You are on page 1of 5

PHENOMENA ALIRAN DEBRIS DAN FAKTOR

PEMBENTUKNYA
Saiful Bachtiar

1. PENDAHULUAN
Aliran Debris atau didalam berbagai literature disebut sebagai debris flow merupakan suatu terminologi
kolektif dengan cakupan pengertian yang luas terhadap peristiwa pergerakan massa material debris secara
gravitasi. Aliran debris merupakan bagian dari peristiwa alam yang sangat merusak dan mengancam kehidupan
manusia.Setiap tahun di berbagai wilayah dunia, peristiwa pergerakan massa bahan rombakan (debris) ini telah
banyak mencelakakan manusia, merusak berbagai fasilitas dan kekayaan manusia bahkan merusak lingkungan
alam. Berbagai kegiatan penelitian maupun studi terhadap peristiwa aliran debris telah banyak dilakukan oleh
para ilmuwan di Eropa, Amerika dan Asia terutama Jepang.
Namun demikian masih banyak penggunaan terminologi pergerakan massa debris atau sedimen yang
tidak konsisten. Sebagai contoh istilah mudflowdapat dikonotasikan dengan cepat sebagai suatu proses
geologi deformasi plastisitas kemiringan tanah liat mulai dari sangat lambat sampai dengan sangat cepat
(Skempton and Hutchinson, 1969), atau sebagai suatu aliran turbulen air berlumpur yang mengangkut sedimen
berbutir kasar (termasuk batu besar) sebagai angkutan dasar atau bed load(Kurdin 1973).
Sebaliknya, suatu proses aliran yang secara struktural merupakan campuran yang menyatu (coherent
mixture) sedimen yang tidak semacam dapat diidentifikasikan dalam berbagai terminologi yang seringkali
membingungkan seperti debris flow, mud flow, debris torrent, mud flood, debris avalanche. Masalah
penyebutan nomenklatur tersebut timbul pada umumnya disebabkan oleh banyaknya variasi proses geologi yang
terkait dengan aliran campuran air dan sedimen tersebut tanpa batasan yang jelas antara satu dengan yang lain.
Para ilmuwan Jepang pada umumnya kemudian memberikan pengertian pada aliran debris sebagai suatu tipe
aliran dengan kandungan angkutan sedimen yang sangat besar, berbutir kasar, non-kohesif dan terdiri dari
material berbutir kecil sampai besar seperti pasir, kerikil, bebatuan kecil dan batu-batu besar (sand, gravel,
cobbles, dan boulders).
Namun demikian untuk keperluan praktis di lapangan perlu dibedakan secara tegas terminologi masingmasing antara debris flow dengan mud flow. Ada yang mengklasifikasikan aliran debris dalam dua karakteristik
yang berbeda yaitu aliran debris tipe berbatuan (gravel type debris flow) merupakan aliran debris yang
mengandung banyak batu-batu besar dan aliran debris tipe lumpur (mudflow type debris flow) merupakan aliran
debris dengan kandungan batu besar sedikit dan lebih didominasi oleh kandungan pasir dan batu-batu kecil.
Untuk dapat mengenali berbagai macam aliran yang konotasinya hampir serupa dengan aliran debris baik di
daerah vulkanik maupun non-vulkanik maka beberapa penjelasan tentang aliran tersebut diuraikan sebagai
berikut :

Aliran debris (debris flow) adalah aliran campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan
sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur kebawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi. Aliran ini
seringkali membawa batu-batu besar dan batangbatang pohon, meluncur kebawah dengan kecepatan tinggi
(biasanya masih dibawah kecepatan mudflow) dengan kemampuan daya rusak yang besar terhadap apa saja
yang dilaluinya seperti bangunan rumah atau fasilitas lainnya sehingga mengancam kehidupan manusia. Aliran
debris tidak terkait langsung dengan letusan gunungapi, namun dapat terjadi di daerah vulkanik maupun nonvulkanik.

Aliran Lumpur vulkanik (volcanic mud flow) adalah campuran antara air dengan material
vulkanik hasil letusan gunungapi yang meluncur kebawah melalui alur sungai atau alur-alur gunung. Temperatur

aliran ini kurang dari 100celcius tetapi dapat mengandung blok-blok lava panas yang dapat membakar rumah
atau apa saja yang tersentuh. Kecepatan aliran sangat tinggi dapat mencapai 100 km/jam sehingga sulit untuk
menghindar. Daya rusak aliran tinggi mengakibatkan kerusakan terhadap apa saja yang dilanggarnya.

