You are on page 1of 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Bayi Baru Lahir


1.1 Defenisi Bayi Baru Lahir
Periode baru lahir atau neonatal adalah bulan pertama kehidupan
(Maryunani & Nurhayati, 2008). Berat rata-rata bayi yang lahir cukup bulan
adalah 3,5 3,75 kg dan panjang 50 cm (Simkin, Penny., et al)
Bayi baru lahir memiliki kompetensi perilaku dan kesiapan interaksi
sosial. Periode neonatal yang berlangsung sejak bayi lahir sampai usianya 28 hari,
merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik yang dramatis pada bayi baru
lahir (Bobak dkk, 2005). Pada masa ini, organ bayi mengalami penyesuaian
dengan keadaan di luar kandungan, ini diperlukan untuk kehidupan selanjutnya
(Maryunani & Nurhayati, 2008). Dimana bayi mengalami pertumbuhan dan
perubahan yang menakjubkan (Halminton, 1995).

1.2 Adaptasi Kehidupan Ekstra Uteri


Periode neonatal adalah periode 28 hari pertama setelah bayi dilahirkan,
selama periode ini bayi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan ekstra uteri.
Bayi harus berupaya agar fungsi-fungsi tubuhnya menjadi efektif sebagai individu
yang unik. Respirasi, pencernaan dan kebutuhan untuk regulasi harus bisa
dilakukan sendiri (Gorrie et al, 1998).
Masa transisi dari periode fetus ke kehidupan baru lahir merupakan
periode kritis karena harus beradaptasi terhadap lingkungan baru. Mekanisme

hemodinamik dan thermoregulasi mendukung keberhasilan beradaptasi dengan


lingkungan ekstra uteri (Simpson & Creehan, 2001).
Dalam uterus semua kebutuhan janin secara sempurna dilayani pada
kondisi normal yaitu nutrisi dan oksigen disuplai oleh sirkulasi ibu melalui
plasenta, produk buangan tubuh dikeluarkan dari janin melalui plasenta,
lingkungan yang aman disekat oleh plasenta, membran dan cairan amnion untuk
menghindari syok dan trauma, infeksi dan perubahan dalam temperatur
(Maryunani & Nurhayati, 2008). Di dalam uterus bayi juga hidup di lingkungan
yang terlindung dengan suhu terkontrol, kedap suara, terapung dalam suatu
genangan cairan hangat, dan memperoleh pasokan untuk semua kebutuhan
fisiknya (Miriam, 1999).
Elemen-elemen kunci dalam transisi kelahiran adalah pergeseran dari
oksigenasi maternal bergantung pada respirasi terus-menerus, perubahan dari
peredaran janin untuk dewasa sirkulasi dengan meningkatnya aliran darah paru
dan hilangnya kiri ke kanan melangsir, dimulainya homeostatis glukosa
independen, termoregulasi independen, dan oral menyusui (Glutckman & Basset
dalam Matson & Smith, 2004). Adaptasi fisiologis dianggap lengkap bila tandatanda vital, pemberian makan, dan pencernaan dan fungsi ginjal normal (Kelly
dalam Matson & Smith, 2004). Pengamatan adaptasi bayi ke kehidupan extra
uterin sangat penting untuk mengidentifikasi masalah dalam transisi dan
melakukan intervensi.

1.3 Perawatan Bayi Baru Lahir


Perawatan bayi baru lahir dimulai saat lahir. Perawatan yang dilakukan
bertujuan untuk mencegah adanya komplikasi sedini mungkin. Perawatan yaitu
berawal dari pengkajian awal hingga perawatan secara keseluruhan.

