You are on page 1of 1008

HANYA DI SCAN UNTUK dr.

PRIYO PANJI

BUKU AJAR
ILMU PENYAKIT DALAM
Edisi Kelima
Jilid I1

Aru W. Sudoyo

Marcellus Simadibrata K.

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Gastroenterologi
Divisi Gastroenterologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN-CM, Jakarta

Bambang Setiyohadi

Siti Setiati

Konsdtan Reumatologi
Divisi Reurnatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN-CM, Jakarta

I h s Alwi
Konsultan Kardiologi
Divisi Kardiologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalarn


Diponegoro 7 1 Jakarta Pusat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Editor:
Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati

Editor Topik:
Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Arina Widya Murni, C. Rinaldi Lesmana,
Ceva W. Pitoyo, Dante Saksono Harbuwono, Dyah Purnamasari, Erni J. Nelwan,
Esthika Dewiasty, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi,
Imam Effendi, M. Begawan Bestari, Nafrialdi, PN. Haryanto, Parlindungan
Siregar, Purwita W. Laksmi, Rudy Hidayat, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution,
Teguh Harjono Karjadi, Tri Juli Edy Tarigan

Redaktur Pelaksana:
Setting dan Layout:
Design Cover:

Nia Kurniasih
Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S.,
Harry Haryanto, Zikri Anwar, Sandi Saputra
Harry Sugianto

210mmx275 mm
30 + 928 halaman
ISBN : 978-979-9Y55-95-b(Ji1id L e n g k a p )
ISBN : 97B-979-9455-97-O(Ji1id 1 1 )

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Sanksi Pelanggaran Pasal44
Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang
Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7
Tahun 1987.
1.

2.

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,(seratus juta rupiah)
barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),dipidana dengan penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta
rupiah)

Diterbitkan pertama kali oleh:


InternaPublishing
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
J1. Diponegoro 71 Jakarta Pusat 10430
Telp. : 021-3193775 Faks. : 021-31903776
Email : pipfkui@yahoo.com
Cetakan Pertama November 2009
Cetakan Kedua Agustus 2010

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan,
sehingga kami dapat menerbitkan revisi Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-V. Buku ini merupakan
penyempunaan buku edisi sebelumnya. Revisi selalu
kami upayakan karena kami meyadari begitu
cepatnya perkembangan tatalaksana di bidang ilmu
Penyakit Dalam. Hal inilah yang membuat kami
beke rja keras agar dapat menerbitkan buku yang
dapat dijadikan andalan.
Kami berhararap buku ini dapat dijadikan pintu
masuk untuk mengembangkan diri menelusuri
sumber-sumber ilmu pengetahuan kedokteran lebih
lanjut.
Buku ajar edisi ini mengalami perubahan hampir
di semua bab. Perkembangan terbaru dalam 4 tahun
terakhir telah menjadi bagian dalam buku ini. Pada
proses revisi, dari 450 naskah terdapat 81 naskah
yang direvisi.
Seperti buku sebelumnya, buku ini juga berisi bab
dasar-dasar ilmu penyakit dalam serta pendekatan
holistiknya, ditambah pula kedokteran kegawatdaruratan (emergency medicine), genetika, biologi
molekular, dan ilmu kedokteran adolesen dan kami
menambahkan satu bab baru khusus untuk
penatalaksanaan Nutrisi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam.
Kami tim editor amat sadar karena keterbatasan
yang kami miliki saat buku ini terbit, pasti telah terjadi
penambahan informasi maupun pengetahuan yang
tidak sempat dimuat. Untuk itu, para pembaca
dipersilakan menelusuri kepustakaan yang telah
dicantumkan sebagai bacaan anjuran di akhir setiap
topik, dengan memegang asas medicine is a life-long
study.
Tim editor mengucapkan terima kasih kepada
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis

Penyakit Dalam Indonesia (PB. PAPDI) yang tetap


percaya memberikan tugas terhormat hi, Juga kepada
tim editor buku ajar sebelumnya yang telah bekerja
keras merevisi buku ajar ini sehingga kita dapat
memiliki Buku Ajar yang menjadi acuan di bidang
ilmu kedokteran di seluruh Indonesia.
Tim editor juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak, para penulis dari seluruh negeri,
sekretariat Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Jakarta, tim editor dan semua pihak
yang telah rela meluangkan waktu menulis dan
mengedit buku ini
Kami sangat menyadari buku ini pasti tidak luput
dari kesalahan-kesalahan, baik itu berupa salah ketik,
kesalahan dalam bahasa maupun tata letak. Pada
kesempatan ini tim editor memohon maaf kepada para
penulis maupun pembaca. Masukan, kritik dan saran
akan kami jadikan cambuk supaya kami dapat
menerbitkan buku ajar ini kearah yang lebih baik.
Insya Allah.. ...
Sebagai kata akhir, perkenankan kami juga
mengucapkan penghargaan kami kepada semua
mahasiswa fakultas kedokteran di Indonesia yang
dengan kepercayaan merupakan motivator serta
pendorong semangat bagi kami untuk menyelesaikan
buku ajar ini sebaik mungkin. Tanpa kalian,
mahasiswa di seluruh Indonesia, buku ini tidak akan
menjadi seperti sekarang ini. Semoga persembahan
para anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia bagi masyarakat kedokteran dapat
lebih menerangi dunia ilmu kedokteran di negara ini
untuk Indonesia yang lebih maju lagi.

Jakarta, Nopember 2009


Tim Editor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Assalamu'alaikum wr. wb.


Sejawat Yang Terhormat.
Kita bersama mengucapkan syukur pada Tuhan
YME bahwa Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ini telah
mencapai cetakan yang kelima, sehingga buku yang
telah banyak dibaca ini senantiasa diremajakan dan
tetap populer.
Ada beberapa makna dari keberadaan buku ini
yang saya ingin garis bawahi', yaitu 1)Ilmu Penyakit
Dalam masih tetap utuh dengan semua subdisiplin
yang bernaung di bawahnya, yaitu Alergi dan
Imunologi, Gastroenterologi, Geriatri, Ginjal dan
Hipertensi, Hematologi dan Onkologi, Hepatobilier,
Kardiologi, Metabolik dan Endokrin, Pulmonologi,
Psikosomatik, Reumatologi dan Penyakit Tropik dan
Infeksi. Pendekatan holistik yang menjadi falsafah
dasar cabang utama dan tertua Ilmu Kedokteran ini
menjadi landasan bagi semua cabang-caban g ilmu
kedokteran lainnya, dan untuk Indonesia ha1 ini
menjadi lebih penting karena luasnya wilayah serta
besarnya populasi yang harus dijangkau. Hal lain
adalah 2) keterlibatan dan partisipasi begitu
banyaknya anggota Perhimpunan Dokter Spersialis
Penyakit Dalam (PAPDI) dalam penulisan buku ini,
sesuatu yang membahagiakan bagi setiap
pengurusnya, karena menunjukkan tidak hanya
kebersamaan tetapi juga suatu tekad besar untuk
berjalan bersama.

Para penulis Buku Ajar Penyakit Dalam ini adalah


para anggota PAPDI dari seluruh Indonesia yang
ditunjuk tim editor dan telah meluangkan waktunya
di samping kesibukan masing-masing. Tidaklah
mudah untuk menyusun suatu makalah yang akan
digunakan sebagai referensi oleh calon-calon dokter
dan spesialis, dan tidak ringan bagi para editor untuk
mengirim kritik serta saran dalam perjalanan
merealsisasikan buku ajar ini. Untuk itu saya sebagai
Ketua Umum menyampaikan apresiasi serta terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Saya yakin buku ini dapat menjadi referensi yang
baik bagi para dokter, baik mahasiswa kedokteran,
dokter umum, calon Dokter Spesialis Penyakit Dalam
maupun dokter dari keahlian lainnya. Dengan
membaca buku ajar ini diharapkan kemampuan
sejawat meningkat baik dalam teori maupun
keterampilan sehingga pelayanan pada pasien pun
akan meningkat kualitasnya.
Sekali lagi saya mengucapkan selamat atas
terbitnya buku ajar cetakan kelima ini, semoga Allah
SWT meberikan rahmatNya pada kita semua. Amin.

Jakarta, Nopember 2009


Ketua
DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD-KHOM, FACP

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Prof. DR. Dr. A Harryanto Reksodiputro, Sp.PD

Dr. Agus S.Waspodo, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Dr. A. Madjid, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Subbagian Ginjal Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RS. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.

Konsultan Kardiovaskular, Bagian Fisiologi,


FK. USU/RSUP. Dr. Pringadi Medan

Prof. Dr. Agus Tessy, Sp.PD

Dr. A. Muin Rachman, Sp.PD

Konsultan Kardivaskular
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. H. Ahmad A Asdie, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta

Dr. A. Sanusi Tarnbunan, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Ahmad Fauzi, Sp.PD

Divisi Gastroenterologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. H. A.Aziz Rani, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi Hepatologi


Divisi Gastroenterologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Ahrnad Rasyid, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSUP, Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Dr. Aida Lydia, Sp.PD

Dr. A. Nurman, Ph.D, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSAL Mintoharjo, Jakarta

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilrnu Penyakit Dalarn
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. H. Akmal Sya'roni, Sp.PD

Prof. Dr. A.R.Nasution, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Prof. Dr. Abdulmuthalib, Sp.PD

Dr. Ali Djurnhana, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Adiwiyono, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RS Dr. Moh.Hoesin Palembang

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Dr. Agus P. Sarnbo, Sp.PD

Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Hasmuddin/


RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

Prof. Dr. Ali Ghani, Sp.PD

Prof. Dr. H. AIi Sulaiman, Ph.D, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dr. Alwi Shihab, Sp.PD

Prof. DR. Dr. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Alwinsyah, Sp.PD

Prof. Dr. Asrnan Manaf,Sp.PD

Divisi Pulmonologi dan Alergi-Imunologi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes,


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAND/RS Dr. M. qamil, Padang

Dr. Arnaylia Oehadian, Sp.PD

Dr. Asril Bahar, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Konsultan Pulmonologi-Konsultan Geriatri


Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Dr. AMC Karena-Kaparang, Sp.PD

Dr. Asrul Harsal, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Arni Ashariati,Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Lab. Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Andi Fachruddin Benyarnin,Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar

Prof. Dr. Azhar Tandjung, Sp.PD

Konsultan Alergi Imunologi-Konsultan Pulmonologi


Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUD Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan
Prof. Dr. B. Fanani Lubis, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi

Dr. Andri Sanityoso, Sp.PD

Dr. B.J. Waleleng, Sp.PD

Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado

Dr. Ari Baskoro, Sp.PD

Divisi Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Ari Fahrial Syarn, Sp.PD, MMB

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD, KIC

Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Arnadi Taslirn, Sp.PD

RS. Krakatau Steel Cilegon, Jawa Barat


DR. Dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi hledik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. B. P. Putra Suryana, Sp.PD

Konsultan Reumatologi Seksi Reumatologi,


Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RS Dr. Saiful Anwar, Malang
Dr. Barnbang lrawan M, Sp.PD

SMF Penyakit Dalam


FK. UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Barnbang Karsono, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Barnbang Setiyohadi, Sp.PD

Konsultan Reumatologi,
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Boedhi Darrnojo, Sp.PD

Dr. Arya Govinda, Sp.PD

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Aryanto Suwondo, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalani
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Dr. Barnbang Sigit Riyanto, Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Prof. Dr. Barwani Hisyam, Sp.PD

Dr. Chairul Effendi, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta

Konsultan Alergi Imunologi


Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalarn
FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Candra Wibowo, Sp.PD

Dr. Blondina Marpaung, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUD. Dr. kingadi-SUF. H. Adam Malik, Medan

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang

Prof. DR. Dr. Asman Boedisantoso R, Sp.PD

Konsultan Penyakit ~ r o ~ dan


i k Infeksi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNMUL/RSUD A. Wahab Sjahranie, Samarinda

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Metabolik Endokrin
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Boediwarsono, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Lab. Ilmu Penyakit Dalam
FK. UNAIR/RS. Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Budi Darmawan Machsoos, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Dr. Budi Muljono, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Dr. Budi Setiawan, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Budiman, Sp.PD

Divisi Metabolik Endokrin


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Budiono, Sp.PD

Divisi Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

ana ado

Dr. Carts A. Gunawan,Sp.PD

Dr. Chudahman Manan, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Cleopas Martin Rumende, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD, MEpid

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Dadang Makmun, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Dante Saksono Harbuwono, PhD, SpPD

Dr. C. Singgih Wahono,Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

Divisi Metabolik Endokrin


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Catharina Suharti, Sp.PD

Prof. Dr. Dasnan Ismail, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Daulat Manurung, Sp.PD

Dr. Chairul Bahri, Sp.PD

Dr. Dewa Putu, Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam ,


FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan

Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dr. Dharrneizar, Sp.PD

Dr. Edy Mart Salim, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Alergi Imunologi,


Subbagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSMH, Palembang

Dr. Dharrnika Djojoningrat, Sp.PD

Divisi Pulmonologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi, Departemen I h u Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Dina Jani Mahdi, Sp.PD

Konsultan Alergi Imunologi


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Djoko Wahono, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

Dr. Eko Budiono, Sp.PD

Dr. Elias Pardjono, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. DR. Dr. Endang Susalit, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Djoko Widodo, Sp.PD

Prof. Dr. Enday Sukandar, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Lnfeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Ginjal Hipertensi


Subbagian Ginjal Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RSUP. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Djoni Djunaedi, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Erwanto Budi W., Sp.PD

Divisi Alergi Imunologi,


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. Evy Yunihastuti, Sp.PD

Divisi Alergi Imunologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. F. Surnanto Padrnornartono, Sp.PD

Dr. Dono Antono, Sp.PD

Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Doni Priarnbodo Witjaksono, Sp.PD

Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam


FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. Dr. Dwi Sutanegara, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar, Bali
Dr. E.N. Keliat, Sp.PD

Divisi Pulmonologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUD.Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan
Prof. Dr. Eddy Soewandojo Soewondo, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Lab. Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr.Sutomo, Surabaya
Prof. Dr. Edu Tehupeiory, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Subbagian Reumatologi, Bagian llmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RSUP. Dr. Wahidin S. Makassar

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Dr. Faridin, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Subbagian Reumatologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Hasanuddin, Makasar
Dr. Gatoet Isrnanoe, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RS Dr. Sjaiful Anwar Malang
Dr. Gatot Soegianto, Sp.PD

Subbagian Alergi Imunologi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo. Surabaya
Dr. Ginova Nainggolan, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Prof. DR. Dr. Guntur Hermawan, Sp.PD

Prof. Dr. Hanafi B. Trisnohadi, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Subbagian Penyakit Tropik Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Surakarta/RSUD Dr. Moewardi, Solo

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. H. Soemarsono, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Bagian Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam
FK Univ. Brawaijaya, Malang

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Meksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof.Dr. H.A. Fuad Bakry F, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Prof. Dr. H.A.M.AkiI, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S. Makassar
Dr. H.E. Mudjaddid, Sp.PD

Konsultan Psikosomatik
Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. H. Hanum Nasution, Sp.PD

Kansultan Psikosomatik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/ RSU Dr. Pringadi, Medan
Prof. Dr. H.M.S. Markum, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Hadi Halim, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang
Dr. Hadi Martono, Sp.PD

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Sernarang

Prof. Dr. Handono Kalim, Sp.PD

Dr. Hans Salonder, Sp.PD

Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado
Prof. Dr. Hariono Achmad, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RSUD. Dr. Sjaiful Anwar, Malang
Dr. Harlinda Haroen, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/
RSUP Malalayang, Manado
Prof. DR. Dr. Harry Isbagio, Sp.PD

Konsultan Reumatologi-Konsultan Geriatri


Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSU Dr. Pringadi, Medan
Prof. DR. Dr. Hendromartono, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Prof. Dr. Herdiman T. Pohan, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Hermasyah, Sp.PD

Dr. Hadi Yusuf, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Subbagian Tropik Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS. Hasan Sadikin, Bandung

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSU Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Prof. DR. Dr. Abdul Halim Mubin, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/
RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RSUP Dr.Wahidin S, Makassar

Prof. Dr. Hernomo Kusumobroto, Sp.PD

Dr. HamzahShatri, Sp.PD, MEpid

Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD

Konsultan Psikosomatik
Divisi Psikosomatik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Alergi Imunologi


Divisi Alergi Imunologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD

Prof. Dr. lman Supandiman, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/
RS Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Hirlan, Sp.PD

DR. Dr. Iris Rengganis, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUD Dr. Kariadi, Semarang

Konsultan Alergi Imunologi,


Divisi Alergi Imunologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. IGde RakaWidiana, Sp.PD

Dr. lrsan Hasan; Sp.PD

Divisi Ginjal Hipertensi


Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RS Sanglah, Bali

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUIJN-CM, Jakarta

Dr. IKetut Suega, Sp.PD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/


SMF Penyakit Dalam FK UDAYANA/RS Sanglah
~en~asar3ali

Dr. l n a Wahid,Sp.PD

Subagian Hematologi-Onkologi Medik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAND/RS Dr. M. Djamil, Padang

Prof. DR. Dr. IMade Bakta, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK uNUD/RSL.JP Sanglah Denpasar, Bali
Dr. Ian Effendi N. Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Ddam
FK UNSRI/RS. Moh. Hoesin, Palembang

Prof. Dr. lskandar Zulkamaen, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. lswan A. Nusi, Sp.PD

Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalarn
FK UNAIR/EL.JP Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. lbnu Punvanto, Sp.PD

Subbagian Hematologi-OnkoIog Medik


SMF IImu Penyakit Dalam
FK UGM/RSL.JP Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. ldrus Alwi, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. lwang Gurniwang, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Jodi Sidharta Loekman, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. Ika PrasetyaWijaya, Sp.PD

Divisi Kardiologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. lkhwan Rinaldi, Sp.PD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik


Departernen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr. lmam Effendi, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

DR. Dr. Johan Kurnianda, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Johanes Purwoto,Sp.PD

Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Dr. lmam Subekti, Sp.PD

Prof. Dr. John M.F. Adam, *PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Metabolik Endokrin
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Endokrin dan Metabolik
Bagian Penyakit Dalam
FK Univ. Hasanuddin/RS Dr. Wahidin S, Makasar

ONLY SCANNED FORxii


dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


DR. Dr. Joewono Soeroso, MSc, Sp.PD

Dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Lab. UPF Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Jose Roesma, PhD, Sp.PD

Konsultan Patologi Klinik


Bagian Patologi Klinik FK Univ. Brawijaya, Malang

DR. Dr. Kusworini Handono, Sp.PK

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Laurentius A. Lesmana, PhD, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Yuliasih, Sp.PD

Konsultan Reumatologi,
Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD

Konsultan Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Julius, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Andalas/RSL.JPDr. M. Djamil, Padang

Dr. Lestariningsih, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian/
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang

DR. Dr. Karel Pandelaki, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRAT/RSUP, Manado

Dr. Linda K. Wijaya, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
RS. Pantai Indah Kapuk -Jakarta

Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Linda W.A. Rotty, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado

Prof. DR. Dr. Karnen G. Bratawijaya, Sp.PD

Konsultan Alergi Imunologi,


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Lucky Aziza Bawazier, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Kartika Widayati, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, Sp.PD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Ketut Suega, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali

Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali

Dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan

Dr. Khie Chen, Sp.PD

Konsultan Tropik Infeksi,


Divisi Tropik Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Dr. M. Tantoro Harmono, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta

Dr. Kris Pranarka, Sp.PD

Dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP. Dr. Kariadi, Semarang

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UNLAM/RSUD. Ulin, Banjarmasin

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

xiii

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Dr. Muhammad Diah, Sp.PD

Dr. Nafrialdi, Ph.D,Sp.PD

Divisi Kardiologi, Bagian Penyakit Dalam


FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Departemen Farmakologi FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. M.Yusuf Nasution, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Dr. Najirman, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Instalasi Hemodialisa SMF Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan

Dr. Nanang Sukmana, Sp.PD

Konsultan Alergi Imunologi,


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Made Putra Sedana, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi
Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Nasronudin,Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Subbagian Tropik Infeksi Bagian Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Marcellus Simadibrata K, Ph.D, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Nasrul Jubir, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Qarnil, Padang

Dr. Marulam M. Panggabean, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Nelly Tendean Wenas, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
~ a ~ i Ilmu
a * Penyakit ~ a l a k FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado

Dr. Meddy Setiawan, Sp.PD

Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Brawijaya, Malang


Dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD

Dr. Nina Kemala Sari, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Niniek Burhan, Sp.PD

Prof. Dr. Mochammad Sja'bani, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNBRAW/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

Konsultan Ginjal Hipertensi,


Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Prof. Dr. Nizam Oesman, Sp.PD

Dr. Moefrodi Wirjoatmodjo, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Lab. Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

DR. Dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD

Prof. DR. Dr. Mohammad Yogiantoro, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Ginjal Hipertensi,


Divisi Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Airlangga/RS Dr. Sutomo Surabaya
Dr. Muhamad Yamin, Sp.JP

Dr. Nugroho Prayogo, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular,
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

DR. Dr. Murdani Abdullah, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Nurhay Abdurachman, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Nurul Akbar, Sp.PD

Dr. H. Murnizal Dahlan, Sp.B

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Bedah Vaskular,


Divisi Bedah Vaskular Departemen Bedah
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

xiv

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Prof. Dr. Nuzirwan Acang, Sp.PD

Dr. PN. Harryanto, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


RSU Bethesda, Tomohon, Sulawesi Utara

Dr. Nyoman Astika, Sp.PD

Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UNUD/RS Sanglah Denpasar - Bali
Drs. Nyoman Gde Suryadhana

Dr. Poernomo Budi Setiawan, Sp.PD

Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Pradana Soewondo, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Metabolik Endokrin
Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM,
Jakarta

Bagian Gigi Mulut,


FKG Univ. Indonesia, Jakarta
Dr. Nyoman Kertia, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. Dr. OK Moehad Syah, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Prof. Dr. PangarapenTarigan, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Dr. Pangestu Adi, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Panji lrani Fianza, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


Bagian Penyakit Dalam
FK Univ. Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
DR. Dr. Parlindungan Siregar, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi,


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Pasiyan Rahmatullah, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi,
Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Prof. DR. Dr. Paulus Wiyono, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Dr. Pranawa, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal HipertensiLab/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. Probosuseno, Sp.PD

Subbagian Geriatri
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. F.X. Pridady, Sp.PD

Unit Penyakit Dalam, RSAB. Harapan Kita, Jakarta


Dr. Primal Sudjana, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Subbagian Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Putut Banyupurnama, Sp.PD

Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian/


SMF Ilmu Penyakit Dalarn
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD

Konsultan Geriatri
Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RS. Sanglah Denpasar - Bali
Prof. DR. Dr. RR. Djokomoeljanto, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Dr. R. Soertadi, Sp.PD
Prof. Dr. R.H.H. Nelwan, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalarn
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Rachmat Soelaeman, Sp.PD

Dr. Pernodjo Dahlan, Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta
Prof. DR. Dr. PG Konthen, Sp.PD

Konsultan Alergi Imunologi


Subbagian Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo,Surabaya

Konsultan Ginjal Hipertensi


Unit Penelitian Kesehatan
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. H. Rahmat Sumantri, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dr. Rawan Broto, Sp.PD

Prof. Dr. S.A. Abdurachman, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
F K UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Rejeki Andayani Rahayu, Sp.PD

Prof. Dr. Saharman Leman, Sp.PD

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Konsultan Kardiovaskular
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Pandang
Dr. Sally Aman Nasution, Sp.PD

Dr. Restu Pasaribu, Sp.PD

Divisi Ginjal Hipertansi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RS Moh. Hoesin, Palembang

Divisi Kardiologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Riardy Pramudyo, Sp.PD

Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD

Konsulatan Reumatologi
Sub Unit Reumatologi
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Konsultan Alergi Imunologi,


Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. DR. Dr. Rifai Amirudin, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Metabolik Endokrin
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin S, Makasar

Prof. DR. Dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD

Dr. Shofa Chasani, Sp.PD

Dr. Rino A.Gani, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Ginjal Hipertensi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RS Dr. Kariadi, Semarang
Dr. Shufrie Effendy, Sp.PD

Dr. Ririn H, Sp.Gk

Instalasi Gizi RS. Kanker Dharmais, Jakarta


Dr. Rizasyah Daud, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Rizka Humardewayanti Asdie, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Ronald A. Hukom, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Rudi Putranto, Sp.PD

Divisi Psikosomatik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Rully M.A. Roesli, PhD, Sp.PD

Konsultan Ginial Hivertensi


Bagian Ilmu pbnyakit Dalam
FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Rose Dinda, SpPD

SMF Ilmu Penyakit Dalam,


FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. pamil, Pandang

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Metabolik Endokrin
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Siti Nurdjanah, Sp.PD, M.Kes.

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
DR. Dr. Siti Setiati, MEpid, Sp.PD

Konsultan Geriatri
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Sjaharuddin Harun, Sp.PD

Konsultan Kardiovaskular
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Prof. Dr. Slamet Suyono, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Divisi Metabolik ~ n d o k ; i n
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

ONLY SCANNED FOR


xvidr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dr. Soebagyo Loehoeri, Sp.PD

Dr. Sumardi, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

Divisi Pulmonologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Prof. Dr. Soebandiri, Sp.PD

Dr. Sumariyono, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. DR. Dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik DiabetesKonsultan Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Supartondo,Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang
Prof. Dr. Soenarto, Sp.PD

Dr. Suradi Maryono, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta

Prof. DR. Dr. Soewignjo Soemohardjo, Sp.PD

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP/RS. Dr. Kariadi, Semarang

Dr. Suyono, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSU. Mataram
Dr. Stephanus Gunawan, Sp.PD

Dr. Syadra Bardiman Rasyad, Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Mataram

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Subbagian Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Dr. Sugianto, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Subbagian Hematologi-Onkologi Medik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Syafii Piliang, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan

Dr. Sugiyono Somoastro, Sp.PD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Prof. Dr. Syafril Syahbuddin, Sp.PD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAND/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Dr. Suhardi Darmo A. Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Subbagian Ginjal Hipertensi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

DR. Dr. Syakib Bakri, Sp.PD

Konsultan Ginjal Hipertensi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNHAS/RSU Dr. Wahidin S, Makasar

Prof. DR. Dr. Suhardjono, Sp.PD


Prof. DR. Dr. T.Santoso, Sp.PD, FACC, FESC

Konsultan Ginjal Hipertensi,


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

Konsultan Kardiovaskular,Divisi Kardiologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta

DR. Dr. Suhendro, Sp.PD

Dr. Taufik Indrajaya, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Sub Divisi Kardiologi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang

Prof. DR. Dr. Sujono Hadi, Sp.PD

Dr. Teguh H. Karjadi, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Konsultan Alergi Imunologi


Divisi Alergi Imunologi
Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Sukamto, Sp.PD

Dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp.PD

Divisi Alergi Imunologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik


SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

xvii

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dr. Tjokorda Rakaputra, Sp.PD

Prof. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, PhD, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Konsultan Ginjal Hipertensi


Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Trinugroho Heri Fadjari, Sp.PD

Sub Bagian Hematologi-Onkologi Medik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Yenny DianAndayani, Sp.PD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik


Bagian Ilmu Penyakit Dalarn
FK UNSRI/RSU Dr. Moh.Hoesien Palembang

Dr. Triwibowo, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

Dr. Yoga I.Kasjmir, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

DR. Dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali

Dr. Yosia Ginting, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan

Dr. UjainahZaini Nasir, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Umar Zain, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan
Dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
Dr. Usman Hadi, Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya.
Dr. Purwita W. Laksrni, Sp.PD

Dr. Zakifman Jack, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta
Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik


Divisi Hematologi-Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta
DR. Dr.Zul Dahlan, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Prof. DR. Dr. Zuljasri Albar, Sp.PD

Konsultan Reumatologi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Dr. Zulkarnain Arsyad, Sp.PD

Prof. Dr. Wasilah Rochmah, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

Konsultan Geriatri
Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Dr. Widayat Djoko S., Sp.PD

Konsultan Penyakit Tropik Infeksi


Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

DR. Dr. Zulkifli Amin, Sp.PD

Konsultan Pulmonologi
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENGANTAR TIM EDITOR

iii

SAMBUTAN KETUA UMUM PB. PAPDI


KONTRIBUTOR

v
vii

11. Pemeriksaan Fisis Jantung

JILID I

Lukrnan H. Makrnun, Nurhay Abddurachrnan

12. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital dan


Anorektal

DASAR-DASAR
ILMU PENYAKIT DALAM
1. Pengembangan Ilmu dan Profesi Penyakit
Dalam

13. Catatan Medik Berdasarkan Masalah


(CMBM)

77

Lukrnan H. Makrnun

Sarnsuridjal Djauzi

14. Psikoneuro Imunoendokrinologi

80

E.Mudjaddid, Hamzah Shatri, R. Putranto

2. Perkembangan Ilmu Penyakit Dalam sebagai


Suatu Disiplin Ilmu

Nurhay Abdurachrnan

15. Masalah Kesehatan Akibat Alkohol


dan Merokok

83

Budirnan

3. Pendekatan Holistik di Bidang Ilmu Penyakit


Dalam

H.M.S.Markurn. E.Mudiaddid

4. Empati dalam Komunikasi Dokter-Pasien

10

Sarnsuridjal
Supartondo
. Diauzi,
.

5. Praktik Ilmu Penyakit Dalam Rantai Kokoh


Cost-effectiveness

16. Kesehatan Remaja


Barnbang Setiyohadi

17. Kesehatan Perempuan


Siti Setiati, Purwita W. Laksrni

18. Kesehatan Keluarga


12

6. Masa Depan Ilmu Penyakit Dalam dan


Spesialis Penyakit Dalam

113

Barnbang Setiyohadi

19. Dasar-dasar Penyakit Akibat Kerja

Supartondo

130

Teguh H. Karjadi, Sarnsuridjal Djauzi

14

Slarnet Suyono

20. Dasar-dasar Farmakologi Klinik

133

Nafrialdi

21

7. Evidence Based Medicine

21. Genetika Medik dan Biologi Molekular


Barnbang Setiyohadi, Nyornan Gde Suryadhana

Zubairi Djoerban

8. Anamnesis

25

Supartondo, Barnbang Setiyohadi

9. Pemeriksaan Fisis urnurn

29

KEGAWATDARURATAN MEDIK

54

22. Terapi Oksigen

Barnbang Setiyohadi, Imam Subekti

10. Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru


Cleopas Martin Rurnende

69

Marcellus Sirnadibrata K.

Anna Uyainah Z. N

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

140

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


23. Dukungan Ventilator Mekanik

166

Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Arnin

44. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus 297


Hernorno Kusurnobroto

24. Gangguan Keseimbangan Cairan


dan Elektrolit

175

45 Ileus Paralitik

Parlindungan Siregar

46 Trombosis Arterial Tungkai Akut

25 Gangguan Keseimbangan Asarn Basa Metabolii 190


Parlindungan Siregar

26. Rehidrasi

197

Rizka Humardewayanti Asdie, Doni Priambodo


Witjaksono, Soebagjo Loehoeri

27. Penatalaksanaan Umum Koma

307

Ali Djumhana, Ari F. Syam

309

Murnizal Dahlan

47 Diagnosis dan Penatalaksanaan


Sindrom Lisis Tumor

311

Zakifman Jack

205

Budiman

48. Kegawatan Onkologi dan Sindrom


Paraneoplastik

313

Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro

28. Sinkop

210

Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution

29. Gaga1 Napas Akut

218

Zulkifli Amin, Johanes Purwoto

30. Resusitasi Jantung Paru

227

Arif Mansjoer

NUTRISI
49. Dasar-dasar Nutrisi Klinik pada Proses
Penyembuhan Penyakit
Daldiyono, Ari Fahrial Syarn

31. Acute Respirato y Distress Syndrome (ARDS) 234


Zulkifli Amin

50. Nutrisi Enteral


Marcellus Sirnadibrata

32. Syok Hipovolemik

242

Ika Prasetya Wijaya

33. Syok Kardiogenik

245

ldrus Alwi, Sally Aman Nasution

34. Penatalaksanaan Syok Septik

252

Arif Mansjoer, Marcellus Simadibrata K

53. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker

257

lris Rengganis, Heru Sundaru,


Nanang Sukmana, Dina Mahdi

36. Kegagalan Multi Organ (Disfungsi


Organ Multipel)

Imam Subekti

52. Dukungan Nutrisi pada Penyakit Kritis

Khie Chen, Herdiman T. Pohan

35. Renjatan Anafilaktik

51. Nutrisi Parenteral: Cara Pemillihan Kapan


dan Bagaimana

Noorwati Sutandyo

54. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut


Nina Kernala Sari

55. Malnutrisi

262

Aryanto Suwondo

Ari Fahrial Syam

56 Malnutrisi di Rumah Sakit

37. Sindrom Termal dan Sengatan Listrik

270

Siti Setiati, Rose Dinda

Budiman

38. Sengatan Serangga

275

Budiman

ALERGI IMUNOLOGI KLINIK

39. Penatalaksanaan Keracunan Bisa


Kalaj engking

278

Djoni Djunaedi

280

Djoni Djunaedi

58. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi

377

Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti

41. Intoksikasi Narkotika (Opiat)

284

Nanang Sukmana

59. Alergi Makanan

382

Iris Rengganis, Evy Yunihastuti

42. Keracunan Bahan Kimia, Obat dan


Makanan

60. Alergi Obat

289

Widayat Djoko, Djoko Widodo

Ceva W. Pitoyo

367

Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis

40. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa

43. Hemoptisis

57. Imunologi Dasar

294

387

Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru,


Dina Mahdi, Nanang Sukmana

61. Rinosinusitis Alergi


Heru Sundaru, Erwanto Budi Winulyo

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

392

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


62. Urtikaria dan Angiodema

395

63. Asma Bronkial

81. Tukak Gaster


Pengarapen Tarigan

Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul Effendi,


P.G.Konthen

82. Tukak Doudenum


404

Heru Sundaru, Sukarnto

H.A.M. Akil

83. Dispepsia Fungsional

64. Penyakit kompleks Imun

415

Edy Mart Salirn, Nanang Sukrnana

65. Respons Imun Infeksi HIV

84. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik


421

Tuti Parwati Merati, Sarnsuridjal Djauzi

66. Imunisasi Dewasa

Marcellus Sirnad~brataK.

85. Diare Akut


429

Erwanto Budi, Samsuridjal Djauzi

67. Vaskulitis

Dharrnika Djojoningrat

Marcellus Sirnadibrata K., Daldiyono

86. Polip Kolon

435

Nanang Sukrnana

557

H.A. Fuad Bakry F

87. Kolitis Infeksi

560

Nizarn Oesman

88. Tumor Kolorektal

GASTROENTEROLOGI

Murdani Abdullah

68. Pendekatan Klirris Penyakit Gastrointestinal 441


Dharrnika Djojoningrat

69. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna


Baeian
Atas
"

Julius

90. Kolitis Radiasi


447

Dadang Makrnun

91. Irritable Bowel Syndrome (IBS)

Pangestu Adi

70. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah


(Hematokezia) dan Perdarahan Samar
(Occult)

92. Hemoroid
453

7l. Gangguan Motilitas Saluran Cerna Bsgian


460

Bawah

583

Chudahrnan Manan, Ary Fahrial Syarn

Murdani Abdullah

587

Marcellus Sirnadibrata K.

93. Inflammato y Bowel Disease Alur


Diagnosis dan Pengobatannya di
Indonesia"

591

Dharrnika Djojoningrat

Marcellus Sirnadibrata K.

72. Pemeriksaan Endoskopi Saluran Cerna

467

94. Pankreatitis Kronik


Marcellus Sirnadibrata K

Marcellus Sirnadibrata K.

73. Nyeri Abdomen Akut

474

74. Malabsorpsi

95. Penyakit Divertikular


H.A.M.Akil

Daldiyono, Ari Fahrial Syarn

477

96. Penyakit Vaskular Mesentrika


Syadra Bardirnan Rasyad

Ari Fahrial Syarn

75. Penyakit Refluks Gastrmofageal

480

97. Penyakit Tropik Infeksi GasYroimZestinal

621

Marcellus Sirnadibrata K., Ahrnad Fauzi

Dadang Makrnun

76. Akalasia

488

HA. Fuad Bakry F.

77. Striktur/Stenosis Esofagus

493

Marcellus Simadibrata K.

HEPATOBILIEIR:
98. Fisiologi dan Biokimia Hati

78. Tumor Esofagus

497

A. Abdurachman

Rifai Amirudin

99. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus

79. Infeksi Helico6acter Pybri d'an


Penyakit Gastro-Duodenal
A.Azir Rani, Achmad Falwj

801 Gastritis
Hirlan

89. Tumor Gaster

634

Ali Sulairnan

501

100. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati


Nurul Akbar

509

101. Hepatitis Viral Akut


Andri Sanityoso

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

640

102. Hepatitis B Kronik

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


653

Soewignjo Soernohardjo, Stephanus Gunawan

103. Hepatitis C

Czeresna Heriawan Soejono

662

124. Pedoman Memberi Obat Pada Pasien Geriatri


Serta Mengatasi Masalah Polifarmasi

668

Supartondo, Arya Govinda Roosheroe

Rino A.Gani

104. 'Sirosis Hati

674

125. Pelayanan Kesehatan Sosial dan


Kesejahteraan Usia Lanjut

677

126. Regulasi Suhu pada Usia Lanjut

Siti Nurdjanah

105. 'Asites
Hirlan

106. 'Koma Hepatik


Nasrul Jubir

107. 'Sindrom Hepatorenal

123. Pengkajian Paripurna Pada Pasien Geriatri 768

681

Purnorno Budi Setiawan,


Hernorno Kusurnobroto

685

779

Hadi Martono, I Dewa Putu Prarnantana S.

789

Siti Setiati, Nina Kernala Sari

127. Dehidrasi dan Gangguan Elektrolit

797

R A.Tuty Kuswardhani, Nina Kernala Sari

128. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut

108. Karsinoma Hati

776

802

Rejeki Andayani

129. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur 812

Unggul Budihusodo

109. Abses Hati Piogenik

692

130. Dizzines pada Lanjut Usia

Nelly Tendean V!enas, B.J. Waleleng

110. Perlemakan Hati Non Alkoholik

695

lrsan Hasan

111. Penyakit Hati pada Kehamilan

702

Hariono Achrnad

112. Hepatotoksisitas Imbas Obat

Siti Setiati, Purwita W. Laksrni

708

Putut Bayupurnarna

113. Hiperbilirubinemia Non Hemolitik Familial 714


A. Fuad Bakry F.

826

Probosuseno, Niko Adhi Husni,


Wasilah Rochrnah

131. Demensia

837

Wasilah Rochrnah, Kuntjoro Hari Murti

132. Depresi pada pasien Usia Lanjut

845

Czeresna H. Soejono, Probosuseno,


Nina Kernala Sari

133. Penyakit Parkinson

851

Rejeki Andayani Rahayu

114. Kolesistitis

718

F.X. Pridady

134. Imobilisasi pada Usia Lanjut

859

Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe

115. Penyakit Batu Empedu

721

Laurentius A. Lesrnana

116. Tuberkulosis Peritoneal

727

Lukrnan Hakirn Zain

135. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih


Hiperaktif
136. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi

117. Pankreatitis Akut

731

A. Nurrnan

118. Tumor Pankreas

739

F. Soernanto Padrnornartono

865

Siti Setiati, I Dewa Putu Prarnantara

876

Kris Pranarka, Rejeki Andayani

137. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut


Secara Menyeluruh

884

Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar

119. Tindakan Intervensi pada Penyakit Hati

747

Agus Sudiro Waspodo

138. Strok dan Penatalaksanaannya oleh Internis

892

Hadi Martono, R.A.Tuty Kuswardhani

120. Biopsi Hati

750

139. Hipertensi pada Usia lanjut

899

Suhardjono

Agus Sudiro Waspodo

121. Transplantasi Hati

753

140. Kegawatdaruratan pada Pasien Geriatri

904

Lukrnan Hakirn Makrnun

lswan A. Nusi

141. Sindrom Delirium (Acute Confusional State) 907


Czeresna H.Soejono, Dewa Putu P.

142. Iatrogenesis

GERIATRI

913

R.A.Tuty Kuswardhani, Nyornan Astika

122. Proses Menua dan Implikasi Klinis


Siti Setiati, Kuntjoro Hari Murti, Arya Govinda R

757

143. Asuhan pada Kondisi Terminal


Supartondo

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

916

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


144. Elderly mistreatment
(Salah Perlakuan Terhadap Orang Tua)

163. Penyakit Ginjal Kronik

919

Ketut Suwitra

Supartondo, Nina Kemala Sari

145. Gerontologi dan Geriatri di Indonesia

164. Gangguan Ginjal Akut

924

H.M.S. Markum

R. Boedhi Darmojo

165. Hemodialisis

1050

J. Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono

166. Dialisis Peritoneal

JILID I1

1053

lmam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A Roesli

167. Terapi Pengganti Ginjal Berkesinambungan


(CRRT)

GINJAL HIPERTENSI
146. Pemeriksaaan Penunjang pada
Penyakit Ginjal

R U I I ~M.A. Roesli

168. Transplantasi Ginjal


Endang Susalit

935

169. Hipertensi Esensial

lmam Effendi, H.M.S. Markum

147. Edema Patofisiologi dan Penanganan

Mohammad Yogiantoro

946

170. Hipertensi pada Penyakit Ginjal

Ian Effendi, Restu Pasaribu

Agus Tessy

952

148. Hematuria

171. Hipertensi Renovaskular

Lestariningsih

Syakib Bakri

956

149. Proteinuria

172. Hiperaldosteronisme Primer

Lucky Aziza Bawazier

Ginova Nainggolan

962

150. Sindrom Poliuria

173. Feokromositoma

Shofa Chasani

lmam Effendi

969

151. Glomerulonefritis

174. Hipertensi pada Kehamilan

Wiguno Prodjosudjadi

Suhardjono

975

152. Amiloidosis Ginjal

175. Krisis Hipertensi

M. Rachmat Soelaeman

153. Penyakit Ginjal Diabetik

Jose Roesma

979

Harun Rasyid Lubis

154. Nefritis Lupus

983

HEMATOLOGI

~ u c k yAziza Bawazier, Dharmeizar,


H.M.S. Markum

155. Nefropati IgA Idiopatik

992

176. Hemopoiesis

1105

177. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia

1109

Soebandiri

Enday Sukandar, Parlindungan Siregar

997

156. Nefritis Herediter

I Made Bhakta

Jodi Sidharta Loekman

178. Anemia Aplastik

999

157. Sindrom Nefrotik


Wiguno Prodjosudjadi

158. Vaskulitis Renal

loo4

Aida Lydia

159. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa

179. Anemia Defisiensi Besi


I Made Bakta, Ketut Suega,
Tjokorda Gde Dharmayuda

1008

Enday Sukandar

180. Anemia pada Penyakit Kronis

160. Penyakit TubulointerstisiaI

1116

Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo,


Hans Salonder

1016

1138

lman Supandiman, Heri Fadjari,

I Gde Raka Widiana

Lugyanti Sukrisman

161. Batu Saluran Kemih

1025

181. Anemia Megaloblastik

Mochammad Sja'bani

Soenarto

162. Penyakit Ginjal dan Kehamilan

1033

182. Anemia Hemolitik Autoimun

Jose Roesma

1152

Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno Hariadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

xxiii

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

183. Anemia Hemolitik Non lmun

1157

184. Purpura Trombositopenia Imun

204 Dasar-dasar Hemostasis

1293

C Suharti

lkhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo

1165

205. Patogenesis Trombosis

1301

Karmel L. Tambunan

lbnu Purwanto

185. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria


(PNH)

206. Hemofilia A dan B


1174

Made Putra Sedana

207. Penyakit Von Willebrand

186. Kelainan Hematologi pada


Lupus Eritematosus Sistemik

1307

Linda W.A. Rotty

1313

Sug~anto

1177

Zubairi Djoerban

208. Koagulasi Intravaskular Diseminata

1319

Lugyanti Sukrisman

187. Hipersplenisme

1183

Bud1 Muljono

209. Fibrinolisis Primer

1323

Boediwarsono

188. Dasar-Dasar Transfusi Darah

1185

Zubair~Djoerban

210. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati

1327

Karmel L. Tambunan

189. Darah dan Komponen: Komposisi,


Indikasi dan Cara Pemberian
Harlinda Haroen

1190

211. Gangguan Hemostasis pada Diabetes Melitus 1334


Andi Fachruddin Benyamin

212. Kondisi Hiperkoagulabilitas

190. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi


Transfusi Darah
M. Tantoro Harmono

191. Aferesis Donor dan Terapeutik


Ronald A. Hukom

1336

Hilman Tadjoedin

213. Sindrom Antibodi Antifosfolipid:


Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan 1345
Shufrie Effendy

214, Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru 1354

192. Leukemia Granulositik Kronis


Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

193. Polisitemia Vera


M. Darwin Prenggono

Lugyanti Sukrisman

215. Pemakaian dan Pemantauan


Obat-obatan Antitrombosis
Nusirwan Acang

194. Trombositosis Esensial

216. Trombositopenia pada Wanita Hamil

lrza Wahid'

1364

Yenny Dian Andayani

195. Mielofibrosis

217. Trombosis pada Kanker

Suradi Maryono

1369

Cosphiadi lrawan

196. Leukemia Mieloblastik Akut


Johan Kurnianda

218. Sitogenetika

1374

Aru W. Sudoyo

197. Sindrom Dismielopoetik

219. Dasar-dasar Talasemia: Salah Satu Jenis


Hemoglobinopati

Ami Ashariati

198. Dasar-dasar Biologis Limfoproliferatif


Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari

199. Limfoma Non Hodgkin (LNH)

1379

Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih

220. Thalassemia: Manifestasi Klinis, Pendekatan


Diagnosis, dan Thalassemia Intermedia 1387
Djumhana Atmakusuma, lswari Setyaningsih

A Harryanto Reksodiputro,
Cosphiadi lrawan

221. Transplantasi Sel Puncabnduk Darah

1394

A. Harryanto Reksodiputro

200. Penyakit Hodgkin


Rachmat Sumantri

222. Sel Punca (Stem Cell) dan Potensi Klinisnya

201. Leukemia Limfoblastik Akut

1401

Cosphiadi lrawan

Panji lrani Fianza

202. Leukemia Limfositik Kronik

ONKOLOGI MEDIK

Linda W. A. Rotty

203. Mieloma Multipel dan Penyakit


Gamopati Lain
Mediarty Syahrir

223. Pendekatan Diagnostik Tumor Padat


Budi Darmawan Machsoos

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1407

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


224. Aspek Selular dan Molekular Kanker

1413

243. Pengantar Diagnosis Ekokardiografi


Ali Ghanie

Bambang Karsono

225. Teknik-teknik Biologi Molekular dan


Selular pada Kanker

244. Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE)

1417

Bambang Karsono

Lukman H. Makmun

245. Pemeriksaan Kardiologi Nuklir

226. Penanda Tumor dan Aplikasi Klinik

1422

Ketut Suega, I Made Bakta

227. Penggunaan Obat-obatan Antikoagulan


Antitrombotik, Trombolitik dan Fibrinolitik 1434
Soenarto

Ika Prasetya Wijaya

246. Penyadapan Jantung


(Cardiac Catheterization)
Hanafi B.Trisnohadi

247. Intervensi Koroner Perkutan

228. Peran Flow Cytometric Immunophenotyping


di Bidang Keganasan Hematologi dan
Onkologi
1440
Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban

T. Santoso

248. Gagal Jantung


Marulam M. Panggabean

249. Gagal Jantung Akut

229. Prinsip Dasar Terapi Sistemik pada Kanker 1446


Abdulmuthalib

Daulat Manurung

250. Gagal Jantung Kronik

230. Teknik-teknik Pemberian Kemoterapi

1454

Adiwijono

231. Terapi Hormonal Pada Kanker

1471

Noorwati Sutandyo

232. Terapi Biologi pada Kanker

1478

Johan Kurnianda

233. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker 1482


A. Harryanto Reksodiputro

234. Neutropeni Febril pada Kanker

1498

Dody Ranuhardy

235. Penatalaksanaan MetastasisKanker


ke Tulang

251. Mekanisme dan Klasifikasi Aritmia


A. Muin Rachman

252. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik


Hanafi B. Trisnohadi

253. Fibrilasi Atrial


Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya

254. Aritmia Supra Ventrikular


Lukman H. Makrnun

255. Aritmia Ventrikel


M. Yamin, Sjaharuddin Harun

1506

Nugroho Prayogo

236. Penanggulangan Nyeri pada Kanker

Ali Ghanie

1512

Asrul Harsal

256. Bradikardia
M. Yamin, A. Muin Rachman

257. Kardioversi
M. Yamin, A. Muin Rachman

2378. Sindrom Paraneoplastik

1516

Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib

258. Pacu Jantung Sementara


A. Muin Rachman

238. Penatalaksanaan Pasien Kanker Terminal


1519
dan Perawatan di Rumah Hospis
Asrul Harsal

259. Elektrofisiologi
M. Yarnin, Sjaharuddin Harun,
Lukman H. Makmun

260. Pacu Jantung Menetap (Permanen)

KARDIOLOGI

M. Yamin

239. Elektrokardiografi

1523

Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun

240. Radiologi Jantung

261. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung


Reumatik
Saharman Leman

1539

ldrus Alwi

262. Stenosis Mitral


Taufik Indrajaya, Ali Ghanie

241. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung 1544


Ika Prasetya Wijaya

263. Regurgitasi Mitral


Daulat Manurung

242. Pemantauan Irama Jantung (Holter


Monitoring)
M. Yamin, Daulat Manurung

1548

264. Stenosis Aorta


Marulam M. Panggabean

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


265. Regurgitasi Aorta

1689

Saharman Lernan

287. Kor Pulmonal Kronik

1842

Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya

266. Kelainan Katup Pulmonal

1693

Barnbang lrawan M

288. Hipertensi Pulmonar Primer

1845

Muhammad Diah, Ali Ghanie

267. Penyakit Katup Trikuspid

1698

Ali Ghanie

289. Penyakit Jantung dan Operasi non Jantung 1853


Sjaharuddin Harun, Abdul Majid

268. Endokarditis

1702

ldrus Alwi

JILID I11

269. Miokarditis
ldrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun

270. Kardiomiopati

1720

Sally Arnan Nasution

271. Perikarditis

1725

Marularn M. Panggabean

METABOLIK ENDOKRIN
290. Sindrom Metabolik

1865

Sidartawan Soegondo, Dyah Purnarnasari

272. Angina Pektronis Tak Stabil

1728

Hanafi B.Trisnohadi

291. Diabetes Melitus di Indonesia

1877

Slarnet Suyono

273. Angina Pektoris Stabil

1735

292 Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus


Dyah Purnamasari
1880

1741

293. Farmakoterapi pada Pengendalian


Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2

A. Muin Rachrnan

274. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST


ldrus Alwi

275. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST

1757

Sjaharuddin Harun, ldrus Alwi

276. Antitrombotik dan Trombolitik pada


Penyakit Jantung Koroner

294. Terapi Non Farmakologi pada Diabetes


Melitus

1767

lwang Gurniwang, Ika Prasetya W, Dasnan lsrnail

277. Edema Paru Akut

1772

1891

M. Yunir, Suharko Soebardi

295. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek


Metabolisme

1896

Asrnan Manaf

Sjaharuddin Harun, Sally Arnan Nasution

278. Penyakit Jantung Hipertknsi

1884

Sidartawan Soegondo

1777

296. Hipoglikemia Iatrogenik

1900

Djoko Wahono Soernadji

Marularn M. Panggabean

279. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa 1779


Ali Ghanie

297. Ketoasidosis Diabetik


Pradana Soewondo

280. Penyakit Jantung pada Usia Lanjut

1790

298. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik

non Ketotik

Lukrnan H. Makrnun

281. Manifestasi Klinis Jantung pada Penyakit


Sistemik
1792

1912

Pradana Soewondo

299. Asidosis Laktat


Pradana Soewondo, Hari Hendarto

ldrus Alwi

282. Penyakit Jantung Tiroid

1798

Dono Antono, Yahya Kisvanto

283. Penyakit Jantung pada Penyakit


Jaringan Ikat
'

1804

ldrus Alwi

300. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme


Terjadinya, Diagnosis dan Strategi
Pengelolaan
Sarwono Waspadji

301. Retinopati Diabetik


Karel Pandelaki

284. Tumor Jantung

1818

ldrus Alwi

285. Kehamilan pada Penyakit Jantung

1822

Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya

286. Penyakit Arteri Perifer

1831

302. Komplikasi Kronik DM: Penyakit Jantung


Koroner
1947
Alwi Shahab

303 Nefropati Diabetik


Hendrornartono

Dono Antono, Dasnan lsrnail

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1943

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


304. Neuropati Diabetik

PSIKOSOMATIK

Imam Subekti

305. Diabetes Melitus Gestasional


John MF Adam

306. Diabetes Melitus dalam Pembedahan


Supartondo

325. Kedokteran Psikosomatik: Pandangan


dari Sudut Ilmu Penyakit Dalam
326. Gangguan Psikomatik :
Gambaran Umum dan Patofisiologi

307. Kaki Diabetes

2089

S.Budihalim, E. Mudjaddid

2093

E.Mudjaddid, Harnzah Shatri

Sarwono Waspadji

308. Diabetes Melitus pada Usia Lanjut

327. Ketidakseimbangan Vegetatif

2098

S. Budihalim, D. Sukatman, E.Mudjaddid

Wasilah Rochrnah

328. Psikofarmaka dan Psikosomatik

309. Obesitas

2102

E.Mudjaddid, S.Budihalim, D. Sukatman

Sidartawan Sugondo

310. Dislipidemia
John MF Adam

311. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan


Hipertiroidisme
R. Djoko Moeljanto

329. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik


Gangguan Ansietas dan Depresi: di Bidang
2105
Ilmu Penyakit Dalam
E.Mudjaddid

330. Dispepsia Fungsional

2109

E.Mudjaddid

312. Gangguan Akibat Kurang Iodium


R. Djoko Moeljanto

313. Tiroiditis

331. Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian


Bawah
2111
Sujono Hadi

Paulus Wiyono

332. Sindrom Kolon Iritabel

314. Nodul Tiroid

E.Mudjaddid

Johan S. Masjhur

333. Aspek Psikosomatik Hipertensi

315. Karsinoma Tiroid

2119

S. Budihalirn, D. Sukatman, Hamzah Shatri

Imam Subekti

334. Gangguan Jantung Fungsional

316. Tumor Hipofisis

2122

Hamzah Shatri

Pradana Soewondo

335. Aspek psikosomatik pada Gangguan


Irama Jantung

317. Gangguan Pertumbuhan


Syafril Syahbuddin

2127

S. Budihalirn, D.Sukatman, Harnzah Shatri

318. Diabetes Insipidus

336. Sindrom Hiperventilasi

Asman Boedi Santoso Ranakusuma,


Imam Subekti

2130

E. Mudjaddid, Rudi Putranto, Hamzah Shatri

337. Aspek Psikosomatik pada Asma Bronkial 2133

319. Hormon Steroid

E.Mudjaddid

Sjafii Piliang, Chairul Bahri

338. Gangguan Psikosomatik pada Penyakit


Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal

320. Hiperkortisolisme
Sjafii Piliang, Chairul Bahri

321. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya

339. Fibromialgia

Sjafii Piliang

2136

D. Sukatman, S. Budihalim, Rudi Putranto,


Hamzah Shatri

2140

E.Mudjaddid

322. Metabolisme Kalsium


Agus P. Sambo, John MF Adam

323. Menopause, Andropause, dan Somatopause


Perubahan Hormonal pada Proses Menua

340. Nyeri Psikogenik

2143

Harnzah Shatri, Bambang Setiyohadi

341. Sindrom Lelah Kronik

2148

Hamzah Shatri, E.Mudjaddid

Pradana Soewondo

342. Migren dan Sakit Kepala

324. Pre Diabetes


Dante Saksono Harbuwono

Ahmad H. Asdie, Pernodjo Dahlan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI


xxvii

2152

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


343. Psikosomatik Pada Kelainan Tiroid

2156

R. Djokornoeljanto

363. Fibrosis Kistik (Cystic Fibrosis)


Alwinsyah A., E.N.Keliat, Azhar Tandjung

344. Aspek Psikosomatik Pasien Diabetes Melitus 2159


E. Mudjaddid, Rudi Putranto

345. Gangguan Psikosomatik Obesitas


Harnzah Shatri, Rudi Putranto, Z. Arsyad,
S. Syahbuddin

346. Gangguan Makan Pasien Psikosomatik

2163
.

Pasiyan Rahrnatullah

2167
2171

368. Abses Paru

2177

Hadi Halirn

370. Hipertensi Pulmonal Primer (HPP)

2182

Sarnsuridjal Djauzi, Rudi Putranto, E. Mudjaddid

351. Masalah Psikosomatik Pasien Kanker

Ahrnad Rasyid

369. Penyakit-penyakit Pleura

2180

S. Budihalirn, D. Sukatrnan, E. Mudjaddid

350. Aspek Psikososial AIDS

367. Penyakit Paru Interstisial


Ceva Wicaksono Pitoyo

Hanum Nasution, H.E.Mudjaddid

349. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih

366. Tromboemboli Paru


Pasiyan Rahmatullah

R. Sutadi, Rudi Putranto, Hamzah Shatri,


E. Mudjaddid

348. Gangguan Tidur Pasien Psikosomatik

Pasiyan Rahmatullah

365. Bronkiektasis

Harnzah Shatri, Hanurn Nasution

347. Gangguan Seksual Psikosomatik

364. Pneumonitis dan Penyakit Paru


Lingkungan

Zulkarnain Arsyad

371. Pneumotoraks Spontan

2184

Barrnawi Hisyarn, Eko Budiono

Zoebairi Djoerban, Harnzah Shatri

372. Sleep Apnea (Gangguan Bernapas Saat Tidur)


Sumardi, Barwani Hisjam,
Barnbang Sigit Ryanto, Eko Budiono

PULMONOLOGI
352. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada
Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan 2189
Zulkifli Amin

353. Pneumonia

2196

Zul Dahlan

354. Pneumonia Bentuk Khusus

2207

Zul Dahlan

REUMATOLOGI
373. Introduksi Reumatologi
A.R.Nasution, Surnariyono

374. Penerapan Evidence Based Medicine


Dalam Bidang Reumatologi

2360

Joewono Soeroso

355. Transplantasi Paru

2211

Zulkifli Amin

375. Metrologi Dalam Bidang Reumatologi

2365

Rizasyah Daud

356. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut

2216

376. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel


Vaskular

Barnbang Sigit Riyanto, Barwani Hisyam

357. Tuberkulosis Paru

2230

Zulkifli Arnin, Asril Bahar

377. Strukhu dan Biokimia Tulang Rawan Sendi

358. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir

2240

378. Struktur dan Metabolisme Tulang

2249

Zulkifli Arnin

2254

2385

Barnbang Setiyohadi

379. Inflamasi

360. Kanker Paru

2382

Harry lsbagio

Zulkifli Arnin, Asril Bahar

359. Penyakit Mediastinum

2370

Surnariyono, Linda K. Wijaya

2402

Soenarto

Zulkifli Arnin

380. Apoptosis

361. Penyakit Paru karena Mikobakterium


Atipik

Linda Kurniaty Wijaya

2263

Azhar Tandjung, E.N. Keliat

362. Penyakit Paru karena Jamur

2267

381. Peran Protease, Derivat Asam Arakidonat


dan Oksida Nitrit pada Patogenesis Penyakit
Reumatik
2422
B.P. Putra Suryana

Azhar Tandjung, E.N. Keliat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

xxviii

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ILL

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PENUNJANG
PADA PENYAKIT GINJAL
Imam Effendi, H.M.S. Markum

PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibicarakan tentang urinalisis,
pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan serologis,
pemeriksaan radiologis ginjal dan biopsi ginjal.
Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mendapatkan
diagnosis yang akurat sehingga dapat diberikan terapi
yang tepat.

Parameter Fisik Urin


Warna. Normal pucat-kuning tua dan amber tergantung
kadar urokrom. Keadaan patologis, obat dan makanan
dapat mengubah warna. Urin merah disebabkan Hb,
miogobin, atau pengaruh obat rifampisin. Warna hijau
dapat karena zat klinis eksogen (biru metilen) atau infeksi
Pseudomonas; warna oranyetjingga menandakan pigmen
empedu. Bila urin keruh dapat karena fosfat (biasanya
normal) atau leukosituria dan bakteri (abnormal).
Turbiditas. Normal transparan, urin keruh karena hematuria, infeksi dan kontaminasi
Bau. Beberapa penyakit mempunyai bau urin yang khas,
misal bau keton, maple syrup disease, isojloric acidemia,
dsb.
Densitas relatif. Metode pemeriksaan ada beberapa macam:
1. Berat jenis: diukur memakai urinometer, mudah
dilakukan, butuh urin 25 cc, BJ dipengaruhi oleh suhu
urin, protein, glukosa dan kontras media. BJ
mencerminkan konsentrasi yang larut dalam urin dan
nilai normal 1010-1030.Pada orangtua BJ bisa di bawah
atau di atas normal karena kehilangan daya

mengencerkan atau memekatkan urin.


2. Refraktometri: mudah dilakukan dan hanya butuh 1 cc
urin, faktor yang mempengaruhi BJ, juga akan
mempengaruhi pengukuran ini.
3. Osmolalitas: berbeda dengan BJ, temperatur dan
protein tidak mempengaruhi, tetapi kadar glukosa
meningkatkan osmolalitas.Osmolalitas urin, normal 501200 mOsmL walau penting menandakan konsentrasi
urin, tetapi tidak rutin diperiksa. Pada kasus batu ginjal
atau kelainan elektrolit (hipo atau hipernateremia) perlu
diperiksa untuk diagnosis.
4. Dipstik: memakai indikator perubahan warna pada
dipstik dan sudah luas dipakai.
Parameter Kimia
pH: tes memakai dipstik, pada pH <5,5 atau >7,5 akurasinya
kurang, dan harus memakai pH meter. pH hasilnya
dipengaruhi oleh asam-basa sistemik
Hb: dalam kondisi normal tidak dijumpai dalam urin. Bila
positif hams dicurigai hemolisis atau mioglobinuria
Glukosa: dengan dipstik untuk menilai reabsorbsi glukosa
dan bahan lain. Tes ini sangat sensitif dan dapat dilanjutkan
dengan kadar glukosa urin secara kuantitatif dengan metode
enzirnatik.
Protein: normal proteinuria tidak lebih dari 150 mglhari
untuk dewasa. Pada kondisi patologis proteinuria dapat
dibedakan:
1. Proteinuria glomerulus: ini terjadi pada penyakit
glomerulus karena gangguan permeabilitas protein
(misal: albumin, globulin)
2. Proteinuria tubular: ini terjadi pada penyakit tubulus
dan interstisium dan disebabkan gangguan reabsorbsi
protein berat molekul (BM) ringan (a. 1. mikroglobulin,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


b2 mikroglobulin, retinol binding protein)
3. Proteinuria overload: ini disebabkan peningkatan
protein BM rendah melebihi kapasitas reabsorbsi
tubulus (Bence-Jones protein, lisosom, mioglobin)
4. Proteinuria benigna: protein ini termasuk proteinuria
karena demam, ortostatik atau kerja fisik.
Proteinuria biasanya dites memakai dipstik, dan cukup
sensitif terhadap albumin. Untuk protein Bence Jones hams
memakai metode lain yaitu teknik presipitasi dengan asam
sulfa salisil, asam triklorasetik atau dengan pemanasan dan
bufer acetic acid sodium acetat.
Metode Dipstik adalah semikuantitatif dengan nilai O4 (+). Untuk lebih teliti menilai protein kuantitatif digunakan
metode lain seperti turbidimetri. Jumlah protein kuantitatif
24 jam diekspresikan sebagai g/L atau gl24jam per 1,73 m2.
akan tetapi perhitungan dengan urin 24 jam ini memakan
waktu, sering keliru clan tidak praktis. Cara lain yaitu dengan
menghitung rasio protein kreatinin. Dengan cara ini dipakai
urin random dan single. Sebagai contoh: Urin sesaat
mengandung protein 100 mg% dan kreatin urin 50 mg%.
Jadi jumlah protein dalam urin 100150 = 2 gramharill ,73
m2. Harus diingat bahwa ekskresi protein mempunyai
sirkadian (tertinggi pada siang dan terendah pada malam
hari) sedangkan ekskresi kreatinin relatif stabil24jam oleh
karena itu contoh urin hams diambil pada saat yang sama.
Analisis kualitatif proteinuria dilakukan secara
elektroforesa asetat selulos atau agarose atau memakai
SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide).
Dengan metode elektroforesa ini dapat diketahui
selektifitas proteinuria, karena dapat membedakan jenis
protein: P2 mikroglobulin, albumin, IgG dsb. Kadangkadang selektifitas dapat mengetahui beratnya lesi dan
dapat mengetahui respons terapi dan prognosis.

Metode dipsti k
Samar = 10-30 mg%
I + = 30 mg%
2+=1M)mg%
3+ = 500 mg%
4+= > 2000mg%

Metode asam sulfosalisil


Samar: = 20 mg% (slight tuhidm)
I+ = 50 mg% (print visble through
specs)
2+ = 200 mg% (print invisible)
3+ = 500 mg% (flocculation)
4 + = > 1000 mg% (denseprecipitate)

Dipstik lebih sensitif untuk albumin, sedangkan tes


asam sulfosalisil untuk semua jenis protein. Imunoglobulin
rantai ringan dapat dideteksi dengan asam sulfosalisil,
tetapi tidak untuk dipstik. Jadi multipel mieloma hanya
dapat diketahui dengan tes asam sulfosalisil.
False positif pada dipstik urin yang sangat basa atau terlalu
encer
False positif asam sulfosalisil didapatkan akibat radio
kontras dan obat-obat tolbutamid, penisilin, sefalosporin.
Leukosit Esterase. Tes dipstik ini berdasarkan aktivitas

enzim esterase indoksil yang dihasilkan oleh neutrofil,


granulosit dan makrofag dan akan memberi nilai positif bila
ada paling sedikit 4 (empat) 1eukositILPB.
Nitrit. Dasar tes ini adalah adanya bakteri yang dapat
mengubah nitrat menjadi nitrit melalui enzim reduktase nitrat.
Enzim ini banyak pada bakteri gram negatif dan tidak ada
pada bakteri jenis Pseudomonas, Staphylococcus albus
dan Enterococcus. Tes ini membutuhkan persiapan dengan
diet kaya nitrat (sayuran) dan membutuhkan waktu reaksi
yang cukup di kandung kencing. Tes ini mempunyai
sensitivitas rendah (20-80%) dan spesifisitas + 90%.
Keton. Tes dengan metode dipstik menunjukkan adanya
asam asetoasetat dan aseton. Positif di urin pada penyakit
asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga yang
berlebihan. Tes ini berdasarkan reaksi keton dengan
nitroprusid.
Mikroskopik Urin
Pemeriksaan mikroskopik ini akan melengkapi pemeriksaan
win secara kimiawi.
Metode. Urin pertama atau kedua pada pagi hari, dan untuk
cegah kerusakan sel harus segera diperiksa. Setelah
disentrifugasi memakai alat hitung khusus, urin diperiksa
dengan mikroskop biasa atau fase kontras.
Sel
Sel pada sedimen urin dapat berasal dari sirkulasi (eritrosit
dan lekosit) dan dari traktus urinarius (sel tubulus, epitel).
Eritrosit. Eritrosit dalam urin ada 2 macam, yaitu: isomorfik,
dismorfik.
Eritrosit isomorfik berasal dari traktus urinarius. Sedangkan
dismorfik berasal dari glomerulus. Bila eritrosit dominan
dismorfik (>go%) dari total eritrosit disebut hematuria
glomerulus. Beberapa ahli mengatakan bila terjadi
"hematuria campuran" 50% isomorfik dan 50% dismorfik,
sudah dapat dikategorikan hematuria glomerulus. Selain
itu bila paling sedikit 5% terjadi akantositosis juga dapat
disebut hematuria glomerulus.
Bagaimana terbentuknya dismorfik, rnasih terus
diselidiki, namun disebutkan bahwa adanya injuri 2 tempat,
yaitu waktu eritrosit melewati membran basalis dan efek
fisikokimia selama melewati tubulus. Dalam kondisi
normal eritrosit dapat dijumpai <12.000 eritrosiucc.
Leukosit. Neutrofil adalah leukosit yang paling sering
dijumpai pada urin, mudah diidentifikasidengan sitoplasma
granular dan inti berlobus. Pada urin normal, lekosit dapat
ditemukan 2-3LPB. Bilajurnlahnya melebihi, kemungkinan
infeksi atau inflamasi. Pada perempuan, lekosit urin dapat
karena kontaminasi dari genitalia eksterna.
Netrofil akan meningkat dalam urin pada penyakit
proliferatif glomerulopati dan nefritis interstitialis.
Eosinofiluria, dapat mudah dilihat dengan pewarnaan
Wright atau Hansel, yang terjadi pada nefritis interstitialis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


alergika, glomerulonefiitis,prostatitis, pielonefi-itiskronik,
skistosomiasis. Limfosituria dapat sebagai tanda dini
rejeksi akut pada pasien transplantasi.
Adanya lekosituria, dengan biakan bakteri yang negatif
hams dipertimbangkan TBC ginjal, batu saluran kencing,
papiler nekrosis, atau uretritis kronik.
Sel tubulus ginjal. Walaupun tidak diperiksa pada urinalisis
rutin, sel sel besar ini dengan inti yang sangat jelas sering
terlihat pada nekrosis tubular akut (NTA), glomerulonefritis
atau pielonefritis. Pada proteinuria masif, degenerasi sel
epitel dapat dijumpai sebagai ovalfat bodies.
Lipid. Lipid pada urin terlihat sferis, translusen, dan
benvarna kuning dalam macam-macam bentuk. Mereka
dapat bebas (isolate4 atau berada dalam sitoplasma sel
epitel tubulus atau makrofag, disebut Oval Fat Bodies.
Bila dengan silinder, lipid membentuk silinder lemak. Lipid
dapat terlihat sebagai kristal kolesterol.
Lipid drops mengandung esterkolesterol dan kolesterol
bebas, dan di bawah sinar polarisasi akan terlihat Maltase
Croses Lipid dalam urin disebabkan beberapa penyakit
antara lain sindrom nefrotik, atau spingolipidosis (Penyakit
Fabry).
Silinder (Cast).Silinder terbentuk di dalam tubulus distal
atau bagian awal tubulus kontortus karena pengendapan
masa selular dan elemen non selular di dalam matrik protein
Tamm-Horsfall. Dengan ditemukan silinder menunjukkan
kelainan ginjal. Ada bermacam-macam jenis silinder
tergantung partikel apa yang terjebak di dalamnya dan
masing-masing mempunyai arti klinik sendiri, antara lain:
I. Silinder Hialin. Tidak benvarna dan indeks refiaksi
rendah. Mudah dilihat dengan mikroskop fase kontras,
tapi dapat terabaikan dengan mikroskop biasa. Silinder
hialin dapat ditemukan pada orang normal dan juga
penyakit ginjal bila bersama-sama denganjenis silinder
lain.
2. Silinder Granular. Silinder ini berisi granul halus dan
khas untuk pasien dengan kelainan ginjal.
3. Silinder Lemak. Silinder yang berisi lemak ini spesifik
untuk penyakit ginjal glomerulus dengan tipe nefrotik.
4. Silinder Eritrosit. Silinder eritrosit dapat mengandung
beberapa eritrosit, tetapi dapat sangat banyak sehingga
matriks tidak terlihat. Silinder eritrosit ini erat
hubungannya dengan hematuria dan menandakan
hematuria yang berasal dari glomerulus. Pada
glomerulonefritis yang ditandai hematuria dapat
ditemukansilindereritrositsampai 80%. Selain itq silinder
eritrosit adalah petanda glomerulonfritistipe proliferatif,
terutama dengan lesi ekstrakapilerlnecrotising.
5. Silinder Hemoglobin. Seperti namanya, ia benvarna
kecoklatan dan sering ada granul karena eritrosit yang
mengalami kerusakan. Silinderhemoglobin mempunyai
arti yang sarna dengan silinder eritrosit. Selain itu, dapat
disebabkan Hb yang bebas akibat hemolisis
intravaskular.

6. Silinder Lekosit. Silinder ini dapat mengandung


bermacarn-macamjenis sel damh putih. Bila positif dalam
urin bisa dikaitkan dengan pielonefritis akut, nefritis
interstitialis, glomerulonefritis proliferatif, terutama
pasca infeksi dan pada lupus nefritis.
7. Silinder Epitel. Silinder ini mengandung sel
tubulus yang lepas dan mudah diidentifikasi karena
nukleusnya sangat mencolok. Silinder ini dapat
ditemukan pada nekrosis tubular akut, nefritis
interstitialis, kelainan glomerulus dan pada sindrom
nefiotik.
8. Silinder Mioglobin. Silinder ini berisi mioglobin dan
identik dengan silinder hemoglobin. Perbedaannya
dihubungkan dengan tanda klinis. Silinder ini dapat
ditemukan pada gagal ginjal akut yang mengalami
rabdomiolisis.
Kristal
Macam-macam kristal dapat ditemukan dalam urin:
1. Kristal asam urat dan urat amorf
2. Kristal kalsium oksalat
3. Kristal kalsium fosfat
4. Kristal tripe1 fosfat
5. Kristal kolesterol
6. Kristal sistin
7. Kristal karena obat
Tidak semua kristal dapat dihubungkan dengan penyakit
batu ginjal, karena pembentukan kristal sangat tergantung
dari hidrasi, diet, pH urin, infeksi dan gangguan
metabolisme. Namun demikin beberapa kristal dapat
dihubungkan dengan kondisi patologi seperti kalsium
oksalat, atau asam urat, bila ditemukan berulang dapat
menandakan hiperkalsiuria, hiperoksalouria, atau
hiperwikosuri.
Kristal asam urat yang banyak dapat ditemukan pada
gagal ginjal akut karena nefropati asam urat, sementara
itu kristal monohidrat kalsium oksalat sering pada
keracunan etilen glikol. Ada beberapa kristal yang selalu
patologis yaitu kristal kolesterol yang ditemukan dengan
proteinuria masif. Selain itu kristal sistin, ditemukan pada
sistinuria. Kristal karena obat dapat ditemukan pada gagal
ginjal akut karena vitamin C, sulfadiazin, indinavir,
naftidrofuril oksalat, karena pembentukan kristal
oksalat.
Organisme
Bakteri kadang-kadang dapat dilihat dalam urin, karena
kontaminasi ataupemeriksaan yang ditunda-tunda. Bakteri
positif belum tentu infeksi karena belum tentu patogen,
dan baru dicurigai adanya infeksi bila ditemukan bersama
leukosit yang penuh. Telur parasit schistosoma
hematobium dapat ditemukan dalam urin dan sering
disertai hematuria dan leukosituria.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL
Ginjal mempunyai fimgsi bermacam-macam termasuk filtraci
glomerulus, reabsorbsi dan sekresi dari tubulus,
pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman win, serta
memproduksi dan memetabolisme hormon. Dari semua
fungsi itu parameter untuk mengetahui f k g s i dan progresi
penyakit adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan
ekskresi.

Fungsi Filtrasi Glomerulus dan Konsep


Klirens Ginjal
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah mengukur berapa
banyak filtrat yang dapat dihasilkan oleh glomerulus. Ini
adalah pengukuran yang paling baik dalam menilai fungsi
ekskresi. Untuk setiap nefron, filtrasi dipengaruhi oleh
aliran plasma, perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler
dan permeabilitas kapiler. Jadi LFG merupakanjumlah dari
hasil semuanefron(rata-rata 1juta tiap ginjal). Homer Smith
adalah peneliti yang memberi nama renal clearance
sebagai istilah untuk menilai LFG. Rumus baku untuk
menilai klirens:
UxV

c=-

P
C = klirens
U = konsentrasi zat marker dalam urin
V = volume urin
P = konsentrasi zat marker dalam plasma

Pemeriksaan Konsentrasi Ureum Plasma


Nilai normal konsentrasi ureum plasma 20-40 mg%. Ureum
merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan
melalui ginjal yang berasal dari diet dan protein endogen
yang telah difiltrasi oleh glomerulus dan sebagian
direabsorbsi oleh tubulus. Ureum akan lebih banyak lagi
direabsorbsi pada keadaan di mana urin lambatlterganggu
(dehidrasi). Pengaruh yang penting dari diet dan reabsorbsi
tubulus menjadikan pemeriksaan bersihan ureum menjadi
tidak tepat, sama seperti pengukuran LFG. Namun demikian
pemeriksaan kadar ureum plasma tetap penting dan
diperlukan pada pasien-pasien penyakit ginjal terutama
untuk mengevaluasi pengaruh diet restriksi protein. Pada
pasien gagal ginjal, kadar ureum lebih memberikan
gambaran gejala-gejala yang terjadi dibandingkan
kreatinin. Hal ini diduga ada beberapa zat toksik yang
dihasilkan berasal dari sumber yang sama dengan ureum.
Dengan demikian pada kadar ureum 20-25 mgldl akan
memperlihatkan gejala-gejala muntah, dan pada kadar 5060 mgldl akan meningkat menjadi lebih berat. Oleh karena
itu kadar ureum merupakan tanda yang paling baik untuk
timbulnya uremik toksik. Gejala toksik ureum juga dapat
dihilangkan dengan menurunkan kadar ureum denganjalan
pengaturan diet rendah protein untuk pasien gagal ginjal

berat. Normal perbandingan ureum-kreatinin berkisar 6080. Peningkatan perbandingan ureum-kreatinin ini
menunjukkan adanya faktor-faktor lain di luar gagal ginjal
tersebut yang meningkatkan kadar ureum.

Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)


Kreatinin Plasma dan Bersihan Kreatinin
Manfaat klinis pemeriksaan LFG adalah:
Deteksi dini kerusakan ginjal
Pemantauan progresifitas penyakit
Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti
Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu
Penetapan LFG dapat memakai petanda eksogen
(inulin, iotalamat, iosotalamat,( W r EDTA, 99TcDTPA) atau
marker endogen P2 mikroglobulin, a,mikroglobulin,retinoV
binding protein, sistatin C). Zat eksogen untuk tes ini hams
mempunyai syarat:
bebas difiltrasi di glomerulus
tidak diabsorpsi oleh tubulus
tidak disekresi oleh tubulus
mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di
luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak
toksik.
Zat yang terutarna berasal dari metabolisme organ ini
hanya mengalami proses filtrasi glomerulus, sedangkan
sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat diabaikan.
Oleh karena itu kreatinin sangat berguna untuk menilai
f k g s i glomerulus dan kadar plasma kreatinin lebih baik
dibandingkan kadar plasma ureum. Kenaikan plasma
kreatinin 1-2 mgIdL dari normal menandakan penurunan
LFG =k 50%.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PENUNJANC PADA PENYAKIT ClNJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi plasma kreatinin,
antara lain:

Tes

Metode

Komentar

Meningkat
diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya
kreatinin
menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan
asam keton, anion organik (pada uremia), atau obat
(sirnetidin, sulfa)

Kreatinin
plasma

darah sewaktu

sederhana
kurang akurat
menurun bila otot kecil
meningkat dengan
konsumsi daging
dipengaruhi beberapa obat
dipengaruhi oleh
pengukuran

Menurun
asupan kreatinin menurun atau berkurangnya massa
otot karena kurus, tua atau diet rendah protein.

Bersihan
kreatinin

urin 24 jam dan


contoh darah

Variasi
Standarisasi atau kalibrasi yang tidak seragam.
Untuk menilai LFG: memakai Formula Cockcroft- Gault:
Untuk perempuan:
LFG = nilai pada priax 0.85
Untuk pria:

Formula
CockcroftGault

contoh darah
sewaktu

Radioisotop

Ikali suntik

koleksi urin 2 jam kurang


dipercaya
over estimate
dipengaruhi obat
tanpa koleksi urin
lebih akurat dibanding
kreatinin plasma
over estimate pada obes
over estimate pada diet
rendah protein
nilai akurat tinggi
invasif
sering untuk riset

(140-umur) x (BBIkg)
LFG =

72 x kreatinin serum (mg%)


Namun demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG
adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu:
Nilai normal untuk bersihan kreatinin:
Laki-laki =97-137 mLlmenit/l,73m2atau =0,93- 1,32mLldetik/
m'
Perempuan= 88-128 mLlmenit/l,73m2atau= 0,85-1,23 mL/
detik/m2.
Pengumpulan urin yang tidak tepat akan menghasilkan
bersihan kreatinin yang kurang akurat. Untuk laki-laki
urinnya mengandung 15-20mg kreatinin/kgBB/hari, sedang
pada perempuan 10-15mg kreatininlkgBB/hari.Nilai ini akan
menurun dengan bertambahnya urnur. -

Metode Sistatin C serum


Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistatin C dalam
serum merupakan petanda LFG yang akurat, lebih baik
daripada kreatinin. Sistatin C diproduksi oleh seluruh sel
berinti secara konstan dan tidak dipengaruhi inflamasi,
keganasan, perubahan masa tubuh, nutrisi, demam atau
jenis kelamin. Sistatin C difiltrasi sempurna oleh glomerulus, lalu mengalami reabsorbsi dan dikatabolisme di tubulus
proksimal. Metode pemeriksaan sistatin C dapat secara
particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA)
dan particle enhanced turbidity immunoassay (PETIA).
Penentuan LFG dengan formula sistatin:

kreatinin urin (mgldl x volume urin)


(m1124 jam)

Bersihan kreatinin

kreatinin serum (mgldl) x 1440 menit

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)


mengeluarkan rumus untuk mengukur LFG dan lebih akurat
dibandingkanklirens kreatinin.Rumus ini belum baku untuk
anak-anak, orang tua, perempuan hamil dan bila nilai
albumin serum sangat ekstrim. Rumus ini tidak praktis
untuk dipakai sehari-hari dibandingkan rumus CockcroftGault dan nomogram.
LFG = 170x Pcr (mg/dl) -0,999 x usia -09176x SUN -0,170 x alb

Catatan:
Untuk perempuan hasil x 0,762 dan kulit hitam (Negro) x
1,18
Pcr: Plasma Kreatinin; SUN: Urea Nitrogen Serum;
Alb: Albumin.

Nilai Normal dari variasi Laju Filtrasi


Glomerulus (LFG)
Laju filtrasi glomerulus (LFG) dipengaruhi usia, kelamin,
luas permukaan badan. Secara klasik, LFG diukur per
1,73m2. Luas permukaan badan dapat diukur dengan
nomogram dari tinggi dan berat badan. LFG pada orang
dewasa rata-rata 130 cc/min/1,73 m2 untuk pria dan 120 mV
menit/1,73 m2untuk perempuan dengan koefisien variasi
14-18%. Umur akan mempengaruhi LFG h 10 cc/minl1,73
m2 per dekade setelah usia 40 tahun. Jadi nilai LFG pada
usia 80 tahun adalah h 50% dari LFG dewasa muda. LFG
pada kehamilan meningkat 50% pada trimester pertama dan
kembali normal segera setelahmelahirkan. LFG mempunyai
ritme sirkadian; ia naik 10% pada sore hari dibandingkan
tengah malam. Makanan tinggi protein atau infus asam
amino akan meningkatkan LFG LFG dan aliran plasma ginjal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

meningkat dalam waktu 1 jam setelah makan, dan LFG


menurun sementara selama olahraga.

MENGUKUR ALIRAN PLASMA GINJAL


Metode ini memakai p-Aminohipurat (PAH) karena zat
ini hampir 100% diekskresi oleh ginjal pada saat pertama
kali lewat ginjal. Dengan cara ini aliran darah ke ginjal
dapat dihitung dengan membagi aliran plasma ginjal
dengan (1-hematokrit). Karena metode PAH
membutuhkan infus yang kontinyu, saat ini ada metode
baru dengan lkali suntik zat radioaktif seperti I-Hipuran
atau MAG3.

Petanda Kerusakan Tubulus


Walaupun ada petanda kerusakan tubulus seperti protein
BM ringan (P-2 mikroglobulin, a-1 makroglobulin) dan
enzim tubulus (N-asetil P glukosaminidase) akan
meningkat akan tetapi belum rutin dipakai. Selain
metodenya rumit, hasilnya belum konsisten, sehingga tes
ini hanya dipakai untuk riset.
Pengukuran Fungsi Tubulus
Fungsi tubulus proksimal dan tubulus distal dapat dinilai
dengan beberapa cara antara lain mempelajari transpor
natrium, transpor kaliurn, pengasaman urin dan kemampuan
memekatkan atau mengencerkan urin. Masalah ini
dibicarakan dalam bab-bab selanjutnya.

PEMERIKSAAN SEROLOGI
Dengan kemajuan bioteknologi yang pesat para peneliti
selalu mencari petanda yang akurat dan noninvasif untuk
diagnosis dan evaluasi penyakit glomeruluslvaskular.
Pemeriksaan serologi, merupakan pemeriksaan penunjang
yang tidak kalah penting dari patologi anatomik. Pada
tabel di bawah ini terdapat pemeriksaan serologi yang
sering dipakai untuk evaluasi dan diagnosis penyakit
ginjal.

PEMERIKSAAN RADlOLOGl GINJAL


Pemeriksaan radiologi dalarn bidang nefiologi maju dengan
pesat. Pada bab ini akan dibahas secara singkat.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk
menentukan diagnosis. Persiapan sebelum tindakan yang
baik akan memberi hasil yang baik. Harus diperhatikan
bahwa pemakaian bahan kontras radiologi terutama yang
non-ionik dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal
akibat iskemia, toksik maupun toksisitas vaskular.

Faktor-faktor yang diperhatikan untuk pemeriksaan


radiologi: 1). Informasi yang akan diperoleh untuk
manajemen selanjutnya; 2). Akurasi dan ketepatan
diagnostik; 3). Invasiflnon invasif dan pertimbangkan
risiko; 4). Biaya pemeriksaan

Ultrasonografi
1. Klasik
2. Kontras USG
Resolusi USG berkisar 1-2 cm dapat dipergunakan untuk
memeriksa korteks, medula, piramid ginjal dan pelebaran
sistem kolekting ureter. Ukuran ginjal berbeda 1,5 cm antara
kedua ginjal menandakan adanya kelainan pada ginjal
tersebut. Bila panjang <9 cm, dianggap mengecillmelisut.
Indikasi pemeriksaan USG ginjal:
1. mengukur ginjal (panjang dan lebar)
2. skrining hidronefiosis
3. memastikan massa di ginjal
4. abses atau hematoma
5. skrining kista ginjal
6. melihat lokasi ginjal untuk tindakan invasif
7. mengukur volumelsisa urin kandung kemih
8. menilai trombosis vena renalis (Doppler)
9. menilai aliran darah ginjal (Doppler)
USG klasik (tanpa kontras). USG klasik (tanpa kontras),
relatif murah, tak tergantung fungsi ginjal, dan sangat
mudah dilakukan dan dapat menentukan lokasi, bentuk dan
ukuran. Saat ini USG portabel sudah tersedia untuk saat
darurat. Masa kistik atau solid, obstruksi atau regresi
hidronefiosis dapat segera diketahui. Doppler benvarna
dapat menilai vaskularisasi dan perfusi ginjal. Selain itu
biopsi ginjal menjadi lebih mudah apabila dipandu dengan
USG
Kelebihan USG Ginjal:
1. sensitif mendeteksi penimbunan cairan dilatasi
pelviokalises dan kista
2. dapat membedakan kortek dan medula
3. dapat membedakan kista dan massa padat
4, dapat melihat bentuk seluruh ginjal dan ruangan sekitar
ginjal
5. secara doppler dapat melihat aliran darah ginjal
6. mudah dibawa
7. tidak memakai kontras dan radiasi
Kelemahan:
1. tidak dapat menunjukkan pelviokalises secara teliti
2, tidak dapat melihat ureter normal
3. tidak dapat melihat retroperitoniumjelas
4. batu kecil dan batu ureter tak dapat dideteksi
5. bergantung kepada operator

USG Kontras. Tindakan ini memerlukan gasperJuoroocty2


bromide. Metode ini masih dalam riset dan belum
dikomersilkan untuk pemakaian klinis.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tak jelas sebab
Hernaturi
NS
Hipertensi, fungsi normal
Hipertensi, fungsi turun
Ras
ISK
Hydronefrosis

Fibrosis retroperitoneal
Nekrosis Papila
Nekrosis Kortek
Trombus V. renalis
lnfark ginjal
Nefrokalsinosis

USG
IVP atau USG
USG
CT angiografi
MRA
MRA
CT
USG
IVP
TC DTPA renografi
CT
IVP
CT kontras
CT kontras
CT kontras
CT non kontras

Foto Polos Abdomen


Walaupun akhir-akhir ini sudah bermunculan berbagai
macam teknik imaging yang cukup canggih, pemeriksaan
foto polos ginjal, ureter, dan kandung kemih tetap
merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Pasien
diletakkan pada posisi telentang dengan sinar X terarah
ke tubuh pasien terutama ginjal dan kandung kemih. Pada
pasien yang sangat gemuk diperlukan pengambilan 2 kali
(2 film) untuk masing-masing saluran kemih bagian atas
dan kandung kemih secara terpisah.
Bentuk ginjal. Ukuran ginjal dapat diketahui dan ini
bervariasi bergantung tinggi badan, berat badan dan jenis
kelamin pasien. Pada keadaan dimana terjadi pembesaran
massa ginjal dapat ditandai dengan pergeseran lemak
perinefiik.
Gambaran ureter. Pada pemeriksaan foto polos tidak dapat
dilihat, akan tetapi posisinya dapat diperhitungkan mulai
dari hilus renal melalui daerah prosesus transversus
vertebra lumbalis menyilang daerah persambungan
sakroiliaka menuju ke bawah melewati pelvis lateral sebelum
memasuki kandung kemih.
Gambaran kandung kemih. Dibentuk oleh lapisan lemak
berbatasan ke arah lateral dekat usus kecil yang berisi gas
dan berbentuk kubah. Ukuran panjang kandung kemih di
atas simfisis pubis sangat berkaitan erat dengan volume
kandung kemih yang dapat dipakai untuk mengukur dengan
sempurna kosongnya kandung kemih pada pemeriksaan
kandung kemih sesudah buang air kecil.
Gambaran kalsifikasi. Pada daerah lokasi ginjal, ureter,
dan kandung kemih hams diteliti kemungkinan kalsifikasi.
Pada keadaan dijumpai batu pada saluran kemih, kalsifikasi
sering ditemukan. Pada daerah vesika seminalis dan juga
pada prostat, yang terdapat pada dasar kandung kemih,
adanya batu dapat diragukan atau menjadi tersamar oleh
adanya kalsifikasi vaskular terutama pada daerah splenik
dan arteri iliaka, dari saluran kencing.

Pielografi lntravena (PIV)


Berbeda dengan foto polos abdomen, PIV memakai kontras,
oleh karena itu PIV lebih mempunyai risiko yaitu alergi
terhadap kontras ataupun toksik pada pasien dengan fungsi
ginjal yang telah menurun. PIV bertujuan untukmelihat ginjal,
ureter dan kandung kencing. Untuk melihat kelainan di ginjal
perut hams diberi tekanan. Film pertama diambil pada detik
30 setelah penyuntikan kontras. Film kedua, biasanya 5
menit, diambil dengan posisi telentang dan miring untuk
menilai ekskresi kontras dan ureter. Posisi telentang kadangkadang sulit untuk menilai ureter distal, dan hams posisi
telungkup. Untuk menilai kandung kencing diperlukan foto
dari samping atau tampak dari atas, dan ini akan membantu
bila ada prolap kandung kencing. Film pasca void dipakai
untuk menilai pengosongan kandung kemih dan penting
untuk menilai evaluasi ureter distal, yang mungkin kurang
jelas bila kontras mengisi penuh kandung kemih.
Serial foto yang diambil setelah kontras:
30 detik :menilai ginjal
5 menit : proses eksresi
sistem pelviokalises
>5menit : ureter
Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan BNO-IVP
1. Riwayat alergi terhadap kontras media
2. Adanya:
- Gangguan fungsi ginjal
- Diabetes
- Mieloma multipel
- Dehidrasi
3. Penyakit jantung terutama aritmia
Pielografi Retrograde (PRG)
PRG dilakukan bila ureter sulit terlihat dengan pemeriksaan
radiologi lain atau bila sampel urin diperlukan untuk
sitologi atau pembiakan kuman. Pasien yang alergi
terhadap kontras atau penyakit ginjal kronik ringan dapat
dievaluasi memakai cara ini. Tindakan ini invasif karena
memasang kateter dari orifisium ureter dengan alat
sistoskopi dan didorong sampai ke pelvis renalis memakai
fluoroskopi kateter ditarik perlahan sambil menyemprotkan
kontras.
Pielografi Antegrad (PAG)
PAG dilakukan dengan cara memasang alat menembus kulit
langsung ke pelvis renalis. PAG dilakukan bila metode PRG
tidak dapat dilakukan. Dengan metode ini tekanan ureter
dapat diukur, hidronefrosis dapat dievaluasi dan lesi
ureter dapat diidentifikasi. PAG sering dilakukan
mendahului nefrostomi. PRG dan PAG adalah tindakan
invasif, jadi hanya dilakukan bila tindakan lain gagal.
Sistografi
Sistografi bertujuan untuk mempelajari kandung kencing

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
pembuluh darah yaitu angioplasti transluminal perkutan,

lebih rinci, misalnya menentukan refluks ureter, fungsi dan


anatomi kandung kencing. Pada kasus trauma, sistografi
dapat dilakukan untuk evaluasi perforasi kandung kencing,
yang sulit didiagnosis dengan cara lain. Kateter Foley
dipasang dan kencing dikeluarkan. Dengan bantuan
fluoroskopikontras disemprot melalui kateter. Film pertama
diambil dari depan dan samping segera kontras masuk
kandung kencing dan ini sangat baik untuk mendeteksi
ureterokel. Ketika kandung kencing tidak penuh, film diarnbil
dari macam-macam sudut dan refluks dapat diidentifikasi
dengan metode ini. Film-film kandung kemih pada saat
pengosongan kontras juga penting untuk diagnosis
divertikel, jumlah urin sisa, dan pola mukosa kandung
kencing.
Angiografi Renalis dan Venografi Renalis
Dewasa ini angiografi paling sering dilakukan untuk riset
penyakit vaskular, mencari penyebab hipertensi dan renal
insufisiensi. Bermacam-macam penyakit terkait dengan
arteri renalis seperti aterosklerosis, penyakit fibrosis, aneurism, emboli, fistula AV, vaskulitis, trombosis dan
nefrosklerosis. Pada trauma, angiografi bermanfaat untuk
menilai patensi a.renalis atau perdarahan traktus urinarius.
Selain itu angiografi dapat dipakai untuk mendiagnosis
massa ginjal seperti karsinoma, angiomiolipoma,
onkositoma, kista atau abses. Juga untuk persiapan
transplantasi ginjal, angiografi sangat berguna untuk
menilai kondisi pembuluh darah ginjal, dan bila ada dugaan
s t r i h anastomosis atau oklusi. Venografi renalis terutama
untuk mendiagnosis trombosis vena atau tumor yang
melibatkan vena renalis.
Indikasi angiografi ginjal: 1). Evaluasi hipertensi
renovaskular; 2). Angiografi intervensi: memakai kateter
spesial untuk embolisasi, angioplastik balon; 3). Evaluasi
preoperatif ginjal donor; 4). Evaluasi ginjal transplan untuk
kemungkinan oklusi atau stenosis; 5). Diagnosis trombosis
vena renalis; 6). Massa ginjal atau kista ginjal atau trauma
ginjal
Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan angiografi ini
tentu berkaitan dengan pemakaian kontras dan karena
tindakan ini invasif, kelainan hemostasis. Beberapa kondisi
yang dapat menyebabkan nefropati kontras adalah:
insufisiensi renal, dehidrasi, diabetes, mieloma multipel,
lansia.
Banyak cara untuk mengurangi komplikasi nefropati
kontras misalnya dengan profilaksis steroid, memberi
cairan NaClIkoreksi dehidrasi, memakai kontras yang
mempunyai osmolalitas rendah dan non ionik, serta
pemakaian asetilsistein (NAC) pre-kontras. Bermacammacam teknik angiografi renalis, tergantung dari tujuannya
antara lain: Aortografi abdomen, arteriografi renal selektif,
cavografi vena inferior, venografi renal selektif. Sampling
renin vena renalis, DSA-intraarteri, DSA-intravena. Selain
segi diagnostik, angiografi dapat dipakai untuk terapi

embolisasi transkateter, sten a.renalis.


Tomografi Komputer (CT)
Pemeriksaan CT berguna untuk memeriksa lebih lanjut
kelainan yang terdapat pada USG atau PIV. CT dipakai
untuk evaluasi massa ginjal, melokasi ginjal ektopik,
meneliti batu, mencari massa retroperitoneal.Kemajuan CT
makin nyata setelah ditemukan scan-helical yang lebih
canggih. CT dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras
intravena. CT tanpa kontras dipakai untuk deposisi kalsium
dan perdarahan, dan merupakan pilihan pasien kolik ginjal
dan kemungkinan batu. CT tanpa kontras dilanjutkan
dengan kontras sangat berguna untuk infeksi ginjal, karena
bukan saja untuk mengidentifikasi kemungkinan obstruksi
batu tetapi luasnya kerusakan parenkim dan daerah
perinephric. Dengan scan helical ginjal dapat dipelajari
setelah pemberian kontras dan dapat dipelajari kemampuan
ekskresi, bila terlambat dapat disebabkan obstruksi, atau
kelainan parenkim seperti nekrosis tubular akut.
Angiografi CT
Salah satu kecanggihan scan helical adalah kemampuan
angiografi CT, dapat memberi gambaran serupa angiografi
konvensional akan tetapi kurang invasif. Dengan metode
ini dapat dievaluasi suplai darah ke ginjal pada pasien
cangkok. Angiografi CT dapat untuk skrining stenosis
arteri renalis dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 99%.
Keterbatasan CT. Pada pasien obesitas, selain sulit
mendapat akses vaskular dan sering banyak artefak karena
kelebihan berat, dan terutama untuk diagnosis daerah abdomen dan retroperitoneal CT juga sangat sensitif terhadap
logam.
CT Scan dapat lebih superior dari USG dalam keadaan: 1).
Evaluasi neoplasma ganas, CT scan dapat mengetahui luasnya
penyebaran dan keterlibatan kelenjar getah bening sehingga
dapat menentukan staging; 2). Evaluasi ruang perirenal dan
pararenal serta fasia gerota; 3). Trauma ginjal; 4). CT dan
MRI sangat baik untuk menilai struktur retroperitoneal.
Pemeriksaan Radionuklir untuk Ginjal
Metode pemeriksaan ini memberi informasi baik kualitatif
maupun kuantitatif tentang ginjal secara non invansif.
Dengan memakai kamera sinar gamma akan menangkap
proton dari radiotracer dari badan dan membentuk
garnbarlimage, dapat seluruh tubuh atau bagian dari tubuh.
Ada 3 kategori "radio tracer" yang dipakai pada
pemeriksaan ginjal: filtrasi glomerulus, sekresi tubulus,
retensi agen oleh tubulus
Indikasi radionuklir untuk ginjal: 1). Menentukan LFG
dan aliran plasma efektif ginjal bahkan pada gangguan
fungsi; 2). Mengukur fungsi ginjal masing-masing; 3).
Mendiagnosis hipertensi renovaskular; 4). Evaluasi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


transplan ginjal: aliran anastomosis, obstruksi, ekstravasasi
urin; 5). Membedakan hidronefrosis obstruktif dari
nonobstruktif dengan renogram furosemid, dimana pada
tipe obstruksi terjadi kelambatan ekskresi.
Laju filtrasi glomerulus. Agen akan melewati glomerulus
sehingga LFG dapat dihitung.
Agen sekresi tubulus. Agen yang disekresi oleh tubulus
dipakai untuk menilai aliran plasma ginjal efektif karena
mempunyai ekstraksi dan kliren yang lebih tinggi.
I 3 l I-OIH dan 99Tc-MAG3disekresi oleh tubulus proksimal
Retensi agen oleh tubulus. Agen DMSA dan glukoheptonat
(GH) yang dilabel sangat baik untuk menilai korteks. Dapat
mengevaluasi scarring ginjal dan klarifikasi pseudotumor
ginjal.
Pilihan agen untuk renal antar lain:
1. LFG: 99 Tc-DTPA
2. LFG dg gangguan fungsi:
- 99T~-DTPA-MAG3
- 13'I-OM
3. Aliran plasma ginjal efektif:
- 99T~-MAG3
- '311-OM
4. "Scarring" ginjal:
- 99T~-DMSA
- 99T~-GH
5. Pseudotumor: DMSA
6. Obstruksi: 99Tc-DTPA
7. Obstruksi dengan gangguan fungsi: 99Tc-MAG3.

pelengkap. Hilangnya batas medula korteks memberi


gambaran yang nonspesifik pada MRI. Kista ginjal mudah
terlihat dengan MRI, akan tetapi kurang akurat menentukan
fokus kalsifikasi, dan lebih jelas dengan CT. Untuk
staging lesi renal yang padat, MRI lebih superior
dibandingkan CT karena dapat mendeteksi trombus tumor
pada pembuluh darah besar dan dapat membedakan hilus
kolateral pembuluh dari nodul limfa. Beberapa neoplasma
ginjal terlihat homogen dengan sekeliling parenkim normal sehingga dapat terabaikan dengan MRI tanpa kontras.
MRI dapat membantu membedakan massa adrenal pada
feokromositoma; juga MRI sangat bermanfaat
mendiagnosistrombosis vena renalis. Angiografi MRI, bila
dikerjakan bersama-sama dengan kontras intravena, sangat
bermanfaat untuk evaluasi stenosis pada a.renalis, di mana
hasilnya lebih baik dibandingkan Digital Substraction
Angiography (DSA) dan lebih tidak invasif dibandingkan
angiografi konvensional.
Kesimpulan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi
dapat menjadi alat bantu diagnostik yang sangat berguna,
tetapi biasanya mahal dan dapat memberikan reaksi yang
tidak diinginkan.
Dengan persiapan dan seleksi pasien yang cerqlat
dapat meningkatkan nilai daya guna dan menurunkan
toksisitas.
Walau beberapa tahun ini dipakai kontras dengan
osmolar yang rendah, masih saja dapat menimbulkan gaga1
ginjal akut dan trombosis vaskular.

Renogram
Metode ini akan memberi informasi aliran darah, uptake
ginjal, dan ekskresi, dengan memakai DTPA, MAG3 dan OM.
Rekaman diambil setiap beberapa detik pada menit
pertama. Komponen selanjutnya menilai fungsi ginjal
dengan menghitung ambilan radio tracer dan eksresi oleh
ginjal. Secara normal, puncak konsentrasi antara menit 3-5
setelah suntikan agen. Transit yang melambat akan
mengubah kurva renogram.
Renogram kaptopril. Metode ini untuk mendeteksi stenosis Arenalis atas dasar kaptopril menghambat pembentukan
A2 dan menghambat vasokontriksi. Setelah periode wash
out dibuat renograrn basal memakai DTPA atau MAG3.
Setelah pemberian kaptopril, bila terbukti ada stenosis
a.rena1maka akan ada kelambatan mencapai puncak, adanya
retensi isotop dan penurunan LFG pada ipsilateral.
Sensitivitasrenogram kaptopril ini menurun dengan adanya
gangguan fbngsi ginjal.

BlOPSl GINJAL

MAGNETIC RESONANCE IMAGING ( M R I )

MRI sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk


evaluasi ginjal, namun MRI dapat menjadi pemeriksaan

Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi


dan pengertian penyakit ginjal baik primer maupun
sekunder. Tindakan ini cukup aman bila dilakukan secara
tepat apalagi memakai panduan agar lebih terarah misal
dengan USG CT. Juga disainjarum TRUCUT dan memakai
alat semi otomatis.
Manfaat biopsi ginjal
1. Menegakkan diagnosis baik kelainan primer atau
sistemik
2. Menentukan prognosis
3. Menentukan opsi pengobatan
4. Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal
Kontraindikasi biopsi
1. Gangguan koagulasi dan trombositopenia
2. Disfungsi trombosit (kontraindikasirelatif) dapat diatasi
dengan dialisis atau desmopresin yang akan
merangsang koagulasi trombosis
3. Hipertensi (kontraindikasi relatif)
4. Pielonefkitis, dapat mengakibatkan abses
5. Kelainan anatomis: ginjal soliter
Hasil yang adekuat: biopsi korteks ginjal dan
mengandung 6-8 glomerulus. Dibutuhkan 2 sediaan untuk

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


mikroskop cahaya, mikroskop elektron dan imunofluoresen.
Indikasi. Risiko biopsi ginjal selalu hams dipertimbangkan,
demikian juga keuntungan pada tiap pasien. Biopsi ginjal
berguna untuk diagnosis dan perencanaan pengobatan,
termasuk sebagai pegangan untuk menghentikan
pengobatan dan prognosis penyakit.
Ada 4 kelompok yang merupakan indikasi utama biopsi:
sindrom nefrotik, penyakit ginjal akibat penyakit sistemik,
gagal ginjal akut dan transplantasi ginjal. Indikasi lain
adalah: proteinuria ringan, hematuria, penyakit ginjal
kronik.
Sindrom nefrotik. Walaupun sindrom nefrotik (proteinuria
>3,5 ghari) merupakan indikasi, namun ada pengecualian:
1. Anak usia 1 tahun-pubertas. Biasanya jenis perubahan
minimal dan responsif terhadap steroid. Dilakukan
biopsi bila: tidak ada respons terapi, C, rendah, hematuria, gangguan fungsi. Perubahan minimal sangat
jarang pada usia kurang dari 1 tahun dan biopsi perlu
dilakukan untuk diagnosis sindrom nefrotik kongenital.
2. Diabetes: Bila dianggap SN karena diabetes yaitu
dengan riwayat lama mengidap diabetes, retinopati dan
sedimen urin inactive dengan USG yang masih normal.

Penyakit sistemik dengan proteinuria atau insufisiensi


renal. Beberapa penyakit sistemik seperti amiloid, reaksi
obat, mieloma, sarkoidosis hanya dapat didiagnosis
dengan biopsi ginjal. Pada SLE, biopsi dapat untuk
menentukan aktivitas penyakit, menilai terapi dan rencana
pengobatan.
Gangguan ginjal akut. Diagnosis gagal ginjal akut
berdasarkan anamnesis dan laboratorium. Bila
penyebabnya tidak jelas dan tidak responsif dengan terapi
suportif, hams dilakukan biopsi. Hematuria dan proteinuria
dengan silinder eritrosit, menandakan vaskulitis sistemik,
dan perlu segera biopsi untuk konfirmasi diagnosis dan
menilai beratnya reaksi inflamasi dan luasnya fibrosis. Bila
ANCA positif dan terapi ditujukan untuk manifestasi
vaskulitis ekstrarenal, manfaat biopsi masih diperdebatkan.
ANCA positif dapat terjadi juga pada kondisi lain seperti
endokarditis, maka uiltuk membedakannya hanya dengan
biopsi ginjal. Biopsi pada GGA kadang diperlukan setelah
pengobatan pertama selesai untuk menilai beratnya dan
reversibilitas; serta perlu tidaknya dilanjutkan dengan terapi
imunosuportif.
Proteinuria non nefrotik. Nilai biopsi ginjal pada
proteinuria <3,5 ghari memang kurang berarti dibandingkan
sindrom nefrotik. Studi REIN menunjukkan kemunduran
fungsi ginjal dengan meningkatnya proteinuria. Proteinuria
< 1,5 ghari setara dengan penurunan LFG 0,12 cclminl
bulan, dan pada kondisi ini penghambat ACE kurang
bermanfaat. Bila proteinuria 13-3 ghari LFG menurun 0,4
cc/mm/bulan dan pada kelompok ini penghambat ACE
ternyata bermanfaat. Oleh karena itu sangat penting
memastikan diagnosis bila protein > 1,5 gihari. Indikasi lain

pada artritis rematoid dimana hasil biopsi dapat


mempengaruhi manajemen. Pada kondisi ini, bila diternukan
amiloidAA, terapi hams intensif, untuk mengurangi ke kadar
normal. Bila artritis rematoid memberi gambaran nefropati
membranosa, terapi dengan emas atau penisilamin tidak
dianjurkan.
Proteinuria ringan dengan hematuria. Nefropati IgA
sering mempunyai gambaran klinis protein kurang dari 1,5
glhari dengan hematuria mikroskopik. Pada pasien ini perlu
terapi jangka panjang. Sebaliknya pasien dengan GN pasca
infeksi mempunyai manifestasi klinis yang sama, tetapi
prognosis lebih baik. Oleh karena itu perlu menunda biopsi
6 bulan, dan biopsi mutlak dilakukan bila kelainan urin
menetap 6 bulan, walau hngsi ginjal normal. Bila kelainan
urin disebabkan penyakit sistemik, seperti pada vaskulitis
atau lupus, biopsi mempunyai nilai yang tinggi untuk
mengetahui luasnya kerusakan glomerulus dan rencana
terapi.
Hematuria terisolasi. Karena hematuria dapat disebabkan
oleh banyak hal, biopsi ginjal pada hematuria kadang
diperdebatkan. Biopsi pada hematuria dilakukan bila
hematuria menetap, apalagi bila ada hipertensi, proteinuria
dan hematuria glomerulus (dismorfik). Pada hematuria
terisolasi, tanpa gejala lain, tindakan biopsi masih
diperdebatkan, dan para nefrologis lebih menyukai
mengikutilfollow up selama beberapa tahun.
Penyakit ginjal kronik dengan sebab tdak jelas. Biopsi
sangat bermanfaat pada gangguan fungsi yang tidak jelas
sebabnya, dimana USG menunjukkan ukuran yang normal.
Bila ginjal melisut (<9,5 cm, dewasa), pada biopsi ginjal
biasanya menunjukkan glomerulosklerosis dan fibrosis
interstitialis yang luas. Pada keadaan demikian biopsi
memang tidak membantu untuk memperbaiki kerusakan,
akan tetapi dapat membantu prognosis dan rencana terapi.
Gambaran ekogenitas pada USG dan hilangnya batas
korteks dan medula, adalah suatu tanda penyakit parenkim
ginjal yang lanjut, namun bukan indikasi untuk biopsi.
Disfungsi ginjal cangkok. Biopsi ginjal pada keadaan ini
sangat berguna untuk membedakan antara rejeksi dan
nekrosis tubular akut pada periode awal cangkok. Pada
periode lanjutjuga penting untuk membedakan rejeksi akut
dari rejeksi kronik, yang tidak memerlukan terapi, atau
membedakan nefrotoksisitas karena obat anti rejeksi.
Karena tidak sulit melakukan biopsi pada ginjal cangkok,
maka sering dilakukan biopsi berulang bila diperlukan.

Persiapan untuk biopsi


1. USG ginjal: keduanyanormal, tanpa sikatrik dan tanpa
tanda obstruksi
2. Tekanan diastolik <95 mmHg
3. Kultur urin: steril
4. Status hematologi:
- AspirinIOAINS (NSAID) dihentikan 5 hari sebelurn
biopsi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- Hitung trombosit >100.000


- PT <1,2 x kontrol
- APTT <1,2 x kontrol (bila memanjang singkirkan
antikoagulan lupus)

- Waktu perdarahan: <10 menit


Prosedur biopsi ginjal:
1. peralatan USG sebagai penuntun
2. anestesi: anestesi lokal
3. jarum: pistol biopsi
4. tempat: pool bawah ginjal, lebih disukai ginjal kiri
5. jaringan yang diperoleh dibagi dua:
- untuk pemeriksaan mikroskop cahaya
- untuk pemeriksaan imunofluoresen
6. pasca biopsi:
- tidur tengkurap +jam
- minurn banyak
- monitor: tekanan darah, urin lengkap
7. pasien dipulangkan bila tidak ada hematuria
Modifikasi tindakan biopsi:
1. Walaupun pasien biasanya dirawat untuk biopsi, pada
pasien dengan risiko rendah one day care. Pagi biopsi
sore pulang, misalnya tensi, fungsi ginjal normal dan
kelainan urin tak bergejala. Metode ini kadang dikaitkan
dengan masalah asuransi kesehatan.
2. Alat biopsi. Bila "pistol biopsi" tidak ada, jarum dapat
memakai model TRUCUT atau VIM SILVERMAN
Bantuan radiologi. Untuk menentukan lokasi ginjal USG
lebih baik dibandingkan urografi intravena. Alternatif
adalah fluoroskopi dengan kontras atau CT pada kasus
tertentu.
Posisi. Pada beberapa keadaaan: sesak napas atau nyeri
bila telungkup, biopsi dapat dilakukan secara duduk.
Biopsi terbuka. Biopsi ginjal secara terbuka dapat
dilakukan pada risiko tinggi, misalnya ginjal tunggal,
dengan tendensi perdarahan, atau bila dengan biopsi
tertutup gagal. Ini tentu menarnbah biaya, tidak nyaman,
dan dewasa ini jarang dilakukan.

Biopsi ginjal cangkok. Letak ginjal cangkok di bawah


dinding kulit abdomen, tidak bergerak karena respirasi,
membuat biopsi lebih simpel dan sering dilakukan
berulang-ulang.

Komplikasi
1. Komplikasi biopsi ginjal antara lain hematoma,
hematuria makroskopik, fistula arteriovena, infeksi dan
pembedahan.
2. Perdarahan. Hematoma perirenal ditandai dengan
penurunan Hb. Hematuria makroskopik dengan
hematoma perirenal terjadi 2%, dan hanya 1%
membutuhkan transfusi darah. Hematuria yang berat
dapat menyebabkan kolik. Bila hematuria berlanjut perlu
angiografi untuk tindak lanjut embolisasi.
3. Fistula arteriovena. Sering tidak ada keluhan dan
ditemukan secara radiologi. Frekuensi sekitar 10% bila
diperiksa secara arteriografi atau Doppler benvarna.
Kebanyakan kasus akan sembuh spontan. Fistula
arteriovena yang menetap, dapat menyebabkan hematuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Dalam
situasi demikian embolisasi perlu dilakukan.
4. Komplikasi lain. Walaupun sangatjarang, biopsi ginjal
dapat menyebabkan fistula peritoneallkalises,
hematotorak, perforasi kolon ataupage kidnq di mana
terjadi tamponade ginjal.
5. Kematian karena biopsi sangat jarang dan biasanya
disebabkan perdarahan pada kasus risiko tinggi
terutama pada gagal ginjal akut.

Brenner MB. The kidney. 7th edition. In: Brenner & Rector,
editors. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 353-412.
Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive clinical nephrology. 2nd
edition. Mosby; 2000. p. 27-70.
Simonson MS, Banz MB. Nephrology secret. p. 4-1 1.
Wilcos CX, Tisher CC. Handbook of nephrology and hypertension.
5 th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 20-2.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

EDEMA PATOFISIOLOGI DAN PENANGANAN


Ian Effendi, Restu Pasaribu

DlSTRlBUSl NORMAL CAIRAN TUBUH


Komponen terbesar dari tubuh adalah air. Air adalah pelarut
bagi semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk
suspensi maupun larutan.Air tubuh total adalah persentase
dari berat air dibandingkan dengan berat badan total,
nilainya bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan
kandungan lemak tubuh. Distribusi normal cairan tubuh
dapat dilihat pada Gambar 1.

menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta


berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium.
Volume cairan interstitial dipertahankan oleh hukum
Starling. Menurut hukum Starling, kecepatan dan arah
perpindahan air dan zat terlarut termasuk protein antara
kapiler dan jaringan sangat dipengaruhi oleh perbedaan
tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing
kompartemen.Tekanan osmotik adalah tekanan yang
dihasilkan molekul protein plasma yang tidak permeabel
melalui membran kapiler. Proses perpindahan ini melalui
proses difusi, ultrafiltrasi dan reabsorbsi. Faktor yang
terlibat adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskular
dengan ekstravaskular (AP), perbedaan tekanan osmotik
(An) dan permeabilitas kapiler (Kf). Kecepatan
perpindahan cairan (Fm) yang membentuk edema
diformulasikan sebagai berikut:

Fm = Kf (AP - Arc)
Pengaruh faktor-faktor di atas dalam proses terjadinya
edema dapat dilihat pada Tabel 1.

PATOFISIOLOGI EDEMA

Garnbar 1. Distribusi normal cairan tubuh

Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di


antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh,
keadaan ini swing dijumpai pads praktik klinik s&ari-hari
yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktorfaktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara
lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang

Edema terjadi pada kondisi di mana terjadi peningkatan


tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas
kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau
penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai
peran sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan
tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui
pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik
disekresikan sebagai respons terhadap perubahan dalam
volume darah, toni sit as dan tekanan darah untuk
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.
Konsep Volume Darah Arteri Efektif O A E ) merupakan
ha1 penting dalam memahami mengapa ginjal menahan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

EDEMA PATOFlSlOLOGlDAN PENANGANAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Klinis
--

Faktor yang
berpengaruh

Mekanisme

Edema lokal
lnflamasi
Trombosis vena
dalam
Edema
generalisata
Sindrom nefrotik

Peningkatan Kf
Peningkatan AP

Diperantarai sitokin
Obtruksi vena
Obstruksi limfe

Peningkatan Kf
Peningkatan AP
Penurunan AX

Diperantarai sitokin
Pelepasan aldosteron
Penurunan kadar
albumin
Peningkatan volume
darah
Penurunan curah
jantung Diperantarai
oleh: renin, angiotensin,
aldosteron
Hipertensi portal
Diperantarai oleh
aldosteron
Penurunan kadar
albumin
Diperantarai oleh:
prostaglandin, NO
Penurunan kadar
albumin
Diperantarai oleh :
renin, angiotensin,
aldosteron

GGA oliguria

Peningkatan AP

Gagal jantung
kongestif

Peningkatan AP

Sirosis hepatis

Peningkatan AP
Penurunan Ax
Peningkatan Kf

Kwashiorkor

Penurunan An

Edema idiopatik

Peningkatan AP

natrium dan air. VDAE didefinisikan sebagai volume darah


arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas
pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada
kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi
pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang
pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri
(perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gaga1
jantung) atau peningkatan capacitance pembuluh darah
arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat
berkurang dalam keadaan volume darah aktual yang
rendah, normal atau tinggi. Pada orang normal,
pembebanan natrium akan meningkatkan volume
ekstraseluler dan VDAE yang secara cepat merangsang
natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal.
Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi
natrium dan air. Mekanisme ini melibatkan:

PENURUNAN ALlRAN DARAH GINJAL


Penurunan VDAE akan mengaktifasi reseptor volume pada
pembuluh darah besar, termasuk low-pressure baroreceptors, intrarenal receptors sehingga terjadi peningkatan
tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah pada
ginjal. Jika aliran darah ke ginjal berkurang akan
dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natriurn dan air
melalui mekanisme sebagai berikut:

Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus


proksimalis. Penurunan aliran darah ke ginjal
dipersepsikan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah
sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh
aparatus jukstaglomerulus. Renin akan meningkatkan
pembentukan angiotensi 11, angiotensin I1 ini akan
menyebabkan kontriksi arteriol eferen sehingga terjadi
peningkatan fraksi filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus
terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan
osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik
ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi air pada
tubulus proksimalis.
Peningkatan reabsorbsi natrium dan air tubulus distalis.
Angiotensin I1 akan merangsang kelenjar adrenal
melepaskan aldosteron, aldosteron ini akan menyebabkan
retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.

SEKRESI HORMON ANTlDlURETlK (ADH)


Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada
pembuluh arteri besar dan hipotalamus aktivasr reseptor
ini akan merangsang pelepasan ADH yang kemudian
mengakibatkan ginjal menahan air.
Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi cairan tubuh
pada beberapa kompartemen tubuh akan terganggu dan
menyebabkan edema.
Penyebab umum edema:
1. Penuman tekanan osmotik
- Sindrom nefrotik
- Sirosis hepatis
- Malnutrisi
2. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein
- Angioneurotik edema
3. Peningkatan tekanan hidrostatik
- Gagal jantung kongestif
- Sirosis hepatis
4. Obstruksi aliran limfe
- Gagal jantung kongestif
5. Retensi air dan natrium
- Gagal ginjal
- Sindrom nefrotik

Pembentukan Edema pada Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik adalah kelainan glomerulus dengan
karakteristik proteinuria (kehilangan protein melalui urin
>3,5g/hari), hipoproteinemia, edema dan hiperlipidemia.
Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume plasma
yang meningkat sehubungan dengan defek intrinsik
ekskresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga
terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan
perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan
memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat


sehingga volume plasma menjadi berkurang yang
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga
merangsang retensi natrium dan air. (Gambar 2)

Defek intrinsik
ekskresi natrium

Penurunan LFG

air

Mekanisme overfilling. Pada beberapa pasien sindrom


nefrotik terdapat kelainan yang bersifat primer yang
mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, sebagai
akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan
sistem renin-angiotensin dan vasopresin. Kondisi volume
darah yang meningkat (overfilling) yang disertai dengan
rendahnya tekanan osmosis plasma mengakibatkan
transudasi cairan dari kapiler ke interstitial sehingga terjadi
edema.

Proteinuria
I

Hipoalbuminemia

Defek tubulus yang primer

Penurunan
VDAE

Retensi natrium dan air oleh


ginjal

-,

Volume plasma 9

Gambar 2. Mekanisme retensi natrium dan air

1
ANP

Ada 2 mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema


pada sindrom nefrotik:
Mekanisme underJilling. Pada mekanisme underfilling,
terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik
plasma, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi
cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan h u h
Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan
berkurang (underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan
perangsangan sekunder sistem renin-angiotensinaldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus
distalis. Hipotesis ini menempatkan albumin dan volume
plasma berperan penting pada proses terjadinya edema.
Proteinuria
I

Hipoalbuminemia

Tekanan osmotik plasma

+I

Volume plasma &

1
Sistem renin angiotensin

1
I

I
ANP N I . ~

RETENSI AIR

I L

m!MA

Gambar 3. Skema hipotesis undetfill

RETENSI

1
I

Tubulus
Resisten terhadap
ANP

11

Garnbar 4. Skema hipotesis overfill

Pembentukan Edema pada Gagal Jantung


Kongestif
Gagal jantung kongestif ditandai kegagalan pompa
jantung, saat jantung mulai gagal memompa darah, darah
akan terbendung pada sistem vena dan saat yang
bersamaan volume darah pada arteri mulai berkurang.
Pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada
VDAE) akan direspons oleh reseptor volume pada
pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf
simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha
untuk mempertahankan curah jantung yang memadai.
Akibat vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan
ke pembuluh darah otak,jantung dan paru, sementara ginjal
dan organ lain akan mengalami penurunan aliran darah.
Akibatnya VDAE akan berkurang dan ginjal ~ k a menahan
n
natrium dan air.
Kondisi gagal jantung yang sangat berat, juga akan
terjadi hiponatremia, ini terjadi karena ginjal lebih banyak
menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini
ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi
pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh tubulus
proksimal yang juga menahan air dan natrium secara
berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

EDEMA PATOFISIOLOCI DAN PENANGANAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pelepasrfn
vasopresln

+ t--Sistem saraf simpatis%

Ren~n-anglotensin-'f
aldosteron

perbedaan berat badan yang dipengaruhi oleh posisi


tubuh. Pada posisi berdiri terjadi retensi natrium dan air
sehingga terjadi peningkatan berat badan, ini diduga
karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada posisi
berdiri. Pada kondisi tertentu dapat disertai penurunan
volume plasma yang kemudian mengaktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron sehingga edema akan memberat.
Edema idiopatik ini hams dibedakan dengan edema
yang bersamaan dengan siklus menstruasi, karena edema
pada siklus menstruasi terjadi akibat retensi natrium dan
air karena stimulasi estrogen yang berlebihan.

Gambar 5. Mekanisme edema pada gagal jantung

TERAPI EDEMA

Di lain pihak, ADH juga merangsang pusat rasa haus,


menyebabkan peningkatan masukan air.
Pembentukan Edema pada Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis ditandai oleh fibrosis jaringan hati yang
luas dengan pembentukan nodul. Pada sirosis hepatis,
fibrosis hati yang luas yang disertai distorsi struktur
parenkim hati menyebabkan peningkatan tahanan sistem
porta diikuti dengan terbentuknya pintas portosistemik
baik intra maupun ekstra hati. Apabila perubahan struktur
parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga
semakin berlanjut, vasodilatasi semakin berat
menyebabkan tahanan perifer semakin menurun. Tubuh
akan menafsirkan seolah-olah terjadi penurunan VDAE.
Reaksi yang dikeluarkan untuk melawan keadaan itu
adalah meningkatkan tonus saraf simpatis adrenergik. Hasil
akhirnya adalah aktivasi sistem vasokonstriktor dan anti
diuresis yakni sistem renin-angiotensin-aldosteron, saraf
simpatis dan ADH. Peningkatan kadar ADH akan
menyebabkan retensi air, aldosteron akan menyebabkan
retensi garam sedangkan sistem saraf simpatis dan
angiotensin akan menyebabkan penurunan kecepatan
filtrasi glomerulus dan meningkatkan reabsorbsi garam
pada tubulus proksimalis.
Pembentukan Edema Karena Obat
Beberapa obat yang sering dipakai dalam praktik seharihari juga dapat menyebabkan edema (Tabel 2). Mekanisme
penyebab edema karena obat di antaranya terjadinya
vasokontriksi arteri renalis (OATNS, cyclosporine), dilatasi
arteri sistemik (vasodilator), meningkatkan reabsorbsi
natrium di ginjal (hormon steroid) dan merusak struktur
kapiler (interleukin 2).
Edema ldiopatik
Keadaan ini biasanya terjadi pada perempuan yang
ditandai dengan episode edema periodik yang tidak
berhubungan dengan siklus menstruasi dan biasanya
disertai distensi abdomen. Pada edema idiopatik ini terdapat

Terapi edema harus mencakup penyebab yang


mendasarinya yang reversibel Cjika memungkinkan),
pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk
meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema
memerlukan terapi farmakologis; pada beberapa pasien
terapi non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan
asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang
diekskresikanoleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level
dari atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik harus
diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis.
Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, beratringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek diuretik
berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal.
Klasifikasi diuretik berdasarkan tempat kerja:
1. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis
Carbonic anhydrase inhibitor: asetazolamid
(Diamoks)
Phosphodiesterase inhibitor: teofilin (diduga
diperantarai cyclic adenosine monophosphate)
2. Diuretik yang bekerja pada loop of henle
Sodium-potassium chloride inhibitors: bumetanid
(Bumeks), ethacrynic acid (Edecrin), furosemid

o.asl4
3. Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal
Sodium chloride inhibitors: klortalidon (Higroton),
hidroklorotiazid (Esidriks), metolazon (Diulo)
4. Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubule
Antagonis aldosteron: spirono lakton (Aldakton)
Sodium channel blokers: amilorid (Midamor),
triamterene (Direniurn)
Pada pemberian firrosemid oral,jumlah yang diabsorbsi
berkisar 10-80% (rata-rata 50%), sementara bumetanid d m
torsemid diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80100%. Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid
diekskresikan keurin dalam bentuk tidak berubah. Pemberian
diuretikjugahams mempertimbangkan waktu paruh diuretik
tersebut. Golongan tiazid memiliki waktu paruh yang
panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua kali

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

950

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS)
Vasodilatasi splanik
(Faktor utama)

Hipertensi portal

Penulwnan allran
darah glnlal dan

Hipoalbuminemia

Minoksidil
Hidralazin
Klonidin
Metildopa
Guanetidin
Calcium channel antagonists
Antagonis alfa andrenergik
Hormon steroid
Glukokortikoid
Anabolik steroid
Estrogen
Progestin
Siklosporin
Growth hormone
lmunoterapi
Interleukin 2
OKT 3 antibodi monoklonal

Asites

Antihipertensi
Vasodilator:

St,mulasl
vasopresln

St~mulas~
sfstern saraf
slmpatls

LFG

Akt~vas~
slstern renlnanglotenslnaldosteron

I
RETENSI NATRIUM DAN AIR

Gambar 6. Mekanisme edema pada sirosis hepatitis

sehari, sementara loop diuretic seperti bumetanid


memvunvai waktu varuh satu iam, torsemid 3-4 iam
sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek loop
diuretic dapat menghilang dengan segera, kemudian ginjal
mulai mereabsorbsi natrium dan meniadakan efek diuretik.
Proses ini disebut post diuretic sodium chloride
retention,sehingga restriksi natrium sangat penting bagi
pasien yang mendapat loop diuretic.

. -

<

Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun


intravena

RESlSTENSl TERHADAP DlURETlK


Resistensi terhadap diuretik adalah kegagalan tubuh
membuat kondisi keseimbangan natrium yang negatif
meskipun telah menggunakan diuretik dosis tinggi
(misalnya furosemid mencapai 240 mghari). Kondisi ini

Jenis Diuretik
Carbonic
anhidrase
inhibitor
Acetazolamide
Loop diuretic
Furosemid
Etacrynic acid
Tiazid
Klorotiazid
Hidroklorotiazid
Metolazon
Potassium
Sparring
~riamteren
Amilorid
Spironolakton

Tempat
kerja
Tubulus
Proksimalis

Loop of
henle
Tubulus
Distalis

Duktus
Kontortus

Potensi

Efek Primer

Na'IH'

Ill

Meningkatkan pengeluaran natrium dan air


a. Diuretik: Hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif
b. Tirah baring, local pressure

I"

Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis


yang berlebihan menyebabkan pengurangan volume
plasma, hipotensi, perfusi yang inadekuat, sehingga
diuretik harus diberikan dengan hati-hati

harus dipikirkan pada pasien dengan edema yang menetap


meskipun telah diberi diuretik yang maksimal serta
pengurangan aktivitas fisik dan asupan natrium yakni
kurang dari 2 gram per hari. Pemahaman akan

Pertukaran
+

Penanganan penyakit yang mendasari

&

Efek Sekunder
Ekskresi K

Dosis
mglhari

1'

Komplikasi
Hipokalemia

Ekskresi ~ ~ 0 3 . 1 '250-500

Hiperkloremia
Asidosis

+++

Absorbsi
Na+/K+12CI.$

Ekskresi K 1'
E~~~~~~~
H+1'

40-600
50-400

Hipokalemia
Alkalosis

++

Absorbsi

Ekskresi K

++

++

Na'&

5001000
50-100
2,5-10

Hipokalemia
Alkalosis

Absorbsi
~a'&

100-300
5-10
100-400

Hiperkalemia
Asidosis

+++

Ekskresi H'

1'

Ekskresi K &
Ekskresi H' &

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

951

EDEMA PATOFISIOLOGIDAN PENANGANAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


farmakokinetik suatu diuretik sangat perlu untuk
menentukan ada tidaknya resistensi diuretik. Efek
pemberian furosemid peroral sulit diprediksi karena
absorbsinya sangat tidak menentu. Penambahan diuretik
lain dengan tempat kerja yang berbeda dapat membantu
mengatasi adaptasi tubulus distal karena pemberian
diuretik yang berlangsung lama. Penyebab potensial
terjadinya resistensi terhadap diuretik dapat dilihat pada
Tabel 5.

Noncompliance
Tidak patuh pada regimen yang diberi
Tidak patuh pada pengurangan asupan natrium
Resisten
Gangguan absorbsi loop diuretic
Penurunan aliran darah ginjal: Penurunan volume plasma
Penggunaan &at lain seperti
OAINS, Penyekat ACE
Akibat farrnakologis : berhubungan dengan waktu paruh
diuretik
Pengurangan sekresi tubuler: karena kelainan ginjal, volume
darah yang h r a n g dan obat
Toleran terhadap obat: karena penggunaan &at yang
berlangsung lama.

Penyebab potensial kegagalan terapi diuretik adalah


terjadinya toleransi. Short term tolerance hams dipikirkan
jika terjadi penurunan respons pada pemberian pertama
suatu diuretik. Hal ini sering disebabkan oleh penurunan
volume intravaskular sebagai kompensasi tubuh untuk
mencegah kehilangan cairan tubuh secara berlebihan. Long
term tolerance dapat terjadi pada penggunaan diuretik
jangka panjang. Hal ini diperantarai hipertrofi nefron
segmen distal dan reabsorbsi natrium yang berlebihan.
Penambahan dosis diuretik pada kondisi ini tidak dapat
memperbaiki diuresis tetapi penambahan diuretik golongan
lain dapat dipertimbangkan.

REFERENSI
Braunwald E. Edema In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo,
Jameson, editors. Harrison's principles of internal medicine.
16Ih edition. New York: Mc Graw-Hill companies; 2004. p. 21722.
Brater DC. Diuretic therapy. N Engl J Med. 1998;339:387-95.
Chototh DK, Andreoli TE. Disorder of extracellular volume. In:
Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. I" edition. New York: Mosby publisher; 2000. p. 3,8,111.
De Bruyne LK. Mechanisms and management of diuretic resistance
in congestive heart failure. Postgrad Med J. 2003;79:268-71.
Deschenes G, Feraille, Doucet A. Mechanism of edema in nephrotic
syndrome: old theories and new ideas. Nephrol Dial Transplant.
2003; 18:454-6.
Eknoyan G. A history of edema and its management. Kidney Int
Suppl. 1997;59:S 1 18-26.
Ellison DH. Diuretic drugs and the treatment of edema: from clinic
to bench and back again. Am J Kidney Dis. 1994;23:623-43.
Hamm LL, Batuman V. Edema in nephrotic syndrome: new aspect
of an old enigma. J AmSoc Nephrol. 2003;14:3288-9.
Moller S, Bentsen F, Henriksen JH. Effect of volume expansion on
systemic hemodynamics and central arterial blood volume in
cirrhosis.Gastroenterology. 1995;109:1917-25.
O'Brien JG, Chennubhotla SA. Treatment of edema. Am Farn Physician. 2005;71:2111-7.
Wilson LM. Gangguan pada volume cairan, osmolalitas dan elektrolit.
In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit. 4th edition. Volume I. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran; 1995. p.302-26.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HEMATURIA
Lestariningsih

PENDAHULUAN

Darah yang ditemukan dalam urin, baik hematuria


makroskopis ataupun mikroskopis, mempakan tanda yang
cukup serius terhadap kelainan pada saluran kemih.
Kadang-kadang kita mendapatkan pasien dengan hematuria mikroskopik asimtomatik. Keluhan serta gejala klinis
pasien dapat memberikan arahan untuk menegakkan
diagnosis.

Hematuria adalah keadaan abnormal dengan ditemukannya


sel darah merah dalam urin. Ada dua macam hematuria,
yaitu hematuria mikroskopis dan hematuria makroskopis
(gross hematuria). Hematuria makroskopis dapat terjadi
bila sedikitnya l c c darah per liter urin sedangkan
hematuria mikroskopis sering kita temukan pada
pemeriksaan laboratorium urinalisis pada pasien dengan
berbagai keluhan, atau pada saat pemeriksaan kesehatan
(check up).
Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskop
ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang pandang
besar urin yang disentrifugasi, dari evaluasi sedimen urin
dua dari tiga contoh urin yang diperiksa.

HEMATURIA TRANSIEN ATAU PERSISTEN

Ditemukannya sedimen urin seperti sel darah merah,


leukosit, silinder merupakan tanda penyakitlkelainan
glomerulus, tubulointerstisial, dan urologi.
Bila ditemukan hematuria tentu dokter ingin mengetahui
apakah hematuria itu menetaplpersisten atau sementaral
transien. Untuk menentukan ha1 ini diperlukan evaluasi

pemeriksaan urin beberapa hari. Hematuria tidak berbahaya


sepanjang tidak menyebabkan perdarahan hebat, tetapi
etiologi hematuria hams ditegakkan untuk penanganan
lebih lanjut. Bila ditemukan hematuria, dilakukan evaluasi
etiologi dan penyakit yang mendasari terjadinya
hematuria.

PATOFISIOLOGI

Berdasarkan lokasi yang mengalami kelainan atau trauma,


dibedakan glomerulus dan ekstra glomerulus untuk
memisahkan bidang nefiologi dan urologi. Darah yang berasal
dari nefion disebut hematuria glomerulus. Pada keadaan
normal, sel darah merah jarang ditemukan pada urin. Adanya
eritrosit pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau
perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang
abnormal. Eritrosit bila berikatan dengan protein TaamHorsfall akan membentuk silinder eritrosit. Ini merupakan
petunjuk penyakitkelainan glomerulus yang merupakan
penanda penyakit ginjal kronik. Pada penyakit nefrodglomerulus biasanya hanya ditemukan sel darah merah saja tanpa
silinder. Proteinuria merupakan tanda lesi nefron'glomerulus.
Evaluasi pemeriksaan mikroskopis bila ditemukan
hematuri, yaitu ditemukan eritrosit dalam urin 3 per lapang
pandang besar.
Hematuria mikroskopik: bila ditemukan eritrosit 3 atau
lebihllapang pandang besar. Bila hematuria disertai
proteinuria positif 1 dengan menggunakan dipstick
dilanjutkan dengan pemeriksaan kuantitatif ekskresi
proteid24 jam. Bila ekskresi protein lebih dari 1 g124 jam
segera konsultasi nefrologi untuk evaluasi. Pada ekskresi
protein lebih dari 500mgl24jam yang makin meningkat atau
persisten diperkirakan suatu kelainan parenkim ginjal.
Perlu diperhatikan dalam pengambilan contoh urin:
pada perempuan hams disingkirkan penyebab hematuria

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik
I

Dlsingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan ,


aktlvitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma

.t

Bila ditemukan 1 atau lebih dari :


Hematuria mikroskopik + proteinuria**
Eritrosit dismorfik , silinder eritrosit
Peningkatan kreatinin serum dari normal

ada riwayat sebagai berikut :


Merokok
pekejaan berhubungandengan
bahan kimia (amin aromatik)
riwayat gross hernatur~a
Usia > 40 tahun

Evaluasi penyakit ginjal primer

gangguan pengosongan kandung


kemih (iritatif)
lnfeksi saluran kemih berulang

pzEGq
Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik

lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ


genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau
tidak.

Vaskular
Gangguan koagulasi
Kelebihan obat anti koagulan
Trombosis atau emboli arterial
Malformasi arteri-vena
Fistula a r t e r i - v e n a
Nutcracker syndrome
Trombosis vena renalis
Glomerular
Nefropati IgA
Alport sindrom
Glomerulonefritis primer dan s e k ~
lnterstisial
lnterstisial nefritis alergi
Nefropati analgesik
Penyakit ginjal polikistik
Pielonefritis akut
Tuberkulosis
Rejeksi ginjal alograf
Uroepitelium
Keganasan ginjal dan saluran k e ~
Latihan yang berlebihan
Trauma
Nekrosis papillaris
Sistitis/uretritis/prostatitis (biasan
Penyakit parasit (misalnya skisto:
Nefrolitiasis atau batu vesika urin
Penyebab Lainnya
Hiperkalsiuria
Hiperurikosuria
Sickle cell diseasdpenyakit sel s;

Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan


silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal
akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi
lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara
lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau
kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria
menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematuria juga merupakan variasi dari glomerulonefiitis. Pada
kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus
dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi
dini.
Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi
untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian
dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi.
Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel
transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks,
ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi,
I W , CT scan atau MRI.

Apabila ditemukan proteinuria yang bermakna,


hematuria, silinder eritrosit, insufisiensi ginjal atau
ditemukan sel darah merah yang predominan adalah
bentuk dismorfik, segera dilakukan evaluasi kelainan
parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Eritrosit

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Predominant urinalysis abnormality
RBC

RBC
casts*

WBC

WBC
Casts

Tubular
Cells

Cellular
Casts

Granular
Casts

Total Protein
to Creatinin

Fat**

Associated kidney disease

Ratio'

200-1.000
mglg
< 200 mglg

'1'000 mglg

200-1.000
mglg

Proliferative glomerulonephritis or
hereditary nephritis
Hereditary nephritis, or disease of
small vessels (microangiopathy)
Cystic kidney disease, kidney
neoplasms or urinary tract leddions
other than kidney disease
Tubulointerstitial nephritis
Urinary tract lesions other than kidney
disease
May be present in all types of kidney
disease, but most abundant in acute
tubular necrosis (the most common
kidney disease causing acute kidney
failure)
Diabetic kidney disease and noninflammatory glomerular disease
Non-inflammatory glomerular
disease, non-inflammatory
tubulonterstitial disease, or disease
affecting medium-sized arteries

Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002)


Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sediment from freshly
obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in patients with
proliferative glomerulonephritis.
** Oval fat bodies, fatty casts, free fat
+ Cut-off values are not precise
Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells, WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnormality not present;
abnormality may or may not be present

+,

Evaluasl urologl paslen dengan hernaturla asirnptornatlk


Paslen tldak dltemukanadanya tanda-tanda sugestlf penyaklt glnjal plmer

+
+

I Pasten dengan ns~korendah

Paslen dengan rls~kot~nggl


I

Ueln4Otahun
Tldak ada nwayat ~Masi
lidak ada riwayat
gmss hemeluria
Tldak jelas adanya gangguan umlogl
Pemer~ksaanIVU I urografi lntravenous )

I Pemenksaan lerlgkap IVU. sltologl

F==EEiT

r-

* L

urlnallsls tekanan darah, s~tolog~


ulang
pada 6 12.24 36 bulan

1a

ta

,nfeks,

h p" , ;ut ;eH


Prote,nur,a Hlpertens,
'Gross' hematuna. sltolog~.
abnormal lrltasl kandung kemlh
dan glomerulus
Evaluasl en aklt Injal pnmer

lidak ada
Evaluasl urolog~

Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

evaluasl
lenokao

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonWs
principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw
Hill; 1983. p. 21 1-8.
Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd
edition.Mosby.p.35-40.
Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am
Fam Physi. 2001.
KIDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease.
evaluation, classification, and stratification. Part 5.
Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of
kidney disease, 2002.
Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease:
clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd
edition.2004.p. 1107-12.
Sukandar E. Masalah umum glomerulopati. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 2. 3"' edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.
p. 325.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PROTEINURIA
Lucky Aziza Bawazier

PENDAHULUAN
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia
yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24
jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam
keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah
tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan
yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap
fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada
dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2), tetapi ada juga yang
menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin
rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal
dan munglun suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius.
Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya
proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat
sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang
tidak prowif. -pula
protein dikeluarkan urindalarnjumlah
yang bervariasi sedikit dan secara langsung bertanggung
jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di
dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebii
lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya.
Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat
pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%.
Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan
ginjal.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila
kadarnya di atas 200 mglhari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang
mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah
menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya
hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria
masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mglhari
dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin.
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah
protein yang cukup besar atau beberapa gram protein

plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang


muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang
berperan yaitu:
1. Filtrasi glomerulus
2. Reabsorbsi protein tubulus
PATOFlSlOLOGl PROTEINURIA
Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari
ke-4 jalan di bawah ini:
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti
peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama
albumin.
2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil
protein yang normal difiltrasi.
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low
Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah
melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel
dan sekresi IgA (ImunoglobulinA) dalam respons untuk
inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin
tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat
hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal
melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin.
Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah
transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat
molekul besar lainnya untuk menembus dinding
glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein
yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi
diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu
normal ekskresi kurang dari 150 mghari dari protein total
dan albumin hanya sekitar 30 mghari; sisa protein pada
urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PROTEINURIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil P-2
mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormon peptida.
Dalam keadaan normal glomemll~sendotel membentuk
barier yang menghalangi sel maupun partikel lain
menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus
menangkap protein besar (>I00 kDal) sementara foot
processes dari epitellpodosit akan memungkinkan
lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui
saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion
glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asarn
silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan
negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti
albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit
minimal change menyebabkan bersatunya foot processes
glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif.
Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang
membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori
yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif
atau proteinuria bermakna.
Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika
produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang
melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering
dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan
limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal
imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma
(mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah
besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat
dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini
dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan
direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila
ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering
dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5
gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari
sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain.
PROTEINURIA FlSlOLOGlS
Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan
kelainadpenyakit ginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada
individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada
keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan
yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat
sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gaga1
jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat
mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan
transfusi darahtplasma atau pasien yang kedinginan,
pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang
sebabnya bukan karena kebocoran protein dari
glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit
yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif
palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula
terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik
(ortostatik proteinuria).

PROTEINURIA PATOLOGIS
Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan
proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik,
penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat
analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya,
sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian,
proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan
merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada
penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non
diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor
prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat
secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam
kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan
berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang
dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan,
protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24 jam,
tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah
200 mghari.
Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif,
temtama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalam urin
yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa
atau 40 mglm21jampada anak-anak, biasanya berhubungan
secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus.
Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi
3,5 grand24jam.
Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti
keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan
retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis
proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya:
mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria
tubular; 3). Overflow proteinuria.
PROTElNURlA GLOMERULUS
Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit
ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling
dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein
dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah
kecil saja.
Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi
glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier
filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi
glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat
melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal
penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan
kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal
yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati
membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor
hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler
glomerulus/fraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan
proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang me~iingkat
tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin
terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung
kongestif. Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan
semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret.
Proteinuria klinis dapat ditemukan > lglhari.

PROTElNURlA TUBULAR
Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah
antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin
dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang
biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal
tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni,
pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.

OVERFLOW PROTElNURlA
Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel )
berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai
pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000
dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak
dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang
umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa,
tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut
protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering
menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan
makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai
ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh
glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal.
Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan
dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence
Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk
presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada
suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gaga1 ginjal
dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme
obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai
pendek.

Pada keadaan normal albumin win tidak melebihi 30 mgl


hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl
hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada
pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit
glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif
mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker
(pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan
faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit
kardiovaskular sistemik.Albuminuria tidak hanya pertanda
risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi

juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan.


Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek
sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target
untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular
dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu
dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin
urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan
berapa. kadar terendah yang hams dicapai. Peningkatan
ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan
fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat
dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan
risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa
dipengaruhi faktor-faktor risiko lain kardiovaskular.
Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan
penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau
dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang
berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11,
kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan
mikroalbuminuria sangat penting.
Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan
dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena
disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah
mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan
kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau
tanpa diabetes melitus tipe-11.
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya
hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada
sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria
dengan risiko penyakit kardiovaskular.

PROTElNURlA TERlSOLASl
Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang
ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang
tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit
sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara
kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya
sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik
tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan
pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan
abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat
gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi
protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan
prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia
berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yangjelas pada
berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%.
Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak,
termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak
menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius
lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara
persisten.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PROTEINURIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PROTEINURIA TERlSOLASl JlNAK

Proteinuria Fungsional
Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering
terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena
berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan
demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan
dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif,
sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut
lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali
setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini
proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria
tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini
disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang
meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma.
Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien
ini.
Proteinuria Transien ldiopatik
Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria
yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat
tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan
kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu
ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau
selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan
pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan
fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenarnya, jika
contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat
muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria
kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan
keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi
lebih lanjut.
Proteinuria lntermiten
Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien
yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria.
Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk
abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan
ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor
pada glomerulus/interstitium, tidak ditemukan kelainan
pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien
adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang
setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun
jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko
untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada
populasi umum. Keadaan ini biasanya tidak berbahaya
pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada
pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus
dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan
fungsi ginjalnya.

Proteinuria Ortostatik (Postural)


Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif,
proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan
posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik
dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan
prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi
proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan
posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini
merujuk pada posisi tegawortostatik proteinuria. Ekskresi
protein per hari hampir selalu di bawah 2 gram (walaupun
lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria
ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan
prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia
di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selama fase
penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang
lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik
menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi
transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil
biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi
minimal glomerulus dan tidak adanya deposit
imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat
bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan
tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien,
proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi
kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun
menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan
pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15% kasus, hilang
selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan
lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun,
insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan
darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi
umurn.
Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari
insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah
diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat.
Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata
ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal
menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan
dinding kapiler yang minimal sampai dengan moderat atau
hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elektron
menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal
dengan matriks mesangial yang meningkat dan
penggabungan foot process dan pewarnaan imunodifusi
untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil
yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaklah
diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan
dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus
yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya
prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non
ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang.
Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah
penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor


tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria
berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat
diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit ginjal serius.

PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI


PERSISTEN
Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit
dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan
fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjallpenyakit
sistemik yang menjadi penyebabnya.
a Jika ditemukantanda-tandalgejala, lakukan pemeriksaan
darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari
kausa.
b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk
proteinuria dualtiga kali,
1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin
berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional.
Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes
ulang.
2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood
Urea Nitrogen (BUN), kreatinin clan klirens kreatinin,
ukur ekskresi protein urin 24 jam, USG ginjal dan tes
protein ortostatik/postural.
Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia.
Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria
adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya.
Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali:
a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun
proteinuria (IV B)
b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti
follow up berikutnya.
Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non
postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk
menyingkirkan proteinuria intermiten.
a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda urnur
kurang dari 30 tahun, harus di-follow up tiap 1-2 tahun
dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun)
di-follow up tiap 6 bulan.
b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut
tergantung pada tingkat proteinuria.
1. Jika proteinuria <3 gram124 jam, perlu dikonfirmasi
dengan imaging ginjal yang cukup untuk
menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas
anatomi ginjal dan penyakit ginjal polikistik. Juga
pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis
urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel
mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang
pasien tiap 6 bulan.
2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram124jam, lanjutkan
ke-I A.

Cara Mengukur Protein di Dalam Urin


Metode yang dipakai untuk mengrrkur proteinuria saat
ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik
mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan
hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat
atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer
menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika
proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam
jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini
terutama sangat penting untuk menentukan protein
Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma.
Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara
benar seperti pada presipitasi dengan asam
sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini,
dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan
kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/
hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit
glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.

p G z q
(Deteks~dengan d~pstlck)

dan m~kroskoplsurln

Bukt~penyak~tg~n]aI/s~stem~k

&
TlDAK ADA
I

+
Fungs~glnjal dan
USG Normal

Protelnurla
ortostat~klpostural

Test latn (-)


Follow up tlap 1-2 thn

Fungs~glnjal dan
USG abnormal

Protelnurla
non ortostat~k

Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Ulang urln
kwantltatlf 2-3x

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Keterangan gambar:
Pendekatanpasien dengan proteinuria. Pemeriksaan
proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan
dipstik yang positif pada pemeriksaan urinalisis
rutin. Dipstik konvensional mendeteksi mayoritas
albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin
urin antara 30-300 mglhari.
Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya
memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein
pagilkreatinin (mglg).
Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin
dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari
glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal
protein urin.
Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas
glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular
seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan
tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal
seperti rantai ringanlpendek kappallambda telah
siap disaring karena ukurannya yang kecil.
FSGS

: Fokal Segmental Glomerulosklerosis

MPGN

: Membrano proliferatif Glomerulonefritis

Gambar 2. Skema evaluasi proteinuria

REFERENSI
Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney
disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment.
Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5.
Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk
marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66
(supp1.92):S16-S7.
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of
internal medicine.15th edition. New York: The McGraw-Hill;
2001. p. 266-8.
Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co;
1996, 1981, 2003, 1864.
De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascularlrenal risk
marker, but also a target for treatment? Kidney Int.
2004:66:suppl 92:S2-S6.
Hoy W,McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous
populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment.
Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S31.
Jacobson HR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice
of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056.
Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology.
London: Mosby; 2000.
Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managihg
patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and
cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.

Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an ominous


biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66
(supp1.92): S76-S89.
Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting
outcome in renal disease: nod diabetic nephropathies (REIN).
Kidney Int. 2004:66 (supp1,92):S90-S6.
Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic
transition in the developing world: role of albuminuria in the
early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular
disease. Kidrley Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7.
Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria
associated with cardiovascular disease and kidney disease.
Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int.
2004:66:(suppl.92):S67-S78.
Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997.
Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion
predicts de novo development of renal function impairment in
the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1,92):Sl8S21.
Warnock D G Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines:
guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int.
2004:66:(supp1.92): S 1214 3 .

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SINDROM POLIURIA
Shofa Chasani

PENDAHULUAN

REGULASI CAIRAN TUBUH

Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih


dalam 24jam meningkat melebihi batas normal disebabkan
gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih.
Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter/
hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air
kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai
dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam
memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi
dan lain-lain.
Menurut Brenner poliuri dibagi 2 macam:
1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri
didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literlhari.
2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan
dengan volume air kemih yang diharapkan karena
rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume
air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan.
Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun
diabetes insipidus merupakan penyebab yang sering terjadi.
Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah
diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis,
hiperkalsemia, hipokalemi dll.

Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu


melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui
gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal
merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran
air diatur dengan mempertahankan osmolalitas cairan
tubuh. Osmolalitas serum normal dipertahankan pada
rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang
osmolalitas urin antara 100-200 mOsm/kg, tergantung
adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan
air bebas.
Bila kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih
terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih
yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara
lain:
1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior
2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik
intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan
air kemih yang maksimal, tidak peduli berapa banyak
ADH yang tersedia dalam tubuh;
3. Ketidak mampuan tubulus distal dan tubulus
koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor
ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas
vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin
2 (V2) memiliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan
mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang
aktif maka akan terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap air sehingga air kemih berkurang,
sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka
permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih
meningkat.
Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH dapat
dilihat pada Gambar 1.

Tujuan
1. Mampu menerangkan definisi poliuria
2. Marnpu menerangkantentang regulasi cairan tubuh oleh
ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus
ginjal.
3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik
karena faktor osmotik maupun faktor hormonal.
4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran
klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya.
5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan
poliuria.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

963

SINDROM POL~URIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


DIABETES INSIPIDUS

BOsmolalitas ekstraselular

BSekresi ADH oleh hipofisis


Posterior

E4ADH plasma

BPerrneabilitas H20
Tubulus distal dan
tubulus koligenitas

Gambar 1. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH

Cortex

Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi,


kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan
poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas
serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan
osmolalitas air kemih yang rendah.
Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi
atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADWAVP) atau
tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP.
Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan
air bila mendapatkan tambahan cairan.
Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP
dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin
(Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi)
sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bila
mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi
kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma
(hipernatremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut
diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti
kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik dan ha1 ini
berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik.
Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri
hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi
menjadi:
1. CDl (diabetes insipidus sentral)
2. Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI)
3. Gestasional diabetes insipidus
4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik)
5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogenikl
psychgenic polydipsi)

ETlOLOGl CDI
Outer
400 medula

400
-b

600
Inner
medula
800

800

Water reabsotptw,
(Passive)

1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal


dominant,AVP-Neurophysin gene mutation.
2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake
venom)
3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis)
4. Neoplastik (craniopharyngioma, germinoma,lymfoma,
leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis).
5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis)
6. Trauma (neurosurge.ry, deceleration injury)
7. Vaskular (cerebral hemorrhage or infarction, brain death)

ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION


Pepilla

Gambar 2. Mekanisme pemekatan dan pengencaran air kemih


(Brenner 2007)

1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis)


2. Neoplastik
(kraniofaringioma,
pinealoma,
meningioma, metastasis)
3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/
ligation, intrahypothulamic hemorrhage)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


4. Other (hydrocephalus, ventricular/supersellar cyst,
trauma, degenerative deseases).
5. Idiofatik

ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISM"

2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial


(trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi
(tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari
keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis
karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH
(Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).

PREGNANCY
PATOFlSlOLOGl OSMORECEPTORDYSFUNCTION
ETIOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS
Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene
mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations).
Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin,
mrthoxyflurane)
Hypercalcemia.
Hypokalemia.
Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis).
Vascular (sickle cell anemia).
Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral
ureteral obstruction)
Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium,
radiocontrast dyes)
Idiophatic.

ETIOLOGI PRIMARY POLYDIPSIA


Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive
behaviors)
Dipsogenic (downward restting of thirst threshold,
idiophatic or similar lesions as with central diabetes
insipidus).

PATOFlSlOLOGl CDI
Pada umumnya basal AVP hams turun h a n g dari 10 -20%
dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang
dari 300mOsmlkg H 2 0 dan aliran urin naik ke level
simptomatik (>50 ml/KgBW/day).Hasil dari hilangnya air
akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang
rasa haus, sehingga terjadi polidipsi.
Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada
keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan
suplementasiAVP.
Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu
maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan
natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak
disekresi (complete Dl) pasien akan tergantung seluruhnya
pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh.
Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu:
1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan
familial) diduga karena autoimun.

Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah


tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus.
Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP
juga terganggu, walau respons hormonal terhadap
rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi
osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan 1
atau respon sekresi AVP :
Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau
respons sekresi AVP
Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP
yang kurang dan rasa haus)
Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP
dan rasa haus)
Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan
sekresi AVP yang utuh)
Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan
osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan
disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai
osmolalitas antara 300 - 340 mOsm/Kg H20.

GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS


Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan
kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada
pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut
Gestational Dl. Hal ini dapat juga karena aktivitas enzyme
"cystine aminopeptidase" (oxytocinaseatau vasopressinase)
yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna
untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah
kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya
kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan
pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy.
Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa
poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
AVP, sebab secara cepat akan didegradasi.
DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor
agonist karena resisten terhadap degradasi oleh
oxytosinase atau vasopressinase.

NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI)


NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP.
Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

SINDROM POLIURIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir
sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat,
resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun
komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun
tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada
karier pada wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan
mutasi reseptorAVPV2.
Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene
autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang
membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan
penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI).
NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal
dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak
jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme
pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula
ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang terjadi pada
diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh
segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti
manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat
merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk
berespons terhadap ADH.
Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam:
1. IdiopatiWfamiliallgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP
V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2
(autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang
paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI
yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan
autosomal dominan (1%).
2. Didapat: Akibat obat (litium, demeklosiklin,
metoksifluran),
Metabolik (hipokalemia, hiperkalsiuria biasanya dengan
hiperkalemia).
Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati,
pielonefiitis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gaga1ginjal
kro& mielomamultipel, penyakit sjogren, nefropati analgetik).

Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek


antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi
"dilute"urin, penurunan air dalam tubuh dan kenaikan
osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus
untuk mengkompensasi meningkatkan intake air.
Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung
sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda
"setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.

encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi


bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum.
Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidipsi dan
poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada
psychogenic polydipsi intake air dan output urine cenderung
fluktuatif, kadang bisa sangat besar. Kadang dengan intake
air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".

DIAGNOSIS KLlNlK
Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus
Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus
sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan
polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih
dari 15 literhari Secara mum NDI mempunyai gejala klinis
sering haus akan air dingin,,nokturia, osmolaritas serum
mendekati 300 mOsm1Kg dan berat jenis urin <1.005
dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya
bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak
suka makan, konstipasi ataupun kadang diare, gangguan
pertumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya,
letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun
pertama kehidupannya.
Pada CDI gejala timbul secara tiba-tiba, apakah karena
tumor maupun idiopatik biasanya pria: perempuan adalah
3 :2 dengan rerata pemunculan gejala pada umur 16 tahun.
5- 10% pasien CDI biasanya berjalan dengan 3 fase yaitu:
awalnya poliurilfase hipotonik, diikuti peningkatan
kerusakan sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes
insipidus permanen.
Tes Pemekatan Air Kemih
Adanya peningkatan serum natrium (>143meq/l)
Berat jenis air kemih yang rendah
Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan
kadar vasopresin yangtinggi.
Bila ketiga keadaan di atas terjadi maka diagonis NDI
bisa ditegakkan.
Hasil tes ini mungkin sulit untuk menginterpretasi
seseorang dengan dibetes insipidus parsial yaitu bila
produksi vasopresin sub normal (diabetes insipidus
neurogenik parsial) atau respons sebagian ginjal terhadap
konsentrasi vasopresin yang normal (NDI parsial).

POLlDlPSl PRIMER

Tes Genetik
Gen-gen yang ditemukan sampai sekarang adalah AVPV2
dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang
berhubungan dengan x linked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal
resesif dan autosomal dominan.

Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan CDI, intake


air yang berlebihan menyebabkan cairan tubuh sedikit encer
(Slight dilutes), menekan sekresi AVP dan urine menjadi

Tes Penunjang
Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI antara
lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


TERAPI
Untuk semua jenis diabetes insipidus secara umum
adalah:
1. Koreksi setiap defisit air.
2. Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewat urin.
Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan
tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes
insipidus.

MACAM CARA TERAPI DIABETES INSIPIDUS


1. Air: TBW = 0,6 xpremorbid weight x (I -140/Na )
2. Antidiuretic agents: Arginin vasopressin (Pitressin)
I -Deamino-8-D-argininvasopressin(Desmopressin,
DDAVP)
3. Antidiuresis-enhancing agents:
Chlorpropamide
Prostaglandin Synthese inhibitors (indomethacin,
ibuprofen, tolmetin)
4. Natreuretic agents:
Thiazide diuretic
Amiloride.
5. OAINS (obat anti inflammasi non steroid).
Koreksi Air
Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari
pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI
maka secepatnya osmolality plasma harus diturunkan
dalam 24 jam pertarna ,hingga 320-330 mOsm/Kg H 2 0 atau
mendekati 50%.
Arginin Vasopressin (Pitressin)
Merupakan sintetis dari AVP manusia, kemasan 20 Unitlml
aqua.
Mempunyai short-halflife relative (2-4 jam lamanya
efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra
vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI,
dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol.
Efek samping: meningkatkan tekanan darah.
Desmopressin
DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak
dikembangkan untuk terapi DI karena mempunyai half
life yang panjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik) dan
tanpa adanya aktivasi AVP V1.
Merupakan obat pilihan baik untuk akut maupun
kronis CDI.
Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mglml aqua,
nasal spray 10 mg dalam 0,l ml. atau dosis oral 0,l atau 0,2
mg.
Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau

intramuskularlsubkutan dengan kemasan 4 mglml.


Pemberian parenteraljauh lebih baik 5- 10 kali dibandingkan
intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2 mg tiap 8-12 jam.
Chlorpropamid (Diabenese)
Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan
sulfoniurea yang memiliki efek osmotic dari AVP di ginjal.
Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria
hingga 25-75% pada pasien dengan CDI.
Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang
berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam
sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresi AVP di
pitutari.
Dosisnya antara 250-500 mglhari dengan efek
antidiuretika 1-2 hari dan maksimum 4 hari.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan
anak-anak, serta bukan untuk kasus akut.
Prostaglandin Synthese Inhibitors
Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya
masih kurang diketahui. Di otak mempunyai efek
merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang
efek AVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan
NDI.
Natriuretic Agents
Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek
paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun
terapi utamanya untuk NDI.
Dosis 50-lOOmgIhari, biasanya dapat mengurangi
diuresis hingga 50% kombinasi dengan DDAVP sering
digunakan pada penderita NDI.
OAINS
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti
endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan
mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai
sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid.
Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik
maupun kelainan sekresi asam lambung.
Mengingat efek samping indometasin (penghambat
siklooksigenase- l1Cox-I), maka penggunaan penghambat
Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun
belum ada penelitiannya.
PENGOBATAN PADA KEADAAN TERTENTU
1. Pengobatan darurat pada dehidrasi.
2. Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan
bedah.
3. Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis,
hidroureter dan megakistik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

2. Gangguan reabsorbsi natrium di tubulus sehinga terjadi


kehilangan natrium dalam jumlah banyak dalarn urin.
3. Gangguan sel tubulus distalis terhadap efek ADH.
4. Hidrasi berlebihan selama fase oliguri.
5. Pembersihan solute di dalam medulla, ha1 ini diperlukan
kerja tubulus ginjal untuk mempertahankan gradient
hipertonik didalam interstitial ginjal.
Selama fase poliuria akan banyak kehilangan natrium
dan air, sehingga bila penanganan tidak baik, yaitu hidrasi
yang cukup maka akan terjadi dehidrasi dan berakibat
terjadinya gangguan ginjal lagi. Untuk ini diperlukan
penanganan dan pengawasan yang ketat.

4. Penanganan sewaktu masa pertumbuhan


5. Penanganan perkembangan psikomotor.

PENDEKATAN KLlNlK PADA PASIEN POLlURl


Diagram alur ini menggambarkan cara pendekatan klinik
terhadap pasien dengan poliuri. Sebelah kiri menunjukkan
gambaran diuresis air dan sebelah kanan menunjukkan
diuresis osmotik. (Gambar 3)

POLlURlA PADA GANGGUAN GINJAL AKUT


(GGGAIAKI = ACUTE KIDNEY INJURY)
POLlURlA PADA HlPOKALEMl

Poliuria merupakan fase setelah oliguri pada penderita


GgGA, pada fase ini penderita mengeluarkan banyak urin
sehingga disebut fase keluaran tinggi (high outputphase)
atau fase diuresis.
Pada fase ini filtrate glomelulus memasuki tubulus yang
belum sepenuhnya berfungsi normal, sehingga belum ada
fungsi reabsorbsi dan fungsi sekresi solute sehingga
hanya berupa cairan saja.
Beberapa penyebab terjadinya poliuria pada GgGA
antara lain :
1. Filtrat solute yang tadinya tertahan sewaktu terjadi
oliguri misalnya ureum yang merupakan zat aktif secara
osmotik.

Pasien dengan hipokalemi akan menyebakan pemekatan


urine oleh ginjal akan terganggu, mekanisme secara pasti
belum sepenuhnya diketahui. studi awal menunjukkan
bahwa hipokalemi yang menginduce poliuria tidak dapat
dikoreksi dengan pemberian ADH. Beberapa mekanisme
terjadinya poliuria karena hipokalemi antara lain :
Adanya produksi prostaglandin yang berlebihan.
Menghambat respons ADH.
Polidipsi primer.
Merubah pelepasan ADH.
Metabolism oksidati dimedulla yang abnormal.
Mengurangi medullary solute

--

POLlURlA

I
Uosm<250 mOsmlL
Diuresis air
Langkah 2b:
Cukupkah osmoles yang disaring?

Langkah 2a:
Apakah Pnaz140 mmollL

YA
DIABETES INSIPIDUS

TlDAK
-1POLIDIPSI

YA

TlDAK

Langkah 3b.
Penksa osmoles
di urln dan
tentukan sumbernya

Langkah 3a:
Respon terhadap Vasopresin?

- Diuresis air intermiten


- Defek ginjal
mengkonsentrasikan

DIABETES INSIPIDUS
SENTRAL

I
I

Langkah 4:

I-,.:I*,.., .,.I, , .

DIABETES INSIPIDUS
I

I OSMOLES ORGANIK I I
Glukosa
Urea
Monitol

Gambar 3. Algoritme poliuri

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

,
I

ELEKTROLIT

REFERENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Edoute,Y, Davids,M.R, Johnston,C. Halperin,M.L. An integrative


physiological approach to polyuria and hypematremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a patient with schizophrenia.
Q J Med.2003. 96: 531-40.
Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth
Ed, WB Saunders Company, 1996, 349 - 65.
Halperin,M,L. Davids M,R, and Kamel,K,S. Interpretation of urin
electrolyte and Acid-Base Parameter in Branner,B,M & Rector's,
The Kidney, Seventt Edit, Vol 2. Chapter 25. WB Saunders.2004:
1151- 81.
Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine
vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent
night-time voiding. The Journal of
Urology, copyright 2003: vol. 170: 480 - 4.
Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews,
www.genetes.org. January. 2005 . 1-19.

Koeppen BM, Stanton BA. Renal Physiology, Mosby Year Book.


Copy right. 1992. 70 - 90.
Lazorick S. Polyuria and Diabetes Insipidus. httpllwww.med.unc.edu/
medicine/web/diabetesinsipidus.htm.February. 2005. 1-5.
Quaedackers JS, RoelfsemaV, Hunter CJ, Heineman E, Gunn AJ,
Bennet L. Polyuria and impaired renal blood flow after asphyxia in preterm fetal sheep, Am J Physiol Regul Integr Comp
Physiol 286. 2004: R576-R583.
Hassane AML, Krane AL, Chen Q, Solaimani M. Early polyuria and
urinary concentrating defect in potassium deprivation. Am J
Physiol Renal Physiol. 279: F655-663. 2000.
Brenner BM. Brenner and Rector in. The Kidney. Eight Edit. 2007.
Dagher PC, Rosenthal SH, Ruehm SG, et al. Newley developed
techniques to study and diagnose acut renal failure. J Am Soc
Nephrol; 14;2003;2188-98.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GLOMERULONEFRITIS
Wiguno Prodjosudjadi

PENDAHULUAN
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering
dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan
penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Di Indonesia GN masih merupakan penyebab utama
PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun
data US Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes
merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi
klinik GN sangat bervariasi mulai dari kelainan urin seperti
proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif
cepat.

Glomerulonefiitisadalah penyakit akibat respon imunologik


dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah
diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh
berbagai faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana
individu merespons suatu kejadian. Secara garis besar dua
mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune
complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara
in-situ. Antigen (Ag) yang berperan pada pembentukan
deposit in-situ dapat berasal dari komponen membran basal
glomerulus (MBG) sendiri @xed-antigen) atau substansi
dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen).
Mekanisme pertama apabila Ag dari luar memicu
terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk
kompleks imun Ag-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks
imun akan mengaktivasi sistem komplemenyang kemudian

berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang


mengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus
dan mengendap di sub-endotel dan mesangium. Aktivasi
sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi
pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila
Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan
komponen glomerulus. Alternatif lain apabila Ag nonglomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian
anionik glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi
komplemen secara lokal. Selain kedua mekanisme tersebut
GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-mediated
immunity). Studi eksperimental membuktikan bahwa sel T
dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria
dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.
KERUSAKAN GLOMERULUS PADA GN
Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses
inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan komplemen
berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan sistem komplemen dan
sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa
keterlibatan sel inflamasi, dan melibatkan sel inflamasi
tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula
terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular
melalui sel T yang tersensitisasi (sensitized-T cells).
Pada sebagian GN, endapan kompleks imun akan
memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan
menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif dan
tipe sklerosing seperti GN membranosa (GNMN) atau
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) tidak melibatkan
sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang
mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan,
komposisi dan jumlah endapan sertajenis Ab berpengaruh
terhadap kerusakan glomerulus.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PROSES INFLAMASI PADA KERUSAKAN


GLOMERULUS

Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses


inflamasi yang dipicu oleh endapan kompleks imun. Proses
inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan
kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik.
Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya
sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and
rolling;).Proses ini dimediasi oleh molekul adesi selektin
L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada
permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD3 1
atau PECAM- 1 (platelet-endothelial cell adhesion
molecule-1) yang dilepaskan oleh sel endotel akan
merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini menyebabkan
ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel
inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan
sel endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi oleh
VLA-4 (very-late antigen 4) pada permukaan sel inflamasi
dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-I)
pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan antara LFA-1
(lymphocyte function-associated antigen-1) pada
permukaan sel inflamasi dan ICAM- 1 (intracellular adhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih mempererat
perlekatan tersebut. Proses selanjutnya adalah migrasi sel
inflamasi melalui celah antar sel endotel (transendothelial
migration). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai molekul
adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada
GN.

Selectins
E-selectin
L- selectin
P- selectin
lntegrins
P I-integrins
VLA-4
P2-integrins
LFA-1
Mac-I
~150.95

19-like family
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1

SEL INFLAMASI PADA KERUSAKANGLOMERULUS

Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan


glomerulus pada GN adalah leukosit polimormonuklear
(PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk
koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi
tersebut. Peran leukosit PMN dibuktikan pada GN akut
pasca infeksi streptokokus. Infiltrasi makrofag pada
glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN
kresentik. Belakangan dilaporkanbahwa infiltrasi makrofag
pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN dan berkaitan
dengan beratnya proteinuria. Interaksi antara makrofag
dengan sel glomerulus seperti sel mesangial, sel epitel atau
sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut
teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi
seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan
menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan.
Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem
koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel
endotel dan sel mesangial pada GN. Trombosit dapat
diaktivasi oleh kompleks imun atau Ab melalui ikatan
dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel.
Interaksi ini menyebabkan agregasi trombosit yang
akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler
glomerulus.

a subfamily
ENA-78
GCP-2
IL-8 (NAP-1)
ylP-10
NAP-2, NAP-4
PF-4
SDF-I a, SDF-1P

p subfamily
MCP-1 (MCAF)
MCP-2, MCP-3
MIP-la, MIP-1P
RANTES

ENA:epithelial~derivedneutrophil activating factor; GCP:


granulocyte chemotactic protein; IL-8 :interleukin-8;
NAP:neutrophil activating protein-7; PF-4: platelet factor-4;
SDF:stromal cell-derived factor; MCP :monocyte
chemoattractant protein ;MIP :macrophage inflammatory
protein; RANTES: regulated, on activation, normal T
expressed and secreted

VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function


associated antigen- I
ICAM-I: intercellular adhesion molecule-1; ICAM-2; VCAM1:vascular cell adhesion molecule-I

Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan


menarik sel inflamasi keluar dari dalam pembuluh darah
menuju jaringan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu kemokin-P dan kemokin-a, yang berturutturut mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit dan
monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Dengan
pengaruh kemokin akan semakin banyak sel inflamasi yang
bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi
lebih berat.

KOMPLEMENPADA KERUSAKANGLOMERULUS
Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya
endapan pada pemeriksaan mikroskop imunofluoresen (IF)
biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang
rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptococcz~sakut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN.
Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai
mekanisme pertahanan humoral. Pada GN komplemen
berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula
menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem
komplemen yaitu klasik dan alternatif.Kompleks imun yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasijalur klasik


sedangkan aktivasi jalur altematif dipicu oleh kompleks
imun yang mengandung IgA atau IgM seperti terlihat pada
Gambar 1.

radikal yang berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag


juga mampu melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin
proinflamasi, PDGF (platelet-derived growth factors),
TGF-P (transforminggrowth factor-P) yang berperan pada
patogenesis dan progresi GN.
EVALUASI KLlNlSDAN DIAGNOSIS GN

Jalur
AlternsUr

Proses terbenluknye
Komponen terminal

C9

Poly Cg Membrane Channels

Gambar 1. Aktivasi sistem komplemen jalur klasik dan alternatif

Kerusakan glomerulus terjadi aki-bat terbentuknya


fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi sistem
komplemen. Fragmen komplemen C3a, C4a, C5a bersifat
anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik
terhadap leukosit. Endapan kompleks imun sub-epitel akan
mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC
(membrane attack complex). Dalam jumlah besar MAC
akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada
GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan
mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk
kolagen serta produk metabolisme asam arakhidonat yang
bersifat protektif. Endapan C3b pada MBG menyebabkan
terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui
reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan
sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat
menyebabkan kerusakan glomerulus.

MEDIATOR INFLAMASI PADA KERUSAKAN


GLOMERULUS

Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel inflamasi atau


sel glomerulus yang teraktivasi seperti sitokin proinflamasi,
protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid
berperan pada kerusakan glomerulus. Aktivasi leukosit
menyebabkan dilepaskannya granul azurofilic yang
mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan MBG. Granul spesifik yang
mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen

Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat


kelainan struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonefritis
ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi
ginjal, dan perubahan ekskresi gararn dengan akibat edema,
kongesti aliran darah, dan hipertensi. Manifestasi klinik
GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang
terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN
progresif cepat, sindrom nefrotik, dan GN kronik.
Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan
walaupun setiap gambaran klinik dapat diasosiasikan
dengan berbagai jenis GN baik penyebab maupun kelainan
histopatologinya. Pada sindrom kelainan urin asimtomatik
ditemukan proteinuria subnefrotik dan atau hematuri
mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi
ginjal. Pada sindrom nefritik ditemukan hematuri dan
proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam
serta hipertensi. Glomerulonefritisprogresif cepat ditandai
dengan penurunan fungsi ginj a1 yang terj adi dalam
beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik, dan pada
biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik. Sindrom
nefrotik ditandai proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m2/hari),
edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
Glomerulonefritis kronik ditandai dengan proteinuria
persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan
fungsi ginjal progresif lambat.
Sumber pustaka lain membagi sindrom klinik GN
menjadi nefritik fokal, nefritik difus, sindrom nefrotik dan
GN pola non spesifik. Sindrom klinik nefritik fokal ditandai
dengan hematuri, red cell cast, dan proteinuria <1.5 g/24
jam. Pada sindrom nefritik difus proteinuria lebih berat tetapi
belum mencapai stadium nefrotik, edema, hipertensi dan
gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) ditandai
dengan edema anasarka, proteinuria masif, hiperlipidemia,
hipoalbuminemia dan pada pemeriksaan urin menunjukkan
lipiduria dan red cell cast. Gambaran GN yang tidak khas
misalnya pada nefritis lupus, infeksi virus hepatitis B atau
C dikelompokkan sebagai sindrom klinik pola non-spesifik.
Data GN yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5
tahun oleh Sidabutar dan kawan-kawan dari 459 kasus
rawat inap, 177 kasus lengkap dengan biopsi ginjal. Dari
177kasus yang dilakukan biopsi ginjal35,6% menunjukkan
manifestasi klinik sindrom nefrotik, 19,2% sindrom nefritik
akut, 3,9% GN progresif cepat, 15,3% dengan hematuria,
19,3% proteinuria, dan 6,8% hipertensi.
Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat
antiinflamasi non-steroid, preparat emas organik, heroin,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan

imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan


riwayat infeksi streptococcus, endokarditis atau virus
diperlukan untuk menelusuri penyebab GN. Keganasan
paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin
dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem
seperti diabetes melitus, amiloidosis, lupus dan vaskulitis
juga diasosiasikan dengan GN. Edema tungkai dan kelopak
mata merupakan gejala klinik GN. Pemeriksaan urin, gula
darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal
diperlukan untuk membantu diagnosis GN. Pemeriksaan
serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA,
antibodi anti-GBM (glomerulus basement membrane),
ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis GN dan
membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada
kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan infeksi
bakteri, virus HIV, hepatitis B dan C juga diperlukan.
Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran
ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi
sistem pelviokalises. Biopsi ginjal diperlukan untuk
menegakkan diagnosis secara histopatologi dan dapat
digunakan sebagai pedoman pengobatan. Biopsi ginjal
terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi
umum sedangkan biopsi jarum perkutan cukup dengan
anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran
ginjal kurang dari 9 cm yang menggambarkan proses
kronik.

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat
bervariasi tetapi secara umurn dapat dibagi menjadi GN
proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosis fokal
dan segmental, serta GN membranosa.

GLOMERULONEFRITIS LESl MINIMAL (GNLM)


Glomerulonefritislesi minimal merupakan salah satu jenis
yang dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula
sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerulus yang
normal. Pada pemeriksaan mikroskop elektron menujukkan
hilangnyafoot processes. sel epitel viseral glomerulus.

GLOMERULOSKLEROSISFOKAL DAN SEGMENTAL


(GSFS)
Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik
dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan
sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan
mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus
yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi

dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut


hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3.
Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan
pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.

GLOMERULONEFRITIS MEMBRANOSA (GNMN)


Glomerulonefiitis membranosa atau nefropati membranosa
sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada
sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui
sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi
hepatitis virus B atau C, t m o r ganas, atau akibat obat
misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi
non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak
menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada
pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan
komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler
glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi
spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada
mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat
tergantung pada stadium penyakitnya.

GLOMERULONEFRITIS PROLIFERATIF
Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi
dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif
(GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN
kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga
dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan
mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik
ekstraselular. Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pada
mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada
dinding kapiler yang berbentuk granular.

PENGOBATAN
Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab
sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas
penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan
darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors,
ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin I1 (angiotensin
I1 receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat.
Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah
dapat membantu menghambat progresivitas GN.
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih
belum seragam. Diagnosis GN, faktor pasien, efek samping
dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi
imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti
IL-la atau TNF-a dan aktivitas transkripsi NFkB yang
berperan pada patogenesis GN. Siklofosfarnid,klorambusil,
dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat
menekan inflamasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah
lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal
tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan
GN. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat,
takrolimus, dan sirolimusjuga belum diindikasikan secara
penuh untuk pengobatan GN. Pengobatan imunosupresif
terbukti memberikan keuntungan pada GN kresentik, GSFS,
GNLM, GNMN, dan pada nefropati IgA. Pada GNLM
prednison dosis 0,5-1 mg/kg berat badanl hari selama 6-8
minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat
digunakan untuk pengobatan pertama. Pada GSFS
kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama
sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan
pengobatan. Prednisolon diturunkan setengah dosis satu
minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis
diturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan
steroid mencapai 4 bulan. Pada GN yang resisten terhadap
steroid atau relaps berulang, siklofosfarnid atau siklosporin
merupakan pilihan terapi. Mofetil mikofenolat dapat
digunakan sebagai alternatif terapi pada GN resisten
steroid atau relaps berulang. Pada GNMN monoterapi
kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan
siklofosfamid atau klorambusil mencapai remisi 50%.
Kortikosteroid masih efektifuntuk pengobatan GNMP anak
tetapi tidak pada pasien dewasa. Pada nefropati IgA
prednison efektif menghambat progresivitas penyakit
tetapi kombinasi ACE-i dan AIIRA merupakan pilihan
pertama.

PENGOBATAN GN MASA DEPAN


Kerusakan glomerulus pada GN terjadi akibat interaksi
faktor penyerang dan unsur pertahanan. Oleh karena itu
pengobatan GN dilakukan untuk mengontrol proses dan
mediator inflamasi sebagai faktor penyerang dan
meningkatkan efek anti-inflamasi sebagai unsur
pertahanan. Molekul adhesi dan kemokin berperan penting
pada inflamasi glomerulus sehingga penelitian difokuskan
untuk mempengaruhi kedua molekul tersebut. Pada studi
eksperimental terbukti pemberian anti-MIP2, anti-MCP- I,
anti-VLA-4, anti LFA- 1 atau anti-ICAM- 1 dapat
mengurangi infiltrasi sel inflamasi dan terjadinya
proteinuria. Pemberian soluble IL-1 receptor, IL- Ira (IL-1
receptor antagonist), dan sTNFR (soluble TNF receptor)
dapat mempengaruhi efek mediator inflamasi sedangkan
anti-TGF-P dapat mengurangi akumulasi matrik
ekstraseluler dan progresivitas GN. Berbagai sitokin seperti
IL-4, IL- 10, IL- 13 dikenal mempunyai efek anti-inflamasi.
Pemberian IL-4 dapat mencegah produksi sitokin
proinflamasi dan meningkatkan sintesis anti-inflamasi IL-

Ira dan sTNF-a. Produksi oksigen radikal, IL- l a dan ILI p, IL-8, TNF-a oleh makrofag dapat pula dihambat dengan
pemberian IL- 13.
Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan
GN dan penyakit ginjal lain masa depan. Dengan melakukan
transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat
memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan
target utama transfer gen untuk memodifikasi proses
inflamasi. Transfer gen in vivo ke dalam glomerulus dapat
dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada
model GN anti-Thy. 1, transfer ODN antisens dapat
mencegah efek prosklerotik TGF-P dan terjadinya
glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit
karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis
sel yang berbeda.

REFERENSI
Arend WP. Interleukin-1 receptor antagonist. A new member of
interleukin-1 family. J Clin Invest. 1991;88: 1445-51.
Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl
7O):S3-S6.
Bockenstedt LK, Goetzl EJ. Constituents of human neutrophils
that mediate enhanced adherence to surfaces. J Clin Invest.
1980;65: 1372-80.
Burgess E. Management of focal segmental glomerulosclerosis:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppI
7O):S26-S32.
Chadban SJ, Atkins RC. Glomerulonephritis. Lancet. 2005;365:1797806.
Couser WG, Baker PJ, Adler S. Editorial Review. Complement and
the direct mediation of immune glomerulus injury: A new
perspective. Kidney Int. 1985;28:879-90.
Couser WG, Shankland SJ. Membranous nephropathy. In: Johnson
RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"d
edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 295.
Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical
presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"dedition. Edinburg: Mosby; 2003. p.
255.
Ferrario F, Castiglione A, Colasanti G, Di Belgioso GB, Berroli S,
D'Amico G. The detection of monocytes in human glomerulonephritis. Kidney Int. 1985;28:513-9.
Glassock RJ, QAdler SG, Ward HJ, Cohen AH. Primary glomerulus
disease. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 2nd
edition. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1991. p. 1 182.
Hebert LA, Cosio FG, Birmingham DJ. Complement and
complement regulatory protein in renal disease. In: Neilson EG,
Couser WG, editors. Immunologic renal diseases. lstedition.
Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 377.
Heber! MJ, Brady HR. Leukocyte adhesion. In: Neilson EC, Couser
WG, editors. Immunological renal diseases. Is' edition.
Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 51 9.
Holdworth SR. Macrophage-induced glomerulus fibrin deposition in
experimental glomerulonephritis in rabbit. J Clin Invest.
1985;76:1367-74.
Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

974

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Med. 1998;339:888-99.
Imai E, Isaka Y. Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72.
Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG, Klebanoff SJ. Role of
oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int.
1994;45:352-9.
Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease. Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally
J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2" edition.
Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243.
Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein
restriction and blood pressure control on the progression of
chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study
group. N Engl J Med. 1994;330:877-84.
Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75.
Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy:
evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl
7O):S47-S55.
Nakao N, Yoshimura A, Morita H, et al. Combination treatment of
angiotensin-I1 receptor blocker and angiotensin converting
enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a
randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-24.
Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental
glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby;
2003. p. 271.

Prodjosudjadi W. Monocyte chemoattractant protein-1 in


glomerulus disease and renal transplantation, [Thesis]. Leyden
University, ISBN 90-9009404-0, 1996.
Rose BD. Differential diagnosis of glomerulus disease. 2005
UpToDate. Available from URL: www.uptodate.com.(800)9986374.(781)237-4788
Rydel JJ, Kobert SM, Borok RZ, Schwartz MM. Focal segmental
glomerulus sclerosis in adults: presentation, course and response
to therapy. Am J Kidney Dis. 1995;25:534-42.
Schena FP, Johnson RJ, Alpers CE. Membranoproliferative
glomerulonephritis and cryoglubulinemic glomerulonephritis.
In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical
nephrology. 2"* edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 309.
Schlondorff D, Nelson PJ, Luckow B, Banas B. Chemokine and
renal disease. Kidney Int. 1997;s 1:610-21.
Sidabutar RP, Nico A Lumenta, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis
in Indonesia. One day course on Renal Immunology, Faculty of
Medicine, University of Indonesia, Jakarta, August 20, 1987.
Wheeler DC. Does lipid-lowering therapy slow progression of chronic
kidney disease? Am J Kidney Dis. 2004;44:9 17-20.
Wilson CB. Renal response to immunologic glomerulus injury. In:
Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 5Ih edition.
Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1253.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

AMILOIDOSIS GINJAL
M. Rachmat Soelaeman

PENDAHULUAN
Amiloidosis dan kelompok disproteinemi terdiri dari
spektrum beberapa penyakit dan secara patogenesis
berhubungan dengan penimbunan material derivat
imunoglobulin dalam ginjal.
Amiloidosis adalah suatu penyakit penimbunan hasil
metabolisme yang unik, dan yang ditimbun merupakan
protein fibriler yang tidak larut di dalam jaringan tubuh.

Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik


penimbunan polimer protein di ekstraselular dan gambaran
dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran
ultrashuktur yang khas. Polimer protein merupakan shuktur
tersier dan mempunyai ciri khas dalam perwamaan serta
stabil dalam kedaan patologis. Penimbunan interstisial
yang progresif akan menyebabkan disfungsi organ dan
menimbulkan gejala.

sekarang adalah berdasarkan kimia material.


Terdapat 2 tipe sistemik yang paling banyak yaitu AL
(amiloidosisprimer atau mieloma terkait amiloidosis) dan
AA (sekunder atau amiloidosis reaktif). Pendapat dahulu,
adanya deposit N terminal dari fragmen kappa atau lamda
rantai pendek imunoglobulindan pendapat sekarang adalah
berhubungan dengan fase akut reaktan serum reaktan
amiloid A (SAA) sebagai prekursor protein amiloidogenik.
Klasifikasi amiloidosis terdapat pada Tabel 1.
Struktur amiloid dapat dipelajari dengan melihat atau
mempelajari morfologi. Setelah pengecatan congo-red
temyata amiloid mempunyai struktur polaroid dan terlihat
khas bentuk dikelilingi seperti ape1 hijau. Terlihat secara
teratur morfologi deposit amiloid dalam mesangium
glomerulus. Gambaran ini sering terdapat pada semua tipe
amiloid dan pada preparat fibril murni. Radiologi
kristalogrofiakan terlihat fibril terdiri dari rantai polipeptida
tegak lurus sepanjang aksis fibril

ETlOLOGl DAN INSIDENS

Virchow adalah peneliti pertama yang memberi nama


amiloidosis untuk reaksi warna material yang khas, setelah
pewarnaan iodium dan sulfur. Interpretasi seperti ini
mengundang kontroversi untuk mempelajari lebih lanjut
mengenai komposisi proteinnya.

Berdasarkan data suatu RS di AS, amiloidosis terdapat


hanya 0,7% dari 11.586 atopsi pada 1961 sampai 1970.
Etiologi amiloidosis berhubungan dengan klinis: multipel
miel~ma,'~en~akit
inflamasi menahun, tetapi kebanyakan
tipe primer. Insidens amiloidosis berhubungan pula dengan
plasma cell dyscrasias,tetapi etiologi amiloidosis sekunder
bergeser dari infeksi supuratif menahun ke penyakit
rematik.

Amiloidosis dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan


tempat penimbunan material, tetapi pembagian yang

Perbedaan mekanisme patogenesis berdasarkan


perubahan protein amiloidogenik dan konfirmasi patologis

SEJARAH

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


1-erdapat beberapa macam
.-"-. .. .."... . ."."... .-....-"., . .-..".""., -.-.....-.

Deposit Am Wold. dan Penyakit Dasar


Klasifikasi

Distnbusi:
sisternik
~ (S). ~ Penyakit
~ dasar ~
lokal (L)

lmu noglobulin
ra ntai ringan

S ,L

Amiloid serum
A

Amiloidosis AA
sekunder; infeksi
kronik (malaria, TB)
atau inflamasi (AR.
spond ilitis
ankilosin g);
keganasan
(limfoma Hodgkin
dan
gastrointestinal,
karsinoma, GU)

MikroglobulinP2.

S, L

Hemodialisis: deposit
primer di sendi.

Transtiretin

Apr P

Mreloma mu ltipel.
diskrasia plasma
sel plasma,
amiloidosis. AL
primer.

Penyakit Alzhermer
sporad is, pen uaan
s~ndrom
Down

FAP (tipe Portugrs)


Ami loidosis
kardiovaskular sen il

CJD sporadls

Protein P rion
L

(iatrogen~k)
CJD famil~al,FFI

AApo Al

Apo lrpoprote~n
Al

S
L

Am1 lordos~ss~stem~k
A rte r~os
kleros~s

AApo Al I

Apo llpop roteln


All

Amr loldosrs glnjal


hered~ter

FAP (t~peFlnnlsh),
Lattrce corneal
dystrophy

Ami loidosis visera l


familial (ginjal, hati.
limpa)
Ami lo~dosisfamilial
(tipe Icelandic)

Agel

Alys

Lisozim

Afib, or Aa

Fibrinogen
rantai a

Al APP

Pol rpept~da
amrlo~d
pankreas

AANF

Peptida
natri uretik
atrial
Prolaktin

Am1 loldosls srstem~k


heredrter

Fibri lasi atrial

Pituitari

Iatroge nik
Kornea

A (tbn )
Ata u

Protein Tau

Ains
Aker

Gambar 1. Endapan amrlord pada kaprler menyumbat glomerulus


dan menyebabkan mesangrum menebal

langerh ans pankreas

Insulin
Keratoep ite lin
tbn

A pro

mekanisme: 1 ), protein
dengan tendensi melipat secara tidak normal sesuai umur
(transtiretin pada sistemik amiloidosis senilis) atau
konsentrasi dalam serum tinggi disebabkan ekspresi yang
berlebihan (AA amiloidosis) atau berkurangnya
penjerni han dari sirkulasi ( P , - t i ~ i kroglobuliri pada
hemodialisis). 2). mutasi sehinggapenggantian asam anlino
tunggal pada protein prekursor, sehingga keadaan tidak
stabil (herediter). 3). preteolitih parsial dari protein
prekursor sehingga tidak terdapat protein fibriler (prekursor
protein b-amiloid (APP) pada penyakit Alzheimer).
4). kehilangan mekanistne penghilangan peptida
amiloidogenik dengall konsentrasi lokal yang tinggi.
Peranan Faktor perangsang anliloid (AEP) belum
dimengerti secara baik dalam proses pembentukan fibril.
Komponen serum a~niloidP (SAP) dan komponen
metnbrana basalis, diantaranya glukosaminoglikan sulfat,
laminin, fibronektin, dan tipe IV kolagen terdapat pada
kondisi yang berhubungan dengan fibril AA amilod. Secara
pasti setnua ha1 tersebut masih metnerlukan penelitian lebih
lanjut.
Mekanisme dan tempat penimbunan:
1. Penurunan fi~ngsiorgan disebabkan selain oleh
perubahan tisis, arsitektur, dan fungsi karena adanya
fibril amiloid; juga oleh secara pengaruh lokal toksin
fibril.
2. Dapat pula disebabkan oleh oxidative .\ti.e~.sdan aktifasi
apoptosis, seperti terjadi pada amiloidosis AL.

Tumor-tumo r
Pindborg
Otak
Gambar 2. Amrlord dengan pengecatan congo red terlrhat am~lord
tersebar dalam glomerulus

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Garnbar 3. Membran basal~sdan kapller glomerulus rnenebal


aklbat penumpukan amilo~d

12-15 bulan atau kurang bila ada mieloma. bila amioloid


mengenai liver (9 %) prognosis lebih baik.
Amiloidosis AA (sekunder) terdapat pada penyakit
inflamasi menahun atau infeksi; penyakit yang sering
menyertai adalah artritis rematoid, arteritis rematoid
juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, dan
tuberkulosis merupakan infeksi menahun dan sering
menyertai amiloidosis AA. Amiloidosis AA dapat disertai
pula penyakit Hodgkin, keganasan dalam saluran makanan
dan saluran kemih. Prognosis amiloidosis AA, 50% selama
5 tahun dan 25% selama 15 tahun.

DIAGNOSIS

Gambar 4. Endapatatau depos~tamllord pada korteks glnjal sepert~


Illin abu

3. Sampai 25% kelainan hanya pads satu organ. Deposit


mungkin spesifik organ, seperti pada amiloidosis P2
mi~roglobulin
terdapat pads sendi, Aa ( A fib) amiloid
pada parenkim ginjal.

MANIFESTAS1 KLlNlS
Amiloidosis sistemik pada umumnya progresif dan fatal,
tetapi perjalanan penyakitnya masih tetap belum diketahui
pasti, sebab pengenalan klinis sangat kurang sampai
fase terakhir. Amioloidosis dapat mengenai semua umur
dan jenis kelarnin. Presentasi atau manifestasi klinis
tergantung dari distribusi dan jumlah timbunan amiloid,
dan ge.jalanya tidak spesifik. Gejala dan tanda jang sudah
diketahui pada arniloidosis sisteniik adalah makroplosisa.
sindrom neikotik, gaga1 ginjal, sindrorn carpal tunnel,
neuropati sensorik dan tnotorik. gaga1 jant~mgatau aritmia,
hepatosplenomegali, diare, nialabsorpsi, ulkus,
limpadenopati, gangguan pembekuan darah, fragilitas
kapiler. dan gangguan agregasi trombosit.
Gejala amiloidosis AL yang paling sering terdapat pada
diskrasin set plasma atau sel B. atau gamopati monoklonal;
amiloidosis sering bersamaan dengan mieloma 15% tidak
disertai penyakit lain. Pada amiloidosis AL yang mengenai
gastrointestinal (7%) sering disertai perdarahan hebat
sehingga mengancam jiwanya. Prognosis amiolodosis AL,

Diagnosis klinis amiloidosis merupakan salah satu


tantangan dalam kedokteran. Langkah pertama adalah
kecurigaan secara klinis, selanjutnya dilakukan pendekatan
oleh beberapa disiplin ilmu dan termasuk dalarn pendekatan
ini adalah riwayat keluarga, pemeriksaan klinis. dan
mempelajari jaringan.
Teknik biokimia dan molekular merupakan pilihan
pemeriksaan diagnostik dan bila imunohistokimia gagal
menemukan deposit protein ha1 yang mendukung pada
organ yang terkena. Teknik ini penting pula untuk
pemeriksaan keluarga yang mempunyai kemungkinan
amiloidosis familier. Lebih dari 100 mutan amiloidogenik
telah dapat teridentifikasi sebgai amiloidosis sistemik
herediter, dan bentuk herediter ini sering salah diagnosis
sebagai amiloidosis AL karena penampilan klinis yang
hampir sama. Efektivitas pengobatan dan prognosis akan
dipengaruhi oleh diagnosis lebih awal, penemuan tipe fibril
protein endapan (deposit), dan konseiing genetik. Analisis
DNA dengan mempergunakan PCR perlu pula dilakukan
untuk mengetahui terjadi mutasi.
Teknik yang lebih akurat adalah pemeriksaan dengan
~kinfigrafiuntuk mendeteksi deposit pads organ dan
pemeriksaan ini noninv~~.sive.

TERAPI
Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang diprediksi
efektif untuk pencegahan fibrilogenesis atau memobilisasi
deposit yang sudah stabil, tetapi beberapa pasien pernah
dilaporkan mengalami regresi deposit.
Tindakan primer adalah memperbaiki kondisi yang
mendasarinya untuk mencegah produksi yang berlebihan
dari protein prekursor atau mengurangi deposit atau
pembentukan fibril.
Penggunaan melt'alan, deksametason, kolkisin, atau
kombinasinya dapat digunakan unti~kamiloidosis AL dan
ternyata dapat memperbaiki fungsi organ yang terkena.
Dosis tinggi kemoterapi diikuti oleh transplantasi sumsum

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


tulang atau stem cell mungkin akan meningkatkan
survival rates. Telah dilaporkan pula penurunan progresif
fungsi hati, kemudian dilakukan transplantasi hati,
kemudian diikuti transplantasi stem cell.
Pada amiloidosis AA diberikan yang agresif untuk
penyakit dasarnya, umpanya pada rematoid artritis
diebrikan imunosupresif. Kolkisin dapat mencegah terjadi
arniloid, demam mediteranian, dan memperbaiki fungsi
organ. Transplantasi ginjal akan memperbaiki P2
mikroglobulin, prekursor amiloidosis AH dan high-j7wc
hemodialysis mungkin mencegah HD-related amyloidosis.

REFERENSI
Appel GB, Radhakrishnan J, and D'Agati WD. Secondary
glomerulus disease. In: BM Brenner, editor. The kidney. 7th
edition. Library of congress cataloging Publication; 2004. p.
1418-23.
Basi S, Schulman G, and Fogo AB. Multiple complications in
multiple pyeloma. 2005;45(3):619-23.
Brunt EM, Tiniakos DG. Metabolic storage disease: amyloidosis.
Clin Liver Dis. 2004; 8(4):915-30.
Murphy CL. Renal apolipoprotein A-I associated with a novel
mutant leu 64 Pro. Am J Kidney Dis. 2004;44(6):1103-9.
Schwartz MM, Korbet SM. Amyloidosis and the dysproteinemias.
Immunologic renal disease. New York: Lippincot-Raven; 1997.
p. 1147-60.
Yazaki M. A patient with severe renal associated with an
immunglobulin g-heavy chain fragment. Am J Kidney Dis.
2004;43(5):619-23.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

NJAL DIABETIK
,
PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan
bahwa prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat
di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara
di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian besar
dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien
DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami
bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan
mengalami peningkatan di era awal abad 2 1 ini. Pada dekade
ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai
komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi
pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga
kelihatan di Indonesia.
Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat
terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi
saluran kemih, pielonefiitis akut maupun kronik, dan juga
berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut
sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara
patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara
klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson
pada tahun 1936,berupa glomerulosklerosisyang noduler
dan difus.

PATOGENESIS

Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui


fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT 1,
yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti
poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C
(PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut
sebagai advanced glycation end-products (AGES).
Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang

dapat berperan penting dalam p e r t ~ m b u h a nsel,


~
diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini addah mitogen activatedpratein kinases
(MAPKs), PKC-b isoform dan extracellular regulated
protein kinase (ERIC). Ditemukannya zat yang mampu
menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terhukti
mengurangi akibat yang timbul, seperti, mencegah
peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan
struktural berupa penumpukan matriks mesangial.
Kemungkinan k s a r perubahan ini diakib8tkan penuwan
ekspresi transforming growth factor-@ (-TGF-,fi), dan
penmanextrucellda~matrix (ECM). PamTCSF-P dalam
perkemba~gannefropati diabetik ini telah ditwnjWan pula
oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkatpada
ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas .dipercaya
bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada
pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju
tahap lanjutan.
Penelitian dengan menggunakan micro-pupcture
menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus rnemgkat
pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik
meningkat. Perubahan hemodinarnik ginjal ini diduga terkait
dengan aktivitas berbagai hormon ~vastraktif,seperti
angiotensin-I1 (A-11) dan endotelin. Apakah ,peningkatari
jalur hormonal ini terkait dengan hiperglikemia Mum jehs;
akan tetapi pada binatang percobaan pemberian
penghambat ACE ataupun angiotensin receptor blocker
telah ditunjukkan rnengurangi tekanan intraglomerulus,
Oleh karena penghambatACE bukan hanya mempengaruhi
jalur terkait angiotensin-I1 tetapi juga rnempengaruhi
degradasi bradikinin, suatu vasodilator, maka sebenarnya
belum dapat disimpulkan pengaruh baik tersebut adalah
diberikan oleh antagonis te~hadapA-11. Begitugwr
berbagai laporan telah juga menunjukkan bahwa pengaruh
utama dari penghambat ACE terhadap terjadinya
albuminuria jangka panjang serta perubahan struktural

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

glomerulus adalah melalui kemampuannya menghambat


A-11.
Pasien dengan nefropati diabetikjuga mempunyai risiko
tertinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular,
sebagaimana juga retinopati dan neuropati. Penyakit
kardiovaskular berhubungan erat dengan disfungsi
endotel (DE), yang pada diabetes juga meningkat. DE
merupakan penyulit banyak faktor risiko dan dianggap.
berperan penting, baik dalam memicu terjadinya maupun
dalam progresivitas aterosklerosis. Pada berbagai faktor
risiko tersebut, seperti LDL-kolesterol yang oksidatif,
merokok, dan hipertensi, A-I1 dan diabetes memicu
aterosklerosismelalui &ivasi endotel. ~eselun;han'f&tor
risiko ini membuat ketersediaan nitric oxide (NO)
berkurang baik karena produksi yang menurun ataupun
degradasi yang meningkat, kesemuanya menambah lagi
aktivasi endotel. Pada DM tipe 1 keadaan ini terlihat
mendahului terjadinya mikroangiopati diabetik dan
mungkin juga sebagai penyebabnya.
Ada pandangan bahwa hiperglikemia memudahkan
terjadinya DE, selanjutnya faktor lain berperan untuk
menentukan pasien mana yang akan mengalami nefropati
diabetik dan angiopati yang agresif dan pasien mana pula
yang tidak. Faktor itu adalah genetik dan lingkungan. Pada
pasien DM tipe 2, DE sudah muncul sejak awal
ditemukannya diabetes dan merupakan petanda buruk.
Tidak jelas apakah DE pada diabetes ini disebabkan
hiperglikemi atau faktor lain. Faktor penentu lain yang paling
penting adalah peningkatan inflamasi. Ada yang
berpendapat bahwa DE pada DM adalah primer, dengan
kata lain DE adalah penyebab dan bukan disebabkan DM.
Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya
dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40%
pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh kedalam
nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit
diabetes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan
bahwa terjadinya nefropati diabetik terkumpul pada
kelompok keluarga tertentu. Salah satu yang selalu
diselidiki orang adalah polimorfisme pada renin angiotensin system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu
genotip M235T dari angiotensinogen dan insersi/delesi
(VD)dari genotip ACE. Selalu dikemukakan bahwa genotip
DD mempunyai kaitan dengan terjadinya makroangiopati
pada pasien DM tipe 2 dari ras Cina, akan tetapi tidak pada
ras lain. Masih menjadi pertanyaan besar apakah nefropati
diabetik diturunkan bersamaan dengan DM? Apakah
timbulnya nefropati diabetik semata mata karena penyulit
seperti hipertensi, ataupun resistensi insulin? Pertanyaan
ini belum punya jawaban yang jelas.

DIAGNOSIS DAN PERJALANAN KLlNlS


Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuriapada
pasien DM, baik tipe 1 maupun t i p 2. Bila jumlah protein/

albumin di dalam urin masih sangat rendah sehingga sulit


dideteksi dengan metode pameriksaan urin yang biasa,
akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20 uglmenit,
disebutjuga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap
sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria/proteinuria
ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap
kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai
albuminlkreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi
albuminlprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi
petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam
Tabel 1.

Kategori

Kumpulan
urin
24 jam
(mg124hr)

Kumpulan
urin
sewaktu
(~glrnin)

Urin
sewaktu
(pglrng
creat)

<30
30-299
->300

-=20
20-199
->200

<30
30-299
>300

Normal
Mikroalbuminuria
Albuminuria
klinis

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada
latihan fisik dalam 24 jam terakhir, infeksi, demam, payah
jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang
sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)

Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi


dalam tahapan sebagai berikut:
Tahap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% di atas
normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap
ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal
diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian
glukosa darah yang ketat biasanya kelainan h g s i maupun
struktur ginjal akan normal kembali.
Tahap 11. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes
tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG
masih tetap meningkat. Alburninuriahanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali
metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung
lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap
berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan
memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai
tahap sepi (silent stage).
,
... :
Tahap 111. Ini adalah tahap awal nefropati (incipientdiabetic
nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap
ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes
tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan
membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan
tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan
ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivitas masih
munglun dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darab
yang ketat.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tahap IV.Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik
bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata
dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat
serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi
setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain
sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati,
gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum.
Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat
dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan
tekanan darah.
Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan
tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan
khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok
ginjal.
Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah
banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung
bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan
albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati
diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40% dari pasien
ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya
penurunan laju filtrasi glomerulus maka laju penurunan
akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun
setelah keadaan ini, hanya sekitar 20% dari pada mereka
yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir)
PGTA.
Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM
tipe 1 dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan
DM tipe 2 lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi
penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien
tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan
PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien
DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami
gagal ginjal.

TERAPI DAN PENCEGAHAN


Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah
hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai
hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus
merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap
berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya
adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di
tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga
merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat
progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar
gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah.
Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya
hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan
bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan
merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit
kardiovaskular.

Pengendalian Kadar Gula Darah


Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun),
dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa
pengendalian kadar gula darah secara intensif akan
mencegah progresivitas dm mencegah timbulnya penyulit
kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM
Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi
ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud
dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian
kadar HbA 1c <7%, kadar gula darah preprandial 90- 130
mgldl, post-prandial <180 mgldl.
Pengendalian Tekanan Darah
Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan
memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal,
renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular.
Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula
renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan
target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian
tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya
target adalah tekanan darah <I30190 mmHg, akan tetapi
bila proteinuria lebih berat, >lgr/24 jam maka target perlu
lebih rendah, yaitu 425175 rnrnHg. Hams diingat bahwa
mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai
kombinasi berbagai jenis obat, dengan berbagai efek
samping, dan harga obat yang kadang sulit dijangkau
pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah
tercapainya tekanan darah yang ditargetkan, apapun jenis
obat yang dipakai. Tetapi karena Angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik
maupun renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini
sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM.
Pengaturan Diet
Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM
tidak diterangkan dalamjudul ini. Dalam upaya mengurangi
progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah
protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik
selama 4 tahun pada pasien DM tipe 1 yang diberi diet
mengandung protein 0,9 gram/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA=ESRD) sebanyak 76%. Umumnya dewasa ini
disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak
0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori,
pada pasien dengan Neji-opatiovert, tetapi bila LFG telah
mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet
menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk
memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Begitupun
hams diantisipasi terjadinya kekurangan nutrisi.
Jenis protein juga berperan dalam terjadinya
dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging
ayam pada pasien DM tipe 2 menurunkan ekskresi
albumin dalam urin sebanyak 46% dengan disertai

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

penurunan kolesterol total, LDL kdesterol, dan


apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak
jenuldtak jenuh pada kedua jenis bahan makanan berbeda.
Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan
dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan
obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin
dengan target LDL kolesterol <100 mgldl pada psien DM
dan c70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.

Penhnganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di
Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif
secara multifaktorial >pads ,pasiea DM tipe 2 detrgan
miki-oalbuminuiiamenunjukkan pengurangan faktor risiko
yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan m u m
penanggulangan diabetes 'nasional mereka. Juga
ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat
bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok
yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik
seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih
rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah krapi yang
dititrasi sampai mencapai target, baik t e h a n darah, kadar
gula darah, lemak dzrrah, dan miroalbuminuria serta juga
disertai peneegahan penyakit kardiovaskular dengan
pernberian aspirin. Dalam kenyataamya pasien dengan
terapi intensif lebih banyak rnendapat obat golongan ACEI dan ARB, Dernikiatljuga dengan obat hipoglikemik oral
dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak
mendapat statin.
Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal
ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu
dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein,
pembtrian, obat pengikat fosfat dalam makanan,
pencegahan dan pengobatan anemia den
eritropoietin, dan lain-lain.

REf ERENSl

American Diabetes Association. Hypertension management in adults


with diabetes. Diabetes Care. 2004;27(S):S65-57.
American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes. Diabetes
Care. 2004;27(S):S79-S83.
Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function
in adults with hypertension and diabetes: NKF hypertension and
diabetes. Executive committee Working Group. Am T Kidney
Dis. 2000;36:646-61.
Cooper ME. Seminar: Pathogenesis, prevention and treatment of.
diabetic nephropathy. Lancet. 1998;352:213-9.
Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GVH, Parving HH and Pedersen
0.Multifactorial intervention and cardiovascular disease in
patients with type 2 diabetes. New Engl J Med. 2003;348:38393.
Gross JL, de Azevedo MJ, Silvero SP, Canani LH, Caramori ML,
Zelmanovitz T. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention
and treatment. Diabetes Care. 2005;28: 176-88.
Kikkawa R Koya D, Haneda M. Progression of diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2003;41 (S I):S19-S21.
King H, Rewers M. Global estimates for prevalence of diabetes
mellitus and impaired glucose tolerance in adults. WHO ad hoc
diabetes reporting group. Diabetes care. 1993; 16:157-77.
Merta M, Reiterova J, Rysava R, Kmentova D and Tesaf V. Genetics
of diabetic nephropathy. Nephrol Dial Transplant. 2003;18(Suppl
5):24-5.
Roesli R, Susalit E, Djafar J. Nefropati diabetik. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. ~ d i s ke-3.
i
Dalam': Suvono S. dkk. editor. Jakarta:
~ a i a Penerbit
i
FKUI; 2b01. p. 356-65.
Satko SG, Langefeld CD, Daelhagh P, Bowdert DW, Rich SS and
Freedman B1. Mephrapathy id siblings of African Amerkans
with overt type 2 diabetic nephsopilthy. Am J Kidney Dis.
2002;40:489-94. ,
,
Stehouwer CDA. Endothelial dysfunction in diabetic nephropathy:
state of the art and potential significance for non diabetic renal
disease. Nephrol Dial Transplant. 2004;16:?78-81.
Sharma K, Ziyadeb FS, Alzahabi B, et al. Increased renal production
of transforming growth factor T P I in patients with type I1
diabetes. Diabetes. 1997;46:854-9.
USRDS. Incidence and prevalence of ESRD. Am J Kidney Dis.
2004;45(S):S57-S74.
Ziyadeh FN, Isono M, Chen S. Iavolvement of the transforming
growth factor- P system in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Clin Exp Nephrol. 2002;6:125-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

154
NEFRITIS LUPUS
Lucky Aziza Bawazier, Dl~armeizar,H.M.S. Markum
I

PENDAHULUAN

rr

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit


jaringan ikat, etiologinya tidakjelas diketahui dan termasuk
soluble immune complexes disease, di mana gambaran
klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh,
serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan
eksaserbasi.
Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti,
tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa
faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi
virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakan soluble
immune complexes disease, ditandai lesi autoimun disertai
pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan
organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal.
Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES
telah diketahui sejak lebih dari 54 abad yang lalu. Sedangkan
gambaran lengkap keteriibatan komplikasi ginjal tersebut
baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien
dengan LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American
Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi
tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11
manifestasi tersebut, sudah dapat di katagorikan sebagai LES.
Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut
adalah: 1). Ma2ar rdsh, 2). Discoid rash, 3). Photosensitivify, 4). Oral ulcers (ulserasi mulut), 5). Arthritis non erosif,
6). Serositis (pleuritislperikatditis), 7). Gangguan ginjai
(prdteinuria ,500 mghari atau silinder sellcellztlar cast;
8). ~ a k g u a nneurologis (kejang atau psikosis) kelainan
gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti
anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau
trombositopeni), 10). Kelainan imt~nologis(hasil tes sel
lupus eriternatosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi
anti sel lupus atau hasil test serologi false positif untuk
sifilis,antibodi anti fosfolipid), 11). Hasil tes positif antibodi

anti nulclear (ANA (+)).


Walaupun kriteria di atas sensitivitasnya 96% dan
spesifisitasnya96%, ferapi kriteria tersebut didesainmtuk
klasifikasi, tidak untuk tujuan diagnostik. Jelasnya, banyak
pasien masih sulitJgaga1untuk diagnostik klinis pasti untuk
1 , ,
memenuhi kriteria tersebut di atas.
- , Prevalensi keterlibat~giqialdM LES zang diuam&n
nefritis lupus, qangat-,bervariasi dan:berbeda;heda,
bervariasi antara 31-6$% (rata-rata,40%) pada awgl,LES,
Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada LES dewasa
terhadap ginjal rata-rata 60% kadang-kadang pada 3-6%
pasien, manifes kelainan ginjal merup&qela%%i
fie&$ma
yang 85iemukari sebelum gejaIa klinis LES lain nluncul.
Walaupun perempuan yang terkena Illpus lebih bhnyak
dengan perbandingan 5: 1 dibandingkan pria, tetapi pada
pria dengan LE'$ insid& terjadinyd hefritis lupus lebih
tinggi walaupun tidak berbeda bkrmakna dengan
perempuan. Orang Asia dan kulit hitam lebih sefing
mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras iainnya.
Peningkatan risiko nefiitis lupus dihdbungkan derlgan
HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR~dirh HLA DQ-beta,
difisiensi komplemen seperti Clq, C2, dan C4, serta
ptoduksi tumor n$crdsis'jhctor (TNF)' yang rendah.
r - b ,

"

ETIOLOGI
Etiologi LES seperti telah diutarakan di atas, beium
diketahui dengari pasti. Beberapa faktor infeksi seperti
infeksi virus konkorna, genetik hormonal diduga'sebagai
faktor predisposisi.
lnfeksi Virus
Percobaan binatang dengan strain tikus New Zealand
infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

984

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

perubahan-perubahan limfosit sel-p yang menyerupai


limfosit sel-p yang terdapat pada LES aktif manusia.

Faktor HerediterlFaktor Genetik


Sebagaimana kelainanlgangguan autoimun, bukti telah
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan
penting pada perkembangan LES maupun nefiitis lupus.
Berbagai jenis gen yang banyak belum teridentifika~i
memediasi faktor predisposisi genetik ini. Faktor-faktsr
lingkungan mungkin memicu perkembangan penyakit ini.
Studi epidemiologi klinis telah menemukm hubungan
faktor herediter dengan LES antara lain:
1. Kembar (identical twin), terutama pada kembar
monozigot daripada kembar dizigot: tetapi peran
lingkungan juga besar.
2. HLA-P haplotipe
3. Antigen DRW2 dan DRW5
4. Defisiensi C2 inborn.
5. HLA DR2 dan HLA-DR3 berhubungan dengan LES
6. HLA-DR4 dihubungkandengan prevalensi yang rendah
dari LES dan tampaknya sebagai pelindung dari
serangan LES.
Faktor Hormonal
Studi epidemiologiklinis menemukan bahwa kejadian LES
lebih sering pada perempuan muda, diduga mempunyai
hubungan dengan hormon androgen dan estrogen.
Gen Komplemen
1. DefisiensiC 1Q, C 1Rdan C 1S dihubungkan dengan LES,
NL dan produksi dari anti-dsDNA (anti-doublestranded DNA)
2. Defisiensi C2 dan C4 dihubungkan &ngan LES atau
sindrom yang mirip dengan lupus (lupus like syndrome).
3. Hilangnya C4A dan kemungkinan C4B dihubungkan
dengan LES
4. FCgR gen: mediasi ini mengikatZgG danI@ yang terdapat
kompleks imun pada sel-sel seperti makrofag dan fagosit
mononuklear yang lain.
5. ~ u ~ aF C ~ G
danIRIIIa
~ yang mengikat IgG2 dan
IgGl secara berturutan, dimana R13 1 dihubungkan
dengan nefritis lupus dalam populasi kulit hitam.
6. Gen sitokin: gen IL 10 dan kemunglunan IL 1 RN,$an
TNF-a dihubungkan dengan LES.
7, ,, G e n a p ~ p t ~ s@e@osis,ge$:,Dd~k
is
d~ibeberap,a
gen
apoptosis ,dihubungkan dengan lupus like syndrome
pada tikus danjarang pada LES manusia termasuk CD95
danCD178.

,;!

'

3 :

$ 2

aksi antara

faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan,


faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin.
Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan
mengakibatkan terjadinya respons imun yang menimbulkan
peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi
peningkatan auto-antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian
dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun
bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C,q,
laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, clan ribosom; yang kemudian
akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi
kerusakanjaringan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan
deposit k6mpiek imun dengan sediaan imunofluoresen atau
mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci immune necrotizing glomerulonephritis.
.

Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus

Gambar 2.

Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan


dengan letak lokasi terbentuknya deposit komplek imun.
Deposit pada mesangium dan subendotel terletak
proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga
mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah
ini akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian
membentuk kemoatraktan C,a dan C,a. Selanjutnya terjadi
influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada
me,sangium dan subendotel secara histopatologis
memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan
proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEFRlTIS LUPUS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder


sel dan granula), proteinuria, dan sering disertai p e n m a n
fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak
mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena
dipisahkan oleh membran basalis glomerulus sehingga
tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara
histopatologis memberikan gambaran nefropati
membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala
proteinuria.
Pengaruh MAC dari komplemen (C5b-9) pada
glomerulus, yaitu: 1).Aktivitas komplemen oleh kompleks
imun dan terbentuk C5b6. C5b6 ini terikat dengan
komponen C7, C8 dan C9 untuk merangsang podosit,
2). Memproduksi kolagen, 3). Alternatif lain merangsang
sel-sel mesangial dengan dilepaskan oksigen radikal bebas,
PGE dan IL-1. Radikal oksigen bebas mempunyai fimgsi
biologis terutama merangsang trombosit dan nekrosis
jaringan, 4). IL-1 merangsang podosit untuk sintesis
kolagen, 5). Merangsang pembentukan PGE, TNF dan
proliferasi sel mesangial.

Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti


kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi
NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi
spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya,
imunofluoresen,dan mikroskop elektron.
International Society Nephrology/Renal Pathology
Society (ISNIRPS)membuat klasifikasi baru NL. Klasifikasi
baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan
glomerulus serta kelas 111 dan IV lebih rinci perubahan
morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresendapat
ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal
(glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah).
Biasanya ditemukan'lebih dari8atu kelas imunoglobulin.
Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM
dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa di
identifikasi komplemen C3 dan Clq. Pewarnaan untuk
fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi crescent
dan lesi nekrotik segmental.
Sebagai tambaha.ntnlidasifikasi patologis, aktivitas dan
kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk
penentuan prognosis ginjalnya (progresi dari penyakit
ginjd). Id& aktivitas merefleksikankeadaan di inflamasi
yang aktif yang diperoleh dari biospi, yang reversible
dengan terapi obat. Indeks kronisitas merefleksikan
banyaknya fibrosis dan jaringan parutlnekrosisyang tidak
berespons terhadap tertapii: GckC. @jat b g m :indekd
aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang
agresif dimana lesi ginjal yang kronisitasnya tinggi tidak
respon.
Tabel 1, 2, dan 3 sebagai estimasi untuk prognosis
chn pedoman umwn terapi, Pengobatan yang agresif akan

Kelas
f#stsgorl
WHO)

Gambaran
Mlkroskop
Cahaya

Gambaran
Mikroskop
Elektron
(DepR
Elektron)

Gambaran
Mlroskopis
Imunofluonucence
(Deposit lglC

Normal (I)

Nmal

Glomerulonefri
tis
mesangial
proliperatif
(11)
Glomerulonefri
tis fokal
segmental
proliferatif
(111)

Normal atau
pelebaran
mesangial
difus dan
hiperselular
Hiperselular
mesangial
difus dengan
fokal dan
segmental,
segmental
nekmsis dan
trombin
hial~n
Hiperselular
difus,
interposisi
mesangial,
deposit
subendotel,
nekrosis
segmental.
trombus
hialin, badan
hematoksilin.

Mes : ++
SE :+
Epi :O

Mes : ++
CW :+
SE
Epi : 0

Mes : +++
SE : +
Epi : 0

cw

;nesangial
nngan
deposit
ep~membran
a, tonjolantonjolan
Fokal

SE
Epi

Glomerulonefri
tis difus
proliferatif
(IV)

tis membran
lupus (V)

Glomemlonefri
tis sklerosis
lanjut

Nefritis
interstisial

superimpose

d dan
segmental
atau
skleros~s
pada
kategori I V N
Tubulointerstisi
al akut dan
kronis

Mes : +++
SE : +++
Epi : +++

:2
+++

'

Mes : +
CW : +
Membran
tubulus
basement

++ Variabel
glomerulus
deposit

:+

Mes : ++
:+
SE : +
Epi : 0

Mes
CW
SE
Epi

: +++
: ++
: +++
: ++++
deposit
tubulointerstisial
ekstraglomerular

CW :
SE : 2

Mes : ++++
CW :
Membran tubulus
basement

++ Variabel
glomerulus deposit

memberikan gejala-gejala yang merupakan perubahan


histopatologi aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukkan
tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang
kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievlluasi
pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas
ke kelas yang lain secara spontanlpengobatan
u

GEJALA KLlNlS

Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien


LES, dan ;id& jarang merupakan gambaran klinis pertarna
dan satu-satunya yang akan mengikuti periode remisi dan
eksarsebasi sesuai dengttn LESnya. Manifestasinya kliniS
NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan
dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kelas

Deskripsi

Glomerulus normaL (dengan pemeriksaan mikroskop


cahaya, imunofluoresen, m~kroskopelektron)
Perubahan pada mesangial
a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada
mesangial dengan imunofluoresendan atau
mikroskop elektron.
b. Hiperseluleritasmesangial dan terdapat deposit
pada imunofluoresendan atau mikroskop
elektron.
Focal segmental glomerulonephritis
a. Lesi nekrotik aktif
b. Lesi sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
Glomerulonefritisdifus (proliferasi luas pada
mesangial, endokapiler atau mesangiokapilerdan
atau deposit luas sub endotel)
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrotik aktif
c. Dengan lesi aktif dan sklerotik
d. Dengan lesi sklerotik
Glomerulonefritis membranosa difus:
a. Glomerulonefritismembhnosa murnl
b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)
Glomerulonefritissklerotik lanjut.

II

Ill

IV

VI

lndeks aktivitasllesi
aktif
Glomerulus

Tubulo
interstitial

Proliferasi
endokapiler
lnfiltrasi lekosit
Depos~thialin
subendotel
Nekrosis fibrinoidl
karioreksis

lnflamasi interstitial

lndeks kronisitasl
lesi kronis

Sklerosis glomerulus
(glomerulosclerosis)
Bentuk crescent
fibrosis (fibrosis
crescent)

Fibrosis interstitialisdan
tubulus atrofi

keadaan sindrom nefrotik atau keadaan darurat medis


(sindrom nefritik akut dan syndrome rapidly progressive
glomerulonephritis). Gejala NL biasanya berkorelasi baik
dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya.

GAMBARAN KLlNlS NL

Glomerulopati/nefropati asimplomatik. Kelainan


urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien,
hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin
(silinder eritrosit, silinder lekosit).
Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit
dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus,
gangguan tubular pada 60-80% pasien.
Sindrom RPGN (Rapidlyprogressiveglomerulonephritis).
Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejalagejala khusus RPGN:

1. Onsetnya cepat
2. Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggd
bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal
3. Hipertensi sistemik yang cukup mencolok
4. Proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen
aktif.

Sindrom glomerulus progresif dan kronis, ditandai


dengan kelainan berikut:
1. Proteinuria bervariasi antara 1-3 gramlhari disertai
kelainan sedimen aktif
2. Penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga
dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun
gagal ginjal.
Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling
sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara 45-63%
pasien tetapi tidak disertai dengan hiperkolesterolemi.
Hipertensi pada 15-50% pasien.
Penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dimana
penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien.
Perjalanan klinik nefiritis lupus sangat bervariasi dan
hasil pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain, kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan
histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal saat
mulai pengobatan dan jenis regimen yang dipakai.
Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien
LES terdapat proteinuria 21 gram124 jam denganlatau
hematuri (>8 eritrositJLPB) dengadatau penurunan fungsi
ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis
lupus diteg&kan dengan biopsi ginjal dan berdasarkan
klasifikisi morfologi dari WHO (1982) nefntis lupus dibagi
dalam 6 kela's.
Gamb~ranklinis yang ringan dapat berubah menjadi
bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa
prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi
ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain:
1. Ras kulit hitam
2. Hematokrit <26%
3. Kreatinin serum >2.4 mg/dL
4. Kadar C3 <76 mg/dL
Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan
Manifestasi Klinis NL
Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal
dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan
prognosis dan indikasi biopsi ginjal.
PENDEKATAN DlAGNOSTlK
NL dapat merupakan salah satu gambaran klinis dari LES
dan tidak jarang merupakan satu-satunya gambaran klinis
dari LES maka untuk menghadapi kedua masalah tersebut,
diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik pasti yaitu:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEFRITIS LUPUS

987

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Gejala klinis

Kelas
NL kelas I
NL kelas
Ila
NL kelas
Ilb

NL kelas Ill

NL kelas IV

NL kelas V

NL kelas VI

Klasifikasi

Protein
urin

NL kelas I
NL kelas lia
NL kelas lib
NL kelas Ill
NL kelas IV
NL kelas V
NL kelas VI

+
+

++
++

++
+

Hematuria

Hipertensi

++

+++
+
f

Gambaran klinis
Tanpa gambaran klinis atau hanya terdapat
proteinuria tanpa adanya kelainan pada
sedimen urin
Terdapat proteinuria persisten tanpa adanya
kelainan pada sedimen urin.
Terdapat hematuria mikroskopik dan bisa
terdapat silinder lekositferitrosit danlprotenuria
tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi
sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal.
Hematuri dan protenuria ditemukan pada
seluruh pasien, sedangkan pada sebagian
pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik
dan penurunan fungsi ginjal
Hematuria dan protenuria ditemukan pada
seluruh pasien (sindrom nefrotik akut)
sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal diternukan pada
hampir seluruh pasien.
Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh
pasien sebagian dengan hematuri atau
hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih
normal atau sedikit menurun.
Biasanya menimbulkan penurunan fungsi ginjal
yang larnbat dengan kelainan urin yang relatif
normal.

1. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Urinalisis rutin (urin yang diambil hams segar)
Faal ginjal LFG dengan cara mengukur klirens
kreatinin tes 24 jam
Elektroporesis protein
Profil lipid
Darah rutin (Hb, lekosit, LED, trombosit)
2. Pemeriksaan serologis
ANA-fluorescent
Anti dsDNA
Antibodi SmNA (Nuclear Antigen)
Profil komplemen (C3, C4)
Circulating immune complexes (CICX)
Imunoglobulin serum
Pemeriksaan serologik penting untuk menentukan
diagnosis NL karena menunjukkan adanya produksi auto

Sindrom
nefrotik

+
++

+
++

f
f

++

Fungsi
ginjal
N
N
N
N atau 1

1
N atau 1
lambat

.-,LES
-

Penyakiljaringan ikat campuran iainnya


Sindmm reumatologi yang lain
Reaksiobat
Keganasan
Endokarditis baklerial sub-akut
Usia lanjut

Titer ANA > 1 : 320

4
-

LES
Kemungklnan

'

Penyakiljaringan ikat campuran


Sindmm reumatologi yang lain

Test anti-RoISS-A
Anti-WSSD

Test anti dsDNA

Wasd
:a
Berhubungan dng
s~ndrom-stndmm

Menunjukkan akttvllas
penyak11LES

Test anti Sm anti RNP

Anh-Sm ( + ) I
ant1 RNP rendah
I

Anti-Sm
rendah alau
ant1 RNP (+)

Mungkin LES
jaringan ikat
campuran

Gambar 3.

antibodi yang abnormal tetapi kurang tepat untuk


menentukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis
maupun tindak lanjut selama terapi. Tes ANA sangat sensitif
untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada
artritis reumatoid, skeloderma, sindrom S.jogren, polimiositis,
dan infeksi HIV. Titer ANA tidak mempunyai korelasi yang
baik dengan beratnya kelainan ginjal pada LES.
Pada umumnya ANA kurang mempunyai hubungan
dengan derajat kerusakan lesi ginjal dan tidak membantu
untuk memantau respons terapi dan prognosis. Tes antids DNA (anti double-stranded DNA) lebih spesifik tapi
kurang sensitif untuk LES. Tes ini positif pada kira-kira
75% pasien LES aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa
dengan teknik radioimmunoassay Farr atau teknik ELISA
(enzyme-linked immunosorbent assay). Tes anti-ds DNA
mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan
ginjal.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear,
seperti anti-Sm dan anti-nRNP. Antibodi anti-Sm meskipun
sangat spesifik untuk LES, tapi hanya ditemukan pada 25%
pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
antibodi anti-Sm mempunyai hubungan dengan
peningkatan insidens penyakit ginjal dan susunan saraf
pusat serta prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP
ditemukan pada 35% pasien LES, juga pada penyakitpenyakit rematologik terutama penyakit jaringan ikat.
Aktivasi sistem komplemen sering dipantau pada NL.
Kosentrasi komplemen C3 dan C4 serum biasanya rendah
pada fase aktif. Kosentrasi komplemen serum ini tidak
mempunyai hubungan dengan derajat penyakitnya. Kadar
C3 dan C4 sering sudah di bawah normal sebelum gejala
lupus bermanifestasi. Konsentrasi C3 dan C4 menurun bila
terdapat eksarsebasi akut dari lupus tetapi normalisasi
kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.
Defisiensi komplemen lain seperti c 1r, C 1s, C2, C5 dan C8
juga didapatkan pada LES dan kadar komplemen total
kemungkinan tetap di bawah normal meskipun penyakit
dalam keadaan in aktif.

Circulating Immune Complex (Kompleks lmun


dalam Sirkulasi)
Sering ditemukan meningkat pada pasien yang masih aktif
tetapi tidak dapat dipakai untuk menentukan derajat
penyakit maupun panduan terapi dan prognosis karena
juga dapat dideteksi pada berbagai penyakit autoimun lain.
Kompleks imun ini dapat diukur dengan pengukuran C 1q
fase solid dan tes sel raji. Banyak pemeriksaan antibodi
anti nukleus pada NL walaupun spesifitasnya masih
terbatas.
Diagnosis NL
Kriteria diagnosis NL 4 dari 1 1 kriteria ARA ditambah
dengan:
1. Proteinuriapersisten, hematuri disertai kelainan sedimen
aktif
2. Kenaikan titer anti nukleus dan DNA-binding antibody
atau keduanya.
PENGOBATAN
Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil
histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan rejimen pengobatan
berdasarkan gambaran patologi anatomi. Tetapi biasanya
pasien datang sudah mendapat kortikosteroid dari tempat
praktek RS yang berbeda, karena tidak adanya fasilitas
biopsi ginjal atau karena sudah mendapat pengobatan
untuk LESnya sendiri tanpa gejala NL.
Prinsip dasar pengobatan adalah untuk memperbaiki
hngsi ginjal atau setidaknya mempertahankan h g s i ginjal
agar tidak bertambah buruk tetapi perlu juga diperhatikan

efek samping obat yang timbul, karena pengobatan NL


memerlukan waktu yang relatif lama, dimana efek samping
obat tadi akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.
1. NL kelas I tidak memerlukan pengobatan spesifik.
P,engobatan lebih ditujukan pada gejala-gejala ekstra
renal
2. NL kelas I1 ajika tidak disertai proteinuri yang bermakna
(>1 gramlhari) dan sedimen urin yang aktif tidak
memerlukan pengobatan
3. NL kelas I1 b yang disertai proteinuri > 1 gramhari, antids DNA yang tinggi, hematuri, dan Ci rendah diberikan
pengobatan; prednison 0.5- 1 mglhari selama 6- 12
minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5- 10 mg)
tiap 1-3 minggu, dan dilakukan penyesuaian dosis
sesuai aktivitas klinik
4. Pada NL kelas I11 dan IV pengobatan lebih ditujukan
untuk kelainan ginjalnya. Rejimen yang paling banyak
dipakai saat ini adalah kombinasi steroid dosis rendah
yaitu prednison 0.5 mgkglhari selama 4 minggu yang
kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan diluar ginjal, dan
siklofosfamid 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan,
kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama
sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap bulan 3
juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun).
Dengan rejimen ini kira-kira 80% pasien akan mengalami
remisi yang ditandai dengan tidak terdapatnya sedimen
urin yang aktif, proteinuri < 1 gramhari, dan klirens kreatinin
tetap stabil atau membaik sedikitnya 30%.
Beberapa obat lainnya yang dapat pula digunakan pada
NL kelas 111dan IV ialah:
1. Azatioprin dengan dosis 2 mglkg, dikombinasikan
dengan prednison. Pemakaian Azatioprin bertujuan
untuk menghindari efek samping p-ada pemakaian
siklofosfamid. Obat ini juga relatif aman pada
perempuan hamil.
2. Siklosporin dapat pula dipakai bersama dengan
prednison. Dosis awal 5 mglkglhari, yang kemudian
diturunkan menjadi 2,5 mglkghari setelah 6 bulan.
3. Mycoplzenolate Mofetil (MMF) dengan dosis 0,5-2
gramlhari, khususnya bila pengobatan dengan
siklofosfamid tak berhasil. Diberikan bersama dengan
Prednison (dosis 0,5 mglkglhari) yang kemudian
diturunkan perlahan. Lama pengobatan bisa mencapai
24 bulan.
4. Beberapa obat lainnya yang dipakai dalam pengobatan
NL dan masih dalam taraf penelitian misalnya antibodi
monoklonal (anti-c,, anti CD 40 legand), imunoglobulin
IV, kladribin, dan LJP394.
5. NL kelas V: diberikan prednison dengan dosis 1 mgkgi
hari selama 6-12 minggu. Bila tak ada respon klinik,
prednison dihentikan sedangkan bila terdapat respons,
prednison dipertahankan selama 1-2 tahun dengan
dosis 10 mghari. Juga dapat pula diberikan siklosporin

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEFRlTlS LUPUS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pada NL kelas V ini.
6. NL kelas VI: pengobatan lebih difokuskan pada
manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif
seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat
fosfor oral. dan vitamin D.

- Klas Ill(berat) + lV
- SN
- Menurunfungs~g~njal
- Hlpertensl
- Gangguansusunan saraf pusat (SSP)
Ikesadaran menurun Ilupus serebral

- Klas 11, Ill dan V (nngan)

- Protelnuna
- Fungs~glnjal normal

Pembenan met11predlsolone1V
500 rng 3 her1beflurut-turut
(dlulang b ~ l a
dlperlukan, yattu blla gejala-gelaja
yang mengancamjlwa maslhjelas)

Pred~sonmulal 1-1112 mglkg BBlhan

Dilanjutkandengan prednisonoral
1 - 1.5 rnglkg BBlhati

Jika terdapat penuruan fungsi ginjal :


Azatiopnn diberikan 2.5 mglkgBBlhari

Ella respons terap18-12mlnggu tldak mencapa lotal rem st + prednlsondqturunkan


0 5 mg-lrkgrB81narls a 0 05 mg/kgBB/handalam fase pemellharaan Dan Slklofosfamld
500-750 ~ ~ ~ ' L P B I(1-3
I V rngLgBB nulan1lV) selama 6 bulan
I

Gambar 4. Pada fase akut: Pengobatan induksi dengan


kortikosteroid

Pengobatan imunologis dilakukan dengan pemberian


imunosupresan. Sasaran pengobatan ini ditujukan untuk
mengurangi atau menghilangkan tanda-tanda klinik lupus
(baik renal maupun ekstra renal) serta petada serologi
lupus. Tanda-tanda klinik tersebut berupa proteinuria,
hematuri, silinder eritrosit, kreatinin serum, ekskresi
kemokin dan sitokin dalam urin, kadar anti C 1q dalam darah,
komplemen C3-C4, anti dsDNA, kelainan hematologi, dan
kelainan ekstra renal.
Pengobatan non imunologis dilakukan dengan
pemberian obat anti hipertensi (ACEI, AIIRB dan
pemberian statin yang tujuannya untuk menurunkan
tekanan darah, proteinuria dan kolesterol secara agresif
Sesuai gejala klinis dan gambaran histopatologi
terdapat 2 masalah terapi utama yang hams dilakukan: yaitu
induksi pengobatan dari NL yang berat, yang mengancam
jiwa sering mempengaruhi banyak sistem organ dan onset
penyakitnya pendek. Ini sangat berbahaya bagian
survival pasien. Pengobatan selanjutnya adalah
pengobatan pemeliharaan dan pengobatan kronis jangka
panjang dan tujuan pengobatan ini untuk menghindari efek
jangka panjang penyakit sehingga efek samping
pengobatan juga penting untuk diawasi.
Lalu dilanjutkan dalam dosis yang sama 3 bulanlkali,
selama 2 tahun (24 bulan) (Rejimen ini diberikan pdaa NL
kelas 111, IV campuran kelas 111dengan V, campuran kelas
IV dengan V). Bila terdapat gangguan fungsi ginjal: dosis

siklofosfamiddikurangi. Bila pada pemberian siklofosfamid


dalam 12 minggu tidak terdapat perubahaan maka
siklofosfamid dapat diganti dengan azatioprin 2 mg/kgBB/
hari.
Pada fase pemeliharaan ada juga yang memberikan
siklofosfamid IV setiap 3 bulan selama 1 tahun
pemeliharaan. Rerata lama pengobatan adalah 4,5 tahun
memberi keberhasilan yang sama dengan rejimen
siklofosfamid. Jika terdapat vaskulitis yang nyata: dapat
dilakukan plasma exchange 3-4 literlhari untuk 7 hari.
Pada fase induksi, imunosupresan yang sering
digunakan adalah siklosporin, siklofosfamid atau
mikofenolat mofetil.
Pada fase pemeliharaan yang sering digunakan bila
pasien mampu dari sudut finansial adalah mikofenolat
mofetil(1-2 gramlhari) atau azatioprin (2 mg/kgBB/hari)
maksimal 150-200 mg perhari diberikan selama 1 tahun.
Azatioprin diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB pada
pasien NL kelas IV. Mekofenolat mofetil (MMF) diberikan
dengan dosis 1 gram 2 x sehari (total 2 gram) selama 6
bulan, lalu dosis ditumnkan jadi 500 mg 2xlhari (total 1
gram) selama 6 bulan lagi. Rejimen ini diberikan pada NL
kelas I11 berat, IV, campuran kelas I11 dan V, campuran
kelas IV dan V. Siklosporin diberikan dengan dosis <5
mg/kgBB selama 1 tahun, pada NL kelas IV dan
kelas V.
Pengobatan Non-lmunologis
Pengobatan non- imunologis dilakukan untuk menurunkan
tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat ACE
dan penghambat reseptor angiotensin. Sedangkan untuk
menumnkan kolesterol dipakai golongan statin. Tujuan
pengobatan ini adalah untuk mengurangi progresivitas
kearah perburukan fungsi ginjal sesuai dengan
penanganan kasus penyakit ginjal kronik, sasaran tekanan
darah adalah serendah mungkin dimana pasien masih
merasa nyaman yaitu 120175 mmHg, proteinuria kurang
dari 0,5 gram124jam dan kolesterol LDL 4 0 0 mg/dL. Untuk
masa yang akan datang agaknya terapi secara genetik akan
memberikan harapan walaupun masih dalam tahap
percobaan awal.
Monitoring Respons Pengobatan
Terapi yang efektif dihubungkan dengan berkurangnya
manifestasi inflamasi, berkurangnya gejala ekstrarenal,
membaiknya kadar C3, C4, dan titer anti dsDNA. Untuk
kelainan ginjalnya sendiri akan didapatkan aktivitas
sedimen urin yang menurun, membaiknya kreatinin plasma,
dan menurunnya atau berkurangnya proteinuria.
RESISTEN TERHADAP PENGOBATAN

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman terhadap

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

definisi remisi pada nefritis lupus. Salah satu pegangan,


tercapainya normalisasi fungsi ginjal serta ketahanan
hidup yang lebih panjang. Prediktor klinik yang dapat
dipegang adalah, sedimen urin menjadi tidak aktif, kadar
kreatinin = 1,4 mg1dL dan ekskresi protein = 330 mg1dL.
Disebut resisten bila selama pengobatan induksi tidak
ada respon menuju remisi.
Pasien yang awalnya memakai siklosfamid, bila
terjadi resisten pengobatan dapat ditukar dengan
mikofenolat mofetil atau sebaliknya, dengan memakai
dosis obat yang biasa dipakai pada kedua jenis regimen
tersebut. Obat-obat lain yang dapat dipakai antara lain,
imunoglobulin intravena, terapi antibodi monoklonal,
imunadsorption, pentoksifilin atau rituksimba, tetapi
hasil yang memuaskan belum diperoleh dengan
pasti masih perlu percobaan klinis yang lebih
banyak.

RELAPS (KAMBUH)
Disebut relaps bila aktivitas penyakit timbul kembali
setelah beberapa saat mengalami remisi. Prediktor yang
paling dini dan akurat adalah ditemukannya kembali
sedimen eritrosit atau leukosit yang kemudian diikuti oleh
proteinuria.

PROGNOSIS

Prognosis NL sulit dirarnalkan karena pedoman terapi yang


baku belum ada, selain itu perjalanan penyakit NL sulit
diprediksi. Hampir semua peneliti sependapatbiopsi ginjal
mempunyai peranan penting untuk menentukan
prognosis dan respons terapi.
Pada nefritis lupus kelas I dan I1 hampir tidak terjadi
penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara
nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik.
Nefritis lupus kelas I11 dan IV hampir seluruhnya akan
menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus
kelas 111 yang keterlibatan glomerulus <50% akan
memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan kelompok yang keterlibatan glomerulusnya >50%,
dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis
nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V
memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan
nefropati membranosa primer, sebagian kecil saja akan
menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.
Nefropati membranous primer yang ringan biasanya
mempunyai perjalanan penyakit lambat dan prognosis
yang baik. Kelompok pasien NL dengan gambaran klinis
glomerulopati asimtomatik dengan lesi histopatologis
hanya mengenai mesangium atau proliferasi fokal derajat
sedang, prognosisnya cukup mengkhawatirkan,bila tanpa
pengobatan medikamentosa.

KEHAMILAN
REFERENSI
Kehamilan dapat menimbulkan eksaserbasi nefritis lupus sebesar 50% kasus pada selama masa kehamilan
terutama trimester ke-3 atau awal masa nifas (tetapi
bervariasi 10-75%) tetapi sekarang eksaserbasi lebih
rendah karena mungkin berhubungan dengan
penggunaan yang lebih bebas dari kortikosteroid dan
obat sitotoksik selama kehamilan. Kekambuhanlrelapsl
kematian janin timbul lebih jarang ketika timbul selama
periode remisi. Dari 64 kehamilan 41 pasien: 37% lahir
cukup bulan, 30% bayi prematur dan 33% abortus (29%
abortus spontan dan 4% abortus non alasan
medis.
Pasien dengan antikoagulan yang bersirkulasi lebih
sering kehilangan janinnya daripada ibu yang tidak
mempunyai antikoagulan lupus yang bersirkulasi.
Azotemia dari kadar kreatinin serum >1,5 mg1dL dan
hipertensi selama kehamilan, keduanya dihubungkan
dengan peningkatan kematian janin, di mana sindrom
nefrotik sendiri tidak. Selama kehamilan 44% pasien
berkembang menjadi hipertensi, fungsi ginjal menurun
pada 19% dan sembuh 17% pasca partum. Serum
komplemen yang rendah berguna untuk membedakan
relapsnya NL dari kehamilannya tidak berkomplikasil
pra-eklampsi pada pasien dengan LES.

Austin I11 HA, Boumpas DT, Vaughan EM, Balow JE. Predicting
renal outcomes in severe lupus nephritis: contributions of clinical and histology data. Kidney Int. 1994;45:544-50.
Austin HA, Klippel OH, Balow JE et al. Therapy of lupus nephritis:
controlled trioal of prednisone and cytotatic drugs. N Engl J
Med. 1986; 3 14:614-9.
Boumpas DT, Austin HA 3d, Vaughn EM, Klippel JH, Steinberg AD,
Yarboro CH, Balow JE. Controlled trial of pulse methylprednisolone versus two regimens of pulse cyclophosphamide in
severe lupus nephritis. Lancet. 1992; 26:340(8822):741-5.
Cameron JS. Lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999;10:413-24.
Chan TM, Li FK, Tang CS, Wong RW, Fang GX, Ji YL, Lau CS,
Wong AK, Tong MK, Chan KW, Lai KN. Efficacy of
mycophenolate mofetil in patients with diffuse proliferative
lupus nephritis. Hong Kong-Guangzhou Nephrology Study
Group. N Engl J Med. 2000;343(16):1156-62.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo
JL Jr, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT Jr, Roccella
EJ. The seventh report of the Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;21;289(19):2560-72.
Cortes-Hemandes J, Ordi-Ros J, labrador M, et al. Antihisto and antidouble standed deoxyribonucleic acid antibodies are
associated with renal disease in SLE. Am J Med. 2004;116:165-70.
Davieska, Wallport MJ. Immune complex handling in systemic
lupus erythematosus. Immunology of renal disease pusey CD.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEFRITIS LUPUS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dodrecht/Boston/London: kluwer Academic Publ.; 1991. p. 59-73.
Gabriel R. Postgradiute nephrology. 3rd edition. LondonIBostonl
Durban/Singapore/Toronto/Wellington:Buttterworths; 1985. p.
100-4.
Galindo-Rodriguez 4 Bustamante R, Esquivel-Nava 4 Salazar-Exaire
D, Vela-Ojeda J, Vadillo-Buenfil M, Avina-Zubieta JA.
Pentoxifylline in the treatment of refractory nephrotic syndrome secondary to lupus nephritis. J Rheumatol.
2003;30(11):2382-4.
Glicklich D, Acharya A. Mycophenolate mofetil therapy for lupus
nephritis refractory to intravenous cyclophosphamide. Am J
Kidney Dis. 1998;32(2):3 18-22.
Glassock RJ. Current therapy treatment recommendation for lupus
nephritis. Controlled trial of prednisone and cytostatic drugs. N
Engl J Med. 1986;3 14:614-9.
Haylet JP, Kashgarian. Nephropathy of systemic lupus erythematosus. Disease of the kidney. In: Schrier RW, Gotschalk CW,
editors. 5th edition. BostonlTorontolLondon: Litt Br & Co.;
1993. p. 2019-37.
Hebert LA, Dillon JJ, Middendorf DF, Lewis EJ, Peter JB. Relationship Between appearance of urinary red blood celllwhite blood
cell casts and the onset of renal relapse in systemic lupus erythematosus. Am J Kidney Dis. 1995;26(3):432-8.
Korbet SM, Lewis EJ, Schwartz MM, Reichlin M, Evans J, Rohde
RD. Factors predictive of outcome in severe lupus nephritis.
Lupus Nephritis Collaborative Study Group. Am J Kidney Dis.
2000;35(5):904-14.
Llach F. Papper's clinical nephrology. 3" edition. Boston/Toronto/
London: Litt Br & Co,; 1993. p. 165-73.
Nossent HC, Koldingsnes W. Long-term efficacy of azathioprine

treatment for proliferative lupus nephritis. Rheumatology (Oxford). 2000;39(9):969-74.


Ponticelli C. Current therapy in nephrology and hypertension. 3'd
edition. BC DeckerlMosby-Year Book; 1992. p. 158-62.
Remuzzi G, Ruggenenti P, Perico N. Chronic renal diseases:
renoprotective benefits of renin-angiotensin system inhibition.
Ann Intern Med. 2002; 16;136(8):604-15.
Rose BD and Jacobs JB. Nephrotic syndrome and glomerulonephritis. Pathophysiology of renal disease. In: Rose BD, editors. 2nd
edition. New York: McGraw-Hill int Ed; 1987. p. 237-52.
Rose BD, Rennke HG. Renal pathophysiology the essential. BaltimorelPhiladelphialSidney1Tokyo:Williams and Wilkins; 1994.
p. 211-43.
Rose BD, Schur PH, Falk RJ,Appel GB. Treatment of lupus nephritis. UpToDate. 2005; 13-1. CD-ROM.
Schur PH. Epidemiology and pathogenesis o f systemic lupus
erythematosus. UpToDate. 2005;13-1. CD-ROM.
Schur PH. Antibodies to DNA, Sm, and RNP. Up to Date. 2005;13:1.
Tam LS, Li EK, Leung CB, Wong KC, Lai FM, Wang A, Szeto CC,
Lui SF. Long-term treatment of lupus nephritis with cyclosporin
A. QJM. 1998; 91(8):573-80.
Wallase DJ, Hann BH, Klippel JH. Lupus nephritis. In: Daniel JW,
Bevra HH, editors. Dubois lupus erythematosis. 5Ih edition.
William&Willkin; 1996. p. 1053-65.
Weeining JJ, D'agati VD, Schwartz MM, et al. The classification of
glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited.
Kidney Int. 2004;65:52 1-30.
Wilmer WA, Rovin BH, Hebert CJ, Rao SV, Kumor K, Hebert LA.
Management of glomerulus proteinuria: a commentary. J Am
Soc Nephrol. 2003;14(12):3217-32.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

NEFROPATI IgA IDIOPATIK


Enday Sukandar, Parlindungan Siregar

PENDAHULUAN

Glomerulonefitis (glomerulopati) dengan presentasi klinis


hanya kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau
tanpa proteinuria) sering 1010s dari pendekatan diagnosis. Dahulu penyakit ini dikenal sebagai hematuria esensial
karena etiologinya tidak diketahui. J Berger di Paris 1968
pertama kali melaporkan studi imunopatologi yaitu
perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA
dan C,. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini
seperti nefropati IgA, nefropati IgA mesangiall
glomerulonefritis, penyakit mesangial IgA, dan penyakit
Berger (penemu). Penyakit ini banyak menarik perhatian
para pakar karena tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Etiologi dan patogenesisnya masih belum jelas,
dan manifestasi klinisnya bervariasi. Pasien mungkin
datang dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan,
hipertensi, sindrom nefritik akut, atau gaga1 ginjal kronik
terminal.

ETlOLOGl DAN KLASlFlKASl

Deposit IgA disertai komponen-komponen komplemen


seperti C,, C, atau Clq ternyata ditemukan pada beberapa
penyakit lain seperti HSP (Henoch-Schonlein purpura),
SLE, dan penyakit sirosis hati. Apakah HSP dimasukkan
pada kategori Nefropati IgA primer atau idiopati masih
kontroversial.
Etiologi nefropati IgA idiopatik (primer atau isolated)
tidak diketahui. Presentasi klinis hematuria mikroskopik/
atau makroskopik berulang sering mengikuti infeksi
saluran napas bagian atas (faringitis atau tonsilitis).
Hematuria yang mengikuti episode faringitis dinamakan
syndrome pharyngitic hematuria.

A.

6.

Primer (Idiopatik)
1. Nefropati IgA primer (idiopatik) atau isolated
2. Berhubungan dengan HSP (Henoch-Schonlein
purpura)
Sekunder
1. Penyakit hati alkoholik
2. lgA monoklonal garnopati
3. Mikosis fungoides
4. Lepra
5. Dermatitis herpetiforrnis
6. Hemosiderosis paru
7. Spondilosis ankilosing
8. Shunt sistem portal

*woo KT dkk 1986

PATOGENESIS NEFROPATI IGA IDIOPATIK

Etiologi Nefropatik IgA tidak diketahui sehingga mekanisme


patogenesis kerusakan glomerulus sulit dipahami. Hasil studi
imunologi menemukan perubahan proliferasi sel mesangial
disertai deposit IgA dan C,. Diduga penyakit ini termasuk
penyakit kompleks imun.
Faktor genetik:
1. DR,
2. DO
3. Kromosom 6 dengan komplemen G,a dan G,,
Faktor luar:
a). Sirosis hati dan penyakit hati berat lainnya
b). Granulomatosis Wegener
c). Hlv
d). Antigen virus, antara lain: rotavirus, parainfluenza,
rinovirus, adenovirus, respiratoty syncytial virus
e) Antigen bakteri, antara lain: Stafilokokus aureus, E. coli,
pneumokokus, streptokok salivarius, streptokokus
mutan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

993

NEFROPATI lgA IDIOPATIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

f) Antigen makanan (dietary), antara lain: BSA (bovine

serum albumin), protein kacang kedelai, gluten,


alkohol.
g) Vaksin, seperti: vaksin influenza/parotitis/polio

Gambar 1. Patogenesis nefropati IgA

Produksi lgA
Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme kenaikan
produksi IgA (IgA responder) seperti: a). Gangguan
aktivitas spesifik supresor-lgA sel T; b). Kenaikan
aktivitas spesifik sel T helper-lgA dan sel T,; c).
Hiperaktivitas spesifik-lgA sel B; d). Rangsangan
stimulasi (stimuli) makrofag diikuti kenaikan produksi
IgA.
Kompleks imun (Immune Complexes- IC): a).
Kompleks imun IgA polimerik; b). Kompleks imun IgA
monomerik; c). Kompleks imun IgA multimerik; d).
Kompleks imun IgG.
Pada penelitian percobaan binatang maupun pada
manusia ternyata IgA polimerik mempunyai peran
terhadap patogenesis kerusakan glomerulus. IgA
polimerik ini berhubungan dengan infeksi mukosa saluran
napas bagian atas Cfaring dan tonsil).

PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL

Mikroskop Cahaya
Klasifikasi mikroskop cahaya Nefropati IgA berdasarkan
rekomendasi KOMISI WHO (1982):
I. Lesi minimal. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya
masih terlihat normal.
11. Lesi minor. Pelebaran mesangium disertai penambahan
sel-sel mesangium (hiperselularitas). minimal ditemukan
3 sel per daerah (area) pada glomeruli tepi (perifer).
111. Glomerulonefiitisfokal dan segmental
- Minimal 50% glomeruli memperlihatkan tanda-tanda
sklerosis yang bersifat fokal dan segmental
- Penambahan sel-sel mesangium (hiperselularitas)
- Tidak jarang ditemukan nekrosis
- Sisa glomeruli memperlihatkan perubahan minor
n! Derajat ini dibagi menjadi beberapa tingkatan:
1. Proliferasi sel-sel mesangium difus
2. Dibagi dalam 2 kategori
- Proliferasi sel mesangium disertai sklerosis
- Proliferasi sel mesangium difus disertai sklerosis
dan pembentukan kresen (bulan sabit)
V Glomerulonefritis sklerosis dihs. Hampir 80% glomeruli
mengalami perubahan histopatologi.
Mikroskop Elektron
Lokasi deposit. Deposit IgA dan komponen (C) dikenal
sebagai electron-dense deposit terlihat pada daerah
mesangium dan kapiler glomerulus (subendotelium,
subepitelium atau keduanya). Pada nefropati IgA selalu
ditemukan deposit masif di daerah mesangium. Jumlah
deposit bervariasi setiap daerah dalam glomerulus dan
antar glomeruli. Deposit juga ditemukan pada dinding
kapiler glomerulus pada sebagian kecil pasien.
Perubahan mesangial. Beberapa perubahan yang hams
diidentifikasi yaitu: a). Penambahan matriks; b).
Hiperselularitas sel; c). Tanda-tanda lisis (mesangiolisis)
yang disebabkan deposit imunoprotein dalam matriks;
d). Serat kolagen sering ditemukan pada daerah matriks.
Perubahan dinding kapiler glomerulus. Perubahan kapiler
perifer pada nefropati IgA: a). Subendothelium jluffi,
granules lamination; b). Lisis membran basal glomerulus;
c). Aneurisms; d). Penebalan membran basal glomerulus;
e). Dense deposits; f). Reduplikasi membran basal glomerulus; g). Nekrosis lumen; h). PMN dalam lumen; i). Partikel
tubuloretikular.

MANIFESTAS1 KLlNlS NEFROPATI IGA


Nefropati IgA tidak mempunyai gejala subyektif atau
obyektif khusus (spesifik). Pada umumnya manifestasi
klinis Nefropati IgA: 1). Hematuria makroskopik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Hematuria makroskopik (gross) rekuren yang mengikuti


infeksi saluran napas bagian atas. Hematuria berlangsung
beberapa hari sampai 1 minggu; 2). Proteinuria dengan
sindrom nefritik; 3). Hipertensi berat disertai penurunan
faal ginjal (gaga1 ginjal kronik)
Manifestasi klinis 358 pasien Nefropati IgA terlihat pada
Tabel 2.

Histopatologi ginial

1.
2.
3.

Hematuria dan proteinuria


Hematuria (gross)
Sindrom nefrotik
Sindrom nefritik
Gagal ginjal kronik
Hipertensi
Jumlah total
Umur rata-rata (tahun)

231 (65%)
52 (15%)
30 (8%)
3 (1%)
21 (53%)
21 (55%)
358 (1 00%)
26+8

4.

5.

6.

Woo KT, dkk 1986


7.

Sebagian besar pasien dengan kelainan urinalisis tanpa


keluhan (asimtomatik); diperlukan pendekatan diagnosis
sistematik dan terarah.

GBM patah-patah dan


pembentukan bulan sabit
(crescent)
GBM bergerigi dan iregular
Perubahan GBM dan podosit
glomerular tuft kolaps dan
sklerotik
GMB mengalami perubahan difus
dan sklerotik glomerulus,
ekspansi difus podosit (lesi
minimal). Deposit epimembranosa
jarang
Nekrosis tubular akut dan tubulus
tersumbat sel eritrosit. Glomerulus
kresentik
Perubahan vaskular hipertensif
dan sklerotik. Sklerotik glomerulus
Sklerotik glomerulus dan
perubahan vaskular hipertensif.
Pembentukanjaringan ikat tubulo
interstisial. Atrofi tubulus dan
glomerulus kresentik

Sindrom nefrotik

Gagal ginjal akut


(sindrom nefritik
akut)
Hipertensi
Gagal ginjal kronik

Ginjal. Clarkosn AR, Woodroffe AJ, Aarons, 1993

KORELASI MANlFESTASl KUNlS DAN


PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL
Di klinik masalah ini sangat bermanfaat untuk tujuan
intervensi farmakologis sebagai terapi simtomatis dan
ramalan prognosis.

Manifestasi klinis

Hematuria
makroskopik
(gross)
Hematuria
mikroskopik
Proteinuria

Hematurla

~roteynurla

1
Anamnesls (umur)
Pemerrksaanflsls diagnostlk
(Hlpertensi)

1
PENDEKATAN DIAGNOSIS NEFROPA TI IGA
IDIOPATIK
Pendekatan diagnosis Nefropati IgA Idiopatik tergantung
manifestasi klinis. Kelainan urinalisis rutin (hematuria
dengan atau tanpa proteinuria) yang merupakan salah satu
manifestasi klinis, sering 1010s dari pengamatan.
Algoritma pendekatan diagnosis hematuria dengan
atau tanpa proteinuria (Gambar 2).

Anamnesis
Identifikasi urnur, biasanya anakldewasa muda
Keluhan infeksi saluran napas atas (faringitis atau
tonsilitis) sebelum episode hematuria (gross atau
mikroskopik), periode laten kurang dari 7 hari.
Episode hematuria berulang (rekuren) dan hilang setelah
beberapa hari (1 minggu)
Pemeriksaan Fisis Diagnostik
Keadaan orofaring
Hipertensi

Urinalisls, EsbachlB~uret
Mlkroblologlurln
Serum BUN & kreatlnln

Ekskresr urogram
USG
Renogram

1
GLOMERULOPATI

Glnjal pollklst~k
TBC, saluran kemih
dan glnjal

RP Gn

NEFROPATI IgA

1
Biopsr Glnjal
Pemeriksaan imunodiagnostrk

1
TERAPl SlMTOMATlK

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis nefropati IgA (HSP =


Henoch-SchonleinPurpura, SLE = systemic lupus erytomatosus,
RP Gn = resoMng poslinfectious glomerulonephritis)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEFROPATI I d IDIOPATIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Uji Saring Laboratorium
Pemeriksaan sedimen urin untuk identifikasi silinder
eritrosit
Albuminuria semikuantitatif atau kuantitatif
Faal ginjal ureum dan kreatinin
Mikrobiologi urin terutama CFUImL urin
Uji Saring Pencitraan (imaging)
Tujuan: Untuk mencari etiologi hematuria:
Ginjal polikistik
TBC ginjal dan saluran kemih
Khusus kasus urologi
Uji saring pencitraan:
Ekskresi urogram dan ultrasonografi (USG)
Diagnosis Banding Nefropati IgA
1. Henoch -Schonleinpurpura (HSP)
2. Systemic lupus erythematosus (RPGN)
Diagnosis Nefropati IgA
1. Identifikasi faktor predisposisi. Nefropati IgA lebih
sering pada pasien dengan BW,, dan DR, MHC
2. Pemeriksaan imunodiagnostik
- Glomeruli memperlihatkan proliferasi sel-sel
mesangial difus dan mungkin disertai gambaran
proliferasi fokal dan segmental.
- Imunofluoresensi memperlihatkan deposit granular
IgA dan C3 pada semua glomeruli. Pada beberapa
glomeruli pasien mungkin mengandung deposit IgG
dan IgM.
- IgA dan C, dapat ditemukan pada dinding kapiler di
daerah perbatasan dermal dan epidermal (dermalepidermal junction).
- Electron-dense deposit sering ditemukan pada
subendotelium dan matriks mesangial.
- Pada sebagian besar pasien ditemukan CICx yang
mengandung IgA. Konsentrasi komponenkomponen komplemen biasanya normal.

2. Manipulasi diet dan asupan antigen: Sodium


chromoglycate
3. Mengurangi pembentukan IgA: Fenitoin
4. Immune-complex-mediated renal injury:Kortiko steroid,
siklosporin
5. Obat antiproteinuria: Proteinuria diduga sebagai marka
untuk progresivitas kerusakan ginjal (glomerulosklerosis)
- Pembatasan asupan protein hewani
- Penghambat ACE dan Angiotensin Receptor
Blocker.
6. Hipertensi: a). Penghambat ACE; b). Angiotensin
Receptor Blocker; c). Antagonis kalsium
7. Perubahan (kelainan) hemoreologi: a). Antikoagulan;
b). Obat antiplatelet (dipiridamol); c). Omega 3.

lntervensi Terhadap Perjalanan Penyakit


(Komplikasi)
1. Sindrom nefritik akut (SNA)
2. Sindrom nefrotik
3. Sindrom gagal ginjal kronik / terminal

PROGNOSIS

Prognosis Nefropati IgA tergantung dari manifestasi klinis.


1. Hematuria makroskopik (gross) asimtomatik
- Pada anak biasanya mempunyai prognosis baik, faal
ginjal normal, dan hipertensi mudah dikendalikan
- Pada dewasa mempunyai prognosis lebih buruk,
hampir 5 - 10% terjadi gagal ginjal kronik.
2. Nefrotik IgA idiopatik mempunyai prognosis buruk bila
manifestasi klinis berupa sindrom nefrotik disertai
hipertensi.
3. Nefropati IgA dengan manifestasi klinis gagal ginjal
kronik/terminal hams menjalani program dialisis dan
transplantasi ginjal. Rekurensi Nefropati IgA pada ginjal
cangkok (graft kidney) setelah kira-kira 10 tahun.

TERAPI NEFROPATI IGA IDIOPATIK

Terapi semata-mata bersifat simtomatik tergantung


manifestasi klinis, tanpa keluhan atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medis seperti sindrom nefritik akut (SNA).
Prinsip terapi simtomatik yaitu intervensi terhadap
patogenesis dan patofisiologi, perjalanan penyakit, atau
komplikasi.
l n t e r v e n s i Terhadap Patogenesis d a n
Patofisiologi
1. Mengurangi kontak dengan antigen: a). Antibiotik bila
berhubungan dengan infeksi bakteri; b). Tonsilektomi

Churg J. In: Collaboration with Sobin LH and pathologist and


nephrologist in 14 countries. Renal Disease: Classification and
Atlas of Glomerular Diseases. Tokyo: Igaku -Shoin; 1982.
Clarkson AR. IgA Nephropathy: History, classification and
geographic distribution. In: Clarkson AR (ed). IgA. Nephropathy,
Martinus Nijhoff Publ; 1987.1-8.
Clarkson AR, Woodroffe AJ, Aarons. IgA nephropathy and HenochSchonlein purpura. In: Schrier RW & Gottshalk CW (eds). 41hed.
Diseases of the Kidney. Lit Br. & Co; 1993, p. 1839-64.
Engido J. The role of polymeric IgA in the pathogenesis of IgA
nephropathy. In: Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus
Nijhoff Publ; 1987. p. 157-75.
Gabriel R (ed). IgA nephropathy. In: Postgraduate Nephr0logy.3'~
ed. Butterworth; 1985. p. 92-4.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

996

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Maschio G, Cagnoli L, Claroni F et al. ACE inhibition reduces
proteinuria in normotensive patients with IgA nephropathy: A
multicentre, randomized, placebo controlled study. Nephrol Dial
Transplant 1994;9:265-9.
Rekola S, Bergstrand A, Bucht H. Development of hypertension in
IgA nephropathy as a marker of poor prognosis. Am
J.NephroI1990;10:290-5.
Sinniah R. IgA Nephropathy. In: Sulaeman AB & Morad Z (eds).
Proceedings of the VI* Asian Coil in Nephrology. Exp. Med
Kuala Lumpur; 1985. p. 61-8.
Sinniah R. IgA mesangial nephropathy: Berger's disease. (editorial
review). Am J NephroI1985;5:73-83.

Sinniah R. The pathology of IgA nephropathy. In : Clarkson AR


(ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1986. p. 66-96.
Tomino V. Pathogenesis (Antigenic heterogenety). In: Woo KT,
Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific
Congress of Nephrology. Singapore; 1986. p. 114-8.
Woo KT, Edmonson RPS, Wu AYT et al. Clinical and prognostic
indices of IgA nephritis. In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds).
Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology.
Singapore; 1986. p. 119-29.
van der Hem GK, Beukhof JR. IgA nephropathy. In- van der Hem
Gk (ed), Nephrology, Excerta Medica; 1982. p. 393-404.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

NEFRITIS HEREDITER
Jodi Sidharta Loekman

PENDAHULUAN
Nefritis herediter biasa disebut sebagai sindrom Alport
merupakan penyakit glomerulus yang progresif terutama
pada laki-laki dan sering disertai gangguan saraf
pendengaran dan penglihatan. Sindrom ini dipublikasikan
dalam British Medical Journal tahun 1927 oleh Cecil Alport.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan 1 dari 50.000 kelahiran
hidup. Sejak tahun 1980 telah dapat dibuktikan bahwa
kelainan sindrom Alport terletak pada membran basalis
glomerulus (MBG) akibat mutasi genetik pada collagen
protein family tipe IV. Secara genetik merupakan penyakit
heterogenik dengan x-linked inheritance, baik
autosomal recessive maupun autosomal dominant
variants. Pada 80% pasien, penyakit ini diturunkan melalui
x-linked trait berasal dari mutasi gen COL4A5 pada
kromosom x sehingga dapat dijumpai keadaan yang
spesifik yaitu tidak akan terjadi penurunan dari seorang
bapak ke anak laki-laki karena sifat genetik laki-laki hanya
melalui kromosom y, tetapi dapat memberikan kromosom x
abnormal kepada anak perempuannya. Perempuan dengan
x-linked SindromAlport merupakan karier heterogenik dari
penyakit mutasi genetik ini dan dapat menurunkannya
kepada anak laki-laki maupun perempuan. Pada
autosomal recessive sindrom Alport, mutasi berasal dari
gen COL4A3, COL4A4 ataupun COL4A6.

MBG awalnya normal lalu mengalami perubahan menjadi


bilaminer lalu multilaminer dan akhirnya mendesak
lengkung kapiler glomerulus,glomerulusmenjadi sklerotik,
tubulus mengalami atrofi, interstisium mengalami
fibrosis. Dengan pemeriksaan antibodi monoklonal dapat
diketahui bahwa COL4A3, 4 dan 5 terdistribusi secara

normal pada MBG, kapsul Bowman dan juga pada membran


basalis distal collecting tubule, serta pada membranmembran di koklea dan mata, dengan demikian kerusakan
yang terjadi pada organ tersebut mempunyai persamaan
proses.

PERUBAHAN HISTOLOGIS
Perubahan awal berupa penebalan MBG lalu terjadi
longitudinal splitting dan memberikan gambaran berlapis
(multi-laminated) akibat proses injury and repair,
kemudian berlanjut dengan perubahan glomerulus melalui
proses glomerulosklerosis.

Biasanya manifestasi klinis berupa hematuri asimtomatik,


jarang terjadi gross hematuri, terjadi pada usia muda,
mikrohematuri persisten sering terjadi terutama pada anak
laki-laki. Pada tahap awal biasanya kreatinin serum dan
tekanan darah tidak mengalami perubahan, tetapi dengan
berjalannya waktu fungsi ginjal mengalami penurunan
secara progresif yang ditandai proteinuria yang semakin
persisten dan menjadi gaga1 ginjal tahap akhir pada usia
16 sampai 35 tahun. Variasi gambaran klinis ditentukan
oleh besarnya mutasi genetik.
Gangguan ekstrarenal yang paling sering didapati
adalah hilangnya pendengaran, dimulai dengan hilangnya
kemampuan mendengarkan nada-nada tinggi dan akhirnya
hilang kemampuan mendengar percakapan normal. Pada
mata dijumpai gangguan berupa kurangnya kemampuan
lengkung lensa mata (anterior lenticonus), bintik putih
atau kuning di daerah perimakular retina, kelainan kornea
berupa distrofi polimorfis posterior dan erosi kornea, dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HlPERTENSl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

berakhir dengan mundurnya ketajaman penglihatan.


Megatrombositopenia dapat ditemukan pada tipe
autosomal dominant.

pelatihan keterampilan berkomunikasi dengan isyarat,


gangguan pada lensa mata dapat diatasi dengan
penggantian lensa mata atau penggantian kornea. Dialisis
dilakukan pada penyakit ginjal kronik tahap akhir.

DIAGNOSIS
Adanya riwayat penyakit ginjal disertai gangguan
pendengaran pada anggota keluarga merupakan tuntunan
untuk mencurigai sindrom Alport. Hal ini dihubungkan
dengan adanya hematuri glomerulus persisten. Pada biopsi
ginjal ditemukan adanya kelainan MBG. Perkembangan
klinis menuju pada progresivitas penyakit ginjal kronis
serta bila mungkin tes genetika adanya mutasi gen
COLAAS, COL4A3, COL4A4.

~ r a n s ~ l a n t aGinjal
si
Dilakukan pada pasien yang sudah pada tahap akhir
penyakit ginjal kronik. Dilaporkan bahwa 3 sarnpai 4% dari
pasien transplantasi ginjal tersebut mengalami anti-GBM
antibody disease dan umumny a terjadi pada tahun pertama
pasca transplantasi, terjadi glomerulonefritis kresentik dan
berakhir dengan graft loss. Bila terjadi ha1 tersebut maka
plasmaferesis dan pemberian Siklofosfamid merupakan
pilihan pengobatan. Berulangnya sindrom Alport pasca
transplantasi tidak pernah dijumpai sampai saat ini.

DIAGNOSIS BANDING

PENCEGAHAN

1. Penyakit Fabry (Angiokeratoma corporis diffusum


universale)
2. Sindrom Nail-patella (Osteo-onychodysplasia)
3. Sindrom nefrotik kongenital.
Kelainan ini tanpa disertai gangguan pendengaran.

Pencegahan dapat dilakukan dengan menjalani konsultasi


pra-nikah pada seseorang dengan riwayat penyakit ginjal
dan ketulian dalam keluarganya. Keadaan tersebut
potensial mempunyai risiko terhadap sindrom Alport.
Konsultasi dilakukan oleh ahli genetika.

REFERENSI
Saat ini belum ada terapi spesifik, terapi lebih banyak
ditujukan pada pengendalian keadaan sekunder akibat
gangguan fungsi ginjal seperti pengendalian hipertensi
dengan menggunakan angiotensin-converting enzyme
inhibitors. Obat ini dapat menurunkan tekanan
intraglomerulus dan terbukti dapat menurunkan laju
progresivitas penurunan fungsi ginjal. Untuk pencegahan
terhadap meluasnya ekspansi mesangial dapat diberikan
Siklosporin A terutama pada pasien dengan proteinuria
berat, sedangkan untuk pengendalian fosfat digunakan
pengikat fosfat, serta pengendalian dislipidemia
menggunakan statin. Gangguan fungsi pendengaran
biasanya permanen sehingga pasien dapat diberikan

Adler, Cohen, Glassock. Secondary glomerulus disease. The kidney.


Philadelphia: WB Saunders; 1996. p. 1555-61.
Chen D, Jefferson B, Harvey SJ, Zheng K. Cyclosporine A slows the
progressive renal disease of alport syndrome (X-linked hereditary nephritis): result from a canine model. J Am Soc
Nephro1.2003;14:690-8.
Chugh KS, Agarwal VSA, Jha V. Hereditary nephritis (Alport's
syndrome)-clinical profile and inheritance in 28 kindreds.
Ruminska EZ, Szymczak WS, Moszynski B. Chronic hereditary
nephritis with hearing loss (Alport's syndrome). Otolaryngol
Pol. 1989;43:401-8.
Kahstan CE. Hereditary nephritis (Alport syndrome).
Australian Kidney Foundation. Hereditary nephritis (Alport
syndrome). Available from: http:!!www.kidney.org.au!.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SINDROM NEFROTIK
Wiguno Prodjosudjadi

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi
klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema
anasarka, proteinuria masif >3,5g/hari, hipoalbuminemia
<3,5 gldl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses
awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak
semua gejala tersebut hams ditemukan. Proteinuria masif
merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang
disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi
terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalburninemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan
keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering
dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit
ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat
sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat
berkembang menjadi kronik.

Sindom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan


sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan
penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti tercanturn pada Tabel 1.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan
penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN
primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN
membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan
histopatologik yang sering ditemukan.Dari 387 biopsi ginjal
pasien SN dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara

Glornerulonefritis primer:
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glornerulosklerosis fokal (GSF)
GN mernbranosa (GNMN)
GN mernbranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferatif lain
Glornerulonefritis sekunder akibat:
lnfeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosorna
Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
rnielorna rnultipel, dan karsinorna ginjal
Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sisternik, artritis reurnatoid, MCTD
(mixed connective tissue disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilinarnin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
Lain-lain :
Diabetes rnelitus, arniloidosis, preeklarnsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

1990- 1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM


didapatkanpada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliferatif)
pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan
GNMN pada 6,5%.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai
misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi
virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi
non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat
penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus
sistemik dan diabetes melitus.

Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

maka anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan


urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan
dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum,
kolesterol, dan trigliserid juga membantu penilaian
terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan
berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu
diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal
sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder.
Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan
informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya
pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan
indikasi yang kuat.

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler


terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (chargebarrier).Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu
konfigurasi molekul protein juga menentukan 1010s
tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui
urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria
ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan
proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron
memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral
glomerulus dan terlepasnya sel dari sruktur MBG.
Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada
GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan
albumin dapat 1010s ke dalam win. Pada GSFS, peningkatan
permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut
dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel
viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga
permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan
struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di s
ub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan
meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun mekanisme
yang pasti belum diketahui.

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan

protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein


melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan
onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan
sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati
tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.
Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis
albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan
ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat
pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill


dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemiamerupakan faktor kunci terjadinya edema
pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema.
Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi
natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara
bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan
natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat
gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan
keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan
menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat pada
Gambar 1.

KOMPLIUASI PADA Shl


Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan
keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan
massa otot sering ditemukan tetapi gejala ihi tertutup
oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah
edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 1020% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang
dijumpai pada SN.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik

Hiperlipidemia dan Lipiduria


Hiperlipidemiamerupakan keadaan yang sering menyertai
SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan
trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya
LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density
lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL
(intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a,
sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung
normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada SN
dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula
diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi nonspesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis
protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia
disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung
diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat
ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati
normal dan sebaliknya pada pasien dengan
hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan
sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan
sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi
LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.

Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase)


diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoproteinhati terjadi
akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang
menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat
berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan
HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari
sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan
aktifitas ensim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering
ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid
pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk
oval (ovalfat bodies)danfa@ cast. Lipiduria lebih dikaitkan
dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.

Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukanpada SN akibat
peningkatan koagulasi intravaskular. Pada SN akibat
GNMN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis
cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP
frekuensinyakecil. Emboli paru dan trombosis vena dalam
(deep vein thrombosis)sering dijumpai pada SN. Kelainan
tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas
berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek


meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit
dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang
terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati
dan kehilangan protein melalui win.

Metabolisme Kalsium dan Tulang


Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme
kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat
protein akan diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D
dan 1,25 (OH),D plasma juga ikut menurun sedangkan
kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena
fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi
atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang
dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid
yang terikat protein (thyroid-bindingprotein) melalui urin
dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas
dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxinestimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis
tidak menimbulkan gangguan.
lnfeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab
kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul
(encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat
defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis
yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah
sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan
gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T
agar dapat berfungsi dengan normal.
Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal
ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah
terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi
pada tubulus ginjal.
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang
menjadi PGTA. Proteinuriamerupakan faktor risiko penentu
terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan
glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan
kerusakan tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria.
Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme
terjadinya
glomerulosklerosis
dan fibrosis
tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap
progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.

Komplikasi Lain pada SN


Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa
terutama apabila disertai proteinuria masif, asupan oral
yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.
Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan
meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar
obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak
jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutarna dikaitkan
dengan retensi natrium dan air.

PENGOBATAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang
ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema,
dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah
garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema.
Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau
asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang
ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,O glkg berat
badanlhari dapat mengurangi proteinuria. Obat
penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin
converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin I1 (angiotensin 11receptor antagonists) dapat
menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu
mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan
jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi
terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN
belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi
menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini.
Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin,
pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol
LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

REFERENSI
Agarwal A, Nath KA. Effect proteinuria on interstitium. Effect of
products of nitrogen metabolism. Am J Nephrol. 1993;13:37684.
Anderson S, Kennefick TM, Brenner BM. Renal and systemic.
Manifestation of glomerulus disease. In: Brenner BM, Rector
FC, editors. The kidney. 51h edition. Philadelphia: WB Saunders;
1996. p. 1981.
Appel G. Lipid abnormalities in renal disease. Kidney Int.
1991;39:169-83.
Brenner BM, Hostetter TH, Humes HD. Molecular basis of proteinuria of glomerulus origin. N Engl J Med. 1978;298:826-33.
Brenner BM, Meyer TW, Hosteter TH. Dietary protein intake and
the progressive nature of kidney disease: the role of

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1003

SINDROMNEFRO~K

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


hemodynamically glomerulus injury in the pathogenesis of glomerulus sclerosis in aging, renal ablation and intrinsic renal disease.
N Engl J Med. 1982;307:652-9.
Donckenvolcke RA, Walle JGV. Pathogenesis of edem formation in
the nephrotic syndrome. Kidney Int. 1997;51(suppl 58):S72S4.
Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical
presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comphrensive
clinical nephrology. 2"* edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255.
Glassock RJ, Brenner BM. The major glomerulopathies. In:
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS,
Kasper DL, editors. Harrison's principles of internal medicine.
13rdedition. New York: McGraw-Hill; 1994. p. 1295.
Haas M, Meehan SM, Karrison TG, Spargo BH. Changing etiologies
of unexplained adult nephritic syndrome: a comparison of renal
biopsy findings from 1976-1979 and 1995-1997. Am J Kidney
Dis. 1997;30: 621-31.
Himawan S. Pathological features of glomerulonephritis in Jakarta.
Supplement of Abstract and Proceeding of 131h Asian
Colloquium in Nephrology. Bali, November 23-25, 2000.
Howard AD, Moore J, Gouge SF. Routine serologic tests in differential
diagnosis of adult nephritic syndrome. Am J Kidney Dis.
1990;15:24-30.
Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J
Med. 1998;339: 888-99.
Humprey MH. Mechanisms and management of nephrotic
syndrome. Kidney Int. 1994;45:266-81.
Jennette JC, Falk RJ. Adult minimal change glomerulopathy with
acute renal failure. Am J Kidney Dis. 1990;16:432-7.
Jensen H, Rossing N, Anderson SB. Albumin metabolism in the
nephritic syndrome in adults. Clin Sci. 1967;33:445-57.
Kanwar YS, Liu ZZ, Kashihara N, Wallner El. Current status of the
structural and functional basis of glomerulus filtration and
proteinuria. Sem Nephrol. 1991;11:390-413.
Kaysen G, Gambertoglio J, Felts J, Hutchison F. Albumin synthesis,
albuminuria and hyperlipidemia in nephritic syndrome. Kidney
Int. 1987;31:1368-76.
Koenig KG, Bolton WK. Clinical evaluation and management of
hematuri and proteinuria. In: Neilson EG, Couser WG, editors.

Immunologic renal diseases. 1" edition. Philladelphia:


Lippincott-Raven. 1997. p. 805.
Uhn K, Haas-Wohrle A, Lutz-Vorderbrugge A, Felten H. Treatment
of severe nephrotic syndrome. Kidney Int. 1998;53:(suppl
64):S50-S3.
Lowenstein J, Schacht RG, Baldwin DS. Renal failure in minimal
nephrotic syndrome. Am J Med. 1981;70:227-30.
Moorehead JF, Chan EK, El-Nahas M, Varghese Z. Hypothesis lipid
nephrotoxicity in chronic progressive glomerulus and
tubulointerstitial disease. Lancet. 1982;2:1309-11.
Nakao N, Yoshimura A, Morita H. Combination treatment of
angiotensin I1 receptor blocker with angiotensin converting
enzyme inhibitors in non-diabetic renal disease [COOPERATE]:
a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361:117-34.
Oberbauer R, Haas M, Regele H, Barnas U, Schmidt A, Mayer G.
Glomerulus permselectivity in proteinuric patients after kidney
transplantation. J Clin Invest. 1995;96:22-9.
Sarasin FP, Schifferli JA. Prophylactic oral anticoagulant in
nephritic patient with idiopathic membranous nephropathy.
Kidney Int. 1994;45:578-85.
Savin VJ, Sharma R, Sharma M. Circulating factor associated with
increased glomerulus permeability to albumin in recurrent focal
segmental glomerulosclerosis. N Engl J Med. 1996;334:87883.
Schena FP, Gesualdo L, Grandaliano G, Montinarno V. Progression
of renal damage in human glomerulonephritides: Is there sleight
of hand in winning the game? Kidney Int. 1997;52:1439-57.
Smith JD, Hayslett JP. Reversible renal failure in the nephritic
syndrome. Am J Kidney Dis. 1992;19:201-13.
Vernier RL, Klein DJ, Sisson SP, Mahan JD, Oegema TR, Brown
DM. Heparan sulfate-rich anionic site in the human glomerulus
basement membrane. Decreased concentration in congenital
nephrotic syndrome. N Engl J Med. 1983;17: 1001-9.
Wanner C, Rader D, Bartens W. Elevated plasma lipoprotein (a) in
patients with the nephrotic syndrome. Ann Intern Med.
1993;119:263-9.
Warwick GL, Packard CJ. Pathogenesis of lipid abnormalities in
patients with nephrotic syndromelproteinuria: clinical
implication. Miner Electrolyte Metab. 1993;19:115-26.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

VASKULITIS RENAL
Aida Lydia

PENDAHULUAN
Vaskulitis ditandai oleh inflamasi dan nekrosis pembuluh
darah yang dapat menyebabkan iskemia pada jaringan
terkait. Umumnya vaskulitis dapat mengenai pembuluh
darah dengan berbagai ukuran pada berbagai organ tubuh.
Kategori vaskulitis dibuat berdasarkan ukuran pembuluh
darah yang terkena, yaitu vaskulitis pembuluh darah besar
(large vessel vasculitis), vaskulitis pembuluh darah
sedang (medium-sized vessel vasculitis) dan vaskulitis
pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis). Pembuluh
darah ginjal seringkali merupakan target dari berbagai
macam penyakit vaskulitis sistemik, terutama yang
mengenai pembuluh darah kecil (small vessel vasculitis).
Vaskulitis pembuluh darah besar (large vessel
vasculitis): Mengenai terutama pernbuluh darah aorta
beserta cabang utamanya. Bila ada keterlibatan ginjal
biasanya mengenai arteri renalis dengan menifestasi
hipertensi renovaskular.
Vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized
vessel vasculitis): Terutama mengenai pembuluh darah
viseral dan dapat pula mengenai berbagai pembuluh darah
ginjal seperti arteri renalis, arteri arkuata dan arteri
interlobularis. Inflamasi dan nekrosis pada arteri ini dapat
menyebabkan trombosis atau ruptur yang dapat
menyebabkan infark dan perdarahan ginjal.
Vaskulitis pembuluh darah kecil (small vessel
vasculitis):Vaskulitsjenis ini terutama mengenai pembuluh
darah yang lebih kecil dari arteri seperti kapiler, venula dan
arteriol. Target utama vaskulitisjenis ini pada ginjal adalah
glomerulus, oleh karena itu manifestasi utama penyakit ini
adalah glomerulonefritis.
Vaskulitis pembuluh darah kecilpauce-immune (small
vesselpauce-immune vasculitis). Penyakit Granulomatosis
Wegener, Churg-Strauss syndrome dan Poliangiitis

mikroskopiktermasuk kelompok ini dan sulit dibedakan satu


sama lain. Keterlibatan kapiler glomerulus menyebabkan
glomerulonefritis, bila mengenai kapiler alveolus paru
menyebabkan perdarahan paru (pulmonary hemorrhage)
dan pada keterlibatan venula kulit menyebabkan purpura.
Walaupun kompleks imun sirkulasi (circulating immune
complex) mempunyai peran dalam patogenesis, namun
pada pemeriksaan biopsi tidak dijumpai adanya deposit
kompleks imun pada pembuluh darah. Keadaan ini dikenal
dengan istilah Pauce-Immune.
Diagnosis vaskulitis pembuluh darah kecil Pauce-Immune
ditegakkan berdasarkan sindrom yang menyertai penyakit:
Granulomatosis Wegener berhubungan dengan
inflamasi granulomatosa nekrotik (necrotizing
granulomatous injlammation) yang seringkali disertai
keterlibatan saluran napas.
Churg-Strausssyndrome adalah vaskulitis yang timbul
berhubungan dengan asma, eosinofilia dan inflamasi
granulomatosa nekrotik (necrotizing granulomatous
inflammation).
Poliangiitis mikroskopik ditegakkan bila vaskulitis tidak
disertai dengan bukti adanya Granulomatosis Wegener
atau Churg-Strauss syndrome, misalnya tidak
ditemukan asma, eosinofilia, dan bukti inflamasi
granulomatosa nekrotik.
Penyakit Granulomatosis Wegener, Churg-Strausssyndrome, dan Poliangiitis mikroskopik menunjukkan adanya
vaskulitis pada kapiler glomerulus. Pemeriksaan
histopatologi pada glomerulonefritiskelompok ini ditandai
adanya nekrosis dan pembentukan crescent, disertainya
absennya deposit imunoglobulin, sering disebut dengan
istilah Pauci-immune crescentic glomerulonephritis. Bila
Pauci-immune crescentic glomerulonephritis yang timbul
tidak disertai gejala vaskulitis sistemik sering disebut
sebagai vaskul it is renal atau idiopathic rapidly
progressive glomerulontphritis ('PGN).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

VASKULITIS RENAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome,
Poliangiitis mikroskopik, serta Glomerulonefiitiskresentik
terisolasi, semuanya berhubungan dengan adanya
autoantibodi terhadap komponen sitoplasma neutrofil,
yaitu circulating antineutrophil cytoplasmic autoantibody (ANCA). Antigen spesifik terhadap ANCA yang
ditemukan pada kasus glomerulonefritis dan vaskulitis
adalah terhadap proteinase 3 dan mieloperoksidase (MPO).
Hal ini kemudian menyebabkan timbul hipotesis bahwa
ANCA mempunyai peranan dalarn patogenesis vaskulitis.
Berbagai bukti klinis menunjukkan bahwa ANCA
berhubungan dengan aktivitas penyakit, tetapi hubungan
ini tidak begitu kuat. Dari observasi in vitro untuk
mengetahui bagaimana mekanisme ANCA dapat
menimbulkan kerusakan vaskular, diduga bahwa awalnya
terjadi stimulasi neutrofil oleh sitokin (cytokine-primed
neutrophil) yang dapat timbul akibat infeksi virus,
menyebabkan neutrofil mengekspresikan antigen pada
permukaan yang mempunyai akses untuk berinteraksi
dengan ANCA. Cytokine-primed neutrophil yang
terpapar dengan ANCA akan melepaskan Imunoglobulin
G (IgG) dari granulnya, yang menghasilkan metabolik
oksigen toksik dan membunuh sel endotel pada kultur sel.
Kompleks ANCA-Ag diadsorpsi ke dalam sel endotel,
kemudian akan terbentuk kompleks imun in situ. Walaupun
masih kontroversial, ada pendapat bahwa sel endotel dapat
mesintesis PR3 yang dapat pula berperan dalam
pembentukan kompleks imun in situ. Netrofil yang
diaktivasi oleh ANCA (ANCA activation of netrophils)
dimediasi oleh Fab'2 yang terikat pada netrofil dan reseptor
Fc. Bila peristiwa ini terjadi invivo akan menyebabkan
terjadinya vaskulitis sebagai akibat dari netofil yang
menempel, melakukan penetrasi dan kemudian merusak
dinding vaskular.

Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome dan


Poliangiitis mikroskopik dapat mengenai berbagai usia,
namun penyakit ini paling sering timbul pada usia dekade
ke 5,6 atau 7. Laki-laki sedikit lebih banyak dari perempuan
dan lebih banyak mengenai kulit putih dibanding kulit
hitam. Insidensi pertahun di Amerika Utara dan Eropa
diperkirakan 1-2 per 100.000 populasi.

Manifestasi klinis Granulomatosis Wegener, ChurgStrauss syndrome, dan Poliangiitis mikroskopik sangat
bervariasi, tergantung bagian tubuh yang terlibat, aktivitas,
dan perjalanan penyakit akut atau kronik. Ketiga penyakit

ini mempunyai manifestasi yang kurang lebih sama, yaitu


gejala vaskulitis pembuluh darah kecil.
Pasien dengan Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome mempunyai tambahan gejala sesuai
dengan sindromnya masing-masing. Keterlibatan ginjal
sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan
Poliangiitis mikroskopik, namun jarang dijumpai pada
Churg-Strauss syndrome.
Manifestasi renal yang sering dijumpai merupakan
gejala keterlibatan glomerulus seperti hematuria,
proteinuria, disertai gaga1 ginjal. Gagal ginjal biasanya
memberikan gambaran karakteristik seperti rapidly
progressive glomerulonephritis (RPGN) pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun
lebih ringan pada Churg-Strauss syndrome. Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik dapat juga
bermanifestasi sebagai nefritis akut yang indolen atau
nefritis kronik.
Gejala lain dapat dijumpai manifestasi inflamasi sistemik
yang tidak spesifik seperti demam, malaise, anoreksia,
penurunan berat badan, mialgia, dan artralgia. Kadang
awalnya dirasakan seperti gejala influenza (flu-like
illness). Sering ditemukan keterlibatan kulit, misalnya pada
Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome
maupun Poliangiitis mikroskopik didapatkan lesi purpura
yang menunjukkan adanya venulitis dermal. Purpura ini
lebih banyak mengenai ekstremitas bawah, sering disertai
ulserasi halus setempat (Gambar 1). Lesi nodular pada kulit
dapat ditemukan pada Granulomatosis Wegener dan
Churg-Strauss syndrome, tetapi sangat jarang pada
Poliangiitis mikroskopik. Nodul ini dapat terjadi karena
arteritis dermal atau subkutaneus, dan akibat inflamasi
granulomatosa nekrotik. Keterlibatan saluran napas atas
dan bawah lebih sering terjadi pada Granulomatosis
Wegener dan Churg-Strauss syndrome, dan walaupun
jarang dapat pula terjadi pada Poliangiitis mikroskopik
dengan manifestasi perdarahan paru (pulmonary
hemorrhage) akibat kapilaritis hemoragik. Perdarahan paru
lebih dominan pada Granulomatosis Wegener, sedangkan
pada Churg-Strauss syndrome terutama disertai a s ~ a
bronkial. Pada Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome terjadi kerusakan pan1 yang disebabkan
inflamasi granulomatosa nekrotik, pada pemeriksaan
radiologi terdeteksi sebagai lesi nodular atau kavitas yang
lokasinya dapat berpindah. Pada Poliangiitis mikroskopik
tidak dijumpai lesi paru granulomatik. Manifestasi
keterlibatan saluran napas atas termasuk rinitis, sinusitis,
otitis media, dan inflamasi okular. Gejala ini lebih sering
pada Granulomatosis Wegener, namun dapat pula dijumpai
pada Churg-Strausssyndrome dan Poliangiitis mikroskopik.
Terutama pada GranulomatosisWegener dapat ditemukan
gejala destruksi tulang hidung dengan manifestasi
perforasi septa1 dan deformitas bentuk hidung. Gejala
neurologi berupa neuropati perifer, umumnya mononeuritis
kompleks dijumpai terutama pada Churg-Strauss

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

syndrome. Keterlibatan gastrointestinal menimbulkan


gejala nyeri abdominal, iskemia mesenterika, perforasi
intestinal (jarang), dan pada pemeriksaan feses dapat
dijumpai adanya darah. Tabel 1menunjukkan persentase
keterlibatan organ pada ketiga penyakit tersebut.

Organ sirtern

Pollanglltls
Mlkroskoplk

Granulomatosls
Wegner

S1ndrom
Churg
Streurr

90
40
50
35
60
30
50

80
40
90
90
60
50
50

45
60
70
50
50
70
50

Ginjal
Kulit
Paru

THT
Muskuloskeletal
Neurologi
Gastrointestinal

SEROLOGI ANCA
Pemeriksaan serologi ANCA sangat berguna pada
pauci-immune crescentic glomerulonephritis namun
harus diinterpretasi dalam konteks sesuai dengan
karakteristik pasien. Sensitifitas diagnostik mencapai 8090%, tetapi spesifisitastergantung populasi pasien. Sekitar
seperempat pasien dengan anti-GBM crescentic
glomerulonephritis dan idiopathic immune-complex
crescentic glomerulonephritis memberikan ANCA positif
(Tabel 2).

Proteinase 3 Mieloperoksidase
(PR31cANCA)
(MPOlpANCA)
Granulornatosis
Wegener
Poliangiitis
Mikoskopik
Churg-Strauss
Syndrome
Pauci-immune
Gkmerulonephritis

Negatif

70

25

40

50

10

10

60

30

70

10

Titer ANCA biasanya menurun setelah terapi dan


meningkat bila penyakit kambuh. Namun peningkatan
titer saja tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk
perubahan terapi, harus disertai adanya peningkatan
aktivitas penyakit secara klinis. ANCA dapat pula positif
pada penyakit inflamasi lain seperti kolitis inflamasi,
rematoid, penyakit inflamasi liver kronik, endokarditis,
dan fibrosis kistik. Pada keadaan ini ANCA tidak spesifik
terhadap PR3 atau MPO, tetapi spesifik terhadap Antigen netrofil yang lain misalnya seperti laktoferin,
katepsin G.

Lesi glomerular berupa glomerulonefritis nekrotik


(necrotizing glomerulonephritis), sering disertai dengan
crescent. Pada lesi permulaan yang ringan dijumpai
nekrosis fibrinoid segmental dengan atau tanpa crescent.
Pada lesi akut yang berat dapat terjadi nekrosis global
dengan pembentukan crescent yang luas. Berbeda dengan
crescent yang dimediasi oleh penyakit imun kompleks,
pada penyakit ini segmen yang non-nekrotik pada
glomerulus yang mengalami injuri segmental tampak
normal atau mengalami sedikit sekali perubahan. Hal ini
berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit
imun kompleks (nefritis lupus, nefropati IgA,
glomerulonefritis membranoproliferatif) yang secara
spesifik ditemukan hiperselularitas endokapiler dan
penebalan dinding kapiler pada segmen non-nekrotik.
Tambahan pula pada pauci-immune vasculitis bisa
dijumpai arteritis renal, terutama pada arteri interlobularis
dan angiitis medularis yang mengenai vasa recta. Infiltrat
mononuklear terutama eosinofil dapat dijumpai bila lesi
glomerulus dan arteri berat.

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT


Sebelum tersedia obat imunosupresan prognosis penyakit
ini buruk, kebanyakan pasien meninggal dalam waktu
kurang dari 1 tahun. Dengan pengobatan imunosupresan
yang adekuat masa harapan hidup pasien dan survival
ginjal dalam 1 tahun mencapai 70-80%. Keberhasilandalam
pemeliharaan fungsi ginjal dalam jangka waktu panjang
berbanding terbalik dengan kadar kreatinin serum pada
waktu awal diagnosis.

PENGOBATAN
Glomerulonefritis yang cukup berat, yang sampai terjadi
gangguan fungsi ginjal memerlukan pengobatan
imunosupresan. Pengobatan meliputi 3 fase yaitu fase
induksi, fase pemeliharaan, dan fase relaps.
Pada fase induksi diberikan kortikosteroid dan obat
sitotoksik seperti siklofosfamid. Dengan kombinasi obat
ini biasanya terjadi remisi sekitar 75 %. Dosis terapi induksi
meliputi Metilprednisolon7 mgKgBB, diberikan intra vena
tiga hari berturut-turut dilanjutkan dengan Prednison oral
60 mghari yang di turunkan menjadi 10 mghari dalam
waktu 3 bulan. Obat ini dikombinasi dengan Siklofosfamid
oral 2 mg/KgBB/hari atau siklofosfamid intravena atau 0,s1 g/m2/bulan.Terapiplasma exchange bermanfaat terutama
pada penyakit yang berat, gaga1 ginjal yang tergantung
dialisis, atau ada keadaan yang mengancam jiwa seperti
pulmonary hemorrhage.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

VASKULITIS RENAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pengobatan pada fase pemeliharaan terdiri dari
Siklofosfamid yang dapat diteruskan sampai 6-12 bulan
untuk mempertahankan remisi. Sebagai obat altematif pada
fase ini dapat digunakan Azatioprin, sebagai contoh
Siklofosfamid diberikan sampai 3 bulan kemudian
dilanjutkan dengan Azatioprin 2 mg/KgBB/hari untuk
mempertahankan keadaan remisi.
Kira-kira 25-50% pasien dengan penyakit ini akan
mengalami kekambuhan. Pengobatan yang terbaik pada
kasus relaps ini belurn diketahui dengan baik. Biasanya
digunakan obat seperti halnya pada fase induksi, narnun
lebih kurang intensif apalagi bila keadaan rileps dapat
dideteksi lebih dini.

REFERENSI
Booth AD, Pusey CD, Jayne DR. Renal vasculitis. Nephrol Dial
Transplant. 2004;19: 1964-8.
Jennette JC. Rapidly progressive crescentic glomerulonephritis.
Kidney Int. 2003;63:1164-77.
Jennette JC, Falk RJ. Renal and systemic vasculitis. In: Johnson RJ,
Feehaly J, editors. Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. p. 28.1-28.14.
Jennette JC, Falk RJ. The pathology of vasculitis involving the
kidney. Am J Kidney Dis. 1994;24:130-41.
Kallenberg CGM, Brouwer E, Weening JJ, Cohen TJW. Anti
neutrophyl cytoplasmic antibodies: current diagnostic and
pathophysiologic potential. Kidney Int. 1994;46:1-15.
Savage COS. ANCA associated renal vasculitis. Kidney Int.
2001;60:1614-27.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA


Enday Sukmdar

menyebabkan negatif palsu pada pasien dengan presentasi


klinis ISK.

PENDAHULUAN
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit
infeksi yang
sering ditemukan di praktik umum, walaupun
.
bermacam-macam antibiotika sudah tersedia luas di
pasaran. Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan
hampir 25-35% semua perempuan dewasa pernah
mengalami ISK selama hidupnya.
Infeksi saluran kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type) jarang dilaporkan menyebabkan insufisiensi
ginjal kronik (IGK) walaupun sering mengalami ISK
berulang. Sebaliknya ISK berkomplikasi (complicated
type) terutarna terkait refluks vesikoureter sejak lahir sering
menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK) yang berakhir
dengan gaga1 ginjal terminal (GGT).
Penggunaan prosedur pencitraan ginjal seperti
ultrasonografi (USG) yang tersebar luas di masyarakat
termasuk praktik dokter umurn hams berdasarkan indikasi
medis yang kuat dan benar.
-

lnfeksi Saluran Kemih (ISK)


ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan
mikroorganisme (MO) dalarn win.
Bakteriuria bermakna (signifi:cant bacteriuria):
Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan
mikroorganisme (MO) murni lebih dari lo5colonyforming
units (cfulml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna
mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan
bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya
bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK
dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada
beberapa keadaan pasien dengan presentasi klinis ISK
tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang

Pas~en
tela h mendapat terap~a nbm~kroba
Terap~dl uret~ka
Mtnum banyak
Waktu pengamb~lansarnpel tldak tepat
Pera nan ba kter~ofag
PIurla bermakna (sgnificant pyuna), b~lad temukan netrofll
> 10 per lapang pandang

lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah


Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender:
1. Perempuan
- Sistitis. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi
kandung kemih disertai bakteriuria bermakna
- Sindrom uretra akut (SUA). Sindrom uretra akut
adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis
bakterialis. Penelitian terkini SUA disebabkan MO
anaerobik.
2. Laki-laki
Presentasi klinis ISK bawah pada laki-laki mungkin
sistitis, prostatitis, epidimidis dan uretritis.
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas
1. Pielonefitis akut (PNA). Pielonefitis akut adalah proses
inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi
bakteri
2. Pielonefritis kronis (PNK). Pielonefitis kronis munglun
akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau
infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan
refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1009

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kronik sering diikuti pembentukanjaringan ikat parenkim
ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik.
Bakteriuria asimtomatikkronik pada orang dewasa tanpa
faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal.
Data epidemiologi klinik tidak pernah melaporkan
hubungan antara bakteriuria asimptomatik dengan
pielonefritis kronik.

Infeksi saluran kemih [ISIS) tergantung banyak faktar;


seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, d m faktor
predisposisi yang rnenyebabkan pe~ubahanstruktur
saluran kemih termasuk ginjal.
Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65
tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan
laki-laki. ISK befulang pa& l&i-laki jarang dilaporkm,
kecuali disertai f&or predispasisi (pencetush
Prevalensi bakteriuri asimtomarik lebih sering
ditemtlkan pada perempuan. Prevalensi selama periode
sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama
periode aktif secara seksual. Prevalensi mfeksi aimtornatik
meningkai mencapai 30%, baik laki-laki maupun
perempuan bila disertai falctor predispmsisi seperti terlihat
pada Tabel 2.
rabel2. Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK

MIKROORGANISME SALURAN KEMIH


Pola mikroorganisme(MO) bakteriuria seperti terlihat pada
Tabel 3. Pada umumnya ISK disebabkan mikro-organisme
(MO) tunggal:
Escherichia coli merupakan MO yang paling sering
diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun
asimtomatik
Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti
Proteus spp (33% ISK anak laki-laki berusia 5 tahun),
Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase
negatif
Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO
lainnya seperti Stafilokokusjarang dijumpai, kecuali
pasca kateterisasi.

Patogenesis Urinary Pathogens


Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri
simtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung dari
patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host).
1. Peranan Patogenisitas Bakteri. Sejumlah flora saluran
cerna termasuk Escherichia coli diduga terkait dengan
etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe
0 (antigen) E coli yang patogen. Patogenisitas
E. Coli terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida
dari lipopolisakarin (LPS) seperti terlihat pada Gambar 2.

L~tias~s
Obstruks~saluran kem~h
Penyakit ginjal polikistik
Nekrosis papilar
Diabetes mellitus pasca transplantasi glnjal
Nefropati analgesik
Penyakit Sikle-cell
Senggama
Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
Kateterisasi

Gamhr 2. Wrmukaan Escheri~hiamti

Usia (tahun)

Gsmber 1. Prevalensi babriurla asimtomat'i dengsln usla

HanyaIG serotipe dari 170serotipe OIE. coli yang berhasil


diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli ini
mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil
menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai virulence
determinalis, seperti terlihat pada Tabel 4.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Gram negatif
Famili

Genus

Enterobacteriaceae

Escherichia
Klebsiella
Proteus

Gram positif
Spesies
coli
pneumoniae
oxytosa
mirabilis
vulgaris

Famili

Genus

Spesies

Micrococcaceae

Staphylococcus

aureus

Streptococceae

Streptococcus

fecalis
enteroCOCCUS

Enterobacter
Providencia
Morganella
Citrobacter

cloacae
aerogenes
rettgeri
stuartii
morganii
freundii
diversus

Serratia
Pseudomonadaceae

Penentu virulensi

Pseudomonas

Alur

Fimbriae

Adhesi
Pernbentuk jaringan ikat (scarring)

Kapsul antigen K

Resistensi terhadap pertahanan


tubuh
Perlengketan (attachment)
Resistensi terhadap fagositosis

Lipopolysaccharide
side chains (0
antigen)
Lipid A (endotoksin)
Mernbran protein
lainnya

lnhibisi peristalsis ureter


Pro-inflarnmatori
Kelasi besi
Antibiotika Resisten
Kernungkinan perlengketan
lnhibisi fungsi fagosit
Sekuestrasi besi

Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens) dapat


menyebabkan presentasi klinis ISK tergantung juga dari
faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri,
faktor virulensi, dan variasi fase faktor virulensi.
Peranan Bakterial attachment of mucosa. Penelitian
membuktikan bahwa fimbriae (proteinaceous hair-like
projectionPom the bacterial surface) seperti terlihat pada
Gambar 2, merupakan salah satu pelengkap patogenesitas
yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada
permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P
jimbriae akan terikat pada P blood group antigen yang
terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah.
Fimbriae dari strain E. coli ini dapat diisolasi hanya dari
urin segar.
Peranan faktor virulensi lainnya. Kemampuan untuk
melekat (adhesion) mikroorganisme (MO) atau bakteri

tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun


non-jimbriae. Pada saat ini dikenal beberapa adhesion
sepertifimbriae (tipe 1, P dan S), non fembrial adhesions
(DR haemaglutinin atau DFA component of DR blood
group), fimbrial adhesions (AFA-1 dan AFA-III),
M-adhesions, G-adhesions dan curli adhesions (2).
Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan
toksin. Dikenal beberapa toksin seperti a-haemolisin,
cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF- l), dan iron uptake
system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95%
a-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan
denganpathogenicity islands (PAIS) dan hanya 5% terikat
pada gen plasmio.
Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum
manusia dengan perantara (mediator) beberapa faktor
terutama aktivasi sistem komplemen termasuk membrane
attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan tubuh
berhubungan dengan pembentukan kolisin (Col V), K- 1,
Tra T proteins dan outer membrane protein (OHPA).
Menurut beberapa peneliti uropatogenik MO ditandai
dengan ekspresi faktor virulensi ganda. Beberapa sifat
uropatogen MO; seperti resistensi serum, sekuestrasi besi,
pembentukan hidroksat dan antigen K yang muncul
mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi
dikendalikan faktor luar seperti suhu, ion besi, osmolaritas,
pH, dan tekanan oksigen. Laporan penelitian Johnson
mengungkapkan virulensi E.coli sebagai penyebab ISK
terdiri atasfimbriae type 1 (58%), P-fimbriae (24%), aero
bactin (38%), haemolysin (20%), antigen K (22%), resistensi
serum (25%), dan antigen 0 (28%).
Faktor virulensi variasi fase. Virulensi bakteri ditandai
dengan kemampuan untuk mengalami perubahan
bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi
fase MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


virulensi bewariasi di antara individu dan lokasi saluran
kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda
dalam kandung kemih dan ginjal.
2. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi
klinik mendukung hipotesis peranan status saluran kemih
merupakan faktor risiko atau pencetus ISK. Jadi faktor
bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai
peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran
kemih. Kolonisasi bakteria sering mengalami kambuh
(eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi
saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal
tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan
gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap
infeksi. Gambar 3 memperlihatkan dilatasi ureter dan
kalises pelvis ginjal pada perempuan hamil.

Genetik

Perilaku

Biologis

Lainnya

Status
nonsekretorik

Kelainan
kongenital

Senggama

Operasi
urogenital

Antigen
golongan
darah ABO

Urinary tract obs


truction
Riwayat infeksi
saluran kemih
sebelumnya
Diabetes
lnkontinensi

Penggunaan
diafragma,
kondom.
spemisida,
penggunaan
antibiotik terkini

Terapi
estrogen

Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien


dengan saluran kemih normal (ISK tipe sederhana) lebih
besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik
dibandingkan kelompok sekretorik.
Penelitan lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat
dan diduga mempunyai peranan penting untuk kepekaan
terhadap ISK rekuren.

PATOFlSlOLOGl ISK

Gambar 3. Dilatasi kalises pelvis ginjal dan ureter pada kehamilan

Zat makanan dari bakteri akan meningkat dari normal,


diikuti refluks MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin
(lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks
vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila
mendapat terapi antibiotika.
Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat
berat bila refluks vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada
usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gaga1
ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema
denganltanpa hipertensi.
Status imunologi pasien (host). Penelitian laboratorium
mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor
mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Pada
Tabel 5 dapat dilihat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren)
dan status sekretor (sekresi antigen darah yang larut dalam
air dan beberapa kelas imunoglobulin) sudah lama
diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan
golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe
fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis.

Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan


urin selalu steril karena dipertahankanjumlah dan frekuensi
kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi
mikroorganisme nonpathogenicfastidious Gram-positive
dan gram negatif.
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme
asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada
beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat
mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks
vesikoureter.
Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang
ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia.
Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut
septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus.
Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis
(Stafilokokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa
peneliti melaporkan pielonefiitis akut (PNA) sebagai akibat
lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif.

PRESENTASI KLlNlS ISK


Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada
perempuan harus dilakukan investigasi faktor predisposisi
atau pencetus (Tabel 2).
Presentasi klinis ISK atas dan bawah pada pasien
dewasa seperti terungkap pada Gambar 4.
Pielonefritis akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti
panas tinggi (39.5-40SC), disertai menggigil dan sakit
pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala
ISK bawah (sistitis).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1012

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


rabel6. Klasiflkasi ISK Rekuren d a n Mlkroorganisme
M01
Klasifikasi
ISK

Patogenesis

- -

Sekali-sekali
ISK
Sering ISK

Abses
perinefnk
Ureteritis-

ISK setelah
terapi
Tidak adekuat
(relapsing)

Nyed supapubik
Diuria

Gambar 4. Hubungan antara IoKasi infeks~dengan gejala klin~s

ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit


suprapubik, polakisuria, nokturia, diswia, dan stranguria
Sindrom uretra akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit
dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada
perempuan usia antara 20-50 tahun.
Presentasi klinis SUA sangat miskin (hanya disuri dan.
sering kencing) disertai cfulml urin <lo5; sering disebut
sistitis abakterialis. Sindrorn uretra akut (SUA) dibagi 3
kelompok pasien, yaitu: a). Kelompok pertama pasien
dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E.colr dengan
cfulml urin 10'-10'. Suniber infeksi berasal dari kelenjar
peri-uretral atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini
memberikan respon baik terl~adapantibiotik standar seperti
arnpisilin. b). Kelompok kedua pasien lekosituri 10-501
lapang pandang tinggi dan kultur urin steril. Kultur (biakan)
khusus ditemukan Chlumydiu rruchomatis atau bakteri
anaerobik. c). Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan
biakan urin steril.
ISK rekuren. Infeksi saluran kemih (ISK) rekuren terdiri 2
kelompok, yaitu: a). Re-infeksi (re-iifecton.~). Pada
ulnumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu
dengan mikroorganisme ( M O ) yang berlainan.
b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan
mikroorganisme yang sama, disebabkan sumber infeksi
tidak mendapat terapi yang adekuat.

KOMPLlKASl ISK

'

Komplikasi 1SK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe

Mikroorganisme

Reinfeksi

Berla~nan

Sering episode
ISK
ISK persisten

Berlainan

Terapi tidak
sesuai
Terapi inefektif
setelah
reinfeksi
lnfeksi
persisten
Reinfeksi
cepat
Fistula
enterovesikal

Sarna

Sarna

Sarna
Sarna
Sarnalberlainan
Berlainan

Gender
-

Laki-laki atau
wanita
Wanita
Wanita atau
laki-laki
Wanita atau
laki-laki
Wanita atau
laki-laki
Wanita atau
lakl-taki
Wanita atau
laki-laki
Wanrta atau
laki-laki

sederhana (uncomplicated) dan tipe berkornplikasi


(cotnplicuted).
1. ISK sederhana (uncomnplic~~ted).
ISK akut tipe sederhana
(sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan hamil
menipakan penyakit ringan (se/flimiteddisr~~.\c.)
dan tidak
menyebabkan akibat lanjut jangka lama
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
ISK selama kehamilan. ISK selama kehamilan dari
umur kehamilan; seperti terlihat Tabel 7.
ISK pada diabetes melitus. Penelitian epidemiologi
klinik melaporkan bakteriuria dan ISK lebih sering
ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa
DM.

Kondisi
BAS* tidak diobati

ISK trirnesker Ill

Risiko potensial
Pielonefritis
Bayi prernatur
Anemla
Pregnancy-induced hypertension
Bayi rnengalarni retardas1 mental
Perturnbuhan bayi lambat
Cerebral palsy
Fetal death

* BAS: Basiluria Asimtomatik

Basiluria asimtolnatik (BAS) merupakan risiko untuk


pielonefritisdiikuti penurunan.laju filtrasi glomerulus (LFG).
Komplikasi et?i/~h):~emutousqvstiti.~,pielonefritis yang
terkait spesies kandida dan infeksi Gram-negatif lainnya
dapat dijumpai pada DM.
Pielonefritis emfisematosa disebabkan MO pembentuk
gas seperti E. roli, Cundida spp dan Klostridium tidak
jarang dijumpai pada DM. Pembentukan gas sangat
intensif pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis disertai
hematom yang luas. Pielonefritis emtisematosa sering
disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor (AVH).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Abses perinefrik merupakan komplikasi ISK pada
pasien dengan DM (47%), nefiolitiasis (41%) dan obstruksi
ureter (20%).

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSIS ISK


Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa
putar, kultur urin, serta jumlah kumanlml urin merupakan
protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK.
Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik
transportasi sampel urin hams sesuai dengan protokol yang
dianjurkan.
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, hams berdasarkan indikasi klinis
yang kuat (Tabel 8). Renal imaging procedures untuk
investigasi faktor predisposisi ISK:
Ultrasonogram(USG)
Radiografi
- Foto polos perut
- PielografiIV
- Micturating cystogram
Isotop scanning

ISK kambuh (relapsing infection)


Pasien laki
Gejala urologik: kolik ginjal, piuria, hematuria
Hematuria persisten
Mikroorganisrne (MO) jarang: Pseudomonas spp dan
Proteus spp
ISK berulang dengan interval 16 minggu

MANAJEMEN ISK
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang
banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi
simtomatikuntuk alkalinisasi urin:
Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48
jam dengan antibiotikatunggal; seperti ampisilin 3 gram,
trimetoprim 200 mg
Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis
(lekosuria)diperlukan terapi konvensional selama 5- 10
hari
Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak
diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria.
Reinfeksi berulang (frequent re-infection)
Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang
intensif diikuti koreksi faktor risiko
Tanpa faktor predisposisi
- Asupan cairan banyak

- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi


antimikroba takaran tunggal (misal trimetoprim 200
mg)
Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.
Sindrom uretra akut (SUA). Pasien dengan sindrom uretra
akut dengan hitung kurnan 103-1O5 memerlukan antibiotika
yang adekuat. Infeksi klarnidia memberikan hasil yang baik
dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobik
diperlukan antirnikroba yang serasi, misal golongan kuinolon.
lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas
Pielonefrits akut. Pada umumnya pasien dengan
pielonefiitis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara
satus hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit
48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti
terungkap pada Tabel 9.
The Infectious Disease Society of America
menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV
sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui
MO sebagai penyebabnya:
Fluorokuinolon
Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa
aminoglikosida.

Kegagalan mernpertahankan hidrasi normal atau toleransi


terhadap antibiotika oral
Pasien sakit berat atau debilitasi
Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami
kegagalan
Diperlukan investigasi lanjutan
Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi
Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, usia
lanjut

PENCEGAHAN
Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring
bakteriuria asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan
utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai
presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik
hams rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok pasien
perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan
pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan
kateterisasi laki-laki dan perempuan.
Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan
Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi
bakteriuria asimtomatik pada kehamilan bervariasi antara
2- 10%; dan tergantung dari status sosio-ekonomi.
Bila mikroorganisme lain seperti Ureaplasma
urealyticum dan Gardnella vaginalis berhasil diisolasi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Status

lnsiden

Basiluri asimtomatik
- Riwayat ISK sejak anak tanpa
pembentukanjaringan ikat
- Riwayat ISK sejak anak disertai
pembentukanjaringan ikat
Sistitis
Pielonefritis

4-10%
7%
7%
4%
1-2%

prevalensi bakteriuria asimtomatikmeningkat lebih dari 25%.


Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas.
Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan
basiluria asimtomatik dua kali berturut-turut MO yang sama
mempunyai sensitivitas 95% dan spesivitas 95% untuk
cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada
kelompok perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikroba,
cukup irigasi MO dengan asupan cairan yang banyak.
Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik
harus mendapat terapi antimikroba untuk mencegah
presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi kehamilannya;
seperti terungkap pada Tabel 7. Pada Tabel 10 diperlihatkan
insidens ISK selama kehamilan.

Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes


Melitus
Prevalensi bakteriuri asimtomatikpada perempuan disertai
diabetes melitus lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan tanpa diabetes melitus. Patogenesis kepekaan
terhadap ISK diantara pasien diabetes melitus tidak
diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gaga1
mencari hubungan antara prevalensi bakteriuria
asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia
(dengan parameter gula darah puasa dan HbA 1C dan faal
ginjal. Peneliti lain Balasoiu D menemukan hubungan faktor
risiko gangguan faal kandung kemih (Bladder sfu unction)
dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada
diabetes melitus. Disfungsi kandung kemih ini diduga
akibat disfungsi saraf autonom dan gangguan fungsi
leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan fagositosis).
Perubahan susunan kimiawi dan konsentrasi protein
Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan
bacterial adhesion terhadap sel epitel yang dapat
mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK).
Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada
diabetes melitus merupakan faktor predisposisi
pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan insufisiensi
renal. Basiluria asimtomatik dengan mikroorganisme
pembentukan; seperti E.coli, Candida spp dan klostridium
dapat menyebabkan pielonefritis emfisematosa disertai
syok septik dan vasomotor akut nefropati.
Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi
antimikroba pada basiluria asimtomatik pada pasien
dengan diabetes melitus.

Resipien Transplantasi Ginjal


Prevalensi bakteriuria asimtomatik cukup tinggi mencapai
35-79% diantara resipien pada 3-4 bulan pertama pasca
transplantasi ginjal; diduga terkait dengan indwelling
catheter sebagai faktor risiko. Bakteriuria asimtomatik pada
resipien ini merupakan risiko pielonefritis akut (graft
infection), septikemia diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Bakteriuria simtomatikdengan presentasi klinis yang
muncul6 bulan pertama (late infection) pasca transplantasi
ginjal dengan presentasi klinik ringan.
Parameter hitung kumadml urin para resipien pasca
transplantasi ginjal modifikasi karena diuresis pasca cold
ischemic time. Menurut beberapa peneliti, kriteria
bakteriuria asimtomatik dengan hitung kumadml urin.
Terapi antimikroba untuk bakteriuria asimtomatik pada
resipien transplantasi ginjal masih silang pendapat.
Sebagian besar peneliti menganjurkan kemoterapi untuk
resipien pasca transplantasi ginjal dengan bakteriuria
asimtomatik disertai piuri.
ISK Berhubungan dengan Kateter
Pemasangan kateter jangka lama sering dilakukan pasien
usia lanjut. Data penelitian melaporkan prevalensi infeksi
nosokomial mencapai 40% diduga terkait pemasangan
kateter urin. Bakteriuri asimtomatik dilaporkan 26% diantara
kelompok pasien indwelling catheter mulai dari hari-2- 10.
Hampir !4 kelompok pasien tersebut diikuti presentasi klinik
ISK. Bakteriemia dengan prevalensi 3,6% diduga terkait
dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan Maki
menemukan catheter-associated UTI sebagian besar
asimtomatik.
Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri
dengan kateterisasi; seperti E, coli, Enterococcus,
Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, dan
Candida. Pada umumnya bakteriuri terkait kateter bersifat
polimikroba.
Sebagianbesar peneliti tidak menganjurkan antibiotika
sebagai pencegahan infeksi saluran kemih terkait kateter.
Negara maju seperti USA menganjurkan penggunaan
kateter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida
perak untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter.

REFERENSI
Balasoiu D, Van Kissel KC, Van Kats-Renaud HJ, Collet TJ,
Hoepelman AT. Granulocyte function in woman with diabetes
and asymptomatic bacteriuria. Diabetic Care. 1997;20:392-5.
Bass PF, Jarvis JAW and Mitchell CK. Urinary tract infections.
Primary care: clinics in oftice practice. Volume 30. WB Saunders;
2005.
Batalla MA, Ballodimus MC, Bradley RF. Bacteriuria in diabetes
mellitus. Diabetologic. 1971;7: 297-9.
Evans DA, Hennekens CH, Miao L et al. Bacteriuria and subsequent
mortality in woman. Lancet. 1982; 1 :156-8.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFEKSI SALURAN KEMlH PASIEN DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Fowler JE. Urinary tract infection and inflammatory, year book
Med. Plub Inc; 1989. p. 71-9.
Johson JR. Virulence factors in Escherichia coli urinary tract
infection. Clin Microbial Rev. 1991;4:80-128.
Kunnin CW. Detection, prevention and management of urinary
tract infection. 3rd edition. Phil1 Lie & Fabingen Inc; 1974. p.
136-46.
Marsh FP. The frequency of dysuria. Urology. In: Blandy JF, editor.
Gyford Blackwell Sc; 1976. p. 734-52.
Melillo KF. Asymptomatic bacteriuria in oldewr adults: when is it
necessary to screen and treat ? Nurse Pract. 1995;20:50-66.
Ottolini MC, Sfaer CM, Rushton HG, et al. Relationship of
asymptomatic bacteriuria and renal scarring with uropathic
bladders who are practising clean intermittent catheterization.
J Pediatr. 1995;127:368-72.
Patterson TH, Andriole VT. Detection, significance and therapy of
bacteriuria and therapy of bacteriuria in pregnancy. Infect Dis
Clin Norhi Am. 1997;11:593-608.

Raz R, Stamm WE. A control trial of intravaginal estriol in post


menopausal woman with recurrent urinary tract infections. N
Engl Med. 1993;329:753-6.
Schmaldienst S, Horl WH. Bacterial infection after renal transplantation. Nephrol. 1997;75:140-53.
Semetkowska-Jurkiewicz E, Galinsky J, Mannitius A, et al. Results
of 10-years follow-up of asymptomatic bacteriuria in diabetic
patients. Nephro Dial Transplant. 1990;5:466 (abstract).
Sukandar E. Tinjauan umum infeksi saluran kemih. Nefiologi klinik.
In: Sukandar E, editor. 3rd edition. 1997. p. 25-43.
Stein G & Funfstuck. Asymptomatic bacteriuria: what to do. Nephrol
Dial Transplant. 1999;14:1618-21.
Tople N & Williams JD. Urinary tract infection in adults. Medicine
Int. 1991;4:3604-10.
Tolkoff-Rubin RH. Urinary tract infection in the renal transplant
recipient. Infectiology. 1997; 1:27-33.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT TUBULOINTERSTISIAL
IGde Raka Widiana

PENDAHULUAN
Jaringan tubulointerstitialterdiri dari seluruhjaringan ginjal
kecuali glomerulus. Istilah nefiitis interstitialispertama kali
diperkenalkan oleh Unanue dkk tahun 1966 pada kelinci
percobaan yang mengalami glomerolunefritis. Inflamasi
atau cedera progresif pada interstitium ginjal akan merusak
jaringan ginjal secara luas yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Inflamasi
interstitial dapat dimulai dari dalam kompartemen
interstitium atau sebagai akibat cedera glomeruler atau
vaskuler. Walaupun berbagai cedera tubulointerstitial
disebabkan oleh proses toksik, obat, atau infeksi, narnun,
sebagian besar proses inflamasi bersifat imunogenik.
Infiltrasi sel mononuclear yang terjadi mengakibatkan
pelepasan sitokin parakrin, yang secara bersama-sama
menyebabkan gangguan lingkungan mikro.
Ternyata hubungan antara gangguan struktur
glomerulus dan gangguan fungsi ginjal tidak begitu h a t .
Sebaliknya kerusakan kompartemen tubulointrstitial
berasosiasi lebih kuat dengan kinerja ginjal. Parameter
fungsional ginjal seperti klirens inulin, kapasitas
konsentrasi maksimal, ekskresi natrium temyata berkorelasi
secara kuat dengan skor inflamasi tubulointerstitial.
Hubungan antara kelainan tubulointerstitial dan fungsi
ginjal skgat erat, ha1 ini dapat dijelaskan dengan beberapa
mekanisme, antara lain:
Pertama, secara anatomi, aliran urin terhalang dengan
obstruksi tubuler akibat proses radang. Inflamasi dan
da~am
t e n ~ u m b a ttubulus dan
meningkatkan tekanan intratubuler. Atrofi tubulus dan
debris dalam tubulus menyumbat aliran filtrat glomerulus.
Kedua, berkaitan dengan meningkatnya resistensi vaskular
dengan cedera tubuler progresif dan fibrosis. Pada keadaan
ini volume kapiler peritubuler menurun pada daerah
inflamasi,edema
fibrosisyang mengakiba& iskhemia

di daerah tersebut. Gangguan aliran keluar arteriola


glomerulus mengakibatkan hipertensi intraglomeruler.
Hipertensi intraglomeruler mengakibatkan kerusakan
glomerulus dan sklerosis mesangial.
Ketiga, otoregilasi berupa mekanisme feedbeck
tubuloglomerularjuga mengalami giggum. Pada keadaan
ini arteriola aferen tidak sensitif terhadap sinyal
tubuloglomerular feedback. Mekanisme ini mungkin
diperantarai oleh gangguan sistem renin-angiotensin lokal
atau gangguan produksi prostaglandin lokal.
Keempat, berkaitan dengan atrofi daerah intrestitium dan
penipisan epitel sepanjang daerah tubulus proksimal dan
thick ascending limb darin loop Henle. Akibat perubahan
ini, gradien osmotik ginjal normal mengalami penurunan
akibat menurunnya transpor natrium pada daerah loop
Henle ini. Hal ini mengakibatkan menurunnya absorpsi air
pada filtrat glomerulus yang mengakibatkan hiposteinuria
dan poliuria. Meningkatnya kandungan solut dan air pada
lumen tubulus akan menurunkan filtrasi glomerulus.
Akibatnya, rangsangan produksi renin oleh aparatus
juxtaglomerularis menurun. Akibatnya, reaksi vasokonstriksi
pada vasa eferen akibat rangsang angiotensin I1 menurun
dan filtrasi glomerulus juga menurun.

MEKANlSME CEDERA TUBULOINTERSTISIAL


Sumber inflamasi imunogenik dapat berasal dari antigen
nefritogenik yang berasal dari sel interstitial dan
ekstraselulemya, atau berasal dari sirkulasi. Antigen ini
dapat berupa:
Antigen dari sel ginjal dan membran basal
tubuler
Salah satu contoh antigen ini adalah kompleks antigen

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Heyman nephritis. Contoh lain adalah protein TammHorsfall juga dijumpai pada permukaan sel tubulus dan
disekresi ke dalam lumen tubulus. Protein Tamm-Horsfall
atau uromodulin ini merupakan suatu glikoprotein yang
dapat membentuk deposit imun sepanjang basal sel
tubulus.
Konyugat Hapten-obat
Sejumlah golongan penisilin, sefalosporin, fenitoin
merupakan antigen ekstrarenal yang membentuk deposit
imun. Deposit ini terbentuk lokal in-situ atau berasal dari
kompleks sirkulasi.
Antigen Akibat Mimikri Molekular
Beberapa antibodi streptokoki nefritogenik dapat bereaksi
secara silang dengan kolagen tipe IV di daerah interstitium. Selain itu, bakteri E. coli dapat bereaksi silang dengan
protein Tamrn-Horsfall.Antibodi anti-DNA dapat mengenal
komponen matriks ekstraseluler seperti laminin dan heparan
sulfat.
Antigen Ekstra-renal Dalam Bentuk Deposit
lmun
Contohnya, pada nefritis lupus dengan deposit DNA,
nefropati IgA, nefropati Sjogren, cryoglobulinemia. Lokasi
deposit ini tergantung dari muatan listrik, struktur antigen
dan dan antibodi, adanya reseptor Fc, mekanisme aliran
ginjal, klirens efektif dan banyak faktor lainnya.

RESPONS IMUN PADA PENYAKITTUBULO


INTERSTISIAL

Sebagian besar penyakit tubulointerstitial dimediasi oleh


proses imunologik. Antigen target-nya sendiri sebenarnya
tidak mampu merangsang reaksi imun. Namun, sebelumnya
antigen ini harus di proses dulu oleh APC (antigen
presenting cells) yang umumnya adalah sel makrofag dan
sel dendritik. Kemudian antigen berupa peptida yang telah
diproses ini dipresentasikan pada permukaan sel bersama
antigen MHC (major histocompatibility complex) klas I
dan klas 11. Secara umum sel T helper yang menginduksi
produksi antibodi oleh sel B dan sel efektor mengenal
antigen yang diproses dalam kaitannya dengan MHC klas
11. Kemampuan dari sel limfosit T untuk membedakan
kompleks peptida-MHC ini diperkuat oleh protein CD4 atau
CD8 pada permukaan sel limfosit. Kedua molekul
ko-reseptor ini masing-masing dapat mengenal secara
spesifik salah satu dari domain immunoglobulin-likeyang
bersifat non-polimrorfik yang terdapat pada molekul MHC.
Secara spesifik, CD4 berikatan dengan domain P-2 pada
semua polipeptida MHC klas I1 dan CD8 berikatan dengan
domain P-3 MHC klas I. Pengenalan oleh CD4 atau CD8 ,
akan memberikan sinyal yang kuat pada sel T. Akibatnya,

sel T CD8 umumnya mengenal peptida yang terikat pada


protein MHC klas I dan dikatakan sebagai class-I
restricted, sedangkan, CD4 mengenal peptida yang
berikatan dengan MHC klas I1 disebut sebagai clas-N
restricted. Hal ini merupakan faktor penting dalam
menentukan tipe respons imun yang diinduksi oleh antigen tertentu. Antigen sitosolik (berkaitan dengan MHC
klas I) urnumnya dikenal oleh sel T sitotoksik CD8, yang
dapat membunuh sel-sel terinfeksi yang mempresentasikannya. Di pihak lain, peptida dari jalur endositik (berkaitan
dengan MHC klas 11) utamanya dipresentasikan kepada
sel T CD4 helper, membantu mengawaii respons sel B
(memproduksi antibodi) dalam menyerang antigen
ekstraselular.
Reseptor sel limfosit T dapat mengenal kompleks
MHC-peptida antigen dengan ikatan pada residu spesifif
yang terdapat pada peptida dan regio yang sangat
polimorfik dari molekul MHC pada dan disekitar lekukan
ikatan peptida. Akibatnya, reseptor limfosit T ini dapat
membedakan berbagai peptida yang berbeda dan bentukbentuk alele yang berbeda dari protein MHC. Rantai
reseptor T disintesis melalui dari genom berbeda yang
kemudian ditata kembali. Sel memerlukan paling sedikit
dua sinyal yang teraktivasi. Sinyal pertama, dimulai
dengan ikatan aloantigen atau antigen yang telah
diproses dan dipresentasikan oleh MHC self kepada
kompleks TCR (Tcell receptor)/CD3. Sinyal kedua, untuk
aktivasi sel T terjadi akibat interaksi antara sejumlah
pasangan molekul ligan tambahan (accessory) pada APC
dan pada sel T, seperti yang terjadi antara molekul CD28
pada limfosit T dan ligannya B27 pada permukaan APC.
Pada ikata ligan spesifik, suatu sinyal dikeluarkan yang
akan bekerja secara sinergik bersama-sama sinyal yang
diinduksi oleh TCR akan mengaktivasi sel T. Sinyal ganda
ini akan men-triger CD4 sel T untuk mengaktivasi ekspresi
gen sitokin IL-2 dan reseptor IL-2, yang mengakibatkan
induksi ekspresi sitokin lain dan akan mengaktivasi
kaskade sel T seluruhnya untuk berjalan, yang pada
akhirnya menyebabkan pembelahan sel. Bila sel T di-triger
tanpa disertai sinyal kedua, sel akan berubah menjadi
anergi yang selain bersifat inaktifjuga menjadi refrakter
terhadap setiap sinyal peng-aktif. Dalam beberapa menit
saja sel T meninggalkan fase kuisen dalam siklus
pembelahan sel (GO). Kejadian spesifik yang menyertai
meliputi sintesis DNA, RNA dan protein baru pada
permukaan sel.
Respons imun dari individu berkaitan dengan
kerentanan terhadap penyakit. Toleransi imuqologik terjadi
karena kompleks antigen-MHC dari inang (host) tidak
mampu merangsang secara efektif respons imun.
Pengenalan peptida sendiri (selj) dan peptida asing (nonselfi membuat sistem imun secara seletif ber-reaksi
terhadap protein asing (mikroorganisme atau antigen),
bukan terhadap protein sendiri (selj). Timus berperan dalam
seleksi sel T yang memiliki selektivitas respons terhadap

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


peptida non-self. Gangguan pengenalan ini membuat tubuh
bereaksi secara salah terhadap protein sendiri sehingga
terjadi penyakit otoimun. Respons imun dapat
diperantarai oleh kekebalan yang dimediasi oleh antibodi
(antibody-mediated immunity). Antibodi anti-TBM
(tubular basement membrane) sering dijumpai pada
banyak kasus berupa endapan linier pada membran basal
tubulus. Selain itu reaksi imun dapat diperantarai oleh
sel (cell-mediated immunity). Pada kasus ini infiltrasi sel
mononuclear dijumpai pada lebih dari 50% kasus. Sel-sel
tersebut meliputi sel limfosit T, monosit, sel limfosit B,
sel plasma, atau NK (natural killer cell). Pada sebagaian
besar kasus rasio CD4lCD8 mendekati 1. Kortikosteroid
dapat secara nyata menurunkan jumlah limfosit . Selain
itu, dijumpai peningkatan ekspresi antigen MHC kls I1
pada sel T dan sel epitel tubulus, serta meningkatnya
ekspresi molekul adesi pada sel tubulus seperti ICAM- I
(intracellular adhesion molecules-I). Aktivitas
sitotoksisitas dari sel T bertanggung jawab terhadap
kerusakan sel tubulus yang mengakibatkan atrofi
tubulus. Pada kultur sel, dijumpai sel T sitotoksik
mensintesis protein dengan aktivitas esterase serin dan
proteinpore-performing yang memiliki efek seperti MAC
(membrane attack complex) pada kaskade komplemen.
Respons imun pada penyakit tubulointerstitial dapat
diperantarai oleh proses amplifikasi dan sitokin. Proses
amplifikasi adalah proses yang menyertai peristiwa
endapan antibodi spesifik, deposisi kompleks imun,
infiltrasi sel T yang meningkatkan inflamasi dan cedera
jaringan. Proses arnplifikasi ini terdiri dari aktivasi kaskade
komplemen yang berakhir pada pembentukan C5b-9
(membrane attack complex), pelepasan sejumlah sitokin
dan ensim protease dari sel serta atraksi dan aktivasi sel
efektor non-spesifik seperti makrofag dan eosinofil. Selsel ini dikenal bertanggung jawab terhadap kerusakan
jaringan lebih lanjut. Dari peristiwa ini diketahui ekspresi
C3 pada sel tubulus meningkat. Hilangnya reseptor C5a
pada binatang percobaan menurunkan secara nyata cedera
interstitial. Komplemen yang teraktivasi berperan dalam
patogenesis proteinuria, bersifat kemotaksis, namun, juga
dapat berperan dalam klirens kompleks imun, dengan
demikian berperan dalam proses penyembuhan. Sel
parenkim dan sel infiltrat dapat juga mengekspresikan
molekul proinflamasi seperti kemokin yang memiliki
kemampuan keniotaksis, seperti IL-8 (interleukin-8),
RANTES dan MCP- 1 (monocyte chemotactic peptide-I).
Sintesis dan pelepasan endotelin I, suatu peptida yang
memiliki sifat-sifat proliferasi dan vasokonstriksi
menghasilkan aktivitas kemotaktik dan menarik sel monosit
serta merangsangnya untuk menghasilkan sitoki
pro-inflamasi.
Pada fase lanjut proses imun menyebabkan
fibrogenesis dan atrofi tubulus. Sebagian besar fibrosis
interstitial disebabkan oleh inflamasi dan cedera yang
dimulai dari kompartemen ginjal lainnya. Penctetus non-

spesifik fibrosis ini bisa berasal dari proteinuria glomeiuler


atau akibat adanya sel-sel radang pada ruang interstitial.
Kedua faktor ini menginduksi keluamya sitokin lokal, yang
dapat mengubah epitel interstitial menjadi fibroblas.
Fibroblas ini kemudian mengalami proliferasi dan aktivasi
sehingga menyebabkan sintesis matriks danlatau
mengakibatkan proteolisis, lihat Gambar 1.

Infiltrat interstisial

4
Fibrosis interstitiallatrofitubular

Obliterasi kapiler post-glomeruler

Atrofi tubplus

Glomeruli atubuler

Mekanisme Tubuloglorne~Iar
feedback

Penurunan fungsi ginjal

Penyakit ginjal kronik


Gambar 1. Skema lesi tubulointerstisial sampai penyakit ginjal
kronik

NEFRlTlS INTERSTITIAL AKUT


Epidemiologi
Nefritis interstitial akuta (NIA) sering disebut nefritis
tubulointerstitialakuta.. NIA dilaporkan bertanggungiawab
thd 15% dari gagal ginjal akut.. Diperkirakan 25% gagal
ginjal kronik disebabkan oleh cedera ginjal persisten akibat
NIA asimtomatik. Pada populasi yang tampak sehat, yang
menjalani biopsi ginjal saat mengalami hematuria atau
proteinuria, 1% spesimen biopsi menunjukkan gambaran
nefritis interstitial. Antara 1- 15% pasien yang mengalami
manifestasi gagal ginjal menunjukkan gambaran NIA pada
biopsi ginjal.
Etiologi
NIA paling sering disebabkan oleh obat-obatan, seperti
derivat penisilin (khususnya metisilin, sefalosporin),
rifampisin, sulfonamid, fenitoin, alopurinol, diuretika
golongan furosemid dan tiazid, interferon-alfa, omeprazol,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dan golongan obat anti-inflamasinon-steroid (OAINS), 5aminosalicylic acid (5-ASA), propylthiouracil. Sorafenib,
suatu obat kanker sel ginjal tahap lanjut dilaporkan
menyebabkan insufisiensi ginjal yang berkaitan dengan
NIA, setelah mendapat terapi sorafenib 200 mg dua kali
sehari selamalO hari untuk kanker sel ginjal metastasis.
Akhir-akhir ini obat penghambat pompa proton (proton
pump inhibitor, [PPI]) banyak diresepkan oleh dokter di
Amerika, digunakan pada penyakit hiperasiditas lambung.
Pada satu riviu dari berbagai literatur di dunia, dilaporkan
64 kasus NIA yang terkait dengan obat PPI, yang 59
diantaranya dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi ginjal,
lihat gambar 3. Obat PPI yang dilaporkan terkait dengan
NIA ini adalah omeprazole (47 kasus), pantoprazole (6
kasus), esomeprazole (3 kasus), lansoprazole (2 kasus),
dan rabeprazole (2 kasus), dengan rerata lama pengobatan
sebelum NIA 13 minggu (kisaran 2-52 minggu). Pemah
dilaporkan pada penggunaan obat tradisional Cina untuk
pelangsing dan mushroom. lnfeksi sistemik, seperti difteria,
demam-skarlet, endokarditis bacterial akut, infeksi HIV dan
infeksi virus Epstein-Barr dan penyakit otoimun seperti
sarkoidosis, sindroma Sjogren, SLE, penyakit antimembrana basalis tubulus ginjal, tubulointerstitial
nephritis-uveitis (TINU) syndrome merupakan etiologi
NIA. Sebagian besar NIA tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik).Sindroma TINU ini pertama kali dilaporkan pada
tahun 1975. Sampai saat ini 200 kasus TINU telah
dilaporkan diseluruh dunia. NIA dilaporkan sebesar 2-3%
dari semua gambaran biopsi ginjal dan 10-15% gambaran
biopsi ginjal dari pasien dengan acute kidney injury (AKI).
lmunoetiopatogenesis
Seperti halnya penyakit tubulointertitial pada umumnya,
proses kekebalan humoral dan seluler berperan dalam
kerusakan jaringan interstitial. Antibodi terhadap
membran basalis tubulus dan sel limfosit T berperan dalam
reaksi terhadap antigen yang melekat pada membrana basalis. Secara genetik toleransi imunologik menghilang
sehinggaterjadi reaksi kekebalan terhadap antigen struktur
jaringan badan (self). Kemungkinan imunopatogenesis lain
adalah fenomena mimikri molekuler dari hapten yg berasal
dari obat atau antigen kuman terhadap jaringan
tubulointerstitial. Mungkin juga obat bisa berefek toksik
langsung terhadap struktur interstital. Regulasi imunologik
dilakukan oleh sel supresor-T, MHC (major histocompatibility complex) seperti dijelaskan di atas..Mekanisme
kerusakan jaringan melibatkan efektor yang terdiri dari
aktivasi komplemen, kemotaksis sel efektor. Reaksi humoral
menyangkut produksi IgE mengakibatkan aktivasi
eosinofil, basofil dan sel mast yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas. Mediator yang berperan dalam kerusakan
jaringan meliputi ensim protease, leukotrien, superoksida
dan peroksida. Tanda utama histopatologik dari NIA
adalah infiltrasi sel limfosit dari subset helper-T. Sel ini

berperan dalam hipersensitivitas tipe lambat dengan


pelpasan limfokin. Cell-mediated cytotoxicity, dan
produksi limfokin memodulasi produksi matriks
ekstraselular dan fibroblas. Sel limfosit B CD20 positif
dilaporkan ikut berperan dalam inflamasijaringan intertitial
ginjal.Bersama dengan sel limfosit T CD3 positif, sel limfosit
B CD 20 positif ini membentuk struktur noduler yang lebih
besar. Ekspresi mRNA dari kemokin CXCL13 meningkat
sebanding dengan mRNA CD20 pada jaringan
tubulointerstitial. Protein CXCL13 ini banyak ditemukan
pada infiltrat noduler dan berkaitan dengan jumlah sel
limfosit B CXCR5 positif. Diduga sel limfosit B CXCR5
positif direkrut melalui kemokin CXCL 13 untuk membentuk
struktur mirip folikel intrarenal.
Patologi
Gambaran utama kelainan patologi adalah edema infiltrasi
sel-sel radang ke dalam kopartemen interstitial dengan
penjarangan glomemlus. Infiltrat sel radang terdiri dari sel
limfosit T yang mengekspresi CD4, monosit, sel plasma
dan eosinofil, lihat Gambar 2. Membrana basalis tubulus
terputus dijumpai pada kasus yang berat. Pada pengecatan
dengan imunoflurosenmunglun dijumpai endapan IgG IgM
atau komplemen yang berdistribusi linier atau grander,
lihat Gambar 3. Sebagian besar sel epitel tubulus
mengekspresi antigen MHC klas I1 dan molekul adesi
seperti ICAM-1. Pada penyakit kronik, infiltrat seluler
diganti dengan fibrosis yang mengakibatkan bentuk ginjal
ireguler dan kontraksi ginjal. Sel tubulus mengalami atrofi
dan lumen dilatasi, glomerulus atubuler, suatu glomerulus
yang terputus dengan tubulus proksimal, dijumpai pada
nefropati cis-platin, nefropati lithium, rejeksi alograf. Sel
tubulus yang rusak kemudian mengalami apoptosis.
Peristiwa apoptosis diperantarai oleh Fas death receptor,
yang mengaktivasi kaskade caspase dengan akibat
pemecahan protein intraseluler dan menghilangnya sel.
Nefrosklerosis dan glomerulosklerosis terjadi pada kasus
lanjut. Pada stadium ini sulit menentukan patologi
primernya. Bentuk lain, pembentukan granuloma, seperti
pada sarkoidosis dan tuberkulosis. Dalam bentukan
granuloma ini dapat ditunjukkan infiltrasi sel raksasa berinti
banyak (multinucleated) dan eosinofil pada jaringan
interstitium. Dalam granuloma ini sering dijurnpai kalsifikasi
dengan nekrosis sentral, lihat Gambar 5.
Gejala Klinik
Secara klinik NIA mudah ditegakkan, berdasarkan keluhan
dan tanda:
1. Perjalanan penyakit beberapa hari sampai bemingguminggu, dengan puncak proses imun sekitar 2 minggu
2. Mneingkatnyakadarkreatinin serum dengan cepat (0,30,5 mg/dl/hari)
3. Triad: febris (pada sekitar 80% kasus), ruam kulit @ada
sekitar 50% kasus) dan esonofilia (sekitar 80% kasus)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


yang biasanya terjadi sekitar 10-15 hari setelah dimulai
pemberian obat-obatan.
4. Gejala spesifik: pasien yang mengalami infeksi, dengan
antibiotika, febris niereda, namun kemudian febris
kambuh setelah beberapa hari

Gambar 1. Gambaran eksudat dan fibrosis jaringan interst~sial,


atrofi tubulus, dan glomerulus maslh utuh
Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA.
Gambar A, memperlihatkan kalfifikasi (tanda panah); gambar B,
infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan
interstitium, gambar C infiltrasi sel eosinofil pada jaringan interstitium, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral.

Gambar 2. Ei7dapan kompleks irnun pada rnembrana basalis


tubulus dengan m~kroskop~munfluoresan

Gambar 3. Blopsi jarum ginjal paslen NIA yang berkaitan dengan


pengobatan lansoprazole. Tampak ~nflamasidengan infiltrasi
eosinofil pada jaringan interst~tium

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis dijumpai proteinuria ringan atau sedang,
hematuria mikroskopik, piuria steril dengan silinder
leukosit, esonofiliuria (dengan pengecatan hansel,
sensitif untuk NIA). Bila dijumpai silinder eritrosit hams
dipikirkan penyakit glomeruler.
2. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar
(nefromegali)
3. biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak
khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel
plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil,
destruksi tubuler. Glomerulus umumnya masih utuh.
Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus nienunjukkan
kerusakan interstitial ireversibel dengan gagal ginjal
kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad
fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk
pemulihan.
Terapi
1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat yang
potensial menyebabkan NIA
2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika atau antivirus
3. periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum,
diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari
setelah faktor penyebab dihilangkan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1020

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA


Gambar A, memperllhatkan kalfifikasi (tanda panah), gambar B,
hflltrasr sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan
Jnterstitlum, gambar C infiltras~sel eoslnofil pada jaringan interstitrum, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral

Gambar 2. Endapan kompleks imun pada membrana basalis


tubulua dengan mikroskop ~munfluoresan

Gambar 3. Biopsi larum glnjal paslen NIA yang berkaitan dengan


pengobatan lansop~azoke.Tampak inflamasi dengan infiltrasi
essinofil pada jarmgan interstdium

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis dij~unpaiproteinuria ringan atau sedang,
hemamria mikroskopik, piuria steril dengan silinder
leukosit, esonofiliuria (dengan pengecatan hansel,
sensitif untuk NIA). Bila dijuinpai silinder eritrosit hams
dipikirkan penyakit glomeruler.
2. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar
(nefi-omegali)
3. biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak
khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel
plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil,
destruksi tubuler. GIomerulus umumnya masih utuh.
Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus nlenunjukkan
kerusakan interstitial ireversibel dengan gaga1 ginjal
kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad
fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk
pemdiha~~.
Terapi
1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat yang
potensial menyebabkan NIA
2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika atau antivirus
3, periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum,
diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari
setelah faktor penyebab dihilangkan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


4. bila gejala klinik dan laboratorik tidak membaik setelah
faktor penyebab potensial dihilangkan, dimulai
pemberian kortikosteroid.
Sebailcnya kortikosteroiddiberikan setelah pemeriksaan
biopsi. Biopsi bertujuan untuk mengkofirmasi diagnosis dan kortikosteroid diberikan bisa hasil biopsi tidak
menunjukkan fibrosis signifikan.
Prednison 1 mglkg BB diberikan selama 4-6 minggu.
Bila selama 1-2 minggu terapi prednison tidak ada
perbaikan, diberikan kombinasi dengan siklosfosfamid
2 mglkg 88. Bila tidak terjadi perbaikan selarna 5-6
minggu, siklosfosfamid dihentikan dan kortikosteroid
diturunkan dengan tapper selama beberapa minggu. Bila
terjadi perbaikan fimgsi ginjal setelah terapi kombinasi,
terapi ini ditemskan selama 1 tahun.
Efek samping siklosfosfamid yang perlu diperhatikan
adalah aktivasi infeksi virus laten, sistitis hemoragika
dan toksisitas gonadal (sterilitas). Sistitis dapat
dihindari dengan rehidrasi selama terapi.
5. Paparan kronik terhadap zat kimia dan obat dapat
mengakibatkan gagal ginjal kronik. Bila terjadi gagal
ginjal kronik, terapi yang diberikan berupa terapi
suportif gagal ginjal kronik. Bila berkembang menjadi
gagal ginjal terminal dialysis dan kemudian transplantasi
merupakan terapi pilihan.

NEFRIT1S INTERSTITAL KRONIK


Patologi
Gambaran patologi nefritis interstitial kronik (NIK)
bervariasi, mulai dari atrofi tubulus, penipisen sel epitel
tubulus, dilatasi tubulus dan infiltrasi sel mononuklear ke
dalam kompartemen interstitial diantara tubulus. Membran
basalis tubulus umumnya menebal. Kadang-kadang
dijurnpai silinder luminal yang terdiri dari neutrofil dan
limfosit. Infiltrat seluler terdiri dari limfosit, kadang-kadmg
eosinofil, sel plasma clan neutrofil. Pada kasus yang jarang
dijumpai perdarahan dan edema dengan infiltrat sel yang
didominasi oleh neutrofil. Gambaran imunofluorensen
menunjukkan adanya endapan komplemen C3, IgG
sepanjang membran basalis dengan distribusi linier.
Dengan mikroskop cahaya, tarnpak glomerulus masih
normal walapun telah dijumpai penurunan filtrasi
glomerulus yang nyata. Bila penyakit berjalan lanjut,
kelainan glomerulus seperti fibrosis peri-glomeruler dan
glomerulosklerosis bahkan sklerosis global sering
dijumpai.
Gambaran klinik
Pada kebanyakan kasus NIK terdiagnosis melalui skrining
dengan dijumpainya kelainan urinalisis atau penurunan
h g s i ginjal. Paling sering pasien mengalami keluhan
sistemik akibat penyakit dasarnya atau keluhan non-

spesifik gagal ginjal, tergantung derajat gagal ginjal seperti


lemah, mual, nokturia atau gangguan tidur. Gambaran
laboratorium khas meliputi proteinuria pada kisaran nonnefrotik, hematuria mikroskopik, piuria dan glukosuria.
Selain itu, dijumpai gangguan fungsi asidifikasi
(pengasaman) dan pemekatan (konsentrasi) urin akibat
gangguan hngsi tubulus proksimal atau distal. Kadar asam
urat tidak begitu tinggi dan anemia sering dijumpai. Sekitar
50% pasien mengalami hipertensi yang tidak berkorelasi
dengan derajad penurunan fungsi ginjal.

Etiologi
Secara umum faktor etiologi pada NIA dengan paparan
bahan toksik jangka panjang dapat menyebabkan NIK,
namun terdapat beberapa gambaran khusus NIK seperti
berikut:
Nefropati endemik. Nefropati Balkan merupakan salah satu
contoh NIK endemik yang terjadi di daerah Bulgaria, bekas
Yugoslavia dan Rumania. Penyebabnya belum diketahui,
diduga berkaitan denga paparan timah hitam jangka
panjang, infeksi sehingga diagnosis dini sulit ditegakkan.
Pasien umumnya mengeluh gejala tak spesifik, seperti
meningkatnya ekskresi protein tubulus (beta2
mikroglobulin, lisosim, light chain, retinal binding
protein), ensimuria (N-acethyl-PD-glucosaminidase), dan
menurunnya kapasitas konsentrasi urin. Ekskresi beta-2
mikmglobulin merupakan indikator sensitifuntuk kerusakan
awal.. Tidak dijumpai adanya antibodi anti-GBM atau antiTBM. Sekitar 2-47% pasien dilaporkan mengalami tumor
uroepitelium.
Sarkoidosis. Penyakit sarkoidosis paling sering melibatkan
ginjal melalui mekanisme gangguan metablisme kalsium.
Sekitar 10-15% pasien dengan sarkoidosis mengalami
hiperkalsemia yang menyebabkan pemekatan darah,
menurunnya laju filtrasi glomerulus atau nefrokalsinosis
atau nefrolitiasis. Walaupun secara patologi, jaringan
interstitial mengalami granuloma tanpa pengejuan
(non-caseating), namun, tampaknya gangguan fungsi
ginjal lebih disebabkan oleh hiperkalsemia,karena dengan
pemberian volume cairan fungsi ginjal dapat dikoreksi.
Secara epidemiologi sarkoidosis lebih banyak menyerang
perempuan dari pada laki-laki.
Secara patologi, penyakit ginjal sarkoidosis ditandai
dengan dijumpainyagranuloma non-caseating yang terdiri
dari limfosit, histiosit dan sel-sel raksasa (giant cells).
Luasnya granuloma di ginjal bervariasi, pada beberapa
kasus granuloma ini meluas sampai ke korteks, sehingga
dapat merusak arkitektur ginjal. Infiltrasi limfosit dan
fibrosis periglomeruler fokal sering dijumpai disamping
granuloma. Dengan mikroskop imunofluorosen dan
mikroskop elektron, tidak dijumpai adanya deposit imun.
Dengan terapi kortikosteroid, penyembuhan pasien
dapat terlihat dengan membaiknya laju filtrasi glomerulus
secara nyata.dan menghilangnya granuloma dan infiltrat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


limfosit pada biopsi. Demikianjuga hiperkalsemia membaik
setelah terapi kortikosteroid ini. Siklofosfamid dapat
dipakai sebagai terapi alternatif apabila terjadi intoleransi
atau refrakter terhadap kortikosteroid. Penyakit lain yang
ditandai dengan adanya pembentukan granuloma adalah
tuberkulosis, silikosis, histoplasmosis.
Mieloma multipel (MM). Mekanisme MM dapat
menyebabkan insufisiensi renal terdiri dari cast nephropathy,
bersama-sama dengan kontraksi volume cairan badan,
hiperkalsemia, nefrokalsinosis dan hiperurikemia.
Perubahan patologi khas pada MM adalah
ditemukannya silinder protein pada segmen nefron distal
yang mengalami atrofi dan dilatasi yang dikelilingi oleh
sel-sel raksasa (mungkin berasal dari monosit-makrofag).
Silinder ini khususnya mengandung protein Tarnm-Horsfall
dan protein light chain. Kelainan lainnya adalah infiltrasi
sel mononuklear dan sel plasma di daerah interstitium,
kalsifikasi interstitium, deposit amiloid pada penbuluh
darah dan glomerulus. Dengan teknik imunofluorosesn,
kadang-kadang dijumpai endapan light chain sepanjang
membran basal glomerulus dan tubulus. Terapi pada cast
nephropathy MM ini terdiri dari kemoterapi, alkalinisasi
urin, pemberian cairan hipotonis untuk menginduksi
poliuria dan hindari bahan-bahan radiokontras yang
bersifat nefrotoksik.
Nefritis radiasi. Nefritis radiasi sering terjadi secara akut
setelah dalam setahun terapi radiasi. Bentuk kronik, terjadi
bila terapi radiasi dilakukan lebih lama dari satu tahun.
Namun, akhor-akhir ini dengan perubahan protokol terapi
radiasi, nefritis radiasi jarang dilaporkan. Gejala dan tanda
nefritis radiasi meliputi penurunan laju filtrasi glomerulus,
hipertensi, dan proteinuria.
Garnbaran patologi meliputi fibrosis interstitial, namun,
karena hipertensi sering berkembang mulai awal penyakit,
fibrosis ini sulit dibedakan dengan nefrosklerosis akibat
hipertensi. Patogenesis cedera radiasi pada ginjal manusia
sulit dijelaskan. Namun, pada binatang percobaan dapat
diperlihatkan cedera radiasi menyebabkan pembengkakan
sel endotel, kemudian berkembang oklusi vaskular dan
atrofi tubulus. Awalnya terjadi peningkatan aliran darah
ke ginjal, kemudian diikuti dengan penurunan aliran darah
ginjal dan glomerulus dan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Perubahan-perubahan ini mungkin dimediasi
oleh sistem renin-angiotensin.
Nefritis radiasi merupakan penyakit yang dose dependent (tergantung dosis radiasi). Sebagian besar nefritis
radiasi baru terjadi pada dosis radiasi lebih dari 2300 rad.
Risiko nefritis radiasi dapat dikurangi dengan shielding
(melindungi daerah ginjal) atau dosis radiasi yang terputusputus. Selama radiasi pemberian obat-obat yang potensial
nefrotoksik hams dihindari.
Nefropati analgesik (NA). Penggunaan analgetika dosis
besar dan jangka panjang secara epidemiologik banyak
dikaitkan dengan NIK dan nekrosis papilaris. NA analgesik

umumnya bersifat reversibel. Insidensi NA sangat


bervariasi, perampuan lebih sering (5-7 kali) diserang
daripada laki-laki. Di Skotlandia, Belgia dan Australia 1020% penyakit ginjal tahap akhir disebabkan oleh NA. Pasien
dengan NA umumnya sering mengkonsumsi obat-obat
analgetika untuk mengobati sakit kepala, nyeri rematik atau
sakit perut. Komponen kafein dalam obat meningkatkan
ketergantungan pasien pada obat, selain keluhan yang
sering diderita. Satu laporan menyebutkan bahwaNA baru
terjadi apabila pasien minum obat 6 tablet selama lebih dari
3 tahun. Juga dilaporkan bahwa untuk terjadinya NA,
diperlukan minum obat kombinasi antara analgetikaanalgetika, misalnya diantara aspirin, asetaminofen,
fenasetin, kafein atau kodein. Pemberian obat anti-inflamasi
non-steroid dosis besarjangka panjang meningkatkan risiko
NIK dan gaga1 ginjal.
Secara patologi djumpai kelainan non-spesifik atau
kelainan spesifik berupa NIK atau nekrosis papilaris,
penglisutan (contracted) ginjal. Dengan mikroskop
cahaya, dijumpai fibrosis interstitial dan atrofi tubulus dan
kadang-kadang infiltrasi mononuklear. Kadang-kadang
dijumpai bersama-sama dengan glomerulosklerosis fokal,
kalsifikasi interstitial. Kalsikifikasi papiler yang diagnosis
dengan non-contrast CT-scan sangat sensitif dan spesifik
untuk mendignosis NA.
Nefripati asam urat (NAU). Sejak dulu hiperurikemia
diiaitkan dengan NIK Nefiipati akibat hiperurikemia disebut
gouty nephropathy. Sekitar 11% penyakit interstitial kronik
berkaitann dengan gangguan metabolisme asam urat. Harus
diperhatikan pasien dengan penurunan fungsi ginjal, kadar
asam urat darah biasanya di atas 10 mgldl, ha1 ini berkaitan
dengan menurunnya filtrasi glomerulus atau berkaitan
dengan pemakaian diuretika. Terapi hiperurikemiapenting
untuk mencegah pemburukan fungsi ginjal dengan obat
dan diet rendah purin.
Hiperkalsemia. Kelainan metabolisme kalsium yang
menyebabkan hiperkalsemia atau meningkatnya turn-over
kalsium memberikan efek multiplikatif terhadap ginjal.
Hiperkalsemia menurunkan laju filtrasi glomerulus melalui
mekanisme vasokokstriksi ginjal, menurunnya koefisien
ultrafiltrasi glomerulus, dan kontraksi volume akibat
gangguan kapasitas konsentrasi ginjal yang disebabkan
oleh resistensi hormon vasopresin. Gangguan metabolisme
kalsium dapat menyebabkan nefrikalsinosis dengan
endapan kalsium di ginjal, disekitar basal membran
tubulus, khususnya disekitar tubulus distalis atau tubulus
pengumpul (collecting duct). Akibatnya terjadi infiltrasi
sel mononuklear dan nekrosis tubuler.
Nefrokalsinosis dapat juga terjadi pada pasien
normikalsemik dengan meningkatnya absorpsi kalsium
(pada penyakit sarkoidosis, intoksikasi vitamin D),
penyerapan tulang (neoplasma dan mieloma multipel), atau
asidosis tubuler distal. Terapi hiperkalsemia ditujukan
terhadap penyakit primer, menurunkan kadar kalsium

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


plasma dan koreksi kelainan asam-basa.
Nefropati hipokalemik (NH). Kelainan ini jarang terjadi,
disebabkan oleh hipokalemia terus-menerus. NH dapat
bersifat penyakit keturunan atau penyakit yang didapat.
Bentuk NH yang diturunkan secara genetik disebabkan
kelainan yang berkaitan dengan HLA (human leucocyte
antigen), dan ditandai dengan pengeluaran kalium oleh
ginjal akibat sebab yang tidak diketahui, tekanan darah
normal, meningkatnya renin dan aldosteron darah dan
meningkatnya ekskresi prostaglandin urin.
Secara patologik dijumpai vakuolisasi tubulus
proksimal. Patogenesis NH belum jelas, namun dari buktibukti pada tikus percobaan, hipokalemia merangsang
amniogenesis (karena berkaitan dengan asidosis
intraseluler), yang kemudian merangsang aktivasi
komplemen, menarik sel-sel radang ke dalam kompartemen
interstitial.
Oksalosis. Hiperoksaluria terjadi akibat kelainan bawaan,
meningkatnya absorpsi oksalat di usus, atau meningkatnya
beban oksalat secara masif dan akut. Ketiga faktor ini dapat
mengganggu fungsi ginjal. Hiperoksaluria primer
disebabkan gangguan ensim 2-oksaloglutaratglioksalat
karboligase (tipe-1) atau gangguan ensim 2-gliseric
dehidrogronase (tipe-2). Pasien-pasien ini umumnya
mengalami gagal ginjal sebelum usia dewasa. Pasien-pasien
dengan penyakit radang usus (influmatory bowel disease)
arau bypass ileal-jejunal mengalami peningkatan absorpsi
oksalat usus. Ovedosis vitamin C dan minurn etilin glikol
menyebabkan presipitasi kristal oksalat intratubuler dan
gagal ginjal akut.
Nefropati abstruktif (NO). Obstroksi parsial atau total
mengakibatkan menurunya laju filtrasi glomerulus dan
menurunnya reabsorpsi solut oleh tubulus, gangguan
ekskresi kalium dan hidrogen, gangguan kapasitas
konsentrasi akibat resistensi vasopresin (diabetes
insipidus nefrogenik). Kelainan patologik yang menyertai
meliputi fibrosis glomeruler dan tubulus, atrofi tubulus, dan
kadang-kadang sklerosis glomeruler fokal.
Secara patofisiologik, terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus nefron tunggal akibat menurunnya aliran plasma
ginjal dan menurunnya tekanan hidrolik, dan menurunnya
jumlah nefron yang masih berfungsi. Mediator-mediator
yang berperan terhadap menurunnya laju filtrasi
glomerulus nefron tunggal adalah angiotensin 11,
tromboksan A2, hormon anti-diuresis dan leukotrien serta
nitric oxide.
Secara patologik, akibat obstruksi saluran kemih secara
akut dan kronik menyebabkan infiltrasi sel mononunklear
terutama makrofag dan sel limfoist T CD4 disekitar sel
tubulus. Sel-sel ini menghilang setelah tindakan
deobstruksi. Infiltrasi sel-sel leukosit mungkin disebabkan
oleh pelepasan kemoatraktan lipid oleh ginjal. Pelepasan
TGF-P oleh sel-sel infiltrat berperan pada fibrosis
interstitial.

Nefropati Lead (timah hitam)-NL. NL banyak terjadi pada


paparanjangka panjang sumber-sumbertimah hitam seperti
pipa air tipe lama, pot tempat air, cat mengandung timah
hitam. Diagnosis NL dapat dibuat dengan dijumpai
meningkatnya ekskrasi timah hitam (>0,6 mg124jam) setelah
pemberian 1 g disodium EDTA dan dijumpainya penurunan
fungsi ginjal. Sinar tembus fluorosen untuk melihat
cadangan timah hitam tulang merupakan cara cepat dan
non-invasif untuk menentukan adanya paparan timah
hitam. Deposit timah hitam umurnnya terjadi pada bagian
S3 tubulus proksimal. Adanya nuclear inclusion di daerah
ini secara patologi merupakan tanda spesifik NL. Kelainan
tubulus ini berkaitan dengan disfungsi tubulus proksimal
(banyak dijumpai pada anak-anak) dan sindroma Fanconi.
Pada orang dewasa NL ditandai dengan NIK dengan
fibrosis interstitial, atrofi tubulus dan nefrosklerosis. Pasien
sering mengalami artritis gout rekuren, hiperurikemia,
hipertensi. EDTA dianjukan untuk terapi (terapi khelating)
dan dipakai untuk kepentingan diagnostik.
Nefropati Cadmium (NC). NC dapat terjadi pada individuindividu yang terpapar jangka panjang dengan cadmium,
seperti yang terjadi pada pekerja-pekerja peleburan logam.
Cadmium terikat dengan metallothionein dan kompleks ini
akan di-pinositosis oleh sel tubulus proksimal. Ginjal dan
hati adalah dua organ yang terutarna terlibat. Waktu paruh
cadmium dalam tubuh lebih dari 10 tahun. Cadmium akan
segera disimpan di jaringan setelah paparan akut sehingga
kadarnya di dalam darah segera menurun. Eksresi cadmium
di urin akan terjadi bila ambang endapan cadmium di ginjal
terlampaui. Intoksikasi cadmium menyebabkan disfimgsi
tubulus proksimal, hiperkalsiuria dengan nefrolitiasis dan
penyakit tulang metabolik dengan manifestasi nyeri tulang.
Perjalanan penyakit dan terapi NIK
Terapi dasar NIK adalah terapi penyakit primernya dengan
usaha mengidentifikasi bahan eksogen penyebab (obat,
logam berat) atau kondisi seperti obstruksi dan infeksi
dan menghilangkannya. Usaha lainnya, mengendalikan
tekanan darah (dengan ACE-inhibitor), terapi kelainan
elektrolit, kelainan asam basa, hipenuikemia dan gangguan
metabolisme fosfat. Terapi yang lebih spesifik dengan
chelating agent untuk intoksikasi timah hitam. Terapi
kortikosteroid untuk sarkoidosis

REFERENSI
Muller GA, Zeisberg M and Strutz F. The importance of
tubulointerstitial damage in progressive renal disease. Nephrol
Dial Transplant 2000; 15: S76-S77.
Wolf G. Angiotensin 11 as a mediator of tubulointerstitial injury.
Nephrol Dial Transplant 2000;15: S61-S63.
Kelly CL and Neilson EG dalam Brenner BM (ed). Brenner's and
Rector's The Kidney 7Ih ed 2004. Tubulointerstitial diseases,
Philadelphia. Pp 1483-15 1 1.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Riott I, Brostoff J & Male D. Major histwompatibility complex


and transplantation dalam lmmunology 6Ih ed 1996. Mosby,
Edinberg 2001. Pp 426-30.
Ross WD Immune system dalam Introduction to Molecular Medicine 2nd ed, 19%. Springer Vedag, New York.:Pp 116.
Helderman JH and Goral S. Transplantation immunology dalam
Danovitch GM (ed). Hamdbook of kidney transplantation 2nd
ed 1996. p 21-23. Little brown and Co, Boston.
I-Hong Hsu S and Couser WG. Chronic progression of
tubulointerstitial dmage in proteinuric renal disease is mediatad
by complement activation: a therapeutic role for complement
inhibitor. J Am Soc Nephrol 2003 14 S186-S191.
Benigni A. Tubulointerstitial disease mediators of injury: the role of
endothelin. Nephrol Dial TranspJant 2000;15: 850852.
De Broe M, Stdear JC, Nouwen EJ and FJsevier MM. 5-aminosalicylic acid (5-ASA) and chronic tubulointerstitial nephritis in
patients with chronic infl-ammatory bowel disease: is there a
link. Nephrol Dial Transplant 1997;12: 1839-1841.
Nakahama H, Nakamura H, Kitada 0 pnd Sugita M. Chronic drug
induced tubulointerstitial nephritis with renal failure associated
with prophylthiouracil therapy. Case report. Nephrol Dial Transplant 1999;14:1263-1265.
Izzedine H, Brocheriou I, Rixe 0 , Deray G. Interstitial nephritis in
patients taking sorafenib. Nephrol Dial Transplant
2007;22:2411.

Sierra et al. Systematic review: Proton pump inhibitor- associated


acute interstitial nephritis. Aliment Pharmacol Ther
2007;26:545.
Ricketsm J, Kimel G, Spence J, Weir R. Acute allergic interstitial
nephritis after use of pantoprazole. CAMJ 2009; 180(5):5358.
Sinnmon KT, Courtney AE, Harron C, O'Rourke DM & Mulan
RN. Tubulointerstitial nephritis and uveitis (TINU) syndrome:
epidemiology, diagnosis and management. NDT Plus
2008;2:112-6.
Moroyama T, Kawada N, Nagatoya K, Yorio M, Imai E and Hori M.
Oxidative stress in tubulointerstitial injury: a therapeutic potential of antioxidant towards interstitial fibrosis. Nephrol Dila
Transplant 2000; 15: S47-S49.
Heller F, Lindenmeyer MT, Cohen CD et al. The contribution of B
cells to renal interstitial inflammation. Am J Pathol
2007;170:457-468.
Marcussen N. Tubulointer~titialdamage leads to atubular glomeruli:
significance and possible role in progression. Nephrol Dial
Trandplant 2000; 15: S74-S75.
Hughes J. Apoptosis in tubulointerstitial renal disease. Nephrol Dial
Tranasplant 2000;15:S55-S57.
Joss N, Morris S, Young B, & Geddes C. Granulomatous Interstitial
Nephritis. Clin J Am Soc Nephrol 2007;2:222-30.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

BATU SALURAN KEMIH


Mochammad Sja'bani

PEAIDAHULUAN

Batu saluran kemih menurut tempatnya digolongkan


menjadi batu ginjal dan batu kandung kemih. Batu ginjal
merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal, dan
mengandung komponen kristal serta matriks organik.
Lokasi batu ginjal dijumpai khas di kaliks atau pelvis dan
bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di kandung
kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung batu
kalsium. Batu oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat,
secara bersama dapat dijumpai sarnpai 65-85% dari jumlah
keseluruhan batu ginjal.
Sukahatya dan Muhamad Ali ( 1 975) melaporkan dari
96 batu saluran kemih ditemukan batu dengan kandungan
asam urat tinggi, bentuk murni sebesar 24 (25%) dan
campuran bersama kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar
76 (79%),sedangkan batu kalsium oksalat/kalsium fosfat
sebesar 7 1 (73%).
Batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan
di saluran kemih. Di Negara maju seperti Amerika Serikat,
Eropa, Australia, batu saluran kemih banyak dijumpai di
saluran kemih bagian atas, sedang di negara berkembang
seperti India, Thailand, dan Indonesia lebih banyak
dijumpai batu kandung kemih. Di daerah Semarang, sejak
tahun 1979 proporsi batu ginjal dijumpai relatif meningkat
dibanding proporsi batu kandung kemih. Peningkatan
kejadian batu pada saluran kemih bagian atas terjadi di
abad-20, khususnya di daerah bersuhu tinggi dan dari
Negara yang sudah berkembang. Epidemiologi batu
saluran kemih bagian atas di Negara berkembang dijumpai
ada hubungan yang erat dengan perkembangan ekonomi
serta dengan peningkatan pengeluaran biaya untuk
kebutuhan makanan perkapita.
Di beberapa m a h sakit di Indonesia dilaporkan ada
perubahan proporsi batu ginjal dibandingkan batu saluran
kemih bagian bawah. Hasil analisis jenis batu ginjal di

Laboratorium Patologi Winik Universitas Gadjah Mada


sekitar tahun 1964 dan 1974, menunjukkan kenaikan
proporsi batu ginjal dibanding proporsi batu kandung
kemih. Sekitar tahun 1964- 1969 didapatkan proporsi batu
ginjal sebesar 20% dan batu kandung kemih sebesar 80%,
tetapi pada tahun 1970-1974 batu ginjal sebesar 70 persen
( 10 1 - 144 batu) dan batu kandung kemih 30 persen (431144
batu).
Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarangtahun 1979 telah
dirawat 166 pasien batu saluran kernih atau 52110.000 pasien
rawat inap. Hampir keseluruhan pasien (99%) datang
dengan problem medis batu ginjal yang dilaporkan sebesar
35%. Pada tahun 198 1-1983 dilapotkan dari 634 pasien batu
saluran kemih didapatkan 337 pasien batu ginjal(53%).
Pada tahun 1983 di Rurnah Sakit DR. Sardjito dilaporkan
64 pasien dirawat dengan batu saluran kemih, batu ginjal
75% dan batu kandung kemih 25%. Kejadian batu saluran
kemih terdapat sebesar 57110.000 pasien rawat inap. Pada
tahun 1986 dilaporkan prevalensi batu saluran kemih
sebesar 80/10.000 pasienrawat k i p . Batu ginjal ditemukan
79 dari 89 pasien batu saluran kemih tersebut. Tampaknya
proporsi batu ginjal relatif stabil.
Di rumah sakit di Amerika Serikat kejadian batu ginjal
dilaporkan sekitar 7-10 pasien untuk setiap 1000 pasien
rurnah sakit dan insidens dilaporkan 7-21 pasien untuk
setiap 10.000 orang dalam setahun.Pengambilanbatu tanpa
operasi dengan litotripsi (extra corporeal shockwave
lithotripsy) atau penghancuran batu dengan gelombang
kejut, telah banyak dilakukan pada beberapa pusat
litotripsi.

PATOGENESIS DAN KLASlFIKABI

Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan


supersaturasi dalam pembentukan batu. Inhibitor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1026

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pembentuk batu dijumpai dalam air kemih normal. Batu


kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein.
Beberapa promoter (reaktan) dapat memacu pembentukan
batu seperti asam urat, memacu batu kalsium oksalat. Aksi
reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada
dugaan proses ini berperan pada pembentukan awal atau
nukleasi kristal, progresi kristal atau agregatasi kristal.
Misalnya penambahan sitrat dalam kompleks kalsium
dapat mencegah agregatasi kristal kalsium oksalat dan
mungkin dapat mengurangi risiko agregatasi kristal dalam
saluran kemih.
Batu ginjal dapat terbentuk bila dijumpai satu atau
beberapa faktor pembentuk kristal kalsium dan
menimbulkan agregasi pembentukan batu. Subyek normal
dapat mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses
pembentukan batu dimungkinkan dengan kecenderungan
ekskresi agregat kristal yang lebih besar dan kemungkinan
sebagai kristal kalsium oksalat dalam air kemih.
proses perubahan kristal yang terbent& pada tubulus
menjadi batu masih belum sejelas proses pembuangan
kristal melalui aliran air kemih yang banyak. ~ i ~ ~
bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga
tertinggal dan biasanya ditimbun pada duktus kolektikus
akhir. selanjutnya secara perlahan timbunan akan
membesar. Pengendapan ini diperkirakan timbul pada
bagian sel epitel yang mengalami lesi. Kelainan ini
kemungkinan disebabkan oleh kristal sendiri.

Sekitar delapan puluh persen pasien batu ginjal


merupakan batu kalsium, dan kebanyakan terdiri dari
kalsium oksalat atau agak jarang sebagai kalsium fosfat.
Jenis batu lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam urat
dan batu struvit.

FAKTOR RlSlKO PENYEBAB BATU


Faktor risiko di bawah ini merupakan faktor utama
predisposisi kejadian batu ginjal, dan menggambarkan
kadar normal dalam air kemih. Lebih dari 85% batu pada
laki-laki dan 70% pada perempuan mengandung kalsium,
terutama kalsium oksalat. Predisposisi kejadian batu
khususnya batu kalsium dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hi pe rkalsi ri a
Kelainan ini dapat menyebabkan hematuri tanpa ditemukan
pembentukan batu. Kejadian hematuri diduga disebabkan
kerusakanjaringan lokal yang di~engaruhioleh agregasi
kalsium dalam air kemih
~ kristal
k i kecil.
~ Peningkatan
~ k ~ ekskresi
~
dengan atau tanpa faktor risiko lainn~a,ditemkan pads
setengah dari pembentuk batu kalsium idiopatik. Kejadian
hiperkalsiuria idiopatik diajukan dalam tiga bentuk:
Hiperkalsiuria absortif ditandai oleh adanya kenaikan
absorpsi kalsium dari lumen usus. Kejadian ini paling
banyak dijumpai.

Gambar 1. Aspek umum pembentukan batu saluran kemih (dipengaruhi oleh banyak faktor)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1027

BATU SALURAN KEMIH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Hiperkalsiuria puasa ditandai adanya kelebihan kalsium,
diduga berasal dari tulang.
Hiperkalsiuria ginjal yang diakibatkan kelainan reabsorbsi
kalsium di tubulus ginjal.
Kemaknaan klinis dan patogenesis klasifikasi di atas
masih belumjelas. Masalah hiperkalsiuriaidiopatik ini dapat
disebabkan oleh: a). diturunkan autonom dominan dan
sering dihubungkan dengan kenaikan konsentrasi kalsitriol
plasma atau 1,25-dihidroksi vitamin D, ringan sampai
sedang; b). masukan protein tinggi diduga meningkatkan
kadar kalsitriol dan kecenderungan pembentukan batu
ginjal. Faktor yang meningkatkan kadar kalsitriol belum
jelas, kemungkinan faktor kebocoran fosfat dalam air kemih
dianggap sebagai kelainan primer. Pentrunan kadar fosfat
plasma dianggap akan memacu sistesis kalsitriol.
Mekanisme ini dijumpai pada sebagian kecil pasien.
Hipositraturia
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal
dalam air kemih, khususnya sitrat, merupakan suatu
mekanisme lain untuk timbulnya batu ginjal. Masukan
protein merupakan salah satu faktor utama yang dapat
membatasi ekskresi sitrat. Peningkatan reabsorbsi sitrat
akibat peningkatan asam di proksimal dijumpai pada
asidosis metabolik kronik, diare kronik, asidosis tubulus
ginjal, diversi ureter atau masukan protein tinggi. Sitrat
pada lumen tubulus akan mengikat kalsium membentuk
larutan kompleks yang tidak terdisosiasi. Hasilnya kalsium
bebas untuk mengikat oksalat berkurang. Sitrat juga
dianggap menghambat proses aglomerasi kristal.
Kekurangan inhibitor pembentukan batu selain sitrat,
meliputi glikoprotein yang disekresi oleh sel epitel
tubulus ansa Henle asenden seperti muko-protein TemmHorsfall dan nefrokalsin. Nefrokalsin muncul untuk
mengganggu pertumbuhan kristal dengan mengabsorpsi
permukaan kristal dan memutus interaksi dengan larutan
kristal lainnya. Produk seperti mukoprotein Tamm-Horsfall
dapat berperan dalam kontribusi batu kambuh.
Hiperurikosuria
Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat
air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium,
minimal sebagian oleh kristal asam urat dengan membentuk
nidus untuk presipitasi kalsium oksalat atau presipitasi
kalsium fosfat. Pada kebanyakan pasien dengan lebih ke
arah diet purin yang tinggi.
Penurunan Jumlah Air Kemih
Keadaan ini biasanya disebabkan masukan cairan sedikit.
Selanjutnyadapat menimbulkan pembentukan batu dengan
peningkatan reaktan dan pengurangan aliran air kemih.
Penambahan masukan air dapat dihubungkan dengan
rendahnya jumlah kejadian batu kambuh.

Jenis Cairan yang Diminum


Jenis cairan yang diminum dapat memperbaiki masukan
cairan yang kurang. Minuman soft drink lebih 1 liter
perminggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor
dapat meningkatkan risiko penyakit batu. Kejadian ini tidak
jelas, tetapi sedikit beban asam dapat meningkatkan
ekskresi kalsium dan eksresi asam urat dalam air kemih
serta mengurangi kadar sitrat air kemih. Jus ape1 dan jus
anggur juga dihubungkan dengan peningkatan risiko
pembentukan batu, sedangkan kopi, teh, bir, dan anggur
diduga dapat mengurangi risiko kejadian batu ginjal.
Hiperoksaluria
Merupakan kenaikan ekskresi oksalat di atas normal.
Ekskresi oksalat air kemih normal di bawah 45 mghari (0,5
mmollhari). Peningkatan kecil ekskresi oksalat
menyebabkan perubahan cukup besar dan dapat memacu
presipitasi kalsium oksalat dengan derajat yang lebih besar
dibandingkan kenaikan absolut ekskresi kalsium. Oksalat
air kemih berasal dari metabolisme glisin sebesar 40 persen,
dari asam askorbat sebesar 40 persen, dari oksal~tdiet
sebesar 10 persen. Kontribusi oksalat dan diet disebabkan
sebagian garam kalsium oksalat tidak larut di lumen
intestinal. Absorbsi oksalat intestinal dan ekskresi oksalat
dalam air kemih dapat meningkat bila kekurangan kalsium
pada lumen intestinal untuk mengikat oksalat. Kejadian
ini dapat terjadi pada tiga keadaan: a). diet kalsium rendah,
biasanya tidak dianjurkan untuk pasien batu kalsium. b).
hiperkalsiuria disebabkan oleh peningkatan absorbsi
kalsium intestinal. c). penyakit usus kecil atau akibat reseksi
pembedahan yang mengganggu absorbsi asam lemak dan
absorbsi garam empedu. Peningkatan absorbsi oksalat
disebabkan oleh pengikatan kalsium bebas dengan asam
lemak pada lumen intestinal dan peningkatan permeabilitas
kolon terhadap oksalat.
Hiperoksaluria dapat disebabkan oleh hiperoksaluria
primer. Kelainan ini berbentuk kerusakan akibat kekurangan
enzim dan menyebabkan kelebihan produksi oksalat dari
glikoksalat.
Ginjal Spongiosa Medulla
Pembentukan batu kalsium meningkat pada kelainan ginjal
spongiosa, medula, terutama pasien dengan predisposisi
faktor metabolik hiperkalsiuria atau hiperurikosuria.
Kejadian ini diperkirakan akibat adanya kelainan duktus
kolektikus terminal dengan daerah statis yang memacu
presipitasi kristal dan kelekatan epitel tubulus.
Batu Kalsium Fosfat dan Asidosis Tubulus
Ginjal Tipe 1
Faktor risiko batu kalsium fosfat pada umumnya
berhubungan dengan faktor risiko yang sama sepcrti batu
kalsium oksalat. Keadaan ini pada beberapa kasus

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

diakibatkan ketidakmampuan menurunkan nilai pH air


kemih sarnpai normal.

Faktar Diet
Faktor diet dapat berperan penting dalam mengawali
pembentukan batu. Contoh:
Suplementasi vitamin dapat meningkatkan absorbsi
kalsium dan ekskresi kalsium
Masukan kalsium tinggi dinggap tidak penting, karena
hanya diabsorbsi sekitar 6 persen dari kelebihan kalsium
yang bebas dari oksalat intestinal. Kenaikan kalsium
air kemih ini terjadi penurunan absorbsi oksalat dan
penurunan ekskresi oksalat air kemih.
Faktor diet yang berperan penting pada kebanyakan pasien,
dapat disebabkan oleh:
Masukan natrium Morida. Masukan natrium yang tinggi
dapat meningkatkan ekskresi kalsium. Hubungan ini
diperkirakan disebabkan sebagian oleh reabsorbsi kalsium
secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus
proksimal dan sepanjang lengkung Henle. Penurunan
reabsorbsi natrium proksimal disebabkan oleh volume
berlebih menyebabkan pengurangan transportasi kalsium
dan peningkatan ekskresi kalsium air kemih. Peningkatan
masukan natrium dari 80 ke 200 meqhari pada pembentuk
batu dengan hiperkalsiuria idiopatik, dilaporkan
menyebabkan kenaikan ekskresi kalsium sebesar 40 persen
(dari 278 ke 384 mglharir atau 7 ke 9,5 mmolhari). Suatu
penelitian melaporkan peningkatan risiko pembentukan batu
pada perempuan dengan masukan natrium tinggi, namun
tidak pada pria. Mekanisme penurunan ekskresi sitrat air
kemih akibat masukan natrium tinggi belum jelas. Anion
bersama natrium muncul menjadi determinan dari efek
ekskresi kalsium. Untuk timbulnya kalsiuresis tampaknya
diperlukanklorida. Hasil penelitian pada perawat dilaporkan
bahwa pada perempuan dengan masukan natrium kelompok
seperlima tertinggi mempunyai risiko relatif sebesar 1,3
untuk timbulnya batu dengan keluhan, dibandingkan
kelompok seperlima terendah.
Masukan protein. Masukan protein tinggi umumnya
dihubungkan dengan peningkatan insidens penyakit batu.
Hal ini disebabkan peningkatan kalsium dan asam urat,
fosfat dan penurunan ekskresi sitrat. Sebagian besar
protein hewani mempunyai proporsi kandungan fosfat 1015 kali dibandingkan kandungan kalsium. Namun, pada
keong sawah1emas didapatkan proporsi kalsium yang lebih
tinggi dibandingkan kandungan fosfat (2 12/68). Masukan
protein dan metabolisme purin dan sulfur menghasilkan
asam amino dan asam urat. Keadaan ini akan memacu
pembentukan batu kalsium. Hal ini disebabkan peningkatan
ekskresi kalsium dan asam urat dan penurunan ekskresi
sitrat. Gangguan ini dapat diperberat dengan masukan
natrium tinggi. Kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih
dapat pula disebabkan oleh penglepasan kalsium dari

tulang. Penurunan pH air kemih disebabkan oleh


peningkatan asam air kemih. Penurunan pH dapat
menyebabkan presipitasi asam urat menjadi nidus
pembentukan batu kalsium. Presipitasi kalsium oksalat
berbeda dengan presipitasi asam urat karena tidak
tergantung pada pH. Pembentukan batu bertambah dengan
kenaikan turunan asam urat dan kenaikan ekskresi asam
urat. Penurunan pH cairan tubular dapat menurunkan
ekskresi sitrat disebabkan oleh peningkatan reabsorbsi
sitrat di proksimal. Peningkatan ion hidrogen akan
mengubah anion sitrat valensi tiga menjadi anion sitrat
valensi dua, yang lebih mudah diabsorbsi kembali lewat
ko-transport natrium-sitrat pada membran luminal.
Penurunan pH intraselular berperan dalam peningkatan
pemakaian sitrat oleh sel. Pengurangan sitrat dalam sel
menyebabkan sitrat mengalir dari lumen tubular ke dalam
sel. Hipositraturia akibat asidosis dapat menambah
pembentukan batu pada pasien dengan diet protein tinggi,
pasien dengan diare kronik atau dengan minum obat inhibitor asetazolamid.
Masukan Kalsium. Masukan kalsium memiliki efek
paradoks pada pembentukan batu. Untuk setiap
peningkatan masukan kalsium 100 mg, pada subyek
normal dilaporkan sekitar delapan persen diabsorbsi dan
kemudian diekskresi dan pada pasien hiperkalsiuria sebesar
20 persen. Diet kalsium tinggi diperkirakan dapat
menimbulkan penyakit batu, meskipun insidens
pembentukan batu ditemukan menurun pada kelompok pria
dan perempuan. Pengikatan oksalat diet dalam usus lebih
dapat menjelaskan terjadinya pengurangan absorbsi dan
pengurangan ekskresi oksalat air kemih. Besarnya
pengurangan persentase kenaikan ekskresi kalsium, bila
ekskresi oksalat lebih rendah dibandingkan ekskresi
kalsium. Supersaturasi relatif air kemih terhadap kalsium
oksalat ditemukan menurun. Masukan diet tinggi kalsium
dihubungkan dengan kejadian batu ginjal yang rendah pada
penelitian kesehatan "perawat" mengubah pandangan
tentang ekskresi oksalat dalam air kemih. Risiko relatif batu
dilaporkan sebesar 0,65 pada kelompok masukan kalsium
tertinggi dibanding dengan kelompok masukan kalsium
terendah. Sebaliknya masukan tambahan kalsium
dilaporkan meningkatkan risiko relatif sebesar 1,2 dibanding
kelompok tanpa masukan tambahan kalsium. Perbedaan
hasil diduga karena perbedaan saat pemberian masukan
kalsium. Pemberian masukan kalsium pada waktu makan
akan mengikat masukan oksalat secara maksimal. Bila
diberikan di luar saat makan, kalsiurn kehilangan kesempatan
mengikat masukan oksalat, sehingga oksalat tetap
diekskresi dan kalsium tetap bebas dalam lumen intestinal.
Akhirnya akan terjadi kenaikan absorbsi kalsium dan
kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih.
Masukan kalium. Diet tinggi kalium dapat mengurangi
risiko pembentukan batu dengan menurunkan ekskresi
kalsium dan dengan meningkatkan ekskresi sitrat dalam air

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

BATU SALURAN KEMlH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kemih. Dua hsrsil' penelitian medapatkan penurunan risiko
pembentukan batu dengan masukan kalium. Penefitian
secara acak dengan suplemen kalium sitfat menunjukkan
efek protektif.
Snkrosa. Telah diketahui bahwa sukrosa dan ruranan
karbohidrat lainnya dapat meningksrtkan ekskresi kalsium
dalam air kemih dengan mekanisme yang belurn diketahut.
Dalam dua penelitian yang melibatkan perempm, masukan
tinggi sukrosa berhubungan dengan peningkatan risiko
pembentukan batu, namun tidak pada laki-laki.
Viiamgn. Vitamin C (asam askorbat) dalam dosis besar
m e ~ p a k a nsalah satu risiko pernbentukan batu kalsium
oksaIat. Secara in vivo, asarn askorbat dimetaboiisirmenjadi
oksalat yang diekskresikan dalam air kemih. Suatu
penelitian potong Iintang berskala b e s a ~mendapatkan
peningkatan tisiko pemberrtukan batu pada taki-laki dan
perempuan yang mengkonsumsi suplemen vitamin C.
Namun, dalam pehelitian prospektif didapztkan tidak
adanya hubungan antara risiko pembentukan batu dengan
masukan vitamin C meskipun dalam dosis tinggi iebih dari
1500trrgIhr. Hal ini murigkin dise'bakan oleh masukm vitamin C yang relatif tinggi pada kelompok referensi yang
mengurangi tingkat ketelitian pada perbedm yang tipis,
sehingga masih merupakan ha1 yang mungkin bahwa
masukan vitamin C dengan dosis tinggi meningkatkanrisiko
pembenmkan batu. Vitamin B6 (piridoksin) bemanfaat
mengurangi ekskresi oksalat dalam air kemih pada pasien
dengan hiperoksaluria idiopatik. Suatu penelitian
mendapatkan penurunan risiko pembentukan batu pada
perernpuan yang mengkonsurnsi v h h B6 lebih dari 40mgl
Pa; n a m tidak pada laki-laki.
k s a m lemak. Suatu penelitian jangka pendek
menunjukkan penorunan ekskresi kalsium air kemih pada
pasien hiperkalsiuria idiapatik setelah pemberian
suplemen kapsul minyak ikan (eicosapentanoic acid).
Pemberian suplemen kapsul minyak ikan pada 12
pembentak batu hiperkalsiuria selama 8 minggu
memnmkan ekskresi kalsium air kemih sebesar 36% dan
ekskresi oksalat sebesar 5 1%.
Masukan air. Peningkatan volume masukan air dapat
mengurangi risiko pembentukan batu sehingga sangat
dianjurkan bagi para pasien batu ginjal, maupun untuk
proteksi. Suatu penelitian pada insidensi pembentukan batu
dan suatu studi acak terkontrol mendapatkan bahwa
peningkatan masukan air menurunkan pembentukan batu.
Dengan meningkatnya volume air kemih maka tingkat
kejenuhan kalsium oksalat menurun sehingga mengurangi
kemungkinan pembentukan kristal.

EVALUASI PASlEN BATU GINJAL


Besarnya nilai faktor risiko dalam menimbulkan penyakit
batu bervariasi sesuai dengan populasi yang ada.

Pengenalan ke semua faktor risiko ba?u gisrjaI diperlukan

unmk tidakan evalmsi darr tindakan pengobatan pasien


dengan penyakit batu kambuh.
Cara penetapan diagnosis p y e b a b batu:
I. Riwayat penyakit b&u(ditaPryakanjenis kelamin, usia,
pekerjaan, hubungm keadaan penyakit, infeksi dan
penggunaan obat-obatan. Riwayat t m a n g keIuarga
yang menderita batu saluran kemilr, perrcegahan,
pengobatan yang telah dilakukan, cara pengambilan
batu, analisis jenis barn, dan situasi batmya).
2. Gambaran batu saiuran kemih dilakukan
pemeriksaan:
a. Uhasunografi
dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi
batu
pemeriksmn ini diperlukan pada perempuan
hamil dan pasien yang afergi kontras radiologi
dapat diketahui adanya batu radiolusen dan
dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan
pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk
menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat
membedakan batu kalsifikasi dan batu
radiolusen.
b. Pemeriksaan radiografi
F d o abdomen biasa
dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi
membedakan batu kalsifikasi
densitas tinggi: kalsium oksalat dan kalsium
fosfat
densitas rendah: strwife, sistin, dan campuran
keduany a
indikasi dilakukan uji kualitatif sistin pada pasien
muda
Keterbatasan pemeriksaan foto sinar tembus
abdomen adalah tidak dapat untuk menentukan batu
radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup
bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak
dapat membedakan batu dalarn ginjal dan batu luar
ginjal.
c. Urogram
Deteksi batu radiolusen sebagai defek pengisian
(filling) (batu asam urat, xantin, 2,8dihidroksiadenin ammonium urat)
Menunjukkan lokasi batu dalam sistem
kolektikus
Menunjukkan kelainan anatomis
d. CT-scan helikal dan kontras
3. Investigasi biokimiawi
Pemeriksaan laboratorium rutin, sampel dan air kemih.
Pemeriksaan pH, berat jenis air kemih, sedimen air kemih
untuk menentukan hematuri, leukosituria, dan
kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting untuk
adanya infeksi saluran kemih. Apabila batu keluar,
diperlukan pencarian faktor risiko dan mekanisme
timbulnya batu.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Perlu dilakukan:
penampungan air kemih 24 jam (atau waktu tertentu)
pengurangan pH air kemih
penampungan air kemih dengan bahan pengawet
10 mL timol5% di dalam isopropanol untuk 2 L, atau
15mLHC16N
pemeriksaan serum
mengikuti protokol diet
Cara Pengumpulan air kemih
pada hari penampungan air kemih, air kemih dibuang
sesudah bangun pagi dan dicatat waktu
pengosongan air kemih
sesudahnya, semua air kemih ditampung ke dalam
botol. Diusahakanjangan ada air kemih yang hilang,
tampungan disimpan dalam tempat dingin
penampungan sampai dengan waktu yang sama
dengan sehari sebelumnya
bila pengumpulan lengkap, kemudian dibawa ke
laboratorium secepatnya

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan :
Mengatasi Gejala. Batu saluran kemih dapat menimbulkan
keadaan darurat bila batu turun dalam sistem kolektikus
dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolik ginjal atau
infeksi di dalam sumbatan saluran kemih. Nyeri akibat batu
saluran kemih yang dapat dijelaskan lewat dua mekanisme:
(I) dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan reseptor
sakit dan (2) iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis
ginjal disertai edema dan penglepasan mediator sakit.
Keluhan nyeri kolik batu saluran kemih dapat dilakukan
diagnosis banding dengan keadaan seperti: a). Kolik ginjal
akibat penyakit urologi yang lain, seperti aliran bekuan
darah, aliran jaringan nekrotik, striktur, kompresi atau
angulasi berat ureter, b). Nyeri abdomen oleh sebab lain,
seperti gastrointestinal (apendisitis, kolesistitis, batu
empedu, pankreatitis), vaskular (infark ginjal, infark limpa,
aneurisma aorta), ginekologi (kista ovarium, adneksitis,
kehamilan ektopik, endometriosis), dan lainnya (abses
psoas, infark jantung, diabetes mellitus, feokromositoma).
Sumbatan dalam sistem kolektikus tidak selalu
dihubungkan dengan kolik ginjal. Kombinasi nyeri
pinggang dan febris merupakan petanda, infeksi saluran
kemih dan dilatasi sistem kolektikus yang merupakan
petanda timbulnya kedaruratan untuk menghilangkan
sumbatan. Pengobatan hanya dengan pemberian
antibiotiksaja kurang memadai. Infeksi progresif
menyebabkan sepsis urologi dan dilaporkan mortalitasnya
lebih dari 50%.
Tindakan emergensi ditujukan kepada pasien dengan
kolik ginjal. Pasien dianjurkan untuk tirah baring dan dicari
penyebab lain. Berikan spasme analgetik atau inhibitor

sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau


supositoria).
Pengambilan Batu. a). Batu dapat keluar spontan. Bila
masalah akut dapat diatasi, gambaran radiologis yang
ditemukan adalah merupakan basis penanganan
selanjutnya. Berdasarkan ukuran, bentuk dan posisi batu
dapat diestimasi batu akan keluar spontan atau hams
diambil. Sekitar 60-70% dari batu yang turun spontan sering
disertai dengan serangan kolik ulangan. Diberikan terapi
atau untuk pencegahan kolik, dijaga pembuangan tinja tetap
baik, diberikan terapi antiedema dan diberikan diuresis,
serta aktivitas fisis. Batu tidak diharapkan keluar spontan
bila batu ukuran sebesar atau melebihi 6mm, disertai dilatasi
hebat pelvis, infeksi atau sumbatan sistem kolektikus dan
keluhan pasien terhadap nyeri dan kerapan nyeri. Bila
diperkirakan tidak memungkinkan keluar spontan dilakukan
tindakan pengambilan batu dan pencegahan batu kambuh.
b). Pengambilan batu: gelombang kejutan litotrips
ekstrakorporeal, perkutaneous nefrolitomilcara lain,
pembedahan
Pencegahan (Batu Kalsium Kronik-kalsium Oksalat)
a. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan okasalat)
b. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu
Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum
jeruk nipis atau lemon sesudah makan malam)
Batu ginjal tunggal (meningkatkan masukan cairan,
mengkontrol secara berkala pembentukan batu
baru)
c. Pengaturan diet
Meningkatkan masukan cairan
Masukan cairan terutama pada malam hari akan
meningkatkan aliran kemih dan menurunkan
konsentrasi pembentuk batu dalam air kemih. Dari
hasil uji coba didapatkan pada tahun ke-5 insidensi
pembentukan batu baru pada kelompok banyak
minum 12% dibanding kelompok kontrol27%. Pada
kelompok pembentuk batu jumlah air kemih harian
ditemukan 250-350 ml lebih sedikit dibanding
kelompok kontrol.
Hindari masukan minum gas (softdrinks) lebih 1
liter perminggu. Ditemukan kekambuhan batu
sebesar 15 persen lebih tinggi dalam 3 tahun
dibandingkan kelompok peminum cairan lain.
Kurangi masukan protein (sebesar I glkg berat
badanlhari). Masukan protein tinggi dapat
meningkatkan ekskresi kalsium, ekskresi asam urat
,
dan menurunkan sitrat dalam air kemih.
Protein binatang diduga mempunyai efek
menurunkan pH air kemih lebih besar dibandingkan
protein sayuran karena lebih banyak menghasilkan
asam.
Membatasi masukan natrium. Diet natrium rendah
(80 sampai 100 mqlhari) dapat memperbaiki
reabsorbsi kalsium proksimal, sehingga terjadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

BATU SALURAN KEMlH

HANYA DI SCAN UNTUKKESIMPULAN


dr. PRIYO PANJI

pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi kalsium.


Penurunan masukan natrium dari 200 sampai 80 meql
hari dilaporkan mengurangi ekskresi kalsium
sebanyak 100mg/hari (2,5 mmolhari).
Masukan kalsium. Pembatasan masukan kalsium
tidak dianjurkan.Penurunan kalsium intestinalbebas
akan menimbulkan peningkatan absorbsi oksalat
oleh pencemaan, peningkatan ekskresi oksalat dan
meningkatkan saturasi kalsium oksalat air kemih.
Diet kalsium rendah dapat merugikan pasien dengan
hiperkalsiuria idiopatik karena keseirnbangankalsium
negatif akan memacu pengambilan kalsium dari
tulang dan dari ginjal. Keadaan ini akan
memperburuk penurunan densitas tulang pada
beberapa pasien.
Pemberian Obat (untuk mencegah presipitasi batu baru
kalsium oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang ada).
a). Hiperkalsiuria idiopatik. Batasi pemasukan garam dan
diberikan diuretic tiazid seperti hidroklorotiazid perhari 2550mg. Regimen ini dapat menurunkan ekskresi kalsium
sebanyak 150 mglhari (3,75 mmollhari). Keduanya
menurunkan insidensi batu baru sebesar 90 persen
(walaupun ada perbaikan 50 sampai 65 persen pada pasien
sebagai kelompok plasebo). Hindarkan terjadinya
hipokalemia, bila perlu ditambahkan kalium sitrat atau kalium bikarbonat. b). Pemberian fosfat netral (ortofosfat),
yang mengurangi ekskresi kalsium dan meningkatkan
ekskresi inhibitor kristalisasi (seperti pirofosfat). c).
Hiperurikosuria(diberikan alopurinol 100 sampai 300 mgl
hari). Pembentukan batu baru menurun sampai 80 persen
dengan alopurinol (hanya 60 persen dengan plasebo). d).
Hipositraturia (diberikan kalium sitrat). Hasil penelitian
dengan kontrol dilaporkan insidens pembentukan batu baru
menurun pada pasien hipositraturia dari 1,2 jadi 0,l per
tahun pasien dalam kelompok yang diberikan kalium sitrat
dibandingkan kelompok plasebo yang tidak berubah.
Manfaat ini dihubungkan dengan ekskresi sitrat dalam air
kemih meningkat dua kali. Pemberian minuman 2 buahjeruk
nipis diberikan sesudah makan malam pada pasien batu
ginjal kalsium dengan hipositraturia dilaporkan dapat
meningkatkan ekskresi asam sitrat dan pH air kemih di atas
6 secara bermakna. Masukan 4 ons jus lemon perhari
(dicampur dengan air sebanyak 2 liter) meningkatkan
ekskresi sitrat air kemih pada 11 dari 12 pasien (rata-rata
peningkatan 142 sampai 346mg/hari). e). Hiperoksaluria
enterik, diusahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal, diberikan banyak masukan cairan, kalium sitrat (kalsium
sitrat untuk mengkoreksi asidosis metabolik bila ada),
kalsium karbonat (kalsium karbonat oral 1 sampai 4 ghari
untuk mengikat oksalat lumen intestinal). Walaupun
beberapa kalsium diabsorbsi, terjadi penurunan proporsi
pada ekskresi oksalat. Berikan diet rendak lemak dan diet
rendah oksalat. Pertimbangan pemberian fosfor elemental
sebagai fosfat netral. f). Batu kalsium fosfat. Seperti pada
pasien kalsium oksalat dapat diberikan kalium sitrat.

Penanganan batu saluran kemih dilakukan dengan


pengenalan sedini mungkin. Tatalaksana awal yang
dilakukan adalah evaluasi faktor risiko batu saluran kemih.
Terapi diberikan untuk mengatasi keluhan dan mencegah
serta mengobati gangguan akibat batu saluran kemih.
Pengambilan batu dapat dilakukan dengan pembedahanl
litotripsi dan yang terpenting adalah pengenalan faktor
risiko sehingga diharapkan dapat memberikan hasil
pengobatan dan memberikan pencegahan timbulnya batu
saluran kemih yang lebih baik.

Alpern RJ, Sakhaee K. Does hiperphosphaturia underline


hypercalciuria? Lancet. 1997;349-5 18.
Andersen DA. The nutritional significance of primary bladder stone.
Br J Uro1.1962;160-77.50.
Baggio B, Priante G, Brunati AM, Clari G, Bordin L. Specific
modulatory effect of arachidonic acid on human red blood cell
oxalate transport:clinical implications in calcium oxalate
nephrolithiasis. J Am Soc Nephrol. 1999;10 Suppl 14:S381-4.
Barcelo P, Wuhl 0,Sewitge E, Rousaud A, Pak. CYC. Randomized
double-blind study of potassium citrate in idiophatic hypocitraturic
calcium nephrolithiasis. J Urol. 1993;150:1761-4.
Bataille P, Archard Jm, FournierA, Boudaillie B, westeel PF, et al.
Diet, vitamin D and vertebral mineral density in hypercalciuric
calcium stone formers. Kidney Int. 1991;39:1193-205.
Borghi L, Meschi T, Amato F, Briganti A, Novarini A, Giannini A.
Urinary volume, water and reccurences in idiophatic calcium
nephrolithiasis: a 5-year randomized prospective study. J Urol.
1996;155:839-43.
Breslau NA, Brinkley L, Hill KD, Pak CYC. Relathionship of animal protein-rich diet to kidney stone formation and calcium
metabolism. J Clin Endocrinol Metab. 1988;66:140-6.
Breslau N, Padalino N, Kok D, Yom Y, Pak C. Physicochemical
effects of a new show-release potassium phosphate preparation
(UroPhos-K) in absorptive hypercalciuria. J Bone Miner Res.
1995;10:394-400.
Buck AC, Davis RL, Harrison T. The protective role of
eicosapentaenoic acid (EPA) in the pathogenesis of nephrolithiasis. J Urol. 1991;146:188-94.
Coe FL, Parks JH, Asplin JR. The pathogenesis and treatment of
kidney stones. N Engl J Med. 1992;327:1141-52.
Coe F, Parks J. Nephrolithiasis: pathogenesis and treatment.
Chicago Year Book Medical; 1988.
Coe FL, Favus MJ, Braunwald E. Nephrolithiasis. Harrison's
principles of internal medicine. 1Ithedition. Tokyo: Mc Graw
Hill; 1987.
Curhan GG, willet WC, RimmEB, Spielgelman D, Stampfer MJ.
Prospective study of beverage use and the risk of kidney stones.
Am J Epidemiol. 1996;143:240-7.
Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study
of dietary calcium and other nutrients and the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med. 1993;328:833-8.
Curhan GC. Diet and the prevention of kidney stones. Nephrology
Rounds. 2004;2.
Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Spielgelman D, Stamfer Mj. A

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
Melnick JZ, Srere PA, Eishourbagy NA. Adenosine triphophate

prospective study of dietary calcium and others nutrients and


the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med.
1993;328:833-8.
Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Starnfer MJ. Intake of vitamin B6
and C and the risk of kidney stones in women. J Am Soc Nephrol.
1999;10:840-5.
Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study
of the intake of vitamins C and B6, and the risk of kidney
stones in men. J Urol. 1996;155:1947-51.
Curhan GG, Willet WC, Speizer FE, Spiegelman D, Stamfer MJ.
Comparison of dietary calcium with supplemental calcium and
other nutrients as factors affecting the risk for kidney stones in
women. Ann Intern Med. 1997;126:497.
Ettinger B, Tang A, Citron JT, Livermmore B, Williams T.
Randomized trial of allopurinol in prevention of calcium oxalate calculi. N Engl J Med. 1986; 315:1386-9.
Ettinger B, Citron JT, Livemore B, Dolman LI. Chlorthalidone
reduces calcium oxalate calculous reccurence but magnesium
hydroxice does not. J Urol. 1988;139:679-84.
Frangos PN, Rous SN. Incidence and economic factors in urolithiasis. In: Rous, editor. Stone disease diagnosis and management.
Florida: Grune & Stratton; 1987. p. 3-10.
Friedman PA, Gesek FA. Calcium transport in renal epithelial cells.
Am J Physiol. 1993;264:F181-98.
Gamboro G. Petrarulo M. Nardelotto A, Marangella M, Baggio B.
Erythrocyte transmembrane flux and renal clearence of
oxalate in idiopathic calcium nephrolithiasis. Kidney Int.
1995;48:1549-52.
Gault MH, Chafe LL, Morgan JM. Parfrey PS, Harnett JD, Walsh
EA, et al. Comparison of patients with idiophatic calcium
phosphate and calcium oxalate stones. Medicine (baltimore).
1991;70:345-59.
Hamm LL. Renal handling of citrate. Kidney Int. 1990;38:728.
Hess B. Zipperle L. Jaeger P. Citrate and calcium effects on TammHorsfall glycoprotein as a modifier of calcium oxalate crystal
anggregation. Am J Physiol. 1990;265:F784-91.
Johnson CM, Wilson DM, O'Fallon WM, Malek RS, Kirland LT.
Renal stone epidemiology:a 25-year study in Rochester,
Minnesota. Kidney Int. 1979;16:624-3 1.
Kok DJ, Papapoulus SE, Bijvoet OL. Crystal agglomeration is a
major element in calcium oxalate urinary stone formation.
Kidney Int. 1990;37:51-6.
Kok DJ, Khan SR. Calcium oxalate nephrolithiasis, a free or fiexd
particles disease. Kidney Int. 1994;46:847-54.
Lemann J. Jr. Composition of the diet and calcium kidney stones
(editional). N Engl J Med. 1993;328:880.
Lemann J Jr, Piering WF, Lennon EJ. Possible role of carbohydrateinduced calciuria in calcium oxalate kidney-stone formation. N
Engl J Med. 1969;280(5):232-7.
Lieske JC, Toback FG. Regulation of renal epithelial cell endocytosis
of calcium oxalate monohydrate crystals. Am J Physiol.
1993;264:F800-7.

citrate lyase mediates hypocitraturia in rats. J Clin Invest.


1996;98:2381.
Muldowney FP, Freaney R, Barnes E. Dietary chloride and urinary
calcium in stone disease. Q J Med. 1994;87:501.
Muldowney FP, Freaney R, Moloney MF. Importance of dietary
sodium in the hypercalciuria syndrome. Kidney Int.
1982;22:292-6.
Obialo CI, Clayman RV, Matts JP, Fitch LL, Buchwald H, Gillis M, et
al. Pathogenesis of nephrolithiasis post-partial ileal bypass
surgery: case-control study. Kidney Int. 1991;39:1249-54.
Parivar F, Low RK, Stoller ML. Influence of diet on urinary stone
disese. J Urol. 1996;155:432-40.
Parks JH, Coe FL. A Urinary calcium-citrate index for the evaluation of nephrolithiasis. Kidney Int. 1986;30:85-90.
Pyrah LH. Renal calculus. Is'edition. New York: Spinger; 1979.
Rahardjo B, Suwito A. Batu saluran kencing di Rumah Sakit Dr.
Kariadi di Semarang. Symposium batu kandung kencing di
Semarang, 11 Agustus, 1986. p. 38-5 1.
Robertson WG. Dietary factors important in calcium stones
information. In: Schwille, P.0, editors. New York: Plenum; 1985.
p. 73-6.
Robertson WG, Peacock M. Calcium oxalate crystalluria and inhibitors of crystallization inn recurrent renal stoneformers. Clin
Sci. 1972;43:499-506.
Sakhee K, Harvey JA, Pedalino PK, Whitson P, Pak CYC. The
potential role of salt abuse on the risk for kidney stone formation. J Urol. 1993;150:310-2.
Seltzer MA, Low RK. McDonald M, Shami GS, Stoller ML. Dietary
manipulation with lemonade to treat hypocitraturic calcium
nephrolithiasis. J Urol. 1996; 156:907-9.
Shuster J, Jenkins A. Logan C, Barnett T. Riehle R, Zackson D,
Wolfe H, Dale R, Daley M, Malik I. soft drink consumption and
urinary stone recurrence: a randomized prevention trial. J Clin
Epidemiol. 1992;45:911-6.
Sja'bani M, Baskoro T. Batu peturasa di Yogyakarta dan sekitarnya.
Kumpulan simposium IAPI 11, Bandung, Agustus. 1975.
Sja'bani M. Pengaruh pemberian kalium sitrat dan diet tinggi sitrat
pada pasienbatu kalsium ginjal pasca pengambilan batu. Berkala
Kedokteran Inpress. 1998.
Sja'bani M. Pencegahan kekambuhan batu ginjal jenis batu kalsium
idiopatik. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah
Mada. 2004; 183-2 17.
Smith LH. Diet and Hyperoxaluria in the syndrome of idiopathic
calcium oxalate urolithiasis. Am J Kidney Dis. 1991;17:370-5.
Soucie J, Coates R, McClellan W, Austin H, Thun M. Relation
between geographic variability in kidney stones prevalence and
risk factors for stones. Am J Epidemiol. 1996;143:487-95.
Sukahatya M, Ali M. Batu ginjal, naskah lengkap Kopapdi 111,
Bandung. 1975.
Takasaki E. Chronological variation in the chemical composition
of upper urinary tract xalxuli. J Urol. 1996;136:5-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT GINJAL DAN KEHAMILAN


Jose Roesma

KEHAMILAN DAN GINJAL NORMAL


Kehamilan normal merupakan suatu proses alamiah yang
fisiologis bagi perempuan di mana semua organ mengalami
penyesuaian, termasuk organ ginjal. Pada ginjal terjadi
perubahan anatomi berupa pembesaran kedua ginjal dan
pelebaran sistem pelviokalises di samping perubahan
fisiologik berupa peningkatan aliran darah ginjal (50%)
dan peningkatan laju filtrasi glomerulus.(l50%).Perubahan
ini terjadi pada 24 minggu pertama dan ditandai dengan
penurunan ureum dan kreatinin di bawah normal.
Vasodilatasi pada kehamilan menyebabkan penurunan
tekanan darah sampai 10 mm Hg dari normal dan naik
kembali mendekati akhir kehamilan. Secara klinis perlu
perhatian bahwa seorang perempuan hamil muda dengan
kadar ureum, kreatinin, dan tekanan darah yang normal
(pada perempuan tidak hamil) sebetulnya telah menderita
gangguan fungsi ginjal dan prehipertensi.

KEHAMILAN DAN PENYAKIT GINJAL


Kehamilan dan penyakit ginjal mempunyai dua aspek,
yaitu kehamilan mempengaruhi progresi penyakit ginjal
dan sebaliknya penyakit ginjal mempengaruhi proses
kehamilan.
Penyakit ginjal yang sering ditemui pada kehamilan di
antaranya adalah:
Infeksi traktus urinariuslinfeksi saluran kemih (ISK).
Infeksi traktus urinarius merupakan penyakit ginjal utama
pada kehamilan dan disertai dengan risiko berat bayi
rendah, kematian bayi dalam kandungan dan kelahiran
prematur. Infeksi traktus urinarius yang sering ditemukan
pada kehamilan adalah: a). Bakteriuria asimtomatik.
Bakteriuria asimtomatik adalah adanya bakteri dengan
jumlah bermakna dalam urin (>100.000 kurnanfmlurin) tanpa

gejala klinik. Pada perempuan tidak hamil keadaan ini tidak


diberi obat, tetapi pada kehamilan perlu diobati dengan
antibiotika yang sesuai selama sekurang-kurangnya 10
hari. Hal ini disebabkan risiko timbulnya infeksi ginjall
Pielonefritis meningkat sampai 30 % pada kehamilan dan
dapat ditekan sampai 3 % dengan pengobatan yang tepat
dan cukup. Perlu diperiksakan biakan urin dan
penyesuaian jenis antibiotika dengan hasil biakan. Bila
infeksi bersifat persisten perlu pengobatan supresif
dengan nitrofurantoin. Sayang obat ini tidak lagi beredar
di Indonesia. b). Sistitis. Sistitis adalah infeksi kandung
kemih dengan gejala sering kencing, nyeri waktu kencing
dan rasa terdesak kencing. Sistitis bisa disertai adanya
kuman (yang perlu diberi antibiotika yang sesuai) ataupun
tanpa kuman (piuria steril) dan perlu dipertimbangkan
adanya sindrom uretral. c). Pielonefritis. Pielonefritis pada
kehamilan disertai gejala nyeri pinggang, demam,
menggigil, mual dan muntah dan terjadi pada 2% kehamilan.
Keadaan ini diobati dengan antibiotika parenteral,
sebaiknya di rumah sakit sampai keadaan membaik,
diteruskan dengan terapi antibiotika oral, untuk
menghindari komplikasi sepsis dan gangguan kehamilan.
Gangguan ginjal akut. Gangguan ginjal akut (GGA) seperti
juga pada perempuan tidak hamil dibagi 3 jenis, yaitu: a).
Gangguan ginjal akut prerenal. Gangguan ginjal akut
prerenal pada umunya disebabkan faktor hipovolemi baik
akibat dehidrasi, perdarahan (abruptio placentae),
dekompensasi kordis, dan sepsis. Sepsis sering ditemukan
pada abortus kriminal pada kehamilan muda. b). Gangguan
ginjal akut renal. Gangguan ginjal akut renal umumnya
terjadi sebagai kelanjutan GGA prerenal atau iskemia ginjal
dan akibat faktor toksik biasanya berupa tubular nekrosis
akut (ATN). Dalam keadaan berat dapat terjadi nekrosis
kortikal akut yang bersifat ireversibel. c). Gangguan ginjal
akut Post Renal. Gangguan ginjal akut post renal umumnya
disebabkan obstruksi. Perlu disadari bahwa sistem

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pelviokalises pada kehamilan melebar sehingga sukar


dibedakan dengan pelebaran akibat obstruksi.
Gangguan ginjal kronik. Kehamilan dengan gangguan
ginjal kronik saling mempengaruhi. Gangguan ginjal kronik
mempengaruhi kehamilan melalui beratnya gangguan fungsi
ginjal, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
Pada gangguan fungsi ginjal yang ringanpun (kreatinin
>1.5 mg%) komplikasi berupa BB bayi rendah, kelahiran
prematur dan kematian bayi meningkat.
Penderita gangguan ginjal kronik yang hamil, progresi
penyakit ginjalnya sangat tergantung fungsi ginjal saat
awal kehamilan. Hal ini terlihat dari studi epidemiologikl
retrospektif yang telah dilakukan. Hal yang ikut
berpengaruh adalah penyakit penyerta pada pasien,
utamanya derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.
Katz menemukan 16% perempuan hamil dengan
gangguan fungsi ginjal ringan (kreatinin > 1.5 mg%)
mengalami progresi ke tahap gagal ginjal tahap akhir
(GGTAIESRD). Cunningham mendapatkan 6% perempuan
hamil dengan gagal ginjal sedang (kreatinin 1,5-2,4 mg%)
mengalami gagal ginjal tahap akhir sedangkan 45%
perempuan hamil dengan gagal ginjal berat (kreatinin >2,5
mg%) akan mencapai gagal ginjal tahap akhir.
Pada penderita dengan gangguan ginjal kronik dan
kehamilan etiologi penyebab gagal ginjal tidak
mempengaruhi prognosis kehamilan, kecuali pada pasien
lupus nefritis dimana 50% penderita lupus nefritis akan
kambuh lupusnya waktu kehamilan disertai dengan
penurunan fungsi ginjal dan 50% keharnilan akan disertai
kematian janin. Dengan demikian dianjurkan penderita lupus hams stabil dulu kondisi lupusnya selama 6 bulan
sebelum kehamilan dimungkinkan. Adanya antikoagulan
lupus serta antibodi kardiolipin menambah kemungkinan
risiko komplikasi kehamilan pada lupus.

PEMBERIAN OBAT PADA WANITA HAMlL


DENGAN GANGGUAN FUNGSI GINJAL

Mengatur pemberian obat dan dosisnya pada wanita hamil


apalagi dengan gangguan fungsi ginjal merupakan masalah
yang membutuhkan perhatian khusus.
Dosis obat perlu disesuaikan dengan umur kehamilan
dan derajat fungsi ginjal agar tidak berbahaya bagi ibu
maupun janin. Dalam keadaan darurat, keselamatan ibu
merupakan prioritas walupun pengaruh obat pada janin
tetap perlu diperhatikan.
Obat yang sering menjadi pertimbangan adalah jenis
antibiotika, tuberkulostatika, obat imunosupresif serta
antihipertensif. Setiap jenis obat dari kelompok tersebut
perlu dipelajari tersendiri pengaruhnya terhadap kehamilan
dan dosisnya yang perlu disesuaikan dengan derajat
gangguan fungsi ginjal. Untuk ha1 tersebut tersedia
berbagai petunjuk khusus (leaflet promosi obat, literatur,
dsb) karena tidak ada petunjuk umum yang berlaku pada
keadaan yang khusus (hamil dengan gangguan fungsi
ginjal) ini.

GINJAL TRANSPLAN DAN KEHAMILAN


Transplantasi memperbaiki kesuburan pada penderita
dengan gagal ginjal. Kehamilan dapat terjadi pada 12%
penderita transplan dengan sukses sampai 90% sehingga
kehamilan dapat direncanakan pada ginjal transplan setelah
1-2 tahun post transplant dalam keadaan fingsi ginjal yang
baik.
Bila kreatinin < 1.4 mg% 94% kehamilan bisa sukses,
dibandingkan 74% bila kadar kreatinin > 1.4 mg%. Juga
progresi gangguan fungsi ginjal transplan pada kehamilan,
seperti di luar kehamilan, tergantung kepada fungsi ginjal
prehamil, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.

DIALISIS DAN KEHAMILAN


Gagal ginjal tahap akhir disertai dengan kesuburan yang
menurun dengan anovulasi sehingga kehamilan jarang
terjadi pada pasien dialisis, kurang dari 1%. Kehamilan
pada dialisis sering disertai abortus, hanya 50% kehamilan
sampai aterm, itupun disertai prematuritas (85%) dan BB
bayi rendah (28%). Sebaiknya pasien dialisis yang hamil
didialisis setiap hari untuk menghindari komplikasi baik
bagi ibu maupun bayi.

REFERENSI
Agraharkar M. Renal disease and pregnancy. Available online on
http://www.emedicine.com.
Epstein FH. Pregnancy and renal disease. New Engl J Med.
1996;335(4):277-8.
Schricr RW. Kidney diseases in pregnancy. Diseases of the kidney.
6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1997.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT GINJAL KRONIK


Ketut Suwitra

MEKANISME PENYAKIT GINJAL KRONIK


Batasan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada
Tabel 1.

yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar


diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar
LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140 - umur ) X berat badan

LFG (mVmnt/l,73m2)

*)

72 X kreatinin plasma (rngldl)


*) pada perempuan dikalikan 0, 85

Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel 2.

Penjelasan

LFG (mllmnll .73m2)

---

1.

Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3


bulan, beru~akelainan struktural atau funnsional, dengan
atau tanpa benurunan laju filtrasi
(LFG), dengan rnanifestasi :
- kelainan patologis
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalarn tes pencitraan (imaging tests)
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
mllmenit11,73rn2 selarna 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal

2.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari


3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2,
tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Klasifi kasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua ha1

Kerusakan ginjal dengan


LFG normal atau '?
Kerusakan ginjal dengan
LFG & ringan
Kerusakan ginjal dengan
LFG $ sedang
Kerusakan ginjal dengan
LFG $ berat
Gagal ginjal

15 - 29
c 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada Tabel 3.


Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan
insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus
perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi
18juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penyakit

Tipe mayor (contoh)

Pel?;?kit ginjal
diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal
non diabetes

Penyakit glornerular
(penyakit otoimun, infeksi
sisternik,obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, rnikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikstik)

Penyakit pada
transplantasi

Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/ takrolirnus)
Penyakit recurrent (glornerular)
Transplant crlomerulopathv

pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,


insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis
renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforminggrowth factor /3 (TGFp). Beberapa ha1 yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belurn


merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hip0 atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu
negara dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab
utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis
lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

Penyebab

lnsiden

Diabetes mellitus
- tipe 1 (7%)
- tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
Glomerulonefritis
Nefritis interstitialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sisternik (rnisal, lupus dan vaskulitis)
Neoplasma
Tidak diketahui
Penyakit lain

Penyebab

lnsiden

Glornerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain

46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

44 %
27%
10%
4%
3%
2%
2%
4%
4%

PENYAKIT GINJAL KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PENDEKATAN DlAGNOSTlK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a).
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik
(LES), dan lain sebagainya,b). Sindromuremia, yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremicfrost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan hngsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria,
hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b). Pielografi intravenajarangdikerjakan, karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, di sarnping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal
atau renografi dikerjakanbila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi

perinefrik, gangguan pembekuan darah, gaga1 napas, dan


obesitas.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
(comorbid condition)
memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal
kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.

Derajat

LFG
(m11mntl1,73m~)

> 90

Rencana tatalaksana

- terapi peyakit dasar, kondisi


kornorbid, evaluasi pernburukan
(progression)fungsi ginjal.
rnernperkecil risiko kardiovaskular

60 - 89

- mengharnbat pernburukan

30 - 59

15-29

- evaluasi dan terapi kornplikasi


- persiapan untuk terapi peng ganti

c 15

(progression)fungsi ginjal

ginjal

- terapi pengganti ginjal

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya
adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga
pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normdl secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histdpatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepatterhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah mensampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dbn Terapi Terhadap Kondisi
I
Komorbid
Penting sekali unruk mengikuti dan mencatat kecepatan
penurunan LFG padla pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat emperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid in antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi iang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstrdksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahdn radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit Qasarnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang
patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada
Gambar 1.
Kornpensasi
hiperfiltrasi dan
hipertrofi
4

LFG
mllmenit
> 60

Nefropati
b- ,

Berkurangnya
jumlah netron [Hiperlensi
sistemik

II

Kebocoran protein
lewat glomerulus

Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit


ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi


glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG
< 60 mllmnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan
asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan
0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkallkgBBlhari, Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jurnlah asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat,
sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain,
dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang
disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih
(protein overload) akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfitration),
yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan
pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di
samping bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat

Asupan protein glkglhari


Tidak dianjurkan

Fosfat
glkglhari
Tidak
d~batasi
5 10 g

25 - 6 0

0.6-0,8lkglhari, termasuk 2 0.35 grlkglhr


nilai biologi tinggi.

5 - 25

0,6-0,8 lkglhari, terrnasuk 2 0,35 rlkglhari


protein nilai biologi tinggi atau
tarnbahan 0,3 g asam amino esensial
atau asam keton

5 10 g

< 60
(sindrorn
nefrotik)

0,Blkglhr (+I gr protein Ig prote~nuria


atau 0,3 g Ikg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

5 9g

pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi


hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan
darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa,
proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan
fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan
dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat
Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal
ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi
dan antiproteinuria.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit


Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan ha1 yang penting, karena 40-45 % kematian
pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-ha1 yang termasuk dalam pencegahan
dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengenda-lian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi
yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan
fungsi ginjal yang terjadi.
Beberapa di antara komplikasi tersebut akan
dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya
dibicarakan pada bagian lain.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1039

PENYAKIT GINJAL KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


< 10 g% atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap
Derajat

Penjelasan

Kemsakan ginjal
dengan LFG
normal
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan

LFG

Kornplikasi

60 - 89

- Tekanan darah mulai ?'


-

Penumnan LFG
sedang

30 - 59

Penumnan LFG
berat

15 - 29

Gagal ginjal

Hiperfosfatemia
Hipokalcemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia

Malnutrisi
Asidosis Metabolik
- Cendmng
hiperkalemia
- Dislipidemia
-

< 15

- Gagal jantung
- Uremia

Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoitin. Hal-ha1lain yang ikut berperan
dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin

status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat


besi totallTota1 Iron Binding Capacity, feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan ha1 yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi hams
selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada
penyakit ginjal kronik hams dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia
dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gldl.

Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat
pada Gambar 2.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan
pada pasien dengan gaga1 ginjal juga ikut berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.

Gambar 2. Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1040

GINJAL HIPERTENS]

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat
sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung
dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mgthari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsiurn yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.
Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat,
efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic
agent).Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang
dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.

masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang


keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss.
Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui
insensible water loss antara 500-800 mlhari (sesuai dengan
luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan
500- 800 ml ditambahjumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang
fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) hams dibatasi. Kadar kalium
darah dianjurkan 3,5 -5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement
Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal
Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 mllmnt.
Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

REFERENSI
CaralBahan

Efikasi

Efek Samping

Diet rendah fosfat


AI(OH)3
Ca C03
Ca Acetat
Mg(OH)2IMgCO3

Tidak selalu mudah


Bagus
Sedang
Sangat bagus
Sedang

Malnutrisi
lntoksikasi Al
Hipercalcemia
Mual, muntah
lntoksikasi Mg

Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH,D,)


Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal
banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas,
karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di
saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan
penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang
disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi
pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik,
sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang

Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,


classification and stratification, New York National Kidney
Foundation, 2002.
Mackenzie HS, Brenner BM. Chronic renal failure and its systemic
manifestations. In: Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in
nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; 1999.
p. 463-73.
Skorecki K, Jacob Green, Brenner BM. Chronic renal failure.
Harrison's principles of internal medicine. In: Kasper, Braunwald,
Fauci, et al, editors. 16'h edition. Vol 1. New York: McGraw-Hill:
2005. p. 1551-61.
Slatopolsky E, Brown A, Dusso A, et al. Pathogenesis of secondary
hyperparathyroidism. Kidney Int. 1999;73;S14-S20.
Wei Wang, Chan L. Chronic renal failure: manifestation and
pathogenesis, In: Schier RW, editors. Renal and electrolyte
disorders. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2003. p. 456-97.
Wish JB. Anemia associated with renal failure. In: Hricik DE, Miller
RT, Sedor JR, editors. Nephrology secrets. 2" edition. Philadelphia: Henley & Belfus; 2003. p. 163-5.
Yu TH. progression of chronic renal failure. Arch Intern Med.
2003;163: 1417-29.
Goodman WG; Medical management of secondary hyperparathyroidism in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant.
2002;18:S3;32-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN GINJAL AKUT


H.M.S. Markum

PENDAHULUAN

Perubahaan lstilah Gagal Ginjal Akut (Acute


Renal Failure ARF) Menjadi Gangguan Ginjal
Akut (Acute Kidney Injury-A KI)
Pada tahun 1951 Homer W Smith memperkenalkan istilah
gagal ginjal akut - acute renal failure. Istilah ini
mempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang
lanjut. Istilah ARF ini bertahan sampai tahun 200 1. Dengan
mortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya
mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal.
Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari
penurunan hngsi ginjal yang mendadak menunjukkan
terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA
dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis
juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju
GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut
sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada
usia muda dan anak-anak misalnya karena malaria dan
gastrointeristis akut. Laporan insidens GGA berlainan dari
negara ke negara, dari klinik ke klinik, oleh karena kriteria
diagnostik yang tidak seragam dan kausa yang berbedabeda.
Dengan demikian diperlukan suatu cara berpikir baru
yang bermanfaat bagi pengertian mekanisme timbulnya
GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA
yang berdampak pada pengobatan dan penelitian dari GGA.

Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA -Acute Kidney Injury AKI) yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas
tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai
kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang
nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum
banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat
seperti trauma, sepsis, usia pasien makin tua dan pasien
tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.
Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan
pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah
dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi
istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti
terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat
beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun
sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom
ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan
terutama selama perang dunia ke dua.
Laporan lengkap yang pertama mengenai GGA ditulis
oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun
1917, yang menjelaskan keadaan seorang tentara yang
mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang
sampai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London
mendapat serangan Jerman, didapatkan banyak pasien
crush kidney syndrome, yaitu pasien-pasien dengan
trauma berat akibat tertimpa bangunan kemudian
meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah
dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun
1950-an yang amat mengurangi kematian karena korban
trauma akibat peperangan. Perkembangan penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa GGA yang dapat pulih kembali
ini terjadi juga pada pasien dengan transhsi darah yang
tidak cocok, abortus, gangguan hemodinamik
kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat
nefrotoksik.

Perubahan istilah GGA-AKI menyebabkan :


1. Makna perubahaan nilai serum kreatinin yang sedikit
meninggi dapat menyebabkan kondisi yang lebih berat.
2. Istilah gangguan (injury)lebih tepat dalam memberikan
pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal
ybilure).
3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA
Sebagai contoh dapat dilihat daripada tabel berikut
makna dari perubahan nilai kreatinin terhadap beratnya
penyakit dan peningkatan biaya perawatan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

I
K r ~ f ~ ~ s ~ rMultivariable
u m
OR
(95% CI)
(mgldL)

KiiEEi

Area under
ROC curve

Kriteria Kreatinin serum

Kenaikan kreatinin serum

>2.0x 5x nilai dasar atau


penurunan GFR 250%
Failure

Kenaikan kreatinin serum


2 3 . 0 ~5x nilai dasar atau
penurunan GFR 275% or an
Nilai absolut kreatinin serum
> 4 mg dengan peningkatan
mendadak minimal 0.5 mg

Oliguria

Kenaikan
biaya total

Kriteria UO

(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the
definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria)
Risk
Kenaikan kreatinin serum
<0.5 mUkg1jam
> I .5x nilai dasar atau
for 2 61jam
penurunan GFR 225%
Injury

Non-ologuria

ESRD

<0.5 mUkg1jam
atau 2121jam
<0.3 rnUkg1jam

->24 jam

ths

Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI. Adapted with


permission from Lameire et al.

anuria 212 jam

Kriteria UO

AKIN
criteria

Kriteria Kreatinin serum

Tahap

Kriteria kreatinin serum

Kenaikan kreatinin serum 2 0.3


mgldl p 26.4 pmolll) atau kenaikan
2 150% to 200% (1.5- sampai 2 kali
lipat) dari nilai dasar

Kurang dari 0.5 rnllkg


per jam lebih dari 6
jam

Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari
kenaikan nilai dasar kreatinin serum
200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari
nilai dasar

Kurang dari 0.5 mllkg


per jam lebih dari 12
jam

Kenaikan kreatinin serum > 300%


(> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or
serum creatinine of more than or
equal to 4.0 mgldl 354 pmolll])
with an acute increase of at least
0.5 mgldl [44 pmolll])

Kurang dari 0.3 mllkg


per jam lebih dari 24
jam atau anuria 12
jam

Kriteria produksi
urin

Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin


serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok
Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam
kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih
awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan
waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan
yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk
penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan
berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian
seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan

nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat.


Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat
penelitian bersama memakai kaidah -kaidah yang sama.
Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan
pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk
kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas
diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian.
Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap
awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan
prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.

Definisi GGA
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa
kenaikan kadar kreatinin serum >0.3 mg/dl(> 26.4 pmolll),
presentasi kenaikan kreatinin serum >SO% (1.5 x kenaikan
dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria
yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam).
Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun
nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk
menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender,
indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk
pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya
diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air
seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif
dan mudah diukur. Kriteria diatas hams memperhatikan
adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria
lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan
dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan
yang cukup.
Perjalanan GGA dapat :
1. Sembuh sempuma

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


2. Pmurunan fwl ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK
(CKDtahap 1 - 4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK /
CKD tahap 1 - 4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) ha1 ini
dapat dilihat di gambar berikut.

OambPr 2. Natural history of M I . Patients who develop AKI may


exoefience ( 1 ) c o m ~ l e t erecaverv of renal function, (2)
debeloprnent bipmgrissive &runic kidney disease (CKD), (3)
execerbatian of the rate of prouression of preexisting CKD; or
(4) irreversible koss of kine; fuwtion and evolve I ~ Z ~ E S R D .

DIAGNOSIS

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk


membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut

perlu diperiksa: 1). Anamnesis yang baik, serta p e m e r k m


jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab
gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi
kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit,
infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat
bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan
ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK)
misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjuRkan
gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA
diperlukari pemeriksaan berulang h g s i ginjal yaitu kadar
w e m , kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien
yang dirawat selalu diperiha asupan dan keluaran cairan,
berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau
kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal h t yang
berat dengan be-rkurangnya fbngsi ginjal ekskresi air dan
garam berkwang sehingga dapat menimbulkan edema
bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema
paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat
menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi
pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih
di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit
utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin
serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan
memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar
serutn kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju
filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b).
Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara
umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator
gangguan yifijal akut tahap awal yang cukup dapat
dipercaya, c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat
tnerupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal
akut, yang dapat terjadi sebelurn perubahaan nilai-nilai
biokirnia darah. Walaupun demikian volume urin pada GGA
bisa bermacam-macam. GOA pre-renal biasanya hampir
selalu disertai oliguria (c400 mllhari), walaupun kadang-

I Tabel 4. Temuan kelainan urin pada pada GGA


Etiologi
Pn)reml

Sedimen
Tomk hidin

Iskernla

Sel epltel, muddy-brawn


cats, pigmented granular
east8
Lekosit (WBC),Torak
lekcsit, easinophilis,
Eritrosit /REG),
sel epitel
Dysmorphic REGS. RBC
cast
Beberapa torak hialin,
eritmit
Kristal asam urat

Nefritis interstitial
akut

Ghl Akuf
P~iena!
Lysis tumor
Arterial Ivenous
Urnambosis
Ethylene glycol

Fw+ Fe-urea
41

c35
r2
350

41

Proteinuria
Tidak ada ataw
-mar
Samar ringan

>1

Ringan - sedang

early

Sedang - baik

c l early

Eritrosit

Tidak ada atau


s m r
Tidak a& atau
samar
Ringan - &ang

KPistal kalsium oksalat

Samar - Ringan

a1 late

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1044

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA


renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d).
Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). Petanda biologis
(Biomarkers).Syarat petanda biologis GGA adalah mampu
dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis
diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA.
Berdasarkan kriteria RIFLEtAKJN maka perlu dicari
petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin.
Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan.
Gamhr berikut menunjukkan beberapa petanda biologis
yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA.
Petanda biologis ini adalah zat - zat yang dikeluarkan
oleh hlbulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim
tubular, N-acetyl-bglucosamidase, alanine aminopeptidase, kindey injuty molecule I. Dalam satu penelitian pada
anak-anak pasea bedah jantung terbuka gelatinaseassociated Iipoccrlin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2
jan setelah pembedahaan, 24 jam lebih awal dari kenaikan
kadar kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan
diperlukan kombinasi dari petanda biologis.

Prosedui

Anamnesis dan
perneriksaan fisik

Mikroskopik urin

Pemeriksaan
biokimia darah
Pmeriksaan
biokimia urin
Darah ferifer
lengkap
USG Ginjal

Jnformasi yang dicari


Tanda-tanda untuk menyebabkan
gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya
gangguan metabolik. Perkiraan status
volume (hidrast)
Petanda inflamasi glomerulus atau
tubulus. lnfeksi saluran kemih atau
uropati kristal
Mengukur pengurangan laju Wltrasi
glomerulus dan gangguan metabolik
ymg diakibatkanya
Membedakan gagal ginjal pra-renal dan
renal
Menentukan ada tidaknya anemia,
leukositosis, dan kekurangan trmb4t
akibat pemakaian.
Menentukan ukwan ginjal, ada tidaknya
obst~ksitekstur, parenkim ginjal yang
abnormal

Bila diperlukan :
CT Scan abdomen
Pemindaian
radionuklir

Mengetahui struktur abnonnal dari ginjal


dan traktus urinarus
Mengetahui perfusi ginjel yang abnorml

Pielogram

Evaluasi perbaikan dari obstntksi traktus


Llrinarius
Msnentukan berdasarkan pemerilrsaan
patdogi penyabit ginjal.

Biops~ginjal

Gambar 3. Acute kidney injury and its btomarkers

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN GINJAL AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


GAMBARAN KLlNlS GANGGUAN GINJAL AKUT
GGA dapat dibagi rnenjadi 3 bagian besar, antara lain:
GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi
ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau
menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA
pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara
sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor
penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan
hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA
renal berupa Nekrosis TubularAkut (NTA) karena iskemik.
Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam
penyakit. Pada kondisi ini fimgsi otoregulasi ginjal akan
berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui
mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal,
aliran darah ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu
mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal
disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif
intravaskular seperti pada sepsis dan gagal jantung serta
disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti
pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang
menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang
akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang
selanjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem
renin-angiotensinserta merangsang pelepasaan vasopresin
dan endothelin- 1 (ET- I), yang merupakan mekanismes
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah
jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi
arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta
prostagladin dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi
arteriol afferen yang terutarna dipengaruhi oleh angiotensinI1 (A-11) dan ET-1. Mekanisme ini bertujuan untuk
mempertahankanhomeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi
ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol afferen
mengalami vasokonstriksi,terjadi kontraksi mesangial dan
peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut
pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi
kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap
penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa
dipengaruhi beberapa obat seperti ACEIARB, NSAID,
terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun
dengan kadar serum kreatinin mg/dL sehingga dapat terjadi
GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis hati
dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia
lanjut dapat timbul keadaan-keadaanyang merupakan risiko
GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal
(penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan
nefrosklerosis internal.

GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan


vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus
nefritis akut, nefritis interstitial akut akan dibicarakan
tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat
disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik,
gigitan ular, trauma (crushing injurylbencana alam,
peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat nefrotoksik. Di
Rumah Sakit (35 - 50% di ICU) NTA terutama disebabkan
oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTApada
20 - 25% ha1 ini disebabkan adanya penyakit-penyakit
seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh
darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut, jenis operasi
yang berat seperti transplantasi hati, transplantasijantung.
Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati
karena zat radio kontras, obat-obatan seperti anti jamur,
anti virus dan anti neoplastik. Meluasnya pemakian
NARKOBAjuga meningkatkan kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen
vaskuler dan tubuler, misalnya :

Kelainan vaskular. PadaNTAterjadi : 1).Peningkatan Ca2+


sitosolik pada arteriol afferen glomerulus yang
menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansisubstansi vasokontriktor dan gangguan otoregulasi.
2). Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
kerusakan endotel vaskuler ginjal, yang mengakibatkan
pengikatan A-I1 dan Et-I serta penurunan prostaglandin
dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial NO
systhase (eNOS). 3). Peningkatan mediator inflarnasi seperti
tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-18 (IL 19, yang
selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intercellular
adhesion rnolecule-1 (ICAM-I) dan P-selectin dari sel
endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari
sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama
- sama menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan
menyebabkan penurunan LFG.
Kelainan tubuler. Pada NTA terjadi: 1). Peningkatan Ca2+
intrasel yang menyebabkan peningkatan calpain, cystolic
phospholipase A2, serta kerusakan actin, yang akan
menyebabkan cystoskeleton. Keadaan ini akann
menyebabkan penurunan basolateral Na+/K-ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di
tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan
pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut
mengakibatkan umpan balik tubuloglomeruler.
2). Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO
systhase (iNOS), caspase dan mettaloproteinase serta
defisiensi heat shockprotein, akan menyebabkan nekrosis
dan apoptosis sel. 3). Obstruksi tubulus. Mikrovilli
tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler
akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus.
Di tubulus, dalam ha1 ini pada thick ascending limb
diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang disekresikan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ke dalam tubulus ke dalam bentuk monomer yang kemudian
berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan
memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang
konsentasinyameningkat pada tubulus distal. Gel polimerik
THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang
sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan
matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk
silinder - silinder (cast) yang menyebabkan obstruksi
tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tubulus menyebabkan
kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler
masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan
menyebabkan penurunan LFG. Di dugajuga proses iskemia
dan paparan bahanlobat nefrotoksik dapat merusak
glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan
glomemlus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal
juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap
kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap
penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang
berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat
nampak pada kortikomeduler (cortiocomedularyjunction).
Proses inflamasi memegang peranan penting pada
pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel
endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal
sampai saat reperfusi (reperfusion injury).
GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh
obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat,
sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin).
Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter
oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla)
dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial,
fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi / keganasan prostat) dan urethra (striktura).
GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada
urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada
ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.
Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi
peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan
pelvis ginjal dimana ha1 ini disebabkan oleh prosta
glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2 jam terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-11. Tekanan
pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh
aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan
tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu.
Aliaran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari
normal dan setelah 2 minggu tinggal20% dari normal.
Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi
dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan
febriosis interstitial ginjal.

Kerusakan vaskuler

Kerusakan tubular

Vasokontriksi
renal

Kerusakan
reperfusi

Obstruksi
tubuler

Regerensi
tubuler

Dopamin
dosis rendah

Anti ICAM-1 rnAb

Furosernid

Reseptor
anatognist
endotelin

Anti-CD18 mAb

Manitol

Faktor
pertumbuhan
epidermal dan
hepatosit
Faktor
pertambahan
hepatosit
insulin-like
growth factor

Peptide
natriuretik
atrial

Pengikat radikal
bebas

Doparnin
dosis
rendah

Antagonis
kalsium

Penghambat
prostease aMSH
Membran
biokompatibel

Antagonis
reseptor
leukotrien

PENGELOLAAN
Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya
kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan
resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya
sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai
dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai
tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,
mempertahankan homeostasis, mempertahankan
eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah
komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian
mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang
dipakai.

PENCEGAHAN
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya
penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan
nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras
adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl
cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik
perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis
akut, malaria dan demam berdarah.
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi
asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada
tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.

TERAPI KHUSUS GGA


Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus,
umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN GINJAL AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal
Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin
Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang
badan tiap hari
Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia,
hipernatremia, asidosis, hiperfosfatemia,edema paru)
Asupan nutrisi adekuat sejak dini
Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit,
psikologis)
Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi
Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas
bersihan ainial

Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h


Anuria : produksi urin < 50 mL in 12 h
Hiperkalemia : kadar potasium > 6.5 mmollL
Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0
Azotemia : kadar urea > 30 mmol1L
Esefalopati uremikum
Neuropati Imiopati uremikum
Perikarditis uremikum
Natrium abnorrnalitas plasma : konsentrasi > 155 mmollL
atau < 120 mmollL
Hipertemia
Keracunan obat

Komplikasi

beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis,


gagal jantung dan usia lanjut, dianjurkan untuk inisiasi
dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat
metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan cairanl
nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti
antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat
bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan
nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan
menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh
batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat.
Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi
pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.

Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai


dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari
kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang
tinggi seperti pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi
nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA
kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses
kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasanpembatasan. Pada tabel di bawah ini diperlihatkan
kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang
amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asam basa,
elektrolit, tetap juga asam amino / protein, karbohidrat dan
lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari
penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks.
Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan
proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat
menjadi normal kembali.

FASE PERBAIKAN

Pada tahap ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga


perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan

Kelebihan
volume
intravaskular
Hipobatremia
Hiperkalemia

Asidosis
metabolik
Hiperfosfatemia

Hipokalemia
Nutrisi

Pengobatan
Batas garam (1-2 glhari) dan air (< 1
Llhari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis
Batas asupan air (< 1 Llhari) : hindari infus
larutan hipotonik
Batasi asupan diet K (< 40 mmollhari) ;
hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50
ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit),
Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol),
Agonis p2 (salbutamol, 10 - 20 mdg di
inhalasi atau 0.5 1 mg IV), kalsium
glukonat ( I 0 ml larutan 10% dalam 2 - 5
menit)
Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat
serum > 15 mmolIL, pH > 7.2)
Batasi asupan diet fosfat (800 mglhari),
obat pengikat fosfat (kalsium asetat;
kalsium karbonat)
Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%)
Batasi asupan protein diet (0.8 - 1 glkg
BBlhari) jika tidak dalam kondisi katabolik,
karbohidrat (100 glhari), nutrisi enternal
atau parenteraljika perjalanan klinik lama
tau katabolik.

pengganti diusulkan sekitar 65 - 75% dari jumlah cairan


yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal hams
tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum
sembuh sempurna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)

KESIMPULAN

Istilah gangguan ginjal akutlacute kidney injury


sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akut1ARF.
Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria
RIFLEIAKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru
dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standardisasi
dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1048

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Hemodialsis intermitten

Continous renal replacment


therapy

Keuntungan

Resiko rendah untuk


perdarahan
- Lebih banyak waktu untuk
rnencari diagnosis dan
intervensi I terapi.
- Lebih cocok untuk hiperkalemia
berat
- Biaya murah

Hernodinarnik lebi stabil


Aritrnia lebih jarang
Perbaikan nutrisi
Pertukaran gas di paru lebih
baik
Kontrol cairan lebih baik
Kontrol biokimia darah lebih
baik
Waktu rawat inap ICU lebih
singkat

Kerugian

Masalah akses vaskuler


Risiko tinggi terjadinya
perdarahan
lrnobilisasi lebih lama
Lebih banyak masalah pada
filter (ruptur, penyumbatan oleh
bekuan darah)
Biaya mahal

Ketersediaan perawat HD
Lebih sulit kontrol hernodinarnik
Dosis dialisis tidak rnencukupi
Kurang kontrol cairan
Nutrisi kurang
Tidak cocok untuk pasien
dengan hipertensi intrakranial
Tidak ada pembuangan sitokin
Potensial terjadi aktivasi
komplemen oleh membrane
yang non kornpatibel (tidak
sesuai)

Jenis dan cara dialisis


Hernodialisis
Konvensional
Slow lona extended
daily diilysis (SLED)
Sequential ultrafiltration
& clearance
Continuous
arteriovenous
hemodialysis (CAVHD)
Continuous venovenous
hemodialysis (CWHD)

Dialiser
Hernodialiser
Hernodialiser
Hernodialiser

Dialisis peritoneal
Berkesinarnbungan
lnterrniten

Klirens difusi dan ultrafiltrasi bersarnaan, intermiten


Klirens difusi dan ultrafiltrasi denaan aliran darah dan
dialisat yang pelan, intermiten
Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi, intermiten

Hemodialiser

Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan


tanpa pompa darah

Hemofilter

Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersarnaan


dengan pornpa darah

Hernodialisis dan hemofiltrasi


Continuous
Hernofilter
arterivenous
hernodialysis plus
hernofiltration
(CAVHDF)
Hernofilter
Continuous
venovenous
hernodialysis plus
hernofiltration
(CWHDF)
Ultrafiltrasi
Isolated ultrafiltration
Hernodialiser
Slow continuos
ultrafiltration (SCUF)

Prinsi~
keria

Hemofilter

Peritoneum
Peritoneum

Klirens konvektif berkesinambungan tanpa pornpa darah

Klirens konvektif berkesinarnbungan dengan pompa


darah

Klirens konvektif dan difusi berkesinambungantanpa


pompa darah
Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan dengan
pompa darah
Klirens dan ultrafiltrasi berkesinarnbungan ; ganti cairan
selang beberapa jam
Klirens dan ultrafiltrasi intermiten; ganti cairan tiap jam
selarna 12 jam setiap 2-3 hari

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN GINJAL AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tahap katabolisme
Keadaan klinis
Mortalitas
Dialisis I
hemofiltrasi
Pemberian
makanan
Rekomendasi
Energi
(kkallkgBBlh)
Subtrat energi
Glukosa glkg
Lemak glkg
Asam amino I
protein
Nutrien oral I
enteral
Parenteral

Ringan

Sedang

Toksik karena
obat
20%
Jarang

Pembedahan
+ infeksi
60%
Apabila perlu

Injuri berat I
sepsis
> 80%
Sering

Oral

Enterall
parenteral

Enterall
parenteral

Glukosa

Glukosa +
lemak
3-5
0.8- 1.5
0.8-1.2EAA
+ NEAA
Formula

Glukosa + lemak

3-5
0.5 - 1
0.6 - 0.8 EAA
(+NEAA)
Makanan

Berat

3 - 5 (maks 7)

1.0-1.5 E M +
NEAA
Formula

Glukosa 50 Glukosa 50 70%


70%
+ emulsi lemak 10 - 20% EAA +
NEAA (biasa atau khusus untuk
ginjal) + multivitamin + multitrace
element

Dan Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of Acute Renal


Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephmlogy and
Hypertension. Philadelphia :WB Saunders Company ;1999.

mendeskripsikanGGA.Keseragaman ini akan mendorong


upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang
seragam.
Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau
penanganan GGA yang lebih baik.

REFERENSI
Bellomo R, Bagshaw S, Langenberg C, Ronco C. Pre-Renal Azotemia:
A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients? (eds.): Acute
Kidney Injury. Contrib 1Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol.
156, pp 1 - 9.
Kellum JA, Bellomo R, Ronco C,. The Concept of Acute Kidney
Injury and the RIFLE Criteria. (eds.) : Acute Kidney Injury.
Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 10 - 16.
Vincent Louis J. Critical Care Nephrology : A Multidisciplinary
Approach. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp
24 - 31.

Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute


Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel,
Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 118.
Devarajan P. Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib
Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 203 - 212.
Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney Injury : From
Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel,
Karger, 2007, Vol. 156, pp 213 - 219.
A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with
Acute Traumatic Brain Injury and Severe Acute Kidney Injury.
Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 333 - 339.
Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney
Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 - 886 ; 2008.
Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not
Better. N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008.
Metha L. Ravindra, Kellum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute
Kidney Injury Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care, Vol.ll No.2 : 1 - 8;
2007.
Bagshaw M.S, George C and Bellomo R. A comparison of the RIFLE
and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-1574.
Himmelfarb J and Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International
(2007) 71, 971-976.
Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Section I1 Acute
Renal Failure. A LANCE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98.
Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal
failure.The renal system. 2001;5:65-73.
Lameire N, Wim Van Biesen, Vanholder R. Acute renal fai1ure.t.
2005;365:417-30
Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6tthedition. New York
London; 2005.
Suhardjono, Sukahatya M, Parsoedi I. Gagal Ginjal akut. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid I1 Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001. p. 417-22.
Susalit E. Penanganan gagal ginjal akut di ICU. Nskah lengkap gagal
ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system
kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p.
18-22.
Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal
akut, penyakit ginja1,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular
pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005. p.1-7
The VA 1 NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal
Support in Critically I11 Patients with Acute Kidney Injury. N.
Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 - 20.
Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and
hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp. 1999.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HEMODIALISIS
Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono

PENDAHULUAN

.'

Tahapan gaga1 ginjal kronik dapat dibagi menurut


beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal
ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha
pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan
minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi
pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut
diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada
stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah
yang dapat membahayakan kelangsungan hidup
pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa,
yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih
dari 5 mL/menit/l,73 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi
penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus
y a n g disebut pengobatan atau terapi pengganti
(TP). Setelah menetapkan bahwa TP dibutuhkan,
perlu pemantauan y a n g ketat sehingga dapat
ditentukan dengan tepat kapan TP tersebut dapat
dimulai.

TERAPI PENGGANTI
Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal
ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan
faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional.
TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi
kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan
mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan
dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1
tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa
ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya
dilakukan dalam keadaan yang sangat khusus atau pada
penelitian.

II

Dialisis
A. Dialisis Peritoneal (DP)
- DP intermiten (DP)
- DP mandiri berkesinambungan (DPMB)
- DP dialirkan berkesinambungan (DPDB)
- DP nokturnal (DPN)
B. Hemodialisis (HD)
Transplantasi Ginjal (TG)
TG donor hidup (TGDH)
TG donor jenazah (TGDJ)

Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan


darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang
terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien
dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi
oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan
kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan
dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan
komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan
darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi
yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen
(difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan
cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut
ultrafiltrasi (Gambar 1).
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul
zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul
lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul
dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan
zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Selaput Semipermeabel

Kompartemen 1

Gambar I.Proses

Kompartemen 2

dialisis

konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi


tekanan hidrolik di kompartemen darah, d m (3) bila tekanan
osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan
dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk
meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut
pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat
sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa,
selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran
sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen
oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan
membran ini cenderung berkurang digantikan oleh
membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran
lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.

Darah kembali ke badan

Dialisat dialirkan pompa


Gambar 2.

Bagan hemodialisis

Luas permukaan membran juga penting untuk proses


pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia
adalah dari 0.8 m2 sampai 2,l m'. Semakin tinggi luas
permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang
terjadi.
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan
cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat
dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan
dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah
pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan
dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi
oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak
terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan
tubuh. Dengan teknik reverse osnlosis air akan melewati
membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil

sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul


kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak
perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus
dijaga agar kurang dari 200 koloni1mL dengan melakukan
desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan
dialisat berkisar 135-145 meqIL. Bila kadar natrium lebih
rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan
hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah.
Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan
hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan
kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan
menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk
minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi
hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi
maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan
dialisat dibuat lebih tinggi.
Diuliser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan
mengurangi biaya hemodialisis.
Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di Ameriia Serikat
dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekitar 10%.
Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci
dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan
bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser:
Dilakukan pengukuran volume diull~eruntuk mengetahui
apakah dialiser ini masih dapat dipakai d m dilihat apakah
terdapat cacat jasmminya. Umumnya dipakai kembal i bila
volume diuliser 80%. Setelah itu dicrliser disimpan dengan
cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan
kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua
formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiscr dapat
memasuki tubuh selama proses dialisis dan ha1 ini dapat
menimbulkan gangguan pada pasien.
Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering
digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian
cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat
menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan
bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat
cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan
vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh
untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi
selaina hernodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah
dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan
menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik danjuga tidak menimbulkan
vasodilatasi.
Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh.
Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi
darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu
pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis
berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu
teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin.
Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering
digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara
bolus diikuti dengan contit7ou.c infir.\ion. Pada keadaan di

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik
heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh
beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada
pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia,
koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan.
Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser,
hams memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses
khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah
dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris.
Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena
akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti
ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan
komplikasinya hampir tak ada.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang
terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang
sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot,
mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, clan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi
misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser; aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi
komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.
Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di
senter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali
seminggu dengan lama dialisis 4 jam.
Pasien hemodialisis hams mendapat asupan makanan
yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang
merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya
kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein
diharapkan 1-1.2 gkgBBhari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan
40-70 meqlhari. Pembatasan kalium sangat diperlukan.
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan
umbi-urnbian tidak dianjurkan dikonsurnsi. Jumlah asupan
cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada
ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi
40- 120 meqhari guna mengendalikan tekanan darah dan
edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus
yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila
asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara
dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar.
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur
dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang
kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan
mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur
dengan menghitung urea reduction ratio (URR)dan (KT/

V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan


kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis
dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali
seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari
80% Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun
KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/
N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis,
berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali
seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sarna
dengan 1,8.
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila
laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mllmenit.
yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TICK) < 5
mL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK <
5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari ha1 tersebut
di bawah :
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum > 6 mEqL
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah < 7,l
Anuria berkepanjangan ( > 5 hari)
Fluid overloaded
Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak mmah sakit
rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan!
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.

REFERENSI
Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis,
edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68.
Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company: 1994.92-120.
Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley
& Belfus; 1986.
Kartono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal
ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabu~arAP, Suhardjono
(ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek
penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DIALISIS PERITONEAL
Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli

PENDAHULUAN
Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama
yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia
karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah
Ganter (1923). Perkembangan selanjutnya memakan waktu
cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik
dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik
yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik
ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya
ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan
dialisat komersial.
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis
untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal
Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan
membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui
membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan
Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan
hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman
serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus,
sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat
ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting
untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit
besar dan modem.

PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL


Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada
abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung
kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter
cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui
kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai
membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis
dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam

pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme


seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam
keadaan normal dikeIuarkan melalui ginial, pada gangguan
faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena
kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui
membran peritoneum dan akan masuk dalarn cairan dialisat
dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu
setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti
dengan cairan dialisat baru.

Cairan Dialisat
Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan
kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi
elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya
kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1. Pada umumnya
cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya
untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena
terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien
dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah
terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat
ditambahkan kalium 33-4,5 mEq/ liter cairan dialisat.

Elektrolit

MEqlL

Tek. Osmosis
ImOsmlL)

Na+
Ca++
Mg++
CILaktatGlukosa

140,O
4,O
1,5
102,o
43,5

140,O
2,O
0,8
102,o
83,3
15,O grIL

291,O rnEqlL

371,6 rnOsrnlL

Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram


NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram
NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan


dialisat hipertonik (2,s; 3 3 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip
perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik
ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh
yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan
dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan
fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya
diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000
U tiap 2 liter cairan.
lndikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal
Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien :
1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam
basa.
3. Intoksikasi obat atau bahan lain
4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik)
5. Keadaan klinis larn di mana DP telah terbukti
manfaatnya.
Kontraindikasi Dialisais Peritoneal
1. Kontraindikasi absolut : tidak ada
2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang
kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan
atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk
berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal,
operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi,
kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya,
luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama
bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak
adekuat.Salah satu cara yang sering digunakan untuk
menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan
peritoneal clearance (klirefls peritoneal) dengan rumus:

Cp :
U :
p :
V :

cp=uxv
P
Peritoneal Clearance
Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat
yang keluar d k i kavurn peritoneum (mg%).
Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau
plasma (mg%)
Volume cairan dialisat tiap menit (mL)

a. Komplikasi mekanis
Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung
kencing, atau hati).
Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat
kateter .
Gangguan drainase (aliran cairan dialisat)
Bocornya cairan dialisat
Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut.
b. Komplikasi metabolik
Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan
asam basa.
Gangguan metabolisme karbohidrat perlu
diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa
hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat
juga terjadi hipoglikemia post dialisis.
Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan
dialisat.
Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas
kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala,
muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan
tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat
menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini
dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum
tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi
terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum
diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang
banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil
penurunan ureum dalam otak dan cairan
serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan
tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori
lain: teori hipoglikemia, perubahan pC02 dan pH.
pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan
perbandingan WCa serum.
c. Komplikasi radang
Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta.
Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan
infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia
atau pielonefritis.
Peritonitis.
D

Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah


besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada
dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan
osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum, dan aliran
darah dalam kapiler peritoneum.
KOMPLIKASI DIALISIS PERITONEAL

Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan


komplikasi radang.

INDIKASI DP PADA GAGAL GINJAL AKUT

Pasien GGA dapat dilakukan DP atas dasar :


1. DP pencegahan : DP dilakukan setelah diagnosis GGA
ditegakkan.
2. DP dilakukan atas indikasi :
a. Indikasi klinis :keadaan m u m jelek dan gejala klinis
nyata.
b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%,
Kalium <6 mEqIL, H C 0 3 < 10-15 mEqlL,
pH<7,1.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DIALISIS PERITONEAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PERBEDAAN DP DAN HD PADA PASIEN GGK
Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau
HD tergantung keadaanl kondisi pasien dan fasilitas yang
tersedia. Pada saat ini RS yang cukup besar biasanya
tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat
lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedang yang lain
lebih baik bila dilakukan HD. Stewart dkk (1966) menemukan
bahwa dari kasus-kasus GGA, 20% lebih baik bila dilakukan
DP, 20% lebih baik bila dilakukan HD dan sisanya 60%
sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD.
DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik
alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan
di setiap RS tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan
tanpa persiapan sebelumnya dan dapat dilakukan dalam
beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk
melakukan dialisis. P-rsoalan waktu ini kadang-kadang
sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi
pasien dengan hiperkalemia berat. DP merupakan dialisis
pilihan pada keadaan-keadaan berikut :
Bila penggunaan antikoagulan merupakan
kontraindikasi.
Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang
tidak diinginkan (hemodinarnik tidak stabil).
i
Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam
keadaan pre-shock.
Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis
I-ID sukar dilakukan.
Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang
sangat besar karena overhidrasi berat.
Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan.
Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA
maupun tidak.

21/2 -3 jam; c). Continous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD). (Popovich & Moncrief, 1976), CAPD
dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap
kali cairan dialisis dalam kavurn peritoneum ( dwell-time)
lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu
siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD
memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD
15 jam per minggu, namun klirens solut dengan Berat
Molekul antara 1.000 -5.000 Dalton (middle molecule) 48x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai
bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab
terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat
mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik.
namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia
tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah
dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut
dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau
IPD).
Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk
dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilihan
bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang
diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD
tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan
pasien. Kesederhanaan. keamanan hidup tanpa mesin,
perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan
pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun
pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih
memerlukan perhatian adalah kom- plikasi peritonitis,
meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka
kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin.
Patient survival CAPD 1-5 tahun berturut- turut
99,77,67,60, dan 42%, sedangkan technical survival
berturut-turut 77,58,46,40, dan 21%.

CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL


DIALYSIS (CAPD)

PROSEDUR CAPD DAN DIALISAT

CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien


dengan gaga1ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan
stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi
dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi
pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti
dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal.
Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DP dapat berupa:
a). Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan
3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam.
Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu
yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena
efisiensinya jauh di bawah HD; b). Continous Cyclic
Peritoneal Dialysis (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari dan
di- lakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis
sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam
kavum peritoneum selama 12-14jam. Pada waktu malam
cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritonium selama

Prosedur
CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan
7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan
pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien
memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat
pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak
bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang
dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi
keseimbangan kadar ureum antara plasma darah dan
cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk
mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan
cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL
dapat dicapai dengan 2 kali per- .gantian dengan cairan
dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat
dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi
ortostatik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Cairan Dialisat
Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri
atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,5%,
2,5% dan 4,25% dalam kantong plastik 2 liter. Susunan
cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma
darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi
dari plasma 1Osmolalitas plasma 280 mOsm/L) dan ditambah
laktat (Tabel 1). Bila pasien normokalemia atau hipokalemia,
perlu penambahan: 1 KC1 sampai konsentrasi 4 mEq/L
untuk mencegah hipokalemia berat.
Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau
cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu
banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan
dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat.
KONTRAINDIKASI CAPD
Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis,
hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding
abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak
bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada
perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen
yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.

HASlL PENGENDALIAN CAPD


1. BUN dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5
cclmenit dengan CAPD selama2-3 minggu, BUN = 50+5
mg% dan kreatinin plasma kurang dari 12 mg%. CAPD
mempertahankan kedua parameter tersebut lebih rendah
dari pada IPD.
2. Air Elektrolit dan Bikarbonat.
Air dan natrium. Ultrafiltrasi sebanyak 2 liter per hari
dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian
dengan dekstrosa 1,5% dan 2 kali pergantian dengan
dekstrosa 4,25%. Setiap hari dapat dikeluarkan 3-4 gram
Natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai
dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD
tidak membutuhkan pembatasan air dan garam.
Elektrolit. Elektrolit dengan cepat mencapai normal dan
sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na = 138 :t 3
mEq/L; CI = 100 :t 5 mEq1L; K = 4,l :t 0,4 mEq1L dan
HC03 = 25 :t 4 mEq1L. Pada beberapa pasien terjadi
hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan
kalium per oral. Pengambilan solut tergantung dari
konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan
pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya
karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi
juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel 2).
Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil
waktu CAPD (18 mEq1L) perhari, sedangkan pasien
tanpa pembatasan pemasukan kalium (50-80 mEq per
hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hal ini

Konsentrasi
dekstrosa

Osmolalitas pH
fmOsMlLI

Per
hari
Air (mL)
Natrium (mEq)
Kalium (mEq)
Kreatinin (mg)
Protein (g)
Calcium (mg)
Fosfor (mg)
Magnesium (mg)

734
129
20
803
7,l
23
313
37

Na

Ca

Mg

CI

Laktat

Per kantong
Dekstrosa
0,5%

1,5%

4,25%

+ 158
+ 13

92
16
7
190
1,7
1
75
8

819
94
8
270
13
35
107
21

7
164
22
5
67
3

diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui tinja.


Kalium menunjukkan balans positif dan setelah 6 bulan
dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratiroid.
CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam
makanan sehingga masih memerlukan obat pengikat
fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat dengan
konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq1L akan
menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata 18
mEq/L menjadi 22,23 mEq/l
3. Hemoglobin dan Hematokrit. Selama kurang lebih 3
bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan
terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan
kesepuluh dan akhimya diikuti penurunan dan pada
umumnya stabil pada kadar 8 gldl. Ini disebabkan
kemungkinan karena pengambilan bahan toksik
metabolik sehingga memungkinkan sumsum tulang
bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa
terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyebabkan
kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik. pacuan
pada sistem eritropoietin menurun dan bila
perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik
metabolik kembali ke nilai semula, Hb dan Ht akan
kembali turun.
4. Protein Plasma dan Hilangnya Protein. Serum
protein pada umumnya stabil pada nilai rendah
normal dengan kadar albumin rata-rata 3.5 0.8 mg%.
Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui
membran peritoneum selama CAPD dan 75% dari
protein yang hilang adalah albumin. Di samping protein (5- 15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan
asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan
protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa
cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya.
5. Glukosa Darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1057

DIALISISPERITONEAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


plasma selama CAPD antara 150-200gdan ini lebih kecil
dari pada IPD. Pada pasien tanpa DM pada umumnya
tidak menyebabkan hiperglikemia.Banyaknya glukosa
yang masuk dalam darah ini yang sering dikaitkan
dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol
serta trigliserida darah. Pada peyandang DM kadar
glukosa darah dapat dikendalikan dengan pemberian
insulin intraperitoneal atau kombinasi intraperitoneal
dan subkutan.
6. Kolesterol dan Trigliserida Pasien dengan CAPD
menunjukkan kenaikan kedua parameter tersebut dan
diduga berkaitan dengan penyerapan glukosa ke dalam
plasma. Dianjurkan sedapat mungkin tidak
menggunakan cairan dialisat hipertonik.
7. Tekanan Darah. Pengendalian edema akan berhubungan
dengan penuru nan tekanan darah dan ini terjadi bila
digunakan cairan dialisat hipertonik.

