You are on page 1of 22

NATA DE COCO

1. PENDAHULUAN

Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari sellulosa,


berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal dari
pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media cair yang
asam dan mengandung gula.

Nata dapat dibuat dari bahan baku air kelapa, dan limbah cair
pengolahan tahu (whey tahu). Nata yang dibuat dari air kelapa disebut
dengan nata de coco, dan yang dari whey tahu disebut dengan nata de
soya. Bentuk, warna, tekstur dan rasa kedua jenis nata tersebut tidak
berbeda.

Pembuatan nata tidak sulit, dan biaya yang dibutuhkan juga tidak
banyak.
Usaha pembuatan nata ini merupakan alternatif usaha yang cukup
menjanjikan (prospektif).

Fermentasi Nata

Fermentasi nata dilakukan melalui tahap-tahap berikut:

1) Pemeliharaan biakan murni Acetobacter xylinum


2) Pembuatan starter
3) Fermentasi

1) Pemeliharaan Biakan Murni Acetobacter xylinum

Fermentasi nata memerlukan biakan murni Acetobacter xylinum.


Biakan murni ini harus dipelihara sehingga dapat digunakan setiap
saat diperlukan.
Pemeliharaan tersebut meliputi (1) proses penyimpanan sehingga
dalam jangka waktu yang cukup lama viabilitas (kemampuan hidup)
mikroba tetap dapat dipertahankan; dan (2) penyegaran kembali
mikroba yang telah disimpan sehingga terjadi pemulihan viabilitas dan
mikroba dapat disiapkan sebagai inokulum fermentasi.

a. Penyimpanan

• Acetobacter xylinum biasanya disimpan pada agar miring yang


terbuat dari media Hasisd dan Barker yang dimodifikasi dengan
komposisi sebagai berikut: glukosa (100 gram), ekstrak khamir
(2,5 gram), K2HPO4 (5 gram), (NH4)2SO4 (0,6 gram), MgSO4
(0,2 gram), agar (18 gram), dan air kelapa (1 liter).
• Pada agar miring dengan suhu penyimpanan 4-70C, mikroba ini
dapat disimpan selama 3-4 minggu.

b. Penyegaran

Setiap 3 atau 4 minggu, biakan A. xylinum harus dipindahkan kembali


pada agar miring baru. Setelah 3 kali penyegaran, kemurnian biakan
harus diuji dengan melakukan isolasi biakan pada agar cawan. Adanya
koloni asing pada permukaan cawan menunjukan bahwa kontaminasi
telah terjadi. Biakan pada agar miring yang telah terkontaminasi,
harus diisolasi dan dimurnikan kembali sebelum disegarkan.

2) Pembuatan Starter

a. Starter adalah populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi


fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi.
Mikroba pada starter tumbuhdengan cepat dan fermentasi
segera terjadi.
b. Media starter biasanya identik dengan media fermentasi. Media
ini diinokulasi dengan biakan murni dari agar miring yang masih
segar (umur 6 hari).
c. Starter baru dapat digunakan 6 hari setelah diinokulasi dengan
biakan murni. Pada permukaan starter akan tumbuh mikroba
membentuk lapisan tipis berwarna putih. Lapisan ini disebut
dengan nata. Semakin lama lapisan ini akan semakin menebal
sehingga ketebalannya mencapai 1,5 cm. Starter yang telah
berumur 9 hari (dihitung setelah diinokulasi dengan biakan
murni) tidak dianjurkan digunakan lagi karena kondisi fisiologis
mikroba tidak optimum bagi fermentasi, dan tingkat kontaminasi
mungkin sudah cukup tinggi.
d. Volume starter disesuaikan dengan volume media fermentasi
yang akan disiapkan. Dianjurkan volume starter tidak kurang
dari 5% volume media yang akan difermentasi menjadi nata.
Pemakaian starter yang terlalu banyak tidak dianjurkan karena
tidak ekonomis.

3) Fermentasi

a. Fermentasi dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi


dengan starter. Fermentasi berlangsung pada kondisi aerob
(membutuhkan oksigen). Mikroba tumbuh teruatama pada
permukaan media.
Fermentasi dilangsungkan sampai nata yang terbentuk cukup
tebal (1,0- 1,5 cm). Biasanya ukuran tersebut tercapai setelah
10 hari (semenjak diinokulasi dengan starter), dan fermentasi
diakhiri pada hari ke 15. Jika fermentasi tetap diteruskan,
kemungkinan permukaan nata mengalami kerusakan oleh
mikroba pencemar.
b. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah massa
mikroba berkapsul dari selulosa.
c. Lapisan nata mengandung sisa media yang sangat asam. Rasa
dan bau masam tersebut dapat dihilangkan dengan perendaman
dan perebusan dengan air bersih.

2. BAHAN

1) Penyiapan Biakan Murni

- Biakan murni A. xylinum


- Glukosa, 100 gram
- Ekstrak khamir, 5 gram
- K2HPO4, 5 gram
- (NH4)2SO4, 0,6 gram
- MgSO4, 0,2 gram
- Agar, 18 gram
- Air kelapa, 1 liter
- Asam asetat 25%, untuk mengatur agar pH menjadi 3-4

2) Pembuatan Starter

- Biakan murni A. xylinum


- Glukosa, 100 gram
- Urea, 5 gram
- Air kelapa, 1 liter
- Asam asetat 25%, untuk mengatur agar pH menjadi 3-4

3) Fermentasi Nata

- Starter
- Glukosa
- Urea
- Limbah air kelapa
- Asam asetat 25% untuk mengatur pH menjadi 3-4

3. PERALATAN

1) Alat untuk Penyiapan Biakan Murni

• Alat pensteril. Alat ini digunakan untuk mensterilkan alat dan


media.
Autoklav mini, atau press cooker sudah memadai untuk
keperluan tersebut.
• Tabung reaksi dan kapas. Alat ini digunakan untuk pembuatan
agar miring.
• Jarum ose. Alat ini digunakan untuk memindahkan biakan ke
agar miring baru.
• Kotak inokulasi. Alat ini digunakan sebagai tempat untuk
memindahkan biakan sehingga kemungkinan kontaminasi bisa
diminimalkan.
• Lampu spritus. Alat ini digunakan untuk membakar jarum ose,
dan mengurangi kemungkinan kontaminasi pada saat
pemindahan biakan.
• Gelas piala. Alat ini digunakan untuk membuat media agar.
• Kompor. Alat ini digunakan utnuk memasak media agar yang
baru dibuat sebelum sterilisasi.
• Kotak inkubasi. Alat ini digunakan untuk inkubasi agar miring.
• Lemari pendingin (kulkas). Alat ini digunakan untuk menyimpan
biakan agar miring yang telah selesai diinkubasi.
• Timbangan
• PH meter. Alat ini digunakan untuk mengatur pH menjadi 3-4.

