You are on page 1of 24

KARDIOTOKOGRAFI

I.

DEFINISI
Kardiotokografi (KTG) adalah suatu alat elektronik yang digunakan untuk
memonitor hubungan antara denyut jantung janin dan kontraksi uterus. Biasanya
digunakan pada trisemester ketiga kehamilan.1,2
KTG secara luas digunakan dalam kehamilan untuk memperkirakan kondisi
denyut jantung janin, sebagian besar digunakan pada kehamilan dengan risiko
tinggi. Pada KTG terdapat tiga bagian besar kondisi yang dipantau yaitu denyut
jantung janin (DJJ), kontraksi rahim dan gerak janin, serta korelasi diantara ketiga
parameter tersebut.3,4

II.

METODE
Terdapat dua metode pemeriksaan kardiotokografi, yaitu:1,2,3,6,7
1. Metode Eksternal (Non-invasif/ tak langsung), dilakukan dengan
memasangkan sensor bertekanan (pressure sensor) yang dipasangkan pada
abdomen wanita, dengan posisi duduk setengah berbaring (bukan
terlentang lurus karena dapat menghasilkan temuan yang keliru). Alat
yang dipasang berupa 2 transuder, 1 transuder digunakan untuk memantau
DJJ menggunakan ultrasound, dan 1 transuder lagi untuk menilai
kontraksi rahim. Pada saat ini cara eksternal lebih populer karena bisa
dilakukan selama antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai
prediktif positif yang kurang lebih sama dengan cara internal.

Gambar 1. Monitor Elektronik Eksternal

2. Metode Internal (Invasif/ langsung), pencatatan langsung dengan cara lain


bisa dilakukan, setelah ketuban pecah dengan menggunakan selang
bertekanan yang dimasukkan ke rongga amnion melalui vagina. Pengamatan
janin secara langsung ataupun internal hanya mungkin setelah ketuban pecah
dan serviks agak dilatasi. Perekaman yang segera dan terus menerus terhadap
frekwensi denyut jantung janin, khususnya dalam hubungannya dengan
kontraksi uterus, memberikan suatu penilaian terhadap kesejahteraan janin.
Perubahan pada frekwensi jantung janin merupakan petunjuk paling awal dari
insufisiensi uteroplasenter atau kompresi tali pusat. Jika kontraksi spontan
tidak terjadi pada 30 menit, dapat dirangsang dengan merangsang puting susu.
Variasi denyut jantung yang berkaitan dengan kontraksi dicatat. Jika janin

letargik, maka dapat dirangsang untuk bergerak dengan melakukan ketukan


pada uterus secara lembut.
III.

INDIKASI
Pada kehamilan normal, pemeriksaan KTG pada umumnya bisa diabaikan. Pada

persalinan normal, pemeriksaan ini dilakukan pada kala I, dengan pencatatan secara
intermiten selama 20 menit dengan interval setiap setengah jam. Bila grafiknya
abnormal atau adanya resiko yang baru terlihat, perlu dilakukan pencatatan terus
menerus.
Indikasi pemeriksaan KTG sebelum dan selama persalinan menurut Berg, yaitu:
1. Indikasi Absolut, dapat dilihat pada tabel 1. dibawah ini.
No
1

Indikasi
Post maturitas >7 hari

Setiap hari

Waktu

Insufisiensi placenta

Beberapa kali/hari

Hipertonus, imaturitas janin

Setiap 4 hari

Kontraksi terlampau dini

Beberapa kali/hari

Berisiko persalinan prematur

Setiap 2 hari

Diabetes

Setiap 1-2 hari

Kehamilan ganda

Setiap 4 hari

Inkompatibilitas Rh

Setiap hari s/d setiapminggu

Plasenta letak rendah

Beberapakali /hari

10

Plasenta previa

Setiap 4 hari

11

Perdarahan trimester ke dua

Setiap 4 hari

12

Setelah mengalami trauma / kecelakaan

Diulang setiap hari/setiap 4 hari

Tabel 1. Indikasi absolut pemeriksaan KTG

2. Indikasi Relatif, diuraikan dalam tabel 2 dibawah ini.

No
1

Indikasi
Usia ibu dibawah 18 tahun, diatas 40

Waktu
Setiap 2 hari

tahun

Setiap 2-4 hari

Riwayan kehamilan dengan komplikasi

Setiap 2-4 hari

Oligohidramnion, polihidramnion

Setiap hari

Gerakan janin terasa berkurang


Tabel 2. Indikasi relatif pemeriksaan KTG

IV.

