Professional Documents
Culture Documents
PRAKTIKUM
Praktikum Pengujian Material :
Destructive Testing (DT)
Page 0
BAB 1
PENGUJIAN TARIK
1.1. Tujuan Praktikum
1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis material (besi tuang,
baja, kuningan dan alumunium dan polimer).
2. Untuk membandingkan titik-titk luluh (yield) material tersebut.
3. Untuk membandingkan tingkat keuletan material tersebut melalui % elongasi dan %
pengurangan luas.
4. Untuk membandingkan fenomena necking pada material tersebut.
5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari material tersebut.
6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisis kurva tegangan regangan, baik
kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa jenis logam.
7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractografi) logam-logam tersebut dan
menganalisanya berdasarkan sifat-sifat mekanis yang telah dicapai.
1.2. Pengantar
Tujuan dari dilakukannya suatu pengujian mekanis adalah untuk menentukan respon
material dari suatu konstruksi, komponen atau rakitan fabrikasi pada saat dikenakan beban
atau deformasi dari luar. Dalam hal ini akan ditentukan seberapa jauh perilaku inheren (sifat
yang lebih merupakan ketergantungan atas fenomena atomik maupun mikroskopis dan bukan
dipengaruhi bentuk atau ukuran benda uji) dari material terhadap pembebanan tersebut. Di
antara semua pungujian mekanis tersebut, pengujian tarik merupakan jenis pengujian yang
paling banyak digunakan karena mampu memberikan informasi representatif dari perilaku
mekanis material.
1.3. Prinsip Pengujian
Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban
kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan
panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik teganganregangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Data-data penting yang diharapkan
didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik material dan karakteristik
perpatahan.
Page 1
Gambar 1.1. Permodelan Ikatan Kimia yang Mengalami Peregangan antara Atom A dan Atom B.
Jika beban terus ditingkatkan dan melewati batas elastis, maka material akan
mengalami memasuki daerah plastis (onset plasticity) dimana deformasi bersifat
irreversible/permanent. Setiap material memiliki perilaku batas proporsionalitas yang
berbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik susunan dan ikatan antar atom.
Contohnya untuk ikatan logam, jika komponen repulsif dan attraktif dinyatakan dalam U A
dan UB, maka total potensial energi ikatan antar atom tersebut dinyatakan dalam :
Page 2
(1.1)
(1.2)
Gambar 1.2. (a) Titik P Merupakan Batas Proporsional, (b) Representatif Titik Luluh pada Beberapa Jenis
Baja (Fenomena Luder Band).
Penentuan titik luluh dapat dilakukan dengan berbagai cara, berikut adalah beberapa
cara yang digunakan menurut ASTM E8
1
Upper Yield, cara ini merupakan cara yang paling sederhana. Penentuan titik
luluh dilakukan dengan mengambil titik dimana peningkatan strain terjadi tanpa
adanya peningkatan tegangan, yakni titik tertinggi sebelum kurva stress-strain
cenderung menurun. Pada beberapa material seperti baja karbon akan terdapat
upper dan
Page 3
lower yield point, untuk alasan safety yang diambil biasanya lower yield point
sebagai titik luluh.
Gambar 1.3 Penentuan Titik Luluh (UYS) dengan metode upper yield.
Extension Undre Load (EUL) Yield Point. Tidak semua material memiliki
upper dan yield point, metode EUL memberikan nilai beban spesifik pada regangan
tertentu melalui alat yang dapat merekam dan menganalisis niliai regangan. Nilai
EUL yield point dinyatakan beserta dengan regangannya, e.g : tegangan luluh =
52.500 psi, EUL = 0,5%.
Page 4
Gambar 1.4. Penentuan Nilai Tegangan Luluh EUL pada Tegangan R dan Regangan m.
kemiringan yang sama terhadap modulus Young, penarikan dapa dilakukan pada
nilai regangan tertentu (umumnya 0,002 0,005). Perpotongan antara garis offset
dan kurva stress strain material kemudian menjadi titik luluh.
