You are on page 1of 7

Catatan OGSO #4

Pada pertemuan keempat, pada mata kuliah OGSO ini, kelompok 2 berkesempatan
menyampaikan materi terkait nyeri. Yang dimaksud dengan nyeri adalah suatu
mekanisme protektif (perlindungan) dari tubuh untuk menimbulkan kesadaran
bahwa telah ada atau akan terjadi kerusakan jaringan. Respon dari adanya nyeri
bisa berupa perilaku termotivasi seperti penarikan maupun pertahanan, bisa berupa
reaksi emosi seperti menangis atau ketakutan, dan juga bisa berupa persepsi
subjektif terhadap nyeri akibat pengalaman di masa lalu.
Terkait dengan prevalensi (suatu ukuran seberapa sering suatu penyakit atau
kondisi terdapat pada suatu kelompok orang) nyeri, dengan jumlah responden
sebanyak 1009 orang dengan usia antara 18-84 tahun, 66% mengalami nyeri
dengan durasi pendek sementara sisanya dilaporkan mengalami obvious pain (nyeri
yang lebih berat sehingga menyebabkan penderitanya perlu menghentikan
aktivitasnya). Nyeri yang paling sering terjadi berada di sekitar leher, pundak,
lengan, punggung bagian bawah, dan kaki.
Nyeri bisa terjadi apabila terdapat rangsangan nyeri yang dapat sampai ke reseptor
nyeri. Dalam hal ini, reseptor nyeri ada 3, yaitu reseptor nosiseptor mekanis,
nosiseptor termal, dan nosiseptor polimodal. Reseptor nosiseptor mekanis
merupakan reseptor yang akan memberikan respon dari rangsangan nyeri yang
berupa hal mekanis seperti tusukan, benturan, maupun cubitan. Sementara
reseptor nosiseptor termal merupakan reseptor yang akan berespon apabila
rangsangannya berupa suhu yang berlebihan terutama panas. Lalu, reseptor
nosiseptor polimodal merupakan reseptor yang akan memberikan respon apabila
rangsangannya berupa zat yang bersifat iritatif atau merusak seperti zat kimia.
Perlu diketahui bahwa setelah stimulus berikatan dengan reseptor, maka diiringi
dengan pelepasan mediator nyeri seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan
leukotrien.
Berdasarkan jalur stimulus nyerinya, nyeri dapat dibedakan menjadi 2, yaitu nyeri
cepat dan nyeri lambat. Nyeri cepat dapat terjadi karena stimulusnya merupakan
rangsangan berupa nosiseptor mekanis maupun termal, selain itu juga dibawanya
oleh saraf A-delta kecil yang bermielin, dan biasanya terlokalisasi. Sementara nyeri
lambat dapat terjadi karena stimulusnya merupakan rangsangan berupa nosiseptor
polimodal yang dibawa oleh saraf C kecil yang tidak bermielin, dan biasanya tidak
atau kurang terlokalisasi.
Nyeri berdasarkan mekanismenya dibagi menjadi 3, yaitu nyeri fisiologis, nyeri
inflamasi, dan nyeri neuropatik. Sementara nyeri berdasarkan kemunculan nyerinya
dibagi menjadi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.
Nyeri fisiologis merupakan nyeri yang tidak disebabkan oleh adanya kerusakan
jaringan, melainkan adanya suatu hal seperti pukulan. Sementara nyeri inflamasi
merupakan nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan akibat stimulus
yang sangat kuat, jaringan yang rusak inilah yang kemudian mengalami inflamasi,
mengeluarkan mediator inflamasi yang kemudian juga dapat mengaktifasi atau
mensensitisasi reseptor nosiseptor nyeri baik secara langsung maupun tidak

