You are on page 1of 96

PENDAHULUAN

1.1

Pendidikan Kewargaan di Banyak Negara

Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi
negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS) yang berlandaskan pada

nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa.

Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya
bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan
wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang
bersendikan budaya bangsa.
Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka
bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20
telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di
berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi
untuk menopang pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang
sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya.
Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam kurikulum sosial selama
satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Materi yang
diajarkan diarahkan pada : 1). Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan
haknya sebagai warga Amerika dan warga dunia; 2). Nilai-nilai dan prinsip demokrasi
konstitusional; dan 3). Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat
demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung. Di Australia,
pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada discovering democracy, yaitu: 1). Prinsip,
proses dan nilai demokrasi; 2). Proses pemerintahan; dan 3). Keahlian dan nilai
partisipasi aktif di masyarakat.

Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan kewarganegaraan


ditekankan pada Japanese history, ethics dan philosophy. Di Filipina materi difokuskan
pada : Philipino, family planning, taxation and landreform, Philiphine New Constitution
dan study of humanity (Kaelan, 2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina,
keluarga, harmoni sosial, tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain.
Taiwan menitikberatkan pada pengetahuan kewarganegaraan (disusun berdasarkan
psikologi, ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi
sosial, identitas nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand,
berusaha : 1). Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang baik;
2). Menghormati orang lain dan ajaran Budha; dan 3). Menanamkan nilai-nilai
demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Beberapa negara yang lain juga
mengembangkan studi sejenis, yang dikenal dengan nama Civic Education.
Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan di negara-negara
Asia lebih menekankan pada aspek moral (karakter individu), kepentingan komunal,
identitas nasional dan perspektif internasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih
difokuskan pada pentingnya hak dan tanggungjawab individu, sistim dan proses
demokrasi, HAM dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).

1.2

Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2)
menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat
Pendidikan

Pancasila,

Pendidikan

Agama

dan

Pendidikan

Kewarganegaraan.

Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman


Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya
dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam
kurikulum setiap program studi.

Di tingkat Pendidikan Dasar hingga Menengah substansi pendidikan kewarganegaraan


digabungkan dengan pendidikan Pancasila sehingga menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKN). Untuk

tingkat Perguruan Tinggi, di masa Orde Baru

substansi pendidikan kewarganegaraan diberikan melalui mata kuliah Kewiraan yang


lebih menekankan pada PPBN (Pendidikan Pendahuluan Bela Negara).
Dengan

keluarnya

Keputusan

Dirjen

Dikti

No.

267/DIKTI/2000

tentang

Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah


Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Kewiraan direvisi dan
selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Substansi mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat
Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No.
43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.

1.3

Materi Ajar

Setelah melakukan kajian yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perguruan tinggi
politeknik yang memiliki sistem vokasi, dan dengan memakai landasan hukum:
a. UUD 1945
- Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa
Indonesia tentang kemerdekaan.
- Pasal 27 (1) tentang Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
- Pasal 30 (1) tentang Bela Negara
- Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran
b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
c..Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988)

d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional.


e. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi No. 267/DIKTI/KEP/2000 tentang
Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK)
Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
f. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
g. Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

Kami Tim Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Politeknik Negeri Jakarta
(PNJ), sepakat untuk memberikan materi ajar bagi Mahasiswa PNJ yang terdiri dari:
a. Kondisi Saat ini
b. Pancasila sebagai Dasar Negara
c. Negara dan Konstirusi
d. Pancasila sebagai Paradigma dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan
Bernegara
e. HAM dan Demokrasi di Indonesia
f. Keamanan Nasional/National Security
g. Geopolitik Indonesia Wawasan Nusantara
h. Geostrategi Indonesia Ketahanan Nasional
Modul ini hanya akan membahas poin e saja yaitu HAM dan Demokrasi, kepentingan
untuk mempelajarinya sebagai berikut:
-

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran HAM dan Demokrasi di pendidikan


tinggi, khususnya meningkatkan kualitas metode pembelajaran dan penyediaan materi

HAM dan Demokrasi, secara komprehensif terintegral dan kotemporer, sehingga


Mahasiswa/Mahasiswi dapat memahami dan mengerti konsep HAM dan Demokrasi
baik di dalam teori dan praktik didalam kehidupan sehari-hari.
-

Pendidikan HAM dan Demokrasi yang berkualitas dan efektif akan meningkatkan
reputasi perguruan tinggi itu sendiri, berguna bagi masyarakat dan membantu
pemerintah dalam pemajuan HAM dan Demokrasi.

1.4

Proses Pembelajaran
Adapun metode pembelajaran yang digunakan adalah: ceramah, diskusi, diskusi
kelompok, curah pendapat, studi kasus bermain peran/simulasi, penggunaan alat bantu
visual, debat, problem terbuka, polling pendapat, pertanyaan dan jawaban, dan
presentasi peserta.

1.5

Petunjuk Mempelajari Modul Ajar


Silabus Pendidikan Kewarganegaraan di Politeknik Negeri Jakarta, terdiri dari delapan
topik, berurutan dari topik: 1. Kondisi Saat ini; 2. Pancasila sebagai Dasar Negara; 3.
Negara

dan Konstirusi;

4.

Pancasila

sebagai

Paradigma

dalam

Kehidupan

Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara; 5. Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di


Indonesia; 6. Keamanan Nasional/National Security; 7. Geopolitik Indonesia Wawasan
Nusantar, 8. Geostrategi Indonesia Ketahanan Nasional. Dengan demikian memperlajari
Modul HAM dan Demokrasi, mahasiswa/mahasiswi harus memperlajari dan
melaksanakan tugas dalam topik-topik sebelumnya.
Di akhir Materi I dan Materi II terdapat tugas dan latihan soal, yang harus
mahasiswa/mahasiswi laksanakan. Untuk menjawab latihan soal, mayoritas materi
diambil dari Modul Ajar Hak azasi Manusia dan Demokrasi. Sedangkan materi dari
tugas tidak terbatas dari bahan bacaan Modul Ajar Hak azasi Manusia dan Demokrasi
saja, melainkan harus mengambil dari sumber yang lain.

MODUL 1
HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA

2.1

Pendahuluan

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dimulai dari
masa sebelum dan selama penjajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan
mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap
tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan
jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan
nilai-nilai perjuangan, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya
itu

tumbuh dan berkembang

menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses

terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.


Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang
hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku
heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang
luar biasa. Idealnya, dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya
tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya,
nilai-nilai tersebut masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai

fenomena sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika
kehidupan nasional, demikian pula halnya dengan Hak Azasi Manusia.
Perkembangan globalisasi ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga
kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam percaturan
politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal ini tentu akan
menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara
maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembagalembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu hak asasi manusia sering digunakan oleh
negara-negara maju untuk menyudutkan dan mendiskreditkan bangsa dan negara lain,
khususnya negara-negara berkembang.
Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu
struktur global, yaitu itu mempengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan
tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental
spiritual bangsa. Walaupun sementara orang menganggap bahwa globalisasi adalah
konsep semu sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War)
(perang seusai Perang Dunia II 1939-1945 antara Blok Barat, dipelopori Amerika
Serikat/AS dan Blok Timur dimotori oleh Uni Sovyet/US, yang berlangsung hampir
setengah abad).

2.2

Tujuan Pembelajaran Khusus

Tujuan pembelajaran khusus dari dari Modul 1 tentang Hak Azasi Manusia di Indonesia
antara lain :
a. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan
komitmen terhadap nilai-nilai HAM.
b. Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan
berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c. Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya

menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan


nilai universal.
d. Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan
kebijakan publik yang berkenaan dengan HAM .
e. Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban).

2.3

Kegiatan Belajar

2.3.1

Materi Ajar I

2.3.1.1

Sejarah Perkembangan Hak Azasi Manusia

Jika kita telusuri sejarah HAM sejak abad pertengahan hingga zaman modern, mulai
dari Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of
Independence (Amerika Serikat, 1776), Declaration des Droits de Ihomme et du
Citoyen (Perancis, 1789), dan akhirnya Universal Declaration of Human Rights (PBB,
1948), bahwa dokumen-dokumen itu lahir bukan dari faham liberalisme dan
individualisme, melainkan dari tuntutan kolektif rakyat yang menentang absolutisme
dan diktatorisme.
Magna Charta lahir dari tuntutan para bangsawan dan gereja untuk membatasi
kesewenang-wenangan raja Inggris, Petition of Rights lahir dari tuntutan parlemen yang
mewakili rakyat (house of common) untuk membatasi kekuasaan raja. Declaration of

Independence Amerika Serikat lahir sebagai pernyataan ingin bebas dari penjajah
Inggris yang dirasakan menindas mereka.
Declaration des Droit de Ihomme et du Citoyen lahir sebagai tuntutan kolektif
Assemble Nationale yang mewakili rakyat untuk membatasi kekuasaan Raja Louis XVI
dan suatu upaya untuk melindungi hak-hak rakyat. Universal Declaration of Human
Rights PBB lahir sebagai pencerminan kemenangan negara-negara sekutu terhadap
rezim fasisme Italia, Jerman, dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat.
Dengan demikian, jelas bahwa berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah lahir dari
paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir dari perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan para penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya dengan
sejarah usaha untuk menegakkan demokrasi di satu pihak, dan perjuangan kemerdekaan
dipihak lain.
Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia.
Rumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan dan diproklamirkan oleh
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 217A (III) pada tanggal 10 Desember 1948 terdiri
dari Mukadimah dan Pasal-Pasal.
Dalam mukadimah terdiri dari tujuh alinea, terdapat pertimbangan-pertimbangan:
1. Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan
tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian
di dunia.
2. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada HAM telah
mengakibatkan perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dan bahwa
pembentukan suatu dunia yang akan membuat manusia mengecap kenikmatan bebas

berbicara, bebas beragama serta bebas rasa takut dari kekurangan telah dinyatakan
sebagai aspirasi tertinggi dari rakyat jelata.
3. Menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya
orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir guna
menentang kezaliman dan penjajahan.
4. Menimbang bahwa persahabatan antara negara-negara perlu dianjurkan.
5. Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Anggota PBB dalam piagam telah menyatakan
hak dasar manusia, martabat serta penghargaan manusia dan hak yang sama bagi lakilaki dan perempuan dan telah memutuskan akan meningkatkan kemajuan sosial dan
tingkat penghidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.
6. Menimbang bahwa negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan
penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan asas dalam
kerja sama PBB.
7. Menimbang bahwa pengertian umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini
adalah penting sekali untuk pelaksanaan janji ini secara benar.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terdiri dari 30 pasal, semua pasal berbicara
tentang hak, hanya satu kata kewajiban, pada pasal 29 ayat 1, yaitu Setiap orang
mempunyai kewajiban terhadap masyarakat di tempat ia mendapatkan kemungkinan
untuk mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya. Namun setiap kata hak
sebenarnya identik dengan kata kewajiban.
Masing-masing individu dan semua orang yang beragama akan sependapat dengan
ketiga puluh pasal Deklarasi Universal. Ketika manusia telah memproklamasikan diri
menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu negara, status manusia individu akan
menjadi status warga negara. Diberi hak sebagai warga negara dalam mekanisme
kenegaraan. Sebagai warga negara, masing-masing individu tidak hanya memperoleh
hak tetapi juga kewajiban.
HAM dalam Berbagai Perspektif
Permasalahan HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sedunia, sejak
pertengahan abad ke 20. Hingga saat ini HAM masih menjadi berita hangat yang sangat

actual dalam berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat seperti peristiwa Politik,
Sosial dan ekonomi baik ditingkat nasional maupun internasional. Seyogyanya HAM
tidak hanya dipandang dari sudut kepemilikan dan bagaimana dijalankannya, akan tetapi
lebih dari itu. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang HAM , dibawah ini dijelaskan HAM
dari berbagai perspektif menurut Hamidi (2010:231), yaitu dari persfektif Islam, Politik,
Sosiologis dan geografis, yaitu:

1. HAM dalam perspektif Islam


Memahami HAM dalam persfektif Islam tentu lebih mudah, karena Islam adalah ajara
komprehensif yang bersumber dari wahyu Illahi (Al Quran) dan berfungsi sebagai
petunjuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda antara kebenaran
dengan kesalahan (al-furqan).
Cara pandang Islam terhdap HAM tidak terlepas dari cara pandangannya terhadap status
dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (QS, Al-Israa(6):70),
(QS Al-Hijr(15):28-29) dan fungsional (QS Al-Anam (6):165) serta (QS Al
Ahzab(33):72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik kepada kehidupan yang riil agar ia
dapat terpuji sebagai makhlus yang fungsional. Dalam kaitan ini manusia disebut khalifah
dalam pengertian mandataris yang diberi kuasa dan bukan sebagai penguasa. Dalam
status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban kepada
Allah SWT ( karena itu Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi
hukum-hukumnya. Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (QS AlAhzab(33):72). Sebagai realisasi perjanjiannya dengan Allah pada awal penciptaannya
(QS At Taubah (9):111).
Meskipun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT, pada akhirnya
kewajiban ini akan menimbulkan hak yang berkaitan dengan hubungan sesame manusia.
Kewajiban bertauhid (meng_Esakan Allah) misalnya apabila dilaksanakan dengan benar,
akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan sesame

manusia, sepert hak persamaan, hak kebebasan dan memperoleh keadilan. Seorang
manusia mengakui hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang
dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu Islam memandang hak
azasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat
anthroposentrus tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan).
Penghargaan kepada HAM merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu
kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini akan dipaparkan konsep
dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist.
a. Ha katas keselamatan jjiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan
keberadaannya harus dipelihara sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-Israa ayat
33 yaitu membunuh orang dibolehkan karena alasan yang benar, misalnya qisas
b.
c.
d.
e.
f.

bagi orang yang terbukti membunuh orang lain dengan sengaja.