Pada Beberapa jenis baja dan titanium, terdapat gejala dimana batas proporsional
berada dalam serrated region yang umumnya kasar dan tidak beraturan. Gejala luluh ini
dinamakan Luders Band (Yield Point Phenomenon). Interaksi antara dislokasi dan atom-atom
tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield
point) dan titik luluh atas (upper yield point) sebelum akhirnya deformasi kembali normal
(ditandai dengan garis lurus pada kurva stress strain)
Namun demikian, jika strain rate atau temperatur yang digunakan pada uji tarik tidak
stabil, maka fenomena luder band dapat berlanjut menjadi Portevin-LeChatelier effect, yakni
munculnya serrated region atau garis yang tidak rata pada kurva tegangan regangan pada
kurva stress-strain. Hal ini juuga disebabkan oleh interaksi dislokasi dengan alloying element
terlarut atau interstisi.
Page 5
Pada sampel yang diberikan beban kompresi melebihi batas elastisitasnya dan
kemudian dihilangkan gaya kompresinya hingga menjadi gaya tarik, maka akan terlihat
mechanical hysteresis loop dengan offset yang sama pada saat spesimen tersubyek gaya tarik
dan kompresi. Hal ini dinamakan Bauschinger Effect
Page 6
UTS
Fmaks
Ao
Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (kurva tegangan
regangan) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang bersifat
getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus tegangan
perpatahan Dalam kaitannya dengan penggunaan struktural maupun dalam proses forming
bahan, kekuatan maksimum adalah atas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.
3. Kekuatan Putus (breaking strength)
Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus
(Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk patahan yang bersifat ulet pada saat
beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka
terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang
terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum
sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.
4. Keuletan (ductility)
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan
deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan, harus dimiliki
oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending, stretching, drawing,
hammering, cutting dan sebagainya. Secara umum dilakukan dengan tujuan sebagai :
Page 7
Gambar 1.6. Perbandingan kurva uji tarik material ulet dan getas
Page 8
E= / atau E= tan
dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan. Selain itu,
modulus elastisitas juga dapat dihitung melalui modulus geser dan poisson ratio dengan
rumus :
Tabel 1.1. Modulus Elastisitas, Modulus Geser dan Poisson Ratio dari Beberapa Material.
Page 9
Page 10
dan
dibawah ini adalah grafik yang membandingkan antara kurva tegangan regangan
rekayasa dan sesungguhnya.
Page 11
1.
Damping Capacity
Ketika logam diberikan pembebanan dan kemudian pembebanan dihilangkan, maka
Gambar 1.10. Mechanical Hyesteresis yang Dihasilkan pada saat Beban Diberikan (Loading) dan Dilepaskan
(Unloading).
Diskrepansi yang terjadi pada jalur loading dan unloading diakibatkan adanya energi
yang hilang saat beban diberikan dan dilepaskan. Hal ini disebabkan oleh adanya friksi
internal antar atom (internal friction) yang juga menyebabkan material terkait menjadi
panas. Energi loss ini menjadi parameter kemampuan material untuk menyerap energi
vibrasi, semakin besar diskrepansi pada mechanical hysteresis pada saat beban diberikan
dan beban dilepas, maka akan semakin besar kemampuan material untuk menyerap energi
vibrasi (damping capacity). Material seperti besi tuang kelabu (gray cast iron) memiliki
damping capacity yang baik, sehingga aplikasi yang melibatkan getaran konstan banyak
menggunakan material tersebut.
Page 12
Gambar 1.11. Contoh Dimensi Spesmen Uji Tarik Logam ASTM E8.
Page 13
Plastik merupakan gabungan dari polimer dan aditif. Aditif ditambahkan untuk
memberikan alterasi pada sifat mekanik, optik, thermal, d.l.l sesuai dengan yang diinginkan.
