You are on page 1of 10

KEBIJAKAN KESEHATAN TENTANG

TEST KEPERAWANAN PADA CALON POLWAN


DOSEN PENGAMPU : Putri Kusuma Wardhani, S.SiT, MH.Kes
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
Kebijakan Kesehatan

OLEH :
NOVITA SARI
NIM: 1404077

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG
2015

I. JUDUL
Test keperawanan pada calon polwan
II. KEBIJAKAN KESEHATAN
Tes keperawanan sebagai syarat menjadi polwan yang ternyata sudah
dipraktekkan sejak lama oleh Polri mencoreng kredibilitas Polri sebagai
satuan penegak hukum karena praktek tersebut jelas-jelas melanggar hukum.
Walau praktek tersebut didasarkan pada Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun
2009 pasal 36, namun pasal tersebut sebenarnya tidak secara eksplisit
mengharuskan adanya tes keperawanan, melainkan hanya pemeriksaan
III.

kesehatan termasuk alat kelamin.


ANALISA KEBIJAKAN
A. Komunikasi
Setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi
komunikasi efektif antara pelaksana program dengan kelompok sasaran.
Selain itu, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan juga harus
dipahami dengan baik oleh pelaksanan dan juga penerima/sasaran
program.
Human Rights Watch wawancara polwan maupun pelamar polwan di
enam kota Indonesia yang telah menjalani tes keperawanan, dua di
antaranya pada 2014. Pelamar yang terbukti "tidak perawan" bukan berarti
tak bisa masuk kepolisian, tapi semua narasumber menjelaskan tes itu
menyakitkan dan membuat trauma. Beberapa polwan sudah bahas masalah
ini dengan bagian personalia Kepolisian Indonesia, yang saat itu
menyatakan praktek tersebut harus dihentikan. Namun tes keperawanan
masih tercantum sebagai salah satu syarat yang harus dijalani pelamar
polwan di website rekrutmen polisi, dan hasil wawancara Human Rights

Watch menegaskan tes itu memang masih dilakukan hingga kini. Tes
keperawanan yang dilakukan Kepolisian Indonesia merupakan praktek
diskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan, kata Nisha Varia,
direktur Human Rights Watch bidang hak perempuan. Markas Besar
Kepolisian di Jakarta harus segera hapus tes ini, dan memastikan seluruh
jajaran kepolisian menghentikannya."
Tes tersebut bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia soal seleksi calon polisi harus non-diskriminasi dan
humanis, serta melanggar hak asasi internasional tentang kesetaraan, nondiskriminasi dan pribadi. Pemaksaan terhadap tes ini merupakan suatu
kekejaman, tak manusiawi, serta merendahkan martabat perempuan di
mata hukum internasional.
Antara

Mei

hingga

Oktober

2014,

Human

Rights

Watch

mewawancarai delapan polisi dan pensiunan polisi, maupun para pelamar


polwan, plus dokter polisi, tim evaluasi seleksi polisi, anggota Komisi
Kepolisian Nasional, serta aktivis perempuan. Wawancara dilakukan di
Bandung, Jakarta, Padang, Pekanbaru, Makassar, dan Medan. Semua
perempuan yang telah menjalani tes mengatakan rekan mereka satu
angkatan juga melewati tes serupa.
Tes keperawanan" ini dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Pasal 36 menyebutkan calon anggota perwira

perempuan harus menjalani pemeriksaan obstetrics dan gynaecology


(rahim dan genitalia). Meski peraturan tersebut tak secara gamblang
menyebut tes keperawanan, dua polwan senior mengatakan pada Human
Rights Watch bahwa tes keperawanan sudah lama ada. Tes dilakukan
pada awal proses seleksi kesehatan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik.
Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes Polri) biasa melakukan tes
ini di rumah sakit Bhayangkara. Human Rights Watch menemukan bahwa
pemeriksaan rahim dan genitalia termasuk tes dua jari untuk menguji
keperawanan pelamar polwan.
B. Sumber Daya
Sumber daya yang dimaksud disini adalah sumber daya manusia
sebagai calon polwan. Kepolisian Republik Indonesia berencana
meningkatkan 50 persen jumlah polisi perempuan, menjadi 21 ribu tahun
ini, kata Human Rights Watch. Dengan total sekitar 400 ribu polisi,
tambahan polwan tersebut akan meningkatkan persentasenya, dari 3 persen
menjadi 5 persen. April lalu, pihak kepolisian merekrut besar-besaran.
Sekarang sebanyak 7,000 kadet polwan menjalani latihan tujuh bulan di
delapan sekolah polisi di Jawa dan Bali.
Yefri Heriyani, direktur Nurani Perempuan di Padang, yang kenal dan
sering bekerja sama dengan banyak polwan selama 12 tahun terakhir,
mengatakan bahwa tes keperawanan menimbulkan trauma. Saya banyak
kawan dari kepolisian yang menceritakan sekian puluh tahun lalu mereka
menjalani tes keperawanan. Menurut mereka, sangat menyakitkan

