Professional Documents
Culture Documents
OLEH
NOVALIA ANGGRAINI
angjun82@yahoo.co.id
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tempe adalah makanan khas Indonesia. Tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai nilai
gizi yang tinggi daripada bahan dasarnya (Anggrahini, 1983). Tempe dibuat dengan cara fermentasi, yaitu
dengan menumbuhkan kapang Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya.
Tempe dikonsumsi oleh sema lapisan masyarakat dengan konsumsi rata-rata perhari per orang 4,4 gr
sampai 20,0 gr (Lindajati dkk, 1991). Tempe mempunyai nilai gizi yang tinggi. Tempe dapat diperhitungkan
sebagai sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki kandungan protein, karbohidrat, asam lemak
esensial, vitamin, dan mineral. Nutrisi utama yang hendak diambil dari tempe adalah proteinnya karena
besarnya kandungan asam amino.
Tempe merupakan salah satu produk hasil olahan kedelai (Glyicine max). kebutuhan terhadap kedelai
dipenuhi melalui pertanian monokultur dengan penggunaan area pertanian kedelai yang luas. Akan tetapi,
jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat, mengakibatkan kebutuhan terhadap kedelai sebagai
sumber protein nabati terpaksa harus dipenuhi dengan mengimpor sekitar 1,8% per tahun. Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan impor kedelai sejak tahun 1986 hingga 1999
menunjukkan peningkatan yang fluktatif. Peningatan impor kedelai tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Besarnya Impor Kedelai Indonesia (1986-1999).
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Tahun
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Volume (Ton)
359.252
286.702
465.839
390.472
541.061
672.756
694.732
723.884
800.460
607.392
749.330
589.968
343.124
1.301.754
Penggunaan sistem pertanian monokultur di Indonesia, yang merupakan sistemm pertanian yang diadopsi
dari daerah subtropis, membawa persoalan lain bagi lingkungan hidup. Pertanian monokultur kedelai
membutuhkan modal yang sangat tinggi karena harus menyediakan lahan kosong yang luas, pupuk,
sarana dan infrastruktur irigasi, pestisida, dan lain sebagainya. Secara ekologis, sistem pertanian
monokultur juga tidak sesuai dengan prinsip pertanian di daerah tropis sehingga menyebabkan kestabilan
ekosistem terganggu. Akibat sistem monokultur, banyak spesies-spesies asli (indigenous) daerah tropis
baik flora dan fauna serta mikroorganisme yang punah. Penyerapan unsur hara tertentu yang berlebihan
dan terus-menerus menyebabkan terbentuknya lahan kritis. Dampak pestisida dan insektisida yang tidak
ramah terhadap lingkungan juga dapat menyebabkan terakumulasinya toksin tersebut sampai taraf tropi
tertinggi yaitu manusia. Dampak tersebut dapat dilihat dari meningkatnya penyakit kanker, tumor, kista
rahim, dan gangguan lainnya akhir-akhir ini.
Permasalahan kebutuhan terhadap kedelai yang tinggi dan kegagalan pertanian untuk monokultur tersebut
mendorong kita untuk mencari alternatif yang dapat memecahkan permasalah tersebut yaitu terpenuhinya
sumber protein sekaligus tidak menambah daftar persoalan bagi ekonomi maupun lingkungan dan
kesehatan.
Salah satu tanaman alternatif yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah tanaman Saga pohon
(Adenanthera pavonina). Tanaman tersebut merupakan pohon tahunan asli Asia Tenggara, India, dan Cina
Selatan (Ria tan, 2001). Saga pohon (Adenanthera pavonina) berbeda dengan Saga rambat (Abrus
precatorius) yang mengandung racun. Saga pohon memiliki bibji yang lebih besar berwarna merah terang,
dengan batang pohon yang tinggi, dan aun yang lebih kecil.
Saga pohon mampu memproduksi biji kaya protein serta memiliki ongkos produksi yang murah. Hal
tersebut karena penanaman Saga pohon tidak memerlukan lahan khusus karena bisa tumbuh di lahan
kritis, tidak perlu dipupuk atau perawatan intensif. Selain itu, hama dan gulmanya minim sehingga tidak
memerlukan pestisida, jadi bersifat ramah lingkungan karena dapat ditanam bersama tumbuhan lainnya.
Kandungan protein yang terdapat pada biji Saga pohon tersebut juga lebh besar bila dibandingkan dengan
kedelai dan beberapa tanaman komersil lainnya (Tabel 2).
