You are on page 1of 36

BAB II

Tinjauan Pustaka
A. Pembedahan Seksio sesaria
1. Pengertian pembedahan Seksio sesaria
Pembedahan merupakan tindakan

pengobatan

yang

menggunakan cara invasive dengan membuka dan menampilkan


bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini
umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian
yang akan ditangani ditampilkan, selanjutnya dilakukan perbaikan
yang

diakhiri

dengan

penutupan

dan

penjahitan

luka

(sjamsuhidajat & jong. 2005).


Salah satu jenis tindakan operasi bedah mayor adalah
bedah abdomen. Bedah abdomen merupakan pembedahan yang
melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas
abdomen (sjamsuhidajat & jong. 2005).
Jenis-jenis pembedahan abdomen diantaranya adalah
seksio sesarea. Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan,
dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut
dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro dkk, 2005). Kelahiran
janin melalui jalur abdominal (laparatomi) yang memerlukan insisi
ke dalam uterus (Histerotomi) (Norwitz & Schorge, 2006).

2. Indikasi seksio sesaria menurut (Norwitz & Schorge, 2006).

a. Faktor ibu
Induksi persalinan gagal
Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)
Disproporsi sefalopelvik
b. Uteroplasenta
Bedah uterus sebelumnya ( sesar klasik)
Riwayat rupture uterus
Obstruksi jalan lahir (fibroid)
Plasenta previa, abruption plasenta berukuran besar
c. Janin
Gawat janin / hasil pemeriksaan janin yang tidak
meyakinkan.
Prolaps talipusat
Malpresentasi janin (posisi melintang)
3. Jenis-jenis Histerotomi menurut (Norwitz & Schorge, 2006).
a. Histerotomi vertical tinggi (klasik).
indikasi dari Histerotomi vertical tinggi (klasik) yaitu :
Tidak ada akses segmen bawah (perlengketan,

massa panggul seperti fibroid).


Segmen bawah kurang berkembang atau tidak ada
segmen bawah (seperti bayi lahir sangat preterm,

sungsang preterm).
Letak lintang dengan impaksi
Plasenta previa
Janin abnormal besar (missal hidrosefalus, teratoma

sakrokoksigeal berukuran besar).


Histerotomi yang direncanakan (misalnya kanker).

b. Histerostomi transversal ( segmen uterus bagian bawah ).


Paling sering dilakukan karena kehilangan darah
lebih rendah (karena segmen uterus bawah tipis dan kurang
tervaskularisasi). Sembuh lebih cepat. Tidak melibatkan
penarikan flap kandung kemih ke bawah.
c. Histerotomi vertical segmen bawah ( kronig ).

Indikasi pada kehamilan kembar, malpresentasi


(terutama pada untuk posisi melintang), kelahiran bayi
premature berukuran sangat kecil, histerektomi masa nifas
yang telah direncanakan/elektif. Keuntungan dari tehnik ini
adalah menghindari resiko robekan ke pembuluh darah
uterus,

kemampuan

untuk

memperluas

insisi

jika

diperlukan.
4. Komplikasi seksio sesaria menurut (Prawiroharjo, 2005) meliputi :
a. Pada ibu komplikasi yang mungkin timbul ialah sebagai
berikut :
1. Infeksi puerperal
Komplikasi ini bisa bersifat ringan , seperti
kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa
nifas atau bersifat berat seperti peritonitis, sepsis
dan sebagainya.infeksi postoperasi terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah ada gejala gejala
infeksi intra partum, atau faktot factor yang
merupakan predisposisi terhadap kelainan itu
(partus lama khususnya setelah ketuban pecah,
tindakan vaginal sebelumnya).
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu
pembedahan jika cabang cabang arteri uterine ikut
terbuka, atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung
kencing, emboli paru-paru sangat jarang terjadi.

4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak,


ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus,
sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
rupture uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih
banyak ditemukan sesudah sesio sesarea klasik.
b. Pada anak
Bayi yang dilahirkan dengan seksio sesarea banyak
tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk
melakukan seksio sesarea. Menurut statistik dinegaranegara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang
baik, kematian perinatal pasca seksio sesarea berkisar
antara 4-7%.
B. Nyeri
1. Pengertian
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan
bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya ( hidayat, 2014).
Stimulus nyeri dapat terjadi karena trauma jaringan tubuh, misalnya
karena bedah akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung
pada reseptor (Hidayat, 2014).
2. Fisiologi nyeri
Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut
saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani

salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai didalam massa
berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat
berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditranmisi tanpa hambatan di korteks
serebral. Sekali stimulus mencapai korteks serebral, maka otak
menginterprestasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang
pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam
upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara
yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri , akan membantu
untuk menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut :
a. Resepsi
Semua kerusakan seluler, yang disebabkan oleh stimulus
termal, mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan
pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri.pemaparan terhadap
panas atau dingin, tekanan, friksi, dan zat-zat kimia menyebabkan
pelepasan substansi, seperti histamine, bradikinin, dan kalium yang
bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang
berespon terhadap stimulus yang memebahayakan) untuk memeulai
transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri(Clancy dan McVicar,
1992, dalam Potter & Perry, 2005).
b. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri.
Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke thalamus
dan otak tengah. Dari thalamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri
ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi

(di kedua lobus parietalis). Lobus frontalis, dan system limbic. Setelah
transmisi saraf berakhir didalam pusat otak yang lebih tinggi, maka
individu akan mempersepsikan sensasi nyeri (Paice, 1991, dalam
Potter dan Perry, 2005).
c. Reaksi
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke
batang otak dan thalamus, system saraf otonom menjadi terstimulasi
sebagai bagian dari respon stress. Nyeri dengan intensitas ringan
hingga sedang dan nyeri yang superficial menimbulkan reaksi
Flight-atau-fight, yang merupakan sindrom adaptasi umum (Potter
& Perry, 2005).

