You are on page 1of 17

Hubungan Antara Pola Asuh Permisif Dengan Intensi Bullying Pada SiswaSiswi Kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta

Imanda Arief Rahmawan


Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
imandaarief@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh
permisif dengan intensi bullying pada Siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta.
Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas Vlll SMP 4 Muhammadiyah
Yogyakarta sebanyak 125 orang terdiri dari empat kelas. Metode pengumpulan
data yang digunakan metode skala, yaitu skala pola asuh permisif dan intensi
bullying. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik
korelasi product moment dari Pearson. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh
koefisien korelasi (r) = -0,206, koefisien determinan (r2) = 0,042 dengan
kesalahan p = 0,021 (p<0,05). Hasil ini menginformasikan bahwa tingginya
intensi bullying diikuti oleh rendahnya pola asuh permisif. Sebaliknya semakin
rendah pola asuh permisif akan diikuti dengan tingginya intensi bullying.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
Kata Kunci :, Intensi Bullying, Pola Asuh Permisif

Abstract
This study aimed to determine the relationship between permissive parenting
with the intention of bullying on students SMP Muhammadiyah Yogyakarta 4.
The subjects were all students in grade 4 Vlll SMP Muhammadiyah Yogyakarta
as many as 125 people, consisting of four classes. Data collection methods used
method of scale, ie the scale of permissive parenting and bullying intentions. The
data obtained were then analyzed using the techniques of the Pearson product
moment correlation. The relationship is shown by the correlation coefficient (r) =
-0.206, determinant coefficient (r2) = 0.042 p = 0.021 with errors (p <0.05). These
results inform that the high intensity followed by low bullying permissive
parenting. Conversely the lower permissive parenting will be followed by a high
intensity of bullying. Based on these results the hypothesis is rejected.
Keywords: intention of bullying and permissive parenting

Pendahuluan
Sekolah seharusnya menjadi lingkungan aman, nyaman dan dapat mendukung
siswa-siswi untuk berkembang secara mental, fisik, emosional, dan sosial
(Woolfolk, 2009). Sekolah juga diartikan sebagai sarana untuk menimbah ilmu,
wawasan serta menciptakan lingkungan pembelajaran bagi siswa-siswinya
didukung oleh guru sebagai mediator untuk menyiapkan siswa-siswinya menjadi
penerus bangsa dengan harapan siswa mampu bersaing serta menghasilkan karyakarya otentik dan berguna bagi bangsa Indonesia.
Sekolah harus memiliki peraturan dan pengawasan yang konsisten agar
tercipta kondisi yang kondusif bagi siswa untuk beraktivitas dan bermain di
lingkungan sekolah. Kelalaian dalam menegakkan aturan dan pengawasan yang
kurang konsisten akan menimbulkan masalah yang beragam. Berbagai macam
permasalahan yang terjadi di sekolah diantaranya adalah tawuran, bolos sekolah,
bermain di dalam kelas sampai dengan bullying.
Brook (2011) menjelaskan bahwa anak melakukan lebih banyak pelanggaran
aturan ketika anak berada di lingkungan yang penuh aturan atau tidak ada
peraturan, tercermin dari beberapa kasus seperti anak-anak bolos sekolah, tawuran
dan tindak kekerasan bullying. Hal itu diperkuat oleh Rigby (2002), menyatakan
bahwa sekolah menjadi titik awal terjadinya bullying dan tidak diragukan lagi
bahwa intimidasi terjadi di sekolah dan menyebabkan beberapa anak menderita,
minimnya pengawasan dari sekolah, ketidakpedulian teman-teman dan kurangnya
perhatian orang tua menjadi dugaan alasan meluasnya kecenderungan bullying .
Bullying bukanlah fenomena yang baru dan masalah ini telah lama
didiskusikan. Secara umum bullying adalah aktivitas sadar, disengaja dan keji
yang bertujuan untuk melukai atau menanamkan ketakutan melalui ancaman
agresi lebih lanjut dan menciptakan teror (Coloroso, 2003). Bowers, Smith, &
Binney (Lee, 1994) menyatakan bullying tersistematis, terjadi berulang-ulang, dan
mencakup berbagai tindakan yang menyakitkan. Kekuatan dan dominasi oleh
pelaku bullying membuat korban dalam kondisi tertekan dan selalu dibayangbayangi rasa takut.
Olweus (Krahe, 2005) menambahkan bullying adalah tindakan negatif yang
diarahkan kepada seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi
dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying dianggap sebagai perilaku berkelanjutan
yang berusaha mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas yang lain. Kondisi ini
akan terus terjadi di sekolah salah satunya karena keengganan dan pembiaran dari
kelompok sebaya untuk memberikan informasi serta ketidakberanian korban
untuk melaporkan kejadian bullying (Routledge, 2003).
Beberapa penelitian tentang bullying telah dilakukan di berbagai negara,
seperti penelitian Ross (Carter & Spencer 2006) pada tahun 1985 dimana
perkiraan 15% pelajar sekolah di Norwegia terlibat dalam kasus bullying.
Penelitian selanjutnya di Amerika dengan sampel sebanyak 609 pelajar
sekolah hasilnya ada kenaikan yang signifikan dalam melakukan tindakan
bullying. Sebanyak 50% pelajar melakukan tindakan bullying secara verbal
(Carter & Spencer, 2006). Penelitian di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh
Siswati (2009) berkaitan dengan prosentase siswa yang mengalami bullying dan
bertujuan untuk mengetahui gambaran dari bullying yang terjadi di SD Negeri

