Professional Documents
Culture Documents
Hukum Fisika yang paling mendasari teori dekompresi adalah Hukum Henry, dimana
hukum tersebut menyebutkan bahwa pada sebuah bejana yang berisi air dan udara, bila
tekanan udara ditingkatkan maka akan terjadi pelarutan udara ke dalam zat cair tersebut yang
sebanding dengan peningkatan tekanan udara. Saat tekanan dalam bejana tersebut sudah
cukup tinggi, apabila tekanan udara dikurangi secara perlahan-lahan, maka gas yang terlarut
akan dibebaskan secara perlahan kembali ke udara tanpa membentuk gelembung udara. Lain
halnya bila tekanan tersebut dikurangi secara cepat, maka udara yang terlarut didalam zat cair
akan dibebaskan secara cepat pula, dan membentuk gelembung udara seperti air mendidih
(boiling water).
Teori lainnya yang mendukung teori dekompresi adalah Hukum Boyle, yang
menyebutkan bahwa semakin tinggi tekanan udara, maka kepadatan molekul udara akan
semakin padat pada volume yang sama. Contoh, jika dipermukaan air kita ada sebuah balon
yang berukuran 1 Liter berisi satu juta molekul gas, maka pada kedalaman 30 meter, 1 Liter
balon gas tersebut akan akan berisi 4 juta molekul gas. Hal ini berarti bahwa semakin dalam
kita menyelam maka kita menghirup lebih banyak molekul gas ketimbang saat kita tidak
menyelam. Hal ini lah yang menyebabkan DCS terjadi pada para penyelam, ketika mereka
berada di laut dalam, tekanan
DSC bisa dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1. DCS Tipe I (ringan)
DCS tipe I ditandai oleh satu atau kombinasi dari gejala berikut:
(1) Rasa sakit ringan yang mulai terasa dalam waktu 10 menit dari onset
(niggles/nipples), (2) pruritus, atau belokan kulit yang menyebabkan gatal atau sensasi
terbakar kulit, dan (3) ruam kulit, yang umumnya merupakan bintik-bintik atau marmer
dari kulit atau ruam lembayung papular atau plaquelike. Pada kesempatan langka, kulit
memiliki penampilan jeruk-kulit. Keterlibatan limfatik ini jarang terjadi dan biasanya
ditandai dengan edema pitting menyakitkan. Kasus paling ringan hanya melibatkan kulit
atau sistem limfatik.
penyelam untuk dapat mengubah tekanan atmosfir di sekelilingnya dengan perlahan dan aman,
sehingga dia dapat menormalkan konsentrasi gas tertentu dalam sistem organnya.
Hal ini
berpotensi meminimalisir kasus mematikan narkosis nitrogen juga penyakit yang terkait dengan
tekanan lainnya, seperti toksisitas oksigen dan DCS.
Ruang dekompresi dapat ditemukan pada kapal angkatan laut tertentu, kegiatan
menyelam, dan beberapa rumah sakit. Sebuah ruang dekompresi dapat berupa berbagai
ukuran, tetapi harus selalu berukuran besar karena bertujuan untuk menyertakan seluruh tubuh.
Penggunaan ruang dekompresi harus selalu diawasi oleh seorang petugas medis yang
berpengetahuan dan terlatih.
SEJARAH
TERAPI
HIPERBARIK
Terapi Oksigen hiperbarik pertamakali oleh Behnke 1930 digunakan untuk rekompresi
(mengembalikan tekanan) para penyelam untuk menghilangkan simptom penyakit
dekompresi (Caissons Disease) setelah menyelam. Penyakit dekompresi adalah
penyakit yang terjadi karena perubahan tekanan. Misalnya saat kita menyelam atau kalo
kita naik pesawat terbang tekanan naik), akan terjadi pelepasan dan mengembangnya
gelembung2 gas dalam organ. Jika kita kembali ke tekanan awal, maka akan terjadi
perubahan tekanan yang dapat menganggu fungsi beberapa organ tubuh / penyakit
dekompresi
HBOT
HBOT memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel.
Pada sel endotel ini HBOT juga meningkatkan intermediet vaskuler endotel growth
factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang memicu
peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan
bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah
satu
tahapan
dalam
penyembuhan
luka.