Aliran Lahar (Lahar flow) merupakan istilah Indonesia untuk menyebut aliran lumpur vulkanik dan
sudah digunakan secara internasional untuk menyatakan jenis aliran lumpur vulkanik. Seorang penulis dari
Department of Geological Sciences,University of Washington, Lee H. Fairchild tahun 1987 menulis tentang
kejadian aliran lahar di Mount St.Helens dengan judul The Importance of lahar initiation processes. Di
Indonesia aliran lahar dikenal sebagai aliran lahar hujan, karena biasanya aliran lahar terbentuk dari air hujan
bercampur endapan material piroklastik hasil letusan gunungapi. Jika endapan piroklastik pembentuk aliran lahar
masih panas yang terjadi adalah lahar hujan dengan temperature tinggi disebut lahar panas, namun jika
material piroklastiknya sudah dingin yang terbentuk adalah aliran lahar hujan yang tidak panas disebut
sebagai lahar dingin.

Endapan Piroklastik (Pyroclastic deposit), adalah material hasil letusan gunungapi yang
dilepaskan ke udara ketika terjadi letusan dan turun kembali ketanah oleh gaya gravitasi kemudian menumpuk
sebagai material endapan piroklastik. Ketika material piroklastik bergerak turun dari udara seringkali
menimbulkan dampak kerusakan di permukaan tanah seperti kebakaran hutan, rusaknya tanaman pertanian,
menghancurkan bangunan rumah, jalan, jembatan dan bangunan infrastruktur lainnya. Berbagai material halus
seperti butiran halus batu apung (fine grained pumice), lapilli (ukuran butiran 2-64 mm) dan abu vulkanik
(diameter butiran < 2 mm) turun kebawah dari kawah mengikuti arah angin dimana jarak yang dapat dicapai
tergantung pada skala letusan, kondisi alam serta arah dan kecepatan angin. Endapan abu vulkanik dapat
mengurangi daya serap permukaan tanah terhadap air sehingga meningkatkan run-off air hujan dimana
air hujan tersebut dapat merubah endapan abu vulkanik di lereng gunung menjadi aliran lumpur. Lontaran blokblok vulkanik (volcanic block) dapat terjadi hingga mencapai jarak beberapa kilometer dari kawah.
Letusan.gunung Sakurajima 1914, lebih dari 500 rumah sejauh 4 km dari puncak mengalami rusak berat akibat
tumpukan abu letusan di atap rumah. Tahun 1902 dan 1944 kerusakan rumah-rumah penduduk akibat atap
rumah runtuh tidak mampu menahan beban tumpukan abu letusan gunung Vesuvius terjadi di kota Pompeii.
Tahun 1990 letusan gunung Kelud di kota Kediri, 33 orang meninggal dan 88 orang lainnya luka parah akibat
tertimpa atap bangunan (pabrik tua) yang runtuh tidak kuat menahan tumpukan abu vulkanik diatasnya.

Aliran Piroklastik (Pyroclastic flow) yang sering disebut nuee ardente atau oleh
penduduk sekitar gunung Merapi disebut sebagai wedus gembel, adalah merupakan suatu kejadian
pergerakan cepat (luncuran) blok lava bersuhu tinggi 100 10000C dan fragmen-fragmen kecil lainnya
menuruni lereng gunung dengan kecepatan tinggi 10 hingga 300 km/jam sehingga sulit bagi manusia untuk
menghindar ketika aliran piroklastik ini telah terjadi. Luncuran aliran piroklastik yang besar dapat mencapai jarak
hingga 100 km.. Berdasarkan besarnya volume material yang dikeluarkan dari kawah gunung maka aliran
piroklastik dapat dikategorikan dalam tiga ukuran atau skala yaitu aliran piroklastik skala besar apabila volume
yang dikeluarkan lebih besar 1 km3, skala menengah untuk volume antara 0,01 1 km3 dan skala kecil untuk
volume lebih kecil 0.01 km3. Sebagai contoh, letusan gunung Unzen di Jepang bulan Mei 1991 menghasilkan
volume aliran piroklastik < 0,01 km3 termasuk sekala kecil, letusan gunung Pinatubo di Philipina bulan Juni 1991
dengan volume 7 km3 termasuk kategori sekala besar.

