Professional Documents
Culture Documents
KANKER REKTUM
DISUSUN OLEH
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih
Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul Kanker Rektum.
Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di Rumah
Sakit Universitas Kristen Indonesia.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Henry Boyke Sitompul, Sp.B yang telah
membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun
referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka guna melengkapi
dan menyempurnakan referat ini.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak
yang ingin mengetahui tentang Kanker Rektum.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................ 2
Daftar Isi .........................................................................................................................3
Bab I PENDAHULUAN.....4
Bab II TINJAUAN PUSTAKA...................6
II.1
II.2
II. 3
Patofisiologi ........................................................................................................16
II.4
II.5
II.6
II.7
II.8
Penatalaksanaan ................................................................................................. 25
II.9
Prognosis ........................................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang
tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya,
baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau
dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur
ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol
pembagian sel dan fungsi lainnya.
Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna
dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor
kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker
yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini
bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka
kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%.
Kanker rektum menduduki peringkat keempat jenis kanker paling umum di
Amerika Serikat dan menjadi peringkat kedua kanker yang menyebabkan kematian.
Pada tahun 2008 tercatat 148.810 kasus kanker rektum terdiagnosis dan terdapat
angka kematian sebesar 49.960. Hampir 50% kasus kanker rektum menunjukkan
perkembangannya dengan metastasis melalui kelenjar getah bening. Di seluruh dunia,
9,5% pria penderita kanker terkena kanker rektum, sedangkan pada wanita angkanya
mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker.
Insidensi kanker rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga dengan
angka kematiannya. Pada tahun 2002, kanker rektum menduduki peringkat ketiga dari
semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan
di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker rektum dimana data dari DepKes
didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Diagnosis kaker rektum pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya
penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif
seringkali tidak dapat dilakukan. Padahal jika penderita telah terdeteksi secara dini
menderita kanker rektum sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh dapat
mencapai 50%. Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana diagnosis
4
yang paling tepat, dimana 90% diagnosis kanker rektum dapat ditegakkan dengan
colok dubur. Namun pada kenyataanya hanya sekitar 13% dokter Puskesmas dan
dokter umum yang melakukan colok dubur dengan keluhan BAB berdarah.
Tingginya angka kematian akibat kanker rektum mendorong upaya untuk
menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan
deteksi kanker rektum secara dini. Dari hasil penelitian, 58,9-78,8% penderita kanker
rektum stadium dini dapat bertahan hidup dalam 5 tahun dan angka ini akan
berkurang seiring dengan meningkatnya stadium. Pada penderita kanker rektum
stadium akhir, angka kemungkinan bertahan hidup dalam 5 tahun hanya sebesar 7%
saja.
Oleh karena hal tersebut, penyusun mengambil judul Kanker Rektum
sebagai judul referat dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang kanker
rektum sehingga dokter-dokter terkhusus dokter muda dapat mengenali penyakit ini
dan dapat menanganinya sesuai kompetensinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
EMBRIOLOGI REKTUM
Akibat pelipatan mudigah ke arah sefalokaudal dan lateral, sebagian dari
rongga yolk-sac yang dilapisi oleh endoderm masuk ke dalam mudigah untuk
membentuk usus primitif. Dua bagian lain dari rongga yang dilapisi oleh endoderm
ini, yolk sac dan alantois tetap berada di luar mudigah.
Dibagian sefalik dan kaudal mudigah, usus primitif membentuk sebuah saluran buntu,
masing-masing adalah usus depan (foregut) dan usus belakang (hind gut). Bagian
tengah, usus tengah (mid gut), untuk sementara tetap berhubungan dengan yolk sac
melalui duktus vitelinus atau yolk stalk.
Usus depan terletak kaudal dari tabung faring dan berjalan ke kaudal sejauh
tunas hati. Usus tengah dimulai dari sebelah kaudal tunas hati dan meluas ke
pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri kolon transversum pada orang dewasa.
Usus belakang berjalan dari sepertiga kiri kolon transversum hingga ke membrana
kloakalis.
Usus belakang menghasilkan sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens, kolon sigmoideum, rektum, dan bagian atas kanalis analis. Bagian
terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis anorektalis
primitif; alantois masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitif. Kloaka
itu sendiri adalah suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan dibungkus di batas
ventralnya oleh ektoderm permukaan. Batas antara endoderm dan ektoderm ini
membentuk membrana kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale,
memisahkan regio antara alantois dan usus belakang. Septum ini berasal dari
penyatuan mesoderm yang menutupi yolk sac dan alantois di sekitarnya. Seiring
dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya lipatan di kaudal, ujung seprum
urorektale akhirnya berada dekat dengan membrana kloakalis, meskipun kedua
struktur tidak pernah berkontak.
