Professional Documents
Culture Documents
1.1
Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi
negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS) yang berlandaskan pada
1.2
UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2)
menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat
Pendidikan
Pancasila,
Pendidikan
Agama
dan
Pendidikan
Kewarganegaraan.
keluarnya
Keputusan
Dirjen
Dikti
No.
267/DIKTI/2000
tentang
1.3
Materi Ajar
Setelah melakukan kajian yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perguruan tinggi
politeknik yang memiliki sistem vokasi, dan dengan memakai landasan hukum:
a. UUD 1945
- Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa
Indonesia tentang kemerdekaan.
- Pasal 27 (1) tentang Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
- Pasal 30 (1) tentang Bela Negara
- Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran
b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
c..Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988)
Kami Tim Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Politeknik Negeri Jakarta
(PNJ), sepakat untuk memberikan materi ajar bagi Mahasiswa PNJ yang terdiri dari:
a. Kondisi Saat ini
b. Pancasila sebagai Dasar Negara
c. Negara dan Konstirusi
d. Pancasila sebagai Paradigma dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan
Bernegara
e. HAM dan Demokrasi di Indonesia
f. Keamanan Nasional/National Security
g. Geopolitik Indonesia Wawasan Nusantara
h. Geostrategi Indonesia Ketahanan Nasional
Modul ini hanya akan membahas poin e saja yaitu HAM dan Demokrasi, kepentingan
untuk mempelajarinya sebagai berikut:
-
Pendidikan HAM dan Demokrasi yang berkualitas dan efektif akan meningkatkan
reputasi perguruan tinggi itu sendiri, berguna bagi masyarakat dan membantu
pemerintah dalam pemajuan HAM dan Demokrasi.
1.4
Proses Pembelajaran
Adapun metode pembelajaran yang digunakan adalah: ceramah, diskusi, diskusi
kelompok, curah pendapat, studi kasus bermain peran/simulasi, penggunaan alat bantu
visual, debat, problem terbuka, polling pendapat, pertanyaan dan jawaban, dan
presentasi peserta.
1.5
dan Konstirusi;
4.
Pancasila
sebagai
Paradigma
dalam
Kehidupan
MODUL 1
HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA
2.1
Pendahuluan
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dimulai dari
masa sebelum dan selama penjajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan
mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap
tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan
jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan
nilai-nilai perjuangan, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya
itu
fenomena sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika
kehidupan nasional, demikian pula halnya dengan Hak Azasi Manusia.
Perkembangan globalisasi ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga
kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam percaturan
politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal ini tentu akan
menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara
maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembagalembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu hak asasi manusia sering digunakan oleh
negara-negara maju untuk menyudutkan dan mendiskreditkan bangsa dan negara lain,
khususnya negara-negara berkembang.
Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu
struktur global, yaitu itu mempengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan
tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental
spiritual bangsa. Walaupun sementara orang menganggap bahwa globalisasi adalah
konsep semu sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War)
(perang seusai Perang Dunia II 1939-1945 antara Blok Barat, dipelopori Amerika
Serikat/AS dan Blok Timur dimotori oleh Uni Sovyet/US, yang berlangsung hampir
setengah abad).
2.2
Tujuan pembelajaran khusus dari dari Modul 1 tentang Hak Azasi Manusia di Indonesia
antara lain :
a. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan
komitmen terhadap nilai-nilai HAM.
b. Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan
berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c. Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya
2.3
Kegiatan Belajar
2.3.1
Materi Ajar I
2.3.1.1
Jika kita telusuri sejarah HAM sejak abad pertengahan hingga zaman modern, mulai
dari Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of
Independence (Amerika Serikat, 1776), Declaration des Droits de Ihomme et du
Citoyen (Perancis, 1789), dan akhirnya Universal Declaration of Human Rights (PBB,
1948), bahwa dokumen-dokumen itu lahir bukan dari faham liberalisme dan
individualisme, melainkan dari tuntutan kolektif rakyat yang menentang absolutisme
dan diktatorisme.
Magna Charta lahir dari tuntutan para bangsawan dan gereja untuk membatasi
kesewenang-wenangan raja Inggris, Petition of Rights lahir dari tuntutan parlemen yang
mewakili rakyat (house of common) untuk membatasi kekuasaan raja. Declaration of
Independence Amerika Serikat lahir sebagai pernyataan ingin bebas dari penjajah
Inggris yang dirasakan menindas mereka.
Declaration des Droit de Ihomme et du Citoyen lahir sebagai tuntutan kolektif
Assemble Nationale yang mewakili rakyat untuk membatasi kekuasaan Raja Louis XVI
dan suatu upaya untuk melindungi hak-hak rakyat. Universal Declaration of Human
Rights PBB lahir sebagai pencerminan kemenangan negara-negara sekutu terhadap
rezim fasisme Italia, Jerman, dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat.
Dengan demikian, jelas bahwa berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah lahir dari
paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir dari perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan para penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya dengan
sejarah usaha untuk menegakkan demokrasi di satu pihak, dan perjuangan kemerdekaan
dipihak lain.
Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia.
Rumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan dan diproklamirkan oleh
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 217A (III) pada tanggal 10 Desember 1948 terdiri
dari Mukadimah dan Pasal-Pasal.
Dalam mukadimah terdiri dari tujuh alinea, terdapat pertimbangan-pertimbangan:
1. Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan
tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian
di dunia.
2. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada HAM telah
mengakibatkan perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dan bahwa
pembentukan suatu dunia yang akan membuat manusia mengecap kenikmatan bebas
berbicara, bebas beragama serta bebas rasa takut dari kekurangan telah dinyatakan
sebagai aspirasi tertinggi dari rakyat jelata.
3. Menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya
orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir guna
menentang kezaliman dan penjajahan.
4. Menimbang bahwa persahabatan antara negara-negara perlu dianjurkan.
5. Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Anggota PBB dalam piagam telah menyatakan
hak dasar manusia, martabat serta penghargaan manusia dan hak yang sama bagi lakilaki dan perempuan dan telah memutuskan akan meningkatkan kemajuan sosial dan
tingkat penghidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.
6. Menimbang bahwa negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan
penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan asas dalam
kerja sama PBB.
7. Menimbang bahwa pengertian umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini
adalah penting sekali untuk pelaksanaan janji ini secara benar.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terdiri dari 30 pasal, semua pasal berbicara
tentang hak, hanya satu kata kewajiban, pada pasal 29 ayat 1, yaitu Setiap orang
mempunyai kewajiban terhadap masyarakat di tempat ia mendapatkan kemungkinan
untuk mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya. Namun setiap kata hak
sebenarnya identik dengan kata kewajiban.
Masing-masing individu dan semua orang yang beragama akan sependapat dengan
ketiga puluh pasal Deklarasi Universal. Ketika manusia telah memproklamasikan diri
menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu negara, status manusia individu akan
menjadi status warga negara. Diberi hak sebagai warga negara dalam mekanisme
kenegaraan. Sebagai warga negara, masing-masing individu tidak hanya memperoleh
hak tetapi juga kewajiban.
