Professional Documents
Culture Documents
A. LATAR BELAKANG
Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit inflamasi yang sering
terjadi pada bayi dan anak-anak dan merupakan alasan terkuat ketiga dalam
pemberian antibiotik pada kelompok usia ini.
Pemberian antibiotik di setengah abad pertama pada abad ke-20 ini diikuti
dengan penurunan dramatis insidensi komplikasi berat dari penyakit ini.
Hingga 1980 tidak ada yang meragukan perlunya pemberian antibiotik segera
ketika diagnosis OMA telah tegak. Pada tahun 1981, didukung oleh
peningkatan bukti resistensi terhadap antibiotik, van Buchem et al.
merupakan yang pertama menunjukkan bahwa anak diatas 2 tahun dengan
OMA tanpa komplikasi dapat diatasi dengan observasi saja disertai terapi
simtomatis. Meski pergeseran paradigma ini telah menetap dalam guideline di
beberapa negara, dalam beberapa tahun ini, beberapa studi telah
mempertanyakan cara ini.
Sebuah guideline S2 untuk terapi OMA saat ini sedang disiapkan dibawah
naungan German Society of Oto-Rhino-Laryngology, Head and Neck
Surgery. German College of General Paractitioners and Family Physicians
juga menerbitkan guideline S3 berupa Nyeri telinga yang mulai valid bulan
Desember 2011 dan sedang dalam revisi.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari artikel ini, pembaca diharap dapat:
1. Mendiagnosis OMA dengan akurat
2. Membedakan OMA tanpa komplikasi dari kasus-kasus dimana
komplikasi dapat muncul
3. Memberikan dan memonitor terapi OMA yang tepat
C. NOMENKLATUR
Otitis media akut merupakan istilah umum untuk semua penyakit
inflamasi di telinga tengah dengan keterlibatan kavum timpani. Di Jerman,
otitis media akut purulen dibedakan dari otitis media viral; hal ini
membedakan dalam hal nomenklatur di negara berbahasa Inggris, dimana
otitis media termasuk otitis media dengan efusi timpani (serous atau
mukus).
D. EPIDEMIOLOGI
Insidensi aom tertinggi ditemukan dalam 2 tahun pertama kehidupan
dan menurun 2% hingga usia 8 tahun. Lebih dari duapertiga anak setidaknya
setidaknya pernah sekali mengalami OMA sebelum usia 3 tahun dan
setengahnya pernah mengalami sebanyak dua hingga tiga kali.
Beberapa pasien ini timbul efusi timpani, yang berujung pada
gangguan pendengaran telinga tengah yang menetap hingga kemudian hari.
Di Jerman, rata-rata prevalensi 12 bulan OMA pada anak dan remaja
usia antara 0 dan 17 tahun adalah 11% selama periode observasi 2003 hingga
2006.
Peningkatan prevalensi OMA hingga pertengahan tahun 1990 diikuti
penurunan sekitar 19%. Selain pemberian vaksinasi untuk infeksi
pneumokokus dan influenza, penurunan ini terkait dengan dibuatnya kriteria
diagnostik yang lebih tidak ambigu, rekomendasi berupa observasi intensif
bersamaan dengan peneriman keputusan ini oleh orangtua dan penurunan
paparan asap rokok.
E. MIKROBIOLOGI
Tergantung dari metode yang digunakan dan seberapa ketat kriteria
diagnostik yang diterapkan, bakteri dapat muncul dalam 70-90% pasien
OMA.
Hampir dalam semua kasus, OMA didahului infeksi virus di saluran
pernapasan atas. Patogen yang paling sering adalah virus respiratoris. Virus
lainnya yang sering seperti virus influenza dan parainfluenza, rinovirus,
adenovirus dan enterovirus.
Patogen bakteri tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae, diikuti Moraxella catarrhalis. Streptococcus
pyogenes dan Staphylococcus aureus ditemukan dalam sejumlah kecil kasus.
Dengan pemberian vaksin konjugat pneumokokus heptavalen (PCV-7),
remaja
dan
dewasa,
nyeri
telinga,
sakit
kepala
dan
perforasi membrana timpani yang spontan, keluhan nyeri telinga akan hilang
secara tiba-tiba.
Usia
< 6 bulan
6 bulan-2 tahun
0
390 c atau Temperatur < 39 C
otorhea
Terapi antibiotik
Terapi antibiotik
Terapi antibiotik
Terapi antibiotik
pada
OMA bilateral
Observasi
2tahun
Terapi antibiotik
pada
OMA
unilateral
Observasi
perbaikan. Juga tidak ada bukti bahwa insidensi meningitis dalam kaitannya
dengan OMA dapat diturunkan dengan pemberian antibiotik segera.
Sejak pertengahan tahun 1980, telah banyak ditunjukkan bahwa
perbedaan derajat kesembuhan antara pemberian antibiotik segera dan
obserasi intensif disertai analgesik yang adekuat masih signifikan secara
marginal.
Peningkatan spontan gejala OMA muncul pada 60% pasien dalam 24
jam pertama, 80-85% dalam 2 hingga 3 hari dan 90% setelah 4 hingga 7 hari.
