ruang vektor A disertai
dengan perkalian Lie disebut aljabar Lie.
Konsep aljabar Lie menjadi penting karena untuk setiap grup Lie (oleh
karena itu terkait juga dengan simetri atau kesetangkupan suatu sistem
fisis bila grup Lie yang ditinjau merupakan grup setangkup bagi sistem
fisis tersebut) terdapat suatu aljabar Lie yang khas untuk masing-masing
229
grup Lie sedemikian rupa sehingga sifat-sifat sebuah grup Lie dicerminkan
oleh sifat-sifat aljabar Lie dari grup Lie tersebut [Ste]. Dengan demikian
kesetangkupan suatu sistem fisis pun dapat juga disimpulkan dari sifatsifat aljabar Lie dari grup simetri sistem fisis tersebut. Apa yang telah
dibicarakan di muka menunjukkan fitur semacam ini.
H
HH
H
HH
a
1
H
HH
YH
H
H
HH
HH
e
H
a
HH
A
H
HH
a2
H
HH
H
HH
HH
H
Sketsa 10.4 Aljabar Lie A yang berpadanan dengan grup Lie G merupakan
ruang vektor singgung pada unsur identitas e dari grup G. (Sketsa ini dirancang
dan digambar oleh M.F. Rosyid)
Menurut geometri differensial aljabar Lie dari suatu grup Lie adalah
ruang singgung pada unsur identitas dari grup Lie tersebut (lihat Sketsa
10.4). Oleh karena itu aljabar Lie merupakan linierisasi dari grup Lie di
sekitar unsur identitasnya. Unsur-unsur suatu grup Lie (paling tidak di
sekitar unsur identitasnya) dapat diperoleh dari unsur-unsur aljabar Lie
yang berpadanan dengan grup itu melalui fungsi eksponensial. Sebagai
contoh adalah apa yang telah ditunjukkan oleh pers.(10.18).
Bila A sebuah matriks berukuran n n, maka eksponensial dari A,
ditulis sebagai exp(A), didefinisikan sebagai matriks yang diberikan oleh
X Aj
exp(A) =
.
(10.84)
j!
j=0
230
< t < .
(10.85)
Khusus untuk grup-grup yang memiliki sifat topologis tertentu, setiap unsur dari grup-grup tersebut dapat didapatkan dari unsur-unsur aljabar Lie
yang berpadanan dengan grup Lie tersebut. Hal ini tercermin dari teorema
berikut
Teorema 10.4.2 Bila suatu grup Lie linier G tersambung dan kompak,
maka setiap unsur g dari G dapat dituliskan sebagai eksponensial dari beberapa unsur a dari aljabar Lie riil A yang terkait dengan grup Lie G.
Bukti bagi kedua teorema di atas dapat dibaca sendiri oleh para pembaca
menginginkannya di [Cor2] bab 10.
Berikut ini adalah aljabar-aljabar Lie yang berpadanan dengan grupgrup Lie yang telah disebutkan di atas :
1. Ditinjau himpunan gl(2, C) yang beranggotakan semua matriks kompleks berukuran 2 2. Bila A dan B sembarang dua anggota dari
gl(2, C), maka komutator antara A dan B adalah matriks [A, B] yang
didefinisikan oleh [A, B] = AB BA. Bila komutator [A, B] ditulis sebagai A B, maka komutator yang didefinisikan pada himpunan gl(2, C) dapat dipandang sebagai suatu perkalian pada himpunan gl(2, C), sebab komutator [A, B] adalah juga matriks anggota
gl(2, C). Perkalian ini merupakan perkalian Lie. Karena gl(2, C)
merupakan ruang vektor, maka gl(2, C) disertai komutator merupakan aljabar Lie. Aljabar Lie gl(2, C) merupakan aljabar Lie dari
grup Lie Gl(2, C).
2. Bila A dan B sembarang dua anggota dari gl(3, R), maka komutator
[A, B] yang didefinisikan sebagaimana di atas merupakan perkalian
Lie. Karena gl(3, R) merupakan ruang vektor, maka gl(3, R) disertai
231
(10.86)
(10.87)
i
i
i
{u1 = 1 , u2 = 2 , u3 = 3 } su(2)
2
2
2
(10.88)
dengan
1 =
0 1
1 0
,
2 =
0 i
i 0
,
dan
3 =
1 0
,
0 1
(10.89)
232
[ui , uj ] =
3
X
ijk uk .
(10.90)
k=1
(10.91)
0 0 0
a1 = 0 0 1 ,
0 1 0
a3
0 0 1
a2 = 0 0 0 ,
1 0 0
0 1 0
1 0 0 ,
0 0 0
dan
(10.92)
[ai , aj ] =
3
X
k=1
ijk ak
(10.93)
233
(10.95)
Maka dikatakan bahwa aljabar Lie su(2) isomorfis dengan aljabar Lie so(3).
10.4.3
Teori Wakilan
Wakilan merupakan hal yang paling penting dalam penerapan teori grup.
Karena ruang keadaan dalam mekanika kuantum berupa ruang Hilbert,
maka wakilan yang penting adalah wakilan linier atau wakilan matriks.
Oleh karenanya dirasa telah mencukupi jikalau dalam hal ini hanya wakilan
matriks yang diperkenalkan.
Teori wakilan suatu grup dimulai dari konsep homomorfi. Dua buah
grup G1 dan G2 dikatakan homomorfis jika terdapat pemetaan : G1
G2 sedemikian rupa sehingga (gg 0 ) = (g)(g 0 ) untuk sembarang g dan
g 0 anggota G. Pemetaan yang memenuhi syarat tersebut disebut homomorfisme. Bila homomorfisme juga sekaligus bijektif atau punya invers,
maka disebut isomorfisme. Dua buah grup dikatakan isomorfis jika
terdapat isomorfisme di antara keduanya.
Andaikan G0 suatu grup yang beranggotakan matriks-matriks bujursangkar berukuran n n (boleh riil boleh kompleks). Sebuah homomorfisme dari suatu grup G ke grup matriks G0 disebut wakilan matriks
berdimensi n dari G. Namun sering pula dikatakan bahwa grup matriks
G0 merupakan wakilan berdimensi n dari grup G. Suatu wakilan dari grup
G dikatakan uniter jika setiap matriks yang mewakili masing-masing unsur
di G merupakan matriks uniter.
234
Contoh :
Ditinjau ruang riil R3 . Rotasi memutari sumbu yang ditengarai oleh vektor
satuan n = nx i+ny j+nz k sejauh adalah transformasi R(n, ) : R3 R3
sedemikian rupa sehingga
(10.97)
(10.98)
(10.99)
untuk semua rotasi R(n, ) dan R(n0 , 0 ). Pemetaan R oleh karena itu
merupakan wakilan matriks berdimensi tiga dari grup rotasi. Wakilan ini
disebut wakilan alamiah dari grup rotasi. Karena SO(3) U (3), maka R
merupakan wakilan uniter.
235
Contoh :
Ditinjau grup SO(3) dan SU (2). Pemetaan S : SU (2) SO(3) dari grup
matriks SU (2) ke grup matriks SO(3) yang didefinisikan oleh
(10.101)
(10.102)
236
Contoh :
Isomorfisme s : su2 so(3) yang didefinisikan oleh pers.(10.94) merupakan wakilan berdimensi 3 dari aljabar su(2). Dan sebaliknya, isomorfisme invers 1
s merupakan wakilan berdimensi dua dari aljabar so(3).
237
(10.104)
Contoh :
Telah disebutkan bahwa himpunan {a1 , a2 , a3 } yang masing-masing unsurnya diberikan oleh pers.(10.92) merupakan basis atau pembangkit bagi
aljabar Lie so(2). Telah pula disadari bahwa pemetaan 1
yang merus
pakan invers dari s yang didefinisikan oleh pers.(10.94) merupakan wakilan berdimensi dua dari so(3). Dalam wakilan ini
1
s (a1 ) =
1
2
0 i
i 0
,
1
s (a3 ) =
1
1
s (a2 ) =
2
1 i 0
.
0 i
2
0 1
1 0
,
dan
(10.105)
exp( 12 it)
0
0
exp( 12 it)
.
238
cos t sin t 0
exp(ta3 ) = sin t cos t 0
0
0
1
yang tidak lain adalah pers.(10.19). Untuk t0 + 2, didapatkan bahwa
exp((t0 + 2)a3 ) = exp(t0 a3 )
(10.106)
0 1
exp((t0 + 2)1
s (a3 )) = exp(t s (a3 )).
(10.107)
dan
10.4.4
Untuk mempelajari suatu sistem kuantum, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari grup setangkup sistem fisis tersebut4 . Hal kedua,
setelah mengetahui grup setangkup sistem fisis itu, adalah mencari wakilan
uniter tak tersusutkan dari grup setangkup tersebut. Bila grup setangkup
sistem fisis itu secara topologis tersambung, maka wakilan kanonis aljabar
Lie (yang berpadanan dengan grup setangkup itu) relatif terhadap wakilan
uniter tak tersusutkan di atas5 merupakan wakilan antihermitean. Selanjutnya matriks-matriks antihermitean yang mewakili pembangkit aljabar
Lie dari grup setangkup itu terkait dengan observabel kuantum yang lestari.
Wakilan matriks observable-observabel kuantum yang lestari ini diperoleh
dari matriks-matriks wakilan pembangkit aljabar Lie tersebut dengan jalan
mengalikan mereka dengan bilangan i~.
Pada tataran kuantum teorema Noether oleh karena itu dapat dirumuskan secara lebih elegan sebagai berikut :
Teorema 10.4.4 (Teorema Noether) Andaikan suatu sistem fisis mempunyai grup setangkup G dengan aljabar Lie A. Andaikan pula bahwa
merupakan wakilan uniter tak tersusutkan dari grup setangkup G. Bila
4
5
Grup setangkup suatu sistem fisis dapat diketahui misalnya dengan eskperimen.
yakni, yang diperoleh dari pers.(10.103).
10.5. SOAL-SOAL
239
10.5
Soal-soal
1. Ditinjau sebuah zarah yang terletak pada suatu titik dalam ruang
konfigurasi dengan vektor posisi r = xi + yj + zk. Bila zarah tersebut diputar sejauh (infinitisimal) memutari sumbu yang berimpit
dengan vektor satuan n = nx i + ny j + nz k sedemikian rupa sehingga
arah perputaran dan vektor n memenuhi kaidah putar kanan. Tunjukkanlah bahwa posisi yang baru dari zarah tersebut diberikan oleh
~ r,
r 7 r0 = r +
(10.108)
~ := n.
dengan
2. Ditinjau tiga transformasi aktif berturutan. Andaikan r = xi+yj+zk
~ = x i + y j + z k
suatu vektor posisi. Oleh perputaran sejauh
r berubah menjadi r0 . Setelah itu digeser sejauh a = i + j + k,
dengan , dan tetapan-tetapan. Dan akhirnya diputar sejauh
~ = x i + y j + z k sehingga didapat vektor posisi r00 .
240
Bab 11
MOMENTUM SUDUT
Die Mathematik ist die Wissenschaft des Unendlichen, ihr Ziel ist es das
symbolische Erfassen des Unendlichen mit menschlichen,
d.h. endlichen Mitteln1 . (Hermann Weyl)
11.1
Batasan Umum
Dalam bab sebelumnya kita telah menemukan tiga observabel yang tunduk
pada aturan komutasi sebagaimana yang dianut oleh komponen-komponen
momentum sudut orbital. Kita telah menamakan ketiga observabel tersebut sebagai komponen momentum sudut intrinsik. Oleh karena itu kita
akan terus menggunakan aturan komutasi tersebut sebagai aksioma yang
harus dipenuhi oleh momentum sudut. Jadi momentum sudut akan selalu
dipahami sebagai operator vektor yang masing-masing komponennya merupakan observabel dan memenuhi aturan komutasi sebagaimana momentum
sudut orbital.
yakni opBatasan Momentum Sudut : Setiap operator vektor J,
erator yang mempunyai tiga komponen, sedemikian rupa sehingga masingmasing komponennya Ji (i = 1, 2, 3) merupakan operator yang Hermitean
1
241
242
ijk Jk
(11.1)
11.1.1
11.2
Untuk mendapatkan swanilai dan swakeadaan momentum sudut secara aljabar, mula-mula perlu didefinisikan operator kuadrat momentum sudut
total J2 sebagai J2 = Jx2 + Jy2 + Jz2 = J12 + J22 + J32 dan operator J seba
gai J = Jx iJy . Jadi, karena Jx dan Jy Hermitean J = J+
. Dengan
bermodalkan pers.(11.1) dapat dibuktikan identitas-identitas berikut
[J2 , Ji ] = 0,
2
(11.2)
Secara matematis, komponen-komponen momentum sudut membentang suatu aljabar tak asosiatif yang dikenal sebagai aljabar Lie bagi grup rotasi (lihat sebagai contoh
[Is]).
