You are on page 1of 28

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Menopause
2.1.1 Definisi Menopause
Menopause merujuk pada suatu waktu dimana menstruasi yang tidak
terjadi dalam satu tahun. Pasca menopause menggambarkan waktu setelah
menopause terjadi. Usia rata-rata wanita yang mengalami periode haid terakhir
sekitar 51,5 tahun. Definisi perimenopause atau transisi menopause merujuk pada
waktu reproduktif lanjut, biasanya usia akhir 40an sampai awal 50an, ditandai
dengan dimulainya siklus yang tidak teratur sampai satu tahun setelah berhentinya
menstruasi secara permanen (Bradshaw, 2012).
WHO telah membuat definisi yang telah diterima luas, namun untuk
mempermudah kepentingan klinis dan riset maka pada tahun 2001 Stage of
Reproductive Aging Workshop (STRAW) mengadakan workshop dan membagi
masa transisi menopause ke dalam beberapa fase. Adapun terminologi yang lebih
tepat dan disepakati saat ini adalah transisi menopause. Transisi menopause ini
terjadi selama 4 sampai 7 tahun dan dimulai di usia rata-rata 47 tahun. Transisi
menopause dibagi ke dalam fase awal (early) dan lanjut (late) oleh Soules et.al
dalam Stages of Reproductive Aging Workshop (STRAW) pada Juli 2001. Tujuan
pembagian ini guna mengklarifikasi stadium dan nomenklatur dari proses penuaan
pada masa reproduksi wanita (Bradshaw, 2012).

Gambar 2.1 Stages of Reproductive Aging Workshop (STRAW) (Dikutip dari:


The North American Menopause Society, 2012)
STRAW membagi waktu reproduksi dan pasca reproduksi dalam beberapa
stadium. Pembagiannya didasarkan pada waktu menstruasi terakhir/Final
Menstruation Period (FMP), rentang usia dan variasi lamanya tiap stadium
berlangsung. Ada 5 stadium reproduksi sebelum FMP dan 2 stadium waktu pasca
reproduksi sesudah FMP. Stadium 5 merujuk pada waktu awal reproduksi,
stadium 4 waktu puncak reproduksi dan stadium 3 waktu reproduksi lanjut.
Stadium 2 merujuk pada waktu awal transisi menopause dan stadium 1 waktu
transisi menopause lanjut. Stadium +1a merujuk tahun pertama setelah FMP,
stadium +1b merujuk pada 2-5 tahun pascamenopause, dan stadium +2 merujuk
pada waktu pascamenopause lanjut. Pada awal transisi menopause (stadium 2),
siklus menstruasi wanita masih normal, tetapi jarak antara siklus mulai

terganggung sekitar 7 hari atau lebih dan umumnya bertambah pendek. FSH
meningkat dan serum estrogen mungkin meningkat semasa fase folikular. Siklus
ovulasi yang normal diselingi dengan siklus anovulasi selama masa transisi
menopause dan terkadang masih mungkin terjadinya konsepsi. Transisi
menopause lanjut (stadium 1) dapat tidak terjadi dua kali atau lebih menstruasi
dan setidaknya satu kali jarak antara menstruasi dalam 60 hari atau lebih karena
makin lamanya terjadi siklus anovulasi (Bradshaw, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2003, jumlah wanita di dunia yang memasuki menopause
diperkirakan mencapai 1,2 milyar orang. Hasil sensus penduduk tahun 2010,
Indonesia saat ini termasuk ke dalam lima besar negara dengan jumlah penduduk
lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah
penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia 60 tahun atau
lebih diperkirakan akan meningkat dari 18,1 juta (2010) menjadi 29,1 juta (2020)
dan 36 juta (2025). Dengan meningkatnya jumlah lanjut usia, tentunya akan
diikuti dengan meningkatnya permasalahan kesehatan pada lanjut usia, salah
satunya adalah masalah menopause (Kemenkes, 2012). Sindrom menopause
dialami oleh banyak wanita hampir di seluruh dunia, sekitar 70-80% wanita
Eropa, 60% wanita Amerika, 57% wanita di Malaysia, 18% wanita di Cina, 10%
wanita di Jepang dan di Indonesia diperkirakan jumlah wanita menopause
mencapai 5% dari jumlah penduduk. Di Indonesia menopause umumnya terjadi
pada umur sekitar 48 tahun (48-52 tahun) kecuali artifisial menopause yang

disebabkan karena operasi pengangkatan rahim akibat suatu penyakit (Wardhiana,


2003).
2.1.3 Perubahan fisiologis menopause
2.1.3.1 Perubahan aksis Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium
Dalam siklus reproduksi di kehidupan seorang wanita, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) dilepaskan secara pulsatil oleh nukleus arkuatus di
hipotalamus bagian basal medial. Berikatan dengan reseptor GnRH di hipofisis
untuk merangsang pelepasan siklik luteinizing hormone (LH) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH).

