Professional Documents
Culture Documents
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh :
KHOIRUDDIN
NIM. 102044225091
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5
D. Metode Penelitian ....................................................................... 5
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 6
BAB 11
SEKILAS TENTANG HUKUM PERNIKAHAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pernikahan Menurut Hukum Islam
a. Pengertian Pernikahan
Dalam Islam 'pernikahan' berarti satu perjanjian yang mengikat
perjodohan laki-laki dengan perempuan menjadi suami isteri. Lembaga
Perkawinan disyariatkan oleh Islam berdasarkan Kitab Suci Al-Quran, Hadits
Rasulullah s.a.w.dan Ijma / consensus para ulama Islam.1
Perkawinan tidak sah melainkan dengan adanya seorang wali dari calon
isteri yang bersifat sebagai pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah
dengan pengantin pria dan dua orang saksi, sedangkan mahar / mas kawin wajib
diberikan kepada calon isteri semata untuk kepentingannya belaka. Mahar
merupakan satu hadiah yang harus dilakukan di dalam perkawinan yang sifatnya
merupakan satu simbol dari nilai ikatan yang diadakan untuk menunjukan hidup
baru yang dilaksanakan dengan satu upacara serah-menyerahkan dari suatu
kehidupan bersama.
Mahar tidak musti berbentuk benda tertentu, tetapi bisa merupakan ayatayat suci Al-Quran, yang mempunyai arti. Pada dasarnya kata-kata mahar dari
sumber yang sama Muhr yang artinya Stemple. Maka Mahar itu artinya stempel
yang mensahkan / mengabsahkan perkawinan itu. Perkawinan adalah berdasarkan
Fuad Mohd Fachruddin., Masalah Anak dalam Hukum Islam ; Anak Kandung, Anak
Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina,(Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya : 1991), h. 27
suka sama suka antara calon isteri, maka ijab dan qobul ialah terima sama terima
antara mereka berdua.2
Perkawinan di dalam Islam tidak mempunyai syarat apapun yang
melanggar suasana hidup abadi antara satu pasangan yang telah diikat oleh
perjanjian yang kuat. Perkawinan di dalam Islam bukanlah hidup bergaul semata,
tetapi menyatukan diri di dalam segala bidang hingga terpadu dua badan menjadi
satu jiwa.
Dari itu Islam menjaga perkawinan dari segala segi baik perbuatan,
pakaian, pergaulan, dan tanggung jawabnya. Dewasa ini kalau ditinjau keadaan
dan situasi, sewajarnyalah wanita dijaga secara ketat sehingga harus diwajibkan
oleh pemerintah peraturan untuk menyelamatkan hidup bangsa dan umat agar
manusia-manusia kita dimasa depan tidak menjadi anak-anak haram belaka.
Islam mengajak manusia berpikir jauh dan jangan hanya menuruti hawa
nafsu angkara murka atau mengikuti kemajuan Eropa yang berlainan nilai
hidupnya dalam segala bidang.
Perkawinan mengandung arti kasih sayang kepada Allah, karena
perkawinan itu merupakan hasil dari seluruh kasih sayang antara manusia satu
sama lain. Perkawinan secara langsung dapat dilihat sebagai prosedur
menghasilkan manusia hamba Allah yang diserahkan tugas ini kepada manusia
sebagai khalifah-Nya. Menghasilkan makhlik manusia melalui perkawinan sangat
besar artinya, sebab Allah menginginkan adanya makhluk manusia ini, hingga
untuk itu Allah menciptakan makhluk pertama Adam.3
2
3
Perkawinan adalah satu-satu jalan dalam sistem biasa dan lumrah bagi
manusia untuk mendapatkan keturunan. Allah memberikan jalan ini kepada
manusia untuk membuktikan bahwa selain dari pada jalan ini bukanlah jalan yang
biasa atau lumrah. Kekuasaan Allah itu dapat menciptakan manusia tanpa ibu dan
bapak atau tanpa bapak.4
Sebagai hasil usaha mempelajari Al-Quran dan Sunnah Rasullah dalam
kitab-kitab hadis, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang
merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu
disebut al-ahkam al-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai
perbuatan manusia dan benda.