243
[J2 , J ] = 0,
(11.3)
[Jz , J ] = ~J ,
(11.4)
2 J2 ~Jz .
J J = J
z
(11.5)
(11.6)
j=1
3
X
Jj [Jj , Ji ] +
j=1
= i~
3
X
[Jj , Ji ]Jj
j=1
3
X
Jj ijk Jk + i~
j,k=1
= i~
3
X
= i~
ijk Jk Jj
j,k=1
ijk Jj Jk + i~
3
X
ikj Jj Jk
j,k=1
j,k=1
3
X
3
X
ijk Jj Jk i~
j,k=1
3
X
ijk Jj Jk
j,k=1
= 0.
Berdasarkan pers.(11.1) dan (11.2), tidak dimungkinkan bagi operator 2 , Jx , Jy dan Jz untuk memiliki swakeadaan bersama. Hanya
operator J
2 dan salah satu dari operator Ji yang dimungkinkan untuk
operator J
memiliki swakeadaan bersama. Selanjutnya akan dipilih operator Jz un 2 . Jadi, kita akan menurunkan swanilai dan
tuk mendampingi operator J
2 dan Jz .
swakeadaan dari pasangan operator J
2 dan Jz dengan
Andaikan bc swakeadaan bersama bagi operator J
swanilai b dan c, yakni
2 bc = bbc
J
(11.7)
dan
Jz bc = cbc .
(11.8)
(11.9)
244
2 didapat identitas
Jadi, dari pers.(11.7) dan dari batasan bagi operator J
berikut ini
(Jx2 + Jy2 )bc = (b c2 )bc .
(11.10)
Bila kedua ruas persamaan terakhir ini diambil produk skalarnya dengan
bc , maka didapatkan ungkapan berikut
(bc |Jx2 bc ) + (bc |Jy2 bc ) = (b c2 )||bc ||2 .
(11.11)
Akan tetapi, karena |c| b, maka tentu saja barisan diatas terbatas.
Dengan kata lain, terdapat nilai cmak dan cmin sedemikian rupa sehingga
J bcmin = 0
(11.15)
J+ bcmak = 0.
(11.16)
dan
Berdasarkan pers.(11.5), diperoleh
J+ J bcmin = (Jx2 + Jy2 + ~Jz )bcmin = 0
(11.17)
245
dan
J J+ bcmak = (Jx2 + Jy2 ~Jz )bcmak = 0.
(11.18)
(11.19)
(11.20)
dan
Karena bcmak dan bcmin dihipotesakan bukan nol, maka tentulah
b c2mak ~cmak = b c2min + ~cmin = 0
(11.21)
(11.22)
atau
Karena faktor kedua dalam persamaan terakhir ini lebih dari nol, maka
tentulah cmak + cmin = 0 atau
cmak = cmin .
(11.23)
(11.25)
dengan m = j, , j + 1, j + 2, , j 2, j 1, j. Menyesuaikan
hal-hal yang telah diperoleh, swakeadaan bc selanjutnya hendak ditulis
sebagai jm . Jadi,
2 jm = j(j + 1)~2 jm
J
(11.26)
dan
Jz jm = m~jm .
(11.27)
246
(11.29)
dengan c (j, m) suatu bilangan kompleks yang akan ditentukan dari syarat
normalisasi
(jm |j 0 m0 ) = jj 0 mm0 .
(11.30)
Selanjutnya, dari (c (j, m)jm1 |c (j, m)jm1 ) = (J jm |J jm ) didapat
J jm )
|c (j, m)|2 = (jm |J
= (jm |J J jm )
(11.31)
(11.32)
11.3
Berbekal semangat bab 6, pada bagian ini hendak dipaparkan wakilan matriks bagi operator-operator momentum sudut. Penyajian semacam ini
akan lebih menguntungkan dari segi komputasi. Sebagaimana yang telah
dibicarakan dalam bab 6 setiap operator dapat disajikan dalam bentuk
matriks manakala telah ditentukan basis ortonormal dalam ruang Hilbert
2 . Ruang
terkait. Sekarang ditinjau ruang swanilai j(j+1)~2 dari operator J
2
Hilbert ini berdimensi 2j + 1, mengingat swanilai j(j + 1)~ merosot sejauh
2j + 1 derajad. Dalam ruang ini himpunan {jj , jj+1 , jj1 , jj }
merupakan basis ortonormal. Relatif terhadap basis ini, wakilan operator
247
Jz
j~
0
(j + 1)~
..
.
..
.
..
.
..
.
..
(j 1)~
j~
(11.33)
(jj |J+ jj )
..
..
..
.
.
.
(jj1 |J+ jj )
(jj1 |J+ jj+1 )
(jj |J+ jj )
(jj |J+ jj+1 )
(jj |J+ jj )
..
..
,
.
.
(11.34)
sedangkan wakilan operator J merupakan konjugat Hermite dari matriks
pers.(11.34) tersebut. Oleh karena itu unsur-unsur wakilan matriks operator J+ dapat dihitung mengingat pers.(11.32). Hasilnya
(jm |J+ jm0 ) = ~[(j m)(j + m + 1)]1/2 mm0 +1 .
(11.35)
248
Ungkapan (11.34) oleh karena itu dapat ditulis lebih eksplisit lagi, sehingga
J+
2j
..
.
..
.
..
0
0
..
..
.
.
.
p
0
2(2j 1)
(11.36)
2j 0
.
..
~ ..
.
0
0
..
..
.
..
.
.
(11.37)
2(2j 1) 0
dan
1
Jy = (J+ J ).
2i
(11.38)
Berdasarkan soal 6.4(5), wakilan matriks untuk operator Jx dan Jy didapatkan dari persamaan terakhir ini dengan bantuan pers.(11.36) dan
0
2j
2j
0
~
..
..
Jx
.
.
2
0
0
..
..
.
249
..
p
2(2j 1)
2(2j 1)
0
(11.39)
dan
Jy
2j
..
.
2i
2j
..
.
..
..
.
p
2(2j 1)
..
.
.
p
2(2j 1)
(11.40)
Jz
(11.41)
0
~/2
0 ~/2
Jx
(11.42)
~/2 0
0
i~/2
Jy
.
(11.43)
i~/2
0
250
(11.44)
2 2
(11.45)
dan
0 ~/2
~/2 0
~
=
2
.
(11.46)
(11.47)
1
1
x = 1 1 + 1 1
2 2 2
2 22
(11.48)
dan
(11.49)
i
1
y = 1 1 + 1 1 .
2 2 2
2 22
(11.50)
dan
251
~ 0 0
0 0 0
Jz
(11.51)
0 0 ~
2
0
0
~
(11.52)
Jx
2 0
2
2
2 0
0
0
2 0
~
Jy
(11.53)
2
0
2 .
2i
0
2 0
Swanilai operator Jx merupakan akar-akar persamaan karakteristik
~ 2
0
2
~
3
2
~
(11.54)
2 2
2 2 = + ~ = 0,
~
0
2
2
yakni ~, 0 dan ~. Swanilai ~ berkaitan dengan swavektor
x
11
= 1 11 + 1 10 + 1 11 ,
0
2
0
1
1
~
2 0
2 1 = ~ 1 .
2
1
1
2 0
0
(11.55)
(11.56)
1
2
1
x
11 = 11 +
10 + 11 .
(11.57)
2
2
2
Dengan cara yang serupa dapat ditunjukkan bahwa ~ merupakan
swanilai yang berpadanan dengan swavektor
1
2
1
x
11 = 11 +
10 + 11
(11.58)
2
2
2
252
(11.59)
4. dst.
11.4
Secara klasik momentum sudut orbital L merupakan momen dari momentum linier. Oleh karenanya L = r p. Bila dinyatakan dengan komponenkomponennya,
L =
3
X
ijk xi pj ek
i,j,k=1
(11.60)
Lx = i~ y
z
,
(11.61)
z
y
y = i~ z x ,
L
(11.62)
x
z
Lz = i~ x
y
.
(11.63)
y
x
i mengikuti aturan komutasi
Karena L
i, L
j ] = i~
[L
k
X
k
ijk L
i=1
253
(11.64)
z lm = m~lm .
L
(11.65)
dan
Akan tetapi, kegayutan L2 dan komponen-komponennya pada variable
keruangan (akan segera ditunjukkan) mengakibatkan nilai l tidak boleh
tengahan.
Untuk menunjukkan bahwa l tidak boleh bernilai tengahan, kita perlu
melakukan transformasi koordinat dari koordinat kartesan (x, y, z) ke koordinat bola (r, , ), dengan r jarak titik ke pangkal koordinat, sudut
yang dibentuk oleh sumbu-x positif dengan proyeksi titik ke bidang-xy dan
sudut yang dibentuk oleh vektor posisi r dengan sumbu-z positif. Terdapat kaitan antara kedua koordinat itu :
x = r sin cos , y = r sin sin , z = r cos .
(11.66)
r
=
+
+
,
x
r x x
x
(11.67)
=
+
+
y
r y
y
y
(11.68)
dan
r
=
+
+
.
(11.69)
z
r z
z
z
Karena persamaan-persamaan tersebut berlaku untuk sembarang fungsi
gelombang (r), maka dapat disimpulkan
dan
r
=
+
+
,
x
x r x x
(11.70)
r
=
+
+
y
y r
y y
(11.71)
r
=
+
+
.
z
z r
z z
(11.72)
254
dan
sin
= sin cos
+ cos cos
,
x
r r
r sin
(11.73)
cos
= sin sin
+ cos sin
+
y
r r
r sin
(11.74)
sin
= cos
.
y
r
r
(11.75)
+ cot cos
,
(11.76)
Lx = i~ sin
y = i~ cos
+ cot sin
(11.77)
L
dan
z = i~ .
L
1 2
1
2
2
sin
+
L = ~
sin
sin2 2
dan
L = ~e
+ i cot
.
(11.78)
(11.79)
(11.80)
x, L
y dan L
z tidak gayut pada r.
Tampak bahwa operator-operator L2 , L
Oleha karena itu swakeadaan-swakeadaan bagi mereka diwakili oleh fungsifungsi yang hanya gayut pada dan saja. Andaikan (, ) swafungsi
z . Selanjutnya akan dilakukan pemisahan
bersama bagi operator L2 dan L
variabel (, ) = ()(). Dari pers.(11.78) diperoleh
i~
d
= m~.
d
(11.81)
(11.82)
11.5. SOAL-SOAL
255
(11.84)
2l + 1 (l m)!
2 (l + m)!
1/2
Plm (),
(11.85)
dengan
Plm ()
2 m/2
= (1) (1 )
dm
1 dl 2
l
( 1) .
dm 2l l! dl
(11.86)
Oleh karena itu, bila untuk tetapan N di atas dipilih (2)1/2 , maka secara keseluruhan didapatkanlah fungsi-fungsi spherical harmonics Ylm (, )
2 dan operator L
z dengan swanilai
sebagai swafungsi bersama operator L
2
berturut-turut l(l + 1)~ dan m~.
11.5
Soal-soal
1. Ditinjau dua getaran selaras yang tidak saling gayut dengan frekuensi
sudut masing-masing 1 dan 2 . Andaikan a
dan a
berturut-turut
merupakan operator eskalator naik dan eskalator turun getaran selaras pertama. Sementara b dan b berturut-turut diandaikan merupakan operator eskalator naik dan eskalator turun dari getaran selaras kedua. Selanjutnya, didefinisikan operator-operator Tx , Ty dan
256
~
(b a
+a
b),
2
i~
(b a
a
b),
2
~
(
aa
bb).
2
(11.87)
(11.88)
(11.89)
N
2
!"
N
2
#
+1 .
(11.90)
2 (n n0 ) = n (
1 n0 ).
(11.91)
(11.92)
11.5. SOAL-SOAL
257
(11.93)
1
2
1
(0) = 11 + i
10 11 .
(11.95)
2
2
2
~=
258
(a) Bila L2 diukur, nilai mana saja yang akan keluar sebagai hasil
ukur?