Pengamanan hak milik pribadi (QS Al Baqarah (2):181)
Keamana dan kesucian kehidupan pribadi (QS An-Nur (24):27)
Hak untuk memperoleh keadilan hukum
Hak untuk menolak kezaliman (QS An-Nisa (4): 148)
Hak untuk melakukan al amru bi al-maruf wa al-nahyuan al-munkar, yang
didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (QS Al-Araf

(7):165) dan QS Al-Baqarah(2):110).


g. Kebebkasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan
berkumpul ini berkaitan dengan menegakkan yang maruf dan mencegah yang
mungkar.
h. Hak Keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran
yang melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya
adalah (QS Ali Imron (3):100).
i. Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang
dilakukannya. Dengan kata lain seseorang harus dianggap tidak bersalah jika belum
terbukti melakukan kejahatan.
j. Hak memperoleh perlakuan yang sama dari Negara dan tidak melebihkan
seseorang atas orang lain (QS Al-Qashash(28):4).
Beberapa hak yang sudah dipaparkan di atas merupakan suatu bukti jika Islam
memandang HAM dari segi hubungan antara Allah dengan manusia maupun manusia
yang satu dengan manusia yang lainnya. Hak-hak tersebut merpakan pemberian Allah
SWT kepada setiap makhluk-Nya setelah menjalankan kewajibannya, sehingga setiap

orang mempunyai hak yang sama satu dengan lainnya. Dan orang lain tidak dapat
menghapusnya atau mengambilnya, hanya Allah SWT yang berhak menentukan
segalanya.
2. HAM dalam perspektif Politik
Sering terdengar jika dalam politik tidak dikenal lawan ataupun kawan, yang ada
hanyalah kepentingan. Seringkali apa yang menjadi hak seseorang dalam politik
dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Misalnya dengan alasan setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama dalam pemerintahan maka satu orang dengan yang
lainnya saling mencari alasan agar kekuasaan tersebut menjadi miliknya.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kedudukan politik yang sama, maksudnya
kesempatan yang sama untuk berpolitik. Yang membedakan hanya status sosial yang
diperoleh setelah ia dapat menyakinkan orang lain tentang konsep perpolitikan yang
ditawarkan. Sudut pandang politik tentang HAM dan lainnya adalah semua orang
memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kepentingannya. Baik
kepentingan pribadi, kelompok maupun gologannya.
3. HAM dalam perspektif Sosiologis
Secara sosiologis setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup bermasyarakat
dan mengembangkan kemampuannya. Apapun suku, agama, ras ataupun golongannya,
mereka tetap mempunyai kedudukan sama dalam masyrakat. Mereka adalah makhluk
sosial yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi.
4. HAM dalam perspektif Geografis
Secara geografis seseorang mempunyai hak untuk hidup dan mengembangkan
kemampuannya dimanapun ia mau. Tetapi yang perlu ditekankan dalam persfektif
geografis adalah bahwa seseorang dapat kehilangan apa yang menjadi haknya apabila
bertentangan dengan hukum yang berlaku, dalam artian ia dapat berkembang dan
diterima

oleh

suatu

wilayah

apabila wilayah

tersebut

secara

hukum dapat

ditempati/menjadi kewenangannya. HAM dalam perspektif geografis dipandang secara


manusiawi bahwa manusia dapat menjadikan bumi sebagai media untuk memperoleh
manfaat dan memberikan manfaat kepada orang lain.

2.3.1.2

Hak Azasi Manusia di Indonesia

Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia


Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam politik

dan

ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan


sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia
menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa telah
mencetuskan buah pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang
lebih baik. Buah pikiran ini dapat dibaca dalam: surat-surat R.A. Kartini yang berjudul
Habis Gelap Terbitlah Terang; karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S.
Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat; petisi yang
dibuat oleh Sutardjo di Volksraad; atau pledoi Soekarno yang berjudul Indonesia
Menggugat; dan Hatta dengan judul Indonesia Merdeka yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda. Pemikiran-pemikiran tersebut pada masa pergerakan
kemerdekaan, kemudian terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, dan menjadi
sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sini terlihat bahwa para pendiri
bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.
Perdebatan yang sangat intensif terjadi dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu
mulai dari tahun 1945, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan
periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah
perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan
berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meskipun pada periodeperiode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum
dasar negara atau konstitusi.

(1) Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia


Saat menyusun Undang-Undang Dasar 1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak
warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno
dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu
dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan
Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun
tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI
tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus HAM di Indonesia, yang memberi
pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.
Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka
mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan Philosofische
grondslag atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee-- yang tidak berlandaskan
pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan
perlindungan hak warga negara itu yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis
dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya
imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan
negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotong-royong,
dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di dalamnya.
Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak
mencantumkan hak-hak warga negara:
... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama
sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UndangUndang Dasar
kita yang dinamakan rights of the citizens yang sebagai dianjurkan oleh Republik
Prancis itu adanya.
... Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat
mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi droits de I
homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin

yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham
gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham
individualisme dan liberalisme dari padanya.
Sedangkan alasan penolakan Supomo berbeda, yaitu didasarkan pandangannya
mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok
dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus
bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya
dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara
susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah
suatu bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam
paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara.
Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara
dalam pasal-pasal Konstitusi. Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan
individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang
seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu
terjebak dalam otoritarianisme.
Berikut argumen Hatta:
Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas UndangUndang Dasar yang kita
susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui.
Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara
disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga
negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan
suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat

dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi
negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat.
Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras
argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam
Undang-Undang Dasar. Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan
liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang
harus diakui dalam Undang-undang Dasar, Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang
BPUPKI.
Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen
Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat

drukpers,

onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan


lisan). Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka
lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau
didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
Perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara
yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan
dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya
dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undangundang, tetapi
juga dalam arti konseptual.
Konsep yang digunakan adalah Hak Warga Negara (rights of the citizens) bukan
Hak Asasi Manusia (human rights). Penggunaan konsep Hak Warga Negara itu
berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham

natural rights yang menyatakan

bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai
manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai
regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights sebagaimana

ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.

Perdebatan

tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul
kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam UndangUndang Dasar
1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam dalam Risalah
Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di sini jauh lebih
sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. Diskusi ini merupakan pernyataan
paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi
manusia di kalangan rakyat Indonesia, rekam Buyung Nasution yang melakukan studi
mendalam tentang periode ini.
Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih
menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya
sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif
agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati
24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang,
Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah
dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak
asasi manusia.
Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit
yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan kembali ke Undang Undang
Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam
Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menjadi mundur kembali.
Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan
mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada
Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk
Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah
Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak
serta Kewajiban Warga Negara. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil

diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS Alasannya
--terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika
Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang
bersifat sementara.
Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak
Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi
ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang
Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang gelombang besar
Reformasi, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998)
dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.
(2) Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru
Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan
kabinetnya sebagai Kabinet Reformasi. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan
lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini
tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan
nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan
narapidana politik, dan sebagainya. Pada periode reformasi ini muncul kembali
perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan
bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada
soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam
UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal
Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam
pasal-pasal Undang-Undang. Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan
hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok
reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam hak
asasi manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi
negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan
untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik proreformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke
dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal
Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang
Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya
mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab
negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah
masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku
surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang
oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam
Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai sabotase terhadap upaya mengungkapkan
pelanggaran berat HAM di masa lalu, khususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal
itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu untuk menghindari
tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata
yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran HAM di masa lalu. Sementara anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam
instrumen internasional HAM, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).

Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak
Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan
Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang
bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di
dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa
reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam
sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan
pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
(3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang
sangat friendly terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde
Baru yang melancarkan black-campaign terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan UndangUndang HAM ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan
Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999
telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut
dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia .
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan
yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup
mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan
dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang
mengakui paham natural rights, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang

melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak
merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal
Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights,
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International
Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan
Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam
berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi,
keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi
kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan
Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam
Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII),
mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal
terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasiorganisasi pembela hak asasi manusia atau human rights defenders. Selain itu,
Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
Undang-Undang tersebut (Bab IX). Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua
tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah ketentuan yang
baru menghapus ketentuan yang lama jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah
tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan
tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan stuffenbau theorie des rechts (hierarchy
of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan
organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.

Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia


Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi
manusia ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan
dalam konteks dua ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran
monis (monistic school). Ajaran yang pertama melihat

hukum internasional dan

nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan
ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral
dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya
tumpangtindih, biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan
Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat yang menyatakan dengan gamblang
dalam konstitusinya bahwa all treaties made or which shall be made, under the
Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the judges in
every State shall be bound thereby.
Inilah bedanya dengan Indonesia, yang boleh dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang
pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan
hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum
Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum
nasional

terlebih

dahulu,

mengambil

langkah

transformasi

melalui

proses

perundangundangan domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi
meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang
kuat di dalam negeri, namun tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan
sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu,
selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme
law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk

menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila warga


negara merasa mekanisme domestik telah mengalami exshausted alias menthok.
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional hak
asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional pokok hak asasi
manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia yang diratifikasi itu
meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan; (ii) Konvensi
Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang
Anti Apartheid di Bidang Olah Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?)
Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;
dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dibandindengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka
sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina,
misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak asasi
manusia.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan
adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana.
Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003,
telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumeninstrumen
hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua (20042009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi
untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada
2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada
2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi
Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol Opsional tentang Konvensi Hak
Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi
tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma

(pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia
dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
Produk Perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia
Seiring dengan era reformasi di Indonesia, terutama bidang hukum dan perundangundangan, maka pemeriksaan atas pelanggaran hak asasi manusia, sudah berjalan
dengan adanya Komisi Nasional tentang Hak Asasi Manusia dan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia yang menanganinya.
Beberapa produk hukum Indonesia yang berhubungan dengan Hak Asasi manusia
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Undang-Undang Dasar 1945 BAB XA Hak Asasi Manusia


Pasal 28 A sampai dengan 28 J
Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi

atau Merendahkan Martabat Manusia.


7. Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum
8. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 1999 tentang Konvensi ILO Mengenai
Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
9. Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
10. Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
11. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
12. Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran HAM yang berat.
13. Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat.
14. Keputusan Presiden RI Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.

15. Keputusan Presiden RI Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
kekerasan terhadap Perempuan.
16. Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM
2004-2009.

2.3.1.3

Penerapan Hak Azasi Manusia di Indonesia

Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional.
Tujuannya adalah agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Secara struktural,
melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara
kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara
institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi Nasional
hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
Jaminan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia sangat penting di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya tercipta kehidupan kebangsaan yang
lebih bermartabat dan manusiawi, memungkinkan terselenggaranya kehidupan
bermasyarakat yang tidak diskriminatif dan apresiatif terhadap keanekaragaman, dan
memungkinkan terciptanya kehidupan yang semakin demokratis dan beradab dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penegakan hak asasi manusia terutama didasarkan pada falsafah dan ideologi Pancasila,
Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang hak
asasi manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak
asasi manusia.
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999

Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 terdiri atas XI Bab, 106 pasal dan
penjelasannya. Beberapa istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 sebagai berikut:
a. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b.

Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak


dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

c.

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung


ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan
keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

d.

Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga


menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga
telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa
seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan
dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik.

e.

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hak tersebut adalah demi
kepentingannya.

f. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi

manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
g.

Komisi Nasional Hak Asai manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga mandiri lainnya dan
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi
hak asasi manusia.
Selain itu juga dituangkan asas-asas dasar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
Manusia, Kewajiban Dasar Manusia, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah.
Pembatasan dan Larangan, Komisi Nasional HAM, Partisipasi Masyarakat serta
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penerapan, penegakan dan pendidikan hak asasi manusia perlu diadakan untuk menjaga
agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Penegakan hak asasi manusia
dilakukan terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga yang dipercaya
untuk mengatasi persoalan penegakan hak asasi manusia adalah Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia

yang dibentuk berdasarkan Bab VII Pasal 75 99, Partisipasi

Masyarakat berdasarkan Bab VIII pasal 100 103, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia
berdasarkan Bab IX Pasal 104 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999. Akhirnya
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam pasal 104 diamanatkan kedalam
Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Selain itu juga dituangkan asas-asas dasar HAM, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Dasar Manusia, Kewajiban Dasar Manusia, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah.
Pembatasan dan Larangan, Komisi Nasional HAM, Partisipasi Masyarakat serta
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara operasional hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Indonesia dalam
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 meliputi:
TABEL 5.1.

Materi Muatan HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999


No
.

PASAL

PROFIL HAM

Hak untuk hidup

10

Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

11 16

Hak mengembangkan diri

17 19

Hak memperoleh keadilan

20 27

Hak atas kebebasan pribadi

28 35

Hak atas rasa aman

36 42

Hak atas kesejahteraan

43 - 44

Hak turut serta dalam pemerintahan

45 51

Hak wanita

10

52 66

Hak anak

Selain manusia Indonesia memiliki hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, juga
memiliki kewajiban dasar manusia yang harus dilaksanakan, meliputi:
TABEL 5.2.
Kewajiban-kewajiban Dasar Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999
No
.

PASAL

ISI

67

Setiap orang yang ada di wilayah Negara


Republik Indonesia wajib patuh pada
peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, dan hukum internasional mengenai
hak asasi manusia yang telah diterima oleh
Negara Republik Indonesia.

68

Setiap warga negara wajib ikut serta dalam


upaya pembelaan Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

69 ayat (1)

Setiap orang wajib menghormati hak asasi


manusia orang lain, moral, etika, dan tat
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

69 ayat (2)

Setiap hak asasi manusia seseorang


menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung
jawab untuk menghormati hak asasi orang
lain secara timbal balik serta menjadi tugas
pemerintah untuk menghormati, melindungi,
menegakkan, memajukannya.

70

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,


setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh undangundang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan
yang
adil
sesuai
dengan
pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.

Penerapan, penegakan dan pendidikan hak asasi manusia perlu diadakan untuk menjaga
agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Penegakan hak asasi manusia
dilakukan terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga yang dipercaya untuk
mengatasi persoalan penegakan hak asasi manusia adalah Komisi Nasional HAM yang
dibentuk berdasarkan Bab VII Pasal 75 99, Partisipasi Masyarakat berdasarkan Bab
VIII pasal 100 103, dan Pengadilan HAM berdasarkan Bab IX Pasal 104 UndangUndang RI Nomor 39 tahun 1999. Akhirnya Pengadilan HAM yang tertuang dalam pasal
104 diamanatkan kedalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.

Komisi Nasional Hak Asai Manusia atau Komnas HAM


Komisi Nasional HAM adalah lembaga mandiri dan berkedudukan setingkat dengan
lembaga negara lainnya. Komnas HAM bertujuan:

1) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, dan
2) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.
Guna mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri dan berkedudukan
setingkat dengan lembaga negara lainnya. Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan:
1.

Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia, dan


2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.
Dan guna mencapai tujuannya, Komnas Hak Asasi Manusia melaksanakan fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi
manusia.

Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia


Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UUD 1945, beberapa
hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan

diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan
hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia
sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember
1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal
formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal
dalam UUD RIS 1949.

Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak

memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.


Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia
menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga
puluh delapan pasal di dalamnya.

Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut,

penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa
itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu,
Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh
Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada
masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan
pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia
mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu
terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat.
Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran
dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran
internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan
tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi
tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No.
50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung

tujuan pembangunan nasional. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang
memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para
anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara
de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada
di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak
terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan
penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke
permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan
diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM.
perundang-undangan

sebagai

undangkannya

No.

UU

26

perangkat
tahun

lunak

2000

berlanjut

tentang

Pembuatan peraturan
dengan

pengadilan

diundang-

HAM

yang

memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran


HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai
keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan
kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional
justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif),
political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice
(keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian,
perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena
memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung
pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak
pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional
criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang
pada kenyataannya sedang diupayakan.

Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur
sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di
luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM
dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM
berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan
Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional
(KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa
lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26
tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada
kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan
kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa
berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
Upaya Penegakkan HAM di Indonesia
MASALAH penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam
perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan
dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat
dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan
informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi
bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan
rasional.
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya
represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus
ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam
rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan


pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada
setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang
melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui
otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi
ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan
pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan
masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural
mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk
mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian,
perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik
vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar
HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan
menyeluruh.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama
di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan
manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus
diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang
memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan
perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang
memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat
aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya

penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR
untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan
pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam
kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan
pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari
rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya
penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban
seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang
memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh
keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh
suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau
individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin
jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada
kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam
masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat
masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
Tuntutan Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

Sebagaimana dialami berbagai negara lainnya pada masa tansisi politik, di Indonesia
pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia. Tuntutan itu mengarah kepada berbagai kasus, misalnya
kasus-kasus terbuntuhnya para mahasiswa dalam kegiatan demontrasi karena bentrok
dengan aparat keamanan, seprti dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi
I (13 November 1998), dan Semanggi II (22 24 September 1999). Adapula kasus
lainnya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran hak asasi
manusia berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM)
pada tahun 1989 1999, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor Timur
dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai.
Dalam satu seminar yang tertajuk Transitional Justice di Indonesia yang
diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) di Bandung
beberapa bulan yang silam, muncul pemikiran bahwa penyuelesaian pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi pada masa lalu mutlak dilakukan jika Bangsa Indonesia ingin
mewujudkan cita-cita demokrasi di masa depan. Karena itu, pemberian keadilan bagi
para korban pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang medesak untuk dilakukan
dalam eta transisi politik pada saat ini.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Enny Soeprapto, yang
menjadi salah satu pembicara dalam seminar itu mendefinisikan transitional justice
sebagai masa peralihan dari sebuah rezim yang represif kepada bentuk pemerintahan
demokratis. Negara-negara yang sedang menjalani proses tranformasi itu biasanya
diwarnai oleh ciri-ciri tertentu seperti lembaga-lembaga yudikatif dan legislatif yang
masih diisi oleh kekuatan lama dan adanya tuntutan dari para korban rezim masa lalu
untuk mendapatkan keadilan. Menurut Enny lebih lanjut, salah satu ciri utama
masyarakat yang hidup dibawah rezim otoriter dan represif adalah dilanggarnya hak
hak asasi manusia dan kebebasan mendasar warga. Tidak heran jika tuntutan penegakan
keadilan menjadi prioritas utama bnagsa yang bersangkutan . Dalam seminar itu antara
lain terungkap bawa langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan keadilan itu
adalah dengan meluruskan sejarah yang telah dibengkokan, mencegah kembalinya
rezim or\toriter, dan penegakan aturan hukum (rule of law). Untuk saat ini, perhatian

masyarakat terfokus pada penyelesaian masalah criminal justice (keadilan pidana)


seperti kasus pelanggaran hak asasi manusia Aceh, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II,
maupun Timor-Timur.

2.3.2

Latihan

1. Kapan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lahir, terdiri dari apa saja, dan sebutkan
satu-satunya pasal yang berisi kewajiban.
2. Apa alasan Ir. Soekarno pada masa awal perdebatan hak asasi manusia menentang hak
asasi manusia, Jelaskan..
3. Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional. Apa
yang dimaksud. Jelaskan.
4. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia, seperti tercantum dalam UU
No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
5. Jelaskan tentang Komisi Nasional Hak Azasi Manusia .

2.3.3

Tugas

Studi Kasus : Lia Eden, Munir dan Lapindo.


Dosen mengajukan tiga kasus yang berbeda, yaitu kasus Munir, Lia Eden, dan Lapindo
Dosen dapat menjelaskan secara singkat posisi kasus yang akan dianalisis. Kemudian
Dosen membagi peserta menjadi tiga kelompok.

Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk membangi kelompok, misalnya
berhitung 1-3, atau mengambil kertas yang sudah disiapkan antara angka 1-3. Setelah
kelompok terbentuk, pengajar mendistribusikan kasus yang akan didiskusikan oleh
kelompok.

Dosen menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh kelompok, dan apa saja hasil yang
diharapkan dari proses diskusi di kelompok. Perlu ada waktu pembatasan dalam diskusi
di kelompok, misalnya 30 menit, atau 60 menit tergantung kebutuhan. Setelah diskusi
kelompok, masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya, dan kelompok lain
memberikan respon dan tanggapan. Pengajar mencatat poin-poin penting dalam proses
presentasi dan diskusi, melakukan penajaman terhadap isu-isu tertentu, dan memberikan
penjelasan terhadap isu-isu yang muncul dalam proses diskusi.

2.3.4

Evaluasi/Kunci Jawaban

1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan dan diproklamirkan tanggal 10


Desember 1948 terdiri dari Mukadimah dan Pasal-Pasal. 30 pasal berbicara tentang hak,

hanya satu kata kewajiban, pada pasal 29 ayat 1, yaitu Setiap orang mempunyai
kewajiban terhadap masyarakat di tempat ia mendapatkan kemungkinan untuk
mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya. Namun setiap kata hak
sebenarnya identik dengan kata kewajiban.
2. Ir Soekarno menolak sama sekali faham individualisme, dimana menurut berliau hak
asasi manusia berasal dari faham individualisme. Kutipan di bawah menunjukkan
argumen Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara:
... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama
sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UndangUndang Dasar
kita.
...Grondwet yang berisi droits de I homme et du citoyen itu, tidak bisa
menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka
oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham
kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial,
enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari
padanya.
3. Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional.
Secara struktural, melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur
pemerintah. Secara kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan
secara institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi
Nasional hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
4. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri, berkedudukan setingkat
dengan

lembaga

negara

lainnya.

Komnas

Hak

Asasi

Manusia

bertujuan:

mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia; dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Dan guna mencapai tujuannya, Komnas Hak Asasi
Manusia melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi tentang hak asasi manusia.

2.4

Rangkuman

Universal Declaration of Human Rights PBB lahir sebagai pencerminan kemenangan


negara-negara sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman, dan Jepang yang cenderung
diktator dan menindas rakyat. Dengan demikian, jelas bahwa berbagai dokumen hak
asasi manusia tidaklah lahir dari paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir dari
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para penguasa. Jadi, sejarah hak asasi
manusia erat hubungannya dengan sejarah usaha untuk menegakkan demokrasi di satu
pihak, dan perjuangan kemerdekaan dipihak lain.
Dan Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai
tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia.
Namun bukan berarti bahwa hak asasi manusia di Indonesia, dengan mudah mendapat
pengakuan. Dari sejarah kita ketahui bahwa untuk di terapkannya hak asasi manusia
perdebatan intensif terjadi dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan. Yaitu mulai dari
tahun 1945, periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde
Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak
asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung
dengan sangat serius. Pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia
gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas
perlindungan hak asasi manusia, perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam
hak asasi manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga
tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk
mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi
manusia. Dan pada periode ini pula telah dicapai konsensus untuk mengesahkan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang


tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia .
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia

juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaannya. Hal


yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi
masyarakat, aturan ini memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak
asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia
atau human rights defenders. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan
pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional.
Tujuannya adalah agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Secara struktural,
melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara
kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara
institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi Nasional
hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan
masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural
mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk
mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan
konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang
melanggar hak asasi manusia dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara
terencana, adil, dan menyeluruh.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama
di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan
manfaat dari semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anakanak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang
memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan
perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang
memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat
aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya
penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap
proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia, perlu
diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan
hak asasi manusia dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan
aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum. Selain perlu adanya
kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya hak asasi manusia di Indonesia,
yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam
masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat
masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.

