You are on page 1of 22

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
LAPORAN KASUS
a)
Identitas Pasien
b)
Anamnesa
c)
Pemeriksaan Fisik
d)
Pemeriksaan Penunjang
e)
Resume
f)
Diagnosis
g)
Terapi
h)
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
i)
Prognosis
TINJAUAN PUSTAKA
ANALISA KASUS
DAFTAR PUSTAKA

1
2
2
2
4
10
12
13
13
13
14
14
25
27

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
No. Rekam Medik
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Agama
Status pernikahan
Suku bangsa
Dirawat yang ke
Tanggal pasien datang
Tanggal pemeriksaan

: 434896
: Ny. Y
: 44 tahun
: Perempuan
: Ibu rumah tangga
: Islam
: Bercerai
: Sunda
: Dua
: 24 April 2014
: 6 Mei 2014

ANAMNESA
Alloanamnesa ( anak pasien )
Keluhan Utama

: Pasien datang dengan kejang sejak 1 jam SMRS.

Keluhan Tambahan

: Pasien sering mengeluh sakit kepala,. Bicara cadel,


tangan dan kaki sebelah kanan sulit digerakan dan
kadang terasa kesemutan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS.
Kejang terjadi ketika pasien sedang tidur. Saat kejang pasien dalam keadaan tidak sadar, kedua
mata mendelik ke kanan, wajah sebelah kanan berkedut, tangan dan kaki sebelah kanan bergerak
kaku.
Sejak 3 tahun SMRS, pasien sering mengeluh sakit kepala,. Sakit kepala dirasakan hilang
timbul, dan biasanya hilang setelah minum panadol. Selain sakit kepala, pasien juga mengeluh
tangan sebelah kanan sering terasa lemas dan kesemutan. Setelah 4 bulan sering merasa sakit
kepala dan lemas pada tangan kanan, pasien mengalami kejang. Saat kejang, pasien sedang tidur,
pasien dalam keadaan tidak sadar, mata mendelik ke atas, wajah sebelah kanan berkedut, tangan
dan kaki sebelah kanan bergerak kaku. Kejang terjadi selama 10 menit dan berulang hingga 3
kali dalam 1 jam. Pasien pun tersadar kembali setelah kejang berhenti. Keesokan harinya, pasien
kembali kejang seperti hari sebelumnya dengan lama kejang 10 menit. Dari pagi hingga malam
pasien mengalami kejang berulang sebanyak 6 kali. Sehingga pada malam harinya anak pasien
membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit, kejang berhenti setelah di rawat sehari. Pasien
tersadar setelah dirawat di rumah sakit selam 3 hari. Saat tersadar bicara pasien menjadi cadel,
tangan dan kaki kanan terasa sulit digerakan. Saat dirawat inilah pasien terdiagnosis AIDS.
Kemudian dikonsulkan juga ke bagian penyakit dalam.
Setelah dirawat satu bulan, pasien diperbolehkan pulang, dan diberi obat minum untuk di
rumah., namun anak pasien lupa obat apa saja yang diminum. Selain itu pasien disuruh kontrol ke

bagian saraf dan penyakit dalam setiap bulan. Setelah 1 tahun kontrol, bicara pasien sudah
kembali normal, tidak cadel lagi. Tangan dan kaki sebelah kanan juga sudah dapat bergerak
normal dan pasien dapat berjalan kembali. Pasien pun berhenti kontrol ke bagian saraf dan
melanjutkan kontrol ke penyakit dalam. saja. Setelah 2 tahun pasien berhenti sendiri kontrol ke
penyakit dalam dan putus minum obat.
Setelah 5 bulan setelah putus obat, anak pasien mengaku ibunya sering mengeluh sakit
kepala. Sakit kepala dirasakan hampir setiap hari dan hilang timbul. Bila sedang sakit kepala
biasanya pasien selalu minum panadol untuk menghilangkan sakit kepalanya. Bila sudah minum
panadol, sakit kepala pasien hilang. Selain sakit kepala, pasien juga sering mengeluh terasa
kesemutan dan kaku pada tangan sebelah kanan. Keluhan dirasakan hilang timbul dalam dua
bulan terakhir ini. Pasien tidak pernah berobat ke dokter. Anak pasien menyangkal adanya demam
, mual, muntah, trauma, penurunan kesadaran atau pingsan sebelumnya.
7 bulan putus obat, pasien mengalami kejang kembali. Pasien pun di bawa ke RSPAD.
Saat tersadar, bicara pasien menjadi cadel, tangan dan kaki sebelah kanan sulit digerakan.
Pada saat anamesa dan pemeriksaan fisik, pasien sudah menjalani hari ke-13 pengobatan
di RSPAD. Pasien mengatakan tidak merasakan sakit kepala namun kelemahan pada tangan dan
kaki kanannya masih ada walaupun daerah siku sudah dapat mulai digerakan. Bicara masih
cadel.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi
Diabetes Melitus
Sakit jantung
Trauma
Sakit kepala sebelumnya

: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Disangkal
: Pasien sering mengalamI sakit kepala