Hormon-hormon gonadotropin, secara bergilir,

merangsang produksi steroid di ovarium, yaitu: estrogen, progesteron, dan


inhibin. Selama masa reproduksi, estrogen dan progesteron memberikan umpan
balik positif dan negatif terhadap produksi gonadotropin di hipofisis dan frekuensi
pelepasan GnRH. Inhibin yang dihasilkan di sel granulosa, berperan penting
terhadap umpan balik negatif yang mempengaruhi sekresi FSH dari hipofisis.
Pengaturan endokrin yang secara sistematik ini, menyebabkan berlangsungnya
siklus menstruasi yang berovulasi bersifat regular dan terprediksi (Bradshaw,
2012). Lamanya siklus menstruasi ditentukan oleh jumlah dan kualitas folikel
yang tumbuh dan berkembang serta tetap normal walaupun terdapat perbedaan
pada tiap individu (Speroff, 2011).
Wanita saat usia 40 mulai mengalami siklus anovulasi lebih sering dan
didahului oleh memanjangnya siklus menstruasi selama 2 8 tahun sebelum
memasuki masa transisi menopause (Speroff, 2011). Transisi dari siklus yang
berovulasi menuju menopause, umumnya dimulai di usia akhir 40an dan awal

10

transisi menopause/early menopausal transition (Stadium 2). Kadar FSH sedikit


meningkat dan menyebabkan peningkatan respon folikular ovarium dengan
tingginya kadar estrogen secara keseluruhan. Terdapat peningkatan kadar serum
estrogen yang dihasilkan dari meningkatnya jumlah folikel karena meningkatnya
kadar FSH. Dalam waktu yang bersamaan, folikel mengalami penurunan
jumlahnya pada masa transisi menopause akhir. Perubahan ini termasuk
meningkatnya kadar FSH menunjukkan berkurangnya kualitas dan kapabilitas
penuaan folikuler untuk mensekresi inhibin. Dengan terus berkurangnya jumlah
folikel, kejadian siklus anovulasi semakin sering. Dengan adanya ovarian failure
saat menopause (stadium +1b), pelepasan hormon ovarium terhenti, dan terjadi
umpan balik negatif yang selanjutnya, GnRH akan disekresi. Sebagai dampaknya
terjadi peningkatan kadar FSH dan LH empat kali lipat dibandingkan masa
reproduksi (Bradshaw, 2012).
2.1.3.2 Perubahan Ovarium
Penuaan ovarium merupakan proses yang terprogram dan sudah dimulai
sejak dalam rahim dengan terjadinya atresia oosit. Sejak lahir, folikel primordial
telah aktif, lalu menjadi matang dan mengalami regresi. Pengaktifan folikel ini
berlangsung konstan yang dipengaruhi hipofisis (Speroff, 2011).
Kemunduran fungsi ovarium akan menyebabkan menurunnya kemampuan
ovarium untuk menjawab rangsangan gonadotropin. Hal ini akan menyebabkan
fungsi interaksi antara hipotalamus hipofisis terganggu, dan yang pertama-tama
mengalami kegagalan adalah fungsi korpus luteum. Turunnya produksi steroid
ovarium terutama estrogen mengakibatkan berkurangnya umpan balik negatif dan

11

positif terhadap hipotalamus. Oleh karena itu hipotalamus meningkatkan produksi


Folicle Stimulating Hormon Releasing Factor (FSHRF), Luteinizing Hormon
Releasing Factor (LHRF), dan ini merangsang hipofisis untuk meningkatkan FSH
dan LH (Speroff, 2011).
Peningkatan kadar FSH merupakan petunjuk hormonal yang paling baik
untuk menopause yang sesungguhnya. Hipofisis anterior dapat mensekresikan 10
sampai 20 kali lipat jumlah FSH, dan 5 sampai 10 kali jumlah LH. Peninggian
kadar FSH menetap selama bertahun tahun secara teratur dan masih ditemukan
sampai lebih dari 25 tahun sesudah menopause. Dijumpai kadar FSH yang tinggi
> 35 mIU/ml dan kadar estradiol < 30 pg/ml (Baziad Ali, 2008). Kadar LH dalam
serum wanita menopause umumnya sangat tinggi dibandingkan dengan kadar LH
pada wanita haid yang normal selama fase folikuler, fase luteal dan puncak
ovulasi. Folikel ovarium berkurang jumlahnya dimulai sekitar usia akhir 30an dan
awal 40an serta terus berkurang sampai mencapai tahap menopause. Wanita ratarata mengalami 400 siklus ovulasi selama masa reproduksinya. Menurut studi
epidemiologi, sekitar 10% wanita dari populasi umum, masuk ke dalam
menopause saat usia 45 tahun, kemungkinan karena mereka terlahir dengan
jumlah folikel ovarium lebih sedikit dari normal. Menopause terjadi jika jumlah
folikel yang tersisa berada pada batas kritis sekitar 1000 folikel terlepas dari
usianya (Speroff, 2011).

12

Gambar 2.2 Gambaran histologi perjalanan ovarium (Dikutip dari: Williams


Gynecology, 2012)
2.1.3.3 Perubahan kadar steroid adrenal
Ovarium berkontribusi memproduksi hormon steroid selama masa
reproduksi, tetapi setelah menopause, hanya kelenjar adrenal yang akan
melanjutkan sintesis hormon. Ratio androgen/estrogen berubah drastis setelah
menopause. Kadar sirkulasi hormon androstenedion, testosteron, dan estrogen
tetap konstan pasca menopause (Speroff, 2011).
Kadar LH yang meningkat akan merangsang ovarium untuk membentuk
testosteron. Testosteron ini akan dirubah menjadi estrogen. Adapun bentuk
estrogen pada menopause lebih dominan dalam bentuk estron yang dibentuk dari
proses aromatisasi androstenedione. Sumber utama androstenedione pada
menopause adalah korteks adrenal (70%) dan ovarium (30%). Proses ini disebut
juga formasi ekstra glanduler yang terjadi di jaringan lemak, hati, kulit, otot, dan
jaringan otak. Kadar estrogen pada menopause tergantung pada jumlah produksi
androstenedione dan testosteron dan kecepatan konversi perifer. Pada pasca

13

ooforektomi kadar androstenedione menurun 50%. Tentu hal ini akan diikuti oleh
menurunnya estrogen dengan akibat terjadinya premature menopause. Pemberian
estrogen pada menopause juga dapat meningkatkan kadar androstenedion dan ini
suatu bukti bahwa estrogen dapat meningkatkan respon adrenal terhadap ACTH
(Speroff, 2011).
Setelah menopause, sekresi utama ovarium adalah androstenedion dan
testosteron. Kadar androstenedion pasca menopause dalam sirkulasi sekitar satu
setengah lebih banyak dibandingkan saat menopause. Androstenedion berasal dari
kelenjar

adrenal,

dan

hanya

sedikit

dihasilkan

oleh

ovarium.