EFEK PSIKOSOSIAL PASIEN DENGAN CAPD


Keuntungan yang paling utama pasien GGK stadium akhir
dengan CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan
kebebasan yang lebih dari pada terapi lain. Kesederhanaan,
keamanan, hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan
klinis yang baik, kebebasan, pasien biaya yang relatifmurah
merupakan daya tarik CAPD baik bagi dokter maupun
pasien.
Rehabilitasi pasien dengan CAPD ter nyata sama saja
dengan pasien teknik lain. Telah dilaporkan beberapa
perubahan fisis ke arah perbaikan antara lain menstruasi
dapal teratur, nafsu seks kembali, gatal-gatal menghilang,
tumbuhnya rambut di ketiak dan dada, perubahan warna
dan kekeringan kulit dan lain sebagainya. Pada pasien
dengan umur di bawah 50 tahun, CAPD tidak
mengganggu dan mengurangi kepuasan hubungan
kelamin, sedangkan di atas umur 50 tahun terjadi
penurunan aktivitas seks mungkin karena penyakit
kroniknya.
DIET PASIEN DENGAN CAPD
Tidak ada pembatasan ketat yang hams dilakukan terhadap
diet pasien dengan CAPD namun perlu ditekankan
pentingnya pengertian hubungan antara intake dan
output, kese- imbangan cairan dan elektrolit dan
pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk
menghindari balans. Nitrogen negatif, diet dianjurkan
dengan protein tinggi (minimal 1,2 gramIkgBBlhari) dan
energi tinggi. Balans negatif pada pasien CAPD
disebabkan karena hilangnya protein (6-8 glhari) dan asam
amino (2-3 gram per hari), peritonitis. penurunan asupan
prolein dan kalori yang umumnya terlihat setelah CAPD
berlangsung 1 tahun dan adanya pacuan kronik terhadap
katabolisme protein.

Komplikasi CAPD dapat kita bagi menjadi komplikasi teknis


dan komplikasi medis.
Komplikasi Teknis pada umumnya bukan merupakan
komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain
bocornya cairan dialisat, sumbatan pada saat masuk atau
keluarnya cairan dialisat, kesalahan letak kateter, dan lain
sebagainya.
Komplikasi Medis pada umumnya dapat di atasi dengan
mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan gastrointestinal (mual, tumpah, hilangnya nafsu makan dll),
sakit sendi dan sakit tulang punggung,kram, perasaan
lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuknya kateter,
perasaan sakit di abdomen dan peritonitis.
Peritonitis adalah komplikasi yang sering dijumpai
meskipun saat ini di beberapa pusat ginjal angka kejadian
peritonitis menurun sampai serendah 1 episode every 4
patients years dan penurunan ini terutama karena lebih
baiknya seleksi dan latihan pasien serta kemajuan
teknologi seperti connector, in linejlters dun y tubing.
Gejala dan keluh kesah pasien terbanyak adalah keruhnya
cairan dialisat serta sakit abdomen. Di samping itu dapat
pula disertai mual, muntah, panas, menggigil maupun diare.
Gejala fisis yang dapat dijumpai adalah ketegangan dinding
perut, kenaikan temperatur dan leukositosis. Penyebab
kuman paling sering adalah Staphylococcus aureus dan
epidermidis (40-60%) yang merupakan gram positif, 2040% disebabkan gram negatif dan sisanya karena fungi
dan aseptik. Bila ada gejala- gejala peritonitis, segera
dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementaramenunggu hasil
laboratorium, dapat diberikan kombinasi sefalosporin
(untuk gram positif) dan tobramisin (untuk gram negatif)
intraperitoneal dan diberikan setiap pergantian cairan
dialisat. Dosis antibiotik untuk mengatasi peritonitis yang
diberikan intraperitoneal adalah sebagai berikut: (mg/L
cairan dialisat), Metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin
(200), sefoksitin (1OO), Vankomisin (20), Kanamisin .(20),
Gentamisin (10), Tobramisin (10), Amikasin (20), klindamisin
(20), kloramfenikol(20) dan amfoterisin (1-20).

Beardsworth SF. Practical peritoneal dialysis. In: Nolph, KD (ed)


Peritoneal Dialysis. John Wright & Sons LId, Bristol, 1994.
Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers; 1989.
Boen ST. Peritoneal dialysis in clinical medicine. Charles C. Springfield, Illinois, USA : Thomas Publisher; 1964.
Boner G. Peritonitis and exit-site infections. Prospective and
advances in clinical nephrology. Continuing medical education
program, XIV th International Congress of Nephrology, 25-29
May, Sydney, 1997; 188-192.
Burkart J.M. Diagnosis of peritonitis in continuous peritoneal
dialysis. Up To Date, 13.3, 2005, CD-ROM.
Cancarini GC. The future of peritoneal dialysis : Problems and hopes.
Nephrolog. Dial. Transplant, 1997; 12(SuppI-I) 83-8.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1058

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Keane WF, Alexander SR, Bailie GR, Boeschoten E, Gokal R et al.
Peritoneal dialysis -related peritonitis. Treatment recommendation: 1996 update. Peritoneal Dialysis Int, 1996; 16,557573.
Khanna R, Nolph KD and Oreopoulos, DG. The Essentials of
Peritoneal Dialysis. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht,
The Netherlands: 1993.
Khanna R. Peritonitis during continous ambolutory peritoneal
dialysis. New trends. In: Asian Nephrology Edited by Chungh,
K.S. Dehli.Oxford University Press; 1994; 571-82.
Nizar A Gokal R. An overview of continous ambulatory peritoneal
dialysis. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, KS. Delhi.
Oxford University Press; 1994; 541- 7.

Nolph KD. Peritoneal dialysis. In. Drukker W, Parson FM and


Maher JF (eds). Replacement of Renal Function by Dialysis.
The Haque : Martinus Nijhoff Medical Division; 1978.
Piraino B., Bailie GR., Bernardini J., Boeschoten E., Gupta A.,
Holmes C., Kuijper EJ., Li PK., Lye WC., Mujais S., Paterson
DL., Fontan MP., Ramos A,, Schaefer F., Uttley L. Peritoneal
dialysis-related infections recommendations: 2005 update. Perit
Dial Int 2005, 25(2): 107-3 1.
Prichard SS. Peritoneal dialysis and hemodialysis, are they
comparable. Nephrolog Dialysis Transplant, 1979; 12(suppl
1):65-7.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TERAPI PENGGANTI GINJAL


BERKESINAMBUNGAN (CRRT)
Rully M.A. Roesli

PENDAHULUAN
Pasien Gaga1 Ginjal Akut (GGA), terutama yang dalam
keadaan kritis dan dirawat di unit perawatan intensif,
seringkali disertai dengan berbagai komplikasi. Biasanya
pasien menunjukkan gejala-gejala uremi, kelebihan cairan,
asidosis, dan hiperkatabolik. Pada banyak kasus,
pasienmengalami sepsis dan gaga1 multi organ yang
memerlukan alat bantu napas (respirator mekanik).
Kematian dapat mencapai lebih dari 70% kasus'. Kondisi
klinis semacam ini memerlukanjumlah asupan cairan, obat,
atau nutrisi yang besar. Padahal pasien juga mengalami
keadaan oliguri atau anuri, sehingga pemberian asupan
cairan menjadi sangat terbatas, pengelolaan pasien, pada
umumnya, selalu melibatkan "RenalReplacement Therapy
(RRT) atau Terapi Pengganti Ginjal (TPG).
Indikasi penggunaan TPG adalah untuk melakukan
perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostatik
yang terjadi, di samping dapat menghindari terjadinya
kelebihan cairan akibat pengobatan dan hiperalimentasi3.
Ada berbagai jenis TPG dapat digunakan untuk pasien
GGA dalam kondisi kritis. Pemilihan jenis TPG yang akan
digunakan sangat tergantung terhadap penguasaan
dokter maupun perawat akan teknik-teknik TPG juga pada
fasilitas TPG yang tersedia. Pada awalnya, pemilihan teknik
TPG hanya terbatas pada hemodialisis konvensional atau
dialisis peritoneal akut. Hemodialisis dan dialisis peritoneal mulai digunakan pada pasien GGA sejak tahun 194A4.
Pada tahun 1977, Kramer dkk, menemukan teknik
hemofiltrasi baru dengan indikasi untuk pasien overhidrasi
yang resisten terhadap diuretik. yaitu Continous arteriovenous hernofiltration (CAVH). Kemudian teknik ini
berkembang sehingga dikenal berbagai teknik dan jenis
TPG baru, yang dikelompokkan menjadi Terapi pengganti
"

ginjal berkesinambungan (Continous RRT = CRRT).


Dengan dibuatnya mesin-mesin hemodialisis yang
mempunyai kemampuan mutakhir, teknik hemodialisisjuga
berkembang. Pada tahun 1998 di Universitas Arkansas
Amerika, Marshal dkk memperkenalkan teknik hemodialisis
baru, yang mempunyai kelebihan dibandingkan teknik
konvensional, disebut sebagai "Sustained Low-Ef$cient
Dialysis (SLED)".
Menurut Ronco dkk (2000) dan Kaplan (2002), CRRT
dan SLED adalah teknik TPG yang paling sering digunakan
untuk pasien GGA dalam keadaan kritis. Masing-masing
jenis TPG mempunyai indikasi yang spesifik, derajat
kesulitan dalam teknik maupun monitoring yang berbeda,
serta perbedaan dalam biaya pengobatan yang
dibutuhkan. Dengan demikian, pengetahuan yang memadai
terhadap jenis-jenis TPG sangat diperlukan untuk dapat
memilih jenis TPG yang sesuai untuk setiap pasien GGA
yang kita hadapi.

PRlNSlP DASAR
Prinsip dasar dari TPG, termasuk CRRT, adalah membuang
(translokasi) zat-zat dengan kadar yang berlebihan keluar
tubuh. Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah
(solut), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat pelarutnya
yaitu air atau serum darah (solution). di dalam proses TPG,
translokasi terjadi di dalam ginjal buatan(dialyzer), yang
terdiri dari 2 kornpartemen (ruangan), yaitu kompartemeri
darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen ini
dibatasi oleh sebuah membran semi-permiabel. Perbedaan
tekanan antara kedua kompartemen disebut trans
membran pressure(TMP). Darah dari dalam tubuh akan
dialirkan ke kompartemen darah, sedang cairan pencuci

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1060

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(dialisat) dialirkan ke kompartemen dialisat. Translokasi
dapat terjadi dengan lnekanislne difusi atau ultrafiltrasi.

Mekanisme Difusi
Pada mekanisme difusi terjadi translokasi solut akibat
adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah
dan kompartemen dialisat (gradien konsentrasi). Solut
dengan konsentrasi tinggi dalam darah, seperti kaliuln atau
urea berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
dialisat. Sedang solut dengan konsentrasi rendah dalam
darah, seperti bikarbonat, berpindah dari kompartemen
dialisat ke kompartemen darah. Solut yang dalam keadaan
seinibang diantara kedua kompartemen, seperti natriuni dan
klorida, hampir tidak berubah (Gambar 1).

dengan molekul air. Proses konveksi dapat terjadi pada


solut dengan tnolekul kecil (urea nitrogen, kreatinin,
kalium, dll) atau membran dengan molekul besar (inulin,
P2-mikroglobulin, TNF, vitamin B 12, dll) tergantung dari
jenis, luas pertnukaan, dan biokompabilitas membran
semi-permiabel yang digunakan.

Keterangan gambar: Translokasi solut terjadi akibat


perbedaan konsentrasi (rnekanisme difusi). Translokasi air
(solution) terjadi akibat perbedaan tekanan (mekanisme
ultrafiltrasi). Proses difusi akan berhenti bila konsentrasi
sudah seimbang ( t eyuilibrum). Proses ultrafiltrasi akan
berhenti bila tekanan sudah seimbang (TMPH-0).

PROSES HEMODlALlSlS DAN HEMOFILTRASI


Mekanisme Ultrafiltrasi
Pada mekanisme ultrafiltasi terjadi translokasi molekul air
(zat pelarut) melalui membran semi-permiabel akibat
perbedaan tekanan(trtrns tnernhrun pre.c.\zlre= TMP)
antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
Tekanan hidrostatik akan mendorong air keluar dari suatu
kompartemen, sedang tekanan onkotik akan menahannya.
Selisih penjumlahan tekanan-tekanan dalam kedua
kompartemen disebut TMP (Gambar 1).

MEKANISME DlFUSl

(Perbedaankonsentrasi)

MEKANISME
ULTRAFILTRASI

(Perbedaantekanan)

Ultrafiltration

t = Later

Garnbar 1. Mekanisme difusi dan ultrafiltrasi (dikutip dari


Daugirdas & van Stone, 2001)

Mekanisme Konveksi (convection)


Pada mekanisme konveksi terjadi translokasi solut,
bersamaan dengan translokasi air yang terjadi dalam dalam
proses ultrafiltrasi. Solut dapat ikut berpindah akibat terikat

Proses Terapi Pengganti Ciitijal dibedakan berdasarkan


mekanisme terjadinya translokasi solut atau air. Dinamakan
proses hemodialisis (H D) bila lnekanistne dasamya adalah
difi~si.T~kiuanutama dari proses difusi adalah pe~i,jeniihan
darali (hloodpurrfific~~tio~i)
dari zat-zat dengan konsentrasi
yang berlebih di dalalii tubuli (translokasi solut). Pada
proses hemodialisis, dapatjuga terjadi translokasi air akibat
adanya perbedaan tekanan (TMP). Dinamakan proses
hemofiltrasi ( H F ) bila mekanisnie dasarnya adalah
ultrafiltrasi. T~!juan utama dari proses ultrafiltrasi adalah
niengurangi kelebihan cairan dalam tubuli (volunir
control). Pada suatu proses hernofiltrasi dapat terjadi
translokasi solut (penjernilian darah) melalui mekanisnie
konveksi. Dinamakan hemodia-filtrasi ( H D F ) bila
prosesnya merupakan gabungan antara kedua mekanisme.
Pada suatu proses hemodialisis selalu diperlukan cairan
dialisat. Sedang pada suatu proses hemofiltrasi diperlukan
cairan substitusi (replucm1et7t,flzlitl) untuk mengganti
cairan yang difiltrasi (ultratiltrat). Pada hemodiatiltrasi
diperlukan kedua macam cairan tersebut. Ginjal buatan
(dializer) pada proses hemodialisis disebut lieniodialiser,
sedang pada proses hemofiltrasi disebut hernofilter.
Parameter efisiensi proses hernodialisis (HD) diukur
dengan klirens (laju difusi) ureum, dan dipengaruhi oleh:
kecepatan aliran darah, kecepatan aliran dialisat, gradien
konsentrasi, jenis dan luas permukaan membran semipermeabel, dan besar molekul solut. Parameter efisiensi
proses hemofiltrasi (HF) berhubungan dengan kecepatan
laju ultrafiltrasi (Qfi dan sifat membran semi-permiabel.
Dibutuhkan membran dengan koefisien ultrafiltrasi (KL,fl
yang tinggi agar proses ultrafiltrasi berjalan maksinial
(high:flz~xt?~rti~hr~tt~e).
Peranan Qb, Qd, dan Qf pada proses hemodialisis dan
hemofiltrasi: a). Kecepatan aliran darah (Qb). Makin cepat
aliran darali akan makin cepat terjadinya pen.jernilian darah.
Pada hemodialisis konvensional, kecupatan aliran darah
(Qb) standar adalali 150 - 350 cclmenit. Dengan Qb sebesar
ini penjernihan darah akan terjadi dengan cepat. Tetapi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1061

TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


SCUF CAVH C W H CAVHD

CAVHDF

C W H D CWHDF

Akses pernbuluh darah

A-V

A-V

V-V

A-V

A-V

V-V

V-V

Penggunaan Pornpa
Ultafiltrate = Qf(rnl1jarn)
Laju dialisat= Qd (Iljarn)
Cairan substitusi (Ilhari)
Klirens urea (rnllmenit)
Tingkat kesulitan
Harga

Tidak
100
0

Ya
600
0
12
10
2
2

Tidak
1000
0
21.6
16.7
3
4

Ya
300
1
4.8
21.7
2
3

Tidak
600
1
12
26.7
2
3

Ya
300
1
4.8
21.7
3
4

Ya
800
1
16.8
30
3
4

0
1.7
1
1

PD
Kateter
Peritonial
Tidak
500
2.0
0
8.5
2
3

Tingkat kesulitan dan harga : I = paling mudah dan murah sld 4 = paling rnahal dan sulit.

Qb yang tinggi akan menimbulkan keadaan hemodinamik


yang tidak stabil. Terutama pada pasien-pasien dalam
kondisi kritis. Sebaliknya pada proses ultrafiltrasi tidak
dibutuhkan Qb yang tinggi. Pada terapi CRRT, kecepatan
aliran darah dapat sangat rendah, yaitu 50 cclmenit pada
CAVH dan 200cc pada C W D . Makin rendah Qb keadaan
hemodinamik akan menjadi lebih stabil. b). Kecepatan aliran
dialisat (Qd). Untuk terjadi mekanisme difusi yang baik
diperlukan aliran dialisat (Qd) yang berjalan berlawanan
(counter-current) dengan aliran darah. Pada HD
konvensional Qd standar adalah 500-600 cclmenit. Pada
proses ultrafiltrasi tidak diperlukan cairan dialisat.
Sedangkan pada proses hemodia-filtrasi diperlukan dialisat
dengan kecepatan rendah. Dengan menggunakan highflux membrane, Qd sebesar 10-30 ccljam sudah dapat
menghasilkan translokasi solut dengan memuaskan.
Membranjenis ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan
membran untuk HD konvensional. c). Laju filtrasi (Qf).
Pada translokasi solut dengan cara konveksi, dibutuhkan
laju ultrafiltrasi yang sangat tinggi. Qf standar pada proses
ultrafiltrasi adalah 1 - 2 liter airljam (Tabel 1). Ronco dkk
(2000) merekomendasikan laju filtrasi lebih dari 35 cc/kgBB/
menit baru akan memberikan proses konveksi yang
memuaskan. Kerugian dengan Qf yang tinggi adalah cairan
substitusi (replacement fluid) diperlukan dalam jumlah
besar, sehingga proses hemofiltrasi menjadi mahal. Pada
proses hemo-diafiltrasi tidak diperlukan Qf yang terlalu
tinggi, karena translokasi solut terjadi dengan kombinasi
mekanisme konveksi dan difusi. Pada proses
hemodiafiltrasi biasanya hanya diperlukan Qf < 10 cclkg
BBImenit.

Akses Pembuluh Darah


Pada proses hemodialisis atau hemofiltrasi diperlukan aliran
darah (akses) dari tubuh ke ginjal buatan (dialyzer) melalui
pembuluh darah. Bila akses dari tubuh melalui pembuluh
darah arteri (A), maka aliran darah terjadi akibat tekanan
darah sendiri. Bila akses melalui pembuluh darah vena (V)
diperlukan suatu pompa (P). Darah selalu kembali kedalam
tubuh melalui pembuluh darah vena, Biasa digunakan

istilah (A-V) bila akses keluar dari tubuh melalui pembuluh


darah arteri dan kembali melalui pembuluh darah vena. Atau
(V-V) bila keluar atau masuk kedalam tubuh melalui pembuluh
darah vena (Tabel 1). Pada proses dialisis peritonial, akses
cairan dialisat kedalam tubuh melalui kateter peritonial,
sedang proses dihsi dan filtrasi terjadi di dalam rongga
peritonial. Selama darah berada diluar tubuh(extracorperal),
dicegah supaya tidak membeku dengan pemberian heparin,
berupa heparin reguler atau heparin molekul rendah. Makin
lama darah berada diluar tubuh, seperti pada CRRT, makin
banyak heparin yang digunakan, dengan konsekuensi lebih
akibat sering timbul efek sarnping. Pada tabel berikut ini
Mehta RL (2000) memperlihatkan perbedaan dalam teknik
beberapa jenis CRRT.

Berdasarkan lamanya waktu pelaksanaan, Mehta RL (1 998)


membuat klasifikasi Terapi Pengganti Ginjal pada pasien
GGA sebagai berikut: a). dilakukan dengan jangka waktu
tertentu (intermiten) atau b). dilakukan secara
berkesinambungan (continous). (Tabel 2)
Pada terapi hemodialisis intermiten (IHD) proses dialisis
berlangsung cepat, hanya 4-6 jam1 kali. Dengan teknik ini
penjernihan darah berlangsung cepat dan efisien.
Kerugiannya adalah penurunan volume cairan tubuh dan
elektrolit juga berlangsung cepat sehingga sering
didapatkan efek samping seperti hipotensi, gangguan
elektrolit, atau edema otak. Pada terapi teknik baru, seperti
EDD atau SLED, waktu dialisis diperpanjang (12-24 jam)
dengan maksud agar proses dialisis menjadi lebih lambat
sehingga efek sampingnya berkurang. Pada teknik CRRT,
proses hemofiltrasi dilakukan secara berkesinambungan
(continous RRT). Dengan demikian perubahan homeostatik
berjalan lambat tetapi stabil.

Dalam pengelolaan pasien GGA dalam keadaan kritis, Mehta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HlPERTENSl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Terapi lntermiten
Konvensional
Hemodiallsis
Konvensional (IHD)
Dengan sorben
Hemodiafiltrasi
Ultrafiltrasi (sekuensial)
Teknik baru
Extended Daily Dialysis
(EDD)
Slow continuous dialysis
Sustained Low Efficient
Dialysis (SLED)

Terapi Berkesinambungan
(CRRT)
Dialisis Peritonial (PD)
Ultrafiltrasi (SCUF)
Hemofiltrasi (CAVH, C W H )
Hemodialisis (CAVHD, CWHD)
Hemodiafiltration (CAVHDF,
CVVHDF)

Keterangan:
Slow Continous Ultrafiltration
CAVH: Continous Arterio-Venous Hernofiltration
Continous Veno-Venous Hernofiltration
CAVHD: Continous Arterio-Venous Hernodialysis
Continous Veno-Venous Hemofdialysis
Continous Arterio-Venous Hernodiafiltration
Continous Veno-Venous Hernodiafiltration
IHD:
Intermittent Hernodialysis
PD:
Peritoneal Dialysis
SLED:
Sustained Low-Efficient Dialysis

(200 1 ) I 8 membagi CRRT berdasarkan indikasi terapi yaitu :


( 1) Renal replacement, bila indikasinya untuk memperbaiki
gangguan fungsi ginjal, dengan segala komplikasinya. (2)
Renal support, yaitu bila indikasinya untuk membantu fungsi
organ lain yang diakibatkan oleh gaga1 organ multipel
(termasuk penurunan fungsi ginjal). Indikasi CRRT pada
pasienGGA dapat dilihat pada Tabel 3.

Renal replacement

Renal support

Tujuan
Mengganti fungsi ginjal
pengobatan
Saat melakukan Tergantung parameter
intervensi
bioimia
lndikasi dialisis
Dosis dialisis

Membantu organorgan lain


Tergantung
kebutuhan
invidual
Sempit
Luas
Sesuai penurunan fungsi Sesuai kebutuhan
ginjal
dan indikasi

Indikasi untuk memulai dialisis pada pasien GGA,


terutama yang dalam keadaan kritis, sangat berbeda dengan
indikasi pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK).
Berdasarkan kriteria NKFDOQI (1 997), inisiasi dialisis pada
pasien PGK adalah bila Laju Filtasi Glomerulus (LFG) < 15
cclmenit. Pada pasien GGA indikasinya menjadi sangat
luas, tergantung dari kondisi klinis yang dihadapi.
Indikasinya sama sekali tidak berdasarkan LFG Dalarn tabel
4 dicantumkan beberapa kondisi klinis yang merupakan
indikasi untuk memulai terapi.

Oliguri
Anuriloliguri berat
Hiperkalemi
Asidosis berat
Azotemi
Gagal organ lain,
terutama paru
Enselopalopati uremik
Perikarditis uremik
Neuropatilmiopati
uremik
Hipernatremia berat
Hiperterrnia
Keracunan obat yang
dapat terdialisis

(output urin < 200 mil12 jam)


(output urin < 50 m1112 jam)
(Kalium > 6.5 mmollliter)
(pH < 7.1)
([urea] > 30 mmollliter)
(edema paru)

(Natrium > 160 mmollliter)

Adanya salah satu kriteria tersebut di atas merupakan


indikasi untuk memulai CRRT.
Adanya 2 kriteria tersebut di atas merupakan
keharusan untuk memulai CRRT.

TEKNIK OPERASIONAL BEBERAPA JENlS


CRRT
Setiap jenis CRRT mempunyai teknik operasional yang
berbeda. Pemilihan teknik CRRT untuk pasien GGA hams
memperhatikan: indikasi dan tujuan CRRT, fasilitas yang
tersedia, efek samping, pengetahuan dan ketrampilan
dokter atau perawat, tingkat kesulitan dan harga
pengobatan.

Slow Continous Ultrafiltration ( S C U F )


Indikasi dari SCUF adalah untuk mengurangi cairan tubuh
yang berlebihan. Teknik yang digunakan adalah ultrafiltrasi
lambat (<lo cclmenit atau < 300 ccljam). SCUF dilakukan
secara berkesinambungan (continous) selama masih
diperlukan. Dengan teknik ini keadaan hemodinamik stabil
dan tidak diperlukan cairan pengganti. Akses pembuluh
darah dapat A-V atau V-V. Tidak diperlukan mesin dialisis,
cukup pompa darah pada akses V-V. Dialiser yang
digunakanjenis hemofilter. Sirkuit SCUF (AV dan VV) dapat
di lihat pada Gambar 2. Teknik sederhana dan tidak mahal.
Kerugiannya pada teknik ini tidak teQadi penjemihan darah
(proses difusi).
Continous Arterio-Venous Ultrafiltration,
Continous Veno-Venous Ultrafiltration
Indikasi utarna dari CAVWCVVH adalah untuk mengurangi
cairan tubuh yang berlebihan (volume control). Teknik
yang digunakan adalah ultrafiltrasi. Agar terjadi proses
konveksi, maka Qf hams >10 cclmenit. Menurut Ronco
(2000) mortalitas pasien baru akan menurun secara
bermakna bila Q f >35 cc/kgBB/menit. Mengingat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1063

TERAPI PENGGANTI CINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Proses ini memerlukan pengawasan ketat. Tingkat kesulitan
dan harga pengobatan teknik ini adalah yang paling mahal
dibandingkan dengan teknik CRRT lainnya. Sirkuit CAVHD
dan CVVHD dapat dilihat pada Gambar 4.

/I
Gambar 2. SirlluR A V M SCUF

*-

ultrafiltrasi berlangsung secara berkesinanibungan maka


dengan teknik ini keadaan hemodinamik tetap stabil.
Diperlukan cairau substitusi untuk mengganti cairan yang
hilang. Bany aknya cairan substitusi tergantung besamya
Qf. Dengan teknik ini tidak diperlukan cairan dialisat. Akses
pembuluh darah dapat A-V atau V-V. Pada akses A-V, tidak
digunakan polnpa karena darah niengalir akibat tekanan
darah arteri pasien. Pada akses V-V diperlukan pompa
darah. Mengingat efisiensinya kurang maka akses A-V
dewasa ini jarang digunakan. Membran yang digunakan
lle~nofilter (high_flzr.u). Teknik ini dilakukan
berkesinambungan dan memerlukan monitor yang ketat.
Tingkat kesulitan dan harga pengobatan lebih tinggi dari
SCUE Sirkuit CAVH dan C W H dapat dilihat pada Gambar
3.

II

CAVHD
",

1 Ji'l

Id.

CWHDC

.-

a-

I.

1
03

'

1..

4.

Gambar 4. Sirkuit CAVHDICWHD

Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal masih digunakan dibeberapa Rumah
Sakit. Hal ini disebabkan karena tekniknya yang sangat
sederhana dan murah. Pada dialisis peritoneal tidak
dibutuhkan mesin dialisis atau ginjal buatan (dialiser).
Proses difusi dan ultrafiltrasi terjadi di rongga peritoneum.
Proses dialisis dilakukan secara berkesinambungan.
Kerugiannya adalah semua proses yang terjadi tidak dapat
diatur dan diramalkan. Proses penjemihan darah maupun
ultrafiltrasi berlangsung lambat. Dari hasil penelitian Phu
dkk (2002) didapatkan bahwa angka kematian pasien GGA
yang menjalani dialisis peritoneal (47%) jauh lebih tinggi
dibanding pasien yang menjalani CRRT jenis lain (1 5%).
Oleh karena itu walaupun tekniknya mudah dan murah,
tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan, terutama bila ada
pilihan CRRTjenis lain.
BEBERAPA TEKNIK DIALISIS INTERMITEN

Continous Arterio-Venous Hemo Dia-filtration,


Continous Veno-Venous Hemo Dia-filtration
Perbedaan antara CAVHDFICVVHDF dibandingkan
dengan CAVHICVVH adalah indikasinya. Selain untuk
mernbuang kelebilian cairan tubuh, teknik ini dapat
digunakan secara etisien untuk penjernihan darah. Agar
terjadi penjemihan darah (proses difusi), rnaka digunakan
cairan dialisat dengan laju dialisat yang lambat, Qd=l O- 15
cclmenit. Sedangkan kecepatan aliran darah juga dibuat
lambat, Qb = 50-200 cclmenit. Mengingat Qd dan Qb yang
lainbat maka keadaan hemodinamik akan tetap stabil. Selain
cairan dialisat, juga diperlukan cairan substitusi untuk
mengganti cairan yang hilang. Untuk proses ini diperlukan
mesin hemofiltrasi dan penggunaan ki,gh7fEzrx dialyzer.

Hemodialisis lntermiten (IHD)


IHD adalah teknik yang masih paling sering digunakan
untuk pengelolaan GGA. Digi~nakanmesin hemodialisis
dan dialiser yang konvensional seliingga teknik ini relatif
lebih mudah dan murah. Dialisis dilakukan secara intermiten
yaitu antara 4-6 jamlkali, 3 salnpai 6 kalil minggu. Proses
penjemihan darah dan pengeluaran cairan yang berlebihan
dapat dilakukan dalam waktu yang pendek. Pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil, seringkali
menimbulkan efek samping hipotensi atau gangguan
hemodinamik lain (Sirkuit IHD dapat dilihat pada Gambar
5). Menurut Schiff dkk (2002) bila waktu dialisis
diperpanjang, yaitu dilakukan tiap hari angka kematian
pasien dapat diturunkan. Menurut penelitiannya angka
kematian pasien GGA dengan HD konvensional(2-3 kalil
minggu) adalah 37%, lebih tinggi dibandingkan dengan
bila HD dilakukan tiap hari (22%). Menurut Bellomo dkk

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

(1999) teknik CRRT, karena dilakukan secara


berkesinambungan, mempunyai kelebihan dalam proses
penjernihan darah bila dibandingkan dengan teknik IHD.

Sustained Low Efficient Dialysis (SLED)


Teknik SLED merupakan modifikasi dari teknik HD
konvensional .Teknik ini menggabungkan keuntungan dari
HD setiap hari dm CRRT. Digunakm mesin HD dan dialiser
konvensiona1 sehingga harganya tidak terlalu mahal dan
tidak perlu pengawasan khusus. Agar hemodinamik
menjadi lebih stabil maka Qb diturunkan menjadi 4 5 0 cc/
menit dan Qdmenjadi <300 cdmenit. Untuk mengimbangi
agar dialisis tetap efisien maka waktu dialisis (tD)
diperpanjang menjadi 5-12 jam (Sirkuit IWD dapat dilihat
pada Gambar 5). Pada SLED terjadi proses penjernihan
darah dan kontrol cairan tubuh yang efisien dan stabil.
Tidak diperlukan cairan substibsi atau monitoring yang
ketat. Pertama kali digunakan oleh Marshal (1 998). Menurut
Liao dkk (2003) translokasi molekul rnenengah dan besar
pada teknik SLED jauh lebih baik dibanding H D
konvensional. Nampaknya teknik ini menjanjikan,
walaupun belum banyak dilakukan penelitian mengenai
SZH).

II
Garnbar 9. Sirkuit IHD dan SLED

CRRT PADA PASIEN SEPSIS

Berdasarkan hipotesis bahwa CaRT dapat melakukan


penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh secara efisien,
timbul dugaan bahwa CRRT dapat digunakan untuk
factor, PA1
membuang sitokin, endotoksin, tumor necroui.~
dan zat-zat proinflamasi tainnya. Tetapi sampai saat ini
tidak ada bukti yang pasti mengenai masalah ini. Ronco
dkk (2000) membuktikan bahwa angka kematian pada
pasien dengan GGA yang disertai sepsis berhubungan
dengan dosis ultrafiltrasi. Angka kematian akan menurun
secara bermakna bila dosis ultrafiltrasi >35 cc/kgSB/jam.
Tetapi penurunan angka kematian ini lebih berhubungan
dengan rendahnya gangguan hemodinamik pada pasien,
bukan karena menurunnya kadar sitokin. John s dkk (200 1 )
membandingkan kelompok pasienGGA dengan sepsis
dengan tempi C W H (20 orang) dm hemodialisis intermiten
(10 orang), tidak ada perbedaan pada parameter perhsi

splanknik regional, sepesti pH, KO,, atau perbedaan


konsentrasilkadar pCO, pada kedua kelompok pasien.
Kellum dkk (2002) melakukan meta-analisis pada 13
penelitian d e n pjumlah pasien lebih dari 1000orang. Tidak
didapatkan perbedaan dalam angka kematian diantara
CRRT dm hernodialisis intemiten(1HD) (RR-0,93;0,95.
G1=0,79-1,09). TeknikCRRT yang mutakhir adalah CPFA(
continousplasmafiltration), Pada peneltian dengan jurnlah
pasien terbatas, teknik ultrafiltrasi yang digabung dengan
plasmaferesis dapat rnengurangi endotoksin yang beredat
dalam darah. Selain itu untuk mengurangi intoksikasi akut
ditambahkan filter sorben yang berisi antibiotik (palymyxin
B). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untulc dapat
menarik kesimpulan secara pasti mengenai efektifitas
teknik-teknik baru tersebut.

REFERENSI
Bellomo R. Farmer M, Bhonagiri S. et al. Changing acute renal
failure treatment from lnterrnirtent hernodialysis to
continuous hemofiltration: impact on a ~ o t e m i ccontrol. Int J
Art Org. 1999;(22); 145-50.
Besarh A, Ra.ja RM. Vwcular acces for hemodialysis. In: Daugardias
JT. Blake P4, Ing TS. editors. Ilandbook of dialysis. 3'* edition.
Lippincot Williams & Wilkins; 2001. p. 67-101.
Briglia A, Paganini E. Acule renal failure in the intensive care unit.
Clin Chest Med. 1999;20:347-66.
Conger J. Dialysis and related therapies. Sernin Nephrol.
1998;18:933-40.
Daugirdas JT. Peritoneal dialysis in acute renal failure - why the bad
outcome ?. New Engi J Med. 2002;347:933-5.
Daugirdas JT, van store JC. Physiologic principles and urea kinetic
modeling. In: Daugardias JT. Blake P4, lng TS, editors,
Handbook of dialysis. 3"' edition. Lippincot Williams L Wilkins;
2001. p. 15-45.
De Vriese ANS. Prevention and treatment of acure renal failure in
sepsis. J Am Soc Nephrol. 2003;14:792-805.
John S, Griesbach D, Bautngartel M, et al. Effect of conlinuoas
haemofiltration vs intermittent haemodial3sis on systemic
haemodjnamics and splanchnic regional perfusion in septic shock
patients: a prospectite, randonlized clinical trial. Nephrol Dial
'Sransplant 2001 :I 6(2):320-7.
Kaplan AA. Renal failure. In: Bongard FS, Sue DY. editors. Current
critical care. Diagnosis and treatment. 2"' edition. New York:
Mc Graw-Hill: 2002. p. 342-75.
Kellum JA, Angus D, Johnson JP et.al. Continous versus Intermittent renal replacement: a meta analysis. Intensive Care MA!,
2002;28:29-37.
Kramer P, Wigger W. Matthaei D. Scheler F. Arterio-venous
hemofiltration: a neM simple method for treatment of
o~erhydratedpatients resistant to diur~titics.Klin Wochenschr.
1977:55:1121.
Liao 2, Zhang W, Hatdy PA, et al. Kinetic compariscm of different
acute dialqsis therapies. Artif Organs. 2003;27(9):802-7.
Marshall MR, Golper TA, Shaver MJ, et al. Ilrea kinetics during
sustained low-efficiency dialysis in critically ill patients
requiring renal replacement therapy Am J Kidney Dis.
2002;39(3):556-70.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1065

TERAPI PENGCANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Marshal MR, Golper TA, Shaver MJ, Alam MG, et al. Sustained
low-efficient dialysis for critically ill patients requiring renal
replacement therapy. Kidney Int. 2001;60(2):777-85.
Mehta RL, Chertow GM. Selection of dialysis modality. In: Owen
WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and
transplantation; a companion to Brenner & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000. p. 403-17.
Mehta RL. Supportive therapies; intermittent hemodialysis,
continuous renal replacement therapies and peritoneal dialysis.
In: Schrier RW, editor. Atlas of diseases of the kidney, Current
Medicine. Philadelphia: Blackwell Science; 1998.
Mehta RL. Indications for dialysis in the ICU renal replacement vs
renal support blood purification. 2001;19:227-32.
National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice
guidelines for dialysis adequaly. Am J Kidney Dis.
1997;3D[52]:567-5 136.
Phu NH, Hien TT, Thi N, Mai TH, et al. Hemofiltration and
peritoneal dialysis in infection-associated acute renal failure in
vietnam. N Engl J Med. 2002; (347):895-902.
Reilly PO, Tolwani A. Renal replacement therapy. Crit Care Clin.
2005;21: 367-78.

Ronco C. Bellomo R Homel P, et al. Effects of different doses in


continous veno-venous hemofiltration on outcomes of acute
renal failure: a prospective randomised trial. Lancet.
2000;356:26-30.
Schiffl H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome
of acute renal failure. N Engl J Med. 2002;346:(5): 305-10.
Schrier R.W., Wang W. Acute renal failure and sepsis. N Engl J Med.
2004; 351 :(2):159-69.
Teschan PE. Evolution of daily hemodialysis in acute renal failure:
from the Korean War to the Present. Home Hemodial Int.
1999;3:58-68.
Tetta C, D'Intini V, Bellomo R, et al. Extracorporeal treatments in
sepsis: are there new perspectives? Clin Nephrol. 2003;60:299304.
Van Bommel EF, Leunissen KM, Weimar W. Continuous renal replacement therapy for critically ill patients: an update. J Intensive Care Med. 1996;24: 192-8.
Yeun J, Depner T. Principles of dialysis modality. In: Owen WF,
Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation; a
companion to Brener & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB
Sanders; 2000. p. 1-32.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TRANSPLANTASI GINJAL
Endang Susalit

PENDAHULUAN
Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF)
Kidney Disease Outcome Quality Initiative(K/DOQg telah
menyusun pedoman praktis penatalaksanaan klinik
tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit ginjal
kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik,
klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi
glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi
tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima
stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi
ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal
dengan penurunan ringan fungsi ginjal, stadium 3
kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal,
stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi
ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.
Jika sudah sampai pada gagal ginjal tahap akhir, yaitu
penyakit ginjal kronik stadium 5, dibutuhkan terapi
pengganti untuk dapat bertahan hidup. Ada tiga jenis terapi
pengganti yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal. Pada Gambar 1 dapat dilihat
hubungan dan peran tiap terapi pengganti dalam
penatalaksanan pasien gagal ginjal tahap akhir.
PenyakiiGinjal Kmnik Progresif

1
1

- 4

Terapi Konsewatif

21/Gagai Ginjai Tahap Akhir

Meninggai

Diaiisis

Hernodialisis/ DPMB')

Transplantasi

Bertahan hidup

Ginjal

') Dimllsls pmitoneal mandmn berkeslnambungan

Garnbar 1. Skerna penatalaksanaan gagal ginjal

Semua pasien dengan gagal ginjal tahap akhir


dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi
ginjal kecuali jika mengidap penyakit keganasan sistemik,
infeksi kronik, penyakit kardiovaskular yang berat atau
gangguan neuropsikiatrik yang akan mengganggu
kepatuhan minum obat imunosupresif, meskipun pada
akhirnya pasien yang akan memutuskan jenis terapi
pengganti yang akan dipergunakan.

TRANSPLANTASI GINJAL SEBAGAI SALAH


SATU PlLlHAN TERAPI PENGGANTI
Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama
pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh
dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti
lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam
ha1 perbaikan kualitas hidup. Salah satu di antaranya
adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih
baik. Misalnya, seorang perempuan muda yang menerima
ginjal transplan bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat.
Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya
merupakan cara penanganan gagal ginjal tahap akhir yang
paling ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis
penurunan fungsi ginjal. Di pihak lain, dialisis hanya
mengatasi akibat sebagian jenis penurunan fungsi ginjal.
Di samping itu transplantasi ginjal masih memberikan
keuntungan lain dibandingkan dengan dialisis seperti
terlihat pada Tabel 1. Manfaat transplantasi paling jelas
terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes
melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang
berumur 20-39 tahun mempunyai harapan hidup 20 tahun
lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan
hidupnya menjadi 31 tahun lagi. Pasien dialisis yang
diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan
hidup 8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal
harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

'

TRANSPLANTASI GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Ada beberapa faktor yang berperan pada keberhasilan
transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan
donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan
pra dan peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.

Transplantasi ginal

Hernodialisis
kronik

Satu kali (biasanya)

Seumur hidup

Kualitas hidup
(jika berhasil)

baik sekali

cukup baik

Ketergantungan
pada fasilitas
medik

minimal

Besar

Jika gagal

dapat hemodialisis
kembali atau
transplantasi lagi

Meninggal

Angka
kematianltahun

4 -8 %

20-25%

Prosed;

FAKTORYANG BERKAITAN DENGAN DONOR


Transplantasi ginjal tidak bisa terlaksana tanpa ginjal donor. Walaupun perhatian sering lebih banyak dicurahkan
pada penanganan resipien pascatransplantasi, identifikasi
masalah dan persiapan donor sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan transplantasi.
Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor
hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah. Kekurangan
jumlah ginjal donor merupakan masalah umum yang
dihadapi seluruh dunia. Sebagian besar negara di Asia
sudah memanfaatkan donor jenazah, sedangkan Indonesia
belum memanfaatkan donor jenazah, seperti terlihat pada
Tabel 2.
Transplantasi donor hidup memang memberikan hasil
yang lebih baik. Akan tetapi, transplantasi donor jenazah
juga memberi keuntungan yang lain, yaitu tidak adanya
risiko pada donor dan ginjal donor dapat diberikan kepada
resipien yang paling sesuai.

Negara
Jepang
Korea
Saudi Arabia
Taiwan
Filipina
Malaysia
Muangthai
Singapura
Indonesia
Bangladesh

Donor hidup I%)

Donor Jenazah I%)

DONOR HlDUP

Yang dimaksud dengan donor hidup adalah donor yang


masih hidup. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup
dilakukan secara bertahap seperti terlihat pada Tabel 3.
Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi donor tersebut,
dapat dipastikan bahwa calon donor memang ikhlas untuk
mendonasikan ginjalnya, dalam keadaan sehat dan mampu
menjalani operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal
dengan satu ginjal setelah melakukan donasi. Yang
dimaksud dengan hidup normal di sini adalah dapat bekerja
seperti sebelum donasi, tidak memerlukan diet khusus atau
obat, tidak ada perubahan dalam kehidupan seks, dan jika
masih dalam usia subur, ia tetap subur seperti semula.
Calon donor tidak dipakaijika mengidap penyakit ginjal
atau jika diprediksi terdapat peninggian risiko morbiditas
dan mortalitas pada saat operasi transplantasi. Pada tabel
4 dapat dilihat kriteria eksklusi calon donor hidup.
Semakin tua umur seseorang semakin kecil cadangan
fungsi ginjalnya sehingga ginjal yang berasal dari donor
yang berumur lebih tua akan menghasilkan fungsi ginjal
transplan yang lebih rendah. Ginjal yang berasal dari
donor yang berumur sangat muda, 0 sampai dengan 5
tahun, juga sangat peka terhadap waktu iskemik dingin
dan cenderung menghasilkan kegagalan imunologik yang
lebih tinggi.
Ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo
positif yang ditransplantasikan ke resipien dengan virus
sitomegali negatif, cenderung mempunyai ketahanan
hidup yang lebih pendek jika dibandingkan dengan ginjal
yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo negatif.

(1) Penjaringan Donor


Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan
jenazah
Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon
donor
Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO calon donor
dengan calon resipien
Pemeriksaan tissue typing dan cross match calon
donor yang golongan darah ABO-nya sama dengan
calon resipien
Pilih calon donor yang paling sesuai, bersama calon
resipien dan keluarga
Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan
donasi
(2) Evaluasi Donor
Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap
Pemeriksaan laboratorium :
Darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti-HCV, CMV,
VDRL, HIV, tes toleransi glukosa(jika ada riwayat
diabetes dalam keluarga), hemostasis, tes kehamilan
Urinalisis, kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi
protein dalam urin-24 jam
Foto toraks, elektrokardiografi, tes treadmill (usia >50
tahun), pielografi intravena
Evaluasi psikiatrik
Arteriografi ginjal
Tes crossmatch sebelum transplantasi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
Dokter Indonesia (IDI) telah memberikan
Urnur kurang dari 18 tahun atau lebih dari 65 tahun
Hipertensi (> 140190 atau perlu obat darah tinggi)
Diabetes (Tes toleransi glukosa atau HbAlc abnormal)
Proteinuria (> 250 rng124 jam)
Riwayat batu ginjal
Laju filtrasi glomerulus abnormal (TKK < 80 mllmenit)
Hernaturia mikroskopik
Kelainan urologik ginjal donor
Masalah rnedik yang bermakna (PPOK, Keganasan baru)
Obesitas (30% di atas berat badan ideal)
Riwayat trombosis atau tromboembolisrne
Kontraindikasi ~sikiatrik
TKK= tes kliren kreatinin; PPOK= Penyakit paru obstruktif
kronik

DONOR JENAZAH
Transplantasi donor jenazah bertujuan memanfaatkan
organ tubuh pasien yang akan meninggal. Ginjal donor
jenazah dalam waktu yang relatif singkat hams segera
dipindahkan ke resipien. Dewasa ini, dikembangkan pula
donasi ginjal yang berasal dari jenazah dengan jantung
yang sudah tidak berdenyut lagi, yang lazim disebut donor henti denyut jantung (stop beating heart donor). Pada
umumnya, donor jenazah adalah korban trauma kepala atau
penyakit pembuluh darah otak. Kontraindikasidonorjenazah
absolut dan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.
Ketahanan hidup ginjal transplan dari donor jenazah
yang meninggal karena penyakit serebrovaskular iskemik
tidak sebaik ketahanan hidup ginjal transplan dari donor
jenazah yang meninggal karena perdarahan subaraknoid.

rekomendasi
tentang batasan mati, yang antara lain menyebutkan bahwa
manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak
berfungsi lagi.
Penentuan saat mati batang otak pasien yang akan
menjadi donorjenazah dibuat setelah ada izin dari keluarga
oleh dokter lain di luar tim transplantasi, untuk mencegah
kemungkinan adanya keinginan yang terlalu cepat untuk
segera melakukan transplantasi. Kriteria mati batang otak
dapat dilihat pada Tabel 6.
Sementara itu, pasien hams tetap dirawat oleh tim
dokter yang merawatl mengobati sebelumnya yang
dilaksanakan di dalam unit yang lengkap, seperti unit
perawatan intensif atau unit perawatan jantung intensif
sebagai pasien biasa dan bukan dianggap sebagai pasien
tahap akhir. Produksi urin dipertahankan cukup banyak,
seolah-olah demi kepentingan pasien sendiri.

1). Persyaratan:
(a) korna, respirasi dengan ventilator
(b) diagnosis penyebab korna: pasti (kelainan struktur
otak ireversibel)
2). Disingkirkan:
(a) hipoterrni (< 35" C)
(b) obat-obatan
(c) kelainan endokrinlmetabolik berat
3). Tes:
(a) tidak ada refleks batang otak
(b) aDnu

DONOR GINJAL XENOGENIK


Absolut

Relatif

Urnur 7 70 tahun

Urnur > 60 tahun

Penyakit ginjal kronik


Keganasandengan
metastasis

Urnur < 5 tahun


Hipertensi ringan

Hipertensi berat
Sepsis bakteri
Pecandu obat intravena
HBsAg, anti HCV, HIV
positif

lnfeksi yang diobati


Nekrosis tubuler akut nonoligurik
Masalah rnedik donor (diabetes,
SLE)
Waktu iskemik dingin yang
panjang

Gagal ginjal akut oligurik

Perforasi usus

Waktu iskernik panas


yang panjang
SLE = systemic lupus erythematosus

Alasan yang kuat untuk mengembangkan


xenotransplantasi adalah kurangnya jumlah organ donor
untuk transplantasi pada manusia. Xenotransplantasi
adalah transplantasi jaringan atau organ di antara dua
spesies yang berbeda, misalnya dari hewan ke manusia.
Pada saat ini sedang dikembangkan transplantasi ginjal
dari babi ke manusia yang masih banyak mengalami
kendala imunologik dan non-imunologik. Respons
imunologik terhadap xenotransplan dapat berupa rejeksi
hiperakut, rejeksi akut vaskular dan selular, dan rejeksi
kronik. Kendala non-munologik bempa risiko transmisi
infeksi, kecocokan fisiologik, dan masalah etika clan agarna
yang berkaitan dengan pemanfaatan organ yang berasal
dari hewan untuk manusia.

DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK

FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN RESlPlEN

Masalah yang harus diperhatikan pada transplantasi


donor jenazah adalah penentuan batasan mati. Batasan
mati yang bermanfaat untuk donasi organ tubuh adalah
mati batang otak. Di Indonesia, pada tahun 1985 Ikatan

Sebelum pasien gagal ginjal dipertimbangkan sebagai


calon resipien transplantasi ginjal, harus dipastikan
terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami
gagal ginjal tahap akhir.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TRANSPLANTASI GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SELEKSI CALON RESlPlEN TRANSPLANTASI


GINJAL

Tujuan seleksi calon resipien transplantasi ginjal adalah


untuk mengidentifikasi adanya masalah medik, sosial, dan
psikologis yang dapat menghambat keberhasilan
transplantasi ginjal. Berdasarkan data yang diperoleh,
selain dipertimbangkan bahwa pasien akan mendapat obat
imunosupresif untuk jangka waktu panjang, harus
dipastikan pula bahwa transplantasi ginjal merupakan
pilihan terapi pengganti yang terbaik untuk pasien. Tidak
jarang pasien mengidap penyakit multisistem selain ginjal
atau penyakit penyerta lain yang disebabkan oleh
hipertensi, hiperlipidemia atau uremia. Pada Tabel 7 dapat
dilihat evaluasi preoperatif yang dilakukan pada calon
resipien transplantasi ginjal.
Kriteria yang digunakan untuk menyeleksi pasien
dialisis untuk transplantasi ginjal berbeda di tiap unit
transplantasi, yang umumnya berdasarkan pengalaman di
masing-masing unit. Sebagian besar unit transplantasi
tidak melakukan transplantasi pada pasien dengan antiHIV positif, dan melakukan transplantasi pada resipien
dengan anti-CMV negatif dari donor dengan anti-CMV
positif. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan
transplantasi pada resipien dengan HBsAg positif yang
pada biopsi hati didapatkan hepatitis kronik aktif. Pendapat
berbagai unit masih beragam terhadap resipien dengan
anti-HCV positif, donor dengan anti-HCV positif, dan
resipien dengan masalah kardiovaskular.

1). Anarnnesis dan perneriksaan fisis lengkap


2). Perneriksaan laboratoriurn:
Golongan darah, darah lengkap, kirnia darah, HBsAg,
anti HCV, CMV, HSV, HIV, VDRL
Urinalisis, kultur urin, sekret dan tes resistensi, tissue
typing, antibodi sitotoksik, hernostasis
3). Elektrokardiografi, ekokardiografi
4). Foto toraks, arteriografi /Doppler a.iliaka
5). Perneriksaan THT, gigi-rnulut (fokus infeksi)
6). Gastroskopi

nefropati diabetik, ginjal transplan dapat mengalami


nefropati, dan pasien diabetes melitus baik yang
bergantung maupun yang tidak bergantung pada insulin
cenderung mengalami komplikasi kardiovaskular yang
meningkatkan mortalitas.
Penyakit ginjal obstruktif, khususnya urolitiasis, dapat
kambuh pada ginjal transplan. Demikian pula, nefropati
hipertensif atau nefrosklerosis dapat timbul pada ginjal
transplan jika hipertensi tidak dikendalikan secara baik.

KONTRAlNDlKASl TRANSPLANTASI GINJAL


Pada beberapa keadaan, transplantasi ginjal tidak
dianjurkan karena merupakan prosedur dengan risiko
tinggi, seperti terlihat pada Tabel 9.

Kekarnbuhan
Penyakit Dasar
Glomerulonefritis
rnernbranoproliferatif (Tipe 1)
Glornerulonefritis
rnernbranoproliferatif (Tipe 2)
Glornerulosklerosis fokal
Nefropati IgA
Glornerulonefritis kresentik
Nefritis antirnernbrana basalis
glorneruler
Glornerulonefritis membranosa
idiopatik
Nefritis lupus
Purpura ~enoch-~chonlein

lnsiden
(%)

Gagal
Transplan (%)

25

1). Masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan


adiksi obat
2). Riwayat ketidakpatuhanyang berulang
3). Urnur sangat lanjut ( > 70 tahun)
4). Keganasan baru atau dengan metastasis
5). Penyakit di luar ginjal (jantung, vaskular, hati, paru-paru)
yang berat
6 ) . lnfeksi kronik (tuberkulosis aktif)

ETlOLOGl GAGAL GINJAL


Etiologi penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal
juga sangat penting karena beberapa penyakit ginjal primer
tertentu bisa kambuh lagi pada ginjal transplan.
Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab gagal ginjal
yang penting dan insiden kekambuhan pada ginjal
transplan sangat bervariasi antara 1 dan 90%, bergantung
pada jenis kelainan histologik, seperti terlihat pada Tabel
8. Kemungkinan terjadinya gagal ginjal transplan akibat
kekambuhan penyakit dasar jauh lebih kecil, yaitu paling
tinggi 12% pada glomerulosklerosis fokal. Pada pasien

KOREKSI PENYAKIT PENYERTA PRETRANSPLANTASI


Pasien gagal ginjal tahap akhir harus menjalani dialisis
secara teratur selain mendapat terapi yang lain, khususnya
beberapa minggu sebelum transplantasi, sehingga tercapai
keadaan umum yang optimal pada saat menjalani operasi.
Masalah medik atau bedah harus dikoreksi terlebih dahulu
sewaktu pasien masih dalam periode dialisis seperti
hipertensi, hiperglikemia bila mengidap diabetes melitus,
ulkus peptikum, karies dentis, dan penyakit jantung

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

koroner. Pada Tabel 10 dapat dilihat prosedur pembedahan


yang mungkin harus dilakukan sebelum dilaksanakan
transplantasi ginjal.

Saluran kemih

Jantung
Gastrointestinal

:
:

Gigi-mulut

prostatektomi, batu saluran kemih,


nefrektomi, eksisi leher kandung kemih
operasi pintas koroner
penyakit divertikel, batu kandung
empedu
ekstraksi gigi

FAKTOR LAIN
Dilaporkan bahwa angka mortalitas pascatransplantasi
meningkat pada pasien yang menjalani hemodialisis lebih
dari dua tahun, dan makin panjang waktu periode dialisis
pratransplantasi, makin buruk prognosis pasca
transplantasi.
Resipien yang berusia lebih dari 55 tahun dan kurang
dari 16 tahun mempunyai risiko yang lebih tinggi. Yang
berusia muda cenderung mengalami kelambatan saat ginjal
mulai berfungsi. Di pihak lain, yang berusia tua cenderung
mengalami peninggian mortalitas kardiovaskular
pascatransplantasi. Respons imunitas yang menurun pada
usia lanjut menyebabkan terjadinya penurunan rejeksi
secara bermakna pada resipien yang berusia lebih dari 60
tahun. Lebih dari 60% resipien yang berusia kurang dari
15 tahun akan mengalami rejeksi akut dalam 6 bulan
pascatransplantasi.
Resipien dengan obesitas cenderung mengalami
keterlambatan saat ginjal transplan mulai berfungsi.
Septikemia, gangguan gastrointestinal, dan diabetes
pascatransplantasi lebih sering dijumpai pada pasien
dengan obesitas.

Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO


donor dan resipien yang berbeda dapat dilakukan dengan
mengeluarkan dan menurunkan titer antibodi anti-A dan
anti-B dengan cara plasmaferesis dan splenektomi resipien
atau dengan cara imunoadsorpsi pratransplantasi.
Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor
dan resipien yang berbeda ternyata menunjukkan hasil
yang cukup baik walaupun dengan biaya yang sangat besar
karena prosedurnya agak rumit.

KELAS KOMPLEKS HlSTOKOMPATlBlLlTAS


MAYOR
Ginjal transplan direjeksi terutarna karena adanya protein
di dalam membran sel yang dikode oleh kompleks
histokompatibilitas mayor (MHC). Kompleks
histokompatibilitas mayor pada manusia merupakan
kumpulan gen yang menempati lengan pendek kromosom
6. Kumpulan gen ini, dikenal sebagai antigen leukosit
manusia (HLA), mengkode glikoprotein membran sel, serta
berperan pada inisiasi dan akselerasi respons imun.
Terdapat tiga jenis molekul yang dikode, yaitu Kelas I, 11,
dan I11 seperti terlihat pada Gambar 2.
Antigen Kelas I terdapat pada membran plasma hampir
di semua sel dan jaringan, sedangkan Kelas I1 terdapat
pada sebagian kecil jenis sel seperti limfosit B, makrofag,
monosit, dan sel dendritik folikuler. Antigen Kelas I1 itu
juga dapat ditemukan pada membran sel jenis lain, seperti
limfosit T, sel endotel, dan sel tubulus ginjal sebagai akibat
pengaruh sitokin, seperti interferon gama dan faktor
nekrosis tumor.

DP

DQ DRB DRA

84 Hsp70 TNF HLA-B HLA-C HLA-A

FAKTOR IMUNOLOGI

Gambar 2. Kompleks histokompatibilitas mayor pada lengan


pendek. Kromosom 6. Hla kelas 1: Hla-a, b, c; kelas 2: Hla-dp, dq,
dr; kelas 3: B4, hsp 70, tnf

Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang


berperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO
dan HLA (human leucocyte antigen).

FUNGSI KOMPLEKS HlSTOKOMPATlBlLlTAS


MAYOR

SISTEM GOLONGAN DARAH ABO


Golongan darah ABO resipien hams sama dengan donor;
jika berbeda dapat terjadi reaksi rejeksi vaskular hiperakut
dan akut walaupun ada yang melaporkan keberhasilan pada
keadaan tersebut. Rejeksi pada keadaan tersebut
disebabkan oleh antibodi yang bereaksi dengan
antigen golongan darah A danJatau B yang terdapat. di
dalam sel endotel vaskular.

Fungsi HLA adalah mempresentasikan antigen asing


terhadap limfosit T yang kemudian akan memicu respons
imun. Molekul HLA dapat mengikat protein asing dan
bereaksi dengan kompleks reseptor sel-TED3 pada sel T
dengan cara yang khas, yaitu HLA Kelas I dengan sel TCD8 dan HLA Kelas I1 dengan sel T-CD4.
Pada Gambar 3 terlihat limfosit-CD4 (sel helper/
inducer) bereaksi dengan reseptor antigen Kelas 11,
sedangkan limfosit-CD8 (sel sitotoksik/supresor)bereaksi
dengan sel yang mengandung antigen Kelas I.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TRANSPLANTASI GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Sel Alogenik

Limfosit T Helper

HLA Kelas 11

L~rnfositT Sitotoksik

HLA Krlas I

Rcseptor SB

Garnbar 3. lnteraksi antara kelas HLA dan limfosit

PENGARUH KESESUAIAN HLA TERHADAP


HASlL TRANSPLANTASI GINJAL
Pada transplantasi ginjal donor keluarga terdapat korelasi
yang sangat berrnakna antara jumlah kesamaan haplotip
donor dengan resipien dan ketahanan hidup ginjal
transplan. Dilaporkan bahwa pada resipien yang mendapat
prednisolon dan azatioprin, ketahanan hidup ginjal
transplan 1 taliun dari saudara dengan HLA identik 9095%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara
dengan haplo-negatif 60-70%. Pada resipien yang
mendapat siklosporin dilaporkan bahwa angkanya lebih
tinggi daripada angka tersebut di atas.
Pada transplantasi ginjal donor jenazah, meskipun
transplantasi dari donor dengan kesesuaian 6 antigen HLA
memberikan hasil yang lebih baik daripada dari donor
dengan kesesuaian I-ILA yang kurang dari 6, banyak studi
melaporkan hasil yang cukup baik walaupun Iianya HLA
DR yang sesuai atail HLA DR dan B yang sesuai. Urutan
antigen HLA yang meniberikan hasil transplantasi ginjal
yang makin kurang baik jika terdapat ketidaksesuaian
adalah HLA DR, B, dan A.
Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan hidup ginjal
transplan adalah jenis dan dosis obat imunosupresif yang
dipakai, misalnya siklosporin. Secara umuin, dikatakan
bahwa makin kuat imunosupresi, rnakin kecil keuntungan
yang diperoleh dengan kesesuaian HLA. Pada resipien
yang mendapat 4 jenis obat imunosupresif, pengaruh
kesesuaian antigen HLA rnenjadi tidak tampak. Meskipun
demikian, pengaruh ketidaksesuaian antigen HLA
terhadap ketahanan hidup ginjal transplan diduga rnasih
ada dalam jangka waktu panjang setelah transplantasi.

reaksi rejeksi hiperakutlaccelerated karena selain


sitotoksik juga dapat langsung menimbulkan reaksi pada
sel endotel ginjal transplan, mengaktifkan sistem
komplemen, dan menyumbat mikrosirkulasi ginjal transplan
dengan trombus. Karena itu, tes crossmcrtch yang
dilakukan pada pratransplantasi merupakan suatu
keharusan.
Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah tes
limfositotoksisitas dengan memakai komplemen. Selain itu
ada pusat transplantasi yarig menggunakan teknik flow
cytometry atau teknik lain yang rnendeteksi adanya
antibodi terhadap antigen yang lebih spesifik, yang
terdapat dalam sel endotel pembuluh darah, monosit, atau
sel epitel.

MIXED LYMPHOCYTE CULTURE


Pada transplantasi donor hidup dapat dilakukan tes mired
lymphocyte reaction untuk menentukan derajat
ketidaksesuaian antigen Kelas 11. Dasar tes ini adalah
proliferasi yang terjadi bila limfosit seseorang dikultur bersama
limfosit orang lain. Tes ini dapat membantu seleksi bila
terdapat lebih dari satu donor. Tes ini secara in vitro dapat
membantu memprediksi respons imun resipien terhadap antigen donor. Tes ini bermanfaat untuk mengukur kapasitas
proliferasi limfosit resipien walaupun tidak banyak lagi yang
menggunakan tes ini dalam kegiatan transplantasi ginjal
sehari-hari.

FAKTOR PREOPERATIF DAN PERIOPERATIF


Beberapa faktor perlu diperhatikan pada waktu menjelang,
selama, dan segera sesudah operasi transplantasi ginjal.

WAKTU ISKEMIK GINJAL

Keberhasilan transplantasi ginjal juga ditentukan oleh


panjang waktu suatu ginjal mengalami iskemia akibat
terhentinya sirkulasi.
Ada empat jenis waktu iskemik yang harus
diperhatikan pada transplantasi ginjal, yaitu: 1). Waktu
iskemik total, yakni waktu selama ginjal tidak mendapat
sirkulasi darah; dimulai dari saat nefiektomi sampai dengan
selesainya anastomosis pembuluh darah pada waktu
operasi transplantasi ginjal; 2). Waktu iskemik panas
TES CROSSMATCH
pertama, yakni waktu yang dimulai dari saat sirkulasi ke
ginjal berhenti sampai saat dimulainya perfusi ginjal
Tes crosstnatch bertujuan mengetahui adanya antibodi
dengan cairan pembilas; 3). Waktu iskemik dingin, yakni
dalam serum resipien, khususnya antibodi anti-HLA,
waktu yang dimulai dari saat ginjal donor diperfusi cairan
terhadap antigen donor. Antibodi pratransplantasi ini bisa
pembilas sampai perfusi dihentikan; 4). Waktu iskemik
timbul akibat kehamilan, transfusi darah, atau gagal ginjal
panas
kedua,
yakni waktu yang dimulai dari saat perfusi
transplan sebelumnya. AntibodiONLY
ini dapat
menyebabkan
SCANNED FOR dr. PRIYO
PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


cairan pembilas dihentikan sampai dengan anastomosis
di buka.
Waktu iskemik panas sangat berkorelasi dengan
panjang hidup ginjal transplan. Jika waktu iskemik panas
pertarna lebih dari 60 menit ketahanan hidup ginjal transplan
sangat menurun. Pada donorjenazah, waktu iskemik dingin
yang lebih dari 24 jam akan memperlambat saat ginjal
transplan mulai berfungsi pascatransplantasi, dan akan
menurunkan ketahanan hidup ginjal transplan.

Panjang waktu penyimpanan ginjal bergantung pada proses


pendinginan yang dilakukan untuk mengurangi aktivitas
metabolik dan kebutuhan oksigen, serta jenis cairan
pembilas yang digunakan untuk mempertahankan
lingkungan intraselular dalam keadaan tanpa adanya pompa
natriudkalium. Perfusi dilakukan dengan cairan pembilas
yang bersuhu 2-4" C melalui arteri renalis karena proses
pendinginan yang kurang atau berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan intraseluler yang ireversibel.
Ada beberapa jenis cairan pembilas yang dapat
digunakan, antara lain, cairan Histidine-TryptophaneKetoglutarate, University of Winconsin,dan Euro-Collins.
Ditinjau dari saat ginjal transplan mulai berfungsi dan
derajat fungsi ginjal pada hari ke-14 pascatransplantasi,
urutan mulai dari yang terbaik adalah seperti urutan di
atas. Khusus untuk cairan Euro-Collins terdapat usaha
untuk menambahkan MgS04 dan mengganti glukosa
dengan manitol.

GINJAL HIPERTENS1

interstisial yang berlebihan ke rongga intravaskular.


Pemberian albumin dalam jumlah yang cukup selama
operasi terbukti membantu ginjal transplan berfungsi dini,
meningkatkan ketahanan hidup ginjal transplan, dan
menurunkan mortalitas. Di beberapa pusat transplantasi,
manitol diberikan pada waktu revaskularisasi ginjal
transplan karena dapat mengurangi insidens nekrosis
tubular akut.
Pada umurnnya, ginjal transplan akan memproduksi urin
segera setelah revaskularisasi. Beberapa resipien dapat
mengeluarkan urin sampai dengan 1000 mlljam yang
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelebihan cairan
yang terjadi secara kronik pratransplantasi, beban osmotik
molekul yang tidak cukup terbersihkan dengan dialisis
(termasuk kreatinin), kerusakan tubulus proksimal, dan
obat diuretik yang diberikan selama operasi. Pada beberapa
jam pertama pascatransplantasi diberikan larutan kristaloid
per infus untuk menggantikan jumlah urin yang keluar
dengan tetesan paling sedikit 100 mlljam. Setelah itu,
jumlah urin yang keluar diganti dengan infus larutan
dekstrosa dalam garam (112 normal) dengan menghitung
keseimbangan cairan dari jam ke jam dan memperhatikan
nilai tekanan vena sentralis. Diuresis biasanya akan
kembali normal dalam waktu 24-72 jam. Resipien yang
mengalami oliguria hams menjalani dialisis sampai ginjal
transplan berfungsi.
Meskipun operasi transplantasi ginjal tidak
mengganggu selaput peritoneum, ileus pascatransplantasi
dapat terjadi untuk sementara. Biasanya, makanan peroral
diberikan setelah fungsi usus kembali normal pada 24-48
jam pascatransplantasi dan kemudian infus cairan dapat
dihentikan.

PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF
DlSFUNGSl DIN1 GINJAL TRANSPLAN
Pada periode preoperatif, status sirkulasi dan hemodinamik
resipien transplantasi ginjal dikaji, dilakukan deteksi dini
terhadap sumber infeksi, dan jika terdapat kelainan elektrolit
dikoreksi. Dialisis preoperatif yang adekuat akan
memudahkan penatalaksanaan perioperatif dan
mengurangi risiko operasi.
Karena obat imunosupresif sudah diberikan sebelum
atau pada saat operasi, tindakan operasi harus sangat
cermat. t-Iematoma dan kebocoran ureter akan
meningkatkan insidens infeksi luka pascaoperatif.
Antibiotika berspektrum luas dosis tunggal yang diberikan
pada saat induksi anestesi dapat mengurangi insidens
infeksi luka pascaoperatif secara bermakna.
Jika pada periode preoperatif dijumpai keadaan
dehidrasi, selama operasi dapat diberikan cairan yang agak
berlebih. Volume cairan intravaskular perlu dipertahankan
dengan cara memonitor tekanan vena sentralis. Ini akan
membantu ginjal transplan berfungsi optimal.
Albumin dapat diberikan karena dapat menarik cairan

Pengkajian dan pengobatan disfungsi dini ginjal transplan


sangat penting pada penatalaksanaan resipien
transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang optimal
dilakukan dengan cara mengkaji data klinik, laboratorium,
pencitraan, dan biopsi secara integratif. Tidak jarang
dibutuhkan kematangan pengalaman klinik dalam situasi
yang meragukan. Pada Tabel 11 dapat dilihat faktor mekanii
dan nonmekanik yang dapat menyebabkan disfungsi dini
ginjal transplan pascatransplantasi.
Langkah pertama yang dilakukan pada resipien
transplantasi yang tetap anuria pascaoperatif adalah
dengan melakukan irigasi kateter urin karena bisa terdapat
bekuan darah yang menyumbat ujung kateter. Kadangkadang, terutama pada pria, ujung dan balon kateter tidak
dapat masuk sampai ke dalam kandung kemih. Jika cairan
yang diinstilasi tidak balik dengan mudah, posisi kateter
hams diperbaiki, atau jika perlu, kateternya diganti. Jika
kateter urin berfungsi baik, diberikan bolus cairan sebanyak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1073

TRANSPLANTASICINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


250 ml sanipai dengan satu atail dua liter untrtk mengatasi
hipovolertlia dengan mempertahankan nilai tekanan vena
sentralis setinggi 10- 12 cni H20. Manitol dan furosemid
sering diberikan ilntuk menstiniulasi keluarnya urin.
Jika fiaktor hipovolemia dan obstruksi sudah
disingkirkan. penyebab mekanik ini liarus dibedakan
dengan nekrosis tubular akut. rejeksi dini, dan toksisitas
obat. Pemeriksaan ultrasonografi adalah teknik noninvasif
yang cukup nyaman dan dapat ~nernbantumembedakan
berbagai penyebab tnekanik uliguria dini. Biopsi gin-jal
transplan perkutan tetap merupakan prosedur utatna untttk
mu~nhedakarinekrosis tubular akut, toksisitas obat, dan
rtjeksi.

Tabel 11. Faktor Mekanik dan Nonmekanik yang Dapat


Menyebabkan D,isfungsi Dini Ginjal Transplan Pascatrans~lantasi
Mekanik
Komplikasi saluran kemih
Obstruksi bekuan darah
Obstntksi ureter
Kebocoran ureter
Obstruksi limfokel
Non mekanik

Faktor donor
Hipotensi lama
Umur tua
Ol~guria
lnkompatibilitas imunologrk
Golongan darah ABO
Ketidaksesuaian HLA
Antibodi sitotoksik pratranspiantasr pdsrtrf

Komplikasr vaskular
Stenos~sarteri
Trombods arteri
Oklusi arteri polar
Trornbosis vena
Prese~asi Toksisitas obat
Temperatur nark
Perfusi kartrkostero~d
Waktu iskemik panjang
Rejeksi
Hiperakut
Accelerated

Akut
Kronik

REJEKSI GlNJAL TRANSPLAN


Sislem imun nianusia dapat n~engenalibagian tubuhnya
sendiri dan bendn asing. serta lntttnpunyai kemampuan
mempertatiankan diri trrhadap virus. bakteri, mutan, dan
sel asing lainnya. Rile ~nembransel ginjal transplan me~niliki
antigen yang tidak sesuai dengan resipien, limfosit T akan
bereaksi. yaitu berupa respons imun selular dan
pembentukan antibodi, yang akan manyebabkan destruksi
sel ginjal transplan dan akhirnya trombosis pembuluh
darah.
Rejrksi adalah suatu proses yatiy meniperlihatkan
jaringari cangkoli ( ~ r r ! f dikenal
t)
dan dirusak respons itnun
selular dan humoral resipien. Limfosit resipien tnengenal
molekul HLA ynng terdapat di dalam mernbran sel cangkok,
kemudian merusak set tersebut. Rcspo~lsimun awal adalah
interaksi atitara limfosit T yang membawa CD1dan CD28
dengan srl khus~tsresipien atau donor yany nietnbawa
dan sekresi
antigen. Pengaktifan limfosit 1'-CD4+ ( TIIcI?ILJ~)
interlei~kin-2(IL2) akan memulai kaskade respons imun
seluler dan humoral, yang akhirnya akan menghancurkan
cangkokan. seperti terlihat p d a Gambar 4.

Sel piasma

Mekanisrna Antibodi

Gambar 4. Diagram kaskede rnekanisms pengenalan antigen


den efektor rejeks~cangkok

Terdapat empat tipe reaksi rejeksi yang dapat terjadi


pada transplantasi ginjal: 1 ). Rejeksi hiperakut adalah
destruksi imunologik ginjal transplan yang terjadi dalam
waktu 73 jam pascatransplantasi dan sering terjadi
intraoperatif. Rrjeksi ini disebabkan oleh reaksi antibodi
resipien yang terbentuk pratransplantasi dengan antigen
sel endotel pembuluh darah ginjal transplan. Pasien
menunjukkan gangguan imunologik herat dengan
koagulasi intravaskular diseminata. Ginjal transplan edema
dan henioragik, dan jika tidak diangkat dapat pecah.
Pemeriksaan histopatologik inenunjukkan adanya endapan
lgG diln C3 di dalam dinding kapiler glomerulus dan
peritubulus, serta agregasi trornbosit yang menyumbat
lumen kapiler. 2). Rejeksi akut cepat (uccelerated acute)
adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi dalatn 24-72
jam pascatransplantasi. Rejeksi ini disebabkan oleh
respons i~nunhumoral dan s e l ~ ~ l resipien
er
yang sering
ire~ersibelwalaupun kadany-kadang dapat diatasi dengan
terapi antilimfosit. Pemeriksaan histopatologik
tnenunji~kkanadanya kerusakan pada pembuluh darah
yang sering disertai taskulitis nekrotik. 3). Rejeksi akut
adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi mulai pada
akliir ~iiingyu pertarna s a ~ n p a i denyan 6 bulan
pascatransplantasi yang disebabkan oleh respons imun
selular dan humoral resipien. Resipien mendadak demam,
badan lemali. hipertensi, dan oliguria disertai peninggian
kadar kreatinin darah. dan penurunan nilai tes kliren
kreatinin. Ginjal transplan menjadi edema yang mengiritasi
selaput peritoneum sehingga menimbulkan rasa nyeri di
daerah pelvis. Obat yang dapat digunakan adalah steroid,
antilimfosit globulin poliklonal, dan antibodi monoklona!
OKT3. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan infiltrasi
difus sel monoriukleus yang disertai edema dan
perdarahan di dalatn jaringan interstisial. Kadang-kadang
disertai infiltrasi sel polimorfonukleus, destruksi pembuluh
darah. dan proliferasi sel endotel dengan trombosis
mikrovask~~lar.
Kadar interleukin-2 plasma pratransplantasi
berkorelasi positif dengan insiden rejeksi akut, dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

peninggian kadar interleukin-2 plasma dalam 24 jam


pascatransplantasi yang bermakna merupakan prediktor
terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan
membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2 pada
jaringan ginjal dhpat digunakan sebagai petanda rejeksi
akut. 4). Rejeksi kronik adalah penurunan fungsi ginjal
transplan secara perlahan-lahan, disertai proteinuria dan
hematuri mikroskopik, yang terjadi setelah enam bulan
pascatransplantasi. Ada yang berpendapat bahwa istilah
yang lebih tepat adalah gaga1 ginjal cangkok kronik atau
chronic allograj nephropathy. Dalam hubungan ini, yang
berperan adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik
pada saat transplantasi, histokompatibilitas, umur donor,
keseringan dan derajat episode rejeksi akut, hipertensi,
hiperlipidemia, dan penyakit ginjal rekurens. Pemeriksaan
histopatologik menunjukkan adanya fibrosis jaringan
interstisial dan pembuluh darah, proliferasi dan penebalan
mesangial serta glomerulosklerosis. Pada saat ini obat
imunosupresif yang ada tidak bermanfaat dan pencegahan
ditujukan terutama untuk mengatasi faktor risiko tersebut.

FAKTOR PASCAOPERATIF
Oleh karena sel limfosit T berperan sangat penting dalam
proses rejeksi, berbagai obat imunosupresif yang
dipergunakan pada transplantasi ginjal ditujukan terhadap
sel ini. Beberapa obat imunosupresifjuga mempunyai efek
tambahan terhadap sel imun yang lain seperti sel limfosit
B dan sel fagosit mononuklir.
Obat imunosupresif yang sering dipakai pada
transplantasi ginjal adalah kortikosteroid, penghambat
sintesis purin, penghambat kalsineurin, penghambat
target rapamisin dan antibodi terhadap reseptor pada
permukaan sel T.

Prednison adalah kortikosteroid pertama yang


dipergunakan untuk transplantasi organ. Obat ini lebih
efektif dan menghasilkan potensiasi jika dikombinasi
dengan obat imunosupresif lainnya. Di dalam hati,
prednison cepat diubah menjadi prednisolon yang
mempunyai efek beragam. Prednisolon mempunyai efek
antiinflamasi, menghambat migrasi sel di dalam jaringan
ginjal cangkok, menghambat produksi interleukin- I, dan
pada dosis tinggi melisis limfosit T sehingga dapat dipakai
untuk mengatasi rejeksi akut. Dosis tinggi steroid dapat
menimbulkan infeksi dan nekrosis avaskular tulang
sehingga banyak unit transplantasi cepat menurunkan
dosis steroid dalam minggu-minggu pertama
pascatransplantasi, bahkan ada yang memberikan dosis
rendah steroid sejak awal.

Kortikosteroid bermanfaat baik untuk imunosupresi


pemeliharaan maupun untuk pengobatan rejeksi akut.
Untuk imunosupresi pemeliharaan pada awal transplantasi
diberikan 30-100 mghari. Dosis dikurangi secara progresif,
yang bergantung pada perjalanan klinik, sampai menjadi
dosis pemeliharaan 5 - 10 mghari. Ada yang memberikan
kortikosteroid selang sehari untuk mengurangi morbiditas.
Untuk pengobatan rejeksi akut selular,
metilprednisolon 500-1000 mghari dapat diberikan selama
3 hari secara intravena. Angka keberhasilan pada pulse
steroid ini sekitar 75 %.

Azatioprin adalah suatu antimetabolit derivat imidazol6merkaptopurin. Azatioprin dan prednisolon sudah lama
dipergunakan sebagai obat imunosupresif dasar pada
transplantasi. Di dalam hati azatioprin dimetabolisme
menjadi bentuk aktif yang dapat menghambat sintesis DNA
dan RNA, serta menghambat produksi interleukin-2. Efek
samping utamanya adalah mielotoksisitas sehingga
pemberian azatioprin disesuaikan dengan jumlah lekosit
dalam darah perifer yang diusahakan agar tidak kurang
dari 4000lml.
Dosis diberikan 2-3 mglkgBB1hari dan jika
dikombinasikan dengan siklosporin atau takrolimus dosis
dikurangi menjadi 1-1,5 mg/kgBB/hari.

MOFETIL MIKOFENOLAT
Asam mikofenolat adalah hasil fermentasi spesies Penicillium yang menghambat enzim inosine monophosphate
dehydrogenase yang diperlukan untuk sintesis purin.
Defisiensi purin akan menghambat sintesis DNA dalam
sel limfosit.
Oleh karena efek mofetil mikofenolat pada biosintesis
purin, obat ini digunakan sebagai pengganti azatioprin baik
pada awal transplantasi atau sesudah episod rejeksi yang
terjadi pada pasien yang sebelumnya memakai azatioprin.
Dosis mofetil mikofenolat yang dianjurkan adalah 2 x 1
gramlhari.

PENGHAMBAT KALSINEURIN: SlKLOSPORlN


Siklosporin adalah suatu polipeptida siklik yang diproduksi
dari jamur Tolypocladium injlatum, yang terdiri atas 11
asam amino dan mempunyai berat molekul1203. Siklosporin
di dalam sitoplasma berikatan dengan siklofilin dan ikatan
ini kemudian menghambat enzim kalsineurin yang
berfungsi pada pengaktifan nuclear factor of activated T
cell (NFAT). Seperti diketahui, NFAT berperan dalam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TRANSPLANTASI GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


proses pengaktifan gen IL-2 dan transkripsi mRNA untuk
IL-2, suatu sitokin yang berperan dalam merangsang
pertumbuhan dan proliferasi. Dosis pemeliharaan adalah
3-5 mgkgBB/hari.
Interaksi siklosporin dengan obat lain memerlukan
perhatian khusus karena dapat meninggikan atau
menurunkan kadar siklosporin. Obat yang menginduksi
aktivitas enzim P450 seperti rifampisin, isoniazid, dan
trimetoprim dapat menurunkan kadar siklosporin,
sedangkan obat yang menghambat aktivitas enzim P450
seperti verapamil, diltiazem, nikardipin, eritromisin,
ketokonazol, dan simetidin dapat meninggikan kadar
siklosporin.
Pemakaian siklosporin bersama amfoterisin,
aminoglikosid, dan obat antiinflamasi nonsteroid dapat
mempercepat terjadinya efek samping nefrotoksik. Efek
samping yang lain adalah hipertensi, hiperlipidemia,
hirsutisme dan pembesaran gusi.

Takrolimus, termasuk dalam penghambat kalsineurin,


memiliki struktur molekul yang berbeda dengan siklosporin
dan dalam sitoplasma berikatan dengan protein yang
berbeda yaitu FKBP (FK binding protein), tetapi
menunjukkan mekanisme kerja, interaksi obat dan efek
samping yang hampir sama. Kelebihannya dibandingkan
dengan siklosporin adalah angka kejadian hipertensi,
hiperlipidemia clan komplikasi kosmetik yang lebih rendah.
Kekurangannya dibandingkan dengan siklosporin adalah
lebih toksik terhadap ginjal, saluran pencernaan dan
pankreas, meskipun dengan dosis yang lebih rendah
komplikasi tersebut kejadiannya berkurang. Dosis
pemeliharaan adalah 0,15 - 0,30 m@gBB/hari.

Sirolimus atau rapamisin merupakan obat imunosupresif


pemeliharaan yang relatif baru pada transplantasi ginjal.
Sirolimus menghambat respons proliferatif sel limfosit T
dan B terhadap rangsangan sitokin. Sirolimus berikatan
dengan FKBP, seperti takrolimus, tetapi tidak menghambat
kalsineurin melainkan menghambat kinase target rapamisin
yang berperan dalam pengendalian siklus sel. Efek samping
yang bisa terjadi adalah hambatan penyembuhan luka,
diare, hiperlipidemia, anemia dan trombositopenia.
Dosis sirolimus yang dianjurkan adalah 2 mgthari.

PREPARAT ANTlLlMFOSlT
Kemajuan pertama yang berarti dalam usaha mengatasi

respons imun yang lebih selektif adalah pemakaian


preparat antilimfosit poliklonal dalam klinik. Beberapa
preparat tersebut, misalnya, serum antilimfosit (ALS),
globulin antilimfoblas (ALG), dan globulin antitimosit
(ATG) merupakan antibodi terhadap sel T.
Walaupun preparat poliklonal menunjukkan spesifisitas
imunosupresif yang makin meningkat, selektivitas supresi
masih belum optimal. Preparat antibodi monoklonal, seperti
OKT3 bekerja lebih selektif terhadap reseptor sel T
(anti-CD3), yang berfungsi untuk pengenalan antigen.
Obat ini sudah terbukti sangat efektif untuk pengobatan
rejeksi yang resisten terhadap steroid serta dapat dipakai
sebagai pengobatan awal dalam minggu pertama
pascatransplantasi. Dosis dan cara pemakaian preparat ini
dapat dilihat pada Tabel 12.

ANTIBODI MONOKLONAL ANTI-RESEPTOR


INTERLEUKIN-2 YANG D I H U M A N I S A S I I
DlKlMERlSASl
Antibodi monoklonal ini merupakan imunosupresif yang
lebih spesifik dibandingkan dengan OKT3 dan poliklonal
karena reseptor interleukin-2 sepenuhnya ada pada sel T
yang sudah teraktivasi. Humanisasi atau kimerisasi antibodi
ini mengurangi pembentukan antibodi antimouse pada
resipien sehingga meningkatkan waktu paruh dan
efektivitas obat. Penelitian daclizumab dan basiliximab
secara acak, terkontrol dibandingkan dengan plasebo
menunjukkan penurunan sepertiga kejadian rejeksi akut.

PROTOKOL PEMAKAIAN OBAT IMUNOSUPRESIF


Pada umumnya, setiap unit transplantasi mempunyai
protokol sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan
setempat dan pengalaman masing-masing. Protokol
tersebut dipakai sebagai pedoman umum yang tidak dianut
secara kaku dan jika diperoleh pengetahuan dan
pengalaman dengan obat baru, pedoman tersebut
dimodifikasi.
Tujuan pemberian obat imunosupresif pada
transplantasi ginjal adalah memberikan obat anti rejeksi
dalam dosis yang masih dapat ditoleransi untuk jangka
waktu lama, tetapi dapat mencegah terjadinya rejeksi
terhadap ginjal cangkok. Pemberian obat imunosupresif
terdiri dari dua tahap, yaitu tahap awal atau induksi dan
tahap pemeliharaan.
Banyak unit transplantasi yang memakai cara terapi
tripe1 yang terdiri dari siklosporin atau takrolimus,
azatioprin atau mofetil mikofenolat, dan prednisolon
dengan dosis seperti terlihat pada Tabel 12. Regimen
sekuensial atau kuadripel dengan preparat antilimfosit
banyak dipergunakan untuk pasien yang sensitif atau pada

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

retransplantasi. Pada rejeksi akut, seperti terlihat pada


Tabel 12, dapat dipergunakan kortikosteroid dosis tinggi
secara oral atau parenteral, preparat antilimfosit atau
plasmaferesis.

TOLERANSI
Toleransi pada transplantasi adalah suatu keadaan tidak
terdapatnya reaksi imunologik terhadap antigen yang
terdapat pada jaringan atau organ yang ditransplantasikan,
tanpa pemakaian obat imunosupresif. Pada saat ini
berbagai penelitian sedang dilakukan pada hewan
percobaan sedangkan pada manusia belurn dapat dicapai
keadaan toleransi ini.

KOMPLlKASl INFEKSI PADA TRANSPLANTASI


GINJAL
Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada
keseimbangan antara imunosupresi yang memadai untuk
mencegah rejeksi ginjal cangkok dan pemeliharaan
kompetensi imun pada taraf yang memadai untuk
melindungi resipien terhadap infeksi. Sebagai akibat
pemakaian berkelanjutan obat yang menekan h g s i sel T,
resipien transplantasi ginjal menunjukkan peninggian
risiko terhadap infeksi oleh berbagai patogen intraselular

Siklo
k
g

Dosis awal

seperti virus, protozoa, bakteri, dan jamur.


Insiden infeksi yang letal dan nonletal menurun
terutama disebabkan oleh peningkatan pe-ngalaman,
perbaikan dalam metode organ procurement dan seleksi
resipien, peningkatan teknik bedah, serta pengetahuan
yang lebih baik tentang jenis dan saat terjadinya infeksi.
Pemakaian antibiotika profilaktik untuk mengurangi
keseringan infeksi luka, pelaksanaan biopsi ginjal secara
tertutup, pemeriksaan ultrasonografi di daerah ginjal
transplan yang lebih sering, dan pemberian bolus
prednisolon dosis tinggi untuk terapi rejeksi yang lebih
jarang, serta kebijakan untuk tidak mempertahankan ginjal
transplan yang tak berfungsi lagi ikut berperan
menurunkan insiden komplikasi infeksi. Walaupun
demikian, infeksi tetap merupakan penyebab penting baik
bagi mortalitas maupun bagi penurunan ketahanan hidup
ginjal transplan. Di Indonesia infeksi pascatransplantasi
merupakan salah satu masalah utama, selain masalah
donor dan biaya.

HASlL TRANSPLANTASI GINJAL


Dalarn bagian ini dikemukakan hasil transplantasi ginjal
seperti yang dilaporkan oleh the United Network of
Organ Sharing (WOS) Registry di Amerika Serikat, hasil
transplantasi ginjal jangka panjang, dan pengalaman di
Indonesia.

OKT3

Aza
k
g

Pred
mg

2,s
23

100
30

Steroid dosis tinggi


Steroid dosis
rendah

20-30

3 bulan diubah ke
AzaIPred
Siklo mulai setelah
diuresis

Regimen
Tanpa siklosporin
Siklo dosis tinggi
Tempi ganda

17,5
10-15

Tempi tripel

8-12,5

1,5

20-30

Kuadripell
sekuensial

8-12,5

1,5

20-30

Pred Oral
dosis tlnggl

Tf!?

1.5-2,O
(7-14)

Metilpred
lntravena

OKT3

mg
(hari)

atau

Rejeksi
berat

200 mglhari: 3 hari,


diturunkan 5-7 hari

1
gramlhari:
3-5 had

5,O mglhari:
5-14 hari

Rejeksi
sedang

120 mglhari: 3-5 hari,


diturunkan 5-7 hari

2,5-5.0
mglhari: 514 hari

Rejeksi
ringan

120 mglhari: 3 hari,


diturunkan ke semula

500
mglhari: 3
hari
250-500
mglhari: 3

5 (5-10)

Keterangan

Sekuensial: Siklo
setelah ATG 7-14
hari

ALGIATG

Plasmaferesis

Dosis
sesuai
dengan
petunjuk

Rejeksi
vaskular. 2-3L:
3-5 hari

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1077

TRANSPLANTASIGINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


adalah 86% dan 95%. Ginjal cangkok tersebut mempunyai
proyeksi waktu paruh 13 tahun.

REGlSTRASl UNOS
Berdasarkan laporan registrasi UNOS disimpulkan ha1
berikut: 1). Ketahanan hidup ginjal cangkok satu tahun
pada resipien yang memperoleh ginjal dari saudara
kandung dengan HLA-identik adalah 95%, saudara
kandung dengan kesamaan 1 haplotip 91%, orang tua
90%, dan dari anak 89%. Ketahanan hidup pasien satu
tahun pada orang tua yang memperoleh ginjal dari
anaknya adalah 94%, sedangkan resipien yang
memperoleh ginjal dari anggota keluarga dekat adalah
98%. Ginjal transplan dari donor keluarga dengan HLAidentik mempunyai proyeksi waktu paruh 26 tahun,
sedangkan jika dengan kesamaan 1 haplotip proyeksinya
12-14 tahun. 2). Ketahanan hidup ginjal cangkok dan
pasien satu tahun pada transplantasi antar-pasangan
hidup adalah 92% dan 99%. Ketahanan hidup ginjal
cangkok dan pasien satu tahun pada transplantasi
dengan donor dari keluarga jauh atau dari orang lain

Tahun

1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004

2
1
1
3
2
11
14
16
8
8
13
11
11
11
12
13
16
26
19
15
12
11
6
9
13

Jumlah

7
10
13
294

5
6
6
5
3
5
4
5
3

2
2
-

48

2
8
5
3
2
6
3
5
6
3

6
4
1
1

2
-

3
3
1
1
4
2
1

1
47

2
1
31

HASlL TRANSPLANTASI GINJAL JANGKA


PANJANG
Hasil transplantasi ginjal yang dikemukakan di atas
umwnnya dilaporkan sebagai ketahanan hidup ginjal
transplan satu tahun, dan memang ketahanan hidup satu
tahun bisa menggambarkan ketahanan hidup 10 tahun.
Dalam era siklosporin, prediksi ketahanan hidup 10
tahun ginjal transplan yang berasal dari saudara kandung
dengan HLA identik adalah 79%, dari orang tua 52%, dan
dari donor jenazah 44%. Faktor yang mempengaruhi hasil
transplantasi adalah kesesuaian HLA, ras, unit
transplantasi pelaksana, etiologi penyakit ginjal, derajat
fungsi ginjal transplan dalam periode awal
pascatransplantasi, clan insidens rejeksi dini.

1
1

4
2
1
29

1
-

2
2
3
3
2
2
1
1
2
2

"

2
3
4
7
11
22
36
52
65
79
99
123
149
171
193
216
245
281
310
337
355
373
385
397
412
425
439
455

I
1
3
4

1
-

II

1
1

Jumlah
kumulatlf

Jumlah
pertahun

14
16
13
14
20
24
26
22
22
23
29
36
29
27
18
18
12
12
15
13
14
16
455

Keterangan:
: RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo IRS PGI Cikini Jakarta
A
B
: RS Dr. Karyadi IRS Telogorejo Semarang
C
: RSPAD Gatot Subroto Jakarta
: RS Dr. Sutomo Surabaya
D
E : RS Dr. Sarjito Yogyakarta
F
: RS Dr. Pirngadi Medan
: RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
G
H
: RS Advent Bandung

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENGALAMAN Dl INDONESIA

Transplantasi ginjal dilaksanakan pertama kali di


Indonesia pada tahun 1977. Transplantasi ginjal
berkembang sangat lambat dan pada Tabel 13 dapat dilihat
jumlah transplantasi ginjal di Indonesia tahun demi tahun
menurut registrasi Perhimpunan Nefrologi Indonesia.
Secara umurn ketahanan hidup ginjal transplan dan pasien
yang dicapai di Indonesia tidak berbeda dengan yang
dilaporkan di luar negeri.

Allen RDM, Chapman JR. A manual of renal transplantation.


London: Little, Brown and Company;l994.
Bradley BA. Factors affecting kidney transplantation success.
Curr Opin Nephrol Hypertens. 1992;1:220-9.
Briggs JD. The recipient of a renal transplant. In: Morris PJ,
editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th
edition. Philadelphia: WB Saunders;l994.p. 43-55.
Cecka JM, Terasaki PI. The UNOS scientific renal transplant
registry. In: Terasaki PI, Cecka JM, editors. Clinical
transplants 1992. Los Angeles: UCLA, Tissue Typing
Laboratory; 1993. p.1-16.
Chandraker A, Perkins DL, Carpenter CB, Sayegh MH.
Transplantation immunobiology. In: Brenner BM, editor.
Brenner & Rector's the kidney. 7Ih edition. Philade1phia:WB
Saunders; 2004. p. 2759-83.
Chugh KS, Vivekanand JHA. Commerce in transplantation in
third world countries. Kidney Int. 1996;49: 1181-6.
Danovitch GM. Immunosuppressive medication and protocols for
kidney transplantation. In: Danovitch GM, editor. Handbook
of kidney transplantation. 3rdedition.Philade1phia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2001. p. 62-1 10.
Davison AM. Renal transplantation: recurrence of original disease
with particular reference to primary glomerulonephritis. Nephrol
Dial Transplant. 1995; 1 O(supp1 1):81-4.
Goral S, Helderman JH. Current and emerging maintenance
immunosuppressive therapy. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh
MH, editors. Dialysis and tranplantation: a companion to
Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders;
2000. p. 561-7.
Gritsch HA, Rosenthal JT, Danovitch GM. Living and cadaveric
kidney donation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of
kidney transplantation. 3rd edtion. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2001.p. 11 1-29.
Kendrick E. Evaluation of the transplant recipient. 1n:Danovitch
GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.130-45.

Kubak BM, Pegues DA, Holt CD. Infectious complications of


kidney transplantation and their management. In: Danovitch
GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3rd edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p. 22162.
Magee CC, Milford E. Clinical aspects of renal transplantation. In:
Brenner BM, editor. Brenner & Rector's the kidney, 71h edition.
Philadelphia: WB Saunders; 2004. p. 2805-48.
Marshall VC, Jablonski P, Scott DF. Renal preservation. In: Morris
PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4 th
edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 86-108.
McGeown MG. Towards long - term graft survival: an overview.
Nephrol Dial Transplant. 1995;1O(suppl 1): 3-9.
Melk A, Halloran P. Immunosuppressive agents used in transplantation. In: Johnson RJJ, Feehally J, editors. Comprehensive
clinical nephrology. 2ndedition. Edinburg: Mosby; 2003. p.105769.
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome
Quality Initiative (KIDOQI) Advisory Board: KIDOQI clinical
practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification, and stratification. Kidney Disease Outcome
Quality Initiative. Am J Kidney Dis. 2002;39(Suppl 1): S l S246.
Pallis C. Brainstem death: the evolution of a concept. In: Morris PJ,
editor. Kidney transplantation, principles and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p.7 1-85.
Rawn JD, Tilney NL. The early course of a patient with a kidney
transplant. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation,
principles and practice. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1994.
p. 167-78.
Sayegh MH, Krensky AM. Transplantation immunobiology. In: Owen
WF, Pereira BJG, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 487-98.
Susalit E. Efek amlodipin terhadap faktor yang berperan pada
penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh siklosporin pada
resipien transplantasi ginjal. Buku disertasi dipertahankan
dihadapan Senat Guru Besar UI 3 Juli 1996.
Susalit E. Strategi penatalaksanaan gagal ginjal kronik memasuki
abad XXI. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Penyakit Dalam di FKUI, Jakarta, 6 Mei 1998.
Ting A, Welsh K. HLA matching and crossmatching in renal
transplantation. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation,
principle and practice. 4th edition. Philadelphia: WB Saunders;
1994. p. 109-26.
Waid TH. Prevention and treatment of renal allograft rejection. In:
Glassock RJ, editor. Current therapy in nephrology and
hypertension. 41h edition. St. Louis: Mosby; 1998. p. 356-67.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI ESENSIAL
Mohammad Yogiantoro

PENDAHULUAN

DEFlNlSl

Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah


karena beberapa hal, antara lain meningkatnya prevalensi
hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum
mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi
tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya
penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya


didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa
penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk
membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder
karena sebab-sebab yang diketahui.
Menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High. Blood Pressure (JNC 7 ) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, Hipertensi derajat 1 dan
derajat 2 (Tabel 1).

Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin


meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien
dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan
bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun
kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul
pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun.
Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu
terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan
kemajuan lagi bola kurva mendatar), dan pengendalian
tekanan darah ini hanya mencapai 34%dari seluruh pasien
hipertensi.
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap
sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah
maju. Data dari The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari
tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa
adalah sekitar 29-3 1%, yang berarti terdapat 58-65 juta
orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15
juta dari data NHANES I11 tahun 1988- 1991. Hipertensi
esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi.

K'as'nkasi
Tekanan Darah

TDS (mmHg)

Normal
Prahipertensl
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2

< 120
120 139
140 159
> 160

TDD (mmHg)
dan
atau
atau
atau

< 80
80 89
90 99
> 100

TDS = Tekanan Darah Slstolik, TDD = Tekanan Darah


Diastollk

Masih ada beberapa klasifikasi dan pedoman


penanganan hipertensi lain dari World Health
Organization (WHO) dan International Society of
Hypertension (ISH), dari European Society of
Hypertension (ESH, bersama European Society of
Cardiology), British Hypertension Society (BSH) serta
Canadian Hypertension Education Program (CHEP),
tetapi umumnya digunakan JNC 7.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1080

GINJAL HIPERTENS1

PATOGENESIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang


timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko
tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya
kenaikan tekanan darah tersebut adalah:
1. faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stres, ras,
obesitas, merokok, genetis
2. sistem saraf simpatis
tonus simpatis
variasi diurnal
3. keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan
vasokonstriksi:
endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi
remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium
juga memberikan kontribusi akhir
4. pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada
sistem renin, angiotensin dan aldosteron
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan
dalan pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi
m u s dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan
Perifer (Gambar 1).

KERUSAKAN ORGAN TARGET

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik


secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan

organ-organ target yang umum ditemui pada pasien


hipertensi adalah:
1. jantung
hipertrofi ventrikel kiri
angina atau infark miokardium
gaga1 jantung
2. otak
strok atau transient ischemic attack
3. penyakit ginjal kronis
4. penyakit arteri perifer
5. retinopati
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab
kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat
langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau
karena efek tidak langsung, antara lain adanya
autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin 11, stres
oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide
synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan
bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam
berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat
meningkatnya ekspresi transforming growth factor$
(TGF-P)
Adanya kemsakan organ target, terutama pada jantung
dan pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien
hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien
hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit
kardiovaskular.

Gambar 1. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HlPERTENSl ESENSIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Faktor risiko penyakit kardiovaskular pada pasien


hipertensi antara lain adalah:
merokok
obesitas
kurangnya aktivitas fisik
dislipidemia
diabetes melitus
mikroalbuminuriaatau perhitungan LFG <60 mumenit
umur (laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun)
riwayat keluarga dengan penyakit jantung
kardiovaskular prematur (laki-laki <55 tahun, perempuan
< 65 tahun)
Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami
peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi;mereka yang
tekanan darahnya berkisar antara 130-139180-89 mmHg
dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko
menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular
dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah.
Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan
darah sistolik >I40 mmHg merupakan faktor risiko yang
lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari
pada tekanan darah diastolik:
risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan
darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap
kenaikan 20110 mmHg
risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu,
konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya
individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk
mengalami hipertensi

EVALUASI HlPERTENSl

Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk: 1).


Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko
kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit
penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan
pengobatan. 2). Mencari penyebab kenaikan tekanan
darah. 3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target
organ dan penyakit kardiovaskular.
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan
anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisis serta
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2 indiiasi adanya hipertensi sekunder
a). keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal
polikistik)
b). adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih,
hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan obatl
bahan lain
c). episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan,
palpitasi (feokromositoma)

d). episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme)


3. faktor-faktorrisiko
a). riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien
atau keluarga pasien
b). riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c). riwayat diabetes melitus pada pasien atau
keluarganya
d). kebiasaan merokok
e). polamakan
0. kegemukan, intensitas olah raga
g). kepribadian
4. gejala kerusakan organ
a). otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan
penglihatan, transient ischemic attacks, defisit
sensoris atau motoris
b). jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c). ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri
d). arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio
intermiten
5. pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga
untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan
organ target serta kemunglunan adanya hipertensi sekunder.
Pengukuran tekanan darah:
pengukuran rutin di kamar periksa
pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure
Monitoring-ABPM)
pengukuran sendiri oleh pasien
Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi
duduk di kursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki
di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran
dan peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk
standar orang dewasa) dan stetoskop hams benar (gunakan
suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik dan
diastolik). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela
antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tarnbahan dilakukan
jika hasil kedua pengukuran sebelurnnya sangat berbeda.
K o n f i a s i pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan
pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan
tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan
menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera
sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk orang usia
lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada
hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran
tekanan darah pada posisi berdiri.
Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain:
hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik
hipertensi ofice atau white coat
adanya disfungsi saraf otonom
hipertensi sekunder
sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat
antihipertensi
tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


antihipertensi
gejala hipotensi yang berhubungan dengan
pengobatan antihipertensi
Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kekurangannya adalah masalah ketepatan
pengukuran, sedang kelebihannya antara lain dapat
menyingkirkan efek white coat dan memberikan banyak
hasil pengukuran. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi tekanan darah
sehari-hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan
meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan darah
serta menurunkan biaya.
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
test darah rutin
glukosa darah (sebaiknya puasa)
kolesterol total serum
kolesterol LDL dan HDL serum
trigliserida serum slasa)
asam urat serum
kreatinin serum
kalium serum
hemoglobin dan hematokrit
urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)
elektrokardiogram
Beberapa pedoman penanganan hipertensi
menganjurkan test lain seperti:
ekokardiogram
USG karotis (dan femoral)
C-reactive protein
mikroalbuminuria atau perbandingan albuminkeatinin
urin
proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif)
fbnduskopi (pada hipertensi berat)
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk
menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu:
aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)
diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)
fbngsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin
serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus)
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk
menentukan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan
secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan
bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala
pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan
organ target meliputi:
1. jantung
pemeriksaan fisis
foto polos dada (untuk melihat pembesaranjantung,
kondisi arteri intratoraks dan sirkulasi pulmoner)
elektrokardiografi(untuk deteksi iskemia, gangguan
konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri)
ekokardiografi

2. pembuluh darah
pemeriksaan fisis termasuk perhitunganpulsepressure
ultrasonografi (USG) karotis
fungsi endotel (masih dalam penelitian)
3. otak
pemeriksaan neurologis
diagnosis strok ditegakkan dengan menggunakan
cranial computed tomography (CT) scan atau
magnetic resonance imaging (MRI) (untuk pasien
dengan keluhan gangguan neural, kehilangan
memori atau gangguan kognitif)
4. mata
funduskopi
5. fbngsi ginjal
pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya
proteinurialmikro-makroalbuminuria serta rasio
albumin kreatinin urin
perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang untuk pasien
dalam kodisi stabil dapat diperkirakan dengan
menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault
sesuai dengan anjuran National Kidney
Foundation (NKF) yaitu:
(140

- umur) x Berat Badan

Klirens Kreatinin* =

x 0,85 (untuk perernpuan)


72 x Kreatinin Serum

'Glomerulus Filtration Ratellaju filtrasi glomerulus (GFR) dalam mllmeniff


1 .73m2

JNC 7 menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam


untuk mencari penyebab hipertensi tidak dianjurkan kecuali
jika dengan terapi memadai tekanan darah tidak tercapai.

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
target tekanan darah <I40190 mmHg, untuk individu
berisiko tinggi (diabetes, gaga1ginjal proteinuria) 4 3 0 1
80 mmHg
penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap
faktor risiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes
melitus atau dislipidemia juga hams dilaksanakan hingga
mencapai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi
nonfarmakologisdan farmakologis.Terapi nonfarrnakologis
hams dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan
faktor-faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPE~TENSIESENSIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Terapi nonfarmakologis terdiri dari :
menghentikan merokok
menurunkan berat badan berlebih
menurunkan konsumsi alkohol berlebih
latihan fisik
menurunkan asupan garam
meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta
menurunkan asupan Iemak
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis
hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7:
diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist
(CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin 11Receptor Blocker atau AT, receptor
antagonist/blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensimemiliki efektivitas dan
keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan
obat antihipertensijuga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:
faktor sosio ekonomi
profil faktor risiko kardiovaskular
ada tidaknya kerusakan organ target
ada tidaknya penyakit penyerta
variasi individu dari respon pasien terhadap obat
antihipertensi
kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang
gunakan pasien untuk penyakit lain
bukti ilmiah kemarnpuan obat antihipertensiyang akan
digunakan dalam menurunkan risiko kardiovaskular
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman
penanganan hipertensi menyatakan bahwa keuntungan
pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah
itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi
yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang
menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu
memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu.
Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan
pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus
(Special Considerations), yaitu kelompok Indikasi yang
Memaksa (Compelling Indication) dan Keadaan Khusus
lainnya (Special Situations).
Indikasi yang memaksa meliputi:
gaga1 jantung
pasca infark miokardium
risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
diabetes
penyakit ginjal kronis
pencegahan strok berulang
Keadaan khusus lainnya meliputi:
populasi minoritas
obesitas dan sindrom metabolik

hipertrofi ventrikel kanan


penyakit arteri perifer
hipertensi pada usia lanjut
hipotensi postural
demensia
hipertensi pada perempuan
hipertensi pada anak dan dewasa muda
hipertensi urgensi dan emergensi
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai
secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara
progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan unntuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja
panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan
pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi
dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan
kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada
tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis
obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah
belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke
antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping
umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis
rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar
pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk
mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat
meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan
kepatuhan pasien karena jumlah obat yang hams diminum
bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi
pasien (Gambar 2) adalah:
diuretika dan ACEI atau ARB
CCBdanBB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat

Gambar 2. Kernungkinan kombinasi obat antihipertensi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1084

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kelas Obat

Kontraindikasi

lndikasi
Mutlak

Diuretika (Thiazide)

gagal jantung kongestif, usia lanjut,


isolated systolic hypertension, ras Afrika

gout

kehamilan

Diuretika (Loop)

insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif

Diuretika (anti
aldosteron)

gagal jantung kongestif, pasca infark


miokardium

gagal ginjal, hiperkalemia

Penyekat p

angina pektoris, pasca infark miokardium,


gagal jantung kongestif, kehamilan,
takiaritmia

asma, penyakit paru


obstruktif menahun, AV block (derajat 2 atau
3)

Calcium Antagonist
(dihydropiridine)

usia lanjut, isolated systolic hypertension,


angina pektoris, penyakit pembuluh
darah perifer, aterosklerosis karotis,
kehamilan

Calcium Antagonist
(verapamil, diltiazem)

angina pektoris, aterosklerosis karotis,


takikardia supraventrikuler

Penghambat ACE

Angiotensin II receptor
antagonist (AT1blocker)

gagal jantung kongestif, disfungsi


ventrikel kiri, pasca infark miokardium,
nondiabetik nefropati, nefropati DM tipe
1, proteinuria
nefropati DM tipe 2, mikroalbuminuria
diabetik, proteinuria, hipertrofi ventrikel
kiri, batuk karena ACE1

a - Blocker

hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia

Klasifikasi
Tekanan
Darah

TDS

A-V block (derajat 2 atau


3), gagal jantung
kongestif
kehamilan, hiperkalemia,
stenosis arteri renalis
bilateral
kehamilan, hiperkalemia,
stenosis arteri renalis
bilateral
hipotensi ortostatis

(mmHg)

Perbaikan
Pola Hidup

Normal
Prehipertensi

c 120
120 139

dan < 80
atau
80 - 89

dianjurkan
Ya

Hipertensi
derajat 1

140 159

atau
90 - 99

Hipertensi
derajat 2

> 160
-

atau

PEMANTAUAN
Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus
datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan.pengaturan
dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah

penyakit pembuluh darah perifer,


intoleransi glukosa, atlit atau
pasien yang aktif secara fisik
takiaritmia, gagal jantung
kongestif

TDD
(m?Hg)

> 100
-

Tidak Mutlak

gagal jantung kongestif

Terapi Obat Awal


Dengan
Tanpa lndikasi
lndikasi yang
yang Memaksa
Memaksa
Tidak indikasi
obat

obat-obatan
untuk indikasi
yang memaksa

Ya

diuretika jenis
Thiazide untuk
sebagian besar
kasus, dapat
dipertirnbangka
n ACEI, ARB,
BB, CCB atau
kornbinasi

Ya

kombinasi 2
obat untuk
sebagian besar
kasus
urnurnnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACE1 atau ARB
atau BB atau
CCB)

obat-obatan
untuk indikasi
yang mernaksa
obat
antihipertensi
lain (diuretika,
ACEI, ARB,
BB, CCB)
sesuai
kebutuhan

tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya


dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini
juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti
gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti
diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI ESENSIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan:


empati dokter akan meningkatkan kepercayaan,
motivasidan kepatuhan pasien
dokter harus mempertimbangkan latar belakang
budayaepercayaan pasien serta sikap pasien
terhadappengobatan
pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah,
targetyang masih hams dicapai, rencana pengobatan
selanjutnyaserta pentingnya mengikuti rencana
tersebut
Penyebab hipertensi resisten:
1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. dosis belum memadai
3. ketidak patuhan pasien dalam penggunaan obat
antihipertensi
4. ketidak patuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
asupan alkohol berlebih
kenaikan berat badan berlebih
5. kelebihan volume cairan tubuh
asupan garam berlebih
terapi diuretika tidak cukup
penurunan fimgsi ginjal berjalan progresif
6. adanya terapi lain
masih menggunakan bahanlobat lain yang
meningkatkan tekanan darah
adanya obat lain yang mempengaruhi atau
berinteraksi dengan kerja obat antihipertensi
7. adanya penyebab hipertensi laidsekunder
Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target
tekanan darah) tidak tercapai, hams dipertimbangkan untuk
melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis.
Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes
melitus atau penyakit ginjal, baik American diabetes
association (ADA) maupun International society of
nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan kepada
seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus
mencapai < 60 ml/men/l ,73m2,ataujika ada kesulitan dalam
mengatasi hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan
kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus
mencapai < 30 ml/men/1,73m2,atau lebih awal jika pasien
berisiko mengalami penurunan fimgsi ginjal yang cepat
atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama
hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan
diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti
sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun
demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan
jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien
yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh
terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini hams
disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.

lndikasi yang Memaksa

Pilihan Terapi Awal

Gagal Jantung

Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo


Ant

Pasca lnfark Miokard


Risiko Penyakit Pembuluh
Darah Koroner
Diabetes
Penyakit Ginjal Kronis
Pencegahan stroke
berulang

BB, ACEI, Aldo Ant


Thiaz, BB, ACEI, CCB
Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB
ACEI, ARB
Thiaz, ACE1

REFERENSI
British Hypertenson Society. Guidelines for management of
hypertension: Report of the Fourth Working Party for the
British Hypertension Society. J Hum Hypertension.
2004;18:139-85.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
Hypertension. 2003;42: 1206-52.
European Society of Hypertension - European Society of
Cardiology Guidelines Committee. 2003 European Society of
Hypertension - European Society of Cardiology Guidelines for
the Management of Arterial Hypertension. J Hypertens.
2003;21:101 1-53.
Evidence - Based Recommendation Task Force of the Canadian
Hypertension Education Program 2004. Canadian
Hypertension Education Program Recommendation. January
2004.
Kaplan NM. Primary hypertension: pathogenesis. Kaplan's clinical
hypertension. 8thedition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2002. p. 56-135.
National Kidney Foundation. KIDOQI clinical practice guidelines
on hypertension and antuhypertensive agents in chronic
kidney disease. Am J Kidney Dis. 2004;43 (suppl 1):SI-S290.
Warnock DG, Textor SC. Core curriculum in nephrology:
hypertension. Am J Kidney Dis. 2004;44:369-75.
Word Health Organization, International Society of Hypertension
Writing Group. 2003 World Health Organization - International Society of Hypertension Statement of Management of
Hypertension. J Hypertens. 2003; 21 :1983-92.
World Health Organization and International Society of
Hypertension Guidelines Subcommittee. 1999 World Health
Organization - International Society of Hypertension
Guidelines for the Management of Hypertension. J Hypertens.
1999;17:151-83.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL


Agus Tessy

PENDAHULUAN
Pasien hipertensi banyak ditemukan di masyarakat dan
sekalipun telah diterapi masih banyak yang tekanan
darahnya tidak terkontrol. Hal ini disebabkan karena
kombinasi obat yang tidak sesuai dan banyak obat-obat
yang mempunyai efek samping dan kontraindikasi.
Sehingga diperlukan obat antihipertensi yang dapat
digunakan oleh pasien hipertensi yang dapat di toleransi
dengan baik dan mempunyai efek samping yang minimal
sehingga ketaatari pemakaiannya juga lebih baik.
Renin-Angiotensinogen-Aldosteron-(RAA) sistem
berperan penting dalam niemelihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskular. Sistem RAA dianggap sebagai
suatu homeostatic feed back loop dimana ginjal dapat
mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan
seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik,
berkurangnya volutne darah dan bila keadaan-keadaan ini
normal kembali maka RAA sistem tidak teraktivasi.
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan
darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama
dapat mengganggu ginjal. Di klinik sukar untuk
membedakan kedua keadaan ini terutama pada penyakit
ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan
penyakit ginjal menahun ataukah penyakit ginjal yang
menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk
mengetahui kedua keadaan ini diperlukan adanya catatau
medik yang teratur dalam jangka panjang.
Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung
dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita
hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama
makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hubungan
antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak
Richard Bright pada 1836.
Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa
hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fi~ngsi

gin.jal di samping faktor-faktor lain seperti proteinuria,jenis


penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia dan beratnya
hngsi ginjal sejak awal. Upaya menuninkan tekanan darah
jelas akan menurunkan faktor risiko kardiovaskular. Pada
studi Cohart mendapatkan bahwa penyebab kematian
akibat hipertensi ialah insufisiensi koroner, CHF, infark
cerebral dan perdarahan, penyakit ginjal menahun dan
ruptur aneurisme.
Variabilitas tekanan darah berperan penting sebagai
penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen
variabilitas tekanan darah yang berperan antara lain:
perubahan tekanan darah siang dan malam, perubahan
tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan tekanan
darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang.

Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit


ginjal akut maupun penyakit ginjal hronik baik pada
kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskular.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam:
1. Pada Penyakit Glomerulus Akut: G N Pasca
Streptokokkus, Nefropati, Membranos~
2. Pada Penyakit Vaskular: Vaskulitis, Sklerode~ma
3. Pada penyakit ginjal kronik: CKD Stage 111 - V
4. Penyakit Glomerulus Kronik: Tekanan darah normal
tinggi

Penyakit Glomerulus Akut


Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang
menyebabkan hipervolemi. Retensi natriurn terjadi akibat
adanya peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes.
Peningkatan ini dimungkinkan ole11 karena adanya
resistensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPase di duktus


koligentes.

Penyakit Vaskular
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang
sistem renin angiotensin aldosteron.
Penyakit Ginjal Kronik
Hipertensi oleh karena hal-ha1 sebagai berikut 1). Retensi
natrium, 2). Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif
karena kerusakan regional, 3). Aktivitas saraf simpatis
meningkat akibat kerusakan ginjal, 4). Hiperparatiroid
Sekunder, 5). Pemberian eritropoetin.
Penyakit Glomerulus Kronik
Tekanan darah yang ditemukan biasanya normal tinggi
dibandingkan dengan kontrol normal.
Sejak ditemukan cara penentuan praktis kadar renin
dan angiotensin I1 di dalam plasma maka reninangiotensinogen-aldosterone (RAA) sistem diteliti secara
luas. Renin dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di
ginjal dan akan merubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I (AI). Kemudian A1 oleh pengaruh
angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan
oleh paru, hati dan ginjal dirubah menjadi angiotensin I1
(AII) (Gambar 1). Sistem RAA adalah satu sistem
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan
berperan dalam ha1 naiknya tekanan darah, pengaturan
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.

Sekresi renin oleh ginjal dipengaruhi oleh: 1).


Mekanisme intrarenal: (a) reseptor vaskular, (b) makula
densa; 2). Mekanisme simpatoadrenergik; 3). Mekanisme
humoral.
Selain sistem RAA adajuga sistem Kalikrein-Kinin (KK)
yang juga dapat menyebabkan naiknya tekanan darah
(Gambar 2). Kalikrein akan merubah Bradikininogen
menjadi Bradikinin kemudianACE akanmerubah Bradikinin
menjadi fragmen inaktif yang dapat meningkatkan tekanan
darah (Gambar 3).
Renin mengubah Angiotensinogen menjadi Angiotensin I (AI) kemudian A1 dirubah oleh ACE menjadi
Angiotensin I1 (AII) dan alur ini disebut alur ACE. Selain
alur ACE, A11 juga dapat terbentuk langsung dari
Angiotensinogen atau melalui alur lain dan kedua alur ini
disebut alur non ACE. (Gambar 4)

PENGOBATAN

Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada


penyakit ginjal, maka pengobatan sebaiknya disesuaikan
pada masing masing kelompok.
Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit
glomerulus akut, diberikan diuretik sekaligus mengurangi
edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan
dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem
renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE) dapat
terjadi bila ada lesi pada ginjal.
ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan
hipertensi pada kelainan vaskular ginjal oleh karena iskemi
yang terjadi akan merangsang sistem-RAA.
Pada gaga1ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACE11
ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta
Blocker dimungkinkanuntuk pengobatan hipertensi secara

Bradikininogen

Kalikrein ---------3

Bradikinin

Gambar 1. Sistem renin-angiotensinogen-aldosteron

Gambar 2. Sistem kalikrein kinin

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1088

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


BRADYIUNIN SYSTEM

Activated
Factor XI1

Pre-kallikrern 4 Kallikrein

* _ - I

Prostaglandins
Nitric oxide

Angiofensinogen
i
~ hepatic~origin)
(alpha,-globulin,

-Q+

-9-

Endofhelium

ANGlOTENSlN SYSTEM

- , Converting

- - - Renin

Angiotensin I
(decapeptide)

enz me

Inactive
peptide

\4

opie (1999)

VASODILATlrA'
Increased
aldosterone
release

Gambar 3. Peranan ACE pada sistem RAA dan sistem KK

sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya


hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Bet~rBlocker atau
penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus
menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan
fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus
dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the
Joint National Conzmitee on Prevention. Detection,
Evaluation, and Treatment qf'High Blood Pressure (JNC
7 ) ,tahun 2003, tekanan darah sasaran pada penyakit ginjal
kronik adalah 130180 mmHg untuk menahan progresi
penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan
diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi
obat-obat di atas.

-I
-

Angiotensinogen

Renin

Angiotensin I

ACE

A 11 MAT,

All-AT,

Gambar 4. Alur pernbentukan All

Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik


dapat diperlakukan sebagai pengobatan hipertensi pada
penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik
dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun
tekanan darah masih dalam rentang 'normal', sehingga
pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai.
Renoprotektif
Maksud dari pengobatan hipertensi selain untuk
menurunkan tekanan darah, juga untuk mencegah
terjadinya kerusakan pada organ target. Terbentuknya A11
baik dari alur ACE maupun alur non ACE dapat
menyebabkan glomerulofibrosis karena terjadi infiltrasi
makrofag, naiknya tekanan intraglomeruler dan kenaikan
aldosteron yang semuanya dapat menyebabkan gangguan
pada sel-sel glomerulus. Naiknya tekanan intraglomeruler
akibat terjadi perbedaan tekanan pada vasa afaren dan
vasa eferen. Dalam ha1 renoprotektif ARB lebih unggul
dari ACEI karena selain efek samping yang minim, semua
A11 yang terbentuk baik dari alur ACE maupun alur non
ACE dihambat sedangkan reseptor AT, yang mempunyai
efek menguntungkan justru distimulasi'.
Angiotensin 11 dengan kadar yang rendah dapat
menyebabkan proteinuri. Hal ini disebabkan karena
terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus,
ukuran pori-pori glomerulus dan terjadi perubahanperubahan pada membrana glomerulus. Proteinuri
merupakan barometer penentuan prognosis pasien
hipertensi dan penyakit ginjal. Semakin banyak proteinuri,
semakin jelek prognosis dan semakin tinggi risiko
kardiovaskular.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ARB merupakan obat oral aktif dan bekerja spesifik


menghambat ikatan A11 dengan reseptor AT,, sedangkan
ACEI hanya menghambat pembentukan A11 melalui jalur
ACE. Pada data penelitian hewan menunjukkan bahwa
ARE3 lebih sedikit mengurangi GFR bila dibandingkan
dengan ACEI. Jelas bahwa ARE3 dan ACEI sama-sama
mempunyai sifat renoprotektif pada berbagai jenis
gangguan faal ginjal. ARB mempunyai efek natriuretik yang
sama dengan dosis sedang dari tiasid.
Telah diketahui bahwa reseptor AT, antagonis memiliki
potensi untuk mengurangi proteinuri dan menurunkan
tekanan darah tanpa terjadi perubahan-perubahan yang
dapat mengganggu GFR.
Perlu penelitian jangka panjang untuk menentukan
apakah reseptor AT, antagonis dapat bersifat
nefroprotective seperti halnya ACEI. Reseptor AT,
antagonis dapat digunakan pada pasien penyakit ginjal.
Pada beberapa studi berkesimpulan bahwa perlu hati-hati
dalam ha1 penggunaan reseptor AT, antagonis dan ACEI
pada penyakit ginjal akut dan bila dipergunakanmaka perlu
pengamatan yang cermat fungsi ginjal.

endotel seperti pada hipertensi akan mempercepat


remodeling vaskular akibat berkurangnya kombinasi NO
dengan Angiotensin I1 lokal.
Nitric Oxide berperan mengatur sirkulasi darah ginjal
dan dapat meningkatkan retensi natrium sehingga bila
terjadi gangguan sintesis NO berakibat terjadi ketidak
seimbangan antara pengaturan aliran darah ginjal dan
natrium yang berakibat buruk pada hipertensi ya3g peka
garam. Disimpulkan bahwa aktifvtas sintesis NO lebih
berperan pada hipertensi yang peka terhadap garam.
Khususnya pada hipertensi yang peka garam akan lebih
cepat terjadi gangguan pada organ target misalnya ginjal
dan jantung. Dapat disimpulkan bahwa aktivitas sintesis
NO dapat terjadi secara genetik dan gangguan respons
sintesis NO vaskular dapat menyebabkan tingkat
gangguan target organ yang berbeda. Sedangkan pada
orang tua karena berkurangnya aktivitas NO endotel yang
terjadi pada usia lanjut.

lnteraksi Nitric Oxide (NO) dengan Angiotensin II


Angiotensin I1 juga berperan dalam ha1 pengaturan GFR
melalui spasme vasa afaren dan vasa eferen. Pada
penelitian lanjut menemukan bahwa A11 dapat
meningkatkan oksidasi pada otot polos pembuluh darah
dan sel-sel mesangial sehingga sintesis sel yang berlarutlarut dari superoksida anion nitrik oksida dan selanjutnya
dapat menghambat respons sel-sel mesangial yang
berakibat terjadinya hipertrofi dan hiperplasia serta
peningkatan produksi matriks. Karena Angiotensin I1 dan
sintesis NO yang dikeluarkan secara lokal, maka terjadi
interaksi antara keduanya yang akhimya berperan dalam
ha1 fisiologi dan patologi ginjal. Nitric Oxide mengatur
sintesis ACE dan reseptor AT, pada jaringan vaskular.
Bila terjadi penghambatan sintesis NO yang kronis
maka akan menyebabkan gangguan pada glomerulus dan
tubulointerstitialdan terjadi remodeling koroner, LVH d m
hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
berkurangnya bioaktivitas NO vaskular akibat d i s h g s i

Bataineh A, Raij L. Angiotensin 11, nitric oxide and end-organ


damage in hypertension. Kidney Int. 1998;54:68:S14-S9.
Chung 0 , Unger T. Angiotensin I1 receptor blockade and end-organ
protection. AJH. 1999;12:S 150-S6.
JAMA. 2003;289:19 (Reprinted).
Johannes F.E. Mann: valsartan and the kidney: present and future.
J Cardio Pharmacol. 33:l l:S37-S40.
Kaplan NM, Rose BD. Hypertension in renal disease. Up To Date
CD-ROM version 13.3. 2005.
McInnes GT. Angiotensin I1 antagonism in clinical practice:
experience with valsartan. J Cardiovasc Pharmacol.
1999;33:(Supp. 1).
Oparil S. Newly emerging pharnarcology differences in angiotensin
I1 receptor blockers. AJH. 2000;13: 18s-24s.
Perico N, Spormann D, Peruzzi E, Bodin F, Sioufi A, Bertocchi F.
Efficacy and tolerability of valsartan compared with Lisinopril
in patients with hypertension and renal insufficiency. Clin Drug
Invest. 1997;14:(4).
Tessy A . Renoprotektif of ARB in the management of
hypertension, annual meeting nephrology 2001, Medan
November 1-3, 2001, Tiara Convention Centre.

REFERENSI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI RENOVASKULAR
Syakib Bakri

PENDAHULUAN
Hipertensi renovaskular (HRV) merupakan penyebab
tersering dari hipertensi sekunder. Diagnosis HRV penting
karena kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan
menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arteri renalis.
Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya
lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis,
sedangkan HRV adalah hipertensi yang terjadi sebagai
akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Biasanya
stenosis lebih dari 70% baru memberi konsekuensi
fisiologis tersebut. Penting untuk membedakan kedua
keadaan ini, oleh karena adanya stenosis arteri renalis tidak
selalu menimbulkan hipertensi. Eyler dkk menemukan
bahwa pada subyek normotensi berusia kurang dari 60
tahun, prevalensi stenosis arteri renalis mencapai 45%.
Schwartz & White pada otopsi 154 subyek, menemukan
adanya hubungan yang bermakna antara stenosis arteri
renalis dengan usia tetapi tidak ada korelasi stenosis arteri
renalis dengan tekanan darah diastolik. Demikian juga
adanya stenosis arteri renalis dan hipertensi secara
bersama-sama tidaklah selalu mempunyai hubungan
sebab-akibat. Holley dkk menemukan bahwa pada 49%
subyek normotensi dan 77% pasien hipertensi yang
ditelitinya ditemukan stenosis arteri renalis sedang sampai
berat. Smith menemukan bahwa nefrektomi dapat
menghilangkan hipertensi hanya pada 35% kasus yang
terbukti mempunyai stenosis arteri renalis dan hipertensi,
walaupun diketahui bahwa makin lama berlangsungnya
HRV makin rendah kemungkinan revaskularisasi dapat
mengontrol tekanan darah oleh karena kemungkinan sudah
terjadi nefrosklerosis pada ginjal kontralateral.
Istilah nefropati iskemik menggambarkan suatu
keadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal akibat adanya
stenosis arteri renalis. Bila sudah terjadi gangguan hngsi
ginjal, kelainan ini akan menetap walaupun tekanan

darahnya dapat dikendalikan dengan pengobatan yang


meliputi medikamentosa antihipertensi, revaskularisasi
dengan tindakan bedah, atau angioplasti.
Prevalensi HRV sangat rendah, kurang dari 1% dari
populasi umum, tetapi dapat mencapai 40-60% pada
populasi hipertensi refrakter dengan pengobatan lebih dari
3 macam anti-hipertensi dan pada populasi di atas 70
tahun.

Lesi Aterosklerotik Arteri Renalis


Merupakan penyebab paling sering dari HRV, mencapai
90% kasus. Biasanya ditemukan pada usia lanjut, sering
dengan riwayat keluarga hipertensi. Lesi umumnya terjadi
bilateral dan biasanya pada daerah ostium, baik fokal atau
merupakan lanjutan dari plak aorta serta pada
113 bagian proksimal arteri renalis. Biasanya berhubungan
dengan adanya aterosklerosis secara umum dan sering
ditemukan pada pasien dengan riwayat infark miokard,
strok dan klaudikasi intermiten.
Displasia Fibromuskular
Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering
ditemukan pada perempuan muda pada umur dekade ketiga
dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat
hipertensi dalarn keluarga dan umumnya belum mempunyai
kelainan organ target. Terjadinya bilateral pada 213 kasus,
dan biasanya terjadi pada 213 bagian distal arteri renalis
atau cabang intrarenal. Fibromuskular displasia terdiri dari
lima tipe histologi yaitu: fibroplasia medial (65-75%),
fibroplasiaperimedial(10-25%),fibroplasia intirnal (10-25%),
hiperplasia medial (5-10%) serta fibroplasia periarterial
(sangat jarang).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI RENOVASKULAR

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penyebab-penyebab Lain
Arteritis Takayasu, neurofibromatosis, aneurisma aorta
disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi,
posttransplant stenosis, dan emboli.

Model percobaan HRV pertama kali dilakukan oleh


Goldblatt tahun 1934 yang menunjukkan bahwa terjadi
hipertensi persisten bila dilakukan konstriksi kedua arteri
renalis anjing percobaan atau pada satu arteri renalis di
mana ginjal satunya telah dikeluarkan. Walaupun pada
awalnya diyakini bahwa hipersekresi renin dari ginjal yang
iskemik yang berperan pada terjadinya hipertensi,
penelitian-penelitian selanjutnyamengindikasikan adanya
faktor lain yang berperan padapersistensinya peningkatan
tekanan darah oleh karena hiperreninemia tidak selalu
ditemukan pada fase lanjut HRV. Juga dibuktikan bahwa
mekanisme terjadinya hipertensi pada hewan percobaan,
berbeda, tergantung apakah ginjal kontralateral masih intak
(one clip, ttvo kidney Goldblatt hypertension, sama
dengan stenosis arteri renalis unilateral pada manusia) atau
ginjal kontralateral telah diangkat (one clip, one kidney
Goldblatt hypertension, sama dengan stenosis arteri
renalis bilateral atau stenosis unilateral dengan ginjal
tunggal pada manusia).
Fase Akut. Konstriksi arteri renalis segera akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan juga renin
serta aldosteron. Pemberian angiotensin converting
enzyme inhibitors (ACEI) atau saralasin (suatu angiotensin
receptor blockers = ARB) dapat mencegah peningkatan
tekanan darah ini, mengindikasikan bahwa peningkatan
tekanan darah ini merupakan akibat dari hiperreninemia.
Fase Kronik. Setelah beberapa hari, tekanan darah tetap
meningkat tetapi renin dan aldosteron mulai menurun ke
nilai normal. Pada fase ini perlangsungan dari hipertensi
berbeda tergantung dari apakah ginjal kontralateral intak
atau tidak, serta dari spesies yang diteliti. Umumnya
penelitian dilakukan pada tikus.
One clip, one kidney Goldblatt hypertension: Seiring
dengan menurunnya renin, terjadi peningkatan volume
plasma akibat dari retensi natrium. Bila pada fase ini
diberikan ACEI, hanya sedikit terjadi penurunan tekanan
darah. Bila hewan percobaan diberikandiet rendah natrium,
peningkatan tekanan darah tetap terjadi, tetapi
mekanismenyaberbeda: renin plasma tetap meningkat tetapi
terjadi peningkatan volume plasma. Jadi hipertensi yang
terjadi apakah renin-dependent atau volume-dependent,
tergantung dari asupan natrium. Efek hipotensi dari ACEI
pada model ini kurang terlihat.
One clip, two kidney Goldblatt hypertension: Pada
model ini retensi natrium minimal dan hipertensi adalah
renin-dependent, di mana pemberian ACEI memberi efek

hipotensi yang jelas. Pada model ini ginjal kontralateral


mampu mengekskresikan natrium walaupun tidak
sepenuhnya normal oleh karena aktivasi sistem reninangiotensin (RA) juga menyebabkan vasokonstriksi pada
ginjal kontralateral.
Pada stenosis arteri renalis, ginjal yang stenotik akan
mengalami atrofi tubular dan fibrosis interstisial akibat
hipoperfusi, sedangkan pada ginjal kontralateral terjadi
hipertensi intraglomerulus akibat transmisi tekanan
sistemik yang meningkat yang akan menyebabkan
proteinuri dan glomerulosklerosis yang pada akhirnya
menyebabkan kerusakan nefron.

DIAGNOSIS
Sukar membedakan hipertensi esensil dengan HRV hanya
dengan pemeriksaan fisis; dibutuhkan pemeriksaanpemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium
seperti pemeriksaan aktivitas renin plasma perifer basal
maupun setelah pemberian kaptopril dan pemeriksaan
renin vena renalis, serta pemeriksaan radiologi seperti
renogram dengan atau tanpa pemberian kaptopril,
ultranonografi, magnetic resonance angiography ataupun
arteriografi. Arteriografi dianggap sebagai pemeriksaan
baku emas untuk diagnosis stenosis arteri renalis.
Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan-pemeriksaan ini
sangat bervariasi.

Tes

Sensitivitas

Spesifitas

Renogram
Renogram kaptoril
Aktivitas renin plasma perifer
Aktivitas renin plasma perifer
sesudah pemberian kaptopril
Ultrasonografi
Lesi apapun
Lesi > 60%
Magnetic resonance angiography

75%
83%
57%
96%

75%
93%
66%
55%

95%
90%
88%-95%

90%
62%
94%

Pemeriksaan-pemeriksaanini memerlukan biaya mahal


dan tidak selalu tersedia. Olehnya, skrining untuk mencari
kemungkinan adanya HRV tidak efektif-biaya untuk
dilakukan pada populasi umum karena prevalensi HRV
yang sangat rendah. Skrining hanya dilakukan pada
kelompok pasien yang mempunyai riwayat dan gambaran
klinik yang mencurigakan kemungkinan suatu HRV yaitu:
Hipertensi yang timbul pada usia kurang dari 30 tahun
atau lebih dari 50 tahun.
Hipertensi akselerasi atau hipertensi maligna.
Hipertensi yang resisten dengan pemberian 3 atau lebih
macam obat antihipertensi.
Hipertensi dengan gangguan hngsi ginjal yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Perburukan hngsi ginjal dari pasien hipertensi yang
diobati dengan ACEI atau ARB.
Hipertensi dengan bising pada abdomen
Hipertensi dengan edema paru yang berulang.
Pada tahun 1992, Mann & Pickering membuat suatu
kriteria probabilitas HRV berdasarkan kriteria klinis dengan
tujuan untuk menyeleksi pemeriksaan yang perlu dilakukan
sebagai berikut: 1). Probabilitas rendah: pada pasien
hipertensi ringan-sedang tanpa kelainan organ target. Pada
kelompok ini tidak perlu dilakukan shining HRV, 2).
Probabilitas sedang: pada pasien hipertensi berat (tekanan
diastolik di atas 120 mmHg), hipertensi yang refrakter
dengan pengobatan standar, hipertensi dengan bising pada
abdomen atau pinggang, hipertensi sedang (tekanan
diastolik 105-120 mmHg) yang merokok, pada pasien yang
mempunyai penyakit vaskular oklusif (serebrovaskular,
koroner atau arteri perifer), atau pada pasien dengan
peningkatan kreatinin serum yang tidak bisa dijelaskan
sebabnya. Pada kelompok ini dianjurkanuntuk pemeriksaan
renin plasma setelah stimulasi kaptopril dan renografi isotop,
yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan arteriografi
arteri renalis dan pemeriksaan renin vena renalis. 3).
Probabilitas tinggi: pada pasien dengan hipertensi berat
(tekanan diastolik di atas 120mmHg) yang refrakter dengan
pengobatan agresif atau dengan insufisiensi ginjal
progresif, khususnya pada perokok atau yang mempunyai
bukti adanya penyakit arteri oklusif; hipertensi maligna atau
akselerasi; hipertensi dengan peningkatan kreatinin serum
yang diinduksi oleh ACEI dan hipertensi sedang-berat
dengan ukuran ginjal yang asimetris. Pada kelompok ini
dianjurkan untuk langsung melakukan arteriografi arteri
renalis.

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas akibat peningkatan tekanan darah
dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi,
revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan
pengobatan yang akan diarnbil hams mempertimbangkan
etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum
pasien.
Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik,
hipertensi esensial biasanya sudah didiagnosis sebelum
diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat
pengobatan antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol
tekanan darahnya atau f h g s i ginjalnya, yang mendugakan
suatu HRV.
Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis
Intervention Cooperative study, pengobatan
medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat
antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih
dari separuh pasien.

Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan


revaskularisasi dapat merupakan pengobatan definitif
dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien
HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan
penyakit renovaskular aterosklerotik biasanya tetap
membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan
revaskularisasinya berhasil.
Tindakan revaskularisasi biasanya kurang memberikan
hasil yang memuaskan pada pasienHRV yang berusia
lanjut, HRV dengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin
serum lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit
renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran ginjal kurang
dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.

Pengobatan Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan
hipertensi esensial. Perhatian khusus hams diberikan bila
memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan
pilihan pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral
berfungsi baik; sebaliknya merupakan kontraindikasi pada
stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada
pasien dengan hanya satu ginjal (yang stenotik) yang
berfungsi, oleh karena akan rnenyebabkan perburukan
fungsi ginjal, bahkan gaga1 ginjal akut. Umumnya
dibutuhkan kombinasi beberapa macam antihipertensi
untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV.
Angioplasti Perkutan
Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan
ini mencapai 85-loo%, di mana 50% pasien dapat
disembuhkansedangkan40% mengalami perbaikan kontrol
tekanan darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya
dalam menormalkan tekanan darah lebih kurang
dibandingkanpada lesi aterosklerosis;walaupun demikian
pada sebagian pasien terjadi perbaikan kontrol tekanan
darah dan fungsi ginjal.
Revaskularisasi dengan Tindakan Bedah
Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah
dipergunakan, tergantung letak, luas, dan beratnya lesi
pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotikdilakukan
tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal
bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan graft dari arteri
hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein
bypass graft pada lesi aterosklerotik dan lesi fibromuskular.
Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada lesi
fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.

REFERENSI
Bhalla A, D'Cmz S, Lehl SS, et al. Renovascular hypertension - its
evaluation and management. JIACM. 2003;4:139-46.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1093

HIPERTENSI RENOVASKULAR

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Bloch MJ. An evidence-based approach to diagnosing renovascular
hypertension. Curr Cardiol Rep. 2001;3:477-84.
Canzanello VJ. Medical management of renovascular hypertension.
Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and
treatment. In: Mansoor GA, editor. New Jersey: Humana Press;
2004. p. 91-107.
Eyler WR, Clark MD, Garman JE, et al. Angiography of the renal
areas including a comparative study of renal arterial stenoses in
patients with and without hypertension. Radiology. 1962;78:87992.
Holley KE, Hunt JC, Brown AL, et al. Renal artery stenosis: a
clinical-pathological study in normotensive and hypertensive
patients. Am J Med. 1964;37:14-22.
Mann SJ, Pickering TG. Detection of renovascular hypertension.
Ann Intern Med. 1992;117:845-53.
Muller FB, Sealey JE, Case DB, et al. The captopril test of identifying renovascular disease in hypertensive patients. Am J Med.
1986;80:633-44.
Pickering TG, Laragh JH, Sos TA. Renovascular hypertension.
Diseases of the kidney. 5Lhedition. In: Schrier EW, Gottschalk
CW, editors. London: Little, Brown and Company; 1993. p.
1451-74.

Rankin SC, Saunders AJS, Cook GJR, et al. Renovascular


hypertension. Clin Radio]. 2000;55:1-12.
Rosner MH. Renovascular hypertension: can we identify a
population at high risk? Southern Med J. 2001;94:1058-64.
Salifu MO, Haria DM, Badero 0 , et al. Challenges in the diagnosis
and management of renal artery stenosis. Curr Hypertens Rep.
2005;7:219-27.
Schwartz CJ, White TA. Stenosis of the renal artery: an unselected
necropsy study. Br Med J. 1964;2:1415-21.
Smith HW. Unilateral nephrectomy in hypertensive disease. J Urol.
.
1956;76:685-701.
Thavarajah S, White WB. Diagnostic evaluation for patients with
renovascular hypertension In: Secondary hypertension:
clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA,
editor. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 63-81.
van Jaarveld BC, Krijnen P, Pieterman H, et al. The effect of
balloon angioplasty on hypertension in atherosclerotic renal
artery stenosis. N Engl J Med. 2000;342:1007-14.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERALDOSTERONISME PRIMER
Ginova Nainggolan

PENDAHULUAN
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang
melebihi tekanan darah normal seperti apa yang telah
disepakati oleh para ahli yaitu lebih dari atau sama dengan
140190 mmHg (JNC-7). Hipertensi dapat diklasifikasikan
sebagai hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang
merupakan 95% dari seluruh pasien hipertensi, dan
hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder antara lain adalah
penyakit renovaskular, penyakit ginjal kronik,
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer, hipertensi
monogenik atau penyebab lain yang diketahui.
Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang
disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tak
terkendali umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal.
Hiperladosteronisem primer secara klinis dikenal dengan
triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi dan alkalosis
metabolik. Sindrom ini dilaporkan pertama kali tahun 1955
oleh Conn. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar
kortek adrenal, adenoma unilateral atau karsinoma
adrenal.

Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya


peningkatan insidens hiperladosteronisme primer di
masyarakat. Pada awalnya hiperaldosteronisrne dicurigai
bila didapatkan hipertensi dengan hipokalemia dan dengan
kriteria ini insidensss hiperaldosteronisrne dilaporkan
berkisar 1-2 % dari populasi hipertensi. Dahulu kecurigaan
terdapat hiperaldosteronisrne bila didapatkan hipokalemia
pada pasien hipertensi dan untuk tindakan diagnostik perlu
penghentian terapi antihipertensi selama 2 minggu, ha1
yang sulit dilakukan bila tekanan darah pasien sukar
dikendalikan. Hal ini menyebabkan tindakan diagnostik

jarang dilakukan dan selanjutnya laporan kejadian


hiperaldosteronisme menjadi sedikit. Saat ini tindakan
diagnostik untuk deteksi adanya hiperladosteronisme
dipermudah dengan memeriksa rasio aldosteron
renin (Aldosteron-renin ratio=ARR) dan pemeriksaan ini
tidak memerlukan penghentian obat antihipertensi. Saat
ini banyak laporan yang menunjukkan kejadian
hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5- 10%.
Hasil ini didapatkan dengan memeriksa semua pasien
hipertensi terhadap kemungkinan hiperaldosteronisrne
primer. Pada pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi
peningkatan insidens hiperaldosteronisrne primer yang
dilaporkan sebagian besar disebabkan peningkatan
insidens kejadian hiperplasi adrenal dimana terapi yang
dibutuhkan cukup dengan obat antagonis aldosteron.

GEJALA DAN TANDA


Hipokalemia membuat pasien mengeluh adanya rasa lemas
dan tekanan darah biasanya tinggi dan sukar dikendalikan.
Pada pasien tanpa hipokalemia tidak terdapat gejala lemas.

Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau


adenoma menghasilkan hormon aldosteron secara
berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan
merangsang penambahan jumlah saluran natrium yang
terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari duktus
kolektikus bagian kortek ginjal. Akibat penambahanjumlah
ini, reabsorbsi natrium mengalami peningkatan. Absorbsi
natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi
cenderung hipervolemia.
Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERALDOSTERONISME PRIMER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


menjadi bermuatan lebih negatif yang mengakibatkan
keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke
dalam lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat
peningkatan ekskresi kalium di urin, terjadi kadar kalium
darah berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu
oleh peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hal
ini mengakibatkan tubuh kekurangan kalium dan timbul
gejala seperti lemas.
Hipokalemi yang terjadi akan merangsang peningkatan
ekskresi ion-H di tubulus proksimal melalui pompa NH,',
sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus
proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik.
Hipokalemi bersama dengan hiperaldosteron juga akan
merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang
mengakibatkan peningkatan ekskresi ion-H, selanjutnya
akan memelihara keadaan alkalosis metabolik pada pasien
ini.
Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah.
Hipervolemia yang terjadi akibat reabsorbsi natrium dan
air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga
kadar renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan
hiperaldosteronisrne sekunder dimana terjadi peningkatan
kadar renin maupun aldosterondarah. Hiperaldosteronisme
sekunder didapatkan pada hipertensi renovaskular atau
pemberian diuretik pada pasien hipertensi.
Hipertensi yang terjadi pada pasien ini sebagian besar
disebabkan oleh hipervolemia yang menetap.

DIAGNOSIS

Tindakan diagnosis pada hiperladosteronisrne primer


terdiri dari tahap menentukan adanya hiperaldosteronisrne
primer dan mengetahui kausanya. Bila dicurigai terdapat
hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemeriksaan
serum aldosteron dan Plasma Renin Activity (PRA) secara
bersamaan. Pemeriksaan ini dilakukan pagi hari dan tidak
perlu pasien hams berbaring. Sebelum tes dilakukan perlu
diketahui apakah pasien sedang mengkonsumsi obat yang
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan seperti antagonis
aldosteron, yang harus dihentikan 6 minggu sebelum
dilakukan pemeriksaan. Penggunaan antihipertensi
dilaporkan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan kecuali
ACE Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker perlu
dicatat. Pada pasien yang menggunakan ACE Inhibitor
atau ARB, hasil PRA yang tidak terdeteksi menunjukkan
terdapat hiperladosteronisrne.
Rasio antara kadar aldosteron dalam plasma (ngldl)
dengan kadar renin dalam plasma (ng/ml per jam) yang
disebut sebagai rasio aldoteron renin (Aldosteron Renin
Ratio=ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna. Nilai
ARR> 100 dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat
bermakna untuk terdapatnya hiperladosteronisrne. Perlu
diperhatikan pada penghitungan ARR sangat tergantung

pada nilai PRA. Bila menggunakan reagen yang dapat


mengukur kadar PRA konsentrasi rendah maka rasio
aldosteron1PRAakan semakin besar. Karena itu disarankan
menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA
yang rendah.
Kombinasi aldosteron plasma 20 ngldl (555 pmolL)
dan ARR > 30 memiliki spesifisitas dan sensitifitas 90%
untuk mendeteksi hiperaldosteronisrne.
Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak
berarti didapatkan hiperladosteronisrne primer. Perlu
dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi
kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes
supresi kelenjar aldosteron dengan memberikan garam
NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara
oral dan pemberian NaCl isotonis. Pada tes supresi oral
diberikan diet 5 g/NaCl per oral dengan pemberian selama
tiga hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urin
selama 24 jam untuk mengukur kadar natrium, kalium dan
aldosteron dalarn urin. Kadar natrium dalam urin harus lebih
dari 200 meq yang menandakan diet tinggi natrium yang
diberikan telah cukup adekuat. Kadar aldosteron urin lebih
dari 14 pgrl24 jam atau 39 nmo1124 jam sesuai dengan
hiperaldosteronisrne primer. Tes supresi kedua yaitu
dengan pemberian 2 liter NaCl isotonis dalam waktu 4 jam
dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar
aldosteron plasma lebih dari 10 ngldl atau lebih dari 277
pmol/L, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisrne primer.
Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya
peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24 jam (> 30 meql
L). Syaratpemeriksaan ini adalahpasien tidak boleh dalam
keadaan hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah
natrium (kadar Natriurn urin h a n g dari 50 meq per 24 jam).
Pemeriksaan lain pada hiperladosteronisrne primer
adalah pemeriksaan analisis gas darah yang menunjukkan
gambaran alkalosis metabolik yang disebabkan
peningkatan reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal
karena peningkatan kadar aldosteron.
Dahulu kecurigaan hiperaldosteronisrne primer bila
didapatkan pasien hipertensi dengan hipokalemia atau
adanya gejala lemas. Saat ini dengan semakin banyaknya
laporan peningkatan kejadian hiperaldosteronisrne maka
kriteria pasien yang perlu dilakukan skrining diperluas.
Pasien yang perlu dilakukan penyapihan untuk mengetahui
adanya hiperaldosteronisme primer adalah pasien hipertensi
derajat 1 dengan kriteria usia < 30 tahun, tidak terdapat
riwayat hipertensi dalam keluarga dan tidak obes. Dilain
pihak tes penyapihan pada semua pasien hipertensi tidak
dianjurkan. Walaupun saat ini dilaporkan adanya
peningkatan kejadian hiperaldosteronisme primer di
masyarakat tetapi hasil skrining tersebut menunjukkan
peningkatan populasi hiperplasia adrenal yang cukup
diterapi dengan pemberian antagonis aldosteron. Dengan
melakukan skrining hiperladosteronisme pada semua
pasien hipertensi proporsi adenoma lebih sedikit (dari 60-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

70% menjadi 25%) dibandingkan bila dilakukan skrining


pada pasien dengan hipokalemia atau hipertensi resisten.
Pasien yang juga memerlukan tes penyapihan adalah
hipertensi dengan hipokalemia, pasien hipertensi berat dan
adrenal insidensstaloma.Adrenal insidensstaloma adalah
ditemukannya pembesaran kelenjar adrenal secara tidak
sengaja pada pemeriksaan CT ScanIMRI abdomen.
Pemeriksaan berikutnya adalah untuk menentukan
subtipe hiperaldosteronisme primer. Terdapat tiga subtipe
yaitu adenoma (APA= Aldosteron producing adenoma),
hiperplasi adrenal dan karsinoma adrenal. Pemeriksaan
pencitraan berupa CT-Scan atau MRZ dapat membedakan
ketiganya. Bila didapatkan ukuran kelenjar > 4 cm maka
kecurigaan adanya karsinoma adrenal perlu dipikirkan.Bila
didapatkan kelenjar adrenal membesar satu sisi maka
diagnostik terdapat APA. Bila didapatkan kedua kelenjar
membesar maka penyebab hiperaldosteronisme primer
adalah hiperplasia adrenal. Pada keadaan sulit untuk
rnenentukan apakah terdapat hiperplasia atau adenolna
maka dilakukan pengukuran kadar aldosteron di vena
adrenal. Pemeriksaan ini dilaporkan sulit dilakukan karena
itu harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman untuk
pemeriksaan ini. Pasien dalam pemberian infus kontinu
ACTH 50 mcg perjam ketika dilakukan pengambilan sample
darah vena. Juga diperiksa kadar kortisol untuk memastikan
darah berasal dari vena adrenal. Bila didapatkan kadar
aldosteron berbeda >4 kali maka di sisi tersebut terdapat
adenoma, sedangkan pada hiperplasia kelenjar adrenal
kadar aldosteron pada dua sisi hampir sama.

Bila pasien tidak toleran dengan spironolakton, dapat


diberikan amiloride hingga dosis 15 mg dua kali sehari.
Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium
dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena
itu perlu ditambahkan obat antihipertensi lain. Perlu
diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam
darah tetapi tinggi dan dalam jangka panjang
dikhawatirkan ha1 ini dapat menimbulkan gangguan pada
jantung .

ADENOMA PRODUCING ALDOSTERON


Pengobatan yang terbaik pada adenoma adrenal
(pembesaran unilateral) adalah dengan melakukan
adrenalektomi secara bedah konvensional atau
pengangkatan dengan teknik laparoskopi. Adrenalektomi
pada adenoma adrenal akan menorrnalkan kadar aldosteron
plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa
membutuhkan spironolakton, suplementasi kalium atau
obat antihipertensi yang lain. Tetapi pada 40-60% pasien
didapatkan tekanan darah tetap tinggi pasca operasi. Pada
kelompok dengan penggunaan obat antihipertensikurang
dari 2 dan tidak adanya riwayat hipertensi dalam keluarga
dilaporkan tekanan darah akan terkendali setelah operasi
adrenalektomi. Sedangkan pada karsinoma kelenjar
adrenal dilakukan adrenalektomi.

REFERENSI
PENGOBATAN
Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum
kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar
aldosteron ha1 ini dicapai dengm dengan pemberian obat
antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,525 mg
biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan
darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya
obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang
mempunyai efek samping seperti irnpotensi, ginekomastia,
gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal
sehingga pemberian jangka panjang spironolakton
mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru
eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek
samping yang lebih ringan daripada spironolakton
sehingga dapat diberikan dalarn jangka panjang, walaupun
harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu
dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga
secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari
konsumsi alkohol

Chobanion AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of the
joint natiqnal committee on prevention, detection, evaluation
and treatment of high blood pressure: The JNC 7 report. JAMA.
2003;289:2560-72,
Ganguly A. Primary aldosteronism. New Englj.Med. 1998;339:182834.
Kaplon NM. Primary aldosteronism. In: Kaplan NM, editor. Kaplan's
clinical hypertension, 8th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2002. p. 455-79.
Mulatero P, Stowasser M, Keh-Chuan Loh, Fardella CE, Gordon Ra,
Mosso L, Gomez-Sanchez CE, Veglio F, Young WF Jr. Increased
diagnosis of primary aldosteronism, including surgically correctable forms, in centers from five continents. J Clin Endocrinot
Metab. 2004;&9:1045-50,
Plouin P, Amar L, Chatellier G : Trends in the prevalence of primary
aldosteronism, aldosterone-producing adenomas and surgically
correctable aldosterone-dependent hypertension. NDT.
2004;19:774-7.
Sawka AM, Young WM, Thompson GB, Grant CS, Farley DR,
Leibson C, van Heerden JA. Primary aldosteronism: factors
associated with normalization of blood pressure after surgery.
Ann Intern Med, 2001;135:258-61.
Young WF, Primary aldosteronism, Management issue. NY Acad
Sciences 2002. Ann NY Acad Sci. 2002;979:61-76.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

FEOKROMOSITOMA
Imam Effendi

PENDAHULUAN
Angka kejadian hipertensi karena kelainan endokrin tidak
diketahui dengan pasti. Pada masa lalu bentuk hipertensi
karena endokrin kurang dari 1%. Kecilnya angka kejadian
ini karena under diagnosis, kurangnya pengertian dan
terbatasnya serta sulitnya tes diagnostik. Penyebab
hipertensi endokrin antara lain korteks adrenal, kelainan
hipofisis, medulla adrenal, tiroid, tumor renin dan lain
sebagainya. Sering sekali hipertensi endokrin tidak
terdiagnosis karena tidak jelasnya tanda dan gejala serta
pada laboratorium rutin tidak ditemukan kelainan. Namun
demikian sering pula ditemui tanda atau gejala spesifik
dan perlu ketelitian anamnesis, pemeriksaan fisis dan
laboratorium untuk mendiagnosis hipertensi sekunder.
Diagnosis yang tepat dan cepat pada hipertensi
endokrin sering ada kesempatan untuk sembuh, dan
terhindar dari malapetaka selanjutnya. Feokromositoma
adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut dicurigai
bila ada riwayat dalam keluarga. Selain itu ada tanda-tanda
5H mencurigai feokromositoma yaitu : hipertensi, headachelsakit kepala, hipermetabolisme, hiperhidrosis,
hiperglikemia.
Feokromositoma mempunyai arti warna coklat dan
sebagian besar tumor tumbuh di dalam kelenjar adrenal,
hanya 10% di luar kelenjar adrenal (paraganglioma).
Umumnya ia bersifat jinak dan hanya 10% metastasis ke
tulang, paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor dapat
mensekresi bermacam-macam hormon, terutama
norefinefrin, efinefrin dan dopamin, dengan pola-pola
tertentu yang berbeda pada tiap-tiap pasien. Beberapa
paragangliomajuga dapat memproduksi efinefiin. Produksi
dopamin yang banyak sering menandakan keganasan atau
tumor yang besar. Angka kejadian feokromositoma di USA
sangat bervariasi antara 0,05-0,1% dan sering pasien
meninggal tanpa diduga karena feokromositoma, jadi

mungkin angka kejadian feokromositoma lebih tinggi.


Feokromositoma dapat sporadis atau familial, bisa
unisentris atau unilateral. Tipe familial sering multisentris
dan bilateral. Feokromositoma sering bilateral atau bagian
dari neoplasma endokrin multipel.
Feokromositoma adrenal dikenal the rule of ten percent:
: 10%
Bilateral
Ekstra adrenal : 10%
Familial
: 10%
: 10%
Pediatri

GAMBARAN KLlNlS
Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi
katekolamin seperti sakit kepala, berkeringat, berdebardebar, dan dikenal sebagai triad. Kadang-kadang
hipertensi dan diabetes, dengan atau tanpa gejala menjadi
manifestasi awal, atau dapatjuga teraba masa tumor diperut
atau pembesaran paraganglioma di leher, telinga, dada atau
paru tumor metastasis. Hipertensi yang terjadi dapat labil
(66%) atau menetap (33%), sehingga sering salah
diagnosis sebagai hipertensi primer. Suatu keadaan yang
luar biasa dapat terjadi di mana terjadi hipertensi berat
dengan atau tanpa gaga1jantung, dan penampilan macammacam sebagai tanda peninggian katekolamin. Hal ini dapat
terjadi pada saat trauma, persalinan, atau perdarahan ke
dalam tumor. Sebaliknya feokromositoma dengan
gabungan penyakit von Lindau, bisa tanpa ada gejala,
tekanan darah normal dan tes laboratoriurn katekolamin
dalam batas normal. Sebagai ringkasan beberapa tanda
klinis untuk mencurigai adanya feokrornositoma:
1. Hipertensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit
kepala, berdebar, dan berkeringat
2. Hipertensi dan riwayat feokromositoma dalam keluarga
3. Hipertensi yang refrakter terdapat obat terutama disertai

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


4.
5.
6.
7.
8.

9.

berat badan menurun


Sinus takikardia
Hipertensi ortostatik
Aritimia rekuren
Tipe MEN 2 atau MEN 3
Krisis hipertensi yang terjadi selama pembedahaan
anestesi
Mempunyai respons kepada Pblocker

Ada beberapa kondisi terkait dengan feokromositoma:


1. Neurofibromatosis
2. Skelerosis fibrosis
3. Sindrom Sturge-weber
4. Penyakit von Hippel-Lindau
5. MEN, tipe 2:
Feokromositoma
Paratiroid adenoma
Karsinoma tiroid medulla
6. MEN, tipe 3 :
Feokromositoma
Karsinoma medulla tiroid
Neuroma mukosa
Ganglioma abdominalis
Habitus marfanoid
Gejala lain da; kelebihan katekolamin dapat berupa
pucat, hipotensi ortostatik ,pandangan kabur, edema papil
mata, berat badan tmm, poliuri, polidepsi, peningktan LED,
hiperglikemia, gangguan psikiatri, kardiomiopati dilatasi,
eritropoesis, karena kurang spesifiknya tanda dan gejala
serta hasil laboratorium yang sulit, sehingga

feokromositoma sering diternukan secara kebetulan secara


CT scan ataupun MRI.
Feokromositoma jarang sebagai penyebab hipertensi,
tapi ia potensial fatal duringpregnancy, angka kematian
untuk ibu 17% dan janin 26%. Penyebab kematian ibu
adalah: edema paru, perdarahan otak, kolap
kardiovaskular. Terapi dengan a dan penyekat P akan.
mengurangi angka kematian ibu walaupun angka kematian
janin tetap tinggi. Perempuan dengan gejala hipertensi
paroksimal, palpitasi, diaforesis, sakit kepala perlu
dievaluasi lebih lanjut dengan mengukur eksresi
katekolamin urin. Bila ekskresi meningkat, CT Scan dan
MRI perlu dilakukan untuk melokasi tumor. Ada beberapa
yang menyarankan operasi pada trimester I dan 11, atau
sebagian diobati dulu, dan operasi dilakukan setelah
persalinan.
DIAGNOSIS
Berdasarkan keluhan dan gejala klinis dan membutuhkan
konfirmasi laboratorium dengan mengukur katekolamin
darah atau urin atau hasil metabolitnya. Laboratorium
yang khas adalah peningkatan kadar katekolamin 5- 10
kali normal. Bila kadar katekolamin tidak terlalu tinggi,
belum tentu bukan feokromositoma. Perlu dilakukan tes
klonidin dimana akan terjadi penekanan kadar norefenefrin
(menjadi normal). Untuk familial feokromositoma skrining
tes perlu dilakukan dengan pengukuran kadar
normetanefrin dan metanifrin plasma.

cari sebab lain

Gambar 1. Alur diagnosis feokromositorna

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Selain tes supresi klonidin, ada tes provokasi lain yaitu
tes regitin (fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes
regitin berdasarkan atas dugaan kelebihan katekolamin,
sebaliknya tes glukagon mempunyai dasar stimulasi
glukagon, tetapi dapat meningkatkan risiko krisis
hipertensi, sehingga kedua tes ini kurang populer.
Bila ditemukan kadar laboratorium yang positif perlu
dicari lokasi dengan melakukan pemeriksaan CT-Scan dari
kelainan adrenal. Bila CT-Scan normal perlu dilakukan
pemeriksaan lain yaitu:
Sampel dari vena besar yang selektif
Metaiodobenzyl guanidine scaning (MIBG)
Scan indium-labeled octreotide
Mengukur kadar metanefrin bebas dalam darah dan
dibandingkan sample vena cava
Scan tomografi emisi positron
Pada gagal ginjal, katekolamin darah dapat meningkat
2-3 kali sehingga mengganggu interpretasi. Harus diingat
bahwa kadar katekolamin yang meningkat dapat false
negatifkarena stres, atau karena pengaruh obat: amifetamin,
anti depresan, etanol, L-Dopa, withdraw1 clonidin.
Sebaliknya kadar katekolamin dapat normal pada urin 24
jam pada paroksimal hipertensi bila saat normotensi.

Bila tumor sudah ditegakan dan dilokalisasi, pasien


disiapkan untuk operasi. Persiapan sebelum operasi perlu
dilakukan mengontrol tekanan darah, memakai a dan P
blocker. Operasi dapat dilakukan secara konvensial
ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi hipotensi
dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca
operasi, namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi
sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up harus
dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering

Klinis :
Hipertensi
paroksimal
Sakit kepala
Berdebar-bedar
Keringat
Obesites trunkel
Kulit tipis
Otot lemah

Laboratorium :
Plasma atau urin
metanefrin

Aldosteron
primer

Hipertensi
Lemah

Kanker
adrenokortison

Virilisasi I
Feminisasi

Darah : hipokalemia
Aldosteron
Renin
Plasma
Dehidroefiandrosteron
Testoteron
Estrogen

Feokromositoma

Sindrom
Cushing

Plasma kortisol jam 8


pagi setelah 1
minggu
Deksametason waktu
tidur

menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis yang malignan,


perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan
a dan /3 -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase
ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid, vinkristin
dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan
tidak bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi
dan tingkat kesembuhan mencapai 90%.

PROGNOSIS
5 tahun cukup baik (> 95%) untuk non-feokromositoma
malignan, sedangkan yang feokromositoma malignan
< 50%.
Rekuren setelah operasi kurang dari 10% pada nonfeokromositoma malignan.
Setelah operasi 75% pasien dapat bebas dari obat
antihipertensi, sisanya 25% hanya membutuhkan
minimal anti hipertensi.

REFERENSI
Bravo EL. Pheochromocytoma: new concepts and future trends.
Kidney lnl. 199;40:544.
Dixit A. Pheochromocytoma. Nephrology secret. In: Hanley Belfus,
editor. 1999. p. 1978.
Dluhy RG. Pheochromocytoma-death of an axiom. N Engl J Med.
2002; 346:1486.
Ganguly A, Grim CE, Weinberger MH, Henry DP. Rapid cyclic
fluctations of blood pressure associated with an adrenal
pheochromocytoma. Hypertension. 1984;6:28 1.
Gifford RW Jr. Management of hypertensive crises. JAMA.
1991;266:829.
Lenders JW, Pacak K, Walther MM, et al. Biochemical diagnosis of
pheochromocytoma: which test is best? JAMA. 2002;287:1427.
SJ.
Severe
paroxysmal
hypertension
Mann
(Pseudopheochromocytoma). Arch lntern Med. 1999;159:670.
Neumann HP, Pawlu C, Peczkowska M, et al. Distinct clinical
features of paraganglioma syndromes associated with SDHB
and SDHD gene mutations. JAMA. 2004;292:943.
Neumann, HP, Berger, DP, Sigmund, G, et al. Pheochromocytomas,
multiple endocrine neoplasia type 2, and von Hippel-Lindau
disease. N Engl J Med. 1993;329:1531.
Pacak K, Linehan WM, Eisenhofer G, et al. Recent advances in
genetics, diagnosis, localization, and treatment of
pheochromocytoma. Ann lntern Med. 2001 ;134:3 15.
Plouin PF, Chatellier G, Fofol I, Corvol P. Tumor recurrence and
hypertension persistence after successful pheochromocytoma
operation. Hypertension. 1997;29: 1 133.
Stein PP, Black HR. A simplified diagnostic approach to
pheochromocytoma. A review of the literature and report of
one institution's experience. Medicine. 1991;70:46.
Young WF, Kaplan NM. Diagnosis and treatment of
pheochromocytoma in adult, Up to Date. 2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN


Suhardjono

hipertensi kronik; 4). Hipertensi gestasional atau hipertensi


yang sesaat (de-novo).

PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama
peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal, janin, dan
neonatus. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara
berkembang, tetapi juga negara maju. Perempuan hamil
dengan hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk
komplikasi yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit
serebrovaskular,gagal organ, koagulasi intravaskular. Pada
penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang ringan
didapatkan risiko kehamilan sebagai berikut: preeklampsia
10-25%,abruptio 0,7- 1,5%,kelahiran prematur kurang dari
37 minggu 12-34?h, dan hambatan pertumbuhan janin 816%. Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat
pada trimester pertama dengan didapatnya preeklampsia
sampai 50%. Terhadap janin, hipertensi mengakibatkan
risiko retardasi perkembangan intrauterin, prematuritas dan
kematian intrauterin. Selain itu risiko hipertensi seperti
gagal jantung, ensefalopati, retinopati, perdarahan
serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Akan tetapi
manfaat pengobatan hipertensi selama kehamilan
tergantung pada beratnya penyakit.
Secara fisiologis, tekanan darah mulai menurun pada
trimester kedua, yang mencapai rata-rata 15 mmHg lebih
rendah dari tekanan darah sistolik sebelum hamil pada
trimester ketiga. Penurunan ini terjadi baik pada yang
normotensi maupun hipertensi kronik.

KLASlFlKASl HlPERTENSl PADA KEHAMILAN


Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang urnumnya
terdapat pada saat kehamilan, yaitu: 1). Preeklampsiaeklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang
diakibatkan kehamilan; 2). Hipertensi kronik (preexisting
hypertension); 3). Preeklampsia pada (superimposed)

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam ha1


definisi hipertensi pada kehamilan. Dapat berupa kenaikan
tekanan darah pada trimester kedua, atau tekanan darah
pada trimester yang sama dengan sebelum hamil. Akan
tetapi saat ini dalam beberapa konsensus sudah menuju
kesepakatan dalarn banyak ha1 mengenai terminologi.
Walaupun batasan hipertensi adalah tekanan darah 1401
90 mmHg atau lebih, masih ada yang belum sepakat, oleh
karena pemakaian batas tekanan darah ini mengakibatkan
ada kelompok pasien preklampsia-eklampsia yang tidak
masuk kriteria. Dalam ha1 pemakaian kriteria proteinuria
lebih sulit lagi, mengingat pemeriksaan ini amat subyektif
dan tidak terlalu tepat. Saat ini dianggap pemeriksaan uji
celup (dipstick test) merupakan pemeriksaan yang cukup
baik untuk membedakan proteinuria atau tidak.
1. Preeklampsia adalah hipertensi (140190 mmHg) dan
proteinuria (>300 mg124 jam'urin) yang terjadi setelah
kehamilan 20 minggu pada perempuan yang sebelumnya
normotensi.
2. Hipertensi kronik didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg yang telah
ada sebelum kehamilan, pada saat kehamilan 20 minggu
yang bertahan sampai lebih dari 20 minggu pasca partus.
3. Preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah hipertensi
pada perempuan hamil yang kemudian mengalami
proteinuria, atau pada yang sebelumnya sudah ada
hipertensi dan proteinuria, adanya kenaikan mendadak
tekanan darah atau proteinuria, trombositopenia, atau
peningkatan enzim hati.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSIPADA KEHAMILAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


4. Hipertensi gestasional atau yang sesaat, dapat terjadi
pada saat kehamilan 20 minggu tetapi tanpa proteinuria.
Pada perkembangannya dapat terjadi proteinuria
sehingga dianggap sebagai preeklampsia. Kemudian
dapat juga keadaan ini berlanjut menjadi hipertensi
kronik.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi,
ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien
dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan
untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah
Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi
yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung
trombosit yang amat rendah terdapat pada sindrom HELLP
( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet
count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk
mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin
24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui hngsi
ginjal, yang pada kehamilan umumnya kreatinin serum
menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam
urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia.
Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti
juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan
pemeriksaan gula darah, dan kultur urin.
PENANGANAN HlPERTENSl PADA KEHAMILAN
Penanganan Non-farmakologis
Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal
setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin, kelahiran
sebelum waktunya (preterm)tidak menguntungkan. Untuk
itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih,
menunggu agar janin dapat dilahirkan dalam keadaan yang
lebih baik.
Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau
diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non
farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia.
Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya
hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya.
Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan
aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini
dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.
Pemberian Obat Antihipertensi
Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah
yang tinggi, pengobatan sebelumya dianjurkan untuk
diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak

begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan


pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah
berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat
mengganggu perkembangan janin. Bukti penelitian
manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan
masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian
yang masih sedikit sehingga tak cukup memperlihatkan
manfaat penurunan angka komplikasi obstetfik.
Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari
110 mmHg pada perempuan hamil harus dianggap
kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit.
Pada keadaan ini tekanan darah hams diturunkan sesegera
munglun.
Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas
tekanan darah diastolik >lo5 - 110 mmHg diastolik atau
160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi
perdarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan
batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik
sebelumnya kurang dari 75 mmHg.
Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas
pemberian pengobatan umumnya adalah di atas 140 mmHg
sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan
hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau
dengan'tanda kerusakan organ target (pada hipertensi
kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai
tekanan darah yang normal.
Obat-obat Antihipertensi
Ada 2 macam obat hipertensi, pada keadaan yang akut
atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral
atau oral. Obat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal
abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat
antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat
dilihat pada Tabel 1.

Agonis Alfa sentral

Metildopa, obat pilihan

Penghambat Beta

Atenolol dan metoprolol aman dan


efektif pada kehamilan trimester akhir
Labetalol, efektif seperti metildopa, pada
kegawatan dapat diberi intra vena

Penghambat Alfa
dan Beta
Antagonis Kalsium

Nifedipin oral, isradipin i.v. dapat dipakai


pada kedaruratan hipertensi

Inhibitor ACE dan


Antagonis
Angiotensin
Diuretik

Kontra indikasi, dapat mengakibatkan


kematianjanin atau abnormalitas

Vasodilator

Hydralazine tak dianjurkan lagi


mengingat efek perinatal

Direkomendasikanapabila telah dipakai


sebelum kehamilan. Tidak
direkomendasikan pada preeklampsia

Metildopa 250 mg 2 kali sehari, dapat dinaikkan sampai


maksimal 4 gram sehari. Labetalol 100 mg 2 kali sehari,
maksimum 2400 mg sehari.Atenolol, penghambat beta yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CINJAL HIPERTENS1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

tak mempunyai efek penghambat alfa, berkaitan dengan


penurunan aliran darah plasenta dan janin pada kelahiran
apabila diberikan mulai dari awal kehamilan. Labetalol yang
mempunyai efek penghambat alfa dan beta dapat
mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalam
keadaan yang maksimal.
Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi
i-inganmeningkatkan risiko mendapatkan bayi yang lebih
kecil (dengan risiko relatif 1,36, pada interval kepercayaan
95% (1,02-1,82), risiko yang tidak lebih besar dibanding
obat hipertensi yang lain.
Semakin banyak pengalaman yang didapat dari
golongan obat antagonis kalsium yang terbukti cukup
aman dipakai pada kehamilan.Nifedipin kerja panjang (dosis
maksimum 120 mglhari) dan golongan nondihidropiridin
verapamil dapat diberikan. FDA tidak menerima nifedipin
kerja cepat sebagai pengobatan hipertensi darurat dan
pemberian sub lingual karena terbukti menurunkan tekanan
darah berlebihan.
Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada
kehamilan didapat kesimpulan bahwa pemilihan
antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman
dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam ha1
efek obat terhadap ibu dan janinnya.

Target Tekanan Darah


Walaupun penelitian klinik belum membuktikan seberapa
besar penurunan tekanan darah yang optimal, banyak
yang menganjurkan target tekanan darah sistolik 140-150
dan diastolik 90- 100 mmHg. Pada perempuan hamil yang
telah mempunyai gangguan organ target, tekanan darah
dianjurkan diturunkan kurang dari 140190 mmHg sampai
mencapai 120 dan 80 mmHg. Dari penelitian yang telah
dilakukan belum ada bukti yang jelas apakah keuntungan
dari penurunan tekanan darah sampai normal, 120180
mmHg, bagi ibu dan janinnya.
Hipertensi Pasca Partus dan Ibu yang Menyusui
Data mengenai ha1 ini terbatas. Pada umumnya setelah
partus terdapat kenaikan tekanan darah pada perempuan
yang tidak hipertensi sebesar 6 mmHg sistolik dan 4 mmHg
diastolik. Pada preeklampsia tekanan darah secara spontan
membaik dalam waktu beberapa minggu, rata-rata 16*9,5
hari dan sudah membaik dalam waktu 12 minggu. Hipertensi
yang ringan yang masih bertahan sesudah waktu ini harus
dievaluasi lebih lanjut.

Selain dapat meneruskan pengobatan yang dipakai


selama kehamilannya, pada perempuan yang tidak
menyusui bayi dapat diberikan golongan obat penghambat
ACE, penyekatbeta, dan antagonis kalsium. Diuretik yang
diberi pada keadaan hipervolemia, dengan edema, selama
beberapa hari dapat menurunkan tekanan darah menjadi
normal kembali. Tekanan darah dalam keadaan ini harus
dipantau agar tidak mengalami keadaan hipotensi. Apabila
tekanan darah sebelum kehamilan normal, setelah 3 minggu
pasca partus obat hipertensi dapat dihentikan dengan
pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan
peningkatan tekanan darah kembali.
Semua obat antihipertensi akan masuk dalam air susu
ibu (ASI). Pada perempuan yang menyusui, obat golongan
penghambat reseptor beta dan penghambat kalsium cukup
aman walaupun obat tersebut masuk ke air susu ibu.
Labetalol dan propranolol tidak dikonsentrasi dalam AS1
sehingga lebih dianjurkan dipakai dibanding penghambat
beta yang lain. Bila ada indikasi kontra pilihan lain adalah
penghambat kalsium.
Inhibitor ACE dan antagonis reseptor angiotensin
umumnya dihindari pada ibu yang menyusui, akan tetapi
setelah masa neonatus dapat dipertimbangkan. Diuretika
sebaiknya dihindari mengingat obat ini dapat mengurangi
volume ASI.

REFERENSI
August P. Treatment of hypertension in pregnancy. In: Rose BD,
editor. L'pToDule 13.1, 2005.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of
the Joint National Committee on prevention, detection,
evaluation. and treatment of high blood pressure: the SNC 7
report. JAMA. 2003;289(19):2560-72.
Cifkova R. Hypertension in pregnancy: recommendations for
diagnosis and treatment. European Society of Hypertension
Scientific Newsletter. Update on hypertension management.
2004;5:2.
Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management
of arterial hypertension. J flypertens. 9003;21:1011-53.
Sibai BM. Diagnosis and management of gestational hypertension
and preeclampsia. Obstet Gynecol. 2003; 102:181.
Williams B, Poulter NR, Brown MJ, et al. British hypertension
society guidelines. Guidelines for management of hypertension:
report o f t h e fourth working party of the British Hypertension
Society, 2001-BHS IV. J Hum Hypertens. 2004;18:139-85.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KRISIS HIPERTENSI
Jose Roesma

PENDAHULUAN

Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang


ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan
kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan
organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada
pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat
antihipertensi.
Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu:
Hipertensi darurat (emergency hypertension): di mana
selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainanl
kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam
menit sampai jam) agar dapat mencegahlmembatasi
kerusakan target organ yang terjadi.
Hipertensi mendesak (urgency hypertension): di mana
terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak
disertai kelainanlkerusakan organ target yang progresif,
sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan
lebih larnbat (dalam hitunganjam sampai hari).
Pada umumnya krisis hipertensi ditemukan di poliklinik
gawat darurat rurnah sakit dan kadang-kadang merupakan
jurnlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat
di bagian penyakit dalam, walaupun keluhan utamanya
berbeda-beda.

darah
>220/140
mm Hg

Status
Neurologi

Prevalensi rata-rata 1-5 % penduduk dewasa tergantung


dari kesadaran pasien akan adanya hipertensi dan derajat
kepatuhan makan obat. Sering pasien tak menyadari diinya
adalah pasien hipertensi atau tak teratur/ berhenti makan obat.
G EJALA
Hipertensi krisis umurnnya adalah gejala organ target yang
terganggu, di antaranya nyeri dada dan sesak napas pada
gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada
edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan
kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gaga1
ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala
dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada
umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya
tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ
target.
Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut
membantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat
menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini
terj adi karena tingginya tekanan darah juga menandakan
keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin
meningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada
hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan
aritmia.

Jantung

Ginjal

Gastrointestinal

perdarahan

sakit kepala, denyut jelas,


kacau

uremia

mual, muntah

eksudat
edema
papilla

gangguan
kesadaran,
kejang,
lateralisasi

Funduskopi

membesar
dekompensasi
oliguria

proteinuria

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1104

GINJAL HIPERTENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi


(EKG) untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri ataupun
gangguan koroner serta ultrasonografi (USG) untuk melihat
struktur gin.jal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien.
amb bar an klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada
Tabel 1.

PENGOBATAN
Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral
yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah
dalam beberapajam.
Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2.
Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang
segera menurunkan tekanan darah dalam menit-jam
sehingga umumnya bersifat parenteral. Di Indonesia
banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan
penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang
tercantum pada Tabel 4.

Obat

2:;

Kelompok
Tekanan
darah

Biasa

Mendesak

Darurat

>1801110

>1801110

>2201140

Gejala

tidak ada,
kadangkadang sakit
kepala gelisah

sakit kepala
hebat,
sesak napas

sesak napas,
nyeri dada,
kacau.
gangguan
kesadaran

Pem Fisik

organ target taa

gangguan
organ target

ensefalofati,
edema paru,
gangguan
fungsi ginjal,
CVA, iskemia
jantung

Pengobatan

awasi 1-3 jam


mulaifieruskan
obat oral,
naikkan dosis

awasi 3-6 jam,


obat oral
berjangka
kerja pendek

Rencana

periksa ulang
dalam 3 hari

Periksa ulang
dalam 24 jam

pasang jalur
intravena,
periksa
laboratoriurn
standar, terapi
obat intravena
rawat
ruanganllCU

Data-data dari krisis hipertensi ini berasal dari


pengalaman klinik berbagai pusat rujukan dan bukan
evidence based karena sedikitnya jumlah kasus dan sulit
melaksanakan suatu studi tersamar ganda, sehingga
kepustakaan umumnya merupakan pendapat para ahli
berdasarkan pengalamannya masing-masing.

Dosis

Efek

Nifedipin
5-10 mg

diulang
15 menit

5-15
menit

4-6 jam

gangguan koroner

Kaptopril
12.5-25
mg

diulangl
112 jam

15-30
menit

6-8 jam

stenosis a.renalis

Klonidin
75-150 ug

diulangl
jam

30-60
menit

8-16 jam

Mulut kering,
ngantuk

REFERENSI

Propanolol
10-40 mg

diulangl
112 jam

15-30
menit

3-6jam

Bronkokonstriksi,
Blok jantung

Kaplan NK. Hypertensive crises. In: Kaplan's clinical hypertension.


8" edition. Lipincott Williams & Wilkins; 2002.
Roesma J. Krisis hipertensi. In: Simposium kedaruratan klinik. 2002.
Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and urgencies: clev clinic
med. 2003.

Perhatian Khusus

ye;:

Efek

Obat

Dosis

Klonidin IV
150 ug

6 amp per
250 cc
Glukosa 5%
mikrodrip

30-60
menit

24 jam

Nitrogliserin
IV

10-50ug
100uglcc per
500 cc
0,5 - 6
uglkglmenit

2-5 menit

5-10
menit

1-5 menit

15-30
menit

Diltiazem lV

5-15
uglkglmenit
lalu sama
1-5 uglkgl
menit

sama

Nitroprusid
IV

0,25
uglkglmenit

Langsung

Nikardipin
1V

2-3
menit

Perhatian
khusus
ensefalopati
dengan
gangguan
koroner

selang infus
lapis perak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HEMOPOESIS
Soebandiri

BATASAN
Hemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana
diketahui, darah terbagi atas:
Bagian yang Berbentuk (fbrmed elements). Terdiri atas
sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit)
dan keping-keping darah (trombosit; platelet) yang
bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.
Bagian yang Tidak Berbentuk. Plasma yang terdiri atas
molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat,
vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut
dalam plasma.
Yang dibicarakan dalam bab ini hanyalah proses
pembentukan sel-sel darah (bagian ke-1 yaitu formed
elements). Akan dibahas 3 komponen (kompartemen)yang
berperan penting pada hemopoesis, yaitu :
Kompartemen sel-sel darah
Kompartemen lingkungan-mikro
Kompartemen zat-zat pemicdperangsang (stimulator)
hemopoesis

KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESIS
Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang
melibatkan banyak komponen-komponen yang saling
terkait antara lain:
1. Komponen atau Kompartemen yang terdiri atas sel-sel
darah baik sel-sel induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur.
2. Komponen atau Kompartemen yang disebut stroma
atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau
hemopoetic-micro-environment.
Komponen 1 dapat dianggap sebagai benih sedangkan
komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana
benih itu turnbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendirisendiri tetapi berbaur.

3. Kompartemen ke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat


menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi,
berdiferensiasi danlatau berfungsi sesuai dengan tugas
yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut
hernopoetic growth factors (HGF) atau faktor
pertumbuhan hemopoetik (FPH).

I. KOMPARTEMENSELSEL DARAH
Kompartemen sel darah terdiri atas:

A. Sel lnduk Pluripoten (SIP)


Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel
induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells). Sel-sel ini
jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar
berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.
Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Mc Culloch
pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang
menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus.
Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony
Forming Unit Spleen). Selanjutnya Dexter pada dekade
berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang
baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (DexterCulture). Media ini mengkaitkan juga pentingnya LMH
sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan
dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC).
Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang
menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan
hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors
(HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang
dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk
terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur
turunannya (1ineage)nya. Hal ini akan dibahas berikut ini.
Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi
hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk


berdiferensiasi menjadi CFU-G CFU-M, CFU-Meg dan
CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte).
Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF ; GM-CSF dapat
menstimulasi CFU-G dan CFU-MK manjadi sel-sel yang
lebih tua (sel-sel matur).
Hierarki pertumbuhan sel-sel darah dapat dilihat pada
Gambar 1.

monoklonal (Monoclonal Antibody) (MoAb) dalam jumlah


banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan
petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah
yang dinamai menurut sistem CD (Cluster yf'Diferentiution). Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb
dan dengan teknik imunohistokimia atauflow cytornetry
SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu
juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu
jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif,
sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang
(PST) yaitu pencangkokan SIP (Stem Cell Transplantation).

C. Sel-sel Darah Dewasa


Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit
(eosinofil, basofil, neutrofil), golongan-golongan monositl
makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T yang
perlu dibahas tersendiri.

B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau


Cornitted Progenitor Hernopoetic Cells
Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari
LMH yang dinalnakan faktor sel induk (Stem Cell Factor
= SCF), SIP dapat berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal
darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas
menurunkan turunan-turunan sel-sel dar& yaitu jalur-jalur
turunan mieloid dan makrofag disebut colony forming unit
gmnuloc,vte. erythrocyte. megakaryocyte, monocyte (CFUGEMM) dan jalur turunan limfosit (LymphoidProgenitor
Cells = LPC).
SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit,
eritrosit, monositlmakrofag dan megakariosit dalam
teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM.

1.1.SIP

/
I

II. KOMPARTEMEN LINGKUNGAN MlKRO


HEMOPOETIK (LMH)
Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan
kompartemen I1 yaitu jaringan lain yang terdiri atas
kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut
stroma dari sumsum tulang.
Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu
fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag
dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam

/! DARAH
TEPllORGAN
PERIFER SEL MATUR

i - - - - - - - - - - - - - - - - -b

1 . 2 . s ~ ~ ~ SUMSUM TULANGIORGAN SENTRAL


SEL-SEL MATUR

1 +----------------

Pre-B - - -,B

---------------

:a

Pre-T d T

CFU-G-+MY

b -b

ProMY

+ MY+

MetaMy

I
I

II ,T
I
I
I

.
r

I
I

VMo
I

-- ----- --,

M P ~

I
I
I

II .Tr
I

- I

Eo
I
I

I
I

[Retic
I

Norrn.bl

Gambar 1. Hierarki sel-sel darah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ERY

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Nomenklatur FPH menggunakan 3 cara yaitu:
Memakai akhiran CSF seperti GM-CSF, G-CSF, M-CSF
dan sebagainya.
*. Memakai awalan IL (Interleukin=senyawa yang
diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel
darah lain) seperti IL-1, IL-2 dst.
Memakai nama-nama khusus seperti Stem-cell-factor
(SCF), eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya.
Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positif bila
betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat
proses.

zat yang dapat menstimulasi perturnbuhan sel-sel induk, selsel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan
colony stimulatingfactors (CSF) atau juga Hemopoetic
Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang
pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony
stimulating factor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan
makrofag disebut Monocyte/Macrophage Colony
Stimulating Factors (M-CSF). Zat-zat ini akan dibahas
lebih lengkap di bagian berikutnya dari bab ini.
Stroma yang terdiri atas fibroblas, monosit, makrofag,
endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai
lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH
ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi selsel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih
di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau
defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu
(hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah
melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang
diproduksi oleh stroma, kemudian melalui interaksi antar sel
matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan
berfungsi seperti yang sudah direncanakan.

Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat


biologis, yaitu:

Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa


sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G
maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat
yang berbeda (Multi-CSF)
Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2
FPH, misa1nya:CFU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun
oleh E-CSF (eritropoetin) meskipun dalam derajat yang
berbeda.
Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat
pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.

KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR


PERTUMBUHAN HEMOPOETIK), DISEBUT JUGA
HGF (HEMOPOETIC GROWTH FACTOR)

Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena


dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi
FPH akan jauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH
(tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih
mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel
darah 'seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit
(kompartemen I) tidak dibahas di bab ini. Proses ini
disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis,
trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat
terjadi di sumsum tulang maupun di sistem hemopoetik
perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama
makin banyak FPH baru yang ditemukan dan
diproduksi.

Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat


menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi
fungsional dari sel-sel bakal darah.
FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen 11).
Normalnya FPH hanya didapatkan dalam kadar sedikit di
dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel
stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan
majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosomkromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di
klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam
jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh
industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).

Jenis Sel
LMH

Fibroblast
Endotil
Adiposit
Matriks Ekstra
Selular (ECM)

G-CSF

GM-CSF

FGF

VWF

H-CAM

Selektin

Cadherin

+++

++
+++

+++

++

++
+++

+++

+
++
+

+++

+++

+++

++

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

FPH sel-sel T . .-.: f

S e l B ; CFU-GM

Stimulasi dan aktiv


Stimulasi dan aktivasi G (Granulosit)

Gambar 2. Beberapa FPH, lokasi gen dan aktivitasl sel sasaran

REFERENSI
Hampson L, Hampson IN, Dexter TM. The biology of hemopoesis.
Education Programme of The 26Ih Conggress of The ISH.
Singapore: 25-29 August; 1996. p. 399.
Koury MJ, Boudurant MC. Origin and development of blood cells.
In: Lee GR, et al, editors. Wintrobe's clinical hematology.
Volume IA. Chapter 8. loth edition. Philadelhia: Lippincott
Williams & Wilkins; 1999. p. 145.
Mazza JJ. Hematopoesis. In : Massa JJ, editor. Manual of clinical
hematology. 2"d edition. Boston: Little, Brown; 1995. p. 1.

Mollineux G, Mazanet R. Hemopoetic g r o ~ t hfactors. In: Provan


D, Gribben J, editors. Molecular hematology. Oxford, London:
Blackwell Science; 2000. p. 198.
Soebandiri. Hemopoetic growth factors. Naskah Lengkap Konas
VlII PHTDI, Surabaya 11-13 Oktober 1997 (Kuliah UMUM
1 I).
Testa NG, Dexter TM. The regulation of hemopoetic cell
production. In: Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD,
Editors. Post graduate hematology. 4Ih edition. Oxford, Boston,
Singapore: Buttenvorth Heinemann; 1999. p. 1 .

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA


I Made J3akta

PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering
dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai
masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan
fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering,
anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai
penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling
lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Hams diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan
tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan
akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah
berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin
dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis
tertentu seperti misalnya kehamilan.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri
(disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar (underlyingdisease). Oleh karena itu dalam
diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada
label anemia tetapi hams dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena
seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga
apabila ha1 ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi

ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan


penyakit dasarjuga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari
anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus
anemia tersebut.
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan
pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi
anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta
merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekatan
praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering
dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit
dalam.

KRlTERlA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan
penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,
disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian.Yang menjadi
masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang
dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis
kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut ofpoint)
di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia. Di
Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk lakilaki adalah 14 gldl dan 12 gldl pada perempuan dewasa
pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang
berbeda yaitu 12 gldl (hematokrit 38%) untuk perempuan
dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil,
dan 13 gldl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut of
point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada Tabel 1.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kelompok

Kriteria Anemia (Hb)

Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita harnil

< 13 gldl

< 12 gldl
< Ilgldl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek


dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya,
kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis.
Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka
sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau
dirawat di rurnah sakit akan memerlukan pemeriksaan work
up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di
Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria
hemoglobin kurang dari 10 gldl sebagai awal dari work up
anemia, atau di India dipakai angka 10- 1 1 gldl.

disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan


eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar
tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih
rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada Tabel 3.

A.

PREVALENSIANEMIA
Anemia mempakan kelainan yang sangat sering dijumpai
baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari
30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.
De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di
dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada Tabel 2.

Lokasi

Anak
0-4th

Anak
5-12 th

Laki
dewasa

Wanita
15-49 th

Negara maju
Negara
berkembang
Dunia

12%

7%
46%

3%
26%

14%

11%

51%

59%

47%

43%

37%

18%

51%

35%

B.

C.

Wanita
hamil

Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran


prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut:
:30-40%
Anak prasekolah
Anak usia sekolah
:25-35%
Perempuan dewasa tidak hamil : 30 -40%
: 50 - 70%
Perempuan hamil
:20 -30%
Laki-laki dewasa
Pekerja berpenghasilan rendah : 30 - 40%

D.

Anemia karena gangguan pernbentukan eritrosit dalarn


surnsurn tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin 812
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan surnsurn tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hernatologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada
gagal ginjal kronik
Anemia akibat hernoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia hemolitik
1. Anemia hernolitik intrakorpuskular
a. Gangguan rnembran eritrosit (rnernbranopati)
b. Gangguan ensirn eritrosit (enzirnopati): anemia
akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hernoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopatistruktural: HbS, HbE, dl1
2. Anemia hernolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hernolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan
patogenesis yang kompleks

Berbagai survei yang telah pernah dilakukan di Bali


memberikan angka-angka yang tidak jauh berbeda dengan
angka di atas.

Klasifikasi lain untuk anemia d q l t dibuat berdasarkan


gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau
hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi
menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer,
bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; 2). Anemia normokromik
normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3).
Anemia makrositer, bila MCV 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan
(Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui
penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi
anemia.

ETlOLOGl DAN KLASIFIKASI ANEMIA

PATOFlSlOLOGl DAN GEJALAANEMIA

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan


oleh bermacam penyebab. Pada: dasarhya anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic


syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


I.

II.

Ill.

Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
Anemia norrnokromik norrnositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi 812, termasuk anemia
pemisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin


turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini
timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut
oksigen.
Gejala urnum anemia menjadijelas (anemia simtomatik)
apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 &dl. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a).
Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan
hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau
paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala,
yaitu:
1. Gejala umum anemia. Gejala m u m anemia, disebut juga
sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (HW7 gldl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak
tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat
tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di
luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl).
2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik
untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah,
stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik
pada defisiensi vitamin B 12

Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan


hepatomegali
Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit
dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tarnbang: sakit perut, pembengkakan
parotis dan wama kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena
artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan
fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan
diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang
diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan
ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test);
2). Pemeriksaan darah sen anemia; 3). Pemeriksaan sumsum
tulang; 4). Pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari
pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan
hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya
anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat
berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit,
trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang
sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer
yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang
sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis.
Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak
diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,
misalnya pada:
Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin


eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang (Per1 b stain).
Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum,
tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling.
Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb,
elektroforesis hemoglobin dan lain-lain.
Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu
seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal
tiroid.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan
penyakit (disease entity), yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini
penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak
cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat
mungkin kita hams dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang
akan mempengaruhi hasil pengobatan
Pendekatan Diagnosis Anemia
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis
anemia, antara lain adalah pendekatan tradisional,
pendekatan morfologi, fungsional dan probabilistik, serta
pendekatan klinis.
Pendekatan Tradisional, Morfologik,
Fungsional dan Probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil
laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka
disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis
tentatif ataupun diagnosis definitif.
Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi
dan probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia
berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit
diklasifikasikan menjadi anemia hipokromik mikrositer,
anemia normokromik normositer dan anemia makrositer.
Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah
anemia disebabkan karena penurunan produksi eritrosit
di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan angka
retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis,
yang ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari
kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia

dan kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat


dengan pendekatan probabilistik (pendekatan berdasarkan
pola etiologi anemia), yang bersandar pada data
epidemiologi yaitu pola etiologi anemia di suatu daerah.
Pendekatan Probablistik atau Pendekatan
Berdasarkan Pola Etiologi Anemia
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di
dunia adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit
kronik dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang
dewasa pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam
membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia defisiensi besi
merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat
penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil
anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat
perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih
cukup sering dijumpai. Pada anak-anak tampaknya
thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan
dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali,
mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan
salah satu anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjurnpai
anemia di suatu daerah, maka penyebab yang dominan di
daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita pertamatama. Dengan penggabungan bersarna gejala klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha
diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.
Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah:
1). Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia), 2).
Berat ringannya derajat anemia, 3). Gejala yang menonjol.
Pendekatan Berdasarkan Awitan Penyakit
Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis
anemia tersebut. Anemia yang timbul cepat (dalam
beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh:
1). Perdarahan akut, 2). Anemia hemolitik yang didapat
seperti halnya pada AIHA terjadi penurunan Hb >I gldl
per minggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering
terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah
transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat
defisiensi G6PD, 3). Anemia yang timbul akibat leukemia
akut, 4). Krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik.
Anemia yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan
oleh: 1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia defisiensi folat
atau vitamin B12; 3). Anemia akibat penyakit kronik;
4). Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.
Pendekatan Berdasarkan Beratnya Anemia
Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah
etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh:
1). Anemia defisiensi besi; 2). Anemia aplastik; 3). Anemia
pada leukemia akut; 4). Anemia hemolitik didapat atau

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1113

PENDEKATAN TERHADAPPASIEN ANEMIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kongenital seperti misalnya pada thalasemia major;
5). Anemia pasca perdarahan akut; 6). Anemia pada GGK
stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai
sedang,jarang sampai derajat berat ialah: l).Anemia akibat
penyakit kronik; 2). Anemia pada penyakit sistemik;
3). Thalasemia Trait.
Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai
anemia berat, maka hams dipikirkan diagnosis lain, atau
adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat
anemia tersebut.
Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala
Anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu
diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan
gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada
anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya
(anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),
gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.
Pendekatan Diagnostik Berdasarkan
Tuntunan Hasil Laboratorium
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil
penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal
tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang
cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan
diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium (Gambar 1 s.d. Gambar 4)

PENDEKATANTERAPI
Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi pada pasien anemia ialah: 1). Pengobatan hendaknya
diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu; 2). Pemberian hematinik tanpa
indikasi yang jelas tidak dianjurkan; 3). Pengobatan
anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat
seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia
pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik, b). Terapi suportif, c). Terapi yang khas
untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk
mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut; 4). Dalam keadaan di mana diagnosis definitif
tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi
percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini hams dilakukan
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan
perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan

ehtrosit (MCV. MCH, MCHC)

4
normostler
I

L~hatGambar 2

-- ----.-.

--

..
.

L~hatGambar 3

.-.

- ..-.-

.
.
.-

..
..-. -- .
.

Gambar 1. Algoritme pendekatan diagnosis anemia

ANEMIA HlPOKROMlK MlKROSlTER

Thalasemia beta

Anemia 'Idero

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


NORMOKROMIK NORMOSITER

Normallmenurun

Gambar 3. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer

ANEMIA MAKROSITER
I

Retikulosit

Meningkat

* ,
Normal1
menurun
Sumsum tulang

perdarahan

1 II."."rn I"""'
Anemia pasca

megaloblastik

-1j,

Faal hati

Anemia
hipotiroidisme

Gambar 4. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1115

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan
diagnosis; 5). Transfusi diberikan pada anemia pasca
perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transhi hanya diberikan
jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah
jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole
blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan
volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan
tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.

Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk


penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia
menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai
kriteria Hb < 10 gldl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat
diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun
berdasarkan morfologi eritrosit.Gabungan kedua klasifikasi
ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan
anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring,
pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang:
pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat
dilakukan secara klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan
gabungan pendekatan klinis dan laboratorik. Pengobatan
anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas.
Terapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi
suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia
dan terapi kausal.

REFERENSI
Bakta IM. Hematologi ringkas. Denpasar: UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Segi-segi praktis pengelolaan anemia. Buletin
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia
(PHTDI). 1999; 1(2):67-88.
Bakta IM, Lila IN, Widjana DP, Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Naskah lengkap KOPAPDI VIII.
Yogyakarta: KOPAPDI VIII; 1990.
Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia. 1989;39:504-6.
Bakta IM, Sutjana DP & Andewi JP. Prevalensi anemia dan infeksi
cacing tambang di Desa Pejaten Bali. Naskah lengkap kongres
nasional IV PHTDI. Yogyakarta: PHTDI; 1983.
Bakta IM, Soenarto, Sutanegara D. Penelitian anemia di pedesaan
(suatu survei di Desa Kedisan Bali). Naskah lengkap KOPAPDI.
Semarang: KOPAPDI; 198 1.

Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U,


Williams WJ. Approach to the patient. In: Beutler E, Coller BS,
Lichtman MA, Kipps TJ, editors. Williams hematology. 6Ih
edition. New York: McGraw Hill. p. 3-8.
Beutler E. The common anemias. JAMA. 1990;259:2433-7.
Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia.
Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LabNPF Ilmu
Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr. Sutomo; 1988.
Cawley JC. Haematology. London: W. Heineman Med. Books; 1983.
Conrad ME. Anemia. eMedicine Journal. 2002;3(2):1-25.
Evatt BL. Fundamental diagnostic hematology: anemia. Atlanta &
Geneva: US Department of Health and Human Services & WHO,
1992.
DeMaeyer EM. Preventing and controlling deficiency anemia
through primary health care. Geneva: WHO; 1989.
Djubelgovic B, Hadley T & Pasic RA. New algorithm for diagnosis
of anemia. Postgraduate Medicine. 1989;85: 119-30.
Djulbegovic B. Reasoning and decision making in hematology. New
York: Churchil Livingstone; 1992.
Fairbanks VF. The anemias. In: Mazza JJ, editor. Manual of clinical
hematology. 2ndedition. Boston: Litte Brown; 1995. p. 17-69.
Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer GM, Paraskevas
F, Glader B, editors. Wintrobe's clinical hematology. 1l t h
edition. Philadelphia: Lippincot, Williams; 2004. p. 947-1009.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential hematology. 4Ih
edition. Oxford: Blackwell Science; 2001.
Husaini M, Husaini YK, Siagian UL & Suharno D. Anemia gizi: suatu
studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijaksanaan
program. Bogor: Puslitbang Gizi; 1989.
Isbister HP, Pittglio DH. Clinical hematology: a problem-oriented
approach. Baltimore: William & Wilkin; 1988.
Kellermeyer RW. General principles of the evaluation and therapy
of anemias. Med CIin N Am. 1984;66:533-43.
Linker CA. Blood. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA.
editors. Current medical diagnosis & treatment. 36th edition.
Stanford: Appleton & Lange; 1997. p. 463-518.
Longo DL. Oncology and hematology. In: Braunwald E, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrison's Principle of Internal Medicine. 151h edition. New
York: McGraw Hill; 2001. p. 491-762.
Mehta BC. Approach to patient with anemia. Indian J Med Sci.
2004;58:26-9.
Schnall SF, Berliner N, Duffy TP, Benz EJ. Approach to the adult
and child with anemia. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie
B, Cohen HJ, Silberstein LE, McGlove P, editors. Hematology:
Basic Principles and Practice. 3rdedition. New York: Churchill
Livingstone; 2000. p. 367-82.
Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2004; b58:24-5.
Weatherall DJ & Wasi P. Anemia. In: Warren KS & Wasi P, editors.
Tropical and geographial medicine. New York: McGraw-Hill
Book; 1985.
WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:
WHO; 1968.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANEMIA APLASTIK
Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder

PENDAHULUAN

EPlDEMlOLOGl

Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang


relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam
jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888
oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang
meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia.
Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut
menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak
aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali
menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun
berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah
dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan pendapat
bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia
sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe
membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum
tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan
hemopoietik sumsum tulang.
Selain istilah anemia aplastik yang paling sering
digunakan, masih ada istilah-istilah lain seperti anemia
hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif,
anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisisdan
anemia paralitik toksik.
Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat.
Perbedaan antara keduanya bukan pada usia pasien,
melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin
membawa kelainan herediter yang muncul di usia
dewasa. Dalam bab ini yang dibahas terutama adalah
anemia aplastik didapat sedangkan sedikit penjelasan
mengenai anemia aplastik herediter diberikan di akhir
bab.

Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh


dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta
penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian
The International Aplastic Anemia and Agranulolytosis
S t u 4 di awal tahun 1980-anmenemukan fiekuensi di Eropa
dan Israel sebanyak 2 kasus per 1juta penduduk. Penelitian
di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus
per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insidensi
dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun
dan di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Temyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan
Timur dunia daripada di belahan Barat.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia
15 sampai 25 tahun; puncak insidens kedua yang lebih
kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin
pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan
Eropa umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24
tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia
aplastik pada perempuan berumur di atas 50 tahun dan
pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria ditemukan dua
puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun,
sedangkan pada perempuan kebanyakan berumw di atas
60 tahun.
Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada
perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin
disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan
geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia


aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat,
atau sangat berat (Tabel 1). Risiko morbiditasdan mortalitas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Klasifikasi
Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum
tulang
Sitopenia sedikitnya
dua dari tiga seri sel
darah

Kriteria

Hitung neutrofil < 500IpL


Hitung trombosit < 20.000lpL
Hitung retikulosit absolut
< 60.0001pL

Anemia aplastik sangat


berat

Sama seperti di atas kecuali


hitung neutrofil < 2001pL

Anemia aplastik tidak


berat

Sumsum tulang hiposelular namun


sito~eniatidak memenuhi kriteria
berat

lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia


ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian
setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk
pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai
80%; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan
penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat
jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
membutuhkan terapi.

PATOFlSlOLOGl DAN PATOGENESIS


Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan
terhadap bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia
aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahanbahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau
senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang
pasien tidak diketahui faktor penyebabnya, maka pasien
digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian besar
kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi
anemia aplastik tercantum dalam Tabel 2.
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena
hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat
yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering

Toksisitas langsung
latrogenik
Radiasi
Kemoterapi
Benzena
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun.
latrogenik: transfusion-associatedgraft-versus-host
disease
Fasciitis eosinofilik
Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik

dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan


antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran
atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat
menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia
aplastik sementara atau permanen, misalnya virus EpsteinBarr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier).
Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum
tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum
tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV)
yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency
s.yndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi
kronik olehparvovirus pada pasien dengan defisensi imun
juga dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini,
sindrom anemia aplastik dikaitkan dengan hepatitis
walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah
banyak studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui,
namun diduga virus hepatitis non-A, non-B, dan non-C.
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan
pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang yang
berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh
estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik,
adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada
perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh
setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada
kehamilan berikutnya.
Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis
anemia aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari
berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen
laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an,
Mathe et a1 memunculkan teori baru berdasarkan kelainan
autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang
kepada pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi
sumsum tulang untuk menyembuhkan anemia aplastik
memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel asal (stem
cell).
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga
dibuktikan oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan
bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel
asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak
lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah
tepi pasien anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan
interferon-y dan T N F - a yang merupakan inhibitor
langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas
pada sel-sel CD34'. Klon sel-sel T imortal yang positif
CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi
sitokin T-helper-I yang bersifat toksik langsung ke selsel CD34 positif autologus.
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara
patofisiologis ditandai oleh destruksi spesifik yang
diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan
respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan
dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu atau zat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kilnia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain,


seperti toksisitas langsung pada sel-sel asal atau defisiensi
fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat
destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan
klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun
dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif.
Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan
adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas
kegagalan hematopoietik.

Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas
kosongnya sumsum tuang yang tampak jelas pada
pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen
core hiops.v sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan
magnetic resonunce lmaging vertebra memperlihatkan
digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietik yang imatur dapat
dihitung dengan flow cytotnerrj*. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein cytoudhesivc, yang disebut
CD34. Pada pemeriksaanflow cytometry, antigen sel CD34
dideteksi secara fluoresens satu persatu, sehingga jumlah
sel-sel CD34' dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia
aplastik, sel-sel CD34'juga hampir tidak ada yang berarti
bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid,
dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assuv lain
untuk sel-sel hematopoietik yang sangat primitif dan
"tenang" (qztrescent), yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan
penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin
telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh
pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia
aplastik.

Ligan

Destruksi lmun
Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis
bahwa pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit
bertanggung jawab atas destruksi ko~npartemensel
hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel-sel ini
memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui
adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper1 (Th,) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel-sel T dan
produksi interferon, tumor necrosis fuctor, dan interleukin2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intraselular pada
sampel pasien secaraflow cytometry mungkin berkorelasi
dengan respons terapi imunosupresif dan dapat
memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel-sel CD34- dan sel-sel induk
(progenitor) hemopoietik sangat sedilutjwnlahnya. Namun,
rneskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung lirnfosit
umumnya normal pada hampir semua kasus, demikian pula
fimgsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan hemopoiesis
yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Jadi, sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih
ada pada sebagian besar pasien anemia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi,
khususnya kematian sel CD34 yang diperantarai ligan Fas,
dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle urre.st). Sel-sel T dari
pasien membunuh sel-sel asal hemopoietik dengan
perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan
Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak
atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan
ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel
asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya
berjumlah kurang dari 10% sel-sel CD34' total, relatif tidak
terganggu oleh sel-sel T autoreaktit:, di lain pihak, sel-sel

- 'b
-

Garnbar 1. Destruksi imun pada sel hematopoletik (Modlfikasi dari Young, 1997)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Toksisitas
sel-se1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target
utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik
primitif yang selamat dari serangan autoimun
memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan-lahan
yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi
imunosupresif.

perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah


pasien. Hematomegali, yang sebabnya bermacam-macam,
ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.

MANIFESTAS1KLlNlS DAN DIAGNOSIS


Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam
beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-mingguatau
berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan
manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan
jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan
mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga
mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit,
dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. PemeriksaanJlow
cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum
tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom
myelodisplastik. Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu
diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat
klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat
keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya
kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang
tampak.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan
pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan
sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat bahwa
perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan
yang paling sering ditemukan.

Jenis keluhan

Jenis Pemeriksaan Fisis

Pucat
Perdarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom normositer.
Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan
rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75%
kasus.

OO
/

Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak napas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung

PEMERIKSAAN FlSlS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun
sangat bervariasi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pucat
ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

Gambar 2. Sumsum tulang normal (Kiri) dan aplastik (Kanan).


(Diambil dari www.ashimagebank.org)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah.
Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan
lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap
beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka
diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan
bukan anemia aplastik.

Laju Endap Darah


Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan
bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah
lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk
disebabkan oleh trombositopenia. Faal hemostasis lainnya
normal.
Sumsum Tulang
Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif
yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan
aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi
sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang sesuai
kriteria diagnosis.
Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan
virus Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai
penyebab.
Kromosom
Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan
kromosom. Pemeriksaan sitogenetik denganfluorescence
in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan
flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular.
Defisiensi lmun
Adanya difisiensi imun diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.
Lain-lain
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan
mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.
Kadar eritropoetin ditemukan meningkat pada anemia
aplastik.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Nuclear Magnetic Resonance lmaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk inengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan
tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan surnsum
tulang berselular.
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone
Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif
technetium s u l h yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada
transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh
sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel
induk.

DIAGNOSIS BANDING
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsi
menunjukkan aplasia; namun hiposelularitas sumsum
dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya. Uji
diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis
banding dan pemahaman kita tentang kegagalan sumsum
tulang (Gambar 3). Perbedaan antara anemia aplastik
didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu
yang menandai anemia Fanconi. Meskipun biasanya
muncul pada anak-anak, anemia Fanconi dapat didiagnosis
pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal atau
urogenital.
Sumsum tulang hiposelular dibutuhkan untuk
diagnosis anemia aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang
secara mengejutkan tampak selular meskipun secara
keseluruhan sumsum tulang hiposelular, sebab sebagian
besar pasien masih mempunyai sarang-sarang
hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy
1-2 cm penting untuk pengkajian selularitas.
Diseritropoiesis ringan bukan tidak lazim pada anemia
aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki
populasi sel-sel hemoglobinuria nokturnal paroksismal
kecil sampai sedang. Namun, adanya sejumlah kecil selsel blas myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom
myelodisplatik hipoplastik.

Myelodisplasia Hiposelular
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hipoplastik dapat menjadi tantangan, khususnya pada
pasien yang lebih tua, karena sindrom ini lebih banyak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1121

ANEMIA APLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Oambar 3. Tumapang tindih antara kelainan anemia aplastik dan diagnosis


hndngnya (ModlfikasI dati Ycrumg, 20CB)

terjadi. Proporsi sel-sel CD34' di sumsum tulang mungkin


membantu pada beberapa kasus. CD34 diekspresikan pada
sel-sel asall induk hemopoietik dan bersifat fundamental
untuk patofisiologi kedua kelainan ini. Pada sindrom
myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal
CD34'; pada anemia aplastik didapat, sel-sel asal CD34+
merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian,
proporsi sel-sel CD34' adalah 0,3% atau kurang pada
pasien anemia aplastik, sedangkan proporsinya normal
(0,5-1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik
hipoplastik.
Pemeriksaan sitogenetik sel-sel sumsum tulang
sekarang sudah rutin dilakukan, tetapi interpretasi hasil
dapat kontroversial. Kromosom urnumnya normal pada
anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas
struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika
sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel
hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia
mudah dibedakan dari anemia aplastik..Namun, mungkin
pada sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular,
selain itu, perubahan morfologinya mungkin ringan atau
meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal
atau tidak berhasil. Diagnosis handing lebih dipersulit
dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi
myelodisplasia.

Anemia Aplastik d a n Hemoglobinuria


Nokturnal Paroksismal (PNH)
Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia
aplastik dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit,
dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai
sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH
adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X
yang menghentikan sintesis struktur jangkar
glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini
menyebabkan hemolisis intravaskular, yang
mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein
tersebut mudah dideteksi denganflow cytometry eritrosit
dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah
ketinggalan jaman (obsolete)
Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan
mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH
dapat ditemukan sebagai "peristiwa klonal lanjut"
bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik.
Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa
sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang
mengalami e k s p w i klon PNH hematopoietik pada saat
datang.

Leukemia Limfositik Granular Besar


Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum
tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar
dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada
pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan selsel khusus pada flow cytometry, dan ketidakteraturan
reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi
monoklonal populasi sel T.

PENATALAKSANAAN
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi
atau transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor
seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(matched sibling donor), dan faktor-faktor risiko seperti
infeksi aktif atau beban transfusi hams dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1122

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

terapi imunusupresi atau TST. Pasien yang lebih muda


umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit
mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang
mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian
terapi imunusupresif. Pasien berusia lebih dari 20 tahun
dengan hitung neutrofil 200-5001 mm3 tampaknya lebih
mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST.
Secara umum, pasien dengan hitung neutrofil yang sangat
rendah cenderung lebih baik dengan TST, karena
dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi
neutropenia (hams diingat bahwa neutropenia pada pasien
yang mendapat terapi imunosupresif mungkin baru
membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menegah yang
memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi
hams dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan
pasien secara menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan
keinginan penyakit. Suatu algoritme terapi dapat dipakai
untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Gambar
4).

TERAPI KONSERVATIF
Terapi lmunosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi
terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik.
Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif

adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme
kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak
diketahui dan mungkin melalui:
=. Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated
pada sel asal,
Stimulasi langasung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai
adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 mglkg per hari
selama 4 hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5
mgkg per hari selama 5 hari) plus CsA (12- 15 mglkg, bid)
umumnya selama 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada
pasien yang tidak berespons terhadap ATG kuda, ATG
kelinci tampaknya sama efektif dengan ATG kuda. Angka
respons terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan
kelangsungan hidup 5 tahun 80-90%. ATG lebih unggul
dibandingkan CsA, dan kombinasi ATG dan CsA
memberikan hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA
saja.
Penambahan granulocyte colony-stimulating factor
(G-CSF) dapat memulihkan neutropenia tetapi tidak
menambah kelangsungan hidup. Namun respons awal
terhadap G-CSF setelah terapi ATG merupakan faktor
prognostik yang baik untuk respons secara keseluruhan.
Secara umum, pasien yang berespons terhadap kombinasi
ATG/ CsA mempunyai kelangsungan hidup yang sangat

---

--

Usia > 35 tahun atau


tidak ada HLA
matched sibling

Transplantas~
Ada respons

Tidak ada respons

i
i
Tidak ada respons

Faktor pertumbuhan
hematopoletik atau
androgen atau
matched ut~related
transplant

Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia berat (Diambil dari Bagby, 2004)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA APUSTlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


baik, sedangkan mereka yang refrakter mempunyai
kelangsungan hidup yang kurang. Perhitungan pada 3
bulan setelah terapi ATG mempunyai korelasi yang baik
dengan prognosisjangka panjang. Regimen imunosupresif
yang lebih baru memakai mycophenolate mofetil, dan dalam
konteks toksisitas CsA, Zenapax (anti-IL-2 receptor
[CD25] monoclonal antibody) mungkin bermanfaat tetapi
keampuhan obat-obat ini belum terbukti. Campath-1H saat
ini juga sedang diuji untuk keadaan-keadaan refrakter
untuk mengkaji potensi pemanfaatnnya sebagai obat
imunosupresif.
Kegagalan terapi imunosupresif mungkin
mencerminkan undertreatment atau kelelahan cadangan
sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Di samping
itu, tidak adanya respons terapi mungkin juga disebabkan
salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun,
seperti anemia aplastik herediter. Relaps dapat disebabkan
penghentian dini imunosupresi, dan hitung darah pasien
sering masih tergantung CsA. Terapi induksi dengan regimen ATG masa kini atau bahkan siklofosfamid dapat pula
tidak cukup untuk mengeliminasi sel-sel T autoimun.
Pasien-pasien refrakter dapat diobati lagi dengan ATG
multipel, yang dapat menghasilkan kesembuhan (salvage)
pada sejumlah pasien. Suatu penelitian pada pasien yang
refiakter dengan ATG kuda, ATG kelinci menghasilkan
angka respons 50% dan kelangsungan hidup jangka
panjang yang sangat baik.
Siklofosfamid dosis tinggi telah dianjurkan sebagai
terapi lini pertarna yang efektif untuk anemia aplastik.
Angka respons yang tinggi dikaitkan dengan pencegahan
kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun, sitopenia
yang berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang
berlebihan akibat komplikasi neutropenik menyebabkan
penghentian uji klinik. Follow-up jangka panjang pada
pasien yang mendapat siklofosfamid memperlihatkan
bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi setelah
terapi ini. Oleh karena itu, penggunaan siklofosfamid
hanya untuk kasus-kasus tertentu atau sebagai bagian
dari uji terkontrol dengan spektrum indikasi yang sempit.
ATG atau ALG diindikasikanpada: 1). Anemia aplastik
bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum
tulang yang cocok, 3). Anemia aplastik berat, yang berumur
lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit
lebih dari 200/ mm3.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG
dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat, sehingga
selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
Kortikosteroid ditambahkan untuk melawan penyakit serum intrinsik terhadap terapi ATG, yaitu prednison 1 mgl
kgbb selarna 2 minggu pertama pemberianATG Di samping
itu, neutropenia dan trombositopenia yang ada akan
semakin berat. Kira-kira 40-60%pasien berespons terhadap
ATG dalam 2-3 bulan (hampir tidak pemah dalam 2-3

minggu pertama). Walaupun tidak terjadi remisi total


transfusi komponen darah tidak dibutuhkan lagi. Kira-kira
30-50%dari mereka yang berhasil akan kambuh lagi dalam
2 tahun berikutnya. Pada golongan pasien ini yang
kebanyakan berespons lagi bila diberi ATG. Kira-kira 25%
pasien yang semula tidak memberikan respons, terjadi
respons pada pemberian ATG 2-4 bulan setelah pemberian
pertama.
Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan
proliferasi prekursor limfosit sitotoksik. Dosisnya adalah
3- 10 mgfl<gBB/ha~-i
per oral dan diberikan selama 4-6 bulan.
Siklosporin dapat pula diberikan secara intravena. Angka
keberhasilan setara dengan ATG. Pada 50% pasien yang
gaga1 dengan ATG dapat berhasil dengan siklosporin.
Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon
memberikan angka remisi sebasar 70% pada anemia
aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon
angka remisi sebesar 46%. Dosis siklosporin yang
diberikan 6 mg1kgBB peroral selama 3 bulan. Dosis
metilprednisolon 5 mglkg BB per oral setiap hari selama
seminggu kemudian berangsur-angsur dikurangi selama
3 minggu.

Secara konseptual, analog dengan terapi penyakit


keganasan, terapi imunusupresif intensif dengan ATG
dapat dipandang sebagai terapi induksi, yang mungkin
membutuhkan periode pemeliharaan lama dengan CsA atau
bahkan re-induksi. Angka relaps stelah terapi
imunusupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umum,
relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan
hidup pasien tidak memendek. Pasien dengan hitung darah
yang turun dapat menerima CsA, dan jika tidak berhasil,
harus diberikan ATG ulang. Angka respons dapat
dibandingkan dengan yang tampak pada ATG inisial. Pada
beberapa contoh, ATG kelinci dapat dipakai ketimbang
ATG kuda. Siklofosfarnid dosis tinggi telah disarankan
untuk imunusupresi yang mencegah relaps. Namun, ha1
ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan
siklofosfamid memberikan lama respons lebih dari 1 tahun,
Sebaliknya, 75% respons terhadap ATG adalah dalam 3
bulan pertama, dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun
setelah terapi ATG.

Kelelahan cadangan sel


asal
lmunosupresi tidak cukup
Sal ah diagnosis
Kegagalan sumsum
tulang herediter

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Anemla aplastik diperantarai


imun
Serangan imun persisten
Patogenesis non-imun

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


TERAPl PENYELAMATAN (SALVAGE THERAPIES)
Siklus lmunosupresi Berulang
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama
dapat berespons terhadap siklus imunosupresi ATG
ulangan. Pada sebuah penelitian, angka penyelamatan
yang bermakna pada pasien yang refrakter ATG kuda
tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Namun, siklus
ketiga tampaknya tidak dapat menginduksi respons
pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi
ulangan. Upaya melakukan terapi penyelamatan dapat
menunda transplantasi sumsum tulang. Namun
dampaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor
saudara yang cocok dan tidak berespons terhadap terapi
ATGI CsA harus menjalani TST. Selain terapi ATG
berulang, obat-obat baru seperti Campath-1H atau
antibodi monoklonal anti-CD3 dapat digunakan dalam
konteks uji klinik.
Faktor-faktor Pertumbuhan Hematopoietik
dan Steroid Anabolik
Penggunaan granulocyte-colony stimulatingfactor (G-CSF,
Filgrastim dosis 5 iglkghari) atau GM-CSF (Sargramostim
dosis 250 iglkglhari) bermanfaat untuk meningkatkan
neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Beberapa
pasien akan memperlihatkan pemulihan neutropenia dengan
G-CSF, tetapi neutropenia berat karena anemia aplastik
biasanya refrakter. Jika dikombinasi dengan regimen ATGI
CsA, G-CSF dapat memperbaiki neutropenia dan respons
terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif
untuk respons di masa depan. Peningkatan dosis G-CSF
tampaknya tidak bermanfaat. Kombinasi G-CSF dengan obat
lain telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasuskasus refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan
dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Namun, beberapa laporan mengaitkan terapi G-CSF yang
lama sebagai penyebab evolusi klonal, khususnya
monosomi-7.
Steroid Anabolik
Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi
anemia apalstik sebelum penemuan terapi imunosuresif.
Androgen merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsurn tulang. Saat ini, androgen hanya digunakan
sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter
terapi imunosupresif. Androgen yang tersedia saat ini
antara lain oxymethylone dan danazol. Obat-obat ini
terbukti bermanfaat bagi sebagian pasien anemia aplastik
ringan. Pada anemia aplastik berat biasanya tidak
bermanfaat. Komplikasi utama adalah virilisasi dan
hepatotoksitas.

TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG


Regimen conditioning yang paling sering adalah
siklofosfamid dan ATG dan telah terbukti lebih unggul
dibandingkan regimen terdahulu yaitu siklofosfamid plus
total thoracoabdominal irradiation. Perbaikan pada
perawatan pasien dan terapi graft-versus-host disease
telah membuat TST menjadi prosedur yang jauh lebih aman
dan menjadikan TST suatu pilihan bagi lebih banyak pasien
anemia aplastik. TST menyediakan alternatif terapi yang
benar-benar kuratif berlawanan dengan komplikasi jangka
panjang terapi IS konservatif, termasuk perkembangan
MDS dan angka relaps yang tinggi.
TST allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien
(hanya sekitar 30% yang mempunyai saudara dengan
kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat
memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar
94% (dengan donor saudara yang cocok). Hasil yang lebih
baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak
demikian halnya pada pasien yang lebih tua. Dengan
demikian, TST hams ditawarkan sebagai pilihan kepada
pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok.
Batas usia untuk TST sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 3035 tahun, lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif
sebagai upaya pertama.
Transplantasi sumsurn tulang alogenik dengan saudara
kandung HLA-A,B,-DR-matched, mencapai angka
keberhasilan remisi komplit permanen lebih dari 80% pada
kelompok pasien terpilih yang berumur h a n g dari 40 tahun
dan bisa hidup lama. Makin meningkat wnur, makin meningkat
pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang
donor yang disebut graft-versus-host disease (GVHD).
Transplantasi sumsum tulang antara umur 40-50 tahun
mengandung risiko meningkatnya GVHD dan mortalitas.
Transplantasi sumsum tulang dapat dikerjakan
Pada umumnya, bila pasien berumur kurang dari 50
tahun yang gaga1 dengan ATG, dan mempunyai saudara
kandung sebagai donor yang cocok maka pemberian
transplantasi sumsurn tulang perlu dipertimbangkan. Akan
tetapi dengan pemberian imunosupresif sering diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Bila transfusi komponen
darah sangat diperlukan, sedapat mungkin diambil dari
mereka yang bukan potensial sebagai donor sumsum
tulang untuk membatasi reaksi penolakan cangkokan (graft
rejection) yang kelak dapat mengurangi keberhasilan
transplantasi sumsum tulang, karena antibodi yang
terbentuk akibat transfusi. Pada pasien yang belum
ditransfusi, 10 tahun setelah transplantasi sumsum tulang,
yang hidup mencapai 81%, sedangkan bagi yang telah
mendapat transfusi sebelumnya yang hidup hanya 46%.

Kriteria Respons
Kelompok European Bone Marrow Transplantation

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA APLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(EBMT) mendefinisikan respons terapi sebagai berikut:
Remisi komplit: bebas transhsi, granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3, dan trombosit sekurangkurangnya 100.000/mrn3.
Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi,
granulosit di bawah 2000/mm3,dan trombosit di bawah
100.000/mm3.
Refrakter: tidak ada perbaikan.

Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit


walaupun komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada
transplantasi sumsum tulang.

- '

Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi


eritrosit berupa packed red cells sampai kadar
hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari
20.0001 mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat
perdarahan atau kadar trombosit di bawah 20.000/mm3
(profilaksis). Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusitrombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya
(orang tua atau saudara kandung) atau pemberian
gammaglobulin dosis terapi. Timbulnya sensitisasi dapat
diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih
kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping
yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat,
khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik
masih diutamakan.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT


Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir
dengan remisi sempuma. Hal ini jarang terjadi kecuali bila
iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempuma
biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal
ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup
selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup
lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak
sempurna.
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara
pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia
aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia
aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik.
Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih
baik.
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan
keganasan sekunder. Pada penelitian di luar negeri dari
103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti
jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.

ANEMIA APLASTIK HEREDITER


Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain
meliputi anemia Fanconi, diskeratosis kongenita, sindrom
Shwachman-Diamond, dan trombositopenia megakaryositik. Sebagian besar anemia aplastik (AA) bersifat
didapat, namun ada juga bentuk-bentuk AA yang
diwariskan. Kelainan-kelainan ini sangat jarang, mirip
dengan AA didapat tetapi jarang berespons terhadap terapi
imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter
biasanya muncul pada usia dekade pertama dan kerap
disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan,
hipogonadisme, bintik-bintik cafk-au-lait pada anemia
Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat
keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi adalah penyakit
yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi merupakan
kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada
DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia
dan tumor padat. Diskeratosis kongenital, adalah sindrom
kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik
muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi
kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki
heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam.
Terdapat bentuk-bentuk X-linked recessive, autosomal
dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked
recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKCI, yang
menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk
stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase
menyebabkan pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan
sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging).
Diskeratosis congenita autosomal dominan disebabkan
mutasi pada gen TERC (yang menyandi komponen RNA
telomerase) yang pada akhimya mengganggu aktivitas
telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah
kecil pasien (kurang dari 5%) yangs disangka menderita
AA didapat memiliki mutasi TERC.
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan
merupakan kelainan yang ditandai oleh trombositopenia
berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir.
Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense
mutations pada gen C-MPL. Banyak dari antara mereka
mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage di usia
dua puluhan. Sindrom Shwachman-Diamond adalah
kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan disfungsi
eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan
sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi, pasien
sindrom ini mengalam peningkatan risiko terjadinya
myelodisplasia atau leukemia pada usia yang sangat muda.
Belum ada lesi genetik yang dianggap menjadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
Hariman H. Soeroso L. Succesful marrow recovery after eHuGM-

penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7


telah dikaitkan dengan penyakit ini.

REFERENS1
Adamson JW and Erslev AY. Aplastic anemia. In: Williams WJ,
Beutler E, EWslev AY, Lichtman MA, editors. Hematology. 4Ih
edition. New York: Mc. Graw-Hill; 1990. p. 158-74
Alter BP. Bone marrow failure: a child is not just a small adult (but
an adult can have a childhood disease). Hematology. 2005:96103.
Bagby GC. Lipton JM, Sloand EM, Schiffer. Marrow failure. Hematology. 2004:3 18-36.
Brodsky RA, Jones RJ. Aplastic anemia. Lancet. 2005;365:164756
Fibbe WE. Telomerase mutations in aplastic anemia. N Engl J Med.
2005;352: 1481-3.
Gluckman E, Esperou-Bourdeau H, Baruchel A, Boogaerts M, Briere
J, Donadio D, et al. Muticentre randomized study comparing
cyclosporine-A alone and antithymocyte globulin with
prednisone for treatment of severe aplastic anemi. Blood.
1992;79:2540-6.
Gordon-Smith EC. Aplastic anemia and allied disorders. Curr Opin
Hematol. 1993:45-51.

CSF treatment in a patient with idiophatic aplastic anemia.


KONAS VII Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia & International scientific meeting of Haematologist
from Southeast Asian Coutries, Medan, Desember 1993.
Maciejewski JP, Risitano AM. Aplastic anemia: management of adult
patients. Hematology. 2005:llO-17.
Rosenfeld S, Follmann D, Nunez 0 , Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association
between hematologic response and long-term outcome. JAMA.
2003;289(9): 1130-5.
Salonder H. Gambaran klinik anemia aplastik dan kriteria ramalan
pasien berumur pendek. Skripsi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 1983.
Thompson LH. Unraveling the Fanconi anemia-DNA repair connection. Nat Genet. 2005;37:921-2.
Yamaguchi H, Calado RT, Ly H, Kajigaya S, Baerlocher GM, Chanock
SJ, et al. Mutation in TER7: the gene for telomerase reverse
transcriptase, in aplastic anemia. N Engl J Med.
2005;352(14): 1413-24.
Young NS. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N
Engl J Med. 1997;336(19):1365-72.
Young NS. Acquired aplastic anemia. Ann Intern Med. 2002;136:5346.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANEMIA DEFISIENSI BESI


IMade Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda

PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul
akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromikmikrositer
dan hasil laboratoriurn yang menunjukkan cadangan besi
kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat
penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem
retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi
masih normal. Pada anemia sideroblastikpenyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang karena gangguan
mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam
heme terganggu. Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini
digolongkan sebagai anemia dengan gangguan
metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat
dangan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial
yang cukup serius.

sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi


perangkat absorbsi besi tidak mengalami evolusi yang
sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.

KOMPARTEMEN BESl DALAM TUBUH


Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh
berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2)
besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila
masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang
berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk
mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen
lainnya.
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk
logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan
protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan,
mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan
normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi
50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/
kgBB. Tabel 1 menggambarkan komposisi besi pada
seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. Jumlah besi
pada perempuan pada umumnya lebih kecil oleh karena
massa tubuh yang juga lebih kecil.

METABOLISME BESl
Besi merupakan trace element vital yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin,
mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam
jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat
penyerapan besi dalam usus, maka sejak awal manusia
dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber
hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana

Senyawa besi fungsional

Hemoglobin
2300 mg
Mioglobin
320 mg
~nzim-enzim 80 mg

Senyawa besi transportasi


Senyawa besi cadangan

Transferin
Feritin
Hemosiderin

Total

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

3 mg
700 mg
300 mg
3803 mg

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari
makanan. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam
tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling
banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum
disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada
epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase:
FaseLuminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung
kemudian siap diserap di duodenum.
Fase Mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus
yang merupakan suatu proses aktif.
Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam
sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan
penyimpanan besi. (storage) oleh tubuh.

Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat
sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
Besi hon-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan
pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya
rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorbsi besi
adalah "meat factors" dan vitamin C, sedangkan yang
tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat
dan serat fibre). Dalam lambung karena pengaruh asam
lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri ke fero yang siap untuk diserap.
Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa
duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi
secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali (carefully regulated). Besi dipertahankan dalam
keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel absorptif
terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush
border dari sel absortif, besi feri dikonversi menjadi besi
fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh
protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1, disebut juga sebagai Nramp
2). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai
IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi
dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin, yang identik dengan seruloplasmin pada

metabolisme tembaga), kemudian besi (feri) diikat oleh


apotransferin dalam kapiler usus.
Besi heme diabsorbsi melalui proses yang berbeda
yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi
heme dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi
secara intak (utuh) diperkirakan melalui suatu reseptor.
Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan
dengan besi non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan
dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh
"set point" yang sudah diset saat enterosit berada pada
dasar kripta Lieberkuhn, kemudian pada waktu pematangan
bermigrasi ke arah puncak vili sehingga siap sebagai sel
absorptif.
Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di
mana setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam
diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi
berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena
akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan
set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah
berlebihan.

Gambar 1. Proses absorpsi besi pada permukaan duodenum

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1129

ANEMIA DEFlSlENSI BESl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


FASE KORPOREAL
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati
bagian basal epitel usus, meniasuki kapiler usus, kemudian
dalaln darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.
Transt'erin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fe,-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin
( t r u t ~ s f e r r i nreceptors
T f r ) yang terdapat pada
perm~~kaan
sel, terutama sel nonnoblas. Kompleks Fe,-TtTfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi
oleh klatrin (cluthrit7-cocrtc~c/pit),
cekungan ini mengalami
invaginasi sehingga lnembentuk endosom. Suatu polnpa
proton menurunkan pH dalatn endosom, menyebabkan
perubahan konforniasional dalam protein sehingga
melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplastna dengan bantuan
DMTI, sedangkari ikatan apotransferin dan reseptor
transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan
dapat dipergunakan kembali.

MEKANISME REGULASI ABSORBS1 BESl


Terdapat 3 rnekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus :
Regulator dietetik. Absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis
diet dimana besi terdapat. Diet dengan biovailabilitas tinggi
yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adanya faktor
enhancer akan nieningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi
dengan bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi
yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung
inhibitor akan discrtai prosentase absopsi besi yag rendah.
Pada Llic,t~ri:~r e g l i l ~ ~ ~ini
o jr uga
. dikenal adanya ~iz~co.\(c~l
block,
seperti yang telah diuraikan di depan.
Regulator simpanan. Penyerapan besi diatur melalui
besarnya cadangan besi dala~n~ L I ~ L Penyerapan
I ~ .
besi
rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila
cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan.
Bagaimana mekanisme regulasi ini bekerja belum diketahui
dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cc.11
progr-cr~ntnitl~
sehubungan dengan respon saturasi
transtkrin plasma dengan besi.
Regulator eritropietik. Besar absorbsi besi berhubunpan
kecepatan eritropoesis. Er\-thropoietic regz~ltrtor
mempunyai kemampuan reg~~lasi
absorbsi besi lebih tinggi
dibandingkan dengan \tor-c>.\ rc~gzrlutor~.
Mekanisme
vi.t.rhr'oix)wtiC regulrrtor ini belum dihetahui dengan pasti.
I<ritropoesis inefektif (peningkatan eritropoesls tetapi
disertai penghancuran prekursor eritrosit dalam sumsum
t u l a n g ) , seperti misalnya pada thalassemia atau
he~iioglobinopati lainnya, disertai peningkatan absorbsi
besi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
eritropoesis akibat destruksi eritrosit di darah tepi, seperti

misalnya pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena itu


hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan
pertarna dibandingkan dengan keadaan kedua. Akhir-akhir
ini ditemukan suatu.peptida hormonal kecil yaitu hepcidin
yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble
regulator absorbsi besi dalam usus.

SIKLUS BESl DALAM TUBUH


Pertukaran besi dalatn tubuh merupakan lingkaran yang
tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus,
sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi
yang diserap itsus setiap hari berkisar antara 1-2 mg,
ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui
eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin
akan beigabung dengan besi yang dimobilisasi dari
niakrofag dalam sumsurn tulang sebesar 22 mg untuk dapat
memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari.
Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar
melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi
sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena
terjadinya eritropoesis inefektif (hemolisis intramedular).
Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah
niengalarni proses penuaan juga akan dikembalikan pada
makrotig sumsum tulang sebesar 17 mg. Sehingga dengall
demihian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed
c ~ r c u ~yang
t ) sangat etisien, seperti yang dilukiskan pada
Gambar 2.

Gambar 2. Skerna siklus pertukaran besi dalarn tubuh

KLASlFlKASl DERAJAT DEFlSlENSl BESl


Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh
maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun


tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu
Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis):
cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis
terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai
anemia defisiensi besi.

PREVALENSI
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang
paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat.
ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di
negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan
sampai saat ini, didapatkan gambaran prevalensi anemia
defisiensi besi seperti tertera pada Tabel 2.

Afrika

Amerika Latin

Indonesia

6%
20%

3%
17 - 21%

16 - 50%
25 - 48%

60%

39 - 46%

46 - 92%

Laki dewasa
Wanita tak
hamil
Wanita hamil

Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB


di Indonesia. Martoatmojo et a1 memperkirakan ADB pada
laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil.
Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan
prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh
karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu
desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar
27%.
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk
yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerika Latin
dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil
berkisar antara 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada
suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalens
anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan
oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei pada 42 desa di
Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan
prevalens ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat
anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah
tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum
pi1 besi.
Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES
111) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi besi
dijumpai kurang dari 1% pada laki dewasa yang berumur
kurang dari 50 tahun, 2-4% pada laki dewasa yang
berumur lebih dari 50 tahun, 9- 11% pada perempuan
masa reproduksi, dan 5-7% pada perempuan
pascamenopause.

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena


rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta
kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun
dapat berasal dari:
- saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian
salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing
tambang.
- saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau
metrorhagia.
- saluran kemih: hematuria
- saluran napas: hemoptoe.
Faktor nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam
makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C,
dan rendah daging).
Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas,
anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue
atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di
klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor
nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada
laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik
paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan
pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena
meno-metrorhagia.
Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat
atau di lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek
klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia
ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB pada
umurnnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan faktor
nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan.
Bakta, pada penelitian di Desa Jagapati, Bali, mendapatkan
bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya
pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan
pada sebagian besar kasus, terutama pada anemia derajat
ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya
pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik
memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing
tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada
perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing
tambang masing-masing 17%.

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi


sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan
besi menurun, keadaan ini disebut iron depletedstate atau

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA DEFISlENSI BESI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang
dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin
atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik
ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum.Apabila
jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut
sebagai iron deJiciency anemia. Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim
yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut
dan faring serta berbagai gejala lainnya.

PERUBAHAN FUNGSIONAL NON-ANEMIA PADA


DEFlSlENSl BESl
Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen
penting dari mioglobin dan berbagai ensim yang
dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transpor
elektron. Oleh karena itu defisiensi besi di samping
menimbulkan anemia, juga akan menimbulkan berbagai
dampak negatif, seperti misalnya pada (1) sistem
neuromuskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas
kerja; (2) gangguan terhadap proses mental dan
kecerdasan; ( 3 ) gangguan imunitas dan ketahanan
terhadap infeksi; (3)gangguan terhadap ibu hamil dan janin
yang dikandungnya. Gangguan ini dapat timbul pada
anemia ringan atau bahkan sebelum anemia manifes.
Defisiensi besi menimbulkan penurunan fungsi
mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase,
menyebabkan gangguan glikolisis yang berakibat
penumpukan asam laktat sehinggamempercepat kelelahan
otot. Defisiensi besi terbukti menurunkan kesegaran
jasmani, sedangkan pada buruh pemetik teh terbukti
menurunkan produktivitas kerja. Dampak negatif ini dapat
dihilangkan jika diberikan preparat besi.
Defisiensi besi menimbulkan gangguan perkembangan
kognitif dan non-kognitif pada anak dan bayi sehingga dapat
menurunkan kapasitas belajar. Hal ini diperkirakan karena
gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan
penumpukan serotonin, serta enzim monoaminooksidase
yang menyebabkan penumpukan katekolamin dalam otak.
Pengaruh defisiensi besi terhadap infeksi masih
kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa defisiensi

besi menyebabkan berkurangnya penyediaan besi pada


bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang
berakibat pada ketahanan terhadap infeksi. Di pihak lain
besi dibutuhkan oleh enzim untuk sintesis DNA dan enzim
mieloperoksidase netrofil sehingga menurunkan imunitas
selular.
Defisiensi besi dihubungkan dengan risiko prematuritas
serta morbiditas dan mortalitas fetomaternal. Ibu hamil
yang menderita anemia disertai peningkatan angka
kematian maternal, lebih mudah terkena infeksi dan sering
mengalami gangguan partus.

GEJALA ANEMIA DEFlSlENSl BESl


Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3
golongan besar, yaitu: Gejala umum anemia, gejala khas
akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.

Gejala Umum Anemia


Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom
anemia (anemic syndrome) dijurnpai pada anemia defisiensi
besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma
anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan
anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi
lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh
dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik
jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gldl. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama
pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.
Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemiajenis lain adalah:
koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung
sehingga mirip seperti sendok (Gambar 3)
atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan
pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak
benvarna pucat keputihan
disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring
atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim,
seperti: tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom
Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan


disfagia.

Gejala Penyakit Dasar


Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala
penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi
tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada
anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon
dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau
gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan


sebelum kadar hemoglobin menurun.
Hapusan darah tepi (Gambar 4) menunjukkan anemia
hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poikilositosis.
Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia.
Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus
dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika
terjadi hipokromia dan mikrositosis esktrim, maka sel
tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin
(ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai
sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang
dijumpai sel target.
Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi
granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang
berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang
dijwnpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada
ADB dengan episode perdarahan akut.

Gambar 3. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang


pasien anemia defisiensi besi.

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi


yang dapat dijumpai adalah:
Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan
anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar
hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCVdan MCH
menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia
defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada
defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama.
Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.
Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW
(red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan
RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan
anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada
kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka
< 80 fl, tetapi pada penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit
Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah
< 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik.
Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC
danb RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks

Gambar 4. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi,


menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis (A). Tampak beberapa sel pensil (panah), bandingkan
dengan hapusan darah tepi normal di sebelahnya ( 6 ) .

Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC


(total iron binding capacity) Meningkat. TIBC
menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap
besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi
serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria
diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 pgldl, total
iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 pgldl, dan
saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi
transferin < 16%, atau < 18%. Hams diingat bahwa besi
serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.
Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang
Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan
Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut offpoint) untuk
feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 pgll, tetapi ada
juga yang memakai < 15 pgll. Untuk daerah tropik di mana

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA DEFISIENSI BESl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang
diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada
suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali
pemakaian feritin serum < 12 pg/l dan < 20 pgll memberikan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98%
serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru
dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mgll, tanpa
mengurangi spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg
untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin
serum < 20 mgll sebagai kriteria diagnosisADB. Jika terdapat
infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid,
maka feritin serum sampai dengan 50-60 pgll masih dapat
menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum
merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA
yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di
klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis,
meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal
tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi,
tetapi feritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan
tidak adanya defisiensi besi.
Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan
heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena
defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam
eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk
defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100
mgldl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia
akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.
Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada
defisiensi besi. Kadar normal dengan cara imunologi adalah
4-9pg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai
untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit
kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor
transferin dengan log feritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan
ADB dan rasio < 1,5 sangat mungkin karena anemia akibat
penyakit kronik.

Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik


ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.
Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas
ini disebut sebagai micronormoblast.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Per1 k
stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir
hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60%
normoblast mengandung granula feritin dalam
sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi
besi maka sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi
pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold
standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini
perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin
serum yang lebih praktis.
Studi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada
siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua
jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate
(PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma,

dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur


pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah
yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak
banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian.
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab
anemia defisiensi besi.Antara lain pemeriksaan feses untuk
cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz,
pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium
intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi hams
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut offpoint anemia tergantung kriteria yang
dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi,
atau MCV <80 fl dan MCHC <3 1% dengan salah satu dari
a, b, c, atau d.
-. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum 6 0 mgldl
- TIBC >350 mg/dl
- Saturasi transferin: <I 5%, atau
Feritin serum <20 mgll, atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perlk
stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) negatif, atau
Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mghari (atau
preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 gldl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang
menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap ini sering
merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat
penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari
sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DIAGNOSIS DIEFERENSIAL

anamnesis tentang menstmasi sangat penting, kalau perlu


dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa
di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari
telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan
pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan
eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi
kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan
tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai penyebab
utama ADB, hams dicari penyebab lainnya. Titik kritis
cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan
telur per gram feses (TPG) atau eggpergramfaeces (EPG)
>2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam
suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang
nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan
cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih
lemah pada perempuan.
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia)
adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan
parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda
defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Pada
suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang
dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tambang
atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang
dijumpai.
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat
dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada feses,
dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran
cerna atas atau bawah.

Anemia
Defisiensi Besi
Derajat
anemia
MCV
MCH
Besi serum
TlBC
Saturasi
transferin
Besi sumsurn
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb.

Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia


hipokromik lainnya seperti: anemia akibat penyakit kronik,
thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan
keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana


pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi
adalah:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan.
Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan
hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal hams
dilakukan,kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan
besi dalam tubuh (iron replacemen therapy):
Terapi Besi Oral. Terapi besi oral mempakan terapi pilihan
pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Preparat yang
tersedia adalahferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan
preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi
efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg
sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental.
Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan
absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan
eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat,
ferrous lactate danferrous succinate. Sediaan ini harganya
lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir
sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan

Anemia Akibat
Penyakit Kronik

Trait
Thalassemia

Anemia
Sideroblastik

Ringan sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun
c 30
Meningkat >360
Menurun < 15%

Ringan

Ringan

MenurunlN
MenurunIN
Menurun < 50

Menurun
Menurun
Normal/ t

Ringan
sarnpai berat
MenurunlN
MenurunlN
Normall

Menurun ~ 3 0 0
MenurunIN 10-20%

Negatif

Positif

Normal 1 4
Meningkat
> 20%
Positif kuat

Normal1&
Meningkat
>20%
Positif dgn ring

Meningkat

Meningkat

Normal

Normal

Menurun <20 vgll

Normal 20-200 vgll

Meningkat >50
vgll
Hb. A2
rneningkat

Meningkat
>50 pgll
N

sideroblast

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA DEFlSIENSl BESl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

enteric coated yang dianggap memberikan efek samping


lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung
kosong, tetapi efek samping lebih sering dibandingkan
dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang
mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat
makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan
gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang
sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi
efek samping besi diberikan saat makan atau dosis
dikurangi menjadi 3 x 100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga
yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh.
Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200
mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering
kambuh kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan
preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping
terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak
mengandung hati dan daging yang banyak mengandung
besi.
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat kfektif
tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih
mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya
diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi
parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap pemberian besi
oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah;
(3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang
dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi
terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan
di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak
cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti
misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia;
(6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti
pada kehamilan trimester tiga atau sebelurn operasi; (7)
defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
eritropoetin pada anemia gaga1 ginjal kronik atau anemia
akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex
(mengandung 50 mg besilml), iron sorbitol citric acid
complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate
dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat
diberikan secara intramuskular dalam atau intravena
pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa
nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek
samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,
meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan
sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan
kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai

1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui


rumus di bawah ini:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4+ 500
atau 1000 ma

Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan


dalam beberapa kali pemberian.
c. Pengobatan lain
diet: sebaiknyadiberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani
vitamin c: vitamin c diberikan 3 x 100mg per hari untuk
meningkatkan absorposi besi
transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi
darah. Indikasi pemberian transhsi darah pada anemia
kekurangan besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman
payah j antung
- Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia
dengan gejala pusing yang sangat menyolok
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin
yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir
atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red
cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai
premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian filrosemid
intravena.
Respons Terhadap Terapi

Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien


dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik
pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke- 10
dan normal lagi setelah hari ke14, diikuti kenaikan Hb 0,15
ghari atau 2 gldl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi
normal setelah 4- 10 minggu.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu
dipikirkan:
Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum.
Dosis besi h a n g
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik,
keradangan menahun atau pada saat yang sama ada
defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali
dan ambil tindakan yang tepat.
PENCEGAHAN

Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di


masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan
yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

berupa:
Pendidikan kesehatan:
- kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian
jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya
pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang
- penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi
makanan yang membantu absorbsi besi
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan lcronik paling yang sering dijurnpai di daerah
tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan
anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasibesi yaitu pemberian besi profilaksis pada
segrnen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan
anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
hamil dan anak balita memakai pi1 besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu
mencampurkanbesi pada bahan makan. Di negara Barat
dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau
bubuk susu dengan besi.

REFERENSI
Adamson JW. Iron Deficiency and others Hypoproliverative Anemias. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL (editors). Harrison's Principle of Internal Medicine. 151h edition. New York: McGraw Hill, 2001. p. 491-762.
Andrews NC. Iron Deficiency and Related Disorders. In: Greer GM,
Paraskevas F, Glader B (editors). Wintrobe's Clinical Hematology. 1lth edition. Philadelphia: Lippincot, Williams, Wilkins,
2004. p 947-1009.
Andrews NC. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med
1999;341:1986-1995.
Baker WF. Iron Deficiency in Pregnancy, Obstetrics, and
Gynecology. Hematol/Oncol Clin N Amer 2000;14(2).
Bakta IM. Hematologi Ringkas. Denpasar : UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001.
Bakta IM. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya
sebagai salah satu Penyebab Anemia Defisiensi Besi: studi
imunoepidemiologik di desa Jagapati, Bali (Disertasi).
Surabaya:Universitas Airlangga, 1993.
Bakta IM. Lila IN. Widjana DP & Sutisna P. Anemia dan anemia
defisiensi besi di Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan Bali. Yogyakarta : Naskah Lengkap
KOPAPDI VIII, 1990.
Bakta IM. Aspek epidemiologi anemia defisiensi besi. Acta Medica
Indonesiana 1993;XXV: 1054- 1073.
Bakta IM. Anemia defisiensi besi pada penduduk dewasa desa Jagapati,
Bali. Acta Medica Indonesiana 1993;XXV: 1231-1244.
Bakta IM. Anemia kekurangan besi pada usia lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia 1989; 39: 504-506.
Bakta IM. Anemia Defisiensi Besi pada Praktek Swasta seorang
Spesialis Penyakit Dalam di Denpasar. Majalah Kedokteran
Udayana 1996;27:112-118.
Bakta IM, Budhianto FX. Hookworm anemia in the adult population of Jagapati Village, Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop

Med Public Health 1994;25: 459-463.


Bakta IM. The role of hookworm infection as an etiologic factor of
iron deficiency anemia in Bali (Indonesia): an intervention study.
Proceedings of VIIIth Congress of Asian Pacific Division International Society of Hematology. Brisbane 15-18 October 1995.
Bakta IM, Wijana DP, Sutisna IP. Hookworm infection and iron
stores: a survey in a rural community in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1993;25: 501.
Bakta IM. The relationship between hookworm infection and iron
stores: a study in adult population of Jagapati Village, Bali,
Indonesia. International Journal of Hematology 1996; 64(Suppl
1): S33
Brittenham GM. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency
and Overload. In: Hoffman R, Benz EJ, Shttil SJ, Furie B, Cohen
HJ, Silberstein LE, McGlove P (editors). Hematology: Basic
Principles and Practice. 3rd edition. New York: Churchill
Livingstone, 2000. p 367-382.
Conrad ME. Iron Deficiency Anemia. eMedicine Journal, Vol 3, No
2, February 19,2002.
DeMaeyer EM. Preventing and Controlling Deficiency Anemia
Through Primary Health Care. Geneva: WHO; 1989.
Fairbanks VF, Beutler E . Iron Deficiency. In: Beutler E, Coller BS,
Lichtman MA, Kipps TJ (editors). Williams Hematology. 61h
edition. New York: McGraw Hill,. 2001. p 447 - 470.
Fleming RE, Sly WS. Hepcidin: a putative iron-regulatory hormone
relevant to hereditary hemochromatosis and the anemia of
chronic disease. PNAS 2001;98:6160-8162.
Frewin R, Henson A, Provan D. ABC of Clinical Haematology: Iron
Deficiency Anaemia. BMJ. 1997;3 14:360.
Goddard AF, McIntyre AS, Scott BB. Guidelines for the management
of iron deficiency anaemia. Gut 2000; 46(Suppl 1V):ivl-iv5.
Hercberg S. Iron and Folat Deficiency Anaemias. International Child
Health 1991; II:44-60.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Essential Haematology 4lh
edition. Oxford: Blackwell Science, 2001.
Hoffbrand AV, Lewis SM, Tuddenham EGD. Postgraduate
Haematology. 4"' edition. 0xford:Buttenvorth Heineman, 1999.
Hillman RS, Ault KA. Hematology in Clinical Practice: A Guide to
Diagnosis and Management. 31d edition. New York: McGraw
Hill, 2002.
Kandarini Y. Pemeriksaan indeks eritrosit sebagai uji saring
diagnosis anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar:
Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas UdayanaRS Sanglah, 2003
Kerlin P, Reiner R, Davies M, Sage RE, Grant AK. Iron Deficiency
Anemia - A Prospective Study. Aust NZ Med J 1979;9:402-407.
Mast AE, Blinder MA, Gronowski AM, Chumley C, Scott MG.
Clinical utility of the soluble transferrin receptor and comparison with serum ferritin in several populations. Clin Chemistry
1998;44:45-51.
Martoatmojo S, Abunain D, Muhilal, Enoch hl, Sastroamidjojo S.
Masalah anemia gizi pada perempuan hamil dan hubungannya
dengan pola konsumsi makanan. Penelitian Gizi dan Makanan
1973;3:22-41
Schmaier AH, Ptruzzelli KM. Hematology for Medical Student.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-I. Indian J Med Sci 2004;58:7981.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-11. Indian J Med Sci
2004;58: 134-137.
Shah A. Iron Deficiency Anemia Part-111. Indian J Med Sci
2004;58:214-216.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1137

ANEMIA DE~SIENSIBESI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Suega K, Dhamayuda TG, Sutarga M, Bakta IM. Iron deficiency in
pregnant women in Bali, Indonesia: a profile of risk factors and
epidemiology. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2002;33:604-607.
Somayana G. Pemeriksaan feritin serum sebagai sarana diagnosis
anemia defisiensi besi (karya tulis akhir). Denpasar: Denpasar:
Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas UdayanaRS Sanglah, 2005.
WHO Technical Report Series No. 405. Nutritional Anemia. Geneva:
WHO; 1968.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIS


Iman Supandiman, Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau
inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya
ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.
Cartwright dan Wintrobe melaporkan bahwa pada tahun
1842, peneliti-peneliti di Perancis telah menemukan adanya
massa eritrosit yang lebih rendah pada penderita tifoid
dan cacar dibandingkan dengan orang normal. Diketahui
di kemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti
pneumonia, sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain
seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker
sering disertai anemia dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis.
Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai
oleh kadar Hb berkisar 7- 11 g/dL, kadar Fe serum menurun
disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di
jaringan serta produksi sel darah merah berkurang.

ETlOLOGl DAN PATOGENESIS


Laporanldata penyakit tuberkulosis, abses paru,
endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi
jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua
infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat
anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti
demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk
terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah
infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan
antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb
menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama
seperti pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi
yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis

reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis


regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya
juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker,
walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti
pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut
dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia).
a. Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari
sindrom stres hematologik (haematological stress
syndrome), di mana terjadi produksi sitokin yang
berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan
sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat
besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan
produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan
perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat
menyebabkan penurunan transformasi T4 ( t e t r a iodothyronine) menjadi T 3 (tri-iodothyronine),
menyebabkan hipotiroid fungsional di mana terjadi
penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut 0 2 sehingga
sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang.
b. Penghancuran Eritrosit

Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup


eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini
terjadi di ekstrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien
ditranfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup
norrnal.Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan
peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan
sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening),
menjadi kurang toleran terhadap perubahanlkerusakan
minor dari eritrosit.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1139

ANEM~APADA PENYAKIT KRONIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


c. Produksi Eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah
meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal
ini memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh
penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Penelitian
akhir menunjukkan parameter Fe yang terganggu mungkin
lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis
anemia tersebut (Tabel 1).

Fe plasma (mg/L)
TlBC
Persen saturasi
Kandungan Fe di
makrofag
Feritin serum
Reseptor
transferin serum

Normal

Anemia
DeRsiensi
Fe

Anemia
Penyakit
Kronis

70-90
250-400
30

30
>450
7

30
<200
15

20-200
8-28

10
>28

150
8-28

++

+++

TIBC-total iron binding capacity

Pengukuran kecepatan penyerapan zat besi oleh


saluran cerna pada beberapa kasus dengan kelainan kronis
memberikan hasil yang sangat bervariasi, sehingga tidak
dapat disimpulkan. Pada umumnya memang terdapat
gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke
sel-sel usus dan pengikatan oleh apoferitin intrasel masih
normal, sehingga defek agaknya terjadi saat pembebasan
Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit
kronis. (kalimat ini dihapus)
Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang
normal dapat mengkompensasi pemendekan masa hidup
eitrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia
akibat anemia. Pada penyakit kronis, kompensasi yang
terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya
penglepasan atau menurunnya respons terhadap
eritropoietin. Penelitian mengenai penglepasan eritropoietin
menunjukkan hasil yang berbeda-beda; pada beberapa
penelitian kadar eritropoietintidak berbeda bermakna pada
pasien anemia tanpa kelainanan kronis, sedangkan
penelitian lain menunjukkan penurunan produksi
eritropoietin sebagai respons terhadap anemia sedangberat. Agaknya ha1 ini disebabkan oleh sitokin, seperti
IL- 1 dan TNF-a yang dikeluarkanoleh sel-sel yang cedera.
Penelitian in vitro pada sel hepatoma menunjukkan bahwa
sitokin-sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin.
Terdapat 3 jenis sitokin yakni TNF-a, IL-1, IFN-y yang
ditemukan dalarn plasma pasien dengan penyakit inflamasi
atau kanker, dan terdapat hubungan secara langsung antara
kadar sitokin ini dengan beratnya anemia. TNF-a dihasilkan
oleh makrofag aktif dan bila disuntikan pada tikus

menyebabkan anemia ringan dengan gambaran khas


seperti anemia penyakit kronis. Pada kultur sumsum tulang
manusia ia akan menekan eritropoiesis pada pembentukan
BFU-E dan CFU-E. Penelitian terkini menunjukkan bahwa
efek TNF-a ini melalui IFN-y yang diinduksi oleh TNF dari
sel stroma.
IL-1 berperan dalam berbagai manifestasi inflamasi, juga
terdapat dalam serum penderita penyakit kronis. IL-1,
seperti halnya TNF, akan menginduksi anemia pada tikus
dan menekan pembentukan CFU-E pada kultur sumsum
tulang manusia.
Kedua interferon tadi diduga dapat langsung
menghambat CFU-E tanpa melalui efek TNF-a, serta dapat
menekan progenitor non-eritroid. Walaupun demikian,
bagaimana peranannya dalam patogenesis anemia secara
pasti belum dapat dijelaskan, karena masih banyak faktorfaktor lain yang tak terduga yang mungkin berperan
penting dalam patogenesis anemia jenis ini.

GAMBARAN KLlNlS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan
sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit
dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-1 1 gr/dL umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas
transport 0 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai
konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari
hasil pemeriksaan laboratorium.

Anemia umumnya adalah normokrom-normositer,


meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom
dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa mempunyai sel
mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan
pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung
dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia)merupakan kondisi
sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis.
Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau
inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi
protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan
saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi
besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi
dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan
yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid
imatur.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi
lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum,
disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8- 12
hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi
metabolik yang berbeda.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi


dan keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut
anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang,
selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan
TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum
tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang
meningkat.
Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan
diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia
pada penyakit kronis:
1. Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada
keganasan stadium lanjut.
2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced
hemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat,
kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,
haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs hams
dilakukan untuk menyingkirkan hemolisis.
3. Perdarahan kronis.
4. Thalasemia minor.
5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit
memendek clan terdapat kegagalan relatif sumsum tulang.
6. Metastasis pada sumsum tulang.
PENGOBATAN

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah


mengobati penyakit dasarnya. Terdapat beberapa pilihan
dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:
a Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang
disertai gangguan hemodinarnik. Tidak ada batasan yang
pasti pada kadar hemoglobin berapa kita hams memberi
transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien
anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard,
transfusi dapat menurunkan angka kematian secara
bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat
kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dL.
h Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia
penyakit kronis masih terus dalam perdebatan. Sebagian
pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan
besi dapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan lain,
pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin.
Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini
pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.

c. Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa


pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat
kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid
dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi
beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin
mepunyai beberapa keuntungan, yakni: mempunyai
efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNFa dan interferon-y. Dilain pihak, pemberian eritropoietin
akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Saat ini terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni
eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin.
Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap
reseptor, clan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita
memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.
Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada
penyakit kronis merupakan ha1 yang hams dipahami oleh
setiap dokter sebelum memberikan transhsi, preparat besi
maupun eritropoietin.

REFERENSI
Erslev AJ. Anemia of chronic disease. In: Beutler E, Lichtman MA,
Coller BS,Kipps TJ, Seligsohn U, eds. Williams Hematology 6Ih
ed. New-York: McGraw-Hi!l Medical publishing division 2001;
41:481-7.
Gasche C, Waldhoer T, Feichtenschlager T, et al. Prediction of
response to iron sucrose in inflammatory bowel diseaseassociated associated anemia. Am J Gastroenterol.
2001;96:2382-7.
Henke M, Laszig R, Rube C, et al. Erythropoietin to treat head and
neck cancer patients with anaemia undergoing radiotherapy:
randomised, double-blind, placebocontrolled trial. Lancet.
2003;362:1255-60.
Leyland-Jones B. Breast cancer trial with erythropoietin
terminated unexpectedly. Lancet Oncol. 2003;4:459-60.
Papadaki HA, Kridkos HD, Valatas V et al. Anemia of chronic
disease in rheumatoid arthritis is associated with increased
apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement following anti-tumor necrosis factor-alpha antibody therapy. Blood.
2002;100:474-82.
Spivak JL. Iron and the anemia of chronic disease. Oncology
(hunting). 2002;16:Supp110:25-33.
Stenvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage
renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001;16:Supp17:36-40.
Tilg H, Ulmer H, Kaser A, Weiss G. Role of IL-I0 for induction of
anemia during inf1ammation.J Immunol. 2002;169:2204-9.
Wilson A, Reyes E, Ofman J. Prevalence and outcomes of anemia in
inflammatory bowel disease: a systematic review of the
literature. Am J Med. 2004;116:Supp17A:S44-S9.
Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med.
2005;352(10): 101 1-23.
Weiss G. Pathogenesis and treatment of anaemia of chronic disease.
Blood Rev. 2002;16:87-96.
Wstenfelder C, Baranowski RL. Erythropoietin stimulates
proliferation of human renal carcinoma cells. Kidney Int.
2000;58: 647-57.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANEMIA MEGALOBLASTIK
Soenarto

PENDAHULUAN
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh
sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi gizi
menurut WHO 1972 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada
ketinggian permukaan laut lebih rendah dari nilai pada
golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun : 11d l 0 0 ml
6 tahun - 14 tahun
: 12 d l 0 0 ml
: 13 gr1100ml
Pria dewasa
Perempuan dewasa tak hamil : 12 gi-I100ml
Perempuan dewasa hamil
: 11 gr1100 ml
Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur
kadar besi, asam Folat dan vitamin B 12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb
dan hematokrit (Ht) adakalanya palsu. Keadaan yang dapat
meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma darah,
combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi.
Kadar rendah palsu contohnya pada keadaan hamil atau
dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang
disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel
yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel
awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan
sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi
besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA.
Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik cenderung
dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian
selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi
produksi sel darah merah berkurang, dan keadaan
abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesisyang tidak
efektif (ineffective erythropoiesis).

Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena


defisiensi vitamin B 12 (kobalamin) dan atau asam folat.
Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan
anemia megaloblastik dapat diklasifikasikan seperti yang
tertera berikut ini.

KLASlFlKASl ANEMIA MEGALOBLASTIK


Defisiensi Kobalamin
Asupan tidak cukup: vegetarian (jarang)
Malabsorbsi
- Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan:
achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang
menghalangi sekresi asam
- Produksi faktor intrinsik yang tak mencukupi: anemia pernisiosa, Gastrektomi total, Abnormalitas
fungsional atau tak adanya faktor intrinsik yang
bersifat kongenital.
.- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue
non tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum,
neoplasma dan gangguan granulomatosa (jarang),
sindrom Imerslund (malabsorbsikobalarnin selektif)
@rang)
- Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm
(Diphylobotrium latum), Bakteri blind loop
syndrome
- Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin,
neomisin.
Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi
transkobalamin I1 (jarang), defek enzim kongenital
(iarang).
Defisiensi Asam Folat
Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pada peminum alkohol, usia belasan tahun, beberapa bayi)
Keperluan yang meningkat :kehamilan, bayi, keganasan,
peningkatan hematopoiesis (anemia hemolitik kronik),
kelainan kulit eksfoliatif kronik, hemolisis
Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat:
phenytoin, barbiturat (?) ethanol
Metabolisme yang Terganggu: penghambat dihydrofolat
reductase (metotreksat,pirimetarnin, triamteren, pentamidin,
trimetoprin).Alkohol, Jarang defisiensi enzim (dihydrofolat
reductase, dll).
Sebab-sebab lain
Obat-obatyang mengganggu metabolismeDNA: antagonis
purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonispirimidin
(5-fluorourasil, sitosin arabinose, dll). Lain-lain :
prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin
Gangguan metabolik Cjarang): asiduria urotik herediter,
sindrom Lesch-Nyhan, lain lain
Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui:
anemia megaloblastik refrakter, Sindrom Diguglielmo,
anemia diseritropoietik kongenital.
ASAM FOLAT DAN VITAMIN 612

Asam folat dan vitamin B 12 adalah zat yang berhubungan


dengan unsur makanan yang sangat penting bagi tubuh.
Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah dalam
metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di
depan, adanya defisiensi kedua zat tersebut akan
menghasilkan tidak sempumanya sintesis DNA pada tiap
sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi.
Jaringan-jaringanyang memiliki pergantian sel yang sangat
cepat akan mengalami perubahan yang sangat dramatis,
antara lain adalah sistem hematopoiesis yang sangat
sensitif pada defisiensi dan menyebabkan anemia
megaloblastik.
Asam folat adalah nama yang biasa diberikan pada
asampteroylmonoglutamic. Zat ini disintesis pada banyak
macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur
merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa
bentuk dari asam folat dalam diet sangat labil dan dapat
menjadi rusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap
hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan
tertentu akan meningkat sejalan dengan peningkatan
metabolisme seperti pada kehamilan.
Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada penyakit usus halus karena penyakit tersebut
dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan
resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada
alkoholisme akut atau kronik, asupan harian folat dalam
makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan
terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel
parenkim hati, ha1 ini yang menjadi penyebab utama dari
defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis

megaloblastik.
Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit
oleh komplikasi defisiensi folat yang dapat terjadi. Obatobat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara lain
metotreksat, trimetoprim) atau yang dapat mengganggu
absorbsi dan penyimpanan folat dalam jaringan tubuh
(antikonvulsan tertentu, kontraseptif oral) mampu
mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan
bersamaan waktunya dapat menjadi penyebab anemia
megaloblastik. Hal ini karena adanya gangguan maturasi
yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan
maturasi yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah
karena defisiensi asam folat atau vitamin B 12 disebabkan
karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk
dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu monoglutamat, yang
ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di
dalam sel, gugus NS-metil dilepas ke dalam reaksi
kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada
polyglutamate mungkin berguna untuk penyimpanan folat
di dalam sel.
Ikatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu,
dan cairan tubuh lain. Fungsi ikatan folat dan ikatan
dengan membran perintisnya hingga kini belum diketahui.
Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya
dengan pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1karbon moieties" seperti gugus-gugus metil dan formil ke
berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan
tetrahidrofolat menghasilkan glisin dan N5-10metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam
formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme
histidin, yang menyampaikan gugus formimino
tetrahidrofolat dan asarn glutamat. Derivat-derivat tersebut
menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi
dan mudah saling menukar yang terdiri dari derivat-derivat
tetrahidrofolat pembawa macam-macam "1 -carbon
moieties".
Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat
memberikan "1-karbon moieties" mereka kepada senyawasenyawa penerima yang sesuai, guna membentuk lanjutan
metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan
blok-blok yang digunakan untuk sintesis makromolekulmakromolekul. Yang sangat penting dalam pembentukan
blok-blok tersebut adalah:
Purin-purin,di mana atom-atom C-2 dan C-8 dimasukkan
dalam reaksi ketergantungan pada folat;
Deoksitimidilat monofosfat (dTMP), disintesis dari NS- 10
metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat
(dUMP); dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA MECALOBLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil
dari N5-metiltetrahidrofolat ke homosistein.
Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar metabolisme folat
sebagai berikut (Gambar 1).

segera berpartisipasi dalam siklus perpindahan 1-karbon.


Selama produksi dTMP dari dUPM fragmen 1-karbon telah
direduksi dari formaldehid ke gugus metil dalam perjalanan
dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi
sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanjutnya
ke dalam siklus perpindahan 1-karbon,DHF telah direduksi
menjadi THF. Reaksi ini dikatalisis oleh dihidrofolat
reduktase.

Gambar 1. Metabolisme folat

Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin,


deoksitimidilat monofosfat (dTMP), dan metionin, sebagai
lanjutan pembawa dari fragmen-fragmen 1-karbon yang
digunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa
tersebut. Bentuk aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF).
Folat
COOH

4N

COOH

c0

;-II
f&
CH

CHI

C-OH

I
-

II
-0

Gambar 2. Rumus kimia folat

THF memperoleh fragmen 1-karbon, terutarna dari serin,


yang merubah menjadi glisin dalam rangkaian dari reaksi.
Untuk sintesis purin, fragmen 1-karbon pertama dioksidasi
ke tingkat dari asam formik, lalu mengirimkan ke substrat.
Untuk sintesis metionin, keperluan reaksi kobalamin,
fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus
methyl, lalu dikirimkan ke homosistein. Dalam reaksi ini
kofaktor tertentu dikeluarkan sebagai THF, yang dapat

Gambar 3. Rumus kimia vitamin B12 (Kobalamin)


Methylcobalamine, Adenosylcobalamine Coenzyme untuk
methionine synthase dan L - methylmalonyl - CoA mutase.

Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk


poliglutamat dari tetrahidrofolat dengan unit karbon
tambahan.
Fungsi utama sebagai koenzim guna satu pengangkut
karbon dalam asam nukleat, dari metabolisme asam amino.
Kobalamin adalah vitamin yang mempunyai susunan
komponen organometalik yang kompleks, di mana atom
cobalt terletak dalam inti cincin, suatu struktur yang mirip
bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak seperti
heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh
manusia dan hams di penuhi dari makanan. Sumber utama
hanya dari daging dan susu. Keperluan minimum sehari
untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug.
Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam
makanan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk kompleks yang
stabil dengan pengikat gaster R, salah satu keluarga gugus
yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang
fungsinya belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi
(misalnya, saliva, susu, cairan lambung, empedu), fagosit
dan plasma.
Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks
kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin, yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kemudian terikat pada faktor intrinsik (FI), suatu


glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasiIkan oleh
sel-sel parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik
umvmnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan kompleks
kobalamin-Fl dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik
dan melintas menuju ke ileum distal, dimana reseptor
reseptor spesifik pada vili mukosa dan menyerap kompleks
kobalamin-FI. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin,
adalah protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor
pengikat kompleks kobdamin-FI akan dibawa lnasuk ke
sel mukosa ileum, di mana FI kemudian dimusnahkan dan
kobalamin dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu
transkobalamin (TC) 11. Kompieks kobalamin-TC I 1
kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan
cepat dibawa ke hati, sumsum tulang, dan sel lain. Jalur
penyerapan kobalamin dapat disimak pada Gambar 4.

Lumen

Gmbar 4. Jalur penyerapan kobalamln

Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin


disimpan dalam hati, dan selain itu 2 nlg disimpan dijaringan
seluruh t~tbuh.Dari sudut pandang keperluan harian
minimal, kurang lebih 3 sainpai 6 tahun diperlukan untuk
individu normal menjadi kekurangan kobalamin bila
absorbsi dihentikan secara tiba tiba.
Meskipun TC I1 adalah suatu uccrptor guna
penyerapan baru dari kobalamin, dimana kebanyakan
kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I,
yaitu suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya
dengan pengikat R gaster. TC 1 tampaknya diturunkan
sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa
kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari
pada yang terikat pada TC 11; rneskipun deinikian
pengangkutan awalnya clari semua kobalamin yang
diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan
adanya fakta bahwa ikatan kobalamin pada TC I1 dengan

cepat dibersihkaa dari darah (% sampai 1 jam), sedangkan


pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I
memerlukan waktu berhari hari. Hingga kini hngsi TC I
belurn diketahui.
Di dalam seI sel tubuh manusia, kobalamin merupakan
faktor yang esensial bagi dua enzim, yaitu metionin sintase
dan metil maionil-koenzimA(CaA) sintase. Kobalamin ada
dalam dua bentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus
alkil yang terikat pada enam posisi koordinasi dari atom
Cobalt yaitu :metilkobalamin dan adenosilkobalamin(juga
disebut vitamin B 12). Sianokobalamin belum diketahui
peran fisiologisnya dan harus diubah ke bentuk biologis
aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan.
Metikobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk
metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam
perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1).Bila reaksi
tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau;
dan dalam kekacauan ini yang menjadi latar belakang
ker-sakan dalam sintesa DNA dan pada pasien dengan
defisiensi kobalarnin timbul adanya benruk maturasi
megaloblastik.
Pada defisiensi kobalamin, maka WS-metiltetrahidrofolat
yang tak terkonjugasi, yang baru diainbil dari aliran darah,
tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari aetrahidrofolat
oleh transfer metil. Ini yang disebut hipotesefolat trap.
Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak
baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini sebagian besar
tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan
peIan keluar dari set, Karenanya defisiensi folat di jaringan
akan terjadi, dan ini akan meniinbulkan l~ematoporesis
megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa
simpanan folat jaringan pada defisiensi kobalamin secara
substansial, maka dengan penurunan yang tidak seimbang
dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak
terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau
supranormal, Ini dapat pula menerangkan mengapa dengan
pemberian folat besar dapat menghasilkan remisi
hematolagik parsial pada pasien dengan defisiensi
kobalamin.
Kadar plasma hemasistein ineningkat pada defisiensi
folat dan kobalamin, dan kadar yang tinggi :iri hornmistein
plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kejadian
trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diketahui
bahwa hiperhomosistein yang diakibatkan oleh defisiensi
folat atau kobalarnin merupakan predisposisi untuk
trombosis atau mengubah respons dari pengobatan.
Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi dari
~netilmalonilCoA menjadi succinyl CoA. Tidak adanya
kofaktor hi yang berperan penting daiam peningkatan yang
cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil CoA
dan pendahulunya, yaitu propionil CoA. Sebagai
konsekuensi, maka asam lemak nonfisiologik yang
~nengandungsejumlah atom karbon yang berlebihan akan
disintesis dan bergabung m e ~ ~ j a dLipid
i
neuronal.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1145

ANEMIA MECALOBLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Abnormalitas biokimiawi ini dapat mempunyai sumbangan
akan terjadinya komplikasi neurologis defisiensi kobalamin.

GANGGUAN KLlNlS
Sebagaimanatertera dalam klasifikasi anemia megaloblastik,
kausa dari anemia megaloblastik sangat bervariasi
tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di wilayah
dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada
pecandu alkohol, sedangkan defisiensi kobalamin
disebabkan karena anemia pernisiosa atau aklorhidria
merupakan tipe yang sering dari anemia megaloblastik.
Di wilayah tropis, sprue adalah endemik yang
merupakan penyebab penting timbulnya anemia
megaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing
pita dalam ikan yaitu Difilobotrium laturni, mungkm sebagai
penyebabnya. Tentang infestasi cacing pita di masyarakat
Bali perlu mendapat perhatian.
Defisiensi kobalamin kebanyakan selalu berkaitan
dengan malabsorbsi. Asupan harian kobalamin lebih dari
cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian.
Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di
banyak wilayah di dunia. Lebih lanjut, karena simpanan
asam folat dalam tubuh relatif rendah, maka defisiensi asam
folat dapat timbul mendadak selama periode berkurangnya
asupan atau meningkatnya keperluan metabolik. Dan
terakhir, defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh
malabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang
berdampingan akan berakibat pada pasien.
Tidak jarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam
folat dapat terjadi. Pada para pasien " tropical sprue "
sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi
megaloblastik dari sel sel sumsum tulang juga dapat
mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa
intestinurn. Jadi defisiensi yang berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh
faktor faktor yang tak ada kaitannya dengan defisiensi
vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obat obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun
kurang sering, maturasi megaloblastik dapat merupakan
gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat. Dan
sangat jarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang
kongenital.

Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah,
traktus gastrointestinal, dan sistema nervorum.
Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat
anemia, meskipun sangat jarang purpura, dapat pula
tampak, karena trombositopeni. Keluhan dari anemia dapat

terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo,


tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang berkaitan
dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari
pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan
kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan
kadar bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat
gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi
denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada
auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.
Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi
kobalamin akan ada keluhan nyeri lidah, yang pada
inspeksi tampak papil lidah halus dan kemerahan. Keluhan
lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan,
kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain
keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang terakhir ini
mungkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel
usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi.
Manifestasi gangguan neurologis, sering
mengakibatkan gaga1 sepenuhnya dalam upaya
pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah
demielinasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan
akhirnya kematian neuronal; dan stadium akhir dari
perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Tempat yang
menderita gangguan termasuk syaraf perifer; medula spinalis, dimana kolumna posterior dan lateral mengalami
demielinasi; danjuga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala
termasuk mati rasa dan parestesia pada ekstremitas,
kelemahan dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan
dari sfingter. Refleks-refleks mungkin hilang atau
meningkat. Tanda Romberg dan Babinsky mungkin dapat
positif dan rasa sikap dan getaran biasanya hilang.
Gangguan mental mulai dari sifat mudah marah yang ringan
dan mudah lupa sampai demensia yang berat atau psikosis
yang sesungguhnya. Hendaklah diinga bahwa penyakit
neurologik dapat pula tampak pada pasien dengan
hematokrit dan indeks sel darah merah yang normal.
Kemungkinan akan banyak keuntungannya dengan
pemberian suplemen folat dalam makanan, yang mungkin
dapat memperbaiki keadaan seperti gejala neurologis
karena defisiensi kobalamin. Gangguan pelepasan
kobalamin dari makanan, kejadiannya belum dapat
diketahui,
Seperti diketahui kobalamin dalam makanan terikat pada
enzim dalam daging dan kemudian dipisahkan dari enzim
tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam lambung.
Umumnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun
mengalami aklonidria. Karenanya mereka tak mampu untuk
membebaskan kobalamin dari sumber makanan tapi
memelihara kemampuan absorbsi kristalin B 12, suatu
bentuk yang paling sering terdapat dalam multivitamin.
Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang usia lebih
dari 70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi
banyak yang mengidap perubahan biokimiawi, ini termasuk
kadar yang rendah dari ikatan kobalamin dengan TC I1

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dan peningkatan kadar homosistein, yang dapat


meramalkan defisiensi kobalamin
Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami
berkurangnya produksi asam lambung karena obat-obatan,
seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan
kobalamin dari makanan. Namun, 'proton pump inhibitor"
tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.

Anemia Pernisiosa
Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai
penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak
adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa
maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan
penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di
bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas
dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile
pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang
diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal
maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan
defisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial
meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk
penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi
adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme.
Pasien anemia pernisiosajuga mempunyai antibodi dalam
sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan
penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel
antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase,
sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para
pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula
terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang
talc diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya
tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari
para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan
kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena
kemungkinanjuga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik
dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan
kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya.
Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga
mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia
pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan
agammaglobinemia.Hal ini menunjang peran pada sistem
imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan
Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi
sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah
atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang
mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi
kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan
megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum dan

perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster


tampak sebagai cellular atypia dalam preparat sitologik
lambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati hati
dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.

Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang
luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi
anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi
kobalamin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia
megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomiparsial,
yang sebabnya belum jelas.
Organisme Intestinal
Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi
anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops)
atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma,
amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari
sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang
mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi.
Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu
bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri.
Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian
antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia
megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap
cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam
memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita
tersebut maka problema tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas Ileum
Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue",
sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar
kebiasaan dari "nontropical sprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan
dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat
menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu
termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan
tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh
suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik
tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal
seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga
tampak setelah reseksi ileum.
Sindrom Zollinger-Elison (hiperasiditaslambung yang
hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman
usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan
R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI
komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga
mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya
selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin
secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA MEGALOBLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang
melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbsi
kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para
individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu
suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal
dari kompleks kobalamin-FI.

Nitrous Oxide
Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius
menghancurkan kobalamin yang endogen. Pemakaian
seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak
cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara
klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang
berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang
mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan
dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit
neurologik akut.
Defisiensi Asam Folat
Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan
padi-padian telah disarankan oleh US Food and Drug
Administration sejak Januari 1998, maka kejadian defisiensi
asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi
asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan
defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah
serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa.
Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga
dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin,
tidak tampak adanya abnormalitis neurologik.
Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat
adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam
folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih
faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang
meningkat, atau malabsorbsi.
Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan
dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber utama
asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman
beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat.
Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat
karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia
lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita
defisiensi folat.
Keperluan yang meningkat. Jaringanjaringan yang relatif
pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang,
mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat.
Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau
penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan
mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko
tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang
meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila
defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka
dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.

Kadang kadang pada kehamilan tersebut tak dapat


mendeteksi, sampai defek tersebut telah berkembang; jadi,
ketentuan suplementasi folat pada perempuan setelah
mereka mengetahui hamil, tidaklah efektif. Namun demikian,
suplementasi makanan yang mengandung folat, dapat
mengurangi defek saluran saraf sampai lebih dari 50%.
Defisiensi folat dapat tampak selama masa pertumbuhan
cepat bayi dan remaja. Para pasien dengan hemodialisa
honik perlu diberi suplementasi folat guna mengganti folat
yang hilang.
Malabsorbsi. Defisiensi folat sering menyertai Tropical
sprue, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan
membaik dengan pemberian asam folat atau dengan
antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enteropathy) dapat pula berkembang secara
nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan
parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah
defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena
kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan
usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi
folat.

Obat- obatan
Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalamin yang
sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat
obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia
megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis
DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini
dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Langsung penghambat sintesis DNA, mereka termasuk
analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin),
analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat
yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam
mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus
zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV,
sering menimbulkan anemia megaloblastik berat.
Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah
metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat
reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan
tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang
kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia
megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat
reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan
berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan
tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan
pirimetamin.
Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari
mekanismenya yang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan
ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh
intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants"
fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik
yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Mekanisme Lain
Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada
beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu
defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena
defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya
pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun
dari ekskresi sejumlah besar dari asarn orotik. Malabsorbsi
folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik,
bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental.
Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin
yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus
pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan
megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu
sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para
pasien tertentu dengan anemia dyserytlzropoietik
kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang
diwariskan dengan ciri anemia ringan sampai sedang dan
perjalanannya tidak ganas.
Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan
pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi
yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa
kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada
defisiensi TC I yang diwariskan.
ANEMIA MEGALOBLASTIK YANG REFRAKTER
Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak
pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas
pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering
menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih
jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti
megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang
sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid "
yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma.
"Megaloblastoid" tidak berarti " megaloblastoid ringan".
Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia
megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan
peningkatan kejadian leukemia akut.
Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis
eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel
darah merah nyata terlibat.

Diagnosis
Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu
menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan
laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan
laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit,
retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap
darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit, MCV
dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1
hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk
sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan
secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100 fl maka

perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik.


Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit
hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik. Bila
makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110 fl, maka pasien
tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik.
Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi
besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan
jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun,
terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari
gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya
anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan
makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan
hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia
megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik
basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah
yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang
tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan
dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan
ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah
anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula
tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang
aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya
hiperselular dengan penurunan rasio mieloidleritroid dan
berlimpah besi yang tercat.
Perintislpendahulu sel darah merah tampak adanya sel
yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya
kebanyakan kurang matur, ha1 ini perlu diperkirakan dari
perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic
asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga,
dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai
ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal
dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak
banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk
band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah
megakariosit menurun dan tampak morfologi yang
abnormal.
Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesisyang tak
efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak
90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan
mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan
10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya
penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang
akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi
dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma.
Guna mengevaluasi pasien dengan anemia
megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah
ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur
kadar serum kobalamin dan folat. Nilai kobalamin normal
dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pglml; nilai
kurang dari 200 mglml menunjukkan adanya defisiensi
yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan
kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran
dari kobalamin yang terikat pada TC 11, sebenarnya lebih
fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA MEGALOBLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat
dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari
asam folat berkisar antara 6 sampai 20 nglml; nilai sama
atau di bawah 4 ng/ml secara umum dipertimbangkan untuk
diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum
kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan
adanya perubahan baru pada asupan makanan.
Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat
berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya
subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan
folat dan ha1 ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari
simpanan folat.
Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka
patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes
Schilling.Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera
diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular
kobalamin tanpa dilabel.
Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan
dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, ha1 ini
akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi
kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang
menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi
kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat
pertama dari tes Schilling harus abnormal (misal didapat
sejumlah kecil radioaktivitas dalam urin). Kemudian pasien
diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel.
Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien
yang menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain
dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin
masih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat
pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop

syndrome") atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi


ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri).
Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan
bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik.
Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup
dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai
dengan kobalamin parenteral.
Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah
dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi
petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila
dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan
mengulang tes Schillingdengan kobalamin radioaktif yang
diaduk dengan telur.
Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosistein
juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik.
Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun
peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik
dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut
mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat
menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan
yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat
dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang
batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia
lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin
normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil
malonat dapat mengakibatkanabnormalitas neuropsikiatrik.
Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak
kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut
dan mungkin berhasil memperbaiki kesehatan pasien.
Alur pikir guna menetapkan anemia megaloblastik dapat
disimak pada Gambar 5.

Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pengobatan
Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka
perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan
penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum
perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk
defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek
yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien
diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk
suntikan kobalamin intramuskular.
Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin
1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian
dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari
sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola
secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin
B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lebih
besar pada terapi oral dibanding terapi i.m.
Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah
terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons
hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien
merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan
kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke
keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi
dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari
ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang
lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah
beberapa minggu. Bila retikulositosis tidak tampak, atau
bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar
hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang
mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan
defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme).Hipokalemia
dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan
terapi. Trombositosis mungkin ditemukan.
Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua
yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin.
Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat
disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan
kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini
perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang
demikian dapat berkembang menjadi gagal jantung karena
adanya kelebihan cairan.
Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC
(Packed Red Blood Cells), dan harus selalu dalam
pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi
sedikit akan cukup guna menghindari masalah gagal
kardiovaskular akut.
Dengan pengobatanjangka lama selama hidupnya, para
pasien akan mengalami tidak berlanjutnya manifestasi
defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak
sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang
optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan
cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena
adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma
lambung.

Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi


anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa
mengubah abnormalitas neurologik. Manifestasi
neurologik mungkin tetap tidak menjadi buruk oleh terapi
folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang
makan folat dosis tinggi. Dalarn ha1 yang demikian, respons
hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur
untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin;
dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan
evaluasi laboratorium yang memadai.
Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi
kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin
risikonya meningkat. Defisiensi kobalamin yang berat akan
memberi gejala neurologis dari pada gejala hematologis,
dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin
kobalamin oral dengan dosis 0 , l mg per hari guna
profilaksis pada usia di atas 65 tahun.

DEFlSlENSl FOLAT
Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati
dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah
1 mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per
hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang
disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral
jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan
yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada
defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis
yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti
dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan
kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar
defisiensi.
Para pasien dengan keperluan yang terus menerus
meningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau
mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik,
hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan
mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.
Penyebab Lain Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati,
bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau
menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat
dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200
mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat
dengan cara menyediakan suatu bentuk folat yang dapat
diubah menjadi 5,10 - methylene THF. Untuk bentuk
megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian
piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat
dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons
dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter
perlu dipikirkan terapi suportif.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1151

ANEMIA MECALOBLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


REFERENSI
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan
oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari
hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat
dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi
asam folat dan sebab sebab 1,ain.
Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang
berhubungan dengan unsur makanan yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan
vitamin B 12 ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua
zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak
sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif
pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah
anemia megaloblastik.
Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala
klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian
atau menghilangkan defisiensi tersebut.

Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's


principles of internal medicine. 16'h edition. Volume 1. New
York: McGraw -Hill; 200S.p. 329-36.
Babior BM, Bunn HF. Megaloblastic anemias. Harrison's principles
of internal medicine. 161hedition. Volume 1. New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7.
Hillman RS. Hematopoietic agent. Growth factors, minerals and
vitamins 111, vitamin B12, folic acid, and the treatment of
megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Theurapeutic, editors. 10Ih edition International edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p. 1503-14.
Lipschitz DA. Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine
and gerontology. 2ndedition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc;
2000. p. 662-8.
Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Harrison's
principles of internal medicine. 16th edition. Volume 1. New
York: McGraw-Hill; 2005. p. 403-1 1.
Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik I1
2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001. p. 48-67.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN


Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi

Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia =


AIHA / AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat
antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini


terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi
mekanisme seluler, atau koinbinasi keduanya.
1. aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi
sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler.yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik
ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki
kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1,
IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida
pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu
tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu
tubuh.
a aktifasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali
dengan aktivasi C 1 suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit. C 1 akan berikatan dengan kompleks
imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu
mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen
C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu
kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertuse).
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a.
C3b mengalami perubahan konformational sehingga

mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang


mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel
antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran
sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi
C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang
berperan dalam kompleks penghancur membran.
Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini
akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu
aluran transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air clan ion akan masuk ke dalam
sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
h aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur
alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor
B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B
dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a
dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb
dipecah menjadi C5a dan C5b. SelanjutnyaC5b berperan
dalam penghancuran membran.
2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis
ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG
yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut
akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses
immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel
eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan
fagositosis.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1153

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


I. Anemia Hernolitik Auto lrnun (AIHA)
A. AlHA tipe hangat
1. idiopatik
2. sekunder (karena cll, lirnforna, SLE)
B. AlHA tipe dingin
1. idiopatik
2. sekunder (infeksi rnycoplasrna, mononucleosis,
virus, keganasan lirnforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hernoglobinuri
1. idiopatik
2. sekunder (viral, dan sifilis)
D. AlHA Atipik
1. AlHA tes antiglobulin negatif
2. AlHA kornbinasi tipe hangat dan dingin
II. AlHA diinduksi obat
Ill. AlHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi Hemolitik Transfusi
B. Penvakit Hernolitik pada Bayi Baru Lahir

Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai


berikut: (Tabel 1)
DIAGNOSIS
Gambar 1. Aktifasi komplernen pada AlHA

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,


k e m u n g k h terjadi karena gangguan c e n t d tolerance,
dan gangguan pa& proses pembatasan limfosit autoreakif
residual.

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi


pada eritrosit
DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's test): sel eritrosit
pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan
direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal
terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen,
terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat
salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi
aglutinasi.

Gambar 2. Skerna Direct Antiglobulin Test

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


a twt

I S ~

"JC

rpc

Patient %rum

Lrml Group O RE#

Gambar 3. Indirect Antiglobulin Test

Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk


mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum.
Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada
sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin
sera dengan terjadinya aglutinasi.
Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana
autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37OC.
Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain.
1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala
anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada
beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit
mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat.
Urin benvama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik
splenomegaliterjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi
pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien.
Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan
limfonodi.
2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7
gldl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip
Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam
serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe
hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel
eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien
mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik,
namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%.
Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian
kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit
aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%.
Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit
yang mendasari.
4. Terapi:
a. Kortikosteroid : 1- 1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu
sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik

(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk


positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal
dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis
diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20
mglhari. Terapi steroid dosis < 3Omglhari dapat
diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukanterapi rumatan dengan steroid dosis rendah,
namun bila dosis perhari melebihi 15 mglhari untuk
mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera
dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektomi.Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak
bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu
dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah
merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah
splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit
terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar
untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%,
namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis
rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mglhari (80 mg/m2),
siklofosfamid 50- 150 mghari (60 mg/m2)
d. Terapi lain:
Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai
bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid
diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkanmenjadi 200-400 mg.hari. Kombinasi D m 0 1
dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus.
Efek danazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps
atau Evan's Syndrome
Terapi immunoglobulin intravena (400 mgkgBB per hari
selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa
pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif
pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon
hanya 4O%Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain
dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolatemofetil500 mg perhari sampai 1000 mg
per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada
AIHA refrakter.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan


memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan
sebagai salvage therapyL7.
Dosis Rituximab 100 mg per
minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas
permukaan tubuh.
Terapi plasmafaresis masih kontroversial.
e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan
kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam
jiwa (misal Hb < 3 gldl) transhsi dapat diberikan, sambil
menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

ANEMIA HEMOLITIK IMUN TlPE DlNGlN


Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu
aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer.
Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin
IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah
terhadap antigen Ili. Sebagian besar IgM yang punya
spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada urnmnya
aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat
rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase
penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai
reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan
presentasi antigen dan menyebabkan produksi
autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini
dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan
berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung
dan fagositosis.
a. gambaran klinik: sering terjadi aglutinisasi pada suhu
dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya
ringan dengan Hb: 9-12 gldl. Sering didapatkan
akrosianosis, dan splenomegali
b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis,
polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti Pr, anti- M, atau anti-P.
c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik
akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil
d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu
hemolisis
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu
Chlorarnbucil2-4mgthari
Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara
teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik
ha1 ini sukar dilakukan.

PAROXYSMALCOLD HEMOGLOBINURI
Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai,
hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar
suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena
berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim
autoandibodiDonath-Landsteiner dan protein komplemen

berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37


C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein
komplemen yang lain.
a. gambaran klinis; AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal
disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala,
hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering
disertai urtikaria
b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis,
eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathLandsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.
c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang
mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada
kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan
survival yang panjang.
d. Terapi: menghindari faktor pencetus. glukokortikoiddm
splenektomi tidak ada manfaatnya.

ANEMIA HEMOLITIK IMUN DllNDUKSl OBAT


Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis
karena obat yaitu: haptenlpenyerapan obat yang
melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan
kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe
innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi
terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi
hemoglobin. Penyerapanladsorpsi protein nonimunologis
terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa
kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme haptenladsorpsi obat, obat akan
melapisi eritrosit.dengankuat Antibodi terhadap obat akan
dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan
eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut
akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari
eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan
obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan
sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan
eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat
ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut
memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah
tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb
biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi
hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan
hemoglobinuri.Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat
obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan
thiazide.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi
terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa.
Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan
menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada


permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak
melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi
autoantibodi ini tidak diketahui.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh
karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami
oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.
Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif.
Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan
ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz
bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh
obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah
nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya
tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis,
immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan
plasma protein lain pada membran eritrosit.
a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu
positip. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme
hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi
sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara
berat, mendadak dan disertai gaga1 ginjal. Bila pasien
sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis
sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis
tunggal.
b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes
Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia,
hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada
hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.
c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang
menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi.
Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada
kondisi berat.

ANEMIA HEMOLlTlK ALOIMUN KARENA


TRANSFUSI
Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi
transhsi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian
ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A
pada penderita golongan darah 0 yang memiliki antibodi
IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi
komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan
menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit
pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang,
menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe
lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya
disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah
terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan
sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat
kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

REFERENSI

Thomas AT. Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster


J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. loth ed.
Williams&Wikins, Baltimore. 1999:1233-1255
Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital
and Aquired in Mazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology. 2"d
ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 : 87-114
Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic
Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (12) 2
Rosse WF, Schrier SL. Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12)
2
Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic
anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodate 2004 (12) 2
Janeway C, Travers P, Walport M. Sclomchik M. Immunobiology:
the immune system in health and disease.5Ih ed. Churcil
Livingstone. 2001
Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam
Physician 2004;69:2599-2606.
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual
of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 127-132.
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Cryopathic
Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6Ih ed.
McGraw Hill, 2003: 133-136.
Kelton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S. Acquired Hemolytic
Anemia. Blood and Bone Marrow Pathology: 185-202
Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired
Immune Anemias of Increased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2nded. Lippincott,
Philadelphia, 1998:280-292
Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodate 2004 (12)
2
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced
Hemolytic Anemia. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed.
McGraw Hill, 2003: 137-142
Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Transfusion of
Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology. 61h ed.
McGraw Hill, 2003: 513-520
Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. ~ e m a t d l o2006:l-6
~~
Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia
Am J Clin Pathol 2006:125(Supl ) : S71-S77
Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A,. Rituximab for
Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia,
Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin
Proc 2003:78:1340-1346
Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of
Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune
Cytopenias in Adults. Haematologica 2007;92: 1695- 1698.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN


Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo

PENDAHULUAN
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari
nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat
dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
Etiologi dan Klasifikasi
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:
1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati;
2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran;
3). faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
autoantibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat
dikelompokkanmenjadi:
Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini
adalah:
Defek enzirnlenzimopati
- Defek jalur Embden Meyerhof
- Defisiensi piruvat kinase
- Defisiensi glukosa fosfat isomerase
- Defisiensi fosfogliserat kinase
- Defek jalur heksosa monofosfat
- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase
(WD)

Defisiensi glutation reduktase


Hemoglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain
Defek membran (membranopati):sferositosisherediter
Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini
adalah:
Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan,
obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi
Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia

Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH),


Koagulasi IntravasMar Diseminata (IUD)lDisseminated
Intravascular Coagulatioan (DIC), preekl~inpsia,
eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik
Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis,
infeksi Clostridium
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah
resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:
1).Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien
tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang
kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia
hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat
bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel,
tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan
hidup di sirkulasi darah pasien.
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin
pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan
menjadi:
Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena
keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang
spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut
autoantibodi).
Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa
keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek
molekular, abnormalitas struktur membran, faktor
lingkungan yang bukan autoantibodi seperti
hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan
kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan
klostridiurn.
Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis
non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan
hemoglobinopati lain.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskulardan ekstravaskular. Hal
ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu
penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi eritrosit
terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma
mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau
infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis
ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi
sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak
dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

Manifestasi Klinis
Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin
mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien
mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan
terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi
penting yang hams ditanyakan saat anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia
hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia
dan aliran murmur pada katup jantung.
Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada
anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifat khusus untuk
anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.
Perneriksaan Laboratorium
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis.
Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid
di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu
diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari
setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding
retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan
perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun
retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular
volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel
target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati;
schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan
lain-lain.
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,
peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2,
dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan
destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,

meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan


bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil
hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar
haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada
hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat
melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas
difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus
proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme
di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan
simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya
hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai
hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif,
ambang kapasitas absorpsi hemoglobin oleh tubulus
proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke
urin dalam bentuk hemoglobinuria.

Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk


menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja
pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik
yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil
metabolisme tersebut digunakan juga untuk penyediaan
besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP
ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang
melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase
dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk
energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme
dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan
bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
untuk menghasilkan glutation yang penting untuk
melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan.
Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase
dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah
dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi
tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD,
piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.
Defek Jalur Heksosa Monofosfat
Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa
kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin
yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi
regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus
sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi.
Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar
glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan
sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi,
terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz
bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh
defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun demikian,
kelainan pada glutation reduktase belum terbukti
berhubungan bermakna dengan hemolisis.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA HEMOLlTlK NON AUTOlMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Defisiensi G6PD
Etiologi dan epidemiologi. Defisiensi enzim ini paling sering
mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang
terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih
sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya
carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih
dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena
adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asarn
amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi
manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik
nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang
hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan,
sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara
klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD
yang bermakna secaraklinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama
ditemukan pada orang keturunan Afiika. Tipe Mediteranian
relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli,
dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan
anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif
yang jelas.
Manifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun
-50% pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada
Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih
cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur
eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak
menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi
virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yam
dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan
hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah
asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen blue,
asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin,
fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson,
sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon,
toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K,
doksorubisin.Asidosis metabolikjuga dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien defisiensi G6PD.
Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan
dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps
pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis
biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi
hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa
eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut
hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk
Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital
dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari
pertama atau sampai ketika badan inklusi ini siap
dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk "bite cells".
Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil
pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan
fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis
hemolisis fulminan setelah terpajan.

Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkanjika ada


episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau
Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang
kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya
obat atau zat yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan
aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua
defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan
aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan
kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-,
hemolisis terjadi self limited sehingga tidak perlu terapi
khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan
hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasi hemolisis
serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena
adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis
berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin
diperlukan transfusi darah.
Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis
dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan
memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat
oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afrika atau
Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan
hams dilakukan shining untuk mengetahui ada tidaknya
defisiensi G6PD.
Defek Jalur Embden Meyerhof
Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu
pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah
piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat
kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase
(95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase
hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya
diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat
kinase yang diturunkan terkait seks.
Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP
dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan
lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir.
Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit,
sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan
fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun
tidak mempengaruhi fungsi leukosit.
Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan
gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal
kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali.Pada
perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat
pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama
kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia
normositik (makrositik ringan) normokrom dengan
retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat
ditemukan eritrosit bizar di antaranya selprickle terutama
setelah splenektomi.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi
substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian
berafinitas rendah terhadap substrat.
Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi
kecuali pasien dengan hemolisis berat hams diberikan asam
folat 1 mgkari. Transfisi darah diperlukan ketika krisis
hipoplastik.
Splenektomi bermanfaat pa& pasien dengan defisiensi
piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan
splenektomiretikulosit di sirkulasi meningkat.

Tipe
Trornbus
tombosit
sisternik

Trornbus
trornbositfibrin
predorninan
di ginjal

Sebab
Kegagalan
degradasi faktor
von Wilebrand
rnultirner besar
yang tidak biasa
Pajanan dengan
toksin Shiga

Defek faktor H
plasma

Pada hemolisis mikroangiopatikterjadi kerusakan membran


sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena
adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun
di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin
dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit.
Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada
abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada
hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi allograft ginjal, kanker
diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular
coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik:
Tronzbotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).

Mikroangiopati Trombotik
Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular
yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau
intrarenal, disertai adanya trombositopenia, dan trauma
mekanik sel eritrosit. Yang termasuk kelompok kelainan ini
adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)
Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada
arteriol berbagai organ yang mengakibatkan
trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang
mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet).
Agregasi trombosit dapat mengakibatkan oklusi baik parsial
atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya
terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini
menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga
meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit
yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran
darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi mengalami
oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi
pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering
perempuan.
Patogenesis. Pada TTP trombus tombosit/agregasi
trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand
sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung
banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von

Trornbus
renal atau
sisternik

Transplantasi atau
obat (rnytornicin,
cyclosporin,
tacrolirnus,
quinine)

Presentasi klinis
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura

Klasik, kanak-kanak
atau Hemolytic Uremic
Syndrome yang
berhubungan dengan E.
Coli
Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) familial
(atau rekuren)
Hemolytic Uremic
Sydrome atau
Thrombotic
Trombocytopenia
Purpura

Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada TTP


diperantaraioleh faktor von Wilebrand multimer besar yang
tidak biasa, yang lebih mudah.berikatan dengan Iba.
Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak
biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim
metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah
multimer faktor von Wilebrand. Defek atau defisiensi enzim
ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi
yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua
tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini
aktivitasADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal.
Manifestasi klinik. ~anifestasiklinik klasik TTP ada lima,
yang sering disebut dengan pentad TTP, yaitu anemia
hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombositopenia,
kelainan neurologik fokal atau dihs, p e n m a n fungsi ginjal
dan demam. Secara praktis triad TTP: trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga
adanya TTP.
Gejala dan tan& TTP bervariasi tergantung pada jumlah
dan lokasi lesi arteriol.Anemia pada TTP bisa sangat ringan
sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya
paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya
tampakjikajumlahtrombosit (<20.000-30.000). Demam tidak
selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam
hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen
darah (BUN) mungkin ditemukan dan terns meningkat jika
berkembang menjadi gaga1ginjal.
Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang
penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi
perubahan mental seperti bingung, delirium, perubahan
kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis,
afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala
neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma.
Keterlibatan pembuluh darah jantung bisa mengakibatkan
kematian mendadak.
Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1161

ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH.


Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan
konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation
product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal
ringan. Bila pemeriksaan koagulasi menunjukkan konsurnsi
faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP
diragukan. Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear
antibody (ANA) yang positif.

Klasifikasi
Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi
atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga
minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia
kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang
dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya
merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang
kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi
dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri
pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin,
inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang
pasien yang menerima klopidogrel. Kelainan ini juga bisa
terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau
periode postpartum.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia
hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi
normal, demam, kelainan neurologi dan gangguan fungsi
ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuk TTP.
Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis
kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum
tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas.
Diagnosis Banding. Idiopathic trornbocytopenicpurpura
(ITP) atau Evan k Syndrome. Pada kedua kelainan ini
ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit
sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif
Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah
dengan pemberianfieshfiozen plasma yang mengandung
sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat
(cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan
pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang
diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis.
Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma
exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis
dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari.
Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von
Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan
autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik
(trombosit meningkat dan LDH menurun) frekuensi plasma
tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan
untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien
dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini.
Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13

titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak


memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan
vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi.
Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena
perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter
respons terapi.
Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat
mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya
ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat
memprovokasi perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia berat.
Hemolytic Uremic Syndrome ( H U S )

Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada


9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary,
Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS
menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak.
Biasanya diawali dengan diare berdarah yang
disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang
menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela dysentriae
yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering
mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak
dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu
minggu sebelum HUS.
Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan
berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau
monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler
glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerular dan tubular, yang kemudian merusak endotel sel melalui
pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang
tidak biasa.
HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang,
mortalitas HUS familial lebih tinggi (54%) daripada HUS pada
anak-anak (5%). S e w a n besar pasien HUS familialmengalami
defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas
mencegah kerusakan sel melalui jalur alternatif komplemen.
Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen
faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan.
Herediter resesif bermanifestasi HUS pada dewasa muda
sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS
dipresipitasioleh infeksi atau kehamilan.
Di samping dua tipe di atas, ditemukanjuga HUS yang
terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker
mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain
dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan
transplantasi sumsum tulang autologus.
Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan TTP,
bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriunyang sama.
Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang
menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik,
trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik.
Kebanyakan pasien mengalami hemoglobinuria atau anuria.
Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dibedakan dengan TTP.


Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan
oligoanuria <24 jam, biasanya pemberian cairan dan
elektrolit cukup. Pada dewasa sering terjadi gagal ginjal
akut yang lebih berat sehingga membutuhkan perawatan
seperti penyakit gagal ginjal terminal, dialisis. Terapi lain
adalah plasmaferesis dan transfusi. Pemberian FFP yang
mengandung faktor H tidak mencegah kekambuhan maupun
progresivitas penyakit ginjal. Antimotilitas dan antibiotik
dapat meningkatkan HUS. Efikasi glukokortikoid, dekstran
dan heparin belum jelas.

Koagulasi lntravaskular Diseminata (KID)


Lebih jarang menimbulkan anemia karena derajat
hemolisinya lebih sedikit dibandingkan dengan TTP dan
HUS. KID terjadi karena aktivasi sistem koagulasi yang
tidak sesuai yang dipicu deposisi fibrin pada dinding
pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan
fiagmentasi eritrosit pada seperempat pasien KID. Terapi
sesuai terapi KID dan sebab yang mendasarinya.
Kelainan Dinding Pembuluh Darah Lain
Hipertensi maligna, eklampsia,rejeksi alograf ginjal, kanker
diseminata atau hemangioma dapat menyebabkan hemolisis
traumatik. Derajat hemolisisnya ringan tetapi banyak
ditemukan fragmentasi eritrosit di darah tepi.
Trombositopenia berat dapat ditemukan pada beberapa
pasien. Terapi penyakit dasarnya dapat menghentikan
hemolisis.
Katup Prostesis
Pada 10% pasien dengan katup prostesis aorta terjadi
framentasi sel eritrosit. Meski sedikit ha1 ini bisa terjadi
juga pada prostesis katup mitral. Pemendekan waktu hidup
eritrosit terjadi juga pada beberapa pasien dengan stenosis aorta kalsifikasi berat dan hampir semua lesi
intrakardiak. Pasien yang menjalani bypass aortofemoral
juga diamati mengalami hemolisis traumatik
Sferositosis Herediter
Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel
darah merah dengan gambaran eritrosit bulat seperti donat
dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis
herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan
insiden 1:1000 sampai 1:4500 penduduk. Pada lebih kurang
20% pasien penyakit ini merupakan kelainan autosom
resesif yang diturunkan dan mutasi genetik spontan.

Etiologi dan patogenesis. Kelainan utarna pada sferositosis


herediter adalah terdapatnya defek pada protein pembentuk
membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn dan
atau protein pita 3 atau protein 4.2. Hal ini menyebabkan
defek vertikal dan kehilangan membran lemak dan luas

permukaan secara progresif diikuti pembentukan


mikrosferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi peningkatan
fiagilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit
yang bulat dan hilangnya permukaan membran. Terjebaknya
sel eritrosit dalam limpa
Manifestasi klinis dan laboratoris. Gejala klinis mayor
sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan
ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput
dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat
peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi
eritrosit, sering terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan
pada masa kanak-kanak.
Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai
kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan
sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak
jarang terjadi eritropoiesis ekstra meduler di
paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto
thoraks.
Kompensasi sumsum tulang terkadang mengalami
gangguan akibat keadaan hipoplasia eritroid yang dipicu
adanya infeksi terutama oleh Pantovirus.
Splenomegali merupakan ha1 yang umum terjadi.
Kecepatan hemolisis meningkat perlahan selama
terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa.
Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit
yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang
pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun.
MCHC meningkat sampai 350-400 gldl. Untuk mengetahui
secara kuantitatif sferoidisitas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan
hipoosmotik.
Diagnosis dan terapi. Sferositosis herediter harus
dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik
autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs.
Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat
splenomegali pada pasien sirosis hepatis, infeksi
clostridium, bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi pada
anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien defisiensi
enzim G6PD.
Pengobatan. Splenektomi dianjurkan pada pasien dengan
anemia hemolitk sedang dan berat. Meskipun pasca
splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Pada
anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan preparat asam
folat 1 mglhari sebagai profilaksis.
Elipsitosis Herediter
Ditandai oleh eritrosit dengan bentuk oval atau elips. Insiden
Elipsitosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai 1:4500
penduduk. Insiden sebenarnyatidak diketahui karena derajat
keparahan secara klinis bervariasi kadang tanpa gejala.
Etiologi dan patogenesis. Prinsip kelainan pada elipsitosis
herediter adalah kelemahan secara mekanis yang berakibat
meningkatnya fragilitas osmotik membran eritrosit. Hal ini

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANEMIA HEMOLITIK NON AUTOlMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

disebakan adanya gangguan sintesis protein spectrin a


dan p, protein 4.1 dan glicophoryn C pembentuk membran
eritrosit. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara
autosomal dominan.
Gejala klinis dan laboratoris. Gejala klinis bervariasi, dari
tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi
dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B 12
atau adanya KID.
Pada pemeriksaan laboratorikdidapatkan gambaran eritrosit
bentuk elips menyerupai puntung rokok. Dapat pula dijumpai
eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan fragrnen.
Pengobatan. Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada
beberapa kasus yang jarang diperlukan pemberian tranfusi
sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi
merupakan pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan
destruksi eritrosit yang berlebihan. Pasien dengan hemolisis
kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.

Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria ( P N H )


PNH ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah
(anemia) serta terdapatnya darah di dalam urin
(hemoglobinuria) dan plasma (hemoglobinemia), yang
terjadi setelah tidur. Pasien PNH berisiko tinggi mengalami
kejadian trombosis mayor, terbanyak trombosis pada aorta
abdominalis. Kebanyakan pasien meninggal akibat
trombosis ini.
Etiologi dan patogenesis. Penyebab kelainan ini adalah
defisiensi ensim PIG-A (phosphatidylinositol glycan class
A) yang diperlukan untuk sintesis protein pengikat sel. Protein yang merupakan bagian terluar sel melekat pada
membran sel dengan bantuan protein glikosilfosfatidilinositol(GPI) dan PIG-A dibutuhkan untuk sintesis protein tersebut. Bila terdapat gangguan pembentukannya
protein permukaan yang melindungi sel dari komplemen
hilang, sehingga memudahkan penghancuran sel darah.
Persentase sel darah merah yang mengalami kerusakan
menentukan beratnya penyakit.
Manifestasi klinis dan laboratoris. Tiga manifestasi yang
sering terjadi adalah anemia hemolitik, trombosis vena dan
gangguan hematopoiesis. Hemoglobinuria dan
hemosiderinuria berkala terjadi pada kebanyakan
pasien.Granu1ositopenia dan trombositopenia sering
terjadi, menandakan adanya gangguan hematopoiesis.
Gambaran sumsum tulang normoselular.
Diagnosis dan terapi. PNH perlu dicurigai pada pasien
dengan anemia hemolitik yang tidak diketahui
penyebabnya, terutama bila disertai leukopenia dan atau
trombositopenia. Serta terdapatnya tanda hemolisis
intravaskular (hemoglobinemia, hemoglobinuria dan
peningkatan LDH).
Transfusi sel darah merah merupakan terapi terbaik,
tidak hanya meningkatkan kadar Hb, tetapi juga menekan

produksi sel darah merah di sumsum tulang selama keadaan


hemoglobinuria. Sel darah merah cuci dianjurkan untuk
mencegah peningkatan hemolisis. Pemberian hormon androgen kadang dapat meningkatkan Hb. Pemberian
preparat glukokortikoid (prednison 60 mglhari) dapat
menurunkan kecepatan hemolisis.

Hipersplenisme
Limpa normal berbagi fungsi dengan jaringan lain dalam
ha1 pembentukan, penyimpanan dan penghancuran sel
darah serta produksi antibodi. Namun limpa memiliki
kemampuan unik untuk melakukan penyaringan terhadap
sel darah serta menyingkirkan sel yang abnormal maupun
benda asing.
Limpa memiliki 2 fungsi dasar, yaitu:
Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen
darah di pulpa merah (oleh makrofag)
Fungsi sintesis antibodi di pulpa putih
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel
darah yang berlebihan oleh limpa. Hal ini terjadi ketika
ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini
meningkatkan peran fungsi penyaring, sehingga sel darah
normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran sementara. Walaupun proses penghancuran
granulosit dan trombosit menyebabkan neutropenia dan
trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat
beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di
limpa. Berbeda dengan sel darah merah yang terperangkap
akan mengalami penghancuran menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik.
Dameshek berpendapat bahwa hipersplenisme
umumnya dihubungkan dengan keadaan splenomegali,
menyebabkan terjadinya sitopenia yang berakibat
terjadinya kompensasi hipeplasi sumsum tulang.
Kebanyakan kelainan ini harus dikoreksi dengan
splenektomi.
lnfeksi Mikroorganisme
Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacammacam saat menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Ada yang secara langsung menyerang
eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.
Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridium
perfringens, pembentukan antibodi atau otoantibodi
terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen
mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit.
Malaria
Pada infeksi malaria, derajat anemia yang terjadi tidak
sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi, namun
penyebabnya masih belurn jelas. Fragilitas osmotik pada
sel yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi mengalami

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

peningkatan. Penghancuran eritrosit pada infeksi malaria


disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung,
peningkatan proses penghancuran eritrosit yang
mengandung parasit dan proses otoimun. Namun tidak
satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan
terjadinya anemia berat pada malaria.
Proses penghancuran sel darah merah sebagian besar
berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejala
yang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik.
Diagnosis dan terapi. Diagnosis malaria ditegakkan dengan
menemukan parasit pada pulasan darah tebal atau
didapatkannya sekuens parasit malaria pada analisis DNA.
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan
mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera,
sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 gldl.
Preparat asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian
besi sebaiknyaditunda sampai terbukti adanya defisiensibesi.

Bartonellosis
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Bartonella
baciliformis yang melekat pada permukaan sel eritrosit.
Eritrosit yang terinfeksi mengalami indentasi, invaginasi
serta terbentuknya saluran. Eritrosit yang terinfeksi,
dengan cepat dihancurkan oleh hati dan limpa. Anemia
hemolitik akut terjadi pada saat demam "Oroya" di mana
dengan cepat jumlah eritrosit mengalami penurunan
sampai 750.OOOluL.
Diagnosis dan terapi. Diagnosis ditegakkan dengan
menemukan B baciliformis pada sel eritrosit. Dengan
pewamaan Giemsa didapatkan bentuk batang berwarna
merah j ingga.
Pengobatan dengan penisilin, streptomisin,kloramfenikol
dan tetrasiklin memberikan respons sangat baik.
Babesiosis
Babesia merupakan protozoa intra eritrosit, yang ditularkan
melalui gigitan kutu rambut, yang dapat menginfeksi hewan
ternak maupun hewan liar. Pada manusia penyakit ini tidak
hanya ditularkan melalui gigitan kutu, tetapi juga lewat
transfusi darah.
Diagnosis dan Terapi. Parasit ini dapat terlihat melalui
pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji
serologi dengan antibodi terhadap Babesia serta uji PCR
dapat membantu penegakkan diagnosis. Pengobatan
dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang
memuaskan. Transfusi tukar juga memberikan perbaikan
yang nyata.

Anemia Sel Spur


Anemia sel spur merupakanjenis anemia hemolitik dengan
bentuk eritrosit yang aneh, terjadi pada 5% pasien dengan
penyakit hepatoseluler, terutama sirosis "Laennec" tahap
lanjut.

Patogenesis. Hampir 50-70% kolesterol terdapat pada


permukaan membran, sehingga menurunkan kadar air serta
menyebabkan perubahan bentuk sel. Akibat bentuknya
yang padat ini menyebabkan sel merah tidak dapat melewati
proses penyaringan di limpa, terlebih lagi dengan adanya
splenomegali kongestif akibat sirosis.
Manifestasi klinis. Anemia yang terjadi cukup berat.
Splenomegali didapatkan pada semua pasien sirosis
dengan sel spur.Se1 darah merah irreguler dengan tambahan
taji di sekitarnya serta sejumlah kecil sel darah merah yang
terfragmentasi dengan bentuk yang aneh sering dijumpai
pada preparat.
Diagnosis dan terapi. Pasien dengan anemia sel spur
mengalami reaksi hemolisis yang berat. Gambaran sel darah
merah yang khas berupa sel darah merah bertajilakantosit
yang memiliki panjang yang tidak beraturan dapat dijumpai
pada pulasan darah.
Transfusi darah hanya memberikan keuntungan
sesaat. Obat penurun lemak juga tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Splenektomi dilaporkan dapat
mencegah perlambatan waktu transit sel darah merah di
limpa dan penghancuran dini. Namun splenektomi sangat
berisiko tinggi pada pasien sirosis hati dengan hipertensi
portal serta terdapat gangguan pembekuan darah.

REFERENSI
Beutler E. Hemolytic anemia due to infection with microoganism.
In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U,
editors. Williams hematology. 6th edition. New York: Mc Graw
Hill; 2001. p. 633-5.
Bunn F, Rosse W. Hemolytic anemias and acute blood loss. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hause SL, Longo DL,
Jameson J, editors. Harrison's principles of internal medicine.
16thedition. New York: Mc Graw Hill; 2005. p. 607-16.
Dhaliwal G, Cornett PA, Tierne LM. Hemolytic anemia. Am Fam
Physician. 69:2599-606.
Erslev AJ. Hypersplenism and hyposplenism. In: Beutler E, Lichtman
MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams
hematology. 6thedition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 6835.
Gallagher PG, Forget BG. Hereditary spherocytosis, elliptocytosis
and related disorders. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,
Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6th
edition. New York: Mc Graw Hill; 2001. p. 503-11.
Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen
S, et al. Major hematologic diseases in the developing worldnew aspects of diagnosis and management of thalassemia,
malarial anemia, and acute leukemia. Hematology (Am Soc
Hematol Educ Program). 2001;479:98.
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic anaemias. In:
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH, editors. Essential
hematology. London: Blackwell Science; 2001, p. 57-70.
Moake JL. Thrombotic microangiopathies. N Engl J Med. 347:589600.
Tsai HM. Advances in pathogenesis, diagnosis, and treatment
thrombotic trombositopenia purpura. J Am Soc Nephrol.
2003;14:1072-81.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN


Ibnu Punvanto

PENDAHULUAN
Purpura TrombositopeniaImun (PTI) yang dahulu dikenal
sebagai Idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP) dan
kemudian selanjutnya disebut juga sebagai Immune
thrombocytopenic purpura merupakan suatu kelainan
didapat yang berupa gangguan autoimun yang
mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trombosit secara dini dalam sistem
retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap
trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G.
Kata trombositopeniamenunjukkan bahwa terdapat angka
trombosit yang rendah, sedandkan kata purpura berasal
dari suatu deskripsi akan kulit yang benvarna lebam karena
symptom penyakit ini, warna ungu pada kulit ini
disebebkan oleh merembesnya darah dibawah kulit.
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan
mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena
trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi
darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan
hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat bervariasi
mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai
dapat mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal. Kadang
juga asimptomatik. Oleh karena merupakan suatu penyakit
autoimun maka kortikosteroid merupakan pilihan
konvensional dalam pengobatan PTI. Pengobatan akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi penyakit
yang mendasari PTI sehingga tidak mengakibatkan
keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, atau
pun penanganan-penanganan pasien yang gaga1 atau
relaps. Di dalam makalah ini akan disajikan pegangan
mengenai diagnosis klinis dan laboratorium, epidemiologi,
patofisiologi, menilai dan menentukan respon terhadap
pengobatan dan penangan kasus-kasus refrakter.
Berdasarkan etiologi, PTI dibagi menjadi 2 yaitu primer
(idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan onset penyakit

dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama


dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan
kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang
dewasa).
Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100 kasus per 1
juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi
pada anak-anak.Purpura trombositopenia imun terjadi bila
trombosit mengalami destruksi secara prematur sebagai
hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks imun dalam
membran sistem retikuloendotel limpa dan umumnya di hati.

DEFlNlSl DAN EPlDEMlOLOGl


Purpura Trombositopenia Imun (PTI) adalah suatu
gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia
yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen
trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit
dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.
Insidensi PTI pada anak antara 4,O-5,3 per 100.000,
PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2 6 tahun. 7 - 28 % an&-anak dengan PTI akut berkembang
menjadi kronik 15-20% . Purpura Trombositopenia Imun
(PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik
pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas.
Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per
100.000 anak per tahun.
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58 - 66 kasus b a r per satu juta populasi pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di
Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura
Trombositopenia Imun (PTI) kronik pada umumnya
terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia
40 - 45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah
1 : 1 pada penderita PTI akut sedangkan pada PTI kronik
adalah2-3: 1.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI
yang gaga1 diterapi dengan kortikosteroid dosis standar
dan splenektomi yang selanjutnya inendapat terapi karena
angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan.
Penderita PTI refrakter ditemukan kira-kira 25 - 30 persen
dari jumlah penderita PTI. Kelompok ini mempunyai respon
jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang
cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16 % .

Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit


spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog
kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi
membran trombosit glikoprotein lIblIIIa (CD41) sebagai
antigen yang dominan dengan mendemostrasikan bahwa
autoantibodi e l z ~ a dari
t ~ trombosit pasien PTI berikatan
dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai ole11 suatu
autoantibodi, mengingat kejadian transient
trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang
menderita PTI, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian
transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima
transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI.
Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati
setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan
oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,

akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan


produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain,
produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat
destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh
makrofag didalam sumsum tulang (intrtm?ed~dlai-jv),
atau
karena hambatan pembentukan megakariosit
(niegnk~r~vocytoporesis),
kadar trombopoetin tidak
meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit
normal. Untuk sebagian kasus PTI yang ringan, hanya
trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk
mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi
trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan
menderita PTI kronik tetapi stabil denganjumlah trombosit
yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang
berat, auto antibodi dapat langsung menyerang antigen
yang terdapat pada trombosit dan juga pada megakariosit.
Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita
harus menjalani pengobatan untuk menghindari risiko
perdarahan internal1 organ-organ dalam.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal
dari kegagalan antibodi PTI utltuk berikatan dengan
trornbosit yang secara genetik kek~~rangan
kompleks
glikoprotein IIb/illa. Kemudian berhasil diidentifikasi
antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein IblIX, IalIIa,
IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai
antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang
berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen
yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan
pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi
antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni
(Gambar 1).

Osmbar 1, Patogenesis penyebaran epitap pada purpuw trombositopenia


diopatik (PTl) faumber; Cines dan Blanchewe, 2002).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1167

PURPURATROMBOSITOPENIAIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks
glikoprotein IIb/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan
rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari displai
phage menunjukkan penggunaan gen V,, . Pelacakan pada
daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodiantibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal
dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang
diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita
PTI dewasa sering menunjukkan peningkatanjumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2
dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi
prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasienpasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah
terpapar fragmen glikoprotein TIbIIIIa tetapi bukan karena
terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini
secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan
lama tidak diketahui dengan pasti.
Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang
memicu produksi autoantibodi tidak diketahui.
Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit
terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIbl
IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang
mengenali glikoprotein IbIlX belum terbentuk pada tahap
ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan
berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel

dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses


internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak
hanya merusak glikoprotein ITbIIIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit
yang lain (3). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4)
mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi
antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone
(T-cell clone- 1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2)
(5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali
antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan
menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein lbl
IX antibodi dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein IIbIIIIa antibodi oleh B-cell clone 1.
Metode yang saat ini digunakan untuk
penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada
berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibodi
dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (Cambar
2).
Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat
yang digunakan sebagai terapi awal PTI menghambat
terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh
ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1).
Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme
ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan

Gambar 2. Perndekatan tempi purpura trambsit~peniapurpura berdasarkan mekanisme kerja dari


splenektomi, behrapa obat dan plasmafaresis (Ctnes $an BlhtnMe, 2902)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dan HLA-DRB 1 * 150 1 telah dihubungkan dengan respon
sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa
penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan
produksi troinbosit dengan cara menghalangi kemampuan
makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, sedangkan trombopoetin berperan merangsang
progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non
spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada
tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154
yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan
kostimulasi molekul yang diperlukan untuk
mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan
sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran
klas (4). Imunoglobulin iv mengandung aiztiidiotypic
antibody yang dapat menghambat produksi antibodi.
Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada
sel-sel R juga masih dalam penelitian (5). Plasmaferesis
dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6).
Transfusi Dari gambar 2, dapat untuk menggambarkan
bagaimana pendekatan pengobatan dapat dilakukan
sebagai terapi awal PTI dalam menghambat terjadinya
klireiis antibodi yang menyelimuti tro~nbositoleh ekspresi
reseptor Fcg pada makrofag jaringan (1). Splenektomi
sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun
mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang
terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita.
Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi
trombosit dengan cara meng'halangi kemampuan makrofag
dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit,
sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik
seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat
sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat
ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul
yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag
dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi
antibodi dan pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv
mengandung antiidiotypic antibody yang dapat
menghambat produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang
mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam
penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi
sementara dari plasma (6). Transfusi tronibosit diperlukan
pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan. Efek dari
stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih
dalam penelitian (7).

Genetik
Immune thrombocytopenic purpura telah didiagnosis
pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, dan
telah dikatahui adanya kecenderuangan menghasilkan
autoantibodi pada anggota keluarga yang sama. Adanya
peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*04 10 pada
beberapa populasi etnik telah diketahui. Ale1 HLA-DR4
dan DRB*0410 telah dihubungkan dengan respon yang
menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,

yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi.


Meskipun demikian, banyak penelitian telah gaga1
menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA yang spesifik .

Antibodi-anti Trombosit
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia
ditemukan pada 75 % pasien PTI. Autoantibodi IgG
antitrombosit ditemukan pada +50 - 85% penderita.
Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG,
dan hampir 50 % kasus, kedua serotipe imunoglobulin
tersebut ditemukaan pada pasien yang sama. Antibodi
IgM juga ditemukan pada sejurnlah kecil pasien tetapi tidak
pernah sebagai autoantibodi tunggal.
Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan
trombosit, dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI
adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai
trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin.
Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma
atau dalam eluate trombosit pada pasien dengan
penyakit yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien
yang mengalami remisi. Hilangnya antibodi-antibodi
berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang
normal.
Masa Hidup Trombosit
Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada PTI menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai
beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan
sampai sedang rnempunyai masa hidup terukur yang lebih
lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia
berat.
GAMBARAN KLlNlS
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur
dewasa, onset penyakit biasanya mendadak, riwayat
infeksi mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella)
dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus
merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia
imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah
varisella zooster dan ebstein ban: Manifestasi perdarahan
PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan
intrakranial teljadi kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa,
bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami
perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. PTI
akut pada anak biasanya selj limiting. remisi spontan
terjadi pada 90% penderita ,60% sembuh dalam 4-6 minggu
dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PTI Kronik
Onset PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat
perdarahan sering dari ringan sampai sedang, infeksi dan
pembesaran lienjarang terjadi, dan memiliki perjalanan klinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin
intermitten atau bahkan tems menerus. Remisi spontan
jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki,
purpura. Pada umumnya berat dan fiekwensi perdarahan
berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain
bila pasien dengan AT > 50.000 ImL maka biasanya
asimptomatik,AT 30.000 - 50.000 ImL terdapat luka memarl
hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan
spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada
luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis,perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria)
dan risiko perdarahan sistem saraf pusat.
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat
berasal dari lesi peteki pada mukosa nasal, juga dapat
ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus
genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragi dapat merupakan gejala satu-satunya
dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas.
Hematuriajuga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih
jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang
paling serius pada PTI. Hal ini mengenai hampir 1%
penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran
bervariasi dari peteki sampai ekstravasasi darah yang luas.

DIAGNOSIS

Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan


PTI akut dan kronik, serta tidak terdapatnya gejala sistemik
dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis
pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan
trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan
perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura,
perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir
yang lain). Purpura Thrombocytopenic Immune dewasa
terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih
sering mengenai wanita dari pada pria.
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi),
tidak ada limfadenopati . Selain trombositopenia hitung
darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan
untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan
hematologi yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi

oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang


menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas
gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung
trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting
adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang
dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak
mengandung trombosit.
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan
pada pasien lebih dari 40 tahun, pasien dengan gambaran
tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun
tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi
merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang
sebelum mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan
kasus leukemia akut.
Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi,
secara langsung uji untuk mengukur trombosit yang
berikatan dengan antibodi yakni dengan MonoclonalAntigen-Capture Assay sensitivitas 45-66%,
spesifisitasnya 78 - 92% dan diperkirakan bemilai positif
80 - 83 %. Uji negatiftidak menyinglurkan diagnosis deteksi
yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI .

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding PTI antara lain: anemia aplastik,


leukemia akut, Dissaminated intravascular coagulation
(DIC), Thrombotic thrombocytopenic purpura-hemolytic
uremic syndrome (TTP-HUS),Antiphospholipid antibody
syndrome (APS), Myelodysplastic syndrome,
hipersplenisme, alcoholic liver disease, bentuk sekunder
PTI (SLE, HIV, leukemia limfositik kronik),
pseudotrombositopenia karena ethylenediamine
tetraacetate (EDTA), obat-obatan. Untuk menentukan
diagnosis banding PTI tersebut perlu meninjau kembali
patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1.

Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjagajumlah trombosit


dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya
perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari aktivitas
fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma
kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang
mempengaruhi hngsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi
farmakologis.
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon atau
prednison dosis 1,O - 1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu.
Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


a). Trornbositopenia artifaktual
Trornbosit bergerornbol disebabkan oleh
anticoagulant-dependent immunoglobulin
(Pseudotrornbositopenia).
Trornbosit satelit
Giant trornbosit
b). Penurunan produksi trornbosit
Hipoplasia rnegakariosit
Trornbopoesis yang tidak efektif
Gangguan kontrol trornbopoetik
Trornbositopenia herediter
c). Peningkatan destruksi trornbosit
Proses irnunologis
- Autoimun
ldiopatik Sekunder : Infeksi, keharnilan, gangguan
vaskuler kollagen, gangguan lirnfoproliferatif.
- Alloirnun
Trornbositopenia neonatus
Purpura pasca-transfusi
Proses Non lrnunologis
- Trombosis rnikroangiopati
Disseminatedintravascular coagulation (DIC)
Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
Hemolytic-uremic syndrome (HUS)
- Kerusakan trornbosit oleh karena abnorrnalitas
permukaan vaskular
lnfeksi
Transfusi darah masif
Lain-lain
Abnormalitas distribusi trornbosit atau pooling
Gangguan pada lirnpa (neoplastik, kongestif,
infiltratif, infeksi yang tidak diketahui sebabnya)
Hipotermia
Dilusi trornbosit denaan transfusi rnasif

umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik


kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian
tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AT
> 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal,
terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan
AT < 30.000/pL, AT < 50.000lpL setelah terapi 10 hari.
Respon menetap bila AT menetap > 50.000lpL setelah 6
bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan
trombositopenia berat (AT < 10.000lpL) setelah mendapat
terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi.
Irnunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgIV)
dosis 1 glkglhari selama 2 - 3 hari berturut-tumt digunakan
bila terjadi perdarahan internal, saat AT < 5.0001pL meskipun
telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari
atau adanya purpura yang perogresif. Hampir 80% penderita
berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu
pertimbangan biaya. Gaga1 ginjal dan insufisiensi paru
dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang
mempunyai defisiensi IgA kongenital.
Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak
diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor, antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan
imunosupresi.

Splenektomi. Splenektomi untukterapi PTI telah digunakan


sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi
setelah steroid sejak tahun 1950-an. Splenektomi pada PTI
dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang
gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang
perlu terapi trombosit terus menerus. Efek splenektomi pada
kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat
antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat memsak
dan menghilangkanproduksi antibodi anti trombin. Indikasi
splenektomi sebagai berikut:
a. Bila AT < 50.000lyL setelah 4 minggu (satu studi
menyatakan b a h k semua pasien yang mengalami remisi
komplit mempunyaiAT > 50.000lyL dalam 4 minggu).
b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 - 8
minggu (karena problem efek samping).
c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis
diturunkan (tapering on.
Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak
ada respons bila gagal mempertahankan AT >50.000lpL
beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AT turun
< 50.000 /pL. Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini,
penderita tidak diberi terapi. Respons splenektomi bervariasi
antara 50% sampai dengan 80%.

Penanganan Relaps pertama


Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang
relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid,
immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D.
Dari gambar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis
menggunakan AT < 30.000IpL sebagai ambang batas
untuk memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000lpL.
Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi
kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D
sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya
cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan
IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal
tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya
perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah
terapi penderita yang mempunyai AT 30.000lpL sampai
50.000lpL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko
perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi
untuk trauma. Pada AT >50.000/yL perlu diberi IgIV
sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa
pasien. Padapenderita PTI kronik dan AT < 30.000/pL IgIV
atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT
dengan segera sebelurn splenektomi. Daftar medikasi untuk
terapi PTI kronikpadapasien yang mempunyai AT < 30.0001
pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazol
atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis
rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis.
IgIV dan anti-D imunoglobulinumumnya sebagai cadangan
untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral.
Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi,
kemudian terapi medis ditemskan atau dosis ditumnkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1171

PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTI kronik
dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada
intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping,
risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan
penderita.

morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan


terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%.PTI refrakter
kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut:
a. PTI menetap lebih dari 3 bulan
b. Penderita gaga1 berespon dengan splenektomi.
c. AT < 30.000/yL.

Terapi PTI Kronik Refrakter


Pasien refrakter (+ 25% - 30% pada PTI) didefinisikan
sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan
splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok
ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai

Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua


Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid
tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat
digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg
dosis tinggi; (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)

Dfagram
Trombosit
30.000-50.0001mm3

Trombosit <30.000 lmm3

Perdarahan

1
Transfusi trombosit
lmunoglobulin intravena
(Iglkglhan atau 2-3 hari)
Metilprednisolon
(Iglhari atau 3 hari)

Purpura
trombositopenia
imun kronis

Trombosit >50.000/mm3

Prednison atau
trdak diterapi

Prednison (1-1.5 mglkglhan)


lmunoglobulinAnti-0 (75 pglkg)

Tidak diterapi

Tmmbosit
30.000-50.0001mm3

Trombosit ~30.0001mm3

Pradnisonatau
tidak &terapl

Perdarahan

Tidak ada
danazol(l0-15 mglkglhari)
dapson (75-100 mglhari)

lmunoglobulin intravena
Metilprednisolon
Splenektomi

medrs

TrombositO!<

OOOimm3

lmunoglobulin rntravena

Trombosit~3O.OOOlmm~

I
medis dilanjutkan

...__*______....~._~~~.~....~~~~~~.~.~~.~~~.~.~.
lmun refraktor kronis
Purpura trombositopenia

Tmmbosit >30.0@()/mm3 Trombosit <30.0001mm3


Tidak d~terapi

Tidak diterapi

Terapi medis
1

Penghambat klirens trombosit


Prednison
lmunoglobulin Intwena
Alkalo~d
vinka
Danazol

Obat-obat itnunosupreslf
Azatioprin
Siklofosfamid
Sikloporin

Obat-cbat percobaan
Antibodi penyerang CD 20
Antrbodi penyerang CD 145
Transplantasr sumsum tulang
Trombopotetin
-------- ----- --- ---

Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Danazol; (vi) Obat imunosupresif; azathioprin,
siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii)
Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua
menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi
bersifat individual.
Steroid Dosis tinggi.
Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat
digunakan deksametason oral dosis tinggi.
Deksametason 40 mghari selama 4 hari, diulang setiap
28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian
kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
> 100.000/pL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6
bulan. Pasien yang tidak berespon dengan
deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan
sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter.
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI
anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi
prednison dosis konvensional.
Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat
menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mgtkg
iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mgl
kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI
Minis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis
konvesional. Penderita yang mendapat terapi
metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih
cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon
(80% vs 53%). Respon steroid intravena bersifat
sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid
oral untuk menjaga agar AT tetap adekwat.
IgIV dosis tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi lmglkglhari
selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan
kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat.
Efek samping, terutarna sakit kepala, namunjika berhasil
maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi
dengan anti-D intravena.
Anti-D intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT
79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50 - 75 pgkg
perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel
darah merah rhesus D-positif yang secara khusus
dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing
dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit
melalui Fc reseptor blockade.
*. Alkaloid vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan,
meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal
dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan
cepat, misalnya Vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, Vinblastin
5-10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu
Danazol
Dosis danazol200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6
bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver hams

diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis


diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya
1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mglhari setiap 4
bulan.
Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal
berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan
azathioprin (2 mglkg maksimal 150 mglhari) atau
siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat
dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%.
Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik
refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya.
Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon
sebagai kombinasi telah efektif dugunakan seperti pada
limfoma . Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mglivl
bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50-100 mg p.0, bila 3
bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon
sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil .
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.0. per hari, respon terjadi dalam
2 bulan. Pasien-pasien hams diperiksa G6PD, karena
pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai
risiko hemolisis yang serius.

Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi


Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan
terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar.
Beberapa diantaranya mengalami perdarahan aktif namun
lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta
masalah penanganannya.
Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas
hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang
gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih
terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20,
(iii) Campath-lH, (iv) mycophenolate mofetil, (v) proteinA
columns, dan (vi) terapi lainnya.

REKOMENDASI TERAPl PTI YANG GAGAL TERAPl


LlNl PERTAMA DAN KEDUA
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin
bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain
dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya
perdarahan aktif). Mycophenolate mofetil tampak efektif
pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar
diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan
keamanannya. Dalam ha1 risiko: rasio manfaat, terapi
dengan interferon-a, protein A columns, plasmapheresis
dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan.
Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD
20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1173

PURPURA TROMBOSITOPENIAIMUN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada
beberapa penelitian pendahuluan dengan respon
berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan
awal diberikan. Relapsjarang terjadi setelah 2,5 tahun dan
sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa
tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di
Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi
375 mgrlrn2 tiap minggu selama 4 minggu didapatkan angka
respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di
London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100
mg per minggu selarna 4 minggu menunjukkan rituximab
dosis rendah dapat menghasilkan respon yang signifikan
dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.

PELUANG PEMAKAIANAGEN TERKlNl


Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk
pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi
perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi
dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pertama melalui
Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui
inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated
Comsurnption of Platelet.

PROGNOSIS
Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan
kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil
dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada
PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial
yang berakibaf fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40
tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.

REFERENSI
Braendstrup P, B j e m m OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen NT,
Hansen PB, Andersen I, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund
NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC.
Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody
treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic
purpura. Am J of Hematol. 2005 ;78 : 275-280.
Cheng Y, S.M. Raymond, MB. Wong. Initial Treatment Idiopathic
Thromocytopenic Purpura with High Dose Dexamethason. N
Engl J Med. 2003; 349: 831-6.

Cines DB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N


Engl J Med. 2002; 346 (13): 995-1006.
Emilia G, Morcelli M, Luppi M, Longo G, Marasca R, Gandini G,
Ferrara L. Long-term Salvage Therapy with Cyclosporin A in
Refractory Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Blood.
2002;99(4): 1482-5.
George JN, Rizvi MA. Clinical Manifestations and Diagnosis of
Idiopathic Thrombocitopenic Purpura 1-11 in: Up ToDate, Rose
B.D. editor. Up ToDate, Wellesley, MA, 2004.
George, JN. Treatment and prognosis of Idiopathic
Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B.D. (Ed). Up
ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004.
Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher,
E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper
editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 1 Sthed. 2001.
Levine SP. Thrombocytopenia Caused by lmmunologic Platelet
Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas,
JP.Greer, GM. Rodgers editors. Wintrobe's Clinical Hematology. loth edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William &
Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611.
McMillan R. Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune
Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med.1997; 126; 307-314.
Provan D, Newland A. Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults. British J
Hematol. 2002; 118: 933-944.
Provan D, Norfolk D, Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP,
Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults,
Children and in Pregnancy. British J Hematol. 2003; 120:574596.
Provan, D., Butler, T., Activity and safety profile of Low-dose
Rituximab for the Treatment of Autoimmune Cytopenia in
Adults. Haematologica. 2007; 92(12): 1695-98
Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007. Recent Advances in
the Treatment of immune Thrombocytopenic Purpura.
ww.medscape.com.
Schwartz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A, Eldor A, Bussel JB. Long
Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune
Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am J Hematol. 2003; 72:
94-98.
Stasi R, Pagano A, Stipa E, Amadori S. Rituximab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment for Adult with Chronic
Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001;98:952957
Vesely S, Buchanan GR, Cohen A, Raskop George J. Self-reported
diagnostic and management strategies in childhood idiopathic
thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing,
pediatric hematology/oncology specis1ists.J Pediatric Hematol
Oncol. 2000; 22: 55-61.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PAROXYSMAL NOCTURNAL
HEMOGLOBINURIA (PNH)
Made Putra Sedana

PENDAHULUAN
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu
kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya
hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang
umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang
disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic
pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan
kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen,
ha1 ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia
dan kegawatan akibat trombosis vena.
Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh
Strubbing pada tahun 1882, sedangkan karateristik
klinisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan
Nazari pada tahun 1911 serta Micheli ditahun 1931, karena
itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada
dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada
anak-anak d m orang tua.
Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala
anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta
keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat
ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang
dan sitogenetik.

Penderita dengan kelainan PNH pertama kali


dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi
gambaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali
dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden
PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih

sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang


jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian
PNH hampir sama dengan Anemia Aplastik. PNH biasanya
terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua.
Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut,
dengan " Median Survival " 8 - 10 tahun, umumnya sebagai
penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang
disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia
berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.

Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan


mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stem cell.
Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya
defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi
pembentukan glycosylphosphatidylinositol anchored
(GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline
phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating
factor (DAE CD55), membrane inhibitor of reactive lysis
(MIRL,CD59), FcgammaRIIIb , c8 binding protein,
lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dan
urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored
yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur
protein permukaan sel haematopoetik serta mengatur kadar
complement-mediated lysis. Juga mengalami defesiensi
absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek
langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara.
Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI
anchored akan menimbulkan kegagalan dalam
menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis
fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1175

PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ment-mediated hemolytic .Sebagai akibatnya, sel eritrosit
PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit
normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya
berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin
besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap
complement-mediated lysis semakin berat derajat dari
hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari proteinprotein anchored akan menyebabkan terganggunya
struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta
terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang
menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses
Lysis dari komplemen.
Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara
invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH I,II,III. PNH
I : adalah sel eritrosit PNH yang memiliki sensitivitas
normal terhadap komplemen. PNH I1 dan III secaraberturutturut memiliki sensitivitas 3 -4 kali serta 15 - 25 kali dari
sensitivitas normal.
Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya
terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup
trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis.
Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula
sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anemia
aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.

TANDA DAN GEJALA KLlNlS

Anemia, ikterus, splenomegali.


Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar
kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas,
walaupun terjadi hemolisis kronis.
Adanya anemia hemolitik kronik.
Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat b e s ~
melalui urine.
Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia.
Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa :
vena hepatica, sindroma Budd-Chiari, vena serebral,
vena lienalis, vena subkutis , vena mesenterika
Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan
dengan aborsi dan trombosis vena.
Manifestasi pada ginjal : hypostenuria ,kelainan fungsi
tubulus, gaga1 ginjal akut dan kronik.

Gambaran anemia hemolitik.


Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia
hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi
besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik.
Retikulositosis
Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau
hypoplasia.

Leukosit Alkalin Fosfatase rendah.


Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test : Positif.
Pada pemeriksaah Urine didapatkan : Hemoglobinuria,
Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling
berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu
bangun tidur dan makin siang warna'urine makin terang,
seperti tampak pada garnbar berikut:

Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH

DIAGNOSIS

Gejala :anemia, hemoglobinuria.


Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik,
sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat
juga menyerupai anemia aplasrik.
Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau
hypoplasi.
Flowsitometri : pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD
55 atau CD 59 pada granulosit.
Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif.
Manifestasi trombosis
Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.

DIAGNOSIS BANDING

Anemia Hemolitik Lain.


Anemia Defesiensi besi
Anemia aplastik
Black water fever:
Paroxysmal cold hemoglobinuria.

PENGOBATAN

Bila anemia transfusi darah dengan Washed


Erythrocyte.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI.*,

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Asam folat 1 mghari.
Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus 3 X 1 tab.
Prednison 20 - 60 mghari, tetapi tidak untuk pemberian
jangka panjang..
Hormon androgen : Fluoxymesteron : 5 - 30 mghari;
Oxymetholon 10 - 50 mghari diberikan selama 6 - 8
minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan.
Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk
mencegah terjadinya trombosis.
Streptokinase; urokinase : bila ada trombosis.
Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi
defenitifkemudiandilanjutkan dengan imunosupresan.
Perkembanganpengobatan PNH dengan obat antibody
monoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat
komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5,
antibodi ini dapat mengontrol terjadinya hemolisis pada
PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian
International "Multicenter Placebo Controlled Trial"
pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan
transfbse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg
IV tiap minggu selama 4 minggu, 1 minggu kemudian
900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai
minggu ke 26.
Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat
diberikan pengobatan imunosupresif dengan
Antilimfosit Globulin (ALG atau ATG) dan Cyclosporin.

PROGNOSIS
Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun.
Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi:
trombosis; pansitopenia.
Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi:
Leukemia akut; Sindroma Mielodisplasia; Mielofibrosis;

Leukemia Limfositik Kronik; Leukemia Mielositik


Kronk, PolisitemiaVera dan Eritroleukemia.
Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat
diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan
menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau
leukemia akut

REFERENSI
Hillmen P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement
Inhibitor Eculizumab in Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J.Med. 355:1233.
Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ (2003). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Williams Manual of Hematology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ,
Williams WJ. Mc Graw Hill, Toronto, p 233.
Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In :
Hematology 1996. Education Programme of the 26 th Congress of International Society of Haematology. Ed : Mc Arthur
JR, Sinagapore August, 25-26.
Parker CJ, Lee GR (1999). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria.
In : Wintrobes Clinical Hematology, 10 th edition. Eds : Lee
GR, Foerster J, Rodger GM. Lippincott William & Wilkins,
Philadelphia, p. 1264.
Parker C, Omine M, Richards S et a1 (2005). Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 :
3699.
Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria.
In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition .
Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jarneson JL, Loscalzo J. Mc Graw Hill Publishing Co, New York,
p. 660.
Socie G, Mary JY, de Gramont A, Rio B, Lepporier M, Rose C,
Heudier, Rochant H, Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic
Factors. Lancet, 348 : 573.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KELAINAN HEMATOLOGI PADA


LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Zubairi Djoerban

PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (systemiclupus erythematosus,
SLE) dapat mempengaruhi banyak organ di tubuh dan
menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan
spektrum yang luas. Kelainan hematologi seringkali
ditemukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia,
kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan
penyakit pasien SLE, biasanya bukan merupakan kondisi
yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi
gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen
yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, hampir selalu
merupakan limfopenia, bukan granulositopenia, kondisi ini
jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya
tidak membutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah
satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada 1971 menyatakan
bahwa leukopenia, trombositopenia,dan anemia hernolitik
inerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada
revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1)
anemia hemolitik autoimun, 2) leukopenia (<4000/yl pada
dua kali atau lebih pemeriksaan), 3) limfopenia (<1500/yl
pada dua kali atau lebih pemeriksaan) dan 4)
trombositopenia (<100.000/~1tanpa pemberian obat).Pada
Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang
didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan
hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia
hemolitik, 18% leukopenia, 2 1% limfopenia, dan 11%
trombositopenia.
Sumsum tulang menjadi target pada pasien SLE dengan
sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE
dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat
imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang

hiposelularitas menyeluruh (47,6%), peningkatan


proliferasi retikulin (76,2%) dengan mielofibrosis pada satu
pasien, dan nekrosis (1 9%). Plasmasitosis tampak pada
26,7% pasien dan cadangan besi menurun atau tidak ada
pada 73,3% pasien.

ANEMIA
Prevalensi
Sebagian besar pasien menderita anemia pada suatu waktu
di sepanjang perjalanan penyakitnya. Prevalensinya cukup
tinggi, sekitar 5 1-98% pasien pernah menunjukkan kadar
hemoglobin kurang dari 12 g/dl. Pada umumnya, yang
terjadi adalah anemia derajat sedang, tetapi beberapa
pasien menunjukkan anemia berat.

Etiologi
Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun
atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit nonimun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi
besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal,
anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap
penyakit lain (misalnya anemia sel sabit). Anemia yang
diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik
autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia
aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa.
Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE,
37,1% menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6% anemia defisiensi besi, 14,4% anemia hemolitik autoimun dan
12,9% karena penyebab lain.
Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya
produksi eritropoietin dan resistensi eritropoietin pada sel
eritroid. Resistensi terhadap eritropoietin dapat terjadi
karena adanya autoantibodi terhadap eritropoietin (antiEpo). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan
pada 21% pasien SLE dengan anemia dan berhubungan
bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons
peningkatan eritropoietin juga akibat penurunan
hemoglobin juga tidak adekuat pada 4 1,2% pasien anemia
hemolitik autoimun dan 42,4% pasien anemia penyakit
kronik.

Anemia yang Tidak Diperantarai lmun


Anemia pada penyakit kronik mempakan jenis anemia
yang paling sering ditemukan pada pasien SLE. Gambaran
apus darah tepi menunjukkan sel-sel yang normositik atau
normokrom. Konsentrasi besi serum menurun dan
kapasitas pengikatan besi total tidak berubah atau sedikit
rendah. Dijumpai pula penurunan saturasi besi pada
transferin. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil
yang normal dengan cadangan besi yang adekuat.
Anemia berkembang dengan lambat jika tidak ada
komplikasi dengan faktor lain, seperti perdarahan. Hitung
retikulosit rendah bila dibandingkan dengan derajat
anemianya.
Mekanisme anemia pada penyakit kronik masih sulit
dimengerti. Hasil pada beberapa penelitian patogenesis
artritis rematoid mengindikasikan bahwa banyak faktor
yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem
fagositik mononuklear, besi terikat dengan protein
pengikat, penurunan respons eritropoietin, dan efek
supresif interleukin terhadap eritropoiesis.
Pengobatan anemia ini pada pasien SLE ditujukan pada
proses penyakitnya, tidak dianjurkan pemberian terapi besi
atau intervensi spesifik lainnya.
Anemia Defisiensi Besi biasanya ditemukan pada pasien
SLE yang mendapat obat anti-inflamasi non steroid
(OAINS) atau mengalami menorrhagia. Ditemukan
penumnan penggunaan besi. Radioaktivitas pada banyak
organ berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar
radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan jumlah besi
yang diabsorpsi tidak digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover besi
plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit
lebih pendek tanpa adanya hemolisis. Jadi, anemia pada
penyakit kronik pada pasien SLE dapat menyebabkan
terjadinya aktivitas sumsum tulang yang rendah,
pemendekan umur eritrosit, dan mungkin uptake besi yang
buruk.
Anemia Sel Sabit dan SLE menunjukkan manifestasi klnik
yang serupa seperti artralgia, nyeri dada, efusi pleura,
kardiomegali, nefropati, strok, dan kejang. Pasien dengan
hemoglobinopati sel sabit juga menunjukkan peningkatan
prevalensi autoantibodi, termasuk ANA. KO-eksistensiSLE

dan anemia sel sabit telah dilaporkan, dan pada beberapa


pasien SLE terlambat dikenali akibat manifestasi klinisnya
yang serupa tersebut. Diduga bahwa abnormalitas pada
jalur alternatif dari komplemen pada hemoglobinopati sel
sabit dapat menjadi predisposisi untuk'menjadi kelainan
kompleks imun, termasuk SLE. Namun tidak ada bukti bahwa
SLE lebih sering ditemukan pada pasien dengan
hemoglobinopati sel sabit.

Anemia yang Diperantarai lmun


Anemia hemolitik autoimun, Anemia hemolitik autoimun
(AHA) merupakan penyebab anemia pada 5-1 9% pasien
SLE. Beberapa sindrom klinik terjadi, masing-masing
diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda
yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah
merah lebih cepat dirusak sehingga jumlah berkurang di
sirkulasi.Anemia hemolitik autoimun biasanya berkembang
secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun
terkadang dapat juga berkembang cepat sehingga terjadi
krisis hemolitik yang progresif.
Anemia hemolitik autoimun dapat dihubungkan
dengan adanya antibodi antikardiolipin, atau dapat menjadi
bagian dari sindroma antifosfolipid, yang mana
dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid,
trombosis, trombositopenia, dan keguguran berulang.
Voulgarelis juga melaporkan adanya antibodi anti-dsDNA
pada hampir semua pasien dengan AHA. Adanya AHA
juga diperkirakan dapat mengidentifikasi subkelompok
khusus dari pasien SLE karena adanya hubungan
beberapa karakteristik serologik tersebut dengan
manifestasi klinik. Kelly dkk. melaporkan bahwa terdapat
bukti yang kuat keterlibatan gen rentan SLE, SLEHI, pada
kelompok keluarga Afro-Amerika yang mempunyai paling
tidak satu anggota keluarga dengan SLE dengan anemia
hemolitik.
Kriteria ACR tidak mendefinisikan derajat keparahan
anemia hemolitik. Anemia hemolitik yang berat
(didefinisikan sebagai hemoglobin +/dl, tes Coomb
positif, retikulositosis, dan penurunan hemoglobin 3 g/dl
sejak pemeriksaan terakhir) mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keterlibatan organ sistemik lainnya yaitu
ginjal dan susunan saraf pusat.
Klasifikasi
AHA dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe utama
menumt antibodi yang terlibat dalam destruksi eritrosit dan
suhu optimal dari reaktivitas antibodi pada permukaan
eritrosit. AHA tipe hangat diperantarai oleh antiboi IgG di
mana reaksi dapat berlangsung optimal pada suhu 37C.
AHA aglutinin dingin diperantarai oleh antibodikomplemen IgM yang terikat optimal pada antigen eritrosit
pada suhu 4C.

AHA tipe hangat, Tipe ini merupakan jenis yang paling

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1179

KELAINAN HEMATOLOGI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


banyak terjadi pada pasien SLE. Sel darah merah yang
dilapisi oleh antibody IgG hangat pindah ke sirkulasi,
terutama oleh sekuestrasi pada limpa. Sel darah merah yang
dilapisi antibodi kemudian mengalami perubahan membran,
sehingga terbentuk sferosit. Penelitian yang memeriksa
struktur limpa pada pasien SLE dengan AHA menemukan
bahwa eritrosit dilapisi dengan IgG dan komplemen yang
kemudian difagositosissecara lengkap oleh makrofag lirnpa,
dan sebagian kecil oleh sel-sel endotelial sinus.
Kebalikannya, di hati, fagositosis eritrosit tersensitisasi oleh
sel Kupfer hanya terjadi sesekali. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa limpa adalah lokasi utama destruksi
eritrosit.
Gejala klinis pada AHA sangat bervariasi. Gejala
disebabkan karena anemianya seperti kelelahan, pusing,
dan demam.Bukti adanya hemolisis, termasuk kuning dan
urin seperti teh dapat ditemukan. AHA pada pasien SLE
berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien,
tetapi terkadang dapat muncul sebagai krisis hemolitik
progresif yang cepat.
Kombinasi AHA hangat dan dingin, Suatu penelitian
melaporkan bahwa 7% pasien AHA yang mendapat
transfusi mempunyai antibodi anti eritrosit IgG hangat dan
IgM dingin, kedua antibodi tersebut berkontribusi terhadap
terjadinya hemolisis. Sekitar 20% pasien dari kelompok
tersebut menderita SLE.
Pengobatan
Terapi medikamentosa.Kortikosteroid sistemik, 1- 1,s mg/
kg prednison setiap hari, cukup efektif. Steroid diberikan
secara parenteral pada pasien dengan penyakit akut dan
kemudian diganti menjadi obat oral setelah keadaannya
stabil dan membaik. Dosis tersebut diberikan selama 4-6
minggu dan secara bertahap ditumnkan.
Pada pasien yang responsif dengan steroid, respons
klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi
hematokrit terjadi dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai.
Pasien dengan anemia hemolitik berat dan progresif
cepat dapat diberikan metilprenisolon 1 g IV selama 3 hari
berturut-turut, diikuti dengan dosis steroid konvensional.
Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator
respons terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis
steroid diturunkan. Hitung retikulosit yang menurun
drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik.
Pengobatan lainnya yang telah dilakukan adalah
pemberian azatioprin 2-2,s mglkg dikombinasikan dengan
prednison 10-20 mglhari pada pasien-pasien yang gaga1
dengan pemberian prednison.
Splenektomi. Splenektomi dilakukan pada pasien dengan
AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis
pemeliharaan prednison yang tinggi (20 mghari atau lebih),
pasien dengan relaps yang sering, atau mereka yang
menunjukkan efek samping yang serius dengan terapi
steroid.

Secara umum, splenektomi kurang efektif untuk AHA


tipe hangat dibandingkan trombositopenia autoimun.
Transfusi. Sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya
karena risiko penularan penyakit infeksi, tetapi juga karena
pengamatan menurjukkan adanya isoantibodi melawan sel
darah merah pada pasein SLE. Pasien yang mendapat
transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin terhadap
beberapa antigen eritrosit yang berbeda.
Sangat sedikit indikasi untuk melakukan transfusi pada
pasien SLE, di antaranya aalah perdarahan masif akut,
dengan kadar hemoglobin turun sampai kurang dari 6 gl
dl, atau disertai dengan penyakit jantung atau iskemia
serebrovaskular yang berat. Respons pasien SLE dengan
anemia hemolitik autoimun terhadap kortikosteroid secara
urnum sangat baik, sehinggatransfusi darah biasanya tidak
diperlukan. Antibodi antieritrosit di sirkulasi dapat
membuat uji cocok silang darah menjadi sulit.
TROMBOSITOPENIA DAN KELAINAN
TROMBOSIT LAINNYA
Frekuensi dan Masalah
Trombositopenia, didefinisikan sebagai kadar trombosit
di bawah 150.000/mm3,cukup sering ditemui pada pasien
SLE. Sebuah studi multisenter di Eropa melaporkan
trornbositopenia terjadi pada 13% pasien SLE, sementara
angka di Asia menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi
yaitu sekitar 30%.
Adanya trombositopenia dapat dijadikan indikator
untuk memperkirakan prognosis pasien SLE. Sebuah studi
kohort pada 408 pasien dengan waktu pemantauan
median selama I1 tahun menyatakan bahwa adanya
trornbositopenia berhubungan dengan peningkatan risiko
mortalitas yang terkait SLE sebanyak 2,36 kali.
Penelitian pada 38 keluarga yang memiliki sekurangkurangnya 2 orang anggota keluarga dengan SLE
melaporkan bahwa trombositopenia berhubungan dengan
bentuk SLE familial yang berat dengan gangguan pada
gen 1q22-23 dan 1lp13 yang berkontribusi terhadap
gambaran fenotip yang berat dan mortalitas yang tinggi.
Etiologi
Penyebab trombositopeniapada SLE dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu 1) kegagalan produksi yang disebabkan oleh
pengobatan atau penyakitnya sendiri, 2) distribusi
abnormal, sepertipooling di limpa, atau 3) destruksi besarbesaran seperti pada sindrom antifosfolipid, anemia
hemolitik mikroangiopatik atau trom~ositopeniayang
diperantarai antibodi.
Purpura Trombosito~eniklmun
Purpura Trombositopenik Imun (Immune Thrombocy-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


topenic Purpura, ITP) mempunyai hubungan yang khusus
dengan SLE. Kedua penyakit ini umumnya mengenai
perempuan muda, selain itu sebagian pasien ITP yang
awalnya diduga merupakan penyakit idiopatik ternyata di
kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Lebih
jauh lagi, purpura trombositopenik, secara klinik dibedakan
dari ITP, dapat terjadi sepanjang perjalananpenyakit SLE.
Manifestasi klinis, manifestasi klinis trornbositopeniapada
pasien SLE secara umum serupa dengan yang terlihat pada
pasien ITP atau trornbositopeniaakibat penyebab lain, dan
tergantung pada jumlah hitung trombosit. Saat hitung
trombosit di bawah 50.000/mm3,perdarahan spontan atau
purpura dapat terjadi. Faktor lain yang mempengaruhi
perdarahan spontan tersebut selain hitung trombosit adalah
defek trombosit secara kualitatif dan usia trombosit.
Perdarahan biasanya muncul sebagai petekie dadatau
ekimosis, terutama pada tungkai bawah, dengan adanya
peningkatan tekanan kapiler. Perdarahan hidung, menorrhagia, epistaksis, dan perdarahan gusi dapat pula terjadi.
Perdarahan spontan pada otak merupakan komplikasi yang
ditakuti dan dapat berakibat fatal.
Pengobatan, umumnya dianjurkan terapi dengan
kortikosteroid sistemik, yaitu prednison 1- 1,5 mgikglhari.
Terapi kortikosteroid ini ekuivalen dengan "splenektomi
medikal" karena mencegah sekuestrasi trombosit berlapis
antibodi pada limpa. Sebagian besar pasien menunjukkan
perbaikan dalam 1-8 minggu.
MetilprednisolonIV dosis tinggi juga digunakan untuk
trombositopenia yang berat, namun kelebihannya
dibanding terapi steroid konvensional belum terbukti.
Pemberian yang berulang akan mengurangi respons
trombosit.
Berbeda dengan ITP idiopatik, splenektomipada pasien
SLE dengan trombositopenia yang resisten steroid tidak
dianjurkan karena peningkatan risiko infeksi yang berat
setelah splenektomi dan terlihat adanya manfaat efikasi
pada pemberian obat-obat yang lain. Danazol dilaporkan
efektif pada beberapa pasien dengan trombositopenia
yang refrakter terhadap steroid, obat sitotoksik, dan/atau
splenektomi.Danazol diberikan dengan dosis rata-rata 200
mg, tiga atau empat kali sehari.
Siklofosfamid IV intermiten juga efektif pada pasien
SLE yang refrakter terhadap steroid atau splenektomi atau
membutuhkan peningkatan dosis steroid yang tinggi.
Obat lain yang dilaporkan efektif adalah azatioprin,
siklosporin, dapson, dan vinkristin. Gamma globulin IV
juga efektif, namun efeknya tidak dapat bertahan lama.
Seperti pada ITP idiopatik, gamma globulin paling berguna
untuk pengobatan perdarahan yang mengancamjiwa atau
untuk mempersiapkan pasien menjalani operasi gawatdarurat.

Purpura Trombositopenik Trombotik


Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi pada

pasien SLE, namun merupakan komplikasi yang


mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam,
disfungsi ginjal, anemia hemolitik mikroangiopatik,
trornbositopenia, dan kelainan neurologis.
Pengobatannya dalah dengan kortikosteroid dan infus
plasma, dengan atau tanpa plasmaferesis.

Kelainan Sel Darah Putih


Leukopenia terjadi pada sekitar 18-50% pasien SLE selama
perjalanan penyakit. Neutrofil danlatau limfosit di sirkulasi
dapat menurun akibat beberapa sebab. Pengobatan
dengan kortikosteroid maupun imunosupresif dapat
menekanjumlah limfosit absolut akibat sekuestrasi limfosit
di limpa dan sumsum tulang.
Limfopenia sering terjadi pada pasien SLE dengan
penyakit yang aktif dan mempunyai arti patologis yang
bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia.
Penyebabnya mungkin karena adanya antibodi
limfositotoksik dan apoptosis limfosit.
Seperti leukopenia, limfopenia dapat disebabkan oleh
faktor selain SLE sendiri. Pengobatan dengan kortikosteroid
dan obat sitotoksik, infeksi, dan perawatan di rumah sakit
dapat berkontribusi terhadap penurunan hitung limfosit,
yang mana mungkin bukan merupakan cerminan aktivitas
penyakit.
Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada
84% pasien dan dihubungkan dengan peningkatan sedimentation rate. Saat diagnosis, limfopenia ditemukanpada
75% pasien, namun pada pemantauan selanjutnya,
beberapa pasien kemudian juga mengalami limfopenia
sehingga secara kumulatif 93% pasien mengalami
limfopenia.
Limfopenia absolut berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Pasien dengan hitung limfosit absolut kurang
dari 1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan
frekuensi demam, poliartritis, dan keterlibatan susunan
saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi
trornbositopenia dadatau anemia hemolitik lebih rendah.
Trombosis
Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada
SLE selain akibat penyakit SLE aktif, infeksi, dan keganasan.
Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien SLE
melaporkan bahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun pertama
dan 6 dari 23 pasien pada 5 tahun berikutnya meninggal
akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan adalah bahwa
trombosis merupakan penyebab kematian utama pada
pasien SLE setelah 5 tahun.
Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom
Antifosfolipid
Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai
penyakit trombofilia autoimun y a w ditandai adanya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1181

KELAINAN HEMATOLOGIPADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


antibodi antifosfolipid yang menetap serta kejadian
berulang dari trombosis venalarteri, keguguran, atau
trombositopenia. Trombosis pada pasien SLE hampir
selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid. Kejadian trombotik yang sering terjadi
adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner.
Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada
pasien SLE hams ditelusuri pada pasien perempuan muda
(kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan
hamil dengan keguguran berulang atau adanya riwayat
trombosis vena dalam. Pemeriksaan laboratorium
ditemukan antibodi antikardiolipin IgG dadatau IgM
positif, atau antikoagulan lupus positif, biasanya disertai
dengan pemanjangan masa protrombin atau masa
protrombin teraktivasi.
Antibodi antifosfolipid, seperti antibodi antikardiolipin
(anticardiolipin antibody, ACA) dan antikoagulan lupus
(lupus anticoagulant, LA), seringkali ditemukan pada SLE.
FalcZo dkk. melaporkan antibodi antifosfolipid ditemukan
pada 50% dari 70 pasien SLE di mana LA dan ACAmasingmasing ditemukan pada 10% dan 44,3% pasien. Fraksi IgG
dari plasma yang mengandung ACA dan LA pada pasien
SLE dapat meningkatkan aktivasi trombosit yang dipicu
oleh ADP, sementara IgG yang tidak mengandung ACA
dan LA tidak menunjukkan efek tersebut. Oleh karena itu
ACA dan LA diduga dapat bekerjasama untuk aktivasi
platelet dan berperan dalam trombosis arterial pada pasien
SLE.
Antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus
berikatan dengan fosfolipid membran dengan perantaraan
protein plasma seperti a 2 glikoprotein I (P2GPI),
protrombin, protein C, protein S, atau annexin V. Nojima
melaporkan antibodi antifosfolipid dependen P2GP1,
protrombin, aprotein C, protein S, annexin V ditemukan
pada masing 30%, 56%, 21%, 28%, dan 30% pasien SLE
dan berhubungan dengan trombosis arteri dadatau vena,
trombositopenia, dan keguguran.Antibodi anti-P2GPI dan
antiprotrombin merupakan faktor risiko bermakna untuk
trombosis arterial, antibodi anti-protein S untuk trombosis
vena, dan anti-annexin V untuk keguguran.

Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopatik trombotik adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi-kondisi dimana terjadi
trombosis mikrovaskular terlokalisasi atau dihs. Sindrom
ini paling sering ditemukan pada pasien dengan lupus aktif,
dimana perusakan jaringan dan aktivasi komplemen
sedang terjadi.
Etiologi mikroangiopati trombotik sangat sedikit
diketahui tetapi sepertinya trombosit, faktor humoral
(antibodi dan komplemen) dan endofelium mikrovaskular
memegang peranan penting pada patogenesisnya. Cedera
pada pembuluh darah kecil merangsang adhesi trombosit
pada endotelium dan agregasi, menurunnya PGIl dan

peningkatan sintesis tromboksan. Terikatnya antibodi atau


kompleks imun dari sirkulasi juga dapat menjadi awal
terbentuknya mikrotrombus, aktivasi komplemen lokal, dan
kemudian kerusakan endotel.

REFERENSI
Al-Shahi R, Mason JC, Rao R, et al. Systemic lupus erythematosus,
thrombocytopenia, microangiopathic haemolytic anaemia and
anti CD25 antibodies. Br J Rheumatol. 1997;36:794-8.
Castelino DJ, McNair P, Kay TW. Lymphocytopenia in a hospital
population-what does it signify? Aust NZ J Med. 1997;27:1704.
Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Morbidity and mortality
in systemic lupus erythematosus during a 10-year period a comparison of early and late manifestations in a Cohort of 1,000
patients. Medicine. 2003;82(5):299-308.
Cooper GS, Parks CG, Treadwell EL, et al. Differences by race, sec,
and age in the clinical and immunologic features of recently
diagnosed systemic lupus erythematosus patients in the southeastern United States. Lupus. 2002;ll: 161-7.
Falclo CA, Alves IC, Chahade WH, Duarte ALBP, Lucena-Silva N.
Echocardiographic abnormalities and antiphospholipid antibodies
in patients with systemic lupus erythematosus. Arq Bras Cardiol.
2002;79:285-91.
Georgescu L, Vakkalanka RK, Elkon KB, Crow MK. Interleukin-10
promotes activation-induced cell death of SLE lymphocytes
mediated by Fas ligand. J Clin Invest. 1997;100:2622-33.
Hahn BH. Systemic lupus erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS,
Lango DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. New
York: McGraw Hill; 2005. p. 1960-7.
Kao AH, Manzi S, Ramsey-Goldman R. Review of ACR hematologic
criteria in systemic lupus erythematosus. Lupus. 2004;13:8658.
Kelly JA, Thompson K, Kilpatrick J, et al. Evidence for a susceptibility gene (SLEHI) on chromosome llq14 for systemic lupus
erythematosus (SLE) families with hemolytic anemia. Proc Natl
A Sci. 2002;99(18):11766-71.
Kokori SJ, Ioannidis J, Voulgarelis M, Tzioufas AG, Moutsopoulos
HM. Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic
lupus erythematosus. Am J Med. 2000;108:198-204.
Nojima J, Suehisa E, Kuratsune H, Machii T, Koike T, Kitani T, et
al. Platelet activation induced by combined effects of
anticardiolipin and lupus anticoagulant IgG antibodies in patients with systemic lupus erythematosus-possible association
with thrombotic and thrombocytopenic complications. Thromb
Haemost. 1999;81:436-41.
Nojima J, Kuratsune H, Suehisa E, et al. Association between the
prevalence of antibodies to b2-Glycoprotein I, prothrombin,
protein C, protein S, and annexin V in patients with systemic
lupus erythematosus and thrombotic and thrombocytopenic
complication. Clin Chem. 2001; 47(6):1008-15.
Pereira RM, Velloso ER,Menezes Y, Gualandro S, Vassalo J, Yoshinari
NH. Bone marrow findings in systemic lupus erythematosus
patients with peripheral cytopenias. Clin Rheumatol.
1998;17(3):219-22. Abstrak.
Quismorio Jr. FP. Hemic and lymphatic abnormalities in SLE. In:
Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' lupus erythematosus. 4Ih
ed. Pensylvania: Lea & Febiger; 1993. p. 418-30.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Scofield RH, Bruner GR, Kelly JA, et al. Thrombocytopenia


identifies a severe familial phenotype of systemic lupus
ertythematosus and reveals genetic linkages at lq22 and llp13.
Blood. 2003;101:992-7.
Sultan SM, Begum S, Isenberg DA. Prevalence, patterns of disease
and outcome in patients with systemic lupus erythematosus
who develop severe haematological problems. Rheumatology.
2003;42:230-4.
Voulgarelis M, Kokori SIG, Ioannidis JPA, Tzioufas AG, Kyriaki D,
Moutsopoulos HM. Anaemia in systemic lupus erythematosus:
aetiological profile and the role of erythropoietin. Ann Rheum
Dis. 2000;59:2 17-22.
Ward MM, Pyun E, Studenski S. Mortality risk associated with
specific clinical manifestations of systemic lupus erythematosus. Arch Intern Med. 1996; 156: 1337-44.
Winfield JB. Anti-lymphocyte antibodies is systemic lupus
eryhematosus. Clin Rheum Dis. 1985;11:523. Abstrak.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERSPLENISME
Budi Muljono

PENDAHULUAN

PENYEBAB PEMBESARAN LIMP

Istilah kata hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan


kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan
penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat
akibatlbersama-sama dari suatu penyakit atau dapat
menyebabkan penyakit sistemik.
Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit
dicetuskan sejak 1866 oleh Gretsel dan 1880 Banti dan pada
tahun 1907 oleh Chuffard, kata hipersplenisme mulai
diperkenalkan.

Proses lnflamasi
Akutlsub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi
mononukleosis, endokarditis bakterial subakut
Kronik: tuberkulosis, sifilis, Felty's syndrome, rheurnatoid arthritis, malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis,
(Amazonian splenomegali dan American splenomegalies,
histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokokkosis, sarkoid
Boeck's, beryllium disease.

Hipersplenisme adalah suatu keadaan di mana:


a). Anemia, lekopenia, trombositopenia atau
kombinasinya; b). Normal atau hiperselular sumsum
tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila
dilakukan pengangkatan limpa.

Hipersplenisme dapat primer atau sekunder.


Primer hipersplenisme tidak diketahu penyebabnya,
sedangkan sekunder hipersplenisme dapat disebabkan
penyakit infeksi atau parasit, penyakit-penyakit
Gaucher, leukemia, limfosarkoma. Begitu banyak dan
luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri,
antigen, antibodi, penggantian darah dan lain-lain.
Sehingga adanya pembesaran limpa dapat menyebabkan
kerja limpa bertarnbah atau sebaliknya.Beberapa penyakit
dapat disertai pembesaran limpa dan akan menyebabkan
kenaikan kerja limpa.

CongestivelBendungan Splenomegali:
Sirosis hati
Trombosis,stenosis atau cavernous transformasi vena
port a
Trombosis yang dapat terjadi penghambatam vena
splenika
Tidak diketahui penyebabnya
Kegagalan jantung
Hiperplasia Splenomegali
Anemia hemolitik murni
Anemia kronik dengan adaftidak ada kerusakan darah:
- Anemia pernisiosa, anemia mikrositik
- Talasemia, hemoglobin C disease.
- Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis,
megakariositis aleukemik, metaplasia mieloid
agnogenik
- Penyakit hemolitik sejak bayi
- Lupus eritomatosus sistemik
Trombositopenia purpura
Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Grave k
Polisitemia Vera
Splenik neutropenidpanhematopenia primer
Kriptogenetik,splenomegali tropikal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

lnfiltratif Splenomegali
Penyakit Gaucher's
Penyakit Niemann-pick's
Amiloidosis
Diabetik lipemia
Gargoilisme

PENGOBATAN

Kista dan Neoplasma


Kista limfa (epitel, endotel atau parasit, hemangioma)
Kista palsu (perdarahan, serosa, inflamasi)
Hamartoma
Leukemia
Penyakit Hodgkin's
Bukan penyakit Hodgkin's
Histokistosis X
Metastasis keganasan

GEJALA KLlNlS
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut
karena pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa,
infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat
mendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi
secara tiba-tiba penghancuran eritrosit yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang
mendasari pembesaran limpa (hipersplenisme sekunder).
Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain
anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya

Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah


yang terutama sedangkan pada hipersplenisme sekunder
sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya.
Tindakan splenektomi dilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperselular. Banyak keadaan penyakit
yang disertai pembesaran limpa yang masif seperti
leukemia mielositik kronik, limfoma, leukemia haircell,
mielofibrosis dan mefaplasia mieloid, polisitemia Vera,
penyakit gautcher's, leukemia limfositik kronik, dll.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa
primer. Tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada
pasien anemia karena kelainan bentuk eritrosit, kelainan
hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambatl
berkurang. Sehingga splenektomi dapat dilakukan sebagai
pilihan terakhir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi
portal, leukemia d m limfoma.

Pengangkatan limpa dapat menyebabkan tejadinya infeksi


bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 tahun setelah
operasi. Setelahpengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat
jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit.

REFERENSI
Dennis L Kasper, Eugene Braunwald, et al. Harrison's principles of
internal medicine. 16thedition. 2005. p. 343-8.
G Richard LEE, Thomas C Bithell, et al. Wintrobe's clinical hematology. 9th edition. 1993. p. 1704-19.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH


Zubairi Djoerban

PENDAHULUAN

RlSlKO TRANSFUSI

Imunohematologi adalah bidang ilmu yang merupakan


interseksi antara hematologi dan imunologi.
Imunohematologi dapat dibagi menjadi dua, yang terkait
dan tidak terkait dengan genetik. Imunohematologi yang
terkait dengan genetik antara lain serologi transfusi,
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, graft versus host
disease, imunomodulasi dan petanda genetik darah.
Imunohematologi yang tidak terkait dengan genetik
antara lain adalah autoimunitas, anemia hemolitik akibat
obat, dan anemia hemolitik yang diinduksi neuraminidase.
Istilah imunohematologi dapat diartikan sebagai
penerapan prinsip-prinsip imunologi untuk mempelajari
kelainan-kelainan hematologi. Namun, saat ini
imunohematologi lebih difokuskan pada ilmu mengenai
antigen dan antibodi pada sel darah merah yang
berhubungan dengan transfusi darah dan beberapa
komplikasi kehamilan.
Aplikasi ilmu ini biasanya dikenal sebagai Transjksion
Medicine (Ilmu Kedokteran Transfusi) atau Blood Banking (penyimpanan darah). Transfusi darahlproduk darah
yang aman dan konservasi darah adalah fokus utama dari
Ilmu Kedokteran Transfusi. Konservasi darah adalah
teknik atau usaha untuk mengurangi kebutuhan transfbsi
darah. Secara luas, imunohematologi juga mencakup
imunologi transplantasi jaringan atau organ. Untuk
memahami kedokteran transfusi secara komprehensif
maka diperlukan pengetahuan mengenai imunologi,
serologi, dan genetik. Inovasi-inovasi terbaru mengenai
enzim, DNA rekombinan, dan teknik biomedis lainnya
menyebabkan meluasnya batasan pengertian
imunogenetik.

Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transhsi yang


tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien, di mana
sebagian besar (55%) berupa demam. Gejala lain adalah
menggigil tanpa demam sebanyak 14%, reaksi alergi
(terutama urtikaria) 20%, hepatitis serum positif 6%, reaksi
hemolitik 4%, dan overload sirkulasi 1%.

Demam
Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibodi
leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang
antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien
yang mendapat transfusi leukosit. Cara lain adalah
dengan memberikan produk darah yang mengandung
sedikit leukosit, leukosit yang hams dibuang pada produk
ini minimal 90% dari jumlah leukosit. Transfusijuga dapat
dilakukan dengan memasang mikrofiltrasi yang
mempunyai ukuran pori 40 mm. Dengan filter berukuran
tersebut jumlah leukosit dapat berkurang sampai 60%.
Pemberian prednison 50 mg atau lebih sehari atau 50 mg
kortison oral setiap 6 jam selama 48 jam sebelum transfbsi
atau aspirin 1 g saat mulai menggigil atau 1 jam sebelum
transfusi, dilaporkan dapat mencegah demam akibat
transfusi.
Reaksi Alergi
Renjatan anafilalctik terjadi 1 pada 20.000 transfbsi. Reaksi
alergi ringan yang menyerupai urtikaria timbul pada 3%
transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat
interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA
spesifik pada plasma resipien.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Reaksi Hemolitik
Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah merah setelah
transfusi akibat darah yang inkompatibel. Reaksi hemolitik
juga dapat terjadi akibat transfbsi eritrosit yang rusak akibat
paparan dekstrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi,
transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan
pemanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi
dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan
tekanan tinggi.
Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan
donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada
tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara
antigen eritrosit dan antibodi plasma, baik yang spesifik
maupun nospesifik, menyebabkan antibodi merusak
eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan
hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian.
Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel
darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju,
namun reaksi hemolitik akibat transfusi masih dijumpai
pada setiap 250 ribu - 1 juta transfusi. Sekitar separuh
kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh
inkompatibilitasABO akibat kelalaian administratif. Sekitar
1 dari 1000 pasien secara klinis menunjukkan manifestasi
reaksi transfusi lambat dan 1 dari 260.000 pasien
menunjukkan reaksi hemolitik yang nyata karena
mempunyai antibodi terhadap antigen eritrosit minor yang
tidak dideteksi oleh tes antibodi rutin sebelum transfusi.
Reaksi ini akan lebih mudah terjadi pada populasi yang
mempunyai risiko seperti penyakit anemia sel bulan sabit
(sickle cell disease).
Penularan Penyakit
Selain masalah reaksi antigen-antibodi,maka transfbsi yang
aman juga hams memperhatikan kemungkinan penularan
penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV,
hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga
dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah
transfusi.
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali
dilaporkan pada tahun 1982. Kebijaksanaan untuk
menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk
tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya
tes penyaring untuk semua sampel darah donor,
diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penularan
HIV melalui transfbsi darah.
Kontaminasi
Kontaminasi bakteri pada eritrosit paling sering disebabkan
oleh Yersinia enterocolitica. Angka kontaminasi oleh
renterocolitica di Amerika Serikat dan Selandia Baru
masing-masing adalah 1 per 1 juta unit sel darah merah

dan 1 per 65.000 unit sel darah merah. Risiko terjadinya


kontaminasi tersebut berhubungan langsung dengan
lamanya penyimpanan.
Risiko sepsis yang berhubungan dengan transfusi
trombosit adalah 1 per 12.000, angka ini lebih besar pada
transfusi menggunakan konsentrat trombosit yang berasal
dari beberapa donor dibandingkan dengan trombosit yang
didapatkan dengan aferesis dari donor tunggal. Bakteri
yang mengkontaminasi trombosit yang dapat
menyebabkan kematian adalah Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, dan
Staphylococcus epidermidis.
Cedera Paru Akut
Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang
berhubungan dengan transhsi (transfusion-related acute
lung injury, TRALI). Kondisi ini adalah suatu diagnosis
klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema
pulmoner bilateral yang terjadi dalam 6 jam setelah transfusi.
Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea,
demam, takikardi, hipo-Jhipertensi, dan leukopenia akut
sementara. Angka kejadiannya dlaporkan sekitar 1 dari
1.200 sarnpai 25.000 transfusi; Finlay dkk memperkirakan
bahwa angka sebenarnya lebih tinggi, namun tidak
dilaporkan sebagai TRALI. Beberapa mekanisme
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Salah
satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan
antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen
neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru.

Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar,


maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar hams
dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian
transfusi. Secara umum, dari beberapa panduan yang telah
dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan
transfusi profilaksis dan ambang batas untuk melakukan
transfusi adalah kadar hemoglobin di bawah 7,O atau 8,OgJ
dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun
sebuah studi pada 838 pasien dengan penyakit kritis
melaporkan bahwa tidak ada perbedaan laju mortalitas-30
hari pada kelompok yang ditransfusi dengan batasan kadar
hemoglobin di bawah 10,O g/dl dan 7 ,O gldl, namun
penelitian lebih lanjut dengan jumlah pasien lebih besar
masih diperlukan.
Kadar hemoglobin 8,O g/dl adalah ambang batas
transhsi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki
faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko
iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10,O g/
dl. Namun, transfusi profilaksis tetap tidak dianjurkan.
Pemberian transfusi untuk menambah kapasitas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pengiriman oksigen, seperti yang kerap dilakukan di unit
perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada
pasien sepsis melaporkan bahwa transfusi tidak
menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6
jam setelah transfusi.

Golongan Darah

Antigen

Antibodi

A
B
AB
0

A
B
A dan B
Tidak ada

Anti-B
Anti-A
Tidak ada
Anti-A, anti8, anti-A,B

ANTIGEN DAN ANTIBODI ERlTROSlT


Antigen eritrosit adalah protein atau lipoprotein yang
terinkorporasi pada lapisan lipid pada membran eritrosit.
Pembentukan antigen tersebut dikode oleh gen-gen
tertentu yang terdapat pada lokus spesifik pada DNA.
Oleh karena itu, maka seseorang yang lahir dengan antigen eritrosit tertentu akan memilikinya seumur
hidup.
Antibodi terbentuk sebagai respons adanya antigen.
Antibodi dapat terbentuk sebagai reaksi imunitas tubuh
terhadap adanya antigen asing atau secara natural
memang ada karena stimulasi dari antigen endogen yang
normal, seperti anti-A dan anti-B.

GOLONGAN DARAH
Sejak ditemukannya sistem ABO oleh Landsteiner pada
1900, sampai dengan tahun 1999, menurut International
Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 25 sistem
golongan darah dan lebih dari 250 antigen golongan darah
yang telah diidentifikasi. Sistem golongan darah terdiri
dari satu atau lebih antigen yang ditentukan baik oleh gen
tunggal atau sebuah cluster dari dua atau lebih gen
homolog yang berkaitan erat dimana benar-benar tidak
terjadi rekombinasi di antara gen-gen tersebut. Simbol
untuk keduapuluh lima sistem golongan darah tersebut
adalah ABO, MNS, P, RH, LU (Lutheran), KEL (Kell), LE
(Lewis), FY Puffy), JK (K~dd),DI (Diego), YT (Cartwright),
XG SC (Scianna), DO (Dombrock), CO (Colton), LW, C H / W
H, XK, GE, CROM, KN, IN, OK, dan RAPH.
Antigen yang tidaklbelum termasuk ke dalam sistem
golongan darah dimasukkan menjadi koleksi atau seri
golongan darah. Koleksi Golongan Darah adalah suatu
set dari antigen yang secara genetis, biokimia, atau
serologis berhubungan tetapi tidak memenuhi syarat
untuk status sistem, biasanya karena antigen tersebut
tidak menunjukkan ciri-ciri genetis yang benar-benar
berbeda dari semua sistem golongan darah yang ada.
Antigen yang tidak termasuk ke dalam sistem atau koleksi
golongan darah, digolongkan menjadi Seri Golongan
Darah.
Sistem golongan darah yang diperiksa dalam
pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem
ABO dan Rhesus yang cara penggolonggannya secara
praktis dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Anti Rh,(D)

Kontrol Rh

Positif
Negatif
Positif

Negatif
Negatif
Positif

Tipe Rh

D+
D- (d)
Harus diulang atau
diperiksa dengan Rh,(D)
typing (Saline tube test)

DONAS1 DARAH
Seleksi Donor Darah
Donor darah hams memenuhi beberapa kriteria untuk dapat
mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia
17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam
(temperature oral < 37,5"C), frekuensi dan irama denyut
nadi normal, tekanan darah 50- 100190-180 mrnHg, dan tidak
ada lesi kulit yang berat.
Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal
8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita
tuberkulosis aktif, tidak menderita asma bronkial
simptomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi
besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan mulut),
tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan
abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular
melalui darah.
Imunisasi dan vaksinasi. Calon donor yang baru saja
mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai
donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika
yang didapat adalah vaksin dengan virus hidup yang
dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan
gejala apapun dapat diterima dengan batasan waktu
sebagai berikut:l). cacar air: dua minggu setelah timbul
reaksi imun atau setelah lesi bekas suntikan mereda, 2).
campak, gondong, demam kuning, polio (oral): dua minggu
setelah imunisasi terakhir, 3). campak Jerman: dua bulan
setelah imunisasi terakhir.
Malaria. Calon donor yang baru bepergian ke daerah
endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulan setelah
kembali dan terbukti tidak menunjukkan gejala dan tidak
minum obat antimalaria. Calon donor yang pemah menderita
malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya
asimptomatik atau obat dihentikan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pengambiian dan Pengumpulan Darah


Informasi untuk donor. Semua calon donor harus
mendapat informed consent beserta penjelasan mengenai
risiko transfusi. Donor hams dijelaskan bahwa darah akan
diuji terhadap penyakit infeksi seperti hepatitis, sifilis, dan

HN
Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor
jarang terjadi. Reaksi yang dapat te~jadiadalah sinkop, rasa
lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.
Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, kehilangan
kesadaran, atau berkemiwdefekasi involunter. Masalah
pada jantung, bahkan serangan jantung, dapat terjadi,
walaupun sangat jarang (1 dari 10 juta donor).
Uji terhadap darah donor. Pengujian yang dilakukan pada
darah donor meliputi a)penetapan golongan darah
berdasarkan ABO, b)penetapan golongan darah
berdasarkan Rhesus, c)uji terhadap antibodi yang tidak
diharapkan, dilakukan pada darah dari donor yang pernah
mendapat transfusi atau hamil, dan d)uji terhadap penyakit
infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis,
dan tes antibodi HIV.

Teknik Pengambilan Darah


Hemaferesis. Hemaferesis adalah istilah umum yang
merujuk kepada pengambilan whole blood dari seorang
donor atau pasien, pemisahan menjadi komponenkomponen darah, penyimpanan komponen yang
diinginkan dan pengembalian elemen yang tersisa ke
donor atau pasien.
Plasmaferesis. Plasmaferesis adalah prosedur di mana
sejumlah unit darah dari donor diambil untuk mendapatkan
plasmanya, diikuti dengan penginfusan kembali sel-sel
darah merah donor. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan
plasma ataufieshfiozen plasma. Plasma yang didapatkan
juga dapat difraksinasi menjadi produk seperti albumin
serum dan gama globulin. Plasmaferesisbiasanya dilakukan
menggunakan multibag system, namun dapat juga
menggunakan separasi darah sentrifugal.
Sitaferesis. Sejurnlah besar trombosit atau leukosit dapat
dikoleksi dari donor tunggal menggunakan sentrifugasi
aliran intermiten atau kontinyu.
Plateleferesis/trombaferesis. Plateleferesis adalah
prosedur dimana trombosit dipisahkan secara sentrifugal
dari whole blood.
Leukaferesis/granulositaferesis.Prosedur ini mengambil
granulosit dan kemudian mengembalikan darah sisanya ke
donor.
Transfusi autologus. Transfusi autologus adalah transfusi
darah atau produk darah yang berasal dari darah resipien
sendiri. Prosedur ini mulai sering dilakukan setelah diketahui
adanya risiko penularan penyakit, terutama infeksi HIV,
melalui transfusi darah. Dengan teknik ini, risiko bahaya

transfusi darah homolog serta penularan hepatitis dan HIV


dapat dihilangkan. Walaupun memiliki keuntungan,
transfusi autologus tetap memiliki beberapa kelemahan,
yaitu 1). tidak menghilangkan risiko kontaminasi bakteri
atau overload volume, 2). tidak mengurangi risiko kesalahan
administratif yang menyebabkan inkompatibilitas ABO,
3). biayanya lebih tinggi dibandingkan transfusi alogenik,
4). umumnya ada sisa darah yang tidak digunakan dan
kemudian dibuang, 5). menyebabkan anemia perioperatif
dan meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfusi.
Indikasi transfusi autologus adalah: 1). pasien yang
menunjukkan reaksi transfusi dengan pemberian semua
darah yang homolog, 2). pasien dengan golongan darah
yang sangat jarang atau memiliki antibodi yang tidak
diharapkan, 3). pasien yang menolak transfusi dari donor
lain karena alasan kepercayaan.
Darah dapat dikumpulkan dengan prosedur
konvensional atau melalui pengumpulan darah yang keluar
saat operasi atau trauma. Secara umum, darah yang dapat
diambil tidak lebih dari 450 ml atau 12 persen dari estimasi
volume darah dan kadar Hb 1lgldl atau lebih. Donasi
dilakukan dengan frekuensi minimal 4 hari sekali.
Flebotomi predeposit sebaiknya tidak dilakukan dalam 72
jam sebelum operasi besar tanpa penggantian parsial protein plasma menggunakan fraksi protein plasma dan albumin.
Berdasarkan penelitian, sebanyak 8 unit whole blood
dapat diambil dari seseorang dalam 20 hari tanpa
manifestasi klinis apapun jika diberikan suplementasi besi
oral kepada donor.
Darah yang 'diselamatkan' selama operasi atau setelah
trauma dikumpulkan dari dalam tubuh dengan alat dan
dimasukkan kembali ke pasien segera setelah filtrasi. Jika
tidak ditranfusikan segera, unit darah dikumpulkan dan
diproses secara steril menggunakan alat untuk koleksi
darah intraoperatif yang dicuci dengan 0,9%NaCl,
selanjutnya dapat disimpan sampai dengan 6 jam pada
suhu kamar, atau sampai dengan 24 jam pada 1-6C.
Uji Cocok-Silang
Uji cocok-silang (crossmatch) atau uji kompatibilitas
adalah prosedur yang paling penting dan paling sering
dilakukan di laboratorium transfusi darah. Uji cocok silang
secara umum terdiri dari serangkaian prosedur yang
dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan seleksi
darah yang tepat untuk seorang pasien dan untuk
mendeteksi antibodi ireguler dalam serum resipien yang
akan mengurangi atau mempengaruhi ketahanan hidup dari
sel darah merah donor setelah transfusi.
Terdapat 2 jenis uji cocok-silang ,mayor yaitu menguji
reaksi antara sel darah merah donor dengan serum resipien,
dan minor yaitu menguji reaksi antara serum donor dengan
sel darah merah resipien.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR TRANSFUSI DARAH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Uji cocok-silang mayor dilakukan pada tes pratransfusi,
menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi
aglutinasi, sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiglobulin. Uji cocok-silang minor tidak dilakukan pratransfusi
karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor
setelah pengumpulan darah. Kombinasi beberapa prosedur
dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok-silang. Teknik
salin, albumin, enzim, antiglobulin direk dan indirek.
Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi
sebagian besar antibodi resipien yang dapat mereaksi
dengan sel darah merah donor. Namun, uji cocok-silang
tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau mencegah
imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan
penggolongan ABO, Rh-typing, atau semua antibodi
ireguler pada resipien serum.

REFERENSI
Ammann AJ, Cowan MJ, Wara DW, et al. Acquired immunodeficiency in an infant: possible transmission by means of blood
products. Lancet. 1983;1:956-8.
Bryant NJ. An introduction to immunohematology. 3rd edition.
Philadelphia: WB Saunders; 1994.
Fatal Bacterial Infections Associated with Platelet Transfusions.
MMWR. 2005;54(7): 168-70.
Finlay HE, Cassorla L, Feiner J, Troy P. Designing and testing a
computer-based screening system for transfusion-related acute
lung injury. Am J Clin Pathol. 2005;124(4):601-9.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, first of two parts - Blood transfusion. N Engl J
Med. 1999;340(6):438-47.
Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion medicine, second of two parts - Blood transfusion. N Engl
J Med. 1999;340(7):525-33.
Heather EF, Cassorla L, Feiner J, Toy P.
Ktirmoczi GF, Mayr WR. Milestones in immunohematology. Transp
Immunol. 2005;14:155-7.
Possible transfusion-associated acquired immune deficiency syndrome
(AIDS)- California. MMWR Morb Mortal, Wkly Rep.
1982;31:652-4.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DARAH DAN KOMPONEN:


KOMPOSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN
Harlinda Haroen

PENDAHULUAN
Penggunaan darah untuk tranfusi hendaklah selalu
dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan
memberikan hanya komponen darahlderivat plasma yang
dibutuhkan saja. Pemikiran ini didasarkan bahwa darah
terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan juga
bermacam macam protein plasma dengan fungsi yang
berbeda-beda yang tedtunya dapat dipisahkan, juga
biasanya pasien hanya memerlukan komponen tertentu
saja sehingga komponen komponen darah lainnya dapat
diberikan pada pasien lain yang membutuhkan.
Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian
darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke
individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi
penyelamat nyawa, tapi dapat pula berbahaya dengan
berbagai komplikasi yang dapat terjadi sehingga tranfusi
darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan
tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar
daripada risiko yang mungkin terjadi.
Dari satu unit darah lengkap donor dengan proses
sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisahkan
menjadi sel darah merah pekat (SDMP),trombosit, plasma
segar beku =freshJi.ozenplasma (FFP), kriopresipitat dan
lain lain, sedangkan dari plasma dengan proses fraksinasi
akan didapat beberapa derivatnya antara lain albuniin,
imunoglobulin dan faktor-faktor koagulasi pekat misalnya
faktor VIII pekat dan faktor IX pekat.
Dengan makin majunya teknologi aferesis saat ini, maka
pelayanan tranfusi darah dapat lebih tepat memenuhi
kebutuhan komponen darah melalui penggunaan mesin
multikomponen dengan menggunakan donor tunggal. Hal
ini dilakukan untuk meminimalisasi risiko transmisi
penyakit yang disebabkan oleh tranfusi darah.

Komponen Darah ialah bagian darah yang dipisahkan


dengan cara fisiklmekanik misalnya dengan cara
sentrifugasi.
Fraksi Plasma adalah derivat plasma yang diperoleh
dengan cara kimialfraksinasi dengan menggunakan
sejumlah besar plasma yang diproduksi di pabrik.
Produk Darah ialah istilah umum yang mencakup kedua
istilah komponen darah dan derivat plasma.
MACAM MACAM KOMPONEN DARAH
Selular
Darah Utuh (whole blood)
Sel darah merah pekat (packed red blood cell):
- Sel darah merah pekat dengan sedikit lekosit
@acked red blood cell leukocytes reduced)
- Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell
washed)
- Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell
Ji.ozen,packed red blood cell deglycerolized).
Trombosit konsentrat (concentrate platelets ):
- Trombosit dengan sedikit lekosit (platelets concentrate leukocytes reduced).
Granulosit feresis (granulocytes pheresis)

Non Selular
Plasma segar beku (fi-eshfiozen plasma)
Plasma donor tunggal (single donor plasma)
Kriopresipitat faktor anti hemofilia (cryoprecipitate
AHF)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI, INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN

1191

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


MACAM MACAM DERlFAT PLASMA
Albumin
Imunoglobulin
Faktor VIII dan Faktor IX pekat
Rh Imunoglobulin
Plasma ekspander sintetik

DARAH LENGKAP ( WHOLEBLOOD)


Darah lengkap ini berisi sel darah merah, lekosit, trombosit
dan plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450
mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu
kantong darah lengkap berisi 250 mL darah dengan 37 mL
antikoagulan, ada juga yang satu unit kantong berisi 350
mL darah dengan 49 mL antikoagulan. Suhu simpan antara
lo-6" Celcius. Lama simpan dari darah lengkap ini
tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong
darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama
simpan adalah 2 1 hari, sedangkan dengan CPD adenin
(CPDA): 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2
macam darah Iengkap yaitu darah segar dan darah baru.
Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam,
sedang darah baru yaitu darah yang disimpan sampai
dengan 5 hari. Pada darah segar trombosit, faktor
pembekuan labil (V, VIII) masih cukup untuk terjadinya
pembekuan sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat
(2,3 DPG) suatu molekul yang mempermudah pelepasan
oksigen dari hemoglobin mulai menurun.

lndikasi
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan volum plasma dalam waktu yang
bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Namun demikian, pemberian darah lengkap pada keadaan
tersebut hendaklah tidak menjadi pilihan utama, karena
pemulihan segera volum darah pasien jauh lebih penting
dari pada penggantian sel darah merah, sedangkan
menyiapkan darah untuk tranfusi memerlukan waktu.
Kontraindikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis dan Cara Pemberian
Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb
sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah
lengkap 8 mL/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 gldl.
Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui filter darah

dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis


pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam
4 jam

SEL DARAH MERAH PEKAT (PACKEDRED BLOOD


CELL)
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, lekosit
dan sedikit plasma. Sel darah merah ini didapat dengan
memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap,
sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit
60-70 %. Volume diperkirakan 150-300 mL tergantung
besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel
Sel darah merah ini disimpan pada
darah merah 100-200d.
suhu lo-6"Celcius. Bila menggunakan antikoagulan CPDA
maka masa simpan dari sel darah merah ini 35 hari dengan
nilai hematokrit 70-80 %, sedangkan bila menggunakan
antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 2 1
hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam
larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol)
memiliki nilai hematokrit 52-60 % dan masa simpan 42 hari.
Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan
granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasi seperti
darah lengkap.
.

lndikasi
Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan
gejala anemia, yang hanya memerlukan massa sel darah
merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien
dengan gagal ginjal atau anemia karena keganasan.
Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi klinis
pasien bukan pada nilai Hb atau hematrokit.
Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan jumlah
eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien
anemia dengan gagal jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat.
Dosis dan Cara Pemberian
Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan
meningkatkan Hb sekitar 1 gldl atau hematokrit 3-4%.
Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah
standar (170 p). Hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hiperviskositas d a n
menyebabkan kecepatan tranfusi menurun sehingga
untuk mengatasinya maka diberikan salin normal 50100 ml sebagai pencampur sediaan sel darah merah
dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati hati karena
dapat terjadi kelebihan beban.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SEL DARAH MERAH PEKAT DENGAN SEDlKlT


LEUKOSIT (PACKED RED BLOOD CELL
LEUCOCWES REDUCED)

Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 1O9


lekosit. American Association of Blood Bank Standard
for Tranfusion Services menetapkan bahwa sel darah
merah yang disebut dengan sedikit lekosit jika kandungan
leukositnya kurang dari 5 x 1O6 leukositlunit. Sel darah ini
dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel
darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku.
Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang
hilang, maka kandungan sel darah merah kurang
dibandingkan dengan sel darah merah pekat biasa.
Suhu simpan lo-6O Celcius, sedang masa simpan
tergantung pada cara pembuatannya Bila pemisahan
leukosit dilakukan dengan memakai kantong ganda (sistem
tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap
asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka)
produk ini hams dipakai secepatnya (dalam 24 jam).

lndikasi
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada pasien yang sering mendapatltergantung pada
tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat
reaksi tranfusi panas yang bemlang dan reaksi alergi yang
disebabkan oleh protein plasma atau antibodi lekosit.
Perhatian
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya
graft versus host disease (GVHD ), sehingga komponen
darah yang dapat diandalkan untuk mencegah ha1 itu ialah
bila komponen darah tersebut diradiasi.
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen sel darah ini paling baik di
berikan dengan menggunakan filter darah generasi
ketiga.

SEL DARAH MERAH PEKAT CUCl (PACKED RED


BLOOD CELL WASHED)
Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin
memiliki hematokrit 70-80 % dengan volum 180 mL.
Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh
plasma (98 %), menurunkan konsentrasi leukosit, dan
trombosit serta debris. Karena pembuatannya biasanya
dilakukan dengan sistem terbuka maka komponen ini
hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1-6O
Celcius.

lndikasi
Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah
reaksi alergi yang berat atau alergi yang bemlang, dapat
pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi
intrauteri.
Perhatian
Hati hati terhadap kontaminasi bakteri akibat cara
pembuatannya secara terbuka, masih dapat menularkan
hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih
mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable,
komponen ini tidak menjamin pencegahan terjadinya
GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi.
Dosis dan Cara Pemberian
Sebaiknya semua proses tranfusi melalui filter darah tanpa
kecuali.
SEL DARAH MERAH PEKAT BEKU YANG DlCUCl
(PACKED RED BLOOD CELL FROZEN,PACKED
RED BLOOD CELL DEGLYCEROLIZED)
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan
gliserol suatu sediaan krioprotektif terhadap darah yang
usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan
pada suhu minus 65O atau minus 200 Celcius (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun.
Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan dan
pencuciannya ada sel darah merah yang hilang maka
kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel
darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang
lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan
larutan glukosa dan salin. Suhu simpan lo-6OCelcius
dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam
karena proses pencucian biasanya memakai sistem
terbuka.

lndikasi
Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.
Perhatian
Risiko terjadinya kontaminasi bakteri dapat terjadi
karena sistem terbuka yang dipakai di mana dapat
menularkan hepatitis namun tidak untuk Citomegalo
virus (CMV)
Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan
sediaan ini memiliki massa eritrosit yang rendah karena
banyak sel darah yang hilang selama proses
pembuatan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1193

DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI,INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


TROMBOSIT PEKAT (CONCENTRATEPLATELETS)
Berisi trombosit, beberapa lekosit dan sel darah merah
serta plasma. Trombosit pekat ini dapat diperoleh dengan
cara pemutaran (sentrifugasi) darah lengkap segar atau
dengan cara tromboferesis. Satu kantong trombosit pekat
yang berasal dari 450 mL darah lengkap dari seorang donor
berisi kira kira 5,5 x 101trombosit dengan volum sekitar
50 mL. Satu kantong trombosit pekat yang diperoleh
dengan cara tromboferesis seorang donor darah berisi
sekitar 3 x 10" trombosit, setara dengan 6 kantong
trombosit yang berasal dari donor darah biasa.
Tergantung dari jenis mesin yang dipakai, volum berkisar
antara 150-400 mL. Produk ini memungkinkan tranfusi
trombosit yang cocok pada pasien dengan antibodi
terhadap trombosit.
Trombosit pekat ini dapat disimpan pada suhu 20-24O
Celcius dengan kantong darah biasa yang diletakkan pada
rotatorlagitator yang selalu berputarlbergoyang,trombosit
dapat disimpan selama 3 hari, sedangkan dengan kantong
darah khusus dengan cara penyimpanan yang sama
trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya
hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca
tranfusinya lebih baik. Pada suhu lo-6OCelcius trombosit
ini dapat disimpan selama 3 hari. Produk ini fungsi
hemostatiknya lebih baik namun viability pasca
tranfusinya kurang.

lndikasi
Trombosit pekat ini diindikasikan pada kasus perdarahan
karena trombositopenia (trombosit <50.000/uL) atau
trombositopati kongenitalldidapat. Juga diindikasikan
pada mereka selama operasi atau prosedur invasif dengan
trombosit <50.000/uL. Profilaksis diberikan pada semua
kasus dengan trombosit 5-10.000 uL yang berhubungan
dengan hipoplasi sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi
tumor atau aplasia primer sumsum tulang. Produk ini
ditranfusikan intravena dengan memakai saringanlfilter
darah standar, Sebaiknya diberikan trombosit pekat yang
sama golongan ABO nya dengan pasien.
Kontralndlkasl dan Perhatian
Tranfusi trombosit biasanya tidak efektif pada pasien
dengan destruksi trombosit yang cepat seperti: ITP, TTP
dan KID dan tranfusi biasanya dilakukan hanya pada
adanya perdarahan yang aktif. Pasien dengan
trombositopenia yang disebabkan oleh sepsis atau
hipersplenisme biasanya refrakter terhadap tranfusi
trombosit.
Menggigil, panas dan reaksi alergi dapat terjadi pada
tranfusi trombosit. Antipiretik yang dipilih sebaiknya
bukan golongan aspirin karena dapat menghambat
agregasi dan fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari
trombosit dapat menyebabkan aloimunisasiterhadap HLA

dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang


ditandai dengan tidak adanya peningkatan trombosit.
Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan kelebihan
beban, serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya
tranfusi komponen lain.

Dosis dan Cara Pemberian


Dosis yang biasanya digunakan pada perdarahan yang
disebabkan karena trombositopenia adalah 1 unit110 kg
BB, biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu
kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml darah
lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah trombosit
sebanyak 9000-1 1.000/ul/ m2luas permukaan tubuh; pada
dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat
menaikkan 5000-10.000/ul. Penghitungan peningkatan
jumlah trombosit yang dikoreksi (Corrected Count
Increment = CCI) dapat dapat dihitung lebih akurat dengan
memakai rumus:
CCI = ( Post tx plt ct ) - ( Pre tx plt ct ) x BSA
( Plt transfused x 10" )

Post tx: pascatranshsi


Pre tx: pratransfusi
BSA: body surfpce area (luas permukaan tubuh).
Keberhasilan tranfusi trombosit dapat dipantau dengan
menghitung jumlah trombosit (CCI ) 1 jam pasca tranfusi
dimana CCI >7,5-10 x 109/Latau CCI >4,5 x 109/Lyang
diperiksa 18-24jam pasca transhsi.

TROMBOSIT DENGAN SEDlKlT LEUKOSIT(PLATELETS LEUKOCYTES REDUCED)


Trombosit berisi leukosit sekitar 0.5-1 x 108/unittrombosit,
sedangkan trombosit dengan sedikit leukosit mengandung
leukosit hanya 8.3 x 105/unit.

lndlkasi
Trombosit jenis ini dipergunakan untuk pencegahan
terjadinya alloimunisasi HLA temtama pada pasien yang
hams menerima kemoterapi jangka panjang.
Kontraindikasi dan Perhatian
Meskipun sediaan ini dapat meniadakan reaksi febris pada
pasien yang mengalami aloimunisasi terhadap HLA antigen, penggunaannya tidak dapat mempercepat terjadinya
pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil
yang baik sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya
reaksi tranfusi pada sediaan ini dihubungkan dengan
lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin sitokin
seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan
leukosit selama penyimpanan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dosis dan Cara Pemberian
Penggunaannya dengan menggunakan filterlsaringan
khusus trombosit dengan sedikit lekosit.

GRANULOSIT FERESIS (GRANULOCYTES


PHERESIS)
Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal,
berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa sel darah
merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung
sekitar 1.0 x 101 granulosit, sejumlah limfosit, trombosit,
25-50 ml sel darah merah, dan mungkin sedikit
hidroksietil starch ( HES ),dengan volum 200-300 ml.
Suhu simpan dari sediaan ini 20-24C dan harus segera
ditransfusikan.
lndikasi
Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah
granulosit pada pasien sepsis dengan leukopenia yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian
antibiotik,dan pada pemeriksaan sumsum tulang
menunjukkan hipoplasi.
Kontraindikasi dan Perhatian
Terapi antibiotik yang tepat atau penggunaan faktor
pertumbuhan hematopoietik mungkin lebih efektif
dibandingkan dengan tranfusi granulosit. Efek samping
yang mungkin terjadi seperti urtikaria, menggigil, demam,
tidak merupakan indikasi untuk menghentikan transfusi ,
namun kecepatan tranfusi harus diperlambat. Untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya efek samping dapat
diberikan antihistamin dan steroid sebelum transfusi.
Risiko penularan terhadap CMV dapat terjadi demikian
pula untuk dapat terjadinya GVHD.

dari donor, disimpan pada suhu simpan minus 18"C atau


lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun. Volume sekitar
200-250 rnl.
lndikasi
Plasma segar beku dipakai untuk pasien dengan gangguan
proses pembekuan bila tidak tersedia faktor pembekuan
pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor
pembekuan multipel antara lain: penyakit hati, KID, TTP,
dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif.
Kontraindikasi dan Perhatian
Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan
ekspansi volum karena risiko penularan penyakit yang
tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau
kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan
produk yang lebih aman untuk mempertahankan volum
darah.
Dosis dan Cara Pemberian
Produk ini diberikan dalam 6jam setelah pencairan, dengan
memakai saringanlfilter standar. Plasma harus cocok
golongan ABO-nya dengan sel darah merah pasien dan
tidak perlu uji silang. Jika plasma diberikan sebagai
pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 mllkg
(4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor
koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2%
(1 unitlkg).
Efek samping yang terjadi dapat berupa rxienggigil,
demam dan hipervolemia.
KRlOPRESlPlTAT FAKTOR ANTI HEMOFlLlK
(CRYOPRECIPITATEDAHF)

PLASMA SEGAR BEKU (FRESH FROZEN


PLASMA = FFP)

Kriopresipitat AHF adalah konsentrat plasma protein


tertentu, dibuat dengan mencairkan plasma segar beku
pada suhu 4" C selama 12-14 jam atau pada circulating
waterbath 4" C selama 75 menit dan kemudian memisahkan
komponen yang masih berpresipitasi pada suhu tersebut
dengan cara pemutaran. Komponen yang masih
berpresipitasi tersebut adalah kriopresipitat. Suhu simpan
adalah minus 18"C atau lebih rendah dengan lama simpan
1 tahun dengan volum sekitar 10-15 ml.
Kriopresipitat ini berisi faktor VIII 80-120 unit, 150-250
mg fibrinogen, sekitar 40-70% faktor Von Willebrand, 2030% faktor XIII.

Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor


koagulasi. Plasma segar beku ini berisi plasma, semua faktor
pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma.
Plasma ini dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian
dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah

lndikasi
Kriopresipitat digunakan pada pasien dengan kekurangan
F VIII (Hemofilia A) bila F VIII pekat tidak tersedia,
kekurangan F XIII, kekurangan fibrinogen dan untuk pasien
penyakit Von Willebrand.

Dosis dan Cara Pemberian


Transfusi diberikan menggunakan saringan darah
standar, dan harus cocok serasi sistem golongan ABOnya dengan darah pasien. Belum ada kesepakatan
mengenai dosis dan lamanya transfusi leukosit ini, namun
paling sedikit 4 hari pemberian transfusi ini baru
memperlihatkan hasil.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1195

DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI,INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kontraindikasi dan Perhatian
Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak
defisiensi faktor-faktor tersebut di atas.
Dosis dan Cara Pemberian
Sebelum dipakai, kriopresipitat harus dicairkan terlebih
dahulu dengan menempatkannya dalam waterbath
bersuhu 30-37" C. Komponen ini harus diberikan pada
pasien dalam waktu 6 jam setelah pencairan atau 4 jam
setelah pooling. Plasma yang diberikan hendaknya
sama golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien,
uji silang tidak perlu dilakukan, dan diberikan dengan
saringan/filter standar. Dosis untuk hipofibrinogenemia
adalah 10 kantong pada orang dewasa dengan berat
badan 70 kg, sedang dosis pada anak anak adalah 1
kantongJl0 kg dapat meningkatkan fibrinogen 60- 100
mgldl. Pada pasien Hemofilia A 1 kantong kriopresipitat
yang menganllung 100 unit F VIII, 1 kantongl6 kg dapat
meningkatkan F VIII 35%. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah reaksi alergi dan demam.

KONSENTRAT FAKTOR Vlll (FACTOR Vlll


CONCENTRATE)

Konsentrat faktor VIII dapat dibuat dari plasma manusia


atau diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrat
faktor VIII ini dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma
yang dikumpulkan dan dibekukan segera setelah
pengambilan darah. Semua produk dibuat steril, stabil,
murni dan beku kering.
Berbagai proses dipakai untuk mendapatkan F VIII
yang bebas dari virus dan menurunkan risiko penularan
infeksi misalnya dengan proses pasteurisasi atau memakai
cairan pelarut tri(n-butil) fosfat.
Sediaan ini memiliki volume yang sedikit. Produk yang
tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat F
VIII dengan kemurnian menengah, kemurnian tinggi atau
bebas imunoafinitas. Konsentrat F VIII dengan kemurnian
menengah memiliki 1-10% dari total protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Produk yang paling murni dibuat melalui kromatografi imunoafinitas dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Kemurniannya
mencapai lebih dari 90% sebelum ditambah albumin yang
dipakai sebagai stabilisator. Faktor VIII yang dibuat dari
kultur sel mamalia melalui rekombinan DNA juga sudah
tersedia secara luas.
lndikasi
Konsentrat F VIII diindikasikan untuk pengobatan atau
pencegahan perdarahan pada Hemofilia A dengan
defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan
inhibitor F VIII titer rendah yang kadarnya tidak lebih dari
5-10 Bethesda unitslml.

Kontraindikasi dan Perhatian


Dosis tinggi pemberian konsentrat F VIII dengan
kemurnian menengah dapat meningkatkan fibrinogen
secara bermakna. Direct antiglobulin tes (DAT) atau
hemolisis dapat terjadi karena adanya anti A atau anti B.
Reaksi yang tidak diharapkan meliputi malaise, panas, mual,
dan menggigil. Pada kemurnian yang tinggi, konsentrat F
VIII lebih jarang menimbulkan efek samping.
Dosis dan Cara Pernberian
Banyaknya aktivitas F VIII koagulan digunakan dengan
mempergunakan International Units (IU). Satu IU adalah
jumlah aktivitas F VIII koagulan dalam 1 mL plasma normal. Dosis permulaan untuk mencapai kadar 30-100%
dihitung dengan rumus:
Plasma Volume (PV mL) = 40 mLlkg x BB (kg)

F Vlll yang diinginkan (unit)

PV x [ kadar yang diinginkan (%) - kadar sekarang(%)]


100

Cara lain adalah: tiap unit F VIIIkgBB akan meningkatkan


2% (0.02ILJJml)
Pemberiannya dapat melalui infus dengan
menggunakan saringanlfilter darah standar atau dengan
jarum suntik dengan filter yang telah tersedia bersama
sediaannya.

KONSENTRAT FAKTOR IX (FACTOR IX


CONCENTRATES)

Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai hasil


rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku
sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan.
Kompleks F IX merupakan sediaan yang mengandung
selain F IX juga sejumlah F 11, VII, X dan beberapa protein.
Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari
faktor koagulasi dapat terjadi. Isi dari F VII dalam beberapa
produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang
terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label
botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IXImg protein. Hal sebaliknya dengan kompleks F IX, F IX koagulasi
merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F 11,
F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode
kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga
mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 20-30% dari
produk ini adalah F IX dimana sediaan ini mengandung 50
dan 200 IU F IXJmgprotein. Konsentrat F M dibuat dengan
heat treated solvent/ detergent treated dengan teknik
rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis, HIV dan
infeksi virus lainnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


lndikasi
Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien
dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B.
Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks
konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas
inhibitor F VIII.

lndikasi
Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil
resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada
keadaan hipovolemia dan hipoproteinemia misalnya pasien
dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk
meningkatkan protein plasma.

Kontraindikasi dan Perhatian


Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada
pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan
terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti
trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati.
Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan
penurunan bersihan hati, mengakibatkan akurnulasi faktor
koagulasi tersebut. Konsentrat F IX koagulasi tampaknya
lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks
F IX. Efek sarnpingdari kompleks F IX bila diberikan secara
cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan
j7ushing.Pemberian cepat dari F IX koagulasi adalah reaksi
vasomotor.

Kontraindikasi dan Perhatian


Larutan albumin 25 % tidak boleh diberikan pada pasien
dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan
salin normal dan dekstrosa 5%.

Dosis dan Cara Pemberian


1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis
yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan
pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan
rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII,
namun secara in vivo hanya sekitar 50 % yang dipakai
karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F
IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 1% F

IX.
ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA
(ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION)
Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari
darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin
dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat
dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini
kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas
virus.
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan
albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang
dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi.
Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan
17% globulin.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%,
sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah
larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll
L (145 mEq1L). Larutan albumin 5%, osmotik dan
onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari
plasma. Albumin memiliki waktu p a d 16jam dan dapat
disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.

Dosis dan Cara Pemberian


Albumin dan fraksi protein plasma tidak memerlukan filter
dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien.
Dosis 500 mL (10-20 mL/kg pada anak anak) diberikan
secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar
dosis albumin atau fraksi plasma protein diberikan dalam
dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein plasma
5.2 g/dL atau lebih tinggi.Albumin tidak dapat memperbaiki
hipoalbuminemia kronik dan tidak digunakan untuk jangka
panjang.

IMUNOGLOBULIN (IMMUNE GLOBULIN)


Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi
dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi
imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM.
Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan
intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk
ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada
pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai
kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat
diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya
menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya
untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril
dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL.
Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG)
meminimalisasikelemahan dari pemberian intramuskular,
Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu
diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi
antara 18-32 hari.
lndikasi
Preparat Imunoglobulindapat digunakan untuk profilaksis
antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap
penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti
pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya
Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai
imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan
autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak
anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI. INDIKASI DAN CARA PEMBERIAN

1197

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan


sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta
profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumsum
tulang.

Kontraindikasi dan Perhatian


Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A)
atau terjadinya reaksi anafilaksis berat terhadap plasma
sebaiknyajangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan
diberikan secara IV karena mengandung agregat
immuglobulin yang dapat mengaktifkan komplemen serta
sistim kinin yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pemberian
imunoglobulin adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa
ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan mual.
Dosis dan Cara Pemberian
Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang
digunakan (IM, IV).
ITP dan penyakit autoirnun lainnya: IV 400mg/kg/hr
selama 2-5 hari atau 0.8- 1.0 g/kg/hr selama 1-2 hari.
Defisiensi imunoglobulin kongenital:
- IM: 0.7 mL/kg Ibulan
- IV200-800 mgkghulan.
Profilaksis hepatitisA: IM 0.02-0.04 mL/kg.
Hepatitis B: 0.06 mL/kg IM diulang satu bulan
Varicella zooster: 1 vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM
diberikan dalam 72 jam pasca paparan.
Virus citomegalo:
- Profilaksis: 100-150 mg/kg
- Pengobatan infeksi: 200 mgkg (IV)

RH IMMUNE GLOBULIN
RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan
mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra
rnuskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug
dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun
terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP.
Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50
ug. Dosis 300 ug RhIG baik IV maupun IM &an melindungi
efek imun lebih dari 15 ml darah dengan D positif. Semua
sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus
dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik
pada bayi b a r -lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).

lndikasi dan Dosis


Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D
negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi
atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12
minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis

penuh IM RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga


dianjurkan setelah dilakukan amniosentesis.
Pasca persalinan, semua perempuan dengan (Rh) D negatif
yang melahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG
secara IM atau 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya
dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.

REFERENSI
American Association of Blood Banks. Blood component therapy:
a physician's handbook. 6th edition. Bethesda; 1999.
Boshkov LK. Platelet tranfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE,
editors. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide.
2ndedition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 489-94.
Friedman ,KD, Menitove, JE. Preparation and clinical use of plasma
and plasma fractions. In: Beutler E, Lichtman MA, Coller BS,
et al, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: Mc
Graw Hill; 2001. p. 1917.
Goodnight SH, Hathaway WE. Plasma. Disorders of hemostasis and
thrombosis: a clinical guide. 2ndedition. New York: The Mc
Graw Hill Co; 2001. p. 495-500.
Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of
hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2ndedition. New
York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 5 0 1 4 .
Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factor concentrates.
Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2nd
edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 505-16.
Goodnight SH, Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2ndedition.
New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 523-7.
Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use of
intravenous immune globulin. In: Up To Date, Rose BD,
Wellesley MA, editors. 2004.
Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to
immunocompromised patiens and means for reduction. Br J
Haematol. 2004;125:107.
Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M. The tranfusion of
platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma
component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in clinical medicine. loLhedition. USA:
Blackwell Science; 1997. p. 459-86.
Murphy S. What so bad about old platelets? Transfusion. 2002;433.
Pamphilon D. Viral inactivation of fresh frozen plasma. B r J
Haematol. 2000;109:680.
Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet
tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA,
editors. 2004.
Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage
leukoreduction in Canada decreases platelet alloimmunization
and refractoriness. Blood. 2004;103:333.
Silvergleid AJ. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate,
Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate,
Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Wallas CH. Use of red blood cells. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley
MA, editors. 2004.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN


KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
M. Tamtoro Harmono

PENDAHULUAN
Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan,
pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi
dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar
tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri
dikerjakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama
perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi
sebagai alat pengobatan berkembang pesat.
Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu,
yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang
penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan
teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan
pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan
dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang
kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi
darah donoqperbaikan cara skrining donor,pengembangan
inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien
(penerima darah), pengembangan produk rekombinan,
jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi
suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan
penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan
terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.

KOMPLIKASITRANSFUSI
Potensi komplikasi transflsi darah itu banyak,tapi pada saat
ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang
perlu berulang-ulang mendapat transhsi atau memerlukan
sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini
disebabkan oleh rangsangan aloantigen asing yang terdapat

pada eritrosit, leukosit, trombosit dan protein plasma. Bila


resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen
tersebut maka akan terjadi pembentukan antibodi sehingga
kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi
imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan
eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh
antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafilaksis
yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen
terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.

Komplikasi dapat di golongkan menurut:


Komplikasi Imunologi
Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA
- Antigen trombosit
- Antigen netrofil
- Protein plasma
Reaksi transfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed)
Reaksi febris transfusi
Kerusakan paru akut karena transfusi
Reaksi transfusi alergi
Purpura pasca transfusi
Pengaruh imunosupresi
Penyakit graft versus host
Komplikasi Non Imunologi
Kelebihan (overload)volum
Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran,
mikroembolisasiparu
Lainnya: plasticizer, hemosiderosis transfusi
Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human
immunodeJiciency virus-11-2; Human T lymphotropic
virus-11-11; Virus sitomegalo; Virus Epstein Burr;
Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria,
babesiosis, tripanosoma; organisme lain

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

1199

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


KOMPLIKASI IMUNOLOGI
Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja
resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi
aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang
telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi
terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk).
Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit,
terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan
trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan
multi transfusi.
Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi
anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi.
Reaksi Transfusi Hemolitik
Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan
antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit,
biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam
kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di
dalam sirkulasi, yang lambat terjadi di sistem retikulo
endotelial. Umumnya terjadi karena kesalahan pencatatan
dan 'ABO nfismatching'.
Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila
plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi.
Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan
transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah
yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan bempa
timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga
dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas,
takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan
pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi
intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada:
600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44%
bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L.
Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi
antara antibodi dan membran sel eritrosit yang
mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun,
aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat
sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu
histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena
pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena
iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi,
vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular.
Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu
dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca
transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank
darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi
hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume
eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang
tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat
memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus
dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan

infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan


meningkatkan air kencing agar mencapai 100cc/jam.
Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara
terbentuknya kencing.
Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan hams
dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif
mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali
terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk
pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit
dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan
penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan
dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi
khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada
reaksi transfbsi hemolitik intravaskular yang berat mungkin
diperlukan 'exchange transfusion '.
Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut harus dilakukan: Identitas pasien hams
ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah
donor hams diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan
pencatatan. Darah pasien hams diambil lagi, dikirim ke bank
darah. Darah pasca transfusi hams dilihat adanya hemolisis.
Hams diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk
antiglobulin hams dilakukan pada saat reaksi hemolisis
terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi juga harus
diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk
antiglobulin. Pemeriksaan 'typing' eritrosit harus
dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak
cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi
pasien atau typing. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik
mayor hams dinilai untuk kemungkinan adanya koagulasi
intravaskular dan fungsi ginjal hams dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin hams juga
diperiksa, adanya urin benvama anggur khas pada hemolisis
intravaskular.
Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera
dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan
manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh
darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien,
contoh darah atau komponen transfusi harus benar
penempatannya.
Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih
ringan dari yang segera dan terjadinya pemsakan eritrosit
terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah
transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes
direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya
sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak
cocok disingkirkan dari sirkulasi.
Reaksi ini umumnya bersifat sekunder, terjadi sesudah
kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya
antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat.
Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan
eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit
yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo
endotelial.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemeriksaan yang hams dilakukan disini,bila pasien
dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah
segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif,
dokter hams memberi tahu dan memberi kartu identitas
yang menunjukkan adanya antibodi.
Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus, tapi
pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan
hidrasi.
Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik
Terjadi pada 0,5-3% pasien yang diberikan transfusi,
umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi.
Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi
umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi.
Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat
berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya
reaksi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi
terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu
transfusi sitokin, yang berkembang di dalam trombosit asal
darah segar (whole blood) yang disimpan pada suhu kamar.
Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini
hams dipertimbangkan.
Pendekatan menangani febris ini hams berdasar atas
pengertian pada ha1 yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi
panas ini maka transfusi hams dihentikan. Kemungkinan
adanya reaksi hemolitik hams dipertimbangkan. Darah
donor dan contoh serum pasien hams dikirim ke bank
darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison.
Pencegahan, sebaiknya diberikan darah dengan
pengurangan jumlah leukosit.
Kerusakan Paru Akut karena Transfusi
Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulmonal non
kardiogenik, mirip 'adult respiratory distress syndrome '.
Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dan sianosis,
sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada.
Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi
dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya
mungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam
dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi
ini lebih jarang daripada febris, dengan angka kejadian 1
dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di
dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit
resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi
komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru,
menyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi
kebocoran cairan kedalam alveoli.
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru
dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila
diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin
menguntungkan, karena menghambat agregasi
granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan
multipara.

Reaksi Transfusi Alergi


Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka
kejadian sekitar 1-3%, mungkin lebih tinggi lagi karena tak
dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes',
spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis.
Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang
berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancam
kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai
oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di
dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE
merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan
basofil.
Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang,
dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Bila dengan
antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma
dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada
reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan
eritrosit yang dicuci.
Purpura Pasca Transfusi
Ini merupakan pengembangan trombositopeni yang
mengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5- 10 sesudah
transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi
yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit.
Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau
transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat.
lmunomodulasi yang Berhubungan dengan
Transfusi
Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan
eritrosit,tapijuga sejurnlah efektor sel imun, produk sitokin,
dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan
resipien sebagai antigen asing. Substansi yang
memodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang
ditransfusikan, meningkatkan kemungkinan sindrom klinis
yang umumnya dikenali dengan transfusion-related
irnmunomodulation.
Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga
misal pada cangkok ginja1,hasilnya lebih baik bila sebelum
operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana
prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan
imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya
kambuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi.
Penyakit Donor Cangkok Versus Host
Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T
lymphocyte', bila ditransfusikan ke resipien yang non
imunokompeten,maka sel limfositT ini akan memperbanyak
diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan
(reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa
panas, diikuti 'rash' kulit berupa eritema, makulopapula
mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan
faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH

1201

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya


terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adanya
keluhan yang pertama. Diagnosis berdasar gambaran
klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pengobatan
dilakukan dengan pemberian kortrikosteroid,globulin anti
timosit, siklosporin dan 'growth factor ',tapi hasilnya tidak
memuaskan.

KOMPLIKASI NON IMUNOLOGI


Kelebihan Cairan
Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan
kelebihan cairan di dalam sirkulasi.
Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga
volum cairan norma1,maka pada anemia dengan gagal
jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat
menyebabkan edema paru yang berakibat fatal. Pada
orang tua transfusi diberikan dengan ritme 2 ml darahlkg
berat badadjam.
Transfusi Masif
Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain
dengan darah di dalam sirkulasi, bila sejumlah besar darah
simpanan diberikan dengan cepat maka ion K
menyebabkan risiko pada pasien dengan gagal ginjal, syok
dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat
sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia.
Hipotermia. Hipotermia terjadi bila sejumlah besar darah
yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan
ha1 ini. Pada pasien berat, denga transfusi masif ini dapat
mengalami asidosis,hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi,
dan hip0 atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko
aritmiajantung.
Pengaruh pengenceran. Transfusi dengan sejumlah besar
produk darah menyebabkan pengenceran trombosit dan
faktor koagulasi yang labil. Sejumlah pasien dengan
sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskulardapat memberat
dengan pengaruh transfusi ini.
Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama
penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat yang terdiri dari
trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring
dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat
menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan
saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan
transfusi sejumlah besar darah simpanan lalu mengalami
sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan
karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena
mikroagregat.
Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli udara,
terutama jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah
berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka
ini terhindarkan.

Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang


mengandung 'phthalate', bahan ini lipofilik maka dapat
larut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan
waktu penyimpanan. Bahan ini memungkinkan
keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan
lain.
Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang
berulang ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan
surnsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi
sekitar 0,25g.
KOMPLIKASI INFEKSI PADA TRANSFUSI
DARAH
Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk
Penyakit lnfeksi
Di tahun 1960, hepatitis karena transfusi mencapai 30%
pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan
tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat
menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun
1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan
munculnya penyakit AIDS, untuk ini dilakukan pemeriksaan
antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko
tertular AIDS lewat transfusi.
Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk
mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada
tahun 1992 di AS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat
menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di
AS) ialah:
Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen
Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid
Asam nukleat virus hepatitis C
HIV-11-2
IgM dan IgG anti HIV-11-2
Asam nukleat HIV- 11-2
HTLV-V-I1 IgG anti HTLV-I/-Il
IgM dan IgG pada treponema antigen, atau
Sipilis
reaktivitas serologi non treponemal (rapid
plasma reagin).
Hepatitis karena Transfusi
Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab
hepatitis pada transfusi, semua hepatitis ini disebut
serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukaqdiketahui
30% dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B.
Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV
(cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus)
sebagai penyebab hepatitis pada transfusi. Pada tahun
1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non A non
B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes
virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga
kemudian hepatitis karena transfusi yang semua
marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non
ABC.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Virus Hepatits B
Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus
lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner cor ?
inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase,
dan di ekspresikan dengan antigenik determinan sebagai
'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat
diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda
dengan bungkus dobel berukuran 42 nm. Bungkus virus,
HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode
serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai
virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan
tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit
hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat
parenteral, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu
yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6
bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan
jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian
menimpa sekitar 0,2-0,5%Semuapasien mengalami hepatitis
sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan
pemeriksaan laboratoriurn. Sering dinyatakan infeksi pada
dewasa sekitar 5-10% menjadi karier kronik,kini diduga
yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu 1%.Dari 1%
ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik,
setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis
hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma
hepatoselular. Setelah 12 minggu dari awal serangan,
umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien
yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi
dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcomponen ',
merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan
dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya
berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai
arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung
infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang
dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti
Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap
infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi
adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius
yang tinggi.
Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya
HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, maka penurunan
angka kejadian penularan lewat transksi sangat dramatis.
Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi
membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan
ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chain
reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan
HBV DNA di dalarn serumnya. Kasus demikian di AS diduga
terdapat pada lper 50000 kasus.

positip untuk petanda virus (VHA<VHB<VCM dan EBV).


Pada tahun 1988 genom dari VHC dikloning, penelitian
menggunakan peptida rekombinan dari kloning genom tadi
diketahui sebagian besar hepatitis NANB memang
disebabkan virus ini, VHC. Sekarang diketahui virus ini
merupakan bungkus lipid RNA virus, termasuk famili
Flaviviridae. Setengah kasus hepatitis C di AS karena
jarum suntik (pecandu), setengahnya lagi tidak diketahui.
Transmisi secara seksual diduga berperan, tapi dalam
jangka panjang sedikit saja penularan lewat hubungan
seksual. Begitu juga penularan perinatal sangat rendah.
Separuh dari pasien tertular karena suntikan, setengahnya
lagi tidak diketahui cara penularanya. Enam puluh-70%
pasien asimptomatik, sepuluh-duapuluh persen
keluhannya nonspesifik, yang hanya terdapat pada 2030% kasus. Pasien imunokompromiais dapat berkembang
menjadi berat, hepatitis fulminanjarang. Hanya 16%-25%
pasien virus hilang, sisanya menjadi infeksi kronik, dalam
20-30 tahun sekitar 10-20% menjadi sirosis hepatis, 5%
menjadi karsinoma hepatoselular. Pengobatan dengan interferon dan ribavirin menekan virus pada beberapa pasien,
tapi hanya minoritas saja yang dengan terus tanpa virus
(sustained response).
Skrining donor. Anti HBc clan SGOT (AST) hams dilakukan
untuk menurunkan transmisi hepatitis NANB.Ditahun 1990
tes anti HCV mulai tersedia, namun kurang sensitif, pada
tahun 1992 dibuat generasi kedua dengan peptide yang
mewakili 'core7 dan regioNS3 sehingga sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi, seterusnya dikembangkan antibodi
tes versi 3, namun dipandang kurang bermanfaat. Setelah
ditemukanya anti HCV maka tes AST untuk donor tak
diperlukan lagi.

Virus Hepatitis C
Virus ini diduga menyebabkan 90% kasus hepatitis NANB.
Sebelum ditemukan sebabnya hepatitis NANB didasarkan
pada kenaikan serum transaminase tanpa reaksi yang

Virus Hepatitis E
Menular secara 'water borne ',menyebar seperti VHA,tidak
bersifat kronik, maka tidak berisiko ditularkan lewat
transfusi.

Virus Hepatitis D
Virus ini mempunyai struktur hibrid,terdiri dari antigen HBs
tertutup sedikit genom RNA yang tidak komplit sehingga
tak dapat bertahan hidup tanpa bantuan fungsi virus B.
Hanya terdapat bila bersama hepatitis B.
Darah transfusi yang mengandung VHD menyebabkan
seorang karier HbsAg yang benigna menjadi hepatitis
fulminan atau penyakit hati berat yang progresif. Karena
VHD hanya dapat ditularkan bila ada VHB, maka adanya
seromarker VHB hams disingkirkan.
Virus Hepatitis A
Dalam praktek transfusi,transmisi hepatitis A ini tidak
meyakinkan. Darah dapat mengandung VHA bila diambil
pada saat viremia fase asimtomatik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENCECAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASITRANSFUSIDARAH

1203

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Hepatitis Non-A-B
Sepuluh persen Hepatitis NANB tidak termasuk hepatitis
C, dengan penelitian virus tersebut,virus G, SEN dan TT.
Transmisi lewat transfisi relatif sering, tapi bagaimanapun
kini tak terbukti virus ini menyebabkan hepatitis.
Virus Human Immunodeficiency Tipe 1 Dan 2
HIV merupakan retrovirus, dengan RNA dibungkus lipid,
dan 'reverse transkipstase', bagian imunitas ada
dibungkus dan protein core. Penularan lewat parenteral
(transfusi), seksual dan perinatal, dari ibu ke anak. Sesudah
2-3 minggu terpajan virus, pasien menderita seperti
influenza akut atau penyakit mirip mononukleosis.
Penyakit memasuki masa laten tapi virus terus berkembang
biak. Fase asimtomatik ini mencapai 10 tahun, lalu CD4 T
cell menjadi tertekan, pasien berkembang menjadi
imunodefisien berat sehingga mendapat infeksi oportunis
yang berat, neoplasma atau keduanya dan meninggal.
Pengobatan dengan 'highly active anti retroviral
therapy', secara dramatis menurunkan morbiditas dan
mortalitas di AS.
Virus Human T Lymphotropic I Dan li
V HTL L merupakan retrovirus manusia yang pertama
ditemukan di tahun 1978 pada lifoma sel T orang dewasa,
V HTL I1 merupakan retrovirus, ditemukan pada tahun 1982
pada pasien dengan lekemi 'hairy sel'. Kedua virus ini
menginfeksi limfosit, beriangsung selama hidup. Vinls HTL
I dihubungkan dengal, lekemia sel T dewasa atau limfoma
dan kelainan nerologi IITLV I associated myelopathy
(HAM) atau tropical spastic paraparesis (TSP).
Infeksi V HTL I endemik di Jepang, Karia, Brazil,
Melanesia dan Afrika. Menular lewat hubungan seks,
menyusui, dan pemakaian jarum bersama. Pada transfusi
penularan lewat koponen sel dara, tapi tidak dari kompnen
plasma yang didinginkan, Limfoma sel T dewasa muncul
pada usia 40-60, menggambarkan adanya masa infeksi laten
yang lama sebelum serangan klinisnya muncul. Pada
keadaan transfusi, HAM atau TSP dapat muncul dalam
waktu beberapa bulan atau tahun pasca transfusi.
Skrining donor. Tes donor,dengan memeriksa antibodi
pada V HTL 1,tersedia ditahun 1988, ditahun 1997 FDA
menginginkan tes untuk antibodi pada V HTL 11.Kemudian
yang dites hanya IgG, dengan periode jendela agak lama,
5 1 hari, perkiraan infeksi lewat transfusi sebesar 1 per 428
000 unit.
Virus Sitomegalo
Virus ini merupakan virus DNA dari keluarga virus herpes.
dipikirkan menyebar lewat sekret mulut,dan kontak seksual.
Dapat juga menular transplasenta, lewat darah transfusi
dan organ donor. Sesudah dengan gejala infeksi dapat
bersifat laten, kemudian dapat mengalami reaktivasi.

Pada orang dewasa normal gambaran klinis dapat mulai


dari tanpa keluhan sampai sindrom seperti
mononuleosis.Pada pasien dengan imunodefisiensi reaksi
primer atau reaktivasi berupa trombositopeni, anemia
hemolitik, pentnonitis, kolitis, hepatitis, meningoensefalitis
dan meninggal. Obat antivirus yang efektif telah tersedia.
Kasus pertama infeksi virus Sitomegalo dilaporkan
yahun 1960, pada pasien operasi jantung terbuka yang,
memerlukan banyak darah segar. Gambaran berupa adanya
sindrom panas dengan rash, limadenopati dan
splenomegali, yang dihubungkan dengan limfositosis atipik
8-12 minggu sesudah pembedahan. Keadaan ini kemudian
secara serologis definitif disebabkan oleh virus Sitomegalo.
Sekarang ini insidens tertular virus Sitomegalo sangat
rendah dengan mengunakan komponen darah yang
disimpan pada pasien dengan status imunologi normal.
Sitomegalo ini hanya ditularkan lewat komponen selular
darah, penularan dapat sangat ditekan dengan cara
mengurangi sejumlah besar leukosit.

Virus Esptein-barr
Sembilan puluh persen darah donor mempunyai antibodi
terhadap virus Epstein-Burr, karena infeksi berhubungan
dengan leukosit maka nampaknya akan aman dengan
menggunakan darah yang leukositnya dikurangi.
Parvovirus B 19
Virus ini merupakan virus DNA kecil tanpa bungkus,sangat
kebal terhadap pengolahan fisik untuk menonaktifkan.
Infeksi sering pada anak umur 15 tahun. Sekitar 50% anak
telah punya antibodi.Virusmenyebar terutama lewat traktus
respiratorius. Penyakit dengan gambaran berupa eritema
infeksiosum dan poliartropati. Pada orang normal virus
B 19 ini menyebabkan penghentian akut produksi eritrosit
yang sembuh dengan sendirinya dalam 4-8 hari. Pada
pasien yang dengan destruksi eritrosit, ha1 ini dapat
menyebabkan krisis aplastik akut. Pada pasien dengan
imunodefisien, dapat menimbulkan anemia kronik yang
mungkin reversibel dengan pemberian imunoglobulin dari
luar. DNA B 19 kebanyakan terdeteksi di dalam, pooled
plasmaproduct', dimana B 19 ini resisten terhadap proses
inaktivasi virus, misalnya dengan pemberian larutan
deterjen dan pemanasan; untuk menghindari ini dipakai
cara menghilangkan plasma yang mengandung banyak
titer DNA B 19.
lnfeksi yang Disebarkan Artropoda
Malaria merupakan penyakit infeksi global namun di AS
penularan secara transfusi jarang. Donor yang melewati
daerah endemi, setahun tahun tidak boleh menjadi donor,
3 tahun bila pernah tingal di daerah endemik.
Babesiosis, infeksi disebabkan protozoa, menginfeksi
eritrosit, disebarkan oleh kutu, keluhan mulai dari tak ada

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

keluhan sampai yang ringan seperti influenza atau malaria,


dengan anemia hemolitik, diobati dengan kinin atau
klindamisin. Infeksi ini jarang yang fatal.
Penyakit Lyme, disebabkan oleh Borrelia burgdorferi,
tak ada catatan tentang penyakit ini pada penularan karena
transfusi.
Tripanosoma cruzi, protozoa yang menyebabkan
penyakit Chaga,ditularkan oleh kutu busuk. Infeksi akut
umumnya hilang sendiri tapi dapat juga menyebabkan
miokarditis, meningoensefalitisdan dapat fatal pada pasien
dengan imunokompromais.
Virus WestNile, merupakan flavivirus, disebarkan oleh
gigitan nyamuk, umumnya menyebabkan panas,yang berat
dapat dengan meningitis, ensefalitis atau paralisis flusid,
yang berat mungkin fatal. Virus ini dapat ditularkan lewat
transfusi.

Penularan Encefalopati Spongioform


Penyakit Creutzfeld tJakob dan variannya. Penyakit
infeksi ini progresif dan fata1,menyerang saraf
pusat,disebabkan oleh agen yang disebut prion. Di
Inggris,diketahuispongiform atau prion ini menyerang sapi
sehingga disebut 'mad cow disease', dipikirkan orang
yang terpapar oleh bahan dari sapi ini dapat tertular.

Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi merupakan penyebab mayor fatalitas pada
transfusi. Sumber kontaminasi ini, kantong, donor
bakteremia asimtomatik,pembersihan kulit tidak adekuat,
Transfusi trombosit yang disimpan pada suhu kamar lebih
sering menimbulkan febris dibanding eritrosit yang
didinginkan.
Organismeyang sering menimbulkan kontarninasi pada
transfusi eritrosit antara lain yersinia, pseudomonas,
enterobakter, dan seratia. Pada trombosit lebih bervariasi
termasuk stafilokokus, streptokokus, klebsila, dan
salmonela. Keluhan dapat berupa seperti febris non
hemolitik sampai sepsis akut dengan panas, hipotensi dan
kematian. Keluhan yang berat dihubungkan dengan mikro
organisme dengan endotoksin. Pengobatan sama seperti
pada sepsis karena organisme lain yang sesuai

REFERENSI
Galel SA, et al. Transfusion medicine. In: Greer JP, et al, editor.
Wintrobe's clincal hematology. 11" edition. Vol I. Lippincot
Wiliams & Wilkins; 2004. p. 831-82.
WHO. Adverse effects of transfusion, in the clinicals use of blood in
medicine, obstetric, paediatrics, surgery and anaesthesia, trauma
and burn. Malta Geneva; 2001. p. 126-52.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK


Ronald A. Hukom

PENDAHULUAN
Aferesis dalam bidang Hematologi-Onkologi merupakan
suatu tindakan pengambilanlpengumpulan komponen
darah tertentu melalui penyandapan darah, dengan
mengembalikan komponen darah lainnya ke tubuh
seseorang menggunakan alat separasi sel. Tujuan tindakan
aferesis ini adalah untuk mengambil sebagian komponen
darah untuk diberikan pada orang lain (aferesis donor),
atau mengurangi jumlah komponen darah yang berlebihan
di dalam tubuh (aferesis terapeutik).
Tindakan mengambil, mencuci, dan mengembalikan
darah telah dilakukan sejak tahun 1902 di Perancis pada
pasien uremia. Kata aferesis sendiri berasal dari bahasa
Yunani, apo dan hareisis, dengan arti keseluruhan adalah
'suatu proses mengambil dari sesuatu'. Hemaferesis terminologi yang sekarang lebih sering digunakan - berarti
pengambilan komponen tertentu dari darah dengan
menggunakan alat cell separator. Plasmaferesis untuk
keperluan terapeutik digunakan pertama kali pada tahun
1952, sebagai usaha mengatasi hiperviskositas pada
penderita mieloma multipel.
Walaupun mula - mula digunakan untuk tujuan terapi,
dalam perkembangannya sekarang aferesis lebih penting
lagi untuk memperoleh komponen darah bagi transfusi
(Aferesis Donor). Cell separator digunakan mula - mula
untuk memperoleh granulosit dan trombosit dari donor
tunggal bagi pengobatan suportif pada pasien kanker yang
dalam keadaan imunosupresi. Dengan perkembangan
terakhir teknologi aferesis, pelayanan transhsi darah dapat
lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah (sel
darah merah, trombosit, dan plasma) melalui penggunaan
mesin aferesis donor multikomponen yang ada. Pada
lekoferesis, sel yang dapat diambil saat ini termasuk
lymphocyte killer cells, macrophage-monocyte cells, dan
myeloid stem cells. Hal ini berlangsung sejalan dengan

mulai dipakainya interleukin dan lymphocyte activated


killer dalam pengobatan kanker.
Jenis tindakan pada aferesis dapat berupa cytaferesis
(eritrositaferesis,lekaferesis,trombaferesis),plasmaferesis,
dan prosedur transplantasi sel asal darah perifer (PBSCT).
Tujuan utama tindakan aferesis adalah mengeluarkan
hanya sebagian komponen darah, bisa berupa sel atau
plasma saja. Alat yang digunakan memiliki plastik
disposable sebagai saluran yang dilalui darah dan memakai
antikoagulan yang mengandung sitrat atau kombinasi sitrat
dan heparin, tanpa menimbulkan efek sistemik. Sebagian
besar alat yang digunakan dapat dioperasikan pada aliran
darah 30 - 80 mllmenit dengan melalui akses vena perifer
atau kateter vena sentral multi-lumen.
Di RS Kanker Dharmais, dalam periode 1997 - 2004
tercatat lebih dari 2 100 tindakan aferesis (sekitar 300 kali
setiap tahun), di mana lebih dari 90% prosedur aferesis ini
merupakan aferesis donor (trombaferesis).

AFERESIS PADA PROSEDUR TRANSPLANTASI


SEL ASAL DARAH TEPl
Transplantasi sumsum tulang (bone marrow transplantation, BMT) dan transplantasi sel asal darah tepi
(peripheral blood stem cell transplantation, PBSCT)
merupakan prosedur pemulihan sel asal (stem cells) dalam
tubuh pasien yang hancur sesudah kemoterapi dan latau
radioterapi dosis tinggi. Sebagian besar sel asal
hemopoietik ditemukan di sumsum tulang, tapi ada pula
yang bisa ditemukan di darah tepi (PBSC), maupun dari
tali pusat (umbilical cord) bayi yang baru lahir.
Transplantasi (BMT atau PBSCT) sekarang sudah banyak
digunakan dalam terapi kanker, di mana tindakan ini
memungkinkan pasien menerima radioterapi danlatau
kemoterapi dengan dosis sangat tinggi, sehingga bisa

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

didapatkan angka keberhasilan terapi yang lebih tinggi.


Beberapa contoh indikasi transplantasi adalah pada
berbagai jenis kanker darah (leukemia, sindrom
mielodisplastik, limfoma non Hodgkin, penyakit Hodgkin,
mieloma multiple), beberapa kanker solid (misalnya
neuroblastoma dan kanker payudara), maupun kelainan
hematologi lain (misalnya anemia aplastik, anemia Fanconi,
imunodefisiensi congenital).
Transplantasi dapat dilakukan secara autologus
(pasien menerima sel asal mereka sendiri yang diambil dan
disimpan sebelum terapi dosis tingginya), syngeneic
(pasien menerima sel asal dari saudara kembar identik),
atau allogenik (pasien menerima sel asal dari saudara
kandung, orang tua, maupun dari orang lain). Pada
beberapa tipe leukemia, penggunaan transplantasi
allogenik dapat menimbulkan efek graft-versus-tumor
(GVT) yang menguntungkan, di mana sel darah putih
donor mengidentifikasi sel kanker yang mungkin tersisa
di tubuh pasien sebagai benda asing dan
menghancurkannya.
Mesin aferesis digunakan pada PBCST untuk
mengambil sel asal dari darah tepi (prosedur lekaferesis).
Pada donor misalnya, dapat diberikan growth factors (5
mcglkg rhG-CSF per hari subkutan) selama 4-5 hari
sebelum lekaferesis dilakukan, dengan tujuan memperoleh
jumlah sel asal yang lebih banyak di darah tepi (mobilisasi
PBSC). Pada pasien yang menjalani transplantasi
autologus, mobilisasi PBSC dapat dilakukan dengan
pemberian kemoterapi bersama growth factors, di mana
rhG-CSF diberikan mulai hari 5 pasca kemoterapi sampai
mulai pengambilan PBSC (harvesting). Lekaferesis
dilakukan pada hari 10 - 15 pasca kemoterapi, saat jumlah
lekosit sudah minimal 2 jutalml. Prosedur lekaferesis
diulang hari berikutnya sampai maksimal5-6 kali, untuk
memperoleh jumlah CD34 total minimal 2 jutakg. Semua
sampel darah yang diperoleh dari prosedur lekaferesis,
diproses dalam waktu 1 jam setelah diambil untuk
penghitungan jumlah lekosit total dan analisis CD34
(dengan flow cytometry).
Berbeda dari pengambilan sumsum tulang dalam
prosedur BMT yang harus dilakukan di kamar operasi steril,
pengambilan sel asal darah tepi (PBSCT) dengan mesin
aferesis tidak memerlukan anestesi umum dan dapat
dilakukan di ruang rawat biasa, dengan efek samping yang
terjadi biasanya minimal, misalnya pusing, menggigil, dan
kesemutan.

TERAPI SEL ASAL (STEM CELLS THERAPY)


Kemungkinan pengobatan berbagai penyakit degeneratif
menggunakan sel asal (stem cells) merupakan salah satu
perkembangan dalam ilmu kedokteran yang saat ini
mendapat perhatian besar. Kemajuan cara pengobatan ini
juga diikuti berbagai masalah moral, etik, dan politis,

terutama menyangkut sumber dari sel asal yang


digunakan. Berbagai masalah ini terutama menyangkut
sel asal yang diperoleh dari embrio (embryonic stem
cells, ESC). Sel asal yang didapat dari sumber lain,
misalnya dari sumsum tulang, darah tepi, darah tali
pusat, plasenta, dan cairan amnion, ternyata juga dapat
digunakan untuk penyembuhan organ tubuh secara
alami. Penggunaan sel asal sistem hemopoietik (hematopoietic stem cells, HSC) sudah banyak dipelajari pada
berbagai kasus yang bukan keganasan atau kelainan
darah, misalnya pada kelainan kardiovaskuler (kasus
infark jantung akut, penyakit arteri koroner, penyakit
pembuluh darah tepi) dan berbagai penyakit autoimun.
Studi terapi sel asal ini juga telah dilakukan pada kasus
strok, trauma otak dan tulang belakang, diabetes,
maupun penyakit Parkinson.
Penggunaan sel asal darah tepi (peripheral blood stem
cells, PBSC) untuk berbagai penyakit di atas, dan cara yang
dipakai untuk mobilisasi PBSC (misalnyapemakaian G-CSF
untuk 3 hari) menjadi tanggung jawab dokter ahli yang
bersangkutan. Setelah mendapat pemberitahuan, Unit
Aferesis akan menjadwalkan prosedur tindakan,
memastikan bahwa pasien sudah mengerti semua ha1 yang
berkaitan dengan tindakan pengambilan sel asal (aferesis)
dan bersedia menjalani pemeriksaan mikrobiologi 1virologi
(HBsAg, anti HCV, anti HIV, syphilis, HTLV) yang
diperlukan. Biasanya ada pertemuan rutin (seminggu sekali)
antara dokter koordinator transplantasi, petugas Unit
Aferesis, dokter ahli pemilik pasien yang akan menjalani
terapi sel asal, dan dokter laboratorium yang terkait.
Pemeriksaan darah lengkap dan tingkat sel CD34 perlu
dilakukan dengan ketat menjelang waktu pengambilan sel
asal yang ditentukan. Biasanya juga telah dilakukan
pemeriksaan vena yang akan dipakai, yang harus cukup
besar untuk jarum 16G

Aferesis terapeutik adalah pengambilan bahan patologik


atau abnormal dari sirkulasi darah pasien dengan memakai
mesin aferesis. Tindakan dapat berupa plasmaferesis,
leukaferesis, eritroferesis, trombaferesis, dan
immunoadsorption (pengambilan IgG dan plasmacirculating immune complexes).
Indikasi aferesis terapeutik selain kelainan hematologi
dan onkologi adalah berbagai kelainan neurologi, misalnya
acute inflammatory demyelinating polyneuropathy dan
myasthenia gravis, kelainan metabolik, beberapa penyakit
autoimun dan rematologi. Satu contoh terakhir
penggunaan mesin aferesis adalah LDL (low-density
lipoprotein) apheresis yang digunakan pada pasien
dengan kolesterol LDL tinggi yang persisten, atau kelainan
LDL genetik yang refrakter terhadap obat. Aferesis LDL
dilakukan dua kali sebulan dan mulai dikembangkan di

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

AFERESIS DONOR DAN TERAPEUTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Jepang sekitar 30 tahun lalu, dan diakui FDA di Amerika


Serikat pada tahun 1996.

Eritrosit

Leukosit

Trombosit

Sickle cell disease


Komplikasi akut
Pencegahan rekurensi strok
Nyeri berat + sering
Malaria dengan hiperparasitemia
Leukemia + hiperlekositosis
Transplantasi sel asal (PBSC)
Reumatoid artritis
(dalam keadaan tertentu)
Trombositemia simtomatik

Saat ini sebagian besar sitaferesis terapeutik ditujukan


untuk keadaan trombositosis atau lekositosis berat pada
lekemia akut 1kronik dengan resiko pendarahan, trombosis,
atau lekostasis paru dan otak. Beberapa belas tahun
terakhir ini lekoferesis dikaitkan pula dengan pengambilan
stem cells bagi imunoterapi eksperimental atau
transplantasi sel asal (PBSCT).

Paraprotein

Metabolit toksis
lmunologis

Vaskulitas
Defisiensi faktor
koagulasi

Sindrom hipewiskositas
Krioglobulinemia
Penyakit cold agglutinin
Hiperkolesterolemia familial
Sindrom Goodpasture
Miastenia Gravis
Sindrom Guillain - Barre
Pemfigus
Inhibitor faktor koagulasi
Purpura trombositopenia imun
S.L.E
Glomerulonefritismesangiokapiler
Purpura trombositopenia trombotik

KOMPLlKASl AFERESIS

Dalam pengawasan yang baik, prosedur aferesis adalah


tindakan yang aman. Komplikasi yang dapat terjadi
berhubungan dengan vascular access, perubahan
homodinamik, problem mekanik berkaitan dengan
instrumentasi, deplesi komponen sel dan plasma, reaksi
terhadap cairan pengganti (termasuk antikoagulan), reaksi
alergi, dan infeksi.
Efek samping yang paling sering terjadi pada prosedur
aferesis adalah hipokalsemia, dengan gejala yang timbul
berupa kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan,
dan pandangan gelap. Bila timbul gejala hipokalsemia,
maka perlu diberikan suntikan kalsiurn sampai gejala hilang.
Kontraindikasiseseorang untuk menjadi donor aferesis
antara lain adalah bila calon donor memiliki nilai Hb/Ht,
lekosit, trombosit, albumin di bawah normal; golongan

ABOIRhesus tidak cocok, atau reaksi silang cocok serasi


(cross matching) memberi hasil positif; darah donor terbukti
mengandung HbsAglanti HCVIHIVNDRLlmalaria, berat
badan kurang, usia anak-anak atau usia tua, menderita
penyakit serius (jantunglparulginjal dan lainnya).
Kontraindikasi prosedur aferesis terapeutik untuk
seorang pasien adalah bila ada gangguan hemodinamik
yang nyata, atau bila keadaan umum sudah tidak baik lagi.
Pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang
harus menjalani prosedur aferesis, perhitungan cairan
pengganti yang cermat dan volume cairan extra-corporeal
yang tepat terbukti dapat mencegah gangguan
hemodinamik.
Bila plasma dipakai sebagai cairan pengganti, reaksi
alergi sering terjadi walaupun hanya ringan dan sementara,
tetapi karena resiko penularan hepatitis dan HIV, umumnya
lebih baik digunakan albumin 5 % in saline sebagai cairan
pengganti dari pada plasma.

MESlN AFERESIS

Pengambilan komponen darah dengan mesin aferesis saat


ini makin luas dilakukan, dengan mesin aferesis yang
jenisnya makin banyak tersedia. Di Amerika Serikat,
trombaferesis biasa dikerjakan dengan Fenwal CS3000,
Fenwal Amicus, COBE (Gambro) Spectra, Gambro Trima
Version 4, dan Haemonetics LN9000. Granulosit dapat
diambil misalnya dengan Fenwal CS3000, COBE (Garnbro)
Spectra, Haemonetics LN9000, dan Fresenius AS 104.
Sistem aferesis Spectra merupakan salah satu alat
mutakhir untuk separasi dan pengambilan komponen darah
dari donor atau pasien. Dari donor, produk darah diambil
untuk ditransfusikan pada pasien, sementara untuk
prosedur terapeutik pada pasien digunakan untuk
penukaran atau deplesi komponen darah. Selain itu sistem
Spectra ini dapat juga digunakan dalam pengambilan
granulosit dan sel mononukleus, termasuk untuk prosedur
pengambilan sel asal darah perifer (PBSC).
Sistem aferesis Spectra ini terdiri dari alat disposable
(preconnected separation channel and blood tubing) dan
mesin aferesis, termasuk suatu alat Return Flow
Controller. Di RS Kanker Dharmais, alat ini banyak
digunakan pada prosedur tromboferesis dari donor
tunggal untuk ditransfusikan pada pasien kanker dengan
trombositopenia yang memerlukan transfusi multipel.

REFERENSI
Burgstaler EA: Blood Component Collection by Apheresis. World
Apheresis Association loth Congress, 2004, U.S.A.
Burt RK, Loh Y, Pearce W, et al: Clinical Applications of
Blood-Derived and Marrow-Derived Stem Cells for Nonmalignant Diseases. JAMA 2008, 299(8): 925-936.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

COBE Spectra Apheresis System. Operator's Manual, 1993.


Huaetis DW, Bove JR, and Case J : Practical Blood Transfusion.
Little, Brown and Company - BostonlToronto, 4 Th ed.,1988.
Kang HJ, Lee HY, Na SH, et al: Differential Effect of Intracoronary
Infusion of Mobilized Peripheral Blood Stem Cells by Granulocyte Colony-Stimulating Factor on Left Ventricular Function
and Remodeling in Patients With Acute Myocardial Infarction
Versus Old Myocardial Infarction. Circulation 2006, 114: 11451151.

Padley D, Strauss RG, Wieland M, et al: Concurrent Comparison of


the Cobe Spectra and Fenwal CS3000 for the collection of
Peripheral Blood Mononuclear Cells for Autologous Peripheral
Stem Cell Transplantation. J Clin Apheresis 1991, 6: 77-80.
Reksodiputro AH, Djoerban 2,Hukom RA: Beberapa Pennasalahan
Utama pada Transplantasi Sumsum Tulang. Buku Naskah
Lengkap Kongres Ahli Penyakit Dalam (KOPAPDI) 1990,
Jogjakarta.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS


Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan leukemia
yang pertama ditemukan serta diketahui patogenesisnya.
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan
kromosom yang selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22qatau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22,
yang saat ini kita kenal sebagaikromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal
antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, lazimnya ditulis
t(9;22)(q34;ql I), seperti tampak pada Gambar 1. Dengan
kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun 1980
diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami
pemendekan tadi, temyata didapatkan adanya gabungan
antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34),
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster
region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22
(22ql1). (Gambar 2) Gabungan kedua gen ini sering ditulis
sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama
terjadinya kelainan proliferasi pada LGK.
Secara klasifikasi, dahulu LGK termasuk golongan
penyakit mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi
dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga
pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit
(bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit sampai
granulosit.

Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari


semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah
leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia
40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda

Gambar 1. Kromosom Philadelphia. Sumber: Laboratorium


Sitogenetika Divisi Hematologi-OnkologiMedik Departemen llmu
Penyakit Dalam FKUllRSCM

dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya


meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom
Chemobil meledak.

TANDA DAN GEJALA KLlNlK


Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase,
yakni: fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada
umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih
dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK
ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan para
operasi, dimana ditemukan leukositosishebat tanpa gejalagejala infeksi.
Pada fase honk, pasien sering mengeluh pembesaran
limpa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa
terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di
perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik,
misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demarn yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan
terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

tersebut merupakan gambaran hipermetaboiisme akibat


proliferaai sel-sel leukemia. Apabila dibuat urutan
berdasarkan keluhan yang diutarakm oleh pasien, maka
seperti terlihat pa& Tabel 1.

Keluhan
Splwomegall
Lemah badan
Penuwnan berat badan
Hepatm~gali
Keringat malam
Cepat kenyang
Perdarahanlpufpura
Nyeri perut [infark limpa)
Demam

tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan


pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan
gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9, seperti tampak
pada Gambar 2.

Frekwnsl Ig/c)
95
80
60
50
45
40
35
30
10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya


menjadi progresif atau mengalami akseletasi. Bila saat
diagnosa ditegakkan, pasien berada p d a fase kronis, maka
keelangsungan hidup berkisar anara 1 sampai 1,5 tahun.
Giri Wlas fase akselerasi adalah: Ieukositosis yang sulit
dikontrol oleh obat-obat miebsupresif, mieloblas di perifer
meneapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit
<100.000/mm3.Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limp
rang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali
membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul petekie,
ekimosis. Bila disertai demarn, biasanya ada infeksi.

Sepepti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada


kromosom Ph menyebabkan proliferasj yang berlebihan
sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon
ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan
hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCRABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua
mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon
abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis
lainnya.
Pemahanan mekanisne kerja gen BCR-ABL ~nutlak
diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada
diagnastik, perjalanan penyakit, prognostik, serta implikasi
terapeutiknya. Oleh karena itu periu diketahui sitogenetik
dan kejadian di tingkat molekular.
Sitogenetik
Mekmisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang
dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK
dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima
dan Nagwki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi,
sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak

Gambar 2. Transloksi kromosom 9 dan 22. Dikutip dari Savage


and Antman. N Engl J Med 2002

Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam lrsomosom Ph


ini selanjutnya rnellsintesis protein 21 0 kD yang berperan
dalam leukemoge~~esis,
sedang peranan gel1 resiprokal
ABL-BCR tidak diketahui I Silver, 1990; Diamond, 1995;
Melo, 1996;Verfaillie, 1998).
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari
kromosom Ph, seperti tampak pada Tabel 2. Varian-varian
ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau
kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga
dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu
di daerah ql I , akan tetapi dapat juga di daerah q 12 atau
q13 (Heim dan Mitel~nan,1987), dengan sendirinya
protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.
Tabel 2. Variasi Kelainan Sitogenetik pada LGK

Karyotipi k

Gen-gen yang

Tarlibat
BCR-JAK
BCR-PDGFRB
BCR-FGFRI
BCR-FGFR1
BCR-PDGFRA
ABL-TEL
FIPI L1PDGFRA

lstilah Klinik
LGK &@c
LGU atipik
LGK BCR-ABL negatil
LGK BCRABL negalif
LGK atipik
LGK atipik
LGK hipereosinofilia

Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q)


selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pa& 70% pasien LGK.
Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Phi- lebih
rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, ha1
ini terbukti pada 60-80Yo pasien P h t yang mengalami fase

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1211

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan
isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan
kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain
yang berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi
abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53,
p 16 dan gen Rb.