(b) Bila Lz diukur, nilai mana saja yang akan keluar sebagai hasil
ukur? Berapakah peluangnya masing-masing?
(c) Hitunglah < Lx > dan < Ly > pada keadaan tersebut!
6. Suatu partikel berada pada keadaan yang diwakili oleh fungsi gelombang (r). Andaikan nilai rerata komponen momentum sudut partikel itu ke arah sumbu-Z diberikan oleh < Lz >= 12
9 ~.
(a) Bagaimana bentuk fungsi gelombang (r) dinyatakan dengan
swafungsi-swafungsi momentum sudut orbital?
(b) Bila L2 dan Lz diukur, nilai mana sajakah yang mungkin akan
keluar sebagai hasil pengukuran?
(c) Hitunglah < Lx > dan < Ly >!
Tinjauan ini
7. Ditinjau suatu sistem kuantum bermomentum sudut J.
hanya dibatasi pada subruang swanilai tiga dimensi yang dibentang
oleh basis {11 , 10 , 11 } yang masing-masing anggotanya meru 2 dengan swanilai 2~2 dan
pakan swakeadaan bersama dari operator J
operator Jz dengan swanilai berturut-turut ~, 0 dan ~. Andaikan
sistem tersebut memiliki Hamiltonan
0 = aJz + b J2 ,
H
~ z
(11.96)
(11.97)
11.5. SOAL-SOAL
259
(11.98)
Tuliskan sajian matriks bagi W dalam basis yang tersusun atas tiga
0!
swakeadaan dari H
8. Untuk j = 1 susunlah wakilan matriks operator Jy relatif terhadap
basis ortonormal {11 , 10 , 11 } yang beranggotakan semua swavektor operator Jz untuk j = 1! Tunjukkanlah bahwa swanilai-swanilai
operator tersebut adalah ~, 0 dan ~! Tuliskanlah swavektor yang
berpadanan dengan masing-masing swanilai tersebut!
9. Untuk j = 3/2 susunlah wakilan matriks operator-operator Jx , Jy
dan Jz relatif terhadap basis ortonormal
{ 3 3 , 3 1 , 3 1 3 3 },
2 2
2 2
2 2
22
260
Bab 12
PENJUMLAHAN
MOMENTUM SUDUT
Die Mathematiker sind eine Art Franzosen;
redet man zu ihnen, so u
bersetzen sie es in ihre Sprache,
und dann ist es alsbald etwas ganz anderes1 .
(Johann Wolfgang von Goethe)
261
262
dikenal dengan istilah rekopling. Dalam bab ini kita akan membicarakan
mekanisme kopling dan rekopling tersebut disertai beberapa contoh pemakaiannya.
2 dan J
2 dua momentum sudut sedemikian rupa sehingDiandaikan J
1
2
ga komponen-komponen mereka berturut-turut diberikan oleh J1i dan J2i
(i = x, y, z). Selanjutnya andaikan j1 m1 j2 m2 berturut-turut swavektorswavektor kedua momentum sudut tersebut sehingga berlaku
2 j m = j1 (j1 + 1)~2 j m ,
J
1 1 1
1 1
(12.1)
J1z j1 m1 = m1 ~j1 m1 ,
(12.2)
2 j m = j2 (j2 + 1)~2 j m ,
J
2 2 2
2 2
(12.3)
J2z j2 m2 = m2 ~j2 m2 .
(12.4)
dan
(i = x, y, z)
(12.5)
(12.6)
(i = x, y, z)
(12.7)
(12.8)
12.1
263
Hasilkali Tensor
Ada beberapa cara untuk mendefinisikan produk tensor antara dua buah
ruang vektor. Cara paling sederhana melibatkan basis dari kedua ruang
vektor. Mula-mula kita memilih sembarang basis bagi masing-masing ruang vektor itu. Vektor-vektor anggota basis masing-masing ruang vektor
tersebut dikombinasikan sehingga didapat kumpulan vektor-vektor baru
yang akan menjadi basis bagi ruang vektor hasilkali tensor. Cara ini tampak kurang elegant mengingat konsep produk tensor adalah konsep yang
tidak tergantung pada hal-hal yang artificial semisal basis. Cara yang elegant adalah dengan melalui salah satu sifat dari hasilkali tensor, yakni sifat
faktorisasi tunggal. Dengan cara ini batasan hasilkali tensor tampak lebih
alamiah. Namun, terlepas dari masalah elegant tidaknya pendekatan basis,
kita akan menempuh cara pertama dalam pendefinisian produk tensor.
12.1.1
Ditinjau ruang riil tiga dimensi R3 dengan basis ortonormal {i, j, k}. Tensor
berderajad dua dalam ruang R3 tidak lain adalah objek T yang memiliki
sembilan komponen Tij (i, j = x, y, z) sedemikian rupa sehingga
(12.9)
Dalam hal ini tidak perlu dirisaukan bagaimana perkalian ini dilakukan. Perkalian
ini hanyalah persandingan antara vektor-vektor satuan.
264
han
0
0
0
0
T + T = (Txx + Txx )ii + (Tyx + Tyx )ji + (Tzx + Tzx )ki + (12.11)
0
0
0
(Txy + Txy
)ij + (Tyy + Tyy
)jj + (Tzy + Tzy
)kj +
0
0
0
(Txz + Txz
)ik + (Tyz + Tyz
)jk + (Tzz + Tzz
)kk
(12.12)
(12.13)
vx wy ij + vy wy jj + vz wy kj +
vx wz ik + vy wz jk + vz wz kk.
Bila dalam ruang R3 dilakukan transformasi rotasi dengan matriks rotasi
[Rij ], maka tiap-tiap komponen
P vi dari vektor v = vx i+vy j+vz k mengalami
transformasi menjadi vi0 = j Rij vj . Oleh karenanya komponen-komponen
(v w)ij := vi wj dari objek v w akan mengalami transformasi menjadi
(v w)0ij := vi0 wj0 yang diberikan oleh
(v w)0ij = vi0 wj0 =
z X
z
X
k=x l=x
Rik Rjl vk wl =
z X
z
X
k=x l=x
Jadi, komponen-komponen objek v w mengalami transformasi rotasi sebagaimana tensor-tensor berderajad pada ruang R3 . Maka dari itu, objek v w adalah tensor berderajad dua pada ruang R3 . Itulah sebabnya produk di atas disebut hasilkali tensor antara vektor v dan vektor
265
12.1.2
Sekarang, konsep produk tensor antara dua ruang vektor di atas akan
kita perluas untuk sembarang dua ruang Hilbert yang berdimensi finit.
Untuk itu, andaikan H1 dan H2 merupakan dua ruang Hilbert dengan
produk skalar berturut-turut (|)1 dan (|)2 . Selanjutnya, andaikan himpunan {1 , 2 , n1 } dan {1 , 2 , n2 } berturut-turut merupakan basis ortonormal pada H1 dan H2 . Bila H1 dan H2 sembarang
vektor, maka
n1
n2
X
X
=
i i dan =
r r ,
(12.16)
r=1
i=1
n1 X
n2
X
i r i r =
i=1 r=1
n1 X
n2
X
(i |)1 ( |)2 i r ,
(12.17)
i=1 r=1
i = 1, 2, , n1 ; r = 1, 2, , n2 .
(12.18)
266
Produk tensor antara kedua ruang Hilbert tersebut didefinisikan sebagai ruang vektor yang beranggotakan semua produk tensor antara vektor-vektor
anggota H1 dan vektor-vektor anggota H2 . Produk tensor antara ruang
Hilbert H1 dan H2 hendak ditulis sebagai H1 H2 . Bila di dalam H1 H2
didefinisikan produk skalar (|) menurut
( | 0 0 ) = (| 0 )1 (|0 )2 ,
(12.19)
(12.21)
Oleh karena itu setiap vektor H1 H2 dapat dituliskan sebagai kombinasi linier
=
n1 X
n2
X
i=1 r=1
ir i r =
n1 X
n2
X
(i r |)i r ,
(12.22)
i=1 r=1
dengan ir = (i r |).
12.1.3
1 dan
2 berturut-turut merupakan operator pada ruang H1
Andaikan
1
2 yang
1 dan
2 adalah objek
dan H2 . Produk tensor antara
memiliki kelakuan
1
2 )( ) = (
1 ) (
2 ),
(
(12.23)
2 berada
1 berada di H1 dan
untuk setiap H1 H2 . Karena
1
2
dapat pula dengan mudah dibuktikan bahwa sebagai pemetaan
1
2 merupakan operator pada H1 H2 .
bersifat linier. Oleh karena itu,
1 I2 )( ) = (
1 ), operator
1 dapat diwakili dalam
Karena (
267
1
2 :=
1 I2 + I1
2.
(12.24)
0 dan
0 beruturut-turut operator lain pada ruang H1 dan H2 .
Andaikan
1
2
Maka, untuk sembarang H1 H2 berlaku
1
2 )(
0
0 )( ) = (
1
2 )((
0 ) (
0 ))
(
1
2
1
2
0
0
= (1 ) (2 )
1
2
0 )( ).
1
0
= (
2
1
(12.25)
1
2 )(
0
0 ) =
1
0
2
0 . Oleh
Hal ini menunjukkan bahwa (
1
2
1
2
karena itu,
2) =
1
2.
1 I2 )(I1
(
(12.26)
Bila [, ] komutator dalam ruang H1 H2 , maka diperoleh
1
2,
0
0 ] 6= [
1,
0 ] [
2,
0 ].
[
1
2
1
2
(12.27)
1 di H1 H2
Berdasarkan pers.(12.26) didapatkan bahwa wakil operator
(12.28)
1 I2 , I1
2 ] secara lebih
Selanjutnya, kita akan menuliskan komutator [
singkat sebagai [1 , 2 ] .
12.2
(12.29)
2 dan
yang beranggotakan swavektor-swavektor bersama dari operator J
1
J1z . Ruang Hilbert H2 adalah ruang Hilbert berdimensi n2 = 2j2 + 1 yang
dibentang oleh basis ortonormal
{j2 j2 , j2 j2 1 , j2 j2 2 , , j2 (j2 ) }
(12.30)
268
2 dan
yang beranggotakan swavektor-swavektor bersama dari operator J
2
J2z . Oleh karena itu ruang Hilbert H1 H2 adalah ruang Hilbert berdimensi
(2j1 + 1)(2j2 + 1) yang dibentang oleh basis ortonormal
{j1 m1 j2 m2 |m1 = j1 , , j1 ; m2 = j2 , , j2 },
(12.31)
(12.33)
atau perkomponen
Jx = J1x J2x , Jy = J1y J2y , Jz = J1z J2z ,
(12.34)
2 didefinisikan sebagai
Seperti sebelumnya, operator J
2 =
J
z
X
Ji2 =
i=x
z
X
(J1i J2i )2 .
(12.36)
i=x
(12.37)
(i = x, y, z)
(12.38)
2, J
2
[J
1 2 ] = [J1i , J2i ] = 0.
(12.39)
dan
269
(12.44)
(12.45)
dan
2 , J2z ] 6= 0.
[J
(12.46)
(12.47)
2 )j j jm = j2 (j2 + 1)~2 j j jm ,
(I1 J
2
1 2
1 2
(12.48)
2 j j jm = j(j + 1)~2 j j jm
J
1 2
1 2
(12.49)
Jz j1 j2 jm = m~j1 j2 jm .
(12.50)
dan
270
j1
X
j2
X
(12.51)
m1 =j1 m2 =j2
j1
j2
X
X
Jz j1 j2 jm = (J1z J2z )
(j1 m1 j2 m2 |j1 j2 jm )j1 m1 j2 m2
m1 =j1 m2 =j2
j1
X
j2
X
m1 =j1 m2 =j2
j1
X
j2
X
m1 =j1 m2 =j2
= (m1 ~ + m2 ~)
j1
X
j2
X
m1 =j1 m2 =j2
= (m1 ~ + m2 ~)j1 j2 jm .
(12.52)
(12.53)
(12.54)
271
basis ortonormal bagi ruang H1 H2 . Basis ini dikenal sebagai basis terkopling. Aturan ke-ortonormal-an basis tersebut adalah
(j1 j2 jm |j1 j2 j 0 m0 ) = jj 0 mm0 .
(12.56)
j
X X
j
j
X X
j
m=j
C(j1 j2 ; m1 m2 |jm) j1 j2 jm .