Dehidroepiandrosteron (DHA) dan sulfatnya (DHEAS), berasal dari kelenjar


adrenal, mengalami penurunan sesuai pertambahan usia. Dengan hilangnya folikel
dan estrogen, maka hormon gonadotropin yang meningkat memicu ovarium
mensekresi testosteron. Sel sel ovarium sudah tidak dapat lagi menghasilkan
hormon steroid karena telah mengalami atresia dimana kapabilitas steroid
menurun (Speroff, 2011).
Dengan

bertambahnya

usia,

produksi

adrenal

terhadap

dehidroepiandrosteron sulfate (DHEAS) menurun. Menurut studi Labrie (1997)


dan Burger (2000), kadar hormon adrenal DHEAS pada wanita usia 20 30 tahun
mencapai puncaknya dan kembali turun secara bertahap. Wanita usia 70 - 80
tahun, berkurang kadar DHEAS 74%. Hormon adrenal lainnya yang juga
menurun yaitu: androstenedion. Androstenedion mencapai puncaknya saat usia 20
- 30 tahun dan menurun 62% saat usia 50 - 60 tahun. Pregnenolon berkurang 45%

14

selama dari waktu reproduksi sampai menopause. Dengan pertambahan usia,


tanpa status menopause, ternyata DHEAS ikut menurun (Bradshaw, 2012).
2.1.3.4 Perubahan endometrium
Perubahan mikroskopik pada endometrium menunjukkan tingkat sistemik
estrogen dan progesteron serta perubahan dramatis berdasarkan fase transisi
menopause. Selama masa awal transisi menopause/early menopausal transition,
endometrium masih menunjukkan gambaran siklus yang berovulasi. Saat stadium
yang lebih lanjut/akhir dari transisi menopause, endometrium menunjukkan
gambaran anovulasi dan endometrium akan menampilkan pengaruh estrogen
ketika dihambat oleh progesteron. Berdasarkan perubahan tersebut, maka dapat
ditemukan

gambaran

patologik

pada

pemeriksaan

biopsi

endometrium.

Endometrium menjadi atrofi saat setelah menopause karena hilangnya pengaruh


estrogen (Speroff, 2011).

15

Gambar 2.3 Gambaran histologi perjalanan endometrium (Dikutip dari:


Williams Gynecology, 2012
2.1.4 Gejala dan tanda
Timbulnya gejala gejala pada masa transisi menopause tidak terlepas
dari adanya perubahan yang fluktuatif terhadap estrogen (E2), menurunnya
inhibin-b, dan meningkatnya kadar FSH (Freeman dkk., 2007). Gejala-gejala yang
sering dijumpai berhubungan dengan penurunan folikel ovarium dan kemudian
berkurangnya kadar estradiol <30 pg/ml (baziad, 2008).

16

Adapun gejala dan tandanya berupa:

Gangguan pola haid, termasuk anovulasi dan penurunan fertilitas,


hipermenore, frekuensi haid yang tak teratur dan kemudian diakhiri

dengan amenore (Noerpramana, 2011).


Kondisi-kondisi atrofi: atrofi epitel vagina, pembentukan karunkulakarunkula uretra, dispareuni dan pruritus karena atrofi vulva, introitus dan
vagina atrofi (Noerpramana, 2011). Wanita pasca menopause dengan
diabetes dan wanita dengan indeks massa tubuh yang rendah memiliki
resiko lebih tinggi mengalami gangguan ketidaknyamanan di vagina

(Huang dkk., 2009).


Gangguan berkemih. Kekurangan estrogen akan mengakibatkan atrofi dan
penipisan pada sel mukosa uretra dan kandung kemih serta berkurangnya
sirkulasi darah ke jaringan. Kehabisan estrogen vagina kehilangan
kolagen, jaringan adipose dan kemampuan mempertahankan air (Speroff,
2011). Epitel uretra dan trigonum vesika mengalami atrofi. Hal ini akan
menimbulkan uretritis, sistitis, atau kolpitis, sering berkemih dan
inkontinensia urin serta adanya infeksi saluran kemih. Terdapat juga
gangguan miksi berupa disuri, polakisuri, nikturi, rasa ingin berkemih
hebat, atau urin yang tertahan, hal ini sangat erat kaitannya dengan atrofi

mukosa uretra (Suparman, Rompas., 2008).


Vasomotor Symptoms berupa Hot flushes dan berkeringat malam,
dipandang sebagai ciri khas yang dialami oleh sebagian besar perempuan
pasca menopause (Noerpramana, 2011; Thurston dkk., 2012),

berupa

dimulainya kulit kepala, leher, dan dada kemerahan secara mendadak

17

disertai perasaan panas yang hebat dan kadang-kadang diakhiri dengan


berkeringat banyak. Lamanya bervariasi dari beberapa detik hingga
beberapa menit bahkan satu jam walaupun jarang. Frekuensinya dapat
jarang, sehingga berulang setiap beberapa menit. Lebih sering dan berat di
malam hari (menyebabkan sering terbangun dari tidur) atau saat stres.
Perempuan premenopause menderita hot flushes kurang lebih 15 25%
dan frekuensinya lebih tinggi pada premenopause yang menderita sindrom
prahaid. Segera setelah menopause frekuensi meniadi 50% dan setelah 4
tahun pasca menopause akan menjadi 20%. Angka kejadian ini bervariasi
pada tiap individu (Speroff, 2011). Vasomotor symptoms memiliki
hubungan dengan meningkatnya kadar LDL cholesterol, apolipoprotein B,

dan trigliserida (Thurston dkk., 2012).


