Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Sugiharto, M.Kes, MMR, SH
Penulis :
Ririh Rahadian Syaputri, S.Ked
J510145044
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toksikologi forensik merupakan salah satu cabang ilmu forensik.
Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the
application of science to low, maka secara umum ilmu forensik (forensik
science) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu
pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan. Ilmu toksikologi
sendiri merupakan ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat
kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme1.
Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis
kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan
temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang
terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak
kriminal (forensik) di pengadilan2.
Jenis-jenis racun dapat dibagi berdasarkan sumber, tempat dimana
racun tersebut didapat, dan efek kerja yang dihasilkan. Racun ialah suatu zat
yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan faali, yang dalam dosis toksik
selalu menyebabkan gangguan fungsi tubuh, hal ini dapat berakhir dengan
penyakit atau kematian. Racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui ingesti,
inhalasi, injeksi, penyerapan melalui kulit dan pervaginam atau perektal.
Intoksikasi merupakan suatu keadaan dimana fungsi tubuh menjadi tidak
normal yang disebabkan oleh suatu jenis racun atau bahan toksik lain3.
Psikotropika merupakan zat atau obat bukan narkotika, baik
alamiah maupun sintetis yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktifitas normal dan perilaku. Psikotropika dikelompokkkan ke dalam 3
golongan yaitu depresan, stimulan, dan halusinogen. Salah satu contoh
kelompok stimulan yaitu amfetamin4.
Amfetamin merupakan suatu stimulan dan menekan nafsu makan.
Amfetamin menstimulasi sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat
kimia tertentu di dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah, menekan nafsu makan serta berbagai efek
yang lain. Penggunaan amfetamin dengan suatu kelainan psikiatri
berhubungan dengan ketergantungan dan penyalahgunaannya5.
Penyalahgunaan amfetamin secara berlebihan dapat menyebabkan
intoksikasi zat tersebut terhadap tubuh. Dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai toksikologi yaitu intoksikasi amfetamin dan temuannya dalam
autopsi.
B. Rumusan Masalah
- Apakah yang dimaksud intoksikasi amfetamin?
- Bagamanakah temuannya dalam autopsi pada korban intoksikasi
amfetamin?
C. Tujuan
- Untuk mengetahui maksud intoksikasi amfetamin
- Untuk mengetahui temuan dalam autopsi pada korban intoksikasi
amfetamin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Amfetamin merupakan kelompok obat psikoaktif sintetis yang disebut
sistem saraf pusat (SSP) stimulants. Amfetamin merupakan
satu jenis
narkoba yang dibuat secara sintetis dan kini terkenal di wilayah Asia
Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun coklat, atau
bubuk putih kristal kecil. Senyawa ini memiliki nama kimia
methylphenethylamine merupakan suatu senyawa yang telah digunakan
secara terapetik untuk mengatasi obesitas, attention-deficit hyperactivity
disorder (ADHD), dan narkolepsi9.
Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan amfetamin adalah:
1. Amfetamin
2. Metamfetamin
3. Metilendioksimetamfetamin (MDMA, ecstasy atau Adam)
B. Mekanisme Kerja
Aktivitas amfetamin di seluruh otak tampaknya lebih spesifik, reseptor
tertentu yang merespon amfetamin tetapi beberapa daerah di otak cenderung
tidak melakukannya di wilayah lain. Sebagai contoh, dopamin D2 reseptor di
hippocampus, suatu daerah otak yang terkait dengan membentuk ingatan
baru, tampaknya tidak terpengaruh oleh kehadiran amfetamin. Sistem saraf
utama yang dipengaruhi oleh amfetamin sebagian besar terlibat dalam sirkuit
otak. Selain itu, neurotransmiter yang terlibat dalam jalur berbagai hal
penting di otak tampaknya menjadi target utama dari amfetamin.
Salah satu neurotransmiter tersebut adalah dopamin, sebuah pembawa
pesan kimia sangat aktif dalam mesolimbic dan mesocortical jalur imbalan.
Tidak mengherankan, anatomi komponen jalur tersebut termasuk striatum,
nucleus accumbens, dan ventral striatum telah ditemukan untuk menjadi situs
utama dari tindakan amfetamin. Fakta bahwa amfetamin mempengaruhi
aktivitas neurotransmitter khusus di daerah terlibat dalam memberikan
wawasan tentang konsekuensi perilaku obat, seperti timbulnya stereotip
euforia9.
Amphetamine telah ditemukan memiliki beberapa analog endogen,
yaitu molekul struktur serupa yang ditemukan secara alami di otak. lFenilalanin dan - phenethylamine adalah dua contoh, yang terbentuk dalam
sistem saraf perifer serta dalam otak itu sendiri. Molekul-molekul ini berpikir
untuk memodulasi tingkat kegembiraan dan kewaspadaan, antara lain negara
afektif terkait.
Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah
penggunaan. Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan
melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk metabolit. Metabolit amfetamin
terdiri dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton.
Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini
relatif cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu
kesulitan tersendiri untuk pengujian terhadap pengguna, bila pengujian
dilakukan lebih dari 24 jam jumlah metabolit sekunder yang di terdapat pada
urin menjadi sangat sedikit dan tidak dapat lagi dideteksi dengan KIT.
