You are on page 1of 4

Betapa sempurnanya sore itu, bagaimana tidak?

Pelatih mepercayaiku memperkuat tim sepakbola dan


futsal sekolah untuk mengikuti berbagai event yang
diselenggarakan sekolah dan pemerintah setempat.
Hal tersebut membuatku semakin giat berlatih setiap
Senin dan Kamis. Entah kebetulan atau tidak, aku
baru saja membeli sepatu baru untukku sendiri
sebelum
pengumuman
menggembirakan
itu
menghampiriku. Hal itu semakin menyempurnakan
kebahagiaanku.
Perjuanganku memang bukan hal yang sepele.
Manakala matahari yang hendak tampil, aku harus
membiarkan cucuran keringat mengalir di permukaan
kulit ariku dan membuat nafasku terengah-engah.
Tatkala air hujan yang ingin menunjukkan diri, harus
relalah aku membiarkan baju putihku berubah
menjadi coklat kehitam-hitaman ketika latihan. Selain
itu, cemooh teman juga bukan hal yang jarang ku
dengar, terlebih lagi kapten tim bernama Suhi yang
amat emosional. Kalo nggak bisa main pulang ajalah
kau! Kira-kira itulah yang diteriakkannya padaku
ketika salah seorang pemain lawan lepas dari
kawalanku ketika latihan. Memang omongannya
sangat menusuk dan lebih dari sekedar tajam. Tapi
harus kuakui bahwa permainannya memang luar
biasa baik. Tidak ada satu pun pemain depan lawan
yang mampu melewati hadangannya.
Secara fisik, posturku memang kurang cocok
sebagai pemain sepakbola, yang paling membuatku
minder ialah ukuran badanku yang lebih dari rekanrekan setimku. Namun aku sadar bahwa walau
tubuhku besar, aku harus memanfaatkannya dengan
baik. Karena prinsip itulah maka permainanku di
lapangan
dapat
dibilang
keras,
karena
aku

mengandalkan kekuatan badanku untuk melakukan


adu badan dengan pemain lawan dan kekuatan kakiku
untuk melakukan sliding tackle. Di samping itu,
mengetahui bahwa kecepatan lariku berada di bawah
rata-rata pemain lain, maka aku tidak akan pernah
membiarkan pemain melewatiku. Karena bila itu
terjadi, maka gawang timku kemungkinan besar akan
jebol. Selain motivasi diri, motivasi dari teman-teman
terutama teman satu tim membuatku semakin
percaya diri bahwa aku bisa memberikan yang terbaik
dan berbicara banyak bagi timku. Sampai akhirnya,
kegigihanku benar-benar berbuah hasil saat pelatih
tim sekolahku yaitu Pak Alruji dan Pak Helli
memintaku memperkuat tim untuk turnamen.
Persiapan kami yang pertama ialah untuk
menghadapi turnamen futsal yang diselenggarakan
oleh
sekolah
Al-Azhar.
Aku
bersama
Suhiandy(kapten), Jimmy, Nicholas, Wilson, Peter,
Wanda, Denny, Ricky, dll. sangat berhasrat untuk
merebut juara untuk membuktikan pada sekolah
bahwa kami bisa berbicara banyak bagi sekolah. Hal
tersebut memang mendekati kenyataan saat kami
mampu memenangkan laga pertama melawan MAN 2
Model melalui adu pinalti karena laga normal
berkesudahan dengan skor imbang 2-2 di mana gol
dari tim kami dicitakan oleh sang kapten dan Wanda
masing-masing dengan 1 gol. Walau aku masuk
sebagai pemain cadangan, tapi hari itu aku cukup
bergembira karena aku, Jimmy, Suhi, Wilson, dan
Ricky mampu menjebloskan bola ke gawang lawan
sementara yang gagal hanya Wanda. Kami semua
benar-benar menikmati kemenangan pertama kami
itu. Di pertandingan berikutnya, kami bertemu SMA 8.
Awalnya
kami
sangat
percaya
diri
dapat
memenangkan
pertandingan
itu,
tapi
saat
pertandingan berlangsung, kami kesulitan menjebol
pertahanan
mereka.
Akibatnya
sama
seperti
pertandingan pertama, kami harus melewati drama
adu pinalti untuk menentukan pemenang. Namun kali