2) Pembuatan Starter

• Botol bermulut lebar. Alat ini digunakan sebagai wadah untuk


pembuatan
starter.
• Kertas. Kertas digunakan untuk menutup botol bermulut lebar.
• Ruang inkubasi. Ruang ini digunakan untuk inkubasi starter.
Ruang harus bersih, telah dicuci hamakan, tidak berserangga,
dan tidak mudah dimasuki debu, angin, dan serangga.
• Wadah perebus media. Wadah ini digunakan untuk merebus
media yang akan diinokulasi dengan biakan murni. Wadah harus
tahan asam, dan mudah dibersihkan. Panci berenamel atau
stainless steel paling cocok sebagai wadah perebus media.
• Timbangan
• PH meter. Alat ini digunakan untuk mengatur pH menjadi 3-4.

3) Fermentasi

• Wadah fermentasi. Wadah fermentasi berupa baki-baki yang


tahan asam dengan kedalaman 7-9 cm. Kotak plastik, stainless
steel, atau aluminium yang diberi enamel dapat digunakan untuk
keperluan tersebut.
• Wadah perebus media. Wadah ini digunakan untuk merebus
media yang akan diinokulasi dengan starter. Wadah harus tahan
asam, dan mudah dibersihkan. Panci berenamel atau stainless
steel paling cocok sebagai wadah perebus media.
• Ruang fermentasi. Ruang ini digunakan untuk fermentasi. Ruang
harus bersih, telah dicuci hamakan, tidak berserangga, dan tidak
mudah dimasuki debu, angin, dan serangga.
• Timbangan
• Kompor
• PH meter. Alat ini digunakan untuk mengatur pH menjadi 3-4.

4) Pemanen Hasil

• Wadah perendam dan perebus. Wadah ini digunakan untuk


merendam dan merebus nata dengan air bersih agar hilang rasa
dan bau masamnya.
Wadah harus dari bahan tahan asam.
• Pemotong nata. Alat ini digunakan untuk memotong nata
sehingga berbentuk kubus. Alat paling sederhana adalah pisau.
Untuk memotong nata dalam jumlah besar dapat digunakan
mesin pemotong yang digerakan dengan tangan atau digerakkan
dengan mesin.

4. CARA PEMBUATAN

1) Penyiapan Biakan Murni

a. Agar (15-18 g) dimasukkan ke dalam 500 ml air kelapa,


kemudian dipanaskan sampai larut. Setelah itu ditambahkan
ekstrak ragi (5 g) dan diaduk sampai larut (larutan a).
b. Gula (75 g), dan asam asetat (a5 ml) dimasukkan ke dalam 500
ml air kelapa segar yang lain dan diaduk sampai gula
larut(larutan b).
c. Larutan (a) sebanyak 3-4 ml dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, kemudian tutup dengan kapas. Larutan (b) 3-4 ml juga
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain, kemudian ditutup
dengan kapas. Masingmasing disterilkan pada suhu 1210C
selama 20 menit.
d. Setelah selesai sterilisasi san larutan tidak terlalu panas lagi,
larutan (a) dituangkan ke larutan (b) secara aseptis. Setelah itu
1 tabung berisi larutan b diletakkan secara miring untuk
membuat agar miring dan ditunggu sampai agar mengeras.
e. Inokulum Acetobacter xylinum diinokulasikan pada agar miring
di atas.
Kemudian diinkubasikan pada suhu kamar atau pada suhu 300C
sampai tampak pertumbuhan bakteri serupa keloid mengkilat
dan bening pada permukaan agar miring.

2) Pembuatan Starter

a. Air kelapa diendapkan, kemudian disaring dengan beberapa lapis


kain kassa, kemudian dipanaskan sampai mendidih dengan api
besar sambil diaduk-aduk. Setelah mendidih, ditambahkan (a)
asam asetat glasial (10- 20 ml asam asetat untuk setiap 1 liter
air kelapa), dan (b) gula (75-100,0 gram gula untuk tiap 1 liter
air kelapa). Campuran ini diaduk sampai gula larut. Larutan ini
disebut air kelapa asam bergula.
b. Urea (sebanyak 3 gram urea untuk setiap 1 liter air kelapa asam
bergula yang disiapkan pada no. 1 diatas) dilarutkan di dalam
sedikit air kelapa (setiap 1 gram urea membutuhkan 20 ml air
kelapa). Larutan ini dididihkan, kemudian dituangkan ke dalam
air kelapa asam bergula.
c. Ketika masih panas, media dipindahkan ke dalam beberapa botol
bermulut lebar, masing-masing sebanyak 200 ml. Botol ditutup
dengan kapas steril. Setelah dingin, ditambahkan 4 ml suspensi
mikroba. Setelah itu, media diinkubasi pada suhu kamar selama
6-8 hari (sampai terbentuk lapisan putih pada permukaan
media).

3) Fermentasi Nata

a. Air kelapa yang masih segar diendapkan, dan disaring dengan


beberapa lapis kain kassa, kemudian dipanaskan sampai
mendidih dengan api besar sambil diaduk-aduk. Setelah
mendidih, ditambahkan (a) asam asetat glasial (10 ml asam
asetat untuk setiap 1 liter air kelapa), dan (b) gula (80 gram
gula untuk setiap 1 liter air kelapa). Campuran ini diaduk sampai
gula larut. Larutan ini disebut air kelapa asam bergula.
b. Urea (sebanyak 5 g urea untuk setiap 1 liter air kelapa asam
bergula yang disiapkan pada no. 1 diatas) dilarutkan di dalam
sedikit air kelapa yang telah dimasak (setiap 1 gram urea
membutuhkan 20 ml air kelapa).
Larutan ini dididihkan, kemudian dituangkan ke dalam air kelapa
asam bergula. Larutan yang diperoleh disebut sabagai sebagai
media nata.
Larutan ini didinginkan sampai suam-suam kuku.
c. Media nata ditambah dengan starter (setiap 1 liter media nata
membutuhkan 50-100 ml starter), kemudian dipindahkan ke
dalam wadahwadah fermentasi dengan ketinggian media 4 cm.
Wadah ditutup dengan kertas yang telah dipanaskan di dalam
oven pada suhu 1400C selama 2 jam. Wadah berisi media ini
disimpan di ruang fermentasi selama 12-15 hari sampai
terbentuk lapisan nata yang cukup tebal (1,5-2,0 cm).