Gangguan psikologis: suasana hati, perilaku, fungsi kognitif, penyakit
Alzheimer, fungsi sensorik, dan kerja susunan saraf pusat dipengaruhi oleh
hormon steroid seks. Apabila timbul perubahan pada hormon ini maka
akan timbul keluhan psikis dan perubahan fungsi kognitif. Pada akhirnya,
akibat berkurangnya hormon steroid seks ini, pada wanita perimenopause
dapat terjadi keluhan seperti mudah tersinggung, cepat marah, perasaan
tertekan. Estrogen akan menghambat aktivitas enzim monoamin oksidase
(MAO), suatu enzim yang menonaktifkan serotonin dan noradrenalin.
Berkurangnya jumlah estrogen akan berdampak pada berkurangnya

jumlah MAO dalam plasma (Noerpramana, 2011).


Penyakit kardiovaskuler yang sering diderita adalah coronary heart
disease, congestive heart failure, dan stroke. Hal ini terjadi karena ada

18

aterosklerosis pada pembuluh darah utama, dimana prosesnya sama seperti


faktor resiko lainnya seperti obesitas, hipertensi, diabetes melitus.
Estrogen sangat berpengaruh terhadap kejadian ini, dimana sewaktu masa
reproduksi,

berperan

menaikkan

HDL

yang

berfungsi

sebagai

kardioprotektor. Estrogen pada sel endotelial akan menghasilkan Nitric


Oxide (NO). NO akan bekerja di dinding arterial dan meningkatkan
intercellular cyclic guanosine monophosphate di otot polos arterial
endotelium menyebabkan vasodilatasi, menghambat perlekatan platelet,
menghambat agregasi dan monosit (Nathan dan Judd., 2007). Hal ini tidak
terjadi saat wanita mulai memasuki tahapan menopause sehingga penyakit

jantung dengan mudah terjadi.


Osteoporosis. Tulang adalah organ yang sangat aktif, mempunyai proses
berkelanjutan yang disebut remodeling tulang, yang melibatkan resorbsi
(aktivitas osteoklastik) dan formasi (aktivitas osteoblastik) yang konstan.
Osteoblas ataupun osteoklas berasal dari progenitor-progenitor sumsum
tulang, osteoblas dari sel-sel induk mesenkimal, dan osteoklas dari turunan
sel darah putih hematopoietik. Sitokin terlibat dalam proses perkembangan
ini, sebuah proses yang diregulasi oleh steroid-steroid seks. Penuaan dan
hilangnya estrogen, keduanya menyebabkan aktivitas osteoklastik
berlebihan. Penurunan asupan dan/atau absorpsi kalsium menurunkan
kadar kalsium terionisasi dalam serum. Hal ini menstimulasi sekresi
hormon paratiroid (PTH) untuk memobilisasi kalsium dari tulang melalui
stimulasi langsung pada aktivitas osteoklastik. Peningkatan PTH juga
menstimulasi produksi vitamin D untuk meningkatkan absorpsi kalsium

19

usus. Defisiensi estrogen berhubungan dengan responsivitas tulang yang


lebih besar terhadap PTH. Kadar PTH berapa pun, lebih banyak kalsium
yang diambil dari tulang, meningkatkan kalsium serum, yang pada
gilirannya menurunkan PTH dan menurunkan vitamin D serta absorpsi

kalsium oleh usus (Speroff, 2011; Noerpramana, 2011).


Permasalahan sosiokultural: masa transisi menopause memiliki masa yang
kompleks sebagaimana perubahan hormonal yang terjadi. Faktor
psikososial dapat mempengruhi gejala perubahan mood dan kognitif,
bahkan sejak memasuki masa transisi menopause (Noerpramana. 2011).

2.2

Ligamentum Sakrouterina

2.2.1

Anatomi dan neurovaskularisasi ligamentum sakrouterina


Ligamentum sakrouterina dibagi menjadi 3 segmen yaitu segmen servikal,

intermediate dan sakral tanpa melakukan justifikasi dalam hal panjang dari
masing-masing segmen. Ada beberapa konsensus mengenai neurovaskularisasi
dari ligamentum sakrouterina. Pada lateral dan aspek dalam dari ligamentum
sakrouterina dan ligamentum kardinale memperlihatkan adanya batang saraf yang
besar dan ganglia dari pleksus hipogastrik superior. Cabang S1-S4 dari pleksus
sakralis dapat lebih rentan cedera saat terjadi tindakan pada uterosakral (Dzung
dkk., 2010).
Penelitian yang dilakukan di Departement of Anatomy School of Medical
Science University of New South Wales, Sydney, Australia didapatkan panjang
ligamentum sakrouterina antara 12-14 cm dan dibedakan menjadi tiga potongan
yaitu distal, intermediate dan proksimal (Dzung dkk., 2010).

20

1.

Bagian distal (servikal) adalah bagian paling tebal. Pada tepi dari servik

dan vagina menyatu dengan ligamentum kardinale. Secara makroskopis bagian


distal mengandung jaringan ikat padat yang mengandung pembuluh darah kecil
dan cabang-cabang kecil dari pleksus hipogastrik.
2.

Pada bagian intermediet dengan panjang kurang lebih 5 cm dan tebal 5

mm dan makin tipis ke arah posterior secara bertahap. Bagian inilah yang lebih
terlihat jika uterus dilakukan traksi ke arah anterior.
3.

