Professional Documents
Culture Documents
AGUS SUTIYONO
No. Reg. 7627070790
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2010
1
ABSTRAK
2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai dijadikan landasan untuk
menyusun konsep dan strategi baru dalam pengembangan pendidikan dan
pelatihan petugas satpol PP guna mempersiapkan personil SDM dengan
kompetensi yang memadai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dari
petugas Satpol PP.
3
ABSTRACT
4
KATA PENGANTAR
5
khususnya kepada bapak H. Harianto Badjoeri, selaku kepala Satpol PP Provinsi
DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian dijajarannya.
Ayahku (Bapak Karnomo Alm,), Nenek ku (Biyung), Ibu ku, Istriku dan
Anakku yang selalu memberi warna dan jejak yang jelas dalam pengabdian
terbaik untuk masyarakat. Gelar ini penulis dedikasikan untuk perjuangan yang
Nenek/Bapak/Ibu/Istri dan anak yang telah mendukung dengan sabar, tekun
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Begitu banyak
teman, sahabat yang terus menginspirasi penulis untuk terus dapat melakukan
yang terbaik dalam perjalanan hidup ini.
Dr.Karnadi, M,Si, Dr.Maruf Akbar, Prof.Dr.Mulyono,M.Pd terima kasih
atas semua support yang Bapak berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi ini. Tuhan telah mengirimkan semua orang-orang yang selalu
memberikan penulis semangat untuk memberikan yang terbaik. Kepada semua
pihak yang sangat intens memberikan support penulis sampaikan terima kasih,
ALLAH Maha Penyayang yang akan memberikan dan membalas semua
kebaikan yang telah dilakukan.
Jakarta, Januari 2010
Penulis,
6
DAFTAR ISI
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
11
BAB I PENDAHULUAN
12
12
B. Identifikasi Masalah
18
C. Pembatasan Masalah
19
D. Rumusan Masalah
19
20
22
A. Kerangka Teori
22
1. Kinerja
22
39
3. Motivasi Kerja
51
60
C. Kerangka Berfikir
61
D. Hipotesis Penelitian
65
67
A. Tujuan Penelitian
67
68
68
70
E. Instrumen Penelitian
71
F. Ujicoba Instrumen
77
7
G. Teknik Analisis Data
81
H. Hipotesis Statistik
81
83
83
96
C. Pengujian Hipotesa
104
110
E. Pembahasan
110
F. Keterbatasan Penelitian
114
116
A. Kesimpulan
116
B. Implikasi
117
C. Saran
118
Daftar Pustaka
119
Biografi Penulis
121
8
DAFTAR TABEL
TABEL
KETERANGAN
HAL
Tabel 2.1
29
Tabel 2.2
55
Tabel 3.1
Rancangan Faktorial A x B
66
Tabel 3.2.
Sampel Penelitian
68
Tabel 3.3.
71
Tabel 3.4
Skala Likert
73
Tabel 3.5
74
Tabel 3.6
76
Tabel 3.7
77
Tabel 3.8
78
Tabel 4.1
81
83
84
86
pelatihan
Model
Competence
based
87
9
TABEL
KETERANGAN
HAL
Tinggi (A1B1).
Tabel 4.6
pelatihan
Model
Competence
89
based
90
91
Tabel 4.9
93
Tests of Normality
96
Tabel 4.11
97
Tabel 4.12
98
Tabel 4.13
ANOVA
98
Tabel 4.14
100
Tabel 4.15
ANOVA
100
Tabel 4.16
101
Tabel 4.17
ANOVA
101
10
TABEL
KETERANGAN
HAL
Tabel 4.18
103
Tabel 4.19
107
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Keterangan
Hal
Gambar 2.1
Indikator Kinerja
24
Gambar 4.1
82
83
Gambar 4.3
85
86
88
89
91
92
12
BAB I
PENDAHULUAN
penegakan
hukum
dan
ketertiban,
diharapkan
mampu
13
Menatalaksanakan tugas-tugas atas kewenangan tersebut, Satpol PP
selalu berpijak pada protab dalam sistem yang telah baku dimana mengikat
keberadaan dari Satpol PP untuk bertindak dalam kerangka kewenangan
prosedural yang harus jelas dan terukur. Kerangka yang menjadi pijakan bagi
petugas untuk mejalankan tugas pelayanan sehari-hari.
Keberadaan Satpol PP di DKI Jakarta, saat ini diperkirakan lebih 8.000
personel terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tersebar di lima wilayah yaitu:
Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat 2.
Hanya saja yang sudah ditetapkan secara resmi dalam Surat Keputusan
Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 belum ada separuhnya,
sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu jumlah yang
sangat tidak memadai untuk melakukan layanan perlindungan dan upaya
penegakan peraturan daerah. Dimana perbandingan idealnya adalah 1:900,
untuk menjangkau luas wilayah DKI 661,260Km2 dengan kuantitas penduduk
diperkirakan 12.000.000 jiwa.3
Memenuhi
harapan
masyarakat
atas
upaya
perlindungan
dan
2
3
Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15 Maret 2009.
Ibid.
14
manajerial khususnya pemahaman, pendalaman pengetahuan indikator aspek
hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Faktor-faktor penyebab
utamanya adalah minimnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
petugas Satpol PP. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum
dapat dipenuhi dalam sistem perekrutan aparat. Belum adanya standar layanan
minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satpol PP.
Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis dari hulu hingga
hilir, dimana menempatkan petugas Satpol PP sebagai ujung tombak dalam
menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi hilirnya, tanpa pelibatan proses
sejak awal.
Kurangnya
alokasi
rutin
yang
dianggarkan
oleh
Anggaran
memadai.
Petugas
Satpol
PP
pada
umumnya
memiliki
status
kepegawaian yang masih bersifat honorer dengan gaji di bawah Upah Minimum
Regional (UMR) nasional.
Tugas operasional lapangan dan penetapan sanksi masih menjadi
kendala bagi petugas Satpol PP. Hambatan pelaksanaan tugas aparat Satpol PP
di luar anggaran rutin umumnya pada pelaksanaan tugas penertiban, terutama
masih banyaknya oknum tertentu yang melindungi pelaku-pelaku pelanggar
Perda yang kebanyakan pada sektor hiburan malam dan prostitusi. Sementara
itu penerapan sanksi yang bersifat pemaksaan terkendala oleh aturan hukum
akibat otoritas yang terbatas khususnya menyangkut sanksi penangkapan,
penahanan dan kurungan.
15
Berkaitan dengan kesulitan tugas di lapangan, tugas aparat satpol PP
dilapangan perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Selain
pengetahuan tentang hukum Dinas Tramtib, petugas juga harus dibekali dengan
pengetahuan yang luas tentang masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya
kemampuan penanggulangan penyakit masyarakat (patologi sosial) seperti
masalah alkoholisme, kenakalan remaja, miras, gelandangan, dan pelacuran.
sehingga ungkapan ketidaktahunan tentang berbagai fenomena sosial di dalam
masyarakat terutama di kota yang menjadi wilayah tugasnya dapat dihindari dan
diantisipasi dengan tepat.
Petugas Satpol PP bukan hanya semata merupakan kekuasaan belaka.
Namun lebih sebagai pengayom, pencegah maupun penegak perlindungan dan
ketertiban. Petugas satpol PP dituntut untuk dapat melindungi masyarakat dari
kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Tingkat kemajuan masyarakat
yang
tinggi
diiringi
dengan
kecenderungan
munculnya
segala
bentuk
juga
berkewajiban
untuk
turut
serta
secara
aktif
dalam
16
menyelenggarakan upaya perlindungan dan ketertiban dengan cara mematuhi
segala ketentuan yang ada, memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan
dan mengontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena keamanan dan
ketertiban pada dasarnya adalah merupakan tanggung-jawab bersama antara
masyarakat dan pemerintah.
Kebersamaan yang sinergis antara masyarakat dan pemerintah
menjadikan petugas Satpol PP lebih bersemangat dan bertanggung jawab dalam
penegakan perda. Satpol PP sebagai satuan organisasi perlu memilliki
kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya
dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh
melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang terfokus pada
peningkatan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh setiap petugas untuk
dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom
masyarakat. Melalui assesment dari hulu sampai hilir, didukung pendidikan dan
pelatihan yang berbasis kompetensi akan mengarahkan seseorang pada
kemampuan standart, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada persesuaian
kompetensi terhadap kebutuhan pengembangan organisasi.
Kebutuhan akan pengembangan diri dan organisasi dapat dimotivasi
dari diri sendiri, dengan upaya memperoleh kebebasan dan otonomi untuk
menumbuhkan semangat kerja. Pimpinan yang tanggap akan dapat mengetahui
motivasi dari bawahannya, sehingga dapat membuka jalan menuju produktivitas
kerja yang diharapkan organisasi. sehingga akan mendorong motivasi, semangat
kerja dan meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja, serta meningkatkan
antusias kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perorangan dan
17
kelompok dalam organisasi menurut ukuran atau batasan-batasan yang
ditetapkan.
Motivasi dapat ditempatkan sebagai bagian yang fundamental dari
kegiatan
manajemen.
Seseorang
yang
termotivasi
dalam
melakukan
18
B. Identifikasi Masalah
Mengacu pada konsep otonomi daerah yang diamanatkan Undang
Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 120
menekankan pada keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang
bertugas membina ketenteraman ketertiban masyarakat, memberi peringatan
dini, pemeliharaan, penanggulangan, dan penegakan peraturan daerah (perda)
yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural dimana
mengacu pada kepentingan terbaik untuk masyarakat.
Mengacu pada pemahaman diatas, maka penelitian dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya petugas Satpol PP?
2. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas
sumber daya petugas Satpol PP?
3. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan kualitas
sumber daya petugas Satpol PP?
4. Bagaimana meningkatkan kinerja petugas Satpol PP?
5. Bagaimana strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
kinerja petugas Satpol PP?
6. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas
kinerja petugas Satpol PP?
7. Bagaimana
mengembangkan
motivasi
petugas
Satpol
PP
dalam
melaksanakan tupoksinya?
8. Bagaiman strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan motivasi
petugas Satpol PP dalam melaksanakan tupoksinya?
19
9. Pendekatan apa saja yang dapat digunakan dalam mengembangkan motivasi
kerja petugas Satpol PP?
10. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP ?
11. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP ?
12. Bagaimana pengaruh pendekatan Competency-based Education and Training
(CBET) terhadap peningkatan kinerja petugas Satpol PP perempuan ?
13. Bagaimana pengaruh pendekatan competency-based education and training
(CBET) terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP perempuan ?
14. Apakah terdapat korelasi antara pendekatan Competency-based education
and training (CBET), terhadap pengembangan motivasi petugas Satpol PP
perempuan ?
C. Pembatasan masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan tentang pengaruh
motivasi dan pelatihan terhadap kinerja petugas Satpol PP didalam lingkup
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
D. Perumusan Masalah
Dari identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian
ini perumusan masalah dirumuskan sebagai berikut:
20
1. Apakah terdapat perbedaan kinerja antara petugas satpol PP yang mengikuti
model pelatihan Competency Based Education and Training (CBET) dengan
model pelatihan konvensional ?
2. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pelatihan dengan motivasi
kerja terhadap kinerja petugas satpol PP ?
3. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan
mengikuti pelatihan model Competency Based Education and Training
(CBET) lebih tinggi dibandingkan kinerja satpol PP yang memiliki motivasi
tinggi dan mengikuti pelatihan konvensional ?