(12.57)
m=j
(1)k
k!(j1 + j2 j k)!(j1 m1 k)!(j2 + m2 k)!
k
1
(j j2 + m1 + k)!(j j1 m2 + k)!
(12.59)
272
Contoh :
Bila diberikan j1 = 1 dan j2 = 2, maka koefisien Clebsch-Gordan mana
sajakah yang lolos aturan seleksi? Dalam hal ini j memiliki jangkauan
|12| = 1 j 1+2 = 3. Jadi j = 1, 2, 3. Untuk j = 1, bilangan m memiliki nilai 1, 0, 1. Untuk j = 2, bilangan m memiliki nilai 2, 1, 0, 1, 2.
Untuk j = 3, bilangan m memiliki nilai 3, 2, 1, 0, 1, 2, 3. Adapun
koefisien-koefisien Clebsch-Gordan yang lolos aturan seleksi diberikan oleh
tabel berikut3
273
(12.62)
Bilamana sistem dipersiapkan berada pada keadaan 1220 , maka penguku 2 dan Jz menghasilkan dengan pasti berturut-turut nilai
ran besaran J
2(2 + 1)~2 = 6~2 dan 0 sebagai hasil ukur. Bila untuk sistem yang be 2 dan J
2 pun
rada pada keadaan 1220 dilakukan pengukuran besaran J
1
2
2
akan menghasilkan dengan pasti berturut-turut nilai 1(1 + 1)~ = 2~2 dan
2(2 + 1)~2 = 6~2 sebagai hasil ukur. Bagaimanakah bila yang diukur besaran J1z dan J2z ? Dalam hal ini kita hanya dapat bicara tentang peluang.
Hanya ada dua pasang hasil yang mungkin, yaitu ~ dan ~ atau ~ dan ~.
Masing-masing memiliki peluang, tentu saja, 50%.
Contoh :
Andaikan sistem dipersiapkan berada pada keadaan tak terkopling =
2 , maka
j1 m1 j2 m2 . Bila dilakukan pengukuran momentum sudut total J
peluang mendapatkan nilai j(j + 1)~2 sebagai hasil ukur diberikan oleh
P(, j(j + 1)~2 ) = |(j1 j2 jm |j1 m1 j2 m2 )|2 = |C(j1 j2 ; m1 m2 |jm)|2 .
(12.63)
Bila mula-mula sistem berada pada keadaan sembarang , maka
XX
=
(j1 m1 j2 m2 |)j1 m1 j2 m2 .
(12.64)
m1 m2
2 adalah
Peluang mendapatkan nilai j(j + 1)~2 sebagai hasil pengukuran J
|(j1 j2 jm |)|2 = |(j1 m1 j2 m2 |)|2 |C(j1 j2 ; m1 m2 |jm)|2 .
(12.65)
274
Gambar 12.1: Rudolf F. Clebsch (1833-1872), matematikawan kelahiran Konigsberg, Prusia (sekarang Kaliningrad) yang mempunyai perhatian pada Fisika
Matematika.(kiri) dan Paul A. Gordan (1837-1912), matematikawan kelahiran
Breslau, Jerman (kanan).(Foto diambil dari situs www.-groups.dcs.st-and.ac.uk.)
12.3
Soal-soal
ponen Jz ?
3. Masih juga terkait dengan elektron pada soal nomor 1. Bila elektron
mula-mula dipersiapkan berada pada keadaan terkopling 1 1 3 1 ,
2 2
12.3. SOAL-SOAL
275
(12.66)
276
Bab 13
DINAMIKA KUANTUM
Sebagaimana telah disinggung pada akhir bab 2 bahwa dinamika merupakan lintasan atau kurva pada ruang keadaan yang berparameterkan waktu. Dinamika kuantum oleh karena itu merupakan lintasan (lihat kembali
Sketsa 4.1 dan 4.2!) sistem kuantum dalam ruang keadaan kuantum (ruang
Hilbert). Dikenal beberapa pendekatan dalam penurunan dinamika kuantum. Pendekatan yang paling familiar adalah pendekatan yang menyajikan
dinamika kuantum melalui persamaan diferensial yang mengontrol perubahan keadaan sistem terhadap waktu, yakni persamaan Schrodinger. Pendekatan dinamika semacam ini telah diperkenalkan pada bab 4 dan diterapkan pada bab-bab sesudahnya. Pendekatan berikutnya adalah pendekatan
teori grup yang memandang dinamika (entah kuantum ataupun klasik) sebagai tindakan (action) dari grup dinamik terhadap ruang keadaan. Grup
dinamik adalah himpunan yang beranggotakan seluruh bilangan riil disertai dengan operasi penjumlahan biasa. Dalam grup ini, unsur netralnya
adalah bilangan 0. Untuk sembarang bilangan riil t, lawan atau inversnya
adalah bilangan riil t. Dalam pendekatan teori grup, grup dinamik direalisasikan (tepatnya direpresentasikan) dalam bentuk grup yang beranggotakan transformasi-transformasi uniter dalam ruang Hilbert. Jadi, didapatkan operator-operator uniter yang berparameterkan bilangan riil sebagai
waktu. Oleh karena itu, keadaan kuantum tiap saat dapat diketahui dari
keadaan awal dengan menerapkan operator uniter berparameterkan waktu
tersebut. Operator-operator berparameterkan waktu itu disebut operator
pergeseran waktu.
Agar para pembaca mengenal pendekatan yang elegan ini, maka dalam
277
278
bab ini akan disajikan pendekatan teori grup walaupun tidak begitu rinci
dan mendalam. Akan ditunjukkan bahwa persamaan Schrodinger dapat
diturunkan dari pendekatan ini.
13.1
Andaikan pada saat t0 suatu sistem fisis berada pada keadaan yang diwakili
oleh vektor (t0 ). Seiring perjalanan waktu, andaikan kedaan sistem tersebut berubah sedemikian rupa sehingga pada saat t sistem berada pada
keadaan yang diwakili oleh vektor (t). Operator translasi waktu adalah
operator yang menghubungkan keadaan awal (t0 ) sistem dengan keadaan
(t, t0 ) yang memenuhi persamaan
sistem setiap saat, yakni suatu operator U
(t, t0 )(t0 ) = (t).
U
(13.1)
(13.2)
279
(13.3)
(13.4)
(13.5)
(ta + tb ) = U
(ta )U
(tb ),
U
(13.6)
artinya,
(t)
untuk sembarang bilangan riil ta dan tb . Ini menunjukkan bahwa t 7 U
merupakan wakilan dari grup dinamik pada ruang Hilbert.
Seperti yang telah diperoleh dalam bab 10, operator translasi waktu
(t) adalah operator uniter U
(t) = I i Ht,
infinitisimal U
dengan H
~
operator Hamiltonan sebagai pembangkit pergeseran. Keuniteran operator translasi waktu terkait erat dengan makna statistik vektor keadaan.
Andaikan 1 (t) dan 2 (t) sembarang dua keadaan yang ternormalkan. Bilangan |(1 (t), 2 (t))|2 menggambarkan peluang terjadinya loncatan dari
keadaan yang diwakili oleh 2 (t) ke keadaan yang diwakili oleh 1 (t) pada
saat t. Peluang bagi partikel untuk meloncat dari keadaan 2 (t + t) ke
keadaan 1 (t + t) diberikan oleh
(t)1 (t)|U
(t)2 (t))|2
|(1 (t + t)|2 (t + t))|2 = |(U
(t)U
(t)2 (t))|2
= |(1 (t)|U
(13.7)
(13.8)
280
(t + t) U
(t)
(t)
U
dU
U
(t).
= lim i~
=H
t0
dt
t
(13.10)
Bila pers.(13.9) dikenakan pada vektor (0), maka akan didapatkan persamaan Schrodinger
i~
d(t)
dt
(t + t)(0) U
(t)(0)
U
t0
t
(t + t) (t)
= lim i~
t0
t
U
(t)(0)
= H
= H(t).
=
lim i~
(13.11)
i
Ht
(t) = exp
U
.
(13.12)
~
Oleh karena itu, secara umum
t0 )
iH(t
(t) = exp
~
!
(t0 )
(13.13)
!
!2
iHt
i
Ht
1
i
Ht
E = 1
+
+ E (13.14)
exp
~
~
2!
~
!
iEt
1
iEt 2
=
1
+
+ E
~
2!
~
iEt
= exp
E .
~
281
Jadi, pada saat t sistem berada pada keadaan yang diwakili oleh
(t) = exp(iEt/~)E = exp(iEt/~)(0).
(13.15)
iHt
(t) = exp
~
!
X
iHt
=
an exp
E
~
n
X
=
an exp(iEt/~)E .
(13.17)
vektor (t) dan (0) tentu saja mewakili kedaan kuantum yang berbeda.
Selanjutnya pada bagian-bagian berikut hendak disajikan beberapa contoh yang berkaitan dengan dinamika kuantum.
13.2
Ditinjau suatu zarah berspin- 21 yang hidup dalam medan magnet seragam
B = B0 k, B0 suatu tetapan (lihat Sketsa 13.1). Andaikan e muatan zarah
282
tersebut. Operator Hamiltonan bagi sistem fisis semacam ini diberikan oleh
ge
ge
s = ~
H
s B =
Sz B0 := 0 Sz ,
SB=
2mc
2mc
(13.18)
sebab
~s =
ge
S,
2mc
dengan g adalah faktor Lande (suatu tetapan yang khas untuk masingmasing partikel). Andaikan z+ dan z swakeadaan1 dari operator spin
Sz , sehingga
~
Sz z+ = z+
2
dan
~
Sz z = z
2
(13.19)
s :
Maka z+ dan z juga merupakan swakeadaan dari operator H
s + = 0 Sz + = ~0 +
H
z
z
2 z
(13.20)
s z = 0 Sz z = ~0 z .
H
2
(13.21)
(13.22)
2
4mc
=
.
0
geB0
(13.23)
Jadi, vektor z+ dan z tidak lain sejatinya adalah swavektor 1 1 dan 1 1 . Notasi
2 2
2
2
ini dipakai agar lebih mengesan dan lebih mudah dari penulisannya.
1
283
B = B0 k 6
Sz H H
H
S
Sx
~ s
H
HH
H
Sy
Sketsa 13.1 Presesi partikel berspin (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh
M.F.Rosyid)
Andaikan zarah yang ditinjau mulanya berada pada keadaan awal (0) =
x+ , yakni swakeadaan operator Sx dengan swanilai ~/2. Telah ditunjukkan
dalam bagian 11.3 bahwa
1
1
x+ = z+ + z .
(13.24)
2
2
Pada saat t zarah tersebut berada pada keadaan
(t) + = exp(i0 tSz /~) +
(t) = U
(13.25)
x
x
1
1
= exp(i0 tSz /~) z+ + z
2
2
i
t/2
i
t/2
0
0
e
e
=
z+ + z .
2
2
Dari pers.(13.25) diperoleh peluang untuk terjadinya loncatan dari keadaan
(t) ke swakeadaan z+ sebagai
ei0 t/2 2 1
|(z+ |(t))|2 =
(13.26)
=
2
2
284
2
|(z |(t))| = = .
(13.27)
2
2
Oleh karena itu
~
~
< Sz > = |(z+ |(t))|2 ( ) + |(z |(t))|2 ( ) = 0.
2
2
(13.28)
Jadi, rerata < Sz > merupakan tetapan dalam evolusi (0) (t).
Bagaimana dengan < Sx > dan < Sy >? Peluang untuk terjadinya
loncatan dari keadaan (t) ke keadaan x+ ditentukan oleh produk skalar
1
1
ei0 t/2 + ei0 t/2
(x+ |(t)) = ( z+ + z |
z + z ) (13.29)
2
2
2
2
1 i0 t/2 1 i0 t/2
=
e
+ e
2
2
= cos(0 t/2).
Karena
1
1
x = z+ z
2
2
(13.30)
maka peluang terjadinya loncatan dari keadaa (t) ke keadaan x ditentukan oleh (x |(t)) = i sin(0 t/2). Oleh karena itu rerata < Sx >
diberikan oleh
~
~
= |(x+ |(t))|2 ( ) + |(x |(t))|2 ( )
2
2
~
~
= cos2 (0 t/2)( ) + sin2 (0 t/2)( )
2
2
~
=
cos(0 t).
2
< Sx >
Karena y+ =
1 +
2 z
i
2 z
dan y =
1 +
2 z
i ,
2 z
(13.31)
maka
|(y+ |(t))|2 =
1 + sin(0 t)
2
(13.32)
|(y |(t))|2 =
1 sin(0 t)
.
