You are on page 1of 19

GIZI BURUK

Latar Belakang / Pendahuluan


Gizi buruk masih menjadi permasalahan gizi utama di Indonesia. Gizi buruk
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian terutama pada balita. Menurut perkiraan WHO,
sebanyak 54% penyebab kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi anak yang
buruk. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang
normal (World Bank, 2006). Berdasar data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun
2010, prevalensi gizi buruk berdasar parameter berat badan menurut umur adalah 4,9%, sedang
prevalensi balita sangat kurus berdasar parameter berat badan menurut tinggi badan adalah
13,3% (Riskesdas, 2010).
A. DEFINISI
Gizi Buruk adalah kekurangan gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dari makanan sehari hari dibanding kebutuhan dan terjadi dalam
jangka waktu yang lama. Gizi buruk diketahui dengan cara pengukuran antropometri yaitu berat
badab (BB) menurut tinggi badan (TB) atau umur dibanding dengan standar, dengan atau tanpa
tanda tanda klinis (marasmus, kwarshiorkor, dan marasmus-kwarshiorkor). Batas gizi buruk
ada balita adalah kurang dari -3,0 SD standar baku WHO (Persagi, 2009).
Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Kamus Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Bayi atau anak yang termasuk gizi buruk adalah yang memiliki satu atau lebih tanda sebagai
berikut : (Depkes, 2011, dan Elsayh et al, 2013)

Terlihat sangat kurus


BB/PB atau BB/TB <-3SD
LILA <11,5cm untuk anak usia 6 59 bulan
Terdapat odema minimal (pada kedua punggung tangan atau kaki) atau seluruh tubuh
Jika terdapat piting odema, maka disebut kwarshiorkor, jika tidak adalah marasmus.
Dan jika terdapat salah satu atau lebih dari tanda di bawah ini, termasuk gizi buruk dengan

komplikasi:
o
o
o

Anoreksia
Pnemoni berat
Anemia berat

o
o
o

Dehidrasi berat
Demam sangat tinggi
Penurunan kesadaran

Penanganan gizi buruk tanpa komplikasi dapat dilakukan dengan rawat jalan,

namun jika terdapat komplikasi maka harus dirawat inap.


o
B. PREVALENSI
o

Berdasar data Riskesdas 2010, secara nasional sudah terjadi penurunan

prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur) pada balita dari 18,4% pada tahun 2007
menjadi 17,9% pada tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4%
pada tahun 2007 menjadi 4,9% tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi
kurang, yaitu tetap 13,0 persen. Penurunan juga terjadi pada prevalensi anak kurus (berat
badan menurut panjang atau tinggi badan), dimana prevalensi balita sangat kurus menurun dari
13,6 persen tahun 2007 menjadi 13,3 persen tahun 2010. 2. Walaupun secara nasional terjadi
penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar
provinsi. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi
nasional. Sedang untuk prevalensi anak kurus teridentifikasi 19 provinsi yang memiliki
prevalensi diatas prevalensi nasional (Riskesdas, 2010).
o

Riset Kesehatan Dasar. 2010. Buku Laporan Riskesdas 2010.

o
C. ETIOLOGI / PENYEBAB
o

Penyebab terjadinya gizi buruk secara langsung adalah kurangnya asupan

dalam jangka waktu lama dan adanya infeksi. Asupan makanan dan infeksi saling
mempengaruhi. Asupan makan yang tidak adekuat dalam jangka lama dapat menyebabkan
defisiensi zat gizi makro dan mikro. Defisiensi zat gizi mikro dan protein dapat menurunkan
sistem imunitas yang akan menyebabkan risiko infeksi menjadi lebih tinggi. Sedang apabila
balita mengalami infeksi atau penyakit bawaan, maka kebutuhan gizinya semakin tinggi, namun
cenderung tidak dapat
o
o

sedang penyebab tidak langsung adalah


Diagram Penyebab Malnutrisi

o
o
o
o
o

Malnutrisi

AKIBAT

Gizi Buruk

Gangguan Pertumbuhan
Asupan Gizi

Penyakit Infeksi

o
o
o
o

PENYEBAB
LANGSUNG
Perilaku
/ Asuhan
Ibu
KetersediaanPelayanan
Pangan PENYEBAB
Kesehatan,
dan
Anak
Tingkat Rumah Tangga
Lingkungan
TIDAK
LANGSUNG

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Kemiskinan, pendidikan rendah,


ketersediaan pangan, kesempatan kerja
Krisis Politik
dan Ekonomi

MASALAH
UTAMA
MASALAH
Sumber : Unicef, 1998 DASAR
The State of The Worlds
Children 1998 (Modifikasi)

o
o
o

o
o
o
o
Inadekuat Asupan
Makanan
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Penyakit Infeksi

o
o
o
o
o

PENYEBAB
LANGSUNG
Perilaku
/ asuhan
ibu dan
Ketersediaan pangan
Pelayanan
kesehatan
PENYEBAB
anak
tidak
adekuat
tingkat rumah tangga
tidak yang
cukup,
lingkungan
TIDAK
tidak cukup
tidak LANGSUNG
sehat

Pendidikan
rendah
Sumber daya dan kontrol dari manusia,
ekonomi, dan organisasi
Superstruktural Politik dan ideologi

MASALAH
DASAR

Struktur Ekonomi
Sumber Potensial

D.
o

AKIBAT

Malnutrisi

Sumber : 1998 dengan modifikasi


PENGUKURAN ANTROPOMETRI

Pada

tahun

1999, World Health Organization (WHO)

mendefinisikan

malnutrisi berat pada balita usia 6 24 bulan

dengan menggunakan

indikator z-score BB/TB atao PB <-3SD dari

referensi populasi, atau terdapatnya odema pitting bilateral. Akan tetapi, keterkaitan diagnosis
berdasar LLA dan z-score BB/TB memiliki hubungan yang rendah. Salah satu contohnya pada
malnutrisi berat di RS Kenya, 65,1% balita malnutrisi menggunakan z-score BB/TB juga
terindikasi dengan menggunakan LLA <115mm, sedang 56% berdasar LLA yang sesuai dengan
z-score BB/TB. Ketidakcocokan diantara dua indikator tersebut bahkan bisa menjadi lebih
ekstrim. Ketidakcocokan tersebut dapat menyebabkan kebingungan dalam menentukan
program rehabilitasi. Apabila menggunakan indikator LLA sebagai penentu status malnutrisi
berat, maka sebaiknya dalam memonitoring perkembangannya menggunakan LLA.
o

Pengukuran antropometri lingkar lengan atas (LLA) <115mm pada balita 6 24 bulan

dapat digunakan sebagai kriteria gizi buruk yang dapat berdiri sendiri. Peningkatan LLA ketika

dalam program rehabilitasi lebih rendah pada balita yang stunted atau lebih pendek, lebih
muda, dan perempuan (Roberfroid, 2013).
o

Roberfroid, Dominique et al. 2013. Utilization of Mid-Upper Arm Circumference


Versus Weight-for-Height in Nutritional Rehabilitation Programmes : A Systematic
Review of Evidence. Wordl Health Organization.

Pengukuran status gizi pada anak dengan LLA digunakan untuk mengasesmen status

gizi dengan cepat pada kondisi darurat, seperti pada kelaparan. Akan tetapi LLA hanya tepat
digunakan pada balita usia 1 5 tahun (Stein, 2014). LLA juga dapat digunakan apabila
parameter BB/TB tidak dapat digunakan, seperti dalam kondisi odema (bukan di lengan) dan
organomegali. Pada balita (0 5 tahun) dapat menggunakan grafik WHO 2005, sedang pada
anak usia > 5 tahun dapat menggunakan rujukan dari Rosalind S, Gibson, Principles of
Nutritional Assessment (Buku RSSA).
o

Klasifikasi malnutrisi berdasar LLA (Stein, 2014)


o

o LLA
>13,5

o Status Gizi
o Tidak

cm
11,5

13,5 cm
<11,5

malnutrisi
Malnutrisi

sedang
Malnutrisi

cm
berat
Data dari World Health Organization and United Nations Childrens Fund. (2009).