Aktlvltas
kontrol

Aderens

Biologi Molekular pada Patogenesis LGK


Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR
ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-el4 pada
ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan
mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD,
selanjutnya ditulis p210BCK-ARL.
Patahan lainnya
ditemukan di daerah 54,4-kb atau e l yang dikenal sebagai
minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan
mensintesa p190 (Melo, 1996). Saglio dkk pada tahun
1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen
BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk
p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (p-bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan
bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu
mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (p-bcr) ternyata
berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya.
Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr
berhubungan dengan monositosis yang prominen,
sedang patahan di y-bcr berhubungan dengan netrofilia
danlatau trombositosis.
Pada gambar 2 tampak bahwa p2 I OBCR-ABLmempunyai
potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut: gen
BCR berhngsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua
gen ini mempunyai kemarnpuan untuk oto-fosforilasi yang
akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma
sel melalui domain SRC-homologi 1 (SHl), sehingga terjadi
deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat
aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan
berkurangnya respon apoptosis.
Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi
dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga
terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik,
seperti tampak pada Cambar 3. Sinyal ini akan
menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan
pada proses proliferasi sel dan juga proses
apoptosis.
Diagnosis Banding :
LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik,
trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik
*. LGK fase krisis blas: leukemia mieloblastik akut, sindrom
mielodisplasia

Apoptos~s

Slnyal transduksl

Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL. Gen ABL ( ~ 1 4 5yang


~ ~ ~normal
)
dikontrol oleh Exon l a , I b dan Exon a2. Apabila terjadifusi dengan
gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari
gen ABL pada gugus SH1 dengan tidak terkendali. Dikutip dari
Goldrnan and Melo. N Engl J Med 2003.

juksi oleh Fusl Gen


Gambar 4. Proses P
asi Sinyal Tr
BCR-ABL. Dikutip dan --.dman and ME . 1 Engl J Med 2003.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya


normal atau sedikit menurun, lekosit antara 20-60.000/mm3.
Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Ti-ombosit
biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun
sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau
trombositopenia.
Apus Darah Tepi
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering
ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau
polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga persentasi eosinofil
dan atau basofil.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Apus Sumsum Tulang


Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari
sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat.
Megakariositjuga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan
retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami
fibrosis.

Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding
technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan
dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen
Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi
kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain:
+8,+9,+19,+21,i(17).
Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan
hiperurikemia.
PENGOBATAN
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap,
baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi
biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis
digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu
tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi
interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi
cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun,
2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko
rendah menurut perhitungan Sokal.
Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah:
Hydroxyurea (Hydrea)
- Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi
hematologik pada LGK.
- Lebih efektif dibandingkanbusulfan, melfalan, dan
klorarnbusil.
- Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari
sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan.
Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan
anemia aplastik dan fibrosis pam.
- Dosis 30mglkgBBlhari diberikan sebagai dosis
tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit
> 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai
maksima12.5 gramlhari.
- Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit <8.000/
mm3atau trombosit <100.000/mm3
- Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan
bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan
neurotoksisitas.
- Selama menggunakan hydroxyurea harus
dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal,
fungsi hati.

Busulfan (Myleran)
- Termasuk golongan alkil yang sangat h a t .
- Dosis 4-8rnglha1-iper oral, dapat dinaikkan sampai

12mghari. Hams dihentikan bila lekosit antara 1020.000/mn?, clan baru dimulai kembali setelah lekosit
>50.000/mm3.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan
itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan,
sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya.
Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian
busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang
baik.
Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi
sumsum tulang yang berkepanjangan

Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec)


- Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang
khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase
dari fusi genBCR-ABL.
- Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada
pemberian per oral
- Untuk fase kronik, dosis 400mgihari setelah
makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mgl
hari bila tidak mencapai respons hematologik
setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai
respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara
hematologik, yakni Hb menjadi rendah danlatau
lekosit meningkat denganltanpa perubahan
jumlah trombosit.
- Dosis hams diturunkan apabila terjadi netropeni
berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat
(<50.000/mm3)atau peningkatan sGOT/sGPT dan
bilirubin.
- Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat
diberikan langsung 800mghari (400mg b.i.d).
- Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun
sangat jarang
- Tidak boleh diberikan pada wanita hamil
- Interaksi obat: ketokonazol, simvastatindan fenitoin
akan meningkatkan efek imatinib mesilat.
- Selain remisi hematologik, obat ini dapat
menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandai
dengan hilangnyaherkurangnya kromosom Ph dan
juga remisi biologis yang ditandai dengan
berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein
yang dihasilkannya.
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
- Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak
dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat
mencapai remisi sitogenetik
- Dosis 5 juta IU/rn2/harisubkutan sampai tercapai
remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis
yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari.Saat
ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon,
sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak
perlu tiap hari.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


- Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan
antipiretik sebelum pemberian interferon untuk
mencergahlmengurangi efek samping interferon
berupa flue-likesyndrome.
- Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan
zidovudin dapat meningkatkan efek toksik interferon.
- Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut,
gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien
epilepsi.
Cangkok sumsum tulang
- Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data
menunjukkan bahwa cangkok sumsum tulang (CST)
dapat memperpanjang masa remisi sarnpai >9 tahun,
terutama pada CST alogenik.
- Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph
negatif atau BCR-ABL negatif.

PROGNOSIS
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara
3-5 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan
ditemukannya beberapa obat baru, maka median
kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara
signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji kliais
kombinasi hidrea dan interferon median kelangsungan
hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib mesilat memberi hasil
yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa
hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.
Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis
pasien LGK, antara ldin:
Pasien: usia lanjut, keadaan umurn buruk, disertai gejala
sistemik seperti penurunan berat badan, demam,
keringat malarn.
Laboratorium: anemia berat, trombositopenia,
trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph
negatif, BCR-ABL negatif
* Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk
mencapai remisi, memerlukanterapi dengan dosis tinggi,
waktu remisi yang singkat

REFERENSI
Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group.
Interferon alfa versus chemotherapy fdr chronic myeloid
leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic
Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl
Cancer Inst. 1997;89(21): 1616-20.
Druker BJ, Talpaz M, Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a
specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic
myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14):1031-7.
Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific
inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of
chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia
with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med.
2001;344(14):1038-42.
Giles FJ, Cortes JE, Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and
blastic phases of chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol
Clin North Am. 2004;18(3):753-74.
Goldman JM, Druker BJ. Chronic myeloid leukemia: current
treatment options. Blood. 2001 ;98(7):2039-44.
Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia - advances in
biology and new approaches to treatment. N Engl J Med.
2003;349(15): 1451-64.
Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia.
Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy
for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian
Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. N
Engl J Med. 1994;330(12):820-5.
Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and
cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic
myelogenous leukemia. N Engl J Med. 2002;346(9):645-52.
Kantarjian HM, Cortes JE, O'Brien S. Imatinib mesylate therapy in
newly diagnosed patients with Philadelphia chromoso
me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of
early complete and major cytogenetic responses. Blood.
2003;101(1):97-100.
Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol
Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6.
Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for
chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol.
1998; 16(9):2897-903.
McGlave PB, Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelogenous leukemia with unrelated donor bone marrow
transplantation: results in 102 cases. Blood. 1990;75(8):1728-32.
Savage DG and Antman KH. Imatinib mesylate-a new oral targeted
therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93.
Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, ct al. Imatinib induces
hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic
myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase
I1 study. Blood. 2002;99(10):3530-9.
Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of
myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in
patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase.
Cancer. 2004; 100: 116-2 1.
Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. Imatinib induces durable
hematologic and cytogenetic responses in patients with
accelerated phase chronic myeloid leukemia: results of a phase
2 study. Blood. 2002;99(6):1928-37.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

POLISITEMIA VERA
M. Darwin Prenggono

PENDAHULUAN
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti
poly (banyak), cyt (sel), dan hernia (darah) sedang Vera
(benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada
hemopoetik sel induk (hematopoietic stem cells) dengan
peningkatan sensitivitas pada growth factors yang
berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi
peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering
diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada
polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari
dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada
tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau
trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja
dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis.
Eritrositosis menggambarkanpeningkatan dari volume sel
darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut
eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan
volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau
spurious).Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera narna
sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik,
eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit Vaquez b,
penyakit Osler 5., polisitemia mielopati ( Weber), polisitemia
kriptogenik (R. C. Cabot).
Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan
suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatifyang
melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang
mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena
sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk
darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya,
sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan
eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin
serum <4 mU/mL), ha1 ini jelas mernbedakannya dari

eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin


tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat)
biasanya pada keadaan dengan saturasi oksigen arterial
rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non
fisiologis (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang
dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain yang
mensekresi eritropoietin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV
didapati peninggian nilai hematokrit yang menggambarkan
terjadi peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma
mencapai >49% pada perempuan (kadar Hb > 16 mg/dL)
dan >52% pada pria (kadar Hb >17 mg/dL), dan di dapati
peningkatanjumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 jutal
mL pada perempuan dan >6 jutalmL pada pria). Kelainan
ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell)
sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan
dari leukosit dan trombosit.
Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan
massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah,
serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah
fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang
ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik
jaringan ikat.

Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60


tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan
antara 2 : 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah
2,3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan
penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati
1,s - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari
10 tahun.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

POLlSlTEMlAVERA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penyebab terjadinya Polisitemia Vera tidak diketahui, tetapi
Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya
kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika
menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk
hemopoisis pada pasien dengan polisitemia Vera dimana
tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada
pasien polisitemia Vera saat terdiagnosis sedang
meningkat 80% setelah diikuti lebih dari 10 tahun. Beberapa
kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia
sindrom yaitu: deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%),
trisomi 8 (7%), trisomi 9 (7%), trisomi lq (4%), deletion 5q
atau monosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7 (1%).

KLASlFlKASl DAN PENDEKATAN PADA PASlEN


DENGAN ERlTROSlTOSlS
Klasifikasi eritrositosistergantung volume sel darah merah
(red cell mass) (eritrositosisrelatif atau polisilemia dengan
polisitemia aktual). Polisitemia terbagi dalam polisitemia
primer (polisitemiaVera dan polisitemia famili primer) dan
polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin
(polisitemia sekunder).

Eritrositosis relatif atau polisitemia (pseudoertrositosis)


Hemokonsentrasi
Polisitemia spurious (sindrom Gaisbijk)
Polisitemia (eritrositosis absolut)
Polisitemia primer
- Polisitemia Vera
- Polisitemiafamilial primer
Polisitemia sekunder
Sekunder oleh kerena penurunan oksigenisasi pada
jaringan (Physiologicallyappropriate polycythemia
atau hypoxia erytrhocytosis)
High-altitude erytrhrocytosis (Monge disease)
Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik,
sindrom Ayerza)
Cyanotic congenital heart disease
Sindrom hipoventilasi
Hemoglobin abnormal
Polisitemiafamilial
- Sekunder oleh karena penympangan respon atau
produksi eritropoietin @hysiologicallyinappropriate
polycythemia)
Polisitemia idiopatik

Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase:


Gejala awal (early symptoms). Gejala awal dari PV sangat
minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah
diketahui melalui tes laboratoriurn. Gejala awal yang terjadi
biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%),
mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas
(26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (3 1%),

rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus)


(43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung
(stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%).
Gejala Akhir (latersymptoms) dan Komplikasi. Sebagai
penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami
perdarahan (hemorrhage) atau trombosis. Trombosis
adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi
lain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10%
berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
pepticurn (10%).
Fase Spenomegali (Spentphase). Sekitar 30% gejala akhir
berkembang menjadi fase splenomegali.Pada fase ini terjadi
kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia
berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa
membesar.
Beberapa ha1 yang penting berhubungan dengan gejala
yaitu:
Hipewiskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan
meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan:
Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih
jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat
dari penggumpalan eritrosit, dan
Penurunan laju transport oksigen. Kedua ha1 tersebut
akan mengakibatkan terganggunya oksigenasijaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya
oksigenasi target organ (iskemialinfark)seperti di otak,
penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas.
Penurunan kecepatan aliran (shear rate). Penurunan
shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel ha1
tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan,
walaupun jumlah trombosit > 450 ribdml. Perdarahan
terjadi pada 10-30%kasus PV, manifestasinya dapat berupa
epistaksis, ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal.
Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).
Trombositosisdapat menimbulkantrombosis, pada PV tidak
ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis
vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 3050% kasus PV.
Basofilia (hitung basofd >65/mL). Lima puluh persen kasus
PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10%kasus PV datang
dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh
meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat
dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung
terjadi karena peningkatan kadar histamin.
Splenomegali. Splenomegali tercatat pada sekitar 70%
pasien PV. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder
dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular.
Hepatomegali. Hepatomegali dijumpai pada kira-kira
sejumlah 40% PV. Sebagaimana halnya splenomegali,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari
hiperaktif hemopoesis ekstra medular.
Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis
dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan
demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat,
disisi lain laju filtrasi gromerularmenurun karena penurunan
shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5- 10%kasus PV
Defisiensivitamin B,,, dan asam folat. Laju siklus sel darah
yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan
vitamin B,,, ha1 ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena
penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah,
sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B,2 (UB,, - Protein binding capacity) dijumpai
meningkat pada >75% kasus. Seperti diketahui defisiensi
kedua vitamin ini memegang peran dalam timbulnya kelainan
kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serta psikosis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi


surnsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit
yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan
petanda patognomonik PV.
Pemeriksaan Sitogenetika
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,, atau
kemoterapi sitostatika dapat dijumpai karyotip ((lihat
etiologi).Variasi abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai
selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan
pengobatan P,, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.

Kategori Faktor
Risiko
Risiko rendah
Risiko
menengah
Risiko tinggi

Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada saat
perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6
jutaImL pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan
sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik
kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan
anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit.
Granulosit
Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV,
berkisar antara 12-25 ribdmL tetapi dapat sampai 60 ribd
mL. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat basofilia.
Trom bosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribd
mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan
morfologi trombosit yang abnormal.

B,, Serum
B,, serum dapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35%kasus
dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada h 30%kasus,
dan kadar UB,,BC meningkat pada >75% kasus PV.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali
ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatiflainnya
seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi
sumsum tulang menunjikkan peningkatan selularitas
normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,

Faktor risiko
umur muda - 60 tahun dan tidak ada
riwayat trombosis dan jumlah trombosit
< 150 000 per mm3
umur muda - 60 tahun dan tidak ada
riwayat trombosis dan jumlah trombosit
> 150 000 per mm3atau ada risiko
kardiovaskular
umur > 60 tahun atau ada riwayat
kardiovaskular

DIAGNOSIS
Sebagai suatukelainanmieloproliferatif,PV dapat memberikan
kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sarna dengan
berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).
Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemia Stu& Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman
dalam menegakkan diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori
diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika
memenuhi kriteria: a). Dari kategori: A,+A,+A,, atau, b). Dari
kategori: A,+A,+ 2 kategori B.
Kategori A
Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur
dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 5: 36 mL/kg, dan
pada perempuan 2 32 mL/kg.
Saturasi oksigen arterial 2 92%.Eritrositosisyang terjadi
sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga
disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah
satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya
saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak
didapatkanpenurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien
tersebut berada dalam keadaan:
- Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02
akan bergeser ke kiri, dan
- Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen
meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser
ke kiri.
Spenomegali.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1217

POLISITEMIAVERA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kategori B
Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL,
Leukositosis:leukosit 2 12.000/mL(tidak ada infeksi).
Neutrophil alkaline phosphatase (NAP) score
meningkat lebih dari 100 (tanpa adanya panas atau
infeksi).
Kadar vitamin B >900 pg/mL dan atau UB,,BC dalam
serum2 2200 pg/mL.
Dalam beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi
kriteria diagnostik PV sebagai berikut:

Kategori A
Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0,56
Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
spenomegali yang teraba
Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)
Kategori B
Trombositosis >4 00 000 per mm3
Jumlah neutropil >10 x 10 9/L dan bagi perokok >12,5 x
10 9 / ~

Spenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau


ultrasonografi
Penurunan serum ertropoietin atau BFU-Egrowth yang
karakteristik
Diagnosis polisitemia Vera:
Kategori :A 1 + A2 dan A3 atau A4 atau
Kategori :A 1 + A2 dan 2 kriteria katagori B.

PENATALAKSANAAN
Prinsip Pengobatan
Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis
dengan flebotomi.
Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositiW
polisitemia yang belum terkontrol.
Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment).
Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan
berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
Mengontrol panrnielosis dengan dosis tertentu fosfor
radioaktif atau kemoterapi sitostatika pada pasien di
atas 40 tahun bila didapatkan:

Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia Vera

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- Trombositosis persisten di atas 800.000/mL,


-

terutama jika disertai gejala trombosis.


Leukositosis progresif.
Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan
sitopenia problematik.
Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan
atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

Media Pengobatan
Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan
yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama
bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang
dianjurkan.
Indikasi flebotomi:
Polisitemia sekunder fisiologishanya dilakukanjika Ht
> 55% (target Ht 4 5 % ) .
Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada
derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat
hiperviskositas dan penurunan shear rate, atau sebagai
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom
paraneoplastik.
Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah
mempertahankan hematokrit < 42% pada perempuan, dan
< 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas
dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada
semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien
yang masih dalam usia subur.
Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc
darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection
set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan
usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular
aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh
dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti
plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti
plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk
mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung
karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan
pada tiap 500 cc darah (normal total body iron 5 g).
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan
flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis,
keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan
pemberian preparat besi.
Fosfor radioaktif (P,,). Pengobatan dengan fosfor radioaktif
ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien
yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi
yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur.
P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2
secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis
dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu
pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil,
re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat
diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak
mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%

dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu


setelah dosis pertama.
Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada
sekitar 80% pasien untuk jangka waktu sekitar 1-2 bulan
dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi.
Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang
terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah
keadaan stabil.
Trombositosis dan trombositemia yang mengancam
(hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis
masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis
dapat terkontrol.
Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi
sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatika
golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan
golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak
dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi
yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan
(trpproved) Chlorambucil dan Busulfan digunakan pada
PV
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika:
hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV),
flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali
sebulan,
trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis,
urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan
antihistamin,
splenomegali simptomatik/mengancamruptura limpa.
Cara pemberian kemoterapi sitostatika:
Hidroksiurea (OHydrea 500mgltablet) dengan dosis
800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan
dosis 10-15 mglkgE3B/kali, j ika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.
Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis
induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan
dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
Busulfan (@Myleran2mgtablet) 0,06 mg/kgBB/hari atau
1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk
pemeliharaan.

Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih


sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan
klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit:
Pada pria <47% dan memberikannya lagi jika >52%,
Pada perempuan <42% dan memberikannya lagi jika
>49%.
Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan
produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol
trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm3), produk
biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interferon a
flntron-A 3 & 5 juta Iu, %Roveron-A3 & 9juta Iu) digunakan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1219

POLISITEMIAVERA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di
kontrol, dosis yang dianjurkan 2 juta Iu/m2/s.c.atau i.m. 3
kali seminggu.
Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan
sitostatika Siklofosfamid ("Cytoxan 25mg & 50mgltablet)
dengan dosis 100mg/m2/hari,selama 10-14 hari atau sampai
target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3)
kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
100mg/m21-2 kali seminggu.
Pengobatan Suportif
Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mgl
hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan
memperhatikan fungsi ginjal.
Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin,jika
diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran
Ultraviolet range A (PUVA)
Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat
reseptor Hz.
Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari
Quinazolin disebutkan juga dapat menekan
trombopoesis.

PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV


Pembedahan Darurat
Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau
dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan
flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan
mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4%
atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis
atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat
digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup
(life-saving).
Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk
dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di
hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnyajika terjadi
fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan
sebagai pengganti hemopoesisnya.
Pembedahan Berencana
Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien
terkontrol dengan baik. Lebih dari 75% pasien dengan PV
tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami
perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan,
kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan
meninggal.
Angka komplikasi akan menurunjauh jika eritrositosis
sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan.
Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan
terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di
dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi
autologus pada saat pembedahan.

Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif


Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan
dengan:
Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki
elastik (elastic stocking;) atau pulsatting boots.
Heparin dosis rendahjika tidak ada indikasi kontra dapat
diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis
10-20IukgBBIjam dengan target APTT 40"-60" sampai
pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50100 Iu/kgBB/subkutandapat diberikan setiap 8- 12jam
sampai pasien kembali ke aktivitasnormal.

PROGNOSIS
Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit
Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival
median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3
tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.
Penyebab utama morbiditi dan mortaliti adalah:
Trombosis dilaporkan pada 1560% pasien, tergantung
pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40%
penyebab utama kematian.
Komplikasi perdarahan timbul 1535% pada pasien
polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian
Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang
menjadi mielofibrosis dan pansitopenia
Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia
akut dan sindrom mielodisplasia pada 1,5% pasien
dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan
risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan
pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun
pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapat juga 5,9%
dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada
pasien dengan pengobatan hydroxyurea.

REFERENSI
Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF,
Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2.
Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505.
Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum
erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis.
Haematologica. 2004; 1194-8.
Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench AJ, et al.
A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and
treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65.
Radin Al. Polycythemia rubra vera. Current therapy in
hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42.
Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal
medicine. 16thedition. 1997. p. 679-81.
Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician.
2004.
White P. Myeloproliferative and myelodysplastic syndromes:
polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 31h
edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991.
p. 324-5.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Irza Wahid

PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut
primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa
disebut thrombocythemia Vera. Trombositosis esensial
merupakan anggota dari kelompok gangguan
mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan
trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif
lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini
yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah
trombositosis esensial, polisitemia primer dan
mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah
leukemia granulositik kronik (BCRIABL positif), leukemia
eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit
mieloproliferatif yang tidak tergolongkan.
Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400
orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien
trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun,
walaupun demikian pernah dilaporkan kasus pada anak
berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang
dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi
pada perempuan dibandingkanpria. Cortelazzo S dkk pada
penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan
trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien
adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan
perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.

Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan


diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun
demikian beberapa sitokin sep-erti interleukin-6 dan
interleukin-11juga berperan dalarn proses ini.
Dalam keadaan normal, pengaturan produksi trombosit
dari megakariosit di sumsurn tulang melibatkan pengikatan

trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal


inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik
memproduksitrombosit (Gambar 1 A).
Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan
merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan
mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang
selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1B).
Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan
pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan
megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan
kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor
trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit
menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang
akhirnya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik
dan produksi trombosit (Gambar 1 C).
Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2
terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran
trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data
terakhir memperlihatkan bahwa JAK2 ini berperan
terhadap berkurangnya c-MPL.
Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada
pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya
bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan
eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan
vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan
proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan
sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi
lamina elastika interna, 2). Perubahan arsitektur dan h g s i
trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan
ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik
trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop
pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika
berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin,
4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatanjumlah
trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOSIS ESENSlAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

1221

4). Peningkatan jumlah trombosit yang menyebabkan


produksi berlebihan prostasiklin (PGI,) yang akan menekan
penglepasan granul trombosit dan agregasi.

GAMBARAN KLlNlS

Gambar 1. Regulasi normallabnormal produksi trombosit

Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor


trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya trombosis
pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial.
Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan
trombosis rnasih dieksplorasi secara luas. Karena
trombosis tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif,
maka diduga jumlah trombosit saja tidak merupakan dasar
untuk terjadinya trombosis.
Perubahan arsitektur megakariosititrombosit dengan
trombosit yang abnormalimembesar ditemukan pada
pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gaga1
membuktikan hubungan ini dalarn menimbulkan trombosis.
Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan
platelet factor (pf #)/beta tromboglobulin menyokong
aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis
esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya
trombosis.
Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga
dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: 1).Abnormalitas
fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang
mengalami ulserasi; 3). Konsumsi faktor koagulasi;

Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai


gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien
trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode
trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis
ditegakkan.
Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama
pada trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi
mulai dari episode iskemia transient pada retina, susunan
saraf pusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang
lengkap, sekunder dari penurunan aliran darah dengan
manifestasi angina pektoris, infark miokard akut, strok dan
trombosis vena dalam.
Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis
esensial adalah eritromelalgiadan trombosis mikrosirkulasi.
Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan
patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial.
Keluhan ini biasanya dimulai dengan acroparesthesis atau
sensasi gatal pada kaki yang bisanya dikuti dengan rasa
nyeriiterbakar serta kemerahan dan bendungan yang
kadang dapat dicetuskan oleh exerciselpanas.
Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan
arteriol menghasilkan gejala berupa episode iskemia yang
transient dengan manifestasi berupa gangguan visus,
claudicatio intermittent dan infark pada jari. Karena oklusi
hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering
masih teraba pada pada palpasi.
Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi arteri
perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan
jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis
esensial.
Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum
digunakan untuk gambaran klinis trombositosis esensial,
perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan
trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan
berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas,
tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis,
ginggiva ataupun perdarahan ringan pada gastrointestinaligenitourinarius.
Splenomegali didapatkan pada 70% pasien
trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan
sebanyak 30%. Trombosis vaskular plasenta dengan infark
berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan
dengan trombositosis esensial. Abortus spontanlberulang
dan retardasi pertumbuhan janin terjadi pada 50% pasien
perempuan dengan trombositosis esensial.
Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100
orang pasien dengan trombositosis esensial
memperlihatkan 76% pasien tanpa komplikasi trombosis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ataupun hemoragis, 20% dengan manifestasi trombosis,
dan hanya 4% dengan manifestasi hemoragis.
Walaupun jarang, dalam perjalanan penyakitnya
trombositosis esensial dapat mengalami transformasi
menjadi mielofibrosis dan leukemia mieloblastik akut.

DIAGNOSIS

Peningkatan jumlah trombosit yang menetap merupakan


gambaran diagnosis utama trombositosis esensial.
Walaupun demikian penyebab lain peningkatan jumlah
trombosit hams disingkirkan. Trombositosis yang disertai
dengan splenomegali lebih mengarahkan diagnosis kepada
trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis
reaktif
Kriteria diagnosis:
Hitung trombosit >450.000 ul (dikonfirmasi lebih dari 1
kali)
Tidak ditemukan penyebab lain peningkatan hitung
trombosit
Tidak ditemukan sindrom mielodisplasia atau gangguan
mieloproliferatif lainnya.
Sumsum tulang dengan:
hiperplasia megakariositik
fibrosis 4 1 3 bagian
Kriteria tambahan:
Splenomegali
Invitro: pembentukan koloni megakariositik spontan

Campbell PJ dan Green AR mengusulkan kriteria


diagnosis untuk trombositosis esensial sebagai berikut:
A 1. Hitung trombosit >600 x 109/1minimal dalam waktu 2
bulan
A2. Mutasi JAK2
B1. Tidak didapatkan penyebab trombositosis reaktif
B2. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi
83. Tidak didapatkan bukti polesitemia Vera
B4. Tidak didapatkan bukti leukemia mielositik kronik
B5. Tidak didapatkan bukti mielofibrosis
B6. Tidak didapatkan bukti sindrom mielodisplasia
Diagnosis trombositosis esensial dapat ditegakkan
apabila A1 + A2 + B3 -B6 (V617F- trombositosis esensial
posit# atau A 1 + B l - B6 (V617F-trombositosis esensial
negatif)
Keadaan klinis yang berkaitan dengan trombositosis
reaktif:
Akut dan transient
Menetap (menit-jam): epinefrin, berkuat
*. Menetap Qam-beberapa hari):
- Kehilangan darah akut
- Penyembuhan infeksi akut
- Pasca (rebound) trombositopenia
- Pasca imunisasi
- Pasca kemoterapi cytoreductive
- Pasca anemia megaloblastik
- Pasca trombositopenia alkoholik
Kronik
Menetap dalam waktu yang lama: kehilangan darah
kronik dengan defisiensi besi, penyakit inflamasi kronik,
penyakit infeksi kronik, kanker, anemia hemolitik
Menetap dan potensial untuk berlangsung seumur
hidup
Pasca splenektomi

DIAGNOSIS BANDING

Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial. A.


Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah
trombosit termasuk adanya trombosit raksasa. B. Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatanjumlah megakariosit

Pada keadaan ditemukannya peningkatan jumlah


trombosit (>450.000/mm3) terlebih dahulu harus
disingkirkan bahwa ha1 ini bukanlah disebabkan oleh
suatu keadaan trombositosis reaktif. Pada trombositosis
reaktif sering ditemukan adanya penyakit dasar dan tidak
dite~nukanadanya keadaan trombosis/hemoragis serta
splenomegali. Di samping itu fungsi trombosit, gambaran
darah tepi dan gambaran sumsum tulang dalam batas
normal. Selanjutnya harus dibedakan antara
trombositosis
esensial
dengan
gangguan
mieloproliferatif lainnya yakni polisitemia primer,
mielofibrosis idiopatik, leukemia granulositik kronik,
leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOSISESENSIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Trombosis
Klonal
Penyakit dasar
lskemia
DigitaIlserebrovaskular
Trombosis arteri Ivena
besar
Hemoragis
Splenomegah
Gambaran darah tepi
Fungsi trombosit
Gambaran sum-sum
tulang
Jumlah
Morfologi

Hemoglobin

Trombosis
Reaktif

'

Tidak ada
Karakteristik

Sering
Tidak ada

Risiko tinggi

Tidak ada

Risiko Tinggi
Ya, sekitar 40 %
Trombosit raksasa
Mungkin abnormal

Tidak ada
Tidak ada
Trombosit normal
Normal

Meningkat
Giant, dysplastic
forms with
increased ploydy
associated with
larges masses of
platelet debris

Meningkat
Normal

Trornbositosis
Esensial

Polisiternia
Vera

Mielofibrosis
ldiopatik

Normal / J

ttt

J.

Leukosit
(XI 0~11)
Trombosit
(XI 0~11)

12-25

Be~ariasi

450 - 800

450 - 1000

Eritrosit berinti

Jarang

Jarang

Umum

Alkali
fosfatase
leukosit

Normal

Biasanya T

Normal - TT

Sum-sum
tulang

H~perselular
Megakariosit TT '?

Hiperselular
Cadangan Fe t

Fibrosis, dry tap

Fibroblast

(-) -TT

(-1 - t

TT- t T t

40% - 50%

80%

80%- 99%

10 - 15%

5%- 20%

Masa eritrosit T
Eritropoetin J

Marrow imaging

Splenomegali
(%)

Transformasi
blastik (%)
Pemeriksaan
khusus

Tes fungsi
platelet
abnormal

PENATALAKSANAAN
Hidroksiurea merupakan terapi pilihan pertama pada
trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini
disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek
samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam
mengurangijumlah trombosit tetapi juga dalarn mengurangi
risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah
15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah
anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus
pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya
masih dalam perdebatan.
Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat
proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah

terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada


trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhari
(terbagi dalam 2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mg/
hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit
dengan dosis maksimal10 mghari. 30% pasien tidak dapat
mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan
inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan,
palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi A melaporkan
pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan
penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi.
Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk
meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi.
Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek
samping yang ditimbulkannya. 20% pasien tidak dapat
mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan
trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang
berkeinginanlsedang hamil maka interferon alfa menjadi
pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik
hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati
plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin.
Trombosit dapat dikurangi hingga <600000/mm3pada 90%
pasien dengan dosis rerata 3000.000 iu setiap hari.
Dalam pemilihan terapi cytoreductive, Spivak dkk
merekomendasikan anagrelide dan interferon alfa pada
pasien muda dan hidroksiurea pada pasien yang lebih tua.
Aspirin sangat efektif sebagai terapi adjungtive, pasien
trombositosis asensial dengan trombosis rekuren. Belum
banyak ditemukan kepustakaan yang membahas
antitrombosit lainnya seperti tiklopidin dan klopidogrel.
Campbell PJ dan Green AR merekomendasikan
penatalaksanaan pasien dengan trombositosis esesnsial
sebagai berikut: 1). Semua pasien. Pengelolaan terhadap
faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti merokok,
hipertensi, hiperkolesterolemia dan obesitas; 2). Pasien
dengan risiko tinggi yakni pasien dengan riwayat
trombosis atau berusia >60 tahun atau hitung trombosit
> 1500 X 109/l.Aspirin dosis rendah ditambah hydroxyurea
(anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua);
3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan
usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko
tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbqngkan terapi
cytoreductive j ika didapatkan faktor risiko kardiovaskular;
4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia
< 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi.
Aspirin dosis rendah.

REFERENSI
Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic
states: experience i n 577 Patients. A m J Med. 1992;92:69-76.
B a r b u i T, Finazzy G. When and h o w t o treat essential thrombocythemia. N E n g l J Med. 2005;353:85-6.
Campbell PJ, Green AR. Management o f polycythemia Vera and
essential thrombocythemia. Hematology. 2005:201-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUKMessinezy


dr. PRIYO
PANJI
M, Pearson TC. ABC

Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders. Harmening DM


Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 4Ih
edition. In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors.
Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002. p. 331-57.
Cortelazzo S, Finaui G, Ruggeri M, et al. Hydroxyurea for patients
with essential thrombocythemia and high risk of thrombosis. N
Engl J Med. 1995;332:1132-6.
Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand
thrombocythemia. Hematol Oncol Clin N Am. 2003;17:63 83.
Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative
diseases. Hematology. 2005:409-15.
Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloproliferative disorders: it all makes sense. Blood. 2005;105:418790.

of clinical haematology:
polycythemia, primary (essential) thrombocythemia and
myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587.
Schafer AI. Thrombocytosis. N Engl J Med. 2004;350:1211- 9.
Spivak JL, Barosi G, Tognoni G, et al. Chronic myeloproliferative
disorders. Hematology. 2005:200-24.
Storen EC, Teffery A. Long-term use of anagrelide in young
patients with essential thrombocythemia. Blood. 2001;97:8636.
Tomer A. Effects of anagrelide on in vivo megakaryocyte
proliferation and maturation in essential thrombocythemia.
Blood. 2002;99:1602-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

MIELOFIBROSIS
Suradi Maryono

PENDAHULUAN
Mielofibrosis m e r u ~ a k a n suatu kelainan vana
. dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen
berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara
definitifmerupakankelainan sel stem hematopoiesisklonal,
dihubungkandengan chronic myeloproliferative
disorders (CMPD), dimana adanya hematopoeisis
ekstramedular merupakan gambaran menyolok.
Penyakit ini termasukjarang didapatkan dalam praktek
sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada
tahun 1879(Sit. Clark dan William 2005), dengan nama lebih
30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis
idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis
dengan Metaplasia Mieloid (MMM). MMM perlu
dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana
mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. (
Tabel 1)
Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat,
misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy,
mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan
pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.

Kondisi Neo~lastik.
Gangg~an'mielo~roliferatif
kronik
Metaplasia mieloid agnogenik
Polisitemia rubra Vera
Leukemi mieloid kronik
Kondisi neoplastik lainnya.
Leukemia megakarioblastik akut (M7)
Fibrosis dengan mielodisplasia
' Agnogenik transisional
Mielodisplatik metaplasia mieloid
Sindrom mieloproliferatif
Mieoloid akut lain
Leukemia
Leukemia limfoid akut
Leukemia Hairy cell
Mieloma
Karsinoma
Mastositosis sistemik
Kondisi Non Neoplastik.
Penyakit granulomatosa
Penyakit paget
Hipoparatiroidisme
Hiperparatiroidisme
Osteoporosis
Osteodistrofi ginjal
Defisiensi Vitamin D
Gray pletelet syndrome
Lupus eritematosus sistemik
Sklerosis sistemik

ETlOLOGl DAN PATOGENESIS

Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical


hematology, 2005).

Penyebab MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak


diketemukan adanya faktor pencetus, secara
epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan
sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi
ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat
pemberian material kontras radiografi dengan bahan
dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom
Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih
besar daripada populasi lainnya, simtom pertama muncul

6 tahun setelah eksposur. Tefferi (2003) menemukan insidens


MMM di Amerika utara 0,3-1,5 kasus per 100.000populasi.

HEMATOPOIESIS KLONAL
Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM
dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(Policythemia vera) dan ET (Essential thrombocythemia)
seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir
sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum
tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan
fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel
darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sumsum tulang
dan suatu tendensi terhadap terminasi leukemia akut.
Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu mutasi
somatik sel stem hematopiesis pluripoten.
Beberapa observasi memperjelas adanya hematopoiesis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang
terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik
klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah:
neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa
prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi
isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi
kromosom x pada perempuan, defek sel membran dan
mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dalarn sirkulasi
pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor
dalam sirkulasi meningkat 400 kali di atas level normal. Sel
progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan
dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan
sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua
gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada
pasien MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang
tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan
fisiologis.

PERUBAHAN TINGKAT MOLEKULAR


Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus
yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM.
Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti
halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang
dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada
patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya
MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam
penelitian.
Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti
antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien
MMM dengan progenitor cytokine-dependent
(diperkirakan normal). Immunophilin FKBPS 1 berekspresi
berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini
terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi
GATA- 1 aktif pada diferensiasi megakariosit normal. Pada
penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1
menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga
peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk
terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan
dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen
retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau
perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami
metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan
dengan abnormalitas gen pS3 atau gen ras.

FIBROSIS SUMSUM TULANG DAN HEMATOPOlESlS EKSTRAMEDULARE


Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder
terhadap hemopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi
kolagen yang akan diakumulasi, sel ini normal dan bersifat
poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang
dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal
sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan
dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanya konsentrasi
prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan
petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan
aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam
ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum
tulang. Empat dari lima tipe kolagen terdapat disini.
Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama
pada MMM, dan timbunan kolagen meningkat setara
dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM
persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan
pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik)
tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat molekul
matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin
daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya
neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya
penyakit dan mungkin ha1 ini penting terhadap timbulnya
fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-P sebagai
mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM.
Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel
seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-P
lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada growth
factor derivatplatelet atau epidermal growth factor dan
mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-P juga
stimulus yang poten terhadap angiogenesis.
Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian
Lundberg et a1 (2000), dengan membandingkan
penyakit mieloproliferatif (PV, CML dan mielofibrosis/
MF) dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara
bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada
PV dibandingkan dengan normal (Gambar l c ) .
Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang
dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut
adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dan
vascular endothial cell growth factor (VEGF), yang
akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan
membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat
tersebut.
Kenaikan kadar TGF-P dapat dideteksi dengan naiknya
sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan
fragmen MMM. Beberapa growth factor lain diperkirakan
juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain:
Platelet derived growth factor yang terdapat pada
megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin-1, basic fibroblast

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme
bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan
sumsum tulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulaa megakariosit, megakariosit displastik yang rusak dalam
sumsum tulang dan rusaknya megakariosit sitoplasma oleh
leukosit PMN.
Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi,
akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM.Tikus yang
diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated T P O untuk mempercepat hiperplasia
megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan
hematopoiesis ekstramedulare. Walaupun begitu peranan
TPO pada M M M belum jelas, walaupun kadar TPO pada
M M M meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa
megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakan karena
mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata
TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada

MMM.
Distribusi hematopoiesis ekstramedular pada M M M
fetus melibatkan liver dan limpa. Model mielofibrosis
dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan
ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang
meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai
melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan
ekstramedulal; Atumbuhi pindahan sel hematopoiesis.
Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan
sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada
metastasis
dan mungkin merupakan mekanisme
. kanker
.
mum.

GAMBARAN KLlNlS UNTUK DIAGNOSIS

M M M menyerang golongan umur menengah dan tua,


rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai
kemungkinan sama. M M M kurang sering mengenai umur
muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada
perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor
familial.

Splenornegali
Hepatornegali
Fatique
Anemia
Leukositosis
Trornbositosis
Sering ditemukan (10-50% kasus)
Asirntornatik
Penurunan berat badan
Keringat malarn
Perdarahan
Nyeri splenik
Leukositopenia
Trombositopenia
Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus)
Edema perifer
Hipertensi portal
Lirnfadenopati
Kuning
Gout
'Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)

TANDA
Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik
yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh
pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti
komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan
gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan
petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien
memperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada
sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis
ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti
periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila
permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin
akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang
diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intrakranial
meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan
motorik, sensorik dan paralasis.

GEJALA .

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada 25% kasus M M M berpenampilan asimptomatis,


diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah
yang abnormal atau secara insidensil terdapat
splenomegali. (Tabel 2)
Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan
penurunan berat badan (7-39%), sindrom hipermetabolik
(demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien),
perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut,
Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang
didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri
substernal kadang diketemukan.

Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit
bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit
berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Garnbar l a , l b ) . Retikulosit
meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan. Abnormalitas morfologi ini
diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya
sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis
ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih
belum jelas.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Anemia dengan Hb kurang 10 grldl, ditemukan 60%


kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume
plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum
tulang dan hemolisis.
Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: anisopoikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid
(samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu
promielosit dan satu normoblas). (Sumber: Atlas
hematologi, Heckner & Freud, 1999)
Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit
bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus,
sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat
mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelok.
D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit
berkelok. (Sumber: Lunberg et al., 2000)
Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan:
hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H
yang didapat dan %danya sensitivitas membran
komplemen yang serupa PNH (Paroxysnial noctrunul
hemoglobinuria).
Morfologi anemia tidak khas pada umumnya
normositik normokromik, makrositik bila defisiensi
asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe
atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit
meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan
basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa
mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan
mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah
leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas ~ 1 %
memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil
hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit
meningkat pada awal MMM, pada progresifitas
penyakit dapat terjadi trombositopenia.
Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi
ditemukan megakariosit yang utuh ataupun mengalami
fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak n o r ~ n a l ,
gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan
penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness
dan aktivitas lipogenesis. Perubahan pada faktor
pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit
tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatal
Disseminated Intravasculav Coagulation (KIDIDIC)
subklinik dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk
lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat dapat terjadi
pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat dan enzim
laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat,
menggambarkan adanya massa yang berlebihan dari sel
hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak
efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi kenaikan kadar
enzim alkalinefosfastase serum yang merupakan
keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albumin,
kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar
vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang
merupakan refleksi dengan peningkatan masa
neutrofil.

Gambar l a . Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti


dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran400x) (Sumber: Clark
dan william, Wintrob's 2005).

Gambar I b . Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis:


aniso-poikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping
granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu
normoblast). (Sumber:Atlas hematologi, Heckner & Freud,l999)

Gambar I c . Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi


sumsum tulang normal (A), PV. (B), MF.(C) dan CML (D)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


SUMSUM TULANG
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil
(dt:~r(rp)
dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk

metiegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah


(?j t ~ ~ ' m ~ ~ r o l o ~ v .
di buat oleh /t(iliu~lSociv~jData morfologi dan klinis digabungkan i ~ n t u k
n~e~idiagnosis
banding MMM dari penyakit CMPD
lainnya, dan darj si~idromatnielodisplasia dengan fibrosis
sumsuln tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum
tulang dan kelainan morfologi hiperplasia surnsum tulang
dan hernatopoiesis ekstran~edular.Ketiga elemen tersehut
di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3)
Gambar %
M&
i.
&a%!&ri spejimQn WYpsi awWutr, tulang
menampilkan peningkatan kolageh {diperbesar 400x)
(Sumber Clark dan William. Wintrob's 2005)
Kriteria Mayor
Fibrosis sumsum tulang difus
Hilangnya t9:22 kromasom atau bcrlabl rearrangement pada
sel darah perifer
Splenomegali.
Kriteria Minor
Anisopoikilos~tos~s
dengan tear dropred cells
Sel darah merah berlnti dalam sirkulasi
CEustred marrow megakatyobtast dan anomalous
megakanocytes
Metaplasia mlelold
'Catatan : Ket~gakriter~amayor ditambah dua krlteria mlnor
manapun atau dua krlteria mayor pertama ditambah empat
kriteria minor manapun harus dldapatkan, untuk diagnosis

MMM.
*Dladaptasl dari Clark and Wllliams (Wlntrob's,2005)

Fibrosis harus terjadi pada seniua kasus MMM, dan


biasanya pada pasien lanjut.
Pada stadium aha1 fibrosis niininlal dan hiperplasia
sutnsum tulang mungkin Icbih jelas. Keadaan tersebut
disebur fase selular MMM. Bilalnana fibrosis surnsum
tulang tidak terb~tktipasien yang dicurigai MMM, perlu
diambil material dari tctnpat lain, karena penyebaran tidak
merata.
Fibrosis mungkin perlLldigradiasi menurut sistern yang
telah dipublikasi dan bukti adanys osteosklerosis (Cambar
2a, 2b).
Bila fibrosis masif, selularitas keselt~ruhanakan tunm,
tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusold sulnsurn rulang akan meluas, disitli akan terjadi
helnatopoiesis intravaskular (Gambar 3).
Kenaikan jumlah sel ilrust dapat diobservasi pada
pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan
apus sunlsutn, sepintas tidak terlihat kelainan. terapi sering
didapatkan hiperplasia neutrofilik dan tnegakariosit.
Adanya mikromegakariosit dan makroniegakariosit dapat
ditemnkan, sehingga menimbulkan rrucleol--c:~~toplu.r~nic~
usyi?chro+~.

Iw_-

+-. ;-t% .F--Ai. . -.


'.
-

- .

Gambar 2b. Ada fungsj sumsurn tulang. Fibrosis sumsum tufang


total, kegagalan hematopiesis (Sumlrer. Heckner 8 Freud. Atlas
hematologi,l990)

Granulosil dapat liipo atau hiperlobulated sehingga


niemperliliatkan anomali Pelper-Huet didapat atau adanya
n z ~ c . / r t r ~ . - ~ . t oa /s ~ ~/ t~r c~~~/ r~r ~
.Prekusor
o~r ~~~i' c eritroid
~ ~ ~ matau
l a ltneninlkat, Yang d a ~ a dt i ~ e r i k s adengan
.scrrnni)tg isotop sumsum tulang detigan koloid sulfur
untuk sel retikuloendatelial dan dengan koloid besi untuk
sel eritroid yang tnenunjukkan adanya ekspansi sumsurn
tulang sarnpai pada tulang panjang tiormal inaktif.

ABNORMALITAS KROMOSOM
Separuh pasien MMM terdapat abnortnalitas klonal
kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan
abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada
pasien MMM tnenyisakan sel hematopoiesis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 3. Potongan biopsi sumsum tulang dari 2 pasien


metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase proliferatif
sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua
fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x)
(A) Fibrosis intens dengan pembentukan tulang baru, dilated
sinusoids, dan residual rnegakaryocytes (hematoksilin dan eosin,
pembesaran 100x) (B) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's
2005).

normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom


yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del
13(ql3q21) dan del20q. Kromosom yang sering terganggu
adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan
monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering
ditemukan. Fibroblas tidak berperan terhadap abnormalitas
kromosom pada MMM.

KERUSAKAN SISTEM IMUN


Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada
MMM, ha1 ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel limfosit
T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada
MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat
diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral
telah ditemukan. Menurunnya kadar C3 dapat terjadi dan
menyebabkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial.
Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain:
autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi
antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid.
Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati
monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada
beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel
plasma pernah dilaporkan.

Gambaran khas pada MMM adalah adanya fibrosis


sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare.
Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 3070% kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian
proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami
penebalan dan pola normal trabekula menghilang.
Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya
splenomegali, liver dan beberapa organ lain juga dapat
terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum,
usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, mammae, dura,
ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin
mengandung beberapa campuran turunan prekusor mieloid
dan kemungkinan terlihat sebagai infiltrat mikroskopis atau
tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi
ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan
hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks
mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi
daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target
dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitar jaringan normal,
tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan.
PERKEMBANGAN ALAMl DAN KEMAMPUAN
HIDUP
Pada MMM rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan
kurang 20 % dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini
diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu
pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan
kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET
dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak
memberikan survival lebih pendek. Prognosis lebih baik
bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb >10 gr/dl,
platelet > 100 x 109/Ldan tidak ada hepatomegali. Pasien
lebih muda mempunyai kemampuan survival lebih baik,
seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam
sirkulasi. Adanya abnormalitas sitogenetik termasuk single
clone dengan translokasi kromosom 1,Sq-, trisomy 8, 13qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi
secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal
mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume
plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlarut
mempunyai survival lebih jelek.
Reilly, Snowden dan Spearing et a1 (1997) membuat
beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb, simptom
konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar
grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan
dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu
simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara
spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul
misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas
bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


terjadi splenomegali yang semakin memberat sehingga
timbul rasa sakit dan nyeri tulang.
Sebagian pasien terjadi hipertensi portal dengan
varises esofagus, akibat dari: Kenaikan aliran darah
splenoportal, trombosis vena hepatika, trombosis vena
portal, hemokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal.
Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek
platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC)
atau defisiensi faktor pembekuan.
Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi,
perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents,
gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah
leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah
leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi
sitostatika, kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa
dengan leukemia mieloid akut.

PENATALAKSANAAN
MMM munglun dapat disembuhkan dengan hematopoietic
stem cells Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya
berhasil untuk pasien muda d m merupakan risiko kematian
yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk
memperpanjang survival atau mencegah progresi
mielofibrosis.
Terapi suportif diarahkan langsung terhadap
komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis
dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk
mempertahankan urat darah tetap normal, untuk
menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout.
Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan
berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa
terapi gagal memperbaiki hematopoiesis, transfusi
diperlukan untuk mempertahankan hitung darah.
Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya kejadian
hemolisis.
ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL
Transplantation (AHSCT)
Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan
dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor
umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor
yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang
dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum
tulang dan splenomegali rupanya bukan hambatan untuk
HSCT.
Dilaporkan oleh Guardiole et a1 (1999) d m Jurado et al.
(2001) &.Clark dan William (2005) kelompok International
cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur
muda, umur rerata 42 tahun, dengan HLA-identical

related donor. Pada seri Seatle, 8 dari 19 pasien donor


HLA-matched tetapi unrelated, 2 dari 19 donor adalah
one-antigen mismatches. Survival keseluruhan dalam 5
tahun sebanyak 50%. Adanya kariotipe abnormal, anemia dan umur tua diikuti outcome yang jelek. MMM
dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun
sebanyak 14%. Semakin menjadi jelas, bahwa pada pasien
lebih muda dengan 2 faktor risiko, dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan
dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak.
Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin
memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek
tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai
faktor risiko muncul, walaupun data tentang ha1 ini belum
banyak dilaporkan.
Terapi Androgen dan Kortikosteroid
Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat
MMM. Dengan respon rate 29-57%. Perbaikan spontan
mungkin dapat terjadi pada MMM, sehingga respon
terhadap terapi perlu dianalisa secara cermat. Perempuan
dengan splenomegaliminimal dan pasien dengan kariotipe
normal memberikan prognosis lebih baik. Sebelum terapi
dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat
baik secara fisis maupun dengan antigen spesifik untuk
prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya efek
virilisasi. Selama terapi dengan androgen perlu dimonitor
faal hati.
Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup
baik, diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron,
dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah
3-6 bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa
pasien yang tidak berespon terhadap androgen,
kemungkinan memberikan respon preparat lain, karena
daya hidup eritrosit memendek pada MMM, kemungkinan
kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup eritrosit
dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan
dosis: lmgkg. berat badan sehari, memberikan respon pada
25-50% pasien. Respon paling baik dilaporkan terdapat
pada pasien perempuan. Pasien dengan hemolisis perlu
diberikan suplemen asam folat. Androgen dan
kortikosteroid kadang dapat dikombinasikan. Dosis
dimulai dengan prednison 30 mg/ hari, dengan kombinasi
fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari, bila terdapat respons
setelah satu bulan terapi, dosis prednison diturunkan
secara tapering off, sedangkan fluoksimesteron
dilanjutkan.
Kemoterapi
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan
tidak memberikan perubahan secara umum pada MMM,
tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala.
Kemoterapi dapat mengurangi hepatomegali dan
splenomegali serta memperbaiki penurunan berat badan,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

demam dan keringat malam sampai 70% pasien, serta


mengurangi leukositosis, trombositosis dan anemia.
Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan,
6-tioguanin dan hidroksiurea. Pada MMM pemberian
kemoterapi hams lebih hati-hati karena cendemng terjadi
toksik sumsum tulang daripada CMPD lainnya. Misalnya
pemberian Busulfan 2-4 mglhari sudah mempakan dosis
maksimum yang dapat diberikan dengan derajat
keselamatan pada MMM. Pasien hams dimonitor secara
frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia.
Hidroksiurea dapat diberikan dosis terreduksi 500- 1000 mg
selang sehari, dengan penyesuaian dosis tergantung
respons klinis dan hitung darah.

lradiasi
Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan
respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada
kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien
mengalami perbaikan keluhan nyeri dan > 50% terjadi
pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan
perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan
pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per
minggu. Dosis total 700-2400 cGy dapat memberikan hasil
yang nyaman dengan toleransi toksisitas. Hasil sementara
bam dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir. Tumor
hematopoiesis ekstramedular simptomatisjuga memberikan
respons terhadap terapi iradiasi, terutama cocok pada nyeri
tulang dari tumor atau periostitis dan pada deposit susunan
saraf pusat.
Splenektomi
Splenektomi dipertimbangkan pada pasien refrakter
terhadap terapi: Sitopenia, hipertensi portal, atau gejala
akibat hipersplenisme. Dengan splenektomi memberikan
perbaikan: simptom hipersplenisme, hipertensi portal,
anemia dan trombositopenia, walaupun perbaikan ini tidak
selalu dapat dipertahankan setelah satu tahun tindakan.
Splenektomi pada MMM harus hati-hati, karena
organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi
adhesi, naiknya aliran darah dan status compromised
pasien. Adanya DIC(K1D) ringan yang ditandai kenaikan
kadar D-dimer sering ditemukan pada MMM, dengan
risiko perdarahan yang tidak mudah diperbaiki preoperatif.
Mortalitas operasi akut dapat mencapai 38%, pada
stadium awal penyakit, sedangkan mortalitas pada
perawatan rumah sakit yang lebih modern turun <lo%
dan 25% dalam 3 bulan. Splenektomi kadang menimbulkan
krisis aplastik, karena lien menjadi tempat hematopoeisis
ekstramedular, pada fibrosis sumsum tulang berat.
Dilaporkan adanya komplikasi splenektomi yang
bermakna: infeksi intraabdominal, trombositosis berat
dengan trombosis dan hepatomegali yang cepat
membesar. Dua terakhir tersebut mungkin memerlukan
siklus kemoterapi pascaoperatif.

Pengobatan Lain
Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas
TGF-P dan efektivitasnyapada CML. Interferon-a munglun
bermanfaat menghilangkan nyeri tulang, trombositopenia
dan spenektomi, tetapi efektivitas ini menurun dengan
adanyaflulike symptoms berat dan memberatnya anemia.
Vitamin D beserta analognya dapat menekan prolioferasi
magakariosit dan memperbaiki mielofibrosis yang
dihubungkan dengan rickets. Anagrelid dapat menurunkan
trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya.
Beberapa pasien dapat diberikan eritropoeitin bahkan lebih
baik bila dikombinasikan dengan interferon. Pasien dengan
MMM berat dapat diberikan preparat antiangiogenik
Talidomid, 20% kasus terjadi perbaikan dengan
menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien dan
perbaikan hitung darah. Efek samping serius dilaporkan
antara lain: leukositosis dan trombositosis berat
hematopoiesis ekstramedular perikardial, dan dapat terjadi
pada dosis awal yang sangat rendah 50 mglhari.
Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 50
mghari dengan prednison O,Smglkg/hari, 95% memberikan
respon komplit dalam 3 bulan pengobatan.
Surarnin dan imatinib dilaporkan pemah diberikan pada
MMM, dengan hasil yang belum jelas.
Kuretase secara mekanik sejumlah jaringan fibrotik
sumsum tulang iliaka, diperkirakan dapat meningkatkan
hematopoiesis dan memperbaiki anemia, walaupun ha1 ini
dengan prosedur komplek dan tidak selalu berhasil pada
semua pasien.
HSCT analog setelah pemberian dosis tinggi busulfan, pemah dilakukan pada sejumlah MMM lanjut yang
refrakter terhadap terapi lain, walaupun dengan mortalitas
cukup tinggi (6 dari 12 pasien), hampir semua pasien terjadi
perbaikan simtom hipersplenisme dan separuh pasien
terjadi perbaikan anemia dan trombositopenia.
Diagnosis Banding
Diagnosis MMM berdasarkan triad: fibrosis sumsum
tulang, hematopoiesis ekstramedular dan hematopoiesis
klonal dengan tidak diketemukannya penyakit yang
mendasari. Tidak diketemukan tanda-tanda patognomonik
dan bukti hematopoiesis klonal secara tidak langsung bila
kariotipe abnormal tidak ditemukan. Biopsi sumsurn tulang
penting dilakukan untuk menentukan adanya fibrosis dan
membuktikan adanya hematopoiesis klonal dalam bentuk
panhiperplasia serta untuk menyingkirkan adanya proses
infiltrasi. Untuk diagnosis memakai Italian concensus
conference (Tabel 3), walaupun mungkin tidak berlaku
untuk fase awal MMM.
Mielofibrosis Akut
MMM kadang sukar dibedakan dengan mielofibrosis akut.
Lewis dan Szur(1983. sit Clark dan William, 2005)
melaporkan adanya pasien dengan: Fibrosis sumsum

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1233

MIELOFIBROSIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


tulang. pansitopenia, demam dan secara cepat menjadi
fatal, mereka menamakan sindrom ini dengan: "Malignant
myelosclerosis" dan ha1 ini yang disebut sebagai:
mieloseklerosis akut atau Mielofi-brosis akut. Beberapa
publikasi memasukan pasien dengan fibrosis sebagai
komplikasi leukemia akut, MMM dalam transisi ke
leukemia akut dan fibrosis dengan komplikasi sindrom
mielodisplasia. Bahkan beberapa pasien dengan sindrom
ini, secara cepat berkembang menjadi bentuk aleukemik
dari leukemia megakarioblastik akut (French-AmericanBritish, M7). Mielofibrosis akut hams dibedakan dengan
MMM, karena bentuk ini diterapi sebagai leukemia akut,
tidak terdapat splenomegali dan dalam sumsum tulang
terdapat peningkatan megakarioblas.

Kelainan Mieloproliferatif Kronik Lain


MMM juga perlu dibedakan dengan CML, ET dan PV
(Polisitemia vera). Bila fibrosis sumsum tulang sebagai
gambaran utama maka diagnosis menjadi sulit. PV yang
berakhir dengan MMM like syndrome, adalah 15-20%
pasien. Mielofibrosis pada PV, lebih sering terjadi setelah
beberapa tahun parjalanan penyakit. Karena pasien
dengan postpolisitemik PV, menjad,i simptomatik akibat
ekspansi masa sel darah merah dan menjadi awal perhatian,
serta diagnosis biasanya dibuat sebelum timbul fibrosjs
sumsum tulang. Pasien dengan PV, pertama diketemukan
adanya mielofibrosis fase postpolisitemik perjalanannya
lebih progresif daripada pasien MMM. Mielofibrosis juga
dapat terjadi pada CML, tetapi untuk deferensial
diagnosis dengan MMM berdasarkan pada analisa
genetik.
Pemeriksaan kariotipe atau dengan pemeriksaan probe
hibridizasion fluorescen insitu untuk perubahan gen bcr/
abl, dapat melengkapi sumsum tulang dan gambaran darah
tepi. Lebih kurang 95% pasien CML yang tipik, terdapat
kromosom abnormal ,t9:22 Philladelphia (Phl) dan hampir
semua memperlihatkan bukti adanya kerusakan gen bcr/
abl. Beberapa kasus kadang ditemukan bersamaan
translokasi 9:22 dengan atau tanpa dideteksi adanya bcr/
abl. Pada CML pembesaran lien sebanding dengan jumlah
leukosit. Bila lien membesar, tetapi jumlah leukosit kurang
dari 100 x 1O9 per L, mungkin kearah MMM daripada CML.
Pada ET dengan fibrosis sumsum tulang, kondisi ini dapat
meyerupai stadium awal MMM, dan untuk menentukan
diagnosis memerlukan pengamatan lebih jauh.
I

Mielofibrosis Sekunder
Mielofibrosis mungkin dapat terjadi akibat reaksi terhadap:
Keganasan, infeksi dan beberapa penyakit lain (tabel 1).
Hal ini dapat dihubungkan dengan perubahan darah tepi
dan hematopiesis dengan penampilan seperti MMM.

Suatu studi dari Mayo Clinic dari 50.277 apusan darah


terdapat gambaran leukoeritroblastik sebanyak 2 15 atau
0,4%. Dua pertiga kelompok ini mem~unyairiwayat
keganasan (1974, Sit: Clark & William, 2005).
Diagnosis mielofibrosis sekunder berdasarkan adanya
penyakit yang mendasari. Mielofibrosis sekunder
merupakan gambaran reguler dari kondisi tertentu termasuk
postpolycythemic PV dan komplikasi jarang dari Systemic
lupus erythematosus dan rickets. Bila mielofibrosis karena
infeksi biasanya bentuk kronis, menyebar luas dan
biasanya mudah dideteksi. TBC dan infeksijamur biasanya
sudah diobati sebelum muncul mielofibrosis sekunder
.Hampir semua mielofibrosis sekunder merupakan metastasis keganasan. Pemeriksaan hidroksiprolin urin suatu
metabolit dari kolagen dapat membedakan antara
mielofibrosis sekunder dengan MMM. Pada MMM
ekskresi normal, meningkat pada keganasan dan
mielofibrosis sekunder.
Pengobatan mielofibrosis sekunder terutama
pengobatan penyakit primer yang mendasarinya. Perbaikan
pengobatan fibrosis, dilaporkan setelah pengobatan
berhasil pada PV, penyakit Hodgkin, metastasis prostat
dan karsinoma mammae.

Bianco Paulo, et al. Bome marrow stromal stem cells: nature, biology and potential applications. Stem Cells. 2001;19:3:180-92.
Clark DA, William WL. Myelofibrosis. Wintrobe's clinical hematology. l lth edition. In: Richard Lee, Foerster, Lukens, Paraskevas,
Greer and Rodgers, editors. Baltimore Maryland: William &
Vilkins; 2005. p. 2273-83.
Heckner dan Freund. Atlas hematologi. Praktikum hematologi dengan
mikroskop. In: Alih bahasa Wanandi S1, Suwono WJ, editors.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1999. p. 82-4.
Lunberg LG, et al. Bone marrow in polycythemia vera, chronic
myelocytic leukemia and myelofibrosis has an increased
vascularity. Amer J pathol. 2000;157:15-19.
Mesa AR, et al. A phase 2 trial of combination low-dose thalidomide
and prednison for the treatment of myelofibrosis with myeloid
metaplasia. Blood. 2003;101:7:1534-51.
Papaiakovon VE, et al. Thalidomide in cancer medicine. Annals
Oncology. 2004;15:1151-60.
Spirak JL. Polycythemia Vera and other myeloproliferative
diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Longo DL, et
al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih
Edition. New York: Mc Graw-hill; 2005. p. 626-31.
Tefferi A. The forgotten myeloproliferative disorder: myeloid
metaplasia. The Oncologist. 2003;8:3:223-3 1.
Vannocchi AM, et al. Development of myelofibrosis in mice
genetically impaired for GATA-I expression (GATA-I low mice).
Blood. 2002:100;1123-3.
Wieczorek AJ, et al. Autocrinelparacrine mechanisms in human
hematopoiesis. Stem Cells. 2001;19:2:99-101.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

'

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT


Johan Kurnianda

PENDAHULUAN
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan
gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.
Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian
secara cepat dalam waktu beberapa miqggu sampai bulan
sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan
LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara
cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat
disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan
LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih
baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti
anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah
untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak
sekitar 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan
teknik
diagnostik
leukemia
dengan
cara
immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang
menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan


32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%).
Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anakanak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun,
insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalari
dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang
yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang
berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia
di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara umum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi

LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA


tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan
dengan ras Kaukasia.

Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak


diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi
faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene,
suatu senyawa kimia';ang banyak digunaksn pada industri
penyamakan kulit di negara sedang berkembang, diketahui
merupakan zat leukomogenikuntuk LMA. Selain itu radiasi
ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini
diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus
leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat
dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada
tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi
tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun
sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui
merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi
kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter
sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi
kromosom 2 1 mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih
tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom
Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai
risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah
pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien
tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka
panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker


testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu
timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan
topoisomerase 11inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai
prognosis yang lebih buruk dibandingkam LMA de novo
sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi World Health
Organization (WHO) dikelompokkan tersendiri (Tabel 1).

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas


yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid
terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di
dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya
sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia).
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah
dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya
trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda
perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan
pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis
dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.
Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang,
jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

TANDA DAN GEJALA


Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien
LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis
terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien
mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35%
pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel
blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat
penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di
darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita
LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom
kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di
atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura
atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah
atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling

sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering


terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri
rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa
secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi
(lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukostasis, yaitu
terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran
pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis
sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak
nafas, nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang
sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia.
Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang
berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari
sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai
hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada
tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tandalgejala
yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi
sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis
yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa
rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak
akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma).Infiltrasi
sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri
tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi
infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada
LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah
menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan
pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil
melalui prosedur pungsi lumbal.

DIAGNOSIS
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia.
Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun
yang lalu berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru:
immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan
pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri
dari 8 subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi
ini dikenal dengan narna klasifikasi FAB (French American
British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi
diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting
untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SBB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia
tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA
tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu


teknik pengecatan modern yang dikembangkan
berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa
permukaan membran sel-sel darah rnengekspresikan
antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan
tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh
sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda
dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit.
Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang
berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast
rnengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel
leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit.
Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel
tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang
spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel
dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi
sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi
label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih
dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai jenis dan
tingkat maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai
alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga
mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh,
pasien LMA yang mengekspresikan CD7 mempunyai
prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang
mengekspresikan CD2 mempunyai prognosis yang lebih
baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi antibodi
yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33,
gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan bagi pasien
LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah
dimulai sejak awal1960 dan berkembang lebih pesat sejak
awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada
LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau
bertambahnya materi kromosom dan kelainan
menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa
menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
Kelainan pertama dapat bempa kehilangan sebagian dari
materi kromosom (delesildel) atau hilangnya satu materi
kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi
kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasild) atau
bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara u h h
(trisomi, tetrasomi). Kelainan kedua berupa perubahan
kromosom seimbang dalam bentuk perubahan resiprokal
antara dua atau lebih kromosom (translokasilt) atau
perubahan pada berbagai bagian dalam satu kromosom
(inversilinv).
Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)lt dan
translokasi 1lq23 merupakan kelainan sitogenetik yang
dijumpai pada 2 1%-28% pasien LMA dewasa. Kelainan
sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup
signifikan pada pasien LMA adalah trisomi, delesi dan
kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan
sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien
LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan

sitogenetik: t (15;17), inv (l6), t (16;16) atau del (l6q) dan


t (8;21) yang tidak disertai del(9q) atau kelainan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis yang baik
Cfavourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8, -Y,
+6, del(12p) atau karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien
dengan kelainan sitogenetik-5 atau del(5q),-7 atau del(7q),
inv (3q), del(9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks
mempunyai prognosis yang buruk (unfavourable). Profil
kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga mempunyai
implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih
kontroversial, telah dikembangkan strategi terapi pada
pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat
terapi).
Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO
mengajukan usulan perubahan klasifikasi LMA, yang telah
diadopsi di banyak negara (Tabel 1). Pada Tabel 2 dapat
dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan
klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik.

I.

LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren


LMA dengan t(8;21)(q22;q22), AMLI(CBFcx)/ETO
APL dengan t(15;17)(q22;qI 1-12) dan varian-variannya,
PMURARa
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan
inv (16)(p13q22) atau t(16;16)(p13;qI I ) , CBFplMHYlI
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia
dengan sindrom myelodisplasia
tanpa sindrom myelodisplasia
Ill. LMA dan sindroma myelodisplastik yang berkaitan
dengan terapi akibat obat alkilasi akibat
epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan
limfoid) tipe lain
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukemia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis

Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan


kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk
mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia < 60
tahun, tanpa komorbitas yang berat serta mempunyai profil
sitogetik yang favorable (lihat bawah). Untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat
penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti
sebelum pengobatan dimulai. Skrining awal ini, terutama
ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1237

LEUKEMIA MIELOBLASTIKAKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Subtipe
FAB

Narna Urnurn
(% kasus)
Leukemia mieloblastik akut dg
diferensiasi minimal (3%)
Leukemia mieloblastik akut tanpa
maturasi
(15-20%)
Leukemia mieloblastik dengan
maturasi (25-30%)
Leukemia promielositik akut (510%)

Leukemia mielomonositik akut


(20%)

M7

Leukemia mielomonositik
dengan eosinofil abnormal
(5-10%)
Leukemia monositik akut
(2-9%)
Eritroleukemia
(3-5%)
Leukemia megakariositik Akut
(3-12%)

Hasil Pengecatan
Myeloper
Sudan
Esterase
Oksidase
Black
non-spesifik

Translokasi dan
Gen yang
terlibat
penyusunan kernbali
(% kasus)
inv(3q26) dan t(3;3) (1%)

EVA1

t(8;21) (40%) t(6;9) (1%)

AMLI-ETO,
DEK-CAN

t(15;17) (98%) t(l1;17)


( I %) t(5,17) ( I %)

PML-RARa
PLZFRARa,
NPM
RARa
MLL,
DEC-KAN
EVl I
CBFPMYHI I

11q23 (20%)
inv(3q26) &
t(3;3) (3%),
inv(16),t(16,16)
(80%)

11q23 (20%)
t(8,16) (2%)

MLL,

+*

t(1,22) (5%)

tdk diketahui

* sel positif terhadap a-naftilasetat dan glikoprotein trombosit llblllla atau antigen yang berkaitan dengan faktor Vlll
dan negatif terhadap naftilbutirat (Sumber : Referensi no. 13)

gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA


mengandung preparat golongan antrasiklin yang bersifat
kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering
ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang
mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi
(> 100.000/mm3), mungkin memerlukan tindakan
leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan
sindrom tumor lisis akibat terapi induksi. Sangat penting
untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan
di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat
multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang
memadai, akses untuk transhsi darah yang lengkap serta
ruang sterillsemi-steril untuk pelaksanaan pengobatan.
Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan
akan sangat tinggi.
Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif hams
dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik d m memulihkan
hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival
jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang
mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu
diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis
yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping
berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek
yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun
untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.
Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan

strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen


kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase
induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi
adalah regimen kemoterapi yang intensif yang bertujuan
untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal
sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit
digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah
tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum
tulang termasuk tercapainyajumlah sel-sel blast <5%. Perlu
ditekankan di sini, meskipun terjadi remisi komplit tidak
berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi
seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara
klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus
remisi komplit, masih tersisa sejurnlah signifikan sel-sel
leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi.
Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan
kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena
itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu
ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya
yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi
biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama
atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase
induksi.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan utama
pengobatan LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

leukemik di dalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan


mengeradikasi sisa-sisa sel hematopoeisis normal yang
ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan
mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat
tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini
dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa
penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah
(khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting
untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Terapi pada LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi
untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk
leukemia promielositik akut (LPA).

Terapi LMA pada Umumnya (Tabel 3)


Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan
regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol
sitarabin 100 mglm2 diberikan secara infus kontinyu selama
7 hari dan daunorubisin 45-60 mglm2lhari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan
terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai
obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi
remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila
terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu
dipertimbangkan adanya gaga1 terapi primer dan perlu
dimulai terapi altematif dengan regimen lain.

Sitogenetik
Awal

Kemoterapi
lnduksi

Favorable

Standar 7+3

Intermediate

Standar 7+3

Unfavorable

Standar 7+3

Terapi Post Remisi


Donor HLA

HDACx
3-4 siklus, atau
2-3 siklus
diikuti HSCT
otolog
HSCT alogenik
Sesegera
mungkin atau
HDACx 2-4
siklus
HSCT alogenik
Sesegera
mungkin

Tidak ada donor

HDACx
3-4 siklus, atau
2-3 siklus
diikuti HSCT
otolog
HDACx
2-4 siklus
+ HSCT otolog
HDACx
2-4 siklus
HSCT otolog

Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung


pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama
bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang
dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah High dose
cytarabine (ara-C)lHDAC. Regimen terapi yang dipakai
pada HDAC adalah sitarabin 2-3 glm2 infus iv selama 1-2
jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 glm2
selama 2 jam setiap 12jam pada hari 1,3, dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa
kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantionl
HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca

remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik,


terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia
muda memberikan respons yang lebih baik dibanding
pasien usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi
intensif dantatau HSCT untuk mencapai remisi komplit
kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.
Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi
karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi
remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas
aktif. Durasi median remisi komplit kedua urnumnya kurang
dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre survival
kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya
pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk
prosedur tersebut umumnya terbatas.
Terapi Leukemia Promielositik Akut
Insidensi LPA sebesar 10- 15% pasien LMA. Penyakit ini
ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t (15; 17) yang
dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t
(15; 17) akan menyebabkan h s i gen PML dan RAR, menjadi
gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR mengakibatkan
blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi
LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans
retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PMLRAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan
ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%.
LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya
koagulopati yang dalam ha1 ini diakibatkan oleh kombinasi
antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan
manifestasi koagulopati hams segera mendapat terapi
induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan
yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat
diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamide
acid.
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus
kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat
menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan
sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif
terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan
petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding
dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif
vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan
mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia
sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi
remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai
diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien dengan
perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA
sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini
akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi
lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam
retinoid (retinoic acid syndromelRAS).
Terapi induksi menggunakan ATRA 45 mglm2lhari per
oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mgl
m2hari selama 3 hari atau idarubisin 12 mglm2hari selarna
4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi
dengan kemoterapi berbasis antrasiklin dan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.
RAS dapat terjadi pada 10- 15% pasien dan umumnya
terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi
selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi
dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom
kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres
respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga
terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi
perikard, dan gaga1 ginjal. Lekositosis berat merupakan
faktor prognostik walaupun RAS sering juga terjadi pada
lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000-1 0.000/uL,
ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat
awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis
lebih dari 10.000/uL induksi kemoterapi harus segera
dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan
sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru,
dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus
segera diberikan (10 mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat
dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.
Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mecapai remisi
komplit dengan terapi berbasis ATRA akan mengalami
relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten
terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu
racun yang sudah digunakan sebagai obat pada
pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang
lalu, saat ini.diketahui mempunyai efek pengobatan yang
positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten
terhadap fe'?a*pi ATRA. Salah satu komponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang
relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic
trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, AT0 mempunyai
mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PMLRAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis,
memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta menghambat
apaoptosis. AT0 umumnya diberikan dengan dosis 0,15
mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi
komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien
LPA relaps, terapi AT0 menghasilkan respon sebesar 70%
hingga 100%.

MASA DEPAN MANAJEMEN LMA


Di masa depan perkembangan ilmu di bidang biologi
molekular akan sangat berpengaruh pada penatalaksanaan
LMA. Informasi biologi molekular akan sangat berguna
untuk menentukan prognosis d m strategi terapi yang lebih
baik pada pasien LMA. Sebagai contoh, ekspresi protein
yang berperan pada proses angiogenesis kini diketahui
merupakan faktor prognostik yang independen pada
pasien LMA. Selain itu saat ini sedang dikembangkan

strategi pengobatan dengan sasaran yang spesifik


(targeted therapy). Obat-obat ini didisain untuk mentarget
protein-protein tertentu yang mempunyai peran pada
proses leukomogenesis. Oleh karena sifatnya yang
spesifik, obat-obat ini umumnya mempunyai profil efek
samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi,
sehingga diharapkan dapat digunakan secara aman pada
pasien LMA yang tidak mampu menghadapi terapi yang
agresif, seperti pasien LMA usia geriatrik. Salah satu obat
yang sedang dikembangkan saat ini adalah anti-FLT3,
suatu protein trans membran yang berfungsi sebagai
enzym tirosine kinase dan diekspresikan pada lebih dari
90% kasus LMA. Pada pasien LMA, sekitar 30% protein
FLT3 mengalami mutasi dan mutasi tersebut menyebabkan
proliferasi yang tidak terkendali. Selain itu diketahui pasien
LMA dengan ekspresi LFT3 mutan mempunyai prognosis
yang lebih jelek. Pada penelitian pendahuluan terapi antiFLT3 menghasilkan respons sebesar 18%-25% dengan efek
samping yang ringan. Beberapa targeted therapy lain yang
dikembangkan adalah : obat yang mentarget mutasi
protein RAS yang ditemukan pada sekitar 10%-15%
penderita LMA, obat yang mentarget nutasi protein
c-KIT yang sering ditemuakn pada penderita LMA dengan
kelainan sitogenetik invl6 dan obat yang mentarget selpunca (stem-cells) LMA. Penggunaan targeted therapy
pada klinik praktis masih menunggu hasil penelitianpenelitian dengan desain yang lebih baik dan berskala
besar.

Abraham J, Monahan BP. The acute leukemias. In: Abraham J,


Allegra CJ, editors. Handbook of clinical oncology.
Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; 2001. p. 271-85.
Appelbaum FR. Impact of age on the biology of acute leukemia.
Educational book of the 41st Annual ASCO Meeting. 2005. p.
528-32.
Arber DA, Stein AS, Carter NH, et al. Prognostic impact of acute
myeloid leukemia classification. Am J Clin Pathol.
2003;119(5):672-80.
Breems DA, Van Puten WLJ, Huijgens PC, et al. Prognostic index
of adult patients with acute myeloid leukemia in first relapse. J
Clin Oncol. 2005;23:1969-78.
Brunning RD, Matutes E, Harris NL, et al. Acute myeloid leukemia:
introduction. In: Jaffe ES, Harris NL, Stein H & Vardiman JW,
editors. WHO classification of tumours: pathology and genetics
tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. Lyon: IARC
Press; 2001. p. 76-80.
Burnett A K & Knapper S Targeting treatment in AML
Hematology, 2007
Douer D & Tallman MS. Arsenic trioxide: new clinical experience
with an old medication in hematologic malignancies. J Clin
Oncol. 2005;23:2396-4 10.
Evens MA and Tallman MS. Acute leukemias. In: Skeel RT, editors.
Handbook of cancer chemotherapy. 6th editions. Philadelphia;
Lippincot Williams & Wilkins; 2003. p. 41 1-59.
Farag SS, Rupert AS, Mrozek K, et al. Outcome of induction and

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

post remission therapy in younger adults with acute myeloid


leukemia with normal karyotype: a cancer and leukemia group
B study. J Clin Oncol. 2005;23:482-93.
Fey M and Dreyling M Acute myeloblastic leukemia in adult
patients: ESMO Clinical recommendations for diagnosis,
treatment and follow-up. Ann Oncol, 2009, 20 (Supplement 4):
iv100-iv101.
Grant BW. Acute myelogenous and lymphocytic leukemias. In: Wood
ME, Philips GK, editors. Hematology/oncology secrets. 3rd
edition. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2003. p. 114-8.
Horwitz M. Epidemiology and genetic of acute and chronic
leukemia. In: Wiernik PH, editor. Atlas of clinical oncology:
adult leukemias. Hamilton-London: BC Decker Inc.; 2001. p.
1-18.
Loges S, Heil G, Bruweleit M, et al. Analysis of concerted expression
of angiogenic growth factors in acute myeloid leukemia:
expression of angiopoietin-2 represents an independent

prognostic factor for overall survival. J Clin Oncol.


2005;23:1109-17.
Montesinos P, Lprenzo I , Martin G et a]., Tumor lysis syndrome in
patients with acute myeloid leukemia: identification of risk
factors and developmentof a predictive model. Hematologica,
2008, 93 : 67 - 74.
Raffaux E, Rousselot P, Poupon J, et al. Combined treatment with
arsenic trioxide and all-trans-retinoic acid in patients with
relapse acute promyelocytic leukemia. J Clin Oncol.
2003;2 1:2326-34.
Sarkodee-Adoo C, Rapoport AP & Rowe JM. Diagnosis. In: Wiernik
PH, editor. Atlas of clinical oncology: adult leukemias. HamiltonLondon: BC Decker Inc.; 2001. p. 63-87.
Stone RM. Targeted therapy in AML. www.medscape.com. 2005.
Zhen-yi Wang. Treatmet of acute leukemia by inducing'
differentiation and apoptosis. Hematology. 2003.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SINDROM DISMIELOPOETIK
Ami Ashariati

PENDAHULUAN
Sindrom dismielopoetik (SDM) atau myelodysplastic syndrome (MDS) primer dalah suatu sindrom yang di tandai
oleh displasi dari sistem hemopoetik (dysmyelopoesis,
dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal
maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi. Yang sebabnya belum diketahui. Jika
penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat,
pengobatan sitostatik, dan sebagainya.
SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan
rerata umur 60-75 tahun; laki-iaki sedikit lebih sering
daripada perempuan dan penyebabnya sampai masih tidak
diketahui.
SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang
sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering
leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic
anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya
sitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhankeluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena
trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala
akibatnya.
Klasifikasi dan kriteria-kriteria SDM ini telah diajukan
oleh Bennet dan Vincent.

SDM sering ditemukanpada pasien usia lanjut antara umur


60-75 tahun, dan pada sebagian kasus pada umur <50 tahun
;laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan
dan gejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya
sitopenia. Umumnya datang dengan keluhan cepat lelah,
lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena

trombositopenia dan infeksi atau panas yang dikaitkan


dengan leukopenial neutropeni juga dapat menjadi keluhan
pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil
dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau
hepatomegali.

DIAGNOSIS
Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien
dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut:
1. Anemi danlperdarahan-perdarahan danlfebris yang
tidak jelas sebabnya dan refiakter terhadap pengobatan.
2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni
dari satu atau lebih dari sistem darah
- Adanya sel-sel mudalblas dalam jumlah sedikit
(<30%) dengadtanpa monositosis di darah tepi.
- Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau
hiperselular dengan disertai displasi sistem
hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan
sebagainya).
- Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam
diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain
seperti ITP, lekemi, anemi aplastik. Dan lain-lain.
Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah
paling sedikit tiga dari butir 2.
Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu
dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan
pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat
memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan
SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum
tulang ditemukan pada 30-50% pasien SDM de novo.
Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi,
trisome, monosomi dan anomali struktw (Tabel 1).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penggolongan SDM menurut kriteria FAB (1,13) adalah
Refractory Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed
Sideroblast (RARS), Refactory Anemia with Excessive
Blast (RAEB), RAEB in Tranformation to Leukimia
(RAEBt), dan Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML)
(Tabel 2).
Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk
SDM adalah Refractrory anemia (RA), Refractory
anemia with ringed sideroblasts (RARS), Refractory
cytopenia with multilineage dysplasia (RCMD),
Refractory anemia with excess blast (RAEB-type 1 = 59% blats in blood or marrow and RAEB- type 2 = 1019% blats in blood or marrow), 5q- syndrome, therapyrelated myelodysplastic syndrome, dan Myelodysplastic
syndrome unclassified.
SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferative disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM
sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek
obat dan toxic exposures.

Delesi 5q
Monosomi 7
Trisomi 8
Kehilangan kromosom Y
Delesi 20q
3q rearangements
Berbagai abnormalitas kromosom 11
Berbagai abnormalitas kromosom 17p
Defek kromosom kompleks lain
Sumber: Fenaux P, Morel P, Lai JL (1996). Cytogenetic of
myelodysplastic syndromes. Semin Hematol; 33:127-138.

Darah Tepi
Hb
Leukosit
Blast (%)
Trombosit
Sumsum Tulang
Eritrosit
Sideroblas (%)
Granulopoesis
Blast (%)
Trombopoesis

RA

RASB

RAEB

RAEBt

N atau
<I
N atau

N atau
<1
N atau

<5

<5-30

+++

+++

+++

+++

++

<I5
O.+

>15
O.+
<5
O.+

<I5

<I5

<I5

<5
O.+

CMML

<5
N atau

+++

+++

++++

5-20

20-30

5-20

+++

+++

'The descriptions of the syndromes are f om Bennett et a/.


30 FAB de-notes F ench-American-British.
Keterangan :
RA
: Refractory Anemia
: Refractory Anemia with Ringed Sideroblasts
RASB
: Refractory Anemia with Excessive Blasts
RAEB
RAEBt : RAEB in transformation to Leukemia
CMML : Chronic Myelomonpcytic Leukemia

TATALAKSANA

Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM,


tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam mengubah
perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM
bergantung pada usia, berat ringannya penyakit dan
progresivitas penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan
RAEB pada umumnya bersifat indolent sehingga tidak perlu
pengobatan spesifik, cukup suportif saja.
Cangkok sumsum tulang (BM Transplantation)
Cangkok surnswn tulang alogenik merupakan pengobatan
utama pada SDM terutama dengan usia <30 tahun, dan
merupakan terapi kuratif, tetapi masih merupakan pilihan
<5% dari pasien.
Kemoterapi
Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan
kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEBT, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis
rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
respons rate antara 50-75% dan respons ini tetap bertahan
2-14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang
direkomendasi adalah 20 mglm2lhari secara drip atau 10
mglm2 secara subkutan setiap 12jam selama 2 1 hari.
GM-CSF atau G-CSF
Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang
diferensiasi dari hematopoetic progenitor cells. GM-CSF
diberikan dengan dosis 30-500 mcglm2lhari atau G-CSF
50-1600 mcglm2 (0.1-0.3 mcgkgBBlharilsubkutan selama
7-14 hari.
Lain-lain
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat
digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin
dosis 200 mglhari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respons pada tipe RASB walaupun sangat
kecil. Danazol 600 mglhariloral selama 3 bulan dapat
meningkatkan trombosit terutama pada SDM tipe
trombopeni.
13-cis retinoic acid dengan dosis 1.0 mg/kgBB/hari/
oral dapat memberikan response rate 21-33% setelah 3
minggu pengobatan.

PROGNOSIS

+++

Pada sebagian besar SDM mempunyai perjalanan klinis


menjadi kronis dan secara bertahap terjadi kerusakan pada
sitopeni. Survival sangat bervariasi dari beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Kematian dapat terjadi pada 30%
pasien yang progresif menjadi AML (Acute Myelocytic
Leukemia) atau bone marrow failure (Tabel 3). Indikator
prognosis baik dan buruk dari SDM (Tabel 4 dan 5).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Klasifikasi FAB

Karakteristik

Klasifikasi WHO

Prediksi
Survival

Refractory anemia with


excess blasts-2 (RAEB-2)

10-19% marrow blasts


c 5% peripheral-bloodblasts
213 cylopenia

10 bulan

Myelodysplasticsyndrome,
unclassified (MDS-U)

113 cylopenia
abnormal white or
megakaryocytecells
c 5% marrow blasts

Not l~sted

MQS associated with isolated


del(5q)

anemia
deleted chromosome 5q

9 tahun,
8 bulan

20-30% marrow blasts


z 5% peripheral-bloodblasts

6 bulan

Refractory anemia with


excess blasts in
transformation (RAEB-t)

Acute myeloid leukemia


(AML) with multi-lineage
dysplasia following a
myelodysplastic syndrome

Chronic
myelomonocylic
leukemia (CMML)

Myelodysplasticl
myeloproliferativediseases
(MDSIMPD)

absence of Philadelphia
chromosome
c 20% marrow and peripheral-blood blasts
dysplasia of one cell line

18 bulan

Refractory
anemia

Refractory anemia

c 5% marrow blasts
no peripheral-bloodblasts
anemia

5 tahun,
9 bulan

Refractory anemia with


ringed sideroblasts
(RARS)

Refractory anemia with


ringed sideroblasts

c 5% marrow blasts
no peripheral-bloodblasts
anemia
2 15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts

5 tahun,
9 bulan

Refarctory cytopenia with


multilineagedysplasia
(RCMD)

213 or 313 cytopenia


dysplasia of two cell types
c 5% marrow blasts

2 tahun,
9 bulan

Refarctory cytopenia with


multilineagedysplasia and
ringed sideroblasts

213 or 313 cytopenia


dysplasia of two cell types
c 5% marrow blasts
2 15% marrow red-cell
precursors with ringed
sideroblasts

2 tahun,
8 bulan

5-9% marrow blasts


c 5% peripheral-bloodblasts
213 cytopenia

Itahun,
6 bulan

Refarctory cytopenia
with excess blasts
(RAEB)

Refractory anemia with


excess blasts-I (RAEB-1)

GOOD

FAB Type
(% o f patients)

'

R A (28)
RARS (24)
RAEB (23)
RAEB-T (9)
CMML (16)

Evolution (%)

Median
Survival

,Months,

Survival
Range

12
8
44
60
14

50
51
11
5
11

18-64
14-76+
7-16
2.5-1 1
9-60+

Source: Cancer Genet Cytogenet. 1998; 32: 1-9

Younger age
Normal or moderately reduced neutrophil and platelet counts
Low blasts counts in the bone marrow and no blasts in the
blood
No Auer rods
Ringed sideroblasts
Normal karyotypes or mixed karyotypes withouts complex
chromosome abnormalities
In vitro bone marrow culture reveals nonleukemic growth
pattern
POOR
Advanced age
Severe neutropenia (~0.5x1031mm3)or thrombocytopenia
(~5Ox1031mm3)
High blasts count in B M or blasts in peripheral blood
Auer rods
Absence of ringed sideroblasts

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Appelbaum FR,Anderson J (1998). Allogeneic bone marrow
transplantation for myelodysplastic syndromes:outcomes
analysis according to IPSS score.Leukemia ; 12:Suppl 1:S25S29.
Bennet Jm, Catovsky D, Daniel MT, Flandrin G, GaltonDAG,
Bralnick HR, Sultan C (1982). Proposals for the classification
of myelodysplastic syndrom, Brit J Haematol. 5 1:189-99.
Greenberg P, Cox C, LeBeau MM, et al. (1997). International
scoring system for evaluating prognosis in myelodysplastic
syndromes. Blood; 89: 2079-2088.
Hellstrom-Lindberg E,Ahlg en T,Beguin Y,et al. (1998).Treatment
of anemia in myelodysplastic syndromes with g anulocyte
colony-stimulating factor plus erythropoietin:esults f om a
andomized phase 11 study and long-term follow-up of 71
patients.Blood; 92:68 75.
Hellstrom E,Robert KH,Gahrton G,et al. (1988). Therapeutic effects
of low-dose cytosine arabinoside,alpha-interferon, 1 alphahydroxyvitaminD3 and etinoic acid in acute leukemia and
myelodysplastic syndromes.Eur J Haematol ; 40:449-59.
HofmannWK, Ottmann OG, Ganser A, Hoelzer D (1996).
Myelodysplastic syndromes:clinical features.Semin Hematol;
33:177-85.
Khouri lF,Keating M,Korbling M,et al. (1998). Transplant1ite:induction of graft-versus-malignancy using fludarabine-based
nonablative chemotherapy and allogeneic blood progenitorcell transplantation as treatment for lymphoid malignancies. J
Clin Oncol.; 16:2817-24.
Kjeldsberg CR, Elenitoba-Johnson KSJ, et al. (2000). Myelodysplastic
Syndromes in: Practical Diagnosis of Hematologic Disorders.
3rd edition. Editor: Kjeldsberg CR. ASCP Press (American
Society of Clinical Pathologists) Chicago, Illinois. Pp 369-430.
Koeffler HP,Heitjan D,Mertelsmann R,et al. (1998). Randomized
study of 13-cis etinoic acid v placebo in the myelodysplastic
disorders.Blood; 71 :703-8.
Mark LH., and David WG (1999). Myelodysplasia. New England
Journal of Medicine, May 27, Vol. 340 No. 21 :1649-1 660.
Michaux JL, Martiat P(1993). Chronic myelomonocytic leukemia
(CMML)-a
myelodysplastic
or
myeloproliferative
syndrome?Leuk Lymphoma; 9:35-41

Molldrem JJ, Caples M, Mavoudis D, Plante M, Young NS, Barett


AJ. (1997). Antithymocyte globulin for patients with
myelodysplastic syndrome. Br J Haematol ; 99: 699-705.
Morel P,Declercq C,Hebbar M,Bauters F,Fenaux P. (1996). P ognostic
factors in myelodysplastic syndromes:critical analysis of the
impact of age and gender and failure to identify a verq-low-risk
g oup using standard mortality atio techniques.Br J Haematol ;
94: 1 16-9.
Nevill TJ,Fung HC,Shepherd JD,et al. (1998). Cytogenetic
abnormalities in primary myelodysplastic syndrome are highly
predictive of outcome after allogeneic bone marow
transplantation. Blood ; 92:1910-7.
Neg in RS,Haeuber DH,Nagler A,et al. (1990). Maintenance
treatment of patients with myelodysplastic syndromes using
ecombinant human granulocyte colony-stimulating factor.
Blood; 76:36-43.
Oscier DG (1999). The Myelodysplastic syndromes in:
Postgraduate Hematology. 41h edition. Editors : Hofibrand AV,
lewis SM, Tuddenham EGD. Reed Educ.and Professional Publ.
Ltd, Italy; pp 445-461.
Parker JE,Pagliuca A,Mijovic A,et al. (1997). Fludarabine,cytarabine,
G-CSF and idarubicin (FLAG-1DA)for the treatment of
poor-risk myelodysplastic syndromes and acute myeloid
leukaemia.Br J Haematol; 99:939-44.
Pradono AP. Sindroma mielodisplastik (SMD) (1985). Medika 9:826.
Saarni MJ,Linman JW (1971). Preleukemia: The hematologic
syndrome preceeding acute leukemia. An1 J Clirl Pathol. 55:28390.
Saitoh K,Miura 1,Takahashi N,Miura AB (1998). Fluorescence in
situ hybridization of progenitor cells obtained by fluorescenceactivated cell sorthing for the detection of cells affected by
chromosome abnormality trisomy 8 in patients with
myelodysplastic syndromes. Blood; 92:2886-92.
Soebandiri. Santoso Nugrahi, Boediwarsono (1986). Perjalanan
Penyakit dan Kemampuan Hidup (survival ) dari Pasien Sindrom
Dismielopoetik Primer di Seksi Hematology Lab I. Penyakit
Dalam FK Unair / RS Dr. Sutomo Surabaya. Konas PI-ITDI V,
Semarang 14-16 Oktober.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR BIOLOGIS
LIMFOPROLIFERATIF
Amaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari

PENDAHULUAN

STAGES OF NORMAL B C E U DIFFERENTIATION

Kelainan limfoproliferatif qaitu leukemia limfoid dan


lilnfoma maligna merupakau keganasan sel limfoid 3ang
terjadi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pada tahap
perkembangan sel pre-B dan pre-T pada sumsuln tulang,
keganasan yang terjadi adalah limfoblastik lekemi sel
prekursor B dan T yang bermanifestasi di sumsum tulang.
Sebaliknya, pada limfoma mal~gnaterjadi pel-ubahan
keganasan dari sel limfoid yang terdapat terutama pada
jaringan limfoid. Meskipi~nleukemia dan limfoma keduanya
melibatkan organ retikuloendotelial, rnereka berbeda secara
klinis dan biologis. Pengetahuan biologik tentang kelainan
limfoproliferatif ~nenjadidasar pemahaman patogenesis,
diagnosis dan terapi.

Pre.B

Mature B

P , ~ ~ : ~ ~ a
Dlfferentlating B

Secretory B

---

1-1

Pan I3 cell a$?tigens

CD 19 20 HLA-L>R

;7;;s,r:;;t2rg; CD

lla~lu,

B cell actlvatron amlgens. CD 25. 54.

Pre BALL

71 R n

Non Hodgklns Lymphomas

a:"EU'""'.'."'j
I

Myeloma

B CELL MALIGNANCIES

Gambar 1 Keganasan sel l~mfos~t


B dan tahap perkembangan
sel

PERKEMBANGAN LEUKEMIA DAN LIMFOMA


BERDASARKAN DlFERENSlASl SEL
Leukemia dan Limfoma Sel 6
Delapan puluh persen leukemia limfoblastikdan 90% luntoma
non-Hodgkin's berasal dari sel B. Hal ini didasarkan pada
didapatkannya ekspresi antigen B-ltneyye-~fiestricrtl~i
dan
c l o n ~r.earrclizgemc.nt.,nt.
~l
gen imunoglobulin rantai berat dan
ringan. Keganasan-keganasan ini berhubungan dengan
subpopulasi sel pre-B d m sel B matur dan secara klinis
dibedakan menjadi indolen dan agresit'. Pada Gambar 1
dapat dilihat keganasan sel limfosit B dan hubungannya
dengan tahap perkembangan sel.

--

Leukemia dan Limfoma Sel T


Antigen sel T yang terbanyak diekspresi sebagai petanda

sel T adalah CD2 dan CD7. Pada Gambar 2 dapat dilihat


hubungan antara keganasan sel T dan tahapan
perkembangan sel T.
Leukemia dan Limfoma Sel Natural Killer
(NK)
Neoplasma sel NK tnerupakan neoplasma yang jarang
ditemukan. Sel NK berasal dari sel induk pluripoten dan
berhubungan dengan sel l im fosit T y ang berkem bang
secara terpisah pada tahap tertentu. Sel NK dibedakan
dengan sel T secara imunologis. Sel NK tidak mempunyai
TCR (T c+ellreceptor) gene rcurrunget?re17t,protein TCR,
CD3 dan biasanya tidak mempunyai CD5. Sel NK biasanya
tnempunyai ekspresi NK-~~s~ociutedtmtrgrn
(CDI 6, CD56,
CD57).'Klasifikasi neoplasma sel NK dapat dilihat pada
Tabel 1.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1246

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

IMUNOGLOBULIN (IG) DAN T CELL RECEPTOR


(TCR)REARRANGEMENT

T CELL MALIGNANCIES

T CELL DIFFERENTIATION
THYMUS

Manor~tyof
T Cell ALL

Stage 1
Prothymocyte

Stage 2
thymocyte

Manority of T- ALL
Majorlty of T- ALL

Stage 3
thymocyte

PERIPHERALBLOOD
Majority of
T-CII,CTCL
Sezary Cell.NHL

Mature T Helper Cell


CD: 2.3. 4. 5. 6. 7 , TCR

M~norityof
T-CLL.NHL

Mature T Cytotox~cl
Suppressor

CD:2. 3.4. 5 , 6. 7 ; TCR

Garnbar 2.

Diferensiasi dan keganasan sel

1 Tabel 1. Neoplasma Sel NK

lrnatur
MyeloidlNK cell precursor
acute leukemia
Blastic NK-cell lymphoma

Matur
:
Indolent : Large granular
lymphocyte (LGL) leukemia
Agresif : NK-cell leukemia
Nasallnasal type NWT cell
lymphoma

Leukemia

Sebagian besar keganasan li~iifoidberasal dari sel B atail


T yang telah mengalami c~lotmlinlt17~1iiog/ohl1lit1
atau TCR
rcJrrrrunge:L.n7e~~t
yang fisiologis. Karena itu, identifiliasi
cI(~tiu1IgITCR rearr~1t1getltc~tlt
( l ~ ~ n ~ / >~ Il o~ ioi ~ ldl i t ~ - )
digunakan unt~lkmembantu diagnosis dan pemantauan
terapi.

Perkembangan Sel B dan immunoglobulin


Gene Rearrangement
Perkembangan sel B di sumsum tulang dimulai dengan
pembentukan gen-gen untuk I ~ L I ~ I ' U I I I Cregioti antibodi
rantai ringan dan berat pada progenitor sel B lnelalui proses
y a n g di s e b ~ ~V(D)J
t
( V~~ri~tl~l~-Di~~~~r~sit~~
reconrhir~ution.Pada proses ini, DNA yang terletak di
antara bagian gen mengalami delesi. Gen-gen pada 1.~tri~lh/c~
1.c~gionimniunoglobulin rantai ringan (k atau I ) terbent~~k
dari cle~iienV dan J, sedangkan pada imunoglob~~lin
rantai
berat, \.rrt.icrhle regiot7 terbelituk dari elemen V, D dan J.
Proses rekombinasi ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Terdapat bennacam-macam segmen V, D dan J pada gorrn
litle sehingga setiap sel B lnelniliki gen tertentu untuk
v~lr.itrblr region yang berbeda satu sama lain dan
mengkode antibodi yang berbeda. Getie rem-rrmgemerit
ini juga membuat setiap sel B ~iielnp~lnyai
petanda klonal
tersendiri yang penting dalam analisis limfoma sel B.

Nasal dan Nasal Type NK-cell Neoplasma, Merupakan


neoplasma sel NK yang paling sering ditemukan dengan
karakteristik adanya pola pertumbuhan angiosentrikl
angiodestruktif dengan nekrosis zonal. Tumor ini
lnempunyai predileksi pada kavitas nasal dan sinus
paranasal. Sering disebut juga lethal midline gi-unz~lomu
atau polimorfik retikulosis. Nasul fype limjoma melnpunyai
gambaran histologis yang sama, tetapi berasal dari
ekstranodal seperti kulit, traktus gastrointestinal, testis,
ginjal, traktus respiratori bagian atas dan matalorbita.
Hodgkin's Disease
Reed-Sternberg (RS) sel merupakan karakteristik penyakit
Hodgkin's. Sel RS dibcdakan dengan sel limfoma nonHodgkin secara imunologis dengan tidak ditemukannya T
atau B-cell associated atztigens. Sel RS mempunyai
ekspresi :
CD15
Merupakan antigen golongan darah Lewis X yang
berfungsi sebagai reseptor adhesi.
CD30(Ki-1)
Sel RS dapat mempunyai monoklonal atau poliklonal
immunoglobulin gene rearrangements. Pada beberapa
kasus ditemukan juga T cell receptor b-chain
rearrangements.

Garnbar 3.

V(D)J

Recombinabon pada

Perkembangan Sel

13

Sel B t ~ u i l yang
e
mengenali antigen lnelalui membranebozl~dantibodi, terdapat pada senter germinal organ limfoid
sekunder: kelenjar limfe, limpa dan MALT (mucosaassoeiatedlvn~~~hoid
tissue). Genomik D N A sel B kemudian
mengalami 3 tipe modifikasi yaitu (Gambar 4):
Receptor editing Proses pergantian rantai polypeptide
antibodi dengan rantai yang lain, biasanya terjadi pada
imunoglobulin rantai ringan.
Class switching Beberapa sel B pada senter germinal
mengalami pergantian dari ekspresi IgM dan IgD menjadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1247

DASAR-DASARBIOLOGIS LIMFOPROLIFERATIF

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


IgG, IgA atau IgE. Proses ini menimbulkan perubahan fimgsi
efektor antibodi tanpa perubahan V(D)J region.
Hipermutasi Somatik. Proses mutasi (terutama perubahan
single-nucleotide, juga delesi dan duplikasi) terjadi dengan
frekuensi tinggi pada gen variable-region. Proses mutasi
ini menyebabkan berkembangnya sel B mutan pada senter
germinal yang menghasilkan antibodi dengan peningkatan
afinitas terhadap antigen tertentu. Sel B mutan yang tidak
mempunyai kemampuan berikatan dengan antigen atau
tidak menghasilkan antibodi tertentu akan mengalami
apoptosis.

Rearrangement pada Sel B Normal. Setiap sel B normal


mempunyai 2 gen IgG rearrangement : VH-N-D,-N-J, dan
VL-N-JLyang berbeda untuk setiap sel. Masing-masing sel
B berbeda satu sama lain berdasarkan rearrangement gen
IgH yang berbeda. Keadaan diversitas ini disebut
poliklonalitas
Rearrangement pada Sel B Limfoma. Sel B limfoma
mempunyai sekuens V,-N-D,-N-J, dan V,-N-J, yang
identik. Hal ini menunjukkan bahwa sel limfoma berasal
dari sel B yang sama sehingga disebut monoklonalitas
Perkembangan sel B, immunoglobulin gene
rearrangement dan hubungannya dengan limfoma dapat
dilihat pada tabel 2 dan gambar 5.

Receptor edlting

Gambar 4. Proses Modifikasi Molekular Gen yang Mengkode Antibodi

"

Vanable-reglon gene uCent


remrnbinat~on

".~~~~$%?$!i?lyrnpho~-)

Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Sel

Ge n
im unoglobulin

Mutasi
somatik

Protein lg

Marker

Limfoma

Sel induk
Sel pro-B

Germ bne
Germ h e

Sel pre-B

lgH rearrangement, p-chain


(sttoplasma)

I gG

Sel B imatur

IgLllgH rearrangement, IgM


(membran)

IgM
(membrane)

CD19. C D20, CD45R.


CD79a. CD10. BSAP

Mature-nafve
B-cel

lgHlL rearrangement, IgM, IgD


(membran)

IgMllgD

CD19, CD20, CD45R,


CD79a. BSAP. CD5

BCLL, MCL

Genninal
center (CB,
cc )

lgHlL rearrangements, class


switch

mulai mutasi
somatik

lg (minimal atau
tidak ada)

CD19. CD20,
CD45R7CD79a,BSAP,
CD10, BCL6

BF. FL, LPHL


DLBCL, cHL

Sel B memwi

lgHlL rearrangement

mutasl somatk

IgM

MZL. B C L L

Sel plasma

IgHlL rearrangement

mutasi somatlk

IgG>IgA> IgD

CD19, CD20, CD45R,


CD79A, BSAP
CD38, Vs38c, MUM-1,
CD138

CD34
CD19,CD79a,
BSAP,CD34,CD10, TdT
CD19, CD45R, CD79a,
BSAP. CD34, CD10, TdT

BLBLIALL

Plasmasitomd
mieloma

Keterangan :
CB

: centmblast

LPHL

CC

: centmcytes

DLBCL

: Diffuse large cell B -celllymphoma

lymphocyte-predominant Hodgkin lymphoma

1g

imunoglobulin

cHL

: classic Hodgkin lymphoma

B-LBL

B-cell lymphoblastic Eymphoma

MZL

: marginal zone B-cell lymphoma


: B cell specific activatorprotein

B-CLL

: chmnic lymphocytic leukemia

BSAP

MCL

: mantle cell lymphoma

MUM-1

: Multiple myeloma oncogene

BL

. Burkitt lymphoma

Td T

: Terminal deoxynucleotidyl

FL

: follck centerlymphoma

Perkembangan Sel T dan T-cell Receptor


f TCR)
T-cell receptor merupakan molekul transmembran, terdiri
dari a/b atau g/d heterodimer. Setiap a,b,g dan d chain
terdiri dari variable domain dan constant domain. Proses
rearangement segmen V, D ,J dan C juga terjadi pada TCR
seperti pada IgH rearrangement. Pre-T cell mempunyai
imatur TCR yang terdiri dari b chain dan pre-Ta chain
yang akan berkembang menjadi a chain dan membentuk
matur TCR pada sel T.

gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis


imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi
pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel.
Diduga, gen-gen yang mengalami transformasi ini
(onkogen) diatur oleh elemen regulatori yang dalam
keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel.
Beberapa translokasi kromosom pada limfoma non
Hodgkin dapat dilihat pada Tabel 3 dan Cambar 6.

BL

PATOGENESIS LIMFOMA DAN LEUKEMIA


Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfoma dan
leukemia. Abnormalitas sitogenetik telah ditemukan pada
beberapa tipe limfoma dan leukemia. Translokasi kromosom
merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses
ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene
rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel
T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya
letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi
kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi
gen sebagai akibat juxtaposition regulatory sequens dari
kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari
beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-

FL- - - ...-

----

P
4

#a-

Gambar 6. Translokasi gen pada lirnforna

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DLBCL

1249

DASAR-DASARBIOLOGISLIMFOPROLIFERATIF

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Mekanisme
aktivasi
proto-onkogen

Fungsi protoonkogen

Translokasi

%
kasus

Limfoplasmasitik

t(9;14)(p13;q32)

50

PAX-5

Deregulasi
transkripsional

Faktor transkripsi
regulasi proliferasi dan
diferensiasi sel B

Folikular

t(14;18)(q32;q21)
t(1;18)(pI I;q21)
t(18;22)(q21;q11)

90

BCL-2

Deregulasi
transkripsional

Regulasi negatif
apoptosis

Mantle cell

t(11;14)(q13;q32)

70

t(11;18)(q21;q21)
t(1;14)(p22;q32)

50
jarang

Diffuse large
B-cell

der(3)(q27)

35

BCL-6

Deregulasi
transkripsional
Protein fusi
deregulasi
transkripsional
Deregulasi
transkriosional

Regulator siklus sel

MALT

BCL-I lcyclin
Dl
AP12lMLT
BCL-10

Burkitt

t(8;14)(q24;q32)
t(2;8)(pll ;q24)
t(8;22)(q24;ql I )
t(2;5)(p23;q35)

80
15
5
60

C-MYC

Deregulasi
transkripsional

Faktor transkripsi
regulasi proliferasi sel

NPMIALK

Protein fusi

ALK merupakan tirosin


kinase

Tipe histologis

Anaplastic large
T-cell

Protoonkogen

Anti apoptosis

Represor
transkripsional pada
pembentukan senter
germinal

--

Keterangan:
PAX-5
BCL-2
BCL-1
APl2lMLT

: Paired homeobox family-5


:B-cell IeukemiaNymphoma-2
: B-cell leukemiallymphoma-I
: Apoptosis inhibitor kinase

BCL-6
BCL-10
NPMIALK

Translokasi kromosom pada leukemia akut pre-B.


t(9;22) BCR-ABL (Break chain region-Abelson).
rearrangement yang menghasilkan tirosin kinase
abnormal (p 190 atau p2 10 BCR-ABL) didapatkan pada
30 % kasus.
Translokasi kromosom l l q23 ( gen MLL, HRX, ALL- 1)
(...........) didapatkan pada 5% kasus. Translokasi ini
menghasilkan abnormal DNA binding protein yang
selanjutnya menimbulkan transkripsi gen abnormal.
Pada sekitar 50 % kasus leukemia akut sel T, ditemukan
translokasi yang melibatkan gen reseptor antigen sel T
(14q 11,7q34) yang menimbulkan ekpresi abnormal faktorfaktor transkripsi tertentu.

IMPLIKASI KLlNlS PENGETAHUAN DASAR


BlOLOGlS

Dasar biologis keganasan limfoproliferatif meliputi


pengetahuan tentang diferensiasi limfosit dan molekular
genetik. Pengetahuan tentang ha1 tersebut mempunyai
implikasi yang berhubungan dengan beberapa aspek klinis
antara lain:
Gambaran Klinis
siapa yang terkena penyakit: pasien dengan populasi
sel normal yang banyak mempunyai kemungkinan
mengalami transformasi neoplasma. Limfoblastik

: 6-cell leukemia/lymphoma-6
: 6-cell leukemia/lymphoma-10
: Nucleophosminl anaplastic lymphoma kinase

limfoma sering ditemukan pada masa anak-anak karena


pada usia ini didapatkan banyak sel prekursor B.
Mieloma sel plasma sering ditemukan pada usia dewasa
tua karena pada usia ini didapatkan banyak sel plasma
yang telah mengalami paparan antigen setelah melewati
senter germinal.
Perjalanan penyakit: tumor yang berhubungan dengan
sel normal yang aktif berproliferasi seperti limfoblas
dan sentroblas cendemng berkembang dengan cepat
dan agresif. Tumor yang berasal dari sel-sel pada
keadaan istirahat seperti CLLISLL cenderung bersifat
indolen
Letak tumor: tumor yang berasal dari sel prekursor akan
berkembang menjadi leukemia akut; sel pada senter
germinal akan berkembang menjadi tumor pada folikel
limfoid di seluruh tubuh; sel pada MALT akan
berkembang pada daerah ekstranodal.
Patogenesis
Proses genetik yang terjadi selama diferensiasi sel
melibatkan rearrangement dan mutasi gen imunoglobulin.
Selama proses ini, dapat terjadi kelainan-kelainan genetik
translokasi atau mutasi gen imunoglobulin yang
mengakibatkan perkembangan neoplasma. Sebagian besar
translokasi kromosom pada neoplasma limfoid
memindahkan protoonkogen ke daerah promoter gen
reseptor antigen (gen imunogloblulin atau gen reseptor
sel T).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Klasifikasi dan Diagnosis


Kombinasi morfologi, imunofenotipe, rearrangement dan
mutasi gen serta gambaran klinis digunakan untuk
klasifikasi dan diagnosis keganasan limfoproliferatif.

Pengobatan
Pengetahuan dasar biologis neoplasma limfoid digunakan
untuk penelitian terapi. Tumor dengan proliferasi yang
cepat pada umumnya berespon dengan obat-obat yang
mengganggu sintesis DNA. Abnormalitas genetik dapat
menjadi target terapi seperti antisense oligonucleotida
terhadap gen anti-apoptosis seperti BCL2, obat dengan
target protein fusi seperti NPMIALK atau API2MLT 1 atau
obat penghambat protein pengatur siklus sel seperti siklin
Dl.
Deteksi Minimal Residual Disease (MRD)
Dengan tehnik PCR untuk mendeteksi Ig ,TCR gene
rearrangement atau translokasi kromosom lainnya, dapat
dideteksi 1 sel tumor di antara 105-1O6 sel normal. PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi sel limfoma pada darah atau
sumsum tulang. Pemeriksaan ini dapat menilai remisi
komplit secara lebih akurat dan sebagai pertimbangan
apakah terapi harus diteruskan, dihentikan atau diganti
dengan yang lebih intensif.

Delves PJ, Roitt IM. Advanced in immunology: the immune


system. N Engl J Med 2000; 343: 37-49.
Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In : Fauci
AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper
DL, et al. editors. Harrison's principles of internal medicine.
14Ihed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 695-8.
Gaidano G, Dalla-Fevera R. Lymphomas. In: De Vita Jr VT, Hellman
S, Rosenberg SA, editors. Cancer principles and practice of oncology. 6'h ed. Philadelphia: Lippincot-Raven; 2001. p. 221535.
Greer JP, Kinney MC, Loughran Jr TP. T cell and NK cell
lymphoproliferative disorders. Hematology 2001: 259-81.
Harris NL, Stein H, Coupland SE, Hummel M, Favera RD, Pasqualucci
L, et al. New approach to lymphoma diagnosis. Hematology
2001: 194-220.
Macintyre E, Willerford D, Morris SW. Non-Hodgkin's lymphoma:
molecular features of B cell lymphoma. Hematology 2000:
180-94.
Kuppers R, Klein U, Hansmann ML, Rajewsky K. Cellular origin of
human B-cell lymphomas. N Engl J Med 1999;341:1520-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

LIMFOMA NON-HODCKIN (LNH)


A. Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi Irawan

PENDAHULUAN

KELENJAR LlMFE

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan


primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit
T dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK ("natural
killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat
heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis,
respon terliadap pengobatan, maupun prognosis. Pada
LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali
yang ~nengakibatkanterbentuknya tumor. Seluruh sel LN H
berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam
tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama
pada permukaan selnya.
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan
terdapat 54.900 kasus baru, dan 26. I00 orang meninggal
karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH barti
terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya.
Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab
kematian akibar kanker utama pada pria usia 20-39 tahun.
lnsidensi LNH di Amerika Serikat menurut iVatior7ul
Cur7ccr I17stiture tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000.
LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria.
Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya
usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84
tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin
meningkat dengan pertambahan 5-10% pertahunnya
,menjadikannya urutan ke liina tersering dengan angka
kejadian 12- 15 per 100.000 penduduk. Di Perancis
penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering.
Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit
Hodgkin dan leukemia menduduki urutan ke enam
tersering .Sampai saat ini beluln diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya
hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH
kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara
LNH dengan infeksi.

Untuk dapat memahami penggolongan histologis LNH,


lnarilah kita bahas secara singkat perihal arsitektur kelenjar
limfe, yaitu organisasi struktur, asal dan migrasi limfosit,
serta tranformasi limfosit. Sistem limfe adalah jaringan
tubuli tubuli yang amat tipis yang bercabang-cabang seperti
pembuluh darah. Pembuluh limfe berisi cairan bening yang
berisi sel limfosit dan merupakan sarana yang mengalirkan
sel limfosit keselun~htubuh.

r-

pembu

Gambar 1. Struktur kelenjar getah bentng. Folikel-folikel dihuni


padat oleh sel- Sel B yang membentuk pusat germlnal. Sel B juga
menghun~daerah medula sedangkan daerah parakorteksterutama
mengandung sel T. Modifikasi dari Fudenberg HH Stit~esDE,
Caldwell JL, Wells JV Basic and Clinical Immunology. Los Altos
Cal~forn~a
' Lange Publications, 1979;82.

Gambar 1 memperlihatkan bagan struktur kelenjar


limfe, yang terbagi dalam tiga bagian utama yaitu: korteks,
para korteks dan medulla. Di dalaln korteks didapati folikelfolikel yang berbentuk sferis, yang terisi penuh limfosit B.
Di tengah folikel-folikel ini dapat ditemukan daerah yang
berwarna agak pucat yang dinamakan pusat germinal
("centrlrm geuminativum") yang di dalamnya dapat
ditemukan sel blast, sel besar dan makrofag; yang memberi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1252

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

gambaran seperti "langit berbintang". Daerah parakorteks


berisi limfosit T, sedang daerah medulla pada dasarnya
dihuni oleh sel B.

PATOGENESIS TRANFORMASI DAN MlGRASl


LlMFOSlT

Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil


(matang/tua) bukanlah nierupakan sel tahap akhir dari
perkembangannya, akan tetapi mereka dapat merupakan
permulaan lirnfopoiesis baru yang timbul sebagai reaksi
terliadap rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan
oleh Nowell pada tahun 1960 dan peneliti lain yang
liiemperlihatkan sel limfosit kecil (matang) marnpu
mengadakan perubahan morfologi (tra~isformasi)dan
berproliferasi sebagai reaksi terhadap rangsangan lektin
nabati (plant lectill)
Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalain kelenjar
limfe juga berasal dari sel-sel induk multipotensial di dalam
suinsum tulang. Sel induk m~lltipotensialpada tahap anal
bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang
kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian
mengalami "pematangan" dalaln kelenjar thymus untuk
menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi nienuju keleli,jar
limfe atau tetap berada dalam sumsum t~llangdan
berdiferensiasi men-jadi sel limfosit B.
Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "ses~~ai"
lnaka limfosit T niaupun B akan bertransformasi niet~jadi
bentuk aktif dan berproliferasi. 1,imfosit T aktif
menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan
limfosit B aktif menjadi imunoblas yang keinudian menjadi
sel plasma yang membentuk iinunoglobulin. Terjadi
perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini,
dimana sitoplasma yang sedikit / kecil pada limfosit B "tua"

menjadi bersitoplas~nabanyakiluas pada sel plasma,


perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau di
dalam "cenhum gei~rninutrl~~inz";
sedangkan lirnfosit T aktif
be~ukuranlebih besar dibanding limfosit T"tua". (Gambar
2)
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma
merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu
sel dari sekelo~npoksel limfosit tua yang tengah berada
dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi
akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu
diketahui adalah proses ini terjadi di dala~nkelenjar getah
bening, dimana sel limfosit tua berada diluar centr run^
gcrwlintrtiv~/ni" sedangkan imunoblast berada di bagian
paling sentral dari "centrum gcrtninutivutn " Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: I ).
Ukurannya makin besar; 2 ) . Kromatin inti menjadi
lebih"11alus"; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
peilnukaan sel mengalami perubahan (reseptor ?).
Hal me~idasarlain yang perlu diingat adalah bahwa sel
yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap
melnpertahankan sifat "dasarqnya. Misalnya sel kanker
dari litnfosit tua tetap me~npertahankansifat mudah masuk
aliran darah nalnun dengan tiiigkat mitosis yang rendali,
sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk
ke dalam aliran darah, nalnun dengan tingkat mitosis yang
t inggi.

ETlOLOGl DAN FAKTOR RlSlKO

Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun


terdapat beberapa faktor risiko terjadinya LNH, antara lain:
ImunoDefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang
berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah:
( e v e r e combined l t ~ i n l ~ l n o d e f i c i e lhypoganim~l
~c~~

Gambar 2. Transformasr llmfosrt B dan T menurut konsep Lukes Modlfrkasr darr Lukes RJ
Boerhave Commrttee for Postgraduate Med~calEdcuatron lnternatronal Course on Malrgnant
Lymphomas, Naorwrjkerhout, 1979, V-2

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1253

LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tahun

Penulis
1. Rappaport

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Gambar 3. Transformasi limfosit B dan T menurut konsep Lennert.


E= Sheep E receptor, EAC= complement receptor, S-1g= Surface
Immunoglobulin, C-1g= lntacytoplasmic Immunoglobulin,
Ag=Antigenicstimulation. Modifikasi dari Lennert K, Stein H, Mohri
N, Katserling E, Muller-HermelinkHK.MalignantLymphomas other
than Hogkin's disease. Berlin. Springer-Verlag, 1978: 99.

globulinemia, common variable immunodeficiency,


Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.
Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr
virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia
poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.

Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma


Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma
Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma
Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV
terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuali
hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor
lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang
terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya
kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan
posttransplant lytnphoproliferative disorders (PTLDs) dan
AIDS-associated lymphomas.
Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa
pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi
adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini
disebabkan adanya paparan herbisida dan pelamt organik.
Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada
orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani,
merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.

KLASlFlKASl LIMFOMA NON HODGKIN

Lukes
Lennert
Gerard Marchant
Bennet
Dorfman
WHO
Formulasi Praktis

9. REAL revised
10. WHO 1 REAL

1966 dan
1976
1974
1974
1974
1974
1974
1976
1982

1993
1997

Nama Klasifikasi
Modified Rappaport
Lukes-Collins
Lennert
Kiel
BNLC*
Dorfman
WHO**
Formulasi Praktis I
Working Formulation I
WF
REAL
WHO IREAL

British National Lymphoma Classification


'* World Health Organization

B-cell neoplasms
I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-acute
lymphoblastic leukemiallymphoblasticlymphoma (BALL, LBL)
It. Peripheral B-cell neoplasms
A. B-cell chronic lymphocytic leukemialsmall
lymphocytic lymphoma
B. B-cell prolymphocytic leukemia
C. Lymphoplasmacytic lymphomalimmunocytoma
D. Mantle cell lymphoma
E. Follicular lymphoma
F. Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT
type
G. Nodal marginal zone B-cell lymphoma (+monocytoid
B-cells)
H. Splenic marginal zone lymphoma evillous
lymphocytes)
I. Hairy cell leukemia
J. Plasmacytomalplasma cell myeloma
K. Diffuse large B-cell lymphoma
L. Burkitt's lymphoma
T-cell and putative NK-cell neoplasms
I. Precursor T-cell neoplasm: precurs0r.T-acute
lymphoblastic leukemiallymphoblasticlymphoma
(T-ALL, LBL)
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
A. T-cell chronic lymphocytic leukemialprolymphocytic
leukemia
B. T-cell granular lymphocytic leukemia
C. Mycosis fungoideslSezary syndrome
D. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise
characterized
E. Hepatosplenicgammaldelta lymphoma
F. Subcutaneus ~anniculitis-likeT-cell lymphoma
G. ~n~iommunot;lastic
T-cell lymphoma
H. Extranodal T-INK-cell lymphoma, nasal type
I. Enteropathy-type intestinal T -cell lymphoma
J. Adult T-cell lymphomalleukemia (HTLV I+)
K. Anaplastic large cell lymphoma, primary systemic
type
L. Anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneous
tyPe
M. Aggressive NK-cell leukemia
'

Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang


rumit dan sukar, yang kerap mengunakan istilah-istilah
yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda
sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan
yang bermakna antara hasil hasil berbagai pusat penelitian.
Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai


dan diterima dibanyak pusat kesehatan adalah formulasi
praktis ("Working Formu1ation"lWF) dan REAL / WHO.
WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif
histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel
limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang
baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah,
menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas
mereka. Klasifikasi WHOJREAL beranjak dari karakter
imunofenotip (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa
"lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan
menjadi patokan baku dan cara berkomunikasi di antara
ahli hematologi-onkologi medik.
Hal yang perlu dicatat adalah 25% pasien LNH
menunjukkan gambaran sel limfoma yang bermacam macam
pada satu lokasi yang sama; maka dalam ha1 ini
pengobatannya harus berdasarkan gambaran histologis
yang paling dominan. Oleh karena itu diagnosis klasifikasi
LNH harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan
evaluasi sitologi atau biopsi sumsum tulang semata.

B.

C.

consistent with CLL


plasmacytoid
Folliculars
.. .
Predominantly
.
small cleaved cell
Follicular, mixed small
cleaved and large cell

Intermediate-grade
lymphomas
D. Follicular, large cell
E. Diffuse, small cleaved cell
F.
Diffuse, mixed small and
large cell
G. Diffuse large cell
High-grade lymphomas
H. Large cell, immunoblastic
I.
Lymphoblastic
J.
Small, non-cleaved cell
Burkitt's, Non-Burkitt's

6-cell neoplasma (REAL)


Small lymphocytic CLLlPLL
Lymphoplasmacytoid-immunocytoma
Plaimacytoma~m~e~oma
Hairy cell leukemia

PENDEKATAN DlAGNOSTlK

Anamnesis
Umum:
Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
- Berat badan menurun 10%
gejala
dalam waktu 6 bulan
- Demarn tinggi 38C 1minggu
sistemik
tanpa sebab
- Keringat malam
Keluhan anemia
Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma)
Kelainan darah
Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis,
tuberkulosis lues, penyakit cakar kucing)

I-+

WF

T-cell neoplasma (REAL)

WF

A
A.F
Other
Other

T-cell CLUPLL
LGL
ATLlL (chronic and smouldering types
Mycosis fungoideslsezary syndrome

A, E
A. E
A,E

Marginal zone lymphoma


Splenic
ExtranodallMALT
Nodal
Follicle center, follicular
Grade l
Grade ll
Grade Ill
Follicle center, diffuse small cell
Mantle cell lymphoma
Diffuse large B-cell, including :
T-cell rich
lrnmunoblastic
Mediastinal
Precursor B-cell (lymphoblastic)
Burkitt's lymphoma
Burkitt's-like (High grade B-cell lymphoma)

Peripheral T-cell lymphoma


(+I- HTLV-I)
Unspecified
Angioimmunoblastic
Angiocentric
Intestinal

Anaplastic large cell lymphoma


Precursor T-cell (Lymphoblatsic)

Referensi : Rosenberg SA, Berard CW, Brown BW et al. National Cancer Institute Sponsored study of Classification of Non-Hodgkin's
Lymphomas. Cancer 1982;49(10):2112-35. Harris NL, Jaffe ES, Stein H et al. Revised European-American Classification of Lymphoid
neoplasms : a proposal from the International Lymphoma study group, Blood 1994 ;84(5):1361-92. Shipp MA, Mauch PM, Harris NL. Non
Hodgkin's Lymphoma . In DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer : Principles and Practice of Oncology, 5Ih edition.
Philadhelphia : Lippincott-Raven, 1997.pp 2165-220.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

LIMFOMA NON-HODCKIN (LNH)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemeriksaan Fisik
Pembesaran KGB
Kelainanlpembesaran organ
Performace status: ECOG atau WHOJKarnofsky
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratoriurn
Rutin
Hematologi:
- Darah perifer lengkap (DPL)
- Gambaran darah tepi (GDT)
Urinanalisis:
- Urinlengkap
Kimia klinik:
- SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam
urat
- Alkali fosfatase
- Gula darah puasa dan 2 jam pp
- Elektrolit:Na, K, C1, Ca, P
Khusus
- GammaGT
- Cholinesterase (CHE)
- LDWfraksi
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- Imuno Elektroforese (IEP)
- Tes Coombs
- B, Mikroglobulin
b. Biopsi
Biopsi KGB dilakukan hanya 1kelenjar yang paling
representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat
kelenjar periferlsuperfisial yang representatif, maka
tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
- Rutin
Histopatologi: REAL-WHO dan Working
Formulation
- Khusus
Imunoglobulinpermukaan
Histolsitokimia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi
dan sitologi. FNAB dilakukan atas indikasi tertentu.
Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.
c. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum
tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen
sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
- Rutin:
- Toraks foto PA dan lateral
- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
- K~USUS:
- CT scan toraks
- USGAbdomen
- Limfografi, lirnfosintigrafi
e. Konsultasi THT: Bila cinch Waldeyer terkena, dilakukan

gastroskopi atau foto saluran cerna atas dengan kontras.


f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan
serebrospinaljika dilakukan punksilaspirasi diperiksa
sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan
rutin lainnya.
g. Immunophenotyping:Parafin panel: CD 20, CD 3.

STADIUM PENYAKIT
Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan
sebelum pengobatan dan setiap lokasi jangkitan hams
didata dengan cermat, digambar secara skematik dan didata
tidak hanya jumlah namun juga ukurannya. Hal ini sangat
penting dalam menilai hasil pengobatan.

Stadium

Keterangan

Pernbesaran kelenjar getah bening (KGB) hanya


Iregio
I E: jika hanya terkena 1 organ ekstra lirnfatik
tidak difus 1batas tegas
Pernbesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi rnasih
satu sisi diafragrna
11 2: pembesaran 2 regio KGB dalarn 1 sisi
diafragma
11 3: pernbesaran 3 regio KGB dalarn 1 sisi
diafragrna
II E: pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalarn 1
sisi diafragma dan 1 organ ekstra lirnfatik tidak
difus I batas tegas
Pernbesaran KGB di 2 sisi diafragma
Jika rnengenai 1 organ ekstra lirnfatik atau lebih
tetapi secara difus

II

Ill
IV

Catatan: 1. Untuk kesepakatan kode S: Spleen (jika terkena limfa)


H: Hepar (jika terkena hati) P: Pulmo (jika terkena parulpleura) C:
Cerebral (jika terkena susunan syaraf pusat) 0 : 0 s (jika terkena
tulang) I: Intestinal (jika terkena saluran cerna) 2.Yang dirnaksud
dengan organ lirnfatik adalah: KGB, timus, lirnpa, plagues payer,
appendix 3. Cervical dan supraclavicula disisi yang sama adalah
1 lokalisasi 4. Aksila dan infraclavicula disisi yang sama adalah 1
lokalisasi 5. Mediastinurn dan hilus adalah 1 lokalisasi 6 .
Perturnbuhan jaringan paru sekitar hilus atau paket KGB Mediastinal adalah ekstra nodal tetapi bukan stadium IV 7 . Bulky Mass
adalah massa tumor dengan diameter terpanjang lebih atau sama
dengan 10 cm dan ratio mediastinum: thoraks > 0,35.Setiap
pernbesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak diternui
gejala sisternik dan B bila diternui 1 atau lebih gejala sisternik.

FAKTOR PROGNOSTIK
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik:
Indolent Lymphoma dan AgresifLymphoma. LNH Indolen
memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median
survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan
pada stadium lanjut. sebagian besar tipe Indolen adalah
noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat
disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi
kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien
dengan gambaran histologis "divergen" baik pada
kelompok Indolen maupun Agresif.
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk
memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus
yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang
mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan
pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang
mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status
performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra
nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk
mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara
0-5. Pada pasien usia <60 " (age adjusted IPI), indeks yang
digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor
stadium anatomis, serum LDH, dan status "performance",
tanpa status ekstra nodal.

Umur

< 60 tahun = 0
> 60 tahun = 1

TUMOR STAGE
ANN ARBOR

I atau II = 0
Ill atau 1V = 1

LDH serum

Normal = 0
Meningkat = I

ECOG
PERFORMANCE
STATUS

Tak ada gejala

= 0--

Ada gejala

= I--

=0

Bedridden < I12 day = 2-----Bedridden 3 112 day = 3


Chronically bedridden = 4--Keterlibatan
ekstranodal

=I

< Itempat = 0
> Itempat = I

Skor Total
Kev scores
Low risk = 0.1
Intermediate = 2

high intermediate = 3
high risk = 4,5

LNH lndolen
Indolen, Stadium I dan Stadium 11,Kontrol penyakitjangka
panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("diseasefiee
survival ") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah
pasien LNH indolen stadium I atau stadium TI dengan
menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang
terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup
lokasi nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait
dengan ekstra nodal yang terlibat)
Standar pilihan terapi: 1). Iradiasi 2). Kemoterapi

dengan terapi radiasi 3). Extended (regional) irradiasi,


untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi
saja atau "Wait and see" jika terapi radiasi tidak dapat
dilakukan. 5). Sub totalltotal iradiasi.lymphoid Cjarang).
Radioterapi luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan
dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan
nantinya
Indolen, Stage II/III/IV, Pengelolaan optimal pada LNH
indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih
melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi:
Tanpa terapilwait and see: pasien asimptomatik
dilakukan penundaan terapi dengan observasi. Pasien
stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak
mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat
terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik,
perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat
perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi )
Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan,
Mab Thera) sebagai "jirst line therapy" , diberikan
tunggal atau kombinasi. Merupakan anti CD20 antibodi
monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi
LNH indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja
dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik Tsel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan
memperantarai sinyal intraseluler:
- Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan
lama respons bertahan sekitar 1 tahun. Pada large
cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%.
Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat
sinergis.
- Dosis baku rituximab 375 mglm2 IV setiap minggu
selama 4 sampai 8 minggu dan dosis maksimum yang
bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi ulang
memberikan respons 40%.
- Efek samping berupa demam dan menggigil biasa
dijumpai terutama pada inhs pertama. Efek samping
yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan sindrom
lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada
pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL
Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2klorodoksiadenosin; kiadribin) memberikan respons
sampai 50% pada pasien yang telah diobatilkambuh.
Alkylating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid)
- Siklofosfarnid
- Klorambusil
Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan
hasil yang cepat. Biasanya digunakan kombinasi
klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan
fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau
kombinasi menghasilkan respons cukup baik (60-80%).
Terapi diteruskan sampai mencapai hasil maksimum.
Terapi "maintenance" tak meningkatkan harapan hidup,
bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut dan
mempertinggi efek leukemogenik

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1257

LIMFOMANON-HODGKIN (LNH)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Beberapa protokol kombinasi antara lain:
- CVP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prednison
- C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin
+ Prednison
- CHOP :Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin
+ Prednison
- FND : Fludarabin+Mitoksantron Deksametason
Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons
berkisar antara 50-80% pada kasus yang pernah diterapi.
Sediaan yang tersedia antara lain :13'1-anti CD20
(tositumomab, Bexxarm) dan 9oY-anti CD20
(Ibritumomabtiuxetan,Zevalin@),digunakan pada
pasien relaps denganltanpa keterlibatan sumsum tulang
minimal (< 25%). Suatu penelitian acak yang
membandingkan tiuxetan vs rituximab menunjukan
tingkat respon pengobatan (80% vs 55%) dan remisi
lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imunokonjugasi.
Kemoterapi Intensif denganltanpa "total-body irradiation" diikuti dengan transplantasi sumsum tulangPstem
cellperifer autologous atau allogenic"1 PBSCT (masih
dalam evaluasi klinis).
Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti
anti-idiotype vaccine (penelitian fase 111)
IFN-a. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular
sampai sekarang belum jelas. Hasil beberapa penelitian
menunjukkan efek potensiasi angka respons,
perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan
pengaruhnya pada harapan hidup.
Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor
besar (bulky) atau untuk mengurangi obstruksi dan
nyeri.

Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi


menjadi agresif memiliki prognosis jelek dan dapat
melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningeal).
Biasanya memberikan respons terapi yang baik dengan

Number of risk Factor

protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah


atau tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel
induk untuk kasus ini hams dipertimbangkan.
Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma ( C B C L ) .
Didefinisikan sebagai limfoma tanpa penyebaran
ekstrakutan pada waktu didiagnosa dan selama paling
sedikit 6 bulan berikutnya. Penyebaran ke kaki memberikan
prognosis yang lebihjelek. CBCL yang terlokalisir diobati
dengan radioterapi,juga untuk yang multifokal. Kemoterapi
dicadangkan untuk kasus dengan lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan.
Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal
dengan target antigen CD23, CD19, CD20, CD22 atau untuk
beberapa antigen yang lebih umum sifatnya seperti CD5,
CD25, CD80, CD40.
Alemtuzumab (Campath -1H), antibodi terhadap CD52
untuk terapi CLL, prolimfositik leukemia dan beberapa
jenis limfoma sel T.
Imunotoksin
Vaksin idiotipe
Antisense oligonukleotida
Inhibitor selektif
Transplantasi sumsum tulang autologus atau dukungan
terapi sel induk perifer, setelah kemoterapi dosis tinggi
sedang diteliti secara mendalam.
Transplantasi sumsum tulang alogenik atau
transplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien usia
muda yang refrakter dengan donor yang masih ada
ikatan keluarga dan digunakan sebagai cadangan
terakhir.
Indolen, rekuren. Standar Pilihan terapi:
Terapi radiasi paliatif
Kemoterapi
Rituximab (anti CD 20-monoclonal antibodies)
Transplantasi sumsum tulang (masih dalam tahap
evaluasi klinis)

Percentage
patients

Complete
Response
Rate(%)

All Patients (adverse risk factors, age >60y;


performance status 2 2 LDH greater than
normal; Ann Arbor Stage Ill or IV; 2 2
extranodal sites)
0.1 Low
2 Low intermediate
3 High intermediate
4.5 High
Patients 5 60 y old (adverse risk factors:
Ann Arbor stage Ill or IV, LDH greater than
normal, performance status 22
0 Low
1 Low intermediate
2 High intermediate
3 Hiah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

5-Y Diseasefree survival

(%I

5-Y
Survival
(Yo)

LNH Agresif

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka angka ini
lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya.
Penelitian secara acak terhadap protokol CHOP (generasi
pertama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi
I1 / I11 seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan ProMACECYtaBOM oleh "The Inter Group Study" melaporkan tidak
ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup
dan masa bebas penyakit. Harapan hidup aktuarial berkisar
antara 40% sarnpai 45%. Dengan demikian protokol CHOP
tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif.
~ e l a i n hasi GELA study (~oiffieret al) menunjukkan
bahwa pasien usia tua dengan LNH agresif dengan
penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP
meningkatkan overall survival dengan pengamatan 3
tahun dari 49% menjadi 62% bila dibandingkan dengan
CHOP saj a. Selain itu, regimen y ang sama dapat

L N H Intermediaten-ligh Grade Terlokalisir. Non bulky


stadium IA dan IIA, dengan keterlibatan ekstranodal (E),
dapat diterapi dengan regimen yang mengandung
doxorubicin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus,
dilanjutkan dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam
10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada
stadium awal memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan kemoterapi saja.

h,

Stadium 1-11(Bulb),I11 dan n!diterapi dengan CHOP siklus


lengkap atau CHVmPBV 8 siklus (dalam penelitian). Untuk
daerah "bulky" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan
lokal kontrol. Mc Kelvey melaporkan denganregimen CHOP
50% sampai 7 1% pasien mencapai remisi lengkap dan 75%
diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun. Harryanto

Response Category

Physical Examinations

Lymph node

Lymph Node Masses

CR

Normal

Normal

Normal

Normal

Cru

Normal
Normal
Normal
Normal
Decrease in LiverISpleen
Enlarging IiverISpleen, new sites

Normal
Normal
Normal
> 50% decrease
> 50% decrease
New or increased

Normal
>75% decrease
Normal
2 50% decrease
50% decrease
New or increased

Indeterminate
Normal or indeterminate
Positive
Irrelevant
Irrelevant
Reappearence

PR

RelapseIProgression

WHO

Premier1
Residif

Stadium

>

Trial

LNH limfoplasmasiter
makroglobulinemia
LNH ektranodal
Sel B zone Marginal jenis MALT

Terapi dalam Trial


W & S, chloorambucil,
fludarabine atau CVP

Lambung l dan HP +
Lambung l dan HP I - IV

PIR
PIR
PIR

LNH sel , zona marginal nodal

Eradikasi HP
RT, chloorambucil, CVP
W & S, RT, (chirurgie);
chloorambucil, CVP
Chloorambucil, CVP,
fludarabine

PIR

LNH sel B zona marginal pada limpa

Splenectomi, chloorambucil

LNH follicular derajat 1-2

1111

EORTC 20971' IF-RT


+I- low dose TBI

1111
IllllV

HOVON 48"
(bila CRlPR setelah 8x
CVP oral Ibila tidak
90y - ibritumomab
tiuxetan (Zevalin)
HOVON 47 :
chloorambucil vs 2 x 2
Gy IF-RT
> 18

LNH folikular deraiat 3

'

Bone Marrow

R of
refractair

PIR

EORTC 209811 HOVON


39'" R-CHOP vs
CHOP, +I- rituximab
"maintenance"
Lihat LNH difus

R-CHOP = CHOP + rituximab


' hanya bila CD 20 +
** bila residif Irefrakter pada berbagai
.pengobatan
S dalam waktu dekat
7 setelah 1 atau 2 protokol yang tanpa antrasiklin
W & S Wait and see

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

IF-RT
W & S, chloorambucil, CVP,
RT
W & S, chloorambucil, CVP,
fludarabine

W & S, chloorambucil, CVP,


fludarabine, RT
CVP, chloorambucil,
fludarabine, RT, CHOP; p.m.
non-myeloablative allo SCT**

1259

LIMFOMA NON-HODGKIN (LNH)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


menghasilkan "disease control" (cure) sekitar 30-40%
pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan
menengah dan tinggi
LNH intermediate/high grade yang refrakterl
relaps:
pasien refrakter yang gaga1 mencapai complete respons
diberikan terapi salvage dengan RT jika area yang
terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila mungkin
adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi
stem cell autologusPBSCT
Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan cisplatin dengan atau tanpa
etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti
CEPPB, EVA, miniBEAM, VAPEC B clan infb EPOCH.
Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT
Allogenic BMT
MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin
dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk regimen ini.
Pasien <65 tahun dipertimbangkan dilakukan transplantasi
autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus
kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari.
Protokol Leiden khususnya untuk stadium I11 dan IV,
mengikuti "European Intergroup Trial" membandingkan
mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi

sumsum tulang atau dosis pemeliharaan dengan INF-a


setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi
yang mengandung kombinasi antrasiklin
Terapi induksi 1: (R-Hyper VCAD)
Rituximab 375 mgIm2 IV hari I clan 8
Siklofosfamid 300mg/m2 IV setiap 12jam hari 1-3
Vinkristin 2mg IV hari ke 4 dan 11
Doksorubisin 25 mglm2, inhs selama 24 jam hari ke 4
dan 5
Deksametason 40 mg IV atau PO, hari 1-4 dan hari ke 1114
Granulosit Colony-stimulatingfactor (G-CSF), 5pgkg
IV atau SC setiap hari, dimulai hari ke 6 sampai neutropil
>4500/pL
Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1)
Rituximab 375mg/m2iv inhs hari 1
Metotreksat 200 mg/m2iv bolus hari 1, diikuti 800mg/
m2 inhs IV selam 24 jam; berikan larutan IV alkalin
Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah inhs
metotreksat selesai diikuti 15mgPO setiap 6 jam total 8
dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum
metotreksat)
Sitarabin 3000mg/m2iv selama 1jam setiap 12jam total
4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi
1000mglm2 perdosis untuk pasien >60 tahun dengan
serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)

WHO

LNH sel B sel


besar difus

Stadium

Umur

Premier1
Residif

I
II

< 66

PIR
P

IIIIIV

< 66

Il-IV

>65

Il-IV

18-65

> 65

Mediastinal
LNH sel B besar
LNH mantel sel

Trial

HOVON 26 :
LDH > 1.5 x ULN) CHOP vs i-CHOP
HOVON 26 :
(LDH < 1.5 x ULN)
HOVON 46* :
(aa-IPI** ? LI) CHOP - 14 +Irituximab
HOVON 44* :
DHAP-VIM-DHAP +I- rituximab,
diikuti SCT auto

3 x CHVmPIBV + RT
8 x CHVmPIBV

8 x CHVmPIBV
8 x CHVmPlBV
HOVON 44, tanpa rituximab
p.m. non-myeloablatieve allo
SCT
DHAP, (CHOP), RT; p.m. nonmyeloablatieve allo SCT
6 x CHVmPIBV + IF-RT

II - IV
I IV
Il-IV

<66

P
R
P

Lihat LNH sel B besar difus + IF-RT


Lihat LNH sel B besar difus
HOVON 45*$:
3 x R-CHOP, HD-Ara-C + auto SCT

? 66

HOVON 46*'
(lihat LNH sel B sel besar)

Terapi dalam trial

R
hanya apabila CD 20 +
** aa-IPI = age-adjusted IPI
$ dalam waktu dekat dibuka
Y ingat criteria inklusi pada penelitian P35
ULN = upper limft of normal
R-CHOP = CHOP + rituximab

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

8 X C H V ~ P I B V +~ auto SCT;
p.m. nyeloablatieve pada usia
muda
8 x CHV~PIBV~
DHAP

'

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


WHO

Stadium

Trial

Terapi Dalam
Trial

LNH lirnfoblastik
LNH Burkitt

I - IV

I - IV

ALL-4
ALL 3-95

ALL-4
ALL 3-95

Limfoblastik limfoma. Terapi sama dengan ALL (misal:


protokol ALL-4 ). Pasien dengan prognosis jelek
dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal
atau regimen kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen:
Terapi induksi 1 bulan
Profilaksis CNS 1 bulan
Terapi konsolidasi 3 bulan
Terapi maintenance 7 bulan.
Regimen
Siklofosfamid400 mglm2 PO untuk 3 hari pada minggu
1,4,9,12,15dan 18
Doksorubisin 50mg/m2iv pada minggu 1,4,9,12,15 dan
18
Vinkristin 2 mg IV minggu 1,2,3,4,5,6,9,12,15,dan 18
Prednison 40 mglm2 setiap hari selama 6 minggu
(tappering oj), dilanjutkan selama 5 hari pada minggu
9,12,15,dan 18
Profilaksis CNS dengan radioterapi whole-brain (2400
cGy dalam 12 fraksi) dan metotreksat intratekal(12 mg
setiap kali untuk 6 dosis) diberikan antara minggu 4
dan 9.
L-asparaginase6000 UIm2 (maximum 10.000 U) untuk 5
dosis pada awal peberian profilaksis CNS.
Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mglm2
PO setiap minggu) dan 6-merkaptopurin (75 mglm2 PO
setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.
Dvuse Small Cleaved CelllBurkitt's Limfoma.Terapijenis
ini sama dengan limfoma agresif (sel besar difuse) stadium
lanjut ;mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien
dengan limfomajenis ini mempunyai risiko 20-30 % selama
perjalanan hidupnya untuk menyebar ke SSP; pemberian
metotreksat intratekal(4- 6 kali) direkomendasikan untuk
semua pasien.
Beberapa pusat
kesehatan
mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi
sumsum tulang.

Adult Non-Hodgkin's Lymphoma (PDQe) Treatment- Health Professional Version. National Cancer Institute. U.S. National Institutes of Healt
Armitage J 0 , et al, Non Hogkin Lymphomas. Cancer, principal and
practice of oncology. Editor: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg
SA. 2001;2256-303.
Atmakusuma D. Aspek Selular dan Molekular Limfoma
NonHodgkin.Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUl RSCM.


Childhood NonHodgkin's Lymphoma (PDQm). National Cancer
Institute
Coiffier B, Herbrecht R, Tilly H, Sebban C, et al. Gela Study
Comparing CHOP and R-CHOP in elderly patients with DLCL:3year median follow-up with an analysis according to comorbidity
factors.Presentation at the 39Ih Annual Meeting of the
American Society of Clinical Oncology, 31 May-3 June 2003,
Chicago, USA
Complete Summary of GUIDEL1NE:The use of chemotherapy and
growth factors in older patients with newly diagnosed, advancedstage, aggressive histology non-Hodgkins' lymphoma. 19982004 National Guideline Clearinghouse
Czuczman MS, Weaver R, Alkuzweny B, Berlfein J, Grillo-Lopez
AJ. Prolonged Clinical and Molecular Remission in Patients
With Low-Grade or Follicular Non-Hodgkin's Lymphoma
Treated With Rituximab Plus CHOP Chemotherapy: 9-year
Follow-Up. Journal of Clinical Oncology. Volume 22. Number
23. December 1 2004
Davis TA, Grillo-Lopez A, White CA, et.al. Rituximab Anti-CD20
Monoclonal Antibocy Therapy in Non-Hodgkins's Lymphoma:
Safety and Efficacy of Re-Treatment. Journal of Clinical
Oncology, Vol 18 No. 17, 2000:pp 3135-43.
Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin
lymphoma.1n Manual of clinical oncology, 5Ih Ed. Edited by
Casciato DA. Lippincot Williams & Wilkins, 2004 : 435-56.
Fisher RI, Mauch PM, Harris LN, Friedberg JW. Non Hodgkins
lymphomas.ln Cancer priciples & practice of oncology 71h Ed.
Edited by DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2005 : 1957
931
Fisher RI, Gaynour ER, Dahlberg S et al. Comparison of standart
regimen (CHOP) with three intensive chemotherapy regimen
for advanced NHL. N Engl J Med 1993; 328: 1002-6.
Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. The summary: the
addition of rituximab to a combination of fludarabine,
cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases
the response rate and prolongs survival as compared to FCM
alone in patients with relapsed and refractory follicular and
mantle cell lymphomas - results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group
(GLSG). Blood 2004;104:3064-71.
Ghiemilmini Michele, Schmitz Shu-Fang Hsu, Cogliatti Sergio B.et.al.
Prolonged treatment with rituximab in patients with follicular
lymphoma significantly increases event-free survival and
response duration compared with the standard weekly x 4
schedule. Blood, 14 June 2004.Volume 103, Number 12
Gordon LI. Non-Hodgkin lymphoma. Manual of clinical Hematology, 3" Ed. Edited by Mazza JJ. Lippincot Williams & wilkins,
2002 : 318-33.
Gutierrez Martin, Wilson WH. Non-Hodgkin lymphoma. In Bethesda
handbook of clinical oncology. Edited by Abraham J, Allegra CJ.
Lippincot williams & wilkins, 2001 : 319-31.
Hematologie klapper.Editor Ottolander GJ, Willemze R. NonHodgkin lymphoma (NHL). Hematologie leids universitair
medisch centrum.Leiden ,1999 :82-98
http:liwww.nci.nih.gov/ cancer: Adult Non-Hodgkin lymphoma.
2004.
International Non-Hodgkin's Lymphoma Prognostic Factors Project
A predictive model for aggressive non-Hodgkins lymphoma . N
Engl J Med 1993; 329 : 987-94.
McLaughlin P, Grillo-Lopez AJ et. Al. Rituximab Chimeric Anti-CD
20 Monoclonal Antibody Therapy for Relapsed Indolent

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Lymphoma: Half of Patients Respond to a Four-Dose
Treatment Program. Journal of Clinical Oncologv, Vol 16, No
8, 1998:pp2825-33
Mounier N, Brier J, Gisselbrecht C, et.al. Rituximab plus CHOP (RCHOP) overcomes bcl2-associated resistance to chemotherapy
in elderly patients with diffuse large B-cell lymphoma
(DLBDCL).Blood, I June 2003. Volume 101, number 11.
National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice
Guidelines in Oncology-v. 1.2004.
Non-Hodgkin's Lymphoma Version1.2004. National Comprehensive Cancer Network
Pathology and genetis tumours of haematopoeitic and lymphoid
tissues. WHO classification of tumours. Edited by Jaffe ES,
Harris NL, Steir H, Vardiman JW. 2001
Pettengell Ruth, Linch David. Position paper on the therapeutic
use of rituximab in CD20-positive diffuse large B-cell nonHodgkin's lymphoma. British Journal of Haematology,
2003.121.44-48
Pfreundschuh M, et al. Frist Analysis of the completed MabTheram
International (MInT) Trial in young patients with low risk
diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL): Addition of rituximab
to a CHOP-like regimen significantly improves outcome of all
patients with the identification of a very favorable subgroup

with IPI=O and no bulky disease. Oral presentation at ASH


2004.
Protokol Limfoma Non Hodgkin.Timja Kanker Darah dan KGB.
Reksodiputro H, Cosphiadi I. Limfoma non-Hodgkin.Buku ajar Ilmu
penyakit dalam .Jilid II.Ed 3.Balai penerbit FKUI,2001: 60720.
Rituximab plus chemotherapy: expanding first-line treatment
options in indolent non-Hodgkin's lymphoma. Highlight from
Ash 2003. Roche Pharmaceuticals
Rituximab for Aggressive Non-Hodgkin's Lymphoma. National
Institute for Clinical Excellence. Technology Appraisal 65.
September 2003
Robinson AS and Goldstone A. Clinical Use of Rituximab in
Haematological Malignancies. Britisth Journal of Cancer (2003)
89, 1389-1394
Stein RS, John PG. Non Hodgkin lymphoma. In Hand book of
cancer chemotherapy, 6th Ed. Editor Skeel RT. Lippincot
williams & wilkins, 2003: 503-23
The Use of Chemotherapy and Growth Factors in Older Patients
with Newly Diagnosed, Advance-Stage, Aggressive Histology
Non-Hodgkin's Lymphoma. Patience Guideline Report #6-7,
June 25, 2003. Program in Evidence;Based Care - A Cancer
Care Ontario Program.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT HODGKIN
Rachmat Sumantri

PENDAHULUAN

sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin (adik-kakak)


juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.

Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular


yaitu limfoma malignum,yang terbagi dalam limfoma
malignum Hodgkin dan limfoma lalignum non Hodgkin.
Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis,
di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel ReedSternberg.
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas
Hodgkin pada tahun 1832,kemudian gambaran
histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun
1872,disusul oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed
yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian
diberi nama Sel Reed-Sternberg.
Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed Sternberg
berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur
pada imunoglobulin,sel ini juga mengandung suatu faktor
transkripsi inti sel (NFkB),kedua ha1 tersebut menyebabkan
gangguan apoptosis.

EPlDEMlOLOGl DAN FAKTOR RlSlKO

Di Amerika Serikdt terdapat 7500 kasus baru Penyakit


Hodgkin setiap tahunnya,rasio kekerapan antara laki-laki
dan perempuan adalah 1,3- 1,4 berbanding 1. Terdapat
distribusi umur bimoda1,yaitu pada usia 15-34 tahun dan
usia di atas 55 tahun.
Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi
virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan dalam
menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkan gen asing
ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus
Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes
Virus-6 (HHV-6). Faktor risiko lain adalah defisiensi imun,
misalnya pada pasien transplantasi organ dengan
pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak


nyeri.
Gejala sistemikyaitu demam (tipe Pel-Ebstein),berkeringat
malam hari,penurunan berat badan, lemah badan dan pruritus terutama pada jenis Nodular Sklerosis.Selain itu
terdapat nyeri di daerah abdomen akibat splenomegali atau
pembesaran kelenjar yang masif, nyeri tulang akibat
destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang

GEJALA KLlNlS

Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak


nyeri
Demam, tipe Pel-Ebstein
Hepatosplenomegali
Neuropati
Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstrimitas,
sindrom vena cava, kompresi medulla spinalis, disfingsi
hollow viscera.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah: anemi, eosinofilia, peningkatan laju
endap darah, padajlow cytometry dapat terdeteksi limfosit
abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi.
Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT HODGKIN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati.
Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik
dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan
hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena
pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis.
Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan
ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya
nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi
ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik
dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi
merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat
limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena
produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh
jaringan 1imfoma.KadarLDH darah yang meningkat dapat
menggambarkan massa tumor dan turn-over. Poliklonal
hipergamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma
Hodgkin dan Non Hodgkin.
Biopsi sumsum tulang
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging,
keterlibatan surnsum tulang pada limfoma Hodgkin sulit
didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
Radiologis
Pemeriksaan foto torak untuk melihat limfodenopati hilar
dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru.
Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat menyebabkan
efusi chylous (seperti susu).
USG abdomen kurang sensitif dalam mendiagnosis
adanya limfodenopati. Pemeriksaan CT Scan torak untuk
mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal
sedangkan CT Scan abdomen memberi jawaban
limfodenopati retro peritoneal, mesenterik, portal,
hepatosplenomegali atau lesi di ginjal.

PENTAHAPAN (STAGING)

Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai


prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990)
yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Ann Arbor
(1971).
Stadium I keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau
struktur jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer)
atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatik.
Stadium I1 Keterlibatan>2 regio kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada
kedua sisi termasuk stadium 11); keterlibatan lokal 1 organ
ekstranodal atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada
sisi diafragma yang sama (IIE). Jumlah regio anatomik yang
terlibat ditulis dengan angka (contoh 51,).
Stadium I11 Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada
kedua sisi diafragma (111), dapat disertai lien (IIIs), atau

keterlibatan 1 organ ekstranodal (IIIE) atau keduanya (IIISE).


111, Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening
splenik, hilar,seliak atau portal.
111, Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta,
iliaka dan mesenterika.
Stadium IV Keterlibatan difiddiserninata pada 1 atau lebih
organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa
keterlibatan kelenjar getah bening.

Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium:


A Tanpa gejala
B Demam (suhu >38 "C), keringat malam, p e n m a n berat
badan >10 % dalam waktu 6 bulan sebelumnya)
X Bulky disease (pembesaran mediastiurn >1/3, adanya
massa kelenjar dengan diameter maksimal10 cm)
E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau
proksimal terhadap regio kelenjar getak bening
CS Clinical stage
PS Pathologic stage (misalnya ditentukan pada laparotomi)

Karakteristik

Limfoma
Hodgkin

Ternpat asal

Nodal

Distribusi nodal

Sentripetal
(aksial)

Penyebaran
nodal
Keterlibatan
susunan saraf
pusat
Keterlibatan
hepar
Keterlibatan
surnsurn tulang
Keterlibatan
surnsurn tulang
rnernpengaruhi
buruknya
prognosis
Sernbuh dengan
kernoterapi

Contiguous

Limfoma non Hodgkin


Low grade

IntermediaV
high grade

Ekstranodal
(10%)
Sentrifugal

Ekstranodal
(35%)
Sentrifugal

Noncontiguous Noncontiguous

Jarang
(<I %)

Jarang
(< 1 %)

Jarang
(<lo%)

Jarang

Sering
(> 50 %)
Sering (>50 %)

Jarang

Jarang
(< 10%)
Ya

Ya

Tidak

Jarang
(< 20 %)
Ya

Tidak

Ya

KLASlFlKASl LIMFOMA HODGKIN

Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil


gambaran histopatologis lebihjelas dari biopsi cucuk jarurn
(Fine Needle Biopsy);
Klasifikasi Rye:
Lymphocyte Predominant
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Lymphocyte depletion

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Jacksonand
Parker

Lukes and Butler

Rye Conference

WHO classification

REAL classification

Paragranuloma

Lymphocytic or
histiocyiic, nodular
Lymphocytic or
histiocytic, diffuse

Lymphocytepredominant

Nodular lymphocyte-predominant
classic HD
Lymphocyte -rich classic HD

Lymphocyte predominant,nodular HD
Lymphocyte-rich classic HD

Granuloma

Nodular sclerosis
Mixed cellurarity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Nodular sclerosis
Mixed cellularity

Sarcoma

Diffuse fibrosis
Reticular

Lymphocyte -depleted
Unclassifiable classic HD

Klasifikasi WHO:
Nodular lymphocyte predominance Hodgkin
Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai
indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan
true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit
dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan
gambaran sel Reed-Stenberg.
Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.

Pengobatan limfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah


kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS)
dan faktor risiko.
Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy
(EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan
radioterapi ( R T ) pada Limfoma Residual atau Bulky
Disease.
Faktor risiko untuk terapi menurut German llodgkin's
1.ymphoma
Studv Group (GHS(;) meliputi:
Massa mediastinal yang besar
Ekstranodal
Peningkatan laju endap darah, > 50 untuk tanpa gejala
atau > 30 untuk dengan gejala (B)
Tiga atau lebih regio yang terkena
Menurut EORTCIGELA (European Organization for
Research and Treatment of Carcinoma/Groupe dJEtude
des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu:
Massa mediastinal yang besar
Usia 50 tahun atau lebih
Peningkatan laju endap darah
4 regio atau lebih
Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National
Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang
direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai
kemoterapi terpilih.
Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah:
Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,

imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi


C D 16/CD 30 bispesifik antibodi dan radio
immunoconjugates.

PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMllAN


Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan,
beberapa ha1 penting yang perlu diketahui:
Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi
Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai
melahirkan kecuali pada "Bulky Disease" dan diberikan
dengan pelindung.
Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat
dipertimbangkan abortus terapeutik. Malfonnasi fetus
terjadi pada 15% kasus bila kemoterapi diberikan pada
semester pertama, tidak terjadi pada semester
berikutnya.
Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebeluni
melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.

Kelompok

Stadium

Rekomendasi

Stadium dini
(favorable)

CS I-IIA I6 tanpa
faktor risiko

EFRT (30-36 Gy) atau


4-6 siklus kemoterapi
+ IFRT 20-36 Gy

Stadium dini
(unfavorable)

CS 1-11 AIB + RF

4-6 siklus kemoterapi


+ IFRT 20-36 Gy

Stadium lanjut

CS llB +RF;CS
IIIAIB
CS IV AIB

6-8 siklus kemoterapi


+ RT 20-36 Gy
pada limfoma residual
dan bulky disease

PROGNOSIS
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi
masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From
Progression), yaitu : 1). Jenis Kelamin, 2). Usia >45 tahun;
3). Stadium IV; 4). Hb <10 gr'?!~;5). Leukosit > 15000/mm3;
6). Limfosit <600/mm3 atau <8 % leukosit; 7). Serum
albumin <4 gr%

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1265

PENYAKIT HODGKIN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Regimen

Dosis

Imalm2,

Pemberian

IV

1,4
100
40

PO
PO

Jadwal (hari)

Siklus
iharil

MOPP

- Mechloretamine
- Oncovin
- Procarbazine
- Prednisone

IV

COPP

- Cyclophospharnide
- Oncovin
- Procarbazine
- Prednisone
ABVD
- Adriamycin
- Bleomycin
- Vinblastine
Dacarbazine

Stanford V

- Mechlorethamine
- Adriamycin
- Wnblastine
- Vincnsthe
- Bleomyc~n
- Etoposide
- Prednisone
- G-CSF

12 mlnggu

6
25
6
1,4
5
60x2
40

Pasien tanpa faktor risiko FFP = 84%, dengan satu faktor


risiko FFP = 77%, dengan dua faktor risiko FFP = 67%,tiga
faktor risiko FFP = 60%, empat faktor risiko FFP = 5 1%,
lima faktor risiko atau lebih FFP = 42%.

Terapi
Relaps setelah
radioterapi
Nodal relaps CS I - II
tanpa gejala B,
tanpa radioterapi
sebelumnya
Progresif primer
Relaps dini
= Relaps lanjut

Kemoterapi
Radioterapi salvage

IV
IV
IV
IV
IV
IV
PO

SC

minggu 1 5 9
mlnggu 1,3,5,9,11
minggu 1,3,5,9,11
minggu 2,4,6,8,10,12
minggu 2,4,6,8,10,12
mlnggu 3,7,11
minggu 1-9, tappering
minggu 10- 12

REFERENSI
Hodgkin's Disease ; National Comprehensive Cancer Network, Clinical Practice Guidelines in Oncology, Version 1, 2004
Diehl V, Mauch PV, Harris NL : Hodgkin's Disease in Vincent T
Devita Jr Eds. Cancer, Principles and Practice of Oncology,
Lippincot Williams & Wilkins, 61h Ed., 2001, pp 2339-87.
Stein RS and Morgan DS : Hodgkin's Disease in Wintrobe's
Clinical Hematology, Lippincott Williams & Wilkins, I I t h Ed.,
2004, pp 2521-54.
Iman Supandiman, Rachmat Sumantri, Heri Fadjari, Pandji Irani
Fianza, Amaylia Oehadian : Pedoman Diagnosis dan Terapi
Hematolog - Onkologi Medik, Bandung, 2003.

High dose chemotherapy (HDCT)


diikuti oleh transplantasi sel asal
"Autologous Stem Cell
Transplantation" (ASCT)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


Panji Irani Fianza

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal


dari sel-sel prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, selsel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan
leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia
yang paling banyak pada anak-anak. Walaupun demikian,
20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati,
leukemia ini bersifat fatal.

Insidensi LLA adalah 1160.000 orang per tahun, dengan


75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi
puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan
pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari
pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih b&ar untuk
berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot
dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang
menjadi LLA.

Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak


diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi
genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada
anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis
yang berhubungan dengan LLA adalah : 1). Radiasi ionik.
Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki mempunyai risiko relatif
keseluruhan 9,l untuk berkembang menjadi LLA; 2).
Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan
aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan
leukemia; 3). Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA

pada usia di atas 60 tahun; 4). Obat kemoterapi; 5).


Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan
LLA L3; 6). Pasien dengan sindroma Down dan WiskottAldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi
LLA.

PATOGENESIS MOLEKULAR
Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada
LLA dewasa adalah t(9;22)/BCR-ABL(20-30%) clant(4; 11)/
ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini
berhubungan dengan proinosis yang buruk. Fusi gen
BCR-ABL merupakan hasil dari translokasi kromosom 9
dan 22 [t(9;22)(q34;qll)] yang dapat dideteksi hanya
dengan pulse-field gel electrophoresis atau reversetranscriptase polymerase chain reaction. ABL adalah
nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik
mentransfer molekul fosfat ke substrat protein, sehingga
terjadi aktivasi jalur transduksi sinyal yang penting dalam
regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe
hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang
buruk; sedangkan t(10; 14) dan karyotipe hiperdiploid
tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik.
Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah
hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang
mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi
siklus sel, misalnya p16(INK4A) dan p15(INK4B).
Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan
penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang
melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan
ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata
lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau
lebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA
dewasa.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1267

LEUKEMIA LIMFOBLASTIKAKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Klasifikasi lmunologi
Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukaemia (ALL)70%: common ALL (50%), null ALL, pre-B ALL
T-ALL (25%)
B-ALL (5%)
Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau
tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe
imunologi yang paling sering ditemukan adalah common
ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan
lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang
jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai
limfoma agresif (varian Burkitt).

Klasifikasi Morfologi the French-AmericanBritish (FA 6):


L1: Sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit
sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas
L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli
yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah
L3: Sel blas dengan sitoplasma bewakuola dan basofilik
Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi
L2, sedangkan tipe L 1 paling sering ditemukan pada anak.'
Sekitar 95% dari semua tipe LLA kecuali sel B mempunyai
ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl
transferuse (TdT), suatu enzim nuklear yang terlibat dalam
pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin.
Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika
konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA
dicurigai.

GAMBARAN KLlNlS

(c)
Gambar 1. Morfologi sel blas LLA (a) T~peL1; (b) Tipe L2, (c)
Tlpe L3

Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya


gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang
atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.
Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah
perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan
anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi
yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA,
sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien
yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat
jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
Anoreksia
*- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang
oleh sel-sel leukemia)
Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis,
atau sepsis. Penyebab yang paling sering adalah
stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif
usus, serta berbagai spesies jamur.
Perdarahan kulit betechiae, atraumatic ecchymosis),
perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna,
perdarahan otak
Hepatomegali
Splenomegali
Limfadenopati
Massa di mediastinurn (sering pada LLA sel T)
Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah
(gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam
status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI
dan VII, kelainan neurologik fokal
Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura,
perikardium, tonsil

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


GAMBARAN LABORATORIUM
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk
konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan
perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
Hitung Darah Lengkap (Complete B l o o d
Count) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada
saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3)terjadi
pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3.
Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.
Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0
sampai 100%.Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung
trombosit kurang dari 25.000/mm3.
Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus
menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus
diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan
immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak
hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih
dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsurn tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi
sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran
sitologi.
Sitokimia
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau
sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan
LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA,
pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan
memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah
enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas
LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan
precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewamaan fosfatase
asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan
sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewamaan
periodic acid Schiff(PAS). TdT yang diekspresikan oleh
limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan
imunoperoksidase ataujow cytometry.
lmunofenotip (dengan sitometri arus/Flow
cytometryl
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi
LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi
subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:
Untuk sel prekursor B: CDlO (common ALL
antigen),CD 19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy
chain, dan TdT

Untuk sel T: CDl a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7 ,CD8 dan
TdT
Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22
Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi
antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi
adalah CD13, CD15, danCD33.
Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid
dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini
jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa
kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA
tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik (tabel
1). Translokasi t(8; 14), t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan
pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan
disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc
pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat
ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya kromosom
Philadelphia, t(9;22)(q34;qll) yang khas untuk leukemia
mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5% LMA
dewasa dan 20%-30% LLA dewasa.
Biologi Molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin
gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21) yang tidak terdeteksi
dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga hams dilakukan
untuk medeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.
Pemeriksaan Lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi
intravaskular diseminata jarang terjadi. Kelainan metabolik
seperti hiperurikemia dapat terjadi terutama pada pasien
dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor
burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat
diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau

Kelainan

Prognosis

Perubahan numerik
Hiperdiploidi tinggi (lebih dari 50 krornosom)
Hiperdiploidi (47-50)
Pseudodiploidi (46 dengan perubahan strukturlnumerik
Hipodiploidi (kurang dari 46)
Kelainan struktur

Krornosom Philadelphia t(9;22)*


t (12;21)'*
t (139)
t (4; 11)...
t (8;14)

Baik
Sedang
Sedang
Buruk

Gen yang terlibat

BCR-ABL
TEL-AMLI
E2A-PBX1
MLL-AF4
MYC

Buruk
Baik
Baik
Buruk
Baik

Harus dibedakan dari krisis blas limfoid dari leukemia mieloid kronik

...Terjadi
pada 30% kasus LLA anak.
Terdapat pada LLA sel B dengan morfologi L3

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi.
Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SSP) adalah bila
ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal
dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang
disentrifugasi.

Aspirasi dan biopsi sumsum tulang :


- Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis
imunofenotip, analisis molekular BCR-ABL

DIAGNOSIS BANDING
Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali
yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma
Anemia aplastik

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis LLA dewasa :

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium :
- Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan
koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan
darah ABO dan Rh, penentuan HLA
Foto toraks atau computed tomography
Pungsi lumbal

Kelomook

Tahun

n loasienl

Umur*

Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol surnsurn tulang


dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan
SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian
kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (kemoterapi
intratekal danlatau sistemik dosis tinggi, dan pada

lnduksi

Konsolidasi
V,
DX,AD,AC,C,T
G,VM
AD,AC,A

Pemeliharaan

CR

LFS

MP,M

75%

39% pd 7th

MP,M,V,C,P,AD
,AC
MP,M,V,P
MP,M,V,P

76%
82%
89%

30% pd
10th
28% pd 5th

MP,M

83%

MP,M,V,[AC,Mi,
VM,HDAC,HDM
,DXI

82%

29% pd 9th

82%

31%

MP,M
[V,P,Mi,A,C,VM,
ACI
MP,M,V,P

86%

41% pd 4th

85%

36% pd 3th

Tidak
dilaporkan
MP,M,V,P
MP,M

85%

36% pd 3th

91%
84%

38% pd 5th
49% pd 3th

82%

35% pd 5th

Studi dengan > 500 pasien


GMALL 02/84

1993

562

28

V,P,A,D,C,
AC, M,MP

FGTALL

1993

58 1

33

MRC-UKALL XA
MRCIECOG

1997
1999

618
920

> 15

V,P,D/R,C[
AD,AC]
V,P,A,D
V,P,D,A,C,
AC,MP

GMALL 05/93

2001

1163

35

V,P,A,D,C,
AC,M,MP

GIMEMA 0288

2002

794

28

V,P,A,D,C,
[HDAC,Mi]

Total (% = weighted
mean)

[AC,VP,D,TG]
HDM,A
[AC,VP,V,DX,D,
C,TG] SCT
V,DX,AD,AC,C,
TG,VM,AC,HD
M,A,C
[HDAC,Mi]
V,HDM,HDAC,
DX,VM

4638

Studi terbaru dengan > 100 pasien


Pethema ALL-93

1998

108

28

V,P,D,A,C

CALGB

1998

198

35

V,P,D,A,C

Sweden

1999

120

44

MDACC
Lombardia

2000
2001

204
121

39
35

HDAC,
C,D,V,BX
V,AD,DX,C
I,V,A,P,[C]

Netherlands

2001

193

33

Standar

HDM,
V,D,P,A,C,VM,A
C
C,MP,AC,V,A,M,
AD,DX,TG,P
AD,HDAC,V,BX,
C,D,Vp ~tSCT
HDM,HDAC,C,P
I,V,C,VM,HDAC,
HDM,DX SCT
HDAC, VP 16 +
allo/auto SCT

Total (% = weighted
944
86% 38%
mean)
* median umur atau rentang
Singkatan: CR complete remission; LFS, leukemia free sun~ival;V, vinkristin; P, prednison; A, asparaginase; D, daunorubisin; C,
cyclophosphamide;
AC, cytarabine; M, methotrexate; MP, mercaptopurine; DX, deksarnetason; AD, adriamisin; TG, tioguanin; VM, teniposide; R,
rubidazone; VP, etoposide; HDAC, high dose AC; HDM, high dose M; SCT, stem cell transplantation; Mi, mitoxantrone; BX,
betametason; I, idarubisin.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata
terapi LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan
untuk eradikasi populasi sel leukemia.
Terapi LLA dibagi menjadi :
Induksi remisi
Intensifikasi atau konsolidasi
Profilaksis susunan saraf pusat (SSP)
Pemeliharaanj angka panjang
Sebelum terapi dimulai harus diperhatikan hal-ha1 berikut dari
pasien:
Metabolik
Hiperurisemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia sekunder
dapat terjadi pada pasien denganjumlah sel leukemia yang
sangat banyak. Hal ini memerlukan hidrasi intravena,
alkalinisasi urin, dan pemberian alupurinol untuk
mencegah akumulasi asam urat.
lnfeksi
Selain mielosupresi, terapi LLA dapat menekan imunitas
seluler sehingga ada yang memberikan pencegahan
terhadap infeksi virus herpes dan Pneumonytis carinii.
Hematologik
Batas untuk pemberian .transfusi sel darah merah
tergantung dari keadaan fisiologik pasien. Transfusi sel
darah merah harus dihindari pada pasien dengan
hiperleukositosis karena dapat meningkatkan secara
mendadak viskositas darah dan mempresipitasi
leukostasis.
Pada keadaan hiperleukositosis (leukosit >1 00.000/rnrn3)
dilakukan leukoferesis atau pemberian prednison selama
7 hari atau vinkristin sebelum terapi induksi remisi dimulai.
Terapi lnduksi Rernisi
Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi
komplit hematologik (hematologic complete remission/
CR), yaitu eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara
morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya
hematopoiesis normal. Tulang punggung terapi induksi
remisi adalah prednison dan vinkristin. Terapi ini biasanya
terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin (pada
umdmnya daunorubisin) dan juga L-asparginase.
Tambahan obat seperti siklofosfamid, sitarabin dosis
konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan
pada beberapa regimen.
Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan
CR pada sekitar 50% pasien LLA de novo. Penambahan
antrasiklinmemperbaiki CR menjadi 70-85%. Daunombisin
biasanya diberikan seminggu sekali, tapi beberapa
penelitian memberikan dosis intensifikasi (30-60mg/m22-3
hari). Dosis intensifikasi berhubungan dengan mortalitas
yang tinggi, sehingga diperlukan terapi suportif intensif

dan pemberian faktor pertumbuhan (granulocyte colonystimulatingfactorlGSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi
mempersingkat lama neutropenia 5-6 hari dan menurunkan
insidens infeksi. Penambahan L-asparginase tidak
memperbaiki fiekuensi dan durasi CR.
Terapi lntensifikasi atau Konsolidasi
Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi
intensifikasi (early intensification) yang bertujuan untuk
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps
dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi ini juga
dilakukan 6 bulan kemudian (late intens$cation). Studi
Cancer andLeukemia Group B menunjukkan durasi remisi
dan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien LLA
yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi
intensifikasi (early dan late intensification) daripada
pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi. Berbagai
dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan
tergantung protokol yang dipakai.
Profilaksis SSP
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar
50%-75% pasien LLA yang tidak mendapat terapi
profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Profilaksis
SSP dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal,
radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang
mempunyai bioavaliabilitas SSP yang tinggi seperti
metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.
Pemberian ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak
memberikan hasil yang superior, sedangkan kemoterapi
intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi saja
tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi
intratekal dengan radiasi kranial (antara 1800-2400 cGy)
memberikan angka relaps SSP yang sama dengan
kemoterapi intratekal + kemoterapi sistemik dosis tinggi
tanpa radiasi kranial yaitu antara 0%-11%.
Perneliharaan Jangka Panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan
metotreksat seminggu sekali selama 2-3 tahun. Pada LLA
anak terapi ini memperpanjang disease-free survival,
sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.
Tabel 2 memperlihatkan hasil terapi LLA dewasa dari
berbagai studi.
Transplantasi Sumsurn Tulang
Pada pasien LLA yang mempunyai risiko tinggi untuk relaps
dilakukan transplantasi sumsum tulang alogenik pada
remisi komplit yang pertama. Risiko tinggi untuk relaps
yaitu:
Kromosom Philadelphia
Perubahan susunan gen MLL
Hiperleukositosis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gaga1mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu


Pasien LLA dewasa yang mengalami relaps setelah
mencapai remisi komplit harus menjalani transplantasi
sumsum tulang alogenik begitu remisi kedua tercapai.

Terapi untuk B-ALL


Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen
LLA konvensional. Karena kecepatan proliferasi sel-sel
leukemia-nya tinggi, maka diberikan terapi
hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan
metotreksat dosis tinggi. Saat ini tidak ada terapi yang
efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.
Pilihan Terapi dan Pengelolaan Baru untuk
LLA Dewasa:
Terapi molekular: inhibisi direk aberasi molekular yang
terlibat dalam patogenesis
- Inhibitor tirosin kinase STI571, inhibitor farnesil
transferase
Terapi antibodi: supresi target sel blas leukemia sesuai
dengan ekspresi antigennya
- CD19:antiCD19
- CD20: Rituximab
- CD52: Carnpath
Transplantasi sumsum tulang non-mieloablasi:
ekstensi
Penggunaan efek graft-versus-leukemia
indikasi transplantasi sumsum tulang untuk pasien tua
Evaluasi minimal residual disease (MRD): evaluasi
individual terhadap respon terapi:
- Penilaian elemen terapi yaitu induksi, terapi baru,
dan strafikasi risiko (MRD= sel blas leukemia
residual yang tidak dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang. MRD
diperiksa dengan metode Polymerase Chain
Reaction)
Analisis microarray: Analisis profil ekspresi gen dan
seleksi gen yang diekspresikan secara berbeda:
- Identifikasi faktor prognostik dan gen target untuk
terapi baru.

BEBERAPA PROTOKOLYANG DlPAKAl UNTUK


TERAPI LLA DEWASA ADALAH:
Protokol OPAL (modified)
Induksi remisi :
Vinkristin 1,5 mg/m2IV, hari 1 (max. 2 mg).
Daunorubisin 30 mg/m2IV, hari 1,2,14,21,28.
Prednison 40 mg/m2 PO, hari 1-28 lalu tappering off2
minggu.
L-asparaginase 10.000 Ulm2 IV diberikan pada saat
mendekati remisi komplit selama 4 hari sebelurn radiasi
kranial.

Biasanya diperlukan 4 dosis vinkristin (tiap minggu)


dan 5 dosis daunorubisin.
Pemberian metotreksat intratekal sesuai dengan
protokol biasa. Aspirasi sumsum tulang dilakukan
sekitar minggu ke 5 jika trombosit >100.000/mm3dan
neutrofil >1000/mm3untuk konfirmasi respons komplit.
Selama pemberian asparaginase hams diperiksa kadar
fibrinogen. Bila fibrinogen <I00 mg/dL berikanpesh
Ji-ozen plasma.
Dosis pemeliharaan:
6 MP 70-90 mg/m2PO tiap hari.
Metotreksat 15 mg/m2PO tiap minggu.
Pemeliharaan diteruskan sampai 3 tahun, lalu periksa
apus sumsum tulang, cairan spinal, biopsi testis. Bila
terdapat remisi, obat-obatan distop. Dosis
pemeliharaan disesuaikan dengan target leukosit 30003500/mm3, jika leukosit meninggi, dosis metotreksat
dinaikkan.
Pencegahan infiltrasi ke SSP
Dilakukan pada keadaan remisi lengkap.
Radiasi kranial2400 rad dalam dosis terbagi (200 radl
kali)
Metotreksat intratekal 10 mg/m2, 2 kali seminggu
sebanyak 5 dosis.

Modifikasi Dosis:
Vinkristin 1 mg bila bilirubin >2 mg%
Doksorubisin: dosis diturunkan 25%, bila bilirubin 2-3
mg%, 50%bila bilirubin 3-4 mg%, 75% bila bilirubin >4
mg?4
Metotreksat: dosis diturunkan: 25% bila kreatinin 1,5-2
mg%, 50% bila kreatinin >2 mg%
HIDAC 1 gram/m2:bila:
- Usia >60 tahun
- Kreatinin >2 mg%
- Kadar metotreksat >20 mmol/L

PROGNOSIS
Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi
tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya
30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien
yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20
tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan
sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung
dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi
sumsum tulang. Overall disease-free survival rate
untuk LLA dewasa kira-kira 30%. Pasien usia >60 tahun
mempunyai disease-free survival rate 10% setelah
remisi komplit.
Faktor prognostik LLA dewasa dapat dilihat pada
Tabel 7.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat

Dosis

A. Kemoterapi dosis intensif


1. Hyper- CVAD (siklus 1, 3, 5, 7)
Siklofosfamid
Mesna
Vinkristin
Doksorubisin
Deksametason

Hari

300 mglmz IV 3 jam tiap 12


jam (6 dosis)
300 mg/mz IV kontinu sampai
6 jam setelah dosis
siklofosfamid terakhir
2 mg IV
50 mg/m2 IV
40 mg Ihari

1-

2. Metotreksaffsitosin arabinoside dosis tinggi (MTX 1 HIDAC)


(siklus 2, 4, 6, 8)
Metotreksat
200 mg/m2 IV 2 jam
800 mg/m2 IV 24 jam
Lekovorin
15 mg setiap 6 jam (8 dosis)
mulai 24 jam setelah selesai
metotreksat
Ara - C
3 gram/mz IV 2 jam, tiap 12
jam (4 dosis)
Metilprednisolon
50 mg IV, 2 kali Ihari

3. Profilaksis SSP
Metotreksat
Ara - C
Penderita dengan risiko : Tinggi
Rendah
Tidak diketahui

12 mg intratekal (IT)
100 mg
16 IT
4 IT
8 IT

4. Profilaksis antibiotik
Siprofloksasin atau
Levofloksasin
Flukonazol
Asiklovir atau
Valasiklovir

500 mglhari PO
500 mglhari PO
200 mglhari PO
2 x 200 mglhari PO
500 mglhari PO

B. Terapi Pemeliharaan
Kromosom Philadelphia (+) 3 transplantasi sumsum tulang alogenik
atau
IFN + ara - C selama 2 tahun
Mature B - cell ALL 3 tanpa terapi pemeliharaan
Sub tipe lain
terapi POMP selama 2 tahun
1. POMP (Oral 6 merkaptopurine (6 MP), vinkristin, metotreksat, prednison)
6 MP
3 x 50 mq PO Ihari
Metotreksat
20 mglm PO 1minggu
Vinkristin
2 mg IV Ibulan
Prednison
200 mglhari - 5 x 1 bulan
(bersama vinkristin)

2. Profilaksis antibiotik (selama 6 bulan pertama)


Trimetoprim- sulfametoksazol
2 x 1 hari
Asiklovir atau
200 mg PO
Valasiklovir
500 mg PO

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Pada akhir minggu


3 hari Iminggu
3 hari 1 minggu

1273

LEUKEMlA LIMFOBLASTIK AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat

Dosis

lnduksi
Vinkristin
Siklofosfamid
Prednison
Daunorubisin atau
Zorubisin
Metotreksat

Hari

1,5 mglm2 IV
600 mglm2 IV
60 mglm2 lV IPO
50 mglm2 IV
100 mg/m2 IV
12mg IT

Salvage (hari ke 28)


Amsacrine
120 mglmz IV
500 mglm2 (12 jam) IV
Sitosin arabinosid
Konsolidasi (3 siklus tiap 4 minggu)
Daunorubisin atau
60 mglm2 IV
Zorubisin
120 mglm2 IV
60 mglm2 SC IIM
Sitosin arabinosid
1000 IU 1m2 IV IIM
Asparaginase
Konsolidasi sebelum transplantasi sumsum tulang alogenik (1 siklus)
Siklofosfamid
60 mg/m2 IV
Vinkristin
1,5 mglm2 IV
60 mglm2 IV atau PO
Prednison
Pemeliharaan Terapi A (siklus 1, 3, 5 dan 7)
60 mglm2 PO
Prednison
1,5 mglm2 IV
Vinkristin
Daunorubisin atau
60 mg/m2 IV
120 mglm2 IV
Zorubisin
60 mglm2 PO
6 MP
15 mg/m2 PO
Metotreksat
Doktinomisin
100061m2 IV
Terapi B (siklus 2, 4, 6, 8)
Prednison
Vinkristin
Siklofosfamid
Karmustin
6 MP
Metotreksat
Daktinomisin

60 mglmz PO
1,5 mg/mz IV
800 mglm2 IV
80 mg/m2 IV
60 mg/m2 PO
15 mglm2 PO
100061m2 IV

Karakteristik pasien
Obat

Dosis

Hari

Usia (tahun)
< 30
> 30
-

Praterapi
Siklofosfamid
Prednison
Blok A
Vinkristin
Metotreksat
lfosfamid
VM2, (Teniposide)
Sitosin arabinoside

Faktor
prognostik

2 mg IV
1500 mg/m2 infus 24 jam
800 mg/m2 infus 1 jam
100 mg/mz infus 1 jam
150 mg/m2infus 1 jam.
tiap 12 jam

1
1, diikuti lekovorin
1- 5
4-5
4-5

Deksametason
Metotreksat
Ara - C
Deksametason
Blok B (setelah istirahat 16 hari)
2 mg IV
Vinkristin
1500 mg/m2 infus 24 jam
Metotreksat
200 mg/mZ IV
Siklofosfamid
Adriamisin
25 mg/m2 IV (15 menit)
Deksametason
10 mg/m2 PO
Metotreksat
15mg IT
Ara - C
40 mg IT
Deksametason
4 mg IT

I
1, diikuti lekovorin
1-5
4, 5
1-5
1-5
1-5
1-5

Jumlah lekosit (x10~1ml)


< 30.000
-> 30.000 (> 100.000 untuk sel T)
lmmunophenotype
T-cell ALL
Mature 6-cell ALL, early T-cell ALL
Sitogenetika
Kelainan 12p; t(10;14)(q24;q11)
Normal; hiperdiploid
t(9;22),
-7,+8
. . t(4;l
. l),
. t(1;19),
. . hipodiploid,
.
.
Respons terapi
Remisi komplit dalam 4 minggu
Minimal residual disease ~ersisten

Profilaksis SSP : radiasi kranial24 Gy setelah terapi Blok B.


Terapi pada CNS involvement : radiasi kranial dan neuroaksis
Metotreksat. Ara - C, deksametason IT

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Sedang
Buruk
Baik
Buruk

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat

Dosis

Hari

F a s e I : lnduksi (4 minggu)
Siklofosfamid *
Daunorubisin
Vinkristin
Prednison *
L - asparaginase (E - coli)

1200 mg/m2 IV
1
4 5 mg/m2 IV
1, 2, 3
2 mg IV
1 , 8, 15, 2 2
6 0 mglm2 P O / IV
1-21
~ O O O I U / ~ ~ S C / 5I ,M8 , 1 1 , 1 5 , 1 8 ,
22
F a s e I I A : lntensifikasi dini ( 4 minggu, ulang lagi 1 kali untuk f a s e I I B)
Metotreksat intratekal
1 5 mg
1
Siklofosfamid
1000 mg/m2 IV
1
6 MP
6 0 mg/m2 P O
1-14
Sitarabin
7 5 mg/m2 sc
1-4,8-11
Vinkristin
2 mg IV
15,22
L - asparaginase (E - coli)
6000 IU lm2 S C I IM
15,18,22,25
F a s e I l l : Profilaksis S S P d a n pemeliharaan (12 minggu)
Radiasi kranial
2400 cGy
Metotreksat intratekal
1 5 mg
6 MP
6 0 mglm2 P O
Metotreksat
2 0 mglm2 P O

1-12
1-8, 15-22,29
1-70
36, 4 3 , 50, 5 7 , 6 4

F a s e IV : lntensifikasi lanjut ( 8
minggu)
Doksorubisin
Vinkristin
Deksametason
Siklofosfamid
6 - Tioguanin
Sitarabin

1 , 8, 1 5
1, 8, 1 5
1-14
29
29 -42
29 - 32,36 - 39

3 0 mg/m2 IV
2 mg IV
1 0 mglm2 P O
1000 mglm2 IV
6 0 mglm2 P O
7 5 mg/m2 sc

F a s e V : Pemeliharaan jangka panjang (sampai 2 4 bulan setelah diagnosis)


Vinkristin
2 mg IV
I , tiap 4 minggu
Prednison
6 0 mg/m2 P O
1 - 5, tiap 4
minggu
6 MP
6 0 mglm2 P O
1-28
Metotreksat
2 0 mglm2 P O
1 , 8, 15, 2 2
Keterangan :

untuk penderita 2 6 0 tahun :


Siklofosfamid
8 0 0 mglm2, hari 1
Daunorubisin
3 0 mglm2, hari 1 , 2 , 3
Prednison
6 0 mglm2, hari 1 - 7
G - C S F 5 pglkg S C 1 hari diberikan pada hari ke 4
sampai netrofil 2 1000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan d e n g a n jarak > 2 4 jam.

REFERENSI
Baxter Oncology. Selected schedules of therapy for malignant
tumours Part 1 : Haematologic Malignancies, 1 Oth ed; 2001.
Cao TM, Coutre SE. Acute lymphoblastic leukemia in adults. In:
Greer JP. Foerster J, Lukens JN, Rodgen GM, Paraskevas F, Glader
B, editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 1lth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p 2077-96.
Charrin C. Cytogenetic abnormalities in adult acute lymphoblastic
leukemia: correlations with hematologic findings and outcome.
A collaborative study of the Groupe Francais de Cytogenetique
Hematologigue. Blood. 1996;87:3 135-42.
Erba HP. Acute leukemia. In: Schmaier AH. Petruzzelli LM, editors.
Hematology for the medical student. Philadelphia: Lippincott
Wiliams & Wilkins; 2003. p. 173-84.
Freedman AS, Nadler LM. Malignancies of lymphoid cells. In: Fauci
AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 14'h edition. New York: Mc GrawHill 1998. p. 695-712.

Garcia-Manero G, Kantarjian HM. The Hyper-CVAD regimen in


adult acute lymphocytic leukemia. In: Kantarjian HM, Hoelzer
D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North
America. Advances in the treatment of adult acute
lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders
Company. 2000. p. 1381-96.
Hallbook H, Simonsson B, Bjorkholm M, et al. High dose ara-c as
upfront therapy for adult patients with acute lymphoblastic
leukemia (ALL). Blood. 1999;94:1327a.
Hoelzer D, Gokbuge N, Ottmann 0 , et al. Acute lymphoblastic
leukemia. Hematology. 2002: 162-92.
Howard MR, Hamilton PJ. Haematology: An illustrated colour text.
Second edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002.
Larson RA, Dodge RK, Linker CA, et al. A randomized controlled
trial of filgrastim during remission induction consolidation
chemotherapy for adults with acute lymphoblastic leukemia:
CALGB study 91 11. Blood. 1998;92:1556-64.
Larson RA, Dodge RK, Burns CP, et al. A five-drug remission
induction regimen with intensive consolidation for adults with

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1275

LEUKEMIA LlMFOBLASTlK AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


acute lymphoblastic leukemia: cancer and leukemia group B
study 881 1. Blood. 1995;85:2025-37.
Larson RA. Recent Clinical trials in acute lymphocytic leukemia by
the cancer and leukemia Group B. In: Kantarjian HM, Hoelzer
D, Larson RA, editors. Hematology/oncology clinics of North
America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia, Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
2000. p. 1367-79.
Mandelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL 0183 trial:
analysis of 10-year follow-up. GIMEMA Cooperative Group,
Italy. Br J Haemotol. 1996;92: 665-72.
Supandiman I, Sumantri R, Fadjari H, Irani P, Oehadian A. Pedoman
diagnosis dan terapi hematologi onkologi medik. Bandung: QCommunication;2003.

Treatment statement for Health professionals. Adult acute lymphoblastic leukemia. Available from:URL:http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062864.html
Thiebaut A, Vernant JP, Degos L, et al. Adult acute lymphocytic
leukemia study testing chemotherapy and autologous and allogeneic transplantation: A follow-up report of the French Protocol LALA 87. In: Kantarjian HM, Hoelzer D, Larson RA,
editors. Hematology/oncology clinics of North America. Advances in the treatment of adult acute lymphocytic leukemia,
Part I. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2000. p. 135366.
Wetzler M, Dodge RK, Mrozek K, et al. Prospective karyotype
analysis in adult acute lymphoblastic leukemia: The cancer and
leukemia group B experience. Blood. 1999;93: 3983-93.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK


Linda W.A. Rotty

Leukemia limfositik kronik (LLK) adalah suatu keganasan


hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan
penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum
tulang, limfonodi, limpa, hati dan organ-organ lain. LLK
ini masuk dalam kelainan limfoproliferatif.Tanda-tandanya
meliputi limfositosis, limfadenopati dan splenomegali.
Kebanyakan LLK (95%) adalah neoplasma sel B, sisanya
neoplasma sel T.

Usia rerata pasien saat diagnosis 65 tahun, hanya 10- 15%


kurang dari 50 tahun. Angka kejadian di negara Barat 31
100.000. Pada populasi geriatri, insidens di atas usia 70
tahun sekitar 50/100.000. Risiko terjadinya LLK meningkat
seiring usia. Perbandingan risiko relatif pada pria tua adalah
2,8: 1 perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras
Kaukasia dan berpendapatan menengah.
Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B
dapat diramal kelangsungan hidupnya antara lebih dari 10
tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk
seluruh populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan
LLK mempunyai masa hidup normal dan yang lain
meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis.
Beberapa tahun terakhir kemajuan penting dicapai dalam
pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.

PENYEBAB
Penyebab LLK masih belum diketahui. Kemungkinan yang
berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan
retrovirus (RNA tumour virus) Penelitian awal

menunjukkan keterlibatan gen bcl- 1 dan bcl-2 pada 5- 15%


pasien sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-kadang terlibat.
Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang mengkode protein
kinase tirosin diekspresikan pada limfosit yang terkena
LLK tetapi tidak pada sel B murni yang normal. Saat ini
pasien LLK didapatkan delesi homozigot dari regio genom
telomerik gen retinoblastoma tipe-1 d l 3s25. Hal ini
menunjukkan bahwa gen supresor tumor baru terlibat dalam
LLK.
Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B
CD5+ matur (sama dengan Sel B-la) yang terdapat pada
zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel
B LLK mengekspresikan imunoglobulin membran
permukaan yang umumnya rendah kadarnya, kebanyakan
IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single
light chain (kappa dan lambda). Juga mengekspresi antigen sel T CD5, antigen HLA-DR dan antigen sel B (CD 19
dan CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah merah
tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif. Ekspresi
gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan
karakteristiktersebut, LLK kemungkinan merupakan akibat
dari suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi
poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit
B CD5+ yang di bawah pengaruh agen mutasi pada
akhirnya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal.
Limfosit B CD5+ neoplastik menumpuk akibat hambatan
apoptosis (kematian sel terprogram). Meskipun gen bcl-2
jarang mengalami translokasi, tetapi terus menerus
diekspresikan secara berlebihan, yang mengakibatkan
bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK.
Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan
dan diferensiasi sel-sel tersebut. Pada LLK, TNF alfa dan
IL- 10 berperan sebagai growth factor. Dalam perjalanan
penyakit ekspresi berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi
gen RB- 1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga terjadi.
Sekitar 50% pasien LLK mempunyai abnormalitas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA LlMFOSITlK KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sitogenik, khususnya trisomi 12, kelainan kromosom 13
pada lajur q14 ( lokasi gen supresor RB-I), 14q+, delesi
kromosom 6 dan delesi kromosom 1 1. Hal ini baik dideteksi
melalui fluoresensi in situ,hibridisasi dibandingkan analisis
sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan
tersebut pada tingkat molekular.
Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut
dan menunjukkan abnormalitas yang didapat. Evolusi
kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan
penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK.

DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak
menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada pasien dengan
gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata,
penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain meliputi
hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan
latihadolahraga. Demarn, keringat malam dan infeksij arang
terjadi pada awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan
dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel
B neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat
diagnosis pada akhimya akan mengalami limfadenopati,
splenomegali dan hepatomegali.
Pemeriksaan Fisis
20-30% pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan
fisik yang sering dijumpai adalah limfadenopati. Sekitar
50% pasien mengalami limfadenopati danlatau
hepatosplenomegali. Pembesaran limfonodi dapat
terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran.
Splenomegali danlatau hepatomegali ditemukan pada 2550% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung,
pleura, paru dan saluran cema umumnya jarang dan timbul
pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan
penyakit, limfadenopati masif dapat menimbulkan
obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia
uropati obstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi
usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asites
berhubungan dengan prognosis yang buruk.

KRlTERlA DIAGNOSIS

Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah


lekosit dengan limfositosis kecil sekitar 95%. Untuk
menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan
gambaran darah tepi secara hati-hati dan cermat. Gambaran
darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit
kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip
khas lirnfosit (CD5+, CD 19+,CD2(H, CD23+,FMC7-I+, DAN
CD22-I+); dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang (>30%

limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi


dalam 4 gambaran yaitu interstisial(33%), nodular (lo%),
campuran interstisial dan nodular (25%) serta infiltrasi
difus (25%). Meskipun telah didapatkan limfositosis dan
infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK.
LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan
absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan morfologi
serta imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas.
Klasifikasi France-America-British(FAB) membagi tiga tipe
morfologi berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di
dalam darah, yaitu:
LLK tipikal terdiri dari lebih 90% limfosit kecil
LLK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%)
LLK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit
yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari
10%.
Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK
atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus
dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK
atipikal; oleh karena itu analisis imunofenotip sel B
neoplastik, data sitogenetik dan molekular dapat
bermanfaat.

Jenis kelarnin
Stadium Klinik
Morfologi lirnfosit
Garnbaran dari infiltrasi
surnsum tulang
Waktu penggandaan
lirnfosit
Penanda serum
Ekspresi CD 38
Abnorrnalitas gen
Status gen lgVH

Risiko
rendah

Risiko Tinggi

Wanita
Binet A
RAI 0 , I
Tipikal
Non diffuse
> 12 bulan
Normal

Pria
Binet B IC
RAI 11, Ill, IV
Atipikal
Diffuse
< 12 bulan
Meningkat

< 20 - 30%

> 20 - 30%
Delesi 11q23
Loss/ mutation p
53
Mutasi (-)

Tidak ada
Mutasi

STADIUM

Stadium

Gejala klinis dan laboratorium

Lirnfositosis darah tepi dan surnsum


tulang
Lirnfositosis + Pernbesaran Lirnfonodi
Lirnfositosis + Splenornegali I
Hepatomegali
Lirnfositosis + anemia (Hb < IIgrldl)

I
II
Ill
IV

Lirnfositosis + trombositopenia
(trornbosit < 100.0001uL)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Median
survival
(bulan)
> 150

101
> 71
19
19

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Stadium

Gejala klinis dan laboratorium

Limfositosis darah tepi dan sumsum


tulang +
< 3 daerah limfoid yang membesar
Limfositosis darah tepi dan sumsum
tulang +
> 3 daerah limfoid yang mebesar
~ G d i u mB + anemia (Hb < 11 gldl pd
pria dan < 10 grldl pada perempuan
atau trombositopenia (<100.000/uL)

Median
survival
(bulan)
>7
<5

<2

Catatan: 5 area limfoid : KGB servikal, aksila, inguinal, hati,


limpa

DIAGNOSIS BANDING
Leukemia prolimfositik (Sel prolimfosit >54%)
Hairy cell leukemia
Limfoma limfositik kecil
Mantle cell lymphoma
Leukemia limfoplasmasitik
- makroglobulinemiaWaldenstrom
- mieloma sel plasma
Leukemia sel T kronik
Leukemia LGL
Leukemia sel T dewasa
Limfoma sel T kutanlkulit

Pasien dengan LLK dapat menunjukkan berbagai


komplikasi akibat progresivitas penyakitnya.
Infeksi, Merupakan komplikasi dan penyebab utama
kematian. S. pneumoniae, S. aureus dan H. injluenzae
merupakan organisme yang sering dijumpai pada pasien
LLK yang tidak diberikan terapi imunosupresi.Telah terjadi
pembahan spektrum penyakit dan bakteri penyebab pada
pasien-pasien yang diberikan preparat imunosupresan.
Yaitu meliputi baik bakteri gram negatif maupun bakteri
oportunistik seperti Candida, Mycobacterium
tuberculosis, Listeria, l? carinii, Cytomegalovirus,
Aspergillus dan virus hezpes. Pasien LLK yang berusia
lebih dari 65 tahun danlatau dengan stadium lanjut
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi dan biasanya
membutuhkan terapi suportif untuk profilaksis.
Hipogamaglobulinemia dijumpai lebih dari 66% pasien pada
akhir penyakit ini. Semua kelas imunoglobulin (IgG, IgA
dan IgM) biasanya menurun, meskipunjuga dijumpaihanya
satu atau dua imunoglobulin saja yang turun. Penurunan
gamaglobulin dan neutrofil yang sangat bermakna
menyebabkan kerentanan pasien terhadap infeksi bakteri.

Transformasi Menjadi Keganasan Limfoid yang Agresif.


Terjadi sekitar 10-15%. Yang tersering adalah sindroma
Richter (5%) dan leukemia prolimfositik. Pasien dengan
sindroma Richter (limfoma sel besar) sering didapatkan
limfadenopati dan hepatosplenomegali yang progresif,
demam, nyeri abdomen, penurunan berat badan, anemia
dan trombositopenia progresif, dengan peningkatan
limfositosis perifer dan LDH secara cepat. Pasien-pasien
ini mempunyai kelangsunganhidup rata-rata 6 bulan. Pasien
dengan transformasi ke arah leukemia prolimfositik
manunjukkan anemia progresif, trombositopenia,
limfadenopati, prolimfosit pada darah tepi (>55%),
hepatosplenomegali, wasting syndrome dan meningkatnya
resistensi terhadap terapi. Transformasi LLK yang lain
meliputi LLA, leukemia sel plasma, mieloma multipel dan
limfoma Hodglan.
Komplikasi Akibat Penyakit Autoimun meliputi tes anti
globulin direct yang positif (Coomb's test), anemia
hemolitik, trombositopenia, neutropenia dan aplasia sel
darah merah murni (aplasia p u r e red cell) atau
agranulositosis. Tes antiglobulin direct positif hingga 20%
pasien LLK selama perjalanan penyakitnya. Hemolisis klinis
dijumpai pada 50% kasus. Trombositopeniaautoimun terjadi
pada 2% pasien LLK.
Keganasan sekunder. Lokasi tersering meliputi kulit (melanoma dan karsinoma), paru dan saluran cerna. Hal ini
dianggap sebagai konsekuensi terapi imunosupresi yang
poten. Gangguan atau keganasan hematologi lainnya juga
dilaporkan mempunyai hubungan dengan LLK.

PENATALAKSANAN
Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan.
Saat ini tidak terdapat terapi kuratif untuk LLK. Tujuan
terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan
gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi
pada pasien lebih muda dengan faktor risiko buruk,
pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan
yang dipilih.
Indikasi terapi adalah:
Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang
ditandai dengan memburuknya anemia dan atau
trombositopenia.
Limfadenopati yang progresif (>10 cm)
Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada limpa
Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 50%)
Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan >lo%
dalam 6 bulan, suhu badan >38OC selama >2 minggu,
fatigue, keringat malam
Sitopenia autoimun
Kemungkinan terapi terkini menurut faktor prognostik
dan variabel lainnya sebagai berikut:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

LEUKEMIA LlMFOSITlK KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


LLK STADIUM DIN1YANG STABIL
Pada pasien ini tidak diperlukan terapi kecuali timbul gejala
atau penyakitnya berlanjut. Hal ini didasarkan pada:
Pasien LLK stadium dini yang stabil bertahan hidup
sebagai mana subyek normal dengan usia yang
sama.
Pengobatan pada pasien dengan stadium dini (Binet
stadium A atau Rai stadium 0) dengan klorarnbusil, baik
kontinu maupun intermiten memperlambat rasio
progresivitas penyakit tetapi tidak memperbaiki
kelangsungan hidup. Selain itu dalarn satu penelitian
terapi kontinu dengan klorambusil berhubungan
dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek karena
tingginya insidens kanker epitel.

LLK STADIUM LANJUT DENGAN BATAS


TUMOR LUAS DAN GAGAL SUMSUM TULANG
Kemoterapi Tunggal
Klorambusil. Mula-mula 2-4 mg kemudian dinaikkan 6-8
mg per oral setiap hari atau pemberian intermiten setiap
2-4 minggu dengan dosis 0,4-0,7 mglkg BB per oral.
Pengobatan diberikan sepanjang terdapat respons,
biasanya tidak lebih dari 8-12 bulan. Angka respons
berkisar 40-70%, tetapi respons komplit jarang terjadi.
Pada penelitian-penelitianterakhir, kombinasi klorambusil
dengan prednison tidak lebih baik dibandingkan dengan
klorambusil saja. Meskipun pasien diobati dengan
regimen kemoterapi kombinasi memiliki respons lebih
tinggi namun angka kelangsungan hidup tidak lebih
panjang.
Siklofosfamid. Pasien yang tidak dapat mentoleransi
klorambusil, dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis
per oral 200 mglm2hari selama 5 hari atau pemberian
intermiten setiap 3-4 minggu dengan dosis 500-750 mg/m2
intravena pada hari I. Asupan cairan 2-3 liter per hari. Efek
samping berupa mual, muntah, rambut rontok, supresi
sumsum tulang dan sistitis.
Aturan terapi pemeliharaan LLK tidak pernah diteliti
lebih lanjut. Biasanya, pengelolaan terhenti sekali terjadi
respons, dan dimulai lagi saat penyakit berkembang ke
arah progresivitas. Respons pengobatan kedua biasanya
buruk daripada pengobatan pertama, kemungkinan ha1
ini terjadi akibat overekspresi gen mdr dan mutasi
gen p53. Bagi pasien yang tidak berespons terhadap
terapi baku atau relaps setelah diberi terapi,
dianjurkan menggunakan analog purin khususnya
fludarabin.
Bersamaan dengan pemakaian obat ini, juga diberikan
profilaksis asam urat yaitu allopurinol (dosis 300 mg hari
selama 7 hari setiap siklus) dan bila diperlukan transfusi
PRC.

Kemoterapi kombinasi yang diberikan adalah kemoterapi


yang biasanya diberikan pada pasien limfoma non Hodgkin
atau mieloma multipel . Diindikasikan pada pasien LLK
yang gaga1 terhadap terapi tunggal klorambusil atau
siklofosfamid dengan atau tanpa prednison.
Kemoterapi yang direkomendasikan adalah:
Siklofosfamid, vinkristin dan prednison (COP)
Dosis:
- Siklofosfamid300 mg/m2peroralhari 1-5 atau 750 mg/
m21Vhari I.
- Vinkristin 2 mg IV hari I
- Prednison 40 mg/m2per oral hari 1-5
COP dan doksombisin
Dosis:
- Doksorubisin 25-50 mg/m2IV hari I.

SlTOPENlA AKIBAT MEKANISME IMUN ATAU


HIPERSPLENISME
Pasien dengan sitopenia akibat respons imun sebaiknya
diobati kortikosteroid dengan dosis 1 mgkgBB per hari
dan ditappering-off., Preparat imunosupresan hanya
diberikan pada pasien yang tidak respons setelah 4-6
minggu terapi, meliputi imunoglobulin dosis tinggi,
siklosporin, splenektomi dan radiasi limpa dengan dosis
rendah. Dua pendekatan terapi terakhir berguna pada
kasus dengan hipersplenisme. Hasil pengobatan terbaik
dilaporkan dengan siklosporin.

PENGOBATAN
SlSTEMlK

TERHADAP

KOMPLlKASl

Hipogamaglobulinemia. Pada penelitian acak,


imunoglobulin dosis tinggi (400 mgkg BB intravena setiap
3 minggu) akan mencegah infeksi tetapi tidak meningkatkan
kelangsungan hidup pasien LLK Pertimbangan biaya
dengan lamanya survival pada pemberian rutin
imunoglobulin menjadi perdebatan para ahli. Pada dosis
yang lebih rendah (250 mglkg BB setiap 4 minggu atau 10
g setiap 3 minggu) mempunyai efektivitas yang setara
dengan dosis tinggi. Kejadian infeksi hams diobati dengan
antibiotika spektrum luas dan klinisi hams memikirkan
kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik. Pemberian
vaksinasi mungkin memberikan respons imun suboptimal
mengingat regulasi sistem imun yang terganggu.
Neutropenia yang diperberat dengan kemoterapi sering
dijumpai. Jurnlah neutrofil yang rendah dapat disebabkan
karena lamanya dan kombinasi dari terapi pada pasien
dengan penyakit refrakter stadium lanjut. Pemberian
filgrastim atau pegfilgrastim setelah kemoterapi dapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mengurangi risiko neutropenia. Sebuah penelitian


menunjukkan berkurangnya frekuensi infeksi paru yang
serius pada pasien LLK risiko tinggi yang mendapat
filgrastim dan terapi berbasis fludarabin bila dibandingkan
kontrol.
Anemia adalah temuan laboratorium yang sering dijumpai
pada LLK dan bertambah berat sesuai perjalanan penyakit.
Terapi LLK dapat menimbulkan eksaserbasi anemia yang
sudah ada, khususnya pada pasien usia lanjut.
Konsekuensinya adalah kelelahan dan dispneu yang
sangat mengurangi kualitas hidup pasien. Penelitian acak
double blind menunjukkan bahwa eritropoietin rekombinan
dapat mengatasi anemia yang tidak berespons terhadap
kemoterapi dan gejala yang diakibatkannya.

Radioterapi pada pasien LLK hanya bersifat paliatif. Dapat


berupa:
Radiasi limpa. 50-90% pasien akan menunjukkan
penurunan ukuran limpa, berkurangnya nyeri perut
serta rasa tidak enak pada perut. Catovsky pada tahun
199 1 melaporkan 3 8% pasien mengalami remisi
hematologik yang komplit. Diberikan dosis rendah 0,s1 Gy 1-3 kalilminggu. Efek samping adalah fatique, mual,
trombositopenia transien dan netropenia.
Radioterapi terapi eksternal untuk lesi-lesi yang besar
(bulky nodal masses). Dosis 30-40 Gy dalam 2 fraksi.

SPLENEKTOMI
Indikasi:
Splenomegali masif yang simptomatik
Sitopenia yang refrakter :
Sitopenia autoimun dan hipersplenisme
PENGOBATAN LlNl KE 2 (SECOND LINE THERAPY
Analog Purin
Analog purin (pentostatin, fludarabin dan 2klorodeoksiadenosin) merupakan preparat yang baik untuk
LLK. Fludarabin atau analog purin lainnya mungkin akan
menggantikan klorambusil sebagai terapi baku
LLK.Sedangkan pemberian analog purin dalam kombinasi
dengan agen sitotoksik lainnya (siklofosfamid) atau
biologic-response modzjers (interferon) sedang diteliti.
Mekanisme kerja dari analog purin kompleks, tetapi
meliputi induksi apoptosis. Pada pasien-pasien tanpa
respons terhadap pengobatan inisial, fludarabin (25 mg/
m2 permukaan tubuh intravena selama 5 hari setiap 4
minggu) merupakan obat pilihan, dengan keberhasilan

respons 17-74% (respons komplit 0-20%). Angka kejadian


respons lebih tinggi pada pasien yang memberikan respons
pada pengobatan sebelumnya dan yang tidak menerima
pengobatan secara ekstensif. Hasil awal pada penelitian
yang sedang berlangsung membandingkan fludarabin
dengan kombinasi siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin
dan prednison serta siklofosfamid, doksorubisin dan
prednison menunjukkan respons yang lebih tinggi
dibandingkan fludarabin; meskipun belum diketahui pada
jangka panjangnya.
Efek toksik utama analog purin adalah mielosupresi,
sindroma lisis tumor akut ,anemia hemolitik autoimun dan
ITP. Infeksi oportunistik (cytomegalovirus, toxoplasma,
Pneumocystis carinii, legionella dun listeria) terjadi
karena penurunan sel CD4+ yang diakibatkan oleh preparat
ini. Akibatnya pasien yang diterapi dengan analog purin
dan prednison mengalami infeksi oportunistik lebih sering
dibandingkan dengan pemberian analog purin saja, oleh
karena itu prednison sebaiknya tidak diberikan. Meskipun
belum terbukti secara klinis, pemberian antibiotika dapat
dipakai sebagai profilaksis.
PENGOBATAN BARU
Antibodi Monoklonal
Diakuinya antibodi monoklonal anti CD20 chimeric
(rituximab) dan antibodi monoklonal anti CD52 humanized (alentuzumab) membuka cakrawala baru pengobatan
LLK.
Rituximab adalah antibodi anti CD20 chimeric yang
dipelajari secara luas pada limfoma derajat rendah (low
grade) dimana dijumpai respon pada 50% pasien. Respons
terhadap rituximab padapasien LLK yang diberi dosis sama
dengan pada limfoma bersifat marginal, kemungkinan
karena perbedaan farmakokinetik rituximab pada penyakit
tersebut atau kurangnya ekspresi target CD20 pada sel
LLK. Tetapi penambahan antibodi monoklonal untuk
menunjang terapi LLK meningkatkan frekuensi pencapaian
CR. Penelitian terbaru kombinasi rituximab dengan terapi
berbasis fludarabin pada LLK yang sebelumnya tidak
diterapi, menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Penelitian oleh MD Andersson Cancer Center pada pasien
LLK yang sebelumnya tidak diterapi, memberikankan
rituximab untuk menunjang dosis fludarabin dan
siklofosfamidselama 6 siklus. Laporan awal dari 134 pasien
yang mendapat pengobatan komplit, 66% mencapai respon
komplit dan secara keseluruhan dijumpai rasio respon 95%.
Beberapa CR (melalui PCR) ditunjukkan oleh penelitian
ini.
Alentuzumab adalah antibodi monoklonal humanized
yang ditujukan langsung untuk antigen CD52. FDA
menyetujui alentuzumab untuk pengobatan pasien LLK
yang sebelumnya diobati dengan agen alkil dan mengalami

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1281

LEUKEMIA LIMFOSITIKKRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


penyakit refrakter terhadap fludarabin. Antigen CD52
diekspresikan pada hampir semua sel LLK seperti halnya
limfosit T, B normal, sel NK dan monosit. Pada penelitian
yang menghasilkan pengakuan terhadap alentuzumab
didapatkan rasio respons 33% dan kelangsungsan hidup
rerata 16 bulan pada pasien LLK yang mengalami penyakit
refrakter fludarabin. Di antara pasien yang berespon
terhadap alentuzumab kelangsungan hidup lebih 32 bulan.
Pasien dengan nodul yang besarnya >5 cm dan status
ECOG yang buruk (> 2) mempunyai respon terhadap
alentuzumab yang rendah secara bermakna. Pengobatan
dengan antibodi ini dapat menimbulkan eksaserbasi
neutropenia yang telah ada sebelumnya dan berhubungan
baik dengan infeksi bakterial maupun oportunistik.

Autologous transplantation. Terdapat sejumlah


laporan penelitian tentang autotransplantasi pada LLK.
Sekitar 40 pasien telah dilaporkan, dan semuanya
mempunyai penyakit yang lanjut sebelum transplantasi,
serta semua menerima siklofosfamid dan iradiasi total
tubuh sebagai regimen. Sekitar separuh pasien
transplantasi sumsum tulang disterilkan dengan
antibodi monoklonal terhadap sel B (CD 19, CD20, CD 10
dan CD5). Namun follow upnya terlalu singkat untuk
ditarik suatu kesimpulan.
Meskipun hasilnya menjanjikan, transplantasi
sebaiknya masih dipertimbangkan sebagai terapi
eksperimental. Infeksi oportunistik (toksoplasmosis)
merupakan ha1 yang perlu diperhatikan. Transplantasi,
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien muda dengan
risiko tinggi LLK.

TRANSPLANTASI HEMATOPOIETIC
PROGENITORS
Allogeneic Transplantation. Data pada seri
alotransplantasi, melibatkan 54 pasien, telah dikumpulkan
oleh European and International Bone Marrow
Transplant Registries. Usia rerata pasien transplantasi 41
tahun, dengan kisaran 2 1-57 tahun. Sebelum transplantasi
sebagian besar pasien mendapatkan siklofosfamid dan
iradiasi total tubuh demikian pula siklosporin dan
metotreksat dipakai sebagai preparat mencegah graftversus host disease. Dari 54 pasien, 38 (70%) mengalami
remisi dan 24 (44%) hidup dengan usia median 27 tahun
(kisaran 5-80 tahun) setelah transplantasi. Probabilitas
kelangsungan hidup 3 tahun adalah 46% (95% CI, 32-60%).
Lima pasien (9%) meninggal akibat leukemia progresif, dan
25 (46%) pasien mengalami komplikasi pengobatan. Hasil
akhir didapatkan lebih baik pada pasien dengan penyakit
stabil yang respons terhadap terapi dibandingkan yang
progresif Relaps kadang terjadi selambat-lambatnya 4
tahun setelah transplantasi.

CR

Kriteria
Gejala
Ltmfonodi

Interferon alfa memberikan respons meskipun bukan


respons komplit, pada pasien-pasien dengan penyakit
stadium dini yang tidak menerima terapi sebelumnya.
Merupakan agen yang potensial untuk mencapai respons
terhadap kemoterapi. Efektivitas antibodi monoklonal,
baik sendiri (CAMPATH I -H) atau dikombinasi dengan
toksin (B4-blocked ricin), agen sitotoksik atau
radioisotop (II3') sedang diteliti; respons diperoleh
biasanya parsial atau sementara. Antibodi monoklonal
mungkin bermanfaat pada penyakit residual yang minimal. IL-2, IL-4 dan IL-6 sedang dalam penelitian. IL-2 telah
terbukti membatasi aktivitas secara klinis, namun pada
dosis tinggi menimbulkan toksisitas. Penelitian
sebelumnya pada tikus mendukung bahwa antisense
oligonukleotida spesifik pada IL-10 merupakan stimulator poten pertumbuhan limfosit B neoplastik yang dapat
digunakan secara klinis.

Tidak ada
Tidak membesar

PR
Mengecillhilang
> 50%

Hepar ILirnpa
Hb

Tidak teraba
> IIgrldl

Netrofil

> 1,5x 1 0 ~ 1 ~

Limfosit
Trombosit

< 4,O x 1 0 ~ 1 ~
> 100 x lo91L

Aspirasi
sumsum
tulang
Biopsi sumsum
tulang

< 30 %

Mengecil > 50%


> 11 grldl atau
membaik > 50%
> 1,5 x 1 0 ~ atau
1~
meningkat > 50%
Menurun > 50%
> 100 x 1 0 ~ atau
1~
Meningkat > 50%

PD
Membesar > 50%
atau nodus baru
Membesar > 50%

Meningkat > 50%

Tidak ada infiltrasi


Residu lymphoid
interstisial atau
nodul
nodul
Keterangan: CR=complete respons (remisi lengkap), PR=partial respons
(remisi parsial), PD=persistent disease (penyakit menetap ?)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

REFERENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Bynd J.C, Stilgenbauer S, Flinn IW. Chronic lymphocytic leukemia.


Hematology 2004: 163-83.
Chiorazzi N, Kanti R, Ferrarini M. Chronic lymphocytic leukemia.
N Eng J Med 2005;352(8):804-15.
Chronic Lymphocytic Leukemia Trialist's Collaboration Group.
Chemotherapeutic options in CLL : a meta-analysis of the
randomized trials. Journal of National Cancer Institute
1999;91(10):861-8.
Dyer Martin J.S.. Risk stratification in the treatment of chronic
lymphocytic leukemia. Business briefing : North American
Pharmacotherapy 2004;2: 1-4.
Erlich RB, Ghayee HK, Noga SJ. Chronic lymphocytic leukemia:
Will recent major advances lead t o cure ? Oncology
2004:12(12):41-9.
Goldin LR, Ishibe N, Sgaenbati M et al. A genome scan of 18 families
with CLL. British Journal of Hematology 2003;121:866-73

Guidelines on the diagnosis and management of CLL. British


Journal of Hematology 2004; 125:294-3 17.
Hyde C, Wake B, Bryan S et al. Fludarabine as second-line therapy
for B-CLL : a technology assessment. Health Technology
Assesment 2002;6(2).
Kalil N, Cheson BD. Chronic lymphocytic leukemia. The
oncologist 1994;4:352-69.
London Cancer New Drug Group. APCDTC Briefing. Alemtuzumab
for the treatment of relaps CLL. March 2004.
Mavromatis BH, Cheson BD. Novel therapies for Chronic
Lymphocytic Leukemia. Blood (Reviews) 2004: 18;137-48.
Rai KR, Kalra J. Chronic lymphocytic leukemia. In : Brain C,
Carbone PP. Current Therapy in Hematology-Oncology. Fifth
edition. Mosby Co 1995.p.251-4.
Recent advances of Clinical aspects and treatment of CLL.2004.
Rozman C, Montserrat E. Chronic lymphocytic leukemia. N Eng J
Med 1995;333(16):1052-57.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

MIELOMA MULTIPEL DAN


PENYAKIT GAMOPATI LAIN
Mediarty Syahrir

PENDAHULUAN
Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplasma
monoklonal yang berkembang dari lini sel B; terdiri dari
nlieloma multipel (MM), makroglobulinemia
Waldemstrom's, amiloidosis primer dan penyakit rantai
berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak
nama antara lain adalah gamopatia monoklonal,
paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan disproteinemia.
Penyakit ini biasanya disertai produksi imunoglobulin atau
fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiotipik, yang
ditentukan oleh regio variabel identik dalam rantai ringan
dan berat. Istilah paraprotein, protein monoklonal atu
komponen M, menunjukkan adanya komponen yang
elektroforetik homogen ini dalarn serum dan urin. Paraprotein dapat merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya
tipe IgG atau ZgA, jarang juga tipe IgD atau IgE. Dalam
kira-kira 20% kasus oleh sel plasma neoplastik hanya
diproduksi rantai ringan lambda atau kappa. Rantai ringan
ini oleh ginjal cepat disekresi dan karena itu terutama dapat
ditunjukkan dalam urin (Protein Bence Jones). Klasifikasi
penyakit yang disertai adanya paraprotein dalam serum
atau urin terdapat pada tabel 1. Penyebab terbanyak para
protein serum adalah gamopatia monoklonal esensial:
ditemukannya secara kebetulan para protein serum pada
orang yang betapapun sehat . Gamopatia monoklonal
esensial disebut juga gamopatia monoklonal benigna,
MGUS (monoclonal gammopathy of undetermined
signzjicance).
Ekspansi tidak terkontrol atau maligna klon sel yang
memproduksi para protein, seperti mieloma multipel,
berakibat kenaikan konsentrasi paraprotein, terjadinya
tumor-tumor limfoplasmaseluler, destruksi tulang,
insufisiensi sumsum tulang dan lain-lain gejala penyakit.

Penyakit Mieloma multipel adalah keganasan sel B dari


sel plasma neoplastik yang memproduksi protein immunoglobulin monoklonal. Walaupun masih kontroversial
dikatakan bahwa semua kasus Mieloma multipel
berkembang dari gammopatia monoklonal esensial atau
MGUS. Prognosis sangat bergantung pada kadar serum
b2-mikroglobulin dan C-reaktif protein, serta sel plasma
labelling indeks.

Kejadian keganasan sel plasma mungkin merupakan suatu


proses multi langkah. Faktor genetik mungkin berperan
pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan
yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai
prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang
memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel
mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum
jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa
yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum
tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma.
Terjadinya onkogen yang paling penting diduga
berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini
atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri.
Suatu kelainan genetik yang spesifik belum
teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya
kromosom 1,13(13q-) dan 14 (14q+) menimbulkan dugaan
bahwa gen-gen yang terlokalisasipada kromosom ini telah
terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan
dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q dan cmyc-gen dan bcl- 1-gen, yang berhubungan dengan
t(l1; 14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam
gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan
terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin
dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari
berbagai stadium penyakit' ini. Pertumbuhan dan
diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai
sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin
dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor
pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in
vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang
terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan
tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi,
rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi
lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM
ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Tabel 1).

Ras Afrika-Amerika
Laki-laki
Usia tua
Monoclonal Gammopathy of Undetermined
Significance (MGUS)
Rangsangan imun kronik
Paparan radiasi
Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan
pestisida, industri cat, metal, kayu, kulit, tekstil,
asbestos, bensin dan pelarut
Predisposisi qenetik

Mieloma multipel ditandai oleh lesi litik tulang,


penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya
protein monoklonal dalam serum dan urin. Manifestasi
klinis dari MM heterogen oleh karena adanya masa tumor,
produksi immunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi
immunoglobulin oleh sel plasma normal yang
mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia,
gangguan hematopoisis dan penyakit osteolitik pada
tulang, hiperkalsemia dan d i s h g s i ginjal. Simptom terjadi
akibat dari tekanan masa tumor, pelepasan sitokin secara
langsung dari tumor atau secara tidak langsung dari sel
host (stroma sumsum tulang dan sel-sel tulang) sebagai
respon pada adesi sel-sel tumor, dan terakhir oleh karena
penyakit-penyakit akibat depososisi protein MM (AL
Amiloidosis dan penyakit rantai berat) atau oleh karena
kelainan autoimun (Contoh : koagulopati).
Epidemiologi Mieloma Multipel
Mieloma multipel merupakan 1% dari semua keganasan
dan 10% dari tumor hematologik. MM merupakan
keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika
Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun,
meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade

ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata


12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Di Inggris
terdapat angka kematian tahunan rata - rata 9 orang
perjuta penduduk. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi
pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan
wanita, dengan kejadian yang lebih tinggi secara
signifikan pada laki-laki pada setiap populasi di Amerika
Serikat. Di Poli Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM
Jakarta rata-rata berumur 52 tahun, berkisar dari 15 tahun
sampai usia 72 tahun, laki-laki lebih sering dari pada
wanita.A
Patofisiologi Mieloma Multipel
Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan
suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial
perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan sel
plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di
lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan
sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi
langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen
seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan
gangguan regulasi gen sitokin.
Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan
dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel
plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral
produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini,
seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi
osteoklastik (osteoclastic activating factor/OAF). Pada
waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir
.
loll atau 1012.
Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai
komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis
hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan
rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat
terjadi terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung.
Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL1-P,
limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung
jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas
untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit
ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri
tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi
imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat
menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan
netropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan
kenaikan kerentanan terhadap infeksi.
Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena
hiperkalsemia, adanya deposit mieloid pada glomerulus,
hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma
pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena
infiltrasi rantai berat yang berlebihan: Sedangkamanemia
disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian
sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap
proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan
menurunkan produksi vitamin B 12 dan asam folat.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAlN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Gambaran Klinis Mieloma Multipel
MM hams difikirkan pada pasien di atas 40 tahun dengan
anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal
atau adanya lesi tulang (hanya < 2% penderita MM berusia
< 40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala
anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi
perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat
dari tekanan masa tumor atau sekresi protein atau sitokin
oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor.
Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan
kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal
bagian-bagian tulang. Panjang tobuh pederita MM yang
lanjut dapat banyak menurun karena infraksi vertebra.
(i) Nyeri : terutama nyeri tulang tulang karena fraktur
kompresi pada tempat osteopenia atau karena lesi
litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini
disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor
pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL-1 P, TNF-P dan
atau LI-6. Faktor-faktor inijuga menghambat aktivitas
osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga
di'sebabkan oleh tekanan tumor pada medulla
spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari medulla
spinalis.
Gejala
anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat,
(ii)
takhikardia, dst.
(iii) Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan
produksi antibodi, dan pada penyakit lanjut, karena
netropenia
(iv) Nefropati : Fungsi ginjal terganggu bila kapasitas
absorpsi dari rantai berat haus (lelah) yang akan
menyebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat..
Penyebab kedua nefropati adalah hiperkalsemia
dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan prerenal
azotemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan
penimbunan di tubulus renal, yang juga menyebabkan
nefritis interstisiil. Penyebab lain gaga1 ginjal pada
MM adalah seringnya menggunakan antiinflamasi
nonsteroid untuk mengatasi nyeri pada MM
(v) Kecenderungan perdarahan abnormal : protein
mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor
pembekuan :trombositopenia terdapat pada penyakit
lanjut.
(vi) Kadang - kadang terdapat makroglossia, "carpal
turnel syndrome" dan diare yang disebabkan
penyakit amiloid.
(vii) "Sindroma hiperviskositas" terjadi pada kurang lebih
10% pasien MM di mana viskositas plasma sudah 4
kali viskositas plasma normal yang menyebabkan
kelainan pada sirkulasi sehingga mengakibatkan
disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ lain, biasanya berupa trombosis dengan
purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala SSP
dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan
polimerisasi imunoglobin abnormal dan agak khusus
terjadi bila ini IgA, IgM atau IgD.

(viii) Neuropati : umumnya disebabkan oleh kompresi pada


medulla spinalais atau saraf kepala. Polineuropati
dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid
pada perineuronal atau perivaskuler (vasa nervorum),
tetapi dapat juga karena osteosklerotik myeloma.
Kadang-kadang merupakan bagian dari sindrom
POEM {polineuropati, organomegali, endokrinopati,
monoklonal gammopati dan perubahan kulit}
Diagnosis Mieloma Multipel
Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik
klasik ( sel plasma, biasanya > 10% + M protein + lesi litik).
Pada 98% pasien protein monoklonal ditemukan dalam
serum atau urin atau keduanya. Para protein serum adalah
IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan
jarang IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab
paraprotein serum lain dimuat pada Tabel 2. Pada kasus
yang ragu - rdgu, penyelidikan "follow up" akan
menunjukkan kenaikan progresif dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin
serum normal (IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin
mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus.
Ini terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda,
dari jenis yang sama dengan paraprotein serum. Akan
tetapi, pada 15% kasus proteinuria Bence-Jones ada tanpa
paraprotein serum.

Gammopati monoclonal benigna


Mieloma multipel
Makroglobulinemia
Limfoma malignum atau leukemia limfositik kronis
Penyakit haemaglutinin dingin kronis
Jarang dengan karsinoma

Sumsum tulang memperlihatkan sel plasma meningkat


(> 10% dan biasanya lebih dari 30%), sering dengan bentuk

abnormal - "sel mieloma". Pengujian imunologis


menunjukkan sel - sel ini bersifat monoklonal serum.
Penelitian tulang rangka (skeletal survey)
memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang
merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur
patologis biasa terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20%
pasien. Biasanya paling sedikit dua atau tiga sifat
diagnostik yang tersebut diatas ditemukan, seperti pada
Tabel 3.
Laboratorium Mieloma Multipel
(i) Biasanya ada anemia normokrom normositik atau
makrositik. Pembentukan "rouleaux" menonjol pada
sebagian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan
trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel
plasma abnormal narnpak dalam filem darah pada 15%

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


a. Serum protein electrophoresis

I b. Lesi multipel Iitii pada tengkorak I

Gambar 1. Serum protein elektroforese (a) dan l e s ~multipel litik (punch out) pada tengkorak
pada Multipel Mieloma (b)

I Tabel 3. Kriteria Diagnostik Kelainan Sel Plasma


M~eloma
Mult~pel(MM)

Monoclonal
gammopathy of
unndetermrned
srgnlficance
(MGUS)

Kriteria Mayor :
I Plasmas~tomapada blopsl janngan
II Sel Plasma sumsum tulang >30%
Ill M proteln lgG > 35g/dl, IgA
>20g/dl, kappa atau lambda ranta~
rlngan pada elektroforese unn
Kriteria Minor
A Sel Plasma sumsum tulang 10% 30%
B. M proteln pada serum dan urln
(kadar leb~hkeal dan Ill)
C Les~Ilt~kpada tulang
D Normal res~duallgG < 500mglL,
IgA c IgIL, atau IgG <6glL
Diagnosis MM bila terdapat kriteria 1 mayor dan 1
minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi
kriteria A + 6 . Kombinasi I dan A bukan merupakan
diagnosis MM.
Sel Plasma sumsum tulang ~ 5 %
Paslen aslmtomatlk
M Protein <3gldl
Rontgen tulang normal
Hb dan kals~umnormal
Proteln Bence-Jones negat~f
p2-m1kroglobullns3mglL
Kreatinin serum normal

Mleloma lndolen

T~dakada s~mtomatau gejala penyak~t


T~dakada lnfeks~rekuren
Serum igG c7gld1, atau IgA <5gldl
T~dakada les~tulang atau < 3 les~lttrk
Status Karnofsky > 70%
Hb > 10 rngldl
Kreatlnln serum c 2,O mgidl
Labelling Index < I %

Smolderrng
M~eloma

Sepert~pada m~eloma~ndoien+
Sel plasma sumsum tulang 10-30%
T~dakada les~tulang

pasien. Perubahan leuko-eritroblastik kadang-kadang


terlihat.
(ii) Laju endapan eritrosit1LED tinggi
(iii) Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien.

(iv)

(v)
(vi)
(vii)

(viii)

Terdapat fosfatase lindi serum normal (kecuali setelah


fraktur patologis).
Urea darah meninggi di atas 14 mmol/L dan kreatinin
serum meninggi pada 20% kasus. Deposit berprotein
dari proteinuria Bence-Jones. hiperkalsemia, asam
urat, amiloid dan pielonefritis semuanya dapat ikut
memperberat payah ginjal.
Albumin serum rendah ditemukan pada peny akit
lanjut.
CRP niempakan petanda adanya IL-6 yaitu faktor
pertumbuhan dari mieloma niultipel.
P-2 mikroglobulin merupakan itidikator prognostik
yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mielo~na
multipel.
Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 ( T
helper limfosit) dan peningkatan CD8 (T supresor
limfosit).

Faktor Prognostik Mieloma Multipel


Banyak faktor prognostik klinik berkorelasi kuat dengan
masa sel mieloma, yang dapat ditaksir berdasarkan atas
banyaknya paraprotein total yang diproduksi pada pasien
selama 24 jam, dibagi oleh banyaknya paraprotein yang
diproduksi per sel dala~nkurun waktu yang sama. Faktor
prognostik yang berpengaruh dalam perkembangan M M
adalah : kadar hemoglobin, kalsium, kreatinin serum, P,mikroglobulin, albumin, delesi kromosorn 13 atau 1 f q
dengan pemeriksaan FISH (tluoroscence in situ hybridization), translokasi t(4; 14) dan delesi p53 pada sitogenetik
sunisum tulang, CRP, sel plasma labeling indeks dan IL,-6
serum. Cara penetapan stadium klinik dari Durie dan Salmon
dikorelasi dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 4)
Ketahanan hidup rata-rata pendcrita MM bervariasi,
tergantung pada stadium penyakit, dari 4 sampaj kira-kira

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

MIELOMA MULTlPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Faktor

Stadium I (massa tumor rendah: <0,6 x 10" sel


mieloma per m2)
Hb >6,2 mmol / I
Kalsium serum normal: c 2,6 mmol II
Kerangka normal atau paling banyak 1 sarang
tulang soliter
Kadar paraprotein relatif rendah:
IgG <50 grll
IgA <30 grll
sekresi Bence-Jones <4 g124 jam
Stadium II (rnassa tumor intermediet : 0,6 "C 1,2 x
10" sel mieloma per m2)
kriteria tidak termasuk stadium I dan Ill
Stadium Ill (massa tumor tinggi : > I ,2 x loq2sel
Mieioma per m2):
Hb <5,3 mmol II
Kalsium serum >2,6 mmol II
Kelainan kerangka luas
Kadar paraprotein relatif tinggi :
IgG >70 g/i
IgA >50 gll
sekresi Bence-Jones 12 gll

Ketahanan
Hidup
Rata-rata
6 Y 46 bulan

XY 32 bulan

X Y 23 bulan

Stadium-stadium ini, tergantung faal ginjal, masih dibagi lagi ke


dalam A dan 0:
A = kreatinin serum 4 8 0 mol 1 I
B = kreatinin serum 2180 mol Ii

45 bulan. Juga kadar P,-mikroglobulin menunjukkankorelasi


yang jelas dengan masa tumor yang ditaksir (Tabel 5)

Ketahanan Hidup Rata-rata


P2-Mdan CRP < 6,O rng/l
P2-Matau CRP > 6,O rngll
P2-Mdan CRP > 6,O mgll

54 bulan
27 bulan
6 bulan

Pengobatan Mieloma Multipel


Sebaiknya penderita diberi keterangan mengenai
penyakitnya dan terutama ditekankan bahwa penyakitnya
dapat dikontrol dengan baik, walaupun tidak dapat
disembuhkan. Meskipun sel mieloma responsif dengan
radioterapi dan kemoterapi, kondisi respon lengkap tidak
dapat bertahan lama. Kemoterapi barn harus diberikan
jika jelas ada progresi penyakit, jadi kebanyakan pada fase
simtomatik penyakit, tetapi yang efektif mengurangi
keluhan dan memperpanjang ketahanan hidup. Obat
pengalkil seperti melphalan dan siklofosfamid dalam ha1
ini ternyata paling efektif. Kemoterapi dengan melphalan
dan prednison (MP) menunjukkan angka respon yang
tinggi 50% - 60%. Tetapi percobaan acak prospektif dari
MP dan kombinasi berbagai macam kemoterapi gaga1
membuktikan bahwa kombinasi kemoterapi meningkatkan
ketahanan hidup.

Klinis
Umur
Status kebugaran
Laboratorium Rutin
Beta2 mikrolobulin
Serum albumin
Serum creatinin
LDH
CRP
Hemoglobin
Trornbosit
Pemeriksaan Khusus
Labeling indeks Sel plasma
Morfologi sel plasma
Sitogenetik surnsum tulang:
- sitogenetik standar
- FISH analisis
kromosorn 13
- Microarray techniques
Whole body FDGIPET
Scan

Proanosis
Muda - lebih baik
Rendah - buruk
Tinggi - buruk
Rendah - buruk
Meningkat - buruk
Meningkat - buruk
Meningkat - buruk
Rendah - buruk
Rendah - buruk

Tinggi buruk
Plasrnablastik - buruk
Bila :
- Hipodiploidildelesi 13
- buruk
- Delesi 13 buruk
- Differential patterns
Extramedullary buruk

Meskipun MM merupakan penyakit yang "incurable",


pengobatan biasanya dimulai pada saat simptom penyakit
muncul. Sekarang, terutama pada pasien yang muda,
lamanya."disease-free remission" lebih besar dari lima
tahun dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan
terapi sebagai berikut :
Kemoterapi dosis tinggi dikombinasi dengan
transplantasi stem sel perifer autologus
Agen biologik spesifik termasuk talidomit yang
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
deksametason dosis tinggi dan atau inhibitor proteosom
(bortezomibNelcade)
Kemoterapi konvensional (contoh : vincristine,
doksorubisin dan deksametason; melphalan dan
prednison)
Beberapa penelitian terapi pemeliharaan dengan
interferon dikonfinnasikan tidak ada manfaatnya; sedang
penelitian terapi pemeliharaan dehgan steroid atau
interferon-alfa rekombinan memperpanjang respon terapi
konvensional.
Pada stadium I : terapi tidak dilakukan, karena tidak ada
bukti klinis yang menunjukkan bahwa terapi pada
stadium asimptomatik akan memperpanjang survival
Pada stadium Lanjut (I1 atau lanjut ) :
Terapi pada MM bersifat individual tergantung pada
faktor komorbiditas, status kebugaran, resiko dan
prognosis
Pasien bukan kandidat transplantasi, umur > 65 tahun
diberikan terapi dengan regimen1 agen konvensional
Yang termasuk terapi konvensional primer yaitu
melphalan/prednison (MP), Vinkristin/doxorubicin/
dexametason (VAD), Dexametason, talidomit/dexametason
(data masih kurang). Terapi pemeliharaan dengan steroid

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dan interferon, sedang terapi "salvage" dengan


mengulangi terapi konvensional primer (jika kambuh lebih
dari 6 bulan), siklfosfamid - VAD, etoposide/dexametason/
sitarabin,sisplatin (EDAP), siklofosfamid dosis tinggi,
talidomit dan bortezomib. Kortikosteroid yang memblokade
aktivasi osteoklas dengan regresi tumor langsung
menimbulkan penurunan kadar paraprotein. Kombinasikombinasi obat yang biasa dipakai tersimpul dalam tabel 6.
Kandidat transplantasi adalah pasien usia < 65 th
dengan kondisi klinis baik, dimana regimen kemoterapi
yang digunakan untuk pre transplantasi adalah regimen
VAD. Meskipun tidak kuratif transplantasi stem sel
autologus (ASCT) meningkatkan response rate dan
memperpanjang median overall survival rate menjadi 12
bulan. Angka mortalitas sebesar 1-2%. Tidak ada
perbedaan survival antara ASCT yang dilakukan segera
setelah 4 siklus kemoterapi induksi dan ASCT setelah
pasien relaps setelah kemoterapi pretransplantasi.
Terapi primer pada plasmasitoma soliter dengan radiasi
(45Gy atau lebih) pada palsmasitomanya dan dapat bersifat
kuratif. Sedang indolent (smoldering) mieloma tidak
memerlukan terapi primer karena kondisi ini dapat baik
sampai beberapa sampai terjadi progresivitas penyakit.
Terapi mieloma multipel relaps atau refrakter :
Regimen yang sudah dipakai dapat digunakan untuk
mencapai remisi kedua.
VAD digunakan pada kasus yang relaps dengan agen
alkil atau relaps pada saat terapi.
Talidomit dosis tunggal atau dengan dexamethasone
dosis tinggi atau bortezomib.
Progresi penyakit dapat tampak dari kenaikan yang
hebat kadar paraprotein, nyeri yang bertambah, dan
bertambahnya lesi litik tulang pada foto rontgen. Jika
progresi terjadi selama terapi dengan MP maka dpat
digunakan kombinasi obat yang lain. Dalam usaha
meningkatkan waktu remisi dan ketahanan hidup penderita
MM pada tahun-tahun terakhir ini dipertimbangkan
penanganan terapi mieloablatif (dosis tinggi kemoterapi dan
radioterapi tubuh total) dilanjutkan dengan transplantasi
sumsum tulang autologus (sel induk perifer) atau alogenik
(transplantasi sumsum tulang) pada penderita yang relatif
masih muda.
Terapi terbaru (Novel Therapy) dari MM saat ini adalah:
1. Talidomit
Regimen standar yang dipakai saat ini adalah
Thalidomide-Dexamethasone:
Thalidomide 200 mg diberikan selama 4 minggu
Dexamethasone diberikan 40 mglm2 peroral, hari 14; hari 9-12; hari ke 17-20.
Thalidomide - Dexamethasone memberikan respons
yang lebih baik dari dexamethasone saja (63% vs
41%;p=0.02)
Thalidomide - Dexamethasone ini diulang tiap 4
minggu

Efek samping berupa trombosis vena dalam (DVT),


rash, neuropati, dan bradikardi.
2. Analog talidomit :Revimid,Actimid
Regimen analog talidomit RevDex :
Linalidomide diberikan 25 mghari po hari 1-21
Dexamethason diberikan 40 mghari po hari 1-4; 912, hari ke 17-20
Revldex diulang tiap 28 hari
MM baru terdiagnosis mencapai respons obyektif
sebesar 9 1% dengan Revldex
Efek samping : rasa lelah 15%; kelemahan otot 6%,
pneumonitis 6%, rash 6%, dan anxietas 6%.
3. Bortezomib (Velcade, sebelumnya PS-341)
Kombinasi bortezomib plus dexamethason; atau
Bortezomib plus doxorubicin; dexamethasone dan
regimen basis bortezomib lainnya yang memberikan
respon klinik sebesar 70-90 %.
Bortezomib plus dexamethasone memberikan
respons yang lebih tinggi dibandingkan regimen
VAD
Bortezomib diberikan 1.3 mglm2 iv hari ke 1,4,8,11di
ulang tiap 2 1 hari
Dexamethasone 20 mg sehari sebelum dan pada hari
terapi bortezomib diberikan.
Terapi diberikan selama maksimum 8 siklus.
*. Efek sarnping : trombositopenia 30%, neutropenia
14%, anemia l o % , oeuropati 8% dan hipotensi.
4. Arsenic Trioxide (ATOITrisenox)
Arsenic Troxide menghambat tumor angiogenesis
sehingga akan menginduksi apoptosis dari lini selsel maligna hematopoitik, termasuk mielomamultipel.
5. Genasense BCI-2 antibody

Pengobatan supo;tif

MM

Pembrantasan nyeri yang baik, terapi efektif infeksi dan


kebijaksanaan transfusi yang baik merupakan prinsip
penting dalam terapi suportif penderita MM. Untuk
mengatasi nyeri di samping anlgetika kadang-kadang
diperlukan tindakan ortopedik, dan sering juga radioterapi
lokal. Perlu dipertimbangkan bahwa pada nyeri persisten
punggung tanpa tanda osteolisis lokal dipikirkan
kemungkinan kompresi oleh plasmasitoma ekstradural.
Dalam ha1 ini diperlukan diagnostik cepat dengan CT-scan
atau MRI. Sehingga terapi cepat dengan radiasi lokal dapat
dilakukan.
Pada sindroma hiperviskositas perlu dilakukan
plasmaferesis, pada hiperkalsemianya diperlukan tindakan
untuk diuresis yang banyak, diuretika, prednison atau
bifosfonat. Radioterapi diperlukan untuk penderitapenderita dengan fraktur patologik (iminens), lesi osteolitik
yang besar dalam tulang pipa yang panjang, plasmasitoma
di luar tulang dan pada jejas melintang sebagai akibat
kompresi medulla spinalis.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1289

MIELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


MP
CP
COP

VMCP

VCAP

VBAP

VAD

Melfalan 8 mglm2
Prednisone 60 mglm2
Siklofosfamid 300 mqlm2
Prednisone 60 mglm
Siklofosfamid 300 mglm2
Vinkristin 1,O mg/m2
Prednisone 60 mglm2
Vinkristin 1,O mg/m2
Melfalan 6 rng/m2
Siklofosfamid 125 mym2
Prednisone 60 mglm
Vinkristin 1,O mglm2
Siklofosfamid 400 mqlm2
Prednisone 60 mglm
Vinkristin 1,O mglm2
BCNU (carmustine) 30 mg/m2
Doksorubisin 30 mglm2
Prednisone 60 mg/m2
Vinkristin 4,O mglhari kontinu
Adriamisin 8 mg/m2/harikontinu
Deksametason 40 mg
Pada tiap siklus ganjil juga
Dosis tinggi kortikosteroid :
Deksametason 40 mg

Pengobatan Keadaan Darurat MM


(i) Uremia: rehidrasi, obati sebab yang mendasari
(misalnya hiperkalsemia, hiperurisemia). Hemodialisis
dipertimbangkan pada beberapa pasien.
(i) Hiperkalsemia akut: hidrasi, prednisolon, fosfat
(intravena atau oral). Mithramycin atau kalsitonin
dapat juga bermanfaat.
Paraplegia kompresi: laminektomi dekompresi, irradiasi,
kemoterapi.
Lesi tunggal tulang yang nyeri : kemoterapi atau
irradiasi
Anemia berat: transfusi 'packed red cells".
Perdarahan karena interferensi paraprotein terhadap
koagulasi, dan sindroma hiperviskositas dapat diobati
dengan plasmaferesis berulang.
Zat pengalkil mengurangi nyeri, mengurangi proliferasi
sel plasma dalam sumsum tulang dan dengan demikian
menurunkan kadar paraprotein serum. Pada saat sel plasma
"dibunuh", fungsi sumsum tulang normal membaik.
Melphalan diberikan setiap hari selama 4 - 7 hari setiap 6 9 minggu. Allopurinol juga diberikan untuk mencegah
nefropati urat. Karena tak dapat dihindari resistensi yang
berkembang terhadap terapi zat pengalkil, pengobatan
pasien tanpa gejala dengan penyakit dini tidak dianjurkan.
Penilaian klinis dan laboratorium teratur hams dilakukan
pada perjalanan penyakit. Pengobatan dapat ditunda sampai
berkembangnya tanda atau gejala kegagalan sumsum
tulang, sampai terdapat kenaikan urea darah atau protein

Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke sld ke 4
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1
Hari ke s/d ke 4
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1
Hari ke 1
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 1
Hari ke 1
Hari ke 1
Hari ke sld ke 4
Selama 4 hari
Selama 4 hari
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 9 sld ke 12
Hari ke 17 sld ke 20
Hari ke 1 sld ke 4
Hari ke 9 sld ke 12
Hari ke. 17 sld ke 20

Bence Jones muncul dalam urin, atau sampai lesi tulang


luas atau menyebabkan gejala.

PLASMASlTOMA SOLITER
Plasmasitoma soliter dari tulang atau jaringan lunak
berbeda dengan MM terutama oleh prognostiknya yang
lebih baik. Jika tidak didapatkan kenaikan sel plasma
monoklonal di tempat lain di dalam tubuh, tidak ditemukan
adanya lesi tulang lain dan kadar imunoglobulin normal,
maka radioterapi lokal dapat mencukupi. Sesudah
radioterapi maka kadar paraprotein akan menurun. Pada
kira-kira 60% kasus, terjadi MM generalisata pada
penderita dengan plasmasitoma soliter tulang, biasanya
dalam 3 tahun setelah diagnosis.
Plasmasitoma soliter jaringan lunak lebih sering dapat
diterapi kuratif dengan pembedahan ataupun radioterapi
dan dengan ini mempunyai prognosis lebih baik dari pada
plasmasitoma soliter tulang.

PENYAKITWALDESTROM(MAKROGLOBUUNEMIA)
Penyakit Waldenstrom adalah penyakit indolent
limfoproliferatif dengan produksi IgM monoklonal.
Penyakit ini jarang ditemukan, sering ditemukan pada laki
- laki umur pertengahan dan lebih tua, Umur rata-rata
penderita dengan penyakit Waldenstrom pada waktu

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


diagnosis kira-kira 60 tahun. Gejala klinis bersifat sebagai
limfoma yang berkembang lambat. Ada proliferasi sel yang
menghasilkan paraprotein IgM monoklonal dan
mempunyai beberapa persamaan dengan limfosit maupun
sel plasma di sumsum t ~ l a n g Pada
. ~ ~perjalanan
~ ~
klinisnya ditemukan seluler karakteristik berua adanya
CD5-, CD10-, dan CD 20-, dan respon terapi dengan
fludarabin yang sama dengan leukemia limfositik kronik
Istilah makroglobulinemia Waldenstrom sering dibatasi
pada kasus - kasus dimana gambaran klinis dominan
adalah akibat makroglobulinemia dan infiltrat selular difhs.
Kasus - kasus dengan massa tumor yang dominan
(menonjol) sering dinamakan sebagai "limfoma malignum
dengan makroglobulinemia". Pada kedua kasus, sel - sel
ganasnya adalah populasi sel B monoklonal.

Gambaran Klinis Penyakit Waldestrom


(i) Permulaan penyakit biasanya perlahan - lahan,
penderita mudah letih dan kehilangan berat badan.
(ii) Sindroma Hiperviskositas dapat mengakibatkan
gangguan penglihatan, letargi, kebingungan,
kelemahan otot, gejala sistem saraf, dan payah
jantung bendungan. Paraprotein IgM menambah
kekentalan darah lebih daripada konsentrasi ekuivalen
IgG atau IgA dan peningkatan kecil diatas 30 g L dalarn
konsentrasi mengakibatkan peningkatan besar dalam
viskositas. Retina dapat memperlihatkan berbagaijenis
perubahan; bendungan vena, perdarahan, eksudat dan
diskus kabur (blurred disc).
Jika mikroglobulin adalah adalah krioglobulin, gejala
kriopresipitasi, misalnya fenomena Raynaud, dapat
terjadi. Kelainan ginjal, lesi tulang atau hiperkalsemia
seperti pada mieloma tidak didapatkan atau jarang
terjadi pada penyakit Waldenstrom
(iii) Kecenderungan perdarahan dapat diakibatkan dari
interferensi makroglobulin dengan faktor pembekuan
dan fungsi trombosit. Bisa ditemukan perdarahan
retina.
(iv) Anemia normokrom normositer yang disebabkan
pengenceran darah (hemodilusi), berkurangnya umur
sel darah merah, kehilangan darah, dan kegagalan
sumsum tulang pada penyakit lanjut. Formasi rouleux
dan tes Coombs positif lebih sering ditemukan dari
pada mieloma.
(v) Limfadenopati sedang dan pembesaran hati dan limpa
sering terlihat.
(vi) Hepatosplenomegali
(vii) Terdapat infeksi yang berulang
Diagnosis Penyakit Waldestrom
(i) IgM monoklonal serum biasanya lebih besar dari pada
15 g/L.
(ii) Sumsum tulang memperlihatkan infiltrasi pleomorfiik
oleh limfosit kecil, sel plasma, bentuk "plasmasitoid",

sel imfoid muda, "mast cells" dan histiosit. Biopsi


trefin dapat memperlihatkan penyakit yang lebih nodular, yang berarti prognosis lebih baik dari pada infiltrasi
difus.
(iii) Laju endap eritrosit /LED tinggi.
(iv) Sering limfositosis darah tepi dengan sebagian limfosit
plasmasitoid.
(v) Histologi limfonodus memperlihatkan arsitektur sinus
yang terlindung, kehilangan pola folikular dengan
infiltrasi selular yang serupa dengan yang ditemukan
dalam sumsum tulang .

Pengobatan Penyakit Waldestrom


(i) Sindroma hiperviskositas akut : plasmaferesis berulang.
Karena IgM terutama intravaskular, ini lebih efektif dari
pada dengan paraprotein IgG atau IgA ketika banyak
dari protein ini ekstravaskular dan dengan begitu
mengisi kembali kompartemen plasma.
(ii) Terapi penunjang ; transfusi untuk anemia, antibiotika
untuk infeksi, dst.
(iii)Zat pengalkilasi oral (klorambusil, siklofosfamid atau
melfalan), sendiri atau dalam kombinasi dengan
prednison adalah obat yang paling banyak digunakan;
ini mengurangi infiltrasi sumsum tulang dan
merendahkan konsentrasi IgM serum. Fludarabine (25
mg/m2 perhari selama 5 hari setiap 4 minggu) atau
cladribine (0,l mglkg perhari selama 7 hari setiap 4
minggu) merupakan kemoterapi tunggal yang sangat
efektif.
Prognosis Penyakit Waldestrom
Perjalanan penyakit sangat bervariasi, tetapi kebanyakan
progresif lambat. 80% pasien yang berespon dengan
kemoterapi, median survivalnya di atas 3 tahun. Ada kasuskasus yang penyakitnya berakhir sebagai limfoma
imunoblastik, leukemia mieloblastik akut dan leukemia
mieloid kronik.

SINDROMA POEM
Sindroma ini terdiri dari polineuropati, organomegali,
endokrinopati, mieloma multipel dan kelainan kulit (Skin
changes). Pasien biasanya dengan progresif polineuropati
sensorimotor yang berat yang dihubungkan dengan lesilesi tulang sklerotik dari mieloma. Tidak seperti pada
mieloma hepatomegali dan limfadenopati terjadi pada dua
pertiga kasus, dan splenomegali pada sepertiga kasus.
Limfadenopatiterjadi karena produksi IL-6 yang berlebihan.
Manifestasi endokrin berupa amenore pada wanita dan
impotensi serta ginekomasti pada pria. Hiperprolaktinemia
disebabkan oleh karena hilangnya kontrol inhibisi yang
normal dari hipotalamus. DM tipe 2 terjadi pada sepertiga
kasus. Hipotiroidisme dan insuffisiensi adrenal dapat pula

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

MlELOMA MULTIPEL DAN PENYAKIT GAMOPATI LAIN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


terjadi. Kelainan kulit dapat berupa : hiperpigmentasi,
hipertrikhosis, penebalan kulit dan jari tabuh. Manifestasi
klinis lain dapat berupa : edema perifer, asites, e h s i pleura,
demam dan trombositosis.
Patogenesis dari sindroma ini sampai sekarang belum
diketahui, tetapi ditemukan kadar sitokin inflamasi IL-1,
IL-6, VEGF dan TNF yang tinggi dan rendahnya sitokin
inhibitor TGF-P di sirkulasi. Pengobatan terhadap mieloma
akan memperbaiki semua manifestasi klinik ini.

PENYAKIT RANTAI-BERAT
Penyakit rantai berat adalah keganasan limfoplasmasitik
yang jarang ditemukan, ditandai oleh proliferasi sel
limfoplasmositik yang mensintesis dan mensekresi rantai
berat imunoglobulin yang cacat biasanya berupa fragmen
Fc yang utuh dsn delesi pada regio Fd.. Empat dari lima
rantai berat yang mungkin disebutkan pada kelainan ini,
yaitu rantai berat gamma (g), alfa (a), dan mu (m), tetapi
tidak ada laporan mengenai rantai berat delta (d) atau
epsilon.
Penyakit rantai berat gamma (g) terutama terdapat pada
orang tua. Gejala klinis pada penyakit ini berupa kelelahan,
febris, anemia, limfadenopati, hepatomegali atau
splenomegali. Eritema dan edema palatum dapat terjadi
karena keterlibatan jaringan limfatik rantai Waldeyer.
Sumsurn tulang dapat normal atau menunjukkan kenaikan
sel limfoplasmasitik. Terapi kuratif tidak mungkin, terapi
biasanya dengan siklofosfamid, vinkristin dan prednison.
Perjalanan penyakit sangat bervariasi.
Penyakit rantai berat alfa (a) berbeda dengan penyakit
sel lasma lain, terutama terdapat pada penderita muda dan
menampakkan diri hampir selalu sebagai suatu penyakit
usus, jarang sebagai kelainan di paru,. Manifestasi klinis
penderita berupa diare, malabsorbsi, terhentinya
pertumbuhan dan nyeri perut. Yang karakteristik adalah
infiltrasi limfoplasmasitik d i h s yang luas dari mukosa usus
dan kelenjar mesenterial. Ada hubungan epidemiologik
dengan infeksi usus oleh parasit, bakteri dan virus. Terapi
antimikrobial dapat memberi remisi. Penderita yang tidak
bereaksi dengan terapi antimikrobial, dapat diberi zat
pengalkil atau kombinasi vinkristin, doksorubisin,
siklofosfamid dan prednison, dapat mencapai remisi jangka
panjang.

GAMMOPATI MONOKLONAL BENIGNA (BENIGN


MONOCLONAL GAMMOPATHY)
Paraprotein dapat ditemukan dalam serum, khususnya pada
orang lebih tua tanpa bukti pasti mieloma,
makroglobulinemia atau limfoma. Tidak terdapat lesi tulang,
biasanya tanpa proteinuria Bence - Jones, dan proporsi
sel plasma dalam sumsum normal (kurang dari 4%) atau

sedikit meningkat (kurang dari 10%). Konsentrasi


imunoglobulin monoclonal dalam serum biasanya kurang
dari 20 g/L dan tetap diam jika diikuti selama 2 atau 3 tahun.
Imunoglobulin serum lainnya tidak ditekan. Setelah
bertahun - tahun "follow-up", proporsi besar pasienpasien ini menderita mieloma jelas (overt myeloma).

Amiloid adalah deposit homogen dalam jaringan, benvarna


merah jambu dengan haematoksilin dan eosin dan merah
dengan Congo red, dan memperlihatkan "birefringence"
hijau. Amiloid mempunyai struktur fibrilair dan
diklasifikasikan sebagai berikut :

Amiloid yang bersamaan dengan proliferasi


imunosit monoclonal.
Tipe ini terdiri atas rantai ringan danlatau darah V,N
terminal dari rantai ringan . Ini dinamakan tipe "AL" dan
ditemukan bersamaan dengan mieloma, makroglobulinaemia Waldenstrom, penyakit rantai-berat dan
dalam bentuk "primer". Gambaran klinis disebabkan oleh
terkenanya jantung, makroglossia, neuropati perifer atau
"syndroma Carpal tunner" atau dengan kegagalan ginjal.
Amiloid sistemik reaktif
Tipe ini terdiri atas protein "A" yang mungkin berasal dari
protein fase akut dan dinamakan tipe "AA". Ini ditemukan
bersamaan dengan infeksi kronis (misalnya tuberkulosis),
arthritis rematoid dan penyakit neoplastik, termasuk
penyakit Hodgkin. Ini juga biasa bersamaan dengan
"familial Mediteranean fever". Gambaran klinis
disebabkan terkenanya retikukulo-endotelial dengan
pembesaran hati dan limfa; ginjal juga dapat terkena dengan
trombosis vena dan sindroma nefrotik.

mi lo id setem pat (localized amyloid)


Ini biasa terjadi sekeliling, khususnya tumor sistem
endokrin dan juga terjadi dalam kulit dan tempat lain pada
umur tua.
Amiloidosis sistemik primer yang juga disebut sebagai
AL amiloidosis adalah penyakit yang jarang ditemukan
yang ditandai oleh adanya produksi rantai ringan bebas
oleh sel plasma monoklonal pada sumsum tulang.
Tergantung pada juinlah sel plasma sumsum tulang,
konsentrasi protein M serum dan urin serta ada tidaknya
lesi tulang, penyakit ini dibagi atas AL amiloidosis atau
AL amiloidosis dengan MM. Klinis dapat timbul gejala
makroglosi, kardiomegali, malabsorbsi, hepatomegali,
sindroma carpal-tunner, neuropati perifer, hipotensi
ortostatik, dan purpura. Diagnostik dapat ditentukan
dengan pemeriksaan histologik terarah pada endapan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

amiloid di kulit, ginggiva, rektum atau ginjal (Pengecatan


Congo-merah). Pada amiloidosis primer ada plasmasitosis
terbatas (terkontrol) dalam sumsum tulang dan tidak
terdapat lesi osteolitik (pada foto rontgen).
Kemoterapi tidak dapat mengeradikasi komplit sel
plasma monoklonal, dan ketahan hidup median penyakit
ini 12 - 14 bulan. Pengobatan pilihan pada AL amiloidosis
antara lain MP,m VAD, dosis tinggi moderat dengan
melphalan atau dosis tinggi melphalan dengan dukungan
sel stem (growth factor).

Foerster J. Multiple Myeloma. In : Lee GR, Bithell TC, Foerstell J,


Athens JW, Lukens JN eds. Wintrobe's Clinical Hemat0logy.9'~
ed.Philadelphia: Lea & Febiger;1993:2219 - 2249.
Longo DL, Anderson KC. Plasma Cell Disorders. In: Braunwald E,
lsselbacher KL, Petersdorf RG et al eds. Harrison's Principles of
Internal Medicine. 16'h ed. McGrawHill Book Co. 2004: 656 662
Beganovic S, Djulbegovic B. Plasma Cell Disorders. In: Djulbegovic
B, Sullivan DM eds. Decision Making In Oncology Evidence Based Management. Churchill Livingstone, Philadelphia.
1997:103 - 13.
Djoerban Z. Mieloma Multipel. Dalam Waspadji S, Rachman AM,
lsbagio H, Daldiyono, Nelwan RHH, Soeparman et al. llmu
Penyalit Dalam Jilid 11. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.l990:558563.
Durie BG, Salmon SE. A Clinical Staging System for Multiple Myelom:
Correlation of measured myelom cell mass with presenting
clinical features, response to treatment, and survival.
Cancer.1975;36:842 - 54.

Holdrinet RSG. Diskrasia Plasma. Dalam Onkologi Terjemahan


Bahasa Indonesia. Panitia Kanker RSUP Dr.Sardjito. Gadjah
Mada University Press.Yogyakarta. l999:699 - 7 13.
Bergsagel PL. Epidemiology, etiology and molecular pathogenesis.
In :Richardson PG, Anderson KC eds. Multiple Myeloma.
Remedica Publishing.2004: 1-24.
NCCN. Multiple Myeloma. Practice Guidelines in Oncologyv.2.2009.
Giles FJ. Multiple Myeloma And Waldenstrom's Macroglobulinemia. In: Brain MC, Carbone PP eds. Current Therapy in Hematology-Oncology. 5Ih ed. Mosby-Year Book.Inc. 1992:274 282.
Oken MM. Myeloma. In : Kirkwood JM. Lotze MT. Yasko JM eds.
Current Cancer Therapeutics. @nd eds. Churchill Livingstone
Philadlphia. 1996: 281 - 285.
Lichtman MA. Essential Monoclonal Gammopathy. In : Beutler E,
Coller B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology. 6Ih
ed.McGraw-Hill Co.2001: 1271 -77.
Barlogie B, Shaughnessy J, Munshi N, Epstein J. Plasma Cell Myeloma. In : Beutler E, Coller B, Lichman M Kipps TJ eds.
Williams Hematology. 6Ih ed.McGraw-Hill Co.2001: 1279 1304.
Buxbaum JN, Jacobson DR. The Amyloidoses. In : Beutler E, Coller
B, Lichman M Kipps TJ eds. Williams Hematology. 6Ih
ed.McGraw-Hill Co.2001: 1305 - 16.
Linker CA. Multiple Myeloma. In: Tierney LM, McPhee SJ,
Papadakis MA eds. Current Medical Diagnosis & Treatment.
44th ed. Prentice-Hall International lnc.2005: 497 - 500.
Kyle RA. Multiple Myeloma and Related Monoclonal Gammopathies.
In: Mazza JJ ed. Mannual of Clinical Hematology. 2nded.
McGraw-Hill Book Co. 1987:251 - 276.
Greipp,PR, San Miguel J, Durie BGM et a1:lnternational staging
system for multiple mye1oma.J Clin Oncol 23:3412-3420,2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR HEMOSTASIS
C. Suharti

PENDAHULUAN
Pemahaman tentang dasar fisiologi hemostasis sangatlah
penting. Pemahaman yang baik selain akan meningkatkan
pengertian tentang patofisiologi kelainan trombohemoragik, juga membantu dalarn membuat interpretasi hasil
pemeriksaan laboratorium, yang dapat digunakan sebagai
dasar dalam pendekatan terapi.
Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis
(berhenti), merupakan proses yang amat komplek,
berlangsung secara terus menerus dalam mencegah
kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan
perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap
kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan
yang poten untuk pembentukan bekuan darah. Proses
yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup
kebocoran pembuluh darah, membatasi kehilangan darah
yang berlebihan, dan memberi kesempatan untuk perbaikan
pembuluh darah. Terdapat beberapa mekanisme kontrol
dari proses ini antara lain: sifat antikoagulan dari sel endotel
normal, adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam
sirkulasi, dan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan
bekuan. Terjadinya abnormalitas hemostasis kebanyakan
sebagai akibat defek dari salah satu atau lebih dari tahapan
proses koagulasi.
Komponen penting yang terlibat dalam proses hemostasis terdiri atas:
Pembuluh darah
Trombosit
Kaskade faktor koagulasi
Inhibitor koagulasi
Fibrinolisis

PERAN PEMBULUH DARAH


Pembuluh darah normal terdiri atas intima, media dan

adventitia.
Intima: terdiri atas satu lapis sel endotel yang bersifat
nontrombogenik dan membran elastis interna.
Media: terdiri atas otot polos, ukuran otot polos ini
bervariasi tergantung jenis pembuluh darah (arteril
vena), dan ukuran pembuluh darah.
Adventisia: terdiri atas membran elastis eksterna dan
jaringan ikat penyokong.
Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan
sifat yang dimiliki oleh pembuluh darah. Peningkatan
permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah dari
pembuluh darah berupa petekie, purpura, dan ekimosis yang
besar. Peningkatan fragilitas pembuluh darah
memungkinkan terjadinya ruptur yang menimbulkan
petekie, purpura (terutama pada kulit dan mukosa), ekimosis
yang besar, serta perdarahan hebat pada jaringan yang
lebih dalam. Vasokonstriksi dapat mengakibatkan obstruksi
yang bersifat parsial maupun total, iskemia, dan akhirnya
terbentuk trombus. Vasokonstriksi ini di bawah kontrol lokal
(suhu, pH, pC02), neural (saraf simpatis) dan humoral.
Faktor humoral yang mengendalikan vasokonstriksi
terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti:
epinefrin, norepinefrin, ADP (adenosin difosfat),
kinin, dan tromboksan. Produk degradasi fibridfibrinogen
(FDP, Fibrin/fibrinogen degradation products) yang
dilepas sewaktu sistem fibrinolisis bekerja pada fibrin dapat
memodulasi vasokonstriksi.
Weibel-Palade merupakan suatu aparatus yang unik
dari sel endotel dan diduga merupakan derivat dari aparatus
Golgi. Weibel-Palade ini berisi faktor von Willebrand (vW),
antigen vW, dan P-selektin. Interleukin- 1 (IL- 1),
endotoksin, trauma mekanik, dan komplemen, dapat
menginduksi pelepasan isi aparatus Weibel-Palade. Sel
endotel secara konstan melepas nitrogen oksida (NO),
berfungsi
- untuk relaksasi sel otot polos dan dilatasi
pembuluh darah, guns menjamin patensi ~embuluhdarah.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Bila terjadi kerusakan sel endotel, segera disekresi
endotelin-1 atau substansi lain yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi. Endotelin- 1 dalam sirkulasi bekerja sebagai
kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Endotelin1, bersama trombin menginduksi sel endotel untuk
mengekspresi berbagai molekul adhesi, termasuk integrin
dan selektin yang memfasilitasi adesi. Sel endotel juga
mengandung berbagai proteoglikan: heparin sulfat,
kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin.
Proteoglikan ini berinteraksi dengan antitrombin untuk
meningkatkan hambatan terhadap pembentukan protease
serin.
Trombomodulin merupakan proteoglikan yang terikat
pada sel endotel, berfungsi sebagai reseptor trombin.
Peranan trombomodulin mengubah aktivitas prokoagulan
dari trombin sedemikian rupa, sehingga trombomodulin
yang terikat pada trombin kehilangan kemampuan untuk:
(i) mengubah fibrinogen menjadi fibrin, (ii) mengaktifkan
trombosit, dan (iii) mengaktifkan faktor XIII.
Trombomodulin yaiig terikat pada trombin akan
mengaktifkanprotein C menjadi protein C aktif, dan bersama
dengan protein S (kofaktor) akan menghambat faktor Va
dan VIIIa.

mengalami diferensiasi, selanjutnya bermigrasi, dan


akhirnya membentuk sel endotel baru yang bersifat
nontrombogenik. Bila pembentukan sumbat trombosit
primer terjadi secara berlebihan, akan terbentuk suatu
trombus besar yang dapat menghentikan aliran darah, yang
akhirnya dapat menyebabkan kerusakan organ akibat
iskemia. Peristiwa lain akibat terkelupasnya endotel dapat
menyebabkan terbentuknya plak aterosklerotik. Bila
peristiwa terbentuknya sumbat hemostatik primer
berlangsung secara berulang, terjadi pada tempat yang
sama, dan dalam periode waktu yang lama, otot polos atau
sel lain akan berdiferensiasi dan bermigrasi ke intima. Syatu
senyawa akan dilepas, selanjutnya akan menarik makrofag
yang "memakan" kolesterol maupun materi yang lain,
sehingga terbentuklah plak aterosklerotik.

Kerusakan Pembuluh Darah


(paparan kolagen subendotel)

Pengaktifan
koagulasi

Pengaktifan
koagulasi

Pengaktifan
koagulasi

(sesuai)

(berlebihan)

(berulang)

Trombus besar

Deposit makrofag
dan lipid

Oklusi
pembuluh darah
II

Pembentukan
ateroma
111

Sumbat hemostatik

(primer)

Prokoagulan

Antikoagulan

Kontraksi oleh pengaruh


histamin, kinin, serotonin, dan
tromboksan
Produksi faktor koagulasi:
Tromboplastin (faktor
jaringan)
F.VIIIvW
Aktivator dan inhibitor
protein C.
Inhibitor aktivator
plasminogen tipe 1(PAI-1)
Subendotel:
Mengaktifkan, dan adhesi
trombosit
Mengaktifkan F. XII, XI

Inhibitor trombosit
NO
Prostasiklin
ADPase
Inhibitor bekuan
darahllisis
Trombomodulin
Heparan
Inhibitor jalur faktor
jaringan (TFPI)
Aktivator
plasminogen
(t-PA)

vW, von Willebrand; PAI-1, plasminogen activator inhibitor type


1; TFPI, tissue factor pathway inhibitor; t-PA, tissue
plasminogen activator

Sel endotel bisa terkelupas oleh berbagai rangsangan:


asidosis
hipoksia
endotoksin
kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi
Bila sel endotel terkelupas, kolagen maupun membrana
basalis subendotel menarik trombosit untuk membentuk
sumbat hemostatik primer, sehingga menghentikan
keluarnya darah dari pembuluh darah. Setelah sumbat
hemostatik primer terbentuk, proses selanjutnya adalah
peristiwa reparasi. Otot polos atau sel lain dari media
~

Proses reparasi
normal
I

Gambar 1. Kerusakan pembuluh darah (terkelupasnya sel


endotel) dengan segala konsekuensinya. (dikutip dari Bick RL,
2002)

Produksi Trombosit
Trombosit diproduksi di sumsum tulang dengan cara
fragmentasi sitoplasma megakariosit. Diameter trombosit
berkisar antara 2-4nm, volume 7fl(5-8fl). Hitung trombosit
antara 150-400x109/1, sedangkan umur trombosit berkisar
7-10 hari. Kira-kira sepertiga dari jumlah trombosit yang
dikeluarkan dari sumsum tulang tertangkap di limpa normal; namun pada kondisi splenomegali masif, jumlah ini
bisa meningkat sampai 90%. Produksi trombosit diatur oleh
hormon trombopoetin yang diproduksi oleh hepar dan
ginjal.
Struktur Trombosit
Secara ultrastruktur, trombosit terdiri atas:
Zona Perifer.Terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra
yang terletak di bagian paling luar; di dalamnya terdapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR HEMOSTASIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

membran plasma, dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal


terbuka.
Zona sol-gel. Terdiri atas mikrotubulus,mikrofilamen, sistem
tubulus padat (berisi nukleotida adenin dan kalsium). Selain
itu juga terdapat trombostenin, suatu protein penting untuk
fungsi kontraktil.
Zona organela. Terdiri atas granula padat, mitokondria,
granula a , dan organela (lisosom dan retikulum
endoplasmik). Granula padat berisi dan melepaskan
nukleotida adenin, serotonin, katekolamin, dan faktor
trombosit. Sedangkan granula a berisi dan melepaskan
fibrinogen, PDGF (platelet- derived growthfactor), enzim
lisosom. Terdapat tujuh faktor trombosit yang telah
diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua diantaranya
dianggap penting yakni faktor trombosit 3 (membran
fosfolipoproteintrombosit), dan faktor trombosit 4 (faktor
antiheparin).
Trombosit bila diaktifkan, akan mengalami kontraksi dan
membentuk pseudopodia. Selama proses kontraksi,
berbagai senyawa maupun granula terkonsentrasi pada
bagian pusat trombosit, dan bila kontraksi makin kuat,
membran organela robek, selanjutnya isi dikeluarkan lewat
sistem kanal yang terbuka. Senyawa ini kemudian
berinteraksi dengan reseptor membran trombosit terdekat,
yang akan mengakibatkan pengaktifan lebih lanjut,
sehingga makin banyak trombosit yang diaktifkan. Selain
berinteraksi dengan trombosit, beberapa senyawa juga
berinteraksi dengan sel endotel terdekat. Formasi
pseudopodia ini meningkatkan adhesi trombosit (trombosit
melekat pada permukaan bukan trombosit, misalnya pada
kolagenlmembranbasalis), maupun agregasi (interaksi antar
trombosit).

FDP, FibrinlFibrinogen Degradation Products;


ADP, Adenosin Difosfat
Setelah terjadi adhesi trombosit, selanjutnya akan dilepas
ADP. Proses ini bersifat reversibel, yang terlihat sebagai

lntegrin
GPlallla: reseptor kolagen
GPlbllX-V: reseptor faktor vW
GPllblllla: reseptor fibrinogen
P-selektin
Protein
Faktor trombosit 3 dan 4
P-trornboglobulin
PDGF
Plasminogen
Fibrinogen
Protein plasma (albumin, IgG)
Faktor vW

Amin biogenik
Serotonin
Histamin
Katekola
min
Nukleotid adenin
ADP
ATP
AMP
siklik
Kation: Cat'
Tromboksan A2

GP, glikoprotein; PDGF, Platelet-derivedgrowth factor; ADP,


adenosine di~hosphate;ATP, adenosine triphosphate; AMP,
adenosine monophosphate.

Koiagen subendotel
maupun membrana
basalis
Trombin
Fibrin monomer
FDP, terutama fragmen
X
Endotoksin

Kompleks antigenantibodi dalam sirkulasi


y-globulin yang melapisi
permukaan
Virus
ADP
Katekolamin
Asam lemak bebas.

gelombang pertama pada grafik tes agregasi trombosit.


Bila konsentrasi ADP makin meningkat, terjadilah agregasi
trombosit. Selain ADP, juga dilepas serotonin, yang
menyebabkan vasokonstriksi, sehingga memberi
kesempatan untuk menyiapkan pembentukan sumbat
hemostatik primer, yang terdiri atas trombosit dan fibrin.
Pada kondisi dimana kadar ADP mencapai titik kritis,
terjadilah pengaktifan membran fosfolipid (faktor trombosit
3), yang bersifat ireversibel. Membran fosfolipid ini
memfasilitasi pembentukan komplek protein koagulasi
yang terjadi secara berurutan.
Kejadian yang berurutan mulai dari agregasi trombosit,
peningkatan reaksi pelepasan, pengaktifan faktor
trombosit 3, merupakan proses yang ireversibel, tampak
sebagai gelombang ke dua dalam grafik tes agregasi
trombosit. Hasil seluruh proses ini akhirnya terbentuk
sumbat hemostatik primer. Granula a, selain melepaskan
faktor prokoagulan dan produk yang mengaktifkan
trombosit, juga melepas PDGF (platelet-derived growth
factor), yang kemudian terikat dengan reseptor, yang akan
menghambat sekresi trombosit maupun agregasi yang
diinduksi oleh trombin.

Jalur Biokimia dan Fungsi lntrasel Trombosit


AMP siklik merupakan modulator kunci fungsi trombosit.
Peranan dari senyawa ini menggabungkan protein yang
tergantung AMP siklik, untuk membentuk aktivitas kinase.
Kinase sendiri berfungsi untuk fosforilasi protein reseptor,
yang akhirnya mengikat kalsium. Apabila kalsium dalam
sel trombosit terikat, trombosit bersifat hipoagregasi dan
hipoadhesi. Epinefrin, trombin, kolagen, dan serotonin
menghambat enzim adenilat siklase, yang bertanggung
jawab untuk konversi ATP menjadi AMP siklik. Hambatan
ini mengakibatkan penurunan konsentrasi kinase,
penurunan fosforilasi protein reseptor, peningkatan ion
kalsium, yang akhirnya berakibat hiperagregasi trombosit.
Enzim yang bertanggungjawab mengubah AMP siklik
menjadi bentuk inaktif adalah fosfodiesterase.Dipiridamol,
suatu obat antitrombosit, menghambat fosfodiesterase.
Pada kondisi seperti ini, konsentrasi AMP siklik, kinase,
dan protein reseptor yang telah mengalami fosforilasi
meningkat. Akibatnya kalsium dalarn trombosit akan terikat,
trombosit menjadi hipoaktif.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Adesi trombosit

Reaksi pelepasan awal

ADP
Kohesi trombosit

ADP
Peningkatan reaksi
pelepasan -Serotonin
Aktivitas fosfolipid trombosit

Vasokonstriksi

Aktivitas fosfdli~idtrombosit

Gambar 2. Fungsi trombosit. (Bick RL, 2002)

Menghambat

Adenilat siklase

t-----

(Epl, Trombin, kolagen,bHT)


Dipiridamol

Protein tergantung
AMP s~klik

Protein reseptor
(Ca++ ikstan)

kc->

Ca ++

roteinKomplek
reseptor- Ca ++

Gambar 3. Reaksi biokimiawi di dalam sel trombosit, Bick RL,

2002

Peranan P r o s t a g l a n d i n dan D e r i f a t
Prostaglandin
Membran fosfolipid trombosit maupun sel endotel diubah
menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipaseA2(PLA2)
yang diaktifkan oleh trombin maupun kolagen. Asam
arakidonat diubah menjadi prostaglandin G2(PGG2) dan
prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim siklo-oksigenase.
Pada membran trombosit, tromboksan sintetase mengubah
PGH2 menjadi tromboksan A2, suatu agen agregasi yang
poten. Selain itu, tromboksan A2 juga berfungsi sebagai

vasokonstriktor yang poten.


Pada sel endotel dan jaringan subendotel, prostasiklin
sintetase mengubah PGH2 menjadi prostasiklin, suatu inhibitor agregasi dan vasodilator yang poten. Aspirin dan
sulfinpirazon, merupakan antitrombosit yang berfungsi
menghambat enzim siklooksigenase. Kedua antitrombosit
ini bersifat selektif, dimana 70% aktivitas diarahkan ke
trombosit, dan hanya sekitar 30% diarahkan ke sel endotel.
Hal ini yang memungkinan sel endotel mampu melanjutkan
sintesa prostaglandin, sedangkan trombosit tidak.
Adenilat siklase adalah enzim yang mengubah ATP
menjadi AMP siklik. Tromboksan A2 merupakan inhibitor
adenilat siklase yang poten, dan sebaliknya, prostasiklin
merupakan stimulator adenilat siklase yang poten.
Predisposisi terjadinya trombosis atau perdarahan
tergantung konsentrasi relatif ke dua senyawa tersebut.
Interaksi trombosit dengan pembuluh darah (adhesi),
atau dengan trombosit yang lain (agregasi), serta dengan
protein plasma terjadi pada permukaan membran trombosit
dengan mediator glikoprotein yang terdapat pada membran
trombosit.
Glikoprotein IaIIIa merupakan salah satu reseptor
adhesi dari trombosit (integrin). Peranan GPIahIa untuk
adhesi trombosit kurang dominan, terbukti bahwa
kelainan kongenital, dimana tidak didapatkan GPIaAIa,
tidak mengakibatkan timbulnya perdarahan yang
berarti.
GPTbhX-Vdan GPIIbAIIamempunyai peranan yangjauh
lebih penting. GPIbLX-V merupakan faktor adhesi yang
utama, sedangkan GPIIbIIIIa merupakan mediator
agregasi yang sangat penting.
Pada sindrom Bernard-Soulier, tidak ditemukan GPIb
dan GPIX. GPIb mempunyai beberapa fungsi: (i)
kompleks GPIbJIX berfungsi sebagai reseptor untuk
faktor vW (pada respon terhadap injuri, terjadi adhesi
trombosit pada subendotel melalui ikatan GPIbJIX dan
faktor vW); (ii) sebagai reseptor untuk antibodi yang
tergantung kinin dan kinidin, seperti yang terjadi pada
trombositopeniaakibat kinin atau kinidin; (iii) berfungsi
sebagai bagian dari komplek reseptor-trombin dari
trombosit.
GPV sangat penting dalam pengaktifan trombosit oleh
trombin.
Komplek GP IIbAIIa terdapat pada granula a maupun
pada membran trombosit. Keduanya merupakan subunit dari suatu glikoprotein tunggal. GPIIb merupakan
protein yang dalam fungsinya sangat tergantung ion
kalsiurn. Pada trombastenia Glanzman, GP IIbAIIa tidak
ada atau dalam keadaan menurun. GP IIbAIIa merupakan
reseptor fibrinogen, dan juga berfungsi sebagai tempat
ikatan antibodi PLAI. Ikatan fibrinogen pada IIbIIIIa
diperlukan untuk agregasi trombosit yang optimal yang
diinduksi oleh ADP. GPIIbIIIIa juga terikat pada faktor
vW dan fibronektin.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR HEMOSTASIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


FUNGSI PROTEIN PLASMA

Membran Fosfolipid
FosfolipaseA,
Asam arakidonat

'

Asa
~ulfinirazon

Prostasiklin
sintetase

-A
4

Prostasiklin

/x
'
Hambatan agregasl

Peroksidase
-Tromboksan
sintetase
TromboksanA,

>gregasi A2
Vasokonstriksi

Vasodilatasi

Gambar 4. Prostaglandin dalam fungsi trombosit dan sel endotel


(Bick RL, 2002)

Glikoprotein
la

Ib
Ila
Ilb

Fungsi
Reseptor
untuk
subendotel
yang tidak
tergantung
F.vW
Reseptor
F.vW
Reseptor vW
dan fibrinogen

llla

Reseptor vW
dan fibrinogen

Reseptor
untuk
trombin
Reseptor
trornbin

IX

Karakteristik

Pada sindrorn BernardSoulier,


GP Ib tidak terdapat
Pada trombastenia
Glanzrnann,
GP Ilb tidak terdapat
Pada trornbastenia
Glanzrnann,
GP llla tidak terdapat
Pada sindrorn BernardSoulier, GPV tidak terdapat
Pada sindrom BernardSoulier, GPlX tidak terdapat

(7)

Nomor
faktor
I
II
Ill

VII
VlllC
IX
X
XI
XI I
Xlll
Fitzgerald
Fletcher

Nama

Bentuk aktif

Fibrinogen
Protrombin
Faktor jaringan
Proaselerin
Prokonvertin
Faktor antihemofili
Faktor Christmas
Faktor Stuart-Prower
Plasma thromboplastin
antecedent
Faktor Hageman
Faktor yang
rnenstabilkan fibrin
Kininogen berat
molekul tinggi
Prekalikrein

Fibrin
Protease serin
Reseptorlkofaktor
Kofaktor
Protease serin
Kofaktor
Protease serin
Protease serin
Protease serin
Protease serin
Transglutarninase
Kofaktor
Protease serin

Fungsi protein plasma dalam hemostasis meliputi berbagai


sistem:
protein koagulasi
enzim fibrinolisis
inhibitor
komplemen
kinin
Pembentukan kinin dan pengaktifan komplemen
dianggap tidak penting dalam kelainan trombohemoragik.

Protein Koagulasi
Protein koagulan, lebih sering ditulis dalam huruf Romawi,
meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai angka
Romawi. Pembentukan fibrin, bisa digambarkan terdiri atas
empat reaksi kunci yakni:
pembentukan F.IXa (pengaktifan lewat sistem kontak)
pembentukan F.Xa
pembentukan trombin (F.IIa)
pembentukan fibrin
Konsep ini sangat membantu dalam memahami sistem
koagulasi.
Pembentukan faktor IXa, Pengaktifan lewat kontak dari
jalur intrinsik diawali dengan pengaktifan faktor XI1 (faktor
Hageman). Fosfolipid, kolagen, kolagen subendotel, dan
kalikrein mampu mengubah EX11 menjadi F.XIIa (a:aktif).
F.XIIa, merupakan serin protease, yang kemudian
mengubah F.XI menjadi F.XIa. Reaksi ini akan terjadi cepat
bila terdapat kininogen dengan berat molekul tinggi (highmolecular-weight kininogen), namun bila tidak ada akan
terjadi lambat. F.XIa, bersama ion kalsium mengubah F.IX
menjadi F.IXa. F.Ma merupakan enzim yang berfimgsi untuk
pembentukan F.Xa. Perlu ditambahkan bahwa F.XIIa sendiri
dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga
dapat mengubah lebih banyak F.XII menjadi F.XIIa.
Pembentukan faktor Xa. Pembentukan F.Xa melibatkan
dua jalur utama, intrinsik dan ekstrinsik. Jalur ekstrinsik
melibatkan tromboplastin (faktorjaringan, tissuefactor, TF),
F.VII, dan ion kalsium. Faktor jaringan terdiri atas protein
yang terikat pada membran lipoprotein, berada dalam kondisi
terproteksi pada membran sel endotel. Bila terjadi injuri,
faktorjaringan dilepas dalam sirkulasi,bersama ion kalsium
membentuk kompleks dengan F.W menjadi TFIF.W a . F.VIIa
ini kemudian mengaktifkan FIX maupun FX. Pengaktifan
FX (menjadi F.Xa) mengakibatkan pembentukan trombin
dalam jumlah kecil. Trombin yang terbentuk ini akan
meningkatkan proses koagulasi dengan mengaktifkan
kofaktor V dan VIII. Jalur amplifikasi yang melibatkan faktor
VIII dan faktor IX dapat dianggap sebagai suatu peranan
yang dominan dalam meningkatkan produksi faktor Xa.
Trombin juga dapat mengaktifkan faktor XI, yang dapat
meningkatkan produksi faktor IXa.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

-............... --................-.
~

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Peran kofaktor dalarn ha1 ini untuk menjamin bahwa hanya
enzim dan substrat yang tepat yang akan m a s k dalam
komplek pembentukan. Sebagai contoh, adanya faktor V
memungkinkan F.Xa bereaksi dengan F.11. Pembentukan
F.Xa dan trombin tergantung pada beberapa faktor yang
tergantung vitamin K (faktor 11, VII, IX, dan X). Faktorfaktor ini disintesis dalam parenkim sel hepar.

Sistem kontak
XII, PK, HK

XI

....Xlla

Sistem F. Jaringan
IXa + Vill

Protrombin

Va-"e
Trombin c..........

Fibrinogen

\+ Fibrin -h

D-dimer

Gambar 5. Kaskade koagulasi.Van Gorp ECM, 1999 (dengan


rnodifikasi). PK, prekalikrein; HK, kininogen berat rnolekul tinggi;
TF, faktor jaringan; TFPI, inhibitor jalur faktor jaringan; AT, anti
trombin; TAT, kornplek trombin-anti trornbin; PCa, protein C aktif;
F1+2, fragrnen protrombin 1+2; D-dimer, produk pemecahan fibrin; FPA, fibrinopeptid A;

Pembentukan F.Xa lewat jalur intrinsik membutuhkan


lima komponen: substrat (EX), enzim (F.IXa), kofaktor
(F.VIII:C), permukaan (faktor trombosit 3), ion kalsium.
Faktor jaringan dan inhibitor jalur faktor jaringan
(tissuefactorpathway inhibitor, TFPI). Pembentukan F.Xa
lewatjalur ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, EVII, ion
kalsium, dan TFPI. Faktorjaringan bisa berasal sel endotel,
sistem monositlmakrofag, maupun sel ganas. Faktor
jaringan akan terbentuk bila terjadi suatu injuri atau
rangsangan, misalnya: induksi sitokin (IL-la, TNF a),
pengaktifan komplemen, terutarna C5a, lipopolisakarida,dan
komplek imun dalam sirkulasi. Faktor jaringan diaktifkan
atau dilepas untuk mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa,
membentuk komplek dengn F.VII bersama ion kalsium.
Komplek TF/F.VIIa mampu mengaktifkanbaik F.X maupun
F.IX menjadi F.Xa dan F.IXa. Sebagai tambahan, F.Xa dapat
mengubah kompleks TF/F.VII menjadi kompleks TFNIIa,
sehingga meningkatkan potensi dalam mengaktifkan F.IX
dan F.X. Proses aktivasi yang dimediasi injuri ini dihambat
oleh TFPI. Terdapat beberapa sel sebagai sumber TFPI: sel
endotel (sumber utama), hepatosit, par-, ginjal, monosit,
dan kandung kencing.
Pembentukan trombin. Dalam reaksi ini dibutuhkan:
substrat (F.119, enzim (F.Xa), kofaktor (F.V), faktor trombosit
3 atau fosfolipid lain, ion kalsium
Semua faktor ini membentuk kompleks pada permukaan
fosfolipid untuk membentuk trombin, suatu enzim baru.

Pembentukan Fibrin. Trombin melepaskan dua peptida


kecil dari fibrinogen, yaitu fibrinopeptid A dan B, dan
terbentuklah fibrin monomer. Fibrin monomer
berpolimerisasi dengan membentuk agregasi "end to end"
dun "side to side ", yang bersifat larut (soluble fibrin),
yang larut dalam 5Murea atau asam monoklorasetik 1%.
Pembentukan fibrin monomer yang larut disebut
polimerisasi 1. Fungsi lain dari trombin yang penting ialah
mengaktifkan faktor XI11 menjadi faktor XIIIa. Faktor XIIIa
mengubah fibrin yang larut menjadi tidak larut. Peristiwa
ini disebut polimerisasi 11.
Sistem Fibrinolisis
Sistem fibrinolisis berfungsi menghancurkan bekuan fibrin. Plasmin mempunyai afinitas yang sama terhadap fibrin maupun fibrinogen, memecah keduanya menjadi
produk degradasi fibridfibrinogen Cfibrin/Jibrinogendegradationproducts,FDP). Plasmin juga memecah F.V, VIII,
IX dan XI, hormon adenokortikotropik (ACTH), hormon
perturnbuhan, insulin dan masih banyak lagi protein yang
lain. Dalam sistem fibrinolisisterdapat dua jalur pengaktifan
fisiologik: (i) melibatkan aktivator plasminogen (tissue
plasminogen activator, t-PA); (ii) melibatkan F.XIIa
(Hageman).F.XIIa mengubah prekalikreinmenjadi kalikrein,
selanjutnya kalikrein mengubah plasminogen menjadi
palsmin.
Di dalam klinik, terdapat beberapa aktivator
farmakologik yang sering digunakan untuk trombolisis,
misalnya streptokinase, urokinase, t-PA, dan acylplasminogen-streptokinaseactivator complex (APSAC).
Urokinase secara langsung mengaktifkan plasminogen
menjadi plasmin, tetapi streptokinase membentuk
kompleks streptokinase-plasminogen, selanjutnya
komplek ini kemudian mengubah plasminogen menjadi
plasmin. Sistem fibrinolisis dimodulasi oleh sejumlah
inhibitor: (i) a2-antiplasmin (a2-AP), yang menghambat
kerja plasmin; (ii) a2-makroglobulin; (iii) inhibitor aktivator
plasminogen, (plasminogen activator inhibitor type 1,
PAI- 1 ). PAI- 1 merupakan modulator yang menghambat tPA dan aktivator plasminogen urokinase.
Fibrinogen terdiri atas beberapa bagian, A-a dan B-b
serta rantai g dengan peptida A dan peptida B. Pada
awalnya fibrin dan fibrinogen dipecah menjadi fragmen X.
Pemecahan berikutnya menghasilkan fragmen Y dan
fragmen D, dan pemecahan terakhir menghasilkan fragmen
D (lain) dan fragmen E. Fragmen X, Y, D, dan E secara
klinik merupakan FDP yang dapat diukur. Adanya FDP

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR HEMOSTASIS

Faktor Xll

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Faktor Xlla

1 /'

PAI-I

a-2Antiplasmin
A-ZMakmglobulin

Biodegradasi
(Faktor V, VII, IX, dll)

..

.-..

Fibrino (geno) h i s

Pembentukan FDP
.
.
.

...-..--.

Gambar 6. Fisiologi dari sistern fibrinolisis. Bick RL, 2002. t-PA,


tissue plasrninogen activator; PAI-1, plasrninogen activator
inhibitor-1

menunjukkan suatu kondisi klinik yang serius, di mana


terdapat gangguan polimerisasi fibrin monomer dan fungsi
trombosit.
Sistem Inhibitor
Sistem koagulasi diatur oleh sejumlah inhibitor.Inhibitor ini
b e h g s i membatasi reaksi koagulasi yang berlebihan, agar
pembentukan fibrin terbatas disekitar daerah yang
mengalami injuri saja, untuk mencegah terjadinya kondisi
patologi. Beberapa inhibitorpenting dalam sistem koagulasi:
antitrombin 111(ATIII),protein C (PC), protein S (PS).
ATIII merupakan inhibitor koagulasi fisiologik yang
kuat, terdiri atas glikoprotein yang disintesa oleh hepar.
ATIII menghambat aktivitas trombin (IIa), F.Xa, dan
dalam tingkatan yang lebih rendah juga menghambat
ma, XIa, XIIa, dan kalikrein. Fungsi inhibitor ini menjadi
semakin kuat dengan adanya heparin.
Protein C merupakan zimogen (praenzim), disintesa di
hepar, tergantung vitamin K. Protein C diaktifkan oleh
trombin bersama dengan ion kalsium dan
trombomodulin yang terletak di permukaan sel endotel.
PCa selanjutnya akan menghambat F.Va dan F.VIII:C.
Aktivitas ini memerlukan permukaan fosfolipid, ion
kalsium, dan sangat ditingkatkan oleh protein S. PCa
juga bekerja aktif selama terjadi proses fibrinolisis
dengan jalan menghambat inhibitor aktivator
plasminogen (PAI- I).
Protein S, juga disintesa di hepar, tergantung vitamin
K. Protein S dalam sirkulasi berfungsi sebagai kofaktor
protein C.
Hubungan Pengaktifan Komplemen dan
Hemostasis
Meskipun pengaktifan sistem komplemen tidak termasuk
bagian integral dari fisiologi hemostasis, namun

mempunyai peranan penting dalam penyakit


trombohemoragik. Sistem komplemen dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah, mengakibatkan hipotensi
dan syok, suatu kejadian yang sering terjadi pada
koagulasi intravaskular diseminata (disseminated
intravascular coagulation,DIC) dan kelainan
trombohemoragik yang lain. Pengaktifan komplemen C8-9
(fase "attack") dapat mengakibatkan lisis osmotik dari
eritrosit dan trombosit. Kondisi seperti ini dapat
meningkatkan materi prokoagulan, yang akhirnya akan
meningkatkan proses koagulasi. Sebagai contoh, lisis
eritrosit yang diinduksi komplemen, akan melepas membran
fosfolipoprotein maupun ADP, dimana keduanya berfbgsi
sebagai prokoagulan. Lisis trombosit akan mengakibatkan
pelepasan ADP, yang juga meningkatkan aktivitas
koagulasi.
Sistem komplemen terdiri atas suatu reaksi seri yang
terjadi secara berurutan seperti pada reaksi koagulasi.
PengaktifanC 1 sampai C5 disebut fase aktivasi; sedangkan
pengaktifan C5 sampai C9 disebut fase "attack".
F.XIIa dapat mengubah prekalikrein menjadi kalikrein,
yang selanjutnya mengubah plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin dapat mengaktifkan C 1 atau C3. Aktivasi
komplemen yang diinduksi oleh plasmin ini dapat
mengakibatkan kondisi klinik yang serius.
Hubungan Pengaktifan Kinin dan Koagulasi
Kinin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
mengakibatkan dilatasi pembuluh darah, syok, serta
kerusakan organ. Seperti halnya aktivasi komplemen,
pembentukan kinin berpusat pada faktor XII. F.XIIa
mengubah prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein
mengubah kininogen menjadi kinin. F.XIIa juga diubah
menjadi fragmen F.XIIa oleh plasmin. Fragrnen ini juga
mengaktikm prekalikrein menjadi kalikrein, sehingga makin
meningkatkan pembentukan kinin.

PEMERIKSAAN PENYARING UNTUK FUNGSI HEMOSTASIS

Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat


merupakan:
Kelainan pembuluh darah, Trombositopenia atau
gangguan fungsi trombosit, Kelainan koagulasi
Sejumlahpemeriksaan sederhanadapat dikerjakan untuk
menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen
koagulasi dalam hemostasis.
Pemeriksaan penyaring ini me1iputi:pemeriksaandarah
lengkap (complete blood count, CBC), evaluasi darah
apus, waktu perdarahan, waktu protrombin (prothrombin
time, PT), activatedpartial thromboplastin time (aPTT),
agregasi trombosit.
Pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi darah apus.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Trombositopenia sering mempakan penyebab perdarahan
abnormal, oleh karena itu pada pasien yang diduga
menderita kelainan perdarahan, pertama kali hams dilakukan
pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan
darah perifer. Selain untuk memastikan adanya
trombositopenia, dari pemeriksaan darah apus dapat
menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti
misalnya leukemia.

Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Pemeriksaan


penyaring meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik
dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi
fibrin.
Waktu protrombin (PT) mengukur faktor VII, X, V,
protrombin dan fibrinogen.Nilai normal 10-14 detik. Nilai
PT sering diekspresikan sebagai INR (international
normalized ratio).
aPTT mengukur faktor VIII, IX, XI, dan XII, selain faktor
V, X, protrombin dan fibrinogen. Nilai normal aPTT
antara 30-40 detik,
Perpanjangan dari PT dan aPTT yang disebabkan karena
defisiensi faktor koagulasi dapat dikoreksi dengan
penambahan plasma normal kedalam plasma yang
diperiksa. Apabila tidak dapat dikoreksi atau hanya
sebagian terkoreksi, dicurigai kemungkinan adanya inhibitor koagulan.
Waktu trombin (thrombin time, TT) cukup sensitif untuk
menilai defisiensi fibrinogen atau adanya hambatan
terhadap trombin. Nilai normal antara 14-16 detik.
Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Termasuk disini
misalnya fibrinogen, faktor vW, dan faktorVIII. Pemeriksaan
bisa secara kuantitatif atau dengan cara membandingkan
efek koreksi dari plasma yang mengandung kekurangan
substrat tertentu yang mempunyai perpanjangan waktu
pembekuan (PT, aPTT), dengan efek koreksi terhadap
plasma normal, yang hasilnya dinyatakan dengan
persentase aktivitas normal.
Waktu perdarahan. Waktu perdarahan berguna untuk
pemeriksaan fungsi trombosit abnormal misalnya pada
defisiensi faktor vW. Pada trombositopenia, waktu
perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan
abnormal yang disebabkan kelainan pembuluh darah, waktu
perdarahan biasanya normal. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara memberi tekanan pada lengan atas dengan
memasang manset tekanan darah. Setelah itu, dibuat insisi
kecil pada daerah fleksor lengan bawah. Pada keadaan normal, perdarahan akan berhenti dalam waktu 3-8menit.
Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit
merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai penting. Tes
ini mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma
kaya trombosit sebagai agregat trombosit. Agregasi primer
berasal dari rangsangan agen eksternal, sedangkan respon
sekunder berasal dari agen yang dilepas dari dalam
trombosit sendiri. Agen agregasi yang sering digunakan
misalnya: ADP, kolagen, ristosetin, asam arakidonat dan

adrenalin.
Pemeriksaan Fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan
memendeknya euglobulin clot lysis tinze. Beberapa tehnik
imunologik digunakan untuk mendeteksi produk degradasi
dari fibrin maupun fibrinogen (D-dimer).

Pemeriksaan
penyaring
Waktu trombin
(TT)

Waktu
protrornbin
(PT)
Actifated
partial
thromboplastin
time (aPTT
atau PTTK)

Abnormalitas yang
ditunjukkan
dengan
perpanjangan
Defisiensi atau
abnormal dari
fibrinogen
Hambatan trombin
oleh heparin atau
FDP
Defisiensi atau
harnbatan dari salah
satu atau lebih dari
faktor koagulasi: VII,
X, II, fibrinogen
Defisiensi atau
hambatan dari salah
satu faktor
koagulasi: XII, XI,
IX, Vlll, X, V, 11,
fibrinogen

Penyebab kelainan
yang paling sering
Koagulasi
intravaskular
diseminata
Terapi heparin
Penyakit hepar
Terapi warfarin

Hemofilia, Christmas
disease

REFERENSI
Catalano PM. Coagulation physiology and hemorrhagic disorders.
In: Besa EC, Catalano PM, Kant JA, Jefferies LC. Hematology.
Baltimore, Williams & Wilkins, 1992.p.223-35.
Colman RW, Clowes AW, George JN, Hirsh J, Marder VJ. Overview
iof hemostasis. 1n:Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW,
George JN. Hemostasis and thrombosis. 4Ih Ed.Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001.p.3-16.
Bick RL, Murano G. Physiology of thrombosis. In: Bick RL. Disorders of thrombosis & hemostasis. 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2002.p.1-29.
Griffin J. Immunology and Haemat0logy.2"~Ed. London: Elsevier
Science, 2003.p. 1 15-29.
Hillman RS, Ault KA. Hematology in clinical practice. 3rd Ed. New
York. McGraw-Hill. 2002.p.301-15.
Hoffbrand AV, Pettitt JE, Moss PAH. Hematology. 4Ih Ed. London.
Blackwell, 2001 :236-49.
Martinez J, Garcia-Manero G. Principles of Hemostasis and thrombosis. In: Spandorfer J, Konkle B, Merli GJ. Management and
prevention of thrombosis in primary care. New York. Oxford
University Press, 2001 .p. 1-13,
' van Gorp ECM, Suharti C, ten Cate H, Dolmans WMV, van der
Meer JWM, ten Cate JW,et al. Infectious disease and
coagulation disorders. JID 1999; 180: 176-86.
Van Gorp ECM, Minnema MC, Suharti C, Mairuhu ATA, Brandjes
DPM, ten Cate H, Hack CE, Meijers JCM. Activation of
coagulation factor XI, without detectable contact activation in
dengue hemorrhagic fever. BJ Haematol 200 1 ;113:94-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PATOGENESIS TROMBOSIS
Karmel L. Tambunan

PENDAHULUAN

menghubungkan trombosit yang berdekatan satu lain dan


kemudian terjadi agregasi trombosit dan membentuk plak
trombosit yang menutup 1ukdtrauma.Sumbatan bersifat
sementara (temporer). Proses ini kemudian diikuti proses
hemostasis sekunder (Gambar 1 dan Gambar 2).

Untuk dapat memahami trombosis, pengetahuan mengenai


dasar-dasar hemostasis sangat diperlukan. Dalam keadaan
normal, darah berada dalam sistim pembuluh darah, dan
berbentuk cair. Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor
hemostasis yang terdiri dari hemostasis primer,
hemostasis sekunder.dan hemostasis tersier. Hemostasis
primer terdiri dari trombosit dan pembuluh darah. Disebut
hemostasis primer karena yang pertama terlibat dalam
proses penghentian perdarahan bila terjadi luka atau
trauma.Hemostasis primer dimulai dengan vasokonstriksi
pembuluh darah dan pembentukan trombosit plak menutup
luka dan menghentikan perdarahan.
Vasokonstriksi menyebabkan aliran darah menjadi lebih
lambat pada daerah yang luka atau trauma. Keadaan ini
akan mempermudah trombosis pada reseptor trombosis
Gp I b menempel pada subendotel pembuluh darah (adhesi)
dengan perantaraan faktor von Willebrand. Trombosit
yang teraktivasi ini menyebabkan reseptor trombosit Gp
IIb/IIIa siap menerima ligan fibrinogen dan fibrinogen

Gambar 1. Hernostasis sepintas

FII

Agrsgasl
Trombostt

Trornbomodulln

k l a k iismostat~k

-+

1-

F~bnnollsls
Anttplasmln
Mtgrasldan
prol~ferastsel

Rekanal~sas~

Sembuh

Gambar 2. Hemostasis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1301

1302

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Hemostasis sekunder terdiri dari faktor pembekuan dan
anti pembekuan. Hemostasis sekunder dimulai dengan
aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik.Jalur
ekstrinsik yaitu jaringan yang terlepas terikat pada FVII dan
menyebabkan FVII menjadi aktif .F.VIla. mengaktifkan F.X
menjadi F.xa. dan besama F.V dan PF3 membentuk kompleks
protrombinase Selain mengaktifkan FX, FVIIa juga
mengaktifkan F.IX menjadi F.IXa dalani jalur intrinsik.
Kompleks protrombinase akan mengaktifkan protrombin
menjadi trombin dan trombin akan memecahkan fibrinogen
menjadi fibrin.Fibrin akan menggantikan sumbat trombosit
sampai terjadi penyembuhan luka. Migrasi dan proliferasi
sel terjadi pada jaringan yang rusak untuk penyembuhan
luka. Hemostasis tersier yaitu sistem fibrinolisis akan
diaktifkan dan menyebabkan lisis dari fibrin dan endotel
menjadi utuh. Pada umumnya proses penyembuhan
berlangsung dalam waktu 14 hari.
Kelainan hemostasis menyebabkan perdarahan atau
trombosis (Gambar 3). Pada uraian berikutnya yang akan
dibahas adalah trombosis.
Trornbosis yaitu proses pembentukan trombus atau
adanya trombus dalam pembuluh darah atau ruang jantung
.Trombosis dapat terjadi pada arteri dan vena
Trombosis pada arteri disebut trombus putih karena .
komposisinya selain fibrin didominasi oleh trombosit.
Berbeda dengan trombus pada vena disebut trombus
merah karena komposisinya selain fibrin didominasi oleh
sel darah merah.

Hemostasis

PATOGENESIS TROMBOSIS

Patogenesis trombosis arteri dan vena berbcda. Selain dari


fakbr aliran darah,faktor risiko dan pembuluh darah sendiri
turut berperanan. Oleh karenanya patogenesis masing
masing akan dibisarakan tersendiri. Misalnya akibat
perbedaan aliran darah, pada pembentukan trombus vena
tidak dibutuhkan faktor von Willebrand sebaliknya pada
trombus arteri.
Trornbosis terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan
antara yang merangsang trombosis dan yang mencegah
trombosis.

Patogenesis Trornbosis

Mekanisme
Proteksi
Stirnulasi
Trombogenik

Gambar 4. Patogenesis trornbosis

Trombosis

1r

%:y+-l!

yang berlebihan
Trombogenik

Mekanisme
protekst

Normal
Trornbosit
teqadi

I
I

proteksi

Gambar 5. Keseimbangan stimulasi dan proteksi trombosis


Trombosis Arteri
Faktor merangsang atau faktor risiko trombosis, yaitu:
Endotel pembuluh darah yang tidak utuh. Endotel
pembuluh darah yang utuh akan rnencegah trombosit
menempel pada endotel pembuluh darah. Sebaliknya
pembuluh darah yang terganggu atau tidak utuli merupakan
faktor risiko trombosis. Sel endotel akan kehilangan
kernampuan rnencegah trombosis bila distimulasi oleh enzim
seperti trombin,hipoksia, sllear stres, oksidan, sitokin
seperti interleukin-1 (1L- I), faktor nekrosis tumor (TNF),
dan interferon gamma, hormon sintetik seperti desrnopresin
asetat, dan endotoksin. lnduksi sintesis plu.\niit~ogen
~ktivutorinhibitor-I (PAI- 1 ) akan menghambat aktivator
plasminogen mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin
sehingga fibrinolisis berkurang. Trombomodulin yang
terikat pada pennukaan endotel juga akan berkurang oleh
sitokin dan endotoksin yang menyebabkan aktivrlsi
protein C terganggu. Semuanya ini akan tnenyebabkan
kecenderungan untuk terjadi trombosis (Gambar 6 ) .
Trombosit yang teraktivasi. Trombosit yang aktif
rnenyebabkan reseptor G p Ilb/IIIa menerima ligan
fibrinogen dan fibrinogen akan menghubungkan trornbosit
yang berdekatan satu sama lain dan terjadi agregasi
trornbosit.
Defisiensi antipembekuan. Terdapat antipembekuan
alamiah di dalam tubuh yaitu Antitrornbin 111 (ATIII),

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1303

PATOGENESIS TROMBOSIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


-

Stres
Bakteri
Endotoksin hemodinamik
dan

Sitokin

Kolesterol

Gambar 6. Faktor yang merusak endotel

Protein C, Protein S dan makroglobulin alfa 2. Defisiensi


antipembekuan akan menyebabkan darah cendrung
mengalami trombosis yang disebut trombofilia.Bedakan
dengan hemofilia yang cenderung mengalami perdarahan.
Klirens faktor pembekuan aktif berkurang. Faktor
pembekuan aktif dibersihkan di dalam tubuh sehingga
jumlahnya berkurang dan proses aktavasi koagulasi akan
berkurang.
Sistem fibrinolisis berkurang. Fibrinolisis yang berkurang
akan menyebabkan fibrin yang dibentuk akan terus
bertambah dan menyebabkan trombosis.
Stagnasi.Aliran darah yang lambat merupakan faktor risiko
trombosis.Mekanisme ini dapat dilihat pada trombosis
vena.
Umurnnya faktor yang mencegah trombosis merupakan
kebalikan dari yang menstimulasi trombosis, antara lain:
Endotel yang Utuh. Sebagaimana sudah disebut
sebelumnya, endotel yang utuh merupakan faktor yang
mencegah melengketnya trombosit pada subendotel.

liblllla tidak aktif

Endotel yang utuh mensekresi berbagai zat yang berperan


menghambat trombosis. Endotel mensekresi prostasikilin,
nitrit oxide (NO), trombomodulin, enzim adenosin difosfat
(ADP), heparan dan tissueplasminogen activator (t-PA)
dan urokinase plasminogen aktivator (u-PA).
Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan menghambat.
agregasi trombosit. NO juga menyebabkan vasodilatasi
dan menghambat agregasi trombosit. Enzim ADP akan
mengubah ADP menjadi adenosin monofosfat (AMP)
sehingga menghambat
aktivasi
trombosit.
Trombomodulin bersama trombosit akan mengaktifkan
Protein C menjadi Protein C aktif .Protein C aktif bersama
kofaktor Protein S akan menghambat F.V aktif dan F.VIII
aktif. Heparan bersama AT 111 akan menghambat faktor
Xa dan trombin. t-PA akan mengaktifkan plasminogen
menjadi plasmin dan plasmin akan melisis fibrin. Endotel
juga mensintesis endotelin yang mengatur tonus
pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi
(Gambar 8).
Trombosit normal. Trombosit tidak akan menempel pada
sel endotel yang normal;
Anti pembekuan yank cukup. Antikoagulan yang cukup
akan menghambat proses koagulasi sehingga tidak terjadi
pembentukan fibrin.
Klirens faktor pembekuan aktif yang adekuat. Klirens
faktor koagulasi aktif akan mengurangi terjadinya
pembentukan fibrin
Fibrinolisis yang adekuat. Fibrinolisis yang adekuat akan
menghancurkan fibrin yang sudah ada sehinggatidak terjadi
pembentukan trombus.
Aliran darah yang baik. Aliran darahyang baik akan mudah
bercampurnya antikoagulasi dan faktor koagulasi aktif
sehingga proses koagulasi akan terhambat.

GPllb/llla aktif
beragregas~GP liblllla
ditempati fibrinogen
yang rnenjembatani
trombosit yang berdekatan

Gambar 7. Agregasi trombosit

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Menghancurkan Va

( Trornbin
Epmefrin

llT'Ty

Protein S\

1(

1I

Trornbornolud~n

Heparan

Aktivator
plasrninogen (tPA)
(@A)

Gambar 8. Endotel dan proteksi trombosis

Faktor lain yang berperanan terhadap trombosis arteri


yaitu: aterotrombosis.
Faktor risiko aterotrombosis dapat digolongkan sebagai:
Umum yaitu umur dan obesitas
Genetik,jenis kelamin, dan PA1
Gaya hidup, rokok, diet d m kurang olahraga
Inflarnasi,CRP dan ligan CD 40, IL-6 meningkat, faktor
protrombotik dan fibrinogen meningkat
Kondisi sistemik, hipertensi, hiperlipidemia, Lpa
meningkat, homosisteinemia, estrogen, diabetes,
trombofilia, sidrom hiperviskositas, sindrom
leukositosis dan polisitemia
Faktor lokal, pola aliran darah, shear stress, diameter
pembuluh darah, struktur dinding arteri dan persentase.
stenosis arteri.
Gejala trombosis termasuk trombosis tergantung dari
lokasi dan besarnya trombus.Trombosis pada arteri serebral
akan mengakibatkan Transient ischemic attack (TIA) atau
strok iskemik.Trombosis pada arteri koroner mengakibatkan
angina pektoris atau infark miokard. Trombosis pada arteri
perifer akan menyebabkan klaudikasio intermiten atau
nekrosislgangren.
Trom bosis Vena
Trombus vena biasanya dimulai di vena betis yang
kemudian meluas sampai vena proksimal.Trombus
biasanya dibentuk pada daerah aliran darah yang lambat
atau yang terganggu.Sering dimulai sebagai deposit kecil
pada sinus vena besar di betis pada puncak kantong vena
baik di vena dalam betis maupun di paha atau pada vena
yang langsung terkena trauma. Pembentukan, perluasan
d m pelarutan trombus vena dan emboli paru mencerminkan
suatu keseimbangan antara yang menstimulasi trombosis
dan yang mencegah trombosis. Virchow lebih dari satu
abad yang lalu telah mengemukakan faktor yang berperan
pada trombosis vena yang terkenal dengan Triad Erchow
yaitu, koagulasi darah, stagnasi dan kerusakan pembuluh
darah.

Aktivasi koagulasi melalui jalur instrinsik dapat terjadi


karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium
pembuluh darah yang rusak.
Aktivasi melalui jalur intrinsik jaringan yang rusak
masuk aliran darah mengaktifkan F.VII. Baik jalur intrinsik
maupun jalur ekstrinsik akhirnya akan membentuk fibrin.
Pada penyakit kanker F.X dapat langsung diaktifkan oleh
sistein yang dikeluarkan sel kanker.
Beberapa kelainan herediter dan kondisi tertentu
disertai dengan meningkatnya faktbr koagulasi dan
menjadi predisposisi trombosis. Kehamilan disertai dengan
meningkatnya F.11, F.VII dan F.X. Golongan darah bukan
0 pada sebagian populasi disertai dengan meningkatnya
F.VII1. Mutasi gen protrombin menyebabkan meningkatnya
kadar protrombin. Mutasi gen protrombin ini terjadi 1-4%
pada populasi kaukasian normal dan ditemukan 4- 18%
pasien dengan Tromboemboli Vena. Tetapi ha1 serupa
jarang ditemukan pada populasi Asia dan Afrika.
Stasis merupakan predisposisi trombosis karena:
mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah
yang tidak aktif,
mencegah klirens faktor kpagulasi aktif
mencegah bercampumya faktor koagulasi aktif dengan
penghambatnya
Stasis dapat diakibatkan oleh imobilitas, obstruksi vena
dilatasi vena d m meningkatnya viskositas darah. Imobilitas
dapat diakibatkan strok, atau berbaring lama. Obstruksi
dapat karena kompresi dari luar atau sekunder karena
trombosis vena sebelumnya. Viskositas darah meningkat
karena polisitemia, disproteinemia dan fibrinogen yang
meningkat. Vasodilatasi vena terjadi pada pasien vena
varikosa, orang tua terutama kalau berbaring lama,
kehamilan dan estrogen.
Pembuluh Darah Rusak
Trauma pada pasien merupakan faktor risiko tromboemboli
vena. Trauma pada pembuluh darah menyebabkan
kerusakan endotel sebagai respon terhadap trauma dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PATOGENESISTROMBOSIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

inflamasi akan diproduksi sitokin. Sitokin akan


menstimulasi sintesis PAI-1 dan menyebabkan sistem
fibrinolisis. berkurang. Aktivasi koagulasi dapat terjadi
melalui jalur instrinsik yaitu terjadi kontak EX11 dengan
kolagen pada subendotelium, atau melalui jalur ekstrinsik
yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat kerusakan
sel. Aktivasi koagulasi baik melalui jalur instrinsik maupun
melalui ekstrinsikkeduanya akan mengaktifkan EX menjadi
F.X aktif dan selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya
fibrin. Kerusakan endotel vena juga menyebabkan
trombosit menempel pada subendotelial dan trombosit
beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen akan
mengaktifkan F.XII, sedang trombosit mengaktifkan EX11
dan F.XI.

FAKTOR RlSlKO TROMBOSIS

Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor risiko


trombosis:
operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan
nifas, penyakit jantung, penyakit saraf, kanker dan
kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas, jenis
kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena,
imobilisasi yang lama, golongan darah, terapi hormon, lainlain.
Operasi
Operasi disertai dengan faktor risiko yang multipel untuk
tromboemboli vena (VTE), prevalens meningkat dengan
meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis untuk risiko
VTE menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang
mengalami operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata
trombosis vena dalam (DVT) terjadi pada 50% pasien.
Kehamilan
Keharnilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya
risiko trombosis karena meningkatnya faktor-faktor
koagulasi, F 11, F VII dan F X. karena menurunnya kadar
Protein S dan terhambatnya sistim fibrinolisis.

mengalami trombosis vena dalam. Pada 2 studi strok


internasional, dari 4859 pasien ditemukan 0,9% dengan
gejala emboli paru dalam 14 hari dari mulai terjadinya strok
iskemik dan hampir separuhnya fatal. Pada studi strok akut
di Cina dari 10320 pasien, 0,2% di diagnosis dengan gejala
emboli paru dalam waktu empat minggu sesudah kejadian
strok iskemik dan separuhnya fatal.

KeganasanlKan ker
Dilaporkan bahwa keganasan merupakan faktor risiko
untuk tromboemboli vena (VTE) yang menjalani operasi.
Tetapi ternyata pada pasien yang tidak menjalani operasi
ditemukan VTE dan ada hubungannya dengan keganasan
tadi. Pasien dengan keganasan mempunyai risiko 3kali
terjadinya VTE. Hal ini karena sel kanker dapat
mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi.
Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh
darah vena. Bahkan pasien kanker yang mendapat
kemoterapi akan meningkatkan terjadinya VTE.
Umur
Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari
tromboemboli vena (VTE). Berdasarkan hasil autopsi di
satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru rendah
lebih pada pasien lebih mudah dari 40 tahun, tetapi
kemudian insidens meningkat secara tajam dengan
kenaikan umur.
Survei lain autopsi dilakukan pada orang yang mati
karena terbakar dan luka, ditemukan pada trombosis vena
pada 47% pasien yang lebih muda dari 45 tahun, 62% pada
pasien umur 46-75 tahun dan 74 % pada umur di atas lebih
75 tahun. Penelitian pada pasien pascaoperasi di rumah
sakit dilakukan scanning kaki untuk mendiagnosis DVT
tanpa gejala menunjukkan meningkatnya umur menjadi
faktor risiko yang utama. Umur juga menunjukkan
meningkatnya DVT yang tanpa gejala yang diagnosis
ditegakkan dengan venografi pada pasien sesudah
mengalami hip replacement.
Apabila dilakukan analisis multivariat sesudah
disesuaikan dengan faktor risiko yang menyertai seperti
obesitas, ada atau tidak ada keganasan, lama anestesi, jenis
operasi, dan sebelumnya ada trombosis menunjukkan
tetap ada asosiasi dengan umur.

Penyakit Jantung
Infark miokard dilaporkan meningkatkan kejadian DVT 2040% selama 10- 14 hari sesudah infark miokard.
Penyakit gagal jantung kongestif pada otopsi
ditemukan insiden emboli paru meningkat. Pada 150 pasien
dengan gagal jantung kongestif 10 dari 20 pasien yang
meninggal dan diotopsi 5 diantaranya ditemukan emboli
paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor
risiko independen untuk VTE.

Obesitas
Obesitas dilaporkanjuga merupakan faktor risiko terjadinya
trombosis. Obesitas dengan indeks masa tubuh >20,9 kg/
mm2ditemukan menjadi faktor risiko independen (RR 3,O
untuk pulmonari yang bergejala dalam suatu kesehatan
perawatan)

Penyakit Neurologi
Dari 8 studi strok secara keseluruhan ditemukan 53 % pasien

Jenis Kelamin
Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUKREFERENSI


dr. PRIYO PANJI

dapat menjadi faktor risiko independen yang lemah. Di


Amerika insidens tromboemboli vena bergejala umumnya
diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan. Di Swedia, insidens trombosis vena dalam pada
laki-laki dan perempuan hampir sama. Namun demikian di
inggris, kematian akibat emboli paru 50% lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan insiden
VTE yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi lakilaki daripada perempuan di Amerika Utara.

Riwayat VTE
Riwayat pernah tromboeboli vena (VTE) menunjukkan
hubungan yang sangat kuat dengan meningkatnya
trombosis vena dalam (DVT) pascaoperasi. Dari 3 studi
dan analisis multvariat ditemukan riwayat positif DVT
merupakan faktor risiko independen.
lmobilisasi
Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan
faktor penting dalam pembentukan trombus vena .Gibbs
melaporkan dari hasil autopsi 253 pasien ditemukan adanya
hubungan antara lamanya berbaring dan kejadian
trombosis vena . Kejadian trombosis vena pada pasien
yang berbaring kurang dari satu minggu, ditemukan hanya
15%, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari
satu minggu kejadian lebih dari 80%. Sindrom klas ekonomi
pada mereka yang naik pesawat terbang lebih dari 6 jam
juga disebut sebagai faktor risiko trombosis vena.
Gol Darah
Ditemukan hubungan negatif antara golongan darah 0
dan VTE. Golongan darah 0 menunjukkan kejadian DVT
kurang dibandingkan dengan populasi normal, Swedia 3 1%
vs 39%, Belgia 29% vs 46%. Golongan darah bukan 0
disertai dengan meningkatnya kadar F.VIII dan faktor von
Willebrand, mungkin sebagai faktor penyebab
meningkatnya kejadian VTE.
HormonlKontrasepsi oral
Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial
menyebabkan trombosis karena menurunkan kadar
protein S meningkatkan faktor VII, dan meningkatkan
protein C resisten. Meningkatnya faktor risiko VTE dengan
kontrasepsi oral ini berhubungan dengan pasien yang
mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V
Leiden.

Brandjes DPM, ten Cate JW, et al. Pre-surgical identification of the


patient at risk for developing venous thromboembolism postoperatively. Acta Chir Scand. 1990;556(Suppl): 18-21.
Clarke-Pearson DL, DeLong ER et al. Variables associated with
postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of
41 1 gynecology patients and creation of a prognostic model.
Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50.
Clarke-Pearson DL, DeLong ER, et al. Variables associated with
postoperative deep venous thrombosis: a prospective study of
41 1 gynecolog patients and creation of prognostic model.
Obstet Gynecol. 1987;69: 146-50.
Colman RW. Clowes AW, George JN. Overview of hemostasis in
hemostasis thrombosis. Lippincott Williams Wilkins. 2001. p.
3-16.
Eriksson Bl, Ekman S, et al. Prevention of deep vein thrombosis
after total hip replacement direct thrombin inhibition with recombinant hirudin, CGP 39393. Lancet. 1996;347;635-9.
Eriksson BI, Wille-Jorgensen P, et al. A comparison of recombinant
hirudin with a low molecular weight heparin to prevent thromboembolic complications after total hip replacement. N Engl J
Med. 1997;337:1329-35.
Flordal PA, Bergqvist D, et al. Clinical relevance of the fibrinogen
uptake test in patients having general abdominal surgery: relation to major thromboembolism and mortality. Thromb Res.
1995;80:491-7.
Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, et al. Overview of thrombosis and
treatment in hemostasis thrombosis. Lippincott Williams
Wilkins; 2001. p. 1071-84.
Kakkar VV, Howe CT, et al. Deep Vein Thrombosis of the leg: Is
there a "high risk" group ? Am J Surg. 1970;120:527-30.
Kearon C, Salzman EW, Hirsh J. Epidemilogy, pathogenesis and
natural history of venous thrombosis Hemostasis Thrombosis.
Lippincott Williams Wilkins; 2001. p. 1153-1177.
Lefkovits, et al. NEJM. 1995;332:1553.
Morrel MT, Dunnil MS. The postmortem incidence of pulmonary
embolism in a hospital population. Br J Surg. 1968;55:347.
Sevitt S, Gallagher N. Venous thrombosis and pulmonary embolism;
a clinico-pathological study in injured and burned patients. Br J
Surg. 1961;48:475-89.
Veth (3, Meuwissen OJ et al. Prevention of postoperative deep vein
thrombosis by a combination of subcutaneous heparin with subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb
Haemost. 1985;54:570-3.
Veth G, Meuwissen OJ, et al. Prevention of postoperative deep vein
thrombosis by a combination of subcutaneous dihydroergotamine or oral sulphinpyrazone. Thromb Haemost. 1985;54:5703.
Wille-Jorgensen P, Ott P. Predicting failure of low-dose prophylactic
heparin in general surgical procedures. Surg Gynecol Obstet.
1990:171:126-30.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HEMOFILIA A DAN B
Linda W.A. Rotty

PENDAHULUAN
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan
faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter)secara
sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun
hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 2030% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dkngan
gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi
mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun
eksogen.
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang
diturunkan secara sex-linked recessive yaitu :
Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau
disfimgsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc).
Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau
dishngsi F IX (faktor Christmas).
Sedangkanhemofilia C merupakan penyakit perdarahan
akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara
autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.
Gen F VIII dan F IX terletak pada kromosom X serta
bersifat resesif, maka penyakit ini dibawa oleh perempuan
(karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki
(pasienXhY);dapat bermanifestasi klinis pada perempuan
bila kedua kromosom X pada perempuan terdapat kelainan
(XhXh),
Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah
yaitu sekitar abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada
awal abad ke-19 sejarah modern hemofilia baru dimulai
dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan Inggris
mengenai penyakit ini oleh Otto (tahun 1803). Sejak itu
hemofilia dikenal sebagai kelainan pembekuan darah yang
diturunkan secara X-linked recessive, sekitar setengah
abad sebelum hukum Mendel diperkenalkan. Selanjutnya
Legg pada tahun 1872 berhasil membedakan hemofilia dari
penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan
gejala klinis; yaitu berupa kelainan yang diturunkan

dengan kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang


berlangsung seumur hidup. Pada permulaan abad 20,
hemofilia masih didiagnosis berdasarkan riwayat keluarga
dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950
para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII
dan F IX pada hemofilia A dan hemofilia B. Pada tahun
1970 berhasil diisolasi F VIII dari protein pembawanya di
plasma, yaitu faktor von Willebrand (F vW), sehingga
sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat
hemofilia A dengan penyakit von Willebrand.
Memasuki abad 2 1, pendekatan diagnostik dengan
teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi yang
diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan
aktivitas seperti orang sehat lainnya tanpa hambatan.

Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka


kejadian hemofiliaA sekitar 1: 10.000 orang dan hemofilia
B sekitar 1: 25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai
angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar
20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini.
Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan
hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 1015% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial
ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan
mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat
keluarga.

Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau


aktivitas faktor pembekuan (F VIII atau F IX) dalam plasma.
Kadar faktor pembekuan normal sekitar 0,5- 1,5 Uldl(50-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

150%); sedangkan pada hemofilia berat bila kadar faktor


pembekuan <I%, sedang 1-5%, serta ringan 5-30%. (Tabel
1) Pada hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan
atau akibat trauma ringan (trauma yang tidak berarti). Pada
hemofilia sedang, perdarahan terjadi akibat trauma yang
cukup kuat; sedangkan hemofilia ringan jarang sekali
terdeteksi kecuali pasien menjalani trauma cukup berat
seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris dan jatuh
terbentur (sendi lutut, siku dll).

Berat
Aktivitas F VllllF
IX- Ulml (%)
Frekuensi
Hemofilia A (%)
Frekuensi
Hemofilia B (%)
Usia awitan
Gejala neonatus

< 0,01 ( 4 )

Sedang

Ringan
> 0,05 (>5)

70

0,Ol-0,05
(1-5)
15

50

30

20

-< 1 tahun

1-2 tahun
sering
PCB
jarang ICB

> 2 tahun
tak pernah
PCB
jarang
sekali ICB
trauma
cukup kuat
jarang

sering PCB

Perdarahan ototl
sendi
Perdarahan SSP

kejadian
ICH
tanpa
trauma
risiko tinggi

Perdarahan post
operasi

sering dan
fatal

trauma
ringan
risiko
sedang
butuh
bebat

Perdarahan oral
(trauma, cabut
gigi)

sering
terjadi

dapat
terjadi

15

pada
operasi
besar
kadang
terjadi

Keterangan: PCB = Post circumcisional bleeding;


ICH = Intracranial hemorrhage

GEJALA DAN TANDA KLlNlS


Perdarahan mempakan gejala dan tanda klinis khas yang
sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat
timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai
sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar
merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada
beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Tanda
perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis,
hematom subkutanlintramuskular, perdarahan mukosa
mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan
hematuria. Sering pula dijumpai perdarahan yang
berkelanjutan pascaoperasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi
gigi).
Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan
lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku,
pergelangan kaki, bahu, pengelangan tangan dan lainnya.
Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis
dibandingkan dengan sendi peluru, karena

ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan


menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter,
sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban
tersebut karena fungsinya.
Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor
besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio
iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah.
Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang
nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan
kontraktur otot.
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama
kematian, dapat terjadi spontan atau sesudah trauma.
Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang
membahayakan jalan napas dapat mengancam kehidupan.
Hematuria masif sering ditemukan dan dapat
menyebabkan kolik ginjal tetapi tidak mengancam
kehidupan.
Perdarahan pascaoperasi sering berlanjut selama
beberapa jam sampai beberapa hari, yang berhubungan
dengan penyembuhan luka yang buruk.

DIAGNOSIS
Sampai saat ini riwayat keluarga masih mempakan cara
terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus
hemofilia, meskipun terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi
akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi F
VIII / F IX. Seorang anak laki-laki diduga menderita
hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang
(hemartrosis, hematom) atau riwayat perdarahan
memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan
atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji
hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT)
dan masa tromboplastin partial teraktivasi (aPTT),
abnormalitas uji thromboplastin generation, dengan masa
perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normal.
Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya
aktivitas F VIIIIF IX, dan jika sarana pemeriksaan
sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda
gen F VIIIE IX. Aktivitas F VIII 1F IX dinyatakan dalam U/
ml dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam 1 ml
plasma normal adalah 100%.Nilai normal aktivitas F VIIIE
IX adalah 0,5-1,5 U/ml atau 50-150%. Harus diingat adalah
membedakan hemofilia A dengan penyakit von Willebrand,
dengan melihat rasio F VIIIc: F VIIIag dan aktivitas F vW
(uji ristosetin) rendah. (Tabel 2)
Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada
ibu hamil dengan risiko. Pemeriksaan aktivitas F VIII dan
kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester kedua

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMOFILIA A DAN B

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pewarisan

Hemofilia A

Hemofilia
B

Penyakit von
Willebrand

X-linked
recessive
Sendi, otot,
pascatrauml
operasi

Autosomal
dominant
Mukosa, kulit
post
trauma operasi

Jumlah
trombosit

Normal

X-linked
recessive
Sendi, otot,
post
trauma1
operasi
Normal

Waktu
perdarahan

Normal

Normal

Memanjang

PPT
aPTT

Normal
Memanjang

Normal
Memanjang

F VIII C
F VIII AG
F IX
Tes
ristosetin

Rendah
Normal
Normal
Normal

Normal
Normal
Rendah
Normal

Normal
Memanjangl
normal
Rendah
Rendah
Normal
Terganggu

Lokasi
perdarahan
utama

Normal

Keterangan: PPT: plasma protrombin time, aPTT: activated


parfial tromboplastin time

dapat membantu menentukan status janin terhadap


kerentanan hemofilia A. Identifikasi gen F VIII dan petanda
gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan.
Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat
hemofilia (karier)jika dia memiliki lebih dari satu anak lelaki
pasien hemofilia atau mempunyai seorang atau lebih
saudara laki-laki dan seorang anak lelaki pasien hemofiia
atau ayahnya pasien hemofilia (Gambar 1). Deteksi pada
hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung
rasio aktivitas F VIIIc dengan antigen FVIIIvW. Jika nilai
kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam menentukan
hemofilia karier sekitar 90%; namun hati-hati pada keadaan
hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya
penyakit hati karena dapat meningkatkan aktivitas F VIIIc.
Aktivitas F VIII rata-rata pada karier 50%, tetapi kadangkadang <30% dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma
atau pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan
DNA probe, yaitu dengan cara mencari lokus polimorfik
pada kromosom X akan memberikan informasi yang lebih
tepat.

DIAGNOSIS BANDING
HemofiliaA dan B dengan defisiensi faktor XI dan XII.
Hemofilia A dengan penyakit von Willebrand
(khususnya varian Normandy), inhibitor F VIII yang
didapat dan kombinasi defisiensi F VIII dan V
kongenital.
Hemofilia B dengan penyakit hati, pemakaian warfarin,
defisiensi vitamin K, sangat jarang inhibitor F IX yang
didapat.

Gambar 1. Pohon keluarga hemofilia


keterangan: XX

Perempuan sehat

XhX = Perempuan karier

XY =Laki-laki sehat
XhY=Perempuan karier

PENATALAKSANAAN
Terapi Suportif
Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan
kadar faktor anti hemofilia yang kurang. Namun ada
beberapa ha1 yang hams diperhatikan:
Melakukan pencegahan baik menghindari lukal
benturan.
Merencanakan suatu tindakan operasi serta
mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan
sekitar 30-50%.
Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka
dilakukan tindakan pertarna seperti rest, ice, compressio,
elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat
membantu untuk menghilangkan proses inflamasi pada
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut
hemartrosis. Pemberian prednison 0 3 - 1 mgkg BBIhari
selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa
berupa kaku sendi (artrosis) yang mengganggu aktivitas
harian serta menurunkan kualitas hidup pasien
hemofilia.
Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan pada
pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, dan sebaiknya
dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi
trombosit (harus dihindari pemakaian aspirin dan
antikoagulan).
Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini
mungkin secara komprehensif dan holistik dalam
sebuah tim, karena ketelambatan pengelolaan akan
menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik
fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi.
Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi : latihan
pasiflaktif, terapi dingin dan panas (hati-hati),
penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi
rekreasi serta edukasi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Terapi Pengganti Faktor ~ e m b e k u a n
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu
untuk menghindari kecacatan fisik (terutama sendi) sehingga
pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun
untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti
hemofilia (AHF) yang cukup banyak dengan biaya yang
tinggi.
Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus
hemofilia dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX,
baik rekombinan, konsentrat maupun komponen darah yang
mengandung cukup banyak faktor-faktor pembekuan
tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari
sampai luka atau pembengkakan membaik; serta khususnya
selama fisioterapi.
Konsentrat F VllllF IX
Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang
dengan episode perdarahan yang serius membutuhkan
koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang
harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah
dilemahkan virusnya.
Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk yaitu prothrombin
complex concentrates (PCC) yang berisi F 11, VII, IX dan
X, dan purijied F IX concentrates yang berisi sejumlah F
IX tanpa faktor yang lain. PCC dapat menyebabkan
trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar
yang disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor
pembekuan lain. Risiko ini dapat meningkat pada
pemberian F IX berulang, sehingga purljied konsentrat F
IX lebih diinginkan.
Waktu paruh F VIII adalah 8- 12jam sedangkan F IX 24
jam dan volum distribusi dari F IX kira-kira 2 kali dari F

m.
Kebutuhan F VIII 1 F IX dihitung berdasarkan rumus:
1. Volume plasma (VP) = 40 ml/kgBB x BB (kg)
F VIII / F IX yang diinginkan (U) =
VP x (kadar yang diinginkan (%) - kadar sekarang (%)
100
2. F VIII yang diinginkan (U) =
BB(kg) x kadar yang diinginkan (%) I 2

F IX yang dinginkan (U) =


BB (kg) x kadar yang diinginkan (%)
Metode penghitungan alternatif lain adalah satu unit
F VIII mampu meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma
0,02 U/ml(2%) selama 12jam; sedangkan 1 unit F IX dapat
meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma sampai 0,O 1
Ulm (1%) selama 24 jam.

Penuntun penggunaan pengganti faktor pembekuan


pada perdarahan hemofilia tergantung kasus per kasus.
(Tabel 3)

Kriopresipitat AHF
Kriopresipitat AHF adalah salah satu komponen darah non
selular yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang
mengandung F VIII, fibrinogen, faktor von Willebrand.
Dapat diberikan apabila konsentrat F VIII tidak ditemukan.
Satu kantong kriopresipitat berisi 80-100 U F VIII. Satu
kantong kriopresipitat yang mengandung 100 U F VIII
dapat meningkatkan F VIII 35%. Efek samping dapat terjadi
reaksi alergi dan demam.
I-deamino 8-D Arginin Vasopresin (DDAVP)
atau Desmopresin
Hormon sintetik anti diuretik (DDAVP) merangsang
peningkatan kadar aktivitas F VIII di dalam plasma sampai
4 kali, namun bersifat sementara. Sampai saat ini mekanisme
kerja DDAVP belum diketahui seluruhnya, tetapi dianjurkan
untuk diberikan pada hemofilia A ringan dan sedang dan
juga pada karier perempuan yang simtomatik. Pemberian
dapat secara intravena dengan dosis 0,3mg/kg BB dalam
30-50 NaCl0,9% selama 15-20 menit dengan lama kerja 8
jam. Efek puncak pada pemberian ini dicapai dalam waktu
30-60 menit. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan konsentrat
DDAVP dalam bentuk semprot intranasal. Dosis yang
dianjurkan untuk pasien dengan BB <50 kg 150 mg (sekali
semprot), dan 300 mg untuk pasien dengan BB >50 kg
(dua kali semprot), dengan efek puncak terjadi setelah 6090 menit.
Pemberian DDAVP untuk pencegahan terhadap
kejadian perdarahan sebaiknya dilakukan setiap 12-24jam.
Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardia,$ushing, trombosis (sangat jarang) dan hiponatremia. Juga bisa
timbul angina pada pasien dengan PJK.
Antifibrinolitik
Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien hemofilia
B untuk menstabilisasikan bekuanlfibrin dengan cara
menghambat proses fibrinolisis. Hal ini ternyata sangat
membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan
perdarahan; terutama pada kasus perdarahan mukosa
mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak
mengandung enzim fibrinolitik. Epsilon aminocaproic acid
(EACA) dapat diberikan secara oral maupun intravena
dengan dosis awal200 mglkg BB, diikuti 100 mglkg BB
setiap 6 jam (maksimun 5 g setiap pemberian). Asam
traneksamat diberikan dengan dosis 25 mglkg BB
(maksimun 1,5 g) secara oral, atau 10 mgkg BB (maksimum
1 g) secara intravena setiap 8 jam. Asam traneksamat juga
dapat dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral,
terutama salin normal.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1311

HEMOFILIA A DAN B

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Lokasi

Kadar Aktivitas
Faktor Pembekuan

Hemofilia
A

Hemofilia
B

Sendi

40 - 80%

20 - 40 UlkgBBlhari

Otot

40 - 80%

20 - 40 UlkgBBlhari

Mukosa rnulut

50% dilanjutkan
antifibrinolitik
80 - 100%

25 UlkgBB

30 - 40 UIkgBB selang
sehari
30 - 40 UIkgBB selang
sehari
50 UlkgBB

40 - 50 UlkgBB

80 - 100 UlkgBB kernudian

Kemudian 30 - 40
UlkgBBlhari
40 - 50 UlkgBB
kernudian 30 - 40
UlkgBBlhari
40 - 50 UlkgBB
kernudian 30 - 40
UlkgBBlhari
50 UlkgBB kernudian
25 Ulkg
BB112 jam atau per
infus
50 UlkgBB kernudian
50 UlkgBB112 jam atau
per infuse

70 - 80 UlkgBB selang
sehari
80 - 100 UAgBB kernudian
70 - 80 UlkgBB selang
sehari
80 100 UIkgBB kemudian
70 - 80 UlkgBB selang
sehari
100 UlkgBB kemudian
50 UlkgBBlhari atau per infus

Epistaksis

dipertahankan 30%
Gastrointestinal

loo%, kemudian
dipertahankan 30%

Genitourinaria

loo%, kernudian
dipertahankan 30%

SSP

loo%, kernudian
dipertahankan 50 100 %

Traumaloperasi

loo%, kernudian 50%


sarnpai luka rnenutup,
dipertahankan 30%

Terapi Gen
Penelitian terapi gen dengan menggunakan vektor
retrovirus, adenovirus dan adeno-associated virus
memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini
sedang intensif dilakukan penelitian invivo dengan
memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen
antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif lebih sulit
dibandingkan gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih
besar; namun akhir tahun 1998 para ahli berhasil melakukan
pemindahan plasmid-based factor VIII secara ex vivo ke
fibroblas.

PENYULIT PENGOBATAN
Inhibitor Faktor Pembekuan
Penyulit yang berpotensi mengancam kehidupan pasien
hemofilia adalah terbentuknya antibodi poliklonal
terhadap F VIII atau F IX. Antibodi ini akan menghambat
aktivitas faktor pembekuan, sehingga pemberian terapi
pengganti kurang efektif atau bahkan tidak efektif sama
sekali. Mekanisme terbentuknya antibodi ini belum
diketahui secara menyeluruh; kemungkinan sensitisasi
berulang akibat pemberian komponen darah atau
konsentrat faktor pembekuan, namun ternyata inhibitor
ini dapat ditemukan pada anak-anak hemofilia A yang
hanya diberi faktor pembekuan rekombinan atau bahkan
pads mereka yang tidak pernah diterapi. Biasanya
ditemukan secara tidak sengaja (pasien asimtomatik) saat

100 UlkgBB kemudian


50 UlkgBBlhari atau per infus

Modalitas
Terapi Lain
Istirahat/irnobilisasi/fisioter
api
Istirahat/imobilisasi/fisioter
api
Antifibrinolitik
Jangan gunakan PCCs
Tampon1 kauterisasi
pleksus
Kisselbach

Antifibrinolitik
(dapat digunakan)
Prednison 1-2 mglhari
selama 5-7 hari mungkin
berguna
Antikonvulsan; pungsi
lurnbal harus dilindungi F
pernbekuan
Rencana pengelolaan ora
dan pasca operasi sangat
rnenentukan

evaluasi klinis terhadap pemeriksaan laboratorium rutin;


atau yang sering (pasien simtomatik) adalah tidak
diperolehnya respons klinis terhadap pemberian faktor
pembekuan maupun kebutuhan faktor pembekuan yang
meningkat dibanding dengan sebelumnya. Telah
dilaporkan dapat terjadi reaksi anafilaksis yang
berhubungan dengan inhibitor faktor pembekuan pada
hemofilia B.
Angka kejadian terbentuknya inhibitor terhadap faktor
pembekuan pada hemofilia A sedang dan berat sekitar 2033%, sedangkan
pada hemofilia B hanya 1-4%.
Upaya mengatasi penyulit ini adalah dengan pemberian
konsentrat kompleks protrombin aktif meskipun kurang
aman; atau F VIII aktif yang harganya mahal jika terjadi
perdarahan. Hyate C@yang mengandung F VIII porcine
merupakan pilihan lain untuk pasien hemofilia A dengan
inhibitor F VIII. Plasmaferesis dapat juga dilakukan
terutama dalam mengatasi keadaan kritis pada pasien
dengan antibodi faktor pembekuan. Imunomodulator
seperti siklofosfamid dosis rendah, gama globulin dosis
tinggi atau steroid dapat diberikan meskipun hasilnya
belum dapat diramalkan secara klinis; namun mampu
membuat toleransi terhadap respon imun (immune mlerance).
Penularan Penyakit
Penularan penyakit melalui produk darah cukup tinggi
terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
seperti hepatitis, malaria, HIV, HTLV- 1, virus Epstein Barr,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HHV-6, cytomegalo virus, parvovirus B 19, penyakit


Chagas, penyakit Lyme dan penyakit Creutzfeld-Jacob.Hal
tersebut dilatarbelakangi keadaan sosial ekonomi yang
berdampak pada pelayanan, sarana dan fasilitas kesehatan.

Reaksi alergi
Hipertensi pulmoner primer

Komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati


hemofilia; yaitu penimbunan darah intra artikular yang
menetap dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang
sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan
sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak
dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis
kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang
tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami
komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis
sering ditemukan jika tidak dilakukan terapi pencegahan
dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi hemofilia
sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis
itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi
intra abdomenlintra torakal). (Tabel 3) Sedangkan
perdarahan akibat trauma sehari-hari yang tersering berupa
hemartrosis, perdarahan intramuskular dan hematom.
Perdarahan intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi
berakibat fatal.

REFERENSI
Carol K. Management of hemophilia. N Engl J Med 1996; 331:
877-80.
Cawthern KM, Veer C, Lock B et al. Blood coagulation in
hemophilia A and hemophilia C. Blood 1998;91(12):4581-4592.
DiMichele D, Neufeld EJ. Hemophilia a new approach to an old
disease. Hematoi Clin North Am 1998; 6 : 1315-44.

Goodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia A. In : Disorders of


Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2"d Ed. McGrawHill Co, New York 2001, p. 127-139.
Goodnight SH, Hathaway WE. Hemophilia B. In : Disorders of
Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2ndEd. McGrawHill Co, New York 2001, p. 140-145.
Goodnight SH, Hathaway WE. Coagulation factors concentrates. In
: Disorders of Hemostasis and Thrombosis, A Clinical Guide, 2nd
Ed. McGraw-Hill Co, New York 2001, p. 505-15.
Gigna Healthcare Coverage Position. Factor VIII therapy 2004, p.
1-6
Hedner U, Ginsburg D, Lusher JM, High KA. Congenital
hemorrhagic disorder : new insights into the pathophysiology
and treatment of hemophilia. Hematol 2000; 67: 241-9.
Hilman R, Ault KA. Hemophilia and other intrinsics pathway
defects. In Hematology in Clinical Practice A Guide to
Diagnosis and Management. McGraw Hill, NewYork, 1995, pp
447-88.
Handin RI. Disorders of coagulation and thrombosis. In Braunwald
E, Fauci AS, Kasner DL, et al (Eds). Harrison's Principles of
Internal Medicine. 161h ed. McGraw Hill, New York, 2005, pp
971-7.
2004
Hemophilia. hhtp://www.avigen.com/HEMOPHILIA.HTM.
Hemophilia A. hhtp://www.icondata.com/health/pedbase/fles
HEMOPHIL. HTM. 2004.
Hoyer LW. Hemophilia A. N Engl J Med 1994; 330 : 38-47.
Kalev I, Kenderova V. Reflections on the treatment of hemophilia.
Haemophilia 2002; 8 : 554-7.
Linari S, Frusconi S, Passerini I, et al. Characterization patients
with hemophilia A. Haemophilia 2002; 8 : 558-62.
Miller DG, Stamatoyannopoulos G. Therapy for hemophilia. N Engl
J Med 2001; 344: 1782-4.
0' Mahony B. Hemophilia program in the developing world.
Lancet 2001; 358 ; 2118- 21.
Park F, Ohashi K, Kay MA. Therapeutic levels of human factor
VIlI and IX. Blood 2000; 96 : 1173-6.
Ratnoff 0 . Historical review. British Journal of hematology
2003; 122-92.
William WJ. Congenital deficiencies of coagulation factors including haemophilia. In : Williams Hematology. Companion Handbook, 5Ih Ed. McGraw-Hill International Edition, Toronto 1996,
p. 355-62.
White GC, Rosendaal F, Aledort LM. Definitions in hemophilia.
Recommendation of the scientific subcommittee on factor VlIl
and factor IX of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis. Thromb Haemost 2001; 85 : 560-72.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT VON WILLEBRAND

PENDAHULUAN
Definisi
Penyakit von Willebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan
herediter disebabkan oleh defisiensi faktor von Willebrand

jiwa terjadi pada kurang dari 5 orang per 1juta penduduk


di negara-negara barat.
Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda
dalam beratnya gejala. PVW juga disebut sebagai
pseudohemofilia atau hemofilia vaskular.

0.
FVW membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh
darah dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk
pembekuan darah yang normal.
Faktor von Willebrand

Faktor von Willebrand (FVW) adalah suatu glikoprotein


multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi
utama:
Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stres berat
dengan menghubungkan reseptor membran trombosit
ke subendotel pembuluh darah
Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu
protein koagulasi darah yang penting.

PENYAKIT VON WILLEBRAND (PWV)

Kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi


trombosit maupun pembentukan bekuan tidak terjadi
secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin
karena kelainan reseptor trombosit intrinsik atau kelainad
defisiensi molekul pelekat seperti FVW. PVW ditemukan
melalui studi pedigree sebuah keluarga secara cermat di
kepulauan Uland. Penyakit ini merupakan kelainan
perdarahan herediter yang paling umum. Diturunkan
sebagai satu sifat (trait) dominan autosomal dengan
prevalensi sekitar 11100 sampai 31100.000 orang. Namun,
PVW berat dengan riwayat perdarahan yang mengancam

KLASlFlKASl DAN PATOFlSlOLOGl

PVW disebabkan oleh kelainan kuantitatif danlatau


kualitatif FVW, suatu protein faktor pembekuan yang
diperlukan untuk interaksi antara trombosit-dinding
pembuluh darah dan untuk pembawa faktor VIII. Pada
banyak kasusjuga terdapat defisiensi faktor VIII. Kelainan
yang nyata pada FVW bertanggung jawab terhadap 3 tipe
utama PVW.
Kelainan Kuantitatif FVW
Tipe 1 dan 3 ditandai dengan kelainan kuantitatif FVW.
Identifikasi kelainan gen adalah sulit pada tipe 1 dan 3
PVW. Tipe 1 merupakan kelainan yang ringan, dan menjadi
kasus terbanyak. Pada PVW tipe 1,40% anggota keluarga
kelompok ini membawa alele PVW namun dengan kadar
FVW normal. Tipe 3 adalah bentuk yang terberat. Bentuk
ini jarang terjadi.
Kelainan Kualitatif FVW
Tipe 2, yang terdiri dari subtipe 2A, 2B, 2M dan 2N, meliputi
pasien dengan kelainan kualitatifFVW. Tipe 2 meliputi
kelainan yang ringan sampai sedang, ditandai dengan
gejala-gejala yang sifatnya sedang. Tipe 2A ditandai
dengan penurunan fungsi FVW yang terkait trombosit dan
termasuk subtipe IIA dan IIC. Tipe 2B, ditetapkan dengan
meningkatnya afinitas FVW terhadap GPlb trombosit. Tipe
2N, ditandai oleh kelainan ikatan FVW pada faktor VIII.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

'

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Sangat banyaknya varian PVW mendorong usaha


penyederhanaan klasifikasi kelainan ini (Tabel 1).

Tipe
Revisi

Gambaran

Tipe Dahulu

Defisiensi parsial

2A

Varian F W yang ditandai dengan


kehilangan multimer BM tinggi
dan penurunan fungsinya yang
tergantung trombosit (plateletdependent)
F W dengan kehilangan multimer
BM tinggi disebabkan oleh
peningkatan afinitas terhadap
GPl b trombosit
Varian FVW dengan penurunan
fungsi tergantung trombosit yang
tidak berkaitan dengan kehilangan
multimer BM tinggi
Varian F W dengan penurunan
afinitas terhadap faktor Vlll

28

2M

2N

Defisiensi berat F W

1-1
1-2
IA
IIA
IIG
IIC
IIH
IID
IIE
IIF
llB
I New York
Malmo
IB
Vicenza
IC
ID
Defective Vlll
binding
Normandy
111

*Dari Sadler 1994; Friedman & Rodgers 2004

GAMBARAN KLlNlK
Gejala paling sering terjadi meliputi: perdarahan gusi,
hematuri,epistaksis,perdarahan saluran kemih, darah dalam
feses, mudah memar, menoragi.
Pasien PVW simtomatik, seperti pada gangguan fungsi
trombosit lainnya, biasanya tampil dengan perdarahan
mukokutan, terutama epistaksis, mudah memar, menoragi,
dan perdarahan gusi dan gastrointestinal.
Pasien dengan kadar faktor VIII yang sangat rendah
bahkan dapat menunjukkan hemartrosis dan perdarahan
jaringan dalam tubuh. Seringkali gambaran kelainan itu
tidak nyata sampai tkrdapat faktor pemberat seperti trauma
atau pembedahan. PVW dapat diturunkan sebagai satu
sifat (trait) dominan atau resesif autosomal. Seringkali
terdapat riwayat yang jelas dalam keluarga dengan
perdarahan abnormal dan berat, namun daya tembus
(penetrance) dan ekspresi gen yang mengalami mutasi
sangat bervariasi. Meskipun orangtua dengan autosom
dominan memindahkan gen yang abnormal ke 50% anakanaknya, penyakit dengan gejala yang nyata hanya pada
30-40% keturunannya.
Pasien dengan gen resesif tunggal khas asimtomatik
tetapi dapat menunjukkan kadar aktivitas antigen FVW
abnormal. Keturunan dengan heterozigot ganda, yang
diturunkan dari orangtua yang keduanya membawa gen
cacat defective), menghasilkan penyakit berat (tipe 3
PVW

Meskipun jarang, PVW yang didapat, terlihat pada


pasien dengan keadaan tertentu (states) penyakit
limfoproliferatif atau imunologi akibat autoantibodi
terhadap FVW.

DIAGNOSIS
Diagnosis PVW memerlukan:
kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan
kecakapan pemanfaatan laboratorium.
Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor
penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus
diobati secara empiris dan penelusuran laboratoris yang
rumit ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak
mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu.

Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium sangat beragam. Pola
diagnosis paling sering merupakan kombinasi:
pemanjangan BT
penurunan kadar FVW plasma
penurunan secara paralel kadar aktivitas biologi
diperiksa dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin
penurunan aktivitas faktor VIII
Beragamnya tes laboratoriurn dikaitkan pada sifat-sifat
kelainan yang heterogen pada PVW maupun kenyataan
bahwa kadarnya dalam plasma dipengaruhi oleh tipe
golongan darah ABO, kelainan sistem saraf pusat, sistem
inflamasi, dan kehamilan.
Evaluasi Penapisan
Untuk PVW hams mencakup pemeriksaan BT, hitung
trombosit, PT, dan APTT
PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal.
Bila penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30
menit sedang hitung trombosit normal.
Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan faktor
VIII mengikat FVW berakibat pemanjangan APTT,
sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam
plasma.
Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan
khusus kadar FVW dan hngsinya.
Evaluasi Lengkap PVW

Diperlukanpemeriksaan aktivitasVIII:C, Ag:FVW, aktivitas


(fungsi) FVW (ristocetin cofactor activity), dan analisis
besarnya (size) multimer FVW menggunakan
elektroforesis gel agarosa.
Aktivitas faktor VIII diperiksa dari kemampuan dilusi
plasma pasien untuk mengkoreksi pemanjangan APTT
pada plasma yang kekurangan faktor VIII.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tipe

BT

Ag :
Vlll

Akt
Kofaktor
Ristocetin

Akt
Koagulan
F VIII

Multimer

2a

'P

4 or N

-b or N

Abnormal

2b

'P

&orN

4orN

'P

4 or N
0

Abnormal

Pseudo
P W
Hernofili
A

'!'

&orN

6orN

Abnormal

* Meningkat dengan aspirin

Ag:FVW dihitung dengan assay enzyme-.like


immunosorbent atau immunoassay,
Aktivitas FVW dihitung dengan mencampur berbagai
konsentrasi ristocetin dengan plasma pasien dan
trombosit normal dalam agregometer. Derajat aktivitas
FVW akan setara atau lebih rendah dibandingkan
derajat Ag:FVW.
Bergantung subtipe PVW, analisis multimer FVW
sangat penting untuk diagnosis klasifikasi varian PVW
tipe 2. Klasifikasi PVW penting untuk perencanaan
pengelolaan klinis.
Penyakit tipe 1-PVW tipe 1 adalah varian paling banyak
hingga mencapai 80%. Beratnya gambaran klinis tipe ini
sangat bervariasi, berhubungan dengan penurunan kadar
FVW dalam plasma dan faktor VIII. Pada pasien yang
bergejala, aktivitas Ag:FVW dan FVW menurun di bawah
50% nilai normal. Pasien dengan golongan darah 0 pada
urnumnya menunjukkannilai FVW normal rendah dan tidak
boleh langsung didiagnosis sebagai PVW tipe ringan. Oleh
karena FVW merupakan protein pembawa FVIII dalam
sirkulasi, kadar FVIII akan secara bermakna menurun pada
pasien dengan penyakit tipe 1 yang berat, dan
menyebabkan pemanjangan APTT. Analisis multimer FVW
menunjukkan pola normal.
PVW tipe 2-tipe ini ditandai oleh kelainan kualitatif FVW
plasma. Hal ini dapat berakibat penurunan FVW yang lebih
besar (PVW tipe 2A dan 2B) atau perubahan-perubahan
beragam pada ikatan Ag:FVW dan faktor VIII (tipe 2M dan
2N PVW). Menghilangya multimer lebih besar
menyebabkan penurunan yang tidak proporsional pada
aktivitas FVW (ristocetin cofactor activity) bila
dibandingkan dengan Ag:FVW.
Aktivitas faktor VIII jarang menurun pada PVW tipe
2A, B, dan M tetapi menjadi berat pada PVW tipe 2N.
Pasien PVW tipe 2 tidak mempunyai FVW multimer
dengan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam
plasma Kelompok heterogen ini, ditandai oleh paling tidak
2 defek yang nyata: produksi FVW (yang suseptibel

-N

Dari Lin ker 2002

terhadap proteolisis) dan destruksi yang meningkat


menjelang sekresi selular. Beberapa pasien masih sanggup
mengeluarkan multimer yang lebih besar ke dalarn sirkulasi
bila dirangsang dengan DDAVP, yang lain menunjukkan
sedikit atau tanpa respons. Pasien tipe 2A mempunyai
tendensi perdarahan yang sedang.
PVW tipe 2 menunjukkan FVW abnormal dengan
afinitas meningkat terhadap reseptor GPIbIIX trombosit.
Pemberian (loading;)multimer besar FVW pada trombosit
menyebabkan p e n m a n yang nyata kadar FVW multimer
dehgan BM tinggi atau sedang (intermediate) dalam
plasma, yang menyerupai PVW tipe 2A. Pada saat yang
sama, oleh karena melimpahnya FVW pada permukaan
trombosit, penelitian aktivitas FVW (yaitu ristocetin-induced platelet aggregation, RIPA) akan menunjukkan
tendensi peningkatan agregasi trombosit.
Secara klinis, melimpahnya FVW pada permukaan
trombosit, dapat mendorong agregasi trombosit dalam
sirkulasi, pembuangan agregat, dan trombositopenia.
Kehamilan, inflamasi, atau pemberian DDVAP, melalui
peningkatan pengeluaran FVW, dapat memperburuk
trombositopenia. Bukannya cenderung mengalami
agegrasi trombosit, pasien-pasien ini sebaliknya
mempunyai tendensi berdarah, bukan kelainan/penyakit
trombotik.
PVW Tipe-Trombosit perlu perhatian khusus sebab tampil
dengan banyak sifat serupa PVW tipe 2B. Namun,
peningkatan ikatan multimer FVW pada PVW tipetrombosit disebabkan oleh kerusakan pada reseptor GPI b,
bukan FVW pasien. Hal ini merupakan perbedaan penting
menyangkut tempi. Pasien PVW tipe-trombosit memerlukan
transfusi trombosit sama perlunya dengan pemberian FVW
untuk memperbaiki kelainan perdarahannya.
PVW Tipe 2M - ditandai dengan pola normal multimer FVW
dalam plasma tetapi penurunan yang tidak seimbang pada
aktivitas FVW bila dibandingkan dengan vWF:Ag. Hal ini
menghasilkan produksi molekul FVW abnormal dengan
penurunan afinitas terhadap reseptor GPlbIIX trombosit.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Banyak pasien dengan kelainan tersebut akan memperoleh
respons dari DDAVP, sedangkan yang lain memerlukan
penambahan FVW.
PVW tipe 2N-menunjukkan kerusakan ikatan faktor VIII
terhadap FVW. Pengukuran aktivitas dan antigen FVW
keduanya normal, sepertijuga analisis pola multimer FVW.
Derajat aktivitas faktor VIII menurun, sama seperti pada
pasien dengan hemofilia yang ringan. Penyakit tipe 2N
hams dipikirkan dalam diagnosis banding bila seorang
pasien perempuan datang dengan derajat FVlII atau bila
anggota keluarga pasien yang perempian terjangkit.
Penyakit tipe 3-PVW tipe 3 ditandai dengan tidak
ditemukannya Ag:FVW dalam sirkulasi dan derajat VII1:C
sangat rendah (3-10% normal). Pasien seperti ini
menunjukkan perdarahan berat dengan hemartrosis dan
hematoma muskulus serupa pasien hemofili A atau B. Namun,
tidak seperti hemofilia klasik, BT sangat memanjang.
Penurunan (inheritance) penyakit tipe 3 masih tidak jelas.
Pasien demikian munglun merupakan heterozigot ganda atau
homozigot untuk satu gen abnormal. Pasien biasanya
normal, yang menunjukkan suatu pola resesif autosomal.
PVW yang Didapat
Autoantibodi terhadap inhibitor protein FVW
PVW yang didapat, berbeda dari PVW kongenital, jarang
terjadi, tampil awalnya lambat, dan tanpa riwayat
perdarahan dalam keluarga. PVW yang didapat berkaitan
dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelainan berikut:
autoimun
gamopati monoklonal
limfoproliferatif
keganasan epidemik
hipotiroidisme
tumor Wilm
mieloproliferatif
sebab pemakaian obat, termasuk siprofloksasin.
Autoantibodi tipe IgG, IgM dan IgA telah ditemukan
dan tampaknya ditujukan terhadap berbagai epitope
molekul protein PVW yang menyebabkan beberapa
mekanisme perdarahan berkaitan dengan PVW yang
didapat.
Pasien dengan auto-antibodi terhadap FVW biasanya
menunjukkan perdarahan membran mukosa dan mudah
memar. Gambaran laboratorium dapat menyerupai PVW
dengan pemanjangan BT, penurunan aktivitas FVIII:C,
Ag:FVW dan FVW, meskipun kadarnya dapat berbeda.

TERAPI DAN PERJALANAN KLINIS


Secara umum terapi meliputi pemberian obat, transfusi
darah, dan menghindari keadaan yang dapat menyebabkan
rudapaksa atau perdarahan.

Pengelolaan Segera
Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama
tampak sebagai komplikasi penyakit akut atau
pembedahan. Beberapa faktor pemberat dapat menentukan
beratnya tendensi perdarahan. Pada keadaan demikian,
diagnosis yang tepat dapat ditunda, namun tindakan harus
disesuaikan dengan sebanyak mungkin faktor pendorong
yang potensial.
Daftar ini termasuk:
menghentikan obat yang menghambat hngsi trombosit
secara empiris memberikan FVW, dan
transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya
perdarahan.
Meskipun pendekatan ini kurang tepat, namun efektif.
Kelainan fungsi trombosit, baik yang didapat maupun
kongenital, dapat segera diatasi dengan mengontrol
perdarahan klinis yang berat.
Pengelolaan Jangka Panjang
Kelainan fungsi trombosit hams didasari diagnosis yang
tepat. Pasien dengan kelainan kongenital hams dinasihati
untuk menghindari obat yang memperberat kelainan fungsi
dan menyebabkan perdarahan.
Aspirin dan analgesik nonsteroid adalah offender
primer, pasien-pasien PVW dan trombasteni
menunjukkan pemanjangan bermakna BT dengan
pemberian aspirin dan merupakan risiko lebih besar
terhadap perdarahan klinis.
Pasien demikian juga harus benar-benar diajari tentang
sifat kelainan mereka
Harus membawa serta identifikasi atau memakai gelang
peringatan (warning).
Protokol ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk
terapi transfusi yang memadai pada keadaan darurat.
Sebagai prinsip umum, sifat kelainan fungsi akan
menuntun pilihan pengobatan. Misalnya, pasien PVW
dengan jumlah FVW yang tidak normal akan berespon
terhadap obat yang meningkatkan kadar FVW plasma. Pada
situasi demikian, trombosit perlu normal begitu kelainan
FVW diperbaiki. Sebaliknya, pasien dengan defek
kongenital metabolisme trombosit akan memerlukan
transfusi trombosit yang normal. Seperti untuk kelainan
fungsi trombosit yang didapat, kebenaran terletak
somewhere in between. Terdapat bukti klinis bahwa pasien
dengan defek yang didapat sekunder terhadap pemberian
obat, uremia, dan penyakit hati akan merespons terhadap
DDVAP, pemberian FVW, atau keduanya. Data ini
mendukung bahwa peningkatan kadar FVW dapat
sebagian mengkompensasi kelainan bersumber trombosit.
DDAVP (Desmopresin)
DDAVP adalah analog sintetik hormon antidiuretik,
vasopresin. Pemberian secara intravena, merangsang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT VON WLLEBRAND

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pengeluaran FVW dari sel endotel agar FVW dan faktor
VII1:C cepat meningkat dalam plasma. Hal ini merangsang
fungsi trombosit, dan pada beberapa tipe PVW
memendekkan BT. Akibatnya terhadap kadar faktor VIII
dipakai untuk menangani pasien dengan hemofili A ringan
yang mengalami pembedahan minor. Kelainan fungsi
trombosit akibat pemberian obat, uremia, dan penyakit hati
juga dapat membaik, mungkin akibat pengeluaran dalam
jumlah sangat besar multimer FVW. Pada pasien uremia,
terapi eritropoietin belum dilaporkan menumnkan secara
bermakna tendensi perdarahan, sehingga menyebabkan
DDVAP kurang populer.
Keberhasilan menangani pasien PVW bergantung pada
tipe penyakitnya. Pasien dengan tipe 1 PVW yang lebih
ringan menunjukkan respons yang sangat baik, dengan
pemendekan BT dan peningkatan kadar FVW dan faktor
VII1:C. Banyak pasien dengan dengan PVW tipe 2A atau
tipe 2M juga mempunyai respons baik terhadap DDVAP,
meskipun BT tidak menjadi normal dan efeknya bertahan
relatif singkat.
Pasien dengan PVW tipe 2N biasanya tidak respons,
meskipun uji terapi menunjukkan pasien tertentu dapat
ditangani melalui pembedahan minor atau suatu episode
perdarahan dengan DDAVP saja.
Pasien PVW tipe 3 tidak akan respons terhadap
pemberian obat, sebab pasien ini tidak ada persediaan
FVW di endotel. Baik FVW maupun faktor VIII hams
disiapkan untuk memperbaiki kelainan pada kedua pasien
tipe 2N dan tipe 3.
Pemberian DDAVP dikontraindikasikan pada pasien PVW
tipe 2B dan tipe-trombosit. Pada kedua kelainan, stimulasi
pengeluaran FVW dapat menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit dan memperburuk keadaan
trombositopenia pasien. Pada pasien tipe 2B, kelainan
fungsi trombosit dan trombositopenia berhubungan
dengan produksi multimer FVW yang abnormal. Oleh
karena itu, penanganan yang efektif untuk pasien demikian
dengan penambahan FVW dan transfusi trombosit.
Formulasi DDAVP berbentuk sediaan baik intravena
maupun intranasal. DDAVP diberikan intravena dengan
dosis 0,3 mg/kg; hams diencerkan dalam 30-50 mL salin
dan diberikan dalam 10-20menit untuk meminimalkan efek
samping, terutama takikardia dan hipotensi. Seperti preparat
pendahulunya, DDAVP akan menyebabkan nyeri kepala,
pusing (lightheadedness), nausea, dan muka kemerahan
flacialflushing) pada pasien, terutama bila diberikan secara
cepat. Obat tersebut juga mempunyai efek antidiuretik
ringan yang dapat mengarah intoksikasi bila pasien
mendapat terapi multipel dan cairan parenteral jumlah besax
Nasal spray yang sangat pekat dapat diberikan sendiri pada
perempuan PVW tipe 1 untuk terapi menoragi. Obat
tersebut dapat efektif untuk mengontrol perdarahan yang
berkaitan dengan ekstraksi gigi atau pembedahan minor
pada pasien PVW dan hemofili A ringan. Dosis 300-pg

intranasal DDAVP (stimate nasal spray), diberikan dengan


aplikasi 100 pL dari larutan 1,5 mg/mL ke lubang hidung,
akan meningkatkan kadar FVW, pada umumnya, 2 sampai 3
kali lipat..
Terapi DDAVP paling efektif untuk perdarahan ringan
selama pembedahan minor. Kerugiannya, efeknya
berlangsung singkat. Perbaikan BT dan kadar FVW
terbatas sampai 12-24jam. Di samping itu, respons terhadap
dosis ulangan dapat berbeda akibat timbulnya takifilaksis.
Kebanyakan pasien memberikan respons terhadap 2 atau
3 dosis dalam interval 24-jam, tetapi beberapa kasus
membutuhkan 48-72 jam di antara 2 dosis untuk perbaikan.
Pada situasi demikian, kontrol terhadap tendensi
perdarahan pasien sangatlah penting, misalnya setelah
pembedahan, DDAVP bila diberikan sendiri tidak adekuat,
sehingga dianjurkan pemberian tambahan FVW.

Faktor von Willebrand (FVW)


Penggantian FVW-dapat diperoleh dengan: transfusi
plasma segar atau konsentrat plasma mengandung
kompleks FVW-VIII.
Kriopresipitat adalah konsentrat yang mudah didapat dan
efektif. Seperti terapi dengan DDVAP, kriopresipitat dapat
segera memperpendek BT, yang berkaitan dengan infus
multimer FVW besar. Namun, perbaikan BT dapat
berlangsung relatif singkat. Kadar kriopresipitat dan
multimer Ag:FVW cepat rusak dalam 6-12 jam setelah
diberikan melalui infus. Pada waktu yang sama, kadar faktor
V1II:C meningkat selama 24 jam berikutnya, di luar proporsi
jumlah yang diberikan. Kenaikan kadar faktor VIII
tampaknya untuk memberikan efek protektif. Perbaikan
tendensi perdarahan pasien berlangsung lebih lama
daripada yang diketahui baik dengan BT atau kadar FVW
saja.
Dosis kriopresipitat-sangat empiris. Pasien dengan
penyakit tipe 1 atau tipe 3 yang berat hams ditangani seperti
pasien hemofilia A berat. Pada kedua keadaan tersebut kadar
FVW dan faktor VIII kurang dari 10%. Untuk mengawasi
tendensi perdarahan, faktor VII1:C hams dinaikkan menjadi
50-70% untuk pembedahan mayor dan 30-50% untuk
pembedahan minor atau perdarahan yang kurang berat.
Untuk pasien dengan PVW tipe 1 yang kurang berat,
direkomendasikan kombinasi DDVAP dan sejumlah kecil
kriopresipitat. Berapa banyak FVW hams diberikan dan
berapa lama terapi tergantung pada perjalanan klinis pasien.
Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu
bentuk konsentrat faktor VIIIIFVW dapat diberikan.
Namun, konsentrat tersebut hams mengandung multimer
FVW besar agar efektif. Sediaan yang kaya FVW termasuk
Humate P dan Alphanate. Dosis faktor VIII 50 U k g tiap
12jam biasanya akan cukup. Keuntungan sediaan-sediaan
ini adalah kurang memberikan risiko transmisi virus.
Oleh karena sangat rendahnya kadar Ag:FVW dan
faktor VIII, pasien PVW tipe 3 mempunyai risiko timbulnya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

antibodi tehadap FVW setelah transfusi sediaan plasma


tersebut. Sekali ini terjadi, pasien mempunyai risiko reaksi
anafilaktoid dan infus FVW berikutnya menjadi kurang
efektif.
Antihistamin dan steroid dapat mengaburkan reaksi
anafilaktoid.Imunoglobulin intravena dengan dosis 1 gram1
kg sehari selama 2-3 hari dapat mengurangi kadar antibodi
anti-FVW sementara. Transhsi trombosit dapat dipakai
untuk menangani pasien yang telah menunjukkan adanya
alloantibodi.
Obat lain-yang bermanfaat untuk menangani pasien PVW
termasuk:
Premarine-Efek positif pada h g s i trombosit juga tampak
pada pasien uremi yang diberi Premarine.
Epsilon aminocaproic acid (EACA), inhibitor fibrinolitik.
EACA telah digunakan pada hemofilia dan pasien PVW
untuk mencegah perdarahan pada pembedahan minor,
terutama ekstraksi gigi. EACA diberikan pada pasien
dewasa dengan dosis 3-4 gram tiap 4-6 jam iv atau po
dimulai saat sebelum prosedur dan dilanjutkan sampai 5-7
hari
Estrogen tampaknya meningkatkan produksi FVW oleh sel
endotel. Selama kehamilan normal, pasien PVW dapat
menormalkan kembali kadar Ag:FVW dan fakfor VIII:C,
meskipun BT-nya biasanya tetap memanjang
IgG Intravena mungkin membantu mempertahankan efek
terapi terhadap tendensi perdarahan pada pasien dengan
MGUS dan PVW yang didapat (acquired)

REFERENSI

Andrews MM, Mooney KH. Von Willebrand's disease. In: Mc Cance


KL, Huethe SE, editors. Pathophysyology. International
edition. 2nd edition. St. Louis Missouri: Mosby Year Book;
1994. p. 926.
Cohen AJ, Kessler CM. Acquired inhibitors. Auto-antibody against
inhibitors of von Willebrand factor protein. In: Bailliere's
clinical hematology, hemophilia, Lee CA (Guest ed), editors.
Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;69(2):348.
Friedman KD, Rodgers GM. Von Willebrand's disease. Wintrobe's
clinical hematology. 11th edition. In: Greer JP, Foerster J, et al,
editors. London: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 1628.
Gastineau DA. Disorder of platelet adhesion molecule. In: Mazza JJ,
editor. Manual of clinical hematology. 2002. p. 362
Handin RI. von Willebrand's disease. Harrison's principles of
internal medicine. 16Ih edition. In: Kasper DL, et al, editors.
Toronto: McGraw-Hill; 2005. p. 676.
Hillman RS, Ault KA. von Willebrand's disease. Hematology in
clinical practice. 3rd edition. Toronto: McGraw-hill; 2002. p.
342.
Linker CA. von Willebrand's disease. Current medical diagnosis and
treatment. 41st edition. In: Tierney LM Jr, McPhee SJ, Papadakis
MA, editors. London: Lange Med BooksIMcGraw-Hill; 2002.
p. 557.
Mazurier C, Meyer D. Molecular basis of von Willebrand's disease.
Bailliere's clinical hematology. In: Haemophilia, Lee CA (Guest
ed), editors. Tokyo: Bailliere Tindall. 1996;9(2):229.
Sadler JE. A revised classiication of von Willebrand disease. Thromb
Hemost. 1994;71:520.
Sadler JE, et al. Molecular mechanism and classiication of von
Willebrand disease. Thromb Hemost. 1995;74: 161.
Von Willebrand's disease. Available online on http://
www.mamashealth. com/default.asp: 313112005.
Von Willebrand's Disease. Available online on http://
www.marvistavet. com/html/body~von~wiIlebrand~s~disease.
html: 313 112005.
Von Willebrand's disease. Available online on http://www.nlm.
nih.gov/medlineplus/ency/article/000544.htm:3/31/2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA


Lugyanti Sukrisman

PENDAHULUAN
Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu
keadaan di mana sistem koagulasi danlatau fibrinolitik
teraktivasi secara sistematik, menyebabkan koagulasi
intravaskular luas dan melebihi mekanisme antikoagulan
alamiah.KID merupakan kejadian antara yang disebabkan
oleh kelainan yang jelas dengan patofisiologi dan
manifestasi klinis yang bervariasi.
Istilah dekompensata atau KID akutlfulminan
menggambarkan keadaan di mana kecepatan konsumsi
faktor koagulan atau trombosit melebihi kemampuan tubuh
untuk mensintesis faktor tersebut.

MEKANISME HEMOSTASIS NORMAL


Sistem pembuluh darah membentuk suatu sirkuit yang utuh
yang mernpertahankan darah &lam keadaan cair. Jika terdapat
kerusakan pada pembuluh darah, trombosit dan sistem
koagulasi akan menutup kebocoran atau kerusakan tersebut
sampai sel pada dinding pembuluh darah memperbaiki
kebocoran tersebut secara permanen. Proses ini meliputi
beberapa tahaplfaktor, yaitu:
1. Interaksi pembuluh darah dengan struktur
penunjangnya.
2. Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah
yang mengalami kerusakan.
3. Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi.
4. Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor1
penghambat faktor pembekuan dan sistem fibrinolisis.
5. Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka
setelah perdarahan berhenti.
Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel
endotel pada dinding pembuluh darah mempunyai

mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara


vasokonstriksi atau vasodilatasi, sedangkan membran basal
subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari
endotel seperti kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand
dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya trombosit
dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1). adhesi (adhesion), yaitu melekat
pada dinding pembuluh darah; 2). agregasi atau saling
melekat di antara trombosit tersebut, yang kemudian menjadi
dilanjutkan dengan proses koagulasi.
Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor
pembekuan dan kofaktor, yang berinteraksi pada permukaan
fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak
untuk membentuk bekuan darah yang stabil. Sistem ini dibagi
menjadi jalur ekstrinsik yang melibatkan faktor jaringan
(tissuefactor) dan faktor VII, dan jalur intrinsik (surfacecontact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan,
yang diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi
(sel pembuluh darah atau monosit) berkontak dengan faktor
VII aktif (a) yang bersirkulasi, membentuk kompleks yang
selanjutnya akan mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan
seterusnya hingga membentuk trombuslfibrin yang stabil
(fibrin ikat silanglcross-linkedfibrin).Proses ini tergambar
pada Gambar 1.
Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan
untuk mengatur dan membatasi pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang
rusak tersebut. Sistem ini terdiri dari antitrombin (AT)-111,
protein C dan protein S, serta heparin kofaktor 11, alfa-1
antitripsin dan alfa-2 makroglobulin. Antitrombin bekerja
menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa, XIIa,
XIa, Xa dan IXa. Tanpa adanya heparin, kecepatan
inaktivasi ini relatif lambat. Heparin mengikat dan
mengubah AT dan meningkatkan kecepatan inaktivasi AT.
Sedangkan protein C menghambat faktor Va dan VIIIa,
dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Jalur Ekstrinsik

Jalur lntrinsik

Pajanan janngan subendotel


atau
aktlvas~endotel

K a l l ; k r e I n ~ PreWIlkreln
~ -

Fibrinolbis

.................................
0

F~bnn

---+pol~mer
Fibrin

monomer

fibrin

-+ degradas~

F~bnnogen

Gambar 2. Sistem koagulasi, inhibitor dan fibrinolisis (Dikutip dari Folkman dkk.
C1-INH:complement factor-1 esterase inhibitor, PL:fosfolipid anionik, TF:faktor jaringan, TFPI: tissue factor
pathway inhibitor, tPA:tissue-type plasminogen activator.

Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan


mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan
patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah.
Enzim yang berperan dalam sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian
akan memecah fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen
(atau ,fibrin) degrudation prodzlct (FDP), sedangkan
produk pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer. Proses
ini dapat dilihat pada Gambar 1 .

PATOFlSlOLOGl KOAGULASI INTRAVASKULAR


DlSEMlNATA
Seperti telah disebutkan di atas, KID berhubungan dengan
kondisi klinis yang jelas, yang mendasari terjadinya KID
tersebut. Beberapa keadaan berikut ini berhubungan
dengan KID:
kelainan obstetri: emboli air ketuban, solusio plasenta,
retuined,fetus .syndrome, eklamsia, abortus
hemolisis intravaskular: reaksi hemolisis transfusi,
hemolisis minor, transfusi masif
sepsis: Gram negatif (endotoksin) atau positif
(mukopolisakarida)
viremia: HIV, hepatitis, varisela, sitomegalovirus
metastasis kanker
leukemia: leukemia promielositik akut (APLIM3),
mielomonositik (M4)
luka bakar
cedera karena trauma (crush injuries) dan nekrosis
jaringan
trauma

penyakit hati akut: ikterus obstruktif, gagal hati akut


kelainan vaskular
penyakit autoimun
Pada solusio plasenta, jaringan atau enzim dari plasenta
dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik,
menyebabkan aktivasi sistem koagulasi. Pada hemolisis,
adenosin difosfat (ADP) atau fosfolipoprotein membran
eritrosit mengaktivasi sistem koagulasi. Pada sepsis,
endotoksin mengaktivasi sistem koagulasi, merangsang
penglepasan sitokin tumor n e c r o s i ~ulphu (TNF-a),
interleukin (1L)-I, dan komplemen yang menyebabkan
gangguanlkerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme
yang berkaitan dengan KID adalah reaksi antigen-antibodi,
sedangkan hepatitis virus yang berat dan gagal hati akut
dapat menyebabkan KID.
KID juga sering terjadi pada keganasan terutama
tumor padat. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
penekanan oleh tumor tersebut, faktor jaringan (tissue
,fuctor) dan prokoagulan yang dilepaskan oleh sel
tumor tersebut, atau ~nelaluiaktivasi sel endotel oleh
sitokin (IL- I , vusczrlar enu'otheliul gr-ou,th$~ctorlVEGF,
TNF).
Pada luka bakar, jaringan yang nekrotik dan
mikrohemolisis merupakan pencetus KID. Sedangkan pada
pasien dengan luka terbuka pada kepala atau menjalani
kraniotomi dapat terjadi KID yang dicetuskan oleh
fosfolipid dari otak.
Beberapa penyakit autoimun, kardiovaskular (termasuk
pemakaian protesalkatup jantung buatan), pembuluh
darah ginjal dan inflamasi berkaitan dengan KID
kompensata. Hal ini berkaitan dengan gangguan endotel
dan aktivasi faktor pembekuan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


GAMBARAN KLlNlS
Manifestasi*linis KID dapat berkaitan dengan peristiwa
KID itu sendiri, dengan penyakit yang mendasari, atau
keduanya. Perdarahan pada kulit seperti petekie, ekimosis,
dari bekas suntikan atau tempat infus atau pada mukosa,
sering ditemukan pada KID akut. Perdarahan ini juga bisa
masif dan membahayakan, misalnya pada traktus
gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata.
Pasien dengan KID kronik umumnya hanya disertai sedikit
perdarahan pada kulit dan mukosa.
Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan
disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula
hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena
dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatifjarang. Disfungsi
organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa
iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan
acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru
serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus
dilaporkan terdapat pada 22-57% pasien dengan KID.

DIAGNOSIS LABORATORIUM
Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium pada KID sangat
bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh penyakit yang
mendasari.1 Pada pemeriksaan laboratorium dasar,
leukositosis sering ditemukan. Granulositopeniajuga dapat
terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk
mengimbangi kerusakan neutrofil yang cepat.
Trombositopenia sering ditemukan yang dapat disebabkan
oleh: 1). kerusakan trombosit yang meningkat,
2). perlekatan trombosit pada endotel mikrovaskular dan
pembentukan mikroagregrat yang menyumbat kapiler, 3).
produksi sumsum tulang yang kurang dan 4).pooling yang
berlebihan pada limpa. Sedangkan anemia umumnya
disebabkan oleh perdarahan, pemendekan umur eritrosit
pada keadaan sepsis, gangguan hematopoiesis dan
hemodilusi pasca resusitasi cairan. Pada pemeriksaan
mikroskopik dapat ditemukan schistocytes, yang terbentuk
akibat interaksi eritrosit dengan fibrin.
Pemeriksaan hemostasis yang secara rutin dapat
dilakukan adalah: masa protrombin (prothrombin timelPT),
masa tromboplastin parsial teraktivasi (acivated partial
thromboplastin timelaPTT), D-dimer, antitrombin-111,
fibrinogen dan masa trombin, sedangkan pemeriksaan
fragmen protrombin 1+2, fibrinopeptida A, jibrinogen
degradationproduct (FDP),platelet factor-4, tes protamin
dan reptilase tidak dilakukan secara rutin dan tidak selalu
dapat dilakukan di laboratorium rumah sakit.
Yang hams diingat adalah pemeriksaan koagulasi serial umumnya lebih menolong daripada satu kali
pemeriksaan dalam mendiagnosis KID. Berkurangnya
jumlah trombosit atau memanjangnya PT dan aPTT dalam

pemeriksaan serial merupakan petanda KID yang sensitif,


meskipun tidak spesifik. Terdapat sistem skor yang dibuat
oleh International Society on Thrombosis a n d
Haemostasis pada tahun 200 1, yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis KID. Di Indonesia telah dibuat Konsensus
Nasional tatalaksana KID pada sepsis pada tahun 200 1,
yang selain memuat sistem skor tersebut di atas, juga
memuat kriteria minimal untuk mendiagnosis KID pada
sepsis.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama KID terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1).
segera mengatasi penyakit yang mendasari, d m 2.) terapi
suportif yang agresif, termasuk mengatasi hipovolemia dan
hipoksemia. Pemahaman mengenai patofisologi dan
perjalanan penyakit yang mendasari atau pencetus KID
sangat diperlukan untuk penatalaksanaan yang logis dan
rasional.
Setelah mengidentifikasi dan mengatasi penyakit yang
mendasari, yang harus ditentukan adalah apakah
diperlukan substitusi faktor pembekuan dan apakah
pemberian heparin harus dipertimbangkan. Karena
penyebab dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi,
terapi KID harus dipertimbangkan secara individual
berdasarkan usia, penyebab KID, lokasi dan beratnya
perdarahan atau trombosis, keadaan hemodinamik saat itu
dan pengobatan penyakit yang mendasari. Jika kadar
fibrinogen, trombosit atau faktor pembekuan rendah dan
pasien mengalami perdarahan atau akan menjalani
prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti
kriopresipitat, plasma beku segar atau trombosit konsentrat
mungkin diperlukan. Pendapat yang mengibaratkan terapi
substitusi ini seperti 'menambah minyak ke api', secara
teori memungkinkan, meskipun ternyata tidak terbukti baik
secara klinis maupun pada penelitian eksperimental. Jika
pasien memerlukan terapi substitusi denganltanpa
heparin, kadar trombosit dan fibrinogen hams diperiksa
30-60 menit setelah transfusi dan setiap 6 jam. Hal ini
diperlukan untuk menentukan apakah KID masih aktif dan
apakah masih diperlukan terapi substitusi.
Indikasi, dosis dan cara pemberian heparin yang tepat
masih merupakan ha1 yang kontroversial. Jika terdapat
tanda-tanda trombosis seperti nekrosis kulit pada pupura
fulminan, iskemia akral atau kulit, atau tromboemboli vena,
terapi heparin merupakan indikasi. Beberapa kondisi di
mana terapi heparin mungkin diperlukan adalah: kematian
janin intra uterin yang teretensi (retained dead fetus
syndrome), hemangioma raksasa (Kasabach-Merritt
syndrome), aneurisma aorta, tumor padat dan APL.
Sedangkan pada keadaan-keadaan seperti sepsis, solusio
plasenta, emboli air ketuban, abortus septik atau
provokatus dan eklamsia/sindrom HELLP (Hemolysis,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Elevated Liver Enzyme and Low Platelet) atau penyakit
hati, heparin secara umum tidak terbukti bermanfaat,
bahkan kadang-kadang dapat berbahaya. Jurnlah dan cara
pemberian heparin harus ditentukan berdasarkan
gambaran dan situasi klinis. Sebagai contoh, pasien
dengan emboli air ketuban dengan obstruksi pembuluh
darah paru akut, diberikan heparin 5.000 unit secara bolus
intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1.000 unit per
jam. Tetapi pada APL dengan hipofibrinogenemia berat,
pemberian heparin bolus dan kontinu dalam jumlah sedang
atau besar dapat menyebabkan perdarahan intra serebral
yang fatal. Pada KID kronik, tidak diperlukan pemberian
heparin bolus dan cukup diberikan dosis 15 unit per kg
berat badan per jam dengan infus kontinu, dengan
penyesuaian dosis selanjutnya sesuai dengan respons
pasien.
Modalitas terapi lainnya adalah antitrombin (AT)-I11
dan protein C. Pada KID yang disebabkan oleh sepsis,
kadar AT menurun karena konsumsi yang berlebihan dalam
proses koagulasi, sintesis yang menurun dan inaktivasi
oleh enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil yang
teraktivasi. Berbagai penelitian mengenai pemberian AT
pada pasien KID yang disebabkan oleh sepsis
menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian mengenai
terapi protein C yang teraktivasi (activated protein Cl
APC) menunjukkan berkurangnya mortalitas. Hasil ini juga
didapatkan pada pasien sepsis berat dengan risiko
kematian tinggi. Pemberian obat penghambat fibrinolisis
seperti EACA tidak diperbolehkan karena dapat
menyebabkan deposit fibrin yang luas di mikrosirkulasi
dan dishngsi atau gaga1 organ karena iskemia. Pemberian
penghambat trombin (direct thrombin inhibitor) terbukti
efektif pada binatang tapi belum terbukti pada manusia,
sedangkan terapi antibodi anti endotoksin tidak terbukti
memperbaiki survival pasien.

REFERENSI
Aoki N, Matsuda T, Saito H, Takatsuki K, Okajima K, Takamatsu J,
et al. A comparative double-blind randomized trial of activated
protein C and unfractionated heparin in the treatment of
disseminated intravascular coagulation. Int J hematol.
2002;75:5:540-7.
Bick RL. Disseminated intravascular coagulation. Current concepts
of etiology, pathophysiology, diagnosis and treatment. In: Bick
RL, guest editor. Hematology/oncology clinics of north America.
Thrombosis and thrombophilia: diagnosis and management
2003;12:1:149-76.
Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ
dysfunction or failure in severe sepsis and septic shock. In: Balk
RA, Casey LC, editors. Critical care clinics. Septic and septic
shock. Philadelphia: W.B. Saunders; 2000. p. 337-52.

Bick RL. Disseminated intravascular coagulation. Current concepts


of etiology, pathophysiology, diagnosis, and treatment.
Hematology/oncology clinics of north America. Thrombosis
and thrombophilia: diagnosis and management. 2003;17:14976.
Bick RL. Disseminated intraliascular coagulation: a review of
etiology, pathophysiology, diagnosis, and management:
guidelines for. Clin Appl Thromb Hemost. 2002;8(1): 1-3 1.
Cicco MD. The prothrombotic state in cancer: pathogenic
mechanisms. Crit rev oncol hematol. 2004;50:3:187-96.
Dhainaut JF, Yan SB, Joyce DE, Pettila V, Basson B, Brandt JT, et al.
Treatment effects of drotrecogin alfa (activated) in patients
with severe sepsis with or without overt disseminated intravascular' coagulation. Thromb Haemost. 2004;2: 1 1 :I 924-33.
Dhainaut JF, Yan SB, Cariou A, Mira JP. Soluble thrombomodulin,
plasma-derived unactivated protein and recombinant human
activated protein C in sepsis. Crit Care Med. 2002;30:5:S31824.
Folkman J, Browder T, Palmblad J. Angiogenesis research: guidelines for translation to clinical application. Thromb Haemost.
2001;86:23-33
Fourrier F, Jourdain M, Tournoys A. Clinical trial results with antithrombin I11 in sepsis. Crit Care Med. 2000;28:9:S38-43.
Fourrier F. Recombinant human activated protein C in the treatment of severe sepsis: an evidence-based review. Crit Care Med.
2004;32:11:S534-41
Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of thrombosis and
hemostasis. Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical
guide. 2ndedition. New York: The McGraw-Hill; 2001. p. 3-19.
Levi M. Disseminated intravascular coagulaton: new concepts, new
controversies. Coagulation: consultative hemostasis. 2002 The
American society of hematology. Available from http://
www.asheducationbook..org/cgi/content/fu1/2002/1335
cited
12/3/2005.
Levi M, Jonge Ed, Poll Tvd, Cate HT. Novel approach to the management of disseminated intravascular coagulation. Crit Care Med.
2000;28:9:S20-4.
Mammen EF. The haematological manifestations of sepsis. J
Antimicrob Cheinoth. 1998;(suppl 41 ):A1 7-24.
Marcus AJ. Platelet and their disorders. In: Ratnoff OD, Forbes CD,
editors. Disorders of hemostasis. 3rd edition. Philadelphia:
W.B.Saunders; 1996;9. p. 79-137.
Rodrigues JC, Fein AM. Diagnostic approach and clinical
manifestations of severe sepslis. In: Fein AM, Abraham EM,
Balk RA, Bernard GR, Bone RC, Dantzker DR, et al, editors.
Sepsis and multiorgan failure. Baltimore: Williams and Wilkins;
1997;23. p. 269-76.
Ratnoff OD. Disseminated intravascular coagulation. In: Ratnoff
OD, Forbes CD, editors. Disorders of hemostasis. 3rd edition.
Philadelphia: W.B.Saunders; 1996;9. p. 259-95.
Seligsohn U. Disseminated intravascular coagulation. In: Beutler E,
Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Seligsohn U, editors. Williams hematology. 6Ih edition. New York: McGraw-Hill; 2001.
p. 1677-95.
Saito H. Normal hemostatic mechanisms. In: Ratnoff OD, Forbes
CD, editors. Disorders of hemostasis. 3rd edition. Philadelphia:
W.B.Saunders; 1996. p. 23-52.
Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Chen K, Govinda
A, Sukrisman L, editors. Konsensus nasional tatalaksana KID
(DIC) pada sepsis 2001.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

FIBRINOLISIS PRIMER
Boediwarsono

PENDAHULUAN
Fibrinolisis primer merupakan sindrom fibrinolisis yang
berlebihan oleh karena adanya enzim fibrinolitik di dalam
sirkulasi seperti plasmin dan tissue plasminogen activutor (t-PA). Pengobatan dengan trombolitik mewakili contoh
yang umum dan ekstrim dari fibrinolisisprimer. Penyebab
lainnya dari fibrinolisis primer sangat jarang. Sedangkan
fibrinolisis sekunder merupakan respons kompensasi dari
koagulasi intravaskular diseminata (KID), yang mungkin
disebabkan oleh adanya berbagai penyakit lain yang
mendasari.

menyebabkan perdarahan berat dari lokasi jejas vaskular.


Umumnya, proses fibrinolisis sistemik terjadi jika
terdapat sejumlah besar aktivator plasminogen dalam darah
atau pada permukaan fibrin, ketika terdapat kekurangan
penghambat fibrinolytic, atau ketika hati tidak mampu
membersihkan aktivator plasminogen atau plasmin (Tabel
1). Enzim fibrinolitik yang beredar akan memecah trombus
yang terdapat dalam pembuluh darah, menghancurkan
fibrinogen dan faktor pembekuan darah lainnya, dan
menghambat fungsi trombosit (Gambar 1).

Mekanisme
-

Sistem fibrinolitik berfungsi untuk membersihkan fibrin


yang tidak diperlukan dari lokasi vaskular atau
ekstravaskular dan ini merupakan pengaturan yang alami.
Setelah jejas vaskular, deposisi fibrin akan merangsang
pelepasan t-PA dari sel endotel yang terkena dan mungkin
juga dari jaringan lainnya yang berdekatan dengan bekuan
yang terbentuk. Aktivator plasminogen akan mengikat
rantai fibrin dan mengkonversi plasminogen menjadi
plasmin, dengan memecah fibrin dan membentuk soluble
fibrin degradation products (sFDP). Di bawah proses
fibrinolisis yang terkendali akan membatasi lokasi bekuan
fibrin yang dipecah. Ini disebabkan adanya netralisasi
plasmin bebas oleh a2-antiplasmin (a2-AP) dan
penghambatan t-PA oleh plasminogen activutor
inhibitor-1 (PAI-1). Jika enzim fibrinolitikterlepas ke dalam
sirkulasi dalam bentuk aktif, maka mereka akan segera
dihambat oleh a2-AP dan dibersihkan oleh hati sebelum
proses fibrinolitik ini berkembang. Kadang-kadang,
sebagai akibat penyakit ini atau pemberian obat trombolitik,
prose fibrinolisis akan muncul yang cenderung dapat

Contoh

Circulatingplasminogen
activator

Obat trombolitik
Keganasan (contoh leukemia
promielositik akut)
Cardiooulmona~
,b v ~ a s s
- 8

Penurunan kadar inhibitor


(a2-antiplasmin,plasminogen
activator inhibitor-)

Penyakit hati
Arniloidosis
Penyakit herediter

Penurunan bersihan hati dari


plasmin, plasminogen
activators

Transplantasi hati orthotopic


End-stage liver disease
dengan hipertensi portal

Pengobatan dengan obat fibrin-specific thrombolytic


seperti t-PA, efek fibrinolitik akan terlokasir pada
permukaan fibrin, dengan mengurangi sejumlah plasmin
bebas dalam sirkulasi. Hal yang penting, obat fibrinspecEficthrombolytic ini tidak dapat membedakan trombus
patologis dengan trombus normal dari sumbat hemostatik,
sehingga dapat timbul perdarahan akibat obat ini seperti
yang kita dapatkan akibat dari plasmin bebas di sirkulasi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Sumbat Hemostatik

Kompleks PAP

arteri koroner akut, 11 persen pasien dengan perdarahan,


3 sampai 4 persen dengan perdarahan serius, dan 0,5 persen
dengan perdarahan SSP. Resiko perdarahan meningkat
dengan adanya tindakan invasif yang dilakukan selama
pemberian obat fibrinolitik atau jika pasien sudah memiliki
gangguan hemostatik sebelumnya. Perdarahan juga timbul
setelah pengobatan trombosis vena dalam, emboli paru,
atau penyakit oklusi arteri perifer dengan obat trombolitik.

Penyakit Hati
Pasien dengan penyakit hati lanjut akan mengalami
fibrinolisis sistemik. Hal ini disebabkan penurunan sintesa
a2-antiplasmin di samping juga bersihan hati dari enzim
fibrinolitik yang menurun pada kondisi ini. Banyak pasien
dengan penyakit hati stadium lanjut mempunyai nilai
laboratorium yang menyokong adanya fibrinolisis (sampai
dengan 40 persen mempunyai pemendekkan masa lisis
euglobulin (MLE)), perdarahan karena fibrinolisis mungkin
terjadi pada saat trauma atau operasi.

Gambar 1. Defek hemostatik pada fibrinolisis. Plasmin


menhancurkan circulating clot factors, mengganggu fungsi
thrombosit, dan melisis hemostatic plugs

GEJALA KLlNlS
Perdarahan berat akibat fibrinolisis primer mungkin dapat
terjadi, khususnya jika pada pasien dengan operasi atau
tindakan invasif lainnya. Gambar 1 mengambarkan
sedikitnya ada 3 alasan timbulnya perdarahan:
Enzim fibrinolitik sirkulasi dengan cepat melisis bagian
hemostatic plugs yang berhadapan dengan darah,
sehingga semua defek vaskular, besar atau kecil, akan
mulai berdarah.
Plasmin akan menghancurkan fibrinogen, faktor V, dan
faktor VIII, sehirigga mengganggu pembentukkan
fibrin.
Gangguan fungsi trombosit terjadi oleh karena adanya
defek agregasi yang diinduksi oleh FDP, dan defek
adesi akibat gangguan interaksi antara faktor von
Willebrand-glikoprotein Ib yang diinduksi oleh
plasmin.
Secara klinis, fibrinolisis munglun dicurigai pada pasien
dengan luka (contohnya pada lokasi penyuntikan) yang
sebelumnya perdarahan berhenti menjadi merembes kembali
(ooze). Perdarahan hampir dapat terjadi di semua tempat,
namun khususnya prominen pada tempat trauma atau
operasi. Perdarahan SSP yang bersifat merusak lebih sering
pada pasien dengan fibrinolisis sistemik berat (contoh
pemberian 150 mg t-PApada TIM1 I1 trial) daripada pasien
dengan defek pembentukkan fibrin (contoh hemophilia A)
atau disfungsi trombosit (contoh trombositopenia < 50001

m.

Pengobatan Trombolitik
Pemberian infus aktivator plasminogen seperti streptokinase, urokinase, atau t-PA akan melisiskan bekuan pada
arteri koronaria atau pembuluh darah lainnya yang buntu.
Sebagai konsekuensi, resiko perdarahan akan meningkat
pada pasien yang menerima pengobatan trombolitik. Pada
TIM1 trial (Thrombolysis In Myocardial Infarction),
pemberian t-PA intravena untuk pengobatan sumbatan

Amiloidosis
Fibrinolisis sistemik kronik mungkin sangat jarang terjadi
pada pasien dengan penyakit amiloidosis. Adsorpsi
penghambat fibrinolitik seperti a2-antiplasmin pada fibril
amiloidosis, serta peningkatan kadar aktivator plasminogen, mungkin bertanggung jawab pada defek hemostatik.
Keganasan
Pasien leukemia promielositik akut cenderung
menimbulkan fibrinolisis sistemik dibandingkan koagulasi
intravaskular diseminata. Sel leukemia dapat membuat
aktivator plasminogen (urokinase dan tissue type), dan
bila masuk ke sirkulasi akan menginduksi keadaan
fibrinolitik. Kultur dari sel leukemia promielositik akut yang
diinduksi oleh asam retinoat menunjukkan diferensiasi sel
ini menjadi bentuk sel mieloid dewasa, menurunkan
aktivitas faktor jaringan sel leukemia, namun perluasan
dari enzim fibrinolitik selular masih tetap ada. Karsinoma
prostat dan keganasan lainnya dapat juga menimbulkan
fibrinolisis sistemik.
~ a r d i o p u l m o n a Bypass
r~
Pembedahan kardiovaskular dengan sirkulasi
ekstrakorporeal akan meningkatkan aktivitas fibrinolitik,
khususnya dari pergeseran darah mediastinum. Meskipun
secara in vivo, autotransfusi darah ini tidak merangsang
timbulnya fibrinolisis sistemik berat. Pengobatan pasien
dengan penghambat fibrinolitik pada saat pembedahan
akan mengurangi kehilangan darah yang terjadi.
Tindakan Pembedahan Lainnya
Adanya fibrinolisis lokal pada area prostat merupakan
faktor predisposisi terjadinya perdarahan segera dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

RBRINOLlSlS PRIMER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


tertunda pada pasien yang dilakukan pembedahan urologi.
Di dalam urin dan jaringan traktus genitourinariurn terdapat
banyak aktivator plasminogen .
Kondisi Herediter
Pasien dengan defek herediter a2-AP maupun PAI- 1jarang
dilaporkan dengan perdarahan serius.

Pada Tabel 2 terdapat beberapa uji laboratorium yang


mengalami gangguan pada fibrinolisis sistemik. Masa lisis
euglobulin menggambarkan adanya plasmin yang
bersirkulasi atau aktivator plasminogen, suatu uji standar
untuk penyaringan kelainan hemostatik yang merefleksikan
adanya defisiensi faktor pembekuan dan disfungsi
trombosit, dan uji FDP yang berguna untuk menilai adanya
proses proteolisis fibrinogen atau fibrin. Masa lisis
euglobulin dikerjakan dengan membuat bekuan dari plasma
yang bebas penghambat fibrinogen dalam tabung uji.
Kemudian diamati setelah 60 menit untuk menilai kecapatan
lisis bekuan. Karena uji ini cukup sensitif, maka uji positif
(lisis terjadi <60 menit) tidak menggambarkan bahwa
perdarahan klinis yang terjadi oleh karena fibrinolisis
sistemik. Immunoassays berguna untuk menilai kompleks
plasmin-antiplasmin (PAP). Selama pengobatan trombolitik,
kadar PAP menggambarkan pembuatan plasmin, meskipun
asay ini belum dilakukan di laboratorium klinis secara
rutin.
Kadar a2-AP yang rendah merupakan indikator adanya
fibrinolisis ekstensif. a2-AP memiliki afinitas yang tinggi
dengan plasmin, sehingga adanya plasmin bebas hanya
terjadi setelah a2-AP habis dikonsumsi. Adanya 2 pM
plasminogen dalam plasma akan diikat oleh 1 pM a2-AP.
Jadi, jika lebih dari separuh plasminogen akan di konversi
menjadi plasmin, seluruh a2-AP akan dikonsumsi dan
plasmin bebas akan timbul dalam darah.
Konsentrasi fibrinogen yang masih bertahan, berguna
sebagai petunjuk beratnya proses fibrinolisis yang terjadi,
dengan catatan kita telah menyingkirkan penyebab
hipofibrinogenemia yang lainnya. Fibrinolisis sistemik
berat biasanya dikaitkan dengan kadar fibrinogen yang
turun, sebagai contoh kadar fibrinogen yang turun dari
350 menjadi 100 mg/dL atau bahkan lebih rendah lagi
setelah pengobatan trombolitik jangka pendek dengan
streptokinase pada trombosis arteri koroner akut. Satu
pertimbangan yang dilakukan pada pengukuran kadar
fibrinogen pada setting pengobatan dengan trombolitik
aktif adalah tabung koleksi darah seharusnya berisi
penghambat spesifik untuk aktivitas fibrinolitik guna
mencegah fibrinolisis in vitro dan kadang-kadang
dikelirukan dengan kadar fibrinogen yang rendah.

Proses

Uji Abnormal

Circulating plasminogen
activators or plasmin

Euglobulin lysis time


Aktivitas 1-PA
Kornpleks plasrnin-antiplasmin

Proteolisis faktor
pernbekuan oleh plasrnin

PT
APTT
Fibrinogen
Faktor V dan Vlll

Defek fungsi trornbosit

Waktu perdarahan

Lisis fibrin

D-Dirner
TCT

Konsurnsi reaktan fibrinolitik

Plasminogen
bant ti plasm in
Plasmin activator inhibitor-1

PENGELOLAAN
Meskipun tidak selalu memungkinkan, pengobatan
penyakit dasar yang bertanggung jawab ataS timbulnya
koagulopati merupakan pendekatan yang terbaik saat
ini. Sebagai contoh, pengobatan leukemia promielositik
akut dengan menghilangkan sel-sel yang membuat
aktivator plasminogen. Jika timbul perdarahan selama
pengobatan trombolitik, penghentian infus seharusnya
dilakukan karena waktu paruh obat trombolitik ini
sangat singkat (5 sampai 30 menit) dan mereka cepat
hilang dari sirkulasi.
Jika fibrinolisis sistemik yang timbul ringan dan
kronis, maka pengobatan dengan anti-fibrinolitik khusus
tidak diperlukan. Sebagai contoh, pasien dengan
penyakit hati lanjut dan masa lisis euglobulin yang
pendek tanpa perdarahan. Meskipun fibrinolisis yang
terjadi lebih berat dan terdapat perdarahan, penggantian
dengan produk darah guna mengkoreksi defek koagulasi
dan trombosit sering diperlukan. Transfusi plasma beku
segar yang berisi faktor pembekuan dan a2-AP,
kriopresipitat yang berisi fibrinogen dan faktor VIII, dan
transfusi trombosit akan membantu mengkoreksi defek
fungsi trombosit. Pada akhirnya, pengobatan antifibrinolitik dengan epsilon-aminocaproic acid atau
asam traneksamat mungkin dapat menolong pada
beberapa pasien, namun hati-hati oleh karena
kemungkinan timbulnya risiko komplikasi trombosis.
Sering sulit untuk membedakan fibrinolisis primer dan
sekunder. Pada fibrinolisis sekunder, sebenarnya proses
fibrinolisis ini bersifat protektif. Pengobatan trombolitik
pada kasus dengan komplikasi perdarahan harus hatihati, pertimbangkan beratnya risiko re-trombosis
koroner atau miokard dibandingkan beratnya
perdarahan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Bevan DH et al . Cardiac bypirss haernostasis : puffing blood through
the mill. Br JHaematbl 1999;104:208
Bovill EG et a1 . Hemorrhagic events during therapy with recombinant tissue-type rlasminogen activator, heparin, and aspirin for
acute myocardial infarction. Results of the Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) Phase I1 trial. Ann Intern
Med 1991; 115:256
Collen D . The plasminogen (fibrinolytic) system. Thromb Haemo~t
1999;82:259
Del Zoppo GJ . Thrombolytic therapy in the treatment of stroke.
Drugs 1997;54:90
Handin RI . Disorders of coagulation and thrombosis. In : Harrison's
principles of internal medicine. 16Ih edition. Vol 1. McGrawHill, New York. 2005.p. 680-7

Nielsen JD et al . Postopetative blood lass after ttansurethral


prostatectorny is dependent on in situ fibrinalysis, BrJ
Urol 1997; 80:889
Stump DC et al. Pathologic fibrinolysis as a cause of clinical
bleeding. Semin Thromb Hemost 1990; 16:260
Tallman MS . The thrombophilic state in acute prortlyelocytic
leukemia. Semin Thromb Hemost. 1999;25:209
Tracy RP, Bovill EG . Fibrinolytic parameters and hemostatic
monitoring: Identify-ing and predicting patients at risk for major
hemorrhagic events. Am J Cardiol 1992;69:52A
Williams EC . Plasma a2-antiplasmin activity. Role in the
evaluation and manage-ment of fibrinolytic states and other
bleeding disorders. Arch Intern Med 1989; 149: 1769.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN HEMOSTASIS
PADA SIROSIS HAT1
Karmel L. Tambunan

PENDAHULUAN
Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis
hati adalah perdarahan. Komplikasi perdarahan bisa
bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai
yang paling berat dan mengancam nyawa misalnya
perdarahan saluran cerna bagian atas. Beratnya perdarahan,
erat hubungannya dengan gangguan hemostasis, sedang
gangguan hemostasis biasanya ada hubungannya dengan
gangguan fungsi hati (De Groote, 1984).
Angka kejadi gangguan hemostasis pada sirosis hati
berbeda dari satu pusat klinik ke pusat yang lain tetapi
angka kejadian perdarahan yang memerlukan transfusi pada
pasien sirosis hati adalah 32% (Spector dan Corn, 1967).
Di Indonesia, Reksodiputro menemukan kelainan hemostasis sebanyak 78,57% pada sirosis hati dan 65,55%
di antaranya disertai dengan gejala klinis perdarahan.
Sulaiman menemukan manifestasi perdarahan pada sirosis
hati, melena 56,2, hematemesis 50,6%, perdarahan gusi 27%
dan epistaksis 13,2% (Sulaiman, 1990).Tambunan
melaporkan dari 121 sirosis hati 75 kasus (6 1,9%)mengalami
perdarahan. Perdarahan saluran cerna bagian atas dijumpai
pada 46 kasus (38.0 I%), 3 kasus (16,67%) pada childA, 16
kasus (32,65%) pada child B, sisanya 27 kasus (50%) pada
child C. Perdarahan karena ruptur esofagus dijumpai pada
childA 1 kasus (5,5%) childB 5 kasus (10,20%) dan child
C 19 kasus(35,18%).
Perdarahan gusi dan atau epistaksis dijumpai pada 40
kasus sirosis hati (32,23%), pada childA 1 kasus (5,5%),
pada child B 15 kasus (30,61%), pada child C 24 kasus
(44,44%).
Ekimosis dan atau hematoma ditemukan pada child A
1 kasus (5,5%), childB 8 kasus (16,33%), child C 6 kasus
(1 1,l IYo).

Perdarahan berulang ditemukan pada child A 1 kasus


(5,56%), pada child B 4kasus (8,16%), pada child C 17
kasus (37,04%).
Dari sini terlihat bahwa insiden perdarahan beratnya
perdarahan dan perdarahan berulang sangat erat
hubungannya dengan beratnya penyakit menurut
klasifikasi Child.
Gangguan hemostasis pada sirosis hati sangat kompleks.
Patogenesis gangguan hemostasis ini dapat digolongkan
dalam beberapa kelompok berikut:
Gangguan sintesis faktor pembekuan dan antikoagulan
Defisiensi bersihan hati (hepatic clearance deficiency)
Trombositopenia
Pembentukan faktor pembekuan yang abnormal
Gabungan antara kelainan tersebut di atas
Berbeda dengan negara Barat sirosis hati terbanyak
disebabkan alkohol.

GANGGUAN SlNTESlS FAKTOR PEMBEKUAN


Semua faktor pembekuan diproduksi di dalam hati, kecuali
F VIII yang diduga diproduksi dalam endotel pembuluh
darah. Berdasarkan sifat, kebutuhan akan vitamin K, faktor
pembekuan dibagi dalam tiga kelompok yaitu:

Bergantung pada Vitamin K


Vitamin K berfungsi sebagai koenzim dalam proses
pembentukan F 11, F VII, F IX dan F X. Sebagaimana sudah
dijelaskan sebelumnya vitamin K berperan pada tahap akhir
pembentukan faktor pembekuan tersebut yaitu pada tahap
karboksilasi asam gamma glutamat. Tanpa vitamin K, akan
terbentuk faktor pembekuan yang tidak sempurna dan tidak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

berfungsi baik. Faktor pembekuan yang tidak sempurna


ini bahkan dapat bersifat seperti antikoagulan. Bila terjadi
defisiensi vitamin K maka faktor pembekuan yang pertama
kurang ialah faktor VII karena paruh umurnya 4-7 jam,
kemudian F IX, lalu F X dan terakhir F 11.
Tambunan melaporkan kadar faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K pada sirosis hati berbeda bermakna
bila dibandingkan pasien sirosis hati childA child B child
Cdan kelompok normal. Prevalensi defisiensi faktor I1
ditemukan 72% dari 120 pasien sirosis hati.Yaitu terdiri
dari defisiensi faktor I1 pada child A 3 kasus (16,67%),
child B 32 kasus (65,31%), child C 52 kasus (99,11%).
Defisiensi faktor VII ditemukan 42 kasus (35%) dari 120
kasus dan tidak ditemukan pada child A, sedangkan pada
child B 13 kasus (26,53%) sedangkan child C 29 kasus
(54,72%). Defisiensi faktor IX ditemukan pada 78,3% (94
dari 120 kasus) yaitu pada masing-masing kelompok, pada
childA 8 kasus (44,44%),pada child B 39 kasus (79,59%)
dan child C 47 kasus (88,69%). Defisiensi faktor X,
ditemukan 73,3% (88 dari 120kasus) yaitu pada masingmasing kelompok, yaitu childA 6 kasus (33,33%), childB
36 kasus (73,47%), dan pada childC 46kasus (86,79%).
Vitamin K yang terdapat dalam tubuh berasal dari
makanan, terutama sayuran hijau dan dari hasil sintesis
bakteri usus. Defisiensi vitamin K dapat terjadi oleh karena
kurang tersedia dalam makanan, gangguan absorbsi dan
pada penyakit hati. Pada penyakit hati obstruksi, defisiensi
vitamin K terjadi akibat berkurangnya garam empedu yang
diperlukan untuk absorbsi vitamin K. Pemakaian obat
kolesteramin untuk menghilangkan gatal pada penyakit
hati obstruksi, akan memperberat defisiensi vitamin K
karena kolesteramin mengikat garam empedu. Pasien
sirosis hati yang mendapat antibiotika dalam waktu yang
lama (lebih dari 14 hari) dapat menyebabkan gangguan
sintesis vitamin K oleh usus yang 'terlihat dari masa
protrombin yang memanjang. Defisiensi faktor pembekuan
yang bergantung vitamin K pada sirosis hati, umumnya
terganggu karena kemampuan sintesis hati yang
berkurang, tetapi gangguan sintesis faktor 11, VII, IX dan
X, kadang-kadang diperberat oleh adanya defisiensi vitamin K. Tambunan melaporkan pemberian vitamin K oral
pada sirosis hati pada child C tidak ada manfaat, pada
child A dan child B tidak konklusif dan memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Walaupun pemberian vitamin K pada sirosis hati
hasilnya mengecewakan, beberapa peneliti masih
menganjurkan pemberian vitamin K pada sirosis hati.
Robert menganjurkan pemberian vitamin K pada pasien
yang akan menjalani biopsy hati yang disertai dengan masa
protrombin memanjang. Pada penderia sirosis hati yang
disertai ikterus berat dan perdarahan dianjurkan untuk
mencoba memberikan vitamin K 10 mg intravena atau
intramuskular selama 3 hari.
Kadar faktor pembekuan dapat menentukan beratnya
sirosis hati. Perdarahan spontan dan kematian, erat

hubungannya dengan kadar F I1 yang kurang dari 20%.


Dilaporkan kadar F VII menurun baik pada sirosis hati
alkoholik maupun pada sirosis hati yang bukan alkoholik.
Faktor VII merupakan faktor pembekuan yang paling peka
terhadap defisiensi vitamin K. Respons yang gagal
menaikkan F VII atau memendekan masa protrombin
terhadap pemberian vitamin K pada penyakit insufisiensi
hati berat merupakan tanda prognosis buruk. Pada sirosis
hati dekompensasi, umumnya tidak ada respon kenaikan F
VII terhadap pemberian vitamin K. Untuk menentukan
sirosis hati dekompensasi atau tidak, yang didasarkan atas
respons kenaikan faktor pembekuan terhadap pemberian
vitamin K, pemeriksaan kadar F VII lebih peka daripada
masa protrombin. Pada penyakit hati menahun, F VII juga
merupakan peramal yang baik untuk menentukan pasien
mana yang akan mengalami perdarahan berat (Manucci,
1970).
Faktor IX juga berkurang pada sirosis hati. Bila masa
tromboplastin parsial memanjang disertai kadar F IX kurang
dari 35% merupakan petanda prognosis buruk (Spector
dan Corn, 1967) dan terlebih lagi bila disertai dengan
respons gagal terhadap vitamin K (Donaldson et al, 1969).
Faktor X, sama seperti F 11, F VII dan F IX juga berkurang
pada sirosis hati tetapi kurang sering dievaluasi seperti
faktor yang lain (Spector dan Corn, 1967). Juga dilaporkan
pada sirosis hati kadar faktor pembekuan dapat berkurang
karena keluar dari plasma darah dan masuk ke dalam
kompartemen ekstravaskular (Straub, 1977).

Kelompok Fibrinogen
Faktor pembekuan fibrinogen, F V, F VIII dan F XI11
dikelompokkan dalam fibrinogen atas dasar BM>300.000
dalton dan untuk pembuatannya tidak memerlukan
vitamin K. Pada sirosis hati yang stabil sering ditemukan
fibrinogen menurun atau masih normal. Penurunan kadar
fibrinogen pada sirosis hati dapat terjadi karena konsumsi
koagulopati, fibrinogenolisis yang berlebihan dan sintesis
yang berkurang. Selain karena kadar fibrinogen berkurang
pada sirosis hati sering juga dibentuk fibrinogen yang
abnormal yang disebut disfibrinogen. Tambunan pada
tahun 1993 melaporkan kadar fibrinogen juga menurun
sesuai dengan tingkat beratnya penyakit menurut child
hanya kadar fibrinogen pada child A dan B berbeda tidak
bermakna, sedangkan antara childA dan child C, dan child
B dan child C berbeda bermakna. Defisiensi fibrinogen
ditemukan 54,17% (65 dari 120 kasus) dan pada masingmasing kelompok pada chiIdA 2 kasus (1 1,11%) child B 24
kasus (48,98%), dan child C 39 kasus (73,58%).
Faktor V sering menurun pada penyakit hati kronis.
Bila kadar F V 20-50% sering terjadi perdarahan spontan
atau perdarahan dengan prognosis yang buruk. Faktor V
juga penting dalam menilai fungsi hati berat pada stadium
akhir. Bila F V persisten kurang dari 50% merupakan
petanda prognosis yang buruk. Defisiensi fibrinogen dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HAT1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


F V, biasanya ditemukan pada penyakit hati berat atau pada
stadium akhir. Tetapi kedua faktor pembekuan ini juga bisa
berkurang apabila terjadi fibrinolisis primer atau koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
Faktor VIIIC dan VIII.vW tidak disintesis dalam hati.
Asalnya tidak diketahui dengan pasti tetapi diduga di
endotel pembuluh darah. Faktor VIIIR.Ag disintesis dalam
endotel hati dan jaringan lain. Pada sirosis hati yang stabil
F VIIIC sering meningkat walaupun tidak setinggi seperti
pada nekrosis hati akut. Bila pada sirosis hati kadar F VIIIC
kurang dari 100% maka perlu dicurigai ada konsumsi
koagulopati akut.
Faktor XI11 merupakan petunjuk yang baik untuk
meramalkan kematian pada sirosis hati dan hepatitis. Pasien
biasanya meninggal bila kadar F XI11 kurang dari 35% dan
disertai kadar plasminogen kurang dari 19%.

Faktor Pembekuan Kontak


Faktor XI, F XII, prekallikrein dan KBMT bisa berkurang
pada sirosis hati karena gangguan produksi. Prekallikrein
adalah yang pertama terlihat menurun pada sirosis hati.
Faktor kontak tidak memperlihatkan sesuatu nilai ramalan
pada sirosis hati yang stabil. Penurunan kadar F XI1
biasanya terjadi bersamaan dengan penurunan kadar albumin darah.

ANTIKOAGULAN

'

Sebagaimana sudah dikemukakan, selain protein C masih


ada antikoagulan yang lebih kuat yaitu AT 111. Berbeda
dengan protein C, sintesis AT I11 tidak memerlukan vitamin
K. Peranan AT I11 dalam penyakit hati penting. Protein C
dan AT I11 erat hubungannya dengan fungsi sintesis hati
pada sirosis hati dan penyakit hepatitis menahun.
Pemberian AT I11 pada sirosis hati dapat meningkatkan
kadar fibrinogen karena mengurangi aktivitas intravaskular
koagulasi serta memperbaiki parameter pembekuan. Pada
sirosis hati AT I11 dapat berkurang disebabkan gangguan
sintesis. Tambunan melaporkan kadar AT I11 kelompok A,
B dan C dan kelompok normal berbeda bermakna bila
dibandingkan baik kelompok child A dengan kelompok
normal, child A dengan child B, child B child C.

DEFlSlENSlBERSIHANHAT1(HEPATICCLEARANCE
DEFICIENCY)
Selain memproduksi faktor pembekuan, hati juga berfungsi
untuk membersihkan zat aktivator maupun prokoagulan
yang beredar di dalam darah. Bila zat aktivator yang beredar
di dalarn tubuh melebihi daya bersihan hati, aktivator akan
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin dan
menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Apabila prokoagulan

yang beredar di dalam darah melebihi daya bersihan hati


maka prokoagulan ini akan mengaktifkan sistim pembekuan
dan menyebabkan pembekuan intravaskular diseminata.
Walaupun masih ada faktor lain yang berperanan dan turut
menentukan terjadinya fibrinolisis dan KID, tetapi bersihan
hati merupakan salah satu faktor yang terpenting.

Hiperfibrinolisis atau fibrinolisis yang berlebihan sudah


lama dikenal pada sirosis hati. Fibrinolisis yang berlebihan
ini ditandai dengan masa lisis euglobulin yang memendek
dan hasil degradasi fibrinogen yang meningkat. Untuk
membedakan fibrinolisis yang berlebihan dengan
fibrinolisis sekunder yang terjadi pada KID, beberapa
penulis menyebut hiperfibrinolisis dengan istilah
fibrinolisis primer atau hanya disebut fibrinolisis saja.
Patogenesis fibrinolisis pada sirosis hati masih
kontroversial. Dikemukakan ada 2 teori penyebab
fibrinolisis (1) kemampuan hati melakukan bersihan
terhadap aktivator plasminogen berkurang, sehingga plasmin meningkat di dalam plasma, dan (2) sintesis alamiah
yaitu antiplasmin a2 berkurang.
Pada pasien sirosis hati, fibrinolisis primer bisa
meningkat dalam sirkulasi plasma dengan manifestasi
perdarahan dari mukosa lambung dan robekan esofagus.
Fibrinolisis lokal mungkin berperanan penting dalam
memperberat perdarahan pada mukosa lambung yang terus
berlangsung. Tetapi pada sirosis hati stabil juga bisa
ditemukan fibrinolisis tanpa disertai gejala perdarahan. Hal
ini mengundang keinginan untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara fibrinolisis dengan pasien yang
mengalami perdarahan.
Analisis masa euglobulin sebagai prediktor pada pasien
SH 68 kasus dengan perdarahan dan 40 kasus tanpa
perdarahan tidak terbukti masa lisis euglobulin dapat
digunakan untuk memprediksi perdarahan sedangkan
kadar D-Dimer dapat dipakai sebagai prediktor perdarahan.

KOAGULASI INTRAVASKULARDISEMINATA
Walaupun pada mulanya KID diragukan pada sirosis hati,
namun bukti hasil penelitian selanjutnya menghilangkan
keraguan tersebut.
Masalah ini timbul karena gambaran hemostasis pada
sirosis hati sangat mirip dengan KID. Tetapi dengan
ditemukannya bukti aktivitas trombin dan plasmin yang
merupakan ciri khusus dari KID masalah tersebut dapat
teratasi. Aktivitas trombin terlihat dari meningkatnya
fibrinopeptida A, sedang aktivitas plasmin terlihat dari
kenaikan D-Dimer. Ada beberapa faktor yang berperanan
dalam proses terjadinya KID pada sirosis hati. Tambunan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

melaporkan D-Dimer meningkat pada 59,48% kasus secara


bermakna dan dalam analisis selanjutnya ditemukan bahwa
D-Dimer > 2000, dapat merupakan prediktor perdarahan.

Penurunan Kemampuan Bersihan Hati


Zat toksis yang ada dalam usus melalui vena porta akan
masuk dalam sirkulasi darah. Dalam keadaan normal zat
toksis ini akan dibersihkan oleh hati. Pada sirosis hati
kemampuan untuk membersihkan zat toksis ini kurang,
sehingga zat toksis tersebut akan mengaktifasi proses
pembekuan darah dan terjadi KID.
Peningkatan Tromboplastin
Pada sirosis hati sel hati yang mengalami nekrosis dapat
berperan sebagai tromboplastin dan mengaktivasi sistem
pembekuan. Pembekuan intravaskular yang terjadi oleh
karena diaktifkan oleh tromboplastin paling jelas terlihat
pada hepatitis fulminan.
Stasis Sistem Porta
Pada pasien sirosis hati sering ditemukan hipertensi porta.
Pada hipertensi porta terdapat bendungan yang
mengakibatkan hipoksia sel endotel pembuluh darah.
Hipoksia sel endotel pembuluh darah menyebabkan
dilepaskannya aktivator yang merangsang sistem
pembukuan darah.
Uji klinis yang dikemukakan sebagai bukti bahwa KID
ada pada sirosis hati antara lain pemberian heparin
memperlihatkan perbaikan uji laboratorium KID yang
terlihat dari kenaikan fibrinogen dan trombosit.
Fibrinopeptida A yang meningkat pada sirosis hati
berkurang setelah pemberian heparin menunjukkan bahwa
pada sirosis hati terjadi pembentukan trombin intravaskular.
Pemberian heparin dosis rendah pada sirosis hati selama
operasi elektif yang menunjukkan perbaikan fagositosis
dan fungsi katabolik sistem retikulo endotelial, dapat
menerangkan perbaikan hasil laboratorium karena bersihan
substansi toksis dan fragmen faktor pembekuan.
Meskipun heparin berguna pada penatalaksanaan KID,
tetapi pada nekrosis hati akut masih dipertanyakan, karena
walaupun hasil laboratorium menunjukkan perbaikan tetapi
tidak jelas menurunkan mortalitas.
Minna pada tahun 1974 mengemukakan kriteria
laboratorium definitif pada sirosis hati untuk membedakan
antara gangguan hemostasis disertai KID dan tanpa
disertai KID, yaitu pada SH yang disertai KID ditemukan
fibrinogen rendah kurang dari 125mg%, masa protrombin
sangat memanjang lebih dari 25 detik, trombosit kurang
dari 50.000/mm3 dan respon positif terhadap pemberian
heparin.
Tetapi banyak peneliti lain kurang menyetujui kriteria
tersebut, dengan alasan hemostasis pada sirosis hati
sangat kompleks mengemukakan pentingnya pemeriksaan

D-Dimer untuk menegakkan diagnosis KID pada sirosis


hati. Karena D-Dimer adalah hasil degradasi dari ikatsilang
fibrin maka D-Dimer hanya positif pada trombosis atau
KID (Carr 1989a).

Frekuensi trombositopenia pada sirosis hati cukup tinggi


yaitu 37-77%. Penyebab trombositopenia pada sirosis hati
bermacam-macam, dapat karena hipersplenisma, KID,
alkohol. Selain karena trombositopenia perdarahan pada
sirosis hati dapat terjadi akibat gangguan fungsi trombosit
yang disebabkan HDF yang meningkat.
Berbeda dengan laporan sirosis hati di negara Barat,
Tambunan melaporkan dari 120 kasus sirosis hati, hanya
13 kasus (10,83%). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan
penyebab sirosis hati yang berbeda yaitu di negara barat
adalah karena alkohol sedangkan di Indonesia sirosis hati
disebabkan karena infeksi virus hepatitis.

PEMBENTUKANFAKTOR PEMBEKUANYANG AB,


NORMAL
Pada sirosis hati dapat terjadi pembentukan fibrinogen
yang tidak normal yang disebut disfibrinogenemia.Fibrinogen yang abnormal ini mengandung asam sialat yang
tinggi. Kadar fibrinogenpada disfibrinogenemiabila diukur
dengan cara pemeriksaan immunologis atau cara presipitasi
hasilnya normal. Tapi pemeriksaan masa trombin akan
memanjang. Ini akibat gangguan polimerasi fibrinogen.
Masa trombin yang memanjang karena disfibrinogenomia
ini dapat dikoreksi dengan memberikan neuromidase
karena mengikat asam sialat.

GABUNGAN ANTARA BEBERAPA KELAINAN


HEMOSTASIS
Pada sirosis hati sering dijumpai gabungan beberapa
kelainan hemostasis seperti defisiensi faktor pembekuan
yang disertai dengan fibrinolisis primer atau pembekuan
intravaskular diseminata. Yang sering menjadi masalah
ialah membedakan antara fibrinolisis primer yang
disertai dengan trombositopenia di satu pihak dengan
defisiensi faktor pembekuan yang disertai dengan
trombositopenia di satu pihak dengan defisiensi faktor
pembekuan yang terjadi karena KID. Masalah ini
sekarang dapat diatasi dengan tersedianya pemeriksaan
D-Dimer yang dapat membedakan antara
fibrinogenolisis dan fibrinolisis. Hal ini sangat penting
dari segi klinis karena pengobatannya sangat
berbeda.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSlS HAT1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PADA
SlROSlS HATI
Tindakan yang hams dilakukan pada pasien sirosis hati
dengan perdarahan ditujukan untuk menghentikan
perdarahan dan mengembalikan volume darah. Untuk
mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui
pendekatan medikamentosa dan bedah.

Medikamentosa
Transfusi darah atau komponen darah. Transfusi darah
dan plasma beku segar merupakan pilihan pertama untuk
mengatasi perdarahan pada sirosis hati yang bukan
masalah bedah. Walaupun demikian transfusi darah atau
komponen darah pada sirosis hati tidak selalu memberi
hasil yang diinginkan. Finkber pada tahun 1959,melaporkan
transfusi darah segar dapat menghentikan perdarahan.
Sebaliknya Spector melaporkan trmsfusi d a r k segar malah
dapat memperberat perdarahan.
Konsentrat kompleks protrombin dan plasma beku
segar dilaporkan mempunyai efektifitasyang tinggi dalam
mengatasi perdarahan pada sirosis hati. Konsentrat AT I11
juga dilaporkan bermanfaat mengatasi perdarahan pada
sirosis hati. Tambunan melaporkan transfusi plasma beku
segar dengan dosis rata-rata 15 ml/kgBB dapat menaikkan
secara bermakna faktor 11,VII,IX, X.
Heparin. Pemberian heparin pada sirosis hati dengan
perdarahan masih kontroversial. Pertentangan ini timbul
disebabkan oleh ha1 yang dijelaskan sebelumnya yaitu
adanya keraguan KID pada sirosis hati. Minna pada tahun
1974,melaporkan bahwa ia berhasil mengatasi perdarahan
pada sirosis hati yang disertai dengan KID dengan
memberikan heparin 5000-7500 U tiap 4-6 jam. Pengobatan
dengan heparin pada sirosis hati yang disertai koagulasi
intravaskular derajat rendah menaikkan kadar fibrinogen,
plasminogen dan memperbaiki masa protrombin. Fischer
pada tahun 1973 menganjurkan pemberian heparin pada
sirosis hati dengan perdarahan karena terbukti memperbaiki
faktor pembekuan.
Walaupun pemberian heparin pada sirosis hati dengan
perdarahan terbukti memperbaiki faktor pembekuan, tetapi
banyak yang kurang setuju karena alasan tidak terbukti
menurunkan mortalitas.
Tarnbunan melaporkan pemberian heparin 10 menit
sebelum transfusi plasma beku segar dibandingkan dengan
tanpa memberikan heparin pada pasien dengan sirosis hati
disertai asites dan D-Dimer positif, kadar
fibrinogen meningkat secara bermakna pada pasien yang
mendapat heparin.
Antifibrinolisis. Epsilon amino caproic acid (EACA),
memperlihatkan beberapa keuntungan, tetapi sekarang
tidak dianjurkan karena risiko terjadinya trombosis tinggi.
Antifibrinolisis lainnya seperti asam traneksamat dapat
diberikan bila ada fibrinolisis.

Beta blocker. Propanolol mengurangi perdarahan gastrointestinal karena menurunkan tekanan vena porta.
Keuntungan lainnya akibat sirkulasi pada vena porta yang
berkurang, menyebabkan aktivitas fibrinolisis mukosa
lambung jug@berkurang.
Terapi skierosing (skieroterapi). Tujuan terapi sklerosing
adalah menghentikanperdarahan dengan cara menyuntikan
sklerosan pada varises osofagus (Terblance et al, 1981;
Paquet dan Feussner, 1985). Selain menghentikan
perdarahan darurat terapi ini juga dapat dipakai mencegah
perdarahan jangka panjang (Mac Dougal et al, 1982).
Balon tamponade (SB Tube). Balon tamponade
dipergunakan pada perdarahan varises yang masif. Balon
tamponade bekerja dengan cara mekanik yaitu menekan
langsung pembuluh darah varises yang robek (Terblance
et al, 1981; Fleig et a1 1983).

Operasi
Tujuan operasi adalah untuk menghentikan atau mencegah
perdarahan (Tabak et a1 1982). Tindakan bedah dapat
berupa pintas porta sistemik (Spleno venal shunt) atau
transeksi esofagus.

Aster RH. 1966. Pooling of platelets in the spleen : role in the


pathogenesis of "hypersplenic thrombocytopenia". J Clin Invest 45:645-57.
Biland L, Duckert F, Prisender S et al. 1978. Quantitative Est~mation of Coagulation Factors In Liver Disease, The Diagnostik
and Prognostic Value of Factor XIII, Factor V and Plasminogen. New Eng J Med 305, 242-8
Bloom AL. 1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J
Haematol. 30:l-7.
Bloom AL.1975. Intravascular coagulation and the liver. Br J
Haematol. 30:l-7.
Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of Coagulopathies in
Patients with Liver Disease, Contemp Anesth Pract, 4: 1-1 1 .
Clark R, Rake MO, Flute PT, et al. 1973. Coagulation Abnormalities in Acute Liver Failure: Pathogenetic and Therapeutic Implications. Scand J Gastro enter01 8: (Supp1.19):63-70.
Carr JM. 1989b. Disseminated Intravascular Coagulation in Cirrhosis. Hepatology 10,103-10.
Cowan DH, Hine JD. 1971. Thrombocytopenia in severe alcoholIsm. Ann Intern Med 74. 34-43.
Cowan DH. 1980. Effect of alcoho1ism on hemostasis. Semin
Hematol 17: 137-47
Consensus Conference. 1985. Fresh Frozen Plasma. JAMA.
253:551-3.
Corrigan JJ. 1981. Diagnosis and Therapy of coagulopatjies in patients with liver disease. Contemp Anesth Pract, 4 : l - l l .
Cordova C, Musca A, Violi F, et al. 1982. Improvement of some
blood coagulation factors in cirrhotic patients treated with low
doses of heparin. Scan J Haemato1;29:235-40.
Coccheri S, Manucci PM, Palareti G, et al. 1982. Significance of
plasma fibrinopeptida A and high molecular weight fibrinogen
in patients with liver cirrhosis. Br J Haematol, 52:503-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Capel P. 1984. Platelet involvement in the hemostatic failure of
liver disease. In hemostatic failure in liver disease, Thijs 0 dan
Fondu P, Editor. Martinus Nijhoff Publisher, Boston;69-80.
Cooney D, Smith A. 1978. The pathophysiology of hipersplenic
thrombocytopenia. Arch Intern Med 121:332-7.
Coleman M, Finlayson N, Bettygole RE, et al. 1975. Fibrinogen
survival in cirrhosis: Improvement by "Low Dose" heparin.
Ann Intern Med.;83:79-81.
De Groote J. 1984. Introduction. In Haemostasis Failure in Liver
disease. Fondu P dan Thijs 0. Martinus Nijhoff Publisher. 1-4.
Deutsch E. 1965. Blood Coagulation Changes in Liver Disease.
Prog Liver Dis. 2:69-93.
Donaldson GWK, DavieSH, Darg A, et al. 1969. Coagulation
Factors in Chronic Liver Diseases. J Clin Pathol, 22:199-204.
Fletcher AP, Biederman 0 , Moore D, et al. 1964. Abnormal
Plasminogen-plasmin System Activity (fibrinolisis) in Patients
with Hepatic Cirrhosis : Its cause and consequences. J Clin Inevst,
43:681-95.
Francis CW dan Marder VJ. Mechanism of fibrinolysis in
Hematology. Williams et al. MCGraw Hill Publishing
company.13 13-21.
Feinstein Dl. 1982. Diagnosis and management of disseminated
intravascular coagulation : the Role of heparin therapy. Blood
;60:284-7.
Fischer M, Gauss P, Korp W, et al. 1973. Heparin therapy in the
case od acute liver cirrhosis. Scand j Gastroenterol 8 (Suppl 19):
135-8.
Finkbiner RB, McGovern JJ, Goldstein R, et a]. 1959. Coagulation
defects in liver disease and response to transfusion during
surgery. Am J Med, 26: 199-21 3.
Fleig WE, Stange EF, Reuttenaueur K, et al. 1983. Emergency
endoscopy slerotherapy for bleeding esophageal varices: a
prospective study in patients not responding to ballon
tamponade. Gastroi'ntest endosc 29,8-14.
Green G, Dymock IW, Poller L, Thompson JM, et al. 1976. Factor
VII as a marker of Hepatocellular Synthetic Function in Liver
Disease. J Clin Pathol , 29:971-5.
Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of
abnormal fibrin polymerization with liver disease. Gut;18:90912.
Green G, Poller L, Thompson JM, et al. 1977. Association of
abnormal fibrin polymerization with severe liver disease.
Gut;18:909-12.
Grossi C, Rousselot L, Panke W. 1962. Coagulation defects in
patients with cirrhosis of the liver undergoing porta systemic
shunts. Am J Surg, 104:512-26.
Hallen A, Nilsson IM.1964. Coagulation Studies in Liver Disease.
Thromb Diath Haemorrh. 1 1:41.
Herold R, Straub PW.1973. Acute Hepatic Necrosis of Hepatitis and
Mushroom Poisoning. Helv Med Acta. 375-24
Jacobson RJ, Wagner S, Weinberg R, et al. 1971. Bleeding complications in the fulminant hepatitis. Lancet, 2:1426.
Koller F. 1973. Theory and Experience Behind the Use of
Coagulation Tests in Diagnosis and Prognosis of Liver Disease.
Scand J Gastreoenterol, 8 (Suppl), 1 9 5 1-61.
Kupfer HG, Gee W, Ewald AT et al. 1964. Statistical Correlation of
Liver Function Tests with Coagulation Factor Deficiencies in
Laennec's cirrhosis. Thromb Diathes Haematol, 11:3 17-3 1.
Karpathin S, Freedman ML. 1978. Hipersplenic thrombocytopenia
differentiated from increased peripheral destruction by
platelet. Ann Intern Med 89:200-3.
Lord JW, Andrus W de W. 1941. Differentiation of Intra Hepatic
and Extra Hepatic Jaundice. Response of the Plasma Prothrom-

bin to Intramuscular Injection of Menadione (3-methyl-1.4


Napthoquinon) as a Diagnostic Aid. Arch Intern Med 68. 199210.
Laursen B, Mortensen JZ, Frost L et al. 1981. Disseminated
Intravascular Coagulation in Hepatic Failure Treated with
Antithrombin 111. Thromb Res,22:701-704.
Lahnborg G, Berghem L, Lagergen H, et al. 1976. Effect of
low-dose heparin on the phagocytic and catabolic function of
the reticuloendothelial system in man during surgery. Ann Chir
Gyn, 65:376-81.
Lechner K, Niesser H, Thaler E. 1977. Coagulation abnormalities
in liver disease. Sem Thromb Hemostas,4:1:40-56.
Langley P, Hughes R, Williams R. 1982. Platelet adhesiveness to
glass beads in liver disease. Acta Haemat. 67:124-7.
Linderbaum J, Hargrove R. 1968. Thrombocytopenia in alcoholic.
Ann Intern Med 68:526-32.
Lane DA., Scully MF, Thomas DP, et al. 1977. Acquired
dysfibrinogenemia in acute and chronic liver disease. Br J
Haematol 35,301-8.
Lebrec D, Poynard T, Hillon P, et al. 1981. Propanolol for
prevention of recurrent gastrointestinal bleedings in patients
with cirrhosis. N Eng J Med, 305;1371-74.
Manucci PM. 1970 Estimation of Prothrombin in Liver Disease. J
Clin Pathol 23:291-5.
Mindrum G, Glueck HI. 1959. Plasma Prothrombin Time in Liver
Disease: Its Clinical and Prognosis Significance. Ann Intern
Med 50:1370-84.
Mason JW and Colman RW. 1971. The Role of Hageman Factor in
Disseminated Intravascular Coagulation Induced by Septicemia,
Neoplasia or Liver Disease. Thrombos Diathes Haemorrh,
26:325-3 1.
Manucci L, Diguardi N, DelNinno E, et al. 1973. Value of Normotest
and antithrombin 111 in the Assessment of Liver Function. Scand
J Gastroenterol , 8 (Suppl. 19):103-7.
Mosser KM, Hajjar GC. 1966. Age and Disease-related alterations in
Fibrinogen-euglobulin (fibrinolytic) Behaviour. Am J Med Sci,
251 :536-44.
Minna JD, Robboy SJ, Colman RW. 1974. Liver disease in DIC. In
Disseminated intravascular coagulation in man. Springfield, IIlinois, Charles C Thomas. 160-6.
Maisonneuve P, Sultan Y. 1977. Modification of Factor VIIl
complex Properties in Patients with Liver Disease. J Clin Pathol,
30:221-7.
Martinez J, MacDonald KA, Palasoak JE. 1983. The role of sialic
acid in the dysfibrinogenemia associated with liver disease:
Distribution of sialic acid on the constitutive chains. Blood
61:1196-201.
Masure R. 1984. Strategies for rational haemotherapy. In
Haemostatic Failure in Liver Disease., Thijs 0 dan Fondu P.
Martinus Nijhoff Publisher, Boston;162-168.
MacDougal BRD, Westaby D, Theodossi A, et al. 1982. Increased
long-term survival in variceal hemorrhage using injection
sclerotherapy. Lancet 1,124-7.
Manucci PM, Franchi F, Dioguardi N. 1976. Correction of
abnormal coagulation in chronic liver disease by combine use of
fresh frozen plasma and ptothrombin complex concentrates.
Lancet,2 :542-5.
Nanji AA, Blank DW. 1983.Clinical Status as Reflected in
Biochemical Tests on Patients with Chronic Alcoholic Liver
Disease. Clin Chem, 29:992-3.
Oka K dan Tanaka K.1979. Local fibrinoysis of esophagus and
stomach as a cause of hemorrhage in liver cirrhosis. Thromb
Res, 14:837-44.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1333

GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SIROSIS HAT1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Palasoak JE, Martinez J. 1977. Dysfibrinogenemia associated with
liver disease. J Clin Invest, 60239-95.
Poller L. 1977. Coagulation Abnormalities in Liver Disease. In
Poller, L (ed): Recent Advances in Blood Coagulation. 2"* ed
London , Churcill Livingstone.
Penny R, Rozenberg MC, and Firkin BG. 1966. The Splenic platelet
pool. Br J Haematol 27, 1-16.
Pallasoak JE, Martinez J. 1977. Dysfibrinogenemia associated with
liver disease. J Clin Invest, 60:89-95.
Paquet KJ, Feusner H.1985. Endoscopic sclerosis and esophageal
ballon tamponade in acute hemorrhage from esophagogastric
varices. Prospective controlled randomized trial. Hepatology
5, 580-3.
Reksodiputro AH, Djoerban 2, Muthalib A. dkk. 1978. Kelainan
Hemostasis pada Sirosis Hati. Kumpulan Naskah Ilmiah
Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun. Pang RTL dkk.
Editor: 276-82.
Ratnoff OD. 1984. Hemostatic Defect in Liver and Billiary Tract
Disease. In Disorders of Hemostasis.Ratnoff OD and Forbes
CD. Grune & Stratton,Inc :451-72.
Roberts HR and Cederbaum AI. 1972. The Liver and Blood
Coagulation. : Physiology and Pathology. Gastro Enterol.
63:297-320.
Rock W. 1984. Laboratory assessment of coagulation in liver
disease. Clin Lab Med;4:419-42.
Roberts HR, dan Cederbaum AI. 1972. The Liver and blood
coagulation: Physiology and pathology. Gastro enterol, 63:297320.
Sulaiman A. 1990. Virus Hepatitis B, Sirosis Hati dan Karsinoma
Hepatoselular (Kumpulan Naskah Ilmiah dalam rangka tesis)
139-58.
Sherlock S, Alpert L.1965. Bleeding in Surgery in Relation to Liver
Disease. Proc R Soc Med, 58, 257-9.
Straub, PW.1977. Diffuse Intravascular Coagulation in Liver
Disease. Thromb Hemost 4,29-39.
Shearer MJ, McBurney A, Breckenridge AM, et al. 1977. Effect of
Warfarin on the Metabolism Phyloquinone (vitamin K): Dose
relationship in Man. Clin Sci and Mol Med 52.621-30.
Shearer MJ, Allan V, Haroon Y, et al. 1980. Nutritional Aspect of
Vitamin K in the Human.In Suttie (ed). Vitamin K Metabolism
and Vitamin K Dependent Protein. Univ Park Press. Baltimore.
317.
Samama m.1984. The Significance of Several Coagulation Tests in
Evaluation of the Risk of Bleeding, in Hemostatic Failure in
Liver Disease, Thijs 0 dan Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher.
Boston:81-93.
Soria J, Soria C. 1984. Abnormalities of Fibrin Formation in Severe
Hepatic Diseases, in Hemostatic Failure in Liver Disease, Thijs
0 , Fondu P. Martinus Nijhoff Publisher. Boston : 52-68.
Prydz H. 1977. Vitamin-dependent clotting factors. Semin
Thromb Hemostas.4:ll-4.
Straub PW. 1977.Diffuse Intravascular Coagulation in Liver
Disease.Thromb Hemos 4, 29-39.

Scharer I, Best C. 1989. Protein-C and antithrombin 111 are the Best
Coagulation Markers for Decreased Liver Synthesis in Liver
Cirrhosis and CAH. Abstract. Thrombosis and Hemostasis. XIlth
Congress of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis, Tokyo, Japan. 275 (882).
Schipper HG, ten Cate JW. 1982. Antithrombin I11 transfusion in
patients with hepatic cirrhosis. Br J Haemato1;52:25-33.
Spector 1 dan Corn M.1967. Laboratory Tests of Hemostasis. The
Relationship to Hemorrhage in Liver Disease. Arch Intern Med.
119:577-82.
Spector I, Corn M , Ticktin HE. 1966. Effect of plasma transfusion
on the prothrombon time and clotting factors in liver disease.
N Eng J Med, 275:1032-7.
Sirinek KR, Levine BA. 1988. High-dose vasopressin for acute
variceal; hemorrhage. Arch Surg 123:876-80.
Tarnbunan.1993. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati dan Saran
Penatalaksanaanya di Indonesia. Disertasi. Balai Penerbit FKUI.
Tucker JS, Woolf IL, Boyes BE, et al. 1973. Coagulation Studies in
Acute Hepatic Failure. Gut, 14:4 18.
Tytgat G, Collen D, de Vreker RR, Verstraete M. 1968. Investigation on the fibrinolytic system in liver cirrhosis. Acta Haematol
40:265-74.
Sherman IA. 1982. DIC in Massive Transfussion. Prog Clin
Biol Res, 108, 171-89.
Thomas DP. 1972. Abnormalities of platelet aggregation in
patients with alcoholic cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350.
Tabak C, Eugene J, Juler GL, et al. 1982. Upper gastrointestinal
hemorrhage in cirrhosis: timing and indications for active
intervention. Am J gastroenterol, 77:947-8.
Terblanche J, Yakoob HI, Bordas JM, et al. 1981. Acute bleeding
varices. A five -years a prospective evaluation of tamponade
and schlerotherapy. Ann Surg.521-30.
Thomas DP. 1972. Abnormalities of Platelet Aggregation
Patients with Alcoholic Cirrhosis. Ann NY Acad Sci, 201:24350.
Tytgat GN, Collen D, Verstraete M. 1971. Metabolism of
fibrinogen in cirrhosis of the liver. J Clin Invest;50:1690-701.
Verstraete M, Vermylen, J, dan Collen D. 1974. Intravascular
coagulation in liver disease. Ann Rev Med, 25:447-55
van Outryve M, Baele G, DeWeerdt GA et al. 1973. Anti Haemophilic
Factor A (F VIII) and Serum Fibrin-fibrinogen Degradation
Products in Hepatic Cirrhosis. Scan J Haematol, 11:48-152.
van Vliet ACM, van Vliet HHDM, Dzoljic-Danilovic 4 et al. Plasma
Prekallikrein and Endotoxemia in Liver Cirrhosis. Thrombosis
Haemostas, 45:65-7.
Verhaeghe R, Van Damme B, Molla A, et al. 1972. Dysfibrinogenemia
associated with primary hepatoma. Scand J Haematol, 9:451-8.
Veltkamp JJ, and Kreuning J. 1973. The Diagnostic Value of
Coagulation Studies in Chronic Liver Disease. Scan J Gastroenterol,8
(SUPPI. 19):93-5.
Walsh WD, Losowosky MD.1971. The Hemostatic Defect of Liver
Disease. Gastro enterol, 60. 108-19.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN HEMOSTASIS
PADA DIABETES MELITUS
Andi Fachruddin Benyamin

PENDAHULUAN
Penyandang Diabetes Melitus (DM) tipe 2 telah terbukti
memiliki risiko untuk mengalami kelainan kardiovaskular
yang jauh lebih tinggi dibanding populasi normal.
Komplikasi vaskular dapat berupa mikrovaskular
(pembuluh darah mata, ginjal dan saraf) danlatau
makrovaskular (pembuluh darah jantung, otak dan arteri
perifer). Kelainan mikro dan makrovakular ini dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyandang DM.
Aterosklerosis dapat terjadi lebih cepat pada penyandang
DM. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa jauh
sebelum terdiagnosis DM tipe 2, baik pada fase glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) maupun pada toleransi
glukosa terganggu (TGT), sebenarnya telah berlangsung
berbagai bentuk perubahan yang pada gilirannya akan
menyebabkan peningkatan risiko tersebut. Sekitar 80% dari
penyandang DM meninggal akibat komplikasi trombotik.
Faktor risiko tradisional, seperti hipertensi, kadar high
density lipoprotein (HDL) yang rendah, meningkat pada
penyandang DM tipe 2 dan toleransi glukosa terganggu
VG9.
Patogenesis terjadinya kelainan kardiovaskular pada
penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial sebagai akibat
dari berbagai faktor antara lain faktor-faktor metabolik,
oksidasilgliko-oksidasi, disfungsi sel endotel, inflamasi,
dan gangguan trombosis atau fibrinolisis. Disini hanya
akan dibahas pada gangguan hemostasis yang terjadi pada
penyandang DM tipe 2 .

Hemostasis adalah proses fisiologis yang bertujuan untuk

menghentikan perdarahan pada lesi vaskular. Monolayer


sel endotel yang ruptur membuka struktur sub endotel,
menyebabkan adhesi dan aktivasi trombosit pada lokasi
ruptur, dan secara simyltan faktor jaringan yang terpapar
dan menyebabkan aktivasi faktor koagulasi yang dimulai
dengan pembentukan fibrin. Trombus merupakan agregasi
trombosit dan fibrin, menghentikan perdarahan dan
membentuk sikatrik. Proses fibrinolisis, yang terjadi
secepat pembentukan fibrin, menyebabkan destruksi
trombus dan kembali diserap pembuluh darah.Hemostasis
adalah suatu fenomena kekuatan lokal, dengan pengerasan
lokal sendiri, tetapi diatur oleh beberapa jalur penghambat
yang membatasi perluasan trombus. Beberapa perubahan
dalam keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi
menyebabkan kelainan pada perdarahan atau trombosis.

GANGGUAN PENGATURAN HEMOSTASIS PADA


DIABETES
Telah lama diketahui bahwa pada penderita diabetes
melitus, terutama DM tipe 2, terdapat keadaan yang disebut
kondisi protrombotik, dimana lebih mudah timbul trombosis
dibanding keadaan fisiologis normal. Kondisi protrombotik
menunjukkan adanya abnormalitas baik pada aktivasi
trombosis maupun fibrinolisis. Salah satu penyebab dari
kedua abnormalitas tersebut adalah resistensi insulin,
hiperglikemia dan inflamasi. Selain itu, pada DM tipe 2
ditemukan bukti adanya perubahan dari berbagai faktor
yang berperan pada faal hemostasis.
Peningkatan Kadar Fibrinogen, Kadar fibrinogen yang
meningkat akan menyebabkan agregasi trombosit dan
perubahan reologik serta bekuan yang kaya akan
fibrin. Banyak penelitian pada DM tipe 2 melaporkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GANCCUAN HEMOSTASIS PADA DIABETES MELITUS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


peningkatan kadar fibrinogen. Pada pasien DM tipe 2
didapatkan penekanan fibrinolisis yang disebabkan
oleh peningkatan kadar Plasminogen Activator
Inhibitor-1 (PAI- 1 ) . Penurunan aktivitas fibrinolitik
trombosit mengakibatkan penurunan deposit fibrin dan
perubahan pada komponen-komponen dari pembuluh
darah. Kadar PAI- 1 meningkat pada pasien-pasien
resistensi insulin yang obes, seperti pada pasien DM
tipe 2 dan pada kisaran normal pada pasien DM tipe 1.
Kadar plasma PAI- I berhubungan dengan indeks massa
tubuh, lemak viseral, tekanan darah dan kadar plasma
insulin, trigliserida, small dense LDL, dan... kolesterol
HDL.
PeningkatanAktivitas Faktor VII, Terjadi sebagai akibat
adanya hiperlipidemia post-prandial.
Ekspresi Plasminogen Aktivator Inhibitor-1 yang
berlebihan, Adanya perubahan ini telah dibuktikan
terjadi baik pada penderita DM tipe 2, resistensi
insulin, maupun hiperinsulinemia. Hal ini diduga sebagai
akibat efek langsung dari insulin dan pro-insulin.
Sebagaimanatelah diketahui, insulin akan merangsang
sintesis PAI-1. Selanjutnya peningkatan PAI-1 dalam
darah akan menyebabkan penghambatan aktivitas
fibrinolisis. Menurunnya kadar PAI-1 pada penderita
t2DM setelah pemberian terapi dengan obat golongan
tiazolidindion memperkuat bukti peranan resistensi
insulin sebagai penyebab.
Peningkatan Agregasi Trombosit, Telah terbukti bahwa
pada penyandang DM tipe 2 diperlukan dosis asam
asetil salisilat yang lebih tinggi untuk mencegah
terjadinya agregasi trombosit dibanding pada nondiabetes. Masih belurn dapat dipastikan apakah faktor
glukosa sendiri atau gangguan metabolik penyerta yang
merupakan penyebabnya.
Penurunan Kadar Urokinase pada Plak Aterosklerotik.

Peningkatan PAI- 1 baik dalam plasma maupun pada


plak tak hanya berakibat rendahnya migrasi sel otot polos
(smooth muscle cell) vaskular, tetapi juga akan
menyebabkan penurunan ekspresi urokinase pada dinding
pembuluh darah serta plak.
PadaJibrous cap yang tipis, berlangsungnya proteolisis
dibagian bahu dari plak (oleh karena aktivasi sel limposit
T dan makrofag) dapat mempermudah terjadinya ruptur
plak serta sindrom koroner akut seperti angina pektoris
tidak stabil maupun infark miokard akut.

REFERENSI
Eckel RH, Wassef CM, Chait A et al, AHA Conference Proceedings.
Prevention Conference VI: Diabetes and Cardiovascular
Disease,Pathogenesis of Atherosclerosis in Diabetes,
Circulation, 2002, 105-109.
Juhan-Vague 1, Alessi MC, Vague P. Increased plasma Plasminogen
Activatorlnhibitor-1 levels : a probable link between insulin
resistance and athero- thrombosis, Diabetologia, 1991 :34:457
- 462.
Minamikawa J, Yamanouchi M, Inoue D et al. Another potential use
of troglitazone in non-insulin dependent diabetes mellitus. J
Clin Endocrinol Metab, 1998 : 83 : 1041-1042.
Schneider DJ, Sobel BE.Diabetes and Thrombosis in Johnstone
MT,Veves A Eds, Diabetes and Cardiovascular Disease, Totowa NJ,
Humana Press, 2001.
Sobel BE, Woodcock-Mitchell J, Schneider DJ et al : Increased
Plasminogen Activator Inhibitor type 1 in Coronary Artery
Atherectomy Specimens From Type 2 Diabetic Compared With
Nondiabetic Patients, A Potential Factor Predisposing to
Thrombosis and Its Persistence, Circulation, 1998 : 97: 22132221.
Sobel BE : Increased Plasminogen Activator Inhibitor-l and
Vasculopathy,
A Reconcilable Paradox, Circulation, 1999 : 99 : 2496-2498.
Sobol AB, Watala C. The role of platelets in diabetes-related
vascularComplication. Diabetes Res Clin Pract. 2000 :SO : 116.

EFEK ADANYA KEADAAN PROTROMBOTIK PADA


PENYANDANG DIABETES MELITUS
Keadaan protrombotik yang terjadi pada penyandang DM
tipe 2 berperan dalam dua ha1 penting yaitu pada
patogenesis terjadinya aterosklerosis yang progresif, serta
timbulnya kejadian koroner akut (acute coronavy events).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KONDISI HIPERKOAGULABILITAS
Hilman Tadjoedin

PENDAHULUAN
Pada tahun 1860, Virchow mengusulkan teori tentang
patogenesis terjadinya trombus yang melibatkan: sel
endotel, aliran darah, dan kondisi hiperkoagulabilitas.
Saat ini risiko terjadinya trombosis diduga dapat
diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: genetik,
lingkungan, dan faktor didapat. Keadaan di atas memicu
berkembangnya teori two hit atau multihit sebagai risiko
independen terjadinya trombosis. Pada perkembangan
berikutnya, faktor genetik dan atau didapat diperberat
dengan beberapa faktor risiko, yaitu: imobilisasi, inflamasi,
rokok, terapi hormon dan lain sebagainya.

Hypercoagulable states merupakan keadaan kongenitall


didapat yang telah diketahui atau dicurigai berhubungan
dengan hipereaktivitas sistem koagulasi dan atau
perkembangan ke arah tromboemboli.
Manifestasi klinis kelainan ini adalah: meningkatnya
kejadian trombosis, yang muncul pada usia muda,
trombosis familial, dan trombosis di lokasi yang tidak lazim
(di vena otak).
Menurut penyebab hypercoagulable states, dibagi

HYPERCOAGULABLE STATES KONGENITAL

Bentuk kelainan ini terutama (60% penyebab tersering)


adalah resistensi protein C teraktivasi (APC resistance)/
kelainan genetik padapoint of mutation (faktor V Leiden)
dan berkurangnya natural anticoagulan, yang diperankan

oleh Anti Trombin I11 (AT 111), Protein C (PC) dan Protein S
(PS). Pada Tabel 2 diperlihatkan beberapa penyebab
hypercoagulable states kongenital.
Hal yang menarik pada keadaan ini adalah pada saat
ditegakkan diagnosis, 50% kelompok ini tidakmenunjukkan
gejala adanya trombosis.Terdapat kecenderungan
meningkatnya perbedaan antara populasi yang
menunjukkan gejala dengan yang tidak menunjukkan
gejala, pada kelompok umur, tetapi 20-30% kelompok ini
tetap tidak menunjukkan gejala.

Resistensi protein C teraktivasi


Defisiensi alfa-makroalobulin
Antibodi antikardiolipk
Defisiensi antitrombin
Disfibrinogenemia
Faktor V leiden
Defisiensileksesfaktor V
Ekses faktor VII
Ekses faktor Vlll
Ekses faktor XI
Defisiensi kofaktor II heparin

Hiperhomosisteinuemia
Hi~erfibrinoaenemia
~ntikoa~ula';l
lupus
Ekses PAI-1
Defisiensi plasminogen
Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Protrombin G20210A
Defisiensi tPA
DefisiensiTFPl
Defisiensi Trombomodnuli

PAI-I=plasminogen activator inhibitor-I; TFPI=tissue factor


pathway inhibitol; tPA=tissue plasminogen activator

8.

Resistensi Activated Protein C (APC resistance)


Defisiensi Anti Trombin Ill (AT Ill)
Defisiensi Protein C (PC)
Defisiensi Protein S (PS)
Gangguan pada ko-faktor II heparin
Disfibrinogenemia
Kombinasi gangguan (PC + APC resistance + PS)
Gangguan pada sistem fibrinolisis

9.

Hiperhomosisteinemia

1.
2.
3.
4.

5.
6.

7.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Protein C Teraktivasi
Dengan ditemukannya faktor V Leiden, maka identifikasi
terhadap pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki
kecenderungan trombosis menjadi lebih besar. Dahlback
dkk melakukan pengamatan terhadap resistensi protein C
pada sekelompok populasi dan menyimpulkan bahwa
pasien dengan trombofilia familial yang berhubungan
dengan gangguan pada titik mutasi tingkat genetik
(genetic point of mutation), yaitu pada perubahan posisi
tunggal asam amino glutamin menjadi arginin pada posisi
506, &an menyebabkan aktifhya resistensi faktor V Leiden
terhadap antikoagulan alamiah, yaitu APC (autoantibodi
APC). Selain ha1 di atas, secara hipotesis, resistensi APC
diakibatkan oleh defisiensi PS dan gangguan faktor VIII
atau V pada tempat pembelahan APC. Ciri khas kelainan
ini adalah respons yang buruk terhadap antikoagulan.
Bentuk gangguan ini adalah abnormalitas faktor V (faktor
V Leiden), yang didapat pada 15-30% kasus trombosis.

Tipe I: kadar antigen dan aktivitas PC rendah.


Tipe 11: kadar antigen PC normal, tetapi berkurang
aktivitasnya.
Tipe 111: kadar antigen PC berkurang dan aktivitasnya
rendah.

Defisiensi Protein S (PS)


Protein S merupakan glikoprotein plasma (berat molekul
84000 D) yang juga disintesis di hati dan sel endotel. PS
merupakan kofaktor PC aktif dan membentuk kompleks
dengan ikatan protein C4b. Di dalam plasma PS dapat
bersifat bebas atau berikatan dengan protein C4b, tetapi
hanya bentuk PS bebas saja yang aktif. Hingga saat ini,
klasifikasi gangguan PS belum dapat dipastikan.

Tiwue factor +
factorVll (a)

Defisiensi AntiTrombin Ill (AT Ill)


AT merupakan glikoprotein plasma (berat molekul: 58.000
D), yang disintesis di hati dan sel endotel. Fungsi AT
adalah menghambat trombin, faktor Xa, IXa, XIa, XIIa serta
plasmin dan kalikrein. Fungsi AT menjadi lebih aktif dengan
bantuan heparin atau mukopolisakarida yang mirip
heparin, yang terdapat pada permukaan sel endotel.
Defisiensi AT merupakan kelainan autosom dominan,
bentuk heterozigot dapat menjadi risiko terjadinya
trombosis vena. Pada populasi umum, prevalensi defisiensi
AT adalah 1: 2000 sampai dengan 1: 5000.
Untuk penggunaan praktis, gangguan pada AT
dikelompokkanmenjadi:
Tipe I defisiensi murni.
Tipe I1 abnormalitasAT.
Tipe 111, gabungan tipe I dan 11.
Manifestasi tersering kejadian trombosis pada bentuk
gangguan koagulasi ini adalah trombosis vena dalam,
emboli paru, trombosis splanknik, di samping tercatat pula
beberapa angka kejadian trombosis arteri.
Defisiensi Protein C (PC)
PC merupakan glikoprotein dependen (berat molekul63.000
D), yang disintesis di hati. Setelah diaktivasi oleh kompleks
trombin-trombomodulin di permukaan sel endotel, PC &an
menghambat kerja faktor VIIIa dan Va serta menstimulasi
proses fibrinolisis. Seperti halnya AT, defisiensi PC
diturunkan secara autosom dominan, sedangkan sifat
heterozigot merupakan risiko timbulnya trombosis. Pada
pasien homozigot, kadar PC yang tidak terdeteksi
didapatkan dari kedua orangtua dengan kondisi
heterozigot.

Berdasarkan temuan laboratorium, gangguan PC


dikelompokkan menjadi:

Faktor IXa
(+ faktor vltta)

Faktor Xa
(+ faMmVa)

Sistem protein C
w

F ~ H Mla

FaMor !la
)

Antitrombin

Gambar 1. Jalurantikoagulanfisiologis:AT Ill menghambat Trombin


(F Ila) dan F Xa, APC mendegradasi ko-faktor Va dan Xa, tissue
factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat kompleks F Vlla.

Gangguan pada Heparin KO-faktor II


Heparin kofaktor I1 (HC 11)merupakan glikoprotein plasma
dengan berat molekul 65.000 D, yang berfungsi
menghambat aktivitas trombin. Reaksi di atas diperkuat
dengan adanya heparin dan dermatan sulfat.
Disfibrinogenemia
Merupakan kelainan kongenital yang jarang didapat,
ditandai dengan gangguan fungsi fibrinogen tingkat
molekular. Kelainan ini diturunkan secara autosom
dominan.
Sekitar 15% dari 243 kelainan molekul fibrinogen
dikaitkan dengan manifestasi trombosis, baik arteri maupun
vena. Melemahnya ikatan dengan t-PA atau plasminogen
terhadap fibrin yang abnormal, berkurangnya aktivitas
plasminogen pada fibrin yang abnormal, dan resistensi
terhadap fibrin, diperkirakan merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap gangguan fibrin.
Kombinasi Gangguan
Telah dilaporkan beberapa kasus kombinasi gangguan atau

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HYPERCOAGULABLE STATES DIDAPAT

kaitannya dengan gangguan pada sistem fibrinolisis.


Walaupun kemungkinan akan ditemukan kejadian
trombosis di tempat-tempat yang tidak lazim, ternyata 50%
pasien dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala.
Dengan kata lain, kejadian trombosis tidaklah bertambah
berat pada kombinasi gangguan dibandingkan dengan
gangguan tunggal.