Di Indonesia, Saga pohon belum banyak dimanfaatkan ataupun dibudidayakan secara komersial. Tanaman
tersebut biasa digunakan sebagai pelindng atau peneduh, karena pohonnya tinggi, daunnnya rimbun, dan
batangnya keras atau kuat (Balai Informasi Pertanian, 1985). Padahal, Saga pohon seharusnya dapat
menggantikan penggunaan kedeai sebagai bahan baku utama pembuatan tempe, karena kadar protein biji
Saga pohon lebih besar dibandingkan kedelai (Tabel 2). Namun demikian, penggunaan biji Saga pohon
sebagai tempe yang difermentasi oleh Rhizopu oryzae belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian
peningkatan nilai guna biji Saga pohon sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan tempe perlu
dilakukan uuntuk memperoleh data atau informasi yang jelas terhadap pemanfaatan biji Saga pohon
tersebut nantinya.
Tabel 2. Komposisi nutrisi Saga, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan kecipir.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Biji
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Air (%)
Saga
Kedelai
Kacang Hijau
Kacang tanah
Kecipir
48,2
34,9
22,2
25,3
32,8
22,6
14,1
1,2
42,8
17,0
10,0
34,8
62,9
21,1
36,5
9,1
8,0
10,0
4,0
10,0
1.1
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ilmiah ini akan diangkat permasalahan : Bagaimana
hasil yang diperoleh dalam pembuatan tempe berbahan baku Saga pohon lewat fermentasi Rrhizopus
oryzae terhadap biji Saga Adenanthera pavonina ?
1.2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif pemenuhan kebutuhan sumber protein nabati bagi
penduduk Inonesia, tanpa merusak ekologi lingkungan hidupnya.
1.3
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi komparasi setelah dilakukan
eksperimen. Sebelum melakukan komparasi terhadap eksperimental pembuatan tempe berbahan baku biji
Saga pohon oleh Rhizopys oryzae (untuk selanjutnya penulis istilahkan dengan tempe Saga), dibuat suatu
control positif berupa tempe berbahan baku kedelai (untuk selanjutnya penulis istilahkan dengan tempe
kedelai). Gunanya untuk membandingkan hasil fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon
dengan tempe kedelai yang memang sudah umum dikonsumsi.
Setelah produk tempe hasil fermentasi dari biji Saga pohon jadi, selanjutnya dilakukan studi komparatif
kandungan protein dan tes organoleptik. Dalam studi komparatif kandungan kadar protein yang
dibandingkan adalah waktu, warna, dan presentase protein. Sedangkan dalam tes organoleptik, penulis
meminta orang lain sebagai responden untuk mencicipi tempe goreng hasil fermentasi dari biji Saga pohon
tersebut, dan mencatat pendapat mereka kemudian menyimpulkannya.
1.4
Sistematika Penulisan
BAB 4
BAB 5
Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Telaah Pustaka, berisi rujukan-rujukan terkait Adenanthera pavonina.
Metode Penelitian, berisi langkah-langkah penelitian yang meliputi: waktu dan tempat penelitian,
bahan dan alat, proses pembuatan tempe Saga, pelaksanaan penelitian, pengamatan penelitian,
dan pengujian kadar protein.
Hasil dan Pembahasan, berisi gambaran umum hasil dari proses fermentasi biji Saga pohon,
hasil uji nilai gizi protein pada Saga, dan hasil uji organoleptik.
Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan penemuan hasil penelitian yang merupakan jawaban
atas permasalahan serta mengacu kepada tujuan penelitian dan saran dari hasil penelitian
tersebut.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1
Tanaman Saga pohon dikenal dengan bermacam-macam nama antara lain bead tree, circassian bean,
circassian seed, coral wood, crabs eyes, false sandalwood, jumbie bead, readbead tree, red sandalwood,
redwood (Inggris) : anikundumani, lopa, manjadi, raktakambal, Saga (India) ; Saga, Saga daun tumpul,
Saga tumpil (Malaysia) ; kitoke laut, Saga telik, segawe sabrang (Indonesia) dan masih banyak nama
daerah lainnya (International Centre for Research in Agroforestry, 2005).
Klasifikasi Saga pohon termasuk dalam Kerajaan Planta, Subkerajaan Tracheobionta, Superdivisi
Spermathophyta, Divisi Magnoliophyta, Kelas MAgnoliopsida, Subkelas Rosidae, Ordo Fabales, Famili
Fabaceae (Leguminosae), Genus Adenanthera, Spesies Adenanthera pavonina L. (United States
Departemen of Agriculture, 2005).
Tanaman Saga Adenanthera pavonina, yang juga mempunyai nama antara lain Adenanthera Scheffer,
Adenanthera polita Miq, menyukai pH sedikit asam, dapat tumbuh di seluruh daerah dataran rendah
beriklim tropis dengan curah hujan 3000-5000 mm per tahun. Pada umumnya tinggi tanaman Saga pohon
yang tua bisa mencapai 20-30 m (Gambar 2.1). Saga pohon termasuk tanaman deciduos atau berganti
daun setiap tahun (International Centre for Research in Agroforestry, 2005).
G
ambar 2.2 Daun Saga Adenanthera pavonina
Bunga kecil-kecil berwarna kekuning-kuningan, korola 4 5 helai, benang sari berjumlah 8 10 (Gambar
2.3) (Pasific Island Ecosistems at Risk, 2004).
Kandungan anti nutrisi yaitu methionine dan cystine, yang merupakan jenis asam amino yang terdapat
dalam tingkat yang rendah. Sedangkan total asam yang mengandung lemak, yaitu asam linoceic dan oleic
mengandung 70,7 %.
Jumlah asam lemak bebas yang terkandung pada Saga pohon relative tinggi terutama peroksida dan
saponification yang terkandung senilai 29,6 mEqkg dan 164,1 mgKOHg, hal ini menunjukkan suatu
kemiripan kandungan minyak pada makanan. Dapat disimpulkan bahwa biji Saga pohon menghadirkan
suatu sumber potensi minyak dan protein yang bisa mengurangi kekurangan sumber protein nabati.
(Sumber: Pasific Island Ecosistems at Risk).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Penelitian pada fermentasi biji Saga pohon (Adenanthera pavonina) oleh Rhizopus oryzae dilaksanakan
pada tanggal 7 Mei sampai dengan tanggal 12 Mei 2007, yaitu di kediaman rumah penulis. Pelaksanaan
pengujian protein pada tempe Saga dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2007 di Laboratorium Sekolah
Menengah Teknik Industri (SMTI) Bandar Lampung.
3.2
Bahan yang digunakan pada penelitian fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon ini adalah 2
gram ragi tempe (Rhizopus oryzae) untuk masing-masing fermentasi kacang kedelai, dan satu kilogram biji
Saga pohon. Sedangkan alat yang digunakan dalam melakukan fermentasi biji Saga pohon yaitu :baskom,
air, kompor, panic, sendok, centong, plastik, pisau, rak llemari, alas kain, dan lain-lain.
2.
Menyiapkan biji Saga pohon sebanyak 1 kilogram dan ragi tempe (Rhizopus oryzae) sebanyak 2
gram.
Mencuci bersih biji Saga pohon untuk menghilangkan kotoran pada kulit biji.
3.
Merebus terlebih dahulu biji Saga pohon selama kurang lebih 40 menit untuk menghilangkan rasa
langu.
4.
Karena kulit biji Saga pohon yang keras dan dilapisi oleh lilin yang menyebabkan kulit biji Saga
pohon kedap terhadap air dan gas, maka biji Saga pohon perlu direndam selama kurang lebih 36 jam
untuk lebih memudahkan dalam melepaskan kulit arinya.
5.
6.
Setelah bersih, biji Saga pohon ditungkan kedalam panic dan diberi air secukupnya, kemudian
mengukus biji biji Saga pohon selama kurang lebih 30 menit.
7.
Setelah dikukus selama 30 menit, air yang tersisia didalam panci dibuang, kemudian panci yang
tinggal berisikan biji Saga ditaruh kembali di atas kompor sambil diiaduk-aduk supaya jangan sampai
hangus. Proses ini dilakukan untuk mengeringkan biji Saga pohon.
8.
Biji Saga pohon dituangkan ke wadah yang memudahkan untuk menjadi dingin.
9.
Setelah dingin, ragi tempe sebanyak 2 gram ditaburkan dan aduk rata.
10.
Menyiapkan plastik dengan ukuran sesuai selera kemudian biji Saga pohon dimasukkan kedalam
plastik hingga ketebalan kira-kira 2-3 cm.
11.
12.
Plastik yang telah berisi biji Saga pohon dilubangi dengan menggunakan pisau kira-kira 8 lubang
untuk setiap sisi atas dan sisi bawah.
13.
Tempe disimpan didalam lemari dengan mempergunakan lemari dapur. Alas yang dipakai untuk
menyimpan adalah rak lemari yang diganjal bagian bawahnya, sehingga ada sirkulasi udara.
14.
Tempe didiamkan kurang lebih selama 36 jam. Untuk diudara dingin, tempe kadang dibalut dengan
handuk, agar lebih hangat sebelum dimasukkan ke dalam lemari.
15.
3.4
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian fermentasi Rhizopus oryzae pada Saga Adenanthera pavonina dilaksanakan pada siang hari,
hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup dalam melakukan pembuataan tempe
Saga. Sebelum melaksanakan pembuatan fermentasi pada biji Saga pohon maka terlebih dahulu yang
harus diperhatikan adalah soal kebersihan. Untuk mendapatkan hasil produk tempe Saga yang terbaik
maka dalam prosedur pembuatannya lebih baik melakukan penanakan sebanyak 2 kali, yaitu proses
perebusan terlebih dahulu kemudian proses kedua adalah pengukusan.