2
(13.33)
dan
285
Akibatnya (dengan cara perhitungan yang sama) rerata < Sy > diberikan
oleh
~
< Sy > = sin(0 t).
(13.34)
2
~ > diberikan oleh
Dengan demikian rerata spin < S
~ > =< Sx > i+ < Sy > j = ~ cos(0 t)i + ~ sin(0 t)j.
<S
2
2
(13.35)
z + z
2
2
i
i
e
e
= z+ + z
2
2
1 +
1
= z z
2
2
(T ) =
(13.36)
Terlihat bahwa (T ) tidak mewakili keadaan yang sama dengan yang diwakili oleh (0) = x . Hal ini menunjukkan bahwa T bukanlah periode
rotasi sistem dalam ruang keadaan. Akan tetapi bila ditunggu sampai
t = 2T , maka didapatkan
ei0 2T /2 + ei0 2T /2
z +
z
2
2
ei2
ei2
= z+ + z
2
2
1 +
1
= z + z
2
2
= (0).
(2T ) =
(13.37)
286
13.3
~ = g S,
~
(13.38)
*
6
B0
KAA
A
A
A
A
Sz H H
A
H
S
A
A
~
A
A
B1 sin(t)A
A
H
H
S
x HH
B cos(t)
Sy
Sketsa 13.2 Resonansi Magnetik Spin (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh
M.F.Rosyid)
Telah dibahas sebelumnya, bahwa sebuah zarah berspin- 12 dan bermuatan q akan berpresesi seputar sumbu-z bila dipengaruhi oleh medan magnet seragam B0 k ke arah sumbu-z. Zarah tersebut berpresesi dengan
frekuensi 0 = g|q|B0 /2mc. Resonansi magnetik terjadi bila medan magnet
287
(13.39)
H(t)
=
~ B(t)
(13.40)
i
h
= g
B1 cos(t)Sx B1 sin(t)Sy + B0 Sz .
~
Dengan memanfaatkan basis ortonormal {z+ , z } yang disusun oleh dua
swakeadaan operator Sz , maka persamaan Schrodinger
i~
= H(t)
t
(13.41)
a(t)
0 1
a(t)
i~
= B1 cos(t)
1 0
b(t)
t b(t)
2
a(t)
0 i
B1 sin(t)
b(t)
i 0
2
a(t)
1 0
B0
,
b(t)
0 1
2
(13.42)
dengan
~
Sx =
2
0 1
1 0
,
~
Sy =
2
0 i
i 0
serta
(t) =
,
a(t)
b(t)
dan
~
Sz =
2
1 0
0 1
(13.43)
,
(13.44)
dengan
a(t) = (z+ |(t))
Matriks-matriks
0 1
x =
,
1 0
y =
0 i
i 0
dan
b(t) = (z |(t)).
,
dan
z =
1 0
0 1
(13.45)
(13.46)
288
atau
a
b
"
=i
g B
g B1 (it)
g B0
+ 2~
a
2~ be
g B0
g B1
(it)
2~ b
2~ ae
#
.
(13.48)
g B
1
0
Bila didefinisikan 1 := 2~
dan 0 := 2~
maka diperoleh
a
1 be(it) + 0 a
=i
1 ae(it) 0 b
t b
(13.49)
atau
a
= i(1 be(it) + 0 a)
(13.50)
t
b
= i(1 ae(it) 0 b).
(13.51)
t
Oleh karena itu kita dapatkan sistem persamaan differensial terkopling.
Sekarang diandaikan bahwa pada saat t = 0 partikel berada pada keadaan
spin up, yakni (0) = z+ . Dengan kata lain a(0) = 1 dan b(0) = 0.
Selanjutnya diandaikan a(t) dan b(t) berturut-turut berbentuk
a(t) = a
eia t
(13.52)
b(t) = beib t ,
(13.53)
dan
dengan a
dan b bebas waktu. Dengan mensubtitusikan pers.(13.52) dan
pers.(13.53) ke dalam dua persamaan sebelumnya diperoleh
(a 0 ) 1 eit
a
(13.54)
it
b = 0,
1 e
(b + 0 )
dengan := a b . Faktor a
dan b bebas waktu jika = 0. Hal ini
berarti bahwa a = b + . Selanjutnya, pers.(13.54) memberikan jawaban
tak sepele (nontrivial solution) jika determinan
(a 0 ) 1 eit
(13.55)
1 eit (b + 0 )
289
(13.56)
b2 + b + 0 20 21 = 0.
(13.57)
atau
2
= 4( 0 ) + 421 .
2
Bila ungkapan terakhir ini dimasukkan kembali ke pers.(13.58), maka didapatkanlah
,
(13.59)
b =
2
dengan
2 := ( 2 0 )2 + 21 . Karena a = + b , maka didapatkan pula
dua jawaban untuk a , yaitu
a =
Jadi,
b(t) = b1 exp[i(
.
2
)t] + b2 exp[i( +
)t]
2
2
(13.60)
(13.61)
dan
+
)t] + a2 exp[i(
)t].
(13.62)
2
2
Karena b(0) = 0, maka b1 + b2 = 0. Hal ini semakna dengan persamaan
b1 = b2 := C/2i. Oleh karena itu
a(t) = a1 exp[i(
b(t) = C(sin(
t))ei(/2)t .
(13.63)
i1
.
(13.64)
290
i1
(sin(
t))ei(/2)t = (z |(t)).
(13.65)
Bilangan
|b(t)|2 =
21
|1 |2
2
(sin(
t))
=
sin2 (
t)
|
|2
(0 2 )2 + 21
(13.66)
menunjukkan peluang untuk flip dari spin up ke spin down. Dari persamaan (13.66) terlihat bahwa peluang |b(t)|2 maksimum pada titik 0 =
/2. Dalam eksperimen, terdapat peranti yang dapat menunjukkan terjadinya flip sekaligus jumlah flip nisbi. Dengan mengatur frekuensi
medan induksi magnetik, yakni , jumlah terjadinya flip dapat diatur.
Pada saat jumlah terjadinya flip maksimum, berlaku 0 = /2. Dengan
demikian kita dapat mengetahui besarnya 0 melalui pengaturan . Dari
g B0
faktor g dapat dihitung, yaitu
persamaan 0 = 2~
g=
13.4
0 2~
.
B0
(13.67)
Soal-soal
1. Andaikan
E0 0 A
0 E1 0
A 0 E0
(13.68)
13.4. SOAL-SOAL
291
Tinjauan ini
3. Ditinjau suatu sistem kuantum bermomentum sudut J.
hanya dibatasi pada subruang swanilai tiga dimensi yang dibentang
oleh basis {11 , 10 , 11 } yang masing-masing anggotanya meru 2 dengan swanilai 2~2 dan
pakan swakeadaan bersama dari operator J
operator Jz dengan swanilai berturut-turut ~, 0 dan ~. Andaikan
sistem tersebut memiliki Hamiltonan
0 = aJz + b Jz2 ,
H
~
(13.69)
dengan a dan b dua tetapan positif yang diatur sedemikian rupa se 0 tidak merosot!
hingga swanilai-swanilai H
(a) Andaikan sistem pada saat t = 0 berada pada keadaan
1
1
1
(0) = 11 + ei 10 11 ,
3
3
3
(13.70)
292
Bab 14
14.1
Ditinjau suatu sistem fisis yang berupa partikel bermassa yang berada
dalam lingkungan berpotensial V (r). Secara klasik, Hamiltonan sistem
293
294
diberikan oleh
H(r, p) =
|p|2
+ V (r).
2
(14.1)
Telah dijelaskan dalam bab-bab yang lalu bahwa selain sebagai pengenal
suatu sistem fisis bentuk fungsional tenaga potensial juga berperan dalam
penentuan pendekatan yang harus diambil dalam pembahasan sistem fisis
terkait. Dalam koordinat bola (segera akan ditunjukkan), momentum sudut
orbital dan yang disebut momentum radial memegang peran penting dalam
pemisahan persamaan atas dua bagian : bagian radial dan bagian sudut.
Akan dijelaskan bagaimana kedua jenis momentum tersebut muncul dan
berperan dalam persamaan-persamaan dinamika.
Berdasarkan hitung vektor
(A B)2 = (A B) (A B) = |A|2 |B|2 (A B)2 ,
(14.2)
(14.3)
= |r| |p| (r p) .
Bila r := |r| maka persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk
L2 = r2 |p|2 (r p)2 .
Oleh karena itu, tampak bahwa kwadrat momentum linier |p|2 memenuhi
persamaan
|p|2 =
L2
1
L2
+ 2 (r p)2 = 2 + p2r ,
2
r
r
r
(14.4)
1 L2
p2r
+
+ V (r).
2 r2
2
(14.5)
295
bagian L2 /r2 . Operator yang sesuai bagi kedua ungkapan klasik tersebut
tentu saja dapat diperoleh dengan menerapkan apa yang telah dijelaskan
pada bab pengkuantuman. Namun, dalam bab ini hendak dicoba cara lain
guna menambah wawasan. Karena L2 dan 1/r keduanya Hermitean serta
saling komut, maka operator
\
L2
r2
yang memenuhi persamaan
\
L2
1 2
(r) := 2 L
(r),
2
r
r
(14.6)
untuk setiap fungsi gelombang (r), merupakan operator yang well defined
dan bersifat Hermitean.
Sementara itu, usulan operator
1
1
) = (x
(r p
px + y py + z pz )
r
r
(14.7)
pr =
p
(14.8)
2 r
r
r
r
r
1
(i~) 5 + (i~) 5 .
=
2
r
r
Karena hasil simetrisasi, maka dengan sendirinya operator ini merupakan
operator yang Hermitean. Untuk sembarang fungsi gelombang (r) berlaku
1
r
r
pr (r) =
(i~) 5 + (i~) 5 (r)
(14.9)
2
r
r
r
r
1
=
(i~) 5(r) + (i~) 5 (r)
2 r
r
1
= i~
+
(r).
r r
Oleh karenanya ungkapan eksplisit untuk pr diberikan oleh
1
1
pr = i~
+
= i~
r.
r r
r r
(14.10)
296
2 diberikan oleh
Berdasarkan pers.(14.4), ungkapan untuk operator p
2
1 2
2
2 1
= ~
p
r 2 2L
(14.11)
r r2
~ r
Dengan demikian, operator Hamiltonan bagi sistem fisis tersebut diberikan
oleh
1 2
~2 1 2
r 2 2 L + V (r, , ).
(14.12)
H=
2 r r2
~ r
Dan dinamika sistem fisis oleh karena itu merupakan lintasan dalam ruang
fase yang ditentukan (di antaranya) oleh persamaan Schrodinger
i~
~2 1 2
1 2
(r, , , t) =
[r(r, , , t)] +
L (r, , , t)
2
t
2 r r
2r2
+V (r, , )(r, , , t).
(14.13)
14.2
Pertama kali, hendak dibicarakan sistem fisis yang berupa partikel bebas.
Dalam hal ini dipilih selalu V (r) = 0 di mana-mana. Dari pers.(14.12),
operator Hamiltonan yang sesuai bagi sistem ini diberikan oleh
~2 1 2
1 2
H=
r 2 2L .
(14.14)
2 r r2
~ r
Persamaan swanilai tenaga untuk sistem fisis ini adalah
~2 1 2
1 2
r 2 2 L = E.
2 r r2
~ r
(14.15)
2 ] = [H,
L
L
z ] = 0. Oleh kareDapat ditunjukkan dengan mudah bahwa [H,
2
(rElm )
Elm = EElm .
(14.16)
2 r r2
r2
297
1 d2
l(l + 1)
2E
(rREl ) +
REl = 2 REl .
2
2
r dr
r
~
(14.18)
j0 ()
sin
j1 ()
sin
2
j2 ()
3
3
cos
sin
3
2
cos
j0 (kr).
k
r dr
(14.20)
298
Oleh karena itu jawaban bagi masalah swanilai pers.(14.16) diberikan oleh
k,l,m (r, , ) = jl (kr)Ylm (, )
Ek =
~2 k 2
2
(14.21)
(14.22)
(k k 0 ).