Semarang. Total sampel pada penelitian ini sebanyak 78 siswa dari kelas 3 sampai
kelas 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 37,55% siswa menjadi korban
bullying, di antaranya siswa yang mengalami intimidasi fisik sebanyak 42,5% dan
yang mengalami intimidasi non fisik sebanyak 34,06%.
Ada empat bentuk dari bullying yaitu fisik seperti menendang, memukul
dan menganiyaya, bullying secara verbal seperti menghina, menggosip dan
memberi nama ejekan pada korbannya, secera isyarat tubuh seperti mengancam,
dengan gerakan-gerakan dan secara berkelompok seperti membentuk kolisi serta
menghasut orang lain untuk mengucilkan seseorang (Rigby, 2002).
Salah satu penyebab bullying adalah pola asuh keluarga. Keluarga
seharusnya menjadi agen sosial bagi anak-anak muda. Orang tua, saudara dan
pengasuh memberikan contoh pada anak bagaimana mengontrol emosi,
berhadapan dengan konflik, mengatasi masalah dan mengembangkan
keterampilan hidup lainnya (Susan dkk, 2009). Kesibukan bekerja membuat
orang tua tidak memiliki cukup waktu untuk membina dan mengawasi anak.
Minimnya pengawasan orang tua serta kurang pahamnya keluarga dalam
mendidik, membuat anak kurang terkontrol atau tidak patuh sehingga anak sangat
sulit diatur. Jika kondisi ini terus terjadi maka akan menimbulkan dampak yang
negatif pada anak.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi munculnya bullying di sekolah
diduga salah satunya adalah pola asuh permisif. Pola asuh yang diterapkan orang
tua kepada anaknya dapat memberi makna yang ambigu (Hurlock, 1990). Orang
tua permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri,
hanya membuat sedikit batasan dan membiarkan anak memonitor aktivitas
sendiri, namun orang tua tetap bersikap hangat, tidak mengontrol, dan tidak
menuntut anak (Papalia dkk, 2009). Pola asuh permisif ini memberikan keluasaan
kepada anak untuk mengekspresikan pendapat dan aktivitas yang diminati
sementara orang tua tidak menuntut banyak kepada anak dan seolah-olah tidak
terlibat didalamnya. Salah satu alasan adalah kesibukan orang tua, dampaknya
anak yang dididik dengan pola asuh permisif cenderung kurang matang dan
kurang memiliki kontrol diri sehingga anak sering melanggar norma serta kurang
memiliki etika, dampaknya adalah anak akan membentuk perilaku dan karakter
diri yang tidak stabil. Krahe (2005) menyatakan bahwa hubungan antara orang
tua-anak yang renggang akan menghasilkan pola perilaku anti sosial.
Kondisi anak yang tidak stabil akan sangat mudah dipengaruhi dan
memunculkan beragam reaksi emosi (Susan dkk, 2009). Santrock (Siddiqah dan
Helmi, 2005) menambahkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan diri akan
mengalami banyak masalah dan muncul frustasi dimana kondisi tersebut akan
menyebabkan munculnya perilaku menyimpang pada siswa salah satunya adalah
bullying.
Intervensi orang tua dan sekolah sangat dibutuhkan untuk menciptakan
iklim pembelajaran yang produktif. Orangtua bertanggung jawab dan memberikan
dukungan positif agar anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, sedangkan sekolah
mempersiapkan program, metode dan aturan-aturan untuk perkembangan anak.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh
permisif dengan intensi bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta.

Sekolah ini memiliki tujuan melaksanakan kegiatan yang bersifat fardhu kifaya
maupun fardhuain, melaksanakan ajaran islam yang bersifat teori maupun
praktek serta melaksanakan tata tertib secara konsiten. Sekolah ini memiliki visi
mencetak siswa-siswinya bekepribadian muslim, cerdas, berprestasi dan
berwawasan teknologi.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 21 September 2012 dan 22
September 2012 dengan dua guru BK didapatkan data adanya indikasi bullying
pada siswa kelas Vlll seperti berkata kasar seperti asu koe dan mengejek temantemannya. Kemudian hasil wawancara dengan dengan mahasiswa BK yang
sedang praktik di SMP Muhammadiyah 4 didapati data indikasi intensi bullying
dalam bentuk verbal yaitu mengejek salah satu murid dengan panggilan-panggilan
yang tidak menyenangkan seperti gendut. Selanjutnya hasil wawancara dengan
tiga siswa SMP Muhammadiyah 4 didapati indikasi intensi bullying dalam bentuk
fisik yaitu mencekik teman perempuannya, memukul dan mempermainkan sepatu
salah satu temannya.
Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 21 September 2012 dan 22
Sepetember 2012 dilokasi sekolah seperti kelas, kantin, taman dan tangga sekolah
SMP Muhammadiyah 4 diperoleh data bahwa seorang siswa menunjukkan
perilaku menyerang dengan cara mencekik dan menarik jilbab pada salah satu
siswi, beberapa siswa terlihat merebut dan mempermainkan sepatu salah satu
temannya dan mengganggu siswa lain didalam kelas.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan peneliti tertarik untuk mengetahui
hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying pada siswa SMP
Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Hubungan antara Pola Asuh Permisif dengan Intensi bullying.
1.