4) Panen dan pencucian

Lapisan nata diangkat, kemudian dicuci dengan air bersih. Setelah itu
nata direndam di dalam air mengalir atau air yang diganti-ganti
dengan air segar selama 3 hari. Setelah itu nata dipotong-potong
dengan panjang 1,5 dan lebar 1,5 cm. Potongan nata direbus 5-10
menit, kemudian dicuci, dan direbus lagi selama 10 menit. Hal ini
diulangi sampai nata tidak berbau dan berasa asam lagi.

5) Pembotolan

a. Pembuatan sirup. Gula yang putih bersih dilarutkan ke dalam air


(setiap 2 kg gula dilarutkan ke dalam 4 liter air bersih),
kemudian ditambahkan vanile (secukupnya) dan benzoat (1
gram untuk setiap liter larutan gula).
Larutan sirup ini direbus sampai mendidih selama 30 menit.

b. Pengemasan. Nata yang masih panas segera dimasukkan ke


dalam sirup, kemudian didinginkan sampai suam-suam kuku.
Setelah itu nata dikemas di dalam kantong plastik rangkap dua,
atau di dalam gelas plastik, dan kemasan ditutup dengan rapat
(kantong plastik diikat dengan karet, dan gelas plastik di-seal).

Produksi Mentega dan Margarin

Sebagian dari kita menghindari mentega dan margarin karena takut


pada kandungan lemaknya. Padahal, banyak zat gizi lain yang
terdapat pada bahan makanan itu. Selain vitamin A dan D, juga
terdapat zat besi, fosfor, natrium, kalium serta omega-3 dan omega-6.
Lemak dan minyak merupakan zat gizi penting untuk menjaga
kesehatan manusia. Selain itu, lemak dan minyak merupakan sumber
energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein.
Sumbangan energi per gram lemak, protein, dan karbohidrat masing-
masing 9, 4, dan 4 kkal.

Mentega dan margarin tergolong lemak yang siap dikonsumsi tanpa


dimasak (edible fat consumed uncooked). Keduanya memiliki fungsi
sama, yaitu sebagai sumber energi, meningkatkan daya terima
makanan, membentuk struktur, serta memberikan cita rasa enak.

Namun, ada perbedaan mendasar pada kedua produk tersebut.


Mentega merupakan produk alami susu. Pembuatannya dengan
mengocok dan mengguncangkan krim susu, hingga tercapai keadaan
semipadat.

Margarin umumnya dibuat dari minyak nabati. Kedua jenis bahan


pangan ini merupakan emulsi dengan tipe yang sama, yaitu fase air
yang berada dalam fase minyak (water in oil).

Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur karena
memiliki berat jenis yang berbeda. Untuk menjaga agar butiran
minyak tetap tersuspensi di dalam air, pada mentega dan margarin
diperlukan suatu zat pengemulsi (emulsifier).

Bahan yang dapat berperan sebagai pengemulsi antara lain kuning


telur, kasein, albumin, atau lesitin. Daya kerja emulsifier didukung
oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat pada minyak maupun air.

Pada pembuatan mentega dan margarin, penambahan emulsifier


berfungsi untuk (1) mengurangi daya percik produk apabila digunakan
untuk menggoreng karena air yang ada di dalam produk diikat oleh
lemak, (2) memperpanjang daya simpan, sebab produk dinyatakan
rusak apabila terjadi pemisahan komponen lemak dan air, (3)
memperkeras tekstur agar tidak meleleh pada suhu kamar, dan (4)
mempertinggi titik didih untuk memenuhi tujuan penggorengan.

Lemak Susu
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3744-1995), mentega
adalah produk makanan berbentuk padat lunak yang dibuat dari lemak
atau krim susu atau campurannya, dengan atau tanpa penambahan
garam (NaCl) atau bahan lain yang diizinkan, serta minimal
mengandung 80 persen lemak susu.

Selain garam dapur, ke dalam mentega juga ditambahkan vitamin, zat


pewarna, dan bahan pengawet (misalnya sodium benzoat). Emulsi
pada mentega merupakan campuran 18 persen air yang terdispersi
pada 80 persen lemak, dengan sejumlah kecil protein yang bertindak
sebagai zat pengemulsi.

Mentega dapat dibuat dari lemak susu (terutama lemak susu sapi)
yang manis (sweet cream) atau asam. Mentega dari lemak susu yang
asam mempunyai cita rasa lebih kuat.

Lemak susu dapat dibiarkan menjadi asam secara spontan atau


melalui penambahan inokulum murni bakteri asam laktat (proses
fermentasi). Mula-mula lemak susu dinetralkan dengan garam
karbonat, kemudian dipasteurisasi dan diinokulasi dengan bakteri yang
dapat menghasilkan asam laktat selama proses fermentasi.

Bila perlu, ditambahkan zat pewarna ke dalam lemak susu, umumnya


berupa karoten, yaitu zat pewarna alamiah yang merupakan sumber
vitamin A.

Lemak Nabati
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3541-1994), margarin
adalah produk makanan berbentuk emulsi padat atau semipadat yang
dibuat dari lemak nabati dan air, dengan atau tanpa penambahan
bahan lain yang diizinkan.

Margarin dibedakan atas margarin dapur dan margarin meja. Pada


margarin dapur tidak dipersyaratkan adanya penambahan vitamin A
dan D

Margarin merupakan produk makanan berbentuk emulsi campuran air


di dalam minyak, yaitu sekitar 16 persen air di dalam minimal 80
persen minyak atau lemak nabati. Fase lemak umumnya terdiri dari
minyak nabati, yang sebagian telah dipadatkan agar diperoleh sifat
plastis yang diinginkan pada produk akhir.

Margarin dimaksudkan sebagai pengganti mentega dengan rupa, bau,


konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama dengan mentega.

Minyak nabati yang umum digunakan dalam pembuatan margarin


adalah minyak kelapa, minyak inti sawit, minyak biji kapas, minyak
kedelai, minyak wijen, minyak kapuk, minyak jagung, dan minyak
gandum.

Agar dapat diolah menjadi margarin, minyak nabati berbentuk cair


tersebut dikristalisasi terlebih dahulu menjadi lemak padat melalui
proses hidrogenasi (penjenuhan asam lemak). Komponen lain yang
sering ditambahkan adalah air, garam flavor mentega, zat pengemulsi
(berbentuk lesitin, gliserin, atau kuning telur), zat pewarna (minyak
sawit merah atau betakaroten sintetik), bahan pengawet (sodium
benzoat, asam benzoat atau potassium sorbat), serta vitamin A dan D.