HAM dalam Berbagai Perspektif
Permasalahan HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sedunia, sejak
pertengahan abad ke 20. Hingga saat ini HAM masih menjadi berita hangat yang sangat
actual dalam berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat seperti peristiwa Politik,
Sosial dan ekonomi baik ditingkat nasional maupun internasional. Seyogyanya HAM
tidak hanya dipandang dari sudut kepemilikan dan bagaimana dijalankannya, akan tetapi
lebih dari itu. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang HAM , dibawah ini dijelaskan HAM
dari berbagai perspektif menurut Hamidi (2010:231), yaitu dari persfektif Islam, Politik,
Sosiologis dan geografis, yaitu:
manusia, sepert hak persamaan, hak kebebasan dan memperoleh keadilan. Seorang
manusia mengakui hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang
dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu Islam memandang hak
azasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat
anthroposentrus tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan).
Penghargaan kepada HAM merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu
kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini akan dipaparkan konsep
dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist.
a. Ha katas keselamatan jjiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan
keberadaannya harus dipelihara sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-Israa ayat
33 yaitu membunuh orang dibolehkan karena alasan yang benar, misalnya qisas
b.
c.
d.
e.
f.
orang mempunyai hak yang sama satu dengan lainnya. Dan orang lain tidak dapat
menghapusnya atau mengambilnya, hanya Allah SWT yang berhak menentukan
segalanya.
2. HAM dalam perspektif Politik
Sering terdengar jika dalam politik tidak dikenal lawan ataupun kawan, yang ada
hanyalah kepentingan. Seringkali apa yang menjadi hak seseorang dalam politik
dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Misalnya dengan alasan setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama dalam pemerintahan maka satu orang dengan yang
lainnya saling mencari alasan agar kekuasaan tersebut menjadi miliknya.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kedudukan politik yang sama, maksudnya
kesempatan yang sama untuk berpolitik. Yang membedakan hanya status sosial yang
diperoleh setelah ia dapat menyakinkan orang lain tentang konsep perpolitikan yang
ditawarkan. Sudut pandang politik tentang HAM dan lainnya adalah semua orang
memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kepentingannya. Baik
kepentingan pribadi, kelompok maupun gologannya.
3. HAM dalam perspektif Sosiologis
Secara sosiologis setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup bermasyarakat
dan mengembangkan kemampuannya. Apapun suku, agama, ras ataupun golongannya,
mereka tetap mempunyai kedudukan sama dalam masyrakat. Mereka adalah makhluk
sosial yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi.
4. HAM dalam perspektif Geografis
Secara geografis seseorang mempunyai hak untuk hidup dan mengembangkan
kemampuannya dimanapun ia mau. Tetapi yang perlu ditekankan dalam persfektif
geografis adalah bahwa seseorang dapat kehilangan apa yang menjadi haknya apabila
bertentangan dengan hukum yang berlaku, dalam artian ia dapat berkembang dan
diterima
oleh
suatu
wilayah
apabila wilayah
tersebut
secara
hukum dapat
2.3.1.2
dan
yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham
gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham
individualisme dan liberalisme dari padanya.
Sedangkan alasan penolakan Supomo berbeda, yaitu didasarkan pandangannya
mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok
dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus
bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya
dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara
susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah
suatu bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam
paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara.
Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara
dalam pasal-pasal Konstitusi. Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan
individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang
seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu
terjebak dalam otoritarianisme.
Berikut argumen Hatta:
Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas UndangUndang Dasar yang kita
susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui.
Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara
disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga
negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan
suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat
dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi
negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat.
Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras
argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam
Undang-Undang Dasar. Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan
liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang
harus diakui dalam Undang-undang Dasar, Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang
BPUPKI.
Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen
Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat
drukpers,
bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai
manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai
regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights sebagaimana
Perdebatan
tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul
kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam UndangUndang Dasar
1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam dalam Risalah
Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di sini jauh lebih
sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. Diskusi ini merupakan pernyataan
paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi
manusia di kalangan rakyat Indonesia, rekam Buyung Nasution yang melakukan studi
mendalam tentang periode ini.
Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih
menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya
sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif
agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati
24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang,
Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah
dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak
asasi manusia.
Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit
yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan kembali ke Undang Undang
Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam
Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menjadi mundur kembali.
Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan
mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada
Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk
Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah
Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak
serta Kewajiban Warga Negara. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil
diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS Alasannya
--terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika
Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang
bersifat sementara.
Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak
Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi
ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang
Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang gelombang besar
Reformasi, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998)
dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.
(2) Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru
Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan
kabinetnya sebagai Kabinet Reformasi. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan
lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini
tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan
nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan
narapidana politik, dan sebagainya. Pada periode reformasi ini muncul kembali
perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan
bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada
soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam
UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal
Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam
pasal-pasal Undang-Undang. Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan
hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok
reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam hak
asasi manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi
negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan
untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik proreformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke
dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal
Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang
Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya
mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab
negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah
masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku
surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang
oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam
Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai sabotase terhadap upaya mengungkapkan
pelanggaran berat HAM di masa lalu, khususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal
itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu untuk menghindari
tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata
yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran HAM di masa lalu. Sementara anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam
instrumen internasional HAM, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak
Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan
Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang
bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di
dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa
reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam
sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan
pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
(3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang
sangat friendly terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde
Baru yang melancarkan black-campaign terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan UndangUndang HAM ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan
Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999
telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut
dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia .
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan
yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup
mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan
dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang
mengakui paham natural rights, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang
melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak
merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal
Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights,
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International
Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan
Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam
berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi,
keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi
kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan
Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam
Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII),
mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal
terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasiorganisasi pembela hak asasi manusia atau human rights defenders. Selain itu,
Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
Undang-Undang tersebut (Bab IX). Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua
tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah ketentuan yang
baru menghapus ketentuan yang lama jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah
tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan
tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan stuffenbau theorie des rechts (hierarchy
of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan
organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.
nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan
ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral
dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya
tumpangtindih, biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan
Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat yang menyatakan dengan gamblang
dalam konstitusinya bahwa all treaties made or which shall be made, under the
Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the judges in
every State shall be bound thereby.
Inilah bedanya dengan Indonesia, yang boleh dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang
pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan
hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum
Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum
nasional
terlebih
dahulu,
mengambil
langkah
transformasi
melalui
proses
perundangundangan domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi
meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang
kuat di dalam negeri, namun tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan
sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu,
selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme
law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk
(pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia
dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
Produk Perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia
Seiring dengan era reformasi di Indonesia, terutama bidang hukum dan perundangundangan, maka pemeriksaan atas pelanggaran hak asasi manusia, sudah berjalan
dengan adanya Komisi Nasional tentang Hak Asasi Manusia dan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia yang menanganinya.
Beberapa produk hukum Indonesia yang berhubungan dengan Hak Asasi manusia
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
15. Keputusan Presiden RI Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
kekerasan terhadap Perempuan.
16. Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM
2004-2009.
2.3.1.3
Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional.
Tujuannya adalah agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Secara struktural,
melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara
kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara
institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi Nasional
hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
Jaminan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia sangat penting di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya tercipta kehidupan kebangsaan yang
lebih bermartabat dan manusiawi, memungkinkan terselenggaranya kehidupan
bermasyarakat yang tidak diskriminatif dan apresiatif terhadap keanekaragaman, dan
memungkinkan terciptanya kehidupan yang semakin demokratis dan beradab dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penegakan hak asasi manusia terutama didasarkan pada falsafah dan ideologi Pancasila,
Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang hak
asasi manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak
asasi manusia.
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 terdiri atas XI Bab, 106 pasal dan
penjelasannya. Beberapa istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 sebagai berikut:
a. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b.
c.
d.
e.
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hak tersebut adalah demi
kepentingannya.
f. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
g.
Komisi Nasional Hak Asai manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga mandiri lainnya dan
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi
hak asasi manusia.
Selain itu juga dituangkan asas-asas dasar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
Manusia, Kewajiban Dasar Manusia, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah.
Pembatasan dan Larangan, Komisi Nasional HAM, Partisipasi Masyarakat serta
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penerapan, penegakan dan pendidikan hak asasi manusia perlu diadakan untuk menjaga
agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Penegakan hak asasi manusia
dilakukan terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga yang dipercaya
untuk mengatasi persoalan penegakan hak asasi manusia adalah Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia
Masyarakat berdasarkan Bab VIII pasal 100 103, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia
berdasarkan Bab IX Pasal 104 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999. Akhirnya
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam pasal 104 diamanatkan kedalam
Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Selain itu juga dituangkan asas-asas dasar HAM, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Dasar Manusia, Kewajiban Dasar Manusia, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah.
Pembatasan dan Larangan, Komisi Nasional HAM, Partisipasi Masyarakat serta
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara operasional hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Indonesia dalam
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 meliputi:
TABEL 5.1.
PASAL
PROFIL HAM
10
11 16
17 19
20 27
28 35
36 42
43 - 44
45 51
Hak wanita
10
52 66
Hak anak
Selain manusia Indonesia memiliki hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, juga
memiliki kewajiban dasar manusia yang harus dilaksanakan, meliputi:
TABEL 5.2.
Kewajiban-kewajiban Dasar Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999
No
.
PASAL
ISI
67
68
69 ayat (1)
69 ayat (2)
70
Penerapan, penegakan dan pendidikan hak asasi manusia perlu diadakan untuk menjaga
agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Penegakan hak asasi manusia
dilakukan terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga yang dipercaya untuk
mengatasi persoalan penegakan hak asasi manusia adalah Komisi Nasional HAM yang
dibentuk berdasarkan Bab VII Pasal 75 99, Partisipasi Masyarakat berdasarkan Bab
VIII pasal 100 103, dan Pengadilan HAM berdasarkan Bab IX Pasal 104 UndangUndang RI Nomor 39 tahun 1999. Akhirnya Pengadilan HAM yang tertuang dalam pasal
104 diamanatkan kedalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.
1) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, dan
2) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.
Guna mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri dan berkedudukan
setingkat dengan lembaga negara lainnya. Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan:
1.
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi
diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan
hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia
sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember
1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal
formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal
dalam UUD RIS 1949.
penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa
itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu,
Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh
Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada
masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan
pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia
mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu
terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat.
Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran
dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran
internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan
tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi
tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No.
50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung
tujuan pembangunan nasional. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang
memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para
anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara
de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada
di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak
terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan
penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke
permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan
diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM.
perundang-undangan
sebagai
undangkannya
No.
UU
26
perangkat
tahun
lunak
2000
berlanjut
tentang
Pembuatan peraturan
dengan
pengadilan
diundang-
HAM
yang
Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur
sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di
luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM
dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM
berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan
Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional
(KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa
lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26
tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada
kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan
kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa
berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
Upaya Penegakkan HAM di Indonesia
MASALAH penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam
perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan
dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat
dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan
informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi
bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan
rasional.
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya
represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus
ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam
rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR
untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan
pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam
kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan
pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari
rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya
penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban
seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang
memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh
keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh
suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau
individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin
jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada
kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam
masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat
masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
Tuntutan Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
Sebagaimana dialami berbagai negara lainnya pada masa tansisi politik, di Indonesia
pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia. Tuntutan itu mengarah kepada berbagai kasus, misalnya
kasus-kasus terbuntuhnya para mahasiswa dalam kegiatan demontrasi karena bentrok
dengan aparat keamanan, seprti dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi
I (13 November 1998), dan Semanggi II (22 24 September 1999). Adapula kasus
lainnya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran hak asasi
manusia berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM)
pada tahun 1989 1999, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor Timur
dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai.
Dalam satu seminar yang tertajuk Transitional Justice di Indonesia yang
diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) di Bandung
beberapa bulan yang silam, muncul pemikiran bahwa penyuelesaian pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi pada masa lalu mutlak dilakukan jika Bangsa Indonesia ingin
mewujudkan cita-cita demokrasi di masa depan. Karena itu, pemberian keadilan bagi
para korban pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang medesak untuk dilakukan
dalam eta transisi politik pada saat ini.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Enny Soeprapto, yang
menjadi salah satu pembicara dalam seminar itu mendefinisikan transitional justice
sebagai masa peralihan dari sebuah rezim yang represif kepada bentuk pemerintahan
demokratis. Negara-negara yang sedang menjalani proses tranformasi itu biasanya
diwarnai oleh ciri-ciri tertentu seperti lembaga-lembaga yudikatif dan legislatif yang
masih diisi oleh kekuatan lama dan adanya tuntutan dari para korban rezim masa lalu
untuk mendapatkan keadilan. Menurut Enny lebih lanjut, salah satu ciri utama
masyarakat yang hidup dibawah rezim otoriter dan represif adalah dilanggarnya hak
hak asasi manusia dan kebebasan mendasar warga. Tidak heran jika tuntutan penegakan
keadilan menjadi prioritas utama bnagsa yang bersangkutan . Dalam seminar itu antara
lain terungkap bawa langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan keadilan itu
adalah dengan meluruskan sejarah yang telah dibengkokan, mencegah kembalinya
rezim or\toriter, dan penegakan aturan hukum (rule of law). Untuk saat ini, perhatian
2.3.2
Latihan
1. Kapan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lahir, terdiri dari apa saja, dan sebutkan
satu-satunya pasal yang berisi kewajiban.
2. Apa alasan Ir. Soekarno pada masa awal perdebatan hak asasi manusia menentang hak
asasi manusia, Jelaskan..
3. Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional. Apa
yang dimaksud. Jelaskan.
4. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia, seperti tercantum dalam UU
No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
5. Jelaskan tentang Komisi Nasional Hak Azasi Manusia .
2.3.3
Tugas
Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk membangi kelompok, misalnya
berhitung 1-3, atau mengambil kertas yang sudah disiapkan antara angka 1-3. Setelah
kelompok terbentuk, pengajar mendistribusikan kasus yang akan didiskusikan oleh
kelompok.
Dosen menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh kelompok, dan apa saja hasil yang
diharapkan dari proses diskusi di kelompok. Perlu ada waktu pembatasan dalam diskusi
di kelompok, misalnya 30 menit, atau 60 menit tergantung kebutuhan. Setelah diskusi
kelompok, masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya, dan kelompok lain
memberikan respon dan tanggapan. Pengajar mencatat poin-poin penting dalam proses
presentasi dan diskusi, melakukan penajaman terhadap isu-isu tertentu, dan memberikan
penjelasan terhadap isu-isu yang muncul dalam proses diskusi.
2.3.4
Evaluasi/Kunci Jawaban
hanya satu kata kewajiban, pada pasal 29 ayat 1, yaitu Setiap orang mempunyai
kewajiban terhadap masyarakat di tempat ia mendapatkan kemungkinan untuk
mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya. Namun setiap kata hak
sebenarnya identik dengan kata kewajiban.
2. Ir Soekarno menolak sama sekali faham individualisme, dimana menurut berliau hak
asasi manusia berasal dari faham individualisme. Kutipan di bawah menunjukkan
argumen Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara:
... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama
sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UndangUndang Dasar
kita.
...Grondwet yang berisi droits de I homme et du citoyen itu, tidak bisa
menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka
oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham
kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial,
enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari
padanya.
3. Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional.
Secara struktural, melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur
pemerintah. Secara kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan
secara institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi
Nasional hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
4. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri, berkedudukan setingkat
dengan
lembaga
negara
lainnya.
Komnas
Hak
Asasi
Manusia
bertujuan:
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia; dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Dan guna mencapai tujuannya, Komnas Hak Asasi
Manusia melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi tentang hak asasi manusia.
2.4
Rangkuman
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama
di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan
manfaat dari semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anakanak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang
memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan
perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang
memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat
aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya
penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap
proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia, perlu
diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan
hak asasi manusia dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan
aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum. Selain perlu adanya
kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya hak asasi manusia di Indonesia,
yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam
masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat
masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
2.5
Daftar Pustaka
A.B. Kusuma RM, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta , 2004
Budi Saputro Pradono, Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Rabu 29
September 2009 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/09/upaya-penegakanhak-asasi-manusia-di.html
http://pusham.uii.ac.id/ham/11_Chapter5.pdf
Ihza Mahenda Yusril 1996, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Makalah pada Simposium Nasional Hak-hak Azasi Manusia dalam Agenda
Pendidikan Bangsa, Jakarta: ICMI.
Kumpulan Lengkap Perundangan Hak Asasi Manusia 2006, Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Presiden Habibie, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 19982003
MODUL 2
DEMOKRASI DI INDONESIA
2.1
Pendahuluan
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar
satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
2.2
Tujuan pembelajaran khusus dari dari Modul 1 tentang Demokrasi di Indonesia antara
lain :
a. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun,
jujur
dan
demokratis
serta
ikhlas
sebagai
warganegara
RI
terdidik
dan
bertanggungjawab.
b. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan
komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi
c. Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan,
yang berkaitan dengan persoalan demokrasi.
2.3
Kegiatan Belajar
2.3.1
Materi Ajar II
2.3.1.1
Konsep Demokrasi
Pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi yang diketahui oleh hampir
semua orang, adalah sebuah bentuk kekuasaan dari oleh /untuk rakyat. Demokrasi
Sri Soemantri, mengatakan: Demokrasi adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
Dengan demikian demokrasi secara sederhana, berarti pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih kompleks, demokrasi berarti
suatu system pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan tanpa
memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik, sementara pengisian jabatan
jabatan publik dilakukan dengan dukungan suara rakyat dan mereka memiliki hak untuk
memilih dan hak untuk dipilih.
Prinsip-prinsip Demokrasi
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang dikenal dengan
soko guru demokrasi. Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1.
Kedaulatan rakyat;
2.
3.
Kekuasaan mayoritas;
4.
Hak-hak minoritas;
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan
hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama
dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok
demokrasi, yaitu:
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di
tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu
tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Dengan ciricirinya suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
1.
2.
Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3.
4.
Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat.
Unsur-unsur Budaya Demokrasi
Semua kebebasan tidak bisa disamakan dengan demokrasi, atau denga kata lain
demokrasi bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung
makna yang luas. Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa
memperhatikan orang lain, bukanlah ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif
menurut sulteng (2006:32) budaya demokrasi mengandung unsur-unsur antara lain:
kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, menghormati kejujuran, menghormati
penalaran, dan keadaban.
1. Kebebasan
Kebebasan diartikan sebagai keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam
pilihan atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas
kehendak sendiri, tanpa tekanan dari pihak manapun. Kebebasan tidak dapat diartikan
sebagai bebas tanpa batas, namun kebebasan tetap dibatasi oleh peraturan yangberlaku.
Kebebasan yang beranggung jawab, bermanfaat bagi masyarakat, dan tidak merugikan
masyarakat umum merupakan substansi kebebasan. Nilai-nilai kebebasan seperti itu
tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia dan tetap
menghormati kebebasan individu yang lain.
Sebagai contoh, sekelompok orang yang mendirikan suatu organisasi masyarakat yang
bergerak dibidang keagamaan (A). Dalam menjalanjan vusi dan misinya, organisasi
tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku, misalnya norma
menghargai organisasi masyarakat yang bergerak dibidang keagamaan (B) yang lain.
Nilai-nilai yang tercermin dalam organisasi tersebut tidak boleh dipaksakan untuk
dijalankan oleh ormas yang lain.
2. Persamaan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meskipun secara
fisik berbeda, namun derajat mereka dihadapan Tuhan adalah sama. Pandangan tersebut
merupakan barometer dari budaya demokrasi. Demokrasi memandang kedudukan
manusia satu dengan yang lain sederajat meskipun mereka berbeda. Nilai dan keluhuran
sebagai manusia dalam masyarakat (dignity of man as human being), kedudukan
hukum, politik adalah sama. Setiap pribadi mempunyai kesempatan sama dalam
berpolitik, penegakkan hukum, pendidikan dan lain sebagainya.
3. Solidaritas
Solidaritas secara epistemologi adalah sifat satu rasa (senasib); perasaan setia kawan.
Jadi solidaritas dapat diartikan kesediaan untuk memperhatikan kepentingan dan
bekerjsama dengan orang lain. Nilai solidaritas mengikat manusia yang sama-sama
Dalam
kehidupan demokratis dikenal dengan ungkapan setuju dan tidak setuju. Hal itu
menunjukkan adanua prinsip solidaritas, sebab walau berbeda pandangan atau
kepentingan, para pihak tetap sekapat untuk mempertahankan kesatuan/ikatan bersama.
