You are on page 1of 29

ANALISIS RAPERDA KABUPATEN PEKALONGAN

TENTANG BANGUNAN GEDUNG TAHUN 2012

Disusun oleh,
Advent Eden E0012010
Deny Riyan E0012101
Yunus Della E0012421
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam latar belakang sendiri memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya
penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan UndangUndang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan
mengapa pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan memerlukan suatu kajian yang
mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan
dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah
yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan
argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak
perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
Dalam Naskah Akademik Yang kami analisis isi dari latar belakang berikut terdapat
kesesuaian dengan kerangka acuan dalam penyusunan naskah akademik, yakni :
Melihat semakin berkembang dan cepatnya dinamika kehidupan sosial masyarakat
yang membutuhkan pengaturan hukum, maka penyusunan Naskah Akademik sebagai
langkah awal pembentukan peraturan perundang-undangan nampaknya menjadi
semakin penting dilakukan. Demikian juga dengan rencana pembentukan Perda yang
akan mengatur tentang

penyelenggaraan

bangunan

gedung

di Kabupaten

Pekalongan, juga memerlukan pengkajian yang mendalam baik dari aspek teori,
metodologi, serta teknik perancangannya. Melalui pembuatan naskah akademik
tersebut diharapkan akan melahirkan Perda Bangunan Gedung yang tidak hanya baik
dari aspek normatifnya, tetapi juga sejalan dengan situasi, kondisi, serta aspirasi
masyarakat Kabupaten Pekalongan. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan bangunan gedung, baik aspek filosofis, yuridis, sosiologis, maupun
ekologisnya dapat dikaji dengan baik. Ada beberapa alasan yang mendukung perlu
disusunnya sebuah Naskah Akademik bagi pembentukan Perda Bangunan di
Kabupaten Pekalongan, yaitu:

Pertama, melalui Naskah Akademik yang disusun secara holistik, komprehensif, dan
futuristik, maka berbagai faktor terkait dengan keberadaan, kualitas, dan karakteristik
bangunan gedung dapat dikaji baik dalam konteks normatif, terkait dengan sistem
hukum nasional, maupun dalam konteks sosiologis,

yang berterkaitan

dengan

kehidupan masyarakat. Sehingga Naskah Akademik diperlukan agar peraturan


perundang-undangan yang dihasilkan akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan
selaras dengan kebutuhan kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Pekalongan.
Kedua, mekanisme dalam penyusunan Naskah Akademik Perda Bangunan Gedung
merupakan media nyata bagi peran serta masyarakat Kabupaten Pekalongan dalam
proses pembentukan Perda Bangunan Gedung. Hal ini merupakan keuntungan
tersendiri, karena keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan Perda ini akan
berdampak pada terakomodasinya aspirasi-aspirasi masyarakat dalam Perda tersebut.
Ketiga, melalui Naskah Akademik, dapat diketahui secara pasti mengapa perlu dibuat
Perda

Bangunan Gedung

dan apakah Perda tersebut memang diperlukan oleh

masyarakat Kabupaten Pekalongan. Hal ini karena dalam Naskah Akademik akan
dipaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang tentang hal-hal yang
mendorong disusunnya Perda Bangunan Gedung secara komprehensif, baik dari
aspek idiologis, politis, budaya, sosial, ekonomi, maupun hankam.
Keempat, melalui Naskah Akedemik Raperda bangunan Gedung, para pengambil
keputusana akan lebih mudah untuk melihat tingkat kebutuhan masyarakat akan
sebuah peraturan, sehingga Perda yang yang dibuat dapat tepat guna dan tepat
sasaran. Berbagai tinjauan yang dipaparkan dalam naskah Akademik, baik tinjauan
filosofis, yuridis, maupun sosiologi, dan politis, akan memudahkan untuk melihat
tingkat kebutuhan tersebut.
Kelima, dengan adanya Naskah Akadenik, maka pembahasan Raperda Bangunan
Gedung menjadi lebih cepat dan mudah, karena didalamnya sudah dikaji mengenai
gambaran umum materi dan ruang lingkup Perda yang akan dibuat.
Keenam, melalui Naskah Akademik yang proses pembuatannya dilakukan secara
rasional, obyektif, dan ilmiah, maka kebutuhan dan harapan masyarakat akan
menjiwai perda tersebut.

Dalam Naskah bagian naskah akademik diatas sudah sesuai dengan ketentuan
acuan dalam pembuatan naskah akademik ,khususnya dalam bagian latar belakang
diman latar belakang tersebut diatas telah memuat pemikiran dan alasan-alasan
perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu.

B. Identifikasi Masalah
Dalam Identifikasi masalah sendiri dalam naskah akademik memuat rumusan
mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik
tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik
mencakup 4 (empat) pokok masalah, dalam naskah akademik berikut juga terdapat
masalah masalah pokoknya sebagai berikut :
1. Masalaha pokok 1 di mana masalah pokok ini berhubungan dalam hubungannya
dengan kehidupan bernegara dan juga cara mengatasinya ,dalam naskah akademik ini
bagian Pencapaian kesejahteraan manusia mempersyaratkan terpenuhinya kebutuhan
manusia baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Secara umum, dapat
dikatakanbahwa kebutuhan manusia yang bersifat primer meliputi kebutuhan akan
pangan, papan, dan sandang. Kebutuhan akan ketiga hal ini merupakan kebutuhan
yang bersifat mendasar, sehingga harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dan
mempertahankan kehidupannya secara beradab dan bermartabat.

