You are on page 1of 13

PRAKTIKUM V

ABSORPSI PERKUTAN OBAT SECARA IN VITRO

I.

TUJUAN PERCOBAAN
Untuk mempelajari absorpsi obat secara perkutan secara in vitro.

II.

PRINSIP
Adsorbsi perkutan dapat didefinisikan sebagai adsorbsi obat ke dalam

statum corneum (lapisan tanduk) dan berlanjut obat menembus lapisan di


bawahnya serta akhirnya obat masuk dalam sirkulasi darah.
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat
atau senyawa eksternal. Adsorbsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat
fisikokimiawi obat dan pembawa serta kondisi kulit pada pemakaian obat
secara topical, obat berdifusi dalam pembawanya dan kontak dengan
permukaan kulit (statum korneum dan setum) serta obat selanjtnya menembus
epidermis. Penetrasi obat melalui kulit dapat terjadi dengan dua cara yaitu :
1.

Rute transdermal, yaitu difusi obat menembus stratum korneum.

2.

Rute transfolikuler, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat dan

selum.
Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya
setelah obat kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus
epidermis dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik secra difusi pasif. Laju
absorbs melintasi kulit tidak segera tunak tetapi selalu teramati adanya waktu
laten. Waktu laten mencerminkan penundaan penembusan senyawa kebagian
dalam struktur tanduk dan pencapaian gradien difusi (Syukri, 2002).
Hambatan utama dari sistem penghantaran obat transdermal adalah sifat
halangan intrinsic dari kulit. Halangan ini dapat secara kimiawi dimodifikasi
dengan tujuan menurunkan resistensi difusi menggunakan peningkat penetrasi.
Strategi penggunaan peningkat penetrasi memungkinkan lebih banyak obat

dapat diberikan melalui sistem penghantaran transdermal. Pertimbangan


penting selama pengembangan sediaan trandermal adalah potensi respon
alergi, iritasi terhadap obat/konstituen formulasi lain, serta peningkatan
penetrasi (karena mekanisme kerjanya bermacam-macam, antara lain
melarutkan lapisan teratas dari kulit) Agoes, 2008).
Faktor yang mempengaruhi absorbsi kuat yaitu penetrasi dan cara
pemakaian temperatur dari kulit sifat fisika kimia obatnya, pengaruh dari sifat
dasar salep, lama pemakaian, kondisi atau keadaan kulit (Anief, 2000).
Adsorbsi melalui kulit (permukaan) bila suatu obat digunakan secara
topikal maka obat akan keluar dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan
jaringan kulit. Ada 3 jalan masuk yang utama melalui daerah kantong rambut,
melalui kelenjar keringat atau melalui jaringan keringa atau stratum korneum
yang terletak dianara kelenjar keringat dan kantong rambut (Lachman, 1989)
III.

TEORI

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap


pengaruh luar baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel
pada tubuh untuk menjaga keluarnya subtansi-subtansi penting dari dalam
tubuh dan untuk mencegah masuknya subtansi-subtansi asing yang berasal dari
luar tubuh untuk masuk ke dalam tubuh. Meskipun kulit relatif permeabel
terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat
ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan yang diaplikasikan ke
permukaanya. Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai lapisan yang
berbeda-beda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan
dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan
lapisan jaringan di bawah kulit berlemak atau yang disebut lapisan hipodermis
(Aiache, 1993 dan Chein, 1987).

