You are on page 1of 11

Perkembangan Islam Pada Masa Bani Umayyah

Pendahuluan

Sejarah peradaban Islam tentang Bani Umayyah yang kami tulis


ini bertujuan untuk lebih bisa memahami secara kritis tentang
peradaban dan kebudayaan Islam Bani Umayyah khususnya dan
umumnya semua peradaban dan kebudayaan Islam, jadi bukan berarti
bahwa masalah-masalah yang menyangkut kebudayaan dan
peradaban Islam lainnya menjadi tidak penting dalam pembahasan ini.

Kebudayaan adalah bentuk ungkapan dengan semangat


mendalam suatu masyarakat, sedangkan manisfetasi-manisfetasi
kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban,
kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi
(agama) dan moral maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi,
dan teknologi.

Kebudayaan paling tidak memiliki 3 wujud. 1. Wujud ideal, yaitu


wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma, dan sebagainya. 2. wujud kelakuan, yaitu wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat. 3. Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan kebudayaan dipakai
sebagai menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai system
teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu
pengetahuan yang maju dan kompleks.

A. Situasi Politik Ummat Islam Sepeninggal ‘Ali ibn Abi


Thalib
Pada saat ‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi
pemberontakan. Diantaranya dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (yang
pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria) dan
didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah dipecat ‘Ali
r.a. Disini timbul indikasi fitnah atau perang saudara karena Mu’awiyah
menuntut balas bagi Utsman (keponakannya) dan atas kebijaksanaan-
kebijaksanaan ‘Ali.

Tatkala ‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria,


mereka bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas,
Shiffin (657).1 Terjadi lah perang yang disebut perang Shiffin. Perang ini
tidak konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya mengarah
pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator
atau penengah. Mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari
(gubernur Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah
‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim pun tetap tidak menyelesaikan
masalah.

Menurut Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah, jalan


yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang
bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi
sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan
hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah
tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetap orientasinya
dalam kebenaran.

Partai ‘Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-orang


yang keluar dari barisan ‘Ali sekaligus menentang tahkim) dan Syi’ah
(para pengikut setia ‘Ali). Sementara itu, Mu’awiyah melakukan
strategi dengan menaklukkan Mesir dan mengangkat ‘Amr ibn al-Ash
sebagai khalifah di sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi
tiga kekuatan politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij.2 Kemunculan
Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah
semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di
Yerusalem (660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam,
salah seorang anggota Khawarij (661).

B. Pengangkatan Hasan ibn ‘Ali sebagai Khalifah

Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada


anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah)
yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu
percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat.3 Hasan
menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.

C. Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah

Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan


posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi
atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan
dalam perjanjian tersebut adalah:

1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun


dari penduduk Irak.
2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan
mereka.
3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan
diberikan tiap tahun.
4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain,
dua juta dirham.
5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari
pemberian kepada Bani Abdi Syams.4

Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam


satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai
khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi
khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas
dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk
Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia
dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau
‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah
pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga
kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan
keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan
bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.5

D. Pengangkatan Yazid sebagai Putra Mahkota dan


Implikasinya Terhadap Perubahan Sistem Pemerintahan dan
Kekuasaan

Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem monarki


(kerajaan) atau monarchiheredetis (kerajaan turun menurun). Suksesi
kepemimpinan seperti ini terjadi ketika Mu’awiyah menitahkan untuk
mewariskan jabatan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid ibn
Mu’awiyah. Maka mulai masuk prinsip warisan jabatan dalam sistem
kekhalifahan.
Ide awal pewarisan kekhalifahan ini sebenarnya berasal dari al-
Mughirah ibn Syu’bah (gubernur Kufah). Ia menyarankan agar
Mu’awiyah mengangkat Yazid. Kemudian Mu’awiyah mengikuti saran
al-Mughirah karena beberapa alasan yang menurutnya kuat, meski
harus mengabaikan saran Ziyad (gubernur Bashra).

