You are on page 1of 33

BAB I.

Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua
warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat
miskin, pada pelaksanaan implementasinya dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan,

sesuai kemampuan keuangan pemerintah. Kesehatan

merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing
bangsa bagi pembangunan nasional. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya
gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar bagi negara, artinya akan menurunkan produktifitas kerja
yang akan menurunkan pendapatan perkapita. Sebagai contoh : Kajian Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan
(Kemkes) menunjukkan, penyakit beserta kematian yang terkait rokok berdampak
pada peningkatan total kumulatif kerugian ekonomi secara makro. Kajian tersebut
menyebutkan, kerugian ekonomi akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok
meningkat tajam dari Rp 245,41 triliun di tahun 2010 menjadi Rp 378,75 triliun
pada 2013. Nilai kerugian ini lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah uang
yang diperoleh negara dari cukai rokok, yaitu Rp 87 triliun di tahun 2010 dan Rp
113 triliun pada 2013 (Suara Pembaharuan, 2013). Selain itu Indonesia juga harus
mengalami kerugian ekonomi akibat sanitasi buruk sebesar Rp 42,3 trilyun per
tahun. (Zaenab, Skm.Mkes, 2012). Oleh sebab itu, setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara.
Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti
pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan
merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.
1

Dengan adanya sistem jaminan kesehatan yang baru, di harapkan nantinya semua
masyarakat tidak perlu khawatir lagi untuk menjamin kesehatan mereka, demikian
juga dengan pelayanan kesehatan karena akan dijamin oleh pemerintah dengan
sebuah program kesehatan yaitu melalui jaminan kesehatan nasional.
Peranan Coding dalam mendukung program kesehatan nasional sangat
penting, terutama dalam menentukan tarif pelayanan kesehatan. Besarnya
kecilnya tarif pelayanan kesehatan ditentukan oleh pemerintah berdasarkan pada
INA-CBGs yang berpedoman ICD 10 untuk Diagnosis dan pedoman ICD 9 untuk
Prosedur dan Tindakan medis.

1.2.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui peranan coding dalam pemeriksaan
laboratorium untuk diagnosa suatu penyakit berdasarkan coding INA-CBGs yang
disertai tindakan / prosedur atau tanpa disertai tindakan / prosedur medis. Ini
penting untuk mengevaluasi biaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan,
apakah sudah sesuai dengan tarif yang ditentukan oleh pemerintah dalam program
kesehatan terbaru yaitu BPJS Kesehatan.

BAB II.
Jaminan Kesehatan Nasional
2.1. Pengertian / Definisi.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Jamkesnas (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah sebuah program perlindungan


kesehatan perorangan yang diberikan pemerintah kepada setiap warga negara
Indonesia. Program ini bersifat wajib sehingga seluruh masyarakat baik mampu
maupun yang tidak mampu akan mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan.
Jaminan Kesehatan tersebut dikeluarkan oleh pihak pemerintah dan swasta,
pesertanya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil), TNI, Polri, Karyawan swasta dan
Non karyawan swasta. Dari data yang diterima DJSN (Dewan Jaminan Sosial
Nasional), yang sudah terdaftar adalah yang sudah tergabung sebagai peserta
Jamkesmas, Askes PNS, Pensiunan TNI Polri, Jamsostek, Jamkesda, Asuransi
Comersial dan Self Insuranced , termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Dewan Jaminan Sosial Nasional, yang selanjutnya disingkat DJSN, adalah dewan
yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) adalah badan


hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan
nasional.

PBI (Penerima Bantuan Iuran)

Jaminan Kesehatan, selanjutnya disebut PBI

Jaminan Kesehatan adalah peserta JKN yang tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu.

Non PBI adalah peserta JKN yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdiri atas PNS, TNI, POLRI, Karyawan Swasta, Pekerja Mandiri,
pekerja penerima upah beserta keluarganya.

Faskes Primer adalah Fasilitas Kesehatan tingkat pertama selain rumah sakit,
dalam hal ini adalah Puskesmas dan jaringannya serta dokter keluarga yang sudah
ditunjuk sebagai jejaring BPJS.

Faskes Lanjutan adalah Fasilitas Kesehatan lanjutan dalam hal ini adalah rumah
sakit dengan pelayanan yang berjenjang.

Sebelumnya, mungkin ada baiknya kita melihat sesaat sistem pelayanan kesehatan
ke belakang, mengingat biaya pengobatan saat ini yang begitu mahal. Kemudian
bagaimana jika kalangan tidak mampu sakit dan perlu penanganan cukup lama?
ditambah lagi, data dari kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa saat ini
masih banyak anggota masyarakat yang belum terlindungi oleh asuransi
kesehatan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Dewan Sistem Jaminan Sosial
Nasional menyebutkan, jumlah penduduk yang menerima asuransi baru sebesar
151 juta jiwa. Artinya masih ada 88 juta penduduk yang belum terjamin.
Dengan adanya sistem pelayanan kesehatan terbaru atau JKN, nantinya semua
masyarakat tidak perlu khawatir lagi. Karena sesuai Undang-undang no. 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), seluruh masyarakat
Indonesia akan dijamin kesehatannya melalui sebuah program perlindungan
kesehatan perorangan yang diberikan pemerintah kepada setiap warga negara
Indonesia yang disebut JKN. Jaminan tersebut dikeluarkan oleh pihak pemerintah

dan swasta, dengan pesertanya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil), TNI, Polri dan
karyawan swasta serta non-karyawan. Dari data yang diterima DJSN (Dewan
Jaminan Sosial Nasional), peserta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
kesehatan yang sudah terdaftar adalah yang sudah tergabung di Askes PNS,
pensiunan TNI, Polri sebanyak 17,3 juta, Jamsostek 5,6 juta, jamkesda 31,8 juta,
Asuransi komersial 2,9 juta dan self insuranced 15,4 juta. Selain itu, program ini
juga sifatnya wajib (mandatory) sehingga masyarakat yang tidak mampu juga
akan mendapatkan layanan kesehatan. Untuk metode pembiayaan kesehatan
individu yang ditanggung pemerintah, dimana sumber pembiayaan berasal dari
dua yaitu bersumber dari Pajak dan Sistem Kapitasi.
Perlu diketahui, saat ini tidak ada layanan kesehatan gratis melainkan pemerintah
daerah telah menerapkan model kapitasi ini melalui program Jamkesda, seperti
Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diterapkan oleh Pemda DKI.
2.2. Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan
1.Undang-Undang Nomor 326 Menkes SK/IX/2013 Tentang Penyiapan Kegiatan
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional.
Menjelaskan tentang penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional dan persiapan
kegiatan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional.
2.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan.
Menjelaskan tentang Jaminan Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS Kesehatan), Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dari
Pemerintah (PBI), dan Peserta Jaminan Kesehatan.
3.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan Kesehatan

Tertentu

Berkaitan

Dengan Kegiatan

Operasional

Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Dan Kepolisisa Negara


Republik Indonesia.
Menjelaskan tentang pelayanan kesehatan tertentu, BPJS Kesehatan, Kementerian
Pertahanan (KemHan), Tugas pokok TNI dan POLRI untuk tujuan Pertahanan
Negara, Kesehatan TNI,POLRI, PNS HanKam dan Pegawai Negeri POLRI.
4.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012

Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat.