Nikah adalah suatu perbuatan dan sebagai perbuatan (manusia) ia juga
dapat dinilai menurut ukuran tesebut. Sebagai ajaran, lima kaidah itu meliputi
segala aspek kehidupan yang dalam bahasa sehari-hari kadangkala disebut hukum
yang lima.
Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu,
maka kaidah asalnya adalah ja'iz atau mubah atau ibahah, di Indonesiakan
menjadi kebolehan. Tetapi, karena perubahan illat (motif, alasan)-nya, maka
hukum perkawinan dapat berubah kebolehan, menjadi sunnat, wajib, makruh, atau
haram. Contoh dalam uraian berikut, mungkin dapat memberi penjelasan.
(A) Perbuatan nikah yang dilakukan oleh orang yang telah cukup umurnya yang
hukum atau kaidah asalnya mubah atau kebolehan itu dapat berubah
hukumnya menjadi anjuran atau sunnat kalau dilakukan oleh seseorang yang
pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup
Ibid., h. 29
dilakukan oleh orang-orang yang relatif muda (belum cukup umur), belum
mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga. Kalau orang kawin juga
dalam usia demikian, ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan
keluarganya. Memang, dalam keadaan ini, ia tidak berdosa kalau berubah
tangga, tetapi perbuatannya untuk menikah dapat dikelompokkan ke dalam
kategori perbuatan tercela.
(D) Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan maksud menganiyaya wanita itu. Hal ini disebutkan misalnya, dalam
al-Quran surat al-Nisa (dibaca an-Nisa) ayat 24 dan 25. Atau menurut
perhitungan yang umum dan wajar perkawinan itu secara langsung atau tidak
langsung akan mendatangkan mala petaka bagi mitranya. Kalau perkawinan
yang hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori haram itu juga dilakukan
Mohammad Daud Ali., Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada :2002), Cet. Ke- 2., h. 3-5
6
Mahmud Yunus., Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta, PT Hidakarya Agung :
1996), Cet. Ke-15. h. 1
7
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UI Press), h. 47
8
Idris Ramulyo., Beberapa Masalah tentang Hukum Acata Peradilan Agama dan Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta, Ind.Hill Co : 1984/1985), h. 174
dari segi ajaran agama dan hukum Islam perkawinan adalah suatu lembaga yang
suci.
Bahwa perkawinan merupakan lembaga yang suci dapat dibuktikan dari
tata cara melangsungkannya, tata hubungan suami isteri, cara melakukan dan
menyelesaikan perceraian yang pokok-pokok pengaturannya yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad. "Berbaktilah kamu kepada Allah yang atas (dengan) nama-Nya
kamu saling meminta untuk menjadi pasangan hidup", demikian firman Tuhan
dalam al-Qur'an surat 4 ayat 1. "Takutlah kamu kepada Allah mengenai urusan
wanita, karena kamu telah mengambil mereka (dari orang tuanya) dengan amanat
Allah", demikian pesan Nabi Muhammad 82 hari sebelum beliau barpulang ke
Rahmatullah.9
Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.
Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.
Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama."Barang
siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh (ajaran) agamanya, yang
separuh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah "demikian sunnah qauliyah
(sunnah dalm bentuk perkataan) Rasulullah. Rasulullah memerintahkan orangorang yang telah mempunyai kesanggupan, kawin, hidup berumah tangga karena
perkawinan akan memeliharanya dari (melakukan) perbuatan-perbuatan yang
dilarang Allah. 10
b. Syarat-syarat dan Rukun Pernikahan
Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita membicarakan
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau
9
10
11
. ,
) (
Artinya :
Dari Abu Hurairah ibn Abi Musa dari bapaknya ia berkata : tidaklah
dianggap sah suatu perkawinan kecuali dengan wali yang cakap dan dua
orang saksi yang adil. (HR. Ahmad dan al-Arbaah).
