You are on page 1of 19

Ekosistem Pantai Bama Taman Nasional

Baluran, Situbondo
January 24, 2015 AHMAD ZAINUL HASAN Leave a comment

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM LAPANG


EKOLOGI TERESTRIAL
KARAKTERISTIK EKOSISTEM DI TAMAN NASIONAL BALURAN
OLEH:
KELOMPOK 5
IKA NOVITASARI
111810401006
GAYUT WIDYA P.
111810401013
DEWI MASRURROH
111810401017
FITRI ARIFATUL H.
111810401025
ZAKIYATUL KHOIRIYAH
111810401038
ASWAR ANAS
111810401036
KATRIN RAWUNG
111810401044
DITA AYU F.
111810401053
MEIFRI FAFURIT
111810401054
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2013
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat
menyelesaikan laporan praktikum hasil study lapang Katarteristik Ekositem di Taman
Nasional Baluran. Laporan ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Ekologi Terestrial.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Drs. Moh. Imron Rosyidi, M.Sc selaku dosen mata kuliah Ekologi Terestrial yang telah
memberikan inspirasi dan pengarahan dalam penyusunan laporan ini.

Para asisten mata kuliah Ekologi Terestrial yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dalam pengambilan data di lapangan.
Selain itu, penulis juga mengharapkan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan
laporan ini. Akhirnya penulis berharap, semoga laporan ini bermanfaat.
Jember, 22 Mei 2013
BAB I.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Taman Nasional Baluran merupakan kawasan koservasi yang memiliki keanekaragaman
satwa dan habitat alamnya dengan berbagai tipe komunitas. Tipe vegetasi yang dimiliki oleh
Taman Nasional Baluran antara lain hutan pantai kering, hutan pantai basah, hutan musim,
hutan evergreen, dan savana(Primack,1998).
Savana di Taman Nasional tersebar diberbagai tempat diantaranya di Karangtekok,
Balanan, Semiang, Kramat, Talpat dan Bekol. Padang rumput merupakan habitat yang
penting bagi kehidupan berbagai jenis satwa liar seperti Banteng (Bos javanicus), Kerbau liar
(Bubalus bubalis), dan Rusa Timor (Cervus timorencis) (Alikodra, 2002).
Hutan pantai kering merupakan daerah pantai berpasir kering yang dapat membentuk
susunan vegetasi pantai yang mengalami proses pengikisan. Susunan ini dicirikan dengan
sejenis tumbuhan yang menjalar, berbunga ungu yang termasuk dalam herba rendah yang
akarnya dapat mengikat pasir(Indriyanto, 2006).
Hutan pantai basah terdapat didaerah pantai yang selalu tergenang oleh air laut. Disini
tumbuh pohon-pohon bakau yang merupakan nama sekelompok tumbuhan dari suku
Rhizophoraceae. Tumbuhan ini memiliki ciri yang umum yaitu akar tunjang yang besar dan
berkayu(Onrizal, 2007).
Hutan evergreen merupakan jenis vegetasi yang sepanjang tahun hijau dan tidak
dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi tetapi lebih dipengaruhi oleh kelembaban tanah
yang tinggi, karena kondisi tanah yang memiliki kelembaban yang tinggi menyebabkan
tanaman yang tumbuh ditempat ini merupakan jenis-jenis yang tahan lembab dan hijau
sepanjang tahun.
Hutan musim terdiri dari dua tipe vegetasi yaitu hutan musim alam dan hutan tanaman
jati. Hutan musim ini dijumpai dari lereng gunung Baluran sampai mendekati pantai.
Kawasan hutan musim ini mempunyai nilai penting sebagai perlindungan ekosistem dan
merupakan habitat mamalia besar seperti Banteng (Bos javanicus), Kerbau liar (Bubalus