Standar pertumbuhan WHO dan identifikasi malnutrisi berat akut pada bayi dan anak. Diakses
pada

26

Agustus

2013,

dari

http://www.who.int/nutrition/publications/severemalnutrition/9789241598163 _eng.pdf
o

Beberapa pendekatan pengukuran antropometri dapat digunakan untuk mengasesmen

malnutrisi. Pada balita odema, malnutrisi dapat diasesmen dengan menggunakan indikator
sebagai berikut :
1. Mungkin BB/TB atau PB > -3SD bila terdapat edema berat (seluruh tubuh) (Depkes,
2011)

2.

BB/U (% dari

Edema

median NCHS)
o

Ada

Tid
ak

80 60

Kwarshiork

or

ada
Und
ern
utrit

< 60

Marasmic

ion
Mar

kwarshiork

as

or

mu
s

o
o
o
o

Didapat dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (1997),

Food and Nutrition Series, No. 29, tersedia pada :


http//www.fao.org/docrep/w0073e05.htm (Stein, 2014)
o

Buku Stein, Natalie. 2014. Public Health Nutrition. Principles and Practice Community

and Global Health. USA : Jones and Bartlett Learning.


o

Penentuan balita gizi buruk dilakuakan dengan :

Deteksi dini gizi buruk


o

Timbang anak

o
o

Isi KMS

o
BB < BGM

o
o
o
o
o
o

Tentukan status gizi dengan BB/U


BB/U <-2SD (Z-score)

BB/U <-2 SD (Z-Score)

Anak gizi kurang

Tentukan status gizi dengan BB/TB

o
o

BB/TB > -3SD

BB/TB < -3SD

Anak kurus/
gizi kurang

Anak sangat
kurus/ gizi buruk

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
E. TANDA GEJALA
o

Secara klinis balita tampak kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki

sampai seluruh tubuh, dan pengukuran antropometri dengan indikator BB/TB stau PB <-3SD
atau LLA <11,5cm untuk balita 6 24 bulan. Pada balita yang mengalami edema berat (seluruh
tubuh) mungkin BB/TB atau PB > -3SD.
o

Jenis malnutrisi dapat dibagi menjadi beberapa kriteria dengan menggunakan

penilaian Score Mclaren, yaitu :


o

Gejala klinis/laboratoris

o
A

Edema

Dermatosis

Edema disertai dematosis

Perubahan pada rambut

Hepatomegali

Albumin serum atau protein total

serum (g%)

Serum

Albumin

Serum

Protein

<1,00

Total
<3,25

1,0

3,25

1,50
1,99

5,50
6,24

6,25
6,99

3,50
3,99

4,75
5,49

3,00
3,49

7,00
7,74

>4,00
o

o
o

4,00
4,74

2,50
2,99

2,00
2,49

3,99

>7,75

o
7
o
6
o
5
o
4
o
3
o
2
o
1
o
0

Kriteria penilaian :

0 3 angka : marasmus

4 8 angka : kwarshiorkor marasmik

9 15 angka : kwarshiorkor

1. Marasmus

Marasmus adalah malnutrisi pada pasien yang menderita kehilangan lebih dari

10 % berat badan dengan tanda-tanda klinis berkurangnya simpanan lemak dan protein
yang disertai dengan gangguan fisiologik, dan tanpa terjadi cedera atau kerusakan jaringan
atau sepsis. Marasmus umumnya terjadi pada 12 bulan pertama karena keterlambatan
pemberian MP-ASI. Marasmus merupakan penyakit kelaparan dan terdapat pada kelompok
sosial ekonomi rendah (Almatsier, 2004).
o

