You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemauaan hidup sehat bagi seluruh masyarakat dalam rangka mewujudkan derajat
masyarakat yang setinggi-tingginya. Masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri, sehingga masyarakat
bukan hanya menjadi sasaran tetapi juga menjadi pelaksana dalam pembangunan
kesehatan jiwa. Sesuai dengan Visi Departemen Kesehatan RI yaitu masyarakat yang
mandiri untuk hidup sehat. Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah
masyarakat yang sadar, mampu mengenali dan mengatasi permasalahan kesehatan
yang dihadapi sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan
penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencanan, maupun lingkungan dan
perilaku yang yang tidak mendukung untuk hidup sehat termasuk masalah kesehatan
jiwa ( Farid, 2008).
Data WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami
gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan. Gambaran
gangguan jiwa berat di Indonesia pada tahun 2007 memiliki prevalensi sebesar 4.6
permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk Indonesia terdapat empat sampai lima
diantaranya menderita gangguan jiwa berat (Puslitbang Depkes RI, 2008). Penduduk
Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009) sebanyak
225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan
1.037.454 orang. Provinsi Jawa Barat didapatkan data individu yang mengalami
gangguan jiwa sebesar 0,22 % (Riskesdas, 2007).
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Mampu mengerti dan mengerti pasien dengan gangguan jiwa isolasi social.
2. TUJUAN KHUSUS
1. Mampu mengidentifikasi pasien dengan isolasi social
2. Mampu menganalisa jurnal tentang pasien dengan isolasi social
3. Guna memenuhi tugas individu pada midsemester tentang keperawatan jiwa
C. RUANG LINGKUP
Penulisan makalah ilmiah ini merupakan pembahasan jurnal tentang keperawatan jiwa
dengan isolasi sosial.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Isolasi Sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena
orang lain menyatakan sikap yang negatip dan mengancam (Twondsend,1998)
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin,1993 dikutip budi keliat,2001)
Terjadinya dipengaruhi factor predisposisi dan antara lain perkembangan dan sosial budaya.
Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang
lain, ragu, takut salah,pesimis,putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan
keinginan, dan merasa tertekan.
Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih
menyukai berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan.
B. ETIOLOGI
1. FAKTOR PREDISPOSISI
Factor yang menyebabkan isolasi social adalah:
a. Factor Perkembangan
b. Factor Komunikasi Dalam Keluarga
c. Factor Sosial Budaya
d. Factor Biologis
2. FAKTOR PRESIPITASI
a. Stressor Sosial
b. Stressor Biokimia
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
d. Stressor Psikologis
C. POHON MASALAH
Resiko gangguan sensori persepsi halusinasi

Isolasi
Sosial

Mekanisme koping tidak efektif

Gangguan konsep diri: HDR


D. TANDA DAN GEJALA

deficit perawatan diri

Menurut Purba, dkk (2008) tanda dan gejala isolasi social yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
E. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Psikofarmaka
a. Clorpromazine
b. Haloperidol
c. Trihexyphenidil
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi social dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri 3 SP
3. Terapi Kelompok
Menurut Purba, 2009. Aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. ADL
b. Tingkah laku social
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan social
pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
1) Kontak social terhadap teman
2) Kontak social terhadap petugas
3) Kontak mata waktu berbicara
4) Bergaul
5) Mematuhi tata rtib
6) Sopan santun
7) Menjaga kebersihan lingkungan

BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Hawari (2003) salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien
gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan
masyarakat menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa

aib bagi keluarga. Penilaian masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat
dari dilanggarnya larangan, guna guna, santet, kutukan dan sejenisnya
berdasarkan kepercayaan supranatural. Dampak dari kepercayaan mayarakat dan
keluarga, upaya pengobtan pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke dukun atau
paranormal. Kondisi ini diperberat dengan sikap keluarga yang cenderung
memperlakukan pasien dengan disembunyikan, diisolasi, dikucilkan bahkan
sampai ada yang dipasung. Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam
proses kesembuhan klien yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi keluarga yang
terapeutik dan mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan
memperpanjang kekambuhan. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa angka
kekambuhan pada klien tanpa terapi keluarga sebesar 25-50% sedangkan angka
kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5 - 10% (Keliat, 2006).
Keluarga sebagai perawat utama dari klien memerlukan treatment untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam merawat klien. Berdasarkan
evidance based practice psikoedukasi keluarga adalah terapi yang digunakan
untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan ketrampilan
mereka dalam merawat anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa,
sehingga diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap
stress dan beban yang dialaminya (Goldenberg & Goldengerg, 2004).
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Ruti Wiyanti, et.all, 2010 di RSUD
Banyumasruang Samiaji dan Yudisthira terhadap 48 responden (keluarga dengan
anggota keluarga isolasi social) yaitu 24 kelompok intervensi dan 24 kelompok
kelompok control. Hasil analisi penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan
keluarga dalam merawat klien isolasi social baik kognitif dan psikomotor sebelum
terapi psikoedukasi keluarga setara (p>0,05) bermakna (p<0,05) sesudah
pemberian terapi psikoedukasi keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
rerata kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga kelompok intervensi
meningkat lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok control.
Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif karena
dalam terapi mengandung unsure untuk meningkatkan pengetahuan keluarga
tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk
mengetahui gejala peyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi
anggota keluarga itu sendiri.
Kenaikan kemampuan psikomotor pada kelompok intervensi dimungkinkan
karena terapi psikoedukasi keluarga yang berkaitan dengan adanya komponen
ketrampilan latihan yang terdiri dari: komunikasi, latihan ,menyelesaikan konflik,
latihan asertif, latihan mengatasi perilaku dan mengatasi stress.komponen latihan
terdapat dalam sesi tiga, diantaranya meragakan cara beraktivitas.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Wakhid, et all, 2013 tentang Penerapan Terapi
Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal PepLau yang dilaksanakan di RS Marzoeki
Mahdi Bogor, memberikan hasil bahwa Pelaksanaan terapi latihan ketrampilan sosial yang
dilakukan dengan menggunakan pendekatan model hubungan interpersonal Peplau pada klien
dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah. Model interpersonal dapat dilakukan
secara efektif karena proses tahap pertama dalam hubungan perawat dengan klien yang
disebut tahap orientasi diawali dengan membina hubungan saling percaya dimana perawat
dan klien belum saling mengenal dan perawat merupakan orang asing bagi klien. Tahap
identifikasi dilakukan oleh perawat dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap
masalah yang muncul pada klien. Pada tahap ini hubungan perawat dan klien sudah terbina
dengan baik sehingga perawat dapat menggali permasalahan yang klien alami. Setelah

mendapatkan berbagai data, perawat dengan klien bersama-sama menentukan tujuan untuk
membantu mengatasi masalah yang termasuk dalam tahap eksploitasi. Pada tahap eksploitasi
ini perawat melatih klien tentang kemampuan untuk meningkatkan hubungan sosial melalui
terapi latihan ketrampilan sosial. Terapi latihan ketrampilan sosial terdiri dari 4 sesi dimana
pada tiap-tiap sesi dilakukan rata-rata 3 kali pertemuan, dan masing-masing pertemuan
dilakukan selama 30-45 menit. Tahap eksploitasi ini dilakukan bersama klien sampai klien
benar-benar menguasai baik secara kognitif maupun psikomotor untuk tiap-tiap sesi latihan
terapi. Setelah perawat merasa yakin bahwa klien telah mampu menguasai terapi yang
dilatihkan, selanjutnya perawat melakukan identifikasi kembali terhadap kemampuan klien
dalam melaksanakan kemampuan yang telah dilatihkan serta perawat membantu klien untuk
mempersiapkan lepas dari ketergantungan terhadap perawat dalam melakukan hubungan
sosial dengan lingkungan sekitarnya yang termasuk dalam tahap akhir yaitu tahap resolusi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Terapi Psikoedukasi Kelurga meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor
secara bermakna. Kualitas sumber daya manusia keperawatan perlu ditingkatkan
dalaM melakukan asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial berdasarkan terapi
generalis Direktur RS Jiwa atau Umum yang membuka bangsal jiwa menetapkan
suatu kebijakaN untuk implementasi terapi keluarga pada keperawatan jiwa yaitu
terapi psikoedukasi keluarga dan terapi generalis untuk keluarga. Perlu penelitian

pada kasus lain untuk melengkapi informasi tentang sejuah mana terapi
psikoedukasi Keluarga dapat membantu klien dengan masalah selain isolasi sosial
dalam meningkatkan pengetahuan kognitif.
Latihan ketrampilan sosial dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada
klien isolasi sosial dan harga diri rendah. Semua klien telah mampu melakukan
latihan berbicara yang baik, melakukan latihan berbicara untuk menjalin
persahabatan, melakukan latihan berbicara untuk bekerjasama dan melakukan
latihan berbicara untuk menghadapi situasi yang sulit.

You might also like