You are on page 1of 9

BAB III

GERAKAN ANTI BELANDA


A. Kelompok yang Berperan
Periode 1950-an memang dikenal sebagai periode yang bebas bagi
perpolitikan Indonesia. Dimana percobaan demokrasi dalam sistem pemerintahan
menjadi pilihan sebagai ide dan tanggung jawab dari golongan elit. Akibatnya kurun
waktu 1950-1957 menjadi periode yang paling bebas dalam sejarah Indonesia bagi
mereka yang berpolitik.1 Hal ini sangat terlihat ketika kepentingan politik sangat
menghiasi dalam adanya gerakan anti Belanda yang terjadi di Surabaya. Banyak
sekali kelompok-kelompok yang berperan dalam gerakan anti Belanda sebagai
kelompok yang kontra terhadap Belanda. Permasalahan yang menyangkut belum
dibebaskannya Irian Barat oleh Belanda yang tertuang dalam keputusan Konferensi
Meja Bundar menjadi salah satu topik yang dimuat dalam aksi-aksi gerakan anti
Belanda di Surabaya, sebagai permasalahan politik sekaligus kesempatan politik
bagi kelompok-kelompok tertentu.
1. Partai Komunis Indonesia (PKI)
PKI merupakan satu dari sekian banyak partai politik yang
menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi pemilu 1955. Partai yang
mengedepankan kaum bawahan sebagai misi dalam perjuangan ini sangat
memberikan pengaruh dalam gerakan anti Belanda di Surabaya. Eksistensi
PKI di Surabaya mulai terlihat dari adanya pemilu tahun 1955. Dimana PKI
menjadi salah satu partai politik yang mampu menguasi Surabaya dengan
perolehan suara terbanyak. Perolehan suara yang diperoleh oleh PKI ini
merupakan bukti yang kuat bahwa PKI telah melakukan usaha yang serius
dalam menghadapi pemilu pertama tahun 1955. PKI mulai membangun
jaringan massa dengan mengandeng para buruh sebagai sayap kirinya yang
siap dalam mendukung partai ini.
Usaha PKI dalam menggandeng para buruh memang dianggap sebagai bukti
dan komitmennya dalam membela kaum bawahan. Mereka melandaskan
ideologinya terhadap ideologi marxis yang mempunyai cita-cita menciptakan
masyarakat tanpa kelas. Artinya dengan adanya kaum bawahan seperti
buruh, tentu membuat PKI merasa perlu untuk mewujudkan ideologi yang
selama ini menjadi landasannya. Apalagi penduduk Surabaya banyak berada
pada kelas menengah ke bawah dengan sebagian besar berada pada
pekerjaan buruh di perusahaan- perusahaan. Disaat yang sama, perusahaanperusahaan besar yang berada di Surabaya masih banyak yang berstatus
perusahaan asing, sehingga membuat kesempatan dari PKI semakin terbuka
dalam mempengaruhi buruh untuk bergabung dalam naungannya.

