You are on page 1of 10

Pembedaan Ontologis dan Pergulatan Dasein dalam Mendekati Ada: Dasar Pemikiran

Martin Heidegger

1. Pendahuluan
Martin Heidegger merupakan salah seorang pemikir yang mempengaruhi sejarah filsafat
barat sesudahnya. Fokus utama filsafat Heidegger adalah pencarian akan Ada. Pergulatan
filosofis Heidegger terhadap persoalan Ada sudah dimulai sejak ia masih berusia 18 tahun.
Saat itu, tepatnya musim panas 1907, ia menerima sebuah buku disertasi yang berjudul On the
Manifold Sense of Being according to Aristotle (1862) karya Franz Brentano, yang diberikan
oleh seorang imam bernama Dr. Conrad Grober1. Persoalan Being dalam buku ini menyita
perhatian dan menjadi bahan refleksi filosofis Heidegger.
Pemikiran Heidegger mengenai Ada membawanya pada penulisan karya besarnya yang
berjudul Ada dan Waktu pada 1927. Karya ini ditulis Heidegger tidak hanya untuk kepentingan
pencarian makna Ada tetapi juga dibuat untuk menghormati Husserl. Heidegger merupakan
asisten pengajar dari Husserl sejak tahun 1919 hingga 1923. Dan pada tahun 1928, ia
menggantikan Husserl sebagai profesor filsafat di Universitas Freiburg.
Pemikiran Heidegger mengenai Ada sangat dipengaruhi oleh pendekatan fenomenologi
yang ditawarkan pertama kali oleh Husserl. Itu sebabnya kita tidak bisa melepaskan persoalan
ontologis (pencarian akan Ada) dengan metode fenomenologi. Metode fenomenologi dipakai
Heidegger dalam kerangka pikir ontologi. Dengan kata lain, fenomenologi dipakai sebagai suatu
pendekatan yang memungkinkan kita mendekati Ada. Inilah yang kiranya membedakan antara
fenomenologi Heidegger dengan Husserl. Fokus pemikiran fenomenologi Husserl adalah terkait
persoalan kesadaran ( persoalan epistemologi) sementara pada Heidegger, fenomenologi dipakai
dalam rangka mendekati Ada (persoalan ontologi).
Tulisan ini akan menggambarkan secara umum bagaimana usaha Heidegger untuk mencari
jawaban atas makna Ada. Secara garis besar, isi tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian
yakni; pertama, pembahasan mengenai pendekatan fenomenologi dalam ontologi Heidegger.
1 Richardson, William J, Heidegger Through Philosophy to Thought, (Netherlands:
Martinus Nijhoff, The Hague (1963)) hlm. 3
1

Kedua, penjabaran mengenai pembedaan ontologis antara Ada dan pengada serta relasi keduanya
dengan manusia (Dasein).
2. Fenomenologi dalam Usaha untuk Mencari Makna Ada
Seluruh rangkaian pemikiran filosofis Heidegger merupakan usaha untuk menggali jawaban
atas pertanyaan yang sudah dilontarkan sejak masa Yunani Kuno yakni: Apa itu Ada? Pencarian
jawaban atas pertanyaan ini dilakukan dengan analisa filosofis yakni, konsep ontologi.
Menurutnya, tugas dari ontologi adalah memberikan penjelasan mengenai Ada itu sendiri dan
menjadikan Ada dari berbagai entitas muncul keluar dalam keseluruhannya.2
Apa artinya menjadikan Ada dari berbagai entitas muncul keluar dalam keseluruhannya?
Di sini kita diingatkan Heidegger untuk tidak langsung menerima keterberian entitas sebagai Ada
itu sendiri. Ia justru ingin mencari makna Ada yang sebenarnya; yang terlepas dari beings atau
entitasnya. Investigasi atas makna Ada perlu dilakukan karena baginya, sejarah pemikiran barat
merupakan sejarah pelupaan akan Ada. Bagaimana ia bisa sampai pada kesimpulan tersebut ?
Untuk itu kita perlu melihat duduk persoalan yang dikemukakan Heidegger. Kita sering
menggunakan kataada untuk menunjuk suatu hal misalnya, Patung Driyarkara ada di halaman
STF Driyarkara Malaikat itu ada, seolah ada diterima begitu saja dan dianggap tak perlu
dipertanyakan lagi. Padahal Ada merupakan sesuatu yang berbeda dengan objek atau hal yang
kita lekatkan pada ada. Misalnya pada contoh di atas, ada tentu bukan hal yang sama dengan
patung driyarkara ataupun malaikat. Sejarah pemikiran barat tidak jeli melihat perbedaan ini.
Ada diandaikan begitu saja dan bahkan direduksi menjadi suatu abstraksi seperti idea. Ada
kemudian tidak dipersoalkan lagi dan semakin dilupakan. Inilah yang disebut Heidegger sebagai
kelupaan akan Ada. Kelupaan akan Ada ini meliputi dua cakupan yakni; pertama, kelupaan akan
Ada. Dan kedua, kelupaan mengenai kelupaan akan Ada. Ada yang dilupakan oleh sejarah
filsafat barat inilah yang ingin digali kembali oleh Heidegger lewat konsep ontologi nya.
Konsep ontologi yang dipakai Heidegger mempunyai ciri khas yakni, menggunakan
metode fenomenologi. Fenomenologi yang dimaksud tidak merujuk pada objek penelitian
melainkan pada bagaimana penelitian itu dijalankan. 3 Bagaimana menjelaskan konsep ontologi