Ciri-ciri margarin yang menonjol adalah bersifat plastis, padat pada


suhu ruang, agak keras pada suhu rendah, teksturnya mudah
dioleskan, serta segera dapat mencair di dalam mulut.

Kaya Lemak
Komposisi gizi margarin hampir sama dengan mentega, hanya sedikit
berbeda dalam jumlah. Seperti halnya pada mentega, komposisi gizi
terbesar dalam margarin adalah lemak (sekitar 80 persen).

Lemak memiliki komposisi terbesar dalam mentega dan margarin jika


dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Kandungan protein dan
karbohidrat pada mentega dan margarin sangat rendah, yaitu sekitar
0,4-0,8 gram per 100 gram.

Lemak mentega berasal dari lemak susu hewan, dikenal sebagai butter
fat. Mentega mengandung sejumlah asam butirat, asam laurat, dan
asam linoleat. Asam butirat dapat digunakan oleh usus besar sebagai
sumber energi, juga dapat berperan sebagai senyawa antikarsinogenik
(antikanker).

Asam laurat merupakan asam lemak berantai sedang yang memiliki


potensi sebagai antimikroba dan antifungi. Asam linoleat pada
mentega dapat memberikan perlindungan terhadap serangan kanker.

Jumlah asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal, dan asam
lemak tidak jenuh majemuk pada mentega masing-masing 47,35;
26,10; dan 2,24 g per 100 gram. Jumlah asam lemak jenuh, asam
lemak tidak jenuh tunggal, dan asam lemak tidak jenuh majemuk
pada margarin masing-masing 29,02; 34,61; dan 13,78 g per 100
gram.

Dari perbandingan tersebut jelaslah bahwa mentega mengandung


kadar asam lemak jenuh lebih tinggi, tetapi memiliki asam lemak tidak
jenuh yang lebih rendah dibandingkan margarin. Dari titik pandang
kesehatan, tentu saja asam lemak tidak jenuh, yaitu omega-3 dan
omega-6, yang terdapat pada margarin lebih menguntungkan daripada
asam lemak jenuh yang terdapat pada mentega.

Meski sedikit, mentega juga mengandung asam lemak omega-3 dan


omega-6. Selain itu, mentega mengandung glycospingolipid, yaitu
suatu asam lemak yang dapat mencegah infeksi saluran pencernaan,
terutama pada anak-anak dan orangtua.

Karena terbuat dari krim susu, tentu saja kandungan kolesterol


mentega lebih tinggi dibandingkan dengan margarin yang terbuat dari
minyak nabati. Kadar kolesterol tinggi tidak selalu berdampak buruk
bagi kesehatan. Bahkan sebaliknya, kolesterol memegang peran
penting dalam fungsi organ tubuh.

Kolesterol berguna untuk menyusun empedu darah, jaringan otak,


serat saraf, hati, ginjal, dan kelenjar adrenalin. Kolesterol juga
merupakan bahan dasar pembentukan hormon steroid, yaitu
progestron, estrogen, testosteron, dan kortisol.

Hormon-hormon tersebut diperlukan untuk mengatur fungsi dan


aktivitas biologis tubuh. Kadar kolesterol yang sangat rendah dapat
mengganggu proses menstruasi dan kesuburan, bahkan menyebabkan
kemandulan, baik pada pria maupun wanita.

Kaya Vitamin dan Mineral


Mentega kaya vitamin yang mudah diserap, yaitu vitamin A yang
sangat dibutuhkan tubuh dalam fungsi fisiologis dan pemeliharaan
sistem endokrin.
Mentega juga mengandung semua vitamin larut lemak lainnya, yaitu
vitamin D, E, dan K. Vitamin A bersumber dari betakarotenoid atau
pigmen karoten lainnya yang sengaja ditambahkan sebagai pewarna
kuning.

Supaya dapat menyamai kadar vitamin A dan D yang ada pada


mentega, ke dalam margarin dipersyaratkan adanya penambahan
kedua jenis vitamin tersebut . Standar Nasional Indonesia tentang
margarin telah dengan tegas mensyaratkan penambahan vitamin A
dan D ke dalam margarin, khususnya untuk margarin meja. Kadar
vitamin A yang diharuskan pada mentega dan margarin 1.400-3.500
IU per 100 gram, sedangkan kadar vitamin D 250-350 IU per 100
gram.
Komposisi gizi mentega asin dan mentega manis sama saja. Satu-
satunya pembeda yang paling mencolok adalah kadar natrium yang
pada mentega asin jauh lebih banyak (843 mg per 100 g)
dibandingkan dengan mentega manis (8 mg/100 g). Hal tersebut
sangat terkait dengan adanya penambahan garam dapur (NaCl) pada
pembuatan mentega asin.

Selain natrium, mineral yang banyak terkandung pada mentega adalah


besi, kalium, dan fosfor. Seperti halnya pada mentega, margarin juga
kaya mineral tersebut, bahkan nilainya relatif lebih banyak daripada
yang terdapat pada mentega.

Natrium berguna untuk menjaga keseimbangan asam dan basa di


dalam tubuh serta terlibat dalam permeabilitas sel. Kalium berguna
untuk pengaturan keseimbangan cairan sel, kontraksi sel otot, dan
terlibat dalam permeabilitas sel. Fungsi besi adalah untuk
pembentukan sel darah merah, transpor oksigen, serta mencegah
anemia. Fosfor berperan untuk pembentukan tulang dan gigi, terlibat
dalam absorpsi glukosa dan gliserol, serta dalam transpor asam
lemak.

