You are on page 1of 15

ABSTRAK

Latar belakang : Duapertiga anak pernah memiliki riwayat OMA setidaknya


satu kali sebelum usia 3 tahun. Terapi antibiotik sering diberikan dengan segera,
meski bukti saintifik hal ini masih kurang.
Metode : Review ini berdasarkan pencarian literatur spesifik termasuk evidence
based recommendation yang telah diterbitkan sebelumnya, khususnya guideline
Amerika terkini.
Hasil : Efusi timpani purulen, biasanya berhubungan dengan inflamasi membran
timpani, merupakan tanda OMA. Hanya beberapa pasien OMA yang memerlukan
terapi antibiotik segera: anak dengan otalgia berat dan/atau demam 39 oC atau
lebih, bayi dibawah 6 bulan dan anak dengan faktor risiko spesifik tertentu
termasuk imunodefisiensi dan sindrom Down. Dalam kasus lainnya, terapi
simtomatis lebih cocok. Terapi antibiotik (biasanya dengan amoxicilin) hanya
diberikan jika tanda dan gejala tidak membaik dalam 2 hingga 3 hari.
Simpulan : Dengan tidak konsistennya data yang tersedia saat ini, masih
diperlukan dilakukannya controlled trial dengan endpoint yang jelas yakni untuk
menentukan manfaat relatif terapi antibiotik segera dibandingkan 2 hingga 3 hari
pengawasan ketat.

A. LATAR BELAKANG
Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit inflamasi yang sering
terjadi pada bayi dan anak-anak dan merupakan alasan terkuat ketiga dalam
pemberian antibiotik pada kelompok usia ini.
Pemberian antibiotik di setengah abad pertama pada abad ke-20 ini diikuti
dengan penurunan dramatis insidensi komplikasi berat dari penyakit ini.
Hingga 1980 tidak ada yang meragukan perlunya pemberian antibiotik segera
ketika diagnosis OMA telah tegak. Pada tahun 1981, didukung oleh
peningkatan bukti resistensi terhadap antibiotik, van Buchem et al.
merupakan yang pertama menunjukkan bahwa anak diatas 2 tahun dengan
OMA tanpa komplikasi dapat diatasi dengan observasi saja disertai terapi
simtomatis. Meski pergeseran paradigma ini telah menetap dalam guideline di
beberapa negara, dalam beberapa tahun ini, beberapa studi telah
mempertanyakan cara ini.
Sebuah guideline S2 untuk terapi OMA saat ini sedang disiapkan dibawah
naungan German Society of Oto-Rhino-Laryngology, Head and Neck
Surgery. German College of General Paractitioners and Family Physicians
juga menerbitkan guideline S3 berupa Nyeri telinga yang mulai valid bulan
Desember 2011 dan sedang dalam revisi.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari artikel ini, pembaca diharap dapat:
1. Mendiagnosis OMA dengan akurat
2. Membedakan OMA tanpa komplikasi dari kasus-kasus dimana
komplikasi dapat muncul
3. Memberikan dan memonitor terapi OMA yang tepat
C. NOMENKLATUR
Otitis media akut merupakan istilah umum untuk semua penyakit
inflamasi di telinga tengah dengan keterlibatan kavum timpani. Di Jerman,
otitis media akut purulen dibedakan dari otitis media viral; hal ini
membedakan dalam hal nomenklatur di negara berbahasa Inggris, dimana

