You are on page 1of 37

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Saham dengan Manajemen

Laba dan Kinerja Perusahaan sebagai Variabel Intervening Pada


Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Akuntansi

Oleh :
Gardina Aulin Nuha 140820301018

UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS EKONOMI
MAGISTER AKUNTANSI
2014

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu prinsip akuntansi bagis suatu entitas adalah going concern atau
keberlangsungan usaha. Setiap entitas pasti akan selalu menganut prinsip tersebut.
Untuk mewujudkan suatu keberlangsungan usaha setiap perusahaan harus
melakukan tindakan ekonomi yang membawa perusahaan untuk tujuan going
concern. Kepastian akan keberlangsungan usaha suatu perusahaan dapat di lihat
dari kinerja yang telah dilakukan. Kinerja menjadi salah satu faktor pengukur
keberhasilan suatu perusahaan. Peningkatan efektivitas maupun efisiensi dapat
ditunjukkan oleh kinerja perusahaan. Dengan adanya peningkatan kinerja
perusahaan maka tujuan investor akan tercapai dan akhirnya secara simultan dapat
meningkatkan kinerja saham perusahaan.
Dalam meningkatkan kinerja saham membutuhkan suatu tata kelola
perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance).

Hal ini dikarenakan

dengan adanya GCG yang baik didalam perusahaan akan memaksimalkan


fungsinya untuk mencegah dan mengurangi agency problem didalam perusahaan.
Masalah yang sering muncul dalam perusahaan adalah manajer perusahaan yang
seringkali memiliki tujuan dan kepentingan yang bertentangan dengan tujuan
utama perusahaan dan mengabaikan kepentingan pemegang saham. Dimana
perbedaan yang dimaksud adalah kepentingan antara pihak pemegang saham yang
selalu menginginkan perusahaannya dalam keadaan yang stabil bahkan meningkat
kinerja perusahaan untuk menghasilkan laba agar kemakmuran diri semakin
meningkat, disisi lain kepentingan pihak manajemen yang bertugas untuk
mengelola perusahaan selalu ingin meningkatkan kesejahteraan diri dengan cara
tertentu. Perbedaan tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan
pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari
manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi
perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan

dividen yang akan diterima pemegang saham (Haruman, 2008 dalam


Purwaningtyas, 2011).
Sehingga adanya agency problem didalam perusahaan dapat menghambat
kinerja manajemen yang nantinya akan menghambat tercapainya tujuan
perusahaan, yang salah satu tujuannya adalah peningkatan kinerja saham. Selain
itu adanya asimetri informasi yang terjadi antara manajer dan pemegang saham
juga dapat menimbulkan agency problem, dimana manajer mengetahui lebih
banyak informasi dibandingkan pemegang saham akan membuat manajer lebih
mudah dalam melakukan hal-hal yang merupakan kepentingan pribadi dan
sebaliknya pemegang saham tidak

menyukai kepentingan pribadi manajer

tersebut karena akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan


penurunan keuntungan perusahaan serta berpengaruh terhadap harga saham yang
berakhir. Oleh karena itu adanya asimetri informasi menjadi awal kesempatan
dilakukannya manajemen laba.
Manajemen laba merupakan suatu konsep yang memiliki berbagai definisi
Merchan, 1989 dalam Haryudanto, 2011 mendefinisikan manajemen laba sebagai
suatu tindakan manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan
agar terbentuk informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage)
yang sebenarnya tidak dialami oleh perusahaan. Copeland, 1968 dalam
Haryudanto 2011 juga mendefinisikan manajemen laba sebagai someability to
increase or decrease reported net income at will. Oleh karena itu adanya
manajemen laba dalam suatu perusahaan yang menerapkan GCG maka akan
memberikan pengaruh negatif antara GCG dengan kinerja saham.
Lebih lanjut lagi praktik manajemen laba dengan tujuan meningkatkan
laba dapat memberikan pengaruh positif pada kinerja perusahaan. Namun hal itu
tidaklah berselang lama sehingga tindakan manipulasi apapun mungkin akan
memberikan kecantikan pada laporan keuangan perusahaan dan kecantikan
tersebut tidak akan berlangsung lama. Dimana untuk tujuan keberlangsungan

usaha suatu entitas, peningkatan kinerja perusahaan jangka panjanglah yang


diharapkan.
Selain itu peningkatan dan penurunan kinerja saham dapat juga terjadi
karena faktor kualitas audit. Kualitas audit dapat mencerminkan bahwa pelaporan
keuangan perusahaan merupakan informasi yang memberikan jaminan bagi
investor dalam melakukan proses pengambilan keputusan. Lebih lanjut lagi,
kualitas audit menjadi penting karena dengan kualitas audit yang tinggi dapat
menyampaikan laporan keuangan dan laporan auditor dengan tepat waktu dan
informasi yang dihasilkan juga mengandung kewajaran. Relevansi dan ketepatan
waktu merupakan poin penting dalam kualitas audit yang baik. Dengan
tercapainya kedua poin tersebut maka akan meningkatkan kepuasan akan
ekspektasi investor sehingga kinerja saham akan meningkat. Dimana kualitas
audit yang baik biasanya diukur dengan penggunaan KAP big four. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lee et al. (2007)
mengenai dampak dari kualitas laporan keuangan yang diaudit oleh kantor
akuntan besar akan mempengaruhi kemampuan investor untuk mengantisipasi
laba masa depan. Mereka meneliti hubungan antara return saham tahun berjalan
dan laba masa depan untuk kantor akuntan besar dan kecil. Hal ini menunjukkan
bahwa investor dapat mengantisipasi laba masa depan ketika laporan keuangan
diaudit oleh kantor akuntan besar.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Collins et al. (1994) mengenai hubungan
antara return saham dan laba akuntansi, di mana hubungan tersebut memiliki
kemungkinan untuk digunakan dalam memeriksa konsekuensi dari kualitas audit
dalam hal memprediksi perubahan laba yang akan terjadi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa lemahnya ketepatan waktu laba adalah faktor paling penting
untuk hubungan return dan laba yang rendah. Ketepatan waktu dalam melaporkan
laba akuntansi berhubungan dengan cepatnya informasi tersebut mencapai pasar
modal, agar harga saham dengan cepat dapat mencerminkan informasi yang
sebenarnya.