Pengertian Intensi Bullying


Intensi adalah suatu bentuk perilaku hingga pada saat ada kesempatan dan
waktu yang memungkinkan untuk terciptanya aksi dari niat tersebut (Ajzen,
2005). Chaplin (2005) menambahkan intensi sebagai suatu perilaku yang
disadari, sengaja dan atas kemauan sendiri, dengan kata lain intensi merupakan
dorongan dalam diri atau niat sebelum terjadinya perilaku. Olweus (Flynt &
Marton, 2006) mengartikan bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan
untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali
dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam hubungan yang tidak terdapat
keseimbangan kekuasaan atau kekuatan di dalamnya. Bullying adalah cara
mengerikan dan kejam kepada individu atau kelompok yang membuat korbannya
terjebak dalam kondisi memalukan dan menyakitkan sehingga korban merasa
terancam sedangkan pelaku tidak menyadarinya (Tattum & Lee, 2004).
Yayasan sejiwa (2008) menyatakan bullying merupakan suatu dimensi
dimana terjadi penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan oleh seseorang atau
sekelompok orang. Bullying merupakan tindakan yang menyalahi kekuatan dan
kekuasaan yang bersifat merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis
sehingga korban merasa di bawah tekanan dan cenderung tidak berdaya.
Menurut Rigby (Astusti, 2008) bullying merupakan suatu hasrat untuk
menyakiti yang diperlihatkan dalam aksi yang dapat menyebabkan penderitaan
pada korbannya. Aksi ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang

lebih berkuasa, tidak bertanggung jawab dan dilakukan berulang kali dengan
sengaja untuk menyakiti korban. Craig, Palper dan Atlas (2000), menambahkan
bullying merupakan interaksi antara pelaku bullying (individu yang dominan)
terhadap korban bullying (individu kurang dominan) dengan cara menunjukan
perilaku agresif. Sullivan, dkk. (2005) mengartikan bullying sebagai serangkaian
tindakan negatif dan agresif yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang
terhadap orang lain dalam beberapa periode waktu tertentu.
Murphy (2009) memandang bullying sebagai keinginan untuk menyakiti
dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan serta orang atau
kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan
perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Lee (2004)
menyebutkan bullying adalah perilaku berkelanjutan yang berusaha mendapatkan
kekuasaan dan dominasi atas yang lain. Selain itu Bowers, Smith, dan Binney
(Lee, 2004) menyebutkan bullying terjadi secara tersistematis dan mencakup
berbagai tindakan yang menyakitkan. Kekuatan dan dominasi oleh pelaku
bullying membuat korban dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-bayangi
rasa takut.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa
intensi bullying merupakan niat yang dimiliki individu atau sekelompok orang
untuk menyakiti, membuat individu lain merasa kesusahan, tindakan yang akan
berupaya untuk mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas orang lain yang akan
terjadi secara berulang-ulang serta dapat diprediksi mengakibatkan kerugian pada
korbannya baik secara fisik maupun psikis sehingga korban merasa tidak berdaya,
berada dalam kondisi tertekan dan selalu dibayang-bayangi rasa takut sehingga
korban yang tidak memiliki kekuatan akan menimbulkan efek trauma dalam
kurun waktu yang cukup lama.
2.
a.
b.
c.
d.

a.
b.
c.
d.
e.

Aspek-Aspek Bullying
Rigby (2002) mengemukakan empat aspek bullying antara lain yaitu :
Bentuk fisik yaitu menedang, memukul, dan menganiaya orang yang dirasa
mudah dikalahkan dan lemah secara fisik.
Bentuk verbal yaitu menghina, menggosip, dan memberi nama ejekan pada
korbannya.
Bentuk isyarat tubuh yaitu mengancam dengan gerakan dan gertakkan
Bentuk berkelompok yaitu membentuk koalisi dan membujuk orang untuk
mengucilkan seseorang.
Craig (2006) menambahkan bahwa aspek-aspek dari bullying adalah:
Panggilan tertentu yaitu pelaku memberikan nama panggilan yang tidak
menyenangkan kepada korbannya.
Menggoda yaitu
pelaku menganggu korban (biasanya perempuan)
menggunakan kata-kata rayuan.
Menyerang, mendorong dan memukul yaitu pelaku melakukan tindakan
fisik yang cenderung ingin melukai korbannya.
Pemalakan harta dan benda pelaku memaksa korbannya untuk menyerahkan
uang dan barangnya
Surat kaleng pelaku memberi pesan ancaman kepada korbannya.

f.
g.
h.

Gossip individu atau kelompok menyebarkan rumor/keburukan pada


korbannya
Diabaikan atau ditinggalkan korban tidak diikutsertakan pada kegiatankegiatan tertentu atau sengaja dijauhi.
Serangan fisik, ras, agama, dan suku menggunakan kata-kata kasar bernada
menghina kepada korbannya tentang agama, ras, suku dan agama.

Dari aspek-aspek yang diungkapkan Craig (2006) hanya melengkapi dari


aspek-aspek bullying yang dikemukakan oleh Rigby (2002), sehingga peneliti
akan membuat skala intensi bullying Berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan
oleh Rigby (2002) tersebut diatas, maka peneliti akan membuat Skala intensi
bullying dengan aspek-aspek yang sesuai yaitu bullying fisik, verbal, isyarat
tubuh dan berkelompok.