langsung. Lalu, untuk nyeri neuropatik, nyeri neuropatik merupakan nyeri yang
disebabkan oleh adanya kerusakan saraf, hal ini biasa terjadi oleh pasien yang
biasanya mengalami gangguan metabolik.
Bedanya nyeri akut dengan nyeri kronis berdasarkan durasinya adalah, untuk yang
nyeri akut, biasanya berlangsung kurang dari 6 bulan, sementara nyeri kronis
biasanya terjadi lebih dari 6 bulan. Nyeri akibat kecelakan dan nyeri pascabedah
merupakan contoh nyeri akut. Sementara contoh nyeri kronik adalah nyeri akibat
kanker.
Ada lagi yang menggolongkan nyeri menjadi 2 saja, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri
neuropatik. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang disebabkan oleh stimulus
noksius seperti trauma, penyakit, atau proses radang yang kemudian bisa
dibedakan kembali menjadi 2, yaitu nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri viseral
merupakan nyeri yang berasal dari rangsangan pada organ viseral seperti usus
besar atau pankreas, sementara nyeri somatik merupakan nyeri nosiseptif yang
berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Lalu nyeri neuropatik,
sebagaimana dengan definisi yang sudah disebutkan sebelumnya, nyeri neuropatik
merupakan nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau gangguan pada
sistem saraf.
Mekanisme terjadinya nyeri nosiseptif dimulai dari adanya stimulus noksius yang
kemudian mengalir melalui serat saraf nyeri aferen, rangsangan dapat berupa
rangsangan mekanis, termal, atau kimiawi yang kemudian menimbulkan potensial
aksi yang diaktivasi oleh adanya pelepasan bradikinin, ion K+, prostaglandin,
histamin, dan leukotrien. Rangsangan terebut akan dihantarkan ke dorsal horn yang
ada di sumsum tulang belakan melalui dorsal root ganglion. Dari sini akan ada yang
menuju talamus atau ada yang langsung melakukan reticular formation berupa
peningkatan kewaspadaan. Ketika di talamus, akan terjadi pembentukkan persepsi
nyeri yang kemudian dilanjutkan ke tingkatan otak yang lebih tinggi yaitu di korteks
somatosensori untuk terjadi adanya lokalisasi nyeri tersebut. Selain itu, ketika di
talamus, nyeri juga dibawa ke hipotalamus yaitu di sistem limbiknya untuk
diberikan respon berupa perilaku dan perasaan terhadap nyeri tersebut. Selain dari
talamus, stimulus yang tadi membentuk reticular formation juga dapat sampai ke
hipotalamus ini.
Jadi dalam mekanisme terjadinya nyeri ini terdapat 4 proses yang terlibat, yaitu
transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi merupakan perubahan
rangsangan nyeri menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujungujung saraf. Transmisi merupakan penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh
proses transduksi sepanjang jalur nyeri. Modulasi merupakan modifikasi terhadap
rangsangan. modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) maupun inhibisi
(penghambatan). Sementara persepsi merupakan proses terakhir saat stimulasi
tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran yang selanjutnya
diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.
Persepsi terhadap nyeri ini bergantung pada saat modulasi sehingga pada akhirnya
akan ada nosisepsi tanpa nyeri, nosisepsi dengan nyeri, dan ada nyeri tanpa
nosisepsi. Untuk memperjelas terkait nosisepsi, nosisepsi adalah proses
penyampaian informasi dari adanya stimulus noksius di perifer ke sistem saraf
pusat.