sebetulnya. Negara tidak menyakini mereka orang yang baik-baik dan


akan bekerja dengan baik. Mereka mengalami trauma ketika menghadapi
tes keperawanan, merasa tidak nyaman, dan upaya pemulihan tidak
dijalankan. Ini berdampak pada kehidupan mereka jangka panjang.
C. Disposisi
Disposisi menunjukan karakteristik implementor kebijakan seperti
komitmen, kejujuran, dan demokratis. Penerapan tes keperawanan
terjadi di sejumlah negara di seluruh dunia, kata Human Rights Watch.
Tes keperawanan merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi
berbasis

gender, kata Gerntholtz. Pihak berwenang senantiasa

melakukan tes tidak ilmiah dan merendahkan ini tanpa mau tahu bahwa
pengalaman seks seorang perempuan sama sekali tak berhubungan dengan
apakah ia layak diterima buat suatu pekerjaan atau memastikan apakah dia
pernah diperkosa.
Apa yang disebut tes keperawanan ini merupakan diskriminasi serta
kekerasan berdasarkan genderbukan ukuran seorang perempuan bisa
bekerja sebagai polisi, kata Varia. "Praktek buruk ini bukan saja membuat
perempuan tangguh menjauh dari kepolisian, namun ia juga membuat
warga Indonesia tak mendapatkan sebuah kepolisian dengan anggotaanggota yang paling kompeten di bidangnya.
Demikian ada pula pengakuan dari berbagai calon polwan setelah
dilakukan wawancara oleh Human Rights Watch :

Perempuan 18 tahun ikut tes di Bandung tahun 2014 berkata pada


Human Rights Watch:

Saya diberitahu ada pemeriksaan kesehatan sebagai syarat masuk


kepolisian. Di dalam tes polwan salah satunya ada tes kesehatan. Panitia
mengatakan di dalam tes kesehatan ada tes bagian dalam. Saya merasa
kaget setelah tahu tes bagian dalam itu ada tes keperawanan.
Saya merasa malu, deg-degkan tapi saya juga tidak bisa menolak.
Kalau saya menolak saya tidak bisa mengikuti tes polwan.
Sebanyak 20 pelamar perempuan diminta masuk ke aula untuk
pemeriksaan fisik. Mereka kemudian diminta masuk ke sebuah ruangan
dan berbaring. Staf medisnya, seorang perempuan, kemudian melakukan
tes dua jari. Saya malu dan takut menjalani tes keperawanan ini. Ada yang
pingsan karena stres.
Perempuan usia 19 tahun yang melakukan tes di Pekanbaru tahun
2014 berkata pada Human Rights Watch:
Saya melakukan tes kesehatan di aula Sekolah Kepolisian Negara.
Mereka pasang tirai supaya orang luar tidak bisa lihat ke dalam. Kami
sekitar 20 perempuan diminta masuk ke aula dan buka baju, termasuk beha
dan celana dalam. Sangat memalukan. Hanya yang sedang menstruasi bisa
tetap pakai celana dalam.

Kelompok saya giliran terakhir saat itu. Pegawai medis mungkin sudah
capek .... Kami diminta duduk di meja khusus perempuan melahirkan.
Dokter perempuan melakukan tes keperawanan dengan tes dua jari.

