Professional Documents
Culture Documents
Pengantar
Max Havelaar, ditulis oleh Multatuli, nama samara dari Eduard Douwes
Dekker, mantan Asisten Residen Lebak, Banten. Novel ini diambil dari
pengalaman Douwes Dekker saat bekerja pada pemerintah Belanda.
Nuraninya terusik melihat penderitaan rakyat pribumi di Hindia Belanda
yang disebabkan oleh kejamnya praktek tanam paksa. Pemerintah
kolonial dan para pejabat berlaku sewenang-wenang dengan merampas
dan mengeksploitasi rakyat untuk kekayaan pribadi. Max Havelaar selain
merupakan kritik tajam kepada kekejaman pemerintah, juga sebagai
bentuk pertanggung jawaban dari Douwes Dekker yang merasa
bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan, sekaligus menjadi
pembelaan atas apa yang telah ia lakukan di Lebak. Buku ini juga telah
menjadi bagian dari proses besar pembentukan Indonesia menjadi sebuah
masyarakat, bangsa dan negara, karena telah mengisnpirasi banyak
perjuangan lain yang menghantarkan Indonesia pada kemerdekaan.
Ringkasan
Buku ini berisi kisah berbingkai, memiliki beberapa jalinan kisah, dan
alurnya sangat berliku karena seolah ada tiga orang pencerita dalam buku
ini. Sudut pandang yang pertama adalah dari tokoh bernama Batavus
Droogstoppel seorang makelar kopi yang diminta oleh Havelaar untuk
menerbitkan tulisan-tulisannya, ia sebenarnya ingin menulis buku tentang
kopi tapi justru kehilangan arah, dan ia justru banyak mengomentari dan
melontarkan kritikan terhadap kisah-kisah dalam buku ini. Kemudian,
sudut pandang kedua dari tulisan-tulisan Havelaar yang dieditori oleh
Stern (asisten Droogstoppel), dan sudut pandang yang ketiga adalah dari
Multatuli sendiri yang muncul di akhir kisah dengan mengambil alih pena
pencerita dari Stern (tokoh ciptaanya), kemudian memberi penjelasan
akhir yang mengesankan.
Kehidupan yang mewah, dan juga boros menjadi gaya hidup para pejabat
pribumi. Seorang bupati harus melaksanakan kewajibannya melakukan
berbagai upacara tradisional, perayaan dan berbagai pesta karena itu
berpengaruh pada wibawanya, akan tetapi pendapatannya sebagai
seorang bupati sebenarnya tidak mencukupi untuk melakukan banyak hal
tadi sehingga timbullah praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan
oleh para pembesar pribumi. Dua sumber pendapatan seorang pembesar
pribumi yang di kritik dalam tulisan ini adalah pertama pendapatan dari
persentase dari hasil tanam paksa, dan penggunaan tenaga dan harta
rakyat mereka secara sewenang-wenang.
Seorang pembesar pribumi demi memenuhi kebutuhannya akan memaksa
rakyatnya untuk bekerja lebih, meninggalkan sawah-sawah mereka untuk
menggarap sawah-sawah milik pemerintah. Dampak yang sangat miris
dari itu semua adalah kelaparan yang melanda masyarakat Jawa, sungguh
memang sangat aneh, rakyat yang hidup di tengah-tengah kehidupan
agraris bisa terkena bencana kelaparan. Kepentingan mengeruk hasil
sebanyak-banyaknya demi kekayaan negri Belanda dan menguntungkan
para pejabat pribumi telah menyebabkan kelaparan itu terjadi.
Kesengsaraan rakyat juga ditambah oleh penggunaan tenaga dan
perampasan harta yang dilakukan oleh pejabat pribumi. Rakyat tidak bisa
berbuat apa-apa apalagi melawan karena budaya di Jawa sendiri juga
telah menganggap itu semua sebagai bentuk pengabdian seorang rakyat
kepada penguasa.
Praktek penyalahgunaan kekuasaan itu juga terjadi di Lebak, dilakukan
oleh Bupati dan menantunya Demang Parang Kujang. Asisten residen
Havelaar yang telah berjanji dalam sumpah jabatan dan pidatonya akan
meneggakkan keadilan di Lebak selalu berusaha menentang itu semua
demi memenuhi janjinya ia berusha keras membela masyarakat lokal
yang tertindas, orang-orang Jawa. Awalnya ia mencoba bersifat lunak
karena ia tidak ingin menyakiti hari bupati dan mempermalukannya,
tetapi akhirnya ia memutuskan untuk bertindak lebih tegas.
Pembagian wilayah
Terbentuknya elit politik
Penyalahgunaan kekuasaan yang memicu protes
Praktik korupsi