Professional Documents
Culture Documents
Palsy
By Essy Sonontiko S,S.Kep.,Ners
Pengertian
Bell's palsy merupakan kelumpuhan (relatif) mendadak otot-otot
wajah sesisi; dapat mencemaskan karena umumnya terjadi tanpa gejala
pendahuluan dan menyebabkan wajah miring/mencong sehingga
dikacaukan dengan gejala gangguan peredaran darah otak (stroke).
Berbeda dari Gangguan Peredaran Darah Otak, kelumpuhan wajah
sesisi ini tidak dibarengi dengan kelumpuhan anggota badan/tubuh
lainnya.
Web Of Causen
Penyebab
Bell's palsy disebabkan oleh pembengkakan n. facialis sesisi;
akibatnya pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan
kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya terganggu;
akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat
diteruskan.
Kausanya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi
semacam virus herpes simpleks. Virus tersebut dapat dormant (`tidur')
selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan terkena
stres fisik ataupun psikik. Sekalipun demikian Bell's palsy tidak menular.
Gejala
KONSEP KEPERAWATAN
Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan Bellls palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah
berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama
klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya
didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan
kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
Riwayat penyakti dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia
vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek,
herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian
obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta
pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bells palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti
dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari
baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama
masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang
telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan
oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bells
palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
B1 (breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak
batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan
dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi
didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas
tambahan.
B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama
yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Pada Bells palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,
observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bells palsy biasanya statul
mental klien mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
: biasanya pada klien bells palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
Saraf II
: tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
Saraf III, IV, VI : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
Saraf V
: kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
Saraf VII
: berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus
fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus
fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII
: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX & X
: paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
Saraf XI
: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
Saraf XII
: lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah
sisi kelumpuhan kurang tajam.
Sistem motorik :Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada Bells palsy tidak ada kelainan.
Pemeriksaan refleks: Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
Gerakan involunter : Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa
keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
Sistem sensorik :Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.
B4 (Blader)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (bowel)
Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien bells palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah
serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
Diagnosa keperawatan
1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
Abses otak (AO) adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak; terutama disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melaui sistem
vaskular. Timbunan abses pada daerah otak mempunyai daerah spesifik, pada daerah cerebrum 75% dan cerebellum 25%.
2. Etiologi
Penyebab dari abses otak ini antara lain, yaitu:
1. Bakteri
Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari
perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah
Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan
Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik
umumnya oleh Streptococcus anaerob.
2. Jamur
Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan
Aspergillus.
3. Parasit
Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO secara hematogen.
4. Komplikasi dari infeksi lain
Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta
Komplikasi infeksi lainnya seperti: paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empisema), jantung (endokarditis), organ
pelvis, gigi dan kulit.
3. Patofisiologi
Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara:
1. Implantasi langsung akibat trauma, tindakan operasi, pungsi lumbal. Penyebaran infeksi kronik pada telinga, sinus,
mastoid, dimana bakteri dapat masuk ke otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah.
2. Penyebaran bakteri dari fokus primer pada paru-paru seperti abses paru, bronchiactasis, empyema, pada endokarditis
dan perikarditis.
3. Komplikasi dari meningitis purulenta.
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau melunaknya parenkim.
Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi
pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis.
AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen
dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh
penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea;
sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya
shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia
ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark
akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka
bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian
ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah
multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem,
perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan
makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis
yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :
1. stadium serebritis dini
2. stadium serebritis lanjut
3. stadium pembentukan kapsul dini
4. stadium pembentukan kapsul lanjut.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi
ruptur, dapat menimbulkan meningitis.
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal
dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO
lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.
4. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala awal dan umum dari abses otak adalah nyeri kepala, IM menurun kesadaran mungkin dpat terjadi,
kaku kuduk, kejang, defisit motorik, adanya tandatanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lain tergantung
dari lokasi abses.