2.5

Daftar Pustaka

A.B. Kusuma RM, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta , 2004

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi


Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Budi Saputro Pradono, Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Rabu 29
September 2009 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/09/upaya-penegakanhak-asasi-manusia-di.html

http://pusham.uii.ac.id/ham/11_Chapter5.pdf

Ihza Mahenda Yusril 1996, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Makalah pada Simposium Nasional Hak-hak Azasi Manusia dalam Agenda
Pendidikan Bangsa, Jakarta: ICMI.

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma

Kumpulan Lengkap Perundangan Hak Asasi Manusia 2006, Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Presiden Habibie, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 19982003

Undang-Undang No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia

MODUL 2
DEMOKRASI DI INDONESIA

2.1

Pendahuluan

Secara terminologis demokrasi mempunyai pengertian antara lain, menurut Yosefh A


Schmer, Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan
dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar
satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah


yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan
eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan
judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang
memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini,
keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif sesuai hukum dan peraturan
yang berlaku.

Pemilu untuk memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung


merupakan salah satu bentuk kedaulatan rakyat di dalam negara demokrasi, meskipun
suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak
menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi, sebab kedaulatan rakyat memilih
sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.

2.2

Tujuan Pembelajaran Khusus

Tujuan pembelajaran khusus dari dari Modul 1 tentang Demokrasi di Indonesia antara
lain :
a. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun,
jujur

dan

demokratis

serta

ikhlas

sebagai

warganegara

RI

terdidik

dan

bertanggungjawab.
b. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan
komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi
c. Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan,
yang berkaitan dengan persoalan demokrasi.

2.3

Kegiatan Belajar

2.3.1

Materi Ajar II

2.3.1.1

Konsep Demokrasi

Pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi yang diketahui oleh hampir
semua orang, adalah sebuah bentuk kekuasaan dari oleh /untuk rakyat. Demokrasi

merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari


rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi
perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani dmokrata atau kekuasaan rakyat,
yang dibentuk dari kata dmos "rakyat" dan Kratos "kekuasaan", merujuk pada sistem
politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani
Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Beberapa pakar Indonesia memberikan pengertian tentang Demokrasi sebagai berikut:

Sri Soemantri, mengatakan: Demokrasi adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia

Pamudji, mengatakan: Demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh


hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanan Yang
Maha Esa, Yang Berperikemanusiaan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Meskipun menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan


pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga
negara.

Namun kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktek, demos

menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukanlah rakyat keseluruhan, namun hanya


populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal
mengontrol akses ke sumber sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas
hak-hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yag berkaitan dengan urusan
publik atau pemerintahan.

Dengan demikian demokrasi secara sederhana, berarti pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih kompleks, demokrasi berarti
suatu system pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan tanpa
memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik, sementara pengisian jabatan
jabatan publik dilakukan dengan dukungan suara rakyat dan mereka memiliki hak untuk
memilih dan hak untuk dipilih.

Prinsip-prinsip Demokrasi
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang dikenal dengan
soko guru demokrasi. Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1.

Kedaulatan rakyat;

2.

Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;

3.

Kekuasaan mayoritas;

4.

Hak-hak minoritas;

5.

Jaminan hak asasi manusia;

6.

Pemilihan yang bebas dan jujur;

7.

Persamaan di depan hukum;

8.

Proses hukum yang wajar;

9.

Pembatasan pemerintah secara konstitusional;

10.

Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;

11.

Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.


Asas pokok Demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan
hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama
dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok
demokrasi, yaitu:

1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil


rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia
serta jurdil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Ciri-ciri pemerintahan demokratis

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di
tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu
tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Dengan ciricirinya suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
1.

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik,


baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

2.

Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.

3.

Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

4.

Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat.
Unsur-unsur Budaya Demokrasi
Semua kebebasan tidak bisa disamakan dengan demokrasi, atau denga kata lain
demokrasi bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung
makna yang luas. Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa
memperhatikan orang lain, bukanlah ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif
menurut sulteng (2006:32) budaya demokrasi mengandung unsur-unsur antara lain:
kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, menghormati kejujuran, menghormati
penalaran, dan keadaban.

1. Kebebasan
Kebebasan diartikan sebagai keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam
pilihan atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas
kehendak sendiri, tanpa tekanan dari pihak manapun. Kebebasan tidak dapat diartikan
sebagai bebas tanpa batas, namun kebebasan tetap dibatasi oleh peraturan yangberlaku.
Kebebasan yang beranggung jawab, bermanfaat bagi masyarakat, dan tidak merugikan
masyarakat umum merupakan substansi kebebasan. Nilai-nilai kebebasan seperti itu
tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia dan tetap
menghormati kebebasan individu yang lain.
Sebagai contoh, sekelompok orang yang mendirikan suatu organisasi masyarakat yang
bergerak dibidang keagamaan (A). Dalam menjalanjan vusi dan misinya, organisasi
tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku, misalnya norma
menghargai organisasi masyarakat yang bergerak dibidang keagamaan (B) yang lain.
Nilai-nilai yang tercermin dalam organisasi tersebut tidak boleh dipaksakan untuk
dijalankan oleh ormas yang lain.
2. Persamaan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meskipun secara
fisik berbeda, namun derajat mereka dihadapan Tuhan adalah sama. Pandangan tersebut
merupakan barometer dari budaya demokrasi. Demokrasi memandang kedudukan
manusia satu dengan yang lain sederajat meskipun mereka berbeda. Nilai dan keluhuran
sebagai manusia dalam masyarakat (dignity of man as human being), kedudukan
hukum, politik adalah sama. Setiap pribadi mempunyai kesempatan sama dalam
berpolitik, penegakkan hukum, pendidikan dan lain sebagainya.
3. Solidaritas
Solidaritas secara epistemologi adalah sifat satu rasa (senasib); perasaan setia kawan.
Jadi solidaritas dapat diartikan kesediaan untuk memperhatikan kepentingan dan
bekerjsama dengan orang lain. Nilai solidaritas mengikat manusia yang sama-sama

memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan kepentingan pihak lain.

Dalam

kehidupan demokratis dikenal dengan ungkapan setuju dan tidak setuju. Hal itu
menunjukkan adanua prinsip solidaritas, sebab walau berbeda pandangan atau
kepentingan, para pihak tetap sekapat untuk mempertahankan kesatuan/ikatan bersama.
Solidaritas ini merupakan perekat bagi para pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke
dalam perpecahan akibat terlalu mengutamakan kebebasan pribadi tanpa mengingat
adanya persamaan hak maupun semangat kebersamaan.
Nilai solidaritas dapat menumbuhkan sikap batin dan kehendak untuk menempatkan
kebaikan bersama diatas kepentingan pribadi, mengasihi sesama dan murah hati
terhadap sesama warga masyaakat. Dengan tumbuhnya sikap tersebut, perasaa saling
melindungi dan menjaga satu sama lain akan terwujud sehingga tercipta kedaiamaian.
4. Toleransi
Toleransi adalah sikap atau sifat toleran. Bersikap toleran artinya bersikap menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakukan dan sebagainya) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian sendiri.
Dengan demikian toleransi menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap
sesuatu yang tidak kita setujui, karena kebutuhan untuk bertoleransi akan muncul jika
ada penolakan satu pihak terhadap pihak lain. Didalam konsep toleransi terdapat
penolakan maupun kesabaran.
Masyarakat demokrasi menganggap seseorang berhak memiliki pandangannya sendiri,
tetapi ia akan memegang teguh pendiriannya itu dengan cara toleran terhadap
pandangan orang lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya.
Toleran berbeda dengan permisif, yaitu sikap memperbolehkan segala sesuatu. Nilai
toleransi dapat mendorong tumbuhnya sikap toleran terhadap keaneka ragaman, sikap
saling percaya dan kesediaan untuk berkeyakinan sama antara pihak yang berbeda-beda
keyakinan, prinsip, pandangan, dan kepentingannya.

5. Menghormati Kejujuran
Kejujuran merupakan suatu sikap yang terbuka untuk menyatakan kebenaran. Kejujuran
berperan sebagai filter konflik akibat kebohongan. Kejujuran dalam menjalin hubungan
antarwarga negara sangat diperlukan bagi terbangunnya solidaritas kokoh antarwarga
masyarakat demokratis.
Begitu juga halnya dengan pemerintah harus terbuka kepada rakyat dalam segala urusan
pemerintah kecuali yang bersifat rahasia negara. Mengingat rakyat juga mempunyai hak
untuk mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah dan bagaimana pemerintah
menjalankan tugasnya. Misalnya dalam pengambilan suatu keputusan tentaaannng
kenaikan harga BBM, pemerintah seharusnya melakukan diskusi-diskusi bersama
masyarakat tentang kebijakan yang akan diambil. Dalam forum diskusi tersebut
pemerintah dapat menyampaikan alsan-alasan mengapa kebijakan tersebut harus
ditempuh sehingnga pada akhirnya keputusan tersebut tidak menimbulkan kontroversi
yang berujung pada munculnya demontrasi tak terkendali di beberapa daerah. Rkayt
tidak akan skeptis terhadap kinerja pemerintah dan juga tidak apatis dengan kebijakan
yang diambil. Hal inilah yang disebut dengan terciptanya hubungan yang sinergis dan
mutualis antara pemerintah dengan rakyat.
Nilai menghormati kejujuran yang terancam dalam jiwa akan menumbuhkan integritas
diri, sikap disiplin diri, dan kesetiaan pada aturan-aturan dan pada akhirnya akan
terpelihara masyarakat yang demokratis. Demokratis tanpa kejujuran adalah semu.
Menghormati kejujuran merupakan cermin persamaan pandangan akan kebenaran yang
sesungguhnya. Harapannya adalah tercapainya tujuan bersama.
6. Menghormati Penalaran
Penalaran adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela
tindakan tertentu, dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberi
penalaran akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi
dan ada banyak kemungkinan atau cara untuk mencapat tujuan. Penalaran diperlukan

bagi terbangunnya solidaritas yang kokoh dalam masyarakat demokratis. Bila


pemerintah memberikan penalaran atas kebijakan yang ditetapkan, pemerintah akan
memperoleh legitimasi dari masyarakat. Sebaliknya, jika pemerintah menolak untuk
memberikan penalaran terhadap kebijakannya, hal itu akan menperlemah wibawa
pemerintah dan mendorong timbulnya sikap pasif atau pemberontakan rakyat. Hal itu
berarti komunikasi yang dijalin keduanya buruk.
Menghormati penalaran mendorong tumbuhnya keterbukaan pikran dan sikap skeptis
yang sehat dan pengakuan terhadap siap ambiguitas kenyataan sosial dan politik.
Cakrawala berpikir masyarakat yang positif akan mendorong timbulnya pendewasaan
sosial.
7. Keadaban
Tingkat kecerdasan lahir batin yang tinggi atau kebaikan budi pekerti merupakan
substansi dari keadaban. Perilaku yang beradab adalah perilaku yang mencerminkan
penghormatan terhadap dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain sebagaimana
tercermin dari sopan santun dalam tertindak, termasuk penggunaan bahasa tubuh dan
bicara yang beradab.
Nilai keadaban akan menjadi pedoman perilaku warga negara yang menjunjung
demokrasi, yang serba santun, mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat,
semaksimal mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan
persoalah bersama, dan patuh pada norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bersama.
Bertalian dengan unsur-unsur budaha demokrasi Henry B Mayo memberikan pandangan
nilai-nilai yang terkandung demokrasi antara lain:
i. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Perselisihan yang
terjadi di masyarakat harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka
dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat.

ii. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah. Pemerintah harus dapat menyelesaikan kebijaksanaannya kepada
perubahan sosial dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendali.
iii. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, bukan mengangkat diri sendiri
atau keturunan. Cara-cara pergantian kepemimpinan melalui kekerasan, mengangkat
diri sendiri, atau pewarisan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
iv. Membatasi penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Demokrasi mengutamakan
konsensus atau mufakat dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan antarwarga. Oleh
karena itu, penggunaan kekerasan sejauh mungkin harus dihindarkan.
v. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, yang
tercermin dalam keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan dan tingkah
laku. Walaupun demikian, keanekaragaman itu perlu juga dijaga agar tidak melampuai
batas karena demokrasi juga memerlukan persatuan dan intergrasi.
vi. Menjamin tegaknya keadilan. Keadilan yang dicapai maksimal adalah keadilan relatif
karena setiap keputusan selalu ada golongan-golongan yang merasa diperlakukan tidak
adil. Keadilan menjadi penting dalam demokrasi karena adanya mayoritas dan minoritas
dalam mekanisme pengambilan keputusan secara demokratis. Hibingan antara
mayoritas dan minoritas harus dijaga dengan baik agar demokrasi tidak berubah
menjadi tirani mayoritas.
Beberapa unsur budaya demokrasi diatas dapat dijadikan pedoman pemerintah bersama
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan harapan demokrasi
dapat terwujud secara nyata dan bukan pseudo belaka karena padap dasarnya budaya
demokrasi dapat tumbuh dalam suatu negara apabila ada kerjasama yang sinergis antara
pemerintah dan masyarakat.