Kemudian salah satu rasio profitabilitas yaitu BEP dapat menjadi salah
satu faktor yang dapat meningkatkan kinerja saham. Basic Earning Power
merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan dasar untuk menghasilkan laba
dari aset perusahaan sebelum ada pengaruh dari pajak dan leverage.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti mencoba untuk menguji FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kinerja Saham dengan Manajemen Laba dan Kinerja
Perusahaan sebagai Variabel Intervening Pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti merumuskan

masalah

penelitian yaitu.
a. Apakah GCG berpengaruh terhadap kinerja saham dengan manajemen
laba sebagai variabel intervening?
b. Apakah kualitas audit berpengaruh terhadap kinerja saham?
c. Apakah Basic Earning Power (BEP) berpengaruh terhadap kinerja saham
dengan kinerja perusahaan sebagai variabel intervening?
d. Apakah manajemen laba berpengaruh terhadap kinerja perusahaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh GCG terhadap kinerja saham
dengan manajemen laba sebagai variabel intervening.
b. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh kualitas audit terhadap kinerja
saham.
c. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Basic Earning Power (BEP)
terhadap kinerja saham dengan kinerja perusahaan sebagai variabel
intervening.
d. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh manajemen laba terhadap
kinerja perusahaan
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi manfaat
bagi beberapa pihak.

a. Bagi akademisi: temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan


kajian dan bukti empiris mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi
kinerja saham dengan manajemen laba dan kinerja perusahaan sebagai
variabel intervening pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia.
b. Bagi investor dan pengguna laporan keuangan lainnya: hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai tambahan referensi dalam proses pengambilan
keputusan investasi mengenai kinerja saham dan kinerja perusahaan,
terutama yang berkaitan dengan mekanisme Good Corporate Governance,
manajemen laba, kualitas audit dan Basic Earning Power.
c. Bagi peneliti: dapat menjadi sebuah proses pembelajaran yang dapat
menambah wawasan pengetahuan mengenai kinerja saham dan kinerja
perusahaan, terutama yang berkaitan dengan mekanisme Good Corporate
Governance, manajemen laba, kualitas audit dan Basic Earning Power

BAB 2. LANDASAN TEORI


2.1 Teori Keagenan
Teori keagenan merupakan teori yang dapat menjelaskan mengapa praktek
manajemen laba dilakukan. Konsep teori agensi muncul akibat adanya suatu
hubungan kontrak antara principal dan agent. Hubungan kontrak tersebut
dijelaskan oleh Govindarajan dan Anthony (2005) sebagai hubungan principal
yang memperkerjakan agent untuk melakukan tugas demi kepentingan principal.
Akan tetapi dalam teori ini terdapat asumsi dasar bahwa setiap individu baik itu

principal maupun agent memiliki kepentingan satu sama lain, yaitu principal
berkepentingan untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu
meningkat sedangkan agent berkepentingan untuk pemenuhan kebutuhannya baik
itu secara ekonomi maupun psikologis. Dari kepentingan yang berbeda tersebut
maka dapat muncul suatu konflik kepentingan di dalamnya.
Konflik kepentingan bisa terjadi ketika agent tidak bisa memenuhi harapan
principal ataupun sebaliknya. Menurut Eisenhardt (1989)

dalam Haryudanto

(2011) bahwa pada teori keagenan terdapat tiga asumsi sifat manusia, yaitu : (1)
pada dasarnya manusia mementingkan diri sendiri (self-interest), (2) daya pikir
manusia mengenai persepsi masa depan sangat terbatas (bounded rationality), dan
(3) manusia selalu berusaha untuk menghindari resiko (risk averse). Oleh karena
itu bukanlah tidak mungkin bahwa setiap individu akan mengutamakan
kepentingan dirinya termasuk seorang manajer sekalipun.
Permasalahan utama dalam teori ini adalah mengenai dua hal yaitu
adverse selection dan moral hazard. Menurut Yushita, 2010 dalam Aldhi, 2013,
adverse selection dan moral hazard adalah sebagai berikut:
1. Adverse selection
Adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang
melangsungkan/akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi
usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain.

2. Moral hazard
Adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang
melangsungkan/akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi
usaha

potensial

dapat

mengamati

tindakan-tindakan

mereka

dalam

penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak lainnya tidak.


Permasalahan mengenai asimetri informasi tersebut muncul diantara
manajer sebagai agent dan pemilik perusahaan sebagai principal. Dijelaskan oleh
Govindarajan dan Anthony (2005) bahwasanya principal tidak memiliki informasi
yang cukup mengenai kinerja agent, sehingga principal akan merasa tidak pasti

dalam hal melihat kontribusi yang diberikan oleh agent apakah sesuai dengan
tujuan perusahaan, dan lebih lanjut lagi agent kemungkinan memiliki informasi
yang lebih banyak mengenai kondisi perusahaan, lingkungan kerja, ataupun
informasi penting lainnya ketimbang dengan apa yang diketahui oleh principal
dan hal itulah yang disebut sebagai asimetri informasi.
Govindarajan dan Anthony (2005) menjelaskan bahwa asimetri informasi
ini akan menyebabkan agent salah dalam menyajikan informasi kepada principal.
Kesalahan inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang dianggap sebagai bahaya
moral karena agen termotivasi untuk menyajikan sesuatu yang salah akibat dari
sistem pengendalian ataupun kepentingan agent sendiri. Kesalahan penyajian
informasi oleh agen kepada principal akhirnya mengarah pada praktek
manajemen laba. Oleh karena itu asimetri dalam teori agensi ini merupakan
kesempatan emas dilakukannya manajemen laba oleh manajer.
2.2 Good Corporate Governance (GCG)
Terdapat banyak definisi tentang Corporate Governance (Tata Kelola
Perusahaan). Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam
Lestari (2011) , Corporate Governance didefinisikan sebagai seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola saham,
kreditor, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka untuk
mengatur

dan

mengendalikan

perusahaan.

Komite

Nasional

Kebijakan

Governance (KNKG) (2004) dalam Bukhori (2012), mendefinisikan Corporate


Governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ
perusahaan

guna

memberikan

nilai

tambah

pada

perusahaan

secara

berkesinambungan dalan jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap


memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan
perundang-undangan dan norma yang berlaku. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa Corporate Governance (tata kelola perusahaan) adalah
peningkatan kinerja perusahaan melalui pemantauan kinerja manajemen dan
menjaga akuntabilitas manajemen terhadap stakeholders (pihak berkepentingan)

berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga manajemen dapat lebih terarah


dalam mencapai tujuan perusahaan.
Jika ditelaah secara teoritis terdapat dua penyebab yang mendorong
munculnya isu tentang GCG (IICG, 2010) dalam Laila (2011) adalah sebagai
berikut.
1. Terjadinya perubahan lingkungan yang begitu cepat yang berdampak pada
perubahan peta kompetisi pasar global. Bahkan dalam perjalanannya,
kompetisi pasar global terus meningkat karena dipacu oleh kecanggihan
teknologi dan deregulasi ekonomi. Akibatnya, fenomena ini berimplikasi
terhadap eksistensi perusahaan melalui privatisasi dan restrukturisasi. Selain itu
kompetisi pasar ini juga menyebabkan terjadinya turbulensi, stress, resiko
tinggi dan ketidakpastian bagi perusahaan. Dalam kondisi seperti ini
perusahaan kemudian dituntut untuk cepat tanggap dalam merespon ancaman
dan peluang yang muncul serta harus tepat dalam merancang dan
menggunakan

strategi

dan

system

pengendalian

yang

prima

untuk

mempertahankan kesinambungannya.
2. Semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan,

termasuk

rumitnya

pola

ownership

structures,

sehingga

berimplikasi terhadap manajemen stakeholders.


Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) dalam Laila (2011)
mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG adalah:
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing.
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah.
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
terhadap perusahaan.
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.
Prinsip-prinsip utama dari Good Corporate Governance (GCG) yang
menjadi indikator sebagaimana ditawarkan oleh Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) dalam Lestari (2011) adalah.
1. Fairness (Keadilan)

Prinsip keadilan (fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi


seluruh pemegang saham. Keadilan yang diartikan sebagai perlakuan yang sama
terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan
pemegang saham asing sehingga terhindar dari kecurangan dan kesalahan perilaku
insider. Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus

senantiasa

memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya


berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2. Diclosure/Transparency (Keterbukaan/Transparansi)
Transparansi adalah adanya pengungkapan yang akurat dan tepat pada
waktunya serta transparansi atas hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan,
serta pemegang kepentingan. Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan
bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah
yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan
pemangku kepentingan lainnya.
3. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan
yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan
pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap
manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan
kepentingan pemegang dan pemangku kepentingan lainnya. Perusahaan harus
dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar, untuk
itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
4. Responsibility (Responsibilitas)
Responsibilitas (Responsibility) adalah adanya tanggung jawab pengurus
dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada

perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran
bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang,
menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan
wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung etika dan memelihara
bisnis yang sehat.
5. Independency (Independen)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Independen diperlukan
untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh
para pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya rentang
kekuasaan antara komposisi komisaris, komite dalam komisaris, dan pihak luar
seperti auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus obyektif
tidak dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu.
2.2.1

Kepemilikan Institusional
Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang

dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan


investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Jensen dan Meckling
(1976), menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang
sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara
manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional didalam
perusahaan dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam
pembuatan keputusan yang dilakukan oleh manajer. Hal ini disebabkan investor
institusional terlibat dalam pengambilan keputusan strategis sehingga tidak mudah
percaya terhadap tindakan manajemen laba. Kepemilikan institusional umumnya
bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan
kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk
memonitor manajemen. Dengan demikian kepemilikan institisional bertindak
sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Fauzi,
2004 dalam Laila, 2011).

Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain (Purwaningtyas,


2011).
1) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi, sehingga dapat
menguji keandalan informasi.
2) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan yang lebih ketat
atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
Aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan
perusahaan

dan

mampu

meningkatkan

kemakmuran

pemegang

saham.

Monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubtitusi biaya keagenan lain,


sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat.
2.2.2

Kepemilikan Manajemen
Kepemilikan manajemen (Wahidahwati, 2002) adalah pemegang saham

dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan
perusahaan, dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan,
akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat
sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh
manajemen yang besar akan efektif dalam memonitoring aktivitas perusahaan.
Menurut Shleifer dan Vishny (1988) dalam Laila (2011), kepemilikan manajemen
terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan
kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen, sehingga
permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah
juga sekaligus sebagai seorang pemilik.
Dengan kepemilikan yang cukup tinggi, manajer akan merasa ikut
memiliki perusahaan, sehingga akan berusaha semaksimal mungkin melakukan
tindakan-tindakan yang dapat memaksimalkan kemakmurannya. Hal tersebut
didasarkan pada logika, bahwa peningkatan saham yang dimiliki manajer akan
menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan yang berlebihan.
Dengan demikian, maka akan mempersatukan kepentingan manajer dengan
pemegang saham yang awalnya berbeda, hal ini berdampak positif meningkatkan
nilai perusahaan. Semakin besar kepemilikan saham manajemen pada perusahaan,
maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang

saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajemen
akan membantu penyatuan kepentingan manajer dan pemegang saham, sehingga
manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan
ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan
yang salah (Purwaningtyas, 2011).
2.2.3

Dewan Komisaris Independen


Dewan komisaris merupakan salah satu yang memegang fungsi kontrol

dalam suatu perusahaan. Fungsi kontrol yang dilakukan oleh Dewan komisaris
merupakan salah satu praktek dari teori agensi. Di dalam suatu perusahaan,
Dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama dalan pelaksanaan fungsi
pengawasan dari principal dan mengontrol perilaku oportunis manajemen. Dewan
komisaris menjembatani kepentingan principal dan manajer di dalam perusahaan.
KNKG (2006) dalam Bukhori (2012) mendefinisikan Dewan komisaris
sebagai mekanisme pengendalian internal tertinggi yang bertanggung jawab
secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberi masukan kepada
direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Sementara
Forum for Corporate Governance Indonesia (FCGI) mendefinisikan Dewan
komisaris sebagai inti Corporate Governance (tata kelola perusahaan) yang
ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen dalam mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksananya
akuntabilitas. Secara umum dewan komisaris merupakan wakil pemilik
kepentingan (shareholder) dalam perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang
memiliki fungsi mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilakukan manajemen
(direksi), dan bertanggung jawab untuk menilai apakah manajemen memenuhi
tanggung jawab mereka dalam mengelola dan mengembangkan perusahaan, serta
menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan.
KNKG (2006) dalam Bukhori (2012) membedakan dewan komisaris
menjadi dua kategori. Yang pertama adalah dewan komisaris independen dan yang
kedua adalah dewan komisaris non independen. Dewan komisaris independen
merupakan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi dengan pihak

perusahaan. Sedangkan komisaris non-independen merupakan komisaris yang


memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan. Yang dimaksud dengan terafiliasi
adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan hubungan kekeluargaan
dengan controlling shareholders, anggota direksi dan Dewan komisaris lain, serta
dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota direksi dan dewan komisaris yang
terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk
dalam kategori terafiliasi. Dalam FCGI (2002) dalam Bukhori (2012) keberadaan
komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui peraturan BEJ
tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang terdaftar di bursa harus
memiliki komisaris independen dengan jumlah minimal Komisaris Independen
adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
Beberapa kriteria lainnya tentang Komisaris Independen adalah sebagai
berikut (Bukhori, 2012).
1. Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang
saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders)
perusahaan tercatat yang bersangkutan.
2. Komisaris Independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau
komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan;
3. Komisaris Independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan
lainnya yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan.
4. Komisaris Independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
5. Komisaris Independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas
yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling
shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Efektivitas dewan komisaris dalam menyeimbangkan kekuatan CEO
sangat dipengaruhi oleh tingkat independensi dari dewan komisaris tersebut.
Dengan adanya komisaris independen, diharapkan para eksekutif akan bertindak
untuk kepentingan pemilik (Boediono, 2005 dalam Laila, 2011). Adanya
komisaris independen yang berasal dari luar perusahaan diharapkan akan direaksi
positif oleh pasar (investor), karena kepentingan investor akan lebih dilindungi
(Darwis, 2009 dalam Laila, 2011).

2.2.4

Komite Audit
Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih dari dewan komisaris

perusahaan

yang

bertanggung

jawab

untuk

membantu

auditor

dalam

mempertahankan independensinya dari manajemen. Dalam lampiran surat


keputusan dewan direksi PT. Bursa Efek Jakarta No. Kep-315/BEJ/06-2000 poin
2f, peraturan tentang pembentukan komite audit disebutkan bahwa Komite audit
adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris Perusahaan Tercatat yang
anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh dewan komisaris Perusahaan Tercatat
untuk membantu dewan komisaris Perusahaan Tercatat melakukan pemeriksaan
atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam
pengelolaan Perusahaan Tercatat.
Menurut Bradbury (dalam Riswari, 2012) komite audit bertugas
membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh
manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Tugas komite
audit meliputi menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan,
menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal dan
kepatuhan terhadap peraturan. Di dalam pelaksanaan tugasnya komite
menyediakan komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal, dan
auditor internal . Adanya komunikasi formal antara komite audit, auditor internal,
dan auditor eksternal akan menjamin proses audit internal dan eksternal dilakukan
dengan baik. Proses audit internal dan eksternal yang baik akan meningkatkan
akurasi laporan keuangan dan kemudian meningkatkan kepercayaan terhadap
laporan keuangan (Riswari, 2012).
Berdasarkan Surat Edaran dari Direksi PT. Bursa Efek Jakarta No. SE008/BEJ/12-2001 tanggal 7 Desember 2001 perihal keanggotaan komite audit,
disebutkan bahwa:
1.