1.3.1 Pengkajian Awal


Pengkajian pertama pada seorang bayi dilakukan pada saat lahir dengan
menggunakan nilai apgar dan melalui pemeriksaan fisik singkat. Pengkajian nilai
apgar didasarkan pada lima aspek yang menunjukkan kondisi fisiologis neonatus
yakni, denyut jantung, dilakukan dengan auskultasi menggunakan stetoskop.
Pernafasan, dilakukan berdasarkan pengamatan gerakan dinding dada. Tonus otot
dilakukan berdasarkan derajat fleksi dan pergerakan ekstremitas. Pergerakan
iritabilitas refleks, dilakukan berdasarkan respon terhadap tepukan halus pada
telapak kaki. Warna, dideskripsikan sebagai pucat diberi nilai 0, sianotik nilai 1,
atau merah muda nilai 2. Evaluasi dilakukan pada menit pertama dan menit
kelima setelah bayi lahir. Sedangkan pengkajian usia gestasi dilakukan dua jam
pertama setelah lahir (Bobak dkk, 2005). Pengukuran antropometri dengan
menimbang berat badan menggunakan timbangan, penilaian hasil timbangan
dengan kategori sebagai berikut, bayi normal BB 2500-3500 gram, bayi prematur
<2500 gram dan bayi marosomia >3500 gram (Maryunani & Nurhayati, 2009).

1.3.2

Mempertahankan Bersihan Jalan Napas


Bayi dipertahankan dalam posisi berbaring miring dengan selimut

diletakkan pada punggung bayi untuk memfasilitasi drainase. Apabila terdapat

lendir berlebih di jalan napas bayi, jalan napas bayi dapat dihisap melalui mulut
dan hidung dengan sebuah bulb syringe. Bayi yang tersumbat oleh sekresi lendir,
harus ditopang kepalanya agar menunduk ( Bobak dkk, 2005).

1.3.3 Suhu Tubuh


Setiap kali prosedur apa pun yang dilakukan pada bayi, upayakan untuk
mencegah atau mengurangi hilangnya panas. Stres dingin (cold stress) akan
mengganggu kesehatan bayi baru lahir. Temperatur ruang sebaiknya 24 0C. Bayi
baru lahir harus dikeringkan dan dibungkus dengan selimut hangat segera setelah
lahir, perhatikan supaya kepala juga harus diselimuti selama bayi digendong
orang tuanya. Bayi dapat segera diletakkan di atas abdomen atau dada ibu,
dikeringkan, dan dibungkus dengan selimut hangat ( Bobak dkk, 2005).

1.3.4 Perawatan Organ Tubuh Bayi


Pada organ kepala lingkar kepala diukur dengan menggunakan meteran
(Maryunani & Nurhayati, 2008). Kepala bayi juga dilakukan palpasi dan
memantau fontanel.
Mata harus bersih, tanpa drainase dan kelopak mata tidak bengkak,
perdarahan konjungtiva mungkin ada (Ladewigs
membersihkan

mata,

gunakan

kapas

paling

et al, 2006).

lembut.

Jangan

Untuk

memaksa

mengeluarkan kotoran di mata jika sulit. Jika sudah dibersihkan pastikan mata
bayi bersih dari sisa kapas (Bonny & Mila, 2003).
Bayi cukup usia mempunyai dua per tiga ujung pinna yang tidak
melengkung. Rotasi telinga harus ada di garis tengah, dan tidak mengenai bagian

depan atau bagian belakang (Ladewigs et al, 2006). Untuk membersihkan telinga,
bagian luar dibasuh dengan lap atau kapas.
Bagian dalam hidung mempunyai mekanisme membersihkan sendiri. Jika
ada cairan atau kotoran keluar, bersihkan hanya bagian luarnya saja. Gunakan
cotton bad atau tisu yang digulung kecil, jika menggunakan jari pastikan jari
benar-benar bersih. Jika hidung bayi mengeluarkan lendir sangat banyak karena
pilek, sedotlah keluar dengan menggunakan penyedot hidung bayi, atau letakkan
bayi dalam posisi tengkurap untuk mengeluarkan cairan tersebut (Bonny & Mila,
2003).
Kebersihan mulut bayi harus diperhatikan, karena bercak putih pada lidah
(oral thurust) dapat menjadi masalah jika diikuti dengan tumbuhnya jamur
(Musbikin, 2005). Untuk membersihkan mulut bayi digunakan kapas yang sudah
direndam dengan air masak, diperas dan mulut bayi dibersihkan dengan hati-hati
serta mengeluarkan lendir yang ada di mulut bayi (Dainur, 1995). Dapat juga
dilakukan dengan menggunakan kain kasa atau waslap yang sudah dibasahi
dengan air matang hangat lalu dibalut pada jari telunjuk, kemudian membersihkan
mulut dari bagian luar, yaitu bibir dan sekitarnya. Setelah itu bagian gusi belakang
hingga depan, lalu membersihkan lidah bayi dengan perlahan-lahan. Posisi bayi
sebaiknya terbaring agar lebih mudah dibersihkan (www.ayahbunda.co.id, 2010).
Kuku jari yang panjang dapat menimbulkan luka garukan pada wajah bayi
dan luka ini bisa terinfeksi. Kuku yang panjang dapat pula terkoyak karena
sekalipun panjang, tetapi kuku tersebut sangat lunak. Jika kuku tersebut terkoyak,
jaringan di bawahnya yang sensitif terhadap infeksi dapat terpajan. Bayi dapat