Mu’awiyah mempunyai beberapa alasan mengenai


pengangkatan Yazid, yaitu: Pertama, Yazid adalah satu-satunya orang
yang bisa diterima orang-orang Siria, karena apabila dari keluarga lain
akan membawa ke dalam keluarga dan marganya sesuatu yang
mengganggu keseimbangan kekuatan-kekuatan rawan yang telah
dikembangkan oleh Mu’awiyah. Latar belakang pengangkatan Yazid
sebagai putra mahkota dan bukan yang lainnya adalah untuk menjaga
kemashlahatan rakyat dalam kesatuan dan kebersatuan aspirasi
mereka, dengan kesepakatan Bani Umayyah. Alasannya bahwa Bani
Umayyah tidak rela bila khalifah bukan dari kalangan dalam mereka
dalam kapasitas mereka sebagai elit masyarakat Quraisy dan para
penganut Islam secara keseluruhan, sekaligus kelompok yang paling
berkuasa diantara mereka. Kedua, faktor usia Mu’awiyah yang sudah
tua mendesaknya untuk cepat memilih siapa penggantinya. Ketiga,
Mu’awiyah khawatir akan terjadi fitnah sebagaimana fitnah
petumpahan darah sejak kematian Khalifah Utsman.

Atas dasar itu, Mu’awiyah meminta dikirimkan delegasi-delegasi


dari kota-kota besar. Kemudian delegasi yang datang dari kota Bashra,
Kufah, dan Madinah berkumpul dalam sebuah konferensi yang pada
akhirnya mereka sepakat mendukung pembai’atan Yazid.

Yang perlu dikritisi disini ialah Mu’awiyah telah membuat tradisi


baru yang mengubah karakter sistem pemerintahan dalam Islam.
Sistem warisan telah menggantikan posisi sistem permusyawaratan,
dan hal itu nampaknya berdampak abadi dalam sejarah.
E. Perkembangan dan Kemajuan Peradaban yang Dicapai

Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman


imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari
pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik
kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulat
Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan
mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah
imperium Arab.6

Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke


wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan
sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium (Konstantinopel).
Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik yang
berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand,
dan India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul
Malik dengan mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
barat daya, benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan
adalah al-Jazair, Maroko, ibukota Spanyol (Kordova), Seville, Elvira, dan
Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis.
Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah.

Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan


Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan
angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim)
mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan
adalah khaifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan
menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.7 Ia juga melakukan
pembenahan administrasi pemrintahan dan mmberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada
masa khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk
orang cacat, membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung
pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul
Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri, keberhasilannya
antara lain ialah menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah,
memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah
sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan
kedudukan mawali (non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab.
Dengan keberhasilan dan keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz
sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali ibn Abi Thalib.
Di bidang keilmuan atau pendidikan, cakupan keilmuannya tentang
teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan al-Qur’an
pada masa Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar. Di bidang
kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi
Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.

Selain itu, jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah


sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti gaya
pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai
istilah khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut
dirinya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat
oleh Allah. Menurut beberapa ahli sejarah, pola pemerintahan yang
dipakai pada masa Bani Umayyah adalah Otokrasi.8 Walaupun telah
berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya
dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.

F. Gerakan Separatis, Perlawanan dan Pemberontakan


Berbagai kemajuan memang telah dicapai oleh bani Umayyah, namun
konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya
gerakan pemberontakan yang muncul dan pada akhirnya
menimbulkan perang saudara.

Diantara gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain:

• Syi’ah

Gerakan ini merupakan gerakan yang paling kuat, paling berani


dan solidaritas kaumnya sangat tinggi, hingga dapat menjatukan
kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan kaum ini didasarkan
atas kebencian mereka teradap Bani Umayyah dan rasa cinta
mereka terhadap keluarga ‘Ali. Gerakan ini erat kaitannya
dengan pemikiran. Salah satu contoh yaitu dukungan kepada
Hussain ibn Ali agar menolak bai’at terhadap Yazid. Karena
Hussain tetap mempertahankan keteguhannya, ia bersama
pasukannya dibunuh di Karbela.