Jumlah anggota komite audit sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, termasuk ketua

2.

komite audit.
Anggota komite audit yang berasal dari komisaris, hanya sebanyak 1 (satu) orang.
Anggota komite audit yang berasal dari komisaris tersebut harus merupakan
komisaris independen Perusahaan Tercatat yang sekaligus menjadi ketua
komite audit.

3.

Anggota lainnya dari komite audit adalah berasal dari pihak eksternal yang
independen. Pihak eksternal adalah pihak diluar Perusahaan Tercatat yang
bukan merupakan komisaris, direksi dan karyawan Perusahaan Tercatat,
sedangkan independen adalah pihak diluar Perusahaan Tercatat yang tidak
memiliki hubungan usaha dan hubungan afiliasi dengan Perusahaan Tercatat,
komisaris, direksi dan Pemegang Saham Utama Perusahaan tercatat dan
mampu memberikan pendapat profesional secara bebas sesuai dengan etika
profesionalnya, tidak memiliki kepentingan kepada siapapun.
2.3 Manajemen Laba
Terkait dengan asimetri informasi tersebut maka dapat menciptakan suatu
peluang manajer sebagai agen untuk memberikan informasi yang salah kepada
principal atau pemilik perusahaan dengan melakukan manajemen laba.
Manajemen laba merupakan suatu konsep yang memiliki berbagai definisi
Merchan, 1989 dalam Haryudanto, 2011 mendefinisikan manajemen laba sebagai
suatu tindakan manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan
agar terbentuk informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage)
yang sebenarnya tidak dialami oleh perusahaan. Copeland, 1968 dalam
Haryudanto 2011 juga mendefinisikan manajemen laba sebagai someability to
increase or decrease reported net income at will. Selain itu, definisi manajemen
laba dibagi dua oleh Sugir, 1998 dalam Haryudanto, 2011, yaitu :
1. Definisi sempit
Manajemen laba didefinisikan secara sempit sebagai perilaku manajer dalam
memainkan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya
laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
2. Definisi luas
Manajemen laba didefinisikan secara luas sebagai tindakan manajer untuk
meningkatkan atau mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit
usaha di tempat manajer tersebut bertanggungjawab tanpa mengakibatkan
peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomi jangka panjang tersebut.

Definisi di atas merupakan beberapa definisi yang dikembangkan oleh


beberapa peneliti. Akan tetapi pada dasarnya manajemen laba (earnings
management) memiliki banyak definisi yang ditinjau dari berbagai perspektif.
Sampai saat ini masih belum ada definisi tunggal mengenai manajemen laba.
Untuk itu pada konteks penelitian ini, manajemen laba lebih didefinisikan sebagai
sebuah manajemen laba yang dilakukan manajer dengan menggunakan judgment
dalam penyusunan laporan keuangan dan penstrukturan transaksinya untuk
merubah laporan keuangannya sehingga dapat mengelabuhi stakeholders dalam
menilai kinerja perusahaan atau dapat mempengaruhi hasil kontrak yang
bergantung pada angka laporan keuangan (Healy, 1999).
Metode akrual merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya manajemen laba. Metode akrual ini merupakan selisih antara
kas masuk bersih dari hasil operasi perusahaan dengan laba yang dilaporkan
dalam laporan laba rugi.

Gumanti (2000) menjelaskan transaksi akrual bisa

berwujud sebagai berikut :


a. Transaksi yang bersifat nondiscretionary accruals, yaitu apabila transaksi
telah dicatat dengan metode tertentu maka manipulasi diharapkan konsisten
dengan metode tersebut.
b. Transaksi yang bersifat discretionary accruals, yaitu metode yang
memberikan kebebasan kepada manajemen untuk menentukan jumlah
transaksi akrual secara fleksibel.
Manajer

cenderung

memilih

kebijakan

manajemen

laba

dengan

mengendalikan transaksi akrual yaitu kebijakan akuntansi yang memberikan


keleluasaan pada manajemen untuk membuat pertimbangan akuntansi yang akan
memberi pengaruh pada pendapatan yang dilaporkan. Akrual diskresioner terdiri
dari akrual diskresioner jangka pendek dan akrual diskresioner jangka panjang
(Whelan dan McNamara, 2004). Menurut (Dechow, 1995) akrual diskresioner
jangka pendek memiliki waktu yang relatif pendek misalnya satu tahun atau
kurang dari satu tahun (satu periode akuntansi) dan merupakan akrual yang
melibatkan akun modal kerja dan menggambarkan perubahan dalam akun aktiva
lancar dan utang lancar, sedangkan akrual diskresioner jangka panjang memiliki

jangka waktu lebih dari satu tahun (satu periode akuntansi) dan akrual
diskresioner jangka panjang meliputi depresiasi, revaluasi aktiva, dan penyesuaian
nilai wajar atas instrumen keuangan.
Manajemen laba akrual dapat diukur dengan discretionary accruals
modified Jones models, dimana menurut Dechow (1995) model modifikasi Jones
memberikan pengujian yang kuat terhadap manajemen laba dibanding model
pengukuran lainnya. Perhitungan akrual abnormal diawali dengan perhitungan
total akrual. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari
aktifitas operasi. Dimana model ini membagi total akrual menjadi empat
komponen utama akrual, yaitu: discretionary current accruals, discretionary
long-term accruals, nondiscretionary current accruals, dan nondiscretionary
long-term accruals. Discretionary current accruals dan discretionary long-term
accruals merupakan akrual yang berasal dari aset lancar (current assets),
sedangkan nondiscretionary current accruals dan nondiscretionary long-term
accruals merupakan akrual yang berasal dari aset tidak lancar (fixed assets).