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien.
Riwayat Kelahiran / Pertumbuhan / Perkembangan
Tidak ada kelainan.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS INTERNUS
Keadaan umum
Gizi

: Baik
: BB 40 Kg, TB 155 cm
BMI 16,6 ( underweight ) , normal BMI 18,5 24,9
Tanda-tanda vital
:
Tekanan darah kanan
: 100/70 mmHg
Tekanan darah kiri
: 100/70 mmHg
Nadi kanan
: 88x/menit
Nadi kiri
: 88x/menit
Pernafasan
: 20x/menit
Suhu
: 36.5oC ( per aksila )
Limfonodi
: Tidak teraba perbesaran

Jantung
Paru
Hepar
Lien
Ekstremitas

STATUS PSIKIATRI
Tingkah laku
Perasaan hati
Orientasi
Jalan fikiran
Daya ingat

: Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)


: Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/: Tidak teraba pembesaran, nyeri
: Tidak teraba pembesaran, nyeri
: Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
: Baik, wajar
: Euthym
: Baik
: Koheren
: Menurun

STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran
Sikap tubuh
Cara berjalan
Gerakan abnormal

: Kompos mentis; E4M6V5 GCS = 15


: Terlentang
: Pasien membutuhkan bantuan untuk berjalan
: Tidak ada

Kepala
Bentuk
Simetris
Pulsasi
Nyeri tekan

: Normosefali
: Simetris
: Teraba
: Tidak ditemukan

Leher
Sikap
Gerakan
Vertebra
Nyeri tekan

: Normal
: Normal
: Normal
: Tidak ditemukan

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk
:
Laseque
:
Kernig
:
Brudzinski I
:
Brudzinski II :

+
>700 / >700
<1350 / >1350
-/-/-

Nervus Kranialis
N. I ( Olfaktorius )
Daya penghidu

Normosmia / Normosmia

N. II ( Optikus )
Penglihatan
Pengenalan warna
Lapang pandang
Fundus

:
:
:

Baik / Baik
Baik / Baik
:
Baik / Baik (sesuai pemeriksa)
Tidak dilakukan

N. III ( Okulomotorius ), N. IV ( Troklearis ), N. VI ( Abdusen )


Ptosis
:
-/ Strabismus
:
-/ Nistagmus
:
-/ Exopthalmus
:
-/ Enopthalmus
:
-/ Gerakan bola mata
o Lateral
:
+/+
o Medial
:
+/+
o Atas lateral
:
+/+
o Atas medial
:
+/+
o Bawah lateral
:
+/+
o Bawah medial
:
+/+
o Atas
:
+/+
o Bawah
:
+/+
o Gaze
:
Baik
Pupil
o Ukuran pupil
: 3mm / 3mm
o Bentuk pupil
: bulat / bulat
o Isokor/anisokor
: isokor
o Posisi
: Sentral
o Reflek cahaya langsung
:+/+
o Reflek cahaya tidak langsung
:+/+
o Reflek akomodasi/konvergensi
:+/+
N. V ( Trigeminus )
Menggigit
Membuka mulut
Sensibilitas atas
Sensibilitas tengah
Sensibilitas bawah
Reflek masseter
Reflek zigomatikus
Reflek kornea
Reflek bersin

:
:
:
:
:
:
:
:
:

baik / baik
baik / baik
+/+
+/+
+/+
baik / baik
baik / baik
+/+
baik

N. VII ( Fasialis )
Pasif
Kerutan kulit dahi
Kedipan mata
Lipatan nasolabial
Sudut mulut

:
:
:
:

Simetris
Simetris
Simetris
Tajam

Aktif
Mengerutkan dahi
Mengerutkan alis
Menutup mata
Meringis
Menggembungkan pipi
Gerakan bersiul
Daya pengecapan lidah 2/3 depan
Hiperlakrimasi
Lidah kering
N. VIII ( Vestibulokoklearis )
Suara gesekan jari tangan
Mendengar detik jam
Tes Swabach
Tes Rinne
Tes Weber

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Simetris
Simetris
Simetris
Simetris
Simetris
Simetris
Baik
Tidak ada
Tidak ada

: +/+
: +/+
: Sama seperti pemeriksa
:+/+
: Tidak ada lateralisasi

N. IX (Glossofaringeus)
Arkus pharynx
Posisi uvula
Daya pengecapan lidah 1/3 belakang
Reflek muntah
N. X ( Vagus )
Denyut nadi
Arkus pharynx
Bersuara
Menelan

: Teraba, reguler
: Simetris
: Disatria
: Baik

N. XI ( Aksesorius )
Memalingkan kepala
Sikap bahu
Mengangkat bahu

: Baik
: Simetris
:+/+

: Simetris
: Di tengah, tidak deviasi
: Baik
:+

N. XII (Hipoglosus)
Menjulurkan lidah
Kekuatan lidah
Atrofi lidah
Artikulasi
Tremor lidah
MOTORIK
Gerakan

: Tidak deviasi
: Baik
: Tidak ditemukan
: Kurang jelas
: Tidak terdapat tremor lidah

