You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
I.1.

LATAR BELAKANG
Tidak ada asap jika tidak ada api. Itulah mungkin peribahasa
yang cukup tepat untuk menggambarkan perkembangan pemikiran
orientalisme saat ini. Disadari atau tidak, wacana orientalisme
merupakan asap dari kayu oriental yang dibakar oleh para orientalis.
Asap ini menyebar ke segala arah dunia dan sanggup membuat perih
mata yang tersapu olehnya. Sebaliknya, asap ini dapat pula menjadi
katarsis bagi mereka yang secara sengaja ingin membumihanguskan
bangunan-bangunan kayu oriental,sehingga yang tersisa dan yang
kokoh berdiri tinggallah mereka sendiri, para pembakarnya, sang
orientalis.
Orientalisme dipahami sebagai pengkajian Islam menurut
orang barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke barat dengan
berbagai stereotip dan etnosentrisnya. Dalam pandangan orientalis,
islam

adalah

makhluk

oriental

yang

penampakannya

eksotis,

kedalamanya mistis, dan isinya filosofis, karenanya islam harus dikaji


dan ditelaah, di dalam kacamata mereka (Barat).
Dari sekian banyak orientalis yang mengkaji sumber-sumber
ajaran

islam,

ada

dua

orang

orientalis

yang

secara

khusus

memfokuskan diri kedalam pengkajian ilmu hadits, yaitu Ignas


Goldziher dan Joseph Schaht. Mereka mempertanyakan metodologi
selektivikasi hadits yang selama ini dianggap sudah tertata rapid an
final oleh para muhadditsin. Pelacakan Isnad, Kritik Matan dan Kritik
Perawi adalah tiga metodologi selektivikasi hadits yang final tersebut,
dan ketiga-tiganya dibongkar oleh Goldziher dan Schacht. Hasilnya
mereka meragukan otentisitas hadits dan menganggap bahwa
pemakaian

sanad

dalam

kontruksi

hadis

merupakan

sebuah

kekeliruan yang sangat mendalam bagi para ahli hadis. Mereka


kemudian mengemukakan bahwa hadits sebagai sumber ajaran Islam
belum tercipta pada abad pertama Hijriah. Menurut mereka, hadits
dan seperangkat ilmu untuk mempelajarinya baru berkembang pada

abad ketiga Hijriah, yang mana lebih merupakan implikasi kehidupan


social-politik untuk menjustifikasi dan melegitimasi kekuasaan.
I.2. TUJUAN
Agar kita sebagai umat muslim lebih objektif dalam menilai berbagai
permasalahan dalam studi hadits khususnya dan studi ilmu-ilmu
keislaman pada umumnya.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1.PENGERTIAN ORIENTALISME
Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari
bahasa latin oriri yang berarti terbit. Dalam bahasa

Prancis dan

Inggris orient berarti direction of rising sun (arah terbitnya matahari


dari bumi belahan timur). Sedangkan isme berasal dari bahasa
Belanda atau isma dalam bahasa Latin yang berarti pendirian, ilmu,
paham keyakinan dan system. Jadi, menurut bahasa, orientalisme
dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang
dunia Timur. Secara terminologis, istilah orientalisme mengandung
banyak pengertian, yaitu sebagai suatu cara, metodologi yang
memiliki kecenderungan muatan integral antara orientalisme dengan
kegiatan-kegiatan

lain

yang

bertujuan

untuk

menguasai,

memanipulasi bahkan mendominasi dunia timur.


Secara analitik pengertian orientalisme ada tiga hal: (1) keahlian
mengenai wilayah Timur; (2) metodologi dalam mempelajari masalah
ketimuran;

(3)

sikap

ideologis

terhadap

masalah

ketimuran

khususnya terhadap dunia islam.