Bagian proksimal dengan panjang kurang lebih 5,5 cm dan tebal lebih dari

0,5 cm. Bagian ini terlihat seperti jaringan ikat yang tipis tanpa terlihat adanya
fibrillar.
Ligamentum ini terlihat sebagai struktur yang tebal dan padat dengan
bundel pararel yang menyerupai ligamentum pada sendi besar. Dari spesimen
yang didapatkan pada penelitian, ligamentum tampak tipis di perbatasan dan lebih
tebal pada dasar panggul (Dzung dkk., 2010).
2.2.2

Fungsi ligamentum sakrouterina


Ligamentum

sakrouterina

berfungsi

menyangga

uterus

dan

mempertahankan uterus tetap pada posisi normal, fungsi fiksasi uterus ini penting
untuk mencegah terjadinya prolaps organ panggul lebih lanjut. Ligamentum
sakrouterina bersama-sama dengan ligamentum kardinale membentuk suatu
kompleks disebut kompleks ligamentum sakrouterina-kardinale. Kompleks
ligamentum sakrouterina-kardinale inilah dianggap sebagai organ utama yang
menyangga uterus. Kompleks ini menyangga uterus dan 1/3 vagina bagian atas ke
arah sakrum. Ligamentum kardinale merupakan selubung fasia yang terbentuk

21

dari kolagen yang membungkus pembuluh darah iliaka interna dan sepanjang
arteri uterina, menyatu dengan kapsul viseral dari serviks, segmen bawah rahim
dan vagina bagian atas. Sementara ligamentum sakrouterina lebih padat dan lebih
menonjol

dibandingkan

ligamentum

kardinale.

Serat-serat

kolagen

dari

ligamentum sakrouterina bersatu dibagian distal dengan fasia viseral diatas


serviks, segmen bawah rahim, vagina bagian atas, membentuk periservikal, bagian
proksimal serat tersebut berakhir pada fasia presakral yang melapisi segmen
sakral dua, tiga dan empat. Kompleks ini penting untuk menyangga struktur rahim
dan 1/3 atas vagina bagian atas. Kerusakan dari kompleks ini dapat menyebabkan
penurunan dari uterus dan prolaps puncak vagina. Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dapat digunakan untuk melihat vagina bagian atas dan serviks diatas
levator plate. Dengan mengetahui faktor predisposisi kelemahan ligamentum ini,
dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang proses terjadinya prolaps
organ panggul (Shahryarinejad, 2008).

22

Gambar 2.4 Skematik pelvis (Dikutip dari: Dzung dkk., 2010)


2.2.3 Struktur histologis dan komposisi biokimia ligamentum sakrouterina
2.2.3.1 Struktur histologis
Ligamentum sakrouterina terdiri dari sel (fibroblas atau jaringan ikat
fibrus, kondrosit atau kartilago, osteoblas dan osteosit suatu tulang), matriks
ekstraseluler yang terdiri dari fiber (kolagen dan elastin), proteoglikan
(Aggrekan,Versikan, Biglykan, Dekorin, Perlekan) dan glikoprotein (Fibronektin,
Tenascin, Link protein, Fibromodulin, Osteopontin dan cairan) (Ewies, 2006; Lin,
2007).
2.2.3.2 Komposisi biokimia
Sel merupakan satuan dasar kehidupan dan sebagian besar sel mamalia
terletak dalam jaringan yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler yang kompleks
yang juga sering disebut jaringan ikat. Matriks ekstraseluler ini memiliki sejumlah

23

fungsi penting terlepas dari fungsinya sebagai jaringan penyangga untuk organ
sekitarnya. Matriks ekstraseluler mengandung tiga kelompok biomolekul utama
(Ewies, 2006):
1.

Protein struktural (fiber) seperti kolagen dan elastin.

2.

Glikoprotein seperti: fibronektin, tenascin, link protein, fibromodulin, dan


osteopontin.

3.

Proteoglikan seperti: agrekan, versikan, biglikan, dekorin dan perlekan.


Matriks

ekstraseluler

terutama

disekresi

oleh

fibroblas,

dimana

mikromolekul yang penting untuk integritas jaringan adalah hialuronan dan


proteoglikan. hyaluronan, versikan atau agrekan dan proteoglikan kecil seperti
biglikan dan dekorin sangat penting untuk organisasi jaringan ikat interstitial dan
jaringan

ikat

berserat.

Proteoglikan

berinteraksi

dengan

makromolekul

ekstraseluler melalui motif polisakarida tertentu seperti fibronektin atau melalui


protein inti dalam kolagen. Sementara dekorin diketahui mengikat kolagen I,III,
dan VI, sedangkan biglikan hanya berinteraksi dengan kolagen VI.Variasi dalam
komposisi proteoglikan ini dapat mempengaruhi sifat matriks (Chen, 2007 ; Goh,
2003). Molekul kolagen I dan kolagen III berhubungan dengan kekuatan dan
elastisitas sehingga bisa diregangkan. Hyaluronan dan glikosaminoglikan
berhubungan dengan kemampuan viskoelastis, sangat menentukan kandungan air
dari matriks ekstraseluler dan untuk transportasi sel dan aktif dalam respon
peradangan atau infeksi. Proteoglikan terdiri dari rantai glikosaminoglikan dan
sebuah protein inti terbagi dalam 3 keluarga besar, Hyalekan besar, Small Leucine
Rich Proteoglicans (SLRPs) dan Proteoglikans Sulfat Heparin. Mereka muncul

24

dalam bentuk remodeling berbeda didalam matriks ekstraseluler seperti organisasi


fibril, memediasi adhesi sel, proliferasi, interaksi berbeda terhadap faktor
pertumbuhan dan sitokin (Soderbeg, 2008).