otitis media termasuk otitis media dengan efusi timpani (serous atau
mukus).
D. EPIDEMIOLOGI
Insidensi aom tertinggi ditemukan dalam 2 tahun pertama kehidupan
dan menurun 2% hingga usia 8 tahun. Lebih dari duapertiga anak setidaknya
setidaknya pernah sekali mengalami OMA sebelum usia 3 tahun dan
setengahnya pernah mengalami sebanyak dua hingga tiga kali.
Beberapa pasien ini timbul efusi timpani, yang berujung pada
gangguan pendengaran telinga tengah yang menetap hingga kemudian hari.
Di Jerman, rata-rata prevalensi 12 bulan OMA pada anak dan remaja
usia antara 0 dan 17 tahun adalah 11% selama periode observasi 2003 hingga
2006.
Peningkatan prevalensi OMA hingga pertengahan tahun 1990 diikuti
penurunan sekitar 19%. Selain pemberian vaksinasi untuk infeksi
pneumokokus dan influenza, penurunan ini terkait dengan dibuatnya kriteria
diagnostik yang lebih tidak ambigu, rekomendasi berupa observasi intensif
bersamaan dengan peneriman keputusan ini oleh orangtua dan penurunan
paparan asap rokok.
E. MIKROBIOLOGI
Tergantung dari metode yang digunakan dan seberapa ketat kriteria
diagnostik yang diterapkan, bakteri dapat muncul dalam 70-90% pasien
OMA.
Hampir dalam semua kasus, OMA didahului infeksi virus di saluran
pernapasan atas. Patogen yang paling sering adalah virus respiratoris. Virus
lainnya yang sering seperti virus influenza dan parainfluenza, rinovirus,
adenovirus dan enterovirus.
Patogen bakteri tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae, diikuti Moraxella catarrhalis. Streptococcus
pyogenes dan Staphylococcus aureus ditemukan dalam sejumlah kecil kasus.
Dengan pemberian vaksin konjugat pneumokokus heptavalen (PCV-7),

mayoritas kasus OMA bakterial disebabkan oleh pneumokokus, tapi spektrum


bakterinya kemudian berubah. Studi di AS menunjukkan sebuah penurunan
relatif OMA pneumokokal dari 33-48% menjadi 23-31%, sementara jumlah
infeksi H. Influenza meningkat dari 41-43% jadi 56-57%. Masih belum
diketahu apakah di Jerman juga sama. Namun, pergeseran ini bisa juga
dibalik melalui peningkatan serotip yang tidak terkandung dalam PCV-7.
Konsekuensi pemberian vaksin konjugat pneumokokus tridekavalen (PCV13), yang berpotensi menurunkan insidensi OMA yang disebabkan oleh
serotipe pneumokokus resisten hingga saat ini masih belum jelas. Karena
virus influenza merupakan virus yang paling sering muncul dalam cairan di
telinga tengah pada pasien OMA dan juga diketahui sebagai prekursor infeksi
pneumokokus, nampaknya vaksinasi influenza akan menurunkan insidensi
dan keparahan OMA viral dan bakterial, tapi hingga saat ini hanya ada bukti
parsial. Meta analisis terkini menunjukkan bahwa vaksin hidup influenza via
nasal (LAIV) pada anak usia 6 hingga 71 bulan akan menurunkan insidensi
OMA sebesar 12,4%. Namun, temuan ini masih belum cukup untuk
mengesahkan pemberian LAIV.
F. GEJALA KLINIS
OMA biasanya terjadi pada pasien dengan infeksi saluran pernafasan
atas. Gejala seperti nyeri telinga, serta kelainan kompulsif telinga pada bayi
tidaklah spesifik. Hanya 10% dari anak-anak dengan kelainan kompulsif
telinga mempunyai OMA. Demam, tidak enak badan dan pada beberapa anak,
diare dan rasa mual merupakan variasi dari gejala.
Pada

remaja

dan

dewasa,

nyeri

telinga,

ketidakmampuan mendengar biasanya sangat

sakit

kepala

dan

ambigu. Jika ditemukan

perforasi membrana timpani yang spontan, keluhan nyeri telinga akan hilang
secara tiba-tiba.

Gambar 1. Algoritma terapi untuk Otitis Media Akut (OMA)


G. DIAGNOSIS
Pemeriksaan membrana timpani dengan otomikroskopi atau otoskopi
merupakan kunci dari diganosis yang benar. Disaat perubahn inflamatoris
membran timpani sebelumnya dan diikuti dengan efusi inflamatoris yang
berujung pada diagnosis OMA, guideline baru dari American Academy of
Pediatrics (AAP) menunjukkan bahwa kriteria berikut ini harus terpenuhi:
1. Timbul bulging moderat atau berat di membran timpani atau otorea yang
baru terjadi namun tidak disebabkan oleh otitis eksterna akut

