You are on page 1of 54

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
Regional Anestesi - Sub Arachnoid Block pada Appendisitis Akut ini dapat
diselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Anestesi di Rumah Sakit Haji Medan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. dr. Asmin Lubis Sp. An, DAF, KAP, KMN, selaku dokter pembimbing.
2. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RS Haji Medan.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik
dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir
penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca
agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan ,

Juni 2014

Penulis

DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar.................................................................................................................
Daftar isi............................................................................................................................
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang...................................................................................................................
BAB II Pembahasan
Appendisitis
II.1 Definisi........................................................................................................................
II.2 Anatomi........................................................................................................................
II.3 Epidemiologi................................................................................................................
II.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi..................................................................................
II.5 Patogenesis..................................................................................................................
II.6 Manifestasi Klinis......................................................................................................
II.7 Diagnosis...................................................................................................................
II.8 Tatalaksana.................................................................................................................
BAB III Kesimpulan
Kesimpulan.......................................................................................................................30
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan


menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur
anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu
analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu
meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya
kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian
tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu
hilangnya kesadaran secara total; anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah
tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh); anestesi regional
yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif
pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya.
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang
hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia tanpa menyebabkan hilangnya
kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka
setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. APPENDISITIS
2.1

DEFINISI

Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang di


kenal juga sebagai usus buntu.

2.2

EPIDEMIOLOGI

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun.
2.3

ETIOLOGI

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :

Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui

pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya : 40% pada kasus


apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut gangrenosa
tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.

Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan
E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai
spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :

Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif


Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman
flora kolon biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut.
Penggunaan laksatif yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek
merubah suasan flora usus dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang

merupakan permulaan dari proses inflamasi. Pemberian laksatif pada


penderita apendisitis akan merangsang peristaltik dan merupakan
predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.

Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan
letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.

Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai
resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun
saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola
makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang,
yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah
serat, memiliki resiko appendisitis yang lebih tinggi.

2.4

PATOFISIOLOGI

Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian


diikuti oleh infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu
hiperplasia

jaringan

limfoid,

fekalith,

benda

asing,

striktur,

kingking,

perlengketan.

GEJALA KLINIS

Interpretasi :
Score 1-4 : Sangat mungkin bukan appendisitis
Score 5-7 : Sangat mungkin appendisitis
Score 8-10 : Pasti appendisitis

2.5

DIAGNOSIS

Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :

Nyeri mula mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu


kemudian menjalar ke perut kanan bawah.

Muntah oleh karena nyeri visceral

Demam

Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau
abses appendikuler.
Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:

Nyeri tekan (+) Mc. Burney


Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum


Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.

Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis


Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks
letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang.

Perkusi

Nyeri ketuk (+)


Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Pemeriksaan khusus/tanda khusus
Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan
peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic pain)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada
kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut
kanan bawah.
Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas sign
(+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

10

Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.

11

2.6

2.7

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Foto polos abdomen

USG
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah

apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan


appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis
akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
o Puasakan
o Penelitian

menunjukkan

bahwa

pemberian

analgesik

tidak

akan

menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.


o Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.
o Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomi.

12

Terapi Non-Operatif

Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna


untuk appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang

memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.


Rujuk ke dokter spesialis bedah.

Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)

Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya

infeksi post operasi.


Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan

anaerob.
Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

Indikasi Appendiktomi :
Appendisitis akut
Appendisitis kronik
Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
Apendisitis perforata

13

2.8

PROGNOSIS
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika

pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau
aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan
dengan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi
dan usia tua.

ANESTESI REGIONAL
B. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRAE

Kolumna Vertebralis

14

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah


tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal
dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai

mencapai

maksimal

pada

tulang

sakrum

kemudian

mengecil

sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian
beban

tersebut

ditransmisikan

menuju

tulang

pelvis

melalui articulatio

sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla
spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus
medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda
equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara
vertebra T12 hingga L1. [2]
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.

15

2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra


torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra
lumbalis 4-5
Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis[5]

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.


Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung

procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan

16

vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita

rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.


Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah

tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.


Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus

duramater seperti saat menembus epidural.


Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.
Susunan Anatomi ligament vertebra

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat


arteri dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri
Spinalis posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri
spinalis anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga adreti
radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis
memperdarahi radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena
medularis anterior dan posterior.