7. Ijab dan Qabul.
8. Meskipun pembicaraan mengenai ijab qabul diletakkan pada urutan akhir,
namun kedudukan ijab qabul itu sendiri sebagai unsure akad nikah
sangatlah sentral dan mendominasi. Bahkan menurut Abu Hanifah unsurunsur selain ijab qabul merupakan konsekuensi logis berhubungan adanya
ijab qabul.
9. Ijab adalah perkataan yang mewujudkan kehendak pihak pertama dengan
contoh sebagai berikut :
10. Sedang qabul adalah persetujuan pihak kedua terhadap isi kehendak pihak
pertama.
14
Ahmad Kuzair., Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada : 1996),
Cet. Ke-1, h. 41
15
As-Sayyid Imam Muh. Ibn Ismail al-Khalany, Bulughul Maram, (Bandung, Dahlan,
T.th), Jilid- 1, h. 117
16
hajat
manusia
untuk
menyalurkan
syahwatnya
dan
16
17
Ahmad Kuzair, h. 54
Moh.Zahroh., Al-Ahwalu asy-Syahsiyah, (Kairo, Dar al-Fikr :1957), h. 45
21
Quraish Shihab., Wawasan al-Quran Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung, Mizan Anggota IKAPI : 1996), Cet. Ke-1. h. 214
22
Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, ( Jakarta, PT Intermasa : 1994), Cet. Ke-26. h.
23
seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama / bersekutu yang
kekal "(dalam R Soetojo Prawirohamidjojo, 1988 : 35). Esensi pengertian
perkawinan yang dikemukakan pakar diatas adalah bahwa perkawinan sebagai
lembaga hukum, baik apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang
terdapat di dalamnya.
Dalam konsepsi hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam
hubungan keperdataan saja. Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur dalam
upacara-upacara yang diadakan oleh gereja. UU hanya mengenal "perkawinan
perdata", yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai
catatan sipil (Vollmar, 1983 : 50).23
b. Syarat-syarat dan rukun pernikahan
Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat
melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan
adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi dua
macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu
syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan.
Syarat ini dibagi dua macam, yaitu :
1. Syarat materiil mutlak,merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus di indahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi:
23
Salim HS dan R.M Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (
Jakarta, Sinar Grafika, T.th), h. 61
a.
b.
c.
d.
Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak
yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai dengan
pasal 49 KUH Perdata ).
kawin
untuk
memperbarui
perkawinan
setelah
adanya
Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus
memberikan izin, atau ada kata sepakat antera ayah dan ibu masing-masing
pihak.Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali ini
sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin
dari wali pengawas ( toeziende voogd ). Kalau kedua orang tua sudah meninggal,
yang memberikan izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,
sedangkan izin wali masih pula diperlukan.
Untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang
tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau
tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur
tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan
izin.24
c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
perkawinan itu : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syarat
yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami isteri membantu untuk
mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua
kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.25
Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil
yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya
membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah
kediaman bersama.
24
25
26
BAB IV
HUKUM PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA
A.
satunya jalan yang paling mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologis dan
menghasilkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Maka sewajarnyalah bila
masalah pernikahan menjadi perhatian khusus dalam membina sebuah rumah
tangga yang bahagia. Karena pembinaan ruman tangga berdampak bagi
keselamatan dan kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemuliaan umat itu
sendiri.
Dalam memilih seorang suami atau istri, Islam menganjurkan hendaknya
di dasari oleh Agama atau moral, yakni calon tersebut harus berakhlak mulia dan
bukan berdasarkan atas kecantikan, bangsawan bahwa kepopulerannya semata.
Karena agama yang baik akan membawa keberuntungan yang gemilang di dunia
maupun di akhirat, dan mendapat ketenangan lahir dan batin.
Perbandingan antara Agama dengan kecantikan atau harta benda atau
bangsawan sebagai dasar/penentuan seorang calon pasangan hidup adalah lebih
baik terletak pada nilai Agamanya.
Dalam Islam, juga dikenal dengan perkawinan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan dalam keadaan hamil (kecelakaan), dengan laki-laki
yang menzinai atau laki-laki yang bukan yang menzinainya.