menggunakan sarung tangan atau dengan melakukan pemotongan kuku dengan


hati-hati (Farrer, 1999).

1.3.5 Merawat Tali Pusat


Menurut Penny dkk. (2007) tali pusat bayi umumnya berwarna kebiruan
dan panjangnya 2,5 cm sampai 5 cm sesudah dipotong. Klem tali pusat akan
dipasang untuk menghentikan perdarahan. Klem tali pusat dibuka jika tali pusat
sudah kering. Sebelum tali pusat lepas jangan memandikan bayi dengan
merendamnya dan jangan membasuh tali pusat dengan lap basah. Sebelum
melakukan perawatan pada tali pusat harus mencuci tangan bersih-bersih.
Membersihkan sisa tali pusat terutama pangkalnya dilakukan dengan hati-hati jika
tali pusat masih berwarna merah.
Tujuan perawatan tali pusat adalah mencegah dan mengidentifikasi
perdarahan atau infeksi secara dini. Setiap hari harus melakukan pemeriksaan
untuk menemukan tanda-tanda infeksi (Bobak dkk, 2005).

1.3.6 Higiene dan Perawatan Kulit


Higiene bayi dapat terjaga dengan mandi. Mandi memiliki beberapa tujuan
yaitu membersihkan seluruh tubuh, mengobservasi keadaan, memberi rasa
nyaman, dan mensosialisasikan orang tua, anak dan keluarga (Bobak dkk, 2005)
Memandikan bayi dilakukan di tempat yang aman, dengan suhu yang
hangat (Bonny & Mila, 2003). Menurut Helen dkk. (2007) perawatan kulit yang
ditutup oleh popok sangat penting untuk mencegah terjadinya ruam popok.
Perawatan kulit dengan menggunakan minyak telon, krim, baby oil, dan colegne

diperkenankan tetapi penggunaan bedak tabur tidak dianjurkan karena dapat


terhirup oleh bayi dan mengganggu jalan napas atau membuat tersedak (Bonny &
Mila, 2003).

1.3.7 Alat Genitalia dan Anus


Genitalia bayi laki-laki dibersihkan dengan menggunakan air sabun.
Gunakan kapas basah untuk membersihkan lipatan-lipatannya jangan memaksa
menarik kulit luar dan membersihkan bagian dalam atau menyemprotkan
antiseptik karena sangat berbahaya. Kecuali ketika kulit luar sudah terpisah dari
gland, sesekali bisa ditarik dan membersihkan bawahnya. Bagian anus dan
bokong dibersihkan dari luar ke dalam. Kemudian keringkan dengan tisu lembut,
jangan buru-buru memakai popok, tetapi biarkan terkena udara sejenak. Lipatan
kulit dan bokong boleh diolesi krim (Bonny & Mila, 2003)
Genitalia perempuan dibersihkan menggunakan sabun dan air. Gunakan
gulungan kapas untuk membersihkan bagian bawah kelamin, lakukan dari arah
depan ke belakang. Bagian anus dan bokong dibersihkan dari arah anus keluar.
Kemudian keringkan dengan tisu lembut. Lipatan kulit dan bokong boleh diolesi
krim (Bonny & Mila, 2003).

1.3.8 Sirkumsisi
Menurut Ladewigs, et al. (2006) beberapa orang tua memilih untuk
melakukan sirkumsisi pada bayi laki-lakinya. Keputusan orang tua untuk
mensirkumsisi bayi yang baru lahir biasanya didasarkan pada faktor-faktor
berikut: higiene, agama, tradisi, budaya atau norma sosial (Bobak dkk, 2005).

