You are on page 1of 16

TUGAS FARMAKOTERAPI II

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh:

KELOMPOK:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Diah Nurmala Sari


Adhe Ayu K. S.
Nur Mentarie D.
Farichatul Izzah M.
Yayan Ika Rachmawati
Ninda Sukmaningrum
Elivia Rosa A.

(122210101016)
(122210101018)
(122210101020)
(122210101022)
(122210101024)
(122210101026)
(122210101028)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (CPOD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patologi utamanya. Ketiga
penyakit ini yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah: Bronkitis
Kronis, emfisema paru-paru dan asma bronkiale (S. Meltzer, 2001:595)
PPOK merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari
dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah Bronkitis Obstruktif, Emfisema dan Asma
Bronkiale (Black. J. M & Matassarin,. E. J. 1993).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakterisasinya adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif
nonreversible atau reversible parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya (Gold, 2009).
PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) merupakan suatu penyumbatan menetap
pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis dan asma yang
mengakibatkan obstruksi jalan napas yang bersifat ireversible dengan penyebab yang tidak
diketahui dengan pasti.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah persamaan dan perbedaan klinik antara pasien asma dengan PPOK?
1.2.2 Faktor apakah yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK pasien?
1.2.3 Apakah yang dapat dijelaskan mengenai kondisi pasien dari hasil spirometri?
1.2.4 Bagaimanakah tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat yang
1.2.5

diberikan?
Bagaimana pemberian obat jika dibandingkan dengan management terapi sehubungan

1.2.6

dengan pergantian diagnosis dari asma menjadi PPOK?


Bagaimana anda menilai bahwa terapi yang diberikan telah membantu/ memberikan

1.2.7
1.2.8

hasil yang signifikan?


Pasien menanyakan lebih baik mana penggunaan MDI dibandingkan nebulizer?
Bagaimanakah pendapat anda mengenai antibiotika yang digunakan pasien?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan klinik antara pasien asma dengan PPOK.
1.3.2 Untuk mengetahui faktor apakah yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK
1.3.3
1.3.4

pasien.
Dapat menjelaskan mengenai kondisi pasien dari hasil spirometri.
Untuk mengetahui tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat yang

1.3.5

diberikan.
Mengetahui pemberian obat jika dibandingkan dengan management terapi sehubungan

1.3.6

dengan pergantian diagnosis dari asma menjadi PPOK.


Dapat menilai bahwa terapi yang diberikan telah membantu/ memberikan hasil yang
signifikan.

1.3.7
1.3.8

Dapat menjelaskan lebih baik mana penggunaan MDI dibandingkan nebulizer.


Pendapat mengenai antibiotika yang digunakan pasien.

BAB II
ISI
2.1 Definisi
a. ASMA
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran
pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan
dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat,
batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan
luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).
Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda dengan definisi GINA
yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang
berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa
hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran
pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam
rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh
penyempitan saluran. Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat
berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa
gangguan imunologi.
b. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD Chronic Obstructive Pulmonary
Disease) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya
obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai
respon dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan
parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan
emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan
sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya
kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal
yang abnormal.
c. Perbedaan Asma dan PPOK

Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan
sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK.
Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic pada forced expiratory
volume dalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya
dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma
merupakan obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran
napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan
PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan
pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan
obstruksi saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi
menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.
Perbandingan gejala antara PPOK dan asma
Riwayat Klinik

PPOK

Onset biasanya pada usia tua.

Asma

Onset biasanya pada umur yang


lebih muda

Riwayat paparan rokok.


Tidak ada riwayat atopik pada

Paparan allergen.
Riwayat atopi atau asma pada
keluarga

keluarga.
Variasi diurnal tidak begitu jelas

Berkaitan dengan pola nocturnal


dan memberat pada pagi hari.