Gambar 2.5 Jaringan ikat fibrous dalam matriks ekstraseluler


Penelitian mengenai matriks ektraseluler pada dasar panggul diawali pada
akhir tahun 1980-an dan menjadi menarik setelah metode penelitian baru
diperkenalkan. Penelitian ini lebih sulit karena tempat lokasi biopsi berbeda,
dimana kebanyakan penelitian menggunakan jaringan epitel, dimana jaringan ini
paling representatif dari fasia endopelvik. Sebuah penelitian efek hormonal
terhadap sel squamosa vagina juga telah dilakukan, oleh karena itu perbedaan
dalam status hormonal atau pengobatan yang lebih potensial mempengaruhi
sedang diteliti, dimana faktor mukosa tidak dihilangkan (Chen, 2007).

25

2.2.4

Pengaruh hormonal pada ligamentum sakrouterina


Telah diketahui bahwa terdapat penurunan jumlah jaringan kolagen pasca-

menopause. Ditemukan bahwa reseptor estrogen, progesteron dan androgen


terdapat pada fasia levator ani, tetapi reseptor estrogen tidak didapatkan pada serat
otot levator ani. Reseptor estrogen ditemukan pada dinding vagina dan
ligamentum sakrouterina pada wanita pre-menopause dan jumlah reseptor tersebut
menurun pada wanita pasca-menopause dan reseptor tersebut berkorelasi positif
dengan lamanya menopause (Copas dkk., 2007).
Estrogen dapat mempengaruhi metabolisme kolagen dengan merangsang
degradasi kolagen dengan meningkatkan aktivitas matriks metaloproteinase-2. Liu
dkk. (2008) menganalisis proliferasi fibroblas yang berasal dari ligamen kardinale
pasien dengan dan tanpa prolaps setelah pemberian 17 -estradiol. Fibroblas dari
kelompok prolaps secara signifikan menunjukkan tingkat proliferasi yang lebih
rendah daripada kelompok kontrol pada setiap kadar estradiol yang dipakai.
Meskipun demikian, secara klinis, terapi sulih hormon mungkin tidak bermanfaat
dalam penatalaksanaan prolaps organ panggul. Sebaliknya, Lang dkk. (2009)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara reseptor estrogen serta
lamanya masa menopause dengan prolaps organ panggul dan stres inkontinensia
urin, sehingga terapi estrogen mungkin dapat bermanfaat (Lang dkk., 2009).
Pengaruh terapi sulih hormonal untuk mengembalikan jaringan parauretra
sebagai jaringan penyangga pada wanita pasca-menopouse seperti masa premenopause dengan meningkatkan rasio proteoglikan-kolagen dan menunjukkan
kandungan kolagen dan cross link. Pada aspek molekuler, estrogen mempengaruhi

26

struktur dan fungsi jaringan penyangga vagina bagian dalam. Penelitian yang
dilakukan pada 25 spesimen operasi dari wanita tanpa prolaps yang dievaluasi
dengan imunohistokimia memperlihatkan reseptor estrogen dan progesteron
terdeteksi pada inti sel (fibroblas) dari ligamentum sakrouterina semua pasien,
tanpa memperhatikan umur, ras, status menopause, paritas, indeks massa tubuh,
dan pengobatan yang mempengaruhi kadar hormon estradiol serum. Ditemukanya
reseptor estrogen dan progesteron pada ligamentum sakrouterina menandakan
struktur ini menjadi end organ untuk respon estrogen dan progesteron (Dzung
dkk., 2010).
2.2.5

Reseptor estrogen
Terapi estrogen telah digunakan untuk meningkatkan integritas struktural

dan jaringan panggul dengan efek yang menguntungkan untuk terapi


inkontinensia. Sebelumnya, reseptor estrogen alfa, telah diidentifikasi dalam inti
jaringan ikat dan sel otot polos dari trigonum kandung kemih, uretra, mukosa
vagina, stroma levator ani dan ligamentum sakrouterina. Dua subtipe yang
berbeda telah ditemukan pada sel manusia: reseptor estrogen alfa yang dominan
pada uterus orang dewasa dan reseptor estrogen beta yang tinggi pada jaringan
target estrogen yang lain, seperti prostat, testis, ovarium, otot halus, endotelium
pembuluh darah dan sistem kekebalan tubuh. Reseptor estrogen berperan dalam
metabolisme kolagen dengan meningkatkan sintesis atau menurunkan degradasi
kolagen. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai tingkat ekspresi
reseptor seks steroid hormon jaringan pada pasien prolaps organ panggul.

27

Ekspresi reseptor esterogen yang rendah, disertai dengan kadar hormon estradiol
yang rendah didapatkan pada pasien prolaps organ panggul (Kerkhof dkk., 2009).
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan ekspresi mRNA kolagen I dan III
pada terapi estrogen pengganti. Temuan ini menunjukkan bahwa estrogen
meningkatkan pergantian jaringan ikat dasar panggul. Penelitian ini juga
berpendapat bahwa estrogen mengembalikan metabolisme estrogen ke keadaan
pre-menopouse. Jackson (2008) menemukan bukti kuat tentang sintesis dan
degradasi cross-link yang imatur menunjukkan kolagen yang baru disintesis.
Namun rasio jenis kolagen I dan III tidak berubah dikelompok yang diberikan
estradiol, dan kandungan kolagen total menurun secara signifikan. Kombinasi
upregulation MMPs dan penurunan TIMP oleh esterogen juga mengakibatkan
peningkatan kerusakan matriks ekstraseluler. Penghambatan MMP dengan terapi
esterogen juga diteliti oleh Zong dkk. (2007), ditemukan bahwa E2
dikombinasikan dengan progesteron menurunkan bentuk aktif dari MMP-1. Hal
ini memunculkan pendapat bahwa kedua hormon ini berperan dalam menjaga
integritas dasar panggul wanita (Kerkhof dkk., 2009).
2.2.6