bubalis), dan Rusa Timor (Cervus timorencis) (Alikodra, 2002). Vegetasi hutan musim
cenderung lebih terbuka dengan pohon-pohon penyusunnya lebih berjauhan dan tidak ada
persaingan di antara semua tumbuhan untuk mendapatkan cahaya. Batang pokok pohon
cenderung bersifat massif, agak pendek, tajuk biasanya bulat dan besar, seringkali memencar
luas dari ketinggian tidak seberapa jauh dari permukaan tanah. Langit-langit pohon tidak
setebal dan serapat hutan hujan tropic. Sehingga cahaya dapat menembus lantai hutan yang
menyebabkan lantai hutan tertutup rapat oleh tumbuhan bawah(Kusmana & Istomo, 1995).
Dalam hal ini praktikan melakukan penelitian terhadap unit-unit penyusun vegetasi
dikawasan Taman Nasional Baluran. Penelitian vegetasi (komunitas) dilakukan dengan cara
mengamati individu-individu yang terdapat dalam populasi tersebut. Selanjutnya kami
melakukan analisis vegetasi yang kemudian akan ditentukan kerapatan populasi, dominansi
populasi, frekuensi populasi, dan nilai penting dari suatu komunitas.
1.2 Tujuan
Secara umum tujuan dari praktikum ekosistem ini adalah:
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan karakteristik setiap ekosistem yang diobservasi.
2.

Mahasiswa mampu memberikan deskripsi kualitatif siklus materi dan aliran energi yang
terjadi disetiap ekosistem yang dikunjungi.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan niche masing-masing komponen dalam ekosistem tersebut.


1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ekologi terrestrial ini adalah:
1. Untuk mengetahui komposisi vegetasi pada masing-masing ekosistem yang diamati.
2. Untuk membedakan komposisi vegetasi pada masing-masing ekosistem yang diamati.
1.4 Deskripsi wilayah
Secara administrative Taman Nasional Baluran masuk wilayah kabupaten Situbondo
(Lembaga Biologi Nasional, 1986). Secara geogarfi terletak ujung timur pulau Jawa antara 7
45 7 56 LS dan 113 59 114 28 BT.
Taman Nasional Baluran berbentuk menyerupai segi empat dengan gunung Baluran
yang sudah tida aktif mendominasi di bagian tengah. Dinding kawah yang mempunyai
ketinggian berkisar antara 900 1,274 dpl, membatasi kaldera yang dalamnya 600, dengan
dikelilingi oleh bukit-bukit datar atau sedikit bergelombang.
Daerah tertinggi terletak ditengah-tengah kawasan yaitu gunung Baluran(1.274 dpl)
sedangkan gunung-gunung lain diantaranya: gunung Klosot(940 dpl), gunung Kakapa(114
dpl), gunung Priuk(211 dpl), dan gunung Montor(64 dpl).
BAB II.

METODE KERJA
2.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu:
Metelin
Hygrometer
Soil tester
Thermometer
Tali rafia
Kantong plastic
Kapas
Aquadest
2.2 Skema kerja
Ditentukan sumbu utama
Ditarik garis tegak lurus dengan sumbu utama dengan panjang 10 m
Dibuat plot 10 x 10 m
Daimati jenis dan diameter pohon
Dibuat plot 5 x 5 m sebanyak 2
Diamati dan dihitung % penutupan semak
Dibuat plot 1 x 1 m sebanyak 3
Diamati % penutupan herba
Diukur faktor abiotik
Dihitung INP

Gambar 1. Plot
Keterangan:

Plot 10 x 10 m
Plot 5 x 5 m

Plot 1 x 1 m
2.3 Metode Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 11-12 Mei 2013 di Taman Nasional Baluran,
pengamatan dilakukan dengan metode pembuatan plot 10 m 10 m untuk pengamatan
pohon, kemudian didalamnya dibuat plot 5 m 5 m berjumlah 2 (diagonal) untuk
pengamatan semak, dan terakhir dibuat plot 1 m 1 m berjumlah 3 untuk pengamatan herba.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
HERBA
N
SPECIES
O
1

Species 39

species 40

species 41

species 42

species 43

species 44

P
1
3
5

P
2

P
3

FM7
FR
species 46
0.33333
11.9047619
3 8 Cucurbitacea
e
0.4
14.28571429
9
species 45
0.2
7.142857143
10
species 5
0.26666
9.523809524
7
0.33333
11.9047619
3
0.46666
16.66666667
7
0.2

