Professional Documents
Culture Documents
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
Regional Anestesi - Sub Arachnoid Block pada Appendisitis Akut ini dapat
diselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Anestesi di Rumah Sakit Haji Medan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. dr. Asmin Lubis Sp. An, DAF, KAP, KMN, selaku dokter pembimbing.
2. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RS Haji Medan.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik
dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir
penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca
agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan ,
Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar.................................................................................................................
Daftar isi............................................................................................................................
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang...................................................................................................................
BAB II Pembahasan
Appendisitis
II.1 Definisi........................................................................................................................
II.2 Anatomi........................................................................................................................
II.3 Epidemiologi................................................................................................................
II.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi..................................................................................
II.5 Patogenesis..................................................................................................................
II.6 Manifestasi Klinis......................................................................................................
II.7 Diagnosis...................................................................................................................
II.8 Tatalaksana.................................................................................................................
BAB III Kesimpulan
Kesimpulan.......................................................................................................................30
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. APPENDISITIS
2.1
DEFINISI
2.2
EPIDEMIOLOGI
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun.
2.3
ETIOLOGI
Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui
Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan
E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai
spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :
Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan
letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.
2.4
PATOFISIOLOGI
jaringan
limfoid,
fekalith,
benda
asing,
striktur,
kingking,
perlengketan.
GEJALA KLINIS
Interpretasi :
Score 1-4 : Sangat mungkin bukan appendisitis
Score 5-7 : Sangat mungkin appendisitis
Score 8-10 : Pasti appendisitis
2.5
DIAGNOSIS
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :
Demam
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau
abses appendikuler.
Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
Perkusi
10
Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.
11
2.6
2.7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
USG
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
menunjukkan
bahwa
pemberian
analgesik
tidak
akan
12
Terapi Non-Operatif
Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
anaerob.
Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Indikasi Appendiktomi :
Appendisitis akut
Appendisitis kronik
Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
Apendisitis perforata
13
2.8
PROGNOSIS
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika
pecah pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau
aspirasi. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan
dengan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi
dan usia tua.
ANESTESI REGIONAL
B. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRAE
Kolumna Vertebralis
14
mencapai
maksimal
pada
tulang
sakrum
kemudian
mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian
beban
tersebut
ditransmisikan
menuju
tulang
pelvis
melalui articulatio
sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla
spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus
medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda
equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara
vertebra T12 hingga L1. [2]
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
15
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
16
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
17
A. Anesteri Regional
Anestesi regional adalah
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.
Keuntungan Anestesia Regional
1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
18
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3.
19
Gambar
1.
Anestesi
Spinal
Medula
spinalis
berada
didalam
kanalis
spinalis
dikelilingi oleh cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater,
lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan
pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub
arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
Keterangan
20
/
Komplikasi
Indikasi
Transurethral
prostatectomy
(blok
pada
T10
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
Peningkatan tekana intracranial.
Komplikasi Tindakan
Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
21
Tindakan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia
spinal
2.
Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3.
22
23
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.[2][6][7]
24
25
26
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama .Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.0031.008. Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric.
Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.
Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
27
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
28
29
30
C. PENILAIAN PREOPERATIF
Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif. (Wiryana dkk, 2010)
Tujuan:
1.
2.
3.
4.
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan. (Wiryana dkk, 2010)
Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis.
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan
penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan
anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat
pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan
buruk, dan riwayat alergi. (Wiryana dkk, 2010)
2. Pemeriksaan fisik.
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan
31
32
33
Definisi
Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
Pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang
Pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 3
ASA 4
ASA 5
ASA 6
34
Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi,
karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring (Barash, 2009).
E. PERSIAPAN PREOPERATIF
a.
Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih,
teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
35
b.
Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
c.
Kadar (mL/kg/jam)
4
+2
+1
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular.
36
Drug
Route
Dose
Onset
Duration
Cimetidine
PO
300800 mg
12 h
48 h
(Tagamet)
IV
300 mg
Ranitidine
PO
150300 mg
12 h
1012 h
(Zantac)
IV
50 mg
Famotidine
PO
2040 mg
12 h
1012 h
(Pepcid)
IV
20 mg
37
Drug
Route
Dose
Onset
Duration
Nizatidine (Axid) PO
150300 mg
0.51 h
1012 h
Nonparticulate
PO
1530 mL
510 min
3060 min
Metoclopramide
IV
10 mg
13 min
12 h
(Reglan)
PO
1015 mg
antacids (Bicitra,
Polycitra)
3060
min2
F. PERSIAPAN OPERASI
Pemakaian Obat Anestesi
38
39
02 mL/kg
Moderate
24 mL/kg
(eg,
cholecystectomy)
Severe (eg, bowel resection)
48 mL/kg
Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring):
Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
40
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
-
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
G. POSTOPERATIF
Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011).
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbanganpertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah,
perbuhan
vaskular,
dan
pemajanan.
