Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
KELOMPOK:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
(122210101016)
(122210101018)
(122210101020)
(122210101022)
(122210101024)
(122210101026)
(122210101028)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN
diberikan?
Bagaimana pemberian obat jika dibandingkan dengan management terapi sehubungan
1.2.6
1.2.7
1.2.8
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan klinik antara pasien asma dengan PPOK.
1.3.2 Untuk mengetahui faktor apakah yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK
1.3.3
1.3.4
pasien.
Dapat menjelaskan mengenai kondisi pasien dari hasil spirometri.
Untuk mengetahui tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat yang
1.3.5
diberikan.
Mengetahui pemberian obat jika dibandingkan dengan management terapi sehubungan
1.3.6
1.3.7
1.3.8
BAB II
ISI
2.1 Definisi
a. ASMA
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran
pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan
dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat,
batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan
luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).
Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda dengan definisi GINA
yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang
berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa
hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran
pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam
rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh
penyempitan saluran. Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat
berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa
gangguan imunologi.
b. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD Chronic Obstructive Pulmonary
Disease) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya
obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai
respon dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan
parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan
emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan
sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya
kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal
yang abnormal.
c. Perbedaan Asma dan PPOK
Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan
sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK.
Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic pada forced expiratory
volume dalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya
dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma
merupakan obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran
napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan
PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan
pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan
obstruksi saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi
menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.
Perbandingan gejala antara PPOK dan asma
Riwayat Klinik
PPOK
Asma
Paparan allergen.
Riwayat atopi atau asma pada
keluarga
keluarga.
Variasi diurnal tidak begitu jelas
Tes Diagnostik
Spirometri
Kapasitas
Radiology
sepenuhnya
sepenuhnya
Biasanya normal
ditemukan
serangan
Pathology
(emphysema)
Inflamasi
Limfosit CD4+
Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Inhalasi
Leukotriene
modifier
Tidak direkomendasikan
Digunakan untuk maintenance dan
Anticholinergic
selama eksaserbasi
inhalasi
usia orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok. Selain itu derajat merokok pasien juga menentukan seberapa parah resiko
PPOK yang diderita.
Menurut PDPI (2000), derajat merokok seseorang dapat diukur dengan Indeks
Brinkman, dimana perkalian antara jumlah batang rokok yang dihisap dalam sehari dikalikan
dengan lama merokok dalam satu tahun, akan menghasilkan pengelompokan sebagai berikut :
(6)
Perokok ringan
Perokok sedang
Perokok berat
Dalam kasus PPOK, merokok merupakan faktor yang paling berkontribusi. Separuh
dari semua orang yang merokok berpeluang terjadi kerusakan atau obstruksi saluran nafas dan
10-20 persen nya berkembang secara signifikan menjadi PPOK (Devereux, 2006). Sumber
lain menambahkan bahwa seseorang yang merokok dalam kurun waktu 20-25 tahun
berpeluang terkena PPOK (Teramoto, 2007).
Dengan demikian, kasus PPOK akut yang terjadi pada Bapak LT salah satunya
disebabkan karena kebiasaan merokok yang berlebihan (perokok berat) yang telah dilakukan
selama kurang lebih 54 tahun.
Gambaran secara umum bagaimana rokok dapat menyebabkan kerusakan saluran
pernafasan adalah bahwa di dalam asap rokok terdapat ribuan radikal bebas dan bahan-bahan
iritan yang merugikan kesehatan. Bahan iritan tersebut masuk saluran pernafasan selanjutnya
menempel pada silia (rambut getar) yang selalu berlendir. Di samping itu bahan iritan tersebut
mampu membakar silia sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan yang dapat
mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mucus makin bertambah banyak dan kondisi
ini Sangat kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka akan
terjadi radang dan penyempitan saluran nafas serta berkurangnya elastisitas.
Besar kecilnya intensitas dan waktu paparan bahan-bahan iritan dalam asap rokok
akan berpengaru terhadap kondisi saluran pernafasan. Semakin besar intensitas, dosis, serta
waktu paparan, akan mempercepat terjadinya kerusakan atau ketidaknormalan pada saluran
pernafasan. Dengan kata lain bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya
kelainan pada saluran nafas, antara lain berupa penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan
dengan kejadian PPOK.
Faktor lain yang berkontribusi pada PPOK yaitu faktor usia, dimana berdasarkan studi
yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004, dan sebuah studi tambahan dari
Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK paling tinggi pada usia individu lebih dari
40 tahun daripada mereka yang di bawah 40. Latin American Project for the Investigation of
Obstructive Lung Disease (PLATINO) meneliti prevalensi keterbatasan aliran udara setelah
pemberian bronkodilator di antara individu di atas usia 40 di lima kota penting Amerika Latin,
masing-masing di negara yang berbeda (Brazil, Chili, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela).