2 Heidegger, Martin, Being and Time, (Oxford:Basil Blackwell (1973)) hlm. 49


2

yang berlandaskan metode fenomenologi ini?. Untuk menjawab pertanyaan di atas kita perlu
melihat apa itu fenomenologi.
Fenomenologi
Edmund Husserl merupakan filsuf yang pertama kali memperkenalkan aliran fenomenologi
dalam sejarah filsafat. Definisi dari fenomenologi adalah ilmu (logos) tentang hal-hal yang
menampakkan diri (phainomenon).4 Aliran filsafat ini berusaha mengangkat serta menyelidiki
secara mendalam hakekat dari segala hal yang menampakkan diri atau fenomena. Lantas, apa itu
fenomena atau yang menampakkan diri itu? Fenomena tidak hanya terdiri dari benda seperti
tubuh, hewan, bunga, pohon, dan kursi. Ia juga bisa berupa ingatan, bayangan, dan segala
bentuk perasaan. Jadi, fenomena adalah segala sesuatu yang menampakkan diri dalam kesadaran
manusia. Segala fenomena dan kesadaran manusialah (human consciousness) yang menjadi
objek penyelidikan fenomenologi.5
Mengapa perlu kajian terhadap fenomena di atas? Jawabannya adalah kita perlu
membebaskan diri dari kecenderungan kita sendiri saat berhadapan dengan fenomena atau
realitas disekitar. Kecenderungan yang dimaksud ialah kebiasaan manusia untuk selalu
menafsirkan fenomena yang dilihatnya. Hal ini menyebabkan fenomena tidak selalu
menampakkan diri apa adanya.6 Untuk mengatasi kecenderungan tersebut fenomenologi
menawarkan konsep dimana kita selalu harus kembali kepada fenomena itu sendiri. Dengan kata
lain, fenomenologi berusaha untuk menghindari berbagai macam tafsiran, prasangka, dan
pengandaian terhadap segala fenomena yang tertanam baik dalam berbagai tradisi maupun
pandangan hidup manusia. Semboyan sekaligus metode yang digunakan dalam fenomenologi
terkait usaha di atas adalah zu den Sachen selbst (kembali pada hal-hal itu sendiri). Dengan
3Heidegger, Being and Time, hlm. 50
4 Hardiman, Budi. F, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein
und Zeit (Jakarta:KPG(2008)) hlm.20
5 Tjaya, Thomas Hidya, Enigma Wajah Orang Lain Menggali Pemikiran Emmanuel
Levinas (Jakarta:KPG(2012)) , hlm.24
6 Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, hlm. 21
3