Aliran Lava (Lava flow), adalah aliran lava panas cair ( temperatuir hingga 1.2000C) yang dalam
keadaan tidak mengental kecepatannya dapat mencapai 30 km/jam atau lebih meskipun pada bidang kemiringan
yang landai. Pada suhu 1000 sampai 1.200C aliran lava dapat membakar rumah dan apa saja benda-benda
yang tersentuh maupun yang ada didekatnya. Bahkan bangunan dapat rusak akibat tekanan aliran lava. Sebagai
contoh, aliran lava gunung Etna di Italia tahun 1669 mencapai kota Catania menyebabkan 10.000 orang
meninggal, aliran lava gunung Nyiragongo di Afrika tahun 1977 dengan kecepatan aliran 30 km/jam
menewaskan 70 orang meninggal.

Guguran material gunungapi (Mountain collapse) , adalah suatu peristiwa dimana sebagian
tubuh gunungapi (kubah lava untuk gunung Merapi) runtuh dan hancur akibat aktivitas vulkanik, kemudian
melucur bergerak kebawah sebagai runtuhan bahan rombakan (debris) atau runtuhan batuan (rock avalanche).
Kecepatan luncuran dapat mencapai 300 km/jam sehingga dalam volume yang besar sangat merusak dan dapat
menimbun perumahan yang berada di daerah pengendapan material guguran ini.

Guguran kelerengan (Slope collapse), adalah peristiwa dimana sebagian atau seluruh
kelerengan suatu bukit atau dinding kaldera runtuh kebawah akibat dari air hujan, perubahan permukaan air
tanah atau yang sejenis. Guguran kelerengan termasuk tanah longsor dan luncuran tanah (landslide dan land
slip) berbeda dengan guguran material gunungapi (mountain collapse) karena guguran kelerengan ini tidak ada
kaitannya dengan aktivitas gunungapi. Biasanya guguran kelerengan ini tidak mengandung air sebanyak aliran
debris dan massa tanah tidak tercampur sangat sempurna dengan air. Kecepatan pergerakan materialnya dapat
sangat lambat sampai sangat cepat. Sebagai contoh peristiwa ini adalah runtuhnya lereng kaldera gunung
Tateyama akibat gempabumi tahun 1858. Material sedimen hasil guguran lereng tersebut mengalir kebawah
membentuk dam alam (natural dam/landslide dam) di bagian hulu sungai Joganji. Dam alam ini kemudian runtuh
akibat air hujan membentuk aliran debris menggenangi dataran Toyama. Kejadian hampir serupa terjadi di
Indonesia, yaitu runtuhnya dinding kaldera gunung Bawakaraeng yang terletak sekitar 40 km hulu dam Bili-Bili,
kabupaten Gowa propinsi Sulawesi Selatan pada bulan Maret 2004. Peristiwa mengejutkan ini menghasilkan
material sedimen sekitar 200 hingga 300 juta meter kubik atau sekitar 0,2 hingga 0.3 km3, mencederai 32 orang
dan 635 sapi (termasuk yang hilang), merusak rumah, gedung sekolah, jembatan dan tanah pertanian 1.500 ha.
Sekitar 6.335 orang terpaksa diungsikan. Persoalan sangat serius yang harus diatasi kemudian adalah ancaman
endapan material terhadap kelestarian fungsi waduk Bili-Bili disebelah hilir gunung Bawakaraeng.

2. BENCANA ALIRAN DEBRIS


2.1 Bencana Aliran Debris Dan Karakteristiknya
Di Indonesia, peristiwa alam berupa aliran bahan rombakan atau aliran debris yang mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa manusia, kerugian harta dan benda bahkan kerusakan lingkungan yang kemudiandisebut sebagai
bencana aliran debris sudah sangat sering terjadi. Setiap tahun terutama pada awal dan pertengahan musim
hujan hampir setiap hari di halaman surat kabar selalu dihiasi dengan berita kejadian bencana alam tanah
longsor, banjir bandang, banjir lahar dan sebagainya yang semuanya sebenarnya dapat disebut sebagai
bencana alam akibat dari pergerakan (movement) atau aliran (flow) sedimen atau sediment related
disasteryang di lapangan lebih dikenal sebagai bencana aliran debris.
Aliran sedimen atau aliran debris merupakan aliran massa yang terbentuk dari bahan rombakan (runtuhan) yang
disebut debris dan media pencampuran air, mengalir menuruni lembah dari bagian hulu menuju bagian hilir
dengan kecepatan dan kekuatan daya rusak sangat tinggi.
Beberapa cirri-ciri dari bencana aliran debris ini adalah :
1.