Pada masing-masing negara tersebut di atas, prevalensi PPOK meningkat secara tajam dengan
bertambahnya usia, dengan prevalensi tertinggi di antara mereka di atas usia 60, mulai dari
total populasi dari yang rendah 7,8% di kota Meksiko, Meksiko sampai yang tertinggi 19,7%
di Montevideo, Uruguay. Kelompok usia sangat penting karena prevalensi PPOK pada
individu di bawah usia 45 tahun rendah, sedangkan prevalensi tertinggi pada individu di atas
usia 65 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada usia lebih dari 40 tahun, seseorang
lebih rentang beresiko mengalami PPOK, dan yang paling beresiko terjadi pada usia lebih dari
65 tahun.
dan biasanya tidak selalu disertai batuk kronik dan adanya produksi dahak. Pada
tingkatan ini seseorang mungkin tidak menyadari bahwa fungsi paru-parunya tidak
normal.
Tingkat II (PPOK sedang) Ditandai dengan keterbataan aliran udara yang memburuk.
(30%FEV150%) dan (FEV1/FVC < 70%), pernafasan yang semakin pendek dan
pasien sering mengalami kelelahan sehingga mengurangi kualitas hidup pasien.
Tingkat IV (Sangat parah) Ditandai dengan aliran udara yang sangat terbatas
Montelukast 10 mg 1x1
Tujuan Terapi
: anti leukotriene (LTRA yang selektif menghambat CysLT1)
Mekanisme Kerja
: menghambat aksi LTD4 pada reseptor CysLT1 tanpa aktivitas
agonis. Merupakan bronkokonstriktor yang poten menghambat
pembentukan leukotriene melalui penghambatan enzim 5lipooksigenase yang berfungsi mengkatalis asam arakidonat
menjadi leukotriene. Mencapai Cmax setelah 3 sampai 4 jam
pemberian oral 10 mg. Metabolisme terjadi pada P450 (CYP)
mikrosom 3A4 dan 2CP dan ampuh menghambat P450 2C8.
Ekskresi terjadi melalui empedu dengan waktu paruh 2,7
sampai 5,5 jam pada orang dewasa sehat.
sebagai
diuretik
kuat
dan
sekresi
tubular.
Diuretic
kuat
selektif
memproduksi
AMP
siklik,
inhibisi
mekanisme
jantung akibat deplesi cairan akan meningkatkan aktivitas neurohormonal yang akan memicu
progresi gagal jantung maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang
asimtomimetik maupun yang tidak ada overload cairan.
Rekomendasi : Perlu ditambahkan vaksin pneumococcus (tiap 5-10 th) dan vaksin
influenza (tiap tahun).
2.7 Penggunaan MDI Dibandingkan Nebulizer
Berikut ini merupakan perbedaaan antara MDI dan Nebulizer
a. Metered Dose Inhaler (MDI)
Propelan (zat pembawa) yang bertekanan tinggi
menjadi penggerak,
lecithin,
lecitsorbitol
trioleate
atau
oleic
acid.
Yang terpenting pada MDI adalah katup terukur (metered valve ) yang
secara akurat melepaskan partikel obat dengan dosis tertentu.
Kekurangan MDI
o Manuver tidak mudah (koordinasi inhalasi dan gerakan harus baik).
Partikel MDI yang langsung ke mulut memiliki kecepatan yang tinggi dan
ukuran droplet yang besar yang berakibat tingginya deposisi obat di
orofaring.
o Cara pakai dan kondisi optimal hanya sekitar 20% dosis yang mencapai
paru.
o Obat yang mengendap di tenggorokan dan tertelan, tidak banyak
manfaatnya karena akan dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang
inaktif.
o Khlorofluorokarbon (CFC) merusak lapisan ozon.
o Perlu instruksi dan pelatihan cara penggunaan alat.
o Kelembaban yang tinggi menjadi problem karena obat dapat menggumpal
dan MDI tidak efektif pada temperature di bawah 5 derajat.
Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI
o Kurang koordinasi
o Terlalu cepat inspirasi
o Tidak menahan nafas selama 10 detik
o Tidak mengocok kanister sebelum digunakan
o Tidak berkumur setelah menggunakan MDI
o Posisi MDI terbalik
b. Nebulizer
Prinsip
Mengubah obat : larutan menjadi aerosol Sehingga dapat dihirup penderita dengan
menggunakan mouthpiece atau masker. Dengan nebulizer dapat dihasilkan partikel
aerosol berukuran antara 2-5 . Berbeda dengan alat MDI dan DPI dimana alat dan
obat merupakan satu kesatuan, nebuliser terdiri dari beberapa bagian yang terpisah
yang terdiri dari generator aerosol, alat bantu inhalasi (kanul nasal,masker,
mouthpiece) dan obatnya sendiri.