4. Apakah kinerja petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan
mengikuti model pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja petugas
satpol PP yang memiliki motivasi rendah dan mengikuti Competency Based
Education and Training (CBET)?
21
2. Kegunaan Praktis
Penelitian yang dilakukan di Dinas Satpol PP provinsi DKI ini
diharapkan dapat memberikan masukkan atau rekomendasi khususnya
kepada pihak manajemen dalam peningkatan kompetensi petugas Satpol
PP yang lebih baik di masa yang akan datang dengan mengutamakan
kepentingan terbaik untuk masyarakat.
22
BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Satpol PP merupakan perangkat aparat pelaksana layanan
perlindungan dan penegak hukum dalam konteks institusi ketenteraman
dan ketertiban (tramtib) di lingkungan dimana ditugaskan. Kinerja Satpol PP
mengacu pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pembina ketenteraman
ketertiban
masyarakat
(tramtibmas),
pemberi
layanan
perlindungan,
23
telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Mewujudkan pencapaian tujuan
tersebut harus ditopang oleh semangat dan kegairahan kerja pegawai. Oleh
karena itu organisasi atau instansi perlu mengetahui berbagai kelemahan
dan
menguatkan
kelebihan.
Suatu
hal
yang
lumrah
mengetahui
24
menentukan hasil usaha perorangan dan kelompok. Kesanggupan (ability)
adalah fungsi dari pengetahuan dan skill manusia dan kemampuan
teknologi. Ia memberikan indikasi tentang berbagai kemungkinan prestasi.
Usaha (effort) adalah fungsi dari kebutuhan. Sasaran, harapan dan
imbalan. Besar kemampuan terpendam manusia yang dapat direalisir itu
bergantung pada tingkat motivasi individu dan/atau kelompok untuk
mencurahkan usaha fisik dan mentalnya. Tetapi tak akan ada yang terjadi
sebelum
manajer
memberikan
kesempatan
(opportunity)
kepada
Anoraga, Panji dan Sri Suyati. 1995. Perilaku Keorganisasian.Cetakan Pertama. Penerbit Dunia Pustaka
Jaya. Jakarta. Hal. 132
25
Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke
dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: (1) kualitas kerja; (2)
kuantitas kerja; (3) pengetahuan tentang pekerjaan; (4) pendapat atau
pernyataan
yang
disampaikan;
(5)
keputusan
yang
diambil;
(6)
mempunyai
hubungan
yang
erat
dengan
masalah
26
dicapai seseorang)5. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kinerja karyawan
(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat serupa juga
disampaikan oleh Irawan yang mengemukakan bahwa kinerja merupakan
satu-satunya petunjuk yang dapat kita percayai untuk menyimpulkan
apakah suatu organisasi, unit atau pegawai sukses atau gagal, berprestasi
atau tidak.6
Menurut Hariandja kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan
oleh pegawai atau perilaku nyata yang dinyatakan sesuai dengan perannya
dalam organisasi atau instansi.7 Sedangkan Husein mendefinisikan kinerja
sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang tenaga
kerja
dalam
Mangkunegara, Anwar P., Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, (PT. Refika Aditama,
Bandung: 2005), hlm. 9.
6
Irawan, Prasetya et.al, Manajemen Sumber Daya Manusia, (STIA-LAN: Jakarta, 2002), hlm. 11.
7
Hariandja, Marihot Tua Efendi,Drs.,M.Si., Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan,
Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai, Edisi I, Cetakan
ketiga, (Bumi Aksara, Jakarta: 2005), hlm. 195.
8
Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Edisi Revisi, (Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta: 2002), hlm. 14.
9
Handoko T. Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (BPFE, Yogyakarta:
2002), hlm. 25.
27
put,
efisiensi
serta
efektivitas
dan
sering
dihubungkan
dengan
produktivitas.10
Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai kegiatan
harus dilakukan orgisasi atau instansi untuk meningkatkannya. Salah satu
diantaranya adalah melalui penilaian kinerja. Menurut Efendi Hariandja
Penilaian kinerja merupakan salah satu proses organisasi atau instansi
dalam menilai kinerja pegawainnya11. Tujuan dilakukannya penilaian kinerja
secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada pegawai dalam
upaya memperbaiki tampilan kerja dan upaya meningkatkan produktivitas
organisasi. Secara khusus dilakukan dengan berbagai kebijaksanaan
terhadap pegawai seperti untuk tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan
dan latihan.
Dikemukakan oleh Tika bahwa kinerja adalah hasil-hasil fungsi
pekerjaan (motivasi, kecakapan, persepsi peranan) seseorang dalam suatu
organisasi atau instansi yang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk
mencapai tujuan organisasi atau instansi.12
teori
28
didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan
bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens).13
Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber
daya manusia dalam organisasi atau instansi, baik unsur pimpinan maupun
pekerja. Banyak sekali aspek maupun faktor yang dapat mempengaruhi
sumberdaya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Adapun aspek-aspek
standar pekerjaan menurut Mangkunegara14 terdiri dari aspek kuantitatif
dan aspek kualitatif. Aspek kualitatif meliputi: (1) Proses kerja dan kondisi
pekerjaan; (2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan
pekerjaan; (3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan; dan (4)
Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek
kualitatif meliputi: (1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan; (2) Tingkat
kemampuan dalam bekerja; (3) Kemampuan menganalisis data/informasi,
kemampuan/kegagalan
menggunakan
mesin/peralatan;
dan
(4)
13
14
29
Ability (A), motivasi atau Motivation (M) dan kesempatan atau Opportunity
(O), yaitu kinerja = f(A x M x O).15 Dengan demikian, kinerja ditentukan
oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan
kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan
fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu.
Sedangkan menurut Davis dan Newstrom yang di kutip Husein yang
menyebutkan variabel-variabel yang mampu mempengaruhi tingkat prestasi
dan kinerja (performance) organisasi, yakni : kewenangan organisasi,
kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungan organisasi.16
Sementara menurut Wibowo mengemukakan bahwa faktor yang
dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya,
terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri
maupun dari luar dirinya antara lain: (1) Kemampuan berdasar pada
pengetahuan
dan
keterampilan,
kompetensi
yang
sesuai
dengan
mereka
berprestasi,
dan
memberi
bagaimana
penghargaan
mereka
kepada
pegawai
mengembangkan
yang
serta
Veithzel Rivai dan, Ahmad F.M. Basri, Performance Appraisal (PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2005), hlm. 15.
16
Husein, Op Cit., Hlm. 134.
30
kerja
internal
organisasi
atau
instansi,
seperti
kondisi
hubungan
Simamora
dalam
Mangkunegara
bahwa
upaya
17
18
Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005), hal.65-66.
Mangkunegara, Op Cit., hlm. 14.
31
bersedia dan mampu, tetapi bisa saja ada rintangan yang ada dapat
menjadi penghambat yang cukup berarti.
Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,
antara lain dikemukakan Amstrong dan Baron (1998,16) yang dikutip oleh
Wibowo yaitu, sebagai berikut :
a) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan kompetensi
yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
b) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan
dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader.
c) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh
rekan sekerja.
d) System factors, ditunjukkan oleh system kerja dan fasilitas yang
diberikan organisasi.
e) Contextual/situational
factors,
ditunjukkan
oleh
tingginya
tingkat
Sementara
itu,
dari
segi
organisasi
atau
instansi
19
mereka
memberikan
penghargaan
pada
pegawai,
dan
32
bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pegawai
melalui coaching, mentoring dan counselling.20
Indikator kinerja atau performance indikators kadang-kadang
dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance
measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja
berkaitan dengan hasil yang dikuantitatifkan dan mengusahakan data
setelah kejadian. Sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas
yang hanya dapat ditetapkan secara kualitatif atas dasar perilaku yang
dapat diamati. Menurut Hersey, Blanchard, dan Jhonson yang di kutip oleh
Nengah21, terdapat tujuh indikator kinerja, yang digambarkan sebagai
berikut:
20
21
hlm.386.
33
competenc
e
feedback
goals
motive
standard
means
opportunity
34
ini dapat berasal dari dalam dan luar organisasi. Umpan balik dari
dalam organisasi merupakan evaluasi yang dilakukan secara bersama
atau melalui tim khusus yang dibentuk untuk memberikan masukan
terhadap sebuah pencapaian tujuan organisasi. Umpan balik dari luar
organisasi dapat dilihat dari respon masyarakat (pengguna) dari produk
maupun jasa yang di hasilkan oleh organisasi.
4) Means (alat atau sarana) merupakan sumber daya yang dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.
Alat atau sarana merupakan faktor penunjang untuk pencapaian tujuan.
5) Competence (kompetensi) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya
dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan
tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
6) Motive (motif) merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk
melakukan sesuatu. Pimpinan memfasilitasi motivasi kepada karyawan
dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan
tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan
balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu
melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan
menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintesif.
7) Opportunity (peluang) merupakan peluang untuk menunjukkan prestasi
kerjanya.
Terdapat
dua
faktor
yang
menyumbangkan
adanya
35
kekurangan kesempatan untuk berprestasi, yaitu ketersediaan waktu
dan kemampuan untuk memenuhi syarat.22
Kinerja amat bergantung sejauh mana upaya seseorang untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Tujuan yang telah
ditetapkan ini merupakan tujuan yang terukur dan dapat diobservasi oleh
seluruh anggota organisasi sehingga tujuan merupakan sesuatu yang
konkrit dan nyata bukan merupakan hal yang abstrak dan mengawang jauh
dari kenyaataan. Kemampuan organisasi untuk meramu bentuk dari tujuan
yang ingin dicapai menjadi amat penting, karena hal itu dapat memberikan
kejelasan kepada anggota organisasi untuk mencapai target tujuan yang
hendak dicapai.
Sarana dan kompetensi merupakan faktor pendukung yang penting
yang diperlukan oleh setiap anggota untuk mencapai tujuan organisasi.
Sarana dan kompetensi memungkinkan seorang anggota organisasi dapat
mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
Motif yang dimiliki seorang anggota organisasi merupakan hal yang
cukup penting dalam usaha mendorong seorang anggota organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Kemampuan seorang pemimpin untuk
memfasilitasi motif dari setiap anggotanya menjadi faktor kunci bagi
kelancaran pergerakan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Peluang yang diperoleh oleh seorang anggota organisasi juga
memegang peranan penting bagi anggota untuk turut andil mencapai tujuan
22
36
organisasi. Ketersedian waktu yang dimiliki oleh seorang anggota
organisasi memegang peranan penting guna menunjukkan prestasi
kerjanya secara optimal sesuai dengan kebutuhan upaya untuk mencapai
tujuan organisasi. Prestasi kerja seorang anggota organisasi perlu ditunjang
oleh kemampuan untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh organisasi
untuk melakukan suatu pekerjaan.
Beberapa penjabaran di dapat dirangkumkan kedalam beberapa
kata kunci untuk menunjukkan kinerja seorang anggota satpol PP yaitu:
Hasil pekerjaan, insentif dan produktifitas. Hasil pekerjaan hasil pekerjaan
yang dicapai oleh individu dan terkait pada tujuan organisasi yang telah
ditetapkan oleh organisasi dan tunjang oleh sistem, kepemimpinan, sarana,
dan dukungan organisasi yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan
insentif merupakan hal-hal yang berkaitan dengan motif dan kebutuhan
yang ada dalam diri individu. Dan produktifitas berkaitan dengan
kemampuan seorang anggota organisasi untuk menghasikan jumlah
pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan peluang yang dimiliki oleh
seorang anggota organisasi menyelesaikan pekerjaannya.