Menjelaskan perlu dilakukan perubahan Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan Masyarakat agar penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat
dapat berjalan dengan efektif dan efesien.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013
Menjelaskan Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
6.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Nomor 903/Menkes/Per/V/2011
Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
7.Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 150 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456)
9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 49)
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/60/I/2010
Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/ MENKES/PER/VIII/2010
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)
12.Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

440/Menkes/SK/XII/2012.
Tentang Tarif Rumah Sakit berdasarkan Indonesia Based Group (INA-CBG)

2.3. Proses / Prosedur


Peserta Jamkesnas tidak boleh dikenakan urun biaya dengan alasan apapun.
Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut :

2.3.1. Pelayanan Kesehatan Dasar


a. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya,
peserta harus menunjukkan kartu Jamkesmas. Untuk peserta gelandangan,
pengemis, anak/orang terlantar dan masyarakat miskin penghuni panti sosial,
menunjukkan surat rekomendasi dari Dinas/Instansi Sosial setempat. Bagi
masyarakat

miskin

penghuni

lembaga

pemasyarakatan/rumah

tahanan

menunjukkan surat rekomendasi Kepala Lembaga Pemasyarakatan/Rumah


Tahanan dan untuk peserta PKH yang belum memiliki kartu Jamkesmas, cukup
menggunakan kartu PKH.
b. Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di puskesmas dan jaringannya meliputi
pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Khusus untuk pertolongan persalinan dapat
juga dilakukan fasilitas kesehatan swasta tingkat pertama, sebagaimana diatur
dalam Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
c. Bila menurut indikasi medis peserta memerlukan pelayanan pada tingkat lanjut
maka puskesmas wajib merujuk peserta ke fasilitas kesehatan lanjutan.
d. Fasilitas kesehatan lanjutan penerima rujukan wajib merujuk kembali peserta
Jamkesmas disertai jawaban dan tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara
medis peserta sudah dapat dilayani di fasilitas kesehatan yang merujuk.

2.3.2. Pelayanan Tingkat Lanjut


a. Peserta Jamkesmas yang memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjut (RJTL
dan RITL), dirujuk dari puskesmas dan jaringannya ke fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan secara berjenjang dengan membawa kartu peserta Jamkesnas/identitas
kepesertaan lainnya / surat rekomendasi dan surat rujukan yang ditunjukkan sejak
awal. Pada kasus emergency tidak memerlukan surat rujukan.
b. Kartu peserta Jamkesmas/identitas kepesertaan lainnya/surat rekomendasi dan
surat rujukan dari puskesmas dibawa ke loket Pusat Pelayanan Administrasi
Terpadu

Rumah

Sakit

(PPATRS)

untuk

diverifikasi

kebenaran

dan

kelengkapannya, selanjutnya dikeluarkan Surat Keabsahan Peserta (SKP) oleh


petugas , dan peserta selanjutnya memperoleh pelayanan kesehatan.
c. Bagi bayi dan anak yang lahir dari kedua orang tua atau salah satu orang tuanya
peserta Jamkesmas cukup dengan menunjukkan kartu peserta Jamkesmas orang

tuanya dengan melampirkan akte kelahiran/surat kenal lahir/surat keterangan


lahir/pernyataan dari tenaga kesehatan.
Pelayanan tingkat lanjut meliputi :
1) Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) di rumah sakit sebagai
penerima rujukan
2) Pelayanan rawat inap bagi peserta diberikan di kelas III (tiga) di rumah
sakit.
3) Pelayanan obat-obatan, alat dan bahan medis habis pakai serta
pelayanan rujukan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya.
d. Untuk kasus kronis yang memerlukan perawatan berkelanjutan dalam waktu
lama, seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, dan lain-lain, surat rujukan dapat
berlaku selama 1 bulan. Untuk kasus kronis lainnya seperti kasus gangguan jiwa,
kusta, kasus paru dengan komplikasi, kanker, surat rujukan dapat berlaku selama
3 bulan. Pertimbangan pemberlakuan waktu surat rujukan (1 atau 3 bulan)
didasarkan pada pola pemberian obat.
e. Rujukan pasien antar rumah sakit termasuk rujukan rumah sakit antar daerah
dilengkapi surat rujukan dari rumah sakit asal pasien dengan membawa identitas
kepesertaannya untuk dapat dikeluarkan SKP oleh petugas PT. Askes (Persero)
pada tempat tujuan rujukan.
f. Dalam keadaan gawat darurat meliputi:
1) Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan.
2) Apabila pada saat penanganan kegawatdaruratan tersebut peserta belum
dilengkapi dengan identitas kepesertaannya, maka diberi waktu 2 x 24 jam hari
kerja untuk melengkapi
g. Untuk pelayanan obat dalam program Jamkesmas mengacu pada Formularium
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Kewajiban Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, bila memungkinkan
rumah sakit bisa menggunakan formularium rumah sakit.
h. Bahan habis pakai, darah, dan pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya di
rumah sakit diklaimkan dalam INA-CBGs dan merupakan satu kesatuan.
i. Alat medis habis pakai (AMHP) yang dapat diklaim terpisah adalah hanya:
1) Intra Ocular Lens (IOL)

2) J Stent (Urologi)
3) Stent Arteri (Jantung)
4) VP Shunt (Neurologi)
5) Mini Plate (Gigi)
6) Implant Spine dan Non Spine (Orthopedi)
7) Prothesa (Kusta)
8) Alat Vitrektomi (Mata)
9) Pompa Kelasi (Thalassaemia)
10) Kateter Double Lumen (Hemodialisa)
11) Implant (Rekonstruksi kosmetik)
12) Stent (Bedah, THT, Kebidanan)
Untuk AMHP, rumah sakit wajib membuat daftar dan kisaran harga yang
ditetapkan pihak rumah sakit atas masukan komite medik. Pilihan penggunaan
AMHP tersebut didasarkan pada ketersediaan AMHP dengan mempertimbangkan
efisiensi, efektifitas dan harga tanpa mengorbankan mutu.
k. Obat hemophilia, onkologi (kanker) dan thalassaemia (HOT) dapat diklaimkan
terpisah di luar paket INA-CBGs. Untuk memenuhi kesesuaian INA-CBGs,
dokter berkewajiban melakukan penegakan diagnosis yang tepat dan jelas sesuai
International Code Diseases Ten (ICD-10) dan International Code Diseases Nine
(ICD-9) Clinical Modification (CM). Dalam hal tertentu, identitas kepesertaan
tersebut, coder dapat membantu proses penulisan diagnosis sesuai ICD-10 dan
ICD-9 CM. Dokter penanggung jawab harus menuliskan nama dengan jelas serta
menandatangani berkas pemeriksaan (resume medik).
m. Pada kasus-kasus dengan diagnosis yang kompleks dengan severity level 3
menurut kode INA-CBGs harus mendapatkan pengesahan dari Komite Medik
atau Direktur Pelayanan atau Supervisor yang ditunjuk/diberi tanggung jawab
oleh rumah sakit untuk hal tersebut.
n. Pasien yang masuk ke instalasi rawat inap sebagai kelanjutan dari proses
perawatan di instalasi rawat jalan atau instalasi gawat darurat hanya diklaim
menggunakan 1 (satu) kode INA-CBGs dengan jenis pelayanan rawat inap.
o. Pasien yang datang pada dua atau lebih instalasi rawat jalan dengan dua atau
lebih diagnosis akan tetapi diagnosis tersebut merupakan diagnosis sekunder dari
diagnosis utamanya maka diklaimkan menggunakan 1 (satu) kode INA-CBGs.

