You are on page 1of 15

BAB II

LANDASAN TEORI
II.1.

Tinjauan Pustaka

II.1.1.

Persalinan

II.1.1.1. Pengertian Persalinan


Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat
hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Prawirohardjo,2007).

II.1.1.2. Mekanisme Persalinan


Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I serviks membuka sampai terjadi
pembukaan 10 cm. Kala I dinamakan pula kala pembukaan. Kala II disebut pula
kala pengeluaran, oleh karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan janin
didorong ke luar sampai lahir. Dalam kala III atau kala uri, plasenta terlepas dari
dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 1
jam.

Dalam

kala

itu

diamati

apakah

ada

perdarahan

postpartum.

a. Kala I
Klinis dapat dinyatakan partus dimulai bila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir bersemu darah (bloody show). Lendir yang bersemu darah ini
berasal dari pembuluhpembuluh kapiler yang berada di sekitar kanalis servikalis
itu pecah karena pergeseranpergeseran ketika serviks membuka.
Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase.
1.

Fase laten: berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lambat


sampai mencapai ukuran diameter 3 cm.

2. Fase aktif: dibagi dalam 3 fase lagi, yakni:


a. Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi meningkat menjadi
4 cm.
b. Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat
cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
c. Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam 2 jam
pembukaan 9 cm menjadi lengkap.

Mekanisme membukanya serviks berbeda antara pada primigravida dan


multigravida. Pada primigravida ostium uteri internum akan mendatar dan
menipis lebih dahulu, lalu kemudian ostium uteri eksternum membuka. Pada
multigravida ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran
serviks terjadi dalam saat yang sama.
Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada
primigravida kala I berlangsung kira-kira 13 jam, sedangkan pada multipara kirakira 7 jam (Prawirohardjo, 2007).

b. Kala II
Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2 sampai 3
menit sekali. Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk di ruang
panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang
secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasa pula tekanan
kepada rektum dan hendak buang air besar. Kemudian perineum mulai menonjol
dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama
kemudian kepala janin tampak dalam vulva pada waktu his. Bila dasar panggul
sudah lebih berelaksasi, kepala janin tidak masuk lagi di luar his, dan dengan his
dan kekuatan mengedan maksimal kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di
bawah simfisis dan dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat
sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan badan, dan anggota gerak bayi. Pada
primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 0,5
jam (Mochtar, 1998; Prawirohardjo, 2007).

c. Kala III
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas
pusat. Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan
plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit
setelah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri.
Permukaan maternal harus diperiksa secara hati-hati untuk memastikan tidak ada
fragmen plasenta yang tertinggal di uterus. (Cunningham, 2007; Prawirohardjo,
2007).

d. Kala IV
Plasenta,

selaput

ketuban,

dan

tali

pusat

hendaknya

diperiksa

kelengkapannya dan kelainan kelainan yang ada. Satu jam segera setelah
kelahiran masa kritis persalinan. Uterus harus sering diperiksa selama masa ini,
demikian pula daerah perineum harus diperiksa untuk mendeteksi perdarahan
yang banyak. Selain itu, direkomendasikan untuk mencatat tekanan darah dan
denyut nadi segera setelah melahirkan dan setiap 15 menit selama satu jam
pertama setelah melahirkan (Cunningham, 2007).

II.I.2.

Sectio Caesarea

II.I.2.1. Pengertian Sectio Caesarea


Sectio caesarea berasal dari perkataan Latin caedere yang artinya
memotong. Dalam hukum Roma terdapat hukum lex zaesarea. Dalam hukum ini
menjelaskan bahwa prosedur tersebut dijalankan di akhir kehamilan pada seorang
wanita yang sekarat demi untuk menyelamatkan calon bayi (Tjipta, 2003). Sectio
Caesarea adalah insisi melalui dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan
janin (Novak, P.D., 2002).

II.I.2.2. Epidemiologi Sectio Caesarea


Peningkatan angka sectio caesarea juga terjadi di Indonesia. Meskipun
dictum once a cesarean alwayas a cesarean di Indonesia tidak dianut, tetapi
sejak dua dekade terakhir ini telah terjadi perubahan tren sectio caesarea di
Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir ini terjadi kenaikan proporsi sectio caesarea
dari 5% menjadi 20%. Sectio caesarea ini terlalu sering dilakukan sehingga para
kritikus menyebutnya sebagai panacea (obat mujarab) praktek kebidanan (Scott,
2002; Dewi, 2007). Angka kejadian sectio caesarea sejak tahun 1980 jelas
meningkat. Di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta proporsi sectio caesarea pada
tahun 1981 sebesar 15,35% dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 23,23%
(Kasdu, 2005). Menurut Depkes RI (2010) secara umum jumlah persalinan sectio
caesarea di rumah sakit pemerintah adalah sekitar 20 - 25% dari total persalinan,
sedangkan di rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi, yaitu sekitar 30 - 80 %
dari total persalinan.

Peningkatan ini disebabkan oleh teknik dan fasilitas operasi bertambah


baik, operasi berlangsung lebih asepsis, teknik anestesis bertambah baik,
kenyamanan pasca operasi dan lama rawatan yang bertambah pendek. Di samping
itu morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal dapat diturunkan secara
bermakna (Dewi, 2007).

II.1.2.3. Jenis Sectio Caesarea


Sectio caesarea terbagi menjadi dua yaitu sectio caesarea transperitonealis dan
sectio caesarea ekstraperitonealis.
II.1.2.3.1. Sectio caesarea transperitonealis
a. Sectio caesarea klasik
Pembedahan ini dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira sepanjang 10 cm. Keuntungan tindakan ini adalah mengeluarkan janin
lebih cepat, tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik dan sayatan
bisa diperpanjang proksimal dan distal. Kerugian yang dapat muncul adalah
infeksi mudah menyebar secara intraabdominal dan lebih sering terjadi ruptura
uteri spontan pada persalinan berikutnya (Oxorn, 2003).
b. Sectio caesarea profunda
Dikenal juga dengan sebutan low cervical, yaitu sayatan pada segmen
bawah rahim. Insisi melintang dilakukan pada segmen bawah uterus. Segmen
bawah uterus tidak begitu banyak mengandung pembuluh darah dibandingkan
segmen atas, sehingga risiko perdarahan lebih kecil. Karena segmen bawah
terletak di bawah cavum peritonei, kemungkinan infeksi pasca bedah juga tidak
begitu besar. Selain itu, risiko ruptura uteri pada kehamilan dan persalinan
berikutnya akan lebih kecil bilamana jaringan parut hanya terbatas pada segmen
bawah uterus. Kesembuhan luka biasanya baik karena segmen bawah merupakan
bagian uterus yang tidak begitu aktif (Farrer, 2001).
II.1.2.3.2. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Sectio caesarea berulang pada seorang pasien yang pernah melakukan
sectio caesarea sebelumnya. Biasanya dilakukan di atas bekas luka yang lama
(Dewi, 2007). Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding dan fasia abdomen
sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah

10

uterus sehingga uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum. Pada saat ini
pembedahan ini tidak banyak dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi
puerperal (Oxorn, 2003).

II.1.2.4.

Faktor Risiko

II.1.2.4.1. Faktor Umur Ibu


Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara 20 - 35 tahun, di
bawah dan di atas umur tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan
persalinan. Pada usia muda organ-organ reproduksi seorang wanita belum
sempurna secara keseluruhan dan perkembangan kejiwaan belum matang
sehingga belum siap menjadi ibu dan menerima kehamilannya dimana hal ini
dapat berakibat terjadinya komplikasi obstetri yang dapat meningkatkan angka
kematian ibu dan perinatal (Rochjati, 2003). Kehamilan di atas umur 35 tahun
mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadinya persalinan sectio caesarea
dibandingkan dengan umur di bawah 35 tahun (Wirakusumah, 1994).
II.1.2.4.2. Tingkat Pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting
dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga. Semakin tinggi
pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat pengetahuan dan
kesadarannya

dalam

mengantisipasi

kesulitan

dalam

kehamilan

dan

persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan pengawasan


kehamilan secara berkala dan teratur (Christina, 1996). Persalinan sectio caesarea
lebih sering terjadi pada ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih rendah
(Wirakusumah, 1994).
II.1.2.4.3. Pekerjaan
Derajat

sosio

ekonomi

masyarakat

akan

menunjukkan

tingkat

kesejahteraan dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan


kesehatan. Jenis pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan
sosio ekonomi keluarga (Wirakusumah, 1994). Beberapa alasan yang mendasari
kecenderungan melahirkan dengan sectio caesarea semakin meningkat terutama di

11

kota-kota besar, seperti di Jakarta banyak para ibu yang bekerja. Mereka sangat
terikat dengan waktu. Mereka sudah memiliki jadwal tertentu, misalnya kapan
harus kembali bekerja (Kasdu, 2005).
II.1.2.4.4. Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu sebelum
kehamilan atau persalinan saat ini. Paritas dikategorikan menjadi 4 kelompok
yaitu (Mochtar, 1998):
a. Nullipara adalah ibu dengan paritas 0
b. Primipara adalah ibu dengan paritas 1
c. Multipara adalah ibu dengan paritas 2-5
d. Grande Multipara adalah ibu dengan paritas >5
Persalinan yang pertama sekali biasanya mempunyai risiko yang relatif
tinggi terhadap ibu dan anak, akan tetapi risiko ini akan menurun pada paritas
kedua dan ketiga, dan akan meningkat lagi pada paritas keempat dan seterusnya
(Mochtar, 1998). Paritas yang paling aman jika ditinjau dari sudut kematian
maternal adalah paritas 2 dan 3 (Prawirohardjo, 2007). Risiko untuk terjadinya
persalinan sectio caesarea pada primipara 2 kali lebih besar dari pada multipara
(Wirakusumah, 1994).

II.1.2.5.

Indikasi Sectio Caesarea

II.1.2.5.1. Indikasi Ibu


a. Panggul sempit absolut
Pada panggul dengan ukuran normal, apapun jenis pokoknya, yaitu
panggul ginekoid, anthropoid, android dan platipelloid. Kelahiran pervaginam
janin dengan berat badan yang normal tidak akan mengalami kesukaran.
Panggul sempit absolut adalah ukuran konjugata vera kurang dari 10 cm
dan diameter transversa kurang dari 12 cm. Oleh karena panggul sempit,
kemungkinan lebih besar bahwa kepala tertahan di pintu atas panggul, maka
dalam hal ini serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat
mengakibatkan inersia uteri serta lambatnya pendataran dan pembukaan serviks.
Apabila pada panggul sempit pintu atas panggul tidak tertutup dengan sempurna

12

oleh kepala janin, ketuban bisa pecah dan ada bahaya pula terjadinya prolapsus
funikuli (Prawirohardjo, 2007).

b. Tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi


Tumor dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam.
Adanya tumor bisa juga menyebabkan persalinan pervaginam dianggap
mengandung terlampau banyak risiko. Tergantung dari jenis dan besarnya tumor,
perlu dipertimbangkan apakah persalinan dapat berlangsung pervaginam atau
harus diselesaikan dengan sectio caesarea (Mochtar, 1998).

c. Stenosis serviks atau vagina


Ditemukan septum vagina yang memisahkan vagina secara lengkap atau
tidak lengkap dalam bagian kanan dan bagian kiri. Septum lengkap biasanya
tidak menimbulkan distosia karena bagian vagina yang satu umumnya cukup
lebar, baik untuk koitus maupun untuk lahirnya janin. Septum tidak lengkap
kadang-kadang menahan turunnya kepala janin pada persalinan dan harus
dipotong dahulu (Prawirohardjo, 2007).
Stenosis dapat terjadi karena parut-parut akibat perlukaan dan radang.
Pada stenosis vagina yang tetap kaku dalam kehamilan dan merupakan halangan
untuk lahirnya janin, perlu dipertimbangkan sectio caesarea (Prawirohardjo,
2007).

d. Plasenta previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terdapat di bagian atas uterus.
Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta
melalui pembukaan jalan lahir, disebut plasenta previa totalis apabila seluruh
pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta; plasenta previa parsialis apabila
sebagian permukaan tertutup oleh jaringan; dan plasenta previa marginalis apabila
pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan. Plasenta yang letaknya

13

abnormal pada segmen bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi
pembukaan jalan lahir , disebut plasenta letak rendah (Mochtar, 1998).

e. Disproporsi sefalopelvik
Disproporsi sefalo-pelvik adalah ketidakseimbangan kepala dan panggul
ibu. Disproporsi sefalo-pelvik mencakup panggul sempit, fetus yang tumbuh
terlampau besar atau adanya ketidakseimbangan relatif antara ukuran kepala bayi
dan pelvis (Prawirohardjo, 2007).
f. Ruptura uteri
Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga peritoneum (Mansjoer,
1999). Ruptura uteri merupakan peristiwa yang berbahaya, yang umumnya terjadi
saat persalinan, kadang juga terjadi pada kehamilan tua.
Menurut Mansjoer cara terjadinya ruptura uteri diadakan perbedaan antara:
1. Ruptura uteri spontan
Ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh (tanpa parut).
Faktor pokok disini ialah bahwa persalinan tidak maju, misalnya panggul
sempit, hidrosefalus, janin letak lintang dan sebagainya, sehingga segmen
bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada suatu saat, regangan yang
terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium, sehingga
terjadilah ruptura uteri.
2. Ruptura uteri traumatik
Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,
kecelakaan seperti tabrakan san sebagainya.
3. Ruptura uteri pada parut uterus
Ruptura uteri demikian ini paling sering terjadi pada parut bekas sectio
caesarea. Diantara parut-parut bekas sectio caesarea, parut yang terjadi
sesudah sectio caesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri
daripada parut bekas sectio caesarea profunda dengan perbandingan 4:1. Hal
ini disebabkan oleh luka pada segmen bawah uterus lebih tenang dalam masa
nifas dan dapat sembuh dengan baik, sehingga parut lebih kuat.

14

g. Pre-eklampsia dan eklampsia


Pre-eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan ke-3 kehamilan. Eklampsia adalah pre-eklampsia disertai dengan gejala
kejang umum yang terjadi pada waktu hamil, waktu partus atau dalam 7 hari post
partum bukan karena epilepsi (Mochtar, 1998; Prawirohardjo, 2007).
h. Disfungsi uterus
Disfungsi uterus mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, hal ini
menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
Hal ini menyebabkan kemajuannya terhenti sama sekali, sehingga perlu
penanganan dengan sectio caesarea (Prawirohardjo, 2007).
i. Solutio plasenta
Solutio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada
korpus uteri sebelum janin lahir. Plasenta yang terlepas seluruhnya adalah solutio
plasenta totalis, atau sebagian yaitu solutio plasenta parsialis, atu hanya sebagian
kecil pinggir plasenta yang disebut ruptura sinus marginalis.
Pelepasan plasenta biasanya ditandai dengan perdarahan yang bisa keluar
dari vagina, tetapi bisa juga tersembunyi dalam

rahim, yang dapat

membahayakan ibu dan janinnya. Persalinan dengan sectio caesarea biasanya


dilakukan untuk menolong agar janin segera lahir sebelum mengalami kekurangan
oksigen atau keracunan air ketuban dan menghentikan perdarahan yang
mengancam nyawa ibu (Mochtar, 1998).
j. Partus tak maju
Partus tak maju berarti bahwa meskipun kontraksi uterus kuat, janin tidak
dapat turun karena faktor mekanis. Partus tak maju dapat disebabkan oleh karena
disproporsi sefalo-pelvik, malpresentase dan neoplasma yang menyumbat jalan
lahir. Partus tak maju adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada
primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara (Mochtar, 1998).

15

II.1.2.5.2. Indikasi janin


a. Kelainan letak
1.

Letak Sungsang
Saat ini lebih banyak bayi letak sungsang yang lahir dengan sectio

caesarea. Hal ini karena risiko kematian dan cacat/kecelakaan lewat vagina
(spontan) jauh lebih tinggi. Lebih dari 50% bayi pernah mengalami letak
sungsang dalam kurun 9 bulan kehamilan. Penyebab letak sungsang sering tidak
diketahui pasti, secara teori dapat terjadi karena faktor ibu seperti kelainan bentuk
rahim, tumor jinak rahim/mioma, letak plasenta lebih rendah (Dewi, 2007).
2. Letak Lintang
Merupakan kelainan letak janin di dalam rahim pada kehamilan tua (hamil
8-9 bulan) yaitu kepala ada di samping kanan atau kiri dalam rahim ibu. Bayi
letak lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir biasa, karena sumbu tubuh janin
melintang terhadap sumbu tubuh ibu sehingga bayi membutuhkan pertolongan
sectio caesarea (Christina, 1996).
b. Gawat janin
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan dokter
memutuskan untuk melakukan operasi. Apalagi ditunjang kondisi ibu yang kurang
menguntungkan. Bila ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim,
mengakibatkan gangguan pada plasenta dan tali pusat sehingga aliran oksigen
kepada bayi menjadi berkurang. Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami
kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim (Oxorn, 2003).
Tindakan sectio caesarea harus segera dilakukan apabila terdapat keadaan gawat
janin untuk mencegah kematian janin.

c. Ukuran janin
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan
bayi sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya, pertumbuhan janin yang berlebihan
karena ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus), yang biasanya disebut
bayi besar objektif (Oxorn, 2003). Bayi terlalu besar mempunyai risiko 4 kali
lebih besar untuk terjadinya komplikasi persalinan.

16

d. Bayi kembar
Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan 2 janin atau lebih. Kehamilan
kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi. Oleh karena
itu dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan hamil yang
lebih intensif. Namun jika ibu mengandung 3 janin atau lebih maka sebaiknya
menjalani sectio caesarea. Hal ini akan menjamin bayi-bayi tersebut dilahirkan
dalam kondisi sebaik mungkin dengan trauma minimum (Manuaba, 1999)

Tabel 1. Statistik Indikasi Kasus Sectio Caesarea yang Disusun oleh Peel
and Chamberlain
Indikasi
Disproporsi janin panggul
Gawat janin
Plasenta previa
Pernah sectio caesarea
Kelainan letak
Incoordinate uterine action
Pre-eklampsia dan eklampsia
Sumber: Prawirohardjo, 2007

Insidensi
21 %
14 %
11 %
11 %
10 %
9%
7%

II.1.2.5.3. Indikasi Sosial


Beberapa alasan yang mendasari permintaan sectio caesarea adalah karena
para ibu yang bekerja sangat terikat dengan waktu dan sudah memiliki jadwal
tertentu, masalah kepercayaan yang mengaitkan waktu kelahiran dengan
peruntungan nasib dengan harapan apabila anak yang dilahirkan pada tanggal atau
jam sekian maka rejeki dan kehidupannya kelak lebih baik, keyakinan bayi yang
dilahirkan dengan bedah caesar lebih terjamin kesehatannya. Namun alasan paling
banyak adalah bahwa ibu khawatiran dan cemas menghadapi rasa sakit yang akan
terjadi pada persalinan spontan (Kasdu, 2005).
Alasan lain permintaan sectio caesarea adalah karena adanya dorongan
dari suami maupun keluarga, kekhawatiran akan terjadinya fetal distress,
persalinan lebih dari 6 jam tidak tertahankan oleh ibu, pengalaman buruk partus
pervaginam sebelumnya, kekhawatiran bahwa persalinan pervaginam akan
merusak hubungan seksual serta anggapan bahwa sectio caesarea lebih baik dan
lebih modern (Sumapradja, 2003).