Kondisi di atas merupakan penyebab hypercoagulable


state didapat:
Pada kesempatan ini penulis membatasi diri untuk
membahas tentang kehamilan, keganasan, dan sindrom
antifosfolipid.
Kehamilan
Perubahan fisiologis dan anatomis selama kehamilan dapat
memperberat keadaan tromboemboli. Sebagaimana halnya
perempuan yang tidak hamil, diagnosis tromboemboli
seringkali sukar ditegakkan, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan yang akurat.
Beberapa pendekatan diagnostik dapat dilakukan pada
perempuan hamil, namun dibandingkan dengan
perempuan yang tidak hamil beberapa jenis pemeriksaan
menjadi amat sangat terbatas pemakaiannya, terutama
yang berkaitan dengan radiasi.
Perempuan tanpa riwayat trombosis, pada saat
kehamilan akan memiliki risiko kejadian trombosis;
walaupun besar risiko masih belum dapat dipastikan. Studi
terakhir menyatakan perempuan hamil dengan defisiensi
AT 111, PC atau PS akan memiliki risiko trombosis 8 kali
lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Walaupun
demikian, kejadian risiko trombosis absolut di atas masih
rendah (7 dari 169 kehamilan), 2 episode selama trimester
ketiga, 5 episode setelah kelahiran.

Gangguan pada Sistem Fibrinolisis


Efektivitas sistem fibrinolisis amat tergantung pada
kemampuannya untuk membentuk plasmin.
Meningkatnya aktivitas fibrinolisis akan memicu
terjadinya lisis bekuan, hingga hasil akhirnya adalah
perdarahan. Sebaliknya, kejadian hipofibrinolisis akan
memudahkan terbentuknya fibrin, yang berakhir dengan
trombosis.
Hingga saat ini, hubungan antara gangguan sistem
fibrinolisis dengan risiko terbentuknya trombosis masih
dalam perdebatan.
Hiperhomosisteinemia
Merupakan kelainan metabolik yang diakibatkan oleh
beberapa kelainan genetik. Homosistein darah akan
menyebabkan kerusakan jaringan penyambung dan
memicu gangguan sistem koagulasi. Mekanisme di atas
diduga akibat pengaruh aktivitas trombomodulin atau
meningkatnya aktivitas F V.

Penerima metil
Fosfatidiletanolamin
Guamidoasetat
Penghantar saraf (neurotransmitters)mis dopamin
Protein (mielin)
DNA
RNA
Penerima vana sudah termetilasi
-Fosfatidilkolinkreatin
Kreatinin

'

Penghantar saraf termetilasi


Protein=proteintermetilasi
DNA termetilasi
RNA termetilasi

Poliamin

S-adenosil
met~onin

Glisin
f-Penghambat
Sarkosin

?%?<

Serine

yry

metil THF

J)<
Metionin

Homosistein

Sistationin

$4

Sistein

Taurin

-b

Gambar 2

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

?
9-

Glisin

'"'

Metil THF

(SAM Activation)

A-Ketobutirat

Serin

Metilen HF

(SAM . .

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


1.
2..
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kehamilan
Heganasan
Sindrom antifosfolipid
Kelainan rnieloproliferatif
Pasca pembedahan
Sindrorn nefrotik
lnflamasi
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)

Pada studi lainnya, sejumlah 2480 perempuan hamil


dengan mutasi faktor V Leiden, memiliki risiko trombosis 8
kali lebih besar.
Penatalaksanaan antepartum perempuan hamil dengan
trombofilia tanpa riwayat trombosis sebelumnya, hingga
saat ini masih kontroversial sehubungan dengan
rendahnya kejadian trombosis serta kurangnya data
penelitian tentang profilaksis trombosis.
Keganasan
Keganasan atau penggunaan kemoterapi yang digunakan
sebagai pengobatan keganasan, dapat menyebabkan
kerusakan endotel pembuluh darah. Keganasan dapat
mempengaruhi aliran melalui efek mekanik pada pembuluh
darah sekitar tumor.
Di samping itu, angiogenesis yang diinduksi oleh
tumor menghasilkan pembuluh darah yang kompleks
dengan aliran darah yang abnormal. Mikrovaskular di
sekitar tumor mengalami peningkatan permeabilitas
terhadap protein, antara lain fibrinogen. Kemungkinan ha1
tersebut diakibatkan sel tumor menghasilkan vascular
permeability factor atau vascular endothelial growth
factor (VEGF). Selain meningkatkan permeabilitas, VEGF
juga mengatur angiogenesis dan menginduksi ekspresi
faktor jaringan, sehingga terjadi deposisi fibrin
ekstravaskular.
Pada
keganasan,
kondisi
hiperkoagulabilitas disebabkan oleh adanya aktivitas
prokoagulan sel tumor, yaitu faktor jaringan dan cancer
procoagulant (CP). Faktor jaringan berfungsi sebagai
reseptor dan ko-faktor F VII, sedangkan CP adalah
protease sistein yang memecahkan F X secara langsung
tanpa adanya F VIIa.
Sel tumor juga menyediakan permukaan untuk
pembentukan kompleks protrombinase karena F Va dan F
Xa dapat menempel pada permukaan sel tumor. Di samping
itu kemoterapi menyebabkan penurunan peran
alltikoagulan alamiah (PC dan PS).
Sindrom Antifosfolipid
Beberapa hipotesis telah diusulkan untuk menjelaskan
mekanisme selular dan molekular yang mengaitkan
antibodi antifosfolipid dengan kejadian trombosis.
Teori pertama adalah adanya aktivasi sel endotel.
Ikatan antibodi antifosfolipidmengakibatkan teraktivasinya

sel endotel, yang dimanisfestasikan dengan ekspresi


molekul adhesi, sekresi sitokin dan metabolisme
prostasiklin. Antibodi antifosfolipid yang dikenal sebagai
l3,-glikoprotein I berikatan dengan sisa sel endotel.
Teori berikutnya menitikberatkan pada oksidan yang
diakibatkan jejas pada endotel vaskular. Oksidasi
lipoprotein densitas rendah (LDL), yang merupakan
penyumbang utama kejadian aterosklerosis, diserap oleh
makrofag, yang menyebabkan makrofag teraktivasi dan
selanjutnya terjadi kerusakan pada sel endotel.
Autoantibodi untuk mengoksidasi LDL

HYPERCOAGULABLE STATES GABUNGAN


(KONGENITAL DAN DIDAPAT)
Didapatkannya gabungan hypercoagulable states pada
pasien yang sama menunjukkan cukup tingginya insidens
kejadian ini. Contoh kasus yang cukup baik adalah
penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan
defisiensi AT.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Pencegahan terhadap kejadian trombosis merupakan ha1
yang paling penting. Berbagai faktor dapat menimbulkan
trombosis, padahal medikamentosa yang digunakan untuk
penatalaksanaan kejadian ini hanya terbatas pada beberapa
langkah pencegahan koagulasi dan tidak dapat
mempengaruhi keseluruhan.
Beberapa jenis obat yang ditujukan terhadap beberapa
keadaan koagulasi:
Warfarin: menghambat sintesis faktor koagulasi yang
tergantung vitamin K (anti vitamin K), yaitu : F 11, VII,
IX, X, Protein C dan S.
Aspirin: menghambat agregasi trombosit dengan cara
intervensi sintesis tromboksan.
Tiklopidin: menghambat agregasi trombosit dengan
cara melekatkan fibrinogen pada membran trombosit.
Obat ini ditujukan untuk pasien dengan risiko strok
serta intoleransi terhadap aspirin.
Heparin: menghambat aktivasi F X dengan cara
mencegah konversi protrombin menjadi trombin.
Dengan menghambat fibrin-stabilizing factor oleh
trombin, heparin mencegah pembentukan stablefibrin
clot.
Tissue plasminogen factor (t-PA): mengaktifkan
plasmin yang memecahkan fibrin.
PENGOBATAN
Seperti halnya kelainanlgangguan umumnya, maka
penatalaksanaan pada kondisi hiperkoagulabilitas adalah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pengobatan terhadap penyakit dasar, walaupun demikian


prinsip pengobatan adalah:

Antikoagulan
Heparin, .Meningkatkan aktivitas anti trombin 111.
Menghambat aktivitas F X dengan cara mencegah konversi
protrombin menjadi trombin. Dengan menghambat$brinstabilizingfactor, heparin mencegah pembentukan stable
Jibrin clot.
Low molecular weight heparin (LMWH), misalnya:
enoxaparin atau dalteparin, umumnya diberikan subkutan,
tidak memerlukan monitor aPTT, lebih sedikit menimbulkan
antibodi maupun trombositopenia.

Biasanya unj?actionated heparin (UFH) diberikan apabila


LMWH tidak tersedia. Umumnya, dosis UFH untuk pasien
dewasa adalah 25.000-40.000 unit, diberikan secara infus
kontinyu selama 24 jam, dengan diawali bolus 5.000 unit
intravena, dengan monitoring terhadap aPTT (target 1,5-2
kali kontrol).

Warfarin, Merupakan antagonis vitamin K, menurunkan


faktor 11, VII, IX, X, serta antikoagulan alamiah protein C
dan S. Preparat ini diberikan dengan dosis awal 5-10 mg
oral, yang diikuti secara titrasi, hingga.dicapai nilai
(International Normalized Ratio) INR: 2-3.

ALGORITHM FOR LABORATORY INVESTIGATION OF HYPERCOAGULABLE STATE


Indications forLlaboratory Testing:
Idiopathic/unexplained
Recurrent
Family history of thrombotic tendency
Unusually young age
Unusual site e.g. subclavian or mesenteric vessels
Resistant to conventional anticoagulant therapy
During pregnancy or oral contraceptive therapy
Primary Panel of Test:
Activated Protein C (APC) Resistance (screening test for Factor V Leiden)
Protein C*
Protein S*
Antithrombin* (formerly known as Antithrombin 111)
Lupus Anticoagulant (APPT Mixing Studies,Dilute Russel Viper Venom Time, Hexagonal Phase phosplipid test)
AnticardiolipinAntibody (IgG and IgM)
Serum Homocysteine (Fasting sample)
*Functional assays are used initially for Protein C , Protein S and Antithrombin. If Protein C or Protein S values
decreased,immunologic assays are performed (for Protien C antigen or total and freeprotein S antigen respectively).
If the above test are all negative, and there is strong suspicion of a primary hypercoagulable disorder,consider adding the
following tests, as clinically warranted:
Fibrinogen (rule out dysfibrinogenemia)
Plasminogen (rule out hypo- or dysplasminogenemia)
tPa levels (before and after venous occlusion); PA1 level-considered investigative
Ideal Time for Testing:

Ideally, at the of time of testing, the patient should be:

Clinically stable-if an acute event has occurred, it is advisable to defer testing for several weeks.
Off warfarin and heparin therapy-if this is not possible, keep in mind the follwing:
- Heparin may cause a mild acquired decrease in Antithrombin.
- Warfarin will produce an acquired decrease in Protein C and Protein S.
Protein C and Protein S levels cannot be reliably interpreted in patients on warfarin.
In general, if a deficiency ofAntithrombin, Protein C, or Protein S is observed,it is recommended that the testing be reppeated
after an interval to confirm deficiency. Family studies may be helpful.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1341

KONDISIHIPERKOAGULABILITAS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Awal Kejadian Trombosis

I
Faktor risiko

Idioiatik
Usia muda

sepintas

Faktor risiko
sedang berlangsung

Garnbar 3. Awal Kejadian Trornbosis

Characteristics of Patient t
-

Risk of Recurrence in the


Year after Discontinuation (%)

Duration of Therapy

3
4 0 if risk factor avoided
> I 0 if risk factor persistent
<I0

3 rno
6 rno
Until factor resolves
6 rno*

> I0
> I0
>I0

Indefinite
Indefinite
Indefinite

Major transient risk factor


Minor risk factor; no thrornbophilia
Idiopathic event; no thrornbophilia or
low-risk thrornbophilia
Idiopathic event; high-risk thrornbophilia
More than one idiopathic event
Cancer; other ongoing risk factor

Data are from Hirsh and Hoak, Hyers et al., and Kearon.

t Examples of major transient risk factors are major surgery, a major medical illness, and leg casting. Examples of minor
transient risk factors are the use of an oral contraceptive and hormone-replacementtherapy. Examples of low-risk
thrombophiliasare heterozygosityfor the factor V Leiden and G20210A prothrombin-genemutations. Examples of highrisk thrombophilia are antithrombin, protein C, and protein S deficiencies; homozygosityfor the factor V Leiden or
prothrombin-gene mutation or heterozygosityfor both; and the presence of antiphospholipid antibodies.
$ Therapy may be prolonged if the patient prefers to prolong it or if the risk of bleeding is low.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Risk Factor t
Antithrombin deficiency
Protein C deficiency
Protein S deficiency
Factor V Leiden mutation
Heterozygous
Homozygous
Dysfibrinogenemia
Factor V Leiden and G20210A
prothrombin-gene mutations
Antiphospholipid antibodies
Elevated factor Vlll levels
Elevated factor IX levels
Hv~erhomocvsteinemia

Estimated Prevalence
(%)$
1
3
3

Estimated Relative Risk


of Recurrence
1,5-3
13-3
1,5-3
1-4
About 4
NA
2-5

Data are from Kearon, Christiansen et al., Baglin et al., Margaglinone et al., and
Kyrle et al. Relative risk are for patients with the risk factor in question, as compared
with those without the risk factor.
t The definition of deficiency of antithrombin, protein C, or protein S varies; it is
usually defined as a functional or immunologic value that is less than the 5thpercentile
of values in the control population.
$ Prevalence and relative risk depend on the definitions of hyperhomocysteinemia and
elevations in levels of factor Vlll and factor IX and on the reference group.

Preparat terbaru, Fondaparinux merupakan pentapeptida


yang menghambat faktor Xa. Argatroban dan Lepirudin
menghambat langsung fungsi trombin. Preparat-preparat
di atas ditujukan kepada pasien dengan masalah heparininduced thrombocytopenia.
Pada umumnya, antikoagulan yang digunakan untuk
pasien rawat inap, dimulai dengan heparin dan selanjutnya
menggunakan warfarin untuk pemeliharaan (tumpang
tindih 3 hari dengan heparin). Lama penggunaan
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, misalnya
trombosis vena dalam daerah tungkai, diberikan selama 6
minggu sampai 3 bulan; dan seterusnya.
Antifibrinolisis
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), streptokinase dan urokinase menyebabkan lisisnya bekuan dengan
cara mengaktifkan plasmin, yang kemudian mendegradasi
fibrin. Indikasi tPA adalah trombosis vena dalam, emboli
paru masif, emboli arteri pada ekstremitas, infark miokard
akut, dan unstable angina pectoris.

Dosis yang biasa digunakan:


t-PA-untuk emboli paru masif (kasus dewasa dengan
berat badan > 65 kg) 10 mg, i.v bolus, selama 1-2 menit,
dilanjutkan dengan 50 mg, i.v selama 1jam dan 40 mg,
i.v duajam berikut (dosis total: 100 mg).
Streptokinase-untuk emboli paru, trombosis arteri atau
vena dalam: 250.000 IU, iv selama 30 menit, selanjutnya
100.000IU1ja.m selama24jam (untukkasus emboli paru);
atau selama 72 jam (untuk kasus trombosis arterilvena
dalam).
Urokinase-untuk emboli paru 4400 IUkg BB, i.v selama

10 menit, dilanjutkan dengan 4400 IUIkg BBIjam,


intravena selama 12jam.
Umumnya, terapi antifibrinolisis diikuti dengan
antikoagulan heparin.
Kontraindikasi terapi ini adalah perdarahan aktif,
cerebrovascular accident baru (kurang dari 3 bulan),
neoplasma intrakranial, aneurisma serta cedera kepala
baru.

An tisg regaol Tram booi


Preparat yang biasa digunakan aspirin 60-325 mg,hari)
disertai dengan klopidogrel (dosis awal 400 mg,
selanjutnya 75 mghari); akan menurunkan angka kejadian
trombosis arteri (strok, infark miokard) pada pasien risiko
tinggi.

Faktor risiko didapat


Trom bosis
arteri

Trombosis
vena

merokok
hipertensi
diabetes melitus
hiperlipidemia

imobilisasi
operasi
keganasan
sindrom nefritik

kontrasepsioral
polisitemia

kontrasepsi oral
gagal jantung
kongestif
sindrom obesitas

hipewiskositas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Faktor risiko
kongenital
defisiensi protein C
defisiensi protein S
defisiensi protein AT Ill
resistensi protein C
teraktivasi
(Faktor V Leiden)
Alel protrombin 20210
aktivator plasminogen
polirnotfisme inhibitor-1
Peningkatan factor Vlll
defek faktor XI1
disfibrinogenemia
homosisteinemia

1343

KONDISI HIPERKOAGULABILITAS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Clinical manifestations

Hypercoagulable State

Percentage (%)

Livedo retikularis
Trombosis
vena
arterial
Keterlibatan SSP
Trom bositopenia
Aborsi berulang (>2)
Anemia hemolitik
Ulkus tungkai

49

Risiko relatif dari VTE tunggal


sepanjang hidup

Faktor V Leiden
Protrombin G20210A
Faktor V Leiden dan
protrombin G20210A
(heterozigot-ganda)
Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Defisiensi antitrombin
Hiperhornosisteinemia
Lupus anticoagulant
Antibodi antikardiolipin

43
5
44
41
26
23
8

2-10
2-6
20.0

11
32

* Risiko relatif variabilitasnya tinggi, tergantung, tergantung


Hypercoagulable
States

Pasien dengan
Populasi
Tromboemboli
Vena Tunggal

Uzm:

\'-,

Factor V Le~den
Prothrornbin G20210A
Antithrombin
def~ciency
Prote~nC deficiency
Protein S deficiency

3-7

20

1-3
0.02

6
1

0,244
tidak
diketahui
Hiperhornosisteinemia
5-10
Antibodi antifosfolipid
0-7
N/A=notreadilv available or
unknown

Presentasi tromboemboli
vena (VTE)
Trombosis vena serebral

Trombosis vena serebral


Pada perempuan pengguna
pi1 kontrasepsi oral
Trombosis vena kava, vena
renal, vena mesenterika, dan
vena hepatik
Tromboflebitis superfisial
migratori
(Trousseau's syndrome)
Tromboflebitis superfisial
rekuren
Nekrosis kulit warfarin
Purpura neonatal fulminal
Kehilangan fetal yang tidak
dapat dijelaskan (tiga atau
lebih abortus trimester
pertama atau kematian pada
trimester kedua atau ketiga
yang tidak dapat dijelaskan
pada fetus normal secara
morfologi)

Keluarga
Trombofilik
(%I
,. -,
50
18

pada apakah mereka diturunkan dari studi-studi berbasis


keluarga atau populasi. Perbedaan risiko dapat dijelaskan
pada kesulitan lebih besar dalam mendapatkan reliabilitas
perkiraan berbasis populasi karena secara keseluruhan
prevalensi kelainan ini rendah. Mungkin angka kejadian ini
overestimated pada studi-studi familial awal..

4-8

1-2
10-25
5-15

tidak diketahui
tidak diketahui
Risiko
Relatif

Kondisi Hypercoagulable
Protrombin G20210A, antibodi
antifosfolipid, defisiensi
antitrombin, trombositemia
esential, PNH
Protrombin G20210A
Antibodi antifosfolipid, kanker,
defisiensi antitrombin, sindrom
mieloproliferatif, PNH
Kanker (terutama
adenokarsinoma saluran
gastrointestinal)
Faktor V leiden, polisitemia
Vera, defisien antikoagulan
alamiah
Defisiensi protein C dan S
Defisiensi protein C dan S
homozigot
Antibodi antifosfolipid

Risiko.
Absolut*

Perempuan nonkarrier
1
0,8110000
Perempuan nonkarrier pengguna
4
3,211 0000
pi1 kontrasepsi oral
Faktor V Leiden heterozigositas
7
5.711 0000
35
28.5110000
Heterozigositas faktor V Leiden
perempuan pengguna pi1
kontrasepsi oral
'Perkiraan jurnlah kasus VTE per 10.000 orang per tahun.

Pemeriksaan Skrining
Resistensi protein C teraktivasi
Pemeriksaan rnutasi protrombin
G20210A dengan PCR
Tingkat aktivitas antitrombin, protein
C, dan protein S
Tingkat aktivitas faktor Vlll
Lupus antikoagulans (aPTT sensitif,
aPTT mixing, dilute Russell viper
venom time)
Antibodi antikardiolipindengan
ELSA
Kadar hornosistein plasma total

Pemeriksaan Konfirmasi
PCR Faktor V Leiden
Pemeriksaan antigenik
untuk antitrombin,
protein C, danlatau
protein S
Pemeriksaan konfirmasi
untuk lupus
anticoagulants*

* Include at least one of the following: platelent neutralization

procedure, hexagonal phase phospholipids, TextarinIEcarin test,


platelet vesicles, D W Confirm.
PCR=polyrnerasechain reaction; aPTT=activated partial
thromboplastin time; ELISA=enzyme-linkedimmunosorbent assay.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Bertina RM. Hypercoagulable States. In : Semin in Hematol
1997;34(3):167-70.
Bates SM, Ginsberg JS. How we manage venous thromboembolism
during pregnancy. Blood 2002;100(10):3470-8.
Cobb ME, Hollensead SC. Molecular Testing for Inherited Thrombotic Disease. Available from : http://www.uoflhealthcare.org.
Cattaneo M, Martinelli I, Mannucci PM. Hyperhomocysteinemia as
a risk factor for Deep Vein Thrombosis. NEJM 1996;335:974-6.
Chadha P. Thrombotic Disorders : Hypercoagulable State. In : Kasper
DL, Braunwald D, Fauci AS, et al. Harrison's Manual of Medicine 16theds. McGraw-Hill 2005, 277-280.
DeLoughery T. Hypercoagulable States - 2004.

Girolami A, Sartori h?T, Patrassi GM et al. Hypercoagulability : An


Updated Review. Available from : http://haem.nus.edu.sg/ishapdl
1996119961087.pdf.
Kyrle P, Minar E,Bialonczyk C et al. The Risk of Recurrent Venous
Thromboembolism in Men and Woman. NEJM 2004;350:255863.
Levine JS, Branch DW, Rauch J. The Antiphospholipid Syndrome.
NEJM 2002;346(10):752-63.
Nema SK. Thrombosis-The Newer Dimensions. MJAFI
2004;60:218-9.
Solymoss S. Factor V Leiden : Who should be tested ?. CMAJ
1996;155:296-8.
Setiabudy RD,Trombosis pada keganasan. Dalam : Kongres Nasional
dan Temu Ilmiah - Perhimpunan Hematologi dan Transfusi
Darah (PHTDI); 2005.hlm. 40.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID:


ASPEK HEMATOLOGIK DAN
PENATALAKSANAAN
Shufrie Effendy

Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody


antiphospholipid syndrome, APS) didefinisikan sebagai
penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan
adanya I) antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin
dadatau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten)
serta 2) kejadian berulang trombosis venalarteri,
keguguran, atau trombositopenia.
Sindrom ini pertama kali diusulkan oleh Hughes dan
Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu sindrom ini
dikenal juga sebagai sindrom Hughes.

ANTlBODl ANTIFOSFOLIPID

Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody,


aPLA) didefinisikan sebagai immunoglobulin yang
bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar yang
komponen utamanya adalah fosfolipid.
Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai
antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara
struktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah
(fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah P2
glikoprotein I (P2GPI), berfungsi sebagai pengontrol
aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung
enzim fosfolipase A, (phospholipase A,, PLA,). P2GPI
merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (ApoH) sebagai penghambat enzim PLA2. Selain dari P2GP1,
secara alamiah tubuh juga membentuk annexin V atau
'placental anticoagulant protein 1" yang disebut juga
sebagai "placental aPL", yang sangat kuat menghambat

enzim PLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel


(apoptosis).
Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk
diketahui sebagai inhibitor Lupus yang lebih dikenal
sebagai Antikoagulan Lupus (Lupus Anticoagulant, LA)
yang terdiri dari 2 subgrup, yaitu: a). LA sensitif
tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, 111, PL,
dan Ca", mengakibatkan pemanjangan masa protrombin
(PT), khususnya pada pemeriksaan dengan "diluted PT';
b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat
kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca" mengakibatkan pemanjangan
masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT) dadatau yang
menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca" mengakibatkan
pemanjangan dRWT- 1 pada dRWT-2 normal.
Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai
antigen yang terikat pada epitope fosfolipid pada bagian
luar dinding biologis sel yang terpapar. Sebagai contoh,
aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope
fosfolipid pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau
protrombin; aPLA dependen P2-GPI dibangun oleh epitope
fosfolipid pengikat Apo-H pengikat P2-GPI; dan aPLA
dependen anneksin V dibangun oleh epitope fosfolipid
pengikat apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan
aPLA dependen LDL teroksidasi dibangun oleh epitope
fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat LDL
teroksidasi.
Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi
langsung terhadap kofaktor plasma protein
(apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA atau radioimmunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin
(anticardioplipin antibody, ACA).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Antibodi antifosfolipid dijumpai sejak usia muda,
prevalensi ACA dan LA pada subyek kontrol sehat adalah
1-5%. Sebagaimana autoantibodi lainnya, prevalensi
antibodi antifosfolipid meningkat seiring deng,an
bertambahnya umur, khususnya di antara pasien asia lanjut
dengan penyakit kronis penyerta.
Di antara pasien dengan SLE, prevalensi ACA positif
sekitar 12-30%,dan sekitar 15-34% dengan antibodi LA
positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti
laboratorium adanya antibodi antifosfolipid, tidak
menunjukkan gejala klinis. Data yang ada untuk subyek
kontrol sehat, tidak cukup untuk memperhitungkan
persentase mereka yang memiliki antibodi antifosfolipid
dan akan menunjukkan gejala trombosis atau komplikasi
kehamilan yang sesuai dengan APS. Sebaliknya, APS

dapat berkembang dalam 20 tahun pada 50-70% pasien


baik dengan lupus eritematosus sistemik maupun antibodi
antifosfolipid. Meskipun demikian, hampir 30% pasien
lupus eritematosus sistemik dan dengan antibodi
antikardiolipin, sedikit sekali menunjukkan bukti klinis APS
pada pemantauan sekitar 7 tahun.
Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara
antibodi antifosfolipid dan episode pertama dari trombosis
vena dan infark miokard, serta strok berulang. Oleh karena
itu, ha1 yang menjadi penting adalah identifikasi pasien
dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap
kejadian trombotik meningkat. Faktor risiko penting adalah
riwayat trombosis, adanya antibodi antikoagulan lupus,
dan peningkatan kadar antibodi antikardiolipin IgG.
Masing-masingmeningkatkanrisiko trombosis sampai lima
kali lipat, meskipun tidak semua studi melaporkan hasil
yang sama. Namun, kecuali riwayat kejadian trombotik,
faktor risiko yang lain tidak cukup untuk digunakan
sebagai faktor prediktif dilakukannya terapi.

KRlTERlA DlAGNOSTlK

Diagnosis APS ditegakkan dengan 1 kriteria klinis dan 1


kriteria laboratorium, sesuai dengan konsensus pada
simposium internasional mengenai antibodi antifosfolipid
di Sapporo pada 1998.
Ekor hldrofobik

KRlTERlA KLlNlS

Gambar 1. Antigen fosfolipid pada permukaan dinding sel,


protein spesifik antigenik, protein kofaktor plasma (apolipoprotein),
dan fosfolipid

Trombosis Pembuluh Darah


Satu atau lebih episode klinis dari trombosis arteri, vena
atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ yang
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraanl
Doppler atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding
pembuluh darah)
Morbiditas Kehamilan
Satu atau lebih kematian janin berusia 10 minggu atau
kurang, yang tidak dapat dijelaskan-diketahui dengan
ultrasonografi atau pemeriksaan langsung, atau
Satu atau lebih kelahiran prematur dari neonatus normal berusia 34 minggu atau kurang, akibat eklampsia
atau insufisiensi plasenta berat, atau
Tiga atau lebih aborsi spontan konsekutif sebelum usia
kehamilan 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan dimana
kelainan anatomi, genetika, atau hormonal telah
disingkirkan.

Pmleln kofakbr plasma

PL tergantung W-GPlh 8 antil2glikopmbn I


Ps Ianti phosphatidilserene

Gambar 2. Antibodi Antifosfolipid (PLA2=fosfolipase A2, p2GPI=


p2 glikoprotein I, LA = antikoagulan lupus, Apo-H=apolipoprotein
H, aPs=antifosfatidil serin)

Kriteria Lgboratorium
IgGAntibodi Antikardiolipin,danlatau isotipe IgM pada
titer sedang atau tinggi pada 2 atau lebih pemeriksaan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1347

SINDROMANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ldiopatik

.Antiger,.
Trauma, infeksi,
binding apolipoprotein bind phospholipids dan lain-lain

Trombosit

Endotella I
pertubat~on

Antibodi antifosfolipidl

Antikoagulan fosfolipid
I

TrombomodulinO
Protein CO
Protein SO

Keadaan
hiperkoagulabilitas
I

trombosit, defisiensi
fibrinolitik, statis,
hiperviskositas,

Gambar 3. Patogenesis trombosis akibat adanya antibodi antifosfolipid

Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi


protein C mengakibatkan aktivitas FV dan FVIII
berlebihan mengakibatkan hiperkoagulasi.
Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi
dengan autoantibodi kompleks heparan-antitrombin,
mengaktifkan reseptor Fc sel imunoefektor
mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan
mengaktivasi koagulasi.

dengan interval sekurang-kurangnya 6 minggu, diukur


dengan ELISA terstandarisasi untuk antibodi dependen
P2GPI.
Adanya Antikoagulan Lupus dalam plasma pada 2 atau
lebih pemeriksaan dengan interval sekurang-kurangnya
6 minggu, dideteksi menurut panduan dari The
International Society on Thrombosis and Hemostasis
(Scientijk Subcommitte on Lupus Anticoagulants/
Phospholipids-Dependent Antibodies).

KLASlFlKASl APS
PATOFlSlOLOGl
Asosiasi klinik trombosis dari anti-P2GPI dan anti-anneksin
V berupa trombosis vena danlatau arteri; antioksidan LDL
berupa trombosis arteri; sedangkan LA (aPL dependen
protrombin) dapat berupa perdarahan atau trombosis,
tetapi trombosis vena danlatau arteri lebih sering dijumpai
daripada perdarahan.

Pada "The I l l h International Congress on


Antiphospholipid Antibodies " di Sydney, 2004, telah
diusulkan klasifikasi sebagai berikut:
APS sebagai penyakit tunggal
APS yang berhubungan dengan penyakit lain termasuk

SLE
APS katastrofa

TROMBOGENESIS
Protein

Trombosis dapat terjadi melahi beberapa mekanisme


berikut ini:
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis P2GPI
mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin
V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis
trombomodulin, sehingga secara tidak langsung
antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C.
Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi
protein S sebagai kofaktor protein C.

Sel

Fosfolipid anionik
Glikoprotein I-p2
Anneks~nv

Trofoblas 9 Apoptosis
penurunan ekspresi
HCG
Endotel
Apoptosis
pelepasan EMP
VCAM- 1, ECAM- 1. E-selectin,
Faktor Jaringan

Trombomodulin
Protein c
Protein S

Trombosit+ pelepasan PAF & ekspresi


berlebihan GPllblllla Apoptosis pelepasan
cPLA2.
PMP Trombositopenia
Eritrosit 9 Anemia hemolitik

Protrombin
E ",,.",
lCtnr Ylr
IL-3 & GM-CSF
8

+
+

,I,"

Ekspresi IL-3 & GM-CSF J,

+ Leukopenia

EMP = endothelial microparticle, PMP = platelet microparticle,


PAF = platelet activating factors, cPLA2 = cytosol
phospholipase A2

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Klasifikasi ini memenuhi untuk stratifikasi risiko dan pilihan


terapi.
Sebelumnya, pada "The 81hInternational Congress on
Antiphospholipid Antibodies " di Sapporo, 1998, APS
diklasifikasikanmenjadi: 1). APS Primer, jika tidak ada SLE
atau kelainan autoimun lain. 2). APS Sekunder,jika dijumpai
SLE.

SPEKTRUM GAMBARAN KLlNlS APS


Asimptomatik pada LA dadatau ACA positif
Simptomatik pada LA dadatau ACA positif:
- Perempuan dengan:
- Riwayat infertilitas primer tanpa kelainan
ginekologis dan kesuburan.
- Riwayat keguguran.
- Riwayat toksemia kehamilan
- Adanya trombosis
- Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada
jaringan atau organ.
- Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa.
Sindrom antibodi antifosfolipid katastrofa adalah
kegagalan organ multisistem, sekunder terhadap trombosisl
infark dan menunjukkan gambaran mikroangiopati pada
pemeriksaan histologi.

MANlFESTASl KLlNlS
Aspek klinis pada sindrom antifosfolipid dapat berupa
aspek klinis seluler dan sistem. Aspek klinis selular adalah
sebagai berikut:
Anemia hemolitik
Apoptosis trofoblastik, sehingga terjadi penurunan
hormon hCG
Leukopenia
Aspek klinis sistem dapat berupa perdarahan dan
trombosis. Perdarahan disebabkan oleh 1). trombositopenia,
2). PT memanjang (tromboplastin sensitif-fosfolipid
inefisien), 3). aPTT memanjang (Defisiensi FXIc dadatau
tromboplastin sensitif-fosfolipid inefisien), dan 4).
hipoprotrombinemia didapat.
Sementara trombosis disebabkan oleh: 1)apoptosis
endotelial, sehingga terjadi pelepasan mikropartikel
endotelial dan material adhesi, 2)trombosit teraktivasi,
sehingga terjadi sticky platelet syndrome, 3)keadaan
hiperkoagulabilitas, dan 4)keadaan trombofilik.
Gejala dan Tanda
Kejadian vasospastik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada
setiap sistem organ, maka pada anamnesis sangat penting
untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan

kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik.


Penyakit ini memiliki spektrurn klinis yang luas, mulai dari
yang asimptomatik secara klinis dan indolen sampai yang
perjalanan penyakitnya progresif secara cepat.
Mata. Penglihatan kabur atau ganda, gangguan
penglihatan (melihat kilatan cahaya), kehilangan
penglihatan (sebagian lapang pandang, total)
Kardiorespirasi. Nyeri dada, menjalar ke lengan; napas
pendek
Gastrointestinal. Nyeri perut, kembung, muntah.
Pembuluh darah perifer. Nyeri atau pembengkakan
tungkai, klaudikasio, ulserasi jarittungkai, nyeri jari
tangantkaki yang dicetuskan oleh dingin.
Muskuloskeletal. Nyeri tulang, nyeri sendi
Kulit. Purpura dadatau petekie, ruam livedo retikularis
temporer atau menetap, jari-jari tanganfkaki kehitamhitaman atau terlihat pucat.
Neurologi dan psikiatri. Pingsan, kejang, nyeri kepala
(migrain), parestesi, paralisis, ascending weakness,
tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah
dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, mengerti yang
dibaca dan berhitung).
Endokrin. Rasa lemah, fatigue, artralgia, nyeri abdomen
(gambaran Penyakit Addison)
Urogenital. Hematuri, edema perifer
Riwayat kehamilan. Keguguran berulang, kelahiran
prematur, pertumbuhan janin terhambat
Riwayat keluarga. Risiko APS meningkat pada pasien
yang memiliki anggota keluarga dengan:
- Keguguran berulang, kelahiran prematur,
pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion,
khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsi,
toksemia keharnilan, tromboembolisme neonatorum.
- Infark miokard atau strok pada anggota keluarga
yang berusia kurang dari 50 tahun
- Trombosisvena dalam, flebitis atau emboli pulmoner
- Migrain, penyakit Raynaud, atau TIA
Riwayat pengobatan. Menggunakan kontrasepsi oral
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda yang sesuai
dengan organ yang terkena dan dapat melibatkan sistem
organ apapun.
Pembuluh darah perifer
- Palpasi tulang atau sendi :nyeri tekan (infark tulang)
- Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis
avaskular)
- Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam)
- Penurunan pengisian kapiler, denyut nadi, dan
perhsi (trombosis arterial/vasospasm)
- Gangren (trombosis arteri atau infark)
Paru: Respiratory distress, takipnea (emboli pulmoner,
hipertensi pulmoner)
Ginjal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1349

SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLlPlD

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


- Pemeriksaan darah perifer lengkap

~ i ~ e r t e n(trombosis
si
arteri renalis, lesi pembuluh
darah intrarenal)
- Hematuria (trombosis vena renalis)
Jantung:
- Murmur pada katup aorta atau mitral (endokarditis)
- Nyeri dada, diaforesis (infark miokard)
Gastrointestinal:
- Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas,
hepatomegali (sindrom Budd-Chiari, trombosis
pembuluh darah kecil hati, infark hati)
- Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika)
- Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada
otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi
yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal
(infarwperdarahan adrenal).
Mata
- Oklusi arteri retina
- Trombosis vena retina
Manifestasi kulit:
- Livedo retikularis
- Lesi purpura
- Tromboflebitissuperfisial
- Vasospasme (fenomena Raynaud)
- Splinter hemorrhages (perdarahan di bawah kuku)
periungual atau subungual
- Infark perifer (digital pitting)
- Ulserasi
- Memar (berhubungan dengan trombositopenia)
Kelainan sistem saraf pusat atau perifer
- Strok
- TIA
- Parestesia, polineuritis atau mononeuritis multipleks
(iskemialinfark vasovorurn)
- Paralisis, hiperrefleksi, rasa lemah (transverse myelitis, sindrom Guillain-Barre)
- Kelainan pergerakan-tremor khoreiform (infark
serebral, serebelum, basal ganglia)
- Kelainan yang menyerupai sklerosis multipel
- Kehilangan memorijangka pendek

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan antibodi antifosfolipid
Identifikasi trombosis intrarenal, arteri renalis atau vena
renalis:
- Analisis urin dipstik untuk hemoglobin atau protein
- Pemeriksaan urin: adanya sel darah merah
- Urin 24 jam untuk pemeriksaan protein dan klirens
kreatinin
Identifikasi trombositopenia persisten atau anemia
hemolitik:

- LDH, bilirubin, haptoglobin


- Tes Coombs direklindirek

Analisis urin dipstik untuk hemoglobin

- Antibodi antiplatelet (untuk mengevaluasi adanya


hubungan dengan purpura trombositopenik
autoimun)
Defisiensi sistem koagulasi:
Protein C
Protein S
- Antitrombin I11
- Antibodi protein koagulasi, seperti antibodi antifaktor I1 (protrombin)
Polimorfismegenetik:
- Mutasi Faktor V Leiden
- Mutasi gen protrombin 202 10A
- Mutasi Methylene tetrahydrofolate reductase
(MTHFR) (mengarah ke hiperhomosisteinemia)

Pemeriksaan Radiologis
Untuk kejadian trombotik (mis. TrombosisVena Dalarn)
- Ultrasonografi (USG) Doppler
- Venografi
- Ventilation/perhsion scan (untuk emboli pulmoner)
Untuk kejadian trombotik arterial (mis. oklusi/iskemia
pembuluh darah serebral,jantung, perifer):
- Computerized tomography (CT)
- Magnetic resonance imagint (MRI)
- Arteriografi
- USGDoppler
Untuk kelainan jantung:
- Ekokardiografi dua dimensi
- Ekokardiografitransesofageal
- Angiografi dengan kateterisasi
Patologi
Biopsi dari organ yang terkena, seperti kulit atau ginjal,
mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis
vaskulopati/mikroangiopati pada APS.
Pemeriksaan histologi pada mikroangiopati trombotik
menunjukkan adanya vaskulopati non-inflamasi tanpa
vaskulitis. Fibrin thrombi dihubungkan dengan obstruksi
dan hiperplasia intima fibrosa dengan rekanalisasi jaringan
penyambung intima. Lesi ginjal, terutama, ditandai dengan
oklusi vaskular yang fibrotik dengan trombosis akut dan
lesi vasooklusif pada pembuluh-pembuluh darah intrarenal.
Juga dapat ditemukan fibrosis interstisial dan atrofi tubuler.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom antifosfolipid adalah satu dari beberapa keadaan
protrombotik dimana trombosis terjadi baik pada vena atau
arteri. Meskipun kondisi lain yang dapat menjadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HEMATOLOCI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena (misal.


trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia,
kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas) dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanya
antibodi antifosfolipid mungkin menjadi satu-satunya
kelainan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid primer.
Penting untuk dicatat bahwa karena waktu
tromboplastin parsial teraktivasi yang normal tidak
menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus,
seorang pasien yang menunjukkan kejadian trombotik
pertama kali harus diskrining terhadap antibodi
antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang sensitif dengan
antibodi antikoagulan lupus. Diagnosis dapat tidak
diperkirakan pada pasien yang sindrom antifosfolipid-nya
menunjukkan proses yang kronik dan lebih indolen,
mengakibatkan terjadinya iskemia dan hilangnya fungsi
organ yang lambat dan progresif.
Faktor risiko sekunder yang meningkatkan
kecenderungan trombosis harus dicari. Beberapa faktor
dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk
stasis, cedera vaskular, obat-obatan seperti kontrasepsi
oral, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis.
Sangat penting untuk menghilangkan atau mengurangi
faktor-faktor ini, karena kehadiran antibodi antifosfolipid
saja tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis;
"serangan kedua" dikombinasikan dengan dengan
antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya
trombosis. Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbukti
menderita sindrom antifosfolipid, menguraikan penyebab
dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai contoh, sindrom
antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga
merupakan faktor risiko tromboemboli.
Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah seperti
berikut:
ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura), Anemia
hemolitik autoimun
Kelainan autoimun sekunder:
- SLE, dan penyakit kolagen lainnya (artritis rematoid
dan Behqet's)
- Induksi obat-obatan (drug induced), oleh
prokainamid, hidralazin, kuinidin, fenotiazin,
penisilin.
Penyakit kanker:
- Kanker hematologi (mis.leukemia, penyakit
limfoproliferatif dan sel plasma, dll)
- Kanker padat
Penyakit infeksi:
- Viral (misalnya CMV, Hepatitis C, HIV, HTLV- 1, dll)
- Bakterial (misalnya S. hemolyticus, H. pylori, Rickettsia spp, dll.)
- Parasit (misalnya malaria)
Penyakit hati kronis/sirosis hati:
Alkoholik, Hepatitis C
Sindrom hemolitik

- Inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA)


- Talasemia

PENGOBATAN
Pengobatan digolongkan dalam 4 kelompok: 1). Profilaksis,
trombosis pembuluh darah kecil; 2). Pencegahan trombosis
lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar;
3). Pengobatan mikroangiopati trombotik akut, dan
4). Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan
antibodi antifosfolipid.
Uraian berikut akan membahas mengenai pengobatan
dua kelompok pertama. Jenis-jenis obat yang digunakan
dalam terapi medikamentosa APS dapat dilihat pada
Tabel 2.

Nama

Dosis

Aspirin
Tiklopidin
Dipiridamol

1-2 mglkglhari
250 mg, 2 kali sehari
75-400 rnglhari, 3 atau 4 kali sehari
Dosis inisial: 40-170 Ulkg IV
lnfus pemeliharaan: 18 Ulkgljam IV
atau:
Dosis inisial: 50 Ulkgljam IV, diikuti dengan
infus 15-25 Ulkgljam, dosis ditingkatkan 5
Ulkgljam q4h prn berdasarkan hasil PTT
Profilaksis (dosis rata-rata): 30 mg subkutan,
setiap 12 jam
Terapi : 1 mglkg, subkutan setiap 12 jam

Heparin

Enoksaparin

Warfarin

5-15 mglhari, dosis dinaikkan berdasarkan


INR yang ingin dicapai (2.5-3.5)

ad 1
Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat
keluarga dengan trombosis arterilvena atau keguguran
tidak diberikan terapi yang spesifik.
Pasien asimptomatik dan terdapat anggota keluarga
yang menderita trombosis venalarteri atau keguguran
dapat diberikan profilaksis dengan aspirin, Namun
sebagian klinisi tidak menganjurkan pengobatan ini jika
tidak terdapat faktor risiko yang lain.
Sebuah studi potong lintang pada the Physicians'
Health Study meneliti peranan aspirin 325 mg per hari
sebagai obat profilaksis. Aspirin tidak menimbulkan
proteksi terhadap trombosis vena dalam dan emboli paru
pada pria dengan antibodi antikardiolipin. Sebaliknya,
aspririn dapat menimbulkan proteksi terhadap trombosis
pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan
riwayat keguguran. Hidroksiklorokuin dapat memproteksi
pasien lupus eritematosus sistemik dan sindrom
antifosfolipid sekunder terhadap terjadinya trombosis.
Tentunya, faktor-faktor lain yang menjadi predisposisi
trombosis harus disingkirkan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Modifikasi faktor risiko sekunder untuk aterosklerosis


sebaiknya dilakukan, sehubungan dengan peranan cedera
vaskular dalam pembentukan trombosis yang
berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, dan
hubungannya dengan antibodi antifosfolipid dan LDL
teroksidasi.

ad 2
Peranan antikoagulan dalam menurunkan angka kejadian
trombosis berulang telah ditunjukkan melalui tiga
penelitian retrospektif. Studi pada 19 pasien dengan
sindrom antifosfolipid menunjukkan angka rekurensi pada
8 tahun sebesar 0% pada pasien yang mendapat
antikoagulan oral. Pada pasien yang pengobatan
antikoagulannya dihentikan, angka rekurensinya adalah
50% setelah 2 tahun dan 78% setelah 8 tahun. Dua seri
studi lain yang lebih besar menunjukkan tingkat proteksi
terhadap trombosis vena dan arteri berhubungan langsung
dengan tingkat antikoagulasinya. Pada 70 pasien sindrom
antifosfolipid, pengobatan dengan warfarin intensitas
menengah (untuk mencapai International Normalized
Ratio (INR) 2,O-2,9) dan intensitas tinggi (INR 3,O atau
lebih) mengurangi angka trombosis rekurens secara
bermakna, dimana pengobatan intensitas rendah (INR 1,9
atau kurang) tidak memberikan proteksi yang bermakna.
Hasil yang serupa dilaporkan oleh studi pada 147 pasien
dengan sindrom antifosfolipid. Pada kedua studi tersebut,
aspirin saja tidak efektif dalam menurunkan angka
trombosis rekurens.
Pasien APS primer dengan trombosis vena dapat diobati
dengan terapi inisial yang terdiri dari heparin diikuti dengan
warfarin atau heparin berat molekul rendah (low
molecular weight heparin, LMWH). Risiko kekambuhan
tertinggi terjadi dalam 6-12 minggu pertama setelah
trombosis, namun biasanya pengobatan diteruskan
setidaknya sampai 6 bulan pada pasien tanpa faktor risiko
lain.
Pasien APS primer dengan trombosis arterilinfark tanpa
faktor risiko lain dapat diobati dengan aspirin, sementara
pemberian antikoagulan masih kontroversial. Sebagian
menganjurkan pemberian antikoagulan jangka panjang,
namun Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study
(APASS) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
dalam rekurensi stroke antara kelompok yang diobati
dengan aspirin saja dibandingkan dengan kelompok yang
diobati dengan aspirin dan warfarin.
Pasien APS sekunder dengan trombosis arteri atau
vena diindikasikan untuk pemberian terapi antiplatelet
(seringkali merupakan kombinasi antar asipirin,
hidroksiklorokuin dan pentoksifilin) ditambah antikoagulan
(warfarin atau LMWH). Pasa pasien dengan LA positif
dan memiliki faktor risiko lain (seperti mutasi faktor V
Leiden, gen protrombin, atau MTHFR) pemberian
antikoagulan seumur hidup mungkin diperlukan.

Beberapa ha1 penting harus diperhatikan. Pertama,


penghentian warfarin tampaknya berhubungan dengan
peningkatan risiko trombosis dan bahkan kematian,
khususnya pada enam bulan pertama setelah terapi
antikoagulan dihentikan. Karena angka rekurensi pada
pasien yang telah mendapat antikoagulan optimal dapat
mencapai 70%, pengobatan dengan warfarin seharusnya
dilakukan jangka panjang, jika tidak seumur hidup. Kedua,
masih belum jelas apakah pasien dengan sindrom
antifosfolipid dapat diobati dengan aman menggunakan
warfarin intensitas menengah atau apakah dibutuhkan
pengobatan intensitas tinggi. Hal ini merupakan ha1 penting
yang belum terpecahkan, karena warfarin intensitas tinggi
menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terjadinya
komplikasi perdarahan. Pada beberapa studi, warfarin
intensitas menengah telah menunjukkan efek penekanan
koagulasi yang sepenuhnya efektif, sebagaimana dinilai
menurut kadar fragmen protrombin dan pencegahan
trombosis rekurens. Akhirnya, pemantauan tingkat
antikoagulasi pada pasien sindrom antifosfolipid dipersulit
oleh kurangnya reagen terstandarisasi untuk penentuan
INR dan kemungkinan potensial adanya interferensi oleh
antibodi antifosfolipid pada pengukurannya.

PENGOBATAN PADA IBU HAMlL


Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan
riwayat dua atau lebih kehilangan kehamilan dini atau satu
atau lebih kehilangan kehamilan akhir, preeklampsi,
pertumbuhan janin terhambat, atau abrupsio, disarankan
pemberian aspirin antepartum ditambah profilaksis heparin (unfiactioned heparin,UFH, atau LMWH) dosis kecil
atau sedang (Grade 2B).
Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif
tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan
kehamilan hams dipertimbangkan mempunyai peningkatan
risiko timbulnya trombosis vena dan, barangkali,
kehilangan kehamilan. Pendekatan yang dapat dilakukan
adalah observasi, pemberian heparin dosis kecil, profilaksis
LMWH, danlatau aspirin dosis rendah, 75-162 mg sehari
(semua Grade 2C).
Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada
umumnya mendapat antikoagulan oral jangka panjang oleh
karena risiko kambuh yang tinggi. Selama dalam masa
kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini
direkomendasikan dosis terapi LMWH atau UFH. Saat
pascapartum, terapi antikoagulan oral jangka panjang
dilanjutkan (Grade 1C).
Perempuan homozygous MTHFR varian termolabil
(C677T), disarankan pemberian suplemen asam folat
sebelum konsepsi atau, jika telah hamil, secepat mungkin,
dan selama kehamilan (Grade 2C).
Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

keguguran berulang pada trimester kedua atau setelahnya,


preeklampsi berulang atau berat, atau abrupsio, disarankan
pemberian aspirin dosis mini di samping profilaksis UFH
atau LMWH
kecil (Grade 2C)' Saat pascaparturn'
juga disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan
ini (Grade 2C).

REFERENSI
Alarcon-Segovia D, Delezi M, Oria CV, et al. Antiphospholipid
antibodies and the antiphospholipid syndrome in systemic
lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive
patients. Medicine (Baltimore). 1989;68:353-65.
Alarcbn-Segovia D, Ptrez-Vazquez ME, Villa AR, Drenkard C,
Cabiedes J. Preliminary classification criteria for the
antiphospholipid syndrome within systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum. 1992; 21 :275-86.
Alarcon-Segovia D, Sanchez-Guerrero J. Primary antiphospholipid
syndrome. J Rheumatol. 1989;16:482-8.
Ames PRJ. Antiphosyholipid antibodies, thrombosis and
atherosclerosis in slstemic lupus erythematosus: a unifying
'membrane stress syndrome' hypothesis. Lupus. 1994;3:371-7.
Arnout J. The pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: a
hypothesis based on parallelisms with heparin-induced
thrombocytopenia. Thromb Haemost. 1996;75:536-41.
Arvieux J, Roussel B, Jacob MC, Colomb MG. Measurement of
antiphospholipid antibodies by ELlSA using beta 2-glycoprotein I as an antigen. J Immunol Methods. 1991;143:223-9.
Asherson RA, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. The "primary"
antiphospholipid syndrome: major clinical and serological
features. Medicine. 1989;68:366-74.
Asherson RA. Antiphospholipid antibodies and syndromes. In: Lahita
RG, editor. Systemic lupus erythematosus. 2nd edition. New
York: Churchill Livingstone; 1992. p. 587-635.
Bajaj SP, Rapaport SI, Barclay S, Herbst KD. Acquired
hypoprothrombinemia due to non-neutralizing antibodies to
prothrombin: mechanism and management. Blood.
1985;65:1538-43.
Bernini JC, Buchanan GR, Ashcraft J. Hypoprothrombinemia and
severe hemorrhage associated with a lupus anticoagulant. J
Pediatr. 1993; 123:937-9.
Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P, Zwaal RFA. Lupus
anticoagulant IgG's (LA) are not directed to phospholipids only,
but to a complex of lipid-bound human prothrombin. Thromb
Haemost. 1991 ;66:629-32.
Brandt JT. Triplett DA, Alving B, Scharrer I. Criteria for the
diagnosis of lupus anticoagulants: an update. Thromb Haemost.
1995;74: 1 185-90.
Cabral AR, Amigo MC, Cabiedes J, Alarc6n-Segovia D. The
antiphospholipid Icofactor syndromes: a primary variant with
antibodies to b2-glycoprotein-I but no antibodies detectable in
standard antiphospholipid assays. Am J Med. 1996;101:47281.
Carreras LO, Forastiero RR, Martinuzzo ME. Which are the best
biological biological markers of the antiphospholipid syndrome?
J Autoimmun. 2000;15:163-72.
Cervera R, Khamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus
erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease
expression in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 1993;72:11324.

de Groot PG, Derksen RHWM. Specificity and clinical relevance of


lupus anticoagulant. Vessels. 1995;1:22-6.
Erkan D, Lockshin MD. What is antiphospholipid syndrome? Curr
Rhem Reports. 2004;6:45 1-7.
Esmon NL, Safa 0 , Smirnov MD, Esmon CT. Antiphospholipid
antibodies and the protein C pathway. J Autoimmun.
2000;15:221-5.
Galli M, Comfurius P, Barbui T, Zwaal RFA, Bevers EM. Anticoagulant activity of b2-glycoprotein I is potentiated by a distinct
subgroup of anticardiolipin antibodies. Thromb Haemost.
1992;68:297-300.
Galli M, Comfurius P, Maassen C, et al. Anticardiolipin antibodies
(ACA) directed not to cardiolipin but to a plasma protein
cofactor. Lancet. 1990;335: 1544-7.
Galli M. Should we include anti-prothrombin antibodies in the screening for the antiphospholipid syndrome? J Autoimmun.
2000;15:101-5.
Gruel Y. Antiphospholipid syndrome and heparin-induced thrombocytopenia: update on similarities and differences. J Autoimmun.
2000;15:265-8.
Harris EN, Gharavi AE, Boey ML, et al. Anticardiolipin antibodies:
detection by radioimmunoassay and association with thrombosis in systemic lupus erythematosus. Lancet. 1983;2:1211-4.
Hift RJ, Bird AR, Sarembock BD. Acquired hypoprothrombinaemia
and lupus anti-coagulant: response to steroid therapy. Br J
Rheumatol. 1991 ;30:308-10.
Htirkko S, Miller E, Dudl E, et al. Antiphospholipid antibodies are
directed against epitopes of oxidized phospholipids: recognition of cardiolipin by monoclonal antibodies to epitopes of
oxidized low density lipoprotein. J CIin Invest. 1996;98:8 1525.
Hughes GRV, Harris EN, Gharavi AE. The anticardiolipin syndrome.
J Rheumatol. 1986; 13:486-9.
Hughson MD, McCarty GA, Brumback RA. Spectrum of vascular
pathology affecting patients with the antiphospholipid
syndrome. Hum Pathol. 1995;26:716-24.
Kandiah DA, Krilis SA. Beta2-glycoprotein I. Lupus. 1994;3:20712.
Levine JS, Subang R, Koh JS, Rauch J. Induction of anti-phospholipid autoantibodies by b2-glycoprotein I bound to apoptotic
thymocytes. J Autoimmun. 1998;11:413-24.
Lie JT. Pathology of the antiphospholipid syndrome. In: Asherson
RA, Cervera R, Piette J-C, Shoenfeld Y, editors. The
antiphospholipid syndrome. Boca Raton, Fla.: CRC Press; 1996.
p. 89-104.
Lotz BP, Schutte C-M, Colin PF, Biermann LD. Sneddon's
syndrome with anticardiolipin antibodies - complications and
treatment. S Afr Med J. 1993;83:663-4.
Mclntyre JA, Wagenknecht DR. Anti-phosphatidylethanolamine
(aPE) antibodies: a survey. J Autoimmun. 2000; 15: 185-93.
McNeil HP, Chesterman CN, Krilis SA. Immunology and clinical
importance of antiphospholipid antibodies. Adv Immunol.
1991;49:193-280.
McNeil HP, Simpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA. Anti-phospholipid antibodies are directed against a complex antigen that
includes a lipid-binding inhibitor of coagulation: b2-glycoprotein 1 (apolipoprotein H). Proc Natl Acad Sci, 87:4120-4.Hunt
JE, McNeil HP, Morgan GJ, Crameri RM, Krilis SA. 1992. A
phospholipids beta 2-glycoprotein I complex is an antigen for
anticardiolipin antibodies occurring in autoimmune disease but
not with infection. Lupus. 1990;1:75-81.
Merkel PA, Chang YC, Pierangeli SS, Convery K, Harris EN, Polisson

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1353

SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


RP. The prevalence and clinical associations of anticardiolipin
antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases. Am J Med. 1996;101:576-83.
Meroni PL, Del Papa N, Raschi E, et al. b2-Glycoprotein I as a
'cofactor' for anti-phospholipid reactivity with endothelial cells.
Lupus. 1998;7(Suppl 2):S44-S7.
Meroni PL, Raschi E, Camera M, et al. Endothelial activation by
aPL: a potential pathogenetic mechanism for the clinical manifestations of the syndrome. J Autoimmun. 2000;15:237-40.
Mulloz-Rodriguez FJ, Reverter JC, Font J, et al. Prevalence and
clinical significance of antiprothrombin antibodies in patients
with systemic lupus erythematosus or with primary
antiphospholipid syndrome. Haematologica. 2000;85:632-7.
Ohlson S, Zetterstrand K. Detection of circulating immune
complexes by PEG precipitation combined with ELISA. J
Immunol Methods. 1985;77:87-93.
Oosting JD, Derksen RHWM, Bobbink IWG, Hackeng TM, Bouma
BN, de Groot PG. Antiphospholipid antibodies directed against
a combination of phospholipids with prothrombin, protein C
or protein S: an explanation for their pathogenic mechanism?
Blood. 1993;81:2618-25.
Permpikul P, Rao LV, Rapaport SI. Functional and binding studies of
the roles of prothrombin and i2-glycoprotein I in the
expression of lupus anticoagulant activity. Blood. 1994;83:287892.
Pernod G, Awieux J, Carpentier PH, Mossuz P, Bosson JL, Polack
B. Successful treatment of lupus anticoagulant hypoprothrombinemia syndrome using intravenous immunoglobulins. Thromb
Haemost. 1997;78:969-70.
Petri M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome.
J Autoimmun. 2000;15:145-5 1.
Piette J-C, Wechsler B, Frances C, Papo T, Godeau P. Exclusion
criteria for primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol.
1993;20: 1802-4.
Price BE, Rauch J, Shia MA, et al. Anti-phospholipid autoantibodies
bind to apopiotic, but not viable, thymocytes in a b2-glycoprotein Idependent manner. J Immunol. 1996;157:2201-8.

Rand JH, Wu X-X, Andree HAM, et al. Pregnancy loss in the


antiphospholipid- antibody syndrome - a possible thrombogenic mechanism. N Engl J Med. 1997;337:154-60.
Roubey RAS. Tissue factor pathway and the antiphospholipid
syndrome. J Autoimmun. 2000;15:217-20.
Roubey RAS. Immunology of the antiphospholipid antibody
syndrome. Arthritis Rheum. 1996;39:1444-54.
Shi W, Chong BH, Chesterman CN. b2-Glycoprotein I is a
requirement for anticardiolipin antibodies binding to activated
platelets: differences with lupus anticoagulants. Blood.
1993;81:1255-62.
Tincani A, Balestrieri G, Allegri F, et al. Overview on anticardiolipin
ELISA standardization. J Autoimmun. 2000;15:195-7.
Vaarala 0 , Alfthan G, Jauhiainen M, Leirisalo-Repo M, Aho K,
Palosuo T. Crossreaction between antibodies to oxidised
low-density lipoprotein and to cardiolipin in systemic lupus
erythematosus. Lancet. 1993;341:923-5.
Vianna JL, Khamashta MA, Ordi-Ros J, et al. Comparison of the
primary and secondary antiphospholipid syndrome: a
European multicenter study of 114 patients. Am J Med.
1994;96:3-9.
Viard J-P, Amoura 2, Bach J-F. Association of anti-b2 glycoprotein
I antibodies with lupus-type circulating anticoagulant and
thrombosis in systemic lupus erythematosus. Am J Med.
1992;93:181-6.
Williams S, Linardic C, Wilson 0 , Comp P, Gralnick HR. Acquired
hypoprothrombinemia: effects of danazol treatment. Am J
Hematol. 1996;53:272-6.
Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International consensus
statement on preliminary classification criteria for definite
antiphospholipid syndrome: report of an international
workshop. Arthritis Rheum. 1999;42:1309-11.
Wurm H. b2-Glycoprotein-I (apolipoprotein H) interactions with
phospholipid vesicles. Int J Biochem. 1984;16:5 11-5.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TROMBOSIS VENA DALAM


DAN EMBOLI PARU
~ugyantiSukrisman

PENDAHULUAN

Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam


pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat
terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi
dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau
emboli. Di Amerika Serikat, trombosis merupakanpenyebab
utama kematian dengan angka kematian sekitar 2 juta
penduduk setiap tahun akibat trombosis arteri, vena atau
komplikasinya. Angka kejadian trombosis vena dalam
(deep venous thvombosislDVT) yang baru berkisar 50 per
100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun
diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.
Trombosis vena dan emboli paru berkaitan dengan
berbagai kondisi medis atau progedur bedah tertentu.
Risiko tromboemboli pada pasien dengan defisiensi
antitrombin I11 dapat mencapai SO%, 70% pada gagal
jantung kongestif dan 40% pada infark miokard akut. Pada
pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30%
di Eropa dan 16% di Amerika Serikat. Pada pasien yang
menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar
45-70% sedangkan kejadian emboli paru dapat mencapai
20%; 1-3% di antaranya fatal. Pada operasi ginekologi dan
obstetri, risiko DVT berkisar 7-45% sedangkan pada
operasi saraf antara 9-50%. Tabel berikut menggambarkan
berbagai faktor yang dapat menyebabkan trombosis.
PATOGENESIS

Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada


dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika
teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan.
Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan

Gangguan pada
Arteri

Gangguan pada
Vena

Aterosklerosis
Merokok

Operasi (urnum)
Operasi ortopedi

Hipertensi
Diabetes melitus
Kolesterol LDL
Hipertrigliserida
Riwayat trombosis
pada keluarga
Gagal jantung kiri

Artroskopi
Trauma
Keganasan
lmobilisasi
Sepsis

Kontrasepsi oral
Estrogen
Lipoprotein (a)
Polisiternia
Sindrom
hiperviskositas
Sindrom leukostasis

Gagal jantung
kongestif
Sindrorn nefrotik
Obesitas
Varicose vein
Sindrom
pascatlebitis
Kontrasepsi oral

Gangguan pada Darahl


Trombosit
Sindrom anti fosfolipid
Resistensi protein C
(Faktor V Leiden)
Sticky platelet syndrome
Gangguan protein C
Gangguan protein S
Gangguan antitrombin
Gangguan heparin
kofaktor II
Gangguan plasminogen
Gangguan plasminogen
activator inhibitor
Gangguan faktor XI1
Disfibrinogenemia
Homosisteinemia

Estrogen

dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad


Virchow. Triad ini terdiri dari: 1). gangguan pada aliran
darah yang mengakibatkan stasis, 2). gangguan pada
keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang
menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3).
gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang
menyebabkan prokoagulan.
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor
trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor
trombogenik meliputi:
gangguan sel endotel
terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen
subendotel atau faktor von Willebrand.
aktivasi koagulasi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


terganggunya fibrinolisis
stasis
Mekanisme protektif terdiri dari:
faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel
yang utuh
netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen
sel endotel
hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
pemecahan faktor pembekuan oleh protease
pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan
trombosit yang beragregasi oleh aliran darah
lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus
arteri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang
diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena
terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit
dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit
trombosit.
DIAGNOSIS
Trombosis Vena Dalam
Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan ha1 yang
sangat penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan
trombosis. Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki
yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya
merupakan ha1 penting karena dapat diketahui faktor risiko
dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat
trombosis dalam keluarga juga merupakan ha1 penting.
Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik
tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema
tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba
pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif.
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan
peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin.
Peningkatan D-dinier merupakan indikator adanya
trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak
spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk
menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesivisitas
77% dan nilai prediksi negatif 98% pada DVT proksimal,
sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnya 70%.
Pemeriksaan laboratorium lain umumnya tidak terlalu
bermakna untuk mendiagnosis adanya trombosis, tetapi
dapat membantu menentukan faktor risiko.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang
penting untuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT,
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografil
flebografi, ultrasonografi (USG) doppler (duplex
scanning), USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Ketepatan pemeriksaan ultrasonografi doppler pada

pasien dengan DVT proksimal yang simtomatik adalah 94%


dibandingkan dengan venografi, sedangkan pada pasien
dengan DVT pada betis dan asimtomatik, ketepatannya
rendah. Ultrasonografi kompresi (Real-Time B- mode
compressiorz ultrasound) mempunyai sensitivitas 89% dan
spesivisitas 97% pada DVT proksimal yang simtomatik,
sedangkan pada DVT di daerah betis, hasil negatif palsu
dapat mencapai 50%. Pemeriksaan duplex scanning
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
mendiagnosis DVT proksimal. Venografi atau flebografi
merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis DVT,
baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral.
Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan risiko
alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium. MRI
umumnya digunakan untuk mendiagnosis DVT pada
perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka
dan vena kava di mana duplex scanning pada ekstremitas
bawah menunjukkan hasil negatif.
Emboli Paru
Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada
mendadak (seperti nyeri pleuritik), sesak napas, hemoptisis,
banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat
menyerupai nyeri dada pada sindrom koroner akut,
sehingga diperlukan anamnesis dan evaluasi yang lebih
cermat. Gejala klasik emboli paru berupa sesak (dengan
atau tanpa disertai nyeri dada pleuritik atau hemoptisis),
takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini
sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis
banding atau kemungkinan lain.
Pemeriksaan foto dada (toraks) tidak spesifik tetapi
dapat membantu mendiagnosis emboli paru, meskipun
dapat dijumpai gambaran normal hingga 40% kasus.
Elektrokardiogram dapat menunjukkan gambaran
normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperti
gelombang S,-T,, gelombang T yang terbalik di sandapan
prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle
branch block (RBBB) lengkap atau tidak lengkap dapat
dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan
analisis gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan
PO, dan pCO, yang disertai alkalosis, meskipun nilai
analisis gas darah yang normal tidak menyingkirkan adanya
emboli paru.
Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung
Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis
emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan
daerah VIQ yang 'mismatch', yaitu tidak terdapatnya
gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak
normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi
menjadi: sangat mungkin (highprobability), kemungkinan
sedang (intermediate probability), rendah (low probability), sangat rendah (very low probability) atau normal.
Angiografi pulmonal juga merupakan prosedur standar
untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

invasif dengan risiko morbiditas 0,2% dan mortalitas 1,9%


karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi
jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil VIQ
scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah
dan ultrasonografi ekstremitas normal sedangkan
kemungkinan klinis sedang atau tinggi. Spiral CTangiography merupakan prosedur yang tidak invasif dengan
sensitivitas 953% dan spesifisitas 97,6%, kecuali pada
emboli paru subsegmental yang menunjukkan hasil yang
lebih rendah.
PENATALAKSANAAN

Trom bosis Vena Dalam


Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut adalah:
Menghentikan bertambahnya trombus
Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi)
dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca
trombosis @ost thrombotic syndrome) di kemudian hari
Mencegah emboli
Antikoagulan, Unfractionated heparin (UFH)
merupakan antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk
penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja
utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin
111sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan 2). melepaskan
tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IUI
kg berat badan (BB) intravena dilanjutkan dengan i n h s 18
IUkgBBIjam dengan pemantauan nilai Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus
untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan
kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai
terapi heparin, APTT, masa protrombin (prothrombin time1
PT) dan jumlah trombosit hams diperiksa, terutama pada
pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan
gangguan hati atau ginjal.
Heparin berat molekul rendah (low molecular weight
heparinlLMWH) dapat diberikan satu atau dua kali sehari
secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik.
Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang
lebih kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium
yang sering dibandingkan dengan UFH, kecuali pada
pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat
gemuk.
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini
dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan
menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin
K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah
warfarin atau coumarinlderivatnya. Obat ini diberikan
bersama-sama saat awal terapi heparin dengan pemantauan
(International Normalized Ratio) INR. Heparin diberikan
selama minimal 5 hari dan dapat dihentikan bila

antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2,O-3,O


selama dua hari berturut-turut.
Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi
pada umumnya bergantung pada faktor risiko DVT
tersebut. Pasien yang mengalami DVT hams mendapat
antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika
mempunyai faktor risiko yang reversibel, atau sedikitnya
6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui (idiopatik).
Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko
molekular yang diturunkan seperti defisiensi antitrombin
111, protein C atau S, activatedprotein C resistance atau
dengan lupus anticoagulantlantibodi antikardiolipin,
antikoagulan oral diberikan lebih lama, bahkan dapat
seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup ini
juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari
dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis
pada kanker yang aktif.
Terapi trombolitik. Terapi ini bertujuan untuk melisiskan
trombus secara cepat dengan cara mengaktiflan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif pada
fase awal dan penggunaannya harus benar-benar
dipertimbangkan secara baik karena mempunyai risiko
perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi
antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan
pada DVT dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.
Trombektomi. Trombektomi, terutama dengan fistula
arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada
trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari
dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun.
Filter vena kava inferior. Filter ini digunakan pada
trombosis di atas lutut pada kasus di mana antikoagulan
merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli
berulang.
Emboli Paru
Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi
hams hati-hati jika akan memberikan opiat pada pasien
yang hipotensi. Jika terjadi hipoksemia refrakter meskipun
sudah diberikan oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi
mekanik mungkin diperlukan, meskipun dapat
memperburuk hemodinamik karena gangguan aliran darah
balik ke jantung (venous return). Pada pasien yang
mengalami renjatan, pemasangan kateter vena sentral perlu
dipertimbangkan.
Antikoagulan, Seperti halnya DVT, UFH merupakan terapi
standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan.
Karena efikasi heparin sangat bergantung pada konsentrasi
yang harus dicapai dalam beberapa jam pasca terapi,
pemberian secara subkutan tidak dapat mencapai respon
yang adekuat kecuali jika dosis awal UFH sedikitnya 17.500
IU (atau 250 IUkgBB) setiap 12jam. Selain UFH, LMWH
dapat diberikan dengan efikasi yang sama, meskipun masih
belum direkomendasikan pada emboli paru masif yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1357

TROMBOSISVENA DALAM DAN EMBOLI PARU

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

disertai gangguan hemodinamik.Antikoagulan oral dimulai


bersamaan dengan terapi heparin. Kedua obat ini diberikan
selama minimal 5 hari dan heparin dihentikan jika sudah
mencapai target INR di atas 2,O selama dua hari berturutturut.
Penghambat langsung trombin (direct thrombin
inhibitor) seperti hirudin atau lepirudin merupakan
antikoagulan yang digunakan pada pasien yang mengalami
trombositopenia akibat pemakaian heparin (HeparinInduced ThrombocytopenialHIT). Obat ini bekerja dengan
menghambat trombin secara langsung tanpa melalui
antitrombin 111. Hasil penelitian ximelagatran, obat
penghambat langsung trombin yang terbaru, menunjukkan
bahwa efikasi obat ini tidak lebih rendah dibandingkan
dengan enoksaparinlwarfarindan tidak terdapat perbedaan
yang bermakna pada efek samping perdarahan mayor
ataupun mortalitas dibandingkan dengan terapi standar.
Terapi trombolitik, Terapi ini dicadangkan untuk pasien
dengan gangguan sirkulasi berat seperti hipotensi,
oliguria dan hipoksemia berat. Risiko perdarahan mayor
berkisar 10%.Risiko perdarahan serebral berkisar 0,5- 1,5%,
terutama pada pasien usia lanjut dengan hipertensi yang
tidak terkontrol, pasien yang baru menjalani operasi
kraniotomi atau strok.

PENCEGAHAN
Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat
asimtomatik atau tidak disertai gejala klinis yang khas,
biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan risiko kematian

Derajat Risiko
Risiko rendah
Operasi minor pada pasien usia <40 tahun
tanpa faktor risiko tambahan
Risiko sedang
Operasi minor pada pasien dengan faktor risiko
tambahan
Operasi bukan mayor pada pasien 40-60tahun
tanpa faktor risiko tambahan
Operasi mayor pada pasien <40 tahun tanpa
faktor risiko tambahan
Risiko tinggi
Operasi bukan mayor pada pasien >60tahun
atau dengan faktor risiko tambahan
Operasi mayor pada pasien >40tahun atau
dengan faktor risiko tambahan
Risiko sangat tinggi
Operasi mayor pada pasien >40tahun + riwayat
tromboemboli vena, kanker atau
hypercoagulable state molekular, artroplasti
panggul atau lutut, operasi frraktur panggul,
trauma mayor, cedera tulang belakang (spinal

akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau


tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasuskasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli
vena. Tabel berikut menggambarkan risiko tromboemboli
pada pasien yang menjalani operasi tanpa
tomboprofilaksis.
Untuk mencegah tromboemboli vena, seperti tercantum
pada tabel di atas, dapat diberikan Low Dose
Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU
subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai 1-2 jam sebelum
operasi; ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai
sekitar 3.500 IU sk dan disesuaikan4 500 IU dengan target
nilai aPTT normal tinggi, atau LMWHIheparinoid yang
dapat diberi sesuai dengan jenis operasi dan risiko
tromboemboli prosedur tersebut.

Bick RL, Kaplan H. Syndromes of trombosis and hypercoagulability. Congenital and acquired causes of thrombosis. In: Bick R1,.
Guest editor. The medical clinics of north America. Current
concepts of thrombosis. Prevalent trends for diagnosis and
management 1998;82:3:409-58.
Bandolier. Evidence based thinking about health care. DVTs and all
that, April 2003; 110-2. Disitasi dari http:llwww.jr2.ox.ac.ukl
bandolierlbandl lOIblI0-2.html tanggal 29 Mei 2005.
Baker WF. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary
embolism. In: Bick RL. Guest editor. The medical clinics of
north America. Current concepts of thrombosis. Prevalent
trends for diagnosis and management 1998;82:3:459-76.
Goodnight SH, Hathaway WE. Mechanisms of hemostasis and
thrombosis. In: Disorders of hemostasis and thrombosis. A clinical

DVT
Betis

DVT
Proksimal

lolo)

(%I

04

0,2

0,002

10-20

2-4

1-2

0,l-0,4 LDUH 112 jam, LMWH,

EP
(klinis)

EP fatal

Pencegahan

(")

Tidak ada terapi khusus,


mobilisasi agresif

ES atau IPC

20-40

4-8

2-4

0,4-1,O LDUH I8 jam, LMWH


atau IPC

40-80

10-20

4-10

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

0,2-5

LMWH, antikoagulan
oral,
IPCIES+ LDUHILMWH,
atau ADH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


guide, 2nd ed. New York: The McGraw-Hill companies 2001:319.
Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson
FA et al. Prevention of venous thromboembolism. Chest.
2001;119:132S-175s.
Hirsh J, Colman RW, Marder VJ, George JN, Clowes AW. Overview
of thrombosis and its treatment. In: Colman RW, Hirsh J, Marder
VJ, Clowes AW, George JN, eds. Hemostasis and thrombosis.
Basic principle and clinical practice 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins 2001;65:1071-84.
Health services/technology assessement text. What is the level of
risk of venous thrombosis and embolism in various patient
groups? Disitasi dari file://E:DVTincidence.htm tanggal 26 Mei
2005.
Haas SK. Treatment of deepvenous thrombosis and
pulmonaryembolism. In: Bick RL. Guest editor. The medical
clinics ofnorth America. Current conceptsof thrombosis. Prevalent trendsfor diagnosis and management1998;82:3:495-510.

Hyers TM, Agnelli G, Hull RD,Morris TA, Samama M, Tapson Vet


al. Antithrombotic therapy forvenous thromboembolic
disease.Chest. 2001;l 19:176S-1938.
New drugs, old drugs. The directthrombin inhibitor melagatran
ximelagatran. MJA. 2004;181:8:432-7.
Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in
malignancy. In: Colman RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW,
George JN, eds. Hemostasis and thrombosis. Basic principle and
clinical practice 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins 2001;69:1131-52.
Riedel M. Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary
embolism 1: pathophysiology, clinical presentation and
diagnosis. Heart.2001;85:229-40.
Riedel M. Venous thromboembolic disease. Acutepulmonary
embolism 2. Treatment. Heart. 2001;85:35160.
Wells PS, Anderson DR, Ginsberg J. Assessment of deep vein
thrombosis or pulmonary embolism by the combined use of
clinical model and noninvasive diagnostic tests. Semin Thromb
Hemost. 2000;26:6:643-56.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN


OBATdBATAN ANTITROMBOSIS
Nusirwan Acang

PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, darah mengalir di dalam lumen
pembuluh darah dan berbentuk cair. Pada keadaan
patologis, dapat terjadi keadaan dimana darah keluar dari
pembuluh darah, yang disebut perdarahan, atau darah
membeku di dalam lumen pembuluh darah, yang disebut
trombosis.
Sejak dikemukakannya teori trombogenesis oleh Rudolf
Virchow pada pertengahan abad ke- 19, pengetahuan
mengenai trombosis telah berkembang dengan pesat. Pada
saat sekarang, trombosis merupakan suatu keadaan yang
menimbulkan masalah kesehatan terutama di negara negara
barat, baik dalam ha1 morbiditas maupun mortalitasnya,
yang terjadi di dalam atau di luar rumah sakit.
Di Amerika Serikat, trombosis merupakan penyebab
kematian yang utama, di mana setiap tahunnya sekitar 2
juta orang menderita trombosis arteri maupun vena, dan
60.000 kasus di antaranya meninggal karena emboli paru.
Di Swedia dilaporkan, 160 kasus baru trombosis vena
dalam (TVD) diantara 100.000 penduduk.
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada data epidemiologi
yang lengkap mengenai trombosis, baik yang didasarkan
atas data komunitas maupun data rumah sakit. Data rumah
sakit yang ada adalah, laporan dari R.S Jantung Harapan
Kita yang telah merawat 533 kasus trombosis di ICCU selama
tahun 1997, dan laporan dari ICCU RSUPN Cipto
Mangunkusumo yang telah merawat sebanyak 137 kasus
trombosis pada tahun yang sama.
Adanya trombosis pada arteri atau vena, akan
mengakibatkan terganggu atau tersumbatnya aliran darah
dari atau ke jaringan organ-organ yang dikenai, dan akan
menimbulkan kelainan yang serius apabila mengenai organ
vital seperti paru, jantung dan otak.Untuk mengatasil

mengobati keadaan ini diperlukan pemberian obat-obat yang


dapat mencegah terbentuknya dan melarutkan trombus.
Obat-obat antitrombosis yang banyak dipakai saat ini
adalah golongan antikoagulan, antiplatelet, dan trombolitik.
Pada dekade terakhir ini, telah banyak diteliti dan di pasarkan
obat-obat antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik yang
baru.

OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS
Proses pembekuan darah terjadi melalui jalur yang sangat
kompleks. Menurut teori klasik (fourfactor theory), proses
pembekuan ini, dimulai dengan aktifnya tromboplastin,
dilanjutkan dengan terbentuknya trombin dari protrombin,
dan hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya fibrin
(bekuan darah) dari fibrinogen.
Tujuan pengobatan trombosis adalah: a).mencegah
perluasan ekstensi trombus, b). mengurangi terjadinya
rekurensi trombus, c). mencegah pembentukan emboli, d).
mencegah terjadinya sindrom post-trombotik
Obat-obat antitrombosis dapat dibagi atas 3 golongan,
yaitu:a). antikoagulan, b). antiplatelet agregasi, c).
trombolitik/fibrinolitik
Antikoagulan
Antikoagulan adalah golongan obat-obat yang kerjanya
menghambat pembekuan darah.
Menurut cara kerjanya dikenal dua golongan antikoagulan,
yaitu:
Bekerja langsung (direk) pada pembekuan darah yaitu,
berfungsi langsung sebagai antitrombin 111.
Obat yang termasuk golongan ini adalah heparin.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Bekerja secara tidak langsung (indirek) yaitu, yang


mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah
dengan memutuskan hubungan antara faktor-faktor
pembekuan yang dibentuk di hati, yaitu faktor
pembekuan 11, VII, IX dan X.
Obat yang tergolong kelompok ini adalah antikoagulan oral.
Indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah sebagai
berikut: a). trombosis vena dalam, b).infark miokard,
c).angina pektoris tidak stabil, d).trombosis yang berulang
(rekurens), e).terapi profilaksis trombosis pada tindakan
operasi besarlmayor seperti neurosurgery dan total hip
replacement
Kontra indikasi pemberian obat-obat antikoagulan adalah:
Absolut: a). perdarahan aktif, b). perdarahan serebrospinal,
c).riwayat hipersensitivitas terhadap heparin, d).riwayat
adanya trombositopenia terinduksi heparin, e). diatesis
haemoragik.
Relatif: a). ulkus peptikum, b). pasca operasi mayor yang
kurang dari 5 hari, c).trauma mayor yang baru terjadi
Efek samping pemberian obat-obat antikoagulan adalah:
a). perdarahan, b). trombositopenia, c). rambut rontok,
biasanya reversibel, c). osteoporosis, dalam keadaan berat
bisa sampai fraktur
Untuk mengurangi timbulnya efek samping ini.
diperlukan monitor waktu pembekuan darah dan jumlah
trombosit secara teratur

HEPARIN
Heparin merupakan mukopolisakarida (glukosaminoglikan) yang terdiri dari glukosamin sulfat dan asam
glukuronat. Penelitian mengenai efektifitas heparin dan
anti koagulan oral, telah dimulai sejak tahun 1960.
Kemudian, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian
untuk menentukan dosis dan lama pemberian
antikoagulan pada pengobatan dan pencegahan
timbulnya trombosis. Trombosis berulang dapat terjadi
20% pada kelompok yang tidak mendapat heparin, dan
hanya 6,7% pada kelompok yang mendapat heparin pada
masa follow up selama 6 bulan.
Secara farmakologis, heparin berfungsi sebagai
antikoagulan yang mempunyai efek langsung sebagai
antitrombin 111, akan tetapi juga dapat melepaskan plasminogen aktifator jaringan dan tissue factor pathway
inhibitor (TPFI) dari endotel. TPFI ini dapat menekanl
menetralisir pembentukan faktor pembekuan Xa, sehingga
tidak terjadi pembekuan.
Heparin mempunyai berat molekul yang cukup besar
sehingga tidak bisa melewati membran, tidak bisa diserap
usus, dan tidak dapat meliwati plasenta. Dengan demikian
heparin hanya dapat diberikan secara intra vena atau
subkutan.

Dosis dan Lama Pemberian Heparin. Berbagai penelitian


telah banyak dilakukan untuk mendapatkan cara pemberian,
dosis optimal dan lamanya pemberian heparin yang efektif
untuk pengobatan dan pencegahan trombosis.
Studi terakhir mendapatkan bahwa lama pemberian
heparin dapat dikurangi dari 10 hari menjadi 5 hari, apabila
pemberiannya dikombinasikan dengan anti koagulan oral.
Heparin dibagi atas 2 golongan, yaitu: (Unfractionated
heparin-UH), dan (Low moleculer weight heparin/
heparin biasa dan heparin berat molekul rendahLMWH)

Nilai aPTT

Dosis H e ~ a r i n

aPTT < 35" (< I,2 x kontrol)


aPTT 35-45"(1,2 - 1,5 x
kontrol)

Tingkatkan infus 4 UIkgBBljam


Tingkatkan infus 2 UIkgBBljam

aPTT 46-70" (1,5 - 2,5 x


kontrol)
aPTT 71-90" (2,5 - 3 x
kontrol)
aPTT > 90" (> 3 x kontrol)

Tidak ada perubahan


Kurangi kecepatan infus
Stop infus, ditunda pernberian
selama 4 iam

Heparin BiasalTidak Terfraksionasi (UF)


Cara pemberian.Heparin dapat diberikan secara intra vena
atau subkutan, tidak boleh diberikan intramuskuler.

Dosis pemberian. Unfractionated heparin diberikan


dengan dosis inisial5000 U bolus IV, kemudian dilanjutkan
dengan drip 1000 Uljam, dosis ini hams selalu di evaluasi
dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5
kontrol(46-70 detik), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam.
Salah satu pedoman untuk pemberian UH dapat dilihat
pada tabel. 1.
Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5.000
unit secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan
besarnya dosis yang diberikan hams disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan aPTT, nilai aPTT tetap dipertahankan
1,5-2,5 kontrol. Cara ini terutama diberikan pada
pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada
penyakit paru berat dan payah jantung yang lanjut.
Pemberian UH secara kontinu, mempunyai
keterbatasanl kekurangan sebagai berikut:
Tidak bisa diprediksi respon antikoagulannya, oleh
karena UH bisa di inaktifkan oleh protein plasma dan
faktor trombosit 4.
Membutuhkan monitor yang ketat fungsi pembekuan
darah
Adanya "rebound" gejala klinis pada penghentian
pemberian UH secara tiba-tiba.
Bisa mengaktifasi fungsi trombosit
Mempunyai risiko Heparin induced thrombocytopeni
Lama pemberian. Lamapemberian heparin adalah selama 5
hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan
oral.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBAT-OBATAN ANTITROMBOSIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Heparin Berat Molekul Rendah (Low molecular


weight heparinlLMWH)
LMWH berasal dari degradasi unfractionated heparin,
Dibandingkan dengan UH, LMWH mempunyai beberapa
keunggulan. yaitu:
LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul
(BM) yang lebih rendah yaitu 4.000 6.000 dalton,
dibandingkan dengan UH yang mempunyai BM 12.000
14.000 dalton. Ukuran yang kecil ini memiliki aktivitas
anti-IIa dan Xa yang lebih tinggi.
LMWH diabsorpsi secara konsisten melalui pemberian
subkutan dengan bioavailabilitas 85%, dibandingkan
15% pada UH, dan terutama dieksresi melalui ginjal
dengan waktu paruh berkisar 3,5 4,5 jam dibandingkan
1,5 jam pada UH. Tingginya bioavailabilitas dan
lamanya masa paruh, maka LMWH, memungkinkan
diberikan 1 2 kali per hari.
Pada pemberian LMWH, Partial thromboplastin time
(PTT) tidak akan memanjang, sehingga tidak perlu
dievaluasi secara berkala.
Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa LMWH lebih
aman, efektif, dan cukup murah untuk tatalaksana trombosis
vena dalam dan emboli paru non masif.
Efektivitas.LMWH lebih baik terhadap regresi trombus
dibandingkan dengan UH. Pemberian UH menghasilkan
regresi trombus pada 40,2% kasus, sedangkan pada
pemberian LMWH dua kali sehari adalah 53,4% kasus dan
pada terapi LMWH sekali sehari adalah 53,5%.
Akan tetapi dengan pengontrolan yang ketat,
pemberian UH tidak akan memberikan efek samping yang
banyak berbeda dengan pemberian LMWH.
Oleh karena LMWH merupakan anti koagulan yang
efektif, aman dan tidak perlu monitoring yang ketat untuk
tatalaksana trombosis vena dalam, maka dikembangkan
pemakaian LMWH secara mandiri bagi pasien rawat jalan,
tanpa perlu dirawat inap di rumah sakit.
Dosis dan Cara Pemberian LMWH. LMWH diberikan
secara subkutan, 1 atau 2 kali sehari selama 5 hari, dengan
dosis sebagai berikut: .
Enoksaparin (Lovenox): 100 UIKgBB, sekali sehari
subkutan atau 40 mg subkutan tiap 12 jam, dosis
pertama dapat didahului 30 mg IV bolus.
Nadroparine (Fraxiparin): 4.000 IU subkutan, diberikan
tiap 12jam
Dalteparin (Fragrnin): 120 IUKgBB subkutan diberikan
setiap 12jam. Maksimum 10.000IU, 2 kalihari.
Reviparin (Clivarin): 4.000 IU subkutan, diberikan tiap
12jam
Adreparin (Nurmilo): 120 IUtKgBB subkutan, diberikan
tiap 12jam.

tidak langsung (indirek) yaitu, bekerja secara kompetitif


dengan vitamin K, sehingga akan mengganggu
pembentukan faktor-faktor pembekuan 11, VII, IX, dan X.
Obat-obat yang termasuk kepada golongan
antikoagulan oral yang banyak dipakai adalah warfarin dan
coumarin (Sintrom).Antikoagulan oral biasanya diberikan
mengikuti pemberian heparin.

ANTIKOAGULAN ORAL

Trombosit merupakan faktor penting yang memulai dan


yang mempropagasi terjadinya suatu pembentukan
trombus. Oleh karena itu antiaggregasi trombosit

Golongan obat-obat antikoagulan oral ini berhngsi secara

WARFARIN
Pemberian warfarin secara tunggal untuk pengobatan
proses tromboemboli kurang bermanfaat, akan tetapi
memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan
mengikuti terapi heparin.
Beberapa peneliti telah mendapatkan bahwa, terapi
warfarin pada proses tromboemboli vena yang pertama
kali terjadi, memiliki angka kekambuhan 22% dalam masa
'tfollow up" 3 bulan, dibandingkan 7% bila diterapi hanya
dengan heparin atau LMWH.
Pemberian warfarin selama 3 bulan pada pasien
trombosis vena dalam yang telah diberi heparin selama 57 hari, akan mendapatkan insiden-trombosis berulang lebih
rendah pada kelompok yang mendapat terapi lanjutan
dengan warfarin dibandingkan dengan kelompok tanpa
pemberian warfarin.

Dosis dan Cara Pemberian


Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian heparin, dengan dosis 5- 10 mg peroral, kemudian dosis
disesuaikan dengan nilai INR. Setelah tercapai target INR:
2-3 selama 2 hari berturut turut (biasanya memerlukan waktu
4-5 hari), heparin dapat dihentikan, pemberian
warfarin diteruskan sesuai dengan protokol yang dipakai.
Salah satu protokol/pedoman pemberian warfarin adalah
seperti Tabel 2.
Lama Pemberian Warfarin:
Pada trombosis vena asimtomatik, untuk vena distal: 4
minggu, dan vena proksimal: 3 bulan.
Padatrombosis vena disertai faktor risiko yang berlanjut,
diberikan minimal selama 6 bulan. Apabila faktor risiko
tersebut tidak dapat dihilangkan, terapi diteruskan untuk
jangka waktu yang tidak terbatas.
Pada trombosis vena dengan faktor risiko yang bersifat
sementara (operasi, immobilisasi), terapi antikoagulan
diberikan selama 4 minggu.

ANTIAGREGASI TROMBOSIT

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


INR

1 1 -4
1,5- 1,9
2,O-3,O
3,O-4,9
4,O-5,O
> 5,O

Penyesuaian Dosis

Naikkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu


Naikkan dosis 5 -10%. Kontrol 2 minggu
Dosis tetap. Kontrol 1 minggu
Turunkan dosis 5 -10%. Kontrol2 minggu
Turunkan dosis 10 - 20%. Kontrol 1 minggu
Stop pemberian. Dipantau sld INR turun menjadi 3

merupakan suatu golongan obat pilihan untuk pengobatan


dan pencegahan serangan iskemia yang disebabkan oleh
adanya proses trombosis arterial. Peran antiaggregasi
trombosit, berbeda dengan obat-obat golongan
antikoagulan yang lebih bermanfaat pada trombosis vena.
Golongan obat anti aggregasi trombosit pertama yang
masih banyak dipakai sampai saat ini adalah asam salisilat
(aspirin). Asam salisilat berfungsi menghambatlinhibisi
pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2 yang
berperan pada jalur pengaktifan aggregasi trombosit.Akan
tetapi, karena efek samping aspirin yang diberikan dalam
jangka waktu yang cukup lama berupa iritasi lambung yang
cukup mengganggu pasien, maka dikembangkan obat-obat
barn golongan antiaggregasi trombosit. Salah satu obat
antiaggregasi trombosit baru adalah "ADP Receptor
Antagonist, yang juga berperan menghambat aktifasi
trombosit, contohnya klopidogrel.Obat-obat lain yang juga
diteliti bermanfaat untuk mencegah aggregasi trombosit
adalah ticlopidin, dipiridamol dan sulfin pirazon. Telah
diteliti perbandingan efek tiklopidin dan klopidogrel pada
pengobatan penyakit arteri koroner, dan didapatkan hasil
yang hampir sama.
Indikasi pemberian obat-obat antiaggregasi trombosit
adalah untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia
akut seperti iskemia strok, "transient ischaemic attack",
angina pektoris, penyakit vaskular perifer.

Dosis dan Cara ~ e m b e r i a nAnti-aggregasi


Trom bosit:
Aspirin: 150-325mg, diberikan peroral. Untuk maintenen
dilanjutkan dengan dosis 75- 150 mglhari.
Klopidrogel: 75 mg/hari, diberikan per oral. Bisa
diberikan dosis awal 300-600 mg apabila dibutuhkan
mula kerja (onset of action) yang cepat.
Tiklopidin: 2 x 250 mglhari, diberikan peroral. Bisa
diberikan dosis awal500 mg apabila dibutuhkan mula
kerja (onset of action) yang cepat.
Dipiridamol2-3x 25 mghari, diberikan per oral.

OBAT TROMBOLlTlK
Pengobatan dengan obat trombolitik seperti streptokinase,
urokinase, recombinant tissue plasminogen activator
(tPA) diberikan pada keadaan terjadinya emboli di arteri

dan untuk mengurangi besarnya bekuan darah pada


trombosis vena dalam.
Beberapa penelitian melaporkan, pada pasien
trombosis vena dalam (DVT) yang mendapat obat
trombolitik, angka kejadian sindroma pasca trombotik (Post
Thrombosis Syndrome) berkurang.
Indikasi pemberian obat-obat golongan trombolitik adalah:
infark miokard akut
emboli paru
trombosis vena dalam
penyakit arteri oklusif kronis
Kontraindikasi pemberian obat-obat golongan
trombolitik adalah: Hipertensi berat, endokarditis bakterialis
subakut, hamil trimester pertama, gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal, dan usia lanjut dengan
kecendrungan degenerasi arteriosklerotik

Preparat
Streptokinase, Obat ini berfungsi dan bertujuan untuk
mengaktifkan pembentukan plasmin dari plasminogen.
Dosis awa1250.000 IU, diberikan perinfus selama 30 menit,
dan dilanjutkan dengan dosis 100.000 I.U./jam, dengan
pengontrolan waktu protrombin yang ketat. Lama
pemberian adalah 24-72 jam, dan dilanjutkan dengan
pemberian heparin dan antikoagulan oral sesuai protokol
yang sudah dibahas sebelum ini.
Urokinase, Dosis awal diberikan 4.000 unitKgBB, dan
dilanjutkan dengan infk 4.000 unitKgBBIjam. Pemberian
obat ini tidak memerlukan kontrol waktu protrombin.
Tissue Plasrninogen Activator (rTPA)
Pada pasien dengan BB >65, dosis awal 15mg, diberikan
bollus 1.Vpelan-pelan, kemudian 50 mg perinfus selama
30 menit pertama, diikuti 35 mg selama 60 menit, sampai
dengan dosis maksimal 100 mg dalam waktu 3 jam
pemberian.
Pada pasien dengan BB <65 mg, dosis awal 10 mg,
diberikan bollus 1.V pelan-pelan, kemudian 50mg
perinfk selama 60 menit, diikuti 20 mg selama 60 menit,
dalam waktu 3 jam.
REFERENSI
Alving B.M : How I treat heparin-induced thrombocytopenia and
thrombosis. Blood.2003;101(1):31-7.
Antman E.M : Enoxaparine : A New Standard of Care. Euro pean
Heart Journal (Suppplement) F7 - F11, 2000.
Breddin H.K, Wunderle V.H et a1 : Effect of Low Molecular Weight
Heparin on Thrombus Regression and Recurrent Thromboembolism in Patient with Venous Thrombosis. The New Engl J of
Med. 433:626-631, 2001.
De Gluca. G et al : Comparison between ticlopidine and clopidogrel
in patient with ST segment-elevation myocardial infarction .
Thromb Haemaost. 91 :1084-1089, 2004.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1363

PEMAKAIAN DAN PEMANTAUAN OBAT-OBATANANTITROMBOSIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Fitzgerald : Collaborative meta-analysis of randomised trials of
antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial
ifarction and stroke in high risk patient. British Medical
Journal. 324:71-86, 2002.
Hirst J, Agnes Y, and Lee Y : How do we diagnose and Treat Deep
Vein Thrombosis. Blood 99(9) :1352-1364, 2002.
Letai A and Kutter D.J. Cancer : Coagulation and Anti Coagulation.
The Oncologist. 4(6):443-446, 1999.
Merli G, Spiro T.E et al : Subcutaneous Enoxaparine Once or Twice
Daily Compared with Intravenous Unfractioned Heparin for
Treatment of Venous Thromboembolic Disease. Annals Of
Internal Medicine 134(3): 191-201, 200 1.
Merli G.1 : Low-Molecular-Weight Heparin in The Treatment of
Acute Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism.
Advanced Studies in Pharmacy. 2(12):445-451, 2002.

Mukherjee D, Muhaffey K.W et al : Promise of combination


low-molecular-weight heparin and platelet glycoprotein IIb/IIIa
inhibition. American Heart Journal 144(6):995-1002, 2002.
Ringleb P.A, Bhatt D.L et a1 : Benefit of Clopidogrel over Aspirin.
Is Amplified in Patient with A History of Ischaemic Event.
Stroke 35528-532, 2004.
Singh L.D : Combination anticoagulation therapy doubles risk of
bleeding in patients at high risk of stroke. British Medical
Journal. 329:250, 2004.
Scwarzt K, Schmt B et al : Eligibility for Home Treatment of Deep
Vein Thrombosis : A Prospective study. British Medical Journal.
322:1212-1213, 2001
Tambunan K.L : The Problem of Thrombosis in Indonesia.
Symposium of Thrombosis and Hemostasis : A Multidisci-plinary
Approach. Jakarta, November 251h 2000.
Tait R.C. Anti Coagulation in Patient With Thromboembolic
Disease. Thorax. 56(2) :30-37, 2001.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL


Yenny Dian Andayani

PENDAHULUAN
Hemostasis normal memerlukan sejumlah trombosit yg
berfungsi baik di dalam sirkulasi. Jika terjadi penurunan
jumlah trombosit dalam sirkulasi darah dapat memicu
terjadinya perdarahan.
Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi
berkisar antara 150.00i)-450.000/ul, rata-rata berumur 710 hari. Kira-kira 113 dari jumlah trombosit di dalam
sirkulasi darah mengalami penghancuran di dalam limpa
oleh karena itu untuk mempertahankan jumlah trombosit
supaya tetap normal diproduksi 150.000-450.000 sel
trombosit perhari.
Pasien dengan trombositopenia sering
menimbulkan masalah dalam diagnosis dan
penatalaksanaan. Diagnosis banding trombositopenia
sangat luas karena kelainan yang menyebabkan
trombositopenia banyak sekali dimana dapat terjadi
penurunan produksi disatu sisi dan terjadi percepatan
dekstruksi disisi lain.

DEFlNlSl TROMBOSITOPENIA
Bila jumlah trombosit kurang dari 150.000/ul di dalam
sirkulasi disebut trombositopenia. Pada perempuan yang
tidak hamil jurnlah trombosit normal 150.000-400.000/ul,
sedangkanpada perempuan hamil jumlah trombosit sedikit
menurun.
Trombositopenia pada perempuan hamil dapat
diklasifikasikan
Trombositopenia ringan: jumlah trombosit 100.00015o.ooo/ul
Trombositopenia sedang: jumlah trombosit 50. 000100.000/u1
Trornbositopenia berat: jumlah trombosit < 50.000/
ul.

Angka kejadian trombositopenia pada perempuan hamil


7-8 %, studi lain menyatakan 10%. sedangkan angka
kejadian trombositopenia asimptomatik pada perempuan
hamil 5 %.

Etiologi trombositopenia yang berhubungan dengan


perempuan hamil secara garis besar dibagi 2 :
Trombositopenia yang spesifik pada kehamilan:
gestational thrombocytopenia(GT), preeklampsi, Sindrom
HELLP, acutefatty liver ofpregnancy (AFLP).
Trombositopenia yang tidak spesifik pada kehamilan:
immune thrombocytopenic purpura (ITP), thrombotic
microangiopaties, thrombotic thrombocytopenic
purpura (TTP), hemolytic uremic syndrome (HUS), Infeksi
virus (HIV, CMV, EBV), Antiphospholipid antibodies,DIC,
disfungsi sumsum tulang, defisiensi nutrisi, drug-induced
thrombocytopenia, Type ZZb Von willebrand disease,
congenital, hypersplenism
GEJALA KLlNlS TROMBOSITOPENIA SECARA
UMUM
Gejala umum yang sering tampak pada pasien
trombositopenia adalah petekiae, ekimosis, gusi dan
hidung berdarah, menometrorrhagia, sedangkan gejala
jarang terjadi adalah hematuria, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial. Perdarahan biasanya terjadi
bila jumlah trombosit <SO OOO/mm3,dan perdarahan yang
spontan terjadi jika jumlah trombosit <10.000/mm3 dan
umumnya terjadi pada leukemia.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


TROMBOSITOPENIAPADA KEHAMILAN
Dikenal juga dengan trombositopenia insidental pada
kehamilan. Angka kejadian 8 % pada perempuan hamil,
dan >70% trombositopenia pada kehamilan adalah
gestational thrombocytopenia. Patofisiologi belum jelas
tapi diduga adanya peningkatan penggunaan trombosit.
Diagnosa bisanya diketahui secara tidak sengaja yaitu
pada saat pemeriksaan darah rutin pada akhir trimester
kedua. Tidak ada tes diagnostik yang tepat untuk
membedakan apakah ITP dan GT, karena pada keduanya
didapati antibodi anti trombosit.

Manifestasi Klinik
Ringan, trombositopenia simptomatik dengan jumlah
trombosit >70.000/mm3. Biasanya tidak ada riwayat
perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah sebelum
kehamilan. Jumlah trombosit akan normal kembali setelah
2- 12 miggu paska persalinan, tapi adajuga yang melaporkan
1 minggu paska persalinan sudah kembali normal.
Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk gestasional
trornbositopenia. Pemeriksaan trombosit secara berkala
paska persalinan penting dikerjakan untuk memonitor
apakah jumlah trombosit sudah kembali normal.

Preeklampsia terjadi pada 6% kehamilan terutama pada


primigravida dengan usia <20 tahun dan >30 tahun dan
merupakan 17,6 % penyebab kematian pada kehamilan di
USA. Kriteria preeklampsia meliputi hipertensi, proteinuria
(protein >300 mgI24 jam) dan berkembang sesudah 20
miggu kehamilan. Angka kejadian trombositopenia pada
perempuan dengan preeklampsia 15%. Sedangkan
penelitian lain menyatakan lebih berat yaitu 50%. Angka
Kejadian preklampsia lebih tinggi pada negara berkembang.
Faktor genetik diduga memainkan peranan penting namun
belum jelas. Preeklampsia pada kehamilan sering
dihubungkan karena jarak kehamilan yang panjang. Faktor
keturunan perlu dipertimbangkan walaupun tidak dapat
dijadikan patokan, sementara studi lain menyebutkan
faktorpaternal dan genetik maternal juga mempengaruhi.
Walaupun kondisi klinis baru tampak pada triwulan ke tiga
kehamilan namun gejala telah muncul sejak awal kehamilan
yang terlihat dari remodeling pada vaskularisasi uterus si
ibu oleh sel trofoblas.

Penatalaksanaan
Penanganan yang diberikan pada pasien dengan
preeklampsi adalah terapi suportif dengan memperbaiki

kondisi klinis pasien untuk persiapan persalinan.


Penanganan konservatif disarankan untuk preeklampsi
ringan yang terjadi pada usia kehamilan sebelum 34 minggu
dengan mempertimbangkankematanganjanin. Pemberian
trombosit dilakukan bila akan dilakukan tindakan sesaria.
Umumnya kondisi klinis pasien dengan preeklampsi
membaik setelah beberapa hari paska persalinan.

HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYMES, LOW


PLATELET (HELLP) SYDROME
Sindrom HELLP merupakan variasi bentuk preeklampsi
berat. Angka kejadian adalah 7- 10% pada semua kehamilan.
Sindrom HELLP kira-kira terdapat pada 21%
trornbositopenia pada kehamilan. Patofisiogi Sindrom
HELLP merupakan proses mikroangiopati dimana
kerusakan endotel dapat menggangu adhesi trombosit.

Diagnosis dan Klasifikasi Sindrom HELLP


Hemolisis (H): Gambaran abnormal darah tepi (adanya
schistocite),Bilirubin total >1,2 mgldl, LDH >600 U IL
Peningkatan enzim hati (EL): SGOT >70 UL, LDH >600

u/L

Jumlah trombosit menurun (LP): Trombosit < 100.000/


md

Kira-kira 50 % pasien mengalami gejala sindrom HELLP


yang lengkap sedangkan 50% nya lagi dengan sindrom
HELLP yang tidak lengkap gejalanya misalnya hanya EL,
HEL, ELLP atau hanya LP.
Beberapa Penulis membuat klasifikasi HELLP
berdasarkan beratnya trombositopenia
Kelas 1: Bilajumlah trombosit <50.000/mm3
Kelas 2: Bilajumlahtrombosit 50.000-100.000/mm3.
Kelas 3: Bilajumlahtrombosit 100.000-150.000/mm3

Manifestasi Klinis
Biasanya tidak spesifik seperti : mual, muntah, sakit kepala
50 %, nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran atas kanan
terdapat pada 50-67% kasus.
Tidak semua sindrom HELLP memenuhi kriteria
preeklampsia, hanya 15% dengan hipertensi diastolik < 90
mm Hg, 15% lagi mempunyai minimal atau tidak ada sama
sekali proteinuria. Trombositopeniabiasanya kelas 2 yaitu
50.000-100.000/mm3,jarang sekali < 20.000/mm3.Perdarahan
sangat jarang, biasanya berupa hematom pada subkutan.
Angka kematian ibu hamil dengan sindrom HELLP adalah
1%.
Penatalaksanaan
Pasien hamil dengan sindrom HELLP bila kehamilan
sudah cukup hams segera diterminasi akan tetapi bila
kehamilan kurang dari 32 minggu dan tidak ada gejala

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


maka persalinan dapat ditunda 24 sampai 48 jam dengan
pemberian kortikosteroid.
Untuk persalinan pervaginam jumlah trombosit
dipertahankan > 20.000/mm3, sedangkan untuk
persalinan dengan sesaria jumlah trombosit >50.000/
mm3.Bila persalinan dengan sesaria jurnlah trombosit
<50.000, dapat diberikan tranfusi trombosit sebelum
operasi atau selama operasi.
Kebanyakan proses penyakit akan berakhir baik paska
persalinan, namun bila keadaan memburuk dan menjadi
sindrom paska persalinan yang menyerupai ITP segera
lakukan tindakanpheresis.

PERLEMAKAN HATI AKUT PADA KEHAMILAN


(ACUTE FATTY OF PREGNANCYIAFLP)
Angka kejadian 1pada 5000-10.000kehamilan muncul pada
primigravida selama trimester ketiga. Dari beberapa
pengamatan ternyata penyebab AFLP adalah terjadi
defisiensi Long Chain 3 -hydroxy-acyl Coa dehydrogenase
(LCHAD) atau enzim lain yang melibatkan asam lemak di
mitokondria.

Manifestasi Klinis
Lemah, mual, nyeri epigastrium, nyeri di kuadran kanan
atas, sesak napas, perubahan status mental, gangguan
fungsi hati, diabetes insipidus dan hipoglikemia. Pada
pemeriksaan laboratorium kadar fibrinogen dan antitrombin
menurun.
Penatalaksanaan
Pada pasien dengan AFLP ditatalaksana dengan terapi
suportif dengan mengkoreksi gangguan elekrolit dan
keadaan hipoglikemia, juga mengobati penyebab
koagulopati. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk
mengnormalisasi gangguan hemostasis. Angka kematian
ibu dengan AFLP kurang dari 5%.

PURPURA TROMBOSITOPENIK IMUN (IMMUNE


THROMBOCYTENIC PURPURAATP)
Biasanya dikenal juga dengan Idiopathic thrombocytopenic purpura atau Autoimune Thrombocytopenic
Purpura (ATP). Angka kejadian 1 per 1000-10.000
perempuan hamil dan terdapat pada 3% dari seluruh
kejadian trombositopenia pada kehamilan. Antibodi anti
trombosit yang terbentuk dapat menembus plasenta dan
menyebabkan fetal trombositopenia yang menghasilkan
komplikasi perdarahan pada neonatus dengan gejala yang
ringan sampai berat. Kira kira 80% pasien dihubungkan
dengan antitrombosit antibodi,tetapi pemeriksaan antibodi

antitrombosit tidak rutin dilakukan untuk menegakkan


diagnosis.

Manifestasi Klinis
Gejala awal biasanya terdapat ptekiae, epitaksis dan
'perdarahan pada gusi, akan tetapi kadang-kadang juga
tanpa gejala. Gejala perdarahan yang hebat sangat jarang
walaupunjumlah trombosit <20.000 /mm3.Diagnosis ITP
dibuat setelah disingkirkan penyebab lain dari
trombositopenia misalnya akibat bahan kimia atau obatobatan.
Pada akhir tahun 80-an persalinan pada perempuan
dengan ITP melalui sesaria yang elektif terutarna pada j anin
dengan trombosit <50.000/mm3.Anak yang lahir dari Ibu
dengan ITP tidak selalu mempunyai trombosit yang rendah
sama sepeqi ibunya sehingga perempuan hamil dengan
ITP tidak selalu menjalani persalinan sesaria.
Dari beberapa penelitian perempuan hamil dengan ITP
12% bayi yang dilahirkanmengalami trombositopenia berat,
hany'a 1% menderita perdarahan intrakranial yang tidak
ada hubungannya dengan proses persalinan dengan
sesaria. Secara normal bayi yang dilahirkan mengalami
penurunan trombosit beberapa hari setelah dilahirkan ,ha1
itu kemungkinan disebabkan oleh karena adanya antibodi
(IgG) trombosit pada air susu ibu , walaupun tidak ada
kontraindikasi menyusui pada perempuan dengan ITP,
tidak ada satupun obat yang dapat mencegah
trombositopenia pada janin.
Untuk perempuan hamil dengan ITP bila trombosit
> 50.000/mm3dan tidak ada gejala maka tidak perlu diobati
sedangkan bila trombosit <50.000/mm3 dengan perdarahan
abnormal atau akan dilakukan tindakan invasif maka perlu
diberikan terapi.
Terapi yang dapat diberikan pada perempuan
dengan ITP
Steroid (misalnya: prednisone), Mulai memberikan
respons setelah hari ke 3 -7 hari, mencapai efek maksimal
setelah 2-3 minggu pengobatan. Kira-kira 70 % pasien
memberikan respon, 25% remisi komplit.
Intravena Immunoglobulin, Digunakan bila tidak respon
dengan steroid, pada tindakan bedah atau jumlah trombosit
yang rendah dengan perdarahan. Mulai memberikan respon
setelah 6-72 jam. Kira-kira 70% pasien diberikan pengobatan
ulang setelah 30 hari, akan tetapi pengobatan ini mahal.
Splenektomi, Pada perempuan yang tidak hamil
splenektomi dilakukan bila tidak respon dengan intravena
imunoglobulin. Untuk perempuan hamil splektomi tidak
diindikasikankarena alasan tehnis terutama pada trimester
ke-3, akan tetapi bila jumlah trombosit <10.000/mm3dan
tidak respon dengan steroid atau intravena imunoglobulin
maka dapat dilakukan splenektomi. Pada 213 kasus terjadi
remisi komplit.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOPENIA PADA WANITA HAMIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Tranfusi Trombosit, Diberikan pada pasien yang


mengalami perdarahan atau untuk tindakan operasi dengan
jumlah trombosit <10.000/mm3.

Splenektomi dapat dilakukan pada TTP sedangkan pada


HUS yang berat dapat dilakukan hemodialisis.

PURPURA TROMBOSITOPENIK TROMBOTIK (TTP)


DAN SINDROM HEMOLlTlK UREMIK (HUS)
TTP dan HUS adalah kelainan mikroangiopati yang
ditandai dengan adanya trombositopenia, anemia
hemolitik dan kegagalan organ-organ. Angka kejadian 1
diantara 25 kelahiran. Adanya mikroangiopati sering
dihubungkan adanya Preeklampsia atau Sindrom HELLP
sehingga terjadi kesalahan diagnosa yang mengakibatkan
meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu.
Penyebab belum diketahui pasti tetapi kerusakan endotel
diduga menjadi faktor pencetus. Agregasi trombosit
intravaskularyang abnormal menimbulkan mikrotrombus,
sehingga menyebabkan trornbositopenia, anemia
hemolitik dan iskemik pada organ-organ. Saat ini
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan turunan
defisiensi spesifik v WF-cleaving protease pada
patogenesis TTP. Protease ini dikenal dengan ADAMS
13 yang merupakan famili dari ADAMS metalloprotease
yang kadarnya cenderung menurun pada pasien TTP.
Defisiensi ini disebabkan karena adanya reaksi antibodi
dengan protease sedangkan pada TTP bawaan karena
adanya mutasi pada gen ADAMS 13. Kadar ADAMS 13
umumnya meningkat pada kehamilan normal yang diduga
merupakan bentuk yang menyertai perkembangan
mikroangiopati trombotik.
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda TTP dan HUS sering tumpang tindih.
Pada TTP manifestasi klinis bervariasi tergantung
jumlah dari arteri yang terlibat 'Gejala klinis berupa mual,
muntah, sesak napas, trombositopenia berat, anemia
hemolitik, demam dan gangguan neurologi (sakit kepala,
perubahan kesadaran, hemiparese) sedangkan pada
HUS gejala sama akan tetapi gangguan pada fungsi
ginjal lebih dominan yaitu adanya proteinuria, hematuria, oligouri atau anuria.
Penatalaksanaan
Plasmaferesis merupakan terapi yang utama pada TTP
dan HUS dimana plasmaferesis memindahkan substansi
agregasi trombosit yang menyebabkan TTP dan HUS.
Kerberhasilan terapi pada TTP 90 % sedangkan pada
HUS kurang.
Steroid dapat diberikan akan tetapi tidak begitu efektif
dibanding dengan plasmaferesis.
Pemberian tranfusi trombosit hams dihindari kecuali
adanya perdarahan intrakranial.
Imunosupresi seperti vinkristin, azatioprin,siklosporin
dapat diberikan.

Gangguan neurologi
Demam
Hipertensi
Gangguan ginjal
Lesi kulit purpura
trombosit
PTIAPTT
Fibrinogen
BUNlcreatinin
SGOTISGPT
LDH

TTP

HUS

HELLP

+++

+/-

+/+/+I+/-

++
+/+/-

+
wN
.
tj

+I+I-

+++

uu
tj

tj

tj

fl

flflfl

tj

tj

flflfr

flflit

u
uoro
Uoro

fl
fl
fl

ERITEMATOSUS LUPUS SlSTEMlK (SLE)


Lebih kurang 25% pasien SLE berkembang menjadi
trombositopenia sekunder oleh karena penghancuran
trombosit oleh antibodi antitrombosit, kompleks imun atau
sebab lainnya. Dari penelitian Burrow terhadap jumlah
trombosit pada perempuan hamil ternyata terdapat 8 ibu
harnil dengan SLE.

INFEKSI VIRUS
Hampir semua infeksi virus dapat menyebabkan
trombositopenia, akan tetapi yang paling sering
menyebabkan trombositopenia adalah virus HIV, CMV,
EBV. Patofisiologi terjadinya trombositopenia oleh karena
adanya penekanan dari sumsum tulang. Trombositopenia
karena infeksi virus tidak membutuhkan pengobatan
karena dapat sembuh sendiri.

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA (KID)


Trombositopenia yang terjadi pada keadaan KID biasanya
terjadi dari kelainan obstetrik dan perdarahan pasca
persalinan. KID biasanya berhubungan dengan
perdarahan.

TROMBOSITOPENIA KARENA OBAT


Diketahui bahwa beberapa obat dapat menyebabkan
trombositopenia, misalnya: heparin, kuinin, kuinidin,
zidovudin dan sulfonamid. Kokain dapat juga
menyebabkan trornbositopenia pada perempuan hamil.
Trombositopenia yang terjadi oleh karena trombosit

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dirusak oleh aktivasi komplemen akibat terbentuknya drug


antibody complexes. Walaupun dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan selama 7-10 hari, namun untuk kasus
yang berat denganjumlah trombosit <10.000-20.000 lmm3
dan perdarahan kadang kadang diperlukan terapi suportif
seperti kortikosteroid, plasmaferesis dan infus trombosit.

Istilah hipersplenisme digunakan untuk menyatakan


kondisi klinis di mana terdapat sitopenia pada sirkulasi
dengan adanya pembesaran lien dan sumsum tulang
dengan hiperplasi dari elemen seluler di mana elemenelemen tersebut menurun di dalam darah. Pembesaran lien
disebabkan karena adanya sequestrasi dari lien. Oleh karena
lebih dari 200 penyakit berhubungan dengan splenomegali
maka trombositopenia ditemukan pada banyak kasus.
Trombositopenia yang berhubungan dengan
hipersplenisme biasanya tidak berhubungan dengan
perdarahan. Gambaran laboratorium membantu
menegakkan diagnosis hipersplenisme sebagai dasar
terjadinya trombositopenia dengan adanya penurunan
jumlah trombosit dengan volum trombosit rata-rata normal, dan adanya sedikit peningkatan turn over trombosit.

George JN, Rizvi MA . Thrombocytopenia, In : William WJ.


Beutere,Erslev AJ, Lichman MA ( Eds). Hematologi, 6.Ed,
NY;Mc Graw-Hill Publ.Co : 2003, 1495-533.
Handin RI. Disorders of the platelet and Vessel wall. In : Isselbacher
KJ et a1 (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th
ed, vol 1.NY : Mc Graw -Hill Inc ;2005, 673-9
Hillman RS and Ault KA . Thrombocytopenia. In : Hematology in
Clinical Practice .second Edition, Mc Graw-Hill Inc, 1998,43758.
Mc Crae KR. Thrombocytopenia in pregnancy: differential
diagnosis, pathogenesis, and management. Blood Review, 2003,
vol 17, 7-14.
Kain EN, Mayes LC, et all. Thrombocytopenia in pregnant women
who use cocaine.AM J Obstet Gyneco1.1995, vol 173, 885890.
Pilai M. Platelets and Pregnancy. British Journal of Obtetrics and
Gynaecology, 1993, vol 100, 201-4.
Rutherford CJ and Frenkel EP. Thrombocytopenia "lissues in Diagnosis and Therapy " Medical Clinics of North America, 1994,
VOI 78, p 555 - 74.
Richard F. Thrombocytopenia in pregnancy. http://
. www.emedicine.com/med/topic.
Silver RM, Branch W, Scott JC. Mathernal Thrombocytopenia in
Pregnancy : Time for a reassessment. AM J Obstet Gynecol,
1995, VOI 173, 479-82.

PSEUDOTROMBOSITOPENIA
Adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi dimana jumlah trombosit yang tidak sebenarnya
pada pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan secara
elektronik. Hal ini disebabkan oleh karena banyak
substansi di dalam darah yang menyebabkan aglutinasi
trombosit bila darah ditambah dengan EDTA yang
digunakan sebagai antikoagulan. Umumnya diagnosis
tepat dapat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan
darah tepi dengan melihat adanya trombosit yang
menggumpal. Gejala klinik pada pseudotrombositopenia
tidak ada.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TROMBOSIS PADA KANKER


Cosphiadi Irawan

PENDAHULUAN
Penyakit keganasan dalam perkembangannya dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan atau trombosis.
Kecenderungan perdarahan terjadi melalui: 1).
trombositopenia, baik melalui penekanan produksi akibat
kemoterapi, radiasi atau infiltrasi sel ganas maupun
koagulasi intravaskular diseminata (KID), 2). fibrinolisis
sistemik, 3). adanya produksi zat mirip antikoagulan (misal:
glikosaminoglikan) atau terjadinya disfribrino genemia.
Dalam kenyataannya dibandingkan perdarahan justru
kejadian trombosis (arteri dan yang lebih sering adalah
trombosis vena) lebih tinggi kejadiannya. Dilaporkan dalam
perkembangan penyakitnya 15% pasien kanker akan
mengalami trombo-emboli vena (VTE); bahkan pada otopsi
postmortem dilaporkan angka ini mencapai 30-50%.
Sebaliknya ditemui 20% pasien yang datang dengan
sumbatan vena dalam (DVT) atau emboli paru, ternyata
kemudian juga menjadi pasien kanker. Kanker dan
hiperkoagulasi merupakan topik yang
- telah beberapa
dekade dibicarakan dai tiap kali tetap merupakan bahasan
yang menarik karena kekerapannya yang tinggi dan
patogenesisnya yang kompleks. Diawali laporan Armand
Trousseau pada tahun 1865, yang menegakkan hubungan
kanker dengan kejadian VTE dan dikenal sebagai sindrom
" Trousseau ", sekarang telah diketahui bahwa kanker
sendiri dapat meningkatkan risiko kejadian trombosis
sampai empat kali dan kemoterapi meningkatkan sampai
enam kali. Di Amerika Serikat total kejadian sumbatan vena
dalam (DVT)/emboli paru (PE): 117 per 100.000 populasil
pertahunnya, sehingga dapat diperkirakan secara kasar
akan didapatkan angka kejadian DVT dan PE pada pasien
kanker adalah: 11200 orang pertahunnya. Anderson
melakukan survey di rumah sakit pada tahun 1992
melaporkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
minimal ada 19% yang memiliki minima1tiga faktor risiko

terjadinya trombo emboli (TE), dan pada beberapa ruangan


tertentu (misal: ruang perawatan operasi jantung) dapat
mencapai 70%; sedangkan dengan empat faktor risiko
mencapai 9%. Faktor faktor yang meningkatkan risiko
trombosis secara garis besar dapat dibagi dua kelompok
besar yaitu faktor bawaanlkonstitusional dan faktor
didapatllingkungan (misal: imobilisasi, prosedur akses
pembuluh darahloperasi, kehamilan, pi1 kontrasepsi, terapi
sulih hormon dan keganasan) (Tabel 1). Interaksi penyakit
kanker dan berbagai faktor kondisi di ataslkomorbid,
tindakan operasi atau radiasi, maupun jenis kemoterapi
yang diberikan serta cara perawatan pasien akan
menempatkan pasien secara "unik" pada tingkat risikonya
masing masing untuk terjadinya VTE. Pendekatan
diagnostik dan pengobatan antitrombosis yang menyama
ratakan pasien (generalize4 akan menempatkan pasien
pada risiko yang mungkin tidak perlu dan beban biaya
yang tidak ringan. Namun perlu pula diketahui bahwa
menetapkan kriteria pasien mana yang memerlukan atau

Faktor
Predisposisi

Faktor Khusus
Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Defisiensi AT Ill
Resistensi protein C
teraktivasi
Protombin G20210A
Peningkatan faktor
Vlll
Hiperhomosisteinemia
Umur

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Operasi atau
trauma
Penyakit
Keganasan
lnfark miokard akut

Strok
Hipertensi

Infeksi akut I berat

Penyakit
mieloproliferatif
Sindrom nefrotik

Gagal jantung akut


Gagal napas akut

Obesitas
Varises

Sindrom
antifospolipid
Penyakit jantung
kongestif
Penerbangan jarak
jauh

Kehamilan I
puerpurium
lmobilisasi
Riwayat VTE

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

tak memerlukan terapi terutama pencegahan primer


bukanlah ha1 yang mudah, dan belum ada kesepakatan
yang dapat diterima secara universal mengenai ha1
tersebut.
Di Indonesia sendiri kejadian VTE dan pelaporannya
secara nasional belum ada, yang mungkin salah satunya
penyebabnya adalah karena penatalaksanaan pasien
kanker di Indonesia masih dilaksanakan secara terkotakkotak dan belum terpadu dalam satu tim yang terdiri dari
disiplin bedah onkologi, radioterapi dan hematologionkologi medik, maupun disiplin penunjang 1ainnya;atau
karena ha1 ini dianggap belum merupakan ha1 yang
mendesak untuk segera ditangani karena tak
mempengaruhi morbiditas dan harapan hidup pasien. Dari
berbagai penelitian yang ada jelas membuktikan bahwa
itu adalah anggapan yang salah, karena kejadian trombosis
pada pasien kanker jelas akan meningkatkan angka
kesakitan, menurunkan kualitas hidup, naiknya biaya
perawatan dan dapat menurunkan harapan hidup pasien
Hiperkoagulasi sendiri dapat didefinisiskan sebagai:
kumpulan kondisi konstitusionalldidapat yang diketahuil
dicurigai meningkatkan reaksi sistem koagulasi dan
memulai terjadinya trombosis termasuk perubahan
permanenlsesaat dari sistem koagulasi akibat adanya defek
genetik atau interaksi dengan lingkunganlklinis tertentu
yang mempredisposisi terjadinya tromboemboli.

EKSTRASEL

INDING VASKULAR
PROTROMBOTIK

PAI-1: HAMBAT FlBRlNOLlSlS(Menghambat fibrinolisis)


PAI-1: Plasminogenaktivation Inhibitor-I, TM: Thrombomodulin,
TF: Tissue factor

Garnbar 1. Tumor sel, Host Cell dan sitokin

PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl


Terjadinya trombosis pada keganasan mencakup proses
kompleks yang temtama disebabkan aktivitas prokoagulan
sel kanker (procoagulant activitylPCA) yang kemudian
akan merupakan interaksi antara: (Gambar 1 dan 2 )
Aktivitas prokoagulan dengan diproduksinya faktor
jaringan ("tissue factorlTFn) dan "cancerprokoagulan
"(CP)l"tumor associated mucin" oleh sel tumor.
Sitokin yang dikeluarkan oleh sel kanker (TNF-a,TNFP
clan VEGF)
Dampaknya pada proses fibrinolisis
Perubahan pembuluh darahldisfungsi endotel
Interaksi antara sel pasienl"kost7' (teraktifasinya:
monosit, makrofag, trombosit dan sel endotel) dengan
sel tumor .Monosit dan makrofag akan mengeluarkan
interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) yang
menyebabkan kemsakan endotel dan "sloughing" sel
endotel pembuluh darah (PD), sehingga menjadi bersifat
trombogenik. Khususnya interaksi dengan makrofag
akan mengaktifkan trombosit, faktor XI11 dan faktor X,
yang akan meningkatkan pembentukkan trombin dan
selanjutnya menimbulkan trombosis
Sel kanker yang utuh mampu melepaskan vesikel plasma
membran kedalam sirkulasi daf-ah dan meningkatkan
pembentukkan bekuan darah

Garnbar 3.
Keterangan: T F : Tissue factorlfaktor jaringan, C P : cancer
procoagulan, PAI: plasminogen activator inhibitor, VEGF:
vascular endothelial growth factor, TNF: tumor necrosis factor,
T M : trombo modulin

Patofisiologi terjadinya trombosis pada kanker masih


tetap relevan diterangkan dengan "Triad Virchow " yang
sejak 1826 menyatakan kejadian trombosis dikarenakan
adanya:
Gangguan Aliran Darah, yang dalam ha1 ini karena
imobilisasi bed rest atau adanya kompresi pembuluh darah
oleh massa tumor: kondisi ini akan memperlambat atau
bahkan menghambat aliran darah, yang selanjutnya akan:
a). Menurunkan "clearance" faktor faktor pembekuan yang
teraktifasi, b). Menimbulkan hipoksia sel endotel, c). Trauma
pembuluh darah. Berbagai ha1 tadi akan mempredisposisi
terjadinya TE.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOSIS PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

lLauma dan gangguan fungsi pembuluh darah, akibatnya


adanya invasi sel tumor (misal: karsinoma sel ginjal) atau
kemoterapi. Dalam penelitian selanjutnya dapat dijelaskan
bahwa ha1 tersebut berkaitan dengan menurunnya
trombomodulin, prostasiklin dan aneksin 11; yang ketiganya
bersifat sebagai "antikoagu1an"dan "anti agregasi "baik
langsung maupun tak langsung .
Terjadiiya perubahan pada komponen pembekuan darah
yang menyebabkan kondisi hiperkoagulasi (terjadi pada
50-70% pasien kanker), terjadi melalui aktivasi langsung
faktor Xa oleh CP yang hanya diekskresikan oleh sel tumor
dan foetal (suatu sistein protease dengan BM 68 kDa) atau
melalui TF (suatu glikoprotein trans membran dengan BM
47 kDa) selain diekskresikan sel kanker juga oleh sebagian
besar sel normal seperti sel monosit, endotel, sel jaringan
ikat dan lainnya .Ekskresi TF di "up regulated' oleh sitokin
yang kemudian mengaktivasi faktor VII dan membentuk
kompleks TF+VIIa .Salah satu produksi sel tumor berupa
musin asam sialat, dapat mengaktifkan faktor X secara non
enzymatik. Selain mekanisme di atas juga diketahui terjadi
penurunan anti koagualan alamiah, seperti: AT 111, protein
C dan S atau melalui aktivasi trombosit.
Beberapa faktor yang meningkatkankan risiko kejadian
trombo emboli (TE) pada kanker yaitu antara lain: a. Jenis
dan stadium kanker b. Berbagai prosedur perawatan urnum
maupun khusus yang meliputi: imobilisasi, operasi, kateter
vena sentral, kemoterapi, terapi hormonal dan lain lain.
L

Terapi hormonal. Meningkatnya risiko TE terjadi melalui


sifat intrinsik tamoksifen (TAM) yang mirip estrogen
(agonis), dapat meningkatkan berbagai faktor prokoagulan,
di sampingjuga menurunkan AT I11 dan protein C.Saphner
danjuga Pritchard melaporkan kejadian TE lebih tinggi pada
kombinasi TAM dengan kemoterapi , dibanding hanya
kemoterapi atau TAM saja.
Kateter sentral vena. Denovo memberikan kemungkinan
30% terjadinya TE, ha1 ini meningkat mencapai 70% bila
terjadi disfimgsi kateter sebelurnnya (Gould et al). Berkaitan
dengan meningkatnya risiko kejadian TE sehubungan
dengan pemasangan kateter vena, dilaporkan lebih lanjut:
a) Risiko kateter lubang tiga >lubang dua >lubang satu, b).
Lebih berhubungan dengan ukuran daripada tipelmerek
tertentu, c).Risiko lebih tinggi pada pemasangan di vena
subclavia kiri daripada kanan, d). Ujung kateter terletak
pada distal dari setengah vena kava superior berseberangan
dengan dinding dada, e).Adanya tumor intratorakal. Home
melaporkan risiko tertinggi terjadinya oklusi parsial vena
terjadi pada enam minggu pertama pemasangan kateter
Operasi. Kakkar dan Williamson melaporkan pada post
operasi pasien kanker, risiko kejadian DVT meningkat dua
kali dan PE fatal meningkat lebih dari tiga kali dibanding
operasi pada tumor jinak. Penilaian risiko trombosis selama
operasi tergantung pada jenis operasiltrauma (exposing
risk) dan faktor predisposisi pasien (misal: umur lebih dari
40 tahun, adanya penyakit lain/komorbid, obesitas, varises
vena, peradangan , infeksi, terapi hormonal dan adanya
trombofilia).

FAKTOR RlSlKO

Jenis keganasan. Beberapa laporan menyebutkan


beberapa jenis kanker memberikan kecenderungan yang
lebih tinggi terjadinya TE, dimana kanker pankreas
memberikan angka 24-28%, paru berkisar 20-27%, kolon 318%, gaster 12-13%, prostat 13-17% dan payudara 2-8%.
(tergantung pre-postmenopause). Jenis histologi tertentu
seperti adenokarsinoma tipe produksi musin positip juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya TE. Namun
tingginya prevalensi VTE pada kanker lebih mengikutijenis
kanker yang tersering pada populasi umum, seperti pada
laki laki jenis yang sering dijumpai adalah kanker kolon,
paru dan prostat; sedangkan pada wanita adalah: kanker
payudara, paru dan ovarium.
Kemoterapi. Meningkatkan risiko TE melalui tiga
mekanisme, yaitu: a.) Kerusakan akut dinding pembuluh
darah (misal: bleomisin, carmustin,vinka alkaloid) b). Non
akut pada endotel (misal: doksorubisin) c). Menurunkan
kadar antikoagulan alamiah (misal:CMF menurunkan
protein C dan S ;L-asparaginase menurunkan AT 111).
Beberapa laporanjuga menyebutkan kemoterapi neoajuvan
dan ajuvan seperti rejimen FAC, ataupun status
postmenopause pada waktu terapi memberikan risiko yang
tinggi dan bermakna terjadinya TE.

PENCEGAHAN DAN TERAPI


Untuk dapat memahami topik ini ada baiknya dapat
dipahami dahulu berbagai terminologi di dalamnya, yaitu:
Risiko predisposisi ("'predisposing risk"): adalah risiko
yang telah ada sebelumnya, terlepas dari kondisi
penyakitnya saat ini atau operasi yang akan dijalaninya.
Terbagi lagi dalam: a. Risiko umumlkarakter umum
sepertijenis kelamin, umur, golongan darah clan lainnya;
atau penyakit yang diderita dalam tiga bulan terakhir
(misal: AMI, strok), maupun kondisi kronis yang lain
(misal: insufisiensi vena, varises, keganasan) b. Risiko
inheren mayor: termasuk di dalamnya riwayat pribadi
atau keluarga dengan VTE, kelainan pembekuan darah
ataupun penanda mutasi genetik tertentu
Risiko terpajan ("exposing risk"): adalah risiko didapat
karena kondisi penyakit medik atau bedah, termasuk di
dalamnya adalah prosedur terapi yang hams dilaluinya
Risiko keseluruhan ("overall risklOR "): adalah total
risiko VTE seseorang dengan mengkombinasikan risiko
predisposisi dan terpajan.
"Decision Matrix" adalah salah satu usaha para ahli
diberbagai negara berdasarkan penilaian faktor risiko poin

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


1 dan 2 di atas guna menilai dan membagi OR pasien atas
kelompok risiko: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi.
Pada risiko tinggi dan sangat tinggi para panelis sepakat
untuk memberikan pencegahan antikoagulan baik UFH
ataupun LMWH,sedangkan anti agregasi belum disepakati
manfaat dan perannya. Dengan menjawab berbagai
pertanyaan yang telah disusun, kita dapat menetapkan
jumlah nilai akhir risiko pasien
"The Srjcth ACCP Consensus" menetapkan tiga ha1 yang
menjadikan seorang pasien memiliki risiko tertinggi kejadian
trombosis yaitu: 1). Pasien dengan riwayat TE vena 2).
Penyakit kanker 3). Operasi besarlmayor ortopedik;
sehingga terapi pencegahannya dengan antikoagualan
hams dijalankan. Hal ha1 ini selanjutnya akan dipengaruhi
oleh: tata cara perawatan urnum, lama dan jenis anestesi,
mobilisasi pre-post operasi, tingkat hidrasi pasien dan ada
tidaknya sepsis.
Bick dan teman pada tahun 2003 mencantumkan
pembagian katagori risiko berdasarkan "the International
Consensus Group dan European Consensus Group"
(terdiri dari'risiko rendah, moderat dan tinggi) dan tingkat
klasifikasi risiko berdasarkan "The Sixth ACCP Consensus" (terdiri dari: rendah, moderat, tinggi dan sangat tinggi)
pada pasien operasi dan medik; berdasarkan "exposing
factor" dan faktor predisposisi. Keduanya menetapkan
bahwa operasi besar, operasi daerah pelvis atau abdomen
untuk keganasan merupakan risiko tinggi dan sangat tinggi
yang memerlukan terapi pencegahan baik dengan heparin
berat molekul rendah (low molecular weight heparin1
LMWH) atau UFH (unfractionated heparin)
(Rekomendasi 1A). Sedang kan untuk pasien non operasi
harus dikaji risiko VTE mengunakan sistem nilai "exposing dun predisposing factor". Pasien dalam kelompok
moderat dan tinggi harus dipertimbangkan terapi
pencegahan UFH atau LMWH ( 6thACCP Consensus: 1A
). Sedangkan asidum salisilikum sebagai anti agregasi
belum dipastikan perannya
TERAPI DAN DOSlS
Pencegahan pada Pasien Kanker Pro Operasi
Tanpa pencegahan ,pasien kanker yang menjalani operasi,
akan mengalami risiko DVT yang dibuktikan dengan
venografi mencapai 20-40%, dengan fatal PE 1%.
Pemberian antikoagulan sebagai pencegahan VTEIPE
pasien keganasan yang menjalani operasi sangat
direkomendasikan. Mismetti et a1 melaporkan tak ada
perbedaan bermakna antara UFH atau LMWH pada
timbulnya simtomatik VTE, perdarahan mayor, transfusi
darah atau kematian. Hal ini juga berlaku untuk pasien
non kanker. Penelitian enoxacan yang membandingkan
enoksaparin 40 mg sekali sehari dengan UFH 5000 U tiga
kali sehari pada 1115 pasien kanker yang menjalani operasi

bagian abdomen atau pelvis menunjukkan pada hari ke 8


dan ke- 15 tak ditemui perbedaan bermakna kejadian VTE
(15% vs IS%), maupun efek sampingnya. Pada enoxacan
I1 pasien kanker dengan operasi abdomen mendapat
enoksaparin 40 mg sekali sehari selama seminggu, yang
dilanjutkan dengan randomisasi dengan dosis yang sama
atau plasebo selama 2 1 hari; memperlihatkan penurunan
insiden DVT dari 12% menjadi 4,8% (p=0,02)
Pencegahan pada Pasien Mediklnon Operasi
Kondisi disini agak lebih sulit, dan tak banyak penelitian
pencegahan primer antikoagulan pada pasien kanker yang
menjalani prosedur mediklkemoterapi. Levine et a1
memberikan warfarin dosis rendah 1 mg selama 6 minggu
(INR 1,3-1,9) atau plasebo secara random pada 3 11 pasien
kanker payudara stadium IV yang menjalani kemoterapi,
mendapatkan 85% penurunan risiko relatif trombosis pada
kelompok warfarin (p= 0,03) tanpa meningkatkan risiko
perdarahan. Samama et a1 menunjukkan pemberian
enoxaparin dibanding plasebo pada pasien kanker yang
dirawat dengan penyakit akut mempunyai risiko relatif 0,37
untuk trombosis (p <0,00 1). Disisi lain pada suatu observasi
pasien kanker stadium lanjut atau metastasis rawat dengan
jalan hanya ditemui 3% kejadian VTE bergejala.
Disimpulkan pada pasien kanker stadium lanjut rawat jalan
tak dianjurkan pemberian rutin LMWH atau UFH ,narnun
direkomendasikan bila dirawat karena penyakit akut
lainnya
Terapi VTE
Prinsipnya pengobatan baku dengan antikoagulan
kejadian VTE pada pasien kanker tak berbeda dengan
pasien non kanker. Pemberian LMWH subkutan atau
intravenous UFH memberikan hasil yang sama efektifnya.
Pemberiaan LMWH (enoksaparin, reviparin) berdasarkan
berat badan, dua kali sehari lebih efektif dibandingkan
sekali sehari, dan mungkin dilakukan secara rawat jalan.
Pencegahan Sekunder
Dengan rejimen oral vitamin K antagonis yang dimulai sejak
hari pertama UFWLMWH ,untuk mencapai INR 2,O-3,O akan
mencapai kekambuhan sampai 8% pertahunnya pada
pasien non kanker; namun angka ini akan 2-3 kali lebih
tinggi pada pasien kanker. Hal ini menunjukkan sulitnya
memelihara tingkat terapetik INR pada pasien kanker karena
berbagai kondisi inheren yang kompleks. Untuk menjawab
keadaan ini dua penelitian pemberian jangka panjang
LMWH (CANTHANOX: enoksaparin pada 147pasien dan
CLOT: dalteparin pada 336 pasien) vs warfarin,
menunjukkan pada CANTHANOX tak ditemui perbedaan
bermakna kejadian VTE, namun dengan kecenderungan
perdarahan lebih tinggi pada warfarin. Hasil CLOT
menunjukkan pemberian dalteparin 200 Ukgl SC sekali

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TROMBOSITOSIS PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sehari selama satu bulan diikuti 75-80% dosis awal selama
5 bulan dibanding kelompok kontrol dalteparin 5-7 hari
diikuti warfarin atau asenokoumarol selama 6 bulan (INR:
2-3). Menunjukkan LMWH menurunkan risiko kekarnbuhan
(9% vs 17%; HR 0,48 , p=0,002) dan penurunan absolut
mencapai 8%.

Lama Terapi
Belum ada kesepakatan berapa lama pengobatan
antikoagulan hams diberikan pada pasien kanker. Namun
beranjak dari konsep selama risiko VTE meningkat pada
pasien kanker yang terpajan faktor 'predisposing" dan
"exposing" atau pasien kanker dengan metastase atau
pasien non metastase dengan penyakit yang "aktif' atau
dalam terapi anti tumor, maka selama itu pulalah terapi
antikoagulan tetap direkomendasikan untuk diberikan

Beberapa kesirnpulan dari pembahasan ini adalah: 1) Kanker


menyebabkan hiperkoagulasi pada 40-70% pasien 2)
Berdasarkanjenis keganasan, kejadian TE berkisar 3-28%
3) Dasar patogenesis terjadinya trombods pada pasien
kanker, adalah adanya saling keterkaitan antara PCA
("procoagulant activity"), sitokin, fibrinolisis dan
interaksi sel tumor dan sel "host "4) " Exposing risk" yaitu
berbagai prosedur seperti kemoterapi, terapi hormonal,
operasi dan jenis serta lama anestesianya, pemasangan
vena sentral,tingkat imobilisasi.danjenis/stadiurn; maupun
'predisposingfactor" (faktor risiko yang ada pada pasien,
seperti obesitas, varises, kondisi trombofilia dan lainnya)
merupakan dua sisi yang hams dikaji dan dinilai baik
secara umum/sistimatis, maupun secara individual ("taylar
made") untuk mengantisipasi tingggi rendahnya risiko
trombosis pada pasien kanker, dalam kaitannya perlu
tidaknya terapi antikoagulan sebagai pencegahan primer
atau sekunder.

Abramson N, Abramson S. Hypercoagulability : clinical assessment


and treatment. South Med J 2001; 94 (10) :I013 - 20
Bick RL, Haas S. Thromboprophylaxis and thrombosis in medical ,
surgical, trauma and obstetric 1 gynecologic patients. Hematol
Oncol Clin N Am 2003; 17 : 217 - 58
Blom JW, Doggen CJM, Osanto S, Rosendal FR. Malignancies,
pthrombotic mutations, and the risk of venous thrombosis. JAMA
2005; 293 : 715 -22

Bick RL. Cancer associated thrombosis. N Engl J Med 2003 ; 349 :


109 - 11
Bauer KA. Venous thromboembolism in malignancy,Editorial. J Clin
Oncol 2000; 18 3065 - 7
Baron JA, Gridley G Weiderpss E, et al . Venous thromboembolism
and cancer Lancet. 1998; 351 :I077 - 80
Falanga A. Tumor cell prothrombotic properties. Haemostasis
2001;3 1 (suppl) : 1-4
Falanga A. Thrombosis and malignancy : an underestimated problem. J Hematology 2003; 88 : 607 - I 0
Frenkel EP, Bick RL. Thrombohemorrargic defects associated with
malignancy. In Disorders of thrombosis and hemostasis clinical
and laboratory practice .3'd Ed Editor Bick RL 2002 : 264 -78.
Green KB, Silverstein RL.Hypercoagulability in cancer .Hemato1
Oncol Clin N Am 1996 ; 10: 499 - 524
Haqim N, Lanir N, Hoffman R, et aql. Acquired activated protein C
resistance is common in cancer patients and is associated with
venpous thromboembolism. Am J Med 2001; 110 : 91 - 6
Harter C, Salwender HJ, Bach A, et al. Catheter-related infection
and thrombosis of the internal jugular vein in hematologic oncologic patiens undergoing chemotherapy.Cancer 2000; 94 :
245 - 50
Kakkar AK, Levine M,Pinedo HM,et al. Venous thrombosis in cancer patients: insight from the FRONTLINE survey. Oncologist
2003; 8 : 381 - 8
Lee AYY. Epidemiology and management of venous thromboembolism in patients with cancer.Thromb Res 2003;llO: 167-72
Levine MN. Managing thromboembolic disease in the cancer
patient: efficacy and safety of antithrombotic treatment
options in patients with cancer. Cancer Treat Rev 2002;28:
145-9
London SM. Patients with cancer are at high risk of venous
thrombosis. BMJ 2005; 330 :26
Mandala M, Ferretti G, Cremonesi et al. Venous thromboembolism
and cancer: new issues for and old topic. Crit Rev in Oncol 1
Hem 2003; 48: 65-80
Mousa SA. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the missing
link. Expert Rev 2002; 2 : 227 - 33
Mielicki WP. Biochemistry of cancer. Haemostasis 200 1 ; 3 1 (suppl)
: 8-10
Petitou M,Herbert JM. Synthetic anticoagulants. Pour la Science
2000; 274:l-8
Rogers LR. Cerebrovascular complication in cancer patients. Neurol
Clin N Am 2003; 21 : 167 - 92
Ronsdorf A, Perruchoud AP,Schonenberg RA. Search for occult
malignancy in patients with DVT. Peer Rev Article.
Samama MM et al. Decision Matrix for the prophylaxis of venous
throboembolism (VTE). Forum 2003 ; 1: 1-14
Sorensen HT, Mellemkajaer L, Olsen J, Baron JA. Prognosis of
cancer associated with venous thromboembolism. N Engl J Med
2000; 343 : 1846 - 50
The Matisse Investigator. Subcutaneeous fondaparinux versus
intravenous UFH in the initial treaqtment of PE. N Engl J Med
2003 ; 349 :I695 - 702
von Tempelhoff GF, Niemann F, Schneider DM, et al. Blood
rheology during chemotherapy in patients with ovarian cancer.
Throm Res 1998 : 90 : 73 - 82.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SITOGENETIKA
Aru W. Sudoyo

PENDAHULUAN
Sitogenetika, atau pemeriksaan terhadap kromosom, telah
mengalami perkembangan yang pesat dalam dua
dasawarsa ini sehingga sudah menjadi bagian dari ilmu
kedokteran klinis. Selain untuk mendeteksi kelainan bawaan
seperti sindrom Down (trisomi 21), teknik ini telah
membuktikan bahwa pada berbagai jenis keganasan darah
dan padat didapatkan kelainan kromosom yang khas.
Pada tahun 1960, sitogenetik telah berkembang dari
laboratorium genetika yang mempelajari tanarnan serta lalat
Drosophila ke dunia klinik. Penemuan kromosom
Philadelphia pada spesimen sumsum tulang seorang
pasien leukemia granulositik kronik (LGK) oleh Nowell dan
Hungerford, membuka era baru di mana didapatkan
kelainan kromosom yang secara konsisten dihubungkan
dengan jenis keganasan tertentu. Sepuluh tahun berlalu
sebelum kemajuan teknologi berikutnya, yaitu pada tahun
1970, dengan ditemukannya teknik pemitaan (chromosome
banding) oleh Caspersson. Diketahui bahwa pada
kromosom Philadelphia tersebut terjadi translokasi antara
kromosom 9 dan 22. Teknik pemitaan tersebut merupakan
awal perkembangan sitogenetik kanker yang
sesungguhnya di mana hingga saat pencetakan buku ini
telah dilaporkan lebih dari 8000 kelainan kromosom pada
kanker. Kemajuan teknologi biologi molekular selanjutnya
mendapatkan bahwa pada breakpoint atau lokasi
translokasi tersebut (translokasi kromosom 9 dan 22 pada
LGK) terbentuk gen baru atau gen fusi BCR-ABL yang
dianggap memicu terjadinya penyakit ganas tersebut.
Dikaitkan dengan konsep di atas, beberapa istilah
sitogenetik perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu:
Lengan Pendek Kromosom, dinyatakan sebagai "p",
lengan panjang kromosom, dinyatakan sebagai "q", dan
sentromer yaitu bagian yang menyempit di antara "p" dan
"q" (Gambar 1).

Gambar 1. Kromosom dalam tahap metafase setelah mengalami


perlakuan dengan enzim tripsin. Tampak pita-pita yang terbentuk
dan memberikan gambar khas bagi setiap krornosom.

Translokasi, disingkat t, yaitu bila sebagian dari sebuah


kromosom berpindah ke kromosom lain. Perpindahan ini
dapat bersifat resiprokal (bertukar) atau tidak. Contoh:
t(9;22) yang berarti telah terjadi perpindahan, dalah ha1 ini
pertukaran tempat, sebagian sepotonglsegmen kromosom
9 ke kromosom 22. Dikenal sebagai kromosom Philadelphia
pada leukemia granulositik kronik.
lnsersi (insertion) atau "ins". Sepotonglsebagian
kromosom berpindah ke lokasi baru, menyelipkan diri di
antara pita-pita kromosom yang sama atau kromosom
lainnya. Misalnya: ins(5;2)(p14;q22q32) berarti pematahan
dan penyambungan kembali terjadi pada pita 5p14 pada
lengan pendek kromosom 5 dan pita-pita 2q22 dan 2q32.
Inversi, disingkat inv. Sebagian dari sebuah kromosom
mengalami rotasi 180 pada kariotip 46, XY, inv(3)(q26q29),
terjadi pematahan (breakage) dan penyambungan kembali

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

SITOGENETIKA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(reunion) di kromosom 3 pada lokasi pita q26 dan q29.
Delesi atau del berarti hilangnya sebagian dari sebuah
kromosom. Suatu sebutan del (l)(q23) berarti pada
kromosom 1 telah terjadi kehilangan sebagian daripadanya
pada lokasi pita q23.
Marker disingkat "mar" digunakan bila pada kelainan tidak
dikenal. Tanda + atau: Tanda ini dipasang di depan sebuah
angka kromosom untuk menunjukkan adanya penambahan
atau kehilangan sebuah kromosom.
Klon (clone) :dua sel dengan kromosom yang mengalami
tambahan kromosom (atau bagiannya) atau perubahan
struktur yang sama. Suatu kelainan dikatakan sebagai
klonal bila berasal dari satu sel dan mempunyai ciri genetik
sama.
Diploid :jumlah dan susunan kromosom yang normal.
Haploid : setengah dari susunan normal (misalnya 23
kromosom)
Hipodiploid :hilangnya kromosom dengan jumlah 45 atau
kurang.
Kariotip :susunan kromosom dari sebuah sel tertentu yang
dibuat berdasarkan suatu sistem yang telah disepakati,
dimulai dari kromosom berukuran paling besar dan berakhir
dengan yang terkecil. Kariotip manusia normal ditulis
sebagai 46, XY untuk laki-laki dan 46, M untuk perempuan.
Hingga saat ini tidak diketahui seberapa konsisten
rearrangements atau perubahan kromosom itu terjadidapat secara kebetulan, yaitu seleksi alam akan
menyingkirkan sel-sel yang tidak memiliki kelebihan
proliferatif. Sebaliknya, banyaknya ragam kelainan
kromosom yang ditemukan pada kanker mencerminkan
suatu kelemahan (instabilitasgenetik) dalam sel itu sendiri,
dan beberapa peneliti mengusulkan bahwa adanya titiktitik lemah atau fragile sites sebagai mediator untuk
perubahan kromosom tersebut.

KELAINAN KROMOSOM: SlFAT RANDOM ATAU


NON-RANDOM
Dalam kaitannya dengan keganasan, dikenal apa yang
disebut sebagai perubahan random atau kebetulan, dan
non-random atau tidak kebetulan. Pengertian ini penting
untuk dipakai sebagai landasan pembahasan selanjutnya
karena kelainan random adalah perubahan pada kromosom
yang terjadi dan ditemukan secara kebetulan pada sebuah
preparat metafase dan dianggap sebagai penemuan yang
tidak bermakna.
Hal yang perlu dipastikan pada waktu mendapatkan
kelainan kromosom adalah apakah perubahan tersebut
(translokasi insersi, dan sebagainya) merupakan kelainan
random (kebetulan) atau non-random (didapatkan pada
lebih dari satu metafase atau set kromosom). Kelainan baru
dapat dilaporkan sebagai kejadian bermakna bila bersifat

non-random. Pada proses pemitaan kromosom (chromosome banding), kromosom mengalami pemrosesan dengan
enzim sehingga tampak sebagai memiliki pita-pita atau
band. Setiap kromosom memiliki ciri susunan pita tertentu,
yang menjadi dasar pengenalan dan interpretasi adanya
kelainan dalam suatu kariotip (susunan kromosom menurut
ukuran). Pemeriksaan tersebut ditujukan pada tahap
mitosis di mana kromosom sudah mulai memisahkan diri
dengan pasangannya tetapi tetap pada satu sumbu atau
spindel, yaitu tahap metafase.

PERUBAHAN PRIMER DAN SEKUNDER


Sungguhpun kelainan non-random di atas menetapkan
keabsahan interpretasi, suatu pengamatan pada sebuah
metafase kadang-kadang akan membingungkan karena
banyaknya kelainan yang ditemukan. Apakah kelainan
kromosom tersebut penting secara patogenesis, perlu
sebelumnya dipilah menjadi dua kategori yaitu kelainan
primer dan sekunder.
Kelainan primer biasanya merupakan kelainan satusatunya pada sebuah kariotip dan seringkali merupakan
kelainan yang khas untuk keganasan tertentu, seperti
translokasi kromosom 9 dan 22 pada LGK (kromosom
Philadelphia). Kelainan tersebut dianggap sudah muncul
pada tahap dini suatu keganasan dan mempunyai
kemungkinan peran kausal. Sedangkan kelainan sekunder
merupakan kejadian yang ditemukan pada tahapan lebih
lanjut perjalanan suatu tumor atau kanker sehingga sudah
menjadi banyak dan seringkali sudah tidak ada makna klinis
dan tidak dapat membantu untuk mencari penyebab.

MAKNA KLlNlK PEMERIKSAANSITOGENETIKA


Dalarn bidang hematologi, penggunaan sitogenetik sebagai
pemeriksaan penunjang dalam pendekatan diagnostik
terhadap leukemia telah menyebabkan diusulkannya
penyempurnaan klasifikasi FAB dengan klasifikasi MIC
(morphology-immunophemotype-cytogenetics).
Sistem klasifikasi FAB (French-American-British)yang
lazim digunakan dianggap mempunyai beberapa
kelemahan, antara lain karena butuh persentase sel blas,
ketidak-jelasan akan sel blas tipe 11, kesulitan membedakan
antara leukemia mieloblastik akut dan sindrom
mielodisplastik, dan definisi dari M6. Sitogenetik,bersama
dengan pemeriksaan imunofenotip, kemudian masuk
sebagai alat bantu tambahan. Salah satu contoh adalah
pada acute mixed lineage leukemia, suatu keadaan yang
tidak tercakup dalam klasifikasi FAB. Pada leukemiajenis
ini didapatkan positivitas untuk CALLA seperti pada LLA
dengan (t(l)(q23) dan t(Il)(q23) dan t(9;22) yang biasanya
didapatkan pada LMA. The MIC (morphologyimmunophemotype-cytogenetics) Cooperative of Study

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Group bertujuan menjajaki kemungkinan meningkatkan


ketetapan klasifikasi cara FAB (French-American-British)
mengajukan bahwa kasus-kasus LMA perlu dipelajari
secara morfologi, imunologi, dan sitogenetik (sistem MIC).
Dengan sistem MIC ini, maka leukemia mieloblastik akut
akan dibagi menjadi sepuluh kategori dan bukan tujuh
seperti sekarang ini.

Gambar 2. Contoh foto kromosom-kromosom yang telah digunting


dan disusun berurutan sesuai kesepakatan internasional. Dikenal
sebagai sebuah kariotip, mernbantu dalarn menentukan kelainan
kromosom.

SlTOGENETlK DAN PROGNOSIS


Kelainan kromosom pada leukemia dianggap sebagai salah
satu variabel prognostik leukemia akut yang independen.
Kejadian sitogenetik yang paling penting dalam
menentukan sifat dan perjalanan leukemia akut adalah
perubahan kariotipik primer. Kelainan primer sering
ditemukan sebagai kelainan kromosom tunggal pada
keganasan, dan seringkali dihubungkan dengan jenis
keganasan tertentu, suatu ha1 yang berlaku pada LMA.
Sebaliknya, kelainan sekunder jarang atau tidak pernah
ditemukan sebagai kelainan tunggal, terjadi sebagai
kejadian tambahan dan seringkali menjadi penemuan utama
pada tahap lanjut penyakit.
Kelainan kromosom pada LMA diketahui mempunyai
nilai prognostik yang tidak bergantung pada faktor lain
kecuali protokol pengobatan yang digunakan. Secara
umum, prognosis paling baik didapatkan pada kelainan
kromosom inv(l6) dan paling buruk pada delesi atau
monosomi kromosom 5,7, atau keduanya, t(1;7(,t(6;9),
inv(3), t(3;3), dan kariotip yang rumit. Contoh lain,
misalnya, adanya translokasi t(8;2 1)(q22;q23) pada LMA
menunjukkan prognosis yang lebih baik apabila pada
penyakit tersebut ditemukan t(6;9)(p23;q34), LMA
biasanya didahului oleh MDS. Dengan adanya korelasi
antara gambaran kariotip atau kelainan kromosom tertentu
dengan beberapa subtipe LMA, dapat dikatakan bahwa
diperkirakan hasil akhir pengobatannya, ha1 yang penting
karena terapi terhadap LMA direncanakan dengan tujuan
kesembuhan. Dengan kata lain, perubahan kromosom

primer cenderung untuk menentukan sifat penyakit, dalam


ha1 ini LMA, seperti yang tercermin pada sitologi, respons
terhadap pengobatan, dan sifat biologis penyakit. Selama
perubahan keriotipik ini tidak mengalami perubahan, LMA
tidak akan menunjukkan banyak variasi perjalanan
penyakitnya sampai terjadinya penambahan pada
perubahan tersebut (perubahan sekunder), seperti
hilangnya kromosom seks atau trisomi 8. Perubahan
tersebut dapat sedikit ataupun sangat banyak. Dalam ha1
LMA dengan kelainan sekunder, penyakit cenderung
untuk memiliki perjalanan yang lebih agresif dengan masa
sakit pendek serta respons terhadap sitostatik yang sangat
jelek.
Setiap subtipe LMA mempunyai kejadian biologis
(termasuk juga aspek klinis dan prognosis) berhubungan
dengan atau bahkan ditentukan oleh perubahan secara
spesifik pada kromosom. Bila muncul kelainan kromosom
tambahan, biasanya leukemia menjadi lebih agresif dalam
perjalanan penyakit. Kelainan-kelainan kromosom
dihubungkan dengan prognosis yang buruk. The Sixth
International Workshop on Chromosomes in Leukemia,
yang bertemu di London tahun 1987, mencapai
kesimpulan yang hampir sama, bahwa kariotip merupakan
faktor prognostik yang independen pada LMA de novo
(baru). Penelitian-penelitian di masa yang akan datang
masih dibutuhkan, karena hasil akhir pasien LMA amat
ditentukan oleh protokol pengobatan yang
digunakan.
Kesimpulan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan secara terpisah oleh Schifferl yang mengatakan
bahwa hasil pemeriksaan sitogenetik yang siap kurang
lebih 3 atau 4 minggu setelah diagnosis dapat membantu
penentuan langkah berikutnya setelah remisi tercapai.
Munculnya resistensi terhadap sitostatik, yang ditemukan
juga pada mereka dengan prognosis baik, menunjukkan
bahwa pemeriksaan sitogenetik secara serial diharapkan
dapat membantu mendeteksi munculnya klon-klon yang
resisten terhadap obat.

SlTOGENETlKA TUMOR PADAT


Walaupun teknik sitogenetik telah mengalami banyak
kemajuan, tumor padat masih mencakup 27% dari kelainan
kromosom yang dilaporkan. Perubahan kromosom pada
tumor padat biasanya sangat kompleks dan sudah
melibatkan kelainan sekunder akibat lanjutnya progresifitas
keganasan pada waktu diperiksa. Membedakan kelainan
primer dan sekunder jauh lebih sulit daripada leukemia.
Sungguhpun demikian, kemajuan mulai dicapai dengan
diidentifikasinya berbagai kelainan primer yang khas untuk
beberapa tumor padat tertentu walaupun hanya sedikit
yang telah ditelaah pada tingkat molekular.
Pemeriksaan kromosom pada tumor padat lebih sulit
karena beberapa hal:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Garnbar 3. Potongan-potongan kariotip dari metafase yang


diproses dengan trypsin-Giemsa memperlihatkan perubahan
tatanan kromosorn pada leukemia mieloblastik akut:(A)t(9;22)
(q34;q11), CML;(B)t(8;21)(q22;q22),AML-M2; (C)inv(l6)(pl3q22),
AMMol-M5;(D)t(1 5 ; l 7)(q22;qll -12),APL;
(E) t(9;11)(p22;q23), Arnol-M5; dan (F) de1(5)(q13q33) pada tAM. Lokasi kelainan ditunjukkan dengan anak panah (Van den
Berghe, 1995)

Pada waktu tumor padat dapat dilihat oleh mata


telanjang, yaitu pada saat pasien datang ke dokter,
biasanya kelainan kromosom sudah lanjut sedemikian rupa
sehingga sudah banyak kelainan sekunder.
Jaringan tumor padat, berbeda dengan sumsum tulang
pada keganasan hematologi, mengandung jaringan ikat
dan penunjang yang masih hams "disingkirkan" dahulu
sebelum dapat diteliti.
Dengan tingkat proliferasi jaringan yang lebih lambat
dari sumsum tulang diperlukan biakan yang lebih lama
dengan konsekuensi pemeliharaan biakan yang lebih
memerlukan kecermatan.
Sebagai akibat berbagai ha1 di atas, pada kariotip akan
didapatkan jumlah dan kelainan yang sangat banyak.

KEGUNAANSlTOGENETlK TUMOR PADAT DALAM


KLINIK
Untuk keganasan hematologi, analisis sitogenetik sudah
menjadi bagian dari pendekatan diagnostik. Gambaran
kariotip sel darah tepi, sumsum tulang, maupun kelenjar
getah bening sudah dapat memastikan ada tidaknya
penyakit keganasan, menentukan jenisnya, dan
memberikan prognosis. Analisis sitogenetik dan modalitas
diagnostik lainnya sudah dianggap saling melengkapi.
Analisis sitogenetik pada tumor padat, di lain pihak,
hams dilakukan secara lebih hati-hati karena kesulitan
teknik dan masih kurangnya pemahaman mengenai
perangai tumor padat itu sendiri. Beberapa kelainan seperti
-X atau -Y, misalnya, dapat ditemukan pada keadaan non-

neoplastik. Beberapa translokasi terdapat pada sel normal


dalam biakan. Tetapi bila ditemukan kelainan yang bersifat
multipel dan kompleks, dapat dipastikan bahwa sel tersebut
ganas.
Sitogenetik tumor padat sebagai alat diagnostik
bermanfaat pada keadaan tertentu misalnya efusi pleura,
suatu keadaan di mana cara-cara sitologi maupun lainnya
tidak membawakan hasil.
Dalam beberapa keadaan, analisis sitogenetik berguna
dalam membedakan tipe tumor, seperti y(11;22) pada
sarkoma Ewing dan tumor serupa, t(2; 13) pada
rabdomiosarkoma, t(X; 18) pada sarkoma sinovial, dan
t(12; 16)pada liposarkoma miksoid. Karena sarkoma Ewing,
neuroblastoma metastatik neuroblastoma, rabdomio
sarkoma, dan limfoma non Hodgkin jelas berbeda dalam
ciri-ciri sitogenetik, maka analisis kromosom dapat menjadi
alat bantu diagnostik dengan konsekuensi terapeutik jelas.
Diagnosis sitogenetik bahkan dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan cucuk jamm halus Vine needle
aspiration biopsy).

Macam Tumor
Tumor Epitelial
Pleomorlik adenoma
Karsinoma paru
Karsinoma ginjal
Karsinoma kandung kemih
Tumor Wilms
Karsinoma ovarium
Karsinoma prostat
Tumor Mesenkim
Lipoma
Leiongioma
Liposarkoma (miksoid)
Sarkoma sinovia
Rabdomiosarkoma
Malignantfibris histiocytoma
Tumor Sel Germinal,
Neurogenik.
Neuroekstradermal
Meningioma
Astrositoma
Neuroblastoma
Retinoblastoma
Melanoma malignum
Sarkoma Ewing, tumor
askin,
Neuroepitelioma perifer
Tumor sel geminal

Macam Perubahan
Translokasi dari 12q13 (5,t(3;8)(p21q12)
del(3) (p14-23)
del(3) (p14-23)'t(3;5)(pl3;q22)
i(5p),trisomi7,monosomi 9
del(1l)(pl3)
add(19)(p13)
de1(7)(q22), deI(lO)(q24)
Translokasi dari 12q13-15, ring kromosom
Perubahan struktur dari 12q13-15,
de1(7)(q21q31),trisomi 12
t(12;16)(q13.3;p11.2)
t(X;l8)(pll;qll)
t(2;13)(q35-37;q14)
add(19)(p13)

Monosomi22, de1(22)(q12-13)
de1(9)(p13-24).dmin
del(l)(32-36),herldmin
deI(15)(q14).1(6)(plO)
Delesion of 6q,t(6)(plO)
t(11;22)(q24;q12)

Peran sitogenetik pada tumor padat belum baku seperti


pada keganasan hematologi, tetapi beberapa hubungan
antara sitogenetik dan prognosis telah dilaporkan. Sebuah
contoh, pads tumor sel germinatha testikular, kemungkinan
gagalnya kemoterapi meningkat dengan jurnlah I(12)(p 10).
Pada kanker prostat, kelainan kromosom berhubungan
dengan pendeknya masa harapan hidup. Pada neuroblastoma pemeriksaan sitogenetik juga mempunyai nilai
prognostik. Karena teknologi untuk mengatasi kesulitan
tersebut belum lama digunakan sampai saat ini banyaknya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

penemuan masih jauh lebih sedikit daripada sitogenetik


keganasan hematologi. Sungguhpun demikian,
pemeriksaan sitogenetik pada tumor padat sudah mulai
membuka tabir genetik masing-masing tumor, menyusul
ditemukannya kelainan pada kromosom 13 pada retinoblastoma yang menjadi dasar penelitian terhadap kausa
tumor tersebut. Seperti pada keganasan hematologi, pada
tumor padat kelainan kromosom akan menjadi pembuka ke
arah penelusuran kelainan genetik yang terjadi, dengan
jalan yang masih panjang dan kesempatan yang sangat
terbuka lebar untuk pelaporan dan penelitian.

REFERENSI
Arthur DC, Berger R, Golomb HM, Swansbury GJ, Reeves BR,
Alimena G, Van Den Berghe H. General report of the Sixth.
International Workshop on Chromosomes in Leukemia:
theclinical significance of karyotype in acute myelogenous
leukemia. Cancer Genet Cytogenet. 1989;40:203-16.
Bain BJ. Leukemia diagnosis-a guide to the FAB classification.
Philadelphia: JB Lippincott Company; 1990.

Greenberg P, O'Brien S, Goldman J, Sawyer C. Myelodysplastic


syndromes and myeloproliferative disorders: clinical,
therapeutic, and molecular advances. Education program
book,American Society of Hematology Meeting. Seattle; 1995.
p. 10.
Heim S, Mitelman F. Cancer cytogenetics. In: Alan R Liss, editor.
New York; 1995. p. 83.
Hirsch-Ginsberg C, Yang OH, Kagan J, Liang JC, Stass SA. Advances
in the diagnosis of acute leukemia.
Mitelman F, Heim S. Quantitative acute leukemia cytogenetics.
Gene, Chromosomes & Cancer. 1992;5:57-66.
Schiffer CA, Lee EJ, Tomiyasu T, Wiernick PH, TestaJR. Prognostic impact of cytogenetic abnormalities in patientswith de novo
acute nonlymphocytic leukemia. Blood.1989;73(1):263-70.
Schumacher HR, Shirt MA, Kowal-Vern A, Dizikes D, Radvany RM,
Le Beau MM. Acute leukemia and related entities: Impact of
new technology. Arch Pathol Lab Med. 1991;115:331-7.
Sullivan AK. Classification, pathogenesis, and etiology of
neoplastic disease of the hemopoetic system. In: Kee GR, Bithell
TC, Foerster J, editors. Wintrobe's clinical hematology. 9th
edition. Philadelphia: Lea & Febiger.
Van den Berghe H, Dal Cin P. Chromosomes and cancer. In: Peckham
M, Pinedo H, Veronesi U, editors. Oxford textbook of
oncology. Oxford-New York: Oxford University Press; 1995.
p. 32.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DASAR-DASAR TALASEMIA:
SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI
Djumhana Atmakusuma, Iswari Setyaningsih

PENDAHULUAN
Sebelum menata-laksana penderita thalassemia, terlebih
dahulu pengetahuan dasar hemoglobinopati perlu
difahami, dengan fokus thalassemia, mencakup pengertian,
bentuk, epidemiologi, genotip, fenotip, patogenesis, dasar
molekular, dan patofisiologi. Dengan memahami aspek
dasar thalassemia, aspek klinis thalassemia dapat lebih
dihayati, karena aspek genotip thalassemia memberikan
gambaran klinis atau fenotip yang khusus dan beragam,
terkadang berbeda, misalnya kelainan heterozigot ganda
thalassemia PIHbE memberikan fenotip bervariasi, dari
thalassemia mayor sampai dengan intermedia atau minor.

Pada embrio:
- Hb Gower 1, terdiri atas rantai globin zeta dan
epsilon ({,&,),
- Hb Gower 2, terdiri atas rantai globin alfa dan epsilon (a,&,)
- Hb Portland, terdiri atas rantai globin zeta dan gamma
(I;,?,), sebelum minggu ke 8 intrauterin.
- Semasa tahap fetus terdapat perubahan produksi
rantai globin dari rantai zeta ({) ke rantai alfa (a) dan
dari rantai epsilon (E) ke rantai gamma (y), diikuti
dengan produksi rantai beta (P) dan rantai delta (6)
saat kelahiran.

JENIS JENIS HEMOGLOBIN

PENGERTIAN HEMOGLOBINOPATI, HEMOGLOBlNOPATl STRUKTURAL DAN THALASSEMIA

Molekul hemoglobin terdiri atas dua pasang rantai globin


identik yang berasal dari kromosom yang berbeda
(terpisah?). Beberapa jenis hemoglobin yang dapat
dijumpai, sebagai berikut:
Pada orang dewasa:
- HbA (96 %), terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa
dan beta (a,P,)
- Hb A, (2,s %), terdiri atas 2 pasang rantai globin
alfa dan delta (a26,)
Pada fetus:
- HbF (predominasi), terdiri atas 2 pasang rantai
globin alfa dan gamma (a,y,)
- Pada saat dilahirkan HbF terdiri atas rantai globin
alfa dan Ggamma (aZGy,)dan alfa dan *gamma
(a,?,), di mana kedua rantai globin gamma berbeda
pada asam amino di posisi 136 yaitu glisin pada Gy
dan alanin pada 9

Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan


(inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau
dekat gen globin.
Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua
perubahan rantai globin, yakni:
(a) perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid
sequence) rantai globin tertentu, disebut
hemoglobinopati struktural, atau
(b) perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau
kemampuan produksi rantai globin tertentu, disebut
thalassemia.
Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik
pada anak anak atau orang dewasa, disebabkan oleh mutasi
gen globin a atau P. Sedangkan, mutasi berat gen globin
I;, E ,dan y dapat menyebabkankematian pada awal gestasi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

'

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Tabel 1 menunjukkan kelainan-kelainan yang termasuk ke
dalam hemoglobinopati:

1. Hemoglobinopatistruktural
a. Sindrom sel sickle:
- HbS
- Heterozigot ganda HbS dengan varian hemoglobin
thalassemik: Hb SC, Hb SD, Hb S, Hb Sthalassemia-a, Hb S-thalassemia-P
b. Hemoglobin dengan afinitas oksigen yang berubah:
Contohnya, Hb Yakima
c. Hemoglobin tidak stabil (unstable): Contohnya, Hb
Koln
2. Thalassemia:
a. Thalassemia-a
b. Thalassemia-P
c. Thalassemia-6P, thalassemia-y6P, dan thalassemiaaP
d. Heterozigot ganda thalassemia-a atau -P dengan
varian
hemoglobin
thalassemik:
Contohnya,
thalassemia P/HbE

3. Varian hemoglobin thalassemik:


HbC, HbD-Punjab, HbE, Hb Constant Spring, Hb Lepore,
dan lain lain.
4. Hemoglobin persisten herediter: HbF persisten
,
5. Hemoglobinopatididapat (acquired): Contohnya,
methemoalobin

HEMOGLOBINOPATISTRUKTURAL
Pada hemoglobinopati struktural, salah satu asam amino
yang lazim pada rantai globin digantikan oleh asam amino
lainnya, sehingga menyebabkan produksi rantai globin
tidak efektif yang mengakibatkan terjadinya anemia.
Beberapa kelainan yang termasuk hemoglobinopati
struktural adalah sindrom sickle cell, hemoglobin dengan
afinitas oksigen yang berubah, dan hemoglobin tidak
stabil.
1. Sindrom sickle cell
a Hb S: Pada HbS asam amino valin pada posisi ke-6 gen
globin beta digantikan oleh asam amino glutamat (Cd
6, GAGVal>GTGG1"
atau p.VaMGlu), sehingga timbul
anemia sel sickle. HbS banyak dijumpai di Amerika
Serikat.
b. Heterozigot ganda HbS dengan varian hemoglobin
thalassemik:
1. Hb SC, dijumpai pada 3 % Afro-amerikan,
merupakan kombinasi antara HbS dan HbC yang
diwarisi dari orang tua yang masing-masing
membawa salah satu Hb varian (misalnya ayah
pembawa sifat HbS dan ibu pembawa sifat HbC;
atau sebaliknya).
2. Hb SD: adalah kombinasi HbS dengan HbD
3. Hb SE: adalah kombinasi HbS dengan HbE.
4. Hb S-thalassemia-a: adalah kombinasi HbS dengan

thalassemia a
5. Hb S-thalassemia-P: adalah kombinasi HbS dengan
thalassemia-P
2. Hemoglobin dengan afinitas oksigen yang berubah:
Contohnya adalah Hb Yakima (P Cd 99 GATA">CATHi"
atau p.Asp99His), ditemukan secara sporadik dengan
klinis berupa polisitemia.
3. Hemoglobin tidak stabil (unstable): Contohnya Hb
atau p.Val98Met). Terjadi
Kbln (P Cd98 GTGVa'>ATGMe'
akibat mutasi gen yang mengubah rangkaian asam
amino pada daerah yang penting untuk solubilitas atau
pengikatan heme. Hb varian ini dijurnpai secara sporadik.

Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi


satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin
lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian
(parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin tersebut.
Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai
dengan rantai globin yang terganggu produksinya, seperti
ditunjukkan di bawah ini.
1. Thalassemia-a, terjadi akibatberkurangnya (defisiensi
parsial) (thalassemia-a') atau tidak diproduksi sama
sekali (defisiensi total) (thalassemia-ao)produksi rantai
globin-a
2. Thalassemia-P, terjadi akibat berkurangnya rantai
globin-b (thalassemia- P+)atau tidak diproduksi sama
sekali rantai globin-P (thalassemia- P ')
3. Thalassemia-GP terjadi akibat berkurangnya atau tidak
diproduksinya kedua rantai-6 dan rantai-p. Hal yang
sama terjadi pada thalassemia-y6P, dan thalassemia-

aP

4. Heterozigot ganda thalassemia a atau P dengan varian


hemoglobin thalassemik:
- Contohnya, thalassemia-PlHbE: diwarisi dari salah
satu orang tua yang pembawa sifat thalassemia P,
dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE.

BENTUK HEMOGLOBINOPATILAlNNYA
Di samping hernoglobinopati struktural dan thalassemia,
termasuk ke dalam kelompok kelainan hernoglobinopati
adalah varian hemoglobin thalassemik, hemoglobin
persisten herediter dan hemoglobinopati didapat.

1. Varian hemoglobin thalassemik : Hemoglobin yang


abnormal secara struktur (hemoglobin struktural),
dikaitkan dengan fenotip thalassemia. yang diwariskan
bersama-sama (coinherited):
a. Varian rantai globin P yang dikaitkan dengan fenotip
thalassemia-p:
- HbC, Asam amino glutamat digantikanoleh asam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1381

DASAR-DASAR THALASSEMIA : SALAH SATU JENlS HEMOGLOBINOPATI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


amino lysin pada posisi 6 rantai globin P (Cd 6
GAGG1">AAGLY;atau p.Glu6Lys). Mutasi ini
dijumpai di Afrika.
- HbD-Punjab, Asam amino glutamat digantikan
oleh asam amino glisin pada posisi 121 rantai
atau
globin P (Cd 121 GAAGiU>GGAG'",
p.Glul2 1Gly).
- HbE,Asam amino glutamat digantikan oleh asam
amino lysin pada posisi 26 rantai globin P (Cd
26 GAGG1">AAGLY;atau p.Glu26Lys). Mutasi
ini banyak dijumpai di Asia Tenggara
- H b Lepore (FP)O, Varian hemoglobin yang
diproduksi oleh gen fusi ah, akibat delesi bagian
3' gen 6 dan bagian 5' gen P. Gen fusi ini
mengkode rantai h s i 6P varian yang jauh lebih
sedikit diproduksi dibandingkan dengan rantai
p normal. Dijumpai dengan frekuensi rendah pada
populasi Italia, Yunani dan Afro-amerikan dan
Afro-Inggris.
b. Varian rantai globin a yang dikaitkan dengan fenotip
thalassemia a+
- Hb Constant Spring. Disebabkan oleh mutasi
pada codon stop gen a, yang selanjutnya
menyebabkan penambahan 32 asam amino pada
rantai a 2 (a2 Cd142; TAAS'0p>CAAG1n+30aa
atau
p.Xl42GlnextX33) Frekuensi di Thailand 1 - 8
%.
2. Hemoglobin persisten herediter (Hereditarypersistent of fetal hemoglobin = HPFH): kadar HbF tetap
tinggi sampai dengan dewasa
3. Hemoglobinopati didapat (acquired): Methemoglobin
akibat terpajan bahan toksik, sulfhemoglobin akibat
terpajan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada
eritroleukemia,HbF yang meningkat pada keadaan stress
eritroid dan displasia sumsum tulang.

EPlDEMlOLOGl THALASSEMIA
Sebaran thalassemia terentang lebar dari Eropa SelatanMediteranian, Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan
Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara. Tabel 2
menunjukkan sebaran populasi thalassemia di dunia.

GENOTIP DAN FENOTIP THALASSEMIA-p


Lebih dari dua ratus bentuk mutasi gen dijumpai pada
thalassemia-a, namun beratnya defek bervariasi.
Individu normal memiliki dua ale1gen globin-P, sehingga
genotip thalassemia-P dapat muncul dalam bentuk
heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini
dapat melahirkan berbagai bentuk fenotip thalassemia-P.
Heterozigositas thalassemia-P disebut juga sebagai

Jenis thalassemia

Peta sebaran

Thalassemia-P

Populasi Mediteranian, Timur Tengah,


India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia
Selatan, Cina Jarang di: Afrika, kecuali
Liberia, dan di beberapa bagian Afrika
Utara Sporadik: pada semua ras

Thalassemia-a

Terentang dari Afrika ke Mediteranian,


Timur Tengah, Asia Timur dan
Tenggara Hb Bart's hydrops syndrome
dan HbH disease sebagian besar
terbatas di populasi Asia Tenggara dan
Mediteranian

thalassemia-P trait. Sedangkan homozigositas atau


heterozigositas ganda disebut juga sebagai thalassemiap mayor. Tabel 3 menunjukkan genotip dan fenotip

Bentuk
thalassemia-8

Genotip

Fenotip

~halassemia-p"
(p-zerothalassemia)

Thalassemia
homozigot (popo)

Bervariasi (ringan
sld berat)

~halassemia-p'
(p-plusthalassemia)

Mutasi gen bervariasi


heterozigot

Bervariasi (ringan
sld berat)

~halassemia-po
dan
Thalassemia-p'

Heterozigot ganda:
- 2 p0 berbeda atau
2 p' berbeda
- atau podan B'

1. Thalassemia-Po, Thalassemia-p', Thalassemia


homozigot dan heterozigot Thalassemia-Po (p-zerothalassemia)
Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau
terjadi delesi gen (jarang).Pada thalassemia homozigot
(POPo)rantai-p tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat diproduksi.
Pada thalassemia-F(P-plus-thalassemia) ekspresi gen
p normal menurun, namun tidak menghilang sama sekali,
sehingga hemoglobin A masih diproduksi. Hingga saat
ini telah ditemukan banyak jenis mutasi thalassemia-P'
dengan berat defek sintesis rantai-p yang bervariasi,
dari yang ringan sampai yang berat.
Genotip homozigot thalassemia-fJmenunjukkan fenotip
yang juga bervariasi, dari yang ringan sampai yang
sangat berat. Sementara itu, heterozigot ganda dapat
memiliki dua gen thalassemia-Poyang berbeda, atau dua
gen thalassemia-P' yang berbeda, atau kombinasi gen
thalassemia Po dan p.
2. Thalassemia-p trait
Thalassemia-P trait mempunyai genotip berupa
heterozigot thalassemia-P, seringkali disebut juga

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sebagai thalassemia-P minor. Fenotip kelainan ini secara
klinis tidak memberikan gejala (asimtomatik).
3. Thalassemia-P mayor

Thalassemia-P mayor, dengan genotip homozigot atau


heterozigot ganda thalassemia-P,menunjukkan fenotip
klinis berupa kelainan yang berat karena penderita
bergantung pada transfusi darah untuk memperpanjang
usia.
4. Thalassemia-P intermedia

Thalassemia-(3intermedia menunjukkan fenotip klinis


di antara thalassemia-P mayor dan thalassemia-P
minor. Penderita thalassemia-P intermedia secara klinis
dapat berupa asimtomatik, namun kadang kadang
memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak
bertujuan untuk mempertahankan hidup.
Thalassemia-Pintermedia merupakan kelompok kelainan
yang heterogen dengan derajat beratnya kelainan
bervariasi, mencakup:
- homozigot dan heterozigot ganda thalassemia-e+
minor, atau
heterozigot thalassemia-fiyang diperberat dengan
faktor pemberat genetik berupa triplikasi alfa baik
dalam bentuk heterozigot maupun homosigot.
5. Thalassemia-P dominan
Mutasi thalassemia yang dikaitkan dengan fenotip kinis
yang abnormal dari bentuk heterozigot disebut juga
sebagai thalassemia-P dominan

GENOTlP DAN FENOTIP SINDROM THALASSEMIA-a

Thalassemia-a dikelompokkan ke dalam empat bentuk


genotip klasik dengan fenotip yang berbeda, seperti tertera
pada Tabel 4.

Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang


fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (an asymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini
ditemukan pada 15 - 20 % populasi keturunan Afrika.

2. Thalassemia-1-a trait (-a I-a atau aa I- -)

Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat


berbentuk thala~semia-2~-a
homozigot (-a/-a) atau
thalassemia-la-a heterozigot (aal- -). Fenotip thalassemia-I-a trait menyerupai fenotip thalassemia-a
minor.

3. Hemoglobin H disease (- -1- a)


Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk
heterozigot ganda untuk thalassemia-2-a dan thalas. Pada fetus terjadi akumulasi
semia-1-a (--/-a)
beberapa rantai -P yang tidak ada pasangannya
(unpaired pchains). Sedangkan pada orang dewasa
akumulasi unpaired-P chains yang mudah larut ini
membentuk tetramer P,, yang disebut HbH. HbH
membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast,
tetapi tidak berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar.
Delesi tiga loki ini memberikan fenotip yang lebih berat.
Bentuk kelainan ini disebut HbH disease. Fenotip HbH
disease berupa thalassemia intermedia, ditandai
dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan
inefektivitas eritropoiesis yang lebih ringan.

4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart's (- - 1- - )


Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan
embrional ini sama sekali tidak diproduksi rantai globin
a. Akibatnya, produksi rantai globin-8 berlebihan dan
membentuk tetramer globin-8, yang disebut Hb Barts
(84).8,ini memiliki afinitas oksigen yang sangat tinggi.
Akibatnya, oksigen tidak ada yang mencapai jaringan
fetus, sehingga terjadi asfiksia jaringan, edema
(hydrops fetalis), gaga1 jantung kongestif, dan
meninggaldalam uterus.
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan jenis jenis
thalassemia-a didasarkan atas lesi genetik.

Bentuk thalassemia-a

Genotip

Thalassemia-2-a trait
Thalassemia-I-a trait:
Thala~semia-2~-a
homozigot
Thalassemia-la-a
heterozigot
Hemoglobin H disease

(-a Iaa)

asimtomatik

(- a I- a)

(aa I--)

menyerupai
thalassemia-f3
minor

Hydrops fetalis dengan


Hb Barts

( 4- a)
(- - I - - )

Fenotip

PATOGENESISTHALASSEMIA

thalassemia
intermedia
hydrops fetalis
meninggal in utero

1. Thalassemia-2-a trait (-a 1aa):

Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai a (-a),


yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan
rantai-a lainnya yang lengkap (aa), diwarisi dari
pasangan orang tuanya dengan rantai-a normal.

Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang


disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat
mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada thalassemia
mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai
globin a atau P, berupa perubahan kecepatan sintesis (rate
of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin
tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak
diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini
diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters
gen a atau p berupa bentuk delesi atau non delesi.
Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1383

DASAR-DASAR THALASSEMIA :SALAH SATU JENIS HEMOCLOBINOPATI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 1. Jenis jenis thalassemia-a yang berbeda. Kotak hitarn rnenunjukkan gen normal, sedangkan kotak putih
menggambarkan delesi gen atau gen yang tidak aktif sebagian (parsial) atau seluruhnya (kornplit)

DNA thalassemia belum dapat ditentukan jenis mutasi


gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen
pada thalassemia.
Clusters Gen Globin
1. Cluster gen-a terletak pada kromosom 16:
- terdiri atas satu gen-c fungsional dan dua gen-a
(a, dan a , )
- exon kedua gen globin-a memiliki sekuens yang
identikal
- produksi mRNA a, melebihi produksi mRNA a , ,
oleh faktor 1,5 ke 3

2. Cluster gen P terletak pada kromosom 11:


- terdiri atas satu gen E fungsional, gen G%, gen *%,
gen 6, dan gen p
- flanking regions mengandung conserved
sequences, penting untuk ekspresi gen
3. Pengaturan cluster gen globin
- Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang
besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang
secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk
menghasilkan mRNA akhir.
- Ekspresi gen globin diatur oleh mekanisme kontrol
yang kompleks.
4. Perubahan dan perkembangan ekspresi gen globin
- Globin-P yang diproduksi dalam konsentrasi rendah
mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus.dan
sangat meningkat pada gestasi 36 minggu.
- Globin-%yang diproduksi dalam konsentrasi pada
awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu
- Pada saat kelahiran globin-P dan globin-2
diproduksi secara seimbang
- Pada usia 1 tahun, produksi globin-%kurang dari 1
persen dari produski globin non-a total
- Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin

melibatkan "a time clock" dalam sel asal (stem cells)


hemopoiesis
Sintesis hemoglobin fetal dapat direaktivasi pada
orang deasa bila terjadi stress hemopoiesis

DASAR MOLUKELAR THALASSEMIA-P


Thalassemia-P merupakan kelainan hemoglobin yang
memiliki banyak bentuk mutasi gen. Hampir dari dua ratus
bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia P. Setiap
kelompok populasi memiliki satu set mutasi thalasemia P
yang berbeda, umumnya terdiri atas dua atau tiga jenis
mutasi yang membentuk bulk, dikombinasikan dengan
sejumlah besar bentuk mutasi yang jarang. Begitu luas
pola distribusi, hanya 20 allel yang dicakup untuk sebagian
besar determinan thalassemia-P.
Secara garis besar mutasi gen pada thalasssemia -P
dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi gen, yakni
bentuk delesi dan non delesi.
1. Delesi gen g1obin-P: Paling sedikit 17 delesi yang
berbeda yang hanya dijumpai pada thalassemia-P,
namun jarang dan tampaknya terisolasi, berupa kejadian
tunggal (single event), kecuali delesi 619-bp pada ujung
akhir 3' gen -P lebih sering ditemukan, walaupun
terbatas pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan
dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50 % allel
thalassemia-P. Bentuk homozigot delesi ini
menghasilkan thalassemia-Po. Heterozigot delesi ini
menghasilkan peningkatan HbA, dan HbF, sama yang
dijumpai pada bentuk mutasi lainnya thalassemia-P

2. Mutasi non delesi globin-P: Mutasi non delelesi globinp mencakup proses transkripsi, prosesing dan translasi,
berupa mutasi titik (point mutations):
- region promotor (promotor regions),

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mutasi transkripsional pada lokasi CAP (CAPsites,


5'-untranslated region)
mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries,
polyadenilation signal (Poly A signal), splice site
consensus sequences, cryptic sites in exons, cyptic sites in introns.
mutasi yang menyebabkan translasi abnormal RNA
messenger: inisiasi (initiation), nonsense, dan
mutasifiameshift.
3. Bentuk mutasi lainnya: Di samping kedua bentuk
mutasi di atas dapat dijumpaijuga bentuk bentuk mutasi
lainnya yang khas pada thalassemia P diwariskan secara
dominan (dominantly inherited P thalassemias), varian
globin P tidak stabil (unstable P-globin variants),
thalassemia P tersembunyi (silent P-thalassemia),
mutasi thalassemia P yang tidak terkait kluster gen
globin P (Pthalassemia mutations unlinked to the Pglobin gene cluster), dan bentuk bentuk bervariasi
thalassemia P (variantforms of @thalassemia) .

DASAR MOLEKULAR THALASSEMIA-a


Haplotip gen globin-a dapat ditulis sebagai a a , yang
menunjukkan gen-a, dan gen-a,. Individu normal memiliki
genotip a a l a a . Pada thalassemia-a dapat terjadi mutasi
gen yang berbentuk delesi dan non-delesi gen-a.
Delesi Gen-a
Delesi pada thalassemia-a yang mencakup satu (-a) atau
kedua (- -) gen -a dapat diklasifikasikan berdasarkan
ukurannya, ditulis di atas (superscript). Contohnya (-a3')
menunjukkan delesi 3,7 kb pada satu gen-a.
Bila ukuran delesi belurn dapat ditentukan, maka ditulis
sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen-a yang
pertama kali diidentifikasipada individu yang berasal dari
Mediteranian.
Pada thalassemia-aO,terdapat 14 delesi yang mengenai
kedua gen-a, sehingga produksi rantai-a hilang sama sekali
dari kormosom yang abnormal.
Bentuk thalassemia-a+ yang paling umum (dana4,2)mencakup delesi satu atau duplikasi lainnya gen
globin-a

Kelas Mutasi Gen pada Thalassemia-a


Tabel 5 di bawah menunjukkan jenis jenis mutasi gen-a
yang menyebabkan thalassemia-a.

Jenis
thalasserniaa

Bentuk rnutasi gen

~halassemia-a'

Delesi mencakup cluster gen globinTruncations of telomeric region of 16p


Delesi HS40 region

Thalassemia-a'

Delesi mencakup gen-anatau -a,


Point mutations mencakup gen-a2 atau -al:
- prosesing mRNA: IVS 1 donor
* IVS 1 acceptor
* Poly (A) signal
- translation mRNA: * initiation codon
* Exon 1 atau l
* Termination codon
- post translation codon:* unstable
a-globin

Thalassemia-a
retardasi mental

ATR-16: - delesi atau telomeric truncations


of 16p
translokasi
ATR-X: Mutasi KH2: * delesi
* missense
' nonsense
' splice site

PATOFlSlOLOGl THALASSEMIA
Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama
sekali produksi rantai globin satu atau lebih rantai globin.
Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu
jenis rantai globin (rantai-a atau rantai-p) menyebabkan
sinstesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada
keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang
antara rantai a dan rantai p, yakni berupa a#,, maka pada
thalassemia-Po,di mana tidak disintesis sama sekali rantai
p, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai a yang
berlebihan (a,). Sedangkan pada thalassemia-aO,di mana
tidak disintesis sama sekali rantai a , maka rantai globin
yang diproduksi berupa rantai P yang berlebihan (P,).

a
3
3
'

Non-delesi Gen- a
Pada lesi non-delesi kedua haplotip gen-a utuh (aa),
sehingga diberikannomenklatur (aTa),di mana superscript
T menunjukkan bahwa gen tersebut thalassemik. Narnun
bila defek molekular diketahui, seperti pada hemoglobin
Constant Spring, nomenklatur (aTa)dapat diubah menjadi
(acsa).
Ekspresi gen-a, lebih kuat dua sampai tiga kali dari
ekspresi gen- a , , sehingga sebagian besar mutasi nondelesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-a,

Patofisiologi thalassemia-P
Pada thalassemia-a, di mana terdapat penurunan produksi
rantai p, terjadi produksi berlebihan rantai a . Produksi
rantai globin 3, di mana pasca kelahiran masih tetap
diproduksirantai globin a,%(HbF), tidak mencukupi untuk
mengkompensasi defisiensi a,P, (HbA). Hal ini
menunjukkan behwwa produksi rantai globin P dan rantai
globin % tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat
rantai a yang berlebihan. Rantai a yang berlebihan ini
merupakan ciri khas pada patogenesisi thalassemia-P.
Rantai a yang belebihan, yang tidak dapat berikatan
dengan rantai gobin lainnya, akan berpresipitasi pada
prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1385

DASAR-DASARTHALASSEMIA : SALAH SATU JENIS HEMOGLOBINOPATI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan
menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan
eritropoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur
eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia.
Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong (drive)
profiferasi eritroid yang terus menerus (intens) dalam
sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi
sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan
deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan
dan metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi
(exacerbated) dengan adanya hemodilusi akibat adanya
hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum
tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya
splenomegali. Pada lirnpa yang membesar makin banyak
sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian
akan dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum
tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi dan muatan
besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga
menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan
penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai
organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri
dengan kematian. bila besi ini tidak segera dikeluarkan.
Tabel 6 memperlihatkan patofisiologi thalassemia-P.
Patofisiologi thalassemia-a
Patofisiologi thalassemia-a umumnya sama dengan yang
dijumpai pada thalassemia-P kecuali beberapa perbedaan
utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai globin-a.
Hilangnya gen gl0bin-a tunggal (-ataa atau aTa/aa)
berdampak pads fenotip. Sedangkan thalassemia-2a-a
homozigot (-a/-a) atau thalassemia- la-a heterozigot ( a a

I- -) memberi fenotip seperti thalassemia-P carrier.


Kehilangan 3 dari 4 gen globin-a memberikan fenotip
tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang
dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan thalassemiaa0homozigot (-I-)
tidak dapat bertahan hidup, disebut
sebagai Hb-Bart's hydrops syndrome.
Kelainan dasar thalssemia-a sama dengan thalassemiap, yakni ketidak seimbangan sintesis rantai globin. Namun
ada perbedaan besar dalam ha1 patofisiologi kedua jenis
thalassemia ini.
Pertama, karena rantai-a dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti pada thalassemia-p), maka thalassemia-a bermanifestasi pada masa
fetus.
Kedua, sifat-sifat yang ditimbulkan akibat produksi
secara berlebihan rantai globin- dan -P yang
disebabkan oleh defek produksi rantai globin-a sangat
berbeda dibandingkan dengan akibat produksi
berlebihan rantai-a pada thalassemia-P. Bila kelebihan
rantai-a tersebut menyebabkan presipitasi pada
prekursel eritrosit, maka thalassemia-a menimbulkan
tetramer yang larut (soluble), yakni $, Hb Bart's dan
p,, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan Tabel 7.

BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTARA


TH ALASSEMIA-a DAN THALASEMIA-P

Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan beberapa perbedaan


penting antara thalassemia-a dan thalassemia-P, mencakup
kelainan gen sampai dengan manifestasi klinik.

Hal yang Terjadi

AkibatnyalManifestasinya

Mutasi primer terhadap produksi globin:

Sintesis globin yang tidak seimbang

Rantai globin yang berlebihan terhadap


metabolisme dan ketahanan hidup (survival) eritrosit

Anemia

Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ

Anemia, splenomegali, hepatomegali, dan kondisi


hiperkoagulabilitas

Anemia terhadap fungsi organ

Produksi eritropoietin dan ekspansi sumsum tulang,


deformitas skeletal, gangguan metabolisme, dan perubahan
adaptif fungsi kardiovaskular

Metabolisme besi yang abnormal

Muatan besi berlebih


miokardium, kulit

+ kerusakan jaringan hati, endokrin,

Rentan terhadap infeksi spesifik


Peningkatan kadar HbF; Heterogenitas populasi sel darah
merah

Sel seleksi
Modifiers genetik sekunder

Variasi fenotip: khususnya melalui respons HbF


Variasi metabolisme bilirubin, besi, dan tulang

Pengobatan

Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan


lewat darah, toksisitas obat

Riwayat evolusioner

Variasi dari latar belakang genetik: respon terhadap infeksi

Faktor ekologi dan etnologi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dewasa

Fetus

Berlebihan

Berlebihan
P4

Yd

Hb Bart's

HbH
Afinitas oksigen t~nggiI HlPOKSlA
lnstab~litashomotetramer
Inclus~onbodies. Kerusakan membran.
Umur eritros~tpendek I HEMOLlSlS
Splenomegal~I HIPERSPLENISME

Gambar 2. Garis besar patofisiologi talasemia-a

Thalassemia-a
Mutasi
Sifat-sifat globin
yang berlebihan

Sel darah merah

Anemia
Perubahan
tulang
Besi berlebih

Delesi gen umum terjadi


Tetramer y4atau P4yanglarut
Pembentukan hemikrom
lambat
Band 4.l.tidak teroksidasi
Terikat kepada band 3
Hidrasi berlebihan
(overhydrated)
Kaku (rigid)
Membra hiperstabil
p50 menurun
Terutama hemolitik
Jarang

Delesi gen umum jarang terjadi


Agregat rantai-u yang tidak larut
Pembentukan hemikrom cepat
Band 4.1 teroksidasi
lnteraksi kurang dengan band 3

Jarang

Umum

REFERENSI
Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology o f the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg IIB, editors. The Thalassemia
Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2001,p. 65284.
2. Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. 1st ed. Mald6en,MA:
Blackwell Science: 2001, 1
186.
3. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications.
2nd ed, Philadelphia, PA: Saundcrs: 2002, p 319 - 358.
1.

Thalassemia-P

Dehidrasi
Kaku
Membran tidak stabil
p50 menurun
Terutama diseritropoietik
Umum

4. Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of


Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins:
General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all,
editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th ed,
Philadelphia,PA: Lippincott Williams & Wilkins: 2004, p 1247
- 1262.
5. Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles o f Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p 593
- 601.
6. Weatherall DJ, Clegg JB. The Ihalassemia Syndromes. 4th ed.
Malden, MA: Blackwell Science: 2001, p 3 - 82
7. Konsensu? Naasional Penatalaksanaan Thalassemia

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

THALASSEMIA: MANIFESTASI KLINIS,


PENDEKATAN DIAGNOSIS,
DAN THALASSEMIA INTERMEDIA
Djumhana Atmakusuma

MANlFESTASl KLlNlS THALASSEMIA


Kelainan genotip thalassemia memberikan fenotip yang
khusus, bemariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan
yang diperkirakan.

MANlFESTASl KLlNlS THALASSEMIA-/3


Thalassemia-P dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu
sindrom yang baru ditentukan, yakni:
Thalassemia-P minor (trait) l beterozigot: anemia
hemolitik mikrositik hipokrom
Thalassemia-P mayor 1 homozigot: Anemia berat yang
bergantung pada transfusi darah
Thalasssemia-P intermedia: Gejala di antara thalssemiap mayor dan minor
Pembawa sifat tersembunyi thalassemia-P (silent
carrier)

PEMBAWA SlFAT TERSEMBUNYITHALASSEMIAp (SILENT CARRIER)


a. Kelainan Genotip
Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalassemia dengan variasi mutasi P yang heterogen, di mana
hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-p,
sehingga dihasilkan rasio yang hampir normal antara
rantai globin P dan a, tanpa menyebabkan kelainan
hematologis

b. Gambaran Fenotip
Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobin normal,
kadar HbA2 normal dan kemungkinan adanya mikrositosis
yang sangat ringan.
Adanya pembawa sifat tersembunyi diketahui saat
dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga
dekat) pada anak dengan sindroma thalassemia-P yang
lebih berat daripada kedua orangtuanya yang
menunjukkan thalassemia-P trait.

THALASSEMIA-P MINOR (TRAIT)


a. Gambaran Klinis
Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali
ditemukan pada sedikit penderita.
b. Gambaran Laboratoris
Pada penderita thalassemia-P minor biasanya ditemukan
anemia hemolitik ringan yang tidak bergejala (asimtomatik).
Kadar hemboglobin terentang antara 10 - 13 g% dengan
jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi
menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis,
sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan
ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum
tulang menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai
sedang dengan eritropoiesis yang sedikit tidak efektif.
Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3,5 - 8 %). Kadar
HbF biasanya terentang antara 1 - 5 %. Pada bentuk varian
lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara
5-20%.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

THALASSEMIA-P MAYOR

yang sangat bergantung transfusi darah dan thalassemia


trait yang asimtomatik

a. Gambaran Klinis
Thalassemia-P mayor.biasanya ditemukan pada anak
berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun dengan klinis anemia berat, Bila anak tersebut tidak diobati dengan
hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai
kadar Hb tinggi) akan terjadi peningkatan
hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata
karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat
hiperplasia eritroid yang ekstrim.
b. Gambaran Radiologis
Radiologi menunjukkan gambaran khas "hair on end".
Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum
tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah
menjadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan
dagu atas. Pertumbuhan fisik dan perkembangannya
terhambat.
c. Gambaran Laboratoris
Kadar Hb rendah mencapai 3 atau 4 g%. Eritrosit hipokrom,
sangat poikilositosis, termasuk sel target, sel teardrop,
dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit terjadi
akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada
darah tepi ditemukan eritrosit stippled dan banyak sel
eritrosit bernukleus. MCV terentang antara 50 - 60 fL. Sel
darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis,
biasanya wrinkled dan folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1 % - 8 %,
di mana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia
eritroid dan hemolisis yang terjadi. Rantai globin-a yang
berlebihan dan merusak membran sel merupakan penyebab
kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga
menimbulkan eritopoiesis inefektif. Elektroforesis Hb
menunjukkan terutama HbF, dengan sedikit peningkatan
HbA,. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun.
sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan
rasio eritroid dan mieloid kurang lebih 20:l. Besi serum
sangat meningkat, tetapi total iron binding capacity
(TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transfenin
80 % atau lebih. Fenitin serum biasanya meningkat.

a. Pengertian Tentang Thalassemia Intermedia


Thalassemia-P intermedia adalah penderita thalassemia
yang dapat mempertahankan hemoglobin minimum k 7 g%
atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak
seimbangan sintesis ranta-a dan -P berada di antara
thalasemia trait dan mayor, sehingga fenotip klinik
menyerupai gambaran di antara fenotip thalassemia mayor

b. Kelainan Genotip
Penderita thalassemia-P intermedia dapat menunjukkan
kelainan kelainan genotip yang berbentuk:
homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan
ringan ekspresi globin-P
heterozigot ganda untuk untuk mutasi ringan atau
mutasi yang menyebabkan pengurangan yang lebih
nyata ekspresi globin-P
pewarisan bersama (co-inheritance) dengan
thalassemia-a, yang menyebabkan bentuk homozigot
mutasi thalassemia-P yang lebih berat, namun dapat
tetap berbentuk thalassemia yang tidak bergantung
pada transfusi, karena rasio antara rantai-alrantai-p
lebih seimbang.
peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai
globin-%dari mekanisme non-delesi ke bentuk delesi
dengan hasil meningkatnya produksi HbF
bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi
thalassemia-6P,bentuk homozigot untuk bentuk mutasi
tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara
thalassemia-6P dan mutasi thalassemia-P
pewarisan bersama antara thalassemia lokus-a triple
( a a a ) dan thalassemia-P heterozigot.

c. Gambaran Laboratoris
Morfologi eritrositpada thalassemia intermediamenyerupai
thalassemia mayor. Elektroforesis Hb dapat menunjukkan
HbF 2 - 100 % ,HbA2 sampai dengan 7 %, dan HbA 0 - 80 %,
bergantung pada fenotip penderita. HbF didistrubusikan
secara heterogen dalarn peredaran darah.
d. Gambaran Ktinis
Gambaran klinik bervariasi dari bentuk ringan, walaupun
dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang
tidak dapat mentoleransi aktivitas berat dm fi.akturpatologik.
Muatan besi berlebih dijumpai , walaupun tidak
mendapat transfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat,
namun tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan
turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang
penyerapan besi via saluran cerna. Komplikasijantung dan
endokrin muncul 10 - 20 tahun kemudian pada penderita
thalassemia intermedia yang tidak mendapat transhsi darah.

THALASSEMIA-BIHEMOGLOBIN-E
Kelainan Genotip dan Gambaran Fenotip
Thalassemia-PMemoglobin-E(HbE) umumnya dijumpai di
Asia Tenggara, di mana prevalensi kedua mutasi genetik
ini cukup tinggi. Karena HbE kurang diproduksi, sama

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

THALASSEMIA: MANlFESTASl KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

1389

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


halnya dengan pada thalassemia-P, maka bila kedua mutasi
gen ini diwariskan bersama, terjadi defisiensi yang nyata
produksi rantai g1obin-P.
Gambaran klinik bervariasi di antara thalassemia
intermedia sampai dengan thalassemia yang bergantung
transf~isidarah dan tidak dapat dibedakan dengan
thalassemia-P homozigot.

SINDROM KLlNlS THALASSEMIA-a


Empat sindrom klinik thalassemia-a terjadi pada
thalassemia-a, bergantung pada nomor gen dan pasangan
cis atau trans dan jumlah rantai-a yang diproduksi. Ke
empat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi
thalassemia-a (silent carrier), thalassemia-a trait
(thalassemia-a minor), HbH diseases dan thalassemia-a
homozigot (l~yu'r-ops.fetulis)

7 - 10 g% dan retikulosit antara 5 - 10 %. Limpa biasanya


membesar. Sumsuin tulang menunjukkan hiperplasia eritroid.
Retardasi mental yang terakait dengan thalassemia-a
dapat terjadi bila lokus atau loki dekat cluster gen-a pada
kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster
gen-a.
Krisis hemolitik terjadi bila penderita mengalami infeksi,
hamil atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis
hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan
ini, karena penderita HhH disease ini biasanya
menunjukkan gambaran klinik normal.
Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik dengan
poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran
beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara
perlahan berubah ke bentuk Heinz-lika bodies dari hemoglobin yang terdenaturasi. Incltlsion bodies mengubah
bentuk dan sifat viskoelastik eritrosit, menyebabkan umur
eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan perbaikan.

PEMBAWASIFAT TERSEMBUNYI THALASSEMlAa


HYDROPS FETALIS
Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan
Laboratorium
Delesi satu gen globin-a menyisakan tiga gen globin-a
fungsional ( - a l a a a ) , menyebabkan sindrom silent
carrier. Rasio rantai globin-a/-P hampir normal. Gambaran
klinis normal. Tidak ditemukan kelainan hematologis. Saat
dilahirkan, Hb Bart's ($) dalam rentangan 1-2 %. Tidak
ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier
dengan kriteria hematologis. Bila diperlukan, dapat
dilakukan studi gen.

THALASSEMIA-a TRAIT (MINOR)


Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan
Laboratorium
Thalassemia-a trait dapat berupa bentuk homozigot-a+
( - a / - a ) atau heterozigot-a0 (- -1aa). Sindrom ini
lnenunjukkan tampilan klinis normal, anemia ringan dengan
peningkatan eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat
dilahirkan, Hb Bart's dalaln rentangan 2 - 10 %. Biasanya
pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH (P,).

HBH DISEASE
Kelainan Genotip, Gambaran Fenotip dan
Laboratorium
HbHdisease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu
gen yang memproduksi rantai globin-a (- -1- a )atau dapat
juga disebabkan oleh kombinasi andengan Hb Constant
Spring (- -1 aCS
a).
Penderita mengalami anemia hemolitik kronik ringan
sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara

K e l a i n a n Genotip, Gambaran Fenotip,


Laboratorium dan Tindak Lanjut
Thalassemia-a homozigot (- -1- -) tidak dapat bertahan hidup
karena sintesis rantai globin-a tidak terjadi. Bayi lahir dengan
hydrops fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan
cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat.
Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart's (a,), bersama
dengan Hb Portland 5-20 %, dan sedikit HbH. Hb Bart's
mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak
dapat membawa oksigen ke jaringan . Fetus dapat bertahan
hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak
dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus,
dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia.
Bayi dilahirkan prematur, dapat lahir hidup lalu
meninggal beberapa saat kemudian. Fetus menunjukkan
anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan
kardiomegali. Pada saat lahir bayi ~nenurijukkananemia
mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang melebar
dengan hiperplasia eritroid yang nyata. Hal ini
menunjukkan eritropoiesis ekstramedular.
Kehamilan dengan I~ydropsfetalis berbahaya bagi si
ibu, kal-eila dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan
berat pasca partus. Adanya hydrop.5 fetalis ini dapat
diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan
ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan
kejadian berbahaya ini pada si ibu.

PENDEKATANDIAGNOSIS THALASSEMIA
Untuk menegakkan diagnosis thalassemia diperlukan
langkah langkah sebagai berikut, seperti yang digambarkan
pada algoritma di bawah ini:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Riwayat penyakit
(Ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)

Pemeriksaan fisik
(Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi)

1
Laboratorium darah dan sediaan apus
(Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit,
gambaran darah tepiltermasuk badan inklusi dalam eritrosit
darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH

Elektrofosresis hemoglobin
(Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7
untuk HbH dan H Barts)

1
Penentuan HbA2 dan HbF
(Untuk memastikan thalassemia-P)

Distribusi HbF intraselular

Sintesis rantai globin


Analisis struktural
Hb varian (misal:Hb Lepore)

Gambar 1. Algoritma pendekatan diagnosis thalassemia

Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam


mendiagnosis thalassemia, karena pada populasi dengan
ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis
gen abnormal thalassemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik
mengarahkan ke diagnosis thalassemia, bila dijumpai gejala
dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang
menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan
adanya penumpukan ( p o o l i n g ) sel abnormal, dan
deformitas skeletal, terutama pada thalassemia-P, yang
menunjukkan ekpansi rongga sumsum tulang, pada
thalassemia mayor..
Penderita sindrom talassemia urnumnya menunjukkan
anemia mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan
hematokrit menurun, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya
secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia,
yang menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC
biasanya sedikit menurun. Pada thalassemia mayor yang
tidak diobati, relative distribution width (RDW)
meningkat karena anisosotosis yang nyata. Namun, pada
thalassemia minor RDW biasanya normal; ha1 ini
membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada
pewarnaan Wright eritorsit khas mikrositik dan hipokrom,
kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada
thalassemia-P heterozigot dan HbH disease, eritrosit

mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai dengan


menengah. Pada thalassemia-aO heterozigot terdapat
mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi kurang
poikilositosis. Pada thalassemia-P homzigot dan
heterozigot berganda, dapat ditemukan poikilosotpsis yang
ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga
polikromasia, basophillic stippling, dan nRBCs. Hitung
retikulosit meningkat, menunjukkan sumsum tulang
merespon proses hemolitik. Pada HbH Disease, hitung
reikulosit dapat mencapai 10%. Pada thalassemia-P
homozigot hitung retikulosit kurang lebih 5%; ha1 ini
secara tidak proporsional relatif rendah terhadap derajat
anemia. Penyebabnya paling munglcin akibat eritropoiesis
inefektif.
Sumsum tulang penderita thalassemia-P yang tidak
diobati menunjukkan hiperselularitas yang nyata dengan
hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis
ekstramedula terlihat menonjol. Namun HbH disease
kurang menunjukkan hiperplasia eritroid. Sementara itu,
thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia
eritroid ringan.
Eritrosit thalassemia yang mikrositik hipokrom memiliki
fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai
dasar dari variasi one-tube tes fragilitas osmotik sebagai

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

THALASSEMIA: MANIFESTAS1 KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

1391

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana
thalassemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat
membedakannya dengan anemia defisiensi besi, karena
pada pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas
osmotik yang menurun.
Pada thalassemia-a minor (trait), HbH disease, dan
thalassemia-a pembawa sifat tersembunyi (silent) tes
pewarnaan brilliant cresyl blue untuk HbH inclusions
dapat digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang
secara intrinsik tidak stabil. HbH inclusions (rantai
globin-P yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa
materi (bodies) yang kecil, multipel, berbentuk iregular,
berwarna biru kehijauan, yang mirip bola golf atau buah
raspberry. Materi ini biasanya tersebar merata dalam
eritrsoit. Pada HbH disease. Hampir seluruh eritrosit
mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemiaa minor hanya sedikit eritrosit yang mengandung
inclusions, sementara itu pada thalassemia-a pembawa
sifat tersembunyi inclusions ini jarang sekali ditemukan.
Inclusions ini berbeda dengan Heinz bodies, di mana
materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar,
jumlahnya sedikit, dan sering letaknya eksentrik di
sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditempkan HbH
inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan
diagnosis thalassemia-a minor atau pembawa sifat
tersembunyi. Untuk itu diperlukan matoda pemeriksaan
khusus.
Elektroforesis dengan selulosa asetat pada pH basa
penting untuk menapis diagnosis hemoglobin H, Bart's,
Constrant Spring, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan
Bart's cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basa
tetapi pada pH asam hanya mereka merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA, dengan
elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis
thalassemia-P minor, yang diukur dengan menggunakan
mikrohematografi. Nilai HbA, Peningkatan HbF yang
ditemukan pada thalassemia-bp, HPFH dan varian thalassemia-p lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis.
Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan
analisis DNA dikerjakan untuk mengidentifikasi genotip
spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian,
untuk membedakan thalassemia-a carrier dari thalassemiaa p carrier, untuk mengidentifikasi gen pembawa sifat
tersembunyi, atau melihat pola pewarisan keluarga dengan
gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan
uji lengkap ini melebihi biayanya

THALASSEMIA INTERMEDIA
Sebelum kita mendiagnosis thalassemia intermedia,
seyogyanya kita mengetahui komplikasi akibat penyakit
thalasemia itu sendiri, karena dengan mengetahui
komplikasi tersebut, bila kita temukan gejala dan tanda
tersebut kita harm berfikir kemunglunan orang ini penderita

thalassemia intermedia.

a. Komplikasi Thalassemia lntermedia


Komplikasi yang terjadi pada thalassemia intermedia dapat
diakibatkan oleh proses penyakitnya atau oleh
pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit thalassemia,
mencakup:
Kardiomiopati
Ekstramedullary hematopoiesis
Kolelitiasis
Splenomegali
Hemokromatosis
Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, risiko aterogenesis,
lesi iskemik cerebral asimtomatis)
Ulkus maleolar
Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis)
b. Diagnosis Thalassemia lntermedia
Diagnosis thalassemia intermedia mencakup anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium, seperti diuraikan di
bawah ini, yang dikutip dari Panduan Penatalakasanaan
Thalassemia Intermedia Perhimpunan Hematologi &
Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Juli 2008.
b.1. Anamnesis
Usia tersering >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 18 tahun)
bAdanya tanda dan gejala anemia dengan atau tanpa
riwayat
Splenomegali
Batu empedu
Trombosis (DVT, stroke,fetal loss syndrome, APS)
Kardiomiopati
Hemopoiesis ekstramedular
.
Penyakit hati kronik
Ulkus maleolar
Kelainan endokrin /diabetes melitus
b.2. Pemeriksaan Fisik
Facies Thalassemia
Pucat,
Ikterik+/Hepatosplenomegali sedang-berat
Gangguan pertumbuhan tulang +/b.3. Laboratorium
Darah tepi lengkap
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Retikulosit
- Sediaan apus darah tepi : anemia mikrositer,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit
muda (normoblast), fiagmentosit, sel target.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC, RDW) bila

tidak ada cell counter, lakukan uji resistensi osmotik


1 tabung (fragilitas)
Analisis hemoglobin:
1. Elektroforesis Hemoglobin
- Hb varian kualitatif (elektroforesis cellulose
acetaet membrane)
- HbA2 kuantitatif (metoda mikrokolom)
- HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2
menit)
- HbH inclusion bodies (pewarnaan supravitall
retikulosit)
Atau
2. Metoda HPLC (Beta short variant Biorad): analisis
kualitatif dan kuantitatif

b.4. Radio imajing (tentative)


MRI : untuk melihat hematopoisis ekstramedular
MRI T2* : untuk melihat iron overload pada jantung
b.5. Pemeriksaan Komplikasi PenyakitThalssemia
Splenomegali Pemeriksaan fisik atau USG
Kolelitiasis: USG I CT scan
Hemopoiesis ekstramedular: Foto rontgrn (X ray)
Kelainan tulang: X ray IMRI
Trombosis (DVT, Stroke, APS): USG duplex, angiografi,
hemostasis
Kelainan jantung : Eko kardiografi atau T2* MRI
Kelainan hati: LICILiver Iron Concentration (biopsi
atau T2* MRI)
c. Penatalaksanaan Penderita Thalassemia
lntermedia
Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penentuan
kadar hemoglobin dan adanya pansitopenia (penurunan
Hb progresif < 7 g/dl, leukopeni < 30001ul trombositopeni
< 80.0001 ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme.
Berdasarkan kadar hemoglobin (7 - 9 gr), ditentukan
langkah penatalaksanaan selanjutnya.
c.1. Hb < 7 grldl Disertai dengan splenomegali
Masif:
Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan.
Imunoprofilaksis pra splenektomi merupakan keharusan,
mencakup:
vaksinasi anti meningococus
vaksinasi anti hemophilus influensa
Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis
antibiotik (penisilin oral)
c.2. Hipersplenisme
Pads keadaan ini 'plenektomi m e r u ~ a k a npilihan

pengobatan.

c.3. Pasca splenektomi bila Hb :7 gr %:


Pada keadaan ini penangan komplikasi merupakan
keharusan, mencakup:
batu empedu: kolesistektomi
infeksi: antibiotika
hiperurikemia /Gout: allopurinol
aterogenesis: pemantauan lanjut sesuai tatalaksana
aterogenesis
ulkus tungkai: perawayan luka
diabetes melitus: sesuai dengan tatalaksana diabetes
melitus
hiperkoagulasi dan trombosis: aniagregasi trombosit
dan antikoagulan oral
osteoporosis:bisfosfonat, dl1
kelainan hat: obat antivirus
iskemia serebral: terapi sesuai dengan tatalaksana
baku
eritropiesis heterotropik:hidroksiurea
hemokromatosis: terapi kelasi besi
c.4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr %
Pada kondisi ini transfusi darah merah pekat .
d. Hb < 7grldl tanpa splenomegali
Pemantauan klinis dan hematologi
e. Transfusi darah pada penderita thalassemia
intermedia
Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia
diberikan atas indikasi, sebagai berikut :
Gangguan pertumbuhan
Kondisi stres sementara : kehamilan, infeksi
Manifestasi klinis anemia
Gagal jantung kongestif
Ulkus tungkai
f. Pemantauan besi pada penderita thalassemia
intermadia:
Setiap transfusi: rata rata asupan besi
Setiap 3 bulan: dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati,
feritin serial
Setiap 6 bulan (pada anak): pertumbuhan dan
perkembangan seksual
Setiap tahun: inuatan besi hati, fungsi jantung
(ekokardiografi), MRl jantung T2*, fungsi hati, ferritin
serial
g. Pengobatan muatan berlebih besi
Ada beberapa pilihan obat yang direkomendasikan untuk
untukterapi kejasi, sepefii tertera pada Tabel 1 di bawah ini.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

THALASSEMIA:MANIFESTASI KLINIS, PENDEKATAN DIAGNOSIS, DAN THALASSEMIA INTERMEDIA

1393

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Terapi

Rekomendasi

Deferasirox

Dosis awal 20 mglkglhari pada pasien yang cukup sering mengalami transfusi

(Exjade@)

30 mglkglhari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang tinggi


10-15 mglkglhari pada pasien dengan kadar kelebihan besi yang rendah

DFO

20-40 mglkg (anak-anak), = 50-60 mglkg (dewasa)

(Desferala)

Pada pasien anak < 3 tahun, direkomendasikan untuk mengurangi dosis dan melakukan
pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tulang

Deferiprone

75 mglkglhari

(Ferriproa)

Dapat dikombinasikan dengan DFO bila DFO sebagai tidak efektif

PROGRAM PENCEGAHAN
Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa
sifat thalassemia dan diagnosis pranatal telah dapat
m e n d a n secara bermakna kejadian thalassemia mayor
pada anak-anak di Yunani, Siprus, Italia daratan dan
Sardinia. Penapisan pembawa sifat thalassemia-P lebih
berdaya guna bila dikerjakan dengan penilaian indeks sel
darah merah. Individu dengan MCV dan MCH yang
rendah dinilai konsentrasi HbA,-nya. Masalahnya timbul
pada penapisan individu dengan pembawa sifat thalassemia-a bersamaan (co-existent) dengan thalassemia-a.
Di Indonesia program pencegahan thalassemia-P
mayor telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui
program health technology assesrnent (HTA), di mana
beberapa butir rekomendasi, sebagai hasil kajian,
diusulkan dalam program prevensi thalassemia, termasuk
teknik dan metoda uji saring laboratorium, strategi
pelaksanaan dan aspek medikolegal, psikososial, dan
agama

DIAGNOSIS PRANATAL
Mutasi thalassemia-a, biasanya dapat dideteksi dengan
analisis DNA langsung yang diperoleh dari fetus dengan
biopsi villus korionik atau cairan amniosentesis. DNA
dianalisis dengan metoda polymerase chain reaction
(PCR) dan metoda hibridisasi molekular untuk menentukan
adanya mutasi thalassemia.
Bila ke dua pasangan orang tua membawa sifat gen
thalassemia minor, diagnosis pra natal thalassemia-a
homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuat
dengan analisisis endonuklease restriksi DNA, yang
diperoleh dari villus korionik atau cairaan aminiosentesis.

Tidak adanya gen-a memastikan diagnosis. Terminasi awal


akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu, yakni
toksemia dan perdarahan hebat pasca partus.

REFERENSI
1. Higgs DR, Thein SL, Wood WG. The biology of the thalassemia. In: Weatherall DJ, Clegg JB, editors. The Thalassemia
Syndromes. 4th ed, New York: Blackwell Science: 2 0 0 1 , ~ .65284.
2 . Bain BJ. Hemoglobinopathy Diagnosis. 1st ed. Malden,MA:
Blackwell Science: 2001, 1 - 186.
3. McGhee DB Structural Defects in Hemoglobin (Hemoglobinopathies). In: Hematology Clinical Principles and Applications.
2nd ed, Philadelphia, PA: Saunders: 2002, p 319 - 358.
4 . Lukens JN. Abnormal Hemoglobins: Hereditary Disorders of
Hemoglobin Structure and Synthesis. Abnormal Hemoglobins:
General Principles. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, et all,
editors. Wintrobe's Clinical Hematology, 7th ed,
Philadelphia,PA: Lippincott Williams & Wilkins: 2004, p 1247
- 1262.
5 . Benz EJ. Hemoglobinopathies. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th ed, New York: McGraw-Hill: 2005, p
593 - 601.
6 . Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. 4th ed.
Malden, MA: Blackwell Science: 2001, p 3 - 826.
7. Fucharoen S, Winichagon P. Clinical and hematologic aspect
of hemoglobin E L thalassemia. Current Opinion in Hematology: 2000,7,2, p 106 - 112.
8. Olivieri,MD. Management of the Beta-Thalassemias. Education Program Book. International Society of Hematology:
2000, p 8 - 11
9. Cohen AR, Galanello R, Pennel DJ, et al. Thalassemia.Education
Program Book. American Society of Hematology: 2004, p 14
- 34
10. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia. Thalassemia International Federation. 2 nd ed. Thalassemia International Federation,.Cyprus, 2007: p 6 - 189.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TRANSPLANTASI SEL PUNCA/INDUK DARAH


A. Harryanto Reksodiputro

PENDAHULUAN
Rekayasa jaringan mempakan terobosan baru dalam bidang
kedokteran karena menggabungkan ilmu biologi dan
rekayasa untuk menciptakan meteode biologik yang dapat
menggantikan atau memulihkan jaringan-jaringan yang
rusak. Sel-sel sumsum tulang atau darah tepi telah dikultur
di laboratorium dan subpopulasi terpilih kemudian dipakai
untuk mengobati jaringadorgan yang rusak.
Sel punca (stem cell) adalah sel-sel yang berasal dari
embrio, janin, atau individu, yang belum berdiferensiasi
dengan kemampuan memperbaharui diri yang tak terbatas
atau terus-menerus dan dengan dengan induksi yang
spesifik, dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang
spesifik. Sel induk (progenitor cell) adalah sel-sel yang
berasal dari janin atau individu yang berdiferensiasi parsial
yang kemudian dapat membelah dan membentuk sel yang
spesifik.
Sel punca dan sel induk dibedakan berdasarkan
kemampuannya bereplikasi setelah membelah. Ketika
membelah, satu dari dua sel yang baru tersebut biasanya
adalah sel punca yang mempunyai kemampuan
memperbaharui dirinya sendiri kembali. Sedangkan ketika
sel progenitor membelah, akan terbentuk sel progenitor
kembali atau sel yang terdierensiasi, dimana keduanya tidak
mempunyai kemampuan memperbaharui dirinya sendiri.
Sel punca atau induk dapat menjadi sel-sel saraf,
jantung, pankreas, dan lain-lain. Sel-sel ini berpotensi
mengganti sel jaringan yang rusak atau hancur karena
penyakit berat.
Sel punca dapat berasal dari embrio yang sedang
membelah (embryonal stem cells),janin (embryonicgerm
cell), atau dari sel-sel yang telah mengalami derajat
maturasi tertentu tanpa memandang usia individu (adult
stem cells). Sel asal embrio diperoleh dengan
menghancurkan embrio atau janin tersebut sehingga

banyak mengundang konflik etik dan moral. Dalam bab ini


yang dimaksudkan untuk transplantasi adalah sel punca
non-embrionik.
Transplantasi sel punca (haemopoietic stem cell transplantation) merupakan prosedur pencangkokan sel punca
(stem cell) atau sel induk (progenitor cell) darah dari satu
individu ke individu lain, atau dari individu itu sendiri yang
disimpan terlebih dahulu sebelum pemberian kemoterapi
dan kemudian dicangkokkan ke dalam dirinya sendiri pasca
pemberian kemoterapi tersebut.
Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel puncd
sel induk darah dari penerimanya (resipien), transplantasi
dikelompokkanmenjadi:
Singenik. Sel puncdsel induk darah donor berasal dari
spesies yang sama, identik secara genetik, misalnya pada
saudara kembar
Allogenik. Sel puncalsel induk darah berasal dari donor
saudara kandung, orangtua, atau dari orang lain yang cocok
sistem HLA-nya.
Autologus. Sel puncdsel induk darah berasal dari pasien
sendiri.
Pada tahun 1950 Jacobson dan Lorenz melaporkan
kematian seekor hewan pengerat yang menjalani irradiasi
seluruh tubuh (total body irradiation/TBI) dapat dicegah
dengan pemberian intravena sel limpa atau sel sumsurn
tulang. Untuk beberapa saat, timbul beda pendapat, efek
proteksi yang didapat apakah akibat hormonal atau sel yang
diberikan intravena.
Cole serta Alpen dan Baum menyokong cellreplacement theory dengan menggunakan mencit dan
anjing. Pada tahun 1956,Ford mengemukakan teori radiasi
chimaera, yaitu hematopoiesis hewan yang mendapat
radiasi dapat diganti dengan injeksi sumsum hewan
lainnya. Chimaera diartikan sebagai didapatkannya
populasi sel yang berasal dari individu berbeda, diberikan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1395

TRANSPLANTAS1 SEL PUNCAIINDUK DARAH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kepada satu resipien. Kemudian diketahui bahwa hematopoiesis chimaera hanya dapat berhasil setelah pemberian
terapi imunosupresif intensif, yaitu TBI.
Saat ini, transplantasi sel puncalinduk darah sering
dilakukan dengan tujuan untuk:
Memperbaiki sindrom gaga1 sumsum tulang (misalnya
leukemia, anemia aplastik, kelainan herediter, dan
sebagainya).
Melindungi sumsum tulang dari dampak mieloblasi
radiasi atau kemoterapi sitostatika dosis tinggi
(misalnya pada limfoma non-Hodgkin).
Memasukkan sel punca darah, sel genetika normal1
direkayasa menjadi normal (terapi gen).

Kanker:
Leukemia akutkonik
Praleukemidsindrom mielodisplasia (MDS)
Kelainan limfoproliferatif (misalnya limfoma nonHodglun, mieloma multipel)
Tumor padat (neuroblastoma, kanker payudara, kanker
paru sel kecil, sarkoma Ewing, dan lain-lain).
Bukan Kanker:
Kegagalan sumsum tulang (misalnya anemia aplastik)
lmunodefisiensi
Kelainan darah (talassemia, anemia sel sabit)
Kelainan genetik nondarah

SUMBERSEL PUNCNINDUK DARAH


Sel puncalsel induk darah saat ini diperoleh dari tiga
suinber yang kemudian dipakai sebagai nama jenis
transplantasi sel asallsel induk, yaitu 1). Sumsum tulang:
transplantasi sumsum tulang atau bone marrow
transplantation (BMT), 2). Sel darah tepi: transplantasi
sel induk darah tepi atau peripheral blood stem cell
transplantation (PBSCT), 3). Tali pusat bayi baru lahir:
transplantasi sel induk darah tali pusat bayi baru lahir atau
umbilical cord blood transplantation (UBCT).

LANGKAH-LANGKAH MEMPEROLEH DAN


MENYEDIAKAN SEL PUNCNINDUK DARAH
Perolehan dan penyediaan sel puncalinduk darah
merupakan salah satu kegiatan terpenting dari rangkaian
BMT atau PBSCT. Jumlah, kualitas, dan viabilitas sel
puncalinduk darah yang baik dan optimal merupakan
syarat mutlak keberhasilan transplantasi. Langkah-langkah
tersebut adalah: 1). Memperoleh sel puncalinduk darah
dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali pusat bayi
baru lahir, 2). Pemisahan sel puncalinduk darah, diikuti

dengan pemrosesan kedua, yang mencakup pemekatan


(mengkonsentrasikan sel puncdinduk darah), deplesi sel
limfosit T, pembersihan sel puncalinduk darah dari sel tumor (tumor purging), seleksi sel CD34+, dan lain-lain, 3).
Penilaianlpengendalian kualitas dan viabilitas sel puncal
induk darah yang didapat, 4)Kriopreservasi dan
penyimpanan sel puncalinduk darah, 5)Pencairan sel
puncatinduk darah yang disimpan beku, 6)Transplantasi
sel puncalinduk darah.

KEGIATAN MEMPEROLEH SEL PUNCAIINDUK


DARAH
Sebelum sel punca dari donor diambil, dilakukan
pemeriksaan lebih dahulu terhadap donor. Salah satunya,
pemeriksaan terhadap infeksi, dilakukan bersamaan
dengan atau sebelum prosedur pengambilan sel (dalam
waktu 4 minggu) pada donor produk sel aferesis/sumsum.
Sementara untuk donor darah tali pusat, pemeriksaan
terhadap ibu dilakukan dalam waktu 1 minggu sebelum
atau sesudah melahirkan.
Tindakan untuk memperoleh sel puncdinduk darah dari
tiga jenis sumber sangat berbeda. Pada BMT, sel puncal
induk darah diambil dengan melakukan aspirasi sumsum
tulang pada spina iliaka posteriorlanterior donor sehat
(BMT alogenik) atau dari pasien sendiri (autologus) yang
sudah dinyatakan remisi lengkap pasca kemoterapi
sitostatika, misalnya pasien limfoma non-Hodgkin.
'Tindakan ini dilakukan di kamar bedah steril di bawah
anestesi umum dan memerlukan penggantian volume
sumsum tulang yang dikumpulkan dengan transfusi darah
autologus.
Pada PBSCT, sel induk darah dalam sumsum tulang
dimobilisasi ke darah tepi dengan rangsangan factor
pertumbuhan hemopoietik (G-CSF, GM-CSF), atau
dengan sitostatika tunggal dosis tinggi (siklofosfamida),
atau kombinasi keduanya. Untuk donor allogenik,
digunakan G-CSFIGM-CSF, sedangkan untuk pasien
transplantasi autologus dapat digunakan kombinasi
keduanya.
Pada donor alogenik, hari ke-5 atau ke-6 atau lebih
pascastimulasi G-CSFIGM-CSF , sel puncalinduk darah
dapat dipanen (harvesting) dengan media aferesis.
Tindakan ini dilakukan pada pasien dalm keadaan sadar
dan tidak memerlukan transfusi darah.
Sel puncalinduk darah tali pusat dan plasenta dapat
diambil secara ex zzltero maupun in zdtero. Sel puncdinduk
diambil dari bayi baru lahir dengan mengaspirasi darah
langsung dari tali pusat, dalam keadaan steril, dan
kemudian ditampung dalam kantung darah steril.
Pengarnbilan darah tali pusat in utero dapat dilakukan
dengan syarat hanya pada kehamilan tunggal, pada
persalinan yang diperkirakan tidak ada komplikasi, dan usia
janin minimal 34 minggu.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1396

HEMATOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Agar transplantasi berhasil, jumlah sel puncalinduk
darah hams memenuhi syaratjumlah minimal dan optimal
yang diperoleh dari satu kali atau beberapa kali panen,
baik pada BMT, PBSCT, maupun UCBT

PEMISAHAN SEL PUNCAllNDUK DARAH DAN


PEMROSESANSEKUNDER
Sel puncdinduk darah yang diperoleh dengan ketiga cara
di atas dipisah-pisahkan dengan alat pemisah komponen
darah (bloodseparator). Kemudian dilakukan pemrosesan
sekunder pada sel punca/induk darah yang didapat, yang
meliputi:
Pemekatanlkonsenstrasi sel puncdinduk darah.
Deplesi sel limfosit T (sel T), pada transplantasi alogenik
Pembersihan sel asallinduk darah dari sel tumor (tumor
purging)
Pemilihadseleksi sel induk darah (sel CD34+)
Sel punca ditandai dengan adanya ekspresi CD34 dan
Thy 1 dan absennya CD38, CD33, dan HLA-DR. CD34
adalah penanda untuk sel punca dan induk pada
manusia .
Pemekatan sel induk darah bertujuan memudahkan
pemrosesan selanjutnya dan kriopreservasi. Agar tidak
hancur pada suhu di bawah OvC, ke dalam konsentrat
tersebut dimasukkan dimetilsulfoksida (DMSO) 10% dan
untuk pertumbuhannya diberikan plasma autologus.
Deplesi sel T dilakukan pada transplantasi alogenik
untuk mengurangi terjadinya dan beratnya graft-versu,~-

host disease (GVHD), karena kejadian GVHD berkaitan erat


dengan dosis sel limfosit T yang diinfuskan. Salah satu
teknik deplesi sel T adalah dengan antibodi monoklonal
(Campath) in vitro dan in vivo.
Pembersihan sel puncdinduk darah dari kontaminasi
sel tumor (tumorpurging) masih bersifat spekulatif, karena
belum ada teknik purging yang menunjukkan masa bebas
penyakit. Teknik-teknik tersebut mencakup teknik fisika,
kimia, dan imunologik. Seleksi positif sel CD34+ telah
terbukti bermanfaat untuk transplantasi sumsum tulang
autologus. Teknik ini mungkin berguna untuk deplesi
limfosit T atau sel tumor dari inokulum PBSC, atau sebagai
proses awal insersi gen, atau ekspansi in vitro sel induk
darah.

KEGIATAN PENlLAlANlKONTROL SEL PUNCAI


INDUK DARAH YANG DIPANEN
Di samping harus memenuhi syarat kuantitas, sel puncal
induk darah yang dipanen juga hams mempunyai kualitas
dan viabilitas yang optimal. Penilaian kuantitas dan
kualitas selalu dilakukan terhadap sel puncalinduk darah
yang dipanen, pada pemrosesan sekunder, dan pada sel
yang disimpan dalam nitrogen cair.
Kuantitas sel puncalinduk darah dinilai dengan
menghitung sel CD34+ (sel induk darah) dengan alat
sitometri arus fi~lcytomctry). Teknik ini cepat dan akurat.
Jumlah koloni sel yang tumbuh dengan teknik kultur colony
fbrming tinit-granulocyte mucrophuge (CFU-GM) dapat

D0I.d r:tP

Sum sum Tu bng

Darab T a
Darah Tab Pwat

-----h
6-CSF

S t l pmca dpis&Clan

S t l plntcsyang mash
bcrcanpur KI-nl daah

dan dihkubasl dtngm

Ian

antibodi

ScI punca rang


terikat ant~bodr
dlprsahkn

Rml

Sel Fun ca

/-*\

Pellcalrai

ST b:.)mg!

Gambar 2. Alur transplantasi sel punca darah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

;ohme caran
dikurangl

b rl~~rescrvasi

TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


juga digunakan untuk menentukan jumlah sel induk darah,
namun hasilnya lama (10-14 hari). Teknik ini dapat
digunakan untuk menilai viabilitas sel induk darah. Teknik
lain adalah dengan pewamaan trypan blue.
Di samping tes kuantitas dan viabilitas, hams dipastikan
tes mikrobiologi bahwa sel puncalinduk darah yang
dipanen tidak terinfeksi mikroorganisme aerob atau
anaerob. Juga virus hepatitis B, hepatitis C, HIV, virus
sitomegalo, VDRL, dan malaria.

KEGIATAN KRIOPRESERVASIDAN PENYIMPANAN


SEL PUNCNINDUK DARAH
Setelah menjalani pemrosesan sekunder, sel puncdinduk
darah harus disimpan dalam nitrogen cair (bersuhu 197C) agar dapat tetap hidup dalam jangka waktu lama
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun asalkan
menjalani proses kriopreservasi dengan DMSO 10%.
Namun sebelumnya suhu sel induk darah diturunkan
bertahap sampai mencapai suhu - 120C, kemudian
disimpan dalam nitrogen cair. Selain kantung sel puncal
induk darah yang telah dikonsentrasikan, ke dalam tangki
nitrogen juga dimasukkan beberapa tabung kecil berisi
sampel sel puncalinduk darah, untuk penilaian kualitas
secara periodik atau pemeriksaan lainnya bila diperlukan.
Selama penyimpanan, hams dilakukan pemantauan rutin
kerja tanki dan pengisian periodik nitrogen cair selama
konsentrat sel puncalinduk darah berada dalam tanki
tersebut.

KEGIATAN PENCAIRAN KONSENTRAT SEL


PUNCNINDUK DARAH (THAWING)
Bila ingin digunakan, sel induk darah harus dicairkan
terlebih dahulu (thawing) sesuai prosedur baku.

KEGIATAN TRANSPLANTASI SEL PUNCNINDUK


DARAH
Pada BMTIPBSCT alogenik, sel puncalinduk darah yang
telah dicairkan kemudian diinfuskan kepada pasien. Pada
BMTIPBSCT autologus, sel puncdinduk darah diinfuskan
kembali kepada pasien itu sendiri. Transplantasi dilakukan
satu hari pasca conditioning. ~ e b e l u mtransplantasi,
resipien perlu mendapat premedikasi untuk mencegah
timbulnya reaksi toksisitas.
Conditioning. Conditioning merupakan tindakan
pemberian sitostatika dosis tinggi (high dose chemotherapy) dengadtanpa kombinasi iradiasi tubuh total (TBI).
Sebagai contoh adalah pemberian siklofosfamida dosis
tinggi dua hari berturut-turut, pada hari minus 6 dan 5

sebelum transplantasi, dan TBI pada hari minus 1.


Transplantasi dilakukan pada hari ke-0.
Tujuan conditioning adalah untuk mengosongkan
sumsum tulang dari sel asallinduk darah resipien
(mieloablasi), sehingga sel puncalinduk darah yang
ditransplantasikan dapat tumbuh. Dosis tinggi kemoterapi
sitostatika yang diberikan bersifat mieloablasi, begitu pula
dengan dosis TBI. Conditioning juga dapat dilakukan
tanpa mieloablasi.
Premedikasi sebelum transplantasi. Karena asal sel
puncalinduk darah disimpan pada suhu beku dengan
DMSO l o % , perlu tindakan pencegahan untuk
mengurangi toksisitas akibat DMSO dengan pemberian
antihistamin. Salah satu toksisitas DMSO adalah renjatan
akibat pelepasan histamine yang diinduksi DMSO.
Toksisitas lainnya merupakan darnpak langsung terhadap
system kardiovaskuler, yaitu hipertensi, bradikardia, dan
blok jantung. Efek samping lain transplantasi sel puncd
induk darah yang mengalami kriopreservasi adalah hematuria, nausea, muntah, dan diare. Hemoglobinuria dapat
terjadi akibat lisisnya eritrosit setelah pencairan. Sesak
napas, kram perut, mual, muntah, dan diare dapat
disebabkan oleh histamin yang dilepaskan akibat
DMSO.
Premedikasi sebelum tindakan transplantasi mencakup
langkah-langkah sebagai berikut:
Hidrasi, agar dicapaijumlah urin 2,5 mlkg berat badanl
jam
Alkalinisasi win, dengan menambahkan bikarbonat ke
dalam cairan rehidrasi.
Antihistamin: difenhidramin atau yang ekuivalen
Kortikosteroid : hidrokortison
Diuretik :manitol

PASCA TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK


DARAH
Pasca transplantasi, pasien dirawat di kamar isolasi sarnpai
keadaan neutropenia berat yang mengancam jiwa (<1000
sel/mm3)teratasi dengan ditandai kembalinya granulosit
ke nilai normal. Banyak ha1 yang hams diawasi dan
ditatalaksana pascatransplantasi, termasuk komplikasi
yang mungkin terjadi.

KOMPLlKASl TRANSPLANTASI
Pasca pemberian kemoterapi sitostatika dosis tinggi, pasien
dapat mengalami komplikasi. Agar pemberian kemoterapi
dosis tinggi dengan atau tanpa TBI pada resipien dapat
berhasil baik, maka komplikasi baik yang bersifat akut,
maupun yang timbulnya lambat, hams dicegah, dikurangi
dan ditanggulangi secara cepat.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Komplikasi pada Tahap Conditioning
Mukositis dan diare. Mukositis dan diare sering dijumpai
dengan berbagai derajat dan akan berkurang setelah minggu
kedua.
Oklusi vena hepatika. Dua bentuk histopatologik oklusi
vena yang mungkin ditemukan mencakup vena occlusive
disease (VOD), yang melibatkan vena hepatika terminalis
dan vena sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis.
Dari kedua bentuk tersebut VOD merupakan komplikasi
fatal, dijumpai pada 15-30% pasien, serta tingkat mortalitas
3%. Pada proses awal VOD didapatkan gambaran patologik
perdarahan sentrilobular hati massif. Kerusakan vena
digambarkan sebagai sempitnya lumen serta melebarnya
zona subendotelial, berisi serabut kolagen halus,
komponen sel, serta makrofag.
Nekrosis sel hati perisentral dapat menyebabkan
emboli vena terminalis, karena tempat pori sinusoid
menembus endotel vena terminalis menjadi sempit dan
tersumbat sel hati yang terkelupas, sisa sel, fibrosis
subendotel yang akhirnya menyebabkan obstruksi aliran
darah, melibatkan vena hepatika terminalis dan vena
sublobular, serta nekrosis hepatosit perisentralis.
Manifestasi klinisnya berupa hepatomegali, asites, iktems,
nyeri abdominal, dan ensefalopati.
Komplikasi Setelah Transplantasi
VOD. Walaupun sering dijumpai pada fase conditioning,
VOD dapat juga terjadi setelah tindakan transplantasi
(akibat dipicu oleh obat imunosupresif, terutama
siklosporin). Diagnosis VOD biasanya ditegakkan dari
gambaran klinis dalam 3 minggu pascatransplantasi. Pada
beberapa kasus dijumpai peningkatan kadar transaminase
serum dan alkali fosfatase, sedangkan pemeriksaan
koagulasi menunjukkan nilai normal. Hal yang perlu
diingat, adalah bahwa gambaran klinis graft versus host
disease (GVHD) akut dapat menyerupai VOD lanjut,
sehingga untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan
histopatologi.
Pneumonia interstititialis kronis. Faktor risiko terjadinya
pneumonia interstititalis idiopatik terutama dipengaruhi
oleh usia, penggunaan metotreksat untuk mencegah GVHD,
beratnya GVHD, tingkat kemampuan berperan pasien
sebelum transplantasi, interval waktu sejak diagnosis
sampai transplantasi, serta tingginya dosis radiasi pasien
yang mendapat metotreksat setelah transplantasi.
Leukoensefalopati. Leukoensefalopatibiasanya ditemukan
pada anak yang mendapat radiasi kepala. Pada pasien ini,
juga ditemukan hambatan pertumbuhan dan organ seksual.
Katarak. Katarak ditemukan pada 80% pasien yang
mendapat TBI dosis tunggal, tetapi dijumpai pula pada 18%
kasus dengan TBI terbagi.
Keganasan sekunder. Pada percobaan anjing yang
mendapat radiasi chimera, munculnya keganasan sekunder

meningkat sebesar 6 kali bila dibandingkan populasi normal. Keganasan sekunder yang sering ditemukan adalah
limfoma non-Hodgkin, leukemia dan tumor padat.
Faktor risiko timbulnya keganasan sekunder adalah
pemberian TBI dan GVHD yang diberikan antimosit
globulin atau antibody monoclonal anti-CD3.
Infeksi. Infeksi timbul terutama setelah tindakan
transplantasi, karena granulositopenia dini. Sebanyak 5%
resipien dengan HLA identik, dan lebih banyak pada NLA
non-identik akan mengalami infeksi bakterial dan jamur dua
minggu pasca transplantasi. Jainur yang sering dijumpai
dan acapkali sulit diobati adalah Aspergillus fumigates,
yang menginvasi paru dan otak. Infeksi nosokomial akibat
Aspergillus ditelusuri melalui sistem ventilasi yang
terkontaminasi, materi gedung terkontaminasi dan gedung
yang sedang direnovasi. Penggunaan HEPA (high
eficiencyparticulate air) akan menurunkan kejadian infeksi
Aspergillus.
Penggunaan antibiotika, tertama terhadap gram positif,
akan menimbulkan resistensi , terutama Staphylococcus
epidermidis yang multiresisten. Infeksi berat yang muncul
3-4 bulan pascatransplantasi disebabkan oleh virus. Yang
sering adalah virus sitomegalo (CMV). Umumnya infeksi
ini asimptomatik dan hanya muncul apabila didapatkan
peningkatan antibodi atau ekskresi virus di urin.
Penatalaksanaan infeksi CMV berupa pemberian
gansiklovir (15 hari sebelum sampai 30 hari sesudah
transplantasi), dikombinasikan dengan immunoglobulin
dosis tinggi. Dosis profilaktik immunoglobulin yang
dianjurkan adalah 500 mg1kgBB setiap minggu selama 3
bulan, kemudian setiap bulan selama satu tahun. Tujuan
pengobatan ini menurunkan insidens GVHD, yang
dihubungkan dengan pneumonia interstititalis pada pasien
seropositif. Tujuan lainnya adalah menurunkan risiko
septikemia gram negatif.

PBSCT Dibandingkan dengan BMT


Penggunaan PBSCT telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir sebagai alternatif BMT konvensional. Dalam
berbagai aspek transplantasi sel puncalinduk darah,
PBSCT sama dengan BMT. Perbedaannya antara lain
adalah:
PBSCT lebih praktis dari BMT. Panenlpengumpulan
sel punca atau sel induk darah donor (pada
transplantasi alogenik) atau pasien sendiri (pada
transplantasi autologus) pada PBSCT dengan mesin
aferesis tidak perlu pembiusan umum dan dilakukan di
kamar biasa. SebaliknyaBMT dilakukan di kamar bedah
steril dalam anestesi umum.
Batas usia pasien yang diperbolehkan menjalani PBSCT
lebih tua dibandingkan pada BMT.
Pemulihan granulosit, trombosit, dan retikulosit setelah
PBSCT tampak lebih cepat dibandingkan dengan BMT.
Biaya PBSCT, walaupun pada periode pratransplantasi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TRANSPLANTASI SEL PUNCAIINDUK DARAH

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

lebih tinggi daripada BMT, namun biaya total


keseluruhan lebih murah.
PBSCT lebih sering menyebabkan GVHD diakibatkan
lebih tingginya load sel T. Oleh karena itu BMT lebih
baik dari PBSCTjika dilakukan pada kelainan non-kanker,
seperti hemoglobinopati, dimana engraftment yang
cepat dan reaksi graft versus tumor (GVT) tidaklah
terlalu penting.
UCBT Dibandingkan PBSCT dan BMT
Saat ini translantasi darah tali pllsat dan plasenta telah
menjadi pilihan utama untuk pasien anak-anak, serta
menjadi pilihan untuk orang dewasa yang kesulitan
mendapatkan donor yang cocok.
Keunggulan jenis tranplantasi ini adalah
memungkinkan untuk dilakukan dengan donor yang HLAnya tidak benar-benar cocok dengan resipien. Kecocokan
3-4 dari 6 antigen HLA-A, HLA-B dan HLA-DRB 1 sudah
cukup untuk transplantasi. Transplantasi ini juga lebih
sedikit menyebabkan GVHD dibandingkan pada PBSCT
atau BMT walaupun dengan ketidakcocokan HLA yang
serupa. Hal ini sangat menggembirakan karena membuka
kemungkinan lebih besar bagi pasien untuk mendapatkan
donor, karena sekitar 70% pasien yang membutuhkan
transplantasi sel puncalinduk hematopoietik tidak dapat
menemukan donor yang cocok di keluarganya.
Keunggulan lain adalah kemungkinan risiko penularan
penyakit yang ditularkan melalui darah menjadi lebih
rendah.
Kelemahannya adalah, terbatasnya volume yang dapat,
oleh karena itu sel punca yang diambil dari tali pusat dan
plasenta biasanya hanya adekuat untuk anak-anak atau
dewasa muda. Untuk meningkatkan jumlah sel sehingga
memperbaiki engraftment dan rekonstitusi imun, dapat
dilakukan transplantasi darah tali pusat sekuensial, dimana
dilakukan transplantasi kedua setelah transplantasi
pertama.

TRANSPLANTASI SEL PUNCA DARAH UNTUK


PENYAKIT NON-HEMATOLOGIK
Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa sel punca dewasa
yang diambil dari sumsum tulang atau darah tepi dapat
berdiferensiasi menjadi sel yang sama sekali berbeda dari
sel-sel darah, yaitu menjadi sel-sel jaringan organ padat.
Kemampuan ini disebut plastisitas perkembangan
(developmetalplasticity). Namun, ada pula yang literatur
yang membedakan lagi istilah plastisitas dan
transdiferesiasi. Proses perubahan dari sel punca darah
menjadi sel non-darah tetap masih berasal dari satu lapisan
embrionik yang sama yaitu mesoderm (lihat gambar I),
misalnya menjadi sel otot, disebut plastisitas Sementara,
proses perubahan sel punca darah menjadi sel yang secara

embrionik berasal dari lapisan yang berbeda disebut


transdiferensiasi, misalnya dari sel punca darah menjadi
sel epitel usus (mesoderm ke endoderm).
Dengan teknik-teknik aplikasi tertentu, sel-sel punca
dari sumsum tulang telah diujicobakan untuk mengobati
infark miokardial, penyakit jan'tung iskemik, osteogenesis
imperfekta, penyakit ginjal glomerular, penyakit
neurodegenerative dan stroke. Mekanisme yang berada
di balik pembentukan jaringan organ padat ini masih belum
jelas, namun riset-riset masih terus berlangsung untuk
mencari strategi terapi yang potensial bermanfaat.

REFERENSI
Alenzi FQ, Alenazi BQ. Ahmad SY, Salem ML, Al-Jabri AA. Wyse
RK. The haemopoietic stem cell: between apoptosis and self
renewal. Yale J Biol Med. 2009. 82(1):7-18.
Areman E, Deeg HJ, Sacher RA. Bone marrow and stem cell processing: A manual of current techniques. Philadelphia: FA Davis
Compani; 1992.
Arcese W, Aversa F, Bandini G De Vincetiis A. Falda M, Lanata L, et
al. Clinical use of allogeneic hematopoietic stem cells from sources
other than bone marrow. Haematologica. 1998;83:159-82.
Ballen KK. New trend in umbilical cord transplantation. 2005. 105:
3786-92
Copelan EA. Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. N Engl J
Med. 2006;354: 18 13-26.
Cooper DL. Peripheral blood stem cell transplantation. In: De Vita
VT, Hellman S, Rosenberg SA, editors. Cancer: principles and
practice of oncology, 4th edition. Philadelphia: JB Lippincott
Company 1994.
Cutler C, Antin JH. Peripheral blood stem cell for allogeneic transplantation: a review. Stem Cells. 2001 ;19: 108- 17.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca di
Indonesia, Jakarta, 2008.
Giles B. Protocols of bone marrou transplantation and peripheral
blood stem cell transplantation in hematological malignancies
and solid tumors. Division of Hematology-Oncology. CedarSinai Medical Center, Los Angeles, 1994.
Hartmann 0 , Blaise D, Michon J, et al. Results of multicentric
randomized clinical trial comparing peripheral blood stem cells
(PBSC) and bone marrow (BM) graft in autologus transplantation. Federation Nationale des Centres de Lutfe contre le Cancer, France. CONFER Information System
Herzog EL, Chai L, Krause DS. Plasticity of marrow-derived stem
cells. Bood 2003; 102 (10):3483-93.
Kessinger A, McMann.is JD. Practical consideration of apheresis i
peripheral blood stem cell transplantation. 1st edition. Lakewood, Colorad o: Cobe BCT; 1994.
Korbling M, Anderlini P. Peripheral blood stem cell versus bone
marrow allotransplantation: does the source of hematopoietic
stem cells matter? Blood. 2001;98(10):2900-8.
Korbling M, Estrov Z. Adult stem cells for tissue repair- an new
theurapeutic concept? N Engl J Med. 2003; 349(6):570-82
Rovo A, Gratwhol A. Plasticity after allogeneic hematopoietic stem
cell transplantation. Biol. Chem. 2008. 389:825-36.
Shaefer UW, Beele DW. Bone marrow transplantation. 2nd edition.
Freiburg: Karger GmbH; 1996.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Stadtmauer EA, Schneider CJ, Silberstein L. Peripheral blood progenitor cell generatio and harvesting. Semin Oncol.
1995;22:291-300.
Treleaven J, Wiernick P. Color atlas and text of bone marrow
transplantation. London: Mosby-Wolfe;l995.
Uyl-de Groot CA, Richel DJ, Rutten FFH. Peripheral blood progenitor cell transplantation mobilised by r-metHuG-GSF
(Filgastrim): a less costly alternative to autologus bone marrow
transplantation. Eur J Cancer. 1994;30A(I 1): 163 1-5.
Weaver CH, Hazelton B, Bitch R, et a]. An analysis of engrafiment
kinetics as a function of CD34 content of peripheral blood
progenitor cell collection in 692 patients after the administration
of
myeloablative
chemotherapy.
Blood.
1995;88(10):3961-9.
Wiinder EW, Heno PR (Eds). Peripheral blood stem cell autografts.
Berlin: Springer-Verlag;l993.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SEL PUNCA (STEM CELL)


DAN POTENSI KLINISNYA
Cosphiadi Irawan

PENDAHULUAN
Diminggu ketiga Januari 2009 pemerintah federal Amerika
Serikat melalui lembaga FDA ( F o o d D r u g a n d
Administration) telah memberikan izin pilot project
penerapan terapi sel punca embrional pada sepuluh pasien
kasus trauma tulang belakang (spinal cord injury) yang
menyebabkan kelumpuhan. Hal ini mempakan sejarah baru
bagi perkembangan sel terapi menggunakan sel punca di
negara paman Sam tersebut, yang selama ini diketahui
sangat ketat melarang penggunaan dana federal untuk
penelitian terapi menggunakan sel punca. Menilik
perkembangan dan antusiasme yang begitu tinggi meliputi
terapi sel punca, sebenarnya diawali dengan dua ha1 yaitu:
1.Keberhasilan Ian Wilmut, Keith Campbell dan teamnya
pada tahun 1997 mengkloning Dolly 2. Keberhasilan
laboratorium James Thomson pada tahun 1998 melakukan
patok baku processing sel punca embrional, dan bukti
kemampuan sel punca embrional dapat berkembang
menjadi berbagai progenitor sel menjanjikan pengobatan
bagi berbagai penyakit degeneratif di masa mendatang.
Keberadaan sel punca sendiri dapat dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu sel punca embrional dan sel punca
dewasa (adult .stem celllASC) termasuk didalamnya sel
punca jaringan fetus; dimana mereka memperlihatkan
beberapa karakteristik dan fungsi yang sama. Dibedakan
terutama dari segi kemampuannya untuk bertransdiferensiasi (plasitisitasnya) menjadi progenitor sel yang
berbeda. Sejak itulah berkembang harapan sel punca
embrional yang memiliki kemampuan memperbahami diri
(renewal) dan sifat plastisitasnya untuk bertrans
difrensiasi menjadi sel jenis manapun ditubuh manusia
dapat memperbaiki kemsakan jaringan dan fungsi organ
tubuh; ha1 ini diikuti perkembangan pesat terapi sel punca

dewasa, khususnya sel punca hematopoetik


(hematopoetic stem celliHSC) pada penyakit jantung,
maupun sel punca jaringan fetus (seperti: darahlepitelial
plasenta, cairan amnion, Wharton's Jelly). Perkembangan
lain, adalah dimulainya kemampuan teknologi untuk
memproduksi berbagai organ tubuh (tissue engineering
dan scafold), yang pada gilirannya mempakan jawaban
atas berbagai penyakit degenerasi seperti diabetes, jantung
koroner, stroke, penyakit Parkinson's dan banyak
kerusakan organ lainnya. Sejarah peran sel punca pada
keganasan darah telah dicatat keberhasilannnya sejak
lebih dari tiga puluh tahun terakhir, akan dibahas dalam
bab yang lain. Pembahasan berikut secara singkat akan
lebih tertuju pada peran sel terapi pada penyakit
degeneratif. Selanjutnya akan dikaji: definisi sel punca;
faktor dan kemampuan yang mempertahankan potensi
biologinya: termasuk pembahasan: a. Niches ( lingkungan
mikro sel punca) b. Sinyal intra selular sel punca
c. Mekanisme migrasi dan homing. Serta beberapa contoh
perkembangan terapi sel punca, khususnya dibidang
penyakit dalam saat ini.
Perdefinisi sel punca adalah sel yang mempunyai tiga
kemampuan dan sifat dasar,yaitu: 1. Kemampuan untuk
memperbaharui dirinya sendiri (self renewal) melalui
pembelahan diri yang simetris dan sekaligus asimetris
(-menjadi progenitor sel yang berbeda-) 2. Sel yang yang
pada tingkat awal perkembangannya, tak memiliki fungsi
khusus (unspecialiazed) 3. Mampu menjadi progenitor
dari berbagai jenis sel didalam tubuh (plasticity1
transdifrensiasi), dimana diperkirakan ada 200 an jenis sel
ditubuh manusia. Berdasarkan kemampuannya menjadi
berbagai tipe sel tersebut, sel punca dapat dibagi menjadi
beberapa tingkat kemampuan, yaitu bersifat totipoten, yaitu
sel punca yang mampu menjadi progenitor dari ketiga

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

etik dan sosial yang luas dampaknya, sedangkan yang paling banyak dikembangkan sebagai sumber terapi sel adalah
HSC CD34(+) dan mesench~~in~alstem
celllMSC (sel punca
mesenkimal).

lapisan primer germinal: ektoderm, mesoderm dan


endodem; dalam ha1 ini adalah hasil konsepsi dalamphute
iygote (hari ke 2 konsepsi). Pluripoten kemampunnya lebih
terbatas untuk menjadi jenis lapisan germinal tertentu,
misalnya: mesoderm; yang menjadi sel hematopoetik,
osteogenik, chondrogenik dan jaringan adipose (lemak) dan
unipoten, yaitu sel punca yang hanya mampu menjadi satu
jenis progenitor sel, misal sel punca hematopoeitik
eritroblast, yang menjadi eritrosit atau megakaryoblast yang
menjadi trombosit (lihat gambar 1). Sel punca sendiri dapat
berasal dari berbagai sumber: 1. Sel punca embrional (SPE),
berasal dari blastosis (hari ke 5 fertilisasi) 2. Germinal
embrional (melalui aborsi elektifkehamilan 5 -9 minggu) 3.
Sel
punca
epitelialidarah
plasentaljaringan
fetus (misal: cord blood SCICBC)4. Sel punca dewasa (misal:
HSC dari sumsum tulang atau darah tepi, sel punca adiposeljaringan lemak) 5. Sel punca somatik (.tomtitic .?ten1
celliSSC: diisolasi dari jaringan organ tertentu)
6. Sornutic Cell Nuclear Pun.sfirl SCNT: sel punca yang
diperoleh dari sel somatik yang inti selnya ditransfer ke
Oocyte donor yang telah dienukleasi, yang melalui proses
genetic-epigenetic rearrangement akan memiliki kapasitas
seperti ESC. 7. iPS (Induced Pluripotent Stem Cell), dengan
melakukan inisiasi (reprogramming) embrional sel somatik
manusia dengan memasukkan (transduksi) gen yang
berperan penting dalam proses embrional melalui perantara
lentivirul, seperti (OCT4, SOX2, NANOG dan LIN28)
sehingga mempunyai kemampuan seperti sel embrional. Sel
punca emprional dibanyak negara menimbulkan masalah
-

Diawali penelitian exvivo Asahara pada tahun 1997 yang


memperlihatkan CD34(+) murni, lnalnpu berdiferensiasi
menjadi sel dengan phenotip endotel (positip penanda
endotel EPC) dan mernbentuk pembuluh darah baru
didaerah iskemik, merupakan bukti bahha HSC mampu
bertransdifrensiasi menjadi selain sel hematopoetik.
Setahun kemudian 1998 Raffi et al serta Shi et al,
memperlihatkan invivo adanya circul~itorr.m(1otkelirrl
progenitor celliCEPC yang merupakan EPC yang berasal
dari SSTL; disamping adanya diferensiasi CD34(+) HSC
menjadi sel dengan penanda EPC seperti vWF/I.i)n
( DIL ).
Willehrund :\ Fuctor (+) dan Dil-ucrtj~lc~ted
Diketahui EPCICEPC juga mengekspresikan VEGF reseptor
KDR dan CD34 (+). Pada tahun 200 1 Kamihata , dalam
penelitiannya menunjukkan BMMNC (honemurrow mono17~1cle~r
cell) melepaskan VEGF, bFGF (bc1sic.fibr*o17lri,\t
grolvth fucror), yang akan meningkatkan kadar
angiopoeitin dan pada gilirannya bersifat merangsang lokal
angiogenesis. Juga pada tahun yang sama beberapa
peneliti dari berbagai pusat penelitian seperti masing
n~asingJackson; Kocher; Orlicl dan Toma, beserta teman

Karakteristik Sel Embrional


A s ~ I Didapaf dari embryo prelmplataSi atau port ~mplantasl

FI_.

Self renewal S e dapaf membag, drl menladl


dtnnya sendlrl unluk waktu yang lama fanpa
berdlfsrensiasl

Pluripoten: sel embrlooal dapat menladl se apapun


dart kellga laplsan gennina bahkan setelah tu~nbuh
dl med,a kultur untuk waktu lama

Tiga lapisan germma1 deogan masing maring contoh perkembangan selnya

Ektaderm
menjadi'kulit.gtg8
olak,medulaspinalia
rambut.se1 sensank
mata,tellnga hrdung
mulut dan sel pigmen

Mesoderm
men~adl.otot.
pembuluh
darah.jarkat dan
jantung

Endoderm menjadl'
usus pancreas
lambung.hatl, paw,
kandung kemih dan
sel telur / spsrma

Gambar 1. Perkembangan sel punca embr~onalpluripoten. Self


renewal and Plasboty (D~kut~p
dar~ Regenerative Medicine, 2006)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pada tahun 2002; memperlihatkan bahwa sel punca sumsum
tulang (hone marrow stem cell1BMSC) mampu engraftmen
pada otot jantung dan sebagian mengekspresikan penanda
cardiuc dan 1 atau endothelial protein, yang dapat berarti
terjadi diferensiasi menjadi curdiuc lineage dan berperan
dalam regenerasi otot jantung yang degeneratif.

ekspresi J-cathenin oleh HSC, atau sinyal Wnt oleh


lingkungan mikro; diketahui meregulasi kapasitas
renewal. Pemberian Shh ( Sonic hedgehog ) in vivo yang
berfungsi upstream terhadap BMP-4 (Bone
Morphogenic Protein 4); merangsang proliferasi HSC.
BMP4 sendiri berfungsi penghambatap terhadap Shh.
Selanjutnya mobilisasi HSC kedarah juga diperantarai
komponen endotelial yang berlokasi di perisit pembuluh
darah sinusoidal di sumsum tulang. Ini memperlihatkan
salah satu contoh niche hematopoesis.
Mekanisme diatas dan kemungkinan yang terbuka luas
untuk merangsang diferensiasi spesisfik sel punca sesuai
dengan faktor pertumbuhan yang diberikan ataupun
lingkungan mikro tertentu ,akan semakin membuka potensi
sel punca bagi mengatasi berbagai penyakit degeneratif
growth
factors

LIF

Ras

PI3 kine-

Wnt

BMP4

Garnbar 2. Tampak HSC rnenempati posisi berdampingan dengan


osteoblas dan sinusoid pembuluh darah dan dikelilingi sel stroma
yang berasal dari MSC di sumsurn tulang. (Dikutip dari: Yin T, Li L.
The Stem cell niches in bone. J Clin Invest; 116:2006)

a. Niches (lingkungan mikro)


Kemampuan tersebut dipertahankan melalui suatu kondisi
dan mekanisme kompleks serta tertata secara cermat
didalam lingkungan mikro atau niches; dimana
perkembangan sel punca pluripoten yang untuk tetap
mempertahankan sifat asal (renewal) atau menjadi
progenitor yang commited dan yang akhirnya
berdiferensiasi akhir menjadi sel tipe tertentu,
dipertahankan lnelalui proses pembelahan yang simetrik,
yang menghasilkan sel turunan yang identik dengan sel
asal dan tetap berada diniche dan asimetrik, yang
menghasilkan sel turunan yang merupakan progenitor
dibawahnya dan akan meninggalkan niches untuk
berdiferensiasi menjadi berbagai jalur (lineages);
merupakan hasil interaksi sel punca dengan niches yang
juga diregulasi oleh spesifik gro\r.tll factors, sitokin dan
hormon tertentu, maupun sinyal intraselular yang
mempertahankan status renelzlal dan sinyal yang
menginduksi diferensiasi, yang akhirnya menghasilkan
homeostasis jaringan. Ketidak seimbangan proses ini,
seperti tnisalnya pembelahan simetris yang dominan akan
menghasilkan penumpukkan sel punca seperti halnya pada
proses tumorigenesis; dilain sisi pembelahan asimetri yang
dominan menghasilkan penurunan populasi sel punca,
yang akhirnya akan menyebabkan proses regenerasi
organ menurun karena proses apoptosis. Penelitian in vivo
Genevieve D tentang perkembangan HSC di sumsum
tulang memperlihatkan peran osteoblas melalui ekspresi
osteopontin meregulasi proliferasi dan ukuran niche,

self renewal

Gambar 3. Terlihat skerna sinyal intraselularyang rnernperlihatkan


pengaturan self renewal oleh LIF(leukemia inhibitoly factor),Wnt
dan BMP4; serta rangsangan diferensiasi oleh faktor
pertumbuhan

b. Homing (migrasi sel punca)


Homing adalah proses bertahap yang membutuhkan
molekul adesif, sitokin dan kemokin serta protease
degradasi matriks ekstraselular .Mobilisasi sel punca atau
enu'othelialprogenitor celllEPC di dan ke sumsum tulang,
jaringan iskemia atau jaringan tumor ganas diketahui mirip
proses ekstravasasi lekosit/limfosit; atau migrasi
transendotelial sel tumor pada saat terjadinya diseminasi
hematogenous metastase. Kemokine merupakan molekul
kecil peptide yang menginisiasi migrasi dari sel efektor.
Diantaranya
adalah
SDFa
(stromal
derived factor a) yang terikat dengan CXCR4 reseptor
(CDI 84) merupakan kemotaksis yang penting baik untuk
progenitor, sel darah merah matang dan terlibat pada
limfopoesis-B, juga mielopoesis(Corrinna W). Interaksi
SDF- l a dengan CXCR4 akan merangsang migrasi limfosit,
HSC dan juga sel tumor. Khusus HSC interaksi tersebut
mengatur retensi, migrasi dan mobilisasinya di sumsum

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


tulang pada heomeostasis dan juga perlukaan jaringan.
Secara singkat dapat dikatakan mobilisasi sel punca
memperlihatkan karakteristik hilangnya kontak antar sel
dan down regulation serta degradasi molekul adhesif
diikuti desensitisasi axis SDF-a CXCR4. Sebaliknya
up-regulation adesif molekul sel dan aktifasi SDF-a
CXCR4 diperlukan untuk I~omingnyasel punca.

follow up jangka pendek; Penurunan volume LVES dan


LVED ;ukuran infark atau pergerakan dinding jantung juga
lebih baik pada kelompok sel punca. Terdapat korelasi
positip antara dosis sel punca dan perbaiklan LVEF yang
diukur dengan MRI. Santoso dan grup, salnpai May 2009
telah melakukan penyuntikkan intrakoroner PBSC pada 20
pasien IMA dan tiga pasien pilot prolect penyuntikkan
intrakardial BMMNC pasien PJK no optlon terapi. Tidak
didapati efek sarnping dan komplikasi peri-pasca tindakan,
sampai follow up 3 - 9 bulan. Dan diteinui perbaikan fungsi
jantung dan pengecilan jaringan infark yang moderate.

PENERAPAN KLlNlS
Diluar penyakit keganasan darah dimana transplatasi HSC
telah dipergunakan lebih dari 30 tahun dan terbukti
meningkatkan angka kesembuhan dan harapan hidup; sel
terapi pada penyakit degeneratif sendiri telah diterapkan
menggunakan behcrapa sumher sel punca yang
diharapkan mampu herkembang merljadi progenitor/
repopulasi dari sel jaringan yang rusak, nannrn padu
saat yang sumo tak mampu herkembang n~erljadi
teratoma. Beberapa penyakit yang mungkin mendapat
keuntungan dari sel terapi adalah: penyakit jantung: infark
akut dan kronik, penyakit pembuluh darah perifer (PAD),
diabetes, kelainan ginjal, penyakit autoimmune, penyakit
liver akut dan kronik, penyakit muskulo-skeletal dan
penyakit degeneratif lainnya. Beberapa sudah dalam tahap
uji klinik fase 2, dan sebagian lainnya masih dalam tahap
penelitian preklinik pada hewan.
1 . lnfark miokard a k u t (IMA) dan ischemic
cardiomyopathy (ICM). Peran sel punca baik pada
recent IMA (< I4 hari ) dengan penyuntikkan intrakoroner
BMMNC (delapan penelitian) dan PBSC (dua penelitian)
total 698 pasien, median follow up enam bulan, telali di
meta-analisa oleh Lipinsky et al. Didapatkan hasil
perbedaan secara statistik bermakna serta mengu~itungkan
pada kelompok yang meiidapat sel punca, meliputi:
peningkatan bermakna LVEF sebesar 3%; pengecilan
ukuran infark, (-) 5,6% ;penurunan volume akhir sistolik: ()
7,4 ml. Volume akhir diastolik meskipun tak bermakna
menunjukkan kecenderungan menurun: (-) 4,6 ml. LatifAA,
et al melakukan kajian sistimatik dan meta-analisa yang
meliputi delapan belas penelitian dengan total 999 pasien
meliputi sepuluh penelitian IMA, enam penelitian ICM dan
dua penelitian carnpuraii IMA IICM. Jenis sel punca yang
dipergunakan meliputi sel punca dewasa meliputi BMMNC,
BM-MSC dan BM-CPC (circulating progenitor cell).
Didapati perbedaan bermaluia yang menguntung keiolnpok
sel punca yang meliputi: perbaikan 3,66% LVEF, pengecilan
ukuran infark sebesar (-) 5,49% dan penurunan LVES
volume sebesar (-) 4,8 ml. Martin Rendon, et a1 meliputi
tiga belas penelitian acak total 81 1 pasien.Hasilnya
memperlihatkan sel terapi tak berhubungan dengan
peningkatan efek samping yang tak diinginkan, rneskipun
belum cukup data untuk rnengambil kesitnp~~lan
definitif.
Diperliliatkan pula peningkatan LVEF yang ajeg pada

'

2. PAD (Peripheral Arterial Disease): Beberapa penel itian


menetapkan pasien yang sesuai dengan unti~kimplantasi
sel punca baik BMMNC maupun PBSC adalah pasien
dengan chronic critical lirnh rschemia (CLI), tennasuk
nyeri pada istirahat, i~lkusyang tak menyembuh, bukan
kandidat operasi ataupun operasi neovaskuiar~sasi,ABI
0.6 dan tetap progresif setelah menjalani seinua terapi baku
secara optimal. Hiroaki M, pada total n= 45 pasien
melakukan uji klinik random, buta ganda, ditnana sebagian
pasien mendapat suntikan iM BMMNC : berkisar 0,7 - 2,8
x 10e9 ( rata rata 1,6 x 10e9 sel : SD 0,6 ); termasuk CD34(+)
dengan kisaran 0,84 -9,6 x 10e7 ( rata rata 3,7 x 1 Oe 7 sel : SD
1,8 ); dan sebaga~kontrol ~nendapatPBMNC. Pada lninggu
ke empat didapati peningkatan ABI pada kedua keloinpok,
namun pasien dengan BMMNC ABI meningkat 0 , l
dibanding 0,02 pada PBMNC ( p< 0,0001 ). Observasi sampai
24 minggu pasca injeksi tetap terjadl perbaikan satus
iskemik (ABI, konsentrasi 0 2 jaringan, skala nyeri istirahat,
bebas nyeri pada waktu berjalan dan perbaikan ulkus).
Terjadi perbaikan angiograti pada 60 % pasien dimana pada
kelompok BMMNC didapati rasio kapilerlserat otot sebesar
2,3 dibanding PBMNC 0,74. Hasil yang mirip juga
diperlihatkan pada laporan kasus Ishida A et a1 pada enain
kasus PAD berat (5 pasien thromboangitis obliterans, 1
pasien arteriosklerosis obliterans) dengan suntikan
mobilisasi PBMNC pada hari I dan 2; dan Huang P, et al
pada 28 kasus diabetes dengan CLI melalui uji klinik acak
dengan mobilisasi PBMNC dan kontrol dengan suntikan
hari 1 dan ke- 14
3. Penyakit keganasan: Progenitor sel kanker, yang
mengekspresikan penanda sel punca dan mampu se/j
renewal telah dapat diisolasi dari pasien AML, melanoma,
keganasan otak, payudara, ovarium dan prostat (Mimeault
M et al). Didasari berbagai penelitian sebelumnya yang
memperlihatkan sel punca kanker memperlihakan aberansi
ekspresi danlataatau aktititas dari berbagai horrnon. Faktor
pertumbuhan (GF) sitokin dan kemokin (androgen,
estrogen, EGF dan TGFaEGFR, IGFilGFR, S W S M O , Writ/
B-catenin, Notch, TGF-I3 dan SDF-alCXCR4 dan elemen
sinyal tumoregenik (telomerase, PI3K/Akt, NF-kB dan MycI ); yang mungkin berperan terhadap pertumbuhan yang
terus menerus, survival sel punca kanker dan juga
transformasi keganasan pada waktu inisiasi dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

SEL PUNCA (STEM CELL) DAN POTENSI KLINISNYA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

progresifitas sel ganas; maka berkembang penelitian terapi


target molekular yang mampu menghambat kaskade sinyal
spesifik seperti inhibitor EGFR, Hedgehog, WntlJ-catenin
dan Notch, atau dengan terapi kombinasi yang akan
memberikan hasil yang lebih efektif.
4. Penyakit liver kronik/sirosis:Laporan pendahuluan dua
uji klinik non acak, Gordon et a1 dan Terai et al, dengan
penggunaan PBSC dari hail mobilisasi G-CSF berturut turut
memperlihatkan: 3 - 4 dari 5 pasien sirosis yang mendapat
suntikkan intra hepatik dan infus perifer BMMNC,
memperlihatkan perbaikkan fungsi hati dengan menurunnya
bilirubin, meningkatnya albumin dan berkurangnya asites.
Sedangkan melaporkan dari 9 pasien yang diteliti, terjadi
perbaikan fungsi hati dan perbaikan Child Pough pada semua
pasien yang diteliti dan p e n m a n asites pada 6 pasien.
5. Pengembangan sel terapi pada pasien diabetes tipe 1 dan
2, penyakit auto-immune danjuga penyakit ginjalmasih dalam
fase awal penelitian preklinik dengan hasil yang menjanjikan
dan dapat menjadi terapi alternatif dimasa mendatang.

1. Sel punca, khususnya HSC selama lebih dari 30 tahun


telah berperan dalam pengobatan keganasan darah,
adalah sel yang memiliki kemampuanselfrenaval, belum
mempunyai fungsi yang khusus (unspecialized) dan
mampu menjadi progenitor berbagai sel organ ditubuh
kita (plastisitasltransdiferensiasi), dapat berperan
mengatasi berbagai penyakit degeneratif
2. Berdasarkan kemampuannya bertransdiferensiasil
plastisitas dikenal sel punca totipoten, pluripoten dan
unipoten
3. Secara umum sel punca dapat berasal dari sel punca
embrionallgerminal embrional; dan sel punca dewasa
termasuk didalamnya sel punca dari amnion-epiteliall
jaringan fetusldarah plasenta.
4. Dikenal teknik SCNT dan iPS, yang menjadikan sel
somatik kembali mampu menjadi seperti halnya sel
embrional
5. Dibidang penyakit dalam, manfaat sel terapi (-dan yang
paling banyak diteliti adalah pada penyakitjantung IMA
dan PJK -) dalam bentuk pemberian sel punca secara
intrakoroner ataupun intrakardial memberikan
perbedaan bermakna: peningkatan LVEF, penurunan
ESV dan ukuran infark dibanding kelompok kontrol.
Sedangkanperbaikan iskemik jaringan juga dilaporkan
penelitian pendahuluan pada PAD
6. Sampai saat ini pengunaan sel terapi pada berbagai
penyakit degeratif meskipun pada banyak pusat
penelitian memberikan hasil positip, masih dalam tahap
penelitian.

REFERENSI

Ho AD, Wagner W. Clinical potential of stem cells: hype or hope?


In: Ho AD, Hoffman, Zanjani ED, eds. Stem Cell Transplantation. Biology, prossesing, and therapy. Weinheim: WILEY.VCH
Veerlag Gmbh & Co.Kga.4; 2006. p. 3 - 20.
Mimeault M, Batra SK. Concise review: recent advances on the
significance of stem cell in tissue regeneration and cancer
therapies. STEM CELLS. 2006;24:23 19-45.
Cosphiadi Irawan. Terapi sel punca ("Stem CelllSC'') di bidang
penyakit dalam. PIT PAPDI ke 111, Semarang, 2009.
Regenerative Medicine 2006.pdf Tefesse Window.
Huangsu D, Osafune K,Machr R, Goo W, Eijkelenboom A, Chen.
Induction of pluripotent stem cell from primary human
fibroblast with only Oct 4 and Sox2. Nature. 2008;22:1269-74.
Rasokat UF, Dimmeler Stefanie. Endothelial Progenitor Cells for
Cardiac Regeneration. In: Ho AD,Hoffman, Zanjani ED, eds.
Stem cell transplantation. Biology, prossesing, and therapy.
Weinheim:WILEY.VCH Veerlag Gmbh & Co.KgaA; 2006. p. 17992.
Despars G, Tan J, Periasamy P, O'Neill HC. The role of stroma in
hematopoesis. Current stem cell research & therapy. 2007;2:23.
Yin T, Li L. The stem cell niche in bone. J Clin. Invest.
2006;116:1195-201.
Weidt C, Niggeman B, Kasenda B, Drell TL, Zanker KS, Dittmar T.
Stem cell migration: a quintessential stepping stone to succesfull
therapy. Current stem cell research & therapy. 2007;2:89-103.
Lipinsky MJ, Biondi-Zoccai GGL, Abbate A, et al. Impact of
intracoronary cell therapy on left ventricular function in the
setting of acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol.
2007;50;1761-7.
Abdel Latif A, Bolli R, Tleyjeh IM, et al. Adult bone marrow derived
cells for cardiac repair a systematic review and meta-analysis.
Arch Intern Med. 2007;167:989-97.
Martin RE, Braunskill S, Dorcee S, et al. Stem cell treatment for acute
myocard infarction. (Review). The Cochrane Collaboration,
Wiley J & Smith. 2008.
Santoso T, Cosphiadi 1, Alwi I, Auda A, Kosasih A, Ardian, et al.
Safety and efficacy of combined G-CSF and EPO based-stem
cell therapy using intracoronary infusion of autologous PBSC
in patients recent myocardial infarction: phase 11 study
(unpublished data) 2009.
Matsubara H. Therapeutic angiogenesis for cardiac and peripheral
vascular diseases by autologous bone marrow cell transplantation. In: Kipshidze, Serruys PW, eds. Hand Book of Cardiovascular cell transplantation, London: Martin Dunitz, Taylor &
Francis Group. 2004:275-85.
Ishida A, Ohya Y,Sakuda H, et al. Autologous PBMNC implantation
for patients with PAD improves limb ischemia. Circ J.
2005;69: 1260-5.
Huang P, Li S, Han M, et al. Autologous transplantation of G-CSF
mobilized PBMNC improves critical limb Ischemia in diabetes.
Diabetes Care 2005;28:2155-60.
Lorenzin S, Andreone P. Stem cell therapy for human liver
cirrhosis: a cautious analysis of the results. Stem cell.
2007;25:2383-4.
Terai S, Tashikawa T, Omari K, et al. Improved liver function in
patients with liver cirrhosis after autologous BM cell infusion
therapy. Stem Cells. 2006;24:2292-8.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENDEKATAN DIAGNOSTIK TUMOR PADAT


Budi Darmawan Machsoos

PENDAHULUAN
Diagnosis tumor padat bertujuan mengidentifikasi jenis
tumor padat yang diderita dengan cara pemeriksaan
tertentu secara lege artis. Menegakkan diagnosis suatu
tumor padat adalah sangat penting walaupun tidak selalu
mudah dan hams dilakukan sebelum memberikan terapil
penatalaksanaan tumor padat itu sendiri. Berbagai upaya
klinik yang meliputi pendekatan multidisipliner diperlukan
secara rutin untuk menegakkan diagnosis tumor padat.
Atas dasar azas manfaat dan memudahkan cara kerja di
klinik serta efisiensi tenaga dan biaya, maka pembahasan
pendekatan diagnostik tumor padat selanjutnya
difokuskan pada: pemeriksaan klinis, pemeriksaan
laboratorium,pemeriksaan patologi anatomi, pemeriksaan
penunjang lain, pentahapan (staging) tumor padat, tata
cara penulisan diagnosis tumor padat dan status
penampilan (performance status) pasien.

Tumor padat adalah bentuk benjolan yang abnormal dalam


tubuh, yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit,
seperti penyakit keganasan (neoplasma), infeksi, dll. Dalarn
arti khusus tumor padat di sini didefinisikan sebagai
benjolan yang disebabkan oleh penyakit keganasan
(neoplasma); dan neoplasma ganas secara umum disebut
kanker. Dalam pembahasan selanjutnya pada bab ini yang
dimaksud tumor padat adalah tumor padat ganas.

PEMERIKSAAN KLlNlK
Pemeriksaan klinik disini adalah pemeriksaan rutin yang
biasa dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan

fisik, yaitu: inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, rectal


toucher, dll. Pemeriksaan ini sangat penting, karena dari
hasil pemeriksaan klinik yang dilakukan secara teliti,
menyeluruh, dan sebaik-baiknya dapat ditegakkan
diagnosis klinik yang baik pula. Pemeriksaan klinik yang
dilakukan hams secara holistik.
Anamnesis tentang keluhan kanker pada seorang
pasien, dapat bermacam-macam mulai dari tidak ada
keluhan sampai banyak sekali keluhan, bisa ringan sampai
dengan berat. Kanker stadium dini pada umumnya tidak
menimbulkan keluhadgejala apapun. Keluhanlgejala yang
timbul biasanya bergantung pada lokasi tumor pada
organ, stadium lanjut dari tumor, dan penyulit yang
ditimbulkannya. Lokasi tumor pada organ vital seperti:
otak, mediastinum, paru, hepar, pankreas, ginjal, dl1 akan
lebih cepat menimbulkan keluhadgejala yang khas. Begitu
juga stadium dari tumor; semakin lanjut stadium tumor,
semakin banyak timbul keluhanlgejala akibat tumor padat
itu sendiri atau akibat penyulit yang ditimbulkannya.
Apabila ditemukan tumor padat di dalam atau di permukaan
tubuh yang jumlahnya banyak (multiple), maka perlu
ditanyakan tumor mana yang timbul lebih dahulu.
Tujuannya adalah untuk memperkirakan origin dari tumor
padat.
Pemeriksaan fisik sebagaimana dilakukan secara rutin
di klinik juga perlu dilakukan pada pasien tumor padat.
Pemeriksaan fisik ini sangat penting sebagai data dasar
keadaan umum pasien dan keadaan awal tumor padat
tersebut saat di diagnosa. Selain pemeriksaan umum,
pemeriksaaaan khusus terhadap tumor padat tersebut perlu
dideskripsikan secara teliti dan rinci. Untuk tumor padat
yang letaknya berada di atau dekat dengan permukaan
tubuh, jika perlu dapat digambar topografinya pada organ
tubuh supaya mudah mendeskripsikannya. Selain itu juga
perlu dicatat: (1). Ukuran tumor padat, dalam 2 atau 3
dimensi, (2). Konsistensinya, (3). Ada perlekatan atau tidak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dengan organ di bawahnya atau kulit di atasnya. Jika ada


komplikasi lokaljuga perlu dicatat, misalnya terdapat ulkus
di atasnya, tanda-tanda infeksi, abses, retraksi, dll.
Pemeriksaan klinis juga mempunyai peranan penting
dalam memperkirakan apakah tumor padat tersebut jinak
atau ganas (Tabel 1).

Karakteristik

Tumor Jinak

Tumor Ganas

Batas tumor
Kapsul
Kecepatan tumbuh
lnfiltrasi

Jelas
Jelas
Umumnya lambat
Tidak ada

Nekrosisl ulserasi
Struktur jaringan

Sangat jarang
Khas
menunjukkan
asal jaringan
Uniform
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
Jarang
Jarang, kecuali
tumor endokrin

Tidak jelas
Tidak jelasl pseudo kapsul
Umumnya cepat
Ada, bahkan merupakan
ciri khas
Sering
Tidak khas, sering sulit
menentukan
asal jaringan
Polikromasi
Hiperkromasil polikromasi
Hiperkromasil polikromasi
Naik
Sering
Sering
Sering

Bentuk sel
Warna inti sel
Warna sitoplasma
Rasio
nukleuslplasma
Metastase
Residif
Efek sistemik

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium rutin untuk menunjang
diagnosis tumor padat penting dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui keadaan pasien apakah ada penyulit
kanker atau penyakit sekunder, dan juga untuk persiapan
terapi yang akan dilakukan baik itu tindakan bedah maupun
tindakan medik. Beberapa pemeriksaan yang perlu
dilakukan, antara lain:
a. darah lengkap f faal hemostatik k. asam urat
b. urin lengkap
g. protein serum
1. serum
imunoglobulin
c. tes fungsi hati h. alkali fosfatase m. dl1
d. tes fungsi ginjal i. elektrolit serum
e. gula darah
j. LDH
Pada kasus limfoma maligna, pemeriksaan LDH yang
meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan laju
ganti, terutama pada limfoma yang bersifat agresif.
Sedangkan hiperurikemia pada kasus yang sama selain
merupakan manifestasi laju ganti limfoma agresif, juga
ditemukan pada limfoma derajat keganasan rendah yang
ekstensif. Pada kanker lain seperti keganasan kolorektal,
peningkatan LDH diikutkan dengan prognosis.

dari biopsi tumor padat atau dari spesimen operasi. Ada


beberapa cara biopsi yang sering dilakukan, yaitu: 1).
Biopsi insisi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan
tumor padat dengan menggunakan pisau bedah; 2). Biopsi
eksisi (biopsi in toto), yaitu mengambil seluruh tumor secara
eksisi. Untuk tumor jinak, tindakan ini sekaligus sebagai
terapi; 3). Biopsi truncut, yaitu mengambil sebagian
jaringan tumor dengan alat biopsi khusus berbentukjarum
besar yang dapat memotong dan mengambil jaringan
tumor; 4). Biopsi aspirasi denganjarum (Needle Aspiration
Biopsy), yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor
padat dengan cara disedot menggunakan jarum yang
ditusukkan kedalam jaringan tumor. Dapat dilakukan
dengan jarum besar (jarurn no 18 atau jarum Jamshidi),
atau j a m halus ( j a m nomer 23), atau menggunakan
jarum khusus (jarurn Vin Silverman); 5). Biopsi endoskopi,
yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor dengan
menggunakan endoskop.
Setelah bahan sediaan PA diperoleh, selanjutnya
diproses melalui beberapa cara agar dapat dipotong sangat
halus. Proses tersebut antara lain: sediaan beku (Vries
coupe), parafine block, plastic coupe, dl1 dan dilakukan
pengecatan sesuai tujuan pemeriksaan.
Pemeriksaan PA ini sangat penting dalam menentukan
jenis tumor padat, dan selanjutnya akan sangat berguna
untuk menentukan tindakan terapi apa yang akan diberikan
kepada pasien. Pemeriksaan PA ini antara lain
dipergunakan untuk menentukan:
Diagnosis patologi atau morfologi yang didasarkan
pada hasil pemeriksaan mikroskopis, dan sekaligusbisa
untuk menentukan jaringan asal tumor padat apakah
berasal dari jaringan: Epithel, embrional,mesenkim, atau
campuran.
Sifat tumor: Jinak, Ganas, karsinoma in situ.
Derajat diferensiasi sel. Ada 4 derajat, yaitu:
- G 1 = diferensiasi baik (well dzferentiated)
- G2 = diferensiasi sedang (moderatelydzferentiated)
- G3 = diferensiasijelek (poorly differentiated)
- G4= Tanpa diferensiasi (undifferentiated atau
anaplastic)
Pada umumnya derajat keganasan tumor padat sesuai
dengan derajat diferensiasi sel. Makin jelek derajat
diferensiasi sel, makin ganas tumor padat tersebut.
Stadium Penyakit. Penentuan stadium penyakit juga
penting artinya, karena stadium ini sangat menentukan
prognosis pasien. Beberapa stadium dari kanker dapat
ditentukan dari pemeriksaan PA. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada staging tumor padat di bawah.

PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI


PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) ialah pemeriksaan
morfologi tumor, meliputi pemeriksaan makroskopi dan
mikroskopi. Bahan untuk pemeriksaan PA dapat diperoleh

Pencitraan (Imaging)
Pemeriksaan imaging yang diperlukan untuk membantu

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1409

PENDEKATAN DIAGNOSTIK TUMOR PADAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


menegakkan diagnosis tumor padat (radiodiagnosis)
banyak jenisnya mulai dari yang konvensional sampai
dengan yang canggih, dan untuk efisiensi hams dipilih
sesuai dengan kasus yang dihadapi (Tabel 2). Pada tumor
padat yang letaknya profunda dari bagian tubuh atau
organ, pemeriksaan diperlukan untuk tuntunan (guiding)
pengambilan sampel patologi anatomi, misal cucukjaruml
fine needle aspiration biopsi (FNAB) atau biopsi lainnya.
Selain untuk membantu menegakkan diagnosis,
pemeriksaan imagingjuga berperan dalam menentukan staging dari tumor padat. Beberapa pemeriksaan imaging
tersebut antara lain:
Radiografi polos atau radiografi tanpa kontras. Contoh:
X-foto tengkorak, leher, toraks, abdomen, tulang,
marnrnografi, dll.
Radiografi dengan kontras. Contoh: Saluran cerna
bagian atas, bronkografi, Colon in loop, kistografi, dll.

Organ yang
Diperlksa

Jenis Radiodiagnosis

Laring

Ro tengkorak, CT, Ventrikulografi,


Angiografi
Ro tulang vertebrae, Mielografi
Ro Tengkorak, Water, CT
Ro Tengkorak. Water, CT
Ro Tengkorak (lateral, basis),
Water. CT, MRI, Bone scan. Ro
toraks
Laringografi, CT

Tiroid

USG, Scan 113' uptake

Paru

Ro toraks (PA, lateral), CT,


bronkografi, PET Scan
Ro toraks, CT
Mammografi, USG, Ro toraks,
bone scan, CT

Otak
Mielum
Sinus Maksilaris
Mulut
Nasofaring

Mediastinum
Payudara
Esofagus
Lambung, Duodenum
Kolon. Rekto-sigmoid
Hepar

UGI, CT
UGI. CT
colon in loop, CT. Ro toraks.
USG, CT

Pankreas

USG, CT. MRI

Ginjal

IVP, CT, Angiografi

Vesika Urinaria

USG, Kistografi

Prostat

USG. Kistografi. CT

Uterus, Ovari-um,
Sewiks
Jaringan lunak

USG. CT abdomen. Ro toraks

Pembuluh darah
Pembuluh limfe
Kelenjar limfe
Tulang
Otot

Angiografi, MRI
Limfografi
Limfografi. USG, CT
Ro tulang, Scintigrafi ,CT
CT, MRI

Ro polos, CT, MRI

Keterangan:
CT = Computerized tomography
UGI = Upper Gastro Intestinal
MRI = Magnetic Resonance Imaging
IVP = lntra Venous Pyelography
USG = Ultrasonography
PET = Positron Emission Tomography
Ro = Rontgen

USG (Ultrasonografi), yaitu pemeriksaan dengan


menggunakan gelombang suara. Contoh: USG
abdomen, USG urologi, mammosografi, dll.
CT-scan (Computerized Tomography Scanning).
Contoh: Scan kepala, thoraks, abdomen, whole body
scan, dll.
MRI (Magnetic Resonance Imaging;). Merupakan alat
scanning yang masih tergolong baru dan pada
umumnya hanya berada di Rumah sakit besar. Alat ini
menggunakan magnet inti sel, terutama ion hidrogen.
Hasilnya dikatakan lebih baik dari CT.
Sintigrafi atau sidikan Radioisotop.Alat ini merupakan
salah satu alat scannning dengan menggunakan isotop
radioaktif, seperti: I~dium'~',
Technetium 99, dll. Contoh:
scinfigrafi tiroid, tulang, otak, dll.
RIA (RadioImmuno Assay), untuk mengetahui petanda
tumor (tumor marker).

Penanda Tumor (Tumor Marker)


Penanda tumor (PT) atau tumor marker ialah molekul protein berupa enzim, hormon, dl1 yang dalam keadaan normal tidak atau sedikit sekali diproduksi oleh sel tubuh. PT
merupakan salah satu penunjang pemeriksaan kanker
tertentu, baik untuk skrining, menegakkan diagnosis,
prognosis, pemantauan hasil pengobatan dan juga deteksi
kekambuhan. Untuk tujuan skrining, diagnosis, maupun
untuk menilai hasil pengobatan, maka harus dipilih
penanda tumor yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas
yang tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa hingga saat ini
belum ditemukan PT tunggal yang memiliki sensitifitas dan
spesifisitasyang tinggi. Pemeriksaan kombinasi PT berupa
panel pemeriksaan tertentu, untuk jenis tumor tertentu,
dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
diagnostik (Tabel 3).
Pada umumnya pemeriksaan penanda tumor pertama I
awal dilakukan sebelum terapi untuk menunjang diagnosis dan atau untuk memperoleh data awal kadar PT yang
diperlukan untuk pemantauan berikutnya. Secara umum
jadwal pemeriksaan PT berikutnya dalam rangka
pemantauan atau deteksi kekambuhan adalah: (1). Antara
2-10 hari setelah tindakan, (2). Setiap 3 bulan selama 1-2
tahun pertama, (3). Setiap 6 bulan pada tahun ke 3-5, (4).
Bila secara klinis ada dugaan residif atau metastasis, (5).
Bila ada peningkatan kadar PT, pemeriksaan diulang k 4
minggu kemudian. Dalam ha1 pemantauan, interpretasi hasil
pemeriksaan tidak didasarkan pada hasil satu kali
pengukuran tetapi pada trend peningkatan atau penurunan
kadar PT tersebut.

PENTAHAPAN TUMOR PADAT


Pentahapan tumor padat ialah penentuan stadium dari
tumor padat, meliputi penentuan letak topografi tumor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1410

ONKOLOGl MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kanker
Payudara
Ovariurn
Testis
Kolorektal
Prostat
Paru
Tiroid
Koriokarsinorna
Neuroblastoma
Hati
Pankreas
Lambung
Nasofaring
Esofagus
Serviks

Skrining

Diagnosis

Prognosis

ER. PR, HER-2


CA 125, CA 72-4
AFP, P-HCG, LDH
PSA

AFP
IgA anti EBV-VCA & EA

PSA
NSE, SCC, Cyfra 21-1
Kalsitonin, Tiroglobulin
p-HCG
NSE, VMA, Katekolamin
AFP, PlVKA II
CA 19-9, CEA
CA 72-4, CA 19-9
IgA anti EBV-VCA
CEA, SCC

AFP, p-HCG, LDH


CEA
PSA

CA 15-3, CEA, MCA, CA 27. 29


CEA, Ca 125
AFP, P-HCG, LDH
CEA, CA 19-9
PSA
NSE, Cyfra 21-1, CEA
Kalsitonin, Tiroglobulin

CA 19-9

NSE
AFP
CA 19-9
CA 72-4, CEA
IgA anti EBV-VCA

HPV Typing

primer, ekstensinya ke organ sekitar, dan ada tidaknya


metastasenya ke organ lain. Mengetahui stadium tumor
padat sangat penting artinya untuk menentukan tindakan
terapi apa yang akan diberikan dan juga prognosis
penyakit. Beberapa cara menentukan stadium dari tumor
padat, antara lain berdasarkan: (1). Letak topografi tumor
beserta ekstensi dan metastasenya dalam organ, (2). Sistem
TNM, (3). Pentahapan menurut AJCC (American Joint
Committee on Cancer), dan (4). Berdasarkan kesepakatan
para ahli (konvensi).

Stadium Tumor Padat Berdasarkan Letak


Topografi, Ekstensi, dan Metastasenya Dalam Organ
Stadium lokal: pertumbuhannya masih terbatas pada
organ semula tempatnya tumbuh.
Karsinoma in situ: pertumbuhannya masih terbatas
intra epitelial, intraduktal, intra lobuler. Istilah ini hanya
dikenal pada tumor ganas epitelial.
Infiltrasi lokal atau invasif: Tumor padat telah tumbuh
melewati jaringan epitel, duktus, atau lobulus, tetapi
masih dalam organ yang bersangkutan (pengertian
patologi: telah melewati stratum papilare atau membrana
basalis) atau telah menginfiltrasi jaringan sekitarnya
(pengertian klinis: sudah ada perlekatan dengan organ
sekitarnya).
Stadium metastase regional: Tumor padat telah
metastase ke kelenjar limfe yang berdekatan (kelenjar
limfe regional)
S t a d i u m m e t a s t a s e j a u h : Tumor padat telah
metastase pada organ yang letaknya jauh dari tumor
primer.
Secara klinis kadang-kadang dipakai dua istilah di
atas sekaligus untuk menyebutkan stadium tumor padat
yaitu S t a d i u m lokoregional, oleh karena pada
kenyataannya sering ditemukan stadium lokal dan
regional secara bersamaan pada waktu dilakukan
pemeriksaan klinis.

Pernantauan Tx, Deteksi


kekarnbuhan

SCC

Sistem TNM (Stadium TNM)


Sistem ini pertamakali diperkenalkan oleh seorang sarjana
Perancis Piere de Noix, kemudian dipergunakan dan
disempurnakan oleh UICC (Union Internationale Contre
le Cancere), dan sejak 1958 sistem ini dipergunakan secara
luas di berbagai belahan dunia.
Sistem TNM ini berdasarkan 3 kategori, yaitu: T
(Tumor primer), N (Nodul regional, metastase ke kelenjar
limfe regional), dan M (Metastase jauh). Masing-masing
kategori tersebut dibagi lagi menjadi subkategori untuk
melukiskan keadaan masing-masing kategori dengan cara
memberi indeks angka dan huruf dibelakang T, N, dan M,
yaitu:
T = Tumor Primer
- Indeks angka: Tx, Tis, TO, T1, T2, T3, dan T4.
- Indeks huruf: T 1a, T 1b, T 1c, T2a, T2b, T3b, dst
N = Nodul, metastase ke kelenjar regional.
- Indeks angka: NO, N1, N2, danN3.
- Indeks huruf: Nla, N l b, N2a, N2b, dst
M = Metastase organ jauh
- Indeks angka: MO, M1
- Indeks huruf: Mx
Tiap-tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti klinis
sendiri-sendiri untuk tiap jenis atau tipe tumor padat. Jadi
arti indeks untuk karsinoma payudara tidak sama dengan
karsinoma nasofaring, dsb. Pada umumnya arti sistem TNM
tersebut adalah sebagai berikut:
Kategori T = Tumor Primer.
- Tx = Syarat minimal menentukan indeks T tidak
terpenuhi.
- Tis = Tumor in situ
- TO = Tidak ditemukan adanya tumor primer
- T1= Tumor dengan f maksimal < 2 cm
- T2 = Tumor dengan f maksimal2-5 cm
- T3 = Tumor dengan f maksimal>5 cm
- T4 = Tumor invasi keluar organ.
Kategori N = Nodul, metastase ke kelenjar regional.
- NO = Nodul regional negatif

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1411

PENDEKATAN DIAGNOSTIK TUMOR PADAT

- N1

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Nodul regional positif, mobil (belum ada


perlekatan)
- N2 = Nodul regional positif, sudah ada perlekatan
- N3 = Nodus jukstaregional atau bilateral.
Kategori M = Metastase organ jauh
- MO = Tidak ada metastase organ jauh
- MI = Ada metastase organ jauh
- Mx = Syarat minimal menentukan indeks M tidak
terpenuhi.
=

Pentahapan Menurut AJCC (American Joint


Committee on Cancer)
Setelah sistem TNM diperkenalkan dan dipakai secara luas
pada tahun 1958, kelompok para ahli yang menangani
kanker di USA, pada tahun 1959juga mengemukakan suatu
skema pentahapan kanker yang merupakan penjabaran
lebih lanjut dari sistem TNM. Kelompok para ahli tersebut
semula bernama: The American Joint Committe for
Cancer Staging and End Results Reporting (disingkat:
AJC). AJC tersebut kemudian berubah nama pada tahun
1980 menjadi American Joint Committee on Cancer
(disingkat AJCC). Tujuan pembuatan skema staging kanker
tersebut adalah agar lebih praktis dan lebih mudah
pemakaiannya di klinik. Buku manual stadium kanker
(Manuulfor StagingofCancer) edisi satu hasil kerja AJCC
dipublikasikan pertama kali pada tahun 1977 dan diperbarui
setiap beberapa tahun, sehingga pada tahun 2002 sudah
dikeluarkan edisi 6 yang sampai saat ini dipakai secara
luas.
Staging menurut AJCC ini pertama harus menentukan
T,N,M dari tumor padat tersebut sesuai ketentuan yang
ada, dan selanjutnya dikelompokkan dalam stadium
tertentu yang dinyatakan dalam angka Romawi (I-IV) dan
angka Arab (khusus untuk stadium 0). Lebih mudahnya,
sebagai contoh dapat dilihat staging kanker payudara
menurut AJCC pada Tabel 4.

Stadium
Stadium 0
Stadium I
Stadium IIA

Stadium llB
Stadium lllA

Stadium lllB

Stadium lllC
Stadium IV

Pentahapan Berdasarkan Kesepakatan Para


Ahli (Konvensi)
Beberapa jenis tumor padat stagingnya didasarkan pada
kesepakatan para ahli dibidangnya masing-masing.
Beberapa contohnya antara lain:
Stadium Dukes, untuk karsinoma kolorektal
Stadium Ann Arbor, untuk limfoma maligna
Stadium FIGO, untuk karsinoma sewiks dan tumor
ginekologi
Stadium Jewett, untuk karsinoma bladder (kantung
kencing)
American staging for prostate cancer, untuk kanker
prostat
Staging melanoma maligna menurut Clark, dan Breslow,
dll.

TATA CARA PENULISAN DIAGNOSIS TUMOR


PADAT
Setelah semua pemeriksaan yang diperlukan untuk
diagnosis telah lengkap, maka selanjutnya penegakkan
diagnosis tumor padat hendaknya ditulis selengkaplengkapnya, meliputi: (I). Organ asal tumor padat
(origin-nya), (2). Histopatologi, dan (3). Stadiumnya.
Tumor primer pada umumnya diberi nama berdasarkan
nama organ atau jaringan tempat tumor padat tersebut
pertama kali tumbuh. Namun ada beberapa tumor padat
diberi nama berdasarkan nama sarjana yang pertamakali
menemukan atau melaporkan jenis tumor tersebut
(eponim), antara lain: Limfoma Burkitt, Limfoma Hodgkin
(keduanya merupakan keganasan kelenjar limfe), Tumor
Wilm (nefroblastoma, keganasan pada ginjal), Tumor
Brenner (tumor ovarium, dapat ganas atau jinak), Sarkoma
Ewing (tumor ganas tulang), dll.
Selain itu sebaiknya juga disebutkan status penampilan
pasien (performance status) saat diagnosis ditegakkan,
untuk tujuan persyaratan sebelum dilakukan tindakan
terapi dan sekaligus untuk evaluasi perkembangan keadaan
umum pasien selama dan sesudah terapi diberikan.
A

Deskripsi TNM
Tis
TI
TO
TI
T2
T2
T3
TO
TI
T3
T3
T4
T4
T4
Sembarang T
Sembarang T

NO
MO
NO
MO
N1
MO
N1
MO
NO
MO
N1
MO
NO
MO
N2
MO
N2
MO
N1
MO
N2
MO
NO
MO
N1
MO
N2
MO
N3
MO
Sembarang N M I

STATUS PENAMPILAN PASIEN


Status penampilan pasien juga perlu ditetapkan sejak
diagnosis tumor padat ditegakkan. Hal ini sangat berguna
untuk menilai base line status penampilan pasien sejak
diagnosis ditegakkan dan perubahannya selama
pengobatan, maupun selesai pengobatannya. Pada
umumnya status penampilan pasien ditampilkan dalam
bentuk skala tertentu. Beberapa diantaranya yang sering
dipakai adalah Skala Karnofsky, Skala Zubrod (ECOG =
Eastern Cooperative Oncology Group) seperti teilihat
dalam Tabel 5,6, dan 7.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Skala

Deskripsi
Tidak tarnpak sakit
Aktivitas normal dengan sedikit tanda-tanda penyakit
Aktivitas normal dengan upaya; tanda-tanda penyakit
Tidak dapat beraktivitas normal tapi rnarnpu
rnengurus diri sendiri
Kadang-kadang rnernbutuhkan bantuan
Mernerlukan bantuan cukup banyak
Sering rnemerlukan bantuan
Tidak dapat bergerak sendiri; butuh perawatan
khusus
Sangat 1ernah;dapat rnernerlukan perawatan rurnah
sakit
Sakit berat, rnernbutuhkan perawatan rumah sakit

Skala
0
1

3
4

Deskripsi
Asirnptornatik; aktivitas normal
Sirnptornatik tetapi arnbulatori penuh
Sirnptornatik; di ternpat tidur ~ 5 0 %
waktunya '
Sirnptornatik; di ternpat tidur >50% waktunya; tapi
tidak irnobilisasi
100% irnobilisasi

Skala Zubrod

Skala Karnofsky

0
1
2

100 %
85 %
65 %
40 %
15 %

3
4

Ampi R. Penanda tumor: prinsip umum dan aplikasi klinis. Informasi


Laboratorium. 2005;2:3-5.
AJCC staging systems [on line]. Available at: http://www.training.seer.

cancer.gov/moduIe~staging~cancer/unitO3~secO3~
part00-ajcc.html. Akses: tanggal 21 Nopember 2005.
Bakornas HOMPEDIN. Kanker payudara. Panduan tata laksana
kanker tumor padat dalam ha1 kemoterapi. Jakarta; 2005. p. 422.
Bresalier RS. Malignant & premalignant lesions o f the colon. In:
Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current diagnosis & treatment i n gastro-enterology. 2nd edition. Boston:
McGrawHill; 1996. p. 422-8.
Jardine L, Haffty BG, Doroshow JH, et al. Breast cancer overview
risk factors, screening, genetic testing, and prevention. In: Pazdur
RP, Coia LR, et al, editors. Cancer management: a
multidisiplinary approach medical, surgical, and radiation
oncology. 8th edition. New York: United Business Media; 2004.
p. 165-88.
Skeel RT. Systemic assessment o f the patient with cancer and
long-term medical complications o f treatment. In: Skeel RT,
editor. Handbook o f cancer chemotherapy. 6th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 26-9.
Sukardja IDG. Onkologi klinik. 2nd edition. Surabaya: Airlangga
University Press; 2000. p.133-208.
Sturgeon C. Practice guidelines for tumor markers in the clinic.
Clinical Chemistry. 2000;48: 1 1 5 1-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ASPEK SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER


Bambang Karsono

PENDAHULUAN
Kanker adalah penyakit di mana sel-sel ganas "beranakpinak" berupa keturunan yang bersifat ganas pula.
Pewarisan bakat ganas ini, atau yang biasa disebut dengan
istilah fenotip, memberi petunjuk kuat pada kita bahwa
kelainan mendasar sifat ganas ini berada pada gen sel
kanker tersebut. Pelbagai kajian petanda genetik, seperti
translokasi 9;22 yang menghasilkan kromosom
Philadelphia pada leukemia granulositik/mieloid kronik,
menunjukan bahwa sel-sel kanker ini berasal dari satu sel
yang kemudian membentuk satu kelompok sel yang
homogen, yang disebut sebagai klon (clone).
Di samping sifat ganas yang berasal dari translokasi
kromosom, sifat ganas juga dapat berasal dari gen yang
secara normal terdapat di dalam sel. Gen-gen semacam ini
disebut sebagai proto-onkogen, yang kemudian oleh
karena mutasi somatik berubah menjadi onkogen. Onkogen
inilah yang kemudian mengubah perangai sel dari normal
menjadi sel kanker. Contoh dari proto-onkogen ini adalah
H-ras (rat sarcoma- associated sequence, Harvey) yang
pertama kali ditemukan pada gen virus penyebab sarkoma
pada tikus oleh Harvey.
Proses onkogenesis juga dapat terjadi oleh virus
melalui beberapa cara, tergantung jenis virusnya,
transforming retroviruses, nontransforming retroviruses
dan virus DNA. Transforming retroviruses menginsersi
provirus pada sisi hulu suatu proto-onkogen sel pejamu.
Dalam proses replikasi virus berikutnya terjadi
penggabungan proto-onkogen sel pejamu ke dalam genom
virus. Selanjutnya ekspresi proto-onkogen dikendalikan
sepenuhnya oleh virus yang infeksinya bersifat menetap
ini. Mekanisme onkogenesis non-transforming
retroviruses terjadi oleh karena virus-virus dalam kelompok
ini menginsersi provirus berdekatan dengan protoonkogen sel pejamu dan provirus ini berperan sebagai

promoter atau enhancer yang kuat. Sebagaimana kita


ketahui bersamapromoter dan enhancer berperan penting
dalam proses transkripsi suatu gen. Onkogen pada virus
DNA memang berasal dari virus itu sendiri, onkogen pada
virus ini memang dibutuhkan secara hakiki oleh virus ini
untuk replikasi dan mentransformasisel pejamu. Virus DNA
menghasilkan protein-protein yang dapat memaksa sel
pejamu memasuki fase S siklus sel.

BlOLOGl SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER


Menurut Hanahan dan Weinberg terdapat enam perubahan
fisiologik mendasar yang secara bersama-sama
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sel-sel ganas,
perubahan-perubahan sebagai berikut:
Mandiri dalam ha1 sinyal-sinyal pertumbuhan
Tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal penghambat
pertumbuhan (anti pertumbuhan)
Mampu menghindar dari apoptosis (programmed cell
death)
Berkemampuan replikasi yang tak terbatas
Kemampuan angiogenesis yang berkesinambungan
Mampu menyusup ke jaringan lain dan bermetastasis
Setiap perubahan fisiologik di atas tidak terdapat pada
sel-sel asal sel-sel ganas dan didapat selama perubahan
bertahap dari sel-sel normal menjadi sel-sel ganas.

M A N D l R l D A L A M H A L SINYAL-SINYAL
PERTUMBUHAN
Murphy dan Adrian mengkultur galur sel kanker pankreas
dalam media tanpa serum. Mereka mendapatkan bahwa
tingkat proliferasi sel lebih tinggi bila media tidak sering
diganti dibandingkan bila media sering diganti atau dikultur

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

bersama-sama dengan penghambat tyrosine kinase


reseptor EGF(epiderrna1 growth factor) atau penghambat
MEK (MAPKIERK kinase). Selain itu aktivitas ERK
(extracelular regulatedprotein kinase) 1 dan 2 dan kadar
mRNA dari c-jun dan c-fos meningkat bermakna bila dikultur
berkesinambungan dalam media bebas serum.
Serum pada media kultur sel binatang, termasuk sel
manusia tertentu, berfungsi sebagai penyedia pelbagai
senyawa polipeptida faktor pertumbuhan. Faktor-faktor
pertumbuhan ini berperan sebagai pengatur, yang tak
tergantikan, pertumbuhan dan diferensiasi sel dan sebagai
sarana komunikasi antar sel.
Mitogen activated protein kinase (MAPK) adalah
sekelompok protein yang diaktifkan oleh berbagai
rangsang ekstraselular dan berfungsi menyampaikan
sinyal rangsang tersebut ke inti sel. Salah satu keluarga
dari MAPK ini adalah extracelular regulated protein
kinase (ERK) 1 dan 2+, kedua protein ini diaktifkan secara
kuat oleh EGF dan PDGF (platelet derivedgrowth factor)
melaluijalur R a s K a f M P K . Kelompok protein kedua pada
MAPK adalah kelompok yang salah satu anggotanya
c-Jun-N-terminal Kinase (JNK), protein ini suatu enzim
yang mampu mengaktifkan AP- 1 (activator protein- I)
yaitu suatu faktor transkripsi. Sinyal yang diterima reseptor
akan diteruskan ke inti sel melalaui kaskade Ras+Erkl/
2+ c-Fos atau Rac+ JNK+ c-Jun dan selanjutnya
heterodimer c-Junlc-Fos bertindak sebagai faktor
transkripsi. Faktor transkripsi AP-1 sebenarnya suatu
kelompok protein yang terdiri atas 2 keluarga yaitu
keluarga c J u n yang terdiri atas c-Jun, JunB dan JunD.
Sedangkan keluarga yang lain adalah c-Fos yang terdiri
dari c-Fos, FosB, Fra-1 dan Fra-2. Stimulasi EGF akan
menyebabkan transkripsi gen c-fos. MAPK juga dapat
mengakibatkan transkripsi gen c-jun.
Dengan demikian Murphy dan Adrian membuktikan
bahwa galur sel kanker pankreas dapat hidup dan tumbuh
dalam media kultur tanpa dukungan faktor pertumbuhan
dari serum. Faktor pertumbuhan yang berperan di sini EGF
karena dapat dihambat oleh penghambat tyrosine kinase
EGF. Kemudian sinyal EGF ini melalui jalur Ras+
MAPKjAp-I .sampai ke inti sel, oleh karena terdapat
peningkatan kadar ERKl dan ERK2 di samping peningkatan
kadar mRNA c-jun dan c-fos. Kesimpulan galur sel kanker
pankreas dapat memsintesis sendiri EGF yang
dibutuhkannya.
Secara in vivo ketidaktergantungan sel kanker terhadap
faktor pertumbuhan dari sel lain dapat dilihat pada mieloma
multipel (MM). Interleukin-6 (11-6) merupakan faktor
pertumbuhan utama yang terlibat dalam kelangsungan
hidup sel-sel MM manusia. Namun demikian temyata
dapat dibuat galur sel mieloma manusia (human myeloma
cell line = HMCL) dari setiap pasien MM tahap akhir dan
galur sel ini tidak membutuhkan 11-6 untuk kelangsungan
hidupnya, dengan perkataan lain sel-sel mieloma pada
pasien MM tahap akhir dapat membuat sendiri 11-6 untuk

kelangsungan hidupnya". Frassanito dan kawan-kawan


meneliti sel mieloma denganflow cytometvy, sel mieloma
didefinisikan sebagai sel mononuklear sumsum tulang yang
positif untuk CD38 dan positif untuk syndecan-1 (CD138).
Ternyata pada sel-sel CD38+ dan syndecan-l+ ini
ditemukan 11-6 intrasitoplasmik. Gejala ini membuktikan
bahwa sel-sel mieloma menghasilkan sendiri 11-6 atau biasa
disebut gejala autokrin.

TlDAK SENSITIF TERHADAP SINYAL-SINYAL


PENGHAMBAT PERTUMBUHAN

Sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan bekerja melalui


siklus sel, oleh karena pada siklus sel inilah sel diatur kapan
berproliferasi, berdiferensiasi atau masuk ke fase diam
(quiescent atau Go).
Siklus sel adalah suatu proses yang tertata amat teratur
untuk menggandakan dan menebarkan informasi genetik
dari satu generasi sel ke generasi yang berikutnya. Selama
proses ini berjalan, DNA hams digandakan secara tepat
dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah
pada kedua sel anak yang terbentuk. Siklus sel dapat
dibedakan menjadi beberapa tahap yang terpisah jelas
yaitu:
GI (gap 1) suatu interval atau celah antara mitosis (fase
M) dan sintesis DNA (fase S). Selama fase G, ini sel
dapat mengalami stimulasi dari berbagai mitogen dan
faktor pertumbuhan (growth factor) ekstraselular
Selanjutnya sel memasuki fase S, pada fase ini DNA
digandakan dengan cara membuat salinan
komplemennya (complementary copy)
G, (gap 2) adalah interval atau celah antara
penyempumaan sintesis DNA (fase S) dan mitosis (fase
M)
Fase M ditandai dengan
- Pembentukan benang-benang mitotik yang terpisah
pada kedua kutub sel
- Pemisahan khromatid menjadi dua bagian yang
sama persis dalam kualitas dan kuantitas (two sister chromatids)
- Pembelahan sel
Dalam pengaturan proliferasi sel tahap G,/S memegang
peranan terpenting. Pada lebih kurang sepertiga akhir fase
G , terdapat suatu periode yang disebut restriction point.
Restriction point sebenamya hanya merupakan salah satu
dari pos pemeriksaan (checkpoint) yang terdapat dalam
siklus sel. Peraturan siklus sel menetapkan bahwa hams
dapat dipastikan semua langkah dalam setiap fase sudah
benar-benar sempurna selesai pada waktu memasuki fase
berikutnya. Untuk itu beberapa pos pemeriksaan (checkpoint) pemantau keutuhan DNA ditempatkan secara
strategis di akhir fase G, dan pada ambang peralihan fase
G,/M guna mencegah gerak maju atau perambatan siklus

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ASPEK SELULAR DAN MOLEKULAR KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pada sel yang mengalami mutasi atau kerusakan. Restriction
point ini dikawal oleh protein RJ3 (pRB, retinoblastoma),
pRB bertindak memantau keutuhan DNA. Dalam keadaan
tidak terfosforilasi pRB mengikat protein lain yaitu E2F.
E2F adalah suatu faktor transkripsi. Bila DNA dalam
keadaan utuh maka terjadi fosforilasi pRB oleh CDK4lCDK6
(cyclin dependent kinase), akibat fosforilasi pRB, maka
pRB tidak dapat lagi mengikat E2F. E2F yang terlepas akan
menyebabkan transkripsi beberapa gen termasuk di
antaranya gen untuk cyclin E, cyclin E ini dibutuhkan sel
untuk menembus restriction point. Beberapa protein dapat
menghambat fosforilasi pRB, protein-protein itu antara lain
p53, p16'NK4a,
plgARFdan p2 1. p53 bekerja mengaktifkan
p2 1 dan pada gilirannya p2 1 menghambat CDK416. p 19AK'
bekerja dengan cara menginaktivasi MDM2, inaktif MDM2
tidak dapat menghambat p53 sehingga p53 dapat
mengaktifkan p2 1. p 16INK"bekerja langsung menginaktivasi
CDK416 sehingga tidak dapat memfosforilasi pRB. Apabila
terjadi kerusakan DNA maka siklus sel akan dihambat
terutama di GI,bila kerusakan DNA tak mungkin diperbaiki
maka sel akan melakukan apoptosis.
Kerusakan DNA akan mengaktifkan ATM (ataxiatelangiectasia mutated), suatu phosphoinositide-3-kinase
yang dapat memfosforilasi asam amino serine pada p53,
sehingga terjadi aktifasi p53. Ke hilir aktifasi p53 ini
menghambat fosforilasi pRB sehingga E2F tetap terikat
pada pRB yang berarti siklus sel ditahan pada fase G,.
Aktivasi ATM akibat kerusakan DNA juga dapat
mengaktifkan protein yang disebut HuCdsl. Pada
gilirannya aktifasi HuCds 1 akan menghambat CDKl ,protein yang mendorong siklus sel dari G, ke M, sehingga
siklus sel ditahan pada fase G, dan itu berarti mitosis
dihambat.
Sinyal-sinyal yang berasal dari TGF-P (transforming
growth factor P) mengendalikan berbagai proses selular
seperti proliferasi, identifikasi, differensiasi, apoptosis dan
pembentukan dalam embriogenesis. Umumnya sinyalsinyal dari TGF-P ini mempunyai efek negatif terhadap
pertumbuhan sel, oleh karena itulah tidak mengherankan
bila inaktifasi jalur sinyal TGF-P berperan dalam tumor
genesis. Ikatan TGF-P sebagai ligand terhadap reseptornya
akan mengakibatkan hetero-dimerisasi reseptor TGF-P.
Selanjutnya reseptor ini akan memfosforilasi Smad4, Smad4
terfosfosforilasi akan membentuk dimer dengan Smad4
inaktif dan tertranslokasi ke inti sel. Di dalam inti sel dimer
Smad4 akan bekerja menghambat ekspresi c-myc dan
meningkatkan ekspresi protein-protein inhibitor siklus sel
baik dari keluarga INK maupun dari keluarga KIP.
TGF-P mampu menghambat proliferasi sel-sel epitel,
endotel, hematopoietik dan beberapa jeins sel-sel
mesenkhim. Hambatan proliferasi ini dapat langsung yaitu
terhadap CDK fase GI, yaitu CDK416 dan juga CDK2.
Hambatan terhadap CDK416 terjadi melalui pengaktifan
penghambat CDK baik dari keluarga INK4 (inhibitor CDK4
yang terdiri dari p15, p16, p18 dan p19) maupun dari

keluarga KIP (kinase inhibitory protein yang terdiri dari


p2 I , p27 dan p57). Ke hilir hambatan terhadap CDK416
berarti menghambat fosforilasi pRB, lanjut ke hilir lagi
berarti tidak mampu melepaskan E2F yang diperlukan untuk
mentranskripsi gen-gen yang dibutuhkan untuk menembus
restriction point. Hambatan secara tidak langsung berupa
mengurangi fungsi gen c-myc, yaitu dengan cara
menghambat transkripsinya, padahal protein c-Myc (hasil
dari gen c-myc) berperan menghambat p 15INKh.
p 151NKh
ini
sendiri berhngsi menghambat aktifasi CDK416 yang berarti
menghambat laju siklus sel di fase G,. Jadi stimulasi TGFp akan mengakibatkan peningkatan kadar p 1SNKh
sehingga
aktivitas CDK416 berkurang yang berarti pRB tidak
terfosforilasi dan ke hilir ini berarti restriction point G I
tidak dapat ditembus. Sinyal-sinyal dari TGF-P juga
berperan dalam gerak maju siklus sel dari G, ke M.
Peranan TGF-P pada pertumbuhan kankir dapat dilihat
pada pengaruh ekspresi reseptor TGF-P pada patogenesis
KSS atau SCC (karsinoma sel skuamosa atau squamous
cell carcinoma) leher dan kepala. Tingkat diferensiasi KSS
dan kecenderungan infiltrasi KSS ternyata dipengaruhi
oleh tingkat ekspresi reseptor TGF-P Makin buruk tingkat
diferensiasi dan makin cenderung untuk berinfiltrasi maka
makin sedikit pula ekspresi reseptor TGF-P dipermukaan
sel.
Pada kanker buli-buli berkurangnya ekspresi gen TGFDl berkaitan erat dengan derajat keganasan tinggi kanker
buli-buli dan tingkat penyakit lanjut. Sedangkan kehilangan
ekspresi reseptor TGF-P berdampak pada derajat penyakit
(grade) yang lebih tinggi, tingkat penyakit (stage) yang
lebih tinggi, metastasis kelenjar getah bening, progresi
penyakit dan tingkat kelanjutan hidup yang lebih rendah.

MAMPU MENGHINDAR DARl APOPTOSIS


Berbagai sinyal kematian fisiologik, sebagaimana juga
berbagai cedera sel yang patologik, dapat memicu proses
apoptosis yang terprogram secara genetik. Sedangkan
wujud pelaksanaan sinyal kematian ini ke hilir terbagi
menjadi 2 jalur utama yaitu jalur Caspase dan jalur
kerusakan organel selular, dan organel selular yang paling
banyak diketahui dalam kaitan dengan apoptosis ini adalah
mitokondria. Oleh karena anggota keluarga protein Bcl-2
berada pada posisi hulu dalam peristiwa kerusakan sel
yang irreversibel dan oleh karena sebagian besar
peranannya dalam peristiwa tersebut terpusat pada
mitokondria, maka anggota keluarga protein Bcl-2 ini
berperan menentukan dalam membuat keputusan apakah
suatu sel akan mati atau tetap terus hidup.
Proto-onkogen bcl-2 semula ditemukan pada limfoma
sel B (B cell lymphoma) dengan t(14; 18).Anggota keluarga
protein Bcl-2 ini ternyata ada yang bersifat pro-apoptotik
seperti Bax, Bak dan Bcl-X,, dan sebaliknya ada pula yang
bersifat anti-apoptotik atau pro-survival seperti Bcl-2 dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Bcl-X,. Protein keluarga Bcl-2 ini mempunyai 4 buah


domain pada setiap anggotanya, keempat domain itu BH I
(Bcl-2 homology),BH2, BH3 dan BH4. Setiap anggota
keluarga Bcl-2 anti-apoptotik selalu mempunyai domain
BH4 sebaliknya anggota keluarga Bcl-2 pro-apoptotik
justru tak mempunyai domain BH4 ini. Domain BH3 diyakini
berperan penting sebagai domain kematian pada anggota
keluarga pro-apoptotik. Anggapan ini dibenarkan oleh
ditemukannya anggota keluarga protein Bcl-2 yang hanya
memiliki domain BH3 saja seperti Bad dan Bid yang
keduanya temyata bersifat pro-apoptotik. Semua anggota
keluarga protein ini mampu berdimerisasi baik homo maupun
heterodimer sehingga diyakini bahwa proses dimerisasi ini
akan dapat mengakibatkan netralisasi efek masing-masing.
Terbukti memang rasio antara pro-apoptotik dan
anti-apoptotik dapat menentukan apakah akan terjadi
apoptosis atau tidak. Anggota keluarga protein Bcl-2 antiapoptotik terdapat sebagai bagian yang terpisahkan (bagian
integral) dari membran mitochondria, sedangkan anggota
keluarga pro-apoptotik terdapat di dalam sitosol atau
sitoskelet.
Sinyal kematian mengakibatkan Bax atau Bak
(pro-apoptotik) berubah bentuk stereometriknya sehingga
memaparkan amino terminusnya dan melepaskan sebagian
dari asam-asam amino pada sisi amino terminus ini.
Perubahan ini mengakibatkan Bax atau Bak dapat
bergabung dengan membran mitokondria dan menjadi
bagian integralnya serta dapat mengalami dimerisasi. Rasio
antara Bax, Bak dan Bcl-Xs (pro-apoptotik), yang telah
terintegrasi di membran mitochondria, di satu sisi dengan
Bcl-2 dan Bcl-X, (anti-apoptotik), yang memang bagian
integral membran mitokondria, di sisi lain inilah yang &an
menentukan nasib suatu sel untuk mengalami apoptosis
atau tidak.

REFERENSI
Butel JS. Viral carcinogenesis: revelation of molecular mechanism
and etiology of human disease. Carcinogenesis; 2000;21: 405 426
Banin S. Moyal L, Shieh S-Y, Taya Y, Anderson CW, Chessa L.
Smorodinsky NI. Prives C, Reiss Y, Shiloh Y, Ziv Y. Enhanced
phosphorylation of p53 by ATM in response to DNA damage.
Science, 1998; 281 : 1674-77
Brown AL, Lee C-H, Schwarz JK, Mitiku N, Piwnica-Worms H,
Chung JH. A human Cds-l related kinase that function downstream of ATM protein in cellular response to DNA damage.
Proc Natl Acad Sci, 1999; 96: 3745-50
Bryan RT, Hussain SA, James ND, Jankowski JA, Wallace DMA.
Molecular pathway in bladder cancer: partl. Brit J Urol Intern,
2005; 95: 485-90.

Cooper GM, Hausman RE. Growth of animal cells in culture. In: The
cell. A molecular approach. 3rd edition. Washington, ASM
Press;2004.p.29-33
Canman CE, Lim D-S, Cimprich KA, Taya Y, Tamai K, Sakaguchi
K, Appella E, Kastan MB, Siliciano JD. Activation of the ATM
kinase by ionizing radiation and phosphorylation of p53. Science, 1998; 281: 1677-1979
De Cesare D, Jacquot S, Hanauer A, Sassoni-Corsi P. Rsk-2 activity
is necessary for epidermal growth factor-induced phosphorylation of CREB protein and transcription of c-fos gene. Proc
Natl Acad Sci; 1998, 95: 12202-7
Donovan J, Slingerland J. Transforming growth factor-ll and breast
cancer . Cell cycle arrest by transforming growth factor-ll and
its disruption in cancer. Breast Cancer Res, 2000; 2: 116-24
Frassanito MA, Cusmai A, lodice G, Dammacco F. Autocrine
interleukin-6 production and highly malignant multiple
myeloma: relation with resistance to drug-induced apoptosis.
Blood, 2001; 97: 483-89
Gross A, McDonnell JM, Korsmeyer SJ. BCL-2 family members and
the mitochondria in apoptosis. Gen Develop; 1999, 13: 1899 191 1
Hill RP, Tannock IF. Introduction to cancer biology. In: Tannock
IF, Hill RP. The basic science of oncology. 3rd edition, 1998,
McGraw-Hill, New York: 1 - 5
Hanahan D, Weinberg RA. The hallmark of cancer. Cell; 2000, 100:
57 - 70
lsraels ED, lsraels LG. The cell cycle.Oncologist 2000; 5: 510-13
Murphy LO, Cluck MW, Lovas S, Otvos F, Murphy RF, Schally AV,
Permert J, Larsson J, Knezetic JA, Adrian TE. Pancreatic cancer cells require an EGF receptor-mediated autocrine pathway
for proliferation in serum free condition. Brit J Cancer; 2001,
84: 926 - 935.
Manson MM, Holloway KA, Howells LM, Hudson EA, Plummer
SM, Squires MS, Prigent SA. Modulation of signal-transduction
pathways by chemopreventive agents. Biochem Soc Transc;
2000, 28: 7 - 12
Murakami M, Ui M, Iba H. Fra-2-positive autoregulatory loop
triggered by mitogen-activated protein kinase (MAPK) and
Fra-2 phosphorylation sites by MAPK. Cell Growth Differ;1999,
10: 333-42.
Muro-Cacho CA, Anderson M, Cordero J, Muoos-Antonia T.
Expression of transforming growth factor I type I1 receptor in
head and neck squarnous cell carcinoma. Clin Cancer Res, 1999;
5: 1243-48
Shi Y, Massagud J. Mechanism of TGF-I signalling from cell membrane to the nucleus. Cell, 2003; 685 - 700
Warner BJ. Blain SW. Seoane J, Massagud J. Myc downregulation by
transforming growth factor I required for activation of the
pl4lNKb GI arrest pathway. Mol Cel Biol, 1999; 19: 5913-22.
Weinberger RA. Oncogenes and the molecular biology of cancer. J
Cell Biol, 1983; 97: 1661 - 1662
Zhang X-G, Gu J-J, Lu Z-L, Yasukawa K, Yancopoulos GD, Turner
K, Shoyab M, Taga T, Kishimoto T, Bataille R, Klein B. Ciliary
Neurotropic Factor, Interleukin 11, Leukemia Inhibitory Factor, and Oncostatin M are growth factors for human myeloma
cell lines using the Interleukin 6 signal transducer gp130. J Exp
Med;1994, 177: 1337-42.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIK BIOLOGI MOLEKULAR


DAN SELULAR PADA KANKER
Bambang Karsono

PENDAHULUAN
Berkembangnya kemampuan teknik pemeriksaan di bidang
biologi molekular telah mendorong perubahan yang cepat
dalam kemampuan membuat diagnosis kelainan genetik.
Di masa yang lampau kelainan genetik didiagnosis secara
deduktif dari manifestasi fenotipnya., yaitu dengan kriteria
klinis dan pemeriksaan biokimiawi. Kriteria klinis seringkali
meragukan, di samping itu kelainan genetik kadang-kadang
butuh waktu lama baru bermanifestasi. Pemeriksaan
biokimiawi juga sering membingungkan dan kadang perlu
tindakan invasif. Kriteria klinis dan uji biokimiawi jelas tak
mungkin untuk medeteksi carrier kelainan genetik dan
membuat diagnosis kelainan genetik secara antenatal.
Keterbatasan yang penting dari metoda diagnostik
molekular adalah perubahan genetik yang
melatarbelakangi penyakit keturunan seringkali amat
heterogen. Kita tahu bahwa mutasi pada gen ini dapat
berupa, delesi suatu wilayah (region) kromosom, delesi
gen, delesi exon, duplikasi rangkaian nukleotida, insersi
suatu rangkaian nukleotida dan mutasi titik (point
mutation). Apapun bentuk mutasi genetiknya yang pasti
mutasi ini menyebabkan hilangnya f h g s i gen tersebut.
Dalam taraf molekular kadang-kadang kelainan gen ini
seragam seperti misalnya pada penyakit sel bulan sabit
(sickle cell), namun dapat juga amat heterogen seperti
misalnya pada fibrosis kistik.

BEBERAPA ISTILAH BlOLOGl MOLEKULAR


Untuk dapat memahami metoda pemeriksaan biologi
molekular, maka dalarn paragraf ini akan dijelaskan beberapa
pengertian yang lazim digunakan dalarn biologi molekular.

Enzim endonuklease restriksi adalah enzim yang


dihasilkan oleh sel prokaryote yang dapat mengenali
rangkaian basa tertentu dalam DNA heliks ganda, contoh
EcoRI yang berasal dari E. coli serotipe RI dapat mengenali
rangkaian basa GAATTC dan memotong DNA heliks ganda
di antara G dan A pada rangkaian tersebut.
DNA polymerase adalah enzim yang dapat menggunakan
dan merubah deoksinukleotida-S'trifosfat menjadi
deoksinukleotida-5'monofosfat dan merangkaikannya ke
ujung terminal -OH 3' dari primer DNA.
Nukleotida adalah suatu senyawa yang terdiri dari gula,
dapat berupa ribosa pada RNA atau deoksiribosa pada
DNA, basa yang dapat berupa basa purin yaitu adenin dan
guanin dan basa pirimidin yaitu sitosin dan timin (uridin
sebagai ganti timin pada RNA) serta fosfat.
dNTP, merupakan kependekan dari deoksi nukleotida
trifosfat. Nukleotida di sini dapat berarti adenin, guanin,
sitosin atau timin. Oleh enzim DNA polimerase akan dirubah
menjadi deoksimonofosfat dan dirangkaikan menjadi
untaian DNA.
Oligonukleotida adalah segmen rantai tunggal DNA yang
seringkali berasal dari DNA synthesizer.
Primer, suatu oligonukleotida yang merupakan pasangan
komplemen dari segmen kecil DNA rantai tunggal atau
RNA. Primer digunakan dalam reaksi PCRuntuk mensintesis
kopi pasangan komplemen dari template DNA atau
template RNA.
Upstream primer adalah primer yang berpasangan dengan
segmen DNA pada ujung 5' dari template strand DNA.
Sedangkan downstream primer berpasangan dengan ujung
5' dari coding strand DNA atau jika dilihat dari template
strand, pada ujung 3 '.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Probe atau Pelacak DNA adalah potongan DNA yang
berlabel dan digunakan untuk mengidentifikasi rangkaian
urutan basa yang merupakan pasangan komplemennya di
dalam genom, kromosom atau sel.

BEBERAPA PENYAKITAKIBAT KELAINAN GEN


Mutasi titik terjadi pada kodon ke- 6 gen P globin, yaitu
adenin digantikan oleh timin, sehingga terjadi penggantian
asam amino asam glutamat oleh valin pada protein P globin.
Kelainan pada protein P globin ini berakibat pada
terbentuknya sel bulan sabit.
Penggantian basa guanin oleh adenin pada basa ke
1691 gen faktor V mengakibatkan penukaran asam amino
ke 506 pada protein faktor V dari arginin menjadi glutamin.
Protein faktor V dengan kelainan ini menjadi resisten
terhadap pemecahan oleh protein C dan protein S.
Resistensi faktor V ini secara klinis menimbulkan trombosis
vena dan emboli paru-paru.
Pada leukemia granulositik kronik dikenal kelainan yang
disebut khoromosom Ph. Pada kromosom Ph' ini
sebenamya terjadi perpindahan yang bersifat resiprokal
antara sebagian dari gen abl di kromosom 9 dan sebagian
gen bcr di kromosom 22 sehingga terbentuk gen chimera
yaitu gen BCR-ABL. Sedikitnya ada dua varian gen BCRABL ini yaitu varian yang membentuk protein p2 10 dan
varian yang membentuk protein p190.
Ketiga penyakit di atas menggambarkan 2 jenis mutasi
genetik yang berbeda ekstrim namun maknanya secara klinis
sama saja. Substitusi basa pada suatu gen tentu saja tidak
akan merubah ukuran gen tersebut, namun demikian dapat
merubah bentuk stereoskopis dari segmen DNA rantai
tunggal gen tersebut. Selain itu perubahan dalam susunan
basa menyebabkan perubahan pula pada titik potong enzim
restriksi endonuklease terhadap segmen DNA rantai tunggal
dari gen tersebut. Kedua perubahan ini dapat dimanfaatkan
untuk mendeteksinya. Pada gen BCR-ABL jelas terdapat
perbedaan ukuran gen chimera dengan gen yang asli.
Perbedaan ukuran inilah yang digunakan untuk menemukan
mutasi tersebut.
Sel-sel limfosit B dalam proses maturasinya dari
limfoblas menjadi prolimfosit dan limfosit mengalami proses
rearrangment pada gen yang membentuk imunoglobulin
baik pada heavy chain maupun pada light chain. Proses
rearrangment ini bersifat unik dalam proses maturasi
setiap sel B, sehingga susunan gen imunoglobulin ini pada
setiap sel Bpun unik. Gen imunoglobulin untuk heavy
chain berasal dari 50 gen kelompok variabel (VH gene), 30
gen kelompok diversity gene (DH gene) dan 6 gen dari
kelompok joining gene (JH gene). Oleh karena demikian
banyak gen yang mengalami rearrangment dalam gen
imunglobulin heavy chain (IgH) ini, maka wajar bila variasi
hasil rearrangment inipun sangat besar, sehingga

kemungkinan untuk 2 sel B memiliki hasil rearrangment


yang sama sangat kecil. Dengan perkataan lain IgH dapat
menjadi sidik jari bagi setiap sel limfosit B. Apabila sebuah
sel limfosit B kemudian tumbuh menjadi satu klon yang
besar, entah oleh karena keganasan atau oleh karena respon
terhadap antigen, maka dengan sendirinya setiap sel B
dalam klon tersebut mempunyai sidik jari gen IgH yang
sama. Dan oleh karena jumlahnya besar maka klon ini tentu
lebih mudah terdeteksi dibandingkan dengan sel B yang
tidak tumbuh menjadi klon. Keadaan inilah yang digunakan
untuk mendeteksi adanya pertumbuhan sel B monoklonal
secara molekular.

TEKNIK PEMERIKSAAN DALAM BlOLOGl


MOLEKULAR
Elektroforesis adalah suatu cara untuk memisahkan
molekul bermuatan listrik berdasarkan perbedaan massa
dan muatan listriknya di dalam suatu medan listrik. Makin
basar massanya maka makin lambat molekul ini bergerak,
sebaliknya makin besar muatan listriknya makin cepat
molekul ini bergerak. Agar pemisahan ini dapat terlihat
jelas maka molekul yang akan dipisahkan ini harus
diletakkan dalam suatu zona tertentu dan mulai bergerak
dari satu titik yang sama. Sebagai zona pemisahan dipakai
2 macam media yaitu gel agar atau gel poliakrilamid,
sedangkan molekul yang diperiksa dapat berupa protein
atau asam nukleat (DNA atau RNA).
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metoda
in vitro untuk mensintesis suatu rangkaian DNA spesifik
secara enzimatis dengan menggunakan sepasang primer
oligonukleotida yang berhibridisasi dengan rantai DNA
yang berhadapan dan mengapit suatu wilayah tertentu di
DNA sasaran. Teknik ini pertama kali ditemukan oleh
Mullis pada tahun 1985. PCR pada saat ini umumnya
dilakukan di blok pemanas dari thermal cycler, alat ini
berfungsi untuk merubah-rubah suhu sesuai dengan
langkah dan siklus PCR. Langkah-langkah dalam PCR
dimulai dengan denaturasi pada suhu 94C selanjutnya
langkah annealing pada suhu 55C dan terakhir ekstensi
pada suhu 72"C, ketiga langkah ini disebut satu siklus,
selanjutnya siklus ini diulang-ulang sampai 25-40 kali. Pada
langkah denaturasi DNA rantai ganda dipisahkan menjadi
rantai tunggal, selanjutnya pada langkah annealing primer
berhibridisasi dengan DNA rantai tunggal dan akhimya
pada saat ekstensi primer mengalami polimerisasi dengan
bantuan enzim DNA polimerase. DNA polimerase yang
dipakai dalam reaksi ini bersifat tahan terhadap suhu tinggi
sehingga tidak kehilangan aktivitasnya walaupun terkena
suhu tinggi pada langkah denaturasi. DNA polimerase
yang tahan panas ini berasal dari suatu bakteri
termoasidofilus yaitu Thermus aquaticus yang diasingkan
dari mata air panas di Yellowstone National Park.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIK BIOLOCI MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER

1419

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PCR juga dapat dilaksanakan dengan bahan
pemeriksaan RNA, teknik ini disebut RT-PCR (Reverse
transcriptase-PCR). Mula-mula dilakukan yang disebut
first strand synthesis yaitu membuat kopi pasangan
komplemen DNA dengan RNA sebagai cetakan (template).
DNA rantai tunggal pertama ini kemudian menjadi cetakan
untuk proses PCR biasa. First strand synthesis
dilaksanakan dengan mengunakan enzim reverse transcriptase yang berasal dari Avian Myeloblastosis virus
(AMV) atau dari Moloney murin leukemia virus (MuLV).
Teknik Southern blot mula-mula diperkenalkan oleh
E.M. Southern pada tahun 1975, pada saat itu ia
memindahkan fiagmen DNA yang telah dipisahkan secara
elektroforesis ke membran nitroselulosa lalu divisualisasi
dengan pelacak DNA radioaktif. Secara prinsip teknik
Southern blot meliputi 3 pekerjaan yaitu: pertama,
elektroforesis terhadap DNA untuk memisahkan fiagrnenfragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kedua, fragmen
DNA yang telah terpisahkan tadi ditransfer ke suatu
penyangga padat dalam ha1 ini membran baik nitroselulosa
maupun nilon, dengan tetap mempertahankan
keterpisahannya tersebut. Terakhir, fiagmen DNA yang
sudah berada dalam fase padat ini kemudian divisualisasi
dengan pelacak DNA. Teknik ini kemudian dikembangkan
untuk RNA dan disebut Northern blot dan untuk protein
disebut sebagai Western blot.
Teknik single strand conformation polymorphism
(SSCP)pertamakali diemukan oleh Orita dan kawan-kawan
pada tahun 1989untuk menguji saring polimorfisme DNA.
Mutasi titik, insersi dan delesi pada suatu fragmen DNA
cukup mampu untuk merubah bentuk stereoskopis
(=konformasi) fragmen DNA rantai tunggal sehingga
merubah juga kecepatan migrasinya dalam elektroforesis.
Kecepatan migrasi DNA yang akan diuji dibandingkan
dengan kecepatan migrasi DNA yang telah diketahui tidak
mengalami mutasi (wild type), bila ternyata ditemukan
perbedaan jauh migrasi dalam elektroforesis,maka itu
berarti DNA yang diuji telah mengalami mutasi. Untuk
mengetahui jenis mutasi memang tidak dapat dengan
memakai teknik SSCP, untuk itu diperlukan sekuensing.

BEBERAPA CONTOH PEMERIKSAAN BlOLOGl


MOLEKULAR DALAM KLlNlK

Untuk menemukan translokasi t(9q;22q) pada leukemia


granulositik kronik atau leukemia limfoblastik akut selain
dengan cara karyotyping dapat juga dilakukan dengan
teknik biologi molekular. Translokasi gen bcr (breakpoint
cluster region) pada kromosom 22 ke gen abl (Abelson)
pada kromosom 9 menyebabkan terbentuknya gen baru
yaitu gen BCR-ABL yang tentu saja memiliki karakteristik
yang berbeda dengan karakteristik masing-masing gen
asalnya. Ada dua cara untuk mendeteksi translokasi ini

secara biologi molekular.


Cara pertama adalah dengan memanfaatkan perbedaan
titik potong pada untaian DNA yang terdapat di gen chimera dan yang terdapat pada masing-masing gen asalnya
oleh enzim endonuklease restriksi. Setelah DNA dipotong
dengan enzim tersebut lalu dilakukan elektroforesis,
selanjutnya dilakukan transfer Southern ke membran nilon
atau nitroselulosa. Pelacak DNA yang dapat dibeli secara
komersial hanya akan berhibridisasi dengan potonganan
DNA yang berasal dari gen BCR-ABL dan tidak akan
berhibridisasi dengan potongan DNA yang berasal
masing-masing gen asal. Jadi bila ditemukan hibridisasi
pelacak DNA maka itu berarti terjadi translokasi, demikian
pula sebaliknya. Dengan teknik in dapat dibuktikan bahwa
titik pisah yang terdapat pada gen bcr sedikitnya ada 2
tempat, yang diduga berhubungan dengan jenis krisis
blastik yang terjadi pada pasien LGK.
Cara kedua adalah dengan teknik RT-PCR. Teknik ini
memanfaatkan perbedaan yang terjadi pada transkripsi
DNA gen menjadi mRNA, mRNA yang barasal dari fusi
gen BCR-ABL tentu berbeda urutan basanya dengan
urutan basa mRNA yang berasal dari transkripsi masingmasing gen asal. Dengan menggunakan primer yang hanya
dapat beranneal dengan gen fusi, maka tentu saja bila
fusi tak terjadi tak ada produk RT-PCR. Dengan
menggunakan 2 pasang primer yang berbeda ternyata
dapat ditemukan 2 jenis fusi gen BCR-ABL yang
tergantung dari letak titik pisah pada gen bcr. Kedua jenis
gen fusi tersebut menghasilkan produk RT-PCR yang
berbeda ukurannya yaitu masing-masing berukuran 456
bp dan 385 bp. Pemeriksaan molekular untuk gen BCRABL ini bermanfaat untuk melihat sisa penyakit minimal
(minimal residual disease=mrd) pada pasien LGK yang
mendapat transplantasi sumsum tulang, di samping itu juga
untuk memantau terjadinya relaps atau kegagalan tumbuh
transplant.
Salah satu penyebab trombosis vena dalam adalah
faktor V yang resisten terhadap protein C yang teraktifasi
(APC resistant Faktor V, APC = activatedprotein C) atau
yang disebutjuga faktor V Leiden. Penyakit ini relatif baru
ditemukan yaitu pada tahun 1993. Prevalensinya di
kalangan donor darah di Canada cukup tinggi yaitu 5.3%,
sedangkan di kalangan orang Indonesia diduga tidak ada.
Diagnosis pasti penyakit ini hanyalah dengan pemeriksaan
molekular. Dengan teknik PCR gen faktor V ini diamplifikasi,
produk amplifikasinyakemudian diinkubasi dengan enzim
endonukleaserestriksi. Hasil digesti dengan enzim tersebut
kemudian dielektroforesis. Gen faktor V normal (wild type)
memberikan hasil3 buah pita dengan ukuran 163 bp, 49 bp
dan 37 bp. Mutasi homozigot pada gen ini akan
menampakkan pita elektroforesis berukuran 200bp dan 49
bp, sedangkan mutasi heterozigot akan menampakkan
keempat pita kombinasi dari wild type dan mutant yaitu
200 bp, 163 bp, 49 bp dan 37 bp. Seorang pasien trombosis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

vena yang ditemukan mengalami mutasi gen faktor V ini


mungkin perlu mendapat terapi antikoagulan seumur hidup
oleh karena risiko untuk meggalami rekurensi lebih tinggi
daripada pasien tanpa mutasi gen.
Rearrangement gen IgH yang bersifat unik untuk setiap
sel limfosit B ini juga bersifat monoklonal baik pada sel
normal maupun pada penyakit-penyakit limfoproliferatif.
Pemeriksaan rearrangement ini dilakukan terhadap segmen
gen IgH yang diapit oleh primer untuk wilayah V dan
wilayah J. dengan sepasang primer ini didapatkan produk
PCR yang berukuran 100-1 20 bp. Pemeriksaan diawali
dengan proses PCR, kemudian hasil PCR dielektroforesis
di gel agarose untuk mencari pita yang berukuran 100- 120

I-

all

Gambar 1. Gen baru (BCR-ABL) sebagai akibat fusi 2 gen (ABL


dan BCR)

bp tersebut di atas. Bila pemeriksaan ini dilakukan terhadap


pasien keganasan limfosit B seperti limfoma malignum sel
B, LLA dan MM sebelum dilakukan pengobatan, maka
pemeriksaan ulang sesudah pengobatan dapat digunakan
sebagai cara untuk mendeteksi mrd.
Gen BRCA- 1 pertama kali ditemukan pada tahun 1994
oleh Miki dan kawan-kawan. Mereka menemukan gen ini
terletak pada kromosom 17q (lengan panjang kromosom
17) dan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap
kanker payudara dan indung telur. Sejak penemuannya ini
telah banyak dilakukan penelitian tentang dampak mutasi
gen ini pada pembawanya. Prevalensinya dikalangan
pasien kenker payudara dan kanker indung telur bervariasi,
dikalangan pasien kanker payudara tanpa riwayat penyakit
kanker payudara namun terdiagnosis kanker ini pada usia
kurang dari 35 tahun, prevalensinya sekitar lo%, namun
demikian prevalensi mutasi gen ini pada pasien dengan
riwayat keluarga kanker payudara dan indung telur
mencapai 40%. Seseorang dengan mutasi gen BRCA-I
mempunyai risiko sampai usia 70 tahun untuk terkena
kanker payudara sebesar 87% dan untuk terkena kanker
indung telur sebesar 44%. Selain itu mutasi ini juga
meningkatkan risiko seseorang untuk terkena kanker kolon
dan prostat. Pemeriksaan mutasi gen BRCA-I diawali
dengan amplifikasi exon-exon tertentu dari gen BRCA- I
ini dengan teknik PCR. Hasil PCR diteliti mutunya dengan
pemeriksaan elektroforesis agarose. Bila hasil PCR baik
maka, hasil PCR ini didenaturasi lalu dielektroforsis kembali
dalam suasana ternaturasi dan dala~nsuhu tertentu di gel
poliakrilamid, teknik ini disebut SSCP (single strand
cortfi)rnzution polymorphrsrn). Mutasi akan merubah

Gambar 2. Prinsip mplifikasi DNA dmgan prosedur PCR (polymerase chain

reaction)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1421

TEKNIK-TEKNIKBlOLOCl MOLEKULAR DAN SELULAR PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUKLeedr.


PRIYO PANJI
DH, Henderson PA, Blajchman MA. Prevalence of factor V

konformasi bentuk DNA rantai tunggal (dalam keadaan


terdenaturasi) sehingga berbeda dengan konformasi wild
type, dan ini berakibat perbedaan migrasi pada
elektroforesis. Pemeriksaan SSCP ini digunakan sebagai
uji wring untuk menemukan mutasi gen, untuk penentuan
tipe mutasi hams dilakukan sekuensing.

Anonymous. Southwestern medical genetics and dysmorphology


glossary. http://lwaber.swmwd.edu/glossarl.htm
Anonymous. The source for discovery. Protocols and applications
guide. 3rd edition,Promega corporation, 1996.
Cross NCP. Detection of BCR-ABL in hematological malignancies
by rt-PCR. In Cotter FE.(ed). Methods in molecular medicine,
molecular diagnosis of cancer. Hurnana Press Inc. Totowa NJ.
1966, pp 25 - 36.
Davis L, Kuehl M, Battey J. Basic methods in molecular biology.
Second edition. Appleton and Lange 1994.
Erlich HA (ed). PCR technology. Principal and applications for
DNA amplification. M Stockton press 1989, pp 1 - 5.
Evans H, Sillibourne J. Detection of the BCR-ABL gene in CML/
ALL patients. Promega Notes Mag 57, 1996: 21 - 23.
Ford D, Easton DF, Bishop DT, Narod SA, Goldgar DE, Breast
Cancer Linkage. Risks of cancer in BRCA 1 mutation carriers.
Lancet 343, 1994: 692 - 5.
Friedman LS, Ostermeyer EA, Szabo CI, Dowd P, Lynch ED, Rowell
SE, King M-C. Confirmation of BRCAl by analysis of germline
mutations linked to breast and ovarian cancer in ten families.
Nature Genetics 8: 399 - 404, 1994.
Hames BD. One dimensional polyacrylamidegel electrophoresis.
1n:Hames BD, Rickwood D. Gel electrophoresis of protein. A
practical approach 2"d edition, IRL Press Oxfor d, 1990, pp 1 147.
Korf B. Molecular diagnosis (first of two parts). Molecular Medicine. N Engl J Med 332, 1995: 1218 - 20.
Koster T, Rosendaal FR, de Ronde H, Briet E, Vandenbroucke JP,
Bertina RM. Venous thrombosis due to poor anticoagulant
responsto activated protein C: Leiden Thrombophilia Study.
Lancet 342, 1993: 1503 - 6.
Lodish H, Baltimore D, Berk A, Zipursky SL, Matsudaira P, Darnell
J. Mole-cular Cell Biology. Sientific American Books. W.H.
Freeman and Coy, New York, 1995.
Langston AA, Malone KE, Thompson JD, Daling JR, Ostrander
EA. BRCA 1 mutation in population-based sample of young
women with breast cancer. N Eng J Med. 334, 1996: 137 - 42.

Leiden in Canadian blood donor population. Can Med Assoc J


155, 1996: 285 - 91.
Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J. Molecular cloning. A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory 1982.
Morris SW, Daniel L, Ahmed CMI, Elias A, Lebowitz P. Relationship of bcr breakpoint to chronic phase duration, survival, and
blast crisis lineage in chronic myelogenous leukemia patients
presenting in early chronic phase. Blood 75, 1990: 2035 - 41.
Malourn K, Pritsch 0 , Dighiero G. Minimal residual disease
detection in B-cell malignancies by assesing IgH rearrangement.
Hematol Cell Ther 39, 1997:119 - 24.
Miki Y, Swensen J, Shattuck-Eidens D, Futreal PA, et al. A strong
candidate for the breast and ovarian cancer susceptibility gene
BRCA 1. Science, 266, 1994: 66 -71.
,Ridker PM, Hannekens CH, Lindpaintner K, Stampfer MJ. Eisenberg
PR, Miletich JP. Mutation in gene coding for coagulation factor
V and the risk of myocardial infarction, stroke, and venous
thrombosis in apperently healthy men. N Engl J Med 332.
1995: 912 - 7.
Rees DC, Cox M, Clegg JB. World distribution of factor V Leiden.
Lancet 346, 1995: 1 133 - 4.
Ruteshouser EC, Huff V. Blotting assays. Cancer Bull 47, 1995: 268
- 71.
Schmid M, Schalasta G A rapid and reliable PCR based method for
detecting the blood coagulation factor V Leiden mutation.
Biochemica 1997 (3): 12 - 5.
Schwartz RS. Jumping genes and the immunoglobulin V gene
system. N Engl J Med 333, 1995:
Saiki RK. The design and optimization of the PCR. In: Erlich HA
(ed). PCR technology. Principal and applications for DNA
amplification. M Stockton press 1989, pp 7 - 16.
Simioni P, Prandoni P, Lensing AWA, Scudeller A, Sardella C, Prins
MH, Villalta S, Dazzi F, Girolami A. The risk of recurrent venous
thromboembolism in patients with an Arg506-to-Gln mutation in
gene for factor V (factor V Leiden). N Engl J Med 336, 1997:
399 - 403.
Simard J, Tonin P, Durocher F, Rommens J, et al. Common origins
of BRCA 1 mutations in Canadian breast and ovarian cancer
families. Nature Genetics 8, 1994: 392 - 8.
Taylor GR. Polymerase chain raection: basic principles and
automation. In McPherson MJ, Quirke P, Taylor GR (eds), PCR
1 Practical Approach. Oxford University Press 7Ih reprint 1996,
pp 1 - 14.
Trainor KJ, Brisco MJ, Wan JH, Neoh S, Grist S, Morley AA. Gene
rearrangement in B- and T- Lymphoproliferative Disease
Detected by the Polymerase Chain Reaction. Blood 78, no. 1,
1991: 192 6.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK


Ketut Suega, Imade Bakta

PENDAHULUAN
Karsinogenesis adalah suatu proses multi langkah yang
berlangsung lama melibatkan akumulasi gen yang
mengalami kelainan sampai timbulnya lesi kanker pada
tubuh. Deteksi tumor fase awal merupakan masalah yang
penting bagi para onkologist oleh karena pada fase inilah
terapi diharapkan memberikan hasil maksimal. Seperti
diketahui penyebab primer dan faktor yang mengawali
proses karsinogenesis adalah adanya defek pada protoonkogen, gen supresor dan beberapa gen esensial lainnya.
Defek tersebut tidak saja dianggap sebagai faktor
patogenetik tapi juga sebagai penanda tumor oleh karena
mutasi DNA (defek genetik) yang terdeteksi pada cairan
biologis tubuh merupakan petunjuk adanya pertumbuhan
tumor.
Penanda tumor (PT) adalah suatu molekul atau proses
ataupun suatu substansi yang dapat diukur dengan suatu
pemeriksaan (assay) baik secara kualitatif maupun
kuantitatif pada kondisi prakanker dan kanker. Perubahan
kadar tersebut dapat diakibatkan oleh tumor maupun oleh
jaringan normal sebagai respon terhadap tumor. Definisi
yang lebih umum dari PT adalah suatu alat yang dapat
membantu para klinisi untuk menjawab pertanyaan sekitar
masalah kanker dan istilah PT sering digunakan secara
umum sekali. Terlepas dari definisi mana yang dipakai, PT
sendiri dapat berupa DNA, mRNA, protein, atau bagian
dari protein (seperti proses dari proliferasi, angiogenesis,
apoptosis, d m lainnya). PT dapat ditemukan dalam jumlah
yang banyak dalam darah atau urin pasien dengan kanker
dan dapat juga dijumpai dalam darah dan urin pasien yang
tidak menderita kanker. Di samping itu jaringan, air liur,
cairan tubuh dan sel sendiri dapat dipakai sebagai bahan
untuk pemeriksaan PT.
PT banyak digunakan dalam klinik dalam rangka
menambahkan informasi yang diperlukan sehingga dapat

membantu dalam pengambilan keputusan klinik suatu


penyakit. Ada banyak jenis PT, beberapa diantaranya
hanya diproduksi oleh satu jenis tumor sedang ada PT
yang sama dibuat oleh beberapa jenis tumor. Pemeriksaan
PT dapat dilakukan dengan melibatkan model binatang
atau dengan menggunakan tes imunohistokimia.
Perkembangan di bidang pemeriksaan PT sangat pesat dan
beberapa pemeriksaan yang canggih dan baru seperti
microarrays, serial analysis of gene expression (SAGE)
dan mass spectrometry, studi proteomics untuk mengetahui
proteom dari setiap sel, terus dikembangkan walupun
beberapa diantaranya hanya digunakan untuk keperluan
riset saja.

IDENTlFlKASl PENANDA TUMOR


Sejarah perkembangan PT dimulai sejak ditemukannya
pertama kali oleh Henry Bence-Jones pada tahun 1846
endapan protein dalam kencing yang diasamkan dari
seorang pasien mieloma multipel dan sampai saat ini masih
digunakan sebagai salah satu tanda adanya imunoglobulin
rantai ringan, dan sejak saat itu telah ditemukan makin
banyak PT yang potensial. PT yang pertarna kali digunakan
sebagai alat untuk mendeteksi adanya kanker adalah
Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG digunakan
untuk mengetahui adanya kanker dari jaringan plasenta
yang disebut gestational trophoblastic neoplasia (GTN).
Beberapa tumor testis d m ovariurn juga memproduksi HCG
oleh karena berasal dari sel germinal. Dalam perkembangan
selanjutnya banyak sarjana dalam melakukan risetnya
berusaha menemukan suatu PT yang dapat mendeteksi
semua kanker hanya dengan satu jenis tes.
Pada tahun 1965 Dr. Joseph Gold menemukan suatu
substansi dalam darah pada pasien dengan kanker kolon
yang disebut carcino embryonic antigen (CEA). Sejak tahun

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1423

PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
Protein merupakan target yang digunakan

1970 tes darah telah makin berkembang untuk mendeteksi


adanya PT, diberikan label numerik seperti misalnya CA 199 untuk kanker kolorektal dan kanker pankreas, CA 15-3
untuk kanker payudara, dan CA 125 untuk kanker ovariurn.
Dan banyak lagi yang ditemukan akan tetapi
penyelidikannya tidak dilanjutkan oleh karena tidak
memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan
PT yang sudah ada. Namun demikian sampai saat ini belum
ditemukan target utama dari penelitian tentang PT ini yaitu
menemukan PT yang dapat mendeteksi adanya lesi
prakanker. Tidak saja PT ini tidak cukup sensitif akan tetapi
juga tidak spesifik untuk satu jenis tumor saja. Seperti
misalnya pasien dengan kanker paru atau payudara akan
mempunyai kadar CEA yang tinggi, walaupun CEA
merupakan penanda adanya tumor kolon.
Tidak seperti penemuan obat-obat baru sampai pada
pengesahannya sebagai obat standar, prosedur untuk
pemeriksaan PT mulai dari penelitian laboratorium sampai
aplikasi klinik belum ditentukan dengan jelas. Khususnya
apabila pemeriksaannya menggunakan bahan jaringan dan
dengan tujuan untuk menentukan PT yang bersifat prediktif.
Untuk mengatasi ha1 ini setelah melalui beberapa kali
pertemuan dan konsensus mengenai karakteristik dan
aplikasi klinik dari PT maka National Cancer Institute
merekomendasikan suatu strategi untuk menentukan suatu
PT. Penanda biologis dengan potensi diagnostik dan
prediktiftersebut mula-mula akan diperiksapada fase I yang
terdiri dari pilot study. Pada fase ini metode yang dipakai
tersebut akan dites menggunakan material baik yang berasal
dari jaringan normal maupun jaringan tumor untuk
mengetahui perubahan kadar molekul yang bersangkutan.
Apabila pemeriksaan cukup meyakinkan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif,kemudian dilakukan studi fase
I1 yang merupakan studi retrospektif dengan menggunakan
sampel klinik yang sudah ditentukan untuk mendapatkan
nilai klinik PT yang potensial. Setelahitu akan diikuti dengan
fase I11 dengan studi komfirmasi menggunakan sekelompok
pasien dan fase IV yang merupakan fase validasi kadar PT
dengan melakukan studi terbuka pada banyak institusi
seperti pada trial klinik.
PT dan tumor antigen mempunyai peran yang
menjanjikan di dalam aplikasi klinik akan tetapi dengan
teknologi yang terdahulu belum dapat menentukan lokasi
dari protein tersebut sehingga belum dapat dengan tegas
menggambarkan asal dari tumornya. Dahulu penemuan
suatu PT merupakan suatu produk sampingan dari suatu
studi, bukan suatu tujuan utama dari riset. Pada
perkembangan terakhir ini ditemukan 2 jenis teknologi
untuk mengidentifikasi PT yaitu serial analysis of gene
expression ( SAGE ) dan microarray analysis. Akan tetapi
kedua cara ini mempunyai keterbatasannyadalam mengenal
PT. Yang utama adalah adanya kenyataan bahwa
perbedaan kadar pada level mRNA tidak sepenuhnya
mencerminkan adanya perbedaan pada kadar proteinnya.

baik sebagai
diagnosis maupun target terapi sehingga diperlukan suatu
konfirmasi dari masing kandidat PT di tingkat ekspresi
proteinnya. Salah satu studi dengan menggunakan SAGE
pada kanker kolorektal telah berhasil menghitung ekspresi
gen yang bertanggung jawab. Buckhaulst et al., berhasil
mengidentifikasikan penanda dini dari kanker kolorektal
melalui perbandingan ekspresi gen pada adenoma, kanker
kolon dan epitel kolon normal yang berasal dari pasien
dengan familial adenomatosis polyposis. Pada studi ini
didapatkan 20 transkrip protein dengan peningkatan kadar
hampir 20 kali pada adenoma dan kanker kolon
dibandingkan dengan epitel normal. Enam diantaranya
dapat dipergunakan sebagai PT oleh karena dia dapat
mengkode protein permukaan. Studi lain dengan SAGE
dapat membedakan antara adenocarcinoma dan squamous
cell carcinoma pada kanker paru. Namun demikian
diperlukan studi lanjutan untuk dapat menggunakan PT
yang baru sebagai alat untuk menegakkan diagnosis
penyakit.
PT yang ideal adalah PT yang sangat spesifik artinya
dia hanya ada pada tumor tersebut dan juga perlu
sensitifitas yang tinggi artinya dapat mendeteksi tumor
pada kondisi prakanker. Akan tetapi sampai saat ini belum
ada satupun PT yang ideal dan pemeriksaan hanya satu
jenis PT tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis suatu tumor oleh karena: 1. kadar PT dapat
meningkat pada pasien tanpa kanker; 2. kadar PT tidak
meningkat pada setiap pasien kanker, lebih-lebih pada
kanker stadium dini; 3. banyak PT meningkat kadarnya
pada berbagaijenis tumor. Akan tetapi kadar PT akan sangat
berguna apabila digunakan bersama-sama dengan
pemeriksaan rontgen dan tes darah lainnya untuk
menegakkan diagnosis kanker pada individu yang
diketahui mempunyai risiko tinggi untuk kanker.

KLASlFlKASl PENANDA TUMOR


Banyak macam penggolongan yang dapat ditemukan
mengenai PT. Berdasarkan aspek kliniknya maka PT dapat
dibedakan menjadi: screening, prognosis, predictive dan
monitoring markers.
Screening Markers
Penanda ini merupakan bagian dari penanda diagnosis.
Hal yang penting diperhatikan pada penanda ini adalah
sensitivitas dan spesifisitas dari PT dalam menunjang
diagnosis. Untuk dapat berfungsi sebagai penanda yang
dapat mengenal tumor pada fase awal maka PT yang
bersangkutan harus mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. Namun demikian, tergantung dari
jenis tumor tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya dapat
bervariasi. Sebagai contoh skrining untuk tumor kolon

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA
DI karena
SCAN
UNTUK
dr. PRIYO
PANJI
memerlukan spesifisitas yang
tinggi oleh
semua
risk-group nya khususnya pada
payudara
berdasarkan
pasien dengan tes positif akan menjalani pemeriksaan
kasus yang node-negative. Penanda lainnya yang juga
kolonoskopi suatu prosedur invasif dan mahal. Sebaliknya
mendapat validasi dan evaluasi yang konsisten sebagai
pada kanker payudara walaupun dengan spesifisitas yang
penanda prognosis adalah proliferation marker thymitidak terlalu tinggi asalkan di sertai dengan sensitivitas
dine labelling index juga untuk kanker payudara.
tinggi tetap dapat diterima karena akan dilanjutkan dengan
Beberapa ha1 yang perlu untuk diperhatikan sebelum
pemeriksaan mammography yang dianggap murah dan
menetapkan suatu PT sebagai penanda prognosis adalah
lebih mudah. Hal ini akan mengurangi jurnlah pasien yang
PT ini sebaiknya hanya dievaluasi pada pasien yang tidak
menjalani pemeriksaan sekaligus memastikan mereka yang
menerima terapi sistemik setelah pemberian terapi lokodengan tes positif (sensitivitas) harus menjalani
regional, oleh karena pemberian terapi sistemik akan
pemeriksaan lanjutan.Di samping ha1 itu, prevalensi kanker
mempengaruhi perjalanan penyakit secara signifikan. Hal
yang kedua adalah PT yang berkaitan langsung dengan
yang bersangkutan juga dapat menyebabkan tingkat
spesifisitas suatu tes dapat diterima sebagai tes skrining.
perjalanan dari suatu tumor tidak akan memberi manfaat
klinik. Manfaat dari penanda prognosis dan juga lainnya
Seperti misalnya penelitian pada kelompok pasien dengan
tergantung dari apakah hasilnya akan mempengaruhi
risiko tinggi maka hasil nilai prediksi positif akan tinggi,
penatalaksanaan selanjutnya. Misalnya pada pasien
oleh karena hasil positif palsu lebih banyak pada populasi
dengan kemampuan yang sangat terbatas tentunya
yang tidak diteliti. Akan tetapi perlu diingat bahwa disini
penentuan prognosis tidak akan memberikan manfaat
sensitivitas tidak mempunyai pengaruh yang besar dan
maksimal.
ha1 ini dapat diatasi misalnya dengan melakukan
pemeriksaan PT lain yang tidak ada hubungannya dengan
PT yang pertama.
Predictive Markers
Sampai saat ini hanya ada 2 jenis PT yang diterima
Predictive markers memprediksi respon terapi sedangkan
sebagai tes skrining yaitu PSA, yaitu suatu PT untuk
prognostic markers memprediksi terjadinya kekambuhan
mendiagnosis kanker prostat dan pemeriksaan hemogloatau progresi dari penyakitnya. Akan tetapi banyak
bin pada feses untuk skrining kanker kolon. PSA
penanda mempunyai kedua sifat tersebut. Pada kanker
mempunyai sensitivitas yang tinggi tapi spesifisitas yang
payudara, penanda yang banyak diteliti sebagai predickurang. Hal ini dapat diterima karena pemeriksaan biopsi
tive marker adalah reseptor hormon steroid. ER (estrogen
prostat dianggap prosedur yang relatif mudah. Namun
receptor) dan PgR (progesterone receptor) dapat
demikian banyak usaha baru yang dilakukan dalam rangka
memprediksi respons terapi hormonal. Pasien yang
menemukan suatu bahan lain yang dapat dikombinasikan
berespons dengan dengan terapi hormonal mempunyai
dengan PSA untuk meningktkan spesifisitas. Suatu kit
korelasi positif dengan kadar ER pada tumor primer dan
pemeriksaan darah tersamar pada feses dengan spesifisitas
pada kasus yang lanjut, keberhasilan terapi lebih banyak
yang tinggi telah dipasarkan walaupun sensitivitasnya
dijumpai pada kasus dengan tumor dengan kadar ER dan
masih belurn maksimal.
PgR yang tinggi.
Salah satu kesulitan tes skrining ini adalah tingkat
Selama hampir 20 tahun keberadaan dari ER dan PgR
kepatuhan pasien. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien
pada tumor primer merupakan petunjuk utama bagi para
syarat tes skrining haruslah tidak terlalu invasif dan
klinisi untuk mengobati kanker yang recurrent dengan terapi
prosedur yang tidak rumit sehingga bisa mudah dikerjakan.
hormonal. Akan tetapi status reseptor hormonal ini tidak
Di samping tentu saja hasil pemeriksaan PT yang
sepenuhnya dapat memprediksi mana pasien yang akan
bersangkutan akan membawa keuntungan yang lebih pada
memberi respons ataukah resisten dengan terapi
pasien yaitu tingkat kesembuhan yang tinggi.
hormonal. Pada pemberian terapi hormonal adjuvant pada
kanker payudara dengan ER positif hanya memberi respons
sekitar 20-25% saja. Oleh karena itu banyak para saljana
Prognostic Markers
masih
meneliti biological predictive marker yang lainya
Penanda ini akan memberikan informasi mengenai hasil
sebagai
target potensial di masa depan seiring dengan
pengobatan dan juga tentang tingkat keganasan dari
berkembangnya
teknologi pemeriksaan yang makin canggih.
tumornya. Umumnya penanda ini dievaluasi pada saat
pemberian terapi pertama pada masing individu. Salah satu
Monitoring Markers
contoh PT yang dapat memberikan informasi prognosis
Penanda ini dapat digunakan pada beberapa keadaan.
yang banyak digunakan di klinik adalah uPA (urokinasePertama, PT yang sudah baku dapat dipakai untuk
type plasminogen activator) dan PAI- 1 ( plasminogen
memonitor manfaat atau respons terapi yang diberikan.
activator inhibitor type-I) pada kanker payudara. PT ini
Artinya perubahan dari status penyakitnya juga diikuti
merupakan yang pertama dilakukan validasi dengan level
dengan perubahan dari kadar PT. Juga dapat digunakan
of evidence yang tinggi. Kombinasi kedua PT ini dapat
sebagai alat follow-up setelah pemberian terapi awal
menggambarkan prognosis pasien dengan kanker
ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1425

PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dengan tujuan melihat awitan timbulnya dan beratnya
recurrent disease. Pengukuran kadar PT untuk evaluasi
terapi sering dipakai sebagai surrogate end point dari
manfaat terapi tersebut. PT jenis ini jelas sangat bermanfaat
untuk pergantian dan pemilihan terapi lainnya apabila tidak
dijumpai adanya respons terhadap terapi yang diberikan
atau adanya toksisitas obat sehingga pasien terhindar dari
paparan obat terlalu lama.
Pada pasien kanker sel germinal, alfa fetoprotein dan
HCG dipakai sebagai alat monitor dari keberhasilan terapi.
Sedang pada pasien dengan kanker saluran cerna, CEA
dan CA 19-9 digunakan sebagai alat untuk mengetahui
kekambuhan penyakit setelah terapi awal. Hal yang sama
pada kanker ovarium, CA 125 umumnya dipakai untuk
mengetahui adanya proses kekambuhan. Namun perlu
untuk diingat, agar PT klas ini mempunyai manfaat klinik
yang jelas, harus dapat dibuktikan bahwa dengan
dilakukannya deteksi dini akan meningkatkan kemampuan
hidup pasien. Pada kanker payudara ternyata tidak
didapatkan manfaat dengan mengukur kadar PT secara
reguler pada follow-up setelah terapi primer sehingga
pemeriksaan PT pada fase ini tidak direkomendasikan
walaupun hasil yang didapatkan dapat merupakan alat
monitor yang berguna selama terapi sistemik pada kanker
payudara yang mengalami kekambuhan.
Berdasarkan spesifitasnya maka PT dapat dibedakan
menjadi: tumor speczfic proteins, non-specific dun cell
specific protein overexpressed in malignant cell.

Tumor Specific Proteins


PT spesifik hanya diekspresikan oleh sel tumor tertentu.
Sebagai contoh adalah apa yang dikenal sebagai fusion
proteins yang merupakan penggabungan antara onkogen
yang bertanggung jawab pada proses malignansi dengan
gen promotor yang lain. Sebagai akibatnya adalah produksi
protein yang aktif yang merupakan klon yang malignan.
Kromosom Philadelphia adalah salah satu contoh fusion
protein yang merupakan penanda yang cukup spesifik
untuk lekemia mieloid kronik. Dengan melakukan DNA
sekuensing dapat direkombinasikanfusion genes sehingga
dapat diciptakan atau bahkan dirusaknya gen yang
bertanggung jawab pada suatu proses keganasan.
Non Specific Proteins
Protein onkofetal adalah salah satu contoh PT yang
walaupun tidak terlalu spesifik akan tetapi cukup berguna.
Protein ini diekspresikan selama pertumbuhan embriologis
dan juga pada sel kanker. Protein oncofetal yang paling
sering digunakan sebagai PT adalah CEA yang
diekspresikan oleh semua sel kanker saluran cerna dan sel
kanker lainnya. Protein lainnya adalah alfa fetoprotein
yang dijumpai pada sel kanker hati dan juga pada kanker
testis dan ovarium.

C e l l S p e c i f i c Protein O v e r e x p r e s s e d i n
Malignant Cells
Beberapa jenis protein diekspresikan secara berlebihan
oleh sel kanker tertentu yang sebenarnya merupakan
ekspresi dari sel yang mengalami diferensiasi normal
sehingga kadarnya dalam serum relatif lebih tinggi pada
pasien dengan kanker. Hal ini dapat dilihat pada kasus
kanker prostat dimana didapatkan peningkatan konsentrasi
dari PSA (prostate speszfic antigen).
Berdasarkan struktur biologis PT dapat dibedakan antara
protein markers dan DNA markers; Protein marker sudah
lebih dahulu dikenal dan banyak digunakan dalam klinik.
Walaupun jumlahnya akan makin meningkat dengan
ditemukannya teknologi proteonomik, tapi hanya sedikit
yang masih akan digunakan. Protein yang pertama kali
dikenal dan digunakan dalam praktek klinik adalah alfa
fetoprotein, yang kemudian diikuti oleh CEA, CA 125, PSA,
dan lainnya. Sedang DNA markers adalah defek genetik
yang bertanggung jawab atas terjadinya proses
karsinogenesis. Seperti diketahui proses karsinogenesis
adalah proses multi langkah yang berlangsung lama akibat
adanya akumulasi dari gen yang mengalami defek pada saat
terjadinya proses pembelahan sel, perbaikan DNA maupun
proses apoptosis. Dengan kemajuan pengetahuan mengenai
mekanisme karsinogenesis, diketahui bahwa beberapa
kelainan gen tadi dapat dipakai sebagai petunjuk adanya
proses malignansi sehingga digunakan sebagai PT untuk
diagnosis kanker., Defek genetik sebagai PT merupakan klas
terbaru dan mempunyai potensi diagnostik yang baik.

Penanda rotei in

Pro~erti

Karakter
universal
Onko spesifitas
Spesifitas
jaringan

Penanda DNA

Tidak ada

Absolut

Relatif
Tinggi

Absolut
Tidak ada secara
virtual

Stadium deteksi

Tumor yang
berkembang

Sel-sel yang terinisial

Asal

SeCsel hidup

Sel-sel yang mati

Materi klinis

Darah
(kebanvakan) urin

Tumor, alami

Secara umum kedua jenis PT ini dapat saling


melengkapi dalam rangka menegakkan diagnosis adanya
tumor. Beberapa karakteristik dari DNA markers ini adalah
dia adalah universal artinya ditemukan pada hampir semua
sel kanker yang bersangkutan, berbeda dengan penanda
protein yang tidak didapatkan pada semua tumor. Penanda
DNA bersifat sangat oncospeszfic artinya dia merupakan
produk dari proses karsinogenesis (direct cause and
effect relationship in carcinogenesis), sedang penanda
protein dapat merupakan penanda dari proses diferensiasi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


normal dari sel yang mengalami maturasi, sehingga protein mungkin dapat dideteksi pada kondisi patologis
lainnya. Namun demikian penanda DNA tidak dapat
menggambarkan asal jaringan (lokasi), tidak seperti ha1
penanda protein. Penanda DNA sangat potensial dalam
memprediksi fase awal dari proses pembentukan kanker,
tapi ha1 ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Penanda
protein akan makin meningkat kadarnya dengan
berkembangnya sel kanker tersebut akan tetapi pada
penanda DNA justru konsentrasinya akan makin meningkat
dengan makin banyak proses apotosis atau nekrosis yang
terjadi pada sel kanker tersebut, yang akan melepaskan
DNA dari sel ke ruang ekstra seluler.

tumor sel islet, kanker usus kecil dan besar, hepatoma,


lambung, paru, ovarium, payudara dan kanker ginjal.
Untuk pemeriksaan penanda tumor biasanya
diperiksakan HCG intak dan beta subunit HCG karena
ada jenis tumor yang hanya memproduksi subunit beta
saja. Beberapa peneliti mendapatkan hubungan antara
kadar HCG dengan ukuran tumor dan prognosisnya.
Peningkatan HCG juga ditemukan pada laki-laki dengan
tumor mediastinum (mediastinal germ cell neoplasm).
Hormon ini dapat dideteksi di darah dan urin. Karena
HCG tak dapat menembus sawar darah otak maka rasio
kadar HCG antara cairan sebrospinal dan serum >1:60
menunjukkan kemungkinan adanya metastase ke
serebral.

PENANDA TUMOR

Carcino Embryonic Antigen (CEA)


CEA diproduksi selama perkembangan bayi dan setelah
lahir produksi CEA akan berhenti dan tak terdeteksi pada
orang dewasa normal. CEA ditemukan pertama kali pada
adenokarsinoma kolon pada tahun 1965. CEA
dimetabolisme di hepar dengan waktu paruh sekitar 1-8
hari. Beberapa penyakit hati dan obstruksi biliaris akan
menghambat klirens nya sehingga akan terjadi peningkatan
kadar CEA.
CEA adalah PT yang digunakan untuk pasien dengan
kanker kolorektal. Kadar di atas 5 ulml sudah dianggap
abnormal. Kadar yang tinggi juga dijumpai pada kanker
paru, payudara, pankreas, tiroid, hati, serviks dan kandung
kemih. Dalam kondisi normal kadar CEA meningkat pada
perokok. Kadar CEA akan meningkat setelah kankemya
sendiri terdeteksi sehingga CEA tidak digunakan sebagai
alat diagnostik.
CEA adalah satu-satunya penanda yang sudah
digunakan sebagai alat monitoring kanker kolorektal
selama >20 tahun, dan pemeriksaan serial lebih
direkomendasikan untuk mendeteksi rekurensi kanker
kolorektal pasca tindakan bedah. Peningkatan kadar CEA
setelah tindakan dihubungkan dengan adanya
kekambuhan dari tumornya.

Banyak jenis PT yang tersedia secara komersial akan tetapi


tidak semuanya bermanfaat secara klinik. Ada juga PT yang
hanya digunakan oleh para peneliti di dalam riset sehingga
tidak tersedia di laboratoriurn komersial dan hanya apabila
diketahui mempunyai nilai klinik maka PT yang
bersangkutan akan dapat diperiksakan pada laboratorium
klinik. Berikut beberapa PT yang sering digunakan di klinik.
Alfa Fetoprotein (AFP)
AFP biasanya didapatkan pada fetus yang sedang
tumbuh, bayi baru lahir dan perempuan hamil, mempunyai
kadar tertinggi sekitar 15 ugll setelah tahun pertama dari
kehidupan dan akan meningkat pada kelainan hati dan
keganasan lainnya. Protein ini diproduksi oleh hati bayi
dan yolk sac.Peningkatan kadar AFP lebih dari 100 nglml
paling sering dijumpai pada kanker sel germinal dan kanker
hati primer, akan tetapi juga meningkat pada kanker
lambung, kolon, pankreas dan paru yaitu sekitar 20%. Kadar
AFP dijumpai lebih tinggi pada 213 pasien kanker
hepatoselular. Kadar normal AFP tidak lebih dari 20 nglml,
kadamya meningkat sesuai dengan peningkatan ukuran
tumor. Dalam sirkulasi waktu paruh AFP adalah 3,5- 6 hari.
Pada tumor kecil kadamya bisa lebih kecil dari 20 nglml.
AFP juga meningkat pada hepatitis akut dan kronis tapi
kadamya tidak lebih dari 100 nglml, tapi tidak meningkat
pada penyakit kolestasis.
Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
HCG dalam keadaan normal disekresikan oleh jaringan
plasenta dan mencapai kadar tertinggi pada umur kehamilan
60 hari. Hormon ini terdiri dari 2 subunit yaitu alpha subunit dan beta subunit, dengan waktu paruh sekitar 12-24
jam. Kadar normal HCG adalah 1-5 nglml dan sedikit
meningkat pada perempuan pasca menopause (sampai 10
nglml). Kadar yang tinggi dari HCG dapat ditemukan pada
kehamilan mola, korio karsinoma. Peningkatan kadar HCG
dapat juga dijumpai pada adenokarsinoma pankreas,

Cancer Antigen 15-3 (CA 15-3)


CA 15-3 pertama kali digunakan pada kanker payudara.
Kadamya hanya meningkat kurang lebih 10% pada kasus
yang dini tapi akan meningkat sampai 75% pada kanker
yang sudah lanjut. Kadar normal CA 15-3 adalah sekitar 25
d m l , dan kadar setinggi 100 u/ml bisa dideteksi pada
perempuan yang tidak menderita kanker. CA 15-3 juga
meningkat pada kanker lainnya seperti kanker pankreas,
paru, ovarium dan hati. Pada hepatitis dan sirosis juga
ditemukan kadar CA 15-3 yang meningkat. Sampai saat ini
ada beberapa PT yang dapat digunakan untuk kanker
payudara, seperti : CEA< MCA, CA 549, BR 27-29 dan
BRMA. Penanda lainnya seperti CYFRA2 1.1, TPA, TPS
dan c-erbB atau HER-21 neu.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Cancer Antigen 125 (CA 125)
CA 125 adalah PT standar untuk kanker epitelial ovariurn.
Kadarreferensi yang banyak dianut adalah 0-35 kuL, narnun
hampir 99% perempuan normal pascamenopause
mempunyai kadar <20 kU/L. Kadar antara 100kU/L dm lebih
dapat dijumpai pada perempuan pramenopause pada saat
menstruasi. Lebih dari 90% pasien mempunyai kadar CA
125 lebih dari 30 ulml apabila kanker sudah lanjut. CA 125
sedang diteliti sebagai alat untuk skrining diagnosis oleh
karena kadarnya meningkat apabila penyakitnya hanya
mengenai ovarium. Akan tetapi masalahnya banyak
perempuan dengan kadar >30 Ulml tidak didapatkan dengan
kanker ovarium. Kadar yang tinggi juga ditemukan pada
perempuan dengan endometriosis, pada kanker paru dan
individu yang mempunyai kanker sebelumnya. Kadar CA
125 yang meningkat juga ditemukan pada kondisi
nonmalignan seperti penyakit hati, fibroid, kista ovarium,
dan peritonitis.
Cancer Antigen 19-9 (CA 19-9)
CA 19-9 dijurnpai pada epitel lambung bayi, saluran usus
halus dan hati serta pankreas bayi serta pada serum pasien
dengan keganasan. Walaupun CA 19-9 pertama kali
dilakukan untuk kanker kolorektal, akan tetapi saat ini
diketahui penanda ini lebih sensitif untuk kanker pankreas.
Dan saat ini dianggap sebagai PT yang terbaik untuk kanker
pankreas. Dia tidak bisa untuk mendeteksi kasus awal karena
kadar CA 19-9 yang meningkat menandakan kasus tersebut
sudah lanjut. Kadar abnormal CA 19-9 adalah di atas 37 uJ
ml. CA 19-9juga dapat meningkat pada kanker saluran cerna
jenis lainnya seperti kanker duktus biliaris. Kadar yang
meningkat juga dapat dilihat pada hepatitis, sirosis,
pankreatitis dan kelainan saluran cerna lainnya. Keadaan
ikterus akan mempengaruhi spesifisitas' CA 19-9, karena
pada kondisi dengan ikterus didapatkan kadar CA 19-9 yang
meningkat sehingga CA 19-9 kurang sensitif dalam
mendeteksi kanker pankreas fase awal dan hanya 55% pasien
kanker pankreas dengan kadar CA 19-9 yang tinggi apabila
masa tumor <3 cm.
Prostate Specific Antigen (PSA)
Dalam kondisi normal kadar PSA <3 nglml pada laki dewasa.
PSA diproduksi di sel prostat dan kadar di atas 4 nglml
ditemukan pada penyakit prostat baik kasus malignan
maupun kasus jinak seperti prostat hiperplasia. Walaupun
diganosis pasti dari kanker adalah biopsi tapi dengan
melihat kadar PSA akan memberikan informasi penting
tentang kondisi pasien. PSA satu-satunya PT yang sudah
diakui sebagai alat skrining untuk kanker prostat.
Pemeriksaan PSA terdiri dari PSAfree dan PSA act yang
merupakan kompleks antara PSA dengan alpha-l
antichymotrypsin. PSA act merupakan rasio antara total
PSA dengan PSAPee, dan digunakan untuk membedakan
antara kasus jinak seperti prostat hipertrofi dengan kanker

prostat. Kadar di bawah 4 nglml menunjukan tidak adanya


lesi malignan sedang kadar di atas 10 nglml menandakan
lesi kanker, sedang nilai antara 4-10 nglml merupakan area
abu-abu yang masih memerlukan pemeriksaan tambahan
atau serial PSA. Disini dapat dimintakan pemeriksaan PSA
free. Kadar PSAfree yang meningkat jarang diikuti oleh
adanya kanker, dan kadar PSA free lebih besar 25% dari
total PSA umumnya merupakan lesi jinak. Di bawah 15%
kemungkinan suatu kanker meningkat di atas 20% dan
apabila < 10% maka kemungkinan kanker meningkat
menjadi sekitar 30-60%. Umumnya kadar di atas 4 nglml
mengharuskan tindakan biopsi prostat dan kadar >20 ng/
ml menunjukkan kanker sudah menyebar dan biasanya
tidak bisa disembuhkan.
Banyak faktor lain yang mempengaruhi kadar PSA yaitu
umur tua akan cenderung mempunyai kadar yang lebih
tinggi. Demikian pula pada pasien BPH (benign prostate
hypertrophy). Kadar PSA berkorelasi linier dengan
pertumbuhan tumor, makin besar jaringan tumor makin
tinggi peningkatan kadar PSA. Terapi hormonal juga dapat
mempengaruhi sekresi PSA dan ha1 ini sangat ditentuksn
oleh aktivitas androgen. Pada pasien kanker proslat yang
sudah mendapat terapi bedah atau radioterapi
menunjukkan peningkatan kadar PSA merupakan tanda
adanya rekurensi. Setelah terapi seharusnya kadar PSA
adalah 0. Demikian halnya, kadar PSA seharusnya
menurun setelah pasien mendapat terapi yang efektif dan
kadarnya meningkat apabila tumornya tetap berkembang.
Beta 2-Microglobulin (B2M)
B2M merupakan protein yang berhubungan dengan
membran luar dari banyak sel termasuk sel limfosit. Dia
merupakan unit kecil dari molekul MHC klas I dan
diperlukan untuk transpor rantai berat klas I dari retikulum
endoplasmik ke permukaan sel. Pada kadar yang kecil B2M
dapat ditemukan pada serum, urin dan cairan spinal orang
normal. B2M meningkat pada leukemia limfoblastik akut,
leukemia kronik, mieloma multipel dan beberapa limfoma.
Pada pakreatitis juga didapatkan kadar B2M yang
meningkat. Pada mieloma multipel B2M sangat baik untuk
menentukan prognosis. Pasien dengan kadar >3 nglml akan
mempunyai prognosis yang lebih jelek.
Bladder Tumor Antigen (BTA)
BTA dijumpai pada urin pasien dengan kanker kandung
kemih. Dan bersama dengan NMP 22 digunakan sebagai
tes untuk memonitor rekurensi kanker. Hal ini belum banyak
digunakan ,masih dilakukan studi lanjutan. Akan tetapi
banyak ahli masih menganggap sitoskopi lebih baik dari
pada penanda ini.
CancerAntigen 27.29 (CA 27.29)
CA ini juga dipakai untuk kanker payudara, akan tetapi dia
tidak lebih baik dari pada CA 15-3. Akan tetapi dia lebih

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


jarang positif pada individu yang sehat. Kadar normal
biasanya kurang dari 38-40 dml. Penanda ini temyata juga
dapat meningkat pada kanker yang lain.
HER-2/neu (c-erbB-2)
HER-2/neu merupakan penanda yang ditemukan pertama
kali pada sel kanker payudara dan dapat dilepaskan ke
sirkulasi darah. Protein ini dijumpai pada permukaan sel
epitel dan berfungsi sebagai reseptor untuk faktor
pertumbuhan sel. Pada sel kanker protein ini akan
kehilangan respon normalnya untuk faktor regulator lainnya
sehingga akan menyebabkan kontrol regulasi terhadap
suatu sel hilang dan timbulah kanker.
HER-2/neu juga dapat dijumpai pada kanker lain. Dia
hanya digunakan untuk meramalkan prognosis. Perempuan
dengan kanker payudara dengan penanda ini tidak akan
memberikan respons baik dengan kemoterapi dan
mempunyai prognosis yang jelek. Umumnya penanda ini
tidak diperiksa melalui darah tapi memeriksa sel kankemya
dengan menggunakan immz~nohistochemistryatau
pewarnaan khusus pada jaringan kankernya. Pemeriksaan
lainya yaitu dengan ELISA untuk menghitur kadarnya
dalam darahlserum. Kadar normal dalam darah adalah di
bawah 450 fmol/ml.
Lipid Associated Sialic Acid in Plasma (LASA-P)
LASA-P telah diteliti sebagai penanda pada kanker
ovarium dan kanker lainnya. Namun belum menunjukkan
mafaat yang besar sehingga penggunaannya sudah mulai
ditinggalkan.
NMP22
NMP22 merupakan protein yang ditemukan pada urin
pasien kanker kandung kemih. Awalnya digunakan untuk
follow-up pasien dengan kanker kandung kemih untuk
menghindari pemeriksaan sistoskopi yang berulang.
Pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan karena tidak
sensitif.
Neuron Spesific Enolase (NSE)
NSE disekresi oleh sel saraf dan sel neuroendokrin
susunan saraf pusat dan tepi. Peningkatan kadar NSE > 12
nglml biasanya dianggap abnormal. NSE kadang dipakai
untuk kanker paru khususnya pada kanker sel kecil.
Protein ini didapatkan lebih baik dari pada CEA untuk
follow-up pasien kanker sel kecil. Penanda ini juga
ditemukan pada beberapa tumor neuroendokrin yaitu
karsinoid, neuroblastoma, kanker medula tiroid, tumor
Wilm's dan pheochromocytoma.
Thyroglobulin (hTG)
Thyroglobulin diproduksi oleh kelenjar tiroid dan
kadamya meningkat pada kelainan tiroid. Apabila kanker

tiroid telah diangkat dan kadar thyroglobulin meningkat


di atas 10 nglml maka dapat diduga terjadi kekambuhan.
Kadar ini juga dapat diikuti untuk mengevaluasi hasil terapi
pada kanker tiroid yang metastase. Kadar hTG yang
meningkat juga dapat dijumpai pada tumor Wilm's.
S-100
S-100 berhubungan dengan melanoma malignan. Pada
studi awal diketahui tejadi peningkatan pada hampir semua
pasien dengan melanoma malignan. Hal ini sedang diteliti
dan tes pemeriksaan S-100 masih pelajari.
Cancer Antigen 72-4 (CA 72-4)
CA 72-4 merupakan tes yang relatif baru untuk kanker
ovarium dan kanker yang berasal dari saluran cerna. Tidak
lebih baik dari CA 125 tapi dapat menambahkan nilai diagnosis dan ha1 ini masih dalam penelitian lanjutan.
Squamous Cell Carcinoma Antigen (SCC)
SCC pertama kali di identifikasi pada kanker serviks. Ini
merupakan penanda dari kanker sel squmous yang dapat
terjadi pada serviks, kepala dan leher, paru dan kulit. Kadar
dari SCC dapat dipakai membantu menetapkan stadium
dari karsinoma dan menentukan respon terapi (4,19)
Beberapa pemeriksaan penanda lainnya dapat
digunakan sebagai petunjuk adanya lesi kanker, seperti
misalnya pemeriksaan metabolit katekolamin pada kasus
neuroblastoma, hormon adrenokortikotropik dan antidiuretik hormon pada kasus kanker paru sel kecil. Alpha 2
macroglobulin dapat berikatan dengan PSA dan kompleks
ini dapat digunakan pada kanker prostat. Kadar feritin yang
tinggi juga dihubungkan dengan beberapa jenis kanker
seperti kanker testis, neuroblastoma, limfoma Burkitt's,
leukemia dan kanker laring. Pada kanker nasofaring
didapatkan bahwa DNA EBV ( Epstein Burr firus ) dalam
plasma dapat digunakan sebagai PT baik sebelum, selama
maupun sesudah terapi diberikan.

APLlKASl KLlNlK PENANDA TUMOR


Penggunaan PT di klinik ditujukan terutama untuk mendapat
informasi tambahan yang dapat mempengaruhi
penatalaksanaan suatu penyakit. Namun ditegaskan bahwa
tidak dapat dijamin bahwa suatu metode pemeriksaan PT
dalam darah ataujaringan akan memberikan hasil yang sama
dengan metode yang berbeda. Demikian pula hasil dari suatu
pemeriksaan akan sangat ditentukan oleh komposisi
spesimen, prosesing dari jaringan yang akan diperiksa,
spesifisitas'dan desain dari alat ukur yang dipakai, jenis
antibodi pada assay immunometric dan yang penting juga
adalah evaluasi statistik terhadap data yang didapat
(preanalytical, analytical dun post analytical aspect).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PT akan sangat berguna dalam evaluasi dan


penatalaksanaan beberapa kondisi klinik seperti penzntuan
risiko suatu tumor, skrining tumor, diferensial diagnosis,
menentukan prognosis dan monitoring perjalanan suatu
tumor.
Strategi skrining akan sangat efisien apabila dilakukan
pada populasi dengan risiko tinggi terhadap munculnya
suatu tumor yang diperkirakan, dan dengan makin majunya
pengetahuan dimana beberapa gen yang diduga sudah
dapat diidentifikasikan maka estimasi risiko timbulnya
kanker akan makin tepat. Skrining PT akan makin
bermanfaat apabila tersedia pilihan terapi yang dapat
menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas dari kanker
yang bersangkutan. Pada situasi dimana hasil dari
pemeriksaan histopatologis meragukan, PT mungkin dapat
membantu membedakan antara jaringan yang jinak dengan
ganas, antara keganasan hematologi dengan keganasan
yang berasal dari epitel atau jaringan mesensimal dan
bahkan dapat membedakan tipe jaringan dengan jenis
lainnya. Walaupun awalnya PT dipelajari untuk dapat
mendeteksi tumor pada fase dini, namun sampai saat ini
hanya PSA yang diterima sebagai penanda dini dari suatu
kanker ( kanker prostat ). Pada pasien dengan kadar CA
125 tinggi diduga mempunyai kanker ovarium walaupun
massa ovariumnya tidak terlalu jelas bisa di identifikasi.
Banyak para peneliti meragukan manfaat pemeriksaan
PT sebagai alat skrining tumor fase dini oleh karena tidak
spesifiknya PT yang bersangkutan. Akan tetapi ha1 ini
nampakya dapat diatasi dengan melakukan pemeriksaan
kombinasi antara beberapa PT sekaligus sehingga
meningkatkan daya spesifisitas. Peneliti Jepang
mendapatkan hasil yang dapat menilai dengan adekuat
risiko timbulnya kanker pada sekelompok orang yang
sebelumnya normal. Dengan mengkombinasikan 3 macam
klas PT yaitu tumor- speczfic tumor markers, tumor-associated tumor markers dan growth-related tumor markers
assays.
Prognosis pada pasien dengan tumor primer ataupun
metastase adalah suatu prediksi suatu kondisi tumor di
kemudian hari baik dengan pengobatan maupun tanpa
pengobatan. Menurut McGuire dan Clark faktor
prognosis dibagi menjadi 2 katagori yaitu faktor prognostik
yang meramalkan adanya kekambuhan atau progresi dari
penyakitnya dan faktor prediktif yang meramalkan adanya
respons atau resisten terhadap terapi yang diberikan. Suatu
PT bisa bersifat keduanya yaitu prognostik (kemungkinan
kekambuhan dan atau progresi) dan prediktif
(kemungkinan bermanfaat terhadap terapi yang diberikan).
Sebagai contoh adalah pada pasien kanker payudara
dengan ER- negative yang tidak mendapat terapi akan
mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien dengan ER-positive, diduga
disebabkan oleh ER berhubungan dengan metastase atau
potensi overgrowth. Pada kasus ini ER adalah faktor
prognostik. Pada kasus lain pemberian tamoksifen (anti

estrogen) lebih efektif dalam mencegah rekurensi dari


kanker payudara yang ER-positive dibandingkan dengan
ER-negative. Disini PT ER adalah faktor prediktif terhadap
efek tamoksifen.
Selama dalam terapi dan fase follow-up selanjutnya
pemeriksaan PT dapat dipakai sebagai alat untuk
memonitor pasien. Baik untuk mendeteksi kekambuhan
tumor primer setelah mendapat terapi maupun untuk
melihat efektifitas hasil pengobatan. Banyak perempuan
dengan kanker payudara diperiksakan setiap tahun CA
15-3 untuk mendeteksi rekurensi kankernya sebelum
gejalanya timbul, namun ha1 ini masih banyak
dipertanyakan manfaatnya. Umumnya peningkatan kadar
CA 15-3 terjadi bersamaan dengan munculnya gejala.
Demikian pula halnya dengan pemeriksaan CEA pada
kanker kolon sehingga ASCO tak merekomendasikan
penggunaan PT ini untuk monitor kasus dengan kanker
kolon, kecuali untuk melihat respons terapi pada kanker
kolon stadium lanjut.
Kebanyakan para klinisi berpendapat manfaat PT
terbesar adalah untuk memonitor pasien kanker stadium
lanjut yang sedang mendapat terapi. Dimana akan lebih
mudah untuk memeriksa PT dibandingkan melakukan
pemeriksaan lainnya seperti scaning, X-ray dan
pemeriksaan invasif lainnya. Kalau kadar PT menurun
umumnya merupakan tanda dari keberhasilan terapi,
demikian sebaliknya apabila kadarnya meningkat maka
terapi hams diganti. Namun perlu diingat kadang terjadi
peningkatan kadar PT pada saat terjadinya kematian dari
sel kanker terutama pada kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi.
Akhirnya pemeriksaan PT hanya akan menjadi efektif
apabila hasilnya dapat mempengaruhi penatalaksanaan
pasien sehingga menghasilkan perbaikan klinik yang
nyata. Sebaliknya apabila PT yang bersangkutan tidak
dapat memberikan manfaat baik dalam lama hidup,
kualitas hidup pasien ataupun aspek ekonominya
tentunya PT yang bersangkutan tidak layak untuk
diteruskan. Akan tetapi walaupun belum tersedianya
modalitas terapi untuk suatu tumor tertentu, pemeriksaan
PT tetap akan memberi manfaat dikemudian hari seiring
dengan perkembangan terapi dimasa depan. Karena
pengetahuan tentang PT akan membuka peluang
dikembangkannya suatu pendekatan baru berdasar atas
pengenalan molekul protein dari PT tersebut. Demikian
pula PT akan memberi nilai klinik yang tinggi apabila dia
dapat mengambarkan suatu proses bilogis dari
berkembangan suatu tumor.

Panduan untuk Penanda Tumor


Perlu untuk diketahui bahwa panduan atau guideline tidak
selalu bisa memenuhi setiap perubahan yang terjadi pada
setiap pasien. Dia tidak dimaksudkan untuk memaksakan
seorang klinisi pada suatu kondisi individu tertentu tapi
lebih merupakan suatu petunjuk secara lebih umum. Dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

DI semua
SCAN
UNTUK
dr. PRIYO
PANJI
juga dia tidak seutuhnyaHANYA
inclusive pada
metode
PROSPEK
PENANDA
TUMOR
penanganan pasien yang ada, sebaliknya tidak juga
Banyak PT barn yang sedang diteliti dan dikembangkan
mentabukan terapi lainnya yang jelas memberikan hasil
sebagai suatu penanda tumor yang potensial di masa yang
yang sama. ASCO menganggap kepatuhan pada
akan datang. Dengan perkembangan tehnologi pemeriksaan
guideline tertentu hanyalah bersifat sukarela (voluntary).
dengan menggunakan antibodi monoklonal makin banyak
Keputusan akhir mengenai penggunaan guideline
saja penemuan tentang molekul yang berkaitan dengan
tergantung dari penilaian klinik dari seorang dokter
proses karsinogenesis pada tahap awal, baik pada darah
berdasarkan kebutuhan dari pasiennya. Di samping itu
maupun pada sel kankemya sendiri. Perubahan.kromosom,
perlu diperhatikan guideline biasanya dibuat atas dasar
baik delesi, duplikasi maupun lainnya telah diketahui dan
pemberian pengobatan di dalam konteks praktis klinik
mungkin akan menjadi penanda yang potensial. Di samping
sehingga tidak dimaksudkan pada konteks penelitian yang
itu banyak laboratorium yang mencari kelainan genetik
umumnya dilakukan untuk mengetahui suatu terapi
untuk mendeteksi adanya kanker. Kita ketahui semua
inovatif dan baru.
kanker akan mempunyai kelainan DNA, suatu molekul yang
Clinical guideline bukanlah suatu magic bullet bagi
mengatur setiap fungsi sel tubuh. Dengan mengetahui
para klinisi akan tetapi hanya memberikan salah satu
kelainan DNA dalam darah, urin, atau sel tubuh maka para
pilihan tambahan untuk memperbaiki kualitas hidup
ilmuwan akan dapat mengenal proses perkembangan
pasien. Petunjuk penggunaan PT ini dibuat melalui
kanker pada stadium awal sekali. Saat ini telah berkembang
penilaian kritis dan sistematik dari literatur ilmiah oleh
suatu studi yang baru yang disebut sebagai proteomics
para ahli dari banyak disiplin ilmu, nasional maupun
yaitu studi tentang protein complement yag komplit atau
intemasional. Rekomendasi penggunaan PT merupakan
suatuproteom dari sel. Dengan teknologiproteomic akan
bagian dari penatalaksanaan menyeluruh dari seorang
memungkinkan kita untuk mengenal perubahan protein
pasien kanker karena kontribusi dari pemeriksaan PT tidak
akibat suatu proses penyakit dengan akurasi yang tinggi.
dapat diintepretasikan tersendiri.
Dan keuntungan lainproteomic study ini adalah identifikasi
Berikut disajikan salah satu guideline praktis dari
protein yang merupakan produk akhir yang bertanggung
penanda tumor dengan indikasinya pada jenis tumor yang
jawab terhadap keseluruhan proses tersebut (biological
bersangkutan yang direkomendasikan oleh group panelis
endproducts).
dari beberapa negara. (dikutip :34)
A.Tumor Sel Germinativum
ACBl

AJCC

EAU

EGPT

ESMO

NACB

SIGN

ACJJ

ASCO

EGPT

ESMO

NACB

SIGN

SOR

ACBl

AJCC

ASCO

EGPT

NACB

SOR

AFP dan hCg untuk


Skrining
Diagnosis Ideteksi
Pentahapanlprognosis
Mendeteksi rekurensi
Memantau terapi
AFP untuk diagnosis yang berbeda dari NSGCT
LDH untuk
Diagnosisldeteksi
Pentahapanlprognosis
Mendeteksi rekurensi
Memantau terapi

B. Kanker Kolorektal
ACBI
CEA untuk
Skrining
Diagnosisldeteksi
Pentahapanlprognosis
Mendeteksi rekurensi
Memantau terapi
Skrining untuk metastase hepatik

C. Kanker Payudara
Pengukuran ER dan PR
Pada semua lesi primer
Untuk memilah terapi endokrin
Ekspresi lebih HER-21neu (c-erbB-2)
Untuk memilah pasien terpi herceptin

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1431

PENANDA TUMOR DAN APLIKASI KLINIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

CA15-3 or BR27.29 for


Skrining
Diagnosisldeteksi
Prognosislprediksi
Follow-uplpemantauan treaPTent
CEA untuk
Skrining
Diagnosisldeteksi
Prognosislprediksi
Follow up/pemantauan teaPTent
D. Kanker Ovarium

AJCC

EGPT

ESMO

NACB

SOR

ACBI

ACS

AJCC

AUA

EAU

EGPT

BTA

EGPT
Y

NACB

ACBI

CAI25 untuk
Skrining
Diagnosisldeteksi
Pentahapanlprognosis
Deteksi rekurensi
Memantau terapi
CEA atau CA19.9 jika CAI25 tidak meningkat pada
Diagnosis
AFP dan hCG untuk menyingkirkan diagnosis tumor
sel germinal pada wanita muda

N
N'
Y
Y

E. Kanker Prostat
NACB

PSA untuk
Skrining (dengan DRE)
Sebagai alat bantu diagnosis (dengan DRE)
Prognosis
Memantau pasien setelah diagnosis
% bebas: Total PSA
sebagai diagnosis pembantu ketika PSA
4-10 pg/L and DRE negatif
Pemeriksaan kanker prostat
Kisaran rujukan spesifik umur
F. Paru, Neuroendokrin, dan Kanker Tiroid
Kanker paru
NSE pada diagnosis yang berbeda
CYFRA 21-1, CEA, danlatau NSE sebagai follow-up
and pemantauan terapi
Tumor-tumor neuroendokrin
Katekolamin urin, asam vanililmandalat,
danlatau asam homovanilat sebagai petunjuk
feokromositoma and neuroblastom
Kalsitonin untuk mendiagnosis dan memantau
Tiroid medulari karsinoma
Kanker tiroid
Tiroglobulin

N. not recommended; Y, recommended. Ruang kosong menunjukkan bahwa aplikasi tidak dipertimbangkan danlatau rekomendasi dijanjikan.
bACBI, Association of Clinical Biochemists in Ireland: ESMO, European Society of Medical Oncologv: NSGCT, nonseminomatous germ cell
tumor: LDH, lactate dehydrogenase: ER, estrogen receptor: PR, progesterone receptor: ACS, America Cancer Socienty: AUA, American
Urological Association: BTA, British Thyroid Association.
'Manfaat pemeriksaan CEA meragukan.
dPemeriksaan laboratorium dibatasi pada pasien dengan sangkaan gejala.
'Manfaat pemeriksaan CEA meragukan karena tidak menunjukkan manfaat kelangsungan hidup.
'Hanya jika metastasis hati diindikasikan secara klinis.
8Jika penyakit tidak dapat diukur segera, peningkatan Ca15-3 atau BR 27.29 bisa digunakan untuk menduga kegagalan terapi.
hMungkin berguna untuk diagnosis dini metastasis jauh.
'Hanya jika CEA meningkat, dan CA 15-3 tidak meningkat.
JJika penyakit tidak dapat diukur segera, peningkatan CEA mungkin bisa digunakan untuk menduga kegagalan terapi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kUntuk deteksi dini pada pasien karsinoma stadium 11 atau 111 yang telah diterapi sebelumnya yang secara klinis bebas penyakit.
'Pada perempuan pasca menopause, membantu dalam diagnosis diferensial masa pelvis jinak dan ganas.
"Jika dikombinasi dengan sonografi transvagina, CA125 bisa menjadi prosedur untuk deteksi dini kanker ovarium pada perempuan dengan
sindrom
kanker ovarium herediter.
"Pemeriksaan setiap tahun dimulai pada laki-laki usia 50 tahun dengan harapan hidup paling sedikit 10 tahun.
"Berdasarkan permintaan, keputusan skrining populasi harus menunggu hasil studi acak prospektif yang menunjukkan pengaruh skrining pada
hasil.
psistem penentuan stadium TNM diperbaiki dengan penambahan skor PSA dan gleason, tetapi inklusi menunggu hasil studi. PSA telah
berperan
dalam penentuan stadium pada pasien menunjukkan stadium Tk setelan biopsi prostat yang asimtomatik dan selalu ditelusuri hanya jika PSA
meningkat.
qTerapi tambahan ditawarkan jika PSA meningkat.

Potensi dari diagnostik gen yang dipakai sebagai alat


skrining pada tumor ataupun pada keseluruhan sel yang
mengandung gen yang rusak bukanlah suatu yang mudah
dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Perlu dibedakan
kerusakan sel yang terjadi pada ketuaan, mengingat proses
ketuaan sendiri merupakan akumulasi dari kerusakan gen
yang sangat berpotensi untuk muncul dimasa yang akan
datang sebagai suatu tumor yang manifes. Namun
kenyataannya ha1 tersebut memang tidak mudah dikenali.
Oleh karena itu perlu ditingkatkan sensitivitas dari penanda
DNA dan dikembangkan suatu teknik untuk menghitung
penanda DNA tersebut. Hanya dengan penghitungan
penanda DNA (suatu panel dari penanda awal dan penanda
lanjut lebih baik dari hanya penanda tunggal) dalam darah
akan memungkinkan untuk mendeteksi fase awal dari tumor. Demikian pula dengan data kuantitatif dapat dilakukan
perbandingan dengan data dari klinik lainya, untuk
memonitor progresi penyakit pada individu tertentu, dan
mendeteksi adanya progresi dari tumor dengan menghitung
panel PT tersebut.

RINGKASAN
PT adalah alat yang penting bagi para klinisi untuk
membantu memberikan informasi mengenai deteksi awal
suatu tumor, estimasi prognosis pasien, memprediksi
respons terapi dan monitoring penyakit. Namun sebuah
PT sebelum diakui bermanfaat secara klinik hams melalui
suatu studi validasi dan penilaian kualitas pada beberapa
tingkatan. Suatu penanda hams terbukti memberi manfaat
lebih pada pasien, meningkatkan kualitas dan menurunkan
biaya perawatan pasien sebelum diaplikasikan dalam
praktek klinik sehari-hari. Ada banyak jenis penanda dan
manfaatnya akan lebih baik apabila dilakukan pemeriksaan
serial dan kombinasi dibandingkan hanya dengan
pemeriksaan tunggal. Yang perlu juga diperhatikan adalah
kualitas dan prosedur dari pemeriksaan, karena
pemeriksaan dengan metode yang lain akan mendapatkan

hasil yang beda sehingga perlu dilakukan standarisasi.


Dengan perkembangan teknologi kedokteran yang pesat
diharapkan di masa depan suatu penanda yang ideal bisa
ditemukan yaitu penanda yang dengan sensitivitas dan
spesifitas tinggi, mudah dan murah pemeriksaannya.

REFERENSI
American Cancer Society. Tumor Markers. Available at: http://
www.google.com. Accessed 15101/05.
Anonim. Current Cancer Marker. Available at: http://
www.google.com. Accessed 04/02/05.
Buckhaults P, Rago C, StCroix B. Secreted and Cell Surface Genes
Expressed in Benign and Malignant Colorectal Tumors. Cancer
Res. 2001; 61: 6996-01
Bidart JM, Thuillier F, Augereau C, Chalas J, Daver A, Jacob N, et al.
Kinetic of Serum Tumor Marker Concentrations and Usefulness in Clinical Monitoring. Clin Chem 1999;45:1695-707.
Bast RC, Ravdin P, Hayes DF, Bates S, Frische H, Jessup JM, et al.
2000 Update of Recommendation for the Use of Tumor Markers in Breast and Colorectal Cancer: Clinical Practice Guidelines
of the American Society of Clinical Oncology. Asco Special
Article. J Clin Oncol 2001;19:1865-78.
Baselga J. Is Circulating HER-2 More Than Just a Tumor Marker?
Editorial. Clin Cancer Res 2001;7:2605-7.
Cordon-Cordo C. p53 and RB: Simple Interesting Correlates or
Tumor Markers of Critical Predictive Nature? J Clin Oncol
2004;22:975-7.
Cancer Center Staff. Tumor Marker Tests. Available at: http://
www.google.com. Accessed 04/02/05
European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Germ Cell
Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http://
www.google.com. Accessed 04/02/05.
European Group on Tumor Markers. Tumour Markers in Breast
Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http:ll
www.google.com. Accessed 04/02/05.
European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Lung
Cancer-EGTM Recommendations. Available at: http://
www.google.com. Accessed 04/02/05
Fritsche HA. Serum Tumor Markers for Patient Monitoring: A
Case-Oriented Approach Illustrated with Carcinoembryonic
Antigen. Clin Chem 1993;39:243 1-4.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1433

PENANDA TUMOR DAN APLlKASl KLlNlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Hayes DF, Bast RC, Desch CE, Fritsche H, Kemeny NE, Jessup JM,
et al. Tumor Marker Utility Grading System: a Framework to
Evaluate Clinical Utility of Tumor Markers. Special Article. J
Natl Cancer Inst 1996;88:1456-66.
Harbech N, Kates RE, Schmit HM. Clinical relevance invasion
factors Urokinase type Plasminogen Activator and Plaminogen
Activator Inhibitor type-1 for individualized therapy decision
in primary breast cancer is greatest when used in combination.
J Clin.Onco1.2002; 19: 1000-07.
Kobayashi T, Kawakubo T. Prospective Investigation of Tumor
markers and Risk Assessment in Early Cancer Screening.
Available at: http://www.google.com. Accessed 04/02/05.
Hermeking H. Serial Analysis of Gene Expression and Cancer.
Current Opinion in Oncology 2003;15:44-9.
Lichtenstein AV, Potapova GI. Genetic Defects as Tumor Markers.
Moleculer Biology 2003;37:159-69.
Lindblom A, Liljegren A. Tumour Markers in Malignancies. Clinical
Review. BMJ 2000;320:424-7.
Loging WT, Lal A, Siu IM, Loney TL, Wikstrand CJ, Marra MA,
Prange C. lndentifying Potential Tumor Markers and antigens
by Database Mining and Rapid Expression Screening. Letter.
Genome Research 2000;lO: 1393-1 402.
Norderson NJ. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com.
Accessed 04/02/05.
Phillips L. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com.
Accessed 3 1/01/05.
Perkins GL, Slater ED, Sanders GK, Prichard JG. Serum Tumor
Markers. Am Fam Physician 2003;68:1075-82.
European Group on Tumor Markers . Tumour Markers in Gastrointestinal Cancers-EGTM Recommendations. Available at:
http://www.google.com. Accessed 04/02/05.

Riley RD, Heney D, Jones DR, Sutton AJ, Lambert PC, Abrams KR,
et al. A Systemic Review of Molecular and Biological Tumor
Marker in Neuroblastoma. Review. Clin Cancer Res 2004;10:412.
Srinivas PR, Verma M, Zhao Y, Srivastava. Proteomics for Cancer
Biomarker Discovery. Clin Chem 2002;48:1160-9.
Smith JF. Tumor Markers. Available at: http://www.google.com.
Accessed 15101/05.
Smith RA, Cokkinides V, Eschenbach AC, Levin B, Cohen C,
Runowich CD, et al. American Cancer Society Guidelines 'for
the Early Detection of Cancer. Ca Cancer J Clin 2002;52:8-22.
Schrohl AS, Holten-Andersen M, Sweep F, Schmitt M, Harbeck N,
Foekens J, et al. Tumor Markers from Laboratory to Clinical
Utility. Review. Molecular & cellular proteomics 2.6 2003: 37887.
Sidransky D. Emerging molekuklar markers of cancer. Nature Rev.
Cancer 2002; 2: 210-19
Sturgeon C. Practice Guidelines for Tumor Marker Use in the
Clinic. Cancer Diagnostic: Review. Clin Chem 2002;48: 115 1-9.
Shoterlersuk K, Khorpraset C, Sakdikul S, Pornthanakasem W,
Voravud N, Mutirangura A. Epstein-Barr Virus DNA in Serum1
Plasma as a Tumor Marker for Nasopharyngeal Cancer. Clin
Cancer Res 2000;6: 1046-5 1.
Sturgeon C. Practice Guidelines for Tumor Marker Use in the Clinic.
Clin Chem.2002; 48: 1151-9
Torosian MH. The Clinical Usefulness and Limitations of Tumor
Markers. Surg Gynnecol Obstet 1988; 166:567-79.
Varsney D, Zhou YY, Giller SA, Alsabel R. Determination of HER2 status and Chromosome 17 Polysomy in Breast Carcinoma
Comparing Hercep test and Pathvysion. Am.J Clin Pathol. 2004;
121: 70-77.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENGGUNAAN OBA'LOBATAN
ANTIKOAGULAN ANTITROMBOLITIK,
TROMBOLITIK DAN FIBRINOLITIK
Soenarto

PENDAHULUAN
Penghentian perdarahan spontan yang disebabkan
robeknya pembuluh darah disebut hemostasis. Peristiwa
ini sangat kompleks, dan melibatkan banyak faktor dimulai
dari pembuluh darah, trombosit dan faktor-faktor
pembekuan yang ada dalam plasma darah. Hasil akhir
peristiwa ini ialah terbentuknya fibrin. Tahap pembekuan
darah dalam garis besarnya melalui: (1) pembentukan
tromboplastin, (2) pembentukan trombin dari protrombin,
(3) pembentukan fibrin dari fibrinogen.
Peristiwa terjadinya bekuan guna menutup bagian
pembuluh darah yang rusak adalah suatu peristiwa
fisiologik normal, namun bila bekuan yang timbul
mengakibatkan aliran darah ke jaringan terganggu atau
tersumbat, akan terjadi suatu penyakit (trombosis). Dalam
ha1 ini diperlukan obat yang dapat mencegah atau
melarutkan trombus.
Obat yang dimaksud, tergolong: antikoagulan,
antitrombotik, trombolitik dan fibrinolitik.

OBAT ANTIKOAGULAN
Obat antikoagulan ialah obat atau golongan obat yang
kerjanya menghalangi pembekuan darah. Menurut cara
kerjanya dikenal dua macam antikoagulan yaitu: a).
langsung (direk) pada pembekuan darah dan antitrombin
111 baik in vivo maupun in Vitro dan contoh untuk ini
adalah heparin dan, b). yang tak langsung (indirek)
mempunyai khasiat menghambat pembekuan darah dengan
memutuskan hubungan antara faktor pembekuan yang

dibentuk di hati yang memerlukan adanya vitamin K. Faktor


pembekuan tersebut ialah faktor 11, VII, IX dan X. Obat
yang tergolong kelompok ini hanya bekerja in vivo,
termasuk di sini ialah golongan antikoagulan oral.

HEPARIN
Heparin untuk pertama kali diisolasi dari hati anjing. Zat
tersebut terdiri dari banyak asam glukuronat (26%) dan
glukosamin (23%). Sekarang heparin dapat diisolasi dari
sel maupun jaringan yaitu: mast cell dan mukosa usus,
paru dan dinding pembuluh darah. Tentang banyaknya
zat tersebut dalarn jaringan berbeda dari spesies satu
dengan yang lain. Pada manusia jumlahnya sedikit.
Beberapa pabrik farmasi telah memproduksi zat tersebut
dari paru lembdsapi atau dari mukosa usus babi.
Seperti diterangkan di atas heparin merupakan
mukopolisakarid (glukosaminoglikan) yang terdiri dari
glukosamin sulfat dan asam glukuronat atau iduronat. la
membentuk suatu ikatan asam organik dengan muatan
listrik negatif.
Fungsi fisiologi heparin belum jelas, diperkirakan
berkaitan dengan fungsi mast cell, metabolisme lemak, dan
pemeliharaan sifat nontrombogenik sel endotel permukaan
pembuluh darah. Heparin bersifat antikoagulan langsung.
Aksi untuk mengadakan gangguan terhadap perkembangan
aktivitas tromboplastin ini tampak terjadi baik invivo
maupun in vitro. Secara tak langsung heparin bekerja
sebagai kofaktor plasma. Kofaktor heparin atau antitrombin
111 adalah suatu alfa 2 globulin dan suatu inhibitor
protease yang dapat menetralisir beberapa faktor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENGCUNAAN OBAT-OBATAN ANTIKOAGULAN ANTITROMBOI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pembekuan yang telah diaktifkan yaitu XIIa, kalikrein, IXa,
Xa, Ila dan XIIIa. Pengaruh ini lebih dipercepat dengan
adanya heparin. Meskipun antitrombin I11 diperkirakan
menginaktifkan trombin, namun plasma protein lain juga
ikut terpengaruh.
Ada petunjuk bahwa antitrombin I11 berperan dalam
menghambat pengaktifan faktor XI dan heparin
mempercepat reaksi ini. Jadi heparin dapat menurunkan
aktivitas antitrombin 111, ha1 demikian akan tampak pada
pasien yang mendapatkan pengobatan baik secara terus
menerus maupun terputus-putus. Karenanya pengobatan
standar untuk penyakit-penyakit tromboemboli
memerlukan suatu modifikasi guna mencegah seminimal
mungkin akan kekurangan antitrombin I11 selama
pengobatan berlangsung.
Perlu diingat bahwa selain heparin, terdapat pula obat
lain yang mempunyai pengaruh terhadap penurunan kadar
antitrombin 111. Obat kontrasepsi yang mengandung
estrogen dapat juga menurunkan kadar antitrombin 111.
Selama terjadi penjendalan, trombosit akan
menghasilkan faktor trombosit 4. Zat ini dapat menetralisir
pengaruh heparin. Fungsi fisiologisnya belum diketahui.
Ikatan antara faktor trombosit 4 dengan heparin
memudahkan penumpukan trombin dan pembentukan
jendalan. Pengaruh lain suntikan heparin ialah dapat
membersihkan plasma lipid pada pasien dengan plasma
keruh (lipemia). Hasil reaksi ini adalah, pengeluaran darah
dari ikatanjaringan enzim-enzim lipid hidrolisis. Salah satu
enzim yaitu lipoprotein lipase, menghidrolisasi trigliserid
dari kilomikron-kilomikron dan very low density lipoprotein yang terikat pada sel sel endotel kapiler menjadi asam
lemak dan bagian bagian gliserid.

Nasib, Penyerapan dan Pengeluaran


Heparin kurang mempunyai kemampuan menembus
membran karena molekulnya besar. Juga tidak diserap oleh
usus dan tidak dapat menembus plasenta. Demikian pula
bila heparin diberikan pada ibu yang menyusui bayi,
heparin tak ditemukan dalam air susu. Bila heparin
disuntikkan intravena, pengaruh antikoagulannya mudah
lenyap dari darah, karena waktu paruh tergantung dari
dosis yang diberikan. Dari percobaan pemberian heparin
dengan dosis 100,400, dan 800 unitlkg berat badan yang
diberikan intravena, tampak bahwa waktu pamh aktivitas
antikoagulasi kurang lebih berturut-turut sekitar 1,2, dan
3 jam.
Heparin di dalam tubuh akan dimetabolisasi dalam hati
oleh enzim heparinase, dan hasil metabolit yang inaktif
dikeluarkan bersama urin. Heparin sendiri dapat pula
ditemukan dalam urin setelah pemberian dosis besar
intravena.
Waktu paruh aktivitas antikoagulan heparin dapat
memanjang lebih dari normal pada pasien dengan
gangguan faal ginjal dan sirosis hati. Untuk pasien dengan

emboli paru diperlukan dosis heparin besar karena obat


ini cepat dibersihkan dari darah.

Cara Pemberian dan Dosis


Heparin dapat disuntikkan intravena maupun subkutan,
dan jangan diberikan intramuskular.
Obat yang tersedia biasanya berbentuk sebagai
heparin sodium injection USP. Penggumpalan darah in
vitro dapat dicegah dengan kadar 1 unitlml darah dalam
badan. Pemberian 10.000 unit bolus heparin intravena pada
pasien seberat 70 kg akan menghasilkan kadar awal
heparin kurang lebih 3 unitlml darah, dan aktivitas
. antikoagulan lenyap dengan waktu paruh 1,5 jam.
Pengobatan intravena secara berulang adalah baik. Dosis
awal 10.000unit diikuti dosis ulang 5.000 unit sarnpai 10.000
unit tiap 4 atau 6 jam. Indikasi penggunaan heparin akan
dibahas kemudian.
Efek Samping, Toksisitas
Efek samping biasanya jarang terjadi. Bila hendak memberi
heparin pada pasien, perlu diketahui obat apa yang
diminum. Dernikian pula mengenai riwayat alergi terhadap
jaringan hewan. Sebaiknya dicoba dulu dengan 1.000 unit.
Reaksi hipersensitif dapat berupa: menggigil, demam,
urtikaria, dan renjatan anafilaktik. Efek samping yang
mungkin timbul ialah:
Terjadinya rambut rontok sampai botak yang sifatnya
reversibel.
Osteoporosis sampai patah tulang pernah dilaporkan
pada pasien yang mendapatkan heparin 15.000 unit tiap
hari selama 6 bulan.
Perdarahan merupakan komplikasi utama pemberian
heparin. Perdarahan dapat dikurangi dengan kontrol
yang cermat pada dosis yang diberikan. Efek
antikoagulan perlu dimonitor dengan tes waktu
pembekuan.
Trombositopenia dapat terjadi setelah pemberian heparin, karena itu penghitungan trombosit hams sering
dilakukan.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap heparin, pasien dengan
perdarahan aktif, hemofilia, purpura trombositopenik,
perdarahan intrakranial,endokarditis bakterial, tuberkulosis
aktif, meningkatkan permeabilitas kapiler, ulkus traktus
gastrointestinalis, hipertensi berati kemungkinan abortus
dan karsinoma alat dalam.
Heparin harus ditunda pada dan sesudah operasi mata,
otak atau medula spinalis.
Antidotum
Kerja heparin dapat dinetralisir oleh protamin sulfat.
Pemberiannya intravena secara pelan pelan. Diberikan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOCI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sebagai larutan satu persen dan diperhitungkan 1 sampai
1,25 mg protamin per mg heparin, dan jangan melebihi 100
mg dalam waktu 24 jam. Kelebihan dosis protamin
memberikan efek antikoagulan.

Yang meningkatkan respons: aspirin, fenilbutason,


oksifenbutason, metronidazol, moral hidrat, d-tiroksin,
steroid anabolik, kinidin dan glukagon.
Yang mengurangi respons : barbiturat, griseohlvin,
vitamin K, vitamin C dosis tinggi dan
adrenokortikosteroid.

ANTIKOAGULAN ORAL
Yang termasuk dalam kelompok obat ini ialah kelas
kumarin (bishidroksikumarin) dan Indandion
(Fenindion). Sejumlah obat golongan kumarin ini telah
dapat disintesis. Strukturnya mirip vitamin K yang
sintetik. Diperkirakan kerja golongan antikoagulan ini
kompetitif terhadap vitamin K, sehingga faktor-faktor
pembekuan yang membutuhkan vitamin K dalam
pembentukannya akan terganggu. Faktor-faktor tersebut
ialah: faktor 11, faktor VII, faktor IX dan faktor X. Jadi
obat antikoagulan oral tidak bakerja secara langsung.
Mereka tidak mempengaruhi pembekuan in vitro, tapi
in vivo. Gangguan pembekuan ini tidak berlangsung
segera setelah meminum obat, melainkan tergantung dari
penyusutan atau hilangnya faktor-faktor pembekuan
yang bersangkutan, dimana masing masing mempunyai
waktu paruh yang berbeda. Yang hilang pertama adalah
faktor VII karena waktu paruhnya terpendek kemudian
diikuti berturut turut oleh IX, X dan akhirnya 11. Dengan
demikian efek antikoagulan baru nyata setelah masa
laten antara 12-24 jam. Sebaliknya demikian pula bila
terjadi perdarahan akibat dosis antikoagulan berlebihan,
make pemberian vitamin K tidak dapat segera
mengatasinya dan perlu diberikan transfusi plasma atau
darah segar.

Faktor-faktor yang Mempengaruhl Aktivitas


Terdapat beberapa faktor baik fisiologis maupun patologis
yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan respons
terhadap obat antikoagulan oral. Faktor-faktor tersebut
berpengaruh terhadap efek biologis obat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi obat antikoagulan oral
adalah:
Faktor yang meningkatkan respons hipoprotrombinemia.
- Faktor yang mengakibatkan defisiensi vitamin K
(diet yang kurang, penyakit usus halus).
- Penyakit hati dengan berbagai etiologi.
Keadaan hipermetabolik seperti: demarn, hipertiroidisme
Faktor yang menurunkan respons hipoprotrombinemia:
kehamilan sindrom nefiotik, uremia.
lnteraksi Obat
Terdapat beberapa macam obat yang dapat mengadakan
interaksi dengan obat antikoagulan. Pengaruhnya dapat
meningkatkan atau menurunkan respons antikoagulan
oral.

Penyerapan, Nasib dan Pengeluaran


Obat antikoagulan oral diserap di usus. Kecepatan
penyerapan tergantung jenis obat. Warfarin lebih cepat
diserap dibandingkan dengan dikumarol. Di antara jenis
warfarin sendiri terdapat juga perbedaan. Bioavailability
kalium warfarin pada manusia lebih rendah dari pada
natium warfarin.
Obat golongan ini akan mengalami konjugasi di dalam
hati dan dikeluarkan dengan urin serta tinja.
Penanganan Pengaruh Toksik
Perdarahan merupakan ha1 yang tidak diinginkan pada
pemberian obat antikoagulan oral.
Pengobatan perdarahan karena pengaruh obat ini
ialah segera menghentikan obat dan memberikan vitamin K, (fitonadion). Cara ini akan menghentikan
perdarahan ringanlkecil, dan waktu protrombin akan
menjadi normal dalam waktu 24 jam. Vitamin K3 dalam
ha1 ini tidak efektif. Bila perdarahan berat, diberi vitamin K intravena paling sedikit 50 mg. Bila dengan cara
ini tidak menolong setelah beberapa jam, perlu segera
transfusi darah segar atau, fresh frozen plasma dan
penambahan vitamin K,
Bila pasien dengan antikoagulan oral akan menjalani
operasi, obat dapat dilanjutkan dengan penambahan vitamin K, 2,s mg tiap hari, dua hari menjelang operasi atau 5
mg pada hari menjelang operasi.
Alternatif lain bila pasien dengan warfarin akan
menjalani operasi, warfarin dapat dihentikan. Selanjutnya
diberi substitusi heparin dosis rendah menjelang operasi
sarnpai 5-7 hari setelah operasi. Kemudian kembali ke obat
semula.
Kontraindikasi sama dengan heparin, termasuk
panyakit hati, ginjal, dan defisiensi vitamin K.
Preparat dan Cara Pemberian
Warfarin sodium U.S.P. (Koumadin, Panwarfarin) dapat
diperoleh dalam bentuk tablet 2,2,5,5,7,5, 10 dan 25 mg.
Meskipun dianjurkan dosis awal antara 40-60 mg sebaiknya
hati-hati dengan dosis yang besar. Terapi dapat dimulai
dengan 10-15 mg; sedang dosis pemeliharaan antara 2-1 5
mg tiap hari.
Dicumarol U.S.P. (Bishidroksikumarin). Pada manusia
obat ini lambat dan tak sempurna diserap. Waktu paruh
tergantung dari dosis yang diberikan. Sering memberikan
gangguan gastrointestinal (mual, kembung, nyeri den

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1437

PENCCUNAAN OBAT-OBATANANTIKOACULAN ANTITROMBOLITIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


diare). Dosis yang dianjurkan pada had pertame 300 mg,
hari kedua 200 mg den dosis pemeliharaan antara 25-1 50
mg disesuaikan dengan respons pengobatan yang
diukur dengan one stage prothrombin time. Kemasan
berupa tablet 25,50 dan 100 mg serta kapsul 25 dan
60 Mg.
Ansenokoumarol. Waktu paruh pada manusia sekitar
8jam. Dosis yang dianjurkan pada hari pertama 28 mg, hari
kedua 16 mg, selanjutnya dosis pemeliharaan tergantung
pada one stage prothrombin activity. Efek samping yang
pernah dilaporkan ialah iritasi gastrointestinal, dermatitis,
urtikaria dan alopesia.
Fenindion, U.S.P. (Hedulin). Obat ini banyak efek
sampingnya, dan toksis. Karenanya pemakaiannya tak
dianjurkan. Difenadion, U.S.P. (Dipaksin). Efek samping
berupa gangguan gastrointestinal yang ringan. Dosis awal
pada hari pertama 20-30 mg, hari kedua 10-15 mg, dan dosis
pemeliharaan 2,5-5 mg setiap hari. Sediaan berupa tablet 5
mg.
Fenprokoumon, U.S.P. (Likuamar). Waktu paruh dalam
plasma adalah panjang yaitu 6 hari. Efek samping yang
dilaporkan ialah : nausea, diare dan dermatitis. Dosis hari
pertama 2 1 mg, hari kedua 9 mg dan dosis pemeliharaan
antara 0,5 6 mg tergantung one stage prothrombin time.
Tersedia dalam bentuk tablet 3 mg.
Anisindion. Penggunaan sangat terbatas. Hari pertama
diberikan 300 mg, hari kedua 200 mg, hari ketiga 100 mg,
dan dosis pemeliharaan 2 10 mg setiap hari.

OBAT ANTITROMBOTIK
Cara kerja obat antitrombotik berbeda dengan obat
antikoagulan. Golongan yang pertama bekerjanya menekan
fungsi trombosit, sedangkan golongan kedua menekan
pembentukan atau fungsi faktor-faktor pembekuan. Yang
pertama digunakan terutama pada penyakit trombotik
arterial, sedang yang kedua. guna mengontrol gangguan
tromboembolik vena.
Kemanjuran obat antitrombotik dari pada obat yang
mencegah penggumpalan trombosit dapat diperlihatkan
dalarn:
Tes fungsi trombosit in vitro eks vivo (yaitu trombosit
yang berasal dari orang yang telah mendapat obat).
Percobaan binatang. Yang tergolong obat antitrombotik
yaitu aspirin, sulfinpirazon,dipiridarnol, dekstran 70 dan
75, dan klofibrat.

ASPIRIN
Obat ini mampu menghambat pengeluaran ADP dari
trombosit dan menghambat pembentukan prostasiklin dan
tromboksan AT Akibatnya trombosit tidak cepat

menggerombol dan waktu perdarahan memanjang. Dosis


antara 325-1300 mg memberikan pengaruh antitrombotik
dan waktu protrombin pun akan memanjang dengan
pemberian dosis tinggi ini. Sebaliknya dosis 100-300 mg
tidak mempunyai pengaruh.
Faktor faktor koagulasi (11, VII, IXdan X) menunjukkan
penurunan aktivitas pembekuan dengan dosis aspirin
antara 1.300-2.000 mg yang dapat dikoreksi dengan
pemberian vitamin K.

Obat ini berkhasiat vasodilator, yang dalam kombinasi


dengan warfarin menghambat terjadinya emboli pada
pasien dengan katup prostetik.
Dipiridamol sendiri secara klinis tidak mempunyai efek
menghambat ADP. Cara kerja obat ini menekan fungsi
trombosit dengan merangsang aktivitas prostasiklin atau
menghambat aktivitas siklik nukleotid fosfodiesterase,
dengan hasil meningkatkan kadar AMP siklik.
Dosis dipiridamol pada pasien dengan katup jantung
buatan ialah 400 mg setiap hari.

Obat ini digunakan untuk tujuan urikosuria, dan di


sampingnya dapat menghambat fungsi trombosit dalam
ha1 kemampuannya melekat pada sel subendotel dan
sintesis prostaglandin.
Pengaruh menghambat agregasi trombosit baru tampak
18jam setelah pemberian obat tersebut.

Merupakan obat hipolipidernik yang juga dapat


mengurangi perlekatan trombosit in vitro.

DEKSTRAN 70 DAN DEKSTRAN 75


Dekstran in vitro tidak mempunyai pengaruh terhadap
hngsi trombosit dalam darah, namun waktu pembekuan,
polimerasi fibrin dan fungsi trombosit dapat terganggu in
vivo. Infbs dekstran harus hati-hati pada pasien dengan
edema paru, payah jantung dan fungsi ginjal yang
menurun. Hal ini disebabkan karena.dekstran dapat
meningkatkan tekanan osmotik koloidal. Ada
kontraindikasi untuk pasien anemia berat, trombositopenia
berat dan kadar fibrinogen yang menurun. Efek samping
yang mungkin timbul ialah urtikaria, sesak napas dan
hipotensi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

OBAT TROMBOLlTlK DAN FlBRlNOLlTlK

Streptokinase dan urokinase adalah protein yang telah


menunjukkan kemanjurannya guna pengobatan penyakit
tromboemboli akut. Mereka meningkatkan pemecahan
trombi dengan memacu perubahan plasminogen endogen
menjadi plasmin (fibrinolisin), suatu enzim proteolitik yang
menghidrolisasi fibrin. Penggunaan obat ini harus oleh
tangan dokter yang berpengalaman banyak dalam
mengelola penyakit tromboemboli.
Obat tersebut diindikasikan pada emboli paru yang luas
dan tromboflebitis iliofemoralis yang berat.
Streptokinase (Streptase)
Dihasilkan dari Streptococcus betahemolyticus. Ia bekerja
dengan cara interaksi dengan proaktivator plasminogen
hingga terbentuk kompleks yang mempunyai aktivitas protease dan mempercepat perubahan plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin ini mampu menghancurkan fibrin yang
terjadi pada bekuan darah dan menurunkan fibrinogen dan
faktor V dan VII. Streptokinase dapat melarutkan bekuan
darah yang telah timbul. Bila zat tersebut diberikan pada
luka yang sudah menutup, akan terjadi perdarahan lagi.
Karena itu harus dicegah pemberian obat antikoagulan
dan obat yang mencegah aglutinasi trombosit bersamaan
dengan streptokinase atau urokinase.
Efek yang tidak diinginkan dengan pemberian streptokinase ialah reaksi panas, reaksi alergi sampai anafilaksis.
Hal ini disebabkan karena terbentuknya antibodi terhadap
obat tersebut.
Obat ini telah digunakan dengan hasil baik untuk
pengobatan emboli paru akut dan trombosis vena yang
letaknya dalam. Biasanya dosis awal streptokinase adalah
250.000 U. Diberikan intravena pelan pelan selama 30 menit,
kemudian dilanjutkan dengan 100. 000 I.U. setiap jam,
disesuaikan dengan waktu trombin. Pengobatan diteruskan
untuk 24 sampai 72 jam dan selalu dimonitor dengan waktu
trombin. Waktu trombin ini sebaiknya berkisar antara 2
sampai 5 kali harga normal. Penggunaan lain yaitu pada
infark miokard akut.
Urokinase (Abbokinass)
Obat ini pertama kali diisolasi dari kencing manusia. Dibuat
dari kultur sel ginjal manusia. Zat ini adalah enzim proteolitik
dan merupakan substrat alamiah yang mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin.
Penggunaannya serupa dengan streptokinase.
Kontraindikasi pemakaian urokinase ialah : pada anak,
pasien yang baru sembuh dari luka trauma yang baru,
keganasan di viseral dan intrakranial, cerebrovasculer
accident yang baru, serta kehamilan. Dosis awal urokinase sebanyak 4.400 l.U./kg, diberikan intravena selama
10 menit, kemudian diteruskan dengan i n b s 4.400 l.U/Kg.
setiap jam selama 12 jam dan selanjutnya diberi heparin

atau antikoagulan oral. Selama pengobatan dengan


urokinase, tidak perlu memonitor dengan waktu trombin.

ANTIDOTUM UNTUK OBAT FlBRlNOLlTlK


Antidotum yang spesifik untuk menanggulangi kelebihan
dosis obat fibrinolitik (streptokinase, urokinase) ialah asam
aminokaproat.
Asam aminokaproat (Amicar) dapat diperoleh dalam
bentuk suntikan, sirup atau tablet. Dosis awal adalah 5 g
(oral atau iv) dilanjutkan dengan 1,25 g tiap jam sampai
perdarahan dapat dikendalikan. Dosis tidak boleh melebihi
30 g dalam waktu 24 jam. Penyuntikan intravena hams
dilakukan pelan-pelan guna menghindari kemungkinan
timbulnya hipotensi, bradikardia dan disritmia.

PEMAKAIAN OBAT ANTIKOAGULAN, ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK


Obat obat tersebut digunakan untuk mencegah penyakit
tromboemboli. Telah digunakan untuk pengobatan
maupun pencegahan pada infark miokard, katup jantung
buatan, emboli jantung, emboli paru, tromboemboli
serebral, trombosis vena dalam pada waktu dan setelah
pembedahan. Untuk penggunaan obat obat tersebut hams
tersedia sarana laboratorium yang baik serta tenaga yang
berpengalaman. Monitoring harus dilakukan guna
menghindari timbulnya bahaya perdarahan.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM GUNA PENGAWASAN PEMAKAIAN OBAT ANTIKOAGULAN


Tujuan pemeriksaan laboratorium sebelum dan selama
pemakaian obat antikoagulan ialah menilai serta mencegah
dan sebaik mungkin mengurangi efek yang tidak
diinginkan atau guna mengetahui efektivitas pemberian.
Pemeriksaan sebelum menggunakan obat dimaksudkan
untuk menemukan kemungkinan kelainan hemostasis.
Pemeriksaan yang diperlukan:
penentuan hemoglobin, trombosit
pemeriksaan hapusan darah perifer
pemeriksaan urin
waktu pembekuan darah (Lee White)
waktu tromboplastin parsial (PTT)
one stage prothrombin time
tes protrombin dan prokonvertin
tes trombo (thrombo Test)
Guna memonitor pemakaian heparin disarankan
pemeriksaan PTT, karena ini lebih peka dibandingkan waktu
pembekuan darah.
Untuk pasien dengan antikoagulan oral dimonitor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1439

PENCCUNAAN OBAT-OBATANANT~KOACULANANTITROMBOLITIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dengan: tes one stage prothrombin time, tes protrombin
dan prokonvertin (Tes P dan P) dan tes trombo.

PENGENDALIAN EFEK PENGOBATAN


(THERAPEUTIC RANGE)
Pengendalian dosis pemeliharaan perlu memperhatikan
hasil laboratoriurn.
Waktu pembekuan hasilnya antara 2-2,5 normal.
Kompleks protrombin hasilnya antara 20-25
Tes trombo hasilnya antara 5-1 5%.
Tes protrombin dan prokonvertin = 20

Buckler P, Douglas AS. Antithrombotic treatment. Brit Med J.


1983; 287: 196.
Leavel BS, Thorup OA. Anticoagulants in fundamental. Hematology. Fourth edition. 1976. p. 600.
O'Reilly RA. Anticoagulant, antithrombotic and thrombolytic drugs,
in Goodman & Gilman's. The pharmacological basic of therapeutics. 6th edition. New York: Mac Milian Pubi Go; 1980. p.
1347.
Schoder R, Biamino G Enz Rudiger VIL, et al. Intravenous short
term infusion of Streptokinase in acute myocardial infarction.
Circulation. 1983:67:536.
Sharma CVRK, Gella G Parisi AF, et al. Thrombolytic therapy. New
Eng J Med. 1982;306: 1268.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PERAN FLOW CYTOMETRIC


IMMUNOPHENOTYPINC DI BIDANG
KEGANASAN HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI
Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban

PENDAHULUAN

APA ITU FLOW CYTOMETRY?

Ketepatan diagnosis keganasan darah sangat tergantung


dari tiga parameter yang saling mendukung, yaitu:
morfologi, imunofenotip dan sitogenetika (sesuai dengan
rekomendasi WHO dan klasifikasi FABIFrench
American British). Beberapa kasus mungkin telah sangat
jelas diagnosanya berdasarkan morfologi selnya (sitologi)
atau jaringan (histologi) yang didukung pewarnaan
imunositokimia/histokimia; namun tidak sedikit pula yang
memerlukan kajian sitogenetik dan biologi molekular
terlebih bila akan mengkaji subklasifikasi, prognosis, hasil
pengobatan dan kemungkinansisa minimal sel ganas (minimal residual diseaselMRD); tulisan ini selanjutnya akan
menitik beratkan pada pembahasan penerapan flow
cytometric immunophenotyping (FCI) pada keganasan
darah dan tumor padat.
Imunophenotyping sendiri berarti: mengenali
(identiJication) dan menghitung (quantification) antigen sel melalui fluorochrome yang dilekatkan (labeled)
pada antibodi monoklonal yang spesifik terhadap antigen dipermukaan atau sitoplasma (intra selular) dari sel
tertentu. Teknik ini dapat dikerjakan secara manual
dengan menggunakan mikroskop fluoresens atau dengan
alatflow-cytometry (FAC-scan atau Coulter) yang dapat
menilai dan menghitung sel sel satu persatu serta
menganalisa berbagai parameter karakteristik sel yang
kompleks secara simultan, obyektif dengan akurasi yang
tinggi. Untuk dapat memahami bidang imunophenotyping
dengan baik, maka pembahasannya tak dapat dilepaskan
dengan pengertianjlow-cytometri dan ha1 ha1 yang terkait
dengannya.

Flow-cytometry adalah teknologi yang memungkinkan


pengukuran berbagai karakter fisik dari satu sel (singlejle
cell) secara simultan/bersamaan .Pengukuran ini dilakukan
pada saat satu sellpartikel, bersama aliran air (fluid stream)
dengan kecepatan 500 sampai 4000 sel per detik melewati
sistem analisa optik (apparatus) yang mampu melaporkan:
secara relatif ukuran (jbrward scatter), granularitad
kompleksitas internal (side scatter) dan intensitas flurosens
dari sel tersebut pada saat berinteraksi dengan sinar laser.
Alat ini urnumnya menggunakan sumber sinar LASER (light
amplzfication by stimulated emission of radiation) dari
argon dengan panjang gelombang 488 nm yang akan
dieksitasi (menyerap energi) oleh flurokrom tertentu
(misalnya: PerCPPerkloroferidin ,FITC 1fluoroisotiosianat,
PEIfikoeritrin ) yang kemudian melepaskan energi (emitting
photon) yang diserapnya melalui: getaran (vibration),
pelepasan panas (heat dissipation) dan dengan panjang
gelombang yang berbeda yang disebut fluoresens (FL1,
FL2 atau FL3) yang direkam oleh detektor optik berupa
energi sinyal yang akan diubah menjadi sinyal elektronik
serta dilaporkan berupa gambaran distribusi sel dan
enurnerasi.(Gambar 1)
Hal ini menjadikan imunofenotip dengan flowcytometry merupakan fase yang penting dalam menilai dan
menentukan diagnosis awal dan klasifikasi pasien dengan
leukemia akut; yang dalam perkembangannya berperan
pula untuk menentukan prognosis, rencana pengobatan
dan membantu mendeteksi adanya residu minimal penyakit
(MRD: minimal residual disease). Teknik ini dipergunakan
pula untuk melakukan enumerasi CD4 (sel T helper) ,CD8

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1441

PERAN n o w CYTOMETRIC IMMUNOPHENOTYPING

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 1.Terllhat suspensi "single" sel yang terfokus oleh tekanan hidrodinarnik dalarn aliran cairan
dan di"interseksi" oleh laser ion argon, dirnana sinyal yang dikeluarkan akan di tangkap oleh detektor
"fonvard /side scatter" ( 1 ) dan detektor multi ernisi flurosens (2-4). Sinyal ini akan dikonversi dan
diarnplifikasi rnenjadi data digital dan ditayangkan dalarn layar computer. Sumber: Brown M. Clin Chern
2000.

(sel T supresor), CD56(-)INK sel, CD34 (sel induk),


retikulosit; dan pada tumor padat digunakan untuk
menganalisa siklus sel, tingkat proliferasi, DNA ploidy,
apoptosis dan monitor resistensi sel terhadap kemoterapi,
serta banyak lainnya. FCI dalam perkembangannya
merupakan alat yang berguna untuk menentukan diagnosa
berdasarkan fenotip baik secara selular dan juga
hematopatologi Berbagai spesimen yang dapat dipakai
dapat berasal dari darah tepi, aspirasi sumsum tulang, core
biopsy, aspirasi jarum halus, sampel segar biopsi jaringan,
dan juga berbagai sampel dari cairan tubuh.

POPULASI SEL SUMSUM TULANG NORMAL


Sumsum tulang normal didominasi elemen matang dari
mielopoesis. Sel ini umumnya berukuran besar dan sangat
bervariasi dari kompleksitas sitoplasma dan inti sel,
sehingga dapat dibedakan dengan komponen lainnya
berdasarkan penyebaran cahayanya (light scatter).
Informasi yang lebih rinci didapat dengan dual parameter
RALS (right angle light scatter) dan CD45 (antigen yang
dijumpai pada leukosit) dengan intensitas berbeda-beda
tergantung dari jenis selnya. Masing masing sel akan
menempati posisi tertentu dalam penampilan digitalnya
(Gambar 2), proses selanjutnya dengan melakukan gating
(penilaian dan penghitungan kelompok sel tertentu)
berdasarkan koekspresi dari antibodi monoklonal tertentu
dapat diketahui jumlah dan jenis sel tersebut. Dengan
memahami prinsip diatas dan proses hematopoeisis
normal maupun yang patologis teknologi ini mampu
memberikan asupan yang sangat bermanfaat bagi seorang
klinisi dalam menentukan terapi, prognosis, monitor hasil
pengobatan dan banyak lainnya.

KEGANASAN HEMATOLOGI DAN


IMUNOFENOTIP
Pada dasamya semua jenis sel darah berasal dari sel induk
(stem cell), yang kemudian berdiferensiasi dan
berproliferasi baik pada jalur mieloid atau limfoid; di bawah
kontrol sitokin seperti CFS (colony stimulatingfactors).
Sel-sel pendahulu (precursor) dari jalur dan fase yang
berbeda akan mengekspresikan subset molekul yang
berbeda pada permukaanlmembran selnya dan mungkin
juga sitoplasmik (intrasel) yang dapat merupakan penanda
khusus dari sel tersebut. Konsep inilah yang kemudian
didefinisikanldikenal sebagai antigen CDlcluster of
differentiation. CD antigen ini berhubungan dengan
membran-plasma leukosit yang secara molekular mungkin
berhubungan dengan berbagai fungsi sel, seperti misalnya:
interaksi sel, reseptor sitokin, sinyal transduksi, ion
channels, transportasi, enzim, Ig, atau molekul adhesif.
Sejalan dengan diferensiasi sel pada jalurnya, maka CD
antigen ini akan berubah. Sebagai contoh sel induk mieloid
mengekspresikan CD34+ (merupakan penanda sel induk),
yang kemudian akan mengalami penurunan/menghilang
(down regulation) pada saat berdiferensiasi ke bawah
menjadi granulosit; dan mulai mengekspresikan CD 13, dan
CD33. Neutrofil matang akan memperlihatkan CDl lb,
CD13, dan CD15, namun CD33 menghilang. Pada
keganasan limfoid atau mieloid, analisa flow-cytometry
menggunakan panel antibodi monoklonal dapat mendeteksi
secara spesifik dengan ketepatan mencapai 98% untuk
membedakan asal sel tersebut, selanjutnya karena
perannya yang penting pada leukemia akut, maka FCI akan
dibahas lebih mendalam dibanding jenis keganasan
lainnya. Sistim panel antibodi monoklonal yang digunakan
dari satu pusat kesehatan dengan yang lainnya, biasanya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1442

ONKOLOCI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Garnbar 2 . Dual parameter CD45/"s1de scatter" memperllhatkan beberapa populasl , regio (r) A Sesual SSTL
normal dengan beberapa populasl normal, B Llrnfoblast pada ALL C CML dengan translsl krlsrs blas I mleloblas
menlngkat dan reaktlf precursor erithrold d Keganasan rendah Irrnfoprol~feratif, sesual dengan CLL

akan berbeda dalam tingkat spesifitasnya. Nalnun secara


diagnostik, panel tersebut harus terdiri dari minimal
kombinasi yang dapat membedakan kelompok sel dan jenis
keganasannya (limfoid/mieloid ,akut atau kronik, limfotna
sel BIT, sel plasma/mieloma multipel). Tentu saja ha1 ini
memerlukan seorang ahli penyakit darah dan kanker serta
patologi klinik yang berpengalaman; serta tergantung pula
dari dana yang tersedia, kemampuan pasien dan kebutuhan
penelitian.

KEGANASAN HEMATOLOGI
Sampai dengan saat ini telah diketahui setidaknya 247 CD
subset antigen yang mewakili perkembangan sel
pendahulu sampai dengan matang baik dari mieloid atau
limfoid. Dengan tetap mengacu pada kemampuan
diagnostik dari sudut morfologi, imunosito/histokimia dan
kariotip; beberapa acuan CD berikut akan disampaikan
pada masing masing keganasannya. Namun tetap harus
dicamkan, mengingat kesulitan untuk menyusun kriteria

baku yang kaku, kembali penulis mengutip perte~nuanpanel


Amerika dan Canada tahun 1997 yang merekomendasikan
pada semua kasus, interpretasi akhir FfC harus berkaitan
dengan keadaan klinis, morfologi, hasil laboratorium dan
studi lain yang clianggap sesuai.

Akut Mielablas LeukernialAML MO


Sel blast MO, secara irnunohistokimia bereaksi negatif, dan
menempati podsi yang rendah pada CD45+ dan RALS
(side scatter) dan berhimpitan dengan daerah limfoblas.
Namun setidaknya akan bereaksi positif dengan minimal
satu penanda spesifik mieloid seperti: CD13+, CD33+ dan
CD 1 1b+. Bila dite~nuireaksi dengan mieloproksidase
(MPO) maka reaksi ini akan lebih seneitif dari pada
kombinasi CD 13+ ataupun CD33+. Meskipun bereaksi
negatif terhadap penanda lirnfoid , namun dapat ditemui
pula koebpresi CD7+ ddn CM+. MO hampir selalu bereaksi
positif terhadap HLA-DR dan CD34. Beberapa peneliti
melaporkan koekspsesi CD7-k dan CD34+, memiliki
prognosis yang buruk karena berhubungan dengan
fenotip kebal terhadap pengobatan; MO juga dilaporkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


memperlihatkan kekerapan yang tinggi abnormalitas
sitogenetik, yang diantaranya berhubungan dengan
kromosom 5 dan 7.

AML M1
M1 mempunyai gambaranflow digital yang mirip dengan
MO, dan mungkin sulit dipisahkan, kecuali adanya
penambahan side scatter karena adanya peningkatan
granularitas. (namun ini tidak definitif). M1 biasanya selalu
menampilkan CD13+, CD33+ dan HLA DR+; narnun CD34+
yang lebih rendah dari MO. Sebagian juga dapat ditemui
CD15+ dan CD4+, namun lebih jarang dari MO
AML M2
Perbedaan yang menonjol antara M1 dan M2, adalah pada
M2 telah ditemui adanya pematangan dan menurunnya
persentase blast. CD45+ dan side scatter memperlihatkan
gambaran yang tak terputus (kontinu) dari regional
mieloblas ke mieloid matang. Umumnya M2
memperlihatkan HLA DR+; adanya ekspresi CD 19+ dan
CD 56+ pada M2 mungkin berhubungan dengan t (8;21)
yang merupakan prognosis yang baik pada pasien dewasa.
Pasien dengan morfologi M2 dan t (8;2 l), jarang ditemui
CD13-, CD14- dan CD33- dan MPO+. Sedang pada M3
akan ditemui penurunan CD45+ dan juga menurun serta
hilangnya HLA-DR pada kebanyakan kasus.
Pada M4 dan M5, keduanya memiliki kemiripan dari
segi fenotip, kecuali pada M4 CD34+ lebih banyak ditemui
dari pada M5. Fenotip yang penting pada keduanya adalah
CD13+, CD33+, HLA-DR, CD14+ dan CD15+. Pada
beberapa kasus M5 dapat ditemui CD56+. AML M6 jarang
ditemui dan belum teridentifikasi dengan baik;
CD34+,CD13, dan CD33 biasanya dapat ditemui,
sedangkan ekspresi CD45 dan side scatter dominan
menonjol pada daerah eritroid. AML M7 (megakarioblastik
leukemia) merupakan kurang dari 1% kasus AML dimana
diagnosa ditegakkan bila lebih dari 30% sel noneritroid
adalah megakarioblas (ini kadang sulit dikenali).Secara
imunofenotip dapat dikenali bila mengekspresikan CD6 1
(Gp IIIA) danlatau CD4 1 (Gp IIb-IIIA). Secara keseluruhan
berdasarkan kriteria WHOIFAB, AML dibagi atas delapan
subtipe berdasarkan: morfologi, bereaksi positif terhadap
pewarnaan Sudan black B dan peroksidase; minimal secara
bervariasi mengekspresikan CD 13, CD 14, CD33, CD4 1
,CD61 dan glikoforin A. Beberapa senter menggunakan
CD45, CD34 dan CD7 sebagai penapis MRD. Beberapa
abnormalitas sitogenetik seperti t (8;2 1 atau 15;17), inversi
kromosom 16, abnormalitas 11q23 dapat digunakan untuk
menetapkan respon terapi dan prognosis.
Leukemia Limfoblastik: ALL (Akut lekemia
limfoblastik)
Klasifikasi WHO menetapkan bahwa klasifikasi ALL hams

dilakukan dengan panel antibodi monoklonal dan bila


mungkin abnormalitas genetik
ALL precursor B: biasanya menunjukkan CD19+, CD79a+
dan CD 1O+; negatif atau dim CD20; CD22 + pada permukaan
atau sitoplasma sel serta CD45 (-) atau dim (intensitas antara
bright dan negatif). sIg biasanya (-) dan CD34 sering positif
meskipun dianggap tak spesifik. Hal yang membantu
membedakan dengan limfoma adalah ekspresi TdT, CD 13
dan atau CD33. Beberapa patokan diagnosa adalah bila
dijumpai ekspresi kuat CD19 dan CDlO dengan TdT atau
CD34 positif atau densitas rendah CD45; ekspresi CD
lainnya dapat diabaikan. Bila CDlO(-), namun ditemui
ekspresi kuat CD 19 dan CD22,inipun dapat
dipertimbangkan diagnostik (dengan koekspresi TdT dan
CD34). Belakangan CD79a sebagai reseptor sel B (protein
permukaan sel) mulai muncul sebagai reagen diagnostik.
Untuk membedakan dengan sel B yang dapat meningkat
pada beberapa kasus (terutama pasien anak) digunakan
gambaran variatif ekspresi dari berbagai penanda di atas
dengan menggunakan analisa multi parameter.
ALL precursor T: memiliki karakter CD7+, CD5a+, dan
CD2+, namun CD3(-) atau dim untuk sitoplasma(cytCD3+).
Adanya CD4 dan CD8 dapat dijumpai dalam berbagai
kombinasi (namun umumnya keduanya negatif atau
keduanya positif) dianggap parameter diagnostik. Demikian
pula dengan kombinasi CD3+ danTdT dan CD34+; untuk
yang terakhir hati hati bila sampel berasal dari mediastinal
anterior, karena timosit juga memberikan ekspresi yang
sama.
Lekemia sel rambut (Hairy cell leukemia), dikenali denga
sIg+; pada jenis rantai ringan sel B, penanda sel B akan
ditemui positifkuat (umumnya lebih dari sel B normal dan
sudah pasti lebih dari kelainan limfoproliferatif lainnya)
CLL sel B: merniliki karakter CD19+, CD5+, CD20 dim, CD22
dim dan sIg dim terbatas pada rantai ringan.

Bilineage Leukemia Akut


Keadaan dimana ditemui sel blast berasal dari dua lineage
Ialur yang berbeda, yang dapat berupa kombinasi mieloid
dan limfosit B atau T; atau berasal dari sel limfosit B dan T
dan bukan mieloid sama sekali. Cara termudah menentukan
adalah dengan FIC ,dimana alur mieloid akan bereaksi
terhadap MPO minimal 3% dari sel blast. Untuk sel T,
cytCD3 (sitoplasma CD3) merupakan parameter diagnostik
dan cytCD79a atau cytCD22 positif untuk sel B
Leukemia Akut Bifenotif
Suatu kedaan dimana sel blast memiliki reaksi positif untuk
dua penanda spesifik dua alur yang berbeda; keadaan
yang lebih jarang adalah positif dengan tiga penanda
spesifik. Diagnosis dengan FIC diperlukan minimal flow
cytometry analisa dua warna. Sel blast dapat menunjukkan
reaksi positif dengan MPO y-untuk mieloid-y dan cytCD3

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

0NKOUX;I MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(limfosit T) atau dengan cytCD79a (limfosit B). Variasi lain
adalah sel blast mengekspresikan cytCD3 dan cytCD79a
atau CD221cytCD22 untuk sel limfosit TIB yang nature.
Reaksi CD3 positif tidak bemakna cytCD3 positif. Keadaan
yang jarang sekali ditemui namun pemah dilaporkan adalah
sel blast menunjukkkan reaksi positif terhadap tiga penanda
spesifik mieloid, limfosit T dan B yaitu: MPO, cytCD3 dan
cytCD79alcytCD22.
Untuk keganasan sel plasma (misal: mieloma multipel)
selalu menunjukkan bright CD38+ dengan ekspresi cytIg,
CD45 juga kadang terekspresi lemah. Sedangkan untuk
sindrom mielodisplasia, meskipun terjadi peningkatan sel
blast (CD45 dan RALS, CD34 dan penanda pan mieloid
lainnya) dapat dideteksi dengan FCI, namun diagnosis
MDS tak dapat hanya beranjak dari FCI saja.

Limfoma Maligna
Kemampuan FCI hampir menyamai teknik imunohistokimia,
namun dalam beberapa segi dapat lebih sensitif,
subjektifitas yang rendah dan hasil yang lebih cepat.
Namun sampai saat ini FCI belum menjadi patokan baku
diagnostik penyakit Hodgkin dan non Hodgkin (NHL),
dikarenakan beberapa kontroversi apakah klasifikasinya
cukup hanya dengan imofenotip saja. NHL umumnya
menunjukkan gambaran populasi sel B dengan ekspresi Ig
rantai ringan dan (sel B normal atau jinak menunjukkan
rasio: 60%:40%). Untuk sel T ha1 ini lebih sulit karena belum
disepakati penanda yang spesifik; namun pada umumnya
sel T maligna menunjukkan gambaran yang homogen d a d
atau ekspresi antigen asinkron, sementara sel T normal
lebih heterogen. Beberapa gambaran abnormal antigen
TCR (Tcell receptor), CD3+ atau TCR 4.3 dan TCR d dapat
dijumpai.
MRD
Kemampuan mikroskop cahaya mendeteksi adanya MRD
berkisar 11100 sel, sedangkan FIC meskipun
kemampuannya di bawah PCR (polymerase. chain
reaction) namun telah mampu mendeteksi sampai kisaran
1 per 1000- 100.000 sel , terutama dengan teknik analisa
multiparametrik. Kelebihan lain dari PCR adalah lebih
cepat dan sederhana dikerjakannya, data kuantitatif,
adekuat untuk kasus leukemia, serta biayanya lebih
murah. Sebagai contoh Ito et al, dengan menggunakan
dual parameter CD45 dan SSC daripada FSC dan SSC
telah mampu meningkatkan sensitivitas sampai 1
perlOO.OOO se1:Weir et a1 menggunakan kombinasi dua
analisa empat warna untuk melihat gambaran ekspresi
antigen SSTL normal; yang bila kemudian dilakukan pada
sampel ALL sel precursor B, mampu mendeteksi 8 1 dari
82 kasus (99%) yang berada diluar gambaran regional
normal, dan ini ajeg dengan MRD

FCI Dl BIDANG ONKOLOGI


Perkembangan teknologiflow cytometry dibidang onkologi
dilaporkan mencakup monitoring regulasi siklus sel,
apoptosis, berbagai mekanisme resistensi terhadap obat
sitotoksik1MDR dan respon kemoterapi. Beberapa
mekanisme ektraselular seperti farmakokinetik obat
(distribusi, metabolisme dan ekstrasi), adanya sel tumor
pada daerah sanctuaries (daerah dimana obat tak
terdistribusi) dan beberapa mekanisme biokimiawi
dipercaya memegang peranan terhadap kegagalan
kemoterapi. Beberapa mekanisme spesifik MDR dilaporkan
terhadap doksorubisin, vinkristin dan taksol.
Berapa fluorokrom seperti kalsium probes, Kalsein,
Quin2 dapat memonitor efflux obat oleh pompa MDR.
Deteksi beberapa protein yang berhubungan dengan
resistensi obat (MRPlmulti drugs resistance associated
protein) telah dilaporkan pada beberapa keganasan seperti:
karsinoma paru (LRP) dan payudara (BRCP).
Untuk mempelajari gambaran siklus sel (G011- S-G2 M),
dipergunakan distribusi bivariat terhadap DNA content
dan ekspresi siklins D 1, E, A dan B 1. Pada fase GO11 DNA
sel sesuai dengan set satu unit, meningkat pada fase S
dan dua kali lipat fase GO11 pada fase G2lM (dua unit).
Demikian pula terjadi perubahan ekspresi siklins pada
masing masing fase. Distribusi sel tehadap parameter ini
akan menempatkan sel pada subkompartemen GO11-S-atau
G2lM. Penilaian terhadap apoptosis sel dapat dilakukan
secara analisa bivarian dengan melihat DNA strand breaks
(FITC-deoksinukletida) dan DNA content (propidium
iodida) atau secara analisa multivariat mengunakan LSC
(laser scanningflow cytometric).