p. Fasilitas kesehatan lanjutan melakukan pelayanan dengan efisien dan efektif


agar biaya pelayanan seimbang dengan tarif INA-CBGs.

2.3.3.Menjadi Peserta JKN


Syarat pendaftaran dan bagaimana mendaftarkan peserta ke BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial). Pada intinya baik pemerintah, pemberi kerja atau
pekerja bukan penerima upah bisa mendaftar di kantor BPJS kesehatan terdekat.
Ada yang otomatis jadi peserta seperti PNS, Pensiunan, TNI/Polri yang berjumlah
16,5 juta jiwa. Kemudian ada yang otomastis ikut karena kepersertaan
jamskesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) berjumlah 86,4 jiwa, otomastis
jamsostek 6,8 juta jiwa termasuk TNI/polri dan anggota keluarganya.
Selain itu ada peserta Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dan seluruh
provinsinya yang ikut langsung daftar seperti Aceh yang berkomitmen. Begitu
juga

dengan

pemilik

KJS

(Kartu

Jaminan

Sehat)

di

DKI

Jakarta.

Semua itu terdaftar pada 2014 secara otomatis. Tapi diluar itu, ada juga orangorang yang daftar sendiri, baik secara kolektif atau perorangan. Mereka
menggunakan identitas yang digunakan sekarang, tapi kartu askes atau jamkesmas
yang sudah mereka miliki tetap berlaku. Maka itu nanti ada 110 juta data base
online. Kepersertaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) akan dilakukan secara
bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepersertaannya paling
sedikit meliputi :
-PBI Jaminan Kesehatan
-Anggota TNI/PNS di lingkungan kementerian Pertahanan dan anggota
keluarganya.
-Anggota

Polri/PNS

di

lingkungan

dan

anggota

keluarganya

-Peserta asuransi kesehatan PT. ASKES (Persero) beserta anggota keluarganya


Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai
peserta BPJS kesehatan paling lambat pada 1 Januari 2019.
Seperti yang disebutkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
bahwa Peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah semua orang, termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat (6) enam bulan di Indonesia yang
membayar iuran. Pihak Kementerian Kesehatan menyebutkan, peserta BPJS

10

Kesehatan

ini

meliputi:

1. PBI (Penerima Bantuan Iuran)


Peserta PBI jaminan kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu.
1. Bukan PBI
Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan tidak
mampu yang terdiri atas :
a). Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu
- Pegawai Negeri Sipil;
- Anggota TNI;
- Anggota Polri;
- Pejabat Negara;
- Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
- Pegawai swasta; dan
- Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima
Upah.
b). Pekerja Bukan Penerima Upah terdiri atas:
- Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri
- Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan Penerima Upah.
c) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
- Investor
- Pemberi Kerja;
- penerima pensiun;
- Veteran;
- Perintis Kemerdekaan;dan
- Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang
mampu membayar Iuran.
- Perpres juga mengatur secara rinci siapa yang dimaksud dengan penerima
pensiun yang dikelompokkan ke dalam kelompok Peserta Bukan Pekerja.

d) Penerima pensiun terdiri atas:


- Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
- Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;

11

- Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;


- penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c, dan
- Janda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat hak
pensiun.
Sementara anggota keluarga Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan dari
Pekerja Penerima Upah, menurut Pasal 5 ayat (1) Perpres meliputi:
- Istri atau suami yang sah dari peserta
- Anak kandung,anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta dengan
kriteria: Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan
sendiri dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25
(dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
e) WNI di luar negeri
Jaminan kesehatan bagi pekerja di WNI (Warga Negara Indonesia) yang
bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundangan
undangan sendiri.

Kepersertaan wajib dan pentahapan peserta


Menurut Pasal 6 ayat (1) Perpres, ditentukan bahwa kepesertaan Jaminan
Kesehatan bersifat wajib dan dilakukan secara bertahap sehingga mencakup
seluruh penduduk.
a. Tahap pertama mulai tanggal 1 Januari 2014, meliputi :
1. PBI Jaminan Kesehatan
2. Anggota TNI/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan
dan anggota keluarganya;
3. Anggota Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Polri dan anggota
keluarganya;
4. Peserta asuransi kesehatan Perusahaan Persero (Persero) Asuransi
Kesehatan Indonesia dan anggota keluarganya
5. Peserta Jaminan Pemeliharaan kesehatan Perusahaan Persero( Persero)
Jaminan Sosial tenaga Kerja ( Jamsostek) dan anggota keluarganya.
b. Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta
BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.

12

2.4. INA CBGs


INA-CBGS adalah kependekan dari Indonesia Case Base Groups. Case
Base Groups (CBGs), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan
diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit akan
mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk
suatu kelompok diagnosis.
INA CBGs (Indonesia Case Base Groups) adalah suatu sistem pembayaran yang
dibuat oleh Kementerian Kesehatan digunakan dalam program Jamkesnas. Sistem
INA-CBGS adalah aplikasi yang digunakan sebagai aplikasi pengajuan klaim
Rumah Sakit, Puskesmas dan semua Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) bagi
masyarakat Indonesia.
Sistem Casemix INA-CBGS adalah suatu pengklasifikasian dari episode
perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif
homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan berisikan pasien-pasien
dengan karakteristik klinik yang sejenis.

2.4.1. Manfaat Pengguna INA-CBGS


Bagi Pasien
Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan
derajat keparahan. Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien
mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit,
karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan.
Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga
medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien.
Bagi Rumah Sakit
Rumah Sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya.
Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan Rumah Sakit.
Dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas
pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan, meningkatkan komunikasi
antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara
komprehensif serta dapat memonitor dengan cara yang lebih objektif.
Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat.