kembali pada hal-hal itu sendiri, fenomenologi membuka kesempatan pada manusia untuk
melihat fenomena sebagaimana adanya.
Metode Fenomenologi dalam Pencarian akan Ada
Pertanyaannya kini, bagaimana implementasi fenomenologi dalam pencarian akan Ada?
Sudah dikatakan pada bagian awal bahwa Heidegger menggunakan metode fenomenologi untuk
mendekati Ada. Itu berarti Ada didekati sebagai sebuah fenomena. Fenomenologi menurut
Heidegger adalah gabungan kata phainomenon dan logos. Phainomenon () diambil
dari kata kerja bermakna menampakkan dirinya, manifestasi. Manifestasi di sini
berarti dapat terlihat/dapat tampak dalam dirinya sendiri, sehingga pengertian phenomenon
secara lengkap adalah yang menampakkan diri pada dirinya sendiri (that which shows itself in
itself)7. Sementara logos () memiliki pengertian apa yang sedang dibicarakan dalam
wacana seseorang dari penampakkan tersebut8. Dalam wacana logos mengambil pengertian
sebagai membiarkan sesuatu tampak. Ketika sebuah wacana dimunculkan, wacana itu sendiri
menampakkan apa yang sedang dibicarakan. Dengan demikian, pengertian fenomenologi adalah
membiarkan yang menampakkan dirinya tertampak dari dirinya dengan cara menampakkan
dirinya dari dirinya sendiri9
Dengan demikian, penyelidikan mengenai Ada dengan metode fenomenologi adalah
membiarkan Ada menampakkan diri pada dirinya sendiri. Penampakkan merupakan hal yang
masih bisa dibagi dalam pandangan Heidegger. Ia menunjukkan bahwa pada dasarnya ada dua
jenis penampakkan, yakni Scheinen dan Erscheinung. Scheinen menunjuk kepada kemiripan.
Sesuatu bisa menampakkan diri seolah-olah mirip sesuatu. Misalnya, kita melihat seorang
pemain iklan jamu yang memakai baju motif kotak-kotak dengan wajah yang mirip Jokowi,
calon presiden Indonesia. Pada awalnya, kita bisa mengira pemain iklan tersebut adalah jokowi
sendiri. Namun, setelah dilihat kembali ternyata orang itu hanyalah sosok yang kebetulan mirip
7 Heidegger, Being and Time, hlm. 51
8 Susanto, Trisno A Historisitas Pemahaman Majalah Filsafat Driyarkara Vol.2 Thn.
XXV (2001) hlm.24
9 Heidegger, Being and Time, hlm. 58 to let that which shows itself be seen from
itself in the very way in which it show itself from itself
4

dengan jokowi. Kemiripan inilah yang disebut Scheinen. Sementara Ercheinung merupakan
penampilan. Penampilan dipahami sebagai sesuatu yang menampakkan diri sedemikian rupa
sehingga muncul sebagai sesuatu yang lain, sementara diri sejatinya tetap tersembunyi di balik
penampilannya.10 Jenis kedua (Ercheinung) inilah yang dipahami sebagai penampakkan Ada;
dimana Ada tidak menampakkan diri seluruhnya, karena dalam penampakannya Ada sekaligus
menyembunyikan diri. Ada yang menyembunyikan diri hanya bisa didekati dengan membiarkan
ia menampakkan dirinya pada dirinya sendiri. Membiarkan Ada menampakkan dirinya sendiri
memuat pengertian bahwa kita tidak memaksakan berbagai penafsiran melainkan membuka diri,
membiarkan Ada terlihat (Sehenlassen).11
3. Pembedaan Ontologis dan Persoalan Dasein: Dasar Pemikiran Heidegger
Sudah dikatakan pada penjelasan sebelumnya, bahwa Heidegger mendekati Ada sebagai
fenomena yang diselidiki dengan menggunakan metode fenomenologi. Persoalannya sekarang,
apa perbedaan antara Ada dan fenomena lainnya (pengada) ? Dan bagaimana penerapan
Fenomenologi dalam keseharian ketika manusia ingin mendekati Ada?
Usaha Heidegger untuk membedakan antara Ada dengan fenomena lainnya (pengada)
disebut sebagai pembedaan ontologis. Inilah yang disebut sebagai pembedaan ontologis. Pengada
merupakan ada-adaan yang merujuk pada entitas di sekitar; apa saja yang kita dengar, apa saja
yang kita lihat, dan lain sebagainya; segala apa yang ada dalam realitas. Jika pengada adalah
segala apa yang ada dalam realitas, maka apa itu Ada?
Heidegger menunjukkan bahwa Ada memiliki beberapa karakteristik antara lain: Ada
merupakan konsep yang paling universal. Namun universal yang dimaksud bukanlah hasil dari
kumpulan hal-hal partikular. Universalitas dari Ada melampaui segala universalitas genus dan
spesies. Selanjutnya, Ada bukanlah juga suatu entitas (pengada) sehingga tidak mungkin
mengenakan padanya konsep definisi yang ada dalam logika tradisional. Dengan kata lain, Ada
tidak bisa didefinisikan. Meskipun demikian, Ada bukanlah konsep kosong yang harus dilupakan