Terbatas
Terbatas

Bebas
Bebas

Kekuatan :

Tonus

Normotonus
Normotobnus

Normotonus
Normotonus

Bentuk

Eutrofi
Eutrofi

Eutrofi
Eutrofi

1
2

1
2

2
2

1
2

5
5

5
5

REFLEKS FISIOLOGIS
Reflek Tendon
Reflek biceps
:
Reflek triceps
:
Reflek patella
:
Reflek Achilles :

+ / ++
+ / ++
+ / ++
+ / ++

Reflek periosteum

Tidak dilakukan

Reflek permukaan
Dinding perut
Reflek kremaster
Reflek sphincter ani

:
:
:

+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

REFLEKS PATOLOGIS
Hoffman Trommer
Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rosollimo
Mendel Bechterew

:
:
:
:
:
:
:
:

-/-/-/-/-/-/-/-/-

5
5

5
5

Klonus paha
Klonus kaki

:
:

-/-/-

SENSIBILITAS
Eksteroseptif
Nyeri
: Baik / Baik
Suhu
: Baik / Baik
Taktil
: Baik / Baik
Proprioseptif
Vibrasi
Posisi
Tekan dalam

: Baik / Baik
: Baik / Baik
: Baik / Baik

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN


Tes Romberg
: Tidak dapat dinilai
Tes Tandem
: Tidak dapat dinilai
Tes Fukuda
: Tidak dapat dinilai
Disdiadokokinesis
: Tidak dapat dinilai
Rebound phenomenon
: Tidak dapat dinilai
Dismetri
: Tidak dapat dinilai
Tes telunjuk hidung
: Tidak dapat dinilai
Tes telunjuk telunjuk
: Tidak dapat dinilai
Tes tumit lutut
: Tidak dapat dinilai
FUNGSI OTONOM
Miksi
Inkontinensia
: Tidak ada
Retensi
: Tidak ada
Anuria
: Tidak ada
Defekasi
Inkontinensia
Retensi

: Tidak ada
: Tidak ada

FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa
Fungsi orientasi
Fungsi memori
Fungsi emosi
Fungsi kognisi

: Disatria
: Baik
: Menurun
: Baik
: Baik

PEMERIKSAAAN PENUNJANG
1. Laboratorium klinik
Hasil

Jenis Pemeriksaan

24-04-2014

Nilai Rujukan

28-04-2014

HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin

13,0

11,2*

12-16 g/dl

Hematokrit

38

34*

37-47%

Eritrosit

4,7

4,1*

4.3-6.0 juta/uL

Leukosit

6800

5700

4800 10800/uL

Trombosit

293000

422000*

150000 400000/uL

MCV

81

82

80 96 fl

MCH

28

27

27 32 pg

MCHC

34

33

32 36 g/dl

Ureum

39

37

20-50 mg/dL

Kreatinin

1,0

1,0

0.5-1.5 mg/dL

Glukosa darah (sewaktu)

119

121

<140 mg/dL

Natrium (Na)

139

140

135-147 mmol/L

Kalium (K)

3,9

4,5

3.5-5.0 mmol/L

Klorida
Jenis(Cl)
Pemeriksaan

101

108*

95-105 mmol/L

KIMIA KLINIK

Hasil

Nilai Rujukan
28-04-2014

KIMIA KLINIK
Bilirubin total
Fosfotase alkali ( ALP )
SGOT (AST)
SGPT (ALT)
- GT
Protein total
Albumin
Globulin

0.54
62
73
105
24
7,3
3,7
3,6

IMUNOSEROLOGI
HBsAG ( Rapid )

Non reaktif

CD 4

Anti HIV ( Rapid I )

Reaktif
Reagen intex
Reagen SD
Reagen
oncoprobe

< 1.5 mg/dL


42-96 U/L
< 35 U/L
< 40 U/L
5 - 35 U/L
6 8.5 g/dL
3.5 5.0 g/dL
2.5 3.5 g/dL
Non reaktif
410 - 1590 Cell / uL
Non reaktif

2. CT-Scan Kepala dengan kontras (potongan axial) tanggal 24-04-2014


Hasil :
Tampak lesi isodens yang menyangat kuat pasca pemberian kontras iv berbentuk lonjong
multiple di lobus frontal kanan, parietal kanan kiri, oksipital kiri dan basal ganglia kanan.
Sebagian tampak gambaran rim enhanced disertai dengan edema vasogenik luas di kedua
hemisfer cerebri.
Tampak lesi hipodens di basal ganglia kiri
Differensiasi gray white matter berkurang
Tampak penyangatan patologis pada sulci - sulci di lobus temporo-parieto-oksipital kiri pasca
pemberian kontras iv
Sulci - sulci dan sulcus sylvii kedua hemisfer menyempit
Sisterna sistem tidak tampak dilatasi
Ventrikel lateralis, ventrikel III dan IV normal
Tak tampak kelainan di CPA maupun parasella
Tak tampak distorsi midline
Sinus maxillaris, ethmoidalis, frontalis, maupun sphenoidalis cerah
Septum nasi ditengah
Mastoid air cells cerah
Bulbus oculi simetris
Kesan :
Sesuai dengan gambaran ensefalitis disertai dengan multiple abses

RESUME
Pasien perempuan usia 44 tahun dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS. Saat kejang
pasien dalam keadaan tidak sadar, kedua mata mendelik ke kanan, wajah sebelah kanan berkedut,
tangan dan kaki sebelah kanan bergerak kaku.

