Professional Documents
Culture Documents
KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Penyusun :
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Nama
Yantia Hariesta Purnomo
Grandis Ratnaning Febriantika
Anggy Prayudha
Kemala U. P. Nasution
Agnes Robia Ambariani
Ainin Nafilatus Soumil Fitriyah
Muhammad Akbar D
Az Zahroh
Poppy Raissa Hudayanti
Putri Pramita Larasati
Nadia Kurnia Hapsari
Azimah Regita
Diamanta Anandamaya
Riefka Pitaloka Dyah Ahadri Noor Alluvianti
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
NIM
021411131100
021411131102
021411131103
021411131104
021411131105
021411131106
021411131107
021411131108
021411131109
021411131110
021411131111
021411133039
021411133040
021411133041
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah mahasiswa dapat melakukan
komunikasi interpersonal dan dapat melakukan wawancara terhadap pasien
dengan memahami konsep diri dan psikologi komunikasi yang akan
bermanfaat untuk bekal masa klinik dan praktek dokter gigi di masa
mendatang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Komunikasi Interpersonal
Dilihat dari jenis Interaksi dalam komunikasi, komunikasi dapat dibedakan
atas tiga kategori yaitu komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil dan
komunikasi publik. Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi
diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara
dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya (Muhammad, 2005,p.158159). Komunikasi interpersonal merupakan penyampaian pesan oleh satu orang
dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan
berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera
(Effendy,2005, p. 30). Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orangorang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap
reaksi
orang
lain
secara
langsung,
baik
secara
verbal
atau
2006,
p.
73).
Pada
hakekatnya
komunikasi
interpersonal
sosial,
interogasi
atau
pemeriksaan
dan
wawancara.
a.
b.
d.
kebenarannya.
Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana
dua orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Misalnya
atasan yang mewawancarai bawahannya untuk mencari informasi
mengenai suatu pekerjaannya Muhammad (2005, p. 159-160).
b.
massa hal itu seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajari atau didalami
melalui interaksi interpersonal.
c.
d.
e.
f.
Untuk Membantu
Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakkan
komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk
mengarahkan kliennya. Kita semua juga berfungsi membantu orang lain
dalam interaksi interpersonal kita sehari-hari. Kita berkonsultasi dengan
informasi, kemampuan bahasa yang kurang. Kesalahan umum juga dapat terjadi
pada penerima pesan seperti tidak perhatian, sudah merumuskan jawaban sebelum
pemberi pesan menyelesaikan pemberian pesan, atau bukan pendengar yang baik.
(Atoshoki, 2005)
Komunikasi efektif perlu usaha dari kedua belah pihak karena tidak
mudah, ketidakmudahan itu disebabkan komunikasi terjadi secara otomatis. Oleh
sebab itu, kedua belah pihak harus memberikan usaha agar komunikasi yang
terjadi efektif, dimana si pemberi pesan mengusahan apa maksud dari perkatannya
dan pendengar berusaha memahami pesan yang diterimanya (Chase,2013)
Dalam kedokteran gigi komunikasi harus efektif agar tidak menimbulkan
ambiguitas pada pasien saat menerima informasi mengenai kesehatan mereka.
Komunikasi ini dimaksudkan agar kedua belah pihak menghindari kerugian.
Selain itu, komunikasi efektif pada kedokteran gigi juga bertujuan dapat
mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat.
Dokter gigi dapat menjalin komunikasi yang efektif dengan melakukan
beberapa hal yakni menjadi pendengar aktif serta mengerti perasaan pasien,
menanyakan dengan pertanyaan yang baik, tidak menyalahkan atau menghakimi
pasien, memberi informasi yang tepat dengan bahasa yang mudah, menyatakan
pasien tidak sendiri menghadapi masalah seperti ini, serta selalu berusaha menjaga
kepercayaan pasien. Sedangkan aplikasi komunikasi efektif dimulai dari sikap
prefesional dokter, membangun rasa nyaman, aman, dan percaya.