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying


Susan, dkk. (2009) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya bullying yaitu :
a.
Faktor individu.
Individu yang bersifat pencemas, berfisik lemah, cacat fisik, memiliki harga
diri rendah, kurang memiliki konsep diri yang kuat atau mudah dipengaruhi
akan mudah menjadi korban bullying.
b.
Faktor teman sebaya.
Tindakan bullying yang diterima dan adanya pembiaran dari teman-teman
atas kejadian bullying dapat menyebabkan perilaku bullying meningkat.
c.
Faktor sekolah.
Adanya senioritas, hukuman yang tidak tegas dan tidak konsisten pada
pelaku dapat menyebabkan bullying meningkat.
d.
Faktor komunitas.
Adanya tokoh yang menjadi acuan pelaku untuk menduplikasikan
kemiripannya, biasanya individu mencontoh perilaku negatif tokoh
idolanya.
Astuti, (2008) menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi
terjadinya bullying yaitu :
a.
Perbedaan kelas ekonomi, agama, gender, etnisitas atau rasisme
Pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat ekstrim)
individu dengan suatu kelompok, jika tidak toleransi oleh anggota kelompok
tersebut, maka dapat menjadi penyebab bullying.
b.
Senioritas.
Perilaku bullying seringkali juga justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai
kejadian yang bersifat lazim. Pelajar yang akan menjadi senior

menginginkan suatu tradisi untuk melanjutkan


atau menunjukkan
kekuasaan, penyaluran dendam, iri hati atau mencari popularitas.
c.
Tradisi senioritas.
Senioritas yang salah diartikan dan dijadikan kesempatan atau alasan untuk
melakukan bullying terhadap junior tidak berhenti dalam suatu periode saja.
Hal ini tak jarang menjadi peraturan tak tertulis yang diwariskan secara
turun menurun kepada tingkatan berikutnya.
d.
Keluarga yang tidak rukun.
Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu menderita
depresi, kurangnya komunikasi, antara orang tua dan anak, perceraian atau
ketidakharmonisan orang tua dan ketidakmampuan sosial ekonomi
merupakan penyebab tindakan agresi yang signifikan.
e.
Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif
Bullying juga dapat terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para
guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan
yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.
f.
Karakter individu atau kelompok seperti
1) Dendam atau iri hati, karena pelaku merasa pernah diperlakukan kasar dan
dipermalukan sehingga pelaku menyimpan dendam dan kejengkelan yang
akan dilampiaskan kepada orang yang lebih lemah atau junior pada saat
menjadi senior.
2) Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuasaan fisik dan daya
tarik seksual, yaitu keinginan untuk memperlihatkan kekuatan yang dimiliki
sehingga korban tidak berani melawannya.
3) Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan
(peers), yaitu keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri, mencari
perhatian dan ingin terkenal.
g.
Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban.
Korban seringkali merasa dirinya memang pantas untuk diperlakukan
demikian (bully), sehingga korban hanya mendiamkan hal tersebut terjadi
berulang kali padanya.
Coloroso (2006) menambahkan salah satu faktor yang mempengaruhi
bullying yaitu faktor keluarga. Pola asuh keluarga dan orang tua yang diterapkan
seperti pola asuh permisif dan otoriter yang dapat memicu anak untuk
memberontak.
Faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas hanya sebagai pelengkap dari
faktor-faktor penyebab terjadinya bullying yaitu individu yang terlihat lemah,
hubungan teman sebaya yang jelek, perbedaan kelas ekonomi, tradisi senioritas,
keluarga yang tidak rukun serta situasi sekolah yang tidak harmonis. Dari
pemamparan faktor-faktor tersebut diatas, Penelitian ini mengacu pada faktorfaktor yang dikemukakan oleh Coloroso(2006) yaitu pola asuh permisif yang
diduga memicu anak untuk memberontak.
1.

Pengertian Pola Asuh.

Brooks (2011) mendefiniskan bahwa pola asuh adalah sebuah proses


dimana orang tua sebagai individu yang melindungi dan membimbing dari bayi
sampai dewasa serta orang tua juga menjaga dengan perkembangan anak pada
seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk
memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup :
a. Kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung
b. Kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal
c. Displin yang bertanggung jawab, menghindarkan diri dari kecelakaan dan
kritikan pedas serta hukuman fisik yang berbahaya
d. Pendidikan intelektual dan moral
e. Persiapan untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa
f. Mempertanggungjawabkan tindakan anak pada masayarakat luas.
Berdasarkan pemaparan definisi pengasuhan di atas dapat disimpulkan
bahwa pola asuh merupakan suatu proses perlakuan yang diaplikasikan oleh orang
tua kepada anak yang terbentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar yang
berlangsung seumur hidup, terikat, berproses, setulus hati dan penuh kasih sayang.
2.

Jenis-jenis Pola Asuh.