Marasmus terjadi karena kekurangan asupan energi atau karbohidrat dalam

jangka waktu lama sehingga cadangan lemak tubuh digunakan untuk memproduksi energi
yang menyebabkan balita menjadi kurus (wasting).
o
Salah satu penyebab terjadinya marasmus adalah kehamilan berturut turut
dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Marasmus juga dapat disebabkan karena
pemberian makanan tambahan yang tidak higienisserta susu formula yang terlalu encer,
dan jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein
dan kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan lingkungan yang
kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang bersih.
Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran pencernaan. Pada keadaan
lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yangb berulang sehingga menyebabkan
anak kehilangan cairan tubuh dan zat zat gizi sehingga menjadi kurus serta berat
badannya menurun (Depkes, 1999).
o
Tanda gejala marasmus adalah : (Supariasa et al, 2012)
Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan hingga tidak ada
Sering disertai diare kronis atau konstipasi, serta penyakit kronis lainnya
Tekanan darah, detak jantung, dan tingkat pernapasan berkurang
Iga gambang dan perut cekung
Otot paha mengendor (baggy pant)
Cengeng, rewel, setelah mendapat makan anak masih merasa lapar
2. Kwarshiorkor Marasmik
o
Kwarshiorkor marasmik terjadi karena asupan protein dan energi sehari hari
tidak adekuat dalam jangka waktu lama sehingga tidak mencukupi untuk pertumbuhan
normal. Gambaran klinis kwarshiorkor-marasmik merupakan gabungan dari beberapa gejala
klinis kwarshiorkor dan marasmik, disertai dengan edema yang tidak mencolok. Balita
kwarshiorkor marasmik menunjukkan penurunan berat badan atau berat badan <60% dari
berat badan normal dan memmperlihatkan tanda tanda kwarshiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kulit, dan biokimia (Depkes RI, 2000).
3. Kwarshiorkor

Kwarshiorkor dapat terjadi karena asupan protein tidak adekuat dalam jangka

waktu lama. Deplesi protein dalam tubuh dapat menyebabkan edema. Kwarshoirkor dapat
ditemukan pada anak anak yang setelah mendapat ASI dalam jangka waktu lama,
kemudian disapih dan langsung diberikan makanan seperti anggota keluarga yang lain.
Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan makan yang kurang
baik diperkuat dengan adanya kepercayaan yang tabu seperti anak dilarang makan ikan
dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga laki laki
yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya kwarshiorkor. Selain itu tingkat pendidikan
yang rendah juga dapat menyebabkan kwarshiorkor karena berhubungan dengan
pengetahuan gizi ibu yang rendah (Depkes, 1999).
o
Kwashiorkor umumnya terjadi pada usia 2 3 tahun dengan penyebab yang
sering terjadi adalah terlambat penyapihan ASI sehingga komposisi gizi makanan tidak
seimbang terutama dalam hal protein. Kwashiorkor dapat terjadi pada konsumsi energi yang
cukup atau lebih (Almatsier, 2004).
o
Tanda gejala kwarshiorkor antara lain :
Odema umumnya di seluruh tubuh dan terutama pada kaki (dorsum pedis) yang
jika ditekan melekuk, tidak sakit, dan lunak
Wajah membulat dan sembab
Otot otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata apabila diperiksakan pada posisi berdiri dan
duduk, anak berbaring terus menerus
Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia)
Pembesaran hati (hepatomegali) yang dengna mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam
Sering disertai infeksi, anemia, dan diare
Rambut tipis kemerahan seperti rambut jagung, berwarna kusam dan mudah dicabut
tanpa rasa sakit, rontok
Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas (crazy pavement dermatosis)
Pandangan anak tampak sayu
o
F. PATOFISIOLOGI
o

Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa

terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan
makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A,

vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi
rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A
dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa
membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A
dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai.
Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi
rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau
kemunduran adaptasi rodopsin.
o

Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan
degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti
gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan
protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan
lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan
LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada
akhirnya penumpukan lemak di hepar.

Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah
edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan
oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal
ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke
intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada
kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi
menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi
protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari
ke

daerah

sekitarnya

karena

tidak

terfiksasi

oleh

membran

sel

dan

mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat.
Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi,
tekanan hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008).
o

Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang


kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan
yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena
kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir
dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor
lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir,

diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebabsebab marasmus adalah sebagai berikut :
o

a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang
sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng
yang terlalu encer.

b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.

c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit


Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus.
Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas

d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut


pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat

e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup

f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,


galactosemia, lactose intolerance

g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan

h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan


yang kurang akan menimbulkan marasmus

i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya


marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang
terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi
berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus

o
G. DAMPAK
o
H. TREATMEN
o
Balita gizi buruk yang terdapat komplikasi harus mendapat perawatan di rumah
sakit. Balita gizi buruk harus mendapat treatmen yang sesuai dengan kondisi fisik / klinis atau

penyakit penyerta. Terdapat 5 kondisi yang membedakan penanganan pertama atau fase
stabilisasi pada balita gizi buruk di RS atau puskesmas, yaitu :
1. Kondisi 1
o Jika ditemukan : renjatan (syok), letargis, muntah dan diare atau dehidrasi
2. Kondisi 2
o Jika ditemukan : letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi
3. Kondisi 3
Jika ditemukan : muntah dan atau diare atau dehidrasi

4. Kondisi 4
Jika ditemukan : letargis

5. Kondisi 5
Jika tidak ditemukan : renjatan (syok), letargis, muntah dan diare atau dehidrasi

(Penanganan masing masing kondisi dapat dilihat pada buku pedoman Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I)

Terdapat 10 langkah tata cara penanganan anak gizi buruk :


o

No
o

Tindakan Pelayanan

Mencegah dan mengatasi hipoglikemia

Mencegah dan mengatasi hipotermia

Mencegah dan mengatasi dehidrasi

Memperbaiki gangguan keseimbangan

Fase

Stabilisasi
H
o
1-2
o

Fase

Transisi
o
H 3- o
7

Fase Rehabilitasi
Mingg o

u ke 2 - 6

Ming
gu 7 - 26

1
o
2
o
3
o
4
o

elektrolit
o
Mengobati infeksi

5
o

Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro

Memberikan makanan untuk stabilisasi

Tanpa Fe

Dengan Fe

6
o
7
o

dan transisi
o
Memberikan makanan untuk tumbuh kejar o

8
o

o
9

Memberikan stimulasi untuk tumbuh

kembang
o
Mempersiapkan untuk tindak lanjut di

10 rumah

o
o

*) pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1minggu/kali) berobat jalan ke Punskesmas atau

Rumah Sakit

Hal hal penting yang harus diperhatikan : (Depkes, 2011)

o
-

Jangan berikan Fe sebelum minggu ke-2 (Fe diberikan pada fase stabilisasi)
Jangan berikan cairan intra vena kecuali syok atau dehidrasi berat
Jangan berikan protein terlalu tinggi pada fase stabilisasi
Jangan berikan diuretic pada penderita kwarshiorkor
Terdapat 4 fase perawatan dan pengobatan anak gizi buruk :

1. Fase Stabilisasi
o
Fase stabilisasi merupakan fase awal yang harus segera memberikan tindakan
untuk mengatasi dan mencegah hipoglikemia, hipotermia, dan dehidrasi. Keterlambatan
penanganan hal tersebut dapat berakibat kematian.
o Tujuan :
-

Mencegah dan mengatasi hipoglikemi

Mencegah dan mengatasi hipotermi

Mencegah dan mengatasi dehidrasi

1. Fase Stabilisasi
o
Pada fase ini, pemberian cairan, energi dan protein ditingkatkan secara bertahap
untuk menghindari overload yang dapat menyebabkan gagal jantung sehingga berakibat
pada kematian. Fase ini berlangsung 1 2 hari dan dapat berlangsung sampai 1 minggu
(sesuai kondisi balita).
o Prinsip :
o

Zat
Gizi

Stabilisasi (hari 1 2)

Energ
i

80 100 kkal/kgBB

Protei
n

1 1,5 g/kgBB

Caira
n

130 ml/kgBB jika ada odema/asites berat


100 ml/kgBB

2. Fase Transisi

Masa transisi merupakan masa peralihan dari fase stabilisasi ke fase rehabilitasi.