C. Patofisiologi
Penggunaan amfetamine kronis dan dosis tinggi menimbulkan
perubahan toksik secara patofisiologi. Efek toksik penggunaan amfetamine
kronis dengan dosis tinggi terhadap:
- Otak : Penggunaan amfetamine secara kronis dengan dosis tinggi akan
menginduksi perubahan toksik pada sistim monoaminergik pusat. Seiden
dan kawan-kawan melakukan penelitian pada kera dengan menyuntikkan
sebanyak 8 kali/hari (dosis 3-6,5 mg/kg) selama 3-6 bulan. Setelah 24 jam
pemberian dosis terakhir memperlihatkan kekosongan norepinefrin pada
semua bagian otak (pons, medula, otak tengah, hipothalamus dan korteks
frontal). Setelah 3-6 bulan suntikan terakhir, norepinefrin masih tetap
rendah di otak tengah dan korteks frontal. Sedangkan pada hipothalamus
dan pons kadar norepinefrin sudah meningkat. Kadar dopamin terdepresi
hanya pada darah, bagian otak lain tidak terpengaruh. Kondisi toksik
amfetamine ini juga mempengaruhi sistim serotoninergik, hal ini
diperlihatkan dengan perubahan aktivitas triptophan hidroksilase terutama
pada penggunaan fenfluramin. Rumbaugh melaporkan pada pemakaian
amfetamine kronis dengan dosis tinggi mempengaruhi vaskularisasi otak.
Penelitian pada kera yang diberi injeksi metamfetamin selama 1 tahun
menunjukkan perubahan yang luas dari arteriola kecil dan pembuluh
kapiler.
Selanjutnya
dapat
terjadi
hilangnya
sel
neuron
dan
amfetamine disebabkan
oleh
hiperpireksia.
Mekanisme
human
immunodeficiency
virus
dan
hepatitis
serta
Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral, mungkin tidak ada
manifestasi eksternal yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat
tanda terbakar pada jari telunjuk bagian palmar yang digunakan untuk
memegang pipa panas pada penggunaan oral. Sampel autopsi harus
menyertakan darah perifer, urin, jaringan hepar, empedu, isi lambung dan
rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari
setelah penggunaan pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada
penggunaan kronis. Rambut juga dapat dianalisis untuk melihat positif
tidaknya penggunaan MDMA (Methylene Dioxy Meth Amphetamine)
ditemukan6.
Pemeriksaan darah : Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat
dapat dideteksi pada darah dalam waktu beberapa jam, bergantung dari
dosisnya. Metabolisme menghasilkan amfetamin sebagai metabolit
pertama dari metamfetamin, dan rasio pada darah dan urin dapat
membantu menentukan penggunaan akut atau kronis. Kebanyakan tes
skrining darah untuk amfetamin adalah menggunakan teknik imunoassay.
Dapat juga dengan menggunakan gas kromatografi dan analisis
spektroskopi. Identifikasi amfetamine dengan menggunakan saliva telah
ada dan dapat digunakan untuk tes simpel yang non-invasif 8. Obat obat
dan bahan kimia yang lain dapat saja mengganggu dengan identifikasi
amfetamin. Buflomedil adalah vasodilator untuk penyakit cerebrovaskular
dan arteri perifer yang bercampur dengan enzim multiplied immunoassay
(EMIT) untuk amfetamin. Trazodon telah dilaporkan menyebabkan hasil
false positif. Bloker Histamin (H2) seperti ranitidin adalah penyebab
utama dari hasil false positif. Ritodrine, sebuah beta simpatomimetik yang
digunakan dalam manajemen persalinan preterm, dan derivat fenotiazin
seperti klorpromazin dan prometazin juga diketahui mengganggu
identifikasi. Selegilin dimetabolisasi menjadi L-amfetamin dan Lmetamfetamin dan menyebabkan hasil positif. Analisis isomer kuantitatif
dapat menyelesaikan masalah ini. Klobenzorex, sebuah obat anorektik
yang diresepkan di Meksiko, dimetabolisasi menjadi amfetamin,
memberikan hasil positif pada tes dengan gas kromatografi dan analisis
spektroskopi. Pencapaian terbaru dalam mendeteksi amfetamin adalah
tubular
necrosis,
sedangkan
metamfetamine
dapat
untuk
adalah racun ialah suatu zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan
secara faali, yang dalam dosis toksik, selalu menyebabkan gangguan fungsi
tubuh, hal mana dapat berakhir dengan penyakit atau kematian.
BAB III
KESIMPULAN
-
narkolepsi.
Intoksikasi Amfetamin dapat didiagnosis menggunakan DSM-IV-TR
Terdapat beberapa temuan dalam autopsi pada korban intoksikasi amfetamin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kerrigan, S. 200. Drug Toxicology for Prosecutors Targeting Hardcore
Impaired Drivers. New Mexico Department of Health Scientific Laboratory
Division Toxicology Bureau : New Mexico.
2. I.M.A. Gelgel Wirasuta. 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi
Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008;
1(1):47-55 Asosiasi Forensik Indonesia Jakarta.
3. Mansyur. Toksikologi Keamanan Unsur Dan Bidang-Bidang Toksikologi.
htpp://www.freewweb.com. acces : maret 2015
4. BNN. 2008. Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba. www.bnn.go.id. Access : maret 2015
5. Kusminarno, Ketut. 2002. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Cermin dunia kedokteran no.
135 hal 17-20. Jakarta.
6. Stephen BG. Investigation of death from drug abuse. In: Spitz WU, Spitz DJ.
Spitz and Fishers Medicolegal Investigation of Death. 4 th ed. Charles C
Thomas Publisher LTD;USA.
7. Kalant H. 2001. The Pharmacology and Toxicology of ecstasy (MDMA)
and Related Drug. CMAJ[serial online] Oct 2, 2001; 165(7):917-28.
Available from : URL :http://www.cmaj.ca
8. Leikin JB, Watson WA. 2004. Interpretationn of Analytical Result in Forensic
Toxycology. In: Dart RC (editor). Medical Toxicology. 3th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
9. Syarif A, al. e. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Gunawan SG, al. e,
editors. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.