You are on page 1of 26

1

BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis adalah peradangan (inflamasi) pada selaput lendir hidung (Dorland,
2002). Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering daripada
perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu menyerang sekitar 10 persen dari
populasi umum.
Alergi hidung dapat bersifat musiman seperti demam jerami, atau menetap jika
disebabkan debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai atau ingestan
dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara serta yang dapat ditelan
terbukti mempunyai sifat alergenik. (Boies, 1997)
Karakteristik gejala pada rinitis non alergi sering sulit dibedakan dengan rhinitis
alergi. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang sangat diperlukan. (Boies, 1997)

BAB II
ANATOMI HIDUNG
2.1 Anatomi
Hidung terdiri dari atas dua bagian yaitu nasus externus (hidung luar) dan
cavum nasi.
2.1.1

Nasus externus
Nasus externus berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
kebawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). (George,
1997)
Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi
melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua
nares atau lubang hidung. Setiap nares dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di
medial oleh septum nasi. (Snell, 2006)
Rangka nasus externus dibentuk diatas oleh os nasale, processus frontalis
ossis maxillaries, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka ini
dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilage nasi superior
dan inferior, dan kartilage septi nasi. (Snell, 2006)

2.1 Gambar Anatomi Nasus Externus


2.1.2

Cavum nasi

Cavum nasi terletak dari nares di depan sampai choanae di belakang.


Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap
belahan mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial. (Snell,
2006)
Dasar dibentuk oleh prosessus palatines maxillae dan lamina horizontalis
ossis palatine, yaitu permukaan atas palatum durum. (Snell, 2006)
Bagian atap sempit dan dibentuk dari belakang ke depan oleh corpus ossis
sphenoidalis, lamina cribrosa ossis ethmoidalis, os frontale, os nasale, dan
cartilagines nasi. (Snell, 2006)
Dinding lateral ditandai dengan tiga tonjolan disebut concha nasalis
superior, media dan inferior. (Snell, 2006)
Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas
concha nasalis superior dan di depan corpus ossis sphenoidalis. Di daerah ini
terdapat muara sinus sphenoidalis. (Snell, 2006)
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral concha nasalis superior.
Di sini terdapat muara sinus ethmoidalis posteriores. (Snell, 2006)
Meatus nasi media terletak di bawah dan lateral cocha media. Pada
dinding lateralnya terdapat prominentia bulat, bulla ethmoidalis, yang
disebabkan oleh penonjolan sinus ethmoidalis medii yang terletak di
bawahnya. Sinus bermuara pada pinggir atas meatus. Sebuah celah
melengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bulla. Ujung
anterior hiatus masuk ke dalam saluran berbentuk corong disbut
infundibulum. Sinus maxilaris bermuara pada meatus nasi media melalui
hiatus

semilunaris.

Sinus

frontalis

bermuara

dan

dilanjutkan

oleh

infundibulum. Sinus ethmoidalis anteriores juga bermuara pada infundibulum.


(Snell, 2006)
Meatus nasi media dilanjutkan ke depan oleh sebuah lekukan disebut
atrium. Atrium ini dibatasi di atas oleh sebuah rigi, disebut agger nasi. Di
bawah dan depan atrium, dan sedikit di dalam naris, terdapat vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang telah bermodifikasi dan mempunyai
rambut-rambut melengkung dan pendek, atau vibrissae. (Snell, 2006)
Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral cocha inferior dan
padanya terdapat muara duktus nasolakrimalis. Sebuah lipatan membrana

