Professional Documents
Culture Documents
Mengembangkan Kompetensi
Waktu (Semester 2)
3 X 2 (coaching session)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator
Penuntun Belajar : lihat acuan materi
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:
1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook.
St Louis: Mosby;1995,431-49.
2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum
dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh
dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau
perlu operasi lagi.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:
Kognitif
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di PACU
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk anestesi lokal atau akibat
kateternya.
12. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke
PACU fase 2).
13. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah).
14. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Psikomotor
1. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada
di PACU.
2. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan
nafas,
3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
4. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
5. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
6. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
7. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
8.
9.
10.
11.
Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat
penusukan jarum untuk anestesi regional atau kateternya.
12. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi
Aldretes score
13. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah)
dengan PADSS score.
14. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Komunikasi
1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan ulang akibat pembedahannya.
2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk anestesi regional.
Professionalisme
1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi pascabedah.
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan postoperatif pasien pascabedah
baik yang dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional.
KEYNOTES:
1. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan
oksigenasi adekuat, stabil hemodinamik.
2. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan
curah jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan
fungsi paru dan jantung.
3. Masalah respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan
obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
4. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestesi
5. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada
pasien yang mengalami hipoventilasi.
6. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU
7. Nyeri dari daerah insisi, intubasi endotrakheal, distensi kandung kemih merupakan
penyebab hipertensi.
8. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret score
9. Pemulangan pasien kerumahnya berdasarkan kriteria PADSS
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan ketrampilan dalam
membuat design PACU, emergens dari anestesi umum, transportasi dari OK, pemulihan dari
anestesi umum, pemulihan dari anestesi regional, pengelolaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil
dan hipotermi, kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke
rumah, pengelolaan komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi,
hipertensi, aritmia.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum
dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh
dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau
perlu operasi lagi.
METODE PEMBELAJARAN
Peserta didik sudah harus mempelajari:
1. Bahan acuan (references)
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU
Metode pembelajaran
1.
2.
3.
4.
MEDIA
1.
2.
3.
4.
Papan tulis
Komputer
LCD dan slide projector
Pasien di kamar bedah dan PACU
Virtual patients
Reading assigment
Audiovisual
Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observations and assessments
Multiple observers/raters
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
Minicheck
2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
3. Communication and Interpersonal Skills
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
4. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pretest
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU!
Bagaimana cara mendesign PACU?
Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya!
Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes score!
Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!
Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak
direncanakan masuk ICU!
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
-
No
Pemasangan monitor
3.
Sudah
dilakukan
Belum
dilakukan
10
11
12
13
14
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan
Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak
memuaskan
T/D
Tidak diamati
Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
Tanggal
Nama pasien
No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
No
Kesempatan ke
1
DAFTAR TILIK
No
Kesempatan ke
Peserta dinyatakan :
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
Tanda tangan dan nama terang
MATERI ACUAN
Definisi Pemulihan
Pemulihan adalah proses yang kontinu dan proses tersebut secara tradisional dibagi
dalam 3 bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesi;
intermediate recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien
kembali ke keadaan fisiologis seperti sebelum operasi.
Early recovery (phase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestesi supaya pasien
bangun, pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya
terjadi di PACU dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu
sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1,
atau 2 ditujukan untuk aktivitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor
maksimalnya 10. Penggunaan pulse oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator
oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna
pada Aldrete skor dengan SpO2 pada Modifikasi Aldrete Skoring sistem. Bila pasien mencapai
skor 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang pulih fase 2 dimana fase 2
recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Phase 3 recovery terjadi setelah
keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.
1=moves two extremities
0=unable to move extremities
Respiration
2=breathes deeply & cough freely
1=dyspneic, shallow or limited breathing.
0=apneic
Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level
1=BP20-50 mm of preanesthetic level
0=BP50 mm of preanesthetic level
Oxygen saturation
2=SpO2 > 92% on room air
1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%
0=SpO2<92% with O2 supplementation
10 = total score; 9 = for PACU discharge/bypass
Fast Tracking
Tersedianya obat dengan mula kerja cepat dan lama kerja pendek untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi akan memfasilitasi cepatnya pulih setelah operasi bedah sehari. Sebagai
hasilnya, pasien dapat mencapai skor 9 atau 10 ketika tiba di PACU. Pasien-pasien ini juga
mungkin lebih cepat pulih di unit phase 2. Biasanya, semua pasien ditransfer ke PACU, tak
terkecuali dengan Aldrete skor 9 atau 10, tetap diperlukan untuk tinggal di PACU hanya sebagai
persyaratan/protokol perawatan. Faktor-faktor ini yang kadang memperlambat pasien yang telah
betul-betul pulih untuk meninggalkan PACU.
Teknik Fast-tracking akan menyebabkan pasien dari kamar bedah langsung dipindahkan
ke pemulihan phase 2 tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti
akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan bagi pasien. Pada kasus pediatrik, orang tua
pasien tidak diperbolehkan ada di PACU karena tempatnya terbatas, akan tetapi, diijinkan masuk
ASU (Ambulatory Surgical Unit) saat induksi anestesi. Anak-anak mendapat keuntungan
tambahan dengan fast-tracking karena cepat berkumpul dengan orang tuanya.
Penelitian Song menunjukkan bahwa pasien yang dianestesi dengan desfluran dan
sevofluran untuk rumatan anestesi ketika ligasi tuba, menunjukkan lebih cepat bangun daripada
dengan propofol. Modifikasi Aldrete aslinya digunakan untuk memenuhi syarat fast track.