Letak
insisi
bedah
harus
selalu
41
Elektokardiograf
Nerve stimulator
Pengukur suhu
Capnograph
42
sirkulasi,
memantau
perdarahan
luka
operasi,
43
Aldrete Score
Postanesthetic Aldrete Recovery Score
Original Criteria
Modified Criteria
Color
Oxygenation
Pink
SpO2 >92%
Pale or dusky
SpO2
>90%
on
oxygen 1
Cyanotic
SpO2
<90%
on
oxygen 0
on
PointValue
room
air 2
Respiration
Can breathe deeply and cough
44
Apnea or obstruction
Apnea
Circulation
Blood pressure within 20% of Blood pressure 20 mmHg of 2
normal
normal
of normal
mmHg of normal
Consciousness
Awake, alert, and oriented
Fully awake
2
1
back to sleep
No response
Not responsive
Same
Same
No movement
Same
Activity
46
untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa
dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan). Pada kasus ini, tidak
didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi untuk pencegahan tetap diberikan
metoclopramide 3x10 mg dan ranitidine 2x50 mg intravena. Jika terjadi muntah
diberikan ondansetron 4 mg, kepala dimiringkan, dan suction aktif.
BAB III
PENUTUP
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Anestesi ini bekerja setinggi
papilla mamae atau setinggi kurang lebih vertebra torakal 4. Prinsip yang
digunakan adalah menggunakan obat analgetik local untuk menghambat hantaran
saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motoric juga terhambat
sebagian, dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar.
Terdapat indikasi dan kontra indikasi yang terbagi dua yaitu kontraindikasi
absolut dan relative.Pada kontraindikasi relative anestesi tetap bisa dilakukan
dengan memperhatikan hal-hal tertentu seperti kemungkinan komplikasi dan
alternative lain jika tidak bisa dilakukan anestesi spinal. Seluruh persiapan wajib
dicermati mulai dari persiapan pasien, alat, obat anestesi local, obat emergensi
yang harus disediakan jika terjadi komplikasi, hingga kemungkinan untuk
mengganti prosedur menjadi anestesi umum seketika prosedur anestesi spinal
tidak berjalan dengan baik. Saat penusukan diperlukan ketelitian untuk
menentukan lokasi suntikan, kemudian memperhatikan pendekatan untuk
melakukan penusukan serta memperhatikan factor yang mempengaruhi anestesi.
Prosedur ini merupakan sebuah alternative pada operaasi dengan durasi
singkat.Pilihan ini menyediakan opsi yang memiliki komplikasi yang lebih sedikit
ketimbang melakukan prosedur anestesi umum diantaranya adalah waktu
pemulihan pasca-dilakukan posedur anestesi.
47
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB,
Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles
of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.
2013 Oct 15
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8
anesthesia.[Last
Update
Jan
2013].
Available
at
48
STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Anamesa Pribadi
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status Perkawinan
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal MRS
No. RM
:
:
:
:
:
:
:
:
:
1.2 Anamnese
Anamnese Penyakit
Keluhan Utama
Telaah
49
Status present
Keadaan umum
Tensi
: 130/80 mmHg
Nadi
: 80 x/mnt
RR
: 24 x/mnt
Suhu
: 36,5 C
Berat Badn
: 60kg
Tinggi Badan
: 165cm
b.
Pemeriksaan umum
Kepala
: bentuk normocephali
Mata
50
Mulut
Leher
Thorax
Abdomen
: di Status Lokalisata
Ekstremitas
c. Status lokalisata
At regio abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
bawah (+), tidak teraba massa , rovsing sign (-), Blumberg sign (+), nyeri
: 12.9 g/dL
HT
: 39.5 %
Leukosit
: 15.600 /uL
Trombosit
: 214,000 /uL
LFT :
SGOT : 33 U/L
SGPT : 34 U/L
RFT :
Ureum : 23 mg/dl
Kreatinin : 1.14 mg/dl
Metabolik
KGD S : 140 mg/dl
51
1.5 Diagnosis
: Laparotomi + Appendektomi
Anesthesi
: RA-SAB
PS-ASA
:2
Posisi
: Supine
Pernafasan
: Spontan
: RL 500 cc
- DO
: RL 200 cc
- Kasa basah
: 10 x 6 =
60cc
- Kasa basah
: 5 x6=
30 cc
52
-Suction
200cc
Total
290 cc
EBV : (70%) x BB
= 70% x 60kg = 4200
10 % 420
20% 840
30% 1260
D. Post Operatif
B1 ( Breath)
- Airway
: clear
- RR
: 18 x/mnt
- SP
: vesikuler ka=ki
- ST
- SpO2
: 97-100%
B2 ( Blood)
- Akral : Hangat/Merah/Kering
- TD
: 110/70 mmHg
- HR
: 20x/mnt, reguler
- t/v
: kuat/cukup
B3 (Brain)
- Sensorium : Compos Mentis
- Pupil : isokor, ka=ki 3mm/3mm, RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
- Kateter (+)
B5 (Bowel)
- Abdomen : soepel
- Peristaltik : normal (+)
- Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
- Oedem : (-)
53
54