mucosa membentuk katup yang tidak sempurna, yang melindungi muara


ductus. (Snell, 2006)
Dinding medial atau septum nasi adalah sekat osteokartilago yang
ditutupi membrana mucosa. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis
ossis ethmoidalis dan bagian posteriornya dibentuk oleh os vomer. Bagian
anterior dibentuk oleh cartilage septi. Septum ini jarang sekali terletak pada
median. (Snell, 2006)
Membran mukosa melapisi cavum nasi, kecuali vestibulum, yang dilapisi
oleh kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis membrana
mucosa, yaitu mucosa olfaktorius dan respiratorius. (Snell, 2006)
Membrana mukosa olfaktorius melapisi permukaan atas concha nasalis
superior dan recessus sphenoethmoidalis juga melapisi daerah septum nasi
yang berdekatan dan atap. Fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu
dan untuk fungsi ini mucosa memiliki sel-sel penghidu kuhusus. Akson sel-sel
ini (serabut n. olfaktorius) berjalan melalui lubang-lubang pada lamina
cribrosa ossis ethmoidalis dan berakhir pada bulbus olfaktorius. Permukaan
membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlah
banyak. (Snell, 2006)
Membrana mukosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi.
Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan dan membersihkan udara
inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh adanya plexus venosus di dalam
jaringan submucosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mukus yang
di produksi oleh kelenjar-kelenjar dan sel-sel goblet. Partikel debu yang
terinspirasi akan menempel pada permukaan mucosa yang basah dan lengket.
Mukus yang tercemar ini terus menerus di dorong ke belakang oleh kerja silia
dari sel-sel silindris bersilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di
pharynx 9ucus ini ditelan. (Snell, 2006)

2.2 Gambar Cavum Nasi


2.2 Pendarahan
Bagian atas cavum nasi mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.
(FKUI, 2007)
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya adalah ujung arteri palatine mayor, arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. (FKUI, 2007)
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis. (FKUI, 2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine
mayor yang disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach letaknya superficial
dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering manjadi sumber epistaksis
terutama pada anak. (FKUI, 2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak

memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya


penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (FKUI, 2007)
2.3 Persarafan
Bagian dua pertiga inferior membran mukosa hidung terutama terjadi
melalui nervus nasopalatinus, cabang nervus cranialis V2. Bagian anterior
dipersarafi oleh nervus etmoidalis anterior, cabang nervus nasociliaris yang
merupakan cabang nervus kranialis V1. Dinding lateral cavitas nasi memperoleh
persarafan melalui rami nasales nervi maxilaris (nervus cranialis V2), nervus
palatines mayor dan nervus etmoidalis anterior. (Moore, 2002)
2.4 Aliran limfe cavum nasi
Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum

ke

nodi

submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi


cervicales profundi superior. (Snell, 2006)

BAB III
FISIOLOGI HIDUNG
3.1 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasala adalah:
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4) Fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas.
5) Refleks nasal. (FKUI, 2007)
3.2 Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
(FKUI, 2007)
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan
terjadi sebaliknya. (FKUI, 2007)
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. (FKUI, 2007)
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut
lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. (FKUI, 2007)
3.3 Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya


mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. (FKUI, 2007)
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. (FKUI, 2007)
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan
rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang
berasal dari cuka dan asam jawa. (FKUI, 2007)
3.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). (FKUI, 2007)
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan apaltum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara. (FKUI,
2007)
3.4 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. (FKUI, 2007)
BAB IV
KLASIFIKASI RINITIS
4.1 Rinitis Alergi
4.1.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan

allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan spesifik tersebut. (FKUI, 2007)
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinorea, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
allergen yang diperantarai oleh Ig E. (FKUI, 2007)
4.1.2 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam. (FKUI, 2007)
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi
menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL
3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya
dipermukaan

sel

limfosit

menjadi

aktif

dan

akan

memproduksinimunoglobulin E (igE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke


jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel yang tersensitisasi. Bila mukosa yang

10

sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (performed mediators) terutama histamin. Selain
histamin

juga

dikeluarkan

Newly

Formed

Mediators

antara

lain

prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4),


bradikinin, platelet activating factor (PAF), dan berbagai sitokin. (IL3, IL4,
IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor),
dll. (FKUI, 2007)
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1). (FKUI, 2007)
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut
dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating
Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti

11

asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi. (FKUI, 2007)
4.1.3 Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terusmenerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. (FKUI, 2007)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass)
serta jamur (Aspergillus Alternaria).
b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan. (FKUI, 2007)
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rhinitis alergi. (FKUI, 2007)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
a.