Berdasarkan penjabaran konsep di atas maka kinerja yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil tertentu. Perbuatan tersebut
mencakup hasil, insentif dan produktifitas yang hasilkan melalui proses
yang terfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya
standar pelaksanaan dan kualitas yang diharapkan.
37
2. Dimensi dan Indikator Kerja
Sebagaimana definisi kinerja yang dirumuskan di atas, maka dalam
mengukur kinerja terdapat beberapa faktor atau dimensi yang harus
terpenuhi yaitu kualitas kerja, kunatitas kerja, pengetahuan, keandalan,
kehadiran dan kerjasama. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam
beberapa indikator sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut :
38
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kinerja
No
1
Dimensi
Indikator
Kualitas Kerja
Kuantitas kerja
Ketelitian bekerja
Kerapian bekerja
Menurunnya
kecenderungan
penyimpangan
dan
Pengetahuan
Keandalan
Kehadiran
Memiliki inisiatif
Kerjasama
bidang
layanan
perlindungan
dan
penegakan ketertiban
-
39
No
Dimensi
Indikator
madani menyelenggarakan sistem kontrol sosial
untuk
mnegakkan
perlindungan
dan
ketertiban
bermasyarakat
-
kinerja.
Mengacu
dalam
bahasa
inggris,
education
Dalam
pengertian
sempit,
McLeod
mendefinisikan
penggunaan
pengalaman
kehidupan.25
Nedle
dalam
Tilaar
John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia (Jakarta: PT Gramedia, 2005), h.
205
24
William T McLoad, (edt.), The New Collins Dictionary and Thesaurus ( Glasgow: William Collins
Sons and Co.Ltd., 1989).
25
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Rosdakaya, 2008),
h.10
26
Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasioanl (Bandung: Rosadakarya, 2001) h.202
40
pengertian yaitu pengertian yang bersifat teoritis dan pengertian pendidikan
dalam arti praktis.27 Menururtnya, pendidikan dalam arti pertama adalah
pemikiran
manusia
terhadap
masalah-masalah
kependidikan
untuk
diri
dimana
(pribadi
Individu)
merealisasikan
dan
27
41
c. Menurut John Dewey
Etimologycall the world education means just a proccess of
leading or bringing of. When we have the out come of the process in
mind we speakz of education as shaping, forming, molding activity that
is, a shaping into the standart from of social activity.31 Artinya, secara
etimologi, kata pendidikan hanya berarti suatu proses memimpin atau
mengasuh, jika kita telah menghsilkan proses kejiwaan, kita katakan
bahwa pendidikan adalah proses pembentukan pembinaan, dan
percetakan aktivitas, yakni pembentukan ke dalam bentuk standar dari
aktivitas sosial.
Menurut Chabib Thoha, Pendidikan dalam arti praktek atau
suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan
potensi-potensi
yang
dimiliki
subjek
didik
untuk
mencapai
31
42
Pelatihan adalah suatau kegiatan untuk memperbaiki kemampuan
kerja seseorang dalam kaitannya dengan aktivitas tertentu.33 Dessler
mengartikan pelatihan sebagai proses pembelajaran.34 Donaldson dan
Scannel memaknai pelatihan sebagai upaya perubahan perilaku.
menurutnya
pendikan
35
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan
kemampuan
dan
sekadar
ranah
psikomotorik,
namum
juga
meliputi
aspek
43
Menurut Brown, pelatihan merupakan salah satu kegiatan pokok
dalam pengembangan sumberdaya manusia.38 Hal ini karena kondisi dan
tuntutan lingkungan yang selalu berubah, serta perkembangan ilmu dan
teknologi,
menyebabkan
organisasi
atau
lembaga
harus
selalu
untuk
membina
kepribadian,
meningkatkan
dan
44
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan karyawan dalam
bekerja.
Pelaksanaan diklat sangat beragam jenis program dan model yang
digunakan. Berikut adalah dua model diklat yang biasa dilakukakan dalam
berbagai kegiatan.
sumberdaya
bukan
sekedar
membentuk
kompetensi,
tetapi
45
Senada dengan pengertian tersebut, Mulyasa41 menjelaskan bahwa
kompetensi merupakan indikator yang menunjuk pada perbuatan yang bisa
diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspekaspek pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap serta tahaptahap pelaksanaannya secara
utuh.
Bagi Spencer dan Spencer kompetensi adalah karakteristik yang
mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu
dalam pekerjaannnya.42 Kompentensi seorang individu merupakan sesuatu
yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep
diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi
individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan
melalui pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya menurut Spencer dan Spencer kompetensi dapat
dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu threshold competencies dan differentiating
compentencies. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang
harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya.
Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan ratarata. Sedangkan differentiating competiencie adalah factor-faktor yang
membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.43 Misalnya
seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti
41
E. Mulyasa, Dr., M.Pd., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2007), h. 88
42
M.Lyle Spencer and M.Signe Spencer , Competence at Work:Models for Superrior
Performance (New York: John Wily & Son,Inc,New York,1993), h.120
43
Ibid., h.122
46
pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila dosen dapat
mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya
tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah
masuk kategori differentiating competencies.
Mengacu pada berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa kompetensi yang dimaksud adalah kompetesi yang mencakup
tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai tugas pokok dan fungsi
sumber daya tersebut.
Kompetensi seseorang dapat berkembang atau meningkat melalui
beberapa cara, seperti melalui pengalaman, belajar sendiri, pendidikan
formal maupun melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) tertentu. Masingmasing pola perkembangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan,
namun sebaiknya diperoleh melalui perpaduan dari semua cara tersebut.
Merujuk pada aspek teoritis dan praktis perkembangan kompetensi
yang diperoleh melalui Diklat dapat dikatakan lebih lengkap dan mendalam
dari pada melewati pengalaman. Hal ini karena pada pelaksanaan diklat
dirancang berdasarkan sistem belajar yang terstruktrur yang dibimbing oleh
banyak fasilitator dan penyelenggara. Lain halnya dengan perkembangan
kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman, dimana lebih banyak
didasarkan pada kegiatan praktek langsung sebagai respon dari kebutuhan
hidup dimana selama ini sumber daya tersebut tinggal dan bermukim.
Competency Based Education and Training (CBET) merupakan
salah satu pendekatan dalam pengembangan kompetensi sumber daya
47
manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Competency Based
Education and Training (CBET) sangat fleksibel dalam proses kesempatan
untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Hasil Competency
Based Education and Training (CBET) menuntut persyaratan dan
karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara
nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada
umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input),
proses, dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak
sesuai dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.
Tujuan Competency Based Education and Training (CBET) adalah
agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara khusus, tujuan utama
Competency Based Education and Training (CBET) adalah menghasilkan
kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk
pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam
berbagai pekerjaan dan jabatan.
Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan
sertifiikasi. Hasil Competency Based Education and Training (CBET)
hendaknya dihubungkan dengan standar kompetensi yang akan diberikan.
Program pendidikan dan pelatihan didasarkan atas uraian kerja Kebutuhan
multi skilling Alur karir (career path). Menurut Rylatt
44
, terdapat 9 prinsip
48
a) Bermakna.
Praktek terbaik Kompetensi harus merefleksikan kebutuhan utama
bisnis, yang didasarkan atas standar industri / kejuruan yang terbaik.
b) Hasil pembelajaran
Competency Based Education and Training (CBET) lebih difokuskan
pada hasil pembelajaran, bukan pada penyampaian pendidikan dan
pelatihan.
c) Fleksibel
Competency Based Education and Training (CBET) dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan metode, baik yang bersifat formal maupun
informal.
d) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya.
Competency
Based
Education
and
Training
(CBET) mengakui
49
f) Penilaian yang diperlukan.
Competency
Based
Education
and
Training
(CBET)
sangat
adalah
Analisis
kebutuhan
penilaian
dan
perencanaan,
Dubois, Op.Cit, 88
50
3. Pelatihan Konvensional
Pelatihan konvensional adalah kegiatan pelatihan yang lebih
banyak menekankan pada input (masukan berupa misalnya materi, kriteria
peserta dan lain lain) dan proses serta produk yang banyak variasi dalam
upaya meningkatkan kinerja peserta. Model pelatihan ini karena terlalu
banyak variasi kadang-kadang output yang ingin dicapai menjadi tidak
terukur.
Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan
selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi
objek pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin
dicapainya sendiri sebagaimana dalam Competency Based Education and
Training (CBET).
Pemahaman yang dimaksud model pelatihan konvensional dalam
peneltian ini adalah segala kegiatan pendidikan dan pelatihan yang lebih
menekakan kepada variasi input, proses dan produk (lulusan) dalam
mencapai peningkatan kinerja. Atau dengan kata lain, model pelatihan
konvensional adalah model pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis
kompetensi.
51
B. Motivasi Kerja Kerja
1. Pengertian Motivasi Kerja
Tindakan seseorang dalam kontek apapun termasuk dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diawali oleh adanya tenaga
dorongan dari dalam dirinya serta rangsangan yang berasal dari
lingkungannya. Dorongan dari dalam dirinya berkaitan erat dengan
kebutuhannya, sedangkan rangsangan dari luar berkaitan erat dengan citacita dan harapannya seperti status sosial, uang, jabatan dan lain-lain.
Menurut Danim, motivasi (motivation) diartikan sebagai kekuatan,
dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologi yang
mendorong seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi
tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. 46 Terkait arti kognitif,
motivasi diasumsikan sebagai aktivitas individu
untuk menentukan
Hasibuan,
motivasi
adalah
daya
penggerak
yang
46
Sudarwan Danim, Prof.,Dr., Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, (PT. Rineka
Cipta, Jakarta: 2004), hlm. 2.
52
mencapai kepuasan.47 Selanjutnya menurut Hasibuan ada hal-hal yang
dapat memotivasi bawahan, yaitu:
1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang
yang mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggungjawab,
kemajuan
dapat
menikmati
pekerjaan
itu
sendiri
dan
adanya
dan
dirumuskan
dengan
pasti,
maka
selanjutnya
perlu
Hasibuan, Malayu H.SP, Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas, Bumi Aksara,
Jakarta, 2003), hlm. 97.
48
Hariandja,Op Cit, hlm. 321.
53
1) Kebutuhan fisik (the physiological needs)
2) Kebutuhan akan rasa aman (the safety needs)
3) Kebutuhan untuk dicintai (the love needs)
4) Kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs)
5) Kebutuhan untuk aktualitas diri (the needs for self-actualization)49
Teori Maslow mengenai motivasi didasarkan kepada adanya
tingkat-tingkat kebutuhan dan perubahan daya dorongnya. Perubahan daya
dorong dalam istilah Maslow disebut prepotency berarti bahwa apabila
semua tingkat kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi, maka kebutuhankebutuhan dasar yang bersifat fisik seperti sandang, pangan, papan akan
merupakan kebutuhan yang dominan. Apabila kebutuhan tingkat awal
sudah dapat terpenuhi akan mendorong manusia untuk mencapai tingkat
berikutnya dan seterusnya.