1 Ricklefs, hlm. 356.

Setidaknya usaha ini menuai hasil saat buruh perkotaan berhasil dikendalikan
oleh PKI.
Dalam konteks gerakan anti Belanda sendiri, buruh menjadi bagian
yang penting didalamnya. Buruh yang notabenya merupakan bagian dari PKI
sangat aktif dalam menyikapi gerakan anti Belanda. Kebijakan politikekonomi pemerintah Indonesia diawal periode 1950 yang masih banyak
mengalami banyak perdebatan memunculkan banyak wacana. Perdebetan
mengenai perekonomian Indonesia untuk lebih mandiri tanpa ketergantungan
dari pihak asing menjadi alasan yang kuat dari pihak kelompok radikal.
Sedangkan alasan sebaliknya menjadi pegangan dari kelompok moderat.
Dalam perbedaan dua pendapat yang ada, buruh masuk dalam kelompok
yang pro terhadap kelompok radikal. Hal ini terlihat dengan semakin kuatnya
buruh dalam mendukung adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing
di Surabaya. Perusahaan listrik misalnya, menjadi tujuan utama dalam sikap
anti Belanda oleh buruh perusahaan.. tambah arsip.
Apa yang dilakukan oleh buruh ini memberikan pengaruh terhadap
masyarakat yang lain. Dimana dalam hal ini buruh memiliki kemampuan lebih
untuk memobilisasi massanya untuk melakukan gerakan politik. 2 Artinya
masyarakat dapat ikut merasakan hal yang sama sebagai bentuk ketidak
puasan, yang ditimbulkan oleh pengaruh buruh melakukan gerakan anti
Belanda dalam ranah perusahaan milik Belanda.
2. Partai Nahdhatul Ulama (NU)
Dalam sumber ditemukan, NU juga merespon adanya gerakan anti
Belanda di Surabaya. Sebagai partai yang telah berdiri sejak 1928, NU dikenal
sebagai partai yang berhaluan agama. Para pembesarnya berasal dari
kalangan ulama dan kyai. Semangat perjuangannya juga bersifat nasionalis
seperti partai-partai lain yang berhaluan nasionalis. Maka tidak heran jika
dalam gerakan anti Belanda di Surabaya pada periode 1950-1960, NU
memberikan respon dan tanggapan dalam situasi yang mengatasnamakan
nasionalisme itu. NU cabang Surabaya secara tegas mendukung pemerintah
untuk menindak tegas masalah yang berkaitan dengan hotel simpang yang
menyangkut penghinaan harga diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
telah merdeka. NU mengangap tindakan yang dilakukan oleh seorang
Belanda yang tidak menghargai Residen Surabaya dan tidak sesuai dengan
ajaran agama apapun. Dalam situasi yang sama NU juga menyerukan kepada
seluruh lapisan masyarakat untuk menyokong dan berdiri dibelakang
pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut.3

2 Memetakan Gerakan Buruh, hlm. 83.


3 Koran Harian Umum, 21 Jan 1954. Peristiwa simpang: Jangan bertindak sendirisendiri.

Pada periode itu, faktor pemilu pertama yang diadakan pada tahun
1955 menjadi alasan kuat dalam bergeraknya partai-partai politik untuk peka
terhadap permasalahan yang ada. Situasi ini menjadi sangat penting ketika
partai-partai politik mengambil simpati dari masyarakat untuk ikut dalam
menyelesaikan permasalahan politik yang ada. Karena dalam lingkup
Surabaya sendiri NU merupakan partai yang menjadi pesaing kuat dari PKI
dalam meraup suara. NU menjadi partai yang kuat dengan kekuatan ulama
didalamnya.
3.

Partai Persatuan Indonesia Nasional (PIN)


Respon dari kelompok-kelompok partai politik dalam gerakan anti
Belanda di Surabaya ternyata sangat kuat. Setelah PKI dan NU memberikan
respon dan tanggapannya, Partai Persatuan Indonesia Nasional (PIN) juga
merespon situasi yang tidak harmonis antara masyarakat Surabaya dengan
orang-orang Belanda yang ada di Surabaya. Dalam kesempatan yang sama
mengenai peristiwa hotel simpang, PIN yang merupakan partai nasionalis
merasa ikut tersinggung dengan peristiwa hotel simpang. 4 Apa yang terjadi
dengan hotel simpang dianggap telah merendahkan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang telah merdeka. Orang-orang Belanda yang bersikap
demikian itu, PIN menyerukan pada pemerintah untuk harus mengambil
tindakan-tindakan yang tegas. Selain itu pemerintah juga harus mengambil
tindakan-tindakan yang sesuai menurut Undang-Undang Darurat terhadap
bangsa asing.5
Mengenai Undang-undang yang menyangkut bangsa asing,
pemerintah memang telah membuat undang-undang yang termuat dalam
Peraturan Pemerintah Nr 45 tahun 1954, tentang pelaksanaan pengawasan
terhadap orang asing yang berada di Indonesia. 6 Apa yang dilakukan oleh PIN
dengan seruannya terhadap pemerintah seolah memberikan sikap yang
tegas dan konsekuen terhadap apa yang telah ditentukan oleh undangundang. Usaha dari PIN ini tidak jauh berbeda dengan partai lain seperti PKI
dan NU dalam persiapannya menyongsong pemilu pertama. Apalagi wacana
yang ada di periode 1950-an menitik beratkan pada rasa nasionalisme yang
sesuai dengan ideologi PIN yaitu nasionalis.

4. Partai Rakyat Nasional (PRN)


Partai politik lain yang berperan dalam gerakan anti Belanda adalah
PRN. Partai ini
4 Harian Umum, Peristiwa Simpang soal ketjil. 25 Januari 1954
5 Ibid.,
6 Arsip Lembaran Negara Republik Indonesia Nr 83, 1954.