Seorang gadis bukan perawan atau janda hamil tanpa suami dalam
kehidupan masyarakat biasanya dicarikan seorang calon suami yang bersedia
untuk menutupi aib atau cela yang ditanggungnya. Baik seorang calon suami
sekedar untuk menutupi malu atau suami sungguh-sungguh. Baik calon suami itu
orang yang menghamili ataupun bukan.
Perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu tidak dilihat
statusnya. Apakah telah beristri atau bersuami ataupun ia masih perawan atau
perjaka, semua tetap dinamakan perzinahan.
Para ulama sepakat mengenai kebolehan menikahi wanita pezina bagi
orang yang menzinahi. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum
menikahinya bagi orang yang bukan menzinahinya. Terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan ulama tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam
memahami larangan menikahi pezina yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 3
sebagai berikut :
(3 :)
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. (Q.S. al-Nur
:3)
Mayoritas ulama berpendapat, ayat tersebut hanya menunjukkan celaan
terhadap orang-orang yang melakukan pernikahan antara orang yang baik-baik
dengan seorang pezina dan bukan keharaman. Sedangkan lafadz ()
ditujukan pada pelacur, pezina, kumpul kebo dan bukan kepada bentuk
pernikahannya.
Di dalam pernikahan wanita hamil karena zina banyak terjadi perbedaan
pendapat. Sebagian ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal menikahi wanita
pezina, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi
27
Sebagian pendapat para ulama itu telah tertuang dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 53 yang berbunyi :
a. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandungnya lahir.28
Para ulama berselisih pendapat mengenai pernikahan wanita hamil diluar
nikah dengan orang yang bukan menghamilinya. Sebagian pendapat sah akah
nikahnya dan sebagian lagi berpendapat tidak sah. Masing-masing mereka
mempunyai argumentasi berupa ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Nabi Saw.
A. Imam Abu Yusuf dan Zafar berpendapat tidak boleh menikahi wanita hamil
karena zina dan tidak boleh berhubungan seksual dengannya. Karena wanita
tersebut dari hubungan tidak sah dengan laki-laki lain maka haram
menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil dari hubungan yang
sah. Keadaan hamil mencegah bersetubuh, maka juga mencegah akad nikah
sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah itu
menghalalkan hubungan kelamin, dan apabila tidak boleh berhubungan
kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.29
28
1, h. 125
29
Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademik Presindo : 1992), Cet. Ke-
B. Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, perempuan yang berzina baik
hamil maupun tidak, tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang mengetahui
keadaannya itu kecuali dengan syarat :
1). Iddahnya habis dengan melahirkan anaknya.
2). Perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan zina, dan jika ia belum
betaubat maka ia tidak boleh menikahinya, meskipun telah habis masa
iddahnya. Kalau ada laki-laki yang menikahinya sebelum ia bertaubat ia
berarti tetap berzina dengan perempuan itu. Apabila telah sempurna kedua
syarat diatas, maka halal menikah dengan perempuan itu bagi yang
menzinainya atau orang lain.30
C. Menurut Imam Malik, perkawinan wanita hamil dari berzina dengan pria yang
lain yang tidak menghamilinya, tidak boleh dan tidak sah. Wanita tersebut
baru bisa dinikahi secara sah sesudah ia melahirkan. Bahkan menurut Imam
Malik, jika pria yang dinikahi tidak mengetahui kehamilan wanita tersebut,
maka setelah pria itu mengetahuinya pria tersebut wajib menceraikannya, dan
jika ia telah menggaulinya, maka ia wajib memberikan mahar mitsil, hal ini
didasarkan kepada:
Wanita yang sedang hamil dari zina juga mempunyai masa iddah, oleh karena
itu, ia tidak sah dinikahi sebelum ia melahirkan, sebagaimana difirmankan
Allah SWT dalam surat Ath-Thalaq ayat 4 yang berfirman :
(4 : )
..