2. Timbul bulging ringan di membran timpani disertai nyeri telinga atau


kemerahan di membran timpani dalam 48 jam sebelumnya
Tidak adanya akumulasi cairan dalam kavum timpani dianggap bukan
OMA.
Kriteria pertama dari dua rekomendasi AAP untuk diagnosis masih
kontroversial. Jika bulging yang berat sudah cukup sebagai kriteria tunggal
OMA, diferensiasi dari efusi timpani sederhana menjadi sulit. Transparansi
membran timpani juga sebaiknya jadi kriteria.
Riwayat terjadinya gejala klinis akut seperti nyeri telinga, otorrhea,
dan/atau demam mendukung diagnosis OMA tapi tidak secara spesifik. Hal
ini memiliki hubungan prediktif moderat dengan tegaknya diagnosis
(sensitifitas 54%, spesifitas 82%).
Membran timpani yang kemerahan sebagai gejala tunggal juga masih
belum cukup untuk menegakkan diagnosis OMA, karena nilai prediktif
positifnya hanya 7%. Dalam tahap awal OMA, kemerahan dan injeksi
vaskuler di membran dan sebelum timbul efusi purulen, membedakan antara
otitis media purulen dan nonpurulen (viral) masih tidak mungkin. Diagnosis
OMA purulen masih belum tegak hingga muncul bulging kekuningan dan
mengkilat di membran timpani dengan injeksi vaskuler dan dalam beberapa
kasus pulsasi membran dan pendataran manubrium mallei.
Khususnya pada bayi dan balita, penilaian membran timpani mungkin
terhambat karena kurang kooperatif, dangkalnya meatus akustikus eksterna
dan peningkatan jumlah serumen. Dalam kasus seperti itu, diagnosis tidak
bisa tegak sepenuhnya. Dapat digunakan otoskopi pneumatik untuk
mengetahui hambatan mobilitas membran timpani, tapi kadang juga bisa
bermasalah pada anak. prosedur diagnostik potensial lainnya adalah
timpanometri dan reflektometri akustik, namun keduanya belum bisa
membedakan OMA dari efusi timpani. Oleh karena itu, kedua pemeriksaan
ini hanya dapat digunakan untuk melengkapi penilaian pemeriksaan
otomikroskopi/otoskopi, bukan untuk menggantikannya.
Pengecualian pada komplikasi otogenik, diperlukan inspeksi dan
palpasi mastoid disertai penilaian fungsi nervus fasialis. Pada anak yang lebih

tua, remaja dan dewasa, sebaiknya menjalani pemeriksaan audiologi


Weber/Rinne menggunakan garputala untuk menyingkirkan keterlibatan toxic
dalam telinga dalam.
Jika diduga ada komplikasi otogenik, diperlukan prosedur diagnostik
lebih jauh yang meliputi:

Diagnosis detail koklevestibuler


Analisis swab
MRI kepala atau CT dada
Pemeriksaan laboratorium

Usia

Nyeri telinga sedang hingga berat


Temperatur

< 6 bulan
6 bulan-2 tahun

Nyeri telinga ringan

0
390 c atau Temperatur < 39 C

otorhea
Terapi antibiotik
Terapi antibiotik

Terapi antibiotik
Terapi antibiotik

pada

OMA bilateral
Observasi
2tahun

Terapi antibiotik

pada

OMA

unilateral
Observasi

Tabel 1. Indikasi terapi antibiotik dan observasi pada anak-anak


dengan OMA tidak kompleks
H. DIAGNOSIS BANDING
Tidak hanya OMA purulen dan viral yang harus dibedakan, OMA juga
harus dibedakan dari miringitis dalam hubungannya dengan inflamasi meatus
akustikus eksternal dan dari eksaserbasi otitis media kronis. Diagnosis
banding tersering adalah efusi timpani serous/mukous yang biasanya tidak
disertai nyeri, membran timpani kemerahan atau eksudat purulen dalam
kavum timpani. Namun secara klinis, diferensiasi bisa susah dalam OMA
tahap awal atau saat fase penyembuhan.
I. TERAPI