17

A. Anesteri Regional
Anestesi regional adalah

hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh

sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.
Keuntungan Anestesia Regional
1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.

18

2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3.

Sulit diterapkan pada anak-anak.

4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.


5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

B. PEMBAHASAN BLOK SENTRAL


Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan
blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal
ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum
ruang epidural durameter ruang subarachnoid.

19

Gambar
1.

Anestesi

Spinal
Medula
spinalis

berada

didalam

kanalis

spinalis
dikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater,
lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan
pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub
arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI


Indikasi/Kontraindikasi

Keterangan

20

/
Komplikasi
Indikasi

Transurethral

prostatectomy

(blok

pada

T10

diperlukan karena terdapat inervasi pada buli buli


kencing)
Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian
bawah seperti arthroplasty
Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
Indikasi Kontra Absolut

Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
Peningkatan tekana intracranial.

Indikasi Kontra Relatif

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)


Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis

Komplikasi Tindakan

Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi

21

Trauma pembuluh darah


Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Komplikasi

Pasca Nyeri tempat suntikan

Tindakan

Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis

Persiapan analgesia spinal


Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat
fatal, perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural
masuk ke pembuluh darah kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest.
Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa
dilanjutkan dengan anestesi umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti
apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang
punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1.

Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia
spinal

2.

Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.

Pemeriksaan laboratorium anjuran


Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial
Thromboplastine Time) [3][4][5]

22

Peralatan analgesia spinal


1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Gambar 2. Jarum Spinal


TEKNIK ANESTESI SPINAL
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.

23

6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.[2][6][7]

24

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median


dan paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah
dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm
lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.[5]

25

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial[5]

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang
belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor
dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing,mual, berkeringat.[5]

OBAT-OBATAN ANESTESI SPINAL


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat
anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat
anestesi local bersifat reversible.

26

Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama .Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.0031.008. Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric.
Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.
Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.

Lidokaine5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,


dosis 20-50mg(1-2ml).

Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.

Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat


hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.

Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.

27

2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.

28

2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat


onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran anastetik lokal diantaranya :


Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.

29

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang


tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4
obat cenderung menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.

Komplikasi tindakan anestesi spinal :


1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
4. Trauma saraf
5. Mual-muntah
6. Gangguan pendengaran
7. Blok spinal tinggi atau spinal total

30

Komplikasi pasca tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

C. PENILAIAN PREOPERATIF
Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif. (Wiryana dkk, 2010)
Tujuan:
1.
2.
3.
4.

Mengetahui status fisik pasien praoperatif


Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai
Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau

pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan. (Wiryana dkk, 2010)

Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis.
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan
penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan
anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat
pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan
buruk, dan riwayat alergi. (Wiryana dkk, 2010)
2. Pemeriksaan fisik.
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan
31

untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan


fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi,
hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital
dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument.
(Wiryana, dkk, 2010).
Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang
digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi (Mallampati,et al.
1985) Hal ini dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama
didasari terlihatnya dasar uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan
palatum mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke
depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan dengan
intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi
untuk terjadi apneu (Nuckton, et al. 2006).
Skoring Mallampati (Nuckton, et al. 2006):

Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan


Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Hanya terlihat palatum durum

32

Pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal, skor Mallampati I, leher


bebas, buka mulut >3jari. Pada pasien tidak didapatkan kelainan yang
bermakna yang dapat mengganggu jalannya operasi dan tindakan anastesi.
Pada pasien pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak
didapatkan kelainan yang bermakna yang dapat mengganggu jalannya
operasi dan tindakan anastesi. Pasien digolongkan dalam kategori
Mallampati 1, leher bebas, buka mulut >3jari.
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya.
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin.
Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita
penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi
yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi,
evaluasi kardiologi terutama pada pasien berumur diatas 35 tahun,
pemeriksaan spirometri pada pasien PPOM. (Wiryana dkk, 2010).
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital.

33

Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait


bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana
atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus
elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun
bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi
dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD
(Wiryana dkk, 2010).
5. Menentukan prognosis pasien perioperatif.
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American
Society of Anesthesiologist (ASA) (Wiryana dkk, 2010)
Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)
Kelas
ASA 1
ASA 2

Definisi
Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
Pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang
Pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik

ASA 3

berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak


mengancam nyawa.

ASA 4

Pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik


berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.
Pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik

ASA 5

berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun


tidak dalam 24 jam pasien meninggal.