Sejak 3 tahun SMRS, pasien sering mengeluh sakit kepala dan tangan sebelah kanan
sering terasa lemas dan kesemutan selama 4 bulan, lalu pasien mengalami kejang, kemudian
dibawa ke rumah sakit. Saat tersadar bicara pasien menjadi cadel, tangan dan kaki kanan terasa
sulit digerakan. Saat dirawat inilah pasien terdiagnosis AIDS. Pasien dirawat selama 1 bulan.
Setelah 1 tahun kontrol, bicara pasien sudah kembali normal, tangan dan kaki sebelah
kanan juga sudah dapat bergerak normal dan melanjutkan kontrol ke penyakit dalam.. Setelah 2
tahun pasien berhenti sendiri kontrol ke penyakit dalam dan putus minum obat. Setelah 5 bulan
putus obat pasien sering mengeluh sakit kepala, terasa kesemutan dan kaku pada tangan sebelah
kanan. Setelah 7 bulan putus obat pasien kejang kembali dan di bawa ke RSPAD. Saat sadar,
bicara pasien cadel, tangan dan kaki sebelah kanan sulit digerakan.
Pada pemeriksaan didapatkan berat badan underweight, pada tanda rangsang meningeal
kaku kuduk (+), kernig pada kaki sebelah kanan < 135, distaria, hemiparase dextra, hiper refleks
fisiologis kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras didapatkan kesan
ensefalitis disertai dengan abses multiple.
DIAGNOSIS

Diagnosis klinis
(+),
Diagnosis topis
Diagnosis etiologis

: Hemiparase dextra, riwayat kejang, underweight, kaku kuduk


kernig (+), hipereflks fisiologis kanan dan kiri
: Hemisfer cerebri bilateral
: Ensefalitis ec toxoplasmosis dengan AIDS

TERAPI
NON MEDIKAMENTOSA
Observasi kejang berulang
Oservasi tanda - tanda vital
Observasi adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial
Penggunaan kateter serta menghindari adanya infeksi saluran kemih
MEDIKAMENTOSA
Saat di IGD :
O2 4 L/ menit
IVFD RL 20 tpm
Diazepam 10 mg iv
Saat di ruang perawatan :
IVFD RL 20 tpm + neurobion 5000 U drip
Ceftriaxon 2 x 2 gr iv
Ranitidin 2 x 50 mg iv
Dexamethasone 4 x 5 mg iv
Metronidazol 3 x 500 mg iv
Pirimetamin 3 x 25 mg p.o
Klindamisin 4 x 600 mg p.o

Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Foto thorax
Konsultasi dokter penyakit dalam
Rencana fisioterapi
Speech therapy
PROGNOSIS
Ad vitam
: ad malam
Ad fungsionam : ad malam
Ad sanationam : ad malam

DISKUSI
TINJAUAN PUSTAKA
ENSEFALITIS
DEFINISI
Ensefalitis adalah radang jaringan otak.

1.

ETIOLOGI
Ensefalitis disebabkan oleh :
Bakteri
Virus
Parasit
Fungus
Riketsia
KLASIFIKASI
ENSEFALITIS SUPURATIVA
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus,
E.coli dan M.tuberculosa.
Patogenesis Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis
media,mastoiditis,sinusitis,atau dari piema yang berasl dari radang, abses di dalam
paru, bronchiektasi, empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang
menembus ke dalam otak dan tromboflebitis.
Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah edema,kongesti
yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling daerah yang
meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila
kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.
Manifestasi klinis Secara umum gejala berupa trias ensefalitis :
1. Demam
2. Kejang
3. Kesadaran menurun

Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum,
tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran
menurun, pada
pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologist
tergantung pada lokasi dan luas abses.
2.

ENSEFALITIS SIPHYLIS
Patogenesis Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan
tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka,
kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi
spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunansaraf pusat.
Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian- bagian lain
susunan saraf pusat.
Manifestasi klinis Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :
1) Gejala-gejala neurologist Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan,
afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil
Agryll Robertson,nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul
gangguanan-gangguan motorik yang progresif.
2) Gejala-gejala mental Timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang
mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja, daya
konsentrasi mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian terganggu.

3.

ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
1) Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
Rabdovirus
: virus rabies
Togavirus
: virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue)
Picornavirus
: enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
Arenavirus
: virus koriomeningitis limfositoria
2) Virus DNA
Herpes virus
: herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus,
virus Epstein-barr Poxvirus
: variola, vaksinia
Retrovirus
: AIDS
Manifestasi klinis Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea,
kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis
bulbaris.