Pada akhir miniggu ketujuh, membrana kloakalis pecah, menciptakan lubang
anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara
keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal. Pada saat ini,
proliferasi ektoderm menutup bagian paling kaudal kanalis analis. Selama minggu ke
sembilan, regio ini mengalami rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis analis
berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri
pudenda interna. Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi
9
oleh arteri rektalis superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior. Taut antara
regio endoderm dan ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di
bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel
gepeng berlapis.
FISIOLOGI REKTUM
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organi ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena feses disimpan di
tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh
dan feses masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar.
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan
memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika
defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar dimana
penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang
lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum,
terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding
rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus
internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid
untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri dari otot
rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus ekstrenus
berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum menimbulkan
perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi, defekasi
dapat dicegah dengan penguatan kontraksi sfingter anus eksternus secara sengaja
walaupun terjadi refleks defekasi. Apabila defekasi ditunda, dinding rektum yang
semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar
mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam
rektum, yang kembali meregangkan rektum dan memicu refleks defekasi. Selama
periode non aktif, kedua sfingter anus tetap berkontraksi untuk menghasilkan tidak
terjadinya pengeluaran feses.
Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter
yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan
10
glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang membantu pengeluaran feses.
II.2
primer. Pasien
dengan
HNPCC
mungkin
juga
memiliki
dengan
adenoma
dan
kanker
kolorektal.
Mekanismenya
adalh
hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40
tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia 65 tahun, angka
insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per
100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.
II.3
Gejala Klinis
16
Aspek klinis
Nyeri
Defekasi
Obstruksi
Darah pada feses
Kolon Kanan
Kolitis
Karena penyusupan
Diare
Jarang
Samar
Kolon Kiri
Obstruksi
Karena obstruksi
Konstipasi progresif
Rektum
Proktitis
Tenesmus
Tenesmi terus
Hampir selalu
Samar atau
menerus
Tidak jarang
Makroskopis
makroskopis
Feses
Normal
Normal
Perubahan bentu
Dispepsia
Sering
Jarang
Jarang
Memburuknya KU
Hampir selalu
Lambat
Lambat
Anemia
Hampir selalu
Lambat
Lambat
Tabel 1. Perbedaan Gejala dari Karsinoma Kolorektal Berdasarkan
Letaknya
Semua tumor kolorektum menyebar secara langsung ke struktur di dekatnya
dan dengan metastasis melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah. Tempat
favorit untuk metastasis berdasarkan urutan frekuensinya adalah kelenjar getah bening
regional, hati, paru, dan tulang, diikuti oleh tempat lain termasuk membran serosa
rongga peritoneum. Metastasis ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan
vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka metastasis kanker rektum lebih
17
sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon, dimana jalur limfatik
dan vena menuju vena porta, maka metastasis kanker kolon pertama kali sering di
hati.
II.5
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastasis seperti
pembesaran kelenjar getah bening atau adanya hepatomegali.
Sekitar 75% kanker rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal touche.
Pemeriksaan rectal touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari
rektum, massa akan teraba keras dan menggaung.
Keadaan tumor: ekstensi lsi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os.
Coccygis.
Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan
otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam
umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke
struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina,
PEMERIKSAAN PENUNJANG
18
19
Gambar 6. Sigmoidoscopy
b. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160
cm. Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya
sebesar 67%.
Sebuah kolonoskopi juga dapatdigunakan untuk biopsi, polipektomi,
menontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur
yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi, dan
perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan
cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding,
megakolon non toksik, striktur kolon, dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.
20
Gambar 7. Colonoscopy
6. Virtual Colonoscopy (CT colonography)
Kolonoskopi
virtual
merupakan
diagnostik
non-invasif
yang
baru,
menggunakan X-ray dan software komputer, untuk melihat dua dan tiga dimensi dari
seluruh usus dan rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.
7. Imaging Technique
MRI, CT Scan, Transrectal Ultrasound merupakan bagian dari tekhnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, stagingm dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tekhnik ini bukan merupakan screening test.
a. CT Scan
CT Scan dapat mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker kolon
preoperatif. CT Scan dapat mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis. CT Scan sangat berguna
untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT Scan mencapai 55%. CT Scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT Scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90% dan
mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%. Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastasis pada
hepar dan daerah intraperitoneal.