5. Pemuda Rakyat
Bukan hanya kelompok partai politik yang menaruh sikap pada
gerakan anti Belanda di Surabaya. Kelompok lain dari lapisan masyarakat pun
menaruh respon dari permasalahan yang terjadi antara masyarakat Surabaya
dan orang-orang Belanda yang ada di Surabaya pada periode 1950.
Kelompok pemuda rakyat menjadi salah satu organisasi masyarakat yang
menaruh sikap sentimen terhadap sikap yang kurang berkenan dari orangorang Belanda yang berada di Surabaya. Sentimen itu muncul dari adanya
permasalahan hotel simpang, pemuda rakyat menganggap permasalahan
yang terjadi bukan hanya permasalahan kecil dan dianggap sepele.
Melainkan permasalahan yang sudah keterlaluluan bagi kehormatan bangsa
Indonesia.7
Dalam ruang lingkup kota Surabaya sikap dan respon yang dilakukan
oleh kelompok pemuda rakyat memang bukan sebuah respon yang
kebetulan. Surabaya yang dikenal dengan perjuangan yang heroik dalam
revolusi fisik 10 November 1946 juga tidak bisa lepas dari peranan para
pemuda rakyat atau yang biasa dikenal dengan arek-arek Suroboyo.
Perjuangan dalam merebut kembali Surabaya dari sekutu menjadi jawaban
akan peranan dan kontribusi dari para pemuda. Maka tidak menjadi hal yang
tabu bagi para kelompok pemuda, jika dalam adanya gerakan anti Belanda
kelompok ini memiliki peranan di dalamnya.
B. Bentuk, Sasaran, dan Dampak Gerakan
Sebagai gerakan yang melibatkan banyak lapisan masyarakat,
tentunya gerakan anti Belanda juga memiliki dampak dan sasaran yang lebih
luas. Dalam artian, gerakan ini berdampak pada berbagai bidang dalam
masyarakat sebagai bentuk dari pendekatan multidimensional dalam
penelitian ini.
1. Bidang Politik-Ekonomi
Dampak dari adanya kelompok radikal dalam hal pandangan kebijakan
ekonomi Indonesia sangat mendasari dalam usaha untuk mengambil alih
perusahaan-perusahaan Belanda. Kebijakan ini juga yang membuat para
buruh perusahaan-perusahaan di Surabaya sangat aktif dalam
mengumandangkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Selain itu masalah Irian Barat yang menjadi polemik dalam pembahasan KMB
menjadi salah satu alasan untuk menguatkan dasar dalam melakukan
gerakan anti terhadap Belanda. Di tahun 1952 Serikat Buruh Gula Malang
mendesak kepada presiden untuk mengisyaratkan kepada seluruh kaum
buruh dan tani untuk mensita kembali pabrik-pabrik, tambang-tambang, dan
kebun modal penjajah di seluruh Indonesia. Desakan ini didasari dari pidato
Presiden Soekarno saat datang di Surabaya pada tanggal 10 November
dimana dengan jelas mengatakan bahwa sudah saatnya bagi kita untuk
berbicara dengan bahasa sendiri mengenai Irian Barat. Bagi sarekat buruh
7 Harian Umum, pernyataan pemuda rakyat. 25 Jan 1954