Serabut saraf tertentu bereaksi atas stimulus tertentu , sebagaimana


juga telah disebutkan dalam klasifikasi reseptor sebelumnya.
Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal
( yaitu serabut sataf A-Delta ), sedangkan slow pain ( nyeri lambat )
biasanya dicetuskan oleh serabut saraf C. serabut saraf A-Delta
mempunyai karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta
bermielinasi, dan serabut saraf C yang tak bermielinasi, berukuran sangat
kecil dan bersifat lambat dalam menghantarkan nyeri. Serabut A
mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas dalam melokalisasi
sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan
impuls yang tidak terlokalisasi ( bersifat difusi ), viseral, dan terusmenerus. Sebagai contoh mekanisme kerja Serabut A-Delta dan serabut C

dalam suatu trauma adalah ketika seseorang menginjak paku, sesaat


setelah kejadian orang tersebut dalam waktu kurang dari 1 detik akan
merasakan nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang merupakan transmisi
dari serabut A. dalam beberapa detik selanjutnya, nyeri menyebar sampai
seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut C (Prasetyo, 2010) .
Table 1
Perbedaan Serabut Syaraf A-Delta dan C
SERABUT A-DELTA
Bermielinasi
Diameter 2-5 mikrometer
Kecepatan hantar 12-30 m/dt
Menyalurkan impuls nyeri yang

SERABUT C
Tidak bermielinasi
Diameter 0,4-12,2 mikrometer
Kecepatan hantar 0,5-2 m/dt
Menyalurkan impuls nyeri yang

bersifat tajam, menusuk, terlokalisasi

bersifat tidak terlokalisasi, viseral, dan

dan jelas

terus-menerus

Tahap selanjutnya adalah transmisi,dimana impuls nyeri kemudian


ditransmisikan serat afferent ( A-Delta dan C ) ke medulla spinalis melalui
dorsal horn, di mana di sini impuls akan bersinapsis di substansia
gelatinosa ( lamisa II dan III ). Impuls kemudian menyeberang keatas
melewati traktus spinothalamus anterior dan lateral. Beberapa impuls
yang melewati traktus spinothalamus lateral diteruskan langsung ke
thalamus tanpa singgah di farmatio retikularis membawa impuls fast pain.
Di bagian thalamus dan korteks sarebri inilah kemudian individu

kemudian dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasikan,


menginterprestasikan dan mulai berespon terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).
Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui paleospinothalamus
pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls ini memasuki formation
retikularis dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi dan kognitif,
serta integrasi dari sistem saraf otonom. Slow pain yang terjadi akan
mengakibatkan emosi, sehingga timbul respon terkejut, marah, cemas,
tekanan darah meningkat, keluar keringat dingin dan jantung berdebardebar (Prasetyo, 2010).
Secara singkat proses terjadinya nyeri dapat dilihat pada bagan.
Stimulus nyeri : biologis, zat kimia, panas, listrik, serta mekanik
Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer
Impuls nyeri diteruskan oleh serat afferent (A-delta dan C) ke medulla spinalis
melalui dorsal horn
Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)
Impuls melewati traktus spinothalamus

Impuls masuk ke formatio retikularis

Impuls langsung

masuk ke thalamus
Sistem limbik

Fast pain
8

Slow pain
-

Timbul respon emosi


Respon otonom : TD meningkat, keringat dingin
Proses Terjadinya Nyeri (Prasetyo, 2010)
3. Teori nyeri
a. Teori pengontrolan nyeri (Gate control)
Serabut A-delta berdiameter kecil membawa impuls nyeri
cepat sedangkan serabut C membawa impuls nyeri lambat.
Sebagai tambahan bahwa serabut A-Beta yang berdiameter lebar
membawa

impuls

yang

dihasilkan

oleh

stimulus

taktil

(perabaan/sentuhan). Didalam substansia gelatinosa impuls akan


bertemu dengan suatu gerbang yang membuka dan menutup
berdasarkan prinsip siapa yang lebih mendominasi, serabut taktil
A-Beta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil. Apa bila
impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil
melebihi impuls yang dibawa serabut taktil A-Beta maka
gerbang akan terbuka sehingga impuls akan sampai otak.
Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa serabut taktil lebih
mendominasi, gerbang akan menutup sehingga impuls nyeri
akan terhalangi (Melzack & Wall, 1965, dalam Prasetyo 2010).
b. Teori Endorfin-Enkefalin.
Terdapat tiga golongan utama peptida opioid endogen yaitu
Enkefalin, Beta endorphin, dan dinofin. Enkefalin ditemukan di
Hipotalamus,