Artinya: Dan wanita-wanita yang hamil, masa iddah mereka itu ialah
sampai ia melahirkan (Ath-Thalaq :4) "
30
Artinya: Barang siapa beriman kepada Allah dari hari kiamat, maka
janganlah ia menyirami air spermanya keladang orang lain (H.R. Abu
Daud).31
Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa boleh hukumnya menikahi
wanita hamil karena zina, tapi dengan syarat jika laki-laki yang menikahinya itu
bukan laki-laki yang menghamilinya, ia tidak boleh menggauli istrinya sebelum
melahirkan. Alasan mereka yang membolehkan menikahi wanita hamil karena
zina sebagai berikut :
a. Firman Allah swt. dalam Surat An-Anisa : 24
(24 : )
Artinya: dan (diharamkan juga mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi mu selain
yang demikian itu (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
mengawini bukan untuk berzina (Q.S. An-Nisa:24)
Oleh karena perempuan hamil karena zina tidak disebutkan dalam
golongan perempuan-perempuan yang haram dinikahi (lihat surat AlNisa ayat 23-24) maka hukumnya boleh dinikahi.
31
Ibid, h. 94
b. Sperma zina itu tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkan keturunan
anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Kalau sperma
zina tidak dihargai, maka jelas ia tidak dapat menghalangi apalagi
membatalkan akad nikah wanita hamil karena zina tersebut. Namun
menurut Imam Abu Hanifah, tetap saja tidak diperbolehkan menggauli
istrinya hinga ia melahirkan. Alasannya pelarangan adalah hadits Nabi
saw :
( )
Artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah swt, dan Hari Akhir
maka janganlah menyiramkan airnya ketanaman orang lain (H.R. Abu
Daud)32
Larangan
kawin
kepada
kiasan
ini
bertujuan
untuk
menghindari
33
Islam, didalam hukum perdata perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai
akibat yang luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri.
Dengan perkawinan itu timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban
misalnya; kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, yang tidak kalah penting
adalah hukum yang terjadi antara anak yang lahir dari perkawinan.
Menurut kitab undang-undang hukum perdata, perkawinan
adalah
persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersamasama, maksudnya untuk hidup berlansung selama lamanya sampai akhir hayat.
Menurut undang-undang perdata, Perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang dilakukan dimuka petugas kantor pencatat sipil. Perkawinan yang dilakukan
oleh petugas dilakukan menurut tata cara sesuatu agama sah. Perkawinan wanita
hamil karena zina itu sah selama mengikuti/memenuhi syarat-syarat dan rukun
nikah yang telah ditentukan oleh undang-undang.34
Dalam pasal 32 hukum perdata dengan keputusan hakim telah dinyatakan
orang yang berzina dilarang kawin dengan teman zina.
Maksud pasal tersebut adalah berupa larangan, jangan terjadi hubunganhubungan yang asusila, contoh hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum
34
sebagai keturunan dari kedua orang tuanya. Sehingga anak tersebut mempunyai
hubungan kerabat yang ditarik melalui bapak dan ibunya.
Anak sebagai salah satu unsur dari sesuatu kekeluargaan mengalami
hubungan-hubungan antara pribadi yang pertama adalah keluarga, misalnya
hubungan anak dengan orang tua.
Dalam undang-undang perkawinan No I Tahun 1974, anak yang sah
adalah (1) anak yang lahir dalam perkawinan yang sah (2) anak yang lahir sebagai
akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung
karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang
bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir itu adalah
anak sah dari pernikahan itu dengan pria lain.
35
Mengenai anak yang tidak ada berbapak ini yang dikenal sebagai anak
diluar kawin, dimana si anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya
dan keluarga ibunya,diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No 1
Tahun 1974. bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam sekarang ini, kemungkinan
bagi seorang wanita yang hamil di luar nikah untuk kemungkinan dengan pria
yang menghamilinya (pasal 53) yang perlu dicatat adalah bahwa perkawinan ini
dapat segera dilaksanakan dan tidak usah menunggu sampai anak lahir.