17

Seorang wanita yang melahirkan secara spontan umumnya akan


mengalami proses rasa sakit yang semakin kuat dan semakin sering sampai
kelahiran bayi. Kekhawatiran akan adanya nyeri persalinan akan menimbulkan
stres yang dapat menyebabkan gangguan proses persalinan secara spontan.
Kondisi tersebut sering menyebabkan seorang wanita yang akan melahirkan
merasa ketakutan, khawatir dan cemas menjalaninya. Akhirnya

untuk

menghilangkan itu semua mengakibatkan para ibu berpikir untuk melahirkan


dengan cara operasi (Kasdu, 2005).
II.1.2.6. Komplikasi
Persalinan dengan sectio caesarea memiliki kemungkinan risiko lima kali
lebih besar terjadi komplikasi dibandingkan persalinan normal. Faktor risiko
paling banyak dari sectio caesarea adalah akibat tindakan anestesi, dan jumlah
darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung (Kasdu, 2005).

a. Infeksi Nifas
Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu

selama

beberapa hari dalam masa nifas; atau bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan
sebagainya.
Bahaya infeksi sangat diperkecil dengan pemberian antibiotika, akan tetapi
tidak dapat dihilangkan sama sekali terutama sectio caesarea klasik dalam hal ini
lebih berbahaya daripada sectio caesarea transperitonealis profunda (Mochtar,
1998).

b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa terjadi pada waktu pembedahan jika cabang- cabang
arteria uterina ikut terbuka (Prawirohardjo, 2007).

c. Komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi seperti luka kandung kemih,


embolisme paru-paru, dan sebagainya yang jarang terjadi (Prawirohardjo,
2007).

18

d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang kuatnya parut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura
uteri. Biasanya ditemukan pada sectio caesarea klasik (Prawirohardjo, 2007).

19

II.2. Kerangka teori

Faktor Ibu
- Usia < 20 tahun & > 35 tahun
- Paritas < 1 & > 3
- Komplikasi obstetrik
- Riwayat sectio caesarea
- Pendidikan rendah
- Perawatan antenatal tidak
teratur

Faktor Janin
- Kelainan letak janin
- Janin terlalu besar
- Gawat janin

TINDAKAN
SECTIO
CAESAREA

- Gemeli

Indikasi sosial
- Trauma persalinan lalu
- Kepercayaan
- Kosmetik seks
- Anjuran suami & keluarga
- Pekerjaan
- Pendapatan

Bagan 1. Kerangka Teori (Sumber: Christina, 1996; Manuaba, 1999; Mochtar,


1998; Mansjoer, 1999; Oxorn, 2003; Kasdu, 2005; Prawirohardjo;
2007)

20

II.3. Kerangka Konsep

Usia

Paritas

Sectio Caesarea
Komplikasi
Obstetrik

Riwayat Sectio
Caesarea

Bagan 2. Kerangka Konsep

II.4. Hipotesis
Adapun hipotesis-hipotesis dari penelitian ini antara lain:
1. H1: Ada hubungan antara usia dan tindakan sectio caesarea di Rumah Sakit
Umum Bhakti Yudha periode Oktober 2010 Oktober 2011.
2. H2: Ada hubungan antara jumlah paritas dan tindakan sectio caesarea di Rumah
Sakit Umum Bhakti Yudha periode Oktober 2010 Oktober 2011.
3. H3: Ada hubungan antara komplikasi obstetrik dan tindakan sectio caesarea di
Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha periode Oktober 2010 Oktober 2011.
4. H4: Ada hubungan antara riwayat sectio caesarea dan tindakan sectio caesarea
di Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha periode Oktober 2010 Oktober
2011.

You might also like