Tes Diagnostik
Spirometri
Kapasitas
Radiology

Obstruksi tidak reversible

Obstruction dapat reversible

sepenuhnya

sepenuhnya

Berkurang (dengan emphysema)

Biasanya normal

Hiperinflasi cenderung lebih

Hiperinflasi hanya pada

persisten. Penyakit bullous dapat

eksaserbasi, namun normal di luar

ditemukan

serangan

Pathology

Metaplasia kelenjar mucus

Hyperplasia kelenjar mucus

Kerusakan jaringan alveolar

Struktur alveolar utuh

(emphysema)
Inflamasi

Makrofag dan neutrofil mendominasi Sel Mast dan eosinophils


mendominasi
Limfosit CD8+

Limfosit CD4+

Penatalaksanaan
Kortikosteroid

Untuk kasus sedang hingga berat

Inhalasi

Untuk kasus ringan hingga berat


persisten

Leukotriene
modifier

Tidak direkomendasikan
Digunakan untuk maintenance dan

Anticholinergic

selama eksaserbasi

inhalasi

Digunakan sebagai medikasi


pengontrol
Hanya digunakan pada eksaserbasi.
Tidak diindikasikan untuk
maintenance

2.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Perkembangan PPOK


Terdapat 2 faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK, yaitu :
a. Faktor exposur, seperti asap tembakau, polusi udara, lingkungan kerja yang berdebu
dan bahan kimia, asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), serta daerah
atau lingkungan tempat tinggal.
b. Faktor host, seperti adanya kelainan genetik (-1 antitrypsin), hipereaktivitas saluran
nafas, mengalami gangguan pada pertumbuhan paru-paru, usia, dan jenis kelamin,
infeksi bronkopulmoner rekuren dan lain-lain.
Pada kasus yang terjadi pada Bapak LT, faktor yang berkontribusi terhadap
perkembangan PPOK yang diderita yaitu kebiasaan merokok dan karena faktor usia. Bapak
LT memiliki kebiasaan merokok sampai 20 sigaret sejak sejak usia 14 tahun dan termasuk
perokok aktif, dimana perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang yang
tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada dosis merokoknya, seperti

usia orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok. Selain itu derajat merokok pasien juga menentukan seberapa parah resiko
PPOK yang diderita.
Menurut PDPI (2000), derajat merokok seseorang dapat diukur dengan Indeks
Brinkman, dimana perkalian antara jumlah batang rokok yang dihisap dalam sehari dikalikan
dengan lama merokok dalam satu tahun, akan menghasilkan pengelompokan sebagai berikut :
(6)

Perokok ringan
Perokok sedang
Perokok berat

: 0-200 batang per tahun


: 200-600 batang per tahun
: lebih dari 600 batang per tahun

Dalam kasus PPOK, merokok merupakan faktor yang paling berkontribusi. Separuh
dari semua orang yang merokok berpeluang terjadi kerusakan atau obstruksi saluran nafas dan
10-20 persen nya berkembang secara signifikan menjadi PPOK (Devereux, 2006). Sumber
lain menambahkan bahwa seseorang yang merokok dalam kurun waktu 20-25 tahun
berpeluang terkena PPOK (Teramoto, 2007).
Dengan demikian, kasus PPOK akut yang terjadi pada Bapak LT salah satunya
disebabkan karena kebiasaan merokok yang berlebihan (perokok berat) yang telah dilakukan
selama kurang lebih 54 tahun.
Gambaran secara umum bagaimana rokok dapat menyebabkan kerusakan saluran
pernafasan adalah bahwa di dalam asap rokok terdapat ribuan radikal bebas dan bahan-bahan
iritan yang merugikan kesehatan. Bahan iritan tersebut masuk saluran pernafasan selanjutnya
menempel pada silia (rambut getar) yang selalu berlendir. Di samping itu bahan iritan tersebut
mampu membakar silia sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan yang dapat
mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mucus makin bertambah banyak dan kondisi
ini Sangat kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka akan
terjadi radang dan penyempitan saluran nafas serta berkurangnya elastisitas.
Besar kecilnya intensitas dan waktu paparan bahan-bahan iritan dalam asap rokok
akan berpengaru terhadap kondisi saluran pernafasan. Semakin besar intensitas, dosis, serta
waktu paparan, akan mempercepat terjadinya kerusakan atau ketidaknormalan pada saluran
pernafasan. Dengan kata lain bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya
kelainan pada saluran nafas, antara lain berupa penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan
dengan kejadian PPOK.