2.3.1.2

Demokrasi di Indonesia

Dalam penerapan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Demokrasi dapat dipandang


sebagai suatu mekanisme dan cita-cita hidup berkelompok yang ada dalam Undang
Undang 1945 yang disebut kerakyatan.

Demokrasi dapat juga dipandang sebagai pola hidup berkelompok dalam organisasi
negara, sesuai dengan keingingan orang-orang yang hidup dalam kelompok tersebut
(demos). Keinginan orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut ditentukan oleh
pandangan hidupnya (Weltanschaung), falsafah hidupnya (Filosofische Grondslag) dan
idiologi bangsa yang bersangkutan.

Dengan demikian demokrasi atau pemerintahan rakyat di Indonesia didasarkan pada:


-

Nilai-nilai falsafah Pancasila atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakayat
berdasarkan sila-sila Pancasila

Transformasi nilai Pancasila pada bentuk dan sistem pemerintahan

Merupakan konsekwensi dan komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang 1945.

Dalam tatanan praktis dapat dicermati, gagasan demokrasi mengalir seperti lahirnya
konsep-konsep demokrasi dari para tokoh Republik Indonesia, Soekarno, Hatta, M.
Natsir, Shahrir dan kemudian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
perkembangannya dapat dirasakan pada 2 tahapan yaitu, Tahapan pra kemerdekaan dan
tahapan paska kemerdekaan.

Pada tahapan pra kemerdekaan pemahaman demokrasi belum dapat diartikan sebagai
wujud pemerintahan rakyat karena saati itu belum ada negara, tentunya belum ada juga
pemerintahan, namun pemahaman demokrasi saat itu adalah semua orang sebagai
komponen bangsa semua berkumpul untuk memperbincangkan bagaimana baiknya
dalam menyiapkan pembentukan negara secara riil, yaitu penyiapan anggaran dasar atau
Undang-Undang Dasar, penyiapan sistem pemerintahan yang harus dijalankan,
bagaimana bentuknya, siapa yang akan menjadi kepala dan wakil kepala pemerintahan,
kesemuanya ini dibahas bersama-sama komponen bangsa untuk mencari kesepakatan
dalam musyawarah dengan modal semangat kebangsaan ingin mempunyai negara,
hasilnya adalah rumusan yang tertera dalam Undang-Undang 1945.

Baru setelah kemerdekaan 17 agustus 1945, UUD 1945, terdapat gambaran bahwa
Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden
harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih
dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan
negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat
mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya
diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno
menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah
mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam
demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan Soeharto tumbang. Pemilu demokratis
kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan PDI-P sebagai
pemenang Pemilu.

Sementara itu perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan telah mengalami pasang


surut (fluktuasi) dari kemerdekaan sampai saat ini.

Demokrasi Parlementer

Periode tahun 1945-1959: Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi
parlementer.

Sistem

parlementer

mulai

berlaku

sebulan

setelah

proklamasi

kemerdekaan, yang kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan UUD Sementera tahun
1950.

Dengan demikian budaya demokrasi yang dipraktekkan dalam ketatanegaraan Indonesia


adalah sistem demokrasi parlementer, dalam budaya demokrasi ini, presiden untuk
sementara waktu dibantu oleh sebuah Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BP KNIP). BP KNIP kemudian diperkuat oleh maklumat Wakil Presiden No. X,
sehingga menjadi sebuah badan yang berwenang sebagaimana lembaga negara.
Awalnya, sistem kabinet ketika itu menggunakan sistem kabinet presidensial. Itu berarti
para menteri diangkat oleh presiden, bertanggung jawab kepada presiden, dan
diberhentikan oleh presiden. Tidak lama kemudian, sistem kabinet berubah menjadi
sistem kabinet parlemen, yang berarti para menteri bertanggung jawab kepada DPR
(Parlemen). Perubahan itu diusulkan oleh BP KNIP, yang kemudian diterima oleh
Presiden. Presiden lalu mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945, yang antara lain menegaskan bahwa tanggung jawab adalah dalam tangan
menteri.
Pada periode ini berlaku 3 UUD yakni :
1. UUD 1945, berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1946 s/d Desember 1949.
2. UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, berlaku sejak tanggal 27 Desember
1949 s/d 15 Agustus 1950.
3. UUD Sementara tahun 1950 (UUDS 1950), berlaku sejak tanggal 15 Agustus 1950 s/d 5
Juli 1959.

Pada masa ini, budaya demokrasi kurang berjalan dengan baik. Hal itu bisa ditunjukkan
oleh kenyataan-kenyataan berikut ini :

Lemahnya benih-benih demokrasi parlementer itu sendiri, yang memberi peluang bagi

dominasi partai-partai politik dan DPR;


Usia kabinet masa itu tidak bertahan lama sehingga koalisi yang dibangun mudah rapuh

dan pecah, yang mengakibatkan ketidakstabilan politik nasional.


Para anggota partai tergabung dalam konstituante (dibentuk berdasarkan Pemilu tahun
1955), yang bertugas membentuk konstituante (UUD) dan dasar negara.
Pada masa parlemen ini telah terjadi 2 kali pemilu sejak satu dasa warsa Indonesia
merdeka, yaitu pada tahun 1955.

1. Pemilu I, tanggal 29 Desember 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR).


2. Pemilu II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Badan Konstituante.
Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 diikuti 28 parpol
yaitu :Masyumi, PNI, NU, dan PKI (4 parpol ini termasuk parpol besar), Perti,
Parkindo, Partai Katolik, PSI, PSII, Murba, dan IPKI dan yang lain partai gurem (partai
kecil).
Sedangkan DPR hasil Pemilu di tahun 1955 ini berjumlah 272 orang (setiap anggota
didukung oleh 300.00 suara). Ada 4 parpol yang mendapat suara mayoritas yaitu :
-

Masyumi (60 wakil)


PNI (58 wakil)
NU (47 wakil)
PKI (32 wakil)
Dan kursi yang lain tersebar di partai-partai lain.
Sekalipun sudah ada wakil rakyat hasil pemilu, tetap saja Indonesia kurang
menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena pada anggota
konstituante lebih mengutamakan kepentingan golongannya daripada kepentingan

nasionalnya. Karena dalam keadaan bahaya maka dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959.

Demokrasi Terpimpin

Periode tahun 1959-1965; Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat
ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya
saja.

Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :


1. Dari segi keamanan : Banyaknya gerakan sparatis pada masa demokrasi liberal,
menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan.
2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa
demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet
tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950
adalah UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota
konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh
anggota konstituante . Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.

Hasil voting menunjukan bahwa :

269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45


119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD'45

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut
tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

Tidak berlaku kembali UUDS 1950


Berlakunya kembali UUD 1945
Dibubarkannya konstituante
Pembentukan MPRS dan DPAS

PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa
PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama
(Islam) dankomunisme yang dinamakan NASAKOM.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam
bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di
"Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah
melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira
militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan
tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun.

Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan


bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah
melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau
membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".

Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan
penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap
perlawanan penduduk adat.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Demokrasi Pancasila

Periode tahun 1965-1998;


mengutamakan musyawarah

Demokrasi

Pancasila

mufakat tanpa oposisi.

adalah
Dalam

demokrasi

yang

doktrin Manipol

USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin, merupakan demokrasi yang berada
dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi. Di dalam doktrin repelita yang berada
dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan, arah rencana pembangunan lebih
penting daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau
pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara. Prinsip dalam
demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal

Ciri demokrasi Pancasila adalah:

pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi


adanya pemilu secara berkesinambungan
adanya peran-peran kelompok kepentingan
adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas.
Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan

masalah
Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan
berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila
terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.
Prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:

Perlindungan terhadap hak asasi manusia


Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah
Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan
yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain

contoh Presiden, BPK, DPR atau lainnya


adanya partai
politik dan organisasi
sosial

menyalurkan aspirasi rakyat


Pelaksanaan Pemilihan Umum
Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

(pasal 1 ayat 2 UUD 1945)


Keseimbangan antara hak dan kewajiban
Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri

politik karena

berfungsi

untuk

sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain


Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional
Pemerintahan berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtstaat)
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan tidak terbatas) c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat.

Dalam sistem pemerintahan demokrasi Pancasila terdapat tujuh sendi pokok yang
menjadi landasan, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum.
Seluruh tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Persamaan kedudukan dalam
hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih
menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau
dibatasi oleh ketentuan konstitusi.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang
tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu,
bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok,

yaitu:
Menetapkan UUD;
Menetapkan GBHN;
Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.
Wewenang MPR, yaitu:
Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti
penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden Meminta
pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN. Melaksanakan
pemilihan

dan

selanjutnya

mengangkat

Presiden

dan

Wakil

Presiden.

Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila


presiden/mandataris

sungguh-sungguh

Mengubah undang-undang.

melanggar

haluan

negara

dan

UUD.

4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden
selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis.
Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Presiden tigak bertanggung jawab kepada DPR
Meskipun Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi
pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR
harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk
mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak
DPR di bidang legislatif ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.

Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:


Hak tanya/bertanya kepada pemerintah
Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah
Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah
Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal
Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.

6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara.
Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan
hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan
pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya
berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya
kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota
DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden

Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut


-

Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara, contohnya:


Ikut menyukseskan Pemilu
Ikut menyukseskan pembangunan
Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.

Menjamin tetap tegaknya negara RI


Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem

konstitusional
Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila
Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara
Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
Presiden adalah mandataris MPR,
Presiden bertanggung jawab kepada MPR.

Demokrasi Deliberatif
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan Dengan demikian berarti demokrasi Pancasila merupakan demokrasi
deliberatif

Dalam demokrasi deliberatif terdapat tiga prinsip utama


1. prinsip

deliberasi,

artinya

sebelum

mengambil

keputusan

perlu

melakukan

pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait.


2. prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada
kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.

3. prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki
peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran,
pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.

Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan berbagai kepentingan yang


timbul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Jadi setiap kebijakan publik
hendaknya lahir dari musyawarah bukan dipaksakan. Deliberasi dilakukan untuk
mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan. Maka diperlukan suatu proses
yang fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas sebuah kebijakan publik demi
suatu ketertiban sosial dan stabilitas nasional

Demokrasi Pancasila dalam beberapa bidang .