13

Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing


klinisi.
Bagi Penyandang Dana Pemerintah (Provider)
Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan
kesehatan. Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap
masyarakat luas akan akan terjangkau. Secara kualitas pelayanan yang diberikan
akan lebih baik sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider /
Pemerintah. Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan berdasarkan kepada
biaya yang sebenarnya.

14

BAB III.
Coding

3.1. Coding Pada Pemeriksaan Laboratorium


Ketepatan pengkelasan CBGs (CBGs grouping) sangat tergantung kepada
ketepatan diagnosis utama. Diagnosis utama akan menentukan MDC (Major
Diagnostic Category) atau sistem organ yg terlibat. Tingkat keparahan penyakit
(severity level) ditentukan oleh diagnosis sekunder, prosedur dan umur pasien.
Ketepatan jumlah biaya rawatan pasien ditentukan oleh ketepatan pengkelasan
CBGs dan pemilihan diagnosis mengikuti standar resmi WHO dalam pengkodean
diagnosis (WHO Morbidity Refference Group) dan mengikuti standar resmi
aturan coding ICD 10 dan ICD 9.
Prosedur utama mesti berkaitan dengan Diagnosa utama (upcoding, unnecessary
procedure) Dalam pelaksanaan Case Mix INA-CBGs, peran koding sangat
menentukan, dimana logic software yang digunakan untuk menetukan tarif adalah
dengan pedoman ICD 10 untuk menentukan diagnosis dan ICD 9 CM untuk
tindakan atau prosedur. Besar kecilnya tarif yang muncul dalam software INACBGs ditentukan oleh Diagnosis dan Prosedur. Kesalahan penulisan diagnosis
akan mempengaruhi tarif. Tarif bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil.
Diagnosis dalam kaidah CBGs, harus ditentukan diagnosa utama dan diagnosa
penyerta. Diagnosa penyerta terdiri dari Komplikasi dan Komorbiditas.
Diagnosis penyerta juga dapat mempengaruhi besar kecilnya tarif, karena akan
mempengaruhi level severity (tingkat keparahan) yang diderita oleh pasien.
Logikanya pasien yang dirawat terjadi komplikasi, maka akan mempengaruhi
lama perawatan di rumah sakit. Jika lama perawatan bertambah lama dibanding
tidak terjadi komplikasi, maka akan menambah jumlah pembiayaan dalam
perawatan. Dalam logic software INA-CBGs penambahan tarif dari paket yang
sebenarnya, jika terjadi level severity tingkat 2 dan level severity tingkat 3. Jika
dalam akhir masa perawatan terjadi lebih dari satu diagnosis, koder harus bisa
menetukan mana yang menjadi diagnosa utama maupun sekunder.

15

Diagnosa Utama (Principal Diagnosis)


Adalah diagnosa akhir/final yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan
dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya atau yang menyebabkan
hari rawatan paling lama. Diagnosis utama selalu ditetapkan pada akhir perawatan
seorang pasien. Jika terdapat lebih dari satu diagnosis maka dipilih satu diagnosis
yang paling banyak menggunakan resources (SDM, bahan pakai habis, peralatan
medik, tes pemeriksaan dan lainnya.
Diagnosis sekunder adalah diagnosis selain dari diagnosis utama, yaitu
Komplikasi + Ko-morbiditi.
Komplikasi : Kondisi/diagnosa sekunder yang muncul selama masa perawatan
dan dianggap meningkatkan Length Of Stay (LOS) setidaknya satu hari rawat.
Prosedur /Tindakan
Prosedur Utama (Principal Procedure)
Prosedur utama adalah prosedur tindakan yang paling banyak menghabiskan
sumber daya atau yang menyebabkan hari rawatan paling lama dan biasanya
berhubungan erat dengan diagnosa utama.

Prosedur Sekunder
Seluruh signifikan prosedur tindakan yang dijalankan pada pasien rawat inap atau
rawat jalan, membutuhkan peralatan spesial atau dikerjakan oleh staf terlatih dan
berpengalaman dalam proses Case Mix INA CBGs, tidak semua prosedur atau
tindakan harus di input dalam software INA CBGs. Beberapa tindakan-tindakan
yang tidak perlu di input adalah:
Prosedur/tindakan yang berhubungan dengan keperawatan
Prosedur/tindakan yang rutin dilakukan
Prosedur/tindakan yang tidak memerlukan staf khusus
Prosedur/tindakan yang tidak memerlukan peralatan khusus

Aplikasi Software INA-CBGs UNU Grouper Untuk Klaim


Dalam implemetasi klaim pasien, ada 14 variabel yang harus dientry dalam
software INA CBGs agar tarif paket dapat diketahui jumlahnya , yaitu:
Identitas Pasien (no RM, dll)
Tanggal masuk RS

16

Tanggal keluar RS
Lama Hari Rawat (LOS)
Tanggal Lahir
Umur (th) ketika masuk RS
Umur (hr) ketika masuk RS (pd bayi)
Umur (hr) ketika keluar RS
Jenis kelamin
Status keluar RS (outcome)
Berat Badan Bayi Baru Lahir (gr)
Diagnosis Utama
Diagnosis Sekunder (Komplikasi & Komorbiditi)
Prosedur/Pembedahan Utama
Coding Pemeriksaan Laboratorium di tentukan berdasarkan Coding Diagnosis
dalam ICD 9 dan ICD 10.
3.2. ICD 10 Dan ICD 9
International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems atau disingkat ICD adalah suatu sistem klasifikasi penyakit dan beragam
jenis tanda, simptoma, kelainan, komplain dan penyebab eksternal penyakit.
International Classification of Diseases ( ICD ) menjadi alat diagnostik standar di
dunia untuk epidemiologi, manajemen kesehatan dan tujuan klinis. Ini termasuk
analisis situasi kesehatan umum kelompok populasi . Hal ini digunakan untuk
memonitor insiden dan prevalensi penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Ini
merupakan kode beragam informasi kesehatan yang digunakan untuk statistik dan
epidemiologi, manajemen kesehatan, alokasi sumber daya, monitoring dan
evaluasi, penelitian, perawatan primer, pencegahan dan pengobatan. ICD
membantu untuk memberikan gambaran situasi kesehatan umum negara dan
penduduk . ICD dipublikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan
digunakan secara luas untuk morbiditas, mortalitas, sistem reimbursemen dan
sebagai penunjang keputusan dalam kedokteran. Setiap kondisi kesehatan
diberikan kategori dan kode. Dalam pengkodean ini menetapkan lebih dari
155.000 memungkinkan berbagai kode dan memungkinkan yang banyak berasal
dari pelacakan diagnosis dan prosedur baru dengan perluasan yang signifikan

17

pada kode-kode yang telah tersedia 17.000 pengkodean pada ICD-9 dan ICD-10,
mulai bekerja dari tahun 1983 dan dapat diselesaikan pada tahun 1992.
ICD-9 adalah sebuah publikasi oleh WHO pada tahun 1977, pada saat ini,
National Center for Health Statistics di Amerika Serikat telah membuat ekstensi
dari kelanjutan sistem ini yang dapat lebih berdaya guna untuk dipergunakan
dalam masalah data mobiditas dan bagian dari procedure codes telah ada.
Dibagian ekstensi ini disebut sebagai "ICD-9-CM", dengan penambahan CM
untuk perujukan pada "Clinical Modification

Dibawah ini adalah Klasifikasi Penyakit menurut ICD Seri 9


BLOK

JENIS PENYAKIT

1. Kode 001-139:

Penyakit Infeksi dan Parasit.