Tempat tinggal

(papan), sebagai salah satu kebutuhan manusia yang bersifat mendasar, dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terrumuskan sebagai
hak yang tertuang dalam Pasal 40, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Pemenuhan kebutuhan

tersebut dalam konteks penyelenggaraan negara adalah melalui apa yang disebut
dengan pembangunan nasional. Secara konseptual, pembangunan nasional pada
hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan,
kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang
maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila sudah terdapat permasalahan yang
berhubungan dengan kehidupan bernegara berbangsa serta cara mengatasi melalui
metode yang mereka kembangkan sendiri.
3

2. Untuk masalah pokok 2 yakni yang memuat alasan-alasan diperlukannya


Rancangan Undang Undang ini adalah pada bagian Gambaran di atas memberikan
pemahaman bahwa penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi
kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus
untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta
seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.Sehubungan dengan itu, maka
telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
(UU Bangunan Gedung), yang merupakan perangkat hukum yang dapat digunakan
sebagai landasan bagi aktivitas penyelenggaraan bangunan gedung baik oleh negara
maupun oleh masyarakat. Sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut, telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (PP
Bangunan Gedung)
3. Untuk Masalah pokok yang ke 3 dimana ada sangkut pautnya dengan pertimbangan
pertimbangan dibuatnya naskah akademik ini adalah sebagai berikut: Bangunan
gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang
sangat strategis tidak hanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
tetapi juga karena bangunan gedung mempunyai peran dalam pembentukan watak,
perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Strategisnya peranan bangunan
gedung tersebut, ternyata tidak sejalan dengan realitas empirik bangunan gedung
yang baik dari aspek tempat keberadaan maupun kualitas bangunan gedung masih
menunjukkan banyak permasalahan. Permasalahan tersebut menyangkut baik pada
aspek

keberadaan/lokasi

menunjukkan

bangunan

gedung,

yang

dalam

banyak

kejadian

adanya ketidaksesuaian dengan Rencana Tata Ruang yang telah

ditetapkan. Karena itu, maka tidak heran ketika kasus-kasus pembongkaran dan/atau
penggusuran marak di mana-mana, terutama di daerah perkotaan. Persoalan lain
terkait dengan bangunan gedung berkaitan dengan kualitas dan standar keamanan
bangunan gedung. Banyak sekali bangunan gedung yang didirikan tanpa
memperhatikan kualitas dan standar keamanan.Kasus-kasus ambruknya bangunan
gedung, roboh dan rusaknya bangunan gedung akibat bencana alam, baik berupa
gempa maupun banjir, seringkali terjadi. Salah satu aspek yang menjadi sumber
berbagai persoalan tersebut antara lain karena persoalan legalitas bangunan gedung
yang terkait dengan perizinan pendidirannya. Sebagaimana diketahui, untuk pendirian

bangunan gedung, diperlukan adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Melalui


proses pemberian IMB tersebut seharusnya berbagai persoalan bangunan gedung
sebagaimana dicontohkan di atas tidak perlu terjadi, karena mekanisme pemberian
IMB di dalamnya seharusnya mempersyaratkan pengecekan kebenaran baik dari segi
tata ruang,
4. Sedangkan Untuk Permasalahan pokok yang terakhir memuat sasaran sasaran yang
akan diwujudkan setelah adanyan Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut:Dengan
arah pengaturan sebagaimana disebutkan di atas, maka ruang lingkup pengaturan
Perda Bangunan gedung di Kabupaten Pekalongan akan meliputi materi pengaturan
yang masuk dalam kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung. Apabila mengacu
pada pengertian penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1 angka 2 UU Bangunan Gedung, maka ruang lingkup pengaturan Perda
Bangunan Gedung di Kabupaten Pekalongan akan meliputi kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan
pemanfaatan, pelestarian, dan pem-bongkaran. Dengan ruang lingkup pengaturan
seperti itu, maka sasaran yang hendak dicapai melalui Perda Bangunan Gedung
adalah agar terwujud bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata
bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya, penyelenggaraan
bangunan gedung yang tertib sehingga menjamin keandalan teknis bangunan gedung
dari segi keselamatan,kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan,

serta kepastian

hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung di Kabupaten Pekalongan.

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik


Dalam , tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskanSesuai dengan ruang
lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan dan yang termasuk dalam tujuan
tujuan diatas dalam bagian Naskah Akademik Ini adalah :
1. Memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan Perda
Bangunan Gedung di Kabupaten Pekalongan;
2. Menyerap aspirasi masyarakat tentang substansi rancangan peraturan daerah
tentang Bangunan Gedung di Kabupaten Pekalongan;

3. Menggali dasar-dasar teoretik, yuridis, dan sosiologis untuk memberikan

argumentasi akademik tentang urgensi pembentukan peraturan daerah tentang


Bangunan Gedung

di

Kabupaten Pekalongan, sehingga dapat menjadi

landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan daerah tersebut.


Dalam tujuan diatas telah memuat unsur unsur, yaitu :
1)

Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,


bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan
tersebut.

2)

Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan


pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3)

Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis


pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.

4)

Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,


jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah.

Sedangkan Kegunaannya ialah sebagai berikut :


a. Sebagai bahan masukan bagi pembuatan rancangan Perda tentang Bangunan
Gedung di Kabupaten Pekalongan;
b. Sebagai bahan awal bagi pihak-pihak yang berkepentingan agar dapat memberikan
masukan bagi terbentuknya

Perda

tentang

bangunan Gedung di Kabupaten

Pekalongan.
Juga telah memenuhi unsur sebagai acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

D. Metode Penelitian
Dalam metode penyusunan naskah akademik sendiri metode metode yang
digunakan adalah metode Yuridis Empiris dan Metode Yuridis Normatif .Dimana
metode Yuridis Empiris dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama)
data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya.
Data yang terkait dengan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan
didapatkan melalui studi pustaka terhadap :
a. peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah di
bidang kewenangan pemerintahan daerah, kelembagaan perangkat daerah, penataan
ruang, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan penyelenggaraan bangunan gedung,
serta peraturan perundang-undangan yang relevan lainnya;
b. kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung, baik yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan
dan juga ;
c. Studi pustaka terhadap berbagai hasil penelitian yang relevan
literatur-literatur lainnya yang terkait dengan

dan berbagai

penyelenggaraan bangunan gedung

dari berbagai sumber.