Oleh: Prof. DR. Made Astawan, Dosen di Departemen Teknologi


Pangan dan Gizi IPB

Sumber:
http://www.kompas.co.id/

KARAKTERISTIK INOKULUM LARU PADA PROSES


FERMENTASI ALKOHOL SISTEM BEKONANG
(Studi Kasus Pada Industri Fermentasi Alkohol di desa Sentul,
Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah)
Charis Amarantini
Fakultas Biologi – Universitas Kristen Duta Wacana
Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 5-19 Jogjakarta. 55224
Telp. (0274) 563929 Fax. : (0274) 513235
e-mail: camarantini@yahoo.com
ABSTRAK
Fermentasi alkohol sistem Bekonang memiliki kekhasan dan keunikan berkaitan dengan
terdapatnya populasi bakteri dalam laru dan tradisi penggunaan laru secara bergantian dan
turuntemurun.
Penggunaan kembali sel khamir sebagai inokulum memberikan resiko tinggi terhadap
keaktifan laru dan kemungkinan terjadinya kontaminasi sehingga berpengaruh terhadap
kecepatan
fermentasi dan variasi prosentase kadar alkohol yang dihasilkan. Dalam upaya menggali potensi
inokulum laru, perlu dilakukan pengkajian karakteristik inokulum laru dalam proses fermentasi
yang
menggunakan medium molase dan sisa penyulingan.
Pelaksanaan penelitian dilakukan mengikuti prosedur proses fermentasi yang dilakukan oleh
kelompok pengrajin alkohol di desa Sentul Bekonang. Bahan dasar untuk fermentasi
mengandung
molase, sisa penyulingan, air. Medium tersebut dicampur secara homogen, kemudian
ditambahkan
inokulum dari tangki fermentasi yang berumur 24 jam dengan perbandingan 3:3:3:1. Proses
fermentasi dilakukan selama 6 hari. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan sisa penyulingan,
dilakukan proses fermentasi dengan bahan dasar medium tanpa menggunakan sisa penyulingan.
Setiap hari dilakukan pengambilan sampel untuk enumerasi bakteri dan khamir, dan kadar
alkohol
yang dihasilkan selama proses fermentasi.
Hasil enumerasi menunjukkan bahwa jumlah populasi bakteri lebih besar jika dibandingkan
dengan populasi khamir. Total koloni bakteri dan khamir pada medium fermentasi yang
menggunakan
sisa penyulingan lebih besar jika dibandingkan dengan medium fermentasi tanpa sisa
penyulingan.
Walaupun populasi khamir dalam medium fermentasi dengan sisa penyulingan lebih besar, akan
tetapi dalam rentang waktu inkubasi selama 4 hari, populasi khamir dalam medium fermentasi
tanpa
sisa penyulingan berkembang lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan populasi
bakteri
menyebabkan kinerja laru tidak optimum. Jumlah populasi khamir yang berkembang selama
proses
fermentasi terhambat oleh sebab peningkatan populasi bakteri, sehingga proses fermentasi untuk
menghasilkan alkohol sebesar 10% dalam medium fermentasi yang menggunakan sisa
penyulingan
berlangsung lebih lambat dibanding proses fermentasi yang menggunakan medium tanpa sisa
penyulingan.
PENDAHULUAN
Pada industri fermentasi, pelaksanaan proses fermentasi merupakan bagian penting
yang menentukan keberhasilan suatu produksi. Arti penting dari pelaksanaan proses
fermentasi terletak pada beberapa aspek yang mendukung keberhasilan fermentasi, yaitu
aspek mikrobia, medium fermentasi, dan pasca fermentasi.
Untuk dapat digunakan sebagai inokulum, mikrobia harus memiliki beberapa
keunggulan yang diperlukan untuk keberhasilan suatu proses fermentasi, kondisi
fisiologis
dari kultur mikrobia dan ketersediaan dalam jumlah yang memadai untuk tercapainya
proporsi yang optimal antara inokulum dan medium fermentasi. Kultur mikrobia juga
harus
siap menghasilkan sel-sel vegetatif ataupun unit reproduktif lain serta terhindar dan
mampu
melindungi dirinya sendiri dari kontaminasi sehingga aktif dan mampu tumbuh dengan
cepat
sesaat setelah diinokulasikan ke dalam medium fermentasi dan akhirnya akan dihasilkan
produk yang diinginkan dalam jangka waktu yang pendek.
Proses fermentasi alkohol di Bekonang memiliki kekhasan. Fermentasi dilakukan
dengan menggunakan inokulum laru secara berkelanjutan dari medium fermentasi yang
mengandung sisa penyulingan. Penggunaan sisa penyulingan memberikan resiko
terhadap
keaktifan laru dan akan menyebabkan kinerja laru tidak optimum. Sisa penyulingan yang
disimpan dalam tangki terbuka akan memungkinkan bagi mikrobia lain untuk tumbuh
dan
menggunakan sisa substrat. Laru merupakan campuran populasi mikrobia. Selain khamir
sebagai organisme penghasil alkohol, di dalam laru terdapat populasi bakteri dalam
jumlah
yang cukup besar (3,9.105 UPK/ml – 2,2.106 UPK/ml) dan pada percobaan simulasi
produksi
berdasarkan parameter kinetika fermentasi, kadar alkohol yang dihasilkan dengan
menggunakan dua isolat khamir yang terisolasi dari laru masih rendah dibanding dengan
kadar yang dicapai pada fermentasi di lapangan (Andriani, 1993). Dengan demikian
diperkirakan terdapat pengaruh keberadaan populasi sel bakteri dalam terhadap proses
fermentasi dan masing-masing jenis mikrobia di dalam populasi memiliki perbedaan
kemampuan metabolik dalam mengkonsumsi substrat untuk keperluan kehidupan
masingmasing.
Melihat kompleksnya populasi mikrobia dalam laru Bekonang, maka dalam
penelitian ini dikaji keberadaan populasi bakteri dan khamir selama proses fermentasi
pada
medium fermentasi dengan bahan dasar yang diformulasikan menggunakan sisa
penyulingan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Mikrobia. Kultur berupa laru digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi,
diperoleh dari kelompok industri alkohol dari desa Sentul di Bekonang, Solo.
2. Medium. Medium fermentasi menggunakan bahan dasar berupa molase dan sisa
penyulingan tahap I. Molase yang digunakan adalah tetes sulfitasi. Sedangkan medium
untuk enumerasi bakteri digunakan Plate Count Agar (PCA) yang mengandung
sikloheksimid 100 ppm, dan medium Malt Extract Agar (MEA) yang mengandung
oksitetrasiklin-HCl 100 ppm untuk enumerasi khamir.
Metode Penelitian
1. Preparasi Inokulum.
Perbanyakan inokulum dilakukan secara aerob dengan cara mengisi volume efektif
sebanyak 50% volume erlenmeyer. Ke dalam medium fermentasi diinokulasikan laru
sebanyak 10% (v/v) kemudian diinkubasikan selama satu hari. Cairan fermentasi ini siap
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) MB-28
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
3
untuk digunakan sebagai inokulum aktif untuk diinokulasikan ke dalam medium
fermentasi.
2. Pelaksanaan Proses Fermentasi.
Pada penelitian ini dilakukan proses fermentasi secara anaerob mengikuti prosedur
pelaksanaan proses fermentasi yang dilakukan oleh kelompok pengrajin di sentra industri
alkohol di desa Sentul Bekonang. Sistem anaerob dilakukan dengan menggunakan bejana
berupa erlenmeyer dengan volume efektif sebanyak 70% dari kapasitas erlenmeyer.
Tahap fermentasi dimulai dengan menginokulasikan inokulum aktif ke dalam medium
fermentasi sebanyak 10%. Medium fermentasi selanjutnya diinkubasikan selama 6 hari.
Analisis sampel dilakukan setiap hari sampai masa inkubasi berakhir. Analisis yang
dilakukan meliputi: enumerasi khamir dan bakteri, dan kadar alkohol.
3. Pengukuran Parameter.
Karakteristik inokulum laru ditentukan berdasarkan hasil enumerasi bakteri dan
khamir selama proses fermentasi. Enumerasi bakteri dan khamir dilakukan secara
spreadplate
menggunakan medium PCA yang mengandung sikloheksimid 100 ppm dan MEA
yang mengandung oksitetrasiklin-HCl 100 ppm. Sebagai tolok ukur kemampuan laru
menghasilkan alkohol dilakukan penentuan kadar alkohol yang terbentuk dalam medium
fermentasi melalui teknik destilasi. Konsentrasi alkohol hasil penyulingan diukur dengan
alkoholmeter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan enumerasi populasi bakteri dan khamir dengan tujuan
untuk mengetahui secara terperinci perkembangan populasi bakteri dan khamir selama
proses
fermentasi. Dinamika populasi yang berkembang selama proses fermentasi ini
mencerminkan
karakteristik inokulum laru (Gambar 1 ).
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) MB-28
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .

Gambar 1. Dinamika Populasi Bakteri dan Khamir Selama Proses Fermentasi.


Keterangan: +sp = medium fermentasi dengan sisa penyulingan
- sp = medium fermentasi tanpa sisa penyulingan
Populasi bakteri dalam medium fermentasi yang menggunakan sisa penyulingan lebih
besar dibandingkan dengan medium fermentasi yang tidak menggunakan sisa
penyulingan.
Pada awal fermentasi dalam medium fermentasi yang menggunakan sisa penyulingan
jumlah
bakteri terhitung sebesar 7,238 (log UPK/ml) populasi bakteri ini mengalami peningkatan
sampai hari ke lima menjadi 13,109 (log UPK/ml) kemudian mengalami penurunan
menjadi
10,446 (log UPK/ml) pada hari ke enam. Sedangkan populasi bakteri pada awal
fermentasi
dalam medium fermentasi tanpa menggunakan sisa penyulingan sebesar 5,947 (log
UPK/ml)
dan mengalami peningkatan menjadi 9,201 (log UPK/ml) pada hari ke tiga kemudian
mengalami penurunan sehingga pada hari ke enam menjadi 8,870 (log UPK/ml).
Demikian juga dengan populasi khamir yang terdapat dalam medium fermentasi yang
menggunakan sisa penyulingan lebih besar dibandingkan dengan medium fermentasi
yang
tidak menggunakan sisa penyulingan. Pada awal fermentasi dalam medium fermentasi
yang
menggunakan sisa penyulingan jumlah khamir terhitung sebesar 7,072 (log UPK/ml)
populasi
khamir ini mengalami peningkatan sampai 4 hari menjadi 9,201 (log UPK/ml) kemudian
mengalami penurunan pada hari ke enam sehingga menjadi 3,934 (log UPK/ml.
Sedangkan
populasi khamir pada awal fermentasi dalam medium fermentasi tanpa menggunakan sisa
penyulingan sebesar 6,781 (log UPK/ml) dan mengalami peningkatan menjadi 9,879 (log
UPK/ml) pada hari ke empat kemudian menurun menjadi 3,818 (log UPK/ml) pada hari
ke
enam.
Dari sisi kuantitas, populasi khamir lebih sedikit dibanding populasi bakteri. Jumlah
populasi bakteri jauh lebih besar melampaui pertumbuhan populasi khamir. Pola
pertumbuhan
populasi khamir cenderung mengalami penurunan yang cukup besar pada akhir
fermentasi,
sedangkan populasi bakteri cenderung tetap atau mengalami penurunan. Keberadaan
populasi
bakteri dalam laru menyebabkan terjadinya kompetisi penggunaan gula dengan populasi
khamir. Bakteri cenderung mengkonsumsi gula untuk pertumbuhan (pembentukan
biomassa)
dan produk-produk intermediet seperti produk asam. Dugaan ini diperkuat dari data
isolasi
dan identifikasi bakteri yang terdapat pada sisa penyulingan yang menunjukkan bahwa
bakteri
yang hidup dalam sisa penyulingan bersifat anaerob fakultatif dan memiliki kemampuan
yang
bervariasi dalam memfermentasikan gula sebagai sumber karbon dimana sebagian besar
populasi bakteri memiliki kemampuan memfermentasikan glukosa (Amarantini, 2001).
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) MB-28
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
5
Jumlah populasi bakteri yang cukup besar dalam medium fermentasi yang
diformulasikan menggunakan sisa penyulingan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
populasi khamir. Data ini dapat diperbandingkan dengan pertumbuhan khamir dalam
medium
fermentasi tanpa sisa penyulingan. Terlihat bahwa pada awal fermentasi populasi khamir
terhitung sebesar 6,781 (log UPK/ml). Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan populasi
khamir
yang terdapat dalam medium fermentasi yang menggunakan sisa penyulingan (7,072 log
UPK/ml). Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan (periode inkubasi selama 4 hari)
populasi
khamir yang ada dalam medium fermentasi tanpa sisa penyulingan berkembang lebih
cepat.
Populasi khamir dapat mencapai 9,879 (log UPK/ml) sedangkan populasi khamir pada
medium fermentasi dengan sisa penyulingan sebesar (9,201 log UPK/ml).
Kompetisi yang terjadi antara bakteri dan khamir berpengaruh terhadap kecepatan
fermentasi. Berdasarkan data pengukuran kadar alkohol selama proses fermentasi,
diketahui
bahwa kadar alkohol sebesar 10% tercapai pada proses fermentasi tanpa sisa penyulingan
pada hari ke 4. Sedangkan pada proses fermentasi yang menggunakan sisa penyulingan
kadar
alkohol sebesar 10% baru tercapai pada hari ke 5 (Gambar 2). Dengan demikian sisa
penyulingan berpengaruh terhadap laju kenaikan kadar alkohol. Perbedaan kadar alkohol
yang dihasilkan oleh kultur laru oleh sebab pengaruh dari penggunaan sisa penyulingan,
dipengaruhi oleh keberadaan bakteri kontaminan yang terdapat dalam limbah sisa
penyulingan. Alasan ini diperkuat dengan bukti bahwa pertumbuhan populasi bakteri
pada
medium fermentasi dengan sisa penyulingan lebih besar dibandingkan populasi bakteri
dalam
medium fermentasi tanpa sisa penyulingan.
0
2
4
6
8
10
12
123456
hari
alkohol (%)
+sp
-sp
Gambar 2. Produksi Alkohol Selama Proses Fermentasi
Keterangan: +sp = Formulasi Medium dengan Sisa Penyulingan
-sp = Formulasi Medium tanpa Sisa Penyulingan
Pada penelitian simulasi fermentasi alkohol yang menggunakan sikloheksimid untuk