Peningkat Penetrasi Perkutan (Penetration Enhancers)

Bahan tambahan yang dapat berfungsi untuk meningkatkan penembusan


zat aktif (penetrant enhancer) terkadang perlu ditambahkan. zat yang dapat
meningkatkan permeabilitas obat menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi
atau kerusakan permanen struktur permukaan kulit. Bahan-bahan yang dapat
digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain air, sulfoksida, senyawasenyawa azone, pyrollidones, asam-asam lemak, alkohol danglikol, surfaktan,
urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid.
Air dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi karena air akan
meningkatkan hidrasi pada jaringan kulit sehingga akan meningkatkan
penghantaran obat baik untuk obat-obat yang bersifat hidrofilik maupun
lipofilik. Adanya air juga akan mempengaruhi kelarutan obat dalam
stratum korneum dan mempengaruhi partisi pembawa ke dalam membran
(Williams dan Barry, 2004).
Pada asam lemak, semakin panjangnya rantai pada asam lemak maka
akan meningkatan penetrasi perkutan. Asam lemak yang biasa digunakan
adalah asam oleat, asam linoleat, dan asam laurat. Asam laurat dapat
meningkatkan penetrasi senyawa yang bersifat hidrofilik maupun
lipofilik. Mekanismenya dengan cara berinteraksi dengan lipid pada
stratum korneum menggunakan konfigurasi cis (Swarbrick dan Boylan,
1995; Williams dan Barry, 2004).
Etanol dapat meningkatkan penetrasi dari levonorgestrel, estradiol, dan
hidrokortison. Efek peningkatan penetrasi etanol tergantung dari
konsentrasi yang digunakan. Fatty alcohol seperti propilen glikol dapat
digunakan

sebagai

peningkat

penetrasi

pada

konsentrasi

1-10%

(Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry, 2004).


Persyaratan bahan yang digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain
(Williams dan Barry, 2004) :

Tidak toksis, tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan alergi


Inert, tidak memiliki sifat farmakologi
Dapat mencegah hilangnya substansi endogen dari dalam tubuh
Dapat bercampur dengan bahan aktif dan bahan pembawa dalam sediaan

Dapat diterima oleh tubuh dan dengan segera dapat mengembalikan fungsi
kulit ketika dihilangkan dari sediaan
Tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan relatif murah
Uji difusi in-vitro
Suatu uji perlu dilakukan untuk memperkirakan jumlah obat yang mampu
berdifusi

menembus

kulit.

Uji

tersebut

dilakukan

secara

in-vitro

menggunakan bahan dan alat yang mewakili proses difusi obat melewati
stratum korneum. Salah satu metode yang digunakan dalam uji difusi adalah
metode flow through. Adapun prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltik
menghisap cairan reseptor dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi
melewati penghilang gelembung sehingga aliran terjadi secara hidrodinamis,
kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil dari cairan
reseptor dalam gelas kimia dengan rentang waktu tertentu dan diencerkan
dengan pelarut campur. Kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya
pada panjang gelombang maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung
berdasarkan hukum Fick di atas. Membrane difusi dapat menggunakan
membran sintesis yang menyerupai stuktur stratum korneum ataupun bisa
menggunakan bagian kulit dari hewan uji (membran stratum korneum ular)
(Gummer, 1989).
Absorpsi perkutan
Penggunaam obat dengan mengaplikasikannya pada kulit disebut dengan
pemberian obat secara perkutan. Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul
obat dari kulit ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian masuk kedalam
sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif. Mengacu pada Rothaman,
penyerapan perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan senyawa
dari lingkungan luar ke bagian dalam kulit dalam peredaran darah dan
kelenjar getah bening. Istilah perkutan menunjukan bahwa penembusan
terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan
epidermis yang berbeda. Absorbsi perkutan suatu obat pada umumnya
disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum yang terdiri dari
kurang lebih 40% protein (pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak
berupa trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak.
Stratum korneum adalah lapisan terluar dari kulit yang terpapar ke
permukaan yang masuk ke dalam bagian epidermis kulit. Stratum komeum

sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi
permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi
jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada
konsentrasi obat.
Asam salisilat
Asam salisilat diabsorpsi melalui kulit dan didistribusikan dalam ruang
ekstraseluler dan kadar plasma maksimum tercapai 6-12 jam setelah
pemakaian. Karena 50-80% dari salisilat terikat pada abumin, maka
peningkatan kadar serum salisilat bebas ditemukan pada pasien dengan
hipoalbuminemia. Metabolit dalam urine dari asam salisilat yang diberikan
secara topikal meliputi salicyluric acid dan glukuronida-glukoronida phenolic
dan acyl dari asam salisilat; dan hanya 6% dari keseluruhan dari asam salisilat
yang diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Kira-kira 95% dari dosis tunggal
salisilat diekskresi di dalam urine dalam waktu 24 jam setelah diabsoprsi.
Mekanisme yang menyebabkan asam salisilat menghasilkan efek-efek
keratolitik dan efek-efek terapeutik lainnya belum banyak diketahui. Obatobat ini mungkin melarutkan protein-protein permukaan permukaan sel,
menjaga agar stratum korneum tetap utuh, sehingga menghasilkan
deskuamasi pada sisa-sisa keratotik. Asam salisilat bersifat keratolitik pada
konsentrasi 3-6%. Sementara itu, pada konsentrasi yang melebihi 6%, asam
salisilat dapat bersifat destruktif terhadap jaringan-jaringan tubuh
IV. METODE PERCOBAAN
Alat dan Bahan
Alat:
-

Difusi tipe horizontal (side by side)/ Difusi tipe vertikal


Spektrofotometer Uv-Vis

Bahan :
-

Asam salisilat

Membran milipore yang diimpregnasi dengan isopropyl miristat/ kulit


tikus

V.

PROSEDUR
Disiapkan membrane lipid buatan sebagai membrane difusi, membrane

milipore dipotong dibentuk dengan ukuran besaran lubang cincin penghubung


antar kompartemen aseptor pada sel difusi, impregnasikan membrane selama
15 menit dalam isopropyl miristat ditempatkan membrane tersebut pada kertas
saring untuk menghisap kelebihan lipid selama lebih kurang 5 menit.
Diuji difusi untuk membrane kulit buatan, direndam membrane pada
larutan dapar fosfat untuk proses hidrasi membrane selama 30 menit, diambil
membrane dan tempatkan diantara kompartemen donor dan aseptor,
ditempatkan ring karet atau silicon diantara kompartemen donor dan aseptor
untuk mencegah kebocoran, dipasangkan sel difusi dengan mengencangkan
mur yang ada sehingga terbentuk suatu sistem sel side by side atau vertical,
ditempatkan larutan donor asam salisilat dengan konsentrasi 1,5 mg/ml dalam
air pada kompartemen donor, dijalankan pengaduk magnetic pada kecepaan 20
rpm pada sisi donor dan aseptor, dilakukan pengukuran transport obat ke
kompartemen aseptor pada rentang waktu 0,15, 30, 45, 60 menit, dibuat profil
hubungan antara kumulatif transport terhadap waktu dan tentukan flux
berdasarkan nilai slope pada daerah linear berdasarkan persamaan
Q(t)

flux

*luas

membrane*

waktu,

digunakan

parameter

farmakokinetika asam salisilat T0,5 = 2,5 jam, total klirens = 1,38L/jam(Vree,et


al, 1994, Int J Clin Pharmacol Ther) untuk mempredisikan profil kadar obat
dalam plasma jika diasumsikan :
-

Lag time kinetic asam salisilat in vivo dapat diabaikan

Flux asam salisilat dari donor ke aseptor menggambarkan flux asam


salisilat dari donor menembus kulit menuju plasma

Luas area difusi menggambarkan luas kontak antara sediaan transdermal


dengan permukaan kulit.

VI.

DATA PENGAMATAN

VI.

Data Pengamatan
1.