Respon primer

12

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila
Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. (FKUI, 2007)
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hyper
sensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi. (FKUI, 2007)
4.1.4

Gejala Klinis Rinitis Alergi


A.

Gambaran klinis
Rinitis alergika secara khas dimulai pada usia yang sangat muda
dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair,
gatal dan postnasal drip. (Boies, 1997)
Gejala alergi hidung berbeda dengan rinitis infeksiosa. Respon alergi
biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan
banyak. Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun
menjadi purulen, seperti yang terjadi pada rinitis infeksiosa. Awitan gejala
timbul cepat stelah paparan alergen, dapat berupa mata atau palatum yang
gatal berair. Biasanya terungkap suatu pola musiman, atau kaitan dengan
bulu binatang, debu, asap, atau inhalan lain. Gejala penyerta seperti mual,
bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia dapat juga

13

memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasienpasien ini dari penderita rinitis virus.pada pasien dengan diatesis alergika,
seringkali terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada
rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder
akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret. (Boies, 1997)
Pada anak-anak terdapat tanda-tanda yang khas:
1. Allergic shiner: bayangan gelap di daerah bawah mata, karena stasis
vena akibat obstruksi hidung.
2. Allergic salute: anak tampak menggosok-gosok hidung dengan
punggung tangan karena gatal
3. Allergic crease: tampak garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah karena terlalu sering menggosok
4. Facies adenoid: mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
tinggi, sehingga akan mengganggu pertumbuhan gigi geligi.
5. Cobblestone appearance: dinding posterior faring tampang granuler
dan edema.
4.1.5

Diagnosis rinitis alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi
karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.

14

Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau


lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan
mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif. (FKUI, 2007)
b. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga
bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan
mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum
atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain
itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. (FKUI, 2007)
c. Pemeriksaan Penunjang
1) In Vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (FKUI, 2007)
2) In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

15

Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan


alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan
suatu jenis makanan. (FKUI, 2007)
4.1.6 Penatalaksanaan Rinitis Alergi
a. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi
b. Simptomatis
1) Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti
pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik
golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan
atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian
secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan

16

obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa,


budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor. (FKUI, 2007)
2) Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat . (FKUI, 2007)
3) Imunoterapi
Jenisnya

desensitasi,

hiposensitasi

&

netralisasi.

Desensitasi

dan

hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan


yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasilpengobatan lain belum
memuaskan. (FKUI, 2007)
4.1.5

Komplikasi Rinitis Alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis:

inspisited mucous

glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih


eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan
metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasimukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa
yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah. (FKUI, 2007)
4.2 Rinitis Vasomotor

17

4.2.1 Etiologi
Etiologi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
adalah :
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf

simpatis, seperti

ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor


topikal.
b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
c. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue. (Elise Kasakeyan, 1997)
4.2.2 Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan
sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur
oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi
kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom
yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai
penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif
maupun

sistem

parasimpatis

yang

hiperaktif,

keduanya

dapat

menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan


permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi
cairan, edema dan kongesti. (Kopke RD, 1993)
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif
dari selsel seperti Sel mast. Termasuk diantara Peptide ini adalah
histamin, leukotrin, prostaglandin, polypeptide intestinal vasoaktif dan
kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh
darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari system saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang

18

menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh


Ig-E (non-IgE mediated) seperti pada rhinitis alergi. Adanya reseptor zat
iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor. Banyak
kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik.
Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress (emosional atau fisikal).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis
vasomotor yaitu :
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan. (Segal S, 1999)
4.2.3 Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular
pembuluh - pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan
system saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibody
spesifik seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi. Keadaan ini
merupakan reflex hipersensitivitas mukosa hidung yang non spesifik.
Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa factor pemicu. (Segal S,
1999)
Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan
sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada
mukosa hidung. vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung.
Hidung tersumbat dan rinore. Disebut juga rinitis non-alergi (nonallergic
rhinitis), merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan
respon terhadap protein spesifik pada zat allergen nya. (Kopke RD, 1993)

Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh


IgE (IgE-mediated hypersensitivity).