Saya tidak gugup karena yakin masih perawan. Setelah selesai, kami
diminta pakai baju kembali.
Saya tidak mau ingat lagi pengalaman buruk itu. Memalukan.
Mengapa kita harus buka baju di depan orang yang tidak dikenal? Ya
(penguji keperawanan) memang perempuan, tapi kami tidak saling kenal.
Itu diskriminasi. Saya rasa itu tidak perlu.
D. Struktur Birokrasi
Di Indonesia, kepolisian memasukkan tes keperawanan sebagai
bagian dari seleksi kesehatan calon polwan walau beberapa polwan senior
menyatakan keberatan dan tuntut agar tes tersebut dihapus. Wacana
memperkenalkan tes keperawanan bagi anak perempuan usia sekolah di
Indonesia juga telah berulang kali disuarakan.
Tes keperawanan telah diakui secara internasional sebagai
pelanggaran hak asasi manusia, khususnya larangan kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat berdasarkan pasal 7dari Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pasal 16 pada
Konvensi Menentang Penyiksaan, keduanya sudah diratifikasi banyak
negara termasuk Indonesia.

Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa, badan


internasional yang memantau kepatuhan terhadap perjanjian, menyatakan
pada Komentar Umum bahwa tujuan pasal 7 adalah untuk melindungi
martabat dan integritas fisik dan mental setiap individu. Pasal 7 tidak
hanya berkaitan dengan tindakan yang menyebabkan sakit secara fisik,
tetapi juga tindakan yang menyebabkan penderitaan mental untuk korban.
Tes keperawanan dipaksa berkompromi dengan martabat perempuan, dan
melanggar integritas fisik dan mental mereka.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan dan perjanjian hak asasi manusia lainnya melarang
diskriminasi

terhadap

perempuan.

Tes

keperawanan

merupakan

diskriminasi terhadap perempuan karena menghambat kesetaraanhak


antara perempuan dengan laki-laki. Prasangka dan anggapan negatif
terhadap perempuan dan anak perempuan telah digunakan dalam ilmu
kedokteran oleh banyak dokter yang secara salah menganggap bahwa
mereka dapat menentukan keperawanan seorang perempuan, kata
Gerntholtz.
Pemerintah dan dokter harus berpedoman pada buku WHO untuk
memastikan bahwa mereka berperilaku etis, menghormati privasi dan
martabat perempuan, dan meminta rekan mereka untuk menghentikan
momok tes keperawanan.
IV. KESIMPULAN
Tes keperawanan merupakan praktek lama seorang pensiunan polwan
menyatakan saat seleksi angkatan 1965 mereka juga menjalani tes

keperawanan dan dampaknya lama sekali. Seorang pelamar mengatakan


pada Human Rights Watch bahwa dia mendaftar polwan pada 2008: Kita di
dalam situ ada dua peserta. Di situ kita dites keperawanan ... dimasukkan dua
jari. Rasanya sakit sekali. Bahkan teman saya ada yang sampai pingsan. Rasa
saya sangat malu sekali karena di dalam ruangan tidak tertutup."
Kebijakan ini mengundang sederet persoalan, pertama adanya diskriminasi
terhadap anak perempuan yang dinyatakan tidak perwan yaitu mendapat
stigma negatif dan potensi dilanggar haknya untuk melanjutkan pendidikan,
yang melanggar pasal 28c Ayat (1) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Kebijakan ini juga dianggap melanggar otonomi tubuh perempuan.
Perempuan mempunyai hak kemerdekaan atas tubuhya sendiri. Intervensi
melalui tes keperawanana menjadi sebuah pelecehan dan kekerasan terhadap
perempuan. Selain itu, tes keperawanan merupakan kebijakan yang lahir dari
cara pandang diskriminatif terhadap perempuan oleh penyelenggara negara.
Pada kasus prostitusi dan perdagangan perempuan (trafficking in person,
especially women and child), penyelenggara negara menempatkan akar
masalah pada moral perempuan yang terpuji.
Penyelenggara negara kemudian menghasilkan

kebijakan

yang

diskriminatif seperti tes keperawanan. Dalam hal ini, pemerintah dan


pemerintah daerah menyalahi UU No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Bila

dilakukan, kebijakan tes keperawanan tentu bertentangan dengan arah


pendidikan untuk membangun kepribadian perempuan seutuhnya dan
penghormatan atas nilai-nilai HAM.
V. DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas

Sosial. Semarang: Unnes Press.


Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.

Yogya: Pustaka Pelajar.


Human Rights Watch 2014
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/19/063622989/Cerita-Tes-

Keperawanan-yang-Bikin-Polwan-Pingsan
http://debbiers.blogspot.com/2015/01/analisis-kasus-diskriminasi.html
UUD 1945 pasal 28c Ayat (1)

You might also like