2k 2
(14.23)
(14.24)
merupakan himpunan ortonormal lengkap. Karenanya setiap fungsi gelombang (r, , ), dengan (r, , ) R3r , dapat dituliskan sebagai kombinasi
linier1
Z
(r, , ) =
dk
K
dk
K
l=0 m=l
Z
=
l
X X
l
X X
(14.25)
l=0 m=l
dengan
Z
Z +
(k,l,m |) =
0
(14.26)
14.3
Setelah kita membahas zarah bebas, maka saatnya kita meninjau kehadiran
suatu potensial di sekitar zarah itu. Potensial yang hendak ditinjau adalah
potensial terpusat, yaitu potensial yang hanya tergantung pada jarak dari
1
Tanda
wilayah K.
R
K
299
titik pangkal, yaitu V = V (r). Potensial semacam ini juga dikatakan sebagai potensial yang memiliki simetri bola. Contoh sistem fisis semacam ini
adalah elektron dalam atom hidrogen dengan potensial yang berbanding
lurus dengan 1/r, yakni yang dikenal sebagai potensial Coulomb.
Hamiltonan klasik bagi zarah yang hidup dalam sembarang potensial
terpusat V (r) diberikan oleh
H(r, p) =
p2
+ V (r),
2
(14.27)
= ~
H
2
1 2
1 2
r 2 2L
2
r r
~ r
+ V (r).
(14.28)
1 2
1 2
r 2 2 L + V (r) = E.
r r2
~ r
(14.29)
2 ] = [H,
L
Lz ] = 0. Oleh karena itu, seperti
Dalam kasus inipun berlaku [H,
yang telah dilakukan sebelumnya, diusulkanlah pemisahan peubah menurut
(r, , ) = Elm (r, , ) = REl Ylm (, ).
(14.30)
(rREl ) + V (r) +
REl = EREl .
2 r dr2
2r2
(14.31)
r0
rV (r) < .
(14.32)
Hal ini berakibat r2 V (r) 0 jika r 0. Kemudian, sebagaimana lazimnya, disyaratkan bahwa penyelesaian Elm (r, , ) = REl (r)Ylm (, ) ter-
300
normalisasi. Artinya,
1 = (Elm |Elm )
Z Z 2 Z
|Elm (r, , )|2 r2 sin dddr
=
0
0
0
Z Z 2 Z
=
|REl (r)|2 |Ylm (, )|2 r2 sin dddr
0
0
0
Z
Z 2 Z
2
2
m
2
=
r |REl (r)| dr
|Yl (, )| sin dd .(14.33)
0
(14.34)
(14.35)
rREl (r) = 0.
(14.36)
rREl (r) = 0
(14.39)
lim
rREl (r) = 0.
(14.40)
r
r0
301
Dengan mendefinisikan uEl (r) menurut uEl (r) = rREl (r) dan mensubtitusikannya ke dalam pers.(14.31), maka didapatkan persamaan differensial
biasa berderajad dua berikut
~2 d2 uEl
~2 l(l + 1)
+ V (r) +
uEl = EuEl ,
(14.41)
2 dr2
2r2
dengan syarat batas
uEl (r) 0 und r 0
(14.42)
(14.43)
dan
Pers.(14.41) dapat dipandang sebagai persamaan Schrodinger satu dimensi
dengan potensial
~2 l(l + 1)
V 0 (r) = V (r) +
.
(14.44)
2r2
Fungsi V (r) disebut potensial efektif. Suku
~2 l(l + 1)
=: Vs (r)
2r2
dalam ruas kanan pers.(14.44) disebut tanggul sentrifugal. Karena tanggul Vs (r) selalu positif, maka Vs (r) berpengaruh memperdangkal sumur
potensial V (r). Hal ini kelihatan jelas sekali pada kasus potensial Coulomb
V (r) = b/r, dengan b suatu tetapan positif (lihat bab 15).
14.3.1
Ditinjau sebuah zarah yang terjebak di dalam sebuah bola berjejari a yang
berdinding cukup kedap bagi zarah itu. Oleh karenanya zarah itu berada
dalam potensial yang secara matematik diberikan oleh
0 untuk r < a
V (r) =
(14.45)
untuk r a.
Jadi, dalam masalah ini terdapat dua wilayah dengan potensial yang cukup
kontras, yakni wilayah I dengan potensial V (r) = 0 dan wilayah II yang
memiliki potensial tak terhingga. Pada wilayah I, zarah merupakan zarah
bebas sehingga dalam wilayah ini berlaku pers.(14.16). Bila didefinisikan
k 2 dan sebagaimana sebelumnya, maka dalam wilayah ini berlaku pula
302
(14.46)
k 2 ~2
,
2
(14.48)
9, 8596 ~2
,
a2 2
E20 =
39, 4384 ~2
,
a2
2
dan
E30 =
88, 7364 ~2
a2
2
(14.49)
20, 1601 ~2
a2
2
dan
E21 =
59, 7529 ~2
.
a2
2
(14.50)
3. dst.
14.4
Dalam bagian ini hendak dibahas sistem fisis yang berupa sebuah zarah
bermuatan listrik q yang hidup di lingkungan bermedan magnet (digambarkan oleh potensial vektor A) dan dalam pengaruh potensial terpusat
303
V (r). Hamiltonan klasik untuk sistem semacam ini diberikan oleh (lihat
buku [Gol] untuk lebih rincinya)
H =
=
1
q
q
p A p A +V
2
c
c
2
2q
1
q
2
2
p Ap+ 2A +V
2
c
c
(14.51)
2
L
1 2
r
+
.
r r2
r2
(14.52)
Operator bagi A2 adalah perkalian dengan A2 sendiri. Bagaimanakah halnya dengan suku tengah? Jelasnya, operator apa yang harus mewakili Ap?
(sebab A
= A gayut pada posisi r),
tidak komut dengan A
Mengingat p
maka diperlukan simetrisasi untuk A p. Bila hal itu dilakukan maka akan
p
+p
A)/2.
diperoleh bahwa wakilan operator bagi Ap diberikan oleh (A
Dengan mudah didapat ungkapan eksplisit untuk kedua suku dalam operator tersebut sebagai
p
= A (i~) 5
A
= i~(A 5 + 5 A) = A p
A
i~ 5 A.
p
(14.53)
(14.54)
2
1 2
L
2q
q2 2
+
A
A
r r2
~2 r2 c~2
~2 c2
!
+ V (r).
(14.55)
304
menjadi
2
= ~
H
2
~2
=
2
2
1 2
L
q
q2
+
(B
r)
(B r)2
r r2
~2 r2 c~2
4~2 c2
!
+ V (r)
!
2
1 2
L
q
q2
) 2 2 (B r)2 + V (r)
r 2 2 + 2 B (r p
r r2
~ r
c~
4~ c
!
2
2
1 2
L
q
q
2
r 2 2 + 2B L
(B r) + V (r)
r r2
~ r
c~
4~2 c2
~2
2
2
2
L
q
~2 1 2
+ q (B r)2 + V (r).
r
+
L
2 r r2
2r2 2c
8c2
(14.56)
q2
(B
8c2
r)2 ,
(14.57)
2
~2 1 2 (r)
L
q
z + V = E.
+
B0 L
2
2
2 r r
2r
2c
(14.59)
= [H,
L]
L
z ] = 0, maka sebagaimana kasus-kasus sebelumnya
Karena [H,
diusulkan pemisahan peubah
(r, , ) = Elm (r, , ) = REl (r)Ylm (, ).
(14.60)
~2 1 d 2
l(l + 1)~2
qB0 m~
(rR
(r))
+
REl (r)
REl (r) + V (r)REl (r)
El
2 r dr2
2r2
2c
= EREl (r).
(14.61)
(rREl (r))+
+ V (r) REl (r) = E +
REl (r).
2 r dr2
2r2
2c
(14.62)
305
qB0 m~
,
2c
(rR
(r))
+
+
V
(r)
REl (r) = EREl (r).
El
2 r dr2
2r2
(14.63)
(14.64)
Bila kedua ruas persamaan terakhir ini dikalikan dengan Ylm (, ), maka
didapatlah persamaan
2 Elm
~2 1 2 (rElm ) L
+
+ V Elm = EElm .
2 r
r2
2r2
(14.65)
Pers.(14.65) tidak lain adalah persamaan swanilai tenaga untuk zarah yang
berada dalam potensial terpusat V (r) tanpa kehadiran medan magnet,
0 didefinisikan menurut
yakni pers(14.29). Bila H
2
2
2
0 = ~ 1 r + L + V (r)
H
2
2 r r
2r2
(14.66)
2
2
2
B = ~ 1 r + L q B0 L
z + V (r),
H
2 r r2
2r2 2c
(14.67)
B menurut
dan H
maka didapatkan
0 Elm = EElm
H
(14.68)
B Elm = EElm .
H
(14.69)
dan
0 dengan swanilai E merupakan swafungsi bagi
Jadi, swafungsi Elm dari H
B dengan swanilai
H
qB0 m~
E =E
.
(14.70)
2c
Kehadiran gangguan B oleh karena itu mengakibatkan perubahan swanilai
E. Perhatikan bahwa Elm dan Elm0 untuk m 6= m0 merupakan swafungsi
0 dengan swanilai E yang sama :
dari H
0 Elm = EElm
H
306
B
Namun, Elm dan Elm0 dengan m 6= m0 merupakan swafungsi dari H
dengan swanilai yang berbeda
B Elm = E qB0 m~ Elm
H
2c
B Elm0 =
H
qB0 m0 ~
E
2c
Elm0 .
14.5
Aras-Aras Landau
1
q
1
qyB0 2
(p A)2 =
(p +
i) .
2
c
2
c
(14.72)
(14.74)
307
=
Berdasarkan pers.(14.73) dapat ditunjukkan berlakunya identitas [
px , H]
[
pz , H] = 0. Akibatnya, operator px , pz dan H memiliki swakeadaan
bersama. Swakeadaan-swakeadaan bersama bagi px dan pz berbentuk
ei(px x+pz z)/~ =: ei(kx x+kz z) .
(14.75)
dapatlah
Jadi, swakeadaan bersama bagi operator-operator px , pz dan H
dituliskan sebagai
= f (y)ei(kx x+kz z) ,
(14.76)
dengan f (y) ditentukan kemudian. Bila pers.(14.76) dimasukkan ke dalam
pers.(14.74), maka diperoleh
1
qyB0
q 2 y 2 B02
2 2
2
2 2
~ kx + 2
~kx +
+ py + ~ kz f = Ef,
2
c
c2
(14.77)
(14.78)
q 2 B02
c2
y0 :=
dan
c~kx
.
qB0
(14.80)
Tetapan , dengan
K
=
:=
qB0
c
2
(14.81)
disebut frekuensi cyclotron. Persamaan swanilai (14.79) sama kenampakannya dengan persamaan swanilai tenaga untuk getaran selaras satu dimensi
dengan titik acuan y = y0 . Sedangkan swanilai-swanilai tenaga bagi osilator semacam itu adalah
En
~2 kz2
1
= (n + )~,
2
2
(14.82)
308
1
fn (y) = An Hn
(y y0 ) exp
(y y0 ) ,
(14.84)
~
2 ~
En =
1
(x, y, z) = An Hn
(y y0 ) exp
(y y0 ) + i(kx x + kz z) .
~
2 ~
(14.85)
14.5.1
Bila pada kasus sebelumnya potensial skalar V (r) lenyap, maka kita mempunyai dua sistem fisis yang hampir serupa : kedua-duanya sama-sama
berupa partikel bermuatan listrik q yang berada dalam pengaruh induksi magnetik B = B0 k. Yang membedakan adalah potensial vektor yang
membangkitkan induksi magnetik itu. Secara klasik seharusnya sistem fisis terebut memiliki karakter atau penyelesaian yang sama karena secara
klasik medan induksi magnetik lebih fisis daripada potensial vektor. Akan
tetapi dalam mekanika kuantum justru potensial vektorlah yang lebih fisis
dibandingkan dengan medan induksi magnetik. Kenyataan ini juga telah
disadari oleh Bohm dan Aharonov [BoAh]. Masalah ini juga ditinjau dalam
konteks yang lebih umum dalam [Ros2].
14.6
Soal-soal
1 2
r
r r2
(14.86)
14.6. SOAL-SOAL
309
(14.87)
310
Bab 15
Dalam bagian ini hendak ditinjau sistem fisis yang tersusun atas dua
zarah. Andaikan zarah pertama bernassa 1 dan yang kedua bermassa 2 .