sistem

limbic,

PAG,

RVM

(yang

banyak

mengandung neuron serotonergik), dan kornu dorsalis medulla

spinalis. Rangsang listrik pada PAG dan bagian lain otak dapat
menyebabkan analgesia. Enkefalin menghambat pelepasan zat P
di kornu dorsal medulla spinalis. Enkefalin memiliki efek
analgesik yang lemah dari pada endorphin lain tetapi lebih poten
dan bekerja lebih lama dibandingkan morfin (Price, 2005).
Beta-Endorfin adalah suatu fragmen peptide yang berasal
dari proopiomelanokortin (POMC), dikelenjar hipofisis. BetaEndorfin terdapat dalam jumlah signifikan dihipotalamus dan
PAG serta sedikit di medulla dan medulla spinalis. Beta-Endorfin
adalah analgesik jauh lebih poten dari pada enkefalin (Price,
2005).
Dinofrin yaitu endorphin yang paling terakhir ditemukan,
berasal dari pro-dinorfin, yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis
posterior. Distribusi dinorfin secara kasar setara dengan distribusi
enkefalin. Dinorfin memiliki efek analgesik paling kuat sekitar 50
kali lebih kuat dari pada beta-endorfin (Price, 2005).
Semua opiate endogen ini bekerja dengan mengikat
reseptor opiate dengan efek analgesic serupa dengan obat opiate
eksogen. Reseptor opiate dan opiate endogen membentuk suatu
sistem penekan nyeri intrinsik. Tindakan-tindakan yang
merangsang

pelepasan

opioid

endogen

missal

placebo,

akupungtur, dan TENS (Price, 2005).


Fisiologi nyeri pada pasien pasca operasi adalah nyeri
diawali sebagai respon yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat

10

kimia seperti substansi P, bradikinin, dan prostaglandin


dilepaskan. Kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
menghantarkan rangsang nyeri dari daerah yang terluka ke otak.
Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls
elektrokimia di sepanjang saraf ke bagian dorsal spinal cord
(daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).
Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di
otak dan sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan
pertama kali dipersepsikan. Kemudian pesan dihantarkan ke
kortex dimana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan.
Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian
turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti
endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah yang
terluka (Taylor & Le Mone, 2005).
4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NYERI
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya sebagai berikut :
1). Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam
nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang

11

harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal
jika nyeri diperiksakan. Ebersol dan Hess (1994) dalam Potter & Perry (2005),
mengatakan individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami
situasi situasi yang membuat mereka merasakan nyeri.
2). Jenis kelamin
Gill (1990) dalam Potter & Perry (2005), mengungkapkan laki-laki dan wanita
tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi
faktor budaya (misalnya, tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita
boleh mengeluh nyeri).Toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor
biokimia dan merupakan hal unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis
kelamin.
3). Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka
tidak mengeluh jika ada nyeri. Pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya
akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan
untuk klien yang mengalami nyeri (Potter & Perry, 2005).
4). Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang
berbeda-beda apabila nyeri tersebut member kesan ancaman, suatu kehilangan,

12

hukuman, dan tantangan. Sehingga derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan
klien berhubungan dengan makna nyeri (Potter & Perry, 2005).
5). Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990) dalam Potter & Perry (2005).
perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6). Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas. Paice (1991) dalam Potter & Perry (2005) menuliskan bahwa
stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim limbik yang diyakini mengendalikan
emosi seseorang, khususnya kecemasan. Sistim limbik ini dapat memproses
reaksi emosi terhadap nyeri, yaitu memperburuk atau menghilangkan nyeri.
Sehingga individu yang sehat secara emosional biasanya lebih mampu
mentoleransi nyeri dari pada individu dengan emosional yang kurang stabil.
7). Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri (Potter & Perry, 2005).
8). Pola koping

13

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan


sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri. Sumber-sumber koping yang dapat digunakan seperti berkomunikasi
dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, menyanyi yang dapat digunakan
dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya mendukung klien dan
mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu (Potter & Perry, 2005).
9).Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan dalam
menghadapi nyeri. Walaupun nyeri tetap terasa, kehadiran orang yang dicintai
akan meminimalkan rasa nyeri yang klien rasakan (Potter & Perry, 2005).

4. Reaksi Terhadap Nyeri.


Sedangkan respon fisiologis terhadap nyeri dapat menstimulasi saraf
simpatis dan parasimpatis. Respon fisiologis stimulasi simpatis antara lain:
dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan
frekuensi denyut jantung, vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah,
peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot, dilatasi
pupil, penurunan motilitas gastro intestinal ( Potter & Perry, 2006 ). Respon
fisiologis stimulus parasimpatis antara lain: muka pucat, otot mengeras,
penurunan frekuensi nadi dan tekanan darah, nafas cepat dan tidak teratur, mual
dan muntah, serta kelelahan dan keletihan ( Potter &Perry, 2006 ).