2.4 Kinerja Perusahaan


Pengukuran kinerja membantu manajer untuk melacak implementasi
strategi bisnis dengan membandingkan hasil aktual dengan tujuan strategis yang
ditetapkan. Pengukuran kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka
panjang. Pengukuran kinerja jangka pendek berkenaan dengan jangka waktu
kurang lebih satu tahun, sedangkan pengukuran jangka panjang mencakup
kemampuan untuk inovasi dan pengadaptasian perubahan selama periode diatas
satu tahun.
Kinerja perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
terkonsentrasi atau tidak terkonsentrasinya kepemilikan, manipulasi laba, serta
pengungkapan laporan keuangan. Laporan keuangan sebagai produk informasi
yang dihasilkan perusahaan, tidak terlepas dari proses penyusunannya. Kebijakan
dan keputusan yang diambil dalam rangka proses penyusunan laporan keuangan

akan mempengaruhi penilaian kinerja perusahaan. Menurut Theresia (2005)


manajemen laba merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja
perusahaan. Manajemen akan memilih metode tertentu untuk mendapatkan laba
yang sesuai dengan motivasinya. Menurut Gideon (2005) hal ini akan
mempengaruhi kualitas kinerja yang dilaporkan oleh manajemen.
2.5 Kualitas Audit
Jasa audit yang berkualitas

akan berdampak pada peningkatan

kepercayaan pengguna laporan keuangan bahwa laporan keuangan yang


dihasilkan merupakan laporan keuangan yang berkualitas, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan ekonomi. Kualitas audit yang
tinggi dapat dilihat dari ukuran besarnya KAP. KAP yang lebih besar lebih
memiliki sumber daya yang besar untuk meningkatkan kualitas audit. KAP yang
besar juga dianggap lebih memiliki keahlian dan insentif sehingga dapat
mempengaruhi ddan membatasi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen.
Dopuch dan Simunic (1982) menyatakan investor merasa bahwa KAP
Big-6 memiliki kualitas yang lebih tinggi karena KAP ini memiliki karakteristikkarakteristik yang berhubungan dengan kualitas audit yang lebih bisa diamati
seperti specialized training dan peer review, daripada non-Big-6. Begitupun
Becker et al. (1998) menemukan bahwa klien KAP non-Big-6 melaporkan akrual
diskresioner yang secara rata-rata 1,5% - 2,1% dari aset total lebih tinggi
dibandingkan dengan akrual diskresioner yang dilaporkan oleh klien KAP Big-6.
Hasil ini konsisten dengan dugaan bahwa KAP non-Big-6 mengijinkan
fleksibilitas pemilihan akrual diskresioner yang lebih besar. Hal ini didukung
Krishnan (2003) yang menunjukkan bahwa perusahaan yang diaudit oleh KAP
Big 6 memiliki manajemen laba (akrual diskresioner) lebih rendah dibandingkan
perusahaan yang tidak diaudit oleh KAP Big 6. Studi Gerayli et al. (2011)
menunjukkan kualitas audit yang tinggi KAP Big 4, dapat mempengaruhi
manajemen laba dibandingkan audit yang dilakukan KAP non-Big 4.

Beberapa studi menggunakan kualitas audit sebagai variabel pemoderasi.


Studi Krishnan (2003) menunjukkan adanya hubungan antara retun saham dan
manajemen laba lebih besar untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP Big 6
dibandingkan dengan yang bukan diaudit oleh KAP Big 6. Berikutnya Ardiati
(2003) menemukan pengaruh earnings management terhadap return saham lebih
besar untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP Big 5 daripada KAP non-Big 5.
Herawaty (2008) menunjukkan bahwa audit yang dilakukan KAP Big 4 akan
dapat mengurangi aktifitas manajemen laba. Herawaty (2008) juga menunjukkan
bahwa manajemen laba dapat diperlemah dengan adanya audit oleh Big 4 dan
kualitas audit memoderasi antara manajemen laba dan nilai perusahaan.
Selanjutnya Chen et al. (2011) menguji pengaruh kualitas audit terhadap
manajemen laba dan cost of equity capital. Kualitas audit ditunjukkan dengan
perusahaan yang diaudit oleh KAP top 8 dan KAP non-top 8. Hasilnya
menunjukkan kualitas audit dapat mempengaruhi hubungan antara manajemen
laba dan cost of equity capital.

2.6 Rentabiltas Ekonomi


Pengertian rentabilitas menurut Sofyan Syafri Harahap (2007:304)
yaitu:
Rasio

Rentabilitas

atau

disebut

juga

Profitabilitas

menggambarkan

kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan


sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan,
jumlah cabang, dan sebagainya. Rasio yang menggambarkan kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dan disebut juga Operating Ratio.
Sedangkan menurut Bambang Riyanto (2001:35) yaitu:
Rentabilitas suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan
aktiva atau modal yang menghasilkan laba tesebut. Dengan kata lain

rentabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba


selama periode tertentu.
Cara untuk menilai rentabilitas suatu perusahaan adalah bermacam-macam
dan tergantung pada laba dan aktiva atau modal mana yang akan diperbandingkan
satu dengan lainnya. Apakah yang akan diperbandingkan itu laba yang berasal
dari operasi atau usaha, atau laba neto sesudah pajak dengan aktiva operasi, atau
laba neto sesudah pajak diperbandingkan dengan keseluruhan aktiva tangible,
ataukah yang akan diperbandingkan itu laba neto sesudah pajak dengan jumlah
modal sendiri. Dengan adanya bermacam-macam cara dalam penilaian rentabilitas
suatu perusahaan, maka tidak mengherankan jika ada beberapa perusahaan yang
berbeda-beda dalam cara menghitung rentabilitasnya.
Dalam penelitian ini rentabilitas dinilai dengan Basic Earning Power.
Basic Earning Power merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan dasar
untuk menghasilkan laba dari aset perusahaan sebelum ada pengaruh dari pajak
dan leverage.

2.7 Kinerja Saham


Sulistyanto dan Wibisono (2003) menyatakan bahwa kinerja saham
merupakan indikasi kinerja perusahaan yang akan diukur dengan menggunakan
nilai pasar saham perusahaan yang beredar di pasar modal yang sangat
dipengaruhi oleh kinerja operasi dan kinerja keuangan. Menurut Fabozzy
(2003),kinerja saham dapat diukur menggunakan tingkat kembalian (return) dari
suatu saham. Return saham adalah tingkat keuntungan yang ditawarkan oleh suatu
saham dalam periode tertentu, umumnya satu tahun, melalui investasi yang
dilakukan oleh investor.
Untuk mengukur kinerja saham dalam penelitian ini menggunakan total
return saham. Dalam Jogiyanto (2003) disebutkan bahwa total return

menunjukkan realisasi return yang diperoleh masing-masing saham dalam suatu


periode. Total return saham merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif
dengan harga periode yang lalu ditambah dengan presentase dividen terhadap
harga saham periode sebelumnya.