Akibat latensi efek mikrobial, terapi antibiotik segera tidak memberikan
manfaat dibanding plasebo setelah 2 hingga 3 hari. , 9% setelah 4-7 hari. Juga
tidak ditemukan bukti adanya perbaikan pendengaran yang lebih cepat
dengan pemberian antibiotik segera. Namun, pemberian antibiotik segera
akan meningkatkan kecenderungan diare sebesar 5-14% dan ruam kulit
sebesar 3-6%. Sedikitnya manfaat terapetik harus dipertimbangkan dengan
potensi sembuh spontan yang besar dan efek samping antibiotik, begitu juga
masalah resistensi dan aspek medioekonomi.
Faktor usia dan keparahan gejala memiliki peran penting dalam
keputusan antara observasi intensif dan terapi antibiotik segera. Tingkat
kegagalan fase awal dari observasi intensif hampir dua kali lipat pada anak di
bawah 2 tahun dan begitu juga di atasnya. Pasien dengan gejala yang parah
secara signifikan memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi dibanding
yang gejalanya ringan (14% vs 4%).
Oleh karena itu, tergantung pada usia dan keparahan gejala pasien,
sejumlah besar pasien dengan OMA tanpa komplikasi dapat diberi terapi awal
secara simtomatis, asalkan mereka menjalani pemeriksaan klinis dan
otomikroskopi/otoskopi setelah 2-3 hari.
Terapi yang sesuai juga disesuaikan tiap individu. Pengambilan
keputusan berdasarkan pengalaman klinis dokter dalam menilai keparahan
gejala pasien.
Berikut ini merupakan indikasi pemberian antibiotik segera:
1. Usia <6 bulan
2. Usia <2 tahun dengan OMA bilateral, bahkan meski nyeri telinga ringan
atau suhu <39oC
9
3. OMA dengan nyeri telinga sedang hingga berat atau suhu 39oC
4. Otorrhe purulen yang eprsisten
5. Faktor risiko (misal komplikasi otogenik, inumodefisiensi, penyakit
mendasari yang parah, sindrom Down, bibir sumbing, adanya implan
koklear, influenza)
6. Monitoring dalam 3 hari pertama yang kurang meyakinkan
Jika manajemen awal baik observasi maupun pemberian antibiotik
segera tidak berujung pada peningkatan gejala dalam 48-72 jam, maka
diagnosis diferensial harus disingkirkan. Jika diagnosis OMA tegak pada
pasien yang awalnya diterapi dengan observasi, terapi antibiotik sebaiknya
dimulai. Jika antibiotik sudah diberikan, sebaiknya ditukar dengan substansi
mikrobial lain. Pada pasien yang berespon terhadap terapi antibiotik, gejala
biasanya berkurang setelah 24 jam. Demam biasanya hilang setelah 48-72
jam seleh pemberian antibiotik.
Antibiotik pilihan biasanya amoxicilin, 50 (-60) mg/kgBB/hari, dibagi
dalam tiga dosis. Manfaat amoxcilin adalah tingkat efikasinya yang tinggi,
derajat keamanan yang tinggi, spectrum mikrobiologikal yang sempit, efek
samping yang rendah dan biayanya yang rendah. Pada anak-anak, larutkan
dalam air supaya tingkat reabsorpsinya tinggi dan dengan demikian
bioavailabilitas dan tingkat komplikasi gastrointestinalnya yang rendah
Jika pasien sudah diterapi dengan amoxicilin dalam 30 hari terakhir
atau mempunyai riwayat kambuh dari OMA yang tidak berespon dengan
amoxicilin, hal ini perlu dicurigai adanya infeksi oleh patogen -laktamasepositif, dan dimungkinkan penampakan klinis yang diikuti konjungtivitis
purulen, sehingga direkomendasikan untuk memberikan amoksisilin+ asam
klavulanat.
Cefuroxime dan cefodoxime dapat menjadi pertimbangan sebagai
alternatif untuk pasien yang alergi penisilin. Dalam keadaan pemberian oral
yang tidak memungkinkan, dosis tunggal ceftriaxone intravena atau
intramuskuler dapat diberikan sebagai terapi inisial yang adekuat.
Dalam kasus alergi penisilin, jika pasien sudah jelas mempunyai
reaksi anafilaksis terhadap penisilin, eritromisin, dan azitromisin harus
10
asam clavulanat.
Kegagalan lini pertama atau lini kedua amoxicilin + asam klavulanat harus
dilanjutkan dengan paracentesis dan tes mikrobiologi. Alternatifnya,
rangkaian ceftriaxon parenteral dapat dipertimbangakan.
11
J. TERAPI BEDAH
Jika hal yang disebutkan diatas tentang terapi antibiotik masih gagal
untuk memperbaiki gejala, parasentesis dan swab merupakan indikasi untuk
mengidentifikasi patogen dan menetapkan antibiotik yang tepat.
Komplikasi otogen dari OMA termasuk menjadi mastoiditis akut,
trombosis sinus, meningitis otogenik, labirintis, facial palsy, abses serebral,
atau gradenigo sindrom
13
14
15