14

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: pernyataan verbal


(mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), ekspresi wajah (meringis,
menggeletukkan gigi, menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi,
ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, kontak dengan orang
lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial,
penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri).
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri ( Potter & Perry, 2006 ).
Meinhart dan McCaffery (1983) dalam Potter & Perry (2006), mendiskripsikan 3
fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar
tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat
dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi
terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang

15

mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri
dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya
orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah
nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan
nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien
bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah,
vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang
digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan

nyerinya,

karena

belum

tentu

orang

yang

tidak

mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu


tentunya

membutuhkan

bantuan

perawat

untuk

membantu

klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.


3. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
pasien masih membutuhkan control dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan pasien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat terjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan

16

dalam membantu memperoleh control diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
5. PENATALAKSANAAN NYERI
Menurut( Perry & potter, 2005) tindakan mengurangi nyeri meliputi :
1. Terapi farmakologis
Beberapa agen farmakologi digunakan untuk mengurangi nyeri
seperti:
a. Analgesic ( asetaminofen, asam asetilsalisilat )
b. NSAID ( ibuprofen, naproksen, indometasin, tolmetin,
piroksikam, ketorolak )
c. Analgesik narkotik ( metilmorfin, morfin, fentanyl,
butofanol, hidromorfon HCL)
d. Adjuvant ( amitriptilin, hidroksin,

klorpromazin,

diazepam )
2. Terapi non farmakologis
a. Bimbingan antisipasi.
b. Distraksi.
c. Biofeedback.
d. Hipnosis.
e. Mengurangi persepsi nyeri
f. Stimulasi kutaneus.
6. Intensitas Nyeri
Skala deskripitif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. . Pendeskripsi ini diranking dari
tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak

17

menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2005).
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm ( Agency for
Health Care Policy and Research/ AHCPR, 1992) dalam Potter & Perry (2005).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran

keparahan

nyeri

yang

lebih

sensitif

karena

klien

dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka (Potter & Perry, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau
menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter & Perry
2005).

18

7. Hipnosis
a. pengertian
Hipnosis adalah teknik atau praktik memengaruhi orang lain secara
sengaja untuk masuk ke dalam kondisi yang menyerupai tidur, di mana
seseorang yang terhipnosis bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, serta
menerima sugesti tanpa perlawanan. Hal ini merupakan salah satu teknik
untuk menjelajahi alam pikiran bawah sadar (Budi & Rizali, 2010).
Hipnotis adalah keadaan dimana proses hypnosis dilakukan, di
manaseseorang membuat atau menyebabkan orang lain berada dalam keadaan
terhipnosis. Orang yang terhipnosis berada dalam keadaan mental bawah sadar
dimana perhatiannya menjadi terfokus, terkonsentrasi dan pikirannya lebih
mudah menerima permintaan, doktrin, atau sugesti (Budi & Rizali, 2010).
Hypnoanesthesia adalah penerapan hipnosis pada klien denagan
membawanya memasuki alam pikir bawah sadar dan memberikan suatu kalimat
sugesti yang membangun keyakinan struktur bahwa nyeri yang dirasakan akan
hilang atau tubuh klien akan mati rasa (Budi & Rizali, 2010)
Hypnoanalgesia adalah mengurangi kepekaan pasien terhadap rasa nyeri
atau mengurangi sensitivitas dan ambang nyeri pasien. Saat merasa sakit, horman
stress akan terangsang keluar, secara alami tubuh mengeluarkan hormone
endorphin, hormone penghilang rasa sakit atau natural pain killer yang mampu
menimbulkan rasa nyaman dan santai. Kekuatan endorphin sangat besar dan 200
kali lipat lebih ampuh disbanding morphin. Endorphin dapat dapat diproduksi
tubuh manusia secara alami saat tubuh melakukan aktifitas meditasi, pernapasan
19

dalam, makan makanan pedas, atau menjalani akupungtur dan chiropractic


(pengobatan alternative) (Yesie, 2010).
a. Tahap hypnotherapy
Menurut Hakim (2010), proses hipnoterapi terdiri atas: Pre Induction,
induction, deepening, hypnotherapeutic dan termination. Berikut ini akan
dijelaskan lebih rinci dari tahapan-tahapan dalam proses hipnoterapi:
1) Pre Induction
Istilah pre induction atau pra induksi merupakan suatu proses
untuk mempersiapkan suatu situasi dan kondisi yang kondusif antara terapis
dan klien. Proses ini merupakan proses yang paling menentukan dalam
setiap sesi hipnoterapi. Sebelum sesi hipnoterapi dilakukan, pastikan klien
mengetahui secara jelas metode hipnoterapi supaya terjadi proses kerja sama
antara klien dan hipnoterapis.Dalam dunia hipnoterapi konvensional, salah
satu praktik yang biasa dilakukan pada saat pra-induksi adalah sugestivity
testatau tes sugestivitas. Tes ini merupakan standar yang harus dilakukan
oleh setiap hipnoterapis pada saat melakukan sesi terapi terhadap klien yang
memang belum pernah merasakan direct hypnosis atau hipnosis langsung.
Tes sugestivitas ini bermanfaat untuk mengetahui level sugestivitas klien,
dari level sugestif rendah, sugestif sedang, hingga sugestif dalam. Melalui tes ini
seorang hipnoterapis bisa melihat apakah perintah atau ajakan yang diinginkan
oleh terapis kepada klien benar-benar ditangkap secara sempurna. Selain itu tes

