Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis adalah peradangan (inflamasi) pada selaput lendir hidung (Dorland,
2002). Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering daripada
perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu menyerang sekitar 10 persen dari
populasi umum.
Alergi hidung dapat bersifat musiman seperti demam jerami, atau menetap jika
disebabkan debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai atau ingestan
dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara serta yang dapat ditelan
terbukti mempunyai sifat alergenik. (Boies, 1997)
Karakteristik gejala pada rinitis non alergi sering sulit dibedakan dengan rhinitis
alergi. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang sangat diperlukan. (Boies, 1997)
BAB II
ANATOMI HIDUNG
2.1 Anatomi
Hidung terdiri dari atas dua bagian yaitu nasus externus (hidung luar) dan
cavum nasi.
2.1.1
Nasus externus
Nasus externus berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
kebawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). (George,
1997)
Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi
melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua
nares atau lubang hidung. Setiap nares dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di
medial oleh septum nasi. (Snell, 2006)
Rangka nasus externus dibentuk diatas oleh os nasale, processus frontalis
ossis maxillaries, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka ini
dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilage nasi superior
dan inferior, dan kartilage septi nasi. (Snell, 2006)
Cavum nasi
semilunaris.
Sinus
frontalis
bermuara
dan
dilanjutkan
oleh
ke
nodi
BAB III
FISIOLOGI HIDUNG
3.1 Fisiologi Hidung
allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan spesifik tersebut. (FKUI, 2007)
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinorea, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
allergen yang diperantarai oleh Ig E. (FKUI, 2007)
4.1.2 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam. (FKUI, 2007)
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi
menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL
3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya
dipermukaan
sel
limfosit
menjadi
aktif
dan
akan
10
sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (performed mediators) terutama histamin. Selain
histamin
juga
dikeluarkan
Newly
Formed
Mediators
antara
lain
11
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi. (FKUI, 2007)
4.1.3 Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terusmenerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. (FKUI, 2007)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass)
serta jamur (Aspergillus Alternaria).
b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan. (FKUI, 2007)
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rhinitis alergi. (FKUI, 2007)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
a.
Respon primer
12
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila
Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. (FKUI, 2007)
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hyper
sensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi. (FKUI, 2007)
4.1.4
Gambaran klinis
Rinitis alergika secara khas dimulai pada usia yang sangat muda
dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair,
gatal dan postnasal drip. (Boies, 1997)
Gejala alergi hidung berbeda dengan rinitis infeksiosa. Respon alergi
biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan
banyak. Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun
menjadi purulen, seperti yang terjadi pada rinitis infeksiosa. Awitan gejala
timbul cepat stelah paparan alergen, dapat berupa mata atau palatum yang
gatal berair. Biasanya terungkap suatu pola musiman, atau kaitan dengan
bulu binatang, debu, asap, atau inhalan lain. Gejala penyerta seperti mual,
bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia dapat juga
13
memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasienpasien ini dari penderita rinitis virus.pada pasien dengan diatesis alergika,
seringkali terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada
rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder
akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret. (Boies, 1997)
Pada anak-anak terdapat tanda-tanda yang khas:
1. Allergic shiner: bayangan gelap di daerah bawah mata, karena stasis
vena akibat obstruksi hidung.
2. Allergic salute: anak tampak menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan karena gatal
3. Allergic crease: tampak garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah karena terlalu sering menggosok
4. Facies adenoid: mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
tinggi, sehingga akan mengganggu pertumbuhan gigi geligi.
5. Cobblestone appearance: dinding posterior faring tampang granuler
dan edema.
4.1.5
14
15
16
desensitasi,
hiposensitasi
&
netralisasi.
Desensitasi
dan
inspisited mucous
17
4.2.1 Etiologi
Etiologi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
adalah :
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf
simpatis, seperti
sistem
parasimpatis
yang
hiperaktif,
keduanya
dapat
18
19
Pemicu ( triggers ) :
1. Alkohol
2. Perubahan temperatur atau kelembapan
3. Makanan yang panas dan pedas.
4. Bau bauan yang menyengat ( strong odor ).
5. Asap rokok atau polusi udara lainnya.
6. Faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas.
7. Penyakit penyakit endokrin.
8. Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral.
(Elise Kasakeyan, 1997)
4.2.4 Gejala Klinis
20
21
Pengobatan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan
dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy)
2. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) :
a.Dekongestan
mengurangi
atau
obat
keluhan
Pseudoephedrine
dan
simpatomimetik
hidung
digunakan
tersumbat.
Phenylpropanolamine
untuk
Contohnya
(oral)
serta
22
Prognosis
23
normal
vasomotor
yang
diakibatkan
oleh
pemakaian
Obat
topikal
vasokonstriktor
dari
golongan
24
BAB IV
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Gangguan vasomotor hidung adalah
terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis medikamentosa adalah suatu
kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan
oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung)
25
DAFTAR PUSTAKA
Boies, Adams. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC.
Soepardi, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan
Kepala Leher. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FK
UI.
26
Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.
Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A.
Vasomotor rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999.
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta. EGC.