19

Pemicu ( triggers ) :
1. Alkohol
2. Perubahan temperatur atau kelembapan
3. Makanan yang panas dan pedas.
4. Bau bauan yang menyengat ( strong odor ).
5. Asap rokok atau polusi udara lainnya.
6. Faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas.
7. Penyakit penyakit endokrin.
8. Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral.
(Elise Kasakeyan, 1997)
4.2.4 Gejala Klinis

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit


dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore.
Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala
hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke
sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin
tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.
Selain itu dapat dijumpai keluhan yang jatuh ke tenggorok (post nasal
drip). Berdasarkan gejala yang menonjol rhinitis vasomotor dibedakan
dalam dua goloongan yaitu golongan obstruksi (blockers) dan dan
golongan rinore (runners atau sneezers). (Segal S, 1999)
4.2.5 Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya

20

penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan


dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala
sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak
mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka
hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi
dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau
berbenjol (tidak rata). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang
ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi
posterior dapat dijumpai post nasal drip. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit
(skin test) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E
total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada
sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering
menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. (Elise
Kasakeyan, 1997)
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema
dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah
terlibat. (Kopke RD, 1993)

21

Gambar 4.1 Diagnosa Rinitis Vasomotor


4.2.6

Pengobatan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan
dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy)
2. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) :
a.Dekongestan
mengurangi

atau

obat

keluhan

Pseudoephedrine

dan

simpatomimetik
hidung

digunakan

tersumbat.

Phenylpropanolamine

Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung).


b.Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.

untuk

Contohnya
(oral)

serta

22

c.Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,


rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan
paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone.
laser turbinectomy d.Anti kolinergik juga efektif pada pasien
dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium
bromide (nasal spray) (Elise Kasakeyan, 1997)
3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) dapat
dilakukan kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO
(electrical cautery). Diatermi submukosa konka inferior (submucosal
diathermy of the inferior turbinate).

Bedah beku konka inferior

(cryosurgery). Reseksi konka parsial atau total (partial or total


turbinate resection). Turbinektomi dengan laser dan Neurektomi n.
vidianus (vidian neurectomy) yaitu dengan melakukan pemotongan
pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang
hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang
cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. (Kopke
RD, 1993)
4.2.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sinusitis, eritema pada hidung bagian luar
maupun pembengkakan wajah. (Kopke RD, 1993)
4.2.8

Prognosis

Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang


dapat membaik dengan tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan
yang diberikan. (Kopke RD, 1993)

23

4.3 Rinitis Medikamentosa


4.3.1 Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons

normal

vasomotor

yang

diakibatkan

oleh

pemakaian

vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu


lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat
yang berlebih (drug abuse). (FKUI, 2007)
4.3.2 Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap
rangsangan atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal
vasokonstriktor.

Obat

topikal

vasokonstriktor

dari

golongan

simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan


berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. (FKUI,
2007)
Pemakaian obat vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu lama
akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation)
setelah vasokonstriksi sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala
obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut. pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa
adrenergic yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan
penurunan sensitivitas reseptor alfa adrenergik di pembuluh darah sehingga
terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung) menghilang. Akan terjadi
dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga
sebagai rebound congestion. (FKUI, 2007)
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat
tetes hidung dalam waktu lama ialah silia rusak, sel goblet berubah
ukurannya, membrane basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma
tampak edema, hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan PH sekret
hidung, lapisan submukos menebal, dan lapisan periosteum menebal.
(FKUI, 2007)

24

Oleh karena itu pemakaian obat topikal vasokonstriktor sebaiknya


tidak lebih dari satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat isotonic dengan
secret hidung normal (PH antara 6,3 dan 6,5). (FKUI, 2007)
4.3.3 Gejala dan Tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair.
Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan secret hidung
yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak
berkurang. (FKUI, 2007)
4.3.4 Penatalaksanaan
a. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot yang berulang.
b. Untuk mengatasi sumbatan berulang dapat diberikan kortikosteroid oral
dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap dengan
menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari dapat juga dengan
pemberian kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung.
c. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin)
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien
dirujuk ke dokter THT. (FKUI, 2007)

BAB IV
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Gangguan vasomotor hidung adalah
terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis medikamentosa adalah suatu
kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan
oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung)

25

dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung


yang menetap.