20

sugestivitas juga digunakan sebagai bentuk latihan bagi klien agar benar-benar
merasakan sensasi hipnosis.
Ada beberapa contoh tes sugestivitas yang paling banyak digunakan dalam terapi,
antara lain:
a) Teknik Catalepsy of the eyes
Teknik ini merupakan teknik yang sangat mudah dilakukan terhadap klien
karena indera penglihatan merupakan bagian tubuh yang sangat sensitif dan
mudah dikendalikan oleh setiap orang, baik dalam membuka maupun menutup
mata. Teknik ini bisa digunakan untuk melihat sejauh mana klien mau
berinteraksi atau mematuhi saran-saran dari hipnoterapis. Ketika memulai teknik
ini, arahkan klien untuk menutup matanya terlebih dahulu. Kemudian, arahkan
klien untuk membuka matanya kembali.Berikan penjelasan bahwa mata tertutup
dan terbuka bukan dikontrol oleh hipnoterapis, melainkan oleh klien sendiri.
Hipnoterapis bisa mengarahkan klien untuk memejamkan mata lebih dalam lagi
sehingga kelopak mata klien seakan-akan semakin merapat. Pada akhirnya, klien
benar-benar mangalami sensasi sulit untuk membuka mata atau mata klien
seperti terkunci. Meskipun klien ingin membuka membuka kelopak matanya
kembali, ia memprogram dirinya seakan-akan kedua matanya seperti tertutup
sangat rapat. Jadi, urutan kerja teknik catalepsy of eyes adalah: (1) Arahkan klien
untuk menutup mata; (2) Saat klien menutup mata, lakukan tes sugestivitas
terhadap matanya; (3) Bimbing klien sehingga tercipta efek catalepsy of eyes; (4)
Kembalikan klien ke keadaan semula, yaitu dengan meminta klien membuka
kedua matanya kembali.

21

b) Chevreuls Pendulum

Dalam teknik ini diperlukan sebuah pendulum atau bandul sebagai alat
bantu untuk membimbing klien berkomunikasi dengan pikiran bawah sadarnya.
c) Teknik Locking Elbow Test

Berbeda dengan kedua tes sugestivitas di atas, locking elbow test


lebih menekankan pada klien yang lebih suka diperintah secara langsung.
Pasien diminta untuk mengangkat tangan kanannya ke depan sejajar dengan
bahu kanannya. pastikan siku tidak bengkok. Adapun urutan kerja teknik
locking elbow test adalah: (1) Klien meluruskan tangannya sejajar dengan
bahu; (2) Hipnoterapis membimbing klien untuk membayangkan tangannya
menjadi kaku, terkunci,dan sulit dibengkokkan; (3) Saat membimbing klien
untuk membayangkan tangannya kaku, hipnoterapis mencoba untuk
membengkokkan tangan klien; (4) Kembalikan klien ke kondisi semula, yaitu
siku tangan dapat dibengkokkan dan tangan kembali lentur.
2) Induction
Teknik induksi/inducton bertujuan agar critical area klien beristirahat
sejenak sehingga terapis bisa berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar klien.
Prinsip dasar membuka critical area bisa dilakukan dengan berbagai cara,antar
lain memanfaatkan kelelahan tubuh /fisik klien, memanfaatkan kelenturan otot
klien, dan memanfaatkan kebingungan pikiran sadar klien.
Menurut Hakim (2010), ada beberapa teknik induksi yang sering
dipraktikkan, yaitu:
a) Teknik Arm-Drop, yaitu dengan membuat fisik klien lelah.

22

Klien diminta menaikkan salah satu tangan kanan atau kirinya,


sehingga posisi tangannya sedikit di atas kepala. Tangan yang
terangkat keatas tersebut dimaksudkan agar klien merasakan
sebuah efek kelelahan, sehingga dengan durasi tertentu, tangan
klien turun secara alami. Hipnoterapis bisa mengarahkan
sugestinya dengan mengatakan bahwa, Semakin tangan Anda
bergerak turun ke bawah, Anda semakin memasuki kondisi yang
sangat dalam.
b) Teknik Hand Shake, yaitu dengan cara merelaksasikan otot-otot
klien.
c) Teknik Misdirection, yaitu dengan memanipulasi keyakinan klien.
Dalam induksi ini, yakinkan bahwa sebenarnya, hal yang
ia lakukan hanya latihan membayangkan saja, tanpa ada upaya
untuk mempengaruhi pikiran apapun.
d) Teknik Mental Confusion, yaitu dengan membingungkan pikiran
sadar klien.
Dalam tahap ini, klien diminta untuk berjabat tangan
dengan mata terpejam. Kemudian gerakkan dan ayunkan tangan
klien seperti berjabat tangan berkali-kali. Selanjutnya, lepaskan
tangan klien, bimbing klien agar tangannya terus di ayunkan
seperti berjabat tangan. Pada saat itulah pikiran sadar agak
kebingungan, sehingga critical area terbuka, lalu pandu klien
untuk beristirahat.
3) Deepening

23

Tahapan ini merupakan tahapan dalam hipnoterapi untuk


memperdalam dan mempertahankan kondisi klien dalam keadaan gelombang
otak alpha dan theta. Pada saat terapis melakukan induksi terhadap klien,
kondisi kesadaran klien berpindah dari kondisi beta ke kondisi alpha maupun
theta.