Menurut Baumrind (Borntstein, 2002) ada tiga tipe pola asuh yaitu :
a. Authoritian.
Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritian berlaku sangat ketat dan
mengontrol anak dengan mengajarkan standar dan tingkah laku. Pola asuh
authoritian mengakibatkan kurangnya komunikasi dua arah, kurang
harmonis atau kaku dan anak merasa terkekang sehingga menjadi cemas
dan kurang aman dalam bergaul dengan lingkungan atau sebaliknya tumbuh
menjadi anak yang agresif.
b. Authoritative
Orang tua yang menerapkan pola asuh authoriative memiliki aturan dan
harapan yang jelas kepada anak, orang tua memadukan antara hadiah dan
hukuman yang berhubungan dengan tingkah laku anak dengan jelas. Orang
tua sangat menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur otoritas, tetapi
tanggap terhadap kebutuhan, keinginan dan kemampuan anak. Pola asuh ini
memiliki aturan yang jelas, adil, fleksibel, harmonis dan penuh tanggung
jawab sehingga terjalin komunikasi yang baik.
c. Pola asuh permisif.
Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif melindungi anak-anak
dengan tidak mengajarkan kepada anak untuk menghadapi konsekuensi dari
tindakannya sendiri dengan tidak melakukan pembatasan dan pengawasan,
selain itu juga orang tua memberi dukungan dan mendorong anak untuk
sepenuhnya menentukan nasibnya sendiri.
Berdasarkan pemaparan jenis pola asuh menurut Baumrind (Bornstein,
2002) tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis pola
asuh yaitu Authortian, Authoritative dan Permisif yang dapat diterapkan oleh
orang tua kepada anak. Dari jenis-jenis pola asuh tersebut diatas maka peneliti
akan mengungkap komponen pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind
(Bornstein, 2002) sebagai variabel yang diduga mempengaruhi intensi bullying.

3.

Pengertian Pola Asuh Permisif


Bee & Boyd (2007) mengartikan pola asuh permisif yaitu pola asuh yang di
dalamnya ada kehangatan dan toleran terhadap anak, orang tua tidak memberikan
batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang
komunikasi. Hurlock (1980) menambahkan bahwa pola asuh permisif tidak
memiliki konsekuensi, peraturan dan hukuman bagi anak atas perbuatannya serta
pola komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja yaitu dari anak karena orang tua
hanya mengikuti saja. Coloroso (2006) menyatakan pola asuh permisif adalah
sebuah keluarga yang tidak memiliki aturan yang kuat dan tidak konsisten, seperti
ada ketegasan, namun beberapa waktu memperlihatkan perasaan dan emosi yang
sehat padahal tidak konsisten diterapkan.
Berndt, (1992). menyatakan pola asuh permisif terdiri dari dua jenis, yakni :
a)
Gaya pengasuhan permisif-tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua
tidak terlibat dan cenderung membiarkan apapun yang diinginkan oleh anak.
Hal ini nantinya akan mempengaruhi kecakapan perilaku sosial dan
kurangnya pengendalian diri pada anak. Orang tua yang bersifat permisiftidak peduli cenderung kurang memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh
anak. Seorang anak yang dididik dengan pola asuh permisif-tidak peduli ini
akan cenderung tidak mandiri dan selalu ingin diperhatikan..
b)
Orang tua yang bersifat permisif-memanjakan adalah suatu pola dimana
orang tua terlalu khawatir dan ingin selalu terlibat namun tidak banyak
menuntut atau mengendalikan serta tidak melarang anak untuk melakukan
apa saja yang diinginkan, sehingga akibatnya kondisi diri anak tidak stabil
terutama bila mengharapkan sesuatu yang diinginkan namun tidak tecapai.
Seorang anak yang dididik dengan pola asuh permisif-memanjakan sangat
tidak terkontrol ketika menginginkan sesuatu, cenderung akan
membangkang bahkan bertindak agresi apabila keinginannya tidak tercapai.
Hal ini akan terus terjadi pada saat anak menginginkan sesuatu dan
menggunakan berbagai macam cara agar keinginannya terpenuhi.
Coloroso (2006) menyatakan pola asuh permisif adalah sebuah keluarga
yang tidak memiliki aturan yang kuat dan konsisten, seperti ada ketegasan, namun
beberapa waktu memperlihatkan perasaan dan emosi yang sehat padahal tidak
konsisten diterapkan. Pola asuh ini terbagi menjadi dua jenis yaitu :
a.
Struktur tidak konsisten : orang tua tidak tahu cara menciptakan sebuah
struktur yang sehat, konsisten dan ada batas-batas, atau mungkin dalam
sebuah keluarga yang otoriter dan permisif yang tidak konsisten sehingga
anak takut dimarahi oleh orang tuanya, tetapi tidak tahu tindakan yang pas
untuk mengatasinya dan anak merasa perannya ambigu. Orang tua dengan
pola asuh ini cenderung terlibat dalam kehidupan anak-anaknya dan selalu
berada di dekat anak untuk meringankan masalah dan menolong anak dari
setiap kesulitan. Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan pola asuh ini
akan lebih rentan menghadapi penindasan dan cepat putus asa.
b.
Struktur menyingkirkan anak serta memaksa anak untuk mengatasi
masalahnya sendiri : orang tua memiliki permasalahan pribadi dan terlalu
sibuk dengan kehidupannya sendiri. Materi yang cukup namun tidak
mendapat kasih sayang, perhatian, dan cuek. Anak dengan pola asuh ini

mengalami kesepian, kehilangan dan kesedihan. Hal ini tidak nampak secara
fisik tetapi dalam hatinya rusak, putus asa dan sedih. Anak merasa tidak
dicintai dan tersingkir serta merasa anak harus menyelesaikan
permasalahannya sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun semua itu karena
anak terabaikan oleh orang tuanya sehingga anak memunculkan pertahanan
diri dengan cara berbohong dan memanipulasi guna memenuhi
kebutuhannya.
Coloroso (2006) menyatakan bahwa pola asuh permisif terbagi menjadi dua
yaitu struktur yang tidak konsisten dan struktur yang menyingkirkan anak untuk
mengatasi masalahnya sendiri.
Berdasarkan pemaparan beberapa toko tersebut di atas mengenai pengertian
pola asuh permisif, dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif menurut Bee &
Boyd adalah pola asuh yang bersifat toleran, penuh kehangatan dan cenderung
memberi kebebasan. Menurut Hurlock (1980) pola asuh permisif adalah
inkonsistensi antara hukuman, hadiah yang diberikan kepada anak serta tuntutan
yang dominan oleh anak kepada orang tua. Coloroso (2006) menyimpulkan pola
asuh permisif adalah inkonistensi peraturan, ketegasan dan emosi.
4.