Pada bayi baru lahir akan disirkumsisi, pelaksanaannya baru dilakukan


sesudah bayi tersebut berusia lebih dari 8 hari dan kalau bayinya sehat, matur
serta tidak menunjukkan gejala ikterus. Bahaya perdarahan dan infeksi harus
dipikirkan pada waktu merawat bayi yang menjalani prosedur pembedahan ini
(Farrer, 1999). Lembaran kasa berbentuk pita harus dibelitkan disekitar luka
sirkumsisi dan kita dapat menggunakan friars balsam (tinc benz co) untuk
membuat kasa tersebut melekat serta bersifat antiseptik. Kasa biasanya baru
dilepas pada hari ke-3 atau ke-4 setelah operasi.

1.3.9 Nutrisi
Nutrisi yang baik pada bayi memungkinkan kesehatan yang baik,
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal selama beberapa bulan pertama
kehidupan dan juga membiasakan bayi agar memiliki kebiasaan makan yang baik
pada masa selanjutnya. Pemenuhan nutrisi pada bayi baru lahir sebaiknya dengan
memberikan Air Susu Ibu (ASI), namun jika adanya kendala-kendala khusus
dapat diberikan susu formula (Bobak dkk, 2005). Kebutuhan nutrien yang
diperlukan yaitu meliputi energi, karbohidrat, lemak, protein, cairan, mineral dan
vitamin.
Menurut Hubertin Sri (2004 dalam Saragih, 2010), perawat mempunyai
kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan penerapan ASI eksklusif agar
bayi mendapatkan nutrisi yang adekuat untuk tumbuh kembangnya. Keputusan
untuk memberikan bayi susu botol adalah logis jika ibu tidak ingin menyusui
karena berbagai alasan yang tepat (Helen, 2007).

1.3.10 Imunisasi
Bayi dan anak akan diberi vaksinasi pada saat pemeriksaan dengan kondisi
bayi dan anak sehat, untuk melindunginya dari penyakit-penyakit dapatan yang
mungkin serius. Kemampuan vaksinasi untuk untuk memvaksinasi bayi terhadap
penyakit-penyakit seperti polio dan batuk rejan bahkan cacar. Beberapa orang tua
dalam upaya melindungi dari efek samping resiko vaksinasi memutuskan untuk
tidak mengimunisasi anaknya. Mereka lebih suka mengambil resiko yaitu anak
mereka terkena penyakit dari pada melihat anaknya mengalami efek samping dari
vaksinasi. Sebaiknya orang tua mengumpulkan informasi dari masing-masing
vaksin saat membuat pilihan tentang imunisasi (Ladewigs, et al 2006).

2. Budaya
2.1 Konsep Budaya
Kebudayaan berasal dari bahasa Latin colere yang berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari konsep ini berkembanglah
pengertian kebudayaan yaitu segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah
dan mengubah alam. Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan
dengan akal.
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat
dan kemampuan yang lain yang di dapat manusia sebagai anggota masyarakat
(Tylor dalam Wiranata, 2002). Menurut Koentjaningrat kebudayaan adalah

seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan bermasyarakat yang didapat dengan belajar dan dijadikan milik
manusia sendiri (Syafrudin, 2009).

2.2 Wujud Kebudayaan


Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga yaitu
pertama, gagasan wujud ideal yaitu berbentuk kumpulan ide, nilai, norma dan
peraturan aktivitas, dan artefak. Kedua, aktivitas atau disebut juga dengan sistem
sosial yaitu terdiri dari aktivitas, interaksi, yang mempunyai pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan. Ketiga,

artefak (karya) yaitu wujud

kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan dan karya manusia
dalam masyarakat (Syafrudin, 2009)
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan
yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Berdasarkan
wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama
yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non material. Kebudayaan material
mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata dan konkrit. Termasuk
dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi yaitu mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat
terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan non material adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, lagu dan tarian
tradisional (Syafrudin. 2009).