4.

ENSEFALITIS KARENA PARASIT


Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama
terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi
plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan
penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara
difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul : demam

tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi


kerusakan-kerusakan.
Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala- gejala
kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit ini
dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.
Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di air
yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningo- encefalitis akut. Gejala-gejalanya
adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa dan
masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat tumbuh menjadi
sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk rasemosanya
tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna. Jaringan akan bereaksi dan
membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala neurologik yang timbul tergantung pada
lokasi kerusakan.
5.

ENSEFALITIS KARENA FUNGUS


Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans, Cryptococcus
neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang
ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta.
Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.

6.

RIKETSIOSIS SEREBRI
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan
Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan sel-sel
mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam
pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala,
demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala
neurologik menunjukan lesi yang tersebar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan cairan serobrospinal
2) Pemeriksaan darah lengkap
3) Pemeriksaan feses
4) Pemeriksaan serologik darah (VDRL, TPHA)
5) Pemeriksaan titer antibody
6) EEG
7) Foto thorax
8) Foto roentgen kepala
9) CT-Scan

10) Arteriografi
DIAGNOSA BANDING
Pada kasus ensefalitis supurativa diagnosa bandingnya adalah :
Neoplasma
Hematoma subdural kronik
Tuberkuloma
Hematoma intraserebri.
PENATALAKSANAAN
Bila terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat diberikan dexamethasone atau
kortison.

1. Ensefalitis supurativa
Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
2. Ensefalitis syphilis
Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari
Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x 500mg oral selama 14
hari
Bila alergi penicillin :
Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari - Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6
minggu - Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.
3. Ensefalitis virus
Pengobatan simptomatis Analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg
Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari. 7
Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab herpes zostervaricella. Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral tiap
4 jam selama 10 hari.
4. Ensefalitis karena parasit
Malaria serebral Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam hingga tampak
perbaikan.
Toxoplasmosis Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan Pirimetasin 1 mg/KgBB
per oral selama 1 bulan Spiramisin 3 x 500 mg/hari
Amebiasis Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
5. Ensefalitis karena fungus
Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu
Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.
6. Riketsiosis serebri
Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari
Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.

PROGNOSIS
Ensefalitis supurativa angka kematian dapat mencapai 50%.

TOXOPLASMOSIS PADA PASIEN AIDS


Toxoplasma gondii adalah protozoa intraselular obligat yang terdistribusi di seluruh dunia.
Perkembangan imunitas seluler setelah infeksi akut dengan T. Gondii dapat menghasilkan kontrol
tetapi tidak memberantasan infeksi. Fase lanjutan kronis atau fase laten infeksi ditandai dengan
organisme yang menetap dalam jaringan dari individu yang terinfeksi (terutama otak, otot rangka,
dan hati) . T. Gondii adalah salah satu penyebab paling umum dari infeksi kronis dengan
organisme intraseluler pada manusia . Seorang individu yang terinfeksi kronis yang menghasilkan
kecacatan dalam imunitas seluler, berisiko mengalami reaktivasi infeksi. Manifestasi utama dari
toksoplasmosis adalah ensefalitis toksoplasma.
T. Gondii ada dalam tiga bentuk : tachyzoite , kista jaringan ( mengandung bradyzoites ) ,
dan ookista (berisi sporozoit ) . Bentuk kedua dari parasit yang dihasilkan selama siklus seksual
dalam usus kucing ( host definitif ) . Siklus hidup aseksual terjadi pada semua host perantara
( termasuk manusia ) serta kucing . Menelan kista jaringan atau ookista diikuti oleh infeksi sel
epitel usus oleh bradyzoites atau sporozoit. Setelah transformasi menjadi takizoit , organisme
menyebar ke seluruh tubuh melalui darah atau limfatik. Parasit berubah menjadi kista jaringan
setelah mencapai jaringan perifer . Bentuk parasit ini bertahan seumur hidup host. Kista jaringan
terdapat dalam daging tersebut menjadi nonviable dengan pemanasan sampai 67 C, pembekuan
sampai -20 C atau dengan radiasi gamma. Siklus seksual entero - epitel dengan pembentukan
ookista terjadi pada kucing yang menjadi infeksi akut setelah mengkonsumsi daging yang
mengandung kista jaringan . Ekskresi ookista berlangsung selama 7-20 hari, dan jarang berulang.
Ookista menjadi infeksius setelah mereka dikeluarkan dan sporulasi terjadi. Lamanya proses ini
tergantung pada kondisi lingkungan, tetapi biasanya memakan waktu 2-3 hari setelah ekskresi.
Ookista tetap bersifat menular di lingkungan selama lebih dari setahun .
Epidemiologi
Prevalensi bukti serologis infeksi T gondii bervariasi tergantung pada lokasi geografis dan
kelompok penduduk. Antara 3 % dan 67 % orang dewasa di Amerika Serikat adalah seropositif
untuk antibodi terhadap T gondii. Tingkat prevalensi dapat setinggi 90 % di Eropa Barat dan
negara-negara tropis.
Penularan ke manusia terjadi terutama oleh konsumsi daging babi kurang matang atau
daging domba yang mengandung kista jaringan, atau oleh paparan ookista baik melalui konsumsi
sayuran yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan kotoran kucing. Cara lain penularan
termasuk rute transplasenta, produk darah transfusi, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada
individu imunokompeten biasanya tanpa gejala.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada pasien terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 T
- cell < 100/L. Ensefalitis toksoplasma pada pasien AIDS di Amerika Serikat hampir selalu
disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi kronis. Dengan demikian, insiden penyakit ini
berhubungan langsung dengan prevalensi anti - T gondii antibodi. Antara 10 % dan 40 % dari
pasien terinfeksi HIV di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap T gondii. Studi awal
menunjukkan bahwa 24-47 % dari pasien AIDS dengan T. Gondii-seropositif akhirnya
berkembang menjadi ensefalitis toksoplasma. Risiko toksoplasmosis menurun setelah pengenalan
profilaksis primer terhadap T. Gondii dan terapi antiretroviral efektif ( ART ) . Insiden di Amerika