Kekuatan mekanik plastic sangat dipengaruhi oleh beberapa hal yakni :
1- Susunan rantai molekul, semakin sulit belitan yang terjadi (entanglement) melalui cross
link maka pergerakan rantai akan semakin sulit dan material akan semakin kuat & kaku
2- Function group, semakin bulky dan elektronegatif gugus fungsional, maka akan
semakin sulit material polimer terdeformasi
3- Berat molekul, semakin besar berat molekul, semakin kaku dan kuat material polimer
tersebut
4- Derajat Kristalinitas, semakin tinggi derajat kristalinitas material polimer, maka
material tersebut akan semakin kaku dan kuat
5- Anisotropy, kekuatan mekanik juga akan dipengaruhi oleh susunan daerah kristalin dan
amorf terhadap pembebanan (maxwell & voigt element)
Page 14
Selain dari inherent properties material polimer, terdapat beberapa hal yang juga
mempengahuri hasil uji tarik polimer secara signifikan, antara lain : temperatur, strain rate,
arah pengambilan spesimen, d.l.l. Pengujian tarik plastik diatur dalam standar ASTM D 638
3. Karakteristik Perpatahan
Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan seperti
diilustrasikan oleh gambar di bawah ini :
Sangat ulet
Sangat
getas
Material dikatakan ulet bila material tersebut mengalami deformasi elastis dan plastis
sebelum akhirnya putus. Sedangkan material getas tidak mengalami deformasi elastis
sebelum mengalami putus.
Page 15
Page 16
(3) Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat polapola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dari
daerah awal kegagalan.
(4) Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang
mudah dibedakan.
(5) Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang bercahaya
dan mulus
Gambar 1.16. (a) Cup and cone fracture pada Aluminium dan (b) Brittle fracture pada besi tuang.
3. Metodologi Penelitian
1. Alat dan Bahan
1. Universal testing machine, Servopulser Shimadzu kapasitas 30 ton
2. Caliper dan/atau micrometer
3. Spidol permanent atau penggores (cutter)
4. Stereoscan macroscope
5. Sampel Uji tarik (Alumunium seri 5xxx, 6xxx, kuningan, baja, SS 304, PP,
Polyurethane, PVC)
2. Prosedur Pengujian
1. Ukurlah dimensi (diameter rata-rata) dari benda uji dengan menggunakan caliper atau
mikrometer. Buatlah sketsa dari benda uji dan masukkan hasil pengukuran dimensi
tersebut pada lembar data
2. Tandailah panjang ukur (gauge length) berupa jarak antara dua titik pada benda uji
dengan menggunakan penggores (cutter) atau spidol permanen.
3. Pasanglah benda uji dengan hati-hati pada grip mesin uji Shimadzu. Pada tahap ini
anda akan didampingi oleh teknisi lab. Catatlah setiap langkah operasional setting
pengujian dengan seksama.
4. Mulailah penarikan dan perhatikan dengan baik mekanisme deformasi yang terjadi
pada benda uji serta tampilan grafik beban-perpanjangan yang terlihat pada recorder
Page 17
Page 18
BAB 2
PENGUJIAN KEKERASAN
2.1 Tujuan Praktikum
1. Menguasai beberapa metode pegujian yang umum dilakukan untuk mengetahui nilai
kekerasan suatu logam.
2. Menjelaskan makna nilai kekerasan material dalam lingkungan ilmu metalurgi dan
ilmu-ilmu terapan lainnya.
3. Menjelaskan perbedaan antara pengujian kekerasan dengan metode gores, pantulan
dan indentasi.
4. Menjelaskan kekhususan pengujian kekerasan dengan metode Brinell, Vickers,
Knoop, dan Rockwell.
5. Mengaplikasikan beberapa formulasi dasar untuk memperoleh nilai kekerasan
material dengan uji Brinell dan Vickers.