Bidang ekonomi
Demokrasi Pancasila menuntut rakyat menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi.
Pemerintah memberikan peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi rakyat dengan
menjamin tegaknya prinsip keadilan sosial sehingga segala bentuk hegemoni kekayaan
alam atau sumber-sumber ekonomi harus ditolak agar semua rakyat memiliki
kesempatan yang sama dalam penggunaan kekayaan negara. Dalam implikasi pernah
diwujudkan

dalam Program

ekonomi

banteng tahun

1950, Sumitro

plan tahun

1951, Rencana lima tahun pertama tahun 1955 s.d. tahun 1960, Rencana delapan
tahun dan

terakhir

dalam Repelita kesemuanya

malah

menyuburkan korupsi dan

merusaknya sarana produksi. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil
dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila. Maka secara
kongkrit, rakyat berperan melalui wakil-wakil rakyat di parlemen dalam menentukan
kebijakan ekonomi.

Bidang kebudayaan nasional


Demokrasi Pancasila menjamin adanya fasilitasi dari pihak pemerintah agar keunikan
dan

kemajemukan budaya Indonesia

dapat

tetap

dipertahankan

dan

ditumbuhkembangkan sehingga kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat


terpelihara dengan baik. Terdapat penolakan terhadap uniformitas budaya dan
pemerintah menciptakan peluang bagi berkembangnya budaya lokal sehingga identitas
suatu komunitas mendapat pengakuan dan penghargaan.

Periode tahun 1998 sampai dengan sekarang

Masa kini yang disebut era reformasi ternyata tidak menemukan konsep mekanisme
kehidupan negara yang baru karena metoda demokrasi yang dilaksanakan mengandung
ciri-ciri yang sama dengan periode 1945 -1959, antara lain: menguatnya kedudukan
DPR

berarti menguatnya kedudukan Partai Politik contoh anggota DPRD dapat

menjatuhkan gubernur, walikota, bupati.

Periode ini memiliki ciri-ciri enam agenda sebagai berikut:


1. Amandemen UUD 1945
2. Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI
3. Penegakan supremasi hukum dengan indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas
kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan atas kemanusiaan.
4. Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya

5. Penegakan

budaya

demokrasi

yang

anti

feodalisme

dan

kekerasan

Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintahan

Sebenarnya sisstem demokrasi yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia adalah rumusan
Mekanisme hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat
menjawab keanekaragaman suku, adat istiadat bahasa dan agama dan keanekaragaman
kehendak, atau kerakyatan yang dipimpin ole Hikmah Kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan dan ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila rakyat ini:
-

Memiliki kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan rasa nasionalisme


yang tinggi

Memiliki kebesaran jiwa dan sportif

Konstitusional

Terjamin keamanan

Bebas dari campur tangan asing

Sadar akan adanya perbedaan.

Oleh karena itu perlu diberikan pemahaman yang dapat mengantar untuk memenuhi
persyaratan tersebut antara lain melalui pemahaman Wawasan Nusantara.

Contoh-Contoh

Pelaksanaan

Demokrasi

di

Indonesia

pada

era

Reformasi

Pemilu 2004 adalah pemilu pertama sejak Indonesia merdeka yang dilaksanakan secara
langsung, dalam arti masyarakat Indonesia dapat memilih Capres (Calon Presiden) dan

Cawapres (Calon Wakil Presiden) dan memilih anggota legislatif secara langsung.
Peserta pemilu legislatif tahun 2004 sebanyak 24 partai dan dimenangkan oleh Partai
Golongan Karya, sedangkan peserta Pilpres (Pemilihan Presiden) sebanyak 5 pasangan
dan dimenangkan oleh pasangan SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla).
Pemilu 2004 adalah salah satu contoh pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era
reformasi karena dilaksanakan secara bersih dan demokratis.

Melaksanakan kampanye terbuka pada tahun 2009, KPU memutuskan untuk


mengadakan Kampanye Terbuka, yang dimana para kompetitor mempunyai jadwal yang
ketat dalam berkampanye dalam waktu yang singkat Hal ini merupakan salah satu
contoh pelaksanaan demokrasi. Namur hal ini juga tidak lepas dari banyak kekurangan,
seperti panitia dengan kinerja buruk, cuaca tidak mendukung, para perusuh dari partai
lain. Mestinya di dalam Kampanye Terbuka, hal ini harus di HILANGKAN secara
hermanen agar menciptakan demokrasi.

Semua golongan bisa menjadi caleg hanya dengan modal NEKAT dan BERANI, para
pengangguran yang biasa kerja free lance jadi tukang becak, satpam, tiba-tiba di panggil
oleh para anggota parpol agar menjadi CALEG, memang hal ini benar sesuai dengan
demokrasi, Namur apakah kita tidak kasihan dengan orang-orang yang sudah
bersekolah mal ing ke junjung S2, Namur slotnya di ambil orang-orang semacam itu?
Demonstrasi atau unjuk rasa diperbolehkan asal secara tertib, damai, dan tidak
mengganggu ketertiban umum. Perwakilan dari pendemo wajib melaporkan tentang
jumlah anggota pendemo, lokasi demonstrasi, atribut yang dipakai kepada pihak
kepolisian sebelum unjuk rasa dilaksanakan. Hal ini adalah salah satu contoh
pelaksanaan demokrasi di era reformasi karena kita tahu unjuk rasa adalah hal yang
dilarang pada masa pemerintahan Orde Baru.

Pemilihan kepala daerah secara langsung mulai dilakukan pada masa pemerintahan
sekarang yaitu pemerintahan SBY, sebelumnya kepala daerah dipilih atau ditunjuk oleh
Menteri Dalam Negeri. Sekarang, masyarakat dapat memilih kepala daerahnya masingmasing seperti pemilihan presiden secara langsung. Hal ini adalah salah satu contoh
pelaksanaan demokrasi di era reformasi karena dengan Pilkada secara langsung, kepala
daerah

yang

terpilih

adalah

pilihan

rakyat

bukan

pemerintah.

Kebebasan pers media cetak maupun elektronik mulai timbul sejak lengsernya dinasti
orde baru, dalam hal ini pers dapat bebas berpendapat dan mengkritik kinerja
pemerintah jika kinerjanya buruk. Hal ini adalah salah satu contoh pelaksanaan
demokrasi di era reformasi karena pada masa Orde Baru, pers tidak mendapat
kebebasan berpendapat dan dilarang mengkritik kinerja pemerintah. Sebagai contoh,
beberapa media cetak pada masa Orde Baru ditutup secara paksa karena dinilai
mengkritik dinasti Soeharto.

2.3.1.4

Demokrasi Indonesia Sebagaimana Dijabarkan dalam Undang-Undang


Dasar 1945 Hasil Amandemen 2002

Demokrasi di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 selain mengakui adanya
kebebasan

dan

persamaan

hak

sekaligus

mengakui

perbedaan

serta

keberanekaragaman mengingat Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, berdasar pada


moral persatuan, Ketuahan dan Kemanusiaan yang beradab.
Secara filosofis bahwa demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat adalah sebagai
asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara. Rakyat
merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai mkhluk indibidu dan makhluk
sosial, oleh karena itu dalam pengertian demokrasi kebebasan individu harus diletakkan
dalam kerangka tujuan bersama, bukan bersifat liberal yang hanya mendasarkan pada
kebebasan individu saja dan juga bukan demokrasi klass. Kebebasan individu yang

diletakkan demi tujuan kesejahteraan bersama inilah yang menurut istilah pendiri negara
disebut sebagai asas kebersamaan, asas kekeluargaan akan tetapi bukan Nepotisme.
Secara umum di dalam pemerintahan yang demokratis senantiasa menandung unsurunsur yang paling penting dan mendasar, yaitu:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Keterlibatan warganegara dalam pembuatan keputusan politik


Tingkat persamaan tertentu diantara warganegara
Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warganegara
Suatu sistem perwakilan
Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas
Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka demokrasi menandung ciri-ciri yang merupakan
patokan yaitu setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warganegara seharusnya
terlibat dalam hal tertentu dalam bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui wakil pilihan mereka. Ciri lain
adalah adanya keterlibatan atau parisipasi warganegara baik langsung mupun tidak
langsung di dalam proses pemerintahan negara.
Oleh karena itu di dalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi, kita
akan selalu menemukan adanya supra struktur politik dan infra struktur politik sebagai
komponen pendukung tegaknya demokrasi. Dengan menggunakan konsep Montesqieu
maka supra struktur politik meliputi: lembaga legislrif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk
Negara Indonesia lembaga-lembaga negara adalah: MPR, DPR, Presiden, MA, BPK.
Adapun infrastruktur politik suatu negara terdiri atas lima komponen sebagai berikut:
partai politik, golongan (yang tidak berdasarkan pemilu), golongan penekan, alat
komunikasi politik, tokoh-tokoh politik.
Baik suprastruktur maupun infrastruktur politik masing-masing saling mempengaruhi
serta mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Dalam sistem
demokrasi, mekanisme interaksi antara supra struktur dan infrastruktur politik dapat
dilihat didalam proses penentuan kebijaksanaan umum atau menetapkan keputusan

politik, maka kebijaksanaan atau keputusan politik itu merupakan masukan (input) dari
infrastruktur, kemudian dijabarkan sedemikian rupa oleh suprastruktur politik.
Dengan demikian dalam sistem dmokrasi proses pembuatan kebijaksanaan atau
keputusan politik merupakan keseimbangan dinamis antara prakarsa pemerintah dan
partisipasi aktif rakyat atau warganegara.
Keikutsertaan rakyat yang terumuskan dalam UUD 1945 oleh para pendiri negara
tercantumkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat yang termuat dalam pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945.
Penjabaran Demokrasi menurut UUD 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Pasca Amandemen 2002
Berdasarkan ciri-ciri sistem demokrasi tersebut, maka penjabaran demokrasi dalam
ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamental norm, yaitu: Suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .., dan kemudian
dilanjutkan di pasal 1 yang berbunyi Negara Indonesia yang berbentuk republik
(ayat 1). Kedaulatan adalah ditangan rakyat . (ayat 2), selanjutnya didalam
penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara angka Romawi III dijelaskan
Kedaulatan rakyat
Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa kedudukan rakyatlah yang
tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan
sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu Rakyat merupakan paradigma
sentral kekuasaan negara. Adapun rincian struktural ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan demokrasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Konsep kekuasaan
Konsep kekuasaan negara menurut demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945:

a. Kekuasaan di Tangan Rakyat


- Pembukaan UUD 1945 Alinea IV,
Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ...


Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945
Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan

perwakilan (pook Pikiran III)


Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (1)
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang Berbentuk Republik, kemudian
penjelasan terhadap pasal ini UUDF 1945 menyebutkan Menetapkan bentuk kesatuan

dan Republik mengandung Isi Pokok Piiran Kedaulatan Rakyat.


Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (2)
Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam negara Republik
Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedulatan tertinggi ada ditangan rakyat
dan realisasinya diatur dalam undang-undang dasar negara. Sebelum dilakukan
amandemen kekuasaan tertinggi dilakukan oleh MPR.

b. Pembagian kekuasaan
Sebagaimana dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, dan
dilakukan menurut Undang-Undang Dasar, oleh karena itu pembagian

kekuasaan

menurut demokrasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Kekuasaan eksekutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945).
Kekuasaan legislatif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 5 ayat 1), DPR (Pasal 20 A),

dan DPD (Pasal 22 D).


Kekuasaan yudikatif, didelegasikan kepada Mahkamah Agung/MA (Pasal 24 ayat 1).
Kekuasaan inspektif atau pengawasan didelegasikan Badan Pemeriksa Keuangan/BPK
(pasal 23) dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pasal 20 A ayat 1.
Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada kekuasaan konsultatif, yang dalam UUD
lama didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung/DPA \(Pasal 16 UUD 1945).
Dengan lain perkataan UUD 1945 hasil amandemen telah menghapuskan lembaga DPA,
karena hal ini berdasarkan kenyataan pelaksanaan kekuasaan negara fungsinya tidak
jelas.
Mekanisme pendelegasian kekuasaan yang demikian ini dalam khasanah ilmu hukum
tatanegara dan ilmu politik dikenal dengan istilah distribution of power yang merupakan
unsur mutlak dari negara demokrasi

c. Pembatasan Kekuasaan:
-

Pembatasan kekuasaan menurut konsep UUD 1945, dirinci sebagai berikut


Pasal 1 (2) Kedulatan ditangan rakyat.. Kedaulatan politik rakyat dilaksanakan

lewat pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap lima tahun sekali.
Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap
UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden dan dapat melakukan impeachment

terhadap Presiden jikalau melanggar konstitusi.


Pasal 20 A (1) memuat Dewan Perwakilan Rakyatmemiliki fungsi pengawasan yang
berarti melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh

Presiden dalam jangka waktu lima tahun.