Sistem skoring ini tidak mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang
sering terlihat di PACU. White dkk, memasukkan faktor nyeri dan muntah kedalam Skoring
Aldrete. Dengan sistem skoring yang baru skor maksimum adalah 14 dan bila skore pasien 12
dapat dapat langsung ke fase 2 .
Physical activity
Able to move all extremities on command
Hemodynamic stability
Blood pressure < 15% baseline MAP value
Respiratory stability
Able to breathe deeply
Total score
14
Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Monitoring
Routine
Selected patients
Respiratory
Respiratory rate
Airway patency
Oxygen saturation
Cardiovascular
Pulse rate
Electrocardiogram
Blood pressure
Neuromuscular
Physical examination
Neuromuscular blockade
Nerve stimulator
Mental Status
Temperature
Pain
Nausea and Vomiting
Urin
Voiding
Output
Drainage and bleeding
Pemulangan Pasien
Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang tepat
waktu setelah anestesi. Chung dkk membuat sistim skoring yang disebut PADSS
(Postanesthesia discharge scoring system) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk
dipulangkan. Untuk menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring
harus praktis, simpel, mudah untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan
5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2)
ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5) perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor
mencapai 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan
bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1-2 jam
pascabedah.
Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman
antara lain:
Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery.
Vital signs must have been stable for at least 1 hour
The patient must be
Oriented to person, place, and time
Able to retain orally administered fluids
Able to void
Able to dress
Able to walk without assistance
The patients must not have
More than minimal nausea and vomiting
Excessive pain
Bleeding
The patient must be discharge by both the person who administered
anaesthesia and the person who performed surgery, or by their designates.
Written instruction for the postoperative period at home, including a
contact place and person, must be reinforced.
The patient must have a responsible, vested adult escort them home and
stay with them at home.
Tabel 6: PADSS untuk menentukan kesiapan pasien
dipulangkan kerumah.
Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat dibawah
ini:
dipulangkan kerumah.
AFTER
GUIDE
LINES
Anestesi Spinal
Anestesi spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan anestesi umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan
nyeri pascabedah. Disamping keuntungan tsb, anestesi spinal bukannya tanpa masalah. Lidokain
adalah obat yang populer untuk anestesi spinal akan tetapi mempunyai masalah dengan
terjadinya TNS (transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian
lidokain intratekal dan kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.
Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk menemukan bahwa anestesi
spinal dengan lidokain memperlambat pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan
pasien dengan anestesi spinal lebih cepat daripada anestesi umum. Wong dkk menemukan
bahwa pemulangan pasien sama antara spinal dan anestesi umum pada pasien yang mengalami
antroskopi.
Nyeri
Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestesi yang baru,
spesialis anestesi harus mengembangkan untuk pengelolaan nyeri pascabedah yang
efektif, yang harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesi harus dimulai di kamar
bedah dan dilanjutkan dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya
pemberian obat, dan dengan mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah
nyeri, adalah elemen penting untuk keberhasilan terapi nyeri.
Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri
pascabedah, akan tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan
mengurangi keuntungan opioid untuk analgesi pascabedah. Keadaan ini yang
menyebabkan berkembangnya pemakaian NSAID pada pasien bedah rawat jalan.
Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanyl
memberikan hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok
obat (opioid dan opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,52mg/kg) memberikan hasil yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada
opioid, dan adanya peningkatan perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada
beberapa kasus bedah.
Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang
dapat dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan
analgesia, nyeri masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak
dengan dokter keluarga, dan untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat
jalan.
Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan
membatasi setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008
pasien bedah rawat jalan untuk mengidentifikasi faktor resiko untuk nyeri hebat. Operasi
ortopedi mempunyai kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu
dan pengangkatan metal. Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri
pascabedah. Bila lama operasi lebih dari 90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila
operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan mengalami nyeri hebat.
Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk
menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan
NSAIDs, opioid, dan anestesi lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit
untuk menjadi effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.
PONV
PONV masih merupakan masalah yang umum setelah bedah rawat jalan, dan
kejadiannya sekitar 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih terjadi pada
35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi
pasien. Chung menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan
pasien bedah rawat jalan lambat dipulangkan.
Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk
resiko terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat
PONV dan mabuk perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu,
dua, tiga, atau empat faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan
79%. Prosedur bedah yang lama dan jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya
resiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang tinggi terjadi pada operasi intraabdominal,
operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payu dara, mata, dan THT. Disebabkan karena
bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada pencegahan, maka identifikasi faktor
prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat diberikan terapi profilaksis.
Dibandingkan dengan plasebo, dexamethason 10 mg secara nyata mengurangi PONV
dari 73% menjadi 34% dalam 24 jam setelah laparoskopi. Dexamethason 4 mg sebanding
dengan ondansetron 4 mg setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis,
Henzi dkk melaporkan dexamethason terutama efektif melawan late PONV. Kombinasi
droperidol dan ondansetron dapat mengurangi kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol
lebih baik dalam melawan nausea daripada emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih
menguntungkan untuk melawan emesis daripada nausea.
PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasen
rawat inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang
kerumahnya. Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien
dipulangkan kerumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan
mengurangi kejadian PONV setelah pasien dipulangkan kerumah. Pasien dengan resiko
Supplemental oxygen
patient
kira 45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk,
pusing, dan lemah.
Simpulan
1. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan
bedah rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya.
2. Pemantauan di PACU (Pemulihan Phase I/early recovery) dengan Modifikasi
sistem Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila
skor mencapai 9 atau lebih.
3. Pemantauan di ruang pulih phase II (intermediate recovery) dengan PADSS dan
pasien boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih.
4. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama yang
dapat dikurangi dengan perencanaan anestesi yang tepat.
5. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan
tertulis.
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006