2.8 Kerangka Pemikiran


Kerangka pemikiran teoritis yang diajukan untuk penelitian ini
berdasarkan pada hasil telaah teoritis seperti yang telah diuraikan diatas. Untuk
lebih memudahkan pemahaman kerangka pemikiran penelitian ini, maka dapat
dilihat pada gambar berikut ini:
KUALITAS
AUDIT

GCG (GOOD
CORPORATE
GOVERNANCE)

BASIC EARNING
POWER

MANAJEMEN
LABA

KINERJA
PERUSAHAAN

KINERJA
SAHAM

2.9 Perumusan Hipotesis


2.9.1 Pengaruh GCG terhadap Kinerja Saham dengan Manajemen Laba
sebagai Variabel Intervening
Good corporate governance merupakan suatu tata kelola yang baik yang
di ciptakan untuk membawa perusahaan ke arah yang lebih baik. Penelitian yang
dilakukan oleh Berghe dan Rider dalam Kakabadse et al. (2001) menyatakan
bahwa hubungan kinerja perusahaan dengan corporate governance tidak mudah
dilakukan. Hal ini disebabkan respon pasar terhadap implementasi corporate
governance tidak dapat secara langsung direspon tetapi membutuhkan waktu atau
ada kemungkinan masih rendahnya tingkat kepercayaan investor terhadap
keefektifan pelaksanaan corporate governance di Indonesia. Menurut Cornett et
al. (2009), kinerja perusahaan dan mekanisme corporate governance merupakan
upaya yang berkaitan (mendukung). Keterkaitan antara GCG dengan kinerja
perusahaan secara langsung berhubungan dengan kinerja saham. Ketika kinerja
perusahaan meningkat maka kinerja saham juga akan meningkat secara simultan.
Dalam Penelitian ini, peneliti menggunakan empat mekanisme dalam
mengukur

good

corporate

governance

yaitu

kepemilikan

institusional,

kepemilikan manajerial, komisaris independen, dan komite audit. Shleifer dan


Vishny (1986) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006:5) menyatakan bahwa

kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif
untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka
insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan
meningkat. Sehingga permasalahan keagenan akan hilang apabila seorang manajer
adalah sekaligus sebagai pemilik. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan
untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif
sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentasi saham tertentu yang
dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan
yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak
manajemen (Boediono, 2005:175)
Decho dkk (1996) dalam penelitiannya yang dikutip oleh Siregar dan
Utama (2005:477) menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan manipulasi
laba lebih besar kemungkinannya memiliki dewan komisaris yang didominasi
oleh manajemen dan lebih besar kemungkinannya memiliki direksi utama yang
merangkap menjadi komisaris utama. Karena itu adanya komisaris independen
diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta good
corporate governance di dalam perusahaan. Komite audit mempunyai peran yang
sangat penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan
laporan keuangan seperti halnya menjaga terciptanya sistem pengawasan
perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya good corporate governance.
Dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, maka control terhadap
perusahaan akan lebih baik sehingga, konflik keagenan yang terjadi akibat
keinginan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dapat
diminimalisasi. Dengan demikian, hipotesis kedua adalah:
H1: GCG berpengaruh terhadap kinerja saham dengan manajemen laba
sebagai variabel intervening
2.9.2 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Kinerja Saham
Hussainey (2009) menyatakan bahwa kantor akuntan besar menyediakan
kualitas laporan keuangan yang lebih tinggi daripada kantor akuntan kecil.
Dengan demikian, investor dapat mengantisipasi laba masa depan hingga satu
tahun ke depan untuk perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh kantor

akuntan publik Big Four. Hal ini berarti bahwa kualitas audit kantor akuntan
publik Big Four mempunyai kemampuan yang lebih tinggi untuk menghasilkan
informasi laba yang berkualitas yaitu informasi laba yang tidak terlambat
dilaporkan dan wajar dalam penyajiannya. Sikap independensi bermakna bahwa
auditor tidak mudah dipengaruhi, Standar Profesi Akuntan Publik/SPAP (1994),
sehingga auditor akan melaporkan hasil yang ditemukannya selama proses
pelaksanaan audit secara wajar. Keadaan ini akan meningkatkan kepuasan klien
terhadap auditor tersebut. Dengan demikian, hipotesis kedua adalah:
H2: Kualitas audit bepengaruh terhadap Kinerja saham (Return Saham )
2.9.3 Pengaruh Basic Earning Power (BEP) terhadap kinerja saham dengan
kinerja perusahaan sebagai variabel intervening.
Hubungan antara BEP dengan kinerja saham adalah karena perusahaan
mempunyai dasar earning untuk menghasilkan laba, maka kinerja perusahaan
dapat meningkat lebih baik. Apabila kinerja perusahaan meningkat maka secara
simultan kinerja saham akan meningkat juga. Sehingga kinerja perusahaan akan
memberikan pengaruh positif terkait hubungan antara BEP dengan kinerja saham.
Dengan demikian, hipotesis ketiga adalah
H3: Basic Earning Power (BEP) berpengaruh terhadap kinerja saham
dengan kinerja perusahaan sebagai variabel intervening
2.9.4 Pengaruh manajemen laba terhadap kinerja perusahaan
Manajemen

melakukan

earnings

management

karena

bertujuan

mempengaruhi persepsi investor tentang kinerja perusahaan. Laba menjadi


parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen dan dasar bagi
investor untuk mengambil keputusan tanpa memperhitungkan prosedur yang
dilakukan. Laba mempunyai kekuatan untuk menjelaskan perilaku keputusan
investor untuk menjual, membeli, atau menahan sekuritas ketika diperoleh
informasi tentang investor terhadap relevansi, realita, dan kredibilitas sumber
informasi. Berkenaan dengan laba rugi, laporan laba-rugi sangat penting bagi para
pemakainya karena mempunyai nilai prediktif. Informasi laba digunakan untuk
membantu dalam mengevaluasi kinerja manajemen, mengestimasi earnings
power, atau lainnya yang dinilai sebagai representasi kemampuan laba perusahaan

dalam jangka panjang, memprediksi laba masa datang, atau menilai risiko
berinvestasi. Earnings management dilakukan untuk menghasilkan laba yang
dinikmati oleh investor sehingga apabila kinerja perusahaan tidak menunjukkan
hasil yang sesuai dengan kepentingannya, maka manajemen akan termotivasi
untuk melakukan earnings management, sehingga earnings management akan
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Hal ini berbeda dengan pendapat Herawati (2007) serta Klapper dan Love
(2002) yang menyatakan bahwa earnings management berpengaruh tidak
signifikan terhadap kinerja perusahaan. Pandangan lain menganggap bahwa
earnings management adalah upaya manajamen untuk memuaskan pemegang
saham dengan menurunkan risiko perusahaan. Perusahaan yang memiliki arus
laba yang stabil dianggap memiliki volatilitas arus laba yang rendah. Bagi
investor dan kreditor, perusahaan dengan volatilitas yang rendah memiliki risiko
kebangkrutan yang rendah pula, karena menyediakan jaminan laba di masa depan
yang lebih pasti. Dengan demikian, hipotesis keempat adalah
H4 : Earnings management berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dimana jenis data yang
digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah sumber data penelitian
yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh
dan dicatat oleh pihak lain) (Indriantoro dan Supomo, 1999). Data yang diambil
tersebut adalah berupa laporan tahunan (Annual Report) yang diterbitkan oleh
perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia periode tahun
2008-2012.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel non probabilitas
dengan pola pengambilan sampel yang dilakukan secara purposive sampling,
dengan kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan manufaktur yang telah listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun
2009-2013.
2. Perusahaan yang menerbitkan laporan tahunan (annual report) yang berakhir
tanggal 31 Desember selama periode 2009-2013.