Secara klasik Hamiltonan sistem dua zarah semacam ini diberikan oleh
p2
p2
H(r1 , r2 , p1 , p2 ) = 1 + 2 + V (r1 , r2 ),
(15.1)
21 22
dengan r1 (p1 ) dan r2 (p2 ) berturut-turut menunjukkan posisi (momentum) zarah pertama dan kedua. Di sini kita hanya akan meninjau sistem dua zarah yang terlibat suatu interaksi sedemikian rupa sehingga
V (r1 , r2 ) = V (|r1 r2 |), yakni potensial interaksinya hanya gayut pada
jarak relatif antar zarah kedua zarah itu.
Agar kelihatan lebih mudah dalam pembahasannya, perlu dilakukan
alih bentuk (lihat Sketsa 15.1!)
(r1 , r2 , p1 , p2 ) 7 (r, R, p, P),
311
(15.2)
312
dengan
1 r1 + 2 r2
1 + 2
2 p1 1 p2
p=
.
1 + 2
r = r2 r1 ,
R=
P = p1 + p2 ,
(15.3)
(15.4)
1 2
dan M := 1 + 2 .
(15.6)
1 + 2
disebut massa tereduksi dan M massa total. Jadi, masalah dua zarah
bermassa 1 dan 2 dapat dipandang sebagai masalah dua zarah bermassa
M dan , partikel bermassa M terletak di pusat massa sedang partikel
yang bermassa bergerak relatif terhadap pusat massa.
:=
z 6
XX
I XXXX
@
1 @
XX
XXXr
@
XXX
'$
XXX
@
XXX
r1@
z
*
@
R
r2 &%
@
2
@
@
y
@
-
x
Sketsa 15.1 Konfigurasi Dua Partikel (Sketsa ini dirancang dan digambar oleh
M.F.Rosyid)
313
Pers.(15.5) menunjukkan bahwa R = Xi + Y j + Zk merupakan koordinat siklis, yakni koordinat yang tidak terkandung oleh H secara eksplisit.
Akibatnya berdasarkan persamaan gerak Hamilton
dP
d
H
H
H
= (Px i + Py j + Pz k) =
i+
j+
k = 0.
(15.7)
dt
dt
X
Y
Z
Jadi, momentum total sistem bersifat lestari. Pusat massa sistem oleh
karena itu bergerak dengan kecepatan tetap R(t) = R(0) + (P/M )t.
i , Pj ] = [
Pada tataran kuantum, berlaku aturan komutasi [X
xi , pj ] =
ij i~, dengan x1 = x, x2 = y, x3 = z, p1 = px , p2 = py , dan seterusnya.
Operator yang mewakili Hamiltonan H dapat dituliskan sebagai jumlahan
dua operator yang masing-masing mewakili HCM dan Hrel ,
=H
CM + H
rel ,
H
(15.8)
dengan
2
2
CM = P
rel = p
H
dan H
+ V (r).
(15.9)
2M
2
CM dan H
rel saling bebas. Artinya, [H
CM , H
rel ] = 0. Maka H
CM
Bagian H
(15.10)
dengan
CM CM (R) = ECM CM (R)
H
dan
(15.12)
15.1
~2
52 CM = ECM CM ,
2M R
(15.13)
314
dengan
+j
k
.
(15.14)
X
Y Z
Penyelesaian untuk persamann swanilai (15.13) tentunya, seperti yang telah
dibicarakan dalam bab sebelumnya, diberikan oleh
5R = i
(15.15)
~2 K 2
.
2M
(15.16)
dengan
P = ~K
dan
ECM =
CM dan
CM dapat pula ditulis dengan melibatkan L
Tetapi Hamiltonan H
(LCM )z menurut
2
2
CM = Pr + LCM
(15.17)
H
2M
2M R2
dan
2 CM
L
Pr2 CM
+ CM 2 = ECM CM .
(15.18)
2M
2M R
Penyelesaian untuk persamaan terakhir ini adalah (lihat bab sebelumnya!)
c
(, ),
CM (R, , ) = jlc (KR)Ylm
c
(15.19)
dengan lc = 0, 1, 2, dan mc = lc , lc + 1, lc 1, lc .
15.2
Bagian Tereduksi
(15.20)
(15.21)
315
(15.22)
(15.24)
(15.25)
atau
15.3
atau
d2
2 d
+
2
dr
r dr
2e
RErel l + 2
~
Ze2 ~2 l(l + 1)
Erel +
r
2e r2
RErel l = 0.
(15.28)
316
Yang hendak dibahas sistem terikat, yakni yang tenaganya Erel < 0. Penyelesaian persamaan ini adalah
Erel = En =
e Z 2 e2
,
2~2 n2
(15.29)
dengan n = 1, 2, 3, dan
"
Rnl () =
2Z
na0
3
(n l 1)!
2n[(n + 1)!]3
#1/2
l exp(/2)2l+1
n+1 (),
(15.30)
(15.31)
R21 (r) =
R30 (r) =
R31 (r) =
R32 (r) =
3/2
exp(Zr/a0 )
(15.32)
Z 3/2
Zr
2
1
exp(Zr/2a0 )
(15.33)
2a0
2a0
Z 3/2 1/2 Zr
exp(Zr/2a0 )
(15.34)
3
2a0
a0
Z 3/2
2Zr 2(Zr)2
2
1
+
exp(Zr/3a0 )(15.35)
3a0
3a0
27a20
Z 3/2 4 2 Zr
Zr
1
exp(Zr/3a0 ) (15.36)
3a0
3 a0
6a0
Z 3/2 2 2 Zr 2
exp(Zr/3a0 ).
(15.37)
3a0
27 5 a0
R20 (r) =
Z
a0
Bibliografi
[Ang1] Angermann, B., Doebner, H. D., dan Tolar, J., 1983, Quantum kinematics on smooth manifolds, Lect.Not.Math.1037, SpringerVerlag, Berlin.
318
BIBLIOGRAFI
[Bus] Busch, P., Grabowski, M., dan Lahti, P.J., 1995, Operational Quantum Physics, Springer-Verlag, Berlin.
[Che] Chester, M., 1987, Primer of Quantum Mechanics, John Wiley &
Sons, New York.
[CDL1] Cohen-Tannoudji, C., Diu, B., dan Lalo
u, F., 1977, Quantum Mechanics, volume 1,2, John Wiley and Sons, New York.
[CDL2] Cohen-Tannoudji, C., Diu, B., dan Lalo, F., 1977, Quantum Mechanics, Jilid I dan II, John Wiley & Sons, New York.
[Cor1] Cornwell, J.F., 1984, Group Theory in Physics, jilid I, Academic
Press, New York.
[Cor2] Cornwell, J.F., 1984, Group Theory in Physics, jilid II, Academic
Press, New York.
[Corr] Corry, L., Renn, J., dan Stachel, J., Belated Decision in HilbertEinstein Priority Dispute. Science. 278, 1270(1997).
[Cow] Cowan, R.D., 1981, The Theory of Atomic Structure and Spectra,
University of California Press, Los Angeles.
[Dir] Dirac, P.A.M., 1967, The Principles of Quantum Mechanics, edisi
keempat, Oxford at The Clarendon Press, Oxford.
[Fed] Fedosov, B., 1996, Deformation Quantization and Index Theory,
Akademie Verlag, Berlin.
[Fey] Feynman, R.P., dan Hibbs, A.R., 1965, Quantum Mechanics and Path
Integrals, McGraw-Hill Book Company, New York.
[Gos] Goswami, A., 1992, Quantum Mechanics, Wm. C. Brown Publishers,
Dubuque.
[Gol] Goldstein, H., 1982, Classical Mechanics, 2nd edition, AddisonWesley Pub. Co., London.
[GM] Greiner, W., dan M
uller, B., 1990, Quantenmechanik. Teil 2 Symmetrien, Verlag Harri Deutsch, Frankfurt am Main.
[Gne] Gnedenko, B.V., 1969, The Theory of Probability, MIR Publisher,
Moskow.
BIBLIOGRAFI
319
[Gr] Groenewold, H.J., On the principles of elementary quantum mechanics, Physica 12(1946).
[Hein] Heindorf, L., 1994, Elementare Beweistheorie, Wissenschaftsverlag,
Zrich.
[Hor] Horbatsch, M., 1995, Quantum Mechanics using Maple, SpringerVerlag, New York.
[vHov] van Hove, L., Sur certaine representations unitaires dun groupe de
transformations, Mem. Cl. Sci., Collect. Octavo, Acad. R. Belg. 26,
no.6(1951)
[HW] Haken, H., dan Wolf, H.C., 1984, Atomic and Quantum Physics
Springer-Verlag, Berlin.
[Is] Isham, C.J., 1999, Modern Differential Geometry for Physicists, 2nd
edition, World Scientific, Singapore.
[Kit] Kittel, C., 1963, Quantum Theory of Solids, John Wiley & Sons, New
York.
[Kre] Kreyszig, E., 1978, Introductory Functional Analysis with Applications, John Wiley and Sons, Inc., New York.
[Ld] Landsman, N.P., Classical and Quantum Representation Theory,
dalam : de Kerf, E.A., and H.G.J. Pijls (eds.) Proceedings Seminar
Mathematical Structures in Field Theory. CWI-syllabus 39, Mathematisch Centrum, CWI, Amsterdam. hal. 135-163
[Li] Liboff, R.L., 1992, Introductory Quantum Mechanics, edisi kedua,
Addison-Wesley Pub. Company, Bonn.
[Log] Logunov, A.A., Mestvirishvili, M.A., dan Petrov, V.A., How Were
The Hilbert-Einstein Equations Discovered?, Uspekhi Fizicheskikh
Nauk 174(2004) (physics/0405075 v3).
[Lud] Ludwig, G., 1983, Foundation of Quantum Mechanics, Volume I dan
II, Springer-Verlag, Berlin.
[MaRa] Marsden, J.E., dan Ratiu, T.S., 1999, Introduction to Mechanics
and Symmetry, edisi kedua, Springer-Verlag, Berlin.
320
BIBLIOGRAFI
BIBLIOGRAFI
321
322
BIBLIOGRAFI
Lampiran A
Ruang Vektor
Dalam lampiran ini akan disajikan konsep-konsep dan sifat-sifat pokok ruang vektor.
Definisi A.0.1 Andaikan V suatu himpunan dan + suatu operasi biner
yang didefinisikan dalam himpunan V , artinya setiap dua anggota V sembarang, katakanlah v dan w, dapat diperoleh objek baru v + w yang juga
masih merupakan anggota himpunan V . Selanjutnya, untuk sembarang bilangan nyata a dan sembarang v anggota dari V , andaikan terdapat sebuah
anggota dari V yang diperoleh dari a dan v dan ditulis sebagai av, dibaca
perkalian v dengan skalar riil a.
Himpunan V disertai dengan operasi biner + dan perkalian dengan
skalar riil disebut ruang vektor riil (nyata) atau ruang vektor di atas
lapangan R jika syarat-syarat berikut semuanya dipenuhi :
V.1 Operasi + bersifat asosiatif, yakni (v + w) + u = v + (w + u), untuk
semua v, w, u anggota V .
V.2 V memuat sebuah anggota, sebut saja sebagai , sedemikian rupa
sehingga v + = + v = v untuk setiap v V . Unsur disebut
vektor nol.
V.3 Untuk setiap v V terdapat unsur v yang juga anggota dari V
sedemikian rupa sehingga v + (v) = v + v = . Unsur v disebut
lawan dari v.
323
324
Rn
:=
=
z
}|
{
R R
{(1 , , n )|1 , , n R}
(A.1)
(A.2)
(1 , , n ) Rn , R
(A.3)
325
Contoh A.0.3 Untuk contoh ini F mewakili R dan C. Jadi, F bisa berarti
R ataupun C. Tinjaulah himpunan M (n 1, F ) yang beranggotakan semua
matriks kolom
a1
a2
(A.4)
.. ,
.
an
dengan masing-masing ai anggota F . Dapat dtunjukkan bahwa himpunan
M (n 1, F ) disertai penjumlahan
a1
b1
a1 + b1
a2 b2 a2 + b2
(A.5)
.. + .. =
.
..
. .
.
an
bn
a1
a2
..
.
an
an + bn
a1
a2
..
.
(A.6)
an
(i )
1 + (i )1 = (i + i )1 ,
(A.7)
326
dan
(i )
1 = (i )1 ,
(A.8)
untuk setiap (i )
1 , (i )1 c dan F . Maka c merupakan ruang vektor.
327
Berikut adalah resep sederhana untuk mengetahui apakah suatu subset
dari suatu ruang vektor merupakan subruang vektor ataukah bukan.