Namun,

untuk

lebih

memperdalam

kesadaran

klien

serta

mempertahankan kondisi tersebut diperlukan teknik deepening.


Berikut ini gambaran level kesadaran dan gelombang otak manusia bila
diukur dengan EEG:
4) Hypnotherapeutic
Dalam proses hipnoterapi, hypnotherapeutic merupakan inti dari
sebuah proses dalam mengatasi permasalahan klien. Hal yang perlu
diperhatikan sebelum hypnotherapeutic digunakan kepada klien, pastikan
klien dalam kondisi hipnosis. Adapun kondisi hipnosis sendiri memiliki
minimal empat kondisi yang harus dipenuhi, yaitu:
a) Relaks
Pastikan klien dalam kondisi tenang dan santai dengan
memperhatikan reaksi pergerakan tubuh dan nafas klien.
Hipnoterapis perlu memastikan dan menyamakan persepsi
relaks kepada klien agar tidak terjadi perbedaan makna atau
istilah.
b) Pikiran terfokus

24

Hipnoterapis

memiliki

teknik-teknik

khusus

untuk

memindahkan gelombang pikir klien dari gelombang pikir betha


menuju gelombang pikir alpha maupun theta. Semakin seseorang
masuk ke dalam gelombang pikir alpha dan theta, semakin fokus
juga pikirannya.
c) Peningkatan kualitas penginderaan klien
Kondisi ini sangat diperlukan oleh klien karena saat
hipnoterapis menggunakan sugesti penyembuhan, saran, sugesti,
himbauan, informasi yang diberikan oleh hipnoterapis bisa
langsung dicerna dan diolah oleh pikiran bawah sadar klien
melalui penginderaan baik melalui visual (indera melihat), audio
(indera mendengar), kinestetik (indera perasa), gustatory (indera
penciuman), dan olfactory (indera pengecapan).
d) Klien berada dalam kondisi pikiran Alpha atau Theta
Kondisi pikiran alpha dan theta inilah yang perlu
dipertahankan oleh hipnoterapis. Untuk menjaga agar klien terus
merasa nyaman dalam kondisi hipnosis, biasanya teknik repetisi
atau pengulangan kata-kata bisa digunakan. Penekanan kata-kata
tersebut harus membuat klien merasa lebih nyaman dan lebih
tenang,sekalipun ada hal-hal yang membuat klien mersa kurang
nyaman.

25

Hipnoterapi adalah sebuah seni. Oleh karena itu,


hypnotherapeutic bagaikan sebuah jurus demi jurus yang jika
digunakan akan terjadi sebuah rangkaian komprehensif yang
saling mendukung satu dengan lainnya. Terkadang, pada saat
berhadapan dengan klien, secara tiba-tiba hipnoterapis bisa
mengolah sebuah strategi jitu yang mungkin belum terpikirkan
sebelumnya.
Salah satu teknik hipnoterapi yang sering digunakan adalah
teknik sugesti. Sugesti yang diberikan kepada pikiran bawah sadar
akan menjadi nilai baru, asalkan tidak bertentangan dengan nilai
dasar klien.
Pikiran bawah sadar memiliki sebuah pola yang unik. Pola
tersebut perlu dicermati agar setiap sugesti yang masuk benarbenar menjadi realitas dalam hidup klien. Sebuah sugesti yang
baik, minimum terdiri dari lima faktor yang saling berkaitan.
Kelima faktor ini merupakan sebuah susunan dalam setiap sugesti
yang akan diberikan kepada klien, yaitu:
1. Belief (Sistem keyakinan diri)
Sebelum memberikan sugesti kepada klien, terlebih
dahulu berikan keyakinan secara umum bahwa apa yang
akan disarankan sesuai dengan apa yang klien yakini.
Berikan informasi dan data yang akurat sehingga bisa
meyakinkan klien.

26

2. Rule (system aturan di dalam diri)


Setelah memberikan beliefe kepada klien, lanjutkan sugesti
dengan memberikan rule atau aturan yang sesuai dengan
klien. Dalam hidup, kita sering berkecimpung dengan
berbagai aturan yang sebenarnya tanpa kita sadari sangat
mengikat dalam diri kita. Aturan atau rule manusia
seringkali diciptakan oleh pikirannya sendiri. Sebenarnya
pikiran manusia tidak ada batasnya, tetapi kitalah yang
sering membuat batasan-batasan. Batasan tersebut dapat
kita sebut aturan atau rule.
3. Value
Setelah memberikan beliefe dan rule kepada klien,
sarankanlah sebuah nilai dalam diri seseorang. Nilai-nilai
tersebut merupakan jawaban atas mengapa ada sebuah rule
atau aturan dalam kehidupan seseorang.

4. Behavior (Kebiasaan yang akan dilakukan)


Setelah beliefe, rule, dan value, disarankan kepada
klien bahwa ada sebuah aktifitas yang perlu dilakukan
untuk memperkuat ketiga hal tersebut. Sebuah aktifitas
yang dilakukan setiap hari, lama-kelamaan akan menjadi
sebuah kebiasaan dan secara otomatis akan memperkuat
beliefe, value dan rule klien.