2.2 Pengantar
Makna nilai kekerasan suatu material berbeda untuk setiap kelompok bidang
ilmu.Bagi insinyur metalurgi nilai kekerasan adalah ketahanan material terhadap penetrasi
sementara insinyur mekanika perpatahan akan memandang material yang keras sebagai
material yang getas dan tidak dapat diandalkan pada beban impak yang tinggi, insinyur yang
mengontrol proses manufaktur akan lebih memilih material untuk tidak terlalu keras agar
mudah dibentuk (roll, forge, extrude, etc). Konsekuensi ini akan bergantung langsung kepada
industri yang mengaplikasikannya.
2.3 Dasar Teori
Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahan suatu material terhadap
gaya penekan dari material lain yang lebih keras dalam skala yang terlokalisasi (localized
region). Melalui prinsip ini, uji kekerasan pun dikembangkan. Dari mulai metode goresan
yang memanfaatkan nilai kekerasa minel, metode pantulan yang memanfaatkan hilangnya
energi potensial, metode elektromagnetik (non destructive test) hingga kekerasan skala nano.
Namun demikian, metode yang paling umum digunakan oleh industri dan skala lab adalah
metode indentasi, baik secara makro maupun mikro.
Page 19
Metode Brinell
Diperkenalkan oleh JA Brinell tahun 1900. Sebagai uji indentasi yang pertama kali
diperkenalkan, pengujian Brinel menggunakan bola baja yang diperkeras (hardened steel
ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu. Hasil penekanan berupa jejak yang
berbentuk setengah bola dengan permukaan lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya
dengan mikroskop khusus pengukur jejak. Nilai kekerasan dapat dikorelasikan ke tensile
strength, ketahanan aus, keuletan.
Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:
BHN
2P
(D)(D - D 2 - d 2 )
dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm).
Prinsip Indentasi Brinell terbagi menjadi dua langkah :
1. Indentor menyentuh permukaan spesimen secara tegak lurus tanpa shock, getaran atau
overshoot kemudian apikasikan beban. Beban ditungu sampai waktu tertentu
(tergantung material spesimen), selanjutnya dilepaskan.
2. Diameter indentasi diukur. Dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali secara tegak lurus
satu sama lain, kemudian dicari rata-rata diameter.
Untuk melakukan pengujian, hal yang harus diperhatikan pada spesimen uji antara
lain ketebalan dan permukaan specimen.
Page 20
Page 21
Tabel 2.1 Rekomendasi Penggunaan Beban untuk Tingat Kekerasan sesuai ASTM E 10.
Metode Rockwell
Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers di mana kekerasan suatu bahan dinilai
dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan, maka metode ini merupakan uji kekerasan
dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak digunakan dalam industri
karena praktis. Prinsip pengujian pada metode rockwell yaitu dengan melakukan
pembebanan sebanyak 2 tahap, dimana tahap pertama adalah pembebanan minor untuk
menentukan titik awal (starting point) dan tahap kedua adalah pembebanan mayor
(pembebanan utama). Dibutuhkan waktu tunggu (dwell time) pada setiap pembebanan, setiap
pembebanan mempunyai dwell time yang berbeda. Nilai kekerasan didapatkan bukan
dihitung dari panjang diameter yang didapatkan melainkan oleh kedalaman ( h ) penetrasi
dari indentor.
Page 22
Skala Rockwell terbagi 2 kategori yaitu Regular Rockwell Scales dan Superficial Rockwell
Scales. Terdapat masing-masing 15 pengujian untuk regular dan superficial. Beban yang
diberikan pada kedunya berbeda, Regular Rockwell Scales dikerjakan untuk level beban yang
lebih berat dibandingkan Superficial Rockwell Scales.
Page 23
Beban minor : 98.07 N (10 kgf), beban mayor : 588.4 N (60 kgf), 980.7 N (100 kgf)
atau 1471 N (150 kgf).