Solidaritas ini merupakan perekat bagi para pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke
dalam perpecahan akibat terlalu mengutamakan kebebasan pribadi tanpa mengingat
adanya persamaan hak maupun semangat kebersamaan.
Nilai solidaritas dapat menumbuhkan sikap batin dan kehendak untuk menempatkan
kebaikan bersama diatas kepentingan pribadi, mengasihi sesama dan murah hati
terhadap sesama warga masyaakat. Dengan tumbuhnya sikap tersebut, perasaa saling
melindungi dan menjaga satu sama lain akan terwujud sehingga tercipta kedaiamaian.
4. Toleransi
Toleransi adalah sikap atau sifat toleran. Bersikap toleran artinya bersikap menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakukan dan sebagainya) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian sendiri.
Dengan demikian toleransi menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap
sesuatu yang tidak kita setujui, karena kebutuhan untuk bertoleransi akan muncul jika
ada penolakan satu pihak terhadap pihak lain. Didalam konsep toleransi terdapat
penolakan maupun kesabaran.
Masyarakat demokrasi menganggap seseorang berhak memiliki pandangannya sendiri,
tetapi ia akan memegang teguh pendiriannya itu dengan cara toleran terhadap
pandangan orang lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya.
Toleran berbeda dengan permisif, yaitu sikap memperbolehkan segala sesuatu. Nilai
toleransi dapat mendorong tumbuhnya sikap toleran terhadap keaneka ragaman, sikap
saling percaya dan kesediaan untuk berkeyakinan sama antara pihak yang berbeda-beda
keyakinan, prinsip, pandangan, dan kepentingannya.
5. Menghormati Kejujuran
Kejujuran merupakan suatu sikap yang terbuka untuk menyatakan kebenaran. Kejujuran
berperan sebagai filter konflik akibat kebohongan. Kejujuran dalam menjalin hubungan
antarwarga negara sangat diperlukan bagi terbangunnya solidaritas kokoh antarwarga
masyarakat demokratis.
Begitu juga halnya dengan pemerintah harus terbuka kepada rakyat dalam segala urusan
pemerintah kecuali yang bersifat rahasia negara. Mengingat rakyat juga mempunyai hak
untuk mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah dan bagaimana pemerintah
menjalankan tugasnya. Misalnya dalam pengambilan suatu keputusan tentaaannng
kenaikan harga BBM, pemerintah seharusnya melakukan diskusi-diskusi bersama
masyarakat tentang kebijakan yang akan diambil. Dalam forum diskusi tersebut
pemerintah dapat menyampaikan alsan-alasan mengapa kebijakan tersebut harus
ditempuh sehingnga pada akhirnya keputusan tersebut tidak menimbulkan kontroversi
yang berujung pada munculnya demontrasi tak terkendali di beberapa daerah. Rkayt
tidak akan skeptis terhadap kinerja pemerintah dan juga tidak apatis dengan kebijakan
yang diambil. Hal inilah yang disebut dengan terciptanya hubungan yang sinergis dan
mutualis antara pemerintah dengan rakyat.
Nilai menghormati kejujuran yang terancam dalam jiwa akan menumbuhkan integritas
diri, sikap disiplin diri, dan kesetiaan pada aturan-aturan dan pada akhirnya akan
terpelihara masyarakat yang demokratis. Demokratis tanpa kejujuran adalah semu.
Menghormati kejujuran merupakan cermin persamaan pandangan akan kebenaran yang
sesungguhnya. Harapannya adalah tercapainya tujuan bersama.
6. Menghormati Penalaran
Penalaran adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela
tindakan tertentu, dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberi
penalaran akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi
dan ada banyak kemungkinan atau cara untuk mencapat tujuan. Penalaran diperlukan
ii. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah. Pemerintah harus dapat menyelesaikan kebijaksanaannya kepada
perubahan sosial dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendali.
iii. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, bukan mengangkat diri sendiri
atau keturunan. Cara-cara pergantian kepemimpinan melalui kekerasan, mengangkat
diri sendiri, atau pewarisan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
iv. Membatasi penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Demokrasi mengutamakan
konsensus atau mufakat dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan antarwarga. Oleh
karena itu, penggunaan kekerasan sejauh mungkin harus dihindarkan.
v. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, yang
tercermin dalam keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan dan tingkah
laku. Walaupun demikian, keanekaragaman itu perlu juga dijaga agar tidak melampuai
batas karena demokrasi juga memerlukan persatuan dan intergrasi.
vi. Menjamin tegaknya keadilan. Keadilan yang dicapai maksimal adalah keadilan relatif
karena setiap keputusan selalu ada golongan-golongan yang merasa diperlakukan tidak
adil. Keadilan menjadi penting dalam demokrasi karena adanya mayoritas dan minoritas
dalam mekanisme pengambilan keputusan secara demokratis. Hibingan antara
mayoritas dan minoritas harus dijaga dengan baik agar demokrasi tidak berubah
menjadi tirani mayoritas.
Beberapa unsur budaya demokrasi diatas dapat dijadikan pedoman pemerintah bersama
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan harapan demokrasi
dapat terwujud secara nyata dan bukan pseudo belaka karena padap dasarnya budaya
demokrasi dapat tumbuh dalam suatu negara apabila ada kerjasama yang sinergis antara
pemerintah dan masyarakat.
2.3.1.2
Demokrasi di Indonesia
Demokrasi dapat juga dipandang sebagai pola hidup berkelompok dalam organisasi
negara, sesuai dengan keingingan orang-orang yang hidup dalam kelompok tersebut
(demos). Keinginan orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut ditentukan oleh
pandangan hidupnya (Weltanschaung), falsafah hidupnya (Filosofische Grondslag) dan
idiologi bangsa yang bersangkutan.
Nilai-nilai falsafah Pancasila atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakayat
berdasarkan sila-sila Pancasila
Merupakan konsekwensi dan komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang 1945.
Dalam tatanan praktis dapat dicermati, gagasan demokrasi mengalir seperti lahirnya
konsep-konsep demokrasi dari para tokoh Republik Indonesia, Soekarno, Hatta, M.
Natsir, Shahrir dan kemudian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
perkembangannya dapat dirasakan pada 2 tahapan yaitu, Tahapan pra kemerdekaan dan
tahapan paska kemerdekaan.
Pada tahapan pra kemerdekaan pemahaman demokrasi belum dapat diartikan sebagai
wujud pemerintahan rakyat karena saati itu belum ada negara, tentunya belum ada juga
pemerintahan, namun pemahaman demokrasi saat itu adalah semua orang sebagai
komponen bangsa semua berkumpul untuk memperbincangkan bagaimana baiknya
dalam menyiapkan pembentukan negara secara riil, yaitu penyiapan anggaran dasar atau
Undang-Undang Dasar, penyiapan sistem pemerintahan yang harus dijalankan,
bagaimana bentuknya, siapa yang akan menjadi kepala dan wakil kepala pemerintahan,
kesemuanya ini dibahas bersama-sama komponen bangsa untuk mencari kesepakatan
dalam musyawarah dengan modal semangat kebangsaan ingin mempunyai negara,
hasilnya adalah rumusan yang tertera dalam Undang-Undang 1945.