II.2.SEJARAH

PERTUMBUHAN

DAN

PERKEMBANGAN

ORIENTALISME
Pertumbuhan dan perkembangan orientalisme ada pada 3 fase
penting, yaitu; (1) masa sebelum meletusnya Perang Salib, disaat
umat islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250), (2) masa
Perang Salib sampai pada masuknya masa pencerahan Eropa, (3)
munculnya masa pencerahan di Eropa sampai pada perkembangan
kontemporer.

Masa Sebelum Perang Salib


Interaksi Timur dan Barat sebenarnya telah berlangsung sejak zaman
purbakala, dan lebih terlihat lagi ketika terjadi perebutan kekuasaan
antara Grik Tua dan Dinasti Achaemendis dari imperium Parsi, sejak
pemerintahan Cyrus the Great sampai pada keturunannya. Ketika
Alexander the Great dari Mecedonia, murid Aristoteles merebut asia
kecil dari Parsi untuk kemudian menguasai Libya, Mesir di pesisir
Afrika utara sampai Asia Tengah, hingga India dan tiongkok.
Dalam ekspedisinya Alexander tidak hanya melakukan invasi militer,
tetapi juga banyak mengambil kepustakaan, agama, kebudayaan dan
lainnya dari wilayah tersebut. Kenyataan ini merupakan indikasi awal
bahwa perhatian Barat terhadap Timur telah berlangsung. Namun
ketika kerajaan Grik tumbang dan kekuasaan dikendalikan imperium
Roma, kegiatan keilmuan mengenai ketimuran hampir tidak ada. Hal
ini disebabkan oleh faktor internal wilayah Barat yang menghadapi
gejolak politik, perebutan kekuasaan, serta tekanan pihak gereja
terhadap kegiatan-kegiatan keilmuan.
Sementara itu, di dunia Timur, kehadiran Islam telah banyak
memberikan perubahan, perkembangan dan kemajuan pesat di
berbagai sector kehidupan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan
dan kebudayaan. Kemajuan peradaban itu terutama sekali terjadi di
kota Baghdad dan Andalusia (Spanyol Islam) sebagai pusatnya. Di
kota

inilah

sebenarnya

telah

dimulai

sebuah

akulturasi

yang

mengekspresikan persentuhan atau bahkan penetrasi budaya pada


kultur yang mungkin-tunggal.
Keberadaan
perkembangan

peradaban

Islam

yang

begitu

mengagumakn tersebut, tenyata telah membawa pengaruh bagi


bangsa-bangsa Eropa, bukan saja terbatas pada orang-orang yang
berada di wilayah kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang-orang
diluarnya. Pada saat itu, penuntut ilmu dari Prancis, Inggris, Jerman
dan Italia, mulai berdatangan untuk belajar di perguruan-perguruan
Arab yang ada di Andalusia dan sicilia. Mereka belajar di sekolahsekolah yang ada disana, menerjemahkan al-Quran dan kitab-kitab
ke dalam bahasa mereka, melakukan studi terhadap bahasa Arab

serta

belajar

tentang

segala

bidang

ilmu

pengetahuan

yang

berkembang saat itu.


Masa Perang Salib
Jatuhnya Konstantinopel dalam Perang Salib merupakan pengalaman
pahit sekaligus berharga dan berpengaruh besar bagi perkembangan
peradaban dan kebudayaan Negara-negara barat. Melalui Perang
Salib, orang-orang Barat dengan semena-mena mengeruk sebagian
besar kepustakaan Islam, mereka memperebutkan dan mencari
manuskrip-manuskrip berbahasa Arab.
Ketika orientalisme pada perkembangan berikutnya berasimilasi
dengan kolonialisme, imperealisme dan hasil peradaban yang di bawa
setelah Perang Salib, aktivitas , orientalisme mengalami puncaknya.
Ketika menaklukan wilayah Mesir, pada tahun 1789, Napoleon
Bonaparte telah membawa puluhan sarjan Eropa yang ditugaskan
untuk mempelajari seluk beluk masyarakat Mesir.
Tujuan orientalisme pada periode ini kemudian berkembang dari
sekedar