2
Page 24
Indentor pada metode rockwell ini berbentuk kerucut dengan sudut 120 dari intan
dengan diameter 1/16 inch atau bola baja berdiameter 1/8 inch. Beban yang digunakan
bervariasi 60, 100, dan 150. Jenis indentor dan beban menentukan skala kekerasan yang
digunakan. Metode Rockwell dikenal karena prosesnya yang cepat, penggunaanya yang
mudah (beberapa alat dapat mengeluarkan hasil secara otomatis), indentasi yang dihasilkan
kecil dan akurasi yang baik. Untuk jarak penjejakan, antara indentasi harus berjarak minimal
3 kali diameter indentasi (ASTM) atau 4 kali diameter indentasi (ISO).
Page 25
Metode Vickers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136.
Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan
berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop
pengukur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:
VHN 1.854 P d2
dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.
Page 26
Penampang jejek untuk uji ini sangat bergantung dari sifat material yang akan
diindentasi. Penulisan hasil pengujian Vickers juga sama seperti pengujian Brinell.
Contohnya, 350 HV 30/60 berarti spesimen memiliki kekerasan 350 HV pada pembebanan
30 kgf dan waktu tahan 60 detik.
Metode Knoop
Merupakan salah satu metoe micro-hardness, yaitu uji kekerasan dengan benda uji
yang kecil. Metode ini digunakan saat benda uji bersifat getas atau memiliki ketebalan yang
tipis. Pengujian Knoop (dan Vickers) sangat sensitif terhadap kondisi permukaan, sehingga
membutuhkan polishing (diamond/Al2O3). Namun demikian pengujian Knoop dapat
mendeteksi anisotropi dan sangat akurat pada aplikasi beban manapun. Disebut
microhardness karena beban yang digunakan kurang dari 2N sedangkan ketiga pengujian
kekerasan diatas merupakan macrohardness karena beban yang digunakan lebih besar dari 2
N. Nilai kekerasan knoop adalah pembebanan dibagi dengan luas penampang yang
terdeformasi permanen. Jejak yang dihasilkan sekitar 0.01 mm- 0.1 mm dan beban yang
digunakan sebesar 5gr 5 kg. Permukaan benda uji harus benar-benar halus.
Page 27
14,2
Mengkarakterisasi Anisotropi
Gambar 2.8 Hasil Pengujian Knoop 200-gf pada Paduan Cobalt untuk Mendeteksi Anisotropi.
Page 28
Indentifikasi Fasa
Kekerasan pada skala mikro juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi fasa melalui
nilai kekerasannya, hal ini sangat berguna jika hasil etsa mikrostruktur tidak jelas. Nilai
kekerasan mikrostruktur akan membantu mempersempit kemungkinan fasa yang sedang
diidentifikasi.
Kekerasan ditemukan memiliki korelasi yang akurat dengan sifat mekanis lainnya
seperti kekuatan tarik dan titik luluh. Peneliti banyak mengembangkan formula yang
mengaitkan sifat mekanis lain dengan kekerasan. Contohnya :
Page 29
2. Sampel uji keras (Alumuium seri 5xx.x, seri 6xx.x, kuningan, baja, SS 304)
2. Prosedur : Metode Rockwell (Skala E)
1. Persiapkan benda uji dengan baik (amplas dan poles secukupnya).
2. Pasang indentor yang sesuai (Rockwell E)
3. Pasang beban yang sesuai, lihatlah buku manual alat.
4. Putar ring dari dial pembaca sehingga jarum panjang berwarna hitam menunjuk angka nol
pada skala. Sesuaikan skala tersebut dengan metode Rockwell yang dipilih. Untuk
Rockwell
(hitam).
5. Lakukan preload dengan memutar poros dudukan benda uji searah jarum jam hingga jarum
kecil pada dial pembaca menyentuh batas merah.