Peningkatan jumlah cairan dan konsistensi formula dilakukan secara perlahan lahan agar
sel sel usus dan saluran pencernaan dapat beradaptasi. Umumnya fase ini berlangsung
selama 1 minggu.
o
Tujuan :
-

Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit

Mengobati infeksi

Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro

Mempersiapkan makanan untuk stabilisasi dan transisi


Prinsip :

o
o

Z
a
t

Transisi
(hari 2
7)

G
i
z
i
o

E
n
e
r
g
i

100

150
kkal/kgB
B

P
r
o
t
e
i
n

2 3
g/kgBB

C
a

150
ml/kgBB

i
r
a
n
3. Fase Rehabilitasi
o
Fase rehabilitasi merupakan fase dimana mulai memberikan makanan yang
bertujuan untuk meningkatkan berat badan dan mengejar pertumbuhan (tumbuh kejar).
Pemberian energi dan protein ditingkatkan sesuai kemampuan. Fase ini dapat berlangsung
2 4 minggu.
o
Tujuan :
-

Memberikan makanan untuk tumbuh kejar

Memberikan stimulus untuk tumbuh kembang

Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah


Prinsip :

o
o

Z
a
t

Rehabilitasi
(minggu 2 6)

G
i
z
i
o

E
n
e
r
g
i

150

kkal/kgBB

P
r
o
t
e
i

3 4 g/kgB

220

n
o

C
a
i
r
a
n

150

ml/kgBB

200

4. Fase Tindak Lanjut


o
Fase tindak lanjut merupakan fase yang dilalui setelah pasien atau balita gizi
buruk diperkenankan pulang dari RS atau puskesmas atau panti pemulihan gizi. pada fase
ini balita diberikan makanan untuk tumbuh kejar (makanan keluarga dan pendamping
makanan tambahan (PMT) pemulihan). Fase ini dapat berlangsung selama 4 5 bulan
hingga balita mencapai garis pertumbuhan sesuai garis hijau pada KMS.
o
I.

REFEEDING SYNDROME
o
Refeeding syndrome (RFS) adalah suatu kondisi dimana terjadi perubahan klinis
dan metabolik yang timbul akibat rehabilitasi nutrisi yang agresif pada pasien yang
menderita malnutrisi berat. Definisi lain mengatakan Refeeding syndrome (RFS)
adalah

kondisi

kardiovaskuler,

yang

mengancam

paru-paru,

hati,

jiwa

ginjal,

akibat

dari

neuromuskular,

gabungan

masalah

metabolisme

dan

abnormalitas hematologi yang mengikuti resusitasi yang tidak sesuai pada pasien
malnutrisi berat atau individu yang kelaparan. Refeeding syndrome merupakan
tanda gejala biokimia dan klinis yang tidak normal yang disebabkan oleh pergantian
keseimbangan elektrolit dan cairan pada pasien malnutrisi yang mendapat bantuan
makan, baik enteral maupun parenteral. Hal tersebut merupakan kondisi potensi
yang fatal dan harus dimanagemen secara benar dan perlu dicegah jika terdeteksi
lebih awal (Boland et al, 2013).
o
Refeeding syndrome secara klasik dikarakteritiskan dengan kekacauan
keseimbangan phospat, potassium, dan magnesium dalam tubuh. Meskipun tidak
normal dalam metabolism glukosa dan level keseimbangan sodium dan cairan sering
ditemukan dan berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas dengan konsisi
tersebut. Penanda utama dari refeeding syndrome adalah hipofosfatemia (konsentrasi
fosfat serum <1.0-1.5 mg/dL), gangguan elektrolit lainnya juga dihubungkan dengan
refeeding syndrome seperti hipokaleimia dan hipomagnesium. Pergeseran dari
keseimbangan glukosa, natrium, dan cairan juga dapat terjadi pada RFS, sebagai

konsekuensinya dapat terjadi komplikasi pada jantung, paru-paru, neuromuskular,


hematologi, dan gastrointestinal (Boland et al, 2013).
o
Mekanisme refeeding syndrome adalah berdasar pada jenis terjadinya
hubungan perubahan biokimia satu dangan yang lain dalam tubuh sebagai perubahan
metabolism yang mengikuti periode kelaparan atau starvasi.selama starvasi atau puasa
yang lama, perubahan psikologi dapat dikompensasikan untuk penurunan asupan
glukosa dan energy. Jika level insulin rendah, glucagon akan meningkat dan tubuh
mendapat