Terjadi banyak korban jiwa manusia.

2.

Rumah dan fasilitas umum banyak yang rusak akibat serangan aliran debris.

1.

Diperluklan waktu dan dana yang besar untuk merekonststruksi daerah yang rusak akibat banjir aliran
debris.
Bencana akibat aliran debris atau secara umum seringkali disebut bencana sedimen (sediment related
disaster) jika diperhatikan ternyata mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri misalnya dampak bencana akibat
aliran debris akan dirasakan lebih lama (long-lasting effects) daripada bencana banjir biasa. Pada kejadian

bencana banjir (flood disaster) misalnya akibat meluapnya sungai Ciliwung yang sering disebut sebagai banjir
rutin Jakarta atau banjir akibat meluapnya sungai Bengawan Solo, banjir akibat meluapnya sungai Brantas dan
sebagainya, pada umumnyayang terjadi adalah kenaikan sementara muka air atau disebut banjir. Pemulihan
kepada kondisi semula akibat bencana banjir (flood disaster) secara relatif tidak berlangsung lama jika
dibanding akibat bencana aliran debris. Pada bencana aliran debris sejumlah massa tanah, pasir, batu-batu
besar dan kecil akan merubah samasekali kondisi muka lahan atau alur sungai yang ditutupnya ketika banjir.
Sulitnya mngembalikan kondisi lahan seperti semula berdampak pula terhadap pemulihan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Bahkan seringkali terjadi satu kelompok permukiman tersapu oleh banjir aliran debris ini. Lemahnya
sistem social masyarakat dan sulitnya mempridiksi kadatangan aliran debris merupakan pula faktor penyebab
semakin meningkatnya ancaman bencana aliran debris ini. Di Jepang sebagai akibat mahalnya harga tanah di
kota menyebabkan makin banyak orang memilih untuk tidak tinggal di kota sehingga daerah permukiman mulai
banyak menyebar di daerah perbukitan, pegunungan atu di puncak-puncak bukit dimana orang tidak pernah
tinggal disana sebelumnya. Di Indonesia hal yang sama sudah sejak lama terjadi hingga sekarang. Banyak
permukiman berada di daerah pegunungan, lahan berlereng terjal, daerah kipas penyebaran dan daerah lainnya
yang merupakan daerah rawan terhadap ancaman berbagai macam bencana seperti tanah longsor atau letusan
gunungapi.
Kondisi geologi yang kompleks, topografi yang tidak datar maupun kondisi curah hujan yang tinggi, banyaknya
gunungapi aktif, ditambah tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi terutama di Jawa memaksa Indonesia
harus siap menerima kenyataan sebagai daerah dengan tingkat kerawanan terhadap bencana alam terutama
bencana alam akibat aliran debris cukup tinggi bahkan sangat tinggi.
Di Jepang dengan kondisi alam yang serupa dengan Indonesia, sampai dengan tahun 1990 korban
meninggal akibat bencana alam tercatat 60 % disebabkan oleh pergerakan sedimen termasuk aliran debris dan
tanah longsor, sisanya oleh peristiwa bencana alam lainnya seperti banjir dan sebagainya (Sabo Works
Upstream issued by PWRI Ministry of Construction, Government of Japan, Nov 1996).
Pada tahun-tahun sebelumnya beberapa catatan terhadap korban meninggal dan luka-luka dikemukakan
sebagai berikut, tahun 1976 sebanyak 50,8 % oleh aliran debris, 27 % oleh tanah longsor dan 22,2 % akibat
banjir. Tahun 1968 sebanyak 79 % akibat aliran derbris, 2,6 % akibat tanah longsor dan 18,4 % akibat banjir ,
dan seterusnya hingga tahun 1976 tercatat 30,8 % akibat aliran debris, 34,6 % akibat tanah longsor dan 34,6
akibat banjir. Terlihat bahwa secara rata-rata korban meninggal dan terluka akibat bencana aliran debris dan
tanah longsor mencapai lebih dari 65 % dari seluruh jumlah korban bencana yang terjadi di Jepang. (Debris
Flow and Disaster, Masayuki Watanabe,1981, Erosion Control Department of PWRI-MOC, Japan)
Di Indonesia dengan kondisi alam yang serupa dengan jumlah kepadatan penduduk yang jauh lebih besar,
meskipun belum ada pendataan dan stastitik resmi tentang hal ini akan tetapi diyakini bahwa nilai 60 % korban
jiwa meninggal dalam peristiwa bencana alam disebabkan oleh aliran debris terlampaui ( peristiwa bencana
Tsunami NAD tidak termasuk). Apalagi tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana
terhadap bencana alam itu sendiri masih sangat kurang, sehingga tingkat kerawanan terjadinya korban jiwa
akibat bencana alam akan tinggi.