isi pidato tersebut dimaknakan sebagai pintu yang terbuka untuk melakukan
perlawanan terhadap Belanda dengan jalan mensita pabrik-pabrik gula. 8
Tuntutan yang sama juga muncul dari kalangan Serikat Buruh Listrik
dan Gas Indonesia (SBLGI). SBLGI merupakan salah satu organisasi buruh
yang cukup radikal dan sangat mendukung gagasan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Serikat buruh ini merupakan
salah satu serikat buruh yang terkuat dengan anggota terbanyak ada di Kota
Surabaya dan Malang.9 SBLGI ini sangat mendukung mosi yang diajukan oleh
kelompok buruh Kobarsih dalam sidang parlemen mengenai perusahaan
listrik. Kobarsih memandang sudah tiba waktunya untuk melaksanakan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik milik Belanda. Kobarsih sendiri
telah melakukan laporan untuk disampaikan kepada pemerintah mengenai
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Dalam usahanya itu Kobarsih
bekerja sama dengan Panitia Negara urusan nasionalisasi perusahaanperusahaan listrik yang telah dibentuk oleh pemerintah. Panitia itu diketuai
oleh Ir. Putuhena dari kementerian pekerjaan umum dengan anggotaanggotanya Mr. Sugiarto dari Kementerian Keuangan, Ir. Ibrahim dari
Kementerian Perekonomian, Mr. Gatot dari Kementerian Kehakiman, Ir.
Kusumaningrat dari Kementerian Pekerjaan Umum. 10
Setelah panitia itu terbentuk, mereka berwenang untuk mengatasi
jalannya agenda nasionalisasi. Kobarsih dan Panitia Negara ini juga
bekerjasama dalam menyelesaikan laporannya yang ditujukan untuk
pemerintah dalam masalah ini. Adapun pokok isi laporan itu menurut
Kobarsih adalah peninjauan dari segi politik dan ekonomi. Artinya
kepentingan nasionalisasi bagi pembangungan perekonomian Indonesia
dengan hukum-hukum internasional serta internasional. 11 Pada tahun yang
sama, 28 Desember 1952 SBGLI Cabang Surabaya mengadakan pertemuan
besar serikat buruh yang dihadiri oleh wakil-wakil partai politik dan berbagai
organisasi buruh yang bertempat di Gedung Nasional Indonesia (GNI)
Bubutan. Dalam pertemuan tersebut mereka mendapat berbagai masukan
dari SBGLI pusat tentang tuntutan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
listrik sebagai lanjutan dari mosi Kobarsih.12 Usaha ini dilakukan oleh SBGLI
Cabang Surabaya kerena mereka ingin perusahaan listrik N.V Aniem yang
8 Java Post, Sita Pabrik-Tambang Modal Penjajah! 20 Nopember 1952.
9 Purnawan Basundoro, 2 Kota, hlm. 108.
10 Java Post, Nasionalisir Perusahaan Listrik, 13 Des 1952
11 Ibid, JP 13 Des 1952
12 Purnawan, 2 Kota, hlm. 109

notabenya masih milik Belanda segera dilakukan nasionalisasi. Desakan dan


tuntutan dari SBGLI ini semakin kuat, mengingat mereka dalah serikat buruh
yang sebagian besar menjadi bagian elemen daripada N.V Aniem. Selaian itu
masalah gaji yang minim dan kenaikan tarif yang diberlakukan oleh Aniem
semakin menyulutkan keinginan para buruh untuk segera menasionalisasikan
Aniem.
Setelah mengalami proses yang panjang, termasuk dengan
dibentuknya panitia nasionalisasi untuk Aniem. Akhirnya pada 1 November
1954 Aniem resmi menjadi perusahaan listrik milik Indonesia. Keberhasilan
pemerintah Indonesia mengoper sebuah korporasi yang begitu vital dan
menentukan hampir semua sendi kehidupan di perkotaan, yaitu perusahaan
listrik, merupakan pintu masuk menuju terwjudnya kelistrikan nasional yang
tidak tergantung pada perusahaan asing. Dilain sisi, peranan kelompok buruh
memang tidak dapat diabaikan. Meskipun mereka merupkan bagian dalam
perusahaan, namun kelompok buruh mampu mengkoordiner massanya untuk
melakukan misinya. Mereka seolah mampu menjawab, bahwa kelompok
buruh juga mempunyai peran dalam bangsa. Ditengah permasalahan politik
Indonesia yang begitu pelik, dan permasalahan proses pengakuan kedaulatan
Irian Barat yang tidak kunjung diberikan oleh Belanda, ternyata buruh
melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan jalannya. Yaitu
memanfaatkan perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik milik Belanda
untuk dijadikan sasaran perlawanan dalam gerakan anti Belanda.
2. Bidang Sosial
Dalam bab selanjutnya sudah dijelaskan, bahwa adanya gerakan anti
Belanda di Surabaya dapat di dasarkan dari dua persoalan, dan salah satu
persolan itu adalah kembalinya orang-orang Belanda ke Surabaya pasca
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945. Orang-orang Belanda ini datang dari kamp-kamp pengungsian saat
terjadi perselisishan antara Belanda dan Jepang. Kedatangan orang-orang
Belanda ini tidak lain memang ingin menduduki kembali Surabaya. Sikap
yang demikian ini yang membuat penduduk pribumi kota Surabaya marah,
karena orang-orang Belanda masih saja tidak mau meninggalkan Surabaya.
Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang dibahas
dalam KMB, tepatnya pada akhir tahun 1949. Orang-orang Belanda yang ada
di Surabaya memang belum sepenuhnya meninggalkan kota ini. Dalam data
statistik mengenai kependudukan tahun 1951 menunjukkan bahwa penduduk
Eropa berjumlah 32.392. Jumlah ini dapat dikatakan masih tinggi mengingat
status Indonesia yang telah merdeka dan mendapat kedaulatan dari Belanda.
Masih banyaknya penduduk Eropa, khsususnya orang-orang Belanda tentu
membuat masyarakat Surabaya belum sepenuhnya nyaman. Perasaan
sentimen beberapa tahun silam saat orang-orang Belanda kembali ke
Surabaya pasca proklamasi kemerdekaan bisa dijadikan alasan. Ditambah
lagi dengan permasalahan Irian Barat yang tidak dimasukkan dalam wilayah
kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Situasi ini membuat ketengangan antara