2.3 Ciri-Ciri Kebudayaan


Ciri-ciri khas kebudayaan yaitu pertama, bersifat historis yaitu manusia
membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan secara
turun-temurun (Syafrudin, 2009).
Kedua, bersifat geografis yaitu kebudayaan manusia tidak selalu berjalan
seragam, ada yang berkembang pesat dan ada yang lamban, serta ada pula yang
mandeg (stagnan) yang nyaris berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan
lingkungan, kebudayaan tersebut berkembang pada komunitas tertentu lalu
meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras, selanjutnya kebudayaan itu meluas
dan mencakup wilayah/regional, serta makin meluas ke seluruh penjuru belahan
bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era informasi di
mana terjadi saling melebur dan berinteraksinya kebudayaan-kebudayaan.
Ketiga, bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu yaitu dalam perjalanan
kebudayaan, manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di
sinilah manusia terbentur pada nilai, nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu
bisa dikembangkan? Sampai batas mana?

2.4 Aspek Budaya dalam Keperawatan


Menurut Leininger (Tomey & Alligood, 2006) transcultural nursing
adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek
keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya
dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia.

Menurut Giger dan Davidhizar (1995) keperawatan transkultural


dipandang sebagai bahan untuk melatih secara kompeten menilai budaya yang
berpusat pada klien. Meskipun keperawatan transkultural dipandang sebagai
berpusat pada klien, penting bagi perawat untuk mengingat budaya yang dapat
dan tidak mempengaruhi bagaimana klien dilihat dan perawatan yang diberikan.
Perawat harus berhati-hati untuk menghindari memproyeksikan pada klien mereka
sendiri keunikan budaya dan pandangan dunia, sehingga culture care harus
disediakan. Dalam memberikan culture care, perawat harus ingat bahwa setiap
individu adalah unik dan produk dari pengalaman masa lalu, keyakinan, dan nilainilai yang telah dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Teori keperawatan kultural menurut Leininger yaitu cultur care
diversity dan cultural care universality (Tomey & Alligood, 2006).
Cultur care diversity (perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan)
merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu
pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk
memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan
dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang
dan individu yang mungkin kembali lagi.
Cultural care universality (kesatuan perawatan kultural) mengacu kepada
suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang
paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup atau simbol-simbol yang
dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta mereflesikan pemberian
bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara yang memungkinkan

untuk menolong orang lain (terminology universality) tidak digunakan pada suatu
cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang signifikan.

Leininger mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara


pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrew
& Boyle dalam Geiger and Davidhizar, 1995).

1. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilainilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan

pilihan.

Menurut

manusia

memiliki

kecenderungan

untuk

mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and
Davidhizar, 1995).

2. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam
aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Geiger
and Davidhizar, 1995).

3. Lingkungan
Lingkungan

didefinisikan

sebagai

keseluruhan

fenomena

yang

mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan


dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya
saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu: fisik, sosial dan
simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia
seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim. Lingkungan
sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi
individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam
lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang
berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk
dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti
musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan (Geiger and
Davidhizar, 1995).

4. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan
budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah
perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan
mengubah/mengganti budaya klien (Geiger and Davidhizar, 1995).

a. Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga
klien

dapat

meningkatkan

atau

mempertahankan

status

kesehatannya,

misalnya budaya berolahraga setiap pagi.

b. Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu

klien

beradaptasi

terhadap

budaya

tertentu

yang

lebih

menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan


menentukan

budaya

lain

yang

lebih

mendukung

peningkatan

kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang


berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani lain.

c. Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan

status

kesehatan.