Sementara mekanisme terjadinya nyeri neuropatik berawal dari adanya impuls yang
berasal dari adanya kerusakan atau disfungsi sistem saraf baik perifer maupun
pusat, kemudian terjadi pemrosesan input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf
perifer atau saraf pusat. Kerusakan saraf atau rangsangan yang terus menerus
dapat menimbulkan rangsangan saraf secara spontan berupa rangsangan nyeri
saraf otonom sehingga dapat meningkatkan pelepasan bahan-bahan dari
saraf dorsal hornsecara progresif. Penyebabkan daapt diakibatkan oleh trauma,
radang, penyakit metabolik seperti diabetes melitus, infeksi misalnya Herpes
zooster, tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer.
Gejala nyeri secara umum antara lain adanya rasa panas seperti terbakar,
menyengat, pedih, nyeri yang merambat, nyeri yang hilang timbul, tajam menusuk,
dan pusing. Terkait nyeri terdapat gejala-gejala yang muncul tetapi tidak spesifik
seperti depresi, kelelahan, insomnia, rasa marah, ketakutan, dan kecemasan.
Sementara gejala-gejala nyeri untuk yang lebih spesifik seperti pada nyeri akut,
nyeri kronik, nyeri nosiseptik, dan nyeri neuropatik akan dijelaskan di bawah ini.
Gejala nyeri akut biasanya akan terjadi hipertensi (peningkatan tekanan darah),
takikardia (denyut jantung yang lebih cepat), diaforesis (keringat berlebihan),
midriatik (pelebaran atau dilatasi pupil mata), dan pallor (kulit pucat akibat
kekurangan darah). Gejala nyeri kronik antara lain akan terdapat masalah
psikologis, ketergantungan, toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, dan
kepekaan terhadap perubahan lingkungan. Gejala nyeri nosiseptik antara lain nyeri
seperti dipukul dan ada rasa tidak nyaman yang terlokalisasi. Sementara gejala
nyeri neuropatik antara lain tidak dapat dijelaskan dengan baik, nyeri seperti
membakar, pedih, terasa seperti tersengat listrik, dan menusuk. Perasaan terkait
nyeri akan selalu bersifat subjektif sehingga penilaian terkait jenis nyeri perlu
didapatkan dari informasi pasien secara langsung dengan menanyakan riwayat
penyakitnya.
Mengenai algoritma terapi nyeri dapat dibedakan berdasarkan tingkatan rasa
nyerinya yaitu nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Untuk ketiga jenis nyeri
tersebut, paling pertama adalah memeriksa frekuensi atau lama sakit, waktu
timbul, dan penyebab nyerinya secara teratur untuk mengetahui apakah nyerinya
ringan, sedang, atau berat. Untuk yang ringan seperti nyeri tulang, dapat digunakan
obat AINS secara teratur. Apabila satu obat sampai dosis maksimal tercapai,
lanjutkan pemakaian. Jika nyeri masih berlanjut terus menerus atau sering kambuh,
dapat digunakan dosis pencegahan atau sebelum nyeri muncul atau disebut dosis
RTC (Round the Clock). Contoh obat nyeri ringan antara lain golongan obat
analgesik nonoipioid yaitu parasetamol dan golongan obat AINS seperti ibuprofen
dan naproxen.
Untuk nyeri sedang, penatalaksanaan harus didahulukan dibanding dengan terapi
lain, gunakan satu obat sampai dosis maksimal tercapai, pertimbangkan terapi
tambahan apabila memungkinkan. Contoh obat untuk nyeri sedang antara lain
parasetamol, obat golongan AINS, kombinasi obat dengan opioid, dan obat nyeri
dengan tambahan obat antidepresan trisiklik, antikonvulsan, dan steroid.
Untuk obat nyeri berat, obat morfin menjadi pilihan, gunakan semua terapi

tambahan utuk meminimalkan kenaikan dosis, kontrol dosis lebih tinggi daripada
dosis pemeliharannya, dapat ditambahkan antikonvulsan atau antidepresan trisiklik,
apapun laporan tentang nyeri yang baru muncul, harus dikaji ulang. Contoh obat
nyeri berat antara lain obat golongan opioid analgesik, AINS, obat nyeri dikombinasi
dengan tambahan seperti obat antidepresan trisiklik dan antikonvulsan, serta
steroid.
Obat-obat untuk nyeri ada 2 golongan utama yaitu obat nonopioid dan obat opioid.
Obat golongan nonopioid bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase
(COX) sehingga konversi asam arakhidonat membentuk prostaglandik terganggu
lalu dapat mengurangi pembentukkan mediator nyeri. Obat golongan ini disebut
juga sebagai analgetik perifer karena tidak mempengaruhi sistem saraf pusat
sehingga tidak pula dapat menurunkan kesadaran serta ketagihan. Efek samping
obat golongan nonopioid ini pada umumnya dapat menyebabkan gangguan pada
lambung dan usus, kerusakan hati dan ginjal, dan reaksi alergi pada kulit. Efek
samping ini timbul apa bila digunakan pada dosis yang tinggi dan pada waktu yang
lama. Contoh obat golongan opioid antara lain asetaminofen, aspirin, diklofenak,
etodolak, fenopren, ketoprofen, dan asam mefenamat.
Terkait dengan asprin, aspirin bekerja dengan menghambat COX-1 dan COX-2
secara nonselektif dan irreversibel, efek analgetiknya dicapai dengan menghambat
rangsangan pada tingkat subkorteks. Indikasinya tentunya untuk meringankan rasa
sakit akibat nyeri serta dapat menurunkan demam. Aspirin kontraindikasi dengan
penderita tukak lambung dan dan pasien yang peka terhadap derivat asam salisilat.
Selain itu, obat ini kontraindikasi dengan penderita asma, alergi, sedang terapi
dengan antikoagulan, hemofilia, trompsitopenia, dan yang pernah mengalami
perdarahan bahwwah kulit. Efek sampingnya antara lain iritasi lambung,
perdarahan pada usus, dan pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang
mempengaruhi vitamin K sehingga memperpanjang waktu penggumpalan.
Obat golongan nonopioid yang lain, yaitu parasetamol atau asetaminofen, bekerja
dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2. Asetaminofen kontraindikasi untuk
penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi G6PD, serta
penderita yang mengalami gangguan hati karena asetaminofen pada dosis tinggi
dan digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat bersifat hepatotoksik sehingga
pada penderita gangguan hati dapat memperparah kondisinya. Efek sampingnya
yang lain antara lain demam rendah disertai mual, sakit perut, dan kehilangan
nafsu makan. Efek samping berikutnya ada reaksi alergi seperti gatal-gatal,
kesulitan bernafas, pembengkakkan wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan. Efek
samping selanjutnya dapat menyebabkan tremor, jumlah urin menurun dan gelap,
tinja berwarna hitam atau berdarah, ikterus, nefrotoksik, dan kardiotoksik.
Terkait dengan interaksi obatnya antara lain:
Asetaminofen dengan antikonvulsan seperti barbiturat, carbamazepin, dan fenitoin,
dapat menyebabkan peningkatan konversi asetaminofen untuk metabolit
hepatotoksik dan peningkatan risiko hepatotoksisitas.
Asetaminofen dengan astikoagulan oral seperti warfarin dapat meningkatkan efek
warfarin.
Asetaminofen dengan aspirin dapat menyebabkan tidak adanya penghambatan
efek antiplatelet asprin.