Dalam usahanya untuk menghindari keadaan seorang anak tidak
mempunyai bapak. Maka seorang anak perempuan yang hamil diluar perkawinan,
itu agak dipaksakan untuk kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang pria
yang pernah bersetubuh dengan si wanita itu juga dianggap penyebab hamilnya
perempuan itu.36
Menurut ajaran Islam setiap anak mempunyai hubungan erat dengan
ibunya dan bapaknya. Apabila salah satu meninggal, maka yang lain menjadi ahli
warisnya. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir karena zina hanya
mempunyai nasab kepada ibunya, namun mereka berbeda pendapat.
a. Mazhab Hanafy, jika istri melahirkan anaknya dalam masa kurang dari
dua tahun, dihitung dari tanggal perpisahan dengan suaminya, karena
masa hamil yang paling lama adalah dua tahun, kalau wanita itu
melahirkan anaknya setelah berlalu dua tahun atau lebih dari tanggal
perpisahan dengan suaminya, baik perpisahan karena thalaq bain (thalaq
tiga), atau suami meninggal, maka anak yang dilahirkannya itu tidak
jelas diakui hubungan keturunannya dengan suaminya itu. Karena yakin,
36
bahwa anak itu terjadi setelah berakhirnya perkawinan wanita itu dengan
suaminya tadi, karena anak itu lahir setelah lewat dua tahun atau lebih
dari tanggal perpisahannya dengan suaminya. Dan hanya mempunyai
hubugnan dengan ibunya saja dan keluarga ibunya.37
b. Jumhur ulama berbeda pendapat, jika seorang laki-laki mengawini
seorang yang sudah dikumpuli maka apabila dalam waktu kurang 6
bulan sejak dikumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat
dipertalikan nasabnya kepada laki yang mengawini ibunya dan hanya
mempunyai nasab kepada ibunya dan keluarga ibunya.38
c. Imam Abu Hanifah. Berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu
dianggap dalam ranjang suaminya. Oleh karena itu anak yang
dilahirkannya kawasannya dapat dipertalikan kepada bapak sebagai anak
sah apabila anak tersebut lahir setelah waktu enam bulan sejak
perkawinannya. Abu Hanifah melihat masalah ini dari tinjauan yuridis
formal bulan dari segi hubungan suami istri.39
Menurut pandangan Imam Syafii dan Imam Maliki ialah jika seseorang
laki-laki mengawini seorang wanita belum pernah dikumpuli atau sudah
pernah dikumpuli, maka bila dalam waktu kurang dari enam bulan dari
pada aqad pekawinan dan bukan terhitung dari masa perkumpulnya
maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dipertalikan nasab/garis
keturunannya kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung.
Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul bukan dari
37
38
39
:
( )
Artinya : Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda : Seorang
anak adalah milik orang yang seranjang dan bagi pezina hukuman
rajam. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Imam Abu Hanifah pada lafaz Firasyi menunjukkan terdapat
dhomir ghoib untuk laki-laki yang tersembunyi. 40 Akan tetapi Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa sebenarnya nasib nasab anak tersebut tergantung kepada
suami (wanita tersebut), jikalau wanita yang berzina mempunyai suami, karena
ketika suami mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut
menjadi anaknya yang sah secara syari, yang memiliki hak-hak sebagaimana
mestinya anak yang sah, dan dia pun (ayah) punya hak pula atas anak-anak seperti
40
Azhari Abdul Ghofur, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda-mudi,
(Jakarta, Akademika Pressindo : 2000), Cet. Ke-1, h. 48
itu.41 Keadaan seperti ini adalah bagi perempuan yang berzina tetapi telah
mempunyai suami. Namun, sebenarnya yang lebih mengetahui secara pasti nasab
seorang anak adalah ibunya.
Pendapat Syafii dan Maliki beranggapan bahwa wajah istidhal atau
bentuk pengambilan hukum dari kata Lil Firosy yang tersebut dalam hadits
diatas adalah bermakna ibu, sehingga garis keturunan (keluarga) anak hasil zina
hanya kembali kepada ibunya saja. Demikian pula bagi pendapat yang pertama ini
beranalog dengan ketentuan jumlah minimal bagi wanita hamil, yakni anak yang
lahir kurang dari enam bulan sejak saat perkumpulan suami istri tanpa perhatikan
perkawinan, maka anak yang lahir tesebut hanya akan diakui oleh ibunya saja,
laksana kewangsaan matrinial dimana seorang anak tidak diakui sebagai kelaurga
bapak.