Flowcytometry merupakan pemeriksaan yang sangat


berguna untuk menetapkan diagnosis dan memantau hasil
pengobatan dan deteksi minimal sel ganas terutama pada
keganasan hematologi, sedang perannya dibidang
onkologi banyak dilaporkan tentang analisa siklus sel,
apoptosis dan MDR. Analisa data dan interpretasi FCI
merupakan proses dua langkah, yang bersandar pertama
pada analisa multi parameter panel antibodi monoklonal
untuk membedakan sel normal dengan abnormal. Langkah
kedua adalah fenotip sel abnormal ini kemudian dijabarkan
(gating) berdasarkan adanya reaksi disertai intensitas
ekspresi berbagai antigen (permukaan/sitoplasma sel) dan
juga distribusi light scatter. Gambaran hasil keseluruhan
fenotip ini kemudian diinterpretasi mungkin berupa
diagnosis penyakit tertentu, atau mungkin mempersempit
diferensial diagnosa. Analisa dan sintesis ini harus
dimasukkan dalam pelaporannya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1445

PERAN FLOW CYTOMETRICIMMUNOPHENOTYPING

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Marti GE, Stevenson MS, Bleesing JJH. Introduction to flow
cytometry. Seminin Hem.2001; 38(2):93 -8
Dunphy CH. Application of flow cytometry and immunohistochemistry to diagnostic hematopathology. Arch Pathol Lab Med.
2004;128 :I0004 -1022
Chovath B, Sedlak J. Hematopoietic cell differentiation antigen
(CD system
1997). cancer
research
relevance.
Neoplasma. 1998;45,5: 273-6
McCoy JP. Basic principles of flow cytometry. HematolOncol Clin
N Am. 2002;16:229-43
Riley RS, Massey D, Cook CJ, et al. lmmunophenotypic analysis of
acute lymphocytic leukemia. Hematol Oncol Clin N Am.2002;
16 :245- 89
Jennings D, Foon KA. Recents advances in flow cytometry: application to the diagnostic of hematology malignancy. Blood ,1997:
90(8): 2863 - 92
Todd WM. Acute myeloid leukemia and related condition. Hematol
Oncol Clin N ,4111.2002; 16:301 - 317
Dazynkiewicz Z, Smolewski P, Bedner E. Use of flow and laser
cytometry to study mechanism regulating cell cycle and
controlling cell death. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16:
339 -54

Orfao A, Schimitz G, Brando, et al. Clinically usefull information


provided by the flow cytometry immunophenotyping of
hematology malignancies: current status and future directions.
Clinical Chemistry. 1999; 45(10): 1708 -1 7
Krishan A, Arya P. Monitoring of cellular resistance to cancer
chemotherapy. Hematol Oncol Clin N Am.2002; 16: 357 - 68
Borowitz MJ. Bray R, Gascoyne R, et al. US-Canadian consensus
recommendation on the immunophenotypic of hematologic
neoplasia by flow cytometry: data analysis and interpretation.
Cytometri ,1997; 30 : 236 -44
Stewart CC, Behm FG, Carey JL. US-Canadian consensus
recommendation on the immunophenotypic of hematologic
neoplasia by flow cytometry: selection of antibody
combinations. Cytometry. 1997; 30: 231 - 5
Stetler M, Stevenson, Braylan RC. Flow cytometric analysis of
lymphoma and lymphoproliferative disoders. Seminars in Hem.
2001;38: 11 1 - 21
Weir EG, Borowitz MJ. Flow cytometry in diagnosis of acute
leukemia. Seminars in Hem. 2001: 38 : 124136

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PRINSIP DASAR TERAPI SISTEMIK


PADA KANKER
Abdulmuthalib

PENDAHULUAN

Modalitas pengobatan pada kanker secara umum terbagi


dua, yaitu terapi lokal, berupa pembedahan dan radiasi,
dan terapi sistemik. Jenis terapi sistemik pada kanker
adalah kemoterapi dengan obat sitotoksik, terapi
hormonal, dan terapi biologi, atau target molekular.
Pengetahuan dan penerapan kemoterapi saat ini telah
berkembang dengan pesat, semenjak pertama kali
digunakannya mustar nitrogen untuk pasien dengan
keganasan hematologi pada tahun 1943. Perkembangan
pengetahuan dan aplikasi teknik-teknik baru di bidang
biologi molekular, sangat mendukung penemuan obatobat baru yang lebih efektif membunuh sel kanker dengan
efek samping yang makin minimal serta dapat membunuh
sel kanker yang resisten dengan obat kemoterapi
konvensional.
KlNETlKA SEL DAN TRANSFORMASI KEGANASAN

S m u a sel, baik yang normal maupun sel kanker, membelah


dalam diri dalam suatu siklus sel. Namun, sel-sel yang
normal di dalam tubuh berada pada keseimbangan antara
kecepatan sel-sel tersebut untuk membelah dan
membentuk sel-sel baru dengan kecepatan kematian sel.
Secara mum, set-sel di dalarn tubuh terbagi menjadi 3
kelompok (Gambar 1):
kelompok sel yang aktif berproliferasi
kelompok sel yang berdiferensiasi
kelompak sel yang tidak aktif berproliferasi (G,,) yang
dapat masuk ke dalam siklus sel dengan srimulasi
Eertentu.
Setiap sel mernulai pertumbuhannya selama fase pascamitotik (GI) dimana enzim-enzim yang penting untuk

Gamhar 1. Kelompok &eldi dalam tubuh

produksi DNA, RNA, dan protein lain diproduksi. Fase ini


diikuti oleh fase sintesis DNA (S). Setelah sintesis DNA
lengkap, sel memasuki fase pra-mitotik ((3,) dimana terjadi
sintesis protein dan RNA lebih lanjut. Fase ini diikuti oleh
fase mitosis (M) dimana pembelahan sel terjadi, satu sel
akan membelah menjadi dua sel. Sel kemudian memasuki
fase G , kembali. Sel yang berada pacta fase G, dapat
mernasuki fase istirahat (6,).
Kanker muncul dari lesi genetik yang menyebabkan
pertumbuhan atau pembelahan sel yang berlebihan yang
tidak diiringi dengan kematian sel yang adekuat. Kegagalan
diferensiasi selular menyebabkan perubahan posisi selulat
dan kapasitas untuk berproliferasi. Secara normal, sel-se1
&an dirangsang untuk memasuki siklus sel dari Goatau
tetap berada dalarn siklus sel di b w a h pengaruh sinyalsinyal tertentu seperti oleh fakror pertumbuhan, sitokin
dan ho-rmon.Sel kemudian mernasuki G Idan fase S setelah
melalui 'titik pemeriksaan' untuk memastikan bahwa
gen-nya siap melakukan replikasi. Enzim-enzim kinwse
tergantung siklin (cyclin-depe~adgnt
kinuxes, CDKs) adalah
enzim yang berperan mengam perjalanan sel memasuki
setiap fase dalam siklus sel. Salah satu titik perneriksaan
yang penting agar sel dapat memasuki fase S adalah yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PRINSIP DASAR TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

diatur oleh produk dari gen pensupresi tumor p53. Produk


gen ini merupakan inhibitor dari CDK 4 dan 6. Enzim CDK
4 dan 6 yang teraktivasi akan memfosforilasi produk gen
retinoblastoma (pRb). pRb yang terfosforilasi akan
melepaskan E2FS yang berperan dalam menyelesaikan
replikasi DNA selama fase S. Selama fase G,, CDK2
bersama-sama dengan siklin A dan E memastikan bahwa
sintesis DNA yang benar telah lengkap. Sel selanjutnya
memasuki fase M di bawah pengaruh CDKl dan siklin B.
Proliferasi sel kanker juga diatur oleh proto-onkogen
yang dalam keadaan aktif akan menyebabkan perturnbuhan
sel. Proto-onkogen merupakan produk dari onkogen.
Onkogen dapat dibagi menjadi 2 kelompok, 1) onkogen
yang bekerja di sitoplasma untuk mengganggu sinyal faktor
pertumbuhan normal, seperti ras, raf; dan enzim tirosin
kinase dari src, erbB atau sis; 2) onkogen inti, yang
mengubah kontrol transkripsi gen, seperti jum, fos, myc,
dan myb. Gen pensupresi tumor, seperti p53 dan pRb,
bekerja menghambat atau mencegah terjadinya
pertumbuhan sel yang tidak teratur akibat aktivitas
proto-onkogen tersebut.
Selanjutnya, kapasitas sel untuk membelah diatur oleh
aktivitas telomerase yang mengatur replikasi kromosom.
Kapasitas invasi dan metastasis dipengaruhi oleh
kerjasama antara metaloprotease matriks dan aktivator
plasminogen serta kapasitas untuk menarik sel stroma
pejamu pada tempat invasi melalui tumor-induced angiogenesis.

DASAR BlOLOGl TERAPI SlSTEMlK PADA


KANKER
Obat sitotoksik mempunyai efek primer pada sintesis atau
fungsi makromolekul, yaitu mempengaruhi DNA, RNA,
atau protein yang berperan dalam pertumbuhan sel kanker,
sehingga sel kanker menjadi mati. Oleh karena itu sebagian
besar obat sitotoksik tidak efektif terhadap sel-sel pada
Go,oleh karena sel-sel tersebut relatif inaktif, artinya tidak
ada sintesis makromolekul.
Kematian sel tidak terjadi pada saat sel terpapar dengan
obat. Seringkali, suatu sel hams melalui beberapa tahap
pembelahan sebelum kemudian mati. Oleh karena hanya
sebagian sel yang mati akibat obat yang diberikan, dosis
kemoterapi yang berulang hams tems diberikan untuk
mengurangi jumlah sel kanker. Terdapat hubungan terbalik
antara jumlah sel dan kurabilitas obat kemoterapi.
Berdasarkan model pada tikus, efek sitotoksik dari obat
antikanker bersifat logaritmik. Secara umum, suatu obat
diperkirakan membunuh sel tumor dalam fraksi yang
konstan bukan dalam jumlah yang konstan. Artinya, jika
suatu obat membunuh sel kanker sebanyak log 3, berarti
akan mengurangi tumor dari 101 menjadi lo7 sel. Dosis
yang sama juga akan mengurangi los sel tumor menjadi
1O2 sel.

Jika terapi gaga1 membunuh galur sel yang sensitif, ha1


ini disebabkan karena pada awalnya jumlah sel tumor asal
terlalu tinggi untuk dosis kuratif potensial dari obat
tersebut. Sel-sel kanker dapat terdeteksi secara klinis
setelah berjumlah lo9 sel dan tidak akan menunjukkan
respons terhadap terapi setelah berjumlah 1012sel.
Kemoterapi membunuh sel-sel yang aktif membelah.
Model Gompertzian menunjukkan bahwa pertumbuhan
tumor tidak konstan, mula-mula akan tumbuh secara
eksponensial kemudian pertumbuhannya melambat secara
eksponensial. Fraksi pertumbuhan puncak terjadi kira-kira
saat ukuran tumor 37% dari ukuran maksimum. Berdasarkan
model ini, maka jika kemoterapi diberikan pada stadium
lanjut dimana fraksi pertumbuhannya rendah maka fraksi
sel yang terbunuh menjadi kecil Jadi, kemoterapi akan lebih
efektif bila dimulai sedini mungkin.
Model ini juga penting dalam pemberian terapi ajuvan.
Angka ketahanan hidup dan masa bebas penyakit tidak
dipengaruhi oleh jumlah residu sel kanker, apakah
populasinya 1 sel atau 1 juta sel, karena pertumbuhan
kembali populasi residu sel akan lebih cepat pada volum
yang kecil dibandingkan yang lebih besar.

OBAT SlTOTOKSlK DAN SIKLUS SEL


Sebagian besar obat menunjukkan variasi toksisitas letal
pada sepanjang siklus sel. Sebagian besar antimetabolit
menimbulkan toksisitas letal hanya pada sel-sel yang
mensintesis DNA, di mana metotreksat dan doksorubisin
mempunyai toksisitas maksimum untuk fase S. Banyak
obat dari golongan ini juga menghambat onset atau
kelanjutan sintesis DNA dari sel yang 1010s dari terapi.
Toksisitas letal pada suatu fase siklus sel tidak selalu
sinkron dengan mekanisme kerja suatu obat. Vinkristin dan
vinblastin diketahui menganggu pembentukan mitotic
spindle, menyebabkan terhentinya sel pada fase mitosis.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa efek letal dari obat
ini terjadi ketika sel berada pada fase S, yaitu ketika
pembentukan mitotic spindle dimulai. Docetaxel dan
paclitaxel yang bekerja dengan distabilisasi tubulin
mempunyai efek letal pada siklus sel yang berbeda.
Docetaxel memberikan efek toksik maksimal pada fase S,
sedangkanpaclitaxel menunjukkan peningkatan toksisitas
pada sel-sel yang meninggalkan fase S melalui G2, masuk
ke fase M.
Obat sitotoksik dapat dikategorikan menjadi 1). obat
yang efektif pada fase tertentu dari siklus sel (phasespecific drugs), 2). obat yang efektif pada sel yang berada
pada siklus sel, namun tidak tergantung pada fase-nya
(cell cycle-speczJic drugs), dan 3). obat yang efektif baik
saat sel berada pada siklus sel ataupun istirahat (cell cyclenon speczjic drugs).
Obat kategori pertama yang bekerja pada fase S
contohnya adalah antimetabolit (sitarabin, fluorourasil,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

'

ONKOLOGIMEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


gemsitabin, metotreksat, tioguanin, fludarabin) yang
mengganggu sintesis DNA atau inhibitor topoisomerase I
(topotecan) yang mengganggu struktur DNA. Obat yang
bekerja pada fase G2 adalah antibiotik (bleomisin), inhibitor topoisomerase I1 (etoposid), serta stabilisatorl
polimerisator mikrotubulus (paclitaxel). Obat yang bekerja
pada fase M dengan mengganggu segregasi kromosom
adalah golongan alkaloid vinka (vinblastin, vinkristin,
vindesin, vinorelbin).
Obat yang efektifitasnya tidak bergantung pada sel
berada di fase manapun adalah sebagian besar obat
alkilator (klorambusil, siklofosfamid, melfalan, busulfan,
dakarbazin, sisplatin, karboplatin) dan antibiotika
(daktinomisin, daunorubisin, doksorubisin, idarubisin).
Sebenarnya obat-obatan ini tidak benar-benar nonspesifik
karena mereka tetap menunjukkan efektivitas yang lebih
besar pada suatu fase dibanding fase yang lain, namun
derajatnya tidak sama dengan obat yang fase-spesifik.
Pemberian obat kategori ketiga serupa dengan
pemberian iradiasi foton, sehingga tidak tergantung apakah
sel berada pada siklus sel atau tidak. Contohnya mustard
nitrogen (mekloretamin) dan nitrosourea (karmustin,
lomustin).

KEMOTERAPI KOMBlNASl
Pemberian obat sitotoksik tunggal dengan dosis yang
masih dapat ditoleransi secara klinis tidak dapat digunakan
untuk mengobati kanker, dengan beberapa kekecualian
seperti pada koriokarsinoma dan limfoma Burkit.
Kemoterapi kombinasi memberi beberapa keuntungan
sebagai berikut, 1) pemusnahan sel-sel kanker dapat terjadi
secara maksimal dengan kisaran toksisitas yang masih
dapat ditoleransi oleh tubuh pasien, 2) lebih luasnya
kisaran interaksi antara obat dan sel tumor dengan
abnormalitas genetik yang berbeda pada populasi tumor
yang heterogen, dan 3) kemoterapi kombinasi dapat
mencegah atau memperlambat tumbulnya resistensi obat
selular.
Pemeriksaan obat-obat sitotoksik sebagai kombinasi
mengikuti panduan sebagai berikut:
Pertama, pilihan hanya pada obat yang terbukti
memberikan respons parsial sebagai obat tunggal. Obat
yang dapat menimbulkan respons komplit lebih disukai
dibandingkan yang hanya menimbulkan respons parsial.
Kedua, toksisitasnya tidak tumpang tindih dengan
toksisitas obat lain dalam kombinasi, sehingga dapat
minimalisasi efek letal serta dapat memaksimumkan
intensitas dosis.

TOLAK UKUR PENGOBATAN


Terapi sistemik yang diberikan kepada pasien dapat

diberikan dengan tujuan kuratif maupun paliatif.


Pemberiannya saat ini dapat digolongkan menjadi empat
kelompok, yaitu: 1). terapi induksi primer untuk kanker di
mana kemoterapi merupakan satu-satunya cara
pengobatan yang efektif (misalnya limfoma, tumor Wilm,
rabdomiosarkoma embrional, kanker paru sel kecil) atau
kanker stadium lanjut; 2). terapi neoajuvan, untuk pasien
dengan kanker terlokalisir namun ukurannya terlalu besar
untuk dilakukan pembedahan atau radiasi dengan
optimal; 3). terapi ajuvan, sebagai tambahan terapi lokal,
baik pembedahan atau radiasi, yang bertujuan
menghilangkan mikrometastasis; dan 4). pemberian
langsung pada lokasi tumor.
Terapi induksi primer untuk kanker stadium lanjut dan
metastatik diberikan sebagai terapi paliatif, untuk
memperbaiki kualitas hidup, menghilangkan gejaldsindrom
akibat tumor, serta memperpanjang masa progresifitas tumor dan masa harapan hidup.
Terapi neoajuvan saat ini umumnya diberikan pada
pengobatan kanker anal, kandung kemih, payudara,
esofagus, larings, kanker paru non-sel kecil lokal lanjut,
dan sarkoma osteogenik. Untuk beberapa penyakit, seperti
kanker anal, gastroesofageal, larings dan kanker paru nonsel kecil, manfaat klinis yang optimal akan terjadi bila
kemoterapi diberikan bersama dengan radioterapi, baik
bersama-sama atau berurutan.
Respons pengobatan dapat diukur dengan perubahan
obyektif dari ukuran tumor atau produk tumor, masa
ketahanan hidup dan respons subyektif. Tidak semua tolok
ukur ini dapat diukur untuk menilai respons pengobatan.
Pada pengobatan ajuvan, misalnya, tumor primer telah
diangkat, sehingga indikator utama keberhasilan
pengobatan, yaitu pengurangan ukuran tumor, tidak dapat
menjadi tolok ukur. Jadi pada kemoterapi ajuvan, masa
bebas kekambuhan (relaps-free survival) dan masa
ketahanan hidup keseluruhan (overall survival) menjadi
tolok ukur akhir yang utama. Yang dimaksud dengan
relapsfree survival pada kemoterapi ajuvan adalah waktu
yang dibutuhkan untuk tumbuhnya kembali sel-sel kanker
yang dapat terdeteksi secara klinis.
Regresi tumor secara obyektif dapat diukur dengan
pengurangan ukuran tumor atau produk tumor seperti
imunoglobulin pada limfoma. Lesi tumor awal dikategorikan
sebagai 'dapat diukur' (diameter terpanjang lebih dari 20
mm dengan teknik konvensional atau lebih dari 10 mm
dengan spiral CT scan) atau 'tidak dapat diukur' (lesi lebih
kecil atau benar-benar tidak terukur). Respons Komplir
didefinisikan sebagai tidak ditemukannya kembali tandatanda tumor baik secara radiologis maupun biologis.
Respons Parsial adalah penurunan ukuran diameter
tumor sekurang-kurangnya 50%. Penyakit Progresif
adalah peningkatan diameter tumor sekurang-kurangnya
25%. Kriteria lain adalah Penyakit Stabil di mana
pengurangan ukuran tumor tidak memenuhi syarat untuk
respons parsial atau peningkatan ukuran tumor tidak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PRINSIP DASAR TERAPI SlSTEMlK PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


memenuhi syarat untuk kriteria penyakit progresif.
Indikator yang paling penting dari kualitas remisi komplit
adalah masa bebas kekambuhan (relaps-free survival).

ECOG
Derajat

POLA SENSlTlVlTAS KANKER TERHADAP


KEMOTERAPI
Kelompok I
Kanker dengan sitostatika mutakhir menghasilkan efek
sitoreduktif yang cepat dan kesembuhan umumnya terjadi
pada kanker yang secara intrinsik sensitif terhadap
kemoterapi sitostatika (contohnya: leukemia limfoblastik
akut pada anak-anak, penyakit Hodgkin, beberapa jenis
limfoma non-Hodgkin, kanker testis).
Kelompok II
Kanker yang biasanya berespons baik pada saat permulaan
diberikan sitostatika namun kemudian sering berubah
menjadi refrakter terhadap sitostika berikutnya
(contohnya: kanker payudara, kanker paru sel kecil, kanker
ovarium yang kambuh).

Kriteria
(disederhanakan)

Karnofsky

Status Fungsional

Aktivitas normal

100

Dapat melakukan
aktivitas normal, tidak
memerlukan
perawatan khusus
(tidak ada gejala)
Aktifitas normal
dengan gejala minimal

Ada gejala, cukup


rawat jalan

80

Aktifitas normal
dengan usaha ekstra,
ada gejala penyakit
Tidak dapat bekerja,
dapat dirawat di
rumah, perlu bantuan
untuk beberapa
aktivitas

~50%
waktu harus
berbaring

60

Kadang-kadang perlu
bantuan
Perlu bantuan dan
seringkali perawatan
medis

50

>50% waktu harus


berbaring

40

Tidak dapat merawat


diri sendiri,
memerlukan
perawatan di rumah
sakit, perjalanan
penyakit dapat sangat
cepat
Tidak dapat
beraktifitas sama
sekali, indikasi dirawat
di rumah sakit

Harus berbaring
terus-menerus

20

Meninggal

Sangat sakit, perlu


dirawat di RS untuk
pengobatan suportif
Sekarat
Meninggal

Kelompok Ill
Tumor yang secara intrinsik resisten terhadap hampir
semua kemoterapi sitostatika (contohnya: melanoma
maligna)

FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS


DIPERHATIKAN DALAM MELAKUKAN
KEMOTERAPI
Faktor yang harus diperhatikan dalam merencanakan
kemoterapi adalah pilihan rejimen pengobatan, dosis, cara
pemberian dan jadwal pemberian. Faktor yang harus
diperhatikan pada pasien adalah usia, jenis kelamin,
status sosioekonomi, status gizi, status penampilan (Tabel
I), cadangan sumsum tulang, serta fbngsi paru, ginjal, hati,
jantung dan adanya penyakit penyerta. Faktor yang
berhubungan dengan tumor adalah jenis dan derajat
histologi, tumor primer atau metastasis, lokasi metastasis,
ukuran tumor, serta adanya efusi.

Kontraindikasi absolut adalah penyakit terminal (harapan


hidup sangat pendek), kehamilan trimester pertama,
septikemia, dan koma.
Kontraindikasi relatif adalah bayi di bawah 3 bulan,
usia tua, terutama pada pasien dengan tumor yang tumbuh
lambat dan kurang sensitif terhadap kemoterapi; status
penampilan buruk (kurang dari 40), terdapat gaga1 organ

10
0

yang parah, metastasis otak (jika tidak dapat diobati dengan


radioterapi), demensia, pasien tidak dapat datang secara
reguler, pasien tidak kooperatif, serta jenis tumornya
resisten terhadap obat antikanker.

OBAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI TERAPI


SlSTEMlK PADA KANKER
Obat yang digunakan untuk terapi sistemik kanker terdiri
dari beberapa macam golongan. penggolongan ini dapat
didasarkan pada cara kerjanya atau sumber obat tersebut
berasal. Beberapa contoh obat dan golongannya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Obat Alkilator
Obat alkilator adalah obat yang membentuk ikatan dengan
asam nukleat, protein, dan banyak molekul dengan berat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


molekul rendah. Obat ini merupakan senyawa elektrofil atau
menjadi elektrofil di dalam tubuh untuk menghasilkan
molekul terpolarisasi dengan daerah bermuatan positif.
Molekul yang terpolarisasi ini kemudian dapat berinteraksi
dengan daerah yang kaya dengan elektron pada banyak
molekul selular. Mekanisme utama golongan obat ini adalah
interaksi antara molekul elektrofil dengan DNA. Interaksi
ini menyebabkan terjadinya reaksi substitusi, ikatan silang
(cross-linking), atau pemutusan untai DNA.
Obat alkilator berinteraksi dengan DNA, RNA, atau
protein yang telah terbentuk, sehingga obat golongan ini
merupakan obat yang tergolong tidak spesifik pada fase
tertentu, bahkan beberapa juga dapat aktif pada sel yang
tidak berada di siklus sel (cell cycle-nonspecific).

Obat Antimetabolit
Obat golongan ini adalah kelompok senyawa dengan berat
molekul rendah yang mempunyai efek antineoplasma
karena struktur atau fungsinya mirip dengan metabolit
yang secara alami terlibat dalam sintesis asam nukleat.
Obat ini bekerja dengan menghambat enzim-enzim penting
yang terlibat dalam sintesis asam nukleat atau
terinkorporasi ke dalam asam nukleat dan menghasilkan
kode genetik yang salah. Kedua mekanisme ini
menyebabkan penghambatan sintesis DNA dan akhirnya
kematian sel. Oleh karena efeknya terutama pada sintesis
DNA, maka obat ini paling aktif pada sel yang aktif turnbuh
dan sebagian besar termasuk kategori fase-spesifik.
Produk Natural
Obat-obat ini dimasukkan ke dalam satu golongan bukan
berdasarkan cara kerjanya namun karena sumbernya yang
berasal dari produk natural. Golongan obat ini terdiri dari
beberapa jenis, yaitu a) Inhibitor mitotik (vinkristin,
vinblastin, vindesin,vinorelbin), aktivitasnya terutama
disebabkan karena efeknya terhadap protein mikrotubular
sehingga terjadi penghentian metafase dan inhibisi
mitosis. Jadi, berdasarkan cara kerjanya obat ini
digolongkan sebagai antimikrotubul; b) Derivat Podophyllum (etoposide, teniposide), podofilotoksin semisintetik
ini dapat membentuk kompleks dengan enzim DNA
topoisomerase 11, yaitu enzim yang penting untuk
menyelesaikan replikasi DNA. Interaksi ini menyebabkan
untai DNA terputus dan siklus sel terhenti pada fase S
akhir dan G , awal; c). Camptothecin (irinotecan,
topotecan), target primernya adalah DNA topoisomerase
I; d) Antibiotik, merupakan senyawa antimikroba yang
diproduksi oleh Streptomyces sp., bekerja dengan
mempengaruhi fungsi dan sintesis asam nukleat; e) Enzim,
contohnya adalah asparaginase yang mengkatalisis
hidrolisis asparaginase menjadi asam aspartat dan amonia
sehingga sel ganas menjadi kekurangan asam amino
esensial yang penting bagi kehidupannya.
Produk natural yang merupakan antibiotik terbukti

sangat bermanfaat dalam pengobatan kanker dan efektif


pada berbagai jenis kanker. Obat golongan antibiotika
berdasarkan mekanisme kerjanya terbagi menjadi beberapa
jenis, 1) obat yang menyebabkan pembelahan DNA yang
tergantung topoisomerase I1 dan berinterkalasi dengan
untai ganda DNA, contohnya: daktinomisin, antrasiklin
(doksorubisin, daunorubisin, epirubisin, dan idarubisin),
mitoksantron; 2)obat yang menyebabkan fragmentasi untai
DNA, contohnya; bleomisin; 3)obat yang menyebabkan
reaksi ikatan silang antara untai komplementer DNA yang
mengganggu proses replikasi, contohnya mitomisin.
Produk natural, selain alkaloid vinka yang telah
disebutkan, yang termasuk golongan obat antimikrotubul
adalah taksan. Paklitaksel merupakan senyawa yang mulamula ditemukan, disusul oleh analognya yaitu dosetaksel.
Obat ini memiliki spektrum aktivitas antikanker yang luas
dan mempunyai mekanisme sitotoksisitas yang unik.
Paklitaksel berinteraksi dengan mikrotubul, tetapi tidak
seperti alkaloid vinka yang mengharnbat pembentukannya,
paklitaksel menstabilkan mikrotubul dan menghambat
pengrusakannya. Paklitaksel menciptakan keseimbangan
dinamis antara pembentukan dan pengrusakan mikrotubul.
Proses yang paling dipengaruhi oleh obat ini adalah
mitosis.

TERAPI HORMONAL
Sejak dilaporkan pada tahun 1895 bahwa ooforektomi dapat
memperlambat progresifitas kanker payudara, telah
diketahui peranan hormon dalam perkembangan kanker.
Estrogen, progestin, dan androgen diketahui berperan
dalam perkembanan kanker payudara dan endometrium.
Molekul yang terkait dengan famili reseptor steroid
saat ini merupakan target yang tepat untuk molekul kecil
dalam pengobatan kanker. Jika terikat dengan ligannya,
reseptor ini dapat mengubah transkripsi gen dan, pada
beberapa jaringan, dapat menginduksi apoptosis.
Glukokortikoid diberikan dengan dosis tinggi pada
leukemia dan limfoma, sehingga diharapkan terjadi
apoptosis pada sel tumor. Contoh lain adalah pengobatan
kanker prostat dengan dietilstilbesterol (DES). DES bekerja
seperti estrogen pada tingkat hipotalamus untuk
menurunkan produksi luteinizing hormone (LH), sehingga
akan terjadi penurunan produksi testosteron oleh testis.
Untuk mendapatkan efek supresi androgen testikuler
tersebut dapat pula diberikan obat agonis luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) seperti leuprolide dan
goserelin. Obat lain adalah antagonis androgen yang
bekerja pada reseptor androgen, seperti j7utamide atau
bicalutamide.
Terapi hormonal telah memberikan hasil yang
memuaskan pada pasien kanker payudara dengan reseptor
estrogen/progesteron positif. Sejak awal 1960-an, sewaktu
reseptor estrogen pertama kali ditemukan, diketahui bahwa

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1451

PRINSlP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Golongan
Alkilator

Sub-Golongan
Mustar Nitrogen

Aziridin dan
Epoksida
Alkil sulfonat
Nitrosurea

Hidrazin dan
Turunan Triazin

Antimetabolit

Antifolat

Analog pirimidin
Analog cytidine

Analog purin

Inhibitor
Topoisomerase

Analog
Camptothecin

Epipodofilotoksin
Antrasiklin

Lain-lain
Antimikrotubul

Alkaloid vinka

Taksan

Obat
Siklofosfamid
lfosfamid
Melfalan
Klorarnbusil
Tiotepa
Mitomisin C
Dianhidrogalaktitol
Busulfan
Karrnustin (BCNU)
Lomustin (CCNU)
Semustin (rnetil
CCNU)
Prokarbazin
Dakarbazin
Ternozolomid
Metotreksat
Raltitreksed
Pernetreksed
5-fluorourasil (5-FU)
Capecitabin
Sitarabin (cytosine
arabinoside, ara-C)
Gemcitabine
6-merkaptopurin (6MP)
Azatioprin
6-tioguanin (6-TG)
lrinotecan
Topotecan

Etoposide
Teniposide
Doksorubisin,
Daunorubisin
Epirubisin
ldarubisin
Mitoksantron
Aktinomisin D
Vinblastin
Vinkristin
Vindesin
Vinorelbin
Paklitaksel
Dosetaksel

Contoh Dosis Obat


400-200 rnglm2 IV; 100 mglrn2 PO qd
8 rng/m2qd x 5, PO
1-3 rnglm qd PO
6-10 mg/rn2q6 rninggu

200 mglrn2 IV; 150 mglm2 PO


100-300 mglm2 PO

100 rng/rn2per hari X 14


375 mg/rn2 IV hari 1 & 15
150-200 rng/rn2qd X 5 q28; atau
75 rng/m2qd X 6-7 rngg
15-30 mg/rn2 PO atau IM qd X3-5

375 mglrn2 IV qd X5; 600 rnglrn2 IV hr 1&8


1250 mg/m2 PO bid 2 mgg, 1 rninggu stop
100 rnglm2per hr qd X 7 dengan infus kontinyu;
103 g/lm2 IV bolus
1000 mg/rn2 IV per rninggu X 7
75 rnglm2PO atau s.d 500 rnglrn2 PO (dosis tinggi)
1-5 rnglkg per hari
2-3 mglkg per hr sarnpai 3-4 mgg
100-150 rnglm2 IV > 90 rnnt q3-4 mgg atau 30 rnglrn2
per hari > 120 jam
20 rng/m2 IV q3-4 rngg >30 mnt atau 1,5-3 mglrn2q 3-4
rngg > 24 jam atau 0,5 mg/m2 per hari > 21 hari
100-150 mg/rn2IV qd X3-5 hr
150-200 mglm2 IV 2X serninggu, 4 rngg
45-60 mg/m2q3-4 rngg;10-30 mg/rn2per rngg; atau
regimen infus kontinyu
150 mg/m2 IV q3 rngg
10-15 rng/m2q3mgg; 10 rnglm2 IV qd X3
12 mg/m2qd X3
10-15 ~ g l k gper hr qd X 5 IV bolus
6-8 mg/rn2 per rngg
1-1,4 mglrn2per rngg (maks 2 mg)
15-30 mglm2 per mgg
175 rng/m2 per infus 3 jarn;135-175 mg/m2 per infus 24
jam; 140 mg/rn2 per infus 96 jam; 250 mg/m2per infus 24
jam + G-CSF
60-75 rnglrn2per infus 1 jam, q3 mgg
75-100 rnq/m2 per dosis IV q3-4 rngg
365 mglrn IV q3-4 rngg
130 mg/m2q3 mgg > 2 jam atau 85 mg/rn2q2 rngg

Platinum

Sisplatin
Karboplatin
(Paraplatin)
Oksaliplatin
(Eloksatin)

Lain-lain

L-Asparaginase
Bleomisin

~ rngg
25.000 l ~ l qm3-4

Terapi target

lmatinib mesilat
Gefitinib
Trastuzumab

400 mglhr
250 mglhr
Inisial: 4 mglkg, infuse 90'. Dosis pemeliharaan: 2
molka, infus 30'

BCNU: bischloroethylnitrosourea; CCNU: cyclohexylchloroethyInitrosourea;qd : setiap hari; PO: per oral; IV: intravena;
q: setiap; bid: dua kali sehari; rng: miligrarn; mgg:rninggu

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kanker payudara yang mempunyai reseptor estrogen atau


reseptor progesteron memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik. Tanpa reseptor, hasil pengobatan hormonal
kurang dari 5%, sedangkan yang reseptomya positif, 3040%, bahkan hasil pengobatan 60-70% bila tumornya
mempunyai kombinasi reseptor estrogen dan progesteron.
Obat antiestrogen, seperti tamoksifen, telah terbukti
dapat memperbaiki outcome pada setiap stadium kanker
payudara dengan reseptor hormonal positif. Obat inhibitor
aromatase seperti anastrozol, letrozol, atau eksemestan juga
telah dilaporkan memberikan hasil yang baik dan merupakan
obat pilihan pada pasien pascamenopause,baik yang alamiah
maupun menopause buatan (pasca ablasi ovarium).

Trombositopenia, anemia, dan leukopenia adalah efek


samping yang terjadi akibat kemoterapi. Sebagian besar
program pengobatan standar dirancang sesuai dengan
kinetika pemulihan sumsum tulang setelah paparan
kemoterapi. Beberapa tahun terakhir mulai diberikan faktor
perangsang koloni seperti faktor perangsang kolonimakrofag (macrophage-colony stimulating factor, MCSF), faktor perangsang koloni-granulosit (granulocytecolony stimulating factor, G-CSF). Faktor pertumbuhan
ini mempunyai peran penting dalam pemberian dosis
intensif kemoterapi dengan mencegah leukopenia
sehingga mengurangi insidens infeksi dan lamanya rawat
inap.

TERAPI DENGAN TARGET MOLEKULAR

Mukositis
Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis),
lidah (glossitis), tenggorok (esofagitis), usus (enteritis),
dan rektum (proktitis). Umumnya mukositis terjadi pada
hari ke-5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis muncul,
siklus berikutnya akan terjadi mukositis kembali, kecuali
jika obat diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat
menyebabkan infeksi sekunder, asupan nutrisi yang buruk,
dehidrasi, penambahan lama waktu perawatan, dan
peningkatan biaya perawatan.
Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat
mukositis, maka kebersihan mulut hams dijaga. Pasien juga
harus diingatkan untuk berhati-hati dengan gigi palsunya
dan memilih sikat gigi yang bulunya halus. Setiap kali habis
makan, mulut harus dibersihkan dan berkumur dengan obat
antiseptik. Jika telah terjadi infeksi sekunder, apakah
disebabkan oleh jamur, herpes, atau bakteri, maka infeksi
harus diobati dengan obat yang sesuai.

Terapi dengan target molekular pada pengobatan kanker


adalah strategi pengobatan yang dirancang untuk
menghambat molekul spesifik yang terlibat dalam proses
transformasi keganasan atau mempengaruhi metastasis
sel-sel kanker. Terapi ini dapat ditujukan pada produk
onkogen yang terlibat secara langsung pada insiasi
transformasi keganasan, contohnya adalah imatinib untuk
pengobatan leukemia mielositik kronik. Selain itu dapat
ditujukan pada produk onkogen yang terlibat pada
stadium selanjutnya dari proses transformasi keganasan
(berperan dalam progresifitas tumor, tidak pada awal
pembentukan tumor), contohnya adalah trastuzumab
untuk pengobatan kanker payudara.
Obat yang digunakan untuk terapi ini terbagi atas
beberapa jenis. Molekul berukuran kecil dapat
menghambat enzim atau reseptor pertumbuhan yang
terlibat dalam pertumbuhan sel. Contohnya adalah imatinib
dan gefitinib. Obat penginduksi apoptosis bekerja melalui
interaksinya dengan protein yang terlibat proses
apoptosis. Contoh obat jenis ini adalah bortezomib yang
digunakan pada pengobatan mieloma multipel. Jenis lain
adalah antibodi monoklonal, vaksin kanker, inhibitor
angiogenesis, dan terapi gen.

EFEK SAMPING KEMOTERAPI


Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya
cepat membelah. Namun, terkadang obat ini juga memiliki
efek pada sel-sel tubuh normal yang juga mempunyai sifat
cepat membelah seperti rambut, mukosa (selaput lendir),
sumsum tulang, kulit, dan sperma. Obat ini juga dapat
bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung, hati,
ginjal, dan sistem saraf. Berikut akan dibahas beberapa
efek samping yang sering ditemui pada pasien.

SUPRESI SUMSUM TULANG

Mual dan Muntah


Mual dan muntah terjadi karena peradangan dari sel-sel
mukosa (mukositis) yang melapisi saluran cerna. Muntah
dapat terjadi secara akut, dalam 0-24jam setelah kemoterapi,
atau tertunda, 24-96 jam setelah kemoterapi.
Setiap obat tidak sama derajatnya dalam menimbulkan
muallmuntah. Obat yang dapat sangat sering (>90%)
menyebabkan muntah contohnya sisplatin, dakarbazin,
mekloretamin, dan melfalan/arabinosa-C dosis tinggi. Obat
yang sering (60-90%) menimbulkan muntah contohnya
siklofosfamid, prokarbazin, etoposid, metotreksat, sisplatin.
Obat yang insidensnya sedang (30-60%) dalam
menimbulkan muntah misalnya doksorubisin, 5fluorourasil,karboplatin, ifosfamid, sitarabin, mitoksantron.
Obat yang sedikit menimbulkan muntah adalah alkaloid
vinka, 5-fluorourasil, bleomisin, etoposid. Obat yang
sangat jarang (<lo%) menimbulkan muntah adalah
vinkristin, klorambusil, paklitaksel.
Prinsip dasar terapi antimual adalah, pertama,
singkirkan sebab lain mual dan muntah, kedua, evaluasi
obat kanker yang potensial membuat muntah dan kemudian

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1453

PRINSIP DASAR TERAPI SISTEMIK PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pilih antimual yang sesuai, ketiga, obati beberapa hari
untuk mencegah muntah berkepanjangan, keempat,
kombinasi antimual akan memberikan pencegahan lebih
kuat, dan kelima, cegah muntah sebelum pemberian obat
kemoterapi (premedikasi).
Obat yang dapat diberikan untuk mencegah muall
muntah adalah deksametason 8 mg, 2 kali sehari (hari ke-1
dan 2) dilanjutkan 4 mg, 2 kali sehari (hari ke-3 dan 4) dan
metoklopramid 0,5 mgkg, 4 kali sehari, hari ke-1 sampai 4.
Alternatif lain adalah ondansentron, hari ke-1 dan 2, dan
proklorperazin, 15 mg, tiga kali sehari, hari ke- 1 sampai 4.
Untuk mengantisipasi muallmuntah maka sebelum
kemoterapi dapat diberikan obat penenang seperti
lorazepam.
Selain pemberian obat, lingkungan di sekitar pasien
dan makanan harus diperhatikan. Pasien sebaiknya
ditempatkan di ruangan yang sejuk, makan makanan
dingin, hindari makanan yang pedas dan berbau
menyengat, makan dan minum dalam porsi yang sedikit
tetapi sering, hindari makan 1-2jam sebelum dan sesudah
kemoterapi, relaksasi dengan menonton televisi, bermain
game, atau membaca, tidur selama periode mual yang hebat,
menjaga kebersihan mulut serta berolahraga.
Diare
Diare disebabkan karena kerusakan sel epitel saluran cema
sehingga absorpsi tidak adekuat. Obat golongan
antimetabolit adalah yang sering menimbulkan diare.
Pasien dianjurkan makan rendah serat, tinggi protein
(enteramin) dan minum cairan yang banyak. Obat antidiare
juga dapat diberikan. Seperti juga diare karena sebab lain,
maka penggantian cairan dan elektrolit yang telah keluar
hams dilakukan. Pada pemeriksaan hams dilihat apakah
ada lecet perianal, jika ada hams segera diatasi agar tidak
memicu infeksi.
Alopesia
Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat
efek letal obat terhadap sel-sel folikel rambut. Pemulihan
total akan terjadi setelah terapi dihentikan. Pada beberapa
pasien, rambut dapat tumbuh kembali pada saat terapi
masih berlangsung. Tumbuhnya kembali merefleksikan
proses proliferatif kompensatif yang meningkatkan jumlah
sel-sel induk atau mencerminkan perkembangan resistensi
obat pada jaringan normal.
Infertilitas
Spermatogenesis dan pembentukan folikel ovarium

merupakan ha1 yang rentan terhadap efek toksik obat


antikanker. Pria yang mendapat kemoterapi seringkali
produksi spermanya menumn. Biopsi testis menunjukkan
hilangnya sel-sel germinal pada tubulus seminifems, ha1
ini disebabkan karena efek obat terhadap sel-sel yang
berploriferasi cepat. Efek antispermatogenik ini dapat pulih
kembali setelah kemoterapi dosis rendah tetapi beberapa
pria mengalami infertilitas yang menetap.
Kemoterapi seringkali menyebabkan perempuan
pramenopause mengalami penghentian menstruasi
sementara atau menetap dan timbulnya gejala-gejala menopause. Hilangnya efek ini sangat tergantung dari umur,
jenis obat yang digunakan, serta lama dan intensitas
kemoterapi. Biopsi ovarium menunjukkan kegagalan
pembentukan folikel ovarium.

REFERENSI
Blay JY, Cesne AL, Alberti L, Ray-Coquart I. Targeted cancer
therapies. Bull Cancer. 2005;92 (2):E13-8.
Chu E, DeVita Jr VT. Principles of cancer management:
chemotherapy. In: DeVita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA,
editors. Cancer principles and practice of oncology. 61h edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001 .p. 289302.
Doroshow JH. Principles of medical oncology. In: Pollock RE,
Doroshow JH, Khayat D, Nakao A, O'Sullivan B, editors. UICC
manual of clinical oncology. 81h edition. New Jersey: John Wiley
& Sons; 2004. p. 245-62.
Kastan MB, Skapek SX. Molecular biology of cancer: the cell cycle.
In: DeVita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer principles
and practice of oncology. 6Ih edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2001. p. 91-102.
Liu G, Robins HI. The natural history and biology of cancer. In:
Pollock RE, Doroshow JH, Khayat D, Nakao A, O'Sullivan B,
editors. UICC manual of clinical oncology. 81h edition. New
Jersey: John Wiley & Sons; 2004. p. 1-18.
Moore MJ, Erlichman C. Pharmacology of anticancer drugs. In:
Tannock IF, Hill RP, editors. The basic science of oncology. 3rd
edition. New York: Mc Graw-Hill; 1998. p. 350-69.
Sausville EA, Longo DL. Principles of cancer treatment: surgery,
chemotherapy, and biologic therapy. In: Kasper DL, et al.
Harrison's principles of internal medicine. 161h edition. New
York: McGraw Hill; 2005. p. 464-81.
Skeel RT, Khleif SN. Biologic and pharmacologic basis of cancer
chemotherapy. In: Skeel RT, editor. Handbook of cancer
chemotherapy. 61h edition. Philadelphia: Lippincot William &
Wilkins; 2003. p. 3-25.
Skeel RT. Antineoplastic drugs and biologic response modifiers:
classification, use, and toxicity of clinically useful agents. In:
Skeel RT, editor. Handbook of cancer chemotherapy. 6Ih
edition. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2003. p.
53-156.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIK PEMBERIAN KEMOTERAPI


Adiwijono

PENDAHULUAN
Ada beberapa teknik pemberian kemoterapi.
Masing-masing teknik ditentukan oleh:
Jenis keganasan yang diobati
Lokasi dari pada keganasan tersebut di dalam tubuh
manusia.
Jenis obat sitostatika yang diperlukan
Di bawah ini diuraikan masing-masing teknik pemberian
kemoterapi dan disertakan contoh-contoh seperlunya.

Dapat secara berobat jalan


Tidak perlu mengeluarkan biaya untuk obat-obat dan
alat inhs, alat suntik dan biaya perawatan maupun
biaya pemondokan, dan lain-lain.
ETOPOSID ORAL
lndikasi
Kanker ovarii yang kambuh setelah penggunaan
kemoterapi dengan platinum dan taksan.

KEMOTERAPI ORAL
Beberapa Kasus yang Dapat Diobati Secara
Oral
Untuk pengobatan kanker ovarii yang relaps setelah
pengobatan dengan platinum atau taksan.
Untuk pengobatan kanker kolorektal yang telah lanjut,
kanker payudara metastatik setelah gaga1 dengan
antrasiklin dan taksan.
Untuk pengobatan leukemia limfositik kronik sel B dan
LNH derajat keganasan rendah dan lain-lain.
Obat yang Digunakan
Etoposid
Kapesitabin
Fludarabin
Cara Pemberian
Per oral
Keuntungannya
Pemberian mudah

Hal-ha1 yang Perlu Diperhatikan


Periksa darah rutin lengkap sebelum mulai kemoterapi.
Bilajumlah sel neutrofil <1,5 x 109Aataujurnlahtrombosit
<lo0 x 109/1,kemoterapi ditunda 1 minggu. Kalau
sesudah seminggu tidak membaik, hentikan kemoterapi.
Etoposid per oral potensial menimbulkan toksisitas yang
sulit dirarnal, karena absorbsi di usus diantara individu
sangat bervariasi. Risiko tinggi untuk terjadinya
toksisitas yang berat terjadi pada orang tua, statusperformance yang jelek dan gangguan fungsi hepar dan
ginjal. Alopesia biasanya berat.
Nilai bersihan kreatinin dapat dihitung dengan rumus:
Cockrofi - Gault
1,04 (&) atau 1,73 (%) x (140-umur) x BB

Bersihan kreatinin

---------Kadar kreatinin (i molll)

Kreatinin diekskresi lewat ginjal, etoposid tak perlu


dikurangi dosisnya pada insufisiensi renal yang ringan.
Kalau insufisiensi renal sedang atau berat, jangan
digunakan etoposid.
Periksa fungsi hati, bila ada insufisiensi hati sedang
sampai berat jangan digunakan etoposid.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIK PEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Dosis
Sen 1
Etoposid 50 mg (dosis total) PO dua kali sehari,
hari 1-7. (Peningkatan dosis hanya dilakukan bila
tidak ada toksisitas derajat 3 atau 4 setelah
seri 1.
Sen 2
Etoposid 50 mg (dosis total) PO dua kali sehari ,hari 110. (Peningkatan dosis hanya dilakukan bila tak ada
toksisitas derajat 3 atau 4 setelah seri 1).
Seri 3-6
Etoposid 50 mg (dosis fatal) PO dua kali sehari, hari 114.
Peningkatan dosis hanya dilakukan apabila tidak ada
toksisitas derajat 3 atau 4 setelah seri 1 atau 2.

Beberapa Hal Penting Diperhatikan


Periksa darah rutin lengkap sebelum mulai kemoterapi.
Bila jumlah sel neutrofil <1500/mm3 atau trombosit
<100.000/mm3tunda dulu kemoterapi.
Periksa tes fungsi hati. Bila kadar bilirubin >3x nilai
normal tertinggi atau transaminase (GOT, GPT) >2,5 x
nilai normal tertinggi tunda dulu kemoterapi.

Cara Pemberian
Per oral 2 x 1 tablet 50 mg sehari
Lama waktu yang diperlukan tiap seri 2 1 hari dan jumlah
seri biasanya 6 seri.

Efek Samping
Sistem pencemaan: diare, mual, muntah, mukositis nyeri
di abdomen.
Gangguan fungsi hati: peningkatan kadar bilirubin dan
enzim transaminase.
Kulit: hand-foot syndrome (telapak tangan dan kaki
terasa gatal, sakit, bengkak, kemerahan), adanya bintikbintik di kulit, kulit kering dan gatal, dermatitis (radang
kulit).
Alopesia (biasanya tidak terlalu berat).
Supresi sumsum tulang (biasanya tidak berat).
Bila terjadi efek samping diatasi dengan menurunkan
dosis atau terapi simptomatik.

Efek Samping
Supresi sumsum tulang, alopesia, nausea-vomitus,
mukositis, hand and foot syndrome.
Anti Emetik
Potensi emetogenik rendah. Dapat diatasi dengan
antiemetik apa saja sesuai kebutuhan.

KAPESlTABlN ORAL
Mekanisme Kerja
Kapesitabin adalah derivat fluoropirimidin karbamat
disajikan dalam bentuk preparat oral.
Kapesitabin bersifat nonsitotoksik, selanjutnya diubah
menjadi 5-FU yang bersifat sitotoksik, setelah itu baru
mengalami metabolisme.
Perubahan menjadi 5-FU di dalam jaringan tumor,
dikatalisasi oleh enzim timidin fosforilase, karena itu
paparan jaringan normal terhadap 5-FU menjadi
minimal.
Aktivasi yang selektif terhadap tumor, menyebabkan
kadar 5-FU dalam jaringan tumor jauh lebih besar
daripada dalam jaringan normal.
lndikasi
Obat baris pertama (first line treatment) untuk kanker
kolorektal yang telah lanjut; kanker payudara
metastatik yang telah gaga1 dengan antrasiklin dan
taksan.

Dosis dan Cara Pemberian


1250 kg/m2/oraldiberikan dua kali sehari bersama makan
pada hari 1- 14 disusul 1 minggu tanpa obat, sehingga
satu siklus lamanya 2 1 hari.
Jumlah siklus: sampai terbukti bahwa penyakitnyajadi
progresif atau terjadi toksisitas yang berat.
Berikan antiemetik sesuai kebutuhan.

Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap Kapesitabin atau 5-FU.
Insufisiensi ginjal yang berat (bersihan kreatinin <30
mllmenit). Bila bersihan kreatinin 30-50 mllmenit, dosis
diturunkan menjadi 75% dari dosis semula.
Tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil,
perempuan menyusui dan anak.
Untuk Hand Foot Syndrome Menggunakan
Skala Berikut:
Derajat 1. Mati rasa disastesialparaetesia, gatal,
pembengkakan yang tak nyeri, atau eritema yang
menyebabkanrasa tak nyarnan, tetapi masih bisa melakukan
aktivitas normal.
Derajat 2. Eritema yang nyeri dan pembengkakan tangan
atau kaki atau rasa tidak nyaman yang mengganggu
aktivitas.
Derajat 3. Deskuamasi yang basah, ulserasi, rasa panas,
nyeri yang hebat pada tangan dan kaki atau rasa tak
nyaman yang menyebabkan tidak dapat melakukan
aktivitas.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Derajat
Toksisitas
(NCIC)

Selama Masa
Pengobatan

Penyusunan
Dosis untuk
Siklus y.a.d.

Derajat 1

Pertahankan Dosis Semula

Derajat 2
Muncul ke 1
Muncul ke 2
Muncul ke 3
Muncul ke 4

Tunggu sampai derajat 0-1


Tunggu sampai derajat 0-1
Tunggu sampai derajat 0-1
Hentikan pengobatan

100%
75%
50%

Derajat 3
Muncul ke 1
Muncul ke 2
Muncul ke 3

Tunggu sarnpai derajat 0-1


Tunggu sampai derajat 0-1
Hentikan pengobatan

75%
50%

Tunggu sampai derajat 0-1


atau hentikan pengobatan

50%

Derajat 4
Muncul ke 1

Pertahankan
Dosis Semula

FLUDARABIN ORAL
Penggunaan
Untuk terapi CLL sel B yang resisten terhadap alkylating agent, juga untuk NHL derajat keganasan rendah
yang kambuh.
Mekanisme Kerja
Derivat purin nukkleosida
Masuk sel melalui mekanisme transpor oleh nukleosida.
Mengalami refosforilasi pada F-are-ATP melalui
deoksitidin kinase.
Trifosfat diubah jadi DNA
Menghambat ribonukleotida reduktase, DNA
polimerase, DNA primase, DNA ligase.
Menyebabkan apoptosis.
Hal-ha1 yang Perlu Diperhatikan
Beritahu bahwa pasien dapat berobat jalan.
Sebelum pengobatan periksa kadar ureum, kreatinin dan
tes fungsi hati. Hati-hati pada pengobatan pasien
dengan disfungsi hati dan insufisiensi renal.
Beritahu pasien untuk:
- Menghindari obat yang mengandung aspirin.
- Mengenali tanda-tanda dan gejala dari anemia dan
trombositopenia.
- Mengenali tanda-tanda sindrom lisis tumor dan
penting mempertahankan hidrasi.
- Mengenali tanda-tanda efek samping lainnya dan
usaha-usaha yang bisa dilakukan.
Dosis dan Cara Pemberian
Fludarabin 40 mg/m2per oral selama 5 hari.

Lama siklus 28 hari


Jumlah siklus 6
Obat ini menimbulkan rasa mual ringan,jadi dapat diatasi
dengan obat anti emetik biasa.

Toksisitas
Netropenia trombositopenia, sering diikuti terjadinya
febril neutropenia.
Anemia hemolitik,jarang terjadi, tetapi bila terjadi berat.
Limfopenia yang mungkin bertahan sampai 1tahun atau
lebih. Dapat terjadi infeksi: herpes zoster, herpes
simpleks, pneumosistis carinii, kandida, aspergilus dan
lain-lain.
Neurotoksis, terjadi pada 15% pasien dengan dosis
standar. Bila dosis lebih dari dosis standar, dapat terjadi
neurotosisitas yang berat dan fatal.
Sindrom lisis tumor dapat terjadi <0,5%, tetapi bila terjadi
fatal dan tak dapat dicegah dengan allopurinol dan hidrasi.
Toksisitas yang lain: nausea, vomitus dan alopesia.
Toksisitas dapat lebih berat pada orang tua atau pada
pasien yang tak ada respons terhadap terapi.
KEMOTERAPI INTRAVENA
Obat-obat Sitostatika yang Digunakan Secara
lntravena
Banyak obat kemoterapi yang penggunaannya secara IV,
misalnya Siklofosfamid, Epirubisin, Vinkristin, 5-FU,
Metotreksat, Sitarabin dan lain-lain.
Cara pemberian kemoterapi secara IV diantaranya untuk
pengobatan kanker payudara, kanker kolorektal, limfoma
maligna, leukemia akut dan lain-lain. Cara pemberian
kemoterapi secara IV bemariasi, tergantung pada jenis obat
maupun jenis keganasannya. Misalnya:
Epirubisin, pemberian secara IV pelan-pelan.
Siklofosfamid,dilarutkan dulu dalam larutan NaCl0,9%,
lalu disuntikkan secara IV pelan-pelan, atau dengan
inhs drip selama 10-20 menit.
Sitarabin dilarutkan dulu dalam 500 cc salin diberikan
secara i n k s drip selama 24 jam.
Karena obat-obat kemoterapi yang penggunaannya
secara IV banyak, dan indikasinyajuga berbeda-beda, maka
di sini disajikan satu contoh: pemberian kemoterapi pada
kanker payudara.
FEC (5-FLUOROURASIL, EPIRUBISIN,
SIKLOFOSFAMID)
lndikasi
Kemoterapi kanker payudara baik sebagai terapi ajuvan,
neoajuvan maupun kanker payudara yang sudah metastatis.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIK PEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Hal-ha1 yang Perlu Diperhatikan
Pasien usia di atas 60 tahun atau ada riwayat penyakit
jantung, sebelum kemoterapi harus dilakukan
pemeriksaan ekokardiogram atau MUGA (multiple
gated acquisition test of cardiac output), untuk
menjamin bahwa ventrikel kiri berfungsi baik.
Periksa fungsi hati. Jika ada insufisiensi hati, dosis
epirubisin dan 5-FU dikurangi.
Periksa fungsi ginjal. Jika ada insufisiensiginjal, kurangi
dosis siklofosfamid.
Periksa darah rutin lengkap. Jika netrofi14 500/mrn3atau
trombosit <100.000/mm3tunda dulu kemoterapi.
Berikan antiemetik yang kuat sebelum kemoterapi.
Kontrol dosis kumulatif epirubisin, untuk menghindari
kardiotoksisitasbila dosis kumulatif epirubisin>900 mg/
m'.

Beritahu pasien tentang kemungkinan rambut dapat


rontok, akibat kemoterapi.

Dosis
5 FU 500 mg/m2/IVpada hari 1
Epirubisin 60 mg/m2/IVpada hari 1
Siklofosfamid 500 mg/m2/IVpada hari 1.
Cara Pemberian
5 FU dan siklofosfamid disuntikkan secara 1.V pelanpelan atau dilarutkan dalam NaCl 0,9% 100 ml dan
diinfuskan dalam 10-20menit.
Epirubisin disuntikkan lewat selang infus salin.
Siklus dan Jumlah Siklus
Lama siklus 2 1 hari
Jumlah siklus 6
Efek Samping
Mielosupresi
Alopesia
Nausea, vomitus
Mukositis
Kardiomiopati(bila dosis kumulatif dari epirubisin >900
mg/m2.
Sistitis hemoragik pada pemakaian siklofosfamiddosis
tinggi. Tetapi pada regimen ini dosisnya tidak tinggi,
sehingga tak perlu penggunaan mesna dan hidrasi.
KEMOTRAPI INTRATEKALINTRAVENTRIKULAR
lndikasi
Terapi untuk meningitis neoplastik, akibat tumor solid,
limfoma atau leukemia.
Terapi profilaksis untuk pasien dengan risiko tinggi pada
limfoma atau leukemia.

Obat yang Digunakan


Metotreksat
Tiotepa
Sitarabin
Cara Pemberian
Intraventrikular
Dengan pemasangan reservoar sub Q secara operatif
dan dengan kateter ventrikular (SRVC).
Keuntungannya
- Pemberian obat mudah
- Dijamin bahwa obat yang dimasukkan dapat
mencapai Cairan serebrol spinal (CSS).
- Obat dapat diberikan pada pasien dengan
trombositopenia
- Kemungkinan respons dan survival lebih baik dari
pada melalui lumbal.
Kekurangannya
- Biaya dan komplikasi yang berkaitan dengan
pemasangan SRVC (infeksi, perdarahan, malfungsi,
pemasangan pada tempat yang h a n g tepat.
- Komplikasi yang diakibatkan oleh pemasangan
SRVC yang berulang.
- CSS dikeluarkan dulu sedikit, baru obat dimasukkan
pelan-pelan (<1 mllmenit) untuk menghindari
pergeseran CSS yang terlalu cepat di dalam otak.
Lumbal
Melalui pungsi lumbal berulang.
Sistemik
Penelitian yang baru, menunjukkan bahwa metotreksat
dosis tinggi mungkin bermanfaat.
Pendekatan Terapeutik pada Pasien Neoplastik
Meningitis
Diagnosis pengobatan dini perlu cepat untuk
mempertahankan fungsi neurologik.
Evaluasi secara keseluruhan untuk menilai faktor
prognostik dan menentukan pengobatan.
Faktor prognostik yang baik meliputi:
- Riwayat perjalanan tumor sistemik yang lambat.
- Kanker sistemik responsif terhadap terapi
neoplastik.
- Tak ada bukti kanker sistemik.
- Tak ada gangguan neurologik yang menetap.
- Status performance yang baik.
Terapi radiasi pada bagian yang besar dan menunjukkan
gejala.
Kemoterapi intratekal bertujuan mengobati penyakit
yang masih minimal dan sel-sel tumor yang terdapat di
dalam lcs.
- Umumnya dimulai dengan fungsi lumbal.
- Jika ini memperbaiki keadaan pasien dengan terapi
intratekal jangka panjang, dipasang SCRC (Sub Q
Reservoir and Ventricular Catheter).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- Penggunaan scan Indium DTPA untuk mengamati


-

kelainan aliran CSS, yang akan mempengaruhi


distribusi kemoterapi intratekal.
Kemoterapi intratecal dimulai dua kali dalam satu
minggu.
Bila pemeriksaan sitologi lcs menjadi negatif, terapi
intrathecal diberikan dua kalilminggu untuk 1
minggu setiap bulannya.
Respons terhadap kemoterapi intratekal harus
dinilai dengan pemeriksaan CSS yang diambil dari
tempat yang sama pada saat pemeriksaan sitologi
positif.
Dosis sebaiknya dalam mg (lebih baik dari pada mgl
m2)karena orang dewasa mempunyai volume CSS
yang hampir sama tanpa memandang tinggi dan
berat badannya.

Toksisitas
Mielosupresi
- Tiotepa >metotreksat >sitarabin
Potensial menimbulkan ensefalopati yang fatal.
- Kombinasi kemoterapi intratekal >metotreksat
>sitarabin >tiotepa.
- Insidensi meningkat setelah lebih dari 6 bulan dari
permulaan terapi.
- Mula-mula sering diketahui pada MRI, diikuti
gangguan neurologik yang tak dapat
disembuhkan.
- Meningitis stafilokokus epidermidis muncul subakut
pada pasien SRVC.
METOTREKSAT (MTX) INTRAVENTRIKULAR
Mekanisme Kerja
Antimetabolit
Target dihidrofolat reduktase
Mengurangi donor karbon yang diperlukan untuk
sintesis purin dan pirimidin.
Meningkatkan dihidrofolat poliglutamat, yang
selanjutnya menghambat sintesis purin.
Farmakologi klinik:
- Umumnya aktif terhadap pembelahan sel jaringan
yang cepat.
- Umumnya efektif bila kadar obat tetap tinggi untuk
jangka waktu yang lama.
Penentuan Dosis
10 mg dalam 5- 10 ml larutan elliot B dua kali dalam satu
minggu melalui ruang intratekal di daerah lumbal atau
di ventrikel.
Teruskan sampai sitologi CSS menjadi bersih (negatif).
Lalu teruskan dengan terapi pemeliharaan, dua
pengobatan setiap minggu (satu minggu tiap bulan).

Farmakokinetik
10 MTX IT dapat menghasilkan kadar lebih dari 10 iM
dalam CSS sampai 48 jam.
MTX intratekal dibersihkan dari CSS sebagian besar
melalui aliran lewat granulosisaraknoid dan sirkulasi vena.
Kelainan aliran CSS dapat mengakibatkan kadar tinggi
dari MTX yang masuk jaringan otak menjadi lama yang
dapat mengakibatkan leuko ensefalopati.
Kira-kira 90% MTX dalam sirkulasi sistemik dibersihkan
oleh ginjal.
MTX dapat tertahan dalam cairan ehsi atau asites yang
mengakibatkan pembersihan yang tertunda dan
toksisitas.
Toksisitas
Toksisitas primer yang dini adalah pada mukosa GI dan
sumsum tulang.
Jika toksisitas ini menjadi problema klinis, ha1 ini dapat
dicegah dengan menggunakan kalsium leukovorin oral,
yang melindungijaringan sistemik, tetapi tak menembus
keadaan CSS.
Toksisitas utama yang timbulnya terlambat, adalah
nekrosis tersebar yang menyebabkan leukoensefalopati.
Faktor risiko utama meliputi:
- MTX intratekal
- Radiasi kranial(1.u. bila didahului MTX intratekal)
- MTX sistemik
Terapi Suportif
Obat antiemetik biasanya tidak diperlukan
Perawatan yang Penting
CSS dikeluarkan sebanyak volume obat yang akan
dimasukkan (5- 15 cc), obat dimasukkan pelan-pelan (<
1 mllmenit) untuk menghindari aliran (pergeseran) yang
cepat dari CSS di dalam otak.
Hindari kontaminasi, gunakan teknik aseptik yang ketat.
Obat dapat dimasukkan bila ada aliran yang mudah dari
CSS yang tak mengandung darah.
Intoksikasi berat dapat terjadi pada orang tua atau
pasien dengan lesi meningeal yang berat.
Penilaian
- Status dasar neurologik
- Untuk araknoiditis akut (kebanyakan reaksi toksik):
sakit kepala, nyeri punggung, kaku kuduk, dan
demam.
- Mielopati subakut: paraplegilparaparesis pada satu
atau lebih radiks saraf.
- Leukoensefalopati kronik: iritabel, ataksia dan
meningkatnya tekanan CSS.
- Neurotoksisitas yang ditandai oleh: rasa panas, mati
rasa di kaki, stupor, agitasi, kejang-kejang dan sesak
napas.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- Menentukan tempat-tempat yang mudah terkena

infeksi.
Edukasi pasien
- Jelaskan caranya: pasien diminta tidur telentang
selama prosedur berlangsung.
- Komplikasi akut yang dapat meliputi: nausea, vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk, biasanya akan
mereda dalam 72 jam.
- Catat gejala-gejala yang tak biasa.

Toksisitas utama adalah terjadinya leukemia non


limfositik akut seperti obat-obat alkylating yang lain.
Neurotoksisitas nampaknya lebih rendah daripada
metotreksat intratekal.
Perawatan Suportif
Biasanya tak perlu obat antiemetik.
Segi Farmasi
Larutan Elliott B (CSS buatan) atau salin normal
merupakan pelarut yang cocok.

Mekanisme Kerja
Alkylating agent fungsional
Secara farmakologis sama dengan nitrogen mustard.
Dapat dimasukkan ke dalam ruang-ruang dalam badan
( b o 4 cavities)
Farmakologi Klinik
Tak spesifik untuk siklus sel.
Metabolit primer trietilen-fosforamid (TEPA)
bertanggungjawabuntuk semua aktivitas obat terhadap
tuinor solid.
Dosis
10 mg dalam 5-10 ml larutan Eliot B atau salin normal
dua kali dalam seminggu, masukkan dalam ruang
intratekal dari daerah lumbal atau ventrikel.
Teruskan sampai sitologi CSS bersih.
Lalu teruskan dengan terapi pemeliharaan dua kali dalam
seminggu (satu minggu setiap bulan).
Farmakokinetik
Halflife terminal dari tiotepa intraventrikular 8 jam.
Bersihan ventrikular kira-kira 4% dari bersihan total
Kadar tiotepa lumbal hanya 5% dari kadar ventrikular,
tetapi masih cukup tinggi untuk aktif.
Toksisitas
Efek samping dari tiotepa adalah mielosupresi.
Dosis yang dimasukkan lewat CSS (10 mg dua kali
seminggu) mendekati dosis yang diberikan secara
sistemik.
Mielosupresi dapat terjadi pada pasien-pasien yang:
- Sebelumnya sudah sering mendapat kemoterapi
atau radiasi.
- Pasien yang menderita kanker yang sudah lanjut
dan menginfiltrasi sumsum tulang.
- Sering mendapat terapi radiasi pada kolumna
ventebralis atau pelvis sebagai bagian dari
pengobatan metastasis leptomeningeal.

Segi Perawatan
Pemeriksaan darah rutin dilakukan setiap seminggu.
CSS dikeluarkan dan obat dimasukkan pelan-pelan (<1
mllmenit) untuk menghindari pergeseran CSS yang
cepat di dalam otak.
Pakai sarung tangan bila memegang larutan tiotepa
karena dapat terjadi skin rash setelah kontak dengan
bahan tersebut.
Larutan tiotepa yang baru dibuat, sering keruhherkabut
dan hams disaring dengan saringan yang pori-porinya
ukuran 0,22 mcg. Jika tetap keruh setelah disaring,
jangan dipakai.
Hindari kontaminasi, gunakan teknik aseptik yang ketat.
Awasi
- Status dasar neurologik
- Lokasi yang memungkinkan terjadinya infeksi
Jelaskan kepada pasien
- Untuk tetap telentang selama 30 menit selama
pengobatan.
- Komplikasi akut bisa terjadi diantaranya : nausea
vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk dan
semuanya itu akan hilang dalam 72 jam.
- Laporkan gejala-gejala yang tak biasa terjadi.

Sinonim
Ara-C
Sitosin Arabinosid
Sitosar
Penggunaan
Penggunaan sitarabin intratekal, telah diakui sebagai
tindakan preventif dan pengobatan leukemia meningeal.
Mekanisme Kerja
Antimetabolit
Metabolit dari sitarabin yang intraselular, Ara-CTP
bergabung dengan DNA

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dosis
Untuk meningitis leukemik 30 mglm2Ara-C diberikan
secara intratekal langsung.
Jumlah dosis yang diberikan tergantung pada beratnya
leukemik meningitis.
Jika diberikan secara intratekal, Ara-C sebaiknya
dilarutkan dalam salin yang bebas larutan pengawet.
Pelarut yang mengandung benzil alkohol sebaikya tak
digunakan.
Farmakokinetik
Mekanisme utama untuk bersihan sistemik melalui
metabolisme di hati oleh sitidin deaminase yang
membentuk nukleosid inaktif, ara-U.
Perawatan
Bahan pengencer yang terdapat dalam container,
sebaiknya tidak digunakan (ini adalah pengawet: benzil
alkohol); gunakan salin USP (yang tak diawetkan) atau
larutan ringer USP (yang tidak diawetkan).
Hindari kontaminasi; gunakan teknik aseptik yang ketat.
Risiko terjadinya toksisitas neurologik yang berat lebih
kecil pada sitarabin dari pada metotreksat.
Amati:
- Status dasar neurologik.
- Bila terjadi araknoiditisakut (umumnyareaksi toksik),
sakit kepala, nyeri punggung, kaku kuduk dan
\*.
demam.
- port d'entre untuk infeksi.
Jelaskan kepada pasien:
- Untuk tetap tidur telentang selama 30 menit selama
pengobatan.
- Komplikasiakut dapat terjadi, meliputi: nausea, vomitus, demam, sakit kepala, kaku kuduk, biasanya akan
hilang dalam 72 jam.
- Beritahukan bila ada keluhan yang tidak biasa.

hams diawasi baik-baik.

- Kebanyakan tumor solid akan memerlukan terapi


intrapleural.
Drainase
Torakoskopi merupakan prosedur terbaik agar arah
jarurn tepat dan paru mengembang kembali.
Tube standard yang besar:
- Dapat mengernbangkan paru semaksimal rnungkin.
Kateter yang lentur (sop catheter)
- Baik untuk cairan efusi yang dapat mengalir dengan
bebas.
- Dapat digunakan untuk pasien rawat jalan.
- Pompa pleura-peritoneal kadang-kadang digunakan,
tetapi sering macet dan sulit dipakai untuk
penggunaan j angka panj ang.
Pleurodesis
Pam hams dikembangkan kembali.
Volume dari drainase 4 5 0 ccl24jam.
Jika lokulasi minimal, injeksi urokinase dapat membantu
ekspansi maksimal dari paru.
Pemberian narkotik sistemik atau intrapleural dapat
mengurangi rasa sakit pada kebanyakan pasien.
Anestesi lokal intrapleural juga sering dipakai.
Drainase ulang <250 cc124jam pada waktu tube ditarik.
Obat Apa yang Digunakan ?
Dimasukkan "talc paudrage" ke dalam kavum pleura.
Bleomisin
- Cukup efektiftetapi mahal.
Doksisiklin
- Efektivitas sedang, tetapi murah.
- Perlu terapi ulang, dan menaikkan biaya.

BLEOMlSlN INTRAPLEURA
KEMOTERAPI INTRAPLEURAL
Pasien yang Dapat Diobati dengan Cara Ini
Simptom masih minimal, jangan tunggu sampai terjadi
gangguan pernapasan.
Prognosis baik, pasien mempunyai harapan hidup yang
cukup baik sehingga mondok di rumah sakit 3-4 hari
tidak jadi masalah.
Penyakitnya tak mungkin disembuhkan dengan terapi
sistemik
- Limfoma, small cell lung cancer, dapat diberi terapi
sistemik setelah torasentesis.
- Tumor yang menunjukkan respons sedang seperti
kanker payudara, kanker ovarii dapat menunjukkan
respons terhadap terapi setelah torasentesis tetapi

Penggunaan
Telah disetujui FDA untuk pengobatan keganasan yang
menyebabkan efusi pleura dengan cara intrapleural.
Juga digunakan untuk efusi peritoneal dan perikardial.
Mekanisme Kerja
Digunakan untuk menimbulkan inflamasi pleurodesis.
Dosis
Dosis umumnya 60m dalam 100 ml salin dengan
menggunakan kateter.
Pasien di tempat tidur dengan berbagai posisi untuk
melengkapi kontak dengan semua bagian pleura.
Terapi diulang cukup satu kali.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIK PEMBERlAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Farmakokinetik
45% dari dosis intrapleural dapat masuk sirkulasi.
Waktu paruh dalam kavum pleura 3 jam.
Bleomisin yang diabsorbsi,dikeluarkan lewat ginjal(6070%) clan mempunyai waktu paruh 2-4 jam. Waktu paruh
akan bertambah panjang pada pasien dengan
insufisiensi renal.

Toksisitas
Intrapleural yang sering:
- Demam, nyeri ringan sampai sedang, mual, luka
infeksi lokal.
Intrapleural yang jarang:
- Reaksi anafilaktik, retensi cairan, kemerahan dan
diare.
Sistemik (45% dosis diabsorbsi)
- Reaksi kulit (pruritus, hiperpigmentasi, edema,
eritema, penebalan kuku, mukositis, alopesia).
- Anoreksia.
- Pneumonitis interstisial.
- Hipotensi, nyeri pada tempat suntikan, demam dan
menggigil selama inhs.
- Mielosupresi.
- Trombosis mikroangiopati.
Alergi, anafilaksis.
Perawatan Suportif
Paru perlu dikembangkan penuh agar pleurodesis
efektif.
Asetaminofen diberikan bila demam.
Suntikkan morfin 10 mg diberikan 30 menit sebelum
pengobatan.
Lidokain 25 cc 2% disuntikkan ke dalam kavum pleura
sebelwn bleomisin.
Kadang-kadang perlu antiemetik.
Obat dan alat untuk mengatasi kemungkinan reaksi
anafilaksis hams siap.
Segi Farmasi
Vial yang intak disimpan di kulkas, buat larutan yang
stabil dan dapat disimpan 1 bulan di kulkas, 2 minggu
bila disimpan pada suhu kamar.
Salin normal merupakan pelarut yang cocok.
Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung
kation divalen atau trivalen (terutama tembaga) karena
problem kelasi.
Inaktivasi dengan menggunakan hidrogen peroksida,
senyawa-senyawa yang mengandung sulfidril dan vitamin C.
Segi Perawatan
Obat-obat dan peralatan untuk keadaan darurat hams
siap.

Pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat radiasi


pada paru atau penyakit paru obstruksi kronik
mempunyai risiko komplikasi dan toksisias yang lebih
tinggi.
Pemberian obat mungkin sangat sakit, berikan
premedikasi sebelum pengobatan sampai 24-48 jam
sesudahny a.
Setelah obat masuk, pasien diberi posisi yang tepat
(telentang, tengkurap, miring ke kanan atau ke kiri)
untuk menjamin distribusi yang merata dari obat
sklerosing.
Chest tube yang terpasang di dada dapat diklem sesuai
kebutuhan.
Jumlah obat sklerosing dapat dikeluarkan kembali
melalui chest tube yang tidak diklem hams dicatat.
Awasi:
- Bila terjadi reaksi hipersensitivitas
- Bila ada tanda toksisitas pulmonal: napas yang
pendek, wheezing, rash, menggigil, timbul demam.
Pasien diajari:
- Cara mengatur peralatan intrapleural.
- Untuk memberi laporan bila terjadi serangan nyeri
dada atau demam yang akut.

KEMOTERAPI INTRAPERITONEAL
Kegunaan
Dikenal sebagai cara pengobatan yang rasional untuk
kanker ovariurn residual (kemoterapi inisial, pengobatan
dengan obat-obat baris kedua, konsolidasi).
Untuk trial terapi ajuvan, kanker gaster dan kolon.
Pengobatan yang telah teruji untuk sel-sel residual dari
mesotelioma setelah reseksi maksimal.
Dasar Pemikiran
Meningkatkan paparan dari tumor yang ada dalam
kavum peritoneal dengan obat sitotoksik yang aktif dan
obat antineoplastik.
Cara yang paling tepat untuk obat-obat yang aktivitas
antineoplastiknyaterhadap beberapa jenis tumor masih
diragukan (kanker ovarium, kolon, gaster, mesotelioma
dan lain-lain) dapat dibuktikan bahwa aktivitas
neoplastiknya dapat ditingkatkan dengan cara
meningkatkan kadar dan lama paparan.
Trial Fase I
Banyak obat telah diuji dari segi keamanan dan
farmakokinetik melalui pemberian intra peritoneal.
Misal perbaikan Farmakokinetik pada pemberian secara
intraperitoneal dibanding secara sistemik.
- Sisplatin/karboplatin(10-20 kali lipat)
- 5 FU (200 x lipat)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGl MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- Metotreksat (90 x lipat)


- Doksorubisin (300 x lipat)
-

Paklitaksel(1000 x lipat)

- Interferon alfa (100 x lipat)


Toksisitas
Batas dosis toksis ditentukan oleh obat yang
dimasukkan ke dalarn kavum peritoneal.
- Sisplatinlkarboplatin (batas dosis toksis: ada efek
sistemik, abdominal discomfort minimal dan risiko
terbentuknya adhesi).
- Doksorubisin (batas dosis toksis: nyeri abdominal
yang beratlterjadi adhesi).
- Paklitaksel (batas dosis toksis: nyeri abdominal).
Risiko terjadinya komplikasi akibat pemberian obat:
- Infeksi
- Perforasi usus akibat pemasangan kateter.
Risiko toksisitas yang unik akibat pemberian obat ke
dalam kavum peritoneal tak nampak pada pemberian
secara sistemik.
Cara Pemberian
Pemasangan kateter semi permanen dengan
pembedahan atau pemasangan kateter perkutan pada
setiap pengobatan.
Biasanya dimasukkan 1-2 1volume obat, dan tak perlu
mengeluarkan cairan setelah pengobatan.
Keberatan Teoritis untuk Merencanakan Terapi
Antineoplastik lntra Peritoneal
Kesulitan untuk memasukkan obat antineoplastik yang
adekuat melalui kavum peritoneal.
Obat yang mencapai tumor melalui aliran darah kapiler
sedikit.

Kegunaan
Terapi inisial untuk kanker ovarium residuaVmikroskopik
atau tumor residual dengan diameter maksimal0,5 cm)
pada pasien pasca operasi.
Terapi tahap kedua untuk tumor residual setelah ada
respons terhadap terapi sistemik dengan obat-obat
platinum.
Terapi konsolidasi pada pasien dengan tumor derajat
keganasan tinggi stadium I11 dan IV pasca operasi dan
menunjukkan respons komplit.
Dasar pemikiran:
- Meningkatkan paparan terhadap sisplatin pada
kanker yang ada dalam kavum peritoneal.
- Mempertahankansecaramaksimal dan arnan, kontak
antara tumor dan sisplatin yang masuk lewat kapiler.

Penentuan Dosis
Sisplatin diberikan secara intraperitoneal dengan dosis
100 mglm2 dalam salin normal 1 - 2 1.
Sisplatin dapat diberikan secara intraperitoneal pada
dosis 200 mglm2 bersamaan dengan sodium tiosulfat
untuk nephroprotection (cara dengan dosis tinggi ini
masih eksperimental).
Pilihan cara pemberian terapi:
- Dipasang kateter parasentesis pada setiap
pengobatan.
- Dipasang kateter Tenckhoff terus menerus.
- Kateter Tenckhoff dihubungkan dengan alat Sub Q
untuk mengalirkan obat lewat v. porta.
- Terapi dapat diulang maksimal 6 seri dengan
interval 3-4 minggu.
Farmakokinetik
Puncak kadar peritonea1 dari sisplatin reaktif 20x lebih
tinggi daripada terapi sistemik.
AUC untuk paparan sisplatin pada kavum peritoneal
10 kali lebih tinggi daripada sirkulasi sistemik.
Kira-kira 70% sisplatin yang diberikan secara intraperitoneal menyebar secara sistemik sebagai obat yang
reaktif.

Toksisitas
Efek samping utama obat yang menyebar secara
sistemik, diakibatkan oleh toksisitas sisplatin
(nefrotoksisitas, neurotoksisitas dan muntahmuntah).
Pemberian sisplatin secara intraperitoneal, jangan
dianggap merupakan cara untuk mengurangi toksisitas
dari obat tersebut.
Toksisitas lokal umumnya terbatas pada "abdominal
discomfovt" yang ringan.
Dapat terjadi adhesi intraperitoneal yang dapat
menyebabkan obstruksi usus.
Risiko infeksi intraperitoneal dan perforasi usus
berkaitan dengan pemasangan kateter dan manipulasi
yang dilakukan.
Perawatan Suportif
Sebelum memasukkan sisplatin intraperitoneal, berikan
hidrasi seperti pemberian sistemik dosis 100 mglm2.
Gunakan regimen antiemetik standar untuk sisplatin (serotonin reseptor antagonis plus deksametason).
Segi Farmasi
Larutkan sisplatin dalam 1-2 1 salin normal.
Segi Perawatan
Hidrasi pra dan pasca terapi; monitor asupan dan
keluaran.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Berikan diuretik: manitol dan hosemid.


Posisi pasien: semi Fowler.
Gunakan teknik aseptik untuk mencegah infeksi karena
penggunaan kateter dan peritonitis.
Bila infus telah selesai, slang diklem dan catat waktunya.
Bila cairan telah dikeluarkan,bilas kateter dengan salin
steril.
Karena dapat terjadi mielosupresi,perlu dimonitorAE,
AL, AT.
Awasi:
- Perubahan nutrisi karena mual dan muntah.
Tanda-tanda infeksi melalui kateter.
- Tanda-tanda gangguan pendengaran.
Tanda-tanda neuropati perifer.
- Tanda-tanda gangguan fungsi ginjal.
Edukasi pasien
- Perlu mengamati dan menjaga posisi kateter.
- Perlu melaporkan bila ada tanda-tanda infeksi:
demam, radang, nyeri abdominal, diare, sesak napas.
- Laporkan bila terjadi: mati rasa, gatal-gatal di jari
tangan dan kaki, sulit memegang pensil atau
mengancingkan baju. Beri jaminan bahwa gejala ini
hanya sementara.

KEMOTERAPI ARTERIAL HEPATlK (HEPATIC


ARTERIAL CHEMOTHERAPY/HA C)
lndikasi
Pengobatan metastasis hepatik dari kanker kolorektal.
Mungkin bermanfaat sebagai terapi ajuvan setelah
reseksi hepar.
Obat yang Digunakan
FUDR
FU
MitomisinC
Cara Pemberian
Dengan pompa sub Q yang dipasang saat operasi.
Keuntungan dibanding pemberian secara sistemik:
Pemberian obat mudah.
- Toksisitas sistemik lebih ringan.
- respons lebih tinggi: 50-70%.
- Kemungkinan menghasilkan survival yang lebih
baik.
- Penelitian oleh CALGB untuk mengetahui apakah
HAC menghasilkan survival lebih baik dari pada
terapi sistemik.
Kerugian dibanding terapi sistemik:
- Lebih mahal dan perlu tindakan bedah.
- Kemunglunanterjadi komplikasi akibat penggunaan
kateter dan sklerosis bilier.

Pendekatan terapeutik pada pasien dengan


metastasis di hepar
Diagnosis dini dan reseksi dengan pembedahan jika
munglun.
Evaluasi menyeluruh untuk menentukan faktor
prognostik dan menentukan sejauh mana terapi yang
hams diberikan.
Jika inoperabel, dapat diterapi dengan HAC atau terapi
sistemik atau kombinasi kedua cara tersebut.
Faktor prognostik yang baik meliputi:
- Kurang dari dua metastase
- Tidak ada bukti adanya penyakit ekstra hepatik.
- LDH dan CEA dalam batas normal.
Toksisitas
Tidak ada mielosupresi, nausea, vomitus dan diare.
Jika diare, hams dicurigai adanya shunting ke usus.
Toksisitas hepatobilier:
- Efek iskemia dan inflamasi pada saluran empedu,
karena saluran empedu mendapatkan darah dari a.
hepatika.
- Toksisitas bilier narnpak sebagai kenaikan SGOT
alkali fosfatase dan bilirubin.
- Pada stadiumawal daritoksisitas,kenaikanenzimhepar
akan kembali normal jika obat dikeluarkan dan pasien
disuruh istirahat; pada kasus yang lanjut sulit diatasi.
- Jika ikterus tidak teratasi, dilakukan retrograd
kolangio pankreatografi (ERCP) yang dapat
menunjukkan lesi seperti kolangitis sklerosis
idiopatik.
- Striktura mungkin nampak di bifurkasio duktus
hepatikus.
- Prosedur drainase dengan ERCP atau kolangiogram
transhepatik mungkin berguna.
- Monitor yang ketat dari tes fungsi hati perlu, untuk
menghmdari komplikasi bilier.
- Jika kadar bilirubin serum meninggi sampai >3 mg%
tidak ada lagi pengobatan yang bisa diberikan.
Penyakit Ulserasi
Gastritis atau ulkus peptikum dapat terjadi karena
perhsi obat dari gaster dan duodenum melalui cabangcabang dari arteria hepatika.
Komplikasi dari Pemasangan dan Penggunaan
Infuse Pump Melalui Arteria Hepatika
Perhsi inkomplit atau ekstrahepatik.
Mungkin terjadi emboli pada arteri yang berakibat
terjadinya perhsi ekstra hepatik.
Dapat terjadi kesalahan teknik selama pemasangan
kateter dimana kateter terpasang terlalu jauh dari
percabangan a. gastroduodenal dan a. hepatika yang
dapat meningkatkan paparan terhadap obat.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Usaha untuk Mengurangi Toksisitas Terhadap


Hepar
Deksametason.
Modifikasi sirkadian.
Selang seling HAI FUDR dengan 5-FU pada a. hepatika.

Rekomendasi
Dilakukan monitor yang ketat dari tes fungsi hati.
Bila ada peningkatan dari Alkali fosfatase, SGOT atau
bilirubin, dosis hams disesuaikan.
Tes fungsi hati hams diperiksa dua kali setiap minggu
untuk mengevaluasi masalah-masalah ini.
FLOKSURIDIN INTRAARTERI HEPATIK (FUDR,
5-FLUORO-2-DEOKSIURIDIN)
Kegunaan
Kanker kolorektal metastatik.
- Kadang-kadang dipakai sebagai terapi ajuvan
setelah operasi reseksi.
Kanker hepatobilier primer.
Terapi intraperitoneal.
Mekanisme Kerja
Analog pirimidin.
Indikator timidilat sintase.
Inhibitor dari timidilat sintase, menyebabkan penurunan
dari DTTP, dengan demikian mempengaruhi sintesis
DNA.
Over ekspresi dari timidilat sintase menyebabkan
resistensi terhadap obat.
Farmako Kinetik
Sitotoksisitor tergantung pada dosis dan waktu.
Ekstraksi dari FUDR oleh hepar yang normal 95%, sedang
FU20-50%.
Sering lebih efektif bila diberikan melalui infus yang
lama dan bila dipakai FUDR dosisnya harus dikurangi.
Toksisitas biasanya terbatas pada jaringan yang
pembelahan selnya cepat misalnya mukosa GI, sumsum
tulang.

Dosis
Pemberian terbaik dicapai dengan memakai pompa,
untuk mengatasi tekanan dalam arteri-arteri yang besar
dan menjamin tetesan infus yang tetap.
- Dosis terapeutik melalui infis arterial kontinu 0,l06 mgkgI3Bhari.
- 0,16 rng/k@B x 14hari jika diberikan dengan pompa
ekstemal.
- Dosis sebaiknya dikombinasikan dengan 20 mg
deksametason untuk setiap botol FUDR.

Penyediaan
- 500 mg bubuk FUDR steril dalam vial 5 ml. Ini hams
diencerkan dengan 5 ml akualides steril (SWFI).
Dosis dan pemberian
- Setiap vial hams dilarutkan dengan 5 ml SWFI untuk
menghasilkan larutan yang mengandung kira-kira
100 mg FUDRIml. Dosis harian yang telah
ditentukan diencerkan dengan dekstrosa 5% atau
NaCl0,9% sampai volum yang tepat untuk alat infus
y ang dipakai.

Segi Perawatan
Cara pemberian
- Periksa kateter
- Setelah pemasangan pompa dengan cara
operasi, awasi injeksi intraarterial dari kateter
fluorosein.
- Pemberian intra hepatik
- Tak dianjurkan mengambil sampel darah arterial, karena tekanan dalam arteri tinggi dan
kemungkinan terjadi pembekuan.
- Pastikan aliran infus yang lancar untuk menilai
aliran kembali dari darah.
- Masukkan obat kemoterapi melalui pompa infus
intraarterial ke hepar.
- Untuk mencegah nyeri epigastrik, berikan simetidin
4 x 300 mg per oral atau ranitidin 2x 150 mg per oral.
- Untuk mencegah sklerosing kolangitis, tambahkan
deksametason 0,3-0,5 mghari bersamaan dengan
FUDR
Manajemen
- Monitor fungsi hati untuk menetapkan jika
modifikasi dosis FUDR diperlukan. Bandingkan nilai
yang diperoleh dengan nilai referensi. Lihat
modifikasi dosis yang dianjurkan dalam tabel di
bawah.
- Untuk tanda-tanda sklerosis bilier: ikterus, pruritus,
dan nyeri perut kanan atas.
- Atasi diare: berikan infus RL, bismut subsalisilat,
kaolin dengan pektin atau loperamid-HC1
Edukasi pasien
- Jelaskan kemungkinan komplikasi karena
pemasangan kateter arterial.
- Efek sarnpingFUDR: muallmuntah, nyeri epigastrik,
nyeri abdominal kram, diare, menurunnya nafsu
makan, mengantuk, rasa capai.
- Manajemen di rumah: catat wujud feses, sering
kencing, kram, asupan cairan, obat antidiare.
- Penjelasan tentang pompa:
- Informasi tentang pompa.
- Batasi aktivitas yang dapat menyebabkan
trauma pada balon pompa.
- Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan
perubahan yang lama dari suhu badan, tensi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1465

TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


perubahan ke arah tempat yang tinggi, yang
dapat mengubah kecepatan aliran infus.

MITOMISIN C (INTRAHEPATIK)
Mekanisme Kerja
Antiobiotik yang diisolasi dari Streptomisin
caespitosus.
Dosis
10 mglm2 IA atau IV setiap 4 minggu 2x, lalu setiap 6
minggu.
Dosis yang lebih tinggi pada pemakaian IA
mengakibatkan kejadian sklerosis bilier yang lebih tinggi.
Farmakokinetik
Menghambat sintesis DNA.
Klirens terjadi terutama karena metabolisme di hepar,
tetapi metabolisme terjadi juga di jaringan lain.
Toksisitas
Trombositopenia dan atau leukopenia.
Dapat tertunda sampai 8 minggu setelah terapi.
Nekrosis dan berakibat mengelupasnya jaringan jika
terjadi ekstravasasi pada waktu menyuntikkan.
Dapat terjadi peningkatan alkali fosfatase, transarninase
dan sklerosis bilier.
Perawatan Suportif
Premedikasi dengan deksametason.
Segi Farmasi
Heparin 10.000 unit masukkan dalam pompa reservoar
pada setiap pengisian kembali.

Derajat
Toksisitas

.-----,

(NCIC)

Segi Perawatan
Modifikasi dosis didasarkan pada leukosit dan
trombosit, dengan demikian perlu dimonitor pemeriksaan
darah rutin.
Monitor fungsi ginjal sebelum pemberian setiap dosis.
Kurangi dosis bila kadar kreatinin serum >1,7 mgldl.
~remedikasidengan serotonin antagonis merupakan
indikasi seperti pemberian anti emetik untuk menunda
mud.
Jika terjadi ekstravasasi, hentikan infus segera.
Evaluasi:
- Fungsi ginjal, amati bila ada tanda-tanda dan gejala
dari gaga1 ginjal atau sindrom hemolitik uremik.
- Fungsi paru, amati bila ada tanda-tanda dan
simptom pneumonitis interstisial dan ARDS.
- Amati untuk kemungkinan terjadinya kelainan
akibat veno occlusive disease dari hepar pada
pasien ABMT.
Edukasi pasien:
- Kemungkinan terjadinya efek samping dan usaha
untuk dapat mengatasi sendiri.
- Pentingnya pelaksanaan KB.

KEMOTERAPI INTRAARTERIAL
Dasar Pemikiran
Infus intraarterial mencapai kapiler (jaringan tumor),
kadarnya dapat sampai 2.500 kali lipat dibanding
dengan infus intravena.
"Supra doze" dari obat yang masuk dapat mengatasi
resistensi terhadap obat.
Selektivitas dapatditingkatkan lebih lanjut.
- Dapat dikombinasikan dengan obat penetral
sistemik atau obat kemo proteksi.

Penyusunan
Dosis untuk
Siklus v.a.d.

Selama Masa
Pengobatan

Derajat 1

Pertahankan Dosis Semula

Derajat 2
Muncul ke 1
Muncul ke 2
Muncul ke 3
Muncul ke 4

Tunggu sampai derajat 0-1


Tunggu sampai derajat 0-1
Tunggu sampai derajat 0-1
Hentikan pengobatan

100%
75%
50%

Derajat 3
Muncul ke 1
Muncul ke 2
Muncul ke 3

Tunggu sampai derajat 0-1


Tunggu sampai derajat 0-1
Hentikan pengobatan

75%
50%

Tunggu sampai derajat 0-1


atau hentikan pengobatan

50%

Derajat 4
Muncul ke 1

Pertahankan
Dosis Semula

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


selama 6-7 minggu.

Dapat diberikan dengan angiografi selektif, untuk


meminimalkan dosis untukjaringan normal.
Presentasi suplai darah pada jaringan tumor dari
setiap pembuluh darah ditentukan secara
radiologis dan dipakai untuk menghitung jumlah
obat yang hams dimasukkan melalui kateter yang
selektif atau superselektif.

Farmakokinetik
Setelah melewati tumor, sisplatin menyebar seperti
pemberian IV (dikurangi jumlah yang dinetralisir oleh
natrium tiosulfat).
Kadar puncak intraselular terjadi 48-72 jam.

Kegunaan
Karsinoma sel skuamosa dari kepala dan leher (sangat
selektif bila diberikan bersama radiasi).
Telah digunakan di Jepang untuk tumor hepar, dan
strategi yang sama telah digunakan untuk kanker
ovarium (intraperitoneal lebih bany ak dipakai daripada
intra arterial).

Toksisitas
Sama dengan sisplatin intravena.
Mukositis biasanya terjadi bersamaan dengan radiasi
(45% memerlukan nutrisi dengan NGT jangka panjang).
Nefrotoksisitas, neurotoksisitas dan ototoksisitas
jarang, biasanya derajat I.
Mielosupresi jarang, neutropenia dapat diatasi dengan
pemberian GCSF.
Mual, muntah dan diare dapat diatasi dengan hidrasi
dan obat anti emetik dan antidiare.

Mekanisme Kerja
Infus intraarterial mencapai kadar kapiler (dalam tumor)
sampai 2500 kali daripada kadar yang dicapai dengan
infus intravena.
Supradosis dari obat yang dilepaskan dapat mengatasi
resistensi obat.
Dosis mingguan yang tinggi menghasilkan intensitas
pengobatan yang tinggi (150 mglm2lminggu).
Karena dosis sisplatin yang tinggi, harus diberikan
dengan obat penetral natrium tiosulfat (diberikan secara
IV pada saat mulai infus sisplatin).
Natrium tiosulfat berikatan dengan sisplatin hanya di
dalam serum (tidak intra selular), yang membentuk
senyawa inaktif yang diekskresi lewat urin.

Perawatan Suportif
Antiemetik.
Prahidrasi (sampai batas nefiotoksisitas).
Pengobatan profilaksis dengan deksametason 4 mg I.V.
atau per oral dimulai pada malam hari sebelum
pengobatan dan dilanjutkan setiap 6 jam sampai pagi
harinya setelah pengobatan, berguna untuk membatasi
pembengkakan tumor, terutama bila tumor mengenai
saluran napas bagian atas.
Edema muka akibat terapi ini juga dapat dikurangi.
PEG tube dianjurkan sebelum pengobatan.
"Mucositis mix" (Benadryl, Maalox, salep hidocame)
atau anestesi topikal lainnya berguna untuk
mengantisipasi mukositis.

Dosis
Prahidrasi dan antiemetik profilaksis diberikan 24 jam
sebelum pengobatan dimulai.
Sisplatin 150 mg/m2setiap satu minggu untuk 4 minggu.
Sebelum pengobatan dimulai dilakukan pemeriksaan
angiografi transfemoral dan menunjukkan aliran darah
ke tumor yang dominan.
Natrium tiosulfat 9 g yang dilafzltkan dalam 200 ml
akuades diberikan secara IV 15-20 menit bersamaan
dengan pemberian infk sisplatin intra arterial (diberikan
dengan pompa kecepatan tinggi, 1-2 mlldetik-waktu
infus total 2-3 menit).
Pemberian natrium tiosulfat diteruskan pada dosis 12
g/m2 dilarutkan dalam 1 1akuades, diinfuskan 167 mll
jam selama 6jam.
Pemberian sisplatin diamati sampai 2 minggu untuk
kemungkinan terjadinya toksisitas derajat 111atau IV.
Radiasi dimulai 24 jam setelah pemberian dosis sisplatin
pertama, diteruskan 5 harilminggu, 200 c Gy setiap hari

Segi Farmasi
Dosis sisplatin dilarutkan dalam salin normal sampai
kadar 1 mg/ml.

Perawatan
Kontrol: darah rutin, AT, BUN, kreatinin, bersihan
kreatinin elektrolit dan audiogram.
Hidrasi yang cukup sebelum sampai sesudah terapi;
awasi intake yang cukup dan output. Monitor urin
output agar mencapai 100 ccljam. Bila kurang dari 100
cc berikan furosemid.
Pertimbangkan pemberian "cytiprotectant" misal
amifostin untuk mencegah nefrotoksisitas,
neurotoksisitas, toksisitas hematologik dan toksisitas
akibat radiasi.
Premedikasi dengan kortikosteroid dan antihistamin
untuk mencegah anafilaksis.
Hati-hati agar menghindari kesalahan dalam pemberian
sisplatin. Overdosis dari sisplatin dapat menyebabkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


gagal ginjal, gagal hati, toksisitas okuler, mielosupresi,
nausea dan vomitus yang berat, neuritis dan kematian.
Tidak dianjurkan mengambil sampel darah dari arteri,
karena tekanan dalam sistem arteri tinggi dan
kemungkinan dapat mengental.
Jika terjadi ekstravasasi, cabut inhsnya dan pindahkan
ke tempat lain.
Interaksi obat
- Ototoksisitas meningkat bila obat diberikan bersama
diuretik.
- Toksisitas renal meningkat bila obat diberikan
bersama aminoglikosida.
- Sisplatin mengurangi efek fenitoin; karena itu dosis
fenitoin perlu ditingkatkan.
Awasi :
- Muallmuntah, berikan antiemetik sebelum terapi
ditemskan sampai 24jam.
- Tanda-tanda anafilaksis: edema muka, mengi,
takikardia, hipotensi; berikan obat-obat emergensi.
- Monitor elektrolit serum, mungkin perlu suplemen.
- Status dasar neurologik dan selama terapi, mungkin
perlu terapi fisik untuk neuropati perifer.
Edukasi pasien:
- Tunjukkan dan tulis informasi yang berkaitan
dengan manajemen dan perawatan.
- Hubungan efek sementara terhadap fertilitas;
pertimbangkan bank sperma, minimum sampai 2
tahun setelah pengobatan selesai.
- Minum obat antiemetk,minum sampai 3 l/hari, makan
makanan yang tak benvarna dan berbau.
- Bila ada efek samping, minum obat sendiri.
- Laporkan bila terjadi: mati rasa, gatal-gatal dan
pembahan pendengaran.
KEMOTERAPI INTRAVESIKA
Tinjauan
Kira-kira 70% dari pasien yang terdiagnosis sebagai
karsinoma sel transisional pada vesika urinaria,
penetrasinya superfisial. Misalnya Ta (papiler), Tcis
(carcinoma in situ) Ti (invasi ke lamina propria).
50-70% dari pasien kanker vesika urinaria mengalami
kekambuhan dan 30-50% pasien kanker vesika urinaria
progresi ke arah stadium yang lebih tinggi.
Tujuan
Terapi ajuvan profilaksis dan etiologik adalah untuk
mengeliminasi karsinoma in situ, karsinoma superfisial
yang tidak dapat direseksi dan mencegah kekambuhan.
Keputusan untuk menggunakan terapi intravesikal,
didasarkan pada kecendemngan dan risiko terjadinya
progresi dan kekambuhan.

Pemilihan Obat
Tak ada obat tunggal yang terbaik; faktor-faktor seperti
toksisitas, absorbsi dan efektivitas adalah penting.
Kemoterapi intravesikal yang terbaik untuk tumor
transisional grade I.
Jadwal pengobatan yang optimal dari terapi intravesikal
tak diketahui. Pengobatan jangka pendek sama
efektifhya dengan dosis multipel yang diberikan dalam
waktu yang lama.
Mekanisme Kerja
Kontrol antara sel kanker epitel dengan obat sangat
perlu. Selanjutnya sangat penting agar obat sitostatika
itu dapat diabsorbsi oleh sel kanker untuk
menghentikan pembelahan dan pertumbuhan sel.
Kadar dan lamanya keberadaan obat di dalam vesika
urinaria sangat penting.
Absorbsi sistemik sebaiknya minimal untuk menghindari
toksisitas sistemik.

BACILLUS CALMETTE-GUERIN (BCG) INTRAVESIKAL


Kegunaan
Telah diakui FDA berguna dapat pengobatan TCC
(Transitional Cel Carcinoma) in situ (CIS) dari vesika
urinaria.
Obat pilihan pertama untuk profilaksis dari kekambuhan
dari TCC papiler superfisial vesika urinaria.
Juga digunakan untuk pengobatan TCC superfisial yang
tidak direseksi pada vesika urinaria.
Mempakan obat intravesikal yang paling efektif dengan
diseasefiee survival (DFS) 5 tahun sampai 70% pada
CIS.
DFS turun sampai 30% dalam 10 tahun.
Mekanisme Kerja
Strain mikobakterium bovis yang telah dilemahkan
mempunyai efek stimulator pada respons imun.
Menginduksi respons inflamasi yang memproduksi
berbagai sitokin, meliputi tumor nekrosis faktor, interferon gamma dan interleukin-2.
Mungkin menghasilkan imunitas anti kanker vesika
urinaria melalui sistem imunitas humoral dan selular.
BCG hams adhesi pada tumor vesika urinaria dan
lamina basalis melalui reseptor fibronektin.
Penentuan Dosis
Berikan secara intravesikal seminggu sekali selama 6
minggu.
Pertahankan dalam vesika urinaria selama 2 jam.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Minimal diperlukan 10juta organisme dalam 50-75 ml


salin nonbakteriostatik.
Diberikan pengobatan ulang 6 minggu; tetapi rekurensi
dua kali pengobatan 6 minggu, berarti efektivitas BCG
kurang.

Toksisitas
Iritabilitas vesika urinaria, frekuensi, urgensi, disuria.
Hematuria, demam, malaise, mual, kedinginan, artralgia
dan pruritus.
BCG dapat menyebabkan sakit karena penyebaran
sistemik dari mikrobakterium yang membahayakan.
Pengobatannya dengan OAT + sikloserin.
Segi Perawatan
Setelah pengobatan posisi pasien di rubah setiap 15
menit untuk menjamin distribusi yang sempuma dari
obat.
Pemeliharaan obat yang baik dan cuci tangan.
Arnati:
- Tanda-tanda toksisitas sistemik dari BCG: demam,
malaise, batuk.
- Tanda dan gejala dari sistitis; amati volume urin,
frekuensi dan hematuria.
- Tambahkan antispasmodik, antiseptik untuk traktus
urinarius dan obat anti inflamasi nonsteroid.
(OAINS) bila perlu.
Edukasi pasien:
- Cuci tangan dan higiene yang ketat.
- Obat perlu dipertahankan dalam vesika urinaria 2
jam.
- Dianjurkan banyak minum selama 48 jam pasca
pengobatan.
- Berikan desinfektan pada urin 6 jam setelah
pemberian obat, dengan menambahkan volume
desinfektan yang sama dengan volume urin.
- Catat suhu badan, laporkan bila ada kenaikan suhu
sampai 103Fbeberapa saat, atau demam >I0 1OF tern
menerus selama dua hari.
- Laporkan bila ada simptom malaise, batuk atau
adanya darah dalam urin.

Kegunaan
Profilaksis terhadap kekambuhan TCC superfisial dari
vesika urinaria terutama pada grade I.
Pengobatan tumor yang superfisial.
Kurang efektif daripada BCG pada CIS dan profilaksis.
Pemberian segera setelah reseksi transuretral dari TCC
yang superfisial.
Penelitian jangka panjang menunjukkan aktivitas yang

minimal untuk mencegah kekambuhan atau progresi dari


TCC superfisial dari vesika urinaria.

Penentuan Dosis
Instilasi intravesikal30 mg dalam 30 ml salin atau 60 mg
dalam 60 ml salin.
Sebaiknya dipertahankan di dalam vesika urinaria
selama 1-2jam seminggu sekali dalam 6-8 minggu.
Farmakokinetik
Bila diberikan intravesikal, absorbsi sistemik minimal;
tetapi pada pasien dengan kerusakan epitel yang
ekstensif, tiotepa dapat diabsorbsi karena ukuran
molekulnya kecil.
Toksisitas
Mielosupresi pada 15-20% pasien, terutama
granulositopenia dan trombositopenia.
Kadang-kadang terjadi sistitis.
Segi Perawatan
Lihat pada bab sebelumnya mengenai hal-ha1 khusus
berkenaan dengan pemberian obat intravesikal,
penyimpanan obat yang baik, dan cuci tangan.
Obat mempunyai berat molekul yang kecil dan ada
kecenderungan terjadinya absorbsi vaskular; dapat
terjadi mielosupresi; pemeriksaan darah rutin hams
dilakukan sebelurn pengobatan.
Perbesar area kontak dengan reposisi pasien setiap interval 15 menit.
Awasi ;
- Tanda-tanda dan simptom sistitis akibat obat.
- Kelainan kulit berupa: kemerahan, eksfoliasi,
deskuamasi (meskipun jarang dengan dosis
intravesikal).
Edukasi pasien:
- Jaga kebersihan tangan dan higiene badan secara
ketat.
- Obat perlu dipertahankan 2jam dalam kandung kemih
agar efeknya maksimal.
- Pasien diminta banyak minum setelah pengobatan.
- Laporkan bila sering kencing, disuria atau hematuria.

Kegunaan
Profilaksisuntuk kekambuhan dari TCC yang superfisial
dari vesika urinaria.
Mengobati tumor superfisial dari vesika urinaria.
Penggunaan segera setelah reseksi transuretral dari TCC

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TEKNIK-TEKNIKPEMBERIAN KEMOTERAPI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


yang superfisial.
Pengobatan dari CIS, sebagai terapi intravesikal primer
atau untuk CIS yang refrakter terhadap BCG.
Lebih efektif daripada tiotepa untuk tumor superfisial
derajat keganasan tinggi.
Kurang efektif untuk CIS dan kanker superfisial dari
vesika urinaria dan lebih mahal daripada BCG.
Penentuan Dosis
Selama 8 minggu diberi pengobatan 40 mg Mitomisin-C
dalam 40 cc salin setiap seminggu sekali, diikuti terapi
pemeliharaan tiap bulan selama satu tahun.
Obat dibiarkan 1-2jam dalam vesika urinaria.
Farmakokinetik
Absorbsi sistemik minimal dari permukaan vesika
urinaria.
Toksisitas
Sistitis akibat obat, klasifikasi mural clan kemerahan pada
kulit.
Segi Perawatan
Periksa urin sebelum pengobatan, catat bila ada bakteri
dan eritrosit.
Dosis berkisar 20-40 mg; encerkan sampai 1 mglml
dengan akuades steril; larutan pengencer dapat diganti
lidokain hidroklorida 1% jika sistitis diakibatkan oleh
pengobatan sebelumnya.
Lihat pada bab sebelumnya tentang hal-ha1yang khusus
berkaitan dengan terapi intravesikal.
Dapat diresepkan oksbutinin untuk pasien yang
kesulitan menahan air seni selama 2 jam; gunakan secara
hati-hati pada pasien tua.
Batasi asupan cairan mulai 8 jam sebelum pengobatan
untuk mengurangi pengenceran dari obat; tingkatkan
asupan cairan setelah pengobatan untuk membersihkan
vesika urinaria dari sisa-sisa obat (3-4 1dalam 24 jam).
Cuci tangan yang bersih dan gunakan obat dengan
benar.
Awasi:
- Tanda-tanda dan simptom dari ISK, demam dan
kedinginan.
- Hasil pemeriksaan urin untuk kemungkinan adanya
bakteria, jika dicurigai periksa biakan dari urin dan
lapor dokter untuk kemungkinan penggunaan
antibiotik.
- Tanda-tanda reaksi alergi berupa kemerahan pada
kulit yang difus, dermatitis kontak dengan adanya
kemerahan pada kulit di bagian palmar dan genital.
Edukasi pasien:
- Obat perlu dipertahankan di dalam vesika urinaria
selama 2 jam.

- Penting untuk meningkatkan asupan cairan setelah

pengobatan sampai 24 jam dan sesudahnya


mengosongkan vesika urinaria tiap 2-3 jam.
Tanda-tanda dan gejala dari ISK.
Cuci tangan dan higiene laksanakan dengan ketat.
Pantang dari hubungan seksual atau gunakan alat
protektif segera setelah pengobatan.

Kegunaan
Profilaksis terhadap kekambuhan TCC superfisialpada
vesika urinaria.
Pengobatan untuk karsinoma superfisial.
Dilaksanakan segera setelah reseksi transuretral dari
TCC superfisial.
Pengobatan untuk CIS sebagaiterapi intravesikalprimer.
Kurang efektif daripada BCG
Lebih efektif daripada tiotepa untuk tumor superfisial
derajat keganasan tinggi.
Di Amerika jarang digunakan karena kurang efektif
dibandingBCG dan mitomisin c dan terjadinya toksisitas
lokal.
Penentuan Dosis
Telah digunakanjadwal instilasi intravesika multipel.
Paling banyak 30-90 mglminggu selama 3 minggu dan
obat dipertahankan intravesikal 1-2 jam.
Regimen lain 60-90 mg dalam 50 ml salin setiap 3 minggu
diulangi sampai 8 kali.
Farmakokinetik
Absorbsi sistemik minimal digunakan secara
intravesikal.
Toksisitas
Sistitiskemikal, yang dapat lanjut dan terjadi kontraktur
vesika urinaria yang permanen.
Belum pernah dilaporkan terjadinya leukopenia dan
toksisitas kardial.
Segi Perawatan
Periksa urin sebelum pengobatan, catat adanya bakteri
dan eritrosit.
Dosis 40-60 mg. Diencerkan sampai 1 mgkg dengan
salin normal, obat ini mahal.
Chemical cystitis//bladder irritability merupakan efek
samping utama dan dapat diobati dengan fenazo-piridin
hidroklorid, meskipun sering dapat sembuh tanpa
intervensi.
Lihat bab sebelumnya tentang hal-ha1 spesifik berkaitan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


- PRIYO PANJI

dengan terapi intravesikal.


Oksibutinin diberikan kepada pasien yang sulit
menahan kencing selama 2 jam; hati-hati untuk
penggunaan pada orang tua.
Batasi asupan cairan mulai 8jam sebelum pengobatan
dimulai agar obat tidak menjadi lebih encer; tingkatkan
asupan cairan setelah pengobatan dan bersihkan vesika
urinaria dari sisa-sisa obat (3-4 1 dalam 24 jam).
Cuci tangan dan gunakan obat secara benar.
Awasi:
- Tanda dan gejala dari ISK; demam dan kedinginan.
- Hasil pemeriksaan urin untuk adanya bakteri dan
bila dicurigai periksa biakan win dan konsultasi
pada dokter untuk penggunaan antibiotik.
- Toksisitas lokal dapat berat dengan pembentukan
jaringan fibrotik dan kontraktur dari vesika urinaria;
jika kapasitas vesika urinaria menurun sebaiknya
obat dihentikan.
Edukasi pasien:
- Obat perlu dipertahankan dalam vesika urinaria
selama 2 jam.

Tingkatkan asupan cairan setelah pengobatan


selesai sampai 24 jam dan bilas vesika urinaria tiap
2-3jam.
Tanda dan simptom dari ISK.
Cuci tangan dan pertahankan higiene personal
dengan ketat.
Pantang hubungan seksual atau gunakan alat
protektif segera setelah pengobatan.

Cassi J., Twelves C., Van Cutsem E., et al., 2002: First-line oral
Capecilabine therapy in metastatic Colorectal Cancer: a favorable safety profile compared with intravenous 5-fluvouracil/
leucovarin. Am. Oncol 13: 566-75
Ratain M. J., Tempero M., Skosey C. 2001: Outline of Oncology
Therapeutic. W.B. Sounders Company, Toronto.
Summerhayes M and Daniel S., 2003: Practical Chemotherapy.
Radchiffe Medical Press. Bristol.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TERAPI HORMONAL PADA KANKER


Noorwati Sutandyo

Ada berbagai obat hormonal yang digunakan untuk terapi


pasien kanker. Obat-obatan ini terutama diindikasikan
sebagai terapi kanker yang responsif hormon, seperti
kanker payudara, prostat, atau endometrium. Terapi hormonal juga diberikan untuk sindrom paraneoplastik, seperti
sindrom karsinoid dan gejala-gejala yang disebabkan
kanker, termasuk anoreksia.

MODULASI RESEPTOR ESTROGEN SECARA


SELEKTIF
Tamoksifen
Tamoksifen paling sering dipakai sebagai terapi ajuvan
pada perempuan dengan kanker payudara yang telah
direseksi. Saat ini terdapat konsensus bahwa penggunaan
tamoksifen harus diteruskan selama lima tahun. Pada
kanker payudara metastatik yang responsif hormon, yang
dipakai biasanya adalah aromatase inhibitor bukan
tamoksifen, namun pasien yang memburuk setelah
mendapat aromatase inhibitor masih mungkin mendapat
manfaat dari tamoksifen. Selain itu, tamoksifen telah
menjalani berbagai studi prospektif sebagai obat
kemopreventif kanker p a y ~ d a r a . Studi-studi
~.~
tersebut
memperlihatkan bahwa tamoksifen menurunkan insidens
kanker payudara sebesar 38% dibandingkan plasebo,
dengan catatan tidak ada efek pada kanker yang reseptor
estrogen-(ER)-negatif tetapi penurunan insidens sebesar
48% pada kanker payudara yang ER-positif. Namun tidak
ada manfaat tambahan pada kelangsungan hidup yang
ditunjukkan dalam kelompok tamoksifen.
Dosis standar tamoksifen adalah 20 mg. Waktu paruh
obat yang panjang menunjukkan bahwa dosis ini dapat
diberikan sekali sehari. Tamoksifen merupakan obat
neoplastik yang paling sedikit toksisitasnya. Uji klinik acak

terkontrol plasebo memperlihatkan bahwa tarnoksifen tidak


mengakibatkan keluhan gastrointestinal yang lebih
banyak dibandingkan plasebo. Toksisitas yang paling
menonjol adalah gejolak panas (hotflushes) pada sekitar
50% perempuan yang menggunakannya dengan intensitas
dan lama yang bervariasi. Gejolak panas karena tarnoksifen
meningkat selama 3 bulan pertama terapi dan kemudian
mendatar. Gejala ini tampak lebih menonjol pada
perempuan dengan riwayat gejolak panas atau terapi sulih
estrogen. Gejolak panas dapat dikurangi dengan
pemberian megestrol dosis rendah atau antidepresan
seperti venlafaksin, paroksetin, atau fluoksetin.
Di satu sisi efek estrogenik tamoksifen bermanfaat,
namun di sisi lain dapat menyebabkan efek samping
berbahaya, yaitu kanker endometrium. Meskipun insidens
kanker endometrium pada pasien yang mendapat
tamoksifen meningkat, namun risiko absolutnya kecil.
Insidens tahunan kanker endometrium di Amerika Serikat
adalah 1 per 1000. Pada perempuan yang mendapat
tamoksifen, insidens kanker endometrium meningkat
dengan rasio 2,8. Efek estrogenik tamoksifen yang
bermanfaat adalah penurunan kolesterol total, pemeliharaan
densitas tulang pada perempuan pascamenopause, dan
mungkin penurunan penyakit kardiovaskular. Pada
perempuan pramenopause, tamoksifen mempunyai efek
negatif pada densitas tulang. Sebagian besar pasien tidak
mengeluhkan gejala-gejala vaginal, namun ada beberapa .
keluhan kekeringan vagina, sedangkan yang lain
mengalami peningkatan sekresi vaginal. Efek tamoksifen
yang kurang lazim adalah toksisitas retina, tetapi tidak
sampai mengancam kehilangan penglihatan. Tamoksifen
dapat menjadi predisposisi fenomena tromboembolik,
khususnya jika digunakan bersamaan dengan kemoterapi.
Resistensi terhadap tamoksifen bersifat instrinsik atau
didapat dan dapat terjadi dengan beberapa cara. Pada
setiap langkah alur transduksi sinyal yang dipengaruhi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


tamoksifen, terdapat potensi terjadinya perubahan
respons. Setelah tamoksifen berikatan dengan ER, terjadi
translokasi kompleks ER-tamoksifen ke inti sel dan
berikatan dengan estrogen response element. lkatan ini
mencegah aktivasi transkripsi gen-gen yang responsif
estrogen. Data laboratorium dan klinis memberi kesan
bahwa kanker payudara ER-positif yang mengekspresikan
HER-2 secara berlebihan mungkin berkaitan dengan
resistensi tamoksifen. Pada tumor-tumor ini, aktivasi yang
tidak tergantung ER oleh alur mitogen-activated protein
kinase (MAPK) membantu terjadinya resistensi. Selain itu,
ekspresi AIB 1, suatu koaktivator reseptor estrogen, dapat
terkait dengan resistensi tamoksifen pada pasien yang
mengoverekspresikan HER-2. Resistensi tamoksifen dapat
pula diterangkan oleh kenyataan bahwa kanker payudara
dengan kadar ekspresi HER-2 yang lebih tinggi atau
amplifikasi HER-2 secara bermakna menurunkan kadar ERI
progesteron reseptor (PgR) dibandingkan tumor dengan
kadar overekspresi HER-2 atau amplifikasi yang lebih
rendah.
Pada beberapa keadaan, resistensi terjadi setelah selsel ER-positif hilang. Mutasi ER diduga merupakan
mekanisme yang mendasarinya, tetapi sedikit bukti yang
menunjukkan ha1 tersebut. Fosforilasi ER dapat
memerantarai pengikatan hormon, pengikatan DNA, dan
akhirnya aktivasi transkripsi. Perubahan pada fosforilasi
yang diperantarai perubahan-perubahan pada protein kinase Adan C juga dapat menyebabkan resistensi. Terakhir,
modifikasi pada estrogen response element, seperti
perubahan urutan dan duplikasi, dapat menyebabkan
pengikatan kompleks tamoksifen-ER dengan peningkatan
transkripsi gen-gen yang responsif estrogen.
Potensi karsinogenik tamoksifen telah diketahui pada
tikus dan manusia. Meskipun mekanisme efek karsinogenik
ini tidak dipahami, telah diusulkan bahwa perubahan
senyawa antara reaktif (reactive intermediates) yang
berikatan kovalen dengan makromolekul mendasari proses
ini dan telah diperlihatkan secara in vitro.
Raloksifen
Raloksifen adalah agonis dan antagonis estrogen yang
mulanya dibuat sebagai obat antikanker payudara.
Raloksifen bersifat estrogenik pada tulang namun
antiestrogenik pada jaringan payudara dan uterus.
Sebenarnya penelitian-penelitian awal tidak
memperlihatkan hasil yang menjanjikan, namun studi-studi
skala besar melaporkan bahwa obat ini menekan laju osteoporosis pada perempuan-perempuan dengan risiko osteoporosis. Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan
penurunan kanker payudara pada perempuan yang
menerimanya sehingga dikembangkan uji kemopreventif
kanker payudara generasi kedua yang membandingkan
raloksifen dengan tamoksifen pada perempuan
pascamenopause risiko tinggi. Meskipun obat ini relatif

dapat ditoleransi baik, namun dapat pula timbul gejolak


panas. Keuntungan lain raloksifen dibadingkan dengan
tamoksifen adalah bahwa raloksifen tampaknya tidak
memicu kanker endometrium.

FULVESTRANT
Alternatif lain untuk tamoksifen adalah ,fulvestrunt
(sebelumnya dikenal dengan ICI 182,780). Fluvestrunt
adalah antagonis ER yang diketahui tidak memiliki aktivitas
agonis dan menyebabkan penurunan ER. Seperti
tamoksifen,$~lvestrant berikatan secara kompetitif dengan
ER tetapi dengan afinitas yang jauh lebih kuat, yaitu sekitar
100 kali lebih besar daripada tamoksifen, sehingga
mencegah efek estrogen endogen pada sel-sel target.
Hasil dari dua uji klinik fase 111 telah memperlihatkan
bahwafulvestrant sama efektifnya dengan anastrozol dalam
pengobatan perempuan pasca menopause dengan kanker
payudara stadium lanjut yang positif ER dan pernah
mendapat terapi antiestrogen (terutama tamoksifen).
Fulvestrant dapat ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang paling sering (insidensnya lebih dari 10%)
pada studi acak fase 111adalah reaksi di tempat injeksi dan
gejolak panas. Peristiwa yang juga sering (dengan insidens
1 % sampai 10%) adalah astenia, sakit kepala dan gangguan
gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare, dengan
gangguan gastrointestinal minor sebagai efek samping
yang paling sering dijumpai.
Medroksiprogesteron dan Megestrol
Medroksiprogesteron dan megestrol adalah derivat 17hidroksi progesteron yang berbeda pada ikatan rangkap
antara posisi C6 dan C7. Megestrol merupakan obat hormonal yang paling lazim dipakai untuk pasien dengan
kanker payudara lanjut, biasany a dengan dosis total harian
160 mg. Obat ini juga sering dipakai untuk terapi kanker
endometrium metastatik yang responsif hormonal pada
dosis 320 mgl hari. Selain itu, dosis 160 mglhari kadangkadang dipakai sebagai terapi hormonal untuk kanker
prostat. Megestrol telah dievaluasi luas untuk terapi
anoreksia-kakeksia yang disebabkan kanker atau sindrom
imunodefisiensi didapat. Berbagai rentang dosis dari 160
sampai 1600 mgl hari telah digunakan. Studi prospektif
memperlihatkan hubungan dosis-respons pada dosis
sampai 800 mgl hari. Dosis rendah megestrol(40 mglhari)
telah terbukti efektif menurunkan gejolak panas pada
perempuan dengan kanker payudara dan pada pria yang
menjalani terapi ablasi androgen.
Megestrol relatif dapat ditoleransi baik, dengan efek
samping yang menonjol adalah stimulasi selera makan
dengan peningkatan berat badan. meskipun ha1 ini
merupakan efek yang bermanfaat pada pasien dengan
anoreksia-kakeksia, namun dapat menjadi problem pada

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TERAPI HORMONAL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pasien dengan kanker payudara atau endometrium. Efek
samping megestrol asetat lainnya adalah penekanan
produksi steroid adrenal dengan menekan surnbu hipofisisadrenal. Walaupun ha1 ini tampaknya asimptomatik pada
sebagian besar pasien, namun ada laporan bahwa supresi
adrenal dapat menyebabkan problem klinis pada beberapa
pasien.
Selama beberapa dekade, pemberian obat ini dapat
dihentikan begitu saja tanpa diketahui adanya sekuele pada
pasien, dan tampaknya praktik seperti ini dapat diteruskan.
Namun, jika terjadi tanda-tanda dan gejala-gejalaAddisonian
setelah penghentian obat, hams diberikan kortikosteroid.
Lebih lanjut, jika pasien yang mendapat megestrol
mengalami infeksi bermakna, mengalami cedera atau
menjalani pembedahan, harus diberikan perlindungan
kortikosteroid. Mungkin ada sedikit peningkatan insidens
fenomena tromboembolik pada pasien yang mendapat
megestrol saja. Risiko ini tampaknya lebih tinggi jika
megestrol diberikan bersama dengan terapi sitotoksik.
Masih kontroversi apakah megestrol menyebabkan edema.
Jika ada, edema biasanya minimal dan mudah diatasi
dengan diuretik ringan. Megestrol dapat menyebabkan
impotensi pada beberapa pria. Insidensnya masih
kontroversial, meskipun pada umumnya disetujui bahwa
ha1 tersebut bersifat ireversibel. Megestrol dapat
menyebabkan ketidakteraturan menstruasi, yang paling
menonjol adalah perdarahan lucut menstrual dalam dua
minggu setelah penghentian obat. Meskipun mual dan
muntah dianggap sebagai efek samping, terdapat data
yang memperlihatkan bahwa obat ini mempunyai efek
antiemetik. Megestrol tampaknya dapat menurunkan baik
mual maupun muntah pada sekitar dua pertiga pasien
kanker stadium lanjut.
Medroksiprogesteron mempunyai banyak sifat,
penggunaan klinik, dan toksisitas yang mirip megestrol
asetat. Medroksiprogesteron tersedia dalam kemasan
tablet 2,5 mg dan 10 mg serta injeksi 100 dan 400 mg/L.
Dosis untuk terapi kanker payudara metastatik atau prostat
adalah 400 mg/ minggu atau lebih dan 1000 mg/ minggu
untuk kanker endometrial metastatik. Sediaan injeksi atau
dosis oral harian telah digunakan untuk pengendalian
gejolak panas.
Inhibitor Aromatase
Ketika menopause, sintesis hormon-hormon ovarium
berhenti. Namun, estrogen terus diproduksi dari hasil
konversi androgen (yang dihasilkan kelenjar adrenal) oleh
aromatase, suatu enzim dari keluarga besar CYP. Aromatase
adalah kompleks enzim yang bertanggung jawab dalam
langkah terakhir sintesis estrogen melalui konversi
androsetenedion dan testosteron menjadi estron (El) dan

E2.
Aromatase inhibitor 'telah dikelompokkan dalam
sejumlah cara, seperti pembagian generasi pertama, kedua

dan ketiga; steroid dan non-steroid, serta reversibel (ikatan


ionik) dan ireversibel (ikatan kovalen). Inhibitor aromatase
non-steroid misalnya aminoglutetimida (generasi pertama),
rogletimida danfadrozole (generasi kedua), dan anastozol,
letrozol, vorozol (generasi ketiga). Inhibitor aromatase steroid meliputi formestan (generasi kedua) dan exemestane
(generasi ketiga).
Inhibitor aromatase steroid dan non-steroid berbeda
dalam ha1 cara interaktivasi dan inaktivasi enzim aromatase.
Inhibitor steroid berkompetisi dengan substrat endogen
androstenedion dan testosteron untuk situs aktif enzim
dan diproses menjadi senyawa antara yang berikatan
secara ireversibel dengan situs aktif, sehingga
menyebabkan inhibisi enzim ire~ersibel.~'
Inhibitor nonsteroid juga berkompetisi dengan substrat endogen,
dengan membentuk ikatan yang reversibel dengan atom
besi pada hem sehingga aktivitas enzim tersebut dapat
dipulihkan bila inhibitor dibuang. Tidak jelas apakah jenis
inhibisi (reversibel atau ireversibel) mempunyai implikasi
klii
Aminoglutetimida
Aminoglutetimida merupakan inhibitor aromatase yang
pertama kali digunakan di klinik. Ketika itu obat ini
digunakan sebagai adrenalektomi medik. Pada kanker
payudara metastatik dilaporkan terdapat angka respons
sebesar 32%. Namun, karena tidak adanya s~lektivitas
terhadap aromatase dan supresi aldosteron serta kortisol,
pemberian aminoglutetimida perlu dibarengi pemberian
kortikosteroid, seperti hidrokortison. Oleh karena
perkembangan inhibitor aromatase yang lebih selektif dan
sekarang jarang dipakai
kurang toksik, amin~~lutetirnida
untuk pengobatan kanker payudara metastastik.
Aminoglutetimida kadang-kadang juga dipakai untuk
mencoba membalik kelebihan produksi hormon oleh
kanker-kanker adrenokortikal.
Letrozol dan Anastrozol
Baik letrozol dan anastrozol diindikasikan sebagai terapi
lini pertama pada perempuan dengan kanker payudara
metastatik yang reseptor-positif. Rekomendasi ini
didasarkan pada dua studi fase I11 terpisah, salah satunya
membadingkan anastrozol dengan tamoksifen dan satu lagi
membandingkan letrozol dengan tamoksifen. Pada kedua
uji klinik, median lama perburukan bagi pasien yang
menerima baik anastrozol atau letrozol secara bermakna
lebih panjang dibandingkantamoksifen. Lebih lanjut, pada
pasien yang menerima letrozol, terdapat kecenderungan
perbaikan pada kelangsungan hidup keseluruhan
dibandingkan dengan tamoksifen.
Pada terapi lini kedua kanker payudara metastatik
untuk perempuan yang tidak berhasil diterapi dengan
tamoksifen, uji klinik kedua obat memperlihatkanperbaikan
efektivitas klinis letrozol dan anastrozol dibandingkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOClMEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

megestrol asetat.
Pada terapi ajuvan, hasil dari uji klinik Arimidex,
tamoksifen, Alone or in Combination (ATAC)
menghasilkan persetujuan penggunaan anastrozol untuk
terapi ajuvan kanker payudara pasca menopause. Dalam
studi ini, yang membandingkan anastrozol, tarnoksifen, dan
kombinasi tamoksifen-anastrozol, pasien yang mendapat
anastrozol mengalami perbaikan bermakna dalam ha1
kelangsungan hidup bebas penyakit, lama waktu sampai
terjadi kegagalan terapi, dan tolerabilitas. Namun, tidak
ada perbedaan dalam kelangsungan hidup keseluruhan.
Sebaliknya, kelompok kombinasi tidak memperlihatkan
manfaat lebih dibandingkan tamoksifen saja.

EXEMESTANE
Pada kanker payudara metastatik yang refrakter tamoksfen,
exemestane tampak lebih baik dibandingkan megestrol
asetat pada uji klinik fase 111, yaitu perbaikan median waktu
ke perburukan tumor dan median kelangsungan hidup.
Meskipun data fase I11 yang membandingkan exemestane
terhadap tamoksifen pada terapi lini pertama kanker
payudara metastatik belum dipublikasikan, hasil dari studi
fase I1 acak yang membandingkan exemestane dengan
tamoksifen memberi kesan bahwa exemestane lebih unggul.

Analog Gonadotropin-Releasing Hormone


(GnRH)
Hasil terapi analog GnRH pada orkhidektomi medik
digunakan sebagai suatu .cara memberikan ablasi androgen pada kanker prostat metastatik. Oleh karena aktivitas
agonis inisial analog GnRH dapat menyebabkan tumorjlare
mulai dari kenaikan kadar androgen transien, penggunaan
antiandrogenflutamide konkomitan telah dilakukan untuk
mencegah efek ini. Analog GnRHjuga dapat menyebabkan
regresi tumor pada kanker payudara yang responsif
hormon dan telah menerima persetujuan dari US Foodand
Drug Administration sebagai terapi kanker payudara
metastatik pada perempuan premenopause. Data memberi
kesan bahwa obat-obatan ini mungkin bermanfaat sebagai
terapi ajuvan pada perempuan pramenopause dengan
kanker payudara yang telah direseksi. Penggunaan obat
ini dalam kombinasi dengan kemoterapi ajuvan pada
perempuan pramenopause dengan kanker payudara primer
merupakan subyek uji klinik besar berskala internasional
yang masih berlangsung. Toksisitas primer analog GnRH
bersifat sekunder terhadap ablasi konsentrasi steroid seks
dan meliputi gejolak panas, berkeringat, dan mual. Gejalagejala ini dapat dipulihkan dengan analog progestational
dosis rendah.
Analog GnRH yang tersedia untuk pemakaian klinis
adalah gosereline dan leuprolide. Keduanya terdapat
dalam sediaan intramuskular depo dan diberikan dengan

interval satu bulan. Dosis yang dianjurkan setiap bulan


untuk leuprolide adalah 7,5 mg dan gosereline 3,6 mg.
Terdapat pula sediaan depo dengan masa kerja yang lebih
panjang yang hanya diberikan setiap 3 bulan.

ANTIANDROGEN
Flutamid
Antiandrogen flutamid digunakanpada pria dengan kanker
prostat metastatik baik sebagai terapi inisial, berkombinasi
dengan analog GnRH, atau ketika kanker tidak responsif
walaupun sudah mendapat ablasi androgen. Dosis yang
dianjurkan adalah 250 mg per oral tiga kali sehari. Pada
pasien dengan kanker prostat yang masih berkembang
meskipun digunakan flutamid, penghentian flutamid dapat
menyebabkan respons putus obat.
Efek samping tersering akibat flutamid adalah diare,
dengan atau tanpa gangguan perut. Ginekomastia, yang
mungkin agak nyeri, sering terjadi pada laki-laki yang tidak
mendapat terapi ablasi androgen konkomitan. Flutamid
jarang menyebabkan hepatotoksisitas, suatu kondisi yang
reversibel bila terdeteksi secara dini namun dapat juga
fatal. Tidak ada cara pemeriksaan untuk menskrining
hepatotoksisitas akibat flutamid kecuali memperhatikan
fenomena ini dan melakukan uji fungsi hati jika gejalagejala timbul.

BlKALUTAMlD (CASODEX)
Casodex merupakan antiandrogen non-steroid lain yang
telah disetujui oleh US FDA untuk penggunaan di Amerika
Serikat. Dosis yang dianjurkan adalah tablet 50 mg per
hari. Sebuah uji klinik melaporkan bahwa Casodex tampak
sebanding dengan flutamid pada pasien dengan kanker
prostat lanjut. Casodex relatif dapat ditoleransi dan
berkaitan dengan insidens diare yang lebih rendah
dibandingkan flutamid.

Nilutamid
Nilutamid6' mewakili variasi antiandrogen ketiga yang
tersedia untuk pasien dengan kanker prostat. Meskipun
mungkin tidak semahal antiandrogen lain, obat ini
mempunyai dua toksisitas unik, yaitu rabun malam hari
dan toksisitas paru sehingga penggunaannya terbatas.
FLUOKSIMESTERON
Fluoksimesteronadalah suatu androgen yang telah dipakai
baik pada perempuan dengan kanker payudara metastatik
yang responsif hormon dan telah mendapat terapi
hormonal seperti tamoksifen, inhibitor aromatase atau

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TERAPI HORMONAL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


megestrol asetat. Dosis biasanya 10 mg dua kali sehari.
Meskipun angka respons keseluruhan rendah, terdapat
beberapa orang pasien yang mengalami respons antitumor tinggi dan bertahan berbulan-bulan bahkan bertahuntahun.
Toksisitas yang terkait dengan fluoksimesteron adalah
yang dapat diduga dengan suatu androgen: hirsutisme,
kebotakan, penurunan suara (hoarseness), akne,
peningkatan libido dan eritrositosis. Fluoksimesteron dapat
juga meningkatkan hasil uji fungsi hati pada beberapa
pasien, dan yang jarang, dikaitkan dengan neoplasma
hepatik.

Dietilstilbestrol dan Estradiol


Dietilstilbestrol (DES) dahulu adalah terapi hormonal primer
untuk kanker payudara metastatik. Uji klinik komparatif
acak memperlihatkan bahwa DES mempunyai angka
respons yang sama dengan tamoksifen. Namun,
berdasarkan uji tersebut, penggunaan DES dilampaui oleh
tamoksifen terutama karena DES memiliki lebih banyak
toksisitas. DES kadang-kadang digunakan pada pasien
kanker payudara metastatik yang memiliki kanker sensitif
hormon yang gaga1 berespons terhadap terapi hormon
multipel lainnya. Dosis untuk keadaan ini adalah 15 mgl
hari (baik sebagai dosis tunggal atau terbagi). DES juga
digunakan sebagai terapi ablasi androgen pada pria dengan
kanker prostat metastatik. Dosis sekitar 3 mgl hari
menghasilkan kadar testosteron seperti pada keadaan
anorkhid.
Pada perempuan, DES dapat menyebabkan sejumlah
toksisitas. Salah satu yang tersering adalah mual dan
muntah. DES juga menyebabkan nyeri pada payudara dan
warna puting dan areola yang lebih gelap. DES
meningkatkan risiko fenomena tromboembolik, dan ha1 ini
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa.
Pada laki-laki, DES menghasilkan peningkatan peristiwa
trornboembolik dan mortalitas, sehingga penggunaannya
terbatas. DES juga menyebabkan ginekomastia yang nyeri.
Meskipun radiasi payudara sebelum pemberian DES
tampaknya dapat mencegah toksistas tersebut, ha1 ini tidak
membantujika diberikan setelah toksisitas timbul.

Octreotide adalah analog somatostatin yang telah


merevolusi terapi sindrom karsinoid dan sindrom kelebihan
hormon yang berkaitan dengan kanker sel pulau-pulau
pankreas dan akromegali. Angka respons tinggi dan ratarata bertahan untuk beberapa bulan, kadang-kadang
bertahun-tahun. Kadang-kadang respons antitumor yang
secara temporer berkaitan dengan octreotide tampak pada
tumor-tumor tersebut dan telah diteliti sebagai terapi
potensial pada kanker payudara. Hasil studi acak pada

perempuan dengan kanker payudara metastatik tidak


memperlihatkan adanya manfaat atas penambahan
octereotide pada tamoksifen. Octreotide juga dapat
meredakan diare berat yang disebabkan oleh kemoterapi
berbasis 5-FU dan raadiasi pelvis.
Octreotide dapat diberikan secara intravena atau
subkutan. Dosis awal adalah 50g diberikan dua sampai
tiga kali pada hari pertarna. Dosis dititrasi rnenaik, dengan
dosis harian yang lazim berkisar antara 400 sampai 450 gl
hari bagi sebagian besar pasien. Pada saat tertentu, dosis
sampai 1500 gl hari dapat diberikan. Tersedia pula sediaan
depot, yang memungkinkan dosis diberikan dengan
interval satu bulan. Octreotide umumnya dapat ditoleransi
baik. Tampaknya, octreotide menyebabkan toksisitas lebih
banyak pada pasien akromegalik, dengan problem seperti
bradikardia, diare, hipoglikemia, hiperglikemia,
hipotiroidisme, dan kolelitiasis.

REFERENSI
Anzano MA, Peer CW, Smith JM, et al. Chemoprevention of
mammary carcinogenesis in the rat: combined use of raloxifene
and 9-cis-retinoic acid. J Natl Cancer Inst 1996;88:123.
Ahmann FR, Citrin DL, deHaan HA, et al. Zoladex: a sustainedrelease, monthly lutienizing hormone-releasing hormone
analogue for the treatment of advanced prostate cancer. J Clin
Oncol 1987;5:912.
Black LJ, Jones CD, Falcone JF. Antagonism of estrogen action with
a new benzothiophene derived antiestrogen. Life Sci
1983;32:1031.
Benz CC, Scott GK, Sarup JC, et al. Estrogen-dependent, tamoxifenresistant growth of MCG-7 cells transfected with HER2Ineu.
Breast Cancer Res Treat 1993;24:85.
Bonone G, Briand PA, Miksicek RJ, et al. Activation of the
unliganded estrogen receptor by EGF involves the MAP kinase
pathway and direct phosphorylation. EMBO J 1996;15:2174.
Bonomi P, Pessis D, Bunting N, et al. Megestrol acetate used as
primary hormonal therapy in stage D prostatic cancer. Semin
Oncol 1985;12:36.
Buzdar A, Howell A. Advances in aromatase inhibition: clinical
efficacy and tolerability in the treatment of breast cancer. Clin
Cancer Res 2001 ;7:2620.
Baum M, Budzar AU, Cuzick J, et al. Anastrozole alone or in
combination with tamoxifen versus tamoxifen alone for
adjuvant treatment of postmenopausal women with early breast
cancer. first results of the ATAC randomised trial. Lancet
2002;359:2131.
Byar DP. Proceedings: The Veterans Administration Cooperative
Urological Research Group's studies of cancer of the prostate.
Cancer 1973;32:1126.
Bajetta E, Procopio Ci, Ferrari L, et al. A randomized, multicenter
prospective trial assessing long-acting release octreotide pamoate
plus tamoxifen as a first line therapy for advanced breast
carcinoma. Cancer 2002;94:299.
Brogden RN, Clissold SP. Flutamide. A preliminary review of its
pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and
therapeutic efficacy in advanced prostatic cancer. Drugs
1989;38:135.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGIMEDIK

HANYA DI SCAN UNTUKKonecny


dr. PRIYO
G, Pauletti G,PANJI
Pegram M, et al. Quantitative association

Cuzick J, Forbes J, Edwards R, et al. First results from the International Breast Cancer Intervention Study (IBIS-I): a randomized
prevention trial. Lancet 2002;360:8 17
Cuzick J, Powless T, Veronesi U, et al. Overview of the main outcomes in breast-cancer prevention trials. Lancet 2003;361:296
Coopman P. Garcia M, Brunner N, et al. Anti-proliferative and antiestrogenic effects of 1CI 164,384 and ICI 182,780 in 4-OHtamoxifen-resistant human breast cancer cells. Int J Cancer
1994;56:295.
Casinu S, Fedeli A, Fedeli SL, et al. Octreotide versus loperamide in
the treatment of fluorouracil-induced diearrhea: a randomized
trial. J Clin Oncol 1993;l 1:148.
Dewar JA, Horobin JM, Preece PE, et al. Long-term effects of
tamoxifen on blood lipid values in breast cancer. BMJ
1992;305:225.
Delmas PD, Bjamason NH, Mitlak BH, et al. Effects of raloxifene
on bone mineral density, serum cholesterol concentrations, and
uterine endometrium in postmenopausal women. N Engl J Med
1997;337:1641.
Dole EJ, Holdsworth MT. Nilutamide: an antiandrogen for the
treatment of prostate cancer. Ann Pharmacother 1997;31:6575.
Early Breast Cancer Trialists ' Collaborative Group. Tamixifen for
earl) breast cancer: an overview of the randomised trials.
Lancet 1998;35 1: 145 1.
Encarnacion CA, Ciocca DR, McGuire WL, et al. Measurement of
steroid hormone receptors in breast cancer patients on
tamoxifen. Breast Cancer Res Treat 1993;26:237.
Fisher B, Constantino JP, Wickerham DL, et al. Tamoxifen for
prevention of breast cancer: report of the National Surgical
Adjuvant Breast and Bowel Project P-l Study. J Natl Cancer
Inst 1998;90: 1371.
Fendl KC, Zimniski SJ. Role of tamoxifen in the induction of
hormone-independent rat mammary tumors. Cancer Res
1992;52:235.
Gorin MB, Day R, Constantino JP, et al. Long-term tamoxifen
citrate use and potential ocular toxicity. Am J Ophthalmol
1998;125:493.
Goss PE, Strasser K. Aromatase inhibitor in the treatment and
prevention of breast cancer. J Clin Oncol 2001 ;19:88 1.
Howell A, Robertson JF, Quaresma Albano J, et al. Fulvestrant,
formerly ICI 182.780, is as effective as anastrozole in postmenopausal women with advanced breast cancer progressing
after prior endocrine treatment. J Clin Oncol 2002;20:3396.
Harvey HA, Lipton A, Max DT, et al. Medical castration produced
by the GnRH analogue leuprolide to treat metastatic breast
cancer. J Clin Oncol 1985;3:1068.
Howell A, Osborne CK, Morris C, et al. ICI 182,780 (Faslodex):
development of a novel, "pure" antiestrogen. Cancer
2000;89:817.
lngle JN, Ahmann DL, Green SJ, et al. Randomized clinical trial of
diethylstilbestrol versus tamoxifen in postmenopausal women
with advanced breast cancer. N Engl J Med 1981:304:16.
Kiang DT, Kennedy BJ. Tamoxifen (antiestrogen) therapy in
advanced breast cancer. Ann Intern Med 1977;87:687
Karnik PS, Kulkami S, Liu XP, et al. Estrogen receptor mutations in
tamoxifen-resistant breast cancer. Cancer Res 1994;54:349.
Kato S. Endoh H, Masuhiro Y, et al. Activation of the estrogen
receptor through phosphorylation by mitogen-activated
protein kinase. Science 1995;270: 149 1.
Kennedy BJ. Hormonal therapies in breast cancer. Semin Oncol
1974;l:l 19.

between HER-2lneu and steroid hormone receptors in hormone


receptor-positive primary breast cancer. J Natl Cancer Inst
2003;95: 142.
Kaufmann M, Bajetta E, Dirix LY, et al. Exemestane is superior to
megestrol acetate after tamoxifene failure in postme?opausal
women with advanced breast cancer: results of a phase I11 randomized double-blind trial. The Exemestane Study Group. J Clin
Oncol 2000; 18: 1399.
Kaufmann M, Jonat W, Blamey R, et al. Survival analyses from the
ZEBRA study. Goserelin (Zoladex) versus CMF in premenopausal women with node-positive breast cancer. Eur J Cancer
2003;39: 17 1 1.
Love RR, Cameron L, Connell BL, et al. Symptoms associated with
tamoxifen treatment in postmenopausal women. Arch Intern
Med 1991;151:1842.
Loprinzi CL, Michalak JC, Quella SK, et al. Megestrol acetate for
the prevention of hot flashes. N Engl J Med 1994;331:47
Loprinzi CL, Kugler JW, Sloan JA, et al. Venlafaxine in the management of hot flashes in survivors of breast cancer: a randomised
controlled trial. Lancet 2000;356:2059.
Loprinzi CL, Sloan JA, Perez EA, et al. Phase 111 evaluation of
fluoxetine for treatment of hot flashes. J Clin Oncol
2002;20: 1578
Love RR, Mazess RB, Barden HS, et al. Effects of tamoxifen on
bone mineral density in postmenopausal women with breast
cancer. N Engl J Med 1992;326:852.
Lipton A, Ali SM, Leitzel K, et al. Serum HER-21neu and response
to the aromatase inhibitor letrozole versus tamoxifen. J Clin
Oncol 2003;2 1:1967.
Loprinzi CL, Ellison NM, Schaid DJ, et al. Controlled trial of
megestrol acetate for the treatment of cancer anorexia and
cachexia. J Natl Cancer lnst 1990;82:1 127.
Loprinzi CL, Michalak JC, Schaid DJ, et al. Phase I11 evaluation of
four doses of megestrol acetate as therapy for patients with
cancer anorexia andlor cachexia. J Clin Oncol 1993;11:762.
Loprinzi CL, Jensen MD, Jiang NS, et al. Effect of megestrol acetate on the human pituitary-adrenal axis. Mayo Clin Proc
1992;67: 1160.
Leinung MC, Liporace R, Miller CH. Induction of adrenal suppression by megestrol acetate in patients with AIDS. Ann Intern
Med 1995;122:843.
Mouridsen H, Gershanovich M, Sun Y, et al. Phase 111 study of
letrozole versus tamoxifen as first-line therapy of advanced
breast cancer in postmenopausal women: analysis of survival
and update of efficacy from the International Letrozole Breast
Cancer Group. J Clin Oncol 2003;2 1 :2 101.
McDonald CC, Stewart HJ. Fatal myocardial infarction in the Scottish adjuvant tamoxifen trial. The Scottish Breast Cancer Committee. BMJ 1991;303:435.
Nabholtz JM, Buzdar A, Pollak M, et al. Anastrozole is superior to
tamoxifen as first-line therapy for advanced breast cancer in
postmenopausal women: results of a North American
multicenter randomized trial. Arimidex Study Group. J Clin Oncol
2000;18:3758.
Osborne CK, Bardou V, Hopp TA, et al. Role of the estrogen receptor coactivator AlBl (SRC-3) and HER-21neu in tamoxifen
resistance in breast cancer. J Natl Cancer lnst 2003;95:353.
Osborne CK, Pippen J, Jones SE, et al. Double-blind, randomized
trial comparing the efficacy and tolerability of fulvestrant
versus anastrozole in postmenopausal women with advanced
breast cancer progressing on prior endocrine therapy: results of

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TERAPl HORMONAL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

a North American trial. J Clin Oncol 2002;20:3386.


Piccart M, Parker LM, Pritchard KI. Oestrogen receptor
downregulation: an opportunity for extending the window of
endocrine therapy in advanced breast cancer. Ann Oncol
2003;14:1017.
Parkin DM, Muir CS. Cancer incidence in five continents.
Comparibility and quality of data. IARC Sci Publ 1992;45.
Rutqvist LE, Johansson H, Signomklao T, et al. Adjuvant tamoxifen
therapy for early stage breast cancer and second primary malignancies. Stockholm Breast Cancer Study Group. J Natl Cancer
Inst 1995;87:645.
Paridaens R, Dirix L, Lohrisch C, et al. Mature results of a randomized phase I1 multicenter study of exemestane versus tamoxifen
as first-line hormone therapy for postmenopausal women with
metastatic breast cancer. Ann Oncol 2003;14: 1391.
Polsker GL, Brogden RN. Leuprorelin. A review of its pharmacology and therapeutic use in prostatic cancer, endometriosis and
other sex hormone-related disorders. Drugs 1994;48:930.
Rowland KM Jr, Loprinzi CL, Shaw EG, et al. Randomized doubleblind placebo-controlled trial of cisplatin and etoposide plus
megestrol acetatelplacebo in extensive-stage small-cell lung
cancer: a North Central Cancer Treatment Group Study. J Clin
Oncol 1996;14:135.
Steams V, Beebe KL, Iyengar M, et al. Paroxetine controlled release
in the treatment of menopausal hot flashes: a randomized controlled trial. JAMA 2003;289:2827.
Styles JA, Davies A, Lim CK, et al. Genotoxicity of tamoxifen,
tamoxifen epoxide and toremifene in human lymphoblastoid
cells containing human cytochrome P450s. Carcinogenesis
1994;15:5.

Santen RJ. Suppression of estrogens with amonoglutethimide and


hydrocortisone (medical adrenalectomy) as treatment of
advanced breast carcinoma: a review. Breast Cancer Res Treat
1981;1:183.
Schteingart DE, Cash R, Conn JW. Amino-glutethimide and
metastatic adrenal cancer. Maintained reversal (six months)
of Cushing's syndrome. JAMA 1966;198: 1007.
Schellhammer PF, Sharifi R, Block NL, et al. A controlled trial of
bicalutamide versus flutamide, each in combination with
luteinizing hormone-releasing hormone analogue therapy, in
patients with advanced prostate carcinoma. Analysis of time to
progression. CASODEX Combination Study Gorup. Cancer
1996;78:2164.
Tchekmedyian NS, Hickman M, Siau J, et al. Megestrol acetate in
cancer anorexia and weight loss. Cancer 1992;69: 1268.
Vogelzang NJ, Chodak GW, Soloway MS, et al. Goserelin versus
orchiectomy in the treatment of advanced prostate cancer:
final results of a randomized trial. Zoladex Prostate Study Group.
Urology 1995;46:220.
Wakeling AE, Dukes M, Bowler J. A potent specific pure antiestrogen
with clinical potential. Cancer Res 1991;5 1:3867.
Williams GM, Iatropoulos MJ, Djordjevic MV, et al. The
triphenylethylene drug tamoxifen is a strong liver carcinogen
in the rat. Carcinogenesis 1993;315.
Wysowski DK, Freiman JP, Tourtelot JB, et al. Fatal and nonfatal
hepatotoxicity associated with flutamide. Ann Intern Med
1993;118:860.
Wadler S, Benson AB 111, Engelking C, et ai. Recommended
guidelines for the treatment of chemotherapy-induced diarrhea.
J Clin Oncol 1998;16:3169.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TERAPI BIOLOGI PADA KANKER


Johan Kurnianda

Terapi biologi pada kanker adalah terapi yang


menggunakan sistem respon imun tubuh untuk melawan
sel-sel tumor. Pada awal tahun 1800 para klinisi mengamati
bahwa pada pasien kanker kadang-kadang terjadi regresi
tumor setelah pasien mengalami infeksi bakteri. Hal ini
menjadi awal dari ide mengenai reaksi inang penjamu yang
dapat digunakan sebagai terapi kanker.
Penelitian klinis mengenai terapi biologi telah dilakukan
sejak hampir 1 abad yang lalu. William B. Coley, seorang
ahli bedah di Memoriam Hospital New York menghabiskan
karirnya selama tahun 1892-1936untuk mendapatkan terapi
yang dapat melawan penyakit dengan menggunakan
mekanisme pertahanan tubuh. Hasil temuannya
menunjukkan kadang-kadang terjadi regresi tumor pada
pasien yang diterapi. Namun demikian hasil temuan ini
belum dapat diterima secara luas karena hasilnya tidak
dapat diprediksi.
Dalam perkembangannya, banyak penelitian modern
tentang terapi biologi yang sudah dilakukan. Suatu studi
meta-analisis menunjukkan dari tahun 1990 sampai dengan
2002 sedikitnya telah dilaporkan dalam publikasi tertulis
internasional sebanyak 334 penelitian tentang terapi biologi
pada kanker, lebih dari 80% diantaranya adalah penelitian
fase I dan fase 11. Penyakit kanker yang paling sering
dijadikan topik penelitian adalah melanoma, karsinoma sel
ginjal, keganasan gastrointestinal dan limfoma, sedangkan
imunoterapi adalah jenis terapi biologi yang paling sering
diteliti. Sejauh ini terapi biologi telah menunjukkan hasil
yang baik pada beberapa jenis kanker. Diantaranya adalah
interferon-a (IFN-a ), yang digunakan untuk melanoma
dengan status nodal yang positif, hairy cell leukemia,
karsinoma sel ginjal, dan leukemia mieloid kronik.
Interleukin-2 (IL-2) digunakan untuk karsinoma sel ginjal
dan melanoma. Bacille Calmette-Gurin (BCG) digunakan
sebagai terapi intravesikal ajuvan pada karsinoma
buli-buli non-invasif.

Terapi biologi dapat dibagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama


adalah penggunaan substansi seperti sitokin, bakteri
tertentu, obat-obatan, atau introduksi gen untuk
menstimulasi respons irnun selular terhadap kanker. Tipe
kedua adalah penggunaan antibodi monoklonal spesifik
yang beraksi langsung terhadap antigen tumor.

Contoh

Tipe
Sitokin
lmunoterapi
adoptif

Interleukin-2, interferon-a, tumor necrosis


factor-a
Lymphokine-activated killer cells, tumorinfiltrating Lymphocytes

Vaksin

Vaksin gangliosida GM2 untuk melanoma,


vaksin sel melanoma untuk melanoma,
vaksin berbasis sel dendritik

Antibodi
monoklonal

Anti-CD20 untuk limfoma, anti HER-2 untuk


kanker payudara

Sitokin adalah protein kecil atau peptida yang terjadi secara


alamiah pada spesies mamalia. Secara fisiologis sitokin
memiliki banyak fungsi termasuk memodulasi fungsi imun.
Limfokin memodulasi respon imun limfosit sedang monokin
memodulasi respon monosit atau makrofag. Jumlah sitokin
yang teridentifikasi semakin meningkat, namun baru sedikit
yang dapat diproduksi dalam jumlah cukup dengan
menggunakan metode DNA rekombinan. Selain itu belum
banyak sitokin yang teruji secara klinis untuk terapi tumor. Sitokin yang telah banyak diteliti diantaranya adalah
interferon, interleukin, dan tumor necrosis-a.
Interferon dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu tipe A
dan tipe B. Tipe Ameliputi IFN-a dan IFN-y. Tipe B meliputi
IFN-P. Namun demikian baru IFN tipe A saja yang telah
digunakan dalam onkologi klinis. Meski sudah banyak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TERAPI BlOLOGl PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ditemukan subtipe-subtipe dari berbagai tipe IFN, baik


yang alami maupun melalui rekayasa genetik, masih sedikit
IFN yang teruji secara ekstensif. Semua IFN memiliki
kemampuan menghambat replikasi virus di dalam sel.
IFN bekerja dengan cara mengikat reseptor permukaan
sel yang spesifik, mengaktifkan kaskade kinase, dan
akhirnya mengaktifkan faktor transkripsi yang mengikat
elemen DNA yang responsif terhadap IFN. Proses ini
menghasilkan ekspresi gen yang dapat diinduksi oleh IFN.
IFN tipe A merupakan imunostimulan yang poten dan juga
memiliki aksi antiproliferatif dan antiangiogenik.
Mekanismenya dalam melawan kanker secara in vivo masih
belum diketahui dan efektifitasnya tergantung dari cara,
dosis, jadwal maupun lama pemberiannya.
IFN-a telah dinyatakan Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi hairy cell leukemia, leukemia
mieloid kronik, sarkoma Kaposi non viseral yang
berhubungan dengan AIDS, dan melanoma stadium 111.
IFN-a juga telah digunakan sebagai terapi limfoma derajat
keganasan rendah, mieloma multipel, dan dikombinasi
dengan 5-fluourasil untuk karsinoma kolon yang rekuren.
IFN-a telah diuji dengan obat imunologi maupun
kemoterapi lain untuk biokemoterapi melanoma. FDA juga
telah menyetujui penggunaan IFN-a sebagai terapi
sklerosis multipel yang remisi dan relaps untuk
memperlambat hambatan fisik dan menurunkan frekuensi
eksaserbasi. IFN-a disetujui oleh FDA untuk terapi
penyakit granulomatosa kronik, namun di dalam klinis juga
sering digunakan untuk karsinoma sel ginjal.
Interleukin adalah limfokin yang secara spesifik
mengatur respon imun limfosit, baik komponen sel-T
maupun sel-B. Interleukin dapat memulai, mempertahankan
dan menurunkan respons imun serta dapat menyebabkan
pergantian dari respon imun selular (T-helper 1) menjadi
humoral (T-helper 2) atau sebaliknya, tergantung kadar
relatihya.
Sebagai produk sel T aktif, IL-2 memacu proliferasi dan
meningkatkan hngsi sel T lainnya, sel natural killer (NK),
dan sel B. Sel-sel NK yang diaktivasi IL-2 menyebabkan
aktivitas lymphokine-activated killer (LAK). Sel B yang
dipacu oleh LI-2 melepaskan IgM yang berkaitan dengan
sekresi (secretory-associated IgM) lebih banyak
dibanding IgM yang berkaitan dengan membran
(membrane-associated IgM). Setelah dipacu IL-2
makrofag mencapai maturasi sitolitik dan menguraikan
transforming growth factor beta (TGF-P).
Satu-satunya IL yang digunakan secara klinis adalah
IL-2. IL-1 dan IL-4 juga telah dicoba namun pemakaian
klinisnya masih terbatas. IL-3 diduga juga merupakan
molekul yang berguna untuk menstimulasi sumsum tulang
namun aktivitas anti tumornya secara in vivo atau in vitro
tidak terbukti. IL-5 melalui IL-15 telah ditentukan
karakteristiknya, diklon, dan diproduksi. IL- 12 dan IL- 15
memiliki potensi meningkatkan imunitas anti tumor. IL- 11

telah diterima FDA untuk meningkatkan perbaikan


trombosit setelah kemoterapi. IL-2 telah diterima FDA
sebagai terapi karsinoma sel ginjal yang mengalami
metastase dan melanoma stadium lanjut. Terdapat responrespon terhadap IL-2 yang dramatik pada pasien melanoma
stadium lanjut dan suatu kombinasi antara IL-2, IFN dan
beberapa obat kemoterapi (biokemoterapi) kini sedang
diuji-cobakan pada pasien melanoma stadium lanjut. IL-2
telah menunjukkan aktivitas pada beberapa keganasan
hematologi, termasuk leukemia mielogenik akut dan
limfoma refrakter, sementara penggunaannya pada kasuskasus pasca transplantasi dan terapi adjuvan untuk vaksin
kanker masih dalam tahap awal penelitian.
Tumor necrosis factor alpha (TNF-a), dikenal juga
dengan istilah kakexin, merupakan peptida yang terlibat
untuk memproduksi dan mempertahankan respon
inflamasi. TNF-a terutama diproduksi oleh sel T aktif dan
memiliki berbagai macam efek terhadap monositlmakrofag,
sel endotel, dan sel-sel lain di seluruh tubuh. TNF-a bekerja
melalui reseptor di permukaan membran sel dan
menyebabkan kematian sel melalui apoptosis atau aktivasi
sel target. Secara in vitro TNF-a dapat membunuh banyak
tumor target yang mengekspresikan reseptor. Secara in
vivo TNF-a memiliki aktivitas proinflamasi yang poten yang
menyebabkan toksisitas pada dosis terapi dan ha1 ini yang
membatasi penggunaannya dalam klinis. Beberapa jenis
efek samping TNF-a adalah demam, malaise, syok, dan
gaga1 multi organ. TNF-a (dalam kombinasi dengan
melphalan) saat ini masih diteliti manfaatnya sebagai terapi
isolated limb perfusion untuk melanoma dan sarkoma.

Imunoterapi adoptif adalah suatu pendekatan terapi dimana


sel T atau sel efektor lain, yang distimulasi dengan
memaparkannya pada sel tumor atau antigen ex vivo,
diinjeksikankembali pada pasien kanker agar memunculkan
respons imun yang dimediasi sel untuk mengeradikasi selsel tumor.
Dalam imunoterapi adoptif pasien menjadi donor sel T
dan sekaligus menjadi resipien. Tampaknya toleransi
terhadap antigen tumor dikendalikan melalui stimulasi ex
vivo. Selain itu, bila digunakan donor sel T dari orang lain,
sel T tersebut akan ditolak oleh tubuh.
Meski manipulasi ex vivo dapat meningkatkan
keuntungan dalam terapi kanker, sejauh ini hasil-hasil
penelitian klinis belum dapat menentukan biaya dan
sumber-sumber yang diperlukan untuk pendekatan terapi
ini. Akhir-akhir ini telah digunakan klon sel T yang
dimodifikasi untuk terapi virus dan keganasan. Contoh
terapi tersebut adalah transfer adoptif sel T positif CD8
spesifik CMV yang telah terbukti efektif dalam menyusun
kembali imunitas selular dalam melawan CMV pada pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOCIMEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pasca transplantasi sumsum tulang alogenik. Selain itu


transfer adoptif limfosit sitotoksik yang spesifik virus
Epstein-Barr (VEB) juga telah terbukti efektif sebagai
profilaksi dan tempi pada limfoma imunoblastik yang positif
VEB pada pasien dengan kemampuan imunitas menurun
(immunocompromised).

VAKSIN KANKER
Vaksin kanker adalah suatu imunisasi aktif yang bertujuan
menginduksi sel T atau komponen lain sistem imun untuk
mengenali dan secara aktif menyerang jaringan kanker.
Jenis-jenis vaksin yang telah diuji secara klinis meliputi
vaksin seluruh sel dengan komposisi berupa sel-sel autolog
atau alogenik, cell lysate, atau preparasi membran, protein purifikasi, karbohidrat, peptida, atau antibodi antiidiopatik yang menyerupai epitop tumor.
Antigen pada jaringan malignan yang dapat digunakan
sebagai vaksinasi adalah protein dan peptida (misal
fragrnen protein tumor), gangliosida (misal GM2), dan asam
nukleat (DNA dan RNA yang mengkode antigen tumor).
Pasien melanoma yang memunculkan antibodi anti-GM2
setelah vaksinasi ternyata memiliki prognosis yang lebih
baik.
Vaksin kanker baru digunakan di dalam penelitian klinis.
Di luar penelitian klinis, vaksin kanker masih belum banyak
dimanfaatkan. Meski banyak vaksin yang sudah diteliti
dalam semua fase uji klinis, standard pemakaiannya secara
klinis masih belum dapat ditetapkan. Pada penelitian
binatang vaksin kanker menunjukkan potensi yang paling
baik dalam mencegah kekambuhan kanker setelah tumor
primernya dieliminasi, baik secara pembedahan, radiasi,
maupun kemoterapi.
Salah satu jenis vaksin kanker yang saat ini
dikembangkan adalah vaksinasi kanker berbasis sel
dendritik (SD). SD merupakan suatu kelompok sel yang
mempresentasikan antigen (antigen-presenting cells)
bersifat heterogen dan kompleks. SD adalah leukosit yang
terdistribusi secara luas di peredaran darah tepi dan
pembuluh limfe aferen. Pada pemeriksaan dengan teknik
immunophenotyping, SD biasanya memberikan respons
positif untuk CD40, CD80, CD83 dan CD86, sedangkan
progenitor SD yang ada di sumsum tulang memberi respons
positif untuk CD14 dan C D l l C . SD biasanya akan
memberikan respon negatif untuk penanda sel limfosit T
seperti CD3, CD 16 dan CD28, penanda sel limfosit B (CD 19
dan CD20) maupun sel NK (CD56 dan CD57).
Di dalam sistem imun, SD mempunyai peran yang
sangat luas dan kompleks. Dalam sistem imunitas yang
tidak spesifik (innate), SD mempunyai peran penting
dengan mensekresi sitokin seperti IL- 12 dan I F ' A dan B,
sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Di
samping itu, SDjuga memacu sel-sel NK yang secara cepat
akan mengeradikasi sel-sel target. Pada sistem imunitas

yang spesifik, SD berperan untuk mengekspresikan


kompleks peptida-MHC pada sel T yang naif (belum
mempunyai memori). Lebih lanjut, SDjuga berperan untuk
mengaktifkan sel T melalui sinyal pacuan yang spesifik.
Respons imun yang spesifik dari SD ini berperan penting
untuk mengeradikasi sel-sel tumor, menghambat metastasis
dan proses infeksi. Disebabkan oleh perannya yang sangat
vital dalam sistem imun, banyak peneliti yang saat ini
mengembangkan vaksin kanker dengan memanfaatkan
potensi SD.
Salah satu teknik pengembangan vaksin berbasis SD
adalah dengan melakukan rekayasa genetik untuk membuat
suatu fusi protein antara antigen imunogenik (misalnya
antigen dari salah satu jenis sel kanker) dengan satu peptid
spesifik dari SD. Fusi protein ini, juga melalui rekayasa
genetik, ditanamkan pada bakteri gram positif seperti lactobacillus. Lactobacillus yang sudah mengandung fusi
protein imunogenik ini akan diberikan kepada pasien secara
oral. Di dalam usus, bakteri ini akan berkoloni dan kemudian
di dalam usus halus akan mengekspresikan fusi protein
imunogenik yang selanjutnya akan dikenal secara cepat
oleh SD. Fusi protein imunogenik akan diikat oleh SD dan
segera dipresentasikan ke sel T untuk di eradikasi. Teknik
serupa juga bisa dilakukan secara transdermal,
memanfaatkan aktivitas SD yang ada di dalam kulit.
Berbagai uji klinis fase I dan I1 tentang vaksin berbasis SD
saat ini sedang dilakukan dan hasil dari pelitian-penelitian
tersebut akan segera dipublikasikan.

ANTlBODl MONOKLONAL
Antibodi monoklonal (AbMo) adalah antibodi purifikasi
yang dilepaskan untuk melawan suatu antigen spesifik
atau epitop. AbMo dibuat dengan cara mengimunisasi tikus
dengan preparat antigen purifikasi, ekstrak tumor, atau
seluruh sel. Limfosit B yang memproduksi imunoglobulin
dari lien tikus kemudian difusikan dengan cell line yang
imortal untuk membentuk hibridoma. Hibridoma dapat
ditumbuhkan dalam kultur dalam jangka waktu yang tidak
terbatas dan disaring untuk memproduksi antibodi yang
diinginkan. Klon hibridoma yang memproduksi antibodi
yang diinginkan dapat dipurifikasi dan dikultur dalam
jurnlah besar. Antibodi monoklonal dapat diproduksi dalam
jumlah cukup untuk kepentingan klinis.
Beberapa teknik laboratorium menggunakan AbMo
untuk mendiagnosis keganasan. Teknik yang paling
aplikatif dan paling banyak dipakai adalahflow cytometry.
Pada teknik ini sel-sel diinkubasi dengan AbMo spesifik
yang telah ditandai dengan molekul fluoresens yang
berbeda-beda. dan tertuju pada penanda permukaan sel
tertentu. Sel-sel tersebut kemudian dilewatkan pada suatu
aliran tipis melalui sinar laser. Komputer kemudian membaca
defraksi sinar laser dan menginterpretasi data untuk
mengakses ada atau tidaknya penanda permukaan sel yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1481

TERAPI BIOLOGI PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


berbeda-beda. Teknik ini sangat membantu dalam
menentukan monoklonalitas yang terdapat pada
keganasan, selain juga membantu menentukan fenotipe
seluler pada keganasan hematologi dan tumor solid. AbMo
yang dibubuhi radionuklida kini menjadi sarana diagnostik
dan terapi yang semakin penting.
Sebagai antigen, AbMo dapat menyebabkan reaksi
antigen-antibodi yang serupa dengan makromolekul
ekstrinsik lainnya. Pada beberapa kasus dapat terjadi
demam, menggigil, dan reaksi hipersensitivitas. Meski
jarang, dapat juga terjadi reaksi anafilaksi yang fatal.
Kerusakan organ dapat terjadi akibat ikatan non spesifik
AbMo dengan jaringan non tumor. Bila AbMo terikat
dengan toksin atau radionuklida dapat terjadi toksisitas
spesifik terhadap agen tersebut. Namun demikian secara
klinis umumnya toksisitas yang terjadi hanya ringan dan
dapat ditoleransi pasien.
AbMo yang kini digunakan dalam klinis diperoleh dari
tikus yang telah diimunisasi. Para ahli telah membuat
antibodi terapi bagi manusia yang dapat menghindar dari
pengenalan sistem imun. Kini para ahli sedang berupaya
untuk menyembunyikan imunogenisitasantibodi murin dan
menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang sangat
menyempai antibodi manusia. Hal itu dilakukan dengan
cara mensubstitusi seluruh struktur non esensial dari
antibodi tikus dengan counterpartnya yang analog pada
manusia (analogous human counterparts) melalui metode
rekombinan DNA. Proses ini disebut humanisasi dan dapat
menghasilkan antibodi yang dalam uji klinis terbukti
mampu menghina dari sistem imun manusia.
Namun demikian penelitian-penelitian pendahuluan
terhadap AbMo ini tidak memberikan hasil memuaskan.
Hal ini disebabkan faktor-faktor seperti adanya reaktivitas
silang AbMo dengan antigen normal, adanya ekspresi
antigen tumor pada sel normal, ikatan kinetik antibodi
terhadap permukaan sel, dan lemahnya mekanisme efektor
seperti sitotoksisitas yang dimediasi sel serta tergantung
antibodi atau sitotoksisitas yang dimediasi komplemen.
Selain itu juga ada faktor besarnya tumor, adanya antigen
tumor dalam sirkulasi yang mencegah AbMo berikatan
dengan permukaan sel tumor, serta modifikasi antigen tumor oleh sel tumor itu sendiri sehingga sel tidak lagi
mengikat AbMo. Masalah lain dalam terapi AbMo yang
efektif adalah adanya produksi antibodi anti murin pada
manusia (human anti murine antibodies/HAMA) yang
menginaktivasi AbMo sebelum AbMo mencapai sel tumor dan uptake AbMo yang buruk di luar lapisan-lapisan
awal sel tumor yang berada di sekitar kapiler.
Telah diupayakan beberapa cara untuk mengatasi
hambatan-hambatan di atas di antaranya dengan
mengembangkan fragmen Fab (sisi aktif regio variabel)
yang lebih jarang melepaskan HAMA, memiliki waktu
pamh yang lebih panjang, dan lebih baik dalam penetrasi
tumor. Selain itu diupayakan juga suatu konjugasi terhadap
toksin, obat-obatan, dan radionuklida yang dapat secara

dramatis meningkatkan sitotoksisitas AbMo.


Beberapa AbMo saat ini mulai digunakan di dalam
klinis, termasuk di Indonesia, untuk penanganan pasien
kanker. Dua AbMo yang saat ini banyak digunakan adalah
rituximab dan trastuzumab. Rituximab, suatu humanized
mouse chimeric antibo& yang memiliki target antigen CD20 pada permukaan membran sel limfosit B, telah diterima
FDA untuk digunakan sebagai terapi limfoma non-Hodgkin
sel B, baik tipe diffuse atau folikular. Beberapa penelitian
klinis fase I11 yang berskala besar, menunjukkan kombinasi
rituximab dengan kemoterapi standar CHOP, menghasilkan
respon terapi dan survival yang lebih tinggi secara
bermakana dibandingkan kemoterapi standar CHOP, tanpa
peningkatan efek samping. Rekombinan humanized monoclonal antibo& lain, trastuzumab, yang mempunyai target human epithelial growth factor 2 (HER-2), juga telah
mendapat persetujuan FDA pada tahun 1998 untuk
digunakan sebagai terapi pada subgrup pasien kanker
payudara metastatik yang menunjukkan ekspresi
berlebihan dari protein HER-2. Imunotoksin gemtuzumab
ozogamicin (antibodi anti-CD-33) dilaporkanmenunjukkan
respon yang signifikan pada pasien AML relaps yang
mengekspresikanCD33. Beberapa AbMo lain sedang dalarn
penelitian dan mungkin dapat segera digunakan di dalam
klinis.

Anderson CM, Haider S. Biologic therapy of cancer. In Wood ME,


Philips GK , editors. HematologylOncology Secrets, 3'* edition,
Philadelphia, Hanley & Belfus; 2003. p. 21 1-6.
Espinoza-Delgado I. Cancer vaccines. The Oncologist 2002;7:2033.
Jonasch E. Haluska FG. Interferon in ontological practice: review
of interferon biology, clinical applications, and toxicities. The
Oncologist 2001;6:34-55.
Lim J-B, Kwon OH, Kim H-S et al. Adoptive immunotherapy for
CMV disease in immunocompromised patients. Yonsei Medical
Journals 2004, 45 (suppl) : 18-22
Michalek J, Buchler T and Hajek R. T lymphocyte therapy for
cancer. Physiological Research 2004, 53 : 463 - 69
Mohamadzadeh M, Luftig R. Dendritic cells: In the forefront of
immunopathogenesis and vaccine development - A review. Journal of Immune Based Therapies and Vaccine 2004,2:1, http://
www.jibtherapies.com/content/2/l/l.
Ottaino A, Mollo E, Di Lorenzo G et al. Prospective clinical trials
of biotherapies in solid tumor: a 5-years survey. Cancer Immunology lmmunotherapy 2005, 54 (1): 44 - 50
Pettengell R, Linch D. Position paper on the therapeutic use of
rituximab in CD-20 positive diffuse large B-cell non-Hodgkin's
lymphoma. British Journal of Haematology 2003;121:44-48.
Ross JS, Gray K, Gray GS et al. Anticancer antibodies. American
Journal of Clinical Pathology 2003, 119 (4): 472 - 85.
Wang L-X, Huang W-X, Graor H et al. Adoptive immunotherapy of
cancer with polyclonal, lo8-fold hyperexpanded, CD4' and CD8'
cells. Journal of Translation Medicine 2004; 2: 41, http://
www.translational-medicine.com.content/2/1/4
1

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENGOBATAN SUPORTIF
PADA PASIEN KANKER
A. Harryanto Reksodiputro

PENDAHULUAN
Penatalaksanaan kanker bersifat multidisiplin, mulai dari
pendekatan diagnostik yang melibatkan banyak keahlian,
kemudian pengobatan kanker yang multimodalitas dengan
operasi, radiasi, dan kemoterapi, ataupun kombinasi dari
ketiga ha1 tersebut. Pengobatan pasien itu sendiri secara
holistik juga meliputi banyak hal.
Di samping pengobatan 'kuratif' dengan cara
pembedahan, radiasi maupun kemoterapi, pengobatan
yang bertujuan mengatasi berbagai gangguan organ baik
yang disebabkan langsung oleh selljaringan kanker itu
sendiri maupun akibat tidak langsung, memegang peranan
yang amat penting dalam pengobatan pasien kanker.
Program pengobatan ini digolongkan dalam kelompok
pengobatan suportif.
Pengobatan suportif adalah pengobatan yang diberikan
kepada pasien kanker, yang menunjang pengobatan
kanker. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan
pada pasien yang menjalani pengobatan kuratif, tetapi juga
pada pasien yang menjalani pengobatan paliatif. Jika di
dalam pengobatan kanker targetnya adalah sembuh,
terutama pada kanker stadium awal, maka pengobatan
suportif bersifat membantu, sehingga perannya tidak
terlalu besar. Namun, pada stadium lanjut dimana sudah
ada metastasis atau kondisi pasien kurang baik dan
targetnya bukan sembuh, hanya paliatif dengan kualitas
hidup yang lebih baik, maka pengobatan suportif sangat
besar perannya.
Pengobatan suportif meliputi semua aspek kesehatan,
baik fisik maupun psikis. Beberapa di antaranya adalah
nyeri, nutrisi, infeksi, neutropenia (dengan menggunakan
faktor pertumbuhan hemopoietik), transfusi darah dan
komponen darah, nutrisi, gangguan metabolisme

(hiperkalsemia,hiperurisemia, sindrom lisis tumor, asidosis


laktat, hiperkipoglikemia, dsb), fungsi berbagai organ
(jantung, hati, ginjal, endokrin, dsb), kelainan saluran cerna
atas dan bawah (stomatitis, mual, muntah, diare, konstipasi,
dsb), serta masalah spiritual dan keagamaan.
Pengobatan suportif ini begitu pentingnya sehingga
tidak jarang lebih penting dari pengobatan pembedahan,
radiasi, maupun kemoterapi, karena pengobatan suportif
ini acapkali justru mengatasi masalah-masalah yang dapat
menyebabkan kematian pasien. Misalnya, anemia atau
neutropenia pada pasien kanker, menyebabkan
pengobatan dengan radiasi atau kemoterapi hams ditunda,
karena pengobatan kuratif yang diberikan sebelum
pengobatan suportif berhasil menaikkan leukosit, justru
dapat berakibat fatal.
Pengobatan suportif pada pasien kanker sudah dimulai
sejak awal, karena sepertiga dari pasien baru kanker datang
dengan keluhan nyeri, sementara jika sudah stadium lanjut
maka sekitar 70% pasien mengeluh nyeri. Begitu juga
dengan keluhan lain yang adakalanya tidak berhubungan
langsung dengan kanker, seperti penurunan berat badan,
sering membawa pasien datang ke dokter dan dalam
evaluasi selanjutnya ternyata menderita kanker, begitu juga
dengan keluhan lain.
Pengobatan suportif sulit untuk didefinisikan secara
tepat, karena secara keseluruhan meliputi pengobatan,
perawatan, menunjang masalah psikososial, rehabilitasi
yang diperlukan sejak awal menderita sakit melalui
bermacam fase pengobatan aktif untuk pengobatan jangka
panjang atau sampai pasien meninggal. Ruang lingkup
kerja pengobatan suportif sangat luas.
Masalah suportif antara lain:
infeksi, febris netropenia, pencegahan infeksi
masalah saluran cerna: mual, muntah, diare, obstruksi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENCOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ostomi
nyeri
perdarahan dan masalah koagulasi/koreksi gangguan
hemostasis
kebersihan mulut, mukositis
anoreksia, kaheksia
gangguan psikiatri: ansietas dan depresi
komplikasi neurologi
fatigue
diagnosis dan upaya pencegahan anemia
upaya mempertahankan integritas tulang
upaya mencegah terjadinya serta menghambat enzim
siklooksigenase (COX-2)
upaya mencegah gen-onko Ras
mencegah, deteksi dini, dan mengatasi gangguan faal
ginjal, hati, dan jantung.
Pengobatan suportif meliputi berbagai prosedur
pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan atau
sekurangnya mempertahankan kondisi kesehatan pasien
sehingga ia dapat menerima pengobatan kuratif (bedah,
radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek samping
berarti.
Pengobatan suportif ini diberikan pada pasien kanker
sebelum, selama, sesudah, bahkan kadang-kadang sampai
berbulan-bulan setelah pengobatan kausal selesai. Karena
itu pada keadaan-keadaan tertentu pengobatan suportif
lebih penting dari pengobatan kausal. Apabila seorang
pasien kanker menderita bronkopneumonia pada saat
jadwal pemberian kemoterapi maka pengobatan suportif
terhadap bronkopneumonia jauh lebih penting daripada
kemoterapi dan jadwal kemoterapi hams ditunda.
Dalam penanganan pasien usia tua dengan kanker,
pengobatan suportif memegang peranan penting.
Beberapa ha1 yang hams dipikirkan sebelumnya adalah:
Apakah pasien akan meninggal karena kanker atau
karena kemoterapi.
Apakah pasien mampu mentoleransi efek samping
sitostatika.
Apakah pengobatan pasien akan lebih banyak
mendatangkan manfaat dari mudarat.
Pengobatan suportif bertujuan untuk memperbaiki
keadaan umum pasien. Mundurnya keadaan umum pasien
kanker dapat disebabkan oleh berbagai ha1 dan dibagi ke
dalam empat kelompok besar yaitu akibat pertumbuhan
tumor yang invasif, akibat tidak langsung dari kanker, akibat
pengobatan kanker, baik yang bertujuan kuratif maupun
paliatif, serta akibat ha1 yang tidak ada kaitannya dengan
kanker.
KEMUNDURAN KEADAAN PASIEN AKIBAT
PERTUMBUHAN TUMOR YANG INVASIF
Cara tumbuh sel-sel kanker tidak mengikuti kaidah-kaidah

yang berlaku dalam tubuh, sehingga tidak mengherankan


apabila pertumbuhan sel kanker acapkali merusak berbagai
organ. Komplikasi gawat akan terjadi apabila yang
terganggu fungsinya adalah organ vital seperti vena kava
superior, medula spinalis, otak, bronkus, vena kava
inferior, usus, saluran empedu, dan saluran kemih.
Dalam keadaan dimana terjadi komplikasi pada organorgan tersebut di atas, perlu diadakan tindakan dekompresi
segera; biasanya dengan penyinaran, kadang-kadang
dengan tindakan pengobatan yang bertujuan memperbaiki
tindakan umum pasien yang acapkali telah mengalami
gangguan sistemis. Barulah kemudian diteruskan prosedur
diagnostik yang diperlukan untuk menentukan tingkat
penyakit dan mengidentifikasi faktor yang berperan
terhadap prognosis.
Di samping kompresi, invasi tumor pada jaringan
sekitarnya dapat pula menyebabkan erosi, bahkan
perforasi. Akibatnya terjadi perdarahan, perforasi usus atau
berbagai fistula misalnya fistula trakeo-bronkial dan rektovesika urinaria. Perdarahan dan perforasi hams segera
dapat diatasi karena dapat berakibat fatal. Fistula yang
terjadi akibat invasi tumor sedapat mungkin diatasi
sebelum pengobatan sitostatika karena kelak dapat menjadi
sumber infeksi yang sulit diatasi dan dapat berakibat fatal.
Hal yang dapat terjadi akibat invasi tumor adalah rasa
nyeri gangguan fungsi kelenjar yaitu diabetes insipidus
(hipofisis) dan penyakit Addison (adrenal). Rasa nyeri
akibat kanker acapkali amat hebat dan menyebabkan
pasienan yang amat sangat. Obat yang diberikan dapat
berkisar antara obat analgesik sampai narkotik, bahkan tidak
jarang memerlukan intervensi ahli bedah saraf (blok
neurolitik, subarachnoid, Phizothomy, cordotomy,
thalamektomy, hipofisektomi).

KEMUNDURAN KEADAAN PASIENSEBAGAI


AKIBAT TlDAK LANGSUNG DARl KANKER
Seperti terlihat pada Tabel 1, komplikasi sebagai akibat
tidak langsung dari kanker amat banyak dan bervariasi
mulai dari yang ringan sampai pada cukup berat bahkan
kadang-kadang berakibat fatal bila tidak segera diatasi
(hiperkalsemia). Di antara berbagai komplikasi tersebut,
yang perlu mendapat perhatian utama adalah kakeksia,
anemia, gangguan imunologis, hiperkalsemia, dan nyeri.
Gangguan gizi yang tidak diperbaiki bersama-sama
pengobatan antikanker sering lebih memperburuk keadaan
umum pasien. Akibatnya kemampuan imunologis
memperburuk dan terjadilah infeksi yang acapkali sukar
diatasi.
Hiperkalsemia terutama terjadi pada kanker tulang
(mieloma multipel) dan yang bermetastasis luas kedalam
tulang. Bila tidak cepat diatasi, hiperkalsemia dapat
menyebabkan kematian. Pengobatan terdiri dari hidrasi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

parenteral dan kortikosteroid, bila tidak berhasil dengan


garam fosfat, obat-obat yang menyebabkan kelasi kalsium
(EDTA) atau indometasin.

Urnurn
Hernatologis

lrnunologis

Metabolik
Endokrin, paraneoplastik

Neurornuskuler

Kulit
Tulang

dernarn, berat badan rnenurun,


anoreksia
anemia, reaksi leukernoid
poliglobulin
DIC
non-spesifik
fungsi granulosit
garna globulin
arniloidosis
para protein
kalsiurn
asarn urat
sindrorn Cushing
ADH : karsinoma sel 'oat'
Insulin : ovariurn, sarkorna
Eritropoietin; ginjal
Gonadotropin: ovariurn, testis,
teratorna, koriokarsinorna
rniopati
rniastenia-gravis
neuropati
ensefalopati
psoriasis
akantosis
osteoartiopati
poliartritis
rnielofibrosis
rnielosklerosis

EFEK SAMPING SlTOSTATlKA


Selain membasmi sel kanker, sitostatika juga merusak selsel berbagai jaringan tubuh. Jaringan yang paling banyak
mengalami kerusakan tentu saja adalah organ-organ yang
mempunyai daya proliferasi tinggi, seperti sumsum tulang,
mukosa saluran cerna, dan folikel rambut.
Efek samping yang hampir selalu dijumpai adalah gejala
gastrointestinal, supresi sumsum tulang, dan kerontokan
rambut. Efek samping yangjarang terjadi, tetapi tidak kalah
pentingnya adalah kerusakan otot jantung, sterilitas,
fibrosis paru, kerusakan ginjal, kerusakan hati, sklerosis
kulit, reaksi anafilaksis, gangguan saraf, gangguan
hormonal, dan perubahan genetik yang dapat
mengakibatkan terjadinya kanker baru.
Gejala gastrointestinal yang paling utama adalah mual,
muntah, diare, dan mukositis. Mual dan muntah biasanya
timbul selang beberapa waktu setelah pemberian
sitostatika dan berlangsung tidak melebihi 24 jam. Efek
muntah yang terjadi acapkali sulit diatasi dengan obat
antimuntah konvensional.
Gejala klinis supresi sumsum tulang terutama
disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah sel darah
putih, sel trombosit, dan sel darah merah. Supresi sumsum

Surnsurn tulang
Gastro-intestinal
Jantung
Paru
Hati
Ginjal
Kulit
Saraf
Pankreas
Uterus
Kandung kencing

leukosit 1, trornbosit 1, Hb 1
stornatitis, gastritis, diare, ulkus
larnbung, ileus
kardiorniopati-payah jantung, hipertensi
fibrosis
fibrosis
nekrosis tubuli
alopesia, hiperpigrnentasi
parentesi, neuropati, tuli, letargi
pankreatitis
perdarahan
sistitis hernoragis

tulang akibat pemberian sitostatika dapat terjadi segera


atau kemudian. Pada supresi sumsum tulang yang terjadi
segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah
pada hari ke-8 sampai dengan hari ke-14. Setelah itu,
diperlukan waktu kurang lebih tujuh hari untuk menaikkan
kadar leukositnya kembali. Pada supresi sumsum tulang
yang terjadi kemudian, penurunan kadar leukosit terjadi
dua kali yaitu pertama-tama pada minggu kedua, dan pada
sekitar minggu keempat dan kelima. Kadar leukosit
kemudian akan naik lagi dan akan mencapai nilai mendekati
normal pada minggu keenam. Leukopenia dapat
menurunkan daya tahan tubuh, sementara trombopenia
dapat mengakibatkan perdarahan, lebih-lebih bila terjadi
erosi pada traktus gastrointestinal.
Kerontokan rambut dapat bervariasi, dari kerontokan
ringan sampai dengan kebotakan.
Kardiomiopati akibat doksorubisin dan daunorubisin
umumnya sulit diatasi. Sebagian besar pasien meninggal
karena pumpfailure. Fibrosis paru umumnya ireversibel.
Tabel 3 memperlihatkan kejadian payah jantung pada 242
pasien kanker yang mendapat kemoterapi di RS Kanker
Dharmais (RSKD) yang diperiksa dengan ekokardiografi
selama periode Januari-Desember 1995.
Kelainan hati yang terjadi biasanya amat menyulitkan
pemberian sitostatika se-lanjutnya karena banyak
diantaranya yang dimetabolisir dalam hati. Dari berbagai
mekanisme, diketahui bahwa pembentukan radikal bebas
oksigen (RBO) memegang peranan penting dalam efek
hepatotoksik obat. Stres oksidatif pada membran sel akan
menyebabkan gangguan integritas membran. Polaritas

< 20
-

21-30
31-40
41-50
51-60
>60
Tidak diketahui
Jumlah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1
1
4
5
9
2
2
35

28,6
2,86
11,43
14,29
25,72
5,72
5,72
100,O

PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

membran sel akan terganggu dan berbagai saluran ion


mengalami perubahan sehingga fungsinya lepas kontrol.
Akibatnya terjadi gangguan gradien konsentrasi ion di
kedua sisi membran sel diikuti berbagai reaksi biokimia
dalam sel.
Ada beberapa obat antikanker yang memerlukan
pemeriksaan tes fungsi hati sebelum dan selama
pemakaiannya seperti golongan alkilator (siklofosfamid,
busulfan), golongan antrasiklin (doksorubisin,
daunorubisin, farmorubisin, epirubisin); antimetabolit
(metotreksat, fluorourasil, merkaptopurin), alkaloid vinka
(vinkristin, vinblastin), dan enzim (L-aspariginase). Obat
golongan alkilator bekerja dengan pembentukan ion
karbonium atau kompleks lain yang sangat reaktif. Obat
ini membentuk ikatan kovalen (alkilasi) dengan DNA
sehingga terjadi cross linking pada rantai DNA sehingga
fungsinya terganggu.
Efek sitotoksik maupun efek sampingnya berhubungan
langsung dengan proses alkilasi ini. Khusus untuk efek
hepatotoksik tidak diketahui secara spesifik gugus mana
yang mengalami alkilasi. Namun, karena hati merupakan
organ yang sangat kaya akan berbagai enzim, sangat
mungkin bahwa alkilasi ini terjadi pada gugus amino atau
karboksil dari berbagai enzim dalam hati.
Antrasiklin bekerja dengan berinteraksi di antara basabasa DNA sehingga menggangu fungsi DNA sebagai template. Antrasiklin juga bereaksi dengan sitokrom p,,,
reduktase yang dengan NADPH membentuk zat antara
yang bersifat reaktif dan selanjutnya bereaksi dengan
oksigen menghasilkan radikal bebas. Efek ini dikaitkan
dengan efek samping antrasiklin seperti efek kardiotoksik
dan mungkin juga efek hepatotoksik.
Seperti diterangkan di atas, molekul radikal bebas ini
akan menimbulkan reaksi berantai dengan komponen
membran sel sehingga integritas membran akan terganggu.
Kekacauan gradien ion di kedua sisi membran
menyebabkan gangguan fungsi sel berupa gangguan
kontraktilitas sel otot jantung yang dalam bentuk ekstrim
bermanifestasi sebagai gagal jantung. Pada hati terjadi
gangguan hngsi metabolisme dan kebocoran enzim-enzim
sitosol dan mikrosom yang dapat dideteksi sebagai
peningkatan enzim transaminase.
Kerusakan ginjal akibat kemoterapi dapat langsung
(direk) maupun tidak langsung (indirek).
Efek langsung dapat terjadi akibat blokade mekanik
nefron (misalnya metrotreksat dan metabolitnya yang
cenderung berpresiptasi pada tubulus dan duktus
kolektikus pada pemberian dosis tinggi dan pH urin
rendah). Kemungkinan lain adalah karena kerusakan
jaringan ginjal langsung akibat obat atau metabolitnya,
paling sering pada pemberian sisplatin dan nitrosurea.
Sisplatin menyebabkan kerusakan dan nekrosis sel
tubulus distal dan proksimal dengan cara menurunkan
aktivitas metabolik mitokondria, mengharnbat peroksidase
glutation, dan merangsang lipoperoksidase. Sisplatin juga

menyebabkan gangguan elektrolit, terutama


hipomagnesemia dan hipokalsemia. Streptozotosin,
lomustin, dan karmustin mengganggu fungsi tubulus
ginjal sehinga menyebabkan proteinuria, aminoasiduria
dan hipokalemia. Mitomisin C sering dilaporkan dengan
kejadian gagal ginjal dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
Ifosfamid dan siklofosfamid dosis tinggi dapat merusak
tubulus distal menyebabkan hiponatremia dan SIADH.
Efek tidak langsung dapat terjadi karena pemberian
kemoterapi pada tumor yang sangat sensitif menyebabkan
katabolisme asam nukleat interseluler hebat yang berakhir
dengan nefropati asam urat. Asam nukleat purin
dikatabolisme menjadi hipoksantin, kemudian xantin, dan
terakhir dioksidasi oleh xantin oksidase menjadi asam urat.
Asam urat meningkatkan keasaman urin dan terpresipitasi
di tubulus distal dan duktus kolektikus hingga terjadi
anuria. Hiperurisemia ini dapat merupakan bagian dari
sindrom tumor lisis.
Untuk pencegahan efek nefrotoksik diperlukan hidrasi
yang adekuat (2500-3000 ml/m2/24jam) yang dimulai 24
jam sebelum pemberian kemoterapi. Alkalinisasi urin
dengan natrium bikarbonat penting untuk ekskresi asam
urat.
Profilaksis dengan alupurinol300-400 mg/m2/hari.Jika
terjadi nefropati asam urat pengobatannya dengan
memperbaiki hidrasi, dan jika fungsi ginjal memburuk dapat
dilakukan hemodialisis.
Khusus untuk sisplatin, hanya diberikan pada pasien
dengan jumlah urin minimal 100 mL/jam, sebelum, selama,
dan sesudah kemoterapi. Obat proteksi yang dapat
digunakan adalah amifostin diberikan 30 menit sebelum
pemberian sisplatin. Toksisitas sisplatin juga dapat
dikurangi dengan pemberian natrium tiosulfat pada
pemberian sisplatin intraperitoneal, dietiltiokarbamat,
kaptopril, dan verapamil.

Organ yang
Ter~enaaruh
"

Sumsum tulang
Gastrointestinal
Jantung
Paru
Hati
Ginjal
Kulit

Saraf
Pankreas
Uterus
Kandung kemih

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Obat Penyebab
Kecuali steroid, Bleomisin, L-Asparaginase
Adriamisin, Bleomisin, Metotreksat. 5-FU,
Aktinomisin D, Kortikosteroid, Alkilating
agent, Vinkristin
Adriamisin, Daunorubisin, Kortikosteroid
Bleomisin, Metotreksat, Siklofosfamid,
Busulfan
Metotreksat, Sisplatin, Arabinosa-C, LAsparaginase, Mithramycin
Metroteksat, Sisplatin, Mithramycin
Bleomisin, Busulfan, Adriamisin,
Siklofosfamid, Aktinomisin D, Vinblastin,
Vinerelbin
Vinkristin, Vinblastin, Vindesin, Sisplatin
L-Asparaginase
Estrogen
Siklofosfamid, lsofin

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

MASALAH INFEKSI PADA PASIEN KANKER

Pasien kanker acapkali memiliki penurunan daya tahan


tubuh. Hal ini disebabkan oleh penyakit kanker itu sendiri
atau akibat berbagai pengobatan baik bedah, radiasi
maupun kemoterapi. Di samping itu berbagai prosedur
tindakan yang dilakukan pada pasien kanker baik dalam
rangka diagnosis (bronkoskopi, gastroskopi), maupun
untuk terapi (infus makanan, cairan) juga berperan dalam
terjadinya infeksi.
Beberapa jenis kanker disertai oleh penurunan respons
imun spesifik. Pasien penyakit limfoma malignum baik
Hodgkin atau non-Hodgkin disertai defisiensi imunitas
seluler yang mengakibatkan pasien menjadi rentan
terhadap infeksi virus (herpes simpleks, varisela zoster
dll) dan infeksi jamur (kriptokokus, dll).
Berbeda dengan pasien limfoma malignum, pasien
leukemia akut amat rentan terhadap infeksi bakteri gram
negatif sebagai akibat adanya leukopenia danlatau
gangguan fungsi (fagositas) granulosit. Pasien leukemia
limfositik menahun dan pasien mieloma multipel amat
sensitifterhadap infeksi bakteri yang invasif dari golongan
stafilokokus, streptokokus dan pneumokokus.
Granulosit neutrofilik adalah sel yang paling berperan
dalam respons imun terhadap bakteri maupun jamur. Perlu
diketahui bahwa waktu paruh umur sel granulosit dalam
darah adalah 6-7 jam, setelah itu sel-sel ini akan bermigrasi
ke daerah sepanjang endotel atau masuk ke dalam jaringan
ekstravaskular. Pada keadaan di mana terjadi depresi
sumsum tulang, maka neutropenia akan terjadi dalam 5-7
jam.
Infeksi merupakan penyebab kematian paling utama
pada pasien kanker di samping perdarahan. Sekitar 90%
pasien kanker meninggal akibat infeksi, perdarahan, atau
infeksi bersama-sama dengan perdarahan. Dengan makin
mantapnya kemampuan untuk mengatasi trombositopenia,
infeksi merupakan masalah yang makin penting.
Radiasi maupun penggunaan sitostatika dapat
menyebabkan terjadinya granulositopenia akibat
penekanan fungsi sumsum tulang. Banyak laporan yang
dapat membuktikan hubungan antara beratnya
granulositopenia dan infeksi. Penelitian Body dapat
menunjukkan bahwa pada pasien kanker, penurunan kadar
granulosit di bawah 1000/mm3,di bawah 500/mm3dan di
bawah 100/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi berat, masing-masing sebesar lo%, 19% dan 28%.
Angka kematian pasien meningkat sampai dengan 80%
pada pasien yang kadar granulositnya menetap di bawah
100/mm3selama tujuh hari pertama infeksi. Oleh karena itu
tindakan pencegahan, diagnosis dini, dan pengobatan
yang cepat dan tepat mutlak mendapat perhatian dari
mereka yang mengelola pasien kanker. Kelambatan
diagnosis danlatau pemilihan antibiotika yang tidak tepat
dapat cepat menyebabkan terjadinya sepsis dan kematian
pasien.

Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya frekuensi


infeksi pada pasien kanker antara lain adalah: (1) erosi
pada tumor yang menyebabkan terbukanya kulit atau
lapisan mukosa yang merupakan barrier yang melindungi
tubuh dari dunia luar. Hal ini terutama terjadi pada kanker
kulit, kepala dan leher, saluran cerna, mulut rahim dan
vagina, (2) terjadi sumbatan akibat tekanan atau
pertumbuhan kanker, misalnya kanker paru, saluran cerna,
dan prostat; (3) penurunan daya tahan tubuh, baik
penurunan imunitas humoral (mieloma multipel, leukemia
limfositik menahun), maupun imunitas selular (limfoma
Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, kanker paru, payudara,
lambung); (4) berbagai prosedur diagnostik yang
menyebabkan erosi pada mukosa maupun pada kulit
(endoskopi, arteriografi); (5) tindakan pembedahan dalam
ha1 ini tingginya kemungkinan infeksi tergantung kepada
tempat dan besarnya tumor; jenis operasi dan daya tahan
tubuh si sakit; (6) pengobatan suportif, misalnya pemberian
makanan parenteral dan transfusi komponen darah (virus
hepatitis, virus sitomegalo, toksoplasmosis); (7)
radioterapi dan sitostatika.

MEKANISME PENURUNAN IMUNITAS PADA


KANKER
Infeksi sistemis selalu merupakan masalah yang besar bagi
seorang pasien kanker. Hal ini hanya dapat terjadi setelah
mikroorganisme dapat melampaui berbagai lapisan
pertahanan sistem imunitas tubuh manusia. Kejadian serius
ini sering terjadi pada pasien kanker, terutama berkaitan
dengan kemajuan dunia kedokteran. Hal-ha1 yang dapat
berperan terhadap terjadinya infeksi sistemis, antara lain
penggunaan antibiotika spektrum luas, infus, berbagai
kateter, dialisis, radioterapi, kemoterapi, kortikosteroid, dll.
Barrier paling luar manusia terhadap infeksi adalah
suhu badan, pergantian kulit dan mukosa yang cepat,
peristaltik usus, lapisan lemak, asam lambung, saliva,
keringat, dll. Semuanya berperan penting dalam upaya
melindungi tubuh terhadap infeksi. Flora yang normal pada
kulit, nasal, oral, kolon, juga berperan dalam upaya
menghalangi pertumbuhan mikroorganisme patogen.
Dalam keadaan neutropenia, terutama neutropenia
sekunder pada pasien kanker maka hampir seluruh respons
imun nonspesifik ini akan lumpuh, sehingga
mikroorganisme dapat masuk ke sirkulasi darah ke jaringan
atau ke dalam kelenjar getah bening.
Respons imun nonspesifik, seperti granulosit,
memegang peran amat penting dalam upaya tubuh
mencegah infeksi. Interleukin merupakan salah satu sitokin
yang merangsang sel granulosit untuk berfungsi. Karena
itu ganguan respons imun spesifik akan menurunkan pula
fungsi granulosit. Di samping itu berbagai obat, terutama
sitostatika dan radiasi juga dapat mengakibatkan
granulopenia.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1487

PENCOBATAN SUPORTlF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Nama
Sitostatika
- .--

Efek Lambat

Efek Segera

Siklofosfamid

mual,muntah,reaksi hipersensitivitas tipe


I, rasa terbakar pada muka,penglihatan
kabur

depresi sumsum tulang, kebotakan, sistitis


hemoragik, sterilitas (sementara), fibrosis paru,
hiponatremia, leukemia,kanker kandung kemih,
sekresi ADH terganggu, teratogenesis

Doksorubisin

mual,muntah,urin kemerahan, nekrosis,


kerusakan jaringan setempat yang berat
pada ekstravasasi, diare, demam,
perubahan EKG,sementara,
aritmia,ventrikel, reaksi anafilaksis

depresi sumsum tulang, kardiotoksisitas,


kebotakan, stomatitis, anoreksia, konjungtivitis,
pigmentasi akral

Daunorubisin

mual,muntah,diare,urin kemerahan,
nekrosis, dan kerusakan jaringan yang
berat

depresi sumsum tulang, kardiotoksisitas,


kebotakan, stomatitis, anoreksia, diare, demam,
menggigil, dermatitis pada daerah yang
sebelumnya diradiasi

Metotreksat

mual, muntah, diare, demam, anafilaksis

ulserasi oral dan gastrointestinal, depresi sumsum


tulang, toksisitas hati, infiltrat, fibrosis paru,
osteoporosis, konjungtivitis, kebotakan,
depigmentasi, disfungsi haid, ensefalopati

Vinkristin

reaksi lokal pada ekstravasasi

neuropati perifer, kebotakan, depresi sumsum


tulang ringan, konstipasi ,ileus paralitik,nyeri
rahang,gangguan sekresi ADH

Fluorourasil

mual,muntah,diare,reaksi
hipersensitivitas

ulkus oral dan gastrointestinal, depresi sumsum


tulang, diare,kerusakan saraf (otak kecil),aritmia
jantung, angina pektoris, kebotakan,
hiperpigmentasi, eritrodisplasia konjungtivitis, gagal
jantung

muntah, mual, reaksi anafilaksis

kerusakan ginjal,ototoksisitas,depresisumsum
tulang, hemolisis, hipomagnesemia, neuropati
perifer, hipokalsemia, hipokalemia, penyakit
Raynaud, sterilitas, teratogenesis

mual, muntah, nekrosis jaringan, demam

depresi sumsum tulang (kumulatif), stomatitis,


kebotakan,toksisitas paru akut, fibrosisparu,
toksisitas hati, toksisitas ginjal, amenorea, sterilitas
sindrom hemolitik-uremia, kalsifikasi kandung
kemih

Sitarabin

mual, muntah, diare, reaksi anafilaktik

depresi sumsum tulang, konjungtivitis,


megaloblastosis, ulserasi ora1,kerusakan
hati,demam, edema paru, neurotoksisitas sentral,
perifer pada
dosis tinggi,rabdomiolisis, pankreatitis (bila
digunakan bersama asparaginase)

Etoposid

mual, muntah, diare, demam, hipotensi,


reaksi alergi

depresi sumsum tulang, kebotakan, neuropati


perifer, mukositis, kerusakan hati pada dosis tinggi

Sisplatin

Mitomisin

Perlu ditekankan bahwa netropenia pada kanker tidak


sama dengan netropenia pads keadaan lain seperti demam
tifoid, malnutrisi dan anemia aplastik. Pada kanker terjadi
produksi sitokin berlebihan yang menekan respons imun
tubuh.
Infeksi yang acapkali terdapat pada granulopenia amat
luas mulai dari ginggivitis, faringitis, esofagitis, pneumonia, furunkulosis, karbunkel, infeksi perianal dll.
Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dapat berupa
bakteri, virus, jamur, atau protozoa.

Gangguan respons imun telah terjadi sejak amat dini


pada pasien kanker. Gangguan respons imun pada pasienpasien ini dapat terjadi pada berbagai lapisan respons imun
mulai dari sistem imun yang non spesifik (kulit, muka)
sampai dengan yang paling spesifik (limfosit T dan limfosit
B).
Respons imun spesifik yang berperan dalam upaya
mencegah infeksi adalah respons imun selular dan
humoral. Di samping berperan dalam eradikasi
mikroorganisme, limfosit T juga turut berperan dalam

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

fagositosis oleh makrofag.


Penekanan respons imun tubuh yang terjadi akibat
sitokin yang dikeluarkan sel kanker sejak awal
pertumbuhannya antara lain sebagai berikut, (1) merusak
reseptor CD3 limfosit T, (2) menutup reseptor sel T
(menghambat interaksi sel T dengan.antigen presenting
cells), (3) mengikat FAP (produk sel T sitotoksik) dan
menyebabkan kematian sel T.
Gangguan respons imun telah terjadi sejak amat dini
pada pasien kanker. Gangguan respons imun pada pasienpasien ini dapat terjadi pada berbagai lapisan respons imun
mulai dari sistem imun yang nonspesifik (kulit, muka)
sampai dengan yang paling spesifik (lirqfosit T dan limfosit
B).
Infeksi yang terjadi akibat gangguan respons imun
selular (spesifik) tidak sama dengan granulopenia.
Gangguan limfosit T dapat diakibatkan infeksi bakteri
(misalnya: salmonela, mikobakterium), virus (herpes,
sitomegalo, varisella), jamur (histoplasma, coccidoides),
atau protozoa (toksoplasma, pneumosistis).

lnfeksi oleh Bakteri Gram Negatif


Walaupun hanya 30% sepsis pada pasien neutropenia
disebabkan oleh bakteri gram negatif namun karena infeksi
bakteri gram negatif ini berisiko tinggi menjadi hlminan
(terutama bila disebabkan oleh P.aeroginosa) maka
pengobatan febris netropenia secara empiris memerlukan
antibiotika yang dapat mencakup bakteri gram negatif Bila
netropenia berat danlatau diperkirakan akan berlangsung
lama maka lebih disarankan memakai kombinasi obat betalaktam dengan aminoglikosid daripada monoterapi.
Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan
pengobatan dengan antibiotika tunggal yaitu dengan
seftasidim, sefepim, sefrom, imipenem, meropenem dapat
memberi hasil yang setara dengan pemberian antibiotika
secara kombinasi.
lnfeksi oleh Bakteri Gram Positif
Akhir-akhir ini banyak tulisan melaporakan makin
menurunnya frekuensi infeksi gram negatif dan sebaliknya
main meningkatnya frekuensi oleh bakteri gram positif pada
pasien netropenia terutama Staphylococcus epidermidis
dan berbagai jenis Streptokokus.
Karena Staphylococcus epidermidis acapkali resisten
pada bermacam antibiotika, umumnya diperlukan
vankomisin dan teikoplanin. Walaupun demikian karena
infeksi oleh S.epidermidis biasanya indolen dan
mortalitasnya rendah, pemberian antibiotika dapat ditunda
sampai ada hasil pemeriksaan mikrobiologis. Lain halnya
dengan infeksi oleh streptokokus, dimana mortalitasnya
tinggi sehingga kebanyakan penulis menganjurkan
penggunaan antibiotika empiris secara profilaksis apabila
risiko infeksi streptokokus tinggi.

lnfeksi Jamur
Penyebab infeksi pada 5% febris neutropenia adalah jamur.
Infeksijamur ini bisa dijumpai bersarna-sama dengan infeksi
bakteri. Dalam keadaan demam terjadi infeksi ganda, jamur
dan bakteri, sehingga gejala-gejala akibat infeksi jamur
acapkali menjadi sulit dideteksi.
Infeksijamur akan menunjukkan demam berkepanjangan
setelah infeksi bakteri tereradikasi. Atas dasar itu banyak
pusat menyarankan pemberian amfoterisin-B (amp-B) pada
pasien neutropenia yang demamnya tidak hilang setelah
pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari
tanpa adanya bakterimia. Perlu diingat makin lama demam
bertahan pada pasien neutropenia makin tinggi
kemungkinan terjadinya infeksi jamur.
lnfeksi Virus
Infeksi virus banyak terjadi pada keadaan di mana terdapat
imunosupresi di samping netropenia, misalnya pada
transplantasi sumsum tulang di mana pasca kemoterapi
amat agresif diberikan lagi obat imunosupresi. Walaupun
demikian, ha1 ini berbeda dengan infeksi virus herpes
simpleks, dimana infeksi sering timbul pada keadaan
neutropenia tanpa imunosupresi. Oleh karena itu beberapa
pusat memberikan asiklovir sejak awal pada pasien yang
diperkirakan akan mengalami neutropenia berat untuk
waktu yang lama.
Infeksi dengan virus sitomegalo dan pneumonitis pada
pasien kanker paling sering bermanifestasi sebagai
pneumonitis interstisial difus. Infeksi dengan virus
sitomegalo ini biasanya timbul setelah pasien tidak lagi
berada pada keadaan netropenia namun masih berada pada
keadaan imunosupresi berat.

Dikemoterapi
Terinfeksi
jamur* (%)

RS Cipto
Mangunkusumo
(1989 - 1991)

RS Kanker
Dharmais
(1993 1994)

RS Kanker
Dharmais
(1996 - 1997)

34
11 (32.35%)

45
11 (25%)

35
8 (23%)

'Terutama kandida albikans netropenia berat (tingkat 4): leukosit


< 1000/mm3

Jenis lnfeksi Jamur


Kandidiasis
Aspergillosis
Lain-lain

Persentase
44 - 80 %
20 - 30 %
Jarang

Demam yang disertai gejala panas setelah pasien tidak


lagi berada dalam keadaan neutropenia merupakan indikasi
untuk melakukan lavase bronkus (bronchoalveolar
lavage) dan pemerikaan terhadap Pneumocystis carinii
dan virus sitomegalo.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Bila ditemukan infeksi paru dihs pada pasien defisiensi
imun maka virus sitomegalo dan Pcarinii hams dieradikasi
dengan menggunakan gansiklovir bersama-sama dengan
kotrimoksasol.

DEMAM PADA KANKER


Pada beberapa jenis kanker, demam dapat disebabkan oleh
kanker itu sendiri. Kanker yang acapkali disertai demam
yang disebabkan oleh metabolisme kanker itu sendiri (noninfeksi) antara lain limfoma (69%), leukemia (17%), dan
kanker payudara (+50%). Pada kanker lain keadaan semacam
ini relatifjarang terjadi. Kanker yang jarang disertai demam
akibat metabolisme sel kankemya sendiri antara lain kanker
paru dan melanoma maligna. Demam kanker biasanya
dijumpai pada stadium lanjut dan pada kanker yang agresif.
Beberapa penelitian memperkirakan sitokin, antara lain
interleukin 1 (IL- I), sebagai penyebab demam.
Kadang-kadang sukar untuk membedakan apakah
demam disebabkan oleh sel kanker itu sendiri atau oleh
infeksi. Beberapa gejala dapat digunakan untuk
membedakan kedua jenis demam ini. Demam akibat infeksi
pada pasien kanker umumnya toksis, menggigil, takikardi,
kadang-kadang hipotensi sampai dengan syok. Pasien
dengan demam kanker biasanya tidak disertai menggigil
maupun takikardi, bahkan acapkali pasien tidak merasa sakit
bahkan tidak sadar akan adanya demam. Demam kanker
biasanya bersifat intermiten sebaliknya sementara infeksi
biasanya tidak.
Karena acapkali sulit untuk membedakan demam infeksi
dengan demam kanker maka disarankan untuk memberikan
obat anti inflamasi untuk membedakan kedua keadaan ini.
Dalam keadaan ini dapat diberikan indometasin atau
naproksen yang biasanya dapat menurunkan suhu pada
demam kanker dalam 12jam, sedang demam infeksi tidak
akan turun dengan obat ini.

Demam Berkepanjangan pada Kanker


Di samping demam kanker dan demam infeksi, kadangkadang dijumpai demam berkepanjangan setelah neutropenia diatasi dan tidak hilang dengan antibiotika. Keadaan
semacam ini biasanya disebabkan oleh infeksi jamur. Infeksi
jamur dapat terjadi pada hati, ginjal, organ intraabdomen,
maupun dalam paru. Pemeriksaan CT scan akan amat
bermanfaat. Biasanya akan terlihat abses kecil pada hati
hingga infiltrat pada paru-paru.
Hal lain yang dapat menyebabkan demam dalam
keadaaan lekosit telah normal adalah infeksi oleh virus
(CMV) atau protozoa. Dalam ha1 seperti ini, terutama bila
dijumpai gambar infiltrat pada paru dapat diberikan
gansiklovir bersama dengan kotrimoksazol.

MASALAH NUTRlSl PADA PASIEN KANKER

Malnutrisi adalah ha1 yang hampir selalu ditemukan pada


pasien kanker, bahkan acapkali dipandang sebagai salah
satu tanda penting kanker. Setiap ada penurunan berat
yang mencolok penyakit yang perlu diingat antara lain
kanker. Defisiensi gizi yang paling sering ditemukan pada
pasien kanker adalah defisiensi protein dan kalori dengan
manifestasi mengecilnya massa otot. Literatur
menunjukkan bahwa malnutrisi mempunyai dampak b u d
terhadap fungsi imunitas tubuh serta menurunkan toleransi
pasien terhadap sitostatika, radiasi dan bedah.
Adanya bukti yang menunjukkan bahwa terdapat
korelasi antara gizi yang buruk dengan respons terhadap
pengobatan dan harapan hidup menyebabkan
dilakukannya berbagai upaya agresif untuk memperbaiki
gizi pasien. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
kebutuhan energi dan nitrogen dari tumor pasien jauh lebih
kecil dan ha1 tersebut tidak sesuai dengan penurunan berat
badan pasien. Kakeksia yang terjadi tidak dapat
diterangkan oleh penggunaan energi untuk metabolisme
tumor. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya
berbagai zat dalam darah pasien yang berperan dalam
penurunan berat si sakit.
Sindrom kakeksia kanker adalah suatu keadaan yang
ditandai gejala penurunan berat badan, anoreksia, dan
mengecilnya massa otot.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa tak ada
hubungan yang konsisten antara berat ringannya sindrom
kakeksia kanker dengan stadium penyakit, lamanya sakit
maupun jenis histologi.
Penyebab kakeksia pada kanker masih belurn jelas benar
namun pasti multifaktorial. Penyebab kakeksia pada kanker
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (a)anoreksia karena
keganasan, (b) anoreksia karena pengobatan, dan
(c)gangguan metabolisme tubuh.
Selain mempengaruhi hasil pengobatan, malnutrisi dan
kaheksia tidak jarang menyebabkan kematian pasien
kanker. Penurunan berat badan sebelum pengobatan
dimulai terjadi pada 31-40% pasien kanker payudara,
leukemia akut nonlimfoblastik, sarkoma, dan penyakit
Hodgkin; 48-61% pada pasien kanker kolon, prostat, dan
paru; dan 83-89% pada pasien kanker pankreas dan
lambung. Karena pengobatan dengan sitostatika dan
radioterapi akan mengurangi nafsu makan, bila tidak
ditanggulangi dengan baik, gizi pasien akan menjadi lebih
buruk lagi selama pengobatan.
Penyebab kurang gizi pada pasien kanker dapat dibagi
atas tiga kelompok, yaitu: (1)rendahnya nutrisi yang
dikonsumsi pasien, (2) konsumsi bahan nutrisi oleh sel
kanker, dan (3) gangguan metabolisme akibat kanker.
Gangguan metabolisme yang diakibatkan oleh kanker tidak
sama dengan akibat kelaparan seperti terlihat pada tabel 8.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ANOREKSIA KANKER

Kelaparan

Kanker Laniut
-

Metabolisme basal
Mediator
Ureagenesis hati
Balans nitrogen negatif
Glukoneogenesis
Proteolisis otot
Sintesis protein hati

normal atau 1

normal atau 1

+
+
+
+

+++

+++

+++
+++
+++

+++

Gizi yang kurang antara lain disebabkan oleh anoreksia,


gangguan fungsi traktus gastrointestinal dan kebutuhan
yang meningkat. Anoreksia dapat disebabkan oleh
gangguan fungsi mengecap dan mencium maupun
gangguan fungsi susunan saraf pusat.
Tumor dapat mempengaruhi metabolisme tubuh.
Beberapa jenis tumor memproduksi hormon yang
menyebabkan hipoglikemia. Pasien kanker kurang mampu
untuk menggunakan lemak sebagai sumber energi. Tabel
9 menunjukkan bahwa tumor yang beratnya lebih dari 1
kg mengkonsumsi kira-kira 34% dari seluruh asupan
makanan.
Walaupun etiologi kakeksia kanker belum diketahui
benar namun banyak data menunjukkan peranan berbagai
sitokin terhadap terjadinya kakeksia kanker. Penemuanpenemuan ini mambantu upaya mencari jawaban mengapa
begitu sulit menaikkan berat badan pasien dengan kaheksia
kanker walaupun dengan pemberian nutrisi yang agresif
sekalipun.
Penelitian membuktikan bahwa pasien tanpa penurunan
berat badan memiliki harapan hidup lebih baik daripada
pasien dengan penurunan berat badan yang diobati
dengan pengobatan yang sama.
Seperti telah dikemukakan, berbagai laporan
menunjukkan bahwa pemberian nutrisi agresif paling
banyak hanya meningkatkan kadar air dan lemak pada
tubuh pasien kanker. Hebatnya penurunan berat badan
yang dapat disebabkan oleh sel kanker yang nota bene
beratnya amat jarang melebihi 1-2% dari berat badan pasien
menunjukkan adanya peran berbagai senyawa dalam
plasma yang berperan terhadap terjadinya kaheksia
tersebut.

Ukuran
Tumor

% Berat Badan*

100 g
500 g
1 kg
1 3 kg
BB = 60 kg
A. 1200 kalorilhari
B. 2800 kalorilhari

0.1 %
0.8 %
1.6 %
2,5 %

% Asupan MakananlHari
A
B
3,4
17,O
34,O
51 ,O

1,45
7,3
14,5
21,9

Walaupun anoreksia hampir selalu dijumpai pada kanker


stadium lanjut, namun keadaan anoreksia juga acapkali
ditemukan pada stadium dini. Anoreksia kanker tidak hanya
ditemukan pada kanker saluran cerna namun juga pada
kanker dari organ yang jauh letaknya dari saluran cerna.
Mekanisme terjadinya belum jelas benar. Beberapa
kemungkinan yang dipikirkan sebagai penyebabnya,
antara lain (1)efek lokal dari tumor, (2)gangguan pada cita
rasa, (3)gangguan fungsi hipotalamus, dan (4)efek dari
pengobatan

ANOREKSIAAKIBAT PENGOBATAN
Anoreksia akibat sitostatika telah lama dikenal. Selain
anoreksia, sitostatika juga menyebabkan muntah
stomatitis dan gangguan fungsi saluran cerna, yang antara
lain disebabkan atrofi mukosa saluran cerna. Radiasi
menyebabkan atrofi mukosa mulut yang kemudian
menyebabkan hilangnya fungsi pengecap mulut.
Demam pada paslen kanker non-netropenla

Obat
dan
transfusi
Kultur darah + bahan
lainnya += evaluasi
penyebab demam.
Bila sepsis antibiotik
spektrum luas. Bila
tidak sepsis "waif & see"
+ obat kanker

* FUO : Febris of unknown origin

CT scan
bila perlu
beri obat
anti jamur
+ gansiklovir
+ kotrimoksasd

BAL : Bmncho- alveolar lavage

Gambar 1. Algoritrne penatalaksanaan dernam pada pasien


kanker

KAKEKSIA AKlBAT GANGGUAN


METABOLISME TUBUH
Kaheksia kanker memiliki tanda-tanda khusus (Tabel 8).
Penelitian pada 200 pasien kanker dengan malnutrisi
melaporkan bahwa metabolisme tubuh yang normal,
menurun, dan meningkat didapat pada masing-masing 4 1 %,
33%, dan 25% pasien. Peneliti tersebut menemukan bahwa
penurunan berat badan tetap terjadi walaupun metabolisme
basalnya normal. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme protein meningkat 50% pada pasien kanker
walaupun tak ada perubahan pada pemakaian energi basal.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Metabolisme glukosa pada pasien kanker abnormal.
Beberapa peneliti dapat menunjukkan bahwa
glukoneogenesis meningkat pada pasien dengan kanker.
Pasien dengan tumor yang besar bahkan tidak mampu
menekan glukoneogenesis pada pasien kanker yang
mendapat infus glukosa; keadaan seperti yang biasa
terlihat pada pasien dengan resistensi insulin. Mungkin
reseptor P-pankreas menjadi kurang sensitif terhadap
rangsangan ringan untuk memproduksi insulin. Karena
insulin berperan penting dalam anabolisme jaringan maka
keadaan yang dikemukakan tersebut memegang peranan
paling penting dalam proses terjadinya pengecilan massa
otot pasien.
Berbagai laporan menunjukkan berbagai sitokin dan
polipeptida yang terbentuk dalam tubuh pasien kanker
berperan penting terhadap berbagai gangguan
metabolisme yang terjadi, yaitu (1) anoreksia, (2) stimulasi
metabolisme basal, (3) stimulasi konsumsi glukosa, (4)
mobilisasi cadangan lemak dan cadangan protein, (5)
penurunan aktivitas enzim adipocyte lipoprotein, (6)
meningkatkan pelepasan asam amino otot, dan
(7)meningkatkan aktivitas transportasi asam amino hati.
Sitokin yang berperan dalam terjadinya gangguan
metabolisme pasien kanker adalah antara lain Tumor
Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL). Penelitian
menunjukkan bahwa berbagai sitokin tersebut tidak hanya
diproduksi oleh sel-sel yang berperan dalam respons
imunitas tubuh namun juga oleh sel-sel kanker tersebut
(autokrin).
Percobaan binatang yang disuntik dengan TNF
menunjukkan bahwa TNF dapat menimbulkan hiperglikemia
dalam waktu satu jam setelah penyuntikan. Kenaikan
glukosa darah ini ternyata disertai dengan kenaikan kadar
glukagon, ACTH, kortikosteron dan epinefrin. Percobaan
lain yaitu dengan cara inkubasi sel adenokortikol dengan
TNF ternyata dapat merangsang sekresi kortisol seperti
ACTH.
Berbagai percobaan telah membuktikan bahwa IL-1
dapat menyebabkan hiperglikemia seperti TNE Peneliti lain
dapat menunjukkan bahwa bersama dengan keadaan
hiperglikemia tersebut terjadi konsumsi glukosa berlebihan
oleh otot. Penyuntikan IL-lb merangsang sekresi insulin
oleh sel-sel Langerhans.
Penyuntikan TNF pada binatang percobaan yang
terpapar dengan 2-deoksiglukosa mengakibatkan uptake
glukosa meningkat 80-100% pada hati, limpa dan ginjal.
Uptake di kulit meningkat 60%, paru-paru 30-40 %, ileus
30-40%, dan diafragma 150% (tertinggi). Sedangkan pada
otot dan kulit tak ada kenaikan uptake glukosa.

GANGGUAN METABOLISME PROTEIN


Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efek
sitokin terhadap metabolisme protein otot pada pasien

Substrat
Air

Lemak

Karbohidrat
Protein

Parameter Klinis
Cairan tubuh
Balans energi
Energi cadangan
Massa lemak tubuh
Aktivitas LPL
Penghancuran lemak
Kadar lipid serum
Glokuneogenesis
Resistensi terhadap insulin
Konsumsi glukosa
Massa otot
Proteolisis otot
Pelepasan asam amino otot
Sintesis protein hati
Transportasi asam amino
hepat
Balans nitrogen

meningkat
negatif
berkurang
berkurang
meningkat
meningkat
meningkat
meningkat
ada
meningkat
mengecil
meningkat
meningkat
meningkat
meningkat
negatif

kanker dan menunjukkan bahwa penyuntikan TNF dan IL1 pada binatang percobaan akan menyebabkan degradasi
protein otot. Sungguhpun demikian penelitian lain
menunjukkan bahwa penggunaan antibodi untuk
menghambat kerja IL- 1 tidak menghambat degradasi protein otot.
Hal tersebut menimbulkan pemikiran adanya mediator
lain yang berperan dalam cara kerja sitokin. TNF tidakl
kurang mempengaruhi metabolisme, TNF hanya
meningkatkan degradasi oleh kortikosteroid, yang
dirangsang produksinya oleh TNF. Para peneliti telah
menunjukkan bahwa TNF meningkatkan transportasi asam
amino hati. Para peneliti telah dapat pula menunjukkan
bahwa antibodi anti TNF dapat mengurangi transportasi
asam amino hati. Interleukin-b bersama-sama
glukokortikoid juga dapat menghambat transportasi asam
amino hati.
Glutamin adalah asam amino yang paling banyak
diselidiki pada pasien kanker. Hal ini disebabkan oleh
karena (a) glutamin adalah sumber energi utama pada
berbagai kanker, (b) glutamin adalah asam amino manusia
yang paling banyak jumlahnya dan bentuk cadangannya
amat labil, (c) glutamin adalah asam amino yang paling
banyak digunakan pada mitokondria sel kanker.
Konsumsi glutamin oleh jaringan kanker dapat
mencapai 50% atau lebih. Jumlah ini lebih besar dari
konsumsi organ tubuh yang manapun. Kadar glutamin
yang rendah dapat merupakan mediator poliolisis dalam
tubuh.
Kadar glutamin terus menurun walaupun sebaliknya
pelepasan glutamin oleh otot makin meningkat. Penelitian
pada binatang percobaan yang menderita sarkoma
methylcholantherene menunjukkan (a) penggunaan
glutamin oleh jaringan yang melebihi pelepasan glutamin
oleh otot (b) adanya peningkatan penggunaan glutamin
oleh hati (c) di samping penggunaan oleh sel tumor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN METABOLISME LEMAK

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya


cadangan lemak pada pasien kanker diakibatkan oleh
kemampuan TNF dan IL- 1 memobilisasi cadangan lemak.
Penyuntikan TNF pada binatang percobaan
mengakibatkan kenaikan lemak trigliserid dalam waktu 2
jam. Penyuntikan IL-b dan TNF menurunkan aktivitas
enzim lipoprotein lipase jaringan adiposa.
Berbagai percobaan juga menunjukkan kenaikan kadar
trigliserid setelah injeksi TNF disebabkan oleh stimulasi
sekresi lipid oleh jaringan lemak.

PEMBERIAN NUTRlSl SUPORTIF PADA


PASIEN KANKER
Ada beberapa kriteria yang dipakai sebagai landasan
pengobatan nutrisi suportif pada pasien kanker, antara lain:
bila pasien tidak marnpu untuk mengkonsumsi 1000
kalori sehari,
bila terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat
badan pasien sebelum sakit,
kadar albumin serum kurang dari 3,5 g%,
kadar transferin serum menurun,
ada tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh.
Kebutuhan kalori pada seorang pasien dapat dihitung
sebagaimana akan diterangkan kemudian. Nutrisi suportif
ini dapat diberikan secara enteral atau parenteral
bergantung pada keadaan pasien. Kebutuhan kalori
seorang pasien kanker adalah kebutuhan kalori basal
ditambah 30-60% kalori basal.
Kalori basal :
Laki-laki 27-30 kaVkg BB idealkari
*. Perempuan 23-26 kalkg BB idealhari
Kalori tarnbahan :
Aktivitas sehari-hari: 10%-30% kalori basal
Keadaan hiperkatabolik:
- ukuran tumor; 0-7% kalori basal
- infeksi, sepsis; 10-15% kalori basal
Kebutuhan protein adalah 0,6-0,s grkg berat badan ideal
per hari. Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh
diperlukan tambahan 0,5 per kg berat badan ideal per hari.
Pengobatan nutrisi suportif dapat diberikan dengan dua
cara, yaitu:
enteral melalui saluran cerna
parenteral melalui pembuluh darah balik
Apabila tidak terdapat gangguan faal absorpsi
makanan dalam saluran cerna, maka disarankan untuk
memberikan bahan nutrisi melalui saluran cerna. Bila tidak
mungkin memberikan bahan makanan langsung melalui
mulut, maka dapat digunakan pipa gastrostomi atau
jejunostomi.

Pada pasien kanker acapkali terdapat gangguan


absorpsi bahan nucrisi sehingga harus diberikan nutrisi
parenteral. Bahan makanan langsung dimasukkan ke aliran
pembuluh darah balik melalui kateter. Karena bahan nutrisi
dapat menyebabkan iritasi pada dinding pembuluh darah
vena, maka apabila diperlukan pemberian nutrisi parenteral
untuk jangka panjang atau berulang-ulang, cairan nutrisi
hams dimasukkan ke dalam pembuluh vena yang cukup
besar. Pada umurnnya dipilih vena subklavia sebagai tempat
masuknya kateter.
Berbagai penelitian menganjurkan untuk tetap berusaha
memberikan makanan melalui saluran cerna. Dengan kata
lain pemberian makan melalui saluran cerna tetap
merupakan prioritas utama pada pasien kanker. Hal ini
disebabkan alasan sebagai berikut : (1). memelihara saluran
cerna, (2).memelihara aktivitas fisik dan enzim saluran cerna,
(3).mempertahankan peranan sistim imunitas saluran cerna,
(4). mempertahankan fungsi mukosa sebagai barier, (5).
memelihara keutuhan keseimbangan flora usus, (6).
meningkatkan hasil pengobatan kemoterapi dan radioterapi

Nyeri Kanker umumnya merupakan nyeri kronik.


Penatalaksanaan nyeri kanker agak berbeda dengan nyeri
lain, memerlukan pengetahuan yang perlu dipelajari dengan
baik, yang meliputi penilaian patofisiologi nyeri, pemakaian
obat yang sesuai dengan tingkatan nyeri serta antisipasi
efek samping obat nyeri.

Patofisiologi Nyeri
Secara garis besar dan berhubungan dengan pengobatan
nyeri, nyeri dibagi atas 3 kelompok:
nyeri somatik, termasuk disini nyeri tulang
nyeri viseral, nyeri pada organ dalam seperti hepatoma,
kanker pankreas
nyeri neurogenik, yang berhubungan dengan kerusakan
saraf
Pada kenyataan sehari-hari, sering ditemukan nyeri
tersebut merupakan gabungan dari ketiga ha1 di atas.
Tingkatan Nyeri
Untuk memudahkan dalam penilaian nyeri, maka dibuat
alat bantu untuk menilai nyeri yang sering dipakai adalah
Visual Analog Scale (VAS).
VAS merupakan derajat tingkatan angka dari 1 sampai 10,
dibagi 3 kelompok besar yaitu:
Nyeri ringan, VAS 1-3
Nyeri sedang, VAS 4-6
Nyeri berat, VAS 7- 10
Pembagian ini dibuat, agar memudahkan dalam
menentukan pengobatan nyeri.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1493

PENGOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


10 C M VISUAL ANALOG SCALE (VAS)

~ i d a ada
k
nveri

Nye"
Maksimal

Garnbar 2. Skala penilaian derajat nyeri

Pedoman Pengobatan Nyeri


Pedolnan pengobatan nyeri kanker 4 ang sering digunakan
dan mudah pemakaiannya adalah Step Ladder f i r Puin.
Pedoman ini sangat praktis dan mudah dimengerti,
sehingga Badan Kesehatan Dunia, WHO, menganjurkan
agar pedoman ini dipakai dalam penatalaksanan nyeri
kanker.

Gambar 3. Tiga langkah pengobatan nyeri kanker

membuat
pedotnan
yank! bisa
dipakai untuk mengobati pasien kanker dengan nyeri.
Pedoman ini antara lain, sebagai berikut.
Oral. Sebaiknya obat yang diberikan secara oral, karena
sangat rnemudahkan dan tidak tergantung kepada orang
lain.
Step ladder grridunce Pemberian obat nyeri berdasarkan
pedoman tinggi rendahnya rasa nycri
Aroundtheclock. Pemberian obat nyeri hams tepat waktu,
misalnya setiap 12 jam, tnaka jika pasien tidur pada jam
makan obat, pasien harus dibangunkan, sehingga
pengaturan jam makan obat harus diperhitungkan dengan
jarn tidur pasien.
Individualistik. Pengobatan nyeri disesuaikan dengan
keadaan pasien. Walaupun ada pedo~nanumum, namun
setiap pasien diberlakukan secara individual artinya satu

pasien dengan pasien yang lainnya belum tentu mendapat


cara pengobatan yang sama, setiap pasien mempunyai
kekhasan masing-masing.
Attention to detail. Harus selalu mempertahankan hal-ha1
kecil yang akan mempengaruhi nyeri dan hasil pengobatan.
Penilaian nyeri merupakan dasar utama pengobatan
nyeri kanker. Penilaian ini dilakukan berulang kali sesuai
kondisi saat i tit. Sesuai dengan pedonian WHO, jika derajat
nyeri yang ringan dengan nilai VAS 1-3 maka dapat diberikan
obat golongan asetominofen, dengan dosis maksimal 3
gram per hari.
OAINS. Hal yang sangat menarik akhir-akhir ini adalah
OAINS golongan COX-2 seperti c,elrco.rih di samping
dipakai untuk anti nyeri terutalna nyeri tulang. Obat ini
juga bernianfaat sebagai pencegahanianti kanker yang
bekerja sebagai anti angiogenesis yang sudah dilaporkan
pada kanker pay udara.
Jika lnasih dirasabn nyeri dengan obat di atas atau
dari a%al sudah diketahui derajat nyeri sedang (VAS 4-6),
maka selain obat di atas dapat ditambahkan opioid ringan
sepel-ti kodein. Dosis maksimal yang diberikan 6 kali 30
mg. Akhir-akhir ini sering juga dipakai tramadol namun
laporan untuk pemakaian jangka lama belu~nada, khusus
untuk kanker dosis maksimal600 mglhari.
Jika masih nyeri atau dari awal sudah termasuk nyeri
berat (VAS 7-10), maka diberikan opiod, golongan mortin,
dan seharusnya dalam 24 jam nyeri sudah harus terkendali
dengan baik. Pemberian morfin dapat diberikan dengan
inisial bolus dilanjutkan derigan infils drip dengan dosis
yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Dosis maksimal morfin tidak ada, artinya selarna tidak
ada efek samping yang mengganggu, dosis morfin bisa
dinaikkan. Walaupun tidak ada dosis maksimal morfin,
namun beberapa ha1 yang perlu diperhatikan adalali, setiap
pemberian mortin hari~sdiikuti oleh peniberian laksan,
jangan rnenunggu sampai tilnbul konstipasi, karena akan
menyulitkan dalam penatalaksanaan konstipasi tersebut.
Efek ketergantungan boleh dikatakan tidak ada jika
diberikan sesuai pedoman. Efek rnengantuk sangat
individual.
Morfin yang tersedia di pasaran di Indonesia adalah:
Morfin anipul. Obat ini dberikan untuk nyeri hebat dan
beker-ja cepat, dapat diberikan bol~ispelan (biasanya
2,5 mg)
Morfin rnrn~c~clrtrtc~.
Obat ini diberikan 4-6 kali per hari,
dosis disesuaikan keperluan, biasanya dipakai pada awal
pengobatan rnortin atau setelah infils morfin. Agar
mudah i~ntukpen~aturantitrasi dosis, obat ini bisa
diger~lsatau dibelah.
Rclemcd Tuhlet). Obat ini
MST (hlotphint. Slot~~iiled
bekerja selarna 12 jam, sehingga biasanya diberikan 2
kali per hari, obat ini tidak boleh dibelah atau digerus
karena efek lepas lambatnya akan hilang sementara
harganya relatif inahal.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Fentanil (Transdermal Patch). Obat ini agak berbeda
dengan golongan opioid lain dalam bentuk kemasan, ia
dipakai ditempel pada kulit (patch) clan lama kerja efektif
72 jam. Obat ini dilepaskan secara lambat dan mulai
bekerja setelah 12-17 jam, sehingga dipakai sebagai
terapi pemeliharaan setelah nyeri terkontrol dengan
morfin yang lain. Obat ini biasanya ditempel pada
dinding dada.

berupa ansietas dan depresi. Gangguan ini sering


terabaikan dan perhatian terhadap ha1 ini sering baru
dibicarakan jika sudah ada gejala psikis yang sangat berat
untuk menerima kondisi ini. Sesuai dengan prinsip umum
bahwa pengobatan kanker adalahn multidisiplin,
sebaiknya penatalaksanaan masalah ini bekerja sama
dengan psikiater atau ahli psikosomatik.

MASALAH NEUROLOGIK
MASALAH PERDARAHAN DAN KOAGULASI
Masalah perdarahan merupakan masalah yang cukup
merepotkan pada kanker, selain karena pertumbuhan sel
kanker yang berupa ulseratif atau eksfoliatif yang mudah
berdarah pada permukaan, juga sering didapatkan
perdarahan di saluran cerna dan keganasan lain yang
memerlukan transhsi darah.
Kanker yang banyak disertai trombosis adalah antara
lain pankreas, lambung, usus, ovarium, payudara, dan paru.
Masalah koagulasi akhir-akhir ini berkembang pesat
sekali, hubungan kanker stadium lanjut dengan kanker
terutama yang berhubungan dengan hormop seperti kanker
payudara mempunyai hubungan yang erat, dan tidak
jarang ditemukan gambaran hiperkoagulasi pada
pemeriksaan hemostasis dan sebagian kecil juga dilaporkan
trombosis vena dalam pada beberapa pasien. Koagulasi
intravaskulardiseminata (KID) tidak j arang ditemukan pada
penyakit keganasan dan memerlukan suatu pemeriksaan
yang lebih baik.
Samuel dkk., melaporkan bahwa hiperkoagulasi yang
disertai trombosis banyak ditemukan pada pasien kanker.
Hiperkoagulasi pada pasien kanker merupakan akibat polah
sel kanker maupun sebagai akibat pemberian kemoterapi.
Para peneliti beranggapan bahwa fibrin yang terbentuk
pada keadaan hiperkoagulasi dapat meliputi sel kanker agar
tidak dikenal oleh sistem imun tubuh kita. Di samping itu
penelitian menunjukkan bahwa fibrin dapat merangsang
sel kanker untuk angiogenesis yang diperlukan pada
metastasis. Karena itu pemeriksaan hemostasis harus
dilakukan pada pasien kanker dan pasien yang menderita
hiperkoagulasi perlu mendapat antikoagulan baik oral
(warfarin) atau injeksi (heparin atau heparin berberat
molekul rendah).
Mousa, melaporkan bahwa heparin menghambat angiogenesis dengan mengikat promotor angiogenesis yaitu
Fibroblast Growth Factors dan Vascular Endothelial
Growth Factors.

GANGGUAN PSlKlATRlK
Pada umumnya penyakit kronik yang tidak sembuh akan
mempengaruhi kondisi psikis seseorang, yang dapat

Ada beberapa gangguan neurologik yang cukup


mengganggu seperti plegia, tic facialis, dll. yang
memerlukan penanganan oleh neurolog.

MASALAH ANEMIA DAN DEPRESI SUMSUM


TULANG
Fatigue yang dihubungkan dengan anemia, merupakan
masalah yang mengganggu kualitas hidup pasien.
Pemberian eritropoietin akhir-akhir ini menjadi pilihan
untuk mengatasi ha1 ini. Obat ini tergolong mahal sehingga
pemakaian obat ini hams dipertimbangkan sesuai asas
manfaat.
Anemia amat berpengaruh terhadap hasil pengobatan
pasien kanker. Caro dkk., melaporkan bahwa anemia
meningkatkan risiko kematian pada pasien kanker dengan
peningkatan sebesar 65%. Dampak langsung sel kanker
terhadap terjadinya anemia adalah melalui produksi TNFa dan IL-1 oleh sel kanker. Kedua sitokin tersebut
menyebabkan sumsum tulang menjadi kurang sensitif
terhadap eritropoeitin, sedangkan eritrosit yang terbentuk
mempunyai umur (lifespan) lebih pendek daripada eritrosit
orang normal, ha1 mana menambah risiko anemia pada
pasien kanker. Di samping itu gangguan metabolisme
(metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak) menambah
risiko terjadinya anemia pada pasien kanker.
Dunst dkk., telah melaporkan hubungan anemia pada
pasien kanker dengan kadar VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor). Diperkirakan bahwa hipoksia akibat anemia dapat merangsang produksi VEGF oleh sel endotel.
Sebaliknya VEGF amat diperlukan oleh sel kanker untuk
angiogenesis saat metastasis Oleh karena itu kadar VEGF
acapkali digunakan sebagai tanda agresifitas sel kanker
pasien.
Di samping hal-ha1 di atas, leukopenia dan trombopenia
akibat kanker itu sendiri atau akibat pengobatan dapat
mengakibatkan infeksi fatal dan perdarahan yang dapat
berpengaruh buruk terhadap prognosis dan hasil
pengobatan pasien.
Dampak lain dari anemia yaitu fatigue, nafas pendek,
gangguan keseimbangan, depresi, semuanya amat
berpengaruh terhadap hasil pengobatan. Perlu diingat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENCOBATAN SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


bahwa anemia gravis dapat menyebabkan gaga1 jantung
yang dapat fatal.

MEMPERTAHANKAN INTEGRITAS TULANG

Beberapa jenis kanker misalnya prostat dan payudara


mudah bermetastasis ke tulang. Metastasis ke tulang akan
menyebabkan rasa sakit dan risiko patah tulang. Sel kanker
mengeluarkan berbagai sitokin antara lain IL-6 yang dapat
menyebabkan osteoporosis. Sebaliknya osteoporosis
akan menyebabkan tulang memproduksi TGF-a yang
dapat merangsang pertumbuhan sel tumor, suatu lingkaran
setan. Obat-obat golongan bifosfonat seperti Bonefos,
Aredia, Zometa, Actonel dapat menghambat lingkaran
setan ini. Obat-obat ini perlu disertai bahan-bahan yang
diperlukan untuk pembentukan tulang seperti Ca, Mg, vitamin D. Integritas tulang perlu dievaluasi secara periodik
dengan quantitative computerized tomography bone mineral bone density stud' (QCT). Disarankan pemeriksaan
ini dilakukan sekali setahun.

MENCEGAH DAN MENGHAMBAT ENZlM SIKLOOKSIGENASE (COX-2)

Makanan yang kita makan memegang peranan penting


dalam terjadinya maupun progesivitas penyakit kanker. Hal
ini dipengaruhi oleh jumlah lemak jenuh dan tidak jenuh
jamak yang dikonsumsi dan lemak "berbahaya" yang
diproduksi dalam tubuh. Yang berperan penting adalah
jalur metabolisme asam lemak omega-6 menuju salah satu
jalur, di homo gamma linoleic acid (DGLA) atau asam
arakidonik. Jalur asam arakidonik adalah jalur yang
merugikan tubuh. Enzim yang berperan penting dalam jalur
ini adalah enzim siklooksigenase (COX-2) yang
menghasilkan pembentukan prostaglandin E2 (PGE-2).
Dalam keadaan normal COX-2 dibutuhkan untuk berbagai
metabolisme di otak, ginjal dan respons iman. Bila terdapat
dalam jumlah berlebihan maka COX-2 akan berperan
penting dalam berbagai jalur metabolisme yang
menguntungkan sel kanker yaitu jalur angiogenesis, jalur
proliferasi sel kanker dan pembentukan prostaglandin
berlebihan.
Sheeban dkk., melaporkan bahwa hasil penelitian
epidemiologi selama 9,4 tahun menunjukkan pasien
kanker kolon yang disertai kadar enzim COX-2 tinggi
berada dalam stadium yang lebih lanjut, ukuran tumor
yang lebih besar dan harapan hidup yang lebih pendek.
Knorr, menunjukkan bahwa konsumsi aspirin (inhibitor
COX-2) dapat menurunkan risiko terjadinya kanker
kolon.
Karena itu penggunaan obat anti enzim COX-2 perlu
diupayakan, tentu saja secara tepat guna dan aman.

UPAYA MENEKAN AKTlVlTAS GEN RAS

Protein gen ras memegang peranan penting dalam regulasi


proliferasi sel. Protein gen ras memegang peranan kunci
dalam ha1 integritas penerusan sinyal-sinyal intra sel yang
mengatur siklus sel dan proliferasi sel.
Mutasi dari salah satu dari tiga kelompok gen Ras (HRas, N-Ras, K-Ras) akan mengakibatkan peningkatan
tingkat proliferasi sel. Hal semacam ini ditemukan pada 3040% kanker pada manusia antara lain pankreas, kolon,
tiroid, paru, hati, melanoma, dan leukemia mielositik akut.
Protein Ras berperan sebagai protein yang meneruskan
sinyal-sinyal intra sel dalam alur sinyal yang
memerintahkan sel untuk membelah diri. Apabila ada
rangsangan dari luar pada dinding sel, untuk membelah
diri, maka alur penerusan sinyal ini akan menjadi aktif.
Sebaliknya apabila tidak ada rangsangan maka protein Ras
akan berada pada keadaan non-aktif. Apabila ada mutasi
gen Ras maka protein ekspresi gen abnormal ini akan tetap
berada dalam keadaan aktif. Akibatnya terjadi aktivasi alur
yang abnormal yang memberikan instruksi bermitosis terus
menerus. Agar dapat mengkode protein Ras yang gen Ras
harus mengalami proses maturasi. Proses maturasi ini
terjadi melalui beberapa tahap, yang terpenting adalah
tahap farnesilasi. Enzim yang berperan dalam proses dalam
proses farnesilasi adalah farnesyl transferase. Penelitian
menunjukkan bahwa minyak ikan dan obat penurun
kolesterol (lovastatin, simvastatin, pravastatin)
menurunkan kadar 'yarnesyfated Ras protein".

MASALAH GANGGUAN FAAL GINJAL, HATI


DAN JANTUNG

Pencegahan, deteksi dini, dan, jika ada, penatalaksanaan


terhadap masalah ini dilakukan sebelum setiap kali
pemberian, selama pemberian dan pasca pemberian tiap
siklus kemoterapi dengan cara pemeriksaan laboratorium,
menghindari obat yang toksik terhadap organ tersebut,
serta mengatasi kelainan secepat mungkin bila terjadi.

REFERENSI
Abramowicz M. 1991.Drugs of choice for cancer chemotherapy.
The Medical Letter on Drugs and theurapeutics 33: 21-8.
Adachi 0,Kawsai T, Takeda, et al. 1998. Targeted disruption of the
MyD88 gene results in loss of IL-l and IL-18-medicated
function. Immnunity; 9:143-50.
Bakemeir RF, Qazi R. 1993. Basic concepts of cancer chemotherapy
and principles of medical oncology. In: P, McDonald S, Qazi R,
eds. Clinical oncology: A multidisciplinary approach for physicians and students. 71h ed. Philadelphia: WB Saunders; 105-16.
Balducci L. Estabilshment of guidelines for managing older cancer
patients [online]. Available: http://www.medscape.com/
viewarticle/416482-15 [21 S.021.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGIMEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Body JJ, Lossignol D, Ronson A. 1997. The concept of rehabilitation of cancer patients. Curr Opin Oncol; 9: 332-40.
Body JJ. 1999. The syndrome of anorexia-cachexia. Curr Opin
Oncol; l I: 255-60.
Broaddus VC, Boylan AM, Hoeffel JM, et al. 1994. Neutralization
of 11-8 inhibits neutrophill influx in a rabbit model of endotoxin-induced pleurisy. J Immunol; 152: 2960-7.
Brody JE. 1991. Aspirin linked to aid in colon cancer fight. New
York Times Dec 12, 141(48,812), A12.
Bruera E, Fainsinger RL. 1993. Clinical management of cachexia
and anorexia. In: Doyle D, Hanke G, McDonald N, eds. Oxford
textbook of palliative medicine. Oxford: Oxford University
Press; 330-6.
Cafagna D, Ponte E. 1997. Pulmonary embolism of paraneoplastic
origin. Minerva Med; 88(12): 523-30.
Caro JJ, et al. 2001. Anemia as an independent prognostic factor for
survival in patients with cancer: a systemic, quantitative review. Cancer; 91(12):2214-21.
Caroline NL. 1996. Nutrition and hydration. In: Waller A, Caroline
NL. Handbook of palliative care in cancer. Boston: ButtenvorthHeinemann; 45-57.
Cazzola M. 2000. Mechanisms of anaemia in patients with malignancy: implications for the clinical use of recombinant human
erythropoietin. Med Oncol; 17( Suppl. I): S 1 1-S 16.
Cleton FJ. 1995. Chemotherapy : general aspects. In: Peckham M,
Pinedo H, Veronesi U, eds. Oxford Texbook of Oncology. Oxford: Oxford University Press; 445-53.
DeVita VT Jr. 1993. Principles of chemotherapy. In: DeVita VT Jr,
Hellman S, Rosenberg SA. Cancer : Principles and Practice of
Oncology. 41h ed. Philadelphia: JB Lippincot; 276-92.
Dunst J, et al. 1999. Low hemoglobin is associated with increased
serum levels of vascular endothelial growth factor (VEGF) in
cancer patients. Does anemia stimulate angiogenesis? Strahlenther
Onkol; 175(3): 93-6.
Dworzak F, Ferrari P, Gavazzi C, Malorana C, Bozetti F. 1998.
Effects if cachexias due to cancer on whole body and skeletal
muscle protein turnover. Cancer; 82: 42-7.
Eisenberg E, Borsook D, Le Bel AA. 1996. Pain in the terminally
ill. In: Borsook D, Le Bel AA, Mc Peek B, eds. The Massachussens
General Hospital Handbook of pain management. Boston: Little
Brown and Co; 310-25.
Ewer MS, Benjamin RS. 1993. Cardial toxicity of antineoplatic
therapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds.
Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 447-52.
Foley KM. 1993. Management of cancer pain, supportive care and
the quality of life of the cancer patient. In: De Vita V, Hellman
S, Rosenberg S, eds. Cancer principle and practice of oncology.
4Ih ed, vol 2. Philadelphia: Lippincott; 2417-37.
Freireich EJ. 1993. Principle of combination therapy. In: Cvitkovic
E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication
International; 69-72.
Gibbs JB, Kohl NE, Koblan KS, et al. 1996. Farnesyltransferase
inhibitors and anti-ras therapy. Breast Cancer Res Treat;
38(1):75-83.
Greco M. 1995. Achievements and obstacles to progress in cancer
surgery. In: Peckham M, Pinedo H, Veronesi U, eds. Oxford
Texbook of Oncology. Oxford: Oxford University Press; 865I .

Heber D. 1999. Cancer cachexia and anorexia, In: Heber D, ed.


Nutritional Oncology. 1" ed, San Diego : Academic Press; 53746.

Henshaw EC, Schloerb P. 1993. Nutrition and the cancer patient,


In: Rubin P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A
multidisciplinary approach for physicians and students. 7thed.
Philadelphia: WB Saunders;; 691-9.
Jatoi A, Kumar S, Sloan JA, Nguyen PL. 2000. On appetite and its
loss. J Clin Oncol;l8: 2930-2.
Kramer ZB, Keller JW, Rubin P. 1993. Oncologic emergencies.
In: Rubin P, McDonald S, Qazi R, eds. Clinical oncology: A
multidisciplinary approach for physicians and ~tudents.7'~
ed.
Philadelphia: WB Saunders; 147-58.
Klastersky J. 1993. Prevention and treatment of infections related
to chemotherapy. In: Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury
S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey:
Scientific Communication International; 477-81.
Leonard WJ, Depper JM, Grabutree GR, et al, 1984. Molecular
cloning and expression of cDNAs for the human interleukin-2
receptor. Nature;3 11: 626-3 1.
Lichtman SM. Age-related renal changes [online]. Available: http:/
/www.medscape.com/viewarticle/4
16482-2 [2 1.5.021.
Lichtman SM. Age-related toxicity of chemotherapy [online]. Available: http://www.medscape.com/viewarticle/416482-3 [2 1.5.021.
Lichtman SM. Age-related toxicity of chemotherapy in women
with breast cancer [online]. Available: http://www.medscape.com/
viewarticle/416482-7 [21.5.02].
Lichtman SM. Managing cardiotoxicity related to chemotherapy
[online]. Available: http:llwww.medscape.com/viewarticle/
416482-6 [21.5.02].
Lichtman SM. Managing mucositis related to chemotherapy [online].
Available: http://www.medscape.corn/viewarticle/416482~5
[21.5.02].
Lichtman SM. Managing neutropenia related to chemotherapy
[online]. Available: http:llwww.medscape.com/viewarticle/
41 6482-4 [21.5.02].
Lichtman SM. Prevention of age-related toxicity [online]. Available: http://www.medscape.com/viewarticle/4164825 [21.5.02].
Marks DL, Ling N, Cone RD. 2001. Role of the central melanocortin
system in cachexia. Cancer Res; 61: 1432-8.
Mosmann TR, Sad S. 1996. The expanding universe of T-cell subsets: T h l , Th2 and more. lmmunol Today;I 7: 138-46.
Mousa SA, 2002. Anticoagulants in thrombosis and cancer: the
missing link. Semin Thromb Hemost; 28(1):45-52.
Muegge K, Williams TM, Kant J, et al. 1989. Interleukin-l
costimulatory activity on the interleukin-2 promoter via AP1. Science; 246:249-5 1.
Murphy PM, Tiffany HL. 1991. Cloning of complementary DNA
encoding a functional human interleukin-8 receptor. Science;
253:1280-3.
Noonvati S, Reskodiputro AH. 2003. Peran nutrisi pada keganasan.
Simposium HUT RS Kanker Dharmais. Jakarta
Prema P, Peethambaran, Charles L. 1997. Management of cancer
anorexia and cachexia in supportive care. In: Klastersky J.
Cancer-A handbook for oncologist, 2" ed, New York: Marcel
Dekker Inc; 297-304.
Puccio M, Nathanson L. 1997. The cancer cachexia syndrome.
Semin Oncol; 24(3): 277-87.
Reksodiputro AH, Atmakusuma D, Prayogo N, Susilowati I, Dunda
G 1999. Pengobatan suportif pada pasien kanker. Seminar Upaya
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular dalam Menyongsong
Milenium Ketiga, Jakarta. 4 November.
Reksodiputro AH, Prayogo N, Susilowati I, Dunda G, Atmakusuma
D. 1999. Pengobatan suportif pada pasien kanker. Seminar Tim
Penanggulangan Kanker RS Pelni. Jakarta. 20 November.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1497

PENGOBATAN SUPORTIFPADA PASIEN KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Reksodiputro AH, Sutandio N, Nafrialdi, Yunihastuti E. 2001.
Beberapa aspek pengobatan suportif pada pasien kanker.
Prosiding Pertemuan llmiah Tahunan 2001 IPD FKUI. Jakarta.
Richard A, Jeffrey N. Pathophysiology of cancer cachexia. In: Doyle
D, Hanke G, McDonald N, eds. Oxford textbook of palliative
medicine. Oxford: Oxford University Press; 316-27.
Rosenbaum EH, Rosenbaum I, Andrews A, Spiegel D. 2005. Fifth
dimension cancer supportive care [online]. Available: http:/l
www.cancersupportivecare.com/5index.html [accessed 16.3.051.
Rosenberg SA. 1993. Principles of surgical oncology. In: DeVita VT
Jr, Hellman S, Rosenberg SA. Cancer : Principles and Practice
of Oncology. 4Ih ed. Philadelphia: JB Lippincot: 238-47.
Rougier. 1993. Regional and intracavitary chemotherapy. In:
Cvitkovic E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of
chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication International; 140-82.
Rufie P. 1993. Pulmonary toxicity of antineoplatic agents. Cvitkovic
E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication
International; 453-9.
Schmid J, Weismann C. 1987. Induction of mRNA for a serine
protease and a beta-thromboglobulin-like protein in mitogenstimulated human leukocytes. J Immunol; 139:250-6.
Schroder JM, Mrowietz U, Morita E, Christophers E. 1987. Purification and partial biochemical characterization of human monocyte-derived, neutrophil-activating peptide that lacks
interleukin-l activity. J Immunol; 139: 3474-83.
Sears B. 1995. The zone: a dietary road map. New York: Harper
Collins.
Sekido N, Mukaida N, Harada A, et al. 1993. Prevention of luna
reperfusion injury in rabbits by a monoclonal antibody against
interleukin-8. Nature; 365: 654-7.
Sheehan K, Sheahan K, O'Donoghue DP, et al. 1999. The relationship between cyclooxygenase-2-expression and colorectal
cancer. JAMA;282(13): 1254-7.

Shornick LP, De Togni P, Mariathasan S, et al. 1993. Mice deficient


in IL-l beta manifest impaired contact hypersensitivity to
trinitrochlorobenzene. J Exp Med; 183: 1427-36.
Smith JW, Longo DL, Alvord WG, et al. 1993. The effects of
treatment with interleukin-l alpha on platelet recovery after
high-dose carboplatin. N Engl J Med; 328: 756-61.
Souba WW. 1997. Nutritional Support. In: DeVita VT Jr, Hellman S,
Rosenberg SA, eds. Cancer principles & practice of oncology.
5Ih ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 2841-57.
Taniguchi T, Matsui H, Fujita T, et al. 1983. Structure and expression of a cloned cDNA for human interleukin-2. Nature;302-5
Tayek JA, 1999. Nutritional and biochemical aspects of the cancer
patient. In: Heber D, Blackbum GL, Go VLW, eds. Nutritional
Oncology. 1" ed, San Diego: Academic Press; 519-36.
Tisdale MJ.1997. Biology of cachexia. J Natl Cancer Inst; 89: 17631773.
Vincent P, Schonwetter RS. 2001. Assessment and management of
pain in palliative care patients. Cancer Control, JMCC8 (1):1524. Moffit Cancer Center & Research Institute).
Von Hoff DD, Hanauskel AR. 1993. Medical Oncology. In: Cvitkovic
E, Droz JP, Armand JP, Khoury S, eds. Handbook of chemotherapy in clinical oncology. Jersey: Scientific Communication
International; 89-90.
Walz A, Paveri P, Aschauer H, Baggiolini M. 1987. Purification and
amino acid sequencing of NAF, a novel neutrophil-activating
factor produced by monocytes. Biochem Biophys Res Commun;
149: 755-61
Wang JM, Su S, Gong W, Oppenheim JJ. 1998. Chemokines, receptors, and their role in cardiovascular pathology. Int J Clin Lab
Res; 28:83-90.
World Health Organization (WHO). 1998. Cancer pain relief and
palliative care. In:. Manual on the prevention and control of
common cancers. Manila: WHO Regional Pub; 125-75.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER


Dody Ranuhardy

PENDAHULUAN
Neutropeni Febril atau demam neutropeni merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker yang
sedang menjalani pengobatan kemoterapi dan dapat
memberikan dampak kematian yang sangat besar bagi
pasien apabila tidak tertatalaksana dengan baik. Infeksi
yang terjadi dapat menyebabkan pasien jatuh ke dalam
sepsis, syok septik, dan akhirnya meninggal.
Tahun 1969National Cancer Institute USA melaporkan
kematian 50% pasien yang mengalami bakteremia
Pseudomonas aeruginosa karena keterlambatan
pengobatan, fokal infeksi yang tidak terdeteksi, maupun
antibiotik yang tidak akurat.
Konsep yang dianut pada saat itu adalah tidak
memberikan antibiotik sarnpai terbukti bahwa infeksi benarbenar terjadi, demam saja tidaklah cukup. Tetapi dengan
adanya laporan di atas menjadi jelas bahwa sebenarnya
tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi
untuk segera memulai pengobatan secara cepat dan akurat
yakni dengan memberikan pengobatan empirik.
Pada penelitian 33 pasien kanker yang mengalami sepsis di RSCM dan RS Kanker Dharmais didapatkan 54%
meninggal, sebagian besar karena infeksi bakteri gram
negatif (55,26%), gram positif (39,47%) dan jamur (5,26%).
Kemajuan tatalaksana demam neutropeni akan sangat
berpengaruh terhadap kematian yang ditimbulkannya.
Pada penelitian 3080 pasien Neutropeni Febril yang
dilakukan oleh EORTC (European Organization for Research and Treatment of Cancer) dan IATCG (International Antimicrobial Therapy Cooperative Group) tahun
1997 didapatkan angka mortalitas sebesar 8,7%.
Di Indonesia, belum ada data nasional besarnya angka
kematian demam neutropeni sementara di RS Kanker
Dharmais antara tahun 1999/2000/2002 bervariasi antara
12,5%-38,8 %.

Perbedaan angka kematian tersebut dimungkinkan oleh


karena belum tersosialisasikannya strategi baku diagnosis dan tatalaksana demam neutropeni di Indonesia. Selain
itu kondisi lingkungan, pola infeksi, keterbatasan fasilitas
laboratorium dan dana merupakan kendala yang sangat
berpengaruh terhadap perbedaan angka kematian tersebut.

Meninggal
Hidup

Jan Mar
1999

Mei Juli
2000

Jan Des
2002

N
1
7

N
2
7

N
7
11

%
12,5

87,5

%
22,2
77,8

%
38,8
61,2

Catatan :
: 37 pasien
Jumlah Pasien RllM 2002
Dapat dievaluasi
: 18 pasien
Tak Dapat dievaluasi : 19 pasien (bukan netropeni, data tak lengkap,
dsb)

DEFlNlSl DEMAM NEUTROPENI


Demam adalah suhu oral >38"C dua kali pengukuran yang
berlangsung lebih dari 1jam atau pada dua kali pengukuran
dalam waktu 12jam, atau suhu oral >38,3"C dalam satu kali
pengukuran dan tidak didapatkan tanda-tanda non infeksi.
Neutropeni adalahjumlah neutrofil (batang dan segmen)
kurang dari 500 sel/mm3 dengan kecenderungan turun
menuju 500 sel/mm3dalam 2 hari berikutnya.
Demam tak dapat diterangkan yakni demam yang tidak
disertai tanda klinis infeksi atau tidak ditemukannya infeksi
secara mikrobiologis.
Demam klinis terbukti infeksi yakni demam dan
didapatkan tanda klinis infeksi seperti pneumonia, infeksi
kulit atau jaringan lunak, tetapi secara mikrobiologis tidak
ditemukan patogen.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1499

NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Infeksi terbukti secara mikrobiologi dengan atau tanpa


bakteremia, yakni ditemukannya bakteri pathogen pada
tempat infeksi atau ditemukannya bakteri patogen pada
kultur darah walaupun pada lokasi infeksi tidak ditemukan.
Pengambilan kultur haruslah dapat diyakini dan dipercaya
korelasinya.

Pasien dengan kanker akan lebih mudah mendapatkan


infeksi dibandingkan dengan non-kanker. Demikian halnya
dengan pasien kanker darah akan lebih mudah dan lebih
sering mengalami infeksi dibandingkan dengan pasien
kanker solid.
Pada pasien kanker terutama kanker darah, anemia
aplastik dan pasien yang mendapatkan imunosupresan
setelah transplantasi sumsum tulang akan mengalami
neutropeni yang berkepanjangan, defek pada fagositosis,
gangguan sistim imun seluler dan atau humoral. Semua ini
akan berdampak pada lebih tingginya kejadian infeksi dan
lebih luasnya spektrum infeksi yang terjadi, serta terhadap
hasil pengobatan secara keseluruhan.
Pada kanker padat, penekanan terhadap sistim imun
tidaklah terlalu bermakna tetapi lebih ditekankan pada
kerusakan barier anatomik seperti kulit, permukaan
mukosa, fenomena obstruksi (misalnya kanker paru-paru,
kanker traktus bilier), tindakan operasi, radiasi,
penggunaan kateter, prostesis. Walaupun neutropeni
akibat kemoterapi terjadi pula kepada pasien kanker padat,
biasanya hanya berlangsung singkat dan tidak seperti pada
kanker darah sehingga risiko dan kejadian infeksi lebih
sedikit dibandingkan dengan kanker darah.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya infeksi pada
pasien kanker adalah sebagai berikut:
Neutropenia.Berhubungan dengan pemberian kemoterapi,
radiasi, infiltrasi sumsum tulang serta obat-obatan
(misalnya ganciclovir). Tidak seperti pada kanker darah,
pada kanker solid biasanya fungsi-fungsi netrofil masih
normal dan pemberian kemoterapi konvensional jarang
mengakibatkan neutropeni yang berat, dan berlangsung
kurang dari 1 minggu, oleh karena itu biasanya digolongkan
dalam low risk.
Kerusakan barier anatomis. Barier anatomis termasuk di
antaranya kulit yang intaklutuh, mukosa orofaring, saluran
nafas, gastrointesinal dan traktus genitourinarius
mempunyai mekanisme pertahanan badan terhadap
masuknya mikroorganisme. Pemberian Kemoterapi
seringkali menyebabkan kerusakan mukosa, kemudian
timbul kolonisasi kuman pada permukaan mukosa tersebut
clan akhimya menirnbulkanrisiko kejadian infeksi. Beberapa
jenis kemoterapi cenderung menyebabkan mukositis
termasuk di antaranya adalah klorambusil, sisplatin,
sitarabin (sitosin arabinoside, Ara C), doksorubisin, 5

fluorourasil dan metotreksat. Kerusakan barier mukosa ini


juga dapat disebabkan oleh pengobatan radiasi, prosedur
operasi, penggunaan kateter, sten, prostesis dan lain lain.
Obstruksi. Fenomena obstruksi sering terjadi pada kanker
primer maupun kanker metastatis. Pada kanker paru
bronkogenik atau juga lesi metastasis paru seringkali
menyebabkan obstruksi parsial saluran nafas kemudian
terjadinya pneumonia post obstructive. Obstruksi traktus
bilier pada pasien kanker hepatobilier dan pankreas
seringkali menyebabkan kolangitis. Pada kanker serviks
seringkali terjadi obstruksi uretra yang kemudian diikuti
oleh infeksi traktus urinarius sedangkan pada kanker prostat
dapat terjadi prostatitis. Pada keadaan ini infeksi
disebabkan oleh bakteri yang mengadakan kolonisasi pada
tempat obstruksi yang biasanya bersifat campuran atau
polimikrobial.
Tindakan medis. Beberapa tindakan medis seperti operasi,
prosedur medis, pengobatan radiasi dan penggunaan
kateter termasuk shunt, stents dan prostesis seringkali
menyebabkan infeksi. Penggunaan multilumen kateter
untuk pemberian transfusi darah atau komponen darah,
pemberian kemoterapi, antibiotik dan suportif lain seperti
nutrisi juga dapat meningkatkan kejadian infeksi.
Kateter urin yang sering dipergunakan pada obstruksi
atau inkontinensia urin berisiko untuk terjadinya infeksi
traktus urinarius. Pada berbagai kasus kanker otak,
seringkali dipergunakan shunt cerebrospinal. Pada saat
terjadi infeksi pada pangkalnya akan menimbulkan gejala
pusing, perubahan status mental dan meningisimus,
sedangkan infeksi pada bagian ujung yakni rongga pleura
atau rongga peritoneum dapat menyebabkan pleuritis atau
peritonitis. Demikian juga pemasangan prostesis pada
pasien-pasien osteosarkoma atau kanker tulang lainnya
melalui tindakan operasi, tidak jarang menimbulkan infeksi
yang terutama disebabkan oleh kolonisasi bakteri pada
kulit.
Faktor lain. Banyak kanker solid terjadi pada usia lanjut di
mana defisiensi sistim imun terjadi akibat proses penuaan,
malnutrisi, dan kakeksia kanker yang akan sangat
berpengaruh terhadap kejadian dan beratnya infeksi serta
respons pengobatan yang maksimal.

DERAJAT FAKTOR RlSlKO


Derajat faktor risiko adalah risiko perburukan keadaan
sampai terjadinya ancaman kematian pada pasien
didasarkan pada jenis tumor solid atau hematologik, tipe
kemoterapi konvensionallagressive, komorbiditas,
lamanya neutropeni, ada tidaknya infeksi klinis, dan ada
tidaknya tanda-tanda syok. Panduan tatalaksana
pemberian antimikroba pada pasien neutropeni febril
Jerman tahun 2003 membagi faktor risiko atas 3 kelompok,
yakni risiko rendah, risiko menengah, dan risiko tinggi yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

didasarkan atas definisi kelompok risiko dari AGIHO dan


MASCC (Multinational Association of Supportive Care
in Cancer). Pembagian faktor risiko dari Bakornas
Hompedin (Badan Koordinasi Nasional Hematologi
Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia) tahun 2004
didasarkan pada jenis tumor solidlhematologi, tipe
kemoterapi konvensional intensivelaggresive,
komorbiditas, lamanya neutropeni, adanya tanda-tanda
klinis infeksi dan adanya tanda-tanda syok sebagai berikut:
Risiko rendah
- Tumor solid
- Kemoterapi konvensional
- Tak ada komorbiditas
- Neutropeni berlangsung singkat <3 hari
- Tidak didapatkan infeksi klinis: SSP, pneumonia dan
infeksi kateter
- Tidak didapatkan tanda-tanda syok
Risiko sedang
- Tumor solid atau keganasan hematologi
- Kemoterapi intensive atau PBSCT
- Komorbiditasminimal
- Neutiopeni berlangsung 3-7 hari
- Didapatkan atau tidak didapatkan infeksi klinis
- Ada atau tidak didapatkan tanda-tanda syok
Risiko tinggi
- Keganasan hematologi
- Kemoterapi intensif/PBSC /BMT
- Komorbiditas bermakna
- Neutropeni berlangsung >7 hari
- Didapatkan atau tidak didapatkan infeksi klinis
- Ada atau tidak didapatkannya tanda-tanda syok
Regimen kemoterapi konvensional umumnya tidak
menyebabkan neutropeni yang berat walaupun memang
pemberian kemoterapi pada kanker solid tergantung pada
intensitas dosis yang diberikan. Oleh karena itu kejadian
neutropeni febril tidaklah terlalu sering. Angka kejadian
demam pada pasien kanker paru jenis sel kecil biasanya tak
lebih dari 50%. Kejadian demam pada kanker ovarium yang
mendapatkan kemoterapi paclitaxel dengan atau tanpa platinum berkisar 33%),dan pada kanker testis kurang dari 20%.
Kemoterapi intensivelaggresive pada pasien kanker
hematologi akan memberikan dampak neutropeni yang berat

Rata-Rata
Jenis Ca
masuk RllM
-

1. Leukemia akut
2. Lirnforna
3. Ca Ovarium
4. PTG
5. Ca Testis

Hari rawat

dan lama sehingga kejadian neutropeni febril pun akan lebih


sering. Pada suatu penelitian retrospektif di University
Hospital of Zurich, insidens neutropeni febril pada pasien
leukemia akut didapatkan sebesar 86%. Demikian pula
halnya denganjenis leukemia, pada AML, rata-rata kejadian
neutropeni febril lebih tinggi dibandingkan dengan pada
ALL, yakni 6040% berbanding 40-60%. Dalam ha1 larnanya
neutropenia, rata-rata pada AML berkisar antara 17-20 hari
sedangkan pada ALL berkisar 13- 14 hari.

GAMBARAN KLlNlS
NEUTROPENI FEBRIL

DAN

DIAGNOSIS

Hal yang penting dalam diagnosis neutropeni febril adalah adanya


demam dan neutropeni sesuai dengan definisi di atas. Hal lain
yang juga perlu diperhatikan adalah pengertian tentang demam
tak dapat diterangkan, demam klinis terbukti infeksi, demam
terbukti secara mikrobiologis.
Pada pasien neutropeni febril, 40-60% demam tak dapat
diterangkan, 25-40% demam terbukti secara klinis ataupun
mikrobiologis. Sedangkan demarn neoplastik karena tumor
lisis berkisar 4 4 % . Pengamatan pasien neutropeni di
Ruang Isolasi Imunitas Menurun (RIIM) RS Kanker
Dharmais Januari 2002 Sampai Desember 2002
memperlihatkan bahwa hanya 28% (5118) pasien neutropeni
febril yang terbukti secara mikrobiologis. Gambaran pasien
neutropeni di RIIM RSKD dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada pasien neutropeni, infeksi dapat teqadi mulai dari
saluran cerna atas atau bawah yakni berupa stomatitis,
periodontitis, esofagitis, kolitis dan lesi perianal, infeksi
saluran pernapasan atas atau bawah berupa pharyngitis,
sinusitis, pneumonia, atau bronkopneumonia, serta infeksi
kulit oleh karena trauma lokal ataupun kateter vena.
Gambaran tempat-tempat terjadinya infeksi pada pasienpasien di RSKD dapat dilihat pada Tabel 3.
Selain gambaran klinis tersebut di atas, diperlukan juga
pemeriksaan penunjang lain dalam mendiagnosis dan
menentukan pengobatan yang akan diberikan antara lain:
pemeriksaan radiologis berupa foto toraks, pemeriksaan
laboratorium rutin darah tepi, kimia darah, hngsi hati,
fungsi ginjal, CRP kuantitatif, laboratorium khusus
mikrobiologi yakni kultur darah, urin, faeces, dan swab

Leukosit
Nadir

Dengan
Febris

Tanpa
Febris

299
240
200
300
600

6
4
2
0
0

5
1
0
1
1

Kultur
darah

Rasio
rneninggallhidup

4
1
?
?
0

615=1.2
1/3=0.3
012=0
011=O
011=O

9,64
11,2
10,5
11,O
8,O

69
42
50
3,O

7,O

Keterangan
HKT
: Hari Kemoterapi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Fokal lnfeksi

Januari-Maret
1999

MeiJuli
2000

4
1
2
0
0
1
2

1
1
1
1
2
0
5

URTl
Bronkopneumonia
Stomatitis
Gastrointestinal
Ulkus pada kulit
Flebitis
Tidak ditemukan

tenggorok. Ketentuan-ketentuan pengambilan sampel


kultur darah sebagai berikut:
CNS (Coagulase Negative Staphilococcus) dan
corynebacteriumhams 2 kali positif pada sampel darah
kultur yang terpisah. Bila hanya sekali positif berarti
kontaminasi.
Infeksi paru, sampel hams dari BAL (Bronchoalveolar
Lavage) atau darah. Sampel dari swab tenggorok,
sputum, saliva atau mouth rinse hanya bermakna bila
positif pada waktu yang bersamaan dengan terjadinya
infiltrat paru.
Feses kultur bermakna bila terdapat gejala infeksi
abdomen dan 2 kali positif.
Pada infeksi berhubungan dengan kateter infus, perlu
positif pada 2 tempat yakni kultur darah dan kultur
tempat masuknya infeksi.
Bakteremia merupakan komplikasi yang paling sering
pada pasien neutropenia. Secara klasik, infeksi yang
paling sering ditemukan adalah bakteri gram negatif batang.
Tetapi kemudian terjadi pergeseran pola kuman ke arah
dominasi dari gram positif sebagai akibat dari luasnya
pemakaian kateter vena sentral, pemakaian profilaksis
antibiotik dengan Kuinolon dan pemberian kemoterapi dosis
tinggi yang mencetuskan terjadinya mukositis.

Bakteria Tungal
Uji Klinis
I
II
Ill
IV
V
Vlll
IX
XI
XI1 (low risk)
XIV (highrisk)

Periode

Jumlah
Pasien

% Gram
(+)

% Gram

1973-1976
1977-1980
1980-1983
1983-1985
1986-1988
1989-1991
1991-1994
1994-1996
1995-1997
1997-2000

145
111

71
67
59
59
37
31
33
31
59
47

29
23

141

219
213
151
161
199
39
186

(-1

41

41
63
69
67
69
41
53

Di RSCMRSKD sampai dengan tahun 1996 bakteri


gram negatif pada pasien sepsis neutropeni febril masih
lebih dominan dibandingkan dengan bakteri gram positif
yakni 55,26% berbanding 39,47%. Bakteri gram negatif

terbanyak adalah sebagai berikut


Esch, coli
15,8%
Pseudomonas sp.
15,8%
Klabsiella sp.
14,5%
Acinetobacter sp. 3,9%
Sedangkan bakteri gram positif adalah sebagai berikut:
Stvept. viridans
19,7%
Staph. epidermis
7,9%
Staph. aureus
53%
Strept. anhemolyticus 3,9%
Pada periode 1990-2000 di seluruh dunia mulai muncul
kembali bakteri gram positif yang menakutkan yakni
Methycilin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
bahkan strain terakhir yakni GISA (Glicopeptide
Intermediate Staphylococcus aureus) di USA dan VRE
(Vancomycin Resistant Enterococcus) di Swedia pada
tahun 1997. Selain infeksi bakteri gram negatif dan gram
positif, infeksijamur juga merupakan masalah penting pada
pasien neutropeni febril, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Bodey dkk. pada tahun 1992 melaporkan
ditemukannya infeksi jamur pada 25% pasien leukemi akut
yang menjalani otopsi. Permasalahannya adalah sulitnya
mendiagnosis dan mengobati infeksi jamur, oleh karena itu
diperlukan pengenalan faktor-faktorrisiko, pemberian anti
jamur profilaksis dan pengobatan empirik infeksi jamur.
Untuk mendiagnosis infeksi jamur gejala dan tandanya
seringkali tidak spesifik bahkan tidak ada. Biasanya
manifestasi Kandidiasis dapat berupa mukositis,
esofagitis, bahkan kadang-kadang berupa opthalmitis dan
gastritis walaupun jarang. Manifestasi aspergillosis sering
berupa IPA (Invasive Pulmonary Aspergillosis), penyakit
Rhinocerebral atau tracheobronchitis obstructive.
Sedangkan kriptokokosis manifestasinya dapat berupa
meningitis atau pneumonia dan lesi kulit.
Beberapa faktor risiko terjadinya infeksi jamur antara
lain: neutropeni yang lama dan berat, pemakaian antibiotik
spektrum luas, pemakaian kateter vena sentral, penggunaan
steroid, gangguan pada sistem imun selular dan penurunan
imunoglobulin.
Pemeriksaan kultur darah terhadap infeksi jamur jarang
sekali berhasil, deteksi antibodi pun sulit unuk
diinterpretasi karena serokonversi sering terjadi lambat.
Teknik terbaru yang digunakan saat ini adalah deteksi
antigenemia untuk aspergillus dengan circulating
galactomanan dan manitol/arabinitol untuk kandidosis.
Sedangkan teknik lain seperti PCR masih dalam
pengembangan. Infeksi virus walaupun jarang dapat
terjadi pada pasien leukemia terutama yang menjalani
transplantasi. Infeksi dapat disebabkan oleh HSV (Herpes
Simplex Virus), VZV (Varicella Zoster Virus), CMV
(Cytomegalovirus). Pemeriksaan virus sulit dilakukan
walaupun demikian beberapa teknik seperti shell-vial
cultures, antigen detection dan PCR dikerjakan pula di
negara-negara maju.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1502

ONKOLOCIMEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENATALAKSANAAN PENGOBATAN
ANTlMlKROBA

Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, terutama pada


pasien dengan intermediate dan high risk, beberapa pusat
pengobatan termasuk Indonesia, terlebih dahulu
memberikan PAD (Partial Antibiotic Decontamination)
dengan tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna.
Regimen PAD dapat berupa kolistin, neomisin, pipemedik
acid ditambah dengan anti jamur profilaksis seperti
flukonazol, itrakonazol atau amfoterisin B, atau dapat juga
regimen lain seperti kuinolon-siprofloksasin,bahkan yang
sederhana dengan dengan kotrimoksazol. Kelemahan dari
siprofloksasin sebagai PAD adalah dapat diserap secara
sistemik sehingga sering menimbulkan resistensi,
sedangkan kelemahan Kotrimoksazol adalah spektrumnya
lemah dan sudah banyak dilaporkan resisten.
Pada pasien neutropeni febril sangat diperlukan
pengobatan empirik sebelum diperoleh hasil kultur
mikrobiologi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Adapun beberapa prinsip pengobatan empirik pada
neutropeni febril adalah sebagai berikut:
Prompt atau secepatnya, karena cepat dan tingginya
angka kematian

Empirik, yang didasarkan pada surveillance, kondisi


pasien dan kondisi setempat.
Bakterisidal, lebih dipilih daripada antibiotic bacteriostatic pada keadaan netrofil rendah.
Broad spectrum, untuk mencakup semua bakteri
potensial patogen.
Dalam ha1 pemilihanjenis antibiotik yang akan diberikan
terdapat beberapa konsep pengobatan yang hendaknya
perlu diperhatikan antara lain adalah:
Pemberian monoterapi atau antibiotik kombinasi
Antibiotik yang dipilih hams sudah diteliti dan terbukti
efektif, terutama untuk spektrum kuman patogen
Monoterapi hanya boleh diberikan oleh tim yang
berpengalaman, pasien diperiksa secara reguler dan
monitoring ketat untuk deteksi dini kegagalan
pengobatan, infeksi tambahan, efek samping obat dan
resistensi patogen
Pola kuman dan pola resistensi kuman terhadap
antibiotik di setiap rurnah sakit atau ruang perawatan
hams sudah ada sebelum menentukan pilihan antibiotik
Protokol pengobatan yang diberikan dapat
menggunakan acuan dari IDSA (Infectious Disease
Society ofAmerica) 2002 Guidelinesyang membagi pasien

Demam yanp tidal dapat dijelaskan pada pasien dengan risiko rendah

piperasilin tazobaktarn
karbapenern

Gambar 1. Protokol terapi risiko rendah, rencana pengobatan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

I/

1503

NEUTROPENI FEBRIL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ke dalam kategori low risk dan high risk atau German
Guidelines yang membagi pasien atas low risk,
intermediate risk dan high risk sebagai berikut:
Pengobatan Antijamur
Pengobatan standar sampai saat ini masih menggunakan
flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B atau liposomal Amfo
B. Antimikotik yang baru seperti vorikonazol, kaspofungin
dikatakan juga efektif terhadap blastomises.
Kelebihan amfoterisin B adalah spektrumnya yang
lebih luas terhadap kandida dan juga aspergilus
dibandingkan dengan flukonazol yang spektrumnya
terbatas terhadap Candida albicans. Selain itu juga
bermanfaat terhadap histoplasma kapsulatum,
koksidioides, kriptokokkus neoformans dan blastomices.
Pemberian anti jamur untuk pasien risiko ringan atau
sedang dapat dimulai pada hari ke 6-8 sedangkan untuk
risiko tinggi pada 72-96 jam.
Dosis amfotericin B 0.5- lmgkgBB/hari, diberikan dalam
250 cc Dekstrose 5% dalam waktu 2-6 jam. Maximal
cumulative dose adalah tidak melebihi 3,6 gram. Untuk

menghindari reaksi anafilaksis sebaiknya terlebih dahulu


diadakan test dose 1 mg dalam 20 cc Dekstrose 5% selama
30 menit. Dalam ha1 terdapat gangguan fungsi ginjal
sebaiknya dipergunakan azol.
Pengobatan Antivirus
Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai
pengobatan empirik. Obat antivirus hanya diindikasikan
bila terdapat bukti klinis atau laboratoris adanya penyakit
virus. Obat anti virus terbaru seperti valasiklovir dan
famsiklovir mempunyai absorbsi yang lebih baik dari pada
asiklovir. Infeksi sistemik sitomegalovirus jarang
didapatkan pada pasien neutropeni febril, kecuali yang
menjalani transplantasi sumsum tulang atau pada pasien
retinitis AIDS.
Pengobatan Lain
Penggunaan growth factor tidak direkomendasikan secara
rutin pada pasien febril atau afebril neutropeni.
Penggunaan imunomodulator juga tidak
direkomendasikan secara rutin karena belum ad? bukti

Demam yang tidak dapat dijelaskan, pasien risiko menengah

1.Pengobatan tunggal: seflazidim, sefep~m,piperasilin-tazobaktam, karbapenem


+ aminogllkosld atau generasl ketlgakeempat
2.atau pengobatan dua obat: as~lam~nopenis~l~n
kepalospor~n+am~noglikos~d
Klinis
memburuk

Tidak

72-96 jam ?
Reevaluasi: pemeriksaan klinis, foto toraks, jika negatii
HR-CT, kultur darah, antigen-kandida, antigen-asporgilus
pemeriksa?n pilihan

Dilanjutkan 1): ditambah aminoglikosid:


setelah carbapenem: quinolon + glikopeptid:
mungkinjuga dilanjutkan 2): carbapenem

Lama pengobatan total:


7 hari tanpa demam setelah
peningkatan granulosit >1000@J1 :
2 hari bebas demam
Lama pengobatan total: 10 hari

Tidak
lnfeksi ditemukan: terapi definitif
setelah 72jam dengan demam
dapat diganti dengan: AmB, ITRA,
VOR atau CAS

Ditambah glukopeptida hana jika ada


mukositis atau infeksi dari kateter

Gambar 2. Protokol pengobatan inisial untuk pasien risiko menengah adalah AMB: Amfoterisin B
konvensional atau liposomal. ITR: itrakonazol, VOR: vorikonazol, CAS: kaspofungin

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1504

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Demam yang tidak dapat dijelaskan, pasien risiko tinggi
1

1
-

1.Pengobatan tunggal : seftazidim, sefepim, piperasilin-tazobaktam, karbapenem


2.atau pengobatan dua obat : asilaminopenisilin+aminoglikosid atau qenerasi
ketiaal
keempat kepalosporin+aminoglikosid

I
Klinis memburuk

Ya

Ya

Tidak

Tidak

Demam setelah
72-96jam ?

Jika negatif: HR-CT, kultur darah, antigen-kandida,

I
Kondisi klinis stabil ?

Karbapenem + flukonazol, AmB, ITRA,


VOR atau CAS setelah pengobatan s e b e l u m n ~ a
dengankarbapenem: juga quinolon + glikopeptid +
flukonazol, AMB, ITRA, VOR atau CAS

Tidak a d a modifikasi

Lama pengobatan total:


7 harl tanpa demam setelah peningkatan
granulosit~100051
hari bebas demam

Lama pengobatan total: 1 0 days

Jika infeksi diternukan: pengobatan


definitif
72 jam tetap demam, ganti
dengan: AmB, ITRA,

Ditambah glikopeptida jika a d a mukositis


atau infeksi dari kateter

G a m b a r 3. Pengobatan d a n strategi pada pasien risiko tinggi: AMB: Amfoterisin B konvensional atau
liposornal. ITR: itrakonazol, VOR: vorikonazol. CAS: kaspofungin

nyata demikian juga empirikal imunoglobin,


penggunaannya hanya terbatas pada pasien yang sudah
terbukti terdapat defisiensi imunoglobin.

REFERENSI
Schimpff Sc, Greene WH, Young VM, Wiernik DH. Significance of
pseudomonas aeruginosa in the patient with leukemia or lymphoma. j infect dis, 1974; 130 (suppl.): S24-31.
Suhendro dkk. Endotoksemia pada pasien sepsis dengan keganasan.
1996.
A Harryanto R, Dody Ranuhardy, Johan Kurnianda dkk. Panduan
tatalaksana febrile neutropeni pada pasien kanker. Bakornas
Hompedin, 2004.
Bodey GP. Infection in Cancer Patients: A continuing association.
Am j med. 1986; 81 (suppl A-I): 11-26.
Bow EJ. Infection risk and cancer chemotherapy: The impact of

the chemotherapy regimen in patients with lymphoma and


solid tissue malignancies. J Antimicrob Chemother. 1998; 41
(suppl D): 1-5.
Bodey G., Bueltmann, NB, Duguid W. et al. Fungal infections in
cancer patients: an international autopsy survey. Eur. J. Clin.
Microbial. 1992; 11 : 99-109.
Carlson JW, Fowler JM, Mitchell SK et al. Chemoprophylaxis with
ciprofloxacin in ovarian cancer patients receiving paclitaxel: a
randomized trial. Gynaecol Oncol 1997: 65: 325-9.
Counsell R, Pratt J, William MV. Chemotherapy for germ cell tumors: Prophylactic ciprofloxacin reduces the incidence of neutropenic fever. Clin Oncol R. Coll Radiol 1994; 6: 232-6.
Dody Ranuhardy. Monoterapi antibiotik pada pasien keganasan
dengan infeksi. Abstract Book 41h Jakarta Antimicrobial Update, April 2003; 25-6.
Dody Ranuhardy. Pengobatan empirik infeksi jamur sistemik pada
neutropeni febril. Simposium Perhimpunan Mikologi Klinik
Indonesia. Jakarta, Juni 2002.
Edward B Rubenstein, Keneth Vi Rolston. Risk adjusted manage-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

NEUTROPENI FEBRlL PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ment of the febrile neutropenic cancer patients. In textbook of


febrile neutropeni. Martin Dunitz Ltd. London. 2001: 175.
Erik Torell, Hans Fredlund, Eva Tomquist et al. Intra hospital spread
of vancomycin resistant Enterococcus faecium in Sweden. Scan.
J. Infect. Dis. 1997; 29: 259-63.
H. Link, A. Bohme, O.A. Cornely et al. Antimicrobial therapy of
unexplained fever in neutropenic patients. Guidelines of the
infectious disease working party (AGIHO) of the German
Society of Hematology and Oncology (DGHO), Studi Group
lnterventional Therapy of Unexplained Fever, Arbeits
Gemeinschaft Supportiv Masshahmen in der Onkologie (ASO)
of the Deutsche Krebsgessel Schatl (DKG-German Cancer Society). Ann Hematol, 2003; 82 (suppl. 2): s105- s117.
Jud B, Gmur J., Follath F. Art 2ndHaufigkeit Schener. Infekt
komplikationan bei der behandlung akuter leukarnien. Schweiz
Med. Wochenschr 1994; 124: 2060-3.
Kiehn TE, Amstrong D. Changes in the spectrum of organisms
causing bacteremia and fungemia in immunocompromised

patients due to venous access devices. Eur J Clin. Microbial.


Infect. Dis. 1990; 9: 869-872.
Poesmans M. Factors predicting mortality among febrile
neutropenic cancer patients treated within a clinical trial: ten
years experience by the EORTC International Antimicrobial
Therapy Cooperative Group. In proceedings of 3rd
International Symposium on Febrile Neutropeni. Brussels,
Belgium, 1997; Abstr 97.
Rolston, KVI. Infections in patients with solid tumors. In:
Management of infections in immunocompromised patients
(Pizzo P. Glauser MP eds). London: WB Saunders company
Ltd. 2000: 1 17-40.
Walter T Hughes, Donald Armstrong, Gerald P Bodey et al. 2002.
Guidelines for the use of antimicrobial agents in neutropenic
patients with cancer. CID, 2002; 34: 730-51.
Zinner SH. Changing epidemiology of infections in patients with
neutropenia and cancer: emphasis on gram positive and
resistant bacteria.Clin. Infect. Dis. 1999; 29: 490-4.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENATALAKSANAAN METASTASIS
KANKER KE TULANG
Nugroho Prayogo

PENDAHULUAN
Penyakit kanker metastasis ke tulang (metastatic bone
disease) pada dasarnya merupakan interaksi antara
sel kanker dengan sel tulang (osteoklas). Hal ini
akan mengganggu keseimbangan remodeling dan
metabolisme tulang yang normal serta menyebabkan
peningkatan aktivitas osteoklas, sehingga salah satu
target terapi adalah mengurangi aktivitas
osteoklas.
Lesi di tulang ini dapat menyebabkan kesakitan
(morbiditas) yang hebat; seperti nyeri tulang, fraktur
patologis, kompresi medula spinalis atau penekanan saraf
spinalis serta efek lesi tulang yang luas dimana
menyebabkan hiperkalsemia.
Semuanya sedikit banyak akan menyebabkan
disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. (Coleman
RE,oncologist2000).

KEKERAPAN
Pada prinsipnya semua kanker dapat menyebar ke tulang.
(Twycross 82), namun yang lebih sering menurut
kepustakaan luar negeri antara lain adalah: 1). mieloma
multipel70-95 %; 2). kanker payudara 6575%; 3). prostat
65-75%; 4). tiroid; 5). paru 6). ginjal (Mundy, colorectal.
Galasko 1981). (Tabel 1)
Dan sebagai contoh di Jakarta, RS Kanker Dharmais
tahun 2000-2001, dari 84 kasus kanker payudara
stadium IV, 33 % mengalami metastasis ke tulang,
(peringkat kedua sesudah metastasis ke paru 37%).
(Tabel 2)

Jenis tumor

lnsidens metastasis

Median survival

70-95%
65-75%
65-75%
30-40%
20-25%
14-45%
60%
11%

20 bulan
24 bulan
40 bulan
< 6 bulan

Myeloma
Payudara
Prostat
Paru
Ginjal
Melanoma
Tiroid
Rektum

(Mundy GR, Coleman RE. Galasko 1981)

MASALAH METASTASIS TULANG


Dari segi kesehatan masyarakat, problem metastasis adalah
problem morbiditas.
Perkiraan besarnya morbiditas tersebut tergantung dua
hal. Pertama adalah angka kekerapan kanker yang menyukai
tulang sebagai lokasi metastasis dan kedua, angka survival dari kanker tersebut (Tabel 1 dan tabel 3).
Sebagai contoh, kekerapan metastasis kanker payudara
ke tulang cukup sering, 70%-95 % (tabel 1). Dengan
pengobatan yang baik dapat dicapai angka survival ratarata sekitar 2 tahun.
Pada review suatu pusat kanker, metastasis hanya ke
tulang saja mempunyai harapan hidup lebih baik, yaitu median
survival 2,l tahun dibanding dengan kombinasi metastasis
tulang ditambah organ lain, hanya 1,6 tahun (Tabel 2).
Pada penelitian yang lebih besar, dimana didapati
komplikasi ke tulang terjadi paling besar (go%), paling kecil
metastasis diluar tulang (2 1%) dan 60% terjadi komplikasi
tulang ditambah metastasis ditempat lain.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1507

PENATALAKSANAAN METASTASISKANKER KE TULANG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Umur (tahun)

Lokasi
lesi

20-

30-

40-

50-

60-

70-

Jumlah

14
4

5
0

4
1

3
0

36
9

37%
9%

2
1
6
(6%)
14

1
0
8
(8%)
14 '

0
0
1
(1%)
4

15
5
32

15%
5%
33%

--

Paru
Supra
klavikula
Hati
Otak
Tulang

0
1

10
3

0
0
0

Jumlah

2
5
(5%)
27

2
12
(13%)
37

97

Nugroho P. PHTDI 2005

Metastasis
Kekerapan
Median SUN.

Osseous

osseous
Extra

0 s s . a extra oss

80%
2,l tahun

21 %

60%
1,6tahun

Dikutip dari Coleman ASCO 2001

Di samping itu di Jakarta, Rurnah Sak~tDharmais, kanker


yang sering bermetastasis ke tulang menduduki 10 besar
kanker tersering (Ronald H, Harryanto R).
Gambaran tersebut menunjukkan metastasis ke tulang
merupakan masalah yang cukup penting.
PENATALAKSANAAN
Diagnosis
Diagnosis atau deteksi metastasis kanker ke tulang
diperlukan, karena: (a). untuk mengetahui apakah pada nyeri
tulang yang hebat, terdapat penyebaran kanker yang belum
terdeteksi. (b) untuk penentuan stadium kanker. (CBS
Galasko 1994).
Namun demikian, sekali metastasis kanker ke tulang
terdiagnosis, tidak cukup bila hanya mendeteksi adanya
metastasis saja. Diperlukan keterangan yang adekuat
mengenai: (a) lokasi metastasis secara tepat (b) derajat
tulang yang terkena dan lokasi penyebaran (c) adakah
komplikasi akibat metastasis, misalnya hiperkalsemia,
fraktur yang mengancam, fraktur patologis, instabilitas
spinal atau kompresi saraf spinal. (d) adakah jaringan lunak
yang terkena dan (e) bagaimana vaskularisasi lesi. Semua
data klinik tersebut berguna untuk pertimbangan terapi.
Gejala Klinik
Nyeri. Nyeri tulang, terutama yang sering terjadi pada usia
setengah tua dan usia tua harus diwaspadai sebagai gejala
metastasis ke tulang.

Nyeri bisa timbul di area mana saja, namun bila dijumpai


pada tulang penyangga (tulang aksial) maka harus lebih
waspada karena akibat yang ditimbulkan apabila terkena
metastasis bisa fraktur kompresi bahkan bisa menimbulkan
kelumpuhan.
Nyeri bersifat tidak spesifik, bisa ringan ataupun nyeri
hebat. Sekitar 30-50 persen kasus metastasis tulang tidak
merasa nyeri (Mettler, Guiberteau 1983). Namun justru
sering terjadi, suatu kanker (khususnya mieloma multipel)
ditemukan secara tidak sengaja karena adanya nyeri tulang
di daerah tulang belakang, dan pada waktu dilakukan
pemeriksaan foto rontgen vertebra ditemukan tanda
metastasis ke tulang.
Bengkak. Pembengkakkan jaringan lunak jarang terjadi.
Kadangkala sulit dibedakan dengan infeksi. Biasanya terjadi
pada tulang di bawah kulit.
Parameter Biokimiawi
Pemeriksaan ini kurang spesifik dan nilai diagnosis rendah,
tetapi berguna untuk evaluasi hasil terapi atau
kekambuhan.
Pemeriksaan yang se'ring dilakukan: (a) alkali fosfatase
(Bischop 1985), (b) hidroksi prolin urin dan (c) rasio hidroksi
prolin urinlkreatinin (Cuschieri 1978).
Pemeriksaan Radiologi
Foto Polos. Gambaran radiologis dari foto polos amat
penting, karena tidak semua rumah sakit mepunyai CT scan
ataupun scan tulang.
Lesi metastasis ke tulang umumnya multipel. Terdapat
3 jenis lesi, (a) lesi osteolitikumumnya terjadi pada mieloma
multipel atau kanker solid (b) lesi osteoblastik atau sklerotik,
umumnya terdapat pada kanker prostat dan ( c ) lesi mixed,
campuran lesi litik dan komponen osteoblastik, terdapat
pada kanker payudara dan juga solid tumor lainnya.
Khusus pada lesi litik, terdapat tiga tipe (Adams dan
Isherwood 1983) yaitu: (a) lesi geografik, besar, tunggal,
lesi litik jelas, besar lebih dari 1 cm dengan tepi berbatas
tegas.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(b) Lesi moteaten, multipel, lebih kecil(2-5mm), pinggir
biasanya tidak tegas. (c) Lesi permeatif, ukuran lesi sangat
kecil, lmm atau kurang, terutama terjadi dalam korteks.
Pada metastasis tulang bisa terjadi ratusan lesi permeatif.
Geografik lesi menggambarkan perkembangan metastasis
yang tumbuh lambat, sedang lesi permeatif biasanya terjadi
dimana metastasis sangat agresif.
Kebanyakan metastasis mulai muncul di medula dan
setelah fase berikutnya baru melibatkan korteks. Hal ini
menyebabkan foto polos kurang sensitif pada fase awal.
Edelstyn, menyatakan, setelah ada kerusakan 50%
medula, baru secara radiografik lesi dapat terdeteksi.
Sebaliknya lesi di korteks yang kecil lebih gampang
terdeteksi. Sebagai contoh, hilangnya pedikel pada foto
vertebra merupakan tanda awal dari metastasis. Walupun
foto polos kurang sensitif, namun pada nyeri tulang yang
hebat foto polos hams dibuat untuk mengetahui seberapa
besar kerusakan tulang terjadi. Jika 30% atau lebih tulang
korteks rusak, risiko fraktur meningkat dan lesi harus
diobati secara adekuat. Lesi yang sangat nyeri merupakan
isyarat adanya fraktur patologis atau ketidakstabilan
spinal.
Bone scan. Bone scan atau sintigrafi tulang, lebih sensitif
dibanding foto polos, dan masih merupakan metode
optimum untuk mendeteksi lesi abnormal di tulang
(Hartobagyi 1984). Sintigrafi tulang terdiri dari dua fase: (1)
fase vaskular dimana bila terdapat matastasis akan terlihat
vaskularisasi meningkat di tulang pada awal fase vaskular
tersebut (2) fase skeletal, dimana radioisotop diserap oleh
osteoblas. Sebetulnya setiap metastasis menimbulkan
respon osteoblastik seperti yang terlihat yaitu adanya
peningkatan ambilan pada daerah tersebut. Hot-spot
merupakan daerah metastasis (Makoha, Britton 1980).
Tidak semua metastasis dapat dideteksi dengan
sintigrafi tulang. Seperti: (1) tumor dimana tidak
menimbulkan respon osteoblastik, seperti mieloma multipel
dan limfoma (2)lesi yang sangat kecil, kurang dari 2
milimeter.
Pada metastasis yang sangat luas dan lesi simetris,
akan terlitat peningkatan ambilan yang sangat merata dan
simetris. Hal ini disebut superscan dan karena merata
seakan tidak ada area peningkatan ambilan. Dalam ha1 ini
kadangkala diperlukan CT scan atau MRI untuk melihat
arsitektur osteolitik.
Computed tomography scanning (CT Scan).Pemeriksaan
CT Scan tidak digunakan untuk deteksi metastasis tulang,
namun sangat berguna untuk konfirmasi lesi yang
meragukan.
Indikasi utama adalah konfirmasi daerah lesi yang
dicurigai pada skintigrafi tulang. Bila terdapat lesi dicurigai,
dilakukan pemeriksaan spot foto radiologi atau CT scan
untuk konfirmasi ataupun melihat arsitektur kerusakan. Hal
ini dilakukan karena meskipun sintigrafi tulang sensitif
untuk mendeteksi adanya ambilan yang meningkat, namun

tidak spesifik untuk metastasis saja, juga bisa terjadi pada


kasus jinak seperti radang ataupun reaksi osteoblastik
yang lain. Dan CT scan dapat membedakan lebih jelas
metastasis, degeneratif atau peradangan (Best dl& 1979).
Kegunaan lain CT scan adalah untuk melihat
keterlibatan jaringan lunak disekitarnya, misalnya infiltrasi
tumor ke saraf spinal, bersama-sama dengan pemeriksaan
mielografi.
Magnetic resonance imaging (MRI). Penggunaan MRI,
merupakan metode pilihan paling sesuai untuk memeriksa
tulang vertebra, karena dapat memberi gambaran yang lebih
detil tentang penyebab lesi tulang pada sintigrafi tulang.
Dan lebih sensitif untuk mendeteksi metastasis kecil di
medula. Demikian juga halnya CT scan, dapat memberi
gambaran lebih jelas pada jaringan lunak, sehingga
digunakan juga untuk melihat adakah penekanan pada
korda spinalis.
Pada rumah sakit dengan fasilitas MRI, sebaiknya
digunakan sebagai pilihan pertama untuk mendeteksi
adanya penekanan korda spinalis. Meskipun demikian
peran skintigrafi tulang mendeteksi metastasis ke tulang
secara keseluruhan belum tergantikan karena MRI tidak
bisa digunakan menilai tulang panjang (Bonner dan Lichter
1990).
Karena sensitif untuk menilai medula, MRI juga
digunakan untuk memeriksa ulang suatu lesi nyeri di
tulang, ketika hasil sintigrafi tulang negatif (Mechta 1989).
Biopsi
Biopsi diperlukan bila pada suatu kanker, pemeriksaan
sintigrafi tulang memperlihatkan gambaran lesi kecil dan
dengan pemeriksaan pencitraan yang lain seperti foto
polos, CT scan dan MRI tidak dapat mendukung
diagnosis metastasis, atau apabila tumor primer tidak
diketahui jenisnya.

PENGOBATAN
Pengobatan Metastasis Tulang
Pengobatan metastasis tulang seperti juga pengobatan
metastasis lainya adalah terapi sistemik (Hortobagyi 1997).
Namun juga diperlukan terapi tambahan suportif paliatif.
Hal ini karena lesi tulang yang mempunyai akibat yang
memerlukan tindakan khusus. seperti nyeri hebat, fraktur
patologis, fraktur kompresi, kompresi korda spinalis, dan
hiperkalsemia.
Penilaian Sebelum dan Sesudah Pengobatan
Sebelum pengobatan diperlukan beberapa pemeriksaan
sebagai data dasar untuk menentukan jenis pengobatan
(modalitas) serta melihat hasil respon terapi. Data dasar
tersebut antara lain: 1). Diagnosis klinis (tinjauan patologi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANC

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


status fisik) dan organ yang terkena; 2). Luas lesi, lokasi
lesi: tulang penyangga atau bukan tulang penyangga dan
jumlah lesi: tunggal atau multipel; 3). Jenis lesi, osteolitik
atau osteoblastik; 4). Deformitas ancaman fraktur, fraktur
kompresi; 5). Penilaian nyeri: ringan, sedang atau berat,
gunakan skala visual analog; 6). Biomarker tulang:
deoksipiridinolin, piridinolin osteokalsin, dan alkali
fosfatase spesifik petanda pembentukan dan resorpsi
tulang)
Untuk menilai respons pengobatan metastasis ke
tulang dipergunakan beberapa parameter, antara lain:
Kriteria UICC, berdasarkan gambaran radiografik
(Hayward dkk.1977)yaitu:
- Respons komplit: menghilangnya semua lesi pada
pemeriksaan radiografik untu paling sedikit
beberapa minggu.
- Respons parsial: ukuran lesi berkurang sebagian
(parsial), atau terdapat rekalsifikasi lesi atau
berkurangnya densitas lesi pada lesi blastik (prostat)
atau tidak terdapat lesi baru.
- Tidak ada perubahan: tidak terdapat perubahan
pada lesi litik paling sedikit 8 minggu (2 bulan).
*. Penilaian klinis dan petanda biokimiawi:
- kemajuan klinis: rasa nyeri, perbaikan fungsi serta
mobilitas.
- Petanda biokimiawi.
pembentukan tulang: alkali fosfatase dan
osteokalsin
resorpsi tulang (destruksi): kalsium serum, fosfatase
alkali resisten tartrat, kalsium urin dan urin
hidroksiprolin.
Secara garis besar manajemen metastasis ke tulang
dapat digolongkan sebagai berikut:
Pengobatan sitemik (kemoterapi, hormonal dan inhibitor osteoklas inhibitor).
Terapi radiasi dan radiofarmaka
Terapi hiperkalsemia .
Operasi .
Kompresi korda spinalis.
Terapi suportif paliatif.
Pengobatan Sistemik
Metastasis tumor ke tulang akan menghasilkan proliferasi
sel tumor serta menimbulkan interaksi antara sel tumor dan
sel jaringan tulang baik osteoklas atau osteoblas, yang
disebabkan oleh mediator berupa faktor pertumbuhan dan
sitokin. Oleh karena itu pengobatan sistemik dapat dibagi
menjadi pengobatan langsung, ditujukan kepada sel tumor untuk mengurangi proliferasi dan mediatornya serta
obat penghambat efek mediator ke tulang.
Termasuk penghambat proliferasi tumor adalah
kemoterapi, terapi endokrin dan radiofarmaka isotop.
Sedang bisfosfonat, kalsitonin, mitramisin dan galium
nitrat, menghambat efek mediator ke sel tulang(osteok1as).

Dengan demikian pengobatan sistemik bersifat langsung


serta tidak langsung. Terdiri dari (a) sistemik anti tumor (b)
inhibitor efek tumor ke osteoklas. ASCO 200 1).
Anti tumor sistemik, dapat berupa kemoterapi yang sensitif
terhadap tumor tersebut, misalnya protokol FAC, taksan,
pada kanker payudara. Dilaporkan kemoterapi dapat
mengurangi nyeri sampai 11% (Eagen dkk. 1978) sampai
54% (Scott dkk.1087)dan regimen kombinasi lebih baik dari
kemoterapi tunggal (Muss dkk.1981). Dapat juga berupa
terapi endokrin, bila tumor tersebut sensitif terhadap
hormon, seperti tamoksifen atau inhibitor aromatase pada
kanker payudara (Lerner 1976, Coleman 200 1), atau pada
kanker prostat digunakan kastrasi, leuteinising hormon
releasing hormone (LHRH), dan flutamid. Respons
bervariasi namun dapat mencapai angka hingga 84%
(Solowat 1984, Belanger dkk.1984)
Inhibitor osteoklas: (1) mitramisin. Obat ini mempunyai
khasiat anti osteoklas, dulu digunakan mengobati
hiperkalsemia maligna dan penyakit Paget. Sekarang jarang
digunakan karena toksisitasnya tidak dapat diprediksi
terhadap sumsum tulang dan liver. (2) kalsitonin, secara
signifikan dapat mengurangi nyeri akibat metastasis tulang
(Roth dan Kolaric ,1986), namun sering mengalami resistensi
(3) bisfosfonat, dapat menghambat resorpsi tulang, namun
dapat juga menghambat mineralisasi tulang (khusus pada
etidronat dan tidak pada lainnya). Digunakan untuk
mengatasi rasa nyeri, hiperkalsemia dan mencegah fraktur.
Obat yang sering digunakan klodronat, pamidronat dan
terbaru asam zoledronat (Coleman 200 1).
Radiasi dan Radiofarmaka
Pada lesi lokal, radiasi eksternal merupakan terapi paliatif
yang memberi hasil yang baik. Terapi bisa diberikan jangka
pendek atau jangka panjang tergantung penilaian
radioterapis.
Indikasi radiasi eksternal: I). paliatif (a) nyeri tulang
(b) kompresi saraf spinal (c) fraktur patologik. 2). profilaksis
: (a) kompresi saraf spinal (b) fraktur patologik.
Pada lesi luas atau nyeri di tempat tersebar, dapat
dilakukan radiasi hemibodi eksternal, tetapi jarang
dilakukan. Dewasa ini radiofarmaka atau radiasi internal
digunakan untuk terapi radiasi pada lesi yang lebih luas.
Terdapat duajenis: (1) Strontium, terutama digunakan pada
kanker prostat karena banyak diserap di daerah tulang
yang baru dibentuk, bermanfaat untuk metastasis tipe
sklerotik, namun juga bermanfaat untuk kanker payudara.
(2) Samarium, cocok untuk pasien rawat jalan, dapat
mengurangi nyeri dan konsumsi analgetik. Yang dalam
penelitian adalah kombinasi radiasi internal dengan
bisfosfonat.
Hiperkalsemia
Hiperkalsemia merupakan kondisi kegawatan onkologi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pasien mengalami dehidrasi, gangguan fungsi


ginja1,penurunan kesadaran sampai koma, bahkan sampai
pada kematian. Nilai kalsium normal sekitar 8-10,5 mgldl.
Di lapangan pemah ditemukan kadar kalsium 24 mgldl
bahkan ada yang melaporkan di atas 30 mgldl.

Pencernaan
Anoreksia
Mual
Muntah
Konstipasi

Ginjal

Saraf Pusat

Poliuria
Polidipsi
Mulut kering

Confuse
Depresi
Korna
Arnbang nyeri
turun

Gejala umum
Fatique
Malaise

SH. Ralston: pathogenesis of CancerAssosiated


Hypercalcaemia, 1991

Apabila pada pasien kanker dijumpai gejala seperti


tersebut di atas, segera periksa kadar kalium dan bila di
atas normal segera diobati.
Pengobatan adalah: (1) Hidrasi dengan salin normal;
(2) diuretik furosemid; (2) pemberian penghambat resorpsi
tulang (antara lain: glukokortikoid, kalsitonin, mitramisin,
bisfosfonat)
Hidrasi denganNaCl0,9% 150-250 mujam, bahkan dapat
mencapai 4-6 liter per hari (Hosking dkk. 1981).
Sesudah itu hidrasi tetap diberikan ditambah diuretik
natrium (furosemid). Kalsium dan natrium akan
membentuk garam kompleks dan diuretik natrium akan
membawa natrium dan kalsiurn keluar dari tubuh lewat
urin. Di samping itu secara kompetitif menghambat
resorbsi kalsium, sehingga kalsium dibuang lewat urin.
Berikan steroid deksametason , berguna menghambat
penyerapan kalsium dari usus, mencegah pelepasan
OAF (osteoclast activating factor) dan menyebabkan
lisis tumor (limfolisis). Suplemen kalium bila diperlukan
dan tetap di monitor balans cairan, kadar kalsium dan
kalium.
Apabila dengan cara di atas kadar kalsium belum turun,
artinya pelepasan kalsium sangat banyak karena
pelepasan tulang, atau gangguan di ginjal disebut
hiperkalsemia maligna . Dalam kasus ini kalsitonin
merupakan indikasi. Kalsitonin mempakan inhibitor kuat
osteoklas dalam pelepasan tulang, efek sudah dapat
terlihat sesudah 2 jam, namun sering terjadi sesudah 2
hari khasiat tidak efektif lagi. Dosis kalsitonin 4 UIkgBB
setiap 12jam, dapat ditingkatkan sesudah 2 hari sampai
8 UIlkgBB. Kalsitonin bisa dikombinasi dengan
bisfosfonat. Hal ini untuk antisipasi bila kalsitonin
menjadi tidak efektif lagi sesudah 1-2 hari.
Pengobatan suportif lain ditujukan pada ginjal, otak
atau yang lain, atas dasar indikasi. Hiperkalsemia juga
merupakan kegawatan onkologi dengan angka
mortalitas tinggi sehingga penanganan yang cermat
diperlukan.

Operasi. Peran bedah ortopedi pada metastasis


tulang adalah:
Profilaksis pada ancaman fraktur. Tingginya risiko fraktur
berhubungan dengan beratnya derajat kerusakan di
korteks. Jika kerusakan kurang dari 25% risiko fraktur
rendah, jika kerusakan 25-50% risiko fraktur 3,7%, jika
kerusakan 50-75% risiko fraktur meningkat menjadi 6 1 %.
Dan jika kerusakan di korteks mencapai lebih dari 75%,
maka risiko fraktur akan menjadi 79%.(Fidler 1971). Berikut
ini indikasi fiksasi profilaksis, yaitu (a) bila destruksi
korteks lebih atau sama dengan 50% (b) lesi lebih dari atau
sama dengan 2,5 cm di daerah proksimal femur atau
humerus (c) tetap nyeri walaupun sudah dilakukan radiasi.

Fraktur Patologis. Kasus terbanyak adalah kanker


payudara. Lokasi terbanyak adalah daerah femur.
Pengobatan adalah tindakan ortopedik, baik operasi maupun
tidak (Tabel 5,6).

Jenis Kanker
-

Jumlah Pasien

- -

Jumlah Lokasi Fraktur

---

Payudara
Paru-paru
Prostat
Mielorna

102
24
21
24

Role of the orthophaedic suregeon in the treatment of skeletal


metastases (CSB Galasko 1981)

Lokasi

Jumlah

Pelvi
Femur
Transewikal
lntertrokanter
Subtrokanter
Proksirnal
Distal
Humerus
Proksirnal
Shaft
Distal
Tibia
Radius
Ulna
Role of the orthophaedic surgeon i n the treatment of skeletal
metastases (CSB Galasko 1981)

Fraktur patologis merupakan kegawatan medis akut


karena melibatkan saraf spinal dan bila mengalami kerusakan
permanen bisa mengakibatkan kelumpuhan. Distribusi
kejadian: vertebra sewikalis lo%, vertebra torakalis 70%
dan vertebra lumbosakral20%
Gejala: Nyeri dapat lokal maupun radikular. Kelemahan,
kehilangan fungsi motorik dan sensorik atau disebut
paraparesisdan akhirnya akan mengalami disfungsi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENATALAKSANAAN METASTASIS KANKER KE TULANG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

autonomik yaitu kehilangan kontrol urinasi, defekasil


konstipasi. Bila sudah demikian biasanya ireversibel.
Pengobatan: Awalnya diberikan steroid dosis sedang
atau dosis tinggi. Bila sudah terjadi paresis dan menjadi
paralisis, maka dalam 48 jam sudah hams jelas diagnosis
dan penekanan ke saraf (dekompresi) hams sudah dilepas.
Bila tidak, kelainan dapat menjadi ireversibel.
Pilihan pengobatan dapat radiasi, kemoterapi dan
operasi, atau kombinasi ketiga ha1 tersebut.
Pengobatan sedini mungkin akan mengurangi defisit
neurologi sebanyak mungkin (Joseph F.0 Donne11 1992).

SUPORTIF DAN PALlATlF


Di samping pengobatan di atas pengobatan rasa nyeri
untuk mengurangi simptom sangat diperlukan. Pengobatan
ini dapat diberikan dengan bermacam bahan dan cara.
Medikamentosa: analgetik sederhana parasetamol, NSAID,
tramadol, sampai pada narkotik dapat diberikan. Di
samping itu blokade saraf kadangkala juga diberikan.
Radiasi dan operasi dapat juga mengurangi rasa nyeri.
Analgetik dapat diberikan oleh semua petugas medis
sebagai pertolongan pertama, namun jangan dilupakan
mengobati penyebabnya. Di samping itu perlu dilibatkan
disiplin rehabilitasi medik atas dasar indikasi.

REFERENSI

ASCO (American Society of Cinical Oncology) Educational Book


200 1

ASCO (American Society of Clinical Oncology) Educational Book


1999

Arjono, dkk. Onkologi, ter,jemahan dari OncologieICJH. Van de


Velde, FT. Bosman.
Colemann RE. Skeletal complication of Malignancy. Cancer 1997,
80 ( supll. 8) p. 1588-94
DeVita VT, Cancer; Principles & Practice of Oncology, 4Ih. Edition
Vol. 2.2, J.B. Lippincott Company, Philadelphia. 1993
Gregory R Mundy. ,Bone Remoddeling and Its Disorder,, Martin
Dunitz 1999.
Gregory R Mundy. ,Bone Remodeling and Its Disorders, second
edition Martin Dunitz.
1.J.Diel . M.Kaufmann. G.Bastert. Metastatic Bone Disease,
Fundamental and Clinical Aspects. Springer Verlag 1994.
Joseph F.O.Donnell :ONCOLOGY for the House Officer, William
& wilkins 1992.
Pazdur R, Coia LR, Hoskins WJ, Wagman LD, Cancer Management: A Multidisciplinary Approach, 5Ih. Edition. PRR Melville,
NY. 2001
R.D. Ruben and I fogelman , Bone Metastases , diagnosis and
treatment, Springer-Verlag 1991.
Wood ME, Hematology/Oncology Secrets, 2nd. Edition.
Hanley&Belfus, 1NC.lPhiladelphia. 1999 p. 56 - 60
Website: Beth Israel Medical Center, Boston MA.
Zometa, speaker slide preview, Novartis, December 2001.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENANGGULANGAN NYERI PADA KANKER


Asrul Harsal

PENDAHULUAN
Nyeri kanker sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.
Pada pasien yang pertama kali datang berobat, sekitar 30%
pasien kanker disertai dengan keluhan nyeri dan hampir
70% pasien kanker stadium lanjut yang menjalani
pengobatan disertai dengan keluhan nyeri dalam berbagai
tingkatan.
Nyeri kanker merupakan nyeri kronik yang
membutuhkan penatalaksanaan yang berbeda dengan
nyeri kronik lainnya, membutuhkan penilaian (assessment)
dengan tingkatan akurasi yang tepat, evaluasi secara
komprehensif dan waktu yang ketat terutama untuk nyeri
berat, serta pengobatannya berlangsung lama. Pada kasus
lanjut dan perawatan paliatif, tidak jarang pasien mendapat
pengobatan nyeri sampai akhir hidupnya.
Untuk mempermudah dan untuk keseragaman dalam
penilaian nyeri, sering dipakai alat bantu penilaian nyeri.
Ada beberapa alat bantu yang dipakai, dan satu di
antaranya adalah VAS ( Visual Analog Scale/skala analog
visual), yaitu penilaian nyeri dengan angka dari 0 sampai
10. No1 artinya tidak ada nyeri dan nilai 10 sangat nyeri
sekali.
Nyeri kanker dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu, nyeri
ringan, sedang dan berat, masing-masing tingkatan ada
sedikit perbedaan dalam memulai pengobatan.
Berdasarkan patofisiologik yang dihubungkan dengan
kepentingan klinis, nyeri dibagi 3 kelompok: nyeri somatik,
viseral dan neurogenik. Yang sering ditemukan adalah
gabungan dari kelompok tersebut di atas.
Nyeri kanker sebagian besar (90%) dapat diatasi
dengan obat-obatan, hanya sebagian kecil yang
memerlukan pengobatan lain, seperti: radiasi, pemotongan
saraf, operasi, dan sebagainya.
Pasien kanker seharusnya diusahakan bebas dari rasa
nyeri, dan ha1 ini dapat diatasi dengan obat-obatan yang

ada saat ini, mulai dari parasetamol sampai pemberian


opioid yang kuat seperti morfin. Pemberian morfin yang
benar dan tepat akan memberikan hasil yang baik pasien
bebas nyeri dengan efek samping minimal, sehingga
kwalitas hidup akan lebih baik.

Nyeri adalah sensasi yang tidak enak dan pengalaman


emosi yang terutama berhubungan dengan kerusakan
jaringan. Dari definisi ini tersirat laporan nyeri ini adalah
kombinasi dari respons sensoris, afektif (kejiwaan) dan
kognitif, sehingga hubungan nyeri dengan kerusakan
jaringan tidak sama dan tidak konstan. Akibatnya rasa
nyeri itu subyektif, sehingga laporanlkeluhan dari pasien
merupakan penilaian yang paling mempunyai arti (gold
standardhaku emas), dalam menegakkan diagnosis nyeri
kanker.

JENlS NYERI
Secara patofisiologik nyeri dibagi kepada 4 kategori:
nosiseptif, neuropatik, psikogenik dan idiopatik, namun
untuk mempermudah dalam penatalaksanaan dan
pengobatan secara klinis, maka nyeri kanker dibagi menjadi
3 kelompok:
Nyeri Somatik: yaitu nyeri yang timbul akibat kerusakan
jaringan misalnya metastasis tulang.
Nyeri Viseral: yaitu nyeri yang timbul akibat kerusakan
organ atau alat dalam tubuh seperti nyeri perut karena
pembesaran hati karena kanker hati atau kanker lain yang
bermetastasis ke hati, atau nyeri dada karena mengenai
selaput paru dan sebagainya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1513

PENANGGULANGAN NYERl PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Nyeri neurogenik: yaitu nyeri yang berhubungan dengan
kerusakanlgangguan saraf.

ALAT BANTU
Untuk mempermudah dalam penilaian nyeri karena
penilaiannya sangat subyektif, di mana faktor manusia
sangat dominan maka penilaian ini memakai alat bantu
yang berguna. Untuk membantu penilaian dan alasan
keseragaman, ada beberapa alat bantu yang dipaka. Yang
sederhana dan sering dipakai adalah VAS (Visual Analog
Scalelskala analog visual). Skala ini dimulai dari angka 0
sampai 10, dengan pengertian 0 artinya tidak ada nyeri
sama sekali dan 10 artinya sangat nyeri sekali. Pasien
diminta menunjuk titik tertentu. Penilaian ini akan diulang
setelah mendapat pengobatan.

1 10 cm Visual Analog Scale (VAS)

Pain as Bad
as it Could
Possibly be

Pain

Gambar 1. Skala analog visual (VAS)

DERAJAT NYERl
Berdasarkan alat bantu yang dipakai, maka nyeri kanker
dapat dibagi 3 kelompok; yaitu:
Nyeri ringan yaitu nyeri dengan nilai VAS 1-4.
Nyeri sedang yaitu nyeri dengan nilai VAS 5-6.
Nyeri berat yaitu nyeri dengan nilai VAS 7- 10.
Hasil pemeriksaan ini akan menentukan jenis obat yang
diberikan.

TATA LAKSANA NYERl KANKER


Tatalaksana nyeri kanker rnembutuhkan pengkajian
(~is.ve.v~sn?etit)yang tepat, terus-menerus dan
berkesinambungan. Pengkajian nyeri itu sendiri memerlukan
pengetahuan dasar yang harus dipelajari dengan baik agar
lebih berani dalam pemberian obat morfin. Dokter sering
takut memberikan morfin karena ketidaktahuan dokter
mengenai morfin, efek samping yang mungkin timbul, dan
cara mengatasinya.
Tahapan dalam tata laksana nyeri kanker.
Pengkajian/a,s.se.ssmer?t.
Pengobatan dan Evaluasilreassessment.

Pengkajian (Assessment)
Penilaian nyeri yang tepat merupakan kunci keberhasilan
pengobatan. Keluhan pasien merupakan arti sangat
penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini harus
diuraikan dengan jelas. Ada beberapa pedoman untuk
menilai nyeri seperti:
Kapan timbulnya nyeri.
Di mana lokasi nyeri .
Bagaimana kemungkinan mekanisme nyeri tersebut
muncul.
Bagaimana intensitas nyeri itu.
Faktor apakah yang mengurangi atau menambah nyeri
tersebut.
Dari anamnesis yang baik, dapat diketahui jenis nyeri
yang dikeluhkan oleh pasien. Dengan bantuan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto,
zrltrasonogarfi, skintigrafi tulang, CT scanning, MRI dan
lainnya, akan dapat diketahui dengan jelas jenis nyeri
pasien ini, apakah nyeri neuropatik, viseral atau somatik
atau gabungan dari dua atau tiga jenis nyeri ini.
Pengobatan dan Evaluasi
Pengobatan nyeri kanker harus bersifat multidisiplin,
melibatkan banyak keahlian seperti onkologi medik,
psikatrik, saraf, bedah, rehabilitasi medik, radioterapi,
perawat onkologi, pengasuh rawat (caregivers), dan lain
lain. Selain itu juga melibatkan anggota keluarga selain
pasien itu sendiri.
Pengobatan nyeri kanker terdiri dari 2 bagian, non
farmakologik yaitu pengobatan bukan dengan obat seperti
tindakan operasi, radiasi, tindakan oleh rehabilitasi medik
dan sebagainya. Pengobatan cara ini tidak banyak
dilakukan. Sedangkan farmakologik adalah pengobatan
dengan memakai obat, dan dilaporkan sekitar 90% kasus
nyeri kanker dapat diatasi dengan obat-obatan.
Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat
suatu pedoman penilaian nyeri yang sangat dikenal dan
dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu Step Ladder/tangga
nyeri WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah
untuk menatalaksana nyeri kanker. Tangga nyeri (Step
Ladder) yang merupakan pedoman umurn untuk
pengobatan nyeri kanker, ini sangat membantu pengobatan
nyeri ini dan mudah untuk dimengerti. Sehingga sangat
dianjurkan untuk digunakan.
Obat nyeri kanker. Berdasarkan kepada kekuatan obat anti
nyeri kanker, maka dikenal3 tingkatan obat yaitu:
Nyeri ringan (VAS 1-4), obat yang dianjurkan;
Asetaminofen, OAINS (obat anti-inflamasi non-steroid)
Nyeri sedang (VAS 5-6). Obat kelompok pertama dan
ditambah kelompok opioid ringan seperti kodein,
tramadol.
Nyeri berat (VAS 7-10). Obat yang dianjurkan adalah
kelompok opioid kuat seperti morfin, fentanil dan
sebagainya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1514

ONKOLOGIMEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Obat Ajuvan. Selain obat nyeri di atas ada lagi obat yang
bersifat ajuvan, yaitu obat yang membantu mengurangi
nyeri. Obat ini dapat diberikan pada semua derajat nyeri
sebagai tambahan. Obat yang termasuk kelompok ini antara
'lain : a). Kortikosteroid; b). Gabapentin; c). Amitriptilin; d).
Bisfosfonat. Juga terdapat beberapa obat lain yang bisa
bennanfaat.
Opioid Kuat. Pengobatan untuk nyeri kanker terutama nyeri
sedang dan berat sering di bawah standar. Ini terjadi bisa
karena penilaian nyeri yang kurang baik atau karena
ketakutan akan pemakaian morfin. Ketakutan pemakaian
morfin ini disebabkan banyak hal, bisa karena faktor pasien
dan keluarga yang takut akan ketergantungan obat, atau
faktor tenaga dokter karena kurang mengetahui efek sarnping
dan cara mengatasinya atau tidak mau repot karena adanya
aturan khusus dalam pemakaian obat opioid.

Garnbar 2. Tangga nyeri (Step Ladder WHO)

Opioid kuat yang ada di Indonesia seperti morfin


tersedia dalam bentuk: 1). Ampul yang diberikan untuk
injeksi (suntikan); 2). Kemasan oral (tablet) dalam 2 bentuk:
(2 a).Tablet kerja cepat, efektif selama 4-6 jam sehingga
diberikan 4-6 kali sehari. Tablet ini bisa digerus dan dibagi.
(2 b). Tablet kerja lambat, efektif selama 8-12 jam sehingga
diberikan 2 kali sehari. Tablet ini tidak bermanfaat sebagai
lepas lambat bila dibagildigerus; 3). Opioid kuat bentuk
lain adalah Transdermal Patchlobat tempel transdermal
fentanyl, yaitu golongan opioid kuat yang bekerja selama
72 jam dan cara pemberian ditempel di kulit. Obat ini sangat
bermanfaat untuk orang yang sulit menelan, kegagalan
fungsi saluran cerna, tidak patuhlsulit minum obat sesuai
ketenkan (non compliance) dan lain sebagainya.

WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri kanker seperti


berikut:
Obat dimakan melalui mulut.
Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal , tiap 6 jam
atau 12jam, bila sedang tidur dibangunkan untuk minurn
obat nyeri.
Sesuai dengan pedoman tangga nyeri WHO.
Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan
lain, setiap pasien punya reaksi dan respons yang
mungkin tidak sama, sehingga perlakuannya bersifat
individual.
-. Penuh perhatian terhadap hal-ha1 kecil.
Efek samping yang agak mengganggu adalah susah
buang besarkonstipasi, mual, mengantuk, ha1 ini dapat
ditanggulangi dengan baik, sedangkan yang agak berat
adalah frekuensi napas menjadi lambat, meskipun kasus
seperti ini jarang terjadi.
Konstipasi harus dicegah se.jak awal, sehingga setiap
membuat resep morfin maka resep laksansia juga harus
dibuat. Jika konstipasi sudah timbul maka agak sulit
untuk mengatasi ha1 ini. Nausea kadang kadang timbul
dan dapat diberikan anti muntah. Pemberian dosis
maksimal morfin lebih ditentukan oleh toleransi terhadap
efek samping ini.
Satu ha1 yang penting diketahui morfin tidak mempunyai
dosis maksimal sehingga aman sekali dipakai dan tidak
menimbulkan ketergantungan jika dipakai dengan benar.
Pemberian obat ajuvan diberikan sesuai pengkajian.
Jika diduga penyebabnya neuropatik maka selain obat di
atas dapat ditambahkan GABAIGabapentin. Jika nyeri
somatik disebabkan oleh karena metastasis tulang yang
sedikit maka diberikan OAlNS (Obat Anti Inflamasi Non
Steroid) dan dapat ditambahkan bisfosfonat. Jika
metastasis relatif luas atau multipel maka pengobatan
utamanya adalah radioterapi dan ditambah
bisfosfonat.
Tata laksana nyeri merupakan bagian dari pengobatan
kanker. Jika pengobatan kausal terhadap kanker responsif,
maka keb~~tuhan
anti nyeri bisa berkurang dan adakalanya
pemakaian morfin bisa dihentikan secara bertahap tanpa
menimbulkan ketergantungan (adiksi). Jika pengobatan
kausal tidak diberikan lagi maka pengobatan anti nyeri akan
terus diberikan sampai pasien meninggal. Sepanjang cara
pemberian morfin sesuai prosedur maka tidak terjadi
addiksi dan nyeri dapat dikontrol dengan baik. Pemakaian
morfin tidak ada batasan maksimal sepanjang efek samping
obat tersebut tidak muncul. Bila muncul efek samping yang
serius maka pengobatan dengan morfin hams ditukar
dengan obat lain.
Pengobatan psikiatrik seharusnya sudah dimulai sejak
pasien mulai mendapat pengobatan nyeri, karena nyeri
kanker biasanya nyeri kronik dan berdampak kepada psikis.
Ada beberapa cara yang dikembangkan dalam bidang
psikiatrik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1515

PENANGGULANGAN NYERl PADA KANKER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


TAHAPAN SEDERHANA PENATALAKSANAAN
NYERl KANKER
Tentukan jenis nyeri
Tentukan tingkatan nyeri
Berikan anti nyeri sesuai tingkatan
Pengkajian ulang dan dosis morfin dinaikkan % sampai
!h dosis awal.
*. Fikirkan obat tambahan,bila kurang responsif.

KESIMPULAN
Penanggulangan nyeri kanker m'erupakan bagian dari
pengobatan kanker dan sangat berpengaruh terhadap
kualitas hidup pasien. Penanggulangan nyeri kanker hams
secara interdisiplin. Untuk mencapai bebas nyeri
diperlukan pengkajian yang tepat, komprehensif dan
berkesinambungan. Pemberian obat morfin cukup aman
asal dikerjakan dengan baik dan tidak menimbulkan
ketergantungan.

REFERENSI
Dinwoodie WR, La Pierre JA, Rodriquez C, Brune M. Pain
management. Decision making in oncology, evidence based
management. In: Djulbegovic B, Sullivan DM, editors.
Philadelphia: Churchill Livicgstone; 1997. p. 385-97.
Elon Eisenberg, David Borsook, Alyssa A Le Bel. Pain in the
terminally ill. Massachussetts General Hospital handbook of
pain Management. In: David Borsook, Alyssa A LeBel, Bucknam
Mc Peek, editors. Boston: Little, Brown and Company; 1996.
p. 310-25.
Foley KM. Management of cancer pain, supportive care and the
quality of life of the cancer patient. Cancer principle and
practice of oncology. In: De Vita Vincent, Hellman Samuell, A
Rosenberg S, editors. 4th edition. Philadelphia: Lippincott; 1993.
p. 2417-37.
Kittelberger KP,LeBel AA, Borsook D. Assessment of pain. In:
Boorsok D, LeBel AA, Mc Peek B, editors. Massachusetts
General hospital handbook of pain management. Boston: Little,
Brown and Company; 1996. p. 26-44.
NCCN. Adult cancer pain. Clinical practice guideline in oncology.
Volume 1. 2005. p. 1- 27.
Payne R. Opioid pharmacotherapy. Principles and practice of
palliative care and supportive oncology. In: Berger AN, Portenoy
RK, Weissman DE, editors. 2nd edition. Philadelphia: Lippincitt
Williams and Wilkins; 2002. p. 68-83.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

SINDRO-M PARANEOPLASTIK
Sugiyono Somoastro, Abdulmuthalib

DEFlNlSl DAN INSIDENS


Sindrom paraneoplastik adalah gangguan klinik dengan
tanda dan gejala yang mengenai jauh dari tempat tumor
primer dan metastasis (remote effect). Sindrom
paraneoplastik paling sering berhubungan dengan kanker
paru, lambung dan payudara atau dengan keganasan darah
terutama limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.
Beberapa sindrom paraneoplastik seperti cancer-related
anemia dan anorexia-cachexia sering terjadi pada berbagai
jenis keganasan. Insidens terjadi sindrom paraneoplastik
adalah sekitar 50%. Sangat penting mengenali manifestasi
klinik sindrom paraneoplastik karena sering sekali
merupakan petunjuk awal adanya kanker dan pengenalan
segera akan mengarah diagnosis yang lebih awal dan pada
stadium yang lebih bisa ditangani. Protein yang disekresi
oleh sindrom paraneoplastik mungkin bisa digunakan
sebagai tumor marker. Keberhasilan penanganan tumor
yang mendasari akan menghilangkan sindrom
paraneoplastik. Pada beberapa keadaan tumor tidak bisa
diobati tapi gejala dan komplikasi sindrom paraneoplastik
bisa ditangani.

Penyebab terbanyak sindrom paraneoplastik tidak


diketahui. Tapi secara umum ada 4 mekanisme, yaitu: 1).
Sekresi hormon yang tidak wajar; 2). Konversi metabolik
hormon steroid; 3). Produksi dan sekresi sitokin; 4).
Stimulasi produksi antibodi autoimun
Sindrom endokrin seperti hiperkalsemia dan SIADH
(syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic
hormone) umumnya disebabkan oleh produksi peptida

hormon yang tidak wajar oleh sel tumor. Banyak sel


normal dan nonendokrin maligna produksi sejumlah
protein hormon yang berfungsi autokrin atau parakrin.
Beberapa kanker produksi dalam jumlah banyak hormon
atau mempunyai kemampuan mengubah suatu molekul
menjadi bentuk aktif yang mengakibatkan timbul
manifestasi klinik sistemik. sarkoma dan hepatoma dapat
mengekspresikan peningkatan aktivitas aromatase yang
mengubah androgen menjadi estradiol, sehingga terjadi
ginekomastia. Beberapa keganasan hematologi
mengekspresi peningkatan vitamin D hidrolase sehingga
terjadi peningkatan kalsitriol dan hiperkalsemia. Produksi
dan sekresi sitokin bertanggung jawab terhadap beberapa
sindrom paraneoplastik seperti lekositosis, demam,
anoreksia-kakeksia. Beberapa sindrom paraneoplastik
terutama dengan manifestasi neurologi umumnya akibat
terbentuknya autoantibodi.

PENEMUAN KLlNlS
Tanda dan gejala sindrom paraneoplastik dapat
mendahului diagnosis kanker berbulan-bulan atau
bertahun-tahun atau dapat timbul kapan saja dalam
perjalanan kanker. Sindrom paraneoplastik umumnya
berhubungan dengan gejala yang timbul cepat. Setiap
sistem organ dapat terkena sindrom paraneoplastik.
SIADH dan hiperkalsemia adalah contoh sindrom
paraneoplastik yang berakibat fataltkematian bila tidak
ditangani dengan tepat. Anemia adalah faktor utama
yang berperan dalam cancer-related fatigue dan
morbiditas cardio-pulmonary. Fenomena tromboemboli tidak jarang penyebab kematian pada kanker
lanjut.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

SINDROM PARANEOPLASTIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Endokrin
Sindom Cushing. Dengan gambaran klinis kelemahan,
alkalosis, hipokalemia, hipertensi. Penyebabnya adanya
produksi ACTH. Kanker yang berhubungan: kanker paru
small-cell, karsinoid,timoma, tiroid medullary

SIADH. Dengan gambaran klinis hiponatremia, urin


hipertonik, konfusi. Penyebabnya adalah arginin
vasopresin, ANF (Atrial Natriuretic Factor). Kanker yang
berhubungan : kanker gastrointestinal, esofagus, kanker
paru small-cell.
Hiperkalsemia. Dengan gambaran klinis hiperkalsemia,
konfusi, poliuri/polidipsi. Penyebabnya adalah PTHrP
(Parathyroid hormone-related peptide), Osteoclast
activating factors, peningkatan hidroksilasi vitamin D.
Kanker yang berhubungan: kanker paru nonsmall-cell,
nasofaring, payudara, mieloma, limfoma, lekemia
Hipoglikemia. Dengan gambaran klinis hipoglikemia,
konfusi. Penyebabnya IGF-I1 (insulin growth factor).
kanker yang berhubungan: sarkoma, hepatoma
Onkogenik osteomalasia. Dengan gambaran klinis
hipofosfatemia, penurunan vitamin D, osteopeni, nyeri
tulang. Penyebabnya peningkatan ekskresi fosfat di ginjal.
Kanker yang berhubungan: sarkoma, prostat, kanker paru
small-cell.
Akromegali. Dengan gambaran klinis raut muka kasar,
peningkatan ukuran kakiltangan. Penyebabnya
peningkatan hormon pertumbuhan, GHRH (growth
hormone-releasing hormone). Kanker yang berhubungan:
paru, lambung, payudara, karsinoid.
Ginekomastia. Dengan gambaran klinis pembesara
payudara pada laki. Penyebabnya peningkatan aktivitas
aromatase. Kanker yang berhubungan: hepatoma, sarkoma.
Hematologi
Anemia. Dengan gambaran laboratorium penurunan
hemoglobin, hematokrit, skistositosis, penurunan
prekursor eritroid. Penyebabnya penurunan relatif
eritropoietin, hemolisis autoimun, pure red cell aplasia.
Kanker yang berhubungan semua kanker.
Eritrositosis. Dengan gambaran laboratorium peningkatan
hemoglobinlhematokrit. Penyebabnya peningkatan
eritropoietin. Kanker yang berhubungan ginjal, hepatoma.
Reaksi leukemoid. Dengan gambaran laboratorium
lekositosis >20.000/mm3. Penyebabnya sitokin. Kanker
yang berhubungan semua jenis kanker.
Trombositopenia. Dengan gambaran laboratorium
trombositopenia. Penyebabnya adanya antibodi terhadap
trombosit. Kanker yang berhubungan limfoma
Trombositosis. Dengan gambaran laboratorium

peningkatan jumlah trombosit. Penyebabnya mungkin


produksi trombopoietin berlebihan atau dapat disebabkan
oleh kelainan sekunder seperti inflamasi, perdarahan, anemia hemolitik. Kanker yang berhubungan limfoma, tumor
padat.
Tromboembolism. Dengan gambaran klinis migratory
thrombosis, sterile valvular vegetations, emboli sistemik,
CVA (Cerebrovascular accident). Penyebabnya terdapat
ketidakseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis,
peningkatan katabolisme fibrinogen dan trombosit,
penurunan kadar AT 111, protein C dan protein S. Kanker
yang berhubungan gastrointestinal, adenokarsinoma
musinus.
DIC (DisseminatedZntravascular Coagulopathy).Dengan
gambaran klinis Peningkatan PT (protrombin time),PTT
(parsial tromboplastin time), fibrinogen, trombositopenia,
D-dimer. Penyebabnya peningkatan ikatan protein aneksin
I1 dengan fosfolipid. Kanker yang berhubungan AML-M3,
tumor padat.
Neuromuskular
Sindrom Guillain-Barre. Dengan gambaran ascending
paralysis. Penyebabnya inflamasi, demielinisasi. kanker
yang berhubungan limfoma Hodgkin.
Miastenia gravis. Dengan gambaran klinis kelemahan,
pandangan kabur. Penyebabnya antibodi terhadap reseptor
asetilkolin. Kanker yang berhubungan timoma.
Eaton-Lambert sindrom. Dengan gambaran klinis
kelemahan, disfungsi otonom. Penyebabnya antibodi
terhadap voltage-gated calsium. Kanker yang
berhubungan kanker paru jenis small-cell.
Paraneoplastik periferal neuropati. Dengan gambaran
klinis penurunan simetris kemampuan sensorik dan motorik,
progresif dari distal dan terberat pada tungkai.Penyebabnya
adanya antigen CV2. Kanker yang berhubungan paru,
payudara.
Dermatologi
Eritroderma. Dengan gambaran klinis eritema makular
difus. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang
berhubungan limfoma
Pruritus. Dengan gambaran gatal menyeluruh.
Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang berhubungan
limfoma.
Lesi bulosa. Manifestasi tersering adalah paraneoplastik
pemphigus dengan gambaran klinis lesi bulosa pada kulit,
stomatitis. Penyebabnya autoantibodi terhadap desmosom
plakin, lektin, desmoglein 1 dan 3. Kanker yang
berhubungan limfoma, lekemia limfositik kronik, timoma.
Reumatologi
Dermatomositis/polymyositis. Dengan gambaran klinis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kelemahan otot, inflamasi, ruam. Penyebabnya adanya
antibodi antimiosin, antimioglobin. kanker yang
berhubungan paru, ovarium, payudara, lambung.
Vaskulitis. Dengan gambaran klinis vaskulitis.
Penyebabnya endapan kompleks imun. Kanker yang
berhubungan keganasan hematologi
Pulmonary hypertrophic osteoarthropathy. Dengan
gambaran klinis clubbing, nyeri tulang, sinovitis, periostitis. Penyebabnya tidak diketahui. Kanker yang
berhubungan paru, mesotelioma, metastasis paru.

Ginjal
Glomerulonefritis. Dengan gambaran klinis glomerulonefritis membranosa. Penyebabnya endapan kompleks
imun. Kanker yang berhubungan paru, gastrointestinal,
payudara, limfoma.
Sindrom nefrotik. Dengan gambaran klinis glomerulonefritis minimal (lipoid nefrosis). Penyebabnya tidak
diketahui. Kanker yang berhubungan. limfoma Hodgkin.
Hati
Sindrom Stauffer. Dengan gambaran klinis gangguan
fungsi hati, demam, penurunan berat badan. Penyebabnya
antibodi antihepatosit (?). Kanker yang berhubungan
kanker ginjal.
SlSTEMlK
Anoreksia-kakeksia. Dengan gambaran klinis penurunan
berat badan. Penyebabnya TNF (tumor nekrosis faktor)
alfa (kakeksin). Kanker yang berhubungan semua jenis
kanker.
Demam. Dengan gambaran demam tanpa adanya infeksi.
Penyebabnya interleukin 1 dan TNF alfa, beta.

PENGOBATAN
Penanganan yang tepat sindrom paraneoplastik
tergantung pada jenis, tingkat beratnya, dan respons terapi
kanker yang mendasari. Tujuan pengobatan mengontrol

gejala dan kanker yang mendasari. Pada pasien dengan


gejala ringan dan tumor yang kemosensitif, dengan
pemberian kemoterapi cukup menghilangkan gejala. Tapi,
bila gejala berat dan tumor lanjut atau tumor yang kurang
sensitif, perlu terapi spesifik.
Sindrom paraneoplastik akibat dari overproduksi
hormon atau sitokin umumnya berhasil ditangani dengan
keberhasilan terapi antikanker dan akan timbul lagi bila
residif. Terapi tambahan diperlukan seperti pada sindom
Cushing dengan obat penghambat produksi kortisol
(aminoglutetimid atau ketokonazol), hiperkalsemia dengan
hidrasi dan bifosfonat, SIADH dengan pembatasan cairan
dan demeklosiklin, oncogenic osteomalacia dengan fosfat
dan vitamin D adalah sering bermanfaat untuk mengurangi
gejala. Sebaliknya gejala-gejala yang berhubungan dengan
sindrom neurologi autoimun selalu berhubungan dengan
kerusakan neuron yang umumnya ireversibel saat
diagnosis ditegakkan. Perbaikan peningkatan kualitas
hidup, dengan perangsang nafsu makan seperti
medroksiprogesteron asetat dapat meningkatkan berat
badan pada 50% pasien dengan cancer-associated
anorexia-cachexia.Eritropoietin dapat mengurangi fatigue
pada pasien dengan cancer-related anemia.

REFERENSI
Arnold SM, Lieberman FS, Foon KA. Paraneoplastic syndromes.
In: de Vita VT, et al, editors. Cancer principles & practice in
oncology,
7Ih edition.
Philadelphia:
Lippincott
Williams&Wilkins; 2005.'
Jameson JL, Johnson BE. Paraneoplastic syndromes: endocrinologic/hematologic. In: Kasper DL, et al, editors. Harrison's
principle of internal medicine. 16th edition. New York:
McGraw-Hill; 2005.
Kalemkerian GP. Paraneoplastic syndromes. In: Humes HD, editor.
Kelley's. textbook of internal medicine. 4th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.
Macaulay VM, Smith IE. Paraneoplastic syndromes. In: Peckham
M, et al, editors.Oxford textbook of oncology. Oxford: Oxford
University Press; 1995.
Odell WD. Paraneoplastic syndromes. In: Holland JF, et al, editors.
Cancer medicine. 41h edition. Baltimore: Williams&Wilkins;
1997.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENATALAKSANAAN PASIEN
KANKER TERMINAL DAN PERAWATAN
DI RUMAH HOSPIS
Asrul Harsal

PENDAHULUAN
Pengobatan kanker lanjut dengan kondisi pasien yang
kurang baik, sering ditujukan kepada perawatan paliatif.
Dalam perawatan paliatif, klinisi dihadapkan kepada dua
ha1 yaitu: 1). Pengenalan pelayanan perawatan paliatif itu
sendiri; 2). Penjelasan mengenai perawatan paliatif yang
menuju kepada kematian, yang cenderung menjadi topik
yang menakutkan bagi keluarga dan pasien., dan klinisi
perawatan paliatif biasanya juga menghindari pembicaraan
keiatian pada awal wawancara.
Deskripsi dari perawatan paliatif sering dipakai penyakit
terminal, penyakit yang mengancam kehidupan, atau
penyakit serius.
Pengertian mengenai perawatan paliatif dan ruang
lingkupnya bervariasi dalam komunitas perawatan paliatif
menggambarkan bukanlah suatu lapangan yang baru,
ruang lingkup itu masih diperdebatkan, mulai dari
menghilangkan gejala, peningkatan kualitas hidup atau
mengobati pasien yang tidak responsif terhadap
penyembuhan, pertikaian ini tetap ada dan masing masing
negara juga berbeda dan di Amerika ada perbedaan antara
perawatan paliatif dan hospis.

PERAWATAN PALlATlFlHOSPlS
Perawatan hospis adalah perawatan oleh tenaga terlatih
yang dtujukan terhadap kebutuhan fisik, psikososial, dan
spritual yang diperlukan oleh pasien dan keluarga, bentuk
ini merupakan dasar program perawatan paliatif di seluruh
dunia, program ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely

Saunders di St,s Christopher s hospice di London


Istilah hospis tidak diterima di Perancis, sehingga
dipolulerkan dengan nama perawatan paliatif. Dengan
kegiatan yang sama. Perawatan paliatif dikenal juga dengan
perawatan terakhir (Terwinal care) ,end oj'life care.

FlLOSOFl PALlATlFlHOSPlS
Pedoman perawatan paliatif adalah: 1). Kematian adalah
sesuatu yang alamiah yang merupakan bagian dari siklus
kehidupan, perawatan paliatif tidak memperpanjang atau
mempercepat kematian; 2). Mengatasi nyeri dan gejalat
keluhan yang timbul merupakan tujuan dari perawatan; 3).
Nyeri psikologis dan spritual merupakan ha1 yang nyata
dari nyeri fisik dan memerlukan 3 keahlian, sehingga
pendekatannya hams secara tim interdisiplin; 4). Pasien,
keluarga dan seseorang yang disayangi, merupakan suatu
unit dari perawatan; 5). Perawatan kesedihan suatu ha1
yang penting untuk mendukung ketahanan anggota
keluarga dan teman; 6). Perawatan ini dikembangkan tanpa
melihat kemampuan untuk dibayar.
Tujuan utama perawatan paliatif adalah
mempromosikan kesadaran, dignified dan bebas nyeri
terhadap pasien sehingga dapat menghargai akan
kebutuhan seseorang.

ORGANlSASl TIM HOSPIS


Anggota inti dari tim perawatan paliatiflhospis adalah;
Dokter yang mengunjungi pasien.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ONKOLOGI MEDlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Ketua tim hospis.


Perawat yang sudah terlatih dengan keadaan pasien
menjelang meninggal.
Tenaga terlatih (pekerja sosial) terhadap kondisi
menjelang meninggal.
Rohaniawan yang terdidik dan berpengalaman.
Koordinator sukarela yang terlatih dalam organisasi dan
komunikasi.
Tenaga sukarela yang terlatih.
Selain yang di atas ditambahkan, tenaga profesional
lain, seperti terapis, ahli diet, ahli farmasi dan asisten
perawat, yang akan bergabung jika diperlukan.

EVALUASI PERAWATAN
Evaluasi ini agak sulit karena menyangkut saksi dan orang yang mengevaluasi setelah proses perawatan lengkap
Pendekatan yang sederhana adalah mengikuti
perkembangan pasien ini mingguan pada tingkat rumah
sakit atau perawatan rumah hospis sehingga akan
memperbaiki kejadian sebelumnya.
Tipe Program Perawatan Paliatif
Ada dua tipe pelayanan:
Hospis yang juga dikenal dengan perawatan paliatif.
Program ini dapat dikembangkan sesuai dengan tempat
dimana perawatan diberikan dan apakah staf ditempat
tersebut mengetahui program paliatif atau bisa juga
dikonsulkan kepada staf dari anggota tim paliatif.
Sekarang program perawatan paliatif umumnya terdiri
dari pasien rawat inap yang dikonsultasikan kepada tim,
unit yang terdidik dengan berbagai ukuran perawatan akut
atau fasilitas lain yang dikembangkan, klinik perawatan
ambulatoir, program rawat rumah spesial termasuk disini
pelayanan rumah sakit dengan"bridge" yang berafiliasi
dengan perawatan paliatifhospis.
Kebanyakan perawatan rawat paliatif dikembangkan
sebagai konsultasi dengan atau di bawah pengaturan
dokter primer, walaupun direktur medis paliatif atau dokter
hospis dapat langsung merawat dalam beberapa program.
Di dalam perawatan paliatifjuga ada pilihan lain dimana
penatalaksanaan perawatan dipimpin oleh dokter primer.
Rawat rawat rumah yang dikembangkan. Program ini
adalah rawat rumah yang dikembangkan dengan perawatan
rumah sakit pada kondisi akut. Rawat rurnah dikembangkan
sesuai dengan fasilitas kediaman dan, rawat rumah seperti
ini termasuk perawatan singkat yang terus menerus untuk
memberikan pelayanan yang intensif. Perawatan di rumah
sakit hanya karena kondisi akut, diberikan pada tempat tidur
yang tersebar, pada unit yang sudah terdidik dan dengan
fasilitas yang dikembangkan. atau kurang dari itu. Lama
perawatan fase akut ini harusnya 5% dari jumlah hari

perawatan rawat rumah.


Selama 20 tahun terakhir ini, ada banyak alasan yang
menyebabkan adanya transisi perawatan di rumah sakit
yang dipindahkan ke rumah, seperti; biaya perawatan yang
mahal, pembatasan yang ketat dalam lama perawatan rumah
sakit, keberhasilan perawatan rumah hospis dan perawatan
rumah lebih murah dan lebih efektif.
Beberapa perawatan rutin rumah sakit dapat dikerjakan
di rumah dan hasilnya juga baik.

Elemen Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif ditandai oleh beberapa hal:
Sasarannya pada Kondisi Khusus, perawatan pada kondisi
sakit terminal atau menjelang akhir hayat. Tahapan ini tidak
membutuhkan prognosis spesifik di dalam penjelasan
terhadap perawatan pasien yang menjelang ajal, eufemisme
hams dihindari,tetapi definisi tidak tumpul sehingga akan
menakutkan pasien dan keluarga, seperti, tidak bisa sembuh,
atau terminal dan juga tidak begitu halus seperti memberi
harapan seperti pada penyakit lanjut.
Sedangkan untuk petugas, istilah kondisi terminal, aktif
progresif dan sebagainya jadi lebih nyata. Istilah penyakit
yang mengancam kehidupan lebih tepat untuk keluarga
dan pasien.
Menggunakan metode yang tertentu. a). Komprehensif
yaitu, ditujukan terhadap semua kondisi yang dihadapi. b).
Interdisiplin atau bekerja sama dengan yang lain,
Kebanyakan bidang klinis tidak mempunyai perawatan
spesifik, tidak ada beda nyata, kecuali antara medikal dan
bedah, sering dipakai istilah bedah invasif minimal,
intervensi radiologik dan sebagainya..
Perawatan yang diarahkan terhadap pasien dan keluarga
dan sampai masa berkabung.
Fokus terhadap penatalaksanaan spesifik yaitu
mempromosikan kualitas hidup.
Masalah yang dihadapi pada perawatan paliatif: kurang
energi, nyeri, mulut kering, napas pendek, susah tidur,
merasa mengantuk, kecemasan, merasa gugup, batuk, berat
badan turun, kurang nafsu makan, mudah tersinggung,
gangguan seksual.
Sebetulnya kita hams tahu apa yang diharapkan oleh
pasien yang sudah divonis sebagai perawatan paliatif,
berdasarkan kepada laporan penelitian Voogt E et al2005,
menyatakan bahwa dari 122 pasien kasus terminal dengan
umur rata rata 64 tahun dan 53 % diantaranya adalah
perempuan.
Disini dapat dikategorikan ada 3 bentuk keinginan pasien:
Berusaha untuk peningkatan kualitas hidup. Pasien lebih
tua, lebih lelah berobat, atau mempunyai perasaan yang
kurang positif, lebih sering mempunyai insiatif untuk
mempunyai rencana lebih meningkatkan kualitas hidup.
Berusaha untuk memperpanjang kehidupan. Pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENATALAKSANAAN PASIEN KANKERTERMINAL DAN PERAWATAN DI RUMAH HOSPIS

1521

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dengan riwayat kanker yang kurang dari 6 bulan, cenderung
lebih memilih usaha memperpanjang kehidupan
dibandingkan terhadap pasien dengan riwayat kanker lebih
lama, selamafollow up, tidak ada perubahan, kecuali pada
pasien denga riwayat b a r - menderita kanker dan semangat
untuk memperpanjang kehidupannya menurun.
Tidak jelas, mana yang lebih diutamakan. Kelompok ini
kurang jelas arah yang hendak dicapai.
Perawatan Pasien Terminal
Kematian adalah suatu perjalanan yang akan dilalui oleh
semua orang, pada pasien kanker stadium lanjut, mungkin
kematian itu sudah lebih dekat. Nilai dan kenyataan pada
kOndisi terminal Yang dihadapi adalah penghargaan
terhada~semua Perawatan Yang diberikan Yang d i c a ~ a i
secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah integritas,
bukan suatu kekecewaan. Sebagian tugas para klinisi
adalah memfasilitasi keadaan emergensinya.
Tugas klinisi adalah:
Penjelasan tentang semakin dekatnya kematian.
Sehingga berbicara mengenai ha1 yang nyata
(realistic)
Menilai kondisi pasien. Emosional pasien, dan lain lain.
Mengobati gejala.
Menyembuhkan gejala.
- Nyeri. Pengobatan nyeri harus bisa diberikan
dengan baik.Untuk nyeri sesuai dengan pedoman
yang ada tahap 1, 2 dan 3 (lihat dalam bab
penatalaksanaan nyeri kanker).
- Gejala saluran cerna. Mual, muntah, ha1 ini bisa
akibat penyakit kanker yang lebih dihubungkan
dengan faktor mekanik, atau akibat lainnya seperti
hiperkalsemia, atau akibat obat-obatan yang
diminum seperti digoksin pada kelainan ginjal atau
infeksi. Metastasis hati sering menyebabkan mual.
- Sesak napas atau gangguan napas lainnya..
Sesak napas (dyspnea) dapat disebabkan banyak hal,
dengan anamnesis, pemeriksaan fisis,dan jika disebabkan
cairan pada pleura yang masif, maka dapat dilakukan
penyedotan dan dilanjutkan dengan pleurodesis jika
memungkinkan pada minggu-minggu terakhir kehidupan.
Sesak napas karena ha1 lain diobati sesuai dengan
penyebabnya, seperti infeksi diberikan antibiotika, sesak
karena payah jantung diobati dengan obat untuk penyakit
payah jantung. Morfin dosis rendah adakalanya akan
memperbaiki sesak napas yang tidak terlalu berat.
P e r a w a t a n P a s i e n pada H a r i l J a m - j a m
Terakhir Kehidupan
Penilaian kondisi pasien, termasuk di sini klarifikasi
pencapaian tujuan pengobatan dan keadaan seseorang
serta harapan yang ingin dicapai pasien dan keluarga
menjadi sangat penting. Jika kondisi pasien sudah

mendekati akhir kehidupan, maka prinsip dasar semua


pengobatan adalah tertuju terhadap menuju ketenangan
dan kenyamanan. Perawatan mulut menjadi ha1 penting,
infus, makanan dan minuman tidak perlu jika pasien
menolak,
Jika perawatan mulut baik, sedikit dehidrasi tidak
menimbulkan rasa tidak nyaman.
Obat yang dipakai sebelumnya jika masih diperlukan
dan tidak bisa diminum maka diberikan melalui suntikan,
pemberian obat suntikan subkutan masih dapat diberikan.
Obat yang tidak ada hubungan dengan perbaikan gejala
saat itu, segera distop.
Obat tidur dapat diberikan Cjangan morfin, karena efek
sedasinya disebabkan efek samping). Obat yang bisa
Midazolam 2-1 5 mg infus subkutan dapat diulang
setelah 2-4 jam kemudian, klonazepam 1-2 mg subkutan
atau sublingual.
Perawatan Spiritual
Perawatan spiritual mempunyai beberapa penjelasan,
antara lain:
Perawatan spiritual tidak selalu berhubungan dengan
keagamaaan, tetapi lebih mengenai topik yang
berhubungan dengan harapan, dan perkembangan
pribadi,
Kepercayaanlagama, adalah suatu pengertian manusia
yang mendalam,dan dokter harus menghargai ha1 ini,
yang berhubungan dengan sakit berat dan kematian.
Menurut pengalaman yang dihadapi di Indonesia
masalah agama menjadi sangat dominan pada kondisi
terminal.
Kondisi pasien pada akhir hayat diusahakan setenang
mungkin dengan kualitas hidup yang relatif baik dan dalam
pedoman agama dan mulia (dignity).
REFERENSI
Andre\\ Billings J. Definitions and models ot' palliati~e care. I'rinciples and practice of palliati\e care and supporti~concolog).
In: Berger AN, Portenoy RK. Weissman DE. editors. 2""
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins:
Philadelphia; 2002. p. 635-46.
Leland JY, Schonuetter RS. Hospice. Principles and practice of
palliative care and supportive oncolog>. In: Berger AN, Porteno)
RK, Weissman DE, editors. 2"hdition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2002. p. 647-52.
Vinciguerra VD, Olimpio ST. Deliver!. of canccr care at home.
Supportive care in cancer. In: Klatersk! J, Schitnpff SC. Jorg
Senn H. editors. I " edition. New York: Marcel Dekker; 1998. p.
693-707.
Lickiss JN. Care of the patient close to death. Supporti\e care in
cancer. In: Klatersky J, Schimpft' SC. Jorg Senn H. editors. I "
edition. New York: Marcel Dekker; 1998. p. 677-92.
Voogt E, Heide A v d. Riet.jens SAC. Leeu\\en Af\. et al. Attitudes of
patients with incurable cancer toward ~iiedicaltreatment in the
last phase of life. J of Clin Oncolog). 3005;23:2012-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ELEKTROKARDIOGRAFI
Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun

PENDAHULUAN
Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat
potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung
berkontraksi, pemeriksaan elektrokardiograrn (EKG) menjadi
pemeriksaan diagnostik yang penting. Saat ini pemeriksaan
jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap.
Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui
berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga, jangan
memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil
pemeriksaan EKG dan mengabaikan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Keadaan pasien hams diperhatikan
secara keseluruhan, misalnya umur, jenis kelamin, berat
badan, tekanan darah, obat-obat yang diminum, dan
sebagainya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik
yang ditimbulkan oleh jantung pada waktu berkontraksi.

KONSEP DASAR ELEKTROKARDIOGRAFI


Sifat-sifat Listrik Sel Jantung
Sel-sel otot jantung mempunyai susunan ion yang berbeda
antara ruang dalam sel (intraselular) dan ruang luar sel
(ekstraselular). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion
Natrium (Na') dan ion Kalium (K'). Kadar K+intraselular
sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular
daripada dalam ruang intraselular.
Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel
untuk ion negatif daripada untuk ion Na'. Dalam keadan
istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial
membran bagian dalam dan bagian luar tidak sama.
Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada
keadaan polarisasi,dengan bagian luar berpotensial lebih
positif diban dingkan dengan bagian dalam. Selisih
potensial ini disebut potensial membran, yang dalam
keadaan istirahat berkisar -90 mV. Bila membran ototjantung

dirangsang, sifat permeabel membran berubah sehingga


ion Na' masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial
membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV (potensial
diukur intraselular terhadap ekstraselular). Perubahan
potensial membran karena stimulus ini disebut
depolarisasi. Setelah proses depolarisasi selesai, maka
potensial membran kembali mencapai keadaan semula,
yang disebut proses repolarisasi.

Potensial Aksi
Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel
otot jantung dibandingkan dengan potensial di luar sel,
pada saat sel mendapat stimulus, maka perubahan
potensial yang terjadi sebagai fungsi dari waktu, disebut
potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukkan
karakteristik yang khas dan dibagi menjadi 4 fase yaitu:
Fase 0: awal potensial aksi yang berupa garis vertikal ke
atas yang merupakan lonjakan potensial hingga mencapai
+20 mV. Lonjakan potensial dalam daerah intraselular ini
disebabkan oleh masuknya ion Na+ dari luar ke dalam sel.
Fase 1: masa repolarisasi awal yang pendek, di mana
potensial kembali dari +20 mV mendekati 0 mV.
Fase 2: fase datar di mana potensial berkisar pada 0 mV.
Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion Ca" untuk
mengimbangi gerak keluar dari ion K'.
Fase 3: masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali
secara tajam pada tingkat awal yaitu fase 4.
Sistem Konduksi Jantung
Pada umumnya, sel otot jantung yang mendapat stimulus
dari luar, akan menjawab dengan timbulnya potensial aksi,
yang disertai dengan kontraksi, dan kemudian repolarisasi
yang disertai dengan relaksasi. Potensial aksi dari satu
sel otot jantung akan diteruskan ke arah sekitarnya,
sehingga sel-sel otot jantung di sekitarnya akan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


mengalami juga proses eksitasi, kontraksi, dan relaksasi.
Penjalaran peristiwa listrik ini disebut konduksi.
Berlainan dengan sel-sel jantung biasa, dalam jantung
terdapat kulnpulan sel-set jantung kliusus yang
rnempunyai sifat dapat menimbulkan potensial aksi sendiri
tanpa adanya stimulus dari luar. Sifat sel-sel ini disebut
sifat automatisitas. Sel-set ini terkumpul dalam suatu sistem
yang disebut sistem konduksi jantung.
Sistem konduksi jantung terdiri atas :
Simpul Sinoatrial (sering disebut nodus sinus, disingkat
sinus). Simpul ini terletak pada batas antara vena kava superior dan atrium kanan. Sirnpul ini mempunyai sifat
automatisitas yang tertinggi dalam sistem konduksi jantung.

Gambar 3. Proses aktlvasi otot jantung Suatu stimulus lrstr~k


menyebabkan aktivas~yang d~susuldengan repolar~sas~

Sistem konduksi intra atrial. Akhir-akhir ini dianggap


bahwa dalam atrium terdapat jalur-jalilr khusus sistem
kond~lksijantung yang terdiri dari -3 jalur internodal yang
mengliubungkan simpul sino-atrial dan sirnpul atrioventrikular, dan jalur Bachnian yang menghubungkan
atrium karian dan atrium kiri.
Simpul ario-ventrikular (sering disebut nodus
atrioventrikular disingkat nodus). Simpul ini terletak di
bagian bawah atrium kanan, antara sinus koronarius dan
daun katup trikuspid bagian septal.
Berkas His. Berkas His adalah sebuah berkas pendek
yang merupakan kelanijutan bagian bawah simpul
atrioventrikular yang menembus anulus fibrosus dan septum bagian membran. Simpul atrioventrikular bersama
berkas His disebut penghubung atrio-ventrikular.
Cabang berkas. Ke arali distal, berkas His bercabang
menjadi dua bagian, yaitu cabang berkas kiri dan cabang
berkas kanan. Cabang berkas kiri rnernberikan cabangcabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas kanan
bercabang-cabang ke arah ventrikel kanan.
Fasikel. Cabang berkas kiri bercabang menjadi dua bagian,
yaitu fasikel kiri anterior dan fasikel kiri posterior.
Serabut purkinje. Bagian terakhir dari sisteln konduksi
jantung ialah serabut-serabut Purkinje, yang nierupakan
anyanian halus dan berhubungan erat dengan set-sel otot
jantung.
Pengendalian Siklus Jantung
Pengendali utama siklus jantung ialah simpul sinus yang
mengawali timbulnya potensial aksi yang diteruskan
melalui atrium kanan dan kiri menuju simpul AV, terus ke
berkas His, selanjutnya ke cabang berkas kanan dan kiri.
dan akhirnya mencapai serabut-serabut Purkinje.
ltnpuls listrik yang diteruskan rnelalui atrium
tnenyebabkan depolarisasi atrium, sehingga terjadi sistol
atrium. ltnpuls yang kemudian tnencapai simpul AV,
mengalami perlambatan konduksi, sesuai dengan sifat
tisiologis simpul AV. Selanjutnya, impuls yang mencapai
serabut-serabut Purkinje akan menyebabkan kontraksi
otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi
sistol ventrikel.
Karena merupakan pengendali iltama siklus jantung,
sirnpul sinus disebut pemacu jantung utama.
Gambaran Siklus Jantung pada
Elektrokardiogram
Elektrokardiograni (EKG) adalah rekaman potensial listrik
yang tinibul sebagai akibat aktivitas jantung. Yang dapat
direkam adalah aktivitas listrik yang timbul pada waktu
otot-otot jantung berkontraksi. Sedangkan potensial aksi
pada sisteln konduksi jantung tak terukur dari luar karena
terlalu kecil.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang
berjalan dengan kecepatan baku 25 mmldetik dan defleksi
10 mm sesuai dengan potensial 1 mV. Gambaran EKG yang
normal menunjukkan bentuk dasar sbb:
Gelombang P. Gelombang ini pada umurnnya berukuran
kecil dan merupakan hasil depolarisasi atrium kanan dan
kiri.
Segmen PR. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang
menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS.
Gelombang Kompleks QRS. Gelombang kompleks QRS
ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasil
depolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Gelombang kompleks
QRS pada umumnya terdiri dari gelombang Q yang
merupakan gelombang ke bawah yang pertama, gelombang
R yang merupakan gelombang ke atas yang pertama, dan
gelombang S yang merupakan gelombang ke bawah
pertama setelah gelombang R.
Segmen ST. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang
menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T.
Gelombang T. Gelombang T merupakan potensial
repolarisasi ventrikel kanan dan kiri.
Gelombang U. Gelombang ini berukuran kecil dan sering
tidak ada. Asal gelombang ini masih belum jelas.
Gelombang yang merupakan hasil repolarisasi atrium
sering tak dapat dikenali karena berukuran kecil dan
biasanya terbenam dalam gelombang QRS. Kadang-kadang
gelombang repolarisasi atrium ini bisa terlihat jelas pada
segmen PR atau ST, dan disebut gelombang Ta.

Elektroda TKa selalu dihubungkan dengan bumi untuk


menjamin potensial no1 yang stabil.

LKa

LKi

Gambar 6. Elektroda-elektroda ekstremitas

Elektroda-elektroda prekordial diberi nama-nama V 1


sampai V6, dengan lokalisasi sebagai berikut :
V1 : garis parasternal kanan, pada interkostal IV
W : garis parasternal kiri, pada interkostal IV,
V3 : titik tengah antara V2 dan V4,
V4 : garis klavikula tengah, pada interkostal V,
V5 : garis aksila depan, sama tinggi dengan V4,
V6 : garis aksila tengah, sama tinggi dengan V4 dan VS.
Kadang-kadang diperlukan elektroda-elektroda
prekordial sebelah kanan, yang disebut V3R, V4R, VSR dart
V6R yang letaknya berseberangan dengan V3, V4, V5 dan
V6.

Gambar 5. Bentuk dasar EKG dan nama-nama


interval

Sandapan-sandapan pada Elektrokardiografi


Untuk menibuat rekaman EKG, pada tubuh dilekatkan
elektroda-elektroda yang dapat meneruskan potensial listrik
dari tubuh ke sebuah alat pencatat potensial yang disebut
elektrokardiograf. Pada rekaman EKG yang konvensional
dipakai 10 buah elektroda, yaitu 4 buah elektroda
ekstremitas dan 6 buah elektroda prekordial. Elektrodaelektroda ekstrernitas masing-masing dilekatkan pada:
lengan kanan (LKa), lengan kiri (LKi), tungkai kanan (TKa),
tungkai kiri (TKi).

Gambar 7. Elektroda-elektroda prekordial

Sandapan Standard Ekstremltas


Dari elektroda-elektroda ekstremitas didapatkan 3
sandapan dengan rekaman potensial bipolar yaitu :
I = Potensial LKi -Potensial LKa
II = Potensial LKa -Potensial TKi
Ill = Potensial TKi -Potensial LKi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Untuk lnendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari
sandapan I, 11 dan 111 disebut Terminal Sentral dan
dianggap berpotensial nol. Bila potensial dari suatu
elektroda dibandingkan dengan terminal sentral, lnaka
didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan
sandapan yang diperoleh disebut sandapan unipolar.
Sandapan-sandapan berikut ini semuanya adalah
sandapan unipolar yaitu:
Sandapan prekordial. Sesuai dengan nalna-nalna
elektrodanya, sandapan prekordial disebut: V 1,V2,V3.V4,V5.
dan V6.
Sandapan ekstremitas unipolar. Sandapan ini men~tniukkan
potensial mutlak dari masing-masing ekstremitas.
yaitu :
aVR = Potensial LKa
aVL = Potensial LKi
aVF = Potensial Tungkai

KONSEPVEKTOR PADA ELEKTROKARDiOGRAFl


Karena gaya listrik mernpunyai besar dan arah. tilaka ia
adalah sebuah vektor. Suatu vektor dapat diriyatakan
dengan sebuali anak panah dengan arah anak panali
menunjukkan arah vektor dan panjang anak panah
lnenyatakan besarnya vektor.
Dalanl satu siklus jantung, terjadi gaya listrik pada
saat depolarisasi atrium. ventrikel. dan repolarisasi
ventrikel. Pada rekaman disebut sebagai gelombang P,QRS
dan T. Yang sebenarnya gelombang P, QRS, dan T ini
adalah vektor-vektor ruang \.ang selalu berubah-ubah
besar dan arahnya sehingga disebut vektor P, vektor QRS,
dan vektor T.
Untuk mempelajari vektor pada umumnya dipakai suatu
sistem sumbu. Untuk vektor ruang. dipakai sistem sumbu
ruang yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling tegak
IU~LIS.
Untilk me~npelajarivektor-vektor listrik pada jantung,
ketiga bidang berikut ini dipilih : bidang Horisontal. ( H ) ,
bidang Frontal (F) dan bidang Sagital (S). Untuk keperluan
elektrokardiograti yang konvensional, cukup dipakai dua
bidang saja yaitu bidang H dan bidang F .
Selanjutnya vektor-vektor yang proyeksinya pada
bidang F dan H dapat diproyeksikan lagi pada garis-garis
sumbu yang dibuat pada bidang F dan bidang H.
Dari sandapan-sandapan konvensional, ternyata
sandapan-sandapan yang diperoleh itu terletak dalaln
bidang frontal dan bidang horizontal sebagai berikut :
I. Pada bidang frontal: I, 11,111, aVR, aVL,, aVF
11. Pada bidang horisontal : V 1, V2.V3,V4, V5, V6

Sistem Sumbu pada Bidang Frontal


Sesuai dengan nama sandapan, Inaka sumbu-sumbu
pada bidang frontal disebut sumbu 1, 11, Ill, aVR, aVL.
dan aVF.

Gambar 8. Vektor V dengan proyekslnya pada bidang F (VF)


dan pada bldang H (VH) Selanjutnya VH dan VF dapat
dlproyeksikan lag1 pada sumbu-sumbu yang dlbuat pada bidan H
dan F

Penelitian menunjukkan bahwa letak sumbu-sumbu itu


ialah sebagai berikut :
0
= pusat jantung
I
= garis mendatar 00
n
= lnelnbuat sudut 60" dengan I, searah jarurn jam,
yaitu +60
111
=+120"
aVR = -150"
aVL = -30"
aVF = +90

Gambar 9. Sistem sumbu pada bidang frontal

Sistem Sumbu pada Bidang Horisontal


Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu- sumbu pada
bidang horisontal disebut sebagai berikut :
V6 = garis mendatar 0"
V5 =+22"
v3=+47"
V3 =+58"
V2 =t94'
V1 =+I 15"

Gambar 10. Slstern sumbu pada tdang horisontal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Bila selama siklusjantung kita tinjau vekltor-vektor listrik
yang timbul, maka selama depolarisasi atrium, terjadi vektor
P dalam ruang yang dimulai dari nol, muncul dengan besar
dan arah yang berubah-ubah dan akhimya menjadi no1 lagi.
Bila vektor P ini diproyeksikan pada bidang H dan bidang
F, maka terdapat garis tertutup yang mulai dari titik awal 0
dan kembali lagi pada titik 0. Garis tertutup yang
menggambarkan perjalanan dari vektor P ini disebut bulatan
P.
Jadi depolarisasi atrium menghasilkan bulatan P pada
bidang F dan juga pada bidang H. Demikian juga selama
depolarisasi ventrikel, timbul bulatan QRS pada bidang F
dan bidang H. Pada repolarisasi dari ventrikel titnbul juga
bulatan T.
Dari ketiga bulatan vektor itu, bulatan vektor QRS ialah
yang terpenting dan terbesar ukurannya.
Suatu vektor yang menjalani bulatan vektor, besar dan
arahnya selalu berubah-ubah. Tetapi selama perubahan
itu, dapat ditentukan satu vektor yang merupakan ratarata atau sumbu listrik. Secara pendekatan, sumbu listrik
ialah vektor yang membagi bulatan vektor menjadi dua
yang sama. Sumbu listrik merupakan sifat penting dari
masing-masing ruang jantung.

Gambar 11. Bulatan vektor QRS pada b~dangF. 1, 2, 3, dan 4


adalah beberapa kedudukan vektor dalam perjalanannya
membentuk bulatan QRS M adalah vektor rata-rata atau surnbu
listrik

SUMBU LlSTRlK VEKTOR QRS


Surnbu listrik vektor QRS dapat disingkat dengan sumbu
QRS saja. Sunibu QRS dapat ditentukan dari hasil rekaman
EKG konvensional.

Menentukan Sumbu QRS pada Bidang Frontal


Dari 6 sandapan yang ada pada bidang F, 2 sandapan
sudah cukup untuk menentukan sumbu QRS. Untuk
praktisnya penentuan sumbu QRS dapat dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain : 1). Pilih 2 sandapan
yang termudah yaitu saling tegak lurus inisalnya I dan
aVF. Tentukan jumlah aljabar defleksi pada masing-masing
sandapan dan gambarkan sebagai vektor pada masingmasing sumbu. Dari kedua vektor ini dapat dibuat
resultante yang menggambarkan sumbu QRS; 2). Pilihlah

(bila ada) satu sandapan yang mempunyai jumlah aljabar


defleksi no1 (defleksi positif sama dengan defleksi
negatif). Maka sumbu QRS adalah tegak lurus pada
sandapan ini. Dalam menentukan arah sumbu QRS, dapat
ditinjau salah satu dari sandapan lainnya, untuk memilih
satu dari dua arah.

Gambar 12. Menentukan sumbu l~strikQRS pada bidang frontal


dengan menggunakan sandapan I dan aVF. V adalah surnbu
QRS

Untuk lebih tepatnya, yang diukur bukan tingginya


defleksin, tetapi dari luas area yang berada di bawah
defleksi itu.

Kelainan Sumbu QRS pada Bidang Frontal


Sumbu QRS pada bidang frontal yang dianggap normal
bervariasi antara -300 hingga +90".
1. Sumbu QRS antara -30" hingga -90" disebut deviasi
suinbu ke kiri (DSKi)
2. Sumbu QRS antara +90 hingga - 180" disebut deviasi
sumbu ke kanan (DSKa)
3. Sumbu QRS antara +180" hingga -90" disebut sumbu
superior.
M e n e n t u k a n S u m b u QRS pada B l d a n g
Horisontal
Pada dasarnya menentukan sumbu QRS pada bidang
horisontal adalah sama dengan sumbu QRS pada bidang
frontal. Yang umum dipakai ialah cara 11, yaitu mencari
sandapan yang jumlah aljabar defleksinya nol. Dari sini
didapatkan arah vektor yaitu tegak lurus pada sadapan
ini. Suatu kebiasaan, bahwa sumbu QRS pada bidang
horisontal tidak dinyatakan dalam derajat, tetapi cukup
ditentukan sadapan yang tegak lurus pada sumbu itu. Jadi
cukup ditentukan sadapan yang mempunyai jumlah aljabar
defleksi nol. Sadapan ini disebut daerah transisi pada
bidang prekordial.
Dianggap bahwa daerah transisi yang normal ialah V3
dan V4. Bila daerah transisi berpindah ke arah jaruln jam
(dilihat dari arah tungkai), misalnya di V5 atau V6, maka
dikatakan bahwa sutnbu QRS mengalami rotasi searah
jarum jam. Bila daerah transisi berpindah ke arah V2, maka
dikatakan terjadi rotasi lawan arahjarurn jam.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


-

R = +4 mm. lebar 1 mm luas ('lr)x4xl=+4


S = -4 mm. lebar 2mm Luas (K)x4x2 = -8

80omlah= d

R = +7 mm, lebar 1 mm luas ('X)x7xl= -7


S = -3 mm, lebar lmm Luas (%)x3x2= -3

~Umlah= +4

Gambar 13. Seperti pada gambar 12, tetapi lebar defleksi tidak
sama, yaitu di sandapan I. Di sini dipakai perhitungan luas Karena
bentuk segitiga, maka luas defleksi ialah 112 x tinggi x lebar. Faktor
112 dapat dihilangkan karena yang dipakai adalah perbandingan

Gambar 17. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontal. Daerah


transisi di V5, yang menunjukkan rotasi searah jarum jam

SUMBU LlSTRlK VEKTOR P

Cara menentukan sumbu P pada dasarnya sama dengan


penentuan surnbu QRS. Karena defleksi gelombang P kecil,
rnaka cara menentukan sumbu P sering tak bisa terlalu tepat,
dan biasanya dipakai cara 11.

Gambar
Menentukan sumbu l~strikQRS pada bidang frontal
dengn n
arl sandapan yang jumlah defleksinya nol, dalam
contoh in1 aVL. Maka sumbu listrik ialah tegak lurus pada aVL.
Selanjutnya untuk menentukan arah ke atas atau ke bawah,
diperhatikan jumlah defleksi pada I; karena defleks~nyapositif,
maka arah sumbu ialah ke kanan

Sumbu P pada Bidang Frontal


Gelombang P yang berasal dari simpul sinus mempunyai
sumbu yang bervariasi antara 0 hingga +75O. Gelombang P
yang berasal dari penghubung AV mempunyai sumbu
antara 180' dan -90%. Dikatakan sumbu P ini mempunyai
arah lawan-arus. Gelombang P yang berasal dari atrium,
arahnya tergantung dari letak pemacu ektopik di atrium.
Sering sumbunya mempunyai arah antara +90 dan 180".
Sumbu P pada Bidang Horisontal
Gelombang P yang berasal dari sirnpul sinus mempunyai
sumbu yang arahnya sekitar di tengah-tengah antara V1
dan V6. Sumbu P yang bukan berasal dari simpul sinus
mempunyai arah yang tergantung dari letak pemacu
ektopik dari gelombang P.

Gambar 15. Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal. Sumbu


listrik yang mendekati O0 sering disebut "jantung horisontal" yang
mendekati 90disebut 'Tantung vertikal"
Gambar 18. Menentukan vektor P pada bidang frontal. Karena
total defleksi no1terdapat pada sandapan Ill, maka vektor P harus
tegak lurus pada sandapan Ill dan arahnya ke kanan, karena total
defleksi di sandapan I iaalah positif

Gambar 16. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontal yang


normal. Dari sandapan-sandapan prekordial ditentukan sandapan
yang jumlah defleksinya nol, dalam ha1 ini didapatkan V3. Maka
sumbu listrik QRS ialah tegak lurus pada V3. V3 disebut daerah
transisi (T)

Gambar 19. Menentukan vektor P pada bidang horisontal. Karena


total defleksi no1 terdapat pada V2, maka vektor P harus tegak
lurus pada V2 dan arahnya searah dengan V6, karena defleksi P
pada V6 positif

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 20. Vektor P slnus Pada b~dangfrontal. antara 0-75O


Pada b~danghor~sontalantara V1 dan V6
Gambar 23. Kal~braslstandard: Defleks~10 mm = 1 rnV, kecepatan
kertas 25 mmldetlk 1 mrn = 0,04 detik, 5 mm = 0,20 detik, 10 mm
=0,40 det~k

Gelombang P
Gelombang P ialah defleksi pertama siklus jantung yang
menunjukkan aktivasi atrium. Gelombang P bisa positif,
negatif, bifasik, atau bentuk lain yang khas.
Gambar 21. Sumbu P bukan dari sinus, pada bidang frontal.
Sumbu P dari penghubungAV (Pp), mempunyai arah lawan arus,
yaitu berlawanan dengan arah sumbu P dari sinus. Sumbu P dari
atrium (Pa), sering mempunyai arah antara 90-180

Gambar 24. Gelombang P sinus, dengan sumbu +30

Gambar 22. Sumbu T yang normal mempunyai arah yang hampir


sama dengan sumbu QRS. Bila ada gangguan konduksi
~ntraventrikular,maka sumbu T juga berubah, yang disebut
perubahan T yang sekunder. Dalam ha1 ini sumbu T dan sumbu
QRS berlawanan arah

Sumbu Listrik Gelombang T


Pada umumnya sumbu vektor T jarang diperhatikan karena
morfologi gelombang T mempunyai ciri-ciri khas di luar
sumbu vektornya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
sumbu T yang normal lebih kurang mempunyai arah yang
sama dengan sutnbu QRS.
Bila ada kelainan depolarisasi ventrikel, gelombang T
mengalami kelainan juga, yang disebut kelainangelombang
T yang sekunder. Dalam ha1 ini T adalah terbalik dibanding
defleksi QRS, atau vektor T dan vektor QRS berlawanan
arah.

INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAM
Bila kita membuat rekaman sebuah elektrokardiogram, pada
awal rekaman kita hams metnbuat kalibrasi, yaitu satu atau
lebih detleksi yang sesuai dengan 1 milivolt (mV). Secara
baku, detleksi 10 mm sesuai dengan 1 mV. Kecepatan kertas
perekam secara baku adalah 25 mmldt.
Garis rekaman mendatar tanpa ada potensi listrik
disebut garis isoelektrik. Detleksi yang arahnya ke atas
disebut defleksi positifdan yang ke bawah disebut defleksi
negatif.

Gambar 25. Gelombang P dari penghubung AV, dengan sumbu


-10o0

Gambar 26. Gelombang P dri atrium dengan sumbu +150

Gelombang Kompleks QRS


Kompleks ini menunjukkan depolarisasi ventrikel. Istilahistilah tentang bagian-bagian kompleks QRS ialah : 1).
Gelombang Q yaitu defleksi negatifpertama; 2). Gelombang
R yaitu defleksi positif pertama. Defleksi berikutnya disebut
gelombang R', R" dan seterusnya; 3). Gelombang S yaitu
defleksi negatif pertama setelah R. Gelombang S berikutnya
disebut S', S" dan seterusnya.

Gambar 27. Istilah-istilah untuk berbagai bentuk gelombang


kompleks QRS

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

QRS yang monofasik terdiri dari satu defleksi saja yaitu


R atau defleksi tunggal negatif yang disebut QS. Untuk
defleksi yang lebih dari 5 mm, dipakai huruf-huruf besar Q,
R dan S. Sedangkan untuk defleksi yang kurang dari 5 mm
dipakai huruf kecil q,r, dan s.

Gelombang T
Gelombang ini menunjukkan repolarisasi ventrikel.
Gelombang T bisa positif, negatif atau bifasik.
Gelombang U
Gelombang U adalah gelombang kecil yang mengikuti
gelombang T yang asalnya tidak jelas.
Pengukuran Waktu
Penentuan frekuensi. Frekuensi jantung (atrial atau
ventrikular) dapat dihitung berdasarkan kecepatan kertas.
Karena kecepatan kertas ialah 25 mmldetik, maka kertas
menempuh 60 x 25 mm = 1500 mm dalam 1 menit. Jadi
frekuensi jantung adalah1500 yaitu sama dengan jarak
siklus dalam mm (yaitujarak R-R atau P-P).
Penentuan interval-interval. Untuk pengukuran suatu interval, maka dengan kecepatan baku 25 mmldetik terdapat
1 mm = 1125 detik = 0,04 detik, atau 5 mm = 0,20 detik.
Interval PR : interval PR diukur dari awal gelombang P
hingga awal kompleks QRS. Interval QRS : interval ini
diukur dari awal kompleks QRS hingga akhir dari kompleks
QRS. Interval QT : Interval ini diukur dari awal QRS hingga
akhir dari gelombang T.

ELEKTROKARDIOGRAMNORMAL
Gelombang P
Bentuk gelombang P pada sandapan konvensional dapat
diperoleh dengan 1,II dan aVF dan negatif di aVR.
Sedangkan di aVL dan 111bisa positif, negatif, atau bifasik.
Pada bidang horisontal biasanya bifasik atau negatif
di V 1 dan V2, dan positif di V3 hingga V6.
Gelombang P dari sinus yang normal tidak lebih lebar
dari 0 , l l detik dan tingginya tak melebihi 2,5 mm.
Kompleks QRS
Impuls listrik yang datang dari simpul AVmelanjutkan diri
melalui berkas His. Dari berkas His ini keluar cabang awal
yang mengaktivasi septum dari kiri ke kanan. Ini mengawali
vektor QRS yang menimbulkan gelombang Q di I, 11,111,
aVL, V5 dan V6, tergantung dari arah vektor awal tersebut.
Selanjutnya impuls berlanjut melalui cabang berkas kiri
(CBKi), cabang berkas kanan (CBKa), dan mengaktivasi
ventrikel kiri dan kanan. Karena dinding ventrikel kanan
jauh lebih tipis daripada ventrikel kiri, maka gaya listrik

yang ditimbulkan ventrikel kiri jauh lebih kuat dari pada


ventrikel kanan.
Gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal yang
normal mempunyai corak khas. Sandapan VI dan V2
terletak paling dekat dengan ventrikel kanan sehingga
disebut kompleks ventrikel kanan. Di sini gaya listrik dari
ventrikel kanan menimbulkan gelombang R yang
selanjutnya diikuti gelombang S yang menggambarkan
gaya listrik dari ventrikel kiri. Sebaliknya, sandapan V5
dan V6 paling dekat dengan ventrikel kiri sehingga
sandapan ini disebut kompleks ventrikel kiri. Di sini
gelombang Q menggambarkan aktivasi ventrikel kanan atau
septum, sedangkan gelombang R menggambarkan aktivasi
ventrikel kiri. Dengan demikian gambaran kompleks QRS
pada bidang horisontal ialah gelombang R meningkat dari
VI ke V6, sedangkan gelombang S mengecil dari V 1 ke V6.

Gelombang T
Pada orang dewasa, biasanya gelombang T adalah tegak
di semua sandapan kecuali di aVR dan V1.
Gelombang U
Gelombang U biasanya tegak dan paling besar terdapat di
V2 dan V3. Sering gelombang U tak jelas karena bersatu
dengan gelombang T.
Nilai Normal untuk Interval-Interval
Interval PR (durasi)
: kurang dari 0,12 detik
Interval PA
: 0, 12 -0,20 detik
Interval QRS (durasi)
: 0,07 -0, I0 detik
Interval QT
Interval ini tergantung dari frekuensi jantung, yang dapat
ditentukan dengan suatu rumus atau tabel. Untuk
praktisnya, diberikan 3 nilai sebagai berikut: frekuensi 601
menit : 0,33-0,43 detik, 80 kalilmenit: 0.29-0,38 detik, dan
100 kalilmenit :0,27-0,35 detik.

ABNORMALITAS ATRIUM
Akhir-akhir ini dianggap bahwa konduksi impuls dari simpul
sinus ke arah simpul AV melibatkan jalur-jalur khusus yaitu
jalur-jalur intemodal. Sedangkan atrium kiri dicapai melalui
jalur Bachman. Bila terjadi gangguan konduksi intra-atrial,
maka bentuk gelombang P mengalami kelainan yang
disebut abnormalitas gelombang P. Abnormalitas
gelombang P tidak selalu disebabkan pembesaran atau
hipertrofi atrium seperti yang dianggap di masa lalu.
Aktivasi atrium kanan terjadi lebih dulu daripada atrium
kiri sehingga suatu abnormalitas gelombang P dapat
menunjukkan suatu abnor- malitas atrium kiri atau
abnormalitas atrium kanan. Dalam ha1 ini "abnormalitas"

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


merupakan kelainan konduksi dengan atau tanpa
pembesaran atau hipertrofi.
Abnormalitas Atrium Kanan (AAKa)
Tijauan vektor :
1. Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kanan
2. Pada bidang horisontal :sumbu P bergeser ke arah lawan
jarumjam.
Kriteria EKG untukAAKa :
1. P tinggi dan lancip di 11,111 dan aVF : tinggi > 2,5 mm
dan interval >,O,l l detik
2. Defleksi awal di VI >I ,5 mm. Bentuk gelombang P pada
AAKa sering disebut P pulmonal

Gambar 28. Abnormalitas atrium kanan

Abnormalltas Atrium Kiri (AAKi)


Tinjauan vektor :
I. Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kiri
2. Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah jarum
jam.
Kriteria EKG untukAAKi :
Interval P di 11melebar (> 0, 12 detik). Sering gelombang P
berlekuk, karena mempunyai 2 puncak. Defleksi terminal
V 1 negatif dengan lebar > 0,04 detik dan dalam > 1 mm.
Kriteria ini disebut kriteria Morris. Bentuk Ppada AAKi
sering disebut p mitral.

Gambar 29. Abnormalitas atrium kiri

dalam di I,II,III, aVL, V5 dan V6, dan gelombang R yang


lebih besar di V 1.
Pada sumbu QRS tejadi pergeseran sebagai berikut :
1). Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke arah
kiri; 2). Pada bidang horisontal: sumbu QRS bergeser
ke arah lawan janun jam.
Waktu Aktivasi Ventrikel
Waktu yang berlangsung antara awal QRS hingga puncak
gelombang R disebut Waktu Aktivasi Ventrikel (WAV).
Defleksi tajam ke bawah yang mulai dari puncak R disebut
defleksi intrinsikoid. WAV menggambarkan waktu yang
diperlukan untuk depolarisasi masa otot jantung yang ada
di bawah elektroda prekordial. Jadi makin tebal otot jantung
(ventrikel), makin panjang waktu yang diperlukan untuk
depolarisasi. Dengan demikian WAV memanjang pada
M i .
Kriteria EKG untuk HVKi
1. Kriteria Voltase :Voltase ventrikel kiri meninggi
Ada macam-macam criteria dan dapat dipilih salah satu
yaitu :
1. R atau S di sandapan ekstremitas > 20 mm, atau
S di kompleks VKa > 25 mm. atau
R di kompleks VKi > 25 mm, atau
S di VKa+ R di VKi > 35 rnm.
2. Depresi ST dan inversi T di kompleks VKi Ini sering
disebut strain pattern
3. AAKi
4. Sumbu QRS pada bidang frontal > - 15"
5. Interval QRS atau WAV di kompleks VKi memanjang:
* Interval QRS > 0,09 detik
* WAV > 0,04 detik ' 1
Beberapa catatan tentang HVKi antara lain : 1).
Gambaran HVKi pada EKG terutama berkorelasi dengan
masa otot ventrikel kiri, dan kurang berkorelasi dengan tebal
otot atau volumenya; 2). Pada HVKi yang disebabkan
karena beban volume, gambaran EKG terutama
menunjukkan aktivasi septa1 awal yang menonjol, yaitu
adanya gelombang Q di 1, aVL,V5 dan V6, dan gelombang
R yang menonjol di V1 dan V2; 3). Pada HVKi yang

HlPERTROFl VENTRIKEL
Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVKi)
Hipertrofi ventrikel kiri memberikan tanda-tanda yang
cukup jelas pada EKG Meskipun demikian, akurasinya tak
dapat dianggap mutlak.
Berbagai kriteria telah disusun untuk mempertinggi
sensitivitas dan spesifisitas diagnosis HVKi pada EKG.
Tinjauan vektor pada HVKi :
Pada umumnya vektor QRS membesar dalam ukurannya.
Penebalan septum menyebabkan vektor QRS awal
membesar, sehingga terlihat gelombang Q yang lebih

Gambar 30. Hipertrofi ventrikel kiri, beberapa kriteria:

A. Kriteria votase, S di V1, V2, yang dalam dan R di V5, V6 yang


tinggi
B. Depresi ST dan invers~T di V6 (V5)
C. Waktu aktivasi ventrikel memanjang di V6 (V5)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

disebabkan karena beban tekanan, gambaran EKG terutama


menunjukkan R yang tinggi disertai depresi ST dan inversi
T pada sandapan ventrikel kiri (V5 dan V6).

Hipertrofi Ventrikel Kanan (HVKa)


Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis dari pada
dinding ventrikel kiri, niaka HVKa barn nampak pada EKG
bila HVKa sudah cukup menonjol untuk dapat
mempengaruhi gaya-gaya listrik ventrikel kiri yang besar.
Tinjauan vektor :
1. Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke kanan
2. Pada bidang horisontal : sumbu QRS bergeser searah
jarum jam.
Kriteria EKG untuk HVKa :
1. Rasio R/S yang terbalik :
WSdiV1>1
R/SdiV6<1
2. Sumbu QRS pada bidang frontal yang bergeser ke
kanan, meskipun belurn mencapai DSKa.
3. Beberapa kriteria tambahan yang tidak begitu kuat.
misalnya: WAV di VI > 0,035 detik, depresi ST dan
inversi Tdi V1, S,di I,II,dan 111.
Beberapa catatan tentang HVKa :
1. Diagnosis HVKa pada EKG mempunyai sensitivitas
yang rendah tapi spesifisitas yang tinggi.
2. Kriteria EKG untuk HVKa yang paling kuat ialali rasio
R/S di VI.
Berdasarkan konfigurasi QRS di V 1, maka HVKa dibagi
menjadi 3 tipe: 1). Tipe A: di sini terdapat R yang tinggi.
Sering disertai depresi ST dan inversi T di V1 dan V2. Tipe
ini menunjukkan beban tekanan yang tinggi; 2). Tipe B: di
sini terdapat bentuk RS, yang menunjukkan HVKa yang
sedang; 3). Tipe C: di sini terdapat bentuk rsR', yang
merupakan blok cabang berkas kanan yang inkomplit.
Bentuk ini biasanya menunji~kkanadanya hipertrofi jalur
keluar dari ventrikel kanan.

Garnbar 31. Hlpertrofi ventrlkel kanan. Krlterra terpentlng raslo


RIS terballk dl V1 (V2) dan V6 (V5)

DEFEK KONDUKSI INTRAVENTRIKULAR


Gangguan penghantaran impuls rnelalui suatu jalur disebut
blok. Yang dimaksudkan dengan konduksi intraventrikular
ialah konduksi melalui cabang berkas kanan (CBKa),
cabang berkas kiri (CBKi), fasikel-fasikel dan serabutserabut Purkinje.

Menurut tempatnya, blok intraventrikular dapat dibagi :


Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa)
Blok Cabang Berkas Kiri (BCBKi)
Blok Intraventrikular Nonspesifik
Blok Fasikular : I). Blok fasikular kiri anterior; 2). Blok
fasikular kiri posterior.

Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa)


Bila CBKa mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel
karian mengalanii kelambatan, dan septum mengalami
depolarisasi disusul oleh ventrikel kiri lebih dulu. Pada
fase yang terakhir, vektor berasal dari ventrikel kanan, yang
mengarah ke depan (pada bidang H) dan ke kanan (pada
bidang F).
Dari sini didapatkan ganibaran EKG pada BCBKa : 1 ).
Interval QRS memanjang > 0, I0 detik; 2). S yang lebar di I
dan V6; 3). R' yang lebar di V1.
Bila interval QRS 0, 10-0,12 detik, maka disebut BCBKa
inkomplit.
Bila interval QRS > 0,12 detik, maka disebut BCBKa komplit.

Garnbar 32. Blok cabang berkas kanan QRS melebar, S yang


lebar dan dalam di I dan V6 (V5),dan berbentuk RR' dl V1 (V2)

Blok Cabang Berkas Kirl (BCBKi)


Bila CBKi niengalami blok, maka depolarisasi ventrikel kiri
mengalanii kelambatan. Pada awal depolarisasi ventrikel,
QRS inisial liienggarnbarkan depolarisasi ventrikel kanan
dan septum, kemudian menyusul depolarisasi ventrikel kiri.
Jadi pada BCBKi vektor terminal berasal dari ventrikel kiri
yang kuat, yang bergeser ke arah kiri (pada bidang F) dan
ke arah belakang (pada bidang H).
Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKi :
I. Interval QRS melebar > 0, I0 detik
2. Gelombang R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan
V6, dengan WAV > 0,08 detik
3. rS atau QS di Vl, disertai rotasi searah jarum jam.
Bila interval QRS 0,lO-0,12 detik, maka disebut BCBKi
inkornplit
Bila interval QRS > 0,12 detik, rnaka disebut BCBKi komplit.
Blok lntraventrikular Nonspesifik
Istilah ini dipakai bila interval QRS melebar (> 0,10 detik) ,
tetapi tidak khas untuk BCBKa atau BCBKi.
Blok Fasikular
Blok Fasikular sering disebut juga hemiblok.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


qR di 11, I11 dan aVF. Blok Fasikular Kiri Posteriorjauh
lebih jarang dari pada blok fasikular kiri anterior.

Garnbar 33. Blok cabang berkas k ~ QRS


r ~ yang melebar, bentuk
R dl I dan V6 (V5), dan S yang dalam dl V1 (V2, V3)

Blok fasikular kiri anterior. Fasikel kiri anterior


menghantarkan impuls dari puncak septum ke muskulus
papilaris anterior. Bila terjadi blok padajalur ini, maka bagian
posterior-inferior mengalami depolarisasi lebih dulu dari
pada bagian anterior-superior.
Vektor QRS awal selama 0.02 detik mengarah ke bawah
dan ke kanan, sehingga terbentuk r kecil di 11,111, dan aVF,
dan q kecil di 1, aVL dan kadang-kadang di V5 dan V6.
Vektor QRS awal selama 0,04 detik mengarah ke kin dan ke
atas, sehingga terbentuk R tinggi menyusul q di 1, dan
aVL, dan S dalam menyusul r di 11,111, dan aVF (bentuk QISIII). Surnbu QRS mengalami deviasi ke kiri hingga > -45'
Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada 8 1ok Fasikular
Kiri anterior ialah : 1 ).Interval QRS sedikit memanjang 0,090,l 1 detik; 2). Sumbu QRS deviasi ke kiri > -45". Ini disebut
kriteria yang paling kuat; 3). Di I danaVL terdapat R tinggi,
dengan atau tanpa q; 4). Di 11,111 dan aVF terdapat rS,
dengan S yang dalam.

Gambar 35. Blok fasikular kiri posterior. Tanda terpenting ialah


sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kanan lebih dari +110,
tanpa adanya penyebab lain dari deviasi sumbu ke kanan

Sindrom Pre-eksitasi
Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG di mana
ventrikel mengalami depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal
ini disebabkan karena adanya jalur-jalur lain di samping
jalur-jalur pada sistem konduksi jantung. Jalur-jalur ini
disebut jalur-jalur aksesori.
Ada 3 macam jalur aksesori, yaitu : 1). Jalur Kent. Jalur
ini ialah yang terpenting di antara jalur-jalur aksesori. Jalur
ini menghubungkan atrium langsung dengan ventrikel,
tanpa melalui simpul -AV. Jalur ini menembus cincin AV di
tempat-tempat yang berbeda. 2). Jalur James. Jalur ini
berawal dari atrium dan berakhir di berkas His. 3). Jalur
Mahaim. Jalur ini berawal di berkas His dan berakhir di
ventrikel.
Jalur-jalur aksesori dianggap sebagai kelainan
kongenital dan terdapat pada 1-2 permil dari populasi
umum. Jalur aksesori bisa bersifat non fungsional pada
waktu lahir dan manifes pada masa kanak atau dewasa.

Gambar 34. Blok fasikular kiri anterior. Tanda terpenting ialah


sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kiri lebih dari -45O

GAMBARAN EKG PADA SlNDROM PRE-EKSITASI

Blok fasikular kiri posterior. Fasikel kiri posterior


menghantarkan impuls dan CBKi ke muskulus papilaris
posterior dari ventrikel kiri. Suatu blok pada jalur ini
mengakibatkan bagian anterior-superior dari ventrikel kiri
mengalami depolarisasi lebih dahulu dari pada bagian
posterior-inferior.
Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke kiri
dan superior, sehingga terbentuk r kecil di I dan aVL, dan
1 kecil di 11,111, dan aVF. Vektor QRS awal selama 0,06 detik
mengarah ke bawah, sehingga terbentuk R tinggi di 11,111,
dan aVF dan S di I dan aVL.Sumbu QRS bergeser ke kanan
>+1 10".
Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada blok fasikular
kiri posterior ialah :
Interval QRS memanjang 0,09 -0,ll detik
Sumbu QRS bergeser ke kanan > + 1 10"
rS di 1 dan aVL

Pre-eksitasi pada Jalur Kent


Pre-eksitasi pada jalur Kent disebut juga sindrom Wolf
Purkinson White (WPW).
Gambaran EKG pada sindrom WPW menggambarkan
kompleks fusi antara aktivasi ventrikel melalui jalur normal
dan melalui jalur aksesori. Impuls dari atrium yang melalui
jalur Kent lebih cepat sampai di ventrikel karena tidak
melewati simpul AV yang mempunyai sifat memperlambat
impuls. Impuls yang melalui jalur Kent ini mengawali
depolarisasi ventrikel di suatu tempat di ventrikel, yang
menyebabkan timbulnya suatu gelombang khas pada awal
kompleks QRS, yang disebut gelombang delta.
Gelombang delta merupakan bagian landai pada awal
kompleks QRS. Adanya gelombang delta ini menyebabkan
kompleks QRS melebar. Waktu konduksi atrio-ventrikular
yang memendek menyebabkan interval PR yang memendek.
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom W-P-W

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ialah: 1). Interval PR memendek < 0,12 detik; 2). Adanya


gelombang delta; 3). Kompleks QRS melebar (karena
gelombang delta).

Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom L-G-L


ialah
1). Interval PR memendek (0, I2 det); 2). Tak ada gelombang
delta, kompleks QRS normal.

Pre-eksitasi pada Jalur Mahaim


Karenajalur Mahaim dimulai dari berkas His, maka interval
PR tidak terpengaruh. Jalur Mahaim mengawali aktivasi
pada sebagian ventrikel, sehingga terjadi gelombang delta.
Dengan demikian garnbaran EKG pada sindrom preeksitasi melalui ialur Mahaim ialah: 1 ). Interval PR normal;
2). Terdapat gelombang delta, kompleks QRS rnelebar.
Gambar 36. Jalur-jalur aksesori

- interval PR memendek
- tak ada gelombang delta,

Gambar 37. Pre-eks~tas~


pada jalur Kent s~ndromWPW lmpuls
dar~slnus menempuh dua jalur jalur 1 ~alahjalur normal, jalur 2
melalu~jalur Kent lmpuls yang melalu~jalur 2 mencapal ventr~kel
leb~hawal dan mengakt~vasrsuatu daerah D dl ventr~kel,yang
ventr~kel
pada EKG menggambarkan gelombang delta (D) Akt~vas~
melalur jalur 2 menyusul seh~nggabentuk akhlr EKG ~alahfus~
antara akt~vas~
melalu~jalur 1 dan jalur 2

Meskipun letak jalur Kent sangat bervariasi, pada garis


besarnya dapat dibedakan 2 tipe, yaitu :
SindromW-P-W tipe A. Di sinijalur Kent terletak di sebelah
kiri, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kiri. Gambaran
EKG menyerupai bentuk BCBKa, dengan R yang tinggi di
Vl danV2.
Sindrom WPW tipe B. Di sinijalur Kent terletak di sebelah
kanan, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kanan.
Gambaran EKG menyerupai bentuk BCB& dengan def-leksi
QRS yang negatif di V1 dan V2.
Pre-eksitasl pada Jalur James
Pre-eksitasi pada jalur James disebut juga sindrom Lo~zrnGunong-Levine(L-G-L). Gambaran EKG pada sindrom LG-L menggambarkan interval PR yang memendek karena
impuls yang melalui jalur ini mencapai ventrikel lebih cepat
karena tidak diperlambat oleh simpul-AV. Tetapi aktivasi
ventrikel ini berpangkal dari berkas His sehingga jalur
aktivasi ini tidak berbeda dari aktivasi normal. Ini
menghasilkan kompleks QRS yang normal, tanpa
gelombang delta.

Gambar 38. Pre-eks~tas~


jalur James S~ndromLown Ganong
Lev~nelmpuls dar~sinus menempuh dua jalur jalur 1 ~alahjalur
normal, jalur 2 melaluljalur James lmpuls melalul jalur 2 rnencapal
berkas HIS leb~hawal karena t~dakmengalam1 perlarnbatan dl
s~mpulAV, seh~nggaInterval PR memendek, sedangkan bentuk
kompleks QRS normal Akt~vas~
melalu~
jalur 2 tak mempunyalefek
karena ventr~keldalam perlode refakter mutlak

jalur Maha~mlmpuls dar~slnus h~ngga


Gambar 39. Pre-eks~tas~
s~rnpulAV beqalan b~asa,seh~nggatak ada pengaruh terhadap
Interval PR lmpuls mela11jalur 2 yang berawal darr berkas HIS,
leb~hawal dar~
mencapal suatu daerah D dl ventr~kel(sed~k~t)
sehrngga pada EKG
pada aktlvsl ventr~kelmelalu~jalur b~asa(I),
terdapat gelombang delta Selanjutnya terjadl fus~dar~akt~vas~
melalu~kedua jalur tersebut

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Elektrokardiografi ialah sarana diagnostik yang penting


untuk penyakit jantung koroner.Yang dapat ditangkap
oleh EKG ialah kelainan miokard yang disebabkan oleh
terganggunya aliran koroner.
Terganggunya aliran koroner menyebabkan kerusakan
miokard yang dapat dibagi menjadi 3 tingkat : 1). Iskemia,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kelainan yang paling riigan dan masih reversibel; 2). Injuri,
yaitu kelailian yang lebih berat, tetapi masih reversibel; 3).
Nekrosis, yaitu kelainan yang sudah ireversibel, karena
kerusakan sel-sel miokard sudah pennanen.

kiri, maka adalah penting untuk menentukan lokalisasi


bagian-bagian dinding ventrikel kiri pada EKG.
Pada umumnya dipakai istilah-istilah sebagai berikut :
1. Daerah anteroseptal : V 1 -V4
2. Daerah anterior ekstensif : V 1-V6, I dan aVL
3. Daerah anterolateral: V4-V6, I dan aVL
4. Daerah anterior terbatas :V3-V5
5. Daerah inferior: 11,111dan aVF
6. Daerah lateral tinggi : I dan aVL
7. Daerah posterior murni memberikan bayangan cermin
dari V1, V2 dan V3 terhadap garis horisontal.
Proyeksi dinding-dinding ventrikel kanan pada
umumnya terlihat pada V4R-V6R. Sering bersamaan dengan
11,111, dan aVF.

Garnbar 40. Berbagai derajat iskernia pada infark miokard

Masing-masing kelainan ini mempunyai ciri-ciri yang


khas pada EKG. Pada umumnya iskemia dan injuri
menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi miokard,
yaitu segmen ST dan gelombang T.
Nekrosis miokard menyebabkan gangguan pada proses
depolarisasi, yaitu gelombang QRS.
lskemia
Depresi ST. Ini ialah ciri dasar iskemia miokard. Ada 3
macam jenis depresi ST, yaitu : a). Horisontal, b). Landai
ke bawah, c). Landai ke atas
Yang dianggap spesifik ialah a dan b. Depresi ST
dianggap bermakna bila lebih dari 1 rnrn,makin dalam makin
spesifik.
Inversi T. Gelombang T yang negatif (vektor T berlawanan
arah dengan vektor QRS) bisa terdapat pada iskemia
miokard, tetapi tanda ini tidak terlalu spesifik. Yang lebih
spesitik ialah bila gelombang T ini simetris dan berujung
lancip.
Inversi U. Gelombang U yang negatif (terhadap I ) cukup
spesifik untuk iskemia miokard.

Garnbar 41. Depresi ST pada iskemia miokard

a. Depresi ST horisontal, spesifik untuk iskemia


b. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia
c. Depresi ST landai ke atas. kurang spesifik unt~lkiskemia

'i

I]

I'

Garnbar 42. Depresi T pada rskernia rniokard

lnjuri
Ciri dasar injuri ialah elevasi ST dan yang khas ialah
konveks ke atas. Pada umumnya dianggap bahwa elevasi
ST menunjukkan injuri di daerah subepikardial, sedangkan
i n j ~ ~dir i daerah subendokordial menunjukkan depresi ST
yang dalam.

untuk ~skernla
lnvers~T pada urnurnnya kurang spes~f~k
lnvers~T yang berujung lancip dan s~metrls(sepertl ujung
anak panah), spes~fikuntuk

iskemia

Nekrosis
Ciri dasar nekrosis miokard ialah adanya gelombang Q
patologis yaitu Q yang lebar dan daJam, dengan syaratsyarat: lebar > 0,04 detik dalarn >4 mm atau > 25% tinggi R
Lokalisasi Dinding Ventrikel pada EKG
Karena iske~niamiokard sebagian besar mengenai ventrikel

Garnbar 43. lnversi U, cukup spesifik untuk iskernia

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 44, lnjuri rniokard


a. Elevasi ST cernbung ke atas, spesifik untuk injur~(epikard)
b. Elevasi ST cekung ke atas, tidak spesifik
c. Depresi ST yang dalarn, rnenunjukkan injuri subendokardial

Gambar 45. Nekros~srn~okard Pada umurnnya d~anggap Q


rnenunjukkantebalnya nekrosrs, R menunjukkan slsa rn~okardyang
rnas~hhidup
a Bentuk qR nekros~sdengan slsa rnlokard sehat yang cukup
b Bentuk Qr nekros~stebal dengan slsa rn~okardsehat yang t~pls
c Bentuk QS nekros~sseluruh tebal rn~okard,yaltu transmural

Anterior ek?.tenstf

4ntemr teroalas

I.-

fase sebagai berikut:


Fase awal atau fase hiperakut: 1). Elevasi ST yang
nonspesifik, 2).T yang tinggi dan melebar.
Fase evolusi lengkap : 1 ). Elevasi ST yang spesifik,konveks
ke atas, 2). T yang negatif dan simetris, 3). Q patologis.
Fase infark lama: 1). Q patologis, bisa QS atau Qr. 2). ST
yang kembali iso-elektrik, 3). T bisa normal atau negatif
Beberapa catatan tentang EKG pada infark miokard : 1 ).
Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada infark miokard akut
bisa terlambat, sehingga untuk menyingkirkan diagnosis
infark miokard akut, diperlukan rekarnan EKG serial; 2). Fase
evolusi berlangsung sangat bervariasi, bisa beberapa jam
hingga 2 minggu. Bila elevasi ST bertahan hingga 3 bulan,
maka dianggap telah terjadi aneurisma ventrikel; 3). Selama
evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang
sehingga disebut infark miokard non-Q. Ini terjadi 20-30%
kasus infark miokard; 4). Gambaran infark miokard
subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan
memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris. Pada
umumnya terdapat depresi ST yang disertai inversi T yang
dalam yang bertahan beberapa hari; 5). Pada infark miokard
pada urnumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis
rniokard. sedangkan R menunjukkan miokard yang masih
hidup, sehingga bentuk Qr menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R
~nenunjukkannekrosis miokard; 6). Pada infark miokard
dinding posterior murni, gambaran EKG menunjukkan
bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal terhadap
garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di VI, V2, V3
dan disertai T yang simetris.

Gambar 46. Lokalisas~u~lidingverltll~elpada EKG

Gambar 47. Garnbaran EKG pada lnfark rniokard akut evolusi

Gambar 48. Contoh lokas~lnfark rn~okard

a Fase h~perakut
b. Fase ovulasi lengkap
c Fase infark lama

a lnfark akut anteroseptal


b lnfark akut posterlor rnurnl

GAMBARAN EKG PADA INFARK MIOKARDAKUT


Umumnya pada infark miokard akut terdapat gambaran
iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan
tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada
miokard yang disebut evolusi EKG Evolusi terdiri dari fase-

ANEKA KELAINAN ELEKTROKARDIOGRAFI


Hiperkalemia
Bila kadar kalium darah meningkat, berturut-turut akan
nampak kelainan: 1).T menjadi tinggi dan lancip, 2). R
menjadi lebih pendek, 3). QRS menjadi lebar, 4). QRS bersatu

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dengan T, sehingga segmen ST hilang, 5). P mengecil dan
akhirnya menghilang.
Hipokalemia
Bila kadar kalium darah menurun, berturut-turut akan
tampak kelainan-kelainan: 1). U menjadi prominen, 2).T
makin mendatar dan akhirnya terbalik, 3). Depresi ST, 4).
Interval PR memanjang.
Sering U yang prominen dikira T sehingga seolah-olah
interval QT memanjang.

LlAl
Hipokalsemia

Hiperkalsernia

Garnbar 51. Gambaran EKG pada hip0 dan hiperkalsemia


Hipokalsemia : QT memanjang terutama karena perpanjangan ST
Hiperkalsemia : QT memendek,terutama karena pemendekan ST

Hiperkalsemia
Kelainan EKG yang terpenting ialah interval QT yang
memendek.
Hipokalsemia
Kelainan EKG yang terpenting ialah perpanjangan segmen
ST, sehingga interval QT memanjang.

Gambar 52. Efek digitalis. QT yang memendek, depresi ST yang


menurun landai dan kemudian naik dengan curam dan T yang
rendah

Digitalis
Digitalis dapat mempengaruhi bentuk QRS-T, yang disebut
efek digitalis: I ). Memperpendek interval QT, 2). Depresi
ST, mulai dengan menurun landai disusul bagian akhir
yang naik dengan curam. 3). Sering menjadi rendah. Selain
itu bisa'terjadi gangguan pembentukan dan penghantar
impuls.
Garnbar 53. Perikarditisakut. Elevasi ST kurang dari 5 mm, bentuk
cekung ke atas, tidak timbul Q

K+ normal

b K+ mentngkat

Gambar 49. Gambaran EKG pada hiperkalemia. Bila kadar K'


makin meningkat:
a. T meninggi dan lancip, R menjadi pendek
b. QRS melebar dan bersatu dengan T
c. P merendah dan hilang

K+ menurun

K* normal

Gambar 50. Gambaran EKG pada hipokalemia. Bila K' makin


menurun:
a. U prorninen, T mendatar
b. Depresi ST, T terbalik, PR memanjang

Perikarditis
Pada perikarditis, biasanya teriadi peradangan pada
epikard, sehingga gambaran EKG menyerupai gambaran
iniuri pada epikard berupa elevasi ST. Pada perikarditis
yang hanya sedikit menimbulkan peradangan pada epikard
maka EKG bisa normal.
Kelainan EKG yang khas untuk perikarditis ialah sebagai
berikut:
1. Elevasi segmen ST : a). Biasanya luas kecuali Vl dan
aVR, b).Bentuk konkaf ke atas, c). Kurang dari 5 mm
2. T menjadi terbalik, terutama setelah segmen ST kembali
ke garis isoelektrik.
3. Tidak timbul Q.
Pada efusi perikardial, tanpa adanya peradangan
epikardial,tidak terdapat elevasi ST. Dalam ha1 ini gambaran
EKG hanya menunjukkan voltase yang rendah pada QRS
dan T.
Mengenai gambaran EKG pada kelainan irama jantung
(aritmia) dibahas khusus pada topik khusus di bagian lain
buku ini.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

REFERENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Arrhytmia -a Guide to Clinical Electrocardiology. Erik Sandoe, Bjarne


Sigurd. Publishing Partners Verlags GmbH., 1991.
Arrhytmia. Diagnosis and Management. Erit Sandoe, Bjarne Sigurd
Fachmed AG-Verlag fur Fach-medien, 1984.
Castellanos A, Kessler KM, Meyerburg RJ. The resting
electrocardiogram. In: Hurst, The Heart, Eight Edition, McGrawHill1 nc. 1994, 321-52,
Fish C. Electrocardiography and vectocardiog- raphy. In: Braunwald,
Heart Disease, Fourth Edition, WB Saunders Company. 1992:
1 16-60.
Hein J.J. Wellens, Mary B. Conover. The ECG in Emergency Dedsion
Making WB. Saunders Com- pany.1992.

Mark Silverman E. Myerburg RJ. Willis HurstJW. Electrocardiography, Basic Concepts and Clinical Application. McGraw-Hill
Book Company, 1983.
Thomas Bigger, J.Jr. The electrical activity of the heart. In :Hunt
.The Heart, , Eight Edition, 1994: 645-57.
Waldo AL, Wit AL. Mechanism of cardiac arrhythmias and conduction disturbances. In: Hurst, The Heart, Eight Edition, McGrawHilllnc. 1994: 656-97.
WHO ISFC Task Force. Classification of cardiac arrhytmias and
conduction disturbances. Am Heart J, 1979; 98(2): 263-7.
WHOIISFCTaskForce. Definition of terms related to cardiac rhytm.
Am Heart J, 1978; 95(6): 796-806.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

RADIOLOGI JANTUNG
Idrus Alwi

RADlOLOGl DADA NORMAL

Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara


sistematis adalah penting, berdasarkan penilaian pertama
pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Pendekatan ini
tentu saja didasarkan pada pemahaman mengenai apa yang
dimaksud dengan normal.
Pada pemeriksaan rontgen dada PA standar, diameter
keseluruhan jantung yang normal adalah kurang dari
setengah diameter tranversal toraks. Jantung pada daerah
toraks kisarannya tiga perempat ke kiri dan seperempat ke
kanan dari tulang belakang. Mediastinum lebih sempit, dan
biasanya aorta descendens dapat didefinisikan dari arkus
ke kubah diafragma di sisi kiri. Di bawah arkus aorta, dapat
dilihat hilus pulmonal, sedikit lebih tinggi pada bagian kiri
dibandingkan dengan bagian kanan. Pada foto lateral, arteri
pulmonalis utama kiri dapat terlihat superior dan posterior
dibandingkan dengan yang kanan. Pada penampakan
frontal sekaligus lateral, aorta asendens (akar aorta)
biasanya terhalang oleh arteri pulmonalis utama dan kedua
atrium. Lokasi pulmonary outj7ow tract biasanya jelas pada
foto lateral.

RUANG JANTUNG DAN AORTA

Pada pandangan PA, kontur bagian kanan mediastinum


berisi atrium kanan, aorta asendens dan vena kava.
Ventrikel kanan, setengahnya menutupi ventrikel kiri pada
penampakan frontal sekaligus lateral. Atrium kiri terdapat
inferior dari hilus pulmonal kiri. Pada kondisi normal,
terdapat cekungan pada tingkat ini, yaitu pada left atrial
appendage. Atrium membentuk sebagian atas kontur
posterior jantung pada foto lateral namun tak dapat
dipisahkan dari ventrikel kiri. Ventrikel kiri membentuk
apeks jantung pada pandangan frontal seperti halnya

sloping bagian inferior mediastinum pada foto lateral.


Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena
jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih
besar dibandingkan dengan udara. Karena darah
melemahkan x-ray lebih h a t dibandingkan dengan udara,
jantung relatiftampak benvarna putih (namun h a n g putih
dibandingkan dengan tulang) dan paru-paru relatif hitam
(kurang hitam dibandingkan dengan ujung-ujung film di
mana tidak adajaringan yang menghalangi). Bantalan lemak
dengan ketebalan yang berbeda mengelilingi apeks
jantung. Lemak memiliki kepadatan yang lebih besar
dibandingkan dengan udara dan sedikit lebih kecil
dibandingkan dengan darah. Kantong perikardium tidak
dapat didefinisikan secara normal. Pinggiran dari siluet
jantung biasanya cukup tajarn namun konturnya tidak tajam
secara keseluruhan. Meskipun waktu pajanan terhadap
sinar x sangat singkat (kurang dari 100milidetik), biasanya
terdapat gerakan jantung yang cukup mengakibatkan agak
buramnya siluet tersebut. Jika sebagian pinggiran jantung
tidak bergerak, seperti dalam kasus aneurisma ventrikel
kiri, pinggirannya nampak tajam. Arkus aorta biasanya
terlihat, karena aorta mengalirkan darah secara posterior
dan dikelilingi oleh udara. Sebagian besar aorta desendens
juga dapat terlihat. Posisi dan ukuran masing-masing dapat
dievaluasi dengan mudah dengan pandangan frontal dan
lateral.

PARU DAN VASKULARISASI PARU

Ukuran paru-paru bervariasi sebagai fbngsi inspirasi, usia,


bentuk tubuh, kandungan air, dan proses-proses patologis
intrinsik. Dengan adanya peningkatan disfbngsi ventrikular
kiri, cairan interstisial dalam paru-paru meningkat dan
ekspansi paru-paru menurun. Di sisi lain, paru-paru nampak
lebih besar dan lebih gelap jika disertai penyakit paru

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

obstruktif kronis dengan pembentukan bula. Jika ekspansi


paru-paru menurun, jantung nampak sedikit lebih besar
meskipun jantung sebenarnya tidak berubah ukurannya.
Namun, jantung tersebut tidak melebihi setengah diameter
transversal dada pada foto PA yang berkualitas baik
kecuali jika benar-benar ada kardiomegali. Penting untuk
diingat bahwa pembesaran yang nyata kemungkinan
disebabkan oleh pembesaran jantung secara keseluruhan,
pelebaran satu ruang jantung atau lebih, atau cairan
perikardial. Pada pasien-pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis, jantung seringkali nampak berukuran
kecil atau normal pada kondisi disfungsi jantung.
Pada subyek normal, arteri pulmonalis biasanya dapat
terlihat dengan mudah pada hilus dan secara bertahap
berkurang lebih perifer. Arteri-arteri pulmonalis kanan dan
kiri utama biasanya tak dapat diidentifikasi secara terpisah,
karena mereka terletak dengan mediastinum. Jika paru-paru
diandaikan terbagi menjadi tiga bagian, arteri utama adalah
sentral, arteri-arteri kecil yang mudah dibedakan dengan
jelas di zona tengah, dan arteri-arteri kecil dan arteriol yang
biasanya di bawah batas resolusi pada zona luar. Dalam
keadaan standar, pandangan frontal berdiri, arteri-arteri
pada zona yang lebih rendah lebih besar dibandingkan
dengan yang berada di zona yang lebih tinggi, pada jarak
yang sama dari hilus. Penampakan tersebut sehubungan
efek gravitasi pada sirkulasi paru-paru bertekanan rendah
yang normal. Hal tersebut terjadi demikian, jika gravitasi
mengarah pada volum intravaskular yang sedikit lebih
besar pada dasar-dasar paru-paru dibandingkan dengan
pada zona-zona yang lebih tinggi. Sudut yang dibuat oleh
paru-paru dengan diafragma biasanya sangat tajam dan
dapat ditandai dari dua sisi pada penampakan frontal dan
lateral. Kontur yang dibentuk oleh vena kava inferior
dengan jantung terlihat jelas pada foto lateral. Jika pasien
diletakkan pada sisinya dengan sisi kiri menghadap film,
bagian kanan relatif sedikit diperbesar dibandingkan
dengan yang kiri.

jantung yang menyempit, meningkatkan diameter transversal, sehingga jantung mungkin nampak membesar pada
penampakan frontal namun diameter AP yang sempit yang
terlihat pada penampakan lateral dapat menjelaskan ha1
ini. Kifosis atau skoliosisjuga dapat menyebabkan jantung
atau mediastinum nampak abnormal. Oleh karena itu
penting halnya untuk memeriksa tulang belakang dan
struktur tulang lainnya secara sistematis saat
memperhatikan radiografi dada.

EVALUASI FOTO RONTGEN DADA PADA


PENYAKIT JANTUNG
Penyakit kardiovaskular menyebabkan perubahanperubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran
foto rontgen dada. Kardiomegali secara keseluruhan
dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi
setengah diameter toraks atau tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemia yang
mengikuti infark miokard. Dalam penilaian foto rontgen
dada secara sistematis, langkah pertama adalah untuk
menetapkan tipe film apa yang akan dievaluasi-PA dan
lateral, PA saja, atau AP (entah portabel atau satu diambil
dalam pandangan AP karena pasien tidak mampu berdiri).
Langkah berikutnya adalah menentukan apakah foto-foto
sebelumnya tersedia untuk perbandingan.

VARlASl NORMAL
Variabel anatomis dan penuaan merupakan tantangan
dalam evaluasi foto rontgen dada karena penurunan
compliance paru. Aorta dan pembuluh darah besar
biasanya menyempit dan menjadi lebih berliku (tourtuous)
dan lebih jelas seiring bertambahnya usia, mengarah pada
pelebaran mediastinum superior. Jantung nampak lebih
besar karena penurunan komplaiens paru kecuali jika
memang ada penyakit jantung, jantung ukurannya kurang
dari setengah diameter transversal dada pada pandangan
PA. Pasien yang obes lebih mungkin memiliki derajat
hambatan ekspansi paru-paru maksimal, sehingga mungkin
akan membuat jantung normal nampak sedikit lebih besar.
Pasien dengan pektus ekskavatum memiliki diameter AP

Gambar 1. A). Proyeksi frontal jantung dan pembuluh darah; 0 ) .


Gambar garis pada proyeksi frontal menunjukkan hubungan katup
jantung, cincin, dan sulci ke garis rnediastinal. A= ascending aorta;
AA= aortic arch; Az= azygous vein; LA= left atrial appendage;
LB= left lower border of pulmonary artery; LV= left ventricle; PA=
main pulmonary artery; RA= right atrium; S= superior vena cava;
SC= subclavian artery

PARU DAN VASKULARISASI PARU


Pemeriksaan terhadap pola vaskularisasi paru merupakan
ha1 yang sulit namun sangat penting. Pemeriksaan tersebut

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

RADIOLOGIJANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


bervariasi tergantung posisi pasien (berdiri versus
berbaring) dan berubah secara mendasar oleh penyakit
paru yang mendasarinya. Cara terbaik untuk menilai
vaskularisasi paru adalah dengan memperhatikan zona
tengah paru-paru (misalnya sepertiga dari paru-paru di
antara daerah hilus dan daerah perifer lateral) dan
membandingkan daerah pada lapangan paru atas dengan
daerah pada daerah yang lebih rendah pada jarak yang
sebanding dari hilus. Pembuluh darah harus lebih besar
pada paru-paru bagian bawah namun berbeda dengan
jelas pada zona-zona atas dan bawah. Pada kondisi
normal, pembuluh-pembuluh menyempit dan bercabangcabang dan sulit ditemukan pada sepertiga luar dari
paru-paru. Dalam kondisi normal tak terlihat di dekat
pleura.
Pada pasien dengan high-output state (misalnya
kehamilan, anemia berat seperti pada penyakit sickle cell,
hipertiroidisme) atau shunt kiri ke kanan, karena aliran
arteri pulmonalis meningkat, pembuluh-pembuluh
pulmonalis dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan
biasanya pada paru-paru perifer. Pada keadaan tekanan
arteri pulmonalis yang meningkat, batas-batas pembuluh
menjadi tidak jelas, pembuluh-pembuluh pada zona
rendah menyempit dan yang berada pada zona lebih
tinggi membesar, dan pembuluh-pembuluh menjadi lebih
jelas ke arah pleura, pada sepertiga luar paru-paru.
Dengan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (left
ventricular end-diastolic pressure =LVEDP) atau left
atrial pressure yang meningkat, edema interstisial
meningkat dan akhirnya muncul edema paru. Biasanya
terdapat korelasi pola vaskular paru dan pulmonary
capillavy wedge pressure (PCWP). Pada PCWP yang
lebih kecil dari 8 mm Hg, pola vaskular adalah normal.
Sementara PCWP meningkat menjadi 10 sampai 12 mm
Hg, diameter pembuluh-pembuluh pada zona lebih rendah
nampak sebanding atau lebih kecil dari pembuluhpembuluh pada zona yang lebih tinggi. Pada tekanan 12
sampai 18 mm Hg batasan-batasan pembuluh menjadi
lebih buram secara bertahap karena meningkatnya
ekstravasasi cairan ke dalam interstisium. Efek ini
terkadang mudah dikenali sebagai Kerley B lines, yang
horizontal, basis pada pleura, densitas linier perifer.
Bersamaan dengan meningkatnya PCWP melebihi 18
sampai 20 mm Hg, muncul edema paru dengan adanya
cairan interstisial dalam jumlah cukup untuk
mengakibatkan gambaran bat wing perihilar. Gambaran
khas tersebut dapat berubah untuk beberapa hal. Pada
pasien fibrosis paru luas atau bula multipel, terdapat pola
vaskular abnormal pada baseline dan jika terdapat
peningkatan PCWP, tak ada perubahan yang dapat
diprediksi. Pada pasien gaga1 jantung kronis, terdapat
perubahan-perubahan kronis pada pola vaskular paru
yang tidak berhubungan dengan perubahan yang muncul
pada pasien dengan tekanan ventrikel kiri yang normal
pada baseline.

RUANG-RUANGJANTUNG DAN PEMBULUHBESAR


Evaluasi terhadapjantung harus dilakukan secara sistematis.
Setelah menilai ukuran keseluruhan dan pola vaskular paru
sebagai refleksi status fisiologisjantung bagian kiri-ruang
jantung harus diperiksa. Seperti telah disebutkan, tidak
mungkin untuk menunjukkan ruang jantung dengan jelas
pada sebuah foto rontgen dada normal. Pada penyakit
valvular yang didapat dan pada banyak jenis penyakit
jantung kongenital, ditemukan pembesaran ruang jantung.

ATRIUM KANAN
Perbesaran atrium kanan biasanya tak pernah terbatas
(isolated) kecuali dengan adanya atresia trikuspid
kongenital atau kelainan Ebstein, keduanya jarang terjadi
meskipun pada kelompok usia anak. Atrium kanan dapat
melebar dengan adanya hipertensi pulmonal atau
regurgitasi trikuspid, namun pelebaran ventrikel kanan
biasanya melebihi atau menghalangi atrium. Kontur atrium
kanan bergabung dengan vena kava superior, arteri
pulmonalis utama kanan dan ventrikel kiri.

VENTRIKEL KANAN
Tanda klasik pembesaran ventrikel kanan adalah jantung
"boot-shaped' dan pemenuhan (filling in) ruang udara
retrosternal. Pemenuhan tersebut disebabkan oleh
pergeseran letak tranversal apeks ventrikel kanan saat
ventrikel kanan melebar. Karena pada orang dewasa
ventrikel kanan jarang melebar tanpa pelebaran ventrikel
kin secara bersamaan, bentuk boot ini seringkali tidak jelas.
Bentuk tersebut paling sering terlihat pada penyakit
jantung kongenital, biasanya pada tetralogi Fallot.
Bersamaan dengan melebarnya ventrikel kanan, ventrikel
tersebut meluas secara superior juga secara lateral dan
posterior, memenuhi ruang udara retrosternal.Ajaran yang
klasik adalah pada foto rontgen dada lateral, pada pasien
normal densitas jaringan lunak terbatas pada kurang dari
sepertiga jarak dari suprasternal notch sampai ke ujung
xyphoid. Jikajaringan lunak tersebut memenuhi lebih dari
setengah jarak ini, ha1 tersebut merupakan indikasi
pembesaran bilik kanan yang dapat dipercaya.
Pembesaran ventrikel kanan paling sering ditemukan
pada penyakit katup mitral, setelah terjadi hipertensi
pulmonal. Yang lebih jarang adalah karena hipertensi
pulmonal primer.

ATRIUM KlRl
Terdapat beberapa tanda klasik yang menunjukkan
pembesaran atrium kiri. Yang pertama adalah pelebaran

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kanan. Ventrikel kiri tetap berukuran normal. Pada


regurgitasi mitral, atrium dan ventrikel kiri keduanya
bertambah besar karena meningkatnya aliran. Redistribusi
vaskular paru lebih bervariasi pada regurgitasi mitral
dibandingkan dengan stenosis mitral, seperti halnya
pelebaran ventrikel kanan.

VENTRIKEL KlRl

-*r&
rl

w*

+-

Gambar 2. A). Radiografi dada lateral; B). Gambaran anatomis


ruang jantung dan pembuluh darah; C). Diagram proyeks~lateral
pada ruang jantung, clncln katup dan sulci

lej? atrial appendage di mana biasanya tampak sebagai


cembungan fokal dalam keadaan normal terdapat
cekungan di antara arteri pulmonalis utama kiri dan batas
kiri ventrikel kiri pada penampakan frontal. Yang kedua,
dikarenakan lokasinya, bersamaan dengan membesamya
atrium kiri, ha1 tersebut akan mengangkat left main stem
bronchus sehingga akan melebarkan sudut karina. Yang
ketiga bersamaan dengan membesarnya atrium kiri secara
posterior, ha1 tersebut mungkin menyebabkan
membengkoknya aorta torakalis tengah sampai yang
rendah ke arah kiri. Pembengkokan ini dapat dibedakan
dari liku (tourtuous) yang terlihat pada aterosklerosis,
yang melibatkan aorta torasik desendens pada bagian
atasnya atau keseluruhan. Selanjutnya, dengan
pembesaran atrium kiri yang khas, densitas ganda dapat
dilihat pada penampakan frontal, karena atrium kiri
memberikan proyeksi secara lateral ke arah kanan juga
secara posterior dan dikelilingi oleh paru-paru. Yang
terakhir, pada foto lateral, pembesaran atrium kiri nampak
sebagai tonjolan khas yang mengarah ke posterior.
Pembesaran atrium kiri yang terbatas pada orang
dewasa paling sering terlihat pada stenosis mitral, dan
pembesaran atrium kiri merupakan ciri penyakit katup
mitral. Pada stenosis mitral, atrium kiri membesar, terdapat
bukti redistribusi vaskular paru (seringkali dengan Kerley
B lines), dan pada akhimya terdapat pembesaran ventrikel

Pembesaran ventrikel kiri dicirikan dengan kontur apeks


yang jelas dan mengarah ke bawah, yang dibedakan dari
pergeseran letak transversal seperti yang terlihat pada
pembesaran ventrikel kanan. Kontur keseluruhan jantung
biasanya juga membesar, meskipun ha1 ini tidak spesifik.
Juga penting mengevaluasi ventrikel kiri pada posisi lateral, di mana tampak sebagai tonjolan posterior, di bawah
tingkatan anulus mitral. Pembesaran ventrikel kiri fokal
pada orang dewasa paling sering terlihat pada insufisiensi
aorta atau regurgitasi mitral (dengan pelebaran atrium kiri).
Pelebaran ventrikel kiri lebih jarang pada stenosis aorta,
meskipun ha1 tersebut dapat terjadi, bersamaan dengan
gaga1 jantung kongestif.

ARTERI PULMONALIS
Arteri pulmonalis utama dapat terlihat abnormal pada
banyak keadaan. Pada stenosis pulmonal, arteri pulmonalis
utama dan arteri pulmonalis kiri melebar. Pelebaran ini
dianggap disebabkan oleh efek jet melalui katup stenotik.
Pembesaran ini dapat terlihat dengan hilus kiri yang jelas
pada penampakan frontal dan prominent pulmonary outflow tract pada penampakan lateral. Penting halnya untuk
mengingat bahwa katup pulmonal berada lebih tinggi dan
perifer dari outflow tract dibandingkan dengan katup aorta.
Katup tersebut juga terletak di depan katup aorta pada
penampakan lateral.

AORTA
Pada foto dada frontal, pelebaran aorta terlihat sebagai
tonjolan mediastinum tengah ke arah kanan. Juga terdapat
sebuah tonjolan pada anterior mediastinum pada
penampakan lateral, di belakang dan superior terhadap
pulmonary outflow tract. Pelebaran aortic root paling
sering terlihat pada hipertensi sistemik lama yang tak
terkontrol. Pembesaran aortic root juga ditemukan pada
penyakit katup aorta.
Pada stenosis aorta, biasanya terdapat pelebaran fokal
aortic root yang seringkali jelas, dan seringkali tanpa
disertai pembesaran ventrikel kiri. Ventrikel kiri biasanya
menjadi hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

RADIOLOG1 JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


resistensi terhadap outflow dibandingkan dengan melebar
seperti yang terjadi sebagai respons terhadap peningkatan
volume aliran yang terjadi karena insufisiensi aorta.
Penebalan dinding ventrikel pada hipertrofi dapat dilihat
dengan pemeriksaan ekokardiografi, CT atau MRI, namun
ventrikel mungkin tampak normal pada pemeriksaan foto
rontgen dada walaupun terdapat stenosis katup aorta berat.
Pada keadaan di mana sudah terjadi dekompensasi ventrikel
kiri, terdapat pembesaran aortic root dan ventrikel kiri.
Pada regurgitasi aorta, keterlibatan aorta biasanya lebih
difus dibandingkan dengan stenosis aorta dan lebih mudah
terlihat. Pada regurgitasi aorta mumi, atrium kiri biasanya
tidak membesar. Namun, seiring dengan waktu, mungkin
muncul pelebaran anulus mitral sekunder terhadap
pelebaran ventrikel kiri dengan hasil regurgitasi mitral dan
pelebaran atrium kiri. Meskipun regurgitasi aorta secara
klasik muncul pada demam reumatik (dengan penyakit
katup mitral yang terkait), defek kongenital, atau penyakit
katup degeneratif, mungkin juga disebabkan oleh penyakit
pada aortic root, termasuk cystic medial necrosis, dengan
atau tanpa sindrom Marfan. Pada cystic medial necrosis,
keterlibatannya difus, dan biasanya terdapat pelebaran
aorta pada tingkatan katup setidaknya melalui arkus. Pada
sifilis tersier, sekarang jarang terlihat, penemuan khasnya
adalah pelebaran khas aorta dari akar sampai ke arkusnya,
namun mendadak menjadi normal diameternya pada
tingkatan ini. Pelebaran aneurisma aorta asendens juga
terjadi pada cystic medial necrosis. Kelainan aorta lainnya,
seperti diseksi akut atau kronis dan ruptur traumatik atau
pseudoaneurisma, lebih baik dilihat dengan CT.

PLEURA DAN PERIKARDIUM

dapat dilihat. Pada efusi berat, perikardium viseral dan


parietal akan terpisah. Karena terdapat bantalan lemak yang
berhubungan dengan masing-masing, terkadang mungkin
untuk membedakan dua garis lucent yang paralel pada
foto lateral, biasanya pada daerah puncak (apeks) jantung,
dengan kepadatan (cairan) di antaranya. Biasanya, siluet
jantung tersebut memiliki bentuk "water bottle" jika
terdapat efusi perikard berat, namun bentuk seperti itu
sendiri tidak memastikan diagnostik.
Kalsifikasi pleura sekaligus perikard dapat muncul,
namun seringkali tidak jelas. Kalsifikasi perikardial
berhubungan dengan riwayat perikarditis dan paling sering
berhubungan dengan tuberkulosis dan juga karena etiologi
lainnya, seperti infeksi viral, biasanya tipis dan linear dan
mengikuti kontur perikardium. Karena kalsifikasi tersebut
tipis, ha1 tersebut seringkali hanya terlihat pada satu sisi.

REFERENSI
Bettmann MA. The chest radiograph in cardiovascular disease. In:
Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart disease: a textbook
of cardiovascular medicine. 7th ed. Philadelphia: WB
Saunders;2005.p.271-86.
Boxt LM. Radiology of the right ventricle. Radiol Clin North Am.
1999;37:379
Lipton MJ, Coulden R. Valvular heart disease. Radiol Clin North
Am. 1999;37:3 1.
Murray JG, Brown AL, Anagnostou EA, et al. Widening of the
tracheal bifurcation of chest radiographs:value as a sign of left
atrial enlargement.AJR 1995; 164: 1089.
Thomas JT, Kelly RF, Thomas SJ et al: Utility of history, physical
examination, electrocardiogram, and chest radiograph for
differentiating normal from decreased systolic function in
patients with heart failure. Am J Med 2002;112:437.

Perikardium jarang dapat dibedakan pada pemeriksaan foto


rontgen dada. Terdapat dua keadaan di mana perikardium

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ELEKTROKARDIOGRAFI
PADA UJI LATIH JANTUNG
Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN
Uji latih jantung dengan menggunakan treadmil sering
dikenal dengan tes treadmil. Uji latih ini sudah sering
dilakukan sebagai cara untuk mengetahui adanya
gangguan pada pembuluh darah koroner, gangguan irama
serta menjadi bahan referensi untuk pemeriksaan lanjutan
untuk mengetahui adanya kelainan jantung. Ada dua cara
yang dikenal sebagai uji latih yakni dengan treadmil atau
dengan sepeda ergometri.
Sebelurn pelaksanaan tes semua alat dan perlengkapan
guna tindakan kedaruratan hams tersedia dalam jangkauan
tenaga pelaksana. Defibrilator, oksigen dan obat-obat
untuk mengatasi terjadinya gangguan pada jantung
merupakan ha1 yang wajib tersedia. Tenaga yang
melaksanakan harus mengerti tatalaksana tindakan
kedaruratan kardiak dan sudah menjalani pelatihan
sebelumnya.
Alat treadmil sebaiknya mempunyai jalur aman di
sisinya untuk menjaga keamanan pasien. Lengan pasien
juga harus bebas dari alat agar mudah dilakukan
pemeriksaan tekanan darah oleh pemeriksa.

PERSIAPAN SEBELUM TES


Pasien disarankan untuk tidak makan, minum dan merokok
dua jam sebelum tes. Lakukan anamnesis tentang riwayat
penyakit pasien dan kemampuan aktivitas fisik pasien
terakhir untuk melengkapi status. Laksanakan pemeriksaan
awal dalam keadaan istirahat pada pasien dalam posisi yang
nyaman. Semua ini untuk mengetahui apakah pasien
memiliki gejala yang menjadi kontnaindikasi mutlakmaupun
relatiftes ini. (Tabel 1)

Mutlak
lnfark miokard akut dalam 2 hari
Angina tak stabil yang risiko tinggi
Aritmia jantung tak terkontrol dengan gejala dan gangguan
hernodinamik
Stenosis aorta berat dengan gejala
lnfark paru atau emboli paru akut
Perikarditis atau miokarditis akut
Diseksi aorta akut
Relatif
Stenosis di pembuluh koroner left main
Penyakit jantung katup stenosis yang sedang
Gangguan elektrolit
Hipertensi berat
Takiaritmia dan bradiaritmia
Kardiomiopati hipertrofi dan bentuk lain harnbatan aliran ke
luar jantung
Gangguan fisik dan mental yang mengganggu jalannya
perneriksaan
Blok atrioventrikular derajat tinggi

Pelaksana tes wajib pula mengetahui obat-obat yang


dikonsumsi pasien sebelum melaksanankan tes.
Penggunaan obat penghambat D sebaiknya tidak
dihentikan bila memang sangat diperlukan pasien walau
dapat mempengaruhi hasil tes. Persiapan juga dilakukan
terhadap kebersihan kulit agar tidak menimbulkan banyak
artefak pada rekaman EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead wajib dilakukan sebelum
tes baik pada posisi berbaring dan berdiri. Pemasangan
elektroda sebaiknya menghindari daerah lengan agar
tidak menimbulkan gangguan rekaman. Jadi elektrode
l e n g a ~sebaiknya diletakkan di bahu, elektroda hijau
(ground) di spina pinggang dan untuk kaki kanan di
bawah umbilikus, atau modifikasi lainnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATIH JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PELAKSANAANTES
Komplikasi dapat diketahui segera bila kita tetap
melakukan pengawasan pada tekanan darah, mengawasi
hasil rekaman EKG, bertanya pada pasien tentang gejala
yang dialami dan gejala keletihan dan melakukan penilaian
terhadap semua gejala atau tanda yang muncul saat tes.
Selama tes berlangsung sebaiknya lengan pasien tidak
memegang dengan kencang pada tempat pegangan agar
tidak menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan
kemampuan pasien.
Target frekuensi nadi sebaiknya tidak terlalu
bergantung pada umur agar tidak mengacaukan
kemampuan yang dimiliki pasien, karena kemampuan
yang ada bersifat individual. Walau demikian sebagai
patokan pencapaian kerja fisik dapat digunakan. Kapan
kita melakukan penghentian tes dapat dilihat di
Tabel 2.

Mutlak
Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil
pemeriksan sebelum uji latih disertai bukti lain adanya
gejala iskemia
Angina sedang ke berat
Gejala sistem saraf meningkat (seperti ataksia, mengantuk
dan gejala sinkop)
Tanda rendahnya perfusi (sianosis dan pucat)
Sulit untuk evaluasi EKG dan tekanan darah
Pasien meminta berhenti
Takikardia ventrikel menetap
Elevasi ST (>1.0 mm) tanpa ada diagnosis gelombang Q
(selain lead Vlatau aV)
Relatif
Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil
pemeriksaan sebelumnya namun tanpa disertai gejala
iskemia
Perubahan ST dan QRS seperti menurunnya ST (>3 mm
penurunan segmen ST baik horisontal maupun
downsloping) atau perubahan aksis tetap
Aritmia selain aritmia ventrikel sustained
Lemas, sesak napas, timbul mengi, kram kaki atau gejala
klaudikasio
Terjadi bundle branch block pada konduksi intraventrikular
yang tidak dapat dibedakan dengan takikardia ventrikel
Nyeri dada yang meningkat
Hi~ertensiyanq rneninqkat

Untuk mengetahui kemampuan pasien sesungguhnya,


dapat digunakan skala Borg.

mengurangi terjadinya perubahan gambaran EKG. Setelah


dianggap cukup, pasien duduk atau dapat pula berbaring
sambil tetap dilakukan pengawasan dan rekaman 10 detik
pertama setelah kaki berhenti. Pengawasan pasca tes
dilakukan selama 5 menit walau terkadang dilakukan lebih
lama sampai gejala atau gambaran perubahan EKG
berkurang atau hilang .

PROTOKOLYANG DIGUNAKAN
Ada beberapa macam protokol. Yang sering digunakan
adalah protokol Bruce dan Naughton. Pada metode Bruce,
selama menjalani uji latih, pasien akan mendapatkan beban
dari alat dengan menaikkan ban berjalan beberapa derajat
disertai penambahan kecepatan setiap peningkatan stage.
Metode Naughton hanya ada peningkatan kecepatan
perlahan saja.

15-Grade Scale
Very, very light
Very light
Faidy light

1.11-Grade Scale
0
0.5
1
2
3
4
5

Somewhat hard

6
7

Hard

8
9
10

Very, very hard

Nothing
Very, very weak oust ..
Very weak
Weak (light)
Somewhat strong
Strong (..)
Very strong
Very, very strong (hampir
maksimum)
Maksimum

* From berg GA. Med Sport. 1982;14:377-381. Reproduced


with permission

FREKUENSI NADl
Target denyut jantung yang akan dicapai sebaiknya bukan
menjadi masalah untuk tidak memastkan bahwa hasil tes
tidak dapat diolah. Semua hasil tes disimpulkan sesuai
dengan gejala atau garnbaran rekaman yang terjadi selama
pelaksanaan tes.

PEMULIHAN DENYUT JANTUNG


FASE PEMULIHAN SETELAH TES
Setelah mencapai kemampuan maksimal, maka pasien
diminta untuk berhenti secara teratur. Setelah alat teadmil
berhenti sempurna, pasien tetap menggerakkan kakinya
seperti jalan di tempat dengan santai. Hal ini untuk

Denyut Jantung atau frekuensi nadi akan berkurang


dengan cepat setelah tes dihentikan. Apabila berkurangnya
denyut jantung kurang dari 20 kalilmenit pada menit
pertama dan kedua, maka ini menjadi prediktor
meningkatnya risiko kematian.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1546

KARDIOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TEKANAN DARAH

Tekanan darah sistolik seharusnya naik saat tes


berlangsung. Bila terjadi penurunan tekanan darah di
bawah tekanan darah sebelum tes, bisa menjadi kriteria
yang diwaspadai. Bila terjadi aktivitas yang menyebabkan
terjadinya hipotensi, maka dianggap terjadi disfungsi
ventrikel kiri, iskemia atau obstruksi aliran keluar.
Peningkatan tekanan darah yang cepat saat tes
berlangsung menjadi penilaian adanya kemungkinan
timbulnya iskemia.

r rolnt

'

'

Exercise Induced ST depresslo


or at PQ level
!.It.

A.resting ST elevation+

I(

, I 1

Measured ST
demsston

Standing pro- exerclse


Exerclse response

A
B. When the ST level begins below the isoelectric line:

~ta~din~~exercise]
Exerase response

KAPASITAS FUNGSIONAL

Kemampuan mencapai kapasitas maksimal saat aktivitas


menjadi salah satu penilaian. Untuk mengetahui dapat
disesuaikan dengan skala MET. (Tabel 4)

'

- +A - --A- --.

- lsoelektnc lhne -------[W Polnt'


J-Junct'on

Maximum Exercise

10 METs
13 METs
18 METs
20 METs

'

Measured ST
depress~on
Kestlng ST depression wlth
Exerctse ~nducedSt deoressim

Resting ST depresbn
mspasmorI n d u d ST devaHon

Tabel 4. Cl~nicallySignificant Metabolic Equivalent for

1 MET
2 METs
4 METs
<5 METs

--

'\

Resting
Level walking at 2 miWhour
Level walking at 4 mil/hour
Poor prognosis: peak cost of bas~c
activities of daily living
Prognosis with med~caltherapy as
good as coronary artery bypass
surgery
Excellent prognosis regardless of other
exercise responses
Elite endurance athletes
Word-class athletes

E.Wall motion abnormality


(Not ischemia)
St elevalion with tachycardia
over diagnosis Q waves

--

INTERPRETASI EKG

Depresi ST segmen menunjukkan iskemia subendokardial.


Digunakan gambaran pada leud V5, serta I1 dan aVF.
Gambaran EKG pada kemampuan maksimal (excercise
nzu.rii?tul)dan masa 3 menit saat recovery menjadi waktu
yang perlu diwaspadai.
Aktivitas tes yang menimbulkan elevasi atau depresi
segmen S T menunjukkan adanya iskemia. Elevasi
menggambarkan terjadinya iskemia transmural yang bersifat
aritmogenik, biasa berhubungan dengan spasme dan lesi
yang jelas pada arteri. Elevasi juga bisa menjadi patokan
lokasi lesi. Depresi biasanya berhubungan dengan iskemia
subendokardial yang tidak aritmogenik dan tidah
berhubungan dengan spasme maupun lokasi lesi.
Uji latih jantung juga dapat menimbulkan timbulnya
aritmia. Yang sering terjadi adalah kontraksi ventrikular
prematur (PVC). Biasa terjadi pada orang usia lanjut dengan
penyakit kardiovaskular, PVC saat istirahat maupun akibat
iskemia. Baik akibat aktivitas lnaupun istirahat, PVC menjadi
prediktor timbulnya perburukan.

Measured ST
depression

PQ Point

Standing pro- exercise


Exercise response

1I

Gambar 1.

SKOR TES AKTlVlTAS

ACCIAHA menganjurkan untuk menggunakan skor guna


meningkatkan kemampuan tes untuk mencapai hasil yang
sesuai denga keadaan penyakit pasien. Dapat digunakan
nomogram berikut. (Gambar 2)
Skor yang sering digunakan adalah skor Duke's
Skor treadmil= lama excercise (5 kali deviasi ST (4 kali
indeks angina TM)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1547

ELEKTROKARDIOGRAFI PADA UJI LATlH JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


EXERCISE CAPACITY
PLnf normal in r~ferralmaleal

Men
llB

4 0=

Exerclsc ST
Depression

Law
Probabolity

46-60 =
Intermediate
Probability

Angina History

,.I

--

--

-,.

Hypercholesterol
emia ?
Diabetes '
Exercise Test
~nducedangina ?

Yes = 5
Ocmmed- 3

-zEz

NO

High
Probability

Total Score =

Garnbar 1.

Lama excercise dalam menit, deviasi ST dalam mm dan


indeks angina TM (treadmil) adalah: 0 untuk tidak ada
angina, 1 ~ ~ n t uangina
k
yang tidak mempengaruhi
e.vcerci.se, 2 untuk angina yang menyebabkan hambatan
excercist.. Bila skor kurang atau sama dengan -1 1 maka
risiko meningkat. Sedangkan skor lebih atau sama dengan
+5 risiko rendah.
Sebelum melakukan tes aktivitas sebaiknya kita
mengetahui kira-kira pasien perlu menjalani pemeriksaan
angiografi atail tidak. Dapat digunakan tabel berikut. Bila
pasien telah menjalani uji latih jantung maka untuk tindakan
lanjut yang diperlukan pasien dapat diprediksi melalui
tabel-tabel di bawah ini:

Women

47=

Law
PrebaboUry
>2mm=lO

*5p-25
50ts65p-15
Angina History

DehitelIjpical= 10
Pmbablelaryprcal= 6
Nan-cardropam= 2
Ye$ = 110

Hypere h o i t t r d d?

37-75 =
Intermediate
Probability
257
High
Probability

Yes = 10
Oocutrceb= 9

D~abetes?
Exacise T W
induced aagill~l?

R e a s c n t f o r a ~ e g =19
Poslt~ve= -5, negattve =

Total Score

Chaitman BK. Exercise stress testing. Dalam Braunwald's et al editor, Heart disease. a textbook of cardivascular medicine Edisi 7.
Nett York. 2005. 153-85
Engel G et al ECG exercise testing. Dalam: Fuster V et al editor.
Hurst's the heart Edisi l I. New York, McGraw-Hill. 2004.
467-80.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG


(HOLTER MONITORING)
M. Yamin, Daulat Manurung

PENDAHULUAN
Ada tiga ha1 penting yang hams diketahui oleh seorang
dokter yang dihadapkan pada kasus ganggdan irama
jantung (aritmia) yaitu jenis aritmia, gejala yang berkaitan
dengan aritmia tersebut, dan penyebab atau penyakit yang
mendasarinya. Rekaman EKG permukaan 12 sandapan
sering tidak dapat memberikan informasi tersebut secara
lengkap. Untuk tujuan ini pemantauan irama jantung
ambulatori yang non-invasif (Holter Monitoring) telah
digunakan secara luas. Selain untuk mendeteksi aritmia
HM kerap dipakai untuk membantu diagnosis penyebab
sinkop. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Holter
pada tahun 1950-an.
Komponen pada Holter Monitoring (HM) terdiri dari
alat perekam (recorder) 24 jam yang berbentuk kaset,
penanda waktu internal, catatan aktivitas dan gejala, dan
tombol penanda gejala (symptom-indicator button). Sistem
ini dihubungkan dengan elektrode dua sadapan untuk
mendapatkan gambaran EKG yang optimal.
HM biasanya digunakan pada pasien dengan gejala
aritmia yang muncul setiap hari karena hanya dipasang
selama 24 jam. Untuk pasien dengan aritmia yang jarang
(muncul dalam dua atau tiga hari sekali), digunakan
modifikasi HM yaitu alat perekam kejadian (eventrecorder)
yang merekam EKG secara terns-menerns pada pita dan
hanya kejadian 30 sampai 90 detik terakhir yang dapat
diputar ulang. Saat pasien merasakan gejala aritmia maka
ia dapat mengaktifkan tombol dan menghentikan rekaman
serta mengirim data melalui telepon ke pusat penerima data.
Modifikasi HM yang tercanggih adalah ILR (implanttable
loop recorder) yang ditanam di bawah kulit seperti pacu
jantung. Alat ini merekam EKG secara berkesinambungan
selama 24 jam dan menghapusnya kembali. Bila pasien

mengalami gejala maka dapat dilakukan interogasi dengan


alat khusus yang disebut programmer. ILR dapat dipakai
selama satu tahun. Alat ini bermanfaat untuk diagnosis
aritmia yang sangat jarang muncul yang biasanya disertai
sinkop.

Indikasi penggunaan HM adalah:


Menilai gejala yang mungkin berkaitan dengan aritmia:
- Pasien dengan sinkop atau near-syncope yang tidak
dapat diterangkan atau gejala pusing dengan
penyebab yang tidak jelas
- Pasien dengan palpitasi berulang dan tidak dapat
diterangkan
Menilai Terapi antiaritrnia
*. Menilai fungsi alat pacu jantung dan implantable
cardioverter defibrillator (ICD)

Beberapa ha1 penting yang harus diperhatikan dalam


interpretasi hasil HM adalah aritmia muncul intermiten,
variasi diurnal terhadap irama jantung, adanya pengaruh
aktivitas fisik dan tekanan emosi (stress emotional)
terhadap aritmia.
Hasil rekaman data dianalisis secara otomatis oleh
komputer. Teknisi akan membantu pelacakan (scanning)
dan menyunting data. Sistem komputer akan menghitung
laju jantung, premature atrial dan ventricular beat, dan
takikardia lainnya.
Dokter yang melakukan penafsiran hams mengaitkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1549

PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG (HOLTER MONITORING)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


data rekaman dengan gambaran klinis dan gejala yang
dirasakan pasien. Sering didapatkan kelainan irama pada
pasien dengan jantung normal dan tidak bergejala seperti
sinus bradikardia berat (laju nadi kurang dari 40 ximenit),
sinzls pause, prernature atrial dan ventricular beat,
bahkan blok atrioventrikular tipe Wenckebach (terutama
saat tidur). Adanya sinus aritmia dan sinus bradikardia
berat dalam keadaan istirahat pada atlit terlatih adalah
normal. Sebaliknya bila didapatkan irama sinus normal pada
saat pasien merasakan gejala yang berat maka harus
dipikirkan penyebab non-aritmia.
Jenis aritmia yang ditemukan dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori berikut ini:
Risiko tinggi:
- Takikardia ventrikel
- Fibrilasi ventrikel
- Blok AV total dengan escape heut yang tidak
memadai
- Wolf-Parkinson-White dengan konduksi cepat saat
fibrillasi atrial (AF)
Risiko sedang:
- Premature Ventricular Contruction (PVC)
kompleks yang disertai penyakit jantung
- Blok AV derajat 2
- Blok AV derajat 3 dengan escape heat yang memadai
Risiko rendah
- Premutzrre atri~llcomplex- PVC
- Disfungsi sinus node
- Takikardia supraventrikel
- Blok AV derajat 1
- PVC kompleks tanpa kelainan jantung
Setelah menentukan jenis aritmia yang didapat. langkah
selanjutnya adalah mencari gejala yang berkaitan dengan
aritmia tersebut. Secara umum gejala yang dikeluhkan
pasien adalah palpitasi, pusing, hampir pingsan, dan
kehilangan kesadaran (sinkop). Aritmia yang disertai
kehilangan kesadaran menandakan adanya gangguan

hemodinamik. Bradiaritmia atau takiaritmia seperti ini


berisiko tinggi untuk terjadinya kematian mendadak. Gejala
tersebut dikelompokkan menjadi:
1. Risiko tinggi: hampir pingsan, pingsan, dan aborted
sudden death
2. Risiko sedang: pusing, palpitasi berat, perburukan gejala
gaga1 jantung
3. Risiko rendah: pusing ringan, palpitasi.

Gambar 1 memperlihatkan rekaman HM pada pasien


dengan keluhan utama berdebar dan hampir pingsan.
Data berikutnya yang hams dicari adalah penyakit yang
mendasari aritmia tersebut. Ditemukannya PVC kompleks
pada pasien dengan jantung normal tidak memberikan nilai
prognostik yang bermakna. Sebaliknya PVC kompleks pada
pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri memberikan
implikasi yang bermakna untuk terjadinya kematian
mendadak.
Dengan semua informasi di atas maka dapat ditentukan
strategi penanganan yang tepat: menghilangkan gejala atau
mencegah kematian mendadak.

Diagnosis aritmia tidak selalu dapat ditegakkan dengan


rekaman EKG permukaan sesaat. Apalagi untuk
menghubungkan antara aritmia dengan gejala yang
dirasakan pasien. Holter Monitoring (HM) merupakan alat
sederhana yang bersifat noninvasif yang dapat
memberikan jalan keluar atas kesulitan tersebut.
lnterpretasi hasil HM harus dilakukan secara holistik
dengan mengintegrasikan gejala, jenis aritmia yang
ditemukan, dan penyakitlkelainan jantung yang
mendasarinya. Berdasarkan itu dilakukan stratifikasi
risiko rendah, sedang, dan tinggi. Penanganan aritmia
secara umum diarahkan untuk mengurangi gejala
dan mencegah kematian mendadak akibat aritmia
fatal.

Gambar 1. Rekarnan Holter monitoring pada pasien dengan keluhan utarna palp~tasi
dan harnpir plngsan Terekarn aritrn~aberupa fibrilasi atr~aldan henti sinus (smus

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


REFERENSI
Dougherty AH and Naccarelli GV. Noninvasive evaluation in
patient with cardiac arrhythmias. In: Vlay SC. A practical
approach to cardiac arrhythmias. 2ndEd, Liitle, Brown and
Company, 1996
Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science,
1999
Lee H. Ambulatory electrocardiography and electrophysiology testing. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a
textbook of cardiovascular rnedi~ine.7~
Ed, Elsevier Saunders,
2005.
Wrought RA and Wagner GS. Electrocardiographic monitoring.
1n:Waught RA, Ramo BW, Wagner GS (Eds). Cardiac
arrhythmias: a practical guide for clinician. 2ndEd, FA Davis
Company, 1994.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI


Ali Ghanie

PENDAHULUAN
Ekokardiografi merupakan alat diagnostik di bidang
kardiovaskular dengan prinsip dasar gelombang suara
frekuensi tinggi. Dengan transmisi gelombang suara,
diharapkan terjadi pantulan gelombang yang akan
memberikan kontur yang sesuai dengan jaringan yang
memantulkan transmisi gelombang. Sehingga dengan alat
ekokardiografi akan diperoleh kontur dinding pembuluh
darah, ruang-ruang jantung, katup-katup jantung serta
selaput pembungkus jantung. Pencitraan akan tergambar
dalam bentuk satu dimensi (m-mode) dua (2-D) bahkan
dimensi tiga(3-D) atau empat (4-D).
Adanya dopler pada alat eko yang menggunakan
prinsip transmisi pantulan gelombang suara oleh sel darah.
merah, akan memungkinkan pengukuran kecepatan
(velositas) dan arah aliran darah dalam jantung dan
pembuluh. Oleh karena itu dapat dipakai untuk pengukuran
hemodinamikjantung seperti isi sekuncup, curahjantung,
tekanan, dan 'pressure gradien'.
Sementara sistem warna pada eko (color flow mapping) memungkinkan untuk menentukan arah dan sifat
aliran darah baik yang 'stream line' atau turbulen. Oleh
karena itu dengan modalitas tersebut pengukuran dopler
dapat diarahkan melalui bimbingan aliran yang benvama
(color guided dopler), selain dapat dengan mudah melihat
adanya aliran-aliran turbulen akibat regurgitasi, stenosis
maupun aliran abnormal melalui defek pada septum atrial
atau ventrikel.
Pada awalnya pemeriksaan eko bersifat noninvasif,
karena pemeriksaan dilakukan dengan transduser (sumber:
dan penerima gelombang suara) melalui dinding dada,
dikenal sebagai pemeriksaan eko transtorakal (ETT).
Namun ada beberapa keterbatasan ETT pada keadaan
tertentu seperti pasien emfisema, gemuk, serta tidak mampu
dalam evaluasi ruang seperti apendik atrium. Untuk

mengatasi ha1 tersebut belakangan muncul eko


transesofageal (ETE) yang bersifat invasif, di mana
transduser dilekatkan pada ujung alat endoskopi. Dengan
cara ini transduser dimasukkan melalui esofagus sampai
kelambung, dan evaluasijantung dilakukan dari belakang,
sehingga limitasi ?TE dapat diatasi karenajarak yang lebih
dekat dengan target, serta jaringan pemisah antara
transduser dan target dapat diabaikan.
Selain daripada itu dikenal beberapa prosedur eko
invasif yang lain yaitu intraoperatif, dengan meletakkan
transduser langsung ke permukaan jantung pada saat
operasi jantung, serta pemeriksaan eko intravaskular (intra vascular ultrasound=IVUS) di mana transduser
diletakkan pada ujung kateter pada prosedur angiografi
koroner.
Dengan perkembangan teknologi di bidang ultrasound
belakangan dikenal pula pemeriksaan eko dengan kontras
untuk melihat adanya defek pada sekat maupun dalarn
evaluasi kinesis gerakan dinding jantung, sementara itu
pemeriksaan tissue dopler lebih diarahkan untuk
mendeteksi kinesis jantung yang dapat dikaitkan dengan
penyakit jantung iskemia, clan diastologi.
Dalarn bab diagnosis ekokardiografi ini hanya akan
dibicarakanbeberapa basis modalitas eko seperti M-mode,
eko 2 dimensi, eko warna, eko dopler sederhana, dan eko
transesofageal yang sering ditemukan dalam praktek
sehari-hari.

Transduser
Merupakan kelengkapan alat eko berupa sumber:
gelombang suara ultra yang berasal dari kristal
piezoelektrik, sehingga memungkinkan terjadinya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pencitraan. Melalui transduser, gelombang suara dapat
diarahkan secara elektronik atau mekanikal ke arah target
sasaran yang dikehendaki.
Pilihan transduser tergantung dengan frekuensi,
semakin tinggi frekuensi semakin besar kemampuan
resolusi (kemampuan memisahkan dua objek yang
berdekatan), namun ke dalaman penetrasi akan berkurang.
Oleh karena itu dalam pemeriksaan eko diupayakan
menggunakan frekuensi yang paling tinggi tetapi masih
mempunyai kemampuan penetrasi yang maksimal.
Biasanya pada satu transduser telah dilengkapi dengan
multi frekuensi, sementara ke dalaman dapat diatur.
Dikenal dua macam transduser yaitu transduser untuk
pemeriksaan melalui dinding toraks, dan transduser untuk
pemeriksaan melalui esofagus. (Gambar 1 dan 2)

Gambar I.
A Transduser h e a r untuk pemer~ksaanvaskular
B Transduser Eko Transtorakal (Sumber A Ghanie Div
Cardiology Dept int Med F a c ~ i l t yof Medicine Sriwilaya
University Palemhdng)

OSKILOSKOP
Merupakan layar dengan berbagai ukuran, menampilkan
hasil proses pengolahan gelombang suara yang diterima
oleh transduser setelah melalui berbagai proses perubahan
sifat gelombang suara, amplifikasi serta prosedur teknis
lain yang tidak menjadi topik dalam bab ini.

