You are on page 1of 9

PERBANDINGAN UJI KEPEKAAN ITRAKONAZOL

TERHADAP AGEN PENYEBAB DERMATOFITOSIS PADA KULIT


GLABROUS DI MAKASSAR

Nanang R. Paramata1 Asaad Maidin2,


Nasrum Massi2

1Mahasiswa Mikrobiologi, Biomedik .


Pasca sarjana, Unhas Makassar
2Bagian Mikrobiologi, Fakultas
Kedoketran, Unhas Makassar

Abstrak
Dermatofitosis adalah penyakit jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan
jamur dermatofita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas obat
itrakonazol terhadap agen penyebab dermatofitosis. Penelitian dilakukan di
Poliklinik Ilmu Penyakt Kulit dan Kelamin RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
dan Laboratorium Mikrobiologi FK-UNHAS dengan subyek penelitian adalah
dermatofita pada kulit glabrous yang di isolasi dari penderita yang berobat. Uji
sensitivitas dilakukan dengan metode dilusi kaldu. Di dapatkan 50 isolat yang
terdiri dari Trichophyton Spp 40 koloni dan Microsporum Spp. 10 koloni. Hasil uji
sensitivitas dari itrakonazol di dapatkan 72% sensitif terhadap itrakonazol dan
28% resisten terhadap itrakonazol. Penelitian ini dilanjutkan dengan melakukan
uji sensitivitas pada obat yang resisten terhadap itrakonazol pada konsentrasi 4
g/ml dengan menaikkan konsentrasi. Konsentrasi yang dipakai adalah 16 g/ml,
32 g/ml, 64 g/ml, dan 128 g/ml. Dari 14 koloni yang di uji, di dapatkan hasil, 5
koloni yang sensitif pada konsentrasi 16 g/ml, 1 koloni yang sensitif pada
konsentrasi 32 g/ml, 5 koloni yang sensitif pada 64 g/ml, dan sisanya 3 koloni
yang resisten pada keempatkonsentrasi.
Kata Kunci : Dermatofitosis, dilusi kaldu, itrakonazol

Itrakonazol merupakan golongan


triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,
dan efektif untuk dermatofita.
(Niewerth, M, Korting, H.C, 2000,
Kuswadji, Widaty S, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
secara in vitro spesies dermatofit
glabrous yang peka terhadap
itrakonazol

Populasi dan Sampel


Sampel penelitian yaitu skuama penderita sebanyak
60 sampel
kriteria inklusi yaitu pasien dengan hasil kerokan dan
kultur positif, dan pasien dengan hasil kerokan negatif
tapi hasil kultur positif sebanyak 50 sampel.

Prosedur Penelitian
Pasien dermatofitosis dilakukan pemeriksaan
KOH 10% untuk sampel kulit serta dilakukan
kultur pada media Sabouraud Agar. Pertumbuhan
jamur akan diperiksa 1-2 minggu setelah
inkubasi pada suhu 30 C. Masing-masing spesies
akan diuji dengan uji kepekaan itrakonazol
dengan metode uji mikrodilusi kaldu.

Tabung

Suspensi

Diisi 8 ml CYG broth ditambah antijamur

Diisi 4 ml CYG broth ditambah 2ml campuran


CYG yang mengandung itrakonazol dari tabung 1

Diisi 4 ml CYG broth ditambah 1ml campuran


CYG yang mengandung itrakonazol dari tabung 2

Diisi 4 ml CYG broth ditambah 1ml campuran CYG


yang mengandung itrakonazol dari tabung 3

Diisi 4 ml CYG broth ditambah 1ml campuran CYG


yang mengandung itrakonazol dari tabung 4
kemudian dibuang

Sbg kontrol negatif sehingga tidak ditambahkan


dengan suspensi jamur jernih

Sbg kontrol positif sehingga tidak diberi


itrakonazol keruh

HASIL PENELITIAN
Dari 60 sampel yang diambil skuamanya, terdapat
50 sampel yang menunjukkan dermafotita.
Terdapat kontaminasi oleh Aspergillus atau
pertumbuhan koloni Candida(nondermatofit).
Pada penelitian ini dari 50 sampel koloni
terbanyak terlihat secara klinis sebagai kasus
tinea korporis 34 (68%), diikuti tinea kruris 11
(22)%, Tinea korporis et kruris 4 (8%), dan tinea
pedis 1 (2%).
Penelitian ini menumbuhkan 50 koloni dan
mengidentifikasi sebanyak 39 spesies dari genus
Trichophyton diikuti genus Microsporum spp.

Uji kepekaan itrakonazol terhadap 50


isolat koloni diperoleh 36 (72%) isolat
koloni sensitif terhadap itrakonazol
dan sisanya 14 (28%) isolate koloni
resisten terhadap itrakonazol

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh dan pembahasan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa Kadar Hambat
Minimal(KHM) itrakonazol terhadap
Trichophyton spp dan Microsporum spp di
Makassar dalam rentang 2 - 64 g/ml.
Saran dari penelitian ini adalah perlu
dilakukan penelitian secara in vivo untuk
mengkonfirmasi hasil uji kepekaan yang
didapatkan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.

Amiruddin, M.D. (2003) Penyakit Kulit. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNHAS. Makassar.
Budimulja U., (2009), Mikosis. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Cetakan
keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 89-105.
Goh, C., Tay , Y., Ali, K., Koh, M. & Seow, C. (1994) In vitro evaluation of
griseofulvin, ketoconazoles and itraconazoles against various dermatophytes
in Singapore. Int J Dermatol, 33, 733-7.
Hakim Z., (1996), Era Baru Pengobatan Dermatofitosis. Dexa Media. 9, 31-3
Hainer, B.L. (2003) Dermatophyte Infections. Am Fam Physician, 67,101-8.
Kuswadji, Widaty S, (2004), Dermatomikosis Superfisial. Kelompok Studi
Dermatomikosis Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 108-17
Lubis R. D., (2008), Pengobatan Dermatomikosis. Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit Dan Kelamin FKUSU. 1-29
Niewerth, M. Korting, H. C. (2000), The use of systemic antimycotics in
dermatotherapy, European Journal Of Dermatology, Vol. 10, Number 2,
Qomariah L. N., Susetiati D. A., Prakosewa R. S., Siswati A. S., Nirwati H.,
(2008), Uji Sensitivitas Beberapa Obat Antifungal Golongan Azole Terhadap
Dermafofita Di Poliklinik RS Dr. Sardjito Yogyakarta. 20, 229-234.
Rinaldi, M. (2000) Dermatophytosis: epidemiological and microbiological
update. J Am Acad Dermatol, 43, S120-4.
Richardson, M. & Warnock, D. (1993) Fungal Infection: diagnosis and
treatment, Oxford England, Blackwell Scientific Publications

You might also like