Bagi pendapat yang kedua, disamping berpegang teguh kepada yuridis
formal, artinya keabsahan seorang anak sebagai keluarga yang sah dilihat dari
masa lahirnya tidak kurang dari jangka wktu enam bulan terhitung sejak
pernikahan ibu dengan ayahnya. Juga pendapat ini berpedoman kepada Hadits
Riwayat Bukhori dari Abu Hurairoh RA yang artinya :
Jelas dari Nabi saw, Beliau telah bersabda, jika seorang laki-laki
mengajak kepada istrinya keranjang tidurnya kemudia ia menolak, maka
datanglah malaikat untuk melaknati sampai pagi hari (Fathul Bari XI, hal 205).
Abu Hanifah, mengambil pegangan bahwa wajan istidhal (bentuk
pengambilan hukum) dari keterangan kata Firosy yang terdapat dalam hadits
tersebut tadi diartikan sebagai seorang laki-laki (bapak).42
41
Muhammad Jawad Mughniyah., Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT. Lentera Basritama :
2000), Cet. Ke-V, h. 386
: :
( )
Artinya : " Semua anak dilahirkan atas kesucian / kebersihan (dari segala
dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid,sehingga ia jelas
bicaranya.makanya menjadi Yahudi,Nasrani,atau Majusi"(HR.Abu
Ya'la,Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Oleh karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi
pendidikan, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat
nanti.
42
Ibid, h.313
Jalaluddin Al-suyuti,Al-jami,'AAl-Shaghir,(kairo
Halabi,1954),vol.11.hal.17
43
Musthafa
Al-Babi
Al-
Paling tidak ada empat dampak negatif bagi anak yang lahir di luar nikah,
sehingga kehilangan sebagian dari haknya :
1. Status Nasab
Istilah nasab berasal dari Bahasa Arab yang berarti kerabat,sebagian ahli
bahasa mengkhususkannya kepada (kerabat) ayah44. Nasab didefinisikan pertalian
atau hubungan yang ada dalam keluarga."Namun Ibnu Abidin menegaskan
pangkal atau sumber nasab adalah Ayah.45
2. Status Perwalian
"Perwalian " dalam istilah fiqh "penguasaan "dan "perlindungan ".Menurut
istilah fiqh yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan
oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau
barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali, yang dibicarakan di
sini
adalah
yang
berhubungan
dengan
perwalian
atas
orang
dalam
perkawinannya.46
3. Status kewarisannya
Kata waris itu berasal dari Bahasa Arab yaitu, akar kata yang berarti
pusaka.Harta peninggalan si mayit47. Lafal Wirts, irts, dan tutrs itu satu arti yaitu
suatu yang ditinggalkan seseorang kepada ahli warisnya.48
4. Status Nafkah
44
Nafkah berasal dari Bahasa Arab yaitu yang berarti belanja, atau
"kebutuhan pokok". Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh
orang-orang yang membutuhkannya.
Hukum anak zina :
1. Sekiranya seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi
tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri
masih di bawah tangan sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami
yang sah.
Bersabda Rasulullah s.a.w. Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami
yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu
dirajam"(Bukhari).
2. Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak
berdosa, kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita
tersebut secara sah, maka tidaklah terdapat persoalan apapun dalam
persoalan ini.Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan
yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan didalam hukum Islam
berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam.
3. Kalau sekiranya perzinaan itu dilakukan dengan penuh kesadaran, oleh
manusia yang dewasa dan atas keinginan masing-masing dengan
mengetahui
hukumannya,
maka
perbuatan
ini
mengarah
kepada
pelaksanaan hukum zina atas kedua manusia itu yakni didera masingmasing mereka jika belum pernah kawin dan dirajam / dilontar batu
hingga meninggal dunia bila telah pernah kawin.
4. Dewasa ini hukum dan hukuman itu tidak berlaku, sebab tidak ada Negara
Islam dimana
Jika wanita yang melahirkan anak dan tidak melakukan perkawinan yang
sah, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dan akan hanya mendapat
warisan dari ibu dan keluarga ibunya saja.49
Dan disebut juga anak diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya (pasal 42 BW)
Di dalam hukum perdata sistem yang berbeda masalah anak mempunyai
bapak, melainkan juga tidak mempunyai ibu dalam arti, bahwa antara seorang
anak dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada hubungan hukum
sama sekali, seperti mengenai pemberian nafkah, warisan dan lain-lain.