Dan juga dalam kalimat Pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
dan kebijakan dilakukan melalui

statute approach

terhadap peraturan-peraturan

hukum positif dan dokumen-dokumen hukum yang terkait lainnya. Sementara itu,
pengkajian terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat akan peraturan terkait dengan
bangunan gedung dilakukan melalui analisis sosial terhadap pandangan, persepsi,
keinginan, dan harapan masyarakat yang terekam dari hasil-hasil penelitian dan hasilhasil FGD yang telah dilakukan
Sedangkan metode Yuridis Normatifnya dapat ditemukan dalam kalimat Focus
group discussion yang melibatkan berbagai stakeholder, baik yang berasal dari unsur
pemerintahan, dunia usaha, akademisi, LSM, pers, maupun tokoh masyarakat dan
masyarakat pada umumnya. Melalui FGD ini diharapkan ditemukan kecenderungan-

kecenderungan dan pola atas suatu isu secara kolektif yang terkait dengan pengaturan
tentang

bangunan gedung

yang menggambarkan apa yang diinginkan oleh

masyarakat Kabupaten Pekalongan.

BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritik
Undang undang no.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
undangan menyaratkan untuk adanya kajian teoritik yang menjadi dasar
dibentuknya perundang undangan dan berhubungan pula terhadap materi itu. Dalam
kajian teoritik Naskah Akademik ini, dititikberatkan pada hubungan antara bangunan
gedung dengan Hak Asasi Manusia.
Abraham Maslow dalam karyanya yang berjudul, Theory Of Human
Motivation yang menghasilkan konsep, Piramid Kebutuhan Maslow. Konsep ini
menjelaskan bahwa kebutuhan manusia bertingkat yang dimulai dari bagian dasar
yang harus dipenuhi dan berlanjut ke tingkat atas setelah kebutuhan dibawahnya
terpenuhi. Mulai dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan
keamanan, kebutuhan dicintai, kebutuhan percaya diri, kebutuhan aktualisasi diri.
Bangunan dan gedung dalam konsep ini merupakan kebutuhan fisiologis, yaitu
kebutuhan yang paling mendasar dan utama untuk segera dilaksanakan.
Di dunia Internasional, konsep tentang bangunan dan gedung sebagai
pemenuhan dalam HAM diatur dalam International Covenant on civil and Political
Rights (ICCPR),dan International Covenant on Economic , Social, and Cultural
Rights (ICESCR) pada tahun 1966. Kemudian melalui Resolusi Majelis Umum PBB
No. 41/128 tanggal 4 Desember 1986 di sepakati Declaration on The Rights to
Development. Ketiga peraturan Internasional tersebut memiliki konsep secara vertical

saja antara penguasa dengan rakyat, kemudian Jimly Asshiddiqie memperkenalkan


konsep secara horizontal, yaitu pelaku pelanggaran HAM bisa dari kelompok tertentu.
HAM bersifat inheren (melekat pada manusia), indivisible (tak dapat dibagi),
interdependent (saling tergantung), dan fundamental (mendasar). Oleh karena itu
konsep konsep diatas yang berbicara mengenai HAM yang berhubungan dengan
bangunan sangatlah tepat menjadi dasar dalam pembentukan Naskah Akademik ini
dan sejalan dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Perancangan Peraturan Perundang
undangan. Dasar dari pembentukan Naskah Akademik RAPERNDA Kabupaten
Pekalongan tentang Bangunan dan Gedung ialah UU No.28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung.
UU Bangunan Gedung yang dimaksudkan untuk mengatur penyelenggaraan
bangunan gedung agar terwujud bangunan gedung yang fungsional, serasi dan selaras
dengan lingkungan, dan terjamin keandalan teknisnya dari segi keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan, serta kepastian hukum, tidak lain ditujukan
untuk pada akhirnya mewujudkan Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan atas.
Di sinilah peran hukum tertulis, yaitu UU Bangunan Gedung dan peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan menjadi penting untuk mengarahkan baik
aktivitas negara dan masyarakat dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan
pembangunan gedung demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Melalui semua dasar teori diatas maka diperlukan peraturan daerah sebagai
salah satu bentuk peraturan perundang-undangan tingkat lokal.

Pembentukannya

harus memperhatikan kebutuhan masyarakat (social need), kondisi masyarakat


(social condition), dan modal/kekayaan masyarakat (social capital), agar tidak terjadi
penolakan dari masyarakat, karena substansi peraturan daerah telah sesuai dengan apa
yang menjadi kebutuhan, kondisi, dan modal yang dimiliki masyarakat.
Setelah mengetahui semua konsep teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Kajian Teoritik Naskah Akademik ini telah sesuai dengan UU no.12 tahun 2011
tentang Perancangan Peraturan Perundang undangan.

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma


Dari apa yang telah diuraikan dalam Naskah Akademik Kabupaten
Pekalongan tentang Bangunan dan Gedung, dapatlah disimpulkan ada berbagai
macam asas yang melandasi norma-norma yang ada di dalamnya. Asas-asas tersebut
meliputi:
a. asas kemanfaatan;
b. asas keselamatan;
c. asas keseimbangan;
d. asas kelestarian dan keberlanjutan ekologi;
e. asas keterpaduan;
f. asas keadilan;
g. asas keterbukaan dan peran serta; dan
h. asas akuntabilitas.
Asas asas ini merupakan hasil dari penelitian dan pemikiran yang sudah
mempertimbangkan semua factor dari sebuah bagunan dan gedung. Dengan demikian
kajian terhadap asas asas dalam Naskah Akademik ini telah sesuai dengan UU no.12
tahun 2011 tentang Perancangan Peraturan Perundang undangan.