3. Data mengenai variabel penelitian yang akan diteliti tersedia lengkap dalam
laporan tahunan perusahaan yang diterbitkan pada tahun 2009-2013.
4. Satuan mata uang yang digunakan dalam laporan keuangan menggunakan
rupiah. Hal ini karena secara garis besar perusahaan menerbitkan laporan
keuangan dengan menggunakan rupiah. Hal ini merupakan upaya peneliti
untuk keseragaman sampel penelitian.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel


3.3.1 Variabel Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan tiga variabel yaitu
variabel terikat (dependent) dan variabel bebas (independent) variabel intervening.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kinerja saham untuk hipotesis pertama,
kedua, dan ketiga. Sedangkan pada hipotesis keempat, kinerja perusahaan menjadi
variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah GCG, kualitas audit,
BEP, dan manajemen laba. Variabel intervening pada penelitian ini adalah
manajemen laba pada hipotesis pertama dan kinerja perusahaan pada hipotesis
ketiga.
3.3.2

Proksi Variabel Penelitian

Good Corporate Governance


Good Corporate Governance (GCG) yang diproksikan pada:
a. Kepemilikan Institusional
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Darwis, 2009 dalam Laila,
2011):
=

saham yang dimiliki institusi


X 100%
saham yang beredar

b. Kepemilikan Manajemen
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Herawaty, 2008) dan (Darwis,
2009) dalam Laila (2011):

= saham yang dimiliki pihak manajemen


X 100%
saham yang beredar
c. Dewan Komisaris Independen
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Carningsih, 2009), Darwis
(2009), dan Apriyanti dan Juliarto (2006) dalam Laila (2011)):
=

komisaris Independen
X 100%
anggota dewan komisaris
d. Komite Audit
Jumlah anggota komite audit yang diukur dengan menghitung jumlah
anggota komite audit dari setiap perusahaan yang digunakan sebagai sampel
dalam penelitian ini (Rustiarini, 2010).
= anggota komite audit

Kualitas Audit
Kualitas audit dalam penelitian ini merupakan proses audit yang dilakukan

oleh KAP Big Four maupun KAP non Big Four untuk periode saat ini.
Pengukuran kualitas audit dalam penelitian ini mengacu pada penelitian yang
dilakukan oleh Hussainey (2009) yaitu menggunakan variabel dummy. Variabel
dummy adalah variabel yang berukuran kategori atau dikotomi dengan memberi
kode 0 (nol) untuk kelompok yang disebut dengan excluded group dan memberi
kode 1 (satu) untuk kelompok yang disebut dengan included group (Ghozali,
2005). Excluded group merupakan kelompok yang tidak termasuk dalam kategori
yaitu kantor akuntan publik non Big Four, sedangkan included group merupakan
kelompok yang termasuk dalam kategori yaitu kantor akuntan publik Big Four.
Berdasarkan buku Direktori Publik Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2002 yang
dikutip dari Ramadhany (2004), yang termasuk kantor akuntan publik Big Four di
Indonesia adalah:
1) KAP Prasetio Utomo & Co yang pada tahun 2003 merger dengan
Hanadi, Sarwoko, & Sandjaja (berafiliasi dengan Ernst & Young).
2) KAP Hans Tuanakotta & Mustofa (berafiliasi dengan Deloitte

Touche Tohmatsu), pada tanggal 4 Agustus 2005 terbentuk dengan nama


baru yaitu KAP Osman, Ramli, Satrio, & Rekan.
3) KAP Sidharta, Sidharta, & Harsono (berafiliasi dengan KPMG/Klynveld
Peat Marwick Goerdeler).
4) KAP Hadi Susanto & Rekan (berafiliasi dengan Pricewater house
Coopers), pada tanggal 13 April terbentuk dengan nama baru yaitu KAP

Haryanto Sahari & Rekan.


Rentabilitas Ekonomi
Rentabilitas ekonomi dalam

penelitian

ini

diproksikan

dengan

menggunakan BEP ( Basic Earning Power).


BEP = EBIT
Total Aset

Dimana,
EBIT = Earning before interest tax ( laba sebelum pajak)
Manajemen Laba
Pendeteksian accrual earnings management menggunakan model Kothari

et.al. (2005). Model tersebut mempunyai daya prediksi yang lebih kuat
dibandingkan dengan model sebelumnya yaitu model modifikasian Jones (1991)
karena model Kothari et.al (2005) dapat memberikan tambahan kontrol terhadap
proksi manipulasi laba.

Pengukuran manajemen laba akural dengan

menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manipulasi laba dihitung


dengan model Kothari et.al (2005) adalah:
TAit = NIit CFOit ...............................................................................(1)
Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS
sebagai berikut:
TAit/Assetsit-1 = 0 + 1(1/Assetsit-1) + 2(REVit - RECit) +
3(PPEit/At-1) + 4(ROAit.......................(2)
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary
accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus:
NDA = 0 + 1(1/Assetsit-1) + 2(REVit) + 3(PPEit/At-1) +
4(ROAit/At-1) + e ..........(3)
Selanjutnya nilai discretionary accruals (DA) dapat dihitung sebagai berikut:
DAit = TAit NDAit ...........................................................................(4)

Dimana:
NIit = Net Income perusahaan i pada tahun t
CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode t
TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t
REVit = Perubahan pendapatan perusahaan i tahun antara t dan t-1
RECit = Perubahan piutang i tahun antara t dan t-1
PPEit = Tingkat PPE perusahaan i pada tahun t
ROAit = ROA perusahaan i pada tahun t
Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada akhir tahun t-1

Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan ROE.
ROE = Laba bersih
Modal saham
Kinerja Saham
Kinerja saham dalam penelitian ini di proksikan dengan menggunakan

return saham. Dengan demikian, return saham periode t adalah:

(Rt) = Pt Pt-1 + Dt
Pt-1
Dimana:
Rt = Return Saham Periode t
Pt= Harga investasi periode t
Pt-1 = Harga investasi periode t-1
Dt = Deviden periode t
3.4 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kuantitatif. Untuk dapat mempermudah dalam menganalisis digunakan Statistical
Package for Social Science (SPSS). Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk
mengetahui dispersi dan distribusi data. Sedangkan uji asumsi klasik dilakukan
untuk menguji kelayakan model regresi yang selanjutnya akan digunakan untuk
menguji hipotesis penelitian. Pengujian tersebut meliputi:

a. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan gambaran tentang distribusi frekuensi
variabel-variabel penelitian, nilai maksimum, minimun, rata-rata (mean), dan
standar deviasi dari variabel-variabel yang diuji dalam penelitian.
b. Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
Untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak
yaitu dengan menggunakan Grafik Normal Probability Plot dan KolmogorovSmirnov (K-S). Deteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu
diagonal dari grafik, jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas (Ghozali, 2011). Sedangkan uji normalitas dengan menggunakan
uji non parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S), residual data dikatakan
terdistribusi normal apabila nilai Asymp Sig lebih dari 0,05 (5%).
Uji Multikolienaritas
Untuk dapat mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas didalam
model regresi dapat dilakukan hal sebagai berikut (Ghozali, 2011).
a. Nilai R2 yang dihasilkan sangat tinggi, tetapi secara individual variabelvariabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel
dependen.
b. Menganalisis matriks korelasi variabel-variabel independen. Jika cukup tinggi
(umumnya diatas 0,90), maka terdapat multikolonieritas.
c. Dilihat dari nilai Tolerance dan lawannya serta Variance Inflation Factor
(VIF). Apabila nilai Tolerance 0,10 atau sama dengan VIF 10, dapat
diartikan tidak terjadi multikolonieritas, dan sebaliknya apabila nilai
Tolerance 0,10 atau sama dengan VIF 10 maka terjadi multikolonieritas.
Uji Heteroskedastisitas
Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas.
Dimana, kriteria analisis yang digunakan adalah sebagai berikut (Ghozali,
2011).
a. Jika terdapat pola tertentu, seperti titik yang ada membentuk suatu pola tertentu
yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit) maka telah terjadi
heteroskedastisitas.