6. Lakukan pembebanan dengan memutar tuas beban ke belakang dengan hati-hati. Biarkan
tuas bergerak dengan halus selama beberapa waktu, antara 10-15 detik.
7. Kembalikan tuas beban ke posisi semula dengan hati-hati.
8. Bacalah nilai kekerasan material pada dial yaitu posisi jarum hitam panjang sesuai metode
Rockwell yang dipakai.
9. Lepaskan benda uji dengan memutar poros dudukan benda uji berlawanan arah jarum.
10. Lanjutkan pengujian untuk lokasi atau material lain.
Page 30
BAB 3
PENGUJIAN IMPAK
Page 31
Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam
satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang
terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode
Charpydiberikan oleh :
dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah
takik dalam satuan mm2.
Benda uji impak dikelompokkan kedalam dua golongan sampel standar (ASTM E-23)
yaitu batang uji Charpy (Metode Charpy - USA) dan batang uji Izod (ASTM D-256).
Page 32
Page 33
Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah
penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fractografi) yang
terjadi. Secara umum perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis perpatahan, yaitu :
1.
2.
3.
Informasi lain yang dapat diperoleh dari pengujian impak adalah temperatur transisi
bahan. Temperatur transisi (Ductile to Britte Transition Temperature) adalah temperatur yang
menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang
berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat
bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur
rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan
deaktivasi slip system pada beberapa struktur kristal dalam rentang temperatur tertentu. Hal
ini akan mengakibatkan menurunnya ductility & toughness material secara signifikan. Mode
perpatahan yang terjadi adalah patahan getas, energy yang diperlihatkan hingga patahan
terjadi relatif rendah. Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila
suatu material akan diaplikasikan pada rentang temperatur yang besar, misalnya dari
O
temperatur dibawah 0 C hingga temperatur tinggi di atas 100 C. Contohnya sistem penukar
panas (heat exchanger), lambung kapal (hull), d.l.l. Hampir semua logam berkekuatan rendah
dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua
temperatur sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh
Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh yang rendah
dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja
karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada
temperatur rendah. Gambar di samping ini memberikan ilustrasi efek temperatur terhadap
ketangguhan impak beberapa bahan.
Page 34
2. Persiapkan sampel uji untuk temperatur rendah (<0 C) dan temperatur tinggi (>
o
3. Ujilah satu demi satu sampel pada: temperatur ruang (Tr), 0 C, <0 C dan >100 C
dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1) Pastikan jarum skala berwarna merah sebagai penunjuk harga impak material
berada pada posisi nol.
Page 35
Page 36
BAB 4
PENGUJIAN KEAUSAN
-3
hingga 10
-10
terjadi, material yang mengabrasi, tekanan pada kontak, kecepatan sliding, bentuk kontak,
kekakuan suspensi, lingkungan dan lubrikan yang digunakan.
Walaupun peristiwa aus sangat kompleks, keausan dapat diformulasikan secara
sederhana dengan asumsi antara laju keuasan (wear rate) dan beban yang diterima. Yakni :
Page 37
Dimana Q merupakan volume yang hilang dari permukaan per unit sliding terjadi, W adalah
beban normal yang diaplikasikan, H adalah indentasi kekerasan pada permukaan yang
mengalami aus dan K adalah wear coefficient tanpa dimensi unit. Persamaan ini disebut juga
Archard wear equation, persamaan ini digunakan untuk menurunkan rumus-rumus yang lebih
kompleks dan berkaitan pada prinsip pengujian masing masing. Selain dari parameter yang
dibuat oleh Archard, terdapat banyak parameter yang akan mempengaruhi keausan.
Page 38
Gambar 4.1 Peristiwa Plowing, Cutting, Wedge dan Microcraking pada Singl- Cycle
Deformation Mechanism.
Page 39
Gambar 4.2. Perubahan dari Penampakan Permukaan Aus Tembaga akibat Repeated Cycle
Deformation.