Serikat ensefalitis toksoplasma di antara pasien yang didiagnosis dengan AIDS menurun dari
2.1/100 orang-tahun pada tahun 1992 menjadi 0.7/100 orang-tahun pada tahun 1997.
Patogenesis
Setelah infeksi oral, tachyzoite atau bentuk invasif parasit menyebar luas ke seluruh tubuh.
Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana mereka berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan sel dan memproduksi fokus nekrotik yang dikelilingi oleh peradangan. Permulaan
aktifitas imunitas seluler terhadap T. Gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam
jaringan kista mengakibatkan infeksi kronis seumur hidup.
Imunitas seluler dimediasi oleh sel T, makrofag, dan aktivitas sitokin tipe 1 ( interleukin
IL -12 dan interferon IFN-gamma ) diperlukan untuk menjaga ketenangan infeksi T.Gondii kronis.
IL - 12 diproduksi oleh antigen-presenting sel seperti sel-sel dendritik dan makrofag. IL - 12
menstimulasi produksi IFN - gamma, mediator utama perlindungan host terhadap patogen
intraseluler. IFN - gamma merangsang aktivitas anti T.Gondii, tidak hanya dari makrofag, tetapi
juga sel nonphagocytic. Produksi IL - 12 dan IFN - gamma dirangsang oleh CD154 ( juga dikenal
sebagai CD40 ligan ) dalam manusia yang terinfeksi T.Gondii. CD154 ( diekspresikan terutama
pada diaktifkan sel CD4 T ) bertindak dengan memicu sel dendritik dan makrofag untuk
mensekresikan IL - 12, yang pada gilirannya meningkatkan produksi IFN - gamma oleh sel T .
TNF- alpha adalah sitokin lain yang penting untuk pengendalian infeksi kronis dengan T.Gondii.
Mekanisme yang terjadi pada HIV yang membuat kerentanan terhadap infeksi oportunistik
seperti toxoplasmosis ada beberapa kemungkinan. Ini termasuk penurunan sel CD4 T; gangguan
produksi IL - 2, IL - 12, dan IFN - gamma; dan gangguan aktivitas sitotoksik T - limfosit. Sel dari
pasien terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi in vitro IL - 12 dan IFN - gamma, dan
penurunan ekspresi CD154 dalam merespon T.Gondii. Kekurangan ini dapat memainkan peran
dalam pengembangan toksoplasmosis terkait dengan infeksi HIV.
Presentasi klinis
Toksoplasmosis terkait dengan infeksi HIV biasanya disebabkan oleh reaktivasi dari
infeksi kronis dan bermanifestasi terutama sebagai ensefalitis toksoplasma. Penyakit ini
merupakan penyebab penting dari lesi otak fokal pada pasien yang terinfeksi HIV. Karakteristik,
ensefalitis toksoplasma memiliki onset subakut dengan kelainan neurologis fokal yang sering
disertai sakit kepala, perubahan status mental, dan demam . Tanda-tanda neurologis fokal yang
paling umum adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Pasien juga dapat mengalami
kejang, kelainan saraf kranial, defek lapang pandang, gangguan sensorik, disfungsi cerebellar,
meningismus, gangguan gerak, dan manifestasi neuropsikiatri. Toksoplasmosis jarang muncul
sebagai bentuk fatal yaitu ensefalitis akut difus. Diffuse ensefalitis toksoplasma harus
dipertimbangkan pada pasien dengan anti-T.Gondii imunoglobulin G ( IgG ) antibodi dan jumlah
CD4 T - sel < 100/L yang hadir dengan penyakit neurologis yang tak terjelaskan.
Pasien yang terinfeksi HIV dapat berkembang toksoplasmosis ekstraserebral dengan atau
tanpa ensefalitis secara bersamaan. Mata dan penyakit paru adalah presentasi yang paling umum
pada pasien dengan toxoplasmosis ekstraserebral. Pasien dengan chorioretinitis muncul dengan
penglihatan kabur, skotoma, nyeri, atau fotofobia. Pemeriksaan Ophthalmologic mengungkapkan
lesi multifokal, bilateral yang biasanya lebih confluent, tebal, dan buram daripada yang
disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV). Vitritis dapat disertai dengan uveitis anterior. T.Gondii