3.5
Pengamatan Penelitian
Pengamatan dilakukan pada saat fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon. Pada saat
pengamatan, kondisi fermentasi seperti suhu ruang, tempat, cahaya (terang atau gelap) harus dicatat dan
dilakukan pengamatan pada jam-jam tertentu yang telah diatur. Selama dalam pengamatan, pertumbuhan
jamur dan kekompakan (penyatuan hifa jamur dengan biji Saga pohon) dicatat. Selama fermentasi
diusahakan ada sampel yang tidak dibuka-buka, karena fermentasi lebih banyak memerlukan kondisi
anaerob daripada aerob, dengan membuka-buka sampel juga berarti menyediakan kondisi aerob.
3.6
Untuk mengetahui keberadaan seberapa besar protein yang terkandung pada tempe Saga, maka diadakan
pengujian protein pada tempe Saga dengan Saga dengan cara tritrasi formol yang langkah-langkahnya
diterangkan sebagai berikut:
Penentuan Kadar Protein. Cara tritrasi formol.
1.
2.
Men-titrasi larutan contoh dengan 0,1 N NaOH sampai mencapai warna seperti warna merah jambu.
3.
4.
Setelah warna tercapai, ditambahkan 2 ml larutan formalheid 40% dan dititrasi kembali dengan
larutan NaOH sampai warna seperti warna standar tercapai lagi. Hasil titrasi kedua ini harus dicatat.
5.
Dibuat titrasi blanko yang terdiri dari 20 ml aquades + 0,4 ml larutan K-oksalat jenuh + 1 ml indicator
phenolphthalein (PP) + 2 ml larutan formalheid ; dan titrasi dengan larutan NaOH.
Titrasi terkoreksi yaitu titrasi kedua dikurangi titrasi blanko yang merupajan titrasi formol. Supaya
mengetahui perentase protein tempe saga, harus dibuat percobaan serupa dengan menggunakan larutan
yang telah diketahui kadar proteinnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Proses fermentasi Saga Adenanthera pavonina berhasil terjadi dalam waktu 36 jam yag ditunjukkan
dengan terjadinya kekompakan (menyatunya hifa jamur Rhizopus oryzae dengan biji Saga Adenanthera
pavonina).
4.2
Dari hasil pengujian kandungan gizi protein terhadap tempe Saga dengan menggunakan metode titrasi
formol maka didapatkan hasil kandungan protein tempe Saga sebesar 22,41 %, sedangkan kandungan
protein tempe kedelai sebesar 18 % (Haryoto, 2000).
Perhitungan dengan metode titrasi formol adalah dengan rumus sebagai berikut:
titrasi
formolx
N.
NaOh
14,008gr
bahan
10
= 1 ml
= 2,6 ml
Jadi,
% N =( 2.6 ml - 1 mlx 0,1 N x 14,008)/100
4.3
Uji Organoleptik.
Setelah melakukan eksperimen fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon, maka perlu
dilakukan komparatif dan tes organoleptik untuk lebih membktikan kandungan gizi dan rasa dari tempe
Saga.
Untuk tes organoleptik, penulis meminta beberapa orang untuk menjadi responden dengan merasakan
tempe goreng hasil fermentasi dari biji Saga pohon tersebut, kemudian ditanya responnya.
Dari 13 orang responden, yang mengatakan bahwa tempe Saga lebih lembut daripada tempe kedelai
sebanyak 84,6 % atau 11 orang. Sedangkan enak atau unik daripada tempe kedelai, dan sebanyak 38,46
% atau 5 orang berpendapat bahwa tempe Saga memilliki rasa yang sama seperti tempe kedelai. Namun,
sebnyak 76,9 % atau 10 orang mengatakan bahwa tempe Saga memiliki bau yang langu atau bau lebih
menyengat daripada tempe kedelai.
Untuk menetapkan persentase (%) pendapat dari responden, dapat dihitung menggunakan rumus :
Persen pendapat
= (A/B) x 100 %
Keterangan :
A : Jumlah orang yang memilih.
B : Keseluruhan jumlah responden (13 orang).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah penulis lakukan selama proses pembuatan tempe dari
fermentasi biji Saga pohon oleh Rhizopus oryzae, maka penulis dapat menyimpulkannya sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.2
Saran
2.
Hendaknya masyarakat lebih dikenalkan dengan tempe Saga, sehingga minat konsumsi
masyarakat menjadi lebih baik terhadap tempe Saga.
3.
Pemanfaatan lahan kritis dengan menanam pohon Saga Adenanthera pavonina sebagai sumber
pangan potensial.Mengurangi sistem pertanian monokultur yang membahayakan ekosistem
lingkungan hidup dan membutuhkan biaya yang tinggi.