Kurva Baku
a. Konsentrasi Larutan Baku asam salisilat yang dibuat = 50 mg/100
mL= 500 ppm
b. Data Kurva Baku asam salisilat
Conc
15
20
25
30
35

Abs
0.278
0.432
0.555
0.685
0.766

2. Data Absorbansi dan Konsentrasi Rata-Rata


a. Membran halus

t
( meni
t)
10
20
30
40
50

Conc
( ppm )
27.060
20.095
23.444
21.553
17.095

Abs
0.594
0.423
0.505
0.458
0.349

Conc
Terukur
27.131
20.166
23.515
21.624
17.166

Conc
608.318
452.152
527.242
484.843
384.888

mg

Fak.

mg

terdisolusi Koreksi

terkoreksi

1.217
0.904
1.054
0.970
0.770

1.217
0.916
1.064
0.980
0.780

0.012
0.009
0.011
0.010

60
70

16.484
12.839

0.334
0.244

16.555
12.910

371.188 0.742
289.462 0.579

0.008
0.008

0.750
0.586

Fak.

mg

b. Membran kasar
t
( meni
t)
10
20
30
40
50
60
70

Conc
( ppm )
43.407
73.857
46.036
37.127
25.479
17.514
14.045

Conc

Abs

Terukur

0.996
1.744
1.060
0.841
0.555
0.359
0.274

43.478
73.928
46.107
37.198
25.550
17.585
14.116

Conc
974.843
1657.578
1033.789
834.036
572.870
394.283
316.502

c. Rata rata mg terkoreksi


mg

mg

terkoreksi terkoreksi
membran

membran

halus
1.217
0.916
1.064
0.980
0.780
0.750
0.586

kasar
1.950
3.335
2.101
1.689
1.163
0.800
0.641

d. Kurva mg terkoreksi

rata2

1.583
2.126
1.582
1.335
0.971
0.775
0.614

mg

terdisolusi Koreksi

terkoreksi

1.950
3.315
2.068
1.668
1.146
0.789
0.633

1.950
3.335
2.101
1.689
1.163
0.800
0.641

0.019
0.033
0.021
0.017
0.012
0.008

e. Perhitungan membran
Diameter dalam
: 1.20
diameter
: 0,60
Luas lingkaran
: . r2
= 22/7 . 0,602
= 1.1304 cm2
Persamaan linear
: y = 0,0011x + 1,1516
Flux

VII.

= 0.00097

PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini di ujikan absorpsi obat secara perkutan dengan

tujuan untuk mengetahui pengaruh stratum korneum sebagai penghalang absorpsi


secara perkutan. Dimana pada praktikum kali ini menggunakan membran sintetik
kasar dan halus sebagai bahan uji. Stratum korneum sendiri adalah penghalang
pasif pada kulit yang terdiri dari sel-sel mati yang tidak memiliki transport aktif
didalamnya.
Untuk mencapai tempat kerja suatu obat di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya membran sel

mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid yang


semipermeabel. Kelarutan molekul obat dalam lipid inilah yang merupakan faktor
utama absorbsi obat dalam tubuh.
Dilakukan uji difusi suatu obat dengan menggunakan metode difusi tipe
vertikal, Yang merupakan percobaan pada uji difusi terhadap suatu zat tertentu
dimana dibuat suatu mekanisme kerja layaknya difusi didalam membran sel tubuh
manusia. Adapun sediaan yang diuji menggunakan bahan aktif asam salisilat.
Kemudian dihitung konsentrasi obat yang terabsorbsi pada membran, dimana obat
yang terabsorbsi seolah-olah menembus membran sel yang ada didalam tubuh.
Alat yang digunakan dengan magnetic stirer bar diaktifkan oleh thermolyne
Cimarec. Metode pengujian transport dengan sel difusi tipe vertikal mempunyai
beberapa keuntungan yaitu membutuhkan volume kompartemen donor yang lebih
kecil, membutuhkan luas memberan transport lebih kecil, dan kemungkinan
kebocoran membran kulit asli lebih kecil, sedangkan kerugiannya adalah tidak
adanya pengadukan di kompartemen donor dan pengadukan di kompartemen
reseptor kadang - kadang kurang homogen.
Sediaan transdermal dapat dikembangkan untuk alternatif sistem
penghantaran obat dengan bioavailabilitas oral yang rendah. Namun tidak semua
obat dapat menembus kulit dengan mudah karena struktur kulit yang sangat
kompleks yang menghambat absorpsi transdermal. Oleh karena itu diperlukan
upaya untuk memperbaiki bioavailabilitas obat yang diberikan secara transdermal.
Salah satu upaya ini adalah penggunaan enhencer kimia dalam sediaan. Enhancer
adalah sesuatu yang dapat meningkatkan permeasi (transpor). Enhancer dapat
berupa metode fisika misalnya iontoforesisi (aplikasi arus listrik) maupun
enhancer kimia misalnya bahan-bahan kimia(Saraf et al. 2006). Permeasi
(transport) adalah perpindahan obat dari satu kompartemen ke kompartemen lain.
Antara dua kompartemen ini terdapat membran yang memisahkannya (Martin et
al. 1993). Pada praktikum kali ini menggunakan aplikasi arus listrik.
Profil transpor transdermal asam salisilat menunjukkan adanya lag time.
Kondisi steady state sudah tercapai pada waktu transpor selama 30 menit. Analisis
transpor dapat dilakukan dengan beberapa metode, misalnya metode lag time
difusi dan metode pemodelan kompartemen (Nugroho et al., 2005).