Perawat

berupaya

merestrukturisasi

gaya

hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan
keyakinan yang dianut.
Menurut Brunner & Suddarth (2002) istilah dan defenisi lain yang
memberikan tilikan lebih lanjut ke dalam asuhan kultur dan kesehatan meliputi:

1. Akulturasi yaitu proses dimana anggota kelompok kultural beradaptasi dan


belajar bagaimana memperlakukan kelompok lain
2. Kebutaan kultural yaitu ketidakmampuan individu untuk mengenali nilai,
kepercayaan dan praktik mereka sendiri dan kelompok lain akibat
kecenderungan etnosentris yang kuat
3. Imposisi kultural yaitu kecenderungan memaksakan keyakinan, nilai-nilai, dan
pola perilaku seseorang atau kelompok orang dari kultur yang berbeda
4. Tabu kultural yaitu aktvitas yang diatur oleh peraturan perilaku yang
dihindari, dilarang atau yang tidak diizinkan oleh kelompok cultural tertentu
Asuhan keperawatan yang cakap atau kongruen secara kultural mengacu
kepada integrasi kompleks sikap, pengetahuan, dan keterampilan (termasuk
pengkajian, pengambilan keputusan, penilaian, berfikir kritis dan evaluasi) yang
memungkinkan perawat untuk memberikan asuhan dengan cara yang peka secara
kultural (Brunner & Suddarth, 2002)
Kebijakan yang meningkatkan asuhan yang kongruen secara kultural
membuat regulasi fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan pengunjung
(pengunjung, frekuensi, dan lama kunjungan), dengan memperhitungkan peran
dukun dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi asuhan, menyediakan
pelayanan penerjemahan bagi pasien yang tidak bisa berbahasa Indonesia,
mengetahui kebutuhan diet khusus bagi pasien dari kelompok kultur tertentu dan
menciptakan lingkungan yang mendukung praktik spiritual dan religious pasien
(Brunner & Suddarth, 2002)
Model asuhan transkultural dapat memperluas hubungan teraupetik antara
perawat dan pasien jika mereka menggunakan cara yang dianjurkan untuk

berkembangnya sikap saling menguntungkan dan rasa menilai masing-masing


individu dari budaya lain. Keadaan ini akan dapat bekerjasama dengan mitra
secara lebih baik dan menemukan solusi yang baik terhadap masalah kesehatan.
Walaupun tujuannya untuk mengembangkan dan keseimbangan dan hubungan
timbal balik (Basford & Slevin, 2006)

2.5 Budaya Suku Batak Toba


Suku Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilinear).
Satu kelompok kerabat dihitung dari satu ayah disebut sa-ama, satu nenek disebut
sa-ompung, dan kelompok kekerabatan yang besar adalah marga (Bangun, 1980
dalam Lubis, 1999). Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut ripe (Lubis,
1999).
Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis
keturunan itu mempunyai nilai yang sangat penting, karena dalam urutan generasi
setiap ayah yang mempunyai anak laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah
kelompok patrinealnya (Lubis, 1999).
Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaanya harus
selalu memelihara kepribadian, rasa kekeluargaan tetap terpupuk bukan saja
terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Selain
adanya hubungan marga yang sama juga mempunyai hubungan fungsional.
Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga di dalam
kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suati system kekerabatan yang
disebut dalihan natolu. Dalihan natolu merupakan suatu hubungan dan pedoman
sekaligus hidup bagi suku Batak Toba atau juga sebagai lambang demokrasi dan

falsafah hidup. Apabila ada dalam masyarakat perselisihan keluarga, maka dalihan
natolu dapat langsung terjun mengatasi masalah tersebut yang dapat diselesaikan
dengan cara musyawarah dan mufakat. Dalihan natolu yaitu hula-hula, dongan
tubu, dan boru (Lubis, 1999).
Dalam Budaya Batak Toba terdapat 9 nilai budaya yang utama (Manik,
2010) yaitu terdiri dari:

a. Kekerabatan
Kekerabatan yaitu hal yang mencakup hubungan premordial suku, kasih
sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Natolu (Hulahula, Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru),
Hatobangon (cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan
karena pernikahan atau solidaritas marga.

b. Religi
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama
yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta
hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

c. Hagabeon
Banyak keturunan dan panjang umur adalah satu ungkapan tradisional
Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah
ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra tujuh

belas dan putri enam belas. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat
penting.
Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang
banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan
memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep hagabeon berakar dari
budaya bersaing pada zaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan,
terwujud dalam perang huta.
Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut saur matua
bulung ( seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar
pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena
selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga
semuanya diharapkan berusia lanjut.

d. Hasangapon
Kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi
dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebihlebih pada orang Toba, pada zaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat
yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

e. Hamoraon
Kaya raya adalah salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong
orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.