pemindahan

mengkritik,

ilmu

mengecam

dan

pengetahuan
menyerang

kepada
Islam

upaya
dari

untuk

berbagai

kepentingan. Islam digambarkan sebagai agama yang membolehkan


poliandri, orang Islam diwajibkan untuk membunuh orang Kristen
sebanyak mungkin sebagai suatu jalan masuk surge, atau ungkapan
lainnya. Pada masa ini citra barat mengenai Islam tidak lebih dari
sekedar motivasi kebencian dan ketakutan, terutama para misionaris
Kristen.
Masa Pencerahan Hingga Perkembangan Terakhir
Memasuki masa pencerahan, wujud orientalisme

kemudian

mengalami perkembangan yang cukup berarti dengan diwarnainya


keinginan mereka untuk mencari kebenaran yang didasarkan pada
objektivitas kekuatan rasional.
Dunia Barat pada saat itu telah mencoba memberikan dasar yang
tidak berat sebelah ketika melihat Islam, sejalan semakin kuatnya
rasionalisme yang saat itu mengarah pada pertentangan dengan
agama Kristen Barat, Richard Simon yang telah memaparkan
bagaimana sebenarnya keimanan dan ritus-ritus kaum muslim

berdasarkan wacana teologi muslim sendiri dalam bukunya. Ia adalah


seorang Katolik Prancis yang karena kekagumannya terhadap islam,
dituduh sebagai terlalu objektif terhadap islam. Dan banyak lagi
buku-buku dari Dunia Barat yang memaparkan nilai-nilai apresiatif
terhadap Islam.
II.3.PANDANGAN

IGNAZ

GOLDZIHER

TENTANG

OTENTISITAS

HADITS
Goldizher dipandang sebagai orang pertama yang meletakan
dasar kajian terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak
kalangan Barat, dan Goldizher telah berhasil meragukan otentisitas
hadits dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits
yang dalam konsep Islam merupakan perkataan, perbuatan dan taqrir
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, menurut Goldizher
tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di
bidang agama, sejarah dan social pada abad pertama dan kedua
Hijriah; hamper tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat
dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi sahabat Rasul.
Goldizher menyatakan bahwa dengan tidak adanya bukti-bukti
otentik tentang hadits, sungguh gegabahlah untuk mengemukakan
pendapat yang sekedar menduga, tentang bagian hadits mana yang
merupakan bagian-bagian yang asli yang tertua, atau tentang
manakah

diantaranya

yang

berasal

dari

Muhammad

SAW.

Selanjutnya, dia mengatakan, karena keberadaannya seperti itu,


sangat sulit untuk meyakini hadits sebagai dokumen sejarah Islam
masa kanak-kanak belaka, melainkan banyak sebagai gambaran
kecenderungan

perkembangan

masyarakat

Islam

selama

perkembangannya yang telah dewasa pada dua abad pertama.


Hal diatas juga dipertegas oleh Fazlur Rahman ketika
menyimpulkan

situasi

kesarjanaan

Barat

terhadap

hadits.

Ia

menyatakan, walaupun Goldizher menyaatakan keragu-raguannya


mengenai beberapa catatan yang dikataka ada pada masa itu. Ia
sebenarnya mengakui bahwa fenomena hadits berasal dari zaman
Islam yang paling tua dan bahkan mendukung kemungkinan adanya

catatan hadits informal pada masa Nabi. Hanya saja karena batang
tubuh hadits terus membesar pada setiap masa berikutnya, dan
karena dalam setiap generasi, materi hadits berjalan paralel dengan
doktrin-doktrin

fiqih

dan

juga

mencerminkan

keanekaragaman

bahkan pertentangan, tetap saja menurut Fazlur Rahman, Goldziher


berkesimpulan bahwa produk catatan hadits yang terakhir berasal
dari dunia abad ke-3 sampai ke-9 Hijriah, tidak bisa dipercara secara
keseluruhan sebagai sumber Nabi sendiri.
II.4. BIOGRAFI IGNAZ GOLDZIHER
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis Hongaria yang di
lahirkan di Szekesfehervar, Hongaria. Dia termasuk keturunan dari
keluarga Yahudi. Nenek moyang keluarga ini adalah tukang emas di
Hamburg pada abad ke-16, dan disinilah asal dari nama keluarga itu,
sebelum

ayahnya

tinggal

di

Kopeseny

dan

baru

pindah

ke

Szekesfehervar, tempat anaknya lahir sejak tahun 1842.