energy

dari

cadangan

glikogen

dan

biokimia

yang

menggantikan

gluconeogenesis. Keton dan asam lemak bebas menjadi sumber energy utama, dan
penggunaan keton tubuh diturunkan di jaringan peripheral sehingga menginisiasi
penghindaran pembongkaran protein dan otot. Asam lemak merupakan pengatur dari
sumber energi utama dan gluconeogenesis kemudian direduksi di hati. Akan tetapi,
terlalu lama status phisiologis sering kali menyebabkan katabolisme dan kehilangan
massa otot tubuh. Mineral intraseluler seperti phosphate akan mengalami deplesi,
meskipun inisiasi sisa level serum dalam batas normal juga terjadi deplesi secara umum
pada cadangan intraseluler.kofaktor metabolism lain dan vitamin dan mineral seperti
thiamin juga hilang dan deplesi (Boland et al, 2013).
o
Tanda apabila balita mengalami over feeding atau overhidrasi pada saat
-

pemberian makan atau rehidrasi terlalu cepat (Depkes, 2011) :


Denyut nadi naik >25 kali/menit
Nadi cepat : denyut nadi >160 kali/menit (<1 tahun)
Nadi cepat : denyut nadi >140 kali/menit (>1 tahun)
Disertai peningkatan pernapasan >5 kali/menit
o
Peningkatan denyut nadi dan pernapasan merupakan salah satu tanda
terjadinya gagal jantung dan dapat berakibat kematian. Oleh karena itu anak gizi buruk
harus dimonitor nadi dan RR setiap jam (Depkes, 2011).

Boland, Karen. Solanki, Damodar. OHanlon, Carmel. 2013. Prevention and Treatment of
Refeeding Syndrome in the Acute Care Setting. On behalf of IrSPEN's Standards and
Guidelines Committee November 2013.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Petunjuk Penatalaksanaan Anak Gizi Buruk. Jakarta :
Departemen Kesehatan.

o
o
J. KRITERIA TREATMEN TELAH BERHASIL
o Kriteria penghentian treatmen (WHO, 2013)
1. Anak dengan malnutrisi berat akut dapat dihentikan treatmen ketika :

BB/TB atau PB >-2 z-score dan sudah tidak terdapat odema selama paling tidak 2

minggu, atau
- LLA >125mm dan tidak terdapat odema selama paling tidak 2 minggu
2. Indikator antropometri yang digunakan untuk mengasesmen malnutrisi berat akut di
awal harus digunakan untuk memonitoring perkembangan apakah anak telah
mencapai perbaikan gizi.
3. Apabila anak mengalami edema pitting, teratmen dihentikan berdasar indikator
antropometri LLA atau BB/TB atau PB secara rutin yang digunakan program.
4. Presentasi penambahan BB tidak digunakan sebagai kriteria penghentian treatmen.
o

Follow up atau monitoring bayi dan anak setelah penghentian treatmen :

Bayi dan anak yang mengalami malnutirisi berat akut dan telah selesai mendapat

treatmen harus dimonitor secara berkala untuk mencegah terjadinya kekambuhan.


o

World Health Organization. 2013. Guideline Updates on the Management of

Severe Acute Malnutrition in Infants and Children. Switzerland : WHO Press.


o

Kriteria pemulangan anak gizi buruk dari ruang rawat inap (Depkes, 2011)

Persiapan untuk tindak lanjut di rumah dapat dilakukan sejak anak dalam

perawatan, misalnya melibatkan ibu dalam kegiatan merawat anaknya. Kriteria sembuh
jika BB/TB atau PB >-2SD dan tidak ada gejala klinis.
o
o

Anak dapat dipulangkan bila memenuhi kriteria pulang sebagai berikut :


Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
BB/TB atau PB >-3SD
Komplikasi sudah teratasi
Ibu telah mendapat konseling gizi
Ada kenaikan BB sekitar 50g/kg BB/minggu selama 2 minggu berturut turut
Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan

You might also like