2. Kode 140-239:

Neoplasma.

3. Kode 240-279:

Endokrin, Penyakit Gizi Dan Metabolik, Dan

Gangguan Imunitas.
4. Kode 280-289:

Penyakit Darah Dan Organ pembentuk darah

5. Kode 290-319:

Gangguan Mental.

6. Kode 320-359:

Penyakit pada sistem saraf.

7. Kode 360-389:

Penyakit pada organ-organ indera.

8. Kode 390-459:

Penyakit pada sistem sirkulasi.

9. Kode 460-519:

Penyakit pada sistem pernapasan

10. Kode 520-579:

Penyakit pada sistem pencernaan

11. Kode 580-629:

Penyakit pada sistem genitourinari

12. Kode 630-676:

Komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas

13. Kode 680-709:

Penyakit kulit dan jaringan subkutan

14. Kode 710-739:

Penyakit pada sistem muskuloskeletal dan jaringan

ikat
15. Kode 740-759:

Anomali Kongenital

16. Kode 760-779:

Kondisi tertentu yang berasal dari periode perinatal

17. Kode 780-799:

Gejala, tanda, dan kondisi tidak jelas

18. Kode 800-999:

Cedera dan keracunan

19. Kode E dan V:

Eksternal penyebab klasifikasi cedera dan tambahan

18

International Statistical Classification of Diseases and Related Health


Problems revisi ke 10 atau disingkat dengan ICD-10, buku ini di Indonesia
dikenal dengan nama Klasifikasi Internasional Penyakit revisi ke 10 disingkat
sebagai KIP / 10 adalah buku mengenai pengkodean atas penyakit dan tandatanda, gejala, temuan-temuan yang abnormal, keluhan, keadaan sosial dan
eksternal menyebabkan cedera atau penyakit, seperti yang diklasifikasikan oleh
World Health Organization (WHO). ICD 10 disahkan oleh Majelis Kesehatan
Dunia bulan Mei 1990 dan mulai digunakan di negara-negara anggota WHO sejak
tahun 1994. Revisi 11 klasifikasi telah dimulai dan akan berlanjut sampai 2017.
Versi 11 sekarang sedang dikembangkan melalui inovatif, proses kolaboratif.
Untuk pertama kalinya WHO menyerukan para ahli dan pengguna untuk
berpartisipasi dalam proses revisi melalui platform berbasis web. Hasilnya akan
menjadi klasifikasi yang didasarkan pada input pengguna dan kebutuhan.
ICD menjadi demikian penting karena menyediakan bahasa umum untuk
pelaporan dan pemantauan penyakit . Hal ini memungkinkan dunia untuk
membandingkan dan berbagi data dengan cara yang konsisten dan standar - antara
rumah sakit , daerah dan negara dan selama periode waktu. Ini memfasilitasi
pengumpulan dan penyimpanan data untuk analisis dan berbasis bukti
pengambilan keputusan. ICD-10 merupakan klasifikasi statistik, yang terdiri dari
sejumlah kode alfanumerik yang satu sama lain berbeda (mutually exclusive)
menurut kategori, yang menggambarkan konsep seluruh penyakit (WHO, 2004).
Klasifikasi terstruktur secara hierarki dengan bab, kategori dan karakter spesifik
untuk setiap penyakit/kondisi yang mana klasifikasi mencakup panduan yang
berisi rule yang spesifik untuk menggunakannya. Klasifikasi merupakan suatu
sistem dari pengelompokkan penyakit, cedera, keadaan dan prosedur-prosedur
yang ditentukan menurut kriteria yang telah ditetapkan. Penggunaan klasifikasi
dimaksudkan agar data penyakit/cedera/kondisi mudah disimpan, digunakan
kembali dan dianalisis, serta dapat dibandingkan antar rumah sakit, propinsi dan
negara untuk kurun waktu yang sama atau berbeda. International Classification of
Diseases yang dikembangkan didasarkan pada prinsip kepraktisan, untuk tujuan
epidemiologi dan statistik penyakit yang diklasifikasi sebagai berikut:
1.

Penyakit-penyakit endemic

2.

Penyakit-penyakit umum

19

3.

Penyakit-penyakit menurut letak organ

4.

Penyakit-penyakit yang berkembang

5.

Cedera.

ICD-10 terdiri dari 3 volume yaitu:


1. Volume 1 berisi klasifikasi utama.
Sebagian besar buku Volume 1 terdiri dari daftar kategori3 karakter dan daftar
tabel inklusi dan subkategori 4 karakter. Inti klasifikasi adalah daftar kategori 3
karakter yang dianjurkan untuk pelaporan ke WHO mortality database dan
perbandingan umum internasional. Daftar bab dan judul blok juga termasuk inti
klasifikasi. Daftar tabular memberikan seluruh rincian level 4 karakter dan dibagi
dalam 22 bab (WHO, 2004)
2. Volume 2 berisi petunjuk pemakaian ICD
3. Volume 3 berisi alfabet klasifikasi, dibagi dalam 3 bagian:
Bagian 1, terdiri

atas indeks

tentang penyakit dan luka alami. Bagian 2,

merupakan indeks penyebab luar morbiditas dan mortalitas, berisi seluruh term
yang diklasifikasi. Bagian 3, berisi tabel obat dan bahan kimia.
Kode utama untuk penyakit yang mendasari diberi tanda dagger () dan kode
tambahan untuk manifestasinya diberi tanda asterisk (*). Kode dagger adalah
kode utama dan harus selalu digunakan. Dalam coding, kode asterisk tidak bisa
digunakan sendiri (WHO, 2004).

3.2.1.Fungsi dan Kegunaan ICD 10


Fungsi lCD sebagai sistem klasifikasi penyakit dan masalah terkait kesehatan
digunakan untuk kepentingan informasi statistik morbiditas dan mortalitas.
Kegunaan Pengodean sistem lCD:
1. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan kesehatan
2. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis
3. Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait diagnosis
karakteristik pasien dan penyedia layanan
4. Bahan dasar dalam pengelompokan DRGs (diagnosis-related groups) untuk
sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan.