Implikasi manajerial teori Maslow disini adalah bagaimana
memotivasi pegawai atau mengaktifkan, menggerakan perilaku kerja
pegawai kearah peningkatan efektivitas organisasi. Sesuai dengan teori ini,
seorang pegawai tidak akan termotivasi untuk bekerja dengan baik
bilamana pelaksanaan pekerjaan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Gaji, upah atau uang merupakan sarana yang sangat pentinguntuk
memenuhi kebutuhan fisik. Oleh karena itu, memberikan gaji yang layak
kepada karyawan menjadi factor motivasional yang penting untuk
memenuhi kebutuhan tingkat pertama, meskipun gaji dapat juga menjadi
sarana untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Sesuai dengan teori diatas
49
54
juga, bilamana kebutuhan fisik terpenuhi, kebutuhan rasa aman akan
meningkat intensitasnya. Program seperti tunjangan kesehatan, pension,
asuransi dan keselamatan kerja merupakan faktor motivasional yang
sangat penting. Penyediaan sarana ibadat, olahraga, dan berbagai kegiatan
yang bersifat social yang memungkinkan terjadinya interaksi intensif
diantara karyawan juga merupakan faktor motivasional untuk memenuhi
kebutuhan tingkat ketiga. Kesempatan mengembangkan diri melalui
program pendidikan merupakan faktor motivasional untuk memenuhi
kebutuhan tingkat yang lebih tinggi, meskipun tidak semua pegawai
memiliki intensitas kebutuhan untuk ini.
Kemudian Randall S. Schuler dalam Husein menerangkan kaitan
antara motivasi dengan perilaku pegawai atau individu dalam suatu
organisasi memotivasi pegawai berarti upaya mendapatkan pegawai
dengan cara terus menerus berusaha menghilangkan prilaku yang tidak
dikehendaki oleh organisasi.50 Perilaku yang tidak dikehendaki oleh
organisasi
adalah
rendahnya
kinerja
pegawai,
tingginya
tingkat
55
mendasari motivasi manusia, yaitu pengharapan, nilai dan penghargaan. 51
Melalui teori Pengharapan (Expectancy theory) menerangkan bahwa
manusia dalam pekerjaannya biasanya mempunyai beberapa alternatifalternatif untuk dipilih. Dan dia harus memilih satu diantara alternatifalternatif tersebut berdasarkan pengharapannya. Dengan perkataan lain,
alternatif yang dipilih haruslah alternatif yang memberi imbalan yang sesuai
dengan prestasi kerja yang dicapai pegawai bersangkutan. Nilai sendiri
adalah tingkatan kesenangan atau kesukaan yang ada di dalam diri individu
untuk mendapatkan sejumlah keuntungan. Nilai yang dimaksud di sini
seperti insentif atau uang, prestasi yang dicapai, kondisi kerja yang baik,
kesempatan untuk meningkatkan karier, dan lain-lain. Karena itu nilai juga
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mereka harapkan dari
pekerjaan
yang
dilakukannya.
Sedangkan
penghargaan
adalah
51
56
2) Sifat-sifat pekerjaan, antara lain mencakup tugas-tugas yang harus
dilaksanakan, tanggung jawab yang diemban dan kepuasan yang
muncul.
3) Lingkungan kerja dan situasi kerja karyawan. Pola interaksi antar
karyawan sangat mempengaruhi aktivitasnya dalam bekerja. Dia dapat
dimotivator oleh rekan kerja. Penghargaan atasan dan manfaat
organisasi menentukan motivasi bekerja seseorang.52
Jelas terlihat bahwa maka motivasi memiliki peran penting bagi
organisasi untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala
daya dan potensi tenaga kerja yang ada kearah pemanfaatan yang optimal
sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia dengan didukung sarana
dan prasarana. Jelas terlihat bahwa motivasi berperan sebagai pendorong
kemauan dan keinginan untuk melaksanakan tugas menurut ukuran dan
batasan yang telah ditentukan. Adanya motivasi yang tinggi dari
para
53
57
karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil yang
dikehendaki orang-orang tersebut. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang
menimbulkan dorongan atau semangat kerja karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan,
peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan.
Selain itu juga dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan kebutuhannya
masing-masing.
Menurut
teori
Modern
tentang
motivasi
kerja
antara
lain
58
bersama secara inovatif. Kedua, berani mengemukakan pendapat dan
mempertanggungjawabkan
demi
kemajuan
organisasi.
Ketiga,
memeiliki
antisipasi
atau
berpikir
ke
depan
dengan
59
2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja
Berpijak dari berbagai konsep teori motivasi yang dideskripsikan
diatas, indikator motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah
didasari oleh teori pengharapan menurut Porter dan Miles yang dikutip
Danim yang merupakan pengembangan teori tersebut, mengemukakan
bahwa ada tiga variabel yang mempengaruhi motivasi individu dalam
bekerja, antara lain sifat-sifat individual pekerja, sifat-sifat pekerjaan, dan
lingkungan kerja serta situasi kerja karyawan.55
Selain itu, juga terkait teori modern tentang motivasi kerja yang
dikembangkan Douglas McGregor sebagaimana dikutip Danim yang
disebut dengan Teori Y dengan asumsi bahwa motivasi manusia akan
terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan dihadapkan kepada
tantangan-tantangan.56 Teori ini menggariskan bahwa didalam kerjasama
antar-manusia organisasional, faktor lingkungan memberi pengaruh yang
signifikan atau tidak sedikit. Menurut teori ini juga, manusia modern bekerja
semata-mata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas
imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, antara lain: adanya
kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak, tugas pokok dan fungsinya
menuntut dia bekerja, dorongan untuk berprestasi, rasa ingin mencapai
tujuan secara cepat dengan kesadaran akan tujuan, suasana atau iklim
lingkungan kerja yang sehat, dan terpenuhinya kebutuhan pribadi.
55
56
60
Berdasarkan penjabaran di atas maka dimensi dalam motivasi kerja
terdiri atas motif, harapan dan komitmen. Masing-masing dimensi
dijabarkan dalam beberapa indikator sebagaimana disebutkan dalam tabel
berikut:
Tabel 2.2. Dimensi dan Indikator Motivasi Kerja
Dimensi
Motif
Harapan
Komitmen
Indikator
Segenap kemampuan dan tenaga
Kepuasan dari pekerjaan
Hasrat yang kuat dalam bekerja
Mencari tantangan baru
Kemampuan bekerja
Pekerjaan menantang.
Membuat jadwal
Menerapkan program
Memiliki jalur karir yang baik
Menunjukkan loyalitas
Adanya penerapan sanksi yang adil
Termotivasi dalam segala hal
Adanya kesempatan untuk maju
Kebebasan menjalankan ibadah
Tanggung jawab
Seger, Analisis Hubungan Motivasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Kepuasan Kerja Terhadap
Disipli Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Departemen Keuangan. Tesis Program Pascasarjana. (Magister Manajemen. Universitas
Bhayangkara. Jakarta: 2005), hlm. 15.
61
disiplin yang dimiliki oleh pegawai maka akan memudahkan para pimpinan
membina bawahannya. Disiplin terkait dengan pemberian motivasi,
pemberian pendidikan dan pelatihan, dan kepuasan kerja pegawai dan
dengan disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab
seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Sahlan58 menganalisa tentang
pengaruh disiplin dan insentif terhadap prestasi kerja karyawan pada PT.
Rapico Busana Permata Indah membuktikan bahwa keduanya (disiplin dan
insentif) mempunyai hubungan yang signifikan secara bersama-sama.
Artinya pula apabila antara keduanya maka disiplin mempunyai pengaruh
terhadap prestasi karyawan sedangkan insentif juga mempunyai pengaruh
terhadap prestasi karyawan.
Penelitian tersebut mendorong penulis untuk melakukan analisis
yang sama pada satuan Petugas Satpol PP dengan mengembangkan
hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian sebelumnya melalui desain yang
berbeda dengan variabel bebas yaitu model pelatihan, motivasi, dan
variabel terikat yaitu kinerja pegawai.
E. Kerangka Berfikir
Setiap petugas Satpol PP dituntut untuk memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan
peraturan
58
yaitu
membina
ketenteraman
ketertiban
masyarakat
Sahlan, Pengaruh Disiplin dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada PT. Rapico
Busana Permata Indah. Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen, (Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia, Jakarta: 2007), hlm. 102.
62
(tramtibmas), memberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan
tramtibmas dan penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati
oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Tugas dan fungsi yang
luas ini menuntut kinerja yang baik dari setiap personil satpol PP, untuk itu
pendidikan
dan
pelatihan
melalui
pendekatan
Competency
Based
adalah
hasil
kerja
yang
dicapai
seseorang
dalam
63
kemampuan, ketrampilan fisik tingkat pengetahuan lingkungan dimana
petugas Satpol PP bertugas serta sarana penunjang lainnya termasuk
latihan, bimbingan atau pengaruh dari pimpinan. Tanpa pendekatan
pendidikan dan pelatihan yang baik, sulit bagi organisasi dinas tramtib dan
linmas DKI Jakarta mencapai hasil yang optimal. Pendekatan Strategis
Competency-Based Education and Training (CBET) ini berfokus pada
peningkatan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan
untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam
berbagai pekerjaan dan jabatan petugas Satpol PP. Hal ini mendorong
gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan organisasi, pimpinan
dan petugas Satpol PP itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut maka kerangka berpikir dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) dengan kinerja
petugas yang mengikuti model pelatihan konvensional.
Kerangka ini berdasarkan uraian di atas bahwa pelatihan berbasis
kompetensi lebih baik dibandingkan model pelatihan lain. Hal ini
dikarenakan dalam Competency Based Education and Training (CBET),
seorang sumber daya dituntut untuk dapat menentukan kompetesi yang
diinginkan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan dalam suatu organisasi.
Competency Based Education and Training (CBET) lebih fleksibel dalam
penentuan kompetensi tersebut. Dalam Competency Based Education and
64
Training (CBET), diberlakukan penilaian autentik dimana peserta sendiri
yang menilai dirinya apakah ia sudah mampu mengusai kompetensi yang
dimaksudkan atau tidak.
Berbeda dengan model pelatihan biasa yang cenderung menuntut
kompetensi tertentu baik dalam hal input peserta, proses yang harus
dilakukan dan lain sebagainya sehingga kadang-kadang pelatihan yang
diadakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta. Akhirnya tujuan pelatihan
untuk meningkatkan kinerja karyawan justru tidak tercapai secara
maksimal. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa kinerja petugas satpol PP
yang mengikuti model Competency Based Education and Training (CBET)
pada lebih tinggi dibandingkan kinerja petugas Satpol PP yang mengikuti
model pelatihan konvensinal.
2. Terdapat Pengaruh Interkasi antara model Pelatihan dengan motivasi
kerja terhadap kinerja petugas Satpol PP
Salah satu faktor utama dalam kinerja adalah motivasi seseorang.
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan di atas, motivasi kerja
seseorang sangat mempengaruhi kinerjanya. Orang yang memiliki motivasi
kerja tinggi cenderung melakukan berbagai aktifitas tertentu yang dapat
mendukung dalam meningkatkan kinerjanya. Salah satu aktifitas yang
dapat
ia
lakukan
adalah
mengikuti
berbagai
pelatihan
yang
diselenggarakan.
Pelatihan yang baik adalah pelatihan yang mampu mengarahkan
peserta latihan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan dan
65
Pelatihan harus mampu melihat karakteristik peserta latih sebagai acuan
dalam proses dan pendekatan yang digunakan dalam pendidikan dan
pelatihan. Salah satu karakterstik peserta yang harus diperhatikan dan
menjadi landasan adalah motivasi kerja para peserta. Oleh karena itu,
dapat diduga bahwa terdapat pengaruh interaksi model pelatihan dengan
motivasi kerja terhadap kinerja sseorang.