Printer
Dapat dilakukan dokumentasi dengan printer hitam putih,
berwarna, dengan video maupun sistem digital. Pada
rekaman gambarlfoto ('stop picture') terdapat beberapa
kendala kelengkapan gambar yang barangkali tidak
dianggap penting oleh ekokardiografer. Oleh karena itu
sebaiknya dilakukan dokumentasi dengan video sehingga
diperoleh kondisi yang menyerupai 'real time', akan tetapi
menyita waktu dan terjadi penurunan gradasi kualitas
gambar. Sistem digital dapat mengatasi masalah kualitas
gambar sama dengan aslinya dan memudahkan sistem
arsip.

Hasil gambar eko sangat subjektif tergantung keterampilan


dan pengalaman dari ekokardiografer. Oleh karena itu
seorang ekokardiografer dituntut mempunyai kompetensi
pengetahuan dasar mengenai gelombang suara ultra dan
karakteristik kemampuan mesin eko dalam pengaturan
gambar, sehingga dapat dibuat gambar yang standar,
informatif dan dapat diulang dengan kualitas gambar yang
sama. Selain itu dibutuhkan pengetahuan anatomi jantung
normal beserta varian normal, kelainan yang berhubungan
dengan anatomi maupun hemodinamik akibat kelainan
yang didapat maupun kongenital.

MODALITAS EKO DAN PERANNYA DALAM DIAGNOSIS KARDIOVASKULAR

Gambar 2. Transduser Ekoardiografikardiografi transesofageal


(Surnber : A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of
Medicine, Sriwijaya University Palembang)

E kokardiografi M-Mode
Merupakan eko satu dimensi, di mana dilakukan pencitraan
satu garis dari anterior sampai ke posterior bidang jantung
yang kemudian dengan waktu akan tampak pada layar
sebagai gerakan dari kiri ke kanan (motion mode=M-mode).
Walaupun merupakan modalitas yang pertama di bidang
eko, kemampuan resolusi spatial jelek, namun mempunyai
kelebihan dalam resolusi temporal karena 'fi.umerate' yang
cepat, oleh karena itu sangat baik untuk objek yang
bergerak.
Agar gambar dan pengukuran akurat, dibutuhkan
potongan tegak lurus terhadap struktur yang akan diambil.
Saat ini dengan adanya sistem digital, potongan tegak lurus

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1553

PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOCRAFI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dapat dilakukan pasca pengambilan gambar, walaupun
dengan posisi yang kurang baik.
Beberapa informasi yang dapat diperoleh dengan
modalitas M-mode ini antara lain:
Pengukuran dimensi ventrikel, tebal dinding ventrikel
atau septum, atrium, aorta
Pengukuran fungsi jantung dengan fraksi ejeksi, bila
kondisi gambar memungkinkan untuk melakukan
potongan yang perpendikuler.
Estimasi masa ventrikel kiri dengan menggunakan
formula, misalnya 'formula Pen'
Gambaran perikardium
Kejadian waktu di jantung, misalnya waktu relaksasi
isovolemik, waktu ejeksi
Bersarna dengan eko wama dapat menentukan gambaran
aliran.
Beberapa rujukan parameter ukuran normal pada
pemeriksaan M-mode dapat dilihat pada Tabel 1,2, demikian
pula beberapa contoh kasus yang dapat dievaluasi dengan
modalitas M-mode.

Parameter
Ekokardiografi
EDD
ESD
IVS
PW
FS
EF
A0
LA
LVM
LVMl
RWT
BW
H
BSA

Range

Rata-rata

Standar
deviasi

3.20 - 4.60
1.50 - 3.30
0.60 - 1.OO
0.50 - 0.90
27.00 - 57.00
61 .OO - 90.00
2.00 - 3.10
1.80 - 3.00
35.01 - 157.85
23.34 - 108.82
0.30 - 0.45
48.00 - 70.00
153.00 - 180.00
1.42 - 1.77

3.9353
2.1324
0.8147
0.7176
46.0294
81.2941
2.7088
2.2324
95.0418
61.1988
0.3761
55.6029
163.4412
1.5718

0.3549
0.3607
8.214E-02
8.338E-02
7.2007
5.9520
0.2927
0.4290
29.4444
18.8395
4.199E-02
7.1 189
7.2329
8.266E-02

Sumber , A.Ghanie. Parameter echo normal. Unpublished

abel 1. Parameter Ekokardiografi Normal Laki-laki


79)

1 (n =

Parameter
Ekokardiografi

Range

Rata-rata

Standar
deviasi

3 10 - 4.90
4.02
0.4580
1.50 - 3.30
2.069
0.3799
0.70 - 1.OO
0.844
0 07
0.70 - 0.90
0.772
0.078
28.0 - 58.0
48.25
7.93
63.0 - 90.0
80,307
4.07
A0
2.20 - 3.60
2.867
0.245
LA
1.70 - 3.00
2.21 7
0.412
LVM
53.53 - 177.41
106.087
29 5619
LVMl
36.42 - 101.12
67.4192
17.5942
RWT
0.23 - 0.53
0.388
0.05326
BW
47.0 - 72.00
59.33
8.033
H
154 0 - 179.0
163.359
5.98
BSA
1.34- 1 8 0
1.6213
0.1 042
Sumber : A.Ghanie. Parameter echo normal. Unpublished

EDD
ESD
IVS
PW
FS
EF

Gambar 3. Ekokardiografikardiografi M-mode pada orang


normal dengan birnbingan 2-D melalui katup mitral menunjukkan
titik pembukaan katup mitralfase cepat (E), plateu (F), pembukaan
fase lambat (A), penutupan mitral (CD). Ventrikel kanan (RV),
septum ventrikel (IVS), ventrikel kiri (LV). (Sumber : A.Ghanie,
DiK Cardiology, Dept.int.Med. Faculty o f Medicine. Sriwijaya
University Palembang)

Keterangan :
EDD: End Diastolic Diameter, ESD: End Systolic Diameter,
IVS: Interventricular Septum, PW: Post Wall, FS: Fractional
Shortening, E: Ejection Fraction. AO: Aorta, LA: Left Atrium,
LVM: Left Ventricular Mass, LVMI: Left Ventr~cular Mass
Index, RWT: Relative Wall Thickness, BW: Body Weight, H:
Height, BSA: Body Survace Area

EKO DUA DlMENSl (EKO 2-D)


Lebih marnpu melihat struktur dan fungsi secara 'red rime',
m e mn~ u n v a iresolusi s ~ a s i a llebih baik dari M-mode.
T~~~~~adalah jaringan, sehingga lebih berperan dalam
evaluasi morfologi jantung.
Mencerminkan gerakan dan anatomi jantung.
2

Gambar 4. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-D


menunjukkan gambaran katup aorta yang normal berupa gambaran
jajaran genjang pada saat sistol dan berupa garis pada saat diastol
Di sini terlihat atrium kiri rnernbesar 4.7 cm. (Sumber : A.Ghanie,
Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya
University Palembang)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 5. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-0 pada


pasien gagaljantung kongesti (kardiomiopatidilatasi), terlihat dilatasi
ventrikel kiri pada saat diastol dan sistol, septum dan dinding
belakangventrikelterlihat hipokinesis (tidak ada perubahan ketebalan
septum dan dinding belakang sepanjang fase). (Sumber . A.Ghanie.
Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medrclne. Sriwijaya
University Palembang)

Gambar 6. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-D pada


pasien efusi perikardium, hipertensi dan gagal ginjal kronik, terlihat
daerah posterior yang bebas ekokardiografi, penebalan septum
ventrikel (IVS) dan dinding posterior ventrikel kiri (LVPW).(Sumber
: A.Ghanie. DIV. Cardiology Dept.int.Med. Faculty of Medicine.
Sriwijaya University Palembang)

Gambar.8. EkokardiografiM-mode dengan bimbingan 2-D pasien


hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri. Septum ventrikel
(IVSD=2.27 cm) normal <I
cm, dinding posterior (LVPWd= 1.16
cm) normal < 1 cm. (Sumber : A.Ghanie. Div. Cardiology,
Dept.rnt. Med. Faculty o f Medicine, Sriwijaya University
Palembang)

Gambar 9. EkokardlografiM-Mode dengan bimblngan 2-D paslen


stenosls mltral EF slope mendatar, katup posterior bergerak ke
anterlor sejajar dengan katup anterlor (Sumber A Ghanle, DIV
Cardlology dept ~ n Med
t
Faculty o f Medicme Sriwljaya
Unlverslty Palembang)

spaa
~kt~f,
jerakan
katup mitral ke anterior pads saat sistol (SAM= 'systolic antenor
motion'). (Sumber : A.Ohanie, Dtv. Cardiology, Dept.mt.Med.
Faculty of Medicine, Sriwbsya University Palembang)
Csam~ar.7.U(OK~I
pasien dengan kar

M-m

ti hi^

Gambar 10. EkokardiografiM-mode dengan bimbingan2-D melalui


aorta terlihat separasi daun katup aorta anterior (AAC) dan posterior (PAC) aorta Stenosis. (Sumber; A.Ghanie. Div Cardiology,
Dept int. Med. Faculty o f Medicine, Sriwijaya University
Palembang)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1555

PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOCRAFl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


-

Gambar 11. Ekokardiografi M-Mode dengan bibingan 2-D dari


katup pulmonal normal (Sumber :A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept.int. Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University
Palembang)

Bidang Penyitraan
Pengambilan gambar eko dilakukan melalui suatu celah
sempit yang disebut 'acoustic windows' atau jendela eko
pada sela iga I11 garis para sternal kanan, apeks, melalui
suprasternal, atau subkostal.
Pada dasarnya ada tiga bidang utama dalam pengambilan
gambar eko:
Sumbu panjang ('long axis'), merupakan bidang tegak
lurus dengan permukaan anteroposterior dada dan
sejajar dengan sumbu panjang jantung. Pada bidang
ini secara anatomi akan tergambar dinding depan
ventrikel kanan, ventrikel kanan, septum ventrikel,
ventrikel kiri, serta dinding posterior ventrikel kiri
(Gambar 13)

Gambar 12 Ekokardlagrafi M-mode dengan brmblngan 2-D paslen


regurgitssi mifral potongan perpe?ndicular sernpurna melalui ujung
katup mitfal, tetlihat hipertrofi septum dan diliitasi ventrikel kiri
dengan fungsi pampa yancJ masih baik. (Surnber A.Ghanie, Div
Oklrd~oIOg~
Bept.intMbtd. Faculty of Medklne, SrEwjaya Unlversity Palernbang)

Gambar 13. Ekokardlografl 2-D sumbu panjang menunjukkan


potongan ventrlkel kanan (RV), ventrlkel klrl (LV), septum ventrikel
(IVS), Aorta (Ao), Atrium klrl (LA) katup mltral dalam ha1 In1
stenosls (MV) (Sumber A G h a n ~ e , Drv Card~ology,
Dept rnt Med Faculty of Medlclne, Srrwrjaya Unrverslty
Palembang)

Pengukuran ventrikel kiri dan tebal dinding pada


keadaan eti mana M-made tidak memenuhi syarat.
Pengukmn id sekuncup
Pengulcuran fiaksi ejeksi $an volume
Pengukuran area mitral dengan planimetri.

Sumbu pendek ('short u~is'),


merupakan bidang tegak
lurus pennukaan anteroposterior dada dan tegak lurus
dengan bidang sumbu panjang jantung. Pada bidang
ini akan terganlbar struktur jantung sesuai dengan
daerah potongan. Pada dasar jantung akan tergambar
atrium, sekat atrium, pembuluh darah besar, katup
trikuspid serta pulmonal. (Cambar 14) Pada bagian
tengah akan talnpak katup mitral, ventrikel kanan,
septum ventrikel, dan ventrihel kiri, dan katup mitral.
(Ganibar 15) Sedangkan potongan sc/it?g,qlupeks akan
menampilkan ventrikel kiri, septum ventrikel, sebagian
ventrikel kana11dan muskulus papilaris. (Gambar 16)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Terlihat aorta (ao), rnuara ventrikel kanan ke pulmonal (mot), arteri


pulmonalis utama (mpa), atrium kiri (la), atrium kanan (ra), katup
tricuspid (tv). (Surnber :A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med.
Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palernbang)

Gambar 16. Ekokardiografi 2-D suhu pendek setinggi m. papilaris.


(Sumber A.Ghanie. Div Cardiology. Dept int Med Faculty of
Mediciiie. Snwuaya University Palernbang)

Ada juga bidang-bidang lain yang dipergunakan dalam


pemeriksaan sehari-hari seperti bidang dua ruang yang
rnenggambarkan atrium, katup mitral dan ventrikel kiri. (lihat
gambar). Bidang lain yang juga sering dipakai adalah bidang
lima ruang sama seperti empat ruang dengan tambahan
aorta (Gambar 17 B)
Namun adakalanya pada pasien tertentu dibutuhkan
posisi lain yang tidak standar untuk dapat memberikan
infonnasi yang kita kehendaki.
Dengan kemajuan dibidang teknologi ('second
harmonic imuging'), dimungkinkan untuk membuat
galnbar itu nienjadi lebih baik, sehingga delineasi
endokardiuln menjadi lebih tegas. (Gambar 18)

Gambar 15. Ekokardlografikardlografi 2-D surnbu pendek setinggl


katup mitral Terlihat area rnltral yang kecrl (stenosls), ventrlkel
klfl (LV), septum ventrlkel (IVS), ventrlkel kanan (RV). (Sumber
A Ghanie, Div Cardiology, Dept mt Med Faculty of Medicme,
Srrwyaya University Palembang)

Bidang empat ruang ('trpicai ,fozir chamhc.r'),


merupakan bidang sejajar dengan permukaan
anteroposterior melalui potongan dari apeks ke dasar
jantung. Pada bidang ini akan tereambar kedua ventrikel.
atrium, sekat atrium dan venrrikel, serta kedua katup
mitral dan trikuspid. (Gambar 17 A)

Gambar 17. A ) Ekokardlografi 2-D potongan apeks 4 ruang


paslen normal, terl~hatventrikel kiri (LV), serambi kiri (LA), ventrikel
kanan (RV). serarnbl kanan (RA), septum ventrikel (IVS), septum
atrial (IAS). B). Ekokardiografikardiografi 2-D potongan apeks 5
ruang sama seperti garnbar A dengan tarnbahan aorta (Ao)
(Suniber A Ghanie. Div Cardiology, Dept ini.Med. Faculty of
Medicine. Snwijaya University Palernbang)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1557

PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDlOGFLWl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Garnbar 18. Ekokardiografi2-D potongan 4 ruang menunjukkan


kemampuan teknologi harmonik dalam meningkatkan kemampuan
pencitraan ekokardiografi (A. tanpa tissue harmonic, B. dengan
harmonik terlihat deliniasi endokardium lebih jelas) (Sumber :
A.Ghanie. Div Cardiology. Dept.int.Med. Faculty of Medicine.
Sriwijaya University Palembang)

Gambar 19. Pengukuran fraksi ejeksi dengan pengukuran area,


pada kondisi di mana pemeriksaan dengan M-modetidak memenuhi
syarat. Terlihat fraksi ejeksi 32%. (Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University
Palernbang)

Garnbar 20. Ekokardiografi 4 ruang apical pada gagal jantung


kongestif jantung kanan menunjukkan trombus multipel pada
ventrikel kanan (tanda panah). (Sumber : A.Ghanie, Div.
Cardiology, Dept.int.Med. Faculty o f Medicine. Sriwijaya
University Palembang)

Garnbar 21. Ekokardiografi 2-0 sumbu panjang melalui apeks


pada pasien hipertrofi kardiomiopatl obstruktif, terlihat katup
mitral bergerak menutup 'left ventricle out flow tract' (LVOT) (tanda
panah) (Sumber : A.Ghanie. Div Cardiology, Dept.int.Med.
Faculty of Medicme. Sriwuaya University Palembang)

Garnbar 22. Ekokardiografi 2-D sumbu panjang pasien stenosis


mitral berat, terlihat penebalan daun katup (A), pada potongan
pendek terlihat area mitral secara planimetri sangat sempit 0.57
crnVB). (Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept ~ n tMed
.
Faculty of Medicine. Sriwijaya University Palembang)

Gambar 23. Ekokardiografi 2-D potongan pendek setinggi mitral


pasien gagal jantung dan infark anteroseptal, terlihat aklnesis
dari daerah anter~orpada saat sistol (tanda panah) (Sumber :
A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.Int Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 24. Ekokardiografi 2-D sumbu panjang pasien miksoma


pada atrium kiri yang bergerak keluar masuk ventrikel kiri melalui
mitral pada setiap siklus (M) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology.
Dept.int.Med. Faculty of Medicine. Sriwijaya University
Palembang)

Garnbar 25. Ekokardiografikardiografi 2-D sumbu panjang pasien


miksoma atrium kiri dengan tangkai yang jelas (tanda panah)
(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of
Medicine. Sn'wijaya University Palembang)

G
I ~~,e!Mrr,~tral.
dengan meletakkan 'sample volume' (dua garls sejajar) pada
daerah m~tral,terl~hatfase penglslan cepat (E) dan fase penglslan
lambat kontraks~atr~um(A) (Sumber A Ghan~eDrv Cardrology,
Dept rnt M e d Faculty o f Medrcrne Srrwrjaya Unrversrty
Palembang)

Gambar 27. Dopler PW normal rnelalu~katup aorta dengan


b~mb~ngan
2-D ekokard~ograf~
warna sarnple volume dlletakkan
pada daerah katup aorta d~perolehvelosltas 1 2 mlsec (Sumber
A Ghan~e DIV Cardlology Dept lnt Med Faculty of Medlctne
Snwrjaya Urirversity Palembang)

EKO DOPLER
Seperti disebutkan pada pendahuluan, konsep eko dopler
adalah menangkap sinyal yang dipantulkan oleh sel darah
merah, sehingga dapat ditentukan adanya aliran darah,
arah, kecepatan, dan karakteristik aliran.
Dikenal dua modalitas dopler yaitu,
*. Dopler spectrun~('spectral dopler') yang terdiri dari
'pztlsed 12.uve doplerl(dopler gelombang pulsasi) dan
'continuous wave dopler' (dopler gelombang kontinu).
Color flow dopler.
Pada saat ini satu transduser memiliki kema~npuan
sebagai clopler gelombang pulsasi, sekaligus gelombang
kontiny~~
dan h p l e r aliran berwarna.
Belakangan dikenal 'tr.r.suc cioplcr', bukan seperti
dopler yang menangkap pantulan sinyal sel darah merah
tetapi sinyal yang dipantulkan oleh kinesis jaringan, oleh
karena itu dipergunakan untuk mengukur kinesis jaringan.

Gambar 28. Dopler PW rnelalu~area m~tralpada paslen h~pertens~


dengan d~sfungs~
d~astollk,terl~hatgelombang E leb~hrendah
d~band~ngkan
dengan gelombang Adengan ratlo EA 0 67 ( normal
2 1) (Sumber A Ghan~e DIV Cardlology Dept ~ nMed
t
Faculty
of Med~c~ne
Srlw~ayaU~iiversityPalerl~barig)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1559

PENCANTAR DIAGNOSIS EKOKARDlOGRAFl

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Lr

Gambar 29. Dopler PW melalui area mitral pada pasien regurgitasi


mitral, doplelr tidak sernpurna menuju kedua arah garis Nyhquist
dan terputus tanpa arnplop, dikenal sebagai aliasing (Sumber :
A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

Gambar 32. Eko dopler CW rnelalui katup mitral yang stenosis,


pengukuran area dengan 'pressure half time' diperoleh area
seluas 0,66crn2 lebih kurang sama dengan pengukuran secara
planimetri pada garnbar 22. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang

Gambar 30. Eke dopier CW pads pasien yang sama dengan di


atas, tetapi dopler terarnbil dengan amplop yang sernpurna dengan
velositas 5.31 mlsec. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept.int. Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University
Palembang)

Garnbar 33. Eko dopler CW pasien dengan stenosis mitral terl~hat


cm2(Sumber: A.Ghanle.
Wadien 9 mrnHg dengan area rnitral 1
Div. Cardiology, Dept.int Med. Faculty of Medrclne. Sriwijaya
Un/verslt~Palembang)

*:,

.. . ' 7',a*,.'-

- , : ; : , 5 - ~ T y Y-.

..
.

:_I"

..

I . .

-.

..

..

".

.&

,mu-.
..- --....,.......J..,i.. .. ,.
*.

--?-..-

,;

. .. .
~BI
-. - .. -';A:
.
.%'

,,c,... i

'

'

A,.

dan regurgitas~mitral dengan amplop yang sernpurna (Sumber


A.Ghan~e,DIV Cardrology, Dept rnt Med Faculty of Medrone,
Snwljaya Unrversrty Palembang)

I.-'II

,, b!*T,-

.'+'%
.

';

-:

.>

.;.,,,,p-

-a

Gambar 34. Eko dopler warna pada pasien regurgitasi trikuspid,


menunjukkan velositas 5 rnlsec dengan gradient 123 rnmHg,
dengan asurnsi tek ventrikel kanan 10 mrnHg, maka diperkirakan
tekanan pulmonal 133 rnHg (hipertensi pulmonal). (Sumber :
A. Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PULSED WAVE DOPLER ( PW )

Dengan PW transmisi sinyal gelombang suara dikirim


dalam bentuk pulsasi ('pulse'). Oleh karena itu dapat
dilakukan pemeriksaan pada area tertentu dari suatu area
aliran dengan menggunakan yang disebut 'sample
volume', yang merupakan marka dari daerah yang
diinginkan, pada alat ekokardiografi ditandai dengan dua
garis sejajar.
Informasi yang dapat diperoleh berupa:
Pengukuran fungsi diastolik
Pengukuran area mitral atau orifisium aorta
Pengukuran isi sekuncup dan curah jantung
Mengukur besarnya shunt.
Dalam prakteknya pengukuran-pengukuran itu dapat
dilakukan oleh alat eko secara otomatis hanya dengan
meletakkan marka-marka pada gambar yang dibuat.

Gambar 35. Ekokardiografi warna pada orang normal, wema


merah menunjukkan arah altran darl atrium k~rike ventrikel klri
pada saat diastol (mengarah ke transduser), sementara warna
biru rnenunjukkan altran dari ventrikel k ~ ke
n aorta pada saaf sistol
(menjauhi transduser) (Sumber A.GhanEe, D n Cardiology,
Dept mt Med Faculfy of Medmne, Snwr~ayaUnrvers~ty
Palembang)

CONTINUOUS WAVE DOPLER (CW)

Tidak seperti pulsed wave dopler di sini transmisi


gelombang suara berlangsung kontinu, sehingga
spektrum lebih luas dari semua area yang dilewati
gelombang suara. Karena tidak mempunyai 'samplevolume',
tidak bisa melokalisir sinyal aliran sehingga tidak spesifi,
dan sering terjadi kontaminasi aliran dari area yang tidak
kita kehendaki. Narnun karena gelombang kontinyu dapat
menangkap aliran darah kecepatan tinggi dengan baik
tanpa terjadi 'uliasing', yaitu suatu keadaan gambar
dopler terputus akibat terlampauinya batas maksimal
kecepatan yang dapat diukur dengan dopler.
(Gambar.29)
Karena sifatnya, maka CW sangat bermanfaat untuk
menangkap sinyal dari aliran frekwensi tinggi seperti
stenosis katup, dan pengukuran semi kuantitatif dari
regurgitasi.

Gambar 36. Ekokardiografi warna pada paoien regurgitasi


m~tral,teriihat gangguan koaptasi katup mftral (pada gambar kiri,
a), dan adanya garnbaran aliran balik dengan warna biru mosaik
(menjauhi transduser, b) melalui katup mitral pada saat s~stol.
(Sumber A.Ghanle, DV
I Card~ology,Dapt lnt Med Faculty of
Medicme, Sriwfaya Unrversrty Palernbang)

EKO DOPLER WARNA

Prinsip eko dopler warna adalah sama dengan 'pulsed


dopler' tetapi menangkap sinyal pada beberapa
beberapa titik sepanjang garis penyitraan. Dengan
kesepakatan diberikan warna merah untuk aliran darah
yang mendekati transduser, dan warna biru untuk aliran
yang menjauhi transduser. (Gambar 35 ) Pada keadaan
tertentu di mana aliran bersifat turbulen terjadi
campuran warna merah dan biru atau mosaik. (Gambar
36 dan 37)
lnformasi yang diperoleh:
Menentukan arah dan waktu aliran
Menentukan sifat aliran laminar atau turbulen

Gambar 37 Ekokardiografi dopler warna pasien regurgitasi


trikuspid berat, menunjukkan gambaran aliran mozaik melalui
tricuspid pada saat sistol. (Sumber: A.Ghanle, Div Cardiology,
Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Snwljaya University
Palernbang)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Garnbar. 38 Ekokardrografr 2-D dengan warna pada pasren


&%nosis rnitral, aliran turhulen rnernberikan warna rnosaik (kiri)
melalui katup rnitral yang sempft (kanan) (Sumber :A Ghanie, Drv
Cardtology, Depf int.Med. Faculty of Medrcine, Sriwijaya
Unrvefsil'y Palembang)

Gambar 40. Ekokardiograf transesofageal pasien dengan


endokarditis, terlihat vegetasi yang jelas melekat pada katup
rnitral anterior. (Surnber : A Ghanie, Diw CanlMagy, Dept.fntMed.
Faculty of Medrc~ne,Sriwbaya UnivgrsTy Pelembang)

TISSUE DOPPLER
Dengan majunya tehologi dapat dilakukan pengukuran
kecepam dopier darijaringan miokardim, bukan sel darah
merah seperti pada dopler biasa. Dengan madalitas ini dapat
diperoleh informasi mengenai relaksasi abnormal,
pseudonormal, dan kondisi restriktif dari miokardium.

EKOKARDIOGRAFITRANS ESOFAGEAL (ETE)

Dengan ETE, trarrsdmer dilengkapi dengan hkuensi yang


relatif lebih tinggi, karena jarak bukan masaiahmaka kualitas
gambar lebih baik dan jendela eka lebih luas. Oleh karena
itu beberapa informasi dapat diperoleh sebagai tambahan
terhadap inforrnasi yang tic%& bisa didapat dengan TTE.
Bebelapa contoh pencitraan dengan ETE yang sulit
didapat dengan ETTdapat dilihat pada Gambar 39,40,41.

Gambar 41 Ekokard~ografitransesofageal paslen klrnts dengan


regurgitasi rnitral, terlihat ruptur daun katup rnitral anterior (panah
tunggal, koaptasi rnitral due panah). (Sumbe: A.Ghanie, Div.
GerdioEogy, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya
Univwsity Palembang)

REFERENSI

Gambar 39. Ekokardiografi transesofageal pasien stenosis


rnitral dengan strok, terlihat trornbus di daerah apendik atrium kiri
yang tidak terlihat dengan eko trastorakal (TH, panah besar)
(Sumber: A.Ghanie, Div Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of
Medicine, Sriwijaya University Palernbang)

Anderson, B. Echocardiopmphy: the normal examination and


Echocardigraphic measurements. MGA Graphics, Manly,
Queensland, Australia. First edition. 2000
Chambers, J. Echocardiography in clinical practice. The parthenon
publishing group, Spain. 2002.
Feigenboum. H. Echocardiography. Lea & Febiger, Malvern, Pennsylbania, LISA. FiRb edition. 1994.
Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea L Febiger, Malvem, Pennsylvania, USA. Sixth edition. 2005.
C3hanie.A. arsip ekokardlogafi, Divisi Kardiologi Bagian Ilmu
Penyakit Dalarn Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 1
KS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006.
Ghrtnie, A. Parameter ekokardiografi normal. Unpublished. 2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE)


Lukman H. Makmun

TEKNIK PEMERIKSAAN

PENDAHULUAN
Pemeriksaan Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE)
merupakan pemeriksaan lanjutan Ekokardiografi Trans
Torakal (ETT). Letak perbedaan antara kedua cara
pemeriksaan ini adalah pada ETE dengan meletakkan
transduser dibelakang organ jantung dengan cara
memasukkannya melalui esofagus seperti melakukan
pemeriksaan esofago-gastroskopi. Hasil yang didapat
adalah gambaran (imaging) struktur jintung lebih jelas
dibandingkan dengan hasil ekokardiografi trans torakal
dengan transduser berukuran 5 MHz.
Transduser terletak pada ujung pipa fiber yang dapat
diputar-putar dengan modus biplane atau multiplane.
Biplane berarti transduser hanya dapat digerakkan untuk
mendapatkan horizontal dan vertikal view saja yang
berbeda 90". Sedangkan pada multiplane dapat digerakkan
secara bebas dalam perubahan setiap derajat sehingga
didapat gambaran yang diinginkan oleh pemeriksa artinya
dapat melihat view semua arah.
Dengan ETE ini sesuai dengan standar pemeriksaan
ekokardiografi, dapat dilakukan Eko color dan Dopler untuk
melihat dan mengukurflow.

Gambar 1 Gambar alat probe transduser

Persiapan Alat
Alat transduser Trans Esofageal (probe) sebelumnya
dibersihkan lebih dahulu dengan air kemudian disterilkan
dalam cairan kimia (misa1:Cidex) selama 20 menit.
Seterusnya dibilas dengan air (biasanya dengan cairan
infus dekstrosa) dan dikeringkan.
Disiapkan Jelly xylocain dan dengan kain kasa
dioleskan padaprobe mulai dari ujung sampai sepanjang
30-40 cm. Atau kalau memungkinkan dibuatkan sarung
karet (seperti kondom panjang) untuk menyarungi probe;
jelly dimasukkan ke dalam ujung sarung karet supaya
terdapat kontak yang baik antara transduser dengan
sarung karet dan pada bagian luar sarung karet diolesi
juga jelly tadi untuk memudahkan masuknya probe ke
dalam esofagus.
Elektroda EKG dipasang untuk melihat EKG di monitor
mesin eko. Probe dihubungkan dengan mesin eko dan di
set untuk pemeriksaan ETE.
Persiapan pasien:
Dilakukan pemeriksaan HBsAg bila alat TEE hanya ada
satu, k a ~ e n a takut
'
bahaya penularan. Kalau
memungkinkan untuk pasien HBsAg dipergunakan
sarung karet untuk probe.
Pasien dipuasakan terlebih dahulu selama 6 jam supaya
tidak muntah.
Cara kerja
Pasien dibaringkan dengan posisi miring ke kiri, bagian
atas badan agak tinggi, tanpa bantal dan leher diganjal
dengan pengganjal. Gigi palsu dilepas dahulu. Faring
disemprot dengan Xylocain spray beberapa kali. Bila
pasien agak takut dapat disuntikkan midazolam
(DormicumR) 0.07 - 0.1 mgkgBB iv. Hati-hati pada pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


usia lanjut karena dapat terjadi depresi napas.
Mouth piece disuruh gigit. Badan pasien bagian distal
agak melengkung ke dalarn dan kepala agak menekuk dan
melihat kakinya sendiri.
Probe diatur sehingga ujungnya agak fleksi (melekuk
ke dalam) sesuai dengan bentuk faring dan ditahan.
Gerakan menyamping probe supaya dikunci.
Probe dimasukkan secara perlahan ke dalam mulut,
lidah pasien di dalam dan kalau perlu ditekan. Sesampainya
probe di faring, kondisi fleksi probe yang tadi ditahan
dengan tangan supaya dilepaskan sehingga probe tadi
bebas dan menyesuaikan diri dengan bentuk keadaan
esofagus. Pasien disuruh mengambil napas dalam supaya
tenang dan disuruh menelan. Sambil pasien menelan, probe
didorongkan perlahan dengan lembut ke dalam. Bila ada
tahanan jangan dipaksakan, tetapi cabut sedikit, kemudian
arah disesuaikan lagi. Biasanya kalau sudah melewati
laring, probe dengan mudah dapat didorongkan ke distal
esofagus. Kemudian dilihat melalui monitor posisi
transduser.
Biasanya setelah melewati 30 cm, transduser sudah
berada di belakang jantung. Bila lebih dalam lagi akan
masuk ke dalam lambung dan akan terlihat ventrikel kanan
dan kiri. Kemudianprobe ditarik lagi sampai terlihat semua
ruang jantung.
Dengan memanipulasi tomb01 pengarah, pemeriksa
dapat mengamati bagian-bagian strukturjantung termasuk
LAA (Left Atrial Appendage).
Setelah selesai pemeriksaan,probe ditarik pelan-pelan
sambil melihat kembali struktur aorta. Kemudian pasien
dipuasakan tidak makan dan minum selama 3 jam, karena
efek xylocain spray tadi.

Mitral valve prolaps (MVP)


Gambaran vegetasi pada katup.
Fungsi protese katup
Kelainan katup mitral, aorta, trikuspid
Penonjolan foramen ovale pada strok non hemoragik
Kelainan pada aorta torakalis, misal plak atau
aneurysma.
Pada pasien obesitas, emfisema paru dan deformitas
dada kadang-kadang sulit untuk mendapatkan gambaran
s t b jantung dengan TTE biasa, karena itu diperlukan
pemeriksaan dengan ETE ini untuk mendapatkan gambaran
yang lebih jelas.
Kontra indikasi:
Kontra indikasi pemeriksaan ETE ini adalah sebagai berikut:
kelainan esofagus
aritmia berat
trombo tes yang sangat rendah, takut bahaya
pendarahan
hipertensi maligna.

Gambar 3. Garnbaran ETE dengan strukturjantung yang normal,


di mana dimensi ruang-ruang jantungnya normal.

Gambar 2. Cara rnemasukkan alat probe

Indikasi:
Indikasi pemeriksaan ETE ini adalah untuk melihat struktur
jantung dengan lebih jelas, yaitu:
dugaan trombus di LAA misal pada kasus strok non
hemoragik
dugaan trombus di ventrikel.
ASD dan VSD dengan melihat aliran shunt.
Foramen ovale persistent

Gambar 4. Garnbaran trombus di LAA, di mana di lokasi ini tidak


bisa di deteksi dengan pemeriksaan TTE biasa. Keadaan patologis
ini merupakan penyebab utama strok non hemoragik.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 5. Gambaran septum inter atrial, tampak intak dengan


tidak ada defek.

Gambar 8. Tampak vegetasi pada daun katup trikuspid dan


septum ventrikel.

Perlu diperhatikan kemungkinan terjadin)a refleks


vagal, sehingga perlu disiapkan juga sulfas atropin ampul.
Pemeriksaan ETE ini kurang mengenakkan pasien
karena hams menelan probe, meskipun sudah diberikan
anestesi lokal.

GAMBARAN ETE PADA KEADAAN NORMAL DAN


DENGAN KELAINAN KLlNlS
Tampak disini gambarannya lebih jelas daripada hanya bila
dilakukan dengan TTE biasa.

REFERENSI

Gambar 6. VSD. Tampak celah pada septum ventrikel. Kondisi


seperti ini saat ini dapat dilakukan penutupan dengan teknik
kateterisasi.

Hatle L, Angelsen B.Doppler Ultrasound in Cardiology.


Philadelphia : Lea & Fabiger. 2nd ed.1985.
Oka Y., Konstadt SN.Clinical Transesophageal Ekokardiografi cardio
graphy. Philadelphia Lippincott-Raven. 1996.
Siglow V.,Schofer J, Mathey D. Transoesophageale Ekocardiographie.
Thieme Verlag Stuttgart.1993.

Gambar 7. MVP (Mitral valve prolaps) Di sini terlihat dengan


jelas katup mitral tidak menutup dengan rapat.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN KARDIOLOGI NUKLIR


Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN

PENlLAlAN FUNGSI VENTRIKEL

Pemeriksaan pencitraan jantung dengan radionuklir invasif


bermula di tahun 1970-an, dengan pemeriksaan aliran darah
miokardial. Seiring dengan perkembanganjaman maka saat
ini pencitraan dengan radionuklir sudah mampu
menganalisis fisiologi dan patofisiologi kerja jantung.
Pemeriksaan dimaksud adalah aliran darah miokard,
metabolisme miokard serta fungsi ventrikel.

Angiografi radionuklir dalam kesetimbangan atau multiplegated bloodpool imaging sangat sering digunakan sebagai
salah satu cara untuk menilai fungsi ventrikel yang bersifat
tak invasif. Teknik yang digunakan adalah dengan memberi
label 99mTcpada albumin atau sel darah merah yang secara
seragam akan didistribusikan ke seluruh pembuluh darah.
Untuk mendapatkan hasil optimal pada pemeriksaan saat
istirahat maka sebaiknya tidak ada gangguan irarna jantung.
Pemeriksaan ini sangat akurat. Hasil lain dari pemeriksaan
ini adalah dengan didapatkannya ukuran dan fungsi
ventrikel kanan, ukuran ruang atrium dan pembuluh darah
besar, parameter pengisian diastolik, dan tingkatan berat
ringannya regurgitasi katup.
First-pass radionuclide angiography adalah metode
lain yang juga dapat digunakan untuk menilai fungsi
ventrikel di dalamnya terdapat rekaman perjalanan bolus
radionuklir dalam darah dari saat pemberian hingga
mencapai pembuluh darah pusat. Metode ini tidak
memerlukan sela darah merah yang dilabel dengan.
Penggunaan 99mTcpada pemeriksaan ini karena biaya
murah dan waktu paruh yang pendek. Selama pemeriksaan,
perjalanan radioisotop melalui atrium kanan, ventrikel
kanan, pembuluh paru kemudian atrium kiri, ventrikel kiri
dan aorta direkam dengan kamera khusus (high-count
cumera). Kelemahan pemeriksaan ini dibandingkan dengan
pemeriksaan dalam kesetimbangan adalah rendahnya
resolusi dari -pergerakan
otot ventrikel.
Gated single-photon emission computed tomography
(SPECT) dapat digunakan untuk menilai fraksi ejeksi dan
pergerakan otot ventrikel regional dengan mengambil
manfaat dari pemeriksaan perfusi miokard SPECT.
Pemeriksaan ini bisa menggunakan 20'T1,tetapi yang sering
digunakan adalah karena bersifat higher count rate adalah
99mTc
sestamibi. Aritrniajuga menjadi faktor yang dihindari
pada pemeriksaan ini.

PRlNSlP DASAR KARDIOLOGI NUKLIR


Pemeriksaan kardiologi nuklir bergantung kepada
penyuntikan isotop yang mengandung foton ke dalam
darah pasien. Hasil dari adanya foton tadi akan keluar sinar
gamma yang kemudian ditangkap oleh kamera khusus,
dinamakan kamera gamma. Kelemahan dari pemeriksaan
ini adalah foton yang disuntik dapat memancar ke segala
penjuru, menyebar, melemahkan serta dapat diserap.
Semakin tinggi energi dari isotop, semakin rendah
kemungkinan untuk menyebar dan penyerapan. Ada dua
isotop yang sering digunakan saat ini, talium 201 (201T1)
dan teknetium 99m (99mTc),
teknetium 99m sendiri terbagi
atas beberapa bahan: sestamibi, tetrofosmin dan
teboroksim.

Thallium 201

Technetium 99m sestamibi

Waktu paruh fisik 73 jam


Biaya radiofarmasi rendah
Digunakan untuk
mengukur ambilan paru
Baik pada pemeriksaan
iskemia saat istirahat

Waktu paruh fisik 6 jam


Hasil pencitraan yang lebih baik
Untuk menilai fungsi ventrikel
Waktu pencitraan yang pendek
Protokol pencitraan yang cepat
Dapat dilakukan pada IMA dan
angina pektoris tak stabil
Kuantifikasi baik terutama untuk
mengukur luas iskemia saat
istirahat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemeriksaan pencitmn radionuklir dengan metode SPECT
myocurdialperfusior~banyak digunakan penyakit jantung
iskemia. Penyuntikan radioisotop pada saat istirahat dan
saat aktivitas dilakukan untuk menghasilkm gambaran eitra
dari hasil dar aliran darah setempat. Terkadang untuk
mendapatkan keadaan dengan abivitas dapat diberikan
dipiridamol dan adenosin Bila terdapat kontra indikasi pada
kelainan paru terutama bronkospasme maka dapat diganti
dengan menggunakan dobutamin.

TOMOGRAFI EMlSl POSITRON (POSITRON EMISSION TOMOGRAFI)

Pemeriksaan ini berbeda dengan dua pemeriksaan


terdahulu di atas. Dengan menghirup positron, maka elnisi
yang dihasilkan sangat tinggi. Berguna untuk memeriksa
aliran darah di miokard dan lain-lain. Bahan yang dapat
digunakan saat ini adalah: amonia nitrogen- 13, air oksigen15, dan rubidium.
Aplikasi klinis pemeriksaan PET adalah untuk menilai
kehidupan dari otot-otot ventrikel jantung (n~vocardiial
viability). Selanjutnya dapat diketahui manfaat dari
tindakan PTCA atau CABG dengan membandingkan hasil
sebelum dan sesudah tindakan. Dengan adanya hasil ini
maka diketahui apakah CABG ataupun PTCA yang sudah
atau akan dikerjakan dapat memberikan hasil optimal.

REKOMENDASIPEMERIKSAAN

Perneriksaan kardiologi nuklir ini direkomendasikan


dikerjakan pada:
Angina pektoris tak stabil dan infark miokard tanpa
peningkatan segmen ST untuk menilai beratnya iskemia
dan menilai fungsi ventrikel.
Penyakit iskemiajantung kronis untuk menilai perluasan
dan beratnya gangguan arteri koroner pada pasien.
Pada pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas tisik
dengan baik maka dapat dibantu dengan menggunakan
adenosin atau dipiridamol. Walau demikian uji latih
jantung dengan EKG lebih diutamakan.
Pada gagal jantung digunakan untuk mengetahui fungsi
ventrikel. Pada pasien penyakit jantung koroner lama
yang menderita gagal jantung namun tanpa nyeri dapat
dilakukan pemeriksaan kardiologi nuklir untuk
persiapan revaskularisasi.
Pasca tindakan revaskularisasi yang menunjukkan
gejala adanya iskemia berulang.

iambar I.

Pemeriksaan tidak direkomendasikan pada


lnfark miokard akut dengan peningkatan segrnen ST
apalagi digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengukur
luasnya daerah infark. Sebagai pemeriksaan utama tetap
uj i latih jantung dengan EKG.
Pasien yang diduga menderita sakit jantung tanpa
gejala, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan
digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis penyakit
jantung. Tetapi dapat digunakan untuk memastikan
diagnosis dari hasil uji latih jantung yang positif.
Persiapan menjalani pembedahan rutin yang bukan
berkenaan dengan pembedahan vaskular karena
risikonya rendah, Tetapi pada pasien penyakit jantung
iskemia kronis sebaiknya dilakukan untuk rnenilai h g s i
vcntrikel maupun viabilitas otot ventrikel.
Pasien passa tindakan revaskularisasi yang tidak
bergejala.

Nishimura RA et a]. Non-invasif. Cardial imaging: ekohrdiografi.


Dalam Kasper. Dalam Harrison's principle 6f internal
medicine. New York. McGraw-Hill. 2005.
Sabharwal NK et al. role of myocardial perfusion imaging for risk
stratification in suspected or known coronary artery disease.
Heart, 2003; 89: 1291-7.
Udeison JE et al. Nuclear cardiologq. Dalam Btaunwald's editor.
Heart disesase a textbook of cardiovascular medicine.
Philadelphia. Elsevier saunders. 2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYADAPAN JANTUNG
(CARDIAC CATHE TERIZATION)
Hanafi B. Trisnohadi

PENDAHULUAN
Walaupun banyak kemajuan dalam teknik pemeriksaan
jantung dengan cara non-invasif seperti dengan
pemeriksaan ekokardiografi, multislice CTscan, kardiologi
nuklir dan sebagainya, penyadapan jantung masih
memegang peranan penting untuk mengevaluasi anatomi
dan fisiologi jantung dan pembuluh darah.
Penyadapan jantung ialah suatu tindakan invasif, di
mana kateter dimasukkan ke dalam vena atau arteri perifer
dan kemudian didorong sampai ke berbagai tempat di
jantung atau pembuluh darah. Melalui kateter tersebut
dapat diukur tekanan darah baik di arteri, vena, serambi
jantung (atrium) baik kiri atau kanan, bilik jantung
(ventrikel) kiri atau kanan maupun pembuluh darah besar
seperti aorta, arteri pulmonalis, tergantung apa yang mau
diperiksa. Melalui kateter tersebut dapat diperiksa saturasi
oksigen di ruangan jantung maupun pembuluh darah tadi.
Melalui kateter tersebut juga dapat disuntikkan bahan
kontras yang radio opak, sehingga pembuluh darah besar
dan ruanganjantung dapat di visualisasi secara radiologis.
Dengan penyadapan jantung dapat diperoleh data
hemodinamik maupun data radiologis (angiografi) untuk
tujuan diagnostik.
Ada dua macam cara untuk memasukkan kateter ke
dalam pembuluh darah, yaitu dengan cara Seldinger di
mana kateter dimasukkan secara perkutan ke dalam
pembuluh arteri atau vena baik di daerah femoral (arteri
femoralis atau vena femoralis). Kateter juga dapat
dimasukkan melalui arteri brakialis dan vena cubiti; akhirakhir ini mulai banyak dipakai arteri radialis untuk
kateterisasi jantung kiri. Yang kedua dengan insisi terutama
untuk pembuluh darah lengan, tapi akhir-akhir ini cara insisi
pembuluh darah hampir tidak pernah dipakai. Hampir

semua pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan kateter


secara perkutan.
Untuk penyadapan jantung dibutuhkan alat image intensiJier dan cine angiography, kateter, transduser untuk
mengukur tekanan jantung dan oksimeter untuk mengukur
saturasi oksigen.
Tindakan penyadapan dilakukan dengan anestesi lokal
dan sedikit obat penenang, tetapi pada anak seringkali
dibutuhkan anestesi umurn.

INDlKASl PENYADAPAN JANTUNG

'

Untuk memastikan dan menentukan beratnya


penyempitan, lokasi penyempitan dan banyaknya
penyempitan pembuluh koroner pada penyakitjantung
koroner yang membutuhkan tindakan operasi
bypass atau tindakan intervensi.
Untuk menentukan beratnya kelainan katupjantung, baik
beratnya stenosis ataupun beratnya insufisiensi katup
jantung, sebelum dilakukan pembedahan jantung,
sehingga bisa ditentukan sebelumnya apakah pasien
membutuhkan penggantian katup atau perbaikan katup
saja.
Untuk menentukan faal ventrikel kiri.
Untuk menentukkan perubahan anatomi jantung pada
penyakit jantung kongenital yang akan dilakukan
tindakan operasi.

KOMPLlKASl PENYADAPAN JANTUNG


Komplikasi yang dapat terjadi misalnya perdarahan atau
hematoma pada tempat masuknya kateter, infeksi, reaksi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pirogen, hipotensi, reaksi vagal, hipertensi, trombosis,


emboli, perforasi pembuluh darah, perforasi miokardium,
alergi terhadap kontras, mual sampai muntah tapi dengan
kontras non-ionik yang banyak dipakai sekarang,
komplikasi makin berkurang. Bahkan akhir-akhir ini dari
pengalaman kami komplikasi dapat dikatakan sangat minimal. Gangguan irama jantung juga dapat terjadi seperti
takikardia sinus ,bradikardia sinus , ekstrasistol ventrikel,
takikardia ventrikel , fibrilasi ventrikel ,ekstrasistol atrial
dan fibrilasi atrial.
Komplikasi urnumnya ringan dan tidak membahayakan;
dikatakan angka kematian bervariasi dari 0,07% sampai
0,14%.

PENYADAPAN JANTUNG KANAN


Kateter dimasukkan melalui vena femoralis ataupun melalui
vena di lengan secara per kutan (metoda Seldinger), dan
dengan kontrol fluoroskopi kateter dapat didorong ke vena
kava inferior superior, atrium kanan, ventrikel kanan, arteri
pulmonalis, sampai ke posisi wedge. Tekanan darah dan
saturasi oksigen tiap ruangan dapat diperiksa. Kateter dari
atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui foramen
oval atau bila ada defek septal atrial. Melalui kateter juga
dapat disuntikkan bahan kontras radio-opaque untuk
melihat ruangan jantung kanan dan pembuluh darah paru.

PENYADAPANJANTUNG KlRl
Pada penyadapan jantung kiri kateter dapat dimasukkan ke
dalam pembuluh arteri melalui arteri femoralis atau arteri
brakialis secara per kutan. Kateter dengan kontrol
fluoroskopi dapat didorong ke aorta lalu ke dalam ventrikel
kiri melalui katup aorta. Melalui kateter dapat diukur tekanan
dan saturasi oksigen di aorta dan ventrikel kiri. Melalui
kateter dapat disuntikkan kontras radio-opaque dan
dilakukan pemotretan aorta dan ventrikel kiri secara
radiologis. Pernotretan aorta atau aortografi digunakan untuk
melihat apakah ada kelainan aorta atau katup aorta.misalnya
apakah ada insufisiensi aorta, dilatasi aorta, aneurisma aorta
dan koarktasio aorta. Sedangkan pemotretan ventrikel kin
atau lefi ventriculography (ventrikulografi kiri)dilakukan
dengan menyuntikkan kontras radiologi di ventrikel kiri dan
pemotretan dalam projeksi right anterior oblique (RAO)
dapat dipakai untuk mengevaluasi faal ventrikel kiri. (Gambar
5,7) Dalam keadaan normal 50% sampai 80% darah dalam
ventrikel kiri dapat dipompa keluar, fraksi ejeksi (ejection
ji-action) antara 50% sampai 80%. Dari left ventriculograj
dalam posisi RAO juga dapat dilihat adanya aneurisma
ventrikel kiri, trombus di ventrikel kin, biasanya terletak
didaerah apeks, dan adanya insufisiensi mitral di mana
tampak aliran darah dari ventrikel ke atrium pada masa sistol.

(Gambar5). Ventrikulografi kiri dalam projeksi left anterior


oblique (LAO) untuk melihat adanya defek septal ventrikel.
(Gambar 6)
ARTERIOGRAFI KORONER: (GAMBAR 2,3)

Pemeriksaan arteriografi koroner untuk menentukkan letak


dan beratnya stenosis dari pembuluh darah koroner.
Kateter didorong sampai di muara arteri koroner, dan secara
selektif disuntikkan bahan kontras radio-graphic ke dalam
pembuluh koroner dan dilakukan pemotretan dengan alat
cine-angiografi, sehingga pembuluh koroner sampai ke
cabang-cabangnya dapat divisualisasi. Setiap pembuluh
koroner dilihat dari berbagai projeksi untuk mengurangi
overlapping dan lebih akurat dalam menentukan beratnya
penyempitan. Projeksi yang lazim dipakai left anterior
oblique (LAO), right anterior oblique cranial (RAO
kranial), posteroanterior caudal (PA caudal) untuk
pembuluh darah koroner kiri sedangkan urituk pembuluh
darah koroner kanan dipakai projeksi LAO, RAO dan PA
kranial. Ada 2 macam cara melakukan arteriografi koroner
yaitu metode Sones dengan memakai kateter Sones biasa
dilakukan melalui arteri brakialis sedangkan metode Judkins
dengan kateter Judkins melalui arteri femoralis. Belakangan
melalui arteri brakialis juga dipakai kateter Judkins maupun
kateter multipurpose. Akhir-akhir ini banyak juga dipakai
arteri radialis. Dengan arteriografi koroner, lokasi, beratnya
dan morfologi tempat penyempitan dapat dianalisis
dengan baik, dan hasilnya penting untuk menentukan
apakah pasien membutuhkan bedah pintas koroner atau
tindakan intervensi dengan memakai dasar kateter.
(Gambar 2 dan 3)

INDlKASl ARTERlOGRAFl KORONER


lndikasi arteriografi koroner di unit karni:
Pasien dengan angina pektoris stabil ataupun tak stabil
Pasien dengan exercise test yang positif
Pasien dengan infark jantung akut maupun infark lama

PENGUKURANCURAH JANTUNG (CARDIAC OUTPUT)


Curah jantung secara rutin dapat diukur pada waktu
penyadapan jantung kiri. Pengukuran curah jantung tidak
saja penting untuk menentukan faal ventrikel kiri, tapi juga
penting untuk menghitung luas katup jantung. Tetapi akhirakhir ini dengan kemajuan pemeriksaan ekokardiogarfi,
tindakan untuk mengukur curah jantung secara non invasif
cukup dapat diandalkan.
Cara memeriksa curah jantung pada waktu penyadapan
jantung adalah sebagai berikut:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYADAPANJANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Metoda Fick: Curah jantung diperoleh dengan
memeriksa konsumsi oksigen dibagi dengan perbedaan
oksigen (oksigen content) di arteri dan vena. Curah
jantung normal sampai 4.8 L/min/m2.
Metoda dengan termodilusi maupun dengan
indocyanide green sudah jarang dipakai
Angiografi
Paling banyak dipakai karena dapat dilakukan pada
waktu melakukan penyadapan jantung kiri.
Pada waktu membuat ventrikulografi kiri dapat diukur
aksis yang panjang dan pendek dari ventrikel kiri pada masa
sistol dan diastol, sehingga volume ventrikel kiri pada masa
sistol atau diastol dapat dihitung sehingga curah jantung
juga dapat diketahui.

LUAS KATUP
Luas katup dapat dihitung dengan menggunakan rumus
dari Gorlin:
Untuk menggunakan rumus Gorlin perlu diketahui:
Cardiac output
Perbedaan tekanan (pressure gradient) pada katup
yang mau dihitung luasnya.
S~stolicejection period atau diastolic Jilling period
tergantung dari katup yang mau diukur luasnya.
Rumus untuk menghitung luas katup:

Luas katup (atrioventrikular)=


Cardiac output
DiastolicJillingperiod x heart rate K ( 3 1 ) x mean
diastolic gradient

I Luas katup semilunar) =


Cardiac ouput
Systolic ejection period x heart rate K(44.5) x mean
systolic Gradient.

SHUNT
Pada penyakit jantung kongenital, dilakukan pemeriksaan
oksigen saturasi di vena kava, atrium kanan, ventrikel
kanan, dan arteri pulmonalis sedangkan untuk sistem
jantung kiri juga diperiksa saturasi di aorta dan ventrikel
kiri. Akan ada kenaikan saturasi oksigen pada tempat yang
ada shunt dari kiri ke kanan, makin besar kenaikan saturasi
menunjukkan shunt juga makin besar. Misalnya adanya
kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan sebesar 4% atau
lebih menunjukkan adanya shunt dari kin ke kanan di tingkat
atrium karena defek septal atrial, sedangkan adanya
kenaikan saturasi di ventrikel kanan sebesar 3% atau lebih
menunjukkan adanya shunt dari kiri ke kanan di tingkat
ventrikel seperti pada defek septal ventrikel. Adanya

kanaikan saturasi oksigen sebesar 2% di arteri pulmonalis


menunjukkan ada shunt dari aorta ke arteri pulmonalis
seperti padapatent duktus arteriosus. Sedangkan bila ada
penurunan saturasi oksigen di sistem jantung kiri maka
ada shunt dari kanan ke kiri.
Besarnya shunt biasanya didasarkan atas perhitungan:
Pulmcnary flmv = Systemic antery 0 2 sahnasi - Systanic venous 0 2 sahnasi

Systemicflow Pu!m~ciliayOZsatumi-PubncmyvemtsOZs&nasi i
.
..
..--- ----.--.
--..
.-....
.. -.-...
..- ..-.J

Contoh data yang diperoleh dari penyadapan


jantung pada pelbagai macam kelainan jantung
Stenosis mitral. Pada stenosis mitral tekanan di atrium kiri
lebih tinggi dari ventrikel kiri pada masa diastol, sehingga
ada perbedaan tekanan di atrium kiri dan ventrikel kiri yang
disebut "gradient katup mitral". (lihat gambar 1)Makin
tinggi perbedaan tekanan tersebut makin berat stenosis
katup mitral. Luas katup mitral dapat dihitung dengan rurnus
Gorlin. Dari ventrikulografi kiri dapat dilihat pergerakan
katup mitral, adanya kalsifikasi pada katup mitral dan apakah
ada kebocoran pada katup mitral. Faal ventrikel kiri juga
dapat dinilai dan kadang dapat dinilai apakah ada trombus
di atrium kiri. Adanya hipertensi pulmonal juga dapat dinilai
dengan mengukur tekanan di arteri pulmonalis.
Insufisiensi mitral (Gambar 10). Adanya insufisiensi
mitral dapat diduga bila dari pemeriksaan grafik rekaman
tekanan di posisi wedge dari arteri pulmonalis yang
menggambarkan tekanan di atrium kiri menunjukkan adanya
gelombang v yang besar. Kebocoran dari katup mitral dapat
dengan mudah dilihat dari pemeriksaan ventrikulografi kiri,
di mana akan tampak aliran kontras dari ventrikel kiri ke
atrium kiri pada waktu sistol. Dari ventrikulografi juga dapat
dinilai besamya dan faal ventrikel kiri.
Stenosis aorta (Gambar 4). Diagnosis stenosis aorta
ditegakkan bila ada perbedaan tekanan sistolik di ventrikel
kiri dibandingkan dengan tekanan sistolik di aorta (tekanan
sistolik di ventrikel kiri lebih tinggi dari tekanan sistolik di
aorta, dalam keadaan normal tekanan sistolik di ventrikel
kiri dan aorta sama) Makin tinggi perbedaan tekanannya
makin besar stenosisnya. Luas katup aorta dapat dihitung
dengan rumus Gorlin. Dari pemeriksaan aortografi dapat
dilihat bentuk katup aorta, pergerakannya, adanya
kalsifikasi dan apakah ada insufisiensi aorta.
Insufisiensi aorta: (Gambar 8,9). Pada insufisiensi aorta
adanya kebocoran katup aorta dapat dilihat dari
pemeriksaan aortografi. Bentuknya katup aorta, dan
beratnya insufisiensi juga dapat ditentukan. Faal ventrikel
kiri juga dengan mudah dapat dilihat.
Defek septal ventrikel: (Gambar 6). Adanya defek septal
ventrikel (VSD) dapat diketahui karena adanya kenaikan
saturasi oksigen di ventrikel kanan dibandingkan dengan
atrium kanan. Dari pemeriksaan ventrikulografi kiri tampak
adanya aliran kontras dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

melallai septum intementrikularis (posisi JefJ anterior


oblique). (Gambar 6) Lokasi VSD juga dapat ditentukan.
Ftow ratio dapat dinilai dan tekanan di arteri pulrnonalis
dapat diukur apakah sudah ada hipertensi pulmonal.
Biasanya dianjurkan tindakan operasi penutupm VSD bila
flow ratio lebih dari 1.5.

Tabel 1. Nilai Normal Tekanan (mm Hg) dan Parameter


m
, ,.i

Atr~urnkanan
Mean (rerata)
Gelombang a
Gelombang v
Ventrikel kanan
Sistolik
Diastolik akhir
A. pulmonalis
Sistolik
Diastolik
Rerata
Atrium kiri
Sistolik
Diastolik akhir
Cardiac index
Stroke volume
Systemic vascular resistance
Stroke volume index
Total pulmonary vascular
resistanc

Gambar 2 Left coronary anglogram menunjukkan penyempiian


90% 61pembuluh CAD (LeR antenor descend~ng)

= 100- 140
=3-12
= 2.6 - 4.2 11minlrn
= 30 - 65 m1/m2
= 700 - 1600 dynes sec m5
= 30 - 65 ml/m2
= 100 - 300 dynes sec m5

Gambar 3. Gambar menunjukkan angiogram pmbuluh koroner


kanan (RCA=rrgllf coronary artery), menudukkan 100% blok.
Angiografi dilakukan pada pasien infark akut bagian inferior kurang
dari 6 jam. Pasirn juga mendapat pacujantung sementara karena
ada AV blok

Gambar 1. Pada gambar dl atas dapat dlllhat kurva tekanan dl


posls~wedge (PCWP= pulmonary cap~llarywedge pressure) dan
kurva tekanan dl ventr~kelk l r ~yang dlrekam bersama-sama
Tampak tekanan dl posls~wedge leb~htlnggl dar~ventr~kelklr~
pada masa d~astol,dengan perbedaan tekanan pada akhlr d~astol
( gradlent katup m~tral) sebesar 20 mmHg Tekanan dl posls~
wedge ( PCWP ) menggambarkantekanan dl atr~umklr~Adanya
perbedaan tekanan antara PCWP dan ventr~kelklr~menunjukkan
adanya stenos~skatup m~tral,makln tlngg~perbedaannya makln
berat derajat stenos~skatup m~tral

Oambr 4. Gambar menunjukkan kuwa tekanan di ventfikel kiri


dan di aorta, dj mana tekanan sistolik di ventrikei tinggi jauh lebih
tinggi dari tekanan sistolik di aorta, didapatkan perbedaan tekanan
sarbesar 130 mmHg (tekanan sistolik di ventrikel k n 140 mmHg
dan di @orb110 mmHg). Kurva tekanan diatas menunjukkanaorta
stenos~sbewt. Perbedaan tekanan di katup aorta menunjukkn
adanya aorta stenesis, makin besar beda tekanan makin berat
stenosisnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 5. Ventrikulografi kiri menunjukkan adanya hlpokinetik


didaerah anteroapical
Gambar 9. Aortografi dalam posisi LAO menunjukkan aorta
asendens yang melebar dan tampak adanya kontras yang
mengalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan
adanya insufisiensi aorta.

Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada pos~siLAO menunjukkan


kontras yang disuntikkan di ventr~kelklri ada yang mengalir ke
ventrikel kanan melalu~defek septa1 ventrikel
Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan
ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan
didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari
ventrikel kiri ke atrium kir~pada masa sistol.

REFERENSI

Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien


dengan faal ventr~kelyang normal

Bairn 1)s. (irocvnail W: <irossm;~n'sCardiac Cathcterilation. Angiography and Intervcntion. 6"' cdirion Baltilnorc. 1,ippincot.
William Wilkins 2000.
[)avidson [.I ct al: Cardiac cathctcri/ation. in Ikart Iliseasc, 6Ih ed.
I<I3raun\\altl (ed), Philadelphia. Saundcrs, 2001.

G a m b a r 8. Aortografi pada poslsi RAO menunjukkan aorta


mempunyai 3 daun dan tidak ada insufisiensi aorta.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1571

PENYADAPAN JANTUNG (CARDIAC CATHETERIZATION)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

didasrah anteroaoical

Gambar 9. Aortoarafi dalam posisi LAO menunjukkan aorta


asendens yang melebar d a n tampak adanya kontras yang
menaalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan
adanya insufisiensi aorta.

Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada posisi LAO menunjukkan


kontras yang disuntikkan di ventrikel kiri ada yang mengalir ke
ventrikel kanan melalui defek septa1 ventrikel
Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan
ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan
didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari
ventrikel kiri ke atrium kiri pada masa sistol.

REFERENSI
Ventrikel kid, pada saat diastole

Vcntrlkel ktri. pada mas8 sistole

Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien


dengan faal ventrikel yang normal

Baim DS, Grossman W: Grossman's Cardiac Catheterization, Angiography and Intervention. 61h edition Baltimore. Lippincot,
William Wilkins 2000.
Davidson CJ et al: Cardiac catheterization, in Heart Disease, 6Ih ed.
E Braunwald (ed), Philadelphia, Saunders, 2001.

Gambar 8. Aortografi pada posisi RAO menunjukkan aorta


mempunyai 3 daun dan tidak ada insufisiensi aorta.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

INTERVENSI KORONER PERKUTAN


T. Santoso

ANGIOPLASTI KORONER PERKUTAN


Angioplasti koroner diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig
sebagai tindakan revaskularisasi koroner non-bedah pada
tahun 1977. Tindakan angioplasti koroner ini lazim
dinamakan percutaneous transluminal coronary
angioplasfy (PTCA). Pada waktu itu teknik yang dipakai
hanyalah menggunakan balon yang dimasukkan ke
pembuluh koroner yang stenotik, setelah itu balon
dikembangkan dan dengan demikian stenosis menghilang
atau amat berkurang, lalu balon dikempiskan dan
dikeluarkan. Teknik ini dapat amat efektif, tetapi kadangkadang dapat menyebabkan komplikasi seperti oklusi arteri
mendadak akibat diseksi dan infark jantung akut5.Teknik
angioplasti koroner berkembang pesat sejak
diperkenalkannya penggunaan "alat-alat baru" yang
bukan hanya menaikkan angka keberhasilan angioplasti
koroner tetapi juga amat menurunkan risiko tindakan.
Dengan perkembangan ini maka istilah PTCA menjadi
diperluas dan pada saat ini lazim disebut "intervensi
koroner perkutan" atau percutaneous coronary intewention (PCI). Salah satu "alat baru" yang amat bermanfaat
adalah stent. Pada masa sekarang, PTCA mumi sudah jauh
lebih jarang dilakukan, karena pada umumnya dilakukan
pemasangan stent.

STENT

PTCA selalu menyebabkan trauma pada dinding arteri,


terutama dapat menyebabkan robekan dinding pembuluh
atau diseksi. Makin besar alat atau tekanan dipakai, maka
trauma yang diakibatkannya makin besar, bukan hanya
sebatas intima atau plak, tetapi dapat lebih dalam mencapai
media atau bahkan adventisia. Trauma ini akan
mencetuskan terjadinya proses penyembuhan dan

akhimya dinding pembuluh akan dilapisi endotel normal


kembali. Akan tetapi pasca PTCA, reaksi penyembuhan
ini dapat terjadi dalam bentuk remodelling, elastic recoil
danlatau hiperplasia neointima. Negative remodelling,
elastic recoil dan hiperplasia neoinitma ini akan
menyebabkan terjadinya restenosis. Karena itu
dikembangkan penggunaan stent. Stent dapat dipakai
untuk mengatasi komplikasi akut seperti hasil dilatasi yang
suboptimal, diseksi oklusif dan infark jantung akut yang
dapat terjadi sebagai akibat dari' ini. Stent dapat pula
menghambat negative remodeling dan elastic recoil,
sehingga penggunaan stent akan mengurangi restenosis.
Stent pertama kali dipakai pada manusia oleh Puel di
Toulouse dan Sigwart di Lausanne. Stent merupakan
struktur metal yang dapat menyangga pembuluh darah
supaya tetap terbuka. Secara garis besar, ada stent dalam
bentuk self-expanding stent di mana dent terbungkus
dengan membran dimasukkan ke lesi stenotik dalam bentuk
belum terkembang, lalu dengan menarik membran, maka
stent terbuka. Kemudian dapat dilakukan optimalisasi
dengan balon. Akan tetapi kebanyakan stent yang
sekarang dipakai adalah bentuk balloon expandable stent.
Di sini stent dalam keadaan belum terkembang ditempel
pada balon sedemikian sehingga profilnya kecil dan dapat
dimasukkan ke lesi stenotik. Setelah sampai di tempat target, stent dipasang dengan mengembangkan balon.
Kemudian balon dikempiskan dan stent ditinggal di dalam.
Sering diperlukan preparasi lesi stenotik untuk
memudahkan penempatan dan pemasangan stent di tempat
lesi, urnumnya dengan melakukan predilatasi dengan balon
(balon biasa atau balon khusus seperti cutting balloon)
atau tindakan ajungtif lain seperti rotablasi atau aterektomi.
Pasien yang menjalani pemasangan stent umumnya diberi
2 jenis obat antiplatelet untuk mencegah trombosis stent,
minimal satu bulan.
Pada waktu stent pertama kali dipakai pada manusia,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INTERVENSl KORONER PERKUTAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


penggunaan stent ternyata dapat menyebabkan komplikasi
trombosis akut atau subakut, yang dapat mengakibatkan
terjadinya infark jantung akut dan kematian. Kemudian
diketahui, bahwa terjadinya trombosis amat tergantung
pada hasil pemasangan stent. Karena itu pada waktu
pemasangan stent haruslah diyakini bahwa hasilnya hatus
optimal. Colombo membuktikan, bahwa komplikasi ini
dapat amat dikurangi dengan melakukan dilatasi balon
dengan tekanan tinggi, dan dibuktikan dengan
intravascular ultrasound (IWS).
Penggunaan stent terbukti dapat menekan terjadinya
restenosis akibat PTCA. Selain itu stent juga amat berguna
untuk mencegah oklusi pembuluh akut seperti misalnya
akibat diseksi, serta untuk menyempurnakan hasil PTCA
yang masih suboptimal. Penyelidikan BENESTENT dan
STRESS membuktikan, bahwa penggunaan stent lebih
superior dibandingkan PTCA dalam kaitan dengan
restenosis dan "eventfiee survival". Sejak itu minat orang
terhadap pemasangan stent menjadi amat besar (stent
frenzy). Stent menjadi amat sering dipasang dengan
indikasi yang amat luas untuk tatalaksana stenosis yang
bahkan tidak termasuk dalam lesi yang diselidiki pada
penyelidikan-penyelidikan tersebut.
Restenosis setelah pemasangan stent lebih kecil
daripada restenosis pasca PTCA, yaitu sekitar 10-18%,
walaupun untuk lesi-lesi kompleks angka ini dapat lebih
tinggi lagi. Berbagai faktor berpengaruh terhadap
terjadinya restenosis. Faktor klinik seperti diabetes melitus,
atau angina tak stabil akan menaikkan angka restenosis.
Faktor tindakan antara lain pemasangan stent yang kurang
sempurna (misalnya aposisi stent ke dinding kurang
sempurna), atau diseksi yang tak diatasi juga
mempermudah terjadinya restenosis. Morfologi lesi juga
amat berpengaruh, termasuk yang menaikkan
kecenderungan restenosis misalnya lesi yang panjang atau
difus, oklusi total, diameter pembuluh kecil, lesi ostial, lesi
restenotik, serta lesi pada pembuluh gra3 saphena. Untuk
menilai apakah pemasangan stent sempurna dapat
dilakukan pemeriksaan I W S , angioskopi,fiactionalflow
reserve (FFR) atau coronaryJow reserve (CFR), akan tetapi
pemeriksaan ini tidak mutlak lagipula menaikkan biaya
tindakan.
Perbandingan antara PC1 dan operasi pintas koroner
(coronavy artery bypass surgery, CABG) diselidiki pada
13 penyelidikan yang mencakup 7964 pasien. Pada kurun
waktu pemantauan 1, 3 sampai 8 tahun, tidak ditemui
perbedaan angka kematian antara kedua kelompok terapi
revaskularisasi tersebut. Penggunaan stent ternyata
banyak memberi manfaat. Pada penyelidikan-penyelidikan
terdahulu di mana stent belum dipakai, ditemui
kecenderungan bahwa CABG lebih baik daripada PC1 pada
tahun ketiga; ha1 mana tidak ditemui lagi setelah dipakai
stent. Kecenderungan bahwa CABG lebih baik daripada
PC1 hilang walaupun mortalitas akibat CABG menurun dari

5.2% menjadi 3.5% padapenyelidikan-penyelidikandi mana


stent sudah mulai dipakai. Penggunaan stent menurunkan
risko tindakan revaskularisasi ulang (target lesion
revascularization, TLR) sampai setengahnya. Selain itu
baik stent maupun CABG sama baik memperbaiki keluhan
pasien (angina).
Untuk kelainan banyak pembuluh ("multivessel
disease". MVD) ada beberapa penyelidikan penting
perbandingan PC1 dengan stent dan CABG. Pada
penyelidikan ARTS (Arterial Revascularization Therapy
Study) diacak 1205 pasien untuk menjalani pemasangan
stent atau CABG. Setelah satu tahun, tidak ada perbedaan
dalam angka kematian atau infark jantung, walaupun
demikian kelompokstent lebih sering menjalani TLR. Pada
penyelidikan ERACI I1 (Argentine Randomised Study of
Stents versus CABG in Multivessel Disease) angka
harapan hidup bahkan lebih baik pada kelompok stent (97.4
vs 92.5 persen; p<0.015) dan pula angka bebas serangan
infark jantung juga lebih baik pada kelompok stent (97.7
vs 93.4 persen; p<0.017), tetapi kebutuhan TLR lebih sering
diperlukan pada kelompok stent, walaupun biaya
keseluruhan untuk kedua kelompok sama. Pada
penyelidikan SoS (Stent assisted PC1 versus CABG in
multivessel coronary artery disease), angka mortalitas dan
infarkjantung sama banyak pada kedua kelompok PC1 atau
CABG TLR diperlukan lebih sering pada kelompok PCI.

DRUG-ELUTING STENT
Dengan makin luasnya pemakaian stent, problem utama
PC1 yang sulit dipecahkan adalah restenosis. Stentmemang
menurunkan kekerapan restenosis, tetapi hiperplasia
neointima tetap terjadi. Penggunaan obat sistemik ternyata
tidak memberi hasil baik. Salah satu usaha untuk mengatasi
ini adalah dengan memberikan radiasi intrakoroner.
Tindakan ini lazim dinamakan brakiterapi (brachytherapy).
Upaya lain yang kemudian ternyata memberi hasil amat
memuaskan adalah penggunaan drug-eluting stent (DES).
Pada prinsipnya, DES merupakan stent yang bersalut
obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek
antiproliferatif dan antiinflamasi, sehingga dapat menekan
hiperplasia neointima. Dengan demikian secara teoretis,
obat yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik
dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil,
tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel
pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai
pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan
mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding
pembuluh. Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi
tubuh (pembuluh) terhadap polimer dan obat dan juga
terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan
terdahulu dengan stent bersalut emas, juga dengan QuaDS
stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gaga1 karena

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


DES ini lebih menyebabkan reaksi prolifersi, peradangan
(inflamasi), atau lebih trombogenik daripada stent biasa
(bare metal stent, BMS)
DES yang kemudian ternyata memberikan hasil baik
adalah sirolimus-eluting stent (SES) dan paclitaxel-elutingstents (PES). Hal ini terbukti dari banyak penyelidikan
seri kasus atau penyelidikan acak yang telah dilakukan
dan dipublikasi. (Tabel 1)
Penyelidikan pertama pada manusia dengan SES
dilakukan pada 45 pasien di Sao Paolo, Brazilia dan
Rotterdam, Negeri Belanda. SES ternyata dapat hampir
sempurna menghambat proliferasi neointima pada
pemantauan setelah 4 bulan. Selanjutnya pemantauan
setelah 1 dan 2 tahun menunjukkan bahwa penekanan
hiperplasia neointima ini menetap, dibuktikan baik dengan
I W S atau "quantitative coronary angiography (QCA).
Pada penyelidikan Randomized Study With the
Sirolimus-Eluting Bx Velocity Balloon-Expandable Stent
(RAVEL) trial, 238 pasien secara acak mendapat stent biasa
(BMS) atau SES. Setelah 6 bulan, restenosis temyata 26%
pada kelompok BMS dan 0% pada kelompok SES. Selain
itu tak ditemui trombosis subakut dengan kombinasi 2 obat
anti-platelet. Pada pemantauan 1 tahun kekerapan kejadian
koroner mayor (major adverse cardiac events, MACE) 29%
pada kelompok BMS dan hanya 5,8% pada kelompok SES.
Perbedaan ini terutama disebabkan oleh rendahnya
kebutuhan revaskularisasi ulang pembuluh target ("target vessel revascularization", TVR). Pada RAVEL, setelah
3 tahun dapat dipantau 114 pasien pada kelompok BMS
dan 113 pasien pada kelompok SES. Dilaporkan TVR 11,4%
pada kelompok SES dibandingkan dengan 33,6% pada
kelompok BMS. Data ini jelas membuktikan bahwa hasil
baik pemasangan SES dapat dinikmatijangka panjang serta
menurunkan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulang.
Penyelidikan SIRIUS (Sirolimus-Eluting Balloon Expandable Stent in the Treatment of Patients With De Nova
Native Coronary Artery Lesions) melibatkan 1058 pasien
yang diacak menjalani pemasangan stent biasa (BMS) atau
SES pada 53 senter. Kohort ini melibatkan juga pasien
diabetes melitus (26%), kelainan yang lebih panjang (rerata
14,4 mm)dan diameter pembuluh lebih kecil (rerata2,8 mm)
dibandingkan dengan populasi RAVEL. Sekali lagi terbukti
bahwa kelompok SES mengalami MACE pada kurun waktu
pemantauan 270 hari yang lebih rendah dari kelompok BMS
(7,1% vs 18,9%), dan ha1 ini terutama karena kebutuhan
untuk TLR lebih rendah pada kelompok SES dibandingkan
kelompok BMS (4,1% vs 16,6%). Dengan evaluasi QCA
dan IVUS dibuktikan bahwa mekanisme efek baik tersebut
adalah karena proses hiperplasia neointima dapat ditekan.
Selanjutnya penyelidikan RESEARCH dan T-SEARCH
(Rapamycin-Eluting and TAXUS Stent Evaluated At
Rotterdam Cardiology Hospital) pada Thoraxcenter,
Rotterdam, Negeri Belanda, membuktikan keamanan
penggunaan SES pada pasien sindrom koroner akut,

termasuk STEMI. Penyelidikan di Rotterdam tersebut juga


menunjukkan bahwa SES potensial juga baik dipakai untuk
memperbaiki restenosis setelah pemasangan stent ("instent
restenosis"). Pada penyelidikan lain di mana 368 pasien
dengan 735 lesi stenotik menjalani pemasangan 841 stent,
restenosis >50% hanya ditemui pada 11 pasien dan pada
semua pasien dalam bentuk fokal (bentuk restenosis
paling ringan dan paling mudah diperbaiki). Harus
ditambahkan bahwa pada seri ini stent dipasang pada lesi
yang relatif panjang (17,?8 + 12,19 mm) dan anatomi lesi
yang lebih kompleks, di mana biasanya angka restenosis
dengan BMS arnat tinggi.
Untuk PES, penyelidikan pertama yang dilakukan
adalah TAXUS-I di mana dipakai "paclitaxe1,polymer;NIR
stent system". Sejumlah 61 pasien diacak mendapat BMS
atau PES. Setelah dipantau 12 bulan, angka MACE adalah
3% (1 kejadian) pada kelompok TAXUS dan 10% (4
kejadian pada 3 pasien) pada kelompok BMS dan tidak
ditemui trombosis stent subakut. Walaupun perbedaan ini
tidak mencapai kemaknaan statistik, diameter lumen
minimal ("minimal luminal diameter", MLD) secara
bermakna lebih baik pada kelompok TAXUS.
Penyelidikan ASPECT melibatkan 177 pasien dengan
lesi pendek (kurang dari 15 mm), dan "ideal" (diameter
pembuluh 2.25 sampai 3.5 mm) dan secara acak mendapat
BMS Cook Supra-G atau PES di mana dipakai 2 macam
dosis. Penilaian penyelidikan ini agak sulit karena dipakai
3 macam regimen obat anti-platelet. Restenosis terjadi
sebesar 4% pada kelompok PES dosis tinggi, 12% pada
kelompok PES dosis rendah dan 27% pada kelompok BMS.
Pada evaluasi IVUS, terbukti bahwa pada kelompok PES
hiperplasi neointima dapat ditekan.
Penyelidikan TAXUS IV merupakan penyelidikan
prospektif, acak ganda tersamar "slow-release;
polymer-basedpaclitaxel-NIRstent system pada 73 senter
di Amerika. Sejumlah 1314 pasien dengan lesi pembuluh
koroner berdiameter antara 2,5 sampai 3,75 mrn dan panjang
10 sampai 28 mm diacak untuk mendapatkan BMS atau
PES. Pada pematauan 9 bulan, walaupun angka kematian,
infark jantung, atau trombosis stent subakut tak berbeda
antara kelompok BMS dan PES (0,8% vs. 0,6%), restenosis
pada angiografi amat menurun dengan penggunaan PES
dibandingkan BMS (7,9% dibandingkan 26,6%). Atas
dasar hasil baik ini FDA menyetujui penggunaan PES di
Amerika. TAXUS I11 merupakan penyelidikan registri yang
memperlihatkan bahwa PES ini potensial dapat dipakai
untuk pengobatan instent restenosis.
Penyelidikan perbandingan (REALITY, SIRTAX) antara
SES dan PES tidak memperlihatkan perbedaan bermakna
(M.C. Morice, presentasi oral, American College of
Cardiology Scient$c Session, Orlando, Fla, Maret 2005;
S. Windecker, presentasi oral, American College of
Cardiology Scientific Session, Orlando, Fla, Maret 2005).
Harus diingat, bahwa kebanyakan penyelidikan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1575

INTERVENSI KORONER PERKUTAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


melibatkan pasien dengan angina stabil atau tak stabil,
stenosis 5 1-99%, diameter pembuluh 2,75-3,5 mm, panjang
lesi 15-30 mm. Pada kebanyakan penyelidikan tidak
dimasukkan pasien dengan infark akut kurang dari 48 jam,
fraksi ejeksi kurang dari 0,25, riwayat atau dalam rencana
akan dilakukan brakiterapi, riwayat PC1 pada'lesi sama,
kelainan atau penyakit lain yang akan memperpendek umur,
kontraindikasi aspirin, tienopiridin, atau substansi stent,
insufisiensi ginjal atau kelainan hematologi. Selain itu
termasuk dalarn kondisi yang secara angiografk umumnya
dimasukkan dalam kriteria eksklusi adalah: lesi ostium, lesi
bifurkasi, lesi unprotected left main, lesi pembuluh graft
vena saphena, kalsifikasi berat, trombus, tortuositas berat,
dan oklusi pembuluh.
Untuk mengevaluasi apakah DES dapat dipakai pada
subset kelainan angiografik yang beragam tersebut,
Sermys dkk. telah menyelidikinya pada registri RESEARCH
dan T-SEARCH. Pada pasien sindrom koroner akut
penggunaan DES pada 198 pasien dibandingkan dengan
penggunaan BMS pada 301 pasien. MACE termasuk
kematian (3,0% vs 3,0%), infark jantungnonfatal(3,0% vs
1,ON), dan TLR (1,0% vs 2,7%) tak berbeda untuk SES dan
BMS (total 6,1% vs 6,6%). Lemos menyelidiki penggunaan
SES pada 186 pasien STEMI dan dibandingkan dengan
183 pasien STEMI yang mendapat BMS. Pada kurun waktu
pemantauan 30 hari, MACE (7,5% vs 10,4%) dan trombosis
stent (0% vs 1,6%) tak berbeda antara kelompok SES dan
BMS. Setelah 300 hari, TLR (1,1% vs 8,2%) dan MACE
(9,4% vs 17,0%) menurun pada pasien yang mendapat SES.
Suatu penyelidikan kuantitatif oleh Saia melaporkan angka
restenosis 0% pada 6 bulan pada 96 pasien STEMI, dan
angka "late loss" turun sampai sebanding dengan angka
pada penyelidikan pada pasien stabil dan mempunyai
kelainan anatomi yang kurang kompleks. Penggunaan SES
pada oklusi total diselidiki oleh Hoye dkk pada 56 kasus
yang mendapat SES dibandingkan dengan 28 pasien yang
mendapat BMS. Setelah 12 bulan, kekerapan bebas MACE
96.4% pada kelompok SES dan 82.1% dengan BMS (<0,05
dengan log-rank test). Untuk graft vena safena ("saphenous vein g r a y , SVG) lama yang berdegenerasi diselidiki
19 pasien denagn 2 1 lesi yang diberi SES. Temyata TLR
dibutuhkan pada 0% dan angka bebas MACE tahun adalah
84%.
Penyelidikan-penyelidikan lebih luas penggunaan DES
untuk segala macam indikasi dan berbagai subset pasien
dan beraneka ragam morfologi lesi ("real world cases")
makin banyak dilakukan. Hasilnya memang sebagian masih
kita tunggu, akan tetapi dalam praktek karena sebegitu
jauh penggunaan DES memberikan hasil begitu baik, DES
sering dipakai untuk indikasi diluar dari indikasi yang telah
dilakukan pada penyelidikan yang telah selesai (of-label
use). Dengan demikian di seluruh dunia pada saat ini
kecenderungan untuk operasi pintas koroner telah
menurun dengan pesat.

BRAKITERAPI
Instent restenosis umumnya terjadi di dalam stent dan
sering pula terjadi pada tepi stent. Walaupun angioplasti
. balon herupakan cara paling mudah dan aman untuk
memperbaiki ha1 ini, angka kekambuhan kembali arnat tinggi.
Banyak faktor memudahkan terjadinya restenosis instent
: lesi yang panjang (>30 mrn), penggunaan stent panjang,
diameter pembuluh kecil(<2,5 mm), diameter pembuluh
pasca tindakan kecil, buntu total kronis, lesi ostium atau
bifurkasi, adanya diabetes melitus.
Pada beberapa penyelidikan, penggunaan brakiterapi
intrakoroner dan intra-SVG memberikan hasil yang baik
pada penilaian klinik maupun angiografik cukup
memuaskan (GAMMA-I,WRIST, LONG-WRIST, START,
INHIBIT, SVG-WRIST). Restenosis pada tepi stent
merupakan penyulit yang kurang menyenangkan, tetapi
dapat dikurangi dengan penggunaan sumber radiasi yang
lebih panjang (atau teknik sekuensial, pull-back
technique) di mana segment of interest dapat secara efektif
diradiasi. Manfaat klinik jangka panjang radiasi dengan
penggunaan sinar beta (STARTS')terbukti sama dengan
pengunaan sinar gamma (SCRIPS-I, GAMMA-I, WRIST).
Untuk radiasi sinar gamma, hasil baik setelah 3 dan 5 tahun
telah dilaporkan. Untuk mencegah oklusi pembuluh setelah
pemantauan jangka panjang, disarankan penggunaan
klopidogrel untuk 1 tahun. Penggunaan brakiterapi amat
berkurang sejak diperkenalkannya drug-eluting stent.

CUTTING BALLOON
Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4
pisau pemotong tipis yang ditempel secara longitudinalpada
balon. Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan
mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi
redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan
tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasti balon
biasa. Penyelidikan "cutting balloon global randomized
trial" melibatkan 1238pasien dengan de novo stenosis.Akan
tetapi hasil ')primary endpoint" dan angka restenosis tidak
berbeda antara cutting balloon dibandingkan balon
konvensional biasa (3 1,4% vs 30,4%). Dengan demikian
hipotesis bahwa dilatasi terkendali dengan cutting balon
akan menurunkan angka restenosis tidak terbukti. Pada
beberapa penyelidikan dilaporkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent
restenosis. Hal mana ternyata tidak terbukti pada
penyelidikan RESCUT. Cutting balloon mungkin masih
berguna dipakai pada restenosis instent untuk mengurangi
terjadinya pergeseran balon waktu dilakukan dilatasi
(balloonslippage), sehingga mengurangi trauma. Hal mana
berguna untuk menghindari geographical miss bila
digunakan bersama dengan brakiterapi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Ateroma dapat "dihancurkan" menjadi mikropartikel lebih
kecil dari eritrosit dengan menggunakan rotablasi. Mata
bor dibuat dari platinum dan berlian dan kecepatan yang
dipakai umumnya amat tinggi, yaitu antara 140.000-180.000
rpm. Karena dapat terjadi spasme koroner dan "no/slow
flow phenomenon", operator hams tahu dengan baik cara
menggunakan alat ini (CARAFE Study). Pada penyelidikan
COBRA, untuk lesi de novo, penggunaan rotablasi ternyata
terbukti tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
angioplasti balon. Pada penyelidikan STRATAS, rotablasi
yang lebih agresif juga tidak terbukti lebih bermanfaat,
dan pada penyelidikan CARAT bahkan dilaporkan bahwa
tindakan yang lebih agresif dengan bor berukuran lebih
besar malahan menyebabkan angka komplikasi lebih tinggi
dibandingkan dengan bila dipakai bor ukuran lebih kecil.
Rotablasi juga pernah dianggap berguna untuk
pengobatan in-stent restenosis, karena difikirkan bahwa
ablasi jaringan dengan bor akan lebih efektif dibandingkan
dengan hanya kompresi jaringan dengan angioplasti biasa.
PenyelidikanARTISTjustru sebaliknya melaporkan bahwa
hasil rotablasi pada kondisi ini lebih buruk dibandingkan
dengan angioplasti balon biasa. Dipihak lain, penyelidikan
ROSTER melaporkan hasil yang lebih baik dan penurunan
kekerapan kejadian kardiovaskular buruk (major adverse
cardiovascular events) dengan rotablasi dibandingkan
dengan angioplasti balon
Pada masa sekarang indikasi rotablasi adalah untuk
lesi fibrotik atau lesi kalsifikasi yang dapat dilewati dengan
guide wire tetapi tak dapat dilewati balon atau tak dapat
didilatasi dengan balon sebelum dilakukan pemasangan
stent.

DIRECTIONAL CORONARYATHERECTOMY(DCA)
Konsep untuk mengeluarkan plak ateroma dengan DCA
merupakan konsep yang menarik (daripada hanya sekedar
melakukan kompresi plak sebagaimana yang diperoleh bila
dilakukan angioplasti balon atau pemasangan stent) dan
ha1 ini memicu dilakukannya berbagai penyelidikan. Pada
penyelidikan CAVEAT-I dilaporkan angka komplikasi serta
biaya yang lebih tinggi bila dilakukan DCA dibandingkan
dengan angioplasti balon. Pada CAVEAT-I1 di mana
dibandingkan DCA dan angioplasti balon pada SVG tidak
didapatkan perbedaan dalam angka restenosis seleah 6
bulan. Pada penyelidikan BOAT, CCAT, dan OARS juga
tidak ditemui perbedaan hasil klinik pada kurun waktu
pemantauan 18 bulan setelah DCA. Pada penyelidikan
AMIGO terdapat perbedaan hasil yang diperoleh bila DCA
dilakukan pada institusi yang berbeda, ha1 mana mungkin
dapat menerangkan mengapa pada beberapa penyelidikan
didapat hasil negatif. Pada saat ini DCA merupakan satu-

satunya cara perkutan untuk mengeluarkan plak ateroma


dan jaringan restenosis. Pada era DES indikasi penggunaan
DCA amat berkurang, mungkin hanya untuk lesi ostium
dan bifurkasi bila dilakukan oleh intervensionis terampil.

ALAT PROTEKSI EMBOLI


Pasien yang menjalani PC1 potensial dapat mengalami emboli distal, terutama bila intervensi dilakukan pada SVG.
PC1 pada stenosis SVG hams dinilai sebagai tindakan
dengan risiko tinggi. Pada meta-analisis 5 penyelidikan,
penggunaan obat penghambat glikoprotein IIb/IIIa (GPIIbI
IIIa) pada PC1 stenosis pembuluh SVG ternyata tidak
terbukti mempunyai manfaat. Demikian pula penggunaan
stent bermembran ("membrane-covered stent") tidak
menurunkan kejadian klinis akibat emboli distal (STING,
RECOVERS, SYMBIOTm).
Fenomena no--ow ditandai oleh adanya aliran darah
pada jaringan yang tidak mencukupi walaupun pembuluh
epikardial telah terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh
karena gangguan mikrovaskular, disfimgsi endotel, edema
miokardial, atau embolisasi debris ateroma atau trombus.
Sebagai akibat dapat terjadi pemburukan hemodinamik.
Untuk mengatasi ha1 ini telah diselidiki penggunaan
berbagai alat filter atau aspirasi partikel embolik pada
pembuluh target.

Alat Proteksi Distal


Alat proteksi distal yang terdiri dari balon yang oklusif
dan ditempatkan distal dari lesi dan kateter untuk aspirasi
(Guard- Wire, PercuSurge) terbukti dapat memperbaiki
derajad perfusi miokardium pada PCI-SVG. Pada
penyelidikan SAFER '>rimary endpoint" (kematian, infark
jantung, operasi pintas koroner darurat, dan TLR pada
hari ke-30) amat dikurangi dari 16.5% menjadi 9.6%.
Penurunan MACE 42% ini disebabkab terutama karena
penurunan infark jantung (14,7% menjadi 8,6%) dan
fenomena no-flow (9% menjadi 3%). Jenis lain alat proteksi
distal berbentuk filter. Alat seperti ini akan tetap
mempertahankan aliran darah selama dipakai karena
mempunyai lubang-lubang mikropor. Penyelidikan FIRE
membandingkan kedua konsep alat proteksi distal ini pada
PC1 SVG, dinilai dengan konsep non-inferioritas. Endpoint
gabungan kematian, infarkjantung dan TLR ternyata sama
pada kelompok Filterwire EX (9.9%) dibandingkan
kelompok GuardWire (1 1.6%). Pada penyelidikan CAPTIVE, alat proteksi emboli Cardioshield tak terbukti
mempunyai manfaat non-inferior dibandingkan GuardWire
dalam menurunkan emboli pada waktu melakukan PC1 SVG
Sistem triaktif merupakan alat proteksi distal yang
dikombinasikan dengan alat penghisap. Pada penyelidikan
PRIDE, alat ini terbukti tidak inferior dibandingkan dengan
GuardWire dan Filter Wire.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1577

INTERVENSIKORONER PERKUTAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Sayangnya banyak pasien dengan kelainan SVG
mempunyai kondisi anatomik yang tidak memungkinkan
dipakainya alat proteksi emboli distal. Hasil baik pada PC1
SVG ternyata tak terbukti pada primary PC1 untuk infark
jantung akut. Pada penyelidikan EMERALD, luas infark
diturunkan menjadi 17% pada kelompok alat proteksi
distal dan 16% pada kelompok PCI.
Secara singkat, alat proteksi distal dapat disarankan
dipakai pada PC1 SVG dan PC1 sindrom koroner akut di
mana terdapat beban trombus banyak.
Alat Proteksi Proksimal (Alat Penghisap
[Suction], Trombektomi)

Salah satu keterbatasan alat proteksi dengan sistem balon


atau filter adalah keharusan untuk memasukkan alat
tersebut melewati lesi dan ha1 ini dengan sendirinya dapat
menyebabkan emboli. Selain itu diperlukan adanya
landing zone untuk balon atau filter tersebut. Sebagai
alternatif, dapat dipakai alat penghisap atau alat proteksi
dengan balon oklusif proksimal. Tindakan paling
sederhana tentunya adalah aspirasi trombus dengan
guiding catheter yang kadang-kadang dapat dilakukan

Penyelidikan

Tahun

N
DESIBMS

::zL2
:

Stent

Dosis

untuk aspirasi trombus dekat dengan ostium. Penggunaan


alat AngioJet dinilai pada penyelidikan acak dengan
pembanding infus urokinase pada PC1 SVG di mana secara
angiogafikjelas tampak trombus (VeGAS-2). Ternyata tidak
ditemukan perbedaan dalam kekerapan MACE. Pada
penyelidikanAiMI alat AngioJet ini juga tak terbukti dapat
mengurangi luas infark. Alat X-Sizer merupakan alat
penghisap lain, yang mungkin berguna untuk kasus infark
jantung akut. Pada penyelidikanX-Tract, pasien SVG atau
pasien dengan lesi trombotik pada pembuluh koroner
diacak untuk menjalani pemasangan stent dengan atau
tanpa sebelumnya menjalani aspirasi trombus dengan alat
X-Sizer. Kekerapan infark jantung pada hari ke-30 adalah
15,8% pada kelompok X-Sizer dan 16,6% pada kelompok
kontrol (tak bermakna). Pada analisa subkelompok,
tampaknya trombektomi dengan X-Sizer dapat membatasi
luas, tetapi tidak mencegah terjadinya mionekrosis.
Harapan hidup jangka pendek maupun jangka panjang
ternyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan alat ini. Pada
saat ini alat proteksi distal dapat disarankan dipakai pada
lesi dengan kemungkinan emboli besar.
Untuk penangan perforasi, disarankan penggunaan
PTFE covered stent (graft stents).

Kematian
DESIBMS

lnfark
jantung
DESIBMS

(%I

(%I

Bx-velocity

140 pglcm2

TAD

TAD

15 Rotterdam

Ex-velocity

110 pglcm2

TAD

TAD

2002

1201118

Ex-velocity

140 pglcm2

1.711.7

SIRIUS

2004

5331525

Bx-velocity

140 pg/cm2

C-SIRIUS

2004

50150

Ex-velocity

E-SIRIUS

2003

1751177

RESEARCH
Registry total

2004

RESEARCH
registry ACS
RESEARCH
Registry
STEM1

TLR
DESIBMS

("/.I

(%I
HNI minimal

O%11 th

dim A th

0%12 th

HNI minimal
dlm 2 th

3.314.2

0126'6 pd
6 bln
(pcO.001)

0122.9 pd 6 bln
(pcO.001)

0.910.6

2.813.2

8'9136'3
pd 8 bln
(pcO.001)

4.9120 pd 1 th
(pcO.001)

140 pg/cm2

010

2.014.0

2.3151.1

4.0118.0 pd 9
bln (pc 0.001)

Ex-velocity

140 pglcm2

1.110.6

4.612.3

5.9142.3

4.0120.9 pd 9
bln (pc0.001)

5081450

Ex-velocity

140 pglcm2

1.612.0 pd
30 hari

0.811.6 pd 30
hari

TAD

1.011.8 pd 30
hr

2003

1981301

Ex-velocity

140 pg/cm2

3.013.0 pd
30 hari

TAD

2004

1861183

Ex-velocity

140 pglcm2

8.318.2 pd
300 hari

3.011.0 pada
30 hari
0.512.2 pada
300 hari

1.012.7 pd 30
hr
1.118.2 pd 300
hr

2004

56128

Ex-velocity

140 pg/cm2

010 di
rumah sakit

TAD

TAD

FIM

2001

FIM

2002

RAVEL

RESEARCH
Registry CTO

Restenosis
DESIBMS

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TAD

MACE5.6.117.2
pd 12 bln

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penyelidikan

Tahun

DESIBMS

Dosis

Kematian
DESIBMS

lnfark Restenosis
jantung
DESIBMS
DESIBMS

(%I

("w

TAD

13.3 pd 6 bln,
61.5 pf 1 th

(%I
2400-3200
mcg dosis
total
ASPECT

2003

59 dosis tinggi,
58 dosis
rendah.
59 kontrol

TAD

0.910

TLR
DESIBMS

2.611.7

NIR

010

4112127 pd 4-6
bln (dosis
tinggi vs
control)
(p<O.OOl)
0110 pd 6 bln
(p=0.012)

NIR

010.8

3,115,3

7.1121.9 pd 6
bln

NIR

TAD

TAD

TAD

EXPRESS

PENGOBATAN PADA PCI: OBAT-OBATANANTI


PLATELET DAN ANTITROMBOTIK

1.411.1

3.513.7

Kematian
DESIBMS

(XI
20 pd 6 bln, 60
pada 1 th

21212 pd 1-6 bln

0110 pd 1 th
(p=0.237)
10.4121.7 pd 12
bln

7.9126.6 pd 9
bln (p<0.001)

Pasien yang telah makan aspirin menahun hams makan


75-325 mg aspirin sebelum tindakan PCI. Pasien yang belum
makan aspirin, disarankan diberi 300-325 mg aspirin minimal 2 jam sebelum PC1 atau lebih baik 24 jam sebelum PCI.
Setelah tindakan PCI, pada pasien tanpa resistensi atau
alergi terhadap aspirin, atau tidak mempunyai
kecenderungan perdarahan, maka aspirin harus diberikan
minimal 1 bulan setelah pemasangan BMS, 3 bulan setelah
pemasangan SES dan 6 bulan setelah pemasangan PES,
setelah itu aspirin diteruskan seterusnya dengan dosis
76- 162 mghari. Untuk klopidogrel, dosis pemula 300 mg
disarankan diberi sebelum PCI, sebaiknya minimal 6 jam
sebelumnya. Klopidogrel diteruskan 75 mghari minimal 1
bulan setelah implanttasi BMS (kecuali bila risiko
perdarahan besar, dalam keadaan ini pemberian minimum
2 minggu), 3 bulan setelah implanttasi SES, dan 6 bulan
setelah implanttasi PES, dan idealnya sampai 12 bulan pada
pasien yang tidak dalam risiko tinggi untuk perdarahan.
Pada pasien angina tak stabil atau infarkNSTEM1 yang
menjalani PC1 tanpa pemberian klopidogrel, penghambat
GPII/IIIa harus diberi. Pada pasien angina tak stabil,
NSTEMI yang menjalani PC1 dengan pemberian
k!opidogrel, pemberian penghambat GPIIbIIIIa)juga tetap
disarankan. Pemberian penghambat GPIIbIIIIa juga
disarankan pada pasien STEM1 yang menjalani PCI.
Pada PC1 umumnya diberikan heparin. Sebagai

lndikasi
Tanda objektif iskemia luas
Oklusi total kronis
Risiko operasi tinggi, termasuk EF < 35%
Penyakit banyak pembuluh / DM
Unprotectedleft main tanpa opsi tindakan
revaskularisasilain
Stent rutin pada lesi (( de novo )) pembuluh
koroner asli
Stent rutin pada SVG
*European Society of Cardiology 2005

Tingkat
Rekomendasi*
IA
Ila C
Ila B
Ilb C
Ilb C

alternatif dapat diberi heparin berat molekul rendah atau


bivaluridin. Pada pasien dengan trombositopenia akibat
heparin, dapat diberi bivaluridin atau argatroban sebagai
penggantinya.

Indikasi PC1 secara singkat dapat dilihat pada tabel 3 dan


gambar 1 dan 2. Untuk lebih mendetail disarankan dibaca
dua panduan terbaru dari European Society of Cardiology 2005 dan Amerian College of Cardiology/American
Heart Association/Society of Cardiac Angiography and
Intervention 2005

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1579

INTERVENSI KORONER PERKUTAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pasien dengan NSTEMIsindrom koroner akut

ASA/klopidogrellhepar~n
Nitrat, @locker

&

&

Risiko tlnggi

Risiko rendah

\1,

.1

Rx strategl
lnvaslf
I

Rx strategi
konservatrf

Rx ang'O segera (2.5lam):


Inhibitor
GPllblllla
tunda

L.
PC1 + abciximab
atau ept~fibatid

JI
Rx angio din1 (48 jam)
lnh~bitorGPllbllll3a berl
(tirofibanatau eptofibatide)

1
Rx Btses non-invasif

I - - 7 -PC17provisronal

PC1 + tiroflban atau


eptifibatid d~teruskan

Terapi medlk
abciximab atau
eptlfibatid
-

Gambar 1. Algoritme PC1 pada Non-ST elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) ISindrom
Koroner Akut

ASAlklopidogrellheparin
Nitrat, P-blocker

Gambar 2. Algoritme PC1 pada S T Elevation Myocardial lnfarction (STEMI) Isindrom Koroner
Akut
Keterangan
Dalam 3 jam pertama setelah timbul nyeri dada, trombolisis dapat dilakukan sebagai alternatif
PCI. "Bila trombolisis terkontraindikasi, atau penderitadalam risiko tinggi, amat disarankan penderita
untuk ditransfer ke senterdengan fasilitas PCI. Tujuan utama lebih dipilih PC1daripada trombolisis
pada 3 jam pertama adalah untuk pencegahan strok. Sedangkan pilihan PC1 pada jam 3-12
adalah untuk menyelamatkan miokardium dan mencegah strok. Bila dilakukan trombolisis, ha1ini
tidak boleh dinilai sebagai terapi final. Walaupun trombolisis berhasil, angiografi dan bila perlu
PC1 disarankan dilakukan dalam 24 jam pertama.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

REFERENSI

HANYA DI SCAN UNTUKde Feyter


dr. PRIYO
PANJI
PJ, van Suylen RJ, de Jaegere PP, et al. Balloon angioplasty

Abizaid A, Komowski R, Mintz GS, et al. The influence of diabetes


mellitus on acute and late clinical outcomes following coronary
stent implanttation. J Am Coll Cardiol 1998;32:584-9.
Albiero R, Silber S, Di Mario C, et al. Cutting balloon versus conventional balloon angioplasty for the treatment of instent restenosis:
results of the restenosis cutting balloon evaluation trial
(RESCUT). J Am Coll Cardiol 2004; 43:943-9.
Angelini A, Rubartelli P, Mistrorgio F, et al. Distal protection with
filter device during coronary stenting in patients with stable and
unstable angina. Circulation 2004; 1 1 0 5 15-21
Baim DS, Cutlip DE, Sharma SK, et al. Final results of the balloon vs
optimal atherectomy trial (BOAT). Circulation 1998;97:32231
Beran G, Lang 1, Schreiber W, et al.Intracoronary thrombectomy
with the X-sizer catheter system improves epicardial blood flow
and accelerates ST-segment resolution in patients with acute
coronary syndrome: a prospective, randomized, controlled study.
Circulation 2002; 105:2355-60
Baim DS, Wahr D, George B, et al Randomized trial of a distal
embolic protection during percutaneous intervention of
saphenous vein coronary bypass grafts. Circulation
2002;105:1285-90
Colombo A, Hall P, Nakamura S, cs. Intracoronary stenting without
anticoagulation accomplished with intravascular ultrasound
guidance. Circulation 1995;91: 1676-88
Colombo A, Orlic D, Stankovic G, et al. Preliminary observations
regarding angiographic pattern of restenosis after rapamycineluting stent implanttation. Circulation 2003;107:2178-80.
Colombo A, Drzewiecki J, Banning A, et al. Randomized study to
assess the effectiveness of slow- and moderate-release
polymerbased paclitaxel-eluting stents for coronary artery
lesions. Circulation 2003;108:788-94
Cohen BM, Weber VJ, Blum RR, et al. Cocktail attenuation of
rotablation flow effects (CARAFE) study: pilot. Cathet
Cardiovasc Diagn 1996;(suppl 3):69-72
Cohen EA, Sykora K, Kimball BP, et al. Clinical outcomes of
patients more than one year following randomization in the
Canadian Coronary Atherectomy Trial (CCAT) Can J Cardiol
1997;13:825-30
Detre KM, Holmes DRJ, Holubkov R, et al. Incidence and
consequences of periprocedural occlusion: the 1985-1986
National Heart, Lung, and Blood Institute Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty Registry. Circulation
1990;82:739-50.
Degertekin M, Serruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of
neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent
implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic,
and intravascular ultrasound follow-up. Circulation
2002; 106: 16 10-3.
Degertekin M, Serruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of
neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent
implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic,
and intravascular ultrasound follow-up. Circulation
2002; 106: 16 10-3.
Dussaillant GR, Mintz GS, Pichard AD, et al. Small stent size and
intimal hyperplasia contributing to restenosis: a volumetric
intravascular ultrasound analysis. J Am Coll Cardiol 1995;26:7204
Dill T, Dietz U , Hamm CW, et al. A randomized comparison of
balloon angioplasty versus rotational atherectomy in complex
lesions (COBRA Study). Eur Heart J 2000;21:1759-66

for the treatment of lesions in saphenous vein bypass grafts. J


Am Coll Cardiol 1993;2 1:1539-49
Exaire JE, Brener SJ, Ellis CG, et al. Guardwire emboli protection
device is associated with improved myocardial perfusion grade
in saphenous vein graft intervention. Am Heart J
2004; 148: 1003-6
Fischman DL, Leon MB, Baim DS: A randomized comparison of
coronary stent placement and balloon angioplasty in the
treatment of coronary artery disease. N Engl J Med
1994;331:496-501
Fajadet J, Morice MC, Bode C, et al. Maintenance of long-term
clinical benefit with sirolimus-eluting coronary stents: threeyear results of the RAVEL trial. Circulation 2005;lll: 1040-4.
Fasseas P, Orford JL, Panetta CJ, et al. Incidence, correlates, management, and clinical outcome of coronary perforation:
analysis of 16,298 procedures. Am Heart J 2004;147:140-5
Gruntzig AR, Senning A, Siegenthaler WE. Nonoperative dilatation
of coronary-artery stenosis: percutaneous transluminal
coronary angioplasty. N Engl J Med 1979;301:61-8.
Gmbe E, Silber S, Hauptmann KE, et al. TAXUS I: six- and twelvemonth results from a randomized, double-blind trial on a
slow-release paclitaxel-eluting stent for de novo coronary
lesions. Circulation 2003;107:38-42.
Grise MA, Massullo V, Jani S, et al. Five-year follow-up after
intracoronary radiation: results of a randomised clinical trial.
Circulation 2002;105:2737-40
Grube E, Gerkens U, Yeung AC, et al. Prevention of distal embolization during coronary angioplasty in saphenous vein grafts and
native vessels using porous filter protection. Circulation
2001 :I 04:2436-41
Holmes DR Jr, Topol EJ, Califf RM, et al. A multicenter, randomized trial of coronary angioplasty versus directional atherectomy
for patients with saphenous vein bypass graft lesions. CAVEAT
I1 Investigators. Circulation 1995;91: 1966-74
Hong MK, Mehran R, Dangas
et al. Creatine kinase-MB enzyme
elevation following succesful saphenous vein graft intervention
is associated with late mortality. Circulation 1999;100:2400-05
Hoffman SN, TenBrook JA, Wolf MP, et a],. A meta-analysis of
randomized controled trials comparing coronary arery bypass
graft with percutaneous transluminal angioplasty: one- to eightyear outcomes. J Am Coll Cardiol 2003;41:1293-304
Hong MK, Mintz GS, Lee CW, et al. Paclitaxel coating reduces instent intimal hyperplasia in human coronary arteries: a serial
volumetric intravascular ultrasound analysis from the Asian
Paclitaxel-Eluting Stent Clinical Trial (ASPECT). Circulation
2003;107:517-20.
Hoye A, Lemos PA, Arampatzis CA, et al. Effectiveness of the
sirolimus-eluting stent in the treatment of saphenous vein graft
disease. J Invasive Cardiol 2004;16:230-3.
Holmes DR Jr, Leon MB, Moses JW, et al. Analysis of I-year
clinical outcomes in the SIRIUS trial: a randomized trial of a
sirolimus-eluting stent versus a standard stent in patients at
high risk for coronary restenosis. Circulation 2004;109:63440.
Hoye A, Tanabe K, Lemos PA, et al. Significant reduction in restenosis
after the use of sirolimus-eluting stents in the treatment of
chronic total occlusions. J Am Coll Cardiol 2004;43:1954-8.
Kent KM, Bentivoglio L 4 Block PC, et al. Percutaneous transluminal
coronary angioplasty: report from the Registry of the National
Heart, Lung, and Blood Institute. Am J Cardiol 1982;49:201120.
Kobayashi N, Finci L, Ferraro M, cs. Restenosis after coronary

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1581

INTERVENSI KORONER PERKUTAN

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


stenting: Clinical and angiographic predictors in 1906 lesions. J
Am Coll Cardiol 1999;33(suppl A):32A
Kastrati A, Schomig A, Elezi S, et al. Predictive factors of restenosis
after coronary stent placement. J Am Coll Cardiol
1997;30:1428-36
Kuntz RE, Baim DS, Cohen DJ, et al. A trial comparing rheolytic
thrombectomy with intracoronary urokinase for coronary and
vein graft thrombus (the Vein Graft AngioJet Study [VEGAS 21.
Am J Cardiol 2002;89:326-30
Kornowski R, Ayzenberg 0 , Halon DA, et al. Preliminary experiences using X-Sizer catheter for thrombectomy of thrombuscontaining lesions during acute coronary syndromes. Cathet
Cardiovasc Interv 2003;58:443-8
Lemos PA, Serruys PW, van Domburg RT, et al. Unrestricted utilization of sirolimus-eluting stents compared with conventional
bare stent implanttation in the "real world": the RapamycinEluting Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry. Circulation 2004;109:190-5
Lemos PA, Saia F, Hofma SH, et al. Short- and long-term clinical
benefit of sirolimus-eluting stents compared to conventional bare
stents for patients with acute myocardial infarction. J Am Coll
Cardiol 2004;43:704-8.
Lemos PA, Lee CH, Degertekin M, et al. Early outcome after
sirolimus-eluting stent implanttalion in patients with acute coronary syndromes: insights from the Rapamycin-Eluting Stent
Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry. J Am Coll Cardiol 2003;41:2093-9.
Liistro F, Stankovic G, Di MC, et al. First clinical experience with a
paclitaxel derivate-eluting polymer stent system implanttation
for in-stent restenosis: immediate and long-term clinical and
angiographic outcome. Circulation 2002;105: 1883-6.
Leon MB, Teirstein PS, Moses JW, et al. Localised intracoronary
gamma-radiation therapy to inhibit the recurrence of restenosis
after stenting. N Engl J Med 2001;344:250-6
Miller DD, Verani MS. Current status of myocardial perfusion imaging after percutaneous transluminal coronary angioplasty. J Am
Coll Cardiol 1994;24:260-6.
Morice MC, Serruys PW, Sousa JE, et al. A randomized comparison
of a sirolimus-eluting stent with a standard stent for coronary
revascularization. N Engl J Med 2002;346:1773-80.
Moses JW, Leon MB, Popma JJ, et al. Sirolimus-eluting stents
versus standard stents in patients with stenosis in a native
coronary artery. N Engl J Med 2003;349: 13 15-23.
Mehran R, Dengas G, Abizaid AS, et al. Angiographic patterns of
in-stent restenosis:classification and implications for long-term
outcome. Circulation 1999;100:1872-8
Mauri L, Bonan R, Weiner BH, et al. Cutting balloon angioplasty
for the prevention of restenosis: results of the Cutting Ballloon
Global Randomized Trial. Am J Cardiol 2002;90:1079-83
Matthew V, Lennon RJ, Rihal CS, et al. Applicability of distal
protection for aortocoronary vein graft interventions in
clinical practice. Cath Cardiovasc Interv 2004;63:148-51
Park SJ, Shim WH, Ho DS, et al. A paclitaxel-eluting stent for the
prevention of coronary restenosis. N Engl J Med
2003;348: 1537-45.
Popma JJ, Suntharalingham M, Lansky AJ, et al. Randomised trial
of 90Srl90Y beta-radiation versus placebo control for
treatment of in-stent restenosis. Circulation 2002; 106: 1090-6
Plokker HW, Meester BH, Serruys PW. The Dutch experience in
percutaneous transluminal angioplasty of narrowed saphenous
veins used for aortocoronary arterial bypass. Am J Cardiol
1991 ;67:361-6
Rodriguez A, Palacios IF, Navia J, cs. Argentine randomised study:

Coronary angioplasty with stenting versus coronary artery bypass surgery in patients with multiple vessel disease (ERACI 11):
30 day and long term follow-up results. Circulation
1999;1OO(suppl I):1-234
Roffi M, Mukherjee D, Chew DP, et al. Lack of benefit from intravenous platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition as adjunctive
treatment for percutaneous interventions of aortocoronary
bypass grafts: a pooled analysis of five randomized trials
Resnic FS, Wainstein M, Lee MK, et al. No-reflow is an independent
predictor of death and myocardial infarction after percutaneous coronay intervention. Am Heart J 2003;145:42-6
S e m y s PW, van Hout B, Bonnier H, cs. Randomised comparison of
implanttation of heparin-coated stents with balloon angioplasty
in selected patients with coronary artery disease (Benestent 11).
Lancet 1998;352:673-81
Serruys PW, Unger F, Sousa JE, et al. Comparison of coronary
artery bypass surgery and stenting for the treatment of
multivessel disease. N Engl J Med 200 1 ;344: 1 117-24.
Sousa JE, Costa MA, Abizaid AC, et al. Sustained suppression of
neointimal proliferation by sirolimus-eluting stents: one-year
angiographic and intravascular ultrasound follow-up. Circulation 2001;37:1335-43.
Stone GW, Ellis SG, Cox DA, et al. One-year clinical results with the
slow-release, polymer-based, paclitaxel-eluting TAXUS stent:
the TAXUS-IV trial. Circulation 2004;109:1942-7.
Schampaert E, Cohen EA, Schluter M, et al. The Canadian study of
the sirolimus-eluting stent in the treatment of patients with
long de novo lesions in small native coronary arteries (CSIRIUS). J Am Coll Cardiol 2004;43: 1110-5.
Schofer J, Schluter M, Gershlick AH, et al. Sirolimus-eluting stents
for treatment of patients with long atherosclerotic lesions in
small coronary arteries: double-blind, randomised controlled trial
(E-SIRIUS). Lancet 2003;362: 1093-9.
Sousa JE, Costa MA, Abizaid A, et al. Lack of neointimal proliferation after implanttation of sirolimus-coated stents in human
coronary arteries: a quantitative coronary angiography and
threedimensional intravascular ultrasound study. Circulation
2001;103:192-5.
Saia F, Lemos PA, Lee CH, et al. Sirolimus-eluting stent
implanttation in ST-elevation acute myocardial infarction: a
clinical and angiographic study. Circulation 200311 08: 1927-9.
Stone GW, Ellis SG, Cox DA, et al. A polymer-based, paclitaxel eluting
stent in patients with coronary artery disease. N Engl J Med
2004;350:221-31.
Silber S, Popma J, Suntharalingham M, et al. Two-year follow-up of
90Sr/90Y beta-radiation versus placebo-control for the treament
of in-stent restenosis. Am Heart J 2005 (in-press)
Safian RD, Feldman T, Muller DW, et al. Coronary angioplasty and
rotablator atherectomy (CARAT): Immediate and late results of
a prospective multicentre randomized trial. Cathet Cardiovasc
Intervent 2001 ;53:213-20
Simonton CA, Leon MB, Baim DS, et al. Optimal directional coronary atherectomy :final results of the optimal atherectomy
restenosis study (OARS). Circulation 1998;97:332-9
Stankovic G, Colombo A, Bersin R, et al. Comparison of directional
coronary atherectomy and stenting versus stenting alone for the
treatment of de novo and restenotic coroanry narrowing. Am J
Cardiol 2004;93:953-8
Schachinger V, Hamm CW, Munzel T, et al. A randomized trial of
polytetrafluoroethylene-membrane-covered
stents
in
aortocoronary saphenous vein grafts. J Am Coll Cardiol
2003;42: 1360-9
Stankovic G, Colombo A, Presbitero P, et al. Randomized

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


evaluation of polytetrafluoroethylene-covered stents in
saphenous vein grafts: the Randomized Evaluation of
polytetrafluoroethylene-Covered stents in Saphenous vein
grafts (RECOVERS) Trial.Circulation 2003;108:37-42
Sharma SK, Kini A, Mehran R, et al. Rotational atherectomy versus
balloon angioplasty for diffuse in-stent restenosis (ROSTER).
Am Heart J 2004;147:16-22
Stone GW, Rogers C. Hermiller J, et al. Randomized comparison of
distal protection with filter-based catheter and a balloon
occlusion and aspiration system during percutaneous intervention of diseased saphenous vein aorto-coronary bypass grafts.
Circulation 2003;108:548-53
Stone GW, Webb J, Cox D, et al. Primary angioplasty in acute
myocardial infarction with distal protection of the
microcirculation:Principal results from the prospective,
randomized EMERALD trial 2005 (in press).
Stone 4 Cox DA, Babb J, et al. Prospective, randomized evaluation
of thrombectomy prior t o percutaneous intervention in
diseased saphenous vein grafts and thrombus-containing
coronary areries. J Am Coll Cardiol 2003;42:2007-13
Silber S, Albertsson P, Aviles FF, et al. Guidelines for percutaneous
coronary interventions. The task force for percutaneous
coronary interventions of the European Society of Cardiology.
Eur Heart J 2005;26:804-47.
Smith SC, Antman EM, Smith SC, et al. ACCIAHAISCAI 2005
Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention A
Report of the American College of CardiologyIAmerican Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (ACCIAHAISCAI
Writing Committee to Update the 2001. Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention). www.acc.org
The SoS Investigators. Stent assisted PC1 versus CABG in multivessel
coronary artery disease. Lancet 2002;360;965-70
Tanabe K, Serruys PW, Gmbe E, et al. TAXUS I11 Trial: in-stent
restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel incorporated in a slow-release polymer formulation. Circulation
2003;107:559-64.
Topol El, Leya F, Pinkerton CA, et a1.A comparison of directional
atherectomy with coronary angioplasty in patients with
coronary artery disease. The CAVEAT Study Group. N Engl J
Med 1993;329:221-7
Topol EJ, Nissen SE. Our preoccupation with coronary luminology:
the dissociation between clinical and angiographic findings in
ischemic heart disease. Circulation 1995;92:2333-42
Teirstein PS, Massullo V, Jani S, et al. Two-year follow-up after
catheter-based radiotherapy to inhibit coronary restenosis.
Circulation 1999;99:243-7
Teirstein PS, Kuntz RE. New frontiers in interventional cardiology : intravascular radiation to prevent restenosis. Circulation
2001 ;104:2620-6

Teirstein PS, Massullo V, jani S, et al. Three-year clinical and


angiographic follow-up after intracoronary radiation: results of
a randomised clinical trial. Circulation 2000;101:360-5
Topol EJ, Yadav JS, Recognition of the importance of embolization
in atherosclerotic vascular disease. Circulation 2000;101:57080.
Tanabe K, Sermys PW, Grube E, et al. TAXUS 111 Trial: in-stent
restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel
incorporated in a slow-release polymer formulation.
Circulation 2003;107:559-64.
vom Dahl J, Dietz U, Haager PR, et al. Rotational atherectomy
does not reduce recurrent instent restenosis: results of the
rotational atherectomy versus balloon angioplasty for treatment of diffuse in-stent restenosis trial (ARTIST). Circulation
2002;105:583-8
von Kom H, Scheinert D, Bmck M, et al. Initial experience with the
Endicor X-Sizer thrombectomy device in patients with ST
segment elevation myocardial infarction. Z Kardiol
2002;91:466-71
Williams DO, Riley RS, Singh AK, Most AS. Restoration of normal
coronary hemodynamics and myocardial metabolism after percutaneous transluminal coronary angioplasty. Circulation
1980;62:653-6
Waksman R, White RL, Chan RC, et al. Intracoronary gammaradiation therapy after angioplasty inhibits recurrence in patients with instent restenosis (WRIST). Circulation 2000;
10 1:2 165-7 1
Waksman R, Cheneau E, Ajani AE, et al. Intracoronary radiation
therapy improves the clinical and angiographic outcomes of
diffuse in-stent restenotic lesions: results of the Washington
Radiation for In-stent Restenosis Trial for Long lesions (long
WRIST) Studies. Circulation 2003;107:1744-9
Waksman R, Raizner AE, Yeung AC, et al. Use of localised intracoronary
beta radiation in treatment of in-stent restenosis: the INHIBIT
randomised controlled trial. Lancet 2002;359:551-7
Waksman R, Ajani A, White RL, et al. Intravascular gamma
radiation for in-stent restenosis in saphenous-vein bypass grafts.
N Engl J Med 2002;346:1194-99
Waksman R, Ajani AE, White RL, et al. Two-year follow-up after
beta and gamma intracoronary radiation therapy for patients
with diffuse in-stent restenosis. Am J Cardiol 2001;88:425-8
Waksman R, Ajani AE, Pnnow E, et al. Twelve versus six months of
clopidogrel to reduce major cardiac events in patients
undergoing gamma-radiation therapy for in-stent restenosis:
Washington Radiation for In-Stent restenosis Trial (WRIST)
12 versus WRIST PLUS. Circulation 2002;106:776-8
Whitlow PW, Bass TA, Kipperman RM, et al. Results of the study
to determine rotablator and transluminal angioplasty strategy
(STRATAS). Am J Cardiol 2001;87:699-705.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GAGAL JANTUNG
Marulam M. Panggabean

DEFlNlSl GAGAL JANTUNG

Gagal jantung (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan


tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat
istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan
struktur atau fungsi jantung.

PARADIGMA LAMA (MODEL HEMODINAMIK)

Dulu GJ dianggap merupakan akibat dari berkurangnya


kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan
inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta
vasodilator untuk mengurangi beban (un-load).

PARADIGMA BARU (MODEL NEUROHUMORAL)

Sekarang GJ dianggap sebagai remodelling progresif


akibat bebadpenyakit pada miokard sehingga pencegahan
progresivitas dengan penghambat neurohumoral
(neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor,
Angiotensin Receptor-Blocker atau penyekat beta
diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan
digitalis) ditarnbah dengan terapi yang muncul belakangan
ini seperti biventricular pacing, recyncronizing cardiac
teraphy (RCT), intra cardiac defibrllator (ICD), bedah
rekonstruksi ventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan
mioplasti.
BEBERAPA ~ S T ~ L ADALAM
H
GAGAL JANTUNG
Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak

dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto toraks atau


EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan
kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung
menurun dan menyebabkankelemahan,fatik,kemampuan
aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi
lainnya.
Gagaljantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan
gangguan pengisian ventrikel.Gaga1 jantung diastolik
didefenisikan sebagai gaga1 jantung dengan fraksi ejeksi
lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan
Doppler-ekokardiografialiran darah mitral dan aliran vena
pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan
anamnesis, pemeriksaan jasmani saja. Ada 3 macam
gangguan fungsi diastolik:
*. Gangguan relaksasi,
Pseudo-normal
Tipe restriktif.
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau
mengurangi penyebab gangguan diastolik seperti
fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti
sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut
dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian
diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk
diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan
pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium nondihidropiridin.
Low output dan High output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi,-kelainan katup dan perikard. High out put HF
ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik
seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V,
beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua
kelainan ini tidak dapat dibedakan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gagal Jantung Akut dan kronik


Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan
daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis,traumaatau
infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah
kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang
terjadi secara perlahan 1ahan.Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan
baik.

Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri


Gagaljantung kiri akibat kelemahan ventrike1,meningkatkan
tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien
sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi
kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada
hipertensi pulmonal primerlsekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi
vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal
jantung terjadi pada miokard kedua ventriel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung
bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.

PATOGENESIS GAGAL JANTUNG SlSTOLlK


GJ sistolik didasari oleh suatu bebanlpenyakit miokard
(underlying HD/index of events) yang mengakibatkan
remodeling struktural, lalu diperberat oleh progresivitas
bebanlpenyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis
yang disebut gagal jantung.
Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh
berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung
terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik).
Sindrom gagal jantung yang simtomatik akan tarnpak bila
timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark
jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas
berlebihan,emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli
paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma,
endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatikjuga akan
tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresivitas
penyakit yang mendasarinyalunderlying HD.
Skema di bawah ini dapat menerangkan patogenesis
tersebut:

Gambar 1. Patogenesis gagal jantung

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk


diagnosis gagal jantung kongestif.

Kriteria Major
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d'efort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 113 dari ormal
Takikardia(>120lmenit)
Major atau minor
Penurunan BB >4.5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria
major dan 2 kriteria minor

PENATALAKSANAANGAGALJANTUNG

DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
jasmani, elektrokardiografilfoto toraks, ekokardiografiDoppler dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan di
bawah ini

Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat


jelas seperti cepat capek (fatik), sesak napas (dyspnea in
efort, orthopnea),kardiomegali,peningkatan tekanan vena
jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas,
maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi bila sindrom
tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ventrikel kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka


keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak
khas, sehingga hams ditopang oleh pemeriksaan foto
rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain
Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung
tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau
asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat
beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah
diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular
(fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat di atas
belurn memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal
menurun(ureumkreatinin meningkat) atau kadar kalium
rendah ( h a n g dari 3.5 meqL).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek
diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia,dan ada
beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas
dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi
seperti Brain Natriuretic Peptide (Nesiritide)masih dalam
penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac
Resychronization Theraphy (CRT) maupun Pembedahan,
pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai
alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat
iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status
fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi
sel dan stimulasi regenerasi miokard,masih terkendala
dengan masih minimalnya jurnlah miokard yang dapat
diturnbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan
masih memerlukan penelitian lanjut.

Gambar 2. Langkah-langkah penatalaksanaan gagal jantung


sesuai beratnya penyakit

Braunwald E.Heart Failure and Cor Pulmonal. In: Kasper


DL,Braunwald E,Fauchi AS et.al, eds. Harrison's principles of
internal medicine 16 ed,2003 :1367-77
Francis GS.Systolic dysfunction and pathogenesis:two coceptual pathways. humora1,neurogenic and hemodynarnic pathways.The 37Ih
Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in
Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New
York,December 10- 12,2004: 149-63
Maisel Alan, B-type natriuretic peptide:a marker with two clinical
applications.cardiac failure diagnosis and prognosis. The 371h
Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in
Cardiology Today,New York Hilton and Towers,December 1012,2004.p.188-201.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

CACAL JANTUNC AKUT


Daulat Manurung

PENDAHULUAN
Heart Failure (HF) atau gaga1 jantung (GJ) adalah suatu
sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya
gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien
dengan HF hams memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas
yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas
dan atau rasa lemah, tidak bertenaga
Tanda-tanda (signs) dari HF berupa retensi air seperti
kongesti paru, edema tungkai
.
dan objektif, ditemukannya abnormalitas dari struktur
dan fungsional jantung (Tabel 1)

Symptoms typical of heart failure


(breathlessness at rest or on exercise, fatique, tiredness, ankle
swelling)
and
Sings typical of heart failure
(tachycardia, tachypnoea, pulmonary rates, pleural effusion,
raised jugular venous pressure, peripheral oedema,
he~at~megaly)
and
Objective evidence of a structural or functional abnormality of
the heart at rest
(cardiomegaly, third heart sound, cardiac murmurs,
abnormality on the echocardiogram, raised natriuretic peptide
concentration)

HF dapat memberikan spektnun klinis yang luas, mulai


dari ukuran jantung LV yang masih normal, dengan
Ejection Fraction (EF) yang masih cukup, sampai LV dilatasi
berat, denganl atau EF yang sangat buruk. Manifestasi
klinis utama dari HF sesak nafas, mudah capek yang

mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang retensi air


yang dapat memicu edema paru dan edema perifer.
Perlu diingat bahwa keluhan dan gejala bisa berbeda
pada setiap individu,ada sesak nafas, belum tentu ada
edema perifer dan sebagainya.
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional
dari HF, pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart
Association (NYHA) tahun 1994, yang membagi HF
menjadi 4 klasifikasi, dari kelas 1 sampai kelas 4 tergantung
dari tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan, misalnya
sesak sudah timbul saat istirahat menjadi kelas 4, sesak
timbul pada aktivitas ringan kelas 3, sesak timbul saat
aktivitas sedang menjadi kelas 2, sedangkan kelas 1 sesak
timbul saat beraktivitas berlebih. K l a s i f h i menurut NYHA
lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan keluhan
subyektif.
Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American College
of CardiologyIAmercan Heart Association (ACCIAHA)
pada tahun 2005 yang menekankan pembagian HF
berdasarkan progressivitas kelainan struktural dari jantung
dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari
ACC?AHA ini, perkembangan HF dibagi juga menjadi 4
stages, A,B,C dan D. Stage A dan B jelas belum HF, hanya
mengingatkan pelaksana pelayanan kesehatan (health
care provider) bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk
kedalam keadaan HF. Stage A menandakan ada faktor risiko
HF (diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner) namun
belum ada kelainan struktural dari jantung (cardiomegali,
LVH, dll) maupun kelainan fingsional. Sedangkan pada
stage B ada faktor-faktor risiko HF seperti pada stage A
dan sudah terdapat kelainan struktural, LVH cardiomegali
dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat
asimptomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan
atau pernah HF, yang didasari oleh kelainan struktural dari
jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk ke dalam
refractory HF, dan perlu advanced treatment strategies.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GAGAL JANTUNG AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Juga apabila dilihat dari segi onset nya, maka HF dapat
dibagi menjadi new onset HE transient HF dan chronic
HF New onset HF merujuk ke presentasi klinis pertama HF
transient HF merujuk ke HF simptomatik terbatas pada
periode waktu tertentu, walaupun pengobatan jangka
panjang masih diperlukan, misalnya HF karena myokarditis
ringan dan sembuh secara baik. HF karena ischemia,
dilakukan revaskularisasi dan berhasil. HF pada infark akut
yang tidak memerlukan terapi diuretik jangka panjang.
Chronic HF dapat berupa persisten atau perburukan HF
atau mengalami dekompensasi akut dari chronic HF.
Perburukan HF yang didasari chronis HF (dekompensasi)
merupakan HF terbanyak dari seluruh bentuk HF yang
dirawat di rumah sakit yaitu sekitar 80% dari semua kasus.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai diagnose
dan penatalaksanaan GJA meliputi new onset HF, dan
dekompensasi akut dari chronic HF mengacu pada
tatalaksana yang dikeluarkan oleh European Society of
Cardiology (ESC) yaitu ESC guidelines for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2008 dun ACCF/AHA guidelines for the
Diagnosis and Management of Heart Failure in Adult
2009focus up date incorporated into the ACC/AHA 2005.

GAGALJANTUNGAKUT
Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan
cepatl rapid 1 onset atau adanya perubahan pada gejalagejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) dari gagal
jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya tindakan atau
terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama
GJ, atau perburukan dari gagaljantung kronik sebelumnya.
Pasien dapat memperlihatkan kedaruratan medik (medical
emergency) seperti edema paru akut. (acute pulmonary
oedema).
Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau
diakibatkan ischema jantung, irama jantung yang
abnormal, disfungsi katup jantung, penyakit perikard,
peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau
peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik.
Dengan demikian berbagai faktor kardiovaskulardapat
merupakan etiologi dari GJA ini, dan juga bisa beberapa
kondisi (comorbid) ikut berinteraksi.
Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan
kausa dari GJA ini dan juga faktor-faktor yang dapat
mencetuskan (precipitating factors) terjadinya GJA.
Semua faktor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi;
dan dihimpun untuk mengatur strategi pengobatan.
Gambaran klinis khas dari GJA adalah kongesti paru,
walau beberapa pasien lebih banyak memberikan gambaran
penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan lebih
mendominasi penampilan klinis.
Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat
mencetuskan GJA. Contoh yang paling sering antara lain.

I. Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik


atau pada penderita hipertensi pulmonal
11. Peninggian preload karena volume overload atau retensi
air
III. Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada
keadaan high output states antara lain pada infeksi,
anemia atau thyrotoxicosis.
Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah
ketidakpatuhan minum obat-obat GJ, atau nasehat-nasehat
medik, pemakaian obat seperti NSAIDs, cyclo-oxygenare
(COX) inhibitor, dan thiazolidinediones.GJ berat juga bisa
sebagai akibat dari gagal multi organ (multiorganfailure).
(Tabel 2)

Penyakit jantung iskemik


Sindrom koroner akut
Komplikasi mekanik
dari infark akut
lnfark ventrikel kanan

Valvular
Stenosis valvular
Regurgitasi valvular
Endokarditis
Diseksi aorta
Miopatia
Post-partum
kardiomiopati
Miokarditis akut

Gagal sirkulasi
Septikemia
Hygrotoxicosis
Anemia
Pirai
Tamponade
Emboli paru
Dekompensasi pada gagal
jantung kronik
Tidak patuh minum obat
Volume overload
Infeksi, terutama
pneumonia
Cerebrovaskular insult
Operasi
Disfunsi renal
AsmaIPPOK
Penyalahgunaan obat
~enyalahgunaanalkohol

Hipertensilaritmia
Hipertensi
Aritmia akut

Simptom gagal jantung bisa juga dicetuskan oleh


faktor-faktor non kardiovaskular seperti penyakit paru
obstruktif, atau adanya penyakit organ lanjut (end-organ
disease) terutama disfungsi renal. Pengobatan inisial yang
tepat dan pengobatan jangka panjang yang sesuai sangat
diperlukan. Bila mungkin, koreksi kelainan anatomis yang
mendasarinya seperti penggantian katup atau
revaskularisasi, dapat mencegah episode GJA dan
memperbaiki prognose jangka panjang.

Klasifikasi Klinis
Manifestasi klinis GJA memberikan gambaranl kondisi
spectrum yang luas dan setiap klasifikasi tidak akan dapat
menggambarkan secara spesifik.
Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan
salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu
menyertai semua ke enam bentuk GJA.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


GJA

Hipertensif

Gambar 1. Klasifikasi Klinis gagal jantung akut

Gambar 1 dapat memperlihatkan kemungkinan


terjadinya tumpang tindih dari ke enam bentuk GJA ini.
Keenam bentuk dari PJA ini, adalah:
1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK)
dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang
progresif pada penderita yang sudah diketahui dan
mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita GJK dan
dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru.
Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS,
merupakan petanda prognose buruk.
2. Edemaparu.
Pasien dengan respiratory distress yang berat,
pernafasan yang cepat, dan orthopnea dan ronchi pada
seluruh lapangan pam. Saturasi 0 2 arterial bisaanya
< 90% pada suhu mangan, sebelum mendapat terapi
oksigen.
3. Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tandatanda gagal jantung yang disertai dengan tekanan darah
tinggi dan bisaanya fungsi sistolik jantung masih relatif
cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian
tonus simpatitik dengan takhikardia dan vasokonstriksi.
Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya
hipervolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan
kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik.
4. Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti
tanda-tanda hipoperfbsi jaringan yang disebabkan oleh
gagal jantung, walau sesudah preload dan aritmia berat
sudah dikoreksi secara adekuat.
Tidak ada parameter hemodinamik diagnostik yang
pasti. Akan tetapi cirikhas dari syok kardiogenik adalah
tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah
sistolik <9OrnrnHg, atau penurunan dari tekanan arteriol
rata-rata (mean arterialpressure >3OmmHg), dan tidak
adanya produksi urin, atau berkurang (<0,5ml/kg/jam).
Gangguan iramajantung sering ditemukan. Tanda-tanda
hipopefisi organ dan kongesti paru timbul dalam waktu
cepat.
5. Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya

sindroma "low out put" tanpa disertai oleh kongesti


paru dengan peninggian tekanan vena jugularis dengan
atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang rendah.
6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung.
Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA
yang dibuktikan dari gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Kira-kira 15% penderita SKA
memperlihatkan gejala dan tanda-tanda GJ. Episode GJA
bisaanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia
(bradikardia, AF, VT)
Di samping itu, ada beberapa klasifikasi GJA yang bisaa
dipakai di ICCU, antara lain:
1. Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis
sesudah infark jantung akut,
2. Klasifikasi Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda
klinis dan karakteristik hemodinamik pada infark akut.

Prognosa
Data yang diperoleh dari beberapa registry terbaru dari
GJA dan beberapa survey yang telah dipublikasikan
seperti the Euro-Heart Failure Survey 11, the ADHERE
registry di Amerika Serikat dan survey Nasional dari Italia,
Perancis dan Finlandia . Namun banyak dari pasien-pasien
yang masuk dalam registry ini adalah penderita-penderita
dengan usia lanjut dengan faktor-faktor cormobid cardio
vaskuler dan Non cardiovaskuler yang sangat banyak,
dengan prognose jangka pendek dan jangka panjang yang
buruk. Sindroma koroner akut merupakan kausa yang
paling sering dari gagal jantung akut yang baru. Kematian
di RS yang tinggi didapatkan pada pasien dengan shok
kardiogenik berkisar antara 40-60%. Sangat berbeda
dengan pasien gagal jantung akut hipertensif angka
kematian di rumah sakit rendah dan kebanyakan pulang
dari rumah sakit dalam keadaan asimptomatik.
Rata-rata perawatan di RS akibat GJA dari the Euro
Heart Survey adalah 9 hari. Dari studi registry yang dirawat
karena GJA, hampir separuh diantaranya dirawat kembali
paling tidak sekali dalanl 12 bulan pertama. Estimasi
koaibinasi kematian dan perawatan ulang untuk 60 hari
sejak perawatan diperkirakan berkisar antara 30-50%.
Indikator prognostik selanjutnya sama dengan yang
dijumpai pada gagal jantung kronik lainnya.
Diagnosis GJA
Diagnosis GJA adalah herdasarkan simptom-simptom yang
ada dan penemuan-penemuan klinis. Konfirmasi dan
pemantauan dari diagnosis diperoleh dari anamnesa yang
teliti, pemeriksaanjasmani, E K 4 foto thorax, ekokardiografi,
dan penemuan laboratorium dan analisa gas darah dan
Biomarker spesifik. Algoritme diagnose sama dengan
untuk GJA yang timbul akibat "de novo" atau episode
dekompensasi dari GJK. (Gambar 2)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

CAGAL JANTUNG AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Evaluasi Awal
Penilaian secara sistematik presentasi klinik adalah sangat
penting, meliputi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang teliti.
Penilaian perfbsi perifer ,suhu kulit, peninggian tekanan
pengisian vena adalah sangat penting, adanya sistolik
murmur dan diastolik murmur, demikianjuga irarna gallop
sangat perlu dideteksi pada auskultasi bunyi jantung.
Mitral ineffrsiensi sangat sering ditemukan pada fase akut.
Adanya stenosis aorta atau inefisiensi aorta juga hams
dideteksi. Kongesti paru dideteksi dengan auskultasi dada
dimana ditemukan ronchi basah pada kedua basal paru
dan konstriksi bronchial pada seluruh lapangan paru
sebagai petanda peninggian dari tekanan pengisian
ventrikel kiri. Tekanan pengisian jantung kanan dapat
dinilai dari evaluasi pengisian vena jugularis.
Efusi pleura umumnya ditemukan pada dekompensasi
akut dari GJH. Berikut ini adalah beberapa pemeriksaan
yang dianjurkan pada penderita dengan GJA

EKG abnormal 7
Anallsa gar darah abnormal ?
Kongest~pada fota thorax "

Gambar 2. Evaluasi pasien dengan persangkaan GJA

Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat
penting, meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung,
sistem konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan
segmen ST; berupa ST segmen elevasi infark miokard
(STEMI) atau Non STEMI. Gelombang Q petanda infark
transmural sebelumnya.Adanya hipertropi, bundle branch
block, disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang,
disritmia atau perimiokarditis hams diperhatikan. (I C)
Foto Toraks
Foto toraks hams diperiksakan secepat mungkin saat masuk
pada semua pasien yang diduga GJA, untuk menilai derajat

kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru


dan jantung yang lain seperti efusi pleura, infiltrat atau
kardiomegali. (I C)

Analisa Gas Darah Arterial


Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai
oksigenasi ( p 0 2 ) fungsi respirasi (pC02) dan
keseimbangan asam basa (pH) dan hams dinilai pada setiap
'pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda
perfusi jaringan yang buruk atau retensi C02 dikaitkan
dengan prognose buruk. Pengukuran dengan pulse
oxymetry dapat mengganti analisa gas darah arterial. Tetapi
tidak bisa memberikan informasi pC02 atau keseimbangan
asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindroma low
output yang berat atau vasokonstriksi dan status syok.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, cretinin, gula
darah, albumin, enzyme hati dan INR hams merupakan
pemeriksaan awal pada semua penderita GJA. Kadar
sodium yang rendah, urea dan creatinin yang tinggi
memberikan prognose buruk pada GJA. Peninggian sedikit
dari cardiac troponin bila terlihat pada GJA, walau tidak
ada SKA. Peningkatan dari Troponin yang disertai dengan
SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik.
Natriuretic Peptide
B-type natriuretic peptides (BNP dan NT-pro BNP) yang
diperiksa pada fase akut dapat diterima sebagai prediktif
negative untuk meng-eklusi GJ, walau tidak sepenting pada
GJK dalam praktik sehari-hari. Belum ada kesepakatan
mengenai referensi nilai BNP atau NT-pro BNP pada GJA.
Pada saat serangan Cflash) edema paru atau mitral
regurgitasi akut, kadar natriuretic peptide bisa masih
normal saat masuk RS. Namun pemeriksaan BNP atau NT
pro BNP saat masuk dan sebelum pulang, akan memberikan
informasi prognostic yang penting. (IA)
Ekokardiografi
Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting
untuk evaluasi kelainan struktural dan fungsional dari
jantung yang berkaitan dengan GJA. Semua penderita GJA
harus dievaluasil ekokardiografi secepat mungkin.
Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung
menentukan strategi pengobatan. (IC)
Pencitraan echo/ dopler harus diperiksakan untuk
evaluasi dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri dan
kanan secara regional dan global, fungsi diastolik, struktur
dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis
dari infark akut, adanya disinkroni,juga dapat menilai semi
kuantitatif, non invasive, tekanan pengisian dari ventrikel
kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri
pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

strategi pengobatan. Echoldopler dapat diulang sesuai


kebutuhan, dan dapat mengganti pemeriksaan atau m
onitoring invasif

lnstrumentasi dan Monitoring Pasien dengan


GJA
Monitoring pasien dengan GJA harus dimulai secepat
mungkin sesudah sampai di RS atau unit darurat medis,
bersamaan juga pemeriksaan-pemeriksaan yang
menunjang diagnose etiologi primer dan juga bagaimana
respons terhadap terapi awal. (IC)
Monitoring Non lnvasif
Semua pasien sakit berat hams dimonitor hal-ha1 yang
mendasar seperti suhu, laju pernafasan, laju detak jantung,
tekanan darah, oksigenasi, produksi urine dan pemeriksaan
EKG. Perlu oximeter harus dipasang secara continue, dan
dinilai secara regular interval. (IC)

Managemen GJA
Kebanyakan GJA didasari oleh adanya PJK. Oleh sebab
itu identifikasi PJK ini harus dipikirkan dari sejak awal untuk
memilih terapi yang tepat. Target terapi awal adalah
secepatnya memperbaiki gejala-gejala atau keluhan dan
menstabilkan kondisi hemodinamik.
Penanganan GJA selama perawatan memerlukan
strategi pengobatan yang sudah terbukti manfaatnya, dan
dipertimbangkan dengan realitas objektif, dan sebelum
dipulangkan harus direncanakan tentang pengobatan
lanjutan. Penanganan GJA sebaiknya dilakukan menurut
program management GJ, apabila tersedia, seperti yang di
gariskan oleh panduan ini (class I LoE B).Berikut ini adalah
beberapa opsi yang diperkirakan tepat pada pasien dengan
GJA, walau kebanyakan berasal dari opsi consensus dari
para ahli, oleh sebab itu taraf kemaknaan adalah C (level of
evidence O.
Oxygen
Diberikan secepat mungkin pada penderita hipoksemia

Monitoring lnvasif
Arterial line : Di indikasikan apabila memerlukan analisa
secara kontinu tekanan darah arterial pada penderita
dengan hemodinamik yang tidak stabil, atau untuk
kebutuhan pengambilan sampel darah arterial yang sering.
(IIa C)

Segera Isaat perawatan di ruang intensif (ED, ICU, CCU)


Immediate
Mernperbaiki keluhan-keluhan
Mernperbaiki oksigenisasi
- Memperbaiki perfusi organ dan hernodinarnik ,
- Mencegah kerusakan jantung dan ginjal
Perawatan di ruang intensif sesingkat rnungkin.
Saat perawatan di ruang perawatan (Intermediate)
- Stabilkan pasien dan optimalkan strategi terapi
Mulai pengobatan terapi farrnakologi yang tepat
untuk penyelarnataan (life I saving)
- Pertirnbangkan pemasangan alat bantu (device
therapy) untuk pasien yang tepat.
Perawatan di RS sesingkat rnungkin
Jangka panjang dan penangan saat berobat jalan
Rencanakan strategi perawatan lanjut
- Diingatkan untuk penyesuaian pola hidup yang
tepat.
Penjelasan rnengenai pencegahan sekunder
Pencegahan perawatan ulang
- Mernperbaiki kualitas hidup dan harapan hidup.

Central Venous Line


Untuk mendapatkan alkes sirkulasi sentral, dipakai untuk
pemberian cairan dan obat-obatan dan memonitor Central
Venous Pressure (CVP). Dapat juga dipakai untuk
mengukur saturasi oxygen vena (SV02) yang merupakan
evaluasi dari konsumsi oksigenl delivery ratio (IIa C).
Kateter Arteri Pulmonali
Pemasangan kateter arteri pilmonal (pulmonary artery catheter (PAC) untuk diagnose GJA biasanya tidak diperlukan.
PAC biasanya diperlukan untuk membedakan antara
mekanikal kardiogenik atau non kardiogenik pada penderita
yang komplek. Kemungkinan bersamaan sakit jantung dan
penyakit paru, terutama apabila dengan ekokardiografil
Doppler sangat sulit untuk diperoleh. PAC juga berguna
pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil, walau sudah
mendapat terapi convensional. (IIb B)
Angiografi Koroner
Pada pasien GJA yang didasari iskemia seperti angina tak
stabil atau SKA, maka angiografi koroner sangat
diperlukan kecuali ada kontraindikasi kuat. Opsi
revaskularisasi (PCIJCABG) harus dipertimbangkan
apabila secara teknis memungkinkan, clan risiko tindakan
masih bisa diterima. Reperfusi yang berhasil akan
memperlihatkan prognose yang baik (I B).

Terap~slmptomat~k
Segera

Kongesti paru

vasod~lator

NI PPV, Vent~las~
mekanls
lrama jantung dan
debar jantung
normal

Tidak

, Pacu
jantung ant1 antmia
elektroversi

Gambar 3. Algoritme terapi awal dari GJA

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1591

GAGAL JANTUNC AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


yang lama
Hiperkapnia
Ansietas dan claustrophobia
Pnemotoraks
Aspixia.

untuk memperoleh saturasi 0 2 arterial > 95%, atau >90%


pada penderita PPOK. Harus hati-hati pada penderita
obstruktif saluran napas berat untuk mencegah hiperkapnia
O B).

Ventilasi Non lnvasive (Non lnvasive Vantilation


= NIV)
Indikasi. Ventilasi non invasif merujuk ke semua upaya
untuk membantu pernapasan, tanpa memakai endotrakeal
tube, tetapi lebih jauh dari pemasangan masker penutup
wajah. NIV dengan positif end-expiratory pressure (PEEP)
harus dipertimbangkan secepat mungkin pada semua
pasien dengan edema paru kardiogenik akut (acute
cardiogenic pulmonary oedema) dan GJA hipertensif, akan
segera memperbaiki parameter klinis termasuk gagal nafas.
NIV dengan PEEP akan memperbaiki fbngsi ventrikel kiri,
karena dapat mengurangi after load dari ventrikel kiri.
Pemakaian NIV harus hati-hati pada syok kardiogenik dan
gagal jantung kanan.

Morfin dan Analog Morfin pada GJA


Morfin harus dipertimbangkan pada stadium awal GJA,
terutama bila pasien gelisah, sesak nafas, ansietas atau
nyeri dada (14). Morphine diberikan bolus 2,5 - 5 mg IU
dan dapat diulang seperlunya. Respirasi hams dimonitor,
kadang timbul nausea dan bila perlu boleh pakai anti emetic.
Hati-hati pada hipotensi, bradikardia AV block lanjut dan
retensi C02.
Loop Diuretika
Pemberian diuretic intravena direkomendasikanpada GJA
bila ada symptom akibat kongesti atau volume overload (I
B). (Tabel.4)
Beberapa ha1 yang perlu diingat :
Manfaat simptomatik diuretic sudah terbukti dan sudah
diterima dan sudah diterima secara universal
Pasien dengan hipotensi (sistolik <90 mmHg)
hiponatremia berat dan acidosis tidak sama
responsifnya terhadap terapi diuretika.
Dosis tinggi diuretika dapat memicu hipoalbuminemia
dan hiponatremia dan meningkatkan kemungkinan
hipotensi apabila bersamaan dengan ACE I atau ARB.

Kontra Indikasi
Pasien tidak kooperatif (tidak sadar, gangguan kognitif
berat ,ansietas)
Diperkirakan perlu segera pemakaian intubasi
endotrakial karena hipoksia yang progresif)
Hati-hati pada penyakit obstruksi saluran napas berat.
Efek yang tidak diinginkan
Perburukan dari gagal jantung kanan
Mukosa membran yang jadi kering akibat pemakaian

Retensi
air
Sedang

Duretika
furosemide atau
Bumetanide atau
torasernide

Dosis
Harian (ma)
. -,
20-40
0,5 - 1
10-20

Perkalian

- Oral atau IV sesuai klinis


- Dosis dititrasi
- Monitor K, Na, creatinin,
tekanan darah,

Berat

Furosemide
Furosemide infus

40-100
5-40 mgljam

- i.v ditinggikan
- Lebih baik daripada bolus
dosis tinggi

Refraktor
terhadap
diuretika

Dengan
Alkalosis
Refraktor
terhadap
diuretika
dan HCT

Bumetanide
Torasemide
Tarnbah HCT

1-4
20-100
50 -100

Atau metolazone

2,5-10

Atau
spironolaktone

25-50

Acetazolamide

03

Tarnbah dopamine
atau dobutamine

- Oral atau intravena


- Oral
- Kombinasi lebih baik
daripada loop diuretikdosis
tinggi
- Lebih poten bila
CCT<BOrnUrnnt
- Terutama bila fungsi renal
baik dan K normal atau
rendah.

- Pertimbangkan ultrafiltrasi
dan HD apabila ada
gangguan renal dan
Hiponatremia

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Opsi terapi alternatif seperti pemakaian vasodilator IV


dapat mengurangi keluhan dan mengurangi pemakaian
diuretic dosis tinggi.
Bagaimana cara pemberian loop diuretika pada GJA.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-40mg 1.V (0,5 - 1
mg bumetadine; 10-20 mg torasemide) atau hams sama
atau lebih dari dosis sehari-hari yang biasa didapat.
Pada fase awal ini pasien hams sering diawasi terutama
mengenai produksi urine. Pemasangan kateter urine
umumnya perlu untuk memonitor produksi urine, dan
mengetahui secara cepat respons pengobatan.(I C)
Pada pasien dengan bukti adanya volume overload
dosis furosemide IV dapat ditingkatkan,sesuai dengan
fungsi renal dan pemakaian oral diuretika yang sudah
lama sebelumnya. Pada pasien seperti ini, pemakaian
furosemide IV secara continous (IV drips) dapat
dipertimbangkan sesudah pemberian initial. Pemakaian
kosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6 jam
pertama, dan 240 mg pada 24 jam pertarna.
Kombinasi dengan diurtetika lain
Diuretik thiaride dapat dikombinasi dengan furosemide
(loop diuretika). Pada pasien yang resisten terhadap
diyretika. Pada GJA dengan volume overload, dapat
diberikan hidrochlorothiazide (HCT) 25 mg per oral dan
aldosteron antagonis (spironolaktone, eplerenone 25-50
mg per oral), dapat diberikan, disamping furosemide
kombinasi dengan dosis rendah, kadang lebih efektif
dengan efek samping yang kurang, ketimbang obat tunggal
dengan dosis tinggi. Netrofiltrasi dapat diterima apabila
kongesti refrakter terhadap terapi medikamentosa (IIa B).

Efek Samping Diuretika


Hipokalemia,hiponatremia,hiperuricemia
Hipovolemia,dehidrasi,produksi urine hams dimonitor.
Aktivasi neurohormonal
Dapat memicu hipotensi apabila sebelumnya dapat ACEVARB.

VASODILATOR
Vasodilator direkomendasikan pada stage awal dari GJA
apabila tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik,
tekanan sistolik <90 mmHg atau penyakit valvuler
obstruktif yang serius (1.B)
Vasodilator dapat berupa nitroglycerine (NGT)
isosorbide dirutrate (ISDN) nitroprusside dan nesiritide.
Indikasi:
Pemberian IV nitrat atau nitroprusside
direkomendasikan bila tekanan sistolik >I10 mmHg dan
hati-hati bila tekanan darah sistolik antara 90 dan 110
mmHg.

Vasodilator dapat menurunkan tekanan sistolik,


mengurangi tekanan pengisianjantung sisi kiri dan sisi kanan
dan tekanan vaskuler sistemik dan memperbaiki sesak
napas. Aliran darah koroner bisaanya masih baik apabila
tekanan darah diastolik masih baikl tidak terlalu rendah.
Beberapa ha1 yang perlu diingat:
Vasodilator mengatasi kongesti paru tanpa
mempengaruhi strok volume atau meningkatkan
konsumsi oksigen pada miokardium, terutama pada
penderita SKA
Calcium antagonis tidak direkomendasikan pada GJA.
Vasodilatorjangan diberikan apabila sistolik <90 mrnHg,
dapat mengurangi perfusi organ.
Hipotensi hams dicegah terutama bila ada disfungsi
renal.
Hati-hati pada stenosis aorta.
Nitrat (introgliserin dan ISDN). Sodium nitroprusside,
dan nesiritide biasanya diberikan dengan cara
intravena, per infuse. Nitroglycerine, merupakan ha1
yang sering dipakai pada GJA, dengan efek utama
adalah venodilator. Nitroprusside memiliki balans
vasodilator yang poten, antara penurunan preload dan
afterload. Nesiritide memiliki efek vasodilator dan
arterial venodilator. Juga efek sedang (modest) sebagai
diuretik dan efek natriuretik
Efek samping yang potensial adalah sakit kepala pada
pemberian nitrat, Tachipilaxis sering sesudah pemberian
24-48 jam, diperlukan peningkatan dosis dengan nitrat.
Nitroprusside harus hati-hati pada penderita SKA,
dapat menyebabkan tekanan darah turun dengan tibatiba.

Nesiritide (human BNP) dapat menurunkan tekanan


pengisian ventrikel kiri, namun efek terhadap cardiac
output produksi urin, ekskresi natrium, adalah bervariasi.
Sesak napas yang berat bias lebih cepat teratasi ketimbang
hanya dengan diuretik saja. Nesiritide mempunyai efek
yang lama dan juga waktu paruhnya (halflife) dari nitroglycerin atau nitroprusside,maka efek samping seperti
hipotensi berlangsung lebih lama. Bisa diantisipasi dengan
pemberian dosis rendah dan tanpa bolus. Efek samping
yang tidak diinginkan, berupa gangguan renal, sehingga
perlu monitoring fungsi ginjal. Efek nesiritide terhadap
mortalitas masih perlu dibuktikan, menunggu investigasi
klinis yang sedang berjalan.
Obat-obat inotropik
Inotropik agent harus harus dipertimbangkan pada
keadaan low output states, adanya tanda-tanda
hipoperfusi atau kongesti, walaupun pemberian vasodilator dan atau diuretika dapat memperbaiki symptom.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

C A W JANTUNG AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


lndikasi Pemberian Terapi lnotropik
Obat inotropik hanya boleh diberikan pada penderita
dengan tekanan sistolik yang rendah, atau cardiac index
yang rendah dengan adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
kongesti. Tanda-tanda hipoperfusi seperti, kulit dingin,
basah (claming skin) pada pasien yang disertai
vasokonstriksi dengan asidosis, gangguan fungsi ginjal,
gangguan fungsi hati atau gangguan kesadaran, terutama
bila pasien dengan dilatasi dan hipokinetik dari ventrikel.
Bila memang diperlukan harus diberikan sedini mungkin.
Pasien harus dalam monitoring EKG (IIa B).

phospodiesterase inhibitor tipe I11 (PDEIs) yang dipakai


dalam klinis sehari-hari.Obat ini mencegah pemecahan dari
cyclic AMP dan memiliki efek inotropik dan efek vasodilator perifer dengan meningkatkan cardiac output dan
volume sekuncup, bersamaan dengan penurunan tekanan
arteri pulmonalis, tekanan baji paru ('pulmonary wedge
pressure) resistensi sistemik dan sirkulasi paru.
Milrinone dan enoximone diberikan secara infuse
intravena, bisa didahului oleh bolus pada penderita dengan
tekanan darah yang masih cukup baik. Hati-hati pemberian
PDEIs pada pasien dengan PJK, dapat meningkatkan
kematian jangka menengah (IIb B).

DOBUTAMINE

Levosimendan
Levosimandan merupakan salah satu dari calcium sensitizer yang dapat memperbaiki kontrolisitas jantung secara
berikatan dengan troponin C didalam kardiomiosit.
Levosimendan memiliki vasodilator yang signifikan yang
dimediasi ATP sensitive potassium channels dan juga
mempunyai efeW kerja seperti PDEi yang ringan. Pemberian
levosimendan infuse pada GJA dekompensasi akan
meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup
mengurangi tekanan baji paru, tahanan vaskuler sistemik
dan tahanan vaskuler paru mengurangi tekanan vaskuler
paru. Respons hemodinamik pada pemberian levosimendan
dapat bertahan berhari-hari. Levosimendan dapat efektif
pada GJ kronik dekompensasi. Levosimendan dapat
meningkatkan detak jantung dan penurunan dari tekanan
darah, terutama bila sebelumnya mendapat bolus
pembebanan (loading dose). Levasimendan dapat
diberikan bolus (3- 12 mglkg) selama 10 menit, kemudian
diikuti drip intravena (0,05-0,2 mg/kg/menit untuk 24 jam).
Kecepatan infuse dapat ditingkatkan sampai tekanan darah
stabil. Apabila tekanan sistolik kurang dari lOOmmHg,
infuse dams dimulai tanpa pemberian bolus sebelumnya
untuk mencegah hipotensi. (IIA B)

Dobutamine adalah obat inotropik positif, bekerja melalui


stimulasi B1-reseptor untuk menginduksi efek inotropik
positif dan efek chronotropik. Efek stimulasi ini sebanding
dengan dosis yang diberikan.
Dosis awal antara 2-3 p a d m e n i t secara infus intravena,
tanpa didahului oleh bolus, atau loading dose. Dosis boleh
naikkan secara progressif tergantung symptom response
diuretlka, clan gambaran klinisnya. Efek hemodinamik sejajar
dengan dosisnya dan dapat ditingkatkan sampai 15 pgkgl
menit. Apabila sebelumnya mendapat beta blocker, maka
dosis bisa ditingkatkan jadi 20 pglkglmenit, untuk
memperbaiki efek inotropiknya. Tekanan darah hams
dimonitor secara invasive atau non invasif.
Eliminasi obat berlangsung cepat apabila infuse
dihentikan. Oleh sebab itu harus hati-hati apabila
dobutamine akan dihentikan. Penurunan dosis secara
gradual secara bertahap misalnya 2pg/kg/menit, dan secara
bersamaan pemakaian oral harus dioptimalkan (IIa B).

Dopamine
Dopamine juga menstimulasi reseptor B-adrenergik, secara
langsung dan tidak langsung, dengan akibat meningkatkan
kontraklilitas miokardium dan cardiac output, merupakan
efek inotropik tambahan. Infus dopamine dosis rendah
(<2-3 pglkglmenit) akan menstimulasi reseptor
dopaminergik, tetapi sedikit efek terhadap diuresa Dosis
tinggi dopamine dapat dipakai untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik, tetapi dapat meningkatkan risiko
tachikardi, aritmia, dan stimulasi a adenergik. Dopamine
dan dobutamin harus hati-hati bila frekuensi denyut
jantung >lo0 kali permenit. Stimulasi a adenergik pada
pemakaian dosis tinggi dapat menyebabkan
vasokonstriksi dan peninggian resistensi vaskuler
sistemik. Dosis rendah dopamine sering dikombinasi
dengan dobutamin dosis tinggi (IIbC).
Milrinone dan Enoximone
Milrinone dan enoximone

keduanya

adalah

Vasopressor
Vasopressor (Norepinephrine) tidak direkomendasikan
sebagai terapi awal (first line agents) pada GJA, dan hanya
diberikan pada penderita dengan syok kardiogenik apabila
kombinasi obat-obat inotropik dan pengaturan cairan,
gaga1menaikkan tekanan darah sistolik lebih dari 90mmHg,
dengan perfusi perifer yang tidak adekuat, meskipun ada
perbaikan cardiac output (IC). Pasien dengan sepsis yang
menyebabkan GJA mungkin memerlukan vasopressor,
sementara syok kardiogenik biasanya disertai oleh tahanan
vaskuler sistemik yang tinggi. Semua vasopressor
pemakaiannya harus hati-hati dan harus dihentikan
secepat mungkin. Noradrenalin bisa dikombinasi dengan
inotropik lain pada syok kardiogenik, walau idealnya
diberikan lewat "central line". Epinephrine tidak
direkomendasikan sebagai inotropik atau vasopressor
pada pasien syok kardiogenik, dan hanya dibatasi sebagai

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

terapi penyelamatan (rescue therapy) pada pasien dengan


henti jantung (cardiac arrest) (IIb C).
Glikosida Jantung
Pada GJA glikosida jantung hanya menaikkan sedikit
kardiak output dan penurunan dari tekanan pengisian
mungkin bermanfaat untuk menurunkan laju ventrikel pada
keadaan rapid atrial fibrilasi (IIb C)

ALUR PENANGANANGJA
Sesudah penilaian awal, semua pasien harus diberikan
terapi oksigen, dan NIV. Target terapi pada fase prehospital
atau ruang emergency adalah segera memperbaiki
oksigenasijaringan dan mengoptimalkan hemodinamik dan
saat bersamaan segera memperbaiki simptom-simptom dan
memungkinkan untuk intervensi. Strategi terapi spesifik
harus berdasarkan ciri khas kondisi klinis yang terutama
seperti berikut ini.
GJK Dekompensasi
Direkomendasikan pemberian vasodilator bersamaan
dengan loop diuretic. Pertimbangkan pemakaian dosis
tinggi dari diuretic pada penerita yang sudah mendapat
diuretika lama sebelumnya dan penderita dengan disfungsi
ginjal. Obat-obat inotropik dapat diberikan pada penderita
hipotensi, dan pasien dengan hipoperfusi.
Edema Paru
Morphine biasanya diindikasikan, terutama apabila sesak
disertai rasa nyeri dan ketakutan. Vasodilator dapat
direkomendasikan asal tekanan darah normal atau tinggi
dan diuretika apabila ada volume overload atau retensi air.
Inotropik diperlukan apabila ada hipotensi dan tandatanda hipoperfusi organ. Intubasi atau ventilasi mekanik
meungkin diperlukan untuk memperoleh oksigensasi yang
adekuat.
GJ Hipertensif
Direkomedasikan vasodilator dengan monitoring yang
ketat dan terapi diuretic dosis rendah pada penderita
dengan volume overload, atau edema paru.
Syok Kardiogenik
Pembebanan cairan apabila secara klinis diperlukan (250
mll 10 menit) diikuti obat inotropik, apabila tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg. Apabila dengan inotropik gagal
menaikkan tekanan darah dan tanda hipoperfusi organ
masih menetap, norepineptrian boleh ditambahkan dengan
sangat hati-hati, Pompa intraaortic ballon (iABP) dan
intubasi harus dipertimbangkan. Alat bantu jantung

(LVADs) mungkin dipertimbangkan apabila potensial


kausa dari GJA adalah reversibel, dan dapat sebagai
jembatan (bridge) untuk tindakan selanjutnya. (misalnya
operasi).
GJ Kanan
Pembebanan cairan biasanya tidak efektif, ventilasi
mekanikal hams dihindari. Obat-obat inotropik diperlukan
apabila ada tanda-tanda hipoperfusi jaringan. Harus
dipikirkan adanya emboli paru atau infark akut ventrikel
kanan.

GJA pada SKA


Semua pasien dengan SKA dan tanda-tanda GJ hams
diperiksakan echocardiografi dan menilai fungsi sistolik
dan diastolic. Fungsi katup dan menyingkirkan gangguan
jantung lainnya atau komplikasi mekanis dari infarkjantung
akut (IC).
Pada penderita SKA dengan komplikasi GJA, reperfusi
dini dapat memperbaiki program (ada guidelines tersendiri)
Apabila PC1 atau bedah (CABG) belum tersedia boleh juga
dicoba dengan fibrinolitik pada pasien dengan STEMI.
CABG secepatnya diindikasikan pada penderita dengan
komplikasi mekanikal pada penderita infark jantung akut.
Syok kardiogenik pada SKA harus dipasang IABP,
corangiografi koroner, dan revaskularisasi primer (PCI)
harus dipertimbangkan secepat mungkin (I C).
Pemakaian beta blocker dan ACE IIARB pada
dekompensasi akut gagal jantung kronik.
ACE I tidak diindikasikan untuk menstabilkan awal dari
GJA. Akan tetapi pasien dengan risiko tinggi pasien masuk
pada keadaan GJK,ACE VARB memegang peranan penting
pada fase awal GJA pasien infark jantung akut, terutama
bila dijumpai tanda-tanda gagal jantung atau bukti
gangguan fingsi sistolik ventrikel kiri. Kedua obat ini dapat
mencegah remodeling, mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Belum ada kesepakatan kapan memulai obatobat ACE il ARB pada penderita GJA. Pada umumnya
disetujui pemberiannya sebelum pulang dari RS. Apabila
terjadi perburukan dari gagal jantung pada pemberian ACE
iIARB, obat ini harus diteruskan selama mungkin (I A).
Pada pasien gagal jantung dekompensasi akut, dosis
beta blocker mungkin perlu diturunkan sementara, atau
dihentikan, walaupun umumnya pengobatan jangan
dihentikan sampai pasien secara klinis belum stabil dengan
tanda-tanda low out put. Pengobatan mungkin
bisadihentikan dulu apabila terdapat komplikasi
bradikardia. AV Block derajat tinggi, bronchospasme atau
syok kardiogenik, atau pada kasus GJA berat dan respons
tidak adekuat pada terapi initial. Pasien infark jantung akut
dengan tanda-tanda gagal jantung atau disfungsi ventrikel
kiri, B Blocker harus dimulai sedini mungkin paling tidak
sebelum dipulangkan dari RS. Pasien yang dirawat dengan
GJA, B blocker hams dipertimbangkan apabila klinis sudah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1595

CACAL JANTUNC AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


stabil dengan ACE I atau ARB dan dimulai sebelum pasien
dipulangkan dari RS (IIaB).

The Criteria Committee of The New York Heart Association.


Nomenclature and criteria for Diagnosis of Disease of the Heart
and Great Vessels. 9th ed. Little Brown & Co;1994. 3333253-256.
Hunt SA, Abraham WT, Chin MH,et al. ACCIAHA 2005 Guideline
update for the diagnosis and management of chronic heart failure in the adult: a Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2005;112:e154-e235.
Kenneth Dickstein, Alain Cohen-Solal, Garasimos Filippatos, et al.
The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. European Heart Journal (2008) 29, 2388-2442.
Sharon Ann Hunt, Abraham WT., Marshall H.Chin, et al. 2009
Focused Update Incorporated Into the ACCIAHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in
Adults. (Full Text). Circulation. 2009; 119:e391-e479).
Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, et al. Executive summary of
the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart
failure: the Task Force on Acute Heart Failure of the European
Society of Cardiology. Eur Heart J 2005;26:384-416.
Fillipatos G, Zannad F. An introductionto acute heart failure syndromes: definition and classification. Heart Fail Rev 2007;12:8790.
Killip T 3rd, Kimball JT. Trereatment of myocardial infarction in a
coronary care unit. A two year experience with 250 patients.
Am J Cordiol 1967:20:457-464.
Forrester JS. Diamond GA, Swan HJ. Correlative classification of
clinical and hemodynamic function after acute myocardial infarction. Am J.Cardio1 1977;39:137-145.
Maisel AS, Bhaila V, Braunwald E. Cardiac biomarkers: a contemporary status report. Nature Clin Pract.2006;3:24-34.
Maisel AS, Krishnaswarny P, Nowak RM,et al. Rapid measurement
of B-type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of
heart failure. N Engl J Med 2002;347:161-167.
Moe GW, Howlett J, Januzzi JL, et al. N-terminal pro-B-type natriuretic peptide testing improves the management of patients
with suspected acute heart failure: primary results of the Canadian prospective random- ized multicenter IMPROVED-CHF
study Circulation. 2007;115:3103-10.
Bassand JP, Hamm CW. Ardissino D,et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of non ST-segment elevation acute coronary
syndromes. Eur Heart J 2007;28:1598-1660.

Peter JV, Moran JL. Philips-Hughes J, Graham P.Bersten AD. Effects of non invasive positive pressure ventilation (NIPPV) on
mortality in patients with acute cardiogenic pulmonary oedema:
a meta-analylis. Lancet 2006;367:1155-1163.
Lee G.DeMaria AN, Amsterdam EA, et al. Comparative effects of
morphine, meperidine and pentazocine on cardiocirculatory
dynamic in patients with acute myocardial infarction. Am J
Med 1976;60:949-955.
Mebazaa A, Gheorghiade M, Pina IL, et al. Practical recommendations for prehospital and early in -hospital management of
patients presenting with acute heart failure syndromes. Crit
Care Med.2008;36:S129-39.
Costanzo MR, Johannes RS, Pine M, et al. The safety of intravenous diuretics alone versus diuretics plus parenteral vasoactive
therapies in hospitalized patients with acutely decompensated
heart failure: a propensity score and instrumental variable analysis using the Acutely Decompensated Heart Failure National
Registry (ADHERE) database. Am Heart J. 2007;154:267-77.
Costanzo MR, Guglin ME, Saltzberg MT, et al. Ultrafiltration versus intravenous diuretics for patients hospitalized for acute decompensated heart failure. J Am Coll Cardiol. 2007;49:67583.
Elkayam U, Bitar F, Akhter MW,et al. Intravenous nitroglycerin in
the treatment of decompensated heart failure: potential benefits and limitations. J Cardiovasc Pharmacol Ther 2004;9:227241.
Sackner-Bernstein JD, Skopicki HA, Aaronson KD. Risk of worsening renal function with nesiritide in patients with acutely decompensated heart failure. Circulation. 2005; 1 11 : 1487-9 1 .
Bayram M, De Luca L, Massie MB,Gheorghiade M. Reassessment
of dobutamine, dopamine, and milrinone in the management of
acute heart failure syndromes. J Am CON Cardiol 2005;96:47G5 8G.
Galley HF. Renal dose doparnine: will the message now get through?
Lancet 2000;356:2112-2113.
Felker GM, Benza RL, Chandler AB, et al. Heart failure etiology and
response to milrinone in decompensated heart failure: results
from the OPTOME-CHF study. J Am CON Cardiol 2003;41:9971003.
Cuffe MS, Califf RM, Adams KF, et al. Short-term intravenous
milrinone for acute exacerbation of chronic heart failure: a
randomized controlled trial. JAMA. 2002;287:1541-7.
Mebazaa A, Nieminen MS, Packer M, et al. Levosimendan vs
dobutamine for patients with .acute decompesated heart failure:
the SURVIVE Randomized Trial. J A M 2007;297: 1883- 1891.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GAGAL JANTUNG KRONIK


Ali Ghanie

PENDAHULUAN
Definisi Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana
terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai
dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang
sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung
kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat
nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik
didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik
dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda
objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan
meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata
umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila
dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah
dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam
4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan
gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam
tahun pertama.
ETlOLOGl DAN FAKTOR PENCETUS
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard,
endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia,
kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika
disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit
jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang
merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari
75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di

Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data


rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai
penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan
katup.

Pencetus
Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung,
edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya
berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi
terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan
menjadi lebih baik.

TATALAKSANAGAGAL JANTUNG KRONIK


Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan
dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja
ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga
diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan
disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal jantung
yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan
untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan jangka
panjang terjadi penurunan angka kematian.
Oleh karena itu dalam pengobatan gagal jantung kronik
perlu dilakukan identifikasi objektif jangka pendek dan
jangka panjang.
Dalam tulisan ini karni mengacu kepada petunjuk atau
guidelines dari European Society of Cardiology (ESC)
tahun 2001 dan 2005 serta American Heart Association
2001.
Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan
(evidence)mengikuti format petunjuk atau guidelines dari
ESC 2005, di mana untuk rekomendasi:
Class I Adanya buktikesepakatan umum bahwa tindakan
bermanfaat dan efektif

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

GAGAL JANTUNG KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Class 11
1I.a

Bukti kontroversi
Adanya bukti bahwa tindakan cenderung
bermanfaat
Manfaat dan efektivitas kurang terbukti
IIb
Class 111 Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya
sedangkan tingkat kepercayaan:
A data berasal dari uji random multipel, atau metaanalisis
B data berasal dari satu uji random klinik
C Konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi
retrospektif atau registrasi

Upaya Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif
primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor
risiko jantung koroner
Pengobatan infark jantung segera di triase, serta
pencegahan infark ulangan
Pengobatan hipertensi yang agresif
Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung
katup
Memerlukan pembahasan khusus
Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi
penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari
disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.

PENANGANANGAGAL JANTUNG KRONIK


Pendekatan terapi pada gagal jantung dalam ha1 ini
disfungsi sistolik dapat berupa:
Saran umum, tanpa obat-obatan
Pemakaian obat-obatan
Pemakaian alat, dan tindakan bedah

Penatalaksanan Umum, Tanpa Obat-obatan


Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan
bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan,
dan dasar pengobatan
Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi
aktivitas seksual, serta rehabilitasi
Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan
kebiasaan alkohol
Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat
badan yang tiba-tiba
Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas
Hentikan kebiasaan merokok.
Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara
panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus
Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan
menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID,
antiaritmiaklas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek
cepat, antidepresan trisiklik, steroid

Pemakaian Obat-obatan
Angiotensin-converting enzyme inhibitorlpenyekat
enzim konversi angiotensin
Diuretik
Penyekat beta
Antagonis reseptor aldesteron
Antagonis reseptor angiotensin I1
Glikosidajantung
Vasodilator agents (nitratlhidralazin)
Nesiritid, merupakan peptid natriuretik tipe B
Obat inotropik positif, dobutamin, milrinon, enoksimon
Calcium sensitizer, levosimendan
Antikoagulan
Antiaritmia
Oksigen
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah
Revaskularisasi (perkutan, bedah)
Operasi katup mitral
Aneurismektomi
Kardiomioplasti
External cardiac support
Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu
jantung biventrikular
Implantable cardioverter dejbrillators (ZCD)
Heart transplantation, ventricular assist devices,
art$cial heart
Ultrafiltrasi, hemodialisis.
Terapi Farmakologi
Angiotensin-converting enzyme inhibitordpenyekat
enzim konversi angiotensin (Tabel ldan 2).
Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau
tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk
meningkatkan survival, memperbaiki simtom,
mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (I, A)
Hams diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui
retensi cairan. Bila disertai retensi cairan hams diberikan
bersama diuretik. (I, B)
Hams segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala
gagal jantung, segera sesudah infark jantung, untuk
meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark
serta kekerapan rawat inap.
Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat
sesuai dengan bukti klinis, bukan berdasarkan
perbaikan gejala.
Diuretik
Loop diuretic,tiazid, metolazon (Tabel 3)
Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan
beban cairan berlebihan, kongesti paru dan edema
perifer.(I, A)
Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan hams

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Mortalitas Penelitian
Obat
Penelitian pada
Gagal jantung
kronik
Consensus Trial
Study Group,
1978
Cohn et al. (VHeFT 11,1991)
The SOLVD
Investigators,
1991
ATLAS

Target
Dosis

Dosis Harian Rerata

Enalapril

20 mg b.i.d

18.4 mg

Enalapril

10 mg b.i.d

15.0 mg

Enalapril

10 mg b.i.d

16.6 mg

Dosis tinggi:
32.5 - 35 rng perhari
Dosis
2.5 - 5 mg perhari
rendah:
Penelitian pasca IM dengan disfungsi LV dengan atau tanpa GJ
Lisinopril

Pfeffer et al
Captopril
50 rng t.i.d
(tidak ada)
(SAVE, 1992)
AlRE
Ramipril
5 mg b.i.d
(tidak ada)
TRACE
Trandolapril 4 mg daily
(tidak ada)
LV = Left Ventriculac MI = Myocardial Infarction; HF = Heart failure

Obat

Dosis inisial

Dosis
pemeliharaan

Benazepril
Captopril
Enalapril
Lisinopril
Quinapril
Perindopril
Ramipril
Cilazapril
Fosinopril
Trandolapril

2.5 mg
6.25 mg t.i.d
2.5 rng perhari
2.5 rng perhari
2.5-5 mg perhari
2 rng perhari
1.25 - 2.5 mg perhari
0.5 mg perhari
10 mg perhari
1 rng perhari

5 - 10 mg b i d
25 - 50 rng t.i.d.
10 mg b.i.d.
5 - 20 rng perhari
5 - 10 rng perhari
4 mg perhari
2.5 - 5 mg b.i.d
1 - 2.5 rng perhari
20 rng perhari
4 rng perhari

* Manufacture's or regulatory recommendations

dikombinasi dengan penyekat enzim konversi


angiotensin atau penyekat beta.

p-

Blocker (Obat Penyekat Beta)


Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan,
sedang, dan berat yang stabil baik karena iskemi atau
kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar
seperti diureti atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra
indikasi terhadap penyekat beta.
Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit,
meningkatkan klasifikasi fungsi (I, A)
Pada dishngsi jantung sistolik sesudah suatu infark
miokard baik simtomatik atau asimtomatik, penambahan
penyekat beta jangka panjang pada pemakaian
penyekat enzim konversi angiotensin terbukti

menurunkan mortalitas.(I.B)
Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang
direkomendasi yaitu bisoprolol, karvedilol, metoprolol
suksinat, dan nebivolol(1,A) (Tabel 4)

Antagonist Reseptor Aldosteron (Tabel 5)


Penambahan terhadap penyekat enzim konversi
angiotensin, penyekat beta, diuretik pada gagal jantung
berat (NYHA 111-IV) dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas (1, B)
Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim
konversi angiotensin dan penyekat beta pada gagal
jantung sesudah infark jantung, atau diabetes,
rnenurunkan morbiditas dan mortalitas (I, B)
Antagonis Penyekat Reseptor Angiotensin I1
Masih merupakan alteinatif bila pasien tidak toleran
terhadap penyekat enzim konversi angiotensin
Penyekat angiotensin I1 sama efeketif dengan penyekat
enzim konversi angiotensin pada gagal jantung kronik
dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (IIa, B)
Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau
disfungsi ventrikel, penyekat angiotensin I1 sama efektif
dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam
menurunkan mortalitas (I, A)
Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin I1 pada pemakaian penyekat enzim konversi
angiotensin pada pasien yang simtomatik guna
menurunkan mortalitas (IIa, B)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1599

GACAL JANTUNG KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


- -

Dosis lnisial

Rekomendasi
Harian Maksimum
(ms)

20 - 40
0.5 - 1.0
5 - 10

250 - 500
5 - 10
100 - 200

Hipokalemia, hipomagnesernia,
hiponatrernia
Hiperurikemia, intoleransi glukosa
Gangguan asarn basa

25
2.5
2.5

50 - 75
10
2.5

Hipokalemia, hipomagnesaernia,
hiponatrernia
Hiperuricaemia, intoleransi
glukosa
Gangguan asam basa

Loop diuretics
Furosemid
Bumetanid
Torasemid
Tiazid
Hidroklorotiazid
Metolazon
lndapamid

Potassium-sparing
diuretic
Amilorid
Triamteren
Spironolacton

+ACE1
2.5
25
26

-ACE1
5
50
50

+ACE1
20
100
50

-ACE1
40
200
100-200

Efek Samping Utama

Hiperkalemia, rash
Hiperkalernia
Hiperkalemia, ginaekornastia

increments

Target
dose

(ms.day-'l

(mg.day-l)

1.25

2.5, 3.75, 5,
7.5, 10

10

Minggu-Bulan

10, 15, 30,


50, 75,100

150

Minggu-Bulan

Carvedilol

12.5125

25, 50, 100,


200

200

Minggu-Bulan

Nebivolol

3.125

6.25, 12.5,
25, 50

50

Minggu-Bulan

Beta-blocker
Bisoprolol
Metoprolol
suksinat CR

dose
(rng)

Titration
period

Frekuensi pemberian harian seperti pada penglihatan rujukan diatas.

1. Pertimbangkan apabila gagal jantung berat (NYHA Ill - IV)


meskipun telah menggunakan
penyekat enzym konversi
.angiotensinldiuretik
2. Periksa potasium serum ( ~ 5 . mmol.~.')
0
dankreatini ( ~ 2 5 0
l~mo~.~-')
3. Tambahkan 25 mg spironolacton per hari
4. Periksa serum potassium dan kreatinin setelah 4 - 6 days
5. Jika serum potassium > 5 - 5.5 c mmol.~.',kurangi dosis
sampai 50%, dan hentikan bila serum potassium ;5.5
mmol.l-'.
6. Jika setelah 1 bulan keluhan menetap tanpa kenaikan serum
potasium, naikkan dosis sarnpai 50 rng perhari. Ulangi
perneriksaan serum potassiumlkreatinin sesudah 1 minggu

Glikosida Jantung (Digitalis)


Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai
derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung
bukan atau sebagai penyebab.(I,B)
Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior
dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa
kombinasi.

Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat


menurunkan angka kekerapan rawat inap. (Ha, A)
Vasodilator
Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gaga1
jantung kronik (111, A)
Hidralazin-isosorbid Dinitrat
Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan di
mana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim
konversi angiotensin atau penyekat angiotensin I1
(1,B). Dosis besar hidralazin (300 mg) dengan
kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat
enzim konversi angiotensin dikatakan dapat
menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien AfrikaAmerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg
dan hidralazin 37.5 mg, tiga kali sehari dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dan
memperbaiki kualitas hidup.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat
Terbukti rnenurunkan rnortalitas
dan rnorbiditas
Candesartan
Valsartan
Lain - lain
Eprosartan
Losartan
lrbesartan
Telrnisarlan

Dosis (mg)

4 - 32
80 - 320

400 - 800
50 - 100
150 - 300
40 - 80

Nitrat
Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak
(Ila, C), jangka panjang tidak terbukti memperbaiki
simtom gagal jantung. Dengan pemakaian dosis yang
sering, dapat terjadi toleran (takipilaksis), ole11 karena
itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi
dengan penyekat enzim konversi angiotensin
Obat Penyekat Kalsium
Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak
direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaiaan
kombinasi dengan penyekat beta (111, C)
Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang
lebih baik untuk survival bila digabung dengan obat
penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik.
(II1,A) Data jangka panjang menunjukkan efek netral
terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai
tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah
sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta.
Nesiritid
Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan
rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik
peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen
dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena
dan koroner, dan menurunkan pre dun afterload,
meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik.
Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong
pemakaian obat ini.
lnotropik Positif
Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak
dianjurkan karena meningkatkan mortalitas (111, A)
Pemakaian intravena pada kasus berat sering
digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru
komplikasi lebih sering muncul. (I1 b, C)
Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon
efektif bila digabung dengan penyekat beta, dan
mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner.
Namun disertai juga dengan efek takiaritmia amal dan

ventrikel, dan vasodilatasi berlebihan dapat


menimbulkan hipotensi
Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang
baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak seperti
penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi.
Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik
dibandingkan dobutamin.
Anti Trombotik
Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium,
riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus
yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan
(1, A)
Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung
koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. (IIa, B)
Aspirin hams dihindari pada perawatan rumah sakit
berulang dengan gagal jantung yang memburuk.

Anti Aritmia
Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada
gagal jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan
ventrikel takikardi
Obat aritmia klas I tidak dianjurkan
Obat anti aritmia klas I1 (penyekat beta) terbukti
menurunkan kejadian mati mendadak (1,A) dapat
dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron
(IIa, C)
Anti aritmia klas 111, amiodaron efektif untuk
supraventrikel dan ventrikel aritmia (1,A) amiodaron
rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan.
Suatu data survei di Eropa menunjukkan bahwa
pemakaian obat-obat pada gagaljantung kronik masih belum
maksimal, demikian juga yang terjadi dalam praktek seharihari di Indonesia. Sebagai acuan praktis dari ESCguidelnes
2005, strategi pemilihan kombinasi obat pada berbagai
keadaan gagal jantung secara sistematis dapat dilihat pada
Tabel 7 dan 8.

Telah dibahas suatu tatalaksana gagal jantung terkini yang


mengacu pada ESC guidelines, di mana terlihat bahwa
penanganan pasien gagal jantung kronik mengalami
perkembangan yang signifikan.
Tatalaksana gagal jantung kronik harus disesuaikan
bagi setiap individu dan daerah, karena perbedaan sosial
ekonomi, sarana dan modalitas kesehatan yang berbeda.
Terlihat perlunya pelayanan holistik terpadu mulai dari
pusat pelayanan primer, dokter umum di daerah, dokter
spesialis di pusat-pusat pelayanan sekunder dan pusat
rujukan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1601

GACAL JANTUNG KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Inhibitor

~;ce~tor
Blocker

~ldoseron

Jantung

Disfungsi LV
asimtomatik
dysfunction
GJ simtomatik
(NYHA II)

lndikasi

If ACE intolerant

Not indicated

Pasca lnfark

lnfark baru

Dengan fibrilasi
atrial

lndikasi

lndikasi dengan
atau tanpa ACEinhibitor

Indicated if
fluid retention

lndikasi

lnfark baru

GJ memburuk
(NYHA Ill-IV)

lndikasi

lndikasi dengan
atau tanpa ACE
inhibitor

Indicated,
combination
of diuretics

lndikasi

GJ tahap akhir
(NYHA IV)

indikasi

lndikasi dengan
atau tanpa
ACE-inhibitor

Indicated,
combination
of diuretics

lndikasi
(di bawah
pengawasan
spesialis)
lndikasi
(di bawah
pengawasan
spesialis)

a.when atrial
fibrillation
b.when
improved from
more severe
HF in sinus
rhythm
lndikasi

lndikasi

lndikasi

Untuk suwivallmorbiditas

Untuk gejala

- -

NYHA I

Lanjutkan ACE inhibitor IARB jika


intoleran ACE inhibitor, lanjutkan
antagonis aldosteron jika pasca-MI
Tarnbah penyekat beta jika pasca
MI.

Pengurangan I

NYHA I1

Ace inhibitor sebagai terapi lini


pertarna ARB jika intoleran ACE
inhibitor tarnbah penyekat beta
dan antagonis aldosteron jika pasca
MI

+I- diuretik
tergantung pada
retensi cairan

NYHA Ill

ACE inhibitor + ARB atau ARB


Jika intoleran ACE sendiri
Penyekat beta
Tambah aldosteron
Antagonis

+ diuretik + digitalis
jika rnasih simtornatik

NYHA IV

Lanjutkan ACE inhibitor I ARB


Penyekat beta
Antagonis aldosteron

+ diuretik + digitalis +
consider
suport inotropis
sernentara

REFERENSI
Chodilawati,R., Ghanie,A. Pola etiologi gagal jantung di RSMH
Palembang. Kopapdi Menado 2003.
Francis, GS, Gassler, JP, Sonnenblick, EH. Pathophysiology and
diagnosis of heart failure. In The Heart. Fuster V, Alexander,
RW., O'Rourke, AR. 10Ih edition. Volume 1 . Mc. Graw Hill.
p.655.
Gibbsons, RJ., Antman, EA., Alpert, J.S., et al. Guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the adult.
ACCIAHA Practice guidelines-Full text. American College of
Cardiology and the American Heart Association, Inc. 2001.

Remme, W.J., Swedberg, K. Guidelines for the diagnosis and


treatment of chronic heart failure : Task force for the diagnosis
and treatment of chronic heart failure. Euro Heart J.
200 1 ;22: 1527-55
Swedberg, K., Chairperson. Guidelines for the diagnosis and
treatment of chronic heart failure: full text (update 2005). The
European Society of Cardiology 2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

MEKANISME DAN KLASIFIKASI ARITMIA


A. Muin Rahman

PENDAHULUAN
Bila yang dimaksud dengan irama jantung normal adalah
irama yang berasal dari nodus SA, yang datang secara
teratur dengan frekuensi antara 60- 100 lmenit, dan dengan
hantaran tak mengalami hambatan pada tingkat manapun,
maka irarnajantung lainnya dapat dikatakan sebagai aritmia.
Jadi yang dapat didefinisikan sebagai aritmia adalah:
Irama yang berasal bukan dari nodus SA.
Irama yang tidak teratur, sekalipun ia berasal dari nodus SA, misalnya sinus aritnlia.
Frekuensi kurang dari 60ximenit (sinus bradikardia) atau
lebih dari 1OOxImenit (sinus takikardia).
Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra
ventrikular.
Jelaslah bahwa untuk membaca irama jantung,
disamping frekuensi dan teratur atau tidaknya, hams dilihat
juga tempat asal (fokus) irama tersebut. Nodus SA
merupakan fokus irama jantung yang paling dominan,
sehingga pada umumnya irama jantung adalah irama sinus. Bila nodus SA tidak dapat lagi mendominasi fokus
lainnya, maka irama jantung akan ditentukan oleh fokus
lainnya itu. Fokus irama jantung ini menjadi dasar dari
klasifikasi aritmia.
Klasifikasi aritmia masih bisa ditentukan pula oleh
kecepatan hantaran impuls melalui berkas penghantar
seperti berkas His dan percabangannya (Bundle Branch),
yang bisa mendapat berbagai bentuk hambatan dari parsial
sampai total (komplit).

MEKANISME TERJADINYAARITMIA
Dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai,
automatisitas, artinya dapat dengan sendirinya secara
teratur melepaskan rangsang (impuls). Sel-sel ini'setelah

repolarisasi fase 1, 2 dan 3, akan rnasuk ke fase 4 yang


secara spontan perlahan-perlahan akan mengalami
depolarisasi, dan apabila telah meliwati ambang batasnya
akan timbullah impuls. Impuls in; kemudian akan
merangsang sel-sel sekitarnya, selanjutnya disebarkan
keseluruh jantung sehingga menghasilkan denyut jantung
spontan.
Kelompok-kelompok sel yang ~nempunyaiautomtisitas,
misalnya terdapat pada nodus SA ,kelompok sel-sel yang
terdapat di atrium dan ventrikel, AVjzmction, sepanjang
berkas (bundle) His dan lain-lain. Pada keadaan normal
yang paling dominan adalah yang berada di nodus SA.
Bila ia mengalami depresi dan tak tak dapat mengeluarkan
impuls pada waktunya, maka fokus yang berada di tempat
lain akan mengambil alih pembentukan impuls sehingga
terjadilah irama jantung yang baru yang kita katakan
sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif
mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama
jantung tersebut, dengan frekuensi yang lebih cepat,
misalnya pada ventrikular atau supraventrikular takikardia.
Selain dari itu, sudah diutarakan di atas, bahwa kecepatan
perjalanan impuls menuju keseluruh jantung juga dapat
menimbulkan aritmia.
Maka dapat disimpulkan bahwa aritmia bisa timbul melalui
mekanisme berikut:
*. Pengaruh persarafan autonom (simpatis dan para
simpatis) yang mempengaruhi HR.
Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama
jantung diambil alih yg lain.
Fokus yang lain lebih aktif dari nodus SA dan
mengontrol irama jantung.
Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat
keluar (Sinus arrest) atau mengalami hambatan dalam
perjalanannya keluar nodus SA (SA block).
Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar
nodus SA, misalnya di daerah atrium, berkas His,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1603

MEKANISME DAN KLASlFlKASl ARITMllA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ventrikel dan lain-lain. Hambatan yang terjadi dapat unit
bi direksional atau dapat pula parsial s/d komplit,
sehingga terjadi blok AV dari derajat 1, derajat 2 tipe 1
atau 2, derajat 3 atau komplit. Namun dapat pula menjadi
dasar terjadinya aritmia lain, terutama takiaritmia, yaitu
melalui mekanisme reentry. Fokus lain dapat
mendominasi nodus SA dan mengambil alih irama
jantung selain karena nodus SA tertekan, juga dapat
karena fokus lainnya itu lebih aktif dengan frekuensi
yang lebih tinggi. Terjadinya peningkatan frekuensi
fokus lainnya dapat timbul dengan berbagai cara:
- Pengaruh persarafan yang menekan nodus SA
seperti telah dijelaskan di atas atau mengaktifkan
kelompok-kelompok sel automatisitas di dalamldi
luar nodus SA.
- Timbulnya reentry takikardia di salah satu tempat
penghantar baik supra atau ventrikular karena
timbulnya hambatan parsial ataupun komplit, uni
atau bi direksional, maupun hambatan masuknya
impuls (entrance block) setempat.
- Selain reentry tachycardia dan berbagai derajat blok
AV seperti telah disebutkan pada 2 di atas, hambatan
yang timbul pada penghantar dapat menjadi dasar
terjadinya berbagai aritmia, seperti bundle branch
block (BBB), rate dependent BBB/aberrant
conduction, extra systole baik single, consequtive
hingga Salvo/run, bahkan parosismal takikardia,
parasistol,, fusion beat, dan lain-lain.

Gb. Unidirectional block pd ACB, tapi tidak pada ADB.


lmpi~lsdari A ke B ~nelaluiD, kemudian dari B diteruskan ke distal, tapi ada yang kembali ke BCA ( block
hanya arall ACB ), yang diteruskan lagi ke ADB dst,
berputar tcrus. sehingga timbul takikardia melalui B.
sampai ada impuls dari A y a y dapat memadarnkannya
atau unidireksional block pulih kembali.
Gambar blok parsial dari A ke B sehingga impuls dari A
ke B me ngalami perlambatan tiba di B (AVB derajat I).
sedangkan impuls berikutnya dari A dapat mengalaini
hambatan yang lebih lama (interval PR lebih panjang).
dan akhirnya impuls berikutnya dari .4 mengalami
harnbatan total (AVB 2 tipe I).
Bila impuls dari A mengalami hambatan total timbullah
AVB3.
Dapat pula impuls 1 dan 2 dari A tak mengalami
hambatan. tapi impuls berikutnya mengalami hambatan
total (AVB 2 tipe 2). Sebetulnya ilnpu Is 1 dan 2 telah
men gal am^ harnbatan yang barn terlihat pada impuls
berikutnya (concealed hlock).
Bila impuls di Adatang dengan frekuensi lebih cepat,
maka ia tiba di B, lalu mengalami barnbatan parsial
dengan manifestasi QRS yg lebih lebar (aberantia).
Bila impuls dari atas A (SV) dan dari samping A
(ventrikel) masuk ke A pada saat yang hampir bersamaan
~nakaQRS yang dikeluarkan A bentuknya merupakan
gabungan kedua impulstersebut Viision).
Bila kedua impuls tsb tak dapat masuk ke A (entrance
hlock), sedangkan A matnpu mengeluarkan impuls
sendiri tiap? 1000 ms misalnya, maka impuls ini akan
tetap keluar tanpa dipengarubi impuls lain (parasistol).

Gambar 1.

ETlOLOGl ARlTMlA
Seperti telah dijelaskan di atas, Aritmia dapat tejadi karena
hal-ha1 yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang
mempunyai automatisitas dan sistem penghantamya:
Persarafan autonom dan obat-obatan yang
mempengaruhinya.
Lingkungan sekitamya seperti beratnya iskemia, pH dan
berbagai elektrolit dalam serum, obat-obatan.
Kelainanjantung seperti fibrotis dan sikatriks, inflamasi,
metabolit-metabolit dan jaringan-jaringan abnormal1
degeneratif dalarnjantung seperti amiloidosis, kalsifikasi
dan lain-lain.
Rangsangan dari luar jantung seperti pace maker.
Berbagai etiologi ini dapat saling memberatkan, artinya
bila telah ada hipertrofi otot jantung misalnya, kemudian
timbul pula iskemia dan gangguan balans elektrolit maka
aritmia akan lebih mudah timbul, sedangkan
mengontrolnyapun lebih sulit pula.
Karena itu sebaiknya sudah ada data struktur jantung pasien
waktu ia dirawat, sehingga sudah dapat diantisipasi atau bahkan
sudah dapat mulai diberikan pencegahan timbulnya aritmia.

KLASlFlKASlARlTMlA
Dari mekanisme terjadinya irama jantung dan aritmia maka
dapatlah kita buat klasifikasi irarnajantung sebagai berikut:
Irama berasal dari nodus SA.
- Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada
umumnya.
- Sinus aritmia, baik yang disebabkan pemapasan
("respiratory") ataupun tidak.
- Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 100
kalitmenit atau lebih.
Aritmia Atrial.
- Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat,
normal atau lambat.
- Fluter atrial (AFi).
- Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial Tachycardia). Ada juga yang
disertai dengan blok hantarannya, dan disebut
sebagai PAT dengan blok (PAT dengan blok).
-. Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial
tersebut hanya datang satu per-satu, mungkin dari
satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fokal).
Aritmia AV Jungsional.
Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang
aktif sehingga diambil alih:
- Irama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa
tinggi, sedang atau rendah.
- AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu
irama ad 1 dg HR yang cepat (70- 130lmenit). Tapi
ada pula yang secara aktif mendominasi nodus SA
dan fokus-fokus lainnya:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

- AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi focal).


- AV Jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT.

Seringkali sukar membedakan antara irama yang


berasal dari Atrial atau AV Jungsional, sehingga
disebut saja sebagai irama supra ventikular, karena
memang keduanya berasal dari atas ventrikel dan
penatalaksanaannyapun tak jauh berbeda. Tetapi
AFI dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional,
sebagaimana irama AV Junctional pasif (non
paroksismal) dapat dikenali bukan Atrial.
Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya.
- Aritmia SV multifokallwanderingpacemaker.
- Multifokal SV takikardia.
- Multifokal SV takikardia dengan blok.
- SV ekstrasistol "non conducted'.
Aritmia Ventrikular.
- Irama Idio Ventrikular, biasanya non paroksismal,
dan idio ventrikular takikardialnon paroksismal
ventrikular takikardia (non PVT).
- Paroksismal ventrikular takikardia (PVT).
- Fluter ventrikular (VFl) serta Fibrilasi ventrikular
mi).
- Parasistol ventrikular .
Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan
percabangannya (Bundle Branch).
- Blok AV (AVB) derajat l , 2 (tipe 1 Wenkebach serta
tipe2) dan 3 (total).
- Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan
(RBBB) atau kiri (LBBB), bisa parsial (incomplete)
atau total (complete) dan bisa juga tergantung pada
HR sehingga disebut sebagai "rate dependent
Bundle Branch Block".
Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa
ditemukan irama jantung sinus dengan ekstrasistol
ventrikel (VES) atau SVES unifokal atau multifokal,
multi fokal SVES dengan aberantia, atau irama
jantung yang berganti-ganti ke aritmiaAVjungsional

atau atrial atau ventrikular, tergantung kondisi dan


faktor etiologi yang ada. Tidakjarang kita mengalami
kesukaran dalam mengenali irama ventrikular atau
supraventrikular yang umumnya terapinya sangat
berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah
menemukan ada tidaknya gelombang P dan
menentukan posisinyalhubungannya terhadap
QRS. Irama ventrikular tidak didahului P atau tak
ada hubungan antara P dan QRS.
REFERENSI
Damato AN, Lau SH, Helfant R, et al. A study of heart block in man
using His bundle recordings. Circulation. 1969;39:297-305.
Goldreyer BN, Damato AN. The essential role of atrioventricular
conduction delay in the initiation of paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation. 1971;43:679-87
Horowitz LN, Josephson ME, Farshidi A, et al. Recurrent sustained
ventricular tachycardia, 3: role of the electrophysiologic study
in selection of antiarrhythmic regimens. Circulation.
1978;58:986-97.
Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM. Bundle branch block and
acute myocardial infarction. In: Wellens HJJ, Lie KI, Janse
MD,editors. The Conduction System of the Heart: Structure.
Functionand Clinical Implications. Philadelphia (PA): Lea &
Febiger, 1976:662-72.
Josephson ME, Horowitz LN, Farshidi A, et al. Recurrent sustained
ventriculartachycardia,l :mechanisms.Circulation. 1978;57:43 I-40.
Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM. Bundle branch block and
acute myocardial infarction. In: Wellens HJJ, Lie KI, Janse
MD,editors. The Conduction System of the Heart: Structure,
Functionand Clinical Implications. Philadelphia (PA): Lea &
Febiger, 1976:662-72.
Mandel W, Hayakawa H, Danzig R, et al. Evaluation of sino-atrial
node function in man by overdrive suppression. Circulation.
197 1;44:59-66.
Narula OS, Scherlag BJ, Samet P, et al. triov ventricular block: localization and classification by His bundle recordings. Am J Med.
1971;50:146-65.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK


Hanafi B. Trisnohadi

PENDAHULUAN
Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya
terbatas pada denyut jantung yang tidak teratur, tetapi
juga termasuk kecepatan denyut jantung yang abnormal
dan gangguan konduksi.
GANGGUAN PADA NODUS SINUS
Sinus Bradikardia
Sinus bradikardia ialah irama sinus yang kurang dari 60
kali per menit. (Gambar 1) Hal ini sering diketemukan pada
olahragawan yang terlatih. Pada pasien usia Ianjut
bradikardia sinus dapat disebabkan oleh gangguan faal
nodus sinus. Bradikardia sinus dapat juga disebabkan
karena miksedema (hipotiroidisme), hipotermia, vagotonia
dan tekanan intrakranial yang meninggi. Umumnya
bradikardia sinus tidak perlu diobati bila tidak ada keluhan.
Tetapi bila denyut kurang dari 40 kali per menit dan pasien
merasa gelap (black oz~t),mendapat serangan sinkop,
lelah, hipotensi karena curah jantung yang sangat
menurun, maka sebaiknya diobati dengan sulfas atropin,
yang dapat diberikan secara intravena. Bila tidak berhasil
dengan terapi medikamentosa, kadang-kadang perlu
pemasangan pacu jantung.

Gambar 1. EKG menunjukkan brad~kard~a


slnus dl mana tampak
gelombang P normal dan t~apgelombang P dl~kut~
kompleks QRS
yang normal, Interval PR juga normal ( 0.16 det~k) tap1 frekuenst
gelombang P sangat lambat hanya 38 k a l ~per men~t

Blok Sinoatrial
Blok sinoatrial ialah keadaan di mana pembentukan impuls
di nodus sinus masih normal tapi impuls dari nodus sinus
tidak dapat mencapai atrium secara lengkap sehingga pada
gelombang P pada EKG tidak muncul pada waktunya dan
jarak interval P-P menjadi dua kali jarak interval PP yang
normal.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh stimulasi vagus
yang berlebihan, miokarditis, penyakit jantung koroner,
terutama infark jantung bagian inferior, keracunan
digitalis atau obat anti aritmia yang lain. Blok sinoatrial
dapat menimbulkan serangan sinkop pada pasien.
Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya disertai
pemberian sulfas atropin, atau perangsang beta adrenergik,
seperti efedrin, isoproterenol, alupen. Pasien yang resisten
terhadap pengobatan perlu dilakukan pemasangan pacu
jantung
Sinus Aritmia
Sinus aritmia ialah kelainan irama jantung di mana irama
sinus menjadi lebih cepat pada waktu inspirasi dan menjadi
lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi
lebih nyata ketika pasien disuruh menarik napas dalam.
Aritmia ini hilang kalau timbul takikardia pada pasien karena
melakukan kegiatan olahraga atau pasien menderita
demam. Keadaan ini dapat ditemukan pada individu sehat
dan tidak membutuhkan pengobatan.
Sinus Takikardia
Sinus takikardia ialah irama sinus yang lebih cepat dari
100 kali per menit (Gambar 2)
Keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil
dan takikardia sinus juga sering ditemukan pada beberapa
keadaan stres fisiologis maupun patologis seperti kegiatan
fisik (olahraga), demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

sepsis, hipovolemia, penyakit paru kronik. Obat-obatan


seperti atropin, katekolamin, kafein, horlnon tiroid dapat
menimbulkan takikardia sinus. Takikardia sinus dapatjuga
disebabkan karena gagal jantung. 'Terapi ditujukan pada
kelainan dasarnya. Pemberian digitalis lianya pada gagal
jantung. Pada hipertiroidisme kadang-kadang p e r l ~ ~
diberikan pengharnbat beta.

pada bola lnata ( q . r h~rI1/~t.r\.szit-e)atau mav.sugc~sinus


karotikus. Bila tak berhasil dapat diberikan verapaniil secara
intravena. Obat lain yang dapat dipakai adenosin, diltiazem,
digitalis dan penyekat beta secara intravena. Bila obatobatan tidak berhasil menghentikan takikardia perlu
dipertimbangkan tindakan defibrilasi dengan DC ((lit-vcat
t r~rrcnt)corrntcJr shock.

KELAINAN IRAMA JANTUNG YANG BERASAL


DARI ATRIUM

Ekstrasistol Atrial
Ekstrasistol atrial disebut juga prc~mutlrretrtrlcrl h a t \ . Hal
ini terjadi karena adanya impuls yang berasal dari atrium
yang tirnbul secara prematur. Keadaan ini biasanya tidak
mempunyai arti klinis qang penting, tetapi kadang-kadang
dapat menjadi pencetus tilnbulnya takikardia
supraventrikular dan fibrilasi atrial. Pemeriksaan EKG
menunjukkan adanya gelombang P yang tilnbul prematur
diikuti komplek QRS yang normal. Ekstrasistol atrial tidak
membutuhkan pengobatan (Gambar 2).

Gambar 2. EKG menunjukkan taklkardra slnus dengan kecepatan


104 kali per menlt, tampak adanya ekstraslstol atr~al(SVES=

supraventncular extrasystole atau premature atrral beat)

Takikardia Atrial Paroksismal


Tak~hard~a
atrial paroks~smaldisebut juga takihard~a
wpraventrikular parokslsmal. Takikardra alrial paroksismal ~ a l a h
suatu takikardia yang berasal dari atrium atau nodus AV, Bia\anya
karena adanya t.r-entt:~baik di atrium atau nodus AV.
Pasien dengan takikardia atrial merasa jantung berdebar
cepat sekali, dapat disertai keringat dingin dan pasien akan
lnerasa lemah. Kadang-kadang timbul sesak napas dan
hipotensi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner
bila mendapat serangan takikardia akan tilnbul serangan
angina.
Pada pemeriksaan EKG akan terlihat gambaran seperti
ekstrasistol atrial yang berturut-turut lebih dari enam. Pada
EKG kadang-kadang sukar dibedakan antara takikardia
atrial dan takikardia ventrikel terutama bila gelombang P
tidak jelas dan ada aberansi kompleks QRS. Takikardia atrial
dapat berlangsung sebentar atau lnenetap saliipai beberapa
hari .
Penatalaksanaan takikardia atrial paroksismal harus
dilakukan segera, yaitu dengan rnemberikan penekanan

Post isoptin. 5 mg i.v

Gambar di atas menunjukkan tak~kardlasupraventrikular


paroks~smal,dengan kecepatan 160 kal~per rnenlt dan kompieks
Q R S t~dakmelebar. Gambar dl bawahnya menunjukkan lrama
a n u s stelah d~benobat ~soptlnsecara lntravena
Gambar 3

Fibrilasi Atrial
Pada fibrilasi atrial terjadi eksitasi dan recover?, yang sangat
tidak teratur dari atriurn. Oleh karena itu ilnpuls listrik yang
tilnbul dari atrium juga sangat cepat dan sama sekali tidak
teratur. Pada pemeriksaan EKG akan tampak adanya
gelombang fibrilasi (fihrillatioti ultrve) yang berupa
gelombang yang sangat tidak teratur dan sangat cepat
dengan frekuensi dari 300 salnpai 500 kali per menit. Bentuk
gelombang fibrilasi dapat kasar (tatr~vr
trtrirrl fibrillutiotz)
(gambar 5) dengan amplitude lebih 1 mm, atau halus (fine
trtt-iul .fibrillation) sehingga gelombangnya tidak begitu
nyata. (ganibar 4). Biasanya I~anyasebagian kecil dari impuls
tersebut yang salnpai di ventrikel karcna dihanibat oleh
nodus AV untuk melindungi ventrikel, supaya denyut
ventrikel tidak terlalu cepat, sehingga akan menimbulkan
d e n y ~ventrikel
~t
antara 80- 150 per menit. (Gambar 4 dan 5)
Pada pemeriksaan klinis ditemukan iralna jantung yang
sama sekali tidak teratur dengan buriqi jantung yang
intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya
defisit pulsus. Diagnosis dapat dengan mudah dilakukan
dengall pemeriksaan EKG.
Fibrilasi atrial dapat berlangsung sebentar
(paroksismal) atau menetap. Fibrilasi atrial dapat
disebabkan karena penyakit katup mitral, seperti stenosis
mitral atau insufisiensi mitral, penyakit jantung iskemia.
infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada
jantung.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1607

GANGGUAN IRAMAJANTUNG YANG SPESIFIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 4. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang halus, di mana


tampak gelombang fibrilasi yang cepat dan sarna sekali tidak
teratur, kompleks QRS juga tidak teratur.

Gambar 5. EKG rnenunjukkan fibrilasi atrial yang kasar, dengan


gelombang f~brllasileb~hdari 1 rnrn, juga cepat dan tidak teratur
dengan kecepatan leblh dari 300 per menit, drikut~kompleks QRS
juga tidak teratur dengan kecepatan sekitar 100 kali per men~t

Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung,


penyebab dan keadaan pasien. Bila denyut jantung cepat
sekali, lebih dari 150 per menit dan pasien dalam keadaan
.shock, mungkin perlu segera dilakukan kardioversi dengan
direct currer~tcounter shock (DC shock). Bila denyut
jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung,
dapat diberikan digoksin secara intravena bersama-sama
dengan pelnberian furosemid dan amiodaron secara
intravena.
Bila denyut jantung tidak terlalu cepat dapat diberikan
digoksin secara oral untuk mengontrol denyut jantung,
kadang-kadang perlu diberikan bersama penyekat beta
~ n i s a l n y apada tirotoksikosis atau dapat diberikan
verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian penyekat
beta.
Untuk mengkonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat
diberikan amiodaron secara intravena, i-l~.vthnzonom
propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Akhirakhir ini ada obat baru yang lebih efektif untuk konversi
fibrilasi atrial seperti dofetilid dan ibutilid.

ARITMIAYANG DISEBABKANOLEH PEMBENTUKAN


RANGSANG EKTOPIK Dl NODUSAV
Ekstrasistol Nodal
Irarna ektopik dapat berasal dari nodus AV. Seperti
ekstrasistol atrial biasanya bersifat jinak. Secara klinis
ekstrasistol nodal tidak dapat dibedakan dengan
ekstrasistol ventrikular atau atrial. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan EKG, yang menunjukkan
gambaran seperti ekstrasistol atrial, kecuali gelombang P
dari ekstrasistol berbent~~k
negatif di hantaran 11 atau
gelombang P tak nampak, atau gelombang P muncul
setelah kotnpleks QRS.
lrama Nodal (nodal rhythm)
Pada irama nodal (izrnctionrrl 117~~hrn
atau AV noriul

escape rliytl~ni),maka nodus atrioventrikularis bertindak


sebagai pusat ektopik yang memacu jantung dan pada
gambaran EKG tampak irama jantung dengan gelombang
P berasal dari nodus AV diikuti kompleks QRS biasa dengan
kecepatan 50-60 per menit. Keadaan ini dapat terjadi karena
iskemia jantung atau intoksikasi digitalis. Kelainan ini
belum tentu memerlukan pengobatan khusus, kecuali bila
frekuensi jantung menjadi sangat lambat, kurang dari 40
kali per menit atau meniinbulkan gangguan hemodinamik,
maka perlu terapi dengan atropin sulfat secara intravena,
kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung
sementara.

Taki kardia Nodal (AV junctional tachycardia


atau nodal tachycardia)
Ada dua macam takikardia nodal yaitu jirnctionnl tucl!~.curoiiu dengan kecepatan 100-140 per menit dan
e.utru~.\rolic AV junctiorlul t u c l ~ j ~ . ( ~ rdengan
diu
deny ut
ventrikel 140-200 per menit.
Pada yang pertama terdapat percepatan jzinctionul
rl7j~thni.yang menjadi nyata bila kecepatannya melebihi
kecepatan nodus sinus. Hal ini dapat disebabkan oleh
intoksikasi digitalis, infark miokard akut atau demani
reumatik akut. Pada intoksikasi digitalis harus diobati
secepatnya karena dapat berkembang menjadi takikardia
ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Digitalis harus dihentikan
dan diberikan difenilhidantoin.
Takikardia AViur~ctionulsangat mirip dengan takikardia
atrial, baik dalani diagnosis, gambaran klinis mailpun
pengobatannya.

Gambar 6. EKG menunjukkan tiap kompleks QRS diikuti dengan


dengan gelombang P, sesuai untuk irama nodal, disini frekwensi
kompleks QRS 70 per menit jadi lebih cepat dari irama nodal biasa,
dan disebut takikardia idionodal.

ARITMlAYANG DISEBABKANOLEH PEMBENTUKAN


RANGSANG EKTOPIK Dl NODUS AV
Ekstrasistol Ventrikel
Ekstrasistol ventrikel ialah gangguan iralna di mana timbul
denyut jantung prelnatur yang berasal dari fokus yang
terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal
dari satu fokus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikel
merupakan kelainan irama jantung yang paling sering
ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal.
Biasanya frekuensinya bertambah dengan bertambahnya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


usia, terlebih bila banyak minwn kopi, merokok, atau emosi
(Gambar7).
Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia
miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindrom QT
yang memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovascular
accident, keracunan digitalis, hipokalemia, miokarditis,
kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada penyakit
dasarnya atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel
ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia
ventrikel yang lebih berbahaya, seperti takikardia ventrikel.
Pada pasien dengan infark jantung akut terapi perlu
diberikan bila ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat
berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya
seperti takikadia atau fibrilasi ventrikel. Ekstrasistol yang
maligna yaitu yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit,
ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut
(consecut~ve),ekstrasistol ventrikel yang multifokal.
ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T).
Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol
ventrikel yang maligna pada infark jantung akut ialah
xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis
bolus 1-2 mg per kg berat badan, dilanjutkan dengan infus
1-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per
menit. Obat lain yang dapat dipakai amiodaron, meksiletin,
dilantin. Pada pasien yang tak ada kelainan jantung organik
lain maka pengobatan ekstrasistol ditujukan pada terapi
non farmakologi seperti menghentikan kebiasaan minum
kopi, merokok, menghindari obat-obat simpatomimetik
seperti adrenalin, efedrin dan lain-lain. Kadang-kadang
perlu pemberian trunquilizer pada pasien yang banyak
ketegangan.

Garnbar 7. EKG rnenunjukkan irarna dasar rnasrh lrarna srnus,


tapi tarnpak ada beberapa ekstraslstol ventrlkel, yaltu kornpleks
QRS ke 2,4 dan 9 yang tirnbulnya prernatur, bentuknya lebar dan
brzarre dan t~dakd~dahulurgelornbang P.

Takikardia Ventrikel
Takikardia ventrikel ialah ekstrasistol ventrikel yang timbul
berturut-turut 4 kali atau lebih. Kelainan iratna ini
berbahaya dan membutuhkan pengobatan segera.
Takikardia ventrikel mudah berkembang menjadi fibrilasi
ventrikel dan dapat menyebabkan henti jantung (curdiuc
urrrst). Penyebab takikardia ventrikel antara lain penyakit
jantung koroner, infark miokard akut, gagal jantung,
keracunan digitalis. Takikardia ventrikel umumnya

menunjukkan adanya penyakit jantung yang berat. Diagnosis takikardia ventrikel ditegakkan bila ditemukan
takikardia dengan kecepatan 150-2 10 per menit, umumnya
teratur tapi kadang-kadang sedikit tak teratur. Biasanya
timbul tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya.
Penekanan pada bola mata atau penekanan pada arteri
karotis tidak ada efek apa-apa. Intensitas bunyi jantung
kadang-kadang berubah-ubah karena adanya disosiasi AV
(Gambar8).

Gambar 8. EKG rnenunjukkan taklkardra ventrlkel, tampak


kornpleks QRS lebar, bizarre sepertl ekstrasrstol ventrlkel, yang
tirnbul berturut-turut dan terus rnenerus, dengan kecepatan lebrh
dar~150 per rnenit.

Kepastian diagnosis dengan melakukan pemeriksaan


EKG di mana didapatkan adanya takikardia dengan
kornpleks QRS yang lebar, lebih dari 0.12 detik dan tak ada
hubungan dengan gelombang P. Kadang-kadang sukar
dibedakan dengan takikardia atrial paroksismal disertai
konduksi aberan. Sehingga kadang-kadang diperlukan
t~~
pemeriksaan His htrndle e l t . c r r o c a r d i o ~ r ~ i~lntuk
menegakkan diagnosis yang pasti.
Pengobatan dengan memakai qlocuin 1-2mg per kg
berat badan dilanjutkan dengan pemberian infus 1-2 mg
per menit seperti pada pengobatan ekstrasistol ventrikel
yang maligna. lnfus diberikan paling sedikit selama 24 jam,
selanjutnya dapat diberikan amiodaron, meksiletin atau
sotalol secara oral. Dalam keadaan akut selain .qdoctriw
juga dapat diberikan amiodaron per infus. Bila pasien dalam
keadaan distres, gagal jantilng atau syok harus segera
dilakukan defibrilasi dengan direct czirrerit coztiitc~r~l~oc~k
dengan dosis 50- 100 Joules.

Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel ialah iratna ventrikel yang chuo~dan sama
sekali tidak teratur. (Gambar 9) Hal ini menyebabkan
ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga
curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak
ada, sehingga tekanan darah dan nadi tak bisa diukur,
pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan
menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering
karena penyakit jantung koroner, terutama iiifark iniokard
akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang
memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan
resusitasi jantung paru, yaitu pemapasan buatan dan pijat
jantung dan secepatnya dilakukan direct current eozrntevshock dengan dosis 400 Joules. Pasien juya diberikan
rilocuin atau amiodaron secara intravena. Pertolongan
harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1609

GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 lnenit dapat
terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung
kembali normal, inungkin kesadaran pasien tidak dapat
kembali.

Gambar 9. EKG rnenunjukkan f~brrlasrventrrkel , dapat drlrhat


gelombang yang sarna sekalr trdak teratur dan chaos

Takikardia ldioventrikular
Pada takikardia idioventrikular, galnbaran EKG
tnelnperlihatkan adanya kolnpleks QRS yang berasal dari
ventrikel (lebar dan hizuue) berturut-turut 3 atau lebih
dengan kecepatan 60-100 kali per menit. Keadaan ini
disebut juga .\lo\z ~,rntriculur.~ N C ~ ? ~ ~ Natau
I Y /uccelrrILI
LI~CLI
~dioventricul~~r.
rhj-thm. (Gambar 10) Kelainan ini
paling sering disebabkan oleh infark iniokard akut.
Takikardia idioventrikular biasanya tidak berbahaya dan
tidak rnemerlukan pengobatan. Bila terjadi terus-menerus
dan ditemukan tanda hipoperfusi jaringan. tnaka perlu
diberi terapi dengan atropin sulfat 0.5-1 mg secara
intrak ena.

Gambar 10. EKG menunjukkan sernula rrama srnus dengan


kecepatan sekrtar 100 per rnenrt dan drarnbrl alrh oleh rrama
~d~oventrrkular
(rnular kornpleks QRS ke 5) dengan kecepatan
sekrtar 100 kalr per menlt, kompleks QRS rnenjadr lebrh lebar karena
berasal darr ventrrkel, kernungkrnan karena lrama slnus menjadr
larnbat

Gangguan Konduksi
Heart block (blok jantung). lstilah blok jantung
menunjukkan suatu keadaan di mana terjadi gangguan
kotiduksi di nodus AV. Interval PR ialah waktu yang
dibutulikan oleh irnpuls listrik untuk lnenjalar dari atrium
ke nodus AV dan His hutidle serta cabang-cabangnya
salnpai ke ventrikel. lntewal PR yang normal berkisar antara
0.12-0.20 detik.
Berdasarkan petneriksaan EKG blok AV dibagi 3 yaitu:
Blok AV tingkat I:
Pada blok AV tingkat I interval PR memanjang lebih dari
0.20 detik.
Blok AVtingkat 11:
Terjadi kegagalan ilnpuls dari atrium untuk tnencapai
ventrikel secara intenniten, sehingga denyut ventrikel
berkurang.
Blok AV tingkat 111: (blokjantung yang komplit = complcte heor/ block)

Terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari


atrium sama sekali tidak dapat sampai ke ventrikel,
sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena stitnulasi
impuls yang berasal dari ventrikel sendiri.

Blok AV Tingkat I
Blok AV tingkat I umumnya disebabkan karena gatigguan
konduksi di proksilnal His bundle. (Gambar 11) Hal ini
disebabkan karena intoksikasi digitalis, peradangan. proses
degenerasi atau variasi normal. Biasanya tidak
membutuhkan terapi apa-apa dan prognosisnya baik.

Gambar 11. EKG menunjukkan rrarna srnus dan rnterval PR


rnernanjang rnenjad10.30detrk karena ada blok AV t~ngkat1, pada
EKG diatas juga tarnpak QRS rnelebar karena nght bundle branch
block(RBBB)

Blok AV Tingkat II
Dibagi 2, yaitu Mobitz tipe I (Wenckebach block) dan
Mobitz tipe 11.
Pada Mobitz tipe I interval PR secara progresif
bertambali panjang satnpai suatu ketika impuls dari atrium
tidak dapat sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel
(kompleks QRS ) tidak tatnpak atau gelombang P tidak
diikuti oleh kompleks QRS (Gambar 12). Pada petneriksaan
His bl117tlleelectroc~rrc/iogru~~i
(elektrokardiogram bundel
His) biasanya lokasi dar blok proksilnal dari bundel His.
Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus vagus yang
meningkat, keracunan digitalis atau iskernia. Bila tidak
tnenimbulkan kelulian dan tidak ada gangguan
hemodinamik tidak ~nemerlukanpengobatan.
Pada Mobitz tipe 11, interval PR tetap sama tetapi
didapatkan denyut ventrikel yang berkurang (d~.opl)~'d
beat) (Gambar 13). Kekurangan denyut ventrikel dapat
teratur atau tidak seperti 2:1, 4:1, 4:3 dan sebagainya.
Penieriksaan elektrokardiograln bundel His tnenunjukkan
gangguan konduksi distal dari bundel His. Etiologinya
ialah infark miokard akut, rniokarditis, proses degenerasi
(penyekat Lev's atau Lenegre). Kelainan dapat titnbul
sementara dan kenlbali normal, tnenetap, atau berkembang
jadi blok yang kotnplit. Pasien dengan Mobitz tipe I1 dapat
tilnbul serangan sinkop dan sebaiknya dilakukan
peinasangan pacu jantung.

r-

Gambar 12. EKG menunjukkan blok AV tingkat II tipe Wenckebach


(atau Mobitz tipel), di mana tarnpak interval PR makin mernanjang,
dan pada P ke 5 tidak diikuti kompleks QRS

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 13. EKG rnenunjukkan blok AV tlngkat II tlpe Mob~tzII dl


mana Interval PR t~dakrnernanjang tapi pada gelornbang P ke 3
tidak drlkut~kompleks QRS. j a d ~ada dropped beat tanpa
pernanjangan Interval PR

Blok AV Tingkat Ill


Blok AVtingkat Ill disebutjuga blok jantung komplit. Pada
blok AV tingkat I l l impuls dari atrium tidak bisa sampai di
ventri kel. Kontraksi ventrikel karena rangsangan oleh fokus
di nodus AV atau fokus di ventrikel, sehingga ventrikel
berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan denyut
atrium (Cambar 14). Gambaran EKG memperlihatkan
adanya gelombang P teratur denpan kecepatan 60-90 kali
per menit, sedangkan kecepatan kompleks QRS hanya 4060 kali per menit. Blok AV tingkat 111 disebabkan oleh proses
degenerasi. peradangan, intoksikasi digitalis. infark
miokard akut. Blok AV tingkat 111 pada inhrk biasanya
hanya sementara dan akan kernbali normal setelah infark
sudah tenang, walaupun ada yang menetap. Bila blok AV
tingkat 111 nienetap sebaiknya dilakukan pemasangan pacu
jantung. Blok AV tingkat 111 biasanya meninibulkan
gangguan hemodinalnik dan menimbulkan keluhan lelah.
sinkop. seslk dan angina pada usia lanjut.

Pasien dengan LBBB seringkali tak ada keluhan dan


tidak membutuhkan pacu jantung. Kalau ada sinkop atau
timbul gangguan konduksi lebih berat seperti blok AV
tingkat 11 atau 111, niaka seringkali perlu dilakukan
pemasangan pacu jantung.
Bila cabang kanan yang terganggu disebut right hzinclle
bl~117ch
block(RBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak
adanya kompleks QRS yang melebar lebih dari 0, I2 detik
dan akan tampak gambaran rsR' atau RSR' di V I, V2,
seliientara itu di I, aVL, V5 dan V6 didapatkan S yang melebar
karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat (Gambar
16).
RBBB dapat diketemukan pada jantung yang normal,
dapat juga pada kelainan kongenital seperti utriul ~ ~ ~ p r u l
defect (ASD), pada infark miokard maupun iskemia miokard
atau pada penyakit degenerasi sistem konduksi (penyakit
Lenegre atau Lev)
Pasien dengan RBBB seringkali tak ada keluhan dan
memb~ltuhkanterapi. Tapi bila terjadi sinkop dan ada tanda
gangguan konduksi yang lain seperti blok AV tingkat 11
atau 111, maka perlu dipertimbangkan pemasangan pacu
jantung.
Sindrom Brugada ialah kelainan EKG berupa RBBB
dengan elevasi ST di V1-V3 dan biasanya tak ada
gelombang S yang lebar. Pasien dengan sindrom ini
terancam kematian mendadak. Sindrom ini diterapi dengan
Quinidin dosis tinggi atau amiodaron. Akliir-akhir
dianjurkan pemasangan ICD (iniplm~tuhlec.ur.tlio~'er.tcrcI~~fibr.ill~toi~).

Gambar 14. EKG pada blok AV tlngkat Ill dl mana dapat dlllhat
gelombang P tak ada hubungan dengan kornpleks QRS, gelombang
P kecepatan 60 kal~per rnen~tsedangkan kornpleks QRS hanya
42 kal~per.menlt

Bundle Branch Block (BBB):


Btindle branch block menunjukkan adanya gangguan
konduksi di cabang kanan atau kiri sistem konduksi, atail
divisi anterior atau posterior cabang kiri. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan EKG di niana diteniukan
kompleks QRS yang melebar lebih dari 0.1 1 detik disertai
perubahan bentuk kompleks QRS dan aksis QRS.
Bila cabang kiri yang terganggu disebut left bundle
brancll block (LBBB). Pada pemeriksaan EKG akan talnpak
bentuk rsR' atau R yang lebar di I, aVL, V5 dan V6. (Gambar
15) Gangguan konduksi yang terjadi pada divisi anterior
cabang kiri akan menyebabkan perubahan aksis menjadi
deviasi ke kiri yang ekstrim dan disebut left anterior
herniblock, sedangkan bila divisi posterior cabang kiri
terganggu akan menimbulkan aksis yang deviasi ke kanan
yang ekstrim dan dinamakan left posterior hemiblock.

Gambar 15. EKG rnenunjukkan lrama slnus dan LBBB, dl rnana


dapat dillhat kompleks QRS rnelebar sampal 0 20 det~k,dengan R
yang lebar dl I, aVL, V5 dan V6 DI V1-V3 gelombang r kecll
dengan S yang dalarn dan lebar EKG d a r ~paslen dengan
kardlorn~opatrdllatasl tanpa lnfark jantung

Sindrom Praeksitasi
Sindrom ini ditandai dengan adanya depolarisasi ventrikel
yang prematur. Termasuk dalam golongan ini ialah sindrom
Wolff Parkirrso~iWlzite (WPW)dan sindrom Lawn G~ri7ong
Levinc (LGL). Pada WPW gambaran EKG menunjukkan
adanya gelonibang P pang normal, interval PR yang
memendek, kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS melebar
karena adanya gelombang delta (adanya defleksi
permulaan kompleks QRS yang dini dan ~1ui.r.etl).
Perubalian kompleks QRS disertai perubahan gelombang
T pang sekunder. (Gambar 17) Gambaran EKG ini

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1611

GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

G a m b a r 16. EKG menunjukkan RBBB (right bundle branch


block), di mana dapat dilihat kompleks QRS lebar lebih dari 0,12
(mungkin 0,18) detik dengan gambaran rsR' di V1 dan S lebar di
I aVL. V5 dan V6.

Disosiasi AV
Pada disosiasi AV, atrium dikontrol oleh fokus di atrium,
seringkali oleh nodus AV sedangkan ventrikel dikontrol
oleh pacemaker di ventrikel sendiri. Disosiasi AV dapat
disebabkan karena aktivitas nodus sinus berkurang atau
nodus AV menjadi lebih cepat sehingga mendominasi
ventrikel atau kombinasi keduanya. Disosiasi AV dapat
karena keracunan digitalis atau komplikasi infark miokard
akut atau karena peradangan seperti penyakit demam
reumatik yang aktif.
Keadaan ini hams dibedakan dengan blok AV tingkat
111 karena disosiasi AV mempunyai prognosis lebih baik
dan seringkali tidak membutuhkan obat aritmia dan juga
tidak membutuhkan pacu jantung. Pengobatan terutama
untuk penyakit dasamya.

REFERENSI
disebabkan karena adanyajalur asesori atau jalur anomalus
yang menghubungkan atrium dengan ventrikel, sehingga
sebagian ventrikel akan diaktivasi sangat dini. WPW lebih
sering ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada
pasien tanpa kelainan jantung lain. WPW umumnya jinak
tapi dapat menimbulkan takiaritmia seperti reciprocating
tuchycardia atau paroxysmal flutter atau fibrilasi.
Pengobatan diberikan bila ada takiaritmia dengan digitalis,
propanolol atau amiodaron. Kadang-kadang perlu
dilakukan tindakan ablasi jalur anomalus.
Pada LGL garnbaran EKG menunjukkan gelombang P
normal, interval PR memendek kurang dari 0,11 detik,
kompleks QRS normal. Pada LGL dapat terjadi serangan
takikardia supraventrikular. Keadaan ini karena adanya jalur
asesori yang menghubungkan atrium dengan bundel His.
Kelainan ini lebih sering pada perempuan; aritmia yang
sering terjadi selain takikardia supraventrikular juga
fibrillasi dan.jlutter atrium. Pengobatan dengan propanolol,
amiodaron, verapamil. Bila hasil kurang memuaskan perlu
dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan dilakukan
tindakan ablasi jalur yang abnormal tadi.

Atrial Fibrillation: Current understanding and research imperatives:


The National Heart, Lung and Blood Institute Working Group
of atrial fibrillation. 3 Am Coll Cardiol 1993: 22: 1830-4
Akhtar M, Shenasa M, Jazayeri M et al. Wide QRS complex tachycardia: Reappraisal of a common clinical problem. Ann Intern
Med 1988; 109: 905-12.
Boriani C i Capucci A, Lenzi T, et al. Propafenon for Copversion of
Recent Onset Atrial Fibrllation. A Controlled Comparison Between Oral Loading Dose and Intravenous Administration. Chest
1995; 108: 355-8
Bar FW, Den Duik K, Wellens HJJ. Atrioventricular dissociation. In
Comprehensive Electrocardiography; Theory and Practice in
Health and Disease, MacFarlane PW, Lawrie TDV, Pergamon
Press, New York 1989, page 933.
Chung EK. WolE Parkinson White syndrome: Current views. Am J
Med 1977;62:252-66.
Decdwania PC, Singh BN, Ellenbogen K et al. Spontaneous Conversion and Maintenance of Sinus Rhythm by Amiodarone in Patients With Heart Failure and Atrial Fibrillation: Observations
From Veteran Affairs Congestive Heart Failure Survival Trial of
Antiarrhythmic therapy ( CHF-STAT). The Department of
Veterans Affairs CHF-STAT Investigators. Circulation 1998;
98: 2574-9.
Denes P, Levy L, Pick A et al : The incidence of typical and atypical
A-V Wenckebach periodicity. Am Heart J 1975; 89: 26-31
Knight BP. Michaud GF, Strickberger SA, Morady F: Electrocardiographic differentiation of atrial flutter from atrial fibrillation
by physicians. J Electrocardiol 1999;32:3 15-9.
Rotman M. Triebwasser JH.. A Clinical and follow up study of right
and left bundle branch block . Circulation 1975; 51: 447.
Rosenbaum M. Elizari MV. Lazzari JO. The hemiblocks. Tampa
Tracings, Tampa 1970.
Spodick DH. Normal sinus heart rate: Sinus tachycardia and sinus
bradycardia redefined. Am Heart J 1992; 124: 1 1 19.

G a m b a r 17. EKG menunjukkan WPW (Wolff Parkinson White


syndrome) ditandai adanya gelombang delta (delta wave) sehingga
kompleks QRS melebar dan interval PR memendek

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

FIBRILASI ATRIAL
Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya

PENDAHULUAN
Fibrilasi atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering
menjadi penyebab seorang hams menjalani perawatan di
rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang
mengancam jiwa secara langsung, tetapi FA berhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 juta pasien
FA dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada
populasi umum prevalensi FA terdapat k 1-2% dan
meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur di
bawah 50 tahun prevalensi FA kurang dari 1% dan
meningkat menjadi lebih dari 9% pada usia 80 tahun. Lebih
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita,
walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak
terdapat perbedaan jenis kelamin.
FA merupakan faktor risiko independen yang kuat
terhadap kejadian strok emboli. Kejadian strok iskemik pada
pasien FAnon valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun,
2-7 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa FA. Pada
studi Framingham risiko terjadinya strok emboli 5,6 kali
lebih banyak pada FA non valvular dan 17,6 kali lebih
banyak pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol.

PENYEBAB FA
FA mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan
struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar
25% pasien FA juga menderita penyakit jantung koroner.
Walaupun hanya 10% dari seluruh kejadian infark miokard
akut yang mengalami FA, tetapi kejadian tersebut akan
meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien
yang menjalani operasi pintas koroner, sepertiganya
mengalami episode FA terutama pada tiga hari pasca

operasi. Walaupun seringkali menghilang secara spontan,


FA pasca operatif tersebut akan memperpanjang lama
tinggal di rumah sakit.
Sedangkan hubungan antara FA dengan penyakit
katup jantung telah lama diketahui. Penyakit katup
reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya FA dan
mempunyai risiko empat kali lipat untuk terjadinya
komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri, kejadian FA ditemukan pada satu di antara
lima pasien. FAjuga dapat merupakan tampilan awal dari
perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti
miksoma atrial. Aritmia jantung lain seperti sindroma
Wolff-Parkinson-White dapat berhubungan dengan FA.
Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan
tindakan ablasi pada jalur aksesori ekstranodal yang
menjadi penyebab sindroma ini, akan mengeliminasi FA
pada 90% kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan
FA misalnya takikardia atrial, AVNRT (AtrioVentricular
Nodal Reentrant Tachycardia) dan bradiaritmia seperti
sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus node
lainnya.
FA juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit
sistemik non-kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik
ditemukan 45% dan diabetes melitus 10% dari pasien FA.
Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti
penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru akut.
Tetapi pada sekitar 3% pasien FA tidak dapat ditemukan
penyebabnya, atau disebut dengan lone FA. Lone FA ini
dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli
yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi
pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat.
Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan
berhubungan dengan kejadian FA tersebut hams dicari
kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung
maupun kelainan.di'luar jantung. Kondisi-kondisi yang
berhubungan dengan kejadian FA dibagi berdasarkan:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

FIBRILAS1 ATRIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan FA:
Penyakit Jantung Koroner
Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati Hipertrofik
Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun nonreumatik
Aritmia jantung :takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT,
sindrom WPW, sick sinus syndrome.
Perikarditis
Penyakit di luar Jantung yang Brhubungan dengan FA:
Hipertensi sistemik
Diabetes melitus
Hipertiroidisme
Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik,
hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut
Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan
FA pada pasien yang sensitif melalui peninggian
tonus vagal atau adrenergik.

FA paroksismal bila FA berlangsung kurang dari 7 hari.


Lebih kurang 50% FA paroksismal akan kembali ke irama
sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. FA yang
episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut FA
paroksismal.
FA persisten bila FAmenetap lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Pada FA persisten diperlukan kardioversi untuk
mengembalikan ke irama sinus.
FA kronik atau permanen bila FA berlangsung lebih dari 7
hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit sekali untuk
mengembalikan ke irama sinus (resisten).

Aktivasi fokal: Fokus diawali biasanya dari daerah vena


pulmonalis
Multiple Wavelet Reentry: timbulnya gelombang yang
menetap dari depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu
oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivitas aritmogenik
dari fokus yang tercetus secara cepat.

FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejalagejala FA sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju
irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang mendasarinya.
Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama
saat beraktivitas, sesak napas, cepat lelah, sinkop atau
gejala tromboemboli. FA dapat mencetuskan gejala iskemik

pada FA dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi


kontraksi atrial yang sangat berkurang pada FA akan
menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi
gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri.

EVALUASI KLlNlK FA
Evaluasi klinik pada pasien FA meliputi :
Anamnesis :
- Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama
timbulnya (episode pertama, paroksismal, persisten,
permanen)
- Menentukan beratnya gejala yang menyertai:
berdebar-debar, lemah, sesak napas terutama saat
aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya
iskemia atau gagal jantung kongestif
- Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain
dari FA misalnya hipertiroid.
Pemeriksaan Fisis:
- Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan
regularitasnya, tekanan darah
- Tekanan vena jugularis
- Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif
- Irama gallop S3 pada auskultasi jantung
menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup
j antung
- Hepatomegali :kemungkinan terdapat gagal jantung
kanan
- Edema perifer :kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif
Laboratorium: hematokrit (anemia), TSH (penyakit
gondok), enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia
jantung.
Pemeriksaan EKG: dapat diketahui antara lain irama
(verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, pre-eksitasi
ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW),
identifikasi adanya iskemia
Foto rontgen toraks
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup,
ukuran dari atrium clan ventrikel, hipertrofi ventrikel kin,
fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE (Trans
Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus
di atrium kiri.
Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada FA episode pertama
bila laju irama ventrikel sulit dikontrol.
Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan
adekuasi dari kontrol laju irama jantung
Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah
holter monitoring, studi elektrofisiologi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


FA dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang
dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas.
Pada pasien dengan sindroma WPW dan konduksi yang
cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus
atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai preeksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel
dan menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperti
ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FA yang
disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta
berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari
ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan
terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis.
Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial
dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang
cepat ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan
kardiomiopati akibat takikardia persisten. Di antara
komplikasi yang paling sering muncul dan membahayakan
adalah tromboemboli, terutama strok.

PENATALAKSANAANFA
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA
adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju
irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli.
. Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah
pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama
sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel.
Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama
sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada
FA permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak
mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif
pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus
dipertimbangkan.

7 hari setelah terjadinya FA. Klasifikasi obat anti aritmia


dan obat-obat yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 1.
Dalam pemberian obat anti aritmia efek samping obatobat tersebut harus diperhatikan. Salah satu efek samping
obat anti aritmia adalah pro-aritmia. Untuk mengurangi
timbulnya pro-aritmia maka dalam memilih obat perlu
diperhatikan keadaan pasien.

Kardioversi Elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat
laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia,
hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi
elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila
tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien
dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi
kerja pendek.

MEMPERTAHANKAN IRAMASINUS
FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik
pada FAparoksismal maupun pada FApersisten. Bila telah
terjadi konversi ke irama sinus maka ha1 ini perlu
dipertahankan dengan pengobatan profilaktik.

PENGOBATAN PROFlLAKTlK DENGAN OBAT


ANTlARlTMlA UNTUK MENCEGAH REKURENSI
FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah
satu prediktor terjadinya rekurensi. Obat antiaritmia yang
sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus
dapat dilihat pada Tabel 1.

PEMlLlHAN OBAT-OBAT ANTlARlTMlA PADA


PASIEN DENGAN KELAINANJANTUNG
,

Pengembalian ke irama sinus pada FA akan mengurangi


gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan
kemampuan latihan, mencegah komplikasi tromboemboli,
mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling
elektroanatomi dan memperbaiki hngsi atrium. Kardioversi
dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis.
Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan
dengan kardioversi elektrik. Risiko tromboemboli atau strok
emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan
farmakologi sehingga rekomendasi pemberian
antikoagulan sama pada keduanya.

Kardioversi Farrnakologis
Kardioversi farmakologis paling efektifbila dilakukan dalam

Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan


keadaan penyakit jantung yang diderita untuk mencegah
timbulnya pro aritmia.
Pada sindrom WPW digoksin tidak boleh diberikan oleh
karena dapat menimbulkankenaikan paradoksal laju ventrikel
selama FA. Penyekat beta tidak menurunkan hantaran pada
jalur aksesori selama periode pre-eksitasi dari FA.

PENGONTROLAN LAJU IRAMAVENTRIKEL


Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol
laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium
(verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang
dianggap terkontrol adalah di antara 60-80 kalilmenit pada
saat istirahat dan 90-1 15 kalilmenit pada saat aktivitas.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

FIBRlLASl ATRIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat
Amiodaron

Disopyramide
Dofetilide
Flecainide

Procainamide
Propafenon

Quinidine
Sotalol

Dosis
Harian

Efek Samping
Fotosentivitas, toksisitas paru,
polineuropati, kel GI,
bradikardia, torsade de pointes
(jarang), hepatotoksis,
disfungsi tiroid
Torsade de pointes, gagal
jantung, glaukoma, retensi urin,
mulut kering
Torsade de pointes
Takikardia ventrikular, gagal
jantung kongestif, konduksi
nodal AV berubah (konversi
menjadi fluter atrial)
Torsade de pointes, lupus like
syndrome, gejala GI
Takikardia ventrikular, gagal
jantung kongestif, konduksi
nodal AV berubah (konversi
menjadi fluter atrial)
Torsade de pointes, keluhan
sal cerna, konduksi nodal AV
berubah
Torsade de pointes, gagal
jantung kongestif, bradikardia,
penyakit paru bronkospastik
yang merupakan eksaserbasi
dari obstruksi kronik,
bradikardia

PENCEGAHANTROMBOEMBOLI
Pencegahan komplikasi tromboemboli merupakan salah
satu tujuan yang penting dalam pengobatan FA. Risiko
tromboemboli 7 kali lebih tinggi pada FA. Menurut studi
Framingham risiko terjadinya emboli 5,6 kali lebih tinggi
pada FA non valvular dan 17,6 kali pada FA valvular
dibandingkan dengan kontrol. Risiko terjadinya strok emboli pada FA meningkat pada orang usia lanjut. Pada
golongan umur antara 50-59 tahun kejadian strok emboli
6,7% dan 36,2% pada golongan umur antara 80-89 tahun.
Tidak ada perbedaan risiko terjadinya strok antara pasien
dengan FA paroksismal dan FA kronik.
Kopeky melaporkan risiko strok emboli pada Lone AF
2,7%. Lone AF pada umur kurang dari 60 tahun bukan
merupakan faktor risiko strok emboli.
Risiko relatif terhadap strok iskemik pada beberapa
keadaan dapat dilihat pada tabel 1. CHADs (Cardiacfailure, Hypertension, Age, Diabetes, Stroke) untuk pasien
tanpa kelainan katup jantung.
Ekokardiografi sangat bermanfaat untuk evaluasi
penyebab FA yaitu pad paien dengan penyakit jantung
rematik dimana terdapat kelainan katup jantung seperti
stenosis mitral. Gambaran ekokardiografi tranesofageal
(TEE) yang mempunyai risiko tromboemboli yang tinggi
yaitu adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri, tromus,

Kriteria risiko CHADs

skor

Riwayat strok atau TIA


2
Usia > 75 tahun
1
Hipertensi
1
Diabetes Melitus
1
Gagal jantung
1
Keterangan: TIA = transien ischemic attack
(adaptasi dari ACC/AHA/ESC 2006 Guideline for the
management of patients with atrial fibrillation, Circulation 2006;
114: 700-52)

gambaran spontaneous echo contrast, kecepatan aliran


darah yang menurun < 20 cmtdetik dan plak aterom
kompleks pada aorta torakalis.

PATOFlSlOLOGlPEMBENTUKAN TROMBUS PADA


FA
Pada FA aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur,
terjadi penurunan atrialflow velocities yang menyebabkan
stasis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya
trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri
lebih banyak dijumpai pada pasien FA dengan strok
emboli dibandingkan dengan FA tanpa strok emboli. Dua
pertiga sampai tiga perempat strok iskemik yang terjadi
pada pasien dengan FA non valvular karena strok emboli.
Beberapa penelitian menghubungkan FA dengan
gangguan hemostasis dan trombosis. Kelainan tersebut
mungkin akibat dari stasis atrial tetapi mungkin juga
sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada FA.
Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor
von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D-dimer, dan
fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan FA akan
meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan ha1 ini
dipengaruhi oleh lamanya FA.

PENGOBATAN ANTITROMBOTIK UNTUK


MENCEGAH KOMPLlKASl STROK EMBOLI
Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombotik dalam
pencegahan komplikasi tromboemboli pada FA. Pada Atrial
Fibrillation Investigator (AFI), didapatkan bahwa
warfarin secara bermakna menurunkan risiko strok dari 4 3 %
per tahun menjadi 1,45%. Terdapat penurunan
risikosebesar 68%. Warfarin menurunkan risiko strok ada
wanita 89% dan pada laki-laki 60%. Pada studi AFASAK
pemberian aspirin 75 mg akan menurunkan risiko 18% (95%
CI 60-58%) sedangkan pada SPAF, pemberian aspirin 325
mg menurunkan risiko 44% (95% CI 7-66%). Kombinasi
dari kedua studi tersebut menurunkan risiko 36% (95% CI
4-57%). Pada metaanalisis warfarin menurunkan kejadian

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

strok 62% (95% CI 48-72%) penurunan risiko absolut 2.7%


per tahun pada pencegahan primer dan 8,4% per tahun
pada pencegahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada
aspirin dengan penurunan risiko relatif 36% (CI 14-52%).
Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian strok pada
pasien dengan FA dan warfarin jauh lebih efektif
dibandingkan aspirin.
Dosis optimal yang efektif dan aman untuk pencegahan
komplikasi tromboemboli pada FAadalah INR 2,5 dengan
rentang antara 2-3. Pada pasien dengan usia lebih dari 75
tahun target INR 2 dengan rentang antara 1,6-2.
Ada beberapa faktor risiko pada pasien fibrilasi atrial
yang direkomendasikan untuk mendapatkan terapi
antitrombotik aspirin atau warfarin untuk pencegahan
emboli. Tabel berikut merukan rekomendasi antitronibotik
pada pasien dengan FA.

Faktor risiko
rendah
Gender wan~ta
Usla 65 -74 tahun
PJK
T~rotoksikos~s

risiko moderat

usla 7 75 tahun

risiko tinggi
r~wayatstrok,TIA
Atau emboll
stenosis m~tral
katup protese

warfarin akan mempercepat proses organisasi trombus,


penempelan pada dinding atrium dan resolusi trombus.
Pada pasien FA yang timbul lebih dari 48jam atau tidak
diketahui lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan
target INR 2-3 diberikan 3 minggu sebelum kardioversi dan
dilanjutkan 4 minggu pasca kardioversi. Manning
tnenganjurkan pemeriksaan TEE sebelum kardioversi.
Pasien diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus,
dilakukan kardioversi dan diberikan antikogulan sainpai 4
lninggu pasca kardioversi.
Pada studi multisenter Asse.s,smcnt of C'urdiover~ion
U,$ing firmseLso/7/~ugeul
Echocardiogruph\, ( A C U T E )
kejadian tromboemboli 0,8% pada strategi dengan
pemeriksaan TEE, sedangkan pada strategi konvensional
0.5% tidak ada perbedaan yang bermakna. W a k t ~yang
~
diperlukan untuk kardioversi lebih pendek dengan
pemeriksaanTEE. Pada FA yang berlangsung kurang dari
48 jam kemungkinan terjadinya tromboetnboli pasca
kardioversi sangat rendah (0,8%).
Pada beberapa kasus pembentukan trombus dapat
terjadi pada FA yang kurang dari 48jam dianjurkan
pemberian antikoagulan selama periode peri kardioversi.

hlpertensl
gagal jantung
EF 7 35%
Diabetes Melttus
Keterangan PJK = penyak~tjantung koroner,
EF = fraks~ejeksl (adaptas1dar~ACC/AHA/ESC 2006
Guideline for the management of patients with atr~alfibrillation,
C~rculat~on
2006, 114 700-52 )

KARDIOVERSIDAN TROMBOEMBOLI
Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi
setelah kardioversi baik kardioversi elektrik, farmakologis,
maupun kardioversi spontan. Kejadian tromboemboli
setelah kardioversi pada pasien FA tanpa pemberian
antikoagulan antara 1,s-3%.
Byerkeland dan Orning melaporkan insiden
tromboemboli pasca kardioversi tanpa pemberian
antikoagulan 5,3% sedangkan yang mendapatkan
antikoagulan 0,8%.
Setelah kardioversi kontraksi mekanik atrium kiri masih
belum pulih (utriul .vtzinnin,q) sanipai 2-4 minggu setelah
kardioversi sehingga ada kemungkinan terbentuknya
trombus baru yang dapat lepas pada periode pasca
kardioversi. Oleh karena itu antikoagulan diberikan sampai
empat minggu pasca kardioversi untuk mencegah
pembentukan trombus baru selama periode clrriul
.vtzlnnirtg dan mencegah pembent~lkantrombus apabila
setelah kardioversi, FA tirnbul kembali. Trombus yarig
terbentuk di atrium kiri memerlukan waktu kurang lebih 2
minggu untuk mengalami organisasi dan melekat erat pada
dinding atrium sehingga tidak mudah lepas bila atrium
berkontraksi setelah kembali ke irama sinus. Pemberian

ICV
Gambar 1. Algorltma tatalaksana paslen dengan f~brilas~
atr~al
yang baru terd~agnos~s

ALGORITME PENATALAKSANAAN FA
Dalam penatalaksanaan FA perlu diketahui apakah FA
tersebut paroksismal, persisten atau permanen. Hal
tersebut penting untuk penatalaksanaan selanjutnya
apakah perlu dilakukan kardioversi atau cukup dengan
pengendalian laju irama ventrikel.
FAyang b a n ditemukan atau episodepertama FA. Kadangkadang sulit menentukan apakah FA yarig baru pertama
ditemukan merupakan episode pertama FA. Apalagi bila
gejala minimal atau asimptomatik. Pada FA paroksismal yang
secara spontan kembali ke irama sinus tidak perlu pemberian

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1617

FIBRILAS] ATRIAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Antikoagulan dan kontrol sesuai


rlsiko tro~nboemboli

Antikoagulan dan kontrol laju


sesuai ris~kotromboemboli

Gambar 2. Algoritma tatalaksana pasien dengan FA paroksismal


berulang

>'

obat antiaritmia untuk pencegahan rekurensi, kecuali bila


FA dengan gejala-gejala hipotensi, iskemia miokard atau
gagal jantung. Pemberian antikoagulan tergantung dari
adanya faktor risiko tromboemboli. Pada FA persisten ada
2 pilihan dalam penatalaksanaannya. Pilihan pertama pada
pasien tersebut tidak dilakukan kardioversi dan membiarkan
progresivitas FA tersebut ke arah FA permanen. Pada pasien
tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan
pemberian obat antikoagulan. Dasar pemikiran pilihan
tersebut karena pemberian obat-obat antiaritmia pada
pasien tersebut lebih banyak ruginya. Pilihan kedua adalah
dilakukan kardioversi dan mempertahankan ke irama sinus.
Sebelum dilakukan kardioversi, diberikan antikoagulan dan
pengontrolan laju irama ventrikel. Pada FA yang
berlangsung lebih dari 3 bulan biasanya timbul rekurensi
awal setelah kardioversi maka perlu pemberian obat
antiaritmia sebelum kardioversi (setelah dapat obat
antikoagulan) dan diberikan selama 1 bulan.
FA paroksismal rekuren. Pada FA paroksismal yang
mengalami rekurensi bila gejala-gejala minimal dan
berlangsung singkat tidak perlu diberikan obat-obat
antiaritmia, tetapi bila gejala-gejala tersebut mengganggu
maka perlu diberikan obat-obat antiaritmia. Pada pasien
tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan
pemberian obat antikoagulansia.
FA persisten rekuen. Pasien dengan gejala minimal dan
paling sedikit pernah dicoba untuk mengembalikan ke irama
sinus tetapi kembali ke FA maka dilakukan pengontrolan
laju irama ventrikel dan pemberian antikoagulan. Sebaliknya
bila gejala mengganggu maka dilakukan kardioversi dengan
pemberian obat antiaritmia (di samping obat untuk
mengontrol laju irama ventrikel dan antikoagulansia)
sebelum kardioversi.

REFERENSI
Fuster V, Ryden LE, Asinger RW, et al. ACCIAHAIESC Guidelines
for the Management of Patients with Atrial Fibrillation : execu-

tive summar Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines
and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for
the Management of Patients with Atrial Fibrillation). A report
of the American College of Cardiology/American Heart Association. Circulation 2006; 114: 700-52.
'
'
Hart RG, Halperin JL. Atrial fibrillation and thromboembolism : a
decade of progress in stroke prevention. Ann Intern Med 1999;
131: 688-95.
Haissaguerre M, Jais P, Shah DC et al. Spontaneous initiation of
atrial fibillation by ectopic beats originating in the pulmonary
veins. N Engl J Med 1998; 339: 659-66.
Julian DG, Prescott RJ, Jackson FS et al. Controlled trial of sotalol
for one year after myocardial infarction. Lancet 1982; 1: 11427.
Kopecky SL, Gersh BJ, McGoon MD et al. The natural history of
lone atrial fibrillation. A population-based study over three decades. N Engl J Med 1987; 3 17: 669-74.
Kannels WB, Abbott RD, Savage DD, Mc Namara PM. Coronary
heart disease and atrial fibrillation : the Framingham Study. Am
Heart J 1983; 106: 389-96.
Kannel WB, Wolf PA, Benjamin EJ et al. Prevalence, incidence,
prognosis, and predisposing conditions for atrial fibrillation :
Population based estimates. Am J Cardiol 1998;81: 40D-46D.
Krahn AD, Manfreda J, Tate RB, Mathewson FA, Cuddy TE. The
natural history of atrial fibrillation : incidence, risk factors, and
prognosis in the Manitoba Follow-up Study. Am J Med 1995;
98: 476-84.
Lanzarotti CJ. Thromboembolism in chronis atrial fibrillation : is
the risk underestimated ? J Am Coll Cardiol 1997; 30: 1506-1 1.
Lee SH, Chen SA, Tai CT et al. Comparisons of quality of life and
cardiac performance after complete atrioventricular junction
ablation and atrioventricular junction modification in patients
with medically refractory atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol
1998; 31 : 637-44.
Manning WJ, Silverman Dl, Gordon SP et al. Cardioversion from
atrial fibrillation without prolonged anticoagulation with use of
transesophageal achocardiography to exclude the presence of
atrial thrombi. N Engl J Med 1993; 328: 750-55.
Prystowsky EN, Katz AM. Atrial Fibrillation. In : Topol ES, ed.
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: LippincottRaven, 1998: 1827-61.
Psaty BM, Manolio TA, Kuller LH et al. Incidence of and risk
factors for atrial fibrillation in older adults. Circulation 1997;
96: 2455-61.
Page RL, Wilkinson WE, Clair WK et al. Asymptomatic arrhythmias
in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and
paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation 1994; 89:
224-7
Peterson P, Boysen G, Godtfredsen J et al. Placebo controlled,
randomised trial of warfarin and aspirin for prevention of thromboembolic complication in chronic atrial fibrillation. The
Copenhagen AFASAK study. Lancet 1989; 1 : 175-9.
Singer DE, Hughes RA, Gress DR et al. The effect of aspirin on the
risk of stroke in patientswith nonrheumatic atrial fibrillation :
the BAATAF Study. Am Heart J 1992; 124: 1567-73.
Sakata K, Kurihara H, lwamori K et al. Clinical and prognostic
significance of atrial fibrillation in acute myocardial infarction.
Am J Cardiol 1997;80: 1522-7
Vaziri SM, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Echocardiographic predictors of nonrheumatic atrial fibrillation. Circulation'l994;
89: 724-30.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ARITMIA SUPRA VENTRIKULAR


Lukman H. Makmun

PENDAHULUAN
Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat
penyakit jantung atau ekstra kardiak, tetapi dapat juga
merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai
mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama
juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien
usia muda ataupun usia lanjut.
Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia
supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak
lokasi yaitu apakah di atrial termasuk AV node dan berkas
His ataukah di ventrikel mulai dari infra his 1~4ndle.Selain
itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu
bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar
antara 60-00Jmenit. Tergantung dari letak fokus, selain
menyebabkan VES (Ventriczilar E.rtra Svstole), dapat
terjadi Supra Ventricular Extra s>.stole (SVES) atau
Supra Ventriculare Tachycar~(~~
(SVT) di mana fokusnya
berasal dari berkas Hls ke atas. AVNRT ( A VNoclrrl Reentry
Tacl?,rardia) merupakan salah satu dari SVT di mana
terjadi proses reentry mechuni,sm di sekitar nodus AV. Pada
bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di
supra ventrikel yang bersifat takikardia.

Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme


takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh premature hear.
Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium,
kalium, kalsium, khususnya mengenai fungsi kana1 ion,
sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga
konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi
gangguan fungsi pembentukan impuls (rangsang) dan
gangguan perbanyakan (propagatzon) impuls.
Pembentukan rangsang bertambah (enhanced

impulsed formation) yang dapat disebabkan oleh


peningkatan otomatisitas (enhanced automaticity) dan
aktivitas pemicu (triggered uctivig).

Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker


otomatis selain pada nodus SA, juga didapat pada serabut
atrial khusus, serabut AV junction dan serabut Purkinje.
Sel miokard pada keadaan normal tidak mempunyai
aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan automatisitas
serabut pacemaker laten karena terjadi depolarisasi parsial
pada resting membrane. Terjadi perubahan kecepatan
depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase 4
sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang
rangsang, akan terjadi aksi potensial baru sehingga dengan
demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut
jantung. Keadaan ini didapat pada:(l) peningkatan
katekolamin endogen dan eksogen, (2) gangguan elektrolit
(misal hipokalimia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek
mekanis dan (5) obat-obatan (misal digitalis).

Perrumnan
otomatisasi
(perlambatanfast

Garnbar 1. Pada fase 4 potensial aksi dapat terjadi kenaikan


potensial membran sehingga terjadi pemendekan atau percepatan
fase 4 (fase repolarisasi diastolic) karena lebih mendekati ambang
rangsang dengan akibat mudah terjadi rangsangan baru
(enhanced automaticity= accelerated). Dapat juga terjadi
pelambatan fase 4, sehingga irama melambat (decreased automaticity = depressed).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ARITMIA SUPRAVENTRIKULAR

1619

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 2. Pada gambar atas Ambang rangsang A normal (TP=


Threshold potentrale) Sedangkan pada B potential membrane
mendekatl ambang rangsang sehrngga mudah drrangsang Pada
gambar bawah A = normal Pada B Ambang rangsang menurun
sehrngga mendekatr potensral drastolrc Keduanya In1memudahkan
ttmbul perangsangan baru

Aktivitas pemicu (triggered activity): Dapat disebabkan


oleh eur(13 uficr tie~~oltrrizcrtior7,
yang terjadi pada fase 2
dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi
terlambat (clelu13ed). Karena itu nlekanisme ini teyjadi tidak
secara spontan, tetapi sudah ada gangguan elektris
jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (lcrtc), Na dan Ca
yang masuk ke dalatn sel meningkat, sehingga terjadi
gelombang sesudah (c!ftcr) depolarisasi dan bila mencapai
ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol.
Mekanisn~eini telah diobservasi terjadi di atrial, ventrikel
dan jaringan His-Purkirqe di mana kadar katekolamin
meningkat, hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada
bradikardia, hipokalimia. Se~nuakeadaan ini menghasilkan
akumulasi Cb intrusellrlor.

Gambar 3. Pada A Potensral aksr yang terjadr drrkuti oleh


hrperpolarrsasr yang terlambat (delayed hyperpolamatlon) atau
rdentrk dengan early after depolanzabon (panah 1) dan pasca
depolar~sasiterlambat (delayed affer depolar~zahon)(panah 2)
B Potens~alaksr yang terjadr drrkutr pasca depolarrsasr terlambat
(delayed after depolarrza tlon) yang mencapal ambang rangsang
dan nondr~venpotensral aks~(panah 3) yang muncul darr puncak
pasca depolar~sasr(after depolarrzatron) menyebabkan terjad~
ekstra s~stolbaru

Mekanisme reentry. Teori ini banyak dipakai untuk


menerangkan terjadinya takiaritmia paroksismal menetap
(.\zrst~~itl).
Persyaratan terjadinya inekanisme ini adalah: ( 1 )
adanya h l o k ~ r n i c l i r . e c t i o n a l pada salah satu jalan

konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya


jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3)
Konduksi perangsangan cukup lambat, sehingga pada saat
rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada
dalam fase rqfrtrktcr r r l u t i v e kembali, (4) ada extra beur
sebagai pemicu terjadinya mekanistne reentri. Secara
matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x
masa refrakter.
Perjalanan ber~~lang
dari impuls tersebut mengakibatkan
timbulnya takiaritmia menetap. Contoh yang jelas
mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (Wotff
Pcirkin.\on Whit?) di mana terdapat jalan tambahan lnisal
dari atrium ke ventrikel, di samping jalan normal nodus AVHis-P~lrkitje.

Perlambatan konduksi terjadi, jika terjadi fibrosis


patologis karena jaringan parut (SL'LI~)akibat infark miokard.
Blok unidirektional terjadi karena perubahan arsitektur
jaringan sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan
refrakter yang inhomogen tnisal karena infark miokard.
Sinus takikardia Frekuensi nadi melebihi 100Imenit dan
biasanya bukan merupakan kelainan jantung primer, tetapi
akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam,
kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis,
hipoksemia, hipotensi atau gagal jantung konyestif. Pada
gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih
diikuti oleh gelombang kompleks QRS. Masase sinus
karotis bisa memperlambat takikardia.

Gambar 4. skematrk mekanrsme reentry A= jalan normal


B = jalan ekstra Rangsang mengal~rdarr atas melalul tangan A
dan B Pada waktu sampal dr B terdapat blok satu arah sehrngga
rangsang tersebut trdak dapat lewat Kemud~anrangsang awal
tadr, ketrka sampal dl zona blok, area tersebut trdak lagr dalam
keadaan terblokade (refrakter absolute) tetapr sudah dalam
keadaan refrakter relatrve, sehrngga dapat melrwat~nya Beg~tu
seterusnya, rangsang melalur c~rcuittersebut

Pengobatan: ditujukanpada penyakit primer. Lain halnya


bila terdapat pada kasus gagal jantung kongestif, yaitu
pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan
inllihitor ACE atau Angiotctrsirr Rec,t>,t>tor.Blocker.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 5. Mathematical Reentry Mechanism(LH Makmun,1982)

Jika suatu massa mengelilingi suatu circuit, akan


membentuk suatu bentuk gelombang.
Misal: panjang jalan = panjang lingkaran = 1atau AB cm.
Waktu tempuh = T sek atau = AD sek.
Kecepatan (V) vcmfsek. I = V x T (la = anatomis).
Syarat untuk reentry:
Minimal T = PR (Period Refrakter). la= V x PR (la= 1,)

Contoh:
Panjang AB = 5 cm
V = 50 cmlsek
-+T atau AD = 0.1 sek.
A, = 50 x 0.1 =5 cm
Syarat untuk terjadi
reentry:
'
min.T = RP.
A, = 50x 0.1=5 crn

--

A
L

j_
:
A

,
I

jm

Gambar 6. Cara penghitungan matematik untuk terjadinya


mekanisme reentiy. (Makmun LH,1982)

- Rangsang dari bawah ti&

p d a area dalsm fa= refralitw


rebatrf, sehmgga dapat latan t m s
0 Reentty

Gambar 7. Bagan terrjad~mekanisme reentiy setelah dip~cuoleh


aksi ekstra

Fibrilasi Atrial: (FA) Kelainan ini sering didapat dan


dibagi menjadi paroksismal, persisten dan permanen
tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan.
Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam
waktu 2 x 24 jam. disebut paroksisn~al.Bila terus lnenerus
menetap nlenjadi kronik disebut permanen. Sedangkan
persisten adalah bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi
pada manusia normal terutama karena stres emosional atau
sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau
karena peningkatan tonus vagal. Dapat juga terjadi pada
pasien jantung atau paru dengan hipoksia. hiperkapnia
atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik.
FA persisten sering terdapat pada pasien jantung. yaitu
reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit
hipertensi kardiovaskular. penyakit paru kronik, defek
septa1 atrial, juga pada tirutok.\ikosi.s. Sedangkan lone FA
bila pasien tidak mengidap penyakit jantung.
Fibrilasi atrial dapat menin~bulkanko~nplikasiyang
berkaitan dengan ( I ) frekuensi veritrikel yang sangat cepat
sehingga terjadi hipotensi. edema paru, angina pektoris
dan dapat juga men) ebabkan kardiomiopati yang
disebabkan oleh takikardia (trrc~l~~~~c.ur.ciiu-n1e~iiuted.
(2) Bila
terlalu lambat dapat meniinbi~lkansinkop. (3) emboli
sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demarn
reuma jantung dan sebagai penyebab tersering stroh no11
hemoragik. (4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga
mengurangi curah jantung olrtpzit dengan akibat ter-jadi
furi,qzic (5) rasa khawatir (ansietas) dengan palpitasi. Pada
gambaran EKG gelombang P tidak terlihat dengan jelas.
Respons aksi ventrikel (gelombang kompleks QRS) tidak
teratur (iregularj. Hal ini tejadi karena dari sekian banyak
ahsi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat
meliwati nodus AV, sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih
lambat daripada aksi atrial.
Pengobatan: penyakit primer harus diobati, seperti
tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila keadaan klinis buruk.
misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi.
Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat
penyekat beta atau antagonis kalsium, di mana keduanya
memblokade di nodus AV yaitu pada .slow conductiorr
porhwuv, dengan memperpanjang masa refrakternya.
Pemberian antikoagulan sainpai I N R minimal 1,8 untuk
mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan
pengobatan adalah untuk kontrol rwtr yaitu dengan
penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis.
Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama
sinus dapat diberikan obat-obatan golongan IC, sotalol,
amiodaron untqk ~empertahankaniramanya, yaitu sebagai
kontrol ritme.
Penatalaksanaan Farmakologis
Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga di samping
penatalaksanaan terhadap aritmianya sendiri, seperti gaga1
.jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ARITMlA SUPRA VENTRIKULAR

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek
samping, berkenaan dengan sudah menurunnya fungsi
hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan
tubuh. Selain itu dilihat juga interaksi obat-obat dan juga
dihindari polifamaka.
Obat-obatan antia aritmia yang digunakan pada
pengobatan AF adalah: (A). (1) kelompok kontrol rate untuk
mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta
(class 11), (2) golongan antagonis kalsium yaitu verapamil,
diltiazem (kelas IV). Di samping itu dapat dipergunakan
juga digitalis. (B) adalah kelompok rythme control untuk
mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga untuk
mempertahankannya bila telah kembali ke irama sinus,
yaitu : (1). Golongan yang memblokade kanal ionNa (kelas
IA, IC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas I11
yang memperpanjang masa refrakter potensial aksi dengan
menghambat kanal ion K, yaitu antara lain amiodaron,
sotalol.
Intewensi Invasif
Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan
defibrilator untuk mengatasi VT dan VF yang termasuk
dalam resusitasi jantung paru.
Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal.
Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus otomatis yang
berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan
teknik kateterisasi sampai ke atrium kiri mencapai vena
pulmonalis kemudian setelah didapat signal fokus,
dilakukan ablasi. Selain itu adajuga teknik bedah MAZE
dengan membentuk multipel scars di atria kanan dan
kiri sehingga mencegah penjalaran gelombang fibrillasi.
FluterAtrial (FIAT) Aritrnia ini biasanya berkaitan dengan
penyakit jantung organik. Fluter ini dapat terjadi secara
paroksismal dengan faktor presipitasi seperti perikarditis,
gaga1 napas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama
setelah operasi jantung terbuka. FlAT dapat berubah
menjadi AF dan jarang menimbulkan emboli sistemik.
FlAT mempunyai kekhasan berupa gambaran
gelombang P seperti gigi gergaji (saw teeth), mempunyai
frekuensi atrial sekitar 250-350lmenit. Sedangkan frekuensi
ventrikel adalah setengahnya karena terjadi blok 2:l di
nodus AV.
Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi
dengan low energy (25-50Ws). Selain itu bila frekuensi
ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis
kalsium atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade
di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat diberikan anti
aritmia golongan IA atau IC atau Amiodaron untuk
merubah menjadi irama sinus. Untuk menjaga jangan
sampai kembali ke FlAT dapat diberikan golongan IA, IC
atau golongan 111.
Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di
lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu pada daerah isthmus
yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampai 85%.

AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT) Termasuk


Paroksismal supra takikardia ventrikular. Letak kelainan
adalah di nodus AV dan lebih sering terjadi pada
perempuan. Kompleks QRS langsing dengan frekuensi
berkisar antara 120-250lmenit dan dipicu oleh atrial ekstra
sistol dan berkaitan dengan PR memanjang karena terjadi
keterlambatan konduksi di dalam AV node. Dalam AV node
terdapat dua pathway yaitu fast dan slow pathway yang
disebut dualpathway. Fastpathway memberikan konduksi
yang cepat serta mempunyai periode refrakter panjang
sedangkan slow pathway memberikan konduksi lambat
dengan periode refrakter pendek. Pada irama sinus konduksi
rangsang hanya melaluifastpathwaj~sehingga interval PR
normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade
di fast pathway sehingga konduksi rangsang berikutnya
dialirkan melalui slow pathway dan selain itu kecepatan
rambat menurun, sehingga memenuhi persyaratan untuk
terjadi reentyAVnoda1 dan terjadilah takikardia dan disebut
AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd
dan ventrikel antegrad terjadi bersamaan sehingga
gelombang P tak terlihat di EKG

Gambaran klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop


dengan hipotensi.
Pengobatan Tindakan pijat sinus karotikus sebagai
manipulasi vagal dapat dicoba untuk menghentikan aritrnia.
Bila tak berhasil dapat diberikan Adenosin intravena. Selain
itu dapat dilakukan dengan verapamil atau penyekat beta.
Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih lambat sehingga
tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat
dilakukan dengan pacing di atrial atau ventrikel melalui
intravena. Dalam keadaan hemodinamik jelek dengan
hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk
dilakukan kardioversi.
Non reentrant tachycardia: Multifocal Atrial
Tachycardia (MAT). Biasanya terjadi karena intoksikasi
digitalis atau hipokalimia atau efek teofilin atau obat
adrenergik Garnbaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang
P consecutive dengan gambaran berbeda-beda. Interval
R-R irreguler:
Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis
kalsium, dan digitalis yang bekerja di nodus AV untuk
menghentikan respons ventrikel.

OBAT ANTlARlTMlA
Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan
yaitu:
Klas I. yang berfungsi memblokade kanal Na pada
membran sel sehingga menurunkan kecepatan maksimal
depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi
potensial aksi baru yang berarti mencegah timbulnya
ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya memblokade

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kanal Na tersebut, Klas I dibagi menjadi:


Klas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang
masa repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada
semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid,
disopiramid.
Klas I B. kinetik kerjanya cepat dan memperpendek
repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai
efek yang ringan terhadap kasus dengan heart rate rendah,
tetapi mempunyai efek lebih besar pada kasus dengan heart
rate tinggi. Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid.
Klas I C. kinetik kerjanya lambat dan mempunyai efek kecil
terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon,
flekainid, lorkainid.
Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak
menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien
usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi
proaritrnia.
Klas 11. Obat anti simpatik: menurunkan otomatisasi nodus
SA, memperpanjang refrakter nodus AV, menurunkan
kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ini adalah
penyekat beta, misal propranolol dan lainnya. Pemberian
penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan
penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan
mencegah terjadinya suddent cardiac death dan IMA
berulang. Golongan ini menurunkan kejadian terjadinya
Entricular Activity (VA) complex termasuk VT.
Klas 111. Golongan ini memblokade kanal kalium sehingga
repolarisasi potensial aksi diperpanjang dan pada EKG
dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan
terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode
refrakter. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol (sebetulnya
termasuk golongan penyekat beta). Amiodaron sangat
efektif dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang
berkaitan dengan penyakit jantung. Namun mesti
diperhatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap
paru, saluran cema dan lain-lain.

Klas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan


konduksi dan memperpanjang masa refrakter dari jaringan
dengan potensial aksi yang slow respons misal di nodus
AV. Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak
bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia (VA) kompleks.
Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena
dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian
menunjukkan kenaikan tidak signifikan dibanding kontrol.
Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT.
Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti
aritmia. Efek Digitalis: memperlambat ventrikular rate
sehingga dapat dipakai pada FA, FlAT dan atrial takikardia
lain.
Adenosin: menterminasi SVT reentrant yaitu AVNRT dan
bekerja di nodus AV.

ACE INHIBITOR
Pada pasien dengan gaga1 jantung kongestif menurut
beberapa penelitian golongan obat ini dapat menurunkan
kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka
suddent cardiac death juga akan menurun.

REFERENSI
Josephson ME, Zimetbaum P. The Tachyarrhytmias. In: Harrison's
Principle of Internal Medicine. Editor: Kasper, Braunwald, Fauci,
Hauser, Longo, Jameson. 16Ih. Ed. New York: McGraw
Hi11;2005.p. 1342-9.
Jossephson. Clinical Cardiac Electrophysiology. 2nd. Lea &
Fabiger; 1993
Khan MIG. Cardiac Drug Therapy. 1" ed.London. Bailliere Tindall;
1984.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ARITMIA VENTRIKEL
M. Yamin, Sjaharuddin Harun

PENDAHULUAN

Aritmia ventrikel memiliki spektrum yang luas mulai dari


premature ventricular contraction (PVC, dikenal juga
sebagai ventricular extrasystole atau VES), takikardia
ventrikel (selanjutnya disebut VT), fibrilasi ventrikel
(selanjutnya disebut VF), sampai torsades de pointes
(selanjutnya disebut TDP). Tantangan utama bagi klinisi
adalah mengindentifikasi aritmia ventrikel yang berpotensi
fatal pada kelompok pasien tertentu (misalnya PVC frekuen
pada pasien pasca infark miokard dengan penurunan fungsi
ventrikel kiri) karena dapat menimbulkan kematian
mendadak.
Dalam tulisan ini akan diulas etiologi, gambaran EKG,
kepentingan klinis dan tatalaksana aritmia ventrikel yang
sering dijumpai dalam praktek sehari hari yaitu PVC,
takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan torsades de
pointes. Pembahasan lebih mendalam diberikan pada VT.

ETlOLOGl DAN MEKANISME ARlTMlA VENTRIKEL

Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya aritmia,


termasuk artimia ventrikel, yaitu automaticity, reentrant,
dan triggered activity.
Automaticity terjadi karena adanya percepatan aktivitas
fase 4 dari potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena
gangguan automaticity biasanya tercetus pada keadaan
akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan
elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus
adrenergik yang tinggi. Oleh karena itu bila berhadapan
dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticity,
perlu dikoreksi faktor penyebab yang mendasarinya. Aritrnia
ventrikel yang terjadi pada keadaan akut tidaklah memiliki
aspek prognostik jangka panjang yang penting.
Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah

reentvy dan biasanya disebabkan oleh kelainan kronis


seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi (dilated cardiomyopathy ). Jaringan parut (scar tissue) yang
terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan
jaringan sehat menjadi keadaan yang ideal untuk
terbentuknya sirkuit reentry. Bila sirkuit ini telah terbentuk
maka aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat
dan menyebabkan kematian mendadak.
Triggered activity memiliki gambaran campuran dari
kedua mekanisme di atas. Mekanismenya adalah adanya
kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga terjadi lonjakan
potensial pada akhir fase3 atau awal fase 4 dari aksi
potensial jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka
akan tercetus aksi potensial baru. Keadaan ini disebut
afterdepolarization.

PREMATURE VENTRICULAR CONTRACTION


(PVC)

PVC timbul bila karena adanya fokus ektopik pada ventrikel


yang muncul lebih awal dari irama dasamya. Pada EKG akan
terlihat kompleks QRS yang lebar, terdapat perubahan
segmen ST-T sekunder, dan terdapat pause kompensasi
penuh (fiully compensatovypause) seperti pada Gambar 1.
Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapat dibagi
menjadi:
PVC Jarang (infiepent): kurang dari lima kali per menit
PVC Sering wequent): lebih dari lima kali per menit
PVC Repetitif: bila muncul pada tiap denyutan (beat)
kedua dari irama dasar disebut PVC bigemini (gambar
2), bila timbul pada denyutan ketiga dari irama dasar
disebut PVC trigemini.
PVC berkelompok: bila dua PVC muncul berkelompok
disebut PVC salvo. Bila tiga atau lebih PVC disebut VT
PVC Multifokal: Bila bentuk PVC dalam satu sandapan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

bentuknya berlainan. Ini menandakan fokus ektopik


berasal lebih dari satu tempat
Fenomena Ron T: PVC muncul pada periode repolarisasi
ventrikel yang rentan untuk terjadinya VF yaitu pada
lio~n-slopegelombang T
Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan

TAKlKARDl VENTRIKEL (VT)

C~npencatoryVS Non Compencatory


Pauses

.-'
I

Premature

Ventricular
'1

,,---

r'

Premature

TO

measure a full cornpnsetoty

kematian mendadak yang tinggi. Kelompok pasien ini


sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan elektrofisiogi untuk
menentukan apakah perlu dipasang ~ m p l u t ~ t t u b l e
curdiol~erterdefibrillator. ( ICD ).

1 Tandai 3 siklus normal


2 Beri tanda gelombang P slklus EKG n m l yang berada tepat sebelum
komplekskontraksl premalur
3 Tanda gelambang P ke-3 haNSjatuh tepat p%dagelombang P
yang saharusnya seharusnya setelah kompleks prematur
d~sebutwmpensatwy pause

Gambar 1. Rekaman EKG PVC dengan clrl kompleks QRS lebar


dan adanya fully compensatory pause y a ~ t u~ntervalantara
gelombang P lrama dasar sebelum PVC dengan sesudah PVC
adalah dua k a l ~~ n t e r v a lP-P lrama dasar ( D ~ k u t ~dpa r ~
www ekglearnlng com)

Gambar 2. PVC bigemini.Tampak PVC muncul secara bergantian


dengan denyut (beat) normal

jantung normal tidak memiliki faktor prognostik yang


penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi. Bila
pasien merasa tidak nyaman dapat diberikan nlinor
truny~rilizerdan menghindarkan faktor yang memperberat
seperti kopi dan rokok. Bila gejala tidak berkurang dapat
diberikan obat penyekat beta.
Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama
PVC bigemini, multifokal, atau R on T, dapat diberikan
lidokain, prokainamid, atau amiodaron.
Bila PVC yang sering (fhequent) muncul pada pasien
pasca infark dengan penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi
<35%) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai prognostiknya
menjadi penting karena kelompok pasien ini memiliki risiko

Takikardi Ventrikel (untuk kemudahan selanjutnya disebut


VT) adalah terdapat tiga atau lebih pretnutlire ve~itrrclrltri,
contruction (PVC) atau vmti.ic.zilur ertru.s~:\tole.s(VES)
dengan laju lebih dari 120 kali per menit. Fokus takikardi
dapat berasal dari ventrikel (kiri atau kanan) atau akibat
dari proses rcentt?, pada salah satu bagian dari berkas
cabang (hzmdle brunch reenty, VT). Dari rekaman EKG
permukaan VT umumnya memberikan gambaran EKG
dengan ciri kompleks QRS yang lebar (>0,12 detik). Namun
tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah
VT karena takikardi supraventrikel (SVT)dengan kond~tksi
aberan atau dengan konduksi melalui jaras tambahan
(acce.\sor:v puthtc-trj.)juga akan memberikan gambaran
takikardi dengan komplek QRS lebar. Oleh karena itu
pengenalan VT menjadi penting dalam keadaan kegawatan
karena pemberian obat untuk SVT dapat membahayakan
pada pasien dengan VT. Pengenalan VT juga h a r ~ ~ s
rnencakup identifikasi etiologi, sumber fokus, terapi, dan
prognosisnya. VT idiopatik misalnya, dapat diterapi secara
definitif dengan ablasi kateter, sangat jarang menyebabkan
kematian mendadak, dan memiliki prognosis yang baik.
Sebaliknya VT iskemia (VT akibat penyakit jantung
koroner) memberikan risiko tinggi untuk terjadinya
kematian tnendadak (.\zid~/en
cal-dials clecrtl~)
akibat aritmia
fatal (VT yang berdegenerasi menjadi 1.~i7trrc'~lur.
fibrillation ).

Klasifikasi
Secara umum VT dapat dibagi menjadi lnonornortik dan
polimorfik. VT monomorfik rnemiliki kompleks QRS yang
sama pada tiap denyutan (heat) dan menandakan adanya
depolarisasi yang berulang dari tempat yang sama.
Umumya disebabkan oleh adanya fokus atau substrat
aritn~iayang mudah dieliminasi dengan teknik ablasi kateter.
Sedangkan VT polimorfik ditandai dengan adanya
kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan rnen~mj~~kkan
adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberapa
tempat. Biasanya VT jenis ini berkaitan dengan jaringan
parut (scar tissue) akibat infark miokard (ischemic VT).
Bila VT berlangsung lebih dari 30 detik disebut s~~stuitzed
dan sebaliknya bila kurang dari 30 detik disebut non.\ ~ ~ ~ t u r t z e d .
Berdasarkan etiologi VT dikelornpokkan menjadi:
VT Idiopatik (Idiopathic VT):
- VT Idiopatik Alur Keluar Ventrikel Kanan (Rlght
k~nhiculrrrOutflow Putt VT=R L'OT VT)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


-

VT Idiopatik Ventrikel Kiri (Idiopathic Lefi Ventricular VT)


VT pada Kardiomiopati Dilatasi Non-Iskemia
- Bundle Branch Reentrant VT
- Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasiu
(ARvD)
*. VT iskemia (Ischemic Vi")
Diagnosis Takikardia Ventrikel
Diagnosis VT didasarkan pada gambaran berikut ini:
Durasi dan morfologi kompleks QRS, pada VT urutan
aktivasi tidak mengikuti arah konduksi normal (terganggu)
sehingga bentuk kompleks QRS akan kacau dan durasi
kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih dari 0,12
detik). Pedoman umum yang berlaku adalah semakin lebar
kompleks QRS semakin besar kemungkinannya suatu VT,
khususnya bila lebih dari 0.16 detik. Pengecualian adalah
VT yang berasal dari fasikel posterior berkas cabang kiri
(i~/io/?athiclefl ~ ~ e n r i ( . ltuchycardia)
~l~~r
yang memiliki
kompleks QRS kurang dari 0,12 detik karena pada VT jenis
ini lokasi reentv dekat dengan septum interventrikel seperti
konduksi normal.
Morfologi kornpleks QRS bergantung pada asal fokus
VT. Bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan
gambaran morfologi blok berkas cabang kiri (left bundle
hrtrnch hlock rnor/~holoLqy)
dan jika berasal dari ventrikel
kiri akan menunjukkan gambaran blok berkas cabang kanan
(right bundle branch block morphologp,). Kalau morfologi
QRS adalah RBBB maka takikardi adalah VTjika morfologi
kompleks QRS adalah monomorfik atau bitasik (QR atau
RS). Jika morfologi QRS adalah LBBB maka akan
menguatkan diagnosis VT jika adanya takik (notching)
gelombang S atau nadir S yang lambat (>70 milidetik).
Laju dan irama, laill (rcite)VT berkisar antara 120-300 kali
per menit dengan irama yang teratur atau hampir teratur
(variasi antar denyut adalah <0,04 detik). Jika takikardi
disertai irarna yang tidak teratur (il.regzrlur) maka hams
dipikirkan adanya AF dengan konduksi aberan atau preeksitasi.
Aksis kompleks QRS, aksis kompleks QRS tidak hanya
penting untuk diagnosis tapi juga untuk menentukan asal
fokus. Adanya perubahan aksis lebih dari 40 derajat baik
ke kiri rnaupun ke kanan umumnya adalah VT. Kompleks
QRS pada sandapan aVR berada pada posisi -2 10 derajat
dengan kompleks QRS negatif. Bila kompleks QRS menjadi
positif saat takikardi sangat menyokong adanya VT yang
berasal dari apeks mengarah ke bagian basal ventrikel. Aksis
ke superior pada takikardi QRS lebar dengan morfologi
RBBB sangat rnenyokong kearah VT. Adanya takikardia
QRS lebar dengan aksis inferior dan morfologi LBBB
mendukung adanya VT yang berasal dari right \7errtric~rlar
outfk,,rr trcrct.
Dissosiasi antara atrium dan ventrikel (Atrio-Ventricular

Dissociation), pada VT nodus sinus terus memberikan


impuls secara bebas tanpa ada hubungan dengan aktivitas
ventrikel (atrium dikontrol oleh nodus sinus dan ventrikel
dikontrol oleh fokus takikardi dengan laju lebih cepat)
sehingga gelombang P yang muncul tidak berkaitan dengan
kompleks QRS (dikenal dengan A V dissociation) seperti
terlihat pada Gambar 3. Adanya disosiasi AV sangat khas
untuk VT walaupun adanya asosiasi (hubungan) AV belum
dapat menyingkirkan VT. Secara klinis disosiasi AV dapat
dikenal dengan adanya variasi bunyi jantung satu dan
variasi tekanan darah sistolik.

Gambar 3. Gambaran disosiasi AV pada idiopathic left ventricular tachycardia. Perhat~kansandapan II dan terlihat gelombang P
di depan kompleks QRS ke-3, ke-6, ke-8, ke-15, ke-21, dan ke-24
(tanda panah) yang tidak berkaitan dengan kompleks QRS yang
mengikutinya

Capture beat dan Fusion beat, Kadang-kadang saat


berlangsungnya VT, impuls dari atrium dapat
mendepolarisasi ventrikel melalui sistem konduksi normal
sehingga memunculkan kompleks QRS yang lebih awal
dengan ukuran normal (sempit). Keadaan ini disebut
capture beat (Gambar 3). Fusion beat terjadi bila impuls
dari nodus sinus dihantarkan ke ventrikel melalui nodus
atriovenhikel (nodus AV) dan bergabung dengan impuls
dari ventrikel. Jadi ventrikel sebagian didepolarisasi dari
nodus sinus dan sebagian dari ventrikel sehingga kompleks
QRS berbentuk antara kompleks normal dan VT (Gambar
4). Capture dan jusion heat jarang ditemukan dan sangat
khas untuk VT walaupun tidak adanya mereka bukan berarti
VT dapat disingkirkan.
Konfigurasi kompleks Q R S , adanya concordance
(kesesuaian) dari kompleks QRS pada sandapan dada
sangat menyokong diagnosis VT. Kesesuaian positif (positive concordunc.e) kompleks QRS pada sandapan dada
dominan positif menunjukkan asal fokus takikardi dari
dinding posterior ventrikel. Kesesuaian negatif (negat~ve
concordance) kompleks QRS pada sandapan dada dominan
negatif menunjukkan asal fokus dari dinding anterior
ventrikel. Kedua gambaran tersebut dapat dilihat pada
Gambar 5.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


- PRIYO
. -- - .PANJI
- .-

Kriteria untuk diagnosis VT yang telah dibahas tadi.


tidak selalu didapatkan dan tidak jarang hanya satu atau
dua kriteria saja yang ditemukan. Oleh karena itu Brugada
mernbuat kriteria pendekatan yang sederhana seperti yang
terlihat pada Gambar 6. Pedoman tersebut lebih mudah
dan praktis untuk di pakai dalam praktek sehari-hari.
Selain rekaman EKG, anamnesis, pemeriksaan fisik, data
penunjang lainnya (foto toraks, dan ekokardiografi) dapat
membantu. Pada pasien yang pernah mengalami infark
miokard dengan gangguan fungsi ventrikel misalnya, maka
diagnosis VT lebih diutamakan bila pasien tersebut
mendapat takikardi dengan kompleks QRS lebar. Penting
diingat untuk selalu membuat EKG lengkap r2 sandapan
saat dan sesudah takikardi.

I
I

.-.

..

.-

- .

Kompieks RS tak diternukan


pada semua sandapan prekardral?

I
I

4
Interval R ke S 4 0 0 rns pada satu
sandapan prekordial?

I I

Disosiasi AV ?

I
Pertanyaan selanjutnya

Kfiteria Morfologi for VT


ditemukan pada

Gambar 4. Pada sadapan II, kompleks QRS ke-2, ke-9, I I ~ r r i -16


menunjukkan capture beat dengan n ini kompleks sempit dan muncul
lebih awal dari seharusnya. Fusion beat terlihat pada kompleks
QRS ke-7

aberan
I

Gambar 6. Kriteria Brugada untuk diagnosis V7 (Dikutip dari


Brculat~on1991,83 1649-59)

DIAGNOSIS BANDING

Gambar 5. A. Menunjukkan kesesuaian negatif (negative


concordance) dan gambar B menunjukkan kesesuaian positif
(posit~veconcordance)

Tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah


VT meskipun 70% takikardi jenis ini adalah VT.
Takikardi dengan kompleks QRS lebar bisa terjadi pada:
Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi
aberan, pada keadaan SVT biasa maka konduksi dari atrium
ke ventrikel melalui jalur konduksi normal sehingga
kompleks QRS akan normal. Namun secara fisiologis dapat
terjadi hambatan (blok) pada salah satu berkas cabang (kiri
atau kanan) karena adanya perbedaan masa refrakter di
antara keduanya. Kedaan ini disebut konduksi aberan
(aberrunt conduction). Karena adanya hambatan berkas
cabang maka kompleks QRS akan lebar seperti keadaan
LBBB atau RBBB biasa.
Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi
melalui jaras tarnbahan (accessogrpatl~way),
Bila terdapat
jaras tambahan yang memintas jalur konduksi normal dari

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ARlTMlA VENTRIKEL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


atrium ke ventrikel, maka pada saat takikardi supraventrikel
(SVT), ventrikel diaktivasitidak melaluijalur konduksi normal sehinggaventrikel mengalami aktivasi dini (preeksitasi).
Akibatnya kompleks QRS akan terlihat lebar.
Takikardia supraventrikel(SVT) pada keadaan hambatan
berkas cabang yang sudah ada, bila pada keadaan irama
sinus sudah terdapat gambaran hambatan berkas cabang
(kiri atau kanan) maka saat timbul S W kompleks QRS akan
terlihat lebar seperti pada keadaan sinus. Oleh karena itu
sangat penting untuk membandingkan EKG sebelum
dengan pada saat takikardia.
KEPENTINGANKLlNlS TAKlKARDlA VENTRIKEL
Takikardia Ventrikel ldiopatik
Dijumpai pada pasien dengan jantung normal (tidak ada
kelainan struktural). Umumnya VT tidak berbahaya, tidak
mengganggu hemodinamik, dan tidak menyebabkan
kematian mendadak (suddent cardiac death). Namun bila
VT timbul dengan laju yang cepat dapat menyebabkan
sinkop. Karena disebabkan oleh fokus ektopik yang
terbatas pada satu lokasi maka umumnya sangat mudah
dihilangkan dengan cara ablasi kateter.
VT Idiopatik alur keluar ventrikel kanan (right
fokus VT berasal dari RVOT
ventricularoutflow tract W),
dan jenis VT ini merupakan 90% dari VT idiopatik. Pasien
umumnya adalah perempuan muda. VT dapat dicetuskan
oleh ketegangan, emosi, dan aktivitas fisik. Manifestasi
klinisjenis ini dapat berupa VT yang dicetuskan oleh latihan
(exercised-inducedV T )atau VT monomorfik yang berulang
(repetitive monomorphic VT) yang timbul saat istirahat.
Pada beberapa pasien kerap dijumpai dalam bentukpremarure ventricular contraction (PVC) bigemini atau VT nonsustained yang simptomatik dan mengganggu. Pemeriksaan
ekokardiografi dan angiografi koroner biasanya normal.
Gambaran elektrokardiogram (EKG) menunjukkan suatu
takikardi dengan kompleks QRS lebar, morfologi kompleks
QRS left bundle branch block (LBBB) pada sandapan V 1,
dengan aksis kompleks QRS ke arah inferior (right axis
deviation) atau normal (Gambar 7).
Umumnya VT jenis ini disebabkan oleh proses
otomatisasi, triggered activity, dan takikardi dengan
perantaraan siklik-AM yang dirangsang oleh sistem saraf
adrenergik dan sensitif terhadap peningkatan kalsium
intrasel. Oleh karena itu dapat diberikan pengobatan
dengan obat penyekat kalsium (calcium channel blocker)
seperti verapamil. Sedangkan pada VT jenis lain obat ini
adalah kontraindikasi. Karena salah satu jenis VT ini
dicetuskan okeh latihan (exercise induced) maka obat
penyekat beta (beta blocker ) juga efektif. Dapat diberikan
metoprolol sampai dosis optimal 2 x 100 mg per hari. Bila
pasien tetap bergejala maka dapat diberikan terapi definitif

Garnbar 7. VT ldiopatik dari RVOT. Rekarnan EKG mernperlihatkan


takikardi dengan kornpleks QRS lebar, rnorfologi left bundle
branch block (LBBB) pada V1, aksis kompleks QRS normal.

dengan ablasi kateter (Gambar 8). Keberhasilan tindakan


ini berkisar 70-85% dengan angka komplikasi yang rendah
(misalnya perforasi).
Diagnosis banding VT tipe ini adalah jenis VT lainnya.
Hanya saja perlu diperhatikan jenis VT yang paling mirip
dengan VT ini yaitu Arhytmogenic Right Ventricular
Dysplasia (ARVD). Pebedaannya adalah pada ARVD
didapatkan adanya infiltrasi lemak pada ventrikel kanan
(terdapat kelainan struktural).
VT Idiopatik dari Ventrikel Kiri (Idiopathic left

Gambar 8. Ablasi kateter pada RVOT VT dari berbagai posisi.


ABL (kateter ablasi) yang ditempatkan pada RVOT. RVA adalah
kateter yang diternpatkan di apeks ventrikel kanan.

ventricular tachycardia=ZL VT), istilah lain untuk VT jenis


ini adalah takikardia fasikular karena adanya proses
reentry pada fasikel anterior dan posterior sebagai
penyebab takikardi. Ada tiga sub-kelompok pada VT ini
yaitu kelompok yang sensitif terhadap verapamil (verapamil
sensitive), sensitif terhadap adenosin (adenosine
sensitive), dan sensitif terhadap propanolol (propanolol
sensitive). Yang terbanyak adalah kelompok sensitif
terhadap verapamil. VT jenis ini umumnya diderita oleh
pria usia muda. Pada rekaman EKG permukaan terlihat
takikardi dengan morfologi kompleks QRS berbentuk blok
berkas cabang kanan (RBBB), dengan aksis superior
(gambar 2). Kompleks QRS tidak begitu lebar karena fokus
takikardi dekat dengan septum (lokasi jaringan konduksi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


normal). Takikardia ini sering dikelirukan dengan SVT
karena kompleks QRS tidak terlalu lebar dan sensitif
terhadap verapamil sehingga dapat diterminasi dengan
verapamil seperti urnumnya SVT.
Pada pasien yang simptomatik dapat diberikan terapi
obat-obatan. Bila gagal dapat dilakukan eliminasi dengan
ablasi kateter dengan angka keberhasilan rata-rata 87%.
Ablasi kateter juga diindikasikan pada pasien yang tidak
ingin ~ninumobat dalam jangka waktu lama.
Takikardia Ventrikel pada Kardiomiopati
Dilatasi Non-iskernia
Bundle branch reentrant ventricular tacliycardia, VT
jenis ini (Garnbar 9) ditemukan sekitar 40% pada pasien
kardiomiopati dilatasi idiopatik (non-iskemia) dan 6% dari
seluruh jenis VT yang dirujuk ke laboratorium
elektrofisiologi. Secara klinis VT jenis ini bersifat berbahaya
sehingga menyebabkan sinkop atau henti jantung. Pada
EKG biasanya ditandai oleh kolnpleks QRS dengan
morfologi blok berkas cabang kiri (LBBB).Takikardi dapat
dihilangkan dengan melakukan ablasi kateter pada berkas
cabang kanan tapi kesintasan pasien menurun karena
adanya disfungsi ventrikel kiri sebagai penyerta.

Gambar 9. Mekanisme dan gambaran EKG permukaan dan


intrakardiak pada bundle branch reentry VT.

Arrl~ytlimogenicright ventricular dysplasia (AR VD),


kelainan ini sangat jarang, biasanya diderita oleh kelo~iipok
usia muda, di mana terdapat infiltrasi lemak dan jaringan
parut pada miokard ventrikel kanan. Karakteristik VT adalah
kompleks QRS dengan morfologi blok berkas
Cabang kiri (LBBB). Tatalaksana VT jenis ini harnpir
sama dengan VT iskeinia dengan peran ICD (implunttuhle
curdio~,erterci<fihrillrrtor ) yang efektif untuk menceghh
kenlatian jantung mendadak (.sucldet~tcarcliuc~d o ~ ~ t i ? ) .
Terapi pembedahan dengan inengisolasi daerah yang
displastik ternyata tidak efektif karrna tirnbulnya gaga1
jantung kanan.

Takikardia Ventrikel lskemia


VT iskemia disebabkan ole11 penyakit jantung koroner
seperti infark miokard akut. Secara prognostik VT jenis ini
sangat penting karena dapat menyebabkan kematian
jantung mendadak. VT iskemia terjadi karena adanya
reentr:v akibat adanya jaringan parut di sekitar jaringan
sehat. Secara uinum, semakin luas jaringan infark seinakin
besar peluang ter-jadinya reerztytl. VT iskemia cenderung
bersifat fatal karena dapat berdegenerasi menjadi fibrilasi
ventrikel dan keiiiatian mendadak. Prediktor kenlatian
jantung mendadak adalah adanya riwayat serangan
jantung sebelumnya, penutunan fungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi <40%), dan adanya prc7nlatur.c2I~L>IIII.IC,II~LII.
C.OII~I.UCtior1 yang sering.
Terapi VT iskernia pada ulnutnnya adalah dengan obatobatan. Sedangkan ablasi kateter pada VT iskemia belum
memberikan hasil yang mernadai.
TATALAKSANA UMUM
Tatalaksana pada Keadaan Akut
Bila keadaan hemodinamik stabil, terminasi VT dilakukan
derigan penlberian obat-obatan secara intravena seperti
amoidaron, lidokaine, dan prokainamid. Dua obat yang
pertama tersedia di Indonesia. Amiodaron dan prokainamid
lebih unggul dibandingkan dengan lidokain.
Alniodaron dapat diberikan dengan dosis pembebanan
(louding dose) 15 mglmenit diberikan dalam 10 menit dan
diikuti dengan i n h s kontinu 1 md~iienitselama 6 jam, dan
dosis pemeliharaan 0,5 niglmenit dalam 18jam berikutnya.
Bila gagal dengan obat, dilakukan kardioversi elektrik yang
dapat dimulai dengan energi rendah ( 10joule dan 50 joule).
Dalam tatalaksana akut perlu dicari faktor penyebab
yang dapat dikoreksi seperti iskemia, gangguan elektrolit,
hipotensi, dan asidosis.
Bila keadaan hemodinamik tidak stabil (hipotensi, syok,
angina, gagal jantung, clan gejala hipoperfusi otak) maka
pilihan pertama adalah kardioversi elektrik.
Tatalaksana Jangka Panjang
Tujuan terapi jangka panjang adalah rnencegah kematian
mendadak. Pada pasien dengan VT non-slistuined dan
bergejala dapat diberikan obat penyekat beta. Bila tidak
efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron. ,
Pada pasien dengan riwayat infark nliokard akut dan
penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <35%),
terdapat VT yang dapat dicetuskan dan tidak dapat
dihilangkan dengan obat, maka ICD lebih unggul dalam
menurunkan mortalitas (The Multicenter Automatic
Dtlfihrzllutor TriuI=MADIT). Untuk pencegahan sekunder
kematian mendadak (pasien yang berhasil diselamatkan
dari aritinia fatal) pada pasien pasca infark miokard dengan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1629

ARITMIAVENTRIKEL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


penurunan fungsi ventrikel kiri, ICD telah terbukti lebih
unggul daripada amiodaron.

FIBRILAS1VENTRIKEL (VF)
Fibrilasi ventrikel (VF) merupakan keadaan terminal dari
aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks QRS,
gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan dan
sulit dikenali (disorganized) seperti pada Gambar 10. VF
merupakan penyebab utama kematian mendadak.
Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok
AV total dengan respons ventrikel sangat lambat,
gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia),
asidosis berat, dan hipoksia. Salah satu penyebab VF
primer yang sering pada orang dengan jantung normal
adalah sindrom Brugada. Pada keadaan ini terjadi kelainan
genetik pada gen yang mengatur kana1 natrium (SCNSA)
sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya tinggi
pada populasi Asia dan kelompok laki-laki usia muda. Pada
EKG permukaan saat irama sinus ditemukan adanya
gambaran RBBB inkomplit dengan elevasi segmen ST di
sandapan V 1-V3.
VF akan menyebabkan tidak adanya curah jantung
sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti
napas dalam hitungan detik. VF kasar (coarse VF)
menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan lebih besar
peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi.
Sedangkan VF halus (fine VF') sulit dibedakan dengan
asistol dan biasanya sulit diterminasi. Penanganan VF
harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal
yang baku meliputi pemberian unsynchronized DC shock
mulai 200 J sampai 360 J dan obat-obatan seperti adrenalin,
amiodaron, dan magnesium sulfat.

G a m b a r 10. Contoh g a m b a r a n EKG VF. Tampak g a m b a r a n


kompleks Q R S yang s a n g a t tidak beraturan d a n tidak terlihat
g e l o m b a n g P d a n s e g m e n S T y a n g j e l a s . (Dikutip d a r i
www.ekglearning.com)

TORSADES DE POlNTES (TDP)


Istilah TDP (dalam bahasa Perancis berarti berputar-putar
mengelilingi satu titik) adalah suatu bentuk takikardi
ventrikel yang ditandai oleh perubahan bentuk dan arah
(aksis) kompleks QRS dalam satu beberapa denyutan
(beat) seperti pada Gambar 11.
Penyebab tersering TDP adalah adanya pemanjangan
interval QT akibat pengaruh obat-obatan antiaritmia
(misalnya amiodaron, sotalol, dan flekainid), dan penyakit
sindrom QT panjang (long QTsyndrome), bradikardia berat,
dan sindrom Brugada.
Tatalaksana TDP adalah pemberian magnesium sulfat,
pemasangan pacu jantung sementara (pada keadaaan
bradikardia), dan obat penyekat beta.

G a m b a r 11. Rekaman EKG TDP dengan karateristik kompleks QRS


yang berubah bentuk dan arah dalam beberapa denyutan. P a d a
denyut awal sebelum TDP terlihat adanya pemanjangan interval
QT

REFERENSI
Brugada P, Brugada J, Mont L, et al. A new approach to the differential diagnosis of regular tachycardia with wide QRS complex.
Circulation 1991 ;83:1649-59)
Davis DW. Catheter ablation of ventricular tachycardia: are there
limits? Heart 2000;84:585-6
Edhouse J and Morris . Broad complex tachycardia part I. BMJ
324:719-22
Edhouse J and Morris F. Broad complex tachycardia part 11. BMJ
324:776-9.
Farzanh A. Lerman BB. Idiopathic outflow tract ventricular
tachycardia. Heart 2005;9 1 :136-8
Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science,
1999
Huszar KJ. Basic dysrhythmias: interpretation and management. 7'"
Ed, Mosby, 2002
Lemola K, Brunckhorst C, Helfenstein U , et al. Predictors of
adverse outcome in patients with arrhythmogenic right
ventricular dysplasia/cardiomyopathy: long-term experience of
a tertiary centre. Heart 2005;91:1 167-72
Miles WM and Mitrani RL. Ablation of idiopathic left ventricular
tachycardia, right ventricular outflow tract tachycardia, and
bundle branch reentry tachycardia. In: Singer I (Ed).
lnterventional electrophysiology.2""'~d, Lippincort Williams
& Wilkins, 2002.
Morgan JM. Patients with ventricular arrythmias: whom should be
referred to an electrophysiolgist? Heart 2002;88:544-550.
Stevenson WG and Delacretaz E. Radiofrequency catheter ablation
of ventricular tachycardia. Heart 2000;84:553-9

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

BRADIKARDIA
M. Yarnin, A. Muin Rachrnan

PENDAHULUAN
Bradikardia merupakan temuan klinis yang kerap dijumpai
dalam praktek sehari-hari. Secara elektrokardiografi
manifestasinya dapat berupa sinus bradikardia, sinus
arrest, atau hambatan konduksi di nodus atrioventrikular
(atrioventicular node=AV node)). Karena bradikardia
dapat menurunkan curah jantung maka gejala yang
dirasakan pasien berkaitan gejala hipoperfusi seperti
pusing, lemas, hampir pingsan (near syncope), pingsan
(syncope), dan kadang-kadang dapat menyebabkan
kematian. Namun sering bradikardia tidak memberikan
gejala samasekali (asimptomatik).
Secara umum bradikardia disebabkan oleh kegagalan
pembentukan impuls oleh nodus sinoatrial (sinoatrial
node=SA node) atau kegagalan penghantaran (konduksi)
impuls dari nodus SA ke ventrikel (hambatan pada A V
node). Identifikasi penyebab yang akurat akan memberikan
arah terapi dan penentuan prognosis yang tepat.
Dalam tulisan ini akan diuraikan etiologi, patofisiologi,
gambaran klinis, dan tatalaksana kelainan ini..

atrium kiri melalui Bachman 's bundle, dilanjutkan ke nodus AV, His bundle, berkas cabang kanan dan kiri, serabut
Purkinje, dan berakhir di miokard. Secara ringkas dapat
dilihat pada Gambar 1. Nodus AV mendapatkan pasokan
darah dari arteri desenden posterior yang merupakan
cabang dari arteri koroner kanan pada 80% populasi. Maka
infark miokard inferior paling sering menimbulkan
komplikasi gangguan hantaran pada nodus AV (blok AV).

Sinoatrial

Purkinje fibers

--.1

ETlOLOGl DAN PATOFlSlOLOGl


Nodus SA adalah pembangkit impuls alamiah pada sistem
konduksi jantung dengan laju 60-100 kali per menit.
Struktur ini terletak di atrium kanan pada pertemuan vena
kava superior dengan atrium kanan. nodus SA
mendapatkan pasokan darah dari arteri nodus SA yang
merupakan cabang dari arteri koroner kanan (pada 65%
populasi) atau cabang dari arteri koroner sirkumfleks (pada
25% populasi). Oleh karena itu infark miokard inferior
(biasanya akibat stenosis di arteri koroner kanan) bisa
disertai komplikasi bradikardia.
Selanjutnya impuls diteruskan ke atrium kanan dan ke

Gambar 1. Sistem konduksi (hantaran)jantung


normal.

Nodus SA dan nodus AV dipengaruhi oleh sistem


persarafan simpatis dan parasimpatis. Rangsangan
simpatis akan meningkatkan otomatisasi dan konduksi
nodus SA dan nodus AV. Sebaliknya rangsangan
parasimpatis menekan otomatisasi nodus SA dan
menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Jadi dalam
menilai keadaan bradikardia faktor sistem persarafan ini
hams dipertimbangkan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penyebab bradikardia adalah sebagai berikut:
Penyebab lntrinsik
1. Proses degeneratif (penuaan)
2. lnfeksi atau iskemia
3. Penyakit infiltratif (amiloidosis, sarkoidosis)
4. Penyakit kolagen (SLE, reumatoid artritis)
5. Trauma bedah (penggantian katup, koreksi penyakit
jantung bawaan)

diulang seperlunya. Bila tidak membaik atau SB cenderung


berulang maka hams dipasang pacu jantung sementara
(temporary pacing).

Penyebab Ekstrinsik
1. Obat-obatan (penyekat beta, digoksin, antiaritmia)
2. Hipotiroid
3. Gangguan elektrolit
4. Hipotermia
5. Kelainan neurologis
6. Gangguan saraf otonom (sinkop neurokardiogenik,
hipersensitif sinus karotis)

GAMBARAN KLlNlS DAN TATALAKSANA


Secara klinis bradikardia dapat ditemukan dalam bentuk
sinus bradikardia, sindrom sinus sakit (sick sinus
.v>~ndron~c),
dan ganggauan hantaran pada nodus AV (blok
AV).
Sinus Bradikardia
Sinus bradikardia (SB) biasanya disebabkan stimulasi
vagal yang berlebihan dan atau penurunan tonus simpatis.
Penyebab tersering lainnya adalah pengaruh obat-obatan.
SB asimptomatik kerap dijumpai pada atlit terlatih. SB juga
dapat terjadi saat muntah atau sinkop vasovagal, operasi
mata, peningkatan tekanan intrakranial, tumor servikal, dan
hipoksia berat.
Gambaran EKG (Gambar 2) SB adalah bila laju nadi
kurang dari 60 kalitmenit dengan bentuk gelombang P
normal di depan setiap kompleks QRS dan interval PR yang
tetap (konstan).
Umumnya SB tidak berbahaya bahkan kadang-kadang
berman faat untuk memperpanjang waktu pengisian ventrikel.
Pada infark miokard akut dapat terjadi SB dan bila tidak
disertai gangguan hemodinamik umwnnya tidak memerlukan
terapi khusus. Yang terpenting adalah memastikan hubungan
antara gejala dengan bradikardia. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemantauan irama jantung 24 jam (holter nronitor-itzg), event recorder (perekam irama jantung yang dapat
diaktifkan setiap saat ada gejala), dan loop recorder (alat
perekam iramajantung yang ditanam di bawah kulit)
Tatalaksana SB tidak diperlukan bila tidak terdapat
gejala dan gangguan hemodinamik. Dalam keadaan infark
miokard akut dan disertai gangguan hemodinamik dapat
diberikan sulfas atropin (SA) 0,5 mg intravena dan dapat

Gambar 2. Rekarnan EKG sinus bradikardia dengan laju kurang


dari 60 kaliimenit, jarak antar kornpleks QRS teratur, dan intenrat
PR konstan.

Sindrom Sinus Sakit (Sick Sinus Syndrome)


Gangguan atau penyakit pada nodus SA merupakan
penyebab bradikardia tersering. Sindrom sinus sakit (SSS)
adalah gangguan fungsi nodus SA yang disertai gejala.
SSS. Gambaran EKG dapat berupa sinus bradikardi
persisten tanpa pengaruh obat, sinus arrest atau sinus
exit block, AF (atrial fibrillasi) respons lambat, atau suatu
braditakikardia yang bergantian (Gambar 3).
Penanganan SSS tergantung pada irama dasamya.
Umumnya diperlukan pemasangan pacu jantung permanen
(Gambar 4). Pada keadaan braditakikardia diperlukan
kombinasi obat antiaritmia dan pacu jantung permanen
(PPM).

Gambar 3. Rekaman irama jantung 24 jam (Holter monitonng)


dari seorang pasien dengan gambaran SSS. Terlihat episode AF
dengan sinus arrest saat terminasi AF (brady-tachyahythmia).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pemanjangan interval PR yang progresif sebelurn
terjadinya hambatan total (Gambar 6). Lokasi kelainan ini
biasanya di tingkat nodus AV. Sedangkan pada tipe Mobizt
I1 terdapat hambatan impuls dari atrium yang intermiten di
mana ilnpuls dari atrium tiba-tiba tidak dapat dihantarkan
ke ventrikel (Gambar 7). Pada tipe ini lokasi hambatan
adalah ir7fianoclul (pada sistem His-Purkinje). Gejala yang
muncul sangat bergantung pada besaniya laju ventrikel.
Jarang blok AV derajat 2 menirnbulkan gejala.

gambar 5. Rekaman EKG pad blok AV derajat 1. Semua


gelombang dapat drteruskan ke ventrikel dengan waktu hantaran
lebrh panjang ( r n t e ~ aPR=0,32
l
detrk)

Gambar 4. Pasren pasca operas1 bedah pintas koroner yang


mender~taSSS dan menjalanr pemasangan pacu jantung
permanen kamar ganda (dual chamber pacemaker) Terlrhat juga
electrode w~repacu jantung sementara yang bewarna h~tam
terang

Hambatan Atrioventrikular (Atrioventricular


Block)
Hambatan atrioventrikuler (blok AV) kerap menjadi
penyebab bradikardia meskipun lebih jarang dibandingkan
dengan kelainan fungsi nodus SA. Penyebab terserintg
blok AV adalah obat-obatan, proses degeneratif, penyakit
jantung koroner, dan efek samping tindakan operasi
janh~ng.Gejala yang ditimbulkan sama seperti gejala akibat
bradikardi lainnya yaitu pusing, lemas, hampir pingsan,
pingsan. dan kadang-kadang kematian mendadak.
Keputusan apakah perlu pemasangan pacu jantung atau
tidak ditentukan ole11 tiga hal: pertaina adalah ge.jala, kedua
adalah lokasi hanibatan (blok), dan ketiga adalah derajat
hambatan tersebut. Gangguan ini dibagi men-jadi blok AV
derajat 1, blok AV derajat 2, dan blok AV derajat 3 (total).
Blok AV derajat 1, blok AV derajat 1 bila semua impuls dari
atrium dapat dihantarkan ke ventrikel dengan waktu hantaran
yang lebih lama (pada EKG interval PR> 0,20 detik seperti
pada gambar 5). Kelainannya biasanya pada tingkat nodus
AV dan jarang pada sistem His-Purkinje. Karena semua
impuls dari atrium dapat dihantarkan ke ventrikel maka tidak
menimbulkan gejala.
Blok AV derajat 2, pada keadaan ini tidak selnua impuls
dari atrium dapat dihantarkan lnelalui nodus AV dan sistem
His-Purkinje ke ventrikel.
Berdasarkan rekaman EKG kelainan ini dapat
dikelompokkan menjadi tipe Mobizt I (tipe Wenckebach)
dan tipe Mobizt 11. Pada tipe Mobizt I terdapat

Gambar 6. Pada blok AV derajat 2 trpe Wenckebach terlrhat


pemanjangan rnterval secara progressrf (dari 0,16 detrk menjadi
0,24det~kpada gelombang P pertama dan kedua) dan gelombang
P ketrga t~dakdapat dlhantarkan (blok)

Gambar 7 Blok AV derajat 2 tipe Mobrzt II Tampak hambatan


hantaran rmpuls dari atrrum ke ventrrkel yang rntermrten

Blok AV derajat 3 (complete lteart block), bila hantaran


impuls dari atrium satnasekali tidak dapat lnencapai ventrikel
disebut blok AV dera-jat 3 (blok AV total). Pada keadaan ini
laju ventrikel tergantung pada pucrrnuker cadangan
(J~~~SIL~I~
L ILI :[\C
~ ~ I ? I Uyang
~ C I tnengambil
.)
alih. Bila lokasi
hambatan berada di AVNode rnaka laju ventrikel biasanya
cukup urltuk mempertahankan curah jantung. Namun bila
lokasi hambatan berada di bawah nodus AV (infranodal)
kerap menimbulkan gangguan hemodinamik karena lajunya
sangat pelan (< 40 kali per menit)
Karena pada blok AV total atrium dari ventrikel
dikendalikan oleh pacemaker yang berbeda dan tidak
berkaitan inaka pada EKG permukaan akan terlihat
gambaran disosiasi atrioventrikuler ( A V dissociation).
Contoh disosiasi AV dapat dilihat pada Gambar 7.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah
satu pertimbangan keput~isanapakah perlu pemasangan
pacu jantung pennanen adalah lokasi hambatan (blok).
Rekaman EKG permukaan dapat inembantu ha1 ini.
Kornpleks QRS yang lebar dengan laju 20-40 kali per rnenit
nienuiljukkan lokasi hambatan ~ I ~ I . ~ / I ~Sedangkan
O~LI/.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kompleks QRS yang normal (sempit) dengan laju sekitar
40-60 kali per menit menandakan lokasi hambatan pada
nodus AV.
Karena nodus AV dipersarafi oleh sistem saraf otonom
(terutama parasimpatis) yang dominan sedangkan jaringan
infranodal (sistem His-Purkinje) tidak, maka manuver yang
merangsang atau menghambat sistem saraf tersebut dapat
dipakai i~ntukmenentukan lokasi gangguan hantaran. Jika
lokasi hambatan ada di nodus AV maka atropin atau latihan
fisik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan blok.
Sebaliknyajika lokasi gangguan hantaran ada di infianodal,
maka pemberian atropin atau latihan fisik tidak akan
mengurangi blok bahkan kadang-kadang dapat
memperbumk. Umumnya blok infranodal menimbulkan
gejala yang bermakna sehingga memerlukan pemasangan
pacu jantung permanen.
Umumnya blok AV derajat 1 tidak memerlukan terapi
PPM kecuali pada pemeriksaan elektrofisiologi didapatkan
interval HV (dari His ke ventrikel) >I00 milidetik. Untuk
blok AV derajat 2 apapun tipe dan lokasi gangguan
memerlukan PPM jika bergejala (simptomatik). Pada blok
AV derajat 3 indikasi PPM adalah:
Bila disertai bradikardi yang simptomatik
Bila disertai pcrzisr >3 detik atau laju ventrikelc40 kali
per menit pada saat terjaga, walaupun tidak bergejala
Blok AV pasca pembedahan yang diperkirakan tidak
dapat pulih kembali
Pasca ablasi nodus AV

Bradikardia adalah gejala klinis yang kerap didapatkan


dalam praktek sehari-hari. Pengaruh obat-obatan dan
proses degeneratif merupakan penyebab bradikardia
tersering. Gangguan fungsi nodus S A adalah jenis
bradikardi yang paling banyak dijumpai, terutama pada
orang tua. Sedangkan blok AV lebih jarang didapat.
Penyebab blok AV tersering selain proses degenaratif
adalah infark miokard akut dan proses pembedahan.
Pengenalan etiologi, patofisiologi, dan gambaran EKG yang
baik akan mempermudah diagnosis etiologi dan tatalaksana
yang baik.Umumnya bradikardi yang bergejala, apapun
sebabnya, memerlukan terapi definitif yaitu pemasangan
pacu jantung permanen.

REFERENSI
Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science,
1999

Gold MR. Permanent pacing:new indications. Heart 2 0 0 / , 8 6 35560


Huszar RJ. Basic dysrhythmias: interpretation and management. 7'h
Ed, Mosby, 2002.
Magrum JM and DiMarco JP. The evaluation and management of
bradycardia. N Eng J Med 2005;lO 703-9
Moses HW, Miller BD, Moulton KP, et al. Practical guide to cardiac
pacing. 5Ih Ed. Lippincott Williams, 2000.
Munawar M. Yuniadi Y, Yamin M (Eds). Minicourse on arrhythmia,
16Ih Weekend Course on Cardiology. 2004
Olgin JE and Zipes DP. Specific arrhythmias: diagnosis and treatment. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a
texthook of cardiovascular medi~ine.7'~
Ed, Elsevier Saunders,
2005.
Rowlands DJ. (Jnderstanding the electrocardiogram. Imperial
Chemicals Industries, 1987.
Simmons JD. Chakko SC, Myerburg RJ. Arrhythmias and
conduction disturbances. In: O'Rourke RA, Fuster V, Alexander
RW, et al (Eds). The heart manual of cardiology. I lth Ed. Mc
Graw H111, 2005.

G a m b a r 8. Drsosrasr atrroventrrkuler pada blok AV derajat 3


(complete heart block) P a d a garnbar pallng a t a s terl~hatlaju
atrrurn (gelornbang P) adalah 8 0 drnenrt sedangkan laju ventr~kel
(kornpleks QRS) sekrtar 30x/menrt Inr rnenunjukkan pacemaker
cadangan yang rnengambrl alih adalah ventrrkel karena lajunya dr
bawah 4 0 x/ rnenrt dan kornpkes QRS lebar (>0,12detrk) Darr
gambaran Inr dapat pula d~tentukanbahwa lokasr hambatan adalah
rnfranodal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KARDIOVERSI
M. Yamin, A. Muin Rachman

PENDAHULUAN

lNDlKASl KARDIOVERSI

Kardioversi ialah suatu tindakan elektif atair emergensi


untuk mengobati takiaritmia di mana diberikan aliran listrik,
biasanya dengan energi yang rendah dan disinkronkan
dengan gelombang R, di mana aliran listrik diberikan pada
puncak gelombang R. Kardioversi secara elektrik dilakukan
dengan DC ( direct c~irrent)cozinter .shock yang .sj$nchr.o17iied.
Direct c~irrer7t(DC)counter. shock iulul~impuls listrik
energi tinggi yang diberikan melalui dada (ke jantung)
untuk waktu yang singkat. DC cozintel-skock dilakukan
dengan alat defibrilator.

MEKANISME KERJA KARDlOVERSl


Pada kardioversi diberikan aliran listrik ke miokardium pada
puncak gelombang R. Hal ini menyebabkan terjadinya
depolarisasi seluruh miokardium, dan masa refrakter
memanjang, sehingga dapat lnenghalnbat dan
menghentikan terjadinya rv-entr:~:dan memungkinkan
nohis .sinlts ~nengambilalih irama jantung men.iadi irama
sinus. Pada fibrilasi ventrikel shock listrik menyebabkan
hiperpolarisasi membran sel sehingga fibrilasi dapat
dihentikan dan ke~nbalike irarna sinus. Kardioversi elektrik
paling efektif dalam menglientikan takikardia karena
r.e-cntr:l: seperti fluter atrial, fibrilasi atrial, takikardia nodal
AV, ~-~~cijn.oc.uting
tucl~jnirdiukarena sindrom Woiff
Purkin.son White (WPW), takikardia ventrikel. Takiaritmia
dapat juga karena pembentukan irnpuls (uzitonl~/tic.it~.)
yang bertambah seperti pada parasistol atau takikardia
ideoventrikular. Gangguan irama seperti itu tidak perlu
dilakukan kardioversi listrik karena akan kernbali lagi dalarn
waktu singkat.

Fibrilasi ventrikel
Takikardia ventrikel, bila pengobatan ~nedika~nentosa
yang adekuat tidak berhasil menglientikan takikardia
tersebut atau pasien dengan keadaan hernodinarnil\
yang buruk.
Takikardia supraventrikular yang tidak bisa dihentikan
dengan pelnberian obat-obatan atau keadaan
Ilemodinamik yang buruk.
Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi inell-jadiirania
sinus dengan obat-obatan.
Fluter atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama
sinus dengan obat-obatan.

PERSIAPAN KARDIOVERSI
Anti koagulan
Pada fibrilasi atrial kronik perlu diberikan antikoagulan
seperti koulnadin selama dua minggu sebelum tindakan,
untuk rnenghindari terjadinya emboli sistemik. Bentuk
takikardia yang lain tidak membutulikan antikoagulan.
Pada fibrilasi ventrikel. DC kardioversi harus segera
dilakukan, disertai dengan pemberian pernapasan buatan
dan mu.ssuge kardiak, jadi riierupakan bagian dari
resusitasi jantung paru
Anestesia
Perlu diberikan obat anestesia karena proseciur
DC defibrilasi menimbulkan rasa sakit yang cukup
berat. Obat anestesi diberikan secara intravena,
biasanya golongan barbiturat ker.ia pendek atau
fentanil.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KARDIOVERSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Jumlah Energi untuk Kardioversi
Jumlah energi yang dibutuhkan biasanya dimulai rendah,
lalu dapat dinaikkan tergantung macamnya takikardia. Pada
fluter atrial biasanya cukup 25-50 Joule. Takikardia
supraventrikular membutuhkan energi sebesar 50-100
Joule, sedangkan fibrilasi atrial dan takikardia ventrikular
membutuhkan 100-200 Joule. Pada henti jantung (cardiac
urrest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang dibutuhkan
200-400 Joule.

Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 95%,


tergantung tipe takiaritmia. Tetapi kadang-kadang gangguan
irama timbul lagi kurang dari 12 bulan. Oleh karena itu
mempertahankan irama sinus perlu diperhatikan dengan
memperbaiki kelainan jantung yang ada dan memberikan
obat anti-aritmia yang sesuai. Bila irama sinus sudah kembali
maka atrium kiri dapat mengecil dan kapasitas fungsionil
akan menjadi lebih baik.

PROSEDUR KARDIOVERSI LlSTRlK


Sebelum dilakukan tindakan kardioversi secara elektif,
dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh dan
pemeriksaan EKG lengkap. Pasien sebaiknya dalam
keadaan puasa selama 6- 12 jam dan tidak ada tanda-tanda
intoksikasi obat seperti digitalis. Pasien juga dipantau
tekanan darah, irama jantung dan saturasi oksigen dengan
piil.ve o.yynieter: Setelah diberikan obat sedatif secara
intravena.
Paddle pertama diberi Jel1.v secukupnya dan diletakkan
di dada bagian depan sedikit sebelah kanan sternum di
sela iga 111, puddle kedua setelah diberi,ielly diletakkan di
sebelah kiri apeks kordis; alat defibrilator dinyalakan dan
dipilih tingkat energi yang ditentukan, alat untuk
sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu kedua
puddle diberi tekanan yang cukup dan alat dinyalakan
dengan energi yang dibutuhkan, misalnya untuk fluter
dimulai dengan 50 Joule sedangkan untuk fibrilasi atrial
dimulai 100 Joule dan untuk fibrilasi ventrikel diberikan
energi 200 Joule. Bila belum berhasil dinaikkan menjadi
300 Joule sampai 400 Joule. Pasien yang menderita
C U I - ~ ~ Uarrest
C
paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai
awal tindakan resusitasi. Pemberian shock listrik yang
disinkronkan pada komplek QRS atau pada puncak
gelombang R, biasanya dipakai pada semua kardioversi
secara elektif kecuali pada fibrilasi ventrikel atau fluter atau
takikardia ventrikel yang sangat cepat dan keadaan
hemodinamik pasien kurang baik. Pada waktu dilakukan
shock biasanya terjadi spasme otot dada dan juga otot
lengan.

Aritmia dapat timbul sesudah kardioversi secara listrik


karena sinkronisasi terhadap gelombang R tidak cukup
sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST atau
gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel
(dalam ha1 ini dapat dilakukan DC countershock sekali lagi).
Juga dapat timbul bradiaritmia atau asistol sehingga perlu
disiapkan obat atropin dan pacu jantung sementara.
Peristiwa tromboemboli dilaporkan terjadi 1-3% pada pasien
fibrilasi atrial kronik yang dikonversi menjadi irama sinus,
oleh karena itu pada pasien dengan fibrilasi atrial yang sudah
lebih dari 2-3 hari sebaiknya diberi antikoagulan selama 2
lninggu sebelum dilakukan tindakan kardioversi, Hal ini
terutama untuk pasien dengan stenosis mitral dengan atrium
kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru.
REFERENSI
E\\\ GA:Optimal technique forelectrical cardioversion of atrial
fibrillation. Circulation 1986: 1645-7
Prystowsky EN, Benson W, Fuster Vet al : Managements of patients
with atrial fibrillation. Circulation 1993:1262-77
Kerber RE.Transthoradc cardioversion and defibrillation. In : Zipes
DP, JalitTe J. editors. Cardiac Electrophqsiology: From the Cell
to Bedside, :3'"d,
Philadelphia: WBSaunders; 2000
Kerber RE. Transthoracic cardioversion of atrial fibrillation and
flutter: Standard technique and new advances. Am J Cardiol
1996;78:22
Wacott GP, Knisleq SB, Zhou x, et al: On the mechanism of
ventricular fibrillation. Pacing Clin Electrophysiol 1997;20(2pt
2):4?2.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PACU JANTUNG SEMENTARA


A. Muin Rachman

PENDAHULUAN
Di dalam jantung terdapat kelompok-kelompok sel yang
dapat mengeluarkan impuls listrik ke otot jantung untuk
merangsang terjadinya kontraksi dan denyut jantung. Bila
kelompok sel ini gagal atau membutuhkan waktu terlalu
lama untuk mengeluarkan impuls atau impuls yang
dikeluarkan abnormal atau terhambat hantarannya
sehingga tidak atau terlalu lambat menghasilkan denyut
jantung. maka harus ada alat yang dapat mengeluarkan
impuls listrik untuk menggantikannya. Alat ini disebut pacu
jantung buatan.
Pacu jantung buatan ini dibedakan menjadi 2 macam
berdasarkan lama pemakaiannya, yaitu yang dipakai hanya
untuk sementara waktu saja, disebut temporary puce
muker (TPM), dan yang dapat dipakai seterusnyal
menetap. disebut permanent pace maker (PPM). TPM
ditempatkan di luar badan pasien. sedangkan PPM yang
harus dipakai seumur hidup ditempatkan di dalam badan,
biasanya diletakkan di bawah kulit pada dinding dada (di
atas m. Pectorulis mayor) atau perut.
Dewasa ini, teknik elektrofisiologi pacu jantung
mengalami kemajuan pesat. sehingga kesulitan yang
ditimbulkan oleh pemakaian PPM diperkecil, sedangkan
indikasi penggunaannya diperluas, bahkan dipakai pula
sebagai pengontrol takiaritmia.

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMAKAIAN PACU


JANTUNG
Percobaan untuk memacu jantung dengan arus listrik telah
dimulai se-jak tahun 1935 oleh Hyman dan kemudian oleh
Callaghan dan Bigelow tahun 195 1 . Peneliti-peneliti ini
menggunakan elektroda yang ditanamkan langsung pada
jantung Iepikal-di~~~nl~iiiokardiu~i~)
sehingpa memerlukan

sarana yang cukup untuk pemasangannya dan sangat tidak


praktis untuk menolong pasien yang mengalami henti
jantung. Zoll { 1952), setelah mencobanya pada anjing,
dengan menggunakan elektroda yang ditempatkan secara
subkutan pada dinding dada, berhasil menolong pasien
sindrom Adam-Stokes. Sayangnya arus listrik yang dipakai
dengan cara Zoll ini jauh lebih besar dibandingkan dengan
bila elektroda tersebut ditempatkan langsung pada jantung.
Karena itu pada pemakaian pacu jantung tetap,
elektroda sebaiknya ditempatkan langsung pada
endokardium ventrikel kanan melalui vena (transvenous).
Cara ini lebih praktis dan dapat dilakukan tanpa melakukan
operasi torakotomi.
Pacu jantung eksternal telah mengalami banyak
perubahan dan dapat dibuat dalam ukuran lebih kecil
sehingga dapat dibawa ke mana-mana oleh pasien. Akan
tetapi pada pacu jantung transvenous, bahaya infeksi tetap
besar karena adanya hubungan langsung antara jantung
pasien dengan dunia luar {melalui elektroda) .Untuk
mengatasi ha1 tersebut, kemudian diusahakan pacu
jantung steril yang ditanam di bawah kulit.
Arrne Larson dari Swedia adalah orang pertama yang
memakai pacu jantung steril yang ditanam dalam badannya
di bawah kulit oleh Elquist dan Senning. Sayang isi muatan
listrik pacu jantungnya tak dapat bertahan cukup lama
meskipun dapat diisi lagi (rechargeable).
Pada tahun 1960, Chardack, Gege dan Greatbach
mencoba menanamkan pacu jantung yang memakai baterai
agar dapat bertahan lebih lama. Metode ini akhirnya
merupakan cara yang lazim dipakai sampai sekarang.
Pacu jantung berkembang pesat sekali dalam waktu 20
tahun ini, seperti terlihat pada perubahan-perubahannya.
Di samping yang menyangkut elektrodanya, juga
perubahan mengenai bentuk atau ukuran serta sistem
sirkuit listrik dalam alat pacu jantung itu.
Di Indonesia pada tahun 1972, pacu jantung

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1637

PACU JANTUNG SEMENTARA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


transvenous permanen pertama kali ditanamkan oleh
Nurhay dkk pada seorang perempuan yang menderita sick
sinus syndrome (SSS) .Kemudian pada tahun yang sama
di Surabaya ditanamkan pacu jantung memakai elektroda
epikardial pada seorang anak. Setelah itu semakin banyak
penggunaan pacu jantung tetap pada pasien di
Indonesia. Di antaranya terdapat juga pasien yang memakai
pacu jantung yang dapat diatur beberapa parameternya
dari luar (programmable).
Akhirnya pada bulan Januari 1984, Santoso dkk
memasang pacu jantung fisiologis (dual demand) yang
pertama di Indonesia.

MACAM-MACAM PACU JANTUNG


Pacu jantung mungkin hanya dipakai untuk sementara
(TPM) untuk mengatasi gangguan yang biasanya
berlangsung tidak lama. TPM ini dapat dibiarkan terpasang
untuk waktu kurang dari 30 hari. Setelah itu elektrodanya
harus diangkat dan kalau perlu diganti dengan elektroda
yang lebih permanen. Pacujantung yang dipakai lebih lama
atau mungkin selamanya, adalah pacu jantung permanen
(PPM) .Di samping itu masih dikenal pembagian bennacammacam pacu jantung dengan berbagai klasifikasi.

ELEKTRODA
Seperti diketahui pacu jantung terdiri atas dua bagian
penting, yaitu sumber listriknya (pulse generator) dan
elektroda yaitu penghubung antara sumber listrik dengan
jantung (endokardium, epikardium atau miokardium).
Ada dua macam elektroda yaitu unipolar dan bipolar.
Pada yang unipolar, elektroda di dalam jantung hanya ada
1, yaitu kutub negatif (katoda). Ssedangkan elektroda
indiferennya bipolar, di dalam jantung ada 2 elekhoda, yaitu
bagian distal katoda (negatif) dan sedikit di proksimalnya
terdapat anoda (positif).
Dengan demikian terdapat pacu jantung unipolar dan
bipolar. Ada beberapa keuntungan dan kerugian antara
keduanya, akan tetapi pacu jantung bipolar dapat diubah
menjadi unipolar.
Penempatan elektroda dalam jantung dapat menentukan
pula jenis pacu jantung. Elektroda dapat ditempatkan pada
endokardium, epikardium atau miokardium dari:
Atrium, disebut atrial pacing.
Ventrikel, disebut ventricular pacing.
Atrium dan ventrikel disebut atrio-ventricular pacing
(dual-chamber pacing).
Sinus koronarius: coronary sinus pacing. Kemudian
dari cara penempatan elektroda berbeda yaitu: dalam
jantung juga disebut:
. Trans venouspacing, penempatan elektroda melalui vena.

Transthoracic pacing, penempatan elektroda melalui


dinding dada, dengan cara pungsi langsung ataupun
operasi.

PULSE GENERATOR

Adapulsegenerator yang hanya ditempatkan di luar badan


(eksternal) yang biasanya dipakai pada TPM; tapi ada juga
yang ditanam dalam badan (implantted), yaitu pada pacu
jantung permanen (PPM).
Di samping untuk mengeluarkan impuls (stimulator),
pulse generator juga mempunyai unit untuk mendeteksi
impuls yang dikeluarkan oleh jantung (sensor) baik yang
berasal dari a t r i m (P) maupun dari ventrikel (QRS). Impuls
dari pulse generotor yang memacu jantung dikeluarkan
berdasarkan kerja sama antara unit sensor dan stimulator
tersebut.
Berdasarkan cara pengeluaran impuls dari pulse
generator itu (modus), terdapat bermacam-macam pacu
jantung, misalnya: pacu jantung asynchronous yaitu pacu
jantung yang mengeluarkan impuls secara tetap ke jantung
menurut frekuensi tertentu fixed rate), tidak bergantung
pada ada atau tidaknya impuls jantung itu sendiri. Apabila
jantung mengeluarkan impulsnya juga, dan mungkin saja
impuls dari pulse generator tersebut jatuh pada fase
bahaya (vulnerableperiode) sehingga dapat timbul aritmia
berat.
Pacu jantung synchronous ialah pacu jantung yang
mengeluarkan impuls sesuai dengan impuls yang
dikeluarkan oleh atrium (atrial synchronous) atau ventrikel
(ventricular synchronous). Bila impuls jantung tidak ada,
maka dengan sendirinya pacu jantung itu mengeluarkan
impuls menurut frekuensi tertentu fixed rate).
Pacu jantung on demand (stand by) ialah pacu jantung
yang mengeluarkan impuls ke ventrikel (ventricular
demand) atau atrium (atrial demand) apabila frekuensi
venhikel atau atrium kurang dibandingkan fiekuensi impuls
pacu j antung.
Dulu, elektroda untuk atrium hanya bisa ditanam di
epikardium atau miokardium. Sekarang, dengan kemajuan
teknologi, elektroda telah dapat dipasang di endokardium,
baik pada ventrikel maupun atrium. Dengan demikian secara
transvenous telah dapat dipasang elektroda dalam atrium
dan ventrikel sekaligus sehingga atrium dan ventrikel
dapat disensor dan distimulasi.
Pulse generator-nya sendiri ada yang dapat diatur dari
luar untuk berbagai parameternya (programmable), seperti
frekuensi, voltase, sensitivitas, modus pacunya
(synchronous menjadi asynchronous dll), katup
elektrodanya (bipolar menjadi unipolar), interval AV, masa
refrakter. Yang sederhana adalah hanya dapat diatur
frekuensi dan voltase saja (simple programmable), tetapi
ada pula yang lebih dari 2 parameternya dapat diatur

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(multiprogrammable). Mula-mula pengaturannya secara
invasif, tapi sekarang sudah dapat dilakukan dari luar
(noninvasif), bahkan dengan telemetri.
Pada pacu jantung yang digunakan untuk pengobatan
takikardia, bentuk impuls yang dikeluarkan berbeda dengan
pacu jantung yang biasa. Impuls yang dikeluarkan ada
yang berfrekuensi cepat dan sekaligus banyak (burst).
ada pula yang berfrekuensi biasa (normal) sehingga terjadi
kompetisi dengan frekuensi jantungnya sendiri (misalnya
berupa pacu jantung synchronous yang diletakkan magnit
di atasnya sehingga menjadi asynchronous); dan ada lagi
pacu jantung dengan kemampuan scanning sampai
ditemukannya waktu yang tepat untuk mengeluarkan
impulsnya guna memutus siklus "reentry tachycardia "
jantung yang mengalami takikardia tersebut.
Dengan demikian terdapat bemacam-macam pacu
jantung bila ditinjau dari cara pengeluaran impulsnya
(modus) dan bagian jantung yang disensorldipacunya.
Komisi istilah telah menyusun suatu cara untuk pemberian
nama pada pacu jantung tersebut menurut modusnya
dengan singkatan 5 huruf sebagai berikut.
Huruf pertama (I)
Bagian jantungnya disensor
(Chamber-paced)
V-ventrikel
A-atrium
D-double
S-single

Huruf kedua (11)


Bagian jantungnya dipacu
(Chamber-sensed)
V-ventrikel
A-atrium
D-double
S-single

Huruf ketiga (Ill)


Respons (mode of
response)
T-trigger
I-inhibitor
D-double
0-one
R-reverse

Huruf keempat (IV)


Kemampuan pemrogram
P-simple
M-multi programmable
T-multiprogrammable
telemetri

Huruf kelima (V)


Khususnya fungsi takiarit~nia(special tachyarrytrnias
,fitnction)
B-burst
N-normal rate
competition
S-scanning
E-external
Jadi suatu pacu jantung menurut cara kerjanya disebut
dengan sekurang-kurangnya 3 huruf, dapat juga 4 atau 5
huruf. Setelah humf ke 3, diberikan tanda koma (,) baru
dilanjutkan ke 4 dan 5.

CONTOH:
VOO
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel M, sedang

sensor: tidak ada (O), dan keluarnya impuls tak bergantung


ada sensor (0) .Pacu jantung ini mengeluarkan impuls ke
ventrikel, menurut frekuensi tertentu (fixedrate), jadi suatu
pacu jantung asynchronous. Di sini tidak dinyatakan
apakah pacu jantung ini dapat diprogram atau tidak; bila
hendak disebutkan maka hams ditambah satu huruf lagi:
VOO, 0 tak dapat diprogram
VOO, P dapat diprogram sederhana (frekuensiloutput).
VOO, M dapat diprogram lebih dari 2 parameternya
VOO, T dapat diprogram lebih dari 2 parameternya dengan
telemetri.

VVI
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sedangkan
sensor dari ventrikel (V), dan impuls dihambat oleh tanda
sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls (QRS) maka
jantung tidak mengeluarkan impuls sampai waktu tertentu.
Bila dalam waktu tersebut QRS tak keluar lagi, maka jantung
mengeluarkan impulsnya. Jadi ini suatu pacujantung ventricular demand. Sekarang banyak jenis pacu jantung ini
yang dapat diprogram secara sederhana misalnya VVI, P
dari Medtronic,Teletronic, Siemens dan lain-lain; dan, juga
yang dapat diprogram multipel misalnya VVI, M dari
Medtronics.

AAI
Seperti VVI mengenai atrium.
Pacu jantung VVI atau AAI sebetulnya pulse generutornya sama yaitu bergantung pada penempatan elektroda
apakah di atrium (AAI) atau ventrikel (VVI). Pacu jantung
ini disebut single chcmiber pacing (SSI). Contoh dari
Medtronic adalah SSI, M atau Spectrax SXT: SSI, T.
VAT
Pacu jantung dengan impclls ke ventrikel (V), sensor di
atrium (A), dan impuls dikeluarkan bila ada tanda dari
sensor (T). Bila ada impuls dari atrium (gelombang P) maka
pacu jantung mengeluarkan impulsnya ke ventrikel setelah
selang waktu tertentu (sesuai P-R interval). Bila tidak ada
gelombang P maka picu jantung mengeluarkan impuls ke
ventrikel secara spontan. Jadi suatu pacu jantung atriul
synchonous. Contoh pacu jantung demikian adalah Omni
Stanicor (Cordis) dan Siemens 625.
DVI
Pacu jantung dengan ilnpuls ke atrium dan ventrikel (Ddouble)),sensor di ventrikel (V), dan impuls dihambat bila
ada tanda sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls,
maka pacu jantung tak rnengeluarkan impuls. Bila tak ada
impuls dari ventrikel rnaka pacu jantung rnengeluarkan
impuls ke atrium dan ventrikel dengan interval sama dengan
interval PR yang normal. Suatu pacu jantung dzlol
denland (A-V seqz~entiul);tak disebut apakah prog1-c~n1-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PACU JANTUNG SEMENTARA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


muble atau tidak. Contoh pacu jantung demikian adalah
Medtronic; Byrel dan Versatrax. Versatrax adalah suatu
pacu jantung multiprogrammable: DVI, M. Pacu iantung
ini dapat dipakai untuk mengontrol takikardia
supraventrikular paroksimal dengan cara kompetisi; jadi
dalam ha1 ini adalah suatu .DVI, MN (N = normal rate
competition).

VDD
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sensor di
atrium dan ventrikel (D), sedangkan impuls bisa dihambat
atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) ,jadi bisa
bekerja seperti VVI atau VAT. Contoh pacu jantung
demikian adalah Medtronic: Enertrax. Pacu jantung ini
n~ultiprog~ammable,
iadi suatu VDD, M.
DDD
Pacu jantung dengan impuls ke atrium dan ventrikel (D),
sensor di atrium dan ventrikel (D) dan impuls dihambat
atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) sesuai
dengan kebutuhan. Dengan demikian pacu jantung ini
berfungsi sebagai AAI, VVI dan VAT. Selain itu dapat pula
berfungsi sebagai DVI, VDD. Jelas bahwa pacu jantung
ini multipro~rammahle,jadi suatu DDD, M. Pacu jantung
ini disebut juga pacu jantung universal.
Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic:
Versatrax; Cordis: Sequicor dan Biotronic: Di plos.

INDlKASl PEMAKAIAN PACU JANTUNG


Seperti telah disebutkan di atas, pacu jantung dapat dipakai
sementara (TPM, kurang dari 30 hari) atau menetap (PPM)
bergantung pada gangguan yang timbul apakah sementara
atau menetap. Pada keadaan akut yang belum pasti
biasanya dipasang dulu TPM, sedang pada keadaan
tertentu yang sudah pasti, langsung dipasang PPM. TPM
dapat juga dipasang tidak untuk langsung dipakai,
melainkan hanya untuk persiapan kalau-kalau ternyata
diperlukan (profilaksis).
Pemasangan pacu jantung dimaksudkan untuk
menghilangkan gejala klinis gangguan irama jantung,
seperti pusing-pusing sampai sinkop, berdebar sampai
meninggal mendadak atau dekompensasi jantung. Pacu
jantung sementara dipakai juga untuk mengatasi keadaankeadaan sementara waktu anestesia umum, operasi
jantung, tindakan-tindakan jantung (kateterisasi, PTCA
dan lain-lain), waktu penggantian generator pacu jantung,
dan lain-lain.
Keadaan yang memerlukan pemakaian pacu jantung adalah:

Keadaan I
Blok A-V derajat 3 atau derajat 2 permanen atau

intermiten diikuti dengan: takikardialbradikardia


simtomatis, atau gaga1 jantung, atau keadaan-keadaan
yang memerlukan pemakaian obat yang menekan
automatisitas iantung, atau adanya asistol 3 detik atau
lebih. Keadaan ini mungkin pula diikuti adanya atrial
flutter paroxysmal.
Blok A-V derajat 2 yang berat (advanced) atau derajat
3 yang persisten sesudah infark jantung akut (paling
sering anterior).
Blok bifasikular dengan blok A-V intermiten derajat 3
atau derajat 2 tipe 2, dengan gejala-gejala.
Dysfungsi A-V node (SSS) dengan bradikardia
simtomatis (tanpaldengan terapi dan tak ada obat
alternatif lain).
Sindrom karotis hipersensitif.
Sinkop berulang yang timbul spontan ataupun dengan
rangsangan karotis atau pasien yang menunjukkan
asistol selama 3 detik atau lebih pada rangsangan
karotis minimal.

Keadaan I1
Blok A-V derajat 3 atau 2 tipe 112 asimtomatis, permanen
atau intermiten, dengan frekuensi ventrikel 40lmenit
atau lebih.
Blok A-V deraiat 1 menetap dengan BBB yang baru
atau blok A-V derajat 2 berat (advanced) meski
sementara, disertai BBB.
Blok biltri fasikular dengan sinkop tanpa sebab lain,
atau dengan blok A-V derajat 2 yang berat meski
asimtomatis.
Dysfungsi sinus node (SSS) spontan atau karena terapi
yang diperlukan, dengan HR kurang dari 40 kalilmenit,
simtomatis.
Pada sindrom karotis hipersensitif dengan sinkop yang
berulang walaupun adanya rangsangan karotis tak jelas.
Pada keadaan-keadaan I jelas diperlukan PPM,
sedangkan pada keadaan I1 biasanya diperlukan PPM,
meskipun ada yang menganggap hanya diperlukan TPM,
selanjutnya bisa dilepas bila tetap stabil.
Keadaan Ill
Ada pula PPM yang dipakai sebagai defibrilator automatis,
suatu alat menyerupai pacujantung yang memantau irama
jantung dan bila tiba-tiba muncul takiaritmia ventrikel atau
fibrilasi ventrikel maka alat ini akan mengeluarkan arus
listrik cukup besar dan berlaku sebagai defibrilator
internal untuk mengoreksinya.
Sampai dengan tahun 1990 di Sub-bagian Kardiologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah ditanamkan 187 pacu jantung
permanen pada 109 pasien. Di antara indikasi pemakaian
PPM pada pasien-pasien tersebut, adalah (menurut urutan
terbanyak) sebagai berikut:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Gangguan hantaran pada 98 pasien: blok AV total.
Blok A V derajat 2 dengan bradikardia (simtomatik).
Brftr.sc~rcultriblock (sirntomatis)
Sick .srr111.5 y\.ndroinc pada 89 pasien, satu pasien dl
antaranya dengan gangguan hemodinamik sehingga
dipasang pacu jantung DDD, M.
Banyaknya macaln pacu jantung menyebabkan
perlunya melakukan seleksi pasien dengan hati-hati. halau
perlu secara elektrofisiologi supaya pasien tersebut
mendapat pacu jantung yang sesuai. Hal ini tidak akan
dibicarakan lebih jauh di sini.
Gambar I.
Teknik psmasukan eiektroda ke dalam vena

TEKNIK PEMASANGAN

Pungsi vena mernakai jarum cukup besar sehingga gur& wire dapat
rnasuk
B Guide wire dinasvkkan Ialu jarurn dikeluarkan dari gurde wrre
C Dilator dimasukkan ke guide wire diikuti oleh sheath
D. gulde wire dan d~latordikeluarkan dari sheath dan ekktroda dtmasukkan
melalul sheafh

Mene~npatkanelektroda ke dalalnjantung dapat dilakukan


dengan cara:
Transtorakal
Fungsi langsung lilelalui dinding dada ke dalam jantung.
kemudian elektroda di~nasukkanmelalui jarurn pungsi
tersebut. Dahulu cara ini dipergunakan untuk menolong
pasien dalam keadaan gawat darurat, tetapi sekarang sudah
ditinggalkan.
Torakotomi. membuka dinding dada atau dari banah
lnelalui diafraglna ditananikan elektroda ke epikardlmiokard
(prosedur operatif).
Transvenous, Melalui Pembuluh Vena
Elektroda didorong ke dalaln j a n t ~ ~ nsa~npai
g
lnencapai
endokard atrium (trppeilclcrge)atau ventrikel kanan (apeks).
Vena qang biasanya dipakai adalah: v. Femoralis, v.
Subklavia, v. Brakhialis, \. Sefalika. v.Jugularis eksterna
dan lain-lain. Pelnasukan elektroda ke dalam vena dilakukan
dengan cara seperti terlihat pada gambar (Cambar 1 dan
2).
Pungsi langsung perkutan, biasanya melalui vena-vena
yang besar seperti v. Femoralis. v. Subklavia atau v.
Jug~llarisckstema. Caranya sama seperti melakukan
kateterisasi jantung (v. Femoralis) atau melnasang CVP.
Dengan sayatan pada vena kemudian dibuka sedikit
untuk memasukkan elektrodanya. Hal ini dilakukan
terutama pada vena-vena yang lebih kecil dan tak
mungkin dilakukan fungsi misalnya v. Brakialis, v.
Sefalika dan lain-lain.
Untuk pacu jantung tetap (PPM), biasanya dipakai v.
Sefalika atau 'v. Subkla'via atau v. Jugularis ekstema kanan,
kadang-kadang kiri. Sedangkan untuk TPM biasanya paling mudah dipakai v. Femoralis, kadang-kadang dipakai v.
Brakialis atau v. Subklavia.
Harus diperhatikan bahwa apabila seorang pasien kirakira ~nemerlukanPPM, lnaka sebaiknya pada TPM tak
dipakai vena-vena yang perlu untuk PPM, yaitu v.

Subklavia atau v. Sefalika kanan atau kiri. Karena itulah


sebaiknya pernasangan TPM dilakukan pada v. Femoralis
saja.
Apabila elektroda telah masuk vena niaka didorong
terus sampai masuk ke atrium kanali. Dari sini kemudian
diusahakan masuk RV dengan sedikit manipulasi
(memutar). Bila tidak dapat segera masuk, dibuat sedikit
lengkungan yang menghadap ke dinding luar atrium kanan,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PACU JANTUNG SEMENTARA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


lalu kemudian diputar sehingga lengkungan itu mengarah
ke katup trikuspid dan kemudian didorong masuk ke
ventrikel kanan. Elektroda ditempatkan pada apeks
ventrikel kanan.
Setelah diperkirakan posisi elektroda sudah baik,
dilakukan beberapa uji seperti EKG intra-kardiak (untuk
melihat adanya elevasi ST, pertanda bahwa elektroda
berkontak pada endokardium dengan baik, sedang
voltage QRS lebih dari 4,O mV supaya mekanisme sensor
berjalan dengan baik), pengukuran ambang rangsang
(threshold), perubahan posisi pasien seperti batuk, tarik
nafas dalam dan sebagainya. Paling mudah ambang
rangsang dan voltase QRS diukur dengan alat PSA
(pacing system analyzer). Stimulasi dilakukan dengan
pulse width 0.5 ms dan voltase 5V dan frekuensi di atas
frekuensi jantung sendiri sehingga terlihat respons
ventrikel yang konsisten (bila tidak berarti posisi eletktroda
sama sekali tak baik). Kemudian voltase diturunkan
perlahan-lahan bertingkat sampai didapat voltase terendah
yang dapat memberikan respons ventrikel konsisten, bila
dikurangi lagi sebagian respons ventrikel hilang. Inilah
ambang rangsang tersebut. Sebaiknya pada saat
permulaan ini ambang rangsang adalah 0,6 MAl0.3 volt
atau paling tidak kurang dari 1,O volt. Berarti tahanan
elektroda sekitar 250 -1000 ohms. Bila tidak didapatkan
demikian maka posisi elektroda harus diperbaiki lagil
dicarikan tempat yang baru.

MENANAM PULSEGENERATOR
Pulse generator paling sering ditanam di dinding dada
kanan, kadang-kadang di kiri. Pada prosedur
torakotomi, melalui diafragma, biasanyapulse generator di tanam di dinding perut. Pulse generator ditanam
di antara jaringan kulit (subkutan) dan otot, bukan di
jaringan lemak bawah kulit, untuk mengurangi erosi.
Untuk dinding dada insisi transversal dilakukan di
daerah dada melengkung ke bawah, di bagian lateral ke
arah sulkus deltoideus pektoralis. Dengan insisi inilah
dicari v. Sefalika bila elektroda akan dimasukan melalui
vena ini.
Di lapisan antara subkutan dan otot dibuat kantong
yang agak besar secara tumpul. Pulse generator
ditanamkan di dalam kantong ini, dengan tempat hubungan
elektroda dan pulse generator mengarah ke atas. Bila perlu
dilakukan fiksasi di dua tempat. Kemudian lengkungan
elektroda diatur melewati bagian bawah pulse generator.
Setelah dilakukan irigasi dengan antibiotik, kantong
ditutup. Semua prosedur pemasangan pacu jantung
dilakukan dengan anestesi lokal, kecuali prosedur dengan
torakotomi, yang sudah jarang dilakukan pada saat ini.
Karena itu pemasangan pacu jantung sebetulnya hanya
suatu operasi kecil saja.

Berbagai komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan


pemakaian pacu jantung sementara atau tetap (TPM atau
PPM) ini. Komplikasi pada TPM tentu lebih sedikit
dibanding PPM, karena periode pemakaiannya yang
pendek dan prosedur pemasangannya sederhana,
sedangkan intervensi terhadap komplikasi pun mudah
dilakukan, meskipun sebetulnya TPM lebih sering
digunakan dalam keadaan darurat pada pasien-pasien
dengan keadaan yang lebih berat. Komplikasi yang
mungkin terjadi dapat digolongkan sebagai berikut:
Berhubungan dengan teknik operasi seperti:
perdarahan, infeksi, perforasi, pneumotoraks, post
cardiotomy syndrome dll.
Berhubungan dengan pacu jantungnya.
- Elektroda: dislokasi/malposisi yang terjadi dini atau
lambat, fraktur, diskoneksi dengan pulse generutor: trombosis tromboemboli,erosi karena penekanan
jaringan setempat oleh lengkungan stimulasi
diafragma atau dinding dada dan lain-lain.
- Pulse generator: eros.i, aritmia, gangguan
hemodinamik dan lain-lain.
- Sirkuit listrik pacu jantung, baik terjadi dengan
sendirinya atau karena lingkungan seperti tegangan
listrik yang tinggi atau medan magnit yang besar
dari luar. Kesulitan yang terjadi misalnya exit block
sehingga bisa timbul bradikardia sampai dengan
asistol, run away pacing dll. Meskipun generator
pacu jantung telah diusahakan untuk terlindung dari
hal-ha1 tersebut, sedapat-dapatnya kontak dengan
tempat-tempat dihindarkan.
Dengan teknik operasi yang baik dan pemilihanp~rlse
generator yang sesuai. komplikasi dapat ditekan serendahrendahnya sehingga pemasangan pacu jantung betul-betul
merupakan prosedur yang aman.
Di Subbagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ternyata
terdapat komplikasi sebagai berikut:
dislokasi dini 13%
dislokasi lambat 0%
stimulasi diafragma 4%
infeksi 3%
perdarahan 2%
erosi 3%
run away pacing baru terjadi pada 1 kasus (sampai
dengan rate 145/menit).
Pemasangan pacu jantung melalui torakotomi baru
dilakukan dua kali, sedangkan pemasangan elektroda dengan
pungsi perkutan pada vena subklavia baru akhir-akhir ini
dikembangkan sehingga komplikasi berat seperti post
cardiotomy syndrome dan pneumotoraks belum pernah
ditemukan. Aritmia yang berat seperti endless loop tacl~-vcardia, danpacemaker syndrome belum pernah ditemukan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

EVALUASI DAN PENGGANTIAN GENERATOR

Setelah pacu jantung ditanam, perlu dievaluasi keadaan


pasien dan pacu jantungnya untuk mendeteksi
kemungkinan adanya komplikasi. Pasien dikembalikan ke
ruangan untuk pemantauan satu atau beberapa hari,
kemudian dilakukan mobilisasi dan akhirnya dipulangkan.
Satu minggu setelah dipulangkan, pasien hams kembali
untuk reevaluasi. Kemudian tiga bulan pertama, pasien
diperiksa ulang setiap bulan dan setelah itu bila ternyata
tak ada kesulitan barulah observasi ditangguhkan menjadi
setiap 2 atau 3 atau 6 bulan.
Enam bulan sebelum usia pacu jantung (pulse
generator) habis (usia pacu jantung dinyatakan oleh
pabriknya), pasien diobservasi dengan ketat lagi. Evaluasi
ulangan dilakukan setiap bulan atau 2 minggu sekali, sampai
saatnya pacu jantung hams diganti.
Observasi yang ketat iuga dilakukan pada pasien yang
pada pemeriksaan EKG menunjukkan tanda-tanda tidak
efektifnya impuls pada jantung atau sensornya sehingga
timbul aritmia yang mungkin membahayakan.
Penggantian pacu jantung tidak didasarkan atas usia
pacu jantung yang disebutkan oleh pabriknya.
Penggantian dilakukan atas dasar evaluasi ulang
terhadap keadaan klinis pasien dan fungsi jantung
tersebut. Usia pacu jantung yang disebut oleh pabrik
hanya dipakai sebagai pegangan. Yang diganti hanyalah
sumber impuls (pulse generator), sedangkan elektroda
;Itau lead tetap dipakai, dihubungkan dengan sumber
.:. ~ n gbaru. Biasanya selalu sesuai hubungannya dan
kalau diperlukan selalu ada adaptor untuk menyesuaikannya sehingga hubungan dengan elektroda mudah dan
baik.
Pada tiap-tiap evaluasi ulang biasanya dilihat:
EKG, untuk melihat apakah impuls pacu jantung tetap efektif
dengan frekuensi yang tetap sesuai dengan keadaan
pemasangan pertama. Untuk maksud ini kecepatan mesin
EKG hams tetap utuh 25 mmldetik.
Hal ini supaya tidak terdapat salah penafsiran bahwa
seolah-olah frekuensi impuls pacu jantung telah berubah.
Selain itu, dapat dilihat adanya aritmia dan fungsi
mekanisme sensor pacu jantung. Bila yang ditanamkan
adalah pacu jantung synchronous maka adanya impuls
intrinsik dari jantung mungkin akan menyebabkan impuls
pacu jantung tidak keluar sehingga frekuensi impuls tidak
dapat dinilai.
Untuk mengeluarkan pacu jantung secara tetap, pacu
jantung synchronous tersebut harus diprogram menjadi
asynchronous atau diletakkan magnit di atasnya sehingga
ia menjadi asynchronous.
Dengan demikian frekuensi dan stabilitas keluamya
impuls dapat dilihat dengan baik. Hal ini merupakan indikasi
penting dari berkurangnya baterai pacu jantung. Bila

frekuensi berkurang 10% atau lebih, generator harus


segera diganti.
Parameter lain, untuk impuls yang dikeluarkan oleh
jantung, adalah terutama lebamya impuls (pulse width),
bentuk dan amplitudonya. Hal ini diperiksa dengan alat
khusus yang mempunyai osciloscope untuk membuat
gambaran output impuls tersebut.
Sekarang ada alat sederhana yang dapat digunakan
untuk memeriksa frekuensi dan lebarnya impuls pacu
jantung sekaligus. Untuk pasien-pasien yang jauh lebih
dari pusat-pusat pacu jantung dapat diperiksa EKG melalui
telpon (transtelephonic ECG).

PENGARUH LUAR TERHADAP PACU JANTUNG


Pacu jantung adalah suatu sirkuit listrik. Karena itu setiap
perubahan potensial listrik atau gelombang elektro
magnetik dari luar dapat mempengaruhinya.
Pertama-pertama, gangguan dapat timbul karena
miopotensial pada waktu kontraksi otot-otot dinding dada,
perut dan diafragma. Pacu jantung yang diproduksi akhirakhir ini telah diusahakan untuk tidak begitu dipengaruhi
oleh miopotensial ini.
Kemudian gangguan dapat juga ditimbulkan
elektromagnit (EM) dari luar. Akan tetapi sebetulnya pacu
jantung sendiri begitu ditanamkan, dengan sendirinya akan
terlindung dari pengaruh EM tersebut. Selain itu pacu
jantung yang diproduksi akhir-akhir ini juga telah dibuat
lebih kebal terhadap pengaruh EM dengan pelindung
elektronik dan kapsulasi metal dan pulse generator. Kalau
gelombang EM tersebut masuk juga ke dalam pacu jantung
maka pacu jantung tersebut berubah modusnya menjadi
asynchronous sehingga tetap bekerja.
Laporan-laporan tentang adanya gangguan yang
terjadi karena EM dari luar kebanyakan mengenai pacu
jantung model lama atau pacu jantung eksternal.
Yang masih mungkin berpengaruh adalah:
Sumber listrik yang berkekuatan besar, seperti yang
dipakai dalam industri.
Kauter bedah elektronik (electro surgical cautery) yang
dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Kalau terpaksa
hams digunakan, usahakan letaknya sejauh mungkin
dari pulse generator atau elektroddleadnya.
Alat-alat diatemi untuk fisioterapi dan defibrilator dapat
dipakai dengan aman, tetapi sebaiknya dijauhkan dari
elektroddlead, sekurang-kurangnya 5 inci.
Pasien dengan PPM sebaiknya jangan menjalani
pemeriksaan MRI. Listrik dan alat-alat elektronik rumah
tangga yang berjalan normal, begitu pula kebanyakan
alat-alat listrik di mmah sakit dan alat keamanan di
lapangan terbang tak berpengaruh pasca pacu
jantung.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1643

PACU JANTUNC SEMENTARA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Dreifus LS and Brest AN (Eds). Pacemaker Therapy. Philadelphia
FA Davis Go, 1983.
little Ford PO. Method for the rapid and a traumatic insertion of
permanen endocardia1 pacemaker electrodes through the subclavian vein. Am Cardiol 1979; 43: 980.
Personet v dkk. Implanttable cardiac pacemakers. Status report and
resource guideline. Pacemaker Study Group. Girc 50, 1974 :
Supplll, A 21.
Mond HG and Sloman JG. The malfunctioning pacemaker system.
Part I. Pace 1981; 4:49.
Mirowski M. The automatic implanttable defibrillator. Am Heart J
1980; 1 DO: 1089.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ELEKTROFISIOLOGI
M. Yamin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun

PENDAHULUAN

DASAR SISTEM KONDUKSI DAN KELlSTRlKAN


JANTUNG

Elektrofisiologi adalah prosedur pemeriksaan sistem listrik


jantung dengan tujuan utama untuk rnengetahui mekanisme
dan terapi aritmia . Prosedur pemeriksaan ini meliputi
penempatan kateter dengan elektroda multipolar melalui
vena dan atau arteri pada beberapa tempat di dalam jantung
untuk perekaman dan pemacuan. Dengan kata lain
dilakukan perekaman dan pemacuan pada bagian yang
spesifik pada sistem listrik jantung misalnya atrium,
ventrikel, sinus koronarius dan HI.\ hzmdle. Umumnya
peineriksaan elektrofisiologi dilanj~~tkan
dengan prosedur
ablasi kateter yaitu suatu tindakan mernutus (tennlnasi)
sirkuit atau fokus aritmia dengan menggunakan energi
ublatiorz ).
gelombang (r~~diiofrequ~,ncv
Secara umum ada tiga tujuan utarna pemeriksaan
elektrofisiologi yaitu meneritukanjenis aritmia, memastikan
mekanisme aritmia, dan memilih jenis terapi yang paling
tepat untuk aritmia tersebut, termasuk ablasi
radiofrekuensi. Jadi pemeriksaan elektrofisiologi umumnya
met~jadisatu kesatuan dengan prosedur terapi ablasi
radiofrekuensi yang dikenal juga sebagai elektrofisiologi
intervensi. Bidang ini menjadi satu sitbspesialisasi
kardiologi yang mengkhususkan pada terapi aritmia yang
kompleks dengan intervensi kateter d m alat-alat ( d e v ~ c ~). > \
Sebelum rnemahami elektrofisiologi secara lebih baik
diperlukan peniahaman dasar tentang sistem listrik dan
konduksi jantung, dan inekanisrne terjadinya gangguan
irama (aritmia) baik takiaritmia (gangguan irama dengan
laju Janturig yang cepat) maupun bradiaritmia (gangguan
irama dengan laju jantung lambat). Selanjutnya akan
dibahas cara. prinsip, dan indikasi pemeriksaan
elektrofisiologi. Pada akhir dari tulisan ini diulas pula secara
ringkas peranan terapi ablasi radiofrekuensi untuh
beberapa jenis aritmia yang kerap dijumpai dalam praktek
sehari-hari.

Sistem kelistrikan jantung bersumber dan dimulai dari


Nodus Sinoatrial (NSA) yang terletak di antara pertemuan
vena kava superior dan atrium kanan seperti ang terlihat
pada Gambar 1. Sinyal listrik ketnudian disebarkan ke
seluruli atrium melalui nodus interatrial (anterior, media,
dan posterior) dan ke atrium kiri melalui hzoi~lledari
Bachman. Di antara atrium dan vcntrikel pada sulkus
atrio~entrikularterdapat suatu stri~kturjaringan ikat
( c . ~ i r d [ ~\ikcc. l e t o n ) yang berfungsi sebagai teinpat
melekatnya katup Jantung. Secara elektris, komponen ini
bersifat sebagai penyekat (insulator) sehingga sinyal listrik
tadi tidah dapat iewat ke ventrikel kecuali inelalui Nodus
Atriok entrikular (NAV).NAV terletak di atrium kanaii pada
bagian bawah septum interatrial Saat niernasuhi NAV,
iiiipuls mengalami perlambatan yang tergannbar sebagai

Gambar 1. Anatornl ststern konduks~jantung Penjelasan ter~nci


l~hatteks (D~kut~p
dar~Huszan RJ Basic dysrhythrn~as.7thEd.
Mosby 2002)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


interval PR pada EKG permukaan. Selanjutnya impuls
masuk ke bundle His, yang merupakan bagian pangkal
(proksimal) dari sistem His-Purkinje yang bersifat
menghantarkan listrik dengan sangat cepat. Kemudian
sinyal listrik ini diteruskan ke berkas cabang kanan dan
kiri dan berakhir pada serabut Purkinje dan miokard untuk
membuat otot jantung berkontraksi.
NSA merupakan pembangkit listrik alamiah yang
dominan (automatisasi dengan laju yang paling cepat)
sehingga mengendalikan seluruh pacuan. Bagian lain dari
jantung terutama jaringan konduksi, pada dasamya juga
mampu membangkitkan impuls listrik. Bila NSA tidak dapat
membangkitkan ilnpuls karena satu dan lain ha], maka akan
diambil alih oleh bagian lain seperti atrium, NAV, atau bundk
His. Demikian pula bila terjadi blok atrioventrikel (keadaan
bila impuls dari NSA tidak dapat diteruskan ke ventrikel)
maka NAV atau brmde His akan menjadi pembangkit listrik
cadangan tentu,dengan laju yang lebih lambat dari NSA.

POTENSIAL AKSl JANTUNG (CARDIAC ACTION


POTENTIAL)
Semua sel hidup, termasuk sel jantung, pada saat istirahat
memiliki muatan positif di luar sel dan muatan negatif di
dalam sel dan perbedaan potensial yang timbul akibat ha1
ini disebut potensial transmembran istirahat. Besamya
perbedaan potensial berkisar antara -90 sampai -60 mV.
Bila sel tersebut dirangsang akan menimbulkan pergerakan
ion dari luar sel ke dalam sel. Pergerakan ini akan
menimbulkan potensial listrik dan bila digambarkan
berdasarkan waktu akan terlihat sebagai sebuah grafik yang
dikenal sebagai Potensial Aksi Jantung (PAJ). Jadi PAJ
merupakan gambaran EKG dari satu sel jantung yang bisa
direkam dengan meletakkan electrode tnikro di dalam sel.
PAJ terdiri dari lima fase yaitu fase 0 (depolarisasi
cepat), fase 1 (repolarisasi cepat dini), fase 2 (pluteu), fase
3 (repolarisasi akhir), dan fase 4 (potensial membran
istirahat) seperti terliliat pada Gambar 2.

Pada fase 0 (depolarisasi cepat) terjadi pembukaan


kanal natrium cepat (rapid sodium channel) sehingga
terjadi pergerakan ion natrium dari luar sel ke dalam sel
dan membuat potensial trans membran menjadi lebih
positif. Hasil akhir (resultan) dari peningkatan puncak
voltase ini yang dikenal sebagai depolarisasi. Setelah fase
depolarisasi ini maka sel akan kembali ke dalam potensial
membran istirahat yang dikenal dengan istilah repolarisasi.
Pada fase 1 dan 2 sel tetap mengalami depolarisasi walaupun
sudah mulai memasuki fase repolarisasi. Pada saat ini sel
sama sekali tidak dapat dirangsang yang dikenal dengan
periode rejrukter efektij (rjfective refructor2y perioclr).
Peran kanal kalsium lambat amat menonjol pada fase ini
yaitu dengan memompa kalsium masuk kembali ke dalam
sel secara perlahan sehingga memperlambat fase
repolarisasi. Selama fase 3 repolarisasi terus berlangsung
dan sel mulai kembali ke keadaan istirahat dan pada saat
ini sel sudah dapat dirangsang tetapi dengan energi yang
lebih besar (periode refrakter relatit). Fase 4 adalah fase
akhir saat sel kembali dalam keadaan istirahat penuh dan
siap untuk menerima rangsangan kembali.

Gangguan irama jantung (dikenal sebagai aritmia) dapat


dikelompokkan menjadi takiaritmia (gangguan irama
dengan laju cepat) dan hradiuritmiu (gangguan irama
dengan laju lambat). Terjadinya aritmia (uriyhthmo,qene.~~.\)
disebabkan oleh tiga mekanisme utama yaitu gangguan
pembentukan impuls, gangguan hantaran impuls, dan
kombinasi kedua-duanya.
Yang termasuk gangguan pembentukan impuls adalah
otomatisasi yang tidak normal (ubnormal uutornuticity),
aktivitas yang dicetuskan (triggered activity), dan setelah
depolarisasi lambat (deluyed ufterdepolclrizution). Yang
tergolong gangguan hantaran impuls adalah blok satu atau
dua arah tanpa reentry (blok AV, blok SA, dan blok berkas
cabang), blok satu arah dengan reentry (resiprokal
takikardia pada sindrom Wolf-Parkinson-White), reentrv
nodus AV, dan takikardia ventrikel karena reentry berkas
cabang.
Pada tulisan ini pembahasan akan disederhanakan pada
penyebab yang paling sering yaitu gangguan
pembentukan (inisiasi) impuls yang lebih dikenal dengan
otomatisasi dan gangguan hantaran impuls yang lebih
dikenal dengan reentry.

AUOTOMATISASI (AUTOMATICITY)
Garnbar 2. Potenslal Aksl Jantung (PAJ) dlmulal b ~ l arangsangan
yang d~ber~kan
melampaui ambang batas (threshold) yaltu -60
mV (D~kut~p
dart Huszan RJ Baslc dysrhythmlas 7Ih Ed, Mosby

2002)

Autoniatisasi yang meningkat (enkmzced azitomcrticity)


disebabkan oleh percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan
dapat terjadi di atrium, bundle His, dan ventrikel sehingga

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

muncul istilah takikardi atrial, junctional, dan ventrikel


otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fokus
otomatisasi adalah vena pulmonal dan vena kava
superior. Contoh takikardi otomatis yang normal adalah
sinus takikardi. Ciri khas takiaritmia ini adalah adanya
fenomena warm-up dan warm-down yaitu peningkatan
laju nadi secara perlahan dan kemudian laju nadi berkurang
secara perlahan sebelum akhimya takiaritmia berhenti.
Takiaritmia karena automatisasi sering berkaitan
dengan gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia,
hipomagnesemia, dan asidosis.

REENTRY
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab
takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
elektrofisiologi. Prasyarat mutlak untuk timbulnya t.eentt?3
adalah sebagai berikut:
Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan
baik pada bagian distal maupun proksimal
Salah satu jalur tersebut hams memiliki periode refrakter
yang lebih panjang dari yang lain
*. Jalur dengan periode refrakter yang lebih pendek harus
memiliki kecepatan konduksi yang lebih lambat dari yang
lain
Inisiasi reentry memerlukan adanya hanlbatan pada
salah satu jalur tersebut (unidirectional block).
Secara skematis mekanisme tersebut dapat dilihat pada
Gambar3.

Gambar 3. Mekanisme terjadinya reentry. Jalur A adalah jalur


dengan periode refrakter pendek tapi kecepatan konduksi iambat
sedangkan jalur B adalah jalur dengan kecepatan konduksi cepat
tapi masa refrakter lebih panjang. Mekanisme terinci dapat dilihat
pada teks.( Dikutip dari Fogoros RN. Electrophysiologic testing.
3" Ed, Blackwell Science, 1999)

Pada Gambar 3 jalur A adalah jalur dengan periode


refrakter lebih pendek tapi melniliki kecepatan konduksi
yang lambat sedangkan jalur B adalah jalur dengan periode
refrakter panjang tapi kecepatan konduksi cepat. Kedua

jalur ini saling berhubungan baik di bagian distal lnaupun


proksimal seperti yang disyaratkan di atas. Pada gambar 3
B, bila impuls prematur tiba di jalur B pada saatjalur tersebut
masih refiakter karena stimulasi sebelumnya (ingat jalur B
memiliki masa refrakter yang relatif lebih panjang), maka
impuls tadi tidak bisa melewati jalur tersebut dan beralih
ke jalurA. Pada saat impuls tadi beralih dari jalur B ke jalur
A, saat itu jalur A sudah pulih dari masa refraktemya karena
ia memiliki masa refrakter yang lebih pendek daripada jalur
B. Oleh karena itu impuls tadi dapat turun ke distal melalui
jalur A. Karena kecepatan konduksi di jalurA lebih lambat
maka saat impuls tiba di bagian distal. jalur B telah pulih
dari masa refrakternya sehingga impuls dapat melewati jalur
B secara retrograd dan kembali ke jalur A dan demikian
seterusnya dan timbullah sirkuit reentrv..

PELAKSANAANPEMERJKSAANELEKTROFlSlOLOGl

Pemeriksaan elektrofisiologi jantung merupakan suatu


cabang spesialisasi kardiologi yang memerlukan fasilitas
dan alat yang khusus, staf yang terampil, dan ekspertise
yang akurat. Persiapan pemeriksaan elektrofisiologi
meliputi persiapan alat, staf dan pasien. Peralatan yang
paling utarna diperlukan adalah:
Alat fluoroskopi (biasanya sudah tersedia di
laboratorium kateterisasi)
Alat khusus elektrofisiologi yang meliputi:
- stimulator jantung (cardiac stimularor)
- piranti lunak untul<sistem pencatat dan perekam data
- berbagai jenis kateter untuk diagnostik, pemetaan,
dan ablasi
- alat pembangkit energi radiofrekuensi (radio
frequency energy generator)
Alat tambahan seperti infusion pump, pulse oximsty.
haemodynamic monitoring, dan external dejlhrillator:
Secara skematis tata let& peralatan di atas dapat dilihat
pada Gambar 4. Untuk staf diperlukan seorang perawat dan
teknisi yang mahir melakukan berbagai stimulasi jantung
dengan memakai alat stimulator jantung.

Patient

Isolatio!@:. Gontrol ba&


intcarfa&nplifiers etc]

-,

Gambar 4. Skema tata letak semua peralatan utarna yal


d~perlukandalam pemeriksaanelektrofisiologi (D~kutlpdari ESI f
Training material)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Persiapan pasien dilakukan sama seperti untuk
prosedur invasif lainnya yaitu puasa sekitar 6 jam dan
memberikan surat persetujuan tindakan (informed
consent). Obat-obat antiaritrnia hams dihentikan paling
tidak empat kali waktu paruh (rata-rata 2-3 hari
sebelumnya). Yang agak problematik adalah amiodaron
karena waktu paruhnya sangat panjang. Obat antikoagulan
juga harus dihentikan.
Akses (jalan masuk) kateter yang akan ditempatkan di
dalam ruang jantung dapat dimasukkan melalui vena
femoralis, vena jugularis interna, vena subklavia, dan vena
basilika. Sering pula diperlukan akses melalui arteri
femoralis dan pungsi septum interatrium (transeptal
puncture) untuk mencapai atrium kiri.
Kateter selanjutnya ditempatkan di atrium kanan, apeks
ventrikel kanan, His bundle, dan sinus koronarius (Cambar
5). Kadang-kadang diperlukan penempatan kateter di
ventrikel kiri, right ventriculur ou(flow tract (R VOT), dan
vena pulmonalis untuk studi khusus seperti ablasi pada
fibrilasi atrium.

Gambar 6. Contoh pengukuran intervaldasar dari EKG permukaan


dan intrakardiak (elektrogram). Dan EKG permukaan diiampilkan
sandapan I, AVF, dan V1. RV=right ventrick, HRA=high right
atrium, HBE D=his bundle electrogram distal, HBE P=his bundle
electrogram proximal, CS 9-10= coronary sinus proximal, CS 12=u~ronarysinus distal. (Dikutip dari Mwrgatroyd FD, Krahn AD,
Klein GJ, et al. Handbook of cardiac electrophysiology: a
practical guide to invasive EP studies and catheter ablation.
Remedica Publishing, 2002)

penilaian konduksi dan masa refraktori sistern


His-Purkinje
- induksi aritmia atrial
Pemacuan ventrikel
- penilaian konduksi retrograd
- induksi aritmia ventrikel
Uji-coba efek obat
Pada tulisan ini hanya diterangkan cara pengukwan
interval dasar saja sedangkan protokol lainnya tidak.
PENGUKURAN INTERVAL DASAR

Garnbar 5. Posisi kateter di dalarn jantung masing-masing di


ventrikel kanan, atrium kanan, bundle dari His, dan sinus
koronarius.

Langkah selanjutnya adalah inelakukan perekaman


sinyal listrik dalam jantung (dikenal dengan elektrogram)
dari masing-masing lokasi khusus dalam jantung (atrium
kanan, ventrikel kanan, His bundle, dan sinus koronarius).
Gambar 6 memperlihatkan contoh elektrogram dari tempat
tersebut di atas.
Secara mum ada empat protokol utama dalam pemeriksaan
elektrofisiologi yaitu:
Pengukuran interval sistem konduksi pada saat awal
(huseline)
Pemacuan atrium:
- penilaian sifat konduksi dan otomatisasi NSA
- penilaian konduksi dan masa refraktori NAV

Sebelum dilakukan stimulasi dilakukan perekaman dan


penghitungan interval dasar (Cambar 6) yaitu:
Dari EKG permukaan:
- interval PR (dari mulai gelombang P sampai awal
kompleks QRS)
- durasi kompleks QRS
- interval QT (dari mulai gelombang sampai akhir
gelombang T)
Dari EGM (Elektrogram)
- panjang siklus dasar (Busic Cycle Length) yang
mencerminkan laju irama dasar (intrinsik)
- interval PA
- interval AH
- interval HV

PEMERIKSAAN ELEKTROFlSlOLOGl PADA


TAKlKARDlA SUPRAVENTRIKEL (TSV)
Takikardia supraventrikel (TSV) adalah aritmia yang diderita

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

sekitar 1% populasi, paling sering ditemukan dalam praktek


sehari-hari, dan digunakan untuk menggantikan istilah
lama untuk puro.~ysmalatrial tuch~~curdiu.
TSV merupakan suatu kelompok aritmia yang
melibatkan struktur di atas bundel dari His dengan atau
tanpa melibatkan ventrikel . TSV dapat dibagi lagi menjadi
yang tidak teratur (iregular) yaitu fibrillasi atrial dan yang
teratur (regular) yaitu:
Takikardia reentri nodal atrioventrikuler (Atriomtric11lor Nodal Reentrant Tachycardia)
Sirkuit reentri berada di dalam nodus atrioventrikel dan
ventrikel tidak ikut serta dalam mempertahankan aritmia
(Gambar6A)
Takikardia reentri atrioventrikuler (Atrior*cntriculur.
reentrant tacl?ycurdia)
Takikardia ini amat bergantung pada keberadaan jaras
tambahan (uccr.s.sory puth~lu-v)dan melibatkan
ventrikel dalam sirkuit takikardia
Takikardia atrial. Takikardia ini sama sekali tidak
melibatkan struktur bundle dari His (AV jzdnction).
Contohnya adalah takikardi atrial ektopik dan flutter
atrial.
Dari ketiga jenis TSV yang teratur tersebut. yang
paling kerap ditemukan adalah takikardi reentri nodus
atrioventrikular yang meliputi 90% dari seluruh TSV dan
25% TSV yang datang ke laboratorium elektrofisiologi. Oleh
karena itu jenis ini akan dibahas lebih rinci dibandingkan
dengan yang lainnya.

lnasuk melalui jalurcepat karena impuls melalui jalur lambat


terhambat akibat jalur tersebut masih dalam masa refrakter
dari depolarisasi melalui jalur cepat.
Karakteristik jalur ganda pada NAV (dual AV nodal
p u t h ~ * u adalah
~ . ) adanya jalur lambat ( a )dan jalur cepat
(P). Jalur lambat mempunyai masa refrakter singkat tapi
kecepatan konduksi yang lambat. Sedangkan jalur cepat
memiliki masa refrakter lebih panjang tapi kecepatan
konduksi yang cepat. Ini adalah syarat mutlak utnuk
memungkinkan terjadinya remtri. Pada gambar A, i m p ~ ~ l s
dari atrium masuk ke NAV dan ventrikel melalui jalur cepat
(P). Pada gambar B, impuls prematur dari atrium yang masuk
ke jalur cepat ( p ) terhambat karena pada saat itu jalur P
masih dalam masa refrakter. Akibatnya impuls akan beralih
ke jalur lambat ( a ) dan karena konduksi di jalur ini lambat
maka tercermin pada EKG permukaan sebagai pemanjangan
interval PR. Pada gambar C, impuls yang lewat melalui
jalur lambat tadi naik kembali secara retrograd ~nelaluijalur
a dan turun kembali secara antegrad melalui jalur P dan
membentuk sirkuit rccnty di dala~nNA. Pemanjangan
interval PK ini menandakan adanya lompatan impuls dari
jalur cepat ke jalur lambat yang merupakan salah satu
karakteristik inisiasi pada takikardi rentri nodus
atrioventrikuler. Jenis TRNA ini disebut tipe biasa
(common/typical tjpe). Recntr:~dapat pula terjadi
sebaliknya yaitu antegrad melalui jalur cepat dan retrograd
melalui jalur lambat (tipe tidak umumluncommon type).
Karena NAV memegang peranan penting dalarn sirkuit
reentri ini maka perasat vagal (vilgc71maneuver) dan obatobat yang menghambat konduksi NAV (penyekat beta,
digoksin, dan antagonis kalsium) dapat memutus aritmia
ini. Pada Gambar 8 diperlihatkan gambaran rekaman
intrakardiak (elektrogram) saat inisiasi TRNA tipe biasa
(commotr/~piculQpe).
Ablasi TRNA merupakan tindakan terapi kuratif dengan
angka keberhasilan 95-97%. Pendekatan ablasi TRNA
adalah dengan memutus jalur lambat (slolz. /7utllwaj~).
Gambar 9 metnperlihatkan skema lokasi ablasi dan rekaman
elektrogram yang spesifik dari jalur lambat (slow
/7~ltll~t~u~).

Gambar 7. Tiga jenls takikard~asupraventr~kelyang tersering A


Takikardi reentrl nodal atr~oventr~kulerB Tak~kard~
reentr~
atr~oventrikuler.C Tak~kardiatr~al Untuk penjelasan rrncl dapat
dlllhat pada teks (D~kut~p
dar~Fogoros RN Electrophys~olog~c
testrng 3* Ed. Blackwell Sctence, 1999)

TAKlKARDlA REENTRINODUSATRIOVENTRIKULAR
(TRNA)

. .
Pada kebanyakan pasien terdapat dua jalur masuk (dllul
AV nodulpathw~!~)dari atrium ke nodus atrioventrikulcr
(NA) yaitujalur cepat (fastpathway) dan jalur lambat ( s l o ~ .
p a t h ~ ~ uPenelitian
~ ~ ) . terkini mendapatkan adanya tiga jalur
masuk dari atrium ke NA yaitu jalur lambat, jalur menengah,
dan jalur cepat. Umumnya pada saat irama sinus, i m p ~ ~ l s

Gambar 8. Mekan~smeterjadlnya takikardia reentr~nodus


atrioventrlkuler. penjelasan rlncl dapat d~lihatpada teks (Dikutip
dari Fogoros RN Hectrophys~ologictest~ng ardEd, Blackwell
Sc~ence,1999)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 10. Takikardia Reentran Atrioventrikular (TRA). Atrium


Kanan dan kiri (RAILA) dan ventrikel kanan dan kiri (RILV) secara
normal tidak dapat menghantarkan impuls listrik karena adanya
skeleton kardiak (membentuk annulus tricuspid dan mitral) yang
bersifat sebagai insulator. Satu-satunya penghubung secara
elektris adalah NAV. Jika pasien rnemiliki penghubung tambahan
dalam ha1 ini accessory pathway, maka kriteria sirkuit reentri
terpenuhi. (Dikutip dari: Schilling RJ. Which patient should be
referred to an electrophysiologist: supraventricular tachycardia.
Heart 2002;87:299-304.)

Gambar 9. (A) Skema ablasi pada jalur lambat (slow pathway)


pada TRNA. Kateter ablasi diletakkan di depan ostium sinus
koronarius (B) Gambaran elektrogram tempat ablasr yang
baik:terlihat defleksi ventrikel yang lebih besar dari defleksi atrium
yang diikuti oleh defleksi potensla1 jalur lambat (slow pathway
potential) Diperlihatkan juga elektrogram atrium dan ventrikel
kanan, dan bundel dari His. (Dikutip dari Culkins H. Radlofrequency
ablation of supraventricular arrhythmias Heart 2001;85,594-600)

TAKlKARDlA REENTRY ATRlOVENTRlKULER


(TRA)
Pasien detigan TRA dilahirkan memiliki jaras tambahan
(accessory pathway) yang biasanya memiliki karakteristik
konduksi yang berbeda dengan NAV sehingga takikardi
dapat muncul pada usia neonatus, kanak-kanak, dan
dewasa. Jaras tambahan tersebut menghubungkan
permukaan epikardial atrium dengan ventrikel sepanjang
sulkus atrioventrikuler. Jaras tambahan dapat
dikelompokkan berdasarkan lokasinya di sepanjang anulus
katub trikuspid dan mitral, sifat konduksinya (detrimental
atau non-detrimental), dan apakah ia mampu melakukan
konduksi antegrad saja, retrograd saja, atau kedua-duanya.
Bila jaras tambahan ini hanya mampumelakt~kankonduksi
secara retrograd saja maka disebut sebagi jaras yang
tersembunyi (concealed pathway). Sedangkan yang
mampu melakukan konduksi secara antegrade disebut
munijest , tercermin dengan adanya preeksitasi pada EKG
permukaan (gelombang delta). Jadi istilah sindrom Wolf
Parkinson White hanya diberikan kepada pasien dengan
preeksitasi dan takiaritmi yang bergejala.
Mekanisme terjadinya TRA dapat dillhat pada Gambar
10.

TRA dapat dibagi menjadi antidromik dan


ortodromik. Pada TRA antidromik konduksi antegrad
terjadi melalui jaras tambahan sedangkan konduksi
retrograd melalui NAV sehingga pada rekaman EKG
permukaan akan memberikan gambaran takikardia dengan
kompleks QRS lebar (contoh pada Gambar 11). Pada
TRA ortodromik konduksi antegrad melalui NAV dan
retrograd melalui jaras tambahan sehingga gambaran EKG
permukaan terlihat sebagai takikardi dengan kompleks
QRS sempit (normal). TRA merupakan jenis aritrnia yang
sangat diindikasikan untuk tindakan kuratif dengan ablasi
radiofrekuensi dengan angka keberhasilan 99% dan
komplikasi I$%.
Pada tulisan tidak dibahas tentang elektrofisiologi pada
takikardia ventrikuler (TV) karena akan dibahas pada topik

Tv.

Gambar 11. Takikardra Reenfran Atrioventrikuler (TRA) tipe


ortodromik dengan gambaran kompleks QRS lebar. (Dikutip dari
Wellen HJJ Ventricular tachycardia: diagnosis of broad QRS
complex tachycardia. Heart 2001;86:579-585)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI PADA


BRADlARlTMlA

Penyebab bradiaritmia yang kerap didapatkan di klinik


adalah penyakit pada NSA dan blok atrioventrikular (Al'
block).
Kelainan pada NSA dapat bermanifestasi berupa
sinus bradikardia, sinus arrest, atau bradikardia yang
bergantian dengan fibrilasi atrial (FA) paroksismal. Evaluasi
otomatisitas (automaticity) NSA dilakukan dengan menilai
Waktu pemulihan nodus sinoatrial (Sinus Node Recover),
Time). Caranya adalah dengan meletakkan kateter pada
atrium kanan di dekat NSA, dan dilakukan pemacuan
dengan laju sedikit lebih tinggi dari irama dasar selatna 30
detik. Pemacuan selanjutnya dihentikan secara mendadak.
Lnterval pemulihan (diukur dari saat pacuan atrial terakhir
sampai munculnya irama sinus spontan) mencerminkan
normal tidaknya fungsi NSA. Umumnya bila nilai interval
ini melebihi 1500 milidetik dianggap tidak normal.
Penilaian gangguan konduksi pada NAV umumnya
tidak memerlukan prosedur invasif. Prosedur
elektrofisiologi lebih menekankan pada penilaian lokasi
harnbatan hantaran: pada NAV, pada His-Purkinje, atau
distal dari His-Purkinje (infrahis). Gangguan pada tingkat
NAV urnumnya bersifat sementara seperti pada iskemia
dan infark miokard akut. Umumnya gangguan pada NAV
bersifat jinak karena laju nadi berkisar 55 kali per menit
sehingga jarang menyebabkan gangguan hemodinamik.
Gangguan pada His atau pada bagian distalnya kerap
menimbulkan gangguan hemodinamik yang signitikan.
Infark miokard akut yang melibatkan arteri koroner kiri
desendens adalah penyebab tersering karena daerah ini
diperdarahi oleh arteri tersebut. Miokarditis kerap juga
mengenai jaringan konduksi ini. Pada pemeriksaan
elektrofisiologi untuk menilai gangguan hantaran pada
NAV adalah dengan melihat rekaman dari His (His elcctrogram). Berdasarkan gambaran elecktrogram tersebut dapat
ditentukan tingkat hambatan pada NAV.

ABLASI KATETER (CATHETER ABLATION)


SEBAGAI TINDAKAN KURATIF PADATAKIARITMIA
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan
kuratif berupa ablasi kateter. Sebelum tahun 1989 ablasi
kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung
yang tinggi (high energy direct current) berupa DC shock.
Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak
terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi
kateter dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50
watt (W) yang diberikan sekitar 30-60 detik. Energi terseb~~t
diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (Hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul
pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan di

bawah kateter ablasilah yang tnenjadi sumber energi panas,


bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme
utalna kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Kerusakan
jaringan permanen timbul pada temperatur sekitar 50 derajat
Celcius (Gambar 12).

Gambar 12.. Kerusakan jaringan permanen (daerah berwarna


putih) akibat ablasr radlofrekuensi (Dikutip dari ESI training
material)

Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan


memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular
(umumnya ke jantung kanan) dengan panduan sinar X.
Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan
elektrofisiologi. Prosedur elektrofisiologi bertujuan untuk
niencetuskan aritmia dan memahami mekanismenya.
~ e l a n j u t n ~kateter
a
ablasi diletakkati pada sirkuit yang
penting dalam merpertahankan kelangsungan aritmia
tersebut di luarjaringan konduksi normal. Bila lokasi yang
tepat sudah ditemukan maka energi radiofrekuensi
diberikan lnelalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak
merasakan adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat
juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi
komplikasi pasien hanya perlu dirawat selama satu hari
bahkan bisa pulang hari.

KAPAN HARUS MERUJUK PASIEN UNTUK


PROSEDUR ELEKTROFlSlOLOGl DAN ABLASI
KATETER?
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak ha1 seperti
lama dan frekuensi takikardi, toleransi terliadap gejala,
efektivitas dan toleransi terliadap obat antiaritmia, dan ada
tidaknya kelainan strukturjantung. Untuk TSV yang tcratur
(regrrlrrrsz~pi.r11~e17tric.i1lar.
rtrc~/7j~c~urcr'iu),
banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa ARF Iebih efektif'daripada obat
dala~iiaspek peningkatan kualitas hidup pgsien dan
pengliematan biaya daripada obat antiaritmia.
Kelornpok pasien berikut ini sebaiknya d i r ~ ~ j uukn t ~ ~ k
prosedur elektrofisiologi dan ARF:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pasien dengan aritmia yang mengancarn jiwa:
Pasien Fibrilasi Atrial (FA) dengan sindrom WolfParkinson- White dengan masa refrakter antegrad jaras
tambahan yang pendek
Pasien dengan aritmia yang menimbulkan gaga1jantung:
- takikardia atrial incessant
- TRA dengan menggunakan jaras tarnbahan dengan
sifat penghantaran yang lambat dari ventrikel ke
atrium
- fluter atrial
- fibrilasi atrial
- * Pasien dengan takiaritmia bergejala meskipun telah
mendapat terapi obat:
- takikardia atrial
- fluter atrial
- fibrilasi atrial
- TRNA
- TRA
- takikardia ventrikel idiopatik
Pasien seperti pilot, supir bis, atlit professional dengan
jaras tambahan (atrioventricular accessory pathway)
dengan periode refrakter antegrad yang pendek
sehingga dapat membahayakan jiwa orang lain.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka
keberhasilan rata-rata ARF pada TSV adalah 90-98%
dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka penyulit
rata-rata adalah sekitar 1%. Oleh karena itu ARF
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan
dengan obat-obatan. Seandainya diperlukan tindakan
ulang biasanya angka keberhasilannya jauh lebih tinggi
lagi.

REFERENSI
Calkins H. Radiofrequency ablation of supraventricular arrhythmias
. Heart 2001;85:594-600.
Chauhan VS, Krahn AD, Klein GJ, et al. Supraventricular tachycardia, Medical Clin of North Am;85:196-223.
Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science,
1999
Friedman PA. Novel mapping techniques for cardiac electrophysiology. Heart 2002;87:575-82
Huszan RJ. Basic dysrhythmias. 7Ih Ed, Mosby, 2002
Lundqvist CB, Scheinman MM, Aliot EM, et al. ACCIAHAIESC
guidelines for the management of patients with supraventricular arrhythmias. Circulation 2003 ;108:187 1-909
Miller JM and Zipes DP. Diagnosis of cardiac arrhythmias. In: Zipes
DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of
cardiovascular medicine.7Ih Ed, Elsevier Saunders, 2005.
Murgatroyd FD, Krahn AD, Klein GJ, et al. Handbook of cardiac
electrophysiology: a practical guide to invasive EP studies and
catheter ablation. Remedica Publishing, 2002.
Ramo BW and Wagner GS. The Physiology of normal and abnormal
rhythms. In: Waugh RA, Ramo BW, Wagner GS, et al. Cardiac
arrhythmias : a practical guide for clinician. 2ndEd, FA Davis
Company, 1994.
Rubart M and Zipes DP. Genesis of cardiac arrhythmias: electrophysiological consideration. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO,
et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine.7Ih
Ed, Elsevier Saunders, 2005.
Schilling RJ. Which patient should be referred to an electrophysiologist: supraventricular tachycardia. Heart 2002;87:299-304.
Singer I (Ed). Interventional electrophysiology. 2ndEd, Lippincort
Williams and Wilkins, 2001
Wellen HJJ. Ventricular tachycardia: diagnosis of broad complex
QRS tachycardia. Heart 2001;86:579-85
Wellen HJJ. Catheter ablation for cardiac arrhythmias. N Eng J Med
2005;12:1172-4

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)


M. Yamin

PENDAHULUAN
Pacu jantung permanen (PJP) adalah suatu sirkuit di mana
sebuah generator mengeluarkan arus listrik yang mengalir
ke otot jantung (miokard) melalui sebuah kabel (wire)
penghantar untuk merangsang jantung berdenyut, dan
selanjutnya kembali ke generator (sirkuit berakhir). Jadi
PJP umumnya diindikasikan pada kelainan irama jantung
yang lambat (bradikardia), baik oleh karena kelainan
pembentukan impuls misalnya sindrom sinus sakit (SSS)
maupun kelainan hantaran impuls (misalnya blok
atrioventrikel total). PJP akan mengembalikan sistem
pemacuan jantung ke keadaan fisiologis sehingga dapat
meningkatkan curah jantung dan memperbaiki sirkulasi otak
dan organ tubuh lainnya. Hasil akhirnya adalah
menghilangkan keluhan pasien yang mengalami
bradikardia. seperti mudah lelah, sinkop, dan sesak napas.
Teknologi PJP telah mengalami perkembangan dan
kemajuan yang pesat sejak pemasangan PJP pertama pada
manusia yang dilakukan oleh Ake Senning, seorang dokter
bedah toraks dari Swedia, pada tahun 1958. Pada waktu
itu indikasi pemasangan PJP masih sangat terbatas pada
kasus bradikardia seperti hambatan atrioventrikel total dan
proses pemasangan melalui prosedur torakotomi yang
dilakukan oleh seorang ahli bedah toraks.
Saat ini perkembangan PJP semakin luas dari segi
indikasi dan penempatan pacing lead. Terobosan terkini
dari segi indikasi adalah untuk mencegah takiaritmia seperti
fibrilasi atrium (FA). Lokasi penempatan pacing lead pun
mengalami perubahan dari yang klasik (apeks ventrikel
kanan dan apendiks atrium kanan) menjadi septum
ventrikel kanan atau, Right Ventricular Outflow Tract
(RVOT) untuk lead ventrikel dan septum bagian bawah
atrium kanan untuk lead atrium untuk mengurangi kejadian
FA. Demikian pula dengan prosedur implant yang semakin
sederhana dan dilakukan oleh seorang kardiolog dengan

anestesi lokal dan masa perawatan singkat (satu hari).


Para dokter umum, peserta program pendidikan spesialis
penyakit dalam atau kardiologi, spesialis penyakit dalam,
atau spesialis jantung baik pada saat pendidikan maupun
melaksanakan praktek tidak jarang berhadapan dengan
pasien yang mernerlukan pemasangan PJP atau yang sudah
terpasang PJP. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan
dasar tentang PJP, terutama indikasi pemasangan dan
tindak lanjut Cfollo~~-up)
sederhana dan praktis. Dalam
tulisan ini akan dibahas prinsip kerja PJP, terminologi yang
dipakai pada PJP, indikasi pemasangan dan pemilihan jenis
PJP, dan kernajuan terkini di bidang PJP.

ANATOMI DAN FlSlOLOGl SISTEM KONDUKSI


JANTUNG
Jantung memiliki pembangkit listrik (ger7erutor) sendiri
yaitu nodus sinoatrial (NSA) yang bekerja menghasilkan
impuls listrik secara otomatis (Gambar 1).Impuls listrik ini
diteruskan ke sistem konduksi lain yaitu jaras interatrial
dan bundle dari Bachman ke atrium kiri. Di antara atrium
dan ventrikel terdapat jaringan kartilago yang dikenal
sebagai cardiac skeleton (Gambar 2). Struktur ini
berfungsi sebagai insulator (penyekat hantaran impuls
listrik) sehingga setelah terjadi depolarisasi atrium semua
impuls listrik akan masuk ke Nodus Atrioventrikuler (NAV).
Di sini impuls listrik mengalami perlambatan untuk
memberikan kesempatan pengisian darah dari atrium ke
ventrikel secara optimal. Selanjutnya impuls akan
diteruskan ke berkas His yang kemudian bercabang
menjadi Berkas Cabang Kiri (BCK) dan Berkas Cabang
Kanan (BCKa) dan berakhir di serabut Purkinje dan otot
jantung (miokard) dan membuat bilikjantung berkontraksi.
Gangguan pada salah satu komponen sistem konduksi
ini dapat berupa gangguan pembentukan impuls pada NSA

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1653

PACU JANTUNC MENETAP (PERMANEN)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dan atau ganggwan hantamn impuls yang riteara klinis
btrdampak timbulnya gejala hampir pingsan (nearsyncope).atau pingsan (syncope). Keadaan klinis inilah
yang menjadi indikasi utama pernasangan pacu janbmg.

branch
\

Purkinjefibers

Left bundle branch

KONSEP DASAR DAN PRlNSlP KERJA PACU


JANTUNG PERMANEN
PJP pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama yaitu
pulse generator (Gambar 3) danpucingIead(Gambar 4).
Pulse generator terbuat dari lithium iodine battery yang
merupakan sumber energi utama untuk menghantarkan
impuls ke miokard. Fungsi tambahannya adalah sebagai
pusat pengaturan fungsi PJP. Rata-rata generator
mempunyai lama kerja sekitar 4-1 0 thn (tergantung apakah
pasien sepenuhnya tergantung pada PJP atau tidak).
Generator dihubungkan dengan endokardium jantung
melalui pacing lead. Pacing leud merupakan suatu
insulated-wire yang berfungsi menghantarkan impuls dari
pulse generutor ke otot jantung dan melakukan deteksi
(sensing) sinyal depolarisasi (kontraksi) jantung. Secara
umum pacing lead dibagi dua yaitu pacing leud yang
dimasukkan secara intravena ke dalam endokardium
(transvenous lead) dan yang dipasang di atas epikardium
(epicardiul lead). Yang paling sering dipakai adalah jenis
yang pertanla. Transvenous lead terdiri dari dua jenis yaitu
untuk fiksasi pasif (tine lead) atau untuk fiksasi aktif
(screw-in lead) seperti terlihat dalam Gambar 4.

Gambar 1. Sistem konduksijantung. Pembentukan impuls dimulai


secara otornatis dl Nodus Sinoatrial (Sinoafrial Node) dan
dihantarkan ke seluruh atrlum untuk mendepolarlsasi atrlum.
Selanjutnya lmpuls diteruskan ke Nodus Atrioventrikel (Atrioventricular Node), berkas darl Ha,Berkas Cabang Kanan dan Kiri,
serabut Purkinje, dan berakhlr di otot jantung.(D~kutipdarl AHA
ECG tutorial)

b
erl~hatkancontoh uenerator dari
berbagai merek d i n model. ( ~ i k u tdari
l ~ www.medGonic~onnect
com dan www.guidant.com)

F~brousskeleton

Gambar 4. Gambar dl sebelah klrl adalah jenls lead fiksasl pas~f


(bne lead) dengan tonjolan sepertl durl pada ujungnya untuk
rnemudahkan perlekatandengan trabekel endokardlum Sedangkan
gambar sebelah kanan adalah lead flksasl aktlf (screw-in) dengan
screw pada ujungnya (Dlkutlp darl St Jude Medlcal Teachlng
Material)
Gambar 2. Cardlac skeleton Jarlngan kartllago yang menyokong
struktur katup jantung dan berfungsl sebagal penyekat lmpuls
llstrlk darl Nodus Slnoatrlal agar tdk menyebar ke jartngan lam tap1
terkumpul dl Nodus Atrloventrlkuiar (Dlkut~pdarl Fogoros RN
Electrophys~olog~c
testlng 2"O Ed. Blackwell Sclence, 1999)

Lerrd untuk fiksasi aktif lebih stabil dan jarang lepas


(dislokasi) pada fase akut pasca implant karena ujung lead
di tanam melalui screw ke dalam septum atau endokardiurn
dan mudah ditanam di mana saja di dalam ruang jantung.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Sedangkan tine lead melekat pada trabekel endokardium


sehingga relatif lebih mudah mengalami perubahan posisi
pada fase akut pasca irnpIantt apalagi bila terdapat kelairtan
regurgitasi katub trihspid. Di samping itu pacing lead
juga ada yang dilapisi obat steroid dan ada yang tidak.
Jadi arus listrik yang dikeluarkan oleh generator akan
dihantarkan ke otot jantung melalui pacing lead dan
kembali ke generator dan demikian seterusnya.Pada u-jung
pacing lead terdapat elektroda bermuatan negatif (katoda)
yang kontak langsung miokard. Sedangkan elektroda yang
menerima impuls listrik setelah terjadi depolarisasi disebut
anoda. Pada sistem kutub tunggal (unipolar) maka
katodanya terletak di ujung pacing lead dan anodanya di
generator. Sedangkan pada sistem kutub ganda (bipolar)
katoda terletak di ujung pacing lead yang kontak langsung
dengan miokard dan anoda terletak pada bagian proksimal
pacing lead (terdapat dua elekroda). Jadi saat terjadi
pemaeuan maka impuls lisfrik akan keluar dari generator
dialirkan melalui lead dan katoda dan kembali ke anoda.
Untuk PJP kamar tunggal (single chamber) maka hanya
dipakai satu lead yang biasanya ditempatkan pada apeks
ventrikel kanan (Gambar 5). Pada PJP kamarganda (double
chamber) lead ditempatkan di atrium kanan dan ventrikel
kanan.

Garnbar 5. Pada pacu jantung kamartunggal maka lead umumnya


d~letakkanpada ventr~kelkanan Pada ind~kas~
tertentu lead dapat
pula dlletakkan pada atr~umkanan. (D~kut~p
dar~www gu~dantcorn1
cond~t~onlarrhythm~a/
Image)

Prinsip kerja PJP terkait erat dengan konsep dan hukum


elektrodinamik terutama hukum ohm. Hukum ohm
menyatakan bahwa tegangan listrik (V) adalah berbanding
lurus dengan perkalian kuat arus (I] dan resistensi (R).
Semakin besar resistensi dalilm sirkuit PJP maka semakin
besar tegangan yang diperlukan untuk mengalirkan arus
listrik dalam sirkuit tersebut. Penerapan hukum ini pada
sistem PJP amat penting untuk menilai keutuhan sistern
PJP baik pada saat pemasangan (implant) maupun pada

saat tindak lanjut. Pada tahanan (impedance)yang tinggi


maka arus yang dikeluarkan akan berkurang sehingga
kelangsungan generator akan lebih panjang.
Beberapa konsep dasar yang perlu dipahami adalah
ambang rangsang (stimulation ~hre~shold)
dan sensing.
Ambang rangsang (threshold)adalah energi minimal yang
diperlukan untuk membuat kontraksi otot jantung
(depolarisasi). Agar ambang rangsang dapat membuat
kontraksi ototjantung (capture)maka diperlukan besarnya
arus yang diberikan oleh pacu jantung ke miokard
(an?plitu& dan lamanya stimulus diberikan bzrlse width).
Amplitude (yang dinyatakan dalam volt) yang diberikan
hams memiliki nilai yang cukup untuk depolarisasi miokard.
Demikian pula denganpulse width (yang dinyatakan dalam
milisekon) hams mempunyai durasi yang cukup agar dapat
membuat otot jantung kontraksi. Kombinasi kedua
komponen inilah yang menentukan apakah stimulasi dari
pacu jantung dapat mendepolarisas miokard (capture).
Pada Gambar 6 (diambil dari hasil uji rhreshold salah
satu pasien penulis saat tindak lanjut di Divisi Kardiologi
Departemen Ilmu Penyakit DalamiPJT RSUPN Cipto
Mangunkusumo) diperlihatkan contoh gambaran EKG
pada saat capture dan lost cupture.

Gambar 6. Garnbarar~EKG yany o ~ a m bdar~


~ l programer paoa
saat tindak lanjut pasien dengan PJP.Dengan ampl~tude2,4 volt
terlihat stimulus pacu jantung dapat membuat depolar~sas~
ventr~kel
kanan (capture) yang terlihat pada EKG sebaga~kompleks QRS
dengan morfologi Blok Berkas Cabang KI~I(Left Bundle Branch
Block Morphology). Arnpl~tudeterus diturunkan secara bertahap
dan pada angka 0.6 volt st~mulusini t~dakdapat mendepolarisas~
ventrikel (lost capture).Berart~threshold (energ1 m~n~rnal
yang
diperlukan untuk mendepolarisasi ventrikel) pada pasien in1adalah
0.9 volt

Komponen lain yang penting adalah sensing yaitu


kemampuan pacu jantung untuk mengenali adanya irama
intrinsik jantung (intrinsic rhythm) sehingga bila irama
tersebut rnuncul maka pacu jantung tidak akan memberikan
stimulus (inhibited).Sensing yang akurat memungkinkan
pacu jantung untuk mengetahui a ~ a k a hjantung dapat
n~embentukiramanyasendiri. Jadi pacu jantung hanya &an
bekerja bila jantung tidak dapat membentuk atau
menghantarkan impuls. Pada Gambar 7 berikut ini disajikan
contoh penilaian sensing oleh pacu jantung (diambil dari
salah satu pasien penulis):

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1655

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 9. Kompleks QRS yang ke-7 tidak dapat dikenali


(undersensing) oleh pacu jantung sehingga stimulus tetap
diberikan (tanda garis lurus, spike, setelah QRS kompleks).
Seharusnya pada saat tersebut pacu jantung tidak memberikan
stimulus (Dikutip dari St Jude Medical Teaching Material)
Gambar 7. Sensing yang dilakukan oleh pacu jantung mendapat
nilai gelombang R (irama intrinsik pada ventrikel) adalah 8,4 milivolt
(mV). Nilai ini cukup baik untuk ventrikel (minimal 5 mV).

Dalam kaitan ini dikenal istilah undersensing dan


oversensing. Yang pertama berarti jantung tidak dapat
mengenali irama intrinsik pasien baik di atrium maupun di
ventrikel sehingga tetap memberikan pacuan (stimulus)
walaupun jantung tidak memerlukannya. Sedangkan yang
kedua berarti jantung terlalu berlebihan dalam mengenali
aktivitas di luar jantung (aktivitas otot di daerah dada)
sebagai irama intrinsik jantung atau mengenali gelombang
T sebagai kompleks QRS sehingga pacu jantung tidak
memberikan stimulus yang diperlukan (dihambat). Faktorfaktor yang mempengaruhi sensing adalah polaritas lead
(unipolar atau bipolar), integritas lead (retak pada insulasi
atau patah pada wire), dan interferens elektromagnetik.
Pada Gambar 8 ditampilkan contoh keadaan oversensing
dan Gambar 9 untuk undersensing.
Untuk mendapat kedua komponen (threshold dan
sensing) yang ideal maka pacing lead harm diposisikan
di lokasi yang tepat pada atrium dan atau ventrikel.

TERMlNOLOGl DALAM PJP


Untuk memudahkan dalam komunikasi dan penamaan PJP
maka oleh North American Society of Pacing a n d
Electrophysiology (NASPE) dan British Pacing a n d
Electrophysiology Group (BPEG) dibuatlah pedoman
istilah yang dipakai pada PJP sebagai berikut:
Posisi I menggambarkan ruangan dipacu untuk
mengatasi bradikardia. Posisi I1 menggambarkan ruang
tempat deteksi irama spontan (intrinsik) untuk tujuan
mencetuskan atau menghambat pacuan. Sedangkan posisi
111menggambarkan reaksi terhadap posisi 11.
Posisi IV agak unik karena menggarnbarkan apakah PJP
tertentu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan laju
pacuan (rate adaptive) sesuai dengan kebutuhan aktivitas
pasien. Ini penting pada pasien dengan chronotropic incompetence. Sedangkan posisi V menggambarkan apakah
ada pemacuan lebih dari satu tempat pada ruang yang
sama (biatrial utazr biventriclepacing). Umumnya empat
posisi pertama yang kerap dipakai dalam praktek sehari
hari. Berikut ini disajikan berbagai contoh istilah tersebut:
VOO
Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) tanpa ada ruang
yang dideteksi (0)dan tentu tidak ada respons terhadap
deteksilsensing (0).Jenis ini dikenal sebagai pemacuan
ventrikel tidak sinkron
VVI
Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) dan ruang tempat
deteksi adalah ventrikel juga (V) dan respons bila terdapat
sensinglirama intrinsik adalah inhibisi (I)/ penghambatan.

Gambar 8. Keadaan oversensing pada gambar A terjadi setelah


kompleks QRS ketiga akibat adanya aktivitas otot dada
(miopotensial). Aktivitas otot ini ditangkap oleh pacu jantung
sebagai irama intrinsik ventrikel sehingga pacu jantung tidak
memberikan stimulus pada saatnya yaitu di antara kompleks QRS
ketiga dan keempat. Pada gambar B pacu jantung salah mengenali
gelombang T sebagai kompleks QRS sehingga tidak memerikan
stimulus pada saat seharusnya (tanda panah) (Gambar A dikutip
dari buku The Medtronic ECG Workbook dan gambar B dikutip
dari St Jude Medical Teaching Material).

VVlR
Sama seperti di atas tetapi pada jenis ini terdapat
kemampuan adaptasi laju pacuan (R=rute udaptive) sesuai
dengan kebutuhan aktivitas pasien. Biasanya dipasang
pada pasien FA dengan blok AV total
DDD
Pemacuan dan deteksi kamar ganda (D) dengan respons
inhibisi bila terdapat sensing irama intrinsik baik pada
atrium dan ventrikel pada nilai AV tertentu dan akan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Posisi

Kategori

I
Ruang yang dipacu

II
Ruang yang
mendeteksi (sensing)

111
Respons terhadap
sensing

IV
Pengaturan Laju
Pacuan (rate
modulation)

0 = Tidak ada
A = atrium
V = ventrikel
D = atrium dan ventrikel

0 = tidak ada
A = atrium
V = ventrikel
D = atrium dan vetrikel

0 = tidak ada

0 = tidak ada
R = rate
modulation

memberikan pemicuan (trigger)pada ventrikel bila terdapat


sensingldeteksi pada atrium pada interval VA tertentu
DDDR
Sama seperti di atas ditambah kemampuan adaptasi laju
pemacuan. Inilah jenis PJP yang paling fisiologis dan ideal.

HEMODlNAMlK PADA PACU JANTUNG


Tujuan yang paling ideal dalam pemasangan PJP adalah
tercapainya pemacuan yang fisiologis (physiologicalpacing) untuk mendapatkan efek hemodinamik yang optimal.
Konsep pemacuan fisiologis ini telah berkembang seiring
dengan bertambahnya pemahaman tentang hemodinamik
yang berkaitan dengan pacu jantung dan kecanggihan
sistem pacu jantung itu sendiri.
Adanya keselarasan antara pemacuan atrium dan
ventrikel (AV synchrony) adalah amat penting untuk
memberikan efek hemodinamik yang positif. Seperti
diketahui bahwa atrium menyumbang sekitar 30%
terhadap curah jantung (atrial kick). Pada pemacuan
kamar tunggal (single chamberpacing) maka ha1 ini tidak
dapat dicapai. Pemacuan kamar tunggal juga dapat
memberikan efek samping berupa peningkatan angka
rawat-inap karena gagal jantung dan peningkatan
kejadian fibrilasi atrium. Sebaliknya pada pemacuan kamar
ganda (dual chamber pacing) tujuan ini dapat dicapai
secara maksimal.
Tekanan darah sistemik dan curah jantung adalah dua
parameter yang menjadi perhatian utama pada pemacuan
fisiologis. Pada uji klinis The Mode Selection Trial in
Sinus-Node Dysfunction didapatkan pemacuan kamar
ganda menyebabkan adanya penurunan risiko fibrilasi
atrial, pengurangan gejala gagal jantung, dan sedikit
perbaikan angka kesintasan (survival).

INDlKASl PEMASANGAN PACU JANTUNG


PERMANEN
Secara umum indikasi pemasangan PJP adalah keadaan
laju jantung lambat yang bergejala (symptomatic

I = inhibisi
T = trigerred
D = inhibisi dan trigened

v
Pemacuan Banyak
Tempat (multisite
pacing)
O=tdk ada
A=atrium
V=ventrikel
D=atrium dan ventrikel

bradycardia). Secara terinci indikasi pemasangan PJP


menurut pedoman bersama dari American College
Cardiology, American Heart Association, dan Nortl~
American Society of Pacing and Electrophysiology,
terutama untuk indikasi kelas I, adalah sebagai berikut:

Blok Atrioventrikel Didapat ( A c q u i r e d


Atrioventricular Block)
Blok AV derajat 3 atau blok AV derajat dua yang lanjut
pada lokasi anatomi manapun yang disertai:
- Bradikardi yang bergejala (termasuk gagal jantung)
yang berkaitan dengan blok AV
- Aritmia dan keadaan lain yang memerlukan obat
yang menyebabkan bradikardi bergejala
- Adanya asystole yang terdokumentasi dengan
durasi 3 detik atau lebih atau laju irama escape yang
kurang dari 40 kali per menit pada pasien sadar
meskipun tanpa gejala (symptom-free)
- Setelah prosedur ablasi pada Atrioventricular
junction
- Blok AV pasca operasi yang tidak dapat pulih kembali
- Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti
distrofi muskular miotonik
Blok AV derajat dua pada tingkatan manapun yang
diserta bradikardi bergejala.
Pemacuan pada Blok Bifasikular dan
Trifasikular Kronis
Blok AV derajat tiga yang hilang timbul (intermittent)
Blok AV derajat dua tipe I1
Blok berkas cabang yang bergantian (alternating
bundle branch block)
Pemacuan pada Blok AV pada lnfark Miokard
Akut (IMA)
Blok AV derajat dua menetap dengan blok berkas cabang
bilateral atau blok AV derajat tiga pada IMA
Blok AV (derajat dua atau tiga) sesaat yang disertai
blok berkas cabang. Jika lokasi blok tidak jelas maka
diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi.
Blok AV derajat dua atau tiga yang menetap dan
simtomatik

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemacuan pada Disfungsi Nodus Sinus (sinus
node dysfunction)
Disfungsi nodus sinus dengan bradikardi yang
terdokumentasi, termasuk sinus pauses yang sering.
Pada kebanyakan pasien ha1 ini disebabkan oleh obatobatan yang penting dengan indikasi kuat dan tidak
ada pilihan pengganti obat tersebut
Inkompetensi kronotropik (laju nadi yang tidak dapat
naik saat kebutuhan meningkat mislanya latihan) yang
simtomatik
P e n c e g a h a n dan Terminasi Takiaritmia
dengan Pemacuan (indikasi kelas Ila)
Takikardia supraventrikel yang berulang dan bergejala
serta terbukti dapat diterminasi dengan pemacuan dan
ablasi atau obat akan memberikan efek samping yang
tidak dapat ditoleransi.
Fluter atrium dan takikardia supraventrikel yang terbukti
dapat diterminasi dengan pemacuan dan obat atau ablasi
tidak efektif
Pemacuan pada Sinkop Neurogenik dan
Sindrom Sinus Karotis Hipersensitif
Sinkop berulang akibat stimulasi pada sinus karotis, atau
penekanan minimal pada nodus sinus karotis yang
menimbulkan asistol ventrikel selama 3 detik atau lebih
tanpa adanya obat-obat yang menekan fungsi nodus sinus karotis
Pemacuan pada Anak dan Orang Dewasa
dengan Penyakit Jantung Bawaan
Blok AV derajat dua atau tiga yang berkaitan bradikardi
asimptomatik, disfungsi ventrikel, dan penurunan curah
jantung
Disfungsi nodus sinus yang bergejala dan berkaitan
dengan bradikardi yang tidak sesuai dengan usia
Blok AV derajat dua atau tiga pasca operasi yang tidak
pulih setelah tujuh hari
Blok AV bawaan dengan irama pengganti tipe kompleks
QRS lebar, irama ektopik ventrikel, dan disfungsi
ventrikel kiri
Blok AV total pada bayi dengan irama ventrikel kurang
dari 50-55 kali per menit atau disertai penyakitjantung
bawaan dengan irama ventrikel kurang dari 7 0 kali per
menit
Takikardia ventrikel yang bergantung pada pause
(pause-dependent VT) dengan atau tanpa pemanjangan
interval QT dan manfaat pacing terbukti efektif.
Pemacuan pada Keadaan Khusus (spesifik)
Pemacuan pada kardiomiopati obstruktif hipertrofi,
indikasi kelas I pada kelainan ini adalah adanya
disfungsi nodus sinus dan blok AV seperti pada keadaan

lain yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan indikasi


kelas I1 adalah keadaan kardiomiopati obstruktif
hipertrofi yang simptomatik dan gaga1 dengan terapi
obat dengan adanya bukti obstruksi alur keluar ventrikel
kiri baik saat istirahat maupun dengan provokasi
Pemacuan pada Kardiomiopati Dilatasi, indikasi kelas
I adalah pada keadaan yang disertai disfungsi nodus
sinus. Sedangkan indikasi kelas I1 adalah pemasangan
pacu jantung ventrikel ganda (biventricular pacing)
pada pasien kardiomiopati iskemia atau dilatasi yang
bergejala, fungsional klas New York Heart Association
(NYHA) 111atau IV, tidak membaik dengan obat, durasi
kompleks QRS memanjang (130 milidetik atau lebih),
diameter diastolik akhir ventrikel kiri sama atau lebih
dari 55 mm, dan fraksi ejeksi kurang atau sama dengan
35%
Pemacuan pasca Transplantasi Jantung, adanya
disfungsi nodus sinus dan inkompentensi kronotropik
yang tidak dapat pulih setelah transplantasi jantung.

TEKNIK DAN PROSES PEMASANGAN PACU


JANTUNG
Pemasangan PJP saat ini tidaklah sesulit pada masa dulu
dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal serta oleh
seorang kardiolog saja. Persiapan pasien adalah puasa
sekitar 6 jam sebelum prosedur. Antibiotika intravena
diberikan sebelum dan 24 jam sesudah prosedur
dilaksanakan. Selama tindakan pasien hanya diberikan
sedasi ringan tanpa anestesi umum.
Akses yang umumnya dipakai adalah dengan cephalic vein cut-down atau punksi vena subklavia. Pada teknik
pertama dilakukan insisi di atas sulkus deltopektoralis, dan
dengan pemisahan jaringan secara tumpul, dicari vena
sefalika yang umumnya berjalan sejajar dengan sulkus
deltopektoralis. Pada saat yang sama dibuat kantung
(pocket) untuk generator. Bila vena ditemukan, dilakukan
cut-down untuk memasukkan lead atau wire ke dalam
atrium dan atau vetrikel kanan. Teknik lain adalah dengan
langsung melakukan punksi pada vena subklavia untuk
mendapatkan akses ke ventrikel dan atau atrium kanan.
Setelah akses didapat dimasukkan wire dan disusul dengan
peel-away sheath Cjenis sheath yang dapat disobek).
Setelah lead dimasukkan, peel-away sheath dikeluarkan
dengan cara merobeknya.
Penempatan lead untuk ventrikel umumnya adalah di
apeks ventrikel kanan. Namun berdasarkan studi terkini
tempat alternatif seperti RVOT, adalah lebih baik karena
aktivasi antara ventrikel kanan dan kiri lebih sinkron. Telah
pula dibuktikan bahwa pemacuan pada apeks ventrikel
kanan berdampak buruk secara jangka panjang berupa
remodeling dan dilatasi ventrikel kiri serta penurunan
kapasitas fungsional. Pada pacu jantung kamar tunggal,
setelah lead berada di posisi yang dimaksud, dilakukan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pengujian parameter berupa threshold, sensing, dan
impedance. Untuk penempatan lead atrium yang
konvensional adalah pada right atrial appendage. Namun
saat ini untuk mencapai sinkronisasi antara atrium kanan
dan kiri dan mengurangi dispersi elektris antara kedua
atrium, posisi lead diletakkan pada right atrial high
septum dan right atrial low septum (pada ostium sinus
koronarius). Gambar 10 merupakan salah satu contoh
pasien penulis yang dipasang PJP kamar ganda (dzral
chamber pacemaker).
Selanjutnya lead difiksasi secara baik dan dihubungkan
ke generator. Kulit ditutup lapis demi lapis secara jahitan
berkesinarnbungan. Antibiotika diberikan sehari sebelum
dan sampai sehari pasca pemasangan. Segera setelah selesai
dilakukan pemograman dan pengecekan akhir dengan
memakai alat yang disebutprogrammer. Pemeriksaan rutin
dengan programmer ini diul;ngkembali tiga bulan kemudian
untuk mengubah acute threshold menjadi chronic
threshold dan secara berkala setiap 6 bulan.
Parameter baku untuk atrium dan ventrikel dapat dilihat
pada Tabel 2.
Komplikasi yang mungkin timbul saat dan setelah
pemasangan PJP adalah pneumotoraks, hemotoraks,
emboli udara, hematoma, trombosis intravaskular, erosi dan
infeksi.

PEMlLlHANJENlS PJP
Yang menjadi pegangan utama dalam pemilihan PJP adalah
jenis kelainan dalam sistem konduksi jantung dan aspek
sosial ekonomi pasien. Pada kelainan berupa blok AV maka

Gambar 10. PJP kamar ganda dengan penempatan lead atrium


pada appendiks atrium kanan dan lead ventrikel di apeks ventrikel
kanan. Jenis yang dipakai adalah fiksasi aktif (screw-in lead)
yang pada ujungterlihat adanya screw (gamber diambil dar'i
Laboratorium Kateterisasi Divisi Kardiologi Dept llmu Penyakit
Dalam FKUIIPelayanan Jantung Terpadu RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Jakarta)

pemilihan PJP bergantung pada beberapa ha1 seperti yang


terlihat pada Gambar 11.
Pada prinsipnya pada blok AV yang disertai oleh aritmia
atrial yang kronik maka dipilih pacu jantung kamar tunggal
di ventrikel. Sebaliknya bila tidak disertai aritrnia atrial kronik
dan diperlukan adanya keselarasan antara atrium dan
ventrikel ~~~~~~~~~~~~v) maka dipilih jenis pacu jantung
kamar ganda. Faktor penentu lainnya adalah kompetensi
kronotropik (chronotropic competence).
Pada kelainan atau penyakit nodus sinus (sinus node
dysfunction) maka faktor penentu pemilihan jenis pacu
jantung adalah ada tidaknya kelainan konduksi nodus AV.

AV Block

G I
Chronic atrial tachyarrhythmia
reversion to sinus rhythm not
anticipated
Desire for

dual chamber

Gambar 11. Pemilihan jenis pacu jantung pada kelainan blok atrioventrikuler (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et al. ACCl
AHAINASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002;106:2145-61.)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1659

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Evidence for impa~redAV


conduction or concern over
future development of AV
block

NO

Yes

Desire for
rate response

Atrial

Desire for
AV syncrony

Desire for

Desire for

Gambar 12. Pemilihan pacu jantung pada kelainan nodus sinus. (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et
al. ACCIAHNNASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation
2002;106:2145-61.)

TINDAK LANJUT (FOLLOW-UP) PASIEN DENGAN


PACU JANTUNG PERMANEN
Tuiuan
< pokok
. tindak laniut pada -pasien dengan
- PJP adalah
menilai sistem dan kinerja PJP secara menyeluruh untuk
menjamin adanya fungsi pemacuan yang optimal dan
sesuai dan mendeteksi serta mencegah masalah yang
berkaitan dengan PJP. Yang lebih penting lagi adalah
merangkum semua informasi yang diperoleh dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisis, data kejadian yang tersimpan
di dalam pacu jantung, dan hasil penilaian yang
kesemuanya diramu dalam satu "resep pacu jantung". Pada
prinsipnya tindak lanjut dimulai segera setelah implant dan
sampai sepanjang hayat pasien.
Pada fase akut pasca pemasangan PJP, tindak lanjut
awal dilakukan satu minggu setelah prosedur untuk menilai
keadaan luka. Hal penting lain yang hams diinformasikan
ke pasien adalah agar tidak mengangkat sisi tangan yang
dipasang pacu jantung melebihi bahu dan tidak
mengangkat beban berat >5 kg pada selama 1 bulan. Pasien
tidak perlu kuatir akan pengaruh alat-alat elektronik di
rumah. Yang perlu dihindari adalah alat generator besar di
pabrik yang dapat menghasilkan gelombang elektro
magnetik yang besar. Kemudian dilakukan tiga bulan
berikutnya dengan tujuan utama untuk mengubah acute
threshold (nilai amplitude yang diprogram pada saat
pemasangan dan biasanya lebih tinggi untuk menjamin
adanya capture karena masih adanya edema antara ujung
lead dan endokardium) ke chronic threshold (nilai
amplitude yang diprogram lebih rendah dari acute
"

I.

Parameter implant akut (segera setelah implant sampai


dengan 3 bulan):
A.
Threshold
1.
Voltage: < 1 V, tapi lebih disukai -=0,5V
2.
Current<l,5mA
3.
lmpedance kira-kira 400-1200 ohm
B. Sensing
1. Gelombang R: > 5 mV
2. Gelombang P: s 2 mV

II. Parameter pada saat kronis


A.
Threshold
1.
Voltage: <3 mV
2.
Current< 6 mA
3.
lmpedance sekitar 500 ohm
6. Sensing
1. Gelombang R: > mV
.
2.
Gelombang P:> 1,5 mV, sebaiknya 2,O-3,O mV

Bila kelainan nodus sinus disertai dengan blok AV maka


diperlukan pacu jantung di ventrikel dan bila diperlukan
keselarasan antara atrium dan venrikel maka dipilih pacu
jantung kamar ganda. Berdasarkan uji klinik MOSD (Mode
Selection in Sinus-node Dysfucntion) didapatkan bahwa
pada pasien dengan disfungsi nodus sinus yang dipasang
PJP kamar ganda dibandingkan kamar tungal, kelompok
yang mendapatkan PJP kamar ganda mempunyai risiko
kejadian fibrilasi atrial yang lebih rendah, gejala gaga1
jantung berkurang, dan mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik. Pemilihan secara rinci dapat dilihat pada Gambar
12.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


threshold dan minimal dua kali threshold). Tindak lanjut
rutin selanjutnya adalah tiap 6 bulan.
Penilaian dan pemeriksaan rutin yang dikerjakan saat
tindak lanjut adalah menilai sensing dan capture,
memantau integritas sistem, memantau keadaan baterai
generator, dan memodifikasi pemrograman sesuai
kebutuhan pasien. Untuk itu setiap pasien datang
dilakukan pengambilan riwayat penyakit, pemeriksaan
EKG 12 sadapan, dan pemeriksaan dengan programmer
untuk menilai parameter yang telah disebutkan di atas.
Dalam memodifikasi semua parameter tersebut maka
keselamatan pasien menjadi prioritas utama.

KEMAJUAN TERKlNl DALAM BIDANG PACU


JANTUNG
Beberapa tahun belakangan ini bidang pacu jantung
mengalami kemajuan yang pesat dalam ha1 indikasi. PJP
tidak hanya digunakan untuk indikasi yang konvensional
seperti bradikardi tapi dikembangkan pula untuk
pemakaian pada pasien gagal jantung ( c a d i a c
resvnchroriizution therapy) dan untuk pencegahan FA.
Cardiac Resvnchronization Therapy (CRT) adalah
istilah yang dipakai untuk menyelaraskan (sinkronisasi)
kontraksi antara dinding ventrikel kiri dengan septum
interventrikel dalam usaha memperbaiki efisiensi ventrikel
kiri dan selanjutnya berdampak kepada perbaikan klas
fungsional. CRT memiliki 3 buah pacing lead yang
masing-masing diletakkan di atrium kanan, ventrikel
kanan, dan sinus koronarius untuk pemacuan pada
dinding ventrikel kiri (Gambar 11). Dengan demikian
pemacuan akan menyelaraskan kontraksi antara venrikel
kiri dan kanan dan ini memberikan perbaikan hemodinamik
berupa penurunan tekanan baji arteri pulmonal dan
peningkatan curah jantung.
Braun MU dan kawan-kawan mendapatkan adanya
penurunan aktivasi neurohormonal, perbaikan klas
fungsional, dan kapasitas latihan paru jantung pada pasien
gagal jantung klas fungsional 111-IV, fraksi ejeksi <35%,
blok berkas cabang kiri dengan lebar kompleks QRS >I 50
ms yang mendapat CRT selama < 24 bulan. Bahkan Cleland
dan kawan-kawan dalam Cardiac Resynchronization and
Heart Failure (CARE-HF) Stzidy mendapatkan adanya
perbaikan gejala dan kualitas hidup pada pasien gagal
jantung yang diberikan CRT. Saat ini CRT kerap
dil<ombinasidengan implanttable cadioverter defibrillator (ICD) karena angka kejadian kematian jantung
mendadak pada pasien gagal jantung cukup tinggi yaitu
sekitar 40% dari semua penyebab kematian. Mengingat
mahalnya harga alat ini maka pemakaiannya hams sangat
selektif pada pasien yang memang sangat memerlukan dan
akan mendapatkan manfaat yang maksimal dari alat
tersebut.

Gambar 11. Pada CRT terdapat tiga buah lead yang dipasang di
atrium kanan (kiri atas) ventrikel kanan (paling bawah), dan sinus
koronarius (kanan atas). Gambar dikutip dari Cardiac
Resynchronization Therapy for heart failure management,
Medtronic Inc 2002)

lndikasi pemakaian CRT menurut pedoman ACCIAHAI


NASPE (indikasi kelas Ila) untuk pemasangan CRT adalah:
pasien gagal jantung kelas funsional 111-IV
simptornatik
tidak membaik dengan obat yang optimal
penyebab gagal jantung oleh karena kardiomiopati
iskemia atau idiopatik
*. durasi kompleks QRS > 130 ms
fiaksi ejeksi < 35%
dimensi akhir diastolik ventrikel kiri > 55 mm
Pacu jantung telah dicoba untuk mencegah takiaritmia
atrial termasuk FA. Alasannya berdasarkan pengamatan
bahwa denyut atrial prematur atau takikardi atrial muncul
pada saat sinus bradikardi, sinus pause, atau saat laju atrial
menurun. Selanjutnya denyut atrial premature ini
mencetuskan FA (focally-initiated AF). Oleh karena itu,
dengan pacu jantung, sinus bradikardi dan pause dapat
dicegah sehingga denyut atrial prematur sebagai pemicu
dapat ditekan. Hasil uji klinis Atr-ial Dynamic Overdrive
Pacing Trial (ADOPT) pemacuan pada atrium dapat
mengurangi beban FA (AF burden). Jadi untuk pasien FA
paroksismal dengan kecendrungan bradikardi dan FA yang
dicetuskan oleh denyut atrial prematur maka PJP dengan
kemampuan penekanan FA (AF suppression ability) ada
tempatnya dalam pilihan terapi.

REFERENSI
Berstein AD. Dauber1 JC, Fletcher ED. et al. The revised NASPEI
BPEG generic code for antibradycardia. adapti~e-rate,and
~nultisitepacing. PACE 2002:25:260-4.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1661

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Braun MU. Rauwolf T. Zerm T, et al. Long term biventricular
resynchronization therapy in advanced heart failure: effect on
neurohormones. Heart 2005;91:60 1-5.
Cleland JG. Daubert JC, Erdman E, et al. The effect of cardiac
resynchronization on morbidity and mortality in heart failure.
N Eng J Med 2005;352:62.
Cooper JM, Katcher MS. Orlov MV. lmplanttable devices for treatment of atrial fibrillation. N Eng J Med; 2002;346:2062-8.
Ellenbogen KA. Cardiac pacing. Blackwell Scientific Publications,
1992
Gregoratos (3, Abraham J, Epstein AE et al. ACCIAHANASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and
antiarrhythmia devices.Circulation 2002; 106:2 145-6 1.
Hayes Dl, Zipes DP. Cardiac pacemakers and cardioverterdefibrilators. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart
Disease: a textbook of cardiovascular medicine. 7th Ed. Elsevier
Saunders, 2005.
Jeffrey, K, Parsonnet, V. Cardiac pacing, 1960-1985, a quarter century of medical and industrial innovation. Circulation
1998;97:1978-91.
Knight BP, Gesrh BJ, Carlson MD. et al. Role of permanent pacing
to prevent atrial fibrillation. Circulation 2005;111:240-5
Lamas GA, Lee KL, Sweeney MO, Silverman R. Ventricular pacing
or dual chamber pacing for sinus node dysfunction. N Eng J Med
2002:346: 1854-2.

Lekine PA. Guidelines to the routine evaluation. programming and


follou-up of the patient with an implantted dual-chamber ratemodulated pacing system. St Jude Medical Inc. 2004
Linde C, Leclercq C, Rex S, et al. Long-term benefits of biventricular
pacing in congestive heart failure. Results from the MUSTIC
(multisite stimulation in cardiomyopathy) stud). J Am Coll
Cardiol 2002;40: 1 1 1-1 8.
Moses HW. Miller BD, Moulton KP, et al. Practical guide to cardiac
pacing. 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000.
Reynods DW. Hernodynamics of cardiac pacing. In: Ellenbogen
KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3rd Ed. Blackwell
Science, 2002.
Schoenfeld MH. Follow-up assessments of pacemaker patient. In:
Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3rd Ed.
Blackwell Science, 2002.
Sweeney MO. Hellkamp AS, Ellenbogen KA. Adverse effect of ventricular pacing on heart failure and atrial fibrillation among
patients with normal QRS duration in a clinical trial of pacemaker therapy for sinus node dysfunction. Circulation
2003; 107:2932-7.
Thambo JB, Bordachar P. Garrigue S. et al.Detrimenta1 ventricle
remodeling in congenital complete heart block and chronic
right ventricle apical pacing. Circulation 2004;l 10:3766-37.
Turner MS. Bleasdale RA, Mumford CE. et al.Left ventricular
pacing improves haemodynamics variables in patients with heart
failure with a normal QRS duration. Heart 2004;90:502-5.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DEMAM REUMATIK DAN


PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
Saharman Leman

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan pola etiologi penyakit jantung yang dirawat
di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Djami1Padang tahun
1973- 1977 didapatkan 3 1,4% pasien Demam Reumatikl
Penyakit Jantung Reumatik (DR/PJR ) pada usia 10-40
tahun, dengan mortalitas 12,4% (Hanif, Saharman Leman,
1978).
Diagnosis kerja terhadap seorang pasien DRIPJR
menentukan sekali, apakah benar-benar kita akan
membantu pasien meningkatkan kualitas hidup yang baik
atau sebaliknya, yang membebani pasien yang berat, baik
mental, fisik ataupun sosioekonomi untuk seumur hidup
bagi pasien ataupun keluarganya.
Batasan
DR merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular
kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollerman, 1972).
Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang
dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung,
sendi dan sistem saraf pusat.
Manifestasi klinis penyakit DR ini akibat kuman
Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada
tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead,
1965). Sedangkan yang dimaksud dengan PJR adalah
kelainan jantung yang terjadi akibat DR, atau kelainan
karditis reumatik (Taranta A dan Markowitz, 1981).
DR akut adalah sinonim dari DR dengan penekanan
saat akut, sedangkan yang dimaksud dengan DR inaktif
adalah pasien-pasien dengan DR tanpa ditemui tandatanda radang, sinonim dengan riwayat DR (Taranta A dan

Spagnuolo, 1962).DR dapat sembuh dengan sendirinya


tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut dapat timbul
kembali berulang-ulang, yang disebut dengan
kekambuhan (recurrent). Dan biasanya setelah
peradangan kuman SGA, sehingga dapat menyebabkan
DR tersebut berlangsung terus-menerus melebihi 6 bulan.
DR yang demikian disebut DR menahun (TarantaA, 1981 ).
Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling
tersering dikenai, tetapi jantung merupakan organ dengan
kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organorgan lain bersifat jinak dan sementara.("Rheumatic fever
lips the joints, but bites the hearts").
Kuman SGA adalah kuman yang terbanyak
menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga yang
menyebabkan demam reumatik. Hampir semua
Streptokokus grup A (SGA) adalah beta hemolitik,.(Bisno,
1977 & Bravo 1979).
Dikatakan bahwa DR dapat ditemukan diseluruh dunia,
dan mengenai semua umur, tetapi 90% dari serangan
pertama terdapat pada umur 5-1 5 tahun, sedangkan yang
terjadi dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali (Taranta
dun Markowitz, 1981, Stollerman. 1990.)
Yang sangat penting dari penyakit demam reumatik akut
ini adalah dalam ha1 kemampuannya menyebabkan katupkatup jantung menjadi fibrosis, yang akan menimbulkan
gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang
kronis dan berat. Demam reumatik merupakan kelainan
jantung yang biasanya bukan kelainan bawaan, tetapi yang
diperdapat. Walaupun angka morbiditas menurun tajam
pada negara yang berkembang tetapi pada negara yang
sedang berkembang penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan yang utama. Kepastian sebab-sebab naik
turunnya insidensi penyakit ini masih belum jelas.
Meskipun demam reumatik ini telah diteliti secara luas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNC REUMATIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(ekstensif) tetapi patogenesisnya masih belum jelas
(Taranta, 1976).
Penyakit Demam Reumatik dapat mengakibatkan gejala
sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai
akibat berat ringannya karditis selama serangan akut
demam reumatik. Dari beberapa penelitian tentang insidens
karditis dan PJR yang menetap adalah akibat kekambuhan
DR tanpa PJR sebelumnya adalah sebagai berikut:6-14%
Kekambuhan yang terbanyak dan terpenting adalah
akibat perjalanan penyakit demam reumatik itu sendiri.
Cukup banyak dilaporkan insidens dari kekambuhan
demam reumatik yang yang berlanjut dan mengakibatkan
Penyakit Jantung Ruematik. Pencegahan primer DR dapat
diatasi dengan antibiotika Penisilin - V atau benzatin
penisilin parentral yang adekuat terhadap kuman SGA
betahemolitikus. Atau dapat juga dengan makrolid lainnya,
bila biakan hapusan tenggorok merupakan diagnostik
untuk kuman SGA tersebut (Stollerman, 1955; Siegel, 1961 ).
Dajani A. dan kawan-kawan 1995 melaporkan bahwa
pasien DR adalah berisiko tinggi untuk terjadi kekambuhan
kembali oleh kuman SGA, sehingga diperlukan
pencegahan yang berkelanjutan dengan antibiotika
sebagai pencegahan sekunder terhadap kekarnbuhan
tersebut.
"American
Heart
Asscosiation
1988"
merekomendasikan perlunya dilakukan pencegahan
sekunder yang berkelanjutan dengan protokol seperti
yang dianjurkan oleh "Irvington House Group" ( U.K and
U.S, 1965), tetapi yang sukar adalah menetapkan untuk
berapa lama pencegahan sekunder ini dilakukan. Walaupun
risiko kekambuhan berkurang dengan bertambahnya umur
dan juga interval kekambuhan makin panjang tetapi
kekambuhan ini bisa terjadi selama 5-1 0 tahun. Hanya akan
berkurang atau menghilang bila dilakukan pengobatan
pencegahan sekunder secara teratur untuk waktu yang
cukup lama (Barrent, 1975).
Maka dari itu disamping pencegahan primer perlu
dilanjutkan dengan pencepallan sekunder untuk jangka
waktu tertentu. Karena it11 eradikasi untuk pencegahan
sekunder dengan "Benzatin Penisilin G yang long acting" sangat diperlukan dalatn mencegah terjadinya
kelainan hemodinarnik pada sirkulasi darah jantung
(Stollennan, 1955).
Seperti diketahui bahwa pencegahan detnaln reumatik ada
2 cara:
Pencegahan primer: yaitu ilpaya pencegahan infeksi
St~.eptokokl~s
hrtcr he1lio1itikz1.c gvl/p A sehingga
tercegah dari penyakit denlam reumatik.
Pencegahan sekunder: yaitu upaya mencegah
menetapnya infeksi Stvq~tokokiisheta he~l~olitiku.\
p ~ l Ap pada bekas pasien demam reumatik.
Program pencegahan primer sangat sukar dilaksanakan
karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga
adanya infeksi Stve/~okokii.s/lc/~iolitikg/*up
A (SGA) yang

tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas (Wood dkk


1964, Krause 1975, Straser 1978), (Ramelikamp, 1958).
(Krause 1975). Sedangkan kekambuhan demam reumatik
+ 30% bila terserang infeksi SGA (Spagnuolo dkk 1971)
Majeed H.A dkk 1998, menganjurkan cara pengobatan
pencegahan sekunder tersebut sbb: (Penicillin long acting)
Bila DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup)
dilaksanakan pencegahan sekunder tersebut selama 10
tahun sesudah serangan akut salnpai umur 40 tahun
dan kadang-kadang diperlukan selama hidup.
DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan
pencegahan sekunder selama 10 tahun.
DR saja tanpa karditis dilakukan pengobatan
pencegahan selama 5 tahun sampai umur 2 1 tahun.
Secara umum Committee on Rhezrmatic Fever tahun
1995 menganjurkan pencegahan sekunder ini sampai umur
2 1 tahun dan 5 tahun lagi setelah terjadi serangan ulangan,
yang dilakukan tiap 4 minggu. Tetapi Lue H.C dkk 1986 dan
1994 pada daerah dengan insidens DR yang tinggi atau
pasien dengan gejala PJR menganjurkan pencegahan
sekunder ini tiap 3 minggu.
Majeed H.A (1992) melaporkan bahwa selama 12 tahun
pencegahan sekunder ini didapatkan kekambuhan DR ini
sebanyak 0.003% pasien pertahun dibandingkan tanpa
melakukan pencegahan sekunder yaitu sebanyak 0.2%
pasien pertahun, juga melaporkan bahwa kekambuhan
yang dicegah dengan cara diatas ternyata 70% pasien
dengan karditis menghilang bising jantungnya serta
dengan irama jantung yang normal.
Maka dari itu di Bagian Illnu Penyakit Dalam FKUnandlRSUP dr.M.D.jamil Padang dilaksanakan suatu
program pencegahan sekunder yang dapat rnengurangil
rnenghilangkan perjalanan penyakit Demanl Reumatik (DR)
dan PJR yang cukup dahsyat ini. Protokol tetap yang
dilaksanakan sejak tahun 1978 salnpai sekarang adalah
sebagai berikut:
Untuk pasien <20 tahun, mendapat suntikan Benzatin
Penisilin G 1,2juta unit tiap 4 minggu salnpai umur 25
tahun.
Bila ulnur pasien >20 tahun, harus mendapatkan
suntikan Benzatin Penisilin G (long-~rcting)selama 5
tahun.
Bila pasien telah selesai dengan protokol 1 dan 2
sedangkan terjadi kekambuhan lagi maka akan
mendapatkan kembali suntikan Benzatin Penisilin G
dengan dosis 1,2juta unit tiap 4 minggu.untuk selalna 5
tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3 minggu
Selarna 20 tahun, sejak Agustus 1978 sampai Agi~stus
1998 di bagian Penyakit Dalatn FK-UNANDIRSUP Dr M
Jatnil Padang telah dilakukan analisis kesintasan dari hasil
prograrnlprotokol tetap di atas, dengan hasil kekambuhan
dapat dicegah sebanyak 80.2% dengan p<0,001.
Kesernbuhan yang datang teratur adalali 92.4% dengan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


odds rasio 11,61 di mana p <0,000 1 dan RR 1,81. yang datang
dengan kepatuhanltaat. Sedangkan pengobatan serangan
akut demam reumatik dipergunakan protokol tetap yang
direkomendasikan oleh TarantaA (1970 ) sebagai berikut:
Ditujukan pada manifestasi klinis yang didapat pada
serangan akut (Tabel 1).
Pencegahan primer ditujukan langsung pada SGA pada
saat serangan akut.
Untuk pengobatan dari bermacam-macam manifestasi
klinis sewaktu pasien datang berobat maka pada fase akut
ini dilakukan pengobatan sebagai berikut (Tabel 1)
(Frankish, 1975; Taranta & Markowitz, 1981, Committee on
Rheumatic Fever, 1995).

Manifestasi klinis
Artralgia
Artritis saja danlatau
karditis tanpa
Kardiomegali
Karditis dengan
kardiomegali atau
Gagal jantung

Pengobatan
Salisilat saja
Salisilat 100 mglkgBBlhari selama 2
minggu dan diteruskan dengan 75
mglKgbblhr selama 4-6 rninggu
Prednison 2 mglkgbblhari se lama 2
minggu dan tapering selama 2
minggu dengan ditambahkan
salisilat 75 mgllkgbblhari untuk 6
rninaau

Untuk program pencegahan primer dipergunakan obat


Penisilin V 2 juta Unithari selama 10 hari atau Eritromisin
40 m g k g bb /hari selama 10 hari.

EPlDEMlOLOGl DAN INSIDEN


Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang
oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anakanak dan orang usia muda (5- 15 tahun) (Rosenthal, 1968).
Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada
DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk.
Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 di Amerika pasienpasien anak yang terserang juga pada kelompok ekonomi
menengah dan atas. (Majeed, 1984). Setelah perang dunia
kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropah insiden
DR menurun, tetapi DR masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang.
(Syed G.A, 1966; Shiokawa, 1977; Padmavati, 1978;
Shrestha, 1979)
Pada penelitian dibawah ini terlihat insiden DR dan
PJR di Eropah dan Amerika menurun (Pinsky, 1977),
sedangkan di negara tropis dan sub tropis masih terlihat
peningkatan yang agresif, seperti kegawatan karditis dan
payah jantung yang meningkat. Majeed 1992 melaporkan
insiden DR di beberapa negara tercantum pada Tabel 2.
Temyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada
anak muda dan terjadinya kelainan katup jantung adalah

Negara

Tahun

Kel.
"Inur
(th)

lnsidenl
100.000
populasi

--

* lnggris &
Wales
' Kuwait
* Saudi Arabia
* Swedia
USA
* Iran
* Cekoslowakia
' Hongkong
* Indonesia

1963

1-14

1984-1988 5 - 1 4
1980-1984 5 - 14
1971-1980 0 - 1 5
1978
0 - 14
1975
sernua urnur
1972
1- 15
1972
semua umur
(belum ada laporan)

"dikutip dari Majeed HA. 1992.

sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan


pencegahan sekunder DR dan PJR. Taranta A dan Markowitz
M, 1984 melaporkan bahwa DR adalah penyebab utalna
terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan
PJR adalah penyebab utama kematian penyakit j a n t u ~ g
untuk usia dibawah 45 tahun, juga dilaporkan 25-40%
penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur.

Meskipun sampai sekarang ada hal-ha1 yang belum jelas,


tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang
mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokzrs sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokiis
di faring. Lebih kurang 95% pasien menunjukkan
peninggian titer antistreptoksin 0 (ASTO),
antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan
dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman
SGA. (Pattaroyo, 1979)
Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca
Streptokokus ini kemungkinan utalna adalah pertama
Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua
besarnya responsi umum dari "host" dan persistensi
organisme yang menginfeksi faring (Morehead, 1965).
Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan
Streptokokus adalah 50-60%. Robbins dkk. 198 1
mendapatkan tidak adanya predisposisi genetik.
Sedangkan Moreheid 1965 mengganggap pada mulanya
faktor predisposisi genetik mungkin penting.
Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong
mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibodi
terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen
tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum
pasien DR akut dapat ditemukan antibodi dan antigen.
Antibodi yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan
reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan
sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan
imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DEMAM REUMATIK DAN PENYAKITJANTUNG REUMATIK

MORFOLOGI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Lesi yang patognomonik DR adalah Badan Aschoff


sebagai diagnostik histopatologik. Sering ditemukan juga
pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan
jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda
gambaran klinis menghilang, atau masih ada keaktifan laten.
Badan Aschoff ini umumnya terdapat pada septumfibrosa
intervaskular, dijaringan ikat perivaskular dan didaerah
subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga lapisan
endokard miokard dan perikard secara bersamaan atau
sendiri-sendiri atau kombinasi.
Pada endokard yang terkena utama adalah katup-katup
jantung dan 50% mengenai katup mitral. Pada keadaan
dini DR akut katup-katup yang terkena ini akan merah,
edema dan menebal dengan vegetasi yang disebut sebagai
Vermceae. Setelah agak tenang katup-katup yang terkena
menjadi tebal, fibrotik, pendek dan tumpul yang
rnenimbulkan stenosis. (Morehead, 1965).

DRPJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan


gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit
DRPJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:

Artritis
Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada
DR akut (Majeed H.A 1992). Sendi yang dikenai berpindahpindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar
seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku
dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang
meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang.
Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu
minggu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi
artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sen&
kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan
dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapetik pada
atritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam
24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan.
Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan
insidens 40-50% (Majeed HA 1992), atau berlanjut dengan
gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadangkadang karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya
nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium
saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung.
Katup mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat
bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendiri jarang
dikenai. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising
sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga

disertai bising mid-diastolik (bising Carey Coombs).


Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi
kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler
dapat menentukan fungsi dari jantung. (Massel, 1958)
.Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis
sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung.
Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.

Chorea
Chorea ini didapatkan 10% dari DR (Strasser, 1978) yang
dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan
dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea
cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai
pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini
muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak
ini suatu emosi yang labil di mana anak ini suka menyendiri
dan kurang perhatian terhadap lingkungannya sendiri.
Gerakan-gerakantanpa disadari akan ditemukan pada wajah
dan angota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur.
Eritema Marginatum
Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien
DR, dan berlangsung berminggu-minggu dan berbulan,
tidak nyeri dan tidak gatal.
Nodul Subkutanius
Besarnya kira-kira 0.5-2 cm, bundar, terbatas clan tidak nyeri
tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang menjadi
keluhan utama oleh pasien DR ini (Strasser, 1981) Pada
penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di
berbagai negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan
oleh CommitteeofRematic Fever tahun 1992 dan penelitian
sendiri dapat dilihat seperti Tabel 3.

UPAYA PEMERlKSAAN LABORATORIUM


Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokusus Grup
A sangat membantu diagnosis DR yaitu:
Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA.
Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi
SGA tersebut.
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kurnan
SGA ini dapat dideteksi:
Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya
kultur SGA negatif pada fase akut itu. Bila positif inipun
belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan
akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi
Streptokokus dengan strain yang lain.
Tetapi antibodi Streptokokus lebih menjelaskan adanya
infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer
ASTO dan anti DNA-se

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Di Negara

Artritis

Carditis

Korea

Eriterna
Marginaturn

Nodul
Subkutan

Mortalitas

* S. Arabia,1984
(30)
* Iraq, 1988 (86)
* Tunisia, 1982
(324)
Kuwait, 1992 (445)
* USA. 1962 (275)
India. 1974 (102)
Indonesia:
- Asikin H 1984
- Saharrnan L
1999
Keterangan: NI= tidak ada laporan
Data ini dikutip dari Majeed AH untuk negara diluar Indonesia

Terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi


oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila
besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd
pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B 120
Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anakanak. Dan antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu
kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau
4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan
(Whitnack F dkk 1985). Untuk inilah pencegahan
sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu (Stollerman, 1961).
Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endapan darah
yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang
tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif
saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat
antireumatik. (Taranta & Moody, 1971 )
Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia
normositer normokrom karena infeksi kronis DR. Dengan
kortikosteroid anemia dapat diperbaiki.Tidak ada pola yang
khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising
sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST-T yang
tidak spesifik (Wahab, 1980)

UPAYA-UPAYA DlAGNOSTlK

Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis,


bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan
laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones
menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat
dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada
tahun 1955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir
1992 oleh AHA. (Tabel 4)
Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi
Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang
positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-

Gejala major:

Gejala minor:

- Poliatritis

- Klinis: - suhu tinggi

- Karditis
- Korea

- Sakit sendi (artralgia)


- Riwayat pernah rnenderita DRlPJR

- Eriterna rnarclinaturn

- Lab.: "reaksi fase akut" :

- Nodul subkutaneus

se B. Terutama pada anaktdewasa muda aloanamnesa pada


orang tua dan keluarga sangat diperlukan.
Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya
maka diagnosis DWPJR didasarkan atas adanya:
1. Dua gejala mayor atau
2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor
Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman
Streptokokus belum meluas m'zka manifestasi klinis diatas
hams dijadikan pegangan diagnosis suatu DWPJR. Tentu
perlu dibedakan dengan gejala-gejala penyakit-penyakit
lain seperti rematoid artritis, pegal-pegal kaki infeksi virus,
kelainan jantung bawaan dan lain-lain.

PERJALANAN PENYAKIT

Manifestasi DR sangat bervariasi, tetapi umumnya muncul


dengan bermacam-macam manifestasi klinis. Dan biasanya
dengan berbagai manifestasi klinis yang sukar ditentukan
pada saat pasien datang pertama kali berobat. Masa laten
infeksi Stveptokokus dengan munculnya DR akut cukup
singkat bila ada atritis dan eritema marginatum dan akan
lebih lama dengan chorea, sedangkan karditis dengan nodul
subkutan diantaranya.
Lamanya DR akutjarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila
ada karditis yang berat biasanya klinis DR akut akan
berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964;
Majeed, 1992 Gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan
pertama dari 93% pasien DR akut. (Mc Intosch dkk. 1935,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DEMAM REUMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Rossentha, 1968)
Kadang-kadang karditis dapat juga terjadi pertama kali
serangan DR akut pada umur >25 tahun. Bila ringan akan
sembuh, tetapi bila karditis yang disertai demam dan
takikardia sering berlanjut dengan (3) kardiomegali dan
menetap dan bising-bising katup akan terdengar. Dan (4)
dekompensatio kordis dapat terjadi selama karditis masih
aktif.

PROGNOSIS
DR tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi.
Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat
permulaan serangan akut DR. Selama 5 tahun pertama
perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising
organik katup tidak menghilang, (Feinstein AR dkk, 1964).
Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat,
dan temyata DR akut dengan Payah jantung akan sembuh
30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah I0 tahun. Dari
data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan
pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada
penelitian melaporkan bahwa stenosis mitralis sangat
tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan
katup mitral selama 5 tahun pertama sangat mempengaruhi
angka kematian DR ini.(lrvington House Group & U.K
and U S 1965).Penelitian selama 10 tahun yang mereka
lakukan menemukan adanya kelompok lain terutama
kelompok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang
menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui
adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptokokus.
(Stresser, 1978)

KEKAMBUHAN
Serangan pertama DR biasanya terjadi pada daerah wabah
faringitis Streptokokus yaitu sebanyak 3%, sedangkan
pasien yang pernah mendapat serangan DR akut
sebelumnya akan didapatkan 15% (Taranta dkk, 1970). Dari
"Irvington House Study" (Wood dkk, 1964,American Heart
Asscosiation" 1988) melaporkan bahwa serangan reumatik
pada tiap infeksi Streptokokus pada anak-anak menurun
sebnyak 23% menjadi 11% selama 1-5 tahun sesudah
serangan pertama DR. Kekambuhan akan berkurang
tergantung pada lamanya serangan terakhir. Faktor yang
mendasar yang menyebabkan meningkatnya serangan
reumatik juga tergantung pada gejala sisa dari pada PJR.
Studi ini melaporkan PJR dengan kardiomegali 43%
sedangkan PJR tanpa kardiomegali 27% dan tanpa kelainan
jantung 10%. (Taranta, 1964).
Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan ini sangat
tergantung pada reaksi imun dengan infeksi Streptokokus
yang dibuktikan dengan meningkatnya titer ASTO.

Umumnya serangan DR dibuktikan juga dengan ditemukan


rematogenik strain Streptokokus grup A.(Stollerman dkk.,
1990).
(Bisno dkk, 1977). Studi Framingham (Goetzner dkk,
1985).selama 30 tahun dengan penelitian "cohort -control
study group" dari kasus-kasus PJR terdapat penurunan
yang tajam dari kematian pada'studi karena serangan yang
berulang dari PJR yang diobati dengan cara pencegahan
sekunder. Pada PJR angka kehidupan hanya kurang 40%
sedangkan pada DR tanpa PJR lebih dari 40%. Di Amerika
kelainan klinis DRJPJR akan bertambah baik bila
pencegahan sekunder dilaksanakan seumur hidupnya.
Karena mereka melaporkan dari Amerika masih ditemukan
kasus DRIPJR pada usia tua sehingga menjadi kelompok
penyakit lanjut usia. (Denny dkk, 1950; W.H.O,1966,1988).
Pengalaman kami di Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1978-1998
(20 tahun) didapatkan penurunan insidensi DRJPJR dari
3 1,4% menjadi 12,2% dari 182 pasien DWPJR.

UPAYA PENCEGAHAN SERANGAN ULANG DR


Bila seorang pasien DR akut telah sembuh, maka masalah
utama adalah pencegahan sekunder. Kita tidak
mempersoalkan bagaimanapun ringan atau beratnya
serangan pertama, namun kerentanan penyakit ini sangat
tinggi sehingga serangan berulang-ulang dapat timbul
kembali. Kekerapan penyakit ini sudah menurun dalam 25
tahun terakhir ini di Amerika dan Eropah. Di mana keadaan
ini sebahagian besar disebabkan oleh pencegahan
sekunder yang telah dilaksanakan. Dari penelitian
"Irvington House" 1954 diketahui bahwa dengan parentral
Penisilin G lah yang paling baik diantara tiga obat
pencegahan yang dicobakan yaitu Sulfadiazin, Oral
penisilin G dan suntikan benzatin penisilin G setiap bulan.
(W.H.O,1966)
Keunggulan cara ini (Markowitz ,1985) mungkin
disebabkan oleh:
Kunjungan sekali sebulan yang mendapat pencegahan
sekunder itu dipatuhi dan kesediaan obat lebih terjamin
dalam depot obat. (Wannamaker, 1951 )
Absorpsi obat dari otot mungkin lebih lengkap dari pada
di usus.
Yang terpenting kadar terapetik penisilin cukup untuk
menghilangkan setiap "intercurrent " Streptokokus
selama satu minggu dari tiap interval 4 minggu.
Sesuai dengan laporan dari "Intersociaty Commition
for Heart Disease Resources" (AHA, 1988) bahwa semua
pasien yang sembuh dari DR akut diberikan suatu
pencegahan sekunder dengan atau tanpa karditis. Sehingga
serangan ulang dapat dicegah. Tentang lamanya
pencegahan belum ada kata sepakat sampai saat ini.
Temyata bahwa kekerapan serangan-serangan berulang
pada usia dewasa, tetapi serangan akut ini masih ditemukan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pada usia 20 dan 30 tahunan. Tentu tidaklah bijaksana bila


mengandalkan pengobatan infeksi Streptokokus dengan
antibiotika saja, sedangkan pencegahan sekunder terusmenerus dipertahankan untuk waktu yang tidak ditentukan
(Taranta, 1981). Dari itu pencegahan sekunder perlu
disesuaikan dengan lingkungan, cuaca, umur, pekerjaan,
keadaan rumah tangga, dan keadaan jantung itu sendiri
yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya resiko
serangan berulang. (Charney, 1968; Bravo, 1979; Brown,
1951; Davies, 1973)

pendidikan orang tua merupakan faktor penting akan


ketaatan melakukan pencegahan ini.
keadaan sosioekonomi bagi pasien atau keluarga
jarak antara tempat tinggal dan Rumah sakit.
manifestasi klinis waktu pasien masuk ke Rumah Sakit
juga mempengaruhi ketaatan untuk melakukan
pencegahan.
terhadap semua dokter, tenaga kesehatan dapat
mengenal dan melaksanakan pencegahan sekunder ini.

SARAN
UPAYA PENGENDALIAN DfUPJWERADlKASl
Untuk ini perlu dipahami riwayat alamiah penyakit ini,
walaupun ada beberapa aspek patogenesis DR yang belum
dapat diterangkan seluruhnya (Reyes, 1975). Di mana perlu
diajukan suatu konsep sehingga pencegahan sekunder
ini dilaksanakan. Dari cara ini dapat dilakukan interfensi
siklus reinfeksi Streptokokus pada pasien dengan atau
pernah menderita DRIPJR. (Committee on Rheumatic
Fever, 1995).Untuk pengendalian dan pelaksanaan
pencegahan sekunder DR dan atau PJR dilapangan maka
diperlukan konsep intervensi siklus reinfeksi Streptokokus
dari tiap pasien yang datang berobat.

Menegakkan diagnosa demam reumatik dan penyakit


jantung reumatik sebaiknya didasarkan pada kriteria
Jones yang telah dimodifikasi dan dengan
pertimbangan klinis.
Melaksanakan protokol tetap pencegahan sekunder
demam reumatik dan penyakitjantung reumatik haruslah
sesegera mungkin setelah eradikasi kuman S.GA dengan
penisilin selarna 10 hari.
Meyakinkan adanya infeksi kuman S.G.A sebelumnya
diperlukan sarana laboratorium untuk pemeriksaan
titer ASTO dan Anti DNA-se B, dengan kemungkinan
tidak Saudara miliki.

REFERENSI

G a m b a r 1. Skema pencegahan sekunder DR danlatau PJR.

Pencegahan sekunder adalah usaha mencegah


terjadinya infeksi kuman SGA pada pasien-pasien yang
pernah DR dan PJR. Pencegahan ini dilakukan dalam
jangka lama, yang memerlukan kesabaran baik pasien,
petugas kesehatan ataupun dokter. Mengingat DR dan
PJR menyebabkan cacat seumur hidup pada jantung. Dan
cacat tersebut menyebabkan umur harapan hidup akan
berkurang.
Untuk menunjang keberhasilan pengendalian atau eradikasi
DRIPJR yaitu dengan pencegahan sekunder sangatlah
tergantung pada:
cara pemberian obat
diperlukan keyakinan dan ketaatan pasien untuk
pencegahan sekunder ini secara spontan dan penuh
pengertian.