Faktor lain yang berkontribusi pada PPOK yaitu faktor usia, dimana berdasarkan studi
yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004, dan sebuah studi tambahan dari
Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK paling tinggi pada usia individu lebih dari
40 tahun daripada mereka yang di bawah 40. Latin American Project for the Investigation of
Obstructive Lung Disease (PLATINO) meneliti prevalensi keterbatasan aliran udara setelah
pemberian bronkodilator di antara individu di atas usia 40 di lima kota penting Amerika Latin,
masing-masing di negara yang berbeda (Brazil, Chili, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela).
Pada masing-masing negara tersebut di atas, prevalensi PPOK meningkat secara tajam dengan
bertambahnya usia, dengan prevalensi tertinggi di antara mereka di atas usia 60, mulai dari
total populasi dari yang rendah 7,8% di kota Meksiko, Meksiko sampai yang tertinggi 19,7%
di Montevideo, Uruguay. Kelompok usia sangat penting karena prevalensi PPOK pada
individu di bawah usia 45 tahun rendah, sedangkan prevalensi tertinggi pada individu di atas
usia 65 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada usia lebih dari 40 tahun, seseorang
lebih rentang beresiko mengalami PPOK, dan yang paling beresiko terjadi pada usia lebih dari
65 tahun.

2.3 Klasifikasi PPOK


Berikut tabel klasifikasi dari PPOK :

Penjelasan hasil spirometri Diagnosis PPOK dikonfirmasi melalui hasil pengukuran


spirometri. Hasil post bronkodilator dengan nilai FEV1 < 80% yang dikombinasi dengan nilai
FEV1/FVC < 70% menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhya
reversible. Berdasarkan tingkat keparahan secara sederhana COPD dibagi menjadi 4 tingkatan
yakni :
- Tingkat I (PPOK ringan) Ditandai dengan adanya keterbatasan liran udara yang
ringan. Pada tingkatan ini nilai FEV1/FVC < 70% tapi nilai FEV1 80% prediksi)

dan biasanya tidak selalu disertai batuk kronik dan adanya produksi dahak. Pada
tingkatan ini seseorang mungkin tidak menyadari bahwa fungsi paru-parunya tidak
normal.
Tingkat II (PPOK sedang) Ditandai dengan keterbataan aliran udara yang memburuk.

Nilai spirometri menunjukkan (50%FEV180% dan FEV1/FVC < 70%) pada


tingkat ini biasanya sudah menunjukkan beberapa gejala seperti batuk dan produksi
dahak dan disertai pemendekan nafas saat beraktivitas.
Tingkat III (PPOK parah) Hasil pengkuran spirometri akan menunjukkan

(30%FEV150%) dan (FEV1/FVC < 70%), pernafasan yang semakin pendek dan
pasien sering mengalami kelelahan sehingga mengurangi kualitas hidup pasien.
Tingkat IV (Sangat parah) Ditandai dengan aliran udara yang sangat terbatas

(FEV130%) disertai gangguan pernafasan kronis


Dari data hasil spirometri bapak LT menunjukkan nilai FEV1 adalah 0,95 L
sedangan nilai FEV1 prediksi adalah 2,7 L maka nilai FEV1 ( (0,95 L)/(2,7 L) x
100% ) adalah 35%. Hasil (FEV1/FVC) x 100% adalah 62%. Maka berdasarkan hasil
spirometri tersebut dapat dinyatakan bahwa bapak LT terdiagnosa PPOK pada
stadium yang parah.
2.4 Tujuan dan Mekanisme Kerja Obat
Tujuan dan Mekanisme Kerja Obat yang diberikan kepadan pasien adalah sebagai
berikut:
1