20

5. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas


6. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan pelayanan
medis
7. Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan dikembangkan
sesuai kebutuhan zaman
8. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan
9. Untuk penelitian epidemiologi dan klinis
Klasifikasi ICD 10
Berdasarkan ICD (International Classification for Dieseases ke 10 yang
dikeluarkan oleh WHO tahun 2002, maka untuk kategori ICF (International
Classification of Functioning, Disability, and Health) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1.Impairment / Hendaya
Individu memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik di masyarakat, tidak
tampak adanya gejala adanya suatu kelainan. Individu yang digolongkan pada
kelompok ini adalah individu dengan fungsi organ yang berkurang atau hilang
atau pun memiliki penyakit sistemik.
2.Disability / Disabilitas
Individu yang dapat bersosialisasi di masyarakat, tetatpi terbatas mobilitasnya
sehingga membutuhkan bantuan alat (prothesa) atau orang lain. Biasanya factor
kerusakan pada otak atau saraf juga dapat berperan dalam menyebabkan keadaan
tersebut.Contoh : orang yang menggunakan tongkat atau kaki palsu, dll.
3.Handicap / Cacat
Pada umumnya individu memiliki fungsi organ yang baik, namun tidak mampu
bermasyarakat,tidak bisa mandiri, dan bergantung pada orang lain.Contoh : CP
(cerebral palsy), MR (mental retardated), trisomia 21 (down syndrome), dll.
Catatan tambahan : CP dan MR paling banyak ditemukan. Dari ketiga klasifikasi
tersebut, klasifikasi nomor 2 (disabilitas) dan nomor 3 (handicap) termasuk
kedalam kategori special needs.

21

Berikut adalah daftar ICD-10 untuk kode klasifikasi


Bab

Blok

Jenis Penyakit

A00-B99

Penyakit Infeksi dan parasit

II

C00-D48

Neoplasma

III

D50-D89

Penyakit darah dan organ pembentuk darah termasuk ganguan sistem imun

IV

E00-E90

Endokrin, nutrisi dan ganguan metabolik

F00-F99

Ganguan jiwa dan prilaku

VI

G00-G99

Penyakit yg mengenai sistem syaraf

VII

H00-H59

Penyakit mata dan adnexa

VIII

H60-H95

Penyakit telinga dan mastoid

IX

I00-I99

Penyakit pada sistem sirkulasi

J00-J99

Penyakit pada sistem pernafasan

XI

K00-K93

Penyakit pada sistem pencernaan

XII

L00-L99

Penyakit pada kulit dan jaringan subcutaneous

XIII

M00-M99

Penyakit pada sistem musculoskletal

XIV

N00-N99

Penyakit pada sistem saluran kemih dan genital

XV

O00-O99

Kehamilan dan kelahiran

XVI

P00-P96

Keadaan yg berasal dari periode perinatal

XVII

Q00-Q99

Malformasi kongenital, deformasi dan kelainan chromosom

XVIII

R00-R99

Gejala, tanda, kelainan klinik dan kelainan lab yg tidak ditemukan


klasifikasi lain

22

XIX

S00-T98

Keracunan, cedera dan beberapa penyebab yg dari luar

XX

V01-Y98

Penyebab morbiditas dan kematian eksternal

XXI

Z00-Z99

Faktor faktor yg mempengaruhi status kesehatan dan hubungannya dengan


kesehatan
Kode kegunaan khusus

XXII

U00-U99

3.3. Coding INA-CBG


Kode pada INA CBG dibagi menjadi 4 sub group, yaitu :
Kode : K

- 4 - 17 - I

Sub Group 1
Dilabelkan dengan huruf Alphabet (A to Z) mewakili kode yang ada di ICD-10
Berhubungan dengan system organ tubuh
Terdapat 31 CMGs dalam UNU Grouper
22 Acute Care CMGs
2 Ambulatory CMGs
1 SubacuteCMGs
1 Chronic CMGs
4 Special CMGs
1 Error CMGs
Total DRGs (CBGs)= 1,220 (Range: 314-1,250)

23

Sub Group 2
Dilabelkan dengan angka (1-9)
Menunjukkan tipe kasus
1. Prosedure Rawat Inap

Group - 1

2. Prosedur Besar Rawat Jalan

Group - 2

3. Prosedur Signifikan Rawat Jalan Group - 3


4. Rawat Inap Bukan Prosedur

Group - 4

5. Rawat Jalan Bukan Prosedur

Group - 5

6. Rawat Inap Kebidanan

Group - 6

7. Rawat Jalan kebidanan

Group - 7

8. Rawat Inap Neonatal

Group - 8

9. Rawat Jalan Neonatal

Group - 9

10. X. Error

Group -10

Sub-group ke-3
Menunjukkan spesifik CBG (kode CBG)

Sub-group ke-4
Menunjukkan severity level / Tingkat keparahan (0-III)
Contoh 1 : INA CBGs (Rawat Inap) untuk Infark Miocard Akut
N0.

Kode INA-CBG

Deskripsi

1.

I 4 10 I

Infark Miocard Akut Ringan

2.

I 4 10 II

Infark Miocard Akut Sedang

3.

I 4 10 III

Infark Miocard Akut Berat

Contoh 2 : INA CBGs (Rawat Jalan)


N0.

Kode INA-CBG

Deskripsi

1.

Q 5 18 0

Konsultasi atau pemeriksaan lain-lain

2.

Q 5 35 0

Infeksi Akut

3.

Q 5 25 0

Gastrointestinal akut

24

3.4. Evaluasi
Clinical Pathways bisa digunakan sebagai salah satu alat mekanisme
evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan aktif (active errors) dan
laten (latent / system errors) maupun nyaris terjadi (near miss) dalam Manajemen
Risiko Klinis (Clinical Risk Management) dalam rangka menjaga dan
meningkatkan

keamanan

dan

keselamatan

pasien

(patient

safety).

Hasil dan revisi CP dapat dipakai juga sebagai alat (entry point) untuk melakukan
perbaikan dan revisi Standar Pelayanan Medis dan asuhan Keperawatan yang
bersifat dinamis dan berdasarkan pendekatan Evidence-based Medicine (EBM)
dan Evidence-based Nurse (EBN). Partisipasi aktif, komitmen dan konsistensi
dari seluruh jajaran direksi, manajemen dan profesi harus dijaga dan
dipertahankan demi terlaksana dan suksesnya program Casemix di rumah sakit.
Bila Sistem Casemix Rumah Sakit telah berjalan, maka untuk selanjutnya akan
lebih mudah untuk masuk ke dalam sistem pembiayaan lebih lanjut.