Karakteristik Pola Asuh Permisif


Lima karateristik utama dari keluarga permisif menurut Coloroso (2006)
yaitu :
a)
Hadiah dan hukuman diberikan tidak konsisten
b)
Tanggung jawab yang tidak konsisten : penerapan hukuman yang
inkonsisten diberikan pada anak
c)
Ancaman dan penyuapan : bentuk tindakan orang tua digunakan untuk
mengontrol perilaku anak.
d)
Perilaku didominasi oleh emosi : orang tua dan anak bertindak tanpa
memikirkan konsekuensi yang akan muncul.
e)
Cinta memiliki banyak syarat : guna mendapatkan kasih sayang oleh orang
tua, anak harus menyenangkan orang tua.
Hurlock (Walgito, 2000) mengungkapkan karakterisik dari pola asuh
permisif yaitu :
a)
b)
c)

Peraturan yang tidak jelas dari orang tua kepada anaknya


Hukuman tidak konsisten dijalankan
Persepsi orang tua bahwa anak akan belajar dari kesalahan yang telah
dilakukan.
d)
Tidak ada pemberian hadiah, karena social approval sudah cukup
memuaskan.
Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh di atas mengenai karakteristik pola
asuh permisif, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pola asuh permisif menurut
Coloroso (2006)
adalah pemberian tanggung jawab, hadiah, penyuapan,
ancaman, perilaku didominasi emosi, kasih sayang yang bersyarat dan hukuman
yang tidak konsisten dijalankan. Hurlock (Walgito, 2000) menyimpulkan bahwa
karakteristik pola asuh permisif adalah adanya ketidakjelasan peraturan, hukuman

yang tidak konsisten dijalankan, persepsi orang tua bahwa anak akan belajar dari
kesalahan yang telah dilakukuan dan tidak ada pemberian hadiah.

Hipotesis
Ada hubungan antara pola asuh permisif dengan intensi bullying

Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4
Yogyakarta mahasiswa dengan jumlah subyek 125 orang
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode skala yaitu dengan skala intensi
bullying akademik dan pola asuh permisif
Analisis Data
Metode analisis data dengan menggunakan teknik analisis product moment.
Hasil
Sebelum dilakukan uji hipotesis maka perlu dilakukan asumi terlebih
dahulu. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linieritas dengan
hasil sebagai berikut:

variabel
Intensi Bullying
Pola Asuh Permisif

Tabel 1
Hasil Uji Normalitas
Empirik
M
SD Min Maks
55,15 6,104
68,50 6,678

38
50

66
84

Hipotetik

Min

Maks

12
12,5

60
62,5

24
25

96
100

Uji normalitas sebaran bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada


perbedaan sebaran skor variabel yang dianalisis antara sampel dan populasi,
dengan kata lain sebaran skor suatu variabel sama atau tidaknya sebaran jika
nilai p > 0,05 maka sebarannya normal, dan jika p < 0,05 maka sebarannya tidak
normal.
Uji normalitas menggunakan teknik One Sample Kolmogorov Smirnov.
Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun
hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut :
a) Hasil uji normalitas sebaran variabel intensi bullying adalah normal, diproleh
skor K-S Z = 1,096 dengan nilai p = 0,181 (p>0,05).

b) Hasil uji normalitas sebaran variabel pola asuh permisif adalah normal, di
peroleh skor K-S Z = 0,698 dengan nilai p = 0,715 (p>0,05). Hasil analisis
tersebut menunjukan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran
normal.
Berdasarkan hasil kategorisasi variabel intensi bullying dapat diketahui
sebagian besar subjek memiliki tingkat intensi bullying dalam kategori sedang
yaitu sejumlah 108 siswa atau 86,4% dari 125 subjek penelitian.
Berdasarkan norma kategorisasi dengan distribusi normal dapat disimpulkan
bahwa kategorisasi skor subyek adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Kategorisasi Variabel Intensi Bullying
Interval
F
%
Kategori
X < 428
17
13,6
Rendah
48 X < 72 108
86,4
Sedang
X 72
0
0
Tinggi

Tabel 3
Kategorisasi Variabel Pola Asuh Permisif
Interval
F
%
Kategori
X < 50
1
0,8
Rendah
50 X < 75 109 87.2
Sedang
X 75
15
12
Tinggi
1.

Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis product moment dari Pearson, terlebih dahulu
dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas sebaran dan uji linieritas
hubungan antar kedua variabel.
a.