Montelukast 10 mg 1x1
Tujuan Terapi
: anti leukotriene (LTRA yang selektif menghambat CysLT1)
Mekanisme Kerja
: menghambat aksi LTD4 pada reseptor CysLT1 tanpa aktivitas
agonis. Merupakan bronkokonstriktor yang poten menghambat
pembentukan leukotriene melalui penghambatan enzim 5lipooksigenase yang berfungsi mengkatalis asam arakidonat
menjadi leukotriene. Mencapai Cmax setelah 3 sampai 4 jam
pemberian oral 10 mg. Metabolisme terjadi pada P450 (CYP)
mikrosom 3A4 dan 2CP dan ampuh menghambat P450 2C8.
Ekskresi terjadi melalui empedu dengan waktu paruh 2,7
sampai 5,5 jam pada orang dewasa sehat.

Co-amilofruse (furosemide) 5 mg/ 40 mg 2x1


Tujuan Terapi
: sebagai diuretik yang kuat
Mekanisme Kerja
: co-amilofruse atau furosemide

sebagai

diuretik

kuat

menurunkan reabsorbsi sodium dan klorida di ascending loop

Henle dan tubulus distal ginjal. Meningkatkan ekskresi sodium,


air, klorida, kalsium, dan magnesium.
Diuretik kuat diindikasikan untuk edema, hiperkalsemia
akut, hyperkalemia, gagal ginjal akut, dan hipertensi. Diuretik
kuat terabsorbsi cepat, tereliminasi melalui ginjal dengan filtrasi
glomerular

dan

sekresi

tubular.

Diuretic

kuat

selektif

menghambat reabsorpsi NaCl di thick ascending limb (TAL) dan


menginduksi sintesis prostaglandin renal sehingga terjadi
vasodilatasi pada arteriola aferen (pembuluh darah yang masuk
ke glomerulus). Penggunaan obat golongan NSAID dapat
mengurangi mekanisme diuretic karena obat golongan ini
menghambat sintesis prostaglandin.
3

Beclometason (inhalasi) 2 semprotx 2


Tujuan Terapi
: sebagai steroid adrenokortikal steroid sintetik.
Mekanisme Kerja
: cara kerja dan efek nya sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta andrenergik
dengan

memproduksi

AMP

siklik,

inhibisi

mekanisme

bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.


Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara
efektif dengan efek sistemik minimal. Selain itu sebagai
kortikosteroid, efeknya yang menguntungkan pada PPOK
meliputi penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi
mucus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
inhibisi prostaglandin.
4

Salbutamol (inhalasi) 2 semprot saat sesak nafas


Tujuan Terapi
: sebagai simpatomimetik selektif 2
Mekanisme Kerja

: menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan bronkodilatasi


dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan
pembentukan adenosine monofosfat siklik (cAMP) serta
meningkatkan klirens mukosiliar. Salbutamol lebih disukai
karena mempunyai agen selektifitas 2 yang lebih besar dan
durasi aksi lebih panjang dibandingkan agen aksi pendek
lainnya (isoproterenol, metaproterenol, dan isoetarin). Durasi
aksi agonis 2 aksi pendek adalah 4 sampai 6 jam.