Pendidikan dan pelatihan yang mendasarkan diri pada penilaian
autentik sangat sesuai dengan tipe peserta yang memiliki motibasi kerja
yang tinggi. Sebaliknya model pelatihan yang konvensional bersesuaian
dengan peserta yang memiliki motivasi rendah. Oleh karena itu, dalam
pengaruh interaksi ini, terdapat dua dugaan yaitu, pertama, bahwa kinerja
petugas satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model
Competency
Based
Education
and
Training
(CBET)
lebih
tinggi
Kinerja
petugas
satpol
PP
yang
mengikuti
model
66
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi
dibandingkan
dengan
petugas
yang
mengikuti
model
pelatihan
konvensional.
2) Terdapat pengaruh interaksi kinerja antara model pelatihan dengan
motivasi kerja petugas Satpol PP.
3) Kinerja satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi dan mengikuti
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi daripada
kinerja satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti pelatihan
konvensional.
4) Kinerja satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti
pelatihan konvensional lebih tinggi daripada kinerja satpol PP yang
memiliki motivasi rendah dan mengikuti pelatihan Competency Based
Education and Training (CBET).
67
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan penelitian
Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikuti model pendidikan dan pelatihan
dengan mempertimbangkan motivasi kerja. Secara rinci, tujuan penelitian
operasional penelitian ini adalah untuk mengetahui:
3. Perbedaan kinerja antara petugas Satpol PP yang mengikut model
Competency
Based
Education
and
Training
(CBET)
dan
pelatihan
konvensional.
4. Pengaruh interaksi model pendidikan dan pelatihan dengan motivasi kerja
terhadap kinerja petugas Satpol PP.
5. Kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti model
Competency Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari
dibandingkan kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi tinggi dan mengikuti
model pelatihan konvensional.
6. Kinerja Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti model
pelatihan konvensional lebih tinggi dibandingkan kinerja petugas Satpol PP
yang memiliki motivasi kerja rendah dan mengikuti pelatihan konvensional.
68
B. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib)
DKI Jakarta. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa Dinas
Tramtib Provinsi DKI Jakarta merupakan institusi yang membawahi petugas
Satpol PP di tingkat provinsi. Dinas tramtib Provinsi DKI Jakarta adalah pusat
komado bagi petugas Satpol PP di provinsi DKI jakarta.
Adapun waktu penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, terhitung bulan
November 2008 sampai dengan April 2009.
69
Tabel 3.1. Rancangan Faktorial A x B
Model Pelatihan
Motivasi
(A)
Kerja
(B)
Tinggi (B1)
Competency Based
Education and
Training (CBET) (A1)
A1B1
Konvensional ( A2 )
A2B1
Rendah
A1B2
A2B2
( B2 )
Keterangan:
A1
A2
B1
B2
A1B1
= Kinerja
Petugas
Satpol
PP
yang
mengikuti
model
= Kinerja
Petugas
Satpol
PP
yang
mengikuti
model
A2B2
70
D. Populasi, sample dan teknik sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas Satpol PP di
Dinas Tramtib Provinsi DKI Jakarta sebagai populasi target. Dipilihnya
petugas satpol PP dari Dinas Tramtib DKI Jakarta karena petugas dari
Dinas Trambib Provinsi DKI Jakarta merupakan petugas Satpol PP
dengan
71
menguji validitas dan reliabilitas angket yang dipergunakan sebagai
alat ukur motivasi dan kinerja petugas satpol PP.
c. Untuk masing-masing kelompok baik untuk kelompok pelatihan
konvensional dan metode CBET ditentukan sampel sejumlah 40
orang, sehingga total sampel adalah 80 orang.
d. Dari masing-masing kelompok pelatihan dibagi lagi menjadi dua yaitu
20 orang untuk motivasi tinggi dan 20 orang untuk motivasi rendah.
Dengan demikian, komposisi masing-masing subjek sebagai sampel
penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Sampel Penelitian
Model Pelatihan
Motivasi
Competency
Base Education
And
Training
(CBET)
Tinggi
Jumlah
Konvensional
20
20
20
20
20
20
40
40
80
Rendah
Jumlah
E. Instrumen penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data jenis
kelamin, data motivasi dan data kinerja petugas Satpol PP Dinas Provinsi DKI
Jakarta. Data jenis kelamin diperoleh melalui teknik dokumentasi, sehingga
dalam penelitian ini tidak dilakukan pengembangan instrumen dan uji coba
72
terhadap data tersebut. Data motivasi dan kinerja petugas satpol PP
diperoleh dengan mengembangkan instrumen kedua variabel tersebut.
73
1. Instrumen Motivasi Kerja
a. Definisi Konseptual
Motivasi pada dasarnya merupakan motif atau dorongan dari dalam
atau luar diri seseorang untuk bekerja dengan tekun dan fokus agar
dapat mencapai tujuan perusahaan maupun tujuan pribadinya
sehingga akan meningkatkan kinerja pegawai dalam suatu organisasi.
Motivasi manusia akan terdorong jika dia diberi tanggung jawab dan
dihadapkan kepada tantangan-tantangan. manusia bekerja sematamata bukan karena rasa takut, terancam, diarahkan atau sebatas
imbalan saja. Ada beberapa alasan manusia bekerja, antara lain:
adanya kebutuhan dan tuntutan untuk hidup layak, adanya komitmen
dalam bentuk tugas pokok dan fungsinya menuntut dia bekerja,
dorongan untuk berprestasi, dan adanya harapan serta rasa ingin
mencapai tujuan secara cepat dengan kesadaran akan tujuan.
b. Definisi Operasional
Bedasarkan definisi konseptual tersebut, secara operasional motivasi
dapat didefinisikan sebagai penilaian terhadap motif, harapan, dan
komitmen. Dalam upaya
74
2. Instrumen Kinerja
a. Definisi Konseptual
Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang petugas Satpol PP
dalam
melaksanakan
tugas
dan
pekerjaan
yang
dibebankan
kerja
yang
sebesar-besarnya
dari
pekerjaan
tersebut.
75
3. Kisi-kisi Instrumen
a. Kisi-kisi instrumen
Dalam rangka pengukuran keseluruhan variabel penelitian terdiri atas
15 item digunakan skala ordinal dengan rentang skala 1 (satu) hingga
5 (lima).
Dimensi
Indikator
Nomor
Butir
Jumlah Jawaban
1,2,3,4,5,
6
bekerja
Mencari tantangan baru
Mampu bekerja
Pekerjaan menantang.
Membuat jadwal
Motivasi
Menerapkan program
Memiliki jalur karir yang
Harapan
baik
Menunjukkan loyalitas
7,8,9,10,
11
12,13,14,
15
Sangat
Setuju
Setuju
Cukup
Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju.
76
Variabel
Dimensi
Nomor
Butir
Indikator
Kebebasan
Jumlah Jawaban
menjalankan
ibadah
Tanggung jawab
Puas dengan pekerjaan
Kinerja
(Y)
Hasil
Menyelesaikan pekerjaan
1,2,3,4,5
Keyakinan bekerja
Inovasi
baru
dalam
pekerjaan
Sangat
Setuju
Setuju
Cukup
Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju.
Pemberian bomus
Insentif
Menyelesaikan
pekerjaan
6,7
8,9,10,11
,12,13,14
,15
tenang
Mebutuhkan kemampuan
Bangga
terhadap
pekerjaan
Produktif
pengetahuan
tugas
Menjaga kesehatan
Mengabdikan
diri
dan
pikiran
b. Pembobotan
Perhitungan
Likert
untuk
77
Tabel 3.4. Skala Likert dalam Lembar Kuesioner/Angket
Jawaban
Sangat Setuju
Skor Nilai
5
Setuju
Cukup
Tidak Setuju
SangatTidakSetuju
78
valid. Nilai (tingkat kepercayaan) yang digunakan untuk uji validitas
dan uji reabilitas adalah 0,05 dengan derajat bebas N-2 sehingga sampel
30 responden didapatkan nilai r-tabel
35.10
36.17
34.90
36.23
91.059
81.385
90.369
85.220
Perny
ataan Scale Mean if Scale Variance
X_6
X_8
X_9
X_10
X_11
X_12
X_15
X_16
X_18
X_19
X_20
Item Deleted
35.87
35.83
35.43
36.40
35.23
36.30
35.67
35.40
35.70
36.20
35.30
if Item Deleted
93.568
85.868
90.944
83.145
90.323
85.666
93.057
91.145
91.666
85.338
91.872
.532
.904
.814
.893
.415
.910
.727
.897
Corrected Cronbach's
Item-Total Alpha if Item
Correlation
Deleted
.470
.906
.646
.900
.567
.903
.861
.892
.594
.902
.728
.897
.474
.906
.468
.906
.565
.903
.648
.900
.474
.906
79
kuesioner motivasi tersebut dapat digunakan untuk menganalisis
penelitian tersebut.
Tabel 3.6. Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja
Item-Total Statistics
Perny Scale Mean
Scale
Corrected Cronbach's
ataan
if Item
Variance if
Item-Total Alpha if Item
Deleted
Item Deleted Correlation
Deleted
Y_1
32.67
87.678
.448
.884
Y_2
32.50
81.845
.606
.878
Y_3
32.73
85.444
.481
.883
33.67
83.954
.603
.878
Y_5
32.77
85.702
.529
.881
Y_6
32.47
84.257
.430
.887
Y_7
33.53
83.430
.552
.880
Y_8
33.60
87.007
.512
.882
Y_10
33.60
84.041
.646
.877
Y_11
33.43
79.702
.770
.871
Y_12
33.53
79.913
.722
.873
Y_13
33.47
81.913
.775
.872
Y_16
33.27
84.616
.397
.889
Y_17
33.23
82.392
.508
.883
Y_18
32.07
85.995
.438
.885
80
2) Pengujian Reliabilitas Instrumen
Pengujian reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur derajat
ketepatan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Pada tahap ini
pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik alpha Cronbach. Untuk
keperluan tersebut maka butir-butir instrument penelitian yang telah valid
dibelah menjadi dua kelompok yaitu bagian genap dan bagian ganjil.
Pengujian variabel dengan menggunakan program SPSS versi 12. for
windows. Hasil perhitungan reliabilitas kemudian dikonsultasikan dengan
tabel interpretasi nilai reliabilitas di bawah ini.
Tabel Interpretasi Nilai Reliabilitas60
NILAI ALPA
KRITERIA
baik (good)
istimewa (excellent)
N of
Items
15
Nunnally, Jum C., psychometrics 2nd edition,, (New york: Mc Graw Hill, 2002)
h, 245
81
instrumen motivasi kerja satpol PP memiliki kriteria reliabilitas yang
sangat tinggi.
N of Items
15
G. Analisis data
Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif dan
inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menyajikan data dalam
bentuk histogram, grafik, perhitungan mean, median, modus, simpangan
baku, dan rentang teoritik masing-masing variabel.
Selanjutnya dilakukan analisis inferensial untuk menguji hipotesis
melalui analisis varian (anava) dengan dua faktor. Anava yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah menguji hipotesis (1) main effect yaitu efek A
dan B, (2) interaction effect yakni efek interaksi A-B dan (3) simple effect.