menghambat pertumbuhan khamir, diketahui bahwa terdapat perbedaan mencolok
terhadap
penurunan kadar gula dalam medium fermentasi dengan dan tanpa sisa penyulingan. Laju
penurunan kadar gula pada medium tanpa sikloheksimid lebih cepat dibanding dengan
laju
penurunan kadar gula dalam medium fermentasi dengan penambahan sikloheksimid.
Selama
proses fermentasi dari ± 12% gula yang terdapat dalam medium fermentasi tanpa
penambahan
sikloheksimid tersisa 1-2%, sedangkan akibat penambahan sikloheksimid pada medium
fermentasi menyebabkan populasi khamir mengalami kematian dan tersisa kadar gula
sebesar
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) MB-28
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
6
8-9%. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa populasi bakteri tidak memiliki
peran
penting selama proses fermentasi. Dan berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi diketahui
bahwa sebagian besar populasi bakteri hanya mampu tumbuh dengan memanfaatkan hasil
pemecahan sukrosa oleh populasi khamir (Amarantini, 2001).
Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang pentingnya ketersediaan inokulum
dalam jumlah yang memadai untuk tercapainya proporsi yang optimal antara inokulum
dengan medium fermentasi. Walaupun terdapatnya populasi bakteri hanya berpengaruh
terhadap lamanya proses fermentasi dan tidak mempengaruhi kadar alkohol yang
dihasilkan,
akan tetapi bagi produsen alkohol di desa Sentul Bekonang penting kiranya untuk
memperhatikan kondisi fisiologis kultur laru sebelum digunakan sebagai inokulum dalam
proses fermentasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kultur laru merupakan konsorsium populasi khamir dan bakteri. Populasi bakteri yang
terdapat dalam kultur laru merupakan bakteri kontaminan yang menyebabkan kinerja laru
tidak optimum. Populasi bakteri dalam medium fermentasi yang menggunakan sisa
penyulingan lebih banyak dibanding populasi bakteri dalam medium fermentasi tanpa
sisa
penyulingan. Kondisi ini menyebabkan proses fermentasi berlangsung lebih lambat jika
digunakan medium fermentasi dengan sisa penyulingan.
A. Saran
Oleh sebab tingkat kontaminasi bakteri cukup tinggi, perlu dilakukan penelitian
penggunaan air proses yang mengandung agen antiseptik seperti khlor untuk
mengendalikan
perkembangan populasi bakteri dalam laru, sehingga dapat meminimalkan tingkat
kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abouized, M.M. dan C.A. Reddy. 1986. Direct Fermentation of Potato Starch to Ethanol by
Cocultures of Aspergillus niger and Saccharomyces cerevisiae. Appl. Environ. Microbiol. Vol
52, N0. 5: 1055-1059
Amarantini, C. 2000. Optimalisasi Penggunaan Inokulum Laru Pada Proses Fermentasi Alkohol
Sistem Bekonang. Thesis program Pasca Sarjana UGM. Jogjakarta.
Amarantini, C. 2001. Deteksi Bakteri Kontaminan Pada Limbah Sisa Penyulingan dan
Pengaruhnya
terhadap Fermentasi Alkohol Sistem Bekonang. Laporan Penelitian F.Biologi. UKDW.
Jogjakarta.
Andriani, M. 1993. Karakterisasi Yeast yang Berperan Dalam Fermentasi Ciu Bekonang. Thesis
Program Pasca Sarjana UGM. Jogjakarta.
Carlson, 1987. Regulation of Sugar Utilization in Saccharomyces Species. J. Bacteriology. 169,
4873-
4877.
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) MB-28
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .
7
D’Amore, T., C.J. Panchall, I. Russel, dan G.G. Stewart, 1990. A Study of Ethanol Tolerance in
Yeast.
Critical Reviews in Biotechnology. Vol. 9, Issue 4:287-304. CRC Press, Inc. Boca Raton,
Florida.
Ingram, L.O. 1990. Ethanol Tolerance in Bacteria. Critical Reviews in Biotechnology. Vol. 9,
Issue 4:
305-319. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
Okuma, Y., Endo, H. Iwasaki, dan Y. Ito. 1986. Isolation and Properties of Ethanol Using Yeast
With
Acid and Ethanol Tolerance. J. Ferment. Technol, 64, 64: 379-382.
Pirt, S.J. 1975. Principles of Microbe and Cell Cultivation. Blacwell Scientific Publ. Oxford,
London.
Skinner, F.A., S.M. Passmore, R.R. Davenport, 1980. Biology and Activities of Yeast. The
Society for
Applied Bacteriology Symposium, No. 9. Academic Press, London.
Stewart, G.G., C.J. Panchal, I. Russell, dan A.M. Sills, 1984. Biology of Ethanol Producing
Microorganisms. Critical Reviews in Biotechnology. Vol. 1, Issue 3: 161-188. CRC Press, Inc.
Boca Raton, Florida.
Tammarate, P., P. Chimanage, P. Karuwanna, C. Vongkaloung, V. Yongmanitchai, T. Kampee, J.
Kumnuanta, M. Kishimoto, dan H. Taguchi, 1984. Improvement of Ethanol Fermentation
from Raw Molasses. Microbial Utilization of Renewable Resources. Vol. 4:50-57.
International Center of Cooperative Research in Biotechnology, Faculty of Engineering,
Osaka Univ. Japan.
Seminar Nasional dan PertemuanTahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) MB-28
Peranan Industri dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia - Yogyakarta, 22-23 Juli 2003 .