2.5.Pemberian Obat Dibandingkan Managemen Terapi karena Pergantian Diagnosis


dari Asma menjadi PPOK
Pemberian terapi obat lebih baik. Pemberian terapi obat berupa montelukast, coamilofruse, beclometason dan salbutamoll, di mana montelukast menghambat aksi LTD4
pada reseptor Cys LT1 sehingga tidak mediator inflamasi terhambat. Co-amilofruse
(furosemide) sebagai diuretik yang kuat, obat ini juga dapat mensistesis prostaglandin yaitu
sebagai mediator inflamasi. Beclometason secara inhalasi diajurkan dalam terapi obat COPD
dan Salbutamol dimana dia merupakan kombinasi dari short-acting beta2-agonist ditambah
dengan antikolinergic dalam satu inhaler.
2.6 Penilaian Terapi
Pemberian terapi dapat dinyatakan belum berhasil memberikan hasil yang signifikan.
Jika dilihat dari awal riwayat terapi pasien dengan diagnosis awal sesak disebabkan karena
asma menggunakan short acting 2 agonist yaitu salbutamol 100 g (MDI) dua semprot saat
sesak nafas dapat menaikkan nilai FEV1 pada awalnya 0,95 L menjadi 0,99 L. Namun, tidak
memperbaiki gejala pasien mengeluh mengalami sesak nafas setelah berjalan jarak dekat 500
m atau naik tangga, batuk kronik, mengeluarkan 1 sendok sputum setiap hari dan mengalami
infeksi dada. Terapi tambahan untuk bronkodilator dengan montelukast merupakan antagonis
reseptor leukotrien (LTRA) digunakan untuk pengobatan pemeliharaan asma dan meredakan
gejala alergi musiman. Biasanya diberikan secara per oral sekali sehari. Montelukast
merupakan antagonis CysLT1, memblok aksi leukotrien D4 pada sisi sisteinil reseptor
leukotrien CysLT1 di paru-paru dan saluran bronkial. Mekanisme itu dapat mengurangi
bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrien dan reaksi inflamasi. Termasuk dalam
terapi komplementer pada orang dewasa di samping kortikosteroid inhalasi, kelebihan yang
lain montelukast tidak berinteraksi dengan obat asma yang lain seperti teofilin.Maka perlu
dievaluasi kemungkinan disebabkan penyakit lain seperti gagal jantung, obat bronkodilator
tidak adekuat, kemungkinan cara menggunakan inhaler yang salah. Sehingga, perlu
ditambahkan terapi tambahan dengan pemberian inhaler glukokortikosteroid yaitu
beclamethason MDI 100 g dua semprot 2x1 hari. Selain itu juga digunakan Furosamid
digunakan kemungkinan untuk mengatasi gagal jantung akut yang disertai dengan kelebihan
cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik
dengan cepat menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas
fisik. Dengan demikian, edema perifer dan kongesti paru akan berkurang / hilang sedangkan
curah jantung tidak berkurang. Untuk dosis awal biasanya diberikan 40 mg, kemudian dapat
ditingkatkan sampai diperoleh hasil yang signifikan. Namun, jika terjadi penurunan curah

jantung akibat deplesi cairan akan meningkatkan aktivitas neurohormonal yang akan memicu
progresi gagal jantung maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang
asimtomimetik maupun yang tidak ada overload cairan.
Rekomendasi : Perlu ditambahkan vaksin pneumococcus (tiap 5-10 th) dan vaksin
influenza (tiap tahun).
2.7 Penggunaan MDI Dibandingkan Nebulizer
Berikut ini merupakan perbedaaan antara MDI dan Nebulizer
a. Metered Dose Inhaler (MDI)
Propelan (zat pembawa) yang bertekanan tinggi

menjadi penggerak,

menggunakan tabung aluminium (kanister). Partikel yang dihasilkan oleh

MDI adalah partikel berukuran <5m.


Surfaktan juga digunakan utk memberi rasa yang bisa diterima pemakai
seperti

lecithin,

lecitsorbitol

trioleate

atau

oleic

acid.

Yang terpenting pada MDI adalah katup terukur (metered valve ) yang
secara akurat melepaskan partikel obat dengan dosis tertentu.
Kekurangan MDI
o Manuver tidak mudah (koordinasi inhalasi dan gerakan harus baik).
Partikel MDI yang langsung ke mulut memiliki kecepatan yang tinggi dan
ukuran droplet yang besar yang berakibat tingginya deposisi obat di
orofaring.
o Cara pakai dan kondisi optimal hanya sekitar 20% dosis yang mencapai
paru.
o Obat yang mengendap di tenggorokan dan tertelan, tidak banyak
manfaatnya karena akan dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang
inaktif.
o Khlorofluorokarbon (CFC) merusak lapisan ozon.
o Perlu instruksi dan pelatihan cara penggunaan alat.
o Kelembaban yang tinggi menjadi problem karena obat dapat menggumpal
dan MDI tidak efektif pada temperature di bawah 5 derajat.
Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI
o Kurang koordinasi
o Terlalu cepat inspirasi
o Tidak menahan nafas selama 10 detik
o Tidak mengocok kanister sebelum digunakan
o Tidak berkumur setelah menggunakan MDI
o Posisi MDI terbalik
b. Nebulizer
Prinsip
Mengubah obat : larutan menjadi aerosol Sehingga dapat dihirup penderita dengan
menggunakan mouthpiece atau masker. Dengan nebulizer dapat dihasilkan partikel