Clinical Pathway

25

BAB IV.
Sistem Pembayaran / Klaim
4.1.Sistem Retrospektif
Pembayaran restropektif sesuai namanya dalam pembiayaan kesehatan berarti
bahwa besaran biaya dan jumlah biaya yang yang harus dibayar oleh pasien atau
pihak pembayar, misalnya perusahan majikan pasien, ditetapkan setelah
pelayanan diberikan.
4.2.Sistem Prospektif
Pembayaran Prospektif secara umum adalah pembayaran pelayanan kesehatan
yang harus dibayar, besaran biayanya sudah ditetapkan dari awal sebelum
pelayanan kesehatan diberikan. Berikut adalah macam-macam jenis pembayaran
pelayanan kesehatan dengan sistem Prospektif, yaitu:

1. Diagnostic Related Group (DRG)


Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara pembayaran dengan biaya
satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per pelayanan medis maupun non medis
yang diberikan kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu
penyakit3. Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak
lagi merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien.
Rumah Sakit hanya menyampaikan diagnois pasien waktu pulang dan memasukan
kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut
telah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar,
misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan
oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan.
2. Pembayaran Kapitasi
Pembayaran kapitasi

merupakan suatu cara pengedalian biaya dengan

menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau


sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang
ditanggung.

26

3. Pembayaran Per Kasus


Sistem pembayaran per kasus (case rates) banyak digunakan untuk membayar
rumah sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran per kasus ini mirip dengan
DRG, yaitu dengan mengelompokan berbagai jenis pelayanan menjadi satukesatuan. Pengelompokan ini harus ditetapkan dulu di muka dan disetujui kedua
belah pihak, yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar.
4. Pembayaran Per Diem
Pembayaran per diem merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati di
muka

yang

didasari

pada

pembayaran

per

hari

perawatan,

tanpa

mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit. Satuan biaya per
hari sudah mencakup kasus apapun dan biaya keseluruhan, misalnya biaya
ruangan, jasa konsultasi/visite dokter, obat-obatan, tindakan medis dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit yang efisien dapat
mengendalikan biaya perawatan dengan memberikan obat yang paling costeffective, pemeriksaan laboratorium hanya untuk jenis pemeriksaan yang benarbenar diperlukan, memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan dan bonus, serta
berbagai penghematan lainya, akan mendapatkan keuntungan.
5. Pembayaran Global Budget
Merupakan cara pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan
asuransi kesehatan nasional dimana rumah sakit mendapat dana untuk
mmembiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dan ke rumah
sakit tersebut diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun
sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan dan kinerja rumah
sakit tersebut. Manajemen rumah sakit mempunyai keleluasaan mengatur dana
anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional, pemeliharaan
rumah sakit dan lain-lain.

4.3. Pengembangan Dengan INA CBGs


Dalam pembayaran menggunakan Sistem INA-CBGS, baik Rumah Sakit
maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan
yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien
dan kode DRG (Disease Related Group). Besarnya penggantian biaya untuk

27

diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider / asuransi atau


ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length
of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya
disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.
INA-CBGS merupakan kelanjutan dari aplikasi INA-DRG yang lisensinya
berakhir pada tanggal 30 September 2010 lalu. INA-CBGS menggantikan fungsi
dari aplikasi INA-DRG. Sistem INA-CBGS adalah ciptaan anak bangsa dengan
tetap mengadopsi sistem DRG.
Aplikasi INA-CBGS, lebih real dibandingkan dengan INA-DRG karena
menekankan pendekatan prosedur dibanding diagnosa, sementara aplikasi INACBGs lebih mengedepankan diagnosa dibandingkan prosedur.
Sistem INA-CBGS telah diterapkan di beberapa RSUD di seluruh Indonesia.
Tarif sistem INA-CBGS diharapkan akan lebih efisien. Namun pelaksanaan INACBGS dalam rangkaian pelaksanaan Program Jamkesnas masih banyak
menghadapi kendala, salah satunya mengenai coding untuk pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, sehingga tarif untuk
pemeriksaan penunjang tersebut belum ditetapkan atau diatur dalam tarif INA
CBG.

4.3.1. Kapitasi INA CBGs


Kapitasi dan INA CBGs (Indonesia Case Base Group's) akhir-akhir ini kerap kita
dengar. Apalagi saat program Jaminan Kesehatan Nasional sudah meluncur awal
tahun ini. Keduanya sebenarnya merupakan sistem pembayaran. INA-CBG's
bukanlah sistem baru karena telah ada sejak 2006 dan dibuat Kementerian
Kesehatan. Bahkan pada 2008, INA CBGs digunakan dalam program Jamkesmas
(Jaminan Kesehatan Masyarakat). Begitu pula dalam program JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) yang sudah berlaku. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 69 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan
Kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan.
Penjelasan untuk pembayaran secara kapitasi dan INA CBG adalah sebagai
berikut:
1.

Kapitasi

untuk

fasilitas

kesehatan

primer

tingkat

pertama.

Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS

28

Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan (Faskes) Tingkat Pertama (primer)


berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Exc : ada 5.000 peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar pada satu faskes dengan
kapitasi Rp 8.000 per orang per bulan. Idealnya 5.000 orang bisa untuk 1 orang
dokter dengan waktu buka 6 jam. Kemudian dilihat yang sakit berapa, yang pasti
dia dibayar sesuai dengan jumlah peserta terdaftar 5.000 dikalikan Rp 8.000
berarti dokter mengelola Rp 40 juta. Dana ini yang setiap akhir bulan akan
dikelola

untuk

bayar

laboratorium,

apotek,

bidan

dan

sebagainya.

2. Tarif Non Kapitasi juga untuk faskes pertama,sesuai Permenkes, besaran


pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Namun, tarifnya ini belum dibahas secara jelas besarannya.
3. Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INACBGs.
Tarif INA-CBGs merupakan besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan
kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan
kepada pengelompokan diagnosis penyakit. Perhitungan tarif ini diberlakukan di
fasilitas

kesehatan

lanjutan

dalam

hal

ini

adalah

rumah

sakit.

Perhitungannya lebih objektif berdasarkan pada biaya sebenarnya. INA-CBGs


merupakan sistem pengelompokkan penyakit berdasarkan ciri klinis yang sama
dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan. Pengelompokkan ini
ditujukan untuk pembiayaan kesehatan pada penyelenggara jaminan kesehatan
sebagai pola pembayaran yang bersifat prospektif. Tarif INA-CBGs adalah tarif
berbentuk paket yang mencakup seluruh komponen biaya rumah sakit. Tarif INACBGs berbasis pada data costing dan coding penyakit mengacu pada
Internastional Classification of Diseases (ICD) yang disusun WHO (Organisasi
Kesehatan Dunia), Sehingga menggunakan ICD 10 untuk mendiagnosis 14.500
kode dan ICD 9 Clinical Modification yang mencakup 7.500 kode. Sedangkan
tarif INA CBGs terdiri dari 1.077 kode CBG yang terdiri dari 789 rawat inap dan
288 rawat jalan dengan tingkat keparahannya. Tarif INA-CBGs dikelompokkan
menjadi 6 jenis rumah sakit yaitu rumah sakit kelas D, C, B dan A serta rumah

29

sakit umum dan rumah sakit rujukan nasional. Selain itu tarif ini juga disusun
berdasarkan perawatan kelas 1, 2 dan 3. Perlu diketahui, sebelumnya, dalam
Jamkesmas yang ada hanya tarif INA-CBGs untuk kelas 3.