Rakyat kembali mengadakan pemilu setelah membantuk MPR dan DPR (rangkaian
kegiatan lima tahunan sebagai realisasi periodesasi kekuasaan)
Dalam pembatasan kekuasaan menurut konsep mekanisme lima thunan kekuasaan
sebagaimana tersebut

diatas menurut UUD 1945 mencakup antara lain periode

kekuasaan pengawasan kekuasaan dan pertanggungjawaban kekuasaan.


2. Konsep Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan menurut UUD 1945, dirinci sebagai berikut:
(1) Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok Pikiran ke III, yaitu Oleh karena itu sisstem
negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan
berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat
masyarakat Indonesia.
(2) Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya
pasal 7B ayat 7.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa konsep
pengambilan keutusan yang dianur dalam hukum tata negara Indonesia adalah
berdasarkan:
a. Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai asasnya, artinya segala
keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musawarah untuk
mencapai mufakat

b. Namun demikian jikalau mufakat itu tidak tercapai, maka dimungkinkan pengambilan
keputusan melalui suara terbanyak
3. Konsep Pengawasan
Konsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:
-

Pasal 1 (2) Kedaulatan ada ditangan rakyat dan deilakukan menurut Undang-Undang
Dasar. Dalam penjelasan terhadap pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa, rakyat
memiliki kekuasaan tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan berdasarkan
UUD. Berbeda dengan UUD lama sebelum dilakukan amandemen, MPR memiliki
kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaan kekuasaan rakyat. Maka menurut UUD hasil
amandemen MPR kekuasaannya menjadi terbatas, yaitu meliputi tiga hal, mengubah
UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden dan memberhentikan Presiden sesuai

dengan masa jabatannya atau jika melanggar UUD.


Pasal 2 (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan ketentuan

tersebut maka menurut UUD 1945 hasil amandemen MPR hanyalah dipilih melalui
-

pemilu.
Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat, disebut:.
Kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya mrangkap menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat, oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden.

4. Konsep Partisipasi
Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
-

Pasal 27 (1) UUD 1945


Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya


Pasal 28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.


Pasal 30 (1) UUD 1945
Tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.

Berdasarkan ketentuan seperti termuat dalam UUD 1945 , maka konsep partisipasi
menyangkut seluruh aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan partisipasi
itu terbuka untuk seluruh Warga negara Indonesia.
Demokrasi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan penjelasannya mengandung
suatu pengertian bahwa rakyat adalah sebagai unsur sentral, oleh karena itu pembinaan
dan pengembangannya harus ditunjang oleh adanya orientasi baik pada nilai-nilai yang
universal, yakni rasionalisasi hukum dan perundang-undangan juga harus ditunjang
norma-norma kemasyarakatan yaitu tuntutan dan kehendak yang berkembang dalam
masyarakat.
Sistem demokrasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, yang hanya
memuat dasar-dasarnya saja memungkinkan untuk senantiasa dilakukan reformasi
sesuai dengan perkembangan aspirasi rakyat, karena rakyat aalah pendukung
kekuaasaan negara. Misalnya pada zaman Orde Lama kita menganut multi partai,
kemudian Orde Baru menganut sistem dua partai dan satu golongan karya, dan era
reformasi. Sekarang dikembangkan kembali multi partai yang benar-benar memberikan
kebebasan untuk berserikat berkumpul sesuai dengan Undang-Undang.

2.3.1.4

Pembangunan Demokrasi

Demokrasi pascareformasi 1998, yang kini dibangun Indonesia, merupakan bentuk


demokrasi paling baik. Sebab, pembangunan demokrasi di sini masih mempertahankan
nilai lokal yang asli. Indonesia memiliki ciri demokrasi berbeda dengan Amerika. Jadi
jangan mengekor konstruksi demokrasi liberal yang dijalankan negara tersebut.
Indonesia negara yang memiliki modal sosial dan dikaruniai sumber daya alam
melimpah. Konsep demokrasi Indonnesia sesuai dengan apa yang telah dibangun para

founding fathers, yakni UUD 1945 dan Pancasila. Pancasilanya yang merupakan simbol
pemersatu perbedaan yang ada. Jadi jangan biarkan negara lain melakukan intervensi.
Dalam kondisi sekarang, struktur yang kini tengah dibangun semuanya sudah
demokratis. Hanya memang, budaya politik yang dibangun masih lemah. Hal ini
tanggung jawab yang mesti dipikul warga kelas menengah dan elite politik untuk
memberikan kesadaran kepada masyarakat. (Arief Hidayat Sosiolog FH. Undip
Semarang, Semarang, Suara Karya).

Demokrasi tidak bisa dibangun dalam waktu sepuluh tahun. Melainkan butuh proses
panjang

Di Indonesia, gagasan dan konsep demokrasi awal mulanya tidak dapat

dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun
pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama,
mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para
aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik,
ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide
dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera . Ketiga, transformasi
pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.

Fenomena demokrasi selanjutnya dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik


pasca kolonial natau pasca kemerdekaan. Fokus demokrasi pada masa itu adalah
demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan
Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi
setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi
1998-2007).

Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan


keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta.

Dalam maklumat ini dinyatakan perlu berdirinya partai-partai politik sebagai bagian
dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu)
pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai
politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai
politik baru.

Pemilu yang gagal dilangsungkan tahun 1946 itu diharapkan ulang bisa berlangsung dua
tahun berikutnya. Namun, akibat Agresi Militer Belanda II, tahun 1948 Pemilu pertama
di Indonesia gagal pula dilaksanakan. Barulah pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil
menyelesaikan regulasi Pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953. Pemilu
multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk
pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilu pertama di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang
mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah Partai Politik (Parpol) tidak dibatasi,
berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan
pluralisme dan representativness.

Pemilu pertama ini menghasilkan partai mayoritas Partai Nasional Indonesia (PNI, 57
kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (NU, 45 kursi), Partai Komunis Indonesia
(PKI, 39 kursi) dan 37 kursi lainnya dibagi beberapa partai kecil. Partai-partai ini juga
sangat ideologis, sehingga persaingan partai bukan hanya persaingan memperebutkan
kekuasaan, tetapi juga faham ideologi yang saat itu juga menjadi tren negara-negara
yang baru merdeka.

Akhirnya, fragmentasi politik yang kuat pada saat itu berdampak kepada
ketidakefektifan kinerja parlemen hasil Pemilu 1955 dan pemerintahan. Parlemen tidak
mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil,

tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti


pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.

Ketidak

efektifan

kinerja

parlemen

memperkencang

serangan-serangan

yang

mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan
kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta
dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan
mengedepankan kepentingan rakyat. Keadaan ini terus berlangsung, hingga akhirnya,
Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi parlementer tidak dapat digunakan
untuk revolusi, parliamentary democracy is not good for revolution.

Presiden Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal dan
menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya
sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), meski akhirnya, kemudian runtuh
setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkan unsur komunis (PKI)
dan angkatan bersenjata. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan
PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncullah
kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai
Orde Baru.

Pada masa kekuasaan Presiden Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak
cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian
disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila dalam konsep yang sangat abstrak. Pada
dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama
dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup

masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan


bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu
ideologi tunggal, yaitu Pancasila. Orde Baru kemudian merespons penjadwalan
pelaksanaan Pemilu. Namun, sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi,
Presiden Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10
partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai
Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri, yang notabene dibentuk dan dikendalikan oleh
penguasa, tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi
kekaryaan.

Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Presien Soeharto mulai tergerus dan
jatuh dalam krisis, bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai
akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah
menjadikan

porak

porandanya

ekonomi

nasional.

Krisis

ekonomi

memacu

berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.

Gerakan Reformasi muncul dengan memunculkan banyak aktor politik dan mahasiswa
di berbagai daerah, hampir di seluruh Indonesia. Gerakan ini menuntut dibukanya kran
demokrasi yang selama ini terbelenggu. Pemilu selama Orde Baru yang selalu dijaga
bukanlah bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Akhirnya krisis ekonomi yang
berujung pada krisis multidimensi, dianggap bisa diselesaikan nantinya dengan
terbukanya kran demokrasi.

Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat.


Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari
muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh
politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di

kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal
memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi. Beberapa kemajuan penting dalam
arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya
kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian
partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi
antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan
beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan
militer dari politik praktis.

Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari


dunia internasional. Tetapi di lain pihak, transisi demokrasi juga ditandai dengan
meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di
tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya. Demokrasi
menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat
kerusuhan pasca Pemilu.

Demokrasi menuju Masyarakat Madani (civil society)


Menurut Hamidi (2010: 186) mengatakan bahwa civil society adalah jaringan kerja yang
kompleks dari organisasi-organisasi yang dibentuk secara sukarela, yang berbeda dari
lembaga-lembaga negara yang resmi dan yang bertindak secara mandiri atau dalam
kerja sama dengan lembaga-lembaga negara. Sebagai jaringan kerja antar lembaga yang
terpisah dari negara namun tunduk terhadap aturan hukum yang berlaku, civil society
merupakan wilayah publik yang diciptakan dan dijalankan oleh warga negara biasa
(bukan oleh pejabat pemerintah). Mohamad.S.Hikam mendefinisikan civil society
sebagai wilayah kehidupan swasembaga (self generating) dan swadaya (self
supporting), mandiri ketika berhadapan dengan negara dan terikat oleh norma-norma

atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Civil society terwujud dalam berbagai
organisasi yang dibuat masyarakat diluar pengaruh negara.
Sedangkan lary Diamond dalam Sulteng menyatakan bahwa civil society melingkupi
kehidupan sosial teroganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setikanya
berswadaya secara parsial, otonom pada negara dan terkait pada tatanan legal atau
seperangkat nilai bersama. Menurutnya indikator civil society antara lain:

1. Perkumpulan dan jaringan perdagangan produktif


2. Perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilainilai kepercayaan.
3. Organisasi yang bergerak di bidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ideide, berita, informasi publik.
4. Gerakan perlindungan konsumen, perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis
minoritas, perlindungan kaum cacat, perlindungan korban diskriminasi.
Menurut Sulteng (2006 :38) Penjelasan diatas menujukkan bahwa civil society tersusun
atas berbagai organisasi kemasyarakatan, yang bercirikan:
1. Lahir secara mandiri, artinya warga masyarakat sendiri yang membentuknya bukan
penguasa negara.
2. Keanggotaannya bersifat sukarela/dasar kesadaran masing-masing anggota.
3. Mencukupi kebutuhannya sendiri (swadaya) paling tidak untuk sebagian, sehingga tidak
bergantung pada bantuan pemerintah/ negara.
4. Bebas atau mandiri dari kekuasaan negara, sehingga berani mengontrol penggunaan
kekuasaan negara.
5. Tunduk pada aturan hukum yang berlaku atau seperangkat nilai/norma yang diyakini
bersama.
Keterkaitan antara civil society pada budaya politik demokrasi terlihat pada ciri kelima.
Namun demikian, konsep kemandirian yang dipegang menyebabkan munculnya

pandangan bebas dalam arti sempit. bahkan ada yang mengatkan jika kebebasan yang
dimiliki terlepas dari aturan hukum yang berlaku. Didalam negara demokrasi terdapat
berbagai macam organisasi civil society yang melakukan kegiatan mandiri dan bebas
dari kontrol pemerintah. Tujuan mereka adalah mewujudkan kebaikan bersama (public
good), misalnya menyelenggaraka sekolah, memberdayakan masyarakat miskin,
mendirikan wirausaha, dan sebagainya. Semua kegiatan civil society tersebut selaras
dengan tujuan negara. Jadi, meskipun terlepas dari kontrol pemerintah, civil society
tetap sejalan dengan negara karena antara keduanya terdapat hubungan penyeimbangan.
Misalnya, pemerintah mendirikan sekolah negeri sebagai salah satu upaya
mencerdaskan bangsa, sementara civil society mendirikan sekolah swasta.

2.3.2

Latihan

1. Menurut konsep demokrasi warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara.


Namun kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktek, demos menyiratkan
makna diskriminatif. Apa maksudnya ?
2. Sebutkan dua asas pokok demokrasi
3. Sebutkan ciri-ciri pemerintahan yang demokratis, dan bagaimana dengan Indonesia
buktikan !
4. Jelaskan tentang periode tahun 1998 sampai dengan sekarang.
5. Secara umum di dalam pemerintahan yang demokratis senantiasa mengandung unsurunsur yang paling penting dan mendasar, sebutkan apa saja, dan berikan masing-masing
contohnya.