b. Jika tidak terdapat pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah
angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Uji glejser digunakan untuk meregresi nilai absolut residual terhadap
variabel independen (Ghozali, 2011). Jika variabel independen secara statistik
berpengaruh signifikan (kurang dari 0,05 atau 5%) terhadap variabel dependen,
maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika variabel independen
secara statistik tidak berpengaruh signifikan (lebih dari 0,05 atau 5%), maka
regresi tidak mengandung adanya heteroskedastisitas.
Uji Autokolerasi
Untuk menguji autorelasi dapat dilakukan dengan melakukan uji Durbin
Watson, dimana hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:
Ho: Tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha: Ada autokorelasi (r 0)
Jika nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du),
maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, atau tidak ada autokorelasi. Jika
nilai DW lebih rendah dari batas atas atau lower bound (dl), maka koefisien
autokorelasi lebih besar dari nol, atau autokorelasi positif. Namun jika nilai DW
lebih besar dari (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari nol, atau
autokorelasi negatif (Ghozali, 2011).
3.5 Uji Hipotesis
Uji analisis path
Untuk

pengujian

dengan

variabel

intervening

dilakukan

dengan

melakukan uji analisis path atau uji analisis jalur. Hal tersebut dikarenakan pada
hipotesis pertaman dan ketiga penelitian ini menerangkan akibat langsung dan
tidak langsung seperangkat variabel terukur sebagai variabel bebas terhadap
variabel terikat dan variabel intervening.
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi mengukur seberapa jauh model yang digunakan
untuk dapat menjelaskan variabel terikat. Nilai koefisien determinasi antara 0 dan
1. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan
variabel terikat sangat terbatas, begitu pula sebaliknya (Ghozali, 2011).

Uji Signifikansi/ Pengaruh Simultan (Uji F)


Uji F menunjukkan apakah variabel independen yang dimasukkan dalam
model

mempunyai

pengaruh

terhadap

variabel

dependennya.

Kriteria

pengambilan keputusannya (Ghozali, 2011), yaitu:


a. Bila F hitung > F tabel atau probabilitas < nilai signifikan (Sig 0,05), maka
hipotesis dapat ditolak, ini berarti bahwa secara simultan variabel independen
memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
b. Bila F hitung < F tabel atau probabilitas > nilai signifikan (Sig 0,05), maka
hipotesis diterima, ini berarti bahwa secara simultan variabel independen tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel independen terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel
independen lainnya konstan. Pada uji t, nilai t hitung akan dibandingkan dengan
nilai t tabel, dilakukan dengan cara sebagai berikut (Ghozali, 2011).
a. Bila t hitung > t tabel atau probabilitas < tingkat signifikansi (Sig < 0,05),
maka Ha diterima dan Ho ditolak, variabel independen berpengaruh terhadap
variabel dependen.
b. Bila t hitung < t tabel atau probabilitas > tingkat signifikansi (Sig < 0,05),
maka Ha ditolak dan Ho diterima, variabel independen tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen.

DAFTAR PUSTAKA

Aldhi, G.V. 2013. Analisis Pengaruh Manajemen Laba Dan Tingkat Profitabilitas
Terhadap Nilai Perusahaan. Skripsi. Jember: Universitas Jember
Ardiati, AloysiaYanti. 2003. Pengaruh Manajemen Laba terhadap Return Saham
dengan Kualitas Audit Sebagai Variabel Moderating. Simposium Nasional
Akuntansi VI. Surabaya.
Becker, C.L.M.L Defond, J.Jiambalvo, K.R Subramanyam. 1998. The Effect of
Audit Quality On Earnings Management. Contemporary Accounting
Research.
Bukhori, Iqbal. 2012. Pengaruh Good Corporate Governance dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Kinerja Perusahaan. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro
Chen, Han Wen, Jeff Zeyun Chen, Gerald J. Lobo dan Yanyang Wang. 2011.
Effects on Audit Quality on Earnings Management and Cost of Equity
Capital: Evidence from China. Contemporary Accounting Research, Vol.
28, No.3. www. papers.ssrn.com (Diakses 5 Maret 2012).
Dechow, Sloan, and Sweeney. 1995. Detecting Earnings Management. The
Accounting Review. Vol. 70, No. 2 April 1995, pp. 193-225
Dopuch, N dan M. Pincus. 1998. Evidence on The Choice of Inventory
Accounting Methods: LIFO vs FIFO. Journal of Accounting Research.
Gerayli, Muhdi Safari, Abolfazl Momeni Yaanosari, and Ali Reza Maatoofi.
2011. Impact of Audit Quality on Earnings Management (Evidence From
Iran). International Research Journals of Finance and Economics, issue 66.
www.eurojournals.com (diakses 15 Maret 2012)
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Gideon, SB Boediono. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme
Corporate Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan
Menggunakan Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo.
Govindarajan,V. Dan Robert N. Anthony. 2005. Management Control System.
Jakarta: Salemba Empat
Gumanti, T. A. 2000. Earnings Management :Suatu Telaah Pustaka. Jurnal
Akuntansi & Keuangan, Vol. 2, No. 2, November 2000: 104-115

Haryudanto, D. 2011. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Tingkat Corporate


Social Responsibility Dan Nilai Perusahaan. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro
Healy, P.M., and Wahlen, JM. 1999. A Review of The Earnings Management
Literature and Its Implications for Standard Setting. Accounting Horizons,
Vol. 13 No. 4, pp. 365-383
Herawaty, Vinola. 2008. Peran Praktek Corporate Governance sebagai
Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai
Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi 11. Pontianak.
Krishnan, G.V. 2003. Audit Quality and The Pricing of Discretionary Accruals.
Journal of Practice and Theory, Vol. 22 No.1.
Laila, Noor. 2011. Analisis Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap
Nilai Perusahaan. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro
Lestari, Ekowati Dyah. 2011. Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap
Nilai Perusahaan. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro
73 Analisis Pengaruh Mekanisme Good
Purwaningtyas, Frysa Pradhita. 2011.
Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro
Riswari, Dyah Ardana. 2012. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap
Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating.
Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro
Tarjo. 2008. Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Institusional dan Leverage
terhadap Manajemen Laba, Nilai Pemegang Saham serta Cost of Equity
Capital. Simposium nasional Akuntansi XI. Hal 1-45
Theresia, D. Hastuti. 2005. Hubungan antara Good Corporate Governace dan
Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan (Studi Kasus Perusahaan
yang Listing di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi VIII.
Solo.
Wahidahwati. 2002. Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan
Institusional pada Kebijakan Hutang Perusahaan: Sebuah Perspektif
Theory Agency. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 5. No.1
Whelan, C and McNamara, R. 2004. The Impact of Earnings
Management on the Value-relevance of Financial

Statement
Information.http://www.ssrn.com.
tanggal 14 Oktober 2013.

Diakses

You might also like