DAFTAR PUSTAKA
Boies, Adams. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC.
Soepardi, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan
Kepala Leher. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FK
UI.

26

Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.
Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A.
Vasomotor rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999.
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta. EGC.

You might also like

  • Dasar Pemikiran
    Dasar Pemikiran
    Document4 pages
    Dasar Pemikiran
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Anfis Kelompok 5
    Anfis Kelompok 5
    Document11 pages
    Anfis Kelompok 5
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Referat
    Referat
    Document40 pages
    Referat
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Pedis
    Pedis
    Document18 pages
    Pedis
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • HEMOROID
    HEMOROID
    Document27 pages
    HEMOROID
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document7 pages
    Bab I
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Refreat Fix
    Refreat Fix
    Document22 pages
    Refreat Fix
    Tian Dida
    No ratings yet
  • Laporan Kasus Hemoroid
    Laporan Kasus Hemoroid
    Document21 pages
    Laporan Kasus Hemoroid
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Tinea Pedis
    Tinea Pedis
    Document11 pages
    Tinea Pedis
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • DEMAM BERDARAH DENGUE DAN MORBILI
    DEMAM BERDARAH DENGUE DAN MORBILI
    Document50 pages
    DEMAM BERDARAH DENGUE DAN MORBILI
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Pembahasan
    Pembahasan
    Document6 pages
    Pembahasan
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • KPD
    KPD
    Document7 pages
    KPD
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Obat Anti Jamur
    Obat Anti Jamur
    Document13 pages
    Obat Anti Jamur
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • FibrosisKistik
    FibrosisKistik
    Document2 pages
    FibrosisKistik
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Disfungsi Ereksi
    Disfungsi Ereksi
    Document2 pages
    Disfungsi Ereksi
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Karsinoma Nasofaring
    Karsinoma Nasofaring
    Document3 pages
    Karsinoma Nasofaring
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Pengelolaan DBD
    Pengelolaan DBD
    Document3 pages
    Pengelolaan DBD
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Polip Nasi Revisi
    Polip Nasi Revisi
    Document39 pages
    Polip Nasi Revisi
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Tumor Tiroid
    Tumor Tiroid
    Document11 pages
    Tumor Tiroid
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Referat Akut Abdomen (Edit)
    Referat Akut Abdomen (Edit)
    Document23 pages
    Referat Akut Abdomen (Edit)
    Yulie-ana Bani Mansyur
    No ratings yet
  • Refrat
    Refrat
    Document16 pages
    Refrat
    Yulie-ana Bani Mansyur
    No ratings yet
  • Mielopati
    Mielopati
    Document6 pages
    Mielopati
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Demam Dengue
    Demam Dengue
    Document3 pages
    Demam Dengue
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Kawasaki Disease
    Kawasaki Disease
    Document12 pages
    Kawasaki Disease
    Khanidya Noor Azziza
    100% (1)
  • p3d THT Referat
    p3d THT Referat
    Document26 pages
    p3d THT Referat
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Tetanus 2
    Tetanus 2
    Document1 page
    Tetanus 2
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Referat Myasthenia Gravis Romi
    Referat Myasthenia Gravis Romi
    Document25 pages
    Referat Myasthenia Gravis Romi
    Romi Mauliza Fauzi
    No ratings yet
  • Epista Ks Is
    Epista Ks Is
    Document1 page
    Epista Ks Is
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Document12 pages
    Lembar Pengesahan
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Document2 pages
    Bab Vi
    Khanidya Noor Azziza
    No ratings yet