Tabel 1. Rawat Inap Regional A, (PMK no 69 th 2013, Tentang Tarif INA- CBG)
No

Tipe RS

Kode INA

Deskripsi

Kelas 3

Kelas 2

Kelas 1

CBG
280

I - 4 - 10 - I

IMA Ringan

6.524.956

7.829.948

9.134.939

280

I - 4 - 10 - I

IMA Ringan

5.014.650

6.017.579

7.020.509

280

I - 4 - 10 - I

IMA Ringan

4.011.720

4.814.064

5.616.408

280

I - 4 - 10 - I

IMA Ringan

2.957.503

3.549.004

4.140.505

280

RSU Rujukan

I - 4 - 10 - I

IMA Ringan

11.471.714

13.766.057

16.060.400

I - 4 - 10 - I

IMA Ringan

10.189.272

12.227.127

14.264.981

Nasional
280

RSK Rujukan
Nasional

4.3.2. Sumber Dana JKN


Data dari kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa saat ini masih banyak
anggota

masyarakat

yang

belum

terlindungi

oleh

asuransi

kesehatan.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional dikutip
Senin (16/12/2013) menyebutkan, jumlah penduduk yang menerima asuransi baru
sebesar 151 juta jiwa. Artinya masih ada 88 juta penduduk yang belum terjamin.
Dengan adanya sistem pelayanan kesehatan terbaru atau JKN, nantinya semua
masyarakat tidak perlu khawatir lagi. Karena sesuai Undang-undang no. 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), seluruh masyarakat
Indonesia akan dijamin kesehatannya melalui sebuah program perlindungan
kesehatan perorangan yang diberikan pemerintah kepada setiap warga negara
Indonesia yang disebut JKN. Jaminan tersebut dikeluarkan oleh pihak pemerintah
dan swasta, dengan pesertanya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil), TNI, Polri dan
karyawan swasta serta non-karyawan. Dari data yang diterima DJSN (Dewan
Jaminan Sosial Nasional), peserta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
kesehatan yang sudah terdaftar adalah yang sudah tergabung di Askes PNS,
pensiunan TNI, Polri sebanyak 17,3 juta, Jamsostek 5,6 juta, jamkesda 31,8 juta,
Asuransi komersial 2,9 juta dan self insuranced 15,4 juta. Selain itu, program ini

30

juga sifatnya wajib (mandatory) sehingga masyarakat yang tidak mampu juga
akan mendapatkan layanan kesehatan. Untuk metode pembiayaan kesehatan
individu yang ditanggung pemerintah, terbagi dua yaitu :
1. Bersumber dari hasil pajak
Berasal dari pajak penghasilan, pajak kepemilikan rumah, tanah dan bangunan,
pajak kendaraan bermotor, pajak kepemilikan usaha perorangan, usaha bersama,
listrik, air, dll.
2. Menggunakan sistim kapitasi yang prinsipnya adalah sejumlah individu
ditanggung dengan nilai nominal tertentu. Perlu diketahui, saat ini tidak ada
layanan kesehatan gratis melainkan pemerintah daerah telah menerapkan model
kapitasi ini melalui program Jamkesda, seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang
diterapkan oleh Pemda DKI. Satu hal yang perlu ketahui, JKN nanti akan dikelola
oleh BPJS yang terbentuk dari PT. Askes dam PT. Jamsostek kesehatan yang saat
ini sudah mengelola sistim jaminan bagi PNS, TNI-Polri dan pekerja. Kedua
perusahaan milik pemerintah ini mengklaim memiliki kepersertaan kurang lebih
120 juta penerima anggota jaminan kesehatan.

31

BAB V.
Kesimpulan Dan Saran
5.1. Kesimpulan

1. INA-CBGs merupakan sistem pembayaran yaitu besarnya tarif yang dibayarkan


(klaim) oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas
paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit.
2. Coding INA- CBGs berperan sebagai kode diagnostik dan prosedu. r medis
serta kendali biaya pelayanan kesehatan era BPJS
3. INA-CBGs berbasis pada data costing dan coding penyakit, mengacu pada
Internastional Classification of Diseases (ICD) yang disusun WHO (Organisasi
Kesehatan Dunia)
4. Belum adanya coding pemeriksaan laboratorium di Indonesia

5.2. Saran
1. Perlunya pembuatan coding untuk pemeriksaan laboratorium
2. Peningkatan efisiensi pelayanan kesehatan
3. Peningkatan mutu rekam medis
4. Peningkatan kecepatan dan mutu klaim pelayanan JKN INA CBGs

32

Daftar Pustaka
Adadiyah, Min. Mekanisme Pengedalian oleh Manajemen dan Peran Komite
Medis Dalam Penerapan INA-CBGs pada Pasien Jamkesmas di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung (RS Tipe C)
Budiarto, Wasis, dkk. Biaya Klaim INA-CBGs dan Biaya Rill Penyakit
Katastropil Rawat Inap Peserta Jamkesmas di Rumah Sakit (Studi di 10 Rumah
Sakit Milik Kementrian Kesehatan Januari Maret 2012), Jakarta, 2013
Buku Panduan Layanan bagi Peserta BPJS Kesehatan, Depkes, 2012
Buku Pegangan Sosialisasi JKN - Departemen Kesehatan Republik 2013-05-24
Depkes RI, Indonesia Sehat 2010 Visi Baru, Misi, Kebijakan Dan Strategi
Pembangunan Kesehatan, Jakarta, Departemen kesehatan RI,1999
Depkes RI, Standar pelayanan Rumah Sakit, Jakarta Direktur Jenderal Pelayanan
Medik RS Umum dan pendidikan
http://health.liputan6.com/read/794240/hitung-hitungan-tarif-fasilitas-primerlanjutan-bpjs-kesehatan#sthash.QSHxf0Qa.dpuf
http://www.jamsosindonesia.com/sjsn/Program/program_jaminan_kesehatan
Martabat - www.jamsosindonesia.com, 2013
inacbg.blogspot.com/2013/12/apa-itu-ina-cbg.html
Kementrian Kesehatan RI, (2013) Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyarakat Tahun 2013 Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI, (2013) Petunjuk Teknis Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin diPuskesmas dan Jaringannya Tahun 2013 Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
Managemenrumahsakit.blogspot.com/2013/06/sistem-ina-cbgs.html
Suara Pembaharuan, 2013, Kerugian ekonomi akibat rokok.

www. bpjs-kesehatan.go.id
www.depkes.go.id/pdf.php?pg=JKN-SOSIALISASI-ISI
www.jkn.kemkes.go.id
Zaenab, Skm.Mkes, 2012, Kerugian ekonomi akibat sanitasi yang buruk.

33

You might also like