Rekomendasi berikut ini berkaitan dengan OMA tanpa komplikasi dan


tidak disertai penyakit sistemik dan dalam pasien yang sehat. Selain
komplikasi otogenik, keadaan yang dapat memperparah OMA seperti bibir
sumbing, kelainan genetik pada sindrom Down, imunodefisiensi dan adanya
implan koklear. Terlebih lagi, pasien yang OMA-nya kambuh dalam 30 hari
harus dipertimbangkan secara terpisah karena gagal sembuh spontan dan
tingginya insidensi komplikasi otogenik.
Level of evidence (I to IV) dan grade of recommendation (A to C,
good clinical practice [GCP]) ditulis dalam tanda kurung.
Nyeri telinga sering menjadi gejala awal yang paling mengganggu dan
harus diterapi segera, terlepas dari terapi kausatif lainnya. Asetaminofen
(parasetamol) dan ibuprofen dianggap sebagai analgesik standar untuk OMA
(IIa, A). Pemberian anestesi lokal topikal juga tidak direkomendasikan (IV).
Meski penggunakan tetes hidung dekongestan sering dipantau secara
kritis, hal ini dianggap berlebihan karena seringnya rinosinusitis yang
mendasari (menyertai) (IV, C).
Karena terbatasnya data, tidak ada rekomendasi valid yang universal
untuk prosedur komplementer atau alternatif dalam terapi OMA.
Menurut sejarah, pemberian antibiotik segera pada pasien OMA
dianggap sebagai alasan utama penurunan drastis mastoiditis akut dari tahun
1950 hingga seterusnya. Namun, asumsi awal ini berubah menjadi tidak benar
untuk OMA tanpa komplikasi. Tingkat mastoiditis pada anak yang lebih tua
yang diberi antibiotik segera tidak berbeda secara signifikan dari mereka yang
dimonitor secara intensif dan diberi antibiotik hanya jika mereka tidak
menunjukkan perbaikan (0,59% vs 0,17%). Studi internasional yang
membandingkan negara dengan kebijakan berbeda dalam hal terapi OMA
juga ridak menunjukkan variasi yang signifikan dalam insidensi mastoiditis
akut.
Maka, studi-studi ini tampaknya menunjukkan bahwa pada anak di
atas 1 tahun, risiko mastoiditis akut akibat OMA tanpa komplikasi tidak
meningkat pada periode awal observasi, asalkan pasien diperiksa secara klinis
tiap beberapa waktu dan terapi antibiotik diberikan jika tidak ada tanda-tanda

perbaikan. Juga tidak ada bukti bahwa insidensi meningitis dalam kaitannya
dengan OMA dapat diturunkan dengan pemberian antibiotik segera.
Sejak pertengahan tahun 1980, telah banyak ditunjukkan bahwa
perbedaan derajat kesembuhan antara pemberian antibiotik segera dan
obserasi intensif disertai analgesik yang adekuat masih signifikan secara
marginal.
Peningkatan spontan gejala OMA muncul pada 60% pasien dalam 24
jam pertama, 80-85% dalam 2 hingga 3 hari dan 90% setelah 4 hingga 7 hari.
Akibat latensi efek mikrobial, terapi antibiotik segera tidak memberikan
manfaat dibanding plasebo setelah 2 hingga 3 hari. , 9% setelah 4-7 hari. Juga
tidak ditemukan bukti adanya perbaikan pendengaran yang lebih cepat
dengan pemberian antibiotik segera. Namun, pemberian antibiotik segera
akan meningkatkan kecenderungan diare sebesar 5-14% dan ruam kulit
sebesar 3-6%. Sedikitnya manfaat terapetik harus dipertimbangkan dengan
potensi sembuh spontan yang besar dan efek samping antibiotik, begitu juga
masalah resistensi dan aspek medioekonomi.
Faktor usia dan keparahan gejala memiliki peran penting dalam
keputusan antara observasi intensif dan terapi antibiotik segera. Tingkat
kegagalan fase awal dari observasi intensif hampir dua kali lipat pada anak di
bawah 2 tahun dan begitu juga di atasnya. Pasien dengan gejala yang parah
secara signifikan memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi dibanding
yang gejalanya ringan (14% vs 4%).
Oleh karena itu, tergantung pada usia dan keparahan gejala pasien,
sejumlah besar pasien dengan OMA tanpa komplikasi dapat diberi terapi awal
secara simtomatis, asalkan mereka menjalani pemeriksaan klinis dan
otomikroskopi/otoskopi setelah 2-3 hari.
Terapi yang sesuai juga disesuaikan tiap individu. Pengambilan
keputusan berdasarkan pengalaman klinis dokter dalam menilai keparahan
gejala pasien.
Berikut ini merupakan indikasi pemberian antibiotik segera:
1. Usia <6 bulan
2. Usia <2 tahun dengan OMA bilateral, bahkan meski nyeri telinga ringan
atau suhu <39oC
9