SYARAT PEMERIKSAAN
Syarat pemeriksaan KTG adalah sebagai berikut:1,5
1. Usia kehamilan 28 minggu.
2. Ada persetujuan tindakan medik dari pasien secara lisan
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui
4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (KTG
terkomputerisasi) sesuai petunjuk dari pabrik.

V.

MEKANISME PENGATURAN DENYUT JANTUNG JANIN (DJJ)


Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu:1,5,6
1. Sistem Saraf Simpatis
Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium.
Stimulasi saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan
meningkatkan frekuensi DJJ, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan
meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stress, sistem saraf
simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah. Inhibisi
saraf simpatis, misalnya dengan obat propanolol, akan menurunkan frekuensi
DJJ dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.

2. Sistem Saraf Parasimpatis


Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang
berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus VA,

dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi
nervus vagus, misalnya dengan asetilkolin akan menurunkan frekuensi DJJ,
sedangkan

inhibisi

nervus

vagus,

misalnya

dengan

atropin,

akan

meningkatkan frekuensi DJJ.


3. Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan
darah meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus
glossofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas
jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung.
4. Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak
didaerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak dibatang
otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan
karbondioksida dalam darah dan cairan serebrospinal. Bila kadar oksigen
menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor
sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan
memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan
kadar

karbondioksida.

Keadaan

hipoksia

atau

hiperkapnia

akan

mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia.


Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan
hipotensi.
5. Susunan Saraf Pusat
Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan
gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan
variabilitas DJJ pun akan berkurang.

6. Sistem Pengaturan Hormonal

Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan


mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan
takikardia, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi.
7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor,
stretch reseptors dan pusat pengaturan
Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu
dari tiga sumber, yaitu (1) proprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan
sendi; (2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit;
dan (3) baroreseptor di aorta ascendens dan arteri karotis, dan stretch reseptors
di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke cardioregulatory center
(CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya menuju
nodus sinoatrial sehingga timbul akselerasi DJJ.
VI.

TEKNIK PEMERIKSAAN
Teknik pemeriksaan KTG adalah sebagai berikut:7
1. Persetujuan tindak medik (informed consent): menjelaskan indikasi, cara
pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan
tindak medik ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien.
2. Kosongkan kandung kencing.
3. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
4. Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau
gawat janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.
5. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan
punktum maksimum DJJ.
6. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera
setelah kontraksi berakhir.

7. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di


daerah punktum maksimum.
8. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak,
pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang
dirasakan oleh ibu selama perekaman KTG.
9. Hidupkan komputer dan alat KTG.
10. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil
yang ingin dicapai).
11. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
12. Lakukan dokumentasi data pada komputer (data untuk rumah sakit).
13. Matikan komputer dan mesin KTG. Bersihkan dan rapikan kembali alat
pada tempatnya.
14. Beritahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
15. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik untuk membantu membacakan hasil interpretasi komputer
secara lengkap kepada dokter. Paramedik (bidan) dilarang memberikan
interpretasi hasil KTG kepada pasien.

Gambar 2. Posisi alat KTG

VII.

KARAKTERISTIK DJJ

Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian


besar, yaitu:4,5,6,7,8
1.

Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate)


Yang termasuk disini adalah frekuensi dasar dan variabilitas DJJ saat uterus
dalam keadaan istirahat (relaksasi).

2.

Perubahan periodik / episodik DJJ


Perubahan periodik DJJ adalah perubahan DJJ yang terjadi akibat kontraksi
uterus, sedangkan perubahan episodik DJJ adalah perubahan DJJ yang
bukan disebabkan oleh kontraksi uterus (misalnya gerakan janin dan
refleks tali pusat).
VII.1 FREKUENSI DASAR DJJ
Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama
periode 10 menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih
dari 25 dpm), tidak terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak
terdapat perubahan frekuensi dasar yang lebih dari 25 denyut per menit (dpm).
Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 160 dpm.
Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut takikardia, bila kurang
dari 120 dpm disebut bradikardia. Ada juga yang memakai batasan normal 115
160 dpm atau 110 160 dpm.4,6

Gambar 3. Rekaman hasil KTG normal

Takikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia ringan janin, akan


tetapi gambaran tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takikardia disertai
dengan variabilitas DJJ yang normal, biasanya janin masih dalam keadaan
baik. Takikardia dapat juga terjadi oleh sebab lain yang bukan hipoksia,
seperti:4,5,6
1.

Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu

2.

Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis)

3.

Anemia janin.

4.

Ibu gelisah.

5.

Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik)

6.

Ibu hipertiroid

7.

Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb)

8.