Bungkil Kelapa Fermentasi untuk


Pakan Itik

Bungkil kelapa pada umumnya


mengandung protein kasar
20% dari bahan kering dan dapat
digunakan sebagai bahan pakan
ternak unggas. Namun, kandungan
protein yang tersedia tidak dapat
dimanfaatkan secara optimum/
sempurna oleh ternak karena nilai
kecernaan nutrien tersebut cukup
rendah. Fermentasi dengan kapang
Aspergillus niger NRRL 337 dapat
meningkatkan nilai kecernaan bahan
kering dan protein kasar bungkil
kelapa. Di samping nilai kecernaan
yang meningkat, kandungan protein
kasar pun meningkat bila substrat
bungkil kelapa ditambahkan nitrogen
anorganik seperti urea atau ZA
(amonium sulfat). Kenaikan protein
disebabkan meningkatnya aktivitas
kapang yang mengubah nitrogen
anorganik menjadi protein sel. Urutan
proses pembuatan bungkil kelapa
fermentasi dan hasil uji penggunaannya
pada itik jantan dan itik
petelur diuraikan berikut ini.

Proses Pembuatan Bungkil Kelapa


Fermentasi
Alur proses pembuatan bungkil
kelapa fermentasi disajikan pada
Gambar 1. Bungkil kelapa dicampur
dengan air sampai mencapai 50%
kemudian ditambahkan mineral Za,
urea, NaH2PO4, KCl, dan MnSO4.
Selanjutnya campuran dikukus selama
30 menit, didinginkan, dan
ditambahkan inokulum spora A.
niger 0,2-0,5%. Campuran kemudian
ditempatkan pada baki plastik
dengan ketebalan 2 cm, ditutup,
dan diinkubasi pada suhu ruangan
selama 3 hari. Selama proses pembuatan
BKF, kebersihan alat-alat
yang digunakan dan lingkungan supaya
diperhatikan. Juga jika ter-

Bungkil Kelapa Fermentasi untuk


Pakan Itik
Bungkil kelapa+campuran
mineral dan air
(bahan kering : air = 5 : 4)
Dikukus 30 menit
Didinginkan dan diinokulasi
dengan spora
Diinkubasi dengan ketebalan 2 cm
pada baki plastik pada suhu ruang
selama 3 hari
Dihancurkan dan dipadatkan
dalam kantong plastik
Diinkubasi pada suhu 50oC
Dikeringkan pada suhu 60oC
dan digiling
BKF
siap pakai
Gambar 1. Alur proses pembuatan
bungkil kelapa fermentasi (BKF).
Tabel 1. Perbandingan nilai gizi bungkil kelapa (BK) dan bungkil kelapa
fermentasi
(BKF).
Uraian BK BKF
Protein kasar (%) 21,7 35,2
Serat kasar (%) 16,2 10,8
Lemak (%) 17,1 16,6
Kalsium (%) 0,1 0,12
Fosfor (%) 0,62 0,7
Daya cerna bahan kering (%) 60,0 63,2
Daya cerna protein (%) 31,3 36,3
Daya cerna fosfor (%) 23,0 36,1
Energi (kkal/kg) 1.667 2.473
bentuk air pada tutup plastik harus
segera dikeringkan. Proses ini merupakan
proses aerobik untuk pembentukan
sel kapang.
Proses berikutnya merupakan
proses anaerobik untuk mempertahankan
aktivitas enzim dengan menahan
pertumbuhan sel. Produk
fermentasi hasil proses pertama
dihancurkan dan dipadatkan dalam
kantong plastik berukuran 30 cm
x 50 cm dan diinkubasi pada suhu
500C selama 3 hari. Pada suhu penyimpanan
500C, daya cerna bungkil
kelapa lebih tinggi dibandingkan
pada suhu ruang.
Proses fermentasi ternyata
mampu meningkatkan kadar protein
kasar, kalsium, dan fosfor, serta
daya cerna bahan kering, protein
dan fosfor, serta energi (Tabel 1).
Selain itu, fermentasi menurunkan
kandungan serat kasar dan lemak.

Pemanfaatan BKF pada Ransum


Itik Pedaging dan Petelur
Uji pemberian BKF pada pakan itik
menunjukkan bahwa rasio pemberian
harus disesuaikan dengan
umur itik. Meskipun pemberian BK
tanpa fermentasi pada itik anak
(jantan) dapat mencapai 30%, pemberian
BKF menyebabkan gangguan
sampai umur 5 minggu. Pada
umur lebih lanjut, gangguan tidak
terlihat lagi terutama pada kadar
BKF 20% (Tabel 2).
Pengujian pada itik petelur
dewasa menunjukkan hasil yang
agak berbeda (Tabel 3). Penggunaan
BK maupun BKF sampai 30%
tidak memberikan perbedaan nyata
Bungkil kelapa dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui proses fermentasi
yang relatif sederhana. Bungkil kelapa fermentasi ini berpeluang sebagai
pakan ternak unggas.
10
Tabel 3. Konsumsi dan konversi ransum serta produksi dan bobot telur itik yang
diberi ransum mengandung bungkil kelapa (BK) atau bungkil kelapa
fermentasi (BKF)..
Uraian BK (%) BKF (%)
0 10 20 30 10 20 30
Konsumsi (g/ekor/hari) 1 9 6 1 9 5 1 9 6 1 9 3 1 9 5 1 9 9 1 9 5
Produksi telur (%) 66,1 58,5 65,6 62,2 57,2 57,6 53,9
Konversi ransum 5,02 9,14 5,56 5,48 8,41 5,70 6,16
Bobot telur (g) 65,8 66,7 65,9 66,1 65,6 63,4 63,4
dibanding tanpa BK/BKF untuk konsumsi
dan konversi pakan, serta
produksi dan kualitas telur. Dapat
disimpulkan bahwa itik dewasa
dapat lebih beradaptasi dengan
bungkil kelapa fermentasi (Tresnawati
Purwadaria).
Untuk informasi lebih lanjut
hubungi:
Balai Penelitian Ternak
Jln. Veteran, Ciawi, Bogor
Kotak Pos 221
Bogor 16002
Telepon : (0251) 240751
240752
Faksimile : (0251) 240754
E-mail : balitnak@indo.net.id
Tabel 2. Bobot hidup, konversi pakan, dan karkas itik jantan yang diberi ransum
mengandung bungkil kelapa (BK) atau bungkil kelapa fermentasi (BKF).
Uraian Umur BK (%) BKF (%)
(minggu) 0 10 20 30 10 20 30
Bobot hidup (g) 0-5 9 3 8 8 9 5 861 8 9 9 8 4 0 819 7 6 2
0-9 1.240 1.286 1.190 1.251 1.204 1.232 1.200
Konversi ransum 0-9 6 , 3 5 , 7 6 , 2 6 , 0 6 , 2 6 , 0 6 , 3
Karkas (%) 9 57,4 57,7 55,2 56,3 55,6 57,2 54,7

You might also like