Komunikasi antara dokter gigi dengan pasien dapat dinilai melalui respon
yang diberikan oleh pasien, respon komunikasi yang efektif akan memberikan
hasil positif berupa adanya pengertian pasien atas pemahaman informasi dari
dokter, menimbulkan kesenangan pasien, dan dapat memengaruhi pasien agar
berubah sesuai saran dokter. Sedangkan respon negatif akan diberikan pada
komunikasi yang tidak efektif seperti tidak pahamnya pasien terhadap informasi
yang diberikan, tidak adanya perubahan sikap yang diberikan pasien terhadap
saran dokter.
2.3 Komponen Komunikasi
Menurut Kotler yang dikutip oleh Sendjaja dalam bukunya yang
berjudulPengantar Ilmu Komunikasi, menyebutkan bahwa komunikasi terdiri
dari beberapa komponen-komponen, yaitu :Pengirim (Sender), yaitu pihak
yang mengirim pesan.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
menyebarluaskan
informasi
untuk
menghibur
sekaligus
BAB 3
HASIL DISKUSI
3.1 Pendekatan Konsep Diri
Timbul GAP komunikasi antara dokter gigi dan pasien
Gap komunikasi disebabkan adanya hambatan dalam penyampaian pesan
antara komunikator dan komunikan. Komunikator dan komunikan pada kasus ini
adalah dokter gigi dan pasien. Beberapa hal yang menghambat komunikator
antara lain kurangnya pendekatan, kurang leading, dan kecerobohan dokter gigi
3.2
budaya, emosi, perbedaan persepsi dan komunikasi yang kurang efektif. Dengan
kata lain, hambatan komunikasi dapat berasal dari latar belakang yang berbeda
antara komunikator dengan komunikan. Terjadinya hambatan komunikasi juga
didukung oleh adanya implementasi konsep diri negatif yang dilakukan baik oleh
komunikator maupun komunikan.
Komponen komunikasi terdiri dari komunikator, komunikan, pesan,
feedback dan media. Pada scenario, menunjukkan bahwa dokter gigi dapat
berperan sebagai komunikator maupun sebagai komunikan begitu pula pada
pasien. Media yang digunakan adalah tatap muka langsung dan tidak langsung
serta ada pesan yang disampaikan dan terjadi feedback. Adapun pada skenario
memperlihatkan komunikator dan komunikan menjalankan perannya masingmasing, namun dalam pelaksanaanya kurang optimal.
Dokter gigi berperan sebagai komunikator terjadi pada saat menyampaikan
alternatif perawatan kepada pasien dan berperan sebagai komunikan pada saat
pasien meminta jenis perawatan berupa tumpatan pada gigi anterior dan pada saat
menerima keluhan melalui media tidak langsung (telepon) dari pasien. Dari sisi
dokter gigi sebagai komunikator, terjadinya gap komunikasi kemungkinan
dikarenakan dalam penyampaian informasi menggunakan bahasa yang kurang
dimengerti oleh pasien, tidak dapat mengarahkan pasien untuk mencapai persepsi
yang sama, kurangnya penekanan pada penjelasan hak autonomy pasien yang
mana apabila pasien telah memilih jenis perawatan maka dokter gigi tidak dapat
disalahkan atas keputusan pasien tersebut dengan asumsi perawatan telah
diberikan sesuai standar. Seharusnya, dokter gigi sebagai komunikator dapat
memberi penjelasan secara efektif sehingga pasien dapat mengerti dan tercapainya
persepsi yang sama. Selain itu, ada baiknya pemberlakuan inform consent secara
tertulis tidak hanya pada perawatan atau tindakan beresiko tetapi juga pada
tindakan dimana pasien memilih jenis perawatan yang tidak disarankan oleh
dokter gigi. Pada saat dokter gigi berperan sebagai komunikan, dokter gigi kurang
memberikan feedback dengan baik sehingga pasien merasa bahwa transaksi
terapeutik yang terjadi adalah sah dan benar dengan adanya jaminan keberhasilan,
walaupun keputusan yang diambil pasien kurang tepat. Hal ini menimbulkan
persepsi adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter gigi ketika hasil tindakan
tidak sesuai dengan harapan pasien sekalipun dokter telah melakukan tindakan
sesuai dengan standar.
Pasien berperan sebagai komunikan pada saat menerima saran perawatan
oleh dokter gigi, berperan sebagai komunikator pada saat memberikan keputusan
jenis perawatan kepada dokter gigi dan memberikan keluhan. Di sisi pasien
sebagai komunikan, terjadinya gap komunikasi kemungkinan dikarenakan pasien
kurang dapat menerima saran dari dokter gigi walaupun telah diberikan persepsi
mengenai perawatan yang sebaiknya dilakukan. Selain itu, ada kemungkinan
pasien memiliki persepsi dimana pasien ingin perawatan yang dapat memberikan
hasil yang diinginkan dalam waktu singkat. Hal ini mengarah kepada keputusan
pasien yang memilih jenis perawatan yang tidak disarankan oleh dokter gigi.
Seharusnya, pasien dari segi komunikan dapat terbuka atas saran yang diberikan
oleh dokter gigi selaku pekerja professional di bidangnya dan memandang saran
atas kondisinya dari berbagai perspektif untuk mencapai hasil terbaik. Dari sisi
pasien sebagai komunikator, pasien telah melaksanakan perannya dengan baik,
yaitu menyampaikan pesan atau keinginnannya kepada dokter gigi walaupun
sesungguhnya pesan yang disampaikan pasien berupa keputusan yang kurang
tepat.
hubungan
interpersonal
yang
baik
dapat
dilakukan
dengan
mengedepankan team work, menumbuhkan rasa empati pada lawan bicara, serta
senantiasa bersikap assertive. Dalam hal ini team work memiliki pengertian
menyatukan persepsi antara dokter gigi dan pasien agar memiliki tujuan yang
sama yaitu kesembuhan atau perawatan terbaik bagi pasien. Perawatan yang
dilakukan oleh dokter harus mendapat persetujuan dari pasien. Apabila pasien
tetap memaksakan diri untuk tidak mengikuti saran dokter, maka dokter harus
menghormati pilihan pasien namun tetap menegaskan resiko yang akan terjadi
dikemudian hari dari pilihan pasien tersebut.
Seorang dokter juga harus memiliki sikap assertive dalam berkomunikasi.
Sikap
assertive
memiliki
arti
menyampaikan
informasi
dengan
tetap
BAB 4
KESIMPULAN
Gap komunikasi yang terjadi pada dokter gigi dan pasien dalam studi
kasus ini karena adanya hambatan komunikasi dalam proses penyampaian pesan
dari keduanya. Hambatan komunikasi dapat dipengaruhi oleh latar belakang yang
berbeda dan implementasi konsep diri yang negatif, serta hubungan interpesonal
yang kurang baik. Hal ini tercermin dari kurangnya pendekatan, leading, team
work, sikap assertive, dan kecerobohan dokter gigi dalam perjanjian informed
consent, yang dapat dilihat dari kurang mampunya dokter gigi dalam
mengarahkan dan mensugesti pasien pada rencana perawatan yang paling baik,
penggunaan kalimat dalam penyampaian informasi yang kurang efektif, dan
kecerobohan dalam pembuatan informed consent, serta kurangnya penekanan
pada penjelasan hak autonomy pasien yang mana ketika pasien telah memilih jenis
perawatan maka dokter gigi tidak dapat disalahkan atas keputusan pasien tersebut
dengan asumsi perawatan telah diberikan sesuai standar. Selain itu konsep diri
yang kurang baik seperti sifat keras kepala, kurang sabar, tidak mau
mendengarkan saran dokter menyebabkan hasil perawatan yang kurang maksimal
sehingga menyebabkan munculnya keluhan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi gap komunikasi diperlukan hubungan
interpesonal yang baik antara komunikan dan komunikator, dengan cara
mengedepankan team work, menumbuhkan rasa empati pada lawan bicara,
senantiasa bersikap assertive, dan konsep diri yang baik sehingga timbullah
kesaamaan persepsi dan tujuan dari keduanya yang akan menghasilkan perawatan
maksimal dan kepuasan dari pasien.
BAB 5
DAFTAR PUSTAKA
1. Atashoki, Antonius. 2005. Relasi dengan Sesama. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
2. Chase, Rendal. 2013. Elements of Effective Communication, 4th Edition.
USA: Plain and Precious Publishing
3. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja
Rosdakarya, 2005
4. Materi perkuliahan Wawancara Anamnesis (27 Maret 2015)