Pada praktikum ini dilakukan analisis dengan metode lag time difusi. Pada
metode ini diambil sebagian data yang diasumsikan bahwa transpor sudah
mencapai kondisi tunak (steady state). Pada kondisi tunak, didapatkan hubungan
yang linear antara waktu transpor dengan jumlah obat yang tertranspor kumulatif.
Hubungan yang linear tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
(r) yang lebih besar dari pada r tabel. Pada penelitian ini dipakai 4 data terakhir.
Harga r tabel untuk derajat bebas 2 dan taraf kepercayaan 95% adalah 0.95 (Muth
1999).
Kenaikan parameter kelarutan (polaritas) stratum korneum dan penurunan
fraksi ion asam salisilat oleh penghantaran arus listrik yang diharapkan dapat
menaikkan fluks transpor tidak terjadi.
Pada praktikum ini diperoleh hasil mg terdisolusi untuk membran sintetis
kasar lebih banyak karena memiliki pori-pori yang besar di bandingkan dengan
membran sintetis yang halus sehingga mg terkoreksinya lebih banyak yang kasar
yaitu sebesar 0.641 pada menit ke 70. Besarnya mg terkoreksi yang lebih besar
dapat menyebabkan hasil fluks asam salisilat dari donor menembus kulit menuju
plasma kurang maksimal.

VII.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah diakukan dapat disimpulkan

bahwa, Dalam pengujian absorpsi perkutan asam salisilat secara in vitro


didapatkan hasil mg terdisolusi yang besar pada membran kasar dibandingkan
dengan membran halus. Hal ini dikarenakan membran kasar mempunyai pori-pori
yang lebih besar dibandingkan membran halus

DAFTAR PUSTAKA

Junqueira, L.C., and J. Cameiro. 1981. Basic Histology, 3rd edition. Lange
Medical Publication, Drawer Los Altos, California.
Medidata Indonesia. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 11
2011/2012. Penerbit BIP Kelompok Gramedia, Jakarta.

Said, M.I. 2000. Isolasi dan Identifikasi Kapang serta Pengaruhnya


terhadap Sifat Fisik dan Struktur Jaringan Kulit Kambing Pickle serta Wet Blue
dengan Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan [Tesis], Progam Studi Ilmu
Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Shargel, L.,Wu, S., dan Yu, Andrew B.C. 2012. Biofarmasetika &
Farmakokinetika Terapan, Edisi kelima. Airlangga University Press, Surabaya.
Webb, J.E., J.A Walwork and J.H. Elgord. 1981. Guide to Living
Reptilians, The Mc Millan Press Ltd., New Delhi.

You might also like