Pengakuan anak yang tidak sah ini juga di kemungkinan dilakukan
seorang pria, yang menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si bapak
hanya mungkin, apabila ibunya menyetujuinya (pasal 284 BW).
Dengan pengakuan sebagai anak ini, tanpa diikuti dengan suatu
perkawinan antara bapak dan ibu hanyalah ada anak yang diakui, anak ini
belumlah dinamakan anak sah.
Cara untuk mengetahui bahwa sebelum perkawinan tersebut anak itu harus
diakui sebagai anak oleh ibunya dan bapaknya. Pengakuan anak itu tidak ada dan
pernikahan bapak dan ibu telah berlangsung tanpa mengakui anak pada waktu
pernikahan itu (akte pernikahan) atau sebelumnya pasal 274 BW.50
Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan "natuurlijkkind" ia dapat
diakui tidak diakui oleh ayah atau ibunya.Menurut sistem yang dianut oleh
49
ibunya dan keluarga ibunya, namun tidak dapat mewarisi harta benda yang
ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di
51
luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan keluarga
ibunya.tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya,
bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu
akibat dari pada perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah
52
cet,III. h. 101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan akhir sebagai berikut :
1. Zina menurut hukum Islam, setiap persetubuhan yang dilakukan antara
pria dan wanita di luar nikah, atau persetubuhan yang dilakukan tidak
dengan nikah yang sah. Sedangkan menurut hukum positif persetubuhan
yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya atas dasar suka
sama suka.
2. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh orang yang menghamilinya
maupun oleh orang lain yang bukan menghamilinya, karena tidak ada
laranganyang nyata dari Al-quran maupun Hadist. Dan status hukum akad
nikah sah selama memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah yang yang telah
ditetapkan oleh hokum Islam, di samping itu juga terdapat unsur
kemaslahatan dalam kebolehan menikahinya, diantaranya dapat membaca
jalan kea rah kehidupan yang lebih baik bagi wanita tersebut. Sedangkan
menurut hukum positif bahwa menikahi wanita hamil di luar nikah itu
dibolehkan, kalau sudah cukup syaratnya.
3. Menurut hukum Islam, anak yang lahir di luar nikah (anak zina) itu suci
dari segala dosa, tidak bersalah dan tidak bernoda, sebab keseluruhan
kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan
kesalahan itu. Status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum Islam
mempunyai ibu bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak
mulanya. Seuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka bathil pulalah
hukumnya. Sedangkan menurut hukum positif anak yang lahir di luar
nikah, yang berstatus tidak sah, ia bisa menjadi sah apabila ia diakui oleh
ibunya, dan mendapatkan warisan sebagaimana anak yang lain.
B. Saran-saran
Dari kesimpulan itu penulis mengemukakan beberapa saran :
1. Untuk mencegah merebaknya praktek perzinahan dimasyarakat, perlulah
kiranya dilakukan terobosan-terobosan baru dengan mempewrtimbangkan
hukum pidana islam yang mampu memberikan sanksi terhadap para
pezina.
2. Kepada seluruh eleman masyarakat agar berperan untuk mempersempit
peluang-peluang terjadinya perzinahan.
3. Penulis menghimbau kepada muda-mudi agar berhati-hati dalam
pergaulan terhadap lawan jenis karena dorongan hawa nafsu, seringkali
menjerumuskan manusia ke lembah dan penyimpangan terhadap normanorma agama
DAFTAR PUATAKA
Umar, M.Ali Hasan, Kejahatan Sex dan Kehamilan di Luar Nikah dalam
Pandangan Islam, Semarang : CV.Panca Agung, 1990
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : PT.Hidakarya
Agung, 1996
Zahroh, Moh., Al-Ahwalu Asy-Syahsiyah, Kairo : Dar al-Fikr, 1957