Ad hoc Committee to Revise the Jones criteria (Modified) of the


councill on Rheumatic Fever And Congetudinal Heart Disease
1967 Jones criteria (revised) for quidence in the diagnosis of
rheumatic fever. American Heart Asso-ciation.
Abraham M.T, Ghersam G,: Rheumartic fever. Dalam ParmleyW.W,
Chateryee K : Cardiology vol. 2, Phyladelphia: J.B Lippincoot
Company;l988.
Albam B, Epstein J.A, Feinstein, A.R et.al : Rheumatic fever in
children and adolescents A long-tern epidemiologic study of
subsequent rophylaxis, streptococcal infections, and clinical
sequelae. Ann. Intern. Med. 1964; 60(supp1.5), No.2 part 11.
Heart Association, Committee on Rheumatic Fever and
America%
Bacte I Endo carditis: Prevention of rheumatic fever.
Cieculation 1988; 78: 1082.
Barrent A.L, Ferry E.E, Perselin R.M: Acute rheumatic fever in
adults JAMA, 1975: 232.
Bladd E.F,Jones T.G, : Rheumatic fever and Rheumatic heart disease.
A 20 years report on 1000 patients followed since childhood,.
Circulation 195 1, 4.
Brown E.E, 1951 : Cause of rheumatic fever chronic sinusitis. Arch.
Pediat. 68 (21): 565-76.
Bisno A.L, Pearce I.A, and Stollerman G.H: Streptococcal
infections that fail to cause recurences of rheumatic fever.
J.Infect. Dis. 1977; 136:278.
Bravo L.C, et.al: Streptococcal infections and rheumatic recurrences
in subjects on secondary prophylaxis. Philipp. J. Intern.
Med.1979; 17: 12.
Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of AmaericanHeart Association. Guidelines for Diagnosis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

DEMAM REUMATIK DAN PENYAKITJANTUNC REUMATIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

of Rheumatic Fever: Jones criteria, 1992 Update : JAMA 1992;


268 : 2069-73.
Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of American Heart Association. Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis and Prevention of Rheumatic Fever: Pediatrics 1995; 96:758-64.
Denny F.W. Wannamaker L.W, Brink W.R : Prevention of rheumatic fever, Treatment of the proceeding streptococcal infection. JAMA 1950; 143 : 151.
Dajani A.S. : Current status of pharing complication of group A
streptococci. Pediatatrics Heart J 1991; 10 : 225.
Feinstein A.R and Spagnuolo M: The clinical patterns of acute rheumatic fever : A reappraisal. Medicine 1962; 41: 279.
Feinstein A.R, Wood H.F, Spagnoulo M, Taranta A, Jones S, Kleinberg
E, and Tursky E,: Rheumatic fever in children and adolescent
VII, Cardiac changes and sequele. Ann. Intern. Med 1964; 60
(2) supll. 5.
Frankish J.D : Management of rheumatic fever. Med. Prog. 1975;
Dec.: 27 - 33.
Friemer E.H. and Mc Carty M.C: Rheumatic fever. Sience. Am.
1965; 213 : 67 - 74.
Gupta R.C , Bahdiwar A.K, Bisno A.L : Detection of Creative protein, Streptolysin 0 , antistreptolysin 0 antibodies in immune
complexis related form sera of patients with acute rheumatic
fever. Immunol. J 1986; 137: 2173.
Gordis L, : Effectiveness of comprehensive care programs in preventing rheumatic fever. N. Enggl. J. Med. 1973; 289: 331.
Hanafiah A : Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung
Reumatik. Berita Klinik IDA1 1976; Jakarta.
Hanif, Saharman Leman, Chairul Safri : Pola etiologik Penyakit
Jantung di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Jamil Padang
1973-1977. Naskah Lengkap KOPAPDI IV, 1978.
Jones T.D: The diagnosis of rheumatic fever. J. Am. Med.Associa.
1944; 126 : 481.
Lue H.C, et. al: The natural history of rheumatic fever and rheumatic heart disease in the Orient. Jpn. Heart. J 1979; 20 : 237.
Krause R.M : Prevention of streptococcal sequele by penicillin prophylaxis : a resses-sement. J. Infec. Dis. 1975; 131 (5): 592601.
Markowitz M, : The decline of rheumatic fever, role of medical
intervention. J. Pediatr. 1985; 106: 545.
Massel B.V. Fyler D.C, and Roy S.B : The clinical picture of rheumatic fever. Diagnosis Immediate prognosis, course and
therapeuic implications. Am.J. Cardio1.1958; 1: 436.
Majeed H.A, Batnager S, Yousof A.M et.al : Acute Rheumatic Fever
and the Evaluation of Rheumatic Heart Disease: A Prospective
12 year Follow-up Study. J.Clin.Epidemiol. 1992; 45:871-5.
Majeed H.A. Shaltout A, Yousof A.M : Recurrences of Acute rheumatic Fever. AJDC 1984; 138:541-5.
Majeed H.A: Acute Rheumatic Fever medicine streptococcal. Them
Medicine Publishing Company Inter. 1991; 40 (11):lOO-5.
Morehead : Collagen Diseases and granule matrics Carditis in thema
Pathology publish. Mebrano-hall Book Co., 1965: 491.
Padmavati S, : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in developing countries. Bull. WHO 1978; 56 : 543.
Pinsky W.W, Pinsky K.M. and Mc Namara 0.G : A current view of
acute rheumatic fever. Texas Med. 1977; 73 : 5 1 55.
Pattaroyo M.E, Winchester R, Vejerano A et.al: Association of Bcell alloantigen with Susceptibility to rheumatic fever. Nature
1979; 278: 173.
Reyes A.L : Management of rheumatic fever in South Asia. Med.
Prog. 1975; 14 Dec. Roy S.B, et. al: Juvenile mitral stenosis in

India. Lancet 1963; 2 : 1193.


Rosenthal A, Czoniczer G and Massel B.F : Rheumatic fever under
three years of age. A Report of ten cases. Pediatrics 1968;
41:612.
Saharman Leman : Rheumatic fever and rheumatic heart diseases
eradication with secondary prophylaxis prevention Benzanthine
penicillin G long acting 1,2 million unit in M.Djamil Hospital
Padang, 1978-1998. Abstract 1 3Ih Asian Congress of Cardiology, Singapore, June 2000, 182-3.
Saharman Leman : Perjalanan Penyakit Demam Reumatik dan
Penyakit Jantung Reumatik di Lab./UPF Penyakit Dalam FKUnandlRSUP dr.M.Djamil Padang. Analisis "survival".Naskah
Lengkap KOPAPDI VIII, Yogjakarta, 1990, 153-60.
Siegel A.C, Johnson E.E, and Stollerman G.H: Controlled studies of
streptococcal pharyngitis in pediatric population. New Engl. J.
Med . 1961; 24 :25 7 -264.
Shrestha N.K, and Padmavati S, : Prevalence of rheumatic heart
disease in Delhi school Children. Indian J Med. Res. 1979; 69:
821.
Spagnoulo M, Postemcak B,Taranta A: Risk of rheumatic fever
recurrence after streptococcal infection. Prospective study in
clinical and social factors. New Eng. J. Med.1971; 12: 641-647.
Strasser T. : Recent advances in rheumatic fever control and future
prospects. Bull. WHO 1978; 56 : 887.
Strasser T. : Community control of rheumatic heart disease in developing countries. WHO Chron. 1980; 34 : 336.
Strasser T, Dondog N, Al Kholy A, et.al: The community control of
rheumatic fever and Rheumatic heart disease: Report of a WHO
International cooperative project. WHO Bull. 1981; 59 : 2.
Stollerman G.H: Rheumatogonic group A streptococci and the return of rheumatic fever.Adv.lntern. Med. 1990, 35: 1.
Stollermen G.H : Streptococci and Rheumatic Heart Disease. in
Devries, RRP, Cohen. I.R, and van Rood J.J: The Role of Microorganisms in noninfectious disease. London Springer-Verlag
1990; pp. 9-20.
Stollerman G.H : Connective tissue disease in Barnett H.1, et al. :
Pediatrics 1972; 5Ihed. New York, Appleton-Century-Crofts.
Taranta A, A. Markowithz M : Rheumatic Fever. MTB Press Ltd.
1981.
Taranta A : Rheumatic fever in children and adolescents. A longterm
epidemiologic study of subsequent prophylaxis, streptococcal
infections, and clinical sequele IV. Relation of the rheumatic
fever recurrence rate per streptococcal infection to the titers
of streptococcal antibodies. Ann. Intern. Med. 1964; 60
(supp1.5):47
Taranta A, Kleinberg E, Feinstein A.R: et.al: Rheumatic fever in
children and adolescents. A long-term epidemiologic study of
subsequent prophylaxis, streptococcal infections, and clinical
sequelae: V.Relation of the rheumatic fever recurrence rate per
streptococcal infection to pre-existing clinical features of the
patients. Ann. Intern. Med. 1964; 60 (suppl.5): 58.
Taranta A, Spagnuolo M. Feinstein A.R : "Chronic" rheumatic fever
Ann Intern. Med. 1962; 56 : 367.
Taranta A: Rheumatic fever made difficult. A critical review of pha
togenetic theories. Paediatrician 1976; 5 : 74.
Taranta A, et.al : lntersociaety Commission for Heart Disease
Resoources.:Prevention of rheumatic fever and rheumatic heart
disease. Circulation 1970; 41 : A 1-15.
Taranta A, and Moody M : Diagnosis of streptococcal pharyngitis
and rheumatic fever. Pediatr. Clin. N. Am. 1971; 18 : 125.
Toompkins D, et.al: Long term programs of rheumatic fever patients receiving regular inramuscular benzanthiine penicillin.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Circulation 1972; 45 : 543.
U K and IJS. Joint Report. The natural history of rheumatic fever
and rheumatic heart disease: cooperative clinical trial of ACTH,
cortisone and aspirin. Circulation 1967; 32 : 457.
United Kingdom and United States Joint Report on Rheumatic Heart
Disease: The natural History of the rheumatic fever and rheumatic heart disease. Ten-year report of a cooperative clinical
trial of ACTH. corsitone and aspirin. Circulation. 1965; 32:
457.
Walker C.H.M : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in
Watson (ed.) Pediatric Cardiology. The C.V Mash) Co. Saint
Louis. 1968.
W.ti.0 : Preventice of rheumatic fever. Report of W.H.O Expert.
Committee Geneve. 1966.
W.tl.0 : Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Report of
W.H.0Stud!. Group. Cicneve, 1988.

Wood H.F et al: Rheumatic fever in children and adolescents. A


long-term epiden~iologicstud!. Ann. Intern. Med. 1964; 60
(suppl.5); 3 1.
Whitnack E. and Stollermen G.H: Antistreptococcal antibodies in
the diagnosis of rheumatic fever: In Cohen A.S (eds.): Lab.
Diagnostic Procedures in Rheumatic Iliseases. 3rd Ed. Boston.
Little, Brown and Co. 1985; pp. 273-92.
Wood H.F. Simpson R, Feinstein A.R. Taranta A. Tursk) E. and
Stollerman : Rheumatic Fever in children and adoloscent. a
long epidemiologic study of subsequent prophylaxis, strepto
coccal infection and clinical sequele. Description of the investigative techniques and of population studied. Ann. Intern. Med.
1964; 60 (2) supll. 5.
Wannamaker L.W, Rammelkamp C.H Jr. Denny F.W.
et.al:Prophylaxis of acute rheumatic fever by treatment of the
preceding streptococcal infection with various amounts of
depot penicillin Am. J. Med. 1951; 10: 673.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

STENOSIS MITRAL
Taufik Indrajaya, Ali Ghanie

PENDAHULUAN
Stenosis mitral merupakan kasus yang sudah jarang
ditemukan dalam praktek sehari-hari terutama di luar negeri.
Sebagaimana diketahui stenosis mitral paling sering
disebabkan oleh penyakit jantung reumatik yang
menggambarkan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Oleh
karena itu di negara maju seperti Amerika, penyakit ini
sudah jarang ditemukan, walaupun ada kecenderungan
meningkat karena rneningkatnya jumlah imigran dengan
kasus infeksi streptokokus yang resisten. Sedangkan di
Indonesia walaupun kasus baru juga cenderung menurun,
namun kasus stenosis mitral ini masih banyak kita temukan.
Angka yang pasti tidak diketahui nnlnun dari pola etiologi
penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Moehammad
Hoesin Palembang selama 5 tahun ( 1 990- 1994) didapatkan
angka 13.94% dengan penyakitjnntung katup.
Seperti di luar negeri maka kasus stenosis mitral
memang terlihat pada orang-orang dengan umur yang lebih
tua, dan biasanya dengan penyakit penyerta baik kelainan
kardiovaskular atau yang lain sehingga lebih merupakan
tantangan.
Dengan perkembangan di bidang ekokardiografi diagnosis stenosis mitral, derajat berat ringannya dan efek
terhadap hipeflensi pulmonal sudah dapat diambil alih,
yang sebelumya hanya dapat dilakukan dengan prosedur
invasif kateterisasi.

Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran


darah dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena
obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral
ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol.

Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat


reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi
streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga
stenosis mitral kongenital, deformitas parasut mitral,
vegetasi systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis
sistemik, deposit amiloid, akibat obat fenfluramin1
phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi
annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degeneratif.
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi
aliran darah ke ventrikel kiri seperti Cor triatrium, miksoma
atrium serta trombus sehingga menyerupai stenosis
mitral.
Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 60%
dengan riwayat demam reumatik, sisanya menyangkal.
Selain daripada itu 50% pasien dengan karditis reurnatik
akut tidak berlanjut sebagai penyakit jantung katup secara
klinik (Rahimtoola). Pada kasus kami di klinik (data tiduk
dipublikasi) juga terlihat beberapa kasus demam reumatik
akut yang tidak berlanjut menjadi penyakit jantung katup,
walaupun ada di antaranya memberi manifestasi chorea.
Kemungkinan ha1 ini disebabkan karena pengenalan dini
dan terapi antibiotik yang adekuat.

Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi


proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul
tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan
menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup,
kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau
kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan
menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut
ikan (:fish motrth') atau lubang kancing (htmor?hole)
(Gambar 1).
Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari
orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan
penyempitan dari orifisium sekunder.
Pada endokardiris reumatika, daun katup dan khorda
akan mengalami sikatrik dan kontraktur bersarnaan dengan
pemendekan korda sehingga meni~nbulkanpenarikan daun
katup menjadi bentuk ji~nnelskup.cd.
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya
lebih sering pada perempuan dibanding pria serta lebih sering
pada keadaan gaga1 ginjal kronik. Apakah proses degeneratif
tersebut dapat menimbulkan gangguan h g s i masih perlu
evaluasi lebih jauh, tetapi biasanj a ringan.
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala
klinis (periode laten) biasanya rnemakan waktu bertahuntahun ( 10-20 tahun).

Gambar 1. Ekokardlograf~2-D sumbu pendek (kanan) yang


menunjukan bentuk mulut ~kan('fish mouth') atau lubang kanctng
(buffon hole), dan sumbu panjang yang menunjukan 'doommng'
area rnitral dan fusi dari k ~ r d a(Sumber A. Ghanre. Dfvrsr
Kardiotogr. Dept. Int. Med FK. UNSRl / RSMH Palembang;).

Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran


4-6 cm'. Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2

cm', maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa


peningkatan kkanan atrium kiri agar aliran transmitral yang
normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila
pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm'. Pada
tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25
mmHg untuk mernpertahankan curdiuc outpz~tyang
nonnal (Swain,2005).
Gradien transmitral merupakan 'hull murk' stenosis
mitral selain luasnya area katup mitral, walaupun
Rahimtoola berpendapat bahwa gadien dapat terjadi akibat
aliran besar melalui katup normal, atau aliran normal melalui
katup sempit. Sebagai alcibatnya kenaikan tekanan atrium
kiri akan diteruskan ke v. pulmonalis dan seterusnya
mengakibatkan kongesti paru serta keluhan sesak
(e?rerr.tionuld~:spr~eu).
Dera.iat berat ringannya stenosis mitral, selain
berdasarkan gradien transmitral, dapat juga ditentukan
oleh luasnya area katup ~nitral,serta hubungan antara
lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian
opening sraup. Berdasarkan luasnya area katup mitral
derajat stenosis mitral sebagai berikut:
I. Minimal : bila area >2.5 em'
2. Ringan : bila area 1.4-2.5 cm'
3. Sedang :bila area 1-1.4 ~m'
4. Berat
:bila area Cl .O cm2
5. Reaktif :bila area < 1 .O cm2
Keluhan dan gejala stenasis lnitral mulai akan muncul
bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua
normal (<2-2.5 em'). Hubungan antara gradien dan luasnya
area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat
pada Tabel 1.

Derajat
Stenosis
Ringan
Sedang
Berat

A2-OS
interval

Area

Gradien

=-I
10 msec
80-1 10 msec
<
msec

> 1.5 cm2


>
dan
I < 1 5 cm2
< 1 cm2

< 5 mmHg
5-10 mmHg
> I 0 mmHg

A2-OS :Waktuantara penutupan katup aorta dan pembukaan


katup rnitral

Gambar 2. Ekakardiografikardiografitransesofageal Potongan


4-mang, menunjukan penebalan daun katup mitral dengan fusl
khorda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.
(Sumber . A Ghan~eDiv Kardrologi Dept Inf. Med. FK UNSRl
RSMH Palembang)

Kalau kira lihat fungsi lama waktu pengisian dan


besarnya pengisian, gejala/simtorn &an muncul bila waktu
pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar,
sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun
area belum terlalu sempit (>1.5 cm2).Pada stenosis mitral
ringan simtom yang muncul biasanya dicetuskan oleh
faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah
jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang
akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis.
Beberapa keadaan antara lain: ( 1) latihan. (21 stres emosi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


(3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium dengan
respons ventrikel cepat.
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan
atrium kiri akan meningkat bersamaan dengan progresi
keluhan. Apabila area mitral <I cm2yang berupa stenosis
mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada stenosis mitral, dengan patofisiologi yang
komplek. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi
pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri. Demikian pula terjadi perubahan pada vaskular
paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral
seperti endotelin, atau perubahan anatomik yaitu remodel
akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima
('reactive hypertension'). Kenaikan resistensi arteriolar
paru ini sebenamya merupakan mekanisme adaptif untuk
melindungi paru dari kongesti. Dengan meningkatnya
hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan
tekanan dan volume akhir diastol, regurgitasi trikuspid dan
pulmonal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal jantung
kanan dan kongesti sistemik.

Perjalanan Penyakit
Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu
dan penyakit seumur hidup. Merupakan penyakit 'a
disease ofplareaus' yang pada mulanya hanya ditemui
tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun
waktu (10-20 th) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi
atrium dan akhirnya keluhan disabilitas.
Di luar negeri periode laten bisa berlangsung lebih lama
sampai keluhan muncul, sedangkan dinegara kita
manifestasi muncul lebih awal, ha1 ini dapat karena tidak
atau lambatnya terdeteksi, pengobatan yang kurang
adekuat pada fase awalnya.
Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang
tidak diobati berkisar 50%-60%, bila tidak disertai keluhan
atau minimal angka meningkat 80%. Dari kelompok ini 60%
tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila
simtom muncul biasanya ada fase plateu selama 5-20 tahun
sampai keluhan itu benar-benar berat, menimbulkan
disabilitas. Pada kelompok pasien dengan kelas 111-IV
prognosis jelek di mana angka hidup dalam 10 tahun < 15%.
Apabila timbul fibrilasi atrium prognosisnya kurang
baik (25% angka harapan hidup 10 th) dibanding pada
kelompok irama sinus (46% angka harapan hidup 10 th).
Risiko terjadinya emboli arterial secara bermakna meningkat
pada fibrilasi atrium.

Riwayat
Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan,
dan biasanya keluhan utania berupa sesak napas, dapat

juga fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat


mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal
nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas.
Hal ini akan dicetuskan oleh berbagai keadaan
meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya
waktu pengisian diastol, termasuk latihan, emosi, infeksi
respirasi, demam, aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi
atrium dengan respons ventrikel cepat.
Fatig juga merupakan keluhan umum pada stenosis
mitral. Wood menyatakan bahwa pada kenaikan resistensi
vaskular paru lebih jarang mengalami paroksismal
nokturnal dispnea atau ortopnea, oleh karena vaskular
tersebut akan menghalangi (sumbatan) sirkulasi pada
daerah proksimal kapiler paru. Hal ini mencegah kenaikan
dramatis dari tekanan v.pulmonalis tetapi tentunya dalam
situasi curah jantung rendah. Oleh karena itu simtom
kongesti paru akan digantikan oleh keluhan fatig akibat
rendahnya curah jantung pada aktifitas dan edema perifer.
Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan
kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 3040%. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih lanjut
atau distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat
elektrofisiologi dari atrium kiri. Hal ini tidak berhubungan
dengan derajat stenosis. Fibrilasi atrium yang tidak
dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti
yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium
dalam pengisian ventrikel (114 dari isi sekuncup) serta
memendeknya waktu pengisian diastol. Dan seterusnya
akan menimbulkan gradien transmitral dan kenaikan
tekanan atrium kiri.
Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisis
yang menurut Wood dapat terjadi karena: (1) apopleksi
pulmonal akibat ruptumya vena bronkial yang melebar,
(2) sputum dengan bercak darah pada saat serangan
paroksismal nokturnal dispnea,(3) sputum seperti karat
(pinkfrothy) oleh karena edema paru yang jelas, (4) infark
paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa
bronkus. Di luar negeri keluhan hemoptisis sudah jarang
diketemukan dan biasanya merupakan stadium akhir,
sedangkan di Indonesia sering ditemukan dan didiagnosa
secara keliru sebagai tuberkulosis paru pada awalnya. Nyeri
dada dapat terjadi pada sebagian kecil pasien dan tidak
dapat dibedakan dengan angina pektoris. Diyakini ha1 ini
disebabkan oleh karena hipertrofi ventrikel kanan dan
jarang bersamaan dengan aterosklerosis koroner.
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli, infektif endokarditis atau
simtom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti
disfagia dan suara serak.
Emboli sistemik terjadi pada 10%-20% pasien dengan
stenosis mitral dengan distribusi 75% serebral, 33% perifer
dan 6% viseral. Risiko embolisasi tergantung umur dan
ada tidaknya fibrilasi atrium, 80% kejadian emboli terjadi
pada fibrilasi atrium. Sepertiga dari kejadian emboli terjadi
dalam 3 bulan dari fibrilasi atrium, sedangkan 213 terjadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dalani 1 tahun. Jika embolisasi terjadi pada pasien dengan


irama sinus, harus dipertimbangkan suatu endoharditis
inf'ektif. Ke-iadian emboli talnpaknya tidak tergantung
dengan berat rinpannya stenosis, curah jantung. ~ikuran
atrium kiri scrta ada tidahnya gaga1 jantung. Oleh karena
itit kejadian emboli dapat berupa manifestasi awal stenosis mitral. Pada kejadian enlboli angka rekuren dapar snmpai
15-40 kejadian dalam I00 pasienlbulan.
Dapat juga terjadi trornbus mastf d i ~ l a ~atrium
n
k~ri
'pedu~zculrrtedhall-i-ul\*c throtllhir\ ' yanp clapat
mernperberat keluhan obstruksi bahkan dupat ~eriadi
kematian mendadak (dihatakdn jarang, tettapi pada seri kami
oukup banyak) (Cambar 4) Endokarditis infektifjarang
terjadi dengan insiden 3% dali11111 tallun (pnda kasus tanpa
operasi ).

Gambar 3. Ekokardiografi 2-13 potongan 4 ruang melalu~apek.


tarnpak vegetasl dl katup rnitral yang blsa menjadi surnber emboli
(tanda panah). (Sumber A Ghar~re Drv Karilrologi Dcpt Int
Med FK UNSRl / RSMH Palembang)

Gambar 4. Ekokardiografi 2-D menunjukan trornbus di drnding


posterlor atrium klri dan muara apendiks atr~urnkiri (Sumber A
Ghanre Drv Kardrologr. Dept Int Med FK UNSRl / RSMH
Palembang)

DIAGNOSIS

Pemeri ksaan Fisis


Temuan klasik pada stenosis mitral adalah 'open~ng
snap'
dan bising diastol kasar ('diustolic rumble') pada daerah
mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit balkart
tidak ditemilkan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi
bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Diluar negeri kasus
stenosis lnitral ini jarang yang berat, sehi~~gga
gambaran
klasik tidak diternukan, sedangkan di Indonesia kasus berat
tnasih banyak. Walaupun demikian pada kasus-kasus
ringan harus dicurigai stenosis mitral ini bila teraba dan
lerdengar S l yang keras. S 1 mengeras oleh karena
peugisian yarig lama mernbuat tekanan ventrikel kiri
meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali
ke posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba
sebagai thrrll.
Dengan lain perkataan katup rnitral ditutup dengan
tekanan yang keras secara mendadak, Pada keadaan di
mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka
pcnutupan katup mitral tidak menilnbulkan bunyi S I yang
keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang
mengeras sebagai petu~ijukhipertensi pulmonal, harus
dicurigai adanya bising diastol pada mitral.
Relxrapa usaha harus dilakukan untuk mendengar
bising diastol aritara lain posisi lateral dekubitus, gerakanperakan atau latihan ringan, menahan napas dan
menggunakan beN dengan meletakkan pada dinding dada
tanp tekanan keras.
Derajat dari bising diastol tidak menggambarkan
beratriya stenosis tetapi waktu atau lamanya bising dapat
menggambarkan dera,jat stenosis. Pada stenosis ringan
bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat
holodiastol dan aksentuasi presistolik. Waktu dari A2-OS
juga dapat ~nenggatnbarkanberat riuganuya stenosis, bila
pendek stenosis lebih berat.
Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus
oleh karena obesitas, PPOM, edema paru, atau status curah
jantung yang rendah. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan bising diastol antara lain aliran besar melalui
trikuspid seperti pada ASD, atau aliran besar melal~~i
mitral
seperti pada VSD, atau regurgitasi mitral. Pada AR juga
dapat terjadi bising diastol pada daerah mitral akibat
tertutupnya katup mitral anterior oIeh aliran balik dari aorta
(murmur Austin-Flint). Bising diastol pada MR atau AR
'&an menurun intensitasnya bila diberikan amil nitrit karena
menurunnya trftc>t.lout/ dan berkurangnya derajat
regurgitasi.
Pemeriksaan Foto Toraks
Gambaran klasik dari fbto toraks adalah pembesaran atrium
kiri serta pembesaran arteri pulmonalis.(terdapat hubungan
yang berrnakna antara besarnya ukuran pembuluh darah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dan resistensi vaskular pulmonal).(Gambar 4) Edema
intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien
dengan tekanan atrium kiri <20 mrnHg, pada 70% bila
tekanan atrium kiri >20 mmHg. Temuan lain dapat berupa
garis Kerley A serta kalsifikasi pada. daerah katup mitral.
Ekokardiografi Doppler
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan
spesifik untuk untuk diagnosis stenosis mitral. Sebelum
era ekokardiografikardiografi, kateterisasi jantung
merupakan suatu keharusan dalam diagnosis.
Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi
struktur dari katup, pliabilitas dari dam katup. ukuran dari
area katup dengan planimetri ('mitral valve area'), struktur
dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi
ventrikel. (Gambar 1)

Ekokardiografi Transesofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan
menggunakan tranduser endoskop, sehingga jendela
ekokardiografi akan lebih luas, terutarna untuk struktur
katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Dari data kami
dengan ekokardiografi transesofagus lebih sensitif dalam
deteksi trombus pada atrium kiri atau terutama sekali
apendiks atrium kiri (Gambar 6).

Gambar 6. Ekokardiografi transesofageal potongan 4-ruang yang


memperlihatkan spontan eko kontras di atrium kin yang tidak terlihat
pada TTE. (Sumber : A. Ghanie. Div. Kam'iologi Dept. Int. Med.
FK. UNSRl / RSMH Palembang)

Selama ini eko transesofageal bukan merupakan


prosedur rutin pada stenosis mitral, namun a& prosedur
valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan
sebaiknya dilakukan.

Gambar 5. Foto polos dada menunjukkan pembesaran segmen


pulmonal dan atrium kiri, sehingga pinggang jantung hilang
(Surnber :A. Ghanie. Div. Kardiologi Dept. Int. Med. FK. UNSRl
/ RSMH Palembang)

Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien


dari mitral, serta ukuran dari area mitral dengan cara
mengukur 'pressure halfrime' terutama bila struktur katup
sedemikianjelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran
dengan planimetri tidak dimunglunkan. Selain dari pada
itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral yang
sering menyertai stenosis mitral
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan
eko doppler ditentukan antara lain oleh gradien
transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan
pulmonal.
Selain itu dapat juga ditentukan perubahan
hemodinamik pada latihan atau pemberian beban dengan
dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis
pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya
stenosis pada saat istirahat.

Kateterisasi
Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan
standar baku untuk diagnosis dan menentukan berat
ringan stenosis mitral. Walaupun demikian pada keadaan
tertentu masih dikerjakan setelah suatu prosedur eko yang
lengkap. Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer
untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah
yaitu valvulotomi dengan balon.
PENATALAKSANAAN
Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis
Mitral
Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan
pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Prosedur
penunjang EKG, foto toraks, ekokardiografi seperti yang
telah disebutkan diatas harus dilakukan secara lengkap.
Pada kelompok pasien stenosis mitral yang
asimtomatik, tindakan lanjutan sangat tergantung dengan
hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


asimtomatik dengan area > 1,5 cm', gradien <5 mmHg, maka
tidak perlu dilakukan evaluasi lanjutan, selain pencegahan
terhadap kemungkinan endokarditis. Lain halnya bila
5
pasien tersebut dengan area mitral ~ 1 . cm2.
Balon tnitral valvuloplasty (lihat skema di bawah ini)

antagonis kalsium. Penyekat beta atau anti aritmia juga


dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung, atau
pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi
atrial paroksismal. Bila perlu pada keadaan tertentu di mana
terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan
kardioversi elektrik, dengan pemberian heparin
intravenort.~sebelum pada saat ataupun sesudahnya.

Relationship of MY4 to Gradient


I

Anamnests
PemerlksaanFlsls
Foto toraks, elektrokard~ografi

Stenosis sedang alau berat

I0

12

14

16

Mean Cradien

namnesls pemenksaan
fists foto tomks.
ekokardlografi

Gambar 7. Hubungan antara gradien transmitral area mitral (MVA)


pada pasien stenosis
Pemerlksaan tahunan
anamnesls pemerlksaan
flsls foto toraks
ekokardlograf~

Pendekatan Medis
Prinsip umum. Stenosis mitral merupakan kelainan
mekanik, oleh karena itu obat bersifat suportif atau
simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau
pencegahan terhadap infeksi.
Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan
penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam
reumatik atau pencegahan ekdokarditis sering dipakai.
Obat-obat inotropik negatif seperti P-blocker atau Cablocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung
meningkat seperti pada latihan. Retriksi garam atau
pemberian diuretik secara intermiten bermanfaat jika
terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru.
Pada stenosis mitral dengan irama sinus, digitalis tidak
bermanfaat, kecuali terdapat disfungsi ventrikel baik kiri
atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan
hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan
meningkatkan frekuensi jantung dan memperpendek fase
diastole dan seterusnya akan meningkatkan gradient
transmitral.
Fibrilasi atrium. Prevalensi 30-40%.akan muncul akibat
hemodinamik yang bermakna karena hilangnya kontribusi
atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel
yang cepat.
Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan
indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atail

PAP > 50 mmHg 7

Tolerane latihan bumk

Perttmbangkan PMVB
(smgklrkan bekuan atrlum klr?

--

Gambar 8. Algoritme pada pasien stenosis rnitral (from Bonow


R, et al. ACCIAHA Task Force report on guidelines for valvular
heart disease MVR, penggantian katup mitral; LA atrium kiri,MR,
regurgitasi rnitral; PMBV, percutaneous mitral ballon
valvotomy. *Terdapat variabilitas pengukuran area katup mitral
dan gradien rata-rata transrnitral, dan tekanan pulrnonar yang
seharusnya menjadi pertimbangan.
+ Terdapat kontroversi tentang apakah pasien dengan stenosis
mitral berat dan hipertensi pulrnonar berat harus menjalani
penggantian katup mitral untuk mencegah gagal ventrikel kanan.

Pencegahan ernbolisasi sistemik. Antikoagulan warfarin


sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi
atrium atau irama sinus dengan kecenderungan
pembentukan trombus untuk mencegah fenomena
tromboemboli.
Valvotomi mitral perkutan dengan balon. Pertama kali

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

STENOSIS MITRAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun
1994 ditermia sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan
dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan
perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur
valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1. balon.

Smptomalik kelas
fungslonal II NYHA
Stenos~snngan

StenoSiS berat sedang


MVA <
.5Icm'

II

Latihan

I
PAP > 60 mmHg
PAWP r 30 mmHg
Grad~en> 15 mHg

Morfologt katup yang


layak untuk PMBV
1

Pemerlksaan tahunan

(angk~rkanbekuan atnum kln.

Gambar 9. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan


simtom klasifikasi II. (From Bonow R, et al. ACCIAHA Task Force
report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol
(in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri
pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve.
MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi
mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.

MOlfol~gl
katup yang
layak untuk PMBV
Gradlen mmHg

Pwbalkankawp
meal atau penggantlan
katup rnttral
I

Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup. Konsep


komisurotomi mitral pertama kali diajukan oleh Brunton pada
tahun 1902, dan berhasil pertamakali pada tahun 1920.
Sampai dengan tahun 1940prosedur yang dilakukan adalah
komisurotomi bedah tertutup. Tahun 1950 sampai dengan
1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui
transatrial serta transventrikel.
Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara
terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara
ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan komisura, atau
korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat
dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan
tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau
penggantian katup mitral dengan protesa. Perlu diingat
bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat
reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko
antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi endokarditis,
malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.

Sesuai dengan petunjuk dari 'American College of


Cardiology/American Heart Association (ACCJAHA)
dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi,
sebagai berikut:
Klas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan
umum bahwa prosedur atau pengobatan itu bermanfaat
dan efektif.
Klas 11: keadaan di mana terdapat konfliktperbedaan
pendapat tentang manfaat atau efikasi dari suatu
prosedur atau pengobatan.
1I.a. Bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat
atau efektif
1I.b. Kurang / tidak terdapat bukti adanya manfaat
atau efikasi
Klas 111: keadaan di mana terdapat bukti atau
kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan
itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus
berbahaya.

regurgntasj mltral 3 4 1

Gambar 10. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan


simtom klasifikasi Ill-IV. (From Bonow R, et al. ACCIAHA Task
Force report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll
Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik
arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral
valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR,
regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


1.

2.

3.
4.

5.

6.

7.

lndikasi

Klas

Diagnosis stenosis mitral, evaluasi berat


ringannya (gradient rata-rata, area katup,
tekanan arteri pulmonalis), serta ukuran dan
fungsi ventrikel kanan
Evaluasi morfologis katup, guna menentukan
kelayakan tindakan balon katup
Diagnosis dan evaluasi kelainan katup yang
menyertai
Re-evaluasi stenosis rnitral dengan perubahan
gejala dan tanda
Evaluasi respons hemodinamik dari gradient
rata-rata pada latihan, bila terlihat perbedaan
gambaran klinis dengan hemodinamik pada
latihan
Re-evaluasi pasien stenosis sedang-berat
asimtomatik untuk menentukan tekanan arteri
pulmonalis
Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil

lndikasi

1.

Untuk menentukan ada tidaknya trombus


atrium kiri pada pasien dengan rencana balon
valvotomi atau kardioversi
2. Evaluasi morfologis katup bila data
transtorakal kurang optimal
3. Evaluasi rutin morfologis katup mitral bila data
transtorakal cukup optimal

1.
2.
3.
4.

1.
2.

3.

4.

5.

1.

I
I

2.

I
Ila

lndikasi

Klas

Pasien simtomatik klasifikasi NYHA Il-IV,


stenosis mitral sedang atau berat dengan area
< 1.5 crn2, morfologis katup memenuhi syarat
untuk valvotomi balon, tanpa adanya
thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat
Pasien asimtomatik dengan gradasi sedangberat (area < 1.5 cm2), morfologis katup
memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal
(>50 mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan
latihan), tanpa adanya trombus di atrium kiri
atau regurgitasi mitral sedang-berat

Il a

3.

Pasien dengan klasifikasi NYHA It-IV, gradasi


sedang-berat (area 4 . 5 cm2), katup tidak
pliable disertai kalsifikasi dengan risiko tinggi
operasi, tanpa adanya trombus diatrium kiri
atau regurgitasi mitral sedang dan berat

II a

111

4.

Pasien asirntomatik, gradasi sedang-berat


(area < 1.5 cm2), rnorfologi katup memenuhi
syarat untuk valvotomi balon, disertai onset
atrial fibrilasi yang baru, tanpa adanya
trombus diatriurn kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat

Il b

Klas

5.

Klasifikasi NYHA Ill-IV, gradasi sedang - berat


(area <I .5 cm2), katup kaku,disertai kalsifikasi
dan risiko rendah untuk operasi
Pasien dengan stenosis rnitral ringan

II b

Ilb

Ila
6.

111

Ila
Ill

lndikasi

Klas

Fibrilasi atrial paroksismal atau kronik


Riwayat kejadian emboli sebelumnya
Stenosis berat dengan dimensi atrium kiri > 55
mm
Seluruh pasien dengan stenosis mitral

I
I
11 b

lndikasi

Klas

Pada pasien secara selektif


Menentukan gradasi stenosis pada rencana
balon valvotomi, dimana gambaran klinis
dan eko tidak sesuai
Evaluasi arteri pulmonal, atrium kiri,
tekanan diastoliK ventrikel kiri jika simtom
tidak sesuai dengan 2-D echo dan doppler
Evaluasi respons hemodinamik arteri
pulmonal dan tekanan artrium kiri terhadap
stres bila simtom klinis dan hemodinamik
pada istirahat tidak sesuai
Evaluasi hemodinamik katup mitral bila data
2-0 dan doppler sesuai dengan temuan
klinis

I
II a

Ill

II a

II a

Bruce, C.J., Nishimura, R.A. Newer Advances in the Diagnosis and


Treatment of Mitral Stenosis In Current Problems in Cardiology.
Mosby 1nc.Vol. 23, Number 3, March 1998, p.125-96.
Braunwald, E. Mitral Stenosis. In Valvular heart disease. In Horrison's
Principles of Internal Medicine. Kasper, D.L., Braunwald, E..
Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. 16"'
edition. Vol. 1I.McGraw-hill. 2005. p.1390-92.
Dalen, J.E.. Fenster, P.E. Mitral Stenosis. In : Valvular heart disease.
Alpert, J.S., Dalen, J.E., Rahimtoola, S.H. Third edition.
Philadelphia Lippincott Williams & walkins, USA. 2000. p.
75-1 12.
Bonow R, et al. ACCiAHA Task Force report on guidelines for
valvular MV, mitral valve replacement
Ghanie,A. Arsip ekokardiografikardiografi, Divisi Kardiologi Bagian
llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwi,jaya/
RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006.
Ghanie, A. Comparative study of transesophageal to transthoracal
in detecting thrombus and spontaneous ekokardiografi contrast
in mitral stenosis. Acta Medica Indonesiana. Vol. XXXIV. No.
2. edition April - June 2002. p. 52-4.
Swain,2005. Mitral Stenosis. McNamara rt 01, eds. eMedicine. httpi
iwww.eMedicine.com/emerg.topic.3
15.htm.

111

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

REGURGITASI MITRAL
Daulat Manurung

PENDAHULUAN
Regurgitasi mitral sama dengan mitral regurgitation (MR)
adalah suatu keadaan di mana terdapat aliran darah balik
dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat
tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna.
Dengan demikian aliran darah saat sistol akan terbagi dua,
disamping ke aorta yang seterusnya k& aliran darah
sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium
kiri. Akan tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien
dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang
asimtomatis sampai gaga1 jantung berat. Dari segi proses
terjadinya mitral regurgitasi dapat dibagi menjadi mitral
regurgitasi yang akut, transient atau bersifat sementara,
dan kronik. ~edangkanetiologi regurgitasi mitral sangat
banyak.

STRUKTUR DAN FUNGSI KOMPONEN KATUP MITRAL


Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu:
Anulus katup mitral. Terdiri dari bagian yang kaku
("fixed")yang berhubungan dengan annulus katup aorta.
Terdiri dari jaringan fibrosa dan merupakan bagian dari
pangkal katup mitral bagian anterior,
Bagian annulus mitralis yang lain yaitu bagian yang
dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari
daun katup mitral bagian posterior.
Kedua daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan
posterior. Keduanya asimetris. Celah dari kedua katup ini
disebut komisura, bagian antero medial dan poster0
lateral.
Chordae tendinea.Terdiri dari dua berkas, berpangkal pada
muskulus papilaris. Berkas chordae tendinea ini menempel

pada masing-masing daun katup, yang berfungsi untuk


menopang daun katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap
berkas chovda terdiri dari beberapa serabut yang
'fflexible ".
Muskulus papillaris. Terdiri dari dua buah, tempat
berpangkalnya kedua chordae tendinea, dan berhubungan
langsung dengan dinding ventrikel kiri. Berfungsi untuk
menyanggah kedua chordae. "Muskulus papillaris ' adalah
bagian dari endokardium yang menonjol, satu di medial,
dan satu lagi di dinding lateral.
Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan
regurgitasi bisa saja hanya satu dari keempat komponen
tadi, misalnya pada anulus yang melebar, pada penyakit
jantung degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
namun bisa saja mengenai dua atau lebih, seperti katup
mitral memendek, mengapur dan kelainan pada chordae,
fusi dan memendek seperti pada penyakit jantung rematik.
Pada akut infark, dapat terjadi muskulus papilaris.

Etiologi regurgitasi mitral (MR) sangat banyak, erat


hubungannya dengan klinisnya MR akut atau MR kronik.
MR akut secara garis besar ada tiga bentuk:
MR primer akut non iskemia yang terdiri dari:
- ruptur korda spontan
- endokarditisinfektif
- degerasi miksomatous dari valvular
- trauma
- hipovolemia pada mitral valve prolapse (MVP)
MR karena iskemia akut
MR yang terjadi karena iskemia akut dapat dijelaskan
sebagai berikut. Akibat adanya iskemia akut, maka akan
terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri, annular geometri

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

atau gangguan fingsi muskulus papilaris. Pada infark


akut, dapat terjadi ruptur dari muskulus papilaris, satu
atau keduanya. Selanjutnya timbul edema paru, syok
dan kematian. Namun apabila hanya satu muskulus
papilaris yang ruptur, biasanya walau klinisnya berat,
namun kemungkinan masih bisa diatasi. Ruptur
muskulus papilaris pada infark akut biasanya timbul
antara hari kedua sampai hari kelima, klinisnya berat,
biasanya perlu tindakan operasi. MR juga bisa timbul
sebagai kelanjutan dari infark akut, di mana terjadi remodeling miokard, gangguan fungsi muskulus
papilaris, dan dilatasi annulus, gangguan koaptasi katup
mitral, selanjutnya timbul MR.
MR akut sekunder pada kardiomiopati.
Pada kardiomiopati terdapat penebalan dari miokard
yang tidak proporsional dan bisa asimetris, yang
berakibat kedua muskulus papilaris berobah posisi,
akibatnya tidak berfungsi dengan sempurna,
selanjutnya penutupan katup mitral tidak sempuma.

ETlOLOGl DAN MEKANISME MR KRONIK


Etiologi MR kronik sangat banyak. MR kronik dapat terjadi
pada penyakit jantung valvular yang berlangsung secara

Etiologi
Pascainflamasi
Rematik
Lupus eritematosus
Sistemik
Sindrom antikardiolipin
Pasca radiasi
Degeneratif
Mitral valve prolapse
ruptur korda idiopatik
Sindrom Marfan's
Sindrom Ehlers-Danios
Traumatik MR
Penyakit Miokardial
lskemik (kronik)
Kardiomiopati
Penyakit lnfiltratif
Penyakit arniloid
Penyakit Hurler's
Encasing disease
Sindrorn hipereosinofilik
Fibrosis endomiokardial
Penyakit karsinoid
Lesi egot
Diet-drug lesions
Endokarditis
Kongenital

"slowly progressive", seperti pada penyakit jantung


rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut
seperti perforasi katup atau ruptur korda yang tidak pernah
memperlihatkan gejala-gejala akut, namun dapat diadaptasi
sampai timbul bentuk kronis dari MR. Beberapa jenis
etiologi MR kronik terdiri dari hal-ha1 sebagai berikut (Tabel
1).

MR karena Reumatik
Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai
tingkatan dan fusi dari "commisura", hanya sekitar 10%
kasus rematik mitral murni MR tanpa ada stenosis. MR
berat karena rheuma yang memerlukan tindakan operasi
masih sering ditemukan pada negara-negara yang sedang
berkembang, tetapi sudah jarang di negara-negara yang
sudah maju. Biasanya lesi rematik dapat berupa retraksi
fibrosis pada apparatus valvuler, yang mengakibatkan
koaptasi dari katup mitral tidak berhngsi secara sempurna.
Pada kasus-kasus MR yang mengalami koreksi operasi,
terdapat 3-40% karena atas dasar reumatik.
MR Degeratif
Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve
prolapse (MVP), di mana terjadi gerakan abnormal dari

Mekanisme

Gambaran Ekokardiografi

Retraksi
Penebalan

Penebalan korda/leaflets
Gerakan restriksi atau normal

Prolaps leaflets
Ruptur korda

ProlapsVFlail leaflets
Redundant tissue
Ruptur korda

Dilatasi anulus
Tenting of leaflets

Normal leafleats
Penurunan gerakan leaflets

Penebalan
leaflets
Hilangnya
koaptasi

Penebalan leaflets
Penurunan gerakan

lmobilisasi leaflets
Penebalan
leaflets

Penebalan leaflets dan korda


Gerakan restriksi

Destructive
lesions
Cleff leaflets
Transposed valve

Perforasi
Flail leaflets
Cleft leaflets
Tricuspid valve

MR = Mitral Regurgitation

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

daun katup mitral ke dalarn atrium kiri saat sistol, diakibatkan


oleh tidak adekuatnya sokongan ("support") dari korda,
memanjang atau ruptur, dan terdapat jaringan valvular yang
berlebihan
Di negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang
terbanyak didapatkan, 20-70% dari kasus-kasus MR yang
mendapat tindakan koreksi. dengan operasi.

MR karena Endocarditis Infective


"Infective endocarditis" dapat menyebabkan destruksi
dan perforasi dari daun katup.
MR karena lskemia atau MR Fungsional
Timbul sebagai akibat adanya dishngsi muskulus papilaris
yang bersifat transient atau permanen akibat adanya
iskemia kronis. Iskemia kronik dan MR fungsional dapat
juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri, aneurisms ventrikel,
miokardiopati atau miokarditis.
Penyebab Lain MR Kronik
Masih sangat banyak, walau sangat jarang ditemukan,
seperti penyakit jaringan ikat ("connective tissue
disorders"), seperti sindrom Marfan, sindrom
antikardiolipin, sindrom SLE dan lain-lain.
PATOFlSlOLOGl MR AKUT
Pada MR primer akut, atrium kiri dan ventrikel kiri yang
sebelumnya normal-normal saja, tiba-tiba mendapat beban
yang berlebihan ( "severe volume overload "). Pada saat
sistol atrium kiri akan mengalami pengisian yang
berlebihan, disamping aliran darah yang biasa dari venavena pulmonalis, juga mendapat aliran darah tambahan
dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi. Sebaliknya pada
saat diastol, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri
&an mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri
yang mengalami volume overload tadi. Dinding ventrikel
kiri cukup tebal tidak akan sempat berdilatasi, narnun akan
mengakibatkan mekanisme Frank-Starling akan
berlangsung secara maksimal, yang selanjutnya pasien
masuk dalam keadaan dekompensasi jantung kiri akut.
Tekanan atau volume ventrikel kiri yang berlebih
diteruskan ke atrium kiri, selanjutnya ke vena-vena
pulmonalis dan timbullah edema paru yang akut. Pada saat
yang bersamaan pada fase sistol di mana ventrikel kiri
mengalami volume overload dan tekanan di ventrikel kiri
meningkat, tekanan after load berkurang akibat regurgitasi
ke atrium kiri yang bisa mencapai 50% dari strok volume
ventrikel kiri. Aliran darah ke aorta (sistemik) akan
berkurang karena berbagi ke atrium kiri. Akibatnya
cardiac output akan berkurang walaupun fungsi ventrikel
kiri sebelumnya masih normal atau bahkan diatas normal.

Pada keadaan seperti ini, pasien akan memperlihatkan


gejala-gejala gaga1 jantung kiri akut, kongesti paru, dan
penurunan cardiac output.

PATOFlSlOLOGl MR KRONIK
Tidak sempumanya koaptasi dari kedua daun katup mitral
pada fase sistol, menimbulkan ada pintulcelah terbuka
("regurgitantorifice") untuk aliran darah balik ke atrium
kiri. Adanya "systolicpressuregradient " antara ventrikel
kiri dan atrium kiri, akan mendorong darah balik ke atrium
kiri. Volume darah yang balik ke atrium kiri disebut
"volume regurgitant ",dan presentase regurgitan volume
dibanding dari total ejection ventrikel kiri, disebut sebagai
fraksi regurgitan. Dengan demikian pada fase sistole, akan
terdapat beban pengisian atrium kiri yang meningkat, dan
pada fase diastol, beban pengisian ventrikel kiri juga akan
meningkat, yang lama kelamaan akan memperburuk
performance ventrikel kiri ( "remodeling").
Pada MR kronis, terjadi dilatasi ventrikel kiri, walau
lebih ringan ketimbang pada regurgitasi aorta (AR), pada
tingkat regurgitasi yang sarna. Tekanan volume akhir diastol
( "enddiastolic volume ") dan regangan dinding ventrikel
( "wallstress ") akan meningkat. Volume akhir sistol akan
meningkat pada MR kronik, meskipun demikian, regangan
akhir sistole dinding ventrikel kiri biasanya masih normal.
Selanjutnya massa ventrikel kiri pada MR akan meningkat
sejajar dengan besamya dilatasi ventrikel kiri.
Fungsi ventrikel kiri sulit dinilai karena ada perubahan
pada preload dan after load. After load lebih sulit lagi
dinilai karena ada aliran darah regurgitasi ke atrium kiri,
yang sedikit banyak akan mengurangi tahanan
pengeluaran darah dari ventrikel kiri, padahal pengukuran
after load dan regangan akhir dinding ventrikel kiri masih
dalam batas normal. Bagaimanapun juga, terdapat korelasi
terbalik antara tekanan akhir dinding ventrikel dengan
fraksi ejeksi pada MR.
Petunjuk yang cukup komplek dengan memakai after
load seperti regangan akhir sistolik dinding ventrikel kiri
atau elastan maksimum yang disejajarkan dengan volume
ventrikel kiri ,dapat dipakai sebagai pengukur perubahan
fungsi ventrikel kiri yang cukup sensitif. Disfungsi
ventrikel kiri akibat MR merupakan pertanda prognase
yang tidak baik.
Fungsi diastolik pada MR sangat sulit dianalisis akibat
peningkatan volume pengisian. Relaksasi ventrikel kiri
biasanya memanjang dan kekakuan ( "stzflness") ventrikel
kiri juga biasanya berkurang akibat bertambahnya
diameter rongga ventrikel kiri.
Pada pasien MR fungsional akibat penyakit jantung
koroner atau kardiomiopati, kelainan primer terdapat pada
ventrikel kiri, di mana kontraktilitas dinding ventrikel
sangat berkurang, padahal daun katup mitral itu sendiri

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

masih normal. MR kebanyakan tidak sejajar dengan derajat


disfungsi ventrikel kiri, tetapi lebih berhubungan dengan
remodeling ventrikel kiri secara regional. MR fungsional
agak berbeda dengan MR organik ( "valvular "). Pada MR
fungsional, volume regurgitasi biasanya sedikit dan dilatasi
ventrikel kiri biasanya tidak proporsional dengan derajat
MR. Tetapi MR fungsional punya arti klinis yang penting,
berhubungan dengan peninggian volume dan tekanan di
atrium kiri, dan suatu pertanda penyakit miokardium yang
sudah lanjut. MR hngsional sangat efektif diobati dengan
vasodilator.

MANlFESTASl KLlNlS
Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada
beberapa kasus dapat diperberat oleh adanya ruptur
chordae, umumnya ditandai oleh sesak napas dan rasa
lemas yang berlebihan, yang timbul secara tiba-tiba.
Kadang ruptur korda ditandai oleh adanya nyeri dada, orthopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan rasa capai
kadang ditemukan pada MR akut.
Dari anamnesis juga kemungkinan dapat diperoleh
perkiraan etiologi dari MR akut. MR akut akibat iskemia
berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan syok atau
gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut,
terutama bila didapatkan adanya murmur sistolik yang barn,
walau kadang tidak ditemukan murmur sistolik pada MR
akut akibat iskemia, karena dapat terjadi keseimbangan
tekanan darah di dalam ventrikel kiri dan atrium kiri, yang
dapat menimbulkan lamanya murmur memendek sehingga
pada auskultasi sulit dideteksi (Tabel 2).

Akut
Gejala
Palpasi jantung

s1

Murmur
Elektrokardiogram
Foto toraks

Ekokardiografi
Tera~i

Kronik

Hampir selalu
ada, biasanya
berat
Unremarkable
Soft
Early systolic to
holosystolic
Normal
Jantung normal
silhouette;
edema paru
Normal LA and
LV vasodilators

Mungkin tak
ditemukan
Displaced dynamic
apical impulse
Soft or normal
Holosystolic
LVH dan fibrilasi
atrial sering
Enlarged heart:
normal lung fields
Endlarged LA and
Bedah

LA = atrium kiri, LV = ventrikel kiri, LVH = VHL = Hipstofi ventrikel kiri

MANlFESTASl KLlNlS
Manefestasi klinis MR kronik, termasuk simtom,
pemeriksaan fisis, perekaman EKG dan perubahan
radiologi sangat tergantung dari derajat dan kausa dari
MR, dan bagaimana performa atrium dan ventrikel kiri.
(Tabel 3).

Pasien dengan MR ringan biasanya asimtomatik. MR


berat dapat asimtomatik atau gejala minimal untuk
bertahun-tahun. Rasa cepat capai karena cardiac output
yang rendah dan sesak napas ringan pada saat beraktivitas,
biasanya segera hilang apabila aktivitas segera dihentikan.
Sesak napas berat saat beraktivitas, paroxysmal
nocturnal dyspnea atau edema paru bahkan hemoptisis
dapat juga terjadi. Gejala-gejala berat tersebut dapat dipicu
oleh fibrilasi atrial yang. baru timbul atau karena
peningkatan derajat regurgitasi, atau ruptur korda atau
menurunnyaperformance ventrikel kiri.
Sedangkan periode transisi dari akut menjadi kronik
MR, dapat juga terjadi misalnya dari gejala akut seperti
edema paru dan gagal jantung dapat mereda secara
progresif akibat perbaikanperformance ventrikel kiri atau
akibat pemberian diuretika.

Tekanan darah biasanya normal. Pada pemeriksaan palpasi,


apeks biasanya terdorong ke laterallkiri sesuai dengan
pembesaran ventrikel kiri. Thrill pada apeks pertanda
terdapatnya MR berat. Juga bisa terdapat right ventricular
heaving, bisa juga didapatkan pembesaran ventrikel kanan.
Bunyi jantung pertama biasanya bergabung dengan
murmur. Umumnya normal, namun dapat mengeras pada
MR karena penyakit jantung rematik. Bunyi jantung kedua
biasanya normal. Bunyi jantung ketiga terdengar terutama
pada MR akibat kelainan organik, di mana terjadi
peningkatan volume dan dilatasi ventrikel kiri. Murmur
diastolik yang bersifat rumbling pada awal diastolik bisa
juga terdengar akibat adanya peningkatan aliran darah pada
fase diastol, walau tidak disertai oleh adanya stenosis mitral. Namun perlu diingat bahwa bunyi jantung ketiga dan
murmur diastolik ini biasanya bunyinya bersifat "low
pitch ",sulit dideteksi, perlu auskultasi yang hati-hati, lebih
jelas terdengar pada posisi dekubitus lateral kiri, dan pada
saat ekspirasi.
Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan
awitan yang masih baru dan pada MR fungsional atau
iskemia serta pada irama yang masih sinus.
Pada MR karena MVP dapat terdengar mid systolic
click yang merupakan petanda MVP, bersamaan dengan
murmur sistolik. Hal ini terjadi sebagai akibat peregangan
yang tiba-tiba dari chordae tendinea.
Petanda utama dari MR adalah murmur sistolik,
minimal derajat sedang, berupa murmur holosistolik yang
meliputi bunyi jantung pertama sampai bunyi jantung
kedua. Murmur biasanya bersifat blowing, tetapi bisa juga
bersifat kasar ("harsh") terutama pada MVP. Pada MR
karena penyakit jantung valvular dan MVP dari daun katup
anterior, punctum maximum terdengar di apeks, menjalar
ke aksila. Sedangkan pada MVP katup posterior arah 'yet "
dari murmur menuju superior dan medial. Akibatnya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Sindrom MVP

MR Oraanik

MR Funasional

Gejala
Pemeriksaan
fisis

Nyeri dada
Mid-systolic click,
dan- murmur sistolik
perubahan ST-T

Lelah
Loud holosystolic
murmur, S3
Fibrilasi atrial

EKG
Foto dada

Pectus excavatum

Kardiomegali,
LA enlargement

CHF
Soft early
systolic murmur
S4, s3
Gelombang Q,
LBBB
Kardiomegali,
Edema paru

MR, mitral regurgitation; MVP, mitral valve prolapse; CHF, congestive heart
failure; ECG, electrocardiogram; LBBB, left bundle branch block; CXR, chest
X-ray; LA, left atrium

murmur menjalar ke basis jantung dan sulit dibedakan


dengan murmur karena stenosis aorta atau kardiomiopati
obstruktif. Murmur juga bisa terdengar di punggung.
Murmur biasanya paralel dengan derajat MR, narnun tidak
demikian pada MR karena iskemia atau fiingsional.

ELEKTROKARDIOGRAFI
Gambaran EKG pada MR tidak ada yang spesifik, namun
fibrilasi atrial sering ditemukan pada MR karena kelainan
organik.
MR karena iskemia, Q patologis dan LBBB bisa terlihat
sedangkan pada MVP bisa terlihat perubahan segmen
ST-T yang tidak spesifik.
Pada keadaan dengan irama sinus, tanda-tanda dilatasi
atrium kiri (LAH) dan dilatasi atrium kanan (RAH) bisa
ditemukan apabila sudah ada hipertensi pulmonal yang
berat. Tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri (LVH) bisa juga
ditemukan pada MR kronik.

FOTO TORAKS
Bisa memperlihatkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri
dan ventrikel kiri. Juga tanda-tanda hipertensi pulmonal
atau edema paru bisa ditemukan pada MR kronik.
Sedangkan pada MR akut, biasanya pembesaran jantung
belum jelas, walaupun sudah ada tanda-tanda gaga1
jantung kiri.

Ekokardiografi Doppler saat ini merupakan alat diagnostik


yang utama pada pemeriksaan pasien dengan MR. Dengan
Eko Doppler, dapat diketahui morfologi lesi katup mitral,
derajat atau beratnya MR. Juga mengetahui beratnya MR.
Juga mengetahui fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri.
Dengan eko bisa diketahui etiologi dari MR.
Color Flow Doppler imaging merupakan pemeriksaan

non-invasive yang sangat akurat dalam medeteksi dan


estimasi dari MR. Atrium kiri biasanya dilatasi, sedangkan
ventrikel kiri cenderung hiperdinamik. Dengan quided Mmode diameter, dapat diukur besarnya ventrikel kiri, massa
ventrikel kiri dan tekanan dinding ventrikel, dan fraksi
ejeksi dapat dikalkulasi atau diestimasi. Volume ventrikel
juga dapat diukur dengan Ekokardiografi dua dimensi (2 D
Ekokardiograjicardiography).
PENATALAKSANAAN TERAPl
Terapi Medikamentosa
Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume
regurgitan, yang seterusnya akan mengurangi hipertensi
pulmonal dan tekanan atrial dan meningkatkan strok
volume. Vasodilator arterial seperti sodium nitroprusid
merupakan terapi utama untuk tujuan ini. Vasodilator
arterial dapat mengurangi resistensi valvuler,
meningkatkan aliran pengeluaran ( "jorward flow") dan
bersamaan dengan ini akan terjadi juga pengurangan dari
aliran regurgitasi. Pada saat bersamaan dengan
berkurangnya volume ventrikel kiri dapat membantu
perbaikan kompetensi katup mitral.
Sodium nitroprusid diberikan secara intravena, sangat
bermanfaat karena halflife sangat pendek, sehingga mudah
dititrasi, apalagi bila diberikan dengan pemasangan SwanGanz catheter.
Pada pasien MR berat dengan hipotensi, sebaiknya
pemberian sodium Nitroprusid harus dihindari. Intra
Aortic Balloon Counter Pulsation dapat dipergunakan
untuk memperbaiki mean arterial bloodpressure, di mana
diharapkan dapat mengurangi afterload dan meningkatkan
forward output (pengeluaran darah dari ventrikel kiri).
Pengantian katup mitral baru bisa dipertimbangkan
sesudah hemodinamik stabil.
Terapi Medikamentosa pada MR Kronik
Prevensi terhadap endokarditis infektif pada MR sangat
penting. Pasien usia muda dengan MR karena penyakit

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

jantung rematik harus mendapat profilaksis terhadap


demam rematik. Untuk pasien dengan AF perlu diberikan
digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol frekuensi
detak jantung ("rate control").
Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan
AF. Penyekat beta merupakan obat pilihan utama pada
sindrom MVP, di mana sering ditemukan keluhan berdebar
dan nyeri dada. Diuretika sangat bermanfaat untuk kontrol
gaga1 jantung, dan untuk kontrol keluhan terutama sesak
napas. ACE inhibitor dilaporkan bermanfaat pada MR
dengan disfungsi ventrikel kiri, memperbaiki survival dan
memperbaiki simtom. Juga MR fungsional sangat
bermanfaat dengan ACE inhibitor ini.

perlu penilaian aparatus mitral secara cermat, dan


performance dari ventrikel kiri. Namun kadang saat
direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka, temyata harus
diganti atau di replacement.
Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan
rekonstruksi tidak mungkin dilakukan.
Apabila diputuskan untuk replacement, maka pilihan
adalah apakah pakai katup mekanikal di mana ketahanan
dari valve mechanical ini sudah terjamin, namun terdapat
risiko tromboemboli dan harus minum antikoagulan
seumur hidup atau katup bioprotese ("biologic valve ") di
mana umur valve sulit diprediksi, namun tidak perlu pakai
antikoagulan lama.
Kapan tindakan penggantian katup diakukan masih
banyak para ahli yang belum sepaham, namun ada
kecenderungan semakin cepat semakin baik, sebelum
terjadi disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri
. biasanya irreversible, walau katupnya sudah diganti.
Sebagai pegangan, AHA ( "AmericanHeart Association")
dan ACC ("American College of Cardiology") telah
menerbitkan guidelines (panduan) tentang management
dari MR kronik (Gambar 1).

Terapi dengan Operasi


Ada dua pilihan yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan
penggantian katup mitral ( "mitral valve replacement").
Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi
valvular ini, tergantung dari morphologi lesi dan etiologi
MR, dapat berupa valvular repair misalnya pada MVP,
annuloplas@, memperpendek korda dan sebagainya.
Sebelum rekonstruksi ataupun sebelum replacement

Regurgitasi mitral
berat kronik

I
ranpatelala

Giala

Ekokardiografi

I
Fraksi ejekii
ventrikular >0,60
dan dimensi sistolik
akhir <45mm

4
Tidak ada fibrilasi atrial
atau hipertensi pulrnonal

dan ekokariografi

Fraksi ejekii
ventrikel kiri 5 0.60

Ekokardiografi

Katup mitral
dapat direparasi

Katup mitral
tidak dapat direparasi

Fraksi ejeksi

i
Fibrilasi atrial atau
hipertensi pulrnonal

jika teknis rnernungkinkan

katup rnitral

Terapi rnedis

Gambar 1. Bagan tatalaksana regurgitasi rnitral berat kronik. Dimodifikasi dari The American College of Cardiology-American Heart
Association guidelines.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


REFERENSI
ACAIAHA guidelines for the management of patient with valvular
heart disease: a report of the American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practice Quidelines
(Committee on Management of Patient with Valvular Heart
Disease). J Am. Coll Cardiol 1998:32:1486-588.
Barry M Massie Thomas M Amidon : Mitral regurgitation in Current medical diagnosis & treatment 2003. Edited by Tierney
LM, McPhee J/ Hapadakis MA. Lange Medical Books/ McGraw
Hill. The Heart. 42nd Ed. Current Medical Diagnosis &
Treatment 2003.p. 322-8.
Carabello BA. Acute mitral regurgitation. 3rd Ed. Valvular Heart
Disease by Lippincott William & Wilkin 2000;143-55.

Catherine M Otto. Evaluation and management of chronic mitral


regurgitation. N Engl J Med, 2001; 345 ; 740-5.
Eugene Brauwald. Valvular heart disease. 16 ed. Harrison's
Principles of Internal Medicine. 2005 Mc Graw-Hill; 1390-5.
Edited by Kaspen et al.
J.S. Fleming. Lecture notes on cardiology. (Chapter 7 : Mitral Valve
Disease).
Sarano ME, Hanzell VS, Abdul Jamil T, Robert LF. Chronic mitral
regurgitation. 3d Ed. Valvular Heart Disease 2000 by Lippincott
William & Wilkin;115-55.
Sjahbudin HR, Maurice ES, Hartzel et all. Mitral regurgitation . loth
ed. 2001; in Hursts the Heart Ed. By Fuster V, et al. Internal
edition Mc Graw Hill Medical Publish Divisi; 1708-27.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

STENOSIS AORTA
Marulam M. Panggabean

ETlOLOGl STENOSIS AORTA


Etiologi stenosis aorta adalah kalsifikasi senilis, variasi
kongenital, penyakit jantung rematik. Di negara maju,
etiologi terutama oleh kalsifikasi-degeneratif dan seiring
dengan prevalensi penyakit jantung koroner dengan faktor
risiko yang sama, sedang di negara kurang maju didominasi
oleh penyakit jantung rematik

DIAGNOSIS STENOSIS AORTA


Pada tahap asimtomatik, stenosis aorta ditandai oleh murmur sistolik ejeksi di basis jantung yang menyebar ke leher,
paling keras di daerah aorta dan apeks. Pada awalnya
karena curah jantung masih baik, murmur ini keras dan
kasar puncak mid-sistol dan disertai thrill. Pada
perkembangannya di mana curah jantung mulai menurun,
murmur ini menjadi lebih halus dengan puncak di akhir
sistole. Pada stenosis aorta kongenital, murmur ini
biasanya didahului oleh klik sistolik. Perabaan amplitude
nadi menurun (pulsus parvus et tardus). Bunyi jantung
kedua melemah atau terdengar hanya satu komponen saja.
Bila disertai regurgitasi aorta akan ditemukan early
diastolik tnurmur. Foto toraks dapat normal tahap awal
karena hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Kalsifikasi aorta
dapat terlihat pada flouroskopi. Pada tahap lanjut akan
ditemukan dilatasi post stenotik aorta asendens, dilatasi
ventrikel kiri, kongesti paru, pembesaran atrium kiri dan
rongga jantung kanan. Elektrokardiografi menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri. Pada kasus lanjut akan ditemukan
depresi segmen ST dan inversi gelombang T(L V Strain)
di sandapan I , AVL dan prekordial. Namun beratnya AS
tidak bisa disingkirkan walaupun tanpa hipertrofi ventrikel
kiri pada EKG. Ekokardiografi sangat membantu untuk
menunjukkan penebalan dan kalsifikasi daun katup aorta.

Gerak dan jenis katup bikuspid (kongenital) atau trikuspid,


hipertrofi ventrikel kiri, fraksi ejeksi yang menggambarkan
hngsi sistolik ventrikel kiri dapat pula dinilai. Kecepatan
aliran darah di katup aorta (transvalvular aortic velocity
disingkat If) dapat diukur dengan Doppler-Ekokardiografi.
Gradien katup aorta dapat dikalkulasi dengan memakai
rumus Bernoulli Gradien = 4 x V2.
Treadmill Exercise Test dulu dianggap kontraindikasi
pada stenosis aorta.Sekarang perlu bagi pasien stenosis
aorta asimtomatik dengan velocity transvalvular antara 34 mldetik. Dobutamin stres echo dapat pula dipakai untuk
memastikan beratnya penyakit pada stenosis aorta dengan
gradien transaorta rendah atau fungsi sistolik yang
menurun.
Kateterisasi jantung dan angiografi koroner diperlukan
oleh ahli bedah jantung bila direncanakan tindakan operasi
katup untuk menilai beratnya stenosis (Gradien katup dan
area katup aorta), menilai anatomi katup, fungsi sistolik
ventrikel kiri dan menilai ada tidaknya penyakit jantung
koroner. Indikasi kateterisasi adalah: pasien dengan 1 ) AS
serta tanda iskemia miokard untuk memastikan keterlibatan
arteri koronaria, 2) Kelainan multivalvular untuk
memastikan kelainan di masing-masing katup, 3) Pasien
AS muda asimtomatik dan non-kalsifikasi di mana tindakan
valvotomi balon masih dapat dilakukan, 4) Kecurigaan
obstruksi infra valvular seperti kardiomiopati hipertrofik
obstruktif.

PERJALANANPENYAKIT
Stenosis aorta asimtomatik mengalami periode normal yang
laten dan lamanya tergantung etiologi. Pada masa laten ini
akan terjadi fibrosis dan kalsifikasi katup. Periode laten ini
lebih pendek pada stenosis aorta karena aorta bikuspid
serta reumatik dibandingkan dengan sklerotik aorta. Gejala

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

STENOSIS AORTA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


yang paling sering muncul adalah angina (35%), sinkop
(15%) dan gagal jantung (50%). Begitu gejala muncul, ratarata hanya 25% yang bertahan hidup 3 tahun. Pasien
dengan angina hanya 50% bertahan hidup 5 tahun, kecuali
dilakukan operasi ganti katup. Pasien dengan sinkop hanya
50% yang bertahan hidup 3 tahun.Pasien dengan gagal
jantung hanya 50% yang bertahan hidup 2 tahun(2). Risiko
mati mendadak pada pasien asimtomatik hanya sekitar 2%
sehingga pembedahan hams segera dilakukan pada pasien
stenosis aorta simtomatik.
Pasien asimtomatik akan mengalami mati mendadak
sebesar O,S%/tahun. Pasien yang sudah dioperasi akan
mengalami re-operasi sebesar 1% pertahun dengan risiko
kematian operasi sebesar 1%
Gradasi stenosis asimtomatik dapat diukur dengan
Doppler dan dapat dipakai sebagai penentu timbulnya
gejala. Hanya 3% pasien dengan Transvalvular velocity
'>4m/detik yang bertahan asimtomatik dalam 2
tahun.Sedangkan 85% pasien asimtomatik dengan
kecepatan <3m/detik dapat tetap hidup tanpa keluhan
dalam 5 tahun.Beratnya kalsifikasi katup oarta, peningkatan
jet velocity yang progresif serta adanya penyakit jantung
koroner mempercepat timbulnya gejala dan memperbumk
prognosis.

Hambatan aliran darah di katup aorta (progressive


pressure overload of left ventricle akibat stenosis aorta)
akan merangsang mekanisme RAA (Renin-AngiotensinAldosteron) beserta mekanisme lainnya agar miokard
hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan
meningkatkan tekanan intraventrikel agar dapat melampaui
tahanan stenosis aorta tersebut dan mempertahankan wall
stress berdasarkan rumus Laplace: Stress= (pressure x
radius): 2x thickness. Namun bila tahanan aorta
bertambah, maka hipertrofi akan berkembang menjadi
patologik dengan gejala sinkop, iskemia sub-endokard
yang menghasilkan angina dan berakhir dengan gagal
miokard (gagal jantung kongestif).

PENATALAKSANAAN

Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk AS


asimtomatik, tetapi begitu timbul gejala seperti sinkop,
angina atau gagal jantung segera hams dilakukan operasi
katup, tergantung pada kemampuan dokter bedah
jantung(repair atau replace). Pasien asimtomatik perlu
dirujuk untuk pemeriksaan Doppler-Ekokardiografi.

Trans-valvular velocity lebih dari 4mldetik dianjurkan


untuk menjalani operasi seperti pasien simtomatik.
Transvalvular-velocity kurang dari 3mldetik tetap
diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardiografi tiap 6
(bagi mereka yang disertai penyakit jantung koroner atau
kalsifikasi sedang dan berat) atau tiap tahun bila tidak
ditemukan ha1 dimuka. Bila transvalvular velocity antara
3-4mldetik dianjurkan Treadmil Exercise Test protokol
Bruce dengan pengawasan ketat dilakukan untuk
menentukan saat operasi. Bila timbul gejala saat tes,
tekanan darah turun saat tes atau kemarnpuan yang sangat
rendah (digambarkan dengan waktu exercise yang sangat
pendek), maka pasien dianjurkan untuk operasi katup
seperti pada pasien simtomatik.
Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis
aorta dianggap sama seperti aterosklerosis, maka semua
tindakan untuk pencegahan aterosklerosis hams diberikan
untuk mencegah progresivitas stenosis.

PENATALAKSANAAN

Aktivitas fisik berat dihindarkan pada pasien AS


berat(<0,5cm2/m2walaupn masih asimtomatik. Nitrogliserin
diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan
bila ada tanda gaga1 jantung. Statin dianjurkan untuk
mencegah kalsifikasi daun katup aorta.
Operasi dianjurkan bila area katup <1cm2 atau 0.6cm/
m2permukaan tubuh), disfbngsi ventrikel kiri (stress test),
dilatasi pasca stenostik aorta walaupun asimtomatik.
Stenosis aorta karena kalsifikasi biasanya terjadi pada
orang tua yang telah pula mengalami penurunan fbngsi
ginjal, hati dan paru. Evaluasi dari organ-organ ini
diperlukan sebelum operasi dilakukan.

PROGNOSIS

Survival rate 10 tahun pasien pasca operasi ganti katup


aorta adalah sekitar 60% dan rata rata 30% katup artifisial
bioprotesis mengalami gangguan setelah 10 tahun dan
memerlukan operasi ulang. Katup metal artifisial hams
dilindungi dengan antikoagulan untuk mencegah trombus
dan embolisasi. Sebanyak 30% pasien ini akan mengalami
komplikasi perdarahan ringan-berat akibat dari terapi
tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat
dilakukan pada pasien anak atau anak muda dengan AS
kongenital non-kalsifikasi. Pada orang dewasa dengan
kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan restenosis yang
tinggi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

REFERENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Brauwald E.Valvular Heart Disease. In Kasper DL,Braunwald E,Fauchi


AS et.al(editor),Harrison's Principles of Internal Medicine 16
ed.2003.p. 1390-403
Carabello,BA,Is it time to Operate on Asymptomatic Aortic
Stensosis?ACCEL.November 2004,vol 36,110 I I ,Disc 1
Fuster V, Aortic Valve Sclerosis.The 37th Annual New york
Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology
Today,New York Hilton and Towers,New York,December 1012,2004
Otto,CM,Aortic Stenosis:even mild disease is significant.Eur J Card
2004;25:185-7
Rosenhek R,Klaar U,Schemper M etal,Mild and moderate aortic
stenosis.Eur J Card 2004;25:199-205
Stewart WJ and Carabello BA,Aortic Valve Disease.ln:Topol
EJ(Editor),Textbook of Cardiovascular Medicine,edZ.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2002.p. 50916.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

REGURGITASI AORTA
Saharman Leman

dalam 2 macam kelainan artifisial yaitu:

PENDAHULUAN

Abnormalitas katup jantung yang dibahas dalam bab ini


menyangkut katup aorta, baik segi etiologi, patofisiologis,
gambaran klinis serta penatalaksanaannya. Kelainan ini
merupakan penyakit jantung yang masih cukup tinggi
insidensinya.Beberapa jenis pemeriksaan dapat digunakan
untuk membantu menegakkan diagnosis seperti
fonokardiografi, kateter-isasi kardiak, serta angiografi,
seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya.

Karl et al melakukan penelitian terhadap 246 pasien yang


menderita regurgitasi aorta yang berat, didapatkan angka
kematian lebih tinggi dari yang diharapkan (10 tahun, 34
5%, p <0,00 1) dan angka kesakitan meningkat tinggi pada
pasien yang diterapi secara konservatif. Prediksi angka
harapan hidup pasien tergantung dari umur, kelas
fungsional, index comorbidity, fibrilasi atrium, diameter
sistolik akhir ventrikel kiri. Dari penelitian prospektif di
Eropa terhadap pasien dengan kelainan katup jantung,
didapatkan bahwa pasien dengan kelainan katup ini masih
perlu tindakan intervensi yang segera. Jenis kelainan katup
yang sering didapatkan adalah stenosis aorta 43,1% dari
1197 pasien, regurgitasi mitral 31,5 % dari 877 pasien,
regurgitasi aorta 13,3 % dari 369 pasien, stenosis mitral
12,l % dari 336 pasien. Kelainan degeneratif masih
merupakan penyebab tersering regurgitasi aorta. Dari studi
Framingham didapatkan 4,9% angka kejadian regurgitasi
aorta dan 10% dari strong heart study terhadap 250 pasien.

-. Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan,pada:


- Penyakit kolagen
- Aortitis sifilitika
- Diseksi aorta
Penyakit katup artifisial.
- Penyakitjantung reumatik
- Endokarditisbakterialis
- Aorta artijkial congenital
- Ventricular septa1 defect (VSD)
- Ruptur traumatik
- Aortic left ventricular tunnel
Genetik
- Sindrom marfan
- Mukopolisakaridosis

Regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi

Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada


regurgitasi aorta, bertujuan untuk mempertahankan curah
jantung disertai peninggian tekanan artifisial ventrikel kiri.
Pada saat aktivitas, denyut jantung dan resistensi vaskular
perifer menurun sehingga curah jantung bisa terpenuhi.
Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary
wedgepressure, arteri pulmonal, ventrikel kanan dan atrium
kanan meningkat sedangkan curah jantung menurun
walaupun pada waktu istirahat

GEJALA KLlNlS

Ada 2 macam gambaran klinis regurgitasi yang berbeda


yaitu:
Regurgitasi aorta kronik. Biasanya terjadi akibat proses
kronik seperti penyakit jantung reumatik, sehingga artifisial

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 1. Diagram berrnacam-macarn kasus regurgitasi aorta (Braunwald,


2001)

kardiovaskularsempat melakukan mekanisme kompensasi.


Tapi bila kegagalan ventrikel sudah muncul, timbullah
keluhan sesak napas pada waktu melakukan aktivitas dan
sekali-sekali timbul artijkial nocturnal dyspnea. Keluhan
akan semakin memburuk antara 1 -10 tahun berikutnya.
Angina pektoris muncul pada tahap akhir penyakit akibat
rendahnya tekanan artifisial dan timbulnya hipertrofi
ventrikel kiri.
Pemeriksaanjasmani menunjukkan nadi, selar dengan
tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial rendah,
gallop dan bising artifisial timbul akibat besarnya curah
sekuncup clan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri.
Bising artifisial lebih keras terdengar di garis sternal kiri
bawah atau apeks pada kelainan katup artifisial, sedang
pada dilatasi pangkal aorta, bising terutama terdengar di
garis sternal kanan. Bila ada ruptur dam katup, bising ini
sangat keras dan musikal.
Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan
thrill akibat curah sekuncup meningkat (tidak selalu
merupakan akibat stenosis aorta). Tabrakan antara
regurgitasi aorta yang besar dan aliran darah dari katup
mitral menyebabkan bising mid/late diastolik (bising
Austin Flinr).

Gambar 2. Patofisiologi regurgitasi aorta sehingga terjadi gagal


jantung kiri melalui diastolik regurgitasi. LV : Leff Ventricle, LVET
Leff Ventricle Ejection Time, Ao: Aortic, LVEDP : Leff Ventride
End Diastolic Pressure (Braunwald, 2001)

Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi


ventrikel kiri dengan strain. Foto dada memperlihatkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

RECURGITASI AORTA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


adanya pembesaran ventrikel kiri, elongasi aorta. dan
pembesaran a t r i ~ ~kiri.
~ n Ekokardiografi menunjukkan
adanya v o l ~ ~ m
berlebih
e
pada ventrikel kiri dengan dimensi
ventrikel kiri yang sangat melebar dan gerakan septum
dan dinding posterior ventrikel kiri yang hiperkinetik.
Kadang kadang daun katup mitral anterior atau septum
interventrikular bergetar halus (fllittuing).
Tanda kebocoran perifer yang dapat ditemukan pada
regurgitasi aorta adalah:
tekanan nadi yang melebar
nadi (~lfifici
:Y
nadi yliincke :v
tanda hill :v
pistol sl~otso~ind
tanda trulihe :s
tanda dziroziez i
tanda c/e I ~ ~ ~ I . F . Y L ~ ~
- tanda ~ n ~ l l:v ~ . r
- tanda rosenh~lch
- tanda gerhuradt 6
- tanda lundolfi :v
Regurgitasi aorta akut. Berbeda dengan regurgitasi kronik,
reg~lrgitasiakut biasanya timbul secara mendadak dan
banyak, sehingga belum sempat terjadi mekanisme
ko~npensasiyang sempurna. Gejala sesak napas yang berat
akibat tekanan vena pulmonal yang meningkat secara tibatiba. Dengan semakin beratnya gagal jantung peninggian
tekanan artifisial ventrikel kiri menyamai tekanan artifisial
aorta, sehingga bising artifisial makin melemah. Hal ini akan
menyulitkan diagnosis. Pemeriksaan elektrokardiografi dan
foto rontgen bisa normal karena belum cukup waktu untuk
terjadinya dilatasi dan hipertrofi, tetapi pada ekokardiografi
terlihat kelebihan volume ventrikel kiri (ventricular\-o/z/nleo ~ ~ p ~ l o upenutupan
d).
artifisial katup mitral dan
kadang kadang endokarditis bakterialis dapat diagnosis
dengan katup vegetasi.

sehingga dapat me~nperla~nbat


progresivitas dari disfungsi
miokardium.
Pengobatan Pembedahan. Hanya pada regurgitasi aorta
akibat diseksi aorta, reparasi katup aorta bisa
dipertimbangkan. Sedang pada regurgitasi aorta akibat
penyakit lainnya, katup aorta umumnya harus diganti
dengan katup artifisial.
Timbulnya keluhan, terutama sesak napas, merupakan
indikasi operasi. Tapi pasien dengan regurgitasi beratpun
bisa asimtomatik, padahal ventrikel kiri sudah dilatasi dan
hipertrofi sehingga bisa mengakibatkan fibrosis otot
jantung apabila dibiarkan. Bila ekokardiografi menunjukkan
dimensi sistolik ventrikel kiri 55 mm atau fiactiond skortening 25% dipertimbangkan untuk tindakan operasi,
sebelum timbul gagal jantung. Studi jangka panjang
terhadap pasien dengan regurgitasi aorta dengan
pembedahan memberikan hasil yang baik. Dari 125 pasien
yang diikuti selama 13 tahun, didapatkan t n o r t u l i ~rute
~
2.5 % per pasien setahun. Prediksi yang baik didapatkan
pada pasien dengan umur muda, index end .svstolic
angiografi kurang dari 120 ml/m2 sebelum operasi, dan
dimensi end diastolic berkurang pasca operasi lebih dari
20%.Dari data yang ada ternyata hasil akhir pembedahan
pada perempuan dengan mengganti katup aorta lebih jelek
dibandingkan pria. Sebagai contoh dari suatu studi
terhadap 5 1 perempuan dan 198 pria, didapatkan tindakan

A CC-AHA
Guidelines*

Sirntorn NYHA kelas Ill


atau IV
Simtorn NYHA kelas II
dengan dilatasi
ventrikel kiri progresif,
fraksi ejeksi rnenurun
atau penurunan
toleransi latihan angina
CCS kelas II
Operasi diindikasikan
untuk katup lain atau
by pass koroner.
Sirntorn NYHA kelas II
terbatas (IIA)

Left ventricular
diastolic diameter >
70 mrn
Left ventricular
systolic diameter > 55
rnrn
atau > 25 mrn/m2of
body-surface area
Ascending aortic
dilatation
> 55 rnrn

II

Dilatasi ventrikel kiri


asirntornatik > 75 rnrn
saat diastol dan >
35rnrn saat sistol (Ila)
Fraksi ejeksi < 25%
(lib)
Dilatasi ventrikel
asirntornatik 70 - 75
mrn saat diastol dan
50-55 rnrn saat sistol
(lib)
Asirntornatik,
penurunan fraksi ejeksi
dengan latihan (Ilb)

Peningkatan cepat
left ventricular
diameters. Bicuspid
aortic valve atau
Marfan syndrome
dengan diameter
aorta > 50 rnrn

PENATALAKSANAAN
Pengobatan medikamentosa. Digitalis harm diberikan pada
regurgitasi berat dan dilatasi jantung walaupun asimtornatik.
Regurgitasi aorta karena penyakit jantung reumatik harus
mendapat pencegahan sekunder dengan antibiotik. Juga
terhadap kemungkinan endokarditis bakterialis bila ada
tindakan khusus.
Mortalitas operasi pada regurgitasi aorta akibat
sindrom Mur:fun cukup tinggi ( 1 0%). Beberapa pusat
penelitian menganjurkan penggilnaan propranolol pada
dilatasi aorta akibat sindrom Mu1:fun untuk mengurangi
pulsasi aorta yang begitu kuat.Pengobatan dengan
vasodilator seperti nifedipine, felodipine, dan ACE
inhibitor dapat mempengaruhi ~ ~ k u r adan
n fungsi dari
ventrikel kiri dan mengurangi beban di ventrikel kiri,

European Society of
Cardiology
Guidelines

Indication
Class*

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


bedah lebih sering terhadap perempuan dengan gejala yang
berat, tetapi proporsi kematian setelah tindakan bedah pada
perempuan dan pria adalah sama.
Secara umum rekomendasi untuk tindakan pengobatan
dan pembedahan adalah pasien dengan pembesaran
ventrikel kiri (L V end diastolic dimention besar dari 65
mm) dan normal fungsi sistolik, dapat diterapi dengan
vasodilator, dan nifedipin merupakan pilihan yang baik.
Pembedahan dilakukan terhadap pasien dengan
pembesaran ventrikel kiri yang progresif, dimensi diastolik
akhir lebih dari 70 mm,.dimensi sistolik50 rnm dan EF 50%.
Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang simtomatis,
harus dilakukan penggantian katup setelah periode
pengobatan intensif dengan digitalis, diuretik, dan
vasodilator untuk mencegah timbulnya gejala gaga1
jantung.

G a m b a r 3. P e r u b a h a n hemodinamik p a d a regurgitasi aorta.


A.Normal. B.Regurgitasi aorta akut. C.Regurgitasi aorta kronik.
D.Regurgitasi a o r t a kronik d a l a m Dekornpensasi. E . S e g e r a
s e s u d a h replacement katup aorta. (Kutip Braunwald, 2001)

Braunwald E (ed). Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular


Medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1980.p. 1 12747.
Brliunwald E. I leart Disease. A Textbook of' Cardiovascular Medicine. Philadelphia : W B Saunders Company; 1980.p. 1153-5
Braunwald E. tleart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia : WB Saunders Company; 2001 .p. 167 1-89
Bernard Lung et al. A Prospective survey of patients with valvular
hcart disease in Europe : The Euro Heart Survey on Valvular
Heart Disease, Euro Heart J. 2003324: 1131-43
[la\ id Daniel. Chin C. Chen and Joel Morganroth. Ekokardiografi
cardiography in the diagnosis and quantification of valvular
heart disease. In : Nobel 0 f:owler (ed), Non Invasive Diagnostic
Methods in Cardiology, Philadelphia : FA Davis. Company:
1983.p. 67 115.
Emmanouillidies, George C and Barry G. Baylen. Pulmonary
stcnosis in moss. In: Heart Disease in Infants. Children and
Adolescents, 1983: 234.
Fuster Valentine. Robert 0 Braudenhurg. Emillio R Giuliani and Dwight
C Mc Goon. Clinical approach and management of acquired
valvular heart disease. In : Robert 0. Brandenburt I Ed. Oftice
Cardiology. Philadelphia: FA Davis Company; 1980.p. 1 3 - 5 9 ,
Joseph S A, Valvular heart decease in manual of cardiovascular
diagnosis and therapy, little brown and company, fourth
edition, 1996: 228-36
Karl .S.D.MD, Mortality and Morbidity of Aortic Regurgitation in
Clinical Practice, Circulation. 1999; 99: 185 1-7
Maurice Enriquez. S. MD. Aortic Regurgitation in N Enpl J Med.
2004;35 1 : 1539-46
Panggabcan, Marulaln M dan kawan kawan : Penyakit jantung
kongenital pada orang dewasa, KOPAPDI V: Jakarta, 1984 (in
Press).
Quinones Miguel A, Davis A. MokotofC Sorya Nouri, William Winters and Rochard R Miller. Non invasive quantification of left
ventricular wall stress.Validation of method and application to
assessment of chronic pressure overload. Am J Cardiol. 1980:
45: 782-90.
Wilcos W Dean. Indication for surgery for aortic valve disease in
children. In : J. Willis Hurst (ed), Clicinal Essay on The Heart.
Vol. I , New York Graw Hill Book Company. 1983: 249-69.
William H <i. course and management of chronic aortic regurgitation in up to date. xvw\\.up to date. Corn, 2002.10 : (800) 998 6374. (7x1) 237 - 1788.

G a m b a r 4 . Perbaikan katup aorta pada pasien dengan regurgrtast


aorta berat (Kutip Braunwald, 2001)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KELAINAN KATUP PULMONAL


Bambang Irawan M

Berbagai faktor sangat berpengaruh terhadap kelainan


katup jantung, di antaranya faktor genetik, infeksi, trauma
dan faktor yang lain. Kelainan katup bisa berupa stenosis
(katup membuka tidak sempurna) ataupun regurgitasi
(katup menutup tidak sempurna). Kelainan katup pulmonal
relatif jarang terdapat dan bisa merupakan kelainan yang
baik kongenital ataupun didapat. Dengan pemeriksaan bayi
saat lahir secara rutin, kelainan ini sudah dapat didiagnosis
secara dini dan biasanya sudah dilakukan tindakan operatif
untuk koreksi. Walaupun demikian masih ada beberapa
kasus kongenital yang masih luput dari diagnosis dan baru
ditemukan setelah dewasa.
Kelainan katup pulmonal akibat jantung reumatik
sangat jarang terdapat dan kalau terjadi biasanya disertai
dengan kelainan katup-katup yang lain seperti katup aorta
dan mitral. Kelainan katup pulmonal biasanya masih bisa
ditoleransi oleh pasien tanpa keluhan yang nyata. Namun
demikian, kelainan ini bisa pula mengakibatkan gaga1
jantung dan bahkan kematian pada pasien. Oleh karena
itu diagnosis awal dan pengawasan pada mereka yang
terdiagnosis sangat penting dalam pengelolaan kelainan
katup pulmonal ini.

malformasijantung ini 10 kali lebih banyak dari bayi yang


dilahirkan hidup dan banyak lagi kasus-kasus abortus
spontan disertai dengan kelainan kromosom ha1 tersebut
mengakibatkan insidens yang tercatat masih lebih kecil
dibandingkan dengan ha1 yang sesungguhnya.
Data studi baik secara klinis maupun secara
histopatologis dari 23 10 kasus dengan malformasijantung
saat lahir didapatkan stenosis pulmonalis terdapat pada
6,9%.Kalau persoalan ini telah diketahui dan ditanggulangi
secara awal, baik angka kematian maupun kesakitan akan
sangat menurun. Beberapa kelainan kongenital
menunjukkan kecenderungan perbedaan jenis kelamin.
Patent ductus arteriosus dan atrial septa1 defect lebih
banyak diderita oleh perempuan, sementara stenosis aorta,
koartasio aorta, tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar
lebih banyak pada pria.
Sementaraitu stenosis pulmonal reumatik relatif sangat
jarang dan kalaupun terdapat, biasanya dengan karditis
reumatik yang berat dan mengenai keempat katup jantung.
Regurgitasi pulmonal biasanya terjadi oleh karena
disfungsi katup akibat hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal itu sendiri dapat terjadi akibat penyakit reumatik
katup mitral (pada auskultasi terdengar bising Graham
Steel),penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan lainnya.

Walaupun banyak kelainan dapat mengakibatkan stenosis katup pulmonal secara didapat, namun kelainan ini lebih
sering disebabkan. kelainan sejak lahir atau kongenital.
Yang disebut kelainan kongenital adalah abnormalitas dari
struktur kardiovaskular atau fungsinya yang terdapat sejak
lahir, walaupun baru diketemukan dikemudian hari.
Insidens yang sesungguhnya kelainan kardiovaskular
kongenital sangat sulit dideteksi, pada "Stillborn" kejadian

Stenosis pulmonalis dapat disebabkan oleh kelainan


kongenital maupun didapat. Kelainan didapat di antaranya
disebabkan oleh reumatik jantung, tuberkulosis, malignant circinoid tumor endocarditis, miksoma dan sarkoma.
Kelainan sejak lahir merupakan kelainan yang paling
banyak pada stenosis pulmonalis.
Kelainan sejak lahir di antaranya:
Tak terbentuknya katup pulmonal. Kelainan ini bisa

PENDAHULUAN

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

merupakan kelainan tersendiri, akan tetapi lebih sering


disertai dengan defek septum ventrikel dan sumbatan
jalan keluar ventrikel kanan. Di sini regurgitasi pulmonal
dapat pula terjadi.
Atresia pulmonal dengan septum ventrikel yang intak.
Disini katup pulmonal tidak sempuma dan hanya berupa
jaringan fibrosa, ruang ventrikel kanan biasanya kecil
sedangkan dindingnya hipertrofi. Pada kelainan ini
selalu ada komunikasi atrium kanan dan kiri sehingga
kalau terjadi aliran balik dari atrium kanan ke kiri akan
terjadi sianosis.
Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel yang intak.
Kelainan ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan
dua kelainan di atas. Pada bentuk yang ringan
merupakan fusi sebagian, dua atau ketiga daun katup.
Pada kasus yang berat komisura hampir tak terbentuk
dan dengan katup membentuk diafragma berbentuk
kubah dengan lubang kecil di tengah.
Defek septum ventrikel dengan obstruksi jalan keluar
ventrikel kanan. Defek septum ventrikel dapat
mengalami komplikasi obstruksi jalan keluar ventrikel
kanan baik di tingkat sub valvular maupun valvular.
Kadang-kadang didapatkan hipertrofi krista
supraventrikularis atau stenosis pulmonal.
Tetralogi Fallot. Di sini defek septum ventrikel biasanya
terletak di bawah krista supraventrikularis. Sumbatan
jalan keluar ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh
sempitnya inhndibulum disertai dengan hipertrofi otot.
Sebagai tambahan mungkin didapatkan stenosis katup
pulmonal, hipoplasi annulus pulmonalis atau kontriksi
pada tempat arteria pulmonalis kanan atau kiri
berpangkal.
Transposisi arteri besar yang sempurna. Aorta
berpangkal pada ventrikel kanan sedangkan arteria
pulmonalis berpangkal pada ventrikel kiri. Kelainan ini
dapat disertai dengan malformasi jantung yang lain
misalnya stenosis pulmonal, koartasio aorta dan adanya
hanya satu ventrikel.
Regurgitasi pulmonal biasanya disebabkan oleh dilatasi
cincin katup sebagai akibat hipertensi pulmonal, (oleh sebab
apapun), atau dilatasi arteria pulmonal, baik idiopatik atau
akibat kelainan jaringan ikat seperti pada sindrom Marfan,
yang kedua sebagai akibat endokarditis infeksi dan yang
paling jarang adalah iatrogenic dan dapat juga akibat
tindakan operatif dari stenosis pulmonal ataupun tetralogi
Fallot. Hal lain yang bisa juga mengakibatkan regurgitasi
pulmonal antara lain sindrom karsinoid, akibat tindakan
kateterisasi jantung, lues dan trauma dada.

PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl


Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel intak bisa
disebabkan oleh stenosis valvular, infundibular atau

keduanya. Obstruksi infundibular atau jalan keluar


ventrikel kanan disebabkan oleh jaringan fibrosa yang
seakan mengikat atau oleh hipertrofi otot. Secara normal,
area lubang katup pulmonal pada saat lahir sebesar 0,5 cm
dan akan ikut membesar seiring dengan pertumbuhan
badan.
Sebagai akibat stenosis pulmonal baik derajat ringan,
sedang maupun berat, terjadi perbedaan tekanan fase
sistolik antara ruang ventrikel kanan dan arteria pulmonalis.
Pada stenosis pulmonal, puncak perbedaan tekanan sistolik
bisa mencapai I50 sampai 240 mmHg atau bisa lebih tinggi
lagi walaupun jarang.
Gangguan hemodinamik bisanya baru terjadi kalau
obstruksi katup pulmonal sudah mencapai 60% atau lebih.
Stenosis pulmonal ringan yang disertai aliran darah yang
tinggi dapat mengakibatkan perbedaan tekanan yang
nyata, sebaliknya pada stenosis yang berat dengan aliran
darah yang rendah akibat gagal jantung perbedaan tekanan
yang dihasilkan dapat rendah.
Pasien dengan perbedaan tekanan puncak pada saat
istirahat kurang dari 50 mmHg termasuk stenosis ringan,
antara 50 sampai dengan 100 mmHg termasuk stenosis
sedang dan di atas 100 mmHg termasuk stenosis berat.
Pada stenosis pulmonal berat, ventrikel kanan mengalami
gagal jantung sehingga isi semenit turun walaupun pada
saat istirahat. Keadaan ini diikuti dengan kenaikan baik
tekanan akhir diastolik ventrikel kanan dan tekanan rata
rata atrium kanan. Sebaliknya pada pasien dengan stenosis ringan sampai sedang tekanan sistolis ventrikel kanan
bisa tidak berubah dengan pertumbuhan anak sampai
bertahun-tahun. Ini menunjukkan lubang daun katup ikut
membesar dengan pertumbuhan anak. Tekanan atrium
kanan yang tinggi dapat menimbulkan gejala dan tanda
bendungan vena sistemik dan pada saat yang sama akan
mengakibatkan foramen oval terbuka dan terjadi aliran
darah shunting dari atrium kanan ke atrium kiri. Hal ini
akan mengakibatkan unsaturation arteri dan sianosis. Pada
stenosis pulmonal berat sianosis dapat pula terjadi tanpa
adanya pintasan tersebut. Hal ini disebabkan aliran darah
perifer menurun akibat rendahnya isi semenit. Dalam ha1
ini saturasi arteria normal. Pada saat yang sama terjadi
fibrosis endokardium ventrikel kanan dan mengakibatkan
gagal jantung kanan dan kenaikan tekanan diastolik.
Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat
disfungsi valvular yang sekunder pada pasien dengan
hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral rematik
[dengan bising Graham Steel],penyakit jantung pulmonal
dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi pulmonal
hngsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup
pulmonal. Walaupun jarang, regurgitasi pulmonal dapat
pula terjadi pada kelainan kongenital tersendiri,
endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal
dan penyakit jantung reumatik. Pada regurgitasi katup
pulmonal sangat berat, tekanan arteri pulmonalis dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KELAINAN KATUP PULMONAL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau
mendekati sama. Regurgitasi pulmonal akibat kelainan
kongenital [primer] biasanya tanpa disertai hipertensi
pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada
rendah dan sifatnya crescendo-decrescendo. Sebaliknya
pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder [dengan
hipertensi pulmonal] sifat bising diastolik yang terjadi
mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo. Pada
pasien yang muda, isolated pulmonary regurgitation ini
biasanya masih bisa ditoleransi dengan baik tanpa
hipertensi pulmonal.

Klasifikasi
Stenosis pulmonal dapat dibedakan menurut penyebabnya,
kongenital atau didapat. Menurut obstruksi jalan ke luar
ventrikel kanan, bisa valvular atau subvalvular. Pada mereka
yang disebabkan kelainan kongenital bisa stenosis pulmonal
tersendiri dengan septum ventrikel yang utuh stenosis
pulmonal dengan defek septum ventrikel misalnya pada
tetralogi Fallot. Juga bisa dibedakan mereka yang dengan
shunting atrium kanan ke atrium kiri sehingga menimbulkan
sianosis dan unsaturation arterial atau yang tanpa
shunting yang walaupun bisa terjadi sianosis kalau terjadi
gagal jantung saturasinya tetap normal. Atas dasar
perbedaan puncak tekanan sistolik antara ventrikel kanan
dan arteri pulmonalis bisa dibedakan menjadi derajat ringan
pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik kurang
dari 50 mmHg, derajat sedang pada mereka yang dengan
perbedaan tekanan sistolik antara 50 sampai dengan 100
mmHg dan derajd berat pada mereka yang dengan perbedaan
tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg. Pada regurgitaasi
pulmonal dapat dibedakan akibat kelainan primer, biasanya
tanpa hipertensi pulmonal, atau akibat kelainan sekunder,
yaitu adanya hipertensi pulmonal oleh sebab apapun.

Penyakit jantung kongenital dengan akibat obstruksi atau


stenosis dan regurgitasi katup jantung umumnya gejalanya
sama dengan penyakit jantung valvular yang didapat.
Walaupun demikian pada kelainan jantung kongenital ada
beberapa tanda khas yang perlu diperhatikan. Pada
kebanyakan remaja dengan stenosis pulmonal kongenital
yang nyata, isi sekuncup pada saat istirahat tetap normal,
akan tetapi kenaikan isi semenit pada saat olah raga
mengalami gangguan, sedangkan pada anak-anak toleransi
terhadap olah raga cukup baik. Pada tetralogi Fallot [defek
septum ventrikel dan stenosis pulmonal] baik tidaknya
toleransi pasien ini tergantung pada besarnya defek
septum ventrikel dan rasio antara tahanan aliran darah
yang masuk aorta dan tahanan darah yang lewat stenosis
pulmonal. Pada kebanyakan anak dan dewasa, lubang pada
septum ventrikel biasanya cukup besar dan tekanan

ventrikel kiri dan kanan kira-kira sama. Kalau tahanan jalan


keluar ventrikel kanan tidak terlalu berat, aliran pulmonal
bisa dua kali dari aliran sistemik dan saturasi arterial
normal [acyunotic tetralogi Fallot]. Sebaliknya kalau
tahanan jalan keluar ventrikel kanan berat, aliran pulmonal
akan sangat turun dan terjadi pintasan dari kanan ke kiri
dengan unsaturation arterial dan sianosis walaupun dalam
keadaan istirahat. Adanya lubang yang besar pada
septum ventrikel dapat menyebabkan tekanan sistolik
ventrikel kanan tidak bisa melebihi ventrikel kiri. Hal ini
melindungi ventrikel kanan terhadap kerja yang berat dan
oleh karenanya gagal jantung jarang terdapat pada masa
kanak-kanak. Pada tetralogi Fallot sering terjadi sianosis
atau sianosis menjadi lebih berat kalau anak menangis.
Hal ini disebabkan oleh kombinasi manuver Valsalva,
menahan napas dan perangsangan simpatis.
Pasien dewasa dengan stenosis pulmonal ringan
sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien
ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan
fisis biasa. Bahkan pasien dengan stenosis pulmonal berat
pun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya
berupa dyspnoe d'efort, rasa lelah yang berlebihan. Kedua
keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi sekuncup
yang tidak adekuat pada saat olah raga. Tak ada keluhan
ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal pada
stenosis pulmonal.
Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang
berat. Sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak
[seperti pada stenosis aorta] tidak terjadi. Nyeri dada
menyerupai angina pektoris dapat terjadi pada stenosis
pulmonal yang berat. Tanda fisis pada stenosis pulmonal
di antaranya terdapat habitus sindrom Noonan berupa
badan yang pendek dengan dada seperti perisai dan leher
berselaput. Terdapat sianosis pada pasien stenosis
pulmonal berat dan defek septum atrial atau patent
foramen ovule. Pulsasi karotis bisa normal atau volumenya
sedikit menurut dengan pulsasi vena jugularis. Teraba
getaran [thrillJ sistolik pada spasium interkostal ke 3 atau
4 linea para sternalis kiri. Teraba impuls ventrikel kanan di
para sternal. Suara ejection, bising sistolik bersifat ejeksi.
Suara jantung kedua yang pecah dengan lemahnya
komponen pulmonal.
Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien
dan jarang terlihat dengan gagal jantung kanan atas dasar
regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal
jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini.
Bising diastolik yang meniup atau kasar terdengar di
sternum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi pulmonal
ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini
terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham
Stell. Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan
bising regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi
pulmonal organik terdengar dengay,nada rendah dan kasar.
Bising diastolik ini disertai dengan'bising sistolik. Denyutan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ventrikel kanan terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada


bunyi sistolik click dengan suara dua yang pecah secara
fisiologis.

PEMERIKSAANPENUNJANG
Dengan pemeriksaan elektrokardiogram, stenosis
pulmonal yang ringan biasanya normal, sedang pada
yang berat terdapat gambaran hipertrofi atrium dan
ventrikel kanan. Beratnya stenosis pulmonal
berhubungan dengan rasio antara gelombang R/S di V 1.
Makin berat kelainan makin tinggi gelombang R di V 1.
Ada deviasi aksis jantung ke kanan pada rekaman
elektrokardiogram. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal,
gambaran elektrokardiogram bisa normal atau adanya
gambaran hipertrofi ventrikel kanan.
Pemeriksaan radiologis, pada stenosis pulmonal
gambaran vaskularisasi paru perifer normal, arteri
pulmonalis tampak membesar akibat dilatasi pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan tampak pada
stenosis pulmonal sedang sampai berat. Walaupun jarang
pada stenosis pulmonal bisa tampak klasifikasi katup
pulmonal. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal gambaran
radiologis bisa normal atau tampak gambaran pembesaran
ventrikel kanan dan pembesaran arteria pulmonalis.
Pemeriksaan fungsi paru, pada stenosis pulmonal
dewasa sering abnormal dengan penurunan volume, jalan
udara dan kapasitas difusi paru yang sangat mungkin
disebabkan ketidaksempurnaan perkembangan paru pada
masa kanak-kanak.
Pemeriksaan ekokardiografi pada stenosis pulmonal
berat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pada
pemeriksaan langsung di katup pulmonal terlihat kenaikan
gelombang katup atrial [a].
Pemeriksaan radioisotop dengan radioangiografi pada
stenosis pulmonal berguna untuk melihat tidak adanya
pintasan dari kiri ke kanan.
Pemeriksaan kateterisasi dan angiografi pada stenosis
pulmonal dapat mengukur adanya perbedaan tekanan
sistolik melalui katup pulmonal. Ukuran lubang katup
pulmonal yang mengalami stenosis dapat ditentukan
dengan kateterisasi jantung sekalian mengukur perbedaan
tekanan katup pulmonal saat sistolik dan isi semenit. Tak
ada shunt dari kiri ke kanan, sedangkan dari kanan ke kiri
kadang ada walaupun hanya kecil pada pasien dengan defek
septum atrial atau patent foramen ovule. Pada regurgitasi
pulmonal, dengan angiografi bisa terlihat adanya aliran
kembali kontras ke ventrikel kanan pada fase diastolik.

DIAGNOSIS
Biasanya diagnosis stenosis pulmonal dapat ditegakkan

atas dasar pemeriksaan fisis disertai dengan


pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi,
radiologis dan ekokardiografi. Kriteria untuk membuat
diagnosis, pada stenosis pulmonal baik dengan ataupun
tanpa keluhan terdengar bising sistolik ejeksi sepanjang
sternum bagian kiri dan sering disertai dengan ejection
click pada fase awal sistolik. Pembesaran ventrikel kanan
dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis [pulsasi
jantung di parasternal kiri], pemeriksaan elektrokardiografi, foto rontgen dada dan ekokardiografi.
Diagnosa regurgitasi pulmonal ditegakkan atas dasar
pemeriksaan fisis, elektrokardiografi foto dada,
ekokardiografi dan terutama dengan pemeriksaan
angiografi pulmonal di mana didapatkan aliran balik cairan
kontras dari arteri pulmonalis ke ventrikel kanan pada fase
diastolik.

Pada stenosis pulmonalis yang berat bisa terjadi gagal


jantung kanan. Demikian juga infark miokard kanan dapat
terjadi pada stenosis pulmonal berat dengan pembesaran
ventrikel kanan. Walaupun jarang, endokarditis dapat
terjadi sebagai komplikasi stenosis pulmonal. Sedangkan
komplikasi regurgitasi pulmonal selain gagal jantung, bisa
juga mengakibatkan terjadinya endokarditis walaupun
jarang.

PENGOBATAN
Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat
dikelola tanpa tindakan operasi. Pada pasien yang
membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi
dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis. Untuk
stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh sebagian ahli
dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa tindakan
valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain
menganjurkan valvulotomi.
Pada stenosis pulmonal berat dengan gagal jantung
kanan, semua menganjurkan tindakan valvulotomi. Pada
keadaan di mana pasien menolak operasi atau kondisi
pasien tidak memungkinkan untuk operasi, dianjurkan
pemberian digitalis. Pemberian diuretika secara hati-hati
dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan isi
sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang
berat.
Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas
pada pemberian profilaksis antibiotik pada tindakan
dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarang terjadi
pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak
pengalaman tindakan pengobatan ataupun operasi pada
kasus tersebut.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1697

ICELAINAN KATUP PULMONAL

REFERENSI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Altrichter PM. Olson LJ, Edwards WD, et al. Surgical pathology of


the pulmonary valve: a study of 1 16 cases spanning 15 years.
Mayo Clin Proc 1989;64; 1352.
Brickner ME, Hillis LD. L a n g RA.Congenital heart disease in adults.
N E1ig1 J Mrd. 2000;342:256-63.
Balk H: Congenital malformations of the heart and great vessels:
synopsis of patholog). embryology and natural history. Baltimore-Munich: Urban & Schwarzenberg;l977.
Brayshau JR. Perloff JK.Congenital pulmonary insufficient), complicating idiopathic dilatation of the pulmonary artery. Ant J
Cardiol. 1962; 10:282.
Cassling RS, Rogler WC, McManus BM.lsolated pulmonic valve
infective endocarditis. a diagnostically elusive entity. Am Heart
J. 1985;109;558.
Balaguer JM, Byrne JG. Cohn LH. Orthotopic pulmonic valve
replacement with a pulmonary homograft as an interposition
graft. J Card Strrg. 1996: 1 1 ; 4 17.

DePace NL, Nestico PF, lskandrian AS, Morganroth J. Acute severe


pulmonic valve regurgitation: Pathophysiology , diagnosis and
treatment. Am Heart J. 1984; 108;567.
Fontana RS, Edwards JE.Congenital cardiac disease: a review of 357
cases studied Pathologically. Philadelphia: WB Saunders; 1962.
Gerlis LM: Covert congenital cardiovascular malformations
discovered in an autopsy series of nearly 5000 cases. Cardiovasc
Pathol. 1996;5; 1 1
Hoffman JIE: Congenital heart disease. Pediatr. Clin North Am.
37;45, 1990.
kirshenbaum HD: Pulmonary valve disease. In: Dalen JE and Alpen
JS eds. Valvular heart disease. 2nd ed. Boston: Little.
Brown; 1987.p.403-38.
Samanek M.Boy : Girl ratio in children born with different forms of
cardiac malformation: A population-based study. Pediatr Cardiol.
1994;15;53.
0 Toole JD. Wurtzbacher JJ, Weearner NE, Jain AC.Pulmonary
valve injury and insufficiency during pulmonary-artery
catheterization. N Engl J Med. 1979;301; 1 167.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT KATUP TRlKUSPlD


Ali Ghanie

PENDAHULUAN
Dalam pembicaraan katup trikuspid penting diketahui peran
sirkulasi paru. Sistem sirkulasi paru merupakan sirkuit
dengan resistensi yang rendah, kira-kira seperdelapan dari
resistensi sistemik. Hal ini disebabkan karena: ( I ) tidak
terdapat arterior muskular yang mempunyai resistensi yang
tinggi; (2) anastomosis kapiler bed yang difus; ( 3 )
kapasitas cadangan yang besar, dengan resistensi yang
rendah terhadap distensi pasif akibat kenaikan aliran darah
pulmonal.
Tekanan darah arteri pulmonalis adalah 2218 mmHg,
dengan tekanan rata-rata 13 mmHg. Kalau kita lihat tekanan
rata-rata atrium kiri sebesar 7 mmHg, maka perbedaan
tekanan 6 mmHg saja sudah cukup untuk mengalirkan
darah ke paru-paru.
Daun katup trikuspid yang merupakan bagian dari
sirkuit tekanan rendah, akan mengakibatkan toleransi
terhadap beban tekanan akan sangat kurang. Selain itu
daun katup trikuspid tidak setebal katup mitral, demikian
pula anulus fibrosisnya tidak sekuat katup mitral. Oleh
karena itu sangat mudah melebar pada keadaan kenaikan
beban atau stres.

REGURGlTASl TRlKUSPlD
Etiologi dan Patologi
Regurgitasi trikuspid adalah suatu keadaan kembalinya
sebagian darah ke atrium kanan pada saat sistolik. Keadaan
ini dapat terjadi primer akibat kelainan organik katup,
ataupun sekunder karena hipertensi pulmonal, perubahan
fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel
kanan maupun anulus trikuspid. (Tabel 1)
Penyakit jantung reumatik, dapat mengenai katup
trikuspid secara langsung walupun lebih sering disertai

Anatomis katup abnormal


Penyakit jantung reumatik
Bukan reumatik :
- Endokarditis infektif
- Anomali Ebstein's
- Prolaps katup trikuspid
- Kongenital, defek atrio-ventrikular kanan
- Karsinoid (dengan hipertensi pulmonal)
- lnfark rniokard, iskemialruptur muskulus papilaris
- Trauma
- Kelainan jaringan ikat (sindrom Marfan)
- Artritis reumatoid
- Radiasi, dengan akibat gagal jantung
- Fibrosis endorniokard
Anatomis katup normal
Kenaikan tekanan sistolik ventrikel kanan oleh berbagai
sebab (dilatasi anulus)
Lain - lain
Kawat pacu jantung (jarang)
Hipertiroidisme
Endokarditis Loeffler
Aneurisms sinus valsava

dengan katup jantung lain. Biasanya bila penyebabnya


penyakit jantung reumatik, selain regurgitasi disertai pula
dengan stenosis.

Hemodinamik
Pada regurgitasi trikuspid baik organik maupun sekunder,
akan terjadi kenaikan tekanan akhir diastolik pada atrium
dan ventrikel kanan. Tekanan atrium kanan akan meningkat
mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan
tekanan .ventrikel kanan, yaitu sesuai dengan kenaikan
derajat regurgitasi trikuspid.
Tekanan sistolik arteri pulmonalis dan ventrikel kanan
dapat dipakai sebagai petunjuk kasar terhadap regurgitasi
primer atau sekunder. Bila tekanan kurang dari 40 mmHg,
lebih menunjukkan kelainan primer dibandingkan bila
tekanan lebih dari 40 mmHg.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1699

PENYAKIT KATUP TRIKUSPID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Curah jantung biasanya sangat menurun, dan saat
sistolik tekanarl atrium tidak akan menunjukkan x descent,
tetapi gelombang yang mencolok dari c-v dan 1) descent
yang cepat (pada venotis wuve).

Elektrokardiogram
Biasanya tidak spesifik, dapat berupa blok cabang bundle
kanan, tanda pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dan
seringjuga terjadi fibrilasi atrium.

Manifestasi Klinis
Riwayat. Regurgitasi trikuspid tanpa hipertensi pulmonal
biasanya tidak memberikan keluhan dan dapat ditoleransi
dengan baik. Rasio perempuan terhadap pria adalah 2 : 1,
dengan rata-rata umur 40 tahun. Oleh karena lebih sering
bersamaan dengan stenosis mitral, maka gejala stenosis
rnitral biasanya lebih dominan. Riwayat sesak napas pada
latihan yang progresif, mudah lelah dan juga batuk darah.
Bila keadaan lebih berat akan timbul keluhan bengkak
tungkai, perut membesar. maka kelelahan(firtig dan
anoreksia merupakan keluhan yang paling mencolol,.
Adanya asites dan hepatomegali akan menimbulh'i~~
keluhan kurang enak pada perut kanan atas &an titnbul
pulsasi pada leher akibat pulsasi regurgitasi vena. Pada
keadaan ini justru pasien dapat tidur berbaring dengan
rata.
Pemeriksaan fisis. Pada inspeksi selalu terlihat adanya
gambaran penurunan berat badan, kakeksia. sianosis dan
ihterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran venajugularis,
gambaran gelombang x dan x' yang nonnal akan menghilang,
sedangkan y clrsc.enf akan menjadi nyata, terutama pada
inspirasi. Akan terlihat juga impuls ventrikel kanan yang
mencolok. Pada saat sistolikjuga dapat teraba impuls atrium
kanan pada garis sternal kiri bawah. Biasanya pada fase
aha1 dapat teraba pulsasi sistolik pada permukaan hati,
namun pada keadaan s~rosiskongestif pulsasi menghilang
karena hati menjadi tegang dan keras. Selain itu terlihat
juga asites dan edema.
Pada auskultasi dapat terdengar S3 dari ventrikel kanan
yang terdengar lebih keras pada inspirasi, dan bila disertai
hipertensi pulmonal suara P2 akan mengeras. Bising
pansistolik dengan nada tinggi terdengar paling keras di
sela iga 4 garis parasternal kiri dan dapat pula sampai ke
subxifoid. Bila regurgitasi ringan, bising sistolik pendek,
tetapi bila ventrikel kanan sangat besar bisingdapat sampai
ke apeks dan sulit dibedakan dengan regurgitasi mitral.
Perlu diingat bahwa derajat bising pada regurgitasi
trikuspid akan meningkat pada inspirasi (Rivern-Car\rNo :\
sign).Adanya kenaikan aliran melalui katup trikuspid dapat
menimbulkan bising diastolik padadaerah parasternal kiri.

Ekokardiografi
Pulsed color doppler echoc~~rdioprupl~j-,
merupakan
sarana yang mempunyai akurasi, sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dalaln menentukan adanya
regurgitasi trikuspid. Di sini dapat dilihat morhlogi katup
mitral, sehingga dapat diketahui berbagai penyebab yang
mendasari regurgitasi trikuspid ini. Demikian pula &pat
dilakukan pemeriksaan semikuantitatif terhadap tekanan
ventrikel kanan maupun uteri pulrnonalis.

Gambaran Radiologis
Adanya kardiomegali yang nlencolok akibat pembesaran
ventrikel kanan. Kadang-kadany akibat tingginya tekanan
ventrikel kanan yang akan berlangsung lama dapat terjadi
kalsifikasi pada anulus trikuspidalis. Dapat terjadi
gambaran hipertensi pulmonal, dan pada fluoroskopi
terlihat pulsasi sistolik pada atrium kanan.

Gambar 1. Pemerlksaan eko 2 dlmensl pada penderlta mltral


stenosls, yang juga dlsertal tr~kuspldstenosls

Gambar 2. Eko 2 dirnensi pada penderita DSA sekundum yang


dlsertai trikuspid regurgitasi (warna biru)

Kateterisasi
Dengan kateterisasi berupa ventrikulogafi ventrikel kanan
dapat diketahui adanya regurgjtasi. namun adanya kateter
pada katup dapat juga menimbulkan regurgitasi positif
palsu

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pengobatan
Konservatif. Ditujkan terutama bila terdapat tanda-tanda
kegagalan fungsi jantung berupa istirahat, pemakaian
diuretik dan digitalis.
Pembedahan. Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal
biasanya tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan.
Tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan
anuloplasti dan pada yang lebih berat dilakukan
penggantian katup dengan prostesis.

Gambar 3. Eko 2 dimensi pada penderita DSA sekundum dengan


trikuspid stenos~sdan mitral stenosis (tanda panah)

Gambar 4. Eko - - .. -..;i pada pende .--- ,an DSA sekundum


(hnda panah) yang disertai dengan ganggwan koaptasi katup
trikuspid

Stenosis trikuspid terisolasi merupakan kelai,,an katup


yang relatifjarang ditemukan, dan paling sering merupakan
penyakit jantung reumatik yang menyertai kelainan katup
mitral atau aorta. Pada autopsi ditemukan 15 persen
stenosis trikuspid pada pasien penyakit jantung reumatik,
dan hanya 5 persen yang memberi arti klinis. Kejadian
stenosis trikuspid lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan pria, dengan umur 20-60 tahun.

Etiologi dan Patologi


Stenosis trikuspid selalu disebabkan oleh penyakitjantung
reumatik. Keadaan lain walaupun jarang, yang dapat
menimbulkan obstruksi terhadap pengosongan atrium
kanan adalah a ~ e s i trikuspid,
a
tumor atrium kanan, sindrom
karsinoid dan vegetasi pada daun katup.
Perubahan aiatomik yang paling sering diternukan
sebagailnana stenosis mitral berupa fusi dan pemendekan
korda tendinea dan fusi pinggiran katup, sehingga terjadi
bentukan diafragma dengan celah yang terfiksasi.
Sebagaimana pada katup mitral, selain stenosis sering
terjadijugs regurgitasi. Atrium kanan akan melebar dengan
dinding yang tebal.
Patofisiologi
Gambaran hemodinamik ditentukan oleh besarnya
prrssuvegmdient antara atrim dan ventrikel kanan, yang
akan meningkat pada saat latihan atau inspirasi, dan
menurun pada saat istirahat atau ekspirasi. Hal ini
disebabkan perubahan besarnya volume pada latihan dan
pemapasan. Pada keadaan normal pressure gradient itu
hanya I rnmHg. Bila meningkat sarnpai 2 mmHg sudah dapat
menunjukkan suatu stenosis trikuspid, sedangkan 5 m H g
merupakan gambaran stenosis berat dengan tanda
kongesti sistemik.

Oambar 5. Pemeriksaan doppler eko berwarna pada OSA


sekundum menunjukkan regurgitas~tr~kuspld(warna b~ru)dan
doppler menunjukkan dengan tekanan yang tinggi

Manifestasi Klinis
Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan
mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan
hepatomegali menimbulkan keluhan tidak enak pada perut,
perut membesar dan bengkak umum. Beberapa pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT KATUP TRIKUSPID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang


'a' pada vena jugularis.

Pemeriksaan Fisik
Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka
stenosis trikuspid ini tidak terdiagnosis, kecuali memang
sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan menimbulkan
bendungan hati yang berat sehingga terjadi sirosis, ikterus,
malnutrisi yang berat, edema dan asites yang berat bahkan
splenomegali. Vena jugularis akan melebar dengan
gelombang 'a' yang besar, sedangkan gelombang 'v' tidak
jelas dan y descent menjadi lambat. Dapat ditemukan
pulsasi presistolik yang jelas pada permukaan hati yang
membesar.
Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada
daerah garis sternal kiri sampai pada daerah xifoideus,
terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih keras
pada inspirasi, dan melemah pada ekspirasi dan manuver
valsava karena menurunnya aliran darah melalui trikuspid.
Pemeriksaan Non lnvasif
Adanya gambaran pembesaran atrium kanan pada EKG
berupa gelombang p yang tinggi dan tajam pada sandapan
11, demikian pula pada Vl. tidak adanya hipertrofi ventrikel
kanan pada pasien yang dicurigai sebagai stenosis mitral,
sangat mungkin disertai dengan stenosis trikuspid.
Pada pemeriksaan foto dada didapatkan pembesaran
atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran
arteri pulmonalis. Lain halnya dengan stenosis mitral, pada
stenosis trikuspid tidak didapatkan tanda bendungan paru
Ekokardiografi menunjukkan penebalan daun katup
trikuspid dengan gambaran dooming dan adanya
gradient transvalvular pada pemeriksaan dopler.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang 100% sensitif
dan 90% spesifik.

Pemeriksaan lnvasif
Dengan kateterisasi dapat ditentukan gradient
transvalvular antara atrium dan ventrikel kanan, sehingga
dapat ditentukan gradasi stenosis guna tindakan
selanjutnya.

Pengobatan
Pengobatan konservatif ditujukan untuk mengurangi
kongesti sistemik yang merupakan kondisi yang dominan,
dalam ha1 ini dibutuhkan diuretik atau restriksi konsumsi
garam, Keadaan ini dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi
hati yang sangat dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu
pemakaian antibiotik juga penting pada keadaan tertentu
untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.
Tindakan Operasi
Tindakan operatif dapat berupa komisurotomi, tetapi bila
disertai regurgitasi dapat juga dilakukan anuloplasti secara
bersamaan. Penggantian katup dilakukan bila kelainan
katup lanjut yang disertai regurgitasi berat yang tidak
dikoreksi dengan anuloplasti.

REFERENSI
Braunwald E. Valvular heart disease. In : Heart Disease a Textbook
of Cardiovascular Medicine third edition 1988.
Feigenbaum H. Ekokardiograficardiograhy fisth edition 1994
Ockene IS. Tricuspid valve disease. In : Valvular Heart Disease edited by Dalen JE and Alpert JS, Little, Brown and Company,
Boston, 1981.
Rackle CE. Tricuspid and pulmonary valve disease. In : Hurst's The
Heart eight edition 1994.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ENDOKARDITIS
Idrus Alwi

PENDAHULUAN
Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba pada
permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya paling
banyak mengenai katup jantung, namun dapat juga terjadi
pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau
endokardium mural.
Lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang tediri
platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel inflamasi,
dengan ukuran yang bervariasi. Banyak jenis bakteri dan
jamur, mycobacteria, rickettsiae, chlamydiae dan
mikoplama menjadi penyebab EI, namun streptococci,
staphylococci, enterococci dan cocobacilli gram negatif
yang berkembang lambat Vhstidious)merupakan penyebab
tersering.
Terminologi akut dan subakut sering dipakai untuk
menggambarkan EI. EI akut menunjukkan toksisitas yang
nyata dan berkembang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu, mengakibatkan destruksi katup jantung
dan infeksi metastatik, dan penyebabnya khas yaitu
Staphylococcus aureus. Sebaliknya, EI subakut
berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan dengan penyebabnya biasanya Streptococcus
viridans, enterococci, staphylococci koagulase negatif
atau coccobacilli gram negatif.

KLASlFlKASl DAN TERMlNOLOGl


Berbeda dengan klasifikasi lama yang membedakan akut,
subakut dan kronik, klasifikasi baru merujuk kepada:
Aktivitas penyakit dan rekurensi: membedakan aktif dan
sembuh terutama penting untuk pasien yang menjalani
operasi. EI aktif jika kultur darah positif dan demam ada
pada saat operasi, atau kultur positif saat operasi atau
morfologi inflamasi aktif ditemukan intraoperatif, atau

operasi dikerjakan sebelum terapi antibiotik lengkap selesai.


Akhir-akhir ini direkomendasikan menyebut El aktif jika
diagnosis ditetapkan <2 bulan sebelurn operasi
Status diagnosis: definite, suspected dan possible (lihat
kriteria Duke pada Tabel 2)
Patogenesis: endokarditis pada katup asli (native valve
endocarditis), endokarditis katup prostetik ( prostethetic
valve endocarditis) dan endokarditis pada penyalahguna
narkoba intravena (intravenous drug abuse).
Lokasi anatomis: EI pada sisi kanan jantung (right sided
endocarditis) dan EI pada sisi kiri jantung (left sided
endocarditis)
Mikrobiologi:jika organisme penyebab dapat diidentifikasi.
Jika tidak ditemukan secara mikrobiologi disebut EI
mikrobiologi negatif.

lnsidens di negara maju berkisar antara 5,9 sampai 11,6


episode per 100.000 populasi. El biasanya lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan perempuan dengan rasio
1,6 sampai 2,5. Sekitar 36-75 % pasien dengan El katup asli
(native valve endocarditis) mempunyai faktor
predisposisi; penyakit jantung reumatik, penyakit jantung
kongenital, prolaps katup mitral, penyakit jantung
degeneratif, hipertrofi septal asimetrik atau penyalahguna
NARKOBA intravena (PNIV). Sekitar 7-25% kasus
melibatkan katup prostetik. Faktor predisposisi tidak dapat
diidentifikasi pada 25 sampai 47% pasien.
Epidemiologi endokarditis infektif selama 50 tahun
terakhir ini telah banyak berubah. Kalau dulu sebagian
besar pasien endokarditis infektif mempunyai penyakit
dasar penyakit jantung reumatik, penyakit jantung
kongenital atau sifilis sebagai penyebab kelainan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ENDOKARDITIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

endokard, namun dengan meningkatnya intervensi medis,


surgikal dan yang terpenting adalah meningkatnya angka
PNIV, maka kejadian endokarditis infektif karena penyebab
di atas semakin meningkat.
Di Amerika Serikat hampir 25% pasien EI adalah PNIV.
Walaupun insidens EI belum diketahui secara pasti,
diperkirakan kejadian EI pada PNIV berkisar antara 1,520
kasus per 1000 PNIV pertahun. EI memberikan risiko tinggi
terhadap morbiditas dan mortalitas. Risiko EI pada PNIV 25 % perpasien pertahun, beberapa kali lebih tinggi dari pasien
penyakit jantung reumatik atau katup prostetik. Meskipun
mortalitas EI pada PNIV yang terutama melibatkan sisi kanan
jantung tidak setinggi EI pada sisi kiri jantung, namur.
komplikasi kardiopulmonar, neurologis, ginjal, mata, abdomen dan ekstremitas dapat mengakibatkan morbiditas yang
bermakna. Mortalitas EI pada PNIV berkisar antara 7- 15%.

Mekanisme terjadinya EI pada pasien dengan katup normal belum diketahui dengan pasti. Mikrotrombi steril yaiig
menempel pada endokardium yang rusak diduga
merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor
hemodinamik (stres mekanik) dan proses imunologis
mempunyai peran penting pada kerusakan endokard.
Adanya kerusakan endotel, selanjutnya akan
mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit,
sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotic
endocardia1(NBTE). Jika terjadi infeksi mikroorganisme,
yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau
trauma, maka endokarditis non bakterial akan menjadi
endokarditis infektif. Faktor-faktor yang terdapat pada
bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam
teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan
matriks fibrin-trombosit pada katup yang rusak. Tahapan
patogenesis endokarditis dapat dilihat pada Tabel 1.

Kerusakan endotel katup


Pembentukan trombus fibrin-trombosit
Perlekatan bakteri pada plak trombus- trornbosit
Proliferasi bakteri lokal denaan ~envebaranhematoaen
Frontera JA dan Gradon JD

Patogenesis El pada PNlV


Beberapa teori mengemukakan adanya kerusakan endotel
(endothelial injury), karena bombardir secara terus
menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang
diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
granulasi talk subendotel pada katup trikuspid pasien EI
yang diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara
intravena, katup jantung yang pertama menyaring partikel

adalah sisi kanan jantung. Di samping kerusakan mekanis


secara langsung, faktor lain yang juga berperan adalah
diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan
vasospasme, kerusakan intima, dan pembentukan trombus.
Selain itu obat adiktif sendiri dapat menyebabkan
kerusakan endotel. Pada PNIV kuman dapat berasal dari
kulit yang tak steril maupun jarum yang tak sterillspuit
yang terkontaminasi kuman dan berfungsi sebagai
reservoir pada penggunaan berikutnya. Oleh karena
Staphylococcus aureus merupakan kuman flora kulit normal, maka kuman ini merupakan kuman penyebab tersering,
berkisar antara 50-60%.

RESPONS IMUN PADA ENDOKARDITIS


Patogenesis Vegetasi Jantung
Penelitian terhadap peran respons imun pejamu (host),
dalam proteksi terhadap endokarditis menunjukkan hasil
yang beragam. Pada beberapa kasus, imunisasi aktif dapat
mencegah terjadinya endokarditis, tanpa memicu laju
klirens bakteri dalam sirkulasi. Diduga terdapat mekanisme
yang berhubungan dengan penghambatan perlekatan
bakteri terhadap vegetasi. Perkembangan endokarditis,
tergantung pada keseimbangan antara kemampuan
organisme untuk melekat pada vegetasi dan menolak
respons pejamu.
Kompleks lmun
Penelitian nekropsi menunjukkan adanya glomerulonefritis
pada sejumlah besar kasus endokarditis pada manusia,
dan pada penelitian imunofluoresens, ditemukan lesi khas
yang merupakan deposisi kompleks imun. Deposisi
kompleks imunjuga ditemukan pada organ lain seperti limpa
dan kulit. Pemeriksaan yang mendeteksi adanya kompleks
imun dalam sirkulasi, menunjukkan korelasi antara
konsentrasi kompleks imun dalam sirkulasi dengan
lamanya penyakit, manifestasi di luar katup dan rendahnya
kadar komplemen dalam darah. Kadar kompleks imun dalam
sirkulasi, juga menurun sebagai respons terhadap terapi.
Antibodi spesifik terhadap kuman penyebab infeksi dan
dinding sel bakteri sudah dapat diidentifikasi pada
kompleks imun tersebut. Dalam keadaan normal kompleks
antigen-antibodi ini akan larut dan difagositosis. Pada
endokarditis, terdapat faktor yang menghambat larutnya
kompleks ini, sehingga mengalami deposisi dalam jaringan.
Bukti menunjukkan, faktor rheumatoid yang terdeteksi
paaa 50% kasus endokarditis, menutupi reseptor untuk
fagositosis dan akan menghambat klirens kompleks imun.
Hal ini dapat menjelaskan mengapa pasien endokarditis
mengalami bakteremia yang cukup lama walaupun terdapat
antibodi IgG spesifik yang cukup tinggi, kadar komplemen
yang cukup dan neutrofil yang masih berfungsi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Antibodi Terhadap Protein Miokard


Gambaran klinis lain pada endokarditis yang menarik
perhatian adalah adanya disfungsi miokard yang lebih
berat daripada lesi katup yang ada, bahkan tanpa adanya
destruksi katup yang bermakna. Maisch melaporkan
terdapat respons antibodi poliklonal pada endokarditis
yang terdiri dari antibodi antisarkolema dan antibodi
antimiolema. Antibodi antimiolema bersifat sitolitik
terhadap sel jantung in vitro jika terdapat komplemen.
Aktivitas sitolitik serum pada beberapa pasien, hanya ada
jika ditemukan antibodi antimiolema dan berhubungan
dengan titer antibodi antimiolema.

Aktivitas Limfosit
Analisis fungsi leukosit pada endokarditis menunjukkan
peningkatan jumlah monosit dan granulosit, namun
terdapat penurunan jumlah dan aktivitas sel T helper, sel
T suppressor dan natural killer cells selama infeksi. Pada
beberapa penelitian, aktivitas sel T suppressor: sebagian
mengalami perbaikan setelah terapi. Hal ini memperkuat
dugaan bahwa faktor predisposisi endokarditis, merupakan
hasil penurunan fungsi limfosit pada pasien, daripada
disfungsi limfosit murni akibat infeksi (risiko EI meningkat
pada individu dengan supresi imun).
Mekanisme lnflamasi dan Sitokin
Terdapat peningkatan ekspresi interleukin-8 pada
makrofag, di dalam endokard yang mengalami inflamasi,
pada pasien dengan endokarditis karena S. aureus.
Selanjutnya asam lipoteichoic, yang berasal dari dinding
sel bakteri gram positif dan diketahui mempunyai efek
stimulasi sangat penting terhadap makrofag, merupakan
perangsang produksi sitokin yang kuat. Interleukin-6,
suatu sitokin yang terlibat dalam stimulasi sel B dan
produksi antibodi serta pelepasan protein fase akut,
didapatkan meningkat pada endokarditis karena
streptokokus dan Q fever. Aktivitas proinflamasi tzrmour
necrosis factor (TNF), yang menginduksi respons fase
akut mungkin berperan pada manifestasi sistemik El.

PATOLOGI ENDOKARDlTlS
Patologi EI katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan perivalvular atau distal (non kardiak) karena
perlekatan vegetasi septik dengan emboli, infeksi
metastatik dan septikemia. Vegetasi biasanya melekat pada
aspek atrial katup atrioventrikular dan sisi ventrikular katup
semilunar, predominan pada garis penutupan katup.
Patologi intrakardiak pada El katup prostetik berbeda
bermakna dengan EI katup asli. Jika katup mekanik terlibat,
lokasi infeksi adalah perivalvular dan komplikasi yang
biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses
cincin dan fistula, disrupsi sistem konduksi dan perikarditis

purulenta. Pada katup bioprotese, elemen yang bergerak


berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi infeksi dan
perforasi katup serta vegetasi. Abses cincin juga dapat
ditemukan.

Manifestasi klinis EI merupakan akibat dari beberapa


mekanisme antara lain:
*. Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni
kuman pada katup jantung dan jaringan sekitarnya dapat
mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup,
terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular.
Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas, dapat
mengakibatkan terjadinya tromboemboli, mulai dari
emboli paru (vegetasi katup trikuspid) atau sampai ke
otak (vegetasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik.
Vegetasi akan melepas bakteri secara terus menerus ke
dalam sirkulasi (bakteremia kontinus), yang
mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam,
malaise, tak nafsu makan, penurunan berat badan dan
lain-lain.
Respons antibodi humoral dan selular terhadap infeksi
mikroorganisme dengan kerusakan jaringan akibat
kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi
dengan antigen yang menetap dalam jaringan.
Manifestasi klinis EI dapat berupa; petekie, Osler 's node,
artritis, glomerulonefritis dan faktor reumatoid positif.

Demam merupakan gejala dan tanda yang paling sering


ditemukan pada EI. Demam mungkin tak ditemukan atau
minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung
kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik dan jarang
pada EI katup asli yang disebabkan stafilokokus koagulase
negatif.
Murmur jantung ditemukan pada 80-85% pasien EI
katup asli, dan sering tidak terdengar pada EI katup asli.
Pembesaran limpa ditemukan pada 15-50% pasien dan lebih
sering pada EI subakut.
Ptekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat
ditemukan pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan
bukal, ekstremitas dan tidak spesifik pada EI. Splinter atau
szrbungual hemorrhages merupakan gambaran merah
gelap, linier atau jarang berupaflame-shaped streak pada
dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler
nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri
yang terdapat pada jari atau jarang pada jari lebih proksimal
dan menetap dalam beberapa jam atau hari, dan tak
patognomonis untuk EI. Lesi Janeway berupa eritema kecil
atau makula hemoragis yang tak nyeri pada tapak tangan
atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth spots,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat jarang
ditemukan paha EI.
Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa artralgia
dan mialgia, jarang artritis dan nyeri bagian belakang yang
prominen.
Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering
EI, dapat terjadi sampai 40% pasien dan kejadiannya
cenderung menurun selama terapi antibiotik yang efektif.
Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-40% pasien EI
dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Strok
emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi
klinis lain yaitu perdarahan intrakranial yang berasal dari
ruptur aneurisma mikotik, ruptur arteri karena arteritis
septik, kejang dan ensefalopati.

ENDOKARDITISPADA PENYALAHGUNANARKOBA
INTRA VENA (PNIV)
Pada pasien PNIV, lokasi keterlibatan katup pada EI
biasanya paling sering mengenai sisi kanan jantung, sesuai
dengan patogenesis penyakit yang dikaitkan dengan
infeksi dari kulit, kemudian melalui suntikan intravena akan
dibawa mengikuti aliran darah vena menuju sisi kanan
jantung. Penelitian di Divisi Kardiologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUIIRSUPN CM mendapatkan vegetasi
hanya pada katup trikuspid pada 80,8% kasus, vegetasi
hanya pada katup mitral atau hanya pada katup aorta
masing-masing sebesar 7,7% dan vegetasi campuran pada
katup mitral dan aorta 3,8%.
Endokarditis infektif pada PNIV memberikan gambaran
klinis, mikrobiologi dan prognosis yang berbeda daripada
EI non PNIV. Diperkirakan lebih dari 76% kasus kasus EI
pada PNIV terjadi pada sisi kanan jantung, dibandingkan
hanya 9% pada non PNIV, dan rnelibatkan katup trikuspid
pada 40-69% kasus. Stafilokokus merupakan kuman
penyebab tersering EI pada PNIV.

DIAGNOSIS
Diagnosis EI ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisis yang teliti, pemeriksaan
laboratoriurn antara lain: kultur darah dan pemeriksaan
penunjang ekokardiografi. Investigasi diagnosis hams
dilakukan jika pasien demam disertai satu atau lebih gejala
kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola
lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan bukti
proses endokard.aktif, serta pasien dengan katup
prostetik.
Pada anamnesis, keluhan yang paling sering ditemukan
adalah demam (80-85%). Keluhan lain dapat berupa
menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah,
penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi.

Pemeriksaan fisis yang cukup penting adalah


ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi
keterlibatan katup (80-85 %). Pada EI dengan keterlibatan
katup trikuspid murmur ditemukan pada 30-50% kasus pada
presentasi awal. Murmur yang khas adalah blowing
holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar
lebih jelas pada saat inspirasi (Rivello-Carvallo maneuver). Sedangkan EI pada katup jantung kiri, murmur
ditemukan pada lebih dari 90%. Tanda EI pada pemeriksaan
fisis yang lain adalah kelainan kulit antara lain fenomena
emboli, splenomegali, clubbing, petekie, Osler "s node dan
lesi Janeway, lesi retinalRoth spots.
Diagnosis EI perlu diwaspadai pada PNIV yang disertai
gejala demam. Marantz el al, mendapatkan diagnosis EI
pada 13% pasien PNIV yang menderita demam yang datang
ke Instalasi Gawat Darurat. Kecermatan dalam menentukan
diagnosis secara cepat, sangat membantu dalam
penatalaksanaan pasien secara optimal, sehingga terapi
terhadap EI dan komplikasinya dapat dilakukan sedini
mungkin.

Kultur Darah
Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik
utama dan memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba.
Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah diambil
pada saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan
darah kultur 3 kali, sekurang kurangnya dengan interval
1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur
darah terdiri atas satu botol untuk kuman aerob dan satu
botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurangkurangnya 1:5 dalam broth media. Minimal jumlah darah
yang diambil5 mi, lebih baik 10 ml pada orang dewasa.
Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat
ditunda 2-4 hari.
Peran Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi sangat berguna dalam
menegakkan diagnosis terutama jika kultur darah negatif.
Demikian juga pada diagnosis bakteremia persisten di mana
sumber infeksi belum dapat diketahui. Deteksi
ekokardiografi transtorakal (TTE) pada pasien yang
dicurigai EI sekitar 50%. Pada katup asli sekitar 20% TTE
memperlihatkan kualitas suboptimal. Hanya 25% vegetasi
<5 mm dapat diidentifikasi, persentase meningkat sampai
70% pada vegetasi >6 mm. Jika bukti klinis EI ditemukan,
ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan
sensitivitas kriteria Duke untuk diagnosis pasti EI.
Sensitivitas TEE dilaporkan 88- 100% dan spesifisitas 91100%. Pada kasus yang dicurigai terdapat komplikasi,
seperti pasien dengan katup prostetik dan kondisi tertentu
seperti penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), atau
terdapat deformitas pada dinding dada, ekokardiografi
transesofageal lebih terpilih daripada transtorakal.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kriteria Endokarditis lnfektif
Mengingat manifestasi klinis EI yang cukup beragam,
maka diperlukan suatu strategi diagnosis yang sensitif
untuk mendeteksi penyakit dan spesifik untuk
menyingkirkan penyakit lain. Durack et al, dari Universitas Duke mengajukan kriteria, yang terdiri dari berbagai
aspek baik secara klinis maupun histopatologis, dengan
mempertimbangkan dan memasukkan hal-ha1 yang tersebut
di atas. Kriteria Duke ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

El Definite
Kriteria Patologis
Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi
dalam vegetasi, dalam vegetasi yang mengalami emboli,
atau dalam suatu abses intrakardiak,
Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak,
yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan
endokarditis infektif.
Kriteria Klinis, menggunakan definisi spesifik (lihat pada tabel
2)
Dua kriteria mayor, atau
Satu mayor dan 3 kriteria minor, atau
Lima kriteria minor
El Possible
Temuan konsisten dengan El, turun dari kriteria definite
tetapi tidak rnemenuhi kriteria rejected.
El Rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis
atau
Resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotika
selama 5 4 hari, Atau
Tidak ditemukan bukti patologis El pada saat operasi atau
autopsi, setelah t e r a ~antibiotika
i
selama < 4 hari.
--

Durack, dkk

Kriteria Duke ini terbukti mempunyai sensitivitas yang


lebih tinggi dan lebih efektif dalam menegakkan diagnosis
klinis dibandingkan kriteria von Reyn. Kedua kriteria di
atas pada mulanya berkembang untuk riset klinis dan
epidemiologis. Karena El merupakan penyakit yang
heterogen dengan presentasi klinis yang sangat beragam,
penggunaan kriteria seperti di atas saja tidaklah cukup.
Penilaian klinis tetap penting pada evaluasi pasien yang
dicurigai El. Dokter dapat secara tepat dan bi.jak
memutuskan untuk mengobati atau tidak pasien, tanpa
melihat apakah dapat memenuhi atau gagal memenuhi
kriteria definite atau possible berdasarkan skema Duke.
Dalam praktek di lapangan kita sering mendapatkan
kriteria yang tak memenuhi dejinite. Misalnya hanya
ditemukan adanya riwayat PNIV ( 1 kriteria minor), demam
>38" C ( 1 kriteria minor) dan vegetasi di katup jantung ( 1
kriteria mayor). Berdasarkan kriteria Duke, maka pasien di
atas hanya memenuhi kriteria possible. Namun
pertimbangan diagnosis klinis El dan penatalaksanaannya

Kriteria Mayor
I. Kultur darah positif untuk E l
A. . Mikroorganisme khas konsisten untuk El darl 2 kultur darah
terpisah seperti tertul~sdi bawah ini
(I) Streptococci viridans, Streptococcus bov~satau grup
HACEK. atau
(ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau
enterococci, tanpa ada fokus primer, atau
B Mikroorganisme konsisten dengan El dari kultur darah
positif persisten di definisikan sebagai :
(i) 2 2 kultur dari sampel darah yang diarnbil terpisah
12 jam, atau
(ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari 2 4 kultur darah
terpisah ( dengan sampel awal dan akhir dlarnbil
terpisah 2 I jam )
2. Bukti keterlibatan endokardial
A. Ekokardiogram positif untuk El didefinisikan sebagai
(i). Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur
yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi
atau pada material yang di implantasikan tanpa ada
alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau
(ii) Abses, atau
(iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau
B.

Regurgitasi valvular yang baru terjadi (rnernburuk atau


berubah dari murmur yang ada sebelumnya tldak cukup

Kriteria Minor
1. Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat
intravena
2. Demam : suhu 2 38 C
3. Fenomena vaskular . emboli arteri besar, infark pulmonal septik
aneurisma mikotik, perdarahan intrakranlal, perdarahan
konjungtiva dan lesi Janeway.
4. Fenomena lmunologis : glomerulonefritis. Osler's nodes. Roth
Spots, dan faktor rheumatoid
5. Bukti mikrobiologi : kultur darah positif tetapi tidak mernenuhi
kriteria mayor seperti tertulis di atas atau bukti serologis infeksi
aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan El.
6. Temuan ekokardiografi . konsisten dengan El tetapi tidak
rnemenuhi kriteria seperti tertulis di atas.

tetap harus mempertimbangkan ,judgemPnt klinis.


Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kriteria Duke ini
juga mempunyai keterbatasan, khususnya pada pasien
PNIV yang sudah mendapat terapi antibiotika sering
ditemukan kultur darah yang negatif, kemungkinan lain
adalah teknis pengambilan kultur darah yang salah,
sehingga diagnosis El dcffinitc sulit ditegakkan.
Kriteria Duke hanya merupakan petunjuk klinis untuk
diagnosis El tentunya tidak harus menggantikan
jzrdgetnent klinis.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kasus El biasanya berdasarkan terapi
empiris, sementara menunggu hasil kultur. Pemilihan
antibiotika pada terapi empiris ini dengan melihat kondisi
pasien dala~nkeadaan akut atau subakut. Faktor lain yang
juga perlu dipertimbangkan adalah riwayat penggunaan
antibiotika sebelumnya, infeksi di organ lain dan resistensi
obat. Seyogyanya antibiotika yang diberikan pada terapi
empiris berdasarkan pola kuman serta resistensi obat pada
daerah tertentu yang eviclenc.c~htr.~etl.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ENDOKARDITIS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pada keadaan EI akut, antibiotika yang dipilih haruslah
yang mempunyai spektrum luas yang dapat mencakup S.
aureus, Streptokokus dan basil gram negatif. Sedangkan
pada keadaan EI subakut regimen terapi yang dipilih hams
dapat membasmi streptokokus termasuk E. faecalis.
Terapi empiris ini biasanya hanya diperlukan beberapa
hari sambil menunggu hasil tes sensitivitas yang akan
menentukan modifikasi terapi.
Untuk memudahkan dalam penatalaksanaan EI, telah
dikeluarkan beberapa guidelines (pedoman) yaitu:
American Heart Association (AHA) dan European
Society of Cardiology (ESC). Rekomendasi yang
dianjurkan kedua pedoman ini pada prinsipnya hampir
sama. Penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi
penisilin ditarnbah aminoglikosida membasmi kuman lebih
cepat daripada penisilin saja.
Regimen terapi yang pernah diteliti antara lain:
seftriakson 1 x 2 gram IV selama 4 minggu, diberikan pada
kasus EI karena Streptococcus. Pemberian regimen ini
cukup efektif dan aman, praktis karena pemberiannya satu
kali dalam sehari, dan dapat diberikan sebagai terapi rawat
jalan.
Beberapa penelitian lain juga melaporkan efektivitas
regimen terapi oral: siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin
2 x 300 mg selama 4 minggu dan dapat diberikan pada
pasien rawat jalan
Regimen terapi vankomisin merupakan terapi pilihan
pada kasus El dengan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), walaupun demikian respons klinis
yang lambat masih cukup sering ditemukan.
Infeksi HIV sering ditemukan pada pasien EI yang
disebabkan PNIV, sekitar 75%. Penatalaksanaannya pada
prinsipnya sama, terapi antibiotika diberikan secara
maksimal dan tidak boleh dengan regimen terapi jangka
pendek.

Intervensi surgikal dianjurkan pada beberapa keadaan


antara lain:
Vegetasi menetap setelah emboli sistemik: vegetasi pada
katup mitral anterior, terutama dengan ukuran > 10 mm
atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi
antimikroba 4 minggu.
Regurgitasi aorta atau mitral akut dengan tanda-tanda
gagal ventrikel
Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap
terapi medis
Perforasi atau ruptur katup
Ekstensi perivalvular: abses besar atau ekstensi abses
walaupun terapi antimikroba adekuat
Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis
yang adekuat.

American Heart Association ( AHA ) (2005)


Katup Asli ( Native Valve )
Ampicillin-sulbaktam 12 grl24 jam dalam 4
dosis terbagi
+ gentamisin sulfat 3 mglkg124 jam IV dalam
3 dosis terbagi atau
vankomisin 30 mglkg124jam IVllM dalam 2
dosis terbagi
+ gentamisin sulfat 3 mglkg124jam IVIIM
dalam 3 dosis terbagi
+ siprofloksasin 1000 mg124 jam per oral
atau 800 mg124 jam IV dalam 2 dosis terbagi
Katup Prostetik ( < I tahun )
Vankomisin 30 mglkg124 jam dalam 2 dosis
terbagi
+ gentamisin sulfat 3 mglkg124 jam IVIIM
dalam 3 dosis terbagi
+ sefepim 6 grl24 jam IV dalam 3 dosis
terbagi
+ rifampisin 900 mgl24 jam peroralllv dalam
3 dosis terbagi

4-6 minggu
4-6 minggu
4-6 minggu
4-6 minggu
4-6 minggu

6 minggu
2 minggu
6 minggu
6 minggu

European Society of Cardiology ( ESC )


(2004)
Katup Asli ( Native Valve )
Vankomisin 15 mglkg IV tiap 12 jam
+ gentamisin 1 mglkg IV tiap 8 jam
Katup Prostetik
Vankomisin 15 mglkg IV tiap 12 jam
+ rifampisin 300-450 mg per oral tiap 8 jam
+ gentamisin 1 mglkg IV tiap 8 jam

4-6 minggu
2 minggu
4-6 minggu
4-6 minggu
2 minggu

Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai


dengan patofisiologi terjadinya manifestasi klinis (lihat
patofisiologi):
Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung,
abses
Paru :emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema
dan abses.
Ginjal: glomerulonefritis
Otak: perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark
serebral

PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF


Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan risiko
endokarditis lebih besar dari populasi normal. Kondisi ini
dikelompokkan pada 3 kategori; risiko tinggi, risiko sedang
dan risiko rendahkanpa risiko (Tabel 8).
Kondisi non kardiak yang meningkatkan risiko EI adalah
penyalahguna narkoba intravena (PNIV) yang
dikalkulasikan 12 x lebih tinggi daripada non PNIV. Kondisi
lain yang menjadi predisposisi EI adalah hiperkoagulasi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Regimen

Lama
Minggu

Dosis dan Cara

Kekuatan
Rekomendasi

Highly Penicillin-Susceptible
Aqueous crystalline
12-18 juta Ul24 jam IV secara kontinyus
Penicillin G sodium
atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama
Atau
Ceftriaxone sodium
2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis
Aqueous crystalline
12-18 juta Ul24 jam IV secara kontinyus
Penicillin G sodium
atau dalam 6 dosis terbagi sama
Atau
Ceftriaxone sodium
2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis
Ditambah
3 mglkg per 24 jam IVIIM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama
Gentamisin sulfat
30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam
Vankomisin
Relatively Resistant to Penicillin
24 juta Ul24 jam IV secara kontinyus
Aqueous crystalline
atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama
Penicillin G sodium
Atau
2 grl24 jam IVIIM dalam 1 dosis
Ceftriaxone sodium
Ditambah
3 mglkg per 24 jam lVllM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama
Gentamisin sulfat
30 mglkg per 24 jam IV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam
Vankomisin

Regimen

Dosis dan Cara

Oxacillin-susceptible strains
Nafcillin atau 12 grl24 jam IV
oxacillin
dalam 4-6 dosis
terbagi sama
Ditambah
Tambahan
3 mglkg per 24
opsional
jam IVllM dalam
Gentarnisin
2 atau 3 dosis
sulfat
terbagi sama
Untuk pasien alergi penisilin
Cefazolin
6 gr124 jam IV
dalam 3 dosis
terbagi sama
Ditambah
Tambahan
3 mglkg per 24
opsional
jam lVllM dalam
Gentamisin
2 atau 3 dosis
sulfat
terbagi sama
Oxacilin-resistant strains
Vankomisin
30 mglkg per 24
jam IV dalam 2
dosis terbagi
sama

Lama

6
minggu

Kekuatan
Rekomendasi

IA

3-5 hari

6
minggu

3-5 hari

6
minggu

IB

penyakit kolon inflamasi, lupus eritematosus sistemik,


pengobatan steroid, diabetes melitus, luka bakar,
pemakaian respirator, status gizi buruk dan hemodialisis.
Target primer pencegahan pada prosedur yang
melibatkan rongga mulut, saluran pernapasan atau
esofagus adalah Streptococcus viridans, yang merupakan
penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik
onset akhir. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinari

Regimen

Dosis dan Cara

Oxacillin-susceptiblestrains
Nafcillin
12 grl24 jam IV
atau
dalam 6 dosis
oxacillin
terbagi sama
Ditambah
Rifampin
900 mg per 24 jam
IVIPer oral dalam
3 dosis terbagi
sama
Ditambah
Gentamisin 3 mglkg per 24
jam lVllM dalam 2
atau 3 dosis
terbagi sama
Oxacilin-resistantstrains
Vankomisin 30 mglkg per 24
jam IV dalam 2
dosis terbagi
sama
Ditambah
Rifampin
900 mg per 24 jam
IVIPeroral dalam
3 dosis terbagi
sama
Ditambah
Gentamisin 3 mglkg per 24
jam IVIIM dalam 2
atau 3 dosis
terbagi sama

->6

Kekuatan
Rekomendasi

IB

>6

>6

dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya


endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya
adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dan drainage
kulit dan jaringan lunak yang terifeksi, profilaksis
difokuskan pada S.aureus.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Risiko Tinggi
Relatif
Katup jantung
prostetik

Endokarditis
infektif
sebelumnya

Penyakit jantung
kongenital
sianotik
Duktus
arteriosus paten
( PDA )
Regurgitasi
aorta
Stenosis aorta

Regurgitasi
mitral

Stenosis mitral
dan regurgitasi

Defek septum
ventrikular
(VSD)

Koartasio aorta
Lesi intakardiak
yang sudah
dioperasi
dengan
abnormalitas
hemodinamik
atau device
prostetik
Shunt pulmonal
sistemik yang
dio~erasi

Risiko Sedang
Prolaps katup
mitral dengan
regurgitasi atau
penebalan katup
Stenosis mitral

Risiko Sangat
Rendah atau Tak
Ada
Prolaps katup mitral
tanpa regurgitasi atau
penebalan katup
Regurgitasi katup
trivial pada
ekokardiografi tanpa
abnormalitas
struktural

Penyakit katup
trikuspid

Defek septum atrial


(sekundurn)

Stenosis
pulmonal

Plak arterisklerotik

Hipertrofi septa1
asimetris
Katup aorta
bikuspid atau
sklerosis aorta
kalsifikasi
dengan
gangguan
hemodinamik
minimal
Penyakit
valvular
generatif pada
usia lanjut

Penyakit arteri koroner


sebelumnya
Pacu jantung,
defibrilator implant

Lesi intrakardiak
yang dioperasi
dengan tanpa 1
minimal
abnormalitas
hemodinamik
pasca operasi
< 6 bulan

Lesi intrakardiak yang


dioperasi dengan
tanpal minimal
abnormalitas
hemodinamik, pasca
operasi > 6 bulan
(ASD, VSD, PDA,
stenosis pulmonal )
Operasi graft pintas
koroner sebelumya

Penyakit Kawasaki
sebelumnya atau
demam reumatik
tanpa disfungsi
valvular

Setting

Regimen

Arnoksisilin 3 gram per oral 1 jam


sebelum prosedur, kemudian 1,5
gram 6 jam setelah dosis inisial
Pasien allergi penisilin
Eritromisisn etilsuksinat 800 mg,
atau eritromisisn stearat 1 gram,
1amoksisilin
peroral 2 jam sebelum prosedur,
kemudian setengah dosis 6 jam
setelah dosis inisial
Ampisilin 2 gram IM atau IV 30
Pasien tak bisa
menit sebelum prosedur, kemudian
mendapat terapi oral
arnpisilin 1 gram IM atau IV, atau
amoksisilin 1,5 gram per oral 6 jam
setelah dosis inisial
Pasien alergi penisilin I Klindarnisin 300 mg IV 30 menit
sebelum prosedur, kemudian 150
amoksisilin I
mg 6 jam setelah dosis inisial
Ampisilin tak bisa
mendapat terapi oral
Gunakan regimen standar untuk
Pasien dianggap
prosedur genitourinari dan
sebagai risiko sangat
gastrointestinal
Tinggi dan bukan
kandidat untuk
regimen standar
Pasien dianggap risiko Gunakan regimen untuk pasien
alergi yang menjalani prosedur
sangat tinggi
genitourinari dan gastrointestinal
Alergi
penisilinlamoksilinl
ampisilin
Regimen standar

Settina

Antibiotik

Regimen

Pasien risiko
tinggi

Ampisilin plus
gentamisin

Ampisilin 2 gram IVllM


plus gentamisin 1,5
mglkg dalam 30 menit
prosedur, ulangi ampisilin
1 gram IVllM atau
diberikan amoksisilin 1 gr
peroral 6 jam kemudian

Pasien risiko
tinggi,
Allergi penislin

Vankomisin
plus
gentamisin

Pasien risiko
sedang

Amoksisilin
atau ampisilin

Pasien alergi
penisilin,
risiko sedang

Vankomisin

Vankomisin 1 gram IV
diinfus dalam 1-2 jam dan
selesai dalam 30 menit
prosedur plus gentamisin
1,5 mglkg IMIIV. Tidak
direkomendasikan dosis
kedua.
Amoksisilin 2 gram
peroral 1 jam sebelum
prosedur atau ampisilin 2
gram IMIIV 30 menit
sebelum prosedur
Vankomisin 1 gram IV
dinfus dalam 1-2 jam dan
selesai dalam 30 menit
~rosedur

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUKDurack


dr. DT.
PRIYO
PANJI
Infective and non-infective

Prosedur di mana pencegahan endokarditis infektif


direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 9,lO. Prosedur
dianjurkan pada semua pasien dengan semua risiko yang
menjalani prosedur gigi yang menyebabkan perdarahan,
namun ekstraksi merupakan risiko yang paling kuat
terjadinya EI. Profilaksistidak rutin direkomendasikan pada
prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsi, karena
kejadian EI jarang dilaporkan. Profilaksis tidak
direkomendasikan secara rutin pada kateterisasi jantung
atau TEE.

Alwi I, Rahman AM, Madjid A, Ismail D, Harun S, Suryadipradja


RM. Endokarditis infeksi pada penyalahgunaan obat intravena:
spektrum ekokardiografi pada 26 kasus. Makalah Bebas Oral
KOPAPDI XI, Surabaya, 2000.
Baddour LM, Wilson WR, Bayer AS, et al. Infective endocarditis.
Diagnosis, antimicrobial therapy, and management of
complications. A Statement for Healthcare Professionals From
the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and
the Councils on Clinical Cardiology, Stroke and Cardiovascular
Surgery and Anesthesia, American Heart Association.
Circulation 2005;111 :e394-e433.
Bayer AS, Bolger AN, Taubert KA, Wilson W, Steckelberg J,
Karchmer AW et al. AHA Scientific Statement. Diagnosis and
management of infective endocarditis and its complications.
Circulation 1998;98:2936-48.
Brown M, Griffin GE. Immune responses in endocarditis. Editorial.
Heart 1998;79:1-2.
Chambers HE, Korzenioski OM, Sande MA. Staphylococcus aureus
endocarditis: clinical manifestations in addicts and nonaddicts.
Medicine 1983;62:170-7.
Cheitlein MD, Alpert JS, Armstrong WF, Aurigemma GP, Beller GA,
Bierman FZ et al. ACCIAHA Guidelines for the Clinical
Application of Ekokardiograficardiography. A report of the
American College of CardiologyIAmerican Heart Association
Task Force on Practice Guidelines (Committee on Clinical Application of Ekokardiograficardiography). Circulation
1997;95: 1686-744.
Durack DT, Lukes AS, Bright DK. New criteria for diagnosis of infective endocarditis: utilization of spesific ekokardiograficardiographic
findings. Am J Med 1994;96:200-9.
Dworkin RJ, Lee BI, Sande MA, Chambers HF. Treatment of right
sided Staphyloccus aureus endocarditis in intravenous drug users
with ciprofloxacin and rifampicin. Lancet 1989:1071-3.

endocarditis. In : Schlant
RC, Alexander RW, O'Rourke RA, Robert R, Sonnenblick EH.
The Heart.8 th Eds. New York , Mc Graw Hill Inc. 1994 p.1681709.
Francioli P, Etienne J, Hoigne R, Thys JP, Gerber A. Treatment of
streptococcal endocarditis with a single daily dose of ceftriaxone
and outpatient treatment feasibility. JAMA 1992;267:264-7.
Horstkotte D, Follath F, Gutschik E, et al. Guidelines on prevention, diagnosis and treatment of infective endocarditis. The
Task Force on Infective Endocarditis of the European Society
of Cardiology. Eur Heart J 2004;OO:l-37
,
Heldman AW, Hartert TV, Ray SC, Daoud EG, Kowalski TE, Pompili
EJ et al. Oral antibiotic treatment of right sided staphylococcal
endocarditis in injection drug users : prospective randomized
comparison with parenteral therapy. Am J Med 1996;101:6876.
Heeht SR, Berger M. Right sided endocarditis in intravenous drug
users. Ann Intern Med 1992;117:560-6.
Habib G, Derumeaux G, Avierinos JF, Casalta JP, jamal F, Volot F et
al. Value and limitations of the Duke criteria for the diagnosis of
infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1999;33:2023-9.
Karchmer AW. Infective endocarditis. In : Braunwald's. Heart Disease. A Textbook of Cardivascular Medicine. 7 th Eds. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2005.p.1633-58.
Levine DP, Fromm BS, Reddy BR. Slow response to vancomycin or
vancomycin plus rifampin in methicillin-resistant Staphylococcus aureus endocarditis. Ann Intern Med 199 1 ;1 15:674-80.
Mathew J, Addai T, Anan A, Morrobel A, Maheshwari P, Freels S.
Clinical features, site of involvement, bacteriologic findings,
and outcome of infective endocarditis in intravenous drug users.
Arch Intern Med 1995;155:1641-8.
Nahass RG, Weinstein MP, Bartels J, Gocke DJ. Infective endocarditis in intravenous drug users : a comparison of human immunodeficiency virus tipe-l negative and positive patients. J Infect
Dis 1990; 162:967-70.
Ribera E, Miro JM, Cortes E, Cruceta A, Merce J, Marco F et al.
Influence of human immunodeficiency virus-] infection and
degree of immunosuppression in the clinical characteristics and
outcome of infective endocarditis in intravenous drug users.
Arch Intern Med 1998;158:2043-9.
Roberts R, Slovis CM. Endocarditis in intravenous drug abusers.
Emergency Med Clin North Am. 1990;8:665-81.
Shanson DC. New guidelines for the antibiotic treatment of streptococcal, enterococcal and staphylococcal endocarditis. J Antimicrobial Chemotherapy 1998;42:292-6.
Wilson WR, Karchmer AW, Dajani AS, Taubert KA, Bayer A, Kaye
D et al. Antibiotic treatment of adult with infective endocarditis due to streptococci, enterococci, staphylococci, and HACEK
microorganisms. JAMA 1995;274: 1706-13.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

MIOKARDITIS
Idrus Alwi, Lukrnan H. Makrnun

PENDAHULUAN
Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang
bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi.
Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti.
Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau
respons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder
adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik.
Patogen ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsia, jamur,
protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika dm penyakit inflamasi
lain seperti lupus eritematosus sjstemik. Etiologi miokarditis
karena infeksi yang terbanyak adalah infeksi viral, terutama
enterovirus koksaki B.
Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat
diduga karena disfungsi jantung bersifat subklinis,
asimtomatik dan sembuh sendiri (selflimited).Oleh karena
miokarditis biasanya asimtomatik, maka data epidemiologi
yang ada berasal dari penelitian pasca mortem. Pada
pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan sekitar
1-9%, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab utama
kematian mendadak.

MlOKARDlTlS VIRAL

Patogenesis
Infeksi oleh virus kardiotropik merupakan hipotesis awal
bahwa infeksi viral dapat menimbulkan kerusakan miokard.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa disfungsi miokard
membaik setelah eradikasi penyebab infeksi dan menduga
bahwa patogenesis miokarditis mungkin disebabkan 2 fase
berbeda kerusakan sel miokard; pertama akibat infeksi
virus langsung dan kedua akibat respons imun pejamu.
Pengertian respons imun spesifik yang mengakibatkan
kerusakan miokard sebagian besar berasal dari model

penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardiotropik.


Garis waktu penelitian eksperimental miokarditis viral dapat
dilihat pada gambar 1. Setelah masuk tubuh melalui saluran
cerna (enterovirus) atau melalui saluran napas (adenovirus dan enterovirus), virus kadiotropik ini akan mengikat
coxsackie adenoviral receptor ( C A R ) , untuk
penggabungan genom virus ke dalam miosit.
Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang
diinjeksi dengan virus koksaki menunjukkan bukti
sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard
tanpa infiltrasi sel inflamasi. Makrofag yang teraktivasi
mulai mengekspresikan interleukin (1L)- 1a , IL-2, TNF-a
dan interferon gamma (IFN-a).
Pada fase subakut (hari 4- 14) terdapat infiltrasi sel natural killer (sel NK) yang memproduksi neutralizing antibody dan sel patogen yang dimediasi imun. Gelombang
pertama infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang
mempunyai 2 peran penting yaitu menghambat replikasi
virus (protektif) dan melepaskan perforin dan granzymes
yang membentuk lesi inti sirkular pada permukaan membran
sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan miosit).
Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar
IL- 1, IL-2 dan IL-6 meningkat pada pasien miokarditis akut,
seperti juga TNF-a dan ekspresi protein. Nitrik oksida yang
bermanfaat mempertahankan tonus vaskular, mungkin
mempunyai efek buruk pada miokarditis akut dan berperan
pada progresivitas kerusakan miosit.
Pada fase kronik (hari 15-90)terjadi eliminasi virus dan
kerusakan miokardial yang terus berlanjut. Jantung tikus
yang terinfeksi mengalami hipertrofi dan fibrosis miokard
menetap. Sel inflamasi tak tampak lagi. Mekanisme yang
melibatkan transisi stadium ini menjadi kardiomiopati
dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar 1).
Apoptosis atau kematian sel terprogram, mungkin
merupakan mekanisme patogenesis ketiga yang
mengakibatkan miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


lnfeksl
vtrus

Nekrosts
mloslt
Aktlvs~
makrofag

'-""raw

Ekspresi
s~tok~n
- Interleukln-1
- Interleuktn-2
- Tumor necros~s
factor
- Interferon-P

&turd

Lirnfos~t
T
sitatoksik
Limt
B

Nltnt oksrda

NWtmlt~lng

r-I

J.

'Rbtosie
hiatas1 jantung
Eagal jantung

antlbodie -

teri
Pembsnihan virus
I

Gambar 1. Perjalanan waktu rn~okard~t~s


vlral eksperlmental (Adaptasi d a r ~Kawar)

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari
asimptomatik (self-limited tli.sc~a\c~)
sampai s > o k
kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7
sampai 10 hari setelah penyakit sisternik. Ge-jala paling jelas
yang menunjukkan miokarditis adalah sindroni infeksi viral dengan demani, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise.
Sebagian besar pasien tidak lnelnpunyai keluhan
kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki
kelainan segmen ST dan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan salnpai
dengan 35 persen pasien dan mungkin berupa iskeniia
yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri dada
biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun
terkadang dikarenakan adanya iskemia miokard.
Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limtbsitik
dapat menyebabkan gagal jantung ringan, sedanp, atau
gagal jantung berat. Sebagian besar pasien dengan gejrtla
ringan mengalami tahap penyembulian spontan fungsi
ventrikular dan nonnalisasi pada ukuran jantung. Pasien
dengan gagal jantung New York Hetrrr .4.\\oc.icrtio11
(NYHA) kelas 111 atau IV umumnya memiliki derajat
pelebaran ventrikular dan disfungsi ventrikel yang lebih
besar. Meskipun sebagian sembuh dengan spontan.
diperkirakan bahwa separuh akan dihadapkan dengan
gejala sisa disfungsi miokarditis dan seperempatnya akan
meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung.
Pasien dengan miokarditis berat seringkali disertai dengan
kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ. Pasien
seringkali mengalami demam, disf~mgsimiokard global
berat, dan peningkatan minimal dimensi ventrikular kiri dan
dimensi pada akhir diastolik. Dibutuhkan szcpyort sirkulasi
mekanik sebagai jembatan untuk transplantasijantung atau
penyembuhan.

Kadang-kadang pasien mengalami sindroni klinis yang


serupa de,lgan infark miokard akut, dengan nyeri dada
iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada
ventrikel kiri mungkin muncul pada kurang dari setengah
pasien dan cenderung bersifat difiis. Pada autopsi, arteri
koroner biasanya masih paten, meskipun arteritis koroner
viral pernah dilaporkan. Vasopasme koroner juga pernah
dihubungkan dengan miokarditis akut.
Pasieri mungkiti mengalami sinkop atau palpitasi
dengan blok atrioventrikular (AV) atau aritmia ventrikular.
Blok AV lengkap unium dijumpai, dan sebagian pasien
mengalami serangan Stokes-Adams. Blok jantung lengkap
umumnya bersifat selnentara dan jarang membi~tuhkannlat
bantu jantung pennanen. Pada evaluasi selama 20 tahun
terhadap kenlatian mendadak pada anggota-anggota ,4ir
Force baru, tercatat 30 persen yang mengalaini miokarditis
saat diautopsi. Pada beberapa pasien dengan aritmia
bentrikel refrakter. biopsi endomiokardial atau autopsi
rnenuli.jukkan adanya miokarditis. Penyakit tromboeniboli
sistemik juga terkait dengan miokarditis.
Kecendelungan familial pada niiokarditis dapat terjadi.
Pada beberapa laporan, terdeteksi adanya defek sel
supresor, rnenjadi predisposisi perkembangan ke arah
miokarditis aktif.. Pasien dengan kardioriiiopati peripartum
memiliki frekuensi ~niokarditisyang lebili tingpi pada biopsi
endomiokardial. Perubahan-perubahan imunoregulasi
pada saat kehamilan dan setelahnya mungkin
meningkatkan miokarditis viral, dan pa-janan terhadap
antigen trofoblastik mungkin akan menyebabkan
kerusakan miokard yang dimediasi imun.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya
sindrom seperti flu atau mimgkin asimtomatik. Pemeriksaan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


lnfeksi
Virus
Coxsackievirus, echovirus, HIV, virus Epstein-Barr,
influenza, cytomegalovirus, adenovirus, hepatitis (A dan
B), mumps, poliovirus, rabies, respiratory syncitial virus,
rubella, vaccinia, varicella zoster, arbovirus
Bakteri
Corynebacterium diphteriae, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Haemophiluspneumoniae,
Salmonella spp., Neisseria gonorrhoeae, Leptospira.
Borrelia burgdorferi, Treponema pallidum, Brucella,
Myobacterium tubercolosis, Actinomyces, Chlamydia
spp., Coxiella burnetti. Mycoplasma pneumoniae,
Rickettsia spp.
Jamur
Candida spp., Aspergillus spp., Histoplasma,
Blastomyces, Cryptococcus, Coccidioidiomyces
Parasit
Trypanosoma cruzii. Toxoplasma, Schistosoma, Trichina
Noninfeksi
Obat-obatan yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas
Antibiotik: sulfonamida, penisillin, kloramfenikol,
amfoterisin B, tetrasiklin, streptomisin
Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid
Antikonvulsan: ~enindion,fenitoin, karbamazepin
Anti-inflamasi: indometasin, fenilbutazon
Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid,
spironolakton
Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea
Obat-obatan yang tidak rnenyebabkan reaksi
hipersensitivitas
Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha
Penyebab selain obat-obatan
Radiasi, giant- cells, myocarditis

laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinofilia,


laju endap darah yang meningkat atau peningkatan MB
harid oj'creatine plzo.sphokinase (CKMB). Peningkatan
CKMB ditemukan pada kurang lebih 10 persen pasien,
namun pemeriksaan troponin lebih sensitif untuk
mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis.
Dapat dijumpai peningkatan titer virus kardiotrofik.
Dibutulikan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG
setelah lebih dari 4-6 lninggu untuk mendokumentasikan
infeksi akut. Peningkatan titer antibodi IgM mungkin
menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik
dibandingkan peningkatan pada titer antibodi IgG.
Sayangnya, peningkatan pada titer antibodi hanya
menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan
tidak menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan
kelainan pada hitung limfosit T and B, namun tidak
konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai penentu
diagnostik. Tiga ha1 klinis yaitu infeksi viral sebelumnya,
perikarditis, dan kelainan laboratorium terkait yang
digunakan untuk mendiagnosis miokarditis karena
coxsackie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus
yang terbukti secara histologis.

Elektrokardiografi
EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG
paling sering menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas
adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan
perlambatan interval QTc, voltase rendali ( l o ~voltuge),
r
dan bahkan pola infark miokard akut. Aritmia jantung
seringkali ditemukan, termasuk blok jantung total,
takikardia ventrikular dan aritmia supraventrikular
terutama dengan adanya gaga1 jantung kongestif atau
inflamasi perikard.
Foto Rontgen Dada
Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase
awal penyakit sebelum terjadi kardiomiopati. Fungsi
ventrikel kiri y a n g menurun progresif dapat
mengakibatkan kardiomegali. Dapat ditemukan
manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau
edema paru.
Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat menunjukkan disfi~ngsisistolik
ventrikel kiri pada pasien dengan dimelrsi ventrikel kiri
yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan dinding jantung
mungkin bertambah, terutama saat permulaan penyakit,
saat inflamasi sedang liebat. Trombus ventrikel terdeteksi
sekitar 15 persen. Gambaran ekokardiografi pada
miokarditis aktif dapat lneniru restriktif, hipertropik, atau
kardioniiopati dilatasi.
Biopsi Endomiokardial
Karena tidak adekuatnya pemeriksaan non invasif dalarn
menetapkan diagnosis miokarditis, diagnosis histologis
dianggap perlu untuk memastikan diagnosis. Biopsi
endomiokardial merupakan tes yang penting untuk
membuktikan diagnosis tersebut. Spesimen miokard
ventrikel kanan bisa didapatkan dengan mengakses vena
jugularis interna kanan atau vena femoralis. Biopsi
intravaskular dari ventrikel kiri jarang dilakukan
dikarenakan arigka kematian yang lebih tinggi. Bioptom
ventrikular kanan yang tepat diletakkan di bawah
fluoroskopi atau ekokardiografi untuk mengambil salnpel
septum interventrikel. Karena miokarditis dapat terjadi
setempat, maka sampel diambil minimal empat salnpai enam
fragmen. Dengan menggunakan bioptom Stanford, sampelsampel pada umurnnya memiliki diameter maksimal2 sampai
3 mm dan berat basah 5 mg. Sampel-sampel tersebut
diproses, diternpel pada parafin, diletakkan dan diwarnai
dengan hemutoc~~lin-eosin
dan trichrome. Beberapa
peneliti melakukan biopsi endomiokardial pada pasien
dengan gagal jantung kongestif yang tak jelas danlatau
aritmia venrikular.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kriteria Histologis Miokarditis
Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi
sebagai miokarditis bewariasi has. Hal ini pada dasamya
karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk
miokarditis aktif yang digunakan oleh peneliti.
Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini
menyebabkan adanya pertemuan bagi patologi jantung
untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis
miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas.
Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis,
miokarditis borderline, atau tidak ada miokarditis.
Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi
pada miokard dengan nekrosis dan atau degenerasi miosit,
tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan
PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat
inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan miosit tidak
tampak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi
dengan pengulangan biopsi pada pasien yang sampel
histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis
borderline.
Meskipun knteria Dallas menyamakan deskripsi sampel
biopsi, gambaran histopatologis sendiri mungkin tidak
cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif.
Skema klasifikasi altematif sudah dianjurkan, termasuk satu
yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis.
Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan
(hat), akut, kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan
petanda inflamasi imunohistologis, seperti histocompatibility leukoc,vte antigens (HLAs) pada miosit atau
pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu
diagnosis.
Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat
mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resolusi
miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari
biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalam waktu
beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan
miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan
saat biopsi serial dilakukan.
Studi Noninvasif
Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphate telah
terbukti berguna dalam mendeteksi miokarditis pada model
murin, namun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis
pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67,
radioisotop inflammation-avid, cukup menjanjikan sebagai
metode shining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas
dan sensitivitas sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif
sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan
biopsi. Scan dengan Indium 111 - labeled antimyosin
antibody dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis
miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis
menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen,
dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92 persen.
Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan

Gambar 2. Gambaran Histopatologis Miokardium Normal


(A,X100), Miokarditis Borderline (B,X100 ,C,X350), Miokarditis
Aktif (D,XIOO,E,X300), Menurut Kriteria Dallas (Dikutipdari Feldman
AM, et al. N Engl J Med 2000;1388-98).

biopsi negatif, kemungkinan tidak terdeteksinya inflamasi


dapat terjadi. Proses penggambaran antimiosin dapat
mendeteksi kerusakan miosit tanpa membutuhkan
etiologi, dan penyebab kerusakan otot jantung non
inflamasi. Pada pasien muda dapat terjadi scan positif
palsu. Kegunaan skintigrafi dalam mendiagnosis
miokarditis terbatas oleh rendahnya spesifisitas dan
pajanan terhadap radiasi.
Perubahan jaringan sehubungan dengan miokarditis
mungkin bisa diidentifikasi dengan menggunakan magnetic resonance imaging ( M R I ) . Hasil-hasil awal
menunjukkan inflamasi miokard mungkin menyebabkan
intensitas sinyal dinding miokard abnormal. Penggunaan
T2-weighted images untuk memvisualkan edema jaringan
telah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus pasien
dengan miokarditis aktif. Baru-baru ini, contrast mediumenhanced MRI telah digunakan untuk mendeteksi
perubahan miokardial pada miokarditis. Obat kontras dalam
proses pencitraan MRI yaitu gadopentetate dimeglumine
berkumpul pada lesi-lesi inflamasi. Bahan tersebut bersifat
hidrofilik yang berkumpul pada ruang ekstraselularjaringan
yang mengandung air. Gadolinium meningkatkan sinyal
TI-weighted images. Pada sejumlah 19 pasien dengan
dugaan miokarditis secara klinis dan 18 subyek normal
melalui contrast-enhanced MRI, menunjukkan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kriteria Histologis Miokarditis
Persentase pasien dengan hasil biopsi yang diinterpretasi
sebagai miokarditis bervariasi luas. Hal ini pada dasarnya
karena adanya perbedaan kriteria diagnosis untuk
miokarditis aktif yang digunakan oleh peneliti.
Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini
menyebabkan adanya pertemuan bagi patologi jantung
untuk mencapai kesepakatan umum definisi patologis
miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dallas.
Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis,
miokarditis borderline, atau tidak ada miokarditis.
Miokarditis aktif didefinisikan sebagai infiltrat inflamasi
pada miokard dengan nekrosis dan atau degenerasi miosit,
tidak khas adanya kerusakan iskemia yang terkait dengan
PJK. Miokarditis borderline digunakan jika infiltrat
inflamasi terlalu ringan atau saat kerusakan miosit tidak
tarnpak. Frekuensi miokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi
dengan pengulangan biopsi pada pasien yang sampel
histologis terdahulunya menunjukkan miokarditis
borderline.
Meskipun kriteria Dallas menyamakan deskripsi sampel
biopsi, gambaran histopatologis sendiri mungkin tidak
cukup untuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif.
Skema klasifikasi alternatif sudah dianjurkan, termasuk satu
yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis.
Miokarditis terbagi menjadi empat sub-grup fulminan
(hat), akut, kronik aktif, dan kronik persisten. Penggunaan
petanda inflamasi imunohistologis, seperti histocompatibility leukocyte antigens (HLAs) pada miosit atau
pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu
diagnosis.
Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat
mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resolusi
miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari
biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalam waktu
beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan
miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan
saat biopsi serial dilakukan.

@ambbr 2. ~m-i,wrwrHWg&@l@@aMioKardiarm 'Normal


MXIOO), MiokPnHthr
W@.XIW,~)'
AM, ilpt al. N En# J Msd 20Ot&1388;98).

m-

b i q i neatif, kem
ti&
&pat terjadi. hoses penggmbmm

mendateksi kerusskan miasit t a p


inbtmasi. Pada misn m a dapat t&&i swm pasitif
palsa. Kegu
k i n t i p f i dalarn mendiamadr
i ~ l i a w t i st
oieh mdakaya msifi9~iWdm
pjanrul tmk*
rdiasi.
Peftsbshm j h g m sehdmgan den* mi-&

Studi Noninvasif
Meskipun skintigrafi technetium 99m-pyrophosphatetelah
terbukti berguna dalarn mendeteksi miokarditis pada model
murin, narnun tidak efektif dalam mendiagnosis miokarditis
pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67,
radioisotop infammation-avid, cukup menjanjikan sebagai
metode skrining untuk miokarditis aktif, dengan spesifisitas
dan sensitivitas sebesar 83 persen dan nilai prediksi negatif
sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan
biopsi. Scan dengan Indium 111 - labeled antimyosin
antibody dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis
miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis
menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen,
dan nilai prediksi negatif scan normal sebesar 92 persen.
Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


peningkatan global relatif lebih tinggi pada pasien
dibandingkan dengan kontrol. MRI kontras dan
pemrosesan gambar ekokardiografi digital dapat
memvisualkan area inflamasi dan berapa besar inflamasi
tersebut, dan juga terbukti berguna sebagai teknik dalam
diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Meskipun teknik-teknik noninvasif cukup menjanjikan,
biopsi endomiokardial tetap menjadi standar baku dalam
diagnosis.
Penatalaksanaan
Perawatan suportif merupakan terapi lini pertama pada
pasien miokarditis akut. Pada pasien dengan gejala gagal
jantung, terapi mencakup diuretik untuk menurunkan
tekanan pengisian ventrikel; inhibitor angiotensinconverting enzyme untuk menurunkan resistensi
vaskular; penyekat beta jika kondisi klinis sudah stabil,
dan antagonis aldosteron. Karena digoksin telah terbukti
dapat meningkatkan ekspresi sitokin inflamasi dan
mortalitas pada model murin miokarditis viral, maka obat
tersebut harus digunakan secara hati-hati dan dalam dosis
rendah.
Pada pasien dengan keluhan hebat, seperti kolaps
hemodinamik, perawatan suportif mencakup terapi
inotropik intravena dan alat support sirkulasi mekanis yang
dapat digunakan untuk menjembatani pasien yang akan
dilakukan transplantasi jantung. Adanya aritmia atrial atau
ventrikular dapat diberikan antiaritmia yang tepat atau
mungkin implantasi defibrilator.

Antiinflamasi
Diterimanya hipotesis immune-mediated injury telah
mendorong penelitian untuk membuktikan apakah terapi
anti-inflamasi dapat memberikan keuntungan klinis
tambahan pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi
inflamasi yang dirawat dengan regimen gagal jantung
konvensional. Parillo mempelajari 102 pasien dengan
kardiomiopati dilatasi dan mengklasifikasikannya sebagai
"reaktif", dengan bukti endomiokardial atau laboratorium
inflamasi yang berlanjut, atau "nonreaktif." Titik akhir
primer studi tersebut adalah peningkatan pada fraksi ejeksi
ventrikel kiri sebesar atau lebih besar dari 5 persen. Pada
pemantauan setelah 3 bulan, 67 persen pasien reaktif yang
menerima prednison mencapai titik akhir ini, dibandingkan
dengan hanya 28 persen pada kelompok kontrol reaktif.
Setelah 9 bulan pemantauan, peningkatan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang disebabkan oleh prednison sudah tidak
ditemukan. Pasien-pasien nonreaktif tidak mengalami
peningkatan dengan prednison. Meskipun didapat hasilhasil negatif tersebut, para pengamat menyimpulkan bahwa
terapi prednison dapat memberikan peningkatan yang
cukup dalam titik akhir klinis, tapi hanya pada subpopulasi
reaktif tertentu.

lmunosupresif
Keberhasilan terapi imunosupresan pada miokarditis viral
aktif mengarah ke Mvocarditis Treatment Trial yang besar.
Dalam studi ini, 1 1 1 pasien dengan miokarditis yang
terbukti dengan biopsi dan dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri < 45% diacak untuk menerima terapi konvensional saja
atau terapi imunosupresan dengan prednison yang
dikombinasikan dengan azatioprin atau siklosporin. Titik
akhir primer penelitian tersebut adalah perubahan pada
fraksi ejeksi setelah 28 minggu. Untuk semua pasien, ratarata peningkatan fraksi ejeksi di atas keadaan awal adalah
9 persen.
Studi yang lebih baru mengamati penggunaan terapi
imunosupresif pada pasien-pasien dengan kardiomiopati
dilatasi dan bukti imunohistokimia inflamasi. Delapan puluh
empat pasien dengan kardiomiopati dilatasi setidaknya 6
bulan yang telah mengalami peningkatan ekspresi HLA
pada spesimen biopsi endomiokardial diacak untuk
menerima terapi gagal jantung standar atau yang
dikombinasikan dengan prednison dan azatioprin. Setelah
pemantauan selama 2 tahun, tidak ada perbedaan pada
titik akhir primer gabungan kematian, transplantasi, atau
perawatan ulang di rumah sakit. Pasien yang dirawat
dengan terapi imunosupresif mengalami peningkatan fraksi
ejeksi bermakna pada bulan ke-3 dan ke-24.
lmunoglobulin lntravena
Intravenous imn~uneglobulin (IVIG) dosis tinggi memiliki
sekaligus efek modulasi imun dan antivirus. Pemberian
IVlG untuk anak-anak dengan kardiomiopati onset baru
dan untuk perempuan dengan kardiomiopati peripartum
terkait dengan peningkatan signifikan pada fungsi
ventrikular. Sayangnya, saat IVIG diuji pada penelitian
prospektif yang dikontrol dengan plasebo pada 62 pasien
dengan kardiomiopati dilatasi onset baru dan fraksi ejeksi
<40%, hasilnya mengecewakan. Meskipun fraksi ejeksi
meningkat 16 persen dalam 1 tahun pada kelompok yang
mendapat IVIG, peningkatan ini pada dasarnya sama
dengan mereka yang menggunakan plasebo. Maka tidak
ada keuntungan pemberian obat imunomodulator.
Secara keseluruhan, penelitian yang ada tidak
mendukung penggunaan rutin terapi imunosupresif pada
miokarditis. Data kini menunjukkan bahwa sub-grup
dengan miokarditis berlanjut mungkin dengan
imunosupresi, meskipun belum ada metodologi serupa
untuk mengidentifikasi mereka.
Antivirus
Penggunaan terapi antivirus kini sedang dipertimbangkan
di European Study of Epidemiology and Treatment of
Cardiac Injlammatory Disease. Pasien-pasien dengan
titer enteroviral positif diacak dengan terapi interferon alfa
atau plasebo, sementara miokarditis sitomegalovirus
(CMV) mendapat terapi immunoglobin intravena atau

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

plasebo. Titik akhir primer (primary endpoint) penelitian


ini adalah peningkatan fraksi ejeksi sebesar atau lebih
besar dari 5 persen.

Prognosis
Sekitar sepertiga karditis klinis yang sembuh akan memiliki
beberapa kelainan jantung, mulai dari perubahan ringan
pada EKG sampai gagal jantung. Kurang lebih 40 persen
dari seluruh pasien akan sembuh total. Pada saat ini tidak
ada kriteria klinis yang dapat memprediksi dengan tepat
siapa yang akan sembuh, meskipun sebagian besar pasien
dengan penurunan ringan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan
gagal jantung NYHA kelas I atau I1 sembuh secara total.
Anehnya, pasien-pasien dengan miokarditis berat memiliki
kesembuhan jangka panjang yang sangat baik, tak
terpengaruh oleh pengalaman kolaps sirkulasi sebelumnya.
Dalam sebuah studi, kemampuan bertahan jangka panjang
tanpa transplantasi adalah 93 persen, jika dibandingkan
dengan 45 persen untuk mereka yang memiliki miokarditis
akut.
Prognosis miokarditis tergantung pada bahan
kausatifnya, namun jika gagal jantung klinis berlanjut, ratarata angka kematian 5 tahun adalah sekitar 50 sampai 60
persen. Inflamasi kronis, persistensi virus, atau keduanya
mungkin mempengaruhi perkembangan penyakit dan prognosis. Terapi di masa mendatang perlu mengidentifikasi
faktor predominan target perawatan dan diharapkan
meningkatkan ketahanan hidup.
Human Immunodeficiency Virus
Human immunodeficiency virus (HIV) dikenal luas sebagai
penyebab kardiomiopati dilatasi. Etiologi kardiomiopati
mungkin berasal dari infeksi sel-sel miokardial oleh HIV
atau koinfeksi dengan virus-virus kardiotropik lainnya,
respons autoimun pasca viral atau keracunan jantung oleh
obat-obat terlarang atau terapi obat. Barbaro et al.
mempelajari perkembangan kardiomiopati dilatasi pada 952
pasien HIV-positif tanpa gejala. Pasien-pasien dengan
catatan penggunaan obat-obatan terlarang, penyakit
jantung yang lebih awal, penatalaksanaan sebelumnya
dengan obat-obatan antiretroviral atau imunomodulator,
atau fraksi ejeksi 6 0 persen dikeluarkan dari studi
prospektif. Dalam 60 bulan perawatan lanjutan, 8 persen
pasien mengalami kardiomiopati, dengan rata-rata angka
kejadian pertahun 16 kasus per 1000 pasien. Faktor yang
memungkinkan perkembangan kardiomiopati adalah CD4
cell count di bawah 4001mL. Infeksi koeksisten dengan
coxsackievirus grup B, CMV, dan virus Epstein-Barr dapat
dideteksi pada sebagian kecil pasien. Penelitian lainnya
menunjukkan lama penyakit dan penggunaan obat-obatan
terlarang sebagai faktor yang berperan dalam
perkembangan penyakit.
Karena gejala-gejala gagal jantung dan HIV bisa jadi
sangat mirip (misalnya kelelahan, wasting, dll) mungkin

perawatan lanjutan yang hati-hati untuk pasien-pasien ini


diindikasikan untuk mendeteksi perkembangan awal
disfungsi ventrikel kiri. Tatalaksana gagal jantung secara
konvensional dapat meringankan gejala-gejala yang
berhubungan dengan jantung.

Sitomegalovirus
CMV mungkin akan mengarah ke miokarditis dalam populasi
pada umumnya, tapi umumnya miokarditis adalah self-limited dan tak memiliki gejala. Pada resipien transplantasi
jantung, miokarditis CMV mungkin menjadi penyakit yang
lebih serius, yang akan menyebabkan disfungsi jantung.
Perawatan untuk miokarditis CMV adalah ganciclovir
intravena, yang secara efektif menyingkirkan virus tersebut.
Infeksi CMV dini berhubungan dengan perkembangan allograji penyakit jantung koroner, yang menjadi penyebab
utama kematian setahun setelah transplantasi jantung.
lnfeksi fibroblas subintimal atau sel-sel endotel akan
menyebabkan kerusakan imunologis yang mengarah ke
kondisi yang fatal.

Penyakit Chagas'
American tripanosomiasis, atau penyakit Chagas' ,
rnerupakan penyebab paling umum gagal jantung kongestif
di dunia. Kondisi ini disebabkan oleh gigitan reduviid bug,
yang diikuti dengan infeksi oleh Trypanosoma cruzi, dan
endemis pada daerah pedesaan di Amerika Selatan dan
Tengah.
Patogenesis
Patogenesis kardiomiopati kagasik kronik masih
kontroversial karena parasit tersebut jarang muncul pada
miokardium. Seperti pada model kardiomiopati maka cedera
jantung dianggap melalui mediasi proses imunologis.
Respons kekebalan selular dan humoral keduanya sudah
diimplikasikan pada cedera miokardial. Biopsi miokardial
menunjukkan, infiltrat inflamasi pada penyakit Chagas'
kronis sebagian besar terdiri dari sel-sel CD8+ T. Hal ini
menunjukkan bahwa ada beberapa tingkatan depresi
imunologis pada induk, sehubungan aktivasi sel-sel Thelper dikenal sebagai mekanisme pertahanan paling efektif
terhadap parasit. Beberapa peneliti mengusulkan ekspresi
terbatas sel-sel CD4+ T selama infeksi 7: cruzi akut
mungkin berhubungan dengan mekanisme toleransi yang
disebabkan oleh parasit tersebut. Bukti ha1 ini dapat dilihat
pada penelitian yang menunjukkan penambahan IL-1
invitro mengembalikan fungsi sel T helper, sehingga
diduga terdapat defek makrofag dalam proses ini. Lebih
lanjutnya, IL-2 dan reseptor IL-2 tidak ditemukan atau
hanya ada sedikit dalam infiltrat inflamasi, membuktikan
peran subset T-helper yang tidak besar pada penyakit ini.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Manifestasi Klinis
Penyakit parasit ini memiliki fase akut, di mana penyebaran
hematogenous parasit tersebut akan menginvasi jaringan
dan sistem organ. Invasi tersebut diikuti dengan reaksi
inflamasi hebat dengan sel-sel mononuklir dan manifestasi
klinis demam, berkeringat, mialgia, miokarditis,
hepatosplenomegali, dan casefatality rate sekitar 5 persen.
Sebagian besar pasien sembuh dari fase akut dan
memasuki fase laten tanpa gejala, namun 20 sampai 30
persen akan menjadi kronis sampai dengan 20 tahun sejak
infeksi pertama.
Tahap kronis adalah hasil penghancuran jaringan
yang bertahap. Saluran cerna dan jantung merupakan
lokasi keterlibatan yang tersering, dengan penyebab
kematian utama adalah gagal jantung. Di dalam
abdomen, penghancuran pleksus mienterik menyebabkan
pembentukan megaesofagus dan megakolon. Pada
jantung, miofibril dan serat-serat Purkinje digantikan oleh
jaringan fibrosa, yang akan menyebabkan kardiomegali,
gagal jantung kongestif, blok jantung, dan aritmia.
Penemuan-penemuan mikroskopis menunjukkan adanya
fibrosis luas, tapi seringkali ada infiltrat selular kronik
yang terdiri dari limfosit, sel-sel plasma, dan makrofag,
dan ditemukan parasit-parasit pada sekitar seperempat
pasien.

Penatalaksanaan
Perawatan untuk penyakit Chagas' kronis adalah
simtomatik dan termasuk alat pacu jantung untuk blok
jantung total, implanttable cardioverter-defibrillator
(ICD) untuk aritmia ventrikel rekuren, dan terapi standar
untuk gagal jantung kongestif seperti pada bentuk
miokarditis lainnya. Obat antiparasit seperti Nifurtimoks
dan benzimidazol menghilangkan parasitemia selama fase
akut dan biasanya menyembuhkan. Obat tersebut hams
dipertimbangkan jika penyakit tersebut belum pernah
dirawat sebelumnya dan mungkin dapat dipergunakan
sebagai profilaksis jika kemungkinan besar penyakit
muncul kembali, misalnya mengikuti terapi imunosupresif.
Peran terapi imunosupresif untuk miokarditis chagas masih
kontroversial, dan transplantasi jantung efektif untuk
penyakit jantung refrakter tahap akhir.
Lyme Carditis. Penyakit Lyme disebabkan oleh infeksi
spiroseta Borrelia burgdorferi, dikenali dengan gigitan
kutu. Gejala awal yang menyertai pasien-pasien dengan
penyakit ini yang berlanjut ke keterlibatanjantung seringkali
adalah blok jantung total. Disfungsi ventrikel kiri dapat
dijumpai tapi jarang. Biopsi endomiokardial mungkin
menunjukkan miokarditis aktif. Spirosetesjarang ditemukan
pada biopsi. Pemberian kortikosteroid sangat membantu
mengatasi Lyme carditis sebagai tambahan terapi tetrasiklin.

Diagnosis
Diagnosis penyakit akut tergantung pada ada-tidaknya
tripomastigotes dalam darah individu yang terinfeksi.
Pada infeksi yang kronis, diagnosis langsung kurang
berguna karena tripomastigotes yang beredar dalam
sirkulasi darah lebih sedikit. Xenodiagnosis (di mana
pasien digigit dengan reduviid bugs y a n g
dikembangkan di laboratorium, lalu parasit itu akan
diidentifikasi dalam pencernaan serangga tersebut)
adalah tes yang paling berguna, yang akan mendeteksi
adanya infeksi pada sekitar separuh pasien. Tes fiksasi
komplemen (tes Machado-Guerreiro) juga memiliki
sensitivitas dan spesifisitas untuk mengidentifikasi
penyakit Chagas' kronis. Tes laboratorium lainnya,
tergantung pada tes serologi positif (seperti indirect
immunofluorescent antibody, enzyme-linked immunosorhent assay, dan tes hemaglutinasi) bersamaan
dengan gejala-gejala dan tanda-tanda yang cocok
dengan penyakit Chagas'.
Biopsi endomiokardial mungkin menunjukkan
miokarditis aktif menggunakan kriteria Dallas. Penilaian
noninvasif umumnya menunjukkan kelainan gerakan
dinding segmental, khususnya aneurisma apikal.
Penemuan pada EKG termasuk blok jantung lengkap, blok
atrioventrikular, atau blok cabang berkas kanan, dengan
atau tanpa blok fasikular pada 1 1 persen individu yang
terinfeksi. Aritmia ventrikular mungkin memerlukan obatobatan antiaritmia.

Penyebab lnfeksi Kardiomiopati Lainnya


Di antara sekian banyak etiologi infeksi lainnya adalah
Toxoplasma gondii, yang dapat disembuhkan dengan
pirimetamin dan sulfadiazin dan paling sering muncul pada
pejamu dengan defisiensi imun. Leptospirosis adalah
penyebab umum lainnya pada kasus miokarditis fatal. Lima
puluh persen kasus memiliki perubahan gelombang ST dan
T pada EKG.
Karditis Reumatik
Salah satu jenis miokarditis yang menurun secara
mendadak kejadiannya pada setengah akhir dari abad dua
puluh adalah karditis reumatik. Tersedianya antibiotik dan
perubahan-perubahan pada virulensi dan serotip
Streptokokkus grup A mungkin menjelaskan penurunan
kejadian penyakit saat ini.
Demam reumatik akut dapat terjadi pada anak kecil dan
remaja. Penyakit tersebut umumnya merupakan kelanjutan
dari faringitis karena streptokokkus grup A. Karditis
reumatik bisa disebabkan oleh efek langsung beberapa
produk streptokokkus versus mekanisme kekebalan. Streptokokkus grup A memiliki komponen struktur yang mirip
dengan struktur jaringan manusia. Antibodi terhadap
streptokokkus bereaksi silang dengan glikoprotein katup
jantung. Serum pasien demam reumatik mengandung
autoantibodi untuk miosin dan sarkolema. Nodul ini dapat
bertahan bertahun-tahun setelah sebuah serangan akut.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Makrofag yang mengandung miosin pernah diidentifikasi


dalam nodul tersebut.
Diagnosis klinis dibuat menggunakan kriteria Jones.
Manifestasi utama adalah karditis, poliartritis, korea, eritema
marginatum, nodul subkutan, dan bukti infeksi streptokokkal
yang akan muncul (misalnya kultur tenggorok positif,
riwayat demam, peninggian titer antistreptolisin). Kriteria
minornya adalah penemuan nonspesifik misalnya demam,
artralgia, demam reumatik sebelumnya atau penyakit
jantung reumatik. Peninggian laju endap darah atau Creactive protein, dan interval PR memanjang. Diagnosis
dibuat berdasarkan adanya dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Dua pertiga pasien yang mengalami faringitis, akan
diikuti dengan gejala-gejala demam reumatik dalam 1
sampai 5 minggu, dengan rata-rata presentasi 1X,6 hari.
Karditis berat yang mengakibatkan kematian dapat terjadi,
namun jarang. Gagal jantung kongestif ditemukan hanya
sebanyak 5 sampai 10 persen kasus. Biasanya karditis
tersebut ringan, dengan efek predorninannya adalah
jaringan parut pada katup jantung. Demam dan murmur
jantung, menggambarkan valvulitis akut. Keterlibatan
katup mitral tiga kali lebih sering daripada katup aorta;
karena itu munnur pada katup mitral lebih sering dijumpai.
Regurgitasi mitral adalah penemuan yang paling sering.
Murmur midsistolik pada apeks terkadang dapat didengar,
disebut murmur Care-y Coombs dan keberadaanya hampir
selalu memastikan adanya valvulitis mitral.
Tidak ada penemuan EKG yang khas, meskipun interval
PR memanjang dan perubahan gelombang ST-T nonspesifik
seringkali dijumpai. Biopsi endomiokardial menunjukkan
nodul Aschoffdan juga infiltrat interstisial selular difus
termasuk limfosit, sel polimorfonuklear, histiosit, dan
eosinofil. Tes laboratorium yang menunjukkan demam
reumatik termasuk antibodi antistreptolysin 0 (ASTO) dan
anti-DNAase B, peninggian LED, dan peningkatan C-reuctive protein. Manifestasi di luar jantung umumnya muncul
sebagai poliartritis migrasi pada sendi besar.
Aspirin dan penisilin merupakan terapi terpenting.
Kortikosteroid juga dapat meredakan gejala. Perbaikan
katup mitral selama karditis akut berkaitan dengan risiko
kematian yang lebih tinggi dan hams dilakukan hanya saat
gagal jantung refrakter terhadap terapi antiinflamasi
optimal. Begitu demam reumatik didiagnosis, diperlukan
antibiotik profilaksis untuk mencegah kekambuhan penyakit
dengan memberikan injeksi benzatin penisilin G 1,2 juta
unit intramuskular sekali sebulan sampai usia 2 1 tahun.

Hipersensitivitas
Miokarditis hipersensitivitas adalah sebuah contoh fase
awal miokarditis eosinofilik dan dianggap karena reaksi

alergi terhadap macam-macam obat (Tabel 1). Metildopa,


penisilin, sulfanomida, tetrasiklin, dan obat-obat
antituberkulosis adalah obat-obatan yang paling sering
terkait dengan ha1 ini. Penyakit tersebut mempunyai ciri
adanya eosinofilia perifer dan penyusupan eosinofil ke
dalam miokardium, multinucleated giant cells, dan
leukosit. Penatalaksanaan dengan menghentikan bahanbahan penyebab dan menggunakan kortikosteroid.
Sayangnya, kondisi ini seringkali tidak disadari dan
manifestasi pertama dari keterlibatan jantung adalah
kematian mendadak disebabkan oleh aritmia.

Giant-cell Myocarditis
Giant-cell niyocarditis sangat jarang namun merupakan
bentuk miokarditis yang agresif miokarditis, umumnya
progresif dan tidak respons terhadap terapi medis.
Penyakit ini paling umum terjadi pada remaja, dengan usia
rata-rata saat onset 42 (dan berkisar antara 16 sampai 69
tahun). Hubungan dengan kelainan-kelainan autoimun
lainnya dilaporkan pada kurang lebih 20 persen kasus.
Diagnosis dibuat berdasarkan biopsi endomiokardial.
Nekrosis multifokal atau luas dengan infiltrat inflamasi
campuran termasuk limfosit dan histiosit dibutuhkan untuk
diagnosis histologis. Eosinofil seringkali ditemukan,
seperti halnya multinucleated giant cells sebagai ganti
granuloma. Imlliunophenotyping infiltrat selular
menunjukkan populasi limfosit terdiri dari T-helper atau
pada beberapa kasus sel-sel T-supressor:
Manifestasi klinis biasanya berupa gagal jantung
kongestif progresif dan seringkali berhubungan dengan
aritmia ventrikular refrakter. Angka harapan hidup buruk.
Laporan kasus dari the Giant Cell Myocarditis Registry
menunjukkan bahwa penatalaksanaan dengan regimen
imunosupresif tertentu, bukan hanya steroid, dapat
memperpanjang kemungkinan bertahan tanpa transplantasi
sampai beberapa bulan. Beberapa pasien mungkin
membutuhkan support sirkulasi mekanis sebelum
transplantasi. Transplantasi jantung merupakan pilihan
penatalaksanaan yang terbaik meskipun ada kemungkinan
rekuren pada jantung yang ditransplantasi. Giant cells
dapat dideteksi pada pengamatan biopsi rutin sampai
dengan 9 tahun setelah transplantasi.

REFERENSI
Aretz HT, Billingham ME, Edwards WD, et al. Myocarditis: a histopathologic definition and classification. Am J Cardiovasc Pathol
1987; 1 :3-14.
Anandasabapathy S. Frishman WH. Innovative drug- treatments for
viral and autoimmune myocarditis. J Clin Pharmacol
1998;38:295-308.
Baughlnan KL, Wynne .I. Myocarditis. In : Zipes et al. Braunwald's
Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th ed.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005.p.1697-7 17

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


B o \ \ l c Nl:. Richardson PJ. Olsen 1lG.l. Archard L.C. Detection of
Coxsaclie-B-virus-specific RNA sequences in m!ocardial biop\! \ample\ from patient\ with m!ocarditis and dilated cardiom) opathy. Lancet 1986: 1 : 1 120-3.
l3arbaro (;. Di I.orenzo G. Grisorio H. Barharini G. Incidence of
dilatcd cardiom!opath) and detection of HIV in mqocardial
cells of I llVpositi\e patients. N Ilngl J Med 1998;339: 1093-9.
Bo/kurt H. Villancu\a FS. Holubko\ R. ct al. Intravenous immune
globulin in the therap) of peripartum cardiomyopath!. J Am
Coll Cardiol 1999:34: 177-80.
Burke AI'. Saenger J. Mullick F. Vir~naniR. Hypersemiti\ it) myocarditis. Arch Pathol Lab Med 1991:115:764-9.
Cathrio AL. McKenna WJ. Recognition and optimum management
of 1n)ocarditis. Drugs 1996;52:5 15-25.
Caforio ALP. Goldman Jtl, Baig MK, et al. Cardiac autoantibodies in
dilated cardiomyopathy become undetectable with disease progression. Heart 1997;77:62-7.
Catbrio ALP. Keeling PJ. Zachara I:. et al. Evidence from famil)
studies for autoimmunit! in dilated cardiomyopathy. Lancet
1994;344:773-7.
Cooper LT Jr, Berr) (;.I. Shahetai R. Idiopathic giant-cell mlocarditis-natural history and trcatment. N Engl J Med 1997;336: 18606.
Dec GW Jr, Palacios IF, Fallon JT, et al. Active myocarditis in the
spectrum of acute dilated cardiomyopathies: clinical features,
histologic correlates. and clinical outcome. N Engl J Med
1985;3 12:885-90.
Drory Y, Turetz Y, Hiss Y. et al. Sudden unexpected death in persons
less than 40 years of age. Am J Cardiol 1991;68:1388-92.
Da\ ies MS. Ward DE. Ho\r can myocarditis be diagnosed and should
it be treated? Br Heart J 1992;68:346-7.
Feldman AM, McNamara D. Myocarditis. N Engl J Med
2000:343: 1388-98.
Fenoglio JJ Jr. llrsell PC, Kellogg CF, Drusin RE, Weiss MB. Diagnosis and classification of ~nyocarditisb) endomyocardial biops). N Engl J Med 1983;308:12-8.
Fairweather D. Lawson CM, Chapman AS. et al. Wild isolates of
murine cytomegalovirus induce myocarditis and antibodies that
cross-react with virus and cardiac myosin. immunology
1998;94:263-70.
Fenoglio JJ Jr, McAllister HA Jr, Mullick FG Drug related myocarditis. I. Hypersensitivity myocarditis. Hum Pathol 1981;12:900I.

Gore I, Saphir 0. Myocarditis: a classification of 1402 cases. Am


Heart J 1947;34:827-30.
Higuchi ML, Reis MM, Aiello VD, et al. Association of an increase in
CD8+ T cells with the presence of Tny?unosorna cruzi antigens in
chronic, human, chagasic myocarditis. Am J Trop Med Hyg
1997;56:485-9.
Heart Failure Society of America (HFSA) practice guidelines: HFSA
guidelines for management of patients with heart failure caused
by left ventricular systolic dysfunction pharmacologic approaches. J Card Fail 1999;5:357-82. [Erratum, J Card Fail
2000;6:74.]
Huber SA. Autoimmunity in myocarditis: relevance of animal models. Clin Immunol lmmunopathol 1997;83:93-102.

Kauai C. From m)ocarditis to cardiomyopath): ~ncchanismsof


infla~nrnationand cell death: learning from the past for the
future. Circulation 1999;99:1091-100.
Knowlton KU. Badorff C. The immune system in viral myocarditis:
maintaining the balance. Circ Res 1999;85:559-61.
Liu P, Martino T, Opavsky MA, Penninger J. Viral m~ocarditis:
balance between viral infection and immune response. Can J
Cardiol 1996; 12:935-43.
Lauer B, Niederau C. Kuhl U, et al. Cardiac troponin T in patients
with clinicall) suspected myocarditis. J Am Coll Cardiol
1997;30: 1354-9.
Lieback E. Hardouin I. Meyer R. Bellach J, tletzer R. Clinical value
of ekokardiograficardiographic tissue characterization in the
diagnosis of myocarditis. Eur Heart J 1996; 17: 135-42.
Lie JT. Mlocarditis and endomyocardial biopsy in unexplained heart
failure: a diagnosis in search of a disease. Ann Intern Med
1988;109:525-8.
Mason JW. O'Connell JB, Herskowitz A. et al. A clinical trial of
immunosuppressive therapy for myocarditis. N Engl J Med
1995;333:269-75.
Mason JW. Techniques for right and left ventricular endomyocardial
hiops!. Am J Cardiol 1978;41:887-92.
McNamara DM. Rosenblum WD, Janosko KM, et al. Intravenous
immune globulin in the therap) of m!ocarditis and acute cardiomyopathy. Circulation 1997;95:2476-8.
McCarthy RE 111, Boehmer JP, Hruban RH, et al. Long-term outcome of fulminant myocarditis as compared with acute
(nonfulminant) my0carditis.N Engl J Med 2000;342:690-5.
McNamara DM, Starling RC, Dec GW, et al. Intervention in myocarditis and acute cardiomyopathy with immune globulin: results from the randomized placebo controlled IMAC trial. Circulation 1999;100:Suppl 1: 1-21. abstract.
Midei M G DeMent SH, Feldman AM. Hutchins GM, Baughman KL.
Peripartum myocarditis and cardiomyopathy. Circulation
1990;8 1 : 922-8.
McCormack JG, Bowler SD, Donnelly JE, Steadman C. Successful
treatment of severe cytomegalovirus infection with ganciclovir
in an immunocompetent host. Clin Infect Dis 1998;26:10078.
Maisch B, Hufnagel G Schonian U, Hengstenberg C. The European
Study of Epidemiology and Treatment of Cardiac Inflammatory Disease (ESETCID). Eur Heart J 1995;16: 173-5.
Pinney SP, Mancini DM. Myocarditis in : Fuster et al. The Heart.
l l th ed. New York, McGraw-Hill. 2004.p.1949-74.
Parrillo JE, Cunnion RE, Epstein SE, et al. A prospective, randomized, controlled trial of prednisone for dilated cardiomyopathy.
N Engl J Med 1989;321: 1061-8.
Singal PK, Iliskovic N. Doxorubicin-induced cardiomyopathy. N
Engl J Med 1998;339:900-5.
Smith SC, Ladenson JH. Mason JW, Jaffe AS. Elevations of cardiac
troponin I associated with myocarditis: experimental and clinical correlates. Circulation 1997;95:163-8.
Tomioka N, Kishimoto C, Matsumori A. Kawai C. Effects of prednisolone on acute viral myocarditis in mice. J Am Coll Cardiol
1986;7:868-72.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KARDIOMIOPATI
Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN
Kelompok penyakit ini beberapa kali mengalami perubahan
dalam ha1 klasifikasi kelainannya. Bila dilihat dari definisi
dapat disebutkan bahwa kardiomiopati merupakan suatu
kelompok penyakit yang langsung mengenai otot jantung
atau miokard itu sendiri. Kelompok penyakit ini tergolong
khusus karena kelainan yang ditimbulkannya bukan terjadi
akibat penyakit perikardium, hipertensi, koroner, kelainan
kongenital atau kelainan katup. Walaupun untuk
menegakkan diagnosis perlu menyingkirkan faktor-faktor
etiologi tersebut, gambaran dari kardiomiopati itu sendiri
sangat khusus baik secara klinis maupun hemodinamik.
Dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap kondisi
penyakit ini serta teknik dan prosedur diagnostik yang
semakin canggih saat ini kardiomiopati diketahui sebagai
penyebab morbiditas dan mortalitas yang bennakna.
Akhir-akhir ini, insidens kardiomiopati semakin
meningkat frekuensinya. Dengan bertambah majunya
teknik diagnostik, ternyata kardiomiopati idiopatik
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
utama. Di beberapa negara, penyakit ini bahkan merupakan
penyebab kematian sampai sebesar 30% atau lebih dari
pada semua kematian akibat penyakit jantung.
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat
klasifikasi yang tepat dari penyakit ini. Klasifikasi yang
saat ini telah dikenal luas adalah pembagian yang dibuat
oleh kerjasama antara World Health Organization (WHO)
dan International Sociey and Federation of Cardiologv
(ISFC). Pada klasifikasi ini kardiomiopati diklasifikasikan
berdasarkan gambaran patofisiologi yang dominan.
Bila kardiomiopati diklasifikasikan berdasarkan etiologi
maka dikenal dua bentuk dasar, yaitu (1). Tipe primer,
apabila terdapat penyakit pada otot jantung dengan
penyebab yang tidak diketahui. Tennasuk di dalamnya
adalah idiopatik kardiomiopati, familial kardiomiopati,

penyakit eosinofilik endomiokardium dan fibrosis


endomiokardium, (2). Tipe sekunder, apabila ditemukan
penyakit miokardium dengan penyebab yang dapat
diketahui, termasuk bila berhubungan dengan penyakit
yang melibatkan sistem organ lain. Sedangkan bila
klasifikasi berdasarkan klinis dan patofisiologi, maka
kardiomiopati dibagi menjadi dilatasi, restriktif dan
hipertrofik.
Perbedaan kelainan yang ditemukan antara ketiga
klasifikasi kardiomiopati tersebut dapat dilihat secara
skematis pada Gambar 1.

Gambar 9. Perbandingan antara tiga klad~fikasikardiorniopati.


Aa, Adrtg; LA Left Atrium; LV, Left Ventricle (Dmi BF Wller : J
Am Soc Ekoh ,~rn'rograficardiogra1:4, 7998)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


KARDIOMIOPATI
DlLATASl
CARDIOMYOPATHY/DCM)

(DILATED

Merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak


ditemukan. Dengan deskripsi kelainan yang ditemukan:
dilatasi ventrikel kanan dan atau ventrikel kiri, disfungsi
kontraktilitas pada salah satu atau kedua ventrikel, aritmia,
emboli dan seringkali disertai gejala gagal jantung
kongestif. Satu dari tiga kasus gagal jantung kongestif
terjadi pada kardiomiopati dilatasi, dan yang lainnya
merupakan konsekuensi dari penyakit jantung koroner.
Dulu kelainan ini sering disebut dengan kardiomiopati
kongestif, tetapi saat ini terminologi yang dipergunakan
adalah kardiomiopati dilatasi karena pada saat awal
abnormalitas yang ditemukan adalah pembesaran ventrikel
dan disfungsi kontraktilitas sistolik, dengan tanda dan
gejala gagal jantung kongestif yang timbul kemudian.
Apabila hanya ditemukan disfungsi kontraktilitas dengan
dilatasi minimal ventrikel kiri, maka varian dari kardiomiopati
dilatasi ini digolongkan ke dalam kelompok kardiomiopati
yang tidak dapat diklasifikasikan (menurut klasifikasi
WHOIISFC). Sebaliknya, pada atlit sehat sering ditemukan.
Klasifikasi penyakit ini dapat mengenai segala usia,
tetapi kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih
sering ditemukan pada pria dibandingkan perempuan.
Insidens kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi
pertahun dan kejadian ini terus meningkat jumlahnya.
Kejadian pada pria dan kulit hitam dikatakan tiga kali lebih
sering dibandingkan populasi kulit putih dan perempuan.
Dan angka kelangsungan hidup pada kulit hitam dan pria
lebih buruk dibandingkan kulit putih dan perempuan.
Etiologi
Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak diketahui pasti, tetapi
kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari
kerusakan miokard akibat produksi berbagai macam toksin,
zat metabolit atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral
akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi
kardiomiopati dilatasi ini terjadi melalui mekanisme
imunologis. Hal ini banyak ditemukan pada populasi pria
usia pertengahan, terutarna yang berasal dari Amerika Afrika
dibandingkan yang berkulit putih. Prevalensinya semakin
lama makin meningkat.
Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh
penggunaan alkohol, kehamilan, penyakit tiroid,
penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik yang
tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati tersebut bersifat
reversibel. Obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya
gagal jantung, sebagaimana juga gejala sleep apnea.
Kira-kira 20-40% pasien memiliki kelainan yang bersifat
familial akibat dari mutasi genetik. Kelainan tersebut dapat
terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen distrofin dan
desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamin
AIC) dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat

genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya secara


autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosoma1 resesif danx-linked inheritance. Sampai saat ini belum
diketahui bagaimana menentukan seseorang akan memiliki
predisposisi kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui
riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya. Hal yang
cukup menjanjikan adalah melalui teknik molekular genetik
untuk identifikasi petanda kerentanan pada pembawa sifat
yang asimptomatik sebelum timbul gejala klinis yang jelas
dari kardiomiopati dilatasi tersebut. Sebagai contoh salah
satu petanda yang menjanjikan adalah pemeriksaan enzim
konversi angiotensin genotip DD yang berhubungan
dengan kejadian klinis pasien kardiomiopati dilatasi. Pada
keadaan jantung yang lemah, walaupun tidak terdapat
riwayat keluarga ditemukan variasi dari perubahan gen dan
ekspresi protein pada beberapa protein kontraktilitas.
Displasia ventrikel kanan (Right Ventricular Dysplusia) merupakan kardiomiopati familial yang menarik karena
ditandai dengan dinding ventrikel kanan yang digantikan
secara progresif menjadi jaringan adiposa. Seringkali
berhubungan dengan kejadian aritrnia ventrikel, gejala klinis
sangat bervariasi, tetapi kejadian kematian mendadak akibat
kelainan ini selalu merupakan ancaman yang dapat terjadi
sewaktu-waktu. Sehingga penggunaan modalitas terapi
seperti ablasi kateter dari fokus-fokus aritmia atau bahkan
implantasi alat defibrilator kardioversi kemungkinan
dibutuhkan.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang menonjol adalah gagal jantung kongestif,
yang timbul secara bertahap pada sebagian besar pasien.
Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam
beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum
timbul gejala. Pada beberapa kasus sering ditemukan gejala
nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang
tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Bila terdapat keluhan
nyeri dada yang tipikal, dipikirkan kemungkinan terdapat
penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat dari
aritmia dan emboli sistemik kejadian sinkop cukup sering
ditemukan. Pada penyakit yang telah lanjut dapat pula
ditemukan keluhan nyeri dada akibat sekunder dari emboli
paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongestif.
Keluhan seringkali timbul secara gradual, bahkan
sebagian besar awalnya asimptomatik walaupun telah
terjadi dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Dilatasi ini kadangkala diketahui bila telah
timbul gejala atau secara kebetulan bila dilakukan
pemeriksaan radiologi dada yang rutin.
Pemeriksaan Fisis
Pembesaran jantung dengan derajat yang bervariasi dapat
ditemukan, begitu pula dengan gejala-gejala yang
menyokong diagnosis gagal jantung kongestif. Pada
penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

sempit akibat gangguan pada isi sekuncup. Pulsz~s


ulternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri
yang berat. Tekanan darah dapat normal atau rendah. Jenis
pernapasan Cheyne-Stokes menunjukkan prognosis yang
buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila terdapat
gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat
dapat pula terdengar, serta dapat ditemukan regurgitasi
mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan seringkali
teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada
gagal jantung kanan yang lanjut.
Pada pemeriksaan fisis jantung dapat ditemukan tandatanda sebagai berikut:
prekordium bergeser ke arah kiri
impuls pada ventrikel kanan
impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan
dilatasi ventrikel kiri
gelombang presistolik pada palpasi, serta pada
auskultasi terdengar presistolik gallop (S4)
split pada bunyi jantung kedua
gallop ventrikular (S3) terdengar bila terjadi
dekompensasi jantung
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran
jantung akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali
terjadi pembesaran pada seluruh ruang jantung. Pada
lapangan paru akan terlihat gambaran hipertensi pulmonal
serta edema alveolar dan interstitial.
Elektrokardiografi akan menunjukkan gambaran sinus
takikardia atau fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnormalitas
atrium kiri, abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik
dan kadang-kadang tampak gambaran gangguan konduksi
intraventrikular dan low voltage.
Sedangkan dari pemeriksaan ekokardiografi dan
ventrikulografi radionuklir menunjukkan dilatasi ventrikel
dan sedikit penebalan dinding jantung atau bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi sistolik dengan
penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan
kadar brain natriuretic peptide dalam sirkulasi akan
membantu diagnostik pasien dengan gejala sesak napas
yang tidak jelas etiologinya.
Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi
koroner seringkali dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan
penyakit jantung iskemia. Pada angiografi akan terlihat
dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri dan regurgitasi
mitral dalam derajat yang bervariasi.
Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi
endomiokardial transvena tidak diperlukan untuk
kardiomiopati dilatasi yang familial atau idiopatik. Tetapi
pemeriksaan dibutuhkan untuk diagnostik kardiomiopati
sekunder seperti amiloidosis dan miokarditis akut.
Pengobatan
Karena penyebab dari kardiomiopati dilatasi idiopatik

tersebut sesuai definisi tidak diketahui sehingga


pengobatan khusus tidak dapat dilakukan. Pengobatan
ditujukan sesuai gambaran klinis yang timbul, di mana
sebagian besar timbul gejala gagal jantung kongestif.
Sehingga pengobatan standar untuk gagal jantung
kongestif tersebut yang diberikan, seperti diuretika untuk
mengurangi gejala, ACE Inhibitor; dan penghambat beta.
Digoksin merupakan pilihan pengobatan lini kedua, di mana
dosis optimal yang akan dicapai adalah bila kadar dalam
serum mencapai 0,5-0,8 ng/mL.
Pengobatan farmakologis bertujuan untuk modifikasi
secara langsung akibat dari aktivasi yang lama sistem
adrenergik dan renin angiotensin. Sedangkan pengobatan
non-farmakologis seperti pengaturan diet, latihan fisik dan
pengobatan farmakologis seperti yang telah disebutkan
di atas bertujuan untuk membantu mengontrol gejala yang
mungkin timbul. Latihan fisik yang teratur sesuai dengan
toleransi masing-masing individu akan meningkatkan
kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel
dan meningkatkan aliran darah di otot-otot skeletal.
Kematian seringkali terjadi akibat gagal jantung kongestif
atau bradi-takiaritmia. Risiko terjadi emboli sistemik juga
hams dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan.
Sedangkan modalitas pengobatan yang terbukti dapat
memperpanjang usia harapan hidup dengan menurunkan
hampir 50% mortalitas akibat gagal jantung pada waktuwaktu terakhir ini adalah: transplantasi jantung dan
pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator
hidralazin ditambah nitrat, ACE Inhibitor (enalapril),
penghambat beta (karvedilol dan metoprolol) serta
penghambat aldosteron (spironolakton). Angiotensin I1
Receptor Blocker dapat diberikan pada pasien dengan
intoleransi terhadap golongan ACE inhibitor:
Golongan calcium antagonist tidak dianjurkan untuk
dikombinasi pemberiannya dengan pengobatan standar
seperti di atas, dan bukan merupakan pengobatan lini
pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara
kardiomiopati dilatasi dengan abnormalitas sirkulasi
mikrovaskular, gangguan pada kana1 kalsium merupakan
alasan pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai
salah satu pilihan pengobatan. Secara umum penggunaan
obat-obat golongan ini dapat ditoleransi dengan baik,
walaupun efek depresi miokardium yang merupakan efek
samping penting yang harus dipertimbangkan dalam
pilihan pengobatan.
Prognosis
Secara urnum prognosis penyakit ini jelek. Beberapa variasi
klinis yang dapat menjadi prediktor pasien kardiomiopati
dilatasi yang mempunyai risiko kematian tinggi antara lain:
terdapatnya gallop protodiastolik (S3), aritmia ventrikel,
usia lanjut dan kegagalan stimulasi inotropik terhadap
ventrikel yang telah mengalami miopati tersebut. Walaupun
akurasi dan gambaran pada masing-masing individu akan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


berbeda dalam menentukan prognosis tersebut, tetapi
dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai
disfungsi yang semakin berat berhubungan erat dengan
prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila terdapat
dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji
latih kardiopulmonal juga berguna sebagai gambaran
prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas
latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan
oksigen sistemik maksimal merupakan prediktor mortalitas
dan dipergunakan sebagai indikator dan pertimbangan
untuk transplantasi jantung.

KARDlOMlOPATlHlPERTROFlK
D

Kardiomiopati hipertrofik ada 2 macamlbentuk, yaitu:


Hipertrofi yang simetris atau konsentris
Hipertrofi septal simetris
- Dengan left venticular outjlow tract obstruction
atau disebut juga idiopathic hypertropic subaortic
stenosis (IHSS,, atau hypertrophis obstructive cardiomyopathy (HOCM).
- Tanda left ventricular outjlow tract obstruction.
Kardiomiopati hipertrofik adalah hipertrofi ventrikel
tanpa penyakit jantung atau sistemik lain yang dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel ini. Perubahan
makroskopik ini dapat ditemukan pada daerah septum,
interventrikularis. Hipertrofi asimetris pada septum ini, bisa
ditemukan di daerah distal katup aorta. di daerah apeks.
Hipertrofi yang simetris tidak sering ditemukan.
Kardiomiopati hipertrofik di daerah apikal biasanya
disertai dengan kelainan EKG, gelombang T negatif yang
dalam.

Etiologi
Etiologi kelainan ini tidak diketahui. Di duga disebabkan
katekolamin, kelainan pembuluh darah koroner kecil,
kelainan yang menyebabkan iskemia miokard, kelainan
konduksi atrioventrikular dan kelainan kolagen.
Penyakit ini dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin
dalam frekuensi yang sama, serta dapat menyerang semua
umur. Gangguan irama sering terjadi dan menyebabkan
berdebar-debar, pusing sampai sinkop. Tekanan darah
sistolik dapat pula menurun, banyak kasus kardiomiopati
hipertrofik tidak bergejala/asimtomatis.
Orang tua dengan kardiomiopati hipertrofik sering
mengeluh sesak napas akibat gagal jantung dan angina
pektoris yang mengganggu disertai fibrilasi atrium. Pada
kasus-kasus yang sudah lanjut, malah bisa terdapat
pengerasanlkekakuan katup mitral, sehingga dapat
memberikan gejala-gejala stenosis atau regurgitasi mitral.
Pemeriksaan Fisis
Pasien kardiomiopati hipertrofik biasanya fisisnya baik,

berumur muda. Denyut jantung teratur. Bising sistolik


dihubungkan dengan aliran turbulensi pada jalur keluar
ventrikel kiri. Bising sistolik dapat berubah-ubah, bisa
hilang atau mengurang bila pasien berubah posisi dari
berdiri lalu menjongkok atau dengan melakukan olah raga
isometrik.
Pada pemeriksaan fisis akan ditemukan pembesaran
jantung ringan. Pada apeks teraba getaran jantung sistolik
dan kuat angkat. Bunyi jantung ke-4 biasanya terdengar.
Terdengar bising sistolik yang mengeras pada tindakan
valsava.

Pemeriksaan Penunjang
Pada foto rontgen dada terlihat pembesaran jantung ringan
sampai sedang, terutama pembesaran atrium kiri. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan hipertrofi
ventrikel kiri, kelainan segmen ST dan gelombang T,
gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan
ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi Ten Cate
menemukan tiga jenis hipertrofi ventrikel kiri yaitu:
Hipertrofi septal saja (4 1%)
Hipertrofi septal disertai hipertrofi dinding lateral (53%)
Hipertrofi apikal distal (6%) (septum dan dinding lateral, kedua-duanya).
Pada pemeriksaan radionuklir akan ditemukan ventrikel
kiri mengecil atau normal. Fungsi sistolik menguat dan
hipertrofi septal asimetrik.
Dengan pemeriksaan pencitraan nuclear magnetic
resonance (M.R.I.) berbagaijenis hipertrofi apikal ventrikel
kiri dapat dibedakan. Pada sadapanjantung akan ditemukan
compliance ventricular outflow tract obstruction.
Pengobatan
Pengobatan yang utama adalah menggunakan penghambat
beta adrenergik, yag efeknya di samping mengurangi
peninggian obstruksi jalan pengosongan ventrikel kiri, juga
untuk mencegah gangguan irama yang sering
menyebabkan kematian mendadak. Akhir-akhir ini
dilaporkan adanya khasiat yang baik golongan antagonis
kalsium seperti verapamil.
Obat-obat lain tidak dianjurkan untuk diberikan, karena
dapat memperburuk keadaan penyakit. Operasi miomektomi
juga dilakukan pada keadaan tertentu.
Prognosis
Prognosis penyakit ini ternyata sekarang ini cukup jinak.
Angka mortalitas hanya 1% per tahun, dibanding
penelitian sebelumnya yang 2-4 x lebih tinggi. Ada beberapa
pasien yang keadaannya stabil atau malah membaik dalam
jangka waktu 10 tahun. Sebagian besar pasien akan
bertambah berat penyakitnya, pasien mengalami gagal
jantung kongestif; kardiomiopati hipertrofi ini berubah
menjadi kardiomiopati kongestif sekali pun sudah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dilakukan mimektomi. Kematian mendadak sering terjadi


pada orang muda.

Kardiomiopati restriktif merupakan kelainan yang amat


jarang dan sebabnya pun tidak diketahui. Tanda khas
untuk kardiomiopati ini adalah adanya gangguan pada
fungsi diastolik, dinding ventrikel sangat kaku dan
menghalangi pengisian ventrikel.
Pada pemeriksaan patologi-anatomis ditemukan adanya
fibrosis, hipertrofi atau infiltrasi pada otot-otot jantung
yang menyebabkan gangguan fungsi diastolik tersebut.
Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui. Kardiomiopati restriktif
sering ditemukan pada amiloidosis, hemokromatosis,
deposisi glikogen, fibrosis endomiokardial, eosinofilia,
fibroelastosis, dan lain-lain.
Gejala Klinis
Pasien merasa lemah, sesak napas. Ditemukan tanda-tanda
gaga1jantung sebelah kanan. Juga ditemukan tanda-tanda
serta gejala penyakit sistemik seperti amiloidosis,
hemokromatosis.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya pembesaran
jantung sedang. Terdengar bunyi jantung ke-3 atau ke-4
dan adanya regurgitasi mitral atau trikuspid.

Kardiomiopati
Restriktif

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan low voltage. Terlihatjuga gangguan konduksi intra-ventrikular dan
gangguan konduksi atrio-ventrikular. Pada pemeriksaan
ekokardiografi tampak dinding ventrikel kiri menebal serta
penambahan massa di dalam ventrikel. Ruangan ventrikel
normal atau mengecil dan fungsi sistolik yang masih normal. Pada pemeriksaan radionuklir terlihat adanya infiltrasi
pada ototjantung. Ventrikel kiri normal atau mengecil, dan
fungsi sistolik yang normal. Pada sadapan jantung
ditemukan complience ventrikel kiri mengurang dan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan.
Diagnosis Banding
Perikarditis konstriktif adalah penyakit jantung yang secara
klinis dan hemodinamik sukar dibedakan dengan
kardiomiopati restriktif. Kedua kelainan ini perlu dibedakan
karena implikasi pengobatan dan prognosisnya berbeda.

Pengobatan
Pengobatan pada umumnya sukar diberikan, karena
panyakit ini tidak efisien untuk diobati dan lagi pula
bergantung pada penyakit yang menyertainya. Obat-obat
anti-aritmia diberikan bila ada gangguan irama. Umumnya
aritmia dapat menyebabkan kematian mendadak.
Pemasangan alat pacu jantung untuk gangguan konduksi
yang berat dapat diberikan.
Dengan ekokardiografi transesofagus dapat dibedakan
antara kardiomiopati restriktif dan perikarditis konstriktif
secara jelas dengan mengevaluasi perubahan aliran vena
pulmonalis pada pernapasan.

Perikarditis
Konstriktif

Tekanan permulaan
diastolik di dalam
ventrikel kanan

Di atas 0

di bawah 0

Tekanan akhir diastolik


di dalam ventrikel kiri
dan kanan

berbeda

Sama

Hipertensi pulmonal

ada

tidak ada

Ekokardiografi

Dinding
ventrikel kiri
menebal serta
massanya ber
tambah

dinding
ventrikel
normal serta
pergerakan
septum yang
~aradoksal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PERIKARDITIS
Marulam M. Panggabean

PENDAHULUAN
Perikardium terdiri dari perikardium viseralis yang melekat
ke miokardiwn dan bagian luar yaitu perikardium parietalis
yang terdiri dari jaringan elastik dan kolagen serta villivilli penghasil cairan perikard dan membungkus rongga
perikard. Rongga perikard normal berisi 15-50 ml cairan
perikard yang mengandung elektrolit, protein dan cairan
limfe dan berfungsi sebagai lubrikan
Spektrum penyakit perikard mencakup defek kongenital,
perikarditis, neoplasma dan kista. Etiologi terdiri dari
perikarditis infeksi, perkarditis pada penyakit autoimun
sistemik, sindrom pasca infark miokard atau perikarditis
kronik
Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis,
viseralis atau keduanya. Respons perikard terhadap
peradangan bervariasi dari akumulasi cairan atau darah
(ehsi perikard), deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa,
pembentukan granuloma atau kalsifikasi. Itulah sebabnya
manifestasi klinis perikarditis sangat bervariasi dari yang
tidak khas sampai yang khas
Klasifikasi Perikarditis
Variasi klinis perikarditis sangat luas mulai dari efusi
perikard tanpa tanda tamponad, tamponad jantung,
perikarditis akut, dan perikarditis konstriktif.

Salah satu reaksi radang pada perikarditis akut adalah


penumpukan cairan (eksudasi) di dalam rongga perikard
yang disebut sebagai efusi perikard. Efek hemodinamik
efusi perikard ditentukan oleh jumlah dan kecepatan
pembentukan cairan perikard. Efusi yang banyak atau
timbul cepat akan menghambat pengisian ventrikel,

penurunan volume akhir diastolik sehingga curah jantung


sekuncup dan semenit berkurang. Kompensasinya adalah
takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan
meyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan
tekanan darah serta gangguan perfusi organ dengan
segala akibatnya yang disebut sebagai tamponad jantung.
Bila reaksi radang ini berlanjut terus, perikard mengalami
fibrosis, jaringan parut luas, penebalan, kalsifikasi dan juga
terjsi eksudat,yang akan menghambat proses diastolik
ventrikel, mengurangi isi sekuncup dan semenit serta
mengakibatkan kongesti sistemik (perikarditis konstriktifa)
Perikarditis Akut
Perkarditis akut adalah perdangan primer maupun sekuder
perkardium parietalis/viseralis atau keduanya. Etiologi
bervariasi luas dari virus, bakteri, tuberkulosis,
jamur,uremia, neoplasia, autoimun, trauma, infark jantung
sampai ke idiopatik.
Keluhan paling sering adalah sakiunyeri dada yang
tajam, retrosternal atau sebelah kiri. Bertambah sakit bila
bernapas, batuk atau menelan. Keluhan lainnya rasa sulit
bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi
perikard.
Pemeriksaan jasmani didapatkan friction r u b
presistolik, sistolik atau diastolik. Bila efusi banyak atau
cepat terjadi,akan didapatkan tanda tamponad.
Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen ST.
Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis
akan ke bawah (inversi)
Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi
perikard). Foto paru dapat normal atau menunjukkan
patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC,
dan lain-lain).
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan : leukosit,
ureum, kreatinin, enzim jantung, mikrobiologis
parasitologis, serologis, virologis, patologis dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

imunologis untuk mencari penyebab peradangan dari


sediaan darah, cairan perikad atau jaringan biopsi perikard.
Ekokradiografi diharapkan untuk:
1. Menunjukkan efusi perikard, perkiraan jumlah dan
lokasinya.
2. Menilai kontraktilitas ventrikel kiri (akan teganggu bila
ada miokarditis)
3. Membedakan perikarditis dengan infark jantung.
.

PENATALAKSANAAN
Semua penderita perikarditis akut harus dirawat untuk
menilailobservasi timbulnya tamponad (1 dalam 10
perikarditis akut) dan membedakannya dengan infark
jantung akut. Ekokardiografi diperlukan untuk mengira
banyaknya efusi perikard.
OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid) dipakai sebagai
dasar pengobatan medikamentosa (mengurangi rasa sakit
dan anti-inflamasi). Kortikosetroid (prednisolon oral 60mg/
hari) diperlukan bila sakitnya tidak teratasi dengan
0AINS.Pungsi perikard dilakukan untuk tindakan
diagnostik. Bila timbul tamponad, maka pungsi perikard
dilakukan sebagai tindakan terapi. Perikarditis rekurens
(non-bakteriallvirus yang dibuktikan dengan PCR) dapat
diobati dengan kolkisin lmg-2mghari

TAMPONAD
Tamponad terjadi bilajumlah efusi perikard menyebabkan
hambatan serius aliran darah ke jantung (gangguan
diastolik ventrikel). Penyebab tersering adalah neoplasma,
idiopatik dan uremia. Perdarahan intraperikard juga dapat
terjadi akibat dari kateterisasi jantung intervensi koroner,
pemasangan pacu jantung,tuberkulosis, dan penggunaan
antikoagulan.
Keadaan umum penderita tampak burukherat. Tekanan
darah turun, peninggian tekanan vena jugularis + tanda
kusmaule (penurunan tekanan V jugularis pada saat
inspirasi), takikardia, nadi lemah dengan tekanan nadi kecil,
bunyi jantung yang lemah, serta napas yang cepat.
Pelebaran area pekak prekordial, pulsus paradoksus
(penurunan tekanan sistolik >lOmg pada inspirasi).
Pulsus paradoksus terjadi karena pembesaran ventrikel
kanan akibat inspirasi, menekan septum dan rongga
ventrikel kiri, hingga mengurangi volume ventrikel kiri dan
menurunkan curah jantung sekuncup.
Foto toraks menunjukkan paru yang relatif bersih
kecuali bila penyebabnya tumor parulradang paru,
bayangan jantung yang besar bentuk kendi (bila cairan
>250ml) dengan pulsasi yang sangat minimal pada
flouroskopi.
EKG menunjukkan pengurangan voltase QRS (low

voltage) dan electrical alternans.


Ekokardiografi menunjukkan efusi perikard moderat
atau berat (echo free spase di ruang depan jantung di
bawah sternum dan dinding belakang jantung), swinging
heart dengan kompressi diastolik vena cava, atrium kanan
atau ventrikel kanan.
Kateterisasi menununjukkan peninggian tekanan atrium
kanan dengan gelombang X yang prominen serta
gelombang Y yang berkurang atau menghilang. Tanlpak
pula kesamaan tekanan diastolik keempat ruang jantung
(atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri dan ventrikel
kiri). Pulsus alternans tampak pula lebih jelas.
Tamponad jantung merupakan keadaan darurat dan
hams diatasi dengan pungsi perikard. Etiologi harus dicari
seperti pada perikarditis lainnya dan diobati sesuai
penyebabnya.
Perikarditis Konstriktif Kronik
Peradangan kronik perikard menyebabkan penebalan,
fibrosis, fusi viseral dan parietal perikard yang mengurangi
rongga perikard.
Etiologi mulai dari idiopatik, pasca perikardiotomi,
tuberkulosis, radiasi, keganasan, bekas perikarditis
purulen,lain lain seperti uremia, reumatoid artritis, lupus
eritematosus sistemik, dan obat.
Penderita tampak seperti mengalami gagal jantung
kronik. Keluhan disebabkan oleh penurunan curahjantung
seperti lelah, takikardia dan bengkak. Pemeriksaan jasmani
menunjukkan tanda gagal jantung kanan seperti tekanan
vena jugularis meninggi dengan tanda kusmaule
(peninggian tekanan V. jugularis saat inspirasi),
pembesaran hati, asites, dan edema tungkai.
Foto toraks menunjukkan perkapuran pada setengah
pasien (terutama pada etiologi TBC). Elektrokrdiografi
menunjukkan voltase rendah (low voltage) atau
gelombang T yang datar (generalized T waveflatteing).
Ekokardiografi menunjukkan penebalan perikard, ada
tidaknya cairan perikard dan gerak septum interventrikel
yang abnormal.
Ekokardiografi Doppler menunjukkan variasi aliran
darah yang besar saat diastolik melalui katup mitral dengan
gambaran konstriktif.
Bila tersedia CT scan/MRI akan tampak penebalan dan
kalsifikasi perikardium. Bila dilakukan kateterisasi jantung
maka akan ditemukan kesamaan tekanan akhir diastolik
dari keempat ruang jantung dengan gelombang Y yang
dominan
Penatalaksaan dapat dimulai dengan diuretik untuk
mengurangi gejala sesak dan retensi cairan. Reseksi
perikard (perikardiektomi) merupakan terapi kausal dan
umumnya akan memperbaiki keluhan dan memperbaiki
prognosis. Bila penyebabnya radiasi atau miokard yang
telah mengalami fibrosis atau atrofi, maka prognosisnya
sangat buruk.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Grub NR and Newby DE. Pericardial Disease.Churchil's Pocketbook
of Cardiology, London: Chuchil Livingstone; 2000.p. 172-77
Guidelines on Diagnosis and Management of Pericardial Diseases.
Executive Summary. The Task Force of the European Society
of Cardiology Eur Heart J 2004;25:585-610
Artom G,Koren-Morag N, Spodik DH et a1,Pretreatment with
corticosteroids attenuates the efficacy of colchicines in preventing recurrent pericarditis:a multi-centre all-case analysis.
Eur Heart J,2005;26:723-27
Braunwald E, Pericardial disease.ln Kasper DL, Braunwald E, Fauchi
AS et.al (editor), Harrison's Principles of Internal Medicine 16
ed.2003.p.1414-20

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL


Hanafi 0. Trisnohadi

Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di


rumah sakit karena angina pektoris tak stabil; di mana 6
sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark
jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun
setelah diagnosis ditegakkan.
Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: 1.
pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di
mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih
dari 3 kali per hari. 2. pasien dengan angina yang makin
bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan
angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya,
sedangkan faktor presipitasi makin ringan. 3. pasien
dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat
klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi
berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina:
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau
makin bertambah beratnya nyeri dada.
Kelas 11. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya
subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada serangan angina
dalam waktu 48 jam terakhir.
Kelas 111. Adanya serangan angina waktu istirahat dan
terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu
48jam terakhir.
Keadaan klinis:
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya
anemia, infeksi lain atau febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor
ekstra kardiak.
Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark
jantung.
Intensitas pengobatan:
Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan
minimal

Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang


standar.
Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan
pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta,
nitrat dan antagonis kalsium.
Menurut pedoman American College of Cardiology
(ACC) dan America Heart Association (AHA) perbedaan
angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI=non ST elevation myocardial infarction ) ialah
apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya
petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia
sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB,
dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia,
seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang
sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena
kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12jam, maka pada
tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa
dibedakan dari NSTEMI.

Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting
angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi
subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya
mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari
pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai
penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien
dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang
dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik
wbrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel
makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu
dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya
trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100%
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan
bila trombus tidak menyumbat loo%, dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan
salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya
trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel
otot polos dan sel busa @am cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor
jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai
kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan
trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi
agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi
sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi
dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi
ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang
intermiten, pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting
pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi
endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir
seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan
angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus.
Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena
terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai
reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat

menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan


keluhan iskemia.

GAMBARAN KLlNlSANGINA TAK STABIL

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama


kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri
dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul
karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai
keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadangkadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaanjasmani
seringkali tidak ada yang khas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis
maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya
depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan
adanya iskemia akut. Gelombang T negatifjuga salah satu
tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST
dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang
dari 0.5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm,
tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena
ha1 lain. Pada angina tak stabil4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan
menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka
prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih
bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk
menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu
tindakan revaskularisasi (PC1 atau CABG) karena risiko
terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu
mendatang cukup besar.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk
diagnosis angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila
tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding
regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Ekokardiografi stresjuga dapat membantu menegakkan
adanya iskemia miokardium.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


telah diterima sebagai petanda paling penting dalam
diagnosis SKA. Menurut European Society of
Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mionekrosis bila
troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap
positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga
diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa
jam dan kembali normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan
mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti amioid
A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam
diagnosis SKA.
PENATALAKSANAAN
Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit
intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed vest),
diberi penenang dan oksigen; Pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada
walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa

OBAT ANTI ISKEMIA


Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena
dan arteriol perifer, dengan efek mengurangipreload dan
afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan
kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga
menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh
koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam
keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena;
yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang
dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg
per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis
dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah
terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat
per oral.
Penyekat Beta
Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan
daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan
penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas
pasien dengan infark miokard, Meta analisis dari 4700
pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat

beta dapat menurunkan risiko infark sebesar 13%. (P<0,04).


Semua pasien dengan angina tak stabil hams diberi
penyekat beta kecuali ada kontraindikasi. Berbagai macam
beta-bloker seperti propranolol, metoprolol, atenolol, telah
diteliti pada pasien dengan angina tak stabil, yang
menunjukkan efektivitas yang serupa.
Kontra indikasi pemberian penyekat beta antara lain
pasien dengan asma bronkial, pasien dengan
bradiaritmia.
Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar:
golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan
nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua
golongan dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi
lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun
nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga
lebih kecil.
Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak
stabil yang mendapat antagonis kalsium, menunjukkan
tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada
pasien yang sebelumnya tidak mendapat antagonis
pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina yang
rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan
metoprolol dapat mengurangi kematian dan infark sebesar
20%, tapi kedua studi secara statistik tak bermakna.
Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin
menyebabkan takikardia dan kenaikan kebutuhan
oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival
dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan
keuntungan pada golongan nondihidropiridin.pada pasien
SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis
kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi
dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi
keluhan angina masih refrakter.

OBAT ANTlAGREGASl TROMBOSIT

Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam


pengobatan angina tak stabil maupun infark tanpa elevasi
ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP IIbIIIIa telah terbukti
bermanfaat.
Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal
maupun non fatal dari 5 1 % sampai 72% pada pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANGINA PEKTORlS TAK STABIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dengan angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan
untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg
per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari.
Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini
kedua dalam pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak
tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan
plasebo pada angina tak stabil ternyata menunjukkan
bahwa kematian dan infark non fatal berkurang 46,3%.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia, di mana insidennya 2,4%.
Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian
tiklopidin mulai ditinggalkan.
Klopidogrel
Klopidogrel juga merupakan derivat tienopiridin, yang
dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih
kecil dari tiklopidin dan belurn ada laporan adanya neutropenia. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok,
infark dan kematian kardiovaskular.Klopidogrel dianjurkan
untuk diberikan pada pasien yang tak tahan aspirin. Tapi
dalam pedoman ACCIAHA klopidogrel juga dianjurkan
untuk diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan
sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari
dan selanjutnya 75 mg per hari.
Inhibitor Glikoprotein llblllla
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIbIIIIa pada
platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet.
Karena inhibitor GP IIbIIIIa menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan
agregasi platelet tidak terjadi.
Pada saat in ada 3 macam obat golongan ini yang
telah disetujui untuk pemakaian dalam klinik yaitu:
absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu
siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid
mimetik. Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan
angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam
tindakan PC1 terutama pada kasus-kasus angina tak stabil.
Suatu metaanalisis dari 12,296 pasien didapatkan
pengurangan mortalitas dan infark miokard secara relatif
sebesar 34% selama 24 jam terapi medikamentosa tanpa
revaskularisasi. (2.5% vs 33%; p = 0,001). Keuntungan
lebih nyata pada pasien risiko tinggi, dan lebih tampak
pada pasien dengan PC1 karena strategi invasif dini.
Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST
dan mendapat tindakan PCI, kematian dan infark miokard
dalam 30'hari berkurang dari 30-70%. Tirofiban dan
eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin
pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien
risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk
tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan

angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan untuk


tindakan invasif dini di mana PC1 direncanakan dalarn 12
jam.

OBAT ANTITROMBIN
Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari
pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya
dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda.
Antitrombin 111, bila terikat dengan heparin, akan bekerja
menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga juga
mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel
endotel, yang akan mempengaruhi bioavailibilitas.
Kelemahan lain heparin adalah efek terhadap trombus
yang kaya trombosit dan heparin dapat dimsak oleh
platelet faktor 4.
Metaanalisis dari 6 penelitian menunjukkan bahwa
pemberian heparin bersama aspirin dapat mengurangi
risiko sebesar 33% dibandingkan dengan aspirin
saja.
Karena adanya ikatan protein yang lain dan
perubahan bioavailabilitas yang berubah-ubah maka
pada pemberian selalu perlu pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan dosis pemberian cukup efektif. Activated partial thromboplastin time(APTT) hams 1-5-2.5
kali kontrol dan dilakukan pemantauan tiap 6jam.setelah
pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Low molecular Weight Heparin (LMWH) dibuat dengan
melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.
Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan
hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan heparin
menghambat faktor Xa dan trombin. Dibandingkan dengan
unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih
besar dan tidak mudah dinetralisiroleh faktor 4, lebih besar
pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan
kejadian trombositopenia lebih sedikit.
Low molecular weight heparin (LMWH) yang ada di
Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan
fondaparinux.
Dalteparin sama efektifnya dengan heparin sedang
penelitian dengan enoksaparin menunjukkan berkurangnya
mortalitas atau infark sebesar 20% pada pasien yang
mendapat enoksaparin dibandingkan heparin.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian
mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

DIRECT THROMBININHIBITORS

Direct tromhin inhibitor secara teoritis mempunyai


kelebihan karena bekerja langsung mencegah
pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat ole11 plasma
protein maupun platelet faktor 4. Activated partial
tkromhopla.stin time dapat dipakai untuk memonitor
aktivitas antikoagulasi, tetapi biasanya tidak perlu.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark
miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin juga menunjukkan efektivitas yang sama
dengan efek samping perdarahan kurang dari heparin.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin
pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin
maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada
efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).

TINDAKAN REVASKULARlSASl PEMBULUH


KORONER
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi
medikamentosa.
Pada pasien dengan penyempitan di left main atau
penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal
ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG)
dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup dan
mengurangi inasuknya kembali ke rumah sakit. Pada
tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih
buruk dari pada bedah elektif.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik
dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau 2
pembuluh darah atau bila ada kontra-indikasi tindakan
pembedahan PC1 merupakan pilihan utama.
Pada angina tak stabil apa perlu tindakan invasif dini
atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien;
pada risiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya
depresi segmen ST, kadar troponin yang meningkat, faal
ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung
yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan
invaSif dini.?.55.56.57

Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil


dapat distabilkan dalam 48 jam setelah diberi terapi
medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan treadmill
test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah pasien
cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien
membutuhkan pemeriksaan angiografi dan selanjutnya
tindakan revaskularisasi.

Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain pasien


yang tidak mempunyai angina sebelumnya, dan sudah
tidak ada serangan angina, sebelumnya tidak memakai obat
anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari
sebelumnya; enzim jantung tidak meningkat termasuk
troponin dan biasanya usia masih muda. Risiko sedang
bila ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan
angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen
ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila
pasien mempunyai angina waktu istirahat, angina
berlangsung lama atau angina pasca infark; sebelumnya
sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut,
didapatkan perubahan segmen ST yang baru, didapatkan
kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak
stabil.
Bila manifestasi iskemia datang kembali secara spontan
atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya
dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk
risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup.
Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan
tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan
revaskularisasi.

REFERENSI
G r a ~ e sE. National Hospital Discharge Survey. Annual survey 1996.
Series 13, no. 4. Washington, D.C.: National Center for Health
Statistics, 1998.
Braunuald E. Unstable angina. A classification. Circulation 1989;
80: 410
Little WC, Constantinescu M, Applegate RJ, et al. Can coronary
angiographypredict the site of a subsequent myocardial infarction in patients with mild-to-moderate coronary artery disease? Circulation 1988;78:1 157-66.
Fishbein MC, Siegel RJ. HON big are coronary atherosclerotic plaques
that rupture? Circulation 1996;94:2662-6.
A ~ n b r o ~JA,
e Winters SL, Arora RR, et al. Angiographic evolution
of coronary artery morphology in unstable angina. J Am Coll
Cardiol 1986;7:472-8.
Ambrose JA, Tannenbaum MA, Alexopoulos D, et al. Angiographic
progression of coronary artery disease and the development of
myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 1988;12:56-62.
Richardson PD, Davies MJ, Born GVR. Influence of plaque configuration and stress distribution on fissuring of coronary atherosclerotic plaques. Lancet 1989;2:941-4.
Fuster V, Lewis A. Conner Memorial Lecture: mechanisms leading
to myocardial infarction: insights from studies of vascular biology. Circulation 1994;90:2126-46. [Erratum, Circulation
1995;91:256.
ThCroux P, Fuster V. Acute coronary syndromes: unstable angina
and non-Q-wave myocardial infarction. Circulation
1998;97: 1 195-206.
Cheng GC, Loree HM, Kamm RD, Fishbein MC, Lee RT. Distribution of circumferential stress in ruptured and stable atherosclerotic 1esions:a structural analysis with histopaihological correlation. Circulation 1993;87:1179-87.
Fernandez-Ortiz A, Badim6n JJ, Falk E, et al. Characterization of

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1733

ANGINA PEKTORISTAK STABIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


the relative thrombogenicity of atherosclerotic plaque components: implicationsfor consequences of plaque rupture. J Am
Coll Cardiol 1994;23: 1562-9.
Moreno PR, Bernardi VH, Lopez-Cuellar J, et al.
Macrophages,smooth muscle cells, and tissue factor in unstable
angina: implications for cell-mediated thrombogenicity in acute
coronary syndromes. Circulation 1996;94:3090-7.
Wilcox JN, Smith KM, Schwartz SM, Gordon D. Localization of
tissue factor in the normal vessel wall and in the atherosclerotic
plaque. ProcNatl Sci U S A 1989;86:2839-43.
Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable
coronary syndromes. Am J Cardiol 1997;80: 17E-20E.
Cermak J, Key NS, Bach RR. Balla J, Jacob HS. Vercellotti GM. Creactive protein induces human peripheral blood monocytes to
synthesize tissue factor. Blood 1993;82:513-20.
Ridker PM, Glynn RJ, Hennekens CH. C-reactive protein adds to
the predictive value of total and HDL cholesterol in determining risk of first myocardial infarction. Circulation 1998;97:200711.
Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens
CH.Plasma concentration of C-reactive protein and risk of
developing peripheral
Cannon CP, McCabe CH, Stone PH. et al. Circadian variation in the
onset of unstable angina and non-Q-wave acute myocardial infarction (theTIM1 Registry and TIMI IIIB). Am J Cardiol
1997;79:253-8
Alpert JS. Coronary vasomotion, coronary thrombosis, myocardial
infarction and the camel's back. J Am Coll Cardiol 1985;5:6178.
Meredith IT, Yeung AC, Weidinger FF. et al. Role of impaired
endothelium-dependent vasodilation in ischemic manifestations
ofcoronary artery disease. Circulation 1993;87:Suppl V:V-56V-66.
Wieczorek I, Haynes WG Webb DJ, Ludlam CA, Fox KAA. Raised
plasma endothelin in unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: relation to cardiovascular outcome. Br Heart J
1994;72:436-41.
Watanabe T. Suzuki N, Shimamoto N. Fu.jino M. lmada A. Contribution of endogenous endothelin to the extension of myocardial
infarct size in rats. Circ Res 1991;69:370-7.
Ross R. The pathogenesis of atherosclerosis - an update. N Engl J
Med 1986;314:488-500.
Nobuyoshi M, Tanaka M, Nosaka H, et al. Progression of coronary
atherosclerosis: is coronary spasm related to progression? J Am
Coll Cardiol 1991 ;I 8:904-10
Farb A, Burke AP, Tang AL, et al. Coronary plaque erosion
withoutrupture into a lipid core: a frequent cause of coronary
thrombosis in sudden coronary death. Circulation 1996;93:135463.
Flugelman MY, Virmani R, Correa R, et al. Smooth muscle cell
abundance and tibroblast growth factors in coronary lesions of
patients with nonfatal unstable angina: a clue to the mechanism
of transformation from the stable to the unstable clinical state.
Circulation 1993;88:2493-500.
Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al. The electrocardiogram
predicts one-year outcome of patients with unstable angina and
non-Q wave myocardial infarction: results of the TIMI 111
Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol 1997;30: 13340.
Savonitto S, Ardissino D, Granger CB. et al. Prognostic value of the
admission electrocardiogram in acute coronary syndromes.
JAMA 1999;281:707-13.

Pettijohn TL, Doyle T, Spiekerman AM. Watson LE. Riggs


MW,Lawrence ME. Usefulness of positive troponin-T and negative creatine kinase le\,els in identifying high-risk patients \\it11
unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1997;80:5 10- 1.
Lindahl B, Venge P. Wallentin L. Relation between troponin T and
the risk of subsequent cardiac events in unstable coronar) artery disease.Circulation 1996:93: 165 1-7.
Antman EM, Sacks DB, Rifai N. McCabe CH. Cannon CP, Braun~ald
E. Time to positivity of a rapid bedside assay for cardiac-specitic troponin T predicts prognosis in acute coronar). s) ndromes:
a Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) I IA substud!.
J Am Coll Cardiol 1998;31:326-30.
Karlberg KE, Saldeen T, Wallin R. et al. Intra~enousnitrogl)cerin
reduces ischaemia in unstable angina pectoris: a double-blind
placebo-controlled study. J Intern Med 1998; 243:25.
Curfman, GD, Heinsimes. JA. Lozner. EC. Fung. HL. Intravenous
nitroglycerin in the treatment of spontaneous angina pectoris:
A prospective randomized trial. Circulation 1983; 67276.
Horowitz, JD. Role of nitrates in unstable angina pectoris. Am J
Cardiol 1992; 70:64B.
Yusuf S. Wittes J, Friedman L. Overvie\v of results of randomized
clinical trials in heart disease. 11. llnstable angina. heart failure.
primary prevention with aspirin. and risk factor modification.
JAMA 1988;260:2259-63.
Ferrari R. Prognosis of patients with unstable angina or acute m!ocardial infarction treated \\ith calcium channel antagonists. Am
J Cardiol 1996;77:22D-25D.
Held PH, Yusuf S, Furberg CD. Calcium channel blockers in acute
myocardial infarction and unstable angina: an o\er\ ieu. BMJ
1989299: 1 187-92.
Thiroux P. Taeymans Y. Morissette D. Bosch X. Pelletier GB.
Waters DD. A randomized stud! comparing propranolol and
diltiazem in the treatment of unstable angina. J Am Coll Cardiol
1985;5:717-22
Lewis HD Jr. Davis JW. Archibald DG. et al. Protective effects of
aspirin against acute myocardial infarction and death in liicn
with unstableangina: results of a Veterans Administration
cooperative study. N Engl JMed 1983;309:396-403.
Cairns JA, Gent M, Singer J. et al. Aspirin. sultinpyrazone, or both
in unstable angina: results of a Canadian multicenter trial. N
Engl J Med 1985;3 13: 1369-75.
Antiplatelet Trialists' Collaboration. Collaborative o \ e r \ ie\\ of
randomised trials of antiplatelet therapy. I. Pre\ention of death.
myocardial infarction-and stroke bq prolonged antiplatelet
therapy in various categories of patients. BMJ 1994;308:81106. [Erratum, BMJ 1994;308: 1540.1
Balsano F, Rizzon P. Violi F, et al. Antiplatelet treatment \\ith
ticlopidine in unstable angina: a controlled multicenter clinical
trial. Circulation 1990;82:17-26.
CAPRIE Steering Committee. A randomised. blinded. trial ot'
clopidogrel versus aspirin in patients at risk of ischaemic e\ents
(CAPRIE). Lancet 1996;348: 1329-39.
The CAPTURE Investigators. Randomised placebo-controlled trial
of abciximab before and during coronar! interjention in
refractor) unstable angina. The CAPTURE stud). Lancet 1997:
349: 1429-35
Platelet Receptor Inhibition in Ischemic S!ndro~nes Management
in Pateints Limited by Unstable Signs and Symptoms (PRISMPLUS ) Stud) In\estigators. Inhibition of the platelet
glycoprotein llblllla receptor uith tiroiiban in unstable angina
and non Q wave myocardial infarction. N Engl J Med 1998:
338: 1488-97.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet glycoprotein Ilb/llla with eptifibatide in patients with acute coronary
syndromes. N Engl J Med 1998; 339: 436-43
Boersma E, Akkerhuis KM, Theroux P, et al. Platelet glycoprotein
liblllla receptor inhibition in non ST elevation acute coronary
syndromes: early benefit during medical therapy only, with additional protection during percutaneous coronary intervention.
Circulation 1999; 100:2045-2048
The PARAGON Investigators. An international, randomized,
controlled trial of lamifiban (a platelet glycoprotein IIb/IIIa
inhibitor), heparin, or both in unstable angina. Circulation
1998;97:2386-95.
Oler A, Whooley MA, Oler J, Grady D. Adding heparin to aspirin
reduces the incidence of myocardial infarction and death in
patients with unstable angina: a meta-analysis. JAMA
1996;276:811-5.
Klein LW, Wahid F, VandenBerg BJ, Parrillo JE, Calvin JE. Comparison of heparin therapy for < or = 48 hours to > 48 hours in
unstable angina pectoris. Am J Cardiol 1997;79:259-63.
Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J , et al. Heparin-induced
thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight
heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med 1995;332:13305.
Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, et al. A comparison of low

molecular-weight heparin with unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med 1997;337:447-52.
Antman EM, McCabe CH, Gurfinkel EP, et al. Enoxaparin prevents
death and cardiac ischemic events in unstable anginahon-Qwave myocardial infarction: results of the Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) 11B trial. Circulation
1999;100:1593-601.
Organisation to Assess Strategies for Ischemic Syndromes (OASIS2) Investigators. Effects of recombinant himdin (lepimdin) compared with heparin on death, myocardial infarction, refractory
angina, and revascularisation procedures in patients with acute
myocardial ischaemia without S'l' elevation: a randomised trial.
Lancet 1999;353:429-38.
Luchi RJ, Scott SM, Deupree RH, Principal Investigators and Their
Associates of Veterans Administration Cooperative Study No.
28. Comparison of medical and surgical treatment for unstable
angina pectoris: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 1987;316:977-84.
Braunwald E, Mark DB, Jones RH, et al. Unstable angina: diagnosis
and management. Clinical practice guideline. No. 10. Rockville,
Md.: Department of Health and Human Services, 1994. (AHCPR
publication no.94-0602.)
Braunwald E, Antman EM, Heasky JW, et al. ACCIAHA Guideline
Update for the Management of Patients with Unstable Angina
and Non ST segment Elevation Myocardial Infarction 2002.
Summary Article: A report of the American College of
Cardiology1 American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines ( Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina) Circulation 2002; 106:1893900 the stable to the unstable clinical state. Circulation
1993;88:2493-500.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANGINA PEKTORIS STABIL

Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena


iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik
tertentu:
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di
kirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri
sarnpai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar,
punggunglpundak kiri.
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul
seperti rasa tertindihlberat di dada, rasa desakan yang
kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti
diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada
keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak
napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah
nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-tusukldiiris
sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien
mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di
dadanya.
Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan
istirahat; tapi tak berhubungan dengan gerakan
pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan.
Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun
emosional.
Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya
agak nyata, dari beberapa menit sampai kurang dari 20
menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka hams
dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable
anginapectoris = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam
sindrom koroner akut = "acute coronary syndrome" =
ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat
dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam
hitungan detik sarnpai beberapa menit. Nyeri tidak terusmenerus, tapi hilang timbul dengan intensitas yang
makin bertambah atau makin berkurang sampai
terkontrol. Nyeri yang berlangsung terus-menerus
sepanjang hari, bahkan sarnpai berhari-hari biasanya
bukanlah nyeri angina pektoris.

Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh "Canadian


Cardiovascular Society" sebagi berikut:
Klas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun,
naik tangga 1-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan
nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang
berat, berjalan cepat serta terburu-bum waktu kerja atau
bepergian.
Klas 11. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya
AP timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari
biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih
dari 1 lantai atau terburu-bum, berjalan menanjak atau
melawan angin dan lain-lain.
Klas 111. Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul
bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan
kecepatan yang biasa.
Klas IV. AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir
semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk
mandi, menyapu dan lain-lain.
Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemik
miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi
untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina)
tipikal; sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai
ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang
hati-hati, disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang
sudah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non
kardiak.
Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan
maka baiknya anamnesis dilengkapi dengan mencoba
menemukan adanya faktor risiko baik pada pasien atau
keluarganya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM,
hipertensi, rokok, penyakit vaskular lain seperti strok dan
penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangnya latihan dan
lain-lain.
Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat,
sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun
kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari


sekali, atau baru timbul pada bebanlstres yang tertentu
atau lebih berat dari sehari-harinya).
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan
berkurang terus sampai akhirnya menghilang, yaitu
menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia
tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya,
keadaan yang disebut sebagai "silent iskhemia"
sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi
asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia
baru terlihat pada stres tes.

PEMERIKSAAN FlSlS
Tak ada hal-ha1 yang khususlspesifik pada pemeriksaan
fisik. Sering pemeriksaan fisis normal pada kebanyakan
pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu
nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop
bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah dibagian
basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah
berhenti. Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis
umumnya seperti sklerosis A. Carotis, aneurisma
abdominal, nadi dorsum paedisltibialis posterior tidak
teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya
hipertensi, LVH, xantoma, kelainan fundus mata dan lainlain, tentu amat membantu.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Beberapa pemeriksaan lab diperlukan disini: hemoglobin,
hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor
risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda
inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup
berat dan lama, seperti enzim CKJCKMB, CRPIhs CRP,
troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP maka tidak
semuanya pemeriksaan-pemeriksaan ini diperlukan.

Pedoman yang disusun oleh AHA telah cukup lengkap


untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang
efektif dan efisien pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagai
dasar penyusunan pedoman-pedoman yang diusulkan
berikut ini.
Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia
miokardium sebagai penyebab nyeri dada maka diperlukan
beberapa pemeriksaan:
EKG Waktu lstirahat
Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada
adalah non kardiak. Bila angina tidak tipikal, maka EKG ini

hanya positif pada 50% pasien. Kelainan EKG 12 leads


yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan
iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan lain
ke'arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q abnormal
amat berarti untuk diagnostik. Gambaran EKG lainnya tidak
khas seperti aritmia, BBB, bi atau trifasikular blok, dan
sebaginya. EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat
menambah kemungkinan ditemukannya kelainan yang
sesuai dengan iskernia sampai 50% lagi, walaupun EKG
istirahat lnasih normal. Depresi ST-T 1 mm atau lebih
merupakan pertanda iskemia yang spesifik, sedangkan
perubahan-perubahan lainnya seperti takikardia, BBB, blok
fasikular dan lain-lain, apalagi yang kembali normal pada
waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia.
Foto Toraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi
koroner ataupun katup jantung, tanda-tanda lain, misalnya
pasien menderita juga gagal jantung, penyakit jantung
katup, perikarditis, dan anurisma dissekan, serta pasienpasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paruparu.
EKG Waktu AktivitaslLatihan
Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang amat
dicurigai, termasuk kelainan EKG seperti BBB dan depresi
ST ringan. Begitu pula pada pasien-pasien dengan angina
vasospastik; sedangkan pada pasien-pasien dengan
kemungkinan iskemianya rendah, LVH, minum obat
digoksin, dengan depresi ST kurang dari 1 mm boleh saja
dikerjakan, meskipun sebenarnya tak terlalu perlu. Kontra
indikasi: IMA kurang dari 2 hari, aritmia berat dengan
hemodinamik terganggu, gagal jantung manifes, emboli
paru dan infark paru, perikarditis dan miokarditis akut,
diseksi aorta. Kontra indikasi relatif: stenosis LM,
stenosis aorta sedang atau obstruksi "outflow" lainnya,
elektrolit abnormal, hipertensi sistolik >200 dan diastolik
>lo0 mm Hg, bradi atau takiaritmia, kardiomiopatia
hipertrofik, UAP (kecuali yang berisiko rendah dan sudah
bebas nyeri), dan gangguan fisik yang menyulitkan
melakukan tes ini. Treadmill exercise test memiliki
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 68%
+/-I6 % dan 77% +/-17%. Tes ini ternyata sensitivitasnya
lebih rendah dari stress test lainnya.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan
murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya
stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati
hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya
iskemia bila dilakukan waktu nyeri dada sedang
berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menganalisis hngsi miokardium segmental bila ha1 ini telah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANGINA PEKTORIS STABIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


terjadi pada pasien AP stabil kronik atau bila telah pernah
infark jantung sebelumnya, walaupun ha1 ini tidak dapat
memperlihatkan iskemia yang baru terjadi. Bila
ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit dari
serangan angina, mungkin sekali masih dapat
memperlihatkan adanya segmen ~niokardiumyang
mengalami disfungsi karena iskemia akut. Segmen ini akan
pulih lagi setelah hilangnya iskemia akut. Kuantitas iskemia
dapat diperlihatkan dengan sistem skor. Bila daerah
disfungsi iskemik itu sukar terlihat, maka sensitivitas dapat
ditambah dengan memakai alat eko yang menggunakan
harmonic imaging atau dapat dipakai juga eko kontras
memakai gelembung-gelembung mikro (micro bubbles)
yang terjadi waktu injeksi 1V larutan kontras. Pada saat
terjadi iskemia dapat timbul MR, yang dapat diperlihatkan
pula dengan eko doppler.
Stress Imaging, dengan Ekokardiografi atau
Radionuklir
Pemeriksaan stres ekokardiografi ini bermanfaat dikerjakan
pada pasien yang dicurigai menderita APS sedangkan EKG
istirahatnya menunjukkan ST depresi 1 mm atau lebih atau
memperlihatkan adanya sindrom WPW. Kedua tes ini
berguna juga pada pasien pre revaskularisasi atau pasienpasien dengan pacu jantung atau LBBB. Ekokardiografi
stres dengan memakai obat-obatan bermanfaat sekali
dilakukan pada pasien-pasien yang tak dapat melakukan
stres dengan latihan ataupun yang akan dilakukan
revaskularisasi (dengan PC1 atau CABG).Tes-tes ini kurang
bermanfaat bila dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah
hampir pasti atau sama sekali belum jelas menderita iskemia
miokardium. Pemeriksaan-pemeriksaan stres tes ini dapat
diterapkan juga bagi pasien-pasien asimtomatik, terutama
pada pasien-pasien asimtomatik yang berisiko tinggi.
Sensitivitas d a n spesifisitas pemeriksaan stres
ekokardiografi berkisar pada 60-85%, sedangkan
pemeriksaan dengan radionuklir kira-kira berkisar antara
80-90%. Selain untuk diagnostik, tes-tes ini dapat
dimanfaatkan juga untuk stratifikasi prognostik serta
evaluasi pasien-pasien yang telah dilakukan
revaskularisasi dengan PC1 atau CABG. Sampai dengan
dilakukannya pemeriksaan noninvasif ini dapatlah
digolongkan pasien-pasien ke dalam risiko ringan, sedang
dan tinggi.
Angiografi Koroner
Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien-pasien yang tetap
pada APS klas 111-IV meskipun telah mendapat terapi yang
cukup, atau pasien-pasien dengan risiko tinggi tanpa
mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien-pasien
yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai
cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi. Begitu pula
perlunya pemeriksaan ini pada pasien-pasien yang
mengalami gagal jantung dan pasien-pasien yang

karakteristik klinisnya tergolong risiko tinggi.


Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien
yang diketahui mernpunyai disfungsi ventrikel kiri (EF
kurang dari 45%) walaupun dengan angina klas 1-11 dan
pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi,
serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status
koronernya dengan pemeriksaan non invasif.
Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah
bahwa ia tak dapat menentukan perubahan fungsi
miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada dan
insensitif dalam menentukan adanya trombus. Lagipula ia
juga tak dapat menunjukkan plak sklerosis yang akan
menyebabkan berkembangnya menjadi UAP, yang
tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidak jarang
plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan
stenosis 50%. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV,
angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi
prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh
darah yang mengalami stenosis, yaitu 1, 2, 3 pembuluh
atau LM. Szn-viva112 th untuk pasien dg 0,1.2,3 pembuluh
adalah masing-masing 9 1%, 74%, 59% dan 40%, sedangkan
LV fungsi sistolis dengan EF 50- loo%, 35-49% dan <35%
berturut-turut adalah 73%. 54% dan 2 1%.

Mortal~tas
D~sfungs~
LV
(angjo)
TMTlStress
test
Disfungsi LV
Defek perfusi
pd stres
Stres Eko

<I
%/th
Ttdak ada

1 - 3 % Ith
EF 35-49 %

>3%lth
EF < 35%

low risk

Intermediate

High risk

Tidak ada
Nonelterbatas
Normal

dosis tinggi
moderat

besar

Normal

iskemia
terbatas

multipell
besar

mencapai
< 35%

Dengan Pemeriksaan-pemeriksaan Noninvasif


dan lnvasif Didapat Klasifikasi Pasien Menjadi
Pasien-pasien yang asimtomatik diberlakukan menyerupai
APS juga, hanya dengan skala yang lebih ringan; misalnya
bila EKG istirahatnya nonnal, tidak memerlukan stres eko
lagi, apalagi adanya PJK sudah dibuktikan sebelumnya.
Apabila ia termasuk high risk pada pemeriksaanpemeriksaaan non invasif, maka pemeriksaan invasif
mungkin diperlukan juga.

PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan terutama adalah rnencegah kematian
dan terjadinya serangan jantung (infark). Sedangkan yang
lainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga
memperbaiki kualitas hidup.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non
farmakologis seperti penurunan BB dan lain-lain, termasuk
terapi reperfusi dengan cara intervensi atau bedah pintas
(CABG).
Bila ada 2 cara terapi yang sama effektif mengontrol
angina, maka yang dipilih adalah terapi yang terbukti lebih
efektif mengurangi serangan jantung dan mencegah
kematian. Pada stenosis LM misalnya, bedah pintas
koroner lebih dipilih karena lebih efektif mencegah
kematian.
Memang kebanyakan terapi farmakologis adalah untuk
segera mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup,
tetapi belakangan telah terbukti adanya terapi farmakologis
yang mencegah serangan jantung dan kematian juga,
misalnya statin sebagai obat penurun lemak darah.

FARMAKOLOGIS
Aspirin.
Penyekat beta.
Angiotensin converting enzyme, terutama bila disertai
hipertensi atau dishngsi LV.
Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL pada
pasien-pasien dengan LDL >130mg/dI (target <1OOmg/
dl).
Nitrogliserin semprot/sublingual untuk mengontrol
angina.
Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang dan
kombinasinya untuk tambahan beta bloker apabila ada
kontra indikasi penyekat beta, atau efek samping tak
dapat ditolerir atau gagal.
Klopidogrel untuk pengganti aspirin yang
terkontraindikasi mutlak.
Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai
pengganti penyekat beta untuk terapi permulaan.
Terapi terhadap faktor risiko.
Penurunan kolesterol LDL pada pasien yang jelas
menderita PJK atau amet dicurigai menderita PJK
dengan LDL antara 100- 129 mgldl, dengan target LDL
adalah di bawah 100 mg/dl. Ada beberapa pilihan terapi
untuk ini, yaitu:
- Gaya hidup atau dengan obat-obatan.
- Penurunan BB dan peningkatan latihan pada
sindrom metabolik.
- Pengobatan terhadap peninggian lipid lainnya atau
faktor risiko nonlipid lainnya; pemakaian asam
nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian
trigliserid atau HDL yang rendah.
- Penurunan BB pada obesitas meskipun pasien tidak
menderita hipertensi, dislipidemia ataupun DM.
Sudah disebutkan di atas bahwa dalam terapi APS
ataupun PJK asimtomatik, maka tujuan yang utama adalah
pencegahan seranganjantung (infark) dan kematian; setelah

itu barulah menghilangkan simtom dan perbaikan kualitas


hidup
Maka diantara obat-obatan ini yang berguna untuk
mengurangi angka kematian dan serangan jantung adalah
aspirin, penurunan kolesterol darah terutama dengan
statin, penyekat beta dan ACE inhibitors. Obat-obatan
lainnya berguna untuk mengurangi angina dan merperbaiki
kualitas hidup.

NON FARMAKOLOGIS
Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu
datangnya serangan angina misalnya, maka hal-ha1 yang
telah disebut di atas seperti perubahan life style (termasuk
berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain, merupakan
terapi non farmakologis yang dianjurkan.
Semuanya ini, termasuk pula perlunya pemakaian obat
secara terus menerus sesuai yang disarankan dokter dan
mengontrol faktor risiko, serta bila perlu mengikutsertakan
keluarganya dalam pengobatan pasien, dapat dimasukkan
juga ke dalam pendidikan (educations).

REPERFUSIMlOKARDlUM
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai
cara, seperti intervensi koroner dengan balon dan
pemakaian stent sampai operasi CABG. Terapi ini pun
haruslah mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta
mengurangi serangan jantung akut, bukan hanya untuk
mengurangi simtom dan memperbaiki kualitas hidup.
Misalnya pasien APSIasimtomatik dengan kelainan 1-2
pembuluh koroner, haruslah diberikan terapi farmakologis
yang intensif dulu sebelum dikatakan bahwa terapi yang
diberikan telah gagal; sedangkan pasien dengan kelainan
pembuluh Left Main (LM) sebaiknya langsung dilakukan
reperfusi karena memang terbukti menurunkan mortalitas.
Keadaan-keadaan yang memerlukan repefisi miokardium
pada APS:
Coronary artery bypass graft (CABG) pada stenosis
LM.
Coronary artery bypass graft pada lesi 3 pembuluh
terutama bila ada disfungsi LV.
Coronary artery bypass graft pada pasien lesi 2
pembuluh dan proksimal LAD dan disfungsi LV atau
terdapat iskemia pada tes non invasif.
Percutaneous coronary intervention pada pasienpasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD
yang anatomis baik untuk PCI, apalagi bila LV h g s i
normal dan tidak diobati untuk DM.
Percutaneous coronary intervention atau CABG pada
pasien-pasien dengan lesi 1 atau 2 pembuluh, tanpa

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANGINA PEKTORIS STABIL

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


proksimal LAD yang bermakna, tetapi terdapat "viable"
miokardium cukup luas atau pada tes noninvasif
termasuk risiko tinggi.
Coronary artery bypass graft pada pasien-pasien
dengan lesi 1-2 pembuluh tanpa proksimal LAD, yang
pulih dari aritrnia ventrikel yang beratlcardiac arrest.
Percutaneous coronary intervention atau CABG pada
pasien yang sebelumnya sudah reperfusi PC1 tapi
mengalami restenosis, sedangkan terdapat miokardium
"viable" luas ataupun pada tes noninvasif termasuk
high risk
Percutaneous coronary intervention atau CABG pada
pasien-pasien yang tak berhasil baik dengan terapi
konservatif, sedangkan reperfusi dapat dikerjakan
dengan risiko cukup baik
Reperfusi transmiokardial secara operatif de'ngan
menggunakan laser
Terapi lain yang dapat dipertimbangkan pula pada
pasien-pasien APS atau asimtomatik PJK adalah:
Pemberian hormon pengganti pada pasien perempuan
posmenopos, bila tak ada KI.
Penurunan BB pada obesitas, sekalipun tak ada
hipertensi, DM dan hiperlipiemia.
Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian
homosistein.
Suplemen vit E dan C.
Identifikasi adanya depresi dan pengobatannya yang
adekuat.

PENATALAKSANAANLANJUTAN
Belum tersedia pedoman yang jelas mengenai evaluasi
lanjutan pasien-pasien APS dan asimtomatik PJK yang
telah berhasil distabilkan dengan pengobatan ataul
dilakukan terapi revaskularisasi. Beberapa pedoman yang
tersusun berikut ini merupakan hasil pengalaman, namun
dapat dipakai untuk pegangan.
Yang lebih dulu perlu dievaluasi antara lain adalah
bagaimana keluhan-keluhan AP nya, apakah bertambah
lagi atau tetap stabil, apakah timbul tanda-tanda disfungsi
LV yang baru, apakah terapi yang ada dapat ditolerir
dengan baik dan bagaimana kontrol faktor risikonya serta
adanya komorbid baru yang memerlukan terapi tapi
mengganggu stabilitas AP nya.
Setelah anamnesis yang teliti mengenai perubahan dan
perkembangan simtom, maka pemeriksaan hams dilakukan
dengan hati-hati pula mengeani adanya tanda-tanda gagal
jantung, aritmia, perubahan-perubahan pada pembuluh
darah tepi lainnya, perubahan-perubahan pada jantung
dan lain-lain.
Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukan pada
faktor risiko, seperti gula darah dan glikosilat Hb pada
DM, profil lipid, fungsi ginjal,dan lain-lain. Profil lipid mula-

mula diperiksa 4-8 minggu, lalu tiap 4-6 bulan.


Dalam penatalaksanna lanjutan (jhllow up) pasienpasien APS/asimtomatik mungkin diperlukan lagi tes-tes
noninvasif, seperti direkomendasikan sebagai berikut:
1. Foto toraks bila terdapat tanda-tanda CHF yang baru
atau pemburukannya.
2. Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan cara eko ataupun radionuklir pada
pasien-pasien dengan CHF yang baru timbul maupun
perburukannya ataupun timbulnya tanda-tanda infark
jantung.
3. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda
kelainan katup yang baru atau perburukan kel. Katup
yang ada,
U j i treadmill pada pasien-pasien yang belum dilakukan
revaskularisasi, yang menunjukkan perubahan-perubahan
klinis yang cukup berarti dan mampu melakukan stres tes
dengan exercise, sedangkan pada yang tak mampu
melakukan exercise test dilakukan pemeriksaan radionuklir,
dan tak menunjukkan perubahan-perubahan EKG seperti
WPW, electricalpacing rhythme dan ST depresi lebih dari
1 mm pada EKG istirahat.

REFERENSI
Chatterjee K. Recognition and management of patients with stable
angina pectoris. In: Goldman L, Braunwald E, eds. Primary
Cardiology. Philadelphia: WB Saunders, 1998:234-56.
Levine HJ. Difficult problems in the diagnosis of chest pain. Am
Heart J 1980; 100: 108-1 8.
Diamond GA. A clinically relevant classification of chest
discomfort[letter]. J Am Coll Cardiol 1983;1:574-5.
Wise CM, Semble EL, Dalton CB. Musculoskeletal chest wall
syndromes in patients with noncardiac chest pain: a study of
100 patients. Arch Phys Med Rehabil 1992;73:147-9.
Campeau L. Grading of angina pectoris [letter]. Circulation
1976;54:522-3.
Alonso J, Permanyer-Miralda G, Cascant P, Brotons C. Prieto L.
Soler-Soler J. Measuring functional status of chronic coronary
patients. Reliability, validity and responsiveness to clinical
change of the reduced version of the Duke Activity Status Index
(DASI). Eur Heart J 1997;18:414-9.
Wexler L, Brundage B, Crouse J, et al. Coronary artery calcification: pathophysiology, epide miology, imaging methods, and
clinical implications. A statement for health professionals from
the American Heart Association Writing Group. Circulation
1996;94: 1 175-92.
Califf RM, Armstrong PW, Carver JR, D'Agostino RB. Strauss WE.
Stratification of patients into high, medium and low risk
subgroups for purposes of risk factor management. J Am Coll
Cardiol 1996;27: 1007-1 9.
Peels CH, Visser CA, Kupper AJ, Visser FC, Roos JP. Usefulness of
two-dimensional cardiography for immediate detection of myocardial iskhaemia in the emergency room. Am J Cardiol
1990;65:687-91.
Roger VL, Pellikka PA, Oh JK, Miller FA. Seward JB, Tajik AJ.
Stress echocardiography. Part I . Exercise cardiography:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

techniques,implementation. clinical applications. and correlations. Mayo Clin Proc 1995;70:5-15.


Marwick TH. Use of stress ekokardiograficardiography for the prognostic assessment of patients with stable chronic coronarL artery disease. Eur Heart J 1997;18(Suppl D):D97-I 01.
Chuah SC. Pellikka PA. Roger VL. McCully RB, Seward JB. Role of
dobuta~ninestress ekokardiograficardiography in predicting
outcome in 860 patients with known or suspected coronar)
artery disease. Circulation 1998;97: 1474-80.
Severi S. Picano E, Michelassi C. et al. Diagnostic and prognostic
value of dipyridamole cardiography in patients with suspected
coronar) arter) disease. Comparison with esercise electrocardiograph?. Circulation 1994;89:1160-73
Berman DS. ~ a c l i : h o v i t c h R. Risk assessment in patients with
stable coronar) artery disease: incremental value of nuclear
imaging. J Nucl Cardiol 1996;3:S41-9.
McTavish D, Faulds D. Goa KL. Ticlopidine. An updated review of
its pharmacology and therapeutic use in platelet-dependent disorders. Drugs 1990;40:238-59.
Hirsh J. Dalen JE, Fuster V. Harker LB, Patrono C. Roth G. Aspirin
and other platelet-active drugs. The relationship among dose,
effectiveness, and side effects. Chest 1995;108:247S-578.
Antiplatelet Trialists Collaboration. Collaborative overview of
randomised trials of antiplatelet therapy. I: prevention of death,
m~ocardialinfarction and stroke by prolonged antiplatelet
therapy in \ arious categories of patients. BMJ 1995;308:81 106.
Hansson L, Lindhol~nLH. Niskanen L, et al. Effect of angiotensinconverting-enzyme inhibition compared with conventional
therapy on cardiovascular morbidity and mortality in hy
pertension: the Captopril Prevention Project (CAPPP) randomized trial. Lancet 1999;353:611-6.
Pitt B. Waters D. Brown WV. et al. Aggressive lipid-lowering therapy
compared with angioplasty in stable coronary artery
disease.Atorvastatin versus Revascularization Treatment Investigators. N Engl J Med 1999;341:70-6.
Serruys PW, Unger F. Sousa JE. et al. Comparison of coronary
artery bypass surgery and stenting for the treatment of
multivessel disease. N Engl J Med 2001;344:1 117-24.
Mosca L, Collins P. Herrington DM, et al. Hormone replacement
therapy and cardiovascular disease: a statement for healthcare
professionals from the American Heart Association. Circulation
2001 ;104:499-503.
Heart Protection Study Collaborative Group. MRCIBHF Heart
Protection Study of antioxidant vitamin supplementation in
20536 high-risk individuals: a randomised placebo-controlled trial.
Lancet 2002;360:22-33.
Marie YP, Danchin N, Durand JF, et al. Long-term prediction of

major ischemic events by exercise thallium-201 single-photon


emission computed tomography. J Am Coll Cardiol 1995;26:87986.
Hachamovitch R, Berman DS, Shaw LJ, et al. Incremental prognostic value of myocardial perfusion SPECT for the prediction of
cardiac death: differential stratification for risk of cardiac death
and myocardial infarction [published erratum appears in Circulation 1998;98:120]. Circulation 1998;97:533-43.
Geleijnse ML, Elhendy A, van Domburg RT, et al. Prognostic value
of dobutamine-atropine stress technetium-99m sestamibi perfusion scintigraphy in patients with chest pain. J Am Coll Cardiol
1996;28:447-54.
Stratmann HG, Tamesis BR. Younis LT, Wittry MD, Miller DD.
Prognostic value of dipyridamole technetium-99m sestamibi
myocardial tomography in patients with stable chest pain who
are unable to exercise. Am J Cardiol 1994;73:647-52.
Margolis JR, Chen JT, Kong Y, Peter RH, Behar VS, Kisslo JA.The
diagnostic and prognostic significance of coronary artery calcification: report of 800 cases. Radiology 1980; 137:609-16.
Prkor DB, Shaw L. McCants CB, et al. Value of the history and
physical examinations in identifying patients at increased risk
for coronary artery disease. Ann Intern Med 1993; 118:8 1-90.
Chaitman BR, Bourassa MG, Davis K, et al. Angiographic prevalence of high-risk coronary artery disease in patient subsets
(CASS). Circulation 1981;64:360-7.
Evans AT. Sensitivity and specificity of the history and physical
examination for coronary artery disease [letter; comment].
Ann Intern Med 1994; 120:344-5.
Lonn EM.Yusuf S, Jha P, et al. Emerging role of angiotensin-converting enzyme inhibitors in cardiac and vascular protection.
Circulation 1994;90:2056-69.
Miranda CP, Lehmann KG, Froelicher VF. Correlation between resting ST segment depression, exercise testing, coronary angiographq, and long-term prognosis. Am Heart J 1991;122:161728.
Aronow WS. Correlation of ischemic ST-segment depression on the
resting electrocardiogram with new cardiac events in 1,106 patients over 62 years of age. Am J Cardiol 1989;64:232-3.
Diamond GA, Staniloff HM, Forrester JS, Pollock BH, Swan
HJ.Computer-assisted diagnosis in the noninvasive evaluation
of ptients with suspected coronary disease. J Am Coll Cardiol
1983; 1 :444-55.
Morise AP. Diamond GA. Comparison of the sensitivity and specificity of exercise electrocardiography in biased and unbiased
populations of men and women. Am Heart J 1995;130:741-7.
Taylor HA, Deumite NJ, Chaitman BR, Davis KB, Killip T, Rogers
WJ. Asymptomatic left main coronary artery disease in the
Coronary Artery Surgery Study (CASS) registry. Circulation
1989;79: 1 17 1-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST


Idrus Alwi

PENDAHULUAN

PATOFlSlOLOGl

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu


diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju
mortalitas awal(30 hari) pada IMA adalah 30% dengan
lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien
mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas
menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1
di antara 25 pasien yang tetap hidup pada
perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah
IMA.
Infark miokard akut dengan elevasi S T (ST
elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa
elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST (Gambar 1
dan 2).

Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya


terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak
aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan
jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur
jika mempunyaifibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid
(lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri darijhrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi
dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap
terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang
poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul
multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.

Anglna penoris tldak stab11

--=4 -

Spektrum derajat m
Nekros~smiosit

<l.Og

1>1,0g

1
1

lnfark mtokard

>log

'25g

Petanda: Tn 8 CK-MB tdk terdeteksi


EKG. ST L atau T 1 atau ST T sernentara
atau normal

T, t +,CK.MB
8

R ~ s ~ kkernattan.
o
5.8%

meningkat

ST T atau ST b atau inveni T


dapat berkembang menladl glornbang Q
12.15%

++

Patologi: disrupsi plak. trombus tntrakomher mikmemboli


Oklusi koroner sebagian
Oklusi koroner lengkap

Fungsl ventnkel kin


Disfungsi iwukur
NT Pro BNP meningkal

Disfungsi sistolik, dilatasi LV

i
Gambar 1. Rentang sindrom koroner akut mulai dari angina
pektoris tak stabil tanpa nekrosis miokard yang terdeteksi sampai
infark miokard ekstensif (Dikutip dari Fox Heart. 2004;90:698706).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pada kondisi yang jarang, STEMl dapat juga


disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan
oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit intlamasi sistemik.

Garnbar 3. Pembentukan trombus dan ~ n t e ~ e n


farmakolog~s
s~
dalam kaskade koagulasr (Dikut~pdar~ Brouwer, et al Heart.
2004,90 581-8)
Garnbar 2. Patogenesis Sindrom koroner akut (Dikutip dari
Antman, et al)
antara paslen dan
Garnbar 2 menunjukkan kronolog~s~nteraks~
dokter sepanjang progresl pernbentukan plak, onset dan
kompl~kas~
STEMl dengan relevansl tatalaksana pada maslngmastng tahap Potonganlongltudrnalarter~menggambarkant~mel~ne
(2) Lesl ~ n ~ s ~dan
asi
proses aterogenes~sdar~arter~normal (I),
akumulas~l ~ p ~ekstraselular
d
dalarn ~ntrma,(3) evolusr stad~um
frbrofatty; (4) lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan
lemahnya fibrous cap. Sindrom koroner akut berkembang j ~ k a
plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalamr disrups~pada fibrous
cap (5) disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis
Resorps~trornbus d~lanjutkandengan akumulas~kolagen dan
~
pertumbuhan sel otot polos (6) Selanjutnya d ~ s r u p splak
vulnerabel atau plak r ~ s ~tk~on g gmengak~batkan
~
paslen rnengalam~
nyerl rskemia ak~batpenurunan allran arterl koroner ep~kard~al
yang terl~bat Reduks~allran dapat menyebabkan oklus~trombus
total (bawah kanan) atau oklus~trombus subtotal (bawah k ~ r ~ )
Pas~endengan nyerl rskem~adapat berupa elevas~ST atau tanpa
elevas~segrnen ST pada EKG Pas~endengan elevas~ST sebag~an
besar berkembang menjadl ~nfarkm~okardgelombang Q, sebag~an
kec~lberkembang rnenjad~rnfark m~okardgelombang nonQ Pasren
tanpa elevas~segmen ST dapat mengalam1 angina pektor~stak
stab11atau rnfark m~okardakut tanpa elevasr ST Sebaq~anbesar
pasren dengan NSTEMI berkembang menjadr ~nfarkmGkard non
Q, dan sebaqran kecrl menladl ~nfarkm~okardgelombang Q Dx =
d~agnos~s,
NQMI, non-Q-wave myocardial infarchon, Q ~ M =I Qwave myocardial ~nfarct~on,
CK-MB = MB isoenzyme of creatine
kinase

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan risszte


.fuctor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi
trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Pernbentukan trombus pada kaskade koagulasi dapat
dilihat pada Garnbar 3. Arteri koroner yang terlibat
(czilpr'it)kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus
yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.

lnteraksr agregasl trornbos~t(fibr~nogen,gl~koprote~n


Ilblllla) dan
akt~vasrkaskade koagulasi menghasilkantrornb~nyang meng~nduksr
pembentukanbekuan yang kaya fibrin F~brrnakan benkatan dengan
faktor Xlll yang men~ngkatkankekuatan bekuan (clot) Antrkoagulan
oral mengharnbat produks~faktor koagulas~,obat larn menghambat
aks~faktor pembekuan yang teraktlvasl Target fibrlnolls~sadalah
degradasr fibr~n,melalu~plasm~nFDP,s fibnn degradation products. LMWH, low molecular weight heparrn, OAC, oral
anbcoagulans, PT, prothromb~n(II),,T, Thrombrn (Ila). UFH,
unfractionated heparm, vWF, von Wrllebrand factor

Garnbar 4. Garnbar potong lintafig arteri koroner pada pasien


dengan atemrna eksknsif (Dikut~pdari: Fox Heart. 2004;90:698786)

DIAGNOSIS
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya elevasi ST >2mm, minimal pada 2 sandapan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1743

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


prekordial yang berdampingan atau >I mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu
menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah
time is muscle.

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain


perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut,
kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada
tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infark miokard akut
dengan elevasi ST (STEMI) tanpa nyeri lebih sering dijumpai
pada diabetes melitus dan usia lanjut.

ANAMNESIS
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu
dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya
berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai
nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard
sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi,
diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stres serta riwayat
sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus
sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres
emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI
bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat


(gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan
banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar
seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia danlatau hipotensi)
dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan
hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia danlatau
hipotensi)
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4
dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung
pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang
bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral
dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38OC dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.

NYERl DADA
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu
dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita
IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah,
dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi
yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien IMA. Seorang dokter hams mampu mengenal nyeri
dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrostemal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar,
ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan
dipelintir.
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher,
rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan
dapat juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat
nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin,
dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas,
keringat dingin, cemas dan lemas.

Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada


semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang
dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG
di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi
segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat
untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG
awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5- 10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan hams
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi
segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada
EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang
Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST.
Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elebasi
ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut
infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakanjika EKG menunjukkan gelombang Q atau
hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural j ~ k aEKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST dan gelombang T. namun ternyata tidah selalu
ada horelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi inFark
(mural/transmural) sehingga terrninologi IMA gelombang
Q dan non Q menggantikan IMA m~tral/nontransniural.
Pada ganibar 5 dapat dilihat EKG yang menyebabkan
STEMl anterior ekstensif

dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai


petanda optimal untuk pasien STEMl yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi
ST dan gejala IMA, terapi repertusi diberikan segera
tilungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas
nonnal menunjukkan ada nekrosisjantung (intbrk miokard).
CKMB: meningkat setelah 3jam bila ada inlarh miokard
dan niencapai puncak dalam 10-24 jam dan kelnbali
normal dalarn 2 3 hari. Operasijantung, miokarditis dan
kardioversi elehtrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cl'n I. E~izimini
meningkat setelah 2 jam bila ada infarh miohard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan c7'n I' masill
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-1 0 liari.

Pemeriksaan laboratori~imharus dilakukan sebagai bagian


dalaln tatalaksana pasien STEMI namiln tidak boleh
menghambat implementasi terapi repefusi.

Penieriksaan enziln jantung yang lain yaitu:


Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Cre~rtinillkitru.\c, (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36
jani dan kembali normal dalam 3-4 hari.
L.trc tic.( / ~ I ~ ~ ~ ~ / (LDH):
~ . ~ ~ ~meningkat
C ~ I I L setelall
I ~ L ~ 24-48
jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari
dan kembali nonnal dalaln 8- 14 hari.
Ciarib horizo~ital~nenunjukkan~rppei.r.c1fc1rc1i7c~c~
/~i~irt
(URL) biomarker jantung pada laboratorium kilnia klinis.
U K L adalah nilai yang memprcsentasikan 9Ytli po-centilc.
kelompok kontrol tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap iniuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalani
beberapa jam setelah oi7\et nyeri dan menetap selalna 3-7
hari. 1-eukositdapat mencapai 12.000-15.000/ul.

PETANDA (BIOMARKER)KERUSAKAN JANTUNG

PENATALAKSANAAN

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creutii~irirkinase


i i i )T atau cTn I
(CK)MB dan L ' L I I Y ~ ~\ pU (~~ ' i f i (t'~ ~ ) p o r z(cTn

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada


data-data dari c,vtdence ho\cw' berdasarkan penelitian

Gambar 5. EKG menunlukkan STEMl antenor ekstensrf.

Berat
Molekul,
Da
Sering Digunakan di Praktek Klinik
CK-MB
86 000
cTnl
23 500
cTnT
33 000
Biornarker

Rentang
waktu untuk
rneninakat

Rerata Waktu
Elevasi Puncak
INon reoerfusi)

3-12 jam
3-12 jam
3-12 jam

24 jam
24 jam
12 jam-2 harr

48-72 jam
5-10 harr
5-14 harr

6-7 jam
18 jam
12 jam

24 hari
Tak diketahui
38 jam

..

Jarang Digunakan di Praktek Klinik


1-4 jam
17 800
Myoglobin
2-6 jam
CK-ME tissue isoform
86 000
CK-MM tissue isoform
1-6 jam
86 000

Waktu Kernbali
ke
Rentang

Da = Daltons; CK-MB = MB isoenzyme of creatine kinase; cTnl = cardiac troponin I;eTnT = cardiac
troponin T; CK-MM = MM isoenzime of creatine kinase (Modifikasi dari Adams et al. Circulatron
1993;88:750)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1745

INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASl ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

50

Cardlactroponln -no repodmk-n


ca&cetwponin-r~pifwm
CKUB oortpeziuslon

rr

:
m6
.
2

1upper reference llmlt

Days After Onset of STEM!

URL =99th % Ule of


Reference Control Gmup

Garnbar 6. Biornarker jantung pada infark rniokard akut dengan


elevasi ST (STEMI).

rmdomized clinical trtal yang tems berkembang ataupun


konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan ulama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACCIAHA tahun 2009 d m
ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesualkan
dengan kondisi sarandfasilitas di tempat masing-masing
senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang
kardiologi intervensi).

TATALAKSANA AWAL
Talaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2
kelornpok komplikasi umum yaitu :komplikasi elektrikal
(aritmia) dan komplikasi mekanik ( p l i n ~ pfililzire).
Sebagian
kematian d i luar Rumah Sakit pada
STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak.
sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
ytxjala. Dan lebih dari separuhnya te~jadipadajam pertama.
Sehingga elemen utalna tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari
pertolongan medis
Segera memanggil tim tiledis ernergensi qang dapat
melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mernpunyai
iasilitas ICCUIICU serta staf medis dokter dan perawat
yang terlatih.
Melakukan terapi reperfusi

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada


penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi
ke Rurnah Sakit, namun karena lama waktu tnulai onsetnyeri
dada sampai kepiitusan pasien untuk meminta pertolongan.
Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai
pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan
jika ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
komando lnedis onlirle yang bertanggungjawab pada
pernberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian h-ombolitik
pra hospital ini belum bisa dilakukan.

Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil9-11: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan
terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PC1 primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung
cara transportasi pasien dan kemampuan p e r h a a n nunah
sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus
lainnya, tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit.
Terdapat 3 kemungkinan:
I ) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan
fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi,
fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit
sejak EMS t i h .
2) Jika EMS tidak mampu memberkan fibrinolisis sebelum
ke rumah sakit dan pasjen dibawa ke rumah sakit yang
tak tersedia sarana PCI, hospital door to needle rime
hams dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai
indikasi fibrinolitik.
3) Jika EMS tidak mmnpu memberikan fibrinolisis sebelum
ke rumah s k i t d m pasien dibawa ke rumah sakit dengan
sarana PCI, hospiral door-to-balloon time harus dalam
waktu 90 menit.
Tatala ksana di Ruang Emergensi
Tuluan tatalaksana di IGD pads pasien yang dicurigai
STEM1mencakup: mengurangilmenghilangkan nyeri dad&
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
risiko rendah ke ruangan
reperfusi segera, triase
ndari pemulangan
repat di rlllnah sakit dan
pasien dellgan STEMI.

Zepat

TATALAKSANA UMUM

Oksigen
Suplemen oksigen harm dikrikan pada pasien dengan
sarurasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEM1
tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis
dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,
NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner
yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.
NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
liipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan
tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang
dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior
pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi).
Nitrat juga hams dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

MengurangilMenghilangkan Nyeri Dada


Mengurangilmenghilangkan nyeri dada sangat penting,
karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada
pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis
total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.
Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai
dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan
efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark
posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropin 0,5 mg IV.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom
koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai
dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg
di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-1 62 mg.
Penyekat Beta
Jina morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian

penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen


yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
>60 menit, tekanan darah sistolik > l o 0 mmHg,
interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12
jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah
door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time
untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30
menit atau door-to-balloon (atau medical
contact-to-balloon) time untuk PC1 dapat dicapai dalam
90 menit. (Gambar 7)

Beberapa ha1 hams dipertimbangkan dalam seleksi jenis


terapi reperfusi antara lain:
Waktu Onset Gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan
prediktor penting luas infark dan outcome pasien.
Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus
sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang
diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara
dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang
mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung
pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa
laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan
waktu terhadap laju mortalitas jika PC1 dikerjakan setelah
2 sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute
Myocardial Infarction of the European Society of
Cardiology dan ACCIAHA merekomendasikan target
medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time
dalam waktu 90 menit.
Risiko STEM1
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu
dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI.
Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1747

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Panel A

Hospital Rbrinolysis :
Door-to-needle within 30 min

I
Onset of
symptomt
of STEM1

EMS on-scene

9-1-1

EMS

- Encourage 12-lead ECGs

- Consider prehosp~talfibrrnolytrc if

-I.!

Triage

capable and EMS-to-needle w~thrn30 mrn 'Ian

Dispatch

Goalst
capable
D&W
FI

min a W

,Dispatch

EMS on
scene

EMS Transpor t

EMS transport: EMS-to-Balloon within 90 mrn

0-0

I mrn

symptom anset

Withrn
8 min

Prehospital fibrinolysrs:
EMS-to-Needle within 30 mln

Palent self-trasport: Hospital Door-to-Baloon within 90 min

T Wkhmk

r:

Wihim 120 min*

*Gold Hour= First 60 minutes

Gambar 7. Pilihan transportasi pasien dengan STEMl dan terapi reperfusi awal (Dikutip dari: Antrnan , et al)

Langkah 2: Tentukan apakah fibrinolisis atau strategi


invasif lebih disukai
Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada
keterlambatan untuk strarategi invasif, tidak ada preferensi
untuk strategi lain.

seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis


menunjukkan strategi PC1 lebih baik.
Risiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko
perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama
tersedia PC1 dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI. Jika PC1 tak tersedia, manfaat
terapi reperfusi fannakologis harus mempertimbangkan
manfaat dan risiko.
Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke
Laboratorium PC1
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan
penentu utama apakah PC1 dapat dikerjakan. Untuk
fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PC1 lebih superior dari reperfusi
farmakologis. Jika composite en~lpointkematian, infark
tniokard rekuren non fatal atau strok dianalisis,
superioritas PC1 terutama dalam ha1 penurunan laju infark
~niokardnon fatal berulang.
Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi
pada Pasien STEMI.
Langkah 1 :Nilai waktu dan risiko
Waktu sejak onset gejala
Risiko STEMI
Risiko fibrinolisis
Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke
laboratorium PC1 yang mampu.

Fibrinolisis umumnya lebih disukai jika:


Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala
dan keterlambatan ke strategi invasif.
Strategi invasif bukan merupakan pilihan
Laboratorium kateterisasi belurn tersedia
Kesulitan akses vaskular
Tidak ada akses ke laboratorium PC1 yang mampu.
Terlambat untuk strategi invasif:
- Transport jauh
- (Door-to-bu1loon)-(door-to-needle)
time lebih dari
1jam.
- Medical contact-to-balloon atau door-to-bullon
time lebih dari 90 tnenit.
Strategi invasifumumnya lebih disukai jika:
Laboratorium PC1 yang mampu tersedia dengan backup
surgical Medical contact-to-balloon atau door-toballoon time <90 menit
- (Door-to-hul1oon)-(door-to-needle)
time <1 jam.
Risiko tinggi STEMI
- Syok kardiogenik
- Klas Killip lebih atau sa&a dengan 3
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya
risiko perdarahan dan pergarahan intrakranial.
Presentasi terlambat
- 0ti.set gejala >3 jam yang lalu
Diagnosis STEMI tidak yakin.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kualitatif sederhana disebut tlzromhoi~~.si.~
in myocardiul
I

Panel 6 .

it?furctzon

2$*

Fibrinolisis

Stratifikasi risiko
noninvasif

k"

'A

Receivi~tg

.Hospital

,w

PC1 atau
CABG
J ' ~
xr+;.
.m

Late Hosp Care


& pencegahan
sekunder

.d
-

Gambar 8. Strateg~terap~reperfus1 pada STEMl (D~kut~p


dar~
Antman, et al)

PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION


(PC11
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti daniatau
stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PC1 primer.
PC1 ini efektif dalam rnengembalikan perfusi pada STEMI
jika dilakukan dalam beberapa jam pertalna infark miokark
akut. PC1 primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam
tnembuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan
dengan ozrtcor~~e
klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PC1 primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutania pasien <75
tahun), risiko perdaralian meningkat, atau gejala sudali
ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah
lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
tibrinolisis. Narnun demikian PC1 lebih lnahal dalatn ha1
personil dan fasilkas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan
tersedianya sarana, lianya di beberapa Rumah Sakit.

REPERFUSI FARMAKOLOGIS
Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya
diberikan dalain 30 nienit sejak lnasuk (door-to-needle. tir~rc
< 30 menit). Tujuan utalna fibrinolisis adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macaln obat
ti brinoii tik antara lain: n.s.\ uc /7lu.trnrnoge~zacrivutor.( tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA).
Seniua obat ini beker-ja dengan cara memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin. yang selanjutnya inelisiskan
trombus tibrin. Terdapat 2 keloinpok yaitu: golongan
spesitik tibrin seperti tPA dan non spesifik fibrin seperti
streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri
koroner yang terlibat (c-ulprit)digambarkan dengaii skala

(TIMI) grading sqatem:


Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion)
pada arteri yang terkena infark.
Crude 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras
melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfitsi vaskular
distal.
Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh y a n g
mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran
yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
Crude 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang
mengalami infark dengan aliran nonnal

Farget terapi reperhsi adalah aliran TIM1 grade 3, karena


perfilsi penuh pada arteri koroner yang terkena infark
menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menibatasi luasnya
int'ark, mempertahankan fungsi venhikel kiri dan menurunkan
laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik dapat tnenurunkan risiko relatif
kematian di rumah sakit sainpai 50% jika diberikan dalam
jam pertama on.\ct ge-jala STEMI, dan nianfaat ini
dipcrtahankan sampai 10 tahun. Setiap liitungan menit dan
pasien yang tnendapat terapi dalam 1-3 jam on.\rt gejala
akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju
mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi dalaln 1-3
jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEM1 dapat
dilihat pada tabel 3. terapi ~nasilitetap bermanfaat pada
banyak pasien 3-6 jam setelah onscJtinfark, dan beberapa
manfaat tampaknya nzasih ada sampai 12jam, terutania jika
nyeri dada rnasih ada dan segnien ST masih tetap elevasi
pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang
Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PC1 pada STEM1
(PC1 primer), fibrinolisis secara iilnuln nierupakan strategi
reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama
ge.jala, jika perhatian terhadap tnasalah logistik seperti
transportasi pasien ke pusat PC1 yang baik, atau ada
antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara
waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan
implementasi PCI.
Ti.v.vue pltrsmiilogm nctir.trtor. (tPA) dan aktivator
plasminogen spesitik fibrin lain seperti rPAdan TNK lebih
efektif daripada streptokinase dalaln lnengembalikan
perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan
memperbaiki survival sedikit Iebih baik.

OBAT FlBRlNOLlTlK
Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleli diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi
tidak jarang ditemukan. Manfaat rnencakup harganya yang
murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah,
manfaat pertama diperlihatkan pada GISSI-1 t/.iol.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1749

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Streptokinase
T % ( menit )
Alergenik
Spesifik fibrin
Resisten PAI-1
Bolus
Dosis

15-25
Ya

Tidak
1,5 juta unit
lebih dari 3060 rnenit

Alteplase
Irt-PA,

Reteplase
(r-PA)
. ,

Tenecteplase
(TNK-PA )

4-8
Tidak

11-14
Tidak

17-20
Tidak

Tidak
15 rng bolus,
dilan jutkan
dengan 0,75
rnglkg (rnax 50
rng) lebih dari
30 menit,
dilanjutkan 0,5
rngl kg (rnaks
35 mg) lebih
dari 1 jam

Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)


Global Use qf Strategies to Open Coronary Arteries-1
(GUSTO- I) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA
dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal
daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih
tinggi.
Reteplase (Retavase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO 111 trial,
dengan dosis bolus lebih rnudah karena waktu paruh yang
lebih panjang.
Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin
dan resistensi tinggi tehadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIM1 10 B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIM1 3flow
dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA.
lndikasi Terapi Fibrinolitik
Klas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus
dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12
jam dan elevasi ST >0,1 mV pada sekurang-kurangnya
2 sandapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2
sandapan ekstremitas.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik hams
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12
jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Klas II a
1. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan
pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan

++
+

Dobel
10 U bolus,
dua kali,
interval 30
rnenit

Satu
berdasarkan BB
< 60 kg 30rng
60-69 kg 35 rng
70-79 kg 40 rng
80-89 kg 45 rng
> 90 kg 50 rng

onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten


dengan infark miokard posterior.
2. Jika tidak terdapat kontraindikasi. dipertimbangkan
pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala
STEM mulai dari <12jam sarnpai 24jam yang mengalami
gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,l
mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2
sandapan ekstremitas.
Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi
nyeri dada dan penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit
pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil
pada graji vena, sehingga jika pasien pasca CABG datang
dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
perczitaneolts coronary. intervention (PCI)

TATALAKSANA Dl RUMAH SAKlT


ICCU

Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12jam pertama.


Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark
miokard, pasien hams puasa atau hanya minum cair dengan
mulut dalam 4- 12jam pertama. Diet mencakup lemak <30%
kalori total dan kandungan kolesterol<300 mglhari. Menu
hams diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium,
magnesium dan rendah natrium.
Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan
narkotik untuk menghilangkan nyeri sering megakibatkan
konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping
tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar
ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mghari).
Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang.
Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0.5-2
mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kontraindikasi absolut
Setiap riwayat perdarahan intraserebral
Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
Terdapat neoplasma intrakraniai ganas (primer atau
metastasis)
Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut
dalam 3 jam
Dicurigai diseksi aorta
Perdarahan aktif atau diatesis berdarah ( kecuali mens )
Trauma muka atau kepala tertutup yang berrnakna dalam
3 bulan
Kontraindikasi relatif
Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180
mgHG atau TDD > 110 mmHG)
Riwayat strok iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia,
atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk
kontraindikasi
Resusitasijantung paru traumatik atau lama (> 10 menit)
atau operasi besar (< 3 minggu)
Perdarahan internal baru (dalam 2-4 minggu)
Pungsi vaskular yang tak terkompresi
Untuk streptaselanisreplase:riwayat penggunaan > 5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat
ini.
Kehamilan
Ulkus peptikum aktif
Penggunaan antikoagulan baru: makin tinggi INR makin
tinggi risiko perdarahan

TDS = tekanan darah sistolik TDD = tekanan darah diastolik

TERAPI FARMAKOLOGIS
Antitrorn botik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase
awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa
trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis.
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark.
Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien
menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar
pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada
STEMI dapat dilihat pada Antiplatelets Trialists ' Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard
yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan
menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27%,
dari 14,2% pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada
pasien yang mendapat antiplatelet. Pada penelitian ISIS-2
pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskular sebesar
23% dan infark nonfatal sebesar 49%.
Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada
semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien
yang mengalami PC1 dianjurkan dosing loading 600 mg.
Sedangkan yang tidak menjalani PC1 dosis loading 300 mg
dilanjutkan dosis pemulihan 75 mglhari.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk
mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang

menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan


abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting.
Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau
revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada
kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek
klinis adalah unfvactionated heparin. Pemberian UFH IV
segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK),
membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis
yang direkomendasikan adalah bolus 60 U k g (maksimum
4000 U) dilanjutkan inhs inisial 12 U k g perjam (maksimum
1000 Uljam). Activatedpartial thromboplastin time selama
terapi pemeliharaan hams mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah
low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian
ASSENT-3 enoksaparin dengan tenektepl'ase dosis penuh
memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia
refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri
berat, gaga1 jantung kongestif, riwayat emboli, trombus
mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada
keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar
terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat,
dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.
Pada penelitian OASIS-6, faondaparinux dosis rendah,
suatu obat anti-Xa tak langsung, lebih superior
dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam
mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang
mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang
menjalani PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden
kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih tinggi
(1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan
terjadinya trombosis kateter, sehingga perlu diberikan
tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah
trombosis kateter
Pada pasca STEMI dengan onset <12 jam yang tidak
diberikan terapi reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset > 12 jam aspirin, klopidogren dan obat anti trombin
(heparin, enoksapirin atau fondaparinux) hams diberikan
sesegera mungkin.
Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi
menjadi: yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut
dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi
(pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel
kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau
riwayat asma).

Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE,
AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, danlatau fungsi ventrikel kiri menurun
global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek
terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien
dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan
tekanan darah sistolik >I00 mmHg). Mekanisme yang
melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark
dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark
berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE hams diberikan dalam 24 jam pertama
pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE hams dilanjutkan
tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien
hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal
jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien
STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor
blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan
fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang
tak toleran terhadap inhibitor ACE.

Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial
dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang
mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodeling ventrikular dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini
berasal dari ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi
sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona
nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional
dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel
kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang

nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis


lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi
klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan
vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%,
tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
hams diberikan.

Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pumpfailure) merupakan penyebab
utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal
(10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering
dijumpai kongesti paru.

TATALAKSANA EDEMA PARUAKUT


Terapi 0 2 untuk mempertahankan saturasi oksigen >90%.
Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat
diulang tiap 5-1 0 menit sampai dosis total 20 mg.
InhibitorACE, mulai dengan titrasi inhibitorACE jangka
pendek dengan dosis awal rendah (6,25 mg captopril)
diberikan pada pasien edema paru kecuali tekanan darah
sistolik <lo0 mmHg atau >30 mmHg di bawah baseline.
Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah
sering membutuhkan support sirkulasi dengan
inotropik dan vasopressor danlatau intra-aortic balloon counterpulsation untuk menghilangkan edema
pant dan mempertahankan perfusi adekuat.
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin
diberikan per oral 0,4-0,6 mg tiap 5- 10 menit, kemudian
intravena 10-20ug/menit kecuali tekanan darah sistolik
< 100 mmHg atau >30 mmHg di bawah baseline. Pasien
dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering
membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan
vasopressor danlatau intra-aortic ballonon counterpulsation untuk menghilangkan edema paru dan
mempertahankan perfusi adekuat.
Diuretik: firosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat
diulang atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau
dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai mencapai
produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
Penyekat beta hams diberikan sebelum pulang untuk
pencegahan sekunder. Pada pasien yang tetap mengalami
gagal jantung selama perawatan, dosis kecil dapat
dimulai, dengan titrasi bertahap pada saat rawat jalan.
Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan
pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna
(kreatinin harus <2,5 mg/dl pada pria dan < 2 mgldl
pada perempuan) atau hiperkalemia (K harus < 5 mEq1
liter) yang sudah mendapat inhibitor ACE dosis terapi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% dan


mengalami gagal jantung simtomatik atau diabetes.
Ekokardiografi hams dilakukan dengan segera untuk
memperkirakan fungsi ventrikel kin dan ventrikel kanan
dan menyingkirkan komplikasi mekanis.

SYOK KARDlOGENlK
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat
masuk, sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya
pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

Tatalaksana Syok Kardiogenik


Terapi 0 2 .
Jika tekanan darah sistolik < 70mmHg dan terdapat
tanda syok diberikan norepinefrin.
Jika tekanan darah sistolik <90mmHg dan terdapat tanda
syok diberikan dopamin dosis 5- 15 uglkgBB1menit.
Jika tekanan darah <90 mmHG namun tidak terdapat
tanda syok diberikan dobutamin dosis 2-20 ug/kgBB/
menit.
Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PC1 atau
CABG direkomendasikan pada pasien <75 tahun dengan
elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36
jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat
dikerjakan dalam 18 jam syok, kecuali jika terdapat
kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.
Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan
syok kardiogenik yang tak ideal untuk terapi invasif
dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis.
Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan
pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak
membaik dengan segera dengan terapi farmakologis,
bila sarana tersedia

INFARK VENTRIKEL KANAN


Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior
menunjukkan sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel
kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas
primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara
klinis meyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul's, hepatomegali)
dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada
sandapan EKG sisi kanan, terutama sandapan V4R, sering
dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel
kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk
mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat
dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
Pulmonary Capillary Wedge (PCW) dan tekanan arteri
pulmonalis.

Tatalaksana lnfark Ventrikel Kanan


Pertahankan preload ventrikel kanan:
Loading volume (inhs NaC10,9 %): 1-2 liter cairan jam
I selanjutnya 200 mlljam (target tekanan atrium kanan
>lO mmHg(13,6 cmH2O).
Hindari penggunaan nitrat dan diuretik
Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardia harus
dikoreksi.
Pacu jantung sekuensial A-V pada blok jantung derajat
tinggi simtomatik yang tidak respons dengan atropin.
Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat
setelah loading volume
Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan
disfungsi ventrikel kiri.
Pompa balon intra-aortik
Vasodilator arteri (nitropruspid, hidralazin)
Penghambat ACE
Reperfusi
Obat trombolitik
Percutaneous coronary intervention (PCI) primer
Coronary artery bypass graft (CABG) (pada pasien
tertentu dengan penyakit multivesel)

ARlTMlA PASCA STEMl


Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien
segera setelah onset gejala. Mekanisme aritmia terkait
infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di
zona iskemia miokard.

EKSTRASISTOL VENTRIKEL
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis yang tidak sering,
dapat terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak
memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMl
dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan
rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan
hipomagnesimia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel
pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayakan
mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,O mmollliter.

TAKlKARDlA DAN FlBRlLASl VENTRIKEL


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi
ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya aritmia
sebelumnya.

Takikardia Ventrikel (ventricular tachycardia = VT)


Takikardia ventrikel (VT) polimorfik yang menetap (lebih

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFARK MIOKARDAKUT DENCAN ELEVASl ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik)


harus diterapi dengan DC shock unsynchoronized
menggunakan energi awal 200 J; jika gagal harus
diberikan shock kedua 200-300 J , dan jika perlu shock
ketiga 360 J .
Takikardia ventrikel (VT) monomorfik, menetap yang
diikuti dengan angina, edema paru atau hipotensi
(tekanan darah <90 mmHg) hams diterapi dengan DC
shock s~vr~chorot~ized
energi awal 100 J. Energi dapat
ditingkatkan jika dosis awal gagal.
Takikardia ventrikel (VT) monomorfik yang tidak disertai
angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90
mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut:
- Lidokain: bolus 1-1,5 mglkg. Bolus tambahan 0,50,75 mglkg tiap 5-10 menit sampai dosis loading
total maksimal 3 mglkg. Kemudian loading
dilanjutkan dengan infus 2-4 mglmenit (30-50 ugl
kglmenit).
- Disopiramid: bolus 1-2 mgkg dalam 5- 10 menit,
dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mgkgljam.
- Amiodaron: 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5
mlkgBB 20-60 menit, dilanjutkan infus tetap 1 mgl
menit selama 6 jam dan kemudian inhs pemeliharaan
0,5 mglmenit.
- Kardioversi elektrik syzchoronized dimulai dosis 50
J (anestesi sebelumnya).
Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless
diberikan terapi DC shock unsynchoronized dengan
energi awal200 J jika tak berhasil hams diberikan shock
kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360
J (Klas I).
Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless
yang refrakter terhadap syok elektrik diberikan terapi
amiodaron 300 mg atau 5 mglkg, IV bolus dilanjutkan
pengulangan shock unsynchoronized. (Klas Ila)
Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien
dengan gangguan hemodinamik atau ongoing iskemia
hams diterapi dengan 1 atau lebih cara berikut:
Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk
fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter atrial, didahului
dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika
memungkinkan.
Fibrilasi atrial yang tak respons terhadap kardioversi
elektrik atau berulang setelah periode ritme sinus,
dianjurkan penggunaan terapi antiaritmia yang
ditujukan untuk penurunkan respons ventrikel. Satu
atau lebih obat farmakologi berikut dapat dipakai :
- Amiodaron IV
- Digoksin IV untuk pengendalian laju respons
ventrikel (rate control) terutama untuk pasien

dengan disfungsi ventrikel kiri berat dan gagal


jantung.
- Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien
ot7going iskemia tetapi tanpa gangguan
hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau lebih
obat berikut:
- Penyekat beta lebih disukai, kecuali ada
kontraindikasi
- Diltiazem atauverapamil1V
- Kardioversi synchronized dengan shock 200 J
untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter,
didahului anestesi umum singkat atau sedasi
jika memungkinkan.
- Fibrilasi atrial atau fluter sustained tanpa gangguan
hemodinamik atau iskemia, diindikasikan rate
control. Pasien dengan fibrilasi atrial atau fluter
sustained harus diberikan antikoagulan.

Aritmia Supraventrikular
Takikardia supraventrikular reentrant diberikan terapi
menumt urutan berikut:
Massage sinus karotis
Adenosin IV 6 mg dalam 1-2 detik; jika tak respons
setelah 1-2 menit dapat diberikan 12 mg IV; diulang 12
mg jika diperlukan.
Penyekat beta IV dengan metoprolol2,5-5 mg tiap 2-5
menit sampai dosis total 15 mg lebih dari 10- 15 menit
atau atenolol 2,5-5 mg lebih dari menit sampai dosis
total 10 mg dalam 10-15 menit.
Diltiazem IV 20 mg (0,25 mglkg) lebih dari menit
dilanjutkan i n h s 10 mgljam
Digoksin IV, mungkin ada perlambatan sekurangkurangnya 1jam sebelum efek farmakologis muncul(815 mcglkg (0,6- 1 mg pada pasien dengan berat badan
70 kg).
Asistol Ventrikel
Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropin,
vasopresin, epinefrin dan pacu antung sementara hams
diberikan pada asistol ventrikel
Bradiaritmia dan Blok
Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses >3 detik atau
bradikardia dengan frekuensi jantung <40 kalilmenit
disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik
sistemik diberikan terapi atropin 0,5- 1 mg. Jika bradikardia
menetap dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, hams
diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.

Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ruptur dinding ventrikel.


Penatalaksanaan: operasi

Faktor Risiko (Bobot)

Aspirin (160-325 mgihari): merupakan pengobatan


terpilih.
Indometasin, ibuprofen
Kortikosteroid.

PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis
pasca IMA:
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside
sederhana; S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Klasifikasi F o r r e s t e r berdasarkan monitoring
hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary
wedge pressure (PCWP)
TZMZrisk score adalah sistem prognostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan
fisis yang dinilai pada pasien STEM1 yang mendapat terapi
trombolitik.

Klas

Definisi

Mortalitas

Tak ada tanda gagal jantung kongestif


+ S 3 danlatau ronki basah
edema paru
syok kardiogenik

6
17
30-40
60-80

II
Ill
IV

Klas

l n d e k s Kardiak
f~lminlm~)

(%I

PCWP
lmmHal

PCWP: pulmonary capillary wedge pressure

Mortalitas(%,

Skor
RisikolMortalitas
30 hari (%)

Usia 65-74 tahun (2 poin)


Usia > 7 5 tahun ( 3 poin)
Diabetes mellituslhipertensi atau angina
(1 poin)
Tekanan darah sistolik < 100mm Hg
(3 poin)
Frekuensi jantung > 100 mm Hg (2 poin)
Klasifikasi Killip Il-IV (2 poin)
Berat < 6 7 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor risiko =total poin (0-14)

REFERENSI
Van de Werf, Bax.J., Betriu.A, et al. Management of acute
myocardial infrction in patients presenting with persistent STsegment elevation. Eur Heart J 2008;29:2909-45
Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al, ACCIAHA Guidelines
for the Management of Patients With ST-Elevation
Myocardial Infarction A Report of the American College of
CardiologyIAmerican Heart Association Task Force on
Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines
for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). Circulation 2004;l 10:588-636
Antman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction:
management In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart
Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders;2005:1 167-226.
Rogers WJ, Canto JG, Lambrew CT, et al. Temporal trends in the
treatment of over 1.5 million patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the National Registry
of Myocardial Infarction 1 , 2 and 3. J Am Coll Cardiol.
2000;36:2056-63.
Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of
thethrombolysis in myocardial infarction risk index for early
acute coronarysyndrome in the National Registry of Myocardial Infarction: a simple risk index predicts mortality in both
ST and non-ST elevation myocardial infarction. J Am Coll
Cardiol 2003;41:365A-366A.
National Cholesterol Education Program. Third Report o f t h e Expert
Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Chole.stero1 in Adults (Adult Treatment Punel 111).NIH publication
No. 02-5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung. and Blood

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFARK MlOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Institute, 2002. Guidelines, Related Tools, and Patient Information, available at: hnp://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/
index.htm. Accessed April 12, 2003.
Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in
patients with unstable angina and acute myocardial infarction.
Arch Intern Med. 1996;156: 1506-1 0.
Fibrinolytic Therapy Trialists' (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial
infarction: collaborative overview of early mortality and major
morbidity results from all randomized trials of more than 1000
patients. Lancet. 1994;343:311-22.
Gruppo ltaliano per lo Studio della Streptochinasi nell'lnfarto
Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic
treatment in acute myocardial infarction. Lancet. 1986; 1 :397402.
The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on Resuscitation. Guidelines 2000 for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary
syndromes (acute myocardial infarction). Circulation.
2000; 102(~uppl1):I-172-1-203.
Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis
of randomized trials of antiplatelet therapy for prevention of
death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients.
BMJ. 2002;324:71-86.
De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE
Myocardial lnfarction Study Group. Symptom-onset-to-balloon
time and mortality in patients with acute myocardial infarction
treated by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol. 2003;42:9917.
Boersma E, Mercado N, Poldermans D, et al. Acute myocardial
infarction. Lancet. 2003;361:847-58.
De Luca G, Suryapranata H, Ottervanger JP. et al. Time delay to
treatment and mortality in primary angioplasty for acute
myocardial infarction: every minute of delay counts.
Circulation. 2004; 109: 1223-5.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial
lnfarction of the European Society of Cardiology.
Management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J. 2003;24:2866.
Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI risk score
for ST-elevation myocardial infarction: a convenient, bedside,
clinical score for risk assessment at presentation: an intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early I1 trial
substudy. Circulation. 2000; I 02: 203 1-7.
Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, et al, for the GUSTO-I
Investigators. Predictors of 30-day mortality in the era of
reperfusion for acute myocardial infarction: results from an
international trial of 41,021 patients. Circulation.
1995;91: 1659-68.
Bonnefoy E, Lapostolle F, Leizorovicz A, et al., for the
Comparison of Angioplasty and Prehospital Thrombolysis in
Acute Myocardial Infarction study group. Primary angioplasty
versus prehospital fibrinolysis in acute myocardial infarction: a
randomised study. Lancer. 2002;360:825-9.
Steg PG Bonnefoy E, Chabaud S, et al. Impact of time to treatment
on mortality after prehospital fibrinolysis or primary
angioplasty: data from the CAPTIM randomized clinical trial.
Circulation. 2003;108:285 1-6.
Widimsky P, Budesinsky T, Vorac D, et al. Long distance transport
for primary angioplasty vs immediate thrombolysis in acute
myocardial infarction: final results of the randomized national

multicentre trial: PRAGUE-2. Eur Heart J. 2003:24:94-104.


Lincoff AM, Califf RM, Van de Werf F, et al, for the Global Use of
Strategies To Open Coronary Arteries (GUSTO) Investigators.
Mortality at 1 year with combination platelet glycoprotein IlbJ
Illa inhibition and reduced-dose fibrinolytic therapy vs conventional fibrinolytic therapy for acute myocardial infarction:
GUSTO V randomized trial. JAMA. 2002;288:2130-5.
Widimsky P, Groch L, Zelizko M, et al. Multicentre randomized
trial comparing transport to primary angioplasty vs immediate
thrombolysis vs combined strategy for patients with acute
myocardial infarction presenting to a community hospital without a catheterization laboratory: the PRAGUE study. Eur Heart
J. 2000;21:823-3 1.
Grines CL, Browne KF. Marco J, et al, for the Primary Angioplasty
in Myocardial Infarction Study Group. A comparison of
immediate angioplasty with thrombolytic therapy for acute
myocardial infarction. N Engl J Med. 1993;328:673-9.
Schomig A, Kastrati A, Dirschinger J, et al. for the Stent versus
Thrombolysis for Occluded Coronary Arteries in Patients with
Acute Myocardial lnfarction Study Investigators. Coronary
stenting plus platelet glycoprotein IIb/Illa blockade compared
with tissue plasminogen activator in acute myocardial
infarction. N Engl J Med. 2000;343:385-91.
Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAMI-2
Investigators. Thrombolytic therapy vs primary percutaneous
coronary intervention for myocardial infarction in patients
presenting to hospitals without on-site cardiac surgery: a
randomized controlled trial. JAMA. 2002;287: 1943-5 1.
Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAML-2
Investigators. A comparison of coronary angioplasty with
tibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. N Engl J Med.
2003;349: 7 3 3 4 2 .
Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG, et al, for the Should We
Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic
Shock (SHOCK) Investigators. Early revascularization in acute
myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. N Engl
J Med. 1999;341: 625-34.
Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus
intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial
infarction: a quantitative review of 23 randomised trials.
Lancer. 2003;36 1 :13-20.
Berger PB, Ellis S G Holmes DR, et al. Relationship between delay in
performing direct coronary angioplasty and early clinical
outcome in patients with acute myocardial infarction: results
from the Global Use of Strategies To Open Occluded Arteries in
Acute Coronary Syndromes (GUSTO-Ilb) trial. Circztlation.
1999; 100: 14-20.
Juliard JM, Feldman LJ, Golmard JL, et al. Relation of mortality of
primary angioplasty during acute myocardial infarction to
door-to- Thrombolysis In Myocardial lnfarction (TIMI) time.
Am J Curdiol. 2003;91:1401-5.
Suryapranata H, Ottervanger JP, Nibbering E, et al. Long term
outcome and cost-effectiveness of stenting versus balloon
angioplasty for acute myocardial infarction. Heart.
2001 ;85:667-7 1.
Stone GW, Grines CL. Gox DA, et al, for the Controlled Abciximab
and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) Investigators. Comparison of angioplast)
with stenting, with or without abciximab, in acute myocardial
infarction. N Engl J Med. 2002;346:957-66.
The TIMI Research Group. Immediate vs delayed catheterization
and angioplast) following thrombolytic therapy for acute
myocardial infarction: TIMI 11 A results. JAMA. 1988;260:2849-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

58.
Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al, for the SHOCK
Investigators: Should We Emergently Revascularize Occluded
Coronaries for Cardiogenic Shock: one-year survival following
early revascularization for cardiogenic shock. J A M A .
2001 ;285:190-2.
Dzavik V. Sleeper LA, Cocke TP, et al, for the SHOCK Investigators. Early revascularization is associated with improved
survival in elderly patients with acute myocardial infarction
complicated by cardiogenic shock: a report from the SHOCK
Trial Registry. Eur Heart J. 2003;24:828-37.
Montalescot G Barragan P, Wittenberg 0 , et al, for the ADMIRAL
(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in
Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-Term
Follow-up). Investigators. Platelet glycoprotein llblllla
inhibition with coronary stenting for acute myocardial
infarction. N Engl J Med. 2001 ;344: 1895-903.
Braunwald E, Antman E, Beasley J, et al. ACCIAHA 2002 guideline
updatefor the management of patients with unstable angina and
non-ST-segment elevation myocardial infarction: summary
article: a report of the American College of Cardiology1
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Committee on the Management of Patients With Unstable
Angina). J Am Colt Cardiol. 2002;40: 1366.
Gupta M. Chang WC, Van de Werf F, et al, for the ASSENT I1
Investigators. lnternational differences in in-hospital
revascularization and outcomes following acute myocardial
infarction: a multilevel analysis of patients in ASSENT-2. Etrr
Heart J. 2003;24: 1640-50.
Gibson CM, Karha J, Murphy SA, et al, for the TIM1 Study Group.
Early and long-term clinical outcomes associated with
reinfarction following fibrinolytic administration in the
thrombolysis in myocardial infarction trials. J Am Coll Cardiol.
2003;42:7-16.
ISIS-2 (Second lnternational Study of Infarct Survival) Collaborative Group. Randomised trial of intravenous streptokinase, oral
aspirin, both, or neither among 17,187 cases of suspected acute
myocardial infarction: ISIS-2. Lancet. 1988;2:349-60.
Bertrand ME. Rupprecht HJ, Urban P, et al. Double-blind study of
the safety of clopidogrel with and without a loading dose in
combination with aspirin compared with ticlopidine in
combination with aspirin afier coronary stenting : the Clopidogrel
Aspirin Stent lnternational Cooperative Study (CLASSICS).
Circtrlation. 2000; 102:624-9.
Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ. et al, for the Clopidogrel in Unstable
angina to prevent Recurrent Events trial (CURE) Investigators. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin
followed by long-term therapy in patients undergoing
percutaneous coronary intervention: the PCI-CURE study.
Lancet. 2001 ;358:527-33.
Steinhubl SR, Berger PB, Mann JT 111, et al, for the CREDO
(Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation)
Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy
following percutaneous coronary intervention: a randomized
controlled trial. JAMA. 2002; 288:241 1-20.
Patrono C, Bachmann F, Baigent C, et al. Expert consensus
document on the use of antiplatelet agents: The Task Force on

the Use of Antiplatelet Agents in Patients With


Atherosclerotic Cardiovascular Disease of the European
Society of Cardiology. Eur Heart J. 2004;25:166-81.
Levine GN, Kern MJ, Berger PB, et al, for the American Heart
Association Diagnostic and lnterventional Catheterization
Committee and Council on Clinical Cardiology. Management
of patients undergoing percutaneous coronary revascularization.
Ann Intern Med. 2003; 139: 123-36.
Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP)
Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel Ill) final
report. Circulation. 2002;106:3 143-42 1 .
Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al, for the Randomized Aldactone
Evaluation Study Investigators. The effect of spironolactone
on morbidity and mortality in patients with severe heart
failure. N Engl J Med. 1999;341:709-17.
Pfeffer MA, McMurray JJ, Velazquez EJ, et al, for the Valsartan in
Acute Myocardial lnfarction Trial Investigators. Valsartan,
captopril, or both in myocardial infarction complicated by heart
failure, left ventricular dysfunction, or both. N Engl J Med.
2003;349: 1893-1 906.
Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al, for the Clopidogrel in Unstable
Angina to Prevent Recurrent Events Trial Investigators. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute
coronary syndromes without ST-segment elevation. N EngI J
Med. 2001 ;345:494-502.
Brouwer MA, van den Bergh PJ, Aengevaeren WR, et al. Aspirin
plus coumarin versus aspirin alone in the prevention of
reocclusion after fibrinolysis for acute myocardial infarction:
results of the Antithrombotics in the Prevention of Reocclusion
In Coronary Thrombolysis (APRICOT)-2 Trial. Circulation.
2002;106:659-65.
Yusuf S, Sleight P, Pogue J, et al, for the Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects of an
angiotensin-convertingenzyme inhibitor, ramipril, on
cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med.
2000;342: 145-53.
Fox KM, for the EURopean trial On reduction of cardiac events
with Perindopril in stable coronary Artery disease Investigators. Efficacy of perindopril in reduction of cardiovascular events
among patients with stable coronary artery disease: randomised,
double-blind, placebocontrolled, multicentre trial (the EUROPA
study). Lancer. 2003;362: 782-8.
Granger CB, McMurray JJ, Yusuf S, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with
chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic
function intolerant to angiotensin- converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet. 2003;362:772-6.
McMurray JJ. Ostergren J, Swedberg K, et al, for the CHARM
Investigators and Committees. Effects of candesartan in
patients with chronic heart failure and reduced left-ventricular
systolic function taking angiotensin-converting-enzyme
inhibitors: the CHARM-Added trial. Lancet. 2003;362:76771.
Yusuf S, Pfeffer MA, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with
chronic heart failure and preserved left-ventricular ejection
fraction: the CHARMPreserved trial. Luncet. 2003;362:77781.
Seventh report of the Joint National Committee on the
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 7): resetting the hypertension sails.
Hypertension. 2003;4 1 :1 178 -9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST


Sjaharuddin Harun, Idrus Alwi

PENDAHULUAN
Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan
infark miokard akut tanpa elevasi ST (non ST elevation
myocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan
suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gambaran klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis
NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis
UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung.
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri
dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering
didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan
5,3 juta kunjunganltahun. Kira-kira 113 darinya disebabkan
oleh UANSTEMI, dan merupakan penyebab tersering
kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka
kunjungan RS untuk pasien UAINSTEMI semakin
meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi
ST (STEMI) menurun.
Penatalaksanaan UAI NSTEMI telah disusun dalam
pedoman ( g u i d e l i n e s ) oleh American College of
Cardiology (ACC) dan American Heart Association
(AHA). Guidelines untuk tatalaksana UANSTEMI juga
dibuat oleh European Society of Cardiology dan memiliki
kemiripan dengan guidelines Amerika. Perlu diingat bahwa
prinsip penatalaksanaan sangat tergantung kepada saranat
prasarana yang tersedia di tempat pelayanan masingmasing khususnya untuk tindakan intervensi koroner.

Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat


disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat

oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis


akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut
pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang
tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah,
,fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktorjaringan yang
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak
tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat
dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan
adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF a, dan IL-6. Selanjutnya
IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala


di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti
diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat
atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering
ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran
klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala
dengan onset baru angina beratlterakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri
pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak
enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan
baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis,
sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau
leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada
pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

EKG
Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

deviasj segmen ST merupakan ha1 penting yang


menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in
adanya depresi segmen
A@oca.rdiai (TIM) III Registrystrv
ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor ourcome
yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko
outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST, d m baik depresi segmen
ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan
tambahan inforrnasi prognosis pasien-pasien dengan
NSTEMI.

BIOMARKER KERUSAKAN MIOKARD

Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis


miokard ymg lebih disukai, karena lebih spesifik daripada
enzim jantung tradisonal seperti CK dan CKMB. Pada
pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada
darah perifer setelah 3 4 jam d m dapat menetap sampai 2
minggu. Pada garnbar 1 dapat dilihat kinetik biomarker
jantung seperti mioglobin, CKMB dan traponin.

STRATlFlKASl RlSlKO

Penilaian Minis dan EKG, keduanya merupakan parameter


u t a m dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI.
Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan hi memerlukan
terapi awal yang segera. Penablaksanaan sebaiknya terkait
dengan faktor risikonya (Gambar 1). Terdapat beberapa
pendekatan untuk stratifikasi risiko pada NSTEMI.

dengan skor risiko 0-I, sampai 4 1% dengan skor risiko 6-7.


Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada
penelitian TIM1 11B dan telah divalidasi pada empat
penelitian tambahan dan satu registry. Dengan
meningkatnya skor risiko, telah diobservasi manfaat yang
lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH
versus UFH, dengan Platelet GP IIb/lllu receptor blocker
tirofiban versus plasebo, dan stratepi invasjf versus
konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI,
penggunaan klopidogrel menunjukkan penurunan outcome
yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
rnemprediksi ozltcome yang buruk pada pasien setelah
pulang.

SERUM KREATININ
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal
berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang
buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor
inhibition in Ischentic Syndrorne Management in Patients
Lirnirea' by Unstable Sign and Symptom (PRISM-PLUS),
Treat Angina with Aggrastat und Deternzine Cosr of
Therap-))with Invasive or Conser\,ative Strategy
(TACTICS)-TIM1 18, d m Glohul I / . Y ~Strategie.~fo Open
Occluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS,
kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar
klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambaran risiko
tinggi yang lebih besar dan outcome yang kurang baik.
Walaupun strategi invasif banyak bemanfaat pada pasien
dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko
perdarahan yang lebih banyak. Karena "molekul kecil"
inhibitor GP nb/ILIa dan LMWH diekskresikan lewat ginjal,
terapi ini seharusnya diberikan dengan perhatian khusus
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Walaupun
disfungsi ginjal dapat mengganggu klirens troponin,
narnun tetap merupakan prediktor keluaran yang benilai
pada pasien tersebut.

PETANDA BlOLOGlS (BIOMARKER) MULTIPEL


UNTUK PENlLAlAN RlSlKO

Oambar 1. Kinetik berbawi petanda biokimia jantung

SKOR RlSlKO TIMI

Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk


stratifikasi risiko, dan angka faktor risiko. Insidens uutcome yang buruk (kernatian, (re) infark miokard, atau
iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5%

Newby et al. mendemonstrasikan bahwa strategi bedside


menggunakan mioglobin, creatinin kirzase-MB dan
troponin I menunjukk-anstratifikasi risiko yang lebih akurat
dibandingkan jika mcnggunakan petanda tunggal berbasis
laboratorium. Sabatine et al. mempertimbangkan 3 faktor
patofisiologi yang terjadi pada UA/NSTEMI yaitu :
Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi
akibat mikroembolisasi,
lnflamasi vaskular,
- Kerusakan ventrikel kiri.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1759

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Masing-masing dapat dinilai secara independen
berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti
cardiac-spesific troponin, C-reactive protein dan brain
natrivretic peptide, berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIM1 18, di mana risiko relatif, mortalitas 30 hari
pasien-pasien dengan biomarker 0, 1, 2, dan 3 semakin
meningkat berkali lipat 1; 2,l; 5,7; dan 13,O berturut-turut.
Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini
sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya
dapat memperjelas penemuan klinis.

Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada


berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan
penyekat beta. Terapi anti iskemia terdiri dari nitrogliserin
sub lingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan
penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan
intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan
pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak
toleran dengan obat penyekat beta.
- Usia z 65 tahun
- > 3 faktor risiko PJK

PENATALAKSANAAN

Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan


pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama
jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :
*. Terapi antiiskemia,
Terapi antiplateletlantikoagulan,
Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi),
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah
perawatan RS.

Stenosis sebelumnya 2 50 %
Deviasi ST
-> 2 kejadian angina 5 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peninqkatan petanda iantung

Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray


bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri

Jalur lskemik Akut


lskemia berulang danlatau
perubahan segmen ST atau
inversi gelombang T dalam atau

Aspirin
Penyekat reseptor beta
Nitrat
Regimen ant~trornbin
Penghambat GP Ilblllla
Monitoring (ritme dan Iskernla)

Strategi invasi awal

Angiografi dalam

Strategi terapi konsewatif awal

Gejalallskemia berulang
Gagal jantung
aritmia berat

stabi'

,'
/

Evaluasi fungsi ventrikel kiri

EF<.40

i
Tindak lanjut

Braunwald et al. Circulation 2002;106:1893-900


Gambar 2. Jalur iskemia akut

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan


interval 5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin
intravena (mulai 5-10 uglmenit). Laju infus dapat
ditingkatkan 10 uglmenit tiap 3-5 menit sampai keluhan
menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg.
Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitral
oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika
pasien sudah bebas nyeri selama 12-24jam. Kontraindikasi
absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau
obat sekelasnya dalam 24 jam sebelumnya.

PENYEKAT BETA
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi
jantung 50-60 kalilmenit. Antagonis kalsium yang
mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau
diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri
dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis
penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan
kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap
walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin
sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit
sampai dosis total 20 mg.

Obat

Selektivitas

Aktivitas
Agonis
Parsial

Propranolol

Tidak

Tidak

Metoprolol

Beta1

Tidak

Atenolol
Nadolol
Timolol
Asebutolol

Beta1
Tidak
Tidak
Beta1

Tidak
Tidak
Tidak
Ya

Betaksolol
Bisoprolol
Esmolol
(intravena)
Labetalol*

Beta1
Beta1
Beta1

Tidak
Tidak
Tidak

Tidak

Ya

Pindolol

Tidak

Ya

Dosis Umum
untuk Angina
20-80 mg 2 kali
sehari
50-200 mg 2 kali
sehari
50-200 mglhari
40-80 mglhari
10 mg 2 kali sehari
200-600 mg 2 kali
sehari
10-20 mglhari
10 mglhari
50-300 mcg Ikg1
menit
200-600 mg 2 kali
sehari
2.5-7.5 mg 3 kali
sehari

'Labetalol adalah kombinasi penyekat alfa dan beta


Gibbons, et al. J Am Coll Cardiol 1999;33:2092-197.

TERAPI ANTITROMBOTIK
Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran
utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai
dari agregasi platelet dan pembentukan thrombinactivatedfibrin bertanggung jawab atas perkembangan
klot. Oleh karena itu, terapi antiplatelet dan anti trombin
menjadi komponen kunci dalam perawatan.

TERAPI ANTIPLATELET
Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat
siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian
klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga
aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaan
UANSTEMI. Sindrom "resistensi aspirin" dapat terjadi
pada pemberian aspiran. Sindrom ini dideskripsikan dengan
bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat
(inhibisi) agregasi platelet danlatau kegagalan untuk
memperpanjang waktu perdarahan, atau perkembangan
kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien
dengan resistensi aspirin mempunyai risiko tinggi kejadian
rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak belum
pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis
untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin
sebaiknya juga tidak dihentikan. Alexander et al.
mendemonstrasikan tingginya kejadian (event rate) dan
efek terapi yang besar dengan eptifzbatide pada pasien
sindrom koroner akut meskipun sebelumnya diterapi
aspirin.

Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine
diphospate P2Y,, pada permukaan platelet dan dengan
demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya
pada UAINSTEMI terutama berdasarkan penelitian
Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent
Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for the
Reduction of Events During Observation (CREDO).
Dilakukan randomisasi terhadap 12.562 pasien dengan
UAINSETMI (semuanya mendapat terapi aspirin)
ditambahkan klopidogrel (dosis awal300 mg dilanjutkan
dengan 75 mglhari) atau plasebo. Setelah di pantau ratarata 9 bulan, h a r d e n d point primer (kematian
kardiovaskular, infark miokard dan strok) menurun secara
bermakna yaitu 20% yaitu 11,5 % pada kelompok plasebo
menjadi 9,3 % pada kelompok klopidogrel. Penurunan
kejadian iskemia rekuren mulai terlihat dalam 6 jam
randomisasi. Efek bermanfaat ditemukan untuk semua
subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen
ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki
skor risiko TIM1 rendah.
Keuntungan terbesar adalah penurunan kejadian
infark miokard, walaupun kecenderungan kematian dan
strok tidak bermakna secara statistik. Namun, klopidogrel
dikaitkan dengan peningkatan perdarahan mayor (3,7%
versus 2,7%) dan minor, sejalan dengan kecenderungan
peningkatan perdarahan yang mengancam nyawa (lifethreatening bleeding). Perdarahan yang berlebihan
banyak ditemukan pada pasien dengan aspirin dosis
tinggi atau pada mereka yang menjalani CABG selama 5

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

hari penghentian klopidogrel. Telah dibuktikan


peningkatan risiko perdarahan pada pemakaian kombinasi
aspirin dan klopidogrel pada pasien-pasien yang
menjalani CABG
Pada sub studi pengamatan penelitian CURE yang
melibatkan 2.658 pasien yang menjalani PCI, dengan
median 10 hari setelah randomisasi (PCI-CURE study),
kebanyakan pasien mendapat thienopyridine yang selama
4 minggu setelah menjalani prosedur. menunjukkan
penatalaksanaan dengan klopidogrel dikaitkan dengan
risiko relatif 30 % lebih rendah terhadap kematian
kardiovaskular, infark miokard atau revaskularisasi selama
30 hari (6,4% vs 4,5%). Manfaat klopidogrel telah diteliti
selama 8 bulan pada penelitian tersamar (klopidogrel atau
plasebo) dengan kesimpulan yang ditentukan 1 bulan
setelah PCI. Keuntungan pengobatan sebelumnya dan
pemantauan terapi jangka panjang dengan klopidogrel juga
diamati pada penelitian CREDO, pada sekitar 2.1 16 pasien,
55% pasien dengan UA/NSTEMI yang hendak menjalani
PCI.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, maka
klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama
first-line drug) pada UAJNSTEMI dan ditambahkan
aspirin pada pasien dengan UA/NSTEMI, kecuali mereka
dengan risiko tinggi perdarahan dan pasien yang
memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya
diberikan pada pasien dengan UAJNSTEMI pada pasienpasien:
Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non
invasif dini.
Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi
koroner segera berdasarkan pengetahuan sebelurnnya
tentang anatomi koronerl memiliki kontraindikasi untuk
operasi,
Kateterisasi ditundalditangguhkan selama > 24-36 jam.

Pada Pasien-pasien yang direncanakan untuk


kateterisasi diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menjadi
alasan untuk tidak memberikan klopidogrel sampai dengan
temuan angiogram koroner meniadakan kebutuhan operasi
bypass segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di
laboratorium kateterisasi sebelum PC1 atau dimulai
secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel (seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang ireversibel, maka
direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5
atau lebih disukai 7 hari sebelum operasi elektif, termasuk
CABG
Risiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada
pasien yang belum dilakukan angiografi, dan dapat
mencegah kejadian iskemia selama periode menunggu.
Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian
CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PC1
cenderung memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi
klopidogrel dan inhibitor GP IIbAIIa tampaknya menarnbah
manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.

Antagonis GP llblllla
Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa
antagonis GP IIaIIIIb mengurangi insidens kematian atau
infark miokard pada pasien UANSTEMI yang menjalani
PC1 dan penggunaannya pada keadaan ini diindikasikan
secarajelas. Pada penelitian GUSTO IV-ACS yang didesain
khusus untuk menguji manfaat abciximab pada pasien
UANSTEMI di mana PC1 tidak dianjurkan, tidak didapat
adanya manfaat, termasuk endpoint sekunder, misalnya
kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIbIIIIa eptifibatid
atau tirofiban manfaatnya masih kurangjelas. Suatu analisis
retrospektif penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa
tirofiban mengurangi insidens outcome yang buruk pada
pasien risiko tinggi (skor risiko TIM1 > 4) yang tidak
menjalani PCI.
Meta-analisis terhadap antagonis GP IIbIIIIa dari 6
penelitian besar yang melibatkan 31.402 pasien UAI
NSTEMI yang tidak dijadwalkan menjalani PC1
menunjukkan penurunan yang bermakna (-9% relatif, - 1%
absolut), pada rasio odd untuk gabungan endpoint
kematian atau infark miokard pada kelompok antagonis
GP IIbIIIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara
bermakna dari 1,4 % pada kelompok plasebo menjadi 2,4
% pada kelompok antagonis GP IIbIIIIa. Dalam analisis
tambahan ditemukan bahwa 5.847 dari 3 1.402 (19 %) pasien
sebenarnya menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5
hari) dan pengamatan manfaat antagonis GP IIbIIIIa
misalnya, pengurangan kematian atau infark miokard
sebagian besar terbatas ke dalam sub grup ini (-21%).
Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis
terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada
penelitian itu strategi invasif dini cukup sering digunakan.
Guideline ACCIAHA menetapkan pasien-pasien risiko
tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang
menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan
antagonis GP IIbIIIIa. Dua agen molekul kecil, eptifibatid
dan tirofiban, mungkin dimulai "upstream" misalnya 1 atau
2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani
prosedur. Salah satu dari 3 antagonis GP IIbIIIIa yang ada
dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani
prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO-IV ACS, abciximab
tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak
direncanakan menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis
GP IIbIIIIa terlihat efektif atau diindikasikan secara rutin
untuk penatalaksanaan pasien risiko rendah, pasien-pasien
dengan troponin-negatif yang tidak menjalani angiografi
dini.
Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE
dan CREDO, klopidogrel tidak terlihat menambah risiko
perdarahan terhadap antagonis GP IIbIIIIa. Efikasi
thienopyridine dan antagonis GP IIbIIIIa tampaknya perlu
ditambahkan dan terapi platelet tripe1 (aspirin, klopidogrel
dan antagonis GP IIbhIIa) diindikasikan pada pasien risiko
tinggi yang direncanakan untuk menjalani PC1 dan tidak
mempunyai risiko perdarahan berlebihan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TERAPI ANTIKOAGULAN

Holter selanjutnya menurun hampir separuhnya pada


kelompok enoxaparin.

U F H (Unfaractionated Heparin)
Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalarn
tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah
digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari
15 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan keuntungan
klopidogrel dan inhibitor GP IIbIIIIa. Namun demikian
terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalarnnya
ikatan yang non spesifik dan menyebabkan inaktivasi
platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan
sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin
mungkin berhubungan dengan l~eparin-induced
thromhocytopeniu. Ikatan ini menimbulkan efek
antikoagulan yang tak menentu, memerlukan monitor lebih
sering terhadap activated partial thromboplastin time
(aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus
intravena kontinyu.
LMWH (Low Molecular Weight Heparin)
Akhir-akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH,
dan kerugian-kerugian pada penggunaan UFH sebagian
besar dapat diatasi. Pentingnya pemantauan efek
antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian
trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang.
LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan
juga pada faktor X a sehingga obat ini mempengaruhi tidak
hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIanya), seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan
trombin (efek anti faktor X a-nya). Keuntungan praktis
LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat
diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak
tersamar ganda, Efficacy and Safety of Subcutaneous
Enoxaparin in Nun-Q- Wave Coronary Events (ESSENCE)
dan TIM1 1 1B, yang melibatkan 7.08 1 pasien menunjukkan
keuntungan enoxaparin di atas UFH secara bermakna, dan
suatu meta-analisis menunjukkan pengurangan kematian
atau infark miokard secara bermakna.
Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level
antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang
sesuai untuk pasien-pasien yang menjalani PC1 dan
keamanan LMWH pada pasien yang mendapat terapi inhibitor GP Ilb/IIla. Pada penelitian yang membandingkan
enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien UA/NSTEMI
yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian
lntegrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of
Acute Coronary Syndrome Treatment (INTERACT),
didapatkan outcome utama perdarahan mayor yang
dikaitkan non CABG lebih rendah secara bermakna pada
kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH
( 1 3 % Vs 4,6 %), walaupun insiden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya. Juga angka kematian atau infark
miokard non fatal pada 30 hari dan iskemia pada monitor

STRATEGI INVASIF DIN1VS KONSERVATIF DIN1


Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan
strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan
dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai
temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini
(kateterisasi dan jika diindikasikan revaskularisasi, hanya
pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi orallobatobatan). Lima penelitian besar telah dilakukan secara
prospektif dan acak; dua di antaranya dilakukan sebelum
stenting rutin digunakan. Penelitian TIM1 IlIB
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna outcome pada
kedua strategi ini, walaupun analisis retrospektif
mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang dapat
digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi
konservatif dan superioritas strategi invasif. Penelitian dini
lainnya, The VeteransAflairs Non Q- Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH), menunjukkan kematian
lebih banyak sejalan dengan kematian atau infark miokard
dengan strategi invasif.

Terapi Antiplatelet
Dosis awal 160-325mg formula nonenterik
Aspirin
dilajutkan 75-160mglhari tormula enterik
atau nonenterik.
Dosis loading 300 mg dilajutkan 75 mglhari
Klopidogrel
(Plavix)
Terapi Antiplatelet lntravena
0,25mglkg bolus dilanjutkan infus 0,1251kg
Abciximab
per menit (maksimum 10 uglmenit) untuk 12(Reopro)
24 jam
180 uglkg bolus dilanjutkan infus 2 uglkg
Eptifibatid
(Integrilin)
permenit untuk 72-96jam
Tirofiban
0,4uglkg permenit untuk 30 menit
(Aggrastat)
dilanjutkan infus 0,luglkg permenit untuk
48-96jam
Heparin
Dalteparin
120 IUIkg SC tiap 12 jam (maksimum 10.000
(Fragmin)
IU 2 kali sehari )
Enoksaparin
1 mglkg SC tiap 12 jam; dosis awal boleh
(Lovenox)
didahului bolus 30 mg intravena
Heparin
Bolus 60-70Ulkg (maksimum 5000 U) IV
dilanjutkan infus 12-15Ulkg perjam
(UFH)
(maksimum awal 1000 Uljam) dititrasi
sampai aPTT 1,5-2,5
kali kontrol

Terdapat tiga penelitian sejalan dengan "era stenf',


dan semua penelitian itu menunjukkan superioritas strategi
invasif. Penelitian Fragmin and Fast Revascularization
during Instability in Coronary Artery Disease (FRISC) I1
menunjukkan penurunan yang bermakna mortalitas total
dan kematian atau infark miokard dalam I tahun pada pasien

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


yang mendapat strategi invasif. Pasien-pasien pada
kelompok invasif (invasive arm) pada penelitian ini telah
diterapi di RS dengan regimen intensif yang termasuk di
dalamnya LMWH untuk rata-rata 6 hari sebelum
kateterisasi.
Pada penelitian TACTICS-TIM1 18, semua pasien
mendapatkan tidak hanya aspirin dan UFH tapi juga
"up-front" misalnya pemberian inhibitor tirofiban GP IIbl
IIIa segera. Berlawanan dengan FRISC 11, kateterisasi
jantung pada kelompok invasif dilakukan relatif dini,
misalnya rata-rata 22 jam setelah randomisasi. Kematian
atau infark pada 6 bulan menurun secara bermakna dari
23% menjadi 9 3 % pada kelompok konservatif dan
menjadi 7,3% pada kelompok invasif. Keuntungan
terbatas hanya untuk pasien dengan risiko tinggi dan
sedang, yang didefinisikan sebagai skor risiko TIM1 3,
semua peninggian troponin T (> 0,01 mglml) atau deviasi
segment ST. Pada pasien tanpa gambaran risiko ini
outcome dengan kedua strategi adalah sama. Lamanya
perawatan di RS juga menurun dengan strategi invasif
dan keseluruhan biaya penggunaan kedua strategi ini
sama.
Penelitian Randomized Intervention Trial of Unstable
Angina (RITA)3 dilakukan pada pasien UANSTEMI, dan
semua telah di terapi aspirin dan enoxaparin. Pada pasienpasien yang masuk untuk kelompok invasif, dilakukan
angiografi koroner rata-rata 2 hari setelah randomisasi.
Setelah 4 bulan, terdapat reduksi 34% end point primer
kematian, (re) infark atau angina refrakter (dari 14,5%
menjadi 9,6%) dengan strategi invasif, dan waktu 12 bulan
terdapat perbedaan bermakna. Hard end point kematian
atau (re) infark sebagaimana telah didefinisikan oleh European Society of Cardiologylkriteria ACC, juga
menunjukkan penurunan bermakna sebesar 27% dalam 1
tahun dengan strategi invasif.
Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik,
strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UAI
NSTEMI dengan risiko tinggilsedang. Pasien itu sebaiknya
mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin
enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel
sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24 36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk
CABG segera.

PERAWATAN UNTUK PASIEN RlSlKO RENDAH

Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien


risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan
gambaran risiko tinggi sebaiknya segera menjalani
arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis,
revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat
dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa
temuan risiko tinggi.

jantung

Djkelualkan dari
Prolokol

Koroner

1 or 2 vessel D~sease

2 Vessel Dfsease dengan

Disfungsi ventrikel k~rt


atau Diabetes
dalam terapi'

PC1 atau CABG

Terapt Medik
PC1 atau CABG

PC1 atau CABG

Gambar 3. Strategi revaskularisasi pada NSTEMIIUAP

lndikasi Klas I(level of evidence : A)


- Angina rekuren saat istirahaff aktivitas tingkat rendah
walaupun mendapat terapi
- Peninggian troponin I atau T
- Depresi segmen ST baru
- Anginaliskemia rekuren baru dengan gejala gagal jantung
kongestif, ronki, regurgitasi mitral
- Tes stres positif
- Fraksi ejeksi kurang dari 40%
- Penurunan tekanan darah
- Takikardia ventrikel sustained
- PC1 < 6 bulan, CABG sebelumnya

TATAMSANA PREDISCHARGEDANPENCEGAHAN
SEKUNDER

Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai


berat badan yang optimal, nasihat diet, menghentikan
merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan
tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya
diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.
Terdapat satu penelitian besar double-blind, placebocontrolled, The Myoacrdial Ischemia Reduction with
Aggressive Cholesterol Lowering (MIRACL), yang
menunjukkan manfaat penggunaan statin secara dini.
Pasien-pasien UANSTEMI sebaiknya diterapi,
sesuai National Cholesterol Education Program (NCEP
111), dan konsentrasi kolesterol LDL sebaiknya tereduksi
hingga kurang dari 100mgIdl.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


PRIYO PANJI
of Patients with Unstable Angina).
Obat antiiskemik
dan
Antitrombotikl
Antiplatelet
Aspirin
Klopidogrel* atau
tiklodipin
Penyekat beta
lnhibitor ACE

Antagonis kalsium
(antagonis
dihidropiridin kerja
singkat harus
dihindari)

Warfarin intensitas
rendah dengan
Atau tanpa aspirin
Dipiridamol
Obat
lnhibitor HMG-CoA
reduktase
lnhibitor HMG-COA
reduktase
Gemfibrozil
Niasin
Niasin atau
gemfibrozil
Folat
Antidepresan
Terapi hipertensi
HRT (inisiasi)t
HRT (lanjutan)?

Kerja O b a t

Antiplatelet
Antiplatelet
Jika kontraindikasi
Aspirin
Anti-iskemik
Fraksi ejeksi < 4 0
atau
Gagal jantung
kongestif
Fraksi ejeksi > 4 0
Antianginal
untuk gejala iskemik
Antiangina

KlaslLevel o f
Evidence

I
Untuk gejala
iskemik (harus
dihindari)
jika penyekat
beta tidak
berhasil (level
of evidence: B)
atau
kontraindikasi
atau
menyebabkan
efek samping
yang tak dapat
diterima (level
of evidence: C)
l l blB

Antitrombotik
Antiplatelet
Faktor Risiko

Klas I Level of
Evidence

Kolesterol LDL > I 3 0


mg/dL
Kolesterol LDL 100130 mgIdL
Kolesterol HDL <40
mgld
Kolesterol HDL <40
mgldL
Trigliserida >200
mg/dL
Homosistein
meningkat
Pengobatan depresi
Tekanan darah
>I
35/85 mm Hg
Kondisi
pascamenopause
Kondisi
pascamenopause

REFERENSI
Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, et al. ACCIAHA guidelines
for the management of patients with unstable angina non-ST
segment elevation myocardial infarction: A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (Committee on the Management

J Am Coll Cardiol.
2000;36:970-1062
Braunwald E. Antrnan EM. Beasley JW. et al. ACCIAHA guideline
update for the management of patients with unstable angina
and non-ST-segment elevation m)ocardial infarction-2002:
Summary article. Circulation. 2002; 106: 1893-900.
Bertrand ME, Simoons ML, Fox KAA. et al. Management of acute
coronary syndromes in patients presenting without persistent
ST-segment elevation. Task Force of the European Societ) of
Cardiology. Eur Heart J. 2002; 23: 1809-40.
Braunwald E. Application of current guidelines to the management
ofunstable angina and non-ST elevation myocardial infarction.
Circulation.2003;108(suppl lI1):111-28-111-37.
Scirica BM, Cannon CP. McCabe CH, et al. Prognosis in the
Thrombolysis in Myocardial Ischemia 111 Registry according to
the Braunwald unstable angina pectoris classification. Am .I
Cardiol. 2002; 90: 821-6.
Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIMI I l l Registr!
ECG Ancillary Study Investigators. The electrocardiogram
predicts one-year outcome of patients with unstable angina and
non-Q wave myocardial infarction: Results of the TIMI 111
Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol. 1997; 30:
133-40.
Kaul P. Newby LK, Fu Y , et al. Troponin T and quantitative STsegment depression offer co~iiplementary prognostic
information in the risk stratification of acute coronar)
syndrome patients. J Am Coll Cardiol. 2003; 41: 371-80.
Boersma E, Pieper KS, Steyerberg EW, et al. Predictors of outcome
in patients with acute coronary s\.ndromes without persistent
ST segment elevation: Results from an international trial of
9461 patients. The PURSUIT investigators. Circulation. 2000:
101: 2557-67.
Antman EM, Cohen M, Bernink PJLM, et al. The TIMI risk score
for unstable anginalnon-ST elevation MI: A method for
prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000:
284: 835-42.
Morrow DA, Antman EM. Snapinn S, et al. An integrated clinical
approach to predicting the benefit of tirofiban in non-ST
elevation acute coronary syndromes: Application of the TIMI
Risk Score for UAmSTEMI in PRISM-PLUS. Eur Heart J. 2002;
23: 223-9.
Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos LA, et al. Comparison ot'
early invasive and conservative strategies in patients with
unstable coronary syndromes treated with the glycoprotein llbi
llla inhibitor tirotiban. N Engl J Med. 2001; 344: 1879-87.
Buda,i A, Yusuf S, Mehta SR. et al. Benefit of clopidogrel in patients
with acute coronary syndromes without ST-segment elevation
in various risk groups. Circulation. 2002; 106: 1622-6.
Scirica BM, Cannon CP. Antman EM. et al. Validation of the
Thro~nbolysisin Myocardial Infarction (TIMI) Risk score tbr
unstable angina and non-ST-elevation m!ocardial infarction in
the TIMI 111 registry. Am J Cardiol. 2002; 90: 303-5.
James SK, Lindahl B, Siegbahn A, et al. N-terminal pro-brain
natriuretic peptide and other risk ~iiarkersfor the separate
prediction of mortality and-subsequent myocardial infarction in
patients with unstable coronary artery disease: A global utilization of strategies to open occluded arteries (GUSTO)-IV substudy.
Circulation. 2003; 108: 275-81.
Januzzi JL, Cannon CP, DiBattiste PM. et al. Effects of renal insutficiency on early invasive management in patients nith acute
coronary syndromes (The TACTICS-TIM1 18 Trial). Aln J
Cardiol. 2002; 90: 1246-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASl ST

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Aviles RJ, Askari AT, Lindahl B, et al. Troponin T levels in patients
with acute coronary syndromes, with or without renal
dysfunction. N Engl J Med. 2002; 346: 2047-52.
Sabatine MS, Morrow DA, deLemos J, et al. Multimarker approach
to risk stratification in non-ST elevation acute coronary
syndromes: Simultaneous assessment of troponin 1, C-reactive
protein, and B-type natriuretic peptide. Circulation. 2002; 105:
1760-3.
Morrow DA, Braunwald E. Future of biomarkers in acute coronary
syndromes: Moving toward a multimarker strategy.
Circulation. 2003; 108: 250-2.
Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis
of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of
death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients.
BMJ. 2002; 324: 71-86.
Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al. Effects of clopidogrel in addition
to aspirin in patients with acute coronary syndromes without
ST-segment elevation. N Engl J Med. 2001; 345: 494-502.
Yusuf S, Mehta SR, Zhao F, et al. Early and late effects of clopidogrel
in patients with acute coronary syndromes. Circulation. 2003;
107: 966-72.
Hongo RH, Ley J, Dick SE, Yee RR. The effect of clopidogrel in
combination with aspirin when given before coronary artery
bypass grafting. J Am Coll Cardiol. 2002; 40: 231-7.
Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ, et al. Effects of pretreatment with
clopidogrel and aspirin followed by long-term therapy in
patients undergoing percutaneous coronary intervention: The
PCI-CURE study. Lancet. 2001; 358: 527-33.
Steinhubl SR, Berger PD, Mann JT 111, et al., for the CREDO Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary intervention: A randomized controlled trial. JAMA. 2002; 288: 241 1-20.
Simoons ML. Effect of glycoprotein IIb/IIIa receptor blocker
abciximab on outcome in patients with acute coronary syndromes without early coronary revascularization: The GUSTO
IV-ACS randomized trial. Lancet. 2001; 357: 1915-24.
Boersma E, Harrington RA, Moliterno DJ, et al. Platelet
glycoprotein Ilb/IlIa inhibitors in acute coronary syndromes: A
meta-analysis of all major randomised clinical trials. Lancet.
2002; 359: 189-98.
Lincoff AM, Harrington RA, Califf RM, et al. Management of
patients with acute coronary syndromes in the United States by
platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition: Insights from the
Platelet Glycoprotein IIb/IIIa in Unstable Angina Receptor
Suppression Using Integrilin (PURSUIT) trial. Circulation. 2000;
102: 1093-1 00.
Wong GC, Giugliano RP,Antman EM. Use of low-molecular-weight
heparins in the management of acute coronary artery
syndromes and percutaneous coronary intervention. JAMA.
2003; 289: 331-42.
Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, et al., for the Efficacy and
Safety of Subcutaneous Enoxaparin in Non-Q-Wave Coronary
Events Study Group. A comparison of low-molecular-weight
heparin with unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med. 1997; 337: 447-52.
Antman EM, McCabe CH, Gurfinkel EP, et al., for the TIM1 11B
Investigators. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic
events in unstable anginalnon-Q-wave myocardial infarction:
Results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI)
1 1 B Trial. Circulation. 1999; 100: 1593-601.
Antman EM, Cohen M, Radley D, et al. Assessment of the
treatment effect of enoxaparin for unstable anginahon-Q wave

myocatdial infarction: TlMI 1111 ESSENCE meta-analysis.


Circulation. 1999; 100: 1602-8.
Kereiakes bJ,Montalescot G, Antman EM, et al. Low-molecularweight heparin therapy for non-ST-elevation acute coronary
syndromes and during percutaneous coronary intervention: An
expert consensus. Am Heart J. 2002; 144: 615-24.
Goodman SG, Fitchett D, Atmstrong PW, et al. Randomized
evaluation of the safety and efficacy of enoxaparin versus
unfractionated heparin in high-risk patients with noh-ST-segment elevation acute coronarysyndromes receiving the
glycoprotein IlblIIla inhibitor eptifibatide. Circulation. 2003;
107: 238-44.
The SYNERGY ExecCtiVe Committee. Superior yield of the new
sttategy bf enoxaparid, revascu/arizat~~n
and glycoprotein IIb/
IIIa inhibitots. Am Heart J. 2002; 143: 952-60.
TIM1 111 'study Group. Effects of tissue plasminogen activator and
a comparlsod of early invasive and conservative strategies in
unstable angina atid non-Q-wave myocardial infarction: Results
of the TIM1 IIIB trial. Circulation. 1994; 89: 1545-56.
Solomon DH, Stone PH, Glynn w, et a). Use of risk stratification to
identify patients with unstable angina likeliest to benefit from
an invasive versus conservative management strategy. J Am
Coll Cardiol. 2001; 38: 969-76.
Boden WE, O'Roueke RA, Crawford MH, et el. Outcomes in
patients with acute non-Q-wave myocardial infarction randomly
assigned to an invasive as compared with a conservative
management strategy. Veterans Affairs Non-Q-Wave
Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH) Trial
Investigators. N Engl J Med. 1998; 338: 1785-92.
Wallentin L, Lagerqvist B, Husted S, et al. Outcome at 1 year after
an invasive compared with a non-invasive strategy in unstable
coronary artery disease: The FRISC I1 invasive randomized
trial. Lancet. 2000; 356: 9-16.
Mahoney EM, Jurkovitz CT, Chu H, et al. Cost and cost-effectiveness of an early invasive vs conservative strategy for the
treatment of unstable angina and non-ST-segment elevation
myocardial infarction. JAMA. 2002; 288: 1905-7.
Fox KAA, Poole-Wilson PA, Henderson RA, et al. Interventional
versus conservative treatment for patients with unstable angina
or non-ST-elevation myocardial infarction: The British Heart
Foundation RITA 3 randomised trial. Lancet. 2002; 360: 7435 1.
The Joint European Society of CardiologyIAmerican College of
Cardiology Committee. Myocardial infarction redefined: A
consensus document of the Joint European Society of CardiologyIAmerican College of Cardiology Committee for the
Redefinition of Myocardial Infarction. Eur Heart J. 2000; 21:
1502-13.
Stone PH, Thompson B, Anderson HV, et al., for the TIM1 111
Registry Study Group. Influence of race, sex and age on
management of unstable angina and non-Q-wave myocardial
infarction. The TIM1 I11 Registry. JAMA. 1996; 275: 110412.
Hochman JS, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIM1 Investigators. Outcome and profile of women and men presenting with
acute coronary syndromes: A report from TIM1 IIIB. J Am Coll
Cardiol. 1997; 30: 141-8.
The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet
glycoprotein IIb/IIIa with eptifibatide in patients with acute
coronary syndrome. N Engl J Med. 1998; 339: 4 3 6 4 3 .
Aronow HD, Topol EJ, Roe MT, et al. Effect of lipid-lowering
therapy on early mortality after acute coronary syndromes: An

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


observational study. Lancet. 2001; 357: 1063-8.
Newby LK, Kristinsson A, Bhapkar MV, et al. Early statin initiation
and outcomes in patients with acute coronary syndromes. JAMA.
2002; 287; 3087-95.
Schwartz G G Olsson AG Ezekowitz MD, et al. Effects of atorvastatin
on early recurrent ischemic events in acute coronary syndromes:
The MIRACL study, a randomized controlled trial. JAMA. 2001;
285: 171 1-8.
Cannon CP, McCabe CH, Belder R, et al. Pravastatin or atorvastatin
evaluation and infection therapy (PROVE IT) -.TIMI 22 trial:
Rationale and design. Am J Cardiol. 2002; 89: 860-1.
Executive summary of the Third Report of the National
Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel 111). JAMA. 2001;
285: 2486-97.
Heart Protection Study Collaborative Group. MRClBHF Heart
Protection Study of cholesterol lowering with simvastatin in
20,536 high-risk individuals: A randomized placebo-controlled
trial. Lancet. 2002: 360: 7-22.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLITIK


PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER
Iwang Gumiwang, Ika Prasetya W, Dasnan Ismail

PENDAHULUAN
Melalui bukti berbagai studi autopsi, pembedahan dan
angiografi, konsep tromboemboli pada lesi stenotik (plak
aterosklerotik) merupakan dasar pada mayoritas kejadian
penyakit jantung koroner (PJK) dengan berbagai tingkatan
klinis. Dalam rangka penanggulangan masalah lesi stenotik
dan trombosis ini, upaya dapat dibedakan sebagai usaha
preventif (primer atau sekunder) dan usaha terapeutik pada
seluruh tingkatan klinis PJK. Sebagai contoh misalnya
penanggulangan fase akut sindrom koroner, maka
manajemen terapi yang logis adalah melisiskan trombus,
"membereskan" vaskular yang stenotik, dan mencegah
berulangnya kedua gangguan utama tersebut di masa
datang. Obat antitrombus (=antitrombotik) berperan sangat
penting. Obat antitrombotik terdiri atas golongan obat
trombolitik (misalnya streptokinase, urokinase), golongan
antikoagulan (misalnya heparin, low molecular weight
heparin, kumarin, warfarin), antitrombin direk (misalnya
hirudin, bivalirudin), dan golongan antiagregasi trombosit
(selanjutnya disebut antiplatelet) misalnya aspirin,
tiklopidin, klopidogrel, dan penghambat GPIIb/IIIa.

PERAN ANTITROMBOTIK PADA PJK


Konsep patofisiologi trombosis arteri perlu selalu
mempertimbangkan tiga faktor yaitu abnormalitas dinding
vaskular termasuk endotel, masalah hemoreologi, dan
masalah aliran yang melambat (trias Virchow) selain faktorfaktor lain yang belum diketahui pasti.
Pada PJK patogenesis didahului oleh terbentuknya plak
ateroskeloris. Plak yang semakin berkembang dan tumbuh
menyebabkan diameter lumen arteri koronaria menyempit

(lesi stenotik). Karena terjadi suatu trauma (faktor


pencetus) pada plak maka plak mengalarni erosilruptur dan
menjadi tak stabil yang kemudian akan diikuti oleh respons
koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (extrinsicpathway)dan aktivasi trombosit sehingga sebagai hasil akhir
terbentuklah trombus.
Hal tersebut di atas merupakan dasar dari
patofisiologi sindrom koroner akut (SKA). Bentuk klinis
SKA adalah serangan angina tak stabil (unstable angina),
IMA gelombang non-Q, dan IMA gelombang Q. Paham
yang dianut saat ini adalah bahwa ketiga bentuk SKA
tersebut mempunyai patofisiologi yang sama dengan
perbedaan terletak pada bentuk trombosis yang
menyertainya. Angina tidak stabil ditandai oleh
terbentuknya trombus mural, IMA gelombang non-Q oleh
trombus inkomplet/nonoklusif sedangkan pada kasus
IMA gelombang Q terjadi tromboemboli dengan trombus
komplet/oklusif pada plak aterosklerotik yang mengalami
erosilruptur tersebut. Terbentuknya trombus ini
menyebabkan iskemia dan hipoksemia kardiak dengan
segala konsekuensinya. Tugas antitrombotik trombolitik
adalah sebagai aktivator plasminogen untuk menjadi
plasmin yang akan melisiskan fibrin menjadifibrin degradation product.
Antikoagulan mempunyai peran mencegah aktivasi
koagulasi misalnya heparin membentuk kompleks dengan
antitrombin I11 yang menghambat aktivasi faktor IIa, Xa,
dan IXa.
Antiplatelet mempunyai peran inaktivasi trombosit
dengan berbagai cara, misalnya aspirin dosis rendah
bekerja menghambat aktivitas siklooksigenase (COX-1)
dalam siklus prostaglandin sehingga terbentuknya
prostasiklin lebih tinggi yang bersifat menghambat agregasi
dan bersifat vasodilator pula.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Dalam artikel ini akan dibahas ringkasan peran obat


antikoagulan dan antiplatelet pada berbagai tingkat klinis
PJK yaitu untuk upaya pencegahan primer terhadap
morbiditas PJK (primary prevention), angina tak stabil,
infark miokard akut (IMA), angioplasti koroner, dan
pascabedah pintas.
FARMAKOLOGI

Antikoagulan
~ e b e r a ' ~aspek
a
farmakologis antikoagulan telah
diterangkan pada tulisan terdahulu. Secara ringkas obat
antikoagulan dibedakan menjadi yang diberikan
parenteral dan oral. Antikoagulan parenteral yang
dianggap standar adalah heparin (unfractinated heparin)
yang dapat diberikan secara intravena atau subkutan.
Heparin masih direkomendasikan untuk beberapa keadaan
klinis PJK, meski perlu pemantauan ketat untuk menilai
efektivitasnya
Dalam lima tahun terakhir, telah dipasarkan heparin
baru yang dikenal dengan Low Molecular Weight
Heparin (LMWH) yang lebih superior karena lebih stabil,
cara pemberian mudah (hanya subkutan), tidak memerlukan
monitoring APTT, tetapi lebih mahal dibandingkan
heparin standar.
Antitrombin Direk
Obat pada golongan ini yang telah banyak diteliti adalah
bivalirudin selain Hirudin yang telah ada sebelumnya. Hirudin sendiri adalah polipeptida 65-asam amino yang berasal
dari lendir pacet atau lintah namun saat ini di buat dari
bahan rekombinan berasal dari ragi. Hirudin adalah
penghambat spesifik pada trombin. Proses yang
pengahambatan ini berlangsung perlahan namun terkadang
ireversibel.
Antitrombin direk lain adalah Argatroban dan
Melagatran. Argatroban diberikan 2 mgkg per menit dalam
continuous infusion. Evaluasi dengan memperhatikan
aPTT dan tidak melebihi dosis 10 mglkg per menit.
Melagatran sendiri dapat diberikan subkutan dan ada
preparat oral namun hams mendapatkan prodrug yang
memperbaiki bioavailabilitasnya dengan penambahan
H376195 (ximelagatran). Obat ini dianjurkan pada DVT.
Jenis lain' antitrombin yang bekerja langsung pada
penghambat faktor Xa sehingga menghambat
pembentukan trombin adalah Fondaparinux yang memiliki
waktu paruh pendek. Hasil rekombinan pentasakarida heparin dan bukan berasal dari hewan ini baru
direkomendasikan untuk mencegah DVT pasca operasi
ortopedi..
Pemberian antitrombin direk ini dilakukan bila terjadi
trombositopenia akibat penggunaan heparin.

Antikoagulan Oral
Warfarin merupakan obat jenis ini yang paling banyak
dipakai di Amerika. Obat ini terpilih karena mula kerja dan
lama kerja yang mudah diprediksi. Obat ini bekerja
mengganggu konversi siklik vitamin K sehingga akan
menginaktivasi prokoagulan yang tergantung dengan
vitamin K (faktor 11, VII, IX, dan X).

Antiplatelet
Dalam proses trombogenesis ada tiga mekanisme yang
berkaitan dengan agregasi trombosit yaitu pertama
aktivasi trombosit menyebabkan dinding menjadi siap,
kedua adalah produksi dan sekresi ADP dan serotonin,
dan ketiga terbentuknya tromboksan A2. Obat
antiplatelet saat ini ditujukan untuk mempengaruhi
mekanisme tersebut agar trombosit tidak beragregasi satu
sama lain.
Sampai tulisan ini dibuat, obat antiplatelet yang telah
dipasarkan dan dipertimbangkan untuk direkomendasikan adalah aspirin sebagai obat standar, kemudian
tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol, sulfinpirazon, dan
terbaru adalah golongan GPIIbIIIIa (abciksimab,
tirofiban, eptifibatid). Aspirin menghambat
pembentukan tromboksan A2. Tiklopidin dan
klopidogrel mempunyai struktur yang mirip, berasal dari
golongan tienopiridin dengan efek yang juga sama-sama
menghambat reseptor ADP. Efek samping tiklopidin yang
dilakporkan adalah terjadinya neutropenia. Penghambat
GPIIaIIIIb menahan proses bridging yang merupakan
jalur terakhir ('final p a t h w a y ) antar trombosit.
Mekanisme kerja dipiridamol belum jelas benar, mungkin
memblok ambilan adenosin. Sulfinpirazon mungkin
bekerja mirip seperti aspirin.
Trombolitik
Trombolitik bekerja dengan merubah proenzim plasminogen menjadi enzim plamin aktif melalui pelepasan ikatan
peptida arginin-valin. Plasmin dapat melisiskan bekuan fibrin dan merupakan suatu serum protease nonspesifik yang
mampu merusak plasminogen dari faktor V dan VIII, juga
dapat bertindak sebagai penghambat agregasi trombosit
pada stenosis arterial. Aksi plasmin dapat dinetralisir oleh
penghambat plasma dalam pembuluh seperti,
a-antiplasmin.
Pencarian obat antitrombotik baru masih terus
dilakukan. Saat ini strategi pemikiran dalam rangka
pencarian obat antitrombotik tersebut ditujukan sebagai
berikut.
Menghambat reaksi trombosit
- Menghambat adhesi
- Menghambat rekruitmen
- Memblok agregasi
Menghambat koagulasi
'

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK PADA PJK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


- Mencegah terbentuknya trombin

Mencegah aktivasi trombin


Meningkatkan aktivitas antikoagulan naturallsendiri
- Modulasi alur protein C
Meningkatkan fibrinolisis endogen
- Memblok penghambat aktivator plasminogen tipe
1 (plasminogen activator inhibitor type 1)
- Menghambat prokarboksipeptidase B
REKOMENDASI APLlKASl KLlNlS ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLlTlK PADA PJK
Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pemberian rutin aspirin pada kasus usia < 50 tahun, tak
pernah ada riwayat IMA, strok, TIA tidak
direkomendasikan.
Pada kasus seperti di atas tetapi mempunyai risiko yang
meningkat terhadap coronary events misalnya memiliki
satu faktor risiko utama (merokok, diabetes, hipertensi,
dislipidemia) direkomendasikan aspirin 80-325 mghari.
Bila tak bisa dengan aspirin, dapat diberikan warfarin
untuk sasaran INR 1.5.
Angina Stabil (Stable Angina)
Direkomendasikan semua kasus ini, mendapat aspirin 160325 mglhari seumur hidup.
Angina Tidak Stabil (Unstable Angina)
Antiplatelet
Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg.
Bila tak tahan dengan aspirin dapat diberikan tiklopidin
2 x 250 mglhari atau klopidogrel 75 mglhari (50-100
mg).
Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap aspirin, tiklopidin, dan klopidogrel dianjurkan sejak awal
diberikan heparin dilanjutkan warfarin untuk beberapa
bulan.
Sulfinpirazon tidak dianjurkan.
Antikoagulan
Heparin direkomendasikan pada semua pasien dengan
dosis bolus 75 UlkgBB n!dilanjutkanpemeliharaan1250
Uljam dengan sasaran APTT 1,s-2 x kontrol selama
minimal 48jam atau sampai keadaan stabiVmendapat terapi
definitif
Altematif Lain
LMWH (enoxiparin, dalteparin) dapat menggantikan
heparin.
Penghambat GIIbIIIIa direkomendasikan terutama pada
UAP yang resisten dengan terapi standar atau pasien
disiapkan untuk angioplasti

lnfark Miokard Akut


Antikoagulan dan trombolitik
Direkomendasikan pada seluruh pasien IMA mendapat
terapi antikoagulan. Pada kasus yang mendapat terapi
trombolitik:
1. RtPA atau alteplase harus mendapat heparin:
Bolus 75U/KgBB iv lalu dosis pemeliharaan 1000- 1200
Uljam sampai 48 jam dengan sasaran APTT 1,5-2 x
normal.
Pada kasus dengan risiko tinggi trombus sistemik, dosis
pemeliharaan diteruskan > 48 jam untuk selanjutnya
dipertirnbangkan antikoagulan oral jangka panjang.
2. Streptokinase atau APSAC
Heparin IV hanya diberikan pada kasus dengan risiko
tinggi terhadap trombosis vena atau sistemik seperti
IMA anterior, CHF,riwayat emboli sebelumnya, dan AF.
Pemberian heparin bila APTT setelah < 2 x kontrol.
Setelah lewat 48 jam diberikan subkutan 2 x sehari untuk
sasaran APTT 1,5-2 x kontrol dan dilanjutkan
antikoagulan oral.
Bila terdapat trombositopenia disebabkan heparin pada
penerima streptokinase atau alteplase, maka dapat diberikan
hirudin IV (lepirudin 0,l mgkg bolus dilanjutkan dengan
0,15 mg/jam infus).
Pemberian fibrinolisis direkomendasikan dengan
gambaran:
Gejala iskemiajelas IMA dengan segrnen ST meningkat
atau LBBB pada EKG serta kurang dari 12jam kejadian
diberikan terapi fibrinolisis intravena (perhatikan
kontraindikasi pemberian).
Gejala jelas IMA selama 12-24jam dengan segmen ST
meningkat atau LBBB pada EKG dapat diberikan terapi
fibrinolisis.
Terdapat riwayat perdarahan intrakranial, strok setahun
terakhir atau perdarahan aktif maka terapi fibrinolitik
tidak boleh diberikan
Setiap pasien yang mendapatkan terapi fibrinolisis
sebaiknya diberikan pula aspirin 160-325 mg saat tiba di
rumah sakit maupun pada perawatan selanjutnya. Semua
pasien yang akan menerima terapi fibrinolisis seharusnya
mendapatkan terapi tersebut paling lambat 30 menit setelah
tiba di rumah sakit.
Jenis obat fibrinolisis pilihan disesuaikan dengan
waktu sebagai berikut:
Gejala muncul kurang dari 12jam diberikan streptokinase (atau reteplase), anistreplase atau alteplase.
Gejala muncul kurang dari 6 jam diberikan alteplase.
Bila ada alergi terhadap streptokinase diberikan
alteplase, tenekteplase atau reteplase.
Pada kasus yang tidak mendapat terapi trombolitik:
Heparin diberikan pada kasus yang berisiko tinggi.
Diberikan bolus 75 UKgBB IV lalu dosis pemeliharaan
1000-1200Uljarn.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Antikoagulan oral hingga 3 bulan, kecuali pada AF


diberikan selamanya.
Di atas dari kasus-kasus tersebut pada semua IMA
dianjurkan heparin low dose subkutan 2 x 7500 U per hari
sampai berobat jalan.

~ntiplatelet
Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg.
Aspirin diteruskan meski pasien mendapat terapi
trombolitik dan atau heparin.
Bila pasien akan mendapat antikoagulan oral aspirin
dihentikan sementara.
Disarankan aspirin tidak diberikan bersamaan dengan
warfarin kecuali pada kasus risiko emboli sangat tinggi
atau kasus yang gagal bila hanya diberi salah satunya.
Aspirin jangka panjang lebih diutamakan dibandingkan
warfarin karena efektif, aman, dan murah.
Pada kasus yang risiko trombosis dapat dipilih
memberikan antikoagulan oral hingga 1-3 bulan yang
selanjutnya disambung dengan aspirin.
Pasien yang tak tahan dengan aspirin direkomendasikan
dengan klopidogrel.
Sulfinpirazon, tidak dianjurkan pada pasca-IMA.
Dipiridamol secara sendiri atau bersama aspirin tidak
dianjurkan pada pasca-IMA.
Pasca-IMA Risiko Tinggi
Pasca-IMA risiko tinggi, yaitu kasus dengan usia > 75
tahun, gagal jantung klinis, gangguan fungsi sistolik
(LVEF < 40%), riwayat emboli kiri atau kanan, riwayat
strok dan TIA, pasca-IMA anterior luas, dan atrial
fibrilasi.
Antikoagulan oral jangka panjang, menurunkan risk
ratio 68% dibandingkan dengan kontrol)) dengan
target INR 2,5 (rentang 2,O-3,O).
Aspirin dosis rendah, menurunkan risk ratio 21%
dibandingkan dengan kontrol.
Pada kasus risiko tinggi ini antikoagulan oral lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan aspirin.

Penghambat GIIbIIIIa (abciximab, eptifibatid, atau


tirofiban) direkornendasikan pada semua kandidat PTCA
terutama yang berisiko tinggi. Tidak diberikan rutin
karena alasan mahal.
Pada kasus angioplasti primer, abciximab
direkomendasikan.
Heparin diberikan untuk target ACT (activated clotting time) 300- 350 detik. Dosis heparin diberikan bolus
70- 150 Ulkg dan sheath dicabut bila ACT < 150 detik.
Bila penghambat GIIbIIIIa diberikan, dosis heparin
diturunkan 70 UIKgBB.
Heparin pascatindakan tidak diberikan secara rutin.
Kasus yang dipasang stent
Aspirin diteruskan pascatindakan 160-325mg.
Dipiridamol tidak lagi direkornendasikan.
klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan
dengan 75 mg/hari atau tiklopidin 2x 250 mglhari, mulai
24 jam sebelum PTCA atau tiklopidin 250-500 mghari
diberikan paling tidak selarna 14 hari dan hingga 30 hari
pada kasus risiko tinggi terhadap stent trombosis.
LMWH dapat diberikan sebagai tambahan.
Warfarh tak direkomendasikan.
Penghambat GIIbAIIa direkomendasikan.
Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Pasca CABG
Aspirin 325 rnghari, dimulai 6 jam pascaoperasi sampai
selama setahun untuk menurunkan risiko terjadinya
penutupan vena safena graft.
Aspirin tidak direkomendasikan diberikan > 12 bulan
untuk tujuan mempertahankan grafrpatency, meskipun
aspirin disarankan tetap dipakai seumur hidup pada
pasien CAD.
Bila tak bisamenerima aspirin, dapat diberikan tiklopidin
2 x 250 mghari dimulai 48 jam pascaoperasi.
Pada CABG dengan arteri mamaria intema, aspirin
hanya optional.

REFERENSI
Percutaneous
Tranluminal Coronary
Angioplasty (PTCA)
Waktu tindakan dan pascatindakan:
Sebelum tindakan aspirin 80-325 mg diberikan minimal
2 jam sebelumnya.
Aspirin jangka panjang (long term aspirin) 160-325 mg
per hari untuk selamanya kecuali ada penyulit.
Dipiridamol tak diberikan rutin.
Untuk pasien yang tak bisa mendapat aspirin, diberikan
klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan
dengan 75 mg/hari atau tiklopidin 2x 250 mghari, mulai
24 jam sebelum PTCA bila tidak ditemukan kontra
indikasi

DeWood MA, Spores J, Notske R, et al. Prevalence of total


coronary occlusion^ during the early hours of transmural
myocardial infarction. N Engl J Med 1980; 303:897-902.
Falk E. Unstable angina with fatal outcome: dynamic coronary
thrombosis leading to infarction andlor sudden death: autopsy
evidence of recurrent mural thrombosis with peripheral
embolization culminating in total vascular occlusion.
Circulation 1985; 71:699-708.
Fifth ACCP consensus conference on antithrombotic therapy. Chest
1998; 1 14(suppl).
Braunwald E. Unstable angina. An etiologic approach to
management (editorial). Circulation 1998;98:2219-22.
Ambrose JA, Dangas G. Unstable angina current concepts of pathogenesis and treat-ment. Arch Intern Med 2000;160:25-37.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

ANTITROMBOTIKDAN TROMBOLITIKPADA PJK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Gumiwang G. Antikoagulan pada penyakit jantung koroner. kapan
diberikan dan bagaimana pemantauannya?. http://
www.interna.fk.ui.ac.id1
Antman EM, Fox KM for the international cardiology forum. Guidelines for the diagno-sis and management of unstable angina and
non-Q-wave myocardial infarction: proposed revisions. Am
Heart J 2000;139:461-75.
Ryan TJ. 1999 Update ACCIAHA guidelines for the management of
patients with acute myocardial infarction. A report of the American College of CardiologyIAmerican Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (Committee on Management of
Acute Myocardial Infarction). Circulation 1999;lOO: 1016-30.
Frishman WH et al. Antiplatelet and antithrombotic drugs. Dalam
Frishman WH et al editor. Cardivascular pharmacotherapeutics
manual. Edisi 2. New York. McGraw-Hi11.2004

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1771

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

277
EDEMA PARU AKUT
Sjaharuddin Harun, Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN
Edema paru akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paruparu yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat.
Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai
kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi
gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun
demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan.
EPA adalah
keadaan gawat darurat dengan
tingkat mortalitas yang masih tinggi. Berikut ini akan
dibahas mengenai mekanisme, klasifikasi dan aspek klinis
EPA, sedangkan penatalaksanaan lebih difokuskan pada
EPA kardiak.

Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:


Membran Kapiler Alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari
darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi
jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan
aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan
normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari
pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental
membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada
sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.

di mana;
Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang
interstitial.
Pi" = T'ekanan hidrostatik intravaskular.
Pint= Tekanan hidrostatik interstisial.
lliY = Tekanan osmotik koloid intravaskular.
llint= Tekanan osmotik koloid interstisial
6, = Koeffisien refleksi protein.
K, = Konduktans hidraulik.
Sistem Limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk menerima
larutan, koloid dan cairan balik dari pembuluh darah.
Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial
peribronkial dan perivaskular dan dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium nonalveolar ini, cairan lebih
sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika
kemarnpuan memompa dari saluran limfatik tersebut
berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui
dalam ha1 jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam
keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 mll
jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 200 mlljam pada orang dewasa dengan
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium
kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi
dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat
kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai
konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran
napas yang kecil dan pembuluh darah akan
terkompresi.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

EDEMA PARU AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus
Ketidakseimbangan "Starling Force"
Peningkatan tekanan vena pulmonalis. Edema paru akan
terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat
sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai
normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12
mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya
edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain :
(1) Tanpa gagal ventrikel kiri (mis : stenosis mitral), (2)
Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan
tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan
arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).
Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia
saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan
yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan
edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan
perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial,
sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah di
antara sistem kapiler dan limfatik.
Peningkatan negativitas dari tekanan interstisial. Edema
paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural. Keadaan yang sering menjadi etiologi adalah : (1).
Perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumotoraks
dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut
'edema paru re-ekspansi'. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis
dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus
yang menjadikan 'edema paru re-ekspansi' ini berat dan
membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2).
Tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan
nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir
(misalnya pada asma bronkial).
Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler
Alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress
Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan
pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak
kondisi medis maupun surgikal tertentu yang
berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling
Force.
Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
Terisap toksin (NO, asap).
Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis akut akibat radiasi
Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
Disseminated intravascular coagulation

Immunologi :pnemonitis hipersensitif


Shock-lung pada trauma non toraks.
Pankreatitis hemoragik akut.
lnsufisiensi Sistem Limfe
Pasca transplantasi paru.
Karsinomatosis, limfangitis
Limfangitis fibrotik (silikosis)
Tidak Diketahui atau Belum Jelas Mekanisme nya
High altitude pulmonary edema.
Edema paru neurogenik.
Over dosis obat narkotik
Emboli paru.
Eklampsia
Pasca kardioversi.
Pasca anastesi
Pasca operasi pintas jantung paru

EDEMA PARU KARDIOGENIK


Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai
dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang
rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi
tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari
membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah
penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak
nafas.
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat
yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan
keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat
peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki
pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan
difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan
terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik, dan
disertai ronki inspirasi akibat terbukanya saluran
pernafasan yang tertufup.
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya
atau stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan
cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan
jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, ha1 ini
akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dari petanda vaskular paru, hilangnya
demarkasi dari bayangan hilus paru dan penebalan septa
interlobular (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh
darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di
daerah interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi
pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang
menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan
antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya
hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


EPK
Anamnesis
Acute cardiac event
Penemuan Klinis
Perifer

S3 gallop I kardiomegali
JVP
Ronki
Laboratoriurn
EKG
Foto toraks
Enzim kardiak
PCWP
Shunt intra pulmoner
Protein cairan edema

EPNK

(+)

Jarang
Penyakit dasar I B-C,
II, IV

Dingin (low flow


state)
(+I
Meningkat
Basah

Hangat (high flow state)


Nadi kuat
(-1
Tak meningkat
Kering
Tanda penyakit dasar

Iskernia I infark
Distribusi perihiler
Bisa meningkat
> 18 rnmHg.
Sedikit
< 0.5

Biasanya normal
Distribusi perifer
Biasanya normal
< 18 rnmHg.
Hebat
>0.7

JVP: jugular venous pressure


PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut


misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan
tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga
seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnu.
Pada proses yang terus berlanjut, atau meningkat
menjadi stage 3 edema paru tersebut, proses pertukaran
gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang
berat dan seringkali bahkan menjadi hipokapnea. Alveolar
yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar
saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh
si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume
paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari
kanan ke kiri pada intrapulmonar akibat perfusi dari alveoli
yang telah terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang
terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin
memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis
respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah
menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam ha1 ini
terapi morfin, yang diketahui memiliki efek depresi pada
pernafasan, bila akan dipergunakan harus dengan
pemantauan yang ketat.
Diagnosis dan Etiologi
Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang
dramatik kejadian gaga1jantung kiri yang akut. Hal ini dapat
diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar di atrium kiri,
peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri,
disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau
obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Peningkatan
tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali
terjadinya edema paru kardiogenik tersebut. Akibat akhir

yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat.


Bersamaan dengan ha1 tersebut terjadi juga rasa takut
pada pasien karena kesulitan bemafas, yang berakibat
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga
mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri.
Dengan peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha
bernapas yang hams kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun,
dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini
tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas edema paru
akut kardiogenik masih tinggi.
Manifestasi Klinis
Anamnesis. Edema paru akut kardiak berbeda dari
ortopnea dan paroksismal nokturnal dispnea, karena
kejadiannya yang sangat cepat dan terjadinya hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan
pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka
merasakan ketakutan, batuk-batuk dan seperti seorang
yang akan tenggelam. Pasien biasanya dalam posisi duduk
agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan
lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan,
sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat
dingin, batuk dengan sputum yang benvama kemerahan
(pinkJi.othy sputum).
Pemeriksaan fisis. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang
meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi
pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang
menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar
dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau
lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

EDEMA PARU AKUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung I1 pulmonal


mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat.
Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang
melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan
paru, akibat edema interstisial atau alveolar.
Laboratorium. Kelainan pemeriksaan laboratorium sesuai
dengan penyakit dasar. Uji diagnostik yang dapat
dipergmakin untuk membedakan dengan penyakit lain
misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP
(brain natriureticpeptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan
penyebab dyspneu lain seperti asma bronkial akut. Pada
kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan
gambaran radiologis yang tidak spesifik, hams dipikirkan
penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal
jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di
katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan
penunjang lain seperti ekokardiografi.
EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali
didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infarks
miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis
hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik
biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif
yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang
dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini
belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang
dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain : iskemia
sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis
kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan
metabolik atau katekolamin.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terutama untuk edema paru akut
kardiogenik. Terapi EPA harus segera dimulai setelah
diagnosis ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk
melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih
berlangsung. Pasien diletakkan pada posisi setengah
duduk atau duduk, harus segera diberi oksigen,
nitrogliserin, diuretik i.v., morfin sulfat, obat untuk
menstabilkanhemodinamik, trombolitik dan revaskularisasi,
intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguan
konduksi, serta koreksi definitif kelainan anatomi.
Terapi oksigen. Oksigen (40-50%)diberikan sampai dengan
8 Llmenit, untuk mempertahankanPaO,, kalau perlu dengan
masker. Jika kondisi pasien makin memburuk, timbul
sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO,
tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi 0,
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO,, hipoventilasi,
atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat,

maka perlu dilakukan intubasi endotrakheal, suction dan


penggunaan ventilator.
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin
diberikan peroral 0,4 - 0,6 mg tiap 5 - 10 menit. Jika tekanan
darah sistolik cukup baik (> 95 mmHg). Nitrogliserin
intravena dapat diberikan dimulai dengan dosis 0.3 - 0.5
mglkg BB. Jika nitrogliserin tidak memberi hasil yang
memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid.
Morfin Sulfat. Diberikan 3 - 5 mg i.v., dapat diulangi tiap
15 menit. Sampai total dosis 15 mg biasa cukup efektif.
Diuretik i.v. Diberikan furosemid 40-80 mg i.v. bolus, dapat
diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau
dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai produksi
urine 1mltkg BBljam.
Obat untuk Menstabilkan Klinis Hemodinamik
Nitroprusid i.v.: dimulai dosis 0,l mgkg BBlmenit.
diberikan pada pasien yang tidak memperlihatkan
respons yang baik dengan terapi nitrat atau pada pasien
dengan regugitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi
berat. Dosis dinaikkan sampai didapat perbaikan klinis
dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik
85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah yang normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.
Dopamin 2 - 5 pg /kg BBlmenit :atau dobutamin 2 - 10
mg k g BBImenit. osis dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis, dan kedua obat ini bila diperlukan dapat diberikan
bersama-sarna.
Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium (AF) atau
kardiomegali.
Obat trombolitik ; atau revaskularisasi (urgent PTCA,
CABG) pada pasien infark miokard akut.
Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,
asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen.
Terapi terhadap artirnia atau gangguan konduksi.
Koreksi definitif misalnya penggantian katup atau repair
pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan
klinis mengizinkan.

PROGNOSIS

Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk


yang disebabkan kelainan kardiak masih tinggi. Setelah
mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat pasien
dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan
seperti sebelum serangan. Kebanyakan dari mereka yang
selamat mengatakan sangat kelelahan pada saat serangan
tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat
tanda dan gejala gagal jantung.
Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinya,


misalnya infark miokard akut serta keadaan komorbiditas
yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal
terminal. Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit
antara lain adalah : diabetes, disfungsi ventrikel kiri,
hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

REFERENSI
ACCIAHA Task Force Report : Guidelines for the Evaluation and
Management of Heart Failure. Circulation 1995;92:2764-2784.
Braundwauld E, Colucci WS and Grossman W : Clinical Aspect of
Heart Failure : Pulmonary Edema in : Braundwauld E : Heart
Disease, A Textbook of Cardiovascular Medicine, 7th ed.
Philadelphia : WB Saunders Company; 2005.p. 539-68.
Goldberger E, Wheat MV : Treatment of Cardiac Emergency:
Cardiopulmonary Emergencies 5Ih ed, St Louis: The CV. Mosby
Company; 1990.p. 194-21 0.
Galloway JM, Fenster PE : Acute Pulmonary Edema in : Green HL,
Johnson WP, Maricic MJ : Decision Making in Medicine. St
Louis: Mosby Year Book Inc; 1993.p. 70-71.

Gandhi SK, Powers JC, Nomeir AM et al. The pathogenesis of acute


pulmonary edema associated with hypertension. N Engl J Med
2001; 344: 17.
Hunt SA, Baker DW, Chin MH et al. ACCIAHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the adult:
Executive Summary. A report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines
for the Evaluation and Management of Heart Failure).
Circulation 2001 ; 104: 2996.
Kawanishi DT, Rahimtoola S.H. Acute Pulmanary Edema in Hurst
J.W. Current Therapy in : Cardiovascular Disease, 3rd ed.
Philadelphia: B.C. Decker Inc; 1991.p. 3-7.
Pitt B, Zannad F, Remme WJ et al. The effect of spironolactone on
morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N
Engl J Med 1999; 341: 709-17.
Schlant RC, Sonnenblick EH : Phatophysiology of Heart Failure in:
Schlant RC, Alexander RW : The Heart Arteries and Veins 8Ih ed,
New York: McGraw-Hill, Inc; 1994.p. 515-55.
Schuller D, Lynch JP, Fine D. Protocol-guided diuretic management: Comparison of furosemide by continuous infusion and
intermittent bolus. Critical Care Med 1997;25: 1969-75.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI


Marutam M. Panggabean

PENDAHULUAN
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar
antara 5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978proporsi
penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat
menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui
penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).Tidak ada data akurat mengenai prevalensi
hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka
itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi
sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar
35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2
mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan
fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena
komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung
hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gaga1 ginjal,
atau gangguan retina mata.

PATOGENESISPENYAKITJANTUNG HlPERTENSl
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi
jantung menghadapi tekanan darah tinggi ditambah
dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan
konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi
diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi
ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis
dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme FrankStarling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel
sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi
gangguan kontraksi miokard (penurunan lgangguan fungsi

sistolik)
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris,infark
jantung dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi
proses aterosklerosis (lihat patogenesis aterosklerosis atau
penyakit jantung koroner) dengan peningkatan kebutuhan
oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia miokard
dan gangguan hngsi endotel merupakan faktor utama
kerusakan miosit pada hipertensi.
Evaluasi pasien hipertensi atau penyakitjantung hipertensi
ditujukan untuk:
meneliti kemungkinan hipertensi sekunder,
menetapkan keadaan pra pengobatan,
menetapkan faktor faktor yang mempengaruhi
pengobatan atau faktor yang akan berubah karena
pengobatan,
menetapkan kerusakan organ target, dan
menetapkan faktor risiko PJK lainnya.

KELUHAN DAN GEJAIA


Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya
kebanyakan pasien tidak ada keluhan. Bila simtomatik,
maka biasanya disebabkan oleh
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar
debar,rasa melayang (dizzy) dan impoten
2. Penyakit jantunglhipertensi vasksular seperti cepat
capek, sesak napas,sakit dada (iskemia miokard atau
diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan
vaskular
lainnya
adalah
epistaksis,
hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina,
transient serebral ischemic.
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder:
polidipsia, poliuria, dan kelemahan otot pada
aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


PRIYO PANJI
Trigliserida, HDL dan kolesterol LDL

yang labil pada sindrom Cushing. Feokromositoma


dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala,
palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri
(postural dizzy).

PEMERIKSAAN FlSlS
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai keadan umum:
memperhatikan keadaan khusus seperti: Cushing,
feokromasitoma, perkembangan tidak proporsionalnya
tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada
pada koarktasio aorta.Pengukurantekanan darah di tangan
kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan
klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk
menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arterikarotis
untuk menilai stenosis atau oklusi.
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran
jantung ditujukan untuk menilai HVK dan tanda-tanda
gagal jantung. Impuls apeks yang prominen. Bunyi jantung
S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta.
Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi
aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat
ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri.
Sedangkan bunyi S3 (gallop vetrikel atau protodiastolik)
ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri.Bila S3 dan S4
ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu
diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti
ronki basah atau ronki keringlmengi. Pemeriksaan pemt
ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati,
limpa, ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan
umbilikus (renal artery stenosis). Arteri radialis, Arteri
femoralis dan arteri dorsalis pedia hams diraba.Tekanan
darah di betis hams diukur minimal sekali pada hipertensi
umur muda (kurang dari 30 tahun).

Kalsium dan fosfor


Foto toraks
Ekokardiografi dilakukankarena dapat menemukan HVK
lebih dini dan lebih spesifk (spesifisitas sekitar 95-100%).
Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas,tetapinormal saat istirahat
- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas
sebabnya (gangguan fimgsi diastolik atau sistolik)
Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai
fungsi diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel
kiri, pseudo-normal atau tipe restriktif).

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada
tuntunan umum (JNC VII 2003, ESHIESC 2003).
Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat
bermanfaat.
Pasien hipertensi pasca infarkjantung sangat mendapat
manfaat pengobatan dengan penyekat beta , penghambat
ACE atau antialdosteron
Pasien hipertensi dengan risiko PJK yang tinggi
mendapat manfaat dengan pengobatan diuretik, penyekat
beta dan pengharnbat kalsium.
Pasietl hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel
mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik,
penghambat, ACEIARB, penyekat beta dan antagonis
aldosteron.
Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka
prinsip pengobatannya sama dengan pengobatan gagal
jantung yang lain yaitu diuretik, penghambat ACEIARB,
penghambat beta, dan penghambat aldosteron.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
REFERENSI
Pemeriksaan laboratoriurn awal meliputi:
Urinalisis:protein,leukosit,eritrosit,dan silinder
Hemoglobin/hematokrit
Elektrolit darah:Kalium
Ureumkeatinin
Gula darah puasa
Kolesterol total
Elektrokardiografi menunjukkan HVK pada sekitar 2050% (kurang sensitif) tetapi masih menjadi metode
standar.
Apabila keuangan tidak menjadi kendala,maka diperlukan
pula pemeriksaan:
TSH
Leukosit darah

Boedi-Darmojo et a1,61hAsean Congress of Cardiology,Jakarta,l986


Chobanian AV,Bakris GL,Black HR et al.The seventh report of the
joint national committee on prevention,detection ,evaluation
and tratment of high blood pressure:the JNC 7 report.JAMA.
2003;289:2560-72.
Fisher NDL, Williams GH.Hipertensive vascular disease.1n: Kasper
DL,Braunwald E,Fauchi AS, et.al.editors.Harrison's principles
of internal medicine. 16 ed.2003 :1463-81.
Guidelines Committee.2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management
of arterial hypertensi0n.J Hypertens. 2003;21 :I01 1.
Panggabean MM.Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit jantung
hipertensi. 1n:Bawazir LA, Alwi I, Fahrial Syarn A, et al.Prosiding
simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular 23
Februari-25 Februari 2001.Jakarta:Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian 1.P.Dalam FKUI.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL


PADA DEWASA
Ali Ghanie

PENDAHULUAN
Definisi
Penyakit jantung kongenital merupakan kelainan struktur
atau fungsi dari sistem kardiovaskular yang ditemukan
pada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di kemudian
hari.
lnsiden
Kejadian yang sebenarnya dari kelainan kardiovaskular
sulit ditentukan secara akurat, oleh karena ada beberapa
ha1 yang tidak terdeteksi pada saat kelahiran, misalnya
stenosis aorta bikuspidalis dan prolaps katup mitral,
padahal keduanya merupakan kelainan paling sering
ditemukan. Demikian pula beberapa kelainan lain seperti
sindrom Marfan dan anomali Ebstein.
Frekuensi relatif kejadian malformasi jantung pada
persalinan
30.5 %
Defek septum ventrikel
Defek septum atrium
9.8 %
Duktus arteriosus persisten
9.7 %
Stenosis pulmonal
6.9 %
Koarktasio aorta
6.8%
Stenosis aorta
6.1 %
Tetralogi Fallot
5.8 %
Transposisi pembuluh darah besar 4.2%
Trunkus arteriosus persisten
2.2 %
Atresia trikuspid
1.3 %
Dalam 20-30 tahun terjadi kemajuan pesat dalam
diagnosis dan pengobatan penyakit jantung kongenital
pada anak-anak. Sebagai akibatnya anak-anak dengan
penyakit jantung kongenital bertahan hidup sampai
dewasa.

Di Amerika penyakit jantung kongenital baik yang


dikoreksi maupun yang tidak diperkirakan meningkat 5 %
pertahun. Insiden penyakit jantung kongenital diperkirakan
sebesar 0.8 %, di mana 85 % di antaranya bertahan hidup
sampai dewasa muda.
Pada dasarnya kelainan jantung kongenital
dikelompokkan atas dua kelompok besar yaitu kelompok
tanpa sianosis, dan yang disertai sianosis.
Kelompok sianosis secara rinci lebih banyak
dibicarakan dalam kardiologi anak, sebagian di antaranya
dilakukan tindakan reparasi, sebagian lagi hanya paliasi.
Sedangkan sembuh pada beberapa kasus masih jauh dari
memuaskan, sehingga tetap menjadi pasien sesudah suatu
tindakan, karena sebagian tindakan bersifat bukan kuratif.
Sementara itu kelainan kongenital yang mencakup katup
dibicarakan pada bab penyakit jantung katup.
Cakupan dalam buku ajar ini hanya kelompok nonsianosis sebelum tindakan intervensi yang bertahan
sampai dewasa, antara lain defek septum atrium (DSA),
defek septum ventrikel (DSV), duktus arteriosus persisten
(DAP), koarktasio aorta (KA), tetralogi Fallot (TF), serta
transposisi pembuluh darah besar (TPB)
Etiologi
Sulit ditentukan, terjadi akibat interaksi genetik yang multi
faktorial dan sistem lingkungan, sehingga sulit untuk
ditentukan satu penyebab yang spesifik.

DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA)


Definisi dan Morfologi
Defek septum atrium merupakan keadaan di mana terjadi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

defek pada bagian septum antar atrium sehingga tejadi


komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan.
Septum atrium yang sesungguhnya adalah dalam lingkaran
fosa ovalis.
Menurut lokasi defek DSA dikelompokkan menjadi :
Defek septum atrium (DSA) sekundum, defek terjadi
pada fosa ovalis, meskipun sesungguhnya fosa ovalis
merupaka~iseptum primum. (Gambar 1)

Gambar 4. Defek septum primum

Gambar 1. Defek septum atrium


sekundum

Gambar 2. Jantung normal

Pada keadaan tertentu di mana defek cukup besar dapat


keluar dari lingkaran fosa ovalis. Umumnya defek
bersifat tunggal tetapi pada keadaan tertentu dapat
terjadi beberapa fenestrasi kecil, dan sering disertai
dengan aneurisma fosa ovalis.
Defek septum atrium dengan defek sinus venosus
superior, defek terjadi dekat muara vena kava superior,
sehingga terjadi koneksi biatrial. (Gambar 3) Sering
vena pulmonalis dari paru-paru kanan juga mengalami
anomali, di mana vena tersebut bermuara ke vena kava
superior dekat muaranya di atrium. Dapat juga terjadi
defek sinus venosus tipe vena kava inferior, dengan
lokasi di bawah foramen ovale dan bergabung dengan
dasar vena kava inferior.

Gambar 3. Defek septum atr~umsinus venasus

Defek septum atrium primurn, merupakan bagian dari


defek septum atrioventrikular dan pada bagian atas
berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah
dengan katup atrioventrikular. (Gambar 4.)

FisiologilHemodinamik
Akibat yang timbul karena adanya defek septum atrium
sangat tergantung dari besar dan lamanya pirau serta
resistensi vaskular paru. Ukuran defek sendiri tidak banyak
berperan dalani menentukan besaran dan arah pirau.
Sebagaimana diketahui tidak terdapat gradien antara atrium
kiri dan kanan, aliran darah akan tergantung dengan
besarnya resistensi. Oleh karena ventrikel kanan lebih tipis
dan Iehih ukomod~rij.arah aliran dari atrium kiri dan atrium
kanan akan menuju ventrikel kanan. Terjadi beban volume
berlebihan pada atrium dan ~entrikelkanan. sementara
volume di atrium dan ventrikel kiri tetap atau rnenurun.
Trrjadi perubahan konfigurasi diastol di ventrikel kiri,
karena septum ventrikel akan mencembung ke arah kiri
Manifestasi dan Pemeriksaan Fisis
Defek septum atrium sekundum lebih sering terjadi pada
perempuan dengan rasio 2 : 1 aritara perempuan dan pria,
sedangkan pada tipe sinus venosus rasio I : 1.
Defek septum atrium (DSA) sering tidak terdeteksi
sampai dewasa karena biasanya asimtomatik, dan tidak
memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Lebih
sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
rutin foto toraks (gambar 7,8,9,10,1 1 ) atau ekokardiografi.
Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti
normal, cukup banyak yang bertahan hidup sampai usia
lanjut. Oleh karena itu DSA tipe sekundum merupakan
kelainan jant~mgkongenital yang paling sering ditemukan
pada dewasa.
Sesak napas dan rasa capek paling sering nierupakarl
keluhan awal, deliiikian pula infeksi napas yang berulang.
Pasien dapat sesak pada saat aktivitas. dan berdebardebar akibat takiaritmia atrium. Pada pemeriksaan tisis
dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada daerah para
sternal kanan, wi(r'~~,fixed
splittirig bunyi jantung kedua
walaupun tidak selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada
daerah pulmonal pada garis sternal kiri atas, bising mid
diastolik pada daerah trikuspid, dapat menyebar ke apeks.
Bunyi jantung kedua lnengeras di daerah pulmonal, oleh
karena kenaikan tekanan pulmonal, dan perlu diingat
bahwa bising-bising yang terjadi pada DSA lnerupakan
bising fungsional akibat adanya beban vol~~lne
yang besar

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pada jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali
bila defek besar atau common atrium, defek sinus
koronarius, kelainan vaskular paru, stenosis pulmonal ,
atau bila disertai anomali Ebstein.
Elektrokardiografi
Elektrokardiografi menunjukkan aksis ke kanan, blok
bundel kanan, hipertrofi ventrikel kanan, interval PK
memanjang, aksis gelombang P abnormal, aksis ke kanan
secara ekstrim biasanya akibat defek ostium primum.
(Garnbar 5 dan 6)
Gambar 8. Foto rontgen dada pada perneriksaan rutin, rasio
jantung-toraks rnembesar, segrnen pulmonal menonjol, dan arteri
pulrnonal kanan juga rnelebar dan tappered. P e m e r i k s a a n
ekokardiografi rnenunjukkan suatu DSA sekundum

Gambar 5. Elektrokardiogram seorang perempuan 17 tahun,


rnenderita DSA II yang menunjukan garnbaran incomplete RBBB

Gambar 6. Elektrokardiogram seorang perempuan 33 tahun,


menderita DSA II yang rnenunjukan garnbaran complete RBBB

Foto Rontgen Dada


Pada foto lateral terlihat daerah retrostemal terisi, akibat
pembesaran ventrikel kanan.
Dilatasi atrium kanan
Segmen pulmonal menonjol, corakan vaskular paru
prominen

Gambar 7. Pada foto rontgen dada secara kebetulan diternukan


adanya pernbesaran segrnen pulrnonal, dan pada pemeriksaan
ekokardiografi terbukii sebagai DSA sekundurn

Gambar 9. Foto rontgen dada atas indikasi kelainan paru , terlihat


f~brosispada kedua lapangan paru, segmen pulrnonal terlihat
rnernbesar, walaupun pinggang jantung juga terlihat rnenghilang,
tetapi akibat tarikan fibrosis pada daerah hilus. Ekokardiografi
rnenunjukkan DSA sekundum.

Gambar 10. Foto rontgen dada seseorang yang rnemang diketahui


sebagai penderita DSA sekundurn berat tanpa tindakan, setelah
7 tahun terlihat kardiornegali dengan segrnen pulmonal dan arteri
pulrnonalis kanan yang sangat rnenonjol.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 11. Foto rontgendada seorang laki-laki, 49 tahun, dengan


keluhan sesak napas, splitting bunyi kedua, menunjukkan rasio
jantung- thorak membesar dengan segmen pulmonal yang
rnenonjol, terbukti sebagai DSA II pada perneriksaan ekokardiografi
pulmonal rnenonjol dan pembesaran arteri pulmonalis kanan.

Ekokardiografi
Dengan menggunakan ekokardiografi transtorakal
(ETT) dan doppler benvarna dapat ditentukan lokasi
defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel
kanan, keterlibatan katup mitral misalnya prolaps yang
memang sering terjadi pada DSA (gambar 12 sld 18)
Ekokardiografi transesofageal (ETE) sangat bermanfaat
bila, dengan cara ini dapat dilakukan pengukuran besar
defek secara presisi, sehingga dapat membantu dalam
tindakan penutupan DSA perkutan, juga kelainan yang
menyertai (garnbar. 15,16,17,18)

Gambar 14. Ekokardiografi 2-D transtorakal rnenunjukan adanya


defek septum atrium dan ventrikel (slnus venosus, defek
atrioventrikulo septum)

Gambar 15. Eko transesofageal rnenunjukkan defek septum


primurn dan adanya defek septum ventrikel (tanda panah)

Gambar 12. Ekokardiografi 2-D seorang laki-laki 49 th


menunjukkan defek atrium sekundum dengan pirau dari atrium kiri
ke kanan.(secara kebetulan dicurigai dari foto rontgen dada pada
garnbar 10 sebagai DSA).

Gambar 13. Ekokardiografi warna 2-D yang diambil pada tahun


1998 menunjukkan defek septum sekundum dengan pirau dari
atrium kiri ke atrium kanan (warna merah). Foto terakhir pada
tahun 2005 menunjukkan adanya hipertensi pulmonal yang berat
(gambar 9)

Gambar 16. Seorang laki-laki 63 tahun diketahui menderita DSA


sekundum, menolak tindakan penutupan defek. Setelah beberapa
tahun terjadi kenaikan tekanan hipertensi pulmonal sedemikian
(sindrom Eisenmenger). Pada perneriksaan ekokardiografi 2-D
transtorakal, terlihat defek septum namun pada ekokardiografi
warna tidak jelas terlihat arah pirau. Pada pemeriksaan
ekokardiografi transesofageal terlihat defek cukup besar dengan
pirau dua arah (warna biru berupa pirau dari atrium kanan ke
atrium kiri dan merah berupa pirau dari atrium kiri kekanan, tanda
panah).

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1783

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Gambar 17. Pemeriksaan eko transesofageal rnenunjukkan


kelalnan berupa stenosis katup tr~kusp~d,
dan stenosrs katup
pulrnonal yang menyertai kelainan DSA sekundum

Gambar 18. Perneriksaan eko transesofageal menunjukkandefek


septum atrium sekundum dan adanya stenos~stricuspid.

Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ini diperlukan guna
Melihat adanya peningkatan saturasi oksigen di atrium
kanan
Mengukur rasio besamya aliran pulrnonal dan sistemik
(QpIQs)
Menetapkan tekanan dan resistensi arteri pulmonalis
Evaluasi anomali aliran vena pulnlonalis
Angiografi koroner selektif pada kelompok umur yang
lebih tua, sebelum tindakan operasi penutupan DSA.
Mugnetic Resonance Imuging
Sebagai tambahan dalam menentukan adanya dan lokasi
DSA
Evaluasi anomali aliran vena, bila belum bisa dibuktikan
dengan modalitas lain
Dapat juga dipakai untuk estimasi QpiQs

Penatalaksanaan
Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
tennasuk keluhan, Lrniur, irkuran dan anatomi defek, adanya
kelainan yang menyertai, tekanan arteri pulmonal serta
resistensi vaskular paru.

lndikasi penutupan DSA :


Pembesaran jantung pada foto toraks, dilatasi ventrikel
kanan, kenaikan tekanan arteri pulmonalis 50% atau
kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan
keluhan. Prognosis penutupan DSA akan sangat baik
dibanding dengan pengobatan medikamentosa. Pada
kelompok umur 40 tahun ke atas hams dipertimbangkan
terjadinya aritrnia atrial, apalagi bila sebelumnya telah
ditemui adanya gangguan irarna. Padqkelompok ini perlu
dipertimbangkan ablasi perkutan atau ablasi operatif
pada saat penutupan DSA.
Adanya riwayat iskemik fransienf atau strok pada DSA
atau foramen ovale persisten
Operasi merupakan kontraindikasi bila terjadi kenaikan
resistensi vaskular paru 7-8 unit, atau ukuran defek kurang
dari 8 mm tanpa adanya keluhan dan pembesaran jantung
kanan.
Tindakan penutupan dapat dilakukan dengan operasi
terutama untuk defek yang sangat besar lebih dari 40 mm,
atau tipe DSA selain tipe sekundum.
Sedangkan untuk DSA sekundurn dengan ukuran defek
lebih kecil dari 40 rnrn harus dipertimbangkan penutupan
dengan kateter dengan menggunakan amplafzer septa1
occluder. Masih dibutuhkan evaluasi jangka panjang
untuk menentukan kejadian aritmia dan komplikasi
tromboemboli.
Pemantauan Pasca Penutupan DSA
Pada an&-an& tidak bermasalah, dan tidak memerlukan
pernantauan
Pada dewasa atau umur yang lebih lanjut perlu evaluasi
periodik, terutama bila pada saat operasi telah ada
kenaikan tekanan arteri pulrnonal, gangguan irama atau
disfungsi ventrikel
Profilaksis untuk endokarditis diperlukan pada DSA
primum, regurgitasi katup, juga dianjurkan pemakaian
antibiotik selama 6 bulan pada kelompok yang menjalani
penutupan perkutan.
C

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV)


Definisi dan Morfologi
Merupakan kelainan jantung di mana terjadi defek sekat
antarventrikel pada berbagai lokasi. (Gambar 18)
Merupakan kelainan kongenital yang tersering
sesudah kelainan aorta bikuspidalis, sekitar 20 % ( 1.5 - 2.5
dalam 1000 persalinan, tidak ada perbedaan kejadian antara
laki-laki dan perempuan)
Klasifikasi defek septum ventrikel ditentukan oleh lokasi
defek relatif pada empat komponen lokasi septum.
(ekokardiograti gambar 19.20)
Perimembrano~ls.merupakan tipe yang paling sering

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

(80?4), menggatnbarkan def'isiensi dari membran


septum langsung di bawah katup aorta (Gambar 19).
Muskular, di mana defek dibatasi oleh daerah otot ( 5 20%). (gambar 20)
Double comtnitted suhurteriul ventricular septul
dqfect, sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan
jaringan ikat katup aorta dan pulmonal(6%).

Gambar 19. Defek septum ventrikel

Gambar 20. Eko transesofageal seorang perempuan 40 tahun


dengan bising s~stoliktipe ejeksl menunjukkan t DSV besar
permembran dengan arah plrau dar~apek ventr~kelk ~ (warna
r~
merah) menuju ventrikel kanan (warna blru)

Ukuran dan besarnya aliran melalui defek merupakan


faktor yang penting dalam menentukan akibat fisiologis
serta tambahan klasifikasi DSV.
Ekokardiografi dapat dipakai untuk rnengukur besarnya
defek dan menghitung perbandingan besar defek terhadap
ukuran annulus aorta.
Pada DSV kecil ('maladie de Roger 7 , ukuran defek
lebih kecil dari 113 anulus aorta, terjadi gradien yang
signifikan antara ventrikel kiri dan kanan (>64 mmHg).
Defek seperti ini disebut restriktif, dengan berbagai
variasi aliran dari kiri ke kanan, tekarian sistol ventrikel
kanan dan resistensi pulmonal normal.(gambar
ekokardiografi 20)
Defek septum ventrikel rnoderat dengan restriksi,
gradien berkisar 36 mmHg, besar defek sekitar '/z anulus
aorta. Awalnya derajat aliran dari kiri ke kanan bersifat
sedang berat. Resistensi vaskular paru dapat meningkat,
tekanan sistolik ventrikel kanan dapat meningkat
walaupun tridak melampaui tekanan sistemik. Ukuran
atrium dan ventrikel kiri dapat membesar akibat
bertambahnya beban volume.
Pada DSV besar non restriktif, tekanan sistol ventrikel
kiri dan kanan sama. Sebagian besar pasien akan
mengalami perubahan vaskular paru yang menetap
dalam waktu satu atau dua tahun kehidupan. Dengah
waktu terjadi penurunan aliran dari kiri ke kanan,
bahkan terjadi aliran dari kanan ke kiri, yang kita kenal
sebagai fisiologi Eisenmenger. (gambar ekokardiopati
19)
Gambaran Klinis
Tergantung ukuran defek dan urnur saat ditemukan, pada
DSV kecil terdengar bising pansistolik. Defek kecil bersifat
benigna, dan dapat menutup spontan tergantung tipenya,
dan biasanya tidak mengganggu pertumbuhan.
Pada DSV besar dapat disertai sesak napas dan
gangguan pertumbuhan oleh karena meningkatnya aliran
pulmonal
Pemeriksaan fisis
Oksimetri, saturasi oksigen normal, kecuali bila ada
konipleks Eisenmenger.

Garnbar 21. Eko transesofageal penderita dengan DSV pada


pars membranous

Fisiologi
Pada DSV terjadi aliran darah dari ventrikel kiri menuju
ventrikel kanan, terjadi percampuran darah arteri dan vena
tanpa sianosis.

Elektrokardiografi
Biasanya dapat ditemukan gelombang rnelebar P pada
atrium kiri yang membesar, atau gelombang Q dalam dan R
tinggi pada daerah lateral. Adanya gelombang R tinggi di
V1 dan perubahan aksis kekanan menunjukkan hipertroti
ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal.
Foto Rontgen dada
Bisa normal pada DSV kecil, bisa juga terjadi pembesarq
segmen pulmonal dengan kardiomegali.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1785

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Ekokardiografi
Dapat menentukan lokasi defek, ukuran defek, arah dan
gradien aliran, perkiraan tekanan ventrikel kanan dan
pulmonal, gambaran beban volume pada jantung kiri,
keterlibatan katup aorta atau trikuspid serta kelainan lain
(lihat Gambar 19,20)
Magnetic Resonance Imaging
Memberikan gambaran yang lebih baik terutama DSV
dengan lokasi apikal yang sulit dilihat dengan
ekokardiografi. Juga dapat dilakukan besarnya curah
jantung, besaran pirau, dan evaluasi kelainan yang
menyertai seperti pada aorta asendens dan arkus aorta.
Kateterisasi
Menentukan tekanan serta resistensi arteri pulmonalis,
reversibilitas resistensi dengan menggunakan oksigen,
nitric oksid, prostaglandin atau adenosin.
Evaluasi aliran intrakardiak, kelainan yang menyertai
seperti regurgitasi aorta, menyingkirkanDSV multipel, serta
evaluasi koroner pada usia yang lebih lanjut.
Penatalaksanaan
Tujuannya untuk mencegah timbulnya kelainan vaskular
paru yang permanen, mempertahankan hngsi atrium dan
ventrikel kiri, serta mencegah kejadian endokarditis infektif.
Defek kecil biasanya disertai thrill pada garis sternal
kiri sela iga keempat. Bising bersifat holosistolik, tetapi
dapat juga pendek.
Perjalanan Penyakit
Defek septum ventrikel dapat menutup dengan
bertambahnya usia, kecuali defek sub aortik, sub pulmonik,
atau defek tipe kanal.
Defek septum ini dapat menutup secara spontan pada
25 - 40 % saat umur pasien 2 tahun, 90 % pada saat umur
10 tahun.
Pada pasien yang tidak dioperasi, prognosis baik bila
terjadi penutupan spontan DSV, demikian pula DSV kecil
yang asimtomatik. Dengan angka kekerapan hidup 25 tahun
sebesar 95.9 %. Sedangkan pada DSV non-restriktif apalagi
disertai komplek Eisenmenger prognosis jelek, dengan
angka kekerapan hidup 25 tahun 41.7 %.
Pada pasien yang dioperasi tanpa hipertensi pulmonal
mempunyai angka keker~psnhidup yang normal.

fetal, tetap paten sampai lahir, pertama kali ditemukan oleh


Galen (13 1 AD)
Lokasi muara duktus terletak lebih ke kiri percabangan
arteri pulmonalis, sedangkan ujung aorta duktus terletak
pada bagian bawah aorta setinggi arteri subklavia kiri.
Bentuk duktus mengecil pada lokasi arteri pulmonal,
sehingga berbentuk kerucut karena penutupan dimulai dari
daerah pulmonal. (Gambar 21)
Hemodinamik (akibat fisiologis) tergantung dari
beberapa faktor, ukuran dari komunikasi tersebut,
resistensi pembuluh darah paru, derajat prematuritas, dan
kemampuan fungsional ventrikel kiri yang mengalami
beban volume.
Bila duktus kecil, resistensi vaskular paru normal.
Terdapat gradien tekanan antara aorta dan arteri pulmonalis
sepanjang siklus kardiak, dan bertanggung jawab
terhadap aliran darah aorto-pulmonal. Aliran tidak besar
dan gangguan hemodinamik tidak signifikan.
Bila duktus besar tetapi restriktif, aliran pulmonal
meningkat, sehingga terjadi beban volume pada ventrikel
kiri, tetapi resistensi pulmonal tetap normal. Atrium kiri
dan ventrikel kiri akan mernbesar, tetapi tanpa disertai
hipertrofi ventrikel kanan. Bila duktus tidak restriktif,
tekanan aorta akan diteruskan langsung ke trunkus
pulmonal, sehingga terjadi hipertensi pulmonal dengan
konsekuensi beban tekanan pada ventrikel kanan
Gradasi dari DAP dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Silent, berupa DAP kecil yang biasanya ditemukan
secara kebetulan pada saat ekokardiografi, tidak
terdengar bising.
Kecil, terdengar bising bersifat ejeksi panjang, atau
kontinu, tidak ditemui perubahan hemodinamik, pulsasi
perifer normal, tanpa perubahan ukuran atrium dan
ventrikel kiri, juga tanpa disertai hipertensi pulmonal.
Moderat, tekanan nadi besar seperti pada regurgitasi
aorta, bising kontinu, ditemukanpembesaran atrium dm
ventrikel kiri, dan hipertensi pulmonal yang biasanya
#
masih reversibel
Besar, biasanya pada dewasa disertai dengan
Eisenrnenger, bising kontinu tidak ditemukan. Akan
terjadi sianosis setempat akibat saturasi oksigen
dibagian bawah tubuh lebih rendah dibanding lengan
kanan, dan pada kaki dapat terjadi jari tabuh.

DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (DAP)


Definisi dan Morfologi
Merupakan suatu kelainan di mana vaskular yang
menghubungkan arteri pulmonal dan aorta pada fase

Gambar 22. Duktus Arteriosus Persisten (DAP)

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PEMERIKSAAN PADA NATlF ATAU RESIDUAL


DAP
Pemeriksaan Fisis
Tekanan nadi yang besar menunjukkan DAP yang
signifikan
Adanya hiperdinamik ventrikel kanan, terabanya suara
kedua menunjukkan hipertensi pulmonal. Bising kontinu
pada garis sternal kiri atas. rnenyebar ke belakang. Ada
kalanya bising bersifat ejeksi panjang bukan kontinu.
Pada DAP besar dan komplek Eisenmenger, tidak
ditemukan bising kontinu, tetap tanda-tanda hipertensi
pulmonal, sianosis tubuh bagian bawah dail jari tabuh
pada tungkai
Elektrokardiogram
Dapat ditemukan gelombang P yang melebar, komplek QRS
yang tinggi akibat beban tekanan pada atrium dan ventrikel
kiri. Hipertrofi ventrikel kanan dapat terlihat akibat
hipertensi pulmonal.
Foto Rontgen
Adanya dilatasi arteri pulmonal, meningkatnya corakan
vaskular, dilatasi atrium kiri, menunjukkan adanya aliran
dari kiri ke kanan yang signifikan.
Dapat terlihat adanya kalsifikasi pada posisi anteroposterior dan lateral pada pasien yang lebih tua.

Ekokardiografi (Gambar 23)


Dapat diukur ukuran dari DAP, pada dewasa biasan) a
sukar dan kurang tepat. Dapat ditentukan ukuran a t r i ~ ~ m
dan ventrikel kiri sebagai petanda aliran dari kiri ke kanan
yang signifikan. Juga dapat diukur tekanan arteri
pulmonalis, adanya gradien lebih dari 64 mmHg pada
daerah DAP menunjukkaan tidak adanya hipertensi
pulrnonal
Kateterisasi
Dilakukan apabila ada keragu-raguan dalam penentuan
tekanan pulmonal dan kernungkinan reversibilitas dari
tekanan pulmonal, dengan menggunakan tes oklusi balon.
Penatalaksanaan
Penutupan DAP, dianjurkan dengan alasan hemodinamik,
mencegah endarteritis, dan mencegah terjadinya hipertensi
pulmonal.
Intervensi dengan kateter, merupakan pilihan dalam
penutupan DAP, terutama bila terdapat kalsifikasi pada
duktus, karena akan meningkatkan risiko pada operasi.
Operasi dianjurkan pada DAP yang besar, atau terdapat
distorsi seperti aneurisma.

Garnbar 23. Foto (A) menunjukkan ekokardiografi 2-D tanpa


warna dengan potongan sumbu pendek setinggi aorta, terlihat
hubungan antara aorta dan a.pulmonalis kiri. Sedangkan foto (B)
menunjukkan arah aliran (rnerah) dari aorta dengan velositi pada
doppler yang kontinyu pada fase sistol dan diastol

KOARKTASIO AORTA (KA)


Definisi dan Morfologi
Merupakan stenosis atau penyempitan lokal atau segmen
hipoplastib )any panjang. Pertama kali ditemukan oleh
Morgagni pada tahun 1760 pada autopsi dari seorang rahib,
kemudian di.jelaskan secara rinci patoanatominya oleh Jordan ( 1827) dan Reynaud (1 828).
Pada dewasa lokasi tersering KA ditemukan pada
pertemuan arkus aorta dan aorta desenden, segera
sesudah rnuara dari arteri subklavia kiri. Pada keadaan
tertentu, tetapi jarang dapat juga ditemukan pada aorta
abdominalis.
Koarktasio Aorta dapat berupa kelainan tersendiri (KA
sin~ple),tanpa kelainan jantung lain. Dapat berupa KA
kompleks yang disertai kelainan intra kardiak seperti katup
aorta bukuspid, defek septum ventrikel, kelainan katup
mitral, serta ekstra kardiak berupa aneurisma sirkulus dari
Willisi atau sindrom Turner.
Manifestasi Klinis
Sangat tergantung pada derajat KA dan adanya kelainan
kardiovaskular penyerta. Pada pasien yang tidak diobati,
60% KA berat tanpa penyerta dan 90% yang disertai
kelainan jantung penyerta. akan meninggal pada tahuntahun pertama kehidupan. Walaupun ekspektasi umur rata-

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNC KONCENITAL PADA DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


rata KA adalah 35 tahun, ada yang bertahan hidup sampai
umur lanjut.
Pasien yang bertahan hidup sampai dewasa tanpa
diobati biasanya mempunyai kelainan KA pasca duktal
yang ringan, umumnya asimtomatik dalam waktu lama.
Sering tidak ditemukan tekanan darah yang tinggi ,
oleh karena itu diagnosis baru ditegakkan sesudah umur
dewasa.
Masalah yang mungkin timbul nantinya dapat berupa
dan mungkin sebagai penyebab kematian adalah gaga1
jantung kiri (28%), perdarahan intrakranial (12%),
endokarditis bakterialis (18 %), ruptur atau diseksi
aorta (21%), dan penyakit jantung koroner yang lebih
awal.
Gejala
Pasien dewasa biasanya hipertensi, dan dapat ditemukan
bising, walaupun pada dewasa sering asimtomatik.
Gejala yang khas akibat tekanan darah tinggi pada
badan bagian atas dapat berupa sakit kepala, perdarahan
hidung, melayang, tinitus, tungkai dingin, angina
abdomen, kelelahan tungkai pada latihan bahkan
perdarahan intrakranial. Klaudikasio tungkai dapat
menggambarkan KA abdominalis.
Pemeriksaan Fisis
Tekanan darah sistolik lebih tinggi pada lengan dibanding
tungkai, tetapi tekanan diastolik sama, oleh karena itu
tekanan nadi di lengan akan besar. Pulsasi arteri fernoralis
lemah dan terlambat dibanding arteri radialis. Dapat teraba
thrill sistolik pada pada daerah suprasternal. Bila disertai
aorta bikuspid, dapat terdengar bising sistolik tipe ejeksi,
dan suara kedua mengeras. Bising sistolik kasar tipe ejeksi
dapat terdengar sepanjang garis sternal kiri dan belakang,
terutama didaerah koarktasio. Adanya kolateral dapat
menimbulkan bising kontinyu.

Ekokardiografi
Tidak terlalu mudah untuk mendeteksi isthmus aorta,
pengambilan sudut dari supra sternal dapat membantu.
Dengan ekokardiografikardiografi dapat dilihat kelainan
akibat koarktasio atau adanya kelainan intra kradiak yang
menyertai.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
Computed Tomography
Dapat memberikan gambaran seluruh aorta, dan merupakan
pemeriksaan pilihan non invasif untuk KA. Dengan MRI
dan CT dapat ditentukan lokasi dan derajat penyempitan
aorta.
Kateterisasi
Merupakan baku emas untuk evaluasi anatomi KA serta
pembuluh supraaortik, dapat ditentukan gradien tekanan
yang menggambarkan derajat KA, fungsi ventrikel kiri, dan
status arteri koroner.
Penatalaksanaan
Tindakan operatif, dengan tujuan menghilangkan
stenosis dan regangan pada dinding aorta, serta
mempertahankan patensi dari aorta. Reparasi segera
sesudah diagnosis pada usia muda mempunyai risiko yang
lebih kecil dibanding usia yang lebih lanjut. Sesudah 30 40 tahun mortalitas intra-operatif tinggi akibat akibat
adanya proses degenerasi pada dinding aorta.
Tindakan intervensi berupa angioplasti dengan atau
tanpa implanttasi stent mempakan pengobatan alternatif
baik pada anak-anak maupun dewasa.
Pada kondisi rekoarktasio, terdapat kesepakan bahwa
pilihan lebih kepada tindakan angioplasti baik dengan atau
tanpa stent .

TETRALOG1 FALLOT (TF)


Elektrokardiografi
Dapat memberikan gambaran berbagai derajat beban
tekanan pada atrium dan ventrikel kiri, secara fungsional
akibat hipertensi, berupa hipertrofi atrium dan ventrikel
kiri.
Foto Rontgen Dada
Ukuran jantung pada radiografi toraks bisa normal, dilatasi
aorta asenden, kinking atau gambaran double contour
di daerah aorta desenden, sehingga terlihat gambaran
seperti angka tiga dibawah aortic knob ('figure 3' sign),
serta pelebaran bayangan jaringan lunak arteri subklavia
kiri.
Rib notching dari daerah posteroinferior kosta ketiga
dan keempat, terjadi akibat kolateral arteri sela iga, jarang
terlihat sebelum umur 50 tahun.

DefinisilMorfologi
Pertama kali dijelaskan oleh Nicholas Steno (1673), dan
pada tahun 1888 Etienne-Louis Arthur Fallot menjelaskan
hubungan klinis dengan perubahan patologis. Secara
anatomis malformasi terdiri dari stenosis katup pulmonal
(umumnya stenosis subinfundibular), defek septum
ventrikel, deviasi katup aorta ke kanan sehingga kedua
ventrikel bermuara ke aorta (overriding aorta), hipertrofi
ventrikel kanan. Defek septum ventrikel, defek biasanya
tunggal, besar dan bersifat non restriktif, 80% bersifat
perimembran. Stenosis pulmonal, pada sebagian besar
kasus stenosis subinfundibular, katup biasanya abnormal,
walaupun biasanya bukan sebagai penyebab utama
obstmksi. Dapat juga terjadi atresia dari infundibulum atau
katup, serta hipoplasia dari arteri pulmonal. Aorta

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


overriding, derajat override aorta terhadap ventrikel kanan
bervariasi dari 5 - 95%. Oleh karena itu Tetralogi Fallot
bisa sebagai double outlet ventrikel kanan bila lebih dari
50 % muara aorta berada di ventrikel kanan. Hal ini penting
saat tindakan koreksi di mana diperlukan penutup yang
lebih besar. Lesi yang menyertai, penting diketahui karena
mempunyai nilai pada saat tindakan koreksi bedah. Dapat
berupa DSA, DSV tipe muskular, defek septum
atrioventrikular anomali arteri koroner.

Gambaran Klinis
Perubahan fisiologis yang terjadi tergantung dua variabel,
derajat obstruksi pulmonal, dan resistensi vaskular
sistemik. Sebagian besar pasien dengan TF akan
mengalami gangguan pertumbuhan, kadang terjadi
sirkulasi kolateral ke paru sehingga dapat
mempertahankan pertumbuhan. Sianosis yang terjadi
simetris, akibat pirau dari ventrikel kanan ke kiri melalui
defek besar yang non-restriktif. Hipertrofi ventrikel kanan
biasanya tidak terlalu berat, lain halnya pada hipoplasi
arteri pulmonal, sehingga tidak sampai terjadi obliterasi
rongga ventrikel kanan. Sehingga masih dimungkinkan
tindakan reparasi Bila obstruksi pulmonal tidak terlalu berat
maka derajat sianosispun ringan, dikenal sebagai
acyanotic Fallot atau pink tetralogy, dan kadang-kadang
ditemui pada dewasa muda.
Cepat Lelah
Hypoxic spells, merupakan ha1 penting berupa paroksismal
hiperpnea, hipoksia, anoksia, biru atau serangan sinkop.
Riwayat jongkok pada keadaan tertentu, akan
menurunkan aliran darah balik yang kurang kandungan
oksigennya, meningkatkan resistensi sistemik sehingga
aliran darah ke paru akan besar, saturasi oksigen akan
meningkat.
Adanya gelombang pada dinding dada pada bagian
bawah sternum akibat gerakan hiperdinamik ventrikel
kanan yang mengalami hipertrofi. Suara jantung I normal,
bising sistolik akibat aliran darah melalui daerah stenosis
bukan melalui defek septum, terdengar di sela iga 11, 111
garis sternal kiri.
Bunyi jantung I1 keras dan tunggal bukan karena
komponen pulmonal tetapi aorta yang biasanya melebar,
pada keadaan ini dapat terdengar bising ejeksi sistolik .
Dapat terdengar bising kontinu yang berasal dari
kolateral aortopulmonal, merupakan tanda penting dari
atresia pulmonal.
Elektrokardiogram, menunjukkan gelombang P tajam
dengan amplitudo yang normal, dapat disertai dengan
hipertrofi ventrikel kanan.
Foto Rontgen toraks menunjukkan ukuran jantung bisa
normal, paru oligemik, aorta asenden prominen, segmen
pulmonal cekung, apek terangkat keatas memberikan
gambaran seperti sepatu bot.

Penatalaksanaan
Operasi reparasi biasanya dilakukan pada masa anak-anak,
namun dapat saja ditemukan TF pada dewasa muda tanpa
tindakan operatif sebelurnnya. Bila ditemukan pada dewasa
operasi masih dianjurkan karena hasilnya bila dibandingkan
dengan operasi pada masa anak-anak sama baiknya.
Bentuk operasi adalah penutupan DSV dan
menghilangkan obstruksi pulmonal. Upaya menghilangkan
obstruksi ini dapat melalui valvulotomi pulmorial, reseksi
otot infimdibulum pada muara pulmonal, implanttasi katup
pulmonal baik homogra8 atau bioprotese katup babi, atau
operasi pintas ekstra kardiak antara ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis dan dapat pula dilakukan angioplasti pada
arteri pulmonalis sentral.
Sedangkan terapi medikamentosa, mencakup
pemakaian antibiotika untuk mencegah endokarditis,
penghambat beta untuk menurunkah frekuensi denyut
jantung sehingga dapat menghindari spell, dan bila
diperlukan dapat dilakukan flebotomi.
TRANSPOSISI PEMBULUH DARAH BESAR
(TPB)
Definisi
Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Baillie pada tahun
1797, dan kemudian oleh Farre pada tahun 1814. Biasanya
50 % disertai oleh kelainan kongenital lain .Defek septum
ventrikel paling sering menyertai TPB, disusul obstruksi
muara aorta dan koartasio aorta.
Anatomis
Dikenal ada dua macam TPB,
1. Transposisi pembuluh darah besar lengkap
Merupakan kondisi anatomi di mana aorta keluar dari
ventrikel kanan, dan arteri pulmonal keluar dari ventrikel
kiri, hubungan ini disebut sebagai ventriculo-arterial
discordance. Sementara hubungan antara atrium dan
ventrikel normal yang kita kenal sebagai atrioventricular concordance. Oleh karena itu transposisi ini dikenal
sebagai transposisi lengkap dan secara fisiologis tak
terkoreksi
2. Transposisi pembuluh darah besar terkoreksi, di sini
terjadi atrio ventricular dan ventriculoarterial
discordance.
Posisi ventrikel terbalik, ventrikel yang secara
morfologis ventrikel kanan berada dikiri, sebaliknya
ventrikel yang morfologis ventrikel kiri berada di kanan.
Gambaran Klinis I Diagnosis
Transposisi pembuluh darah besar komplit jarang bertahan
sampai dewasa kecuali bila disertai DSV atau DSA.
Sedangkan TPB terkoreksi bisa bertahan sampai dewasa

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

namun biasanya mengalami gaga1 jantung kiri akibat


kegagalan ventrikel yang secara morfologis merupakan
ventrikel kanan. Klinis ditemukan sianosis, gambaran
radiologis berupa meningkatnya corakan vaskular paru,
dan identifikasi ventriculoarterial discordance dengan
ekokardiografi

Gatzoulis, MA. Tetralogy of fallot. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD.,


Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and management of adult
congenital heart disease. 2003; p.3 15.
Hornung, T. Transposition of the great arteries. In: Gatzoulis, MA.,
Webb, GD., Daubeney, PEF. editors Diagnosis and management
of adult congenital heart disease. 2003; p.349.
Prasad S. Ventricular septal defect. In: Gatzoulis, MA., Webb. GD..
Daubeney,PEF. editors. Diagnosis and management of adult
congenital heart disease. 2003; p. 17 1.
Perloff, JK. The clinical recognition of congenital heart disease.
Clinical recognition of congenital heart disease. 3Id edition.
1987.
Shinebourne, WA., Ho, SY. Atrioventricular septal defect: complete
and partial (ostium primum atrial septal defect). In: Gatzoulis,
MA., Webb, GD., Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and
management of adult congenital heart disease. 2003; p.179.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1789

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA USIA LANJUT


Lukman H. Makmun

PENDAHULUAN
Perubahan yang terjadi pada usia lanjut (usila) adalah terjadi
proses menua, di mana secara struktur anatomi maupun
fungsional terjadi kemunduran, yaitu terjadi proses
degenerasi. Pada usila berusia 80-90 tahun terjadi penurunan
fungsi pada banyak organ dan sistem, sehingga yang tersisa
adalah sebagai berikut: kecepatan konduksi saraf tinggal
85%, Basal metabolic rate menjadi 80%, Volume cairan
tubuh juga menjadi SO%, sehingga mudah terjadi dehidrasi
bila ada infeksi, indeks kardiak menurun, tinggal 70%,
sehingga mudah terjadi sesak bila beraktivitas kapasitas
vital paru pun menurun, menjadi 68%, vital capacity
maksimum menjadi 40%, glomerularfiltration rate turun
menjadi 67%, renalplasmaflow tinggal: 40 - 47%
Pada sistem kardiovaskular, proses menua
menyebabkan: basal heart rate menurun, respons terhadap
stres menurun, LV compliance menurun: karena terjadi
hipertrofi, senile amyloidosis, pada katup terjadi sklerosis
dan kalsifikasi yang menyebabkan disfungsi katup, A V
node dan sistem konduksi fibrosis, komplains pembuluh
darah perifer menurun, sehingga afterload meningkat, dan
terjadi proses aterosklerotik.
Pada penyakit jantung koroner (PJK) yaitu IMA (infark
miokard akut) pada usila hanya 50% memberikan gejala
nyeri dada. Perbedaan yang terjadi pada pasien usia lanjut
ini adalah karena perubahan fisiologis, ataupun terkena
suatu penyakit penyerta lain, sehingga akibat ataupun
efeknya akan berbeda juga. Penyakit jantung yang sering
terdapat pada usia lanjut adalah : penyakit jantung koroner,
aritmia, gaga1jantung di samping hipertensi.

PENYAKITJANTUNG KORONER (PJK)

Natural history sama seperti dengan pasien muda. Dimulai

dari proses aterosklerosis awal, yang dipicu dengan adanya


berbagai faktor risiko baik yang konvensional maupun
yang novel (barn). Pada usia lanjut perempuan dengan
menurunnya kadar estrogen, prevalensi PJK meningkat,
menyamai prevalensi pada pria. PJK ini sangat sering
didapatkan pada populasi usia lanjut, karena progresivitas
proses aterosklerosis akibat proses menua. Di Indonesia,
menurut WHO-Community study of the elderly di Jawa
Tengah tahun 1990 angka morbiditas karena penyakit
kardiovaskular pada usia lanjut menduduki tempat kedua
setelah rematisme. Manifestasi klinis antara pasien PJK
usia lanjut dan pasien usia dewasa muda berbeda, sehingga
PJK pada usia lanjut kadang-kadang tidak atau salah
terdiagnosis. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya
penyakit penyerta (superimposed). Selain itu pada pasien
usila, karena sudah menurunnya aktivitas fisik, keluhan
sakit dada yang biasanya terpicu oleh aktivitas fisik, tidak
akan terasa. Karena itu keluhan sesak napas (dyspnea)
akan lebih banyak terasa daripada nyeri dada sebagai
keluhan utama, baik pada kasus angina pektoris ataupun
pada infark miokard. Hal ini mungkin karena sudah terjadi
perubahan pada miokard dan kelenturan perikard (compliance) karena proses menua sehingga terjadi gangguan
fungsi diastolik ventrikel. Di samping itu dengan adanya
penyakit penyerta seperti emfisem paru akan lebih
memperkuat timbulnya keluhan sesak napas dibanding
nyeri dada sendiri. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan khusus. Kelainan seperti gallop S4 ataupun bising
sistolik sering didapat juga pada pasien usila tidak dengan
kalainan jantung akibat proses menua. Pemeriksaan
penunjang test treadmill dapat dipergunakan pada pasien
dengan dugaan PJK, tetapi perlu diperhatikan
keterbatasannya, misal pengaruh obat antara lain digitalis
ataupun kemampuan durasi latihan. Pemeriksaan cardiac
imaging dengan thallium scanning dapat menolong, bila
hasil tes treadmill negatif, sedangkan pasien tersebut

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1791

PENYAKIT JANTUNG PADA USIA LANJUT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sangat dicurigai menderita PJK. Pemeriksaan angiografi
koroner bukan merupakan kontra indikasi untuk dilakukan
pada pasien usila, tetapi tetap dengan memperhitungkan
cost and benefit setiap tindakan.
Pengobatan pada iskemia kronik. Sebenarnya sarna seperti
pada usia muda. Semua faktor risiko yang dapat dimodifikasi
hams diatasi. Penyakit-penyakit seperti anemia, hipertensi
dan gagal jantung sering didapat pada usila, sehingga hams
diperhatikan, begitu juga dengan kepatuhan minum obat.
Farmaka yang diberikan sama seperti pada pederita muda,
tetapi hams diperhatikan adalah mencegah polifarmasi,
interaksi obat, efek samping dan pengaturan dosis obat
mengingat daya metabolisme dan daya sekresi obat sudah
menurun untuk mencegah intoksikasi, yang kesemuanya
ini karena sudah terjadi proses menua pada semua organ.
Seandainya dengan pengobatan konservatif tidak
memberikan hasil yang memuaskan, PTCA (percutaneous
trans coronary angioplasty) dapat dipertimbangkan. Lebih
lanjut tindakan operasi By-pass arteri koroner (CABG) pada
usila juga masih dapat dipertimbangkan dengan lebih hatihati mengingat angka mortalitas, morbiditas akan lebih
tinggi.
Pada infark miokard akut (IMA). Kemungkman komplikasi
yang perlu diperhatikan adalah edema paru, gagal jantung
kongestif, ruptur ventrikel . Meningkatnya insidens ini
belum diketahui dengan pasti patofisiologinya, ada
kemungkinan karena sudah berkurangnya fkngsi miokard
yang masih sehat, kerusakan miokard sebelumnya,turunnya
respons terhadap katekolamin, efek hipertensi atau luasnya
infark. Perubahan karena proses menua terjadi perubahan
pada tebal dinding ventrikel, impendans di perifer
meningkat, muatan kolagen berkurang, ataupun sudah
adanya proses inflamasi miokard yang kesemuanya ini
mempengaruhikerja miokard sendiri. Pengobatanjuga tidak
berbeda dengan pasien dewasa muda. Perlu diperhatikan
efek samping dari obat tertentu, misal pemberian heparin

dapat lebih mudah menimbulkan pendarahan sehingga


perlu lebih ketat pengawasannya dan juga efek lidokain
terhadap susunan saraf pusat yang dapat menurunkan
kesadaran.

Aritmia
Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih
sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap
hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun
banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat
juga menyebabkan angina, gagal jantung. Perlu diperiksa
faktor presipitasi seperti kadar elektrolit darah, efek digitalis, hipertiroidisme, anemia, emboli paru dan gagal
jantung. Pengobatan dengan anti aritmia tergantung dari
beratnya simtom dengan memperhatikan kekhususan pada
usila seperti efek samping, dosis dan juga mengobati
penyakit dasamya, serta mengatasi faktor presipitasinya.
Bradiaritmia sering didapat pada usila, meskipun tak
ada penyakit jantungnya. Hal ini berkaitan dengan
perubahan pada sinus node, hipersensitif refleks sinus
caroticus atau pengaruh obat seperti digitalis, penyekat
beta, antagonis kalsium dan obat anti hipertensi lain.
Pengobatan tergantung simtom yang timbul, dan dapat
diberikan sulfas atropin, isoproterenol. Bila berat, dapat
dipertimbangkan untuk pemasangan pace maker baik
sementara maupun permanen.

REFERENSI
Cardiovascular Disease in the Elderly. Editor: Aronou WS, Fleg
JL.New York. Marcel Dekker Inc. Ed.3. 2004
Weisfeldt ML, Lakatta EG, Gerstenblith G. Aging and cardiac
disease. In: Braunwald E, editor : Heart Disease. A textbook of
cardiovascular medicine. Philadelphia. WB Saunders co. 1998.
Ed.3. p. 1650-60.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

MANIFESTASI KLINIS JANTUNG


PADA PENYAKIT SISTEMIK
Idrus Alwi

DIABETES MELITUS
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama
kematian pada DM, diperkirakan dua pertiga dari semua
kematian. Tiga perempat dari penyebab kematian ini karena
penyakit jantung koroner ( PJK ). Penelitian menunjukkan
pasien DM tipe 2 tanpa riwayat infark miokard mempunyai
risiko terjadinya infark sama dengan pasien non DM yang
mempunyai infark miokard sebelumnya sehingga DM saat
ini dianggap sebagai coronary risk equivalent.

PENYAKITJANTUNG KORONER
Angka kejadian aterosklerosis pada pembuluh darah besar
dan infark miokard meningkat pada pasien diabetes
melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus juga merupakan
faktor risiko independen untuk penyakit jantung koroner
dan angka kejadian penyakit jantung koroner
berhubungan dengan lama menderita diabetes. DM tipe
2 meningkatkan risiko terjadinya PJK sebanyak 2 kali lebih
besar. Diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan
risiko kematian karena PJK pada pria maupun perempuan
dan peningkatan mortalitas pasca infark miokard akut.
Pada pasien diabetes melitus, infark miokard tidak hanya
terjadi lebih sering namun juga cenderung lebih berat
dan cenderung mengakibatkan komplikasi seperti gagal
jantung, syok, dan kematian. Pada pasca infark miokard
akut, fatalitas pasien DM lebih tinggi daripada pasien
non DM. Pasien DM dengan angina pektoris tak stabil
menunjukkan mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan
kelompok non-DM.
Pasien diabetes melitus mungkin tidak mempunyai
respons nyeri terhadap adanya iskemia miokard,

kemungkinan karena disfungsi sistem saraf autonom


menyeluruh. Pemantauan EKG holter menunjukkan sampai
90% episode iskemia tidak dikeluhkan (silent)pada pasien
diabetes dengan penyakit jantung koroner; presentasi
iskemia mungkin berupa sesak saat aktivitas atau episodik,
edema paru, aritmia, blok jantung, atau sinkop.
Karena penyakit jantung koroner lebih sering
ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus dan
seringkali tidak berhubungan dengan gejala-gejala angina yang khas, maka threshold diagnosis harus rendah,
terutama jika penyakit sudah berlangsung lama dan
terdapat faktor risiko terkait untuk penyakit
jantung koroner (misalnya hipertensi, merokok,
hiperlipidemia).

Penelitian epidemiologi, autopsi, penelitian hewan dan klinis


menduga adanya penyakit jantung diabetik atau
kardiomiopati diabetik sebagai entity klinis yang berbeda
yang tidak berhubungan dengan hipertensi dan penyakit
jantung koroner.
Pasien diabetes melitus mungkin mengalami difungsi
miokardial berupa kardiomiopati restriktif tanpa adanya
penyakit jantung koroner, dengan relaksasi abnormal
miokard, dan dibuktikan secara klinis dengan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang meningkat.
Mekanisme yang mendasari terjadinya kardiomiopati
diabetik adalah multifaktorial antara lain gangguan
metabolik berupa deplesi glucose transporter 4,
peningkatan asam lemak bebas, perubahan metabolisme
energi miokard, defisiensi karnitin dan perubahan
homeostasis kalsium; fibrosis miokard dikaitkan dengan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

MANIFESTAS1 KLINIS JANTUNC PADA PENYAKIT SISTEMIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


peningkatan angiotensin 11, IGF-I, dan sitokin inflamasi;
penyakit pembuluh kecil (mikroangiopati, penurunan
cadangan aliran koroner dan disfungsi endotel), resistensi
insulin (hiperinsulinemia dan penurunan sensitivitas
insulin) dan neuropati autonom jantung (denervasi dan
perubahan kadar katekolamin miokardial).
Manifestasi klinis kardiomiopati diabetik awalnya
berupa disfungsi diastolik, mulai dari disfungsi diastolik
ringan sampai berat dan berlanjut menjadi disfungsi
sistolik. Prevalensi disfungsi diastolik pada pasien DM
tipe 2 dengan menggunakan ekokardiografi Doppler
dilaporkan cukup tinggi. Prevalensi disfungsi diastolik
pada pasien DM tipe2 yang terkendali sebesar 60%.
Penelitian pada pasien DM tipe2 tanpa kelainan
kardiovaskular (hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit jantung koroner dan penyakit jantung valvular) mendapatkan prevalensi disfungsi diastolik 73,3%.
Penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara
mikroalbuminuria dengan disfungsi sistolik dan diastolik.
Penelitian lain dengan menyingkirkan penyakit
kardiovaskular menunjukkan tidak ada hubungan antara
mikroalbuminuria dengan difungsi diastolik.
Secara histologis, pasien-pasien ini memiliki fibrosis
interstisial dengan jumlah kolagen, glikoprotein,
trigliserida, dan kolesterol yang meningkat pada
interstisium miokard. Pada beberapa kasus ditemukan
penebalan intima, deposisi hialin, dan perubahan inflamasi
pada arteri-arteri intramural kecil.
Insidens gagal jantung yang tinggi dan prognosis yang
buruk pada pasien DM, selain karena faktor hipertensi dan
penyakit jantung koroner, dikaitkan juga dengan adanya
kardiomiopati diabetik. Gagal jantung dapat terjadi pada
pasien DM tanpa adanya koeksistensi dengan hipertensi
dan atau stenosis arteri koroner yang bermakna. Pasien
diabetes melitus memiliki risiko lebih besar mengalami gagal
jantung klinis, bahkan setelah koreksi penyakit jantung
koroner, hipertensi, dan kegemukan, dan mungkin
kardiomiopati diabetik memberi kontribusi pada angka
kesakitan dan angka kematian kardiovaskular yang
meningkat pada pasien DM. Ada beberapa bukti
menunjukkan terapi insulin memperbaiki disfungsi
miokardial.
Mengingat prevalensi kardiomiopati diabetik diketahui
cukup tinggi pada pasien DM tipe 2 yang asimtomatik,
maka untuk mencegah progresivitas menjadi gagal jantung
perlu ditegakkan diagnosis secara dini. Deteksi dini
kardiomiopati diabetik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan ekokardiografi Doppler baik untuk melihat
disfungsi diastolik dengan berbagai stadiumnya yaitu;
abnormalitas relaksasi (disfungsi diastolik ringan),
pseudonormal (disfungsi diastolik sedang), gangguan
restriksi (disfungsi diastolik berat), maupun disfungsi
sistolik.
Penatalaksanaan kardiomiopati diabetik adalah dengan

pengendalian gula darah. Pengobatan lain yang mungkin


efektif dalam mencegah atau menghambat kardiomiopati
diabetik antara lain : inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE ) dan antagonis reseptor angiotensin. Obat
lain yang menunjukkan manfaat pada penelitian hewan
antara lain antagonis kalsium, terapi penurun lipid,
antioksidan dan obat insulin sensitizer

Penelitian klinis dan epidemiologi menunjukkan obesitas


mempunyai hubungan kuat dengan semua faktor risiko
kardiovaskular. Obesitas berat, terutama jika terjadi pada
distribusi tubuh bagian atas, berhubungan dengan
peningkatan angka kesakitan dan kematian kardiovaskular.
Meskipun obesitas itu sendiri tidak dianggap sebuah
penyakit, namun jelas terdapat peningkatan prevalensi
hipertensi, intoleransi glukosa, dan penyakitjantung koroner
aterosklerotik pada pasien-pasien yang obes.
Jaringan adiposa merupakan sumber beberapa molekul
yang potensial patogenik seperti : kelebihan asam lemak
nonesterifikasi, sitokin (tumor necrosisfactor-a), resistin,
adiponektin, leptin dan PAI-1. Kadar CRP yang tinggi juga
ditemukan pada obesitas yang menunjukkan kondisi
proinflamasi. Mekanisme yang mendasari hubungan antara
obesitas abdominal (sebagian obesitas viseral) dan
sindrom metabolik belum sepenuhnya diketahui dan
tampaknya kompleks. Diduga jaringan adiposa obes
melepas kelebihan asam lemak dan sitokin yang
menginduksi resistensi insulin.
Pasien mempunyai abnormalitas sistem
kardiovaskular yang berbeda, dengan ciri peningkatan
volume darah total and sentral, curah jantung dan tekanan
pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian ventrikel kiri
seringkali berada di batas atas normal dan meningkat
secara berlebihan dengan latihan. Sebagai hasil overload
volume kronik, dapat terjadi hipertropi jantung eksentrik
dengan dilatasi dan fungsi ventrikel yang abnormal.
Secara patologis, terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan
pada beberapa kasus, hipertrofi ventrikel kanan dan
dilatasi jantung menyeluruh, yang bukan hanya karena
infiltrasi lemak pada miokardium. Meskipun pasien-pasien
ini mungkin mengalami kongesti paru, edema perifer dan
intoleransi latihan, kesadaran terhadap temuan-temuan
ini mungkin tidak dipikirkan pada sebagian besar pasien
obes.
Penurunan berat badan merupakan terapi yang paling
efektif dan menghasilkan pengurangan volume darah dan
kembalinya curah jantung menjadi normal. Namun,
penurunan berat badan secara mendadak mungkin
berbahaya, karena pernah dilaporkan aritmia jantung dan
kematian mendadak dikarenakan ketidakseimbangan
elektrolit.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Cirmbrr t. Mekanii~cWngsi jentung pad8 obesitas

#ALNUTRISI DAN DEFlSlENSl VITAMIN

Pada @en

di mana a s u p protein, kaiosi, atau keduatlya


sangat k m g *jantmgnya rnungkh menjadi kecil, pucat,
dm lemah d q m atrofi miofibril dan edema interstisial.
Tekanan sistolik dan curah jantungnya rendah, dan
tekanea Raai sempit. Edema genedisata sering dijumpai
dan discbabkan karena kombinasi beberapa faktor,
rnmasuk pentekanan onkotik serum $tm disfungsi
miokardiol. Keadaan malnutrisi berat. pada kasus
kekurangan kafori disebut marasnus dan pada kasus
kekurangan protein yang relatif disebut kwashiorkor.
sangat m i n g dijumpai di negara-negara yang kurang
berkembang. Namun penyakit jantung nutrisioual yang
bennakne mungkin juga terjadi di negara-negara maju,
terutama pada pasien dengan penyakit kronis seperti
AIDS, pa& pasien dengan anoreksia nervosa, d m pada
pasien dengan gagal jantung berat di mana terdapat
hipoperfusi gastrointestinal dan kongesti vena yang
mungkin mengarah kepada anoreksia dan malabsorpsi.
Opemi jantung terbuka mempunyai risiko ymg lebih hesar
pada pasien kekurangan gizi, dan pasien mungkin
bermanfaat dengan pemberian hipcralimentasi praoperatif.
DEFlSlENSlTIAMIN ( BERI-BERI )

Pada banyak kasus, malnutrisi diikuti dengan kekurangan

tiamin, I-t~eskipun
hipovitaminosis ini mungkinjuga muncul
dengan keberadaan protein dan asupan kalori yang cukup,
terutama di Timur, di mana nasi yang kekurangan tiamin
menjadi komponen makanan utama. Di negara-negara
Barat, penggunaan tepung yang luas yang diperkaya
dengan tiamin menghambat adanya kekurangan tiamin
terutama pada pecandu alkohol dan ,foocl,faddi,st.
Pengukuran thiamine-pyrophusphareeffect (TPPE) secara
biokilnia dapat menghitung cadangan tiamin. TPPE yang
meninykst, merupakan indikasi kekurangan tiamin.
ditemukan pada 20 sampai 90% pasien dengan gagal
jantung kronis. Kekurangan tersebut nampaknya
disebabkan oleh asupan rnakanan yang dikurangi dan
peningkatan ekskresi tiamin urin qang dinduksi obat.
Peinberian tiamin akut pada pasien-pasien ini akan
meningkatkan fi-aksiejeksi ventrikel kiri dan pembuangan
garam dan air.
Secara klinis, biasanya terdapat bukti malnutrisi umum,
neuropati perifer, glossitis, dan anemia. Sindrom
kardiovaskular khas adalah gagal jantung dengan
peningkatan curah jantung. takikardia, dan seringkali
tekanan pengisian bagian kiri dan kanan jantung meninggi.
Penyebab utama keadaan jantung high-ourput ini adalah
depresi vasomotor, mekanisme yang tepat belum diketahui
namun mengarah pada penurunan resistensi vaskular
sistemik. Pemeriksaan jantung inenunjukkan trkanan nadi
melebar, takikardia, bunyi jantung ketiga (gcrllop) dan,
seringkali rerdengar murmur sistolik apikdl.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

MANIFESTAS1 KLlNlS JANTUNG PADA PENYAKIT SlSTEMlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


EKG mungkin menunjukkan voltase yang menurun,
interval QT yang memanjang, dan kelainan-kelainan
gelombang T. Pemeriksaan foto Rontgen dada umumnya
menunjukkan jantung membesar dengan tanda-tanda gagal
jantung kongestif. Respons pada tiarnin seringkali diamati,
dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik.,
penurunan curah jantung, hilangnya kongesti paru, dan
penurunan dimensi jantung yang sering terjadi dalaml2
sampai 48 jam. Meskipun respons pada pemberian
digitalis dan diuretik mungkin buruk sebelurn terapi tiamin,
obat tersebut mungkin penting setelah diberikan tiamin,
karena ventrikel kiri mungkin tidak mampu mengatasi
beban kerja yang meningkat yang dikarenakan kembalinya
tonus vaskular.