Uji Normalitas
Uji normalitas sebaran bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada
perbedaan sebaran skor variabel yang dianalisis antara sampel dan populasi,
dengan kata lain sebaran skor suatu variabel sama atau tidaknya sebaran jika
nilai p > 0,05 maka sebarannya normal, dan jika p < 0,05 maka sebarannya tidak
normal.
Uji normalitas menggunakan teknik One Sample Kolmogorov Smirnov.
Uji normalitas sebaran ini dilakukan terhadap dua variabel penelitian, adapun
hasil uji normalitas tersebut adalah sebagai berikut :
c) Hasil uji normalitas sebaran variabel intensi bullying adalah normal, diproleh
skor K-S Z = 1,096 dengan nilai p = 0,181 (p>0,05).
d) Hasil uji normalitas sebaran variabel pola asuh permisif adalah normal, di
peroleh skor K-S Z = 0,698 dengan nilai p = 0,715 (p>0,05). Hasil analisis
tersebut menunjukan bahwa skor kedua skala tersebut mempunyai sebaran
normal.

b.

Uji Linieritas
Uji linieritas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dan
variabel tergantung. Uji linieritas ini bertujuan untuk memastikan bahwa sebaran
nilai variabel-variabel penelitian ini dapat ditarik lurus (linier) yang menunjukkan
adanya hubungan yang linier antara variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian
ini pengujian linieritas hubungan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis
varian. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya suatu
hubungan adalah jika p linearity lebih besar daripada 0,05 (p>0,05), maka
hubungan antara kedua variabel tersebut adalah tidak linier, sebaliknya jika p
linierity lebih kecil daripada 0,05 (p<0,05), maka hubungan antara kedua varaibel
tersebut linier. Hasil uji linieritas, pada tabel anova menunjukkan nilai
F=
5,561 dengan p = 0,020 (p<0,05) maka hubungan kedua variabel dinyatakan
linier.
2.

Uji Hipotesis
Analisis data untuk mengetahui teknik korelasi antara variabel pola asuh
permisif dengan intensi bullying menggunakan product moment dari Pearson.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antara
kedua variabel adalah r = -0,206 dengan nilai (p) = 0,021 (p<0,05). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh permisif
dengan intensi bullying.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh
permisif dengan intensi bullying. Hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis
yang telah diajukan sebelumnya, Berdasarkan hasil analisis diketahui pula bahwa
besarnya koefesien korelasi antara kedua variabel tersebut adalah r = -0,206
dengan nilai (p) = 0,021 (p<0,05). Hal tersebut diatas terjadi karena teori yang
digunakan dari hipotesis kurang mendukung, Subjek uji coba yang tidak serupa
walaupun usia dan kelas subjek serupa namun lingkungan subjek uji coba tidak
representatif dan alat ukur intensi bullying yang kurang handal yang berarti alat
ukur tidak reliabilitas sehingga hipotesis yang diajukan oleh peneliti di tolak.
Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif
tidak terbukti mempengaruhi Intensi Bullying walaupun mayoritas subjek
penelitian berada pada kategori sedang (86,4%), hal ini menunjukkan bahwa
intensi bullying pada siswa kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta dalam
kategori sedang. Mayoritas pola asuh permisif pada subjek penelitian berada pada
kategori sedang (87,2%), hal ini mengindikasikan bahwa ada dugaan faktor-faktor
diluar pola asuh permisif yang mempengaruhi intensi bullying.

1.
2.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan antara
intensi bullying dengan pola asuh permisif.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pola asuh permisif
memberikan sumbangan efektif sebesar 4,2% terhadap variabel intensi

3.

bullying pada siswa SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta sedangkan sisanya


95,8% faktor-faktor lain yang mempengaruhi intensi bullying.
Berdasarkan kategorisasi kedua variabel penelitian dapat disimpulkan
bahwa Intensi Bullying mayoritas subjek penelitian berada pada kategori
sedang (86,4%), sedangkan pada variabel Pola Asuh Permisif, mayoritas
subjek penelitian berada pada kategori sedang (87,2%).

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan di atas dapat
diajukan beberapa saran.
1.

Secara teoritis
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Keterbatasan penelitian ini yaitu hanya mengkaji pola asuh permisif, padahal
masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi atau berperan terhadap
intensi bullying di sekolah. Untuk itu penelitian selanjutnya yang tertarik
melakukan penelitian mengenai intensi bullying, disarankan menggunakan
faktor-faktor lain diluar pola asuh permisif seperti, faktor lingkungan, faktor
media, faktor budaya, faktor teman sebaya dan faktor senioritas.
Daftar Pustaka
Astuti, P.R. 2008. Meredam Bullying: 3 cara Efektif Menanggulangi Kekerasan
pada Anak. Jakarta: Grasindo.
Anonim. 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan lingkungan sekitar
anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Azwar, S. 1996. Tes Prestasi, edisi kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2009. Penyusun Skala Psikologis. Edisi 1 cetakan Xll. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Bee, H. & Boys, D. 2007. The Developving Child. Eleventh Edition. USA :
Paramount Publishing.
Berndt, T. J. 1992. Child Development. USA : Harcourt Brace Javanovich
Publisher.
Bornstein, M. H. (Ed.). (2002). Handbook of Parenting: Practical Issues in
Parenting (2nd ed., Vol. 5). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates,
Inc.
Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent
Competence and Substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 5695.
Brooks, J. 2011. The Process of Parenting. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