C. Praktik Penyelenggaraan Bangunan Gedung di Pekalongan


Fakta yang didapat, yaitu peraturan daerah yang berkaitan dengan penataan
ruang yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2011 dan Guna kelancaran pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 1999, maka disusun Keputusan
Bupati Pekalongan Nomor 3 Tahun 2001, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 10 Tahun 1999, tentang Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan, tanggal 10 Maret 2001. Guna kelancaran pelaksanaan
Peraturan Daerah tersebut, maka diterbitkan Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 45
Tahun 2006, tanggal 30 Desember 2006 tentang Standar Harga Bangunan untuk

10

Penentuan Biaya Izin Mendirikan Bangunan Kabupaten Pekalongan, termasuk


menentukan standar harga untuk rehabilitasi/perbaikan, merombak bangunan.
Semua hal di atas merupakan peraturan yang cenderung mengatur tentang
retribusi untuk mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan-persyaratan teknis
untuk membangun masih kurang detail. Sehingga dalam pemberian ijin IMB yang
seharusnya memenuhi beberapa persyaratan, namun dalam kenyataannya terdapat
berbagai ketidaksesuaian dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Hal
ini antara lain tercermin dari fakta-fakta berikut:
1. Pembangunan gedung tidak memiliki IMB terutama di daerah perdesaan;
2. Pembangunan bangunan gedung yang telah memiliki IMB, tetapi secara teknis baik
lokasi maupun kualitas bangunannya tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
3. Ada jenis bangunan gedung tertentu yang berdasarkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dapat dikategorikan sebagai benda cagar
budaya (misalnya rumah jengki), ternyata belum ditetapkan sebagai benda/bangunan
cagar budaya oleh Pemerintah Daerah. Karena itu, secara hukum perlindungan
terhadap keberadaan bangunan jenis tersebut belum terjamin.
4. Sebagian besar bangunan gedung kurang diperhatikan pemenuhan persyaratan
teknisnya.
Munculnya berbagai persoalan di atas disebabkan oleh beberapa hal,
disebabkan oleh beberapa hal, seperti keterbatasan keberadaan peraturan, sosialisasi
peraturan yang kurang, pengawasan dan penegakan hukum yang kurang efektif, serta
kepatuhan masyarakat yang masih rendah.
Naskah Akademik ini telah sesuai dengan UU no.12 tahun 2011 tentang
Perancangan Peraturan Perundang undangan karena ada kajian terhadap praktik
penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.

11

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Perda Bangunan Gedung terhadap


Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Beban Keuangan
Daerah
1. Implikasi Penerapan Perda Bangunan Gedung terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat
Mengacu pada UU Bangunan Gedung, maka Perda Bangunan Gedung
Kabupaten Pekalongan di dalamnya akan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut:
a. fungsi dan klasifikasi bangunan gedung;
b. persyaratan bangunan gedung;
c. penyelenggaraan bangunan gedung;
d. kelembagaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung;
e. peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung; dan
f. sanksi apabila terjadi pelanggaran terhedap ketentuan Perda bangunan Gedung.
Dengan ruang lingkup yang bertambah luas, maka keterlibatan Pemerintah
Daerah yang semula longgar akan menjadi lebih intensif. Keterlibatan ini terlihat dari
adanya

kewenangan

Pemerintah

Daerah

dalam

hampir

semua

tahapan

penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana telah disebutkan di atas yang


diselenggarakan oleh masyarakat
Perubahan ini menuntut pemerintah untuk merubah kualitas pelayanan untuk
memfasilitasi masyarakat, tegas dan konsisten dalam menegakan Peraturan Daerah
untuk menjamin kepastian hokum, serta masyarakat dituntut untuk lebih perduli dan
taat pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Perda Bangunan Gedung secara
konsisten.
2. Dampak Perda bangunan Gedung terhadap Beban Keuangan Daerah
Dampak Perda bangunan Gedung terhadap keuangan daerah akan meliputi dua
hal, yaitu bertambahnya sumber pendapatan daerah dan beban keuangan daerah.

12

Penambahan sumber pendapatan daerah disebabkan karena Perda ini mengatur


dan menegaskan kembali perlunya Izin Mendirikan Bangunan bagi setiap aktivitas
pendirian bangunan. Pelayanan perizinan ini akan berimplikasi pada pemasukan
keuangan daerah yang bersumber dari retribusi yang ditarik dari masyarakat.
Di samping dampak pada pemasukan keuangan daerah, Perda Bangunan juga
akan berdampak pada penambahan beban keuangan daerah. Penambahan beban
keuangan daerah ini disebabkan karena dalam Perda Bangunan ini diatur berbagai
aktivitas yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung, yang
kesemuanya berkonsekuensi pembiayaan. Seperti biaya untuk pendataan bangunan
gedung dan Tim Ahli Bangunan Gedung.
Dampak terhadap masyarakat dan terhadap beban keuangan daerah dirasa
cukup memenuhi dan sudah tepat seperti pada UU No.12 tahun 2011 tentang
Perancangan Peraturan Perundang undangan.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
TERKAIT

Setiap bangunan gedung, apapun karakteristik fungsinya, harus memenuhi


persyaratan administratif dan persyaratan teknis.Persyaratan administratif bangunan
gedung meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan
gedung, dan izin mendirikan bangunan. Menurut Pasal 11 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, setiap bangunan gedung harus
didirikan pada tanah yang status lepemilikannyajelas,baik milik sendiri maupun milik
pihak lain. Dengan demikian, maka norma yang terdapat dalam Perda bangunan
gedung yang terkait dengan persyaratan administratif harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan, apakah itu, Undang-undang

13

No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, PP No. 16 Tahun
2004 tentang Penatagunaan Tanah, dan sebagainya.
Terkait dengan persyaratan Izin Mendirikan Bangunan, berarti pengaturan mengenai
bangunan gedung dalam sebuah perda juga harus memperhatikan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan
Bangunan dan juga perda lain yang mengatur tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Menurut Permendagri tersebut IMB merupakan instrumen yang dapat dimanfaatkan
untuk:
a. pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin keandalan
bangunan dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;
c. mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata bangunan dan
serasi dengan lingkungannya; dan
d. syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan.
Berdasarkan Pasal 4 Permendagri tersebut, pemberian IMB didasarkan pada peraturan
daerah tentang izin mendirikan bangunan dan RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK.
Dengan demikian, maka Perda Bangunan Gedung juga akan berkaitan dengan Perda
lain yang mengatur tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan
persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan menurut UU
Bangunan Gedung meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan
gedung,arsitektur

bangunan gedung, dan

persyaratan

pengendalian

dampak

lingkungan. Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan teknis bangunan gedung diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung jo. Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 29/Prt/M/2006 Tentang Pedoman Persyaratan
Teknis Bangunan Gedung.
Perda Bangunan Gedung juga harus memperhatikan secara khusus terhadap bangunan
gedung eksisting yang ditetapkan sebagai cagar budaya.Hal ini karena menurut Pasal
38 (1) UU Bangunan Gedung, bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan
14

sebagai cagar budaya dilindungi dan dilestarikan. Terkait dengan apa yang dimaksud
dengan cagar budaya, maka perlu dirujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya (UU Cagar Budaya). Menurut Pasal 5 UU Cagar Budaya,
benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan olehPemerintah Daerah dan/atau
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan.
Ketika bangunan gedung didirikan dalam rangka penciptaan bangunan dengan fungsi
hunian, maka pembangunan bangunan gedung harus memperhatikan norma-norma
yang ditetapkan bagi keberadaan sebuah perumahan dan kawasan permukiman. Pasal
3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan
Permukiman secara tegas menentukan bahwa perumahan dan kawasan permukiman
diselenggarakan untuk:
a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman;
b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk
yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan
permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan
kepentingan, terutama bagi MBR;
c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan
perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di
kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;

15

d. memberdayakan

para

pemangku

kepentingan

bidang

pembangunan

perumahan dan kawasan permukiman;


e. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
f. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan
berkelanjutan.
Dengan demikian, pengaturan Perda Bangunan Gedung yang berhubungan dengan
pembangunan bangunan gedung yang dimaksudkan untuk menciptakan perumahan
baik yang berbentuk rumah tunggal, rumah deret, maupun rumah susun, dan kawasan
permukiman harus mengacu pada tercapainya tujuan sebagaimana telah dicantumkan
di atas. Khusus untuk pembangunan perumahan yang berbentuk rumah susun, maka
harus diperhatikan Undang Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU
Rumah Susun). Menurut Pasal 1 butir 1 UU Rumah Susun, yang dimaksud dengan
rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional
dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian,
yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanahbersama.
Penyelenggaraan pembangunan rumah susun wajib memisahkan rumah susun
atassatuan dan bagian-bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh
instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang memberi kejelasan atas :
a. batas satuan yang dapat dipergunakan-secara terpisah untuk perseorangan;
b. batas dan uraian atas bagian-bersama dan benda-bersama yang menjadi
haknya masing-masing satuan;
c. batas dan uraian tanah-bersama dan besarnya bagian yang menjadi haknya
masing-masing satuan.
Bangunan gedung yang merupakan wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi tidak dapat
dipisahkan dari ruang di mana bangunan gedung itu berada, karena dalam konteks
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan

16

Ruang), pembangunan gedung merupakan salah satu tahapan aktivitas pemanfaatan


ruang. Keberadaan bangunan gedung dalam ruang tertentu bukan hanya sebatas
beradanya, tetapi juga saling berpengaruh secara bertimbal balik dengan ruang dan
lingkungan di mana bangunan gedung itu berada.Karena itu, pembangunan sebuah
bangunan gedung tidak dapat dilepaskan dari tujuan membangunan tata ruang yang
selaras, serasi dan seimbang dengan lingkungan hidup.Artinya, pembangunan sebuah
bangunan gedung harus sejalan dengan perencanaan ruang yang telah ditetapkan.
Sejalan dengan itu, UU Penataan Ruang menegaskan dalam Pasal 3 bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Agar penyelenggaraan bangunan gedung dalam ruang tertentu dapat mewujudkan
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dengan lingkungan alam, maka aktivitas
pembangunan sebuah bangunan gedung sejak awal perencanaannya harus dilakukan
dengan memperhatikan daya dukung dan daya tamping lingkungan agar kelestarian
fungsi lingkungan dapat terpelihara. Sehubungan dengan itu, setia pembangunan
sebuah bangunan gedung harus memperhitungkan dampak yang mungkin terjadi yang
akan menimpa lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan juga Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(PP AMDAL) menegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Sementara itu, untuk
kegiatan yang tidak berdampak penting wajib memiliki Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL).
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting menurut Pasal 23 UPPLH
terdiri atas:

17

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;


b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.
Masih terkait dengan upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan, maka
penyelenggaraan bangunan gedung juga harus memperhatikan kawasan yang lindung.
Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung (Keppres Kawasan Lindung), kawasan-kawasan yang dimasukkan ke dalam
kawasan lindung meliputi :
1. Kawasan yang Memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya.
2. Kawasan Perlindungan Setempat.
3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya
4. Kawasan Rawan bencana Alam.
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya terdiri dari :

18

1. Kawasan Hutan Lindung.


2. Kawasan Bergambut.
3. Kawasan Resapan Air.
Sementara itu, kawasan perlindungan setempat terdiri dari:
1. Sempadan Pantai.
2. Sempadan Sungai.
3. Kawasan Sekitar Danau/Waduk.
4. Kawasan Sekitar Mata Air.
Sedangkan sawasan suaka alam dan cagar budaya terdiri dari :
1. Kawasan Suakan Alam.
2. Kawasan Suaka Alam laut dan Perairan lainnya.
3. Kawasan pantai Berhutan Bakau.
4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.
Menurut Pasal 2 Keppres Kawasan Lindung, pengelolaan kawasan lindung tersebut
ditujukan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Di samping harus memperhatikan tata ruang, lingkungan, dan kawasan lindung dalam
rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan, penyelenggaraan bangunan gedung
juga harus memperhatikan keselamatan orang yang menempati bangunan gedung
maupun orang yang berada di sekitarnya. Kebutuhan akan keselamatan ini begitu
mengkhawatirkan apabila dihubungkan dengan ancaman akan bahaya bencana yang
dapat saja mengena pada bangunan fisik gedung, sehingga menyebabkan
roboh/runtuh. Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana (UU Bencana) dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP Bencana), dari
aspek sumbernya bencana dapat dikategorikan ke dalam bencana alam, bencana non

19

alam, dan bencana sosial. Menurut Pasal 4, penanggulangan bencana antara lain
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana
dan juga menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu,

terkoordinasi,

dan

menyeluruh.

Sehubungan

dengan

itu,

maka

penyelenggaraan bangunan gedung juga harus memperhatikan daerah rawan bencana


dan persyaratan teknis yang tahan bencana.
Penyelenggaraan bangunan gedung secara jelas adalah pekerjaan konstruksi, dengan
demikian maka proses pembangunan sebuah bangunan gedung harus tunduk juga
pada pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jasa
konstruksi yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Komentar : dasar hukum yang dijadikan acuan untuk membuat Perda ini menurut
kami sudah cukup lengkap. Karena sudah memuat kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan
Undang-undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundangundangan lain. Kemudian Peraturan Perundang-undangan ini sudah sesuai dan
mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai subtansi atau materi yang akan diatur. Dan Perda ini sudah mempunyai
tingkat sinkronasi dan harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada
serta posisi dari Undang-undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih penagturan. Dengan demikian diharapkan nantinya
Perda ini tidak akan bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang
ada, sehinga tidak terjadi tumpah tindih mengeani pengaturan.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Dalam bab IV pada naskah akademik, sesuai dengan lampiran satu mengenai
teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah provinsi, atau
peraturan daerah kabupaten/kota dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, yang akan dimuat dalam bab IV ini adalah landasan

20

filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Pada naskah akademik raperda
kabupaten pekalobgan tentang bangunan gedung secara format penyusunan naskah
akademik telah sesuai dengan panduan atau teknik penyusunan yang ada pada UU
No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksudkan dengan landasan filosofis adalah pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran dalam cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari pancasila dan pembukaan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam naskah akademik
raperda kabupaten pekalongan ini yang dimuat sebagai landasan filosofis adalah
"Bahwa bangunan gedung sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi merupakan
kebutuhan yang mendasar bagi manusia karena berfungsi sebagai tempat manusia
melakuk kegiatannya." Secara pandangan hidup dan, maksud dari hendak
dibentuknya perda kabupaten pekalongan tentang bangunan gedung ini adalah
memenuhi salah satu kesejahteraan sebagaimana yang dikenal dalam konsep negara
kesejahteraan (wellfare state) yaitu pemenuhan kesejahteraan bagi warganya. Konsep
ini juga tertuang dalam alenia empat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945, yaitu "memajukan kesejahteraan Umum." Jadi jika mengacu pada
pengertian yang tertera pada UU No.12 tahun 2011 tersebut mengenai apa yang
dimaksud dengan landasan filosofis maka tidaklah bertentangan landasan filosofia
atau pertimbangan filosifis yang diangkat dalam raperda bangunan gedung ini, karena
disebutkan bahwa bangunan gedung merupakan kebutuhan mendasar manusia, hal ini
merupakan penggambaran maksud yang jelas dari pemerintah kabupaten pekalongan
yang secara serius ingin meningkatkan kesejahteraan warganya dalam aspek
penyelenggaraan bangunan gedung yang kemudian akan menunjukkan bahwa
pemerintah pekalongan berusaha menjamin kesejahteraan warganya sesuai dengan
amalan sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Landasan sosiologis menurut lampiran UU no 12 tahun 2011 yaitu
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empirik mengenai perkembangan masalah dan
kebutuhan masyarakat dan negara.

Dalam naskah akademik raperda kabupaten

pekalongan tentang bangunan gedung, yang dijadikan sebagai landasan sosiologis


21

adalah "bahwa bangunan gedung baik konstruksi maupun tata letaknya harus dapat
memberikan kenyamanan bagi kehidupan masyarakat". Disebutkan dalam naskah
akademik ini pada bagian identifikasi masalah pada bab pendahulan bahwa bangunan
gedung mempunyai peran dalam pembentukan watak dan merupakan perwujudan
produktifitas dan jati diri manusia. Strategisnya peranan bangunan gedung secara
sosiologis ternyata tidak sejalan dengan realitas empirik yang ada baik dari aspek
tempat keberadaan maupun kualitas bangunan gedung masih banyak menunjukkan
permasalahan, oleh karena itu melalui raperda bangunan gedung ini, pemerintah
kabupaten pekalongan berusaha untuk mengikis permasalahan-permasalahan yang
ada mengenai bangunan (baik tata letak maupun konstruksinya) pada kabupaten
pekalongan. Permasalahan itu diantaranya

terdapat dalam aspek ketidaksesuaian

dengan rencana tata ruang yang ditetapkan, namun dalam aspek ini apakah akan
dijamin kepastian hukum mengenai hak-hak oleh pemilik bangunan yang ternyata
tidak sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan? Menurut kami, salah satu
kegunaan dari raperda ini adalah menjamin kepastian hak-hak tersebut, raperda ini
kemudian diarahkan sebagai perda yang mempunyai fungsi penetapan yang
diharapkan bisa menjamin kepastian hukum bagi masyarakat serta keamanan dan
kenyamanan masyarakat banyak, perda ini merupakan perwujudan upaya pemerintah
kabupaten pekalongan untuk mengatur hal-hal teknis segala aktifitas penyelenggaraan
bangunan gedung termasuk juga didalamnya pembongkaran/penggusuran yang marak
terjadi di banyak daerah khususnya daerah pekalongan.
Yang kemudian menunjang landasan sosiologis ini adalah landasan ekologis
yang juga disebutkan dalam naskah akademik raperda ini yang secara utuh
menyebutkan bahwa penataan bangunan gedung perlu dilakukan sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dan disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Bahwa dalam upaya pengadaan kenyamanan bagi masyarakat perlu
diperhatikan juga aspek ekologis yakni mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
Setelah itu yang terakhir akan dibahas dalam bab IV naskah akademik ini
adalah landasan yuridis, landasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
22

yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan baru. Yang


menjadi alasan yuridis di raperda ini adalah bahwa di kabupaten pekalongan sampai
saat ini velum ada perda yang mengatur bangunan gedung sebagai dasar bagi upaya
penataan bangunan gedung. Landasan yuridis ini sejalan dengan apa yang ada dalam
pengertian landasan yutidis diatas, yaitu untuk mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan peraturan yang telah ada, karena disebutkan dalam bab
pendahuluan dalam naskah akademik ini, bahwa sebelumnya aturan mengenai
bangunan gedung hanya diatur pada peraturan terkait izin mendirikan bangunan
(IMB). Diperlukan legalitas bangunan gedung yang terkait dengan perizinan IMB.
Namun peraturan tersebut dinilai kurang
seharusnya

karena mekanisme pemberian IMB

didahului dengan pengecekan kebenaran baik dari segi tata ruang,

kepemilikan dan kualitas. Tetapi dalam praktik, hal pendahuluan dalam IMB tersebut
terbukti tidak efektif karena tidak sedikit dijumpai bangunan-bangunan yang berdiri
tanpa memiliki IMB. Sehingga menurut kami, pertimbangan pengisian kekosongan
hukum ini telah tepat. Selain itu dalam pengisian kekosongan hukum diperlukan juga
memperrtimbangkan aturan lain yang telah ada, dalam naskah akademik ini
pertimbangan itu telah terpenuhi dengan mempertimbangkan peraturan mengenai
IMB tadi, serta secara ruang lingkup, juga disebutkan pertimbangan atas UU No. 26
tahun 2007 tentang penataan ruang. Pembangunan gedung merupakan salah satu
tahapan aktifitas pemanfaatan ruang.
Dengan demikian, kesimpulan dari kami mengenai landasan-landasan yang
dikemukakan dalam bab empat naskah akademik ini, kesemuanya telah memenuhi
syarat dan sesuai karena telah didahului oleh pertimbangan-pertimbangan sesuai dari
aspek yang dijadikan acuan sebagaimana yang telah disebutkan dalam UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu Landasan
Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis.

BAB V

23

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN PERDA BANGUNAN GEDUNG

A. Arah dan jangkauan pengaturan


Sesuai dengan yang tertera pada lampiran satu mengenai teknik penyusunan
naskah akademik rancangan undang-undang, peraturan daerah provinsi, atau
peraturan daerah kabupaten/kota, yang dimaksudkan untuk dimuat dalam bab 5 UU
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah
jangkauan arah pengaturan dan ruang lingkup materi undang-undang, peraturan
daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota. Dalam hal ini pada naskah
akademik rancangan peraturan daerah (raperda) yang kami analisis yaitu naskah
akademik raperda kabupapaten pekalongan tentang bangunan gedung telah sesuai
secara hierarkis sesuai dengan apa yang tertera dalam lampiran UU No. 12 tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Adapun secara isi, ada beberapa hal yang harus pula diperhatikan dalam
penyusunan bab 5 naskah akademik ini. Sebelum mengemukakan mengenai ruang
lingkup materi muatan, pada bab ini harus dirumuskan

sasaran yang akan

diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Pada naskah akademik raperda


kabupaten pekalongan tentang bangunan gedung telah dimuat sasaran, arah dan
jangkauan materi yang kemudian akan memberikan batasan pada penguraian materi
muatan rancangan undang-undang dan mengembalikan naskah akademik ini kembali
kepada fungsi akhirnya yaitu mengarahkan ruang lingkup materi muatan rancangan
undang-undang. Dalam naskah akademik raperda kabupaten pekalongan tentang
bangunan ini dibagian sasaran yang akan diwujudkan pada dasarnya menekankan
tentang hal penyelenggaraan gedung yang diharapkan akan mewujudkan tiga sasaran,
yaitu:
1. Bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung.

24

2. Jaminan keandalan teknis bangunan gedung atas keselamatan, kesehatan,


kenyamanan dan kemudahan yang pada akhirnya akan mewujudkan tertib
penyelenggaraan bangunan gedung.
3. Kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Sesuai dengan apa yang ditekankan hendak diwujudkan dalam sasaran
tersebut maka selanjutnya akan ditentukan arah dan jangkauan dari naskah akademik
raperda ini mengenai apa-apa saja yang akan dimasukkan dalam uraian materi muatan
raperda yang akan dibentuk. Terkait hal itu, raperda bangunan gedung ini diarahkan
untuk mengatur keseluruhan aktifitas penyelenggaraan bangunan gedung yang
meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan
pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran gedung. Lalu mengenai jangkauan, apa
saja yang akan dijangkau atau terkena oleh aturan yang akan dibentuk oleh raperda
ini? Dalam naskah akademik raperda ini disebutkan bahwa jangkauan dari raperda ini
adalah seluruh bangunan yang ada di kabupaten pekalongan termasuk dalam hal ini
bangunan-bangunan yang memiliki fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan
budaya maupun fungsi khusus. Dalam konteks waktu perda ini akan menjangkau
aktifitas penyelenggaraan bangunan gedung terutama yang akan dilakukan dan yang
telah dilakukan dengan beberapa pengecualian. Dengan kata lain, jangkauan naskah
akademik raperda ini disusun dengan pendekatan wilayah dan waktu yang kemudian
akan memberikan batasan mengenai obyek yang akan diatur dalam muatan materi
perda yang akan dibentuk ini, yaitu bangunan gedung. Namun, diketahui juga bahwa
dalam rancangan akademik harus disertakan ketentuan mengenai sanksi, sehingga
menurut kami kurang tepat apabila dalam menyebutkan jangkauannya dalam konteks
waktu naskah akademik ini juga dimaksudkan untuk menjangkau "penyelenggaraan
bangunan gedung pada masa lampau dengan pengecualian," karena apabila yang
termuat dalam ketentuan sanksi dari naskah ini adalah sanksi pidana maka jelas saja
tidak

diperlukan

pengecualian

apabila

secara

keseluruhan

ada

aktifitas

penyelenggaraan bangunan gedung yang bermasalah atau bertentangan dengan perda


ini sebelum perda ini disahkan, karena itu jelas akan membuat berlakunya asas
retroaktif yang dilarang dan tentu saja menodai asas hukum pidana yang paling utama
yaitu asas legalitas. Pernyataan dalam jangkauan naskah akademik ini menjelaskan
keraguan oleh perancang perda dalam membentuk peraturan perundang-undangan
yang dikehendaki.
25

Selanjutnya, setelah pembahasan sasaran yang dikehendaki serta arah dan


jangkauan perda dalam naskah akademik raperda bab V, akan dibahas mengenai
muatan materi yang berdasarkan lampiran satu UU No. 12 Tahun 2011 harus
didasarkan pada ulasan yang dikemukakan di bab sebelumnya.

B. Ruang Lingkup Materi Muatan Perda Tentang Bangunan Gedung


Pokok-pokok materi muatan yang diatur dalam Perda tantang Bangunan
Gedung Kabupaten Pekalongan meliputi beberapa hal, yaitu :
1. Ketentuan Umum
Bagian ini memuat rumusan akademik mengenai berbagai pengertian istilah,
atau frasa yang digunakan dalam pengaturan perda.
2. Materi yang akan diatur dalam Perda tentang Bangunan
Lingkup materi yang akan diatur dalam Perda tentang bangunan terdiri dari
atas beberapa materi pokok, yaitu :
a. Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung
b. Persyaratan bangunan gedung
c. Penyelenggaraan bangunan gedung
d. Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung
e. Pembinaan dalam Penyelengggaraan Bangunan Gedung
3. Ketentuan Sanksi
Dalam ketentuan sanksi, Peraturan Daerah ini memiliki 2 macam sanksi yang
dapat diberikan sebagaimana disebutkan dalam naskah akademik rancangan peraturan
daerah (raperda), yaitu sanksi administrative dan sanksi pidana sesuai pelanggaran
yang dilakukan, yang mana telah dimuat dalam UU No. 12 Tahun 2011. Sanksi
dikenakan kepada pemilik dan/atau pengguna yang melanggar ketentuan Peraturan
Daerah, dan untuk sanksi pidana wajib mengadakan penyidikan terlebih dahulu sesuai
ketentuan yang berlaku.
26

4. Ketentuan Peralihan
Bagian ini menjelaskan tentang peralihan Perda yang berlaku sebelumnya ke
Perda yang baru akan diberlakukan. Sesuai yang disebutkan dalam Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), salah satu yang diatur yaitu Permohonan
IMB yang telah masuk/terdaftar sebelum berlakunya peraturan daerah ini, tetap
diproses sesuai peraturan daerah sebelumnya. Dalam ketentuan peralihan juga
menjelaskan tentang peralihan fungsi bangunan gedung, pemilik bangunan yang
belum memiliki IMB, bangunan gedung yang sudah memiliki IMB tetapi tidak
memiliki SLF secara bertahap perlu mengajukan permohonan SLF. Penjelasan
lengkap mengenai ketentuan peralihan telah dijelaskan di Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sesuai dengan UU No.12 tahun 2011.

BAB VI
PENUTUP

Dalam Bab ini terdapat penutup yang memuat Simpulan ,Saran dan Juga
daftar pustaka dari Naskah Akademik yang ada ,dimana Simpulan yang seharusnya
termuat dalam Naskah akademik harus memuat Simpulan merupakan rangkuman
pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori
dan asas yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.Dalam Simpulan Naskah
akademik ini telah memenuhi unsur unsur yang ada dalam pembuatan Simpulan itu
sendiri.
Sedangkan untuk Saran walaupun telah ada patokan yang jelas, yakni saran
merupakan uraian yang memuat :
1. perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu peraturan perundangundangan atau peraturan perundang-undangan di bawahnya;
2. rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang
dalam Program Legislasi Nasional atau Rancangan Peraturan Daerah dalam Program
Legislasi Daerah; dan

27

3. hal lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah


Akademik.

28

You might also like