ini ceritanya berbeda, tendangan pinaltiku dan


kapten serta Wilson gagal menembus gawan mereka,
sementara yang mampu mencetak gol hanya Peter.
Akhirnya kami pun harus merelakan gelar juara yang
kami impikan itu.
Kekalahan kami yang pertama itu bagai menjadi
antiklimaks bagi kami karena setelah kemenangan
pertama itu, kami gagal memenangkan pertandingan
di turnamen lainnya. Ialah turnamen Popda yang
menjadi kekalahan kami berikutnya. Entah telah
menjadi kutukan atau tidak, kali ini kami juga kalah
melalui adu pinalti. Di 2x35 menit permainan normal,
sebenarnya permainan kami cukup baik, namun
kurang fitnya Prasetyo, gelandang tim kami membuat
aliran bola menjadi terhambat dan sulit mengalir ke
depan sehingga penyerangan kami tidak berjalan
dengan baik. Dengan berkesudahannya babak ke 2
pertandingan tersebut, adu pinalti pun tad sapat
terelakkan. Harapan kami sebenarnya muncul saat
tendangan pemain SMKN 5 melambung di atas mistar.
Namun seiring gagalnya Nicholas dan Suhiandy dalam
mengeksekusi pinalti tersebut, kami pun menelan
kekalahan dan harus angkat koper lebih awal dari
turnamen itu.
Satu-satunya harapan tersisa kami yang terdekat
ialah turnamen yang diselenggarakan oleh Riau Pos di
Zoom Futsal. Kami benar-benar optimis menghadapi
turnamen ini, karena memang kami telah terbiasa
bermain futsal dan hampir tiap minggu latihan. Tapi
kenyataan di lapangan berkata lain. Permainan
kolektif yang dipertontonkan SMA PGRI benar-benar
merepotkan pertahanan kami sehingga kami harus
mengakui keunggulan mereka dengan skor 6-5. Kami
memang kalah hari itu, tapi aku yakin akan ada
hikmah di balik semua kejadian itu. Perjuangan kami
belum
selesai.
Walau
turnamen
telah
kami
tinggalkan, bukan berarti kami menyerah dan
berputus asa. Kami tetap berlatih sesuai jadwal untuk
mempersiapkan
kematangan
kami
untuk
ke

depannya. Kendatipun aku masih belum memberi


kontribusi yang berarti, tapi aku yakin bahwa suatu
saat aku bisa berbicara banyak bagi tim sekolah
bahkan Indonesiaku.
Itulah pengalamanku ketika duduk di bangku
SMA. Sebenarnya, aku telah bermain bola sejak
duduk di kelas 7 SMP. Saat itu, di kompleks rumahku
mengadakan semacam turnamen untuk menyambut
Hari Kemerdekaan. Saat itu, aku mampu mencetak 1
gol dari tendangan bebas dan 1 gol dari tendangan
jarak jauh yang akhirnya membawa timku juara ke-2
di turnamen itu karena kalah di final. Sedangkan
kisahku di sekolah tidak lebih manis karena tidak
mampu merebut gelar apapun.
Walau
kelihatannya
perjalananku
dengan
sepakbola
baik-baik
saja,
sebenarnya
ke-2
orangruaku terutama ibuku sangat tidak suka
melihatku bermain bola. Beliau berkata bahwa
sepakbola tidak dapat menjamin masa depanku dan
bahkan dapat mencelakaiku. Karenanya, beliau sama
sekali tidak mau membelikanku benda-benda yang
kuperlukan dalam sepakbola ini, baik itu sepatu,
kaos, celana, kaos kaki maupun deker. Bahkan
mereka tidak pernah sekalipun menyaksikanku
bertanding apalagi memberiku semangat
agar
memenangkan pertandingan.
Namun itu bukanlah menjadi batu penghalang
buatku. Semangat dan tekadku untuk mengenakan
seragam merah putih dengan lambang garuda di dada
sebelah kananku akan tetap membara dan akan
kubuktikan kepada mereka bahwa dengan bermain
sepakbola, masa depanku akan cerah dan dapat
membanggakan mereka. Entah kapan itu waktunya,
aku yakin suatu saat pasti akan kutunjukkan kepada
mereka. Karena berdasarkan buku yang pernah
kubaca, mengatakan bahwa Sebuah besi batangan
pun bila digosok secara terus menerus dengan penuh
ketekunan dapat berubah menjadi jarum.

You might also like