Asetaminofen dengan isoniazid dapat menyebabkan peningkatan risiko


hepatotoksisitas.
Asetaminofen dengan fenotiasin dapat menyebabkan peningkatan risiko hipotermia
berat.
Asetaminofen dengan metoklopramida dan domperidon dapat meningkatkan
absorpsi asetaminofen.
Asetaminofen dengan alkohol dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas.
Asetaminofen dibandingkan dengan aspirin, ternyata aspirin memiliki efek
antiinfalamasi yang lebih baik (++++) dibandingkan asetaminofen (++).
Obat golongan opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid
opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin.
Ada 3 macam reseptor opioid yaitu Mu (), k (kappa), dan delta (). Reseptor mu
akan memberikan respon berupa analgesia supraspinal, depresi fisik dan
pernafasan, miosis, dan penurunan motilitas GI. Reseptok k akan memberikan
respon berupa sedasi dan miosis. Sementara reseptor delta memberikan respon
berupa disforia dan halusinasi.
Obat golongan opioid dapat dibedakan berdasarkan kerjanya pada reseptor, ada
yang agonis penuh, agonis parsial, campuran agonis dan antagonis, serta
antagonis. Sementara berdasarkan rumus bangunnya, golongan opioid dibedakan
menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan
benzomorfan.
Obat golongan opioid yang termasuk jenis fenantren antara lain morfin,
hidromorfan, dan oksimorfan yang bersifat agonis kuat; kodein, oksikodon, dan
hidrokodon yang bersifat agonis parsial; nalbufin dan beprenorfin yang bersifat
agonis-antagonis; nalorfin, naloksom, dan naltrekson yang bersifat antagonis.
Yang termasuk jenis fenilheptilamin antara lain metadon yang bersifat agonis kuat,
dan propoksifen yang bersifat agonis parsial. Yang termasuk jenis fenilpiperidin
antara lain memeridin dan fentanil yang bersifat agonis kuat; dan difenoksilat yang
berisfat agonis parsial. Yang termasuk jenis morfin antara lain levorfanol yang
bersifat agonis kuat dan butorfanol yang bersifat agonis-antagonis. Sementara yang
termasuk benzomorfan antara lain pentazosin yang bersifat antagonis-agonis.
Dalam hal ini ada 3 contoh obat opioid agonis yang akan dijelaskan terkait dengan
mekanisme kerja, indikasi, efek samping, dan kontraindikasinya yaitu obat morfin,
meperidin, dan metadon.
Morfin merupakan zat aktif utama yang ditemukan pada opium dari
tanaman Papaver somniverum, bekerja secara langsung pada sistem saraf pusat
untuk menghilangkan rasa sakit. Morfin ini dapat diberikan secara oral, parenteral,
maupun rektal. Morfin bekerja dengan cara mengurangi nyeri dan menimbulkan
euforia dengan berikatan para reseptor opioid di otak, yaitu reseptor mu1 dan mu 2,
kappa, dan delta. Agonis para reseptor opioid dapat mengurangi pelepasan
transmitter sehingga dapat menghambat saraf mentransmisi rangsangan nyeri.
Adanya penghambatan pada transmisi ini menyebabkan morfin memiliki efek
analgetik yang kuat. Aktivitas morfin pada reseptor opioid yang berbeda dapat