Merupakan suspensi berbentuk padat atau cair dalam bentuk gas.
Berfungsi untuk menghantarkan obat dalam bentuk larutan air ke jalan
Artinya, begitu tubuh mendeteksi adanya infeksi, sumsum tulang dirangsang untuk
memproduksi lebih banyak sel darah putih untuk mengatasinya
Dalam kasus ini pasien diberikan antibiotika seftriakson. Seftriakson merupakan
antibiotika golongan sefalosporin generasi ke tiga. Antibiotik ini memiliki aktivitas yang
sangat kuat untuk melawan bakteri gram negatif dan gram positif dan beberapa bakteri
anaerob
lain
termasuk
Streptococcus
pneumoniae,
Hemophiluse
inlfluenzae,
dan
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.1.1 Perbedaan asma dengan COPD yaitu asma disebabkan oleh paparan alergen, sehingga
CD4+T limfosit dan eosinofil aktif kemudian pembatasan jalan udara ini dapat
kembali seperti semula, sedangkan pada COPD disebabkan oleh agen yang toksis
sehingga mengaktifasi CD8+T limfosit dan makrofag neurofil fan mediator inflamasi
yang lain sehingga jalut udara yang terbatasi ini tidak dapat kembali.
3.1.2 Faktor yang berkontribusi terhadapa perkembangan COPD pasien ada dua yaitu
exposure (asap rokok, polusi udara, bahan kimia dll) dan host (usia, jenis kelamin,
gangguan pertumbuhan paru-paru, kelainan genetik (-1 antitripsin) dll).
3.1.3 Berdasarkan hasil spirometri, pasien terdiagnosa COPD pada stadium yang parah.
3.1.4 Tujuan terapi dari masing-masing obat yaitu Montelukasy sebagai anti leukotrien, Coamilofruse (Furosemide) sebagai diuretik yang kuat, Beclometason secara inhalasi
sebagai steroid adrenokortikal steroid sintetik, dan Salbutamol secara inhalasi sebagai
simpatomimetik selektif 2 .
3.1.5 Pemberian obat jika dibandingankan dengan management terapi sehubungan dengan
pergantian diagnosis asma menjadi COPD yaitu lebih baik.
3.1.6 Terapi belum berhasil karena belum memberikan hasil yang signifikan.
3.1.7 Nebulizer lebih baik dibandingkan dengan MDI namun harga nebulizer sangat mahal.
3.1.8 Pemberian antibiotik seftriakson ini tepat karena dapat membunuh bakteri gram positif
dan negatif serta bakteri lainnya. Dalam kondisi COPD yang parah memang
seharusnya diberikan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes J. P. and Hansel T. T. 2003. An Atlas of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease
COPD. London: The Parthenon Publishing Group, pp:3-5
Benninger, Michael S., and Waters, Heather. 2009. Montelukast: Pharmacology, Safety,
Tolerability and Efficacy. Clinical Medicine: Therapeutics 2009: 1 1253-1261.
Dipiro, JT., Wells BG., , TL Schwinghammer, CW. Hamilton. 2006. Pharmacoterapy
Handbook 6th ed International edition. Singapore: McGrawHill. Hal: 826-848
Donohue JF, Sheth K, Schwer WA, Schlager SI. Asthma & COPD: Management Strategies
for the Primary Care Provider. Medical Communications Media, Inc. 2006. p.2-12.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. GOLD. USA. 2014.
Ives, Harlan E.. 2007. Diuretics Agents, in Katzung, Bertram G.. Basic and Clinical
Pharmacology, 10th ed. McGraw-Hill Companies. Inc. USA.
Juvelekian G, Stoller JK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: Abelson A, Gordon S,
Hobbs R, Hoogwerf BJ, Kothari S, Lang DM, et al, editors. Current Clinical
Medicine. 1st ed. China: Elsevier Inc; 2009. p.1067-1073.
Linus Santo Tomas - Kochar's Clinical Medicine for Students, 5th Edition
Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media
Litbangkes. 2013; 23: 82-88.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2000. PPOK, tantangan dan pelaksanaan di
abad 21. Pertemuan Ilmiah Khusus 2000.PDPI
Sukandar, Elin Yulinah; Andrajati, Retnosari; Sigit, Joseph I.; Adnyana, I Ketut; Setiadi, A.
Adji Prayitno; dan Kusnandar. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI