You are on page 1of 3

Patogenesis dan patofisiologi ARDS

1. Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium microvaskuler mangelamai
kerusakan

akibat

adanya

endotoksin

akibat

sepsis

yang

dapat

mengakibatkan ARDS, kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan


peningkatan permeabilitas dari barier alveolar dan kapiler sehingga cairan
dapat masuk kedalam alveolar. Semakin banyak alveolar yang rusak maka,
prognosis penyakit ini semakin buruk. Secara normal epitel alveolar
terdapat 2 jenis yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit tipe II.
Penyusun alveolar yang utama pada bagian permukaannya adalah sel
pneumosit tipe I sebesar 90%. Memiliki bentuk pipih dan berperan dalam
pertukaran gas yang terjadi secara difusi. Sedangkan sel pneumosit tipe II
menyusun 10 % permukaan alveolar dan berbentuk kuboid, sel pneumosit
tipe

II

berperan

aktivitas

metabolit

intraseluler,

transport

ion,

mempproduksi surfaktan, dan lebih resisten terhadap kerusakan (Subagio


dan Fitrie, 2012).
Derajat kerusakan sel epitelium yang berat dapat mempersulit
mekanisme perbaikan paru, sehingga mengakibatkan fibrosis. Pada saat
fase akut kerusakan dapat berakibat pada pengelupasan sel epitel brankial
dan alveolar, selanjutnya terjadi pembentukan membran hialin yang kaya
protein pada bagian basal epitel yang rusak. Neutrofil akan masuk kedalam
kapiler endotel yang mengalami kerusakan dan jaringan interstisial akan
dipenuhi oleh cairan yang kaya akan protein. Mediator anti inflamasi,
interleukin-1, reseptor TNF, auto antibodi yang melawan interleukin 8 dan

10 akibat dari proses infeksi berfungsi untuk menjaga keseimbangan


alveolar (Subagio dan Fitrie, 2012).
2. Patofisiologi
Patofisiologi yang sering terjadi adalah edema paru interstisial
dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF), karena atelektasis
kongestif difus. Filtrasi cairan dipengaruhi oleh selisih tekanan osmotik
protein dan hidrostatik. Kerusakan pada alveolar dan endotel kapiler dapat
meningkatan permeabilitas kapiler-alveolar. Sehingga cairan kapiler
merembes dan berkumpul dapa jaringan interstisial, jika berlanjut maka
akan melebihi kapasitasnya dan masuk ke dalam rongga alveoli sehingga
alveoli menjadi kolaps dan compliance paru akan lebih menurun (Subagio
dan Fitrie, 2012).
Tekanan osmotik akan berubah ketika cairan merembes yang
mengandung protein dan sel darah merah. Akibat bercampurnya cairan
mengakibatkan surfaktan tidak dapat bekerja, fungsi surfaktan adalah
mencegah kolaps dari paru-paru sehingga paru akan menjadi kaku.
Keadaan ini akan memperburuk kondisi atelektasi yang terjadi.
Mikroatelektasis

akan

menyebabkan

shunting

intrapulmoner,

ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi(VA/Q) dan menurunnya


KRF akibatnya terjadi hipoksemia berat dan progesivitas pernafasan cepat
dan dalam. Shunting intrapulmoner dapat mengakibatkan curah jantung
menurun sebesar 40% (Subagio dan Fitrie, 2012).
Hipoksemia yang terjadi diikuti oleh asidemia akibat mekanisme
pertukaran gas yang terganggu. Pada penderita yang sembuh dapat
menunjukkan kelainan faal paru (Subagio dan Fitrie, 2012).
Daftar Pustaka

Subagio, Yusup S., Fitrie Rahayu S. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis


Invasif pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Jurnal
Respirasi Indonesia. Vol.32. No.1:1-8.

You might also like