ASA 6

Pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ


untuk donor.
Jika pprosedur merupakan prosedur emergensi, maka status
pemeriksaan diikuti E (Misal, 2E)

34

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi,
karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring (Barash, 2009).
E. PERSIAPAN PREOPERATIF
a.

Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih,
teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

Guideline Puasa Sebelum Operasi Elektif (Twersky RS dan Phillip BK,


2008)

35

b.

Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami

deficit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.

Kebutuhan Maintenance Normal


Berat Badan
10kg pertama
10 kg berikutnya
Tiap kg di atas 20kg

c.

Kadar (mL/kg/jam)
4
+2
+1

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada

situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular.
36

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg.

Obat-obatan yang bekerja di H2 receptor untuk mencegah


pnemonia aspirasi (Morgan, 2006)

Drug

Route

Dose

Onset

Duration

Cimetidine

PO

300800 mg

12 h

48 h

(Tagamet)

IV

300 mg

Ranitidine

PO

150300 mg

12 h

1012 h

(Zantac)

IV

50 mg

Famotidine

PO

2040 mg

12 h

1012 h

(Pepcid)

IV

20 mg

37

Drug

Route

Dose

Onset

Duration

Nizatidine (Axid) PO

150300 mg

0.51 h

1012 h

Nonparticulate

PO

1530 mL

510 min

3060 min

Metoclopramide

IV

10 mg

13 min

12 h

(Reglan)

PO

1015 mg

antacids (Bicitra,
Polycitra)

3060

min2

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa


pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50mg untuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung
sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang
berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan
ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga
dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko
pnemonia aspirasi.

F. PERSIAPAN OPERASI
Pemakaian Obat Anestesi
38

Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-5 dengan menyusuri


krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine 0.5% heavy 12.5 mg.
Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan
baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.

39

Jumlah Cairan yang hilang Secara Distribusi ke ruang ketiga dan


Evaporasi (Morgan, 2006)
Degree of Tissue Trauma

Additional Fluid Requirement

Minimal (eg, herniorrhaphy)

02 mL/kg

Moderate

24 mL/kg

(eg,

cholecystectomy)
Severe (eg, bowel resection)

48 mL/kg

Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring):
Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.

Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.

Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
40

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
-

Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter


Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

G. POSTOPERATIF
Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011).
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbanganpertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah,
perbuhan

vaskular,

dan

pemajanan.

Letak

insisi

bedah

harus

selalu

dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka


ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk
mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan
sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, gaun pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury.

41

Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan


kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat
agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi
ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum
pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter
anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut
berjalan dengan lancar (The Association of Anaesthetists of Great Britain and
Ireland, 2007).

Perawatan Post Anestesi di Recovery Room


Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benarbenar hilang (WebMD, 2011). Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat
dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih
dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut (The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, 2007).
1. Pulse oximeter
2. Non-invasive blood pressure monitor
Berikut ini juga harus segera tersedia (The Association of Anaesthetists of Great
Britain and Ireland, 2007).
1.
2.
3.
4.

Elektokardiograf
Nerve stimulator
Pengukur suhu
Capnograph

42

Periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan dan anesthesia


diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anesthesia. (Wiryana dkk, 2010)
Risiko Pasca anesthesia, dibagi dalam 3 kelompok: (Wiryana dkk, 2010)
o Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu
nafas kendali pasca anesthesia/bedah, pasien ini langsung dirawat
di Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.
o Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,
perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.
o Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan
rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan
selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan
kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang.
Ruang Pulih (Wiryana dkk, 2010)
o Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau
secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah
respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi
dan

sirkulasi,

memantau

perdarahan

luka

operasi,

mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.


o Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia local yang kondisinya normal,
pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang
pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi
intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik (Wiryana dkk, 2010)
o Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan
kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas),
sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan
saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu

43

tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia


dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan discharge criteria. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.
Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care
Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.

Aldrete Score
Postanesthetic Aldrete Recovery Score
Original Criteria

Modified Criteria

Color

Oxygenation

Pink

SpO2 >92%

Pale or dusky

SpO2

>90%

on

oxygen 1

Cyanotic

SpO2

<90%

on

oxygen 0

on

PointValue

room

air 2

Respiration
Can breathe deeply and cough

Breathes deeply and coughs 2


freely

44

Shallow but adequate exchange

Dyspneic, shallow or limited 1


breathing

Apnea or obstruction

Apnea

Circulation
Blood pressure within 20% of Blood pressure 20 mmHg of 2
normal

normal

Blood pressure within 2050% Blood pressure 2050mmHg 1


of normal

of normal

Blood pressure deviating >50% Blood pressure more than 50 0


from normal

mmHg of normal

Consciousness
Awake, alert, and oriented

Fully awake

Arousable but readily drifts Arousable on calling

2
1

back to sleep
No response

Not responsive

Moves all extremities

Same

Moves two extremities

Same

No movement

Same

Activity

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.


Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor
10 atau minimal 9.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien


untuk dikeluarkan dari PACU adalah:
b.
c.
d.
e.

Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
45

f. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam


g. Mual dan muntah dalam kontrol
h. Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV.
Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti
ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.010.04 mg/kg, dan
dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk
mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15
mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus.
5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal
(dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide
atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kg in
children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk
mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa
digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis

46

untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa
dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan). Pada kasus ini, tidak
didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi untuk pencegahan tetap diberikan
metoclopramide 3x10 mg dan ranitidine 2x50 mg intravena. Jika terjadi muntah
diberikan ondansetron 4 mg, kepala dimiringkan, dan suction aktif.

BAB III
PENUTUP

Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Anestesi ini bekerja setinggi
papilla mamae atau setinggi kurang lebih vertebra torakal 4. Prinsip yang
digunakan adalah menggunakan obat analgetik local untuk menghambat hantaran
saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motoric juga terhambat
sebagian, dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.
Terdapat indikasi dan kontra indikasi yang terbagi dua yaitu kontraindikasi
absolut dan relative.Pada kontraindikasi relative anestesi tetap bisa dilakukan
dengan memperhatikan hal-hal tertentu seperti kemungkinan komplikasi dan
alternative lain jika tidak bisa dilakukan anestesi spinal. Seluruh persiapan wajib
dicermati mulai dari persiapan pasien, alat, obat anestesi local, obat emergensi
yang harus disediakan jika terjadi komplikasi, hingga kemungkinan untuk
mengganti prosedur menjadi anestesi umum seketika prosedur anestesi spinal
tidak berjalan dengan baik. Saat penusukan diperlukan ketelitian untuk
menentukan lokasi suntikan, kemudian memperhatikan pendekatan untuk
melakukan penusukan serta memperhatikan factor yang mempengaruhi anestesi.
Prosedur ini merupakan sebuah alternative pada operaasi dengan durasi
singkat.Pilihan ini menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih sedikit
ketimbang melakukan prosedur anestesi umum diantaranya adalah waktu
pemulihan pasca-dilakukan posedur anestesi.

47

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB,
Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles
of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.

Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on


Aug, 5, 2013] Available at
http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview. Accessed on

2013 Oct 15
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8

NYSORA New York School of Regional Anesthesia, [Internet]


Subarachnoidal Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxialtechniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinalanesthesia.html

University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal


block

anesthesia.[Last

Update

Jan

2013].

Available

at

http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2014, Oct,


15

48

STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Anamesa Pribadi

Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status Perkawinan
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal MRS
No. RM

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Tn. Amin Yahya


26 thn
Laki-laki
Menikah
Islam
PNS
Medan
26 Juni 2014
21.65.44

1.2 Anamnese
Anamnese Penyakit
Keluhan Utama
Telaah

: Nyeri perut kanan bawah


:

Os mengeluhkan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS.


Nyeri dirasakan seperti tertusuk. Nyeri juga dirasakan menjalar ke
pinggang kanan. Nyeri terasa memberat pada saat os berjalan atau
beraktifitas, dan nyeri agak berkurang pada saat os berbaring. Awalnya
nyeri dirasakan os dibagian ulu hati sejak 4 hari yang lalu kemudian
nyeri tersebut pindah ke perut kanan bawah
Os mengeluhkan demam sejak 1 hari yang lalu. Demam timbul
bersamaan dengan nyeri perut kanan bawah, dan dirasakan terus menerus.

49

Os mengeluhkan mual, dan

muntah sejak 4 hari yang lalu.

Muntah 3x dalam sehari, muntah air dan makanan. Os juga mengeluhkan


nafsu makannya berkurang.
Os mengeluhkan tidak bisa buang air besar sejak 2 hari ini. Os juga
menyangkal adanya riwayat sulit BAK, adanya darah, batu atau pasir di air
seninya. Os juga menyangkal riwayat nyeri pada saat BAK,. Os
menyangkal pernah terjatuh atau terbentur di daerah perut.
Riwayat penyakit dahulu :
Os mengatakan keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan os.
Riwayat pengobatan :
Os sudah pernah berobat ke dokter umum 3 hari SMRS, dokter
tersebut mengatakan bahwa anaknya hanya sakit maagh dan di beri 3 obat,
akan tetapi ibu Os lupa nama obat nya.