Matriks ekstraseluler pada ligamentum sakrouterina


Matriks ekstraseluler mengandung komponen fibrillar (kolagen dan

elastin) yang terhubung dengan substansi yang non-fibrillar. Substansi ini


mengandung non-kolagen glikoprotein, proteoglikans dan hialuronan. Komponen
fibrillar diperkirakan memberikan kontribusi terbesar terhadap biomekanikal
jaringan. Kuantitas dan kualitas dari kolagen diatur melalui keseimbangan yang

28

tepat antara sintesis, pematangan dan degradasi, dimana proses ini dihasilkan
melalui proses dinamis dan remodeling yang konstan (Kerkhof, 2009).
Penelitian Karolinska Institutet, Stockhom Swedia mengemukakan bahwa
matriks ekstraseluler dari dasar panggul disusun oleh kolagen terutama tipe I dan
III, serat elastis, serta proteoglikan, dimana yang terbanyak adalah jenis small
leucine rich proteoglycans (SLRPs) serta elastin (Kerkhof, 2009). Matriks
ekstraseluler dari ligamentum sakrouterina tersusun atas kolagen dan elastin untuk
membentuk gaya yang berperan dalam peregangan dan memperluas kekuatan
(Chen dkk., 2007).
2.3 Jaringan elastin
Elastin berperan dalam ekstensibilitas, fleksibilitas jaringan dan rekoil
elastik, sedangkan mikrofibril yang disusun oleh protein yang berbeda bersifat
tidak ekstensibel dan merupakan struktur yang stabil. Beberapa penelitian
menunjukkan penurunan kadar elastin pada ligamentum sakrouterina pada prolaps
organ panggul (Moon dkk., 2011). Mekanisme molekuler dari gen elastin manusia
pada berbagai kondisi sebagian besar tidak diketahui. Produksi elastin yang salah
pada penyakit-penyakit yang diturunkan, mengarah pada hilangnya rekoil elastik
pada berbagai gangguan jaringan ikat. Serat elastin terdiri dari protein menyerupai
karet elastin terbentuk diatas tangga-tangga mikrofibril. Sejumlah protein elastin
diperlukan untuk penggabungan serat elastik agar mencapai kemampuan
khususnya untuk meregang dan melingkar (Kerkhof, 2009).
Sifat mekanis jaringan juga bergantung pada proporsi elastin, yaitu suatu
polimer larut yang dibentuk oleh suatu monomer tropo-elastin yang diikuti oleh

29

katalisis

suatu formasi

cross-link oleh

lysyl oxidases

(LOX). Elastin

memungkinkan jaringan untuk meregang dan kembali ke bentuk asli tanpa


masukan energi. Hal ini dianggap penting pada jaringan reproduksi karena dapat
mengakomodasi ekspansi yang besar dalam kehamilan dan involusi setelah
persalinan. Produksi elastin sangat unik diantara protein jaringan penyangga. Pada
sebagian besar organ, biosintesis elastin terbatas pada periode singkat dari
pertumbuhan. Anyaman serat elastin matur pada saat sintesis tropo-elastin telah
berhenti. Ditemukan bahwa LOX sangat penting untuk hemostasis serat elastis
pada jaringan, termasuk organ panggul wanita (Kerkhof, 2009).
Elastin dibentuk oleh miofibroblas, kondroblas, sel endotelial, dan sel
mesotelial. Elastogenesis terjadi terutama saat periode akhir fetus dan saat
neonatal dini. Elastin secara ekstrim memiliki waktu paruh diperkirakan
mendekati 70 tahun. Pada usia dewasa terdapat perubahan yang rendah kecuali
serat elastik karena trauma, yang mana akan merangsang neositesis. Elastin
disintesis sebagai tropoelastin ditandai dari gen tunggal dan distimulasi oleh
perusakan elastin dan TGF-Beta 1. Tropoelastin dapat tampak dalam dua larutan
berupa monomer globar terbuka atau larutan polipeptida. Ini karena pengikatan
protein ketika disekresikan ke matriks ekstraseluler oleh kompleks golgi.
Tropoelastin diteruskan ke tempat mikrofibril, di tempat rantai menyilang dan
berkembang dari elastin monomer menjadi elastin polimer. Rantai silang I ini
selanjutnya menjadi anggota keluarga enzim lysyl oxydase. Desmosine adalah
elastin spesifik salah satu dari tipe rantai silang yang bisa muncul (Kerkhof,
2009).

30

2.3.1 Mikrofibril
Ada tiga glikoprotein besar yang disebut mikrofibril telah diketahui antara
lain: fibrillin-1, fibrillin-2, dan fibrillin-3 dimana fibrillin-1 dan fibrillin-2 telah
diteliti. Penelitian menujukkan bahwa fibrillin-1 sebagai prasyarat untuk
penggabungan serat elastik, langsung sebagai sinyal sel lewat reseptor
dipermukaan dan berinteraksi dengan growth factor seperti TGF-Beta. Decorin
juga terlibat dalam sintesis fibrillin-1, namun juga mengikat molekul dalam
matriks ekstraseluler (Soderberg, 2008).
2.3.2 Sintesis elastin
Microfibril associated protein (MAGP-1, MAGP-2), fibulins dan emilin-1
adalah protein utama dalam penggabungan serat elastik. Famili dari lysyl oxydase
(LOX), LOX dan 4 protein menyerupai LOX (LOXL1-4) yang berperan dalam
rantai silang elastin maupun kolagen (Soderberg, 2008). Penelitian terakhir
diketahui pentingnya serat elastis dalam menjaga integritas struktural dan
fungsional dari dasar panggul. Sintesis serat elastis merupakan suatu proses yang
kompleks yang memerlukan monomer tropoelastin yang melakukan cross linked
pada matriks seluler dengan salah satu tembaga, dibutuhkan oksidasi lysyl dan
fibulins dalam proses pembentukan serat elastin (Soderberg, 2008).
Fibulin dikode oleh gen FBLN yang merupakan komponen dari basal
membran dan serat elastin. Famili fibulin sendiri terdapat 6 jenis varian dalam
distribusinya pada jaringan. Fibulin-3 yang juga dikenal dengan EFEMP-1, S1-5,
FBNL merupakan protein matriks ekstraseluler yang mengandung arrays of
calcium binding epidermal growth factor (EGF) domain dan karakteristik dari