Teorema A.0.2 Andaikan V sebagaimana pada definisi terakhir. Subset
W V merupakan subruang vektor dari V jika dan hanya jika kedua
hal berikut dipenuhi : w1 , w2 W dan untuk setiap skalar berlaku
w1 + w2 W dan w1 W .
Bukti : Ada dua pernyataan yang harus dibuktikan. Yang pertama, jika
W subset dari V , maka berlaku w1 + w2 W dan w1 W untuk setiap
w1 , w2 W dan untuk setiap skalar . Tetapi pernyataan ini telah jelas
benarnya karena jika W subruang dari V , maka W bersama penjumlahan
dan perkalian dengan skalar memenuhi kesepuluh aksioma ruang vektor,
termasuk kedua syarat yang disebut di atas. Yang kedua, jika berlaku
w1 + w2 W dan w1 W untuk setiap w1 , w2 W dan untuk setiap
skalar , maka W merupakan subruang vektor dari V. Jika kedua syarat
itu dipenuhi, maka syarat assosiativitas dan komutatifitas jelas terpenuhi,
yakni diwarisi dari dari V . Karena w W untuk sembarang skalar dan
sembarang w W , maka tentu saja berlaku pula untuk = 0 dan = 1.
Jadi, 0w = W dan 1w = w W . Dengan demikian maka syarat
V.1,V.2 V.3,V.4 semua terpenuhi. Sedangkan syarat V.5, V.6, V.7 dan
V.8 dengan sendirinya terpenuhi. Oleh karena itu, W disertai dengan
penjumlahan + dan perkalian dengan skalar merupakan ruang vektor. Jadi,
subruang vektor dari V .
Contoh A.0.8 Ditinjau kembali ruang vektor aritmatik riil Rn . Subhimpunan W = {(0, 2 , 3 , ) Rn | 6= 0} merupakan subruang vektor dari
Rn sebab (0, 2 , 3 , , n ) + (0, 20 , 30 , , n0 ) = (0, 2 + 20 , , n +
n0 ) W dan (0, 2 , 3 , , n ) = (0, 2 , 3 , , n ) W .
Definisi A.0.4 Andaikan V sembarang ruang vektor (bisa riil ataupun
kompleks) dan S subhimpunan dari V dengan S 6= . Suatu unsur v V
yang berbentuk
k
X
v=
ai si
(k finit),
(A.9)
i=1
328
Teorema A.0.3 Ambil andaian seperti pada batasan terakhir. Maka himpunan Span(S) yang beranggotakan semua k.l.f. dari unsur-unsur di S
merupakan subruang vektor dari V .
Bukti : Dalam hal ini kita dapat memanfaatkan teorema A.0.2, yakni
cukup dengan menunjukkan bahwa untuk setiap pasangan v, w Span(S)
sembarang dan sembarang skalar a berlaku v + w Span(S) dan av
Span(S). Bila v, w Span(S), maka v dan w merupakan k.l.f. dari himpunan S. Jadi v dan w dapat dituliskan berturut-turut sebagai
v=
k
X
ai si
i=1
dan
w=
k
X
a0r s0r ,
r=1
dengan k dan
k0
k
X
i=1
ai si +
k
X
r=1
a0r s0r
0
k+k
X
b ,
=1
ai si = a1 s1 + a2 s2 + + ak sk =
329
memiliki penyelesaian a1 , a2 , , ak yang tidak semuanya nol. Subhimpunan S dikatakan bebas linier jika S tidak gayut linier.
Jadi, subhimpunsn S bebas linier jika untuk sembarang kumpulan unsurunsur dari S, katakanlah s01 , s02 , , s0l , persamaan
l
X
(A.11)
i=1
(A.12)
(A.13)
330
Definisi A.0.6 Suatu subhimpunan S dari V dengan1 |S| finit disebut basis finit bagi V jika S bebas linier dan V = Span(S). Suatu ruang vektor
dikatakan berdimensi finit jika V memiliki basis finit atau ruang vektor
itu hanya beranggotakan unsur nol saja. Jika V tidak memiliki basis finit
dan juga bukan ruang vektor yang hanya beranggotakan unsur nol maka V
dikatakan berdimensi infinit.
(i )
1 = (1 , 2 , )
e2
(0, 1 , 2 , 3 , 4 )
e3
(0, 0, 1 , 2 , 3 )
e4
(0, 0, 0, 1 , 2 )
(A.14)
merupakan himpunan yang bebas linier dan merupakan basis bagi ruang c.
Dengan kata lain, ruang vektor c berdimensi infinit.
ai ei = a1 e1 + a2 e2 + a3 e3 + = 0,
(A.15)
i=1
331
Atau
a1 1 = 0,
(A.17)
a1 2 + a2 1 = 0,
(A.18)
a1 3 + a2 2 + a3 1 = 0,
(A.19)
a1 4 + a2 3 + a3 2 + a4 1 = 0,
(A.20)
a1 n+1 + a2 n + + an 2 + an+1 1 = 0,
(A.21)
(A.22)
i=1
ekuivalen dengan
b1 1 = 1 ,
(A.23)
b1 2 + b2 1 = 2 ,
(A.24)
b1 3 + b2 2 + b3 1 = 3 ,
(A.25)
b1 4 + b2 3 + b3 2 + b4 1 = 4 ,
(A.26)
b1 n + b2 n1 + + bn1 2 + bn 1 = n ,
(A.27)
2 .
(A.28)
b2 =
1
(1 )2
Untuk sembarang bilangan bulat positiv n, Pers.(A.27) menelorkan jawaban tunggal
bn =
1
(n b1 n b2 n1 bn1 2 ),
1
(A.29)
332
setelah persamaan-persamaan sebelumnya diselesaikan, yakni setelah didapatkan koefisien-koefisien b1 , b2 , dan bn1 . Jadi, setiap vektor di c secara
tunggal dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari {e1 , e2 , }. Oleh
karena {e1 , e2 , } bebas linier dan membentang c, maka {e1 , e2 , } basis
bagi c.
Teorema A.0.6 Andaikan V ruang vektor berdimensi finit. Maka setiap
basis finit bagi V memiliki anggota yang jumlahnya sama.
Bukti : Andaikan S dan T dua basis finit bagi V dengan |S| = n dan |T | =
m. Karena S basis bagi V , maka S bebas linier dan Span(S) = V . Karena
T bebas linier, maka berdasarkan teorema A.0.5 sebagai subhimpunan dari
V = Span(S) himpunan T memiliki jumlah anggota yang tidak melebihi
jumlah anggota dari S. Artinya, m n. Tetapi, kita dapat pula menukar
peran S dengan T dalam argumentasi di atas. Hasilnya, n m. Oleh
karenanya, secara keseluruhan n = m.
Teorema terakhir di atas menyatakan bahwa jumlah anggota suatu basis
bagi suatu ruang vektor adalah khas bagi ruang vektor tersebut. Dengan
kata lain, jumlah anggota suatu basis merupakan karakteristik yang inheren
dari suatu ruang vektor. Oleh karena itu kita dapat mendefinisikan dimensi
bagi ruang vektor.
Definisi A.0.7 Jika suatu ruang vektor V memiliki basis finit yang beranggotakan n buah vektor dari V , maka V dikatakan berdimensi n dan
ditulis dim(V ) = n.
Teorema A.0.7 Andaikan V suatu ruang vektor (riil maupun kompleks)
berdimensi n. Maka
(a) Sembarang himpunan yang bebas linier dalam V merupakan subhimpunan dari suatu basis bagi V .
(b) Sembarang himpunan bebas linier S dengan |S| = n merupakan basis
bagi V .
(Bukti teorema di atas dapat dilihat di [Apo])
333
Teorema A.0.8 Jika S basis bagi ruang vektor V (riil maupun kompleks)
yang berdimensi sembarang, maka setiap v V dapat dinyatakan sebagai
kombinasi linier dari anggota-anggota S secara tunggal.
Bukti : Andaikan v dapat dinyatakan dengan dua kombinasi linier
X
v=
as s
(A.30)
sS
dan
v=
a0s s.
(A.31)
sS
X
sS
as s =
a0s s
(A.32)
sS
didapatkan
X
(a0s as )s = .
(A.33)
sS
Tetapi, karena S bebas linier, maka tentu saja berlaku as a0s = 0. Jadi,
haruslah as = a0s untuk setiap s.
334
Lampiran B
Fungsi -Dirac
Delta Dirac satu dimensi dapat dianggap sebagai analogi dari delta Kronecker ij untuk indeks kontinyu. Oleh karena itu, -Dirac adalah suatu
simbol (x) sedemikian rupa sehingga ia mempunyai sifat menyaring dalam
artian
Z
(x)f (x)dx = f (0),
(B.1)
untuk sembarang fungsi f yang kontinyu pada titik x = 0 dan untuk sembarang 0 < . Untuk f (x) = 1, maka didapatlah
Z
(x)dx = 1.
(B.2)
(x x1 )dx = 1,
(B.4)
1
336
Akan tetapi, terdapat sekian banyak barisan yang beranggotakan fungsifungsi yang memiliki limit -Dirac. Sebagai contoh adalah fungsi yang
berparameterkan > 0 berikut
1
(x x0 , ) = exp[(x x0 )2 /2 ].
(B.5)
1
exp[(x x0 )2 /2 ]dx = 1
(B.6)
(x , ) =
Z +
1
exp[(x x0 )2 /2 ]f (x)dx
1
exp[ 2 ]f ( + x0 )d.
(B.7)
+
lim (x , ) =
0
1
2
0
lim exp[ ]f ( + x ) d = f (x0 ).
0
(B.8)
Jadi,
1
lim (x x0 , ) = lim exp[(x x0 )2 /2 ]
0
0
(B.9)
(x x0 )
(B.10)
1
exp(|(x x0 )|/),
2
(B.11)
1
,
(x x0 )2 + 2
(B.12)
(x x0 , ) =
D(x x0 , ) =
d(x x0 , ) =
dan lain sebagainya.
337
Satu identitas lagi yang cukup penting diberikan
Z +
Z L
1
1
0
exp[ik(x x )]dk = lim
exp[ik(x x0 )]dk(B.13)
L 2 L
2
1 sin[L(x x0 )]
= lim
L
x x0
0
= (x x ).
Jelasnya,
Z
(B.14)
jika V wilayah di ruang R2 yang memuat titik r0 sebagai titik interior dan
Z
f (r)(r r0 )dxdydz = 0
(B.16)
V
(B.17)
(B.18)
(B.20)
(x x0 )(x x0 ) = 0,
(B.21)
338
[a(x x0 )] =
[(x x0 )(x x00 )] =
dan
[g(x)] =
1
(x x0 ),
|a|
(x x0 ) + (x x00 )
|x0 x00 |
|g 0 (xn )|
(x xn ),
(B.22)
(B.23)
(B.24)
dengan g(x) fungsi yang kontinyu sedemikian rupa sehingga g(xn ) = 0 dan
g 0 (xn ) 6= 0 (xn adalah titik-titik nol bagi g, yakni yang menjadikan nilai g
lenyap).
Dr.rer.nat. Muhammad Farchani Rosyid lahir di desa Gemolong, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 17 Juli 1968.
Pendidikan dasar sampai menengah atas diselesaikannya di desa kelahiran dari
tahun 1975 sampai tahun 1987. Dr. Rosyid menamatkan pendidikan strata satu
(S1) fisika pada jurusan fisika FMIPA UGM pada tahun 1992 dan strata dua (S2)
fisika di universitas yang sama pada tahun 1995. Derajad doktor diperolehnya pada tahun 2000 dalam Mathematical Physics dari Technische Universitat Clausthal,
Republik Federal Jerman dengan dissertasi berjudul : Zum Zusammenhang
zwischen geometrischer Quantisierung und Borel-Quantisierung (On the
Relation between Geometric Quantization and Borel-Quantization). Bidang penelitian yang diminati olehnya adalah Topological and differential geometrical methods
in Physics, Theory of Quantization, Groups and Symmetries, Mathematical Foundations of Quantum Theory. Riwayat Pekerjaan : - Asisten Dosen pada jurusan
Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1992-1996) - Staf peneliti
pada Arnold-Sommerfeld-Institut f
ur Mathematische Physik, Technische Universitat Clausthal, Jerman (1996-2000) - Staf Pengajar pada jurusan Fisika FMIPA
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (sejak tahun 2000). Buku lain yang sedang
dalam proses penulisan : Aljabar Abstrak Untuk Fisikawan.
339