Goldziher telah menunjukan intelektual yang tinggi ketika dia
masih muda. Dalam usia dua belas tahun, dia sudah menulis suatu
risalah mengenai asal-usul dan waktu yang tepat bagi sembahyang
orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts. Dalam usia enam belas
tahun, dia mengikuti kuliah dari Arminius Vanberry di Universitas
Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman
untuk belajar dengan Prof.Rodiger di berlin tahun 1868. Di bawah
bimbingan Rodiger dia berhasil memperoleh gelar doctor dalam usia
19 tahun.
Holdziher melakukan perjalan ke dunia Timur dari bulan
September 1874 atas biaya pemerintah Hongaria untuk belajar di
Universitas Al-Azhar, Kairo, Syiria, dan palestina.
II.5.MAKNA HADITS DAN SUNNAH MENURUT IGNAZ GOLDZIHER
Dalam pandangan Goldziher, Hadits bermakna suatu disiplin
ilmu teoritis dan sunnah adalah kopendium aturan-aturan praktis.
Satu-satunya

kesamaan

sifat

antara

keduanya

adalah

bahwa

keduanya berakar secara turun-temurun. Dia menyatakan bahwa


kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukukm, yang di
akui sebagai tata cara kaum muslim pertama yang di pandang

berwenang dan telah pula di praktikan dinamakan sunnah atau


adat/kebiasaan

keagamaan.

Adapun

bentuk

yang

memberikan

pernyataan tata cara itu disebut hadits atau tradisi.


Goldziher menyatakan perbedaan hadits dan sunnah bukan dari
makna, tetapi pertentangan dalam materi hadits dan sunnah. Dia
mengatakan bahwa memang betul pengertian sunnah dan hadits
dibedakan satu sama lain. Hadits berciri berita lisan yang bersumber
dari Nabi, sedangkan sunnah menurut penggunaan yang lazim di
kalangan umat Islam kuno, menunjuk pada permasalahan hukum
atau hal keagamaan; tidak masalah apakah ada atau tidak berita
lisan tentangnya. Suatu kaidah yang terkadung dalam hadits
lazimnya dipandang sebagai sunnah, tetapi tidak berarti bahwa
sunnah

harus

mempunyai

hadits

yang

berkesesuaian

dan

memberikan pengukuhan kepadanya. Bahkan mungkin justru terjadi


sebaliknya, bahwa isi hadits bertentangan dengan sunnah. Disinilah
perbedaan paling fundamental antara sunnah dan hadits yang
disodorkan Goldziher. Hal ini kemudian menjadi kerangka dasar
pandangan Goldziher tentang otentisitas hadits. Kalaupun dalam
beberapa kesempatan dia mengakui bahwa konsep sunnah sebagai
tafsir paling terpecaya dari bunyi al-Quran yang tersurat, konsep
sunnah yang disodorkan oleh Goldziher adalah konsep yang berarti
adat kebiasaan ataupun perilaku keagamaan yang muncul pada dua
abad awal perkembangan Islam.
Selanjutnya, ia menegaskan bahwa kedudukan sunnah yang
begitu berpengaruh dalam dunia Islam, tidaklah dipahami karena ia
diperkuat oleh keabsahan atau otentisitas hadits yang disandarkan
kepada Nabi SAW., tetapi lebih karena sifat yang dimiliki sunnah,
yaitu selain sebagai catatan atau fakta historis dari tradisi bangsabangsa Arab. Sebelumnya Goldziher menyatakan bahwa sunnah pada
awalnya

telah

dipakai

oleh

orang-orang

Aran

jahiliah

yang

memuliakan (sunnah) nenek moyang mereka. Bagi Goldziher, konsep


islam tentang sunnah adalah sebuah revisi atas adat-istiadat yang
terjadi saat itu, walaupun tidak menguatkan dalam arti keseluruhan.
Karena

sifatnya

sebagai

revisi

itu,

al-Syakil

Khalil

yasien

menyimpulkan bahwa Goldziher menganggap apa yang disebarkan


Muhammad

bukanlah

merupakan

agama

baru.