27

5. Goal (Tujuan yang akan dicapai)


Di akhir dari sebuah sugesti, pikiran bawah sadar
klien perlu diberikan sebuah final goal atau tujuan akhir.
Tujuan yang akan dicapai oleh klien bisa berupa
output(berupa manfaat yang langsung bisa dirasakan
atau outcome(berupa manfaat yang bersifat kemakmuran
bersama).
5) Termination
Setelah hipnoterapis memberikan hypnotherapeutic dan sugestisugestinya, diperlukan langkah-langkah untuk menutup serangkaian
proses

hipnoterapi

dengan

teknik

yang

biasa

disebut

dengan

termination. Teknik ini diperlukan untuk mengembalikan gelombang


pikir klien dari gelombang alpha atau theta menuju ke kondisi semula atau
menuju gelombang beta. Teknik ini dimaksudkan agar klien bisa kembali
pada kesadaraan penuhnya. Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam
terminasi ini, yaitu:
a) Informasikan kepada klien bahwa sebentar lagi proses hipnoterapi
akan segera berakhir.
b) Lakukan hitungan maju.
c) Berikan kata kunci setiap hitungan maju.
Kalimat motivasi yang diberikan pada akhir proses
hipnoterapi bagaikan sebuah kesimpulan bagi pikiran bawah sadar

28

klien untuk melakukan perubahan yang akan diinformasikan


kepada pikiran sadarnya pasca terapi.
d) Bimbing klien untuk membuka matanya kembali dan ke kondisi
semula.
b. Proses fisiologi Hipnosis menurut (Budi & Rizali, 2010)
Pada prinsipnya, proses hipnosis dapat berlangsung karena adanya gap
duration dalam perjalanan impuls, penalaran atas suatu impuls yang diterima, dan
berjalan respon sebagai suatu reaksi terhadap suatu impuls, serta terjadi
munculnya reaksi, yang diakibatkan oleh adanya kelambatan berlangsungnya
proses tersebut (Budi & Rizali, 2010).
Kelambatan proses tersebut yang menyebabkan gap duration dapat terjadi
sebagai akibat dari :

Perjalanan masing-masing rangsangan yang melalui jejas serabut saraf

mengalami perbedaan kecepatan.


Rangsangan yang timbul memiliki perbedaan dalam kejelasan, jenis

likasi, dan kekuatannya.


Selama melewati jejas serabut saraf rangsangan dapat mengalami
modifikasi baik pembelokan maupun penguatan, bahkan blocking atau

inhibisi (penghambatan).
Kelambatan alur impuls tersebut dapat menyebabkan kelambatan loading
otak di dalam mempersiapkan semua impuls yang masuk, yaitu
kelambatan dalam perjalanan impuls untuk dipersepsikan atau diolah.

29

Dapat pula sebagai akibat kelambatan alur respon saraf setelah


dipersepsikan di dalam otak.
Sebagai akibat tumpang tindih impuls yang masuk akibat adanya

perpindahan impuls yang tiba-tiba masuk ke otak atau datangnya kejutan


impuls yang masuk ke otak. Adanya hal baru yang menjadi pusat perhatian
sehingga menjadi impuls dadakan yang secara tumpang tindih memasuki
otak. Adanya proses hang atau terputusnya sesaat dari berbagai impuls yang
masuk

ke

otak

akibat

banyaknya

impuls

yang

masuk

sehinnga

memungkinkan adanya space waktu untuk dimasuki dengan impuls baru,


sebelum otak kembali pada keadaan semula dalam mencerna atau
mempersepsikan impuls sebelumnya (Budi & Rizali, 2010).
Terjadinya hal tersebut pada manusia biasanya pada saat mereka
melamun, pikiran tidak focus / tidak konsentrasi / pikiran melayang memikirkan
hal yang tidak sesuai dengan yang sedang dihadapinya yang dilakukan pada saat
bersamaan bisa juga ketika mereka terpanah terhadap sesuatu hal, atau pada saat
loading otak penuh disebabkan memikirkan hal lain untuk mencari solusi suatu
hal, atau dalam keadaan saat manusia tertarget atas suatu hal, misalnya pada saat
mencapai atau mengejar target waktu dalam pekerjaan, dalam belajar, pada saat
mengejar target pekerjaan atau konsentrasi dalam suatu hal, dalam keadaan
rutinitas kerja yang monoton, berada dalam kejenuhan ritme keseharian, bahwa
otak dalam keadaan blank (Budi & Rizali, 2010).