f. Hamajuon
Kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya
hamajuon ini sangat kuat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok
tanah air.

g. Hukum
Patik dohot uhum dapat diartikan sebagai aturan dan hukum. Nilai patik
dohot dan uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak.
Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum merupakan
dunia orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran
hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba. Sehingga
mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan hak-hak asasi.

h. Pengayoman
Dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak pengayoman kurang kuat
dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Ini mungkin
disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayoman, pelindung,
pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

i. Konflik
Dalam kehidupan orang Batak Toba konflik kadarnya lebih tinggi. Sumber
konflik yaitu menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara
lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi
orang Toba.

Arti sakit bagi suku Batak adalah keadaan dimana seseotang hanya
berbaring dan penyembuhannya melalui cara-cara tradisional atau ada juga yang
membawa orang yang sakit kepada dukun atau orang pintar. Dlaam kehidupan
sehari-hari suku Batak, segala sesuatunya termasuk mengenai pengobatan jaman
dahulu, untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada sang Pencipta
agar manusia tetap sehat dan jauh dari marabahaya (Merliana, 2010)
Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai
dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga
kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu
upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka
yang akan menimpa memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah
satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap ipacara adat suku Batak
Toba (Merliana, 2010)
Beberapa upacara data yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba
diantaranya: mangganje (kehamilan), mangharoan (kelahiran) martutu aek dan
mampe goar (permandian dan pemberian nama), manulangi (menyulangi)
hamatean (kematian), dan mangongkal holi (menggali tulang belulang) (Merliana,
2010)

2.6 Aspek Budaya Batak Toba dalam Perawatan Bayi Baru Lahir
Menurut budaya Batak Toba mamoholi disebut manomu-nomu yang
maksudnya adalah menyambut kedatangan (kelahiran) bayi yang dinanti-nantikan,
di samping itu juga dikenal istilah lain utuk tradisi ini yaitu mamboan aek ni unte
(upacara adat membawa seorang bayi ke sumber air sebagai pendahuluan untuk

pemberian nama) yang secara khusus digunakan bagi kunjungan dari keluarga
hula-hula/tulang.
Kunjungan pihak hulahula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa
syukur mereka atas kelahiran adalah sesuatu yang khusus. Untuk menyambut dan
menghormati kunjungan hulahula itu maka tuan rumah pun mengundang seluruh
keluarga sekampungnya untuk bersama-sama menikmati makanan yang dibawa
oleh rombongan hulahula itu. Setelah makan bersama, anggota rombongan
hulahula akan menyampaikan kata-kata doa restu semoga si bayi yang baru lahir
itu sehat-sehat, cepat besar dan dikemudian hari juga diikuti oleh adik-adik lakilaki maupun perempuan (Panjaitan, 2010)
Dukun beranak mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu
mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah
ubi rambat dengan ukuran 3 jari dari bayi. Setelah bayi lahir si dukun
memecahkan kemiri dan mengunyahnya kemudian memberikan kepada bayi
dengan tujuan untuk membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan
sekaligus membersihkan dalam perjalanan pencernaan makanan yang pertama
yang disebut tilan (kotoran pertama).
Dukun juga memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam
bersama dengan soit (sebuah anyaman kalung). Kalung ini mempunyai
kegunaanagar jauh dari marabahaya. Apabila bayi tersebut terus menerus
menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang memotong pusar tadi, yaitu
kulit bambu, jeruk purut dan ubi rambat.
Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir bayi tersebut dibawa ke pancur
(sungai) dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang

disebut dengan pesta martutu-aek yang dipimpin oleh pimpinan agama yaitu ulu
punguan. Setelah bayi dimandikan biasanya dipupus. Pupus adalah mengunyah
selembar daun sirih, sebuah kemiri, sebiji lada putih, dan seiris jarango. Setelah
dikunyah, ditempelkan ke ubun-ubun bayi dan sebagian diolesi keseluruh tubuh
bayi dengan tujuan untuk memelihara tubuh bayi agar kuat dan tetap sehat,
menjauhkan bayi dari penyakit-penyakit demam dan angin-angin.

You might also like