merupakan penyebab yang jauh lebih umum pada chorioretinitis pada pasien yang terinfeksi HIV
dibandingkan CMV.
Diagnosis
Infeksi gondii T terdeteksi oleh pemeriksaan serologis. Penyakit yang disebabkan oleh
parasit (toksoplasmosis) dapat didiagnosis dengan menemukan takizoit di biopsi jaringan atau
pemeriksaan sitologi cairan tubuh, isolasi T.Gondii dari cairan tubuh atau darah, atau amplifikasi
DNA parasit dalam cairan tubuh atau darah.
Serologi
Tes serologi yang paling umum digunakan mendeteksi keberadaan anti - T gondii IgG dan
IgM. Antibodi IgG dapat dideteksi dengan tes Sabin - Feldman dye (dianggap sebagai standar
emas), antibodi fluorescent langsung (IFA), aglutinasi, atau enzyme - linked immunosorbent assay
( ELISA ). Puncak titer IgG terjadi dalam waktu 1-2 bulan setelah infeksi tetapi tetap tinggi untuk
seumur hidup. Tes yang mendeteksi antibodi IgM mencakup ELISA , IFA , dan uji aglutinasi
immunosorbent (ISAGA). Tes ini dapat membantu karena tidak adanya anti - T gondii IgM dapat
menyingkirkan kemungkinan infeksi baru pada pasien imunokompeten. Meskipun antibodi IgM
biasanya hilang beberapa minggu atau bulan setelah infeksi, mereka dapat tetap meningkat selama
lebih dari 1 tahun. Dengan demikian, adanya antibodi anti-T gondii IgM tidak selalu
menunjukkan bahwa infeksi tersebut diperoleh baru-baru ini. Masalah ini penting dalam evaluasi
wanita hamil karena transmisi bawaan dari T gondii pada wanita imunokompeten terjadi hampir
secara eksklusif ketika infeksi diperoleh selama kehamilan.
Diagnosis serologis infeksi baru biasanya membutuhkan tes tambahan. Infeksi gondii T
terbaru kemungkinan ketika spesimen serial diperoleh setidaknya dalam 3 minggu dan diuji
secara paralel mengungkapkan setidaknya peningkatan empat kali lipat dalam titer IgG , IgM atau
ketika elevated IgA , atau titer IgE yang muncul bersamaan dengan profil akut di uji diferensiasi
aglutinasi ( AC / HS ).
Studi Cairan serebrospinal
Cerebrospinal fluid (CSF ) dari pasien dengan ensefalitis toksoplasma dapat
mengungkapkan pleositosis ringan dominasi mononuklear dan elevasi protein. Produksi anti - T
gondii IgG intratekal dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Sebuah rasio > 1 menunjukkan produksi intratekal dari anti - T gondii IgG dan mendukung
diagnosis ensefalitis toksoplasma. Perhatian harus diberikan ketika mempertimbangkan pungsi
lumbal karena risiko herniasi otak jika efek massa hadir .
Deteksi DNA
Deteksi polymerase chain reaction ( PCR ) berbasis T gondii DNA dapat berguna dalam
diagnosis toksoplasmosis . PCR dalam CSF memiliki sensitivitas yang bervariasi dari 12 %