Takiaritmia janin (biasanya diatas 200 dpm)

Gambar 4. Gambaran Hasil KTG Takikardi

Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut.


Pada hipoksia ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm
danvariabilitas DJJ masih normal. Hal ini menunjukkan bahwa janin masih
mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia. Bila hipoksia
semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres
tersebut.Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm,
disertai dengan berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.4,7,8

Gambar 5. Gambaran hasil KTG Bradikardi

Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya bukan


petunjuk bahwa janin mengalami hipoksia. Bradikardia dapat juga disebabkan
oleh keadaan lain yang bukan hipoksia berat, seperti:5,6,7
1.

Kehamilan posterm

2.

Hipotermia

3.

Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang

4.

Obat (propanolol, analgetika golongan kain)

5.

Bradiaritmia janin.

VII.2 VARIABILITAS DJJ


Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada
rekaman DJJ. Fisiologi terjadinya variabilitas DJJ diduga akibat adanya
keseimbangan

interaksi

sistem

saraf

simpatis

(kardioakselerator)

dan

parasimpatis (kardiodeselerator). Tetapi ada bukti bahwa variabilitas DJJ terjadi


akibat stimulus di daerah korteks serebri yang merangsang pusat pengatur denyut
jantung di batang otak dengan perantaraan nervus vagus.8,9,10
Variabilitas DJJ dapat dibedakan atas 2 bagian, yaitu:5,7,8
1. Variabilitas jangka pendek (short term variability)
Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antara denyut yang terlihat
pada gambaran KTG yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antara
denyut pada DJJ. Rata-rata variabilitas jangka pendek DJJ yang normal
antara 2-3 dpm. Arti klinis dari variabilitas jangka pendek masih belum
banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak menghilang pada janin yang
akan mengalami kematian dalam rahim.
2. Variabilitas jangka panjang (long term variability)
Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas
tampak pada rekaman KTG dibanding dengan variabilitas jangka pendek.
Rata-rata mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Penilaian variabilitas DJJ

yang paling mudah adalah dengan mengukur besarnya amplitudo dari


variabilitas jangka panjang (long term variability). Berdasarkan besarnya
amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat dikategorikan menjadi:
a. Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 25 dpm
b. Variabilitas berkurang: amplitudo 2 5 dpm
c. Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm
d. Variabilitas berlebih (saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.

Gambar 6. Gambaran variabilitas DJJ menurun

Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin


tidak mampu mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk
mempertahankan oksigenasi serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas DJJ
yang normal menunjukkan sistem persarafan janin mulai dari korteks serebribatang otak - nervus vagus - dan sistem konduksi jantung dalam keadaan baik.
Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang mengalami asidosis
metabolik.7
Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan variabilitas
DJJ berkurang:9,10
1.

Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang)

2.

Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk)

3.

Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna)

4.

Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason)

5.

Blokade vagal

6.

Defek jantung bawaan.


Suatu keadaan dimana variabilitas jangka pendek menghilang sedangkan

variabilitas jangka panjang tampak dominan sehingga tampak gambaran


sinusoidal. Hal ini sering ditemukan pada:7,8
1. Hipoksia janin berat
2. Anemia kronik
3. Fetal eritroblastosis
4. Rh-sensitized
5. Pengaruh obat-obat Nisentil, alpha prodine
Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada
pemeriksaan KTG adalah akselerasi dan deselerasi.7,8,9
1. Akselerasi (Accelerations)
Akselerasi adalah peningkatan DJJ sebesar 15 dpm atau lebih,
berlangsung selama 15 detik atau lebih, yang terjadi akibat gerakan atau
stimulasi janin. Akselerasi yang berlangsung selama 2 10 menit disebut
akselerasi memanjang (prolonged acceleration).9,10
Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan kesejahteraan
janin, dan merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test (NST). Janin yang
tidak menunjukkan tanda akselerasi DJJ bukan berarti dalam keadaan bahaya,
namun merupakan indikasi untuk pemeriksaan lebih lanjut, seperti contraction
stress test (CST) atau penilaian profil biofisik janin.9,10

Gambar 7. Perubahan periodik DJJ Akselerasi

Gambaran akselerasi yang terlihat pada kontraksi uterus dan deselerasi


variabel menunjukkan adanya kompresi parsial pada tali pusat. Gambaran
akselerasi yang menghilang dapat menjadi pertanda adanyahipoksia janin,
apalagi bila disertai dengan tanda-tanda lainnya, seperti variabilitas djj yang
berkurang, takikardia, atau bradikardia. Penting untuk membedakan antara
akselerasi oleh karena kontraksi dan gerakan janin.7,9
1.