Dalam

hal

ini

Goldziher menggambarkannya secara langsung :


Bukan saja hukum adat dan kebiasaan, tetapi doktrin politik dan
teologi pun mengambil bentuknya dalam hadits, apa saja yang
dihasilkan Islam sendiri ataupun yang dipinjam dari luar diberi wadah
dalam hadits. Bagian-bagian dari perjanjian Lama dan Baru, kata-kata
dari Rabi, kutipan injil, doktrin-doktrin Yunani, bahkan doa kami pun
ada. Untuk semua itu pintu dibuka oleh Islam dan tampil kembali
sebagai ucapan-ucapan Nabi.
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa bagi Goldziher, hadits tidak
memiliki kemurnian sama sekali, walaupun tetap memiliki kedudukan
kuat sebagai sumber ajaran Islam. Apakah yang menjadi argumentasi
atau bukti mengapa Goldziher berkesimpulan untuk meragukan
keabsahan hadits ?
II.6.

KETIDAKMUNGKINAN

KESHAHIHAN

HADITS

DALAM

MASYARAKAT ISLAM ABAD PERTAMA


Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan otentisitas hadits
bukan saja ketika ia mengemukakan makna hadits dan sunnah yang
kemudian mendapat revisi dan kedudukan dalam Islam. Ia melihat
faktor lain tentang kondisi masyarakat Islam abad pertama Hijriah
dimana hadits saat itu mulai memasuka perkembangan awal. Kita
akan

mendapatkan

sejumlah

bukti

bahwa

hadits

benar-benar

merupakan perkataan, perbuatan dan taqrir yang dinisbatkan kepada


Muhammad SAW. Akan tetapi, menurut Goldziher, kalaupun ada bukti
tentang hal itu akan sangat sulit menentukan kebenaran dan
keabsahannya. Beberapa argumentasi kemudiania ajukan untuk
mendukung keraguan tersebut, terutama sekali betapa sulitnya untuk
menemukan data otentik tentang hadits tersebut. Ia mengatakan
bahwa kesulitan data itu lebih diakibatkan karena kondisi masyarakat
Islam pada abad pertama Hijriah sama sekali tidak mendukung
budaya pemeliharaan data tersebut.
Ketika membahas perkembangan hadits pada masa Umayah
dan Abasiyah, atau lebih umumnya pada abad pertama Hijriah,

Goldziher menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang


belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma
keagamaan, memelihara ritus-ritus keagamaan dan mengembangkan
doktrin agama yang kompleks.
MM.Azmi mengemukakan

beberapa

alasab

yang

dipakai

Goldziher untuk membangun image masyarakat Islam abad pertama,


yaitu sbb :
1) Orang-orang
membangun

Islam

berperang

mesjid-mesjid.

dengan

Tetapi,

di

baju
Syam

Islam.

Mereka

mereka

tidak

mengetahui shalat lima waktu yang wajib itu sampai untuk


mengetahui hal tersebut mereka memeriksakan kembali kepada
seorang sahabat Nabi SAW.
2) Orang-orang Islam itu ternyata