3. OMA dengan nyeri telinga sedang hingga berat atau suhu 39oC
4. Otorrhe purulen yang eprsisten
5. Faktor risiko (misal komplikasi otogenik, inumodefisiensi, penyakit
mendasari yang parah, sindrom Down, bibir sumbing, adanya implan
koklear, influenza)
6. Monitoring dalam 3 hari pertama yang kurang meyakinkan
Jika manajemen awal baik observasi maupun pemberian antibiotik
segera tidak berujung pada peningkatan gejala dalam 48-72 jam, maka
diagnosis diferensial harus disingkirkan. Jika diagnosis OMA tegak pada
pasien yang awalnya diterapi dengan observasi, terapi antibiotik sebaiknya
dimulai. Jika antibiotik sudah diberikan, sebaiknya ditukar dengan substansi
mikrobial lain. Pada pasien yang berespon terhadap terapi antibiotik, gejala
biasanya berkurang setelah 24 jam. Demam biasanya hilang setelah 48-72
jam seleh pemberian antibiotik.
Antibiotik pilihan biasanya amoxicilin, 50 (-60) mg/kgBB/hari, dibagi
dalam tiga dosis. Manfaat amoxcilin adalah tingkat efikasinya yang tinggi,
derajat keamanan yang tinggi, spectrum mikrobiologikal yang sempit, efek
samping yang rendah dan biayanya yang rendah. Pada anak-anak, larutkan
dalam air supaya tingkat reabsorpsinya tinggi dan dengan demikian
bioavailabilitas dan tingkat komplikasi gastrointestinalnya yang rendah
Jika pasien sudah diterapi dengan amoxicilin dalam 30 hari terakhir
atau mempunyai riwayat kambuh dari OMA yang tidak berespon dengan
amoxicilin, hal ini perlu dicurigai adanya infeksi oleh patogen -laktamasepositif, dan dimungkinkan penampakan klinis yang diikuti konjungtivitis
purulen, sehingga direkomendasikan untuk memberikan amoksisilin+ asam
klavulanat.
Cefuroxime dan cefodoxime dapat menjadi pertimbangan sebagai
alternatif untuk pasien yang alergi penisilin. Dalam keadaan pemberian oral
yang tidak memungkinkan, dosis tunggal ceftriaxone intravena atau
intramuskuler dapat diberikan sebagai terapi inisial yang adekuat.
Dalam kasus alergi penisilin, jika pasien sudah jelas mempunyai
reaksi anafilaksis terhadap penisilin, eritromisin, dan azitromisin harus

10

menjadi pertimbangan khusus, menyikapi pendapat efek terbatas dari


makrolid melawan H. influenza dan S. pneumoniae.
Pasien dengan implan koklea yang menjadi OMA dalam 2 bulan
setelah implan seharusnya diberikan ceftriaxone parenteral. Jika OMA terjadi
lebih dari 3 bulan setelah implantasi, direkomendasikan terapi empirik
dengan amoxicilin atau amoxicilin + asam clavulanat.
Dengan mengamati lama terapi dengan antibiotik, rekomendasinya
sebagai berikut: anak dibawah 2 tahun dengan OMA berat harus diterapi
selama 10 hari, anak berumur 2-6 tahun selama 7 hari, dan anak 7 tahun atau
lebih selama 5-7 hari.
Jika lini pertama terapi antibiotik gagal, rekomendasi terapi lanjutan:
-

Antibiotik lini kedua setelah kegagalan amoxicilin adalah amoxicilin +

asam clavulanat.
Kegagalan lini pertama atau lini kedua amoxicilin + asam klavulanat harus
dilanjutkan dengan paracentesis dan tes mikrobiologi. Alternatifnya,
rangkaian ceftriaxon parenteral dapat dipertimbangakan.