Lokasi
Lobus frontalis
Sumber Infeksi
Sinus paranasal
Pemeriksaan diganostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus abses otak, yaitu:
1. X-ray tengkorak, sinus, mastoid, paru-paru: terdapat proses suppurative.
2. CT scan: adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran.
3. MRI: sama halnya dengan CT scan yaitu adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran.
4. Biopsi otak: mengetahui jenis kuman patogen.
5. Lumbal Pungsi: meningkatnya sel darah putih, glukosa normal, protein meningkat (kontraindikasi pada kemungkinan
terjadi herniasi karena peningkatan TIK).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis yang dilakukan pada abses otak, yaitu:
1. Penatalaksaan Umum
a. Support nutrisi: tinggi kalori dan tinggi protein.
b. Terapi peningktan TIK
c. Support fungsi tanda vital
d. fisioterapi
2. Pembedahan
3. Pengobatan
a. Antibiotik: Penicillin G, Chlorampenicol, Nafcillin, Matronidazole.
b. Glococorticosteroid: Dexamethasone
c. Anticonvulsants: Oilantin.
7. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang akan terjadi pada pasien dengan abses otak adalah:
1. Gangguan mental
2. Paralisis,
3. Kejang
4. Defisit neurologis fokal
5. Hidrosephalus
6. Herniasi
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Identitas klien dan psikososial
a. usia,
b. Jenis kelamin
c. Pendidikan
d. Alamat
e. Pekerjaan
f. Agama
g. Suku bangsa
h. Reran keluarga
i. Penampilan sebelum sakit
j. Mekanisme koping
k. Tempat tinggal yang kumuh
2. Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise, peninggikatan tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal .
4. Riwayat penyakit dahulu: pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru
(bronkiektaksis,abses paru,empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.
5. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Nyeri kepala
c. Nystagmus
d. Ptosis
e. Gangguan pendengaran dan penglihatan
f. Peningkatan sushu tubuh
g. Paralisis/kelemahan otot
h. Perubahan pola napas
i. Kejang
j. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
k. Kaku kuduk
l. Tanda brudzinskis dan kernigs positif
6. Pola fungsi kesehatan
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: malaise
Tanda: ataksia,masalah berjalan,kelumpuhan,gerakan involunter.
b. Sirkulasi
Gejala: adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis
Tanda: TD meningkat,nadi menurun (berhubungan peningkatan TIK dan pengaruh pada vasomotor).
c. Eliminasi
Tanda: adanya inkontensia dan/atau retensi
d. Nutrisi
Gejala: kehilangan nafsu makan,disfagia (pada periode akut).
Tanda: anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering.
e. Higiene
Tanda: ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri(pada periode akut)
f. Neurosensori
Gejala: sakit kepala,parestesia,timbul kejang, gangguan penglihatan
Tanda: penurunan status mental dan kesadaran,kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan,afasia,mata; pupil
unisokor (peningkatan TIK),nistagmus.kejang umum lokal.
g. Nyeri /kenyamanan
Gejala: Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan pada leher/punggung kaku.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan lemah.
Data Objektif (DO):
a. Paralisis, parese, hemiplegia, tremor
b. Kekuatan otot kurang
c. Kontraktur, atropi.
4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan demam dan rasa haus.
Data Objektif (DO):
a. Suhu tubuh diatas 38o C.
b. Perubahan tanda vital
c. Kulit kering
d. Peningkatan leukosit
5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan demam dan rasa haus, muntah
Data Objektif (DO):
a. Suhu tubuh di atas 38oC.
b. Turgor kulit kurang
c. Mukosa mulut kering
d. Urine pekat
e. Perubahan nilai elektrolit
6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang
tidak adekuat.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan tidak nafsu makan, mual dan muntah.
Data Objektif (DO):
a. Pasien tidak menghabiskan makanan yang telah disediakan
b. Diet makan
c. Penurunan BB
d. Adanya tanda-tanda kekurangan nutrisi: anemis, cepat lelah.
e. Hb dan Albumin kurang dari normal
f. Tekanan darah kurang dari normal.
7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien menguluh nyeri kepala, kaku pada leher dan merasa tidak nyaman.
Data Objektif (DO):
a. Ekspresi wajah menunjukkan rasa nyeri
b. Kaku kuduk positif
I. Intervensi
Intervensi yang direncanakan pada klien dengan abses otak, yaitu:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi
b. Tanda vital dalam batas normal
c. Tidak terjadi defisit neurologi
Intervensi:
a. Monitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk.
R/ : Tanda dari iritasi meningeal terjadi akibat peradangan dan mengakibatkan peningkatan TIK.
b. Monitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam.