Baru setelah kemerdekaan 17 agustus 1945, UUD 1945, terdapat gambaran bahwa
Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden
harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih
dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan
negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat
mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya
diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno
menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah
mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam
demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan Soeharto tumbang. Pemilu demokratis
kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan PDI-P sebagai
pemenang Pemilu.
Demokrasi Parlementer
Periode tahun 1945-1959: Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi
parlementer.
Sistem
parlementer
mulai
berlaku
sebulan
setelah
proklamasi
kemerdekaan, yang kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan UUD Sementera tahun
1950.
Pada masa ini, budaya demokrasi kurang berjalan dengan baik. Hal itu bisa ditunjukkan
oleh kenyataan-kenyataan berikut ini :
Lemahnya benih-benih demokrasi parlementer itu sendiri, yang memberi peluang bagi
nasionalnya. Karena dalam keadaan bahaya maka dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
Demokrasi Terpimpin
Periode tahun 1959-1965; Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat
ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya
saja.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950
adalah UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota
konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh
anggota konstituante . Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut
tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa
PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama
(Islam) dankomunisme yang dinamakan NASAKOM.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam
bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di
"Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah
melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira
militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan
tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun.
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan
penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap
perlawanan penduduk adat.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Demokrasi Pancasila
Demokrasi
Pancasila
adalah
Dalam
demokrasi
yang
doktrin Manipol
USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin, merupakan demokrasi yang berada
dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi. Di dalam doktrin repelita yang berada
dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan, arah rencana pembangunan lebih
penting daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau
pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara. Prinsip dalam
demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal
masalah
Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan
berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila
terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.
Prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
politik karena
berfungsi
untuk
Dalam sistem pemerintahan demokrasi Pancasila terdapat tujuh sendi pokok yang
menjadi landasan, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum.
Seluruh tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Persamaan kedudukan dalam
hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih
menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau
dibatasi oleh ketentuan konstitusi.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang
tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu,
bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok,
yaitu:
Menetapkan UUD;
Menetapkan GBHN;
Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.
Wewenang MPR, yaitu:
Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti
penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden Meminta
pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN. Melaksanakan
pemilihan
dan
selanjutnya
mengangkat
Presiden
dan
Wakil
Presiden.
sungguh-sungguh
Mengubah undang-undang.
melanggar
haluan
negara
dan
UUD.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara.
Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan
hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan
pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya
berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya
kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota
DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden
konstitusional
Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila
Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara
Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
Presiden adalah mandataris MPR,
Presiden bertanggung jawab kepada MPR.
Demokrasi Deliberatif
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan Dengan demikian berarti demokrasi Pancasila merupakan demokrasi
deliberatif
deliberasi,
artinya
sebelum
mengambil
keputusan
perlu
melakukan
3. prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki
peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran,
pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Bidang ekonomi
Demokrasi Pancasila menuntut rakyat menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi.
Pemerintah memberikan peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi rakyat dengan
menjamin tegaknya prinsip keadilan sosial sehingga segala bentuk hegemoni kekayaan
alam atau sumber-sumber ekonomi harus ditolak agar semua rakyat memiliki
kesempatan yang sama dalam penggunaan kekayaan negara. Dalam implikasi pernah
diwujudkan
dalam Program
ekonomi
banteng tahun
1950, Sumitro
plan tahun
1951, Rencana lima tahun pertama tahun 1955 s.d. tahun 1960, Rencana delapan
tahun dan
terakhir
malah
merusaknya sarana produksi. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil
dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila. Maka secara
kongkrit, rakyat berperan melalui wakil-wakil rakyat di parlemen dalam menentukan
kebijakan ekonomi.
dapat
tetap
dipertahankan
dan
Masa kini yang disebut era reformasi ternyata tidak menemukan konsep mekanisme
kehidupan negara yang baru karena metoda demokrasi yang dilaksanakan mengandung
ciri-ciri yang sama dengan periode 1945 -1959, antara lain: menguatnya kedudukan
DPR
5. Penegakan
budaya
demokrasi
yang
anti
feodalisme
dan
kekerasan
Sebenarnya sisstem demokrasi yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia adalah rumusan
Mekanisme hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat
menjawab keanekaragaman suku, adat istiadat bahasa dan agama dan keanekaragaman
kehendak, atau kerakyatan yang dipimpin ole Hikmah Kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan dan ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila rakyat ini:
-
Konstitusional
Terjamin keamanan
Oleh karena itu perlu diberikan pemahaman yang dapat mengantar untuk memenuhi
persyaratan tersebut antara lain melalui pemahaman Wawasan Nusantara.
Contoh-Contoh
Pelaksanaan
Demokrasi
di
Indonesia
pada
era
Reformasi
Pemilu 2004 adalah pemilu pertama sejak Indonesia merdeka yang dilaksanakan secara
langsung, dalam arti masyarakat Indonesia dapat memilih Capres (Calon Presiden) dan
Cawapres (Calon Wakil Presiden) dan memilih anggota legislatif secara langsung.
Peserta pemilu legislatif tahun 2004 sebanyak 24 partai dan dimenangkan oleh Partai
Golongan Karya, sedangkan peserta Pilpres (Pemilihan Presiden) sebanyak 5 pasangan
dan dimenangkan oleh pasangan SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla).
Pemilu 2004 adalah salah satu contoh pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada era
reformasi karena dilaksanakan secara bersih dan demokratis.
Semua golongan bisa menjadi caleg hanya dengan modal NEKAT dan BERANI, para
pengangguran yang biasa kerja free lance jadi tukang becak, satpam, tiba-tiba di panggil
oleh para anggota parpol agar menjadi CALEG, memang hal ini benar sesuai dengan
demokrasi, Namur apakah kita tidak kasihan dengan orang-orang yang sudah
bersekolah mal ing ke junjung S2, Namur slotnya di ambil orang-orang semacam itu?
Demonstrasi atau unjuk rasa diperbolehkan asal secara tertib, damai, dan tidak
mengganggu ketertiban umum. Perwakilan dari pendemo wajib melaporkan tentang
jumlah anggota pendemo, lokasi demonstrasi, atribut yang dipakai kepada pihak
kepolisian sebelum unjuk rasa dilaksanakan. Hal ini adalah salah satu contoh
pelaksanaan demokrasi di era reformasi karena kita tahu unjuk rasa adalah hal yang
dilarang pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pemilihan kepala daerah secara langsung mulai dilakukan pada masa pemerintahan
sekarang yaitu pemerintahan SBY, sebelumnya kepala daerah dipilih atau ditunjuk oleh
Menteri Dalam Negeri. Sekarang, masyarakat dapat memilih kepala daerahnya masingmasing seperti pemilihan presiden secara langsung. Hal ini adalah salah satu contoh
pelaksanaan demokrasi di era reformasi karena dengan Pilkada secara langsung, kepala
daerah
yang
terpilih
adalah
pilihan
rakyat
bukan
pemerintah.