Page 40
Page 41
Dengan B adalah tebal revolving disc (mm), r jari-jari disc (mm), b lebar celah
material yang terabrasi (mm), maka dapat diturunkan besarnya volume material yang
terabrasi (W) :
3
W = B.b /12r
Laju keausan (V) dapat ditentukan sebagai perbandingan volume terabrasi (W)
dengan jarak luncur x (setting pada mesin uji):
3
(persamaan Archard) yang lebih besar dari 10 , keausan akan didominasi oleh peristiwa
adhesive.
Page 42
2. Keausan abrasif
Terjadi ketika suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu meluncur pada
permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan
material yang lebih lunak. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat
kebebasan (degree of freedom) partikel keras tersebut. Contoh : partikel pasir silika akan
menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada
kertas amplas, karena adanya gaya tarik sepanjang permukaan dan mengakibatkan
pengoyakan. Sementara, bila partikel tersebut berada di dalam system slury laju keausan akan
semakin rendah karena tidak adanya efek abrasi, partikel hanya berputar (rolling).
Page 43
4. Keausan oksidasi/korosif
Pada prinsipnya mekanisme ini dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di
bagian permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak kimiawi dengan lingkungan ini akan
menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan
material induk. Sebagai konsekuensinya, material pada bagian permukaan akan mengalami
pengelupasan. Hal ini mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan
material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut.
Selain dari metode pin on disk, terdapat beberapa pengujian yang umumnya
digunakan untuk menguji keuausan pada materal seperti rubber wheel, dry abrasive (ASTM
G 65), cavitation erosion test system (ASTM G 134), liquid jet erosion test (ASTM G 32),
gas blast erosion test (ASTM G 76), d.l.l
4.5 Metodologi Penelitian
1. Alat dan Bahan
1. Ogoshi wear testing machine
2. Caliper dan/atau mikrometer
3. Pemasang-pembuka gir (tracker)
4. Sampel uji aus
2. Prosedur Pengujian
1. Persiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan selama pengujian: sampel uji (5
buah), satu set gir, tracker.
2. Ukur tebal (B) dari cincin pemutar (revolving disc). Pasang pada tempatnya dan
kencangkan dengan memutar mur pengikatnya.
Page 44
3. Pasang benda uji pada sample holder yang berada pada tengah-tengah lever. Pastikan
daerah yang akan diuji berada tepat di bawah garis penanda pada window.
Kencangkan benda uji dengan memutar baut pada window tersebut searah putaran
jarum jam.
4. Aturlah parameter pengujian (beban, kecepatan dan jarak luncur) dengan men-set
variasi gir. Lihatlah tabel penunjuk variasi tersebut.
5. Aturlah skala pada lubang intip pada posisi nol. Bila belum diperoleh maka tekanlah
spring adjusting handle sambil diputar ke arah increase bila angkanya masih di bawah
nol atau decrease bila angkanya melewati nol.
6. Sekarang sentuhkan sampel uji yang telah terikat pada sample holder dengan
revolving disc.
7. Aturlah pasangan gir beban (yang berhubungan langsung dengan sample holder)
sehingga diperoleh skala 4.5 pada lubang intip sebagai suatu pembebanan awal
(preload). Bila posisi ini belum diperoleh, lakukan kembali langkah 5.
8. Pastikan set-up parameter pengujian telah sesuai.
9. Bersihkan mesin uji dari benda-benda yang membahayakan (kain, gir, obeng dsb).
10. Tekan tombol switch-on untuk memulai pengujian.
11. Lepaskan sampel bila mesin telah mati. Ulangi pengujian untuk lokasi atau sampel
lain.
12. Ukurlah dengan measuring microscope lebar celah (b) yang diperoleh. Catat pada
lembar data anda. Amati pula jejak keausan yang anda peroleh. Buatlah sketsa dan
deskripsi jejak tersebut.
Page 45
Page 46