Akselerasi uniform
Terjadinya akselerasi sesuai dengan kontraksi uterus

2.

Akselerasi variabel
Terjadinya akselerasi sesuai dengan gerakan atau rangsangan pada janin
2. Deselerasi dini (early decelerations)
Deselerasi dini adalah penurunan DJJ sesaat yang terjadi bersamaan

dengan timbulnya kontraksi. Gambaran penurunan DJJ pada deselerasi dini


menyerupai bayangan cermin dari kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya

deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya kontraksi. Nadir (bagian
terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi.7,10
Penurunan DJJ pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm.
Deselerasi dini tidak mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan pada
gambaran DJJ lainnya.8,9

Gambar 8. Patofisiologi deselerasi dini

Ciri-ciri deselerasi dini yaitu sebagai berikut:7,8


1. Timbul dan menghilangnya bersamaan/ sesuai dengan kontraksi uterus
(seolah kontraksi uterus)
2. Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm
3. Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik
4. Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal

Gambar 9. Perubahan periodik DJJ Deselerasi dini

Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal / fisiologis dimana


terjadi kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini disebabkan
oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan
merangsang reflex vagal.9,10
3. Deselerasi lambat (late decelerations)
Deselerasi lambat merupakan penurunan DJJ yang terjadi beberapa saat
setelah kontraksi dimulai. Nadir deselerasi terjadi lebih lambat dari puncak
kontraksi dan deselerasi menghilang lebih lambat dari saat menghilangnya
kontraksi.7,9,10
Deselerasi lambat yang terjadi berulang seringkali dijumpai pada keadaan
insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Bila deselerasi lambat disertai
variabilitas yang berkurang atau kelainan DJJ lainnya, keadaan tersebut
menunjukkan suatu tanda gawat janin (fetal distress), sehingga perlu segera
dilakukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.8,10

Gambar 10. Patofisiologi deselerasi lambat

Ciri-ciri deselerasi lambat adalah sebagai berikut:9,10


1. Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai
2. Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang
3. Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik)
4. Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesuai dengan intensitas
kontraksi uterus
5. Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takikardi ringan,
akan tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi

Gambaran deselerasi lambat yang halus (penurunan DJJ sangat sedikit)


mungkin sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti patologis
(abnormal). Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin
mengalami hipoksia. Apabila janin masih mempunyai cadangan

yang

mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi keadaan tersebut, maka


tidak tampak adanya gangguan pada gambaran KTG selama tidak ada stress yang
lain. Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin
berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini
akan menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n.vagus dan terjadilah
deselerasi lambat tersebut. Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya
deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor
dan n.vagus. pada fase awal, dimana tingkat hipoksia belum sampai
menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu mengadakan kompensasi
untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas DJJ biasanya normal. Akan
tetapi bila keadaan hipoksia semakin berat dan berlangsung lebih lama maka
jaringan otak akan mengalami hipoksia. Sebagai akibatnya adalah variabilitas
DJJ yang menurun dan akhirnya menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam
rahim.7,9,10

Gambar 11. Perubahan periodik DJJ - Deselerasi lambat

Penanganan apabila ditemukan deselerasi lambat adalah memberikan


infus, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus dengan
memberikan obat-obatan tokolitik, dan segera direncanakan terminasi kehamilan
dengan seksio sesarea.9
4. Deselerasi variabel (variable decelerations)
Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan
timbulnya deselerasi dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel terjadi
akibat kontraksi uterus, terutama pada partus kala II dan penyebab paling sering
adalah kompresi tali pusat pada kehamilan atau kala I. Kompresi ini bisa oleh
karena lilitan tali pusat, tali pusat menumbung, atau oligohidramnion. Selama
variabilitas DJJ masih baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang
berarti. Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi
ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau
menumbung, pemberian oksigen pada ibu, amnio-infusion untuk mengatasi
oligohidramnion bila memungkinkan, dan terminasi persalinan bila diperlukan.10

Gambar 12. Patofisiologi deselerasi variabel

Ciri-ciri deselerasi variabel adalah sebagai berikut:9


1. Gambaran deselerasi bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitude
maupun bentuknya
2. Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan
frekuensi dasar DJJ (amplitudo) bisa sampai 60 dpm
3. Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi predeselerasi) atau sesudah
(akselerasi pascadeselerasi) terjadinya deselerasi variabel
4. Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering, atau deselerasi
variabel memanjang (prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan
terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.