memunculkan aktivitas yang berbeda. Jika berikatan di reseptor mu 1 dapat


memberikan efek analgesia, sementara pada reseptor kappa selain analgesia juga
dapat menimbukan efek disforia. Disforia merupakan gangguan afektif berua rasa
kemurungan dan ketidaknyamanan. Sementara apabila berikatan dengan reseptor
mu 2, efek yang ditimbulkan lebih banyak selain analgesia, dapat menimbulkan
efek depresi respiratori, euforia, penurunan motilitas GI, dan ketergantungan fisik.
Oleh karena itu efek samping dari penggunakan morfin antara lain depresi
pernafasan, sedatif, euforia, dan disforia. Selain itu dapat menyebabkan mual,
muntah, tidak dapat berkonsentrasi, dilatasi vena dan arteriol sehingga
menyebabkan hipotensi ortostatik, dan menyebabkan konstipasi. Kelemahan dari
obat morfin ini adalah dapat menimbulkan efek adiksi dengan tanda-tanda
habituasi dan ketergantungan fisik akibat adanya toleransi. Obat morfin memiliki
kontraindikasi dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat lainnya sehingga
dapat menimbulkan adanya penguatan depresi nafas dan potensi berbahaya
lainnya yang kemungkinan bersifat letal.
Meperidin merupakan obat golongan opioid yang kurang poten dan lebih singkat
kerjanya dibandingkan dengan morfin. Meperidin bekerja dengan mekanisme kerja
yang sama dengan morfin. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaannya
juga kurang lebih sama seperti morfin. Namun untuk kontraindikasinya yang beda
dari morfin, meperidin tidak boleh dikombinasikan dengan penghambat monoamin
oksidase karena dapat menyebabkan depresi atau eksitasi pernafasan berat,
delerium hiperpireksia (tidak sadar akibat panas tinggi), serta konvulsi. Selain itu,
tidak dianjurkan untuk penderita gagal ginjal karena dapat menimbulkan tremor,
mioklonus atau seizure (kejang). Meperidin tersedia dalam bentuk tablet, ampul,
dan vial.
Metadon merupakan senyawa sintetik mirip morfin yang mana memiliki lama kerja
yang panjang sehingga mekanisme kerjanya juga mirip seperti morfin. Metadon
dapat diberikan secara peroral, IM, maupun SC. Efek analgetiknya sama kuat
dengan morfin.
Sementara akan dijelaskan pula terkait obat-obatan yang termasuk golongan opioid
agonis-antagonis, yaitu pentasozin, butorfanol, nalbufin, dan buprenorfin.
Obat golongan opioid agonis-antagonis selain dapat meredakan nyeri, juga
mempunyai efek depresi nafas dan respon psikomimetik seperti halusinasi dan
disforia. Pentasozin merupakan obat yang dapat memberikan gejala putu obat pada
pasien yang telah mengalami ketergantungan, pentasozin merupakan obat pilihan
ketika untuk nyeri sedang sampai berat. Butorfanol, nalbufin, dan buprenorfin
merupakan obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat dan juga dapat
menimbulkan ketergantungan pada pasien yang mengalami ketergantungan. Terkait
dengan kontraindikasi dan efek samping, sama seperti dengan morfin.
Sementara salah satu jenis obat golongan antagonis yaitu Nalokson, bekerja
dengan cara terikat secara kompetitif ke reseptor opioid sehingga tidak
menghasilkan efek analgesik. Dengan demikian, nalokson diberikan untuk pasien
yang mengalami keracunan obat opioid. Jadi nalokson ini digunakan untuk
mengatasi overdosis dan depresi pernafasan. Nalokson tersedia dalam bentuk
injeksi.

Selain obat-obat yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula obat yang dapat
bekerja secara sentral, yaitu tramadol yang merupakan analgesik yang dapat
mempengaruhi mekanisme re-uptake monoamin sehingga dapat pula digunakan
untuk pengobatan nyeri. Tramadol dapat diberikan secara peroral, rektal, intravena,
dan intramuskular.

You might also like