1.3 Pemeriksaan Fisik


a.

Status present

Keadaan umum

: Kesadaran Compos Mentis

Tensi

: 130/80 mmHg

Nadi

: 80 x/mnt

RR

: 24 x/mnt

Suhu

: 36,5 C

Berat Badn

: 60kg

Tinggi Badan

: 165cm

b.

Pemeriksaan umum

Kepala

: bentuk normocephali

Mata

: anemi -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-,pupil isokor,


3mm,RC +/+.

50

Mulut

: stomatitis (-), hiperemi pharing (-), pembesaran tonsil (-)

Leher

: JVP 2cm H2O, pembesaran KGB (-),

Thorax

: suara pernafasan vesikular (+) N, ST(-),

Abdomen

: di Status Lokalisata

Ekstremitas

: tidak ada kelainan

c. Status lokalisata
At regio abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: asites (-), luka bekas operasi (-) simetris


: Bising usus (+)
: Defans muskuler (-), nyeri tekan perut kanan

bawah (+), tidak teraba massa , rovsing sign (-), Blumberg sign (+), nyeri

ketok CVA kanan (+)


Perkusi
: Timpani seluruh kuadran abdomen
Pemeriksaan Khusus
Psoas sign (+), Obturator sign (+)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium
Darah Rutin
HB

: 12.9 g/dL

HT

: 39.5 %

Leukosit

: 15.600 /uL

Trombosit

: 214,000 /uL

LFT :
SGOT : 33 U/L
SGPT : 34 U/L
RFT :
Ureum : 23 mg/dl
Kreatinin : 1.14 mg/dl
Metabolik
KGD S : 140 mg/dl

51

1.5 Diagnosis

Diagnosa : Akut abdomen et causa Appendisitis Akut

1.6 Rencana Tindakan


Tindakan

: Laparotomi + Appendektomi

Anesthesi

: RA-SAB

PS-ASA

:2

Posisi

: Supine

Pernafasan

: Spontan

1.7 Diskusi Penatalaksanaan


A. Pre-Operatif
Persiapan di ruangan OK
B. Teknik Anestesi
Posisi duduk Identifikasi L3-L4 Desinfektan betadine + alkohol
Insersi spinocan 25 G, CSF (+), darah (-), inj. Bupivacaine 0,5% posisi supine
atur block setinggi T4.
Obat-obatan : Bupivacaine 0,5% 12 mg
C. Durante operatif
Lama Anestesi: 09.55 - 11.10
Lama Operasi : 10.00 - 11.00
Jumlah cairan :
- PO

: RL 500 cc

- DO

: RL 200 cc

Produksi Urin : UOP (+) 50cc (kateter)


Perdarahan

- Kasa basah

: 10 x 6 =

60cc

- Kasa basah

: 5 x6=

30 cc

52

-Suction

200cc

Total

290 cc

EBV : (70%) x BB
= 70% x 60kg = 4200
10 % 420
20% 840
30% 1260
D. Post Operatif
B1 ( Breath)
- Airway

: clear

- RR

: 18 x/mnt

- SP

: vesikuler ka=ki

- ST

: (-) ronchi, wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing (-/-/-)

- SpO2

: 97-100%

B2 ( Blood)
- Akral : Hangat/Merah/Kering
- TD

: 110/70 mmHg

- HR

: 20x/mnt, reguler

- t/v

: kuat/cukup

B3 (Brain)
- Sensorium : Compos Mentis
- Pupil : isokor, ka=ki 3mm/3mm, RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
- Kateter (+)
B5 (Bowel)
- Abdomen : soepel
- Peristaltik : normal (+)
- Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
- Oedem : (-)

53

Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien


pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien
dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang
dengan 1 bantal, tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.
Bed rest
IVFD RL 30gtt/i
Inj. Ketarolac 30mg/8 jam IV, bila kesakitan
Inj. Ondancetron 4mg/8 jam IV, bila mual/muntah
Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Ranitidine 50 mg/12 jam
Acc pindah ruangan Aldert score 9-10.

54

You might also like