DEFISIENSI VITAMIN B,, B,,, DAN FOLAT


Vitamin-vitamin ini merupakan kofaktor pembantu dalam
metabolisme homosistein yang mungkin memberikan
kontribusi
dalam
sebagian
besar
kasus
hiperhomosisteinemia pada populasi umum.
Hiperhomosisteinemia
dihubungkan
dengan
meningkatnya risiko aterosklerosis. Namun, keuntungan
klinis menormalkan peninggian kadar homosistein masih
belum terbukti.

Hormon tiroid memberikan pengaruh yang besar pada


sistem kardiovaskular dengan sejumlah mekanisme
langsung atau tidak langsung. Efek kardiovaskular penting
pada hipo- dan hipertiroidisme. Hormon tiroid
menyebabkan peningkatan pada metabolisme dan
konsumsi oksigen seluruh tubuh yang secara tidak
langsung memberikan beban kerja tambahan pada jantung.
Selain itu, meskipun mekanisme yang jelas belum
didefinisikan, hormon tiroid memberikan efek langsung
inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan
apa yang terlihat dengan stimulasi adrenergik (misalnya
takikardia, peningkatan curah jantung). Hormon tiroid
meningkatkan sintesis miosin dan Na+, K+-ATPase, seperti
halnya dengan densitas reseptor miokardial a-adrenergik.

Manifestasi kardiovaskular hipertiroidisrne termasuk


berdebar, hipertensi sistolik, lelah atau, pada pasien-pasien
dengan penyakit jantung tersembunyi, angina atau gagal
jantung. Takikardia sinus ditemukan pada sekitar 40%
pasien dan fibrilasi atrial pada sekitar 15% pasien.
Penemuan-penemuan lainnya termasuk prekordium

hiperdinamik, tekanan nadi melebar, peningkatan pada


intensitas bunyi jantung pertama dan komponen pulmonik
pada bunyi jantung kedua, dan bunyi jantung ketiga.
Peningkatan angka kejadian prolaps katup mitral
berhubungan dengan hipertiroidisme, dan pada beberapa
kasus mungkin ada murmur mid sistolik yang terdengan
paling jelas pada left sternal border dengan atau tanpa
systolic ejection click. Means-Lerman scratch adalah
suara sistolik yang kasar, terdengar pada ruang interkostal
kedua kiri selama ekspirasi; karena pergesekan perikardium
hiperdinamik pada pleura.
Pasien lanjut dengan hipertiroidisme, yang disebut apathetic hyperthyroidism, mungkin muncul hanya berupa
manifestasi kardiovaskular tirotoksikosis, seperti fibrilasi
atrial, yang mungkin resisten terhadap terapi sampai
hipertiroidisme dapat terkendali. Angina pektoris dan gagal
jantung kongestif jarang terjadi kecuali ada penyakit
jantung yang tersembunyi, dan pada banyak kasus gejalagejala akan hilang dengan pengobatan hipertiroidisrne.

Manifestasi kardiak hipotiroidisme termasuk penurunan


curah jantung, volume sekuncup (stroke volume),frekuensi
jantung, tekanan darah, dan tekanan nadi. Pada sekitar
sepertiga pasien terdapat efusi perikardial yang jarang
menimbulkan tamponad. Permeabelitas kapiler yang
meningkat menyebabkan efusi perikard dan pleura. Tandatanda klinis lainnya mencakup kardiomegali, bradikardia,
denyut nadi melemah dan bunyi jantung menjauh.
Meskipun tanda-tanda dan gejala miksedema mungkin
mengarah ke diagnosis gagal jantung kongestif, tanpa
adanya penyakit jantung lainnya, kegagalan miokard jarang
dijumpai. EKG umumnya menunjukkan sinus bradikardia
dan voltase rendah dan mungkin menunjukkan interval
QT memanjang, penurunan voltase gelombang P, waktu
konduksi AV memanjang, gangguan-gangguan konduksi
intraventrikular dan kelainan gelombang ST-T nonspesifik. Foto rontgen dada mungkin menunjukkan
kardiomegali, seringkali dengan konfigurasi "water bottle",
efusi pleura, dan, pada beberapa kasus, terdapat gagal
jantung kongestif. Secara patologis, jantungnya pucat,
dilatasi, dan flabby, seringkali dengan pembengkakan
miofibril, hilangnya, dan fibrosis interstisial.
Pasien hipotiroidisme seringkali mengalami
peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit
aterosklerosis arteri koroner berat. Sebelum pengobatan
dengan hormon tiroid, pasien hipotiroidisme seringkali
tidak mengalami angina pektoris, kemungkinan karena
kebutuhan metabolik yang rendah. Angina dan infark
miokard mungkin terjadi selama permulaan penggantian
hormon tiroid, terutama pada pasien-pasien berusia lanjut
dengan penyakit jantung yang tersembunyi. Oleh karena

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

itu, penggantian harus dilaksanakan dengan hati-hati,


dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara
berkala.

KARSlNOlD GANAS
Tumor-tumor ini terdiri dari sejumlah amin vasoaktif
(misalnya serotonin), kinin, indol, dan bahan-bahan lain
yang dipercaya mengakibatkan diare,jlushing, dan tekanan
darah yang labil. Lesi kardiak, karena karsinoid gastrointestinal, hampir hanya ditemukan pada sisi kanan jantung
dan hanya muncul saat ada metastasis ke hati,
menunjukkan bahwa substansi yang mengakibatkan lesi
tersebut diinaktivasi oleh jalur yang melalui hati dan paruparu. Lesi-lesi yang serupa muncul pada sisi kiri jantung
saat terdapat shunt kanan ke kiri atau ketika terdapat
tumor pada paru-paru. Lesi-lesi ini berupaJibrousplaques
pada endotelium ruang jantung, katup, dan pembuluh besar
jantung. Plak-plak ini, yang mengakibatkan distorsi pada
katup-katup jantung, terdiri dari sel-sel otot halus yang
tertanam pada stroma dari mukopolisakarida asam dan
kolagen dan kemungkinan disebabkan oleh penyembuhan
luka endotel.
Gejala klinisnya seringkali berupa regurgitasi trikuspid,
stenosis pulmonal, atau keduanya. Pada beberapa kasus
keadaan jantung high-output mungkin terjadi,
kemungkinan akibat penurunan resistensi vaskular
sistemik yang disebabkan oleh substansi vasoaktif yang
dilepaskan oleh tumor. Progresi lesi-lesi kardiak tampaknya
tidak terpengaruh oleh antagonis serotonin, dan, pada
pasien yang memiliki gejala berat, diindikasikan
penggantian katup. Spasme arteri koroner, kemungkinan
disebabkan oleh substansi vasoaktif dalam sirkulasi,
mungkin ditemukan pada pasien sindrom karsinoid.

FEOKROMOSITOMA
Selain menyebabkan hipertensi labil atau menetap, kadar
katekolamin dalam sirkulasi yang tinggi yang disebabkan
oleh peokromositomajuga munglun menyebabkan kerusakan
miokard langsung. Nekrosis miokard fokal dan infiltrasi sel
inflamasi ditemukan pada sekitar 50% pasien yang
meninggal karena peokromositoma dan mungkin berperan
dalam gagal ventrikel kiri yang bermakna dan edema pam.
Selain itu, hipertensi menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri.
Fungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif mungkin
menghilang setelah pengangkatan tumor.

AKROMEGALI
Efek hormon pertumbuhan yang berlebihan pada fungsi
jantung mengakibatkan gagal jantung kongestif yang

mungkin disebabkan oleh curah jantung yang tinggi,


disfungsi diastolik yang disebabkan oleh hipertrofi
ventrikel (dengan peningkatan pada ukuran atau ketebalan
dinding ruang ventrikel kiri), atau disfungsi sistolik
global. Hipertensi muncul pada sampai sepertiga pasien
dengan ciri supresi aksis renin aldosteron dan peningkatan
pada jumlah sodium tubuh dan volume plasma. Penyakit
jantung muncul pada sekitar sepertiga pasien akromegali,
dan berhubungan dengan penggandaan risiko kematian
karena penyakit jantung.
Manifestasi kardiovaskular pada penyakit sistemik lain
seperti penyakit kolagen akan dibahas dalam bab
tersendiri.

REFERENSI
Lee WL, Cheung AM, Cape D, Zinman B. Impact of diabetes on
coronary artery disease in women and men. A meta-analysis of
prospective studies. Diabetes Care 2000; 23:962-8.
Goldberg RB. Cardiovascular disease in diabetic patients. Med Clin
North Am 2000; 84:81-93.
Colucci WS, Price DT. Cardiac tumors, cardiac manifestations of
systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper et al.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th Ed.New York.
McGraw Hi11.2005.p.1420-5.
Haffner SM, Lehto S, Ronnemaa T, Pyorala K, Laakso M.
Mortality from coronary heart disease in subjects with type 2
diabetes and nondiabetic subjects with and without prior
myocardial infarction. N Engl J Med 1998; 339:229-34.
James RW. Diabetes and other coronary heart disease risk
equivalents. Curr Opin Lipidol 2001 ; 12:425-3 1.
Haffner SM. Coronary heart disease in patients with diabetes. N
Engl J Med 2000; 342:1040-2.
Cho E, Rimm EB, Stampfer MJ, Willet WC, Hu FB. The impact of
diabetes mellitus and prior myocardial infarction on mortality
from all causes and from coronary heart disease in men. J Am
Coll Cardiol 2002; 40:954-60.
Hu FB, Stampfer MJ, Solomon CG, Liu S, Willet WC, Speizer FE, et
al. The impact of diabetes mellitus on mortality from all causes
and coronary heart disease in women. 20 years of follow up.
Arch Intern Med 2001; 161:1717-23.
Mukamal KJ, Nesto RW, Cohen MC, Muller JE, Maclure M, Shenvood
JB, et al. Impact of diabetes on long-term survival after acute
myocardial infarction. Diabetes Care 2001; 24:1422-7.
Miettinen H, Lehto S, Salomaa V, et al. Impact of diabetes on
mortality after the first myocardial infarction. Diabetes Care
1998; 21 :69-75.
Fava S, Azzopardi J, Agius-Muscat H: Outcome of unstable angina in
patients with diabetes mellitus. Diah Med 1997; 14:209-13.
Nichols GA, Gullion CM, Koro CF, Ephross SA, Brown JB. The
incidence of congestive heart failure in type diabetes. An
update. Diabetes Care 2004;27: 1879-84.
NHLBI Working Group on Cellular and Molecular Mechanism of
Diabetic Cardiomyopathy. 1998
Bloomgarden ZT. Cardiovascular disease and diabetes. Diabetes Care
2003;26:230-7.
Bell DSH. Heart failure. The frequent, forgotten, and often fatal
complication of diabetes. Diabetes Care 2003;26:2433-41.
Mizushige K, Yao L, Noma T, Kiyomoto H, Yu Y. Hosomi N,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

MANIFESTAS1 KLlNlS JANTUNC PADA PENYAKIT SISTEMlK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Ohmori K, Matsuo H. Alteration in left ventricular diastolic
filling and accumulation of myocardial collagen at insulinresistant prediabetic stage of type I1 diabetic rat model.
Circulation 2000;101:899-907.
Alwi I. Deteksi dini dan tatalaksana kardiomiopati diabetik. In: Alwi
I, Widjaya IP, Nasution SA. Prosiding Simposium Pendekatan
Holistik Penyakit Kardiovaskular IV. Jakarta; Pusat lnformasi
dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI.
2005.p. 128-38.
Bertoni AG, Tsai A, Kasper EK, Brancati FL. Diabetes and
idiopathic cardiomiopathy. A nationwide case-control study.
Diabetes Care 2003;26:2791-5.
Bell DSH. Diabetic cardiomiopathy. Diabetes Care 2003;26:294951
Francis GS. Diabetic cardiomyopathy: fact or fiction? Heart 2001;
85:247-8.
Fein FS, Sonnenblick EH. Diabetic cardiomyopathy. Cardiovasc Drugs
Ther 1994; 8:65-73.
Porier P, Bogaty P, Garneau C, Marois L, Dumesnil JG. Diastolic
dysfunction in normotensive men with well-controlled type 2
diabetes. Diabetes Care 2001 ; 2 4 5 - 10.
Nugroho BS, Rahman AM, Suryadipradja RM, Waspadji S. Diastolic
dysfunction in type diabetes mellitus without cardiovascular
abnormality. Acta Med lndones 2003; 35:131-5.
Alwi I, Harun S, Soehardjono et al. Left ventricular diastolic
dysfunction in type 2 diabetes mellitus patients without
cardiovascular disease: the association with microalbuminuria.
Med J Indones 2005;14: 169-72
Fang ZY, Prins JB, Marwick TH. Diabetic cardiomyopathy:
evidence, mechanism, and therapeutic implications. Endocrine
Reviews 2004; 25(4):543-67.

Gmndy SM, Howard B, Smith S, Eckek R, Redberg R, Bonow RO.


Diabetes and cardiovascular disease. Executive summary.
Conference Proceeding for Healhcare Professionals from a
Special Writing Group of the
American Heart Association. Circulation 2002; 105:223 1-9.
Feuvray D. Diabetic cardiomyopathy. Arch Mal Coeur 2004; 97:2615.
Young ME, McNulty P, Taegtmeyer H. Adaptation and maladaption
of the heart in diabetes: Part 11. Potential mechanisms.
Circulation 2002;105:1861-70.
Diamant M, Lamb HJ, Groeneveld Y et al. Diastolic dysfunction is
associated with altered myocardial metabolism in asymptomatic
normotensive patients with well-controlled type 2 diabetes
mellitus. J Am Coll Cardiol 2003; 42:328-35.
Mottram PM, Manvick TH. Assesment of diastolic function: what
the general cardiologist needs to know. Heart 2005; 91:681-95.
Nesto RW. Diabetes and heart disease. Braunwald's Heart Disease. A
Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th Eds. In: Zipes, Libby,
Bonow, Braunwald. Eds. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2005.
p. 1355-66.
The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators.
Effects of an angiotensin-converting-enzyme inhibitor, ramipril
on cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med
2000; 342: 145-60.
Alwi I. Sindrom metabolik sebagai faktor risiko penyakit jantung
koroner. 1n:Setiati S, Alwi I, Simadibrata M et al Eds. Proceeding Simposium Curent Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2004. Jakarta; Pusat lnfoimasi dan Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam FKU1..2004.p.213-24
Grundy SM. Obesity, metabolic syndrome and cardiovascular
disease. J Clin Endocrinol & Metab. 2004; 89(6):2595-600.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG TIROID


Dono Antono, Yahya Kisyanto

PENDAHULUAN

Pmmgkatan termogmesls

Janngan

Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses


metabolik di semua jaringan, terutama di jantung yang
paling sensitif terhadap perubahannya. Gangguan fungsi
kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik
terhadap sistem kardiovaskular, sering kali menyerupai
penyakit jantung primer. Pengaruh hormon tiroid pada
jantung digolongkan menjadi 3 kategori, efek terhadap
jantung langsung, efek hormon tiroid pada sistem saraf
simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan
hemodinamik.

Ptnurunan resistms~
vaskuler s~stemik

Penmum pengis~san
Volume arten
Efektlf

Penlngks
Output

Peningkstnn lwtropik
dnn kmnotropik kardiak

Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik


kardiovaskular.

EFEK HORMON TlROlD TERHADAP SISTEM


KARDIOVASKULAR
Hormon tiroid sangat mempengaruhi sistem kardiovaskular
dengan beberapa mekanisme baik secara langsung ataupun
tak langsung. Pada keadaan hipotiroid maupun hipertiroid
sangat mempengaruhi kardiovaskular. Hormon tiroid
meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi
oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban
kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui,
hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik,
dan dromotropik, yang mirip dengan efek stimulasi
adrenergik (takikardia, peningkatan kardiak output).
Hormon tiroid meningkatkan sintesis myosin dan Na', K+ATPase, mirip seperti pada reseptor P- adrenergik miokard.
Efek hemodinamik hipotiroid berlawanan dengan
hipertiroid, dengan manifestasi klinis yang lebih kurang
jelas.
Tiroid mensekresi 2 macam hormon biologis aktif yaitu
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Banyak penelitian
yang mendukung hipotesis bahwa T3 adalah mediator akhir
dan T4 adalah prohormonal, terutama karena reseptor

nukleus T3 dan bukan T4, pada jaringan berespons


terhadap hormon tiroid, terutama jantung.
Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear, terutama
dijembatani melalui perubahan penampilan gen yang
responsif. Proses ini dimulai dengan difusi dari T4 and T3
melintasi membran plasma karena mudah larut dalam lemak.
Dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi T 3 oleh
5- monodelodinase, konsentrasinya bervariasi darijaringan
ke jaringan, merupakan hubungan yang tidak langsung
respons jaringan terhadap hormon tiroid. Kemudian T 3
sirkulasi dan T3 yang barn disintesis melalui membran
nukleus untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid
spesifik (THRs). THR merupakan bagian dari protein
superfamili reseptor nuklear, termasuk protein yang bekerja
seperti reseptor untuk steroid, vitamin D dan asam retinoik.

Hipertiroid merupakan keadaan klinis akibat dari produksi


T, ,T, atau keduanya. Penyebab terbanyak adalah struma

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKITJANTUNG TIROID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


difus toksik (penyakit Grave). Etiologinya belum diketahui
, kelebihan produksi T, dan T, diduga karena IgG
autoantibodi berikatan dengan reseptor tirotropin pada
kelenjar tiroid. Penyebab terbanyak kedua hipertiroid
adalah struma nodosa toxic, suatu keadaan di mana daerah
yang terlokalisir pada kelenjar dan otonomi.
Hipertiroid relatif lebih sering mengenai 4 - 8 kali pada
perempuan dibanding pria, dengan insiden terbanyak pada
dekade ke tiga atau ke empat. Gejala yang sering ditemukan
adalah kelelahan, hiperaktif, insomnia, kepanasan, palpitasi,
sesak napas, nafsu makan meningkat, berat badan turun,
nokturia, diare, oligomenorrhoea, kelemahan otot, tremor,
emosi labil, denyut jantung meningkat, hipertensi sistolik,
hipertermia, kulit lembab dan hangat, kelopak mata turun,
dan refleks halus. Serum T, meningkat dan serum TSH
rendah.
Manifestasi klinis kardiovaskular hipertiroidisme adalah
palpitasi biasanya merupakan salah satu keluhan awal
pasien untuk pergi berobat ke dokter. Di samping itu dapat
berupa hipertensi sistolik, kelelahan, atau dengan dasar
penyakit jantung yang sudah ada, angina atau gagal
jantung. Sinus takikardi dijumpai pada 40 % pasien dan
15 % dengan fibrilasi atrial pada pasien hipertiroid. Dapat
dijumpai gambaran hiperdinamik pada prekordial,
peningkatan tekanan nadi, intenkitas suara jantung
pertama, suara jantung ke dua komponen pulmonal, suara
jantung ketiga meningkat. Hipertiroid meningkatkan
insidensi prolaps katup mitral, dan beberapa kasus dapat
didengar mid sistolik mur-mur yang baik terdengar pada
batas sternal kiri dengan atau tanpa sistolik klik ejeksi.
Means-Lerman scratch adalah suara gesekan sistolik
yang terdengar pada sela iga ke dua kiri selama ekspirasi.
Ini merupakan hasil dari gesekan perikardium dengan
jantung yang hiperdinamik terhadap pleura. Index kardiak
dan strok volume, rasio ejeksi.sistolik rata-rata, velositi
dan extent of wall shortening , dan aliran darah koroner
semuanya meningkat. Waktu ejeksi sistolik dan preejeksi
singkat. Tekanan nadi meningkat dan resistensi vaskular
sistemik menurun. Perubahan penampilan ventrikel kiri
dirangsang oleh peningkatan hormon tiroid sekunder
terjadi peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung
akibat peningkatan metabolisme jaringan perifer.
Pada pasien usia lanjut dengan hipertiroid, yang
disebut hipertiroid apatetik, pada tirotoksikosis dapat
hanya terlihat manifestasi kardiovaskularnya saja, antara
lain atrial fibrilasi, mungkin resisten terhadap terapi sampai
hipertiroidnya terkontrol. Angina pektoris dan gagal
jantung kongesti jarang terjadi kecuali berhubungan
dengan dasar penyakit jantungnya sendiri dan banyak
kasus gejala berkurang setelah terapi hipertiroidnya
teratasi.
Garnbaran foto dada dan elektrokardiografi dapat terjadi
perubahan ,walaupun tidak spesifik pada hipertiroid. Pada
foto sinar X ventrikel kiri, aorta, arteri pulmonalis biasanya
tidak berubah, hanya pada beberapa kasus dapat terjadi

Efek Langsung Hormon


Tiroid

Efek Seperti Adrenergik


Beta

Denyut jantung saat istirahat


>90 x/ menit. (90%)
Palpitasi (85%)
Fibrilasi atrial (10%)
Edema pedis (30%)
Peningkatan konsumsi
oksigen. (metabolisme
basal)
Penurunan berat badan
Miopati otot skeletal
Peningkatan bone turnover
(pada keadaan steoporosis
atau hiperkalsemia).
Kulit pucat
Rambut halus dan rapuh.
Kuku keras dan rapuh.
Oligimenorrhoea atau
amenorrhea.
Diarel sering BAB.

Denyut jantung saat istirahat


> 90 x/ menit (90%)
Palpitasi (85%)
Dyspnea d'effod (80%).
Peningkatan tekanan nadi.
(hipertensi sistolik )
lmpuls apikal aktif.
Suara jantung kesatu keras
dan komponen suara jantung
kedua.
Murmur midsistolik, biasanya
di basal.
Suara jantung ketiga.
(kadang-kadang)
Means-Lerman scractch
(jarang)
Tremor.
Refleks halus,
Perspirasi meningkat.
lntoleransi panas.
Insomnia.
Ansietas.
Lid lag.

Peningkatan
volume darah
total
Peningkatan
LVEDV
Peningkatan
relaksasl
diastolik

Peningkatan
~ ssekuncup
i

Pen~ngkatan
kontraktilitas

Peningkatan
reslstensl
vaskular sistemik

Peningkatan
denyut jantung

Penurunan
LVESV

Peningkatan
curah jantung

Gambar 2. Efek hipertiroidisme pada sistem kardiovaskular.

Keterangan : LVESV =Left ventricle end systolic volume,


LVEDV = Left ventricle end diastolic volume.
pembesaran jantung. Pada pasien dengan sinus ritme,
manifestasi klinis takikardi secaraumum sebanding dengan
beratnya penyakit. Sinus takikardia terjadi pada 40 %
pasien dengan hipertiroid dan lebih sering timbul pada
kelompok usia muda dan sering timbul pada malam hari.
Sepuluh sarnpai 15 % dapat terjadi fibrilasi atrial persisten.
Terjadi pemendekan waktu konduksi AV dan periode
refiakter fungsional yang menyebabkan peningkatan
frekuensi pada sistem konduksi AV membangkitkan impuls
atrial cepat. Kekacauan konduksi intraatrial, ditandai
dengan pemanjangan atau pelebaran gelomblng P dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pemanjangan interval PR walaupun tanpa terapi dengan


digitalis, terlihat 15 dan 5 % pada pasien dengan hipertiroid.
Walaupun sangat jarang, dapat juga terjadi blok jantung
derajat 2 atau 3. Penyebab gangguan konduksi AV belum
diketahui. Tirotoksikosis terselubung dapat merupakan
penyebab atrial fibrilasi kronik atau paroksismal.
Pada suatu studi yang luas ditemukan bahwa kurang
dari 1% kasus serangan baru fibrilasi atrial disebabkan
oleh hipertiroid. Pada suatu studi didapatkan 13% dari
pasien dengan fibrilasi atrium ditemukan bukti biokimia
hipertiroid, walaupun gejala klinis tidak jelas. Pada suatu
studi lain 6 10 pasien hipertiroid, fibrilasi atrial merupakan
faktor resiko utama terjadinya emboli. Nakazawa
melaporkan 11.345 pasien dengan hipertiroid 288 kasus
disertai fibrilasi atrium, 6 kasus mengalami emboli sistemik,
4 diantaranya mengalami gagal jantung, 5 orang
diantaranya berusia lebih dari 50 tahun. Hipertiroid
subklinis ditandai dengan konsentrasi serum tirotropin
yang rendah (< 0.1 mU/liter) dan konsentrasi hormon tiroid
yang normal pada usia 60 tahun atau lebih, ada
kemungkinan 3 kali lipat menjadi fibrilasi atrial dalam 10
tahun.
Angina pektoris dan gagal jantung dapat timbul pada
pasien dengan hipertiroid. Hal ini sejak lama diasumsikan
karena penyakit jantung yang mendasarinya. Akhir-akhir
ini dilaporkan gagal jantung kongesti dapat terjadi pada
percobaan binatang yang diberikan T,. Gagal jantung
kongesti dapat timbul pada anak dengan tirotoksikosis
tanpa penyakit jantung yang mendasarinya. Angina
pektoris pernah dilaporkan terjadi pada pasien hipertiroid
dengan hasil corangiografi normal. Kemungkinan sekunder
tiroid menyebabkan spasme arteri koroner. Ebisawa
melaporkan kasus kardiomiopati pada pasien tirotoksikosis
kemungkinan akan terus menetap. Empat kasus seperti ini
terjadi peningkatan LVEDV (left ventricel end diastolic
volume) dan penurunan fraksi ejeksi, walaupun telah
diterapi hipertiroidnya selama 13 - 15 tahun. Biopsi miokard
menunjukkan tidak ada kelainan mikroskopik yang spesifik.
Pada sepertiga kasus hipertiroid ditemukan prolaps katup
mitral.

Pasien hipertiroid dengan penyakit kardiovaskular


biasanya resisten terhadap terapi. Telah banyak dilaporkan
gagal jantung dan aritmia resisten terhadap dosis
konvensional golongan glikosida. Terapi dasar efek
hipertiroid berupa takikardi adalah obat golongan
penghambat adrenergik beta, walaupun keadaan
hipermetabolik belum teratasi. Bersama-sama dengan obatobat anti tiroid atau radioiodin sebelum tindakan operasi.
Penyekat beta mengontrol takikardi, palpitasi, tremor,
kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid.

Pada krisis tiroid, propanolol intravena dapat diberikan 1


mglmenit, dengan catatan fungsi sistolik ventrikel kiri
normal. Diagnosis hipertiroid dipastikan dengan
rendahnya kadar TSH dengan akibat peningkatan hormon
tiroid darah. Pada usia lanjut dengan hipertiroid apathetik,
manifestasi kardiovaskular lebih menonjol, khususnya
fibrilasi atrium dan atau gagal jantung kongesti. Terapi
terhadap hipertiroid adalah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid atau radiasi dengan yodium radioaktif.
Pada penyakit jantung tirotoksik, tirotoksikosis dengan
fibrilasi atrial, langkah pertama harus dibuat sedapat
mungkin menjadi eutiroid, di mana secara umum masih
dapat mengurangi fibrilasi atrial. Pada umumnya
antikoagulan diperlukan untuk mencegah terjadinya
tromboemboli, apalagi disertai dengan gagal jantung.
Terapi hipertiroid kadang-kadang dapat mengembalikan
ke ritme sinus. Hal ini dibuktikan dari suatu studi 62 % dari
163 pasien setelah 8 sampai 10 minggu dalam keadaan
eutiroid kembali spontan ke irama sinus. Jika fibrilasi atrial
belum teratasi, perlu dilakukan kardioversi setelah 16
minggu telah menjadi eutiroid. Perlindungan antikoagulan
terus diberikan sampai 4 minggu setelah konversi.

Diagnosis hipotiroid ditandai dengan peningkatan serum


TSH. Hipotiroid merupakan akibat dari penurunan sekresi
T, dan T,, kasus tersering disebabkan karena destruksi
dari kelenjar tiroid itu sendiri. Biasanya disebabkan karena
proses inflamasi. Penyebab utama di Amerika adalah
tiroiditis Hashimoto. Penyebab yang lebih jarang adalah
sekunder karena penurunan sekresi TSH disebabkan
karena penyakit kelenjar hipofise atau hipothalamus. Pada
hipotiroid sekunder keluhan dan gejala klinis berhubungan
dengan defisiensi hormon hipofise yang lain juga bisa
muncul. Insiden hipotiroid puncaknya pada usia antara 30
- 60 tahun, dua kali lebih sering pada perempuan dari pada
laki-laki. Keluhan dan gejala yang tersering adalah
gangguan toleransi dingin, kulit kering, lemah, gangguan
mengingat, perubahan kepribadian, sesak napas,
konstipasi, suara parau, menorrhagia dan bentuk lain
gangguan menstruasi, dan bisa terjadi gagal jantung.
Manifestasi jantung hipotiroid adalah penurunan
kardiak output, volume sekuncup, denyut jantung, tekanan
darah dan tekanan nadi. Sepertiga pasien terjadi efusi
perikard, tetapi jarang terjadi tamponad. Peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan efusi pleura dan
perikard. Gejala klinis yang lain adalah kardiomegali,
dilatasi jantung, bradikardia, tekanan nadi arteri lemah,
hipotensi, edema nonpitting pada wajah dan perifer, dan
suara jantung jauh. Myxedema (edema non pitting)
berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler
dan karena kebocoran protein ke ruangan interstitial.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG TIROID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kelainan ini menyebabkan efusi perikard. Efusi dapat
menghilang dengan terapi pengganti tiroid. Dilaporkan
myxedema dapat menyebabkan syok kardiogenik
walaupun jarang terjadi, dan respons perbaikan setelah
mendapat terapi pengganti tiroid. Walaupun tanda dan
gejala myxedema disangka bagian dari diagnosis gagal
jantung kongesti, dan tidak ada penyakit jantung lain, gagal
jantung jarang terjadi. Tekanan pengisian jantung kiri dan
kanan biasanya dalam batas normal, meningkat karena
adanya e h s i perikard. Ventrikular isovolumetrik relaxation
time memanjang dan normal setelah pemberian terapi T,.
Pada percobaan yang dibuat keadaan hipotiroid pada otot
jantung kucing, didapatkan hasil penurunan kontraktilitas
yang ditandai dengan penurunan kurva velositi miokard
paksa, penurunan kemampuan denyut jantung dan
pemanjangan respons kontraktilitas.

Penurunan volume
sskuncup
Penutunan cardlac oulput

Penurunan
Heart rate
Penlngkatan
reststens#slslerntk
YBSCUI.~

pembuluh darah

,
Pen8ngkatao
tekanan darah

Efusl pericatd

Gambar 3. Efek hipotiroid pada sistem kardiovaskular

Gambaran elektrokardiografi umumnya berupa sinus


bradikardia dan low voltage. Dapat terjadi pemanjangan
interval QT, penurunan voltase gelombang P, pemanjangan
waktu konduksi AV, gangguan konduksi intraventrikel
dapat berupa aritmia ventricular reentrant, incomplete
atau complete right bundle branch block dan abnormalitas
gelombang S - ST tak spesifik. Foto dada dapat ditemukan
kardiomegali, sering dengan bentuk botol air, efusi pleura,
dan beberapa kasus dilaporkan gagal jantung kongesti
dan kelainan primer miokard yang dicurigai kardiomiopati.
Patologi dapat ditemukan jantung pucat ,dilatasi, lembek,
sering ditemukan pembengkakkan miofibrilar, dan fibrosis
interstisial.
Pasien dengan hipotiroid sering ditemukan peningkatan
kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit
atherosklerotik arteri koroner yang berat. Sebelum diterapi
dengan hormone tiroid, pasien dengan hipotiroid sering
kali tidak ada gejala angina pektoris, kemungkinan karena
kebutuhan metabolik rendah tergantung dari kondisi
masing-masing. Angina dan infark miokard dapat timbul
selama pemberian hormon tiroid , khususnya pada pasien
usia lanjut dengan dasar penyakit jantugg. Untuk itu
pemberian terapi hormon harus dilakukan dengan hati-

hati, dimulai dari dosis rendah biasanya hanya 25 % dari


dosis yang dianjurkan dan ditingkatkan bertahap dengan
interval 6 sampai 8 minggu.
Kadar katekolamin tidak menurun pada hipotiroid.
Demikian juga kepekaan kemampuan kerja jantung
terhadap rangsangan saraf simpatis atau respons dari
adenilsiklase jantung ke norepineprin. Jumlah total reseptor
beta miokard menurun. Pada hipotiroid eksperimen
kontraktilitas yang dirangsang oleh isoproterenol,
akumulasi siklik adenosin monofosfat, kalsium pada
partikel retikulum sarkoplasmik miokard menurun pada
jantung tikus hipotiroid. Data klinis untuk kardiomiopati
dilatasi idiopatik yang disebabkan hipotiroid sedikit, pada
penelitian tersebut tidak ditemukan bukti klinis atau
biokimia yang menandakan hipotiroid maupun hipertiroid.
Pasien dengan hipotiroid mempunyai risiko
peningkatan kejadian aterosklerosis karena terjadi
perubahan metabolisme lipid hiperkoleterolemia dan
hipertrigliserida. Hal ini berhubungan dengan kejadian
penyakit jantung koroner yang timbul dini. Pengobatan
hipotiroid akan memperbaiki pola metabolisme lipid menjadi
normal. Sebagai contoh Arem dan Patsch melaporkan
penurunan kadar LDL (low density lipoprotein) sebanyak
22% setelah terapi tiroid selama 4 bulan. HDL (high
density lipoproterin) tidak berubah. Data yang
mendukung hubungan hipotiroid dengan aterosklerosis
telah dilaporkan dari beberapa sumber, pasien dengan
myxedema akan meningkat dua kali lipat dibandingkan
dengan yang berhubungan dengan kontrol umur dan jenis
kelamin. Infark miokard dan angina pektoris relatifjarang
terjadi pada pasien dengan hipotiroid. Hal ini disebabkan
karena rendahnya metabolisme miokard pada hipotiroid.
Terapi gagal jantung kongesti pada pasien myxedema
biasanya sulit, karena ada efek lain akibat pemberian
hormon tiroid dan glikosida jantung. Pasien dengan angina pektoris yang berat dan myxedema yang belum diterapi
akan mendapat dilema dalam penatalaksanaannya. Hal ini
disebabkan karena angina dapat dieksaserbasi oleh
pemberian hormon tiroid itu sendiri. Penggunaan beta
bloker untuk angina akan menyebabkan bradikardia yang
berat. Angiografi koroner dapat ditemukan kelainan
penyakit jantung koroner yang berat. Biasanya dosis
hormon tiroid diberikan minimal sampai dengan dilakukan
revaskularisasi. Setelah berhasil dilakukan revaskularisasi,
pemberian dosis hormon tiroid dapat diberikan dosis
maksimal tanpa disertai keluhan angina berulang.

AMIODARON DAN TlROlD

Penggunaan amiodaron secara luas untuk aritmia jantung,


saat ini merupakan salah satu penyebab ufama kelainan
tiroid pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
Amiodaron mempunyai struktur yang mirip dengan T, dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

T, dan juga banyak mengandung yodium. Amiodaron


menurunkan konversi perifer T, ke T, , jadi akan
meningkatkan kadar T, sirkulasi dan menurunkan T,
sirkulasi. Sejak ha1 ini terjadi kelenjar hipofise akan
meningkatkan sementara kadar TSH pada awal terapi, dan
biasanya akan kembali normal kembali setelah 3 bulan
terapi. Perubahan tes laboratorium ini sering terjadi dan
tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis
disfungsi tiroid.
Di Amerika dan Inggris, hipotiroid merupakan
manifestasi klinis tersering dari disfungsi tiroid akibat
amiodaron. Insidennya mencapai 13% dari pasien.
Mekanismenya belum jelas, diduga berhubungan dengan
efek sejumlah besar yodium pada saat menghambat
pelepasan hormon tiroid dan sintesisnya tumpang tindih
dengan penyakit autoimun tiroid. Selain itu juga diduga
amiodaron itu sendiri dapat menyebabkan gangguan
autoimun tiroid dengan mempengaruhi fungsi sel T.
Gejalanya sama dengan hipotiroidisme, diagnosisnya
dipastikan dengan peningkatan kadrlt. TSH. Sekelompok
pasien fungsi tiroid akan menjadi normal beberapa bulan
setelah terapi amiodaron, kelompok lain akan menjadi
hipotiroidisme permanen.

Pada daerah-daerah dengan defisiensi iodin sering


terjadi hipertiroidisme yang dipengaruhi oleh amiodaron.
Pasien-pasien memperlihatkan gejala-gejala khas
hipettiroidisme seperti penurunan berat badan, gangguan
tdleransi panas, dan tremor. Dapat juga timbul aritmia
jantung yang berulang. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan tes fungsi
tiroid dengan gambaran TSH yang rendah dan
peningkatan kadar T, dapat terlihat pada saat fase awal
terapi amiodaron, tanpa gejala. Pada fase awal terapi
dengan amiodaron kadar T, menurun. Pada saat
hipertiroidisme kadar T, meningkat. Ada 2 mekanisme
amiodaron menyebabkan hipertiroidisme. Tipe I
(hipervaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang tidak
normal dan disebabkan karena iodin merangsang
peningkatan sistesis hormon tiroid pada pasien dengan
struma nodosa atau penyakit Graves yang lanjut. Tipe I1
(hipovaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang normal.
Penyebabnya adalah sekunder karena proses destruksi
tiroid oleh iodin atau oleh amiodaron itu sendiri. Pada
kasus selanjutnya amiodaron dapat merangsang
terbentuknya antibodi reseptor tirotropin. Untuk
membedakan kedua tipe ini dapat menggunakan color

Skrining pdkieh dalam tetaoi amiodaron


.-

TSH 0 35-4 3 mUlL


(Ftrendah N.FT4 tlnaai Nltlnaal

TSH >4.3 mUlL

TSH 80 mUlL

TSH ~0.03
mUlL

Pendah N;

Uiang tiap 6

1
F f 4 tinggi Nltinggl

FT4 rendah Nlrendah


I

Tidak ada antibodi

sick atau
tirotoksikosis
subkiinis

0
ulangi 6 minggu

Hipotitoldisme

Tanpa gejala

Ulang TSH
tlap 6 mlnggu,dan
t~ap3 bulan

G a m b a r 4. Algoritma untuk mengevaluasi status tiroid pada pasien yang memakai amiodaron

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TSH >20 mUlL

Ada antibodi

PENYAKIT JANTUNG TIROID

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


flow doppler sonografi.
Kadar serum interleukin-6 meningkat pada tipe 11.
Pasien dengan tipe I1 responsnya sangat baik dengan
pemberian glukokortikoid.
Penghentian terapi dengan amiodaron dapat
mengurangi keadaan hipertiroidisme, walaupun kembali
normal dapat memakan waktu beberapa bulan. Bilamana
terapi amiodaron tidak dapat dihentikan, modalitas
pengobatan lain hams diberikan. Dua modalitas utama
adalah pemberian obat thionamide dan operasi.
Propiltihiourasil atau methrnazol mungkin dapat berhasil,
tetapi tidak pada semua kasus. Jika medikamentosa gagal,
mungkin tiroidektomi dapat menjadi pilihan. Terapi iodin
radioaktif tidak dianjurkan. Karena sering terjadi gangguan
fhgsi tiroid selama pemakaian terapi amiodaron, dianjurkan
untuk pengawasan mtin tes fungsi tiroid.

Cooper DS. Subclinical Hypothyroidism. N Engl J Med. 2001;345;4:


260-5.
Colucci WS, Prize DT. Cardiac Tumors, Cardiac Manifestastions of
Systemic Diseases, and Traumatic Cardiac Injury. In Harrison et
al (ed) : Principles of Internal Medicine, 161h ed . New York ,
McGraw-Hill, 2005. 1423.
Fuster V et al. Guideline For The Management of Patient With
Atrial Fibrilation. JACC. 2001; 38: 1266 I - ixx.
Forfar JC, Feek CM, Miller HC, Toft AD. Atrial Fibrillation isolated
suppression of the Pituitary-thyroid axis : respons to specific
antithyroid therapy. Int J Cardiol 1981;1:43-8.
Klein I, Ojamaa K. Thyroid Hormone and the Cardiovascular
System. N Engl J Med. 2001;344;7: 501-1 1.
Ladenson PW, Singer PA, Ain KB, et al. American Thyroid
Association Guidelines for Detection of Thyroid Dysfunction.
Arch Inter Med 2000;160: 1573-5.
Seely EW, Williams GH. The Heart in Endocrine Disorder. In
Braunwald (ed) : Heart Disease Textbook of Cardiovascular
Disease. 61hed. Philadelphia, WB Saunders Company, 2001, 215460.
Toft AD. Subclinical Hyperthyroidism. N Engl J Med. 2001;345;7:
512-16.
Weetman AP. Graves Disease. N Engl J Med. 2000;343; 17: 1236 48.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA


PENYAKIT JARINGAN IKAT
Idrus Alwi

LUPUS ERITEMATOSUS SlSTEMlK

diduga berperan penting pada patogenesis berbagai


bentuk serositis (seperti pleuritis dan perikarditis),
miokarditis dan endokarditis pada LES. Hal ini didukung
berdasarkan pengamatan sebagai berikut:
terdapat kompleks imun, ANA, antibodi anti dsDNA
dan sel LES yang khas pada cairan perikard pasien LES.
ditemukan deposit kompleks imun pada pembuluh darah
perikard pada penelitian imunopatologijaringan jantung
pada kasus LES fatal yang diautopsi serta IgG, IgM dan
C3 pada arteriol perikard pasien LES yang mengalami
perikarditis konstriktif.
konsentrasi komplemen hemolitik cairan perikard pasien
LES menurun dan ditemukan komplemen spesifik C 1q,
C4, dan C3 pada cairan perikard. Terdapat aktivasi
komplemen jalur klasik (melalui IgM) dan alternatif
(melalui IgA) in vivo pada cairan perikard pasien LES.
ditemukan deposit imunoglobulin granular dan
komponen komplemen pada dinding pembuluh darah
miokard.
lesi endokarditis Libman-Sacks mengandung
imunoglobulin dan komplemen.

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit


autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan
manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Komplikasi pada
jantung merupakan salah satu manifestasi klinis LES yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Mortalitas karena
kelainan kardiovaskular menempati urutan ketiga setelah
infeksi dan gagal ginjal. Salah satu laporan menunjukkan
mortalitas karena perikarditislmiokarditis pada pasien LES
sebesar 15%.
Kelainan kardiovaskular sering dijumpai pada
penelitian klinis dan post mortem pada pasien LES.
Gambaran patologis adalah pankarditis yang melibatkan
perikard, miokard, endokard, katup jantung, dan pembuluh
darah. Perikarditis (efusi perikard) merupakan kelainan
jantung yang paling sering ditemukan yaitu 21-54%,
kelainan valvular 28-44%, dan kelainan miokard 5-20%.
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup
pasien LES dan teknik diagnostik, penyakit jantung pada
LES menjadi lebih sering ditemukan. Dengan menggunakan
ekokardiografi 2-D, Doppler, dan ekokardiografi
transesofageal prevalensi kelainan jantung p a d a ~ ~ ~
Spektrum Kelainan Jantung pada LES
cukup tinggi di mana sebagian besar kasus secara klinis
Penelitian ekokardiografi pasien LES yang dilakukan di
tidak tampak.
Divisi Kardiologi Departemen Penyakit Dalam
Faktor yang diduga berhubungan dengan kelainan
menunjukkan efusi perikard ditemukan pada 13 pasien
jantung pada pasien LES antara lain aktivitas penyakit,
(36,l I%), masing-masing 3 pasien (8,33%) dengan efusi
lama penyakit, lama penggunaan steroid dan antibodi
perikard sedang dan berat dan 8 pasien (27,78%) dengan
antikardiolipin.
efusi perikard ringan. Hanya pasien dengan efusi perikard
berat menunjukkan gambaran EKG low voltage tanpa gejala
Patofisiologi
klinis perikarditis. Spektrum kelainan jantung yang
Patofisiologi komplikasi pada organ pada pasien LES belum
didapatkanpada pemeriksaan ekokardiografi36 pasien LES
jelas. Diduga terdapat deposit kompleks imun pada organ
dapat dilihat pada Tabel 1.
disertai dengan aktivasi komplemen. Faktor imunologis
Penelitian mengenai hubungan aktivitas penyakit LES

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dengan kejadian efusi perikard menunjukkan e h s i perikard
lebih sering ditemukan pada LES aktif dibandingkan LES
yang tidak aktif.
Pada gambar 1 dapat dilihat efusi perikard masif pada
LES dengan pemeriksaan ekokardiografi.

Efusi perikard

- Ringan
- Sedang
- Berat

Angka kejadian tamponad jantung pada LES


dilaporkan kurang dari 10%. Pada penelitian terhadap 395
pasien LES, ditemukan kejadian perikarditis pada 75 pasien
(19%), dengan episode tamponad jantung pada 10 pasien
(1 3% dari kasus perikarditis, 2,5% dari seluruh kasus LES).
Laporan penelitian lain secara retrospektif terhadap 88
pasien LES selama enam tahun didapatkan kejadian
perikarditis pada 29,5% pasien, di mana perikarditis
merupakan manifestasi pertama pada 9 pasien (10,2%).
Dua dari sembilan pasien perikarditis tersebut (2,3% dari
seluruh kasus LES) mengalami tamponad sebagai
manifestasi pertama penyakit.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis perikarditis lupus biasanya khas, dengan
keluhan nyeri substernal atau perikardial yangdiperberat
oleh gerakan napas dan batuk yang berkurang bila
membongkok ke depan. Dapat terdengar suara gesekan
perikard (pericardial friction rub). Terdapat hubungan
yang bermakna antara keluhan nyeri dada dengan
pericardial friction rub dan efusi perikard. Suara friction
rub yang khas ditemukan hanya pada 5% dari 520 kasus
LES. Keluhan-keluhan ini bisa berat dan menetap atau
hanya ringan dan sesaat. Keluhan dapat menghilang dalam
beberapa jam atau minggu dan sering berulang dalam
periode beberapa tahun. Namun demikian, perikarditis
mungkin ditemukan dalam keadian tanpa nyeri dan secara
klinis tanpa gejala. Pada keadaan tamponad dapat
ditemukan pulsus paradoks, tekanan vena jugularis (JVP)
meningkat, hipotensi dan pembesaran hati, selain gejala
dan tanda perikarditis lain. Salah satu laporan
menunjukkan nieri dada, sesak napas, dan pericardial
rub ditemukan masing-masing pada 40% pasien tamponad.
Sedangkan pulsus paradoks hanya ditemukan pada satu
di antara empat kasus tamponad yang diperiksa.

Pembesaran ruang
jantung
- Dilatasi atrium kiri
- Dilatasi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri
Disfungsi sistolik ventrikel
kiri
Disfungsi diastolik
ventrikel kiri
Hipokinetik global
Hipokinetik segmental
Kelainan valvular

- Prolaps katup mitral


lsmail dkk.

Gambar 1. Efusi perikard berat pada pemeriksaan ekokardiografi


(Parasternal Long Axis View)

Perikarditis dan Efusi Perikard pada LES


Keterlibatan perikard pada LES pertama kali dilaporkan oleh
Keefer dan Felty, pada 1924 dan merupakan kelainan
jantung yang paling sering ditemukan. Perikarditis yang
tampak secara klinis dilaporkan berkisar antara 23-30%.
Data dari beberapa penelitian mendapatkan keterlibatan
perikard secara klinis, ekokardiografis, dan histopatologis
masing-masing 29%, 37%, dan 66%.
Pada beberapa penelitian baik dengan atau tanpa
kontrol menunjukkan prevalensi efusi perikard berkisar
antara 2 1-54%.

Elektrokardiografi (EKG)
Perubahan elektrokardiografi (EKG) dapat mengkonfirmasi
diagnosis klinis perikarditis akut pada pasien LES.
Perubahan EKG pada perikarditis terjadi dalam beberapa
jam atau beberapa hari setelah awitan nyeri dada. Gambaran
EKG yang khas pada fase akut yaitu ditemukannya
gelombang T yang tinggi dan elevasi ST yang konkaf.
Pada keadaan di mana terdapat efusi perikard dapat
ditemukan penurunan voltage QRS (low voltage) dan
gelombang T datar. Jika terdapat gambaran electrical
alternans, mungkin ditemukan efusi perikard masif dan
tamponad jantung.
Foto Toraks
Pada perikarditis akut yang disertai adanya efusi perikard
dapat terlihat kardiomegali dan perubahan konfigurasi
silhoutte jantung. Gambaran pembesaran silhoutte ini baru

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

terjadi jika cairan yang terkumpul dalam ruang perikard


sekurang-kurangnya 250 ml.

Laboratorium
Perikarditis umumnya terjadi selama periode aktifpenyakit
sehingga biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit
pada pemeriksaan darah antara lain kadar komplemen
rendah, anti dsDNA meningkat, dapat ditemukan sel LE,
dan kadar LED meningkat.
Ekokardiografi
Diagnosis efusi perikard ditegakkan berdasarkan adanya
gambaran area bebas eko (ekokardiograJ free space) di
antara gambaran eko epikard dan perikard posterior.
Adanya efusi perikard dapat diperiksa pada parasternal
long axis, short axis, dan apical four chamber view.
Pemeriksaan dilakukan pada tingkat muskulus papilaris
atau apeks ventrikel kiri. Dengan pemeriksaan
ekokardiografi 2-D, perkiraan jumlah cairan lebih akurat,
identifikasi struktur jantung lebih jelas, dan efusi
berkantong (pocket) dapat dideteksi lebih baik.

Perikardiosentesis diagnostik hanya dilakukan pada


keadaan di mana dipikirkan perikarditis purulenta.
Analisis Cairan Perikard
Cairan perikard pada LES benvarna kekuning-kuningan
sampai kemerahan, eksudatif, danjumlah sel leukosit tinggi,
dengan dominasi sel PMN. Sel LE yang khas mungkin
ditemukan pada sedimen sel yang disentrifugasi, yang
menyokong diagnosis LES sebagai penyebab perikarditis.
Analisis cairan perikard pada 10 episode tamponad
menunjukkan volume cairan bervariasi antara 300-1400 ml.
Cairan efusi khas eksudat dengan kadar protein rata-rata
4,8 mg/dl(2,7-4,8).
Secara keseluruhan, analisis cairan perikard
menunjukkan leukositosis dengan neutrofil > 90%. Hasil
analisis ini menyerupai gambaran analisis perikard
perikarditis bakterial, yang dapat ditemukan juga pada
pasien LES yang mendapat terapi steroid. Beberapa laporan
lain menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dan
ANA meningkat.
Gambaran Histopatologi
Gambaran patologi perikard pada pasien LES dipengaruhi
oleh terapi steroid. Pada penelitian autopsi terhadap 28
pasien LES didapatkan bahwa sebelum masa terapi steroid, kasus-kasus autopsi menunjukkan perikarditis
fibrinosa difus atau fokal. Dengan penggunaan steroid
yang luas untuk pengobatan, perikarditis fibrosa lebih

sering ditemukan.

Diagnosis
Diagnosis perikarditis akut ditentukan bila ditemukan nyeri
dada yang khas danlatau suara gesekan perikard dan
perubahan EKG yang khas. Diagnosis efusi perikard juga
dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan ekokardiografi M
mode ditemukan pemisahan epikard dan perikard, baik pada
fase sistolik maupun diastolik. Selain itu, pada pemeriksaan
ekokardiografi 2-D tampak gambaran daerah bebas eko
posterior di antara dinding ventrikel kiri.
Diagnosis tamponad ditentukan bila pada pemeriksaan
ekokardiografi ditemukan kolaps atrium kanan dan kolaps
diastolik ventrikel kanan, yang menunjukkan spesifisitas
100% pada pasien tamponad yang dikonfirmasi dengan
kateterisasi. Ini merupakan teknik diagnostik non-invasif
terbaik untuk diagnosis tamponad.
Untuk menentukan etiologi efusi perikard pada pasien
LES dilakukan analisis cairan perikard, pemeriksaan ANA
anti dsDNA, komplemen, dan sel LE pada cairan perikard.
Untuk menyingkirkan kemungkinan perikard septik,
dilakukan pemeriksaan kultur cairan perikard.
Karena risiko komplikasi pada tindakan
perikardiosentesis cukup besar, diagnosis etiologi
ditegakkan secara klinis. Bila pasien LES dalam keadaan
aktif, maka efusi perikard pada LES secara klinis dianggap
sebagai bagian dari serositis LE. Tetapi jika efusi perikard
merupakan satu-satunya manifestasi aktivitas LES dan
terdapat kecurigaan perikarditis septik dapat dilakukan
perikardiosentesis diagnostik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perikarditis lupus terutama tergantung
pada beratnya kondisi perikarditis dan memperhatikan
aktivitas penyakit LES di luar jantung. Pasien perikarditis
simtomatik akut harus dirawat di rumah sakit karena
perkembangan efusi ke arah tamponad jantung tidak dapat
diprediksi. Pasien perlu istirahat sampai nyeri dada dan
demam hilang karena aktivitas akan memperburuk gejala.
Pasien LES dengan gejala ringan dan dengan efusi
perikard ringan atau tanpa efusi perikard dapat diterapi
dengan salisilat 1 gram setiap 4 jam sampai tercapai kadar
terapi 20-30 mglhari. Atau dapat juga diberikan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) lain seperti indometasin
100-150 mgl hari. Jika tidak ada respons, dapat ditambahkan
antimalaria hidroksiklorokuin sulfat 200 mg sehari (5-7mgl
kgBBIhari), klorokuin fosfat 250 mglhari, atau kuinakrin
hidroklorida 100 mglhari. Bila perlu, dapat diberikan
prednison 2,510 mglhari. Pada keadaan yang lebih berat,
dapat diberikan prednison 20-40 mglhari. Efusi perikard
masif diberikan terapi prednison dosis tinggi 60- 100 mgl
hari. Pada pasien yang sangat kritis, steroid dosis tinggi
(1 g metil prednisolon intravena) yang diberikan secara
parenteral, dapat mengurangi gejala dengan cepat dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1807

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mengurangi tingkat efusi secara bertahap.

MlOKARDlTlS DAN ABNORMALITAS MIOKARD


Pada evaluasi klinis pasien LES, prevalensi miokarditis
dilaporkan berkisar antara 8-25%. Pada penelitian
prospektif manifestasi kardiovaskular pada 100 pasien LES,
kejadian miokarditis didapatkan 14%.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis pada LES sama dengan
miokarditis yang berasal dari infeksi viral atau beberapa
penyebab lain. Tanda paling awal adalah takikardia yang
tak sesuai dengan demam. Pasien dapat mengalami sesak
atau berdebar. Pada pemeriksaan fisis, sering ditandai titik
impuls maksimal pada linea aksilaris anterior, dapat
ditemukan juga murmur, irama gallop danlatau manifestasi
gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan EKG dapat
ditemukan takikardia sinus atau aritmia ventrikular.
Pemeriksaan foto toraks dapat terlihat jantung membesar
secara difus.
Enlei Per lkal ti
Rirtgntt

- + klar ~kuin
- Prodnlson 2 , s10 mgfhar~

Gambaran Histopatologi
Abnormalitas patologis bervariasi sesuai beratnya
miokarditis, biasanya terdiri atas fokus kecil sel plasma
interstisial dan infiltrasi limfosit dan jarang terjadi
inflamasi interstisial difus. Dapat ditemukan juga
perubahan fibrinoid dan hematoxyllin bodies. Pada
pasien yang mendapat terapi steroid sering ditemukan
fibrosis miokard.

Diagnosis
Diagnosis miokarditis LES sering sulit ditegakkan secara
klinis karena faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif mungkin ditemukan seperti anemia, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi sistemik,
penyakit valvular atau retensi garam dan air yang berasal
dari penyakit ginjal atau penggunaan kortikosteroid
sistemik.
Diagnosis klinis miokarditis LES ditegakkan
berdasarkan kombinasi keadaan sebagai berikut
1. Takikardia saat istirahat yang tak sesuai dengan suhu
tubuh
2. Perubahan ST-'T nonspesifik pada pemeriksaan EKG
3. Satu atau lebih keadaan berikut: kardiomegali pada
pemeriksaan rontgen dada tanpa adanya ehsi perikard,
irama derap (gallop), gagal jantung kongestif, aritmia
ventrikular dan peningkatan kadar enzim CKMB
Penatalaksanaan
Pasien LES dengan miokarditis akut diterapi dengan
prednison sekurang-kurangnya 1 mg/kgBB/hari. Obat
sitotoksik seperti azatioprin dan siklofosfamid juga pernah
digunakan pada beberapa pasien.

ENDOKARDITIS DAN PENYAKIT JANTUNG


VALVULAR

Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan efusi perikard pada LES

Biopsi Endomiokardial
Biopsi endomiokardial telah digunakan untuk diagnosis
miokarditis LES pada sejumlah kecil pasien LES. Tindakan
ini tidak hanya menunjang diagnostik tetapi juga
menentukan perluasan miokarditis pada LES.

Endokarditis pertama kali dilaporkan oleh Libman dan


Sacks pada tahun 1924, jauh sebelum hubungannya
dengan LES diketahui. Lesi endokarditis ini secara
patologis berbeda dengan endokarditis karena etiologi lain,
dan dipercayai karakteristik untuk LES, yaitu berupa
vegetasi verrucous, non-bakterial, 3-4 mm pada katup d a d
atau permukaan endokard mural. Vegetasi ini dapat tunggal
atau berkelompok berupa kluster seperti mulberry. Katup
yang sering terkena adalah katup mitral.
Vegetasi Libman Sacks ditemukan 35-65% pada
penelitian autopsi awal pasien LES, namun tidak
ditemukan gejala secara klinis (silent) dan pengaruhnya
terhadap hemodinamik kecil. Penelitian post mortenz
selanjutnya menunjukkan kejadian dan ukuran vegetasi
menjadi lebih kecil. Penyakit jantung valvular pada
beberapa penelitian dilaporkan berhubungan dengan
antibodi antiposfolipid.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK(morning


dr. PRIYO
PANJI
stiffness), artralgia atau artritis terutama pada

Ekokardiografi
Dengan pemeriksaan ekokardiografi, penebalan katup
mitral yang diduga verrucae dilaporkan pada 3-4% kasus,
namun vegetasi biasanya terlalu kecil untuk dideteksi.
Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi
transesofageal (TEE) pada 69 pasien LES yang dilakukan
pemantauan selama 57 bulan menunjukkan abnormalitas
valvular sering ditemukan, baik pada saat awal dan tindak
lanjut masing-masing 61% dan 53%. Abnormalitas katup
tersebut antara lain:

Fase awal Tindak lanjut


Penebalan katup
51%
52%
.
Vegetasi
43%
34%
Regurgitasi valvular
25%
28%
Stenosis
4%
3%
Pada penelitian tersebut, penyakitjantung valvular tidak
berhubungan dengan lama penyakit, aktivitas penyakit,
beratnya lupus atau pengobatan yang diberikan.
Gambaran Hispatologi
Secara mikroskopis vegetasi terdiri atas proliferasi dan
degenerasi sel, fibrin, jaringan fibrosa, dan jarang
hernatoxyllin bodies. Terdapat pula deposit imunoglobulin
dan komplemen sepanjang dinding verrucae, yang
menyokong dugaan adanya kompleks imun dalam sirkulasi
yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi vegetasi
verrucous Libman-Sacks.
Diagnosis
Sebelum ditemukan ekokardiografi, sulit menegakkan
diagnosis klinis. Pemeriksaan fisis dan ekokardiografi
dapat menduga adanya verrucae, tetapi tidak diagnostik.
Murmur dapat disebabkan demam, takikardia, hipertensi
atau anemia. Diagnosis endokarditis Libman-Sacks primer
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan autopsi.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan endokarditis dan abnormalitas valvular
pada LES, tergantung pada aktivitas LES secara
keseluruhan. Pada pasien lupus yang stabil, penyakit valvular yang baru didiagnosis, tidak merefleksikan
peningkatan aktivitas atau beratnya penyakit, sehingga
mungkin tidak memerlukan modifikasi terapi antiinflamasi.
Pada keadaan di mana ditemukan stenosis berat atau
regurgitasi berat yang biasanya mengenai katup mitral,
dilakukan tindakan operatif penggatian katup.

REUMATOIDARTRlTlS
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronik yang
dimediasi imun dengan ciri kekakuan pada pagi hari

metakarpopalangeal atau sendi interpalang proksimal,


nodul reumatoid, faktor reumatoid IgM atau IgG serum
dan erosi artikular pada pemeriksaan foto rontgen.
Penyebab kematian tersering adalah komplikasi
artikular dan ekstraartikular seperti subluksasi
atlantoaksial, sinovitis krikoaritenoid, sepsis, komplikasi
jantung paru dan vaskulitis difus.
Penyakit kardiovaskular reurnatoid disebabkan karena
inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis atau deposisi
granulomatous pada perikardium, miokardium, katup
jantung, arteri koroner, aorta atau sistem konduksi. Penyakit
jantung reumatoid secara klinis ditemukan pada sepertiga
pasien, dibandingkan sampai 80% pada pemeriksaan
autopsi. Penyakit jantung reumatoid dapat berupa
perikarditis, miokarditis, penyakit jantung valvular,
gangguan konduksi, arteritis koroner, artitis atau kor
pulmonal.
Penelitian kohort prospektif yang membandingkan
insidens infark miokard dan bencana serebrovaskular antara
pasien RA dan non RA menunjukkan pasien RA mempunyai
insiden bencana vaskular dan mortalitas lebih tinggi.
Aterosklerosis juga menunjukkan laju akselerasi pada RA.
Terdapat korelasi yang kuat antara adanya petanda biokimia
inflamasi dan plak aterosklerosis karotis pada RA.
Prediktor penyakit kardiovaskular secara klinis
mencakup jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, awitan
penyakit, hipertensi, terapi kortikosteroid dini, penyakit
yang lama, manifestasi ekstraartikular yang aktif,
poliartikular erosif dan penyakit nodular, vaskulitis sistemik
dan kadar faktor reurnatoid serum yang tinggi. Pasien yang
mengalami bencana kardiovaskular mempunyai LED yang
tinggi, kadar haptoglobin, kadar faktor von Willebrand dan
plasminogen activator inhibitor yang lebih tinggi
dibandingkan pasien tanpa penyakit kardiovaskular. Hal
ini menunjukkan bahwa proses inflamasi dan protrombotik
mengakibatkan penyakit kardiovaskular.

Keterlibatan jantung jarang pada RA, namun terjadi dalam


berbagai bentuk. Perikarditis fibrofibrinous non spesifik
difus terjadi pada sekitar 50 % pasien RA, biasanya secara
klinis silent dan tertutupi oleh pleuritis atau nyeri sendi.
Penyakit perikard cenderung benigna, namun efusi berat
dapat terjadi dan memerlukan tindakan perikardiosentesis,
dan konstriksi perikarditis konstriktif jarang memerlukan
tindakan perikardiektomi. Perikarditis konstriktif terjadi
pada 4 dari 47 pasien RA yang kasusnya dipantau selama
periode 10 tahun.
Prevalensi perikarditis ditemukan lebih tinggi pada
pasien dengan penyakit aktif yang dirawat. Terdapat
hubungan kuat antara perikarditis dan faktor reumatoid

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

IgM atau Ig G yang positif, penyakit nodular reumatoid


clan LED > 55 mrnljam.
Perikarditis reumatoid terjadi melalui 3 mekanisme:
proses inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis dan jarang
penyakit nodular atau granulomatous.

Manifestasi Klinis
Perikarditis reumatoid umumnya tanpa komplikasi dan
sangat sering dengan tanda nyeri pleuritik, fibrilasi atrial
atau fluter. Sepertiga pasien asimtomatik. Pada pemeriksaan
fisis dapat didengar pericardial rub. Tamponad dan
perikarditis konstriktif jarang dijumpai, biasanya pada
pasien dewasa yang aktif dan berat yang lama dan pasien
dengan keterlibatan ekstrartikular. Keluhan lain seperti
dispnu, ortopnu, edema, distensi vena jugularis, ronki,
pulsus paradoksus, tanda Kusmaull dan distensi vena
hepatojugular sering dijumpai jika terjadi kompresi jantung.
Pemeriksaan Penunjang
EKG sering menunjukkan perubahan gelombang T dan
segmen ST nonspesifik, demikian juga elevasi segmen ST
difus yang klasik. Pada efusi perikard yang banyak dapat
ditemukan low voltage atau electrical alternans.
Pemeriksaan foto rontgen dada biasanya normal,
Kardiomegali ditemukan pada pasien dengan ehsi perikard
yang berat. Kalsifikasi perikard jarang dijumpai.
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan teknik
diagnostik yang sangat penting yang kelainan tersering
dijumpai adalah efusi perikard dan penebalan perikard.
Kompresi diastolik ventrikel kanan dan atrium kanan dapat
ditemukan pada efusi perikard berat yang menunjukkan
adanya tamponad. Tidak dijumpai abnormalitas perikard
pada pemeriksaan ekokardiografi tidak menyingkirkan
adanya perikarditis pada pasien dengan gejala khas atau
pericardial rub.
Pemeriksaan laboratoriurn sering menunjukkan LED
meningkat > 55 mmljam. Cairan perikard eksudatif dan
serosanguineus dan kadar protein dan LDH yang tinggi,
tapi kadar glukosa rendah dan dapat mengandung faktor
reumatoid. Hitung jenis sel biasanya > 2000, dengan
neutrofil predominan. Pada biopsi perikard dapat
ditemukan deposit granular IgG, IgM, C3 dan C l q pada
interstisium dan dinding pembuluh darah perikard.
Penatalaksanaan
Pada perikarditis reumatoid ringan tanpa komplikasi
dianjurkan istirahat di tempat tidur dan pemberian
antiinflamasi non steroid. Pada kasus yang berat dan tak
respons dengan terapi OAINS dapat diberikan
steroid. Pada efusi perikard masif atau tamponad dilakukan
perikardiosentesis atau perikardiotomi. Pada perikarditis
konstriktif dilakukan perikardiektomi. Penggunaan steroid
intraperikard saat perikardiosentesis masih kontroversial.

PENYAKITJANTUNG VALVULAR REUMATOID

Penyakitjantung valvular reumatoid diakibatkan oleh proses


inflamasi akut nonspesifik, kronik atau rekuren, vaskulitis
atau deposisi granulomata pada katup. Proses inflamasi ini
terdiri dari infiltrasi sel plasma, histiosit, limfosit dan eusinofil
yang mengakibatkan fibrosis, penebalan dan retraksi katup.
Granulomata katup yang merupakan nodul reumatoid,
ditemukan pada katup, cincin katup, puncak musculus
papilaris dan endokardium atrial atau ventrikular. Katup
jantung yang sering terlibat adalah katup mitral dan aorta.
Granulomata tersering dijumpai pada basal melekatnya katup,
biasanya fokal dan biasanya tidak mengakibatkan d i s h g s i
katup. Penyakit katup reumatoid terjadi pada pasien dengan
penyakit reumatoid yang sudah lama dan berat dengan
penyakit nodular dan poliartikular erosif, vaskulitis sistemik
dan kadar faktor reumatoid yang tinggi.
Penyakit katup mitral atau aorta reumatoid biasanya
ringan dan asimtomatik, akut atau kronikjarang berkembang
menjadi berat. Valvulitis akut dan berat atau ruptur
ganulumata katup yang mengakibatkan regurgitasi berat
dan gaga1 jantung jarang dijumpai. Aortitis yang
menyebabkan dilatasi aorta (aortic root) dan regurgitasi
aorta juga jarang ditemukan. Regurgitasi aorta reumatoid
lebih berkembang cepat jika dibandingkan dengan
penyebab lain.
Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisis penyakit jantung reumatoid
mungkin tak tampak kelainan karena sebagian besar kasus
ringan. Pada kasus yang jarang berupa regurgitasi mitral
atau aorta akut atau kronik, dapat ditemukan auskultasi
yang klasik dan tanda-tanda yang berhubungan dengan
kegagalan ventrikel dapat ditemukan.
Diagnosis
Pemeriksaan EKG dan foto rontgen dada mempunyai nilai
diagnostik yang terbatas. Pada kasus penyakit katup berat
dapat menunjukkan pembesaran ruang jantung.
Ekokardiografi transtorakal dengan Dopler benvarna
merupakan pemeriksaan tersering yang digunakan untuk
mendeteksi dan menilai beratnya penyakit katup reumatoid.
Katup mitral dan aorta yang tersering terlibat dapat
menunjukkan penebalan nodular lokal atau difus, dengan
atau tanpa kalsifikasi. Pada pemeriksaan ekokardiografi
transesofageal, regurgitasi mitral atau aorta pada semua
derajat ditemukan masing-masing pada 80 % dan 33 %
pasien. Nodul katup reumatoid biasanya berukuran kecil
< 0,5 cm2, berbentuk oval yang homogen, biasanya tunggal.
Penatalaksanaan
Tak ada terapi antiinflamasi khusus pada penyakit katup
reumatoid. Penggunaan steroid dan imunosupresif lain

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA
UNTUKjika
dr.adaPRIYO
pada beberapa kasus valvulitis
berat DI
akut SCAN
,menunjukkan
keluhan PANJI
dan pemantauan jantung sekurangperbaikan yang nyata. Penggantian katup mitral atau aorta
kurangnya 48-72 jam. Pada beberapa kasus berat steroid
berhasil dilakukan pada regurgitasi berat akut atau kronik.
oral atau IV dosis tinggi menunjukkan manfaat.
MlOKARDlTlS REUMATOID

PENYAKITJANTUNG KORONER REUMATOID

Miokarditis reumatoid ditemukan sebanyak 30% pada


pasienpost mortem namun jarang pada laporan klinis dan
ekokardiografi. Biasanya lebih sering dijumpai pada pasien
RA aktif dan penyakit ekstraartikular, faktor reumatoid
positif yang tinggi, ANA, dan vaskulitis sistemik.
Miokarditis reumatoid dapat berasal dari proses autoimun,
vaskulitis, atau deposisi granulomata, jarang karena
infiltrasi amiloid. Kecuali granulomata, miokarditis
reumatoid sukar dibedakan pada pemeriksaan
histopatologi dari eosinofilik, toksik atau infeksi.

Prevalensi PJK pada pasien RA pada penelitian post


mortem sekitar 20%. Terdapat 2 tipe etiologi:
1. Yang tersering adalah aterosklerosis koroner yang
mungkin diakselerasi steroid dan episod arteritis
koroner berulang.
2. Yang jarang karena arteritis koroner sendiri
Pasien arteritis koroner biasanya mempunyai nodul
reumatoid, vaskulitis, penyakit reumatoid progresif cepat,
titer faktor reumatoid yang tinggi dan peningkatan
mortalitas kardiovaskular.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis reumatoid adalah sama
dengan miokarditis karena sebab lain. Yang sangat sering
ringan, asimtomatik dan tak dikenali secara klinis. Jika
simtomatik, gejala nonspesifik seperti lelah, sesak, palpitasi
dan nyeri dada dapat ditemukan. Nyeri dada biasanya
pleuritik, dan mungkin menggambarkan adanya
mioperikarditis. Miokarditis akut berat dengan disfungsi
ventrikel kiri dengan manifestasi gagal jantung kongestif
atau aritmia atrial 1 ventrikular jarang dijumpai.
Pada pemeriksaan fisis sering dijumpai demam dan
takikardia sinus. Bunyi jantung I dan I1 normal, bunyi
jantung I11 dan IV jarang terdengar. Murmur sistolik
fungsional dapat terdengar. Jika terdapat mioperikarditis,
dapat ditemukan pericardial rub.

Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien artritis reumatoid dengan PJK
asimtomatik. Penyakit koroner aterosklerotik dapat
bergejala angina pektoris stabil kronik, angina pektoris
tak stabil atau infark miokard akut, di mana arteritis koroner
lebih sering muncul sebagai angina pektoris tak stabil dan
jarang sebagai infark miokard akut.
Pada pemeriksaan fisis selama sindrom iskemia akut
dapat ditemukan takikardia, bunyi jantung ketiga atau
keempat dan ronki basah pada paru jika terdapat gagal
jantung kiri.

Diagnosis
Pada pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan
abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik.
Dapat ditemukan juga gangguan konduksi atrioventrikular
dan ektopi atrial atau ventrikular.
Ekokardiografi dapat menunjukkan abnormalitas
gerakan dinding segmental atau disfungsi kontraksi
ventrikel kiri difus dan dilatasi ruang jantung pada kasus
miokarditis fokal berat atau difus. Namun pada sebagian
besar pasien miokarditis ringan, pemeriksaan ekokardiografi
tidak menunjukkan kelainan. Scanning radionuklid dengan
indium 11 1, galium 67 atau technitium 99 dapat
menunjukkan uptake miokardial fokal atau difus yang
menunjukkan inflamasi miokard, nekrosis atau keduanya.
Pemeriksaan laboratorium pada kasus berat,
menunjukkan peningkatan ringan CKMB atau LDH.
Penatalaksanaan
Pasien perlu istihat di tempat tidur, diberikan analgesik

Diagnosis
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang Q
yang menunjukkan infark miokard sebelumnya, elevasi
atau depresi segmen ST menunjukkan kerusakan iskemia
subendokard atau epikard, atau inversi gelombang T yang
menunjukkan iskemia.
Pemeriksaan ekokardiografi selama iskemia berat dapat
menunjukkan abnormalitas gerakan dinding atau jariangan
parut miokard jika terdapat infark miokard sebelumnya.
Juga dapat ditentukan ada tidaknya serta beratnya
disfungsi ventrikel kiri.
Pemeriksaan laboratorium CKMB, troponin, dan LDH
dapat meningkat jika terjadi nekrosis miokard. Angiografi
koroner dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan tinggi
adanya PJK atau pemeriksaan treadmill yang dicurigai
PJK. Diagnosis arteritis koroner dicurigai jika teradapat
lesi stenosis multipel pada arteri koroner epikardial.
Penatalaksanaan
Jika terdapat kecurigaan arteritis koroner simtomatik dan
berat dapat diberikan terapi steroid dosis tinggi dan
siklofosfamid sebagai tambahan dengan heparin, aspirin,
nitrat, penyekat beta atau antagonis kalsium. Tak ada data

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


penggunaan PC1 pada arteritis koroner reumatoid.
Aterosklerosis koroner simtomatik dapat diberikan terapi
medis atau revaskularisasi koroner.
Gangguan Konduksi
Prevalensi gangguan konduksi atrioventrikular atau
intraventrikular pada pasien artritis reumatoid mungkin tak
berbeda dengan populasi umum. Mekanismenya antara
lain inflarnasi akut pada nodus AV atau berkas His, vaskulitis
pada arteriol yang mensuplai jalur konduksi, deposisi
granulomata pada sistem konduksi dan infiltrasi amiloid.
Manifestasi Klinis
Rerata usia pasien dengan gangguan konduksi biasanya
> 60 tahun, dan sebagian besar mempunyai gambaran
penyakit berat dengan penyakit nodular yang
membutuhkan terapi steroid. Gangguan konduksi biasanya
ringan dan asimtomatik dan didiagnosis secara kebetulan
pada pemeriksaan EKG. Pada kasus yang jarang di mana
terdapat blok AV derajat tinggi dapat ditemukan keluhan
pusing, lelah, prasinkop atau sinkop. Walaupun jarang,
blok AV total mungkin asimtomatik karenas penyakit sendi
berat membatasi aktivitas pasien. Blok AV selintas dan
kembali normal setelah terapi antiinflamasijarang dijumpai.
Diagnosis
Metode diagnosis terbaik adalah pemeriksaan EKG rutin,
pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau keduanya.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan blok AV derajat tinggi simtomatik atau
blok intraventrikular terdiri dari pacu jantung sementara
dan steroid dosis tinggi. Pasien yang tak responsif hams
mendapatkan pacu jantung permanen.

HlPERTENSl PULMONAL REUMATOID


Penyebab hipertensi pulmonal dengan tekanan vena
pulmonal normal mencakup hiperviskositas serum,
fibrosis interstisial, bronkiolitis obliteratif dan vaskulitis
pulmonal. Prevalensinya masih belum jelas, tetapi
rendah.
Manifestasi Klinis
Sesak merupakan manifestasi yang biasa dijumpai pada
hipertensi pulmonal dan kor pulmonal. Hipertensi pulmonal
sedang yang tak berhubungan dengan kor pulmonal dapat
asimtomatik.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan heaving
parastemal, bunyi jantung I1 split, regurgitasi trikuspid,
gallop S3 sisi kanan dan jarang hepatomegali dan edema.

Diagnosis
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pembesaran
atrium dan ventrikel kanan dan blok cabang berkas.
Pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan
pembesaran atrium dan ventrikel kanan, hipertrofi atau
disfungsi, regurgitasi trikuspid dan bukti tekanan sistolik
arteri pulmonal yang tinggi.
Biopsi paru terbuka dan lavage bronkoalveolar
merupakan metoda yang dikerjakan jika vaskulitis paru
berat atau bronkolitis obliterans dicurigai sebagai
penyebab hipertensi pulmonal.
Penatalaksanaan
Penalatalaksanaan hipertensi pulmonal karena vaskulitis
pulmonal adalah imunosupresan atau steroid, namun
prognosis buruk dan sebagian besar pasien meninggal
dalam satu tahun sejak diagnosis.

SKLERODERMA
Skleroderma atau sklerosis sistemik adalah penyakit
sistemik dengan ciri akurnulasi jaringan ikat berlebihan,
fibrosis dan perubahan degeneratif pada kulit, otot
skeletal, sinovium, pembuluh darah, saluran cerna, ginjal,
paru dan jantung.
Penyakit paru terutama hipertensi pulmonal dan
penyakit ginjal merupakan penyebab utama mortalitas,
diikuti penyakit jantung, dengan suwival kumulatif hanya
20 % dalam 7 tahun. Penyebab kematian karena jantung
yang utama adalah penyakit jantung iskemia, kemudian
gaga1 jantung refrakter, kematian mendadak dan
perikarditis. Penyakit jantung skleroderma manifestasinya
predominan sebagai PJK, miokarditis dan hipertensi
pulmonal dengan atau tanpa kor pulmonal. Perikarditis,
gangguan konduksi dan aritmia jarang dijumpai. Penyakit
jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan
kurang dari seperempat pasien, kejadiannya meningkat
sampai 80 % pada pemeriksaan autopsi. Penyakit jantung
skleroderma umumnya kurang sering dan kurang berat pada
tipe limited (terbatas) dibandingkan tipe difus.

PENYAKIT JANTUNG KORONER


Walaupun arteri koroner epikardial biasanya normal, arteri
koroner intramural dan arteriol sering menunjukkan
penyempitan, fibrosis, nekrosis fibrinoid dan hipetrofi intima. Kerusakan endotel yang dimediasi imun, stimulasi
fibroblas, deposisi kolagen dan peningkatan produksi
platelet derived growth factor dapat menurunkan respons
endotel terhadap trombosis, inflamasi dan vasodilatasi.
Selanjutnya degranulasi sel mast melepas zat vasoaktif
seperti histamin, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

D3 yang dapat menyebabkan vasospasme. Hampir semua


pasien dengan bukti PJK intramiokardial mempunyai
fenomena Raynaud's perifer.

Manifestasi Klinis
Nyeri dadajarang ditemukan; jika ada, dikaitkan lebih sering
dengan perikarditis atau refluks esofageal daripada iskemia
miokard. Sebagian besar pasien, bahkan dengan defek
pada pencitraan perhsi miokard yang dinduksi latihan atau
istirahat adalah asimtomatik. Walaupun vasospasme
koroner intramiokardial dapat ditemukan, vasospasme
berat arteri koroner epikardial yang menyebabkan infark
miokard transmural jarang dilaporkan.
Diagnosis
Pemeriksaan tes treadmill merupakan metode dengan
sensitivitas terbatas karena prevalensi PJK epikardial pada
pasien skleroderma rendah.
Pada pemeriksaan radionuklid, abnormalitas perhsi
multisegmental yang dinduksi latihan atau istirahat sering
ditemukan. Keadaan ini sering kembali normal atau membaik
dengan nifedipin atau dipiridamol yang menunjukkan episode vasospasme berulang yang meyebabkan iskemia
miokard atau fibrosis.
Pada pemeriksan ekokardiografi infark miokard transmural yang khas biasanya tidak ditemukan. Pasien biasanya
menunjukkan disfungsi diastolik atau sistolik global.
Jarang dijumpai infark miokard transmural karena
vasospasme koroner epikardial.
Angiografi koroner biasanya menunjukkan arteri
koroner epikardial normal, aliran yang lambat menunjukkan
resistensi koroner intramiokardial yang meninggi dan
penurunan aliran darah sinus koronarius menunjukkan
cadangan aliran koroner abnormal.

pasien skleroderma dengan penyakit kutaneus difus,


antibodi antiScl70 dan usia > 60 tahun.
Miokarditis secara klinis jarang dijumpai, namun pada
penelitian post mortem menunjukkan prevalensi yang
tinggi. Fibrosis miokardial difus atau fokal dan nekrosis
pita kontraksi (contraction-band)sering ditemukan.

Manifestasi Klinis
Penyakit fibrosis miokardial difus atau fokal dapat
mengakibatkan dishngsi diastolik atau sistolik ventrikel
kiri yang bermakna, aritmia dan gangguan konduksi. Pasien
dengan miopati skletal dan dengan miokarditis lebih sering
mengalami gagal jantung klinis yang sering intraktabel.
Gejala yang muncul perlahan seperti dispnu, ortopnu dan
edema perifer merupakan gejala yang paling sering
ditemukan. Gejala akut gagal jantung dan mati mendadak
jarang dijumpai.
Pada pemeriksaan fisis dapat menunjukkankardiomegali,
gallop S3 atau S4, murmur sistolik, penurunan intensitas
bunyi jantung, ronki paru dan edema perifer.

Penatalaksanaan
Walaupun antagonis kalsium seperti nifedipin dan
nikardipin jelas menunjukkan perbaikan jangka pendek
dalam jumlah dan beratnya defek perfusi, manfaat jangka
panjang belum diketahui. Kaptopril menunjukkan manfaat
.
yang sama.

Diagnosis
Jika terdapat bukti miokarditis secara klinis atau
laboratorium, penapisan diagnosis keterlibatan jantung
yang asimtomatik hams dilakukan.
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pola infark
septal pada beberapa pasien, berhubungan dengan
abnormalitas perfusi thalium anteroseptal atau septal,
walaupun arteri koroner epikardial normal. Keadaan ini
diduga menunjukkan fibrosis septal.
Pada pemeriksaan ekokardiografi sebagian besar pasien
menunjukkan fimgsi sistolik ventrikel kiri yang masih baik.
Dapat dijumpai abnormalitas gerakan dinding ventrikel kiri
regional atau global dan jarang abnormalitas gerakan
dinding ventrikel kanan dan lebih sering tampak pada
pasien dengan penyakit jantung secara klinis.
Biopsi endomiokardial merupakan pemeriksaan
pemeriksaan yang jarag, digunakan untuk diagnosis
penyakit miokardial skleroderma, namun pola keterlibatan
yang heterogen dan nonspesifik membatasi sensitivitas
dan spesifisitas teknik ini.

Terdapat 2 tipe penyakit miokardial skleroderma. Yang


tersering karena iskemia intramiokardial berulang yang
mengakibatkan fibrosis; yang kedua jarang di mana
patogenesisnya tak diketahui adalah miokarditis inflamasi
akut. Pasien skleroderma dengan miopati skeletal aktif
mempunyai prevalensi penyakit niokardial sampai 2 1 %,
dibandingkan hanya 10 % pada pasien tanpa miopati
perifer. Penyakit miokardialjuga lebih sering dan berat pada

Penatalaksanaan
Jika ditemukan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimtomatik,
terapi bersifat nonspesifik dan terdiri dari diuretik, digitalis dan vasodilator. Penggunaan metilprednisolon
intravena pada miokarditis inflamasi akut masih
kontroversial.
Adanya gallop S3 menunjukkan disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan meningkatkan risiko kematian lebih dari
500%. Pasien dengan gagal jantung mempunyai laju
mortalitas 100% dalam 7 tahun, dengan angka tertinggi
(82 %) terjadi dalam tahun pertama diagnosis.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINCAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


GANGGUAN KONDUKSl DAN ARlTMlA
Defek konduksi terjadi sampai 20% pasien skleroderma.
Prevalensi tertinggi pada ditemukan pada pasien
miokarditis atau defek perfusi miokardial. Penggantian fibrosa pada nodus SA dan AV, cabang berkas dan
miokardium tampak pada pemeriksaanpost mortem pasien
dengan gangguan konduksi.

Manifestasi Klinis
Aritmia sering dijumpai dan dikaitkan dengan miokarditis
aktif. Kontraksi ventrikel dan atrial prematur, takikardia
supraventrikular dan takikardia ventrikular non sustained
juga sering dijumpai. Aritmia ventrikular dan
supraventrikular lebih sering terjadi pada pasien dengan
penyakit kutaneus difus daripada pasien dengan tipe
terbatas. Palpitasi terjadi pada 50 % pasien. Sinkop dapat
terjadi dan dikaitkan dengan blok AV derajat tinggi atau
aritmia ventrikular;jarang merupakan manifestasi pertama
skleroderma. Sinkop dapat juga terjadi pada pasien
hipertensi pulmonal berat. Sekitar40-70 % kematian jantung
pada pasien skleroderma yang mempunyai miopati skeletal aktif dan miokarditis mungkin tiba-tiba dan terkait
dengan aritmia ventrikular.
Diagnosis
Mayoritas pasien mempunyai EKG normal, yang
mempunyai prediksi tinggi fungsi ventrikel kiri normal.
Adanya blok cabang berkas kiri dan kanan atau bifasikular
umumnya berhubungan dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri saat istirahat atau yang diinduksi latihan.
Terdapat peningkatan frekuensi aritrnia atrial dan vetrikular
atau abnormalitas konduksi pada pemeriksaan EKG dan
berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri.
Penatalaksanaan
Pacu jantung diindikasikan pada gangguan konduksi
derajat tinggi yang simtomatik dan terapi antiaritmia
diberikan pada aritmia simtomatik. Belurn diketahui apakah
supresi aritmia menurunkan risiko mati mendadak pada
pasien skleroderma.

Patogenesis penyakit perikardial skleroderma tak diketahui


dan biasanya secara klinis silent. Perikarditis akut
simtomatik jarang dijumpai, kontras dengan prevalensi
penyakit perikard yang tinggi pada pemeriksaan post
mortem. Perikarditis fibrinosa, perikarditis fibrosa kronik,
adhesi perikardial dan efusi perikardial adalah tipe
patologis yang dijumpai. Penyakit perikardial lebih sering
terjadi pada pasien dengan bentuk kutaneus terbatas.

Manifestasi Klinis
Bukti klinis pada penyakit perikard ditemukan 5- 15 % pasien
dan lebih sering pada pasien dengan tipe kutaneus
terbatas. Manifestasi klinis tersering adalah efusi perikard
kronik dengan sesak, ortopnu dan edema; dan jarang
tampak sebagai perikarditis akut dengan demam, nyeri dada
pleuritik, dispnu dan pericardial rub. Tarnponad jantung
atau perikarditis konstriktifkronik jarang dijumpai.
Diagnosis
Ekokardiografi sering menunjukkan efusi perikard ringan
asimtomatik dan penebalan dan dapat mengkonfirmasi
tamponad jantung yang dicurigai secara klinis.
Penatalaksanaan
Perikarditis simtomatikatau efusi perikard bermakna dapat
diterapi dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Jika
dicurigai tamponad, perikardiosentesis atau
perikardiektomi biasanya bermanfaat. Steroid tidak efektif
pada pasien efusi perikard kronik yang berat.

PENYAKIT JANTUNG VALVULAR


Prevalensi sebenarnya tak diketahui, dan jarang dijumpai
secara klinis. Prevalensi pada penelitian post mortem
dilaporkan sampai 18 %. Pada pemeriksaan ekokardiografi,
frekuensi regurgitasi mitral pada pasien skleroderma
dilaporkan 67 % dibandingkanhanya 15 % pada kelompok
kontrol. Dapat dijumpai penebalan nonspesifik pada katup
mitral dan aorta tanpa disertai regurgitasi bermakna.

PENYAKITJANTUNG SKLERODERMASEKUNDER
Penyebab sekunder penyakit jantung skleroderma
dikaitkan dengan hipertensi sistemik dan pulmonal.
Fibrosis paru dapat terjadi sampai 80 % dan hipertensi
pulmonal dengan kor pulmonal sampai 40-50% pasien.
Hipertensi pulmonal sekunder karena vaskulopati inflamasi
atau vasospasme pulmonal jarang terjadi dan lebih sering
dikaitkan dengan tipe kutaneus terbatas (limited cutaneus)
dan sindrom overlap. Hipertensi pulmonal dikaitkan
dengan 50 % mortalitas dalam 8 tahun. Oksigen, antagonis
kalsium dan inhibitor ACE menunjukkan manfaat jangka
panjang. Hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
biasanya dikaitkan dengan penyakit renovaskular.
Prognosis dikaitkan dengan beratnya penyakit jantung.

Spondilitis ankilosing merupakan penyakit inflamasi yang

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

asalnya tak diketahui yang melibatkan predominan pada


vertebra dan sendi sakroiliaka. Manifestasinya sebagai
nyeri pinggang bawah dan hambatan gerakan bagian
belakang dan pengembangan dada. Jarang melibatkan
sendi perifer dan organ ekstrartikular seperti jantung.
Manifestasi kardiovaskular umumnya mengikuti
sindrom artritis setelah 10-20 tahun, kadang-kadang
mendahulai artritis. Manifestasi kardiovaskular terpenting
adalah aortitis dengan atau tanpa regurgitasi aorta,
gangguan konduksi, regurgitasi mitral, disfungsi
miokardial dan penyakit perikard. Prevalensi penyakit
kardiovaskular secara klinis bervariasi luas. Prevalensinya
lebih tinggi pada pasien dengan lama penyakit >20 tahun,
pasien dengan usia >50 tahun dan keterlibatan artikular
perifer.

anterior. Regurgitasi katup yang tampak pada hampir 50 %


pasien adalah sedang pada sepertiga kasus. Penyakit aorta
dan katup dikaitkan dengan lama penyakit spondilitis
ankilosing tapi tidak terhadap aktivitas penyakit, berat
penyakit dan terapi.

Penatalaksanaan
Belum ada data mengenai peran terapi medis dengan
antii'nflamasi spesifik seperti kortikosteroid.Terapi dengan
diuretik dan vasodilator dapat digunakan pada regurgitasi
aorta yang bermakna. Profilaksis antibiotik pada
endokarditis infektif diindikasikan pada penyakit katup
aorta dengan regurgitasi.

GANGGUAN KONDUKSI
AORTlTlS DAN REGURGITASIAORTA
Patogenesis aortitis belum diketahui. Meningkatnya
aktivitas agregasi trombosit dan platelet-derived growth
factor dipercayai sebagai faktor yang berperan pada
patogenesis. Proses inflamasi juga dimediasi oleh sel
plasma dan limfosit.

Manifestasi Klinis
Manifestasi penyakit jantung yang terkait spondilitis
ankilosing tersering adalah aortitis proksimal dengan atau
tanpa regurgitasi. Penyakit katup mitral yang terkait juga
sering dijumpai. Aortitis dan regurgitasi aorta umumnya
ringan sampai sedang, secara klinis silent dan kronik.
Jarang terjadi regurgitasi aorta berat berasal dari aortitis
kronik atau akut berat atau valvulitis atau komplikasi
endokarditis infektif. Penyakit katup aorta silent secara
klinis dengan atau tanpa regurgitasi aorta dapat terjadi
pada sepertiga pasien sebelum manifestasi penyakit sendi.
Walaupun penyakit aorta dan regurgitasi katup dapat
ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada 60 %
pasien, karena biasanya ringan sampai sedang, hanya
sedikit yang terdeteksi secara klinis.
Diagnosis
Pada pemeriksaan foto rontgen dada siluet jantung dan
pembuluh darah besar biasanya normal. Jika terdapat
penyakit aorta berat atau regurgitasi aorta, aorta asenden
dapat menunjukkan dilatasi atau elongasi dan pembesaran
atrium dan ventrikel kiri dapat ditemukan.
Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal,
penebalan aorta, peningkatan kekakuan dan dilatasi
didapatkan masing-masing 60 %, 60 % dan 25 % pasien.
Penebalan katup aorta pada 40 % pasien,manifestasi
predominan sebagai nodularitas katup aorta. Penebalan
katup mitral yang tampak pada 30 % pasien, manifestasi
predominan sebagai penebalan basal katup mitral

Gangguan konduksi merupakan penyakit jantung terkait


spondilitis ankilosing kedua tersering ditemukan dan
patogenesisnya belum diketahui. Gangguan konduksi
dapat merupakan akibat proses fibrosis subaortik yang
meluas ke septum basilar, mengakibatkan destruksi atau
disfungsi nodus atrioventrikular, bagian proksimal berkas
His, cabang berkas dan fasikel.

Manifestasi Klinis
Prevalensi gangguan konduksi bervariasi sangat luas,
sekurang-kurangnya 20 %. Blok atrioventrikular (derajat
satu, derajat dua dan jarang derajat tiga) tersering
ditemukan, diikuti disfungsi nodus sinus (aritmia sinus,
blok sinoatrial, henti sinus, dan sick sinus syndrome) dan
blok fasikular dan cabang berkas.
Pasien dengan gangguan konduksi umumnya
asimtomatik dan dapat dideteksi sebelum manifestasi
secara klinis pada kurang dari seperlima pasien. Prevalensi
penyakit aorta dan regurgitasi katup tinggi pada gangguan
konduksi. Jarang terjadi, gangguan konduksi berat yang
berhubungan dengan gejala pusing, prasinkop atau sinkop
dan membutuhkan pacu jantung mendahului diagnosis
spondilitis ankilosing.
Pada pemeriksaan fisis bradiaritmia berat dapat secara
klinis dideteksijika pasien simtomatik.Gangguan konduksi
umumnya insidental dideteksi dengan EKG.
Diagnosis
EKG mencakup pemantauan ambulatori 24 jam, dapat
secara mudah mendeteksi adanya gangguan konduksi.
Penatalaksanaan
Terapi antiinflamasi tidak menunjukkan manfaat pada
pasien dengan gangguan konduksi. Pacu jantung dapat
dilakukan dengan sukses dengan indikasi terbanyak
adalah blok jantung total dan sick sinus syndrome.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT KATUP MITRAL

Prevalensi penyakit katup mitral sekitar 30%, namun secara


umum tak bermakna dan sering tak diketahui. Penyakit
katup mitral umumnya asimtomatik dan sering secara
insidentil dideteksi dengan ekokardiografi.Patogenesisnya
dikaitkan dengan perluasan fibrosis aorta sampai bagian
basilar subaortik dari katup mitral anterior, mengaibatkan
subaortic bump. Regurgitasi mitral berasal dari mobilitas
katup anterior yang menurun yang disebabkan subaortic
bump basilar atau jarang akibat dilatasi ventrikel karena
regurgitasi aorta. Kecuali profilaksis antibiotik untuk
pencegahan endokarditis infektif pada pasien dengan
regurgitasi mitral, tak ada terapi lain yang
direkomendasikan.

PENYAKIT MIOKARD, PENYAKIT PERIKARD DAN


ENDOKARDITIS BAKTERlALlS

Penyakit miokard primer jarang dijumpai. Patogenesisnya


belum diketahui, diduga karena peningkatan jaringan ikat
interstisial miokardial yang difus dan serat retikulum.
Manifestasinya dapat berupa disfimgsi sistolik dan dilatasi
ventrikel kiri sampai seperlima pasien. Fungsi diastolik
ventrikel kiri abnormal dengan pemerikasaan
ekokardiografi Doppler dan ventrikulografi radionuklid
dilaporkan sebanyak 50 % pasien. Disfungsi diastolik tidak
terkait dengan usia, lama penyakit atau aktivitas penyakit.
Disfungsi miokard sekunder terkait dengan overload volume kronik pada regurgitasi mitral dan aorta. Dapat
didengar bunyi jantung ketiga dan keempat dan ronki paru
jika terdapat disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri
yang bermakna. Ekokardiografi merupakan metode
diagnostik terbaik untuk melihat disfungsi ventrikel kiri
primer atau sekunder. Tak ada terapi spesifik untuk
penyakit miokardial primer.
Prevalensi penyakit perikardial talc diketahui, danjarang
ditemukan pada spondilitis ankilosing. Patogenesisnya
belum diketahui dengan pasti. Umumnya asimtomatik dan
tak ada gangguan hemodinamik bermakna. Biasanya
secara insidental terdeteksi pada pemeriksaan
ekokardiografi berupa penebalan perikard atau efusi
perikard ringan. Tak ada terapi spesifik.

Polimiositis atau dermatomiositisadalah miopati inflamasi


kronik, didapat yang penyebabnya tak diketahui dengan
manifestasi klinis kelelahan otot proksimal yang simetri
pada ekstremitas, tulang belakang dan leher.
Dermatomiositis berbeda dengan polimiositis dengan
adanya rash pada muka, leher, dada dan ekstremitas,

terbanyak pada permukaan ekstensor, terutama punggung


tangan dan jari. Penyebab utama mortalitas adalah
keganasan, sepsis dan penyakit kardiovaskular. Indikator
.prognosis yang buruk mencakup usia >45 tahun, penyakit
kardiopulmoner dan lesi nekrotik kutaneus.
Manifestasi Klinis
Penyakit jantung yang terkait polimiositis Idermatomiositis
tidak jarang dijumpai dan manifestasinya predominan
sebagai aritmia atau gangguan konduksi dan miokarditis.
Kardiomiopati dilatasi, perikarditis, vaskulitis koroner,
hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal, prolaps katup
mitral dan sindrom jantung hiperkinetik pernah dilaporkan.
Penyakit jantung yang nyata secara klinis jarang
dibandingkan pada penemuan post mortem. Penyakit
jantung klinis lebih sering ditemukan pada polimiositis dan
sindrom overlap daripada dermatomiositis. Adanya
penyakit jantung tidak berhubungan dengan usia, aktivitas
,berat atau lamanya penyakit dan tak berbeda antara pria
dan perempuan.

ARlTMlA DAN GANGGUAN KONDUKSI

Abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik


ditemukan pada separuh pasien. Gangguan lain mencakup
blok cabang berkas kanan, blok fasikular anterior kiri, blok
bifasikular, perlambatan konduksi intraventrikular
nonspesifik, bok cabang berkas kiri, blok AV derajat satu
dan blok AV derajat tinggi. Gangguan konduksi jarang
berkembang menjadi lebih berat, meskipun pada beberapa
kasus memerlukan pacu jantung permanen.
Aritrnia yang tersering ditemukan adalah komplek atrial
dan ventrikel prematur. Takiaritmia supraventrikular dan
takikardia ventrikularjarang terjadi. Miokarditis aktif atau
degenerasi miokardial dan fibrosis yang meluas ke
sinoatrial, nodus AV dan cabang berkas menjelaskan
adanya aritmia dan abnormalitas konduksi.

Pada penelitian, miokarditis ditemukan pada separuh


pasien, dengan manifestasi sama sebagai miokarditis aktif
atau fibrosis miokardial fokal. Sekitar 10-20% mengalami
kardiomiopati dilatasi. Terdapat korelasi kuat antara
miokarditis dan miositis aktif. Miokarditis dapat
bermanifestasi secara klinis sebagai gaga1 jantung
kongestif atau kardiomiopati dilatasi.

ARTERlTlS KORONER

Prevalensi klinis tak diketahui. Salah satu penelitianpost

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

mortem menunjukkan adanya arteritis koroner pada 30 %


pasien, manifestasi sebagai vaskulitis aktif dengan
proliferasi intima atau nekrosis medial dengan kalsifikasi.

PENYAKIT JANTUNG VALVULAR


Prevalensi prolaps katup mitral dilaporkan lebih dari
separuh pasien. Tidak ada penyakit katup spesifik
ditemukan. Penyebab prolaps katup mitral belum dapat
ditentukan.

Perikarditis akut tanpa komplikasi dengan efusi perikard


ringan sampai sedang pernah dilaporkan. Perikarditis akut
dengan tarnponad dan perikarditis konstriktif kronis jarang
dijumpai. Perikarditis melibatkan < 20% pasien dewasa dan
sedikit lebih sering dari anak-anak. Ekokardiografi
menunjukkan prevalensi efusi perikard biasanya sedikit pada
25% pasien dewasa dan sampai 50 % pada anak-anak.

HlPERTENSl PULMONAL, KOR PULMONAL DAN


SINDROM JANTUNG HlPERKlNETlK
Dapat ditemukan hipertensi pulmonal sekunder sampai
penyakit paru interstisial dan vaskulopati paru primer yang
memyebabkan kor pulmonal.

MIXED CONNECTIVE TISSUE DISEASE (MCTD)


Pasien dengan MCTD adalah pasien dengan manifestasi
klinis LES, artritis reumatoid, skleroderma dan polimiositis.
Keterlibatan jantung primer pada MCTD jarang dijumpai
dibandingkan penyakit jaringan ikat lain.
Manifestasi Klinis
Penyakit perikardial dengan manifestasi perikarditis, efusi
perikard ringan atau penebalan perikard merupakan yang
tersering ditemukan. Perikarditis lebih sering pada anakanak, melibatkan hampir separuh pasien. Pada kasus yang
jarang, perikarditis dapat merupakan presentasi awal
penyakit. Dapat ditemukan penebalan verrucous dan
regurgitasi katup mitral dan tidak dapat dibedakan dengan
LES. Aritmia supraventrikular dan ventrikular dan
gangguan konduksi jarang ditemukan. Walaupun
hiperplasia intima pada arteri koroner, perivaskular dan
infiltrasi leukositik miokardial dilaporkanpada pemeriksaan
postmortem, arteritis koroner klinis atau miokarditis jarang
dijumpai.

Manifestasi klinis penyakit jantung primer, hipertensi


pulmonal dan kor pulmonal yang terkait MCTD tidak
berbeda dengan penyakit jaringan ikat lain.

Diagnosis
Metode yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit
jantung yang terkait MCTD sama dengan penyakit jaringan
ikat lain.
Penatalaksanaan
Data yang ada masih sedikit dalam ha1 penatalaksanaan
penyakit jantung yang terkait MCTD. Perikarditis
umumnya memberikan respons baik dengan kortikosteroid.
Nifedipin 30 mglhari menunjukkan penurunan resistensi
vaskular pulmonal akut dan menetap pada pasien hipertensi
pulmonal.

Abdurahman N, Alwi I, Hakim L, Ismail D, Soelistijo H. Association


of disease activity and pericardial effusion on systemic lupus
erythemathosus patients. Med J Univ Indones 1998;7:89-93.
Alwi I, Hakim L, Abdurahman N. Perikarditis dan efusi perikard
pada pasien lupus eritematosus sistemik. Medika 1998;6:38695.
Ansari A, Larson PH, Bates HD. Cardiovascular manifestations of
systemic lupus erythematosus. Prog Cardiovasc Dis
1985;27:421-34.
Badui E, Garcia-Rubi D, Robles E. Cardiovascular manifestations in
systemic lupus erythematosus. Prospestive study of 100
patients. Prog Cardiovasc Dis 1985;27:421-34.
Bahl VK, Vasan RS, Aradhye, Malaviya AN. Prevalence of cardiac
abnormalities early in the course of systemic lupus eryt
hematosus. Am J Cardiol 1991;68: 1540-1.
Boumpas DT, Austin I1 HA, Fessler BJ et al. Systemic lupus
erythematosus: emerging concepts. Renal, neuropsychiatric,
cardiovascular, pulmonary, and hematologic disease. Ann
Intern Med 1995;122(Pt 1):940-50.
Cervera R, Font J, Pare C, et al. Cardiac diseases in systemic lupus
erythematosus: prospective study of 70 patients. Ann Rheum
Dis 1992;51:156-9.
Cohen MG, Li EK. Mortality in systemic lupus erythematosus:
active disease is the most important factor. Aust NZ J Med
1992;22:5-8.
Crozier IG, Li E, Milne MJ, Nicholls MG. Cardiac involvement in
systemic lupus erythematosus detected by echocardiography
Am J Cardiol 1990;65:1145-8.
Cujec B, Sibley 3, Haga M. Cardiac abnormalities in patients with
systemic lupus erythematosus. Can J Cardiol 1991;7(8):343-9.
Doherty I11 NE, Feldman G, Maurer G, Siegel U. Ekokardiografi
findings in systemic lupus erythematosus. Am J Cardiol
1988;61 :I 144.
Doherty NE, Siegel RJ. Cardiovascular manifestations of systemic
lupus erythematosus. Am Heart J 1985:1257-65.
Ehrenfeld M, Asman A, Shpilberg 0.Pericarditis in SLE: a
retrospective analysis [abstract]. Lupus Avis International Journal; Jerusalem, Israel; 1995 March 26-31; 1995.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1817

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINCAN IKAT

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Enomoto K, Kaji Y, Mayumi T, et al. Frequency of valvular regurgitation by color Doppler echocardiography in systemic lupus
erythematosus. Am J Cardiol 1991;67:209-11.
Galve E, Candell-Riera J, Pigrau C, et al. Prevalence, morphologic
types, and evolution of cardiac valvular disease in systemic
lupus erythematosus. N Engl J Med 1988;3 19:817-23.
Gleason CB, Stoddard MF, Wagner SG, Longaker RA, Pierangeli,
Harris EN. A comparison of cardiac valvular involvement in
the primary antiphospholipid syndrome versus anticardiolipinnegative systemic lupus erythematosus. Am Heart J
1993;125:1123-9.
Hojnik M, George J, Ziporen L, Shoenfeld Y. Heart valve
involvement
(Libman-Sacks
endocarditis)
in
the
antiphospholipid syndrome. Circulation 1996;93:1579-87.
Ismail D, Alwi I, Hakim L, Soelistijo H, Abdurahman N. Gambaran
ekokardiografi pasien lupus eritematosus sistemik. Maj Kedokt
Indon 1999;49:350-3.
Jouhikainen T, Pohjola SS, Stephanssou E. Lupus anticoagulant and
cardiac manifestations in systemic erythematosus. Lupus
1994;3(3): 167-72.
Kahl LE. The spectrum of pericardial tamponade in systemic lupus
erythematosus. Report of ten patients. Arthritis-Rheum
1992;35:1343-9.
Klinkhoff AV, Thompson CR, Reid GD, Tomlinson CW. M-mode
and two dimensional echocardiography abnormalities in
systemic lupus erythematosus. JAMA 1985;253:3273-7.
Khamashta MA, Cervera R, Asherson RA, et al. Association of
antibodies against phospholipids with heart valve disease in
systemic lupus erythematosus. Lancet 1990;335: 1541-4.
Leung WH, Wong KL, Lau CP, Wong CK, Cheng CH. Cardiac
abnormalities in systemic lupus erythematosus: a prospective
M-mode cross sectional and Doppler ekokardiografi study. Int J
Cardiol 1990;27(3):267-75.
Levine JS, Branch DW, Raugh J. The antiphospholipid syndrome. N
Engl J Med 2002;346:752-63.
Leung WH, Wong KL, Lau CP, Wong CK, Liu HW. Association
between antiphospholipid antibodies and cardiac abnormalities
in patients with systemic lupus erythematosus. Am J Med
1990;89:411-9.

Lolli C, Foscoli M, Giofre R, Tarquinii M, Pasquali S, Toschi GP.


Cardiac anomalies in systemic lupus erythematosus: their
,
prevalence and relation to duration, disease activity and the
presence of antiphospholipid antibodies. G ltal Cardiol
1993;23(11): 1 125-34.
Lorell BH, Braunwald E. Pericardial disease. In: Braunwald, editor.
Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co.; 1992. p. 1465-1 5 16.
Mandell BF. Cardiovascular involvement in systemic lupus
erythematosus. Semin Arthritis Rheum 1987; 17: 126-4 1 .
Nihoyannopoulos P, Gomez PM, Jostn J, Loizou S, Walport MJ,
Oakley CM. Cardiac abnormalities in systemic lupus
erythematosus. Circulation 1990;81:369-75.
Ong ML, Veerapen K, Chambers JB, Lim MN, Manisavagar M,
Wang F. Cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus: prevalence and relationship to disease activity. Int J Cardiol
1992;34(1):69-74.
Qiusmorio FP. Systemic corticosteroid therapy in systemic lupus
erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, Qiusmorio FP,
Klienberg JR, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed.
Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.574-8.
Quismorio Jr. FP cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.332-42.
Roldan CA, Shively BK, Lau CC, Gurule Fr, Smith FA, Crawford
MH. Systemic lupus erythematosus valve disease by
transesophageal echocardiography and the role of
antiphospholipid antibodies. J Am Coll Cardiol 1992;20:112734.
Roldan CA, Shively BK, Crawford MH. An echocardiography study
of valvular heart disease associated with systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 1996;335:1424-30
Steven MB. Systemic lupus erythematosus and the cardiovascular
system: the heart. In: Lahita R G editor. Systemic lupus Erythematosus. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 1992. p.70717.
Ward MM, Pyum E, Studenski S. Causes of death in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 1995;38: 149-9.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

TUMOR JANTUNG
Idrus Alwi

TUMOR PRIMER

yang dapat disembuhkan dengan operasi, penting halnya


diagnosis ditegakkan secara dini bila ada kecurigaan.

Tumor jantung primer jarang dijumpai. Insidennya antara


0,00 17-0,19 % pada pasien yang diautopsi. Kurang lebih
tiga perempatnya jinak secara histologis, dan sisanya,
yang hampir dalam seluruh kasus merupakan sarkoma,
adalah tumor ganas. Hampir separuh tumor jantung jinak
adalah miksoma dan mayoritas sisanya adalah lipoma,
fibroelastoma papiler dan rabdomioma.
Sebelum tahun 195 1, diagnosis tumor intrakardiak
dibuat hanya saat pemeriksaanpost mortem. Pada saat itu
diagnosis
tumor atrium kiri dikonfirmasi dengan
pemeriksaan angiokardiografi. Penemuan ekokardiografi
memungkinkan diagnosis tumor jantung antemortem.
Metode pencitraan diagnostik tambahan mencakup
computed tomography (CT) dan nuclear magnetic
resonance imaging (MRI).
Karena seluruh tumor jantung memiliki potensi
komplikasi yang mengancam jiwa, dan sekarang banyak

Tipe
Jinak (Benigna)
- Miksorna
- Rabdorniorna
- Fibroma
- Hernangioma
- Nodal atrioventrikular
- Sel granular
- Liporna
- Paragangliorna
- Harnartorna rniositik
- Kardiorniopati histiositoid
- Pseudoturnor inflarnasi
- Tumor jinak lain
Ganas (Maligna)

- Sarkorna
- Lirnforna

Jumlah

Persen

Manifestasi Klinis
Tumor jantung mungkin muncul dengan berbagai jenis
manifestasi kardiak dan nonkardiak. Lokasi dan ukuran
tumor merupakan penentu utama gejala-gejala dan tandatanda khusus. Sebagian besar muncul dalam manifestasi
penyakit jantung yang lebih umum, seperti nyeri dada,
sinkop, gaga1jantung, murmur, aritmia, gangguan konduksi,
dan efusi perikard dengan atau tanpa tamponad.

Miksoma adalah tipe tumor jantung primer yang paling


sering dijumpai pada seluruh kelompok usia, terhitung
sepertiga sampai setengah kasus pada pemeriksaan postmortem dan sekitar tiga perempat tumor ditangani dengan
operasi. Dapat muncul di segala usia, paling sering pada
dekade ketiga sampai keenam, dengan predileksi pada
perempuan.
Miksoma biasanya muncul sporadis, namun sebagian
berhubungan dengan transmisi dominan autosomal atau
merupakan bagian dari sindrom yang melibatkan
sekelompok kelainan termasuk lentigines ataupigmented
nevi, penyakit korteks adrenal nodular primer dengan atau
tanpa sindrom Cushing's, fibroadenoma mammae
miksomatosa, tumor testikular, danlatau adenoma pituitari
dengan gigantisme atau akromegali. Pasien-pasien dengan
kompleks Carney memiliki pigmentasi kulit yang tidak
merata, miksomas, overaktivitas endokrin, dan
schwannomas yang disebabkan oleh mutasi gen
encoding protein kinase A tipe I-a regulatory submit.
Berbagai penemuan tertentu dirujuk sebagai sindrom
NAME (nevi, atrial myxoma, myxoid neurojibroma, and

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

TUMOR JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


ephelides) atau sindrom LAMB (lentigines, atrial myxoma,
and blue nevi). Kurang lebih 7% miksoma jantung
berhubungan atau merupakan bagian dari sindrom
miksoma dengan sekelompok kelainan yang digambarkan
di atas.
Secara patologis, miksoma adalah neoplasma yang
berasal dari endokardial. Miksoma mempunyai struktur
gelatin yang terdiri dari sel-sel miksoma yang terletak pada
stroma yang kaya akan glikosaminoglikan. Umumnya
polipoid, sering pedunculated pada jibrovascular stalk
dan memiliki diameter berkisar antara 1- 15 cm, sebagian
besar 5-6 cm. Sebagian besar soliter dan terletak pada
atrium, khususnya bagian kiri, di mana mereka muncul dari
septum interatrial kurang lebih darifossa ovalis. Kebalikan
dari tumor-tumor sporadis, tumor familial atau tumor
sindrom miksoma cendemng muncul pada individu yang
lebih muda, multipel atau ventrikular, dan memiliki
kekambuhan yang lebih sering pasca operatif, mungkin
menunjukkan asal yang multisentrik. Miksoma jantung
biasanya berkembang di atrium. Sekitar 75% berasal dari
atrium kiri dan 15-20% di atrium kanan.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miksoma ditentukan oleh lokasi, ukuran
dan mobilitas. Miksoma umumnya muncul dengan tandatanda dan gejala yang obstruktif, embolik, atau
konstitusional. Manifestasi klinis yang paling umum
menunjukkan penyakit katup mitral seperti stenosis karena
prolaps tumor ke dalam orifisium rnitral, atau regurgitasi
karena trauma valvular yang disebabkan tumor. Miksoma
ventrikular mungkin menyebabkan penyumbatan aliran ke
luar (outflow) yang mirip dengan stenosis subaortik atau
subpulmonik. Gejala-gejala dan tanda-tanda miksoma
mungkin karena onset mendadak atau posisional yang pada
dasamya, merefleksikan perubahan dalam posisi tumor
karena gaya gravitasi. Penemuan auskultasi, disebut "tumor plop", merupakan suara rendah yang khusus yang
mungkin terdengar selama diastol awal atau mid-diastol
dan dianggap karena berhentinya tumor secara mendadak
begitu tumor menabrak dinding ventrikular. Karena
sebagian miksoma berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik
sering ditemukan. Miksoma juga mungkin muncul sebagai
emboli perifer atau emboli Pam.
Gejala dan tanda-tanda konstitusional termasuk demam,
turunnya berat badan, kakeksia, malaise, mialgia, artralgia,
rash, hipergammaglobulinemia, Karena sebagian miksoma
berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik sering ditemukan.
Anemia umumnya normokrom atau hipokrom, namun
anemia hemolitik mungkin juga ditemukan karena destruksi
mekanik eritrosit oleh tumor. Tanda lain yang lebih jarang
seperti leukositosis, trombositopenia, sianosis, clubbing
dan fenomena Raynaud's. Miksoma seringkali salah
didiagnosis sebagai endokarditis, penyakit vaskular
kolagen, atau tumor nonkardiak.

Pemeriksaan Penunjang
Ekokardiografi transtorakal atau transesofageal berguna
dalam menentukan diagnosis.miksoma jantung dan
memungkinkan penentuan tempat menempelnya tumor dan
ukuran tumor, yang merupakan pertimbangan penting
dalam perencanaan eksisi bedah. Computed tomography
(CT) dan magnetic resonance imaging ( M R I ) khusus
mungkin memberikan informasi penting sehubungan
dengan ukuran, bentuk, komposisi, dan karakteristik
permukaan tumor. Karena miksoma mungkin familial,
penapisan dengan ekokardiografi pada keturunan
generasi pertama penting, khususnya jika pasien masih
muda dan memiliki tumor berganda atau terdapat sindrom
miksoma. Meskipun kateterisasi jantung dan angiografi
sebelumnya telah dipraktekkan secara rutin sebelum
operasi, kateterisasi ruang di mana tumor tersebut berasal
membawa risiko emboli tumor. Kateterisasi tidak lagi
dianggap penting jika ada informasi noninvasif yang cukup
dan tidak difikirkan penyakit-penyakit jantung lain
(misalnya penyakit jantung koroner).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terpilih pada miksoma adalah operasi, dan
biasanya kuratif. Jika diagnosis sudah ditegakkan, operasi
hams segera dikerjakan, karena kemungkinan komplikasi
emboli atau mati mendadak. Pada sebagian besar kasus,
miksoma jantung dapat dibuang dengan mudah karena
pedunculated.

R e y n e n N Engl J Mcd 1995.3331610-7

Gambar 1. Ekokardiografi mode M dan 2-D menunjukkan miksoma


atrium kiri

TUMOR JlNAK LAINNYA


Lipoma jantung meskipun relatif sering, biasanya
merupakan penemuan insidental pada pemeriksaan
postmartem. Tumor ini mungkin tumbuh sampai sebesar
15 cm dan mungkin muncul dengan gejala karena
interferensi mekanik dengan fungsi jantung, aritmia, atau
gangguan konduksi, atau sebagai abnormalitas siluet
jantung pada periksaan foto rontgen dada.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Fibroelastoma papiler, relatif merupakan penemuan
sering pada katup-katup jantung atau adjacent endothelium padapostmortem, namun jarang menyebabkan gejalagejala klinis. Terkadang, perkembangannya mungkin
menyebabkan interferensi mekanik dengan fungsi katup.
Rabdomioma dan fibroma, merupakan tumor-tumor
yang paling sering muncul pada bayi dan anak-anak, paling sering muncul pada ventrikel dan karena itu
menunjukkan tanda-tanda dan gejala obstruksi mekanik
yang mungkin mirip dengan stenosis valvular, gagal
jantung kongestif, kardiomiopati hipertrofik atau restriktif,
dan konstriksi perikard. Rabdomioma mungkin merupakan
pertumbuhan hamartomatous; multipel pada 90% kasus;
dan mungkin berhubungan dengan tuberous sclerosis,
adenoma sebaseum, dan tumor ginjal jinak pada kurang
lebih 30% pasien. Adanya kalsifikasi tumor kardiak sangat
menyokong adanya fibroma, meskipun miksoma dan
sarkoma juga mungkin mengalami kalsifikasi.
Hemangioma dan mesotelioma umumnya adalah tumor
yang kecil, paling sering lokasinya intramiokardial, dan
mungkin menyebabkan gangguan konduksi
atrioventrikular dan bahkan kematian mendadak karena
kecendemngan muncul pada regio nodus AV.
Tumor jinak lain yang muncul dari jantung termasuk
teratoma, chemodectoma, neurilemoma, mioblastoma sel
granular, dan kista bronkogenik.

SARKOMA
Hampir semua keganasan jantung primer adalah sarkoma,
yang mungkin terdiri dari beberapa tipe histologis.
Umumnya, tumor-tumor ini dicirikan dengan memburuknya
keadaan dengan cepat yang mengarah ke kematian pasien
dalam beberapa minggu atau bulan mulai dari presentasi
awal karena gangguan hemodinamik, invasi lokal, atau
metastasis jauh. Sarkoma umumnya melibatkan sisi kanan
jantung, dan karena pertumbuhan yang sangat cepat,
invasi ke mang perikardial dan penyumbatan jantung atau
vena kava sering dijumpai. Sarkomajuga mungkin muncul
pada bagian kiri jantung dan mungkin disalahartikan
sebagai miksoma.

leukemia dan limfoma. Dalam jumlah yang absolut, lokasi


asal utama yang paling sering pada metastasis jantung
adalah karsinoma payudara dan paru-pam, merefleksikan
angka kejadian kanker ini yang tinggi. Metastasis jantung
hampir selalu muncul pada penyakit primer yang menyebar,
dan seringkali penyakit primer atau penyakit metastasis
muncul di suatu tempat di rongga dada. Metastasis
jantung terkadang merupakan manifestasi awal tumor di
suatu tempat dalam tubuh.
Metastasis jantung mencapai jantung dari aliran darah,
limfa, atau invasi langsung. Umurnnya metastasis ini adalah
nodul-nodul kecil dan padat. Infiltrasi difus juga mungkin
terjadi, terutama pada sarkoma atau neoplasma
hematologis. Perikardium seringkali terlibat, diikuti dengan
keterlibatan miokard dari ruang jantung, dan,jarang dengan
keterlibatan endokardium atau katup-katup jantung.
Metastasis jantung menyebabkan manifestasi klinis
hanya sekitar 10% dan jarang merupakan penyebab
kematian. Pada sebagian besar keadaan metastasis
bukanlah penyebab gambaran klinis yang nampak namun
muncul sebagai neoplasma ganas yang dikenal
sebelumnya. Meskipun metastasis jantung mungkin
muncul dengan sebagian besar tanda-tanda dan gejala
non-spesifik, yang paling umum adalah sesak, tanda-tanda
perikarditis akut, tamponad jantung, peningkatan siluet
jantung mendadak pada pemeriksaan foto rontgen dada,
takiaritmia ektopik atau blok AV yang baru, dan gagal
jantung kongestif. Seperti tumor jantung primer lainnya,
presentasi klinisnya terkait dengan lokasi dan ukuran tumor dibandingkan dengan tipe histologis. Banyak tandatanda dan gejala-gejala juga muncul bersama miokarditis,
perikarditis, atau kardiomiopati yang diakibatkan
radioterapi atau kemoterapi.
Penemuan elektrokardiografi tidak spesifik. Pada foto
rontgen dada siluet jantung paling sering normal namun
mungkin menunjukkan efusi perikard atau kontur yang
aneh. Ekokardiografiberguna untuk diagnosis efusi perikard
dan visualisasi metastasis yang lebih besar. Computed
tomography (CT), MRI, dan penggambaran radionuclide
dengan galium atau talium mungkin memberikan informasi
anatomis yang berguna. Angiografi dapat menggambarkan
lesi-lesi yang jelas, dan perikardiosentesis memungkinkan
diagnosis sitologis spesifik.

TUMOR METASTASIS PADA JANTUNG


REFERENSI
Tumor metastatis pada jantung jauh lebih sering
dibandingkan dengan tumor primer, dan rata-rata
kejadiannya kemungkinan meningkat karena harapan
hidup pasien dengan berbagai bentuk neoplasma ganas
diperpanjang dengan terapi yang lebih efektif. Meskipun
metastasis jantung muncul pada 1 sampai 20% dari seluruh
tipe tumor, rata-rata kejadiannya relatif tinggi terutama pada
melanoma ganas dan, dalam skala yang lebih kecil, pada

Blondeau P. Primary cardiac tumors -French studies of 533 cases.


Thorac Cardiovasc Surg 1990;38:Suppl 2: 192-5.
Colucci WS, Price DT. Cardiac tumors, cardiac manifestations of
systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds. Harrison's Principles of
Internal Medicine. 16 th Ed. 2005.p.1420-5.
Di.0 T, Cantelmo NL, Haudenschild CC, Watkins MT. Atrial myxoma
with remote metastasis: case report and review of the literature.
Surgery 1992;l 1 1 :352-6.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1821

TUMORJANTUNC

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Lane GE, Kapples EJ, Thompson RC, Grinton SF, Finck SJ.
Quiescent left atrial myxoma. Am Heart J 1994;127: 1629-3 1.
Lie JT. The identity and histogenesis of cardiac myxamas: a
controversy put to rest. Arch Pathol Lab Med 1989;113:7246.
Pochis WT, Wingo MW, Cinquegrani MP, Sagar KB.
Echocardiographic demonstration of rapid growth of a left atrial
myxoma. Am Heart J 1991; 122:1781-4.
Reynen K. Cardiac myxomas. N Engl J Med 1995;333:1610-7.
Sharma SC, Kulkarni A, Bhargava V, Modak A, Lashkare DV.
Myxoma of tricuspid valve. J Thorac Cardiovasc Surg
1991;101:938-40.
Wada A, Kanda T, Hayashi R, Imai S, Suzuki T, Murata K. Cardiac
myxoma metastasized to the brain: potential role of
endogenous interleukin-6. Cardiology 1993;83:208-11.
Wrisley D, Rosenberg J, Giambartolomei A, Levy I, Turiello C,
Antonini T. Left ventricular myxoma discovered incidentally
by echocardiography. Am Heart J 1991;121:1554-5.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG


Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya

PENDAHULUAN
Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis
yang membutuhkan penyesuaian sistem kardiovaskular,
karena perubahan ini merupakan kejadian yang dramatis
dan reversibel pada hemodinamik kardiovaskular. Jantung
yang normal akan dapat beradaptasi dengan perubahan
yang mendadak ini, tetapi pada jantung yang sakit
kehamilan dapat mengakibatkan perburukan pada kelainan
atau gangguan yang ada. Masa kehamilan, persalinan,
melahirkan maupun masa pasca melahirkan merupakan
periode yang erat hubungannya dengan perubahan
sirkulasi kardiovaskular.
Perubahan hemodinamik yang perlu mendapat
perhatian pada seorang perempuan hamil yang telah atau
baru diketahui menderita masalah kardiovaskular adalah:
denyut jantung, tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik, isi sekuncup, curah jantung, resistensi vaskular
sistemik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri jantung.
Cukup banyak perempuan dengan kelainan jantung
bawaan maupun yang didapat, mampu melalui masa-masa
reproduksi dengan baik. Para dokter yang mengetahui dan
merawatnya mempunyai peran penting untuk mewaspadai
kesulitan-kesulitan yang kemungkinan besar dapat mereka
hadapi selama kehamilan tersebut.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
jantung merupakan komplikasi pada 1-4% perempuan hamil
tanpa kelainan atau gangguan kardiovaskular
sebelumnya.4 Bila memungkinkan perempuan yang
diketahui memiliki kelainan atau gangguan kardiovaskular
terlebih dahulu berkonsultasi kepada ahlinya mengenai
segala ha1 termasuk risiko kehamilan terhadap diripya dan
janin yang dikandungnya. Hal ini juga berhubungan
dengan konsultasi perkawinan, kehamilan, persalinan,
kontrasepsi dan bila diperlukan konsultasi genetika.
Pengetahuan yang baik mengenai fisiologi normal pada

kehamilan sangat membantu penatalaksanaan pasien


dengan penyakit jantung tersebut. Beberapa penyakit
jantung yang sering ditemukan pada perempuan hamil baik
yang sebelumnya telah diketahui menderita penyakit
jantung maupun yang baru terdiagnosis saat hamil antara
lain: penyakit jantung bawaan maupun yang didapat,
penyakit jantung koroner, kardiomiopati, endokarditis
infektif dan aritmia. Sedangkan ha1 lain yang tidak boleh
dilupakan apabila menghadapi pasien hamil dengan
penyakit jantung adalah pemilihan obat-obatan
kardiovaskular termasuk antikoagulan.

PERUBAHANHEMODlNAMlKSELAMA KEHAMILAN
Selama kehamilan sampai saat setelah melahirkan akan
terjadi perubahan fisiologis hemodinamik. Perubahan ini
akan dimulai pada awal minggu ke-5 sampai minggu ke-8
dan mencapai puncaknya pada akhir trimester kedua
kehamilan. Pada masa-masa ini perubahan hemodinamik
tersebut dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
pada jantung yang telah sakit sebelumnya. Atau dapat
pula terjadi bahwa diagnosis kelainan atau penyakit jantung
baru diketahui saat kehamilan terjadi.

VOLUME DARAH
Perubahan hormonal saat kehamilan yaitu aktivasi
estrogen oleh system renin aldosteron, di mana terjadi
relaksasi otot polos yang diikuti pembentukan plasenta
dan sirkulasi fetus, dan retensi air serta natrium akan
meningkatkan volume darah 40% yang dimulai pada awal
minggu kelima dari kehamilan tersebut. Peningkatan ini
akan mencapai 50% sampai akhir masa kehamilan.
Peningkatan volume darah tersebut akan lebih besar pada

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KEHAMLLAN PADAPENlWaTJANNNC

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


kehamilan ganda dibandingkan kehamilan dengan janin
tunggal.
Pada kehamilan normal peningkatan volume darah
tersebut dapat mencapai 20-1 00% dengan rata-rata SO%,
ha1 ini berarti terdapat 1200- 1600 mL volume darah lebih
banyak dibandingkan dalam keadaan tidak hamil.
Peningkatan volume ini lebih besar dibandingkan
peningkatan massa sel darah merah, sehingga terjadi
penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme ini yang
mendasari5e rjadinya anemia pada kehamilan.

Selama kehamilan curah jantung akan mengalami


peningkatan 30-50% dibandingkan sebelumnya dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-24 kehamilan atau
akhir trimester kedua, kemudian menetap atau bahkan
mengalami penurunan sampai saat melahirkan.
Beberapa penyebab perubahan pada curah jantung ini
adalah:
1. Peningkatan preloud akibat bertambahnya volume
darah
2. Penurunan afterload akibat menurunnya resistensi
vaskular sistemik
3. Peningkatan denyut jantung ibu saat istirahat sampai
10-20 kali permenit.
Peningkatan curah jantung ini terutama dicapai dengan
peningkatan isi sekuncup. Apabila terjadi kegagalan untuk
mencapai keadaan ini akan terlihat dengan terjadinya
takikardia pada saat istirahat, ha1 ini menunjukkan
rendahnya kemampuan dalam pengisian ventrikel kiri.

IS1SEKUNCUP
Isi sekuncup akan meningkat 20-30% selama trimester
pertama dan kedua di mana ha1 ini akan meningkatkan curah
jantung. Kemudian akan menurun pada trimester ketiga
akibat kompresi pada vena cava akibat uterus kehamilan.
Efek langsung kehamilan pada kontraktilitas jantung masih
kontroversial.
EVALUASI KARDIOVASKULAR SELAMA
KEHAMILAN
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Evaluasi kardiak pada pasien hamil seringkali sukar karena
sulit membedakan antara proses fisiologis dengan
patologis. Kebanyakan perempuan hamil mengalami gejala
palpitasi, bengkak, sesak napas saat beraktivitas, atau lelah
walaupun tanpa diketahui menderita penyakit jantung.
Beberapa gejala seperti nyeri dada saat aktivitas atau

pingsan relatifjarang ditemukan pada kehamilan, sehingga


hams dilakukan evaluasi kardiak.
Pertambahan volume plasma total akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan vena jugularis dan edema
tungkai bawah pada > 80% perempuan dengan keharnilan
normal. Perkembangan ukuran uterus sesuai bertambahnya
masa kehamilan akan mengakibadcan pergerakan diatiagma
lebih ke atas sehingga menwunkan volume paru. Elevasi
diafragma dan volume darah yang bertambah juga
menyebabkan bergesemya letak impuls ventrikel kearah
lateral pada inspeksi dan palpasi prekordiurn. Peningkatan
isi sekuncup menyebabkan mengerasnya suara saat
penutupan katup di aorta dan pulmonal, sehingga akan
terdengar murmur earlv systolic yang kngsional di daerah
pulmonal.
Secara umum, murmur diastolic dan irarna gallop tidak
normal ditemukan selama kehamilan. Apabila ditemukan
kelainan tersebut hams dipikirkan adanya abnormalitas
kardiak secara struktur maupun fungsional yang
mendasarinya. Pada sekitar 15% perempuan, murmur
diastolik fisiologis seringditemukan di batas stemalis kiri.
Murmur ini terjadi akibat meningkamya aliran darah melalui
arteri mamaria interna, di mana aliran tersebut menuju
payudara yang dipersiapkan selama kehamilan. Murmur
akan menetap pada saat laktasi. Tekanan nadi yang
meningkat sering ditemukan selama kehamilan, dapat pula
menimbulkan Q ~ t i :c. nsign
~ pada dasar kuku perifer, dan
sering membingungkan antara aliran mamaria dan
regurgitasi aorta. Pemeriksaan penunjang seperti
ekokardiografi kemungkinan dibutuhkan untuk
meinbedakan proses fisiologis dengan patologis tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi : terdapat beberapa gambaran EKG
pada perempuan dengan kehamilan normal, di
antaranya: Deviasi axis QRS, gelombang Q, kecil dan
inversi gelombang P pada lead 111 (menghilang saat
inspirasi), perubahan pada segmen ST dan gelombang
T, sinus takikardia yang terus menerus, insidensi yang
tinggi terjadinya aritmia, peningkatan rasio R/S pada
lead V2 dan V 1
Radiograti Dada: Beberapa perubahan yang dapat
ditemukan selama kehamilan normal, di antaranya :Batas
kiri atas jantung yang mendatar, posisi jantung lebih
mendatar, corakan paru yang meningkat, efusi pleura
minimal pada awal periode post partum
Ekokardiograti Doppler: Gambaran ekokardiografi dan
Doppler pada kehamilan normal, antara lain :Peningkatan
minimal dari dimensi ventrikel kiri saat sistolik dan
diastolik (bila pasien diperiksa dalam posisi lateral),
fungsi sistolik ventrikel kiri yang tidak berubah atau
sedikit mengalami perbaikan, peningkatan ukuran yang
moderate dari atrium kanan, ventrikel kanan dan atrium
kiri, dilatasi progresif dari annulus katup-katup

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


pulmonar, trikuspid dan mitral, regurgitasi fungsional
dari pulmonar, trikuspid dan mitral, efusi perikardial
minimal
Uji Latih
Radiasi
MRI
Kateterisasi Arteri Pulmonal
Kateterisasi Jantung

pada saat konseling sebelum terjadinya kehamilan.


Pada studi kohort lain, di antara 64 perempuan dengan
penyakit katup jantung, kebanyakan efek buruk pada ibu,
seperti gagal jantung dan aritmia, terjadi pada pasien
dengan klinis bermakna stenosis mitral atau stenosis aorta
( luas katup < 1,s cm2 ).

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL


PENYAKITKATUPJANTUNG DENGAN KEHAMllAN
Penyakit katup jantung pada perempuan usia muda paling
banyak disebabkan oleh penyakit jantung reumatik,
kelainan congenital atau riwayat endokarditis sebelumnya.
Kelainan ini dapat meningkatkan risiko ibu dan janin
sehubungan dengan kehamilan. Risiko ibu dan janin
tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis dan berat
kelainan katup jantung yang diderita si ibu, dan hasil akhir
dari gangguan kapasitas fungsional, fungsi ventrikel kiri
dan tekanan pulmonal.
Beberapa lesi katup spesifik yang sering ditemukan
adalah : stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis aorta,
regurgitasi aorta dan katup jantung protesa.
Walaupun prevalensi klinis kejadian penyakit jantung
pada perempuan hamil cukup rendah (*< I%), tetapi ha1
ini dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun
mortalitas pada ibu, janin dan neonatus yang akan
dilahirkan. Hal-ha1 buruk terhadap ibu yang tidak
diinginkan antara lain : edema paru, bradiaritmia yang
menetap atau takiaritmia yang membutuhkan terapi, strok,
henti jantung bahkan sampai kematian), dapat terjadi 13%
di antara kehamilan aterm. Kejadian tersebut lebih sering
mengenai perempuan dengan keadaan: fungsi sistolik
ventrikel kiri yang menurun (Fraksi Ejeksi < 40%),
obstruksi jantung kiri (stenosis aorta dengan luas area
katup < 1,5 cm2 atau stenosis mitral dengan luas area katup
< 2,O cm2), riwayat gangguan kardiovaskular (gagal
jantung, transient ischemic attack, atau strok) atau
penurunan kapasitas fungsional yang bermanifestasi
NYHA klas I1 atau di atasnya.
Prediktor komplikasi neonatus seperti kelahiran
prematur, IUGR (intrauterine growth retardation),
sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikular
dan kematian. Petunjuk lain mengenai kemungkinan
terdapatnya efek buruk pada neonatus adalah:
penggunaan obat antikoagulan selama kehamilan,
merokok saat hamil dan kehamilan ganda. Dikatakan
bahwa mortalitas janin 4% di antara perempuan hamil
dengan satu atau lebih factor risiko, dibandingkan dengan
2% di antara perempuan hamil tanpa factor risiko. Risiko
pada janin ini juga lebih besar pada perempuan yang
berusia lebih dari 35 tahun atau lebih muda dari 20 tahun,
dibandingkan dengan perempuan pada usia tersebut
tanpa faktor risiko. Perkiraan risiko ini dapat dipergunakan

Pasien dengan Risiko Tinggi


Semua pasien yang mengalami gangguan kapasitas
fungsional jantung sesuai NYHA klas 111 atau IV selama
kehamilan merupakan risiko tinggi, tanpa tergantung
apapun penyebabnya. Beberapa keadaan yang merupakan
kehamilan dengan risiko tinggi adalah pasien dengan
kelainan:
Hipertensi Pulmonal : Penyakit vaskular pulmonal berat
apakah dengan (sindrom Eisenmenger) atau tanpa defek
septa1telah dikenal mempunyai risiko yang sangat tinggi
terhadap kematian maternal (30-50%). Hal ini terutama
disebabkan oleh peningkatan resistensi vascular paru
akibat trombosis pulmonal atau nekrosis fibrinoid yang
berkembang dengan cepat pada saat menjelang
kelahiran dan setelah melahirkan, dan dapat
mengakibatkan kematian walaupun pada pasien dengan
keluhan minimal sebelumnya. Pada sindrom
Eisenmenger, pintas dari kanan ke kiri yang meningkat
selama kehamilan akibat vasodilatasi sistemik dan
beban berlebih di ventrikel kanan dengan meningkatnya
kejadian sianosis serta penurunan aliran darah di
pulmonal.
Obstruksi berat LVOT (left ventricular outflow tract) :
resistensi pada jalur keluar dari jantung (terutama Aorta)
tidak akan mampu mengakomodasi peningkatan curah
jantung akibat meningkatnya volume plasma. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung, dengan
peningkatan tekanan di ventrikel kiri dan pembuluh
kapiler paru, curah jantung menurun dan bendungan di
paru.
Penyakit jantung sianotik : dari seluruh kematian
maternal akibat penyakit jantung sianotik ini
diperkirakank 2% dengan komplikasi risiko tinggi (30%)
seperti endokarditis infektif, aritmia dan gagal jantung
kongestif. Prognosis pada janin juga tidak terlalu baik
dengan risiko tinggi terjadinya abortus spontan (50%),
kelahiran premature (30-50%) dan bayi dengan berat
badan kurang akibat hipoksemia pada ibu yang
menghambat pertumbuhan dan perkembagan janinnya.
Penatalaksanaan Pasien dengan Risiko Tinggi
Pada pasien yang termasuk dalam risiko tinggi, tidak
dianjurkan untuk hamil. Tetapi bila kehamilan telah terjadi,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1825

KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi mengingat


risiko terhadap ibu yang masih tinggi (mortalitas 8-35%,
morbiditas 50%). Dan perlu diingat tindakan terminasi
kehamilan pun mengandung risiko tinggi terhadap ibu
karena akan terjadi vasodilatasi dan depresi dari
kontraktilitas miokard akibat tindakan pembiusan.
Pembatasan aktivitas fisik dan tirah baring di tempat
tidur sangat dianjurkan apabila timbul gejala-gejala.
Pemberian oksigen apabila terjadi hipoksemia. Pasien
dengan risiko tinggi tersebut dianjurkan untuk dirawat di
rumah sakit mulai dari akhir trimester kedua dan diberikan
LMWH (low molecular weight heparin) subkutan sebagai
pencegahan terjadinya tromboemboli terutama pada pasien
sianotik.
Pada kasus stenosis aorta, sangat penting untuk
dilakukan pemantauan tekanan sistemik dan
elektrokardiografi, dan apabila terjadi perubahan
merupakan indikasi timbul atau memburuknya beban di
ventrikel kiri. Tindakan valvotomi dengan balon dapat
dipertimbangkan pada kasus yang berat bila keadaan katup
masih dapat dimanipulasi, misalnya tidak terlalu kaku.
Prosedur ini menjadi kontraindikasi apabila keadaan katup
sudah mengalami kalsifikasi atau terjadi regurgitasi yang
berat. Apabila memungkinkan tindakan ini paling baik
dilakukan pada trimester kedua kehamilan di mana
embriogenesis telah sempurna dan mencegah efek negatif
dari kontras ionic terhadap kelenjar tiroid janin bila
dilakukan pada akhir kehamilan.
Penyakit jantung sianotik yang berat, membutuhkan
pemantauan saturasi oksigen yang ketat. Kadar hematokrit
dan hemoglobin tidak dapat menjadi indicator yang sesuai
untuk keadaan hipoksemia oleh karena terjadi hemodilusi
pada kehamilan. Bila terjadi hipoksemia berat pada ibu,
dianjurkan untuk segera dilakukan terminasi kehamilan dan
diharapkan dapat mengurangi beberapa pintas yang terjadi
dan akan memperbaiki oksigenisasi.
Pasien dengan Risiko Rendah
Pasien dengan pintas yang kecil atau menengah tanpa
hipertensi pulmonal atau regurgitasi katup ringan dan
sedang biasanya akan mendapatkan keuntungan dari
menurunnya resistensi vascular sistemik yang terjadi
selama kehamilan. Pasien dengan obstruksi LVOT (left
ventricular outflow tract) ringan atau sedang biasanya
juga dapat mentoleransi kehamilan dengan baik.
Pada beberapa kasus gradien tekanan akan meningkat
sesuai dengan peningkatan isi sekuncup. Walaupun
biasanya pada obstruksi RVOT (right ventricular out'ow
tract) yang berat seperti stenosis pulmonal juga dapat
mentoleransi kehamilan dengan baik dan sedikit sekali
yang membutuhkan tindakan intervensi selama kehamilan.
Evaluasi Fetus
Pada setiap perempuan hamil dengan penyakit jantung

kongenital perlu dilakukan evaluasi kardiak terhadap


janinnya. Evaluasi ini menjadi sangat penting karena pada
janin tersebut mempunyai risiko 1-2% untuk menderita
penyakit jantung congenital.
Waktu dan Cara Melahirkan
Pada sebagian besar pasien, diindikasikan untuk
melahirkan secara spontan dengan mempergunakan
pembiusan epidural sehingga dapat menghindari stres
karena nyeri selama proses persalinan. Pasien dengan
risiko tinggi, sebaiknya dilakukan operasi Caesar yang
terencana, ha1 ini bertujuan agar keadaan hemodinamik
dapat dijaga tetap stabil.
Walaupun curah jantung meningkat baik pada
pembiusan umum maupun epidural, tetapi peningkatannya
masih di bawah (30%) kenaikan selama kelahiran spontan
(50%). Apabila pasien harus dilakukan operasi jantung,
maka tindakan operasi Caesar dapat dilakukan segera
sebelumnya. Selama proses persalinan hams dilakukan
pemantauan keadaan hemodinamik dan analisis gas darah.
Pasien hamil dengan penyakit jantung congenital
sebaiknya ditangani oleh tim dari berbagai disiplin ilmu,
seperti ahli jantung, ahli bedah jantung, ahli anestesi, ahli
kebidanan, ahli neonatology, untuk meminimalisasi risiko
yang mungkin terjadi pada ibu dan janin.

PENYAKIT KATUP JANTUNG YANG DIDAPAT

Penyakit katup jantung reurnatik merupakan masalah utama


di masyarakat terutama di Negara berkembang. Walaupun
di Negara Barat prevalensi demam reumatik sudah
menurun, tetapi penyakit jantung reumatik masih dapat
ditemukan, terutama di kalangan kaum imigran. Masalah
lain yang sering menimbulkan kesulitan dalam
penanganannya terutama apabila perempuan tersebut
hamil adalah seseorang dengan protesa katup jantung,
berkaitan dengan pemberian antikoagulan yang harus
dikonsumsi seurnur hidup.
Penyakit Katup Regurgitasi
Regurgitasi mitral atau aorta berat pada perempuan usia
muda biasanya disebabkan penyakit jantung reumatik.
Perempuan dengan prolaps katup mitral mempunyai
prognosis yang baik bila hamil, kecuali bila terdapat
regurgitasi berat. Peningkatan volume darah dan curah
jantung akan meningkatkan beban volume, demikian pula
halnya pada katup yang mengalami regurgitasi. Tetapi
penurunan resistensi vascular sistemik akan mengurangi
fraksi regurgitasi tersebut sehingga akan terjadi mekanisme
kom~ensasi.
Pada regurgitasi katup aorta pemendekan diastolik
akibat takikardia akan menurunkan volume regurgitan. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa kehamilan seringkali dapat

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


PRIYO PANJI
pada kadar terapi mid-interval APTT atau anti faktor

ditoleransi dengan baik bahkan pada keadaan regurgitasi


yang cukup berat. Gangguan toleransi hemodinamik
kadangkala terjadi pada kasus regurgitasi akut tanpa
disertai dilatasi ventrikel kiri.
Gaga1jantung progresif pada pasien dengan regurgitasi
dapat saja terjadi, terutama pada trimester ketiga. Bila tejadi
gagal jantung, dibutuhkan diuretic dan vasodilator untuk
menurunkan after load walaupun tekanan darah pasien
tersebut rendah. Vasodilator yang dapat dipergunakan
pada kehamilan seperti golongan nitrat dan calcium
channel blocker dihidropiridin. Golongan angiotensin
receptor antagonist dan ACE Inhibitor merupakan
kontraindikasi untuk diberikan, sedangkan pada pemberian
golongan hidralazine terutama pada trimester pertama dan
kedua, sering terjadi efek withdrawal. Pembedahan
sebaiknya dihindari selama kehamilan karena mengandung
risiko terhadap janin dan tindakan ini hanya
dipertimbangkan apabila terdapat gagal jantung yang
refrakter, walaupun ha1 ini jarang ditemukan pada kelainan
katup regurgitasi. Perbaikan katup mitral dapat
dipertimbangkan apabila memungkinkan untuk dilakukan,
tetapi perbaikan katup aorta jarang yang berhasil (kecuali
pada Sindrom Marfan).

Penyakit Katup Stenotik


Peningkatan jumlah curah jantung akan melalui katup yang
mengalami stenotik, sehingga menimbulkan peningkatan
tajam dari gradient transvalvular. Hal ini akan menyebabkan
toleransi terhadap kehamilan menjadi buruk pada pasien
dengan stenosis katup mitral maupun aorta yang berat.
Kejadian perburukan fungsional seringkali terjadi selama
trimester kedua kehamilan.
Kehamilan pada Perempuan dengan Protese
Katup Jantung
Beberapa ha1 yang direkomendasikan harus dilakukan
untuk evaluasi dan tatalaksana pada perempuan usia
reproduksi dengan protesa katup jantung mekanik yang
mendapatkan terapi antikoagulan adalah :
Sebelum Konsepsi :
Evaluasi klinis mengenai status hngsional jantung dan
riwayat gangguan kardiak yang pernah dialami
Pemeriksaan ekokardiografi untuk evaluasi fungsi
ventrikel, katup dan tekanan pulmonal
Diskusikan dengan pasien risiko yang berhubungan
dengan kehamilan
Diskusikan dengan pasien risiko dan manfaat yang
berhubungan dengan terapi antikoagulan
Rencana mengenai pernikahan dan kehamilan
Masa Konsepsi
Terapi antikoagulan oral diganti menjadi suntikan sejak
saat diketahui telah terjadi kehamilan sampai minggu
ke-12 (dosis heparin disesuaikan dengan titrasi sampai

Xa)
Akhir Trimester Pertama Kehamilan :
Terapi warfarin, minggu 12-36 kehamilan
Minggu ke-36 Kehamilan :
Warfarin dihentikan
Ganti dengan heparin (titrasi dosis sampai kadar terapi
APTT atau anti faktor Xa)
Persalinan :
Mulai kembali terapi heparin 4-6 jam setelah melahirkan
bila tidak terdapat kontraindikasi
Berikan terapi warfarin pada malam hari setelah
melahirkan bila tidak terdapat kontraindikasi
Apabila persalinan dimulai saat perempuan sedang
mendapatkan terapi warfarin, antikoagulan ditunda
sementara dan dianjurkan persalinan dilakukan melalui
operasi sesar.

PENYAKITJANTUNG KORONER

Walaupun kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner


pada perempuan hamil dapat meningkat karena semakin
tinggi usia perempuan hamil dan fertilisasi, tetapi angka
kejadian infark miokard masih dapat dikatakan jarang di
antara perempuan usia reproduksi, bahkan kejadian pada
periode peripartum.
Dari beberapa factor-faktor risiko yang terdapat
bersamaan, dikatakan bahwa kadar kolesterol total, kadar
kolesterol LDL dan kadar trigliserida akan meningkat secara
bermakna selama kehamilan. Dan sebagai prediktor paling
kuat untuk terjadinya infark miokard dikatakan adalah
kombinasi antara perokok berat atau hipertensi dengan
penggunaan kontrasepsi oral. Demikian pula perempuan
dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah atau kelahiran preterm dapat meningkatkan risiko
penyakit arteri koroner.
Infark miokard pada kehamilan dilaporkan terjadi pada
usia antara 16-45 tahun. Insidens tertinggi terjadi pada
trimester ketiga dan pada perempuan dengan usia lebih
dari 33 tahun. Dikatakan pula bahwa kejadian infark miokard
tersebut lebih sering terjadi pada multigravida dengan
lokasi infark yang tersering di dinding anterolateral.
Kebanyakan kematian maternal terjadi saat terjadinya infark
atau dalam waktu 2 minggu.
Penatalaksanaan infark miokard selama kehamilan
sebaiknya mempertimbangkan keselamatan ibu dan janin.
Beberapa obat-obatan seperti morfin sulfat sebagai
antinyeri tidak menyebabkan defek kongenital. Tetapi
karena obat tersebut melewati sawar plasenta, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan pada
neonatus bila diberikan sebelum persalinan. Sedangkan
laporan pada pemberian trombolitik selama kehamilan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNC

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


dikatakan tidak mempunyai efek teratogenik tetapi dari
hasil terapi beberapa kasus ditemukan kejadian perdarahan
pada ibu, terutama bila pemberian dilakukan pada saat
persalinan. Sehingga dengan pertimbangan beberapa ha1
tersebut, pilihan terbaik pada saat kehamilan adalah dengan
pemberian obat golongan penghambat beta. Sedangkan
pemberian golongan aspirin dosis tinggi masih
diperdebatkan karena dapat menyebabkan perdarahan
pada neonatus dan ibu. Penggunaan aspirin dosis rendah
dikatakan aman selama kehamilan.
Untuk penatalaksanaan difokuskan untuk mengurangi
stres kardiovaskular selama kehamilan dan periode
peripartum. Terminasi kehamilan dianjurkan pada pasien
yang mengalami iskemia berat atau gagal jantung pada
awal kehamilan.

A. Kardiomiopati Peripartum
Epidemiologi. Kejadian gagaljantung pada keharnilan telah
dikenal sejak pertengahan abad ke-19, tetapi istilah
kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun 1930-an.
Pada tahun 1971, Demakis dan kawan-kawan menemukan
pada 27 pasien yang pada masa nifas menunjukkan gejala
kardiomegali, gambaran elektrokardiografi yang abnormal
dan gagal jantung kongestif, kemudian disebut sebagai
kardiomiopati peripartum.
Kesepakatan dari European Society of Cardiology
menetapkan definisi dari kardiomiopati periparturn tersebut
sebagai salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan
tanda-tanda gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan
atau dalam 5 bulan pasca melahirkan.
Pasien dengan kardiomiopati peripartum biasanya
bermanifestasi gagal jantung dengan retensi cairan, aritmia
atau tromboemboli.
Pasien dengan gagal jantung ditatalaksana dengan
terapi standar gagal jantung dan evaluasi berkala fungsi
ventrikel. Terapi antikoagulan kadang-kadang diperlukan
karena risiko tromboemboli tinggi. Biasanya kondisi
jantung akan membaik dalam satu atau beberapa tahun
tapi ada pula yang mengalami perburukan.
Kardiomiopati peripartum ini relatifjarang tetapi dapat
mengancam jiwa. Di Negara maju seperti Amerika Serikat
saja, diketahui diperkirakan terdapat pada 1 dari setiap
2.289 kelahiran hidup. Dan keadaan ini lebih sering
mengenai wanita Afiika Amerika. Angka kejadian pastinya
sendiri sangat bervariasi, angka tertinggi dapat ditemukan
di Haiti, dengan kejadian 1 dari 300 kelahiran hidup, yang
mana 10 kali lebih tinggi dari Amerika Serikat.
Etiologi. Kardiomiopati peripartum ini merupakan salah
satu bentuk dari penyakit miokardial primer idiopatik yang
berhubungan dengan kehamilan. Meskipun beberapa
kemungkinan mekanisme etiologi dari penyakit tersebut

yang diperkirakan selama ini, tetapi tidak satupun yang


dapat menjelaskan dengan pasti.
Beberapa keadaan yang diperkirakan dapat menjadi
penyebab ataupun mekanisme terjadinya kardiomiopati
peripartum, adalah :
1. Miokarditis : Melvin dkk pernah membuktikan adanya
miokarditis dari biopsy endomiokardial pada pasien
dengan kardiomiopati peripartum. Dikatakan bahwa
hipotesis menurunnya system imunitas selama hamil,
dapat meningkatkan replikasi virus dan kemungkinan
untuk terjadinya miokarditis akan meningkat.
2. Infeksi viral yang bersifat kardiotropik
3. Chimerism
4. Apoptosis dan inflamasi
5. Respon abnormal hemodinamik pada kehamilan :
perubahan hemodinamik selama kehamilan dengan
meningkatnya volume darah dan curah jantung serta
menurunnya ajlerload ,sehingga respons dari ventrikel
kiri untuk penyesuaian menyebabkan terjadinya
hipertrofi sesaat .
6. Faktor-faktor penyebab lain: efek tokolisis yang lama,
kardiomiopati dilatasi idiopatik, abnormalitas dari
relaxine, defisiensi selenium dll.
Wanita yang berisiko. Sedangkan faktor-faktor risiko yang
dapat menyebabkan seorang wanita mengalami
kardiomiopati peripartum, di antaranya adalah:
a. Multiparitas
b. Usia maternal yang lanjut (walaupun penyakit ini dapat
mengenai semua usia, insidensi akan meningkat pada
wanita berusia > 30 tahun)
c. Kehamilan multifetal
d. Pre-eklampsia
e. Hipertensi Gestasional
f Ras Afiika Amerika
Manifestasi klinis. Keadaan kardiomiopati peripartum
melibatkan disfimgsi sistolik dari ventrikel kiri pada seorang
wanita hamil yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
Diagnosis ini hanya dapat dibuat apabila penyebab lain
dari kardiomiopati tidak ditemukan.
Kriteria diagnostik dari kardiomiopatiperipartum adalah
(semua hams ditemukan) adalah:
1. Kriteria klasik :
- Gagal jantung yang terjadi pada bulan terakhir
kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan
- Tidak ditemukan penyebab lain dari gaga1 jantung
- Tidak diketahui adanya penyakit jantung sebelum
bulan terakhir kehamilan tersebut
2. Kriteria tambahan :
- Gambaran ekokardiografi yang menunjukkan :
disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraction
shortening yang menurun atau nilai fraksi ejeksi
yang juga menurun.
Gejala dari gagal jantung seperti sesak nafas, sakit
kepala, edema tungkai dan orthopnea dapat ditemukan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

bahkan pada kehamilan yang normal. Sehingga seringkali


seorang wanita dengan kardiomiopati peripartum
menganggap ha1 tersebut sebagai keadaan normal pada
kehamilan.
Keadaan lain yang seringkali ditemukan adalah :
Edema pulmonal: dikatakan sebagian besar, bahkan ada
yang mengatakan seluruh pasien menunjukkan gejala
edema pulmonal. Gejala klinis sebenarnya menyerupai
gagal jantung pada umumnya, tetapi lebih bemariasi.
Pada periode antepartum didiagnosis sekitar 17% kasus,
sedangkan pada periode post partum didiagnosis
sekitar 83% kasus. Fungsi sistolik ventrikel kiri ratarata kembali normal pada sekitar 5 1% kasus yang hidup.
Tromboembolisme: dapat ditemukan pada keadaan ini.
Aritmia: pada beberapa kasus malah dapat
menyebabkan terjadinya kematian mendadak.
Pre-eklampsia: seharusnya dapat disingkirkan pada awal
diagnosis, karena tatalaksana akan berbeda.
Penegakan diagnosis yang terlambat akan
menyebabkan tingkat morbiditas penyakit yang
meningkat bahkan mengakibatkan kematian.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ekokardiografi : sangat membantu dalam
membuat diagnosis awal, dan sebaiknya selalu dilakukan
pada kecurigaan kardiomiopati peripartum
Cardiac MRI (Magnetic Resonance Imaging):
merupakan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
dan dapat menjelaskan mekanisme terjadinya
kardiomiopati peripartum tersebut. Pada pemeriksaan
ini dapat dilakukan pengukuran kontraksi miokard
secara global dan segmental.
Penatalaksanaan
Tatalaksana selama kehamilan:
- dapat menyebabkan defek pada janin, walaupun
obat-obat tersebut merupakan terapi standar pada
gagaljantung umumnya. Efek teratogenik umumnya
timbul pada trimester kedua dan ketiga.
- Digoksin
- Beta blockers
- Loop diuretic
- Hydralazine dan nitrat : obat-obatan yang dapat
menurunkan aj?erload.Cukup aman untuk diberikan
selama kehamilan
Tatalaksana post partum
- ACE dan ARB dapat diberikan post partum, dosis
diberikan dengan target setengah dari dosis
antihipertensi
- Diuretika
- Spironolakton atau digoksin
- Beta blockers: direkomendasikan untuk
kardiomiopati peripartum, dikatakan dapat
memperbaiki gejala klinis, fraksi ejeksi dan angka
kelangsungan hidup. Pilihan beta blockers yang
dianjurkan: carvedilol dan metoprolol.

- Antikoagulan: karena kejadian tromboembolisme

akan meningkat pada kasus-kasus kardiomiopati


peripartum akibat: a. dilatasi dimensi ruang-ruang
jantung, b. gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri
dan c. seringkali disertai fibrilasi atrial. Sehingga
pemberian antikoagulan sangat dianjurkan, yang
dilanjutkan sampai fungsi sistolik ventrikel kiri
kembali normal.
Transplantasi Jantung: pasien dengan gagal jantung
yang berat bahkan terminal dan telah mendapatkan terapi
medikamentosa yang maksimal, tetapi tidak
menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna,
seharusnya dilakukan transplantasi jantung untuk
kelangsungan hidupnya dan memperbaiki kualitas hidup
mereka.
Ventricular assist device: dibutuhkan sebagai terapi
antara sebelum dilakukan transplantasi kardiak
Implantable Cardioverter Defibrillator (CD): dilakukan
bila pada pasien ditemukan aritmia ventrikel yang
simtomatik
Obat-obat baru:
- Pentoksifilin
- Immunoglobulin Intravena
- Terapi imunosupresif
- Bromocriptine
- Obat-obat lain yang dapat dipergunakan :
Antagonis kalsium, monoclonal antibodies, interferon beta, terapi aferesis, statin
Prognosis. Beberapa faktor yang diketahui mempunyai
pengaruh terhadap prognosis pasien kardiomiopati
peripartum adalah:
Kadar Troponin T : kadar yang tinggi pada 2 minggu
post parturn dapat menggambarkanfraksi ejeksi ventrikel
kiri pada 6 bulan.
Durasi kompleks QRS pada rekaman elektrokardiografi:
dapat menjadi predictor kematian mendadak, yaitu pada
durasi QRS yang memanjang > 120ms.
Dimensi ruang jantung dan nilai fraksi ejeksi
Risiko relaps. Pada beberapa studi terbukti bahwa,
walaupun seorang wanita yang mengalami kardiomiopati
peripartum, risiko untuk mengalami ha1 yang sama pada
kehamilan berikutnya tetap ada walaupun terjadi pemulihan
sempurna dari fungsi ventrikel kiri. Bahkan pada studi di
Haiti yang melibatkan 99 pasien kardiomiopati peripartum,
15 dari mereka menjalani kehamilan berikutnya, 8 dari 15
tersebut kembali mengalami gagal jantung yang lebih berat
daripada sebelurnnya, dan disfungsi sistolik yang menetap.
B. Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati dilatasi jarang ditemukan pada saat
sebelumkehamilan. Pada kebanyakan kasus, gejala
ditemukan pada trimester pertama atau kedua kehamilan.
Pasien dengan kardiomiopati dilatasi hams dianjurkan
untuk tidak hamil karena risiko tinggi. Bila kehamilan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KEHAMILAN PADA PENYAKITJANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

berlangsung, disarankan terminasi bila pada pemeriksaan


ekokardiografi fraksi ejeksi < 50 % dan dimensi ventrikel
melebihi normal.
Bila pasien menolak terminasi, harus dilakukan
pengawasan ketat fungsi ventrikel. Disarankan untuk
perawatan mmah sakit lebih dini karena obat-obatan gagal
jantung seperti ACE inhibitor pada kehamilan tidak dapat
diberikan sehingga pilihan terapi yang aman bagi janin
sangat terbatas.

C. Kardiomiopati Hipertrofik
Pasien dengan kardiomiopati hpertrofik biasanya
mentoleransi kehamilan karena ventrikel jantung
beradaptasi secara fisiologis.Kematian biasanya jarang
terjadi. Terapi penyekat beta hams dilanjutkan dan dosis
kecil dieretik dapat mengurangi gejala. Pasien tanpa riwayat
keluarga kardiomiopati hipertrofik atau kematian mendadak
biasanya mempunyai risiko rendah dan dapat melanjutkan
kehamilan. Pasien dengan fungsi diastolik yang buruk
disarankan untuk prawatan rumah sakit.Kongesti pulmonal
biasanya muncul pada trimester 3 dan pasien sebaiknya
direncanakan untuk dirawat sebelum persalinan.

D. Endokarditis lnfektif
Endokarditis infektif biasanya jarang pada kehamilan tapi
dapat menimbulkankesulitan dalam tatalaksanya.Pemilihan
antibiotik hams hati-hati tanpa membahayakan janin tapi
tetap bermanfaat bagi ibu. Antibiotik profilaksis haru
diberikan untuk pencegahan bakteremia. Insidens
bakteremia pada persalinan normal 0-5%. Pasien dengan
katup protese atau riwayat endokarditis sebelumnya juga
diindikasikanantibiotik profilaksis yang diberikan sebelum
persalinan atau tindakan operatif.
E. Aritmia
Kecenderungan untuk terjadinya aritmia pada kehamilan
sebagian disebabkan oleh aktivasi humoral neuroendokrin
akibat gagal jantung. Irama ektopik atau aritmia menjadi
lebih sering ditemukan pada kehamilan. Aritmia dapat
merupakan manifestasi dari kardiomiopatiperipartum. Pada
pasien dengan gangguan hemodinamik dapat ditemukan
berbagai macam gambaran aritmia seperti fibrilasi atrial,
takikardia supraventrikular (SVT), atau bahkan takikardia
ventrikel (VT). Obat antiaritmia bisanya dapat melewati
sawar plasenta. Aritmia dengan gangguan hemodinamik
hams dilakukan kardioversi elektrik. Pemberian penyekat
beta adalah pilihan pertama untuk profilaksis. Amiodaron
dapat menyebabkan hipotiroidism pada janin.
Bila terapi farmakologis tetap gagal maka pemasangan
ICD dapat dipertimbangkan. Pemasangan ICD bukan
kontraindikasi untuk kehamilan berikutnya. Alat pacu
jantung untuk bradikardia simtomatik dapat di pasang
dengan tuntunan ekokardiografi pada usia kehamilan
berapa pun.

Pada trimester ketiga dapat ditemukan peningkatan cairan


perikard dan dilaporkan pada 40% wanita hamil. Biasanya
ha1 ini tidak menimbulkan gejala dan disebabkan retensi
cairan dan penambahan berat badan yang biasa terjadi
pada kehamilan. Tidak diketahui hubungan yang jelas
antara kehamilan dengan kelainan perikard. Penyakit
autoimun seperti Lupus Eritematosus sistemik (SLE) lebih
sering ditemukan sebagai penyebab efusi perikard pada
kehamilan. Pada efusi perikard ringan dapat diatasi dengan
diuretik sedangkan untuk efusi perikard yang lebih berat
diperlukan pungsi atau bahkan perikardiektomi.

REFERENSI
Avila WS, Grinberg M, Snitcowsky R, Faccioli R, Da Luz PL, Bellotti
G, Pileggi F. Maternal and fetal outcomes in pPregnant women
with Eisenmenger's syndrome. Eur Heart J 1995; 16 (4): 460-4.
Baugman KL. The Heart and Pregnancy. In: Textbook of
Cardiovascular Medicine. Topol EJ (ed). Lippincott Williams
and Wilkins, 2nd ed, 2002 : 733-51.
Bonow RO, Carabello B, De Leon AC Jr, Edmunds LH Jr, Fedderly
BJ, Freed MD, Gaasch WH, McKay CR, Nishimura RA, O'Gara
PT, O'Rourke RA, Rahimtoola SH. ACCIAHA guidelines for
the management of
patients with valvular heart disease : a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines (Committee on Management of Patients
with Valvular Heart
Disease). J Am Coll Cardiol 1998; 32: 1486-588.
Cellarier G, Laurent P, Bonal J, Jego C, Talard P, Bouchiat C. Low
molecular weight heparin : a guide to their optimum use in
pregnancy. Drugs 2000; 62 (9): 463-77.
Chan WS, Anand S, Ginsberg JS. Anticoagulation of pregnant women
with mechanical heart valves : a systematic review of the
literature. Arch Intern Med 2000; 160: 191-6.
Elkayam U. Pregnancy and cardiovascular disease. In : Braunwald's
Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Zipes
DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E (eds). Elsevier Saunders,
Philadelphia,7th ed, 2005 : 1965-71.
Felker MG, Baughman KL. Approach to the pregnant patient with
heart disease. In : Kelley's Textbook of Internal Medicine. Humes
HD (ed). Lippincott Williams and Wilkins, 4th ed, 2000 : 40615.
Elkayam UR. Pregnancy through a prosthetic heart valve. J Am
Coll Cardiol 1999; 33: 1642-5.
Elkayam UR. Anticoagulation in pregnant women with prosthetic
heart valves : a double jeopardy. J Am Coll Cardiol 1996; 27:
1704-6.
Elkayam UR, Tumala P, Rao K, Akhter MW, Karaalp IS, Wani OR,
Hameed A, Gviazda I, Shotan A. Maternal and fetal outcomes of
subsequent pregnancies in women with peripartum
cardiomyopathy. N Engl J Med 2001; 344: 1567-71.
Martinez-rios MA, Tovar S, Luna J, Eid-Lidt G. Percutaneous
Mitral Commissurotomy. Cardiol Review 1997; 7: 108-16.
Oakley C et al. Expert Consensus Document on Management of
Cardiovascular Diseases During Pregnancy. Eur Heart J 2003;
24: 761-81.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Presbitero P, Somemile J, Stone S, Amta E, Spiegelhalter D, Rabajoli


F. Pregnancy in cyanotic congenital heart disease : Outcome of
mother and fetus. Circulation 1994; 89 (6): 2673-6.
Siu SC et al. Prospective multicenter study of pregnancy outcomes
in women with heart disease. Circulation 2001; 104: 5 15-21.
Teerlink JR, Foster E. Valvular heart disease in pregnancy. Cardiol
Clin 1998; 16: 573-95.
Vitale W, De Feo M, De Santo LS, Pollice A, Tedesco N, Cotrufo M.
Dose-dependent fetal complications of warfarin in pregnant
women with mechanical heart valve prostheses. Heart 1999;
82: 23-6.
Warnes CA. Congenital heart disease and pregnancy. In : Cardiac
Problems in Pregnancy, Elkayam U, Gleicher N (eds). John
Wiley and associates, New York, 1998.
Oakley C. Peripartum cardiomyopathy, other heart muscle
disorders and pericardial diseases. In: Oakley C, Warnes C
(eds). Heart disease in Pregnancy. 2007. 2" edition. Blackwell
Publishing company. 186-200.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT ARTERI PERIFER


Dono Antono, Dasnan Ismail

KELAINAN PADAARTERI PERIFER


Yang dimaksud dengan penyakit arteri perifer adalah semua
penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah ke luar
dari jantung dan aortailiaka. Jadi penyakit arteri perifer
meliputi ke empat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis,
arteri mesenterika dan semua percabangan setelah ke luar
dari aortoiliaka.
Penyakit arteri perifer dapat mengenai arteri besar,
sedang maupun kecil, antara lain tromboangitis
obliterans, penyakit Buerger's, fibromuskular displasia,
oklusi arteri akut, penyakit Raynaud, arteritis Takayasu,
frostbite dan lain lain
Penyebab terbanyak penyakit oklusi arteri pada usia
di atas 40 tahun adalah aterosklerosis. Insiden tertinggi
timbul pada dekade ke enam dan tujuh. Prevalensi penyakit
aterosklerosis perifer meningkat pada kasus diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, hiper homo
sisteinemia dan perokok.

Mekanisme terjadinya atherosklerosis sama seperti yang


terjadi pada arteri koronaria. Lesi segmental yang
menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada
pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi
tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan
kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat
elastis di sana-sini, fragmentasi lamina elastika interna,
dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan
fibrin. Lokasi yang terkena terutama pada aorta
abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien yang
simtomatik), arteri femoralis dan poplitea (80 - 90%),
termasuk arteri tibialis dan peroneal (40 - 50%). Proses
atherosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan

arteri, tempat yang turbulensinya meningkat, kerusakan


tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terjadi
pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.

GEJALA KLlNlS
Kurang dari 50 % pasien dengan penyakit arteri perifer
bergejala, mulai dari cara berjalan yang lambat atau berat,
bahkan sering kali tidak terdiagnosis karena gejala tidak
khas. Gejala klinis tersering adalah klaudikasio intermiten
pada tungkai yang ditandai dengan rasa pegal, nyeri, kram
otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul sewaktu
melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat
beberapa saat. Lokasi klaudikasio terjadi pada distal dari
tempat lesi penyempitan atau sumbatan. Pada penyakit
aortoiliaka (sindrom Leriche) memberikan gejala rasa tak
nyaman pada daerah bokong, pinggang, dan paha.
Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien dengan
penyakit pada pembuluh darah daerah femoral dan
poplitea. Keluhan lebih sering terjadi pada tungkai bawah
dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi penyakit arteri
obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali
menjadi berat sehingga timbul iskemia kritis tungkai bawah
(critical limb ischemia). Dengan gejala klinis nyeri pada
saat istirahat dan dingin pada kaki. Sering kali gejala
tersebut muncul malam hari ketika sedang tidur dan
membaik setelah posisi dirubah. Jika iskemia berat nyeri
dapat menetap walaupun sedang istirahat. Kira-kira 25%
kasus iskemia akut disebabkan oleh emboli. Sumber
emboli biasanya dapat diketahui. Emboli paradoksikal
merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat
dengan cara angiografi disebabkan karena lesi ulseratif
yang kecil atau karena defek septum atrial. Penyebab
terbanyak kedua penyakit arteri iskemia akut adalah
trombus.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemeriksaan fisis yang terpenting pada penyakit arteri
Emboli yang berasal dari jantung menyumbat
perifer adalah penurunan atau hilangnya perabaan nadi
percabangan arteri besar, sehingga diameter lumen di
pada distal obstruksi, terdengar bruit pada daerah arteri
bagian distal mengecil mendadak. Biasanya diameter arteri
yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat
tersebut lebih dari 5 mm. Ateroemboli yang berasal dari
terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit menjadi licin dan
debris dari lesi ateromatous proksimal arteri, biasanya lebih
mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis
kecil dan menyumbat pembuluh darah diameter kurang dari
merupakan penemuan fisik yang tersering. Kemudian
5 mm. Berdasarkan ukuran arteri yang tersu~nbatdapat
dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai diangkath T%. @etahui asal emboli, berasal dari jantung atau dari aorta
-*,* '&<5*
elevasi dan dilipat, pada daerah betis dan telapak kakiF$ .,,a,:. %@U dari arteri iliaka komunis. Sebagai contoh emboli yang
akan menjadi pucat. Secara klinis penyakit arteri perifer
menyangkut pada arteri femoralis biasanya berasal dari
$3 77. .I i
tr*2
.. tb7jaqtung.Epl i x a n + m w b p P k a n infark pada daerah
dibagi menjadi :
.& ,.
. : -F,t&t bj&a$&d~.asBl~ ~ ~ i ~distal
1. Insufisiensi arteri akd.: L,.L '$ t "3 a & - ,z < e 8aorta
1 1atau arteri
2. Insufisiensi arteri kronik.
iliaka komunis.
Embolus yang menyangkut pada arteri akan
iliembehtuk trombus yang menyumbat aliran darah, distal
dari suinbatan menjadi spasme. Terbentuk bekuan darah
INSUFlSlENSl ARTERI AKUT
pada proksimal sumbatan. Hal ini terjadi tergantung dari
adekuat atau tidaknya kolateral. Pada bagian distal yang
Iskemia arterial akut disebabkan oleh emboli atau
spasme dalam 8 jarnL&an F b n t w k bekuap bakmenjalar
trombosis akut mengikuti obstruksi parsial kronik.
. . ..
ke bawah menyumbat seluruh kolateral yang ada,
Emboli dapat berqsal dari jantung atau bukan jantung.
memperburuk iskewia, akhi,mya kulit menjadj biru, kaku
Penyebab oklusi arterial akut yang disebabkm karena
jantung adalah fibrilasi atrium, penyakit jantung katup
dan licin.
,
Otot skeletal dan jaraf per?fer dapat bertahan dalam 8
(penyakit jantung reumatik atau endokarditis), infark
jam iskemia tanpa kerusakan permanen. Kulit dapat
miokard (dengan atau tanpa a n e u r i s ~ ~ y 8 ~ t r i k&a*,
t;l)~
bertahan d e k a n iskemia berat selama 24 jarn.,Kerusakan
jantung prostetik yang tidak minum antikoagulan,
jaringan tergantung dari sirkulasi kolateral yang adekuat,
miksooma pada atrium kiri, emboli, pqradoksik,
keadaan fungi jantung, viskositas darah, kadar oksigen
kardiomiopati konge~tif,kardiomiopati hipertropik,
darah, menjalarnya b e k u 4 darah sampai ke rnikrovaskula~,
kalsifikasi anulus katup mitral, prolaps katup mitral.
cktn efektivitas da,ketepatan pengobatan. ~ i k aGkemia
Emboli yang berasal dari ,pembqluh darah arteri perifer
pada otot berkembang menjadi nekros'is, otot menjadi
adalah lesi ulkus ateroskerosis, aneurisms (aorta, iliaka,
paralisis, mengeras dan konsistensi kaku. Pada saraf perifer
femoral, poplitea, subclavia, aksilaris), komplikasi
terjadi penurunan fungsi dan menjadi anestasia. Kulit
kateterisasi arteyi. Penyebab lain adplah trombosis pads
meujadi sianosis, pucat dengan ditekan, dan terjadi
arteri pada sqgmep ateroskl,erosis,,,yang menjepit,
perdarahan di dalam ,plak, penyalahgunaiin obat.
gangren.
Reperhsi pada daerah ekstremitas yanp iskemia, harus
diikuti dengan evaluasi organ lain pada seluruh tubuh
karena metabolisme anaerob menghasilkan asam ,sel mati
mengeluarkan kalium dan mioglobin, pembentukan
Emboll
F~br~las~
atr~um
mikrotrombus pada area yang stasis dan asidosis. Terjadi
Penyakit b t u p gntung (penyakit jantuhg rem%tikAtau
akumulasi produk inflamasi, prokoagulan d q agregas!
I
endokard~t~s)
trombosit.
Dengan adanya reperfusi faktor-fak?or tokGk
lnfark mrokard (dengan atau tanpa aneurisms ventr~kel)
Katup jantung prosthetik
tersebut akan masuk ke sirkulasi sistemik dan dapat terjadi
Miksoma atrium kir~
kegagalan fungsi organ seperti paru, ginjal, jantung dan
Embolus ~ r a d o k s i k
status mental pasien. Tetapi ha1 tersebut tergautung dari
Kardromiopati kongestif
Kard~om~opati
h~pertropik
derajat nekrosis, cepat atau lavbatnya revaskularisasi yang
Kalsifikasi annulus katup mitral
adekuat dan kondisi dasar organ-organ terkebut.
Perifer
Manifestasi kliniS insufisiensi arterial akut disebibkai
Lest ulkus attenosklerosls
karena emboli kardiak dapat mengenaittempatlain, antara
Aneurisma (Aorta, rltaka, femoralrs, poplitea, subclav~a,
axiilaris)
lain i~kemia~ekstremitas
atas, iskern@s&ebral dan iskemia
Komplikasi kat&erisas~atr~ai
viseral.
Prinsip
terapi
iskemia ekstremitas atas sama
i
, '
Trombosis
dengan iskemia ekstremitas dawah. Kolateral biasanya
Ateroskleros~spqda segmen penyernpltan (dengan atau
tanpa gangguan ahran)
lebih baikdibandingkan ekstremitas bawah. Dengan terapi
Perdarahan ~ntraplak
heparin dosis tinggi sering kali efektif. Emboli serebral
Penyalahgunaan obat
merupakan 20 - 30% penyebab infark serebral. Insiden
s ,

.
;

..:.

'+

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1833

PENYAKIT ARTERI PERIFER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Klinis
Kategori

Deskripsil Prognosis

Sinyal Doppler

Sensorik

Lemah
Otot

Arteri

Vena

Viable
Terancam
Marginal

tidak terancam segera

normal

tak ada

audible

Audible

dapat diselamatkan jk
diobati segera.

ujung jari
kaki
minimal

tak ada

lnaudible
(sering)

audible

segera

dapat diselamatkan jk
revaskularisasi cito
kematian jaringan
umum, kerusakan saraf
permanen

Inaudible
(selalu)
inaudible

Audible

lreversibel

anestesia

Paralisis
(rigor)

inaudible

Ket : SVSllSCVS : Society for Vascular Surgery / International Society for Cardiovascular Surgery.

strok meningkat 5 kali lipat jika ada fibrilasi atrial. Iskemia


viseral akut sering mengenai arteri mesenterika superior,
tersumbat oleh embolus atau trombosis. Mortalitas
mencapai 80% dan terapi biasanya reseksi dibanding
revaskularisasi.

INSUFlSlENSlARTERI KRONIK

Manifestasi klinis yang paling sering adalah klaudikasio,


dengan definisi serangan nyeri otot dan kelemahan karena
iskemia berulang. Klaudikasio biasanya timbul setelah
aktivitas fisik dan berkurang atau menghilang setelah
istirahat beberapa saat. Timbulnya nyeri berhubungan
dengan aliran darah yang tidak adekuat. Klaudikasio
intermiten adalah tanda insufisiensi arteri. Penumpukan asam
laktat dan metabolisme lain pada otot yang iskemia
menyebabkan nyeri kram pada otot. Lokasi yang paling
sering terkena adalah daerah betis, tetapi bisa juga pada
daerah paha jika terjadi obstruksi pada arteri iliaka ekstema
atau arteri femoralis komunis, atau pada daerah bokong
karena ada penyempitan pada aorta atau arteri iliaka komunis.
Gejala klaudikasio atipikal bisa muncul yaitu berupa nyeri
pada telapak kaki atau rasa terbakar. ~ e j a l tersebut
a
sering
kali membingungkan klinisi dalam mendiagnosis.
.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis lnsufisiensi Arteri Akut
Ditandai dengan perubahan suhu yang mencolok pada
distal ektremitas yang tersumbat. Jika telapak kaki masih
dapat bergerak dorsofleksi dan plantarfleksi menandakan
otot-otot masih hidup. Jika telapak kaki tak dapat bergerak
menandakan adanya ancaman nekrosis paling tidak pada
beberapa bagian otot. Timbulnya kekakuan pada otot,
mengeras, dibanding sisi yang normal menandakan otot
nekrosis luas. Parastesi dan anestesi pada ekstremitas
menandakan iskemia pada persarafan. Waxy ( berlilin ), kulit

berwarna putih merupakan tanda yang khas spasme


pembuluh darah dan masih ada arteriola yang mengaliri.
Bercak-bercak sianosis yang tidak memudar dengan
penekanan menandakan trombosis pada kapiler
subkutikular dan terjadi nekrosis kulit.
Dari pemeriksaan fisis dicari kelainan jantung yang
dapat menyebabkan sumber emboli. Tanda-tanda iskemia
kronik pada ekstremitas bawah adalah kuku yang
hipertrofi, atrofi kulit, dan bulu kaki rontok. Tanda dari
insufisiensi arteri akut biasanya perubahan temperatur
yang mencolok pada distal obstruksi. Ketidak mampuan
telapak kaki untuk bergerak dorsifleksi dan plantarfleksi
menandakan aliran darah ke daerah betis terganggu dan
terjadi ancaman nekrosis dari otot tersebut. Jika betis
menjadi mengeras, otot spasme dibandingkan dengan
sebelahnya yang normal, menandakan nekrosis lanjut
pada otot. Parastesia dan anestesia menandakan keadaan
iskemi pada saraf. Kulit seperti berlilin, kulit menjadi putih

Evaluasi Jantung
lnfark miokard

Evaluasi Vaskular
Anamnesis

Aritmia - sinkop
Angina
Palpitasi
Medikamentosa
Gagal jantung
kongestif
Operasi ganti katup
jantung

Transient Ischemic
attack
Amaurosis fugax
Klaudikasi
lmpotensi
Angina intestinal
Riwayat operasi

Pemeriksaan
Fisis
Nadi dan irama
Murmur dan gallop
Tekanan darah
Kardiomegali
Edema tungkai
Peningkatan
tekanan vena
jugularis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

Tidak ada pulsasi


Aneurisma pembuluh
darah
Bruit
lskemia akut
lskemia kronik
Dehidrasi

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pemeriksaan anggota tubuh (dibandingkan dengan
sebelahnya), antara lain :
Bulu rontok
Pertumbuhan kuku terganggu
Kulit kering, licin, atrofi
Rubor
Kaki menjadi pucat setelah diangkat elevasi setinggi 60
derajat selama 1 menit, (warna kembali normal dalam
10 - 15 detik. Jika kembali normal dalam waktu lebih
dari 40 detik, menandakan iskemik berat)
Ulkus pada jaringan iskemik. (terkelupas, nyeri,
perdarahan sedikit), gangren.
Tidak ada atau mengecil pulsasi a. Femoralis atau a.
dorsalis pedis (terutama Setelah jalan-jalan)
Bruit arterial
Pemeriksaan tambahan dengan palpasi dan auskultasi
untuk mencari kelainan aorta (aneurisma atau bruit)

lskemia akut
Ekstremitas pucat pada posisi istirahat.
Perubahan temperatur dengan garis batas yang sangat
jelas.
Nyeri dan parastesia
Sensasi menurun
Sianotik dengan batas tegas dan jika ditekan menjadi
pucat.
Sianotik dengan batas tegas dan jika ditekan tidak pucat.
Parese sampai paralisis
Muskulus spastik dan keras.
lskemia kronik
Muskulatur atrofi
Bulu kaki rontok
Kuku hipertrofi dan pertumbuhan lambat
Nadi lemah
Temperatur
Vena supertisial menciut
Pengisian kapiler lambat
Pucat lebih lama dengan elevasi
Rubor

Derajat
I
Ila
Ilb

111
IV

Gejala
Asimtomatik
Klaudikasio intermiten
Tak ada nyeri, klaudikasio jika jalan > 200 m.
Nyeri istirahat dan nokturnal.
Nekrosis, gangren.

merupakan tanda dari spasme dan dapat dilihat ada


arteriola yang mengalir ke kulit. Sianosis pada kulit yang
tidak berubah warna jika ditekan menandakan trombosis
kapiler pada daerah subkutis dan terjadi nekrosis kulit.

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, untuk


mendiagnosis PAD diperlukan pemeriksaan objektif.

Derajat

Kategori

Asimtomatik

klaudikasio
ringan

klaudikasio
sedang

klaudikasio
berat

nyeri iskemik
saat istirahat

kematian
jaringan minor,
ulkus tak
sembuh,
gangren
dengan iskemi
pedal difus.
kematian
jaringan
menjalar
ke atas
transmetatarsal,
fungsi kaki tak
dapat
diselamatkan

Klinis

Kriteria objektif
treadmill/ stress test
normal
treadmill komplit,
tekanan ankle
setelahnya < 50
mrnHg
Tapi > 25 mmHg
lebih rendah dari
brachial
antara kategori 1 dan
3.
Treadmill tak selesai
dan tekanan engkel
setelahnya
< 50 mmHg
tekanan engkel saat
istirahat < 60 mmHg;
nadi engkel dan
metatarsal datar atau
sangat lemah
tekanan engkel saat
istirahat < 40 mmHg;
nadi engkel dan
metatarsal datar atau
sangat lemah

Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dengan menghitung


ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk
mengetahui adanya penyakit arteri perifer. Sering kali PAP
tidak ada keluhan klasik klaudikasio. Hal tersebut bisa terjadi
karena penyempitan terbentuk perlahan-lahan dan sudah
terbentuk kolateral dan untuk mengetahuinya diperlukan
pemeriksaan sistem vaskular perifer, pengukuran tekanan
darah segmental (pada setiap ekstremitas), diperiksa
ultrasonografi Doppler vaskular dan diperiksa ABI pada
setiap pasien yang berisiko PAP. Selain itu juga dapat
diperiksa rekaman volume nadi secara digital, oximetri
transkutan, tes stres dengan mengguankan
treadmill, dan tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan
tersebut ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah
akan berkurang ke kaki, sehingga gambaran velocity
Doppler menjadi mendatar, pada ultrasonografi duplex dapat
ditemukan lesi penyempitan pada arteri atau graft bypass.
Tekanan arteri dapat direkam di sepanjang tungkai
dengan memakai manset spygmomanometrik dan
menggumakan alat Doppler untuk auskultasi atau merekam
aliran darah. Normal tekanan sistolik di semua ekstremitas
sama. Tekanan pada pergelangan kaki sedikit lebih tinggi
dibandingkan tangan. Jika terjadi stenosis yang signifikan,

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1835

PENYAKIT ARTERI PERIFER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Takansn ankle kanan tertinggi
=IKANAN
Tekanan tangan terlmgg~

0.01 1.30 Nonnal


0,41 0.90 PAP Ringan

0.00 0,40 PAP berat

- sedang

Gambar 1. Pengukuran Ankle - Brachial Index (ABI). Tekanan


darah sistolik diukur dengan manometer air raksa atau USG
Doppler pada setiap lengan dan arteri dorsalis pedis (DP) dan
posterior tibia1 (PT) pada setiap engkel.

tekanan darah sistolik di kaki akan menurun. Jika


dibandingkan rasio tekanan arteri pergelangan kaki dan
tangan, yang populer dengan nama ankle: brachial
index (ABI), pada keadaan normal ABI > 1 ,dengan kelainan
PAD ABI < 1, dan dengan iskemia berat ABI < 0,4.
Tes treadmill dapat menilai kemampuan fungsional
secara objektif . Penurunan rasio anklebrachial segera
setelah latihan mendukung untuk diagnosis untuk PAD,
tentunya disertai dengan keluhan klinis yang sebanding.
Pemeriksaan laboratoriurn dievaluasi kondisi hidrasi,
kadar oksigen darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan
kerusakan otot. Diperiksa foto toraks untuk melihat
kardiomegali, hematokrit untuk melihat polisitemia, analisa
urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat
mioglobin di urine. Kreatinin fosfokinase untuk menilai
nekrosis otot. Elektrokardiografi untuk menilai aritmia atau
kemungkinan infark lama. Ekokardiografi 2 dimensi untuk
menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi, kelainan katup,
evaluasi gerak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor, defek septum atrial. Ultrasonografi abdomen untuk
mencari aneurisma aorta abdominal. Arteriografi dapat
mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan
penyempitan.

bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan


bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke kulit.
Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat
menyebabkan aterosklerosis hams diberikan, berhenti
merokok, merubah gaya hidup, mengontrol hipertensi
tetapi jangan sampai terjadi hipotensi.

Latihan fisik (exersise), merupakan pengobatan yang


paling efektif. Hal tersebut telah dibuktikan pada lebih dari
20 penelitian. Latihan fisik meningkatkan jarak tempuh
sampai terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik
berupa jalan kaki kira-kira selama 30 sampai 45 menit atau
sampai terasa hampir mendekat nyeri maksimal. Program
ini dilakukan selama 6 - 12 bulan. Hal ini disebabkan karena
peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi
vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme
mukuloskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan
perbaikan viskositas darah.

Hematokrit, PT, APTT, trombosit.


Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah
Analisa urine, tes untuk mioglobin.
CPK dengan isoenzim.
Foto dada
Elektrokardiografi
2 D ekokardiografi
Duplex ultrasonografi
Tes stres dengan treadmill
Arter~ogram.
Magnetic resonance angiography

TERAPI FARMAKOLOGIS
Terapi farmakologis ,dapat diberikan aspirin, klopidogrel,
pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat-obat tersebut
dalam penelitian dapat memperbaiki jarak berjalan dan
mengurangi penyempitan.
Mengelola faktor risiko, menghilangkan kebiasaan
merokok, mengatasi diabetes melitus, hiperlipidemia,
hipertensi, hiperhomosisteinemia dengan baik.

INSUFlSlENSl ARTERI AKUT


TERAPI
Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif,
farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi. Terapi
suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap
bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab.
Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari

Obat terpilih adalah heparin, sebab bekerja cepat dan cepat


dimetabolisme. Dosis 100 - 200 unit I kilogram berat badan
bolus, diikuti 15 - 30 unit 1 kilogram berat badan /jam ,jika
perlu 300 unit1 kilogram berat badan bolus, diikuti 60 - 70
unit I kilogram berat badan I jam dengan infus kontinu.
Dengan pemantauan APTT 1,5 - 2,5 kontrol atau waktu
pembekuan darah. Penggunaan dosis tinggi dengan tujuan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


supaya distal penyumbatan pada daerah iskemia dan
kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas.
Jika iskemia baru terjadi 4 sampai 6 jam dan masih vital
yang ditandai dengan nyeri, paralisis atau parastesia,
merupakan indikasi untuk tindakan intervensi
revaskularisasi. Jika iskemi lebih dari 8 jam tidak dilakukan
revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini
tergantung dari kolateral arteri distal dari obstruksi.
Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara:
Operasi.
Angioplasti translurninal perkutan.
Trombolitik.
Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan
balon Fogarty dengan anestesi lokal atau regional. Untuk
penyakit aortoiliaka dan femoral-poplitea ditentukan oleh
lokasi dan lamanya sumbatan dan kondisi pasien. Operasi
tersebut dengan bypass aortobifemoral bypass, axillofemoral
bypass, femoral-femoral bypass clan aortoiliakendarterektomi.
Keberhasilan operasi ditentukan dari yang diperoleh pada
angiografi dan saat operasi. Paling sedikit 24 jam pertama
setelah operasi hams dirawat di ruang rawat intensif agar
sirkulasi distal, waspada terhadap gangguan paru, jantung
dan ginjal dapat diawasi. Jika ditemukan tanda-tanda
retrombosis dan emboli berulang hams dilakukan operasi
segera. Heparin diberikan sampai 48 - 72 jam dengan dosis
tinggi yang direkomendasikan, kemudian dosis diturunkan
sesuai kondisi pasien selama 7 hari dan dilanjutkan dengan
antikoagulan oral atau heparin dosis rendah suntik subkutan.
Jika masih vital setelah lebih dari 48 jam sejak gejala
timbul, diperlakukan sebagai penyakit obstruksi kronik
berat. Hal ini karena ekstremitas survive karena terbentuk
aliran kolateral. Diberikan antikoagulan oral warfarin atau
heparin suntik subkutan jangka panjang.
Alternatif lain selain operasi dan konservatif adalah
terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan
pada trombus yang menyumbat. Ini akan mengurangi
komplikasi perdarahan dibandingkan diberikan intra vena.
Dapat diberikan tissueplasminogen activator dosis rendah
atau streptokinase dosis rendah intra arteri 5000 - 10.000
IU/ jam selama 12 - 48jam dengan monitor efek terapi baik
secara klinis atau serial arteriografi. Dapat juga diberikan
urokinase 240.000 IUIjam selama 4 jam, diikuti 120.000IUI
jam sampai maksimurn 48 jam, atau rekombinan tPA diinfus 1
mgljam atau 0,05 m g k g per jam. Dilanjutkan antikoagulan
intravena heparin dan diikuti warfarin per oral.
Terapi angioplasti transluminal perkutan segera
mengikuti terapi trombolitik intra arterial, pemasangan stent
dan aterektomi, memberikan hasil yang baik terhadap
patensi arteri yang tersumbat.

Kelainan ini mengakibatkan hiperplasi pada arteri


berukuran sedang dan kecil. Lebih sering terjadi pada

perempuan dan biasanya mengenai arteri renalis dan


karotis, tetapi dapat juga terjadi pada arteri ekstremitas
seperti arteri iliaka dan subklavia. Kelainan histologi terjadi
displasia pada tunika intima, media dan periadventitia. Tipe
yang terbanyak adalah tipe media displasia yang khas
ditandai dengan atau tanpa fibrosis pada membran elastika.
Secara angiografi ditandai dengan gambaran seperti
benang karena penebalan lapisan fibromuskular. Jika
mengenai arteri ekstremitas gejalanya dapat menyerupai
seperti aterosklerosis, termasuk klaudikasio dan nyeri pada
saat istirahat. Jika gejalanya berat dan iskemia tungkai
mengancam, terapi dapat dengan perkutaneus transluminal
angioplasti atau operasi.

Perdarahan
Trombosis
Emboli rekuren
Emboli paru
Mikroemboli acute respiratory distress syndrome.
Edema ekstremitas
Gagal ginjal akut
Disfungsi jantung - infark miokard, aritmia.
lnfark mesenterik.

Penyakit ini disebut juga penyakit Buerger's, yang


merupakan kelainan vaskular berupa inflamasi dan
penyumbatan. Yang mengenai pembuluh darah ukuran
sedang dan kecil dan juga vena distal pada ekstremitas
atas dan bawah. Dapat juga mengenai pembuluh darah
otak, viseral dan koroner. Lebih sering terjadi pada lakilaki di bawah umur 40 tahun. Prevalensinya lebih tinggi
pada orang asia dan eropa timur. Penyebabnya beluin
diketahui ,tetapi ljerhubungan dengan kebiasaan merokok.
Pada tahap awal lekosit polimorfonuklear menginfiltrasi
dinding pembuluh darah arteri dan vena. Lapisan elastika
interna terkena dan terbentuk trombus pada lumen
pembuluh darah. Pada tahap lanjut neutrophil akan
digantikan oleh sel mononuklir, fibroblast dan sel giant.
Ditandai dengan adanya fibrosis perivaskular dan
rekanalisasi

DIAGNOSIS
Gambaran klinis tromboangitis obliterans sering kali berupa
trias klaudikasiooo yang melibatkan ekstremitas, fenomena
Raynaud, dan tromboplebitis vena superfisial yang
berpindah-pindah. Klaudikasiooo biasanya terjadi pada
betis dan kaki atau pada lengan bawah dan tangan, karena
memang terutama mengenai pembuluh darah daerah
distal. Kelainan yang ditemukan dapat berupa iskemi
digital yang berat, perubahan kuku, ulkus yang nyeri dan

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT ARTERI PERIFER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Obat

Dosis

Aspirin

81 - 325
mglhari

Klopidogrel

75 mglhari
PO

Pentoxifylline

1,2 grlhari
PO
100 mg 2
xlhari

Cilostazol

Tiklopidin

500 mglhari

Terapi
eksperimen

Dosis

Nafridrofuryl

600 mglhari

Propionyl
levocarnitine
Prostaglandin
(beraprost,
ilo~rost

2 grlhari

ekstrak ginko
biloba
Geneinduced
Angiogenesis
dengan
Endothelial
growth
Factor
Oksigen
hiperbarik

120
mcglhari po
atau 60
mcglhari
parenteral

Direkomendasi oleh American


College Of Chest Physicians
untuk PAP
Efek samping lebih ringan
dibandingkan Aspirin pada
CAPRIE trial, resiko TTP
lebih sedikit dibanding
tiklopidin
Efek terhadap kemampuan
berjalan lebih kecil
Hati-hati pada pasien gagal
jantung; dosis dikurangi 50
mg 2x1 hari jika minum obat
calsium channel blockers;
menyebabkan diare dan
gangguan lambung
Harus diawasi risiko TTP

Antagonis serotonin;
meningkatkan jarak tempuh
berjalan pada beberapa
penelitian, pemakaian masih
kontroversi; digunakan di
Eropa
bukti tidak signifikan
Hasil tidak menetap pada
penelitian terakhir

Efektif, tetapi metodologi


penelitian dipertanyakan.
Hasil menjanjikan

Tidak ada pengobatan yang spesifik, kecuali berhenti


merokok. Prognosis memburukjika tidak berhenti merokok.
Operasi pintas arteri dari pembuluh darah yang lebih besar
mungkin ada gunanya pada keadaan tertentu. Demikian
juga dengan debridemen lokal ,tergantung dari gejala dan
beratnya iskemia. Antibiotika mungkin berguna,
antikoagulan dan glukokortikoid tidak ada gunanya. Jika
semua usaha gagal, pilihan terakhir adalah amputasi.

Vaskulitis adalah proses klinikopatologi yang ditandai


dengan peradangan dan kerusakan pembuluh darah.
Vakulitis dapat disebabkan karena kelainan primer dari
suatu penyakit atau merupakan komponen sekunder dari
penyakit primer. Vaskulitis dapat mengenai satu organ,
seperti kulit atau dapat melibatkan beberapa sistem organ.
Vaskulitis umumnya lebih sering terjadi pada penyakitpenyakit rematik yang kemudian mengenai sistem
kardiovaskular. Gambaran utama sindrom vaskulitis dapat
dibagi menjadi sindrom vaskukitis primer atau sekunder.
Penyakit-penyakit yang dapat menyerupai vaskulitis
sitemik adalah sepsis, khususnya endokarditis. Keracunan
obat, koagulopatilangiopati trombotik (sindrom antibodi
antifosfolipid dan thrombotic thrornbositopenicpurpura),
keganasan, miksoma kardiak, sarkoidosis, sindrom
Goodpasture, amiyloidosis, migren dan emboli multifokal
dari aneurisma pembuluh darah besar.
Diagnosis pasti tergantung dari lesi vaskulitis yang
timbul dengan biopsi pada lokasi kulit yang abnormal. Jika
kelainan vaskulitis mengenai organ-organ visceral atau
pembuluh darah besar, yang terbaik adalah angiografi.

Mahal, hasil equivocal

ARTERlTlS TAKAYASU

gangren dapat timbul pada ujung jari atau tumit.


Pada pemeriksaan klinis nadi arteri brakialis dan
poplitea normal, tetapi nadi dapat berkurang atau hilang
pada arteri radialis, ulnaris dan tibialis. Pemeriksaan
ultrasonografi dulplex dan arteriografi sangat membantu
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran perubahan lesi
segmental pembuluh darah dari yang normal bertahap
menjadi halus pada pembuluh darah distal merupakan
gambaran yang khas, dan terdapat pembuluh darah
kolateral disamping pembuluh darah yang tersumbat. Pada
pembuluh darah proksimal biasanya tidak ditemukan
arterosklerosis. Diagnosis pasti dapat ditentukan dengan
biopsi eksisi dan pemeriksaan histopatologi.

Arteritis Takayasu (AT) adalah vaskulitis pada pembuluh


darah besar yang penyebabnya idiopatik dan terjadi pada
usia muda. Dapat mengenai aorta dan cabang-cabang
utamanya. Secara histologis AT khas berupa infiltrasi
lekosit mononuklir dan sel raksasa (Giant cell). Lebih
sering mengenai perempuan , 10 kali dibanding laki-laki.
Kematian biasanya karena stenosis arteri dan iskemi
organ. Terjadi aneurisma khususnya pada pembuluh darah
aorta yang dapat terjadi regurgitasi aorta. Penyebab
kematian tersering karena hipertensi atau jantung, ginjal
dan mengenai sistem pembuluh darah otak.
Gejala dari abnormalnya pembuluh darah besar adalah
hipertensi, khususnya bila dijumpai pada usia muda hams
diperiksa secara teliti pada nadi dan tekanan darah seluruh
ektremitas dan dicari apakah ada bruit pada pembuluh

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penatalaksanaan Penyakit Arteri Perifer.

Faktor risiko kardiovaskular

beratnya klaudikasi

Evaluasi : hemoglobin, serum kreatinin,


Merokok, profil lipid, hipertensi, diabetes,
Hemostasis, kadar homosistein, LDL

Modifikasi faktor risiko :


Diabetes, ( Ac <7 %), berhenti merokok,
hipertensi, LDL kolesterol < 100 mgldl,
terapi antitrombosit

1
Treadmill

Latihan berjalan dengan pengawasan,


farmakoterapi.
I

Perbaikan gejala

1
~

1 I Gejala memburuk

~Cari ~lesi dengan


~
~' k
~
Duplex scanning,
lokalisasi hemodinamik,
MRA, angiografi.

Gambar 2. Algoritme evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit arteri perifer.

darah. Tanda jika penyakit tersebut masih aktif adalah


perburukkan iskemia pada ekstremitas atau pada organ
viseral, malaise, mialgia, artralgia, keringat malam, dan
demam. Pada darah dapat dijurnpai peningkatan laju endap
darah. Diagnosis dapat dengan pemeriksaan angiografi
atau dengan teknik MRI (magnetic resonance imaging).
Sekuele pada jantung biasanya karena pengobatan yang
tidak adekuat dari hipertensi, regurgitasi aorta, dan
arteritis yang mengenai pembuluh darah koroner.

Sindrom Vaskulitis Primer

Sindrom Vaskulitis Sekunder

GranulomatosisWegener's
Sindrom Churg-Strauss
Poliarteritis nodosa

Drug induced vasculitis


Serum sickness
Vaskulitis yang berhubungan
dengan
penyakit primer
lnfeksi
Keganasan
Penyakit reumatik

Poliangiitis mikroskopik
Giant cell arteritis
Arteritis Takayasu
Purpura Henoch- Schonlein
Vaskulitis cutaneus idiopatik
Cryoglobulinemia esensial
campuran
Sindrom Behcet't
Sindrom Cogan
Penyakit Kawasaki

Kira-kira 60% pasien dengan AT respons terhadap


terapi kortikosteroid prednison 1 mglkglhari, dan
penatalaksanaan temuan kelainan pembuluh darah pada
angiografi. Jika tidak respons dengan kortikosteroid dapat
diberikan siklofosfamid2 mgkg atau dapat diberikan methotrexate sampai dosis 20 mg per minggu. Kira-kira 40%
terapi dengan obat sitotoksik dan kortikosteroid dapat

remisi. Stenosis arteri subklavia sering terjadi dengan


insiden mencapai 90% dari kasus. Jika pembuluh darah
aorta terlibat dapat terjadi insufisiensi katup, angina dan
gaga1 jantung pada 20% kasus. Penatalaksanaannya
dengan operasi reparasi atau ganti katup aorta.

SINDROM KOMPRESI TORAKS OUTLET


Gejala ini merupakan akibat kompresi dari pembungkus
neurovaskular (arteri,venadan saraf) pada jalan keluar dari
thrak melalui leher dan bahu. Pada iga servikal, kelainan
otot skalenus antikus proksimal dari klavikula dan iga
pertama, atau insersi abnormal dari otot pektoralis minor
dapat menekan arteri subklavia dan pleksus brakialis sesuai
denganjalur dari thorak ke tangan. Gejala yang timbul dapat
berupa nyeri bahu dan tangan, kelemahan, parastesia,
klaudikasio, fenomena Raynaud, dan dapat juga terjadi
kematianjaringan karena iskemia dan gangren.Pemeriksaan
fisik biasanya normal, sehingga diperlukan pemeriksaan
provokasi. Pada keadaan tertentu dapat ditemukan
penurunan atau hilangnya denyut nadi sampai terjadi
iskemia dan sianosisjari-jari. Dapat ditemukan nyeri tekan
pada fossa supraklavikula. Gejala dapat timbul dengan
menggerakan abduksi tangan 90dan rotasi eksternal bahu.
Pemeriksaan yang lain dengan cara manuver scalene, yaitu
ekstensi leher dan rotasi kepala ke daerah yang sakit,
gerakan kostoklavikular (rotasi posterior bahu) dan
gerakan hiperabduksi (menaikkan tangan 180), akan
menyebabkan bruit pada arteri subklavia dan hilangnya
nadi tangan. Pemeriksaan foto dada dapat melihat
keberadaan iga servikal. Bila pleksus brakialis terkena
elektromiografi dapat menunjukan kelainan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT ARTERI PERIFER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Penatalaksanaan lebih sering konservatif, hanya


dianjurkan menghindari posisi tertentu yang dapat
menimbulkan gejala. Latihan rotasi melingkar pada daerah
bahu dapat mengurangi gejala. Jika gejalanya berat dapat
dengan tindakan operasi mengangkat iga ke satu atau
reseksi otot antikus skalenus.

dengan bahan hemostatik seperti gelatin spon atau silikon,


digunakan untuk mengerutkan fistula. Fistula arteriovena
yang didapat biasanya mudah untuk diobati dengan cara
operasi eksisi pada fistula. Kadang-kadang diperlukan graft
autogenik atau sintetis untuk menyambung arteri dan
vena.

FISTULA ARTERI VENA

FENOMENA RAYNAUD

Hubungan abnormal antara arteri dan vena ,tanpa melalui


pembuluh kapiler dapat disebabkan karena kongenital atau
didapat. Fistula arteriovena kongenital merupakan
pembuluh darah embrionik persisten yang gaga1
berdiferensiasi menjadi arteri dan vena. Kelainan seperti
ini dapat ditemukan pada bayi yang sering disebut tanda
lahir. Dapat timbul pada seluruh organ tubuh dan sering
timbul pada ekstremitas.Fistula arterivena didapat ,seperti
pada akses pembuluh darah (cimino ) pada pasien
hemodialisis, pada luka tembak atau luka tusuk ,komplikasi
kateterisasi arteri, atau diseksi pada operasi. Kasus yang
lebih jarang adalah rupturnya aneurisma arteri ke vena
menjadi fistula arterivena. Gambaran klinis tergantung dari
lokasi dan ukuran dari fistula. Sering kali terdapat masa
yang berdenyut jika diraba dan dapat ditemukan thrill dan
bruit terasa pada saat sistolik dan diastolik pada fistula.
Pada fistula yang sudah berlangsung lama, manifestasi
klinisnya seperti insufisiensi vena kronik, yaitu edema
perifer, varises vena yang besar dan tourtous , dan
pigmentasi stasis muncul karena tekanan vena yang tinggi.
Iskemi dapat timbul pada distal ekstremitas. Suhu kulit
pada fistula arteriovena lebih tinggi.

Fenomena Raynaud ditandai dengan episode iskemia akral


dengan manifestasi klinis pucat, sianosis, dan rubor pada
jari-jari tangan dan kaki setelah terpapar dengan dingin
dan penghangatan. Stres emosi juga dapat mempresipitasi
fenomena Raynaud. Perubahan warna biasanya mudah
terlihat pada jari tangan dan kaki. Yang khas adalah satu
atau lebih jari tampak putih sewaktu terkena udara dingin
atau menyentuh benda dingin. Pucat menandakan fase
iskemia dari fenomena tersebut, akibat spasma arteri jari.
Selama fase iskemi kapiler dan venula dilatasi, dan sianosis
akibat dari darah yang miskin oksigen. Rasa dingin, baa1
dan semutan jari-jari biasanya timbul bersamaan pada
keadaan pucat dan sianosis. Dengan penghangatan
mengurangi spasme pembuluh darah dan aliran darah akan
meningkat dengan dramatis ke arteriola dan kapiler yang
dilatasi. Hiperemia reaktif ini memperlihatkan warna merah
terang pada jari-jari. Pada waktu fase hiperemia biasanya
timbul nyeri yang berdenyut. Respons warna trifasik ini
merupakan tanda yang khas dari fenomena Raynaud.
Kadang-kadang beberapa pasien hanya timbul pucat dan
sianosis, atau sianosis saja.

DIAGNOSIS
Diagnosis lebih sering didapatkan dari pemeriksaan fisik.
Kompresi pada fistula arteriovena yang besar dapat
menyebabkan reflex memperlambat denyut jantung, yang
disebut tanda Nicoladoni-Branham. Arteriografi dapat
membuktikan diagnosis dan menentukan besarnya fistula
arteriovena.

Penatalaksanaan fistula arteriovena dapat dengan operasi,


radioterapi, atau embolisasi. Fistula arteriovenakongenital
sulit untuk diobati karena banyak dan saling berhubungan
satu sama lain, sering kali terbentuk satu yang baru setelah
dilakukan ligasi. Terapi terbaik adalah konsevatif dengan
memberikan perban elastis . Untuk mengempiskan fistula
arteriovena dapat dengan cara embolisasi, dengan bahan
dari tubuh sendiri, contohnya seperti lemak dan otot, atau

Episode iskemia digital karena rangsangan dingin adalah


sekunder dari reaksi vasokonstriksi refleks simpatis. Teori
ini didukung oleh obat penyekat adrenergik a jika diberikan
akan menurunkan frekuensi simpatis dan beratnya
fenomena Raynaud pada beberapa pasien. Fenomena
Raynaud dibagi menjadi dua kategori, yaitu idiopatik yang
disebut penyakit Raynaud dan sekunder yang
berhubungan dengan penyakit lain atau penyebab yang
dapat menyebabkan vasospasme.

PENYAKIT RAYNAUD
Istilah ini digunakan jika penyebab sekunder fenomena
Raynaud sudah disingkirkan. Lebih dari 50 % pasien
dengan fenomena Raynaud adalah penyakit Raynaud.
Mengenai lima kali lebih banyak pada perempuan
dibanding dengan laki-laki. Timbul pada umur 20 - 40
tahun. Jari tangan lebih sering terkena dibandingjari kaki.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Awalnya hanya mengenai satu sampai dua ruas jari,


kemudian dapat menjalar menjadi satu jari, bahkan dapat
seluruh jari. Walaupun jarang, daun telinga dan ujung
hidung dapat terkena. Fenomena Raynaud sering timbul
pada pasien dengan sakit kepala karena migren atau varian
angina. Kelainan ini berhubungan dengan spasme
pembuluh darah.
Pada pemeriksaan fisik biasanya normal tak ditemukan
kelainan nadi radial, ulnar dan pedis. Pada waktu serangan,
jari tangan dan kaki menjadi dingin. Pada 10 % kasus dapat
timbul penebalan dan pemadatan jaringan subkutan jarijari, yang disebut sklerodaktili. Pemeriksaan angiografi
untuk diagnostik tidak dianjurkan. Pada umumnya pasien
dengan penyakit Raynaud klinisnya ringan. Kurang dari
1% pasien kehilangan jarinya.

Primer atau fenomena Raynaud idiopatik:


Penyakit Raynaud
Fenornena Raynaud sekunder
Penyakit vaskular kolagen: skleroderma, sistemik lupus
eritematosus, artritis reumatoid, dermatomiositis,
polimiositis
Penyakit arterial oklusi: aterosclerosis ekstremitas,
tromboangitis obliterans, oklusi arterial akut, sindrom
thoracic outlet.
Hipertensi pulmonal
Gangguan neurologist: penyakit discus intewertebralis,
siringomielia, tumor medulla spinalis, strok, poliomielitis,
sindrom tunnel carpal.
Kelainan darah: cold agglutinin, kriglobulinemia,
kriofibrinogenemiagangguan mieloproliferatif,
makroglobulinernia.
Trauma: luka vibrasi, sindrom hammer hand, syok
elektrik, sengatan dingin, mengetik, main piano.
Obat-obatan: derivat ergot, rnetisergid, reseptor penyekat
p - adrenergik, bleomisin, vinblastin, cisplatin.

PENYEBABSEKUNDER FENOMENA RAYNAUD

Fenomena Raynaud timbul pada 80 - 90 % pasien dengan


skleroderma dan yang bergejala 30 %. Kelainan pembuluh
darah jari-jari pada kasus ini akan menyebabkan timbulnya
fenomena Raynaud. Dapat terjadi ulkus di ujung jari-jari
karena iskemia dan dapat terjadi gangren dan auto
amputasi. Kira-kira 20 % pasien dengan SLE (sistemik
lupus eritematosus) terdapat fenomena Raynaud. Kadangkadang dapat terjadi iskemia jari-jari persisten dan dapat
terjadi ulkus dan gangren. Fenomena Raynaud dapat
timbul pada dermatomiositis, polimiositis, dan arthritis
rematoid.
Athrosklerosis pada ekstremitas sering menjadi
penyebab terjadinya fenomena Raynaud pada laki-laki
diatas umur lebih dari 50 tahun. Tromboangitis obliterans
jarang terjadi fenomena Raynaud, pada usia muda dapat
terjadi terutama jika perokok. Dapat juga karena mengikuti

oklusi akut pembuluh arteri besar atau sedang karena


trombus atau emboli. Jika emboli berupa debris dapat
menyebabkan distal iskemia dari jari-jari. Dapat timbul juga
pada hipertensi pulmonal primer.

Pada keadaan ini terjadi vasokonstriksi arteri dilatasi


sekunder kapiler dan venula dan mengakibatkan sianosis
persisten pada tangan, dan kadang-kadang pada kaki.
Sianosis terjadi jika terpapar dengan udara dingin.
Perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dan timbul
pada usia kurang dari 30 tahun. Umumnya tanpa gejala,
tapi karena ada perubahan warna jari- jari menjadi sianosis
pasien pergi memeriksakan diri. Pada pemeriksaan klinis
biasanya nadi normal, ditemukan sianosis perifer dan
telapak tangan menjadi lembab. Kelainan ini harus
dibedakan dengan fenomena Raynaud karena persisten
dan perubahan warna mulai dari proksimal jari-jari. Tidak
ditemukan sianosis sentral dan penurunan saturasi 0,
arteri. Dianjurkan untuk memakai baju hangat dan
menghindari udara dingin. Terapi farmakologis tidak perlu
diberikan.

Pada lokasi tertentu pada ekstremitas timbul gambaran


bercak jarring-jaring benvarna kemerahan sampai kebiruan.
Bercak tersebut bertambah jika terkena udara dingin.
Penyebabnya idiopatik, laki-laki dan perempuan
insidennya sama, lebih sering timbul pada umur dekade ke
3. Biasanya tak bergejala , sering dikeluhkan karena alasan
kosmetik. Livedo retikularis dapat timbul setelah
ateroemboli, jarang timbul ulkus. Dianjurkan menghindari
udara dingin. Terapi farmakologis tak diperlukan.
REFERENSI
Beckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and atherosclerosis,
epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA
2002;287; 2570 - 81.
Creager MA, Dzau VJ. Vascular diseases of extremities, In Harrison's
principles of internal medicine. 161hed. Kasper DL et al (ed) ;
NY: McGraw-Hill; 2005.p.1486-94.
Creager MA, Libby P. Peripheral arterial diseases, I n Heart Disease
a Textbook of Cardiovascular Medicine. 6Ih ed. Braunwald,
Zipes, Libby (ed); WB Saunders Company; 2001.p. 1457-78
Gaylis H. Diagnosis and treatment of peripheral arterial disease.
JAMA 2002; 287; 313 - 16.
Gey DC, Lesho EP, Manngold J. Management of peripheral arterial
disease. American Family Physician 2004;Feb;l-12.
Holcroft JW. Blaisdell FW. Acute arterial insuffisiency In : Vascular
Surgery Principles and Practice, 2nded, Veith FJ et al (ed). NY,
McGraw-Hill, 1994; 381-87.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1841

PENYAKIT ARTERI PERIFER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Hiatt WR. Medical treatment of peripheral arterial disease and


claudication. N Engl J Med.2001;344;1608-21.
Jackson MR. Clagett P, Antithrombotic therapy in peripheral
arterial occlusive disease. CHEST 2001; 119; 283 - 99.
Mandell BF, Hoffman GS. Rheumatic diseases and the cardiovascular system, In Heart Disease a Textbook of Cardiovascular
Medicine. 6th ed. Braunwald, Zipes, Libby (ed); WB Saunders
Company; 2001.p 2199 - 208.
Ouriel K. Detection of peripheral arterial disease in primary care.
JAMA 2001; 286: 1380 - 1.

Rosenfield K, Vale PR, Isner JM, Disease of peripheral vessels, In


Textbook of cardiovascular medicine. 2nded. Topol EJ et al
(ed); Philadelphia: Lippincott Williams R Wilkins; 2002.p. 210937.
Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. The vasculitis syndrome. In
Harrison's principles of internal medicine. 16thed. Kasper DL
et al (ed). N Y McGraw-Hill; 2005 .p.2002 - 10.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

KOR PULMONAL KRONIK


Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN
Kor pulmonal adalah hipertrofildilatasi ventrikel kanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit
parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah
hipertrofi yang bermakna patologis menurut Weitzenblum
sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal
secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda
pada pemeriksaan fisis yakni edema. Hipertensi pulmonal
"sine qua non " dengan kor pulmonal maka definisi kor
pulmonal yang terbaik adalah: hipertensi pulmonal yang
disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau
pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan
pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi)
dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal
jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik
dan kor pulmonal, diperkirakan 80 - 90% kasus.
Kor pulmonal akut adalah peregangan atau
pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering
disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor
pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan
dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada
PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal berlangsung
lambat.

dinding dada; (4) Penyakit yang mengenai aliran udara


paru, alveoli, termasuk PPOK. Penyakit paru lain adalah
penyakit paru interstisial dan gangguan pernapasan saat
tidur.

Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: ( 1 )


berkurangnya "vascularbed' paru, dapat disebabkan oleh
semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan
hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar, yang akan merangsang
vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan
hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan
menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan
lambat). Dalam jangka panjang akan mengakibatkan
hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan
berlanjut menjadi gagal jantung kanan.

GEJALA KLlNlS
Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian
PPOK dengan hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi
PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung
kanan.

DIAGNOSIS
Etiologi kor pulmonal dapat digolongkan dalarn 4 kelompok:
(1) Penyakit pembuluh darah paru; (2) Tekanan darah pada
arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis; (3) Penyakit neuro muskular dan

Diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan


menemukan tanda PPOK; asidosis dan hiperkapnia,
hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah; hipertensi
pulmonal, hipertrofildilatasi ventrikel kanan dan gagal
j antung kanan.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

KOR PULMONAL KRONIK

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


PPOK

ASIDOSIS, HIPERKAPNIA, HIPOKSIA, POLISlTEMlA DAN HlPERVlSKOSlTAS DARAH

volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian


pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami
kompresi dan berubah bentuk. Aferload meningkat pada
ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada
vasokonstriksi paru dengan hipoksia atau asidosis.
Perubahan hemodinamik kor pulmonal pada PPOK dari
normal menjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal, dan
akhimya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal
jantung.

Kelainan ini dapat dikenal terutama dengan pemeriksaan


laboratorium dan pemeriksaan klinis.

TATALAKSANA

Adanya PPOK dapat diduga I ditegakkan dengan


pemeriksaan klinis (anamnesis dan pemeriksaanjasmani),
laboratorium, foto torak, tes faal paru.

HlPERTENSl PULMONAL
Tanda hipertensi pulmonal bisa didapatkan dari
pemeriksaan klinis, elektrokardiografi dengan P pulmonal
dengan deviasi aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel
kanan, foto toraks terdapat pelebaran daerah cabang paru
di hilus, ekokardiografi dengan ditemukan hipertrofi
ventrikel kanan (RV) dan kateterisasi jantung.

HlPERTROFl DAN DlLATASlVENTRIKEL KANAN

Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari


aspek jantung sama dengan pengobatan kor pulmonal
pada umumnya untuk: (1) Mengoptimalkan efisiensi
pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal; (3)
Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan
penyakit dasar dan komplikasinya.
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan
untuk menurunkan hipertensi pulmonal, pengobatan gagal
jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat
dilaksanakan diawali dengan menghentikan merokok serta
tatalaksana lanjut adalah sebagai berikut:

Dengan pemeriksaan foto toraks, elektrokardiografi (EKG),


ekokardiografi, Radionuclide ventriculography, thalium
Imaging: CTscan dan magnetic resonance imaging (MRI)

GAGALJANTUNGKANAN
Ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, biasanya dengan
adanya peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali,
asites maupun edema tungkai.

PERJALANAN PENYAKIT HlPERTENSl PULMONAL


PADA PPOK
Curah jantung dari ventrikel kanan seperti pula di kiri
disesuaikan dengan preload, kontraktilitas dan afterload.
Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat
memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang
meningkat mendadak (seperti saat menarik napas).
Peningkatan afterload akan menyebabkan pembesaran
ventrikel kanan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena
tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan
di pembuluh sendiri maupun akibat kerusakan parenkim
paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi
karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat
kompresi kapiler alveolar dan pemanjangan pembuluh
darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika

Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan


kelangsungan hidup belum diketahui. Ditemukan 2
hipotesis: (1) Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi
dan menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian
meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) Terapi
oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12jam (National Institute of HealthlNIH, Amerika); 15 jam (British
Medical Research Council 1 MRC dan 24 jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan
pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen (di rurnah) adalah: (a) Pa02 < 55
mmHg atau Sa02 < 88%; (b) Pa02 55-59 mmHg disertai
salah satu dari: (b.1) Edema disebabkan gagal jantung
kanan; (b.2) P pulmonal pada EKG; (b.3) Ertrositosis
hematokrit > 56%).

VASODILATOR
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa adrenergik, inhibitor ACE, dan postaglandin sampai
saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya secara

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan


vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik
sebagai berikut: (a) resistensi vaskular paru diturunkan
minimal 20%; (b) curah jantung meningkatkan atau tidak
berubah; (c) tekanan arteri pulmonal menurunkan atau
tidak berubah; (d) tekanan darah sistemik tidak berubah
secara signifikan. Kemudian hams dievaluasi setelah 4 atau
5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di
atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk
melebarkan pembuluh darah paru pada Primary
Pulmonary Hypertension, sedang ditunggu hasil
penelitian untuk kor pulmonal lengkap.

Terapi optimal kor pulmonal karena PPOK hams di mulai


dengan terapi optimal PPOK untuk mencegah atau
memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal. Terapi
tambahan baru diberikan bila timbul tanda-tanda gagal
jantung kanan.

DIGITALIS

REFERENSI

Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila


disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti
meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang
menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel
kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis
menunjukkan peningkatkan terjadinya komplikasi aritmia.

Benisty Jacques I. Pulmonary hypertension. Circulation


2002; 106: 192-4
Braunwald E, Heart failure and cor pulmonale, dalam Kasper DL et
al (editor) Harrison's Principles Internal Medicine, edisi 16,
New York, McGraw-Hill, 2005.p.: 1377-89.
Lenfant C, Khaltaev N, Global Strategy for the Dignosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: NHLBI / WHO Workshop. National
Institutes of Healt and National Heart, Lung and Blood
Institute, Publication Number 2701 April 2001.
Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic
obstructive pulmonary disease: bagian pertama ke Am J. Respir
Crit Care med 1994; 833-52.
Macnee. W, Pathophysiology of cor pulmonale in chronic
obstructive pulmonary disease: part two. Am J. Respir Crit Care
Med 1994; 150:I 158-68
Matthay RA, Niederman MS and Weiderman HP. Cardiovascularpulmonary disease with special reference to the pathogenesis
and management of cor pulmonale. Med Clin North Am. 1990;
74: 571-618
MC Laughin VV, Rich S. cor pulmonale dalam Braunwald E., editor.
Heart Disease: A text book of cardiovascular medicine, 6th ed
Philadelphia; WB Saunders, 2001 .p. 1936-54.
Restrepo Clara I, Tapson Victor F. Pulmonary hipertension and cor
pulmonale in Topol Eric J, eds. Text book of Cardiovascular
Medicine 2" ed Philadelphia: Lippincott William & Wilkins
2002: 649-65.
Rich S et al, Pulmonary hypertension, dalam Braunwald E, Heart
Disease: A Text book of Cardiovascular Medicine, edisi ke-7.
Philadelphia, Elsevier Saunders, 2005. p. 1807-42.
Weitzenblum E. Chronic cor pulmonale Heart 2003; 89:225-30.

Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan.


Pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan
alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload
ventrikel kanan dan curah jantung menurun.

FLEBOTOMI
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan
hematokrit yang tinggi untuk menurunkan hematokrit
sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi
tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung
kanan akut.

Di samping terapi di atas pasien kor pulmonal pada


PPOK harus mendapat terapi standar untuk PPOK,
komplikasi dan penyakit penyerta.

PENUTUP

Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan


atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat
pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya
faktor imobilisasi pada pasien.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

HIPERTENSI PULMONAR PRIMER


Muhammad Diah, Ali Ghanie

PENDAHULUAN
Hipertensi pulmonal primer (HPP) atau idiopatik adalah
suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh
karena peningkatan resistensi vaskular pulmonal, yang
menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh
karena peningkatan a/terZoudventrikel kanan. HPP sering
didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih
sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan
2 ; 1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta
penduduk, dengan mean stirviva1 dari awitan penyakit
sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tal~un.
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk
pada Nutionul Institute o j Health (NIH); bila tekanan
sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau meun
tekanan arteri pulrnonalis lebih besar dari 25 mmHg pada
saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktivitas, dan tidak
didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri,
penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan
tidak adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau
penyakit tromboemboli kronik, sehinga HPP juga disebut
sebagai une.xplained pulrnonacv Izypertension.

Arteri pulmonal normal merupakan suatu struktur compluint dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan
fungsi pulmonary vasczrlar bed sebagai sirkuit yang low
pressure dan high jlow. Gambaran patalogi vaskular pada
HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena
menyerupai gambaran arteriopati pada hipertensi pulmonal
dari berbagai macam sebab, kelainan vaskular di sini
termasuk hiperplasia otot polos vaskular, hiperplasia
intima, dan trombosis insitu. Kelainan yang terjadi pada
HPP ini mengenai ateri-arteri pulmonalis kecil dengan

diameter antara 40 sampai 100 mm dan arteriol. Evolusi


vaskular pada PPH ini tergantung progresivitas penipisan
arteri pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan
resistensi pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan
strain dan gaga1 ventrikel kanan.

Gambar I.Karakteristik patologi pada hipertensi pulrnonal


Kiri Muskulus arterl pulmonaris pada paslen HPP hipertrofi media (panah
put~h)dan penyepitan lumen oleh karena prollferasl lntlma (panah h~tarn)
dan proliferasl adventisla (X)

Kiri Lesi plex~formyang karakterlstik, obstruks~rnuskulus paplllar~s(panah)

Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri


pulmonalis .menyebabkan peningkatan kerja ventrikel
kanan, dan terjadi trombotik arteriopati pulmonal.
Karakteristik trombotik arteriopati pulmonal ini adalah
trombus insittl pada muscularis arteri dari vaskulatur
pulmonal. Pada stadium lanjut, di mana tekanan pulmonal
meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi
berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik
pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis
laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur
endotelial pulmonal normal (Gambar 1 ). Secara patologis
HPP dapat di kelompokkan secara 3 sub-tipe:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Primary Arteriopati Fleksogenik (30-80% dari


HPP)
Secara patologis lesi fleksogenik adalali disorganisasi
kapiler pulmonal. Beberapa keadaan lesi mengandung
proleferasi monoklonal sel-sel endotelial. Lesi tleksiform
merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat,
dengan insiden I-2ljuta penduduk perbandingan pria dan
perenipuan 1,7: 1 dan usia saat diagnostik tipe ini antara
20-50 tahun. Kelainan ini tampaknya inempunyai komponen
genetik, di mana 7% kasus adalah familial.

Tromboembolik Arteriopati (45-50% dari HPP)


Secara patologis subtipe ini ditandai dengan fibrosis
eksentrik tunika intima dan gambaran rekanalisasi
trombosis insitu (jaringan dan septum dalam lumen
arterial). Subtipe tromboembolik hipertensi pulmonal
terdapat 2 bentuk: bentuk makrotromboembolik, yang
biasanya didapatkan pada tipe hipertensi pulmonal
skunder dan berisi gumpalan besar di tengah lumen, dan
kedua bentuk mikrotromboembolik dengan trombus
didistal yang menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil.
Bentuk makro biasa biasanya respons terhadap
tromboenarterektomi. Sementara bentuk mikro
berhubungan dengan trombosis insitu dan secara klinis
tumpang tindih dengan arteriopati fleksognik primer.
Oklusif Vena Pulmonal
Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan
tunika intima vena pulmonal
HPP secara patologis dapat digradasikan dalam 6 poin
berdasarkan severitas penyakit: dimulai dari hipertropi
medial (grade I ) sampai dan di grade 6 nekrosis arteritis,
namunftidak ada korelasi antara gradasi patologis dengan
tekanan pulmonalis. Rasio ketebalan tunika media dan
intima terhadap total cross-sectional area dihubungkan
dengan respons terhadap vasodilator, semenara artropati
fleksogenik dihubungkan dengan szrrvival time yang
pendek. (Gambar 2)

Etiologi dan Patogenesis


Penyebab HPP belum diketahui dengan pasti. Beberapa
konsep patogenesis mempertimbangkan kepekaan
inidividu dan rangsangan pemicu sebagai faktor pemula
terhadap kerusakan dan perbaikan vaskular pulmonal.
Hanya sebagian kecil kelompok dengan risiko tinggi
(seperti obat penekan nafsu makan dan pasien HIV-1) yang
menjadi hipertensi pulmonal. Kejadian HPP dalam satu
keluarga menunjukkan kepekaan genetik. Bentuk kelainan
bawanan adalah autosomal dominan dengan rasio
perempuan dan pria 2 banding 1. Meskipun melibatkan
gen dalam HPP familial belum dapat diidentifikasi,
kemungkinan lokasi pada tangan panjang (long arm) dari
kromosom 2 (q3 1 ). Lokasi ini mengandung 7 juta base dan
suatu pendekatan telah dicoba untuk mengidentifikasi gen
potensial dengan vasoaktif, proliferatif atau aktivitas
trombotik, namun tidak didapatkan kandidat gen sampai
saat ini.
Stimulus yang dapat merangsang HPP adalah: bahanbahan yang dapat dicerna, seperti oabat penekan nafsu
makan, ekstrak monokrotalie, bahan pelarut inhaler,
metamfetamin, kokain, L-tryptophan; infeksi, terutama HIV1; and penyakit inflamasi (seperti HPP yang dihubungkan
dengan penyakit tiroid autoimun dan antinuclear anti-Kzi
antibody. Walaupun bentuk rangsangan berbeda, namun
bentuk kerusakan dan perbaikannya sama.
Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal
HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel
endotelial, yang dapat menyebabkan berkurangnya
produksi endotheliurn-derived vasodilator atau
meningkatkan vasokonstriktor. (Gambar 3).

Kerusakan endotel paru


lpelepasan

NO, Kerusakan sal K'

H~pertens~
pulmonal

tpelepasan PDGF, VEGF, TGF-1

Garnbar 3. Patogenesis hipertensi pulmonal

Campwan normal
dun abnormal

Lesl flek

Garnbar 2. Les~vaskular pada h~pertensrpulmonal prlmer Lesl


fleks~formmerupakan petanda hrstolog~h~pertensipulmonal prlmer

Pas~endengan pred~spos~s~
genet~k,kerusakan endotel dapat
men~mbulkans~klusganas perkembangan h~pertensipulrnonal
Pertama kerusakan endotel menyebabkan ~mbalansmed~atot
vasoaktlf vasokonstr~ks~
Kemud~anterjad~pelepasan growth factoryang menyebabkan penrplsan d~dlngpembuluh darah (remodellng) Hal In1 merangsang f~brrnol~s~s
dan gangguan koagulas~
yang mempres~pitas\trombos~s ~ n s ~ t u
TB=tromboxan,
PG=prostagland~n ET= endothel~n, N O = n ~ t r ~ oxlde
c
PDGF=platelet-denved growth factor VEGF=vascular endotheIra1 growth factor TGF=transformmg growth factor

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HlPERTENSl PULMONAR PRIMER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Penelitian imunohistokimia, menunjukkan ekspresi etidotheliul NO s~*tithetuse
(eNOS; NOS 111) menurun pada
arteri pulmonalis pasien dengan HPP, dan sekesi metabolit
prostakiklin melalui urin juga rendah. Kosentrasi endotelin
1 (suatu vasokonstriktor pulmonal poten) darah meningkat
baik pada hipertensi pulmonal primer ataupun sekunder,
j,ang pada pengecatan dengan imunohistokimia
mernperlihatkan peningkatan ekspresi endotelin pada arteri
pulmonalis pada pasien ini.
Mediator vasoaktif sirkulasi lain juga berperan pada
HPP. Kadar plasma serotonin meningkat pada pasien
dengan HPP, dan tetap meningkat setelah transplantasi
jantung. Obat penekan nafsu makan: fenfluramin dan
deksfenfluramin yang menghambat reuptake seretonin,
dapat mencetuskan HPP pada individu yang peka melalui
peningkatan kosentrasi platelet-derived serotonin (suatu
vasokonstriktor pulmonal, yang merangsang pertumbuhan
vaskular).
Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri
pulmonal juga dapat menambah vasokonstriksi. Kalsium
intra selular berperan penting dalam regulator kontraksi
dan dan proliferasi otot polos vaskular, dan kanal kalium
yang menentukan konsentrasi kalsium bebas sitoplasma
mungkin terganggu pada pasien dengan hipertensi
pulmonal primer.
Vasokonstriksi diikuti oleh proliferasi dan fibrosis
intima, trombosis insitu, dan perubahan plexogenik.
Peningkatan ekspresi vascular endotheliul growtli factor
(VEGF), suatu mitogen sel endothelial spesifik yang
dihasilkan oleh makrofag dan otot polos vaskular, suatu
mitogen spesifik sel endotelial yang dihasilkan oleh
makrofag dan sel otot polos, berperan dalam remodeling
vaskular.

Klasifikasi Klinik dan Fungsional Hipertensi


Pulmonal
Selama beberapa tahun hipertensi pulmonal
diklasifikasikan sebagai hipertensi pulmonal primer
(idiopatik) dan hipertensi pulmonal sekunder. Pada tahun
2003, pada Word Symposium 111 mengenai hipertensi
pulmonal di Venice, dilakukan revisi klasifikasi klinik, di
mana hipertensi pulmonal di kelompokkan dalam 5
kelompok, dan hipertensi pulmonal primer atau hipertensi
pilllnonal idiopatik dimasukkan dalam kelompok hipertensi
arteri pulmonal. (Tabel 1).
WHO juga mengusulkan klasifikasi fungsional
hipertensi pulmonal dengan memodifikasi klasifikasi
fungsional dari New York Heurt Association (NYHA)
.s!:c.retli (Tabel 2).

GAMBARAN KLlNlS
Hipertensi pulmonal sering tidak menunjukkan gejala yang

Hipertensi arteri pulmonal


ldiopatik atau primer
Familial
Hipertensi yang berhubungan dengan:
Penyakit kolagen pada pembuluh darah
Shunt kongenital sistemik ke pulmonal
Hipertensi portal
lnfeksi HlV
Toksin dan obat-obatan
Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan penyimpanan
glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik
telangiektasis herediter, hemoglobinopati, kelainan
mieloproliferatif, splenektomi
Yang berhubungan dengan kerterlibatan vena atau
kapiler
Penyakit oklusi vena pulmonal
Hemangiomatosis kapiler pulmonal
= Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri
Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung
Penyakit katup jantung kiri
Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit
paru adan atau hipoksia
Penyakit paru obstruksi kronik
Penyakit jaringan paru
Gangguan napas saat tidus
Kelainan hipoventilasi alveolar
Tinggal lama di tempat yang tinggi
Perkembangan abnormal
Hipertensi pulmonal oleh karena penyakit emboli dan
trombotik kronik
Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal
Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal
Emboli pulmonal non trombotik (tumor, parasit, benda
asing)
Lain-lain
Sarcoidosis, histiositosis-X, limfangiomatosis, penekanan
pembuluh darah paru (adenopati, tumor, fibrosis
mediastinitis)

Kelas I

Kelas II

Kelas Ill
Kelas IV

Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa


keterbatasan dalam melakukan aktivitas seharihari
Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan
sedikit keterbatasan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila
melakukan aktivitas ringan akan merasakan sesak
dan rasa lelah yang hilan bila istirahat
Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak
mampu melakukan aktifitas apapun (aktivitas
ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan
qeiala qaqal iantunq kanan.

sepesifik. Gejala-gejala tersebut sering sulit dibedakan


dengan HPP sekunder atau oleh karena kelainan jantung,
kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang
secara gradual. Gejala yang paling sering adalah : dispnu
saat aktivitas,fatique dan sinkop, refleksi ketidak mampuan
menaikkan curah jantung selama aktivitas. Angina tipikal
juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal, tetapi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


nyeri dada disebabkan oleh karena stretching arteri
pulmonal atau iskemia ventrikel kanan.
Hemoptisis oleh karena pecahnya pembuluh darah parit
yang tnengalami distensi jarang terjadi, namun hemoptisis
pada pasien dengan HPP suatu keadaan yang berbahaya.
Fenomena Raynaud's terjadi kira-kira 2% dari pasieri
dengan HPP tetapi sering terjadi pada hipertensi pultnonal
yang berhubungan dengan penyakit jaringan ikat. Gejalagejala yang lebih spesifik dapat oleh karena penyakit yang
mendasari hipertensi pulmonal.
Pada pemeriksaan fisik relatif tidak sensitif untuk
menegakkan diagnosis hipertensi pulmonal primer, nalnun
dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari
hipertensi pulmonal (hipertensi pulmonal sekunder).
Pemeriksaan auskultasi paru pasien HPP umwnnya bersih.
Bila ditemukan wheezingdan ronki, kemungkinan kelainan
oleh karena penyakit paru yang lain seperti: asma bronkial,
bronkitis atau fibrosis. Ronki basah seperti pada gagal
jantung kongestif menunjukkan penyakit jantung kiri,
bukan hipertensi arteri pulmonal. Bunyi jantung I1 pada
daerah pulrnonal kadang dapat ditemui pada hampir 90%
pasien dengan hipertensi pulmonal, pada stadium lanjut
di mana telali terjadi gagal jantung kanan, gejala dan tanda
seperti gallop ventrikel kanan (S4 kanan), distensi vena
jugularis, pembesaran hapar atau limpa, asites atau edema
perifer dapat ditemui (Tabel3).

Gejala

Tanda

Dispnu saat aktivitas


Fatique
Sinkop
Nyeri dada angina
Hernoptisis
Fenomena Raynaud's

Distensi vena jugularis


lrnpuls ventrikel kanan dorninan
Kornponen katup paru rnenguat (P2)
S3 jantung kanan
Murmur trikuspid
Hepatornegali
Edema perifer

tersebut terrnasuk pernbesaran atrium dan ventrikel kanan,


dan septum yang cembung atau rata. Adanya efusi
perikard nienunjukkan beratnya penyakit dan prognosis
yang kurang baik.
Elektrokardiografi
Elektrokardiograni (EKG)juga harus dilakukan pada pasien
yang dicurigai HPP, meskipun tidak spesifik untuk HPP.
Gatnbaran tipikal pada EKG berupa .struin ventrikel kanan,
hipertrofi ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan
dapat membantu nienegakkan diagnosis hipertensi
pulmonal (Garnbar5)

Gambar 4. Foto toraks paslen dengan hlpertensl pulrnonal


memperllhatkan pelebaran alter1 pulrnonal sentral bilateral

TES DIAGNOSIS
E kokardiografi
Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulnional,
~intukdiagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi.
Ekokardiografi tidak hanya membantu menetaphan
diagnosis, namun juga dapat menilai etiologi dan
prognosis. Ekokardiografi dapat mendeteksi kelaian katup.
dishngsi ventrikel kiri, .shz1,7tjantung.Untuk menilai tekanan
sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi hams ada
regurgitasi trikuspid (TR). (Garnbar4)
Bila pada pasien dengan hipertensi pulmonal tidak ada
regurgitasi trikuspid untuk menilai tekanan ventrikel kanan
secara kuantitatif, dapat dipakai nilai kualitatif pada
pemeriksaan ekokardiografi dapat membantu menegakkan
diagnosis hipertensi pulmonal. Tanda-tanda kualitatif

Gambar 5. Gambaran EKG paslen h~pertenslpulmonal


menunjukkan devlas~aksls ke kanan dan h~pertrofiventrlkel kanan

Radiologi
Gambaran has parenkiln pant pada hipertensi pulmonal
primer bersih. Foto toraks dapat metnbantu diagnosis, atau
melnbantu tnenernukan penyakit paru lain yang nlendasari
hipertensi pulmonal (membedakan hipertensi primer
dengan hipertensi sekunder). Gambaran khas foto thoraks
pada hipertensi pulmonal ditemukan pembesaran hilar.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


aktivitas yang berlebihan. Penggunaan digoksin saat ini
masik kontroversial, k@enxbelum ada data terhadap
I
keuntungan atau zkerugian penggunaan digoksin pada
hipertensi pulmonal. Penggunaarl diretika untuk
Pemeriksaan Angioarafi
mengurangi aesak clan edema pada pereifer, dapat
Kateterisasi jantung merupakan baku enias untuk
bermanfaat untuk mengurangi kelebihan cairan terutarna
diagnosis hiperwipatq?jrp~lw~45b.::&qt$te~iqasj
bila ada regurgitasi trikuspid. Saat ini banyak penelitian
me'mbantu diagaosia d e n w rpengingkirkan etiologi lain
untuk pengobatan hipertensi pulmonal telah dilakukan;
seperti penyakit jantung kiri ,dan mnnberiEran i n f o m s i
golongan vasodilator, prostanoid, nitric oxide, penghambat
penting uqtuk. dugaan pragnostik pa& pasien dengan
fosfodiesterase, anragonis reseptor endotelin dan
hipfiensi pulmanali Tes vasodilator dengan obat keja
antikoagulan.
siagkat (sepertj: .i$denosi~,inttalasi nitric oxide qtau
epoprosknd) &pat dilakulew wlam&.kateterisasi, respQns
a. Terapi vasodilator
vasodilati posifif bila didapatkan penwunaq ttakanm @eqi
penggunaan penghambat kalsium telah banyak diteliti dan
pulmonalis $an resistensi vaskulq ,paru sedikitnya 2Q%
digunakan sebagai terapi pada hipertensi pulmonal,
dari tekaapn,awal.
,
perbaikanterjadipada kira-kira 2530% kasus terntarha pada
Konlsensus European Society of Cardiology,
pasien yang tes'vasodilator akut positif, pada kelompok
naendefi9nisikanrespopvasdlatasi akut positif bila terjadi
ini dapat (lipertihbahgkdd dengguriaannya dalam jangka
penurunan "mean" tekanan arteri pulmepalis paling s e m i t
laha, dan penggutlaan golongan obat ini pada pasien
10 mmHg sampqi ,f40 mrflHgdewan peningkatan curah
hipertensi pulmonal sebaiknya dibatasi terutama pada
jantpng atau tjdak ada perubahan pada cwqh jjanhmg
pasien dengan gaga1 jantung kanan.
dibMmgkaq dengan nilai w f l i sebelum dilakukan ttes.
Nifedipin 120-240mglhari atau diltiazem 540-900 mgl
Pasien dengan hipestepi arteri pulmonal yang kresgons
hari merupakan obat yang swing digunakan, sementara
positif dengan vasodilator akut ,pada pemeriksaan
verapa~riilmemperlihatkan efek inotropik negatif. Namun
kateterisasi, sstrvivqclnya akan meningkat dengan
obat-obat tersebut inenyebabkan efek samping yang
pengobatan blokade saiuran kiflsiumjangka Iwna. Deagnn
bettnaknd, sepeiti hipothsi yang mengantam hidu'p pasien
katemisasi jantung jyga &pat memherikap infotrnasi
dengan cnnfp'~ornisedfungsi 'ventrikel kanan yang berat,
mmge;naisaturasj qk~igelzpada vena sentral, a n r i m $an
untuk ini dipertukan monitoring ketat terhadap
weatrjkel Lcanan,, dan at;ceri,pulf~~onal
yang berguna W a m
hemodinarnik pasien.
manilai prognostik hipertensi,pulyqnal.
Vasodilator lain yang telah dievaluasi adalah peranan
angiotensin converting cwzyme pada patofisiologi
hipertensi pulmonal, namun enzim ini tidak bermanfaat
secara signifikan, di samping belum ada studi yang luas
yang telah dilaknkan.

lapangan arteri pulmonalis dan pada foto taaks lateral


.
terdapat pembefiaran ventrikel kanan (Gambar4).
I

>:

- .

kt.
-E
G

Garnbar 6. Garnbaran ekokqrd~ograf~


pasleo h~pertensrpulrnonal

b. ~ r o s t a n o i d
Epoprostenol. Epoprostenol IV pertama kali disetujui oleh
FDA mtuk terapai hipertensi pulmonal pada tahun 1995.
Pemakaian epopostrenol jangka panjang mernperbaiki
hemodiqamik, toleransi latihan, kIas fungsional NYHA, dpn
s ~ m i v arafegenderia
f
hipertensi pulmonal. Namun karqya
waktu paruh singkat.diperlqkan bentuk infus IV yang
konstan melalui kateter dengan portable p u m p ,
penggunaannya rumit ~ehinggadiperlukan rujukan ke
nwah sakjt atau klinik 3jang canggih. Karena m i t p y a
pemakaian epqproitenal,, .dikembangkan produk
prostasiklin yang lain, dan yang saat ini juga sudh diakui
oleh FDA sebagai obat untuk hipertensi pulmonal adalah:
treprostinil dan inhalasi iloprost.
,-,
Treprostinil. Treprostinil memiliki waktu paruh,yanglebi'h
lama dan dapat digdnakan subkutan. Pada penelitian povital
dengan treprostinil dengan 470 pasien selama 12 rpinggu
(randomized pluceho controlled trial), pada 58%
3 ,

Medikamentosa
Resisten vaskular p4monol secarF &;upatis w m & a
p d a saat lawan, @waktiyitas pada,pasien hiperterzsi,
daat pasien sebikya h q s rnemperbat:hW wernb-i

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

hipertensi pulmonal primer, 27% hipertensi pulmonal dengan


penyakit jaringan ikat, dan 25% hipertensi pulmonal dengan
penyakit jantung kongenital, dan dengan keparahan
penyakit: NYHA I1 (12%)NYHA I11 (81%)danNYHA IV
(7%). Didapatkan perbaikan indek hemodinamik dan
kapasitas latihan yang diukur dengan katetarisasi dan
latihan berjalan 6 menit. Tidak ada pengaruh treprostinil
pada kelompok penyakit jantung bawaan, mungkin kerena
singkatnya penelitian. Treprostinil subkutan juga
menyebabkan rasa nyeri pada tempat suntukan yang juga
membatasi penggunan obat ini pada pasien t'ertentu.
lloprost inhalasi. lloprost adalah prostasiklin dengan
bentuk kimia stabil yang tersedia dalam bentuk intravena,
oral, dan aerosol, dengan waktu paruh 20 sampai 25 menit.
Bentuk inhalasi dalam pengobatan hipertensi pulmonal
adalah konsep yang baik praktis dalam pengunaan klinik.
Pada idiopatik hipertensi pulmonal iloprost inhalasi
memberikan efek vasodilatasi yang lebih efektif
dibandingkan dengan inhalasi NO . Untuk penggunaan
jangka panjang karena waktu paruh pendek dapat
digunakan 6 sampai 9 kali inhalasi per hari.
Penelitian terbuka selama 3 bulan pada 19 pasien
dengan berbagai bentuk hipertensi pulmonal, dengan
inhalasi iloprost dengan dosis 50-200 pg 6 sampai 12
inhalasi per hari, memperbaiki klas fungsional, kapasitas
latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian lain selama
1 tahun juga penelitian terbuka tanpa kelompok kontrol,
pada 24 pasien dengan dosis 100 - 150 pg 6 sampai 8 kali
inhalasi perhari memberikan hasil yang sama. Dan secara
umum pengobatan ditoleransi dengan baik kecuali pada
beberapa pasien mengalami batuk ringan, sakit kepala
ringan dan nyeri rahang.
Penelitian randomized, double-blind, placebo-controlled European multicenter, dengan dosis iloprost 2.5
pg atau 5 pg 6 sampai 9 kali perhari (dosis maksim 45 pg/
hari; dosis median, 30 pglhari). terhadap 203 pasien dengan
hipertensi pulmonal primer (50,5%), hipertensi pulmonal
dengan tromboemboli kronik (33%) dan hipertensi
pulmonal dengan penyakit jaringan ikat (13%) dengan
NHYA I1 59% dan NYHA IV 41 % ,didapatkan perbaikan
kapasitas latihan (waktu berjalan 6 menit meningkat 36 m
pada kelompok iloprost), perbaikan klas NYHA, perbaikan
klinis dan kualitas hidup yang bermakna pada kelompok
ilopros dibanding kelompok plasebo.
Secara umum pengobatan dengan iloprost ditoleransi
dengan baik kecuali pada beberapa pasien mengalami batuk
ringan, flushing, sakit kepala dan nyeri rahang dan
berlangsung singkat dan ringan.
c. Nitrik Oksid
Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan
secara inhalasi dengan waktu paruh singkat, ha1 ini
bermanfaat sebagai screening vasodilator pada
pengobatan hipertensi pulmonal.

Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal


primer memperlihat perbaikan dalam parameter
hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun
beberapa pasien tampak menunjukkan manfaat dengan
terapi tersebut untuk jangka lama.

d. Penghambat Fosfodiesterase
Mekanisme yang memodulasi cyclic guunosine 3 '-5 '
nionophosphate (cGMP) didalam otot polos berperan
dalam meregulasi tonus, pertumbuhan dan struktur
vaskular. Efek vasodilator N O tergantung pada
kemampuannya meningkatkan isi cGMP di dalam otot
polos vaskular. Sekali diproduksi NO langsung
mengaktifkan soluble guat7j~late cyctase yang
meningkatkan produksi cGMP, kemudian cGMP
mengaktifkan cGMP kinase, membuka kanal potasium dan
menyebabkan vasorelaksasi. Efek cGMP intraselular
bertahan singkat, menyebabkan degradasi cepat cGMP
oleh fosfodiesterase.
Fosfodiesterase merupakan famili enzim yang
menghidrolisa cyclic nucleotide, cyclic adenosine nionophosphate (CAMP)dan cGMP, dan membatasi sifat sinyal
intraselulermereka dengan menghasilkan produk inaktif (5 'adenosine monophosphate dati 5'-guanosine nronop11o.sphate). Sedangkan penghambatan CAMP spesijic phosphodiesterase (type 3) berperan dalam pengobatan asma
(mis : teofilin) dan disfungsi miokardial (mis : milrinon dan
amrinon), obat-obat yang secara spesifik menghambat
cA MP-spesificphosphodiestera.~e
memiliki efek yang lemah
terhadap sirkulasi pulmonal. Sebaliknya obat-obat yang
menghambat secara selektif cGMP-spesifik fosfodiesterase
(phosphodiesterase type 5 inhibitor)meningkatkan respons
vaskular terhadap NO inhalasi dan endogen pada hipertensi
pulmonal. Fosfodiesterasetipe 5 mempengaruhi paru dengan
kuat dan phosphodiesterase type 5 gene expression dan
aktivitasnya meningkat pada hipertensi pulmonal kronik.
Beberapa fosfodiesterase type 5 inhibitor, termasuk
dipiridamol, zaprinast, dan lainnya, menyebabkan
vasodilatasi pulmonal kuat pada paru hewan percobaan
yang menderita hipertensi pulmonal akut dan kronik.
Dipiridamol. Dipiridamol dapat menurunkan resistensi
vaskular paru, vasokontriksi pulmonal hipoksik,
menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau
memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan
hipertensi pulmonal. Beberapa pasien yang gaga1
merespons NO inhalasi membaik dengan terapi kombinasi
NO inhalasi + dipiridamol. Ini menunjukkan bahwaphosphodiesterase type 5 inhibitor merupakan strategi klinis
yang efektif dalam mengobati hipertensi arteri pulmonal,
tetapi masih terbatas karena potensi dan selektivitasnya
masih kurang dan efek samping sistemiknya besar.
Sildenafil. Sildenafil merupakan phosphodiesterase type
5 inhibitor yang potensial dan sangat spesifik. Studi klinis
yang meneliti efek hemodinamik akut sildenafil dan perannya

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HIPERTENS1 PULMONAR PRIMER

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

pada pengobatan jangka panjang pada pasien hipertensi


arteri pulmonal oleh Michelakis dkk, pada 13 pasien
didapatkan penurunan mean tekanan arteri pulmonal dan
resistensi vaskular pulmonal, dengan peningkatan cardiac
index. Dibandingkan dengan NO inhalasi, sildenafil memiliki
efek yang sama dalam mereduksi mean tekanan arteri
pulmonalis, berbeda dengan NO, sildenafil juga memiliki
efek hemodinamik.
Bila dikombinasikan dengan NO, sildenafil
meningkatkan dan memperpanjang efek NO inhalasi.
Sildenafil dengan NO inhalasi menurunkan tekanan arteri
pulmonari dan meningkatkan cardiac index, dan
menurunkan resistensi vaskular pulmonal lebih besar dari
pada satu obat masing-masing. Sildenafil mencegah
vasoconstriksi pulmonal yang berulang setelah gaga1
dengan inhalasi NO.
Pada penelitian vasoreactivity,sildenafil dikombinasikan
dengan inhalasi NO, efek terpisah dan kombinasi dari
sildenafil dan iloprost dilaporkan penurunan lebih besar
mean tekanan arteri pulmonari. Iloprost aerosol
menyebabkan penurunan mencolok pada mean tekanan
arteri pulmonal dan resistensi vaskular paru daripada
sildenafil, tetapi terapi kombinasi menyebabkan penurunan
lebih besar dan lebih lama dari pada preparat tunggal.
Bharani dkk mengobati 10 pasien dengan sildenafil dan
10 pasien dengan plasebo selama 2 minggu. Setelah 2
minggu pengobatan, pasien mengalami perbaikan
bermakna pada tes berjalan 6 menit dan indeks dispnea,
dengan penurunan tekanan arteri pulmoanal sistolik secara
ekokardiografik. Pada penelitian lain 29 pasien diterapi
dengan sildenafil (25-100 mg) selama 5-20 bulan,
didapatlkan perbaikan klas fungsional NYHA, tes berjalan
6 menit dan dispnea index dan menurunnya tekanan sistolik
arteri pulmonalis.
Banyak penelitian menunjukkan efektivitas terapi
dengan sildenafil pada penatalaksanaan jangka panjang
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal kronik. Terapi
sildenafil dilaporkan dapat menurunkan mean tekanan arteri
pulmonalis 15% dan resistensi vaskular pulmonal 30% ,
meningkatkan kardiak index 17% dan meningkatkan jarak
berjalan 6 menit. Tak ada efek samping yang berarti yang
dilaporkan, hanya sakit kepala, kongesti nasal, nausea,
dan gangguan penglihatan ringan

e. Antagonis Reseptor Endotelin


Pada penelitian terakhir menunjukan antagonist reseptor
endotelin (ERAs) efektif dalam mengobati hipertensi
pulmonal. Antagonist reseptor endotelin (ERAs) tampaknya
berperan dalam pengobatan karena meningkatnya bukti
peranan endotelin-1 dalam patogenik pada hipertnsi
pulmonal. Endotelin-1 adalah suatu vasokonstriktor poten
dan mitogen otot polos yang berperan dalam meningkatkan
tonus vaskular dan hipertrofi vaskular paru yang
dihubungkan dengan hipertensi pulmonal. Pada pasien

dengan hipertensi arteri pulmonal didapatkan peningkatan


endotelin-1 dan produknya dalam plasma, dan kadar ini
berhubungan dengan severitas penyakit.
Reseptor endotelin telah diidentifikasi mempunyai 2
bentuk isoform: ETA dan ET, Aktivasi reseptor ETA
menyebabkan vasokonstriksi dan proliferasi otot polos
vaskular, sebaliknya aktivasi reseptor ET, menyebabkan
vasodilatasi dan pelepasan NO. Ini menimbulkan
kontroversi apakah lebih baik diblok keduanya ETAdan
ET, atau hanya terhadap ETAsaja. Namun bosentan oral
suatu antagonis nonpeptida terhadap dua subtipe
endotelin (ETA and ET,) aktif, dapat mencegah dan
memperbaiki perkembangan hipertensi pulmonal, remodeling vaskular paru hipertrofi ventrikel kanan, yang tidak
terikat dengan mekanisme yang mencetuskannya.
Bosentan. Penelitian pertama ra;?domized, double-blind,
placebo-controlled, multisenterdengan bosentan dosis 62,5
mg 2 kali sehari selama 4 minggu pertama, diiqiutkan sarnpai
dosis 125 mg 2 kali sehari. Pasien pada penelitiari ini adalah
hipertensi pulmonal berat idiopatik, atau hipertensi pui~nonal
dengan sklerodermadengan NYHAklas I11 atau IV, meskipun
telah diobati sebelumnya vasodilator, antikoagulan,diuretik,
glikosida jantung, atau suplemen oksigen. Pada penelitian
ini memperlihatkan bosentan memperbaiki cardiac index,
hemodinamik kardiopulmonal dan klas fungsional,
menurunkan resistensi vaskular pulmonal, mean tekanan arteri
pulmonalis,pulmonary capillary wedgepressure, dan mean
tekanan atrium kanan. Selama 12 minggu tidak didapatkan
efek samping yang bermakna, namun didapatkan kenaikan
arninotransferase hati yang asimtomatik pada 2 pasien dan
normal kembali tanpa perubahan dosis. Jadi sebaiknya
sebelum terapi dengan bosentan dimulai dilakukan
pemeriksaan fungsi hati. Banyak penelitia lain juga
menunjukkan hasil yang sama.
Sitaxentan. Penelitian dengan sitaxentan dengan dosis 100
mg - 300 mg oral 3 kali sehari pada pasien dengan hipertensi
arteri pulmonal fungsional klas NYHA 11,111, IV selama 12
minggu memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan
(memperjarak jalan pada uji 6 menit jalan), menurunkan
resistensi vaskular paru secara bermakna, memperbaiki
cardiax index, dan memperbaiki hemodinamik. Insiden
abnormalitas fungsi hati selama 12 minggu pengobatan
hanya didapatkan 10% pada pengunaan dosis 300 mg di
mana didapatkan peningkatan aminotransferase 3 kali lipat
dari normal dan dilaporkan hepatitis fatal dapat terjadi pada
pengunaan sitaxsentan dengan dosis yang lebih tinggi.
Gangguan laboratorium lain yang sering terjadi adalah
peningkatan INR atau waktu protrombin (dihubungkan
dengan efek sitaxentanteehdapad inhibisi enzyme CYP2C9
P450, sustu enzim hepar yang berperan dalam metabolisme
warfarin).
Efek samping yang sering didapatakan pada
pengobatan dengan sitaxentan adalah sakit kepala, edema
perifer, nausea, kongesti nasal, dan dizziness

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Ambrisentan. Ambrisentan suatu antagonis endothelin ke


tiga, saat ini masih dalam fase 111penelitian klinik dengan
hipertensi arteri pulmonal. Antagonis ETA-selektifini sedikit
berbeda secara biokimia.
Antikoagulan. Pemakaian antikoagulan direkomendasikan
pada pengobatan hipertensi pulmonal sehubungan dengan
meningkatnya risiko trombosis insitu. Suatu uji klinik
nonrandomisasi prospektif memperlihatkan peingkatan
ketahanan hidup penederita hipertensi pulmonal yang
mendapatkan terapi antikoagulan, obat antikoagulan yang
dianjurkan pada hipertensi pulmonal adalah warfarin,
meskipun heparin memperlihatkan efek inhibisi pada
proleferasi otot polos vaskular pada binatang percobaan.
TERAPI INTERVENSI (BEDAH)
Atrial Septosotomi
Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien
dengan tekanan RV yang berat dan volume overload yang
refrakter dengan terapai medikamentioasa yang maksimal.
Tujuan atau goal prosedur ini adalah dekompresi overloadjantung kanan dan perbaikan output sistemik ventrikel
kiri. Terdapat perbaikan fungsi latihan dan tanda disfungsi
jantung kanan berat seperti asites dan sinkop. Septastomi
atrial harus dilakukan di fasilitas yang memadai dan
operator yang berpengalaman.

mempunyai suatu kapasitas yang besar dalam perbaikan


keadaan disfungsi yang berat sekalipun, afterload
membaik oleh karena membaiknya keadaan abnormal
pembuluh darah paru.
Transplantasi tunggal paru dilakukan pada pasien
parenkim paru, kecuali mereka dengan penyakit suppuratif
seperti fibrosis kistik, di mana pada kasus tersebut
transplantasi bilateral lebih dianjurkan. Sebagian besar
pusat-pusat pelayanan lebih menyukai melakukan
tindakan transplantasi paru bilateral pada pasien dengan
hipertensi pulmonal primer karena hasilnya lebih baik.
Terdapatnya penurunan fungsi ventrikel kanan yang
sangat mencolok bukan suatu kontraindikasi untuk
dilakukan transplantasi paru tunggal ataupun bilateral oleh
karena fungsi ventrikel kanan akan segera membaik setelah
dilakukan transplantasi. Bentuk ventrikel kanan juga
terlihat menjadi normal setelah dilakukan transplantasi
tunggal paru ataupun transplantasi bilateral.
Kemampuan hidup tahun pertama bagi pasien rata-rata
mendekati 80% pada pasien dengan transplantasi paru.
Bronkiolitis obliterasi (kronik rejeksi) merupakan komplikasi
jangka panjang bagi pasien yang mendapat transplantasi.
Terdapat kekambuhan dari gangguan primer paru-paru
pada pasien transplantasi dapat terjadi pada beberapa
keadaan akan tetapi belum pernah dilaporkan pada pasien
dengan hipertensi pulmonal primer.

REFERENSI
Thromboenarterectomy pulmonary
Thromboendarterectomymenjadi pilihan pengobatan pada
pasien hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan
penyakit tromboembolik kronik. Pulmonary thromboendarterectomy dilakukan melalui median sternotomi pada cardiopulmonary bypass. Secara keselwuhan angka kematian
terus membaik dan hingga kini kurang dari 5%. Respons
terhadap terapi tersebut cukup mengesankan dengan
perbaikan yang dramatis pada disfungsi ventrikel kanan.
Transplantasi Paru
Transplantasi paru dan transplantasi jantung-paru
digunakan sebagai terapi bedah pada pasien dengan
penyakit perenkim paru dan gangguan pembuluh darah
paru. Pasien dipertimbangkan untuk transplantasi jika
berada pada kelas NYHA I11 atau kelas IV.
Pasien hipertensi pulmonal primer atau hipertensi arteri
pulmonal yang disebabkan penyakit scleroderma hams
menjalani terapi prostasiklin yang diberikan secara i n h s
yang terus-menerus sebelum dilakukan tindakan
transplantasi paru karena obat tersebut telah menunjukkan
keberhasilan (efektivitas) pada keadaan tersebut. Baik
transplantasi paru bilateral atau single, dan juga
transplantasi jantung paru, pemilihan prosedur dilakukan
dengan melihat kemampuan organ. Ventrikel kanan

Badesch DB, Abman SH, Ahearn, GS at al. Medical therapy for


pulmonary arterial hypertension. ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines, Chest. 2004;126:35S-623
Fuster V, Alexander RW, O'Rourke RA. The Heart, lofhed, McGrawHill, New York. 2001: 1616- 21.
Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. Lancet 1998;
352: 719-25
Hofmann LV. Lee DS. Gupta A, Arepally A, Sood S. Safety and
hemodynamic effects of pulmonary angiography in patients
with pulmonary hypertension: 10-year single-center experience. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85
Hofmann LV. Pulmonary angiography in patients with pulmonary
hypertension. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS. Harrison's principles of internal
medicine, 16Ih ed, McGraw-Hill, New York. 2005: 1403-6.
Kerstein D, Levy PS, Hsu DT, at al. Blade balloon atrial septostomy
in patients with severe primary pulmonary hypertension. Circulation. 1995;91:2028-35.
Kothari SS, Yusuf A, Juneja R, Yadav R, Naik N. Graded balloon
atrial septostomy in severe pulmonary hypertension. Indian
Heart J 2002; 54: 164-9
Lee SH, Channick RN. Endothelin antagonism in pulmonary arterial. Hypertension Semin Respir Crit Care Med.
2005;26(4):402-8
Rich S, MD, Rubin L, Walker AM, at al. Anorexigens and pulmonary
hypertension in the United States, CHEST. 2000;117(3):870-4
Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. N Engl J Med 1997;336:
111-17.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG DAN


OPERAS1 NON JANTUNG
Sjaharuddin Harun, Abdul Majid

PENDAHULUAN
Tindakan operasi non jantung cukup sering dilakukan pada
pasien yang menderita penyakit jantung ataupun pasien
dengan risiko penyakit jantung. Komplikasi kardiovaskular
dapat terjadi pada perioperatif, yaitu infark miokard non
fatal, angina tidak stabil, iskemia miokard, gaga1jantung
kongestif (congestive heart failure/CHF), disritmia,
kematian mendadak karena jantung dan hipertensi. Pada
pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular kejadian
tersebut lebih tinggi dibandingkan orang sehat, misalnya
insidens penyakit jantung koroner (PJK) meningkat lebih
kurang tiga kali lipat dibandingkan orang sehat. Oleh
karena itu penilaian risiko kardiovaskular penting dilakukan
pada pasien yang menjalani operasi non jantung.
Dalam melaksanakan evaluasi kardiologi prabedah
perlu diperhatikan jenis penyakit jantung yang diderita
pasien, kapasitas fungsional pasien, jenis operasi yang
akan dilakukan, dan penyakit penyerta yang dapat
memperberat risiko kardiovaskular.

HUBUNGAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR


DENGANANESTESI DAN PEMBEDAHAN
Tindakan pembedahan maupun pascabedah dapat
mengakibatkan beban iskemia dan dapat mengancam
pasien, baik yang diduga ataupun yang tidak diduga
mempunyai penyakit kardiovaskular. Pada pembedahan
dapat terjadi perdarahan yang tidak terduga, asidosis,
gangguan ventilasi, hiperkapnia, resistensi sistemik
menurun, kontraksi dan konduktivitas jantung menurun,
aritmia, dan hipotensi (dengan atau tanpa perdarahan).
Hal itu akan mengganggu fungsi jantung.

Obat anestesi opiat pada dosis tinggi dihubungkan


dengan ventilasi pasca-bedah, penurunan denyut jantung
dan tekanan darah (TD). Suksinilkolin menyebabkan
takikardia ataupun bradikardia, tetapi lebih sering timbul
respons bradikardia (sinus bradikardia berat, ritme nodal
dan bahkan asistol).
Obat anestesi inhalasi (halotan, enfuran, isofluran) dapat
menyebabkan depresi kontraksi miokard, mengurangi a-erload. Obat-obat baru seperti desfluramin dan sevofluran
belum terbukti kearnanannyaterhadap sistem kardiovaskular.
Anestesi spinallepidural dapat menyebabkan hipotensi
dan bradikardia. Belum ada satu pun teknik maupun obatobat anestesi yang benar-benar dapat melindungi jantung.
Oleh karena itu pilihan anestesi dan pemantauan
intraoperatif diserahkan pada tim anestesi.

EVALUASI KLlNlS PRABEDAH


Dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai atau telah
terbukti mempunyai kelainan kardiovaskular, perlu
diperhatikan hal-ha1 berikut:
Pada Tindakan Bedah Emergensi
Pada tindakan bedah emergensi (pada kasus yang dapat
menyebabkan kematian bila operasi ditunda), misal:
aneurisma aorta robek, perforasi usus, pendarahan yang
mengancam jiwa, ileus, dan lain-lain, dan dapat
menyebabkan kematian bila operasi ditunda, evaluasi
prabedah dilakukan secara cepat untuk menilai tanda-tanda
vital kardiovaskular, status hidrasilvolume intravaskular
dan EKG. Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan setelah
pembedahan. Usaha yang hams dilakukan adalah untuk
memperbaiki kondisi pasien semaksimal mungkin.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Pada Tindakan Bedah yang Non Emergensi


Evaluasi prabedah hams dilakukan seoptimal mungkin,
sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan apakah
tindakan bedah dapat dilakukan, ditunda atau dibatalkan.
Evaluasi prabedah meliputi:
Jenis penyakit kardiovaskular, kapasitas fungsional,
faktor yang mempengaruhi kemampuan jantung dan
risiko operasi.
- Anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis, dan EKG
(elektrokardiografi).
- Pemeriksaan penunjang: laboratorium, foto dada,
pemeriksaan noninvasif, dan invasif sesuai indikasi.
(lihat 1V)
- Tetapkan kapasitas fungsional pasien (dengan
anamnesislexercise stress test).
- Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan
jantung dan risiko operasi, seperti : demam,
hematokrit <30%, gangguan elektrolit, hipoksia,
hiperkardia, hipervolemia, merokok, DM (diabetes
melitus), kelainan paru, gangguan fungsi ginjal,
kelainan hati, dan lain-lain.
Jenis operasi yang akan dilakukan: operasi besar,
sedang atau kecil.
Risiko jantung perioperatif ditentukan dari hasil analisis
dan pemeriksaan di atas.

EVALUASI PRAOPERATIF LANJUTAN


Rekomendasi untuk melakukan evaluasi praoperatif
lanjutan melihat pada keadaan dan kondisi pasien.
Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan noninvasif dilakukan untuk menetapkan
diagnosis ataupun memperkirakan prognosis ataupun
memperkirakan prognosis terutama pada pasien dengan
risiko tinggi danlatau yang mempunyai kapasitas
fungsional yang buruk.
Berbagai jenis pemeriksaan antara lain :
Exercise stress testing. Untuk mendeteksi iskemia miokard
dan menentukan kapasitas fungsional. Pemeriksaan ini
tidak dianjurkan untuk dikerjakan secara mtin sebelum
operasi. Untuk prediksi kelainan kardiovaskular
perioperatif, penggunaan Exercise ECG stress testing
(rekomendasi ACCIAHA) yang telah disepakati adalah
sebagai berikut:
Membantu untuk diagnosis PJK pada laki-laki
dengan nyeri dada atipikal.
Menentukan kapasitas fungsional dan membantu
dalam menentukan prognosis pasien PJK.
Evaluasi prognosis dan kapasitas hngsional pasien
dengan PJK segera setelah infark miokard tanpa
komplikasi.

Nonexercise (Pharmacologic) Stress Testing.


Pemeriksaan ini untuk menentukan risiko jantung pada
bedah non jantung, terutama pada pasien yang tidak dapat
melakukan exercise ECG stress testing, kelainan pada EKG
istirahat (left ventricular hypertrophylLVH, left bundle
branch block ILBBB). Jenis pemeriksaan yaitu :
dypiridamole-thallium dan dobutamine stress
echocardiography.
Monitor EKGAmbulatoar. Pemeriksaan ini terutama untuk
pasien dengan risiko tinggi yang mungkin diperlukan
tindakan intervensi sebelum bedah non jantung. Pasien
dengan sinkop yang tidak diketahui penyebabnya, nyeri
dada, palpitasi, dan lain-lain.
Ekokardiografi. Dengan ekokardiografi dapat diketahui
penyebab dari gaga1 jantung dan fungsi ventrikel kiri.
Penilaian ejection fraction (EF) ventrikel kiri penting
dilakukan oleh karena adanya hubungan yang positif antara
penurunan EF prabedah dan mortalitas-morbiditas
pascabedah. Risiko komplikasi terbesar pada pasien dengan
EF <35%.
RekomendasiACCIAHA untuk penilaian h g s i sistolik
ventrikel kiri sebelum tindakan operasi non jantung adalah:
Pemeriksaan eko disepakati dilakukan pada pasien CHF
yang baru atau kontrol yang jelek.
Untuk pasien dengan riwayat CHF, sesak yang
penyebabnya tidak diketahui masih terdapat perbedaan
pendapat.
Sedangkan untuk pemeriksaan rutin penilaian hngsi
ventrikel kiri tidak diindikasikan untuk pasien tanpa
riwayat CHF.
Pemeriksaan invasif
Secara umum dapat dikatakan bahwa indikasi angiografi
koroner prabedah adalah sama seperti pasien non operasi
(Tabel 1)

Kelas I (kondisi di mana telah terbukti memberikan manfaat


dan sudah merupakan kesepakatan): Pasien dengan dugaan
atau terbukti PJK
risiko tinggi (hasil tes non invasif)
angina pektoris yang tidak respons dengan pengobatan
medis adekuat
angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris)
terutama pada bedah non kardiak risiko sedang dan tinggi
pada pasien yang akan dilakukan tindakan bedah non
kardiak risiko tinggi di mana tes non invasif tidak diagnostik
pada pasien risiko tinggi

PENENTUAN RlSlKO JANTUNG PERIOPERATIF


Untuk memprediksi risiko perioperatif dapat digunakan
berbagai cara antara lain:

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKIT JANTUNG DAN OPERAS1 NON JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Indeks risiko jantung multifaktorial Goldman, Detsky


dan Larsen melakukan modifikasi kriteria Goldman (lihat
lampiran 1).
AHAIACC joint task force on guidelines for
perioperatif cardiovaskular evaluation for noncardiac surgery 2002.
Risiko jantung perioperatif menurut AHAIACC guidelines, ditentukan oleh : petanda klinis, kapasitas fungsional,
dan risiko pembedahan spesifik.

Petanda klinis
Data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan
EKG sudah dapat mengestimasi risiko jantung. Pada
Tabel 2 dapat dilihat prediktor klinik yang dapat
meningkatkan risiko IMA, CHF dan kematian berdasarkan
analisis multivarian dari berbagai penelitian. Dari tabel
dapat dilihat 3 kategori prediktor yaitu :
Prediktor mayor: bila ada, perlu penanganan yang intensif
dan operasi dapat ditunda atau dibatalkan, kecuali dalam
keadaan emergensi.
Prediktor intermediate: dapat meningkatkan risiko
perioperatif dan perlu penilaian keadaan status pasien yang
terakhir.
Prediktor minor: pertanda yang telah dikenal untuk
penyakit kardiovaskular dan belum terbukti meningkatkan
risiko perioperatif.

Mayor
= sindrorn koroner tak stabil
o
IMA baru (>7hari dan <30 hari) dan adanya risiko
iskernik secara sirntom klinis ataupun perneriksaan
non invasif
o
Unstable angina atau angina pektoris berat
(Canadian Class 111atau IV)
gagal jantung kongestif stadium dekornpensasi
= aritrnia signifikan
o
blok AV derajat tinggi
o
aritrnia ventrikular sirntornatik yang didasari kelainan
jantung
o aritrnia supraventrikular yang tidak terkontrol
o
penyakit katup yang berat
Intermediate
= angina pektoris ringan (Canadian Class Iatau 11)
riwayat infark rniokard atau gelornbang Q-patologis
gagal jantung stadium kornpensasi
diabetes melitus
Minor
usia lanjut
EKG abnormal (LVH, LBBB, ST-T abnormal)
Ritrne bukan sinus (rnisal fibrilasi atrial)
= Kapasitas fungsional rendah (rnisal tidak sanggup naik
satu trap anak tangga dengan beban)
Riwayat strok
Hipertensi sisternik yang tidak terkontrol

Kapasitas Fungsional
Kapasitas fungsional merupakan prediktor dalam penilaian
risiko jantung. Pengukuran kapasitas fungsional bisa
dengan exercise test ataupun dapat ditaksir dari aktivitas
sehari-hari (secara anamnesis, lihat Tabel 3). Kapasitas
fungsional dinyatakan dalam metabolik ekuivalen (MET).
Klasifikasi kapasitas fungsional: 4 METs: buruk; 4-7 METs:
sedang; > 7 METs: baik. Pada pasien yang tidak dapat
mencapai 4 MET, risiko jantung perioperatif menjadi
meningkat. Hal ini penting untuk evaluasi risiko jantung
secara keseluruhan dan perencanaan pemeriksaan prabedah.

1 METs

.l

Apakah dapat mengurus diri sendiri? Makan,


berpakaian, ke toilet? Brjalan dari rurnah? Berjalan 1
atau 2 blok pada jalan datar 3,2-4,8 krnljam. Dapat
mengerjakan pekerjaan rurnah seperti rnembersihkan
debu atau mencuci piring.

4 METs

Naik 1 trap anak tangga atau jalan rnendaki? Jalan


datar 6,4 krnljarn? Lari jarak pendek? Mengerjakan
pekerjaan berat seperti rnenyikat lantai,
mengangkatlrnenggeser perabot yang berat?
Mengikuti aktivitas seperti golf, bowling, rnenari, tenis
ganda, rnelernpar base ball atau bola kaki?
> 10 METs
Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket
atau main ski?

Risiko Pembedahan Spesifik


Jenis operasi yang akan dilakukan dapat mempengaruhil
menambah risiko bagi pasien yang menderita kelainan
jantung.
Operasi emergensi mempunyai risiko jantung 2-5 kali
dibanding operasi elektif. Stratifikasi risiko dari berbagai
jenis tindakan bedah non jantung dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tinggi (risiko kardiak > 5%)


operasi emergensi, major terutama pada usia tua
aorta dan vaskular major lainnya
vaskular perifer
tindakan bedah yang lama dan terjadi pergeseran
cairan danlatau darah hilang yang banyak
Sedang (risiko kardiak < 5%)

- carotid end arterectomy


- kepala dan leher

intra peritoneal dan intratorak

- ortopedi
-

prostat
Rendah (risiko kardiak < 1%)
prosedur endoskopi
preosedur superficial
katarak
payudara

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ALGORITME EVALUASI KARDIOVASKULAR


PRABEDAH

Algoritma evaluasi kardiovaskular yang akan dibicarakan


di bawah ini, diambil dari The AHA/ACC joint task force
on Guidelines for Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery 2002. Pada algoritma ini
ditekankan pentingnya untuk mengidentifikasi prediktor
klinis risiko perioperatif, terutama untuk pasien yang
tampaknya mempunyai kelainan koroner yang lanjut
ataupun kelainanan jantung lainnya. Tujuannya adalah
untuk mengenal pasien dengan kelainan koroner
tersembunyi ataupun yang jelas dan melakukan cara untuk
mengurangi risiko jantung perioperatif maupun risiko
jangka panjang. Dengan demikian pemeriksaanpemeriksaan yang dilakukan benar-benar rasional
sehingga dapat menekan biaya.
Pada gambar dapat dilihat pasien-pasien mana yang
perlu dilakukan pemeriksaan kardiovaskular. Perlu
dipertimbangkan berbagai interaksi variabel sehingga
diberikan bobot yang sesuai.
Algoritme I
Langkah 1. Tentukan apakah tindakan bedah non jantung
ini sifatnya elektif, urgensi atau emergensi. Pada operasi
emergensi tidak dapat dilakukan evaluasi jantung
prabedah mengingat waktu yang mendesak. Bagi pasien
yang sebelumnya tidak pernah mengalami pemeriksaan
kardiovaskular, dilakukan stratifikasi risiko pasca operasi.
Langkah 2. Pada operasi elektif, pasien yang telah
dilakukan revakularisasi koroner dalam 5 tahun yang lalu
dan secara klinis tetap stabil tanpa serangan ulang keluhan
maupun tanda iskemia, pemeriksaan lanjut biasanya tidak
diperlukan.
Langkah 3. Pasien yang telah dilakukan evaluasi koroner
2 tahun terakhir, dan penilaian risiko koroner hasilnya baik,
biasanya tidak perlu tes ulang. Pemeriksaan ulang
dilakukan bila ada keluhan iskemia koroner yang baru.
Bila evaluasi koroner belum pernah dilakukan atau hasilnya
buruk, maka evaluasi selanjutnya tergantung kepada
prediktor klinis.
Algoritma II
Langkah 4. Pasien dengan prediktor klinis mayor (CHF
dekompensasi, aritmia simtomatik danlatau penyakit katup
jantung yang berat) maka biasanya operasi dapat ditunda
atau dibatalkan sampai keadaan ini dapat diidentifikasi dan
diobati. Bila tidak stabil, maka dapat dipertimbangkan
revakularisasi koroner.
Langkah 5. Untuk pasien dengan prediktor klinis
intermediatedan minor, maka tentukan kapasitas fimgsional
pasien. Pemeriksaan noninvasif lanjutan dilakukan dengan
melihat kapasitas fimgsional dan risiko bedah spesifik.

Algoritme Ill
Langkah 6. Pasien dengan risiko prediktor klinis intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang,
kemungkinan terjadinya kematian atau infark miokard
adalah kecil bila dilakukan operasi (risiko sedang).
Sebaliknya pemeriksaan noninvasif dipertimbangkan pada
pasien dengan kapasitas fungsional buruk atau sedang
tetapi risiko operasi lebih tinggi dan terutama untuk pasien
yang mempunyai dua atau lebih prediktor klinis intermediate.
Algoritme IV
Langkah 7. Operasi non jantung umupnya aman pada
pasien tanpa risiko prediktor klinis mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang (4 METs
atau lebih). Pemeriksaan lanjut dipertimbangkan pada pasien
dengan kapasitas fimgsional buruk yang akan dilakukan
tindakan operasi tinggi, terutama bila didapati beberapa
risiko prediktor klinis minor dan pasien yang akan
mengalami operasi vaskular.
Langkah 8. Hasil pemeriksaan noninvasif akan menentukan
penatalaksanaan prabedah selanjutnya. Penatalaksanan
antara lain adalah pengobatan intensif atau pertimbangan
kateterisasijantung (algoritma I11 dan IV).

PENGOBATAN RlSlKO KARDIOVASKULAR


PRABEDAH
Penyakit jantung koroner (PJK)
Gaga1jantung kongestif (CHF)
Aritmia dan gangguan konduksi
Penyakit katup jantung
Pasien dengan pacu jantung
Pencegahantpengobatan tromboemboli vena
Pencegahan endokarditis bakterial
Hipertensi

RIWAYAT JANTUNG KORONER


Menghadapi pasien dengan PJK (dengan diagnosis klinis
angina, riwayat infark miokard, atau angiografi koroner
positif) sikap yang diambil sebagai berikut:
1. PJK tidak diketahui, status fungsional jantung baik
(kelas I atau awal kelas I1- dapat menaiki satu trap anak
tangga membawa beban 15 sampai 30 kg tanpa simtom
jantung).
prosedur diagnosis khusus prabedah tidak
dilakukan
pengobatan khusus tidak diperlukan
2. Pasien PJK stabil, status fimgsional baik (kelas I atau
kelas 11). Prosedur diagnosis khusus prabedah tidak

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1857

PENYAKITJANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

I Araoritma
I
..

Stratfikasl' pasca
oper8si dan
pengurangan
faktor risiko

Bedah urgensilelektif
Keluhan atau
tanda kambuh kembali

koroner dalam
5 tahun?

Has11bark 8
Angiogram koroner keluhan (-)
atau tes stress
b
terakhir

Mayor

t
Intermediate

LI

Argoritma II

Predlktor klinisl

Predjktor kl~nismayor Prediktor klinis intermediate

3-(

3 .

Operas/'non-kardiak
ditunda atau dibatalkan

(Tanap5)

+
a

+
Minor

Prediktor kllnls (-) I minor

Pertimblngan
anglografi koroner

Lanjut algor~tma
111

Tatalaksana medis dan Pengawasan selanjutnya*


modifikasi faktor risiko atas dhsar hasil temuan dan
pengobatan

Lanjut algor~tma
IV

Prediktor kllnls major:


- Sindrom koroner kOroner 'Idakstabil
- CHF dekompensasi
- Aritmia signifikan
- Penyakit katup jantung

Gambar 1. Algoriime tahaphn evaluasi kard~olog~


prabedah

dilakukan. Pengobatan kon


diteruskan pada masa perioperatif.
Rekomendasi:
'EKG hari pertama pascaoperatif dan pada saat keluar
dari rumah sakit
Teliti apakah terjadi IMA bila ,ada ha1 yang
,
mencurigakan.
3. Pasien PJK jelas, status fbngsional tidak jelas. Prosedur
diagnosis khusus prabedah: monitor iskemia
ambulatoar, ekokardiografi, stress echocardiography,
exercise thallium testing, dan dypiridamol
thulium, Rekomendasi:
bila tes negatif: pengobatan konservatif
bila tes positif: pengobatan medis agresif.
Obat PJK prabedah diberikan, cari faktor risiko
non PJK (antara lain usia 70 tahun, DM, CHF,
aritmia ventrikular/ atrial yang penting, penyakit
vaskular atau tindakan bedah abdomen dan

dada), dan pertirnbangan tes non irivasif ulang


(bila tes negatif: pengobatan konservatif; bila
tes positif: lanjut ke b dan c.
Pemantauan intensif perioperatif untuk kontrol
tekanan darah dan denyut jantung atau
- Angiografi koroner dan revaskularisasi sesuai
indikasi.
4. Pasfen IMA + tindakan operasi emergensi. Sikap :
- Kerjasama tim dengan ah1i anestesi dan ahli bedah
untuk meminimalkan risiko. Hindari hal-ha1 yang
dapat meningkatkan kebutuhan 0, maupun masalah
ritme jantung.
- Monitor hemodinamik secara menyeluruh. Obat anti
iskemia diteruskan baik sebelum, sewaktu atau
sesudah operasi.
- Pemantauan ritrne secara teliti dan segera obati bila
ada aritmia. Pasien dengan gangguan sistem
konduksi yang dapat berlanjut menjadi blok jantung

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

komplit dilakukan pemasangan pacu jantung


sementara (TPM).
5. Riwayat infark miokard atau gelombang Q patologis,
termasuk prediktor intermediate. IMA barn (7 hari dan
kurang dari 30 hari), termasuk prediktor mayor dan
tindakan bedah ditunda. Pembagian interval infark
miokard 3 atau 6 bulan tidak digunakan lagi. Pada IMA
bila tes stres tidak menunjukkan risiko miokardium
residu, kemungkinan untuk timbulnya reinfark pada
pembedahan non jantung adalah rendah. Dianjurkan
tindakan pembedahan dilakukan 4-6 minggu pasca
IMA.
6. Indikasi revaskularisasi prabedah.
Bedah pintas koroner (CABG)
Pasien dengan operasi elektif yang mempunyai
risiko tinggi dan akan dilakukan tindakan operasi
non jantung risiko tinggi dan intermediate, maka
CABG dilakukan sebelum tindakan bedah.
Indikasi untuk CABG (sesuai rekomendasi ACC/
AHA task force)
- left main stenosis dan miokard cukup baik
- three vessel CAD dengan disfungsi ventrikel
. kiri
- two vessel disease termasuk obstruksi berat
dari left arterial descending artery proximal
- iskemia koroner intractable walaupun
pengobatan medis sudah maksimal.
Intervensi koroner perkutan (PCI)
lndikasi PC1 pada prabedah sesuai dengan guidelines ACCI
AHA untuk PCI. Kapan sebaiknya dilakukan tindakan
bedah pasca- PCI?
- Belum ada ketentuan berapa lama jarak antara
pasca-PC1 dengan bedah nonkardiak.
- Dianjurkan tindakan bedah ditunda sekurangkurangnya 1 minggu pasca angioplasti balon,
untuk memungkinkan penyembuhan luka
pembuluh darah.
- Pasca pemasangan sten koroner, tindakan bedah
ditunda sekurang-kurangnya 2 minggu dan
sebaiknya 4-6 minggu agar pengobatan anti
trombosit optimal dan terjadi reendotelisasi sten.
- Bagi pasien pasca-PC16 bulan sampai 5 tahun
dan asimtomatis dan aktif, diharapkan masih
mendapat perlindungan terhadap komplikasi
iskemia perioperatif, mengingat pasca-PC1 lebih
dari 6 bulan jarang terjadi restenosis.
7. Penggunaan obat perioperatif
Penyekat beta, antagonis kalsium tidak perlu dihentikan
prabedah. Regimen pengobatan yang agresif yaitu
penggunaan penyekat beta dan nitrat dapat mengurangi
kejadian iskemia pada pasien dengan iskemia
perioperatif asimtomatik.ACCIAHA merekomendasikan
pengobatan perioperatif dengan penyekat beta sebagai
berikut:

Kelas I: penyekat beta digunakan untuk kontrol keluhan


angina ataupun pasien dengan aritmia simtomatik dan
hipertensi.
Kelas 11: pada penilaian prabedah diidentifikasi
hipertensi yang tidak diobati, adanya PJK, atau faktor
mayor PJK.
Berbagai jenis penyekat beta seperti metoprolol,
labetalol, atenolol, bermanfaat dalam mengurangi
kejadian iskemia perioperatif. Pada satu studi,pemberian
atenolol pada 200 pasien dapat mengurangi angka
mortalitas dan komplikasi kardiovaskular perioperatif
pada pasien dengan PJK ataupun mempunyai risiko
untuk PJK (sekurang-kurangnya dua dari lima kriteria:
usia > 65 tahun, hipertensi, perokok, serum kolesterol
>240 mgldl dan DM) yang dilakukan operasi non
jantung.

GAGAL JANTUNG KONGESTIF


Pasien gagal jantung yang hams dilakukan operasi non
jantung mempunyai prognosis yang buruk. Pasien dengan
gagal jantung kongestif yang harus dilakukan operasi
emergensi mempunyai risiko tinggi morbiditas dan
mortalitas tanpa memandang etiologi gagal jantung. Risiko
yang terjadi adalah gagal jantung, edema paru, aritmia dan
kematian. Risiko komplikasi meningkat bila NYHA
bertambah bumk. Pada CHF NYHA IV, kematian mencapai
70%
Gaga1 jantung hams diobati secara adekuat sebelum
dilakukan tindakan operasi, sebaiknya setelah kondisi
pasien stabil paling sedikit satu minggu sebelum
pembedahan dan diupayakan agar jangan terjadi intoksikasi
digitalis dan hipokalemia akibat diuretika.
Persiapan Prabedah
cari penyebab gagal jantung
atasi faktor predisposisi yang dapat mencetuskan gagal
jantung seperti demam, anemia, gangguan elektrolit,
gangguan asam-basa, hipoksia, hiperkarbia,
hipovolemia, hipertensi dan aritmia jantung.
Penggunaan obat-obatan
- diuretik: pemberian diuretik yang agresif dapat
menyebabkan hipovolemia dan pengaruh anestesi
(general dan spinal) dapat mengakibatkan hipotensi
intraoperatif. Dosis diuretik (hrosemid) disesuaikan
berdasarkan status klinis dan fungsi ginjal. Diuretik
biasanya tidak diberikan pada pagi hari operasi dan
penilaian klinis dilakukan pascaoperasi.
- Digitalis (digoksin)
- Pasien gagal jantung yang telah mendapat
digoksin diteruskan pemberiannya. Biasanya
digoksin tidak diberikan pada pagi hari operasi

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1859

PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


untuk mengurangi risiko toksisitas.

ARlTMlA DAN GANGGUAN KONDUKSI

jantung prabedah, diberikan digitalisasi


beberapa hari sebelum operasi. Profilaksis digitalis tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
aritmia pasca operatif.
Vasodilator: penggunaan ACE (angiotensin
converting enzyme) inhibitor diteruskan sampai
pada hari operasi dan selanjutnya. Bila
diperlukan dapat diberi nitroprussid i.v.,
hidralazin i.v.

Aritmia dan gangguan konduksi jantung selalu dijumpai


pada masa perioperatif terutama pada pasien usia tua.
Adanya aritmia supraventrikular maupun ventrikular hams
dicari penyakit yang mendasarinya yaitu penyakit
kardiopulmonal, intoksikasi obat, ataupun kelainan
metabolik. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik
danlataupun aritmia simtomatik diperlukan pemantauan
EKG ambulatoar ataupun studi elektrofisiologi jantung
dengan penggunaan obat-obat yang munculnya kembali

- Bila digitalis diperlukan pada pasien gaga1

Argoritma Ill

Prediktor klinis

1
+
(~ahap
G)IPledlktw1~rediktorklin
+
Buruk
Kapasitas
fungsional

Sedang atau baik

(< 4 METs)

(-)

Risiko
operasi
Pemeriksaan
noninvasif

Risiko operasi
tinggi

Risiko operasi
sedang

Risiko operasi
rendah
Stratifikasi risiko
pascabedahdan
mengurangi faktor risiko

Tes no

Pertimbangkan angiografi koroner

Prediktor klinis intermediate:


-Angina pektoris ringan
-Riwayat infark miokard
-CHF kompensasi
Pengawasan selanjutnya atas
dasar temuan dan hasil pengobatan -DM

Argoritma IV

Sedang atau baik

(T.hap8)

Risiko operasi
Risiko operasi
tinggi
sedang atau rendah

Pemeriksaan
noninvasif Tes non-invasif

,
Pertimbangkan angiografi koroner
Pemeriksaan invasif

Pengawasan selanjutnya atas


dasar temuan dan hasil pengobatan

Stratifikasi risiko
pasca bedah dan
mengurangi faktor risiko

Prediktor klinis minor:

- Usia lanjut
- EKG abnormal
- Ritme selain sinus
- Kapasitas fungsional rendah
- Riwayat strok
- Hipertensi tak terkontrol

Gambar 2. Lanjutan tahapan evaluasi kardiologi prabedah

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

aritmia. Pengobatan aritrnia sama dengan pasien yang tidak


mengalami operasi non jantung.

Aritmia Supraventri kular


Bila simtom (+)/gangguan hemodinamik, dilakukan
kardioversi secara elektris atau farmakologis. Bila
kardioversi tidak memungkinkan, beri obat oral atau
digitalis intravena, penyekat beta, atau penghambat
saluran kalsium. Pasien fibrilasi atrial disertai CHF pilihan
adalah digitalis atau amiodaron. Bila pasien fibrilasi atrial
memakai antikoagulan maka antikoagulan dihentikan
beberapa hari sebelum operasi. Bila waktu mendesak dan
pasien harusnya tidak memakai antikoagulan, maka efek
warfarin dapat diatasi dengan vitamin K parenteral atau
plasma beku segar e e s hfiozen plasma).
Aritmia Ventrikular
ekstrasistol ventrikular, VES kompleks, atau takikardi
ventrikular (nonsustained)biasanya tidak memerlukan
pengobatan, kecuali bila ditemukan iskemia miokard dan
disfungsi ventrikel kin.
Takikardia ventrikular simtomatik ataupun menetap harus
mendapat terapi prabedah dengan lidokain i.v. atau
amiodaron (terutamabila disertai CHF) atau prokainamid.
Gangguan Konduksi
Pasien dengan intraventricular conduction delay
(IVCD) segera EKG dan jika tanpa simtom atau bukti
blok jantung lanjut secara elektris, tampaknya tidak
berisiko untuk berlanjut menjadi blok jantung yang
komplit pada masa perioperatif. Pasien dengan IVCD,
blok bifasikular (right bundle branch block dengan
left anterior atauposterior hemiblock),atau left bundle
branch block, dengan atau tanpa first degree
antrioventricular block tidak memerlukan implantasi
temporary pace maker bila tidak ada sinkop atau blok
atrioventrikular lanjut.
Bila timbul blok konduksi derajat tinggi, diatasi dengan
pemasangan pacu jantung sementara.

pada masa perioperatif.


Pasien regurgitasi aorta sensitif terhadap bradikardia
(interval diastolik bertambah dan meningkatkan volume
regurgitasi).
Pengobatan : perlu pemantauan status volume pasien,
obat untuk mengurangi after load seperti: penghambat
ACE (ACE inhibitor),penghambat saluran kalsium atau
nitrogliserin dan hidralazin.

Stenosis Mitral
Pasien dengan stenosis mitral ringan atau sedang :
Kontrol denyutjantung selama masa perioperatif karena
peningkatan denyut jantung mengakibatkan masa
diastol menjadi lebih singkat pada siklus jantung. Hal
. ini mengakibatkan timbulnya kongesti pulmonal yang
dipresipitasi oleh takikardia (kebalikan dari regurgitasi
aorta yang sensitif terhadap bradikardia):
Hindari obat yang meningkatkan denyut jantung.
Pasien dengan stenosis mitral berat dan operasi non
jantung risiko tinggi dilakukan percutaneous ballon
mitral valvulotomy, surgical commisurotomy atau
penggantian katup mitral.
Regurgitasi Mitral
Berbagai penyebab regurgitasi mitral (MR) antara lain
disfungsi muskulus papilaris, prolaps katup mitral (MVP),
penyakit jantung iskemia, penyakit jantung kongenital,
endokarditis dan lain-lain. Pasien regurgitasi mitral dapat
menyebabkan volume overload dan kongesti pulmonal
secara signifikan.
Pengobatan:
Regurgitasi mitral: untuk mengurangi after load,
diberikan diuretika sebelum operasi. Bila perlu pasien
dirawat di unit intensif (ICU) untuk pemantauan tekanan
arteri pulmonalis dengan menggunakan kateter.
Pasien dengan katup prostesis, diperlukan profilaksis
antibiotika (lihat lampiran 3) dan penyesuaian terapi
antikoagulan.
PASIEN DENGAN PACU JANTUNG

PENYAKIT KATUP JANTUNG


Stenosis Aorta
Stenosisaorta berat mempunyai risiko sangat tinggi sehingga
tindakan bedah efektif haruslah ditunda atau dibatalkan.
Pengobatan dilakukan dengan penggantian katup aorta atau
percutaneous ballon aortic valvuloplasty.
Regurgitasi Aorta
Pasien-pasien dengan regurgitasi aorta signifikan
mempunyai kecenderungan terjadi volume overload

Pacu Jantung Permanen


Hal-ha1 yang perlu dievaluasi, yaitu:
Pada prabedah diteliti apakah alat pacu berfungsi
dengan baik.
Bila pada pembedahan digunakan alat kauter elektris,
alat kauter diletakkan sejauh mungkin dari alat pacu
(untuk mengurangi gangguan elektromagnetik).Hams
tersedia magnit di karnar bedah untuk merubah alat pacu
dari demand menjadifuced rate. Kauterisasi juga dapat
mengganggu monitor EKG Sebaiknya kauterisasi tidak
dilakukan secara kontinu.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

PENYAKITJANTUNC DAN OPERAS1 NON JANTUNC

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pacu Jantung Sementara
Indikasi pemasangan pacu jantung temporer profilaksis
prabedah:
Bradikardia simtomatik pada kondisi berikut : sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV
derajat tinggi, dan blok AV total.
Takikardia simtomatik: takikardiaventrikular intermiten
dan fibrilasi ventrikular intermiten.
Malfungsi pacu jantung permanen
Sinkop sinus karotis

PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI
Tindakan operasi dapat merupakan predisposisi
timbulnya deep vein thrombosis (DVT) pada ekstremitas
bawah dan emboli paru (PE) sekunder. Dari berbagai hasil
penelitian di Eropa dan USA, dilaporkan bahwa insiden
DVT berkisar 7-25% pada pasien usia di atas 40 tahun
yang dilakukan operasi abdomen mayor. Pencegahan DVT
sesudah operasi dapat mengurangi angka kejadian
sebesar 1946%.
Prabedah direncanakan pada pasien-pasien yang
kemungkinan dapat terjadi risiko tromboemboli pasca
bedah, antara lain imobilitas lama, usia tua, paralisis,
riwayat tromboemboli vena, proses keganasan,
operasi mayor (terutama abdomen, pelvis, ekstremitas
bawah), obesitas, vena varikosa, CHF, infark miokard,
strok, fraktur pelvis, pinggul atau kaki, gangguan
koagulasi dan penggunaan dosis tinggi estrogen.
Pencegahan DVT didukung antara lain dengan kompresi
stoking elastis, heparin subkutan dosis rendah, kompresi
pneumatik intermiten, dan heparin berat molekul
rendah.

PENCEGAHANENDOKARDlTlS INFEKTIF
Pasien dengan kelainan katup ataupun katup jantung
buatan perlu diberikan profilaksis antibiotika bila dilakukan
tindakan operasi.
Antibiotika yang dianjurkan:
Standar:Amoksisilin 2,O gr oral 1jam sebelum tindakan
Bila oral tidak bisa :Ampisilin 2,O gr IM atau IV
Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg oral 1 jam
sebelum tindakan.
Sepaleksin atau sefadroksil atau 2,O gr oral 1 jam
sebelum tindakan.
Azitromisin atau klaritromisin 500 mg oral 1jam sebelum
tindakan.
Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg IV 30 menit
sebelum tindakan
dan tidak bisa oral : Sefazolin 1,O gr IM 30 menit sebelum
tindakan

Hipertensi (HT) tanpa disertai penyakit koroner atau


disfungsi miokard yang nyata, tidak menambah risiko
kardiovaskular yang berarti pada bedah non jantung.
Demikian juga HT tanpa komplikasi, walaupun disertai
hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dapat mentolerir pembedahan
tanpa meningkatkan mortalitas yang nyata bila tidak ada
tanda-tanda PJK, CHF dan bila fungsi ginjal normal.
Namun di sisi lain dilaporkan bahwa adanya riwayat
hipertensi prabedah dapat meningkatkan mortalitas
perioperatif dan pemberian obat anti HT dapat mengurangi
risiko. Pasien hipertensi pada prabedah cenderung
mempunyai fluktuasi tekanan darah yang signifikan pada
intraoperatif dan mengalami iskemia miokard.
Hal-ha1yang perlu diperhatikanpada pasien dengan riwayat
hipertensi:
Tindakan bedah tidak perli ditunda atau dibatalkan
pada pasien dengan hipertensi ringan atau sedang
tanpa komplikasi.
Obat anti hipertensi yang digunakan pasien sebelumnya
dapat diteruskan pada perioperatif.
Tekanan darah dipertahankan mendekati nilai tekanan
darah prabedah untuk mengurangi risiko iskemia
miokard.
Bedah elektifpada hipertensi berat (tekanan darah >I801
1 10): kontrol tekanan darah sebelum pembedahan
(efektivitas regimen pengobatan dapat dicapai dalam
beberapa hari s/d beberapa minggu). Bedah urgensi
pada hipertensi berat: obati dengan anti hipertensi kerja
cepat (dalam beberapa menit sampai beberapa jam,
misalnya penyekat beta intravena.
Perhatian khusus untuk pasien hipertensi dengan
tindakan bedah vaskular karena pada keadaan ini selalu
terjadi hipertensi pasca operasi.
Hindari penghentian obat penyekat beta dan klonidin
secara tiba-tiba (karena reboundphenomena).
Pengobatan : pada umumnya sama dengan hipertensi
pada nonbedah; pilihan pertama lebih diutamakan
penyekat beta kardioselektif.

Risiko jantung perioperatif pada pasien jantung yang


mengalami operasi nonjantung berhubungan dengan
kelainan jantung, kapasitas fungsional pasien, penyakit
penyerta, jenis operasi dan jenis anestesi.
Dalam upaya mengurangi risiko jantung perioperatif
ini diperlukan evaluasi yang tepat oleh dokter klinisi
(spesialis penyakit dalamljantung)untuk menetapkan jenis
kelainan jantung, kapasitas fungsional, prevensi dan
pengobatan yang diperlukan prabedah.
Informasi yang diberikan oleh dokter klinisi dapat
digunakanldiperlukan oleh spesialis anestesi dan spesialis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Lampiran 1

Faktor Risiko
Goldman dkk
Usia > 70 tahun
IMA dalam 6 bulan terakhir
Gallop S3 atau distensi vena jugular
Stenosis aorta
lrama selain sinus atau kompleks atriol prematur pada EKG
terakhir praoperatif
Kompleks ventrikel prematur 5lmenit ditemukan pada
setiap saat sebelum operasi
PO2 < 60 atau Pa02 > 50 mmHg; K' < 3 atau HC03< 20
mEqlL; BUN > 50 atau CR > 3 mgldl; AST abnormal, tanda
penyakit hati kronis,
-atauOperasi intraperitoneal, intra toraks, atau aorta.
Operasi darurat
Detsky dkk
IMA dalam 6 bulan terakhir
Ima > 6 bulan
Angina Canadian Cardiovaskular Society
Klas Ill
Klas IV
Angina tidak stabil dalam 6 bulan terakhir
Edema paru alveolar dalam 1 minggu
Ever
Dicurigai stenosis aorta kritis
lrama selain sinus atau sinus dengan kompleks atrial premature
pada EKG terakhir praoperatif
Kompleks ventrikel premature pada saat sebelum operasi
Status medis umum buruk
Usia > 70 tahun
Operasi darurat
Larsen dkk
Gagal jantung kongestif
Kongesti paru persisten
Riwayat edema paw
Riwayat gagal jantung
Penyakit jaritung iskemi
IMA dala 3 bulan terakhir
lnfark lama atau angina pektoris
Diabetes melitus
Kreatinin serum > 1,6 mg/dL
Operasi darurat
Prosedur bedah mayor
Operasi aorta
Operasi intraperitoneal atau intraleura lain

Poin
5
10
11
3
7
7

10
5

lnterorestasi
Klas I : 0-5 poin = risiko rendah
Klas 11 :6-12 poin = risiko sedang
Klas Ill : 13-25 poin
Risiko
tinggi
Klas lV : > 26 poin

< 15 poin = risiko rendah


> 15 poin = risiko tinggi

5
5
10
12
8
4
11

< 15 poin = risiko rendah


5-8 poin = risiko sedang
> 8 poin = risiko tinggi

Key : AST = aspartate aminotransferase; BUN = blood urea nitrogen; Cr = creatinine;


ECG = electrocardioaram:
- . K' = ootassium: MI = mvocardial infarction:
PAC = premature atrial contracion; PVC = premahre ventricular contraction

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1863

PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


bedah dalam melaksanakan tindakan operasi. Kerjasarna
yang harmonis dan professional antara spesialis klinis
dengan spesialis anestesi serta spesialis bedah sangat
diperlukan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.

REFERENSI
ACCIAHA Task Force On Practice Guidelines: Guidelines for
perioperative cardiovaskular evaluation for non cardiac
surgery. Circulation, 2002; 105: 1257.
ACCIAHA task force report: guidelines for coronary angiography.
Circulation 1999; 99: 2345-57.
ACCIAHA task force report: guidelines for the clinical application
of echocardiography, 2003.
ACCIAHA task force report: guidelines for implantation of cardiac
pacemakers and antianythmia devices. JACC 1991; 181: 1- 13.
AHA Scientific statement: Prevention of bakterial endocarditis,
recommendations by the American Heart Association,
Circulation 1997; 96: 358-66.
Bartels C, Bechtel M, Hossmann V, Horsch S: Cardiac ris stratification for high risk vaskular surgery. Circulation, 1997; 95: 247375.
Clagett GP, Anderson FA, Levine MN, et al: Prevention of venous
thromboembolism. Chest 1992; 102: 4, 391s-402s.
Eagle KA, Rihal CS, Michel MC, et al: Cardiac risk of non cardiac
surgery influence of coronary disease and type of surgery in
3368 operations. Circulation, 1997; 96: 1882-7.
Falcone RA, Ziegelstein RC: Cardiovaskular disease and hypertension in: Richards JG, Gregory MC Eds Kammerer and Gross'

Medical Consultation. The internist on surgical, Obstetric and


Psychiatric Services 31d ed. Williams & Wilkins, 1998; 149-70.
Foxwell M, Meyerson M: Cardiovascular assessment and
management. In: Wolfsthal'S a Lange Clinical Manual's
Medical Perioperative Management 89/90, 1989: 84-90.
Froehlich JB, Karavite D, Erdmm N, et al: Implementation of ACCI
AHA guidelines for preoperative cardiac risk assessment before
aortic surgery: Implications for resource utilization. J Am Coll
Cardiol, 1997; 29: 392 (abstract).
Goldman L: General anesthesia and non-cardiac surgery in patients
with heart disease in Braunwald's Heart Disease. A textbook of
cardiovaskular medicine, 71h ed, 2005; 2021-2038.
Joint National Committee on Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure. The sixth report of the
Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of high blood pressure (JNC VI). Arch Intern Med 1997;
157.
Kaplan NM: Clinical Hypertension, 81h edition, 2002; 317.
Magallanes M: Cardiac concerns. In : Perioperative pocket manual
2005, 31d edition.
Mangano DT, Layug EL, Wallace A, Tareo I: Effects of atenolol on
mortality and cardiovaskular morbidity after non-cardiac surgery. The multicenter study of perioperatif ischemic research
group. N Engl J Med 1996; 335: 1713-20.
Mangano DT: Perioperative cardiac morbidity. Anestesiology, 1990;
72: 153-84.
Palda AV, Detsky AS: Clinical guidelines part 11, perioperative
assessment and management of risk from coronary artery
disease. Ann Intern Med, 1997; 127: 3 13-28.
Smith WT, Kelly RA, Stevenson, Braunwald E: Management of
heart failure in Braunwald's heart disease. A Teaxtbook of
Cardiovascular Medicine, 7Ih edition, 2005.

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

a salt and pepper appearance 2686


a l -antitrypsin, 545
A l c 1891
AA (sekunder atau amiloidosis reaktif) 975
Abciximab 1731, 1761. 1768
Abdomen 583
Aberasi

kromosotn 151. 152


tnosaik kromosom 153
Ablasi 1650
iodium radioaktif 13 1-1 2034
Ablasio retina 41
Abnormalitas Ileum 1 146
Abrasi 922
Abruptio plasenta 1 100
Abses

kripti, 594
paru 499, 2230, 2235, 2256, 2323
perineliik 1013
peritonsil 45
retrofaring 45
subfrenik, 500
submandibula 45
Absorpsi 776
kalsium fraksional 183
Acanthosis nigricans 2040
Accelerated idioventricular rhythm 1609
Accessory cholera exotoxin 2845
ACE inhibitor 540, 900, 901, 1087, 1583, 1684
Acetylcholine 460
Acid brake. 506
Acoustic windows 1555
Acquired irnrnunodefiency syndrome (AIDS). 549,2858
ACTH 2039
Actin 2375
Activator protein 269, 2750
Activities of daily living 921, 927
Acute

confusional state 907


fatty liver of pregnancy 702
injury lung. 234
mental status change 907
respirator) distress syndrome (AKDS) 2205, 2792
Acyanotic fallot 1788
Acylation stimulating protein (ASP) 1976
ADA 1880. 1883
Adalimumab 2762
Adam stokes attack 905
Addison 1902
Adenokarsinoma 576. 578
esofigus, 500
Adenoma 557, 573
adrenal 2066
fhlikuler 2023

heterotropik, 576
hiperplastik, 576
tffbular, 557, 573
villosa, 557
papiloma, 2254
Adenomektomi 2042
Adenosin deaminase activity 728
Adenosinetriphosphate (ATP) 19 17
Adenosquamous carcinoma. 2254
ADH 962
Adhesi 579
Adhesin 502, 524
Adiksi 2746
ADL 907. 910, 932
Admimy 155
Adrenarche 94, 2070
'
prematur 97
Adrenergik 776
Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) 1 IS, 2749
Adrenopause 2078
Adson test 2700
Adult

protective service 922


respiratory dystress syndrome 608, 1773
Advanced

gastric cancer 577


glycation end-products 979
glycosylation end products (AGES) 1938, 1939
Adverse drug reaction 776
Aferesis 1205
terapeutik 1206
AFP dan p-HCG 2252
Agamaglobulinemia 2297
Age related metabolic adaptation 1971
Agen 885
biologik 276 1
sekresi tubulus 943
AGES 2036
Aging 758
Agitasi 842
Agranulositosis 520
Agregasi

neuron, 205
platelet 1729
trombosit 1892
AHA tipe hangat 1 178
Ahli

farmasi, 769
gizi, 769
Air kemih 1027
Air-fl uid level. 499
Airway 253, 896
Akalasia

primer, 488

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUKAlzheimer


dr. PRIYO
PANJI
837

sekunder, 489
Akinesia 853
Akondroplasia 150, 2729
Akromegali 1796, 2040, 2348, 2687, 2701
Akromia kongenital 34
Akroosteolisis 2620, 2708, 2727
Akrosefali 36
Akrosefalosindaktili 36
Akrosenris 148
Aktivasi
komplemen jalur alternatif. 1 152
komplemen jalur klasik 1 152
selular 1 152
sistem komplemen 1 152
trombosit 1741
Aktivitas
jasmani I880
hidup sehari-hari (AHS) 780
kontrol elcktrik 461
Aktin 2374, 2375
Aktinomisetes (aktinomikosis. nokardiosis) 2267
Aktivator 896
Akupunktur
Akut dan subakut 1702
Alarm symptom. 526
Albendazol 2953
Albert calmette 223 1
Albinisme 150
Albright's hereditary osteodystrophy 2692
Albumin 776, 1196
Aldolase 2630
reductase inhibitor 1950
Aldosteron 193. 2053
renin ratio=ARR 1094
Aldosteronisme, 2062
primer 1777
Alendronat 2683
Alergi 777
Alfa fetoprotein 1426
ALG 1075
Aliran plasma ginial 904
Alkali 493
Alkaline fosfatase 2681
spesifik tulang 268 1
Alkaloid vinka 1172
Alkalosis metabolik, 195
Alkohol 1892, 1908
Alkoholisme 2324
kronik 2066
Allergan humphrey 2041
Allergic bronchopulmonar) aspergillosis (ABPA) 2269, 2290
Aloantibodi 1 199
Alodinia 51
Aloimunisasi 1199
Alopesia
areata 37
totalis 37
universalis 37
Alop~~rinol2559
Alpha
Lipoic Acid 1950
subunit glycoprotein 2041
-I antitrypsin 2339
ALS 1075
Alteplase 1769
Altered mental status 907
Alternating da) therap) 2752
Alveolitis 2288

Ambeien 587
Ambulasi 814
Ambulatory Blood PressureMonitoring-ABPM
Amebiasis 621
American rheumatisms association 983
AMES 2035
Amforik 63
Amilase 2330
Amilin 1938
A~nilnitrat 2746
Amiloidosis 2302, 2696, 2701
Aminoasciduria 2694
Aminofusin 495
Aminoglikosida 2902
Aminoglutetimid 2067
Aminoglycosida-modifying enzyme 2902
Aminoguanidin 1950
Aminosteril 495
Amiodaron 911, 1607, 1608, 1801, 2019
Induced Thyrotoxicosis (AIT) 2008
Amiparen 495
Amitriptilin 91 1 , 2746
Amoebiasis 594
Ampisilin 2860
Amplatzer septa1 occluder 1783
AMS 2081
Amuba 2325
ANA 2361
Anafilaksis 257
Anakinra 2763
Analgesia 51
Analgetik 524
Analisis
semen 2277
gas darah 887, 909
kromosom 158
-meta 900
Analog somatostatin 2042
Anamnesis 44 1
Anaphase lag 144
Anatomi 884
ANCA 1005
Ancylostoma duodenale. 625
Androgen adrenal 2053
Andropause 124
Anemia 520, 1109, 1138, 1177, 2236
aplastik 1 1 16
aplastik herediter 1125
besi detisiensi, 499. 526, 1 127. 1 178
hemolisis didapat 1157
hemolisis herediter 1 157
hemolisis non imun 1 157
hemolisisis imun 1 157
hemolitik aloimun 1156
hemolitik autoimun 1152, 1178
hemolitik autoimun tipe hangat 1154
hemolitik imun diinduksi obat 1155
hemolitik imun tipe dingin 1155
megaloblastik yang refrakter 1148
pada penyakit kronik 1178
pernisiosa, 577
sel sabit 1 178
sel spur 1 164
Anestesi 1853
inhalasi 1853
spinallepidural 1853
dolorosa, 51

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1081

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Aneuploidi Instabilitas mikrosatelit 568


Aneurisms 893
aorta, 905, 914
sirkulus dari Willisi 1786
Angelman syndrome 154
Angina
Ludovici 45
pektoris 904, 1735, 1940
angina pektoris tak stabil 1757, 1940
plaut vincent 44
Printzmetal 1729
tak stabil 1728
Angiodisplasia 454
Angiografi 1569, 1689
radionuklir 1565
terapeutik, 456
Perkutan 1092
Angiotensin
converting enzyme 1087
converting enzyme inhibitors 972
1 1087
11 193, 1087
receptor blocker 979, 1087, 1585, 1945
Angka disabilitas, 897
Angka kematian 897, 2230
Anion gap 1919
Ankilosing spondilitis 2358, 2722
Ankle brachial index, 1964
Anomali Ebstein 1779
Anonikia 52
Anoreksia 498
Nervosa 99
Anorektoskop 587
Anoskopi 588
Ansietas 27 11
depresi 271 1
An tagonis
aldosteron 949
GP IlbIlIla 1761
interleukin-1 2763
kalsium 900, 896, 901, 1730
antagonis reseptor H2lARH2 484, 519
Antalgik, 2447
Antasida 484, 519, 527, 2693
Anterior
mediastinotomi, servikal mediastinoskopi, 2253
Scalene Syndrome 27 19
Anti
aritmia., 905
depresan trisiklik 2746
DNA-histone-complex 2622
Dotum, 292
hipertensi, 905
inflamasi, 524
kolinergik, 905
konvulsi, 905
LAM 2236
mikroba, 887
Parkinson, 905
piretik, 524
PM-Scl 2622
rheumatoid drugs 2753
RNA polimerase 1 2622
SCI-70 2622
,
topoisomerase 1 2622
Ul-RNP 2622
CD20 (rituksimab) 2763, 2765
D intravena 1 172

double-stranded DNA 984


GBM antibody disease 998
1L-l (anakinra) 2765
La (SS-B) 25 14
RO (SS-A) 2514
TNFa (etanercept, infliksimab dan adalimumab) 2765
TPO antibodi 2018
aggregasi trombosit 896, 1361
biotika 2896
depresi 848, 896, 905
gen 885
hipertensi 902
inflammatory 263
koagulan 896, 897, 1359, 1722, 1800
koagulan antitrombolitik 1434
.
kolinergik 225, 585, 909, 911, 914
neutrophilic cytoplasmic anti bodies 2622
nuclear antibodies 2622
septik lemah, 589
spasmodik 585
tiroglobulin antibodi 2018
trombin 111 1360
trombosit antibodi 1366
trombotik 524, 1750, 1767
Antibodi 885
anti-kolagen 2622
antifosfolipid 1181, 1345
antimitokondrial 2622
antisentromer. 2622
humoral 2237
monoklonal OKT3 1073
selular 2237
anti trombosit 1168
Antraks 2966
Antrasiklin 2998
Antrum predominant gastritis 524
Anxietas 909
Aorta. 2053
Aortic
click 68
knob 1787
root 1542
Aortitis 1814
Apathetic hyperthyroidism 1795
Apatite like crystal 2561
Apendisitis 604, 1908
Apnea 2347
hipopneu index, 806
Apo A, Apo B, Apo C, 1984
Apopleksi hipofisis 2040
Apoprotein C-I1 1975
Apoptosis 852, 1415, 2419
pada artritis reumatoid 2418
pada sle 2420, 2421
Apparatus jukstaglomerular 2056
AR 2354, 2365, 2366, 2367, 2368
Araknodaktili 2725
ARB 900
Ardiopulmonary bypass, 609
ARDS 236, 2204
Area katup mitral 1672
Argatroban dan Melagatran 1768
Arge-volume paracentesis (LVP) 747
Arginin vasopresin 2049
Ariboflavinosis 43
Aritmia 211, 1618, 1914
Atrial. 1603
AV jungsional 1603
~

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
Aset sosial, 769

supra ventrikular (SV) 1604, 1618


ventrikel 1623
ventrikular 161 8
Arteri
phrenicus inferior 2053
renalis 1090, 2053
pulmonari 2249
Arteriografi 545, 1964
Arterioloklerosis Mockenberg 2727
Artralgia 2647
Artritis 593, 905, 1665, 2353, 2356, 2366, 2367, 2517
rematoid juvenile 2519
bakterialis 2639
baru 2367
gonoroika (disseminated gonococcal invent) 2640
gout akut 2558
gout 2354
idiopatik juvenil 2519
pirai (gout) 2556
psoriatik 2647, 2722
artritis reumatoid 23 15, 2440, 2354, 2333,
2355, 2365, 2709, 2710, 2719, 2741, 2764
septik akut 2639
sistemik 2521
terinfeksi., 886
tuberkulosis 2642, 2644
Artro-oftalmopati 2726
Artrokalasia 2727
Artropati kristal 2561
Arus puncak ekspirasi (APE) 2292
AS 2519
Asam 493
amino 198, 1896, 1902
asetat, 493
asetil salisilat 524
asetoasetat (AcAc) 1907
basal, 515
deoksiribonuleat 144
etakrinat 2686
fibrat, 1987
nikotinik 1987
folat 1142
folinat 2758
HCL, 493
hialuronat 2547
homovanilik 2253
laktat 1917
lambung, 523
lemak bebas 1907
lemak omega 3 1892, 1989
lemak tidak jenuh 1892
nalidiksik 2860
Nikotinik 1988
nukleat 144
para amino salisilik (PAS) 2231
ribo-nukleat 144
salisilat 2737
salisilat amino, 596
sitrat, 493
urat 1026, 2354, 2361
Asap 2287
rokok. 2294
Asbes 2287
Asbestos 2255, 2282
Ascaris lumbricoides, 622, 625
Ascenden 2926
ASD 1563
Aseptic necrosis 2696

Asetilkolin 840, 909, 2747


Aseton 1908
Asian esophageal cancer belt 498
Asidosis
hiperglikemia dan ketosis 1906
laktat 1920
metabolik, 194, 906
tubular renal 2677, 2678
Asites 705, 2331
Asma 906, 2279
Aspergillus 2233
fumigatus 2267
Aspergiloma 2270
Aspergilosis 2269
Aspirasi 2207, 2323
Aspirin 1362, 1730, 1738, 1760, 1769, 2737
Assisted-Controlled, Volume Ventilation 169
Assisted-ventilation controlled mode 168
Asthmatic pulmonary eosinophilia 2298
Astigmatisme; 40
ASTO 1665
Astrogliosis 901
Asuhan paliatif, 91 6
Asupan yang Tak Memadai 1147
Asymmetric sensorineural hearing loss 829
asynchronous 1642
AT I11 1371
Atabrin 2953
Ataksia 905
Ataktiklserebelar 2447
Atelektasis 2235
Aterosklerosis 518, 892, 899, 906, 1790, 1792, 2355
Atetosis 50
ATG 1075
ATP 1896, 1907, 1920, 2633
Atresia pulmonal 1694, 1788
Atrial
flutter paroxysmal 1639
natriuretic peptide 2059
septa1 defect 1610
Atrioventricular 1788
concordance 1788
Atrofi otot, 860
Attaque cerebrale, 892
Automatisasi 1645
Auranofin 2758
Auro sodium Tiomalat 2757
Auskultasi 2235
Autoantibodi 25 14
Autoimune expcrinopathy 25 14
Autoimunitas 1883
Automated axternal defibrillator 229
Autonomously Functioning Thyroid Nodule 2023
Autoregulasi 895, 901
Autosom
dominan 150 2725
Autosom resesif 150, 2727
AV Nodal Reentry Tachycardia 1618
Ayunan postural, 81 3
Azatioprin 1074, 2584, 2631, 2756, 2758
Azitromisin 2265
Azoospermia 2274

B-IIIulceratif 5 17
B-IIIIinfiltratif, 5 17
B-IV plastikallinitis 5 17

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Babesiosis 1164
Bachman's bundle 1630
Bacillus 2966
anthracis 2966
Calmette Guerin 223 1
Bacterial overgrowth, 540, 545, 593
Bacteriophage 2902
Bagassosis 2288, 229 1
BAJAH 2024
Bakteriostatik 2240
Bakterisid 2240
BAL (broncho alveolar lavage) 2236
Balismus 50
ballotement 71, 74
Balon
mitral valvuloplasty 1676
pneumatik, 495
sign 2448
Bangsal geriatri
akut 783
kronis 784
Barbiturat 5 19
Bare metal stent 1574
Barium
enema kontras ganda 544
follow through 544
meal kontras ganda 517
Barognosia 52
Barorefleks 902
Barotrauma 2340
Barret's esophagus (gastritis esofa
Bartonellosis 1 164
Basal
heart rate 906, 1790
metabolit, 904
Basaloid carcinoma, Lymphoe-pithelioma-like carcin 2254
Basic calcium phosphate 2561, 2564
Basil
tahan asam (BTA) 2263
Hoffman 2956
Basiluria asimtomatik 1012
Batang otak, 894
Batas jantung
atas 67
kanan 66
kiri 66
Batu
kalsium oksalat 1026
saluran kemih 1025
urat 2550
Batuk 2251, 2299
berdarah 2337
kronik dan berdahak 2267
Darah 2234
r
Bell's palsy 37
Bence Jones 960
Benda keton 1907, 1908, 1909
Bendungan Splenomegali 1 183
Benign
Prostate Hypertrophy 905
recurrent cholestasis of pregnancy 703
Benzalkonium klorida, 493
Benzodiazepin 91 1
Berat jenis plasma 2847
Bercak koplik 43
Berg balance scale 821
Berkas His 1524, 1602
Berkontraksi 2376

Bermusuhan 929
Bersihan total 136
Berylliosis 2284
Bestialisme 121
B (Beta)
amiloid. 838, 2632
endorphin 2059
glucuronidase 721
2 glikoprotein 1 2582
2-Microglobulin 1427
blockers, 102, 540, 1087
adrenergik 225
biakan 2236
sputum 2237
Bidang empat ruang ('apical four chamber')
Bifosfonat 2727
Biguanid 1920
Bilasan lambung 2236
Bile
acid breath 545
acid pool 540
acid sequestran, 1987
Bilharziasis 2986
Bilier 2677
Bio-psiko-sosial 769
-spiritual 778
Bio-transformasi 776
Bioavailab~litas 135
Biofeedback 871
Biokimiawi 2681
Biologik 769
limfoproliferatif 1245
Biomarker 1744
Biopsi
aspirasi 1408
aspirasi jarum halus 752
eksisi 1408
ginjal 943
hati perkutan 751
insisi 1408
mukosa kolon 584
pleura 2331
truncut 1408
tularlg 2681
biopsy urease test (BUT ) 505
Bioptom 1713
Stanford 17 13
Bisfosfonat 2361, 2682
Bising
austin flint 1690
jantung 68
sistolik tipe ejeksi 1780
Bitionol 2953
Bitot 39
Black Cohosh 2080
Black snakeroot 2080
Black-liver jaundice, 7 15
Bladder
training, 871
tumor antigen 1427
bleb 2345, 2346
blefaritis 39
Blok
AV 1609
AV derajat l 1549
AV derajat 2 1549, 1639
AV derajat 3 1549, 1639
AV tingkat 1 1609

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1556

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

AV tingkat ll 1609
AV tingkat Ill 1609
bifasikular 1639
jantung 1609
Sinoatrial 1605
unidirektional 1619
Body mass index (BMI) 1977
Bone
age 2044
density 2079
Scanning. 2258
turnover 2035
Bormann 577
Borrela bugdorferi 2645
Boutonniere 245 1
Bovis M. 2232
Bowing legs, 2693
BPH 2080
Brachytherapy 1573
Bracing 2725
Bradikardia 1630
relatif 32
Bradikinesia 85 1
Bradikinin 2737
Brahyolmia 2731
Brain Natriuretic Peptide 1585
Brakidaktili 2692
Brakisefalus 36
Brakiterapi 1575
Breathing 896
Bridging therapy. 2752
Bromokriptin 2042
Bromsulphthalein 715
Bronchial washing 2236
Bronchiolitis
obliterans 23 16
obliterans organizing pnemunia 2792
obliterans syndrome 23 16
obliterans with organizing pneumonia 2316
Bronchoalveolar Lavage (BAL) 2277
Bronkial 63
Bronkiektasis 2274, 2297, 2324
Bronkiolektasis 2274
Bronkiolitis 2288, 2289
obliterans 2315
Bronkitis kronik 2323
Bronkodilator 224, 2277
Bronkografi 2235
Bronkolitiasis 2300
Bronkopneumonia 897
Bronkoskopi 499, 2236, 2325, 2332, 2258
Bronkospasme 2691
Bronkovesikular 63
Brucella
abortus 2970
melitensis 2970
suis 2970
Bmselosis 2970
Brushing 517
Buffalo hump 2063
Bulge sign 2448
Bulimia Nervosa 99
Bulla 35, 2323, 2345, 2346
Bullektomi. 2345
BUN 1056
Bundle branch block 1603, 1610
Bunyi Jantung Tambahan 67
Bursitis 2354, 2358, 2698

anserina 2702
llliopsoas (Illiopectinial)
ischial 2702
olekranon 2700
Prepatelar (Housemaid's
Trokanterik 2701
Busi
Hurst, 495
karet air raksa (merkuri)
Maloney, 495
Butterfly rash 37
Button hole 1672
By pass gastric (Roux-en Y)
Byssinosis 2288, 2290

2702

knee) 2702

495

1981

C-20 Hidrosilase 2069


C-21 Hidroksilase 2069
C-3b-dehidrogenase 2069
C-reactive protein, 593, 1915
Ca 125, 777
prostat, 905
Cacing
dewasa 2989
hati (liver fluke) 2943
Cadmium 2708
cag pathogenicity island 503
Cairan
intraselular, 199
serebro spinal 2927
tubuh, 904
Calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP) 1948
Calcium
Channel Blocker 1087
pyrophosphate dehidrogenase crystal 2561
Calicivims 510
CAM 911
Camille Guerin 2231
Campuran 908
Campylobacter 5 16, 621
Campylobacter jejuni, 543
Canadian cardiovascular society 1735
Cancer Antigen 125 1426, 1427, 1428
Candida albicans 2267
Canicola L. 2808
Capture 1654
beat 1625
Carbidopa 856
Carbonate subtituted apatite 2561
Carbonated dressing, alginate dressing 1964
Carbonic anhydrase inhibitor 949
Carcino embryonic antigen 1426
Carcinoid tumor 2254
Carcinoma medullere thyroid. 1994
Carcinomas of salicary gland type 2254
Cardiac
cardiac arrest 1635
cardiac output 747, 1569, 1681, 1682
resynchronization therapy 1660
skeleton 1644
stimulator 1646
Cardiovascular Function, 896
Carter-Robbins test 2050
Catastrophic APS 261 3
CAVH 1059
CD 55 1175
CD 59 1175
CD4+ 2264

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1-7

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


CEA 741, 2259
Cedera Paru Akut 1186
Cell
surface marker 2763
T growth factor, IL-2 2058
mediated 1883
mediated immunity 969
Central
and bilateral lateral node dissection. 2034
sleep apnea 805, 2347
Venous presiure 553
Cereal bran, 604
Cerebro vascular accident 905
Cervical
collar 2718
syndrome 27 15
Chagas 1716
Chain of Survival 228
Charcot 893
Charcot-like arthropathy 275 1
Chemoprevention 2262
Cheyne Stokes 33, 60
CHF 905
Chinese liver fluke 2945
Chlamydia trachomatis 1012
Chlorpromazin 909
Cholera sec 2848
Cholestasis of pregnancy 702
Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) 1980, 1986
Chondrocalcinosis 2561
Chondroprotective agent 2538, 2547
Chorea 1665, 1671
Chorio Carcinoma (80%) 2260
Chorionic somato mammotrophic hormone 92
Chromatography, thin-layer urine 546
Chronic overuse syndrome 2706
Chronological age 2044
Churg-Strauss syndrome 1004
Cincin Kayser-Fleischer 39
Circulating immune complex 969, 2648
Cisapride 484
Citalopram 2747
CKMB 1713
Claudicatio intermitten. 2542
Clicking. 2449
Cloncking 2449
Clonorchiasis 2943, 2945
Clonorchis sinensis 2943, 2945
Clostridium diff~cile, 552, 565
Coal Workers' Pneumoconiosis, Black Lung 2283
Coarse facial features 2040
Coats disease 2636
Coherence 205
Colchicine 540
Cold nodule 2024
Colin McLeod 141
Collecting duct 2052
Colon in loop 476
Colony forming units 1008
Color flow doppler imaging 1558, 1683
Committee on rheumatic fever 1663
Community
based geriatric service 782
based gerontologic 93 1
physician, 917
Comparative genomic hybridization (CGH) 159
Complete halo 2025
Complete heart block 1609

Compliance 906, 2281


Comprehension 205
Comprehensive geriatric assessment 769, 909
Computed Tomography Scanning (CT Scan) 830, 2281, 2235,
2927
Con-joint care, 782
Confusion 842, 905
assessment methode 908
Confusional state, 205
Congenital heart block 2583
Congestive Heart Failure 906
Conjugatif transposons 2903
Conjugation 2902
Continous ambulatory peritoneal dialysis 1055
Continuous wave dopler 1558
Continuum of care 772
Contour jantung 67
Contraction 195
Contraction-band 1812
Contrast-enhanced MRI 17 14
Control points 2712
Copper sulfate, 493
Coproporphyrin 716
Core set 2366
Coronary
artery bypass grafts (CABG) 102
flow reserve (CFR) 1573
risk equivalent 1792
Corticotropin releasing
factor 2056
(CRH) 118, 2062
Cortisol binding globulin (CBG), 2057
Corynebacterium
diphtheriae 2955
xerosis. 2956
coryza 2791
Cost-effectiveness 773
Covert bacteriuria 1008
COX2 inhibitor 522
CPEO 155
Crack pot sign 36
Cracking 2449
Crescent sign 2697
CREST syndrome 2620, 2622, 2624, 2626
Creutzfetdt-Jakob Disease 2993
Crigler-najjar 7 15
Crohn duodenal, 5 13
Crohn's Disease Activity Index 593
Cross
Bridges 2375
.
resistance 2901
CRRT 1059
Crux mortis 31
Cryptic disseminate TB 2233
Cryptic tuberculosis 2238
Cryptococcus neoformans 2269
Cryptogenic
fibrosing alveolitis (CFA) 2316
organizing pneumonia (COP) 23 16
Crystalline 2283
Crystals shedding 2557
C T Scan 594, 890, 895, 1098
abdomen 719, 906
toraks 499, 2249, 2252
helikal dan kontras 1029
Cumulative trauma disorders 2705, 2706
Curah jantung, 776
Curli adhesions 1010

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK insulin


dr. PRIYO
PANJI
absolut 1906, 1907

Curling's ulcer, 522


Cut-off 504, 1866
Cutaneous anthrax 2967, 2969
Cute emergency referral 774
Cutting balloon 1575
CVD 907
Cycle 167
Cyfra 21-1 2259
C Y P l l A 2054
C Y P l l B l 2054
Cystic
fibros~s, 2046
pulmonary fibrosis 2297
fibrosis transmembrane conductance regulato 2274
Cytokine
independent 1226
primed neutrophil 1005
cytoplasmic antineutrophil perinuclear 543
cytotoxic necrotizing factor-1 1010

D-dimer 1355
D-penisilamin 2756, 2757
Dada emfisema (Barrel-shape) 59
Daerah Mc Burney 476
Dakriosistitis 39
Daktilitis tuberkulosis = spina ventosa 2643
Dalteparin 1769
DAMES 2036
Danazol 1172
Daniel's biopsi 2258
Darah 1190
perifer lengkap 909, 1 19 1
samar 454
tepi 1 1 19
Day care, 785, 931
Day-hospital 782, 783
DC (direct current) counter shock 1606, 1634
DCCT 1901
Debu
anorganik 2285
organik 2285
Deconditioning, efek 769
Deep vein thrombosis 906, 1001
Defect
Osmoreseptor 205 1
Reglo hypoth.l.miconeurohypophyse.1ls 205 1
Respons Tubular 205 1
Jalur 1158
Jalur Embden Meyerhof 1159
Septal Ventrikel 1569
septum atrium (DSA) 1779, 1780
septum atrium dengan defek sinus venosus sup 1780
septum atrium primum, 1780
septum ventrikel (DSV) 1783
Defekasi 534
Defensif 929
Definisi 2609, 2924, 2943
dan epidemiologi 2620
kasus 2790
Defisiensi
AntiTrombin 111 1337
Asam Folat 1141, 1147, 1150
C-l l b-Hidroksilase 2070
G6PD 1159
GH didapat. 2044
GH kongenital. 2044
lmun 1120

Kobalamin 511, 1141, 1145


Miofosforilase (McArdle's disease) 2633
natrium, 862
Protein C 1337
Protein S 1337
Tiamin ( Beri-beri ) 1794
Vitamin 1794
Vitamin B6, B12,,danFolat 1795
Vitamin D 184, 2690, 2693
yodium (DY) 2009
Defisit
cairan 177, 2847
neurologis, 892
Deformitas cauliflower 273 1
Degeneratif 768, 779
Degradasi kartilago 2422
Dehidrasi 177, 797, 906, 907, 1906, 1908
berat, 552
hipertonik 797
isotonik 797
ringan 552
sedang 552
Dehidroepiandrosteron (DHEA) 94, 2054 .
Dehiscence 1704
Dekompensasi jantung, 893
Dekompresi 225 1
Dekontaminasi 291
Kulit 291
Mata, 291
Pulmonal, 291
Dekortikasi. 2335
Dekstrosa 198
Dekubitus 884, 894, 897
Delesi 1375
Delirium 822, 905, 914
Rating Scale 908
Symptom Interview 908
Delta sleep, 803
Delusi 842, 909
Demam 11 85, 2234, 2300
familial mediteranian. 2335
katayama 2989
reumatiklpenyakit jantung reumatik I662
Demensia 837, 838, 900, 905, 907, 908, 909, 910, 921
lobus frontalis 909
vaskular, 839
Denoma villosa, 558
Deoksitimidilat Monofosfat 1142
Dependensi 2746
Deposisi kristal 271 9
Deposit kalsium 2719
Depresi 842, 845, 908, 921, 2710, 271 1
Depressed
mood, 909
type), 577
Derivat
aktif 1143
asam Fibrat 1988
Dermatografia 35
Dermatom 27 17
Dermatomiositis 2630
idopatik 263 1
Desipramin 2746
Deteksi dini kanker paru 2257
Determinasi seks 148
Detrusor 866
Devertikula 602

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Deviasi
mediastinum 2249
trake, 499
conjugee 38
Diabetes 916
insipidus 963, 964, 2039
insipidus nefrogenik. 2048
insipidus preoperatif 2039
insipidus sentral 2048
melitus 885, 892, 118, 1792, 1937, 2701
melitus dalam pembedahan 1957
melitus pada usia lanjut 1967
melitus Juvenil 263 1
autonomic neuropathy (DAN). 1949
Diaforesis 2292
Diagnosis 2517, 2559, 2625, 2644, 2680, 2794, 2846
and statistical manual 111 908
banding 2928
dan terapi 1162
Diagnostik 1880
Dialisat 1055
Dialiser 1052
Dialisis 916
dan Kehamilan 1034
peritoneal 1053, 233 1
Diare 443, 622
akut, 444
infeksi, 549
infektif, 548
inflamatorik, 444, 549
kronik, 444
organik, 548
osmotik, 444, 534
pasca vagotomi 522
persisten, 548
sekretorik, 444, 534, 549
Diastolic 893, 1891
rumble 1674
diastolik
Dicalcium phosphate dihidrate (brushite) 2561
Dicrotic pulse 32
Die tollwut 2924
Diet 555, 585, 2256
Difenhidramin 91 1
Diferensiasi sel 1245
Diffusion limitation, 222
Difteri 2955
kulit 2958
Difusi 1060
balik ion H+ 5 13
Digitalis 1585
Digoksin 91 1
Dihidrotakisterol 2696
Diklorofen 2953
Dikromat 40
Dilatasi 491
arteri pulmonal 1786
per oral 495
pneumatik, 491
Dipiridamol 1362, 1768
Diploid 1375
Diplopia oftalmoplegia, 2040
Direct
cost, 774
current counter shock (DC shock). 1607, 1608
Directly observed treatment short course strategy 2241
Dissinergia pelvis, 877
Disability 781

adjusted life-expectancy 925


Discomfort 5 17
Disease 781
activity index 593
modifying 2753
modifying anti osteoarthritis drugs 2547
modifying anti rheumatic drugs 2755, 2765
Disekresi 2409
Diseksi aorta 1691, 1777
Disekuilibrium 828
Disentri
basiler 562, 2857
Shigella, 551
Disestesi 51
Disfagia 442, 494, 498, 621, 2207
Disfibrinogenemia 1330, 1337
Disfungsi
anorektal, 877
diastolik berat 1793
diastolik ringan 1793
diastolik sedang 1793
ereksi, 121, 2040
Seksual, 11 1, 120
sistolik. 1793
Dishormonogenesis 2001
Diskesia Rektum, 877
Diskinesia 856, 909
Diskografi 271 7
Dislokasi 922
Dismenorrhoe. 27 11
Dismorfik 936
Disomi uniparental 153
Disopiramid 1607
Disorientasi 908, 1913
Disosiasi AV 1608, 1625
Dispareunia 2079
Dispepsia 441, 516
non ulkus 501
Displasia
diastrofik 273 1
epifiseal multipel 2730
fibromuskular 1090
kniest 2730
metatrofik 273 1
spondiloepifiseal 2730
spondiloepifiseal kongenital 2730
spondiloepifisial onset lambat. 2730
tanatoforik 2729
ventrikel kanan 1721
Dispnea d'effort 1584
Dispneu 32
Disseminated gonococcal invention 2640
Disseminated intravascular coagulation 1319
Distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DP 1949
Distonia 293
Distorsi kripti, 594
Distribusi 776, 2924
Distrofi
Becker 2635
Duchene 2635
Fasioskapulohumeral 2636
muskular Duchene 151
otot 2635
otot okulofaringeal 2636
Distrofia
distal 2636
miotonika 2636
Distrofin 2635

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Diterapi 2678
Diuresis osmotik 1906
Diuretika 540, 900, 902, 1684
Tiazid 2052
diversitas genetik Hp 502
Divertikulitis 454, 465, 602, 1908
Dizziness 818, 826, 904
DLco 2315
DMARD 2354, 2365, 2366, 2523, 2755
DNA
markers 1425
Polymerase 1417
topoisomerase 1 2622
DNR 916
dNTP 1417
Doksisiklin , 2968, 2972
Dolikosefalus 36
Dolikostenomelia 2725
Dolorimeter 271 1
Dominant autosom osteoarthritis 2730
Domperidon 484
Donor
ginjal xenogenik 1068
hidup 1067
jenazah 1068
universal 157
Dopamin 2059, 2744
Dopler spectrum ('spectral dopler') 1558
Dormant 2232
Dosis obat 2244
Double
committed subarterial ventricular septa1 de 1784
crush syndrome 2719
outlet 1788
Doubling time 2257
DR blood group 1010
Drop attacks, 818
Drop-arm sign 2450
Droperidol 909
Droplet nuclei 2232
Drowsiness 205
Drug 896
induced LE 2565
induced liver injury 702
induced lupus syndrome 2336
eluting stent (DES) 1573
DSM-IV 91 1
DTPA 2042
Dual chamber pacemaker 1658
Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) 1978
/
Dubin-johnson, sindrom 715
Duktus arterios~rspersisten (DAP) 1785
Dukungan nutrisi, 240
Duodeni 513
Duodenitis 504
kronik aktif 524
Durasi 1895
DVT 1372
Dysergasticreaction 907
Dysmenorrhoe 2709
Dyssomnias 802

Early
after depolarization 1619
defibrillation, 229
gastric cancer. 577
EBM 2360

Ecchymoses 2040
Edema 176, 177, 2235
anasarka 35
otak 1910
paru, 906
paru akut 1772, 2330
edema paru kardiogenik 1773
Eder Puestow, 495
Edrofonium (tendon) 2637
Efek
massa, 895
rokok 2255
Samping 914, 2356, 2741, 2742, 2929
Efloresensi 35
Efusi pleura 2208, 2232, 2235, 2249, 2290
neoplasma 2334
/empiema) 2235
Ego-integrity 932
EI aktif 1702
Einthoven 1523
Eisenmenger 1784
Ejection fraction (EF) 216
EKG 887, 905, 909, 1104
Ekhodopler 1964
Eklampsia 1100
Eko transtorakal 1551
Ekokardiografi 214, 1551, 1726, 1729
stres 1729
ten cate 1723
trans esofageal (ETE) 1562
Eksantema, 36
Eksibisionisme 121
Ekskoriasi 35
Ekskresi 776
Eksokrin 739, 2514
Eksokrinopati 251 5
Eksostosis 2708
Eksotoksin Vac A 503
Ekspektoran 226
Eksteroseptif 813
Ekstrapiramidal 909
Ekstrasistol
atrial 1606
nodal 1607
ventrikel 1607
Ektomorfik 92
Ektropion 39
Electrical
alternans 1726, 1805
pacing rhythme 1739
Electro-hydraulic shock wave lithotripsy 724
Electrolyte 896
Elektro-okulografi 2348
Elektrodiagnostik 2717
Elektroensefalografi 2348
Elektrofisiologi 21 5
Elektroforesis 1418
Elektrokardiografi 2 14
Elektrokardiogram 229, 1523
Elektrokoagulasi 495
Elektrokonvulsi 849
Elektrolit 200, 887, 909, 1056
Elektromiografi 2701
Elevated Liver Enzyme 705
Elipsitosis Herediter 1162
ELlSA 504, 546, 552
Ellsworth-Howard, tes 2692
Elongasi 146

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1-11

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


aorta 1691
Emboli 892
Emboli Paru 895, 906, 1356, 2305, 2334
Embolus Arteri Mesenterika
akut 612
superior 606
Embryo Vaccine 2929
Emergency 895
hypertension 1103
Emfisema 2289
interstisialis 2340
mediastinum 225 1, 2340
subkutis 2340
Emisi positron tomography (PET) 2252
Empiema 499, 719, 2208, 2233, 2324
thoracis 2329
Empiris 51 8
Employment plan, 930
Encefalopati Spongioform 1204
Encephalopathy, metabolic 907
End-arterectomy 897
Endobronkial 2233
Endokarditis 1804
bakterial, 886
infektif (El) 1702
Endokrin 739
Endokrinopati 2686
Endometriosis 584
Endomorfik 92
Endoneurium sel-sel Schwan 2925
Endoscopic Retrograde Cholangi Pancreatography 467, 544,
719, 722
Endoskopi 442, 455, 561, 467
lentur, 467
dan radiografi 458
kapsul, 467
endoskopi saluran cerna 470
endoskopi saluran cerna bagian atas 469, 470
Endosonografi 545
Endotel 2379
vaskular 525, 2378
Endotoksin 1920
Enema barium, 456
kontras gand 573
Enoftalmus 38
Enoxiparin 1769
Ensefalitis 2927, 2928
akut 2925
Ensefalopati metabolik, 186
Enteric rotavirus, 510
Enteroinvasif E.coli 2859
Enterokolitis nekrotisasi neonatal 607, 619
Enterokromafin, sel 5 13
Enteroskopi 467
Enterotoksigenik 55 1
Enterotoxigenic Eschericia coli 2846
Enterovasif 55 1
Enterovirus 887
Entesopati 2699, 275 1
Enzim 1880
dehidrogenase 1917
dehidrorotat dehidrogenase 2759
endonuklease restriksi 1417
lipoksigenase 2737
lipoprotein lipase 1892
peptidase 1896
siklooksigenase 2737
sitokrom p-450 708

urease, 504
Eosinofil 2409
Kemoatraktan 241 0
Eosinofilik paru 22 10
Eosinofiluria 936
Epidemi HIV 2231
Epidemiologi 2514, 2556, 2561, 2680, 2843, 2943, 2949
dan etiologi 2520
Epikondilitis 2707
epikondilitis lateral 2698, 2699. 2700
epikondilitis medial 2699, 2700
Epilepsi 2747
Epinefrin 1901, 1907, 1908
Epiphyseal plate, 2693
Epitel 514
Epitrokleitis 2699
Epoprostenol (Folan) 2338
Eptifibatid 1731, 1768
Epworth 2348
Ergokalsiferol 2678
Ergonomi 2705, 2706, 2708
Eritema 34
marginatum 34, 1665
migrans 2645
multi forme, 2742
nodosum 34, 593, 2648
periungual 2630
Eritromisin 2959, 2968
Eritropoietin 1140
Erosi 35
Erythromycin 2901
Es pronasi-supinasi 50
Escape phenomenon 2059
Escherichia coli, 563
ESHESC 900
Esofagitis kronik refluks 500
Esofagografi dengan barium 482
Esofagogram 494
Esofagomiotomi 491
Esofagopulmonal 499
Esofagoskopi 467, 494
Esofagus Barrett, 486
Esomesoprazol 520
Esophagogastric junction, 497
Estrogen 1790, 1822, 2585
Etambutol 223 1, 2265
Etanercept 2762
Etanol 1921
Etat crible, 893
Ethacrynic acid 949
etidronat 2682
etinil estradiol 207 1
etio-patogenesis 592
Etiologi 2520, 2648, 2790, 2843, 2924, 2943
dan klasifikasi anemia 11 10
dan patogenesis 2709
disfagia, 442
dispepsia, 441
kanker paru 2255
Etionamid 2244
European Group for Study of Insulin Resistance (EG) 1866
Evaluasi pengobatan 2245
Evidence-based medicine (EBM) 227, 2360
Ex vacuo effusion 2331
Exocrinopathy 25 14
Extended
family system 927
spectrum beta-IactamaseIESBL 2901, 2905

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


PRIYO PANJI
intermiten 3 1

Extracelular regulated protein kinase 1414


Extracorporeal shock wave lithotripsy 724
Extrasystolic AV junctional tachycardia 1607
Eye ball pressure 1606
Ezetimib 1989

FA

kronik atau permanen 1613


paroksismal 1613
persisten 1613
Faal
hemostasis 1120
organ, 772
paru 2299
Facies plethora 2040
Factitious 542
Faeokromositoma b~lateral 2687
Fagositosis 2403
Failure to thrive 768
Faktor
agresif, 523
defensif, 523
epitel, 525
genetik 568, 2622
hageman 2305
parakrin 2075
pertumbuhan, 5 14
preepitel, 525
risikolodds ratio 2705
faktor subepitel, 525
risiko 2541
False negative, 604
Familial
Adenomatous Polyposis 568, 569, 574
Hypocalciuric Hypercalcemia 2687
juvenile gout 255 1
juvenile hyperuricaemic nephropa
osteoarthritis 2730
Family living arrangement 927
Farmakodinamik 776, 2740
antimikroba 2898
Farmakokinetik 776, 2739
antimikroba 2898
Farmakoiogis 588
Farmakoterapi 585
Farmers' lung disease 2291
Fascia1 hair 2071
Fasciola hepatica 2943, 2946
Fascioliasis 2943, 2946
Fase
gastrik, 5 15
imun. 2809
leptospiremia 2809
M 1414
S 1414
Fasies Hipocratic 37
Fasiitis Plantaris 2703
Fasikula 2629
Fast twitch
glycolytic fibers 2629
oxydati-veglycolytic fibers 2629
Fatal Familial Insomnia 2993
Fatty 535
liver, 703
FDG-PET 2036
FDP (Fibrinlfibrinogen degradation product) 2309
Febris

--

kotinua 31
non reaksi transfusi hemolitik 1200
remiten 31
undulans 31
Fecal
impaction, 905
Occult Blood Test 573
-oral 501
Felineus 0 . 2943
Female pseudo-hermaphroditism 2069
Fenilketonuria 150
Fenitoin 91 1
Fenomena
Fenomena "On-Off', 856
fenomena Raynaud 1819, 2620, 2622, 2623, 2624, 2630,
2710
"wearing off' 856
Fenotip 142
Feokromositoma 1778, 1796, 2066, 2250, 2252
Feritin Serum 1132
Fermen glukosa 2956
Fertilitas 768
Feses 887
Fetishisme 121
Fever of unknown origin 890, 2238
Fiber
supplement, 588
optic pleuroscopy 2332
Fibrilasi
Atrial 893, 906, 1606, 1612, 1652, 1799
ventrikel 229, 1629
ventrikular, 228
Fibrinoid 1807
Fibrinolisis 1320, 1329
primer 1323, 1329
sekunder 1323
Fibrinolitik 1434
Fibrodisplasia ossifican progresif 2727
Fibroelastoma lipoma papiler 1818
Fibroma 577
Fibromialgia 2698, 2709
juvenile 2710
primer 2710
regional 2710
regional atau terlokalisasi 2710
sekunder 27 10
usia lanjut 2710
Fibromiositis 2709, 27 19
Fibrosis 2235, 2298
dinding esofagus 493
kistik 150, 2274
paru 2620
paru idiopatik (FPI), 2290, 2315
Fibrositis 2356, 2703
Fibrous cap 1757
Fiksasi kompleme, 504
Fimbriae 1010
Fimbrial adhesions 1010
Fine wrinkling 2040
Fi02 2205
First degree relatives 142
Fish mouth 1672
Fisiologis 925
Fisioterapi 896
Fistula
anastomosis, 500
bronkopleura 2324, 2345

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


gastro kolik 518
Fistulasi 594
Five-years survival rate 499
Flagel H Pylori 502
Flat type, 577
Flocare 495
Flow cytometric immunophenotyping 1440
Flow ratio 1570
Fluid deprivation 2050
Flulike syndrome : sesak napas, batuk 2289
Fluoksetin 2747
Fluor 2708
Fluorescence
bronchoscopy 2258
exchancing agent 2258
Fluorosis 43
Fluoroskopi 495, 2258
Flushing 34
Fluttering 1691
FNA 2253
Foetor ex ore 44
Folikel /Follicle
de Graaf 95
primer 95
sekunder 95
teertier 95
stimulating hormone 94, 95
Follow through, 544
Fondaparinux 1768
Fonokardiografi 1689
Foot process 959
Foramen ovale persistent 1563
Foramina1 compression test 2454
Formula Cockcroft- Gault 939
Fosfaturia 2694
Fosfolipase 503, 524
Fosfolipid antikoagulan 1345
Fosfor 2677
Fosforilasi oksidatif 2633
Foto
lateral 2235
polos abdomen 941
sinus 2277
toraks 887, 909, 2249, 2276, 2329
usus halus 478
kromogen 2263
Fractional flow reserve (FFR) 1573
Fragile X syndrome 153
Frailty 812
Fraksi
ejeksi 1824
plasma 1190
protein plasma 1196
Fraktur 821, 902, 904, 922
femur, 771, 773
panggul, 921
Francis C r ~ c k 141
Free fatty acid (FFA) 1985
Free radical inhibitors 523
Frekuensi 1895
Fronto-temporal dementia, 839
Frottage 121
Frouzen shoulder syndrome 2699
Frozen section 2033
Fruktosa 198, 1892
Fructose-1-phosphate aldolase 2552, 2553
Functioning 2038
Funduskopi 41

Fungsi 2379, 2394


apoptosis dalam sistem imun 2418
utama anorektal 463
Fungsional 535
Furosemid 19 14, 2686
Fusion beat 1625

G-adhesions 10 10
G-banding 158
y-melanocyte-stimulating hormone 2059
GI 1414
G2 1414
GABA 2747
Gabapentin 2747
Gagal
Gagal ginjal, 885
Gagal hati, 885
jantung 1583, 1586
jantung akut 1586
jantung diastolik 1583
jantung kanan 2235
Jantung kronik 1596
jantung sistolik 1583
napas, 234
napas hiperkapnia 218, 219, 223
napas hipoksemia 21 8
Gait 814
GAKI 201 1
Gallop 1682
atrial atau presistolik 1778
S3 1584
vetrikel atau protodiastolik 1778
Gama globulin 2236
Gambaran
imunopatologis 2621
klinis 2515, 2521, 2639, 2677, 2680, 2710
klinis dan diagnosis 2648
laboratorium 2647, 2677
nonsiklik, 462
patologi 2620
radiografi 2543
radiologis 2681
ulkus, 594
Gametogenesis 143
Gamma interferon alfa 524
Gamma linoleic acid (GLA) 1950
Gangguan
eliminasi, 465
fungsi ginjal 1892
fungsi sel darah putih 186
fungsi trombosit 186
ginjal akut 1033, 1041
ginjal kronik 1034
jantung, 894
klinis 1145
kognitif, 910, 921
kognitif global 91 1
konduksi 1609
konduksi dan aritmia 1813
kontinentia, 465
motilitas, 444, 583
motilitas usus halus primer 463
permeabilitas usus 549
respirasi, 894
toleransi glukosa 1969
Gangguan keseimbangan
cairan 175

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


PRIYO PANJI
supresor tumor 157, 569

fosfor 185
kalium 181
kalsium 183
magnesium 187
natrium 178
Ganglioma 2707
Ganglioneuroma 2250
Gangliosides 1950
Garam emas 2756, 2757
Garis
Ellis Damoiseau 63
isoelektrik 1525
Schuffner 70
Gas belerang 2285
Gastrektomi 2677
Gastric I gastrik 515
bleeding, 897
inhibitory polypeptide, 2063
outlet obstruction 5 17, 51 8
Gastrin 506
Gastrinoma 743
Gastritis 441, 509
akut, 524
atrofi, 577
erosi akut 606
kronik aktif 501, 524
Gastro esophageal reflux disease 5 17
Gastroduodeno-jejunoskopi 544
Gastroduodenografi, 741
Gastroesofageal., Sintigrafi 483
Gastrointestinal anthrax 2969
Gastroparesis 1908
Gastropati 509
hipertensi portal 459
kimiawi, 5 1 1
OAINS, 51 1
reaktif, 51 1
Gastroskopi 467
GATA-1 1226
Gated single-photon emission computed tomography 1565
Gatropati 5 11
Gay bowel syndrome 549
Gaya berjalan 2447
Gaya berjalan yang abnormal 2447
GCRP (good clinical research practice). 2898
Gejala
klinis 2643, 2925
anemia 1131
furious 2926
gangguan otot skeletal 186
khas 11 11
khas defisiensi besi 1131
klinis dan diagnosis 2641
mayor 1666
minor 1666
penyakit dasar 1132
prodromal 2791, 2925
gejala psikologik, 773
umum 1111
umum anemia 1131
Gelombang
delta 1533
lambat, 461
GenlGene
polyposis adenomatous coli 569
'
caga, 502
cypl lb2 2054
erbbl 2256

supresor tumor
vac a 502
resisten 2902
General check-up 1881
Genetika 1 168
kanker 157
mitokondria 154
genital ridge 2053
genito urinarius, 905
Genom 142
Genotip 142, 776, 1381
Genotyping 2276
Gentamisin 2972
Genu rekurvatum 2725
Genus Coronavirus 2790
Geographic tongue 44
GERD 481, 744
G e r i a t r i /Geriatric 758, 768, 770, 924
care, 931
Depression Scale 92 1
giants, 769, 780
home healths care 784
Germinal centers. 201 9
Geronto-seksualisme 121
Gerontologi 758, 770, 924
Gerstmann-Straussler Scheinker Syndrome 2993
GFR 776
GH 2039
Releasing Hormone 2044
GI tract, 905
Giant-cell myocarditis 1718
Gibbus 49, 2643
Gigantica F. 2943, 2946
Gigi Hutchinson 43
Gigitan
coral snake 282
elapidae, 281
hydropiidae, 282
kutu, 277
laba-laba pertapa 275
rattlesnake, 282
ular berbisa 280
viperidae, 282
Ginekomastia 48
adolesen 97
Ginjal
kronik 1008
Transplan dan Kehamilan 1034
Gizi
pada usia lanjut 127
anak, 126
ibu hamil 126
ibu menyusui (laktasi) 127
Glibenklamid 1901, 1904
Glikogen 1907, 1913
Glikogenolisis 1898, 1901
dan proteolisis di otot 1901
Glikolisis 1907, 1917
Glikosaminoglikan 2547
Gliserol 1901, 2998
Glomerular Filtration Rate 1945
Glomerulonefritis
lesi minimal 972
membranosa 972
proliferatif 972
Glomerulosklerosis fokal dan segmental 972
Glucosa 6-phosphatase 2552

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Glucose
level, 896
transporter 979
transporter 2 (GLUT 2) 1896
transporter 4 1792
Glukagon 543, 1901, 1904, 1905, 1907, 1913
dan epinefrin 1902
Glukagonoma 743, 745
Glukoneogenesis
1898, 1901, 1902, 1907, 1908, 1913
di ginjal 1902
di hati 1901
Glukosa
darah 1880, 1891
darah 2 jam setelah makan 1891
puasa 1891
Glukosuria 1912
GLUT-4 1898
Glycogen storage disease 2552, 2633
(Von Gierkee) 2552
tipe I 2552
tipe 111 2553
tipe 111, V dan VI 2552, 2553
Goldblatt 1091
Golfer's Elbow 2699, 2700
Golongan P-Laktam 2902
Golongan darah Bombay 156
Gonadotrophs 2040
releasing hormone (GnRH) 118, 2040
Gougerot's syndrome 25 14
Gout 2354, 2358, 2550, 2559
nefropati 2556
Gradien alveolar-arteri 23 15
Gradien transmitral 1672
Grafestesia 52
Graham Steel 1693
Granuloma 2233
eosinofilik 2290
Granulomatosis Wegener 1004
Granulosit Feresis 1194
Gravis 2956
Gregor Mendel 140
GRFoma 743
Group antigen darah Lewis B 502
Growth
Chart 2044
factor-like, 503
hormone (GH) 92, 1 18, 1902, 2709
velocity 2044
Guided USG 2033
Gula darah 895, 909

H. Pylori menjadi persisten 503


H.capsulatum 2268
H2 bloker, 888
H2 breath:, 545
H2 Receptor Antagonist (H2RA) 527
Habit training, 871
Habituation 2745
Haemolytic uremic syndrome 2858
Haemophillus influenzae 2901
Hallux valgus 2728
Haloperidol 909, 1914
Halusinasi 842, 909
Hamartoma 557
Handicap 781
HAP 1898
Haploid 1375

HbAlc 1949
HDL 1984
Heart Failure 1586
Heat
necrosis, 558
shock protein (HSP) 2430
stroke, 272, 792
Height age 2044
Height spurt 93
Helicobacter pylori, 481, 501, 509, 523, 621
HELLP 1101
Helminthiasis 621
Hemangioma kapilaris 36
Hematemesis 443, 526, 579
Hematogen 2232
Hematokezia 443, 453
Hematologi 1440
Hematotoksik 281
Hematoxyllin bodies 1807
Hematuria transien 952
Hemianopsia 41
Hemianopsia bitemporal 2039
Hemiparesis 1913, 2447
Hemisfer 893
Hemo-globinopati struktural 1379
Hemodia-filtrasi 1060
Hemodialisis 1052, 1060
Hemodialisis lntermiten 1063
Hemodinamik 608
hemodinamik tidak stabil 447
hemofilia a 1307
Hemofiltrasi 1060
Hemoglobin 593
Hemoglobinopati 1379
Hemokromatosis 150
Hemolisis mikroangiopatik 1 160
Hemolysis 705
Hemolytic Uremic Syndrome 1 161
Hemopatia klonal 1226
Hemoptisis 294, 906, 1673, 2256, 2300
Hemoptoe 2300
hemoragi sirkulasi saraf otak 892
Hemoroid 587, 604
eksterna, 587
interna 587
Hemorrhagic colitis, 563
Hemorrhoidalis, plexus 587
Hemostasis 1293, 1334
endoskopi, 45 1
primer. 1319
Hemostatik 895
Hemotoraks 2329
Henderson-Hasselbalch 191
Henoch-Schonlein purpura 992
Heparin 1340, 1360, 1731, 1768, 1826
Heparinoid 896
Hepatitis 887, 1201
B kronik 702
autoimun, 702
C kronik 702
E, 706
fulminan, 706
Iskemia, 606, 61 1
Non-A-B 1203
virus, 887
Hepatocyte Growth Factor 2689
Hepatomegali 499, 2235, 2337
Hepatotoksisitas

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

imbas obat 708


obat anti inflamasi non steroid 712
obat ant1 tuberkulosis 710
obat kemoterapi 71 0
HER-21neu 1428
Hereditary
fructose intolerance 2553
nonpolyposis colorectal cancer 568
Hermafroditisme 150
Hernia
diafragma ke mediastinum 225 1
femoralis 74
Herniasi transtentorial
sentral 206
uncal. 206
Heterogen 784
Heterogenous RNA (hnRNA) 145
Heterozigos~tas 569
Hexoamine pathway 979
He) man nephritis I01 7
Hibridisasi asam nukleat 159
Hickey-Hare 2050
Hidralazine 540
Hidrasi 897
Hidroksiapatlt 2564, 2699
Hldroksiklorokuin 2756
Hidrosefalus 842, 85 1
Hidrosiklorokuin 2584
Hidroterapi 2681
Hidrotoraks 2329
higa-like toxins, 563
High Bone-turnover 2695
High out put HF 1583
High Resolution CT scan (HRCT) 2315
High Risk Foot 1962
High-output state 1541
Hiperaktif 908
Hiperaldobteronisme 2053
primer 1094
Hiperalgesia. 2710
Hiperamilasemia 61 0
Hiperekstensibilitas 2726
Hiperekstensibilitas sendi 2726
Hiperemesis 293
gravidarum, 703
Hiperfosfatemia 184, 187, 1040, 2696
Hiperglikemia 1907, 1913
Hiperhomosisteinemia 1338, 1795, 1940
H~perinsulinemia 1880
Hiperkalsemia 182, 184, 2685, 2689, 2690, 2693
Humoral 2688
Hiperkalsiuria 186, 1026, 2689, 2690, 2693, 2694
Hiperkapnia 169
Hiperkloremia 1910
Hiperkoagulasi 614, 1001, 1370
Hiperkolesterolemia 901, 2362
Hiperlipidemla dan Lipiduria 1001
Hlpermagnesemia 188, 5 19
Hipermobilitas. 2726
Hipernatremia 180, 797, 906
Hiperoksaluria 1027
Hipero~molar 198, 797, 1912, 1913
Hiperparatiroidisme 184, 525
primer 2686
sekunder 2688, 2691
tersier 2688
Hiperpasia 5 1
foveolar, 5 12

adrenal bilateral 2067


paratiroid 2687
Splenomegali 1 183
Hiperresonant 61
Hipersensltivitas viseral, 583
Hipersomnolen 2348
Hipersplenisme 1 162, 1368
Hipertensi 893, 1086
gestasional 1 101
kronik, 900
portal, 454, 705
pulmonal 1673, 1786
pulmonal primer (HPP) 2337
pulmonal reumatoid 18 1 1 .
sekunder 1777
Hipertermia 27 1, 792
Hipertiroid 1799
Hipertiroidisme 185, 1795, I f 9 9
Hipertrikosis 37
Hipertrofi
eksentrik 1777
konsentrik 1777
ventrikel 1786
ventrikel kanan 1786
ventrikel kiri (HVK) 1777
Hiperurikosuria 1027
Hiperurisemia 2550, 2559
miogenik 2552
Hiperventilasi 2337
Hiperviskositas 893
Hipervolemia 176, 177, 1095
Hipoaktif 908
Hipoalbuminemia 862, 1000, 1773, 2334
Hipoasiditas 5 16
Hipodiploid 1375
Hipoestesia 5 1
Hipofonia 853
Hipofosfatasia 2694, 2727
Hipofosfatemia 186, 2045, 2693, 2694
Hipoglikemia 907, 1894, 1910
Hipogonadisme 2040
Hipokalemia 1910
Hipokalsemia 184, 1910, 2691, 2696
Hipokondria 271 1
Hipokondroplasia 2729
Hipokortisolisme. 2053
Hipoksemia 169, 221
Hipoksia 221, 906, 907, 191 7
Hipomagnesemia 188, 2692
Hiponatremia 179, 797, 906, 907
akut., 179
kronik, 179
Hipoparatiroidisme 184, 2691, 2692, 2694
Hipoperfusi 607, 901
mesenterika, 607
Hipopituitarisme 2039
Hipoplasia odontoid 2730, 2731
Hipositraturia 1027
hipospadia 75
Hipotensi 2927
ortostatik, 210, 817, 899, 902
Postural, 776, 861, 905, 2709
Hipotermia 270, 1201
Hipotiroid 1800, 2701
Hipotiroidisme 1795, 2000, 2045
primer (HP) 2001
retrognathla, 2348
sentral (HS) 2000

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


sepintas. 2001
subklinis (HSK) 2003
Hipoventilasi alveolar, 21 9
Hipovolemia 176, 177, 210, 892, 893, 1908
hipovolemik 797
Hippocrates succussion 64
Hirschsprung 273 1
Hirsutisme 2040, 2753
Simpleks 2070
Hirudin 1768
His bundle 1609, 1630
electrocardiogram 1609
Histamin 543, 2737
Histaminergik 5 15
Histerikallpsikogenik 2447
Histon 147
Histopatologi 502, 504, 505, 507, 582
Histoplasmosis 2267, 2268
Asimtomatik 2268
Diseminata 2268
HIV 2324, 2345
HLA
haplotipe 2018
haplotype A2, B40 2339
kelas 1 2430
-DR3 2018
-kelas I1 2430
HMG-CoA reductase inhibitor 1987, 1988
Holosistolik 1785
Holter Monitoring (HM) 1548, 1631
Home
care, 837, 91 7
help servic 786
Isolation 2795
nursing, 782, 786
Homeostasis 776, 896
Homeostenosis 758
Homoseksualisme 121
Homosistinuria 2726
Hormon l h o r m o n e 1907
caunter-regulatory 1903
gonadotropin korion 95
kontra regulator insulin 1907
lipase 1907
natriuretik peptida 1086
paratiroid 193, 1056, 2074, 2256, 2394, 2685
pertumbuhan 1907
steroid 2053
tiroid 1798
releasing, Growth hormone (GHRH) 118
replacemen. 205 1
Sensitive Lipase (HSL) 1976
related, Parathyroid protein (PTHrp) 3 16
Hospice care, 916, 917, 932
Hospital based, 931
Community Geriatric Service 782
Geriatric Service 782
Host 885
Hot flushes 2079
Hot nodule 2023, 2024
Housemaid's knee. 2702
HPRT 2552
HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan 2552
hsCRP 1757
HST 900
Hubungan antara keganasan dengan kejadian APL; 261.6
Hubungan HLA kelas I dengan penyakit teumatik 2432
Human

d~ploid cell vaccine 2929


chorion~cgonadotropin 119, 1426, 2582
genom project 141
~mmunodeficiency virus 2647
intravenous immunoglobulin 1950
leucocyte antigen (HLA) 2430
rabies immune globulin 2929
Humoral hypercalcemia of malignant) 2688
Hunger pain food relief = HPFR 5 17
Hyalinized fibrosis tissue 2021
Hydrophilic fiber dressing 1964
Hydroxyapatite 2682
Hhydroxyprogesterone caproate, 105
Hypercoagulable states 1336
Hypertension 897
Hypoactive sexual desire I I I
Hypopnea 2347
Hypothalamic-pituitary
dysfunction 2065
adrenal 82
hypoxanthine phosphoribosyltranferase 2550
Hypoxic spells 1788

I/polipoid, Boorman 5 1 7
IADL 910
latrogenesis 779
latrogenik 91 3
Ibandronat 2683
IBD 475, 569
IBS
pattern alternating, 584
predominan diare 584
predominan konstipasi 584
predominan nyeri perut 584
Icterohaemorrhagica L 2808
lDDM 1883
Idiopathiclidiopatik 21 0
Hypopitutary Dwarfism 97
left venricular tachycardia 1625
pulmonary fibrosis (lPF) 23 16
thrombocytopenic purpura atau Autoimune 1366
IDL 1984
IFN-.I 2289
Igamentum Treitz, 447
IglV dosis tinggi 1 172
lkterus 34, 718. 721
IL-l TNF-a dan IL-2 2289
IL-I0 2289
IL-12 2289
IL-Ira (IL-l receptor antagonist) 973
lleoskopi 544
lleus paralitik, 307
Imipramin hidroklorid 2747
lmmunocompetent 887
Immunocompromised 887, 2323
Immunological dissonance, 263
lmmunosupresif 1 172
lmobilisas~ 812. 859, 2690
Imobilitas 581
Impairment 78 1
lmpaksi feses, 879
Implantable
Cardiac Defibrillator 2 12
cardioverter defibrillator (ICD) 1548, 1660
IMT 900
lmunitas
adaptif 2408

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

selular, 885
lmuno
genetika 155
globulin intravena 2637
modulasi 1200
patogenesis GN 969
supresan 1 7 15
supresif 596
In office Hp test 504
lincipient diabetic nephropathy 980
Incomplete halo 2025
Indeks
lndeks apnea hipopnea 2348
Indeks kardiak, 904)
indeks massa tubuh (IMT) 29, 1973, 2348
independen 893
Indeterminate Colitis, 591
lndikasi
kuat, 182
mutlak, 182
rawat. 2794
sedang, 182
Indonesia 1866
i n f a r k 587, 1906
infeksi, 1906
miokard, 892, 1940
miokard akut 1741, 1792
miokard akut dengan elevasi ST 1741
miokard akut tanpa elevasi ST 1757 .
paru (Hampton's hump) 2309
Ventrikel Kanan 1752
Infected Foot 1962
Infectious thyroiditis 201 6
lnfeksi 884, 895, 1908
di Mediastinum 225 1
Helicobacter pylori 506
Hp dengan tukak peptik 501
human immunodeficiency virus 2647
kronik, 444, 493
Mikroorganisme 1 163
nosokomial, 884, 913
pada sendi prostetik 2642
saluran kemih 862, 885, 907, 91 1, 1008
saluran kencing (ISK) 905
sendi prostetik 2642
traktus urinarius 1033
usus, 584
yang disebarkan artropoda 1203
lnfektif 535
Infertilitas 108
lnfiltrasi sel mononukleus 594
lnfiltrat 23 15
Infiltratif Splenomegali 1184
Inflamasi 905
akut divertikulitis 604
pada syok 2414, 2402
Inflammatory
Bowel Disease 591, 604
polyps, 558
lnfliksimab 2762
Influenza 887
lnfus Glukosa 1958
INH 519
Inhalation Antraks 2967
Inhibitor
inhibitor ACE 1751
inhibitor glikoprotein IlbIIIIa 1731
inhibitor TNF-a 2761

inisiasi 146
initial case definition 2791
lnjeksi Toksin Botulinum 492
inkompatibilitas sistem Rhesus 156
inkontinensia 885, 894
akut, 869
alvi, 880
persisten, 869
urin, 905, 919
input visual, 813
insensible water loss 799, 1052
Insersi 1374
Insestus 121
insidens 907, 2709, 2924
insidentaloma 2038
insomnia 802
lnstabilitas
kromosom 568, 569
mikrosatelit, 568, 569
instent restenosis 1574
insufisien saraf otonom 902
lnsufisiensi
adrenal, 185
aorta 1569
mitral 1569
otonom, 210
vaskular 606
vitamin D 2690
insulin 1865, 1896, 1901, 1908
analog rapid-acting 1901
dependent 1883
like growth factor 2023, 2710
lnsulinoma 744
Intake 897
Intensitas 1895
In teraksi
aksis brain-gut 583
dalam absorpsi 138
dalam distribusi 138
dalam eliminasi 138
dalam metabolisme 138
farmakodinamik 139
farmakokinetik 138
neuro-endokrin - imun 2440
neuroimunoendokrinologi 2435
Obat 138, 2743
Interdependent 78 1
lnterdisiplin 770, 781
Interferon
alfa 2928
,
interferon gamma (IFNy) 503, 728
interkritikal 2558
interleukin 2737
-1 2761
-Ip, 503
-2 503
-6 1414
-6 886, 1915
-8 503
Intermediary metabolism 2057
Intermediate 2956
density lipoprotein (IDL), very low d 1984
lntermitten 572
mandatory ventilation 168
International
diabetes federation (IDF) 1866
society nephrologylrenal pathology s 985
lnternis geriatri, 771

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

lntersititial lung disease 25 16


lntervensi psikologi, 585
Intestinal 5 15
antraks 2967
lntoksikasi
alumunium 2696
narkotika (OPIAT) 284
vitamin-A, 185
vitamin-D, 185
lntoleransi
laktosa, 540
cnakanan, 583
lntraaortic Balloon Counter Pulsation 1683
intracardiac defibrilator 1583
intravascular ultrasound=IVUS 1551
intracellular/lntraselular 896
adhesion molecule-l 970
tight junction 514
lntrafusin 495
lntrahepatic cholestasis of pregnancy 703
lntralipid 495
lntramuskular 909, 1905
Intrauterine devices, 107
Intrauterine growth retardation 1824
lntravena 909
drug user 646
Immunoglobulin 1366
lntususepsi 454
lnversi 1374
lnvestigasi biokimiawi 1029
loderma gangrenosum, 593
Ion kalsium, 896, 1896
lradiasi hipotisi~ 2067
lrama
jantung 68
nodal 1607
sinus 1614
sirkadian, 803
lridosiklitis 39
lritasi kronik, 513
Iron uptake system 1010
lrosis hati 2331
Irritable bladder 27 1 1
irritable bowel syndrome 542, 583, 604, 2709, 2710, 2711
Ischemic bone necrosis, avascular necrosis 2696
Ischemic vascular disease 905
ISK 905
Bawah 1012
Rekuren 1012
lskemia 584, 892, 905
mesenterika, 475
Mesenterika Kronis 619
mesenterika non-oklusif 607, 61 7
splanknik 606
usus. 1908
usus besar 606
usus halus 606
Islet cell 1904
Isolated gastric varices 305
lsoniazid 223 1
lsotop 504
Isotope bone scanning 2681

Jaccoud's arthropathy 25 17
Jalan napas, 224
Jalur
Bachman 1524

Caspase 1415
James 1534
Kent 1533
Mahaim 1533. 1534
James Watson 141
Jamur 2345
jantung
gagal kongestif 6 1 1
koroner, 885
paru, resusitasi 91 7
Jaras tambahan (accessor) pathwaq ) 1624
Jari tabuh 52, 2290
Jaringan
nekrosis, 582
penumbra. 896
Jatuh 812. 885, 902
Jaundice 703
Je.junum 545
Jenis 1895
JNC 7 899. 1079
Joint drainage 2640
Jumper's knee 2702
junctional tachqcardia 1607
Juvenile
onset 1883
polyp, 557

KIDOQI 1066
Kadar
kui serurn 593
gula darah 894
hemoglobin dan indeks eritrosit 1132
Kali diabetes 1961
Ka ku
kuduk 49
ser\ ikal 27 15
Kalazion 39
Kalba~nin 495
Kalikrein-Kinin 1087
kalium 1909
Kalsifediol 2696
Kalsitonin 543, 2074, 2395, 2683, 2690
Kalsitriol 1040, 2075, 2045, 2696
Kalsium 2392, 2677. 2685
asetat 2696
glukonat, 2692
hidroksiapatit 2562
karbonat 2696
sitrat, 2692
Kambuh 2246
Kanamisin 2244
Kandidosis kriptokokosis. 2267
Kandung kemih, 581
Kanker 916, 1413, 1446
esofagus, 498
gin,jal 2260
kolon, 567
lambung 2260
nasofaring 2260
paru 2324, 2254
paru sekunder 2260
pa) udara 2260
prostat 2260
tiroid 2260
Kanul naso-gastrik, 594
Kapasitas
fungsional, 779. 1855

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

vital, 904, 2301


Kapsula 893
Karakter
dominan 141
kodominan 14 1
resesif 141
semi-dominan 141
Karakteristik cairan sendi 2372
Karang wredha, 785
Karbamasepin 2747
Karbamazepln 2052
Karbohidrat 541. 1892
Karbon monoksida 2285
Kardiogenik 906
Kardiomiopati 17 14, 1720, 1792, 1801
diabetik 1721, 1792
dilatasi 1714
familial 1721
hipertrofik 1723
restriktif 1724, 1792, 1937
Kardiorespirasi 895, 896
Kardiovaskular 905, 1865
Kardioversi 1634
Elektrik 16 14
Karditis 1665
Karinatum 2725
Kariotip 1375
Karnitin 2634
Karnitin palrnitiltranferase 2634
karsinogen 2255
tipe l 501
Karsinogenesis 1422
Karsinoid Ganas 1796
karsinoma
anaplastik, 203 1
bronkoalveolar. 2255
bronkogenik 2325
bronkus 2335
esofagus, 500
insitu 1410
lnedulare 203 1
rnikosis paru bronkus 2235
prostat, 581
sel skualnosa 493
serviks, 581
tiroid rneduler 2687
Katabolisme 862
Katapleksi 806
Katarak 40
hipermatur 40
imatur 40
matur 40
Katastrofal vaskular, 905
Katekolamin 2053
urin 2253
Kateter intermiten. 872
Kateterisasi
jantung 1783
kardiak 1689
Katup
prostesis 1 162
pul~nonal 1693
Kavitas 2235, 2256
pada paru-paru 2230
Kecebolan Russel-Sil~er 2046
Kecepatan
aliran darah 1060
aliran dialisat 1061

Kegemukan 2541
Keha~nilan 1100, 1822, 1893, 2580
Ke.iang 1913
Kelainan
dinding 1162
ebstein 1541
gastr~jintestinal 2625
ginjal 2625
hepato bilier 905
jantung 2625
kulit 2624
monogen 150
muskuloskeletal 2625
paru 2624
poligen 15 1
pubertas 96
Kelas 1 2430
Kelebihan
bikarbonat, 196
Cairan 1201
Kelenjar
adrenal 2053
hipofise 1802
tiroid 1993
Kelling Madlener, 521
Keluarga Berencana, 122
Kematangan mental, 925
Kematian
janin. 261 1
maternal, 1 16
Ke~nonukleolisis 272 1
Kemoprevensi kanker kolorektal 524
Kemoprofilaksis 2247
Ke~noradioterapiKonkomitan 2261
kelnoreseptor 2744
Kemoterapi 579, 1454, 2261
Ajuvan 2261
kombinasi 1 172
Kenaikan tekanan darah 894
Kenakalan Rema,ja 100
Keperluan yang meningkat 1 147
Keracunan bisa kala,jengking 278
Keratoatokunjungtivitis sicca 25 15
Kerley B lines 1541
Kern-Sayre Syndrome 155
Kerusakan
fungsi sel darah merah 186
Paru Akut karena Transfusi 1200
Kesehatan maternal, 1 16
Keseirnbangan 8 12
Kesintasan 774
Ketagihan 2746
Ketamin. 2928
Ketergantungan 92 1, 928, 2746
Keteter menetap. 872
Ketoasidosis diabetikum, 906
Ketogenesis 1913
Ketokonazol 2067
Keton 936. 1903
Ketosis prone 1883
Khorea 50
KID 1329
Kifosis 49, 59
torakal 2725
Kifoskoliosis 2726
.
Kilotoraks 2329
Kimia korosif 2299
Kina 2998

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1-21

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Kinidin 519
Kista 1184, 2323, 2346
mediastinum 225 1
kista popliteal (kista baker) 2702
Klaritromisin 2265
Klasifikasi 11 16, 1728, 2263, 2626, 2739, 2957
forrester 1754
killip 1754
Truelove, 593
Klaudikasio neurogenik 2720
tungkai 1787
Klebsiella pneumonia 2323
Klindamisin 2326
Klinis 2642
Klirens 1945
Kloasma gravidarum 34
Klodronat 2683
Klofibrat 2052
Klon 1375
Kloning gen (DNA) 159
Klonus 51
Klopidogrel 1731, 1738, 1760, 1768
Kloramfenikol 2859, 2968
klorokuin 2756
fosfat 2757
Klorosis 34
Klorpromasin 2998
Klorpropamid 1901, 2052
Knee
bracing 2702
chest position 72
KO-morbid 885
Koagulasi intravaskular diseminata 1162, 13 19
Koagulopati 893
Koarktasio aorta (KA) 1786
Kodein 91 1
Kognitif 837, 900, 2745
Koilonikia 52
Kokarsinogenik 2255
Koksidioi-domikosis blastomikosis dan parakoksidi 2267
Kolagen 2539, 2547
Kolagenosa 2539
Kolangitis 593, 721
akut, 724
Kolaps
atrium kanan 1806
diastolik ventrikel kanan, 1806
Kolekalsiferol 2678
Kolera 563
kolesistektomi
konvensional, 719
laparoskopik, 7 19, 723
Kolesistitis 1908
akalkulosa, 61 1 ,
akut, 718, 721, 722
kronik, 719
Kolesistografi 71 8
Kolestipol 2002
Kolestiramin 2002
Kolinesterase inhibitor, 842
Kolitis 454, 560
amebik, 560
infeksi, 560, 593
Iskemia, 454, 610, 604
mikroskopik, 584
non-infeksi, 560
radiasi, 581, 582
ulseratif, 591

ulserosa, 563
Kolkisin 978, 2559
Koloid bismuth, 519
Kolon sigmoid, 602
Kolonoskopi 544, 572, 573, 582, 588
Kolostomi 582
Koma 205, 884, 905
dan kematian. 2925
diabetikum, 906
epileptik, 206
farmakologis, 206
hepatikum, 905
Kombinasi
AHA hangat dan dingin 1179
antimikroba 2898
Komisurotomi 1677, 1701
Komorbiditas 907
Kompartemen
besi dalam tubuh 1127
lingkungan mikro hemopoetik 1106
Kompeten 773
Kompetensi 77 1
Kompleks
Histokompatibilitas Mayor 1070
imun 2289
primer (Ranke) 2232
Komplemen pada kerusakan glomerulus 970
Komplikasi 456, 459, 914, 945, 2927, 2946
aferesis 1207
akut 1906, 1912
imunologi 1198
infeksi 1201
non imunologi 1198
transfusi 1198
Komponen 1107
darah 1190
hemopoesis 1105
Komprehensif 771
Kompresi
kiasma 2041
medul spinalis 905
Komunikasi 909
Kondrodisplasia
Puntata 2731
Metafiseal 273 1
risomelik 2731
terkait kromosom X 2731
Kondroitin sulfat 2547
Kondrokalsinosis 2563
Kondrosit 2538
Konduksi saraf, 904
Konfusio 884
Konjugasi 776
Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI 447
Konsentrasi Besi Serum 1132
Konsentrat Faktor
IX 1195
VIII 1195
Konstipasi 444, 862, 876
fungsional, 877
idiopatik, 465
Konstruktif 928
Kontaminasi 1186
bakteri 1204
Kontraksi 2376
Kontraktur 861
miostatik 2716
Kontrasepsi 107

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Kontrol
postural, 812
sukarela, 460
Konveksi 1060
Konvensional 773
konversi fibrilasi 1607
Konvulsi 2745
Kor Pulmonal 1816, 2235, 2290
Kornea 2925
Korosif 2299
korosif karena air abu 494
korosiflkaustik 493, 494
Korpus
alienum 2298
atretikum 95
esofagus, 488
rubrum 95
Korpusitis 503
Korset lumbal 2708
korteks 893, 2053
adrenal 2749
sereberal, 205
Kortikosteroid 225, 595, 1074, 2243, 2284, 2749
reseptor 2750
Kortikotrofin releasing hormone 2749
Kortisol 862, 1902, 1907, 1908, 2053
bebas terikat protein, 2056
Kostokondritis 2703
Kranial neuropati 25 16
Kraniosinostosis 36
Kraniotabes 2693
Kreatin fosfokinase 2630
Kreatinin 887, 909, 1056, 1945
serum, 776
Krepitus 2448, 2449
Kretin Endemik 2013
Kriopresipitat 1194
kriptokokosis 2267
Kriptorkismus 97
Krisis adrenal 2072
Krisis tiroid 1800, 2006
krista 2633
Kristal 937
kalsium oksalat 1026
kalsium pirofosfat dihidrai 2699
monosodium urat 2354, 2557
Kriteria 1668, 1866, 2519, 2896
anemia 1109
Derajat Dehidrasi 2846
diagnosis 2609
Duke 1702
Framingham 1584
Jones 1668
Major 1584
Manning, 584
Minor 1584
Roma 11 441
Kromatid 148
Kromofilik 2039
Kromofobik 2039
Kromosom 147, 1120, 1883
Philadelphia 153, 157, 1413
Kronik juvenil 2519
Krusta 35
Kualitas hidup, 773
Kuinolon 2902
Kuku pso~iasis 52
Kultur 502, 2810

mikrobiologi, 504
Kumbah lambung, 449
Kuratif 773, 781, 782
Kuru 2993
Kussmaul 33, 1908, 2845
Kussmaul) 1908
KVP 2291
kwashiorkor 1794

L-high-density lipoprotein (HDL) 1984


La rabbia 2924
La rage hydrophobia, 2924
LAA (Left Atrial Appendage) 1563
Labirintitis 828
Laboratorium 442, 2644, 2927
mikrobiologi. 2639
Lactic Acidosis 155
Lagoftalmus 39
Laju Endap Darah 1120
Laju filtrasi glomerulus 904, 943,1052
Laktat. 1903
Lakuna Howship 2385, 2387, 2390
Laminektomi 2721
Langkah pelaksanaan EBM. 2361
Lansoprazol 520
Lapang pandang 40
Lapis kedua 2242
Large beefy hands and feet 2040
Large vessel vasculitis 1004
Laringitis 2238
Laringospasme 2691
Laryngeal mask airway 23 1
Laseque 2722
Laserasi 922
pleura 2330
Late onset adrenal hyperplasia 97
Latihan
Inti 1895
jasmani 1894
Lavase bronkus 2290
Layar Byerrum 40
LCAT 1001
LDL 1984
LED 593
Leflunomid 2759
Left
anterior hemiblock 1610
atrial appendage 1539
bundle branch block 1610
posterior hemiblock 1610
ventricle, 906
Legg-Calve-Perthes
bilateral 2730
disease 2697
Leiomioma 577
Lekosit 593
Lekosituria 937
Lemak 541, 1892
tubuh 1880
Lengan Pendek Kromosom 1374
Leptin 1976
Leptospira interogans 2807
Leptospirosis 2807
LES 2355, 2580, 2709
Lesi 893
hemoragik, 895
Janeway 1704

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


striktur, 594
Letargi 1913
Leukemia 1245
granulositik kronik 1209, 1374
limfoblastik akut 1266
Limfositik Granular Besar 1121
limfositik kronik 1276
mieloblastik akut 157, 1234
Leukopenia 44, 1 180
Leukosit Esterase 936
Leukotrien 2737
Levodopa 854, 911
Levofloksasin 2973
Levotiroksin 2028
Lewy Body, 838, 909
LFG 1035
LHON 155
Libman-Sacks 1804
Lidah skrotum 44
Ligamentous snaps 2449
Ligamentum
Cooper 46
treitz, 594
Ligasi varises endoskopi 301
Limadenopati. 2290
Limb-girdle dystrophy 2636
Limfadenitis 2232
Limfadenopati 499, 2232, 225 1
servikal dan supraklavikula 2256
Limfangioleiomio-matosis 23 15
Limfangitis 2232
lokal 2232
Limfatik 1772
Limfodenopati 499
Limfogen 2232
Limfoma 887, 2252
Maligna 2335
MALT., 510
non-hodgkin 1251
pankreas, 743
sel B 1245
Sel T 1245
B, 885
Limfosituria 937
Limit 167
Linea dentate, 587
Lingkungan asam 2241
Lingua bifida 44
Linkage disquilibrium 243 1
Linkosamide 2902
Lipase 524
Lipid
adrenal hyperplasia. 2069
Associated Sialic Acid in Plasma 1428
Lipoarabinomannan 2236
Lipogenesis 1974
Lipolisis 1907, 1908
di jaringan lemak 1901
Lipoma 577, 2251
Lipooksogenase 2739
Lipoprotein lipase (LPL) 1975
Litium 2018
LMA 1376
Lobektomi 2327
Loeffler, 2956
Lone
COP 2316
FA 1612

Long QT syndrome 212


Longevity 758
Loop diuretics 2686
Looser's zones, 2693
lordosis servikal 2719
Low
Bone-turnover 2695
molecular Weight Heparin 1356, 1361, 1731, 1762, 1768
out put HF 1583
Platelet (HELLP syndrome) 705
power laser energy 2029
voltage 1713
density lipoprotein (LDL), 1984
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. 2236
Lower
esophageal sphincter 497
motor neuron 2629, 2717
Lubricant 589
Luka bakar, 922
Luminal agents, 561
Lupus
eritematosus sistemik 1180, 1804, 2315,
2354, 2565, 2764
like syndrome 984, 2757
nefritis 2581
Luteinizing Hormone (LH) 95, 118
LUTS 2080
LV compliance 1790
Lymphocyte function-associated antigen-1 970
Lymphoproliferative diseases 2254
Lymphotoxin-a 2761
Lyssa-virus 2924

M-adhesions 1010
M-mode 1551
M.kansasi 2232
M.tuberculosae 2232
M.fortuitum, M.chelonei dan M.abscessus. 2263
M.kansasii 2264
M.szulgai, M.xenopi, M.simiae dan M.melmoense 2264
MACIS 2036
Macrophage Inflammatory Protein-1 a 2689
MACTAR 2367, 2368
Macula densa 2056
Mad cow disease 2993
Magnetic Resonance
Cholangio Pancreatography 545, 722
Imaging (MRI) 830, 895, 2235, 2927
Major histocompatibility complex (MHC) 156, 2430
Makroadenoma 2038
Makrofag 885
Makroglosus 44
Makrolide 888, 2902
azithromisin 2860
Makrovaskular 1937
Malabsorbsi 477, 584, 622, 1147
asam empedu 534, 549
lemak, 478, 549
Maladie de Roger 1784
Malaise 905, 2234, 2289, 2292
Malaria 887, 1163
Maldigesti 477, 584
Male
escutcheon 2071
hirsutism 2070
Malformasi vaskular, 457
Maligna 493

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Malignant circinoid tumor endocarditis 1693


Malnutrisi 499, 1794, 2324
Malonyl CoA 1907
Maltase Croses Lipid 937
Mamma aberans 46
Manifestasi
pencernaan. 2792
atipik 2793
hati 2793
hematologis. 2792
kardiovaskular. 2793
klinis 2562, 2558, 2611, 2645, 2791, 2845, 2957
kulit 2516
neurologis 2793
pernapasan 2792
Manometri esofagus, 483
Manuver
Epley, 827
hiperabduksi 2700
Valsalva 225 1
Marasmus 1794
Marker 1375
molekuler 2544
Maroon stools, 443
Masa
hidup trombosit 1 168
inkubasi 2925
persiapan pensiun (MPP) 929
Masih operabel, 579
Masokisme 121
Mass screening 1881
Massa tulang pada menopause 2396
Massage sinus karotikus 1606
Mastoiditis 41
sistemik, 525
Mata
emetropia 40
hipermetropia 40
miopia 40
presbiopia 40
Mati batang otak 31, 1068
Matrix metalloproteinase-1 (MMP- 1) 1939
Maturity onset 1883
Mc Lyn McCarty 141
MDR 2203
Meals on wheels 782, 785
Mean arterial blood pressure 1683
Means-Lerman scratch 1795, 1799
Media transport carry-blair 2846
Mediastinoskopi 499, 2252, 2258
Mediastinum 2252
lipomatosis 2249
Mediator sel mast 2404
MEDICAID 932
Medical Outcome Study 36-Item Short-Form General 773
Medikamentosa 456, 518, 526
Medium Fletcher's 2807
Medium-sized vessel vasculitis 1004
Medroxyprogesterone acetate, 105
Medulla 2053
spinalis, 894
Mekanisme
abortus 261 1
kerja 2737, 2739
kontraksi 2375
kontraksi otot 2375
reentry 1619
regulasi absorbsi besi 1129

takiaritmia 161 8
Melanoma 2260
M e l a ~syndrome 155
Melasma 34
Melatonin 803
Melena 443, 526, 453
Memar 922
Mernbran/Membrane
Bruch's, 2727
attack complex 1010
Memori 838, 909
MEN (multiple endocrine neoplasia)
2A 2032
tipe IIA (Sindrom Sipple) 2687
2B 2032
Menarche 95
prematur 97
Mengi 2256, 2280
Meningitis 887
Meningoceles 2250
Menopause 95, 124
andropause 2078
Menstruasi 104
Mental age 2044
Menua 924
MEOS: microsomal etanol oxidizing sistem 84
Meperidin 2745
Merokok 2292
MERRF syndrome 155
Mesalazin 582
Mesin Aferesis 1207
Mesomorfik 92
Mesotelioma 2255, 2334
maligna. 2282
Messenger RNA (mRNA) 144
Metabolic age remodeling 1969
Metabolisme 212, 776, 897, 914
besi 1127
lintas pertama 134
pintas awal. 776
Metabolit kortisol. 2056
Metafase 1375
Metallic's sound, 476
Metaloproteinase 604
Metaplasia
Barret 2625
intestinal, 516
Metasentris 148
Metastasis
kanker luar esofagu 493
kanker 1506
tulang osteoblastik 2689
Metformin 1920
Methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) 2901
Metildopa 91 1
Metilprednisolon 1172
Metionin 1143, 2726
Metiraponi 2067
Metoda Fick 1569
Metotreksat 2631, 2648, 2756, 2758
MHC
kelas I 2430
kelas I1 2430
kelas I11 2430
MHR 1895
Miastenia gravis 2636
Mickulicz's disease 25 14
Micturating cystogram 1013

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Mid systolic click 1682
Midbrain 2925
Mielofibrosis 1225
Mielografi 1022, 1283, 2689, 2717, 2722.
Migrating motor complex 460, 461, ,
Migration-inhibitory factor 2058, 2750
Migren 2709, 271 1
Mikobakterium atipik 2263
Mikosis paru 2267
Mikro-organisme 885, 887
Mikroadenoma 2038
mikroaerofilik 504
Mikroagregat 1201
Mikroalbuminuria 958, 1943
Mikroangiopati 1160
trombotik 1181
Mikrobiologi 562
Mikrofibril 2725
Mikroglosus 44
Mikrognathia 2348
Mikrografia 853
Mikroinfark 901
Mikroorganisme saluran kemih 1009
Mikroperforasi 603
Mikrosefalus 36
Mikroskop fluoresens 2236
Mikroskopik Urin 936
Miksedema 2335
Miksoma 1693, 1818
Miliaria 36
Milwaukee shoulder syndrome 2564
Mineral, 2285
Mineralisasi tulang 2391
Mini Mental State Evaluation 908, 921
Minimal inhibitory concentration (MIC) 2901
Miofilamen 2629
Miogelosis 2709
Mioglobulinuria 2633, 2635
Miokard. 1798
Miokarditis 171 1, 1812
Reumatoid 18 10
Miopati 2647
inflamasi 2622
metabolik 2712
mitokondria 2633
steroid 2634
Miosin 2374, 2375
aktin, 2629
Miositis
badan inklusi 2632
infektif 2638
Mismatch repair 569
Misoprostol 512
Mitis 2956
Mitochondria1 Encephalomyopathy 155
Mitogen 885
activated protein kinase 1414
activated kinase 275 1
activated kinase phosphatase 2750
Mitokondria 1907
Mitotan 2067
Mitral valve
valve area 1675
valve prolapse (MVP) 68, 1563, 1680
valve replacement 1684
Mitramisin 2683, 2686
Mixed
connective tissue disease 18 16

ly'mphocyte culture 1071


sleep apnea/MSA 2347
MMAS 2080
MMC 155
MMSE 910
Mobilitas fungsional, 812, 814
Mobitz
tipe 1 1609
tipe I1 1609
I 1632
I1 1632
Modification of Diet in Renal Disease 939
Modifikasi
asia pasifik 1865
gaya hidup 483
Modulasi Respons lmun 2439
Mofetil mikofenolat 1074, 2585
Monitor holter 2348
Monitoring Markers 1424
Monokromat 40
Monosomi 152
Moon face 2063, 2753
Morbiditas 900
Morbiliformis 2757
Morfea 2626
Morfin 2745
Morning stiffness 1808, 27 10
Mortalitas 768, 774, 910
Motilitas kolon, 462
MPO 1005
MRI 890, 1098
Mual dan muntah 443
Mucin 514
mucoraceae 2324
Mucosal Associated Lymphoid Tissue (MALT) 502, 5 16
Mucus promotor 523
MUFA 1892
Mukormikosis 2271
Mukormikosis aspergillosis, 2267
Mukosa esofagus, 497
Mukus-bikarbonat 5 14
Multi organ failure 240
Multidimensi 769, 770,
Multidisiplin 781, 897
Multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB 2243
Multifokal 1624
Multinucleated giant cells, 2028
Multiorgan 779
Multipatologi 768, 777, 846
Multipatologis 779
Multipel /Multiple
mieloma, 887
endocrine neoplasia 744, 2026
sleep latency test 806
readmission, 774
Multislice CT scan 1567
Murmur Austin-Flint 1674
Muscle wasting 2040
Muscular rheumatism 2709
Musculoskeletal disorders 2705
Muskular, 1784
Mutagen 2255
MVP 1681
Myalgic encephalomyelitis 2709
Mycetoma 2233
Mycobacteria
other than TB (MOTT) 2232
leprae 2263

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

tuberculosae complex 2232


tuberculosis 727, 2232
Mycophenolate mofetil 988
Myelodisplasia hiposelular 1120
Myelomeningoceles 2250
Myocardial
depressant substance 253
viability 1566
Myosin 1798, 2375
Myxedema 1800

N-acetyl-cystein 2262
N-methyl-D-aspartate (NMDA) 1950
N.phrenicus 2249
N.vagus esofagus, 2249
Nailfold capilaroscopy 2620
Nalokson 2745
Napas berbunyi (Wheezing) 56
Narcolepsy 806
NARP 155
Nasal Type NK-cell Neoplasma 1246
National Cholesterol Education Program Adult Treat 1865, 1866
National Institute of Health Obesity Clinical Guid 1866
Natrium 1056
darah 2236
dioctyl sulfosuccinat 589
hidroksida, 493
hipoklorit, 493
karbonat, 493
Nausea 609, 904
NCEP-ATP 111 1990
Nearsinkop 828, 1653
Necator americanus, 625
Neck
braces 2708
spraidstain 27 19
Necrotic Foot 1962
Necrotizing
glomerulonephritis 1006
pneumonia 2323
vasculitis 2647
Nefrektomi 1090
Nefripati asam urat 1022
Nefritis
herediter 997
interstital kronik 1021
interstitial akut 1018
radiasi. 1022
Nefropati
abstruktif 1023
analgesik (NA) 1022
asimptomatik 986
cadmium 1023
diabetik 1942
gout 2354
hipokalemik 1023
Iga idiopatik 992
iskemik 1090
lead 1023
overt 981
urat 2550
nefrosis akut, 887
neglected 769
Nekrofilia 12 1
nekrosis 895
esofagus, 493
tubular yang akut 2846

tumor, 886
Neonatal Lupus Eritematosus 2583
Neoplasma 768, 1 184
endokrin 2686, 2687
kolon, 454
Nephrogenic diabetes insipidus 964
Nerve
conduction velocity 27 17
growth factor 1947
growth factor-Brain-derived neurotrophic f 1950
tissue vaksin 2929
Nervus vagus, 5 15
Nesiritid 1600
NeuJerbB2 2256
Neuralgia 51
Neuritis jari-jari 2707
Neuroasthenia 2709
Neurocysticercosis 2949
Neuroendokrin 2709
Neurofibrillary tangles, 838
Neurofibroma neurilemmoma, Schwannoma dan ganglion 2250
Neurohypophyseal-renal reflex 2048
Neurologi Akut 2926
Neurologis 212, 905
fokal, 897
Neuromuscular junction 2925
Neuron
motor 2629
Spesific Enolase 1428
Neuropati 2516
diabetik 1947
difus 1949
fokal 1949
optik 25 16
optik leber 141
perifer. 25 16
sensorik 25 16
trigeminal 25 16
Neuroprotektif 896
Neuroprotektor 892
Neurosecretoy granules 2049
Neurosis 27 12
Neurotoksik 28 1
Neurotransmiter asetilkolin, 907
Neutralizing antibody 2927
Neutropeni febril 1498
Neutropenia 520
Neutrophil-activating chemokine, 503
Nevus pigmentossu 36
NHNES 1079
Niclosamide 2953
NikotinlNicotine 481, 2294
replacement therapy 2295
NIDDM 1883
Nistagmus 38
Nitrat 491, 1600, 1730
Nitric Oxide 592, 1089
nitric oxide synthase 1080, 2540, 1948
Nitrit 936
Nitrogen 862
dioksida 2285
negatif 1057
Nitrogliserin 1746, 2746
Nitrous Oxide 1147
NMP22 1428
No ulcer, 523
Nocciception 2709
Nocturnal

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1-27

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


oxygen therapy trial 161
pain 2701
Nodul
reumatoid 2354
subkutanius 1665
tiroid 2022
tiroid soliter 2022
Nodus 35
AV 1609, 1630
SA 1602, 1630
Nokardia 2209
Nokardiosis 2271
NOMENKLATUR 243 1
Non
functioning 2038
nerve tissue vaccine 2929
random eye movement sleep atau restorative sle 2710
REM, 802
selular 1190
ST elevation myocardial Infarction 1757
cardiac chest pain1NCCP 482
erosive reflux disease (NERD) 482
farmakologik 772
infektif 535
insulin dependent 1883
opioid 917
polyposis, Hereditary Colorectal Cancer 568
sustained 1624
weight bearing 1963
bacterial thrombotic endocardia1 (NBTE) 1703
disjunciion 143
farmakologis 588
fotokromogen 2263
Norepinefrin 2746
Normogram 9 14
Normokrom 2236
Normositer; 2236
Nortriptilin 2746
Nosisepsi 2744
NSAID 777
NSCLC (non small cell lung cancerlkarsinoma skuamo 2254
NSE 2259
Nuclear factor 503, 2750
Nuclear Magnetic Resonance Imaging 1120
Nukleonik 226
Nukleosida 144
Nukleosom 147
Nukleotida 144, 1417
Nursing homes, 782
Nyeri 917
abdomen, 585, 609, 621
abdomen akut, 474
alih 2715
dada 2234
diskogenik 271 6
fantom 51
gluteus, 2707
pinggang 2707
mediastinum 56
mielogenik 27 16
neurogenik 2716, 271 7
neuropati 2748, 2747
neuropati perifer pada diabetes 2748
pada kanker 1512
pasca herpes 2748
peritoneum parietal 445
perut, 445
phantom 2748

pinggang bawah 2715, 2720


pleura 56
pindah 51
punggung 2707
retrostemal 2252
sentral 51
servikal 27 15
servikal Non-spesifik 271 6
servikal Spesifik 2716
spinal 2715
tabetik 51
viseral, 445

OA 2354
OAT 2001
OAT cell carcinoma 2255
Obat 2240
anti inflamasi non steroid (OAINS) 51 1, 523, 574, 2356,
2559, 2563, 2737
digitalis, 519
intravena 2345
penghambat P 1904
penyekat kalsium 1600
pimtomatik, 589
lapis pertama 2242
obatan 1147
antikoagulan 1361
antitrombosis 1359
Obes 900
Obesitas 1793, 1880, 2348
sentral 1979
viseral 1793
Oblik 2235
Obstipasi 475
Obstructive Sleep ApneaJOSA 2347
Obstruksi 579, 905
berat LVOT 1824
gastric outlet 517
jalan napas atas 906
kolon, 905
mekanik, 499
strangulasi, 61 8
usus halus 905
Ocalized irradiation, 581
Occult blood, 542, 579
Occupational disease 2705
Octacalcium phosphate 2561
Octreotide 302
Ocular motor palsy 2067
Odynophagia 2252
Ofloksasin 2973
Oftalmopati Graves 2006
Oklusi 892
Oksalosis 1023
Oksida nitrit pada penyakit reumatik 2426
Oksidasi 776
Oksigen 224
Okskarbasepin 2747
Okupasi 896
Olanzapin 909
Oligoartritislpausi-artrikular.2522
Oligonukleotida 1417
Olive eder puestow, 495
Olpadronat 2683
Oomega-3 1987
Omeprazol 520
Onikauksis 52

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.


PRIYO PANJI
Overriding aorta 1787

Onikoatrofi 52
Onikogrifosis 52
Onikolisis 52
Onikomikosis 52
Onkogen 157, 1413
ABL (c-abl) 157
MOS (c-mos) 157
Onkogenesis 1413, 2256
Onkologi 1440
Opening snap 67, 1672, 1701
Operasi non jantung 1853
Opioid 777, 2744
kuat, 917
ringan, 917
Opistotonus 49
Oposthorchis 2943
Organic
anion transporting polypeptide (OATP) 134
brain syndrome 907
Organisme Intestinal 1146
Orientasi 909
Orofarings 772
Oropharyngeal Anthrax 2967
Orthopedi 772
Orthopnea 1584
Ortopneu 33
Ortostatik 794
Osifikasi subkutan, 2692
Osler's node, 1704
Osmolaritas
intraluminal, 549
plasma, 888
serum, 800
osteitis fibrosa 2695
cystica 2686
Osteo sarcoma 2260
Osteoartritis 2353, 2354, 2355, 2356, 2358, , 2538, 2719,
2730
osteoartrosis 2369
Osteoblas
2385, 2386, 2387, 2388, 2389, 2390, 2690, 2695
Osteodistrofi 2695
imperfects 2725
renal 1039, 2695
renal tipe campuran 2696
Osteogenesis imperfekta 2727
Osteoitis 2642
Osteoklas 2385, 2387, 2388, 2389, 2690, 2695
Osteokondritis disekan 2732
Osteokondrosis juvenil 2732
Osteomalasia 2677, 2693
Osteomielitis 2641, 2642, 2643
pelvik 2641
Osteonekrosis 2695
Osteoporosis 118, 824, 861, 2063, 2355, 2358, 2361,
2362, 2363, 2364, 2708, 2710, 2719
generalisata 2726
iuvenile idiopatik 2727
0st;osit 2385, 2390
Osteosklerosis 2695, 2697
Oswald avery 141
Otot skelet 2629
Outbreak SARS, 2792
Oval fat bodies 937
Overactive bladder, 865
Overdiagnosis 9 14
Overfilling 948
Overflow Proteinuria 958

Oversensing 1655
Ovum primordial 95
Oxygen Delivery., 223
Ozon 2285

P blood group 1010


P fimbriae 1010
P-450, sitokrom 708
P-glycoprotein (P-gp) 134
P. carinii 2209
P.aeruginosa resisten terhadap aztreonam. 2901
P.P.D. (Purified Protein Derivative) 2237
P2 2235
Pace maker 461, 1791
baik 1791
Packed red cell 302
Pacu Jantung 216, 1813, 1860
permanen 1652
Padam 2081
Paget 2680
Painful articular syndrome. 2647
Painless thyroiditis 2018
Pakionikia 52
Palmar erythem 34
Pamidronat 2682
Pan gastritis kronik 516
Panamin G, 495
Pancoast tumor 56
Pandisiplin 770
Pangastritis 503
Panhipopituitarisme) 1902
Pankarditis 1804
Pankreatitis 721, 731, 905, 1906, 2677
akut, 731
bilier, 724
iskemia 606
Pankreatitis kronik, 73 1
pansitopenia 520
Pantang berkala (ogino-knaus) 123
Panti werda, 784, 786, 885, 913, 914, 931
Pantoprazol 520
Paparan asap rokok. 2294
Papsmears 2079
Papul Gottron 2630
Papula 35
Paradisiplin 770
Paralisis periodik 2634
Parameter
fisik urin 935
Kimia 935
Paraneoplastik. 2648
Paraparetik
flaksid 2447
spastik 2447
Parasentesis 747
Parasomnias 802
Parathiroid hormon-related protein 316, 2075, 2395, 2688
Parestesi 51
paripurna 771, 773
Pariteal/oxyntic, Sel 515
Parkinson 85 1, 904, 905, 2447, 2712 '
Paroksetin 2747
Paromomisin 2953
Paronikia 52
Paroxysmal
cold hemoglobinuri 1155

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

1-29

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


nocturnal dyspneu 33
nocturnal haemoglobinuria 1163, 1174
orthopnea nocturnal dispnea 1682
Pam obstmksi kronik 885
Parvovirus B 19 1203
Pasca
gastrektomi 1146
skleroterapi endoskopi 493
strok, 916
terapi radiasi 493
bedah transeksi esofag 493
Pasien
AR 2755
kanker terminal 1519
Patofisiologi 11 10, 2514, 2988
patofisiologi dan patogenesis 1117
patofisiologi edema 946
patofisiologi proteinuria 956
Patogen 555
Patogenesis 1160, 2538, 2520, 2557, 2562, 2610, 2622,
2646, 2648, 2925
dan imunitas 2844
dan patologi 2791
Patognomosis 281 0
Patologi 2556, 2643, 2925
Patrick 2722
Pauci - immune necrotizing glomerulonephritis 984
PC 594
PCR 728, 2246
PE 1372
PEA 229
Peak height velocity 93
Pearson Syndrome 155
Pectus
carinatum 59
excavatum 59, 61, 2725
Pedofilia 121
Pedunculated polyp 557
PEEP 2205
Pelepasan gastrin, 5 15
Pelvis 905
Pemanasan 1895
Pemantauan
pemantauan pH 24 jam 483
pemantauan progresivitas 2544
Pembedahan 451, 579
Pembelahan sel 143
Pemberian preparat besi 1134
Pembesaran
kelenjar prostat. 905
limp 1183
Pemeriksaan
darah rutin 214
darah seri anemia 1 11 1
defisiensi besi 458
endokopi, 467
fisik, 442
fisis jantung 65
hngsi ginjal 938
hemoglobin, 478
histopatologi 2258
invasif 505
laboratorium 11 19, 2522, 2544, 2563
penunjang 2554, 2793
penyaring 1111
radiologi 2523, 2235, 2563, 2640
radiologis dada 2235
sitologi 2258

sumsum tulang 1111


antimikroba 2896
Penanda tumor 1409, 1422
Penanganan 2681
Penanganan
rabies 2928
relaps pertama 1170
Penapisan 569
Penatalaksanaan
2559, 2617, 2640, 2641, 2642, 2645, 2647, 2648, 2846
Pencampuran vena, 221
Pencegahan 1135, 2678, 2811, 2848, 2928
Pendekatan
diagnosis 441, 1112
klinis 1112
paripurna pasien geriatri (P3G) 769
probablistik 1112
terapi 1113, 1171
tradisional 1112
Pendinginan 1895
Penebalan pleura (pleuritis) 2235
Pengaruh pengenceran 1201
Pengawasan perempuan hamil 117
Pengelolaan 2518, 2523, 2546, 2712
Pengendalian Infeksi 2795
Penghambat
ACE 1950
beta, 902
GPIIIIIIa 1578
kalsineurin 1074
pompa proton (PPI) 506, 523
protein kinase C 1950
reseptor alfa 902
Pengobatan 1608, 2260, 2563
pembedahan 2247
suportif 1482
tuberkulosis 2240
Pengukuran beda potensial nasal 2277
Peningkatan otomatisitas 1618
Penisilin/Penicillin 2968
prokain 2959
binding protein (pbP) 2902
Pentamidine 2345
Pentasomi 152
penukaranlketergantungan, Teori 920
Penularan 2232, 2790
Penyakit 1186
Penurunan enzim glucosa 6-phosphatase 2552
Penyakit
batu empedu 721
Addison 2053
Alzheimer, 101
Behcet 2648
Caisson 2708
Crohn 525, 591, 2046
Cushing. 1914
degeneratif 271 0
donor cangkok 1200
esofagus refluks (endogan) 493
fabry 998
freiberg 2732
gamopati 1283
gaucher 2696
ginjal kronik 1035, 1066
grave 1799
graves pada wanita hamil 2007
hodgkin 887, 1262
jantung hipertensi 1777

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

jantung koroner 768, 904, 1767, 1792, 181 1, 1937


jantung koroner reumatoid 18 10
jantung reumatik 1689
jantung sianotik 1824
jantung skleroderma sekunder 1813
kolagen-aortitis sifilitika - diseksi 1689
kolagen vaskular 2290
legg-calve-perthes 2732
lyme 2645
mediastinum 2249
meniere, 828
osgood-schlater 98, 2732
osteoporosis parkinson, 2710
paget 2680, 2721
pankreato bilier 51 7
parkinson 2710
paru eosinofilik 2210
paru interstisial (PPI) 23 15
paru kerja 2285
paru lingkungan 2285
paru lingkungan kerja 2279
paru obstruksi kronik 161
paru obstruktif kronik (PPOK) 2293
perianal, 454
periodontal 2323
radang panggul pelvic 604
refluks gastroesofageal 480
reumatik lainnya 2764
menular seksual 118
scheuermann 2732
tiroid 1795
tubulointerstisial 1016
usus inflamatorik 535
vascular, 5 17
von Willebrand 1313
Wilson 39
Penyalahguna NARKOBA intravena (PNIV) 1702
Penyaring 1880
Penyebab 451, 2550
Penyekat Beta 1730, 1738, 1750
Penyesuaian 2402
Penyuntikan
steroid intralesi: 495
submukosa, 45 1
Pepsinogen 5 15
Peptida-C 1896
Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago 2540
Peranan fisiologik 2392
Perawat gerontik, 769
Percutaneous
coronary intervention (PCI) 1572, 1748
Ethanol Injection 2028
mitral ballon valvotomy 1676
transluminal coronary angioplasty 102,1572
Endoscopic Gastronomy 495
Perdarahan
berat, 453
intraserebral, 893
masif, 499
saluran cerna 443, 621
saluran cerna bagian atas 447
samar, 456
varises gastro-esofagus 297
Peregangan (stretching). 1895
Perforasi 905
esofagus 2252
usus 1908
Performance status 14 1 1

Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGEMI ) 924, 925


Peri-operatif 897
Periartritis kalsifik 2699
Pericardial friction rub 68, 1805
Perikardiosentesis 1806
Perikarditis 1808, 1813
akut 1725
konstriktif 1804, 2621
konstriktif kronik 1726
Perikolik 603
Perimembranous, 1783
Perimetri 40
Goldman 2041
periode refrakter efektif 1645
perioperatif 1853
Periprosthetic leaks 1704
Peristaltik 2745
Peristaltik usus, 885
Peritoneum viseral, 475
Peritonitis 517, 603, 905
feculen generalisata 604
Perjalanan Udara 2346
Perkarditis akut 1725
PERKENI 1880
Perkijuan 2233
Perkusi 2235
Perlambatan interval QTc 17 13
Perlemakan hati akut pada kehamilan 1366
Permanent pace maker 1636
Permissive hipercapnia, 237
Pernapasan Biot (Ataxic breathing) 60
Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB 2236
peroksinitrit 2540
peroxisome proliferator activated receptor-g. 1974
persisten 952
Personal strength limit 2708
pertumbuhan 1907
Perubahan
fungsional non-anemia 1131
pada tulang rawan sendi OA 2382
tulang selama kehamilan 2397
tulang selama laktasi 2397
Perumahan
khusus usia lanjut 786
usia lanjut yang terlindungi 786
Perusak
eksogen, 514
endogen 514
Pes planum. 2725
PETICT 2026
Petanda tumor, 546
Peutz-Jeghers, Sindrom 557
pH-gated urea channel 502
phalen test 2701
Phallen's wrist flexion sign 2451
Phasing out, 930
Pphoribosylpyrophosphatase 2550
Phosphodiesterase inhibitor 949
Phthisis 2230
PHV 93
Piece meal, 558
Pielografi
antegrad 941
intravena 941
retrograde 941
Pielonefritis
akut 1008, 101 1
emfisematosa 1012

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

kronis 1008
Pigeon-breeder's lung 2288
Piknodisostosis 2727
Piles 587
Pinggang jantung 67
Pinguekula 39
Pink tetralogy 1788
Piotoraks 2325, 2329
Pipa nasogastrik, 897
Pirai 2550
Pirau kanan ke kiri 222
Pirazinamid 223 1
Pirofosfat inorganik 2562
Pirogen endogen, 886
Piruvat 1917
Pituitary-dependent adrenal hyperplasia 2062
Plagiosefali 36
Planted-antigen 969
Plasma
exchange 1006
expanders. 1914
segar beku 1 194
vena 1880
Plasmaferesis 1367, 2637
Plasmid 2903
Platelet-endothelial cell adhesion molecule-1, 970
Plegmon 603
Pleiotrofi 1107
Pleksus
auerbac, 461
meissner, 461
Pleomorphic sarcomatoid 2254
Pletorik 2063
Pleura 2329
parietalis 2282, 2329
shock 2330
viseralis 2329
Pleural
friction rub 64
plaques 2282
Pleuritis 1804, 2308, 2330
eksudativa 2329
fungi 2333
parasit 2333
sicca 2302
tuberkulosa 2332
Pleurodesis 2346
talk 2345
Plikamisin 2683, 2686
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) 2209, 2345
Pneumokoniosis 2280, 2281
Pneumolisis 2344
Pneumomediastinum 2252
Pneumonia 499, 769, 862, 887, 894, 905, 906, 907, 911,
2324
aspirasi, 906, 2207
eosinofilik 2210
komunitas 2205
kronik 2209
nosokomial 2201, 2203
pada gangguan imun 2208
pneumokokus 2208
rekurens 2210
resolusi lambat 2210
Pneumonitis
bakteril 2207
hipersensitif 2289
kimia 2207

Pneumoperikardium 499
Pneumotoraks 64, 906, 2235, 2249, 2329, 2339, 2345
artificial 2344
spontan primer (PSP) 2339
spontan sekunder 2339
PNH 1174
Podagra 2559
Point mutations, 569
Pola Pemberian Antimikroba 2899
Poliarthritis nodosa-like syndrome 2648
Poliartritis 2522
Polidipsi 1908
polifarmasi 777, 779, 846, 907, 914
Poliklinik geriatri 783
Polimialgia reumatika 2710
Polimiositis 1816, 2630, 2712
idiopatik 263 1
/dermatomiositis 1815, 2712
Polimorfisme 243 1
HLA 2431
Polimorfonuklear 594
Polip 594
epitelial., 557
Hiperplastik, 558
kolon, 557
non-epitelial, 557
Polipektomi 558
Polisitemia 2554
Vera 1214
Polisomnografi 2348
polisomnogram 806
Poliuria 1908
fisiologis 962
non fisiologis 962
Poloy pathway 979
Polusi udara 2255, 2284
Polymerase Chain Reaction (PCR) 159, 504, 506, 1418, 2236
Polysomnographic 803
Pomona L. 2808
Pompa
balon intra-aortik 1752
Na-K-ATPase 1087
Poncet's arthropathy 2238
Porin 2633
Post
epitellsub epitel 5 14
drips 44
operative cognitive dysfunction 909
mortem 609
Posterior 2252
Postulat Koch 2231
Postural dizzy 1778
Potassium-losing effect 2059
Potensial membran 1523
Pott's disease 2230
PPOK 906, 2256
Praksis 838
Pramuwerdha 837
Prazikuantel 2953, 2986
Pre epitel, 514
Pre menopause, 893
Pre-renal 1045
Predictive Markers 1424
Pprediktor 1855
Predisposisi 907
Predivertikular 602
Prednisolon 777, 2753
Preeklampsia 1 100, 1365, 2581

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUKnonhiston


dr. PRIYO
PANJI
148

Premature
atrial beats 1606
atrial complex 1549
beat 1618
ventricular contraction (PVC) 1549
Preparat besi 1140
Preproinsulin 1896
Ppreretirement course, 930
Pressure
gradient 1569
half time 1675
support ventilation 168
Prevalensi 907, 1130, 1177
anemia 1110
prevalensi gout 2550
hiperurisemia 2550
nasional terakhir TB 2231
obesitas 1865
sindrom metabolik 1865
primer, 569
Preventif 772, 781, 782
terhadap tuberkulosis 2247
Pria 1865
Primary PCI, 245
polydipsia 964
Primer 488, 1417
Prion 2993
Probe atau Pelacak DNA 1418
Procainamid 91 1
Produksi 2409
darah 1190
asam., 515
urease, 502
Profil lipid 1891, 1892
Progestogen 2586
Prognathism 2040
Prognosis 897, 9102523, 2627, 2713, 2929
dan perjalanan penyakit 1125
Prognostic Markers 1424
Programmed cell death 2256
Progresive systemic sclerosis 2620
Prokinetik 484
Proktitis radiasi, 581
Prolactin-inhibiting hormone, 1 18
Prolaktin 2709, 2710, 2750
Prolaktinoma 2039
Prolaps katup mitral 1779
Proliferasi sel, 5 14
Promotif 772, 782
Prompt endoskopi, 5 18
Prompted voiding, 871
Propositus (proband) 142
Propriosepsi 904, 8 13
Proses
degenerasi., 904
keganasan, 184
Prostaglandin 519, 2737, 2740, 2741
Prostasiklin 2338
Prostate Specific Antigen 1427
Prostigmin 540
protease 5 1 1, 524, 2422
Protein 541, 1028, 1892
Bcl-2 1415
C d a n S 1371
C Teraktivasi 1337
Kinase C 979
markers 1425
membran luar 502

Proteinaceous hair-like projection from the bacter 1010


Proteinuria 1000, 1086
benigna 936
fisiologis 957
fungsional 959
glomerulus 935, 957
intermiten 959
ortostatik (postural) 959
overload 936
terisolasi 958
tubular 935
Proteksi emboli 1576
Proteoglikan 2383, 2384, 2539, 2547
Protese 886, 1826
Proto-onkogen 1413, 2256
Protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cis 2261
Proton pump inhibitor (PPI) 483, 485, 527
Protoporfirin 1 133
Protruded type, 577
Protrusio asetabulum 2725
PRPP synthetase 2552
Pseudo
Cushing 2064
vitamin D deficiency 2693
akondroplasia. 2730
divertikular 602
fraktur 2693, 2708
gout 2561, 2562
hermafroditisme 150
hidrofobia 2928
hipertensi 899
hipoparatirodisme 184, 2045, 2692
ikterus 34
manas aeruginosa 290 1
membran 565
monas 2323
monas aeruginosa 2275
pterigium 39
ptosis 39
reumatoid 2563
santoma elastikum 2727, 2725
trombositopenia 1368
Psikiater geriatri, 771
Psikiatri 769
Psikiatris 826
Psikoanalitik/psikopatologi,Hipotesis 920
Psikologis 769, 779, 894, 896
Psikomotor 91 1
Psikoneuroendokrinologi 80
Psikoneuroimunologi 81
psikososial 2706
Psikoterapi 585
psikotropik 905, 907, 914, 2745
Psoriasis 2554, 2647
Psoriasis polisitemia, 2554
Psuedo-resistance 2901
PTCA 1572
Pterigium 39
PTI
akut 1168
Kronik 1169
Ptosis 39, 2040
Pubertas
Prekoks 97
Terlambat 96
Puddle sign 72
PUFA 1892

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Pulau patogenesitas, 502
Pulmonary
alveolar proteinosis 2283
capillary wedge 1541, 1752
hemorrhage 1006
outflow tract 1539
Pulse
generator 1641
oxymeter 1635
steroid therapy 2752
Pulsed wave dopler' 1558
Pulseless 229
electrical activity 229, 232
Pulsus
alternans 32
bigeminus 32
celer 32
defisit 32
magnus 32
paradoksus 32
parvus 32
tardus 32
Punctum maximum 1682
Pungsi
perikard 1726
supra pubis 905
Pupil
agyl Robeertson 40
.
marcus-Gunn 40
Pure water diuresis 2050
Purified Vero Cell Rabies Vaccine 2929
Purin 1142, 2354
Purpura 35
pasca transfusi 1200
trombo-sitopenik trombotik 552
trombositopenik imun 1179
trombositopenik trombotik 1180, 1367
Pursed lips breathing 60
Pusat gravitasi, 8 13
Pusing 1904
Putrid abscesses 2324
PVC 1623
bigemini 1624

Q fever 1704
Q-banding 158
QpIQs 1783
Quadranopsia superior bitemporal 2041
Quartz 2283
R o n T 1624
RA 2368
Rabdomiolisis 293, 2633
Rabdomioma. 1818
Rabeprazol 520
Rabies 2924
Rachitic rosary 2677, 2693, 2045
Radiasi 579
intrakoroner. 1573
Radical neck dissection 2034
Radikal bebas, 5 11, 1948
Radikulopati 2719
Radiofrequency ablation 1644
Radiografis Sendi 2543
Radioiodine uptake 2023
Radiolabelled albumin, 545
Radiologi 442, 2644, 2681

Radionuclide Bone Marrow Imaging 1120


Radionuklida Scintigraphy 2252
Radiosensitif 500
Radioterapi 2260
Radon. 2287
Rakhitis 2045
Rangkai-X
dominan 151
resesif, 151
Ranitidin 907, 91 1
Ranula 44
Rapid
eye movement (REM) 802
fluorencent focus inhibition test 2928
Growers 2263
Rapidly progressive glomerulonephritis 986
Rasa diskriminasi, 52
Rash ikhtyosiformis 273 1
Rawat rumah 2260
Raynaud's phenomenon 2515, 2516, 2700
RBBB inkomplit 1629
Re-infeksi 1012
Reactive oxygen species (ROS) 503, 1948
Reaksi
alergi 1185
anafilaktik, 257
hemolitik 1186
takahashi 2236
transfusi alergi 1200
transfusi hemolitik 1199
transfusi hemolitik segera 1199
Rebound 603
Receptor antagonists 972
Reciprocating tachycardia 1634
Recombinant human desoxyribonuclease I (rhDNase I) 2278
Rectal swab 2846
Recyncronizing cardiac teraphy 1583
Red clover 2080
Red-rimmed vacuoles 2632
Redundansi 1107
Reentry 1603, 1646
tachycardia 1638
Referred pain, 445, 474, 2720
Refleks
achiles 50
babinsky 50
brakioradialis 50
chaddock 50
fisiologis 50
gordon 50
hoffmann-tromner 5 1
kornea 31
kremaster 50
leri 51
lutut 50
mayer 51
mendel-bechterew 5 1
okulosefalik 38
oppenheim 50
pupil 31
rossolimo 50
schaeffe 50
triseps 50
vagal 1564
Refleksi akustik, 807
Refluks 494
Regenerasi epitelial, 5 12
Regimen Essenl rekomendasi WHO 2929

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

I34

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Regurgitasi 1825
regurgitasi aorta 1689, 1814
regurgitasi mitral 1679
regurgitasi trikuspid 1698, 1796
Rehabilitasi 896
geriatri, 784
medik, 769, 771, 772
Rehabilitatif 772, 782
Rehidrasi 202, 197, 554, 1909
Oral, 799
parenteral, 799
Rehospitalisasi 773, 774
Rejeksi Ginjal Transplan 1073
Rektosigmoid 572
Rektosigmoidoskopi 572, 582
Rektum iritable, 584
Rekurensi strok, 894
Relaps 990, 1123
Relapsing infection 1012
Relatif 1906, 1907
Rematoid artritis 527, 2283
Remifentamil alfentamil, 2745
Remodeling tulang 2387, 2388, 2389
Renal. 1045
tubular acidosis 2046
tubular acidosis tipe distal 2516
Renin 1087, 2056
angiotensin 200
angiotensinogen-aldosteron 1086
Renogram 943
kaptopril 943
Renovaskular 1090
Repeated test of sustained wakefulnes 807
Reperfusi 1746
Repetitive stress injury 2706
Replikasi 885
DNA 145
Repolarisasi 1523
Reseksi 500
ileum, 477
kuratif, 579
usus halus 477
Reseptor 776, 2406
antagonis H2 523, 527
AT1 1089
AT2 1088
estrogen, 2690
kalsium 2687
N-metil-D-aspartat 2747
TNF 2761
TSH 2020
vitamin D 2688
Resesif
autosomal 2693, 2727
Resin 2677
Resipien 1069
universal 157
Resistensi 2902
terhadap pengobatan 989
insulin 1865, 1899
Resorbsi tulang, 185
Respiratory
bronchiolitis-associated interstitial 2316
distress syndrome 2794
Respite-care 786
Respons 2436
Bawaan (alami) dan penyesuaian 2402
imun alamitbawaan 2405

imun penyesuaian (adaptif) 2405, 2412


stres 2436
Restenosis 1574
Restless Legs Syndrome 807
Restriction fragment length polymorphism (RFLP) 159
Resusitasi 456
jantung paru 227
Retardasi mental 2726
Retensi urin, 905
Reteplase 1749
Retikulum
endoplasma 1896
sarkoplasmik 2629
Retrieval forceps, 558
Return of investment 773
Reumatik ekstra artikular 2698
Reumatism psikogenik 27 12
Reumatoid artritis 1808
Revaskularisasi 1092, 1597
Reverse-transcriptase polymerase chain reaction 2928
Reversible dementia, 907
Rh immune globulin 1197
Rhabdoid phenotype. 2254
Rhabdoviridae 2924
Rhythmonom propafenon 1607
Rib notching 1787
Ribavirin 2928
Ribosomal RNA (rRNA) 144
Rice bodies 2643
Rifabutin 2265
Rifampin 2902, 2973
Rifampisin 2231, 2265, 2968
right bundle branch block 1610, 1801
right ventricular heaving 1682
Rigiditas 853, 2745
Rigidity 851
Riketsia 2677, 2678, 2693
nutrisional 2678
Risedronat 2682
Risiko 2642
Risperidon 909
Risus sardonikus 37
Rituksimab 2763
Rivello-Carvallo
maneuver 1705
sign 1699
Robekan Rotator Cuff 2700
Robert Koch 2230
Rohaniwan 917
Ron ki
basah 63, 2280
basah halus 2290
kering 2280
Rontgen dada 1539
Rose Bengal Staining 2517
Rotablasi 1576
Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome) 2699
Roth spots 1704
Roux-en-Y 52 1
Ruam
heliotrop 2630
malar 37
Ruang-bikarbonat 195
Rubenstein-Taybi Marfan, 44
Ruffled border 2076
Rumah hospis 1519
Rumus Brocca. 1892
Ruptur 905

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

limpa, 905
plak 1728

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

S-100 1428
S. dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei 2857
S. hematobium 2986
S. japonicum 2986
S. mansoni 2986
S. mekongki 2986
Sabershin 2045
Sadisme 121
SAHAD 2927
Sakit perut, 441
sakus perikardial 2249
Salah perlakuan, 919
Salisilat 519
Salisin 2737
Salmonelosis 563, 621
Salt
and pepper 2695
loosing 2069
Saluran cema bagian bawah 460
Sample volume 1560
Sanatorium 2230
Saraf otonom, 905
Sarang (fokus) Ghon 2232
Sarcoma kaposi, 2345
Sarkoidosis 185, 1021, 2252, 2336, 2648, 2696
Sarkolema 2629
Sarkoma 1693, 1820, 2250
Sarkomer 2374, 2376
Sarkopenia 8 16
Sarkoplasma 2629
Savary-Guillard, Dilator 495
Sawar
otak, 901
plasenta 1826
Scanning isotop 2332
Schuffner 74
schwarte 2235
Scintigraphy dan angiografi 455
Scissor gait 2447
Screening Markers 1423
Second
degree relatives 142
messenger system 907
Secretory canalicular structure 509
Sedatif 2928
hipnotik, 905
Sefalik 515
Sefalometri 807
Segitiga
Garland 63
Grocco 63
Segmentasi kolon, 603
Sekresi insulin 1865
Seksualitas abnormal, 121
Seksualoralisme 121
Sekunder 488
Sel
asal darah tepi 1205
bakal terkait tugas 1106
beta 1883
beta pankreas 1865
darah merah pekat 1191
epitel permukaan 5 14
induk pluripoten 1105

parietal, 514
peptik, 515
punca (stem cell) 1401
T, 885
T-helper immatur (Th 0) 503
darah dewasa '1 106
Selang nasogastrik, 9 19
Selective Serotonin
receptor inhibitor 2747
reuptake inhibitors (SSRIs) 2079,
Selenium betakarotene dan vitamin A 2256
Self limited disease 555
Selman Waksman 2231
Selular 1190
Selulosa 602
Senescence 758
Sengatan
hymenoptera, 276
kalajengking, 276
listrik, 272
Seranggga, 275
Senile amyloidosis 1790
Sensing 1654
Sensitivitas reseptor insulin 1891
Sepertiga
atas, 497
tengah, 497
Sepsis 252, 268, 1920
berat, 268
emboli 2323
Septikemi 2323
Serabut
AV junction 1618
serabut Purkinje 1524, 1618, 1630
Sereberal ataksia 2997
Serebrovaskular 1 100
Serkaria 2988
Seroepidemilogi 502
Serologi 502, 561, 2810
Serositis 1804
Serotonin 2059, 2710, 2746, 2747
selective reuptake inhibitor 848
Sesak Napas 56, 2234, 2300
Sessile polyp, 557
Severe
abdominal cramp 563
acute respiratory syndrome (SARS) 2790
Sex hormone binding globulin (SHBG) 95, 2080
Sferositosis Herediter 1 162
Sfingter
esofagus bagian atas 488
esofagus bagian bawah 488
uretra, 866
SGOT 909
SGPT 909
Shawl-sign rash 2630
Sheep liver fluke 2946
Shick test 2959
Shifting dullness 72
Shigellosis 2857
Shooting star 2846
Short
stature 2044
wave diatermi 2699
Shunt 1563, 1569
Sialografi 25 17
Sialometri 25 17
Sianosis 2337. 2292

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr.geriatri.,


PRIYO
780 PANJI

Sianotik 1824
Sicca syndrome 2514
Sick sinus syndrome 1640
Sickle cell, 622
Sidik
Indium 111 leukosit: 544
perut, 545
tiroid 2022
tulang 499, 2722
Sighing respiration 60
Sigmoidoskopi 544
fleksibel, 573
Significant bacteriuria 1008
Sikatriks 35
Siklofosfamid 2585
Siklooksigenase 2738
Siklosporin A 2585, 2758
Siklus
berjalan, 812, 814
besi 1129
hidup 2944
Krebs 1907
reaksi seksual 119
tidur, 802
Silent iskhemia 1736
Silikosis 2283
Silinder (Cast) 937
Silver impregnated dressing 1964
Simetidin 907
Simfalangisme 273 1
Simpatoadrenal 1904
Simpatomimetik 225
Simpleks ensefalitis 2928
simtom prodromal, 904
Simtomatologi Opiat, 284
Sindrom
kompresi arteri seliaka 616
abstinence 2746
adrenogenital 2069
afferent loop 521
antibodi antifosfolipid katastrofa 1348
antifosfolipid 1180, 1339, 1349
antikolinergik, 293
arteri vertebral 2719
bahu milwaukee 2564
bartter 2072
beckwith-wiedermann 153
biedl-bardet 2046
boerhaave 2252
brugada 1629
budd-chiari, 705
carpal tunnel 2698, 2701
charcot-marie-tooth 153
churg-strauss 22 10
conn 2071
cushing 1778, 2040, 2634, 2687, 2753
cushing iatrogenik 2066
delirium, 907, 91 1
diare, 563
disfungsi organ multipel 262, 615
dismielopoetik 1241
dressler 2336
dumping, 521
dwarfisme 2727
ehler-danlos 34, 44, 2725, 2726
fanconi 2678
fatique kronis. 2712
fibromialgia 2709

glomerulus progresif dan kronis 986


guillian-barre 2748
hadju-cheney 2727
hamman-rich. 23 16
sindrom hellp 1364
sindrom hemolitik uremik 1367
hiperparatiroid familial 2687
hiperplasia adrenal kongenital. 2053
holmes-ardy 40
horner 38, 58, 499, 2250
iusus ritabel 540
jantung hiperkinetik 1816
kartagener 2297
kelelahan pasca penyakit virus. 2710
kelley-seegmiller 2552
klinefelter 97, 152
klippel-feil 36
kolon iritabel 460
koroner akut 1940
korsakoff 85
laron 2044
laurence-moon-biedl 97, 2046
lesh-nyhan 2552
lofgren 2648
marfan 1691, 1779, 1826, 2725
marfan-mukopolisakaridosis 1689
meig 2331
mendelson 2207
metabolik. 1865
miastenik lambert-eaton 2637
milk-alkali, 185
miofasial 271 1
miofasial lokal 2710
miofasial regional 2698
nail-patella 998
neck torsion 2707
nefritik akut 986
nefrotik 986, 999, 2677, 2694
nefrotik kongenital 998
noonan 2046
nyeri generalisata 2698
nyeri neuropati campuran 2748
otak organik 2710
pancoast 2256
paraneoplastik 15 16, 2256
peutz-jeghers 43
prader-wili 97, 2046
pseudo-turner 97
rahang-hiperparatiroidisme 2687
reiter 2647, 2722
resistensi insulin 1865, 1937
rotor, 716
schogren 39
sendi temporomandibular 2698
sickle cell 1380
sinus sakit 1631, 1652
sjogren 2514, 2709
skapulokostal 27 19
stevens johnson 2742
stickler 2730
sticler 2726
terowongan karpal 2624, 2707
terowongan siku 2707
thoracic outlet 2698
tumor lisis, 3 11
turner 97, 152, 1786, 2046
uretra akut 1012

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

usus iritabel 465, 540, 541


vena cava superior 313, 499, 2251
virilisasi 2071
von recklinghausen's 2250
wandenburg 37
waterhouse-frederickson 2072
wermer 2687
wolf-parkinson-white 1651
x 1865
zollinger ellison. 513, 516, 2687
antibodi antifosfolipid 1345, 2609
guillain barre 2926, 2928
lynch, 569
osteogenesis imperfekta 2729
wemike's 85
lesh-nyhan 2552
Sine skleroderma 2624
Single s t r a n d
binding-protein (SSB) 145
RNA 2924
Sinkop 210, 818, 905, 914, 1605, 2337
aritmia akibat, 213
ortostatik, 21 3
situasional, 213
vasovagal, 2 13
vasovagal berat 217
Sinovitis 2354
Sintasan 773
Sintesis
androgen 2055
kortisol 2055
neurofisin 2048
Sinus
aritmia 1605
arrest 1630
bradikardia 1602,1605
duktus tiroglosus 46
karotis, 215
paranasal 42
takikardia 1602, 1605
Siprofloksasin 907, 91 1, 2860, 2968
Siproteron asetat 2071
Sirolimus 1075
Sirosis bilier primer 707
SIRS 264
Sisplatin 500
Sistatin C serum 939
Sistationin beta-sintase 2726
Sistem
imun bawaan 2402, 2408
koagulasi .darah. 1891
renin angiotensin 900
saraf enterik 460
saraf otonom 460
saraf parasimpatis 460
saraf pusat 905
simpatis, 900
t-tubule. 2629
Sistemik 892
Sistografi 941
sistolik 893
Sistosoma 2986
Sistosomiasis
intestinalis 2986
vesikalis 2986
Sistosomula 2989
Sistostomi 919
Sitogenetika 1374

Sitokin 885, 907,2405, 2406, 2408


lokal, 506
Sitokrom c 2633
Sitotoksin 502
Situasional/isolasi, Teori 920
Situs inversus 2297
Sjogren's like syndrome 2648
Skafosefali 36
Skala
koma Glasgow 30
tidur 2348
Skibala 862, 881
Skin tags 2040
Skintigrafi 25 17
Skintigrafi saluran empedu 719
Sklero Terapi Endoskopi 301
Sklerodaktil 2626
Skleroderma 181 1, 2283
en coup de sabre 2626
Linier 2626
Lokal 2626
proksimal: 2626
Sklerosis sistemik (skleroderma) 2620
Skleroterapi endoskopik, 45 1
Skoliosis 59, 98, 2725,2731
Skoptofilia 121
Skor
APACHE I1 91 1
Daldiyono 2847
Gajah Mada 895
Mallampati 2348
Siriraj, 895
Skrining Donor 1202
Skuama 35
SLE 2354, 2355, 2356, 2361
Sleep apnea 805,2040, 2347
Slow Acting Anti
acting anti osteoarthritis drugs 2547
acting anti rheumatic drugs 2755
continous ultrafiltration 1062
twitch oxydative fibers 2629
ventricular tachycardia 1609
Small
cell lung cancer (SCLC) 2254
dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) 1938
nuclear ribonucleoprotein particles (snRNP). 146
nuklear RNA (smRNA) 145
Vessel Pauce-Immune Vasculitis 1004
vessel vasculitis 1004
Sodium
channel blokers 949
chloride inhibitors 949
iodide symporter (NIS) 1994, 2020
salisilat 2737
potassium chloride inhibitors 949
Sodomi 121
Soft tissue rheumatism 2709
Soliter 2022
Soluble
IL-I receptor 973
TNF receptors 2761
Solut 1059
Somatisasi 27 11
Somatomedin 271 0
Somatosensory evoked response 27 17
Somatostastin 118, 450, 5 15
Somatostatinoma 743, 745
Somatotrophs 2040

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK esofagus,


dr. PRIYO
PANJI
495

Somnofluoroskopi 807
Sonor 61
SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis) 2238
Sosial-ekonomi 779
Sosio-medik 771
Southern pole disease 587
Spasme 50
karpopedal spontan 2691
Spasmofilia 37
Species, nitrogen 503
SPECT myocardial perfusion 1566
SPECTICT 2026
Spectrometer, mass 504
Speed's test 2699
Spermatic cord 74
Spider naevi 36
Spina bifida 49
Spiral CT angiography 1356
Spirochaeta 2807
spironolakton 1096
Splenektomi 1 170, 1 179
Spondilitis 2641
ankilosa 1813, 2647, 2722, 2764
skleroderma ankilosa 23 15
spondiloartropati 2648
Spondilolisis/ Spondilolistesis 2723
spondilolistesis 2720
spondilosis 271 5, 2720
Squamous dysplasia/carcinoma in situ, atypical ade 2254
St Louis-ADAM 2081
Stable 1883
Stadium
dekrementi 3 1
fastigium 31
inkrementi 3 1
koma 2926
lokal 1410
metastase jauh 1410
metastase regional 1410
prodromal 31
rekonvalesensi 3 1
Staging kanker paru 2259
Staining 2039
Stance phase, 814
Staphylococcus aureus 2323
Starling Force 1773
Statement, Genval 484
Status
fungsional, 773, 910
mental, 921
Steatohepatitis 702
Steatorea 535, 545, 740
Steifung 2845
Stem cell 978
Steno Diabetes Centre 982
Stenosing tenosinovitisltrigger finger Cjari pelat) 2700
Stenosis 582
aorta 1569
aorta bikuspidalis 1779
arteri karotis 897
katup pulmonal 1693
mitral 1569, 1671
pulmonal 1694, 1796
spinal 2720
subinfundibular 1787
trikuspid 1700
Stenotik 1826
Stent 1572

Step down, 484


bridge 2755
Step up, 484
Stepwise 930
Stereognosia 52
Sterilisasi 2240
Steroid 1366, 1906, 2277
Dosis tinggi 1172
enema, 582
regulated genes, 2057
Steroidogenesis, hiperkortisolisme 2053
Steroidogenic acute regulatory protein (StAR) 2054
Still's disease 251 9
sTNFR (soluble TNF receptor) 973
Stokes-Adams 17 12
Stomatitis aftosa 43
Stool
osmotic gap 542, 546
softener, 588
Strabismus 38
Straight leg raising 2722
Strain E. coli 1010
Strain ventrikel kanan 2309
Stratum basale 95
fungsionale 95
Strawberry tongue 44
Streptococcus pneumoniae 2901
Streptokinase 896, 1362, 1748, 1769
Streptokokus Grup-A (SGA) 1662
Streptomisin 223 1, 2859, 2973
Stres 895, 913
fracture, 2693
pain 2'448
ulcer, 267, 897
Striae 36
Striae 2753
Strictly distinct and isolated 771
Stridor 59
Striktur uretra, 905
Strikturlstenosis esophagus, 493
Strok 892, 905, 919
hemoragik, 892
like episodes 155
Stromelisin 2539
Struktur anatomi jantung 212
Struma nodosa 45
Studi ferokinetik 1133
Suara
napas 63
serak (hoarseness) 59
subacute
granulomatous thyroiditis 2016
lymphocytic painless thyroiditis 2016
painful thyroiditis 201 7
Subaortic bump 1815
Subaraknoid 893, 895
Subclavian steal syndrome 210
Subdural 893, 895
Subfebril 906
Subkortikal 901
Subluksasio lentis 2725
Submetasentris 148
Substansi
algogenik 51
P 2710
Substernal 494
Successful aging, 932

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI


Succussion splash 72
Suckling Mouse Brain Vaccine 2929
Suckling mouse vaccine 2927
Suhu 31
Sukralfat 484, 519, 582
Sukrosa 1029, 1892
Sulfametoksazol. 2860
Sulfasalazin 582, 2756, 2757
Sulfinpirazon 1768
Sulfonamid 2859
Sulfonilurea 1904
Surnber vitamin D 2393
Sumbu
panjang ('long axis') 1555
pendek ('short axis') 1555
Summation gallop 1778
Sumsum Tulang 1120, 1133
Super Oxide Dismutase (SOD) 1938
Superficial type, 577
Suplementasi
enzim, 479
kalsium, 479
Supra ventricular
extra systole (sves) 1618
tachycardy (svt) 1618
Supra-chiasmatic, nucleus (NSC) 803
Suprasternal notch 60, 1541
Surfaktan 239
Survival 773
Sustained 1624
sustained low efficient dialysis 1059, 1064
SVT reentrant 1622
Swan neck 2451
Swan-Ganz catheter 1683
Sweaty palms 2040
Swing phase, 814
Synchronized. 1634
Synchronous 1642
intermittent mandatory ventilation 169
Syncope 1653
syndrome
of inappropriate andiuretic hormone (SIAD 2256
rapidly progressive glomerulonephritis 986
Synthetase 2550
Syok 242, 905, 1906, 1908
anafilaktik, 257
hipovolemik, 242
kardiogenik, 245
sepsis, 1906
Septik, 268
Systemic lupus erythematosus 1671
Systolic
ejection click 1795
ejection period 1569
hypertension in europe 900
hypertension in the elderly program 900
T-Cytotoxi 885
T-helper 885
Tabel
Jagge 40
Snellen 40
Tactile fremitus 61
Taenia
saginata, 622, 2949
solium 2949
Taeniasis 2949

Tajam penglihatan 40
Takiaritrnia atrium 1780
Takikardia 2290, 2342
atrial 1648
atrial paroksisrnal 1606
idioventrikular 1609
nodal 1607
reentri atrioventrikuler 1648
reentri nodal atrioventrikuler 1648
supraventrikel 1647
ventrikel 1608
ventrikel idiopatik 1627
Takikinesia 853
Takipnea 2290, 2235
Takrolimus 1075
Talamus media, 205
Talasemia 1379
Tall stature 2044
Tamponade 1726
jantung, 315, 499
Tan Thiam Hok 2236
Tanda
Bmdzinski I 33
Brudzinski I1 33
Chvostek, 37, 2691, 2692
Joffroy 38
kernig 33
lasegue 33
Moebius 38
Murphy, 476
Murphy, 718
Penberton 46
Rosenbach 38
Stellwag 38
tennis elbow 2448
tine1 2451
vital, 910
von Graefe 38
Gaga1 Sirkulasi 2845
VITAL 31
Tappering off. 2752
Tapping 772
Tar 2285
Tatalaksana 2794
TB 594
ekstra paru 2234
kronik. 2234
usia tua (elderly tuberculosis). 2233
TB usus 2233
TBG (thyroxin binding globulin) 1996
Tc-99m pertechnetate 2026
Tear film break up 25 17
Technetium pertechnetate 2033
Tekanan
arteri pulmonal 2337
darah (TD) 31, 905, 1891
darah diastolik 899, 1090
darah sistolik 899, 1891
vena jugularis 46, 2235
vena sentral (CVP) 2847
Teknik gen 159
Teleangiektasis 36
Tellurite 2956
Telosentris 148
Telur 2989
Temporary pace maker 1636
Tender point 2709, 271 1
Tendinitis

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Bisipital 2699
patellar 2702
pes anserinus 2699
Tendomiopati 2709
Tendonitis 2698
Achilles 2702
Tenekteplase 1749
Tenis elbow 2698, 2699, 2700
Tenosinovitis 2699
De Quervain 2699, 2701, 2707
ekstensor 2707
Tension
headache 27 11
myositis 2716
pneumotoraks. 2340
Teofilin 225
Teori pembelajarn sosial 920
Terapi 2678
Terapi
ajuvan, 574
angiografi, 45 1
bedah, 456, 486
besi oral 1134
besi parenteral 1 135
biologi 1478, 2261
edema 949
endoskopi, 451, 456
eradikasi, 506, 507
gen 2042, 2261
gizi medis 1891
henti merokok 2295
hormonal 147 1
imunosupresif 1122
kausal 1134
konservatif 1122
kuadripel, 521
laser, 495
medikamentosa 1 179
nefropati iga idiopatik 995
oksigen jangka panjang 162
oksigen jangka pendek 162
pengganti 1066
pengganti ginjal 1059
penyelamatan 1124
pti kronik 1171
sistemik 1446
sulih hormon (tsh) 102
suportif 1125
supresi 2028
tripel, 521
trombolitik 1357
Teratodermoid 2250
Terminasi 146, 147
Termogenesis 789
Termoregulasi 789
Termoresepsi 789
TesITest
adson 2454, 271 7, 2719
antikolinesterase 2637
benzidin, 579
berbisik 41
bernstein, 483
cadangan glukokortikoid 2060
crossmatch 107 1
darah samar 458
disfagia 27 17
distraksi kepala 2717
ely 2722

fabere 2722
finkeilstein 245 1, 2701
frei 2648
hngsi ileum 545
ham 1120
ishihara 40
jari hidung 50
kompresi kepala 271 7
konfrontasi, kampimetri 40
koordinasi gerak 50
malabsorbsi asam empedu 545
mantoux 2648
mc-murray, 2453
napas, 545
oftalmologik 271 7
penala 41
permeabilitas usus 546
rinne 41
romberg 49
schillin, 545
schimer's 2517
schober 48
schwabach 41
serologi, 504
small and large bowel transit time 545
speed 2450
supresi 2060
supresi deksametason 2060
supresibilitas mineralokortikoid 2061
thomas, 2452
torniket 2701
trendelenburg 2452
tuberkulin 2237
tumit-lutut 50
urease, 504
valsava 2454
weber 41
yergasson 2450
and treat 5 18
serologic amebiasis 552
Tethering and rolling 970
Tetralogi Fallot 1541, 1694, 1788
Tetrasiklin 888, 2332, 2859, 2902, 2968, 2973
Tetrasomi 152
TGF-P 1415
TGS 2017
TGT 1899
Thai Red Cross Intradermal 2929
Thalassemia 1379
Intermedia 1387
-U 1380
-up 1380
-p 1380
-p mayor 1382
-p trait 1381
-p intermedia 1382
-Sp 1380
-7Sp 1380
Thallium scanning 1790
The american college of rheumatology 2366
The heart and estrogenlprogestin replacement study 102
The mental mini status examination 841
The national health dan medical research council 887
The study of cognition and prognosis in the elderly 901
The three big, 780
The timed up and go 820
Thelarche prematur 97
Theofilin 540

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Thermophilic actinomycetes
sacchari 2291
vulgaris 2291
Thoracic outlet syndrome 2700, 2719
THR 1895
Thrill 1682, 1785
Thrombolysis in myocardial 1758
infarction 1748
Thrombotic trombocytopenia purpura 1160
Thumbprinting pattern, 564
Thyroglobulin 1428
Thyroid-binding protein 1002
Thyrotrophin-releasing hormone,(TRH) 118
Thyroxine-stimulating hormone 1002
Tiasetazon 2240
Tiazid, 1914
Tietze's Syndrome 2703
Tifoid 887
Tiklopidin 1339, 1362, 1731, 1768
Tilt-Table Testing 215
Tiludronat 2682
Timbal asap, 2285
Timektomi 2637
TIM1 risk score 1754
Timoma 2251
Tindakan
minimal invasive 588
valsava 2717
Tindale agar 2956
Tingkat keganasan rendah 2032
Tinnel's sign 2701
Tionamid 2001
Tioridazin 91 1
Tipe
campuran, 870
fairbank 2730
fungsional, 869
furious 2925
jansen 2731
mckusick 2731
osteomalasia. 2695
overflow, 869
paralitik. 2925
ribbing 2730
schmid 2731
stres, 869
urgensi, 869
Tipus inversus 31
Tirofiban 1731, 1768
Tiroglobulin (Tg) 1994
Tiroid 914, 2251
dan Kehamilan 1999
peroksidase (TPO) 201 7
substernal 2252
Tiroidektomi. 2005
unilateral (lobektomi) 2034
Tiroiditis 20 16
akut 2016
de quewain 2016
fibrosa (riedels thyroiditis). 2016
granulomatosa 2016
hashimoto 1800, 201 6
kronis 2016
limfositik subakut 2018
pascapartum 2001
sel raksasa 201 7
subakut 2001, 2016
supurativa, 20 16

TBC 2021
traumatika 201 6
Tiroksin (T4 1994
Tiroperoksidase (TPO) 1994
Tirostatika 2004
Tirotoksikosis akromegali, 1914
Tirotropin. 1802
Tissue
dopler 1551, 1558
plasminogen activator 1362, 1749
Titik Mc Burney 70
TNF-u converting enzyme 2761
Tofi 2558
Toksemia gravidarum, 704
Toksik epidermal nekrolisis 2742
Toksin bakteri, 608
Toksoplasmosis 2345
Tolbutamide 715
Toleransi 777, 2746
Toll-like receptors 2404
Tomografi emisi positron 1566
Toni-Debre-Fanconi, De Syndrome 2694
Top lordotik 2235
Topognosia 52
Torakosentesis 2330
Torakoskopi 2258, 2344
Torakotomi 2345
Torsade de pointes 212, 909, 1623, 1629
Tortikolis 49
Toxic 907
Trakeal 63
tug, 46
Trakeoesofageal, fistula 499
Trans bronchial lung biopsy (TBLB) 2258
trans membran pressure 1059
Trans Torakal Biopsi (TTB). 2258
Trans bronchial Needle-Aspiration (TBNA) 2258
Transduction 2902
Transeksualisme 121
Transfer 814
RNA (tRNA) 144
Transferin 1133
Transformasi sel, 568
Transformation 2902
Transforming growth factor-p 1080
Transfusi 1140, 1179
darah 448, 1185
masif 1201
Transienltransient
Idiopatik 959
ischemic attack 1824
Transit time, 540
Transkripsi 145
activator protein 1 503
Translasi 145, 146
Translokasi Robertson 153
Transmisi 2844, 2925
Transmissible spongioform encephalopathies 2993
Transmodulasi Reseptor 1107
Transplantasi 887, 2925
ginjal 1066
paru 2338
sumsum tulang 1124
Transposisi
arteri besar 1694
pembuluh darah besar (TPB) 1788
Transudat 2330
Transverse myelitis 2928

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

Transvestisme 12 1
Trapping ion hydrogen 5 11
Trauma uretra 905
Traveler's diarrhea 539, 555, 621, 622
Treadmill 1790
Trecher-Collins. 44
Tremor 50, 851
Trendelenburg 2447, 2452
TRH (thyrotrophin releasing hormone) 1999
Triad
fibro-mialgia 27 11
Virchow 1354, 1370
Whipple 1901
Trial
of nonpharmacologicic interventions in the 901
Charcot. 724
Trias Virchow 1767
Tricalcium phosphate (whitlockite) 2561
Tricuspid valve endocarditis 2323
Triggerltriggered 167
finger 2707
point 2710
thumb 2701
activity 1618
Triiodotironin (T3) 1994
Trikuriasis 625
Trimetoprim-sulfametoksazol 2860, 2972
Triofusin 495
Tripomastigotes 1717
Triptopan 2710
Trisiklik 848
Trisomi 152
Troilisme 121
Trombektomi 1356
Tromboemboli 1615
vena 1369
paru 2305
Trombolbdn 2737
Trombolisis 895, 1434, 1767
Trombosis 587, 892,, 1180, 1301, 1354, 1369
Vena Mesenterika (TVM) 614
akut 1757
Arteri Mesenterika Akut 614
arterial tungkai akut 309
vena dalam 860, 895, 1354
vena mesenterika 475
Trombosit 593
dengan sedikit leukosit 1193
Pekat 1193
Trombositopenia 520, 1179, 1330, 1364
Trombositosis esensial 1220
Trombus 1355
arteri 2306
vena 2306
Tropical sprue, 622
Tropoelastin 2725
Tropomiosin 2629
Troponin 2629
I 1758
T 1758
T atau 1 1730
Trousseau 2691, 2692
True leg-length discrepancy 2452
True precocious puberty 2070
Truncal obesity 2062
Tryptophan pyrrolase 2058
TSH 1994
like substances (TSI, TSAb) 2003

Tuberkuloma 2233, 2235


Tuberkulosis 1693, 2230, 2340
miliaris 2235, 2290
paru 2230, 2340
pasca primer (tuberkulosis sekunder) 2233
peritoneal, 727
primer 2232
usus, 593
vertebra (penyakit Pott) 2643
Tuberous sclerosus 23 15
Tubuler 1045
Tubulo-villosa., Adenoma 557
Tujuan Pengobatan Kanker 2260
Tukak
duodenum, 523
gaster, 513
gaster akibat keganasan 5 17
lambung, 523
peptik, 523
refrakter, 521
stres, 522
Tulang 1506
adinamik 2695
pada usia lanjut 2398
Tumor
endokrin pankreas 743
kistik pankreas 743
benigna 2257
dan neoplasma 457
endokrin pankreas non-fungsional 746
esofagus, 494
ganas, 184, 576
ganas gaster 577
gaster, 576
germ sel 2253
hipofisis 2038
tumor initiators 2285
jinak, 576
jinak epitel 576
jinak non epitel 576
karsinoid, 520
kolorektal, 567
marker 1409, 2259
mediastinum 2250
nekrosis factor 524
nekrosis faktor alfa 503
neurogenik, 577
padat 1407
padat ganas 1407
pankreas, 739
tumor paru 2254
primer 1818
promoter 2255
serotonin nekrosis faktor alfa 2737
suppressor genes 740
tiroid papiler 2023
Turbiditas 935
Turnover tulang 2680
Type I., 2693
Type 11, 2693

'

Ubikuinon 2633
UBTmpSA 507
UDP glucurony1 transferase 714
Uji
faal paru 2276
fungsi kelenjar eksokrin 2277

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

keringat 2276
latih 1729
mycodot. 2236
nikotin 2050
phalen 2707
tinel 2707
treadmill 1739
vasopresin 205 1
UKPDS 1901
Ulcerated Foot 1962
Ulkus 582, 895
Curling, 608
Cushing, 608 ,
dekubitus 861, 921
duodeni, 441
Ultrafiltrasi 1060
Ultrasonografi 442, 718, 940, 1029, 2330
(USG) doppler 1355
abdomen, 476, 544
Ultrasound 2699
bronchoscopy 2258
Uncomplicated type 1008
Underdiagnosis 914
Underfilling 948
Undersensing 1655
Unfractionated heparin 1356, 1360, 1762
Unidisiplin 770
Unit motor 2629
Universal precaution 2928
Unsalvable Foot 1962
Update Sydney System. 509
Upstream Primer 1417
Ure-I 502
Urea 198
breath test (UBT) 504
reduction ratio 1052
Urease 524
Uremia 2335
Ureum 887, 909
Urgency hypertension 1103
Urikosurik 2559
Urin 910
lengka, 909
Urinalisis 887, 935
Urogram 1029
Urokinase 1362
Urtika 35
USG 1104
Ginjal 940
Usia 1880
kronologis 925
Usual interstitial pneumonia (UIP) 23 15, 23 16
Usus halus, 461
Uveitis 593

V-sign rash 2630


Vacuolating cytotoxin, 502, 503, 524
Vaksin 2969
antirabies 2928
vaksinasi 887
BCG 2247
Post-exposure 2928
pre- exposure. 2929
Vancomycin
imipenem, 2968
resistant enterococcus faecium 2905
Varises lambung 304

VAS 2367
VaskularlVascular 1045, 2726
mesenterika 606
steal syndrome 2680
Vaskulitis 1809, 2307, 2516
renal 1004
Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) 543, 745
Vasodilator 904, 914
Vasokonstriktor 589, 896
Vasopressin 302, 449, 962
tannate 2051
Vasovagal ringan 2 17
VCAM-I (vascular cell adhesion molecule-I) 970
Vegetative state 205
Vena
kava superior dan inferior 2249
kava superior 1646
pulmonalis inferior 497
Venlafaksin 2747
Venous hum 72
venouspressure 260
Ventilation-Perfusion 1355
Ventricular extrasystole 1623
Ventriculo-arterial discordance 1788
VEPl 2289
Verner-Morrison syndrome, 745
Verney.~omoreceptor cells 2048
Vertebrobasiler, Insufisiensi 819
Vertigo 827
VES (Ventricular Extra Systole) 1618
Vesikel 35
Vestibular 8 13
Vestibulopati
perifer, 826
sentral, 826
Vibrasi 772
Vibrio cholerae 551, 2843
Video
assisted thoracoscopy surgery = VATS 2344
endoscope, 467
Vinil
klorida 2708
Mandelic Acid (VMA). 2250
Violaceous striae 2040
VIPoma 743, 745
Virilisasi prekoks 2069
Virilising tumor ovarium 2070
Virilisme adrenal 2062
Virulensi 885
Virus 1120
hepatitis A 1202
hepatitis C 1202
hepatitis D 1202
hepatitis E 1202
hepatits B 1202
human immunodeficiency 1203
human t lymphotropic 1203
RNA 2924
sitomegalo 1203
Viscosupplement 2547
Viskositas 896
Visual Analogue Scale (VAS) 2367
Visuospasial 838
Vitamin
A, D, E, dan K 1892
B12 1142
C 2262
D 816, 2677

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

INDEKS

HANYA DI SCAN UNTUK


dr. PRIYO PANJI
Whole body

D-Dependent Rickets 2693


K 449, 777, 1327
VLDL 1975
Vogt-Koyanagi-Harada 39
Voltage-sensitive sodium chanel 2747
Volume
assisted ventilation 168
distribusi 136
overload 1681
plasma, 900
Vox cholerica 2845
Voyeurisme 121
VSD 1563
VT 1624
Idiopatik 1624
Idiopatik alur keluar ventrikel kanan 1627
Idiopatik dari ventrikel kiri 1627
Iskemia 1625

Waddle gait 2447


Wagener's granulomatosis 2325
Waktu
iskemik ginjal 1071
paruh eliminasi 136
Wandering pace maker 1604
Wanita 1865
Warfarin 777, 1339, 1361, 1768, 1826, 2338
Warm nodule 2024
Washer women hand 2845
Wasir 587
Wasting 816
Water scaled drainase (WSD) 2208
Watery 535
Weakness 905
Weaver's bottom 2702
Webbed neck 2046
Weil's disease. 2807
Wenckebach block) 1609
Westernblot 504
Wheezing 59, 2290
White matter, 901
WHO 1883, 1866, 2231

irradiation 581
scanning 2036
Wide fixed splitting 1780
Wild-type bakteri, 503
Withdrawal
bleeding, 105
phenomenone 2752
Wolf-Parkinson-White 216, 1533, 1549, 1612, 1634
Women's Health Initiative (WHI) 102

X, sinar 581
X-ray abdomen, 552
Xanthoma 36
palpebrarum 36
planum 36
tendinosum 36
tuberosum 36
Xerostomia 25 15, 2625
xeroftalmia, 2648
Xerotrakea 25 15
Xylocain 1608

Yergason's sign 2699


yodium 1802
berlebihan (Iodide Excess) 201 1
radioaktif 1800, 2005

Z-line 497
Zidovudin 2647
Zigzag-Iine 497
Zoledronat 2683
Zollinger Elison, 525
Zona
fasikulata 2053
glomerulosa 2053
retikularis 2053
Zonula occludens toxin 2845
Zoonosis 2807

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI

ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI

You might also like