You are on page 1of 4

Terapi Komplementer VS Terapi Alternatif

Dewasa ini mulai berkembang berbagai macam cara pengobatan yang dipilih oleh
masyarakat, baik yang bersifat farmakologis maupun non farmakologis. Terap farmakologis
yaitu dengan menggunakan obat-obatan yang telah disarankan oleh tenaga medis yaitu
dokter, sedang terapi nonfarmakologis bisa menggunakan beberapa terapi alternatif atau
terapi komplementer. Terapi alternatif atau terapi komplementer merupakan istilah umum
yang digunakan untuk terapi non farmakologis. Terkadang masyarakat mengganggap kedua
terapi tersebut merupakan hal yang sama, padahal terdapat perbedaan antara terapi
komplementer dan terapi alternatif itu sendiri.
Pengertian terapi komplementer menurut National Cancer Institute (2005), merupakan
terapi tambahan yang dilakukan diluar terapi medis sebagai terapi utama dan berfungsi
sebagai terapi pendukung untuk mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan
berkontribusi terhadap pengobatan pasien secara keseluruhan. Sedangkan terapi alternatif
merupakan terapi pengganti dari terapi medis dan pasien tidak menjalani terapi medis.
Berdasarkan pengertian tersebut, kita sudah dapat melihat perbedaan dari kedua terapi, terapi
komplementer dilakukan untuk mengimbangi atau melengkapi terapi medis, sedangkan terapi
alternatif bukan sebagai pelengkap terapi medis.
Terapi alternatif biasanya dilakukan oleh orang-orang yang secara turun temurun di
tempatnya dipercaya mampu melakukan pengobatan atau orang yang telah ikut pelatihan baik
secara resmi maupun tidak resmi (Momon, 2008). Pada terapi ini, terapis menjanjikan
pengobatan dengan cara yang mudah dan tanpa rasa nyeri seperti meminum ramuan, pijat,
totok, atau melakukan hal yang tidak masuk akal seperti memindahkan penyakit pada
binatang, memakan racun ular bahkan meminum urinnya sendiri. Metode-metode yang
dilakukan ini tentu banyak menarik minat masyarakat untuk mencobanya, karena selain tidak
harus merasakan nyeri saat dilakukan terapi, juga terapi alternatif ini memiliki tarif yang
lebih murah. Sehingga banyak masyarakat yang rela meninggalkan pengobatan medis dan
beralih ke pengobatan alternatif tanpa tahu dampak yang akan terjadi. Perlu diketahui bahwa
berbagai macam terapi yang dilakukan pada terapi alternatif belum teruji secara ilmiah,
bahkan terapisnya pun tidak dapat menjelaskan secara ilmiah efek terapi pada kesehatan
pasien (Schmidt & Ernest, 2004)

Berbeda dengan terapi alternatif, terapi komplementer dilakukan oleh orang-orang


yang telah ahli dibidangnya yaitu tenaga kesehatan seperti perawat atau dokter. Manfaat
terapi komplementer yang digunakan sudah teruji secara klinis dan dapat dijelaskan secara
ilmiah, seperti teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri, akupuntur, guide imaginery, dan
sebagainya (Mariah, 2010). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa beberapa terapi
komplementer mampu meredakan gejala-gejala yang ada pada suatu penyakit, tentunya
dengan diimbangi dengan terapi medis. Contohnya yaitu terapi pijat membantu mengurangi
rasa nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pada 380 pasien kanker stadium lanjut yang
mengalami keluhan nyeri sedang-berat (Kutner, Smith et all, 2008) dan menurut National
Center for Complementary and Alternative Medicine (2008), hipnosis mengurangi keluhan
hot flashes sebesar 68 % pada 60 pasien wanita dengan kanker payudara yang mendapat
terapi hormonal. Saat ini berbagai macam terapi komplementer sudah dapat ditemukan
dengan mudah. Terdapat beberapa rumah sakit yang memfasilitasi penggunaan terapi
komplementer untuk mengimbangi terapi medis yang dilakukan seperti di RSPAD Gatot
Subroto yang merupakan pusat terapi hipnotis kedokteran pertama di Indonesia dan di Rumah
Sakit Umum Rd. Soetomo Surabaya, Jawa Timur yang membuka poliklinik obat herbal
Indonesia (Ariyanto, 2011)
Kedua jenis terapi ini memang tidak dilarang oleh pemerintah untuk didirikan atau
digunakan, karena pengobatan tradisional atau alternatif pun ada dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI, No. : 1076/Menkes/SK/2003 tentang pengobatan tradisional. Dan terapi
komplementer ada pada Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. : 1109/Menkes/Per/IX/2007
tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan
kesehatan. Masyarakat memiliki hak untuk memilih jenis pengobatan apa yang akan
dilakukan, hanya saja perlu dipikirkan lebih keritis untuk memilih jenis pengobatan yang
akan dilakukan dengan mengetahui dampak-dampak yang akan terjadi.

Referensi :
Ariyanto. (2011). Kontroversi terapi komplementer. Forkom Alumni Muda Poltekkes prodi
Keperawatan Semarang.
Kutner J, Smith M, Corbin S, et al. (2008). Massage therapy versus simple touch to improve
pain and mood in patients with advanced cancer: a randomized trial.Annals of
Internal Medicine. 149(6):369-79

Mariah, S. (2010). Complementary & alternative therapies in nursing. New York. Springer
Publishing Company, LLC.
Momon, S. (2008). Sosiolgi untuk kesehatan. Jakarta. Salemba Medika
National Cancer Intitute. (2005). Thinking about complementary and alternative medicine. A
guide for people with cancer
National Center for Complementary and Alternative Medicine. (2008). Hypnosis may reduce
hot flashes in breast cancer survivors.
Schmidt, K & Ernest, E. (2004). Assessing website on complementary and alternative
medicine for cancer. Annals of Oncology : 15:773-42

LAPORAN SELF DIRECTED LEARNING (SDL) I


TERAPI KOMPLEMENTER VS TERAPI ALTERNATIF

Disusun oleh:

Nama : Rifa Riviani


NIM : G1D012081
BLOK COMPLEMENTARY NURSING THERAPY
SEMESTER 6

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2015

You might also like