Gambar 13. Perubahan periodik DJJ - Deselerasi variabel

Berbeda dengan deselerasi dini dan deselerasi lambat, gambaran


deselerasi variabel berbentuk runcing oleh karena timbul dan menghilangnya
deselerasi berlangsung cepat. Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3
kategori, yaitu sebagai berikut:8,9
1.

Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan DJJ tidak mencapai 80 dpm


dan lamanya kurang dari 30 detik.

2.

Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan DJJ mencapai 6080 dpm dan lamanya antara 30-60 detik.

3.

Deselerasi variabel berat, apabila DJJ menurun sampai di bawah 60 dpm dan
lamanya lebih dari 60 detik.
Istilah deselerasi variable memanjang (prolonged variable decelerations)

digunakan untuk menyatakan penurunan DJJ lebih dari 30 dpm dan lamanya
lebih dari 2,5 menit. Deselerasi variabel merupakan jenis deselerasi yang paling
sering dijumpai, yaitu pada sekitar 50% - 80% partus kala II; dan kebanyakan
tidak berbahaya bagi janin. Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak berbahaya
bagi janin adalah sebagai berikut:9,10
1.

Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat

2.

Variabilitas DJJ masih normal

3.

Terdapat akselerasi DJJ pada saat kontraksi.


Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah sebagai

berikut:8,10
1. Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi
2. Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.
3. Variabilitas DJJ berkurang, atau meningkat secara berlebihan
4. Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi
5. Semakin beratnya derajat deselerasi variabel
Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitude, frekuensi,
dan lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanya sekali tidak
berarti abnormal, oleh karena mungkin terjadi akibat pemeriksaan dalam (PD),
atau akibat perubahan posisi. Hasil rekaman KTG yang normal pada umumnya
memberikan gambaran sebagai berikut:9,10
1. Frekuensi dasar DJJ 120-160 dpm
2. Variabilitas DJJ 6-25 dpm
3. Terdapat akselerasi
4. Tidak terdapat deselerasi atau kalaupun ada hanya suatu deselerasi dini
VIII.

KONTRAINDIKASI
Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan KTG terhadap

ibu maupun janin.4,7


IX.

INTERPRETASI
Terdapat 4 pola KTG yang mungkin terjadi, yaitu:7,9,10
a. Normal/ reaktif
Pola normal/ reaktif menunjukkan bahwa janin tidak mempunyai risiko mati
dalam 7-10 hari berikutnya. Frekwensi DJJ normal adalah antara 110 dan 160
dpm dengan variabilitas batas dasar normal antara 5-15 dpm. Selama pola ini
persisten sepanjang persalinan, prognosis neonatus baik.

b. Non-reaktif
Jika didapati tidak adanya gerakan janin dalam 20 menit, tidak terdapat
akselerasi pada gerakan janin, frekuensi dasar DJJ abnormal (kurang dari 120
dpm atau lebih dari 160 dpm), dan variabilitas DJJ kurang dari 2 dpm.
c. Meragukan
Jika didapati gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau terdapat
akselerasi kurang dari 15 dpm, frekuensi dasar DJJ abnormal, dan variabilitas
antara 2 5 dpm.
Satu masalah dengan KTG adalah bahwa pola yang normal meramalkan bahwa
janin tidak dalam keadaan yang bahaya, dan pola abnormal tidak memberikan
prediksi yang akurat terhadap bahaya janin.7,9

DAFTAR PUSTAKA

1. Rabe, Thomas. Buku Saku Ilmu Kebidanan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC, 2009;7 15.
2. Liewer I., Jones D. Dasar dasar Obstetri dan Ginekologi (Fundamental of
Obstetrics and gynaecology). Jakarta: Hypokrates, 2001;66 75.
3. Manuaba, Chandranita, Manuaba F. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC, 2007;76 88.
4. Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka, 2010.
5. Taber B. Kapita Selekta: Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC 1994.
6. Ferrara L, Manning F. Grand Rounds : Is the non-stress test still useful?
Contemporary Obgyn, February 2005.
7. Fundal height measurement. Copyright 1999, 2004 Gerard M. DiLeo,
M.D.,F.A.C.O.G.
8. Karsono B. Kardiotokografi : Pemantauan Elektronik Denyut JantungJanin.
Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
9. National

Institute

for

Clinical

Excellence.

The

use

of

electronic

fetalmonitoring.UK, 2003. Diunduh dari http://www.nice.org.uk pada November


2012
10. Parer JT. Handbook of fetal heart rate monitoring. Philadelphia:W.B Saubders,
1993
11. RCOG. The use of electronic fetal monitoring :The use and interpretation of
cardiotocography in intrapartum fetal surveillance. Evidence-based Clinical
Guideline Number 8.2001.

You might also like