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBOT yaitu untuk
wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan
infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah
edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast
sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi
pada daerah edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi
hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi,
terjadi peningkatan IFN-, i-NOS dan VEGF. IFN- menyebabkan TH-1 meningkat
yang berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan
meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada luka, HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema..
Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberianO2 100%,
tekanan 2 3 Atm . Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion
sickness. Maka akan terjadikerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar
luka. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, rasio
RNA/DNA, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang menyebabkan
neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan
aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga daerah yang
mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan terjadi
peningkatan NO hingga 4 5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3
ATA selama 2 jam. Hasilnya pun cukup memuaskan, yaitu penyembuhan jaringan luka.
Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dimana
memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi
jaringan
di
distal.
Indikasi-indikasi lain dilakukannya HBOT adalah untuk mempercepat penyembuhan
penyakit, luka akibat radiasi, cedera kompresi, osteomyelitis, intoksikasi
karbonmonoksida, emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak yang sudah nekrotik,
Skin
graft
dan
flap,
luka
bakar,
abses
intrakranial
dan
anemia.
Prosedur pemberian HBOT yang dilakukan pada tekanan 2-3 ATA-90 dengan O2
intermitten akan mencegah keracunan O2. Menurut Paul Bert, efeksamping
biasanyaakan mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual, kedutan pada otot
muka dan perifer serta kejang. Sedang menurut Lorrain Smith, efek samping
bisamengenai
paru-paru
yaitu
batuk,
sesak
dan
nyeri
substernal.
HBOT
Meningkatkan
Sensitivitas
Radioterapi
Instalasi Radioterapi dan Oksigen yang merupakan bagian dari unggulan fasilitas
kesehatan.
Penelitian hubungan tekanan oksigen dengan radioterapi pada manusia sudah dimulai
sejak tahun 1910 oleh Deche. Sedangkan menurut Guritno, yang pada saat
diwawancarai masih menjabat sebagai direktur RSAL Dr Ramelan Surabaya, HBOT
bermanfaat untuk meningkatkan sensitivitas sel tumor pada radioterapi. Karena pada
kondisi hipoksia sensitifitas sel tumor menurun, sehingga dengan HBOT yang
meningkatkan perfusi. Dengan demikian akan tercipta kondisi hiperoksia yang
menyebabkan sensitifitas sel tumor meningkat. HBOT tentunya juga akan bermanfaat
pada
healing
injury
post
radioterapi.
Studi dan telaah dilakukan seorang ahli HBOT muda, dr. Arie Widiyasa Sp.OG, Kabag
KESLA RSAL Ilyas Tarakan, mengenai pengaruh HBOT terhadap kanker serviks.
Kombinasi antara radiasi baik eksternal atau brachiterapi atau keduanya yang
dikombinasikan dengan pemberian HBOT akan meningkatkan radiosensitivitas sel
kanker serviks. Salah satu modalitas yang dapat dikembangkan saat ini adalah terapi
dengan menggunakan oksigen bertekanan tinggi diberikan dengan tekanan 2,0 ATA, 2,4
ATA atau 3 ATA sebanyak 20 30 kali dapat dipertimbangkan walau harus tetap
mempertimbangkan untung ruginya tindakan tersebut. HBOT dapat memperbaiki
sensitivitas sel tumor, meningkatkan persentase angka survival rate, tak jelas dapat
mencegah rekurensi atau menurunkan angka kematian. Dengan demikian komplikasi
pemberian radioterapi dosis tinggi dapat dicegah sebelum kerusakan menjadi berat dan
irreversibel.
Manfaat
pada
Pasien
Post
Radioterapi
Dewasa ini terapi radiasi dinilai cukup efektif untuk menangani beberapa kasus kanker
yang tidakoperable. Namun efek samping radiasi yang bersifat sistemik agaknya sulit
untuk dihindari. Contohnya pada radioterapi pelvis yang akan menyebabkan rusaknya
epitel, parenkim, stroma, vaskuler rektum dan berujung pada terbentuknya striktur dan
fistula. Sayangnya pula terapi yang dilakukan terhadap efek samping tersebut sering
tidak berhasil sehingga akan terjadi kerusakan komplek serta terbentuknya mediator
yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
kemotaksis,
demam,
rasa
sakit
dan
kerusakan
jaringan.