Kebebasan pers media cetak maupun elektronik mulai timbul sejak lengsernya dinasti
orde baru, dalam hal ini pers dapat bebas berpendapat dan mengkritik kinerja
pemerintah jika kinerjanya buruk. Hal ini adalah salah satu contoh pelaksanaan
demokrasi di era reformasi karena pada masa Orde Baru, pers tidak mendapat
kebebasan berpendapat dan dilarang mengkritik kinerja pemerintah. Sebagai contoh,
beberapa media cetak pada masa Orde Baru ditutup secara paksa karena dinilai
mengkritik dinasti Soeharto.
2.3.1.4
Demokrasi di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 selain mengakui adanya
kebebasan
dan
persamaan
hak
sekaligus
mengakui
perbedaan
serta
diletakkan demi tujuan kesejahteraan bersama inilah yang menurut istilah pendiri negara
disebut sebagai asas kebersamaan, asas kekeluargaan akan tetapi bukan Nepotisme.
Secara umum di dalam pemerintahan yang demokratis senantiasa menandung unsurunsur yang paling penting dan mendasar, yaitu:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
politik, maka kebijaksanaan atau keputusan politik itu merupakan masukan (input) dari
infrastruktur, kemudian dijabarkan sedemikian rupa oleh suprastruktur politik.
Dengan demikian dalam sistem dmokrasi proses pembuatan kebijaksanaan atau
keputusan politik merupakan keseimbangan dinamis antara prakarsa pemerintah dan
partisipasi aktif rakyat atau warganegara.
Keikutsertaan rakyat yang terumuskan dalam UUD 1945 oleh para pendiri negara
tercantumkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat yang termuat dalam pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945.
Penjabaran Demokrasi menurut UUD 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Pasca Amandemen 2002
Berdasarkan ciri-ciri sistem demokrasi tersebut, maka penjabaran demokrasi dalam
ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamental norm, yaitu: Suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .., dan kemudian
dilanjutkan di pasal 1 yang berbunyi Negara Indonesia yang berbentuk republik
(ayat 1). Kedaulatan adalah ditangan rakyat . (ayat 2), selanjutnya didalam
penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara angka Romawi III dijelaskan
Kedaulatan rakyat
Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa kedudukan rakyatlah yang
tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan
sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu Rakyat merupakan paradigma
sentral kekuasaan negara. Adapun rincian struktural ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan demokrasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Konsep kekuasaan
Konsep kekuasaan negara menurut demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945:
b. Pembagian kekuasaan
Sebagaimana dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, dan
dilakukan menurut Undang-Undang Dasar, oleh karena itu pembagian
kekuasaan
menurut demokrasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Kekuasaan eksekutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945).
Kekuasaan legislatif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 5 ayat 1), DPR (Pasal 20 A),
c. Pembatasan Kekuasaan:
-
lewat pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap lima tahun sekali.
Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap
UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden dan dapat melakukan impeachment
b. Namun demikian jikalau mufakat itu tidak tercapai, maka dimungkinkan pengambilan
keputusan melalui suara terbanyak
3. Konsep Pengawasan
Konsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:
-
Pasal 1 (2) Kedaulatan ada ditangan rakyat dan deilakukan menurut Undang-Undang
Dasar. Dalam penjelasan terhadap pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa, rakyat
memiliki kekuasaan tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan berdasarkan
UUD. Berbeda dengan UUD lama sebelum dilakukan amandemen, MPR memiliki
kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaan kekuasaan rakyat. Maka menurut UUD hasil
amandemen MPR kekuasaannya menjadi terbatas, yaitu meliputi tiga hal, mengubah
UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden dan memberhentikan Presiden sesuai
tersebut maka menurut UUD 1945 hasil amandemen MPR hanyalah dipilih melalui
-
pemilu.
Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat, disebut:.
Kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya mrangkap menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat, oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden.
4. Konsep Partisipasi
Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
-
Berdasarkan ketentuan seperti termuat dalam UUD 1945 , maka konsep partisipasi
menyangkut seluruh aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan partisipasi
itu terbuka untuk seluruh Warga negara Indonesia.
Demokrasi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan penjelasannya mengandung
suatu pengertian bahwa rakyat adalah sebagai unsur sentral, oleh karena itu pembinaan
dan pengembangannya harus ditunjang oleh adanya orientasi baik pada nilai-nilai yang
universal, yakni rasionalisasi hukum dan perundang-undangan juga harus ditunjang
norma-norma kemasyarakatan yaitu tuntutan dan kehendak yang berkembang dalam
masyarakat.
Sistem demokrasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, yang hanya
memuat dasar-dasarnya saja memungkinkan untuk senantiasa dilakukan reformasi
sesuai dengan perkembangan aspirasi rakyat, karena rakyat aalah pendukung
kekuaasaan negara. Misalnya pada zaman Orde Lama kita menganut multi partai,
kemudian Orde Baru menganut sistem dua partai dan satu golongan karya, dan era
reformasi. Sekarang dikembangkan kembali multi partai yang benar-benar memberikan
kebebasan untuk berserikat berkumpul sesuai dengan Undang-Undang.
2.3.1.4
Pembangunan Demokrasi
founding fathers, yakni UUD 1945 dan Pancasila. Pancasilanya yang merupakan simbol
pemersatu perbedaan yang ada. Jadi jangan biarkan negara lain melakukan intervensi.
Dalam kondisi sekarang, struktur yang kini tengah dibangun semuanya sudah
demokratis. Hanya memang, budaya politik yang dibangun masih lemah. Hal ini
tanggung jawab yang mesti dipikul warga kelas menengah dan elite politik untuk
memberikan kesadaran kepada masyarakat. (Arief Hidayat Sosiolog FH. Undip
Semarang, Semarang, Suara Karya).
Demokrasi tidak bisa dibangun dalam waktu sepuluh tahun. Melainkan butuh proses
panjang
dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun
pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama,
mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para
aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik,
ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide
dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera . Ketiga, transformasi
pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
Dalam maklumat ini dinyatakan perlu berdirinya partai-partai politik sebagai bagian
dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu)
pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai
politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai
politik baru.
Pemilu yang gagal dilangsungkan tahun 1946 itu diharapkan ulang bisa berlangsung dua
tahun berikutnya. Namun, akibat Agresi Militer Belanda II, tahun 1948 Pemilu pertama
di Indonesia gagal pula dilaksanakan. Barulah pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil
menyelesaikan regulasi Pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953. Pemilu
multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk
pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilu pertama di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang
mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah Partai Politik (Parpol) tidak dibatasi,
berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan
pluralisme dan representativness.
Pemilu pertama ini menghasilkan partai mayoritas Partai Nasional Indonesia (PNI, 57
kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (NU, 45 kursi), Partai Komunis Indonesia
(PKI, 39 kursi) dan 37 kursi lainnya dibagi beberapa partai kecil. Partai-partai ini juga
sangat ideologis, sehingga persaingan partai bukan hanya persaingan memperebutkan
kekuasaan, tetapi juga faham ideologi yang saat itu juga menjadi tren negara-negara
yang baru merdeka.