sampai 70 % (biasanya 50-60 %) dan spesifisitas sekitar 100 % pada pasien dengan ensefalitis
toksoplasma.
Pemeriksaan kultur
Toksoplasmosis dapat didiagnosis dengan isolasi T.Gondii dari kultur cairan tubuh (darah,
CSF, cairan lavage bronchoalveolar) atau spesimen biopsi jaringan dalam pengaturan klinis yang
sesuai. Sayangnya, pemeriksaan kultur mungkin tidak membantu untuk diagnosis cepat
toksoplasmosis karena diperlukan waktu hingga 6 minggu.
Studi Neuro-radiologi
Studi pencitraan otak sangat diperlukan untuk diagnosis dan manajemen pasien dengan
ensefalitis toksoplasma. Computed tomography (CT) scan mengungkapkan beberapa, bilateral,
hipodens, lesi otak fokal pada 70-80 % pasien. Lesi ini cenderung melibatkan ganglia basal dan
hemisphere-corticomedullary junction. pencitraan kontras sering menciptakan pola seperti cincin
di sekitar lesi. Ensefalitis toksoplasma mungkin lebih jarang hadir dengan lesi tunggal atau tanpa
lesi pada CT scan. Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) lebih sensitif dibandingkan CT scan dan
dengan demikian adalah teknik pencitraan yang lebih disukai, terutama pada pasien tanpa
kelainan neurologis fokal . Pasien dengan hanya satu lesi atau tidak ada lesi pada CT scan harus
menjalani MRI untuk menentukan apakah lebih dari satu lesi hadir . Meskipun ensefalitis
toksoplasma kadang-kadang dapat menyebabkan lesi otak tunggal pada MRI , temuan tersebut
menunjukkan diagnosis alternatif ( terutama limfoma SSP ).
Histopatologi
Eksisi biopsi otak dapat memberikan diagnosis definitif ensefalitis toksoplasma. Temuan
berkisar dari reaksi granulomatous dengan gliosis dan nodul microglial untuk nekrosis
encephalitis. Keberadaan takizoit atau kista dikelilingi oleh peradangan dianggap diagnostik.
Deteksi parasit dapat ditingkatkan dengan menggunakan imunohistokimia. Pewarnaan Wright Giemsa dari LCS , cairan lavage bronchoalveolar dapat mengungkapkan adanya parasit.
Diferensial Diagnosis
Diagnosis diferensial utama lesi otak fokal pada pasien yang terinfeksi HIV adalah antara
limfoma SSP dan ensefalitis toksoplasma. Pada T.Gondii - seropositif, pasien dengan jumlah CD4
T - cell < 100/L, yang tidak menerima profilaksis anti - T gondii terinfeksi HIV, adanya beberapa
lesi sangat sugestif ensefalitis toksoplasma. Pada pasien dengan profilaksis, atau mereka yang
memiliki lesi otak tunggal, diagnosis diferensial meliputi limfoma SSP, abses jamur, penyakit
mikobakteri atau cytomegaloviral, atau sarkoma Kaposi selain ensefalitis toksoplasma. Tidak
adanya anti - T gondii IgG dalam serum sangat mungkin disingkirkan diagnosis ensefalitis
toksoplasma.
Penatalaksanaan

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini
dapat melalui sawar-darah otak.
Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat
pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin1-2 g tiap
6 jam.
Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari
dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200mg/hr,
atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini
diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIVdengan CD4
kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit totalkurang dari 1200. Pada
pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.

ANALISA KASUS
Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan ensefalitis toksoplasma dengan AIDS melalui
temuan yang mendukung yaitu:
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan utama kejang dan tidak sadar. Pasien juga mengeluhkan
adanya kelemahan anggota gerak badan, serta kesulitan berbicara. Pasien juga mengakui telah
didiagnosa AIDS 3 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik dan penunjang
Pada pemeriksaan didapatkan berat badan underweight, pada tanda rangsang meningeal
kaku kuduk (+), kernig pada kaki sebelah kanan < 135, distaria, hemiparase dextra, hiper refleks
fisiologis kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras didapatkan kesan
ensefalitis disertai dengan abses multiple.
Berdasarkan keluhan utama dan tambahan serta riwayat penyakit yang dimiliki pasien
serta hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan, sangat memungkinkan diagnosis ensefalitis
toksoplasma. Ditambah pemeriksaan penunjang yang sugestif. Namun masih diperlukan
pemeriksaan gold standar untuk toksoplasma yaitu peneriksaan serologi anti T.Gondii IgG.

Sedangkan diagnosis definitif hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi dari
biopsi jaringan otak. Atau ditemukannya DNA toksoplasma melalui pemeriksaan PCR.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah :
IVFD RL 20 tpm + neurobion 5000 U drip
Ceftriaxon 2 x 2 gr iv
Ranitidin 2 x 50 mg iv
Dexamethasone 4 x 5 mg iv
Metronidazol 3 x 500 mg iv
Pirimetamin 3 x 25 mg p.o
Klindamisin 4 x 600 mg p.o
Pada terapi yang diberikan sudah sesuai, dimana pasien diberikan kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.. Hanya saja perlu
ditambahkan pemberian asam folat 5-10mg per hari untuk menghindari depresi sumsum tulang.
Pasien ini juga perlu mendapatkan terapi ARV karena pasien ini jumlah CD4 nya dibawah 200
sel/ml.
Pemberian kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya edema cerebri
berdasarkan hasil pemeriksaan CT-scan. Diharapkan dapat mengurangi edema sehingga tidak
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

DAFTAR PUSTAKA
Dalton Silaban, Kiking Ritarwan, dan Rusli Dhanu. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita
HIV-AIDS. Studi Kasus Majalak Kedokteran Nusantara Vol.41:2. 2008
Athur, Frank. 2010. Toxoplasmosis. http://www.scribd.com/doc/81494363/BAB-I-II-III-EditToxoplasmosis. Diakses pada tanggal 11 Mei 2014
Carlos S. Subauste. Toxoplasmosis and HIV. http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb00&doc=kb-05-04-03. Diakses pada tanggal 11 Mei 2014
K,
Fransisca
Sylvana,
Gabriela
Da
C.M.P,
Santy
Rosana.
Ensefalitis.
http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/ensefalitis2.pdf . Diakses pada tanggal 11 Mei
2014
Harsono. Infeksi. Buku Ajar Neurologi Klinis hal:161-179. Gajah Mada University Press. 2011

You might also like