tidak

mengetahui

cara-cara

mengerjakan solat, oleh karena itu, tidaklah aneh bila di kalangan


suku Bani Abd al-Asyal hanya terdapat seorang budak yang dapat
menjadi imam.
3) Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali, sampai
mereka tidak paham apa yang dimaksud zakat fitrah.
4) Bangsa Arab pada saat masa itu belum matang dalam pemikiran
Islam, hingga mereka ada keharusan untuk tidak memulai dengan
kata assalamu ala Allah
5) Ada orang yang membaca syair di mimbar tetapi ia menyangka
dirinya sedang membaca al-Quran.
6) Goldziher menentukan bahwa bimbingan resmi dan kegiatan
penguasa untuk memalsu hadits sudah ada sejak dini dalam
sejarah Islam.
Begitulah gambaran masyarakat Islam secara keseluruhan pada
abad pertama Hijriah yang dilukiskan oleh Goldziher, baik dalam
masalah agama, politik, ilmu ataupun yang lainnya. Kondisi ini
dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa tidak mungkin pada
kondisi

tersebut,

kita

akan

mempercayai

data

otentik

hadits,

kalaupun ada pasti itu merupakan produk Islam setelah mencapai


tahap perkembangan berikutnya, yaitu abad kedua dan ketiga Hijriah.

II.7.KAJIAN MATAN MENURUT GOLDZIHER


Para ulama hadits menetapkan lima syarat bagi shahihnya
sebuah hadits. Diantaranya matan dan sanad. Yang berkenaan
dengan

sanad,

disamping

sanad

harus

bersambung,

semua

perawinya juga harus siqat dan dhabit. Sedangkan yang berkenaan


dengan matan adalah keharusan adanya syadz dan illat pada hadits
tersebut. Goldziher memandang bahwa secara factual penelitian
keabsahan hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena kesalahan metode
yang dipakainya. Hal itu karena para ulama, menurutnya, lebih
banyak menggunakan kritik sanad, dan kurang menggunakan kritik
matan. Oleh karena itu, Goldziher kemudian menawarkan metode
baru yaitu kritik matan saja.
Dalam sebuah setting sejarah perkembangan hadits, seperti
yang dikutip oleh Daud Rasyid, Goldziher menyatakan:
Pada zaman Islam awal, ketegangan telah memuncak antara
Umawiyyin dengan kelompok ulama yang taqwa dan kebejatan serta
kebobrokan merajalela dimana-mana. Untuk memerangi itu, para
ulama yang taqwa membuat hadits yang memuji ahl al-bait. Pada
waktu yang sama pemerintahan Umawiyyin tidak tinggal diam.
Mereka melakukan hal yang sama yaitu memalsukan hadits. Praktek
pemalsuan hadits tersebut tidak saja berlaku dalam lingkup politik
saja, tetapi juga dalam wawasan keagamaan.
Goldziher menyarankan bahwa studi

hadits

juga

harus

diupayakan untuk mengetahui atau tidak adanya hubungan materi


haditsdengan situasiyang sedang terjadi saat itu. Ia mencontohkan
sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, dimana
menurutnya al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak
melakukan kritik atas matan. Sehingga setelah adanya kritik matan
yang dilakukan oleh Goldziher, hadots tersebut dinyatakan palsu.
Untuk

membenarkan

anggapan

tersebut

diatas.

Goldziher

menyatakan bukti yang ia tulis dalan Muslim Studies, menurutnya,


karena khawatir orang-orang Syam yang pergi haji ke Mekkah
melakukan baiat terhadap rivalnya, Abdullah bin Zubair, khalifah

10

Abd al-Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang tersebut dapat


melakukan haji di Qubbah al-Sakhra di Qudus (jerussalem) sebagai
ganti dari pergi haji ke Mekkah. Ia juga mengeluarkan keputusan
bahwa tawaf disekitar al-Shakra sama nilainya dengan tawaf disekitar
Kabah. Selanjutnya, untuk tujuan politis tersbut ia mempercayakan
ahli

hadits

al-Zuhri

untuk

membuat

hadits

yang

sanadnya

bersambung kepada Nabi SAW. Dan mengedarkannya di masyarakat,


sehingga nantinya dipahami bahwa ada tiga mesjid yang dapat
dipakai untuk beribadah haji, yaitu mesjid di Mekkah, Madinah, dan
mesjid di Qudus.
Menurut Goldziher, Imam al-Zuuhri dimanfaatkan oleh para
penguasa