American Society for Therapeutic Radiology and Oncology membuat sistem scoring
efek
samping
akut
dan
efek
samping
lama.
Penggunaan hiperbarik oksigen untuk pengobatan suatu penyakit sudah lama
digunakan,
dan
perkembangannya
sangat
pesat
di
beberapa
negara.
Terapi ini menjadi dikenal di Indonesia, pada saat bencana alam Tsunami Aceh, atau
bencana gempa di Bantul, dimana banyak orang yang terancam diamputasi kakinya
karena tertimpa bangunan atau luka yang parah. Terapi oksigen hiperbarik terbukti
ampuh sebagai terapi penunjang (selain terapi obat oleh dokter) yang dapat
menghindarkan
dari
ancaman
amputasi
organ
tubuh.
Selain itu terapi oksigen hiperbarik dapat mengobati penyakit degeneratif kronis seperti
arterio sclerosis, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, ulser diabetik, serebral palsy,
trauma otak, slerosis multiple dan penyembuhan luka. Terapi ini meluas pemakaiannya
sebagai terapi kebugaran tubuh dan untuk kecantikan sebagai terapi supaya awet muda.
Di Indonesia perkembangannya diawali dengan keberadaan instalasi ruang kompresi
pada saat dibangunnya Graving dock, di Ujung, Surabaya yang digunakan untuk
mengobati penderita dekompresi. Sampai saat ini fasilitas hiperbarik tersedia di
beberapa rumah sakit di Indonesia terutama rumah sakit TNI AL dan rumah sakit yang
berhubungan
dengan
pertambangan
:
-
RS
RSAL
Dr
RSAL
PT
Tanjung
Mintohardjo,
RS
Pertamina
Panti
Lakesla
RSU
RS
Midiyatos,
Dr
RS
Arun,
AL,
Sanglah,
Pertamina
Gunung
RSAL
RS
Jakarta;
Solo;
Surabaya;
Denpasar;
Balikpapan;
RSU
RS
Pinang;
Cilacap;
Waluyo,
TNI
Aceh;
Makasar;
Wenang,
Manado;
Halong,
Ambon;
Petromer,
Sorong.
Dosis Perawatan oksigen Hiperbarik yaitu dengan memberikan tekanan 100 % oksigen
yang lebih besar dari tekanan oksigen murni secara terus menerus pada tubuh, dengan
tekanan sebesar 2 atmosphere absolute (ATA) sampai 3 ATA. Untuk perawatan luka
khusus bagi kecelakaan penyelaman, kasus yang menggunakan hiperbarik oksigen
pertamakali, membutuhkan tekanan 100% oksigen selama 90 menit pada kedalaman 45
feet of sea water (fsw) 13.7m of sea water (msw) or 1.38 bar atau sesuai dengan 2,36
(ATA). Dosis yang digunakan pada perawatan HBOT tidak boleh lebih dari 3 ATA
karena tidak aman untuk pasien dengan status debil selain berkaitan dengan lamanya
perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas 2,5 ATA mempunyai
efek
imunosupresif.
Pada kebanyakan perawatan, waktu setiap sesi HBOT adalah 90 menit sampai 120
menit sekali sampai dua kali dalam sehari isesuaikan dengan kondisi jaringan serta
perawatan yang diperlukan. Biasanya sebagai terapi dibutuhkan 10 sesi perawatan
( untuk kebugaran tubuh dan kecantikan ) atau lebih sesuai dengan kondisi.
Perawatan
HBOT
berfungsi
untuk
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran
darah
yang
berkurang
2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah
pada
sirkulasi
yang
berkurang.
3. Menyebabkan pelebaran arteri rebound sehingga meningkatkan diameter pembuluh
darah,
dibanding
pada
permulaan
terapi.
4. Merangsang fungsi adaptif pada peningkatan superoxide dismutase (SOD),
merupakan salah satu anti oksidan dalam tubuh untuk pertahanan terhadap radikal
bebas dan bertujuan mengatasi infeksi dengan meningkatkan kerja sel darah putih
sebagai
antibiotic
pembunuh
kuman.