aerosol berukuran antara 2-5 . Berbeda dengan alat MDI dan DPI dimana alat dan
obat merupakan satu kesatuan, nebuliser terdiri dari beberapa bagian yang terpisah
yang terdiri dari generator aerosol, alat bantu inhalasi (kanul nasal,masker,
mouthpiece) dan obatnya sendiri.
Merupakan suspensi berbentuk padat atau cair dalam bentuk gas.
Berfungsi untuk menghantarkan obat dalam bentuk larutan air ke jalan

napas, tenggorokan atau hidung.


Tujuannya untuk menghantarkan obat ke target organ dengan efek samping

minimal dan dengan keamanan dan efektifitas yang tinggi.


Kekurangan nebulizer : Alat besar, mahal ,Obat terbatas
Bapak LT mulai menggunakan ipratropium MDI dengan spacer, alat MDI pasien harus
bisa menggunakan kordinasi gerakan antara menyemprotkan obat dan bernafas dalam waktu
yang bersamaan. Kordinasi ini sangat sulit dilakukan untuk anak-anak maupun lansia. Oleh
karena itu, dokter sering menganjurkan untuk diberikan alat bantu yaitu spacer yang
ditempelkan pada MDI. Keuntungan memungkinkan pasien menghisap obat beberapa kali,
memaksimalkan pernafasan agar seluruh obat masuk ke paru-paru. Nebulizer mengubah obat
dari larutan menjadi aerosol. Sehingga dapat dihirup penderita menggunakan mouthpiece atau
masker, dengan alat ini dapat dihasilkan partikel aerosol berukuran antara 2-5 . Nebulizer
sangat cocok digunakan untuk anak-anak, lansia dan mereka yang sedang mengalami
serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa kompresor dan ultrasonic. Tidak ada
kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer, karena pasien cukup bernapas seperti
biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup
habis tidak lebih dari 10 menit. Keuntungan nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan
langsung pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan
rendah. Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.
Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu mengeluarkan
sekresi bronkus. Sehingga lebih nyaman menggunakan nebulizer dibandingkan dengan MDI
namun harga satu set nebulizer sangat mahal dibandingkan dengan MDI.
2.8 Penggunaan Antibiotik yang Diberikan
Pasien diberikan antibiotika dikarenakan ada ciri-ciri bahwa pasien menderita infeksi.
Cirinya yaitu sputum berwarna kuning/hijau dimana terjadi proses penimbunan nanah. Proses
ini terjadi dikarenakan adanya verdoperoksidase yg dihasikan oleh PMN dalam sputum.
Sputum hijau ini sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis karena penimbunan sputum
dalam bronkus yang melebar dan terinfeksi. Ciri kedua adalah jumlah leukosit diatas normal,
dimana sel darah putih berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi.

Artinya, begitu tubuh mendeteksi adanya infeksi, sumsum tulang dirangsang untuk
memproduksi lebih banyak sel darah putih untuk mengatasinya
Dalam kasus ini pasien diberikan antibiotika seftriakson. Seftriakson merupakan
antibiotika golongan sefalosporin generasi ke tiga. Antibiotik ini memiliki aktivitas yang
sangat kuat untuk melawan bakteri gram negatif dan gram positif dan beberapa bakteri
anaerob

lain

termasuk

Streptococcus

pneumoniae,

Hemophiluse

inlfluenzae,

dan

Pseudomonas (Jayesh, 2010). Sefalosporin berasal dari jamur Cephalosporium acremonium


yang diisolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Aktivitas antimikroba sefalosporin ialah dengan
menghambat sintesa dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap
ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel (Deddy, 2011). Seftriakson dianggap
obat pilihan bagi banyak infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif (Acinetobacter
calcoaceticus, Enterobacter aerogenes, Enterobacter cloacae, Escherichia coli) dan
penggunaan utama obat ini untuk pengobatan infeksi serius bakteri gram-negatif, infeksi
nosokomial (McEvoy & Gerald, 2008). Sehingga pemberian seftriakson pada Bapak LT untuk
mengatasi infeksinya adalah tepat.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan

3.1.1 Perbedaan asma dengan COPD yaitu asma disebabkan oleh paparan alergen, sehingga
CD4+T limfosit dan eosinofil aktif kemudian pembatasan jalan udara ini dapat
kembali seperti semula, sedangkan pada COPD disebabkan oleh agen yang toksis
sehingga mengaktifasi CD8+T limfosit dan makrofag neurofil fan mediator inflamasi
yang lain sehingga jalut udara yang terbatasi ini tidak dapat kembali.
3.1.2 Faktor yang berkontribusi terhadapa perkembangan COPD pasien ada dua yaitu
exposure (asap rokok, polusi udara, bahan kimia dll) dan host (usia, jenis kelamin,
gangguan pertumbuhan paru-paru, kelainan genetik (-1 antitripsin) dll).
3.1.3 Berdasarkan hasil spirometri, pasien terdiagnosa COPD pada stadium yang parah.
3.1.4 Tujuan terapi dari masing-masing obat yaitu Montelukasy sebagai anti leukotrien, Coamilofruse (Furosemide) sebagai diuretik yang kuat, Beclometason secara inhalasi
sebagai steroid adrenokortikal steroid sintetik, dan Salbutamol secara inhalasi sebagai
simpatomimetik selektif 2 .
3.1.5 Pemberian obat jika dibandingankan dengan management terapi sehubungan dengan
pergantian diagnosis asma menjadi COPD yaitu lebih baik.
3.1.6 Terapi belum berhasil karena belum memberikan hasil yang signifikan.
3.1.7 Nebulizer lebih baik dibandingkan dengan MDI namun harga nebulizer sangat mahal.
3.1.8 Pemberian antibiotik seftriakson ini tepat karena dapat membunuh bakteri gram positif
dan negatif serta bakteri lainnya. Dalam kondisi COPD yang parah memang
seharusnya diberikan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA
Barnes J. P. and Hansel T. T. 2003. An Atlas of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease
COPD. London: The Parthenon Publishing Group, pp:3-5
Benninger, Michael S., and Waters, Heather. 2009. Montelukast: Pharmacology, Safety,
Tolerability and Efficacy. Clinical Medicine: Therapeutics 2009: 1 1253-1261.
Dipiro, JT., Wells BG., , TL Schwinghammer, CW. Hamilton. 2006. Pharmacoterapy
Handbook 6th ed International edition. Singapore: McGrawHill. Hal: 826-848
Donohue JF, Sheth K, Schwer WA, Schlager SI. Asthma & COPD: Management Strategies
for the Primary Care Provider. Medical Communications Media, Inc. 2006. p.2-12.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. GOLD. USA. 2014.
Ives, Harlan E.. 2007. Diuretics Agents, in Katzung, Bertram G.. Basic and Clinical
Pharmacology, 10th ed. McGraw-Hill Companies. Inc. USA.
Juvelekian G, Stoller JK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: Abelson A, Gordon S,
Hobbs R, Hoogwerf BJ, Kothari S, Lang DM, et al, editors. Current Clinical
Medicine. 1st ed. China: Elsevier Inc; 2009. p.1067-1073.
Linus Santo Tomas - Kochar's Clinical Medicine for Students, 5th Edition
Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media
Litbangkes. 2013; 23: 82-88.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2000. PPOK, tantangan dan pelaksanaan di
abad 21. Pertemuan Ilmiah Khusus 2000.PDPI
Sukandar, Elin Yulinah; Andrajati, Retnosari; Sigit, Joseph I.; Adnyana, I Ketut; Setiadi, A.
Adji Prayitno; dan Kusnandar. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI

You might also like