tersebut

untuk

memalsukan

hadits

sesuai

dengan

keinginan dan kebijaksanaan politik mereka. Di lihar dari sejarah


perkembangan yang kerap kali berbaur dengan kepentingan politik,
maka akan sulit meyakinkan kita sendiri bahwa otentisitas hadits
dapat dipertanggung jawabkan.
Tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri tehadap
hadis di atas dibantah oleh Azami. Menurutnya, tidak ada bukti
historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi
hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri dan
kelahiran al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah
antara tahun 50 H. Dan 58 H., dan ia tidak pernah bertemu dengan
Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H. Di sisi lain, pada tahun
68 H., orang-orang Dinasti Umayah berada di Mekah menunaikan
ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah
kekuasaan Bani Umayah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan
Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H. (saat itu al- Zuhri berumur
antara 10 sampai 18 tahun) dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu,
tidak mungkin Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat
Islam berhaji dari Mekah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri
membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.
II.8.KAJIAN SANAD MENURUT SCHACHT

11

Schacht menilai bahwa sanad hadits adalah bukti adanya


kesewenang-wenangan dan kecerobohan yang dilakukan para ulama
pada saat itu.
Menurut Schacht otentisitas sanad sangat diragukan. Sanad
hadits pada awalnya lahir dalam pemakaian yang sederhana,
kemudian berkembang dan mencapai bentuknya yang sempurna
pada

periode

kedua

dan

ketiga

Hijriah.

Untuk

membuktikan

kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori projecting back.


Hanya

saja

untuk

mendeskripsikan

teori

tersebut,

Schacht

memandang perlu untuk mengemukakan perkembangan hukum


Islam pada sisi lain juga.
Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belumeksis pada
masa al-Syabi. Penegasan ini memberikan pengertian apabila
ditemukan hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam, maka
hadits tersebut dipastikan buatan orang-orang yang hidup setelah itu.
Schacht menilai bahwa sanad hadits hanya merupakan
semacam pembenaran teoritis terhadap apa yang diyakini sebagai
kepercayaan naluriah. Menurutnya, munculnya aliran fiqh klasik ini
membawa konsekuensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang
terdiri dari ahli-ahli hadits. Pemikiran ahli hadits ini adalah bahwa
hadits yang berasal dari nabi SAW harus dapat mengalahkan aturanaturan yang dibuatoleh ahli-ahli fiqih. Untuk mencapai tujuan
tersebut, kelompok oposisi ini, membuat penjelasan hadits seraya
mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan atau diucapkan
oleh Nabi SAW. Dengan sanad bersambung, dan perawi yang
terpecaya. Schacht mengatakab bahwa para ahli hadits terpaksa
menyatakan doktrin-doktrin mereka sendiri dalam tradisi yang konon
berasal dari Nabi SAW.
Goldziher telah berhasil

menanamkan

keraguan

terhadap

otentisitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah yang


dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai kitab suci oleh
para orientalis sendiri. Di samping itu, kehadiran Joseph Schacht
melalui bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, terbit
pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggap sebagai kitab

12

suci kedua oleh para orientalis berikutnya, juga telah membawa


dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian dan kajian hadis di
kalangan orientalis.

BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat pandangan
yang sangat berbeda antara para orientalis dengan ulama hadis
tentang Islam dan hadis. Menurutnya hadis berasal dari tradisi di
kalangan umat Islam abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat
dari perkembangan Islam. Kita sebagai umat muslim tidak sepatutnya
mempercayai mereka yang mempunyai misi menghancurkan islam,
hadits shahih dan sunnah rasul yang kita teladani adalah jalan
menuju syurga dan mendapat syafaat dari Nabi kita tercinta, jika
tidak percaya terhadap hadits, tidak dapat dipastikan rasulullah
memberikan
Naudzubillah.

13

syafaatnya,

dan

menghantarkannya

ke

neraka.

You might also like