80

Chaplin, J.P. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.
Coloroso, B. 2006. Penindas, Tertindas, dan penonton. Jakarta : PT SERAMBI
ILMU SEMESTA
Craig, D.2006. Bullying. England : Indevendence.
Craig, W. M., Pepler, D. And Atlas, R. 2000. Observation of Bullying in the
playgroup and in the Classroom. Journal of School Psychology
International, Volume 21, 22-36.
Djuwita, R, 2006. Masalah Tersembunyi Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia.
Workshop Bullying. 29 April. Jakarta : Universitas Indonesia
http://www.google.com/bullying/WEBSITE--Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa.
Duana. 2010. Hubungan antara Kecerdasan Emosi pada Remaja Siswa SMP
dengan Intensitas Melakukan Bullying di sekolah. Skripsi (tidak diterbitkan)
Yogyakrta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Elseviers Science & Technology Rights Department in Oxford,UK.
2004.Bullying : Implication Classroom. Cheryl E.S. & Gery D.P.(editor).
London : Educational Psychology Series.
Flynt, S.W. & Marton, R.C. 2006. Alabama Elementary Principals Perception of
Bullying. Education, 2, 187-191.
Gini, G. 2004. Bullying in Italain School An Overview of Intervention Programs.
School Psychology International, 25, 1, 106-106.
Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang
rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Hurlock, E.B 1990. Perkembangan Anak. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
J.P. Chaplin, 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah: Dr. Kartini Kartono.
Jakarta : PT RajaGrafindo
http//www.google.co.id/bullying10/04/2012.

Wikepedia,

the

free

encyclopedia.htm

Kathleen Conn. 2004. Bullying an Harassment. USA : Association For


Supervision and Devlopment Press.
Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Buku Panduan Psikologi S. 2003. Aggressive
Behavior. Prelevance Estimation of School Bullying With the Olweus
Bully/Victim Questionnare,X,29,239-268.

81

Lamborn, S. D., Mounts, N. S., Steinberg, L., & Dornbusch, S. M. (1991).


Patterns of competence and adjustment among adolescents from
authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful families. Child
Development, 62,1049-1065.
Lee, C. 2004. Preventing Bullying in School. London : Paul Chapman
Magfirah, U. 2009. Hubungan Antara Iklim Sekolah dengan Kecenderungan
Bullying. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia
Murphy, M. M. & Bannas. 2009. Dealing with Bullying. New York : Chelsea
House.
Olweus, D., & Solberg, M.E. 2003. Prevalence Estimation of School Bullying
With the Olweus Bully/Victim Questionnaire. Jurnal of Education
Psychology, 29,239-268.
Papalia, D.E, Olds, S.W., & Feldman, R.D. 2011. Human Development (9th Ed.).
New york: McGraw-Hill, Inc.
Ponny R.A. 2008. Meredam Bullying. Jakrta : PT Grasindo.
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soestio, S. R. 2005. Gencet-Gencet di Mata
Siswa/Siswi kelas 1 SMA : Naskah Kognitif Tentang Arti Skenario dan
http://www.google.co.id/bullying/Bullying dalam dunia pendidikan
(bagian 1) <<POPsy!. Jurnal Psikologi Populer.
Rigby, K. 2007. Bullying in Schools: and What to do About it. Australia : ACER
Press.
Rigby, K. 2002. New Perspectives on Bullying. London : Jessica Kingsley.
Rigby, K. 2007. Bullying in Schools: and what to do abaut it. Australia : @
ACER Press.
Rizki. 2011. Hubungan antara Kematangan Emosi Pada Siswa dengan Perilaku
Bullying di Sekolah. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakrta: Fakultas
Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Routledge. 2003. School Bullying: Insights and Perspectives. Peter K.Smith and
Sonia Sharp. USA and Canada : Simultaneously.
Sadif, R,S. 2009. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan
Kecenderungan Bullying Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan)
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.

82

Saptriana, S. 2012. Hubungan Antara Kelekatan Aman Terhadap Orang Tua


Dengan Kecenderungan Bullying. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Sarwendah. 2009. Hubungan Antara Intensitas Bermain Playstation Jenis
Permainan Action Dengan Perilaku Bullying pada siswa SMP
Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Skripsi ( tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Sejiwa. 2008. bullying Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan lingkungan Sekitar
anak. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Siswati & Widayanti, C.G. 2009. Fenomena Bullying di sekolah Dasar Negeri di
Semarang: Sebuah Studi Deskriptif. Jurnal Psikologi Undip 5(2)
Siddiqah, L., & Helmi, A.F. 2005. Peran Emosi Malu Dan Rasa Bersalah terhadap
Perilaku Agresif Pada Remaja. Jurnal Psikologi Sosial, 12, 29-56. Jakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sullivan, K, Cleary, M. & Sullivan, G. 2005. Bullying in Secondary Schools.
London : A SAGA publication.
Susan. M. Dkk. 2009. Bullying Prevention and Intervention. Canada : The
Guilford press.
Susan M.S, Dorothy L.E, & Scott A.N. 2009. Bullying Prevention and
Intervention. Canada : The Guildford Press.
Utami. 2009. Hubungan antara Pola Asuh Otoriter dengan perilaku Bullying pada
Siswa Sekolah Menegah. Skripsi (tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Walgito, B. 2000. Peran Psikologi Indonesia. Yogyakrta : penerbit Yayasan
Pembina Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Widiharto, CA. Sandjaja, SS., Eriany, P. 2008. Perilku Bullying Ditinjau dari
Harga Diri Dan Pemahaman Moral Anak. IKIP PGRI. Semarang.
Woolfolk, A. 2009. Education Psychology Active Learning Edition. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Yayasan Sejiwa. 2008. Bullying Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan
Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

You might also like