R/ : perubahan tekanan nadi dan bradikardia indikasi herniasi otak dan peningkatan TIK.
c. Kurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas.
R/ : Menhindari peningktan TIK.
d. Berikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan.
R/ : mengurangi peningkatan TIK.
e. Tinggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher.
R/ : Memfasilitasi kelancaran aliran darah vena.
f. Kolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik.
R/ : Mengurangi edema serebral, memenuhi kebutuhan oksigenasi, menghilangkan faktor penyebab.
2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi
b. Kejang tidak terjadi
c. Injuri tidak terjadi
Intervensi:
a. Kaji status neurologi setiap 2 jam.
R/ : Menentukan keadaan pasien dan resiko kejang.
b. Pertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalangtempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen.
R/ : Mengurangi resiko injuri dan mencegah obstruksi pernapasan.
c. Catat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang.
R/ : Merencanakan intervensi lebih lanjut dan mengurangi kejang.
d. Kaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang.
Intervensi:
a. Kaji makanan kesukaan pasien.
R/ : Meningkatkan selera makan pasien.
b. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
R/ : Menhindari mual dan muntah.
c. Hindari berbaring kurang 1 jam setelah makan.
R/ : Posisi berbaring saat makanan dalam lambung penuh dapat mengakibatkan refluks dan tidak nyaman.
d. Timbang BB 3 hari sekali secara periodik.
R/ : Penuruna BB berarti kebutuhan makanan kurang.
e. Berikan antiemetik 1 jam sebelum makan.
R/ : Menekan rasa mual dan muntah.
f. Kurangi minum sebelum makan.
R/ : Minum yang banyak sebelum makan mengurangi intake makanan.
g. Hindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh.
R/ : Meningkatkan selera makan.
h. Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik.
R/ : Meningkatkan selera makan.
i. Lakukan perawatan mulut.
R/ : Meningkatkan nafsu makan.
j. Monitor kadar Hb dan albumin.
R/ : Mengetahui status nutrisi.
7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal.
Kriteria hasil:
a. Nyeri berkurang atau tidak terjadi
b. Ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa nyeri
c. Tanda vital dalam batas normal.
Intervensi
a. Kaji tingkat nyeri pasien.
R/ : Mengetahui derajat nyeri pasien.
b. Kaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri.
R/ : Mengetahui penanganan yang efektif.
c. Lakukan perubahan posisi.
R/ : Meningkatkan rasa nyaman.
d. Jaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising.
R/ : Meningkatkan rasa nyaman.
e. Lakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat.
R/ : Meningkatkan relaksasi.
f. Berikan obat analgetik sesuai program.
R/ : Mengurangi nyeri.
II. Implementasi
Implementasi atau tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan intervensi pada pasien abses otak, yaitu:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
Implementasi:
a. Memonitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk.
b. Memonitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam.
c. Mengurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas.
d. Memberikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan.
e. Meninggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher.
g. Mengkolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik.
2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental.
Implementasi:
a. Mengkaji status neurologi setiap 2 jam.
b. Mempertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalang tempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen.
c. Mencatat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang.
d. Mengkaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang.
e. Mengorientasikan pasien ke lingkungan.
f. Mengkolaborasi dalam pemberian obat anti kejang.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik.
Implementasi:
a. Mengkaji kemampuan mobilisasi.
b. Mengalih posisi pasien setiap 2 jam.
c. Melakukan masage bagian tubuh yang tertekan.
d. Melakukan ROM pasive.
e. Memonitor tromboemboli, konstipasi.
f. Mengkonsultasikan pada ahli fisioterapi jika diperlukan.
4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi
Implementasi:
a. Memonitor suhu setiap 2 jam.
b. Memonitor tanda vital.
c. Memonitor tanda-tanda dehidrasi.
d. Memberikan obat anti pireksia.
e. Memberikan minum yang cukup 2000 cc/hari.
f. Melakukan kompres dingin dan hangat.
g. Memonitor tanda-tanda kejang.
5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan.
Implementasi:
a. Mengukur tanda vital setiap 4 jam.
b. Memonitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal Bedah gangguan Sistem Persarafan.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1
Edisi 6. EGC: Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003.
Doengues.1999.rencana asuhan keperawatan pasien,edisi 3;EGC.jakarta
Muttaqin ,arif .2008.buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system persarafan.salemba
medika:jakarta
http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL 28
-11-2010)