2.2 Ciri-Ciri Aliran Debris


Karakteristik aliran debris sangat berpengaruh terhadap kerusakan yang ditimbulkan. Beberapa ciri aliran debris
penyebab besarnya kerusakan yang ditimbulkan antara lain adalah :
1.

Aliran debris mengalir menuruni lembah atau kelerengan dengan kecepatan sangat
tinggi. Untuk aliran debris tipe batuan (gravel type debris flow) dengan kandungan batu-batu besar dapat
mencapai kecepatan 5 10 m/dtk, sementara itu aliran debris tipe Lumpur (mudflow type debris flow) dengan
kandungan batu sangat sedikit mengalir dengan kecepatan 10 20 m/dtk.

2.

Aliran debris mengandung batu-batu besar dan seringkali juga membawa batangbatang kayu. Batu besar yang terbawa di bagian depan aliran debris dapat mencapai diameter beberapa
meter, sedangkan batang kayu hutan yang terbawa mencapai panjang 10 meter, sehingga bagian depan aliran
debris ini akan mempunyai kekuatan yang sangat besar.

3.

Aliran debris terjadi| secara mendadak dan cepat sekali , tidak dapat diduga sebelumnya
karena tanda-tanda awal akan terjadi aliran debris sangat sulit dideteksi. Setelah terjadi baru terdengar suara
gemuruh. Hal inilah yang menyulitkan bagi penduduk untuk menghindar dan mengungsi karena sulitnya
memberikan peringatan secara dini (early warning sistem), sehingga ketika mengetahui kedatangan aliran debris
dan akan menghindar sudah terlambat.
Beberapa kondisi yang mempengaruhi dapat terbentuknya aliran debris adalah :

1.

Kemiringan dasar lembah atau alur harus lebih curam dari , merupakan kondisi kemiringan untuk dapat
terbentuknya aliran debris.

2.

Tersedia sumber material sedimen di bagian hulu alur, di lereng-lereng atau disekitar puncak gunung
sebagai bagian dari bahan pembentuk aliran debris.

3.

Adanya air, baik air hujan atau air yang lain dalam jumlah yang cukup banyak dan tercurah kedalam
alur atau lembah.

3. PENUTUP
Aliran debris sebagai suatu wujud aliran massa yang mempunyai kemampuan daya rusak tinggi karena berat
satuannya dapat mencapai 2,70 gr/cm3, tidak dapat dicegah untuk tidak terjadi. Hal ini karena dari ketiga faktor
pembentuk aliran debris yaitu sumber material atau material yang tersedia di daerah produksi, air dalam
volume memadai yang berasal dari air hujan dan kemiringan dasar lembah atau dasar sungai, maka
tampaknya hanya faktor ketiga yaitu kemiringan dasar sungai yang masih dapat direkayasa untuk dapat
mengendalikan daya rusak aliran debris sehingga dalam pengalirannya dari hulu sampai hilir tidak banyak
menimbulkan kerusakan yang merugikan bagi manusia dan lingkungannya.
Usaha pengendalian aliran debris ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi SABO yang sudah
dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia sejak sekitar 30 tahun yang lalu. Jika untuk mengendalikan
perilaku aliran air di sungai ilmu yang menyertai adalah River Engineering, untuk pantai dikenal dengan Coastal
Engineering , maka untuk pengendalian aliran debris ilmu yang menyertai disebut sebagai Sabo Engineering.
Harus selalu diingat bahwa pergerakan sedimen seperti aliran debris adalah suatu phenomena alam yang
kekuatannya tidak terukur dan sangat besar sehingga tidak mungkin dihentikan sama sekali.

Haryono Kusumosubroto
Seminar Diseminasi Teknologi Sabo di Semarang, 31 Mei 2006

You might also like