30

Pada saat telah terfokus pada suatu hal tersebut maka pada saat itulah
terjadi gap duration yang memungkinkan dilakukan sugesti atau kalimat-kalimat
perintah yang disebut afirmasi sehingga objek akan masuk ke dalam pikiran
bawah sadar dan akan menuruti apapun yang diperintahkan subjek pemberi
hipnosis. Terjadinya gap duration pada manusia bukanlah merupakan suatu
kerusakan sistem saraf atau hal yang istimewa, namun hal tersebut merupakan
proses fisiologi yang dapat terjadi dan dialami oleh siapapun karena pada
dasarnya setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya akan mengalami hal
fluktuatif dalam tingkatan alam piker baik dalam gelombang alfa, beta, maupun
teta. Hal tersebut terjadi secara otomatis dengan sendirinya atau tanpa disadari,
karena 80% memori manusia atau hal-hal yang memengaruhi perilaku manusia
tersimpan dalam alam pikir bawah sadar (Budi & Rizali, 2010).
Selain itu, dapat pila diawali oleh suatu kejutan mendadak dalam hal
memfiksasi perhatian. Hal tersebut dinamakan shock hipnosis, misalnya dengan
tiba-tiba tubuh ditepuk keras dari belakang. Pada saat masih bingun untuk
mencerna tepukan atau dalam mengenali seseorang yang menepuknya maka pada
saat itulah sugesti diberikan untuk membawa ke alam piker bawah sadar. Dalam
kondisi itu segala perintah akan dikerjakan, karena seseorang yang ditepuk
mendadak dengan kejutan tersebut telah memasuki fase hipnotis, missal dapat
ditanya tentang suatu hal bisa berupa alamat, arah jalan ataupun deskripsi lokasi.
Maka pada saat orang mencerna pertanyaan tersebut dan menyusun jawabannya
pada saat itulah dia telah difiksasi sehingga mudah dimasuki kalimat afirmasi

31

sebagai sugesti. Hal tersebut sering dijumpai dalam keseharian dalam kontek
negative misalnya gendam (Budi & Rizali, 2010).
8. Hubungan antara Hipnoterapi dengan Penurunan Nyeri
Nyeri bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri
juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu
orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya
orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap
nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang. ( Meinhart dan Mc Caffery, 1983 dalam Potter dan Perry, 2006).
Fisiologi nyeri pada pasien pasca operasi adalah nyeri diawali
sebagai respon yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia seperti
substansi

P,

bradikinin,

dan

prostaglandin

dilepaskan.

Kemudian

menstimulasi saraf perifer, membantu menghantarkan rangsang nyeri dari


daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan
sebagai impuls elektrokimia di sepanjang saraf ke bagian dorsal spinal cord
(daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan
kemudian dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di otak dan sensasi
seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan.
Kemudian pesan dihantarkan ke kortex dimana intensitas dan lokasi nyeri
dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian

32

turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan
untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor dan Le Mone, 2005).
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang
sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi
sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan
nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai
jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi
yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola
perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian
secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum
tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk
membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif ( Meinhart dan Mc
Caffery, 1983 dalam Potter & Perry, 2005).
Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang fisiologis, namun
hal ini merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh klien setelah
pembedahan. Sensasi nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali
penuh, yang semakin meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh
anestesi. Adapun bentuk nyeri yang dialami oleh klien pasca pembedahan
adalah nyeri akut yang terjadi karena adanya luka insisi bekas pembedahan
( Potter & Perry, 2006 ).

33

Tindakan pereda nyeri nonfarmakologis dapat berupa bimbingan


antisipasi, Distraksi, Biofeedback, Hipnosis diri, transcutaneus electrical
nerve stimulation ( TENS) ( Perry & Potter, 2005). Hypnosis dapat
membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugestif positif. Suatu
pendekatan holistic,Hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan tenang
perasaan yang rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan
kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu bagi mereka
(Edelman dan mendel, 1994). Hipnosis diri sama seperti melamun.
Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu
berkonsentrasi hanya pada satu pikiran ( Perry & Potter, 2005).
Hipnoterapi adalah sebuah teknik terapi yang dilakukan pada klien
yang dalam kondisi hypnosis. Seseorang yang dalam kondisi hipnosis akan
cenderung lebih mudah menerima saran atau sugesti/hyper-sugestion
(Hakim, 2010). Dengan hipnoterapi klien dibimbimg untuk sangat relaks
sampai kedalam pikiran bawah sadar/sub conscious, kemudian diberikan
sugesti tertentu sehingga bisa merubah persepsi klien terhadap stimulus
nyeri.
9. Kerangka teori

Pasca operasi
menyisakan
luka sayatan
( incisi )

Faktor Internal:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Kebudayaan
4. Makna nyeri
5. Perhatian
6. Ansietas
7. Keletihan
8. Pengalaman sebelumnya
9. Gaya koping
Dukungan keluargaNyeri
dan sosial
Rangsang nyeri 10.
diterima
oleh nosireseptor
(skala
34
dihantarkan ke thalamus
0-10)
(otak) melalui saraf spinal

Tegangan otot menurun,


cemas berkurang,
dihasilkan opiate
endogen (endorphin
dan enkafelin),
merubah persepsi
nyeri

Nyeri
berkurang

Manajemen Nyeri Non farmakologi:


a. Hipnotis
b. Distraksi.
c. Biofeedback.
d. Bimbingan antisipasi.
e. Mengurangi persepsi nyeri
f. Stimulasi kutaneus.

Gambar 2. Skema Kerangka Teori Penelitian


( Potter dan Perry, 2005, Price, 2005 Hidayat,2014, Hakim, 2010,)

10. kerangka konsep

Intensitas nyeri sebelum


perlakuan

Intensitas nyeri sebelum


perlakuan

Perlakuan
11. hipotesisdengan
penelitian
hipnoterapi

35

Nyeri berkurang

Ada pengaruh hipnosis terhadap penurunan tingkat nyeri pada pasca


pembedahan seksio sesarea.

36

You might also like