• Perlawanan Abdullah ibn Zubair

Ia adalah seorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin.


Pertama kali perlawanannya pada saat perang Jamal. Ia adalah
seseorang yang memiliki tipu daya. Ia juga tidak mempunyai
falsafah, revousinya tidak berdasar kepada prinsip-prinsip yang
benar dan bukan pula militer. Hampir dalam setiap
pemberontakan, ia turut ambil bagian,tetapi hanya sebagai
provokator.
• Khawarij

Gerakan ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang keluar


dari barisan ‘Ali atau tidak mendukung ‘Ali. Meskipun benci
terhadap ‘Ali, kaum ini lebih benci lagi terhadap Bani Umayyah.
Nama lain dari golongan ini adalah Muakkimah.
Pemberontakannya terjadi di Kufah dan di Madinah. Mazhab
kaum ini sangat sedikit menggunakan falsafah dan pemikiran-
pemikirannya kurang mendalam.

• Mu’tazilah

Gerakan ini bersifat keagamaan, tidak mengumpulkan pasukan


dan tidak pernah menghunuskan pedang. Gerakan ini sangat
berkaitan dengan mazhab Khawarij. Dalam gerakan ini, muncul
lagi pendapat golongan, seperti Murji’ah, Jabariyah dan
Mu’tazilah itu sendiri.

Karena konflik internal dalam negeri yang tidak bisa diselesaikan,


akhirnya dinasti ini tumbang (750), dan digantikan dengan Daulat Bani
Abbasyiyah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayya
melemah dan membawanya pada keancuran, yaitu:

1. Sistem pergantian kalifah melalui garis keturunan merupakan


sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang menekankan aspek
senioritas. Cara pengaturan yang tidak jelas serta terjadi
persaingan tidak sehat di dalam keluarga kerajaan.
2. Latar belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik pada
masa ‘Ali, jadi banyak perlawanan dari golongan oposisi.
3. Terjadi pertentangan antar etnis, antar suku dan status golongan
mawali.
4. Sikap hidup mewah di istana yang dilakukan anak-anak khalifah.
5. Muncul kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas
ibn Abd al-Muthalib.9

Penutup

Masa-masa keemasan (golden age) yang terjadi pada zaman


Muhammad saw. dan Khulafa ar-Rasyidin telah berakhir dan digantikan
dengan masa Kerajaan (Mulkan/ Kingdom/ Monarchi/ Otokrasi) oleh
Bani Umayyah. Sebagaimana perputaran roda kehidupan, begitulah
yang terjadi dalam sejarah Islam, kadang berada pada posisi puncak
kejayaan dan kadang berada pada posisi paling bawah.

Banyak yang mengecam pemerintaan Bani Umayyah, namun kita


jangan sampai lupa terhadap jasa-jasa dinasti ini yang telah turut
membangun sebuah peradaban. Di tangan Bani Umayyah, Islam
mengalami banyak kemajuan dengan tersebarnya hingga ke banyak
wilayah. Walaupun berubah sistem tapi syiar islam begitu luas.

Bani Umayyah memang tidak bisa disalahkan begitu saja, karena


pastinya para penguasa ini mempunyai ijtihad tersendiri untuk
merubah sistem musyawarah menjadi warisan khalifah disamping
kondisi dan tekanan yang terjadi di masa itu.

1 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina,


2002), hlm. 311.

2 DR. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 40.
3 Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.

4 ‘Aqidatus Syi’ah, hlm. 86.

5 DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani


Press, 2001), hlm.139-140.

6 John L. Esposito, Islam dan politik, (Jakarta: Bulan Bintang,1990)

7 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,


2003), hlm. 258.

8 Aden Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Jakarta:


Safiria Insania Press, 2007)

You might also like