Antibiotik Lini Pertama pada OMA


Pilihan antibiotik
amoxicilin 50 (60) mg/kg BB/hari, dibagi kedalam 2 atau 3 dosis
Pengecualian
Pengobatan dengan amoxicillin 30 hari sebelumnya, menunjukkan diikuti
konjungtivitis purulen,riwayat OMA episode rekuren yang tidak rberespon terhadap
amoxicilin, atau suspek infeksi patogen a -lactamasepositive:
amoxicillin + asam clavulanic
(amoxicillin 50 mg/kgBB/hari + asam clavulanic 12.5 mg/ kgBB/hari, dibagi
kedalam 2 atau 3 dosis)
Antibiotik alternatif
Cefuroxime
(30 mg/kg BB/hari, dibagi kedalam 2 dosis)
Cefpodoxime
(512 mg/kg BB/hari, dibagi kedalam 2 dosis)
Ceftriaxone i.v. atau i.m.
(50 mg/kg kg BB/hari dalam 1 dosis selama 1-3 hari)
Pada kasus terjadinya reaksi anafilaktik terhadap penisilin sebelumnya
Erythromycin
(3050 mg/kg BB/hari, dibagi kedalam 3 dosis)
Clarithromycin
(15 mg/kg BB/hari, dibagi kedalam 2 dosis)
Azithromycin (10 mg/kgBB pada hari pertama,
5 mg/kg untuk 4 hari kedepan, 1 dosis perhari)

11

Box 1. Antibiotik lini pertama pada OMA

Antibiotik Lini Kedua pada OMA


Pilihan antibiotik lini kedua adalah amoxicillin + asam
clavulanic (jika tidak digunakan sebagai antibiotik lini
pertama)
(amoxicillin 50 mg/kg BB/hari + asam clavulanic 12.5 mg/kg
BB/hari)
Ceftriaxone i.v. atau i.m.
(50 mg/kg BB/hari dalam 1 dosis selama 1-3 hari)
Clindamycin
2. BB/hari
Antibiotik
lini kedua
OMA
(3040Box
mg/kg
dibagi
dalam 3pada
dosis)
+ cephalosporin
generasi ke-3

J. TERAPI BEDAH
Jika hal yang disebutkan diatas tentang terapi antibiotik masih gagal
untuk memperbaiki gejala, parasentesis dan swab merupakan indikasi untuk
mengidentifikasi patogen dan menetapkan antibiotik yang tepat.
Komplikasi otogen dari OMA termasuk menjadi mastoiditis akut,
trombosis sinus, meningitis otogenik, labirintis, facial palsy, abses serebral,
atau gradenigo sindrom

umumnya mengharuskan terapi antibiotik yang

adekuat, intervensi bedah dalam bentuk mastoidektomi dengan tambahan


parasentesis dan jika diperlukan, insersi dari saluran timpani untuk
memperbaiki sirkulai udara di telinga tengah. Tergantung situasi individu,
tindakan lebih lanjut mungkin dibutuhkan.
K. KEKAMBUHAN OMA
Kekambuhan OMA dipertimbangkan muncul ketika pasien mengalami
tiga episode OMA dalam 6 bulan terakhir atau sedikitnya empat episode
dalam 12 bulan terakhir. Selain itu disamping alergi dan kerusakan imun,
12