21
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar dariapada CT Scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
Scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT Scan, MRI digunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
c. Endoscopy Ultrasound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalama
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk rectal touche. Pada kanker rektum, kombinasi
pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan rectal touche untuk menilai
mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi
pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari
preoperatif kemoradiasi. Transrectal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa
dilakukan di bawah bimbingan EUS.
II. 7
T2
T3
T4
N0
N1
N2
M0
M1
Staging
Stage I
TNM
T1 N0 M0
Stage II
T2 N0 M0
T3 N0 M0
T4 N0 M0
Stage III A
T1T2 N1 M0
Stage III B
T3-4 N1 M0
Stage III C
Semua T N2 M0
Stage IV
Semua T Semua N M1
Tabel 2. Stadium TNM Kanker Rektum berdasarkan
AJCC 2002
II. 8
PENATALAKSANAAN
Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk
stadium I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga
dilakukan pembedahan. Meskipun begitu,
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker
sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau
radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal.
Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain:
o Eksisi Lokal
Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker
ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.
o Reseksi
Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan
anastomosis. Dilakukan juga pengambilan limfonodus di sekitar rektum
lalu diidentifikasi apakah limfonodus tersebut juga mengandung sel
kanker.
Pengangkatan
kanker
rektum
biasanya
dilakukan
dengan
reseksi
25
26
secara histologi.
Ukuran kurang dari 3-4 cm.
Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah:
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound.
Termasuk poorly differentiated secara histologi
2. Radiasi
Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,
radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain
radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal
yang sudah diangkat melalui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis
jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi
yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko
kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada
penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari
metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai
terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki
penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan) dipertimbangkan pada
27
pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol
(Stadium II lanjut dan stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas
bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen
lainnya, levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat menjadi sunstitusi bagi
leucovorin. Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15% dan
menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10%.
II. 9
PROGNOSIS
Secara keseluruhan, 5-year survival rates untuk kanker rektum adalah sebagai
berikut:
a.
b.
c.
d.
Stadium I 72%
Stadium II 54%
Stadium III 39%
Stadium IV 7%
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat
berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi pada penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh
batas-batas negatif tumor.
28
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi
di dunia. Di seluruh dunia, 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,
sedangkan pada perempuan angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita
kanker.
2. Kanker rektum umumnya didahului oelh kondisi pramaligna seperti adenomatous,
villous polyp, familial adenomatous polyposis, dan kolitis ulseratif.
3. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarsinoma
(90-95%), adenocarsinoma mucinous (17%), signetring cell carsinoma (2-4%), dan
sarcoma (0,1-3%).
4. Screening awal untuk mengarahkan diagnosis kanker kolorektal penting dilakukan
untuk meningkatkan survivalnya. Screening awal yang dapat dilakuka yaitu
29
pemeriksaan darah samar di feses, sigmoidoskopi, kombinasi darah samar feses dan
sigmoidoskopi, kolonoskopi, double contrast barium enema.
5. Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai
penyebaran tumor, maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk mencegah
obstruksi, perforasi, dan perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan, Isaac. Rectal Carsinoma. 2006. Available from: www.emedicine.com.
(Download: 30 April 2013)
2. Sadler TW. Langman embriologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: EGC, 2009.
3. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2010.
4. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC, 2007.
5. Manuaba TW. Panduaan penatalaksanaan kanker solid peraboi 2010. Jakarta: Sagung
seto, 2010.
6. Meredith et al. The multidisciplinary management of rectal cancer. Surg Clin N Am.
2009.
Available
from:
http://www.sassit.co.za/Journals/Colorectal/Colorectal%20Ca/Rectal
%20Ca/MDT%20Mx%20rectal%20Ca%20SCNA.pdf.
(Download
30
April 2013)
30
from:
http://www.collegeoncologie.be/files/files/Richtlijnen/Rectal_Cancer_
10646440_nl.pdf. (Download 30 April 2013)
8. Schwartz SI. Schwartzs principles of surgery. 9th ed. United States of America: The
McGraw-Hill companies, 2010.
9. Cagir
B.
Rectal
cancer.
2012.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/281237-overview.
(Download 30 April 2013)
10. Dalal KM, Bleday R. Cancer of the rectum. In: Zinner MJ, Ashley SW, editors.
Maingots abdominal operations. The United States of America: The McGraw-Hill
companies: 2007. P. 693-725.
11. Sabiston DC. Sabiston buku ajar bedah (Essentials of surgery). 19th ed. Jakarta: EGC.
2012.
31