82
Sebelum dilakukan uji hipotesis, maka perlu diuji persyaratan
analisis data, yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas
dilaksanakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari
populasi
yang
berdistribusi
normal,
sedangkan
uji
homogenitas
H. hipotesis statistik
1. Main effect :
H0 : A1 = A2
H1 : A1 > A2
2. Interaction effect
H0 : A-B = A-B
H1 : A-B > A-B
3. Simple Effect :
1) H0 :
A1B1 = A2B1
H1 :
A1B1 A2B1
2) H0 :
A1B2 = A2B2
H1 :
A1B2 A2B2
83
BAB IV
BAB IV
HASIL PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Sebaran Skor Model Competence based Education and Training
petugas satpol PP (A1)
Hasil analisis data 40 orang petugas satpol PP yang
menggunakan Model Competence based Education and Training
menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai 150,
sedangkan rentangan empiriknya dari 78 sampai 134. Harga rerata
(mean) sebesar 105,08; simpangan baku (standar deviation) sebesar
17,433 median sebesar 102,5 dan modus sebesar 122.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Model
Competence based Education and Training petugas satpol PP.
Tabel 4.1:
Distribusi frekuensi skor Model Competence based Education
and Training petugas satpol PP (A1)
No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1
2
3
4
5
6
78,5 - 87,5
87,5 - 96,5
96,5 - 105,5
105,5 - 114,5
114,5 - 123,5
123,5 134
Jumlah
7
10
4
3
10
6
40
17,5
25
10
7,5
25
15
100
f. Kumulatif
(%)
17,5
42,5
52,5
60
85
100
Gambar 4.1:
Skor Model Competence based Education and Training petugas
satpol PP (A1)
84
12
10
8
6
4
2
0
78,5 - 87,5 87,5 - 96,5 96,5 - 105,5
105,5 114,5
114,5 123,5
123,5 - 134
85
Tabel 4.2:
Distribusi frekuensi skor Model Pelatihan Konvensional petugas
satpol PP (A2)
No
1
2
3
4
5
6
Nilai
61,5 - 70
70 - 78,5
78,5 - 87
87 - 95,5
95,5 - 104
104 - 112,5
Jumlah
f.
Absolut
20
10
4
1
1
4
40
f. Relatif
50
25
10
2,5
2,5
10
100
f. Kumulatif
(%)
50
75
85
87,5
90
100
Gambar 4.2:
Skor Model Konvensional Petugas Satpol PP (A2)
25
20
15
10
5
0
61,5 - 70
70 - 78,5
78,5 - 87
87 - 95,5
95,5 - 104
104 - 112,5
86
teoritik skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya
dari 74 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 103,3; simpangan
baku (standar deviation) sebesar 20,817 median sebesar 109,5 dan
modus sebesar 76.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor motivasi
kerja petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi.
Tabel 4.3:
Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (B1)
No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1
2
3
4
5
6
74,5 - 84,5
84,5 - 94,5
94,5 - 104,5
104,5 - 114,5
114,5 - 124,5
124,5 - 134,5
Jumlah
13
1
3
7
10
6
40
32,5
2,5
7,5
17,5
25
15
100
f. Kumulatif
(%)
32,5
35
42,5
60
85
100
87
Gambar 4.3:
Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Tinggi (B1)
14
12
10
8
6
Series1
4
2
0
74,5 - 84,5 84,5 - 94,5
94,5 104,5
104,5 114,5
114,5 124,5
124,5 134,5
88
Tabel 4.4:
Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (B2)
No
1
2
3
4
5
6
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
20
0
3
6
8
3
40
50
0
7,5
15
20
7,5
100
61,5 - 68,5
68,5 - 75,5
75,5 - 82,5
82,5 - 88,5
88,5 - 95,5
95,5 - 103
Jumlah
f. Kumulatif
(%)
50
50
57,5
72,5
92,5
100
Gambar 4.4:
Skor Motivasi Kerja Petugas Satpol PP
yang memiliki Motivasi Rendah (B2)
25
20
15
10
5
0
61,5 - 68,5
68,5 - 75,5
75,5 - 82,5
82,5 - 88,5
88,5 - 95,5
95,5 - 103
89
memiliki motivasi kerja tinggi menunjukkan bahwa rentangan teoritik
skor mulai dari 0 sampai 150, sedangkan rentangan empiriknya dari
102 sampai 134. Harga rerata (mean) sebesar 120,85; simpangan
baku (standar deviation) sebesar 7,435 median sebesar 122 dan
modus sebesar 122.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. petugas
satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki motivasi kerja tinggi.
Tabel 4.5:
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang
memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1
2
3
4
5
6
102,5 - 107,5
107,5 - 112,5
112,5 - 117,5
117,5 - 122,5
122,5 - 127,5
127,5 - 134,5
Jumlah
1
2
2
7
4
4
20
5
10
10
35
20
20
100
f. Kumulatif
(%)
5
15
25
60
80
100
90
Gambar 4.5:
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi (A1B1).
8
7
6
5
4
3
2
1
0
102,5 107,5
107,5 112,5
112,5 117,5
117,5 122,5
122,5 127,5
127,5 134,5
91
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki Motivasi Kerja Rendah.
Tabel 4.6:
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang
memiliki Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
No
1
2
3
4
5
6
Nilai
78,5 - 82,5
82,5 - 86,5
86,5 - 90,5
90,5 - 94,5
94,5 - 98,5
98,5 - 103,5
Jumlah
f. Absolut
f. Relatif
3
3
7
3
2
2
20
15
15
35
15
10
10
100
f. Kumulatif
(%)
15
30
65
80
90
100
Gambar 4.6:
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model
Competence based Education and Training yang memiliki
Motivasi Kerja Rendah (A1B2).
8
7
6
5
4
3
2
1
0
78,5 - 82,5
82,5 - 86,5
86,5 - 90,5
90,5 - 94,5
92
Hasil analisis data motivasi kerja 20 orang petugas satpol PP
yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja
Tinggi menunjukkan bahwa rentangan teoritik skor mulai dari 0 sampai
150, sedangkan rentangan empiriknya dari 74 sampai 112. Harga
rerata (mean) sebesar 85,8; simpangan baku (standar deviation)
sebesar 1,369 median sebesar 77,5 dan modus sebesar 76.
Berikut ini distribusi frekuensi dan histogram skor. Skor Petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki
Motivasi Kerja Tinggi.
Tabel 4.7:
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi
(A2B1).
No
Nilai
f. Absolut
f. Relatif
1
2
3
4
5
6
74,5 - 80,5
80,5 - 86,5
86,5 - 92,5
92,5 - 98,5
98,5 - 104,5
104,5 - 112,5
Jumlah
11
3
0
2
0
4
20
55
15
0
10
0
20
100
f. Kumulatif
(%)
55
70
70
80
80
100
93
Gambar 4.7:
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional
yang memiliki Motivasi Kerja Tinggi (A2B1).
12
10
8
6
4
2
0
74,5 - 80,5
80,5 - 86,5
86,5 - 92,5
94
Tabel 4.8:
Distribusi Frekuensi Skor Petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Konvensional yang memiliki Motivasi Kerja
Rendah (A2B2).
No
1
2
3
4
5
6
Nilai
61,5 - 62,5
62,5 - 63,5
63,5 - 64,5
64,5 - 65,5
65,5 - 66,5
66,5 - 68,5
Jumlah
f. Absolut
f. Relatif
3
1
4
1
3
8
20
15
5
20
5
15
40
100
f. Kumulatif
(%)
15
20
40
45
60
100
Gambar 4.8:
Skor Petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Konvensional
yang memiliki Motivasi Kerja Rendah (A2B2).
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
61,5 - 62,5
62,5 - 63,5
63,5 - 64,5
64,5 - 65,5
65,5 - 66,5
66,5 - 68,5
95
Tabel 4.9:
Rekapitulasi deskripsi data rata-rata model pelatihan dan
Motivasi kerja terhadap kinerja petugas satuan polisi pamong praja
NO
Kelompok
SD
Me
Mo
78
105,0
8
17,43
3
102,
5
122
112
61
75,5
14,24
5
71
67
40
134
74
103,3
20,81
7
109,
5
76
Motivasi
40
103
61
77,25
13,16
7
73
67
20
134
102
120,8
5
7,435
122
122
Skor
Competence
1
Skor Hasil
Belajar
Mean
Sebaran
Education
and
Max
Min
40
134
40
Model
based
Training
Sebaran
Skor
Model
Pelatihan
Konvensional
Petugas Satpol PP (A2)
Sebaran
Skor
Motivasi
yang
memiliki
Motivasi
Sebaran
Skor
Motivasi
yang
memiliki
96
NO
Kelompok
Skor Hasil
Belajar
Mean
SD
Me
Mo
78
89,3
6,681
90
90
112
74
85,8
1,369
77,5
76
68
61
65,2
2,353
66
67
Max
Min
103
61
Masri Singarimbun, dkk. 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, p. 171.
Singgih Santoso, 2002, Buku Latihan SPSS Statistik Multivarian, Jakarta: Elexmedia
Komputindo.
62
97
1. Uji Normalitas
Uji normalitas terhadap sebaran data di atas, yaitu data kinerja petugas
Satpol PP berdasarkan pemberian model pelatihan dan Motivasi kerja petugas
satpol PP (data kelompok A1B1, A2B1, A1B2 dan A2B2 sebagai mana dibahas
pada deskripsi data di awal Bab 4 ini). Secara manual uji normalitas dapat
dilakukan dengan uji Lilliefors atau dapat juga dengan Chi-square,63 dari hasil
perhitungan menggunakan uji Lilliefors skor petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training dan metode
konvensional yang dikelompokkan berdasarkan motivasi kerja yang dimiliki.
Adapun kriteria pengujiannya adalah jika Lhitung > Ltabel maka data berdistribusi
normal dan jika Lhitung < Ltabel maka data tidak berdistribusi normal.
Hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan Model Competence based Education and Training yang memiliki
motivasi tinggi (A1B1) diperoleh Lhitung sebesar 0,1438. Untuk Ltabel dengan
sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan L hitung
(0,1438) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based Education and
Training yang memiliki motivasi tinggi (A1B1) adalah berdistribusi normal.
Sedangkan untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan Model Competence based Education and Training yang
memiliki motivasi rendah (A1B2) diperoleh Lhitung sebesar 0,1102. Untuk Ltabel
dengan sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan
63
H.R. Santosa Nurwani, 1999, Statistika Terapan (Teknik Analisa Data), Jakarta: Program
Pasca Sarjana UHAMKA, p. 18-20.
98
Lhitung (0,1102) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor
petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan Model Competence based
Education and Training yang memiliki motivasi rendah (A1B2) adalah
berdistribusi normal.
Untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi tinggi (A2B1)
diperoleh Lhitung sebesar 0,1706. Untuk Ltabel dengan sebesar 0,05 pada tabel
Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan Lhitung (0,1706) > Ltabel (0,1900),
maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas Satpol PP yang mengikuti
pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi rendah (A2B1) adalah
berdistribusi normal. Sedangkan untuk hasil perhitungan uji Lilliefors Skor
petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki
motivasi rendah (A2B2) diperoleh Lhitung sebesar 0,1517. Untuk Ltabel dengan
sebesar 0,05 pada tabel Lilliefors sebesar 0,1900. Jika dibandingkan L hitung
(0,1517) > Ltabel (0,1900), maka dapat disimpulkan bahwa data Skor petugas
Satpol PP yang mengikuti pelatihan model konvensional yang memiliki motivasi
rendah (A2B2) adala berdistribusi normal.
Dari perhitungan uji normalitas dengan menggunakan Uji Liliefors
keempat kelompok data di atas, maka dapat dirangkumkan dalam tabel di
bawah ini:
99
Tabel Tabel 4.10:
Tabel Pengujian Normalitas
Sumber
Data
Lhitung
Ltabel
A1B1
0,1438
0,1900
A1B2
0,1102
0,1900
A2B1
0,1706
0,1900
A2B2
0,1517
0,1900
Kesimpulan
df1
df2
11
Sig.
63
.230
100
df1
df2
11
Sig.
63
.230
Tabel 4.13:
ANOVA
A1B1
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
548.750
13
42.212
Within Groups
501.800
83.633
1050.550
19
Total
Sig.
.505
.858
64
Santoso.2002., Loc.Cit.
101
102
Tabel 4.14:
Test of Homogeneity of Variances
A1B1
Levene Statistic
1.299
df1
df2
10
Sig.
63
.251
Tabel 4.15:
ANOVA
A1B1
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
761.800
14
54.414
Within Groups
288.750
57.750
1050.550
19
Total
Sig.
.942
.578
65
Ibid.
103
c. Pengujian Homogenitas Variansi A1B1 atas A2B2
Hasil perhitungan untuk pengujian homogenitas variansi hasil belajar
Bahasa Indonesia kelompok A1B1 atas kelompok data A2B2 diperoleh
output SPSS sebagai berikut:
Tabel 4.16:
Test of Homogeneity of Variances
A1B1
Levene Statistic
df1
.761
df2
4
Sig.
13
.569
Tabel 4.17:
ANOVA
A1B1
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
457.417
76.236
Within Groups
593.133
13
45.626
1050.550
19
Total
F
1.671
Sig.
.206
66
Ibid.
104
Dengan memperhatikan nilai Sig. (dibaca: probabilitas signifikansi)
pada tabel Test of Homogenity of Variances sebesar 0,569 dan pada tabel
ANOVA sebesar 0,206; maka dinyatakan bahwa homogenitas variansi A1B1
atas A2B2 terpenuhi.
Dengan terpenuhinya normalitas dan homogenitas data, maka
penelitian korelasional ini dapat dilakukan dengan menggunakan data
mentah (raw score) dari keempat kelompok data kinerja Petugas Satpol PP
tersebut.
C. Pengujian Hipotesa
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan teknik Analisis Variansi
(ANAVA) dua jalan. Tujuan ANAVA dua jalan adalah menyelidiki dua pengaruh
utama dan satu pengaruh interaksi. Pengaruh utama dibedakan atas model
Pelatihan dan motivasi kerja petugas satpol PP. Hasil perhitungan ANAVA dua
jalan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.18
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kinerja_Petugas
Type III Sum of
Source
Squares
Df
Mean Square
Corrected Model
31691.238
10563.746
144.159
Model_pelatihan
17493.613
17493.613
238.728
motivasi_kerja
13598.113
13598.113
185.568
599.512
599.512
8.181
Total
689407.000
80
Corrected Total
37260.388
79
Model_pelatihan *
motivasi_kerja
105
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kinerja_Petugas
Type III Sum of
Source
Squares
Df
Mean Square
Corrected Model
31691.238
10563.746
144.159
Model_pelatihan
17493.613
17493.613
238.728
motivasi_kerja
13598.113
13598.113
185.568
599.512
599.512
8.181
689407.000
80
Model_pelatihan *
motivasi_kerja
Total
1. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi Model Pelatihan CBET lebih besar
dari pada
Konvensional.
Berdasarkan Tabel 4.18 di atas pada bagian atau kolom source baris
kedua tertulis model pelatihan dan kolom terkanan atau kolom F (dibaca:
Fhitung) pada baris yang sama tertulis 238.728 lebih besar dari Ftabel = 4,88
untuk taraf signifikansi 0,01 (Fhitung = 238,728 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti
bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian hal ini menunjukkan
bahwa bentuk Pelatihan CBET mempengaruhi kinerja petugas Satpol PP. Ini
berarti perbedaan bentuk Pelatihan dalam CBET menentukan variasi atau
keberagaman kinerja petugas Satpol PP. Dengan demikian, hipotesis yang
menyatakan, Rata-rata kinerja petugas satpol PP yang diberi pelatihan CBET
lebih tinggi daripada kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan
konvensional, diterima dan teruji kebenarannya.
106
2. Kinerja Petugas Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan
memiliki motivasi kerja tinggi adalah lebih tinggi dari pada kinerja
petugas satpol PP yang diberi model pelatihan konvensional dan
memiliki motivasi kerja tinggi.
Berdasarkan Tabel 4.18 di atas bagian atau kolom source baris
ketiga tertulis motivasi kerja dan kolom F (dibaca: Fhitung) pada baris yang
sama tertulis 158,568 lebih besar dari Ftabel = 4,88 untuk taraf signifikansi 0,01
(Fhitung = 158,568 > Ftabel = 4,88). Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Dengan demikian bahwa motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol
PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, Rata-rata Kinerja Petugas
Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja tinggi
lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi model pelatihan
konvensional dan memiliki motivasi kerja tinggi, diterima. Kesimpulannya
kedua jenis model pelatihan memberikan kinerja yang berbeda pada petugas
Satpol PP.
107
ini menunjukkan bahwa motivasi kerja mempengaruhi kinerja petugas Satpol
PP. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan, Rata-rata kinerja petugas
Satpol PP yang diberi model pelatihan CBET dan memiliki motivasi kerja
rendah adalah lebih tinggi dari pada kinerja petugas satpol PP yang diberi
model pelatihan konvensional dan memiliki motivasi kerja rendah., diterima.
Kesimpulannya kedua jenis model pelatihan memberikan memberikan kinerja
yang berbeda pada petugas Satpol PP.
108
Analisis biasanya dilanjutkan dengan uji Turkey67 karena dalam hal ini
jumlah data setiap kelompok sama banyaknya yaitu n = 40. Perhitungan uji
Turkey melalui piranti lunak SPSS hanya dapat dilakukan bila setiap variabel
bebas yang diteliti dibedakan atas 3 level atau lebih. Variabel Model pelatihan
dan motivasi kerja petugas satpol PP dalam penelitian ini hanya dibedakan
atas 2 level bentuk model pelatihan (CBET dan konvensional), dan 2 level tipe
motivasi kerja (Tinggi dan Rendah).
Dengan kata lain, untuk mengetahui interaksi mana yang paling
berpengaruh mengakibatkan kinerja petugas Satpol PP mencapai skor yang
maksimal dapat dilakukan cukup dengan hanya melihat skor rata-rata dari 4
kelompok data (A1B1, A2B1, A1B2 dan A2B2) tersebut. Hasilnya adalah
sebagai berikut:
67
Ibid.
109
No.
Tabel 4.19
Perbandingan Skor Rata-rata
Kinerja Petugas Satpol PP
Kelompok Data
Peringkat Rata-rata KiRata-rata Kinerja
Petugas Satpol
nerja Petugas Satpol
Petugas Satpol PP
PP
PP
A1B1
120,85
A1B2
89,3
A2B1
85,8
A2B2
65,2
Berdasarkan Tabel 4.20 di atas dapat dinyatakan dua hal sebagai berikut:
a. Interaksi antara Model Pelatihan dan motivasi kerja mengakibatkan kinerja
petugas Satpol PP dapat mencapai skor yang maksimal. Sebaliknya, skor
terburuk atau paling rendah dari kinerja petugas satpol PP diakibatkan
oleh interaksi model Pelatihan konvensional dengan petugas yang
memiliki motivasi kerja rendah
b. Interaksi A1B1 dan A1B2 yang kontradiktif, artinya dengan bentuk model
pelatihan yang sama (model CBET) namun petugasnya berada dalam dua
kelompok motivasi yang berbeda mengakibatkan kinerja mereka juga
berbeda justru menunjukkan adanya interaksi yang signifikan antara
model pelatihan dan motivasi yang dimiliki petugas Satpol PP.
110
D. Interpretasi Hasil Penelitian
Hipotesis penelitian pertama yang menyatakan, tidak terdapat
perbedaan
mengikuti model pelatihan CBET lebih tinggi daripada petugas yang diberi
model pelatihan konvensional, diterima dan teruji kebenarannya. Hal itu
selanjutnya membuktikan bahwa kinerja petugas Satpol PP yang memiliki
motivasi kerja tinggi dan diberi model pelatihan CBET lebih tinggi daripada
petugas yang memiliki motivasi kerja rendah dan diberi model pelatihan
konvensional.
Hipotesis penelitian keempat yang menyatakan, Terdapat pengaruh
interaksi antara model pelatihan dengan motivasi kerja terhadap kinerja
petugas Satpol PP, diterima dan teruji kebenarannya. Hal itu selanjutnya
membuktikan bahwa petugas yang mengikuti model pelatihan yang tidak
sama dan motivasi kerjanya juga berbeda, kinerja satu dengan lainnya
berbeda pula.
E. Pembahasan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa Model Pelatihan dan motivasi
kerja secara signifikan mempengaruhi variasi kinerja petugas Satpol PP.
Kinerja petugas Satpol PP yang diberi Pelatihan CBET lebih tinggi dari pada
kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan konvensional. Seperti terlihat
111
pada tabel 4.1 dan tabel 4.2, dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa kinerja
petugas Satpol PP yang mengikuti pelatihan CBET memiliki variasi sebaran
skor pada 87,5 96,5 dan 114,5 123,5 (lihat tabel 4.1). Sebaran skor pada
rentang ini merupakan sebaran skor yang tinggi jika dibandingkan dengan
sebaran
skor
kinerja
petugas
Satpol
PP
yang
mengikuti
pelatihan
konvensional yang sebagian besar berada pada rentangan skor 61,5 70 dan
70 78,5 (lihat tabel 4.2). dari perbedaan rentang skor ini dapat dikatakan
bahwa model pelatihan yang diberikan kepada petugas Satpol PP
memberikan dampak pada peningkatan skor kinerja petugas Satpol PP.
Kinerja petugas Satpol PP yang diberi pelatihan CBET lebih tinggi karena
dengan menggunakan pelatihan CBET seorang petugas satpol PP latih untuk
mampu mengerjakan tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Pelatihan ini dilaksanakan melalui proses pelatihan yang
bermakna dimana kompetensi di refleksikan kepada kebutuhan utama dalam
menjalankan tugas Satpol PP, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Hasil pelatihan CBET berupa kinerja merupakan fokus dari hasil pelatihan
CBET. Model pelatihan CBET mengakui pengalaman belajar petugas satpol
PP sebelumnya, sehingga petugas satpol PP dalam pelatihan tidak dituntut
untuk mengikuti proses pelatihan sampai akhir akan tetapi jika petugas satpol
PP lulus mengikuti ujian kompetensi maka mereka memperoleh kelulusan.
CBET merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan
kompetensi sumber daya manusia yang berfokus pada hasil akhir (outcome).
CBET sangat fleksibel dalam proses kesempatan untuk memperoleh
kompetensi dengan berbagai cara. Hasil CBET menuntut persyaratan dan
112
karakteristik tersendiri, khususnya bila diterapkan untuk diakui secara
nasional. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan pelatihan yang pada
umumnya dilakukan (tradisional) yang berfokus pada masukan (input), proses,
dan keluaran (output) yang sangat bervariasi dan bisa jadi tidak sesuai
dengan standar kebutuhan pekerjaan / tugas.
Tujuan CBET adalah agar peserta didik dan latih mampu mengerjakan
tugas dan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Secara
khusus, tujuan utama CBET adalah menghasilkan kompetensi dalam
menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada
suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan.
Aplikasi metode pelatihan CBET memerlukan perancangan yang matang dan
sesuai dengan kondisi dari peserta didik. Petugas satpol PP menjalankan
tugas yang begitu variatif dan memiliki resiko perkerjaan yang tinggi, dimana
petugas Satpol PP harus berhadapan dengan masyarakat, khususnya ketika
berhadapan dengan masyarakat yang melanggar ketetapan Pemerintah
Daerah Prov. DKI Jakarta. Di sisi lain petugas Satpol PP merupakan pelayan
masyarakat untuk menjaga ketertiban, maka seorang petugas Satpol PP
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Beban pekerjaan seorang petugas Satpol PP yang cukup tinggi ini tentunya
harus diimbangi dengan kemampuan kompetensi yang tinggi yang harus
dimiliki oleh seorang petugas Satpol PP. Kesadaran akan kebutuhan
kompetensi yang tinggi ini telah nampak pada petugas Satpol PP yang
mengikuti pelatihan CBET, hal ini dapat dilihat dari skor petugas Satpol PP
113
yang mengikuti model pelatihan model CBET yang memiliki motivasi kerja
tinggi (lihat gambar 4.5).
Pelatihan konvensional berbeda dengan pelatihan CBET, dimana
kegiatan pelatihan yang lebih banyak menekankan pada input (masukan
berupa misalnya materi, kriteria peserta dan lain lain) dan proses serta produk
yang banyak variasi dalam upaya meningkatkan kinerja peserta. Model
pelatihan ini karena terlalu banyak variasi kadang-kadang output yang ingin
dicapai menjadi tidak terukur. Banyaknya variasi dari hasil (produk) yang
dicapai dalam pelatihan konvensional ini menyebabkan peserta pelatihan
kurang termotivasi untuk mengikuti pelatihan. Karena perbadaan pencapaian
hasil pelatihan pada setiap peserta pelatihan merupakan hal yang wajar,
sehingga peserta kurang termotivasi untuk meraih suatu kondisi tertentu
sebagai capaian hasil pelatihan. Hal inilah yang kemudian dapat berakibat
pada motivasi peserta pelatihan. Seperti terlihat pada tabel 4.7, bahwa
sebagian besar (55%) petugas satpol PP yang mengikuti pelatihan
konvensional yang memiliki motivasi kerja tinggi berada pada rentangan skor
terendah dalam rentangan skor motivasi tinggi.
Memperhatikan pelatihan model konvensional, kriteria keberhasilan
selalu ditentukan oleh pihak penyelenggara. Peserta latih hanya menjadi objek
pelatihan yang tidak dapat menentukan kehendak yang ingin dicapainya
sendiri sebagaimana dalam CBET.
Secara kualitatif dengan memperhatikan hasil analisis variasi dua arah
(Two-way ANOVA) pada Tabel 4.18 di atas khususnya nilai F hitung kekuatan
pengaruh model pelatihan lebih besar daripada motivasi kerja petugas satpol
114
PP serta interaksi antar keduanya terhadap kinerja petugas satpol PP. Hal ini
dapat dipahami, mengingat motivasi dapat timbul dari dalam (intrinsik) dan
luar diri individu (ekstrinsik). Model pelatihan yang diberikan kepada anggota
Satpol PP merupakan suatu kondisi lingkungan yang dapat merangsang
motivasi ekstrinsik seorang petugas satpol PP. Pelatihan CBET merupakan
pelatihan yang lebih menekankan seseorang untuk menguasai bidang
kompentesi dalam tugas pekerjaannya. Sehingga, ketika seorang petugas
Satpol PP mengikuti pelatihan ini, ia akan termotivasi untuk dapat mengusai
kompetensi yang menjadi tuntutan dalam pekerjaannya. Hal ini yang
memungkinkan metode pelatihan CBET ini dapat merangsang petugas Satpol
PP untuk meningkatkan kinerjanya.
F. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini membuktikan bahwa model pelatihan dan motivasi kerja
memberi pengaruh yang signifikan terhadap variasi kinerja petugas Satpol PP.
Ditemukan pula bahwa adanya interaksi antara model pelatihan dengan
motivasi kerja petugas satpol PP yang diberikan model pelatihan CBET dan
memiliki motivasi kerja tinggi memiliki potensi kinerja yang lebih berkualitas
daripada lainnya. Namun demikian, bagaimanapun terdapat beberapa
keterbatasan penelitian sebagai berikut:
1. Dipahami bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor lain
disamping model pelatihan dan motivasi kerja, yang mempengaruhi
variasi kinerja petugas satpol PP. Misalnya, pada kondisi (iklim kerja) yang
berbeda, juga terdapat faktor lain yang lebih dominan berpengaruh
115
terhadap variasi kualitas kinerja petugas Satpol PP dibandingkan dengan
model pelatihan dan motivasi kerja. Hal ini luput dari penelitian ini dan
menjadikannya sebagai suatu keterbatasan.
2. Ditinjau dari sisi jumlah cakupan sampel, sangat mungkin dengan
cakupan sampel lebih luas, namun penelitian ini tentu akan berbeda pula.
Artinya, dengan jumlah responden yang lebih besar ada kemungkinan
hasil penelitiannya berbeda. Hal inilah yang menjadikan hasil penelitian ini
menjadi terbatas referensinya.
116
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperoleh beberapa temuan
penelitian sebagai berikut:
Pertama, Secara keseluruhan kinerja petugas Satpol PP yang
diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training
(CBET) lebih tinggi daripada kelompok petugas Satpol PP yang diberikan
model pelatihan Konvensional. Dengan demikian untuk meningkatkan kinerja
petugas satpol PP, diperlukan pemberian model pelatihan Competence
Based Education and Training (CBET).
Kedua, Bagi petugas satpol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi,
kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence
Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari pada petugas Satpol
PP yang diberi model pelatihan konvensional. Dengan demikian, untuk
meningkatkan kinerja petugas Sapol PP yang memiliki motivasi kerja tinggi
perlu diberikan model pelatihan Competence Based Education and Training
(CBET).
Ketiga, Bagi petugas Satpol PP yang memiliki motivasi kerja rendah,
kinerja petugas Satpol PP yang diberikan model pelatihan Competence
Based Education and Training (CBET) lebih tinggi dari pada petugas Satpol
PP yang diberi model pelatihan konvensional. Dengan demikian, untuk
meningkatkan kinerja petugas Sapol PP yang memiliki motivasi kerja rendah
117
juga perlu diberikan model pelatihan Competence Based Education and
Training (CBET).
Dari hasil temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kinerja petugas Satpol PP dapat dilakukan melalui kegiatan
penerapan model pelatihan Competence Based Education and Training
(CBET) dengan mempertimbangkan motivasi kerja Petugas satpol PP.
B. Implikasi
Dari hasil analisis data yang dihasilkan dalam penenlitian ini telah
terbukti bahwa model pelatihan Competence Based Education Training
(CBET) dapat meningkatkan kinerja dan motivasi Petugas Satpol PP di
Provinsi DKI Jakarta sehingga secara statistik dapat dikatakan hubungan yang
signifikan dan bersifat positif. Implikasi dari pelatihan Competence Based
Education Training (CBET) adalah dengan memberikan sertifikasi kepada
petugas satpol PP yang telah memiliki kemampuan dan sikap yang sesuai
dengan standar dalam menerapkan tugas pokok dan fungsinya kedalam
kegiatan area tugas di lapangan. Sertifikasi ini merupakan alat yang
digunakan untuk menunjukkan bahwa seorang petugas satpol PP yang telah
mengikuti
proses
sertifikasi
dapat
menunjukkan
bahwa
ia
memiliki
kemampuan yang baik dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Proses sertifikasi ini hendaknya dilaksanakan melalui program pelatihan yang
selanjutnya diadakan penilaian (assessment). Hasil penilaian dari proses
sertifikasi ini adalah diketahuinya level kompetensi dari setiap petugas satpol
PP.
118
C. Saran
1. Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan
satpol PP Provinsi DKI Jakarta sebaiknya menggunakan metode
Pelatihan Comptence Based Education Learning (CBET) karena sudah
terbukti dapat meningkatkan kinerja dan motivasi karyawan secara
signifikan.
2. Model Pelatihan Competence Based Education Learning (CBET)
dilakakukan dalam berbagai level untuk
119
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Michael. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terj. Sofyan Cikman
dan Hariyanto. Jakarta: Elex Media Kompotindo, 199P0.
Berita Jakarta.Com, Media On Line DKI Jakarta, Jakarta 26.09.2007, diunduh 15
Maret 2009.
Bernardin. Human Resources Management. Jakarta: Mc. Graw-Hill Inc., 1993.
Bosker, J. Training effectiveness. New York: Pergamon, 1997.
Brown, M. J. The Effectiveness of Organization. California: Fearon, Belmont
California, 1999.
Danim, Sudarwan. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004.
Deseler, Gary. Personal Management, ter. Agung Dharma. Jakarta: Erlangga,
1997.
Donaldson dan Scannel. Human Resources Development. terj.Yakub. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1993.
Handoko T. Hani. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: BPFE, 2002.
Hariandja, Marihot Tua Efendi. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan,
Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas
Pegawai. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Hasibuan, Malayu H. Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas.
Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Husein, Umar. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Irawan, Prasetya et.al. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: STIA-LAN,
2002
John M. Echols dan Hassan Shadily Kamus Inggris Indoensia. Jakarta:
Gramedia, 2005
Mangkunegara, Anwar P. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung:
Refika Aditama, 2005.
Moh. Pabundu Tika. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan.
Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
120
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Rosdakaya, 2008.
Mulyasa, E, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2007), hal. 26
Ranupanjoyo dan Husnan. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE, 1995.
Sadili, Samsudin. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV. Pustaka,
2006.
Sahlan, Pengaruh Disiplin dan Insentif Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada
PT. Rapico Busana Permata Indah. Jakarta: Tesis Program
Pascasarjana Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis
Indonesia, 2007.
Sidney Siegel, Statistik Nonparamatrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta:
Gramedia, 1992.
Seger, Analisis Hubungan Motivasi, Pendidikan dan Pelatihan dan Kepuasan
Kerja Terhadap Disipli Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan. Yakarta:
Tesis Program Pascasarjana Magister Manajemen. Universitas
Bhayangkara, 2005.
Sugiyono, Statistik Nonparametrik, Bandung: CV. ALFABETA, 2004.
Spencer, M. Lyle and M. Signe Spencer. Competence at Work: Models for
Superrior Performance. New York: John Wily & Son, 1993.
Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional Bandung: Rosadakarya, 2001.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Veithzel Rivai dan Ahmad F.M. Basri. Performance Appraisal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
Wexley, Kenneth dan Gary A Yukl. Organizational Behavior and Personal
Psychology. Ontorio: Richard D. Irwan. Inc, 1997.
Wibowo. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
William T McLoad, (edt.). The New Collins Dictionary and Thesaurus. Glasgow:
William Collins Sons and Co.Ltd., 1989.
121
BIOGRAFI PENULIS
122
Pokja Ham Alumni Program IASTP, Indonesia dan Australia (Tahun 2003
2005) Sekeretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Provinsi DKI Jakarta
2007- sekarang, Humas BK3S DKI Jakarta-2010-2015, Dewan Penasehat
GEPAK (Gerakan Pemuda Anti Korupsi) DKI Jakarta periode 2010-2015.