pasien dengan kekambuhan OMA harus mempunyai status terimunisasi


pneumococcus, karena vaksinasi dapat mengurangi angka kejadian infeksi
10-25%.
Insersi dari saluran timpani, tanpa atau disertai dengan adenotomi,
dapat mengurangi kejadian kekambuhan sampai 1.5 kali dalam 6 bulan.
Adenotomisendiri tidak dapat meningkatkan pengurangan frekuensi dari
kekambuhan dari OMA.
Untuk jangka panjang terapi dosis rendah antibiotik dapat mengurangi
kekambuhan hanya 0.5-1.5 kali selama 12 bulan, jadi ini tidak
direkomendasikan.
L. PENGAMATAN LANJUTAN
Terlepas dari hal diatas pengamatan lanjutan setelah 2 sampai 3 hari,
dapat memunculkan pemikiran jika remisi dari efusi timpani seringkali
menjadi pekerjaan yang berkepanjangan. Efusi timpani masih terjadi di 60-70
anak setelah 2 minggu, 40% setelah 4 minggu, dan mencapai 25% selama 3
bulan setelah onset OMA. Ini harus di pantau dan terapi dibutuhkan dalam hal
untuk menghindari keterlambatan perkembangan bicara. Dalam jangka
pendek, tetes hidung dekongestan dapat diberikan, manuver valsava secara
aktif dapat dilakukan, atau pembukaan tuba secara pasif dengan balon politzer
atau balon hidung khusus. Jika efusi timpani menetap lebih dari 3 bulan,
dalam beberapa kasus berat, merupakan indikasi parasentesis, memungkinkan
disertai dengan insersi tuba timpani bersama dengan adenotomi.
M. PENCEGAHAN
Beberapa faktor yang berkontribusi menjadi awal atau kekambuhan
OMA ditak disepakati berpengaruh: ini meliputi predisposisi genetik,
kelahiran prematur, jenis kelamin pria, etnis tertentu, jumlah saudara
kandung, dan status sosialekonomi rendah. Menindak lanjuti, bagaimanapun,
mengurangi risiko dari OMA:
1. ASI untuk 6 bulan pertama
2. Menghindari paparan asap rokok
3. Vaksinasi yang adekuat melawan pneumococcus dan influenza

13

Tindakan lain yang mungkin menggunakan efek pencegahan diantaranya:


1. Mengurangi kejadian ISPA dengan mengecilkan ukuran kelompok di
taman kanak- kanak.
2. Menggunakan xilitol kunyah atau xilitol tablet beberapa kali sehari pada
waktu waktu saat sakit flu biasa terjadi.
3. Insersi tuba timpani, dikombinasi dengan adenotomi jika diperlukan.
N. KESIMPULAN
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum diagnosis dari OMA dapat
ditandai munculnya efusi timpani purulen dan jika dapat diterapkan,
munculnya perubahan peradangan pada membran timpani.
OMA yang tanpa komplikasi harus dibedakan dengan OMA dengan
faktor komplikasi atau bahaya dari komplikasi otogenik.
Pada pasien tertentu, tergantung usia, keparahan gejala, dan penyakit
pengikutnya, managemen dari OMA tanpa komplikasi dapat dimulai dengan
2 sampai 3 hari terapi simtomatis dan diobservasi, dilanjutkan dengan uji
klinis.
Jika tidak ada remisi gejala, terapi antibiotik dengan amoxicilin harus
dimulai.

Gejala dari komplikasi otogenik


- Mastoiditis akut
o Keanehan yang mencolok dari telinga bagian luar, bengkak pada alur belakang telinga
dan kemerahan yang sessitif terhadap tekanan, penurunan dinding posterosuperior
meatus auditori eksternal, elevasi BSG, elevasi CRP, radiologi menampakkan
bayangn dari mastoid melebur dengan tulang trabekula (bezold mastoiditis, bengkak
di otot sternokleidomastoideus dengan tortikolis)
- Labirintis
o Vertigo dengan nistagmus menonjol awalnya menuju telinga yang rusak, selanjutnya
menuju sisi lainya, tuli telinga dalam yang progresive
- Facial palsy
o Seluruh atau sebagian facial palsy perifer
- Trombosis sinus venosus
o Kemunduran di kondisi umum sperti bakteremia dan sepsis, belakang telinga
bengkak dengan kulit di atas percabangan vena mastoid ( Griesinger sign)
- Abses epidural, abses subdural, meningitis
o Memburuknya kondisi umum, headache, demam, kaku kuduk, somnolen, melamun
- Abses serebral
o Gejala tidak khas, dramatis di fase akhir mungkin terjadi, headache menonjol, kaku
kuduk, somnolen, melamun, bradikardi, kompresi batang otak karena peningkatan
tekanan cerebral atau pecahnya ventrikular sistem.
- Gradenigo sindrom (otorhea dengan keterlibatan puncak petrous dari tulang temporal)
(sangat jarang)
o Iritasi nervus trigeminus dengan nyeri berat disamping mata dan paralisis dari nervus
okulomotorius dan nervus abdusen.

14

Box 3. Gejala dari komplikasi otogenik

15

You might also like