10 Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, hlm. 27


11Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, hlm. 26
5

karena faktanya, manusia hidup dalam pemahamannya akan Ada. 12 Hal di atas menyisakan
pertanyaan mengenai makna Ada sesungguhnya karena karakteristik dari Ada yang telah
disebutkan, tidak dapat menyingkapkan maknanya.
Lantas, bagaimana cara menyingkapkan makna Ada? Untuk dapat menyingkapkan makna
Ada, kita harus memulai dengan menyelidiki pengada yang dapat mempertanyakan Ada , yakni
Dasein.

Dasein secara harafiah diterjemahkan dengan Ada-di sana atau There-Being.

Dasein adalah istilah Heidegger yang merujuk pada manusia.

Ia tidak memakai kata

manusia karena baginya, dalam sejarah filsafat, kata manusia mengacu pada definisinya
sebagai benda (things)13.
Hubungan antara Dasein dengan Ada dimengerti sebagai eksistensi. Namun, hubungan
yang bersifat eksistensial ini bukanlah satu-satunya hubungan yang dijalani oleh Dasein. Ada
hubungan lain yang disebut sebagai hubungan eksistensiil. Hubungan eksistensiil terjadi saat
Dasein berhadapan dengan segala fenomena disekitar. Atau dengan kata lain, berhubungan
dengan pengada. Saat kita berhadapan dengan komputer ataupun buku yang sedang kita baca,
sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan yang ontis, yang disebut sebagai pengada.
Namun, ada saat dimana kita mulai mempertanyakan persoalan yang lebih mendalam seperti
contoh: Mengapa saya ada?. Itulah saat kita merenungkan Ada. Saat kita mulai merenung dan
mempertanyakan Ada seperti pertanyaan mengapa saya ada?, pada saat itulah kita terbuka
terhadap Ada. Peristiwa terbuka pada Ada inilah yang disebut sebagai relasi eksistensial. Dasein
selalu memahami dirinya sendiri dalam ranah eksistensinya- ranah posibilitas dirinya sendiri;
menjadi dirinya sendiri atau tidak menjadi dirinya sendiri. 14 Semakin ia mendekati adanya atau
menjadi dirinya sendiri, semakin dekat ia pada Ada itu sendiri. Sebaliknya, semakin ia tenggelam
dengan hal-hal atau realitas disekitarnya (baik itu dengan realitas ataupun orang disekitarnya)
semakin jauh pula ia dari Ada. Inilah salah satu ciri yang menandakan Dasein yakni, Dasein
merupakan kemungkinan atau posibilitas itu sendiri menjadi atau tidak menjadi.
12 Heidegger, Being and Time, hlm. 22-23
13 Riyanto,Bambang The Ontological Fondation of Dasein Majalah Filsafat
Driyarkara Vol.2 Thn. XXV (2001) hlm.7
14Heidegger, Being and Time, hlm. 33
6

Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa Ada hanya bisa diketahui melalui satu
pengada yakni Dasein. Dasein sendiri bukanlah makhluk satu-satunya di dunia. Di dalam dunia,
Dasein bertemu baik dengan realitas disekitarnya maupun Dasein lainnya. Heidegger membagi
dua jenis realitas dunia yakni, Zuhandenes dan Vorhandenes. Zuhandenes secara
harafiah dapat diterjemahkan sebagai siap-untuk-tangan (ready-to-hand) dan merujuk pada
apa yang siap dipakai atau peralatan. Misalnya palu yang dipakai untuk memalu. 15 Sementara
Vorhandenes merujuk pada segala apa yang tersedia begitu saja dalam keseharian dan secara
harafiah diterjemahkan sebagai tersedia-di-tangan (present-at-hand) Pertemuan antara Dasein
dengan dua realitas ini terealisasikan dalam bentuk perhatian atau Sorge.
Di dalam dunia, Dasein juga berhadapan dengan Dasein lainnya. Itu sebabnya Dasein
dalam pandangan Heidegger bukan hanya being-in-the-world tetapi juga being-with-others (adabersama-yang lain). Sebagai being-with-others, Dasein terpanggil untuk memiliki sikap
kepedulian (fursorge). Karakter Being-with-others beresiko menjadikan Dasein hanya sebagai
das Man. Ia bukan lagi sebuah being yang otentik melainkan sudah menjadi salah satu bagian
dari das Man, yang bersifat anonim dan tanpa kepribadian. 16. Contohnya, jika kita tenggelam
dalam anggapan umum dan menerima begitu saja anggapan tersebut sebagai suatu kebenaran,
maka kita bukan lagi individu otentik melainkan telah menjadi bagian dari kerumunan. Kita
bukan lagi suatu pribadi; Ia melupakan adanya.
Keberadaan Dasein di dunia bukanlah sesuatu yang dipilihnya melainkan sudah ditentukan
baginya. Dasein terlempar begitu saja di dalam dunia, tanpa tahu darimana dan mau kemana.
Keterlemparan inilah yang disebut Heidegger sebagai faktisitas. Dasein terlempar di dalam
dunia. Dan dalam kondisi berada di dunia, Dasein dimungkinkan untuk bersentuhan dengan Ada.
Persentuhan dengan Ada terjadi pada saat ia dihadapkan pada kecemasan (angst) dan kesadaran
akan kemungkinan kematian. Angst tidak dapat didefinisikan dan tidak mempunyai objek yang
dicemaskan. Angst bertolak pada pengalaman Dasein sebagai ada-di-dalam-dunia. Dengan kata

15 Heidegger, Being and Time, hlm. 98


16 Hamersma,Harry , Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: PT. Gramedia
(1983)) hlm.126
7

lain, kecemasan Dasein, adalah tentang adanya-di-dalam dunia itu sendiri. Keadaan terlempar
begitu saja tanpa mengetahui darimana dan mau kemana.
4. Penutup: Penyingkapan Ada dalam Diri Dasein
Tulisan ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana pokok persoalan atau fokus
utama dari refleksi filosofis Heidegger yakni, persoalan Ada. Persoalan Ada itu sendiri tidak bisa
lepas dari kenyataan bahwa Ada hanya mungkin didekati jika dipertanyakan. Manusia atau
Dasein adalah pengada yang memiliki kemampuan untuk mempertanyakan Ada. Itulah sebabnya
Ada hanya mungkin didekati lewat Dasein itu sendiri. Dari penjelasan di atas kita bisa melihat
bahwa Ada itu hanya bisa didekati saat kita mulai merenungkan Ada itu sendiri. Artinya, kita
membuka diri kepada Ada. Berbeda dengan anggapan umum bahwa Ada bisa kita gapai, bagi
Heidegger, Ada lah yang memberikan diri atau mewahyukan diri kepada Dasein. Pewahyuan Ada
terjadi saat Dasein membuka diri atau mempertanyakan Ada.
Jika kita melihat penjelasan mengenai dasar-dasar pemikiran Heidegger di atas, kita tidak
bisa menemukan makna Ada itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi logis yang ditawarkan
Heidegger untuk mendekati Ada. Ada tidak bisa ditemukan, dikonsepkan atau didefinisikan. Ada
itu sendiri hanya mungkin didekati lewat pewahyuan atau penyingkapannya melalui Dasein.
Penyingkapan adalah kata kunci bagi konsep kebenaran Heidegger. Kebenaran atau realitas
akhirnya hanya merupakan penyingkapan dari Ada ini. Ada merupakan sesuatu yang
tersembunyi, yang tidak bisa disingkapkan secara keseluruhan. Penyingkapan Ada ini disebut
Aletheia atau kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Richardson, William J, Heidegger Through Philosophy to Thought, (Netherlands: Martinus


Nijhoff, The Hague (1963))
Heidegger, Martin, Being and Time, (Oxford:Basil Blackwell (1973))
Budi. F, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit
(Jakarta:KPG(2008))
Tjaya, Thomas Hidya, Enigma Wajah Orang Lain Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas
(Jakarta:KPG(2012))
Susanto, Trisno A Historisitas Pemahaman Majalah Filsafat Driyarkara Vol.2 Thn. XXV
(2001)
Riyanto,Bambang The Ontological Fondation of Dasein Majalah Filsafat Driyarkara Vol.2
Thn. XXV (2001)

10

You might also like