Akhirnya, fragmentasi politik yang kuat pada saat itu berdampak kepada
ketidakefektifan kinerja parlemen hasil Pemilu 1955 dan pemerintahan. Parlemen tidak
mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil,
Ketidak
efektifan
kinerja
parlemen
memperkencang
serangan-serangan
yang
mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan
kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta
dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan
mengedepankan kepentingan rakyat. Keadaan ini terus berlangsung, hingga akhirnya,
Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi parlementer tidak dapat digunakan
untuk revolusi, parliamentary democracy is not good for revolution.
Presiden Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal dan
menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya
sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), meski akhirnya, kemudian runtuh
setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkan unsur komunis (PKI)
dan angkatan bersenjata. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan
PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncullah
kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai
Orde Baru.
Pada masa kekuasaan Presiden Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak
cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian
disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila dalam konsep yang sangat abstrak. Pada
dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama
dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Presien Soeharto mulai tergerus dan
jatuh dalam krisis, bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai
akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah
menjadikan
porak
porandanya
ekonomi
nasional.
Krisis
ekonomi
memacu
Gerakan Reformasi muncul dengan memunculkan banyak aktor politik dan mahasiswa
di berbagai daerah, hampir di seluruh Indonesia. Gerakan ini menuntut dibukanya kran
demokrasi yang selama ini terbelenggu. Pemilu selama Orde Baru yang selalu dijaga
bukanlah bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Akhirnya krisis ekonomi yang
berujung pada krisis multidimensi, dianggap bisa diselesaikan nantinya dengan
terbukanya kran demokrasi.
kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal
memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi. Beberapa kemajuan penting dalam
arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya
kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian
partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi
antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan
beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan
militer dari politik praktis.
atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Civil society terwujud dalam berbagai
organisasi yang dibuat masyarakat diluar pengaruh negara.
Sedangkan lary Diamond dalam Sulteng menyatakan bahwa civil society melingkupi
kehidupan sosial teroganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setikanya
berswadaya secara parsial, otonom pada negara dan terkait pada tatanan legal atau
seperangkat nilai bersama. Menurutnya indikator civil society antara lain:
pandangan bebas dalam arti sempit. bahkan ada yang mengatkan jika kebebasan yang
dimiliki terlepas dari aturan hukum yang berlaku. Didalam negara demokrasi terdapat
berbagai macam organisasi civil society yang melakukan kegiatan mandiri dan bebas
dari kontrol pemerintah. Tujuan mereka adalah mewujudkan kebaikan bersama (public
good), misalnya menyelenggaraka sekolah, memberdayakan masyarakat miskin,
mendirikan wirausaha, dan sebagainya. Semua kegiatan civil society tersebut selaras
dengan tujuan negara. Jadi, meskipun terlepas dari kontrol pemerintah, civil society
tetap sejalan dengan negara karena antara keduanya terdapat hubungan penyeimbangan.
Misalnya, pemerintah mendirikan sekolah negeri sebagai salah satu upaya
mencerdaskan bangsa, sementara civil society mendirikan sekolah swasta.
2.3.2
Latihan
2.3.3
Tugas
Kelas dibagi menjadi empat kelompok, yang terdiri dari kelompok I, II, III dan IV.
Kemudian masing-masing kelompok ditugaskan untuk membuat makalah dengan judul
masing-masing untuk Kelompok I Apakah DPR menyuarakan aspirasi masyarakat,
Kelompok II Pemilihan Umum,
2.3.4
Evaluasi/Kunci Jawaban
2. Dua asas pokok demokrasi, yaitu: Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara
langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan Pengakuan hakikat dan martabat
manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi
manusia demi kepentingan bersama.
b. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
c. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
d. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat.
4. Periode tahun 1998 sampai dengan sekarang, disebut era reformasi yang ternyata
tidak menemukan konsep mekanisme kehidupan negara yang baru karena metoda
demokrasi yang dilaksanakan mengandung ciri-ciri yang sama dengan periode 1945
-1959, antara lain: menguatnya kedudukan DPR berarti menguatnya kedudukan Partai
Politik contoh anggota DPRD dapat menjatuhkan gubernur, walikota, bupati. Dan di
periode ini memiliki ciri-ciri enam agenda sebagai berikut: Amandemen UUD 1945;
Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI; Penegakan supremasi hukum dengan
indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan
kejahatan atas kemanusiaan; Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya; Penegakan
budaya
demokrasi
yang
anti
feodalisme
dan
kekerasan
2.4
Rangkuman
Semua kebebasan tidak bisa disamakan dengan demokrasi, dengan kata lain demokrasi
bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung makna yang
luas. Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa memperhatikan orang
lain, bukanlah ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif budaya demokrasi
mengandung unsur-unsur antara lain: kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi,
menghormati kejujuran, menghormati penalaran, dan keadaban.
Demokrasi di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 selain mengakui adanya
kebebasan
dan
persamaan
hak
sekaligus
mengakui
perbedaan
serta
Kekuasaan di Tangan Rakyat seperti diatur dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV,
Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (1), dan
20 A ayat 1.
Pembatasan Kekuasaan: Kedaulatan politik rakyat dilaksanakan lewat pemilu; MPR
memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap UUD, melantik Presiden dan Wakil
Presiden dan dapat melakukan impeachment terhadap Presiden jikalau melanggar
konstitusi; DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang
dijalankan oleh Presiden dalam jangka waktu lima tahun (Pasal 20 A ayat 1); konsep
mekanisme lima tahunan kekuasaan sebagaimana tersebut
mencakup
antara
lain
periode
kekuasaan
dalam
pengawasan
UUD 1945
kekuasaan
dan
pertanggungjawaban kekuasaan.
-
masyarakat Indonesia.
Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya
pasal 7B ayat 7.
Dasar.
Pasal 2 (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan
Permusyawaratan Rakyat, oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden.
tiada kecualinya
Pasal 28 UUD 1945 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
Nilai-nilai falsafah Pancasila atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat berdasarkan
sila-sila Pancasila
Merupakan konsekwensi dan komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang 1945.
2.5
Daftar Pustaka
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008, PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta.
Bambang Suteng. Pendidikan Kewarganegaraan. 2006. Jakarta : Erlangga
Darmodiharjo Darji, Sidharta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta 1996: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Democracy and the Promise of Good Governance di Centre for Strategic and
international Studies (CSIS); Jakarta, Rabu (27/6). Editor buku, Ross H
McLeod, yang juga associate professor dari Australian National University,
Dharmodiharjo, Mardoyo, Pringgodigdo, Purbopranoto, Sulandra, Santiaji Pancasila,
1984, Usaha Nasional Surabaya.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2206right SekrNesekgara Rep
rights reserved 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila
http://bas-life.blogspot.com/2010/09/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia.html,
Anggoro, Selasa, September 14, 2010
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta : Paradigma