2.3.3

Tugas

Kelas dibagi menjadi empat kelompok, yang terdiri dari kelompok I, II, III dan IV.
Kemudian masing-masing kelompok ditugaskan untuk membuat makalah dengan judul
masing-masing untuk Kelompok I Apakah DPR menyuarakan aspirasi masyarakat,
Kelompok II Pemilihan Umum,

Kelompok III Voting adalah mekanisme dari

musyawarah mufakat, Kelompok IV Pelaksanaan demokrasi di Indonesia


Setelah makalah selesai dibuat, masing-masing kelompok mempresentasikan makalah
tersebut di ruang kuliah, adapun teknisnya adalah sebagai berikut. Anggota kelompok
ada yang bertindak sebagai moderator, dan yang lalinnya adalah pemakalah. Setelah

moderator memperkenalkan masing-masing anggota kelompoknya, kemudian dilakukan


presentasi, setelah selesai diadakan tanya jawab.

2.3.4

Evaluasi/Kunci Jawaban

1. Meskipun menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan


pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga
negara.

Namun kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktek, demos

menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukanlah rakyat keseluruhan, namun hanya


populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal
mengontrol akses ke sumber sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas
hak-hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yag berkaitan dengan urusan
publik atau pemerintahan.

2. Dua asas pokok demokrasi, yaitu: Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara
langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan Pengakuan hakikat dan martabat
manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi
manusia demi kepentingan bersama.

3. Ciri-cirinya suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.


a. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik
langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

b. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
c. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
d. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat.
4. Periode tahun 1998 sampai dengan sekarang, disebut era reformasi yang ternyata
tidak menemukan konsep mekanisme kehidupan negara yang baru karena metoda
demokrasi yang dilaksanakan mengandung ciri-ciri yang sama dengan periode 1945
-1959, antara lain: menguatnya kedudukan DPR berarti menguatnya kedudukan Partai
Politik contoh anggota DPRD dapat menjatuhkan gubernur, walikota, bupati. Dan di
periode ini memiliki ciri-ciri enam agenda sebagai berikut: Amandemen UUD 1945;
Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI; Penegakan supremasi hukum dengan
indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan
kejahatan atas kemanusiaan; Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya; Penegakan
budaya

demokrasi

yang

anti

feodalisme

dan

kekerasan

Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintahan.


5. Secara umum di dalam pemerintahan yang demokratis senantiasa mengandung unsurunsur yang paling penting dan mendasar, yaitu:
a. Keterlibatan warganegara dalam pembuatan keputusan politik: melalui DPR (Pasal 20
ayat 1), demo/aksi (Pasal 28)
b. Tingkat persamaan tertentu diantara warganegara : Pasal 27 ayat 1 dan 2
c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh
warganegara: Pasal 28 dan 29
d. Suatu sistem perwakilan: DPR (Pasal 20)
e. Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas: Pasal 22 E

2.4

Rangkuman

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya


berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan
(demokrasi perwakilan).

Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti

politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan


sebagai warga negara

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai bentuk


pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di
tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu
tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu
pemerintahan demokrasi adalah: Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam
pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan);
Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang; Adanya
kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara; Adanya pemilihan umum untuk
memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Semua kebebasan tidak bisa disamakan dengan demokrasi, dengan kata lain demokrasi
bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung makna yang
luas. Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa memperhatikan orang
lain, bukanlah ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif budaya demokrasi
mengandung unsur-unsur antara lain: kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi,
menghormati kejujuran, menghormati penalaran, dan keadaban.
Demokrasi di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 selain mengakui adanya
kebebasan

dan

persamaan

hak

sekaligus

mengakui

perbedaan

serta

keberanekaragaman mengingat Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, berdasar pada


moral persatuan, Ketuahan dan Kemanusiaan yang beradab.
Secara filosofis bahwa demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat adalah sebagai
asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara. Rakyat
merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai mkhluk individu dan makhluk
sosial, oleh karena itu dalam pengertian demokrasi kebebasan individu harus diletakkan
dalam kerangka tujuan bersama, bukan bersifat liberal yang hanya mendasarkan pada
kebebasan individu saja dan juga bukan demokrasi klass. Kebebasan individu yang
diletakkan demi tujuan kesejahteraan bersama inilah yang menurut istilah pendiri negara
disebut sebagai asas kebersamaan, asas kekeluargaan akan tetapi bukan Nepotisme.
Di dalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi, kita akan selalu
menemukan adanya supra struktur politik dan infra struktur politik sebagai komponen
pendukung tegaknya demokrasi. Dengan menggunakan konsep Montesqieu maka supra
struktur politik meliputi: lembaga legislrif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk Negara
Indonesia lembaga-lembaga negara adalah: MPR, DPR, Presiden, MA, BPK.
Adapun infrastruktur politik suatu negara terdiri atas lima komponen sebagai berikut:
partai politik, golongan (yang tidak berdasarkan pemilu), golongan penekan, alat
komunikasi politik, tokoh-tokoh politik.

Baik suprastruktur maupun infrastruktur politik masing-masing saling mempengaruhi


serta mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Dalam sistem
demokrasi, mekanisme interaksi antara supra struktur dan infrastruktur politik dapat
dilihat didalam proses penentuan kebijaksanaan umum atau menetapkan keputusan
politik, maka kebijaksanaan atau keputusan politik itu merupakan masukan (input) dari
infrastruktur, kemudian dijabarkan sedemikian rupa oleh suprastruktur politik.
Dengan demikian dalam sistem dmokrasi proses pembuatan kebijaksanaan atau
keputusan politik merupakan keseimbangan dinamis antara prakarsa pemerintah dan
partisipasi aktif rakyat atau warganegara.
Keikutsertaan rakyat yang terumuskan dalam UUD 1945 oleh para pendiri negara
tercantumkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat yang termuat dalam pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan ciri-ciri sistem demokrasi penjabaran demokrasi dalam ketatanegaraan
Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamental norm, yaitu: Suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .., dan kemudian dilanjutkan
di pasal 1 yang berbunyi Negara Indonesia yang berbentuk republik (ayat 1).
Kedaulatan adalah ditangan rakyat . (ayat 2), selanjutnya didalam penjelasan UUD
1945 tentang sistem pemerintahan negara angka Romawi III dijelaskan Kedaulatan
rakyat
Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa kedudukan rakyatlah yang
tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan
sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu Rakyat merupakan paradigma
sentral kekuasaan negara. Adapun rincian struktural ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan demokrasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Konsep kekuasaan negara menurut demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945:

Kekuasaan di Tangan Rakyat seperti diatur dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV,
Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (1), dan

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (2).


Pembagian kekuasaan: Kekuasaan eksekutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4
ayat 1 UUD 1945); Kekuasaan legislatif kepada Presiden (Pasal 5 ayat 1), DPR (Pasal
20 A), dan DPD (Pasal 22 D); Kekuasaan yudikatif kepada Mahkamah Agung/MA
(Pasal 24 ayat 1); Kekuasaan inspektif atau pengawasan didelegasikan Badan Pemeriksa
Keuangan/BPK (pasal 23) dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termuat Pasal

20 A ayat 1.
Pembatasan Kekuasaan: Kedaulatan politik rakyat dilaksanakan lewat pemilu; MPR
memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap UUD, melantik Presiden dan Wakil
Presiden dan dapat melakukan impeachment terhadap Presiden jikalau melanggar
konstitusi; DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang
dijalankan oleh Presiden dalam jangka waktu lima tahun (Pasal 20 A ayat 1); konsep
mekanisme lima tahunan kekuasaan sebagaimana tersebut
mencakup

antara

lain

periode

kekuasaan

dalam

pengawasan

UUD 1945

kekuasaan

dan

pertanggungjawaban kekuasaan.
-

Konsep Pengambilan Keputusan, menurut UUD 1945, dirinci sebagai berikut:


Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok Pikiran ke III, yaitu Oleh karena itu sisstem
negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan
berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat

masyarakat Indonesia.
Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya
pasal 7B ayat 7.

Konsep Pengawasan , menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:


Pasal 1 (2) Kedaulatan ada ditangan rakyat dan deilakukan menurut Undang-Undang

Dasar.
Pasal 2 (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat, disebut:.
Kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya mrangkap menjadi anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat, oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden.

Konsep Partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:


Pasal 27 (1) UUD 1945 Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tiada kecualinya
Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.


Pasal 30 (1) UUD 1945 Tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pembelaan negara. .
Demokrasi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan penjelasannya mengandung
suatu pengertian bahwa rakyat adalah sebagai unsur sentral, oleh karena itu pembinaan
dan pengembangannya harus ditunjang oleh adanya orientasi baik pada nilai-nilai yang
universal, yakni rasionalisasi hukum dan perundang-undangan juga harus ditunjang
norma-norma kemasyarakatan yaitu tuntutan dan kehendak yang berkembang dalam
masyarakat.
Sistem demokrasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, yang hanya
memuat dasar-dasarnya saja memungkinkan untuk senantiasa dilakukan reformasi
sesuai dengan perkembangan aspirasi rakyat, karena rakyat aalah pendukung
kekuaasaan negara. Misalnya pada zaman Orde Lama kita menganut multi partai,
kemudian Orde Baru menganut sistem dua partai dan satu golongan karya, dan era
reformasi. Sekarang dikembangkan kembali multi partai yang benar-benar memberikan
kebebasan untuk berserikat berkumpul sesuai dengan Undang-Undang.

Demokrasi atau pemerintahan rakyat di Indonesia didasarkan pada:


-

Nilai-nilai falsafah Pancasila atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat berdasarkan
sila-sila Pancasila

Transformasi nilai Pancasila pada bentuk dan sistem pemerintahan

Merupakan konsekwensi dan komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang 1945.

Sementara itu perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan telah mengalami pasang


surut (fluktuasi) dari kemerdekaan sampai saat ini. Dimulai dari Demokrasi Parlementer
(1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Retorika (1965-1998),
dan periode tahun 1998 sampai sekarang

Sistem demokrasi yang dibutuhkan Bangsa Indonesia adalah rumusan Mekanisme


hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat menjawab
keanekaragaman suku, adat istiadat bahasa dan agama dan keanekaragaman kehendak,
atau kerakyatan yang dipimpin ole Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan dan ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila rakyat ini: Memiliki
kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan rasa nasionalisme yang tinggi;
Memiliki kebesaran jiwa dan sportif; Konstitusional; Terjamin keamanan; Bebas dari
campur tangan asing; dan Sadar akan adanya perbedaan. Oleh karena itu perlu diberikan
pemahaman yang dapat mengantar untuk memenuhi persyaratan tersebut antara lain
melalui pemahaman Wawasan Nusantara.

2.5

Daftar Pustaka

Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008, PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta.
Bambang Suteng. Pendidikan Kewarganegaraan. 2006. Jakarta : Erlangga
Darmodiharjo Darji, Sidharta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta 1996: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Democracy and the Promise of Good Governance di Centre for Strategic and
international Studies (CSIS); Jakarta, Rabu (27/6). Editor buku, Ross H
McLeod, yang juga associate professor dari Australian National University,
Dharmodiharjo, Mardoyo, Pringgodigdo, Purbopranoto, Sulandra, Santiaji Pancasila,
1984, Usaha Nasional Surabaya.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2206right SekrNesekgara Rep
rights reserved 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila
http://bas-life.blogspot.com/2010/09/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia.html,
Anggoro, Selasa, September 14, 2010
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta : Paradigma

Minto Rahayu. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Perjuangan Menghidupi Jati Diri


Bangsa. Jakarta : Erasindo
Moedjanto, Kodhi Silvester, Sugiarto, Bahari Johanes, Kieser, Leiya Herman, Livinus,
Tasik, Kosmas, Kopong, Niwadolo Cornelius, Murniati, Pancasila Buku
Panduan Mahasiswa , 1992, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Sobana, HAN, Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Metoda Praktis, Juli 2003
Supriatnoko. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Penaku
Waluyo Hidayat Bambang Sun, Tzu, Peran dan Manajemen, Jakarta: PT.Elex
Komputindo

You might also like