masyarakat Surabaya dan orang-orang Belanda, dan hubungan mereka


terkesan tidak harmonis.
Dalam kasus ini, dapat dikembalikan pada situasi yang telah dirasakan
oleh masyarakat Surabaya. Dimana yang pada awalnya memang telah
menyimpan sikap sentimen terhadap orang-orang Belanda. Mereka
mengalami rasa ketidak puasan dari situasi sosial dan politik yang telah
terjadi. Rasa ketidak puasan yang dialami tentu menyulutkan rasa untuk
menentang maupun melawan dengan lawannya. Selain itu, pengaruh yang
diberikan oleh orang-orang disekitar atau suatu kelompok juga sangat
menentukan. Karena dalam ilmu politik fungsi pengaruh sangatlah penting
dalam memobilisasi massa, sehingga fungsi pengaruh akan mudah dijalankan
sebab adanya rasa ketidak puasan yang dialami oleh orang atau sekelompok
orang yang dalam hal ini adalah masyarakat Surabaya.
Ketidak harmonisan hubungan antara masyarakat Surabaya dan orangorang Belanda dapat terlihat dari sikap diantara keduanya. Masyarakat
Surabaya terlihat sangat sensitif dengan tindakan yang dilakukan oleh orangorang Belanda. Rasa sentimen yang kuat terlihat pada sikap masyarakat
Surabaya dalam kasus hotel simpang. Kasus hotel simpang ini bermula dari
tindakan pengurus hotel yang merupakan orang Belanda tidak memberikan
tempat penginapan kepada Menteri Perekonomian, Mr.Iskak. 13 Tindakan yang
dilakukan oleh pengurus hotel ini ternyata memantik rasa sentimen yang
telah ada dalam masyarakat Surabaya. Hasilnya, masyarakat memberikan
respon yang kuat terhadap permasalahan ini. Mereka menganggap pengurus
hotel telah melakukan tindakan yang menghina harga diri bangsa yang telah
merdeka.
Dalam konteks gerakan anti Belanda, permasalahan hotel simpang ini
merupakan sasaran yang dilakukan oleh masyarakat Surabaya dalam
menyikapi rasa sentimen yang muncul. Masyarakat Surabaya memandang
apa yang dilakukan oleh pengurus hotel, yang merupakan orang Belanda
adalah salah. Bahkan merupakan kesalahan yang dianggap telah menghina
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka. Permasalahan ini juga
menjadi permasalahan yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat di
tahun 1954. Karena permasalahan ini melibatkan banyak kelompok
masyarakat yang turut meresponnya. Kelompok-kelompok masyarakat itu
seperti kelompok pemuda, kelompok buruh, partai politik, kelompok pelajar,
dan sebagainya.
Pada tanggal 13 Januari 1954, respon yang kuat terhadap
permasalahan hotel simpang muncul dari kelompok pemuda. Dimana
sekelompok pemuda yang terdiri dari 30 orang melakukan penyerangan di
hotel simpang. Tindakan yang dilakukan oleh pemuda ini seperti yang
termuat dalam surat kabar berikut:

13 HU, 21 Jan 1954. Djangan bertindak sendiri2.

. Selanjutnya dapat diwartakan, bahwa semalam djam


19.20, 30 orang pemuda jang tidak dikenal dan mengenakan
mantel serta membawa tongkat telah datang menyerbu
Hotel tersebut dan meng-obrak-abrik alat-alat jang
terdapat disitu, misalnja medja, kursi, dan lain-lain. 14
Sekelompok pemuda ini memang tidak dikenal dan berasal dari golongan
mana. Mereka melakukan tindakan itu disinyalir karena meluapkan rasa
dendam dari suatau golongan.15 Akibat tindakan yang dilakukan oleh
sekelompok pemuda tersebut, hotel simpang mengalami kerugian akibat
dirusaknya sebagaian peralatan hotel.
Tindakan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda itu memang terkesan
anarkis. Namun bagi masyarakat tindakan itu sepertinya dianggap sebagai
balasan yang sewajarnya. Hal ini dapat terlihat dari tanggapan kelompok
masyarakat lain seperti SOBSI, yang menyatakan pendapatnya bahwa:
tindakan pengurus hotel tsb adalah terlalu berani (menentang)
terhadap pemerintah dan bagi rakjat Indonesia. Peristiwa itu dirasakan
sebagai sesuatu yang menjinggung kehormatan nasional. Oleh karena
itu Sobsi sangat mentjela tindakan pengurus hotel jang tjeroboh itu. 16
Peristiwa hotel simpang ini memang menjadi hal yang ramai
dipermasalahkan pada tahun 1954. Sampai-sampai SOBSI yang merupakan
kelompok buruh pun memberikan respon dalam permasalahan tersebut.
Begitu juga dengan Serikat buruh Phorto, yang merupakan Buruh photo, hotel
restoran dan toko cabang Surabaya yang akan menentukan sikap terhadap
peristiwa yang terjadi di hotel simpang. Keterlibatan kelompok buruh
memang tidak mejadi sesuatu yang asing. Mengingat kelompok ini memang
sangat aktif dalam menanggapi permasalahan anti Belanda. Mereka menjadi
kelompok yang radikal dalam setiap permasalahan yang berhubungan
dengan penindasan.
Tanggapan dari kelompok masyarakat lain juga muncul dari Persatuan
Bekas Pejuang Bersenjata Seluruh Indonesia (Perbepbsi). Perbepbsi
menyesalkan sekali perbuatan congkak dan sombong orang Belanda kuasa
hotel simpang. Mereka meminta agar pihak yang berwajib menindak bahkan
kalau bisa berujung pada penutupan hotel sebagai bentuk tindakan yang
tegas bagi orang asing yang sombong.17 Tanggapan dari Perbepbsi ini juga
14 HU, 19 Jan 1954. Hotel Simpang Diserbu!
15 HU, 20 Jan 1954. Kerugian Hotel Simpang
16 HU, 19 Jan 54. Hotel Simpang diserbu
17 HU, 19 Jan 54. Hotel Simpang diserbu

menunjukkan sikap yang sama dengan kelompok masyarakat lain dalam


memandang permasalahan ini. Keberadaan dan sikap yang dianggap masih
sewenang-wenangya sendiri orang-orang Belanda menjadi pemicu rasa
sentimen masyarakat. Semua lapisan masyarakat terlihat kompak dalam
memandang permasalahan ini sebagai bentuk rasa sentimen yang telah
dirasakan secara kolektif, sehingga mereka perlu untuk melakukan
perlawanan. Meskipun apa yang mereka lakukan dapat dikatakan melanggar
norma yang berlaku.
Respon yang lebih kuat muncul dari kelompok Partai Rakyat Nasional
(PRN) Jatim. Dalam melihat masalah ini PRN Jatim mengirimkan surat yang
ditujukan kepada gubernur untuk menangani permasalahan yang terjadi di
hotel simpang dengan tegas. Adapun isi surat itu menyebutkan:
Berhubung dengan peristiwa Hotel Simpang, jang telah menolak
mentah2 permintaan bapak Residen meminta kamar untuk Menteri
Perekonomian Mr. Iskak, peristiwa tersebut kami anggap adalah suatu
penghinaan bagi seluruh bangsa Indonesia, dengan ini sekali lagi orang2
Belanda di Indonesia menundjukkan kuarang sopannya, jang seharusnya
tidak boleh terjadi demikian, dengan demikian kami atas nama Dewan
Daerah PRN Djawa Timur menjerukan pada jang berwadjib agar bertindak
tegas atas perbuatan orang2 Belanda jang tidak tahu diri itu.

You might also like