31

carboxyl-terminal fibulin. Fibulin-5 yang juga dikenal dengan DANCE


(Developmental arteries and Neura Crest EGF-like) atau EVEC (Embryonic
Vascular EGF-like Repeat-ontaining Protein) merupakan protein multifungsi yang
mengatur pertumbuhan sel, motilitas, adhesi dan pencegahan elastinophati in vivo.
Fibulin sangat penting dalam aspek biologi dan menjelaskan adanya mutasi gen
yang dikaitkan dengan beberapa penyakit (Soderberg, 2008).
Fibulin-5 terikat pada sel permukaan dan tropoelastin mempunyai afinitas
yang lemah terhadap fibrillin-1. Ini juga terlihat pada interface mikrofibril elastin.
Fibulin-5 pada ligamentum sakrouterina paling banyak diteliti, dimana ditemukan
ekspresi fibulin-5 menurun pada ligamentum sakrouterina wanita dengan prolaps
organ panggul dibandingkan dengan non-prolaps organ panggul. Penelitian yang
lebih mendalam juga telah dilakukan yaitu dengan mengukur kadar elastin dengan
radioimmunoassay dan PCR pada ligamentum sakrouterina ditemukan bahwa
terjadi penurunan kadar LOX, LOXL1, LOXL2 dan fibulin-5 pada penelitian
tersebut (Klutke, 2008).
Penggabungan serat elastin dimulai dari terbentuknya tropoelastin yang
ditransportasi menuju membran plasma menyatu menjadi agregat kecil yang
diikat silang oleh LOX dan difasilitasi oleh fibulin-4 dan atau fibulin-5 yang
berperan juga dalam pembatasan ukuran dari agregat tersebut. Agregat tersebut
kemudian menuju ke permukaan sel sambil melakukan sekresi elastin yang baru,
kemudian agregat tersebut di transfer melalui integrin yang terdapat pada
permukaan sel menuju mikrofibril ekstraseluler yang dibantu oleh fibulin-4 dan
atau fibulin-5. Agregat elastin pada mikrofibrin dibuat menjadi struktur yang lebih

32

besar yang di fasilitasi oleh fibulin-4 dan atau fibulin-5 dan diikat silang oleh
LOX dan menjadi serat elastin yang lengkap (Soderberg, 2008).

Gambar 2.6 Sintesis elastin (Dikutip dari Soderberg, 2008)


Degradasi

serat elastin pada individu sehat berlangsung pelan karena

rantai silang ekstensif. Jika ada trauma, atau proses penuaan pada ligamentum
maka elastin rusak, suatu remodeling tambahan akan terbentuk sebagai upaya
kompensasi terhadap hal tersebut (Goepel, 2007; Soderberg, 2008).
2.4 Estrogen
Estrogen adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama
sebagai hormon seks wanita. Hormon ini menyebabkan perkembangan dan
mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita, seperti payudara,
dan juga terlibat dalam penebalan endometrium maupun dalam pengaturan siklus
haid. Pada saat menopause, estrogen mulai berkurang sehingga dapat

33

menimbulkan beberapa efek, di antaranya hot flash, berkeringat pada waktu tidur,
dan kecemasan yang berlebihan (Nathan dan Judd, 2007).
Tiga jenis estrogen utama yang terdapat secara alami dalam tubuh wanita
adalah estradiol, estriol, dan estron. Sejak menarche sampai menopause, estrogen
utama adalah 17 -estradiol. Di dalam tubuh, ketiga jenis estrogen tersebut dibuat
dari androgen dengan bantuan enzim. Estradiol dibuat dari testosteron, sedangkan
estron dibuat dari androstenadion. Estron bersifat lebih lemah dari pada estradiol,
dan pada wanita pasca menopause estron ditemukan lebih banyak daripada
estradiol (Nathan dan Judd, 2007) .
Penurunan estrogen terjadi setelah periode menstruasi terakhir. Kadar
estradiol tidak secara bertahap menurun saat sebelum menopause tetapi tetap
berada pada jumlah yang normal, walaupun terdapat sedikit peningkatan sampai
sekitar 1 tahun sebelum berhentinya pertumbuhan dan perkembangan folikel.
Wanita yang mengalami transisi perimenopause memiliki kadar estrogen yang
tinggi, hal ini selaras dengan adanya peningkatan respon folikel ovarium untung
meningkatkan FSH selama masa tersebut (Speroff, 2011).
Ovarium bukan lagi penghasil estrogen terbanyak saat memasuki tahapan
menopause, tetapi kelenjar adrenal yang menjadi sumber utamanya. Kelenjar
adrenal menghasilkan androstenedion yang akan diubah menjadi estron. Selain
kelenjar adrenal, terdapat juga estron dari aromatisasi androstenedion di perifer.
Aromatisasi androtenedion ini terjadi di lemak, otot, hati, sumsum tulang (Nathan
dan Judd, 2007).

You might also like