7.142857143

0.26666
7

9.523809524

0.2

7.142857143

0.13333
3

4.761904762

2.8

100

P
4
4
0

P
5

P
6

P
7
5
0

P
8

P
9

P1
0

P1
1

28

39

P1
2

P1
3
12

P1
4

P1
5

T.pe
n
204
12

7
5

30

35

75

2
0

20
8

INP
56.3492
1
16.9000
9
8.66791
2
25.8636
8
16.2620
6
18.4095
9

11.9203
2
9.53937
1
25.4590
7

PI
0.44444
4
0.02614
4
0.01525
1
0.16339
9
0.04357
3
0.01742
9
0.03485
8
0.02396
5
0.02396
5
0.20697
2

200

10.6287

8
1 H
0.36041
6
1 3
0.09527
1
21
0.06379
1
5
0.29600
7
0.13652
8
0.07058
1
0.11700
1
0.08941
8
0.08941
8
0.32601
6
1.64444
9

16
11
11
95

95
459

KET:
P1,P2,P3=
PLOT KEL. 1

P4,P5,P6=PLOT KEL. 2
P7,P8,P9=PLOT KEL. 3
P10,P11,P12=PLOT KEL. 4
P13,P14,P15=PLOT KEL. 5
SEMA
K
P
1

P
2

P
3

P
4

NO

SPECIES

spesies 3

spesies 39

2
0

spesies 40

spesies 41

3
1

spesies 42

spesies 43

spesies 44

11

spesies 46

spesies 45

10

spesies 4

11

spesies 7

12

spesies 8

13

spesies 9

P
5

P
6

2
4
0

4
7

P
7
2
1

P
8

6
8

P9

28

0.
5

P1
0

T.
pen

DM

23

2.3

211

21.1

0.2

31

3.1

10.5

1.05

0.7

17

1.7

0.4

0.6

13

1.3

31

3.1

27

2.7

19

1.9

401.
5

40.1
5

6
4
6
1
3
3
1
2
7
1
9

JUMLAH

DR
5.72
9
4.73
2
0.49
8
7.72
1
2.61
5
1.74
3
4.23
4
0.99
6
1.49
4
3.23
8
7.72
1
6.72
5
4.73
2
52.1
8

F
M

0.2

57

5.7

15

1.5

0.2

0.3

2.2388

0.3

2.2388

0.8

0.1

0.2

0.8

11

1.1

15

1.5

0.7

13
4

13

FR

1.4925
3
42.537
3
11.194
5
1.4925
3

5.9701
4
0.7462
7
1.4925
3
5.9701
4
8.2089
4
11.194
5
5.2238
7

10

KET:
P1,P2=PLOT KEL 1

P9,P10=PLOT KEL 5

P3,P4=PLOT KEL 2
P5,P6=PLOT KEL 3
P7,P8=PLOT KEL 4
POHON
No

spesies

P1

keliling (cm)
P2
P3
P4

P5

P1

P2

D
P3

P4

P5

P1

P2

.
1

spesies 1

5.61

spesies2

4.63

akasia

spesies 20

spesies 21

spesies 22

1.7
9
1.4
7
36
29

11.
5

71
13.7

9.23566
9

15

22.1337
6

69.5

1017.3
6
660.185

Akasia
spesies 20
spesies 21
spesies 22
Total
KET:

4.77
7

0.6
5

3957.18
5
147.336
7
754.385

Jum
ind

176.62
5

2.505740446

1.706759554

4974.545

984.14665

754.385

3791.74
3791.74625
6
DM DR KM
KR FM FR
INP
Pi
H
0.00 0.0
11.
11.1 22.24 0.222 0.33
5
2
0.002
1 0.2
1
6
5
4
0.00 0.0
11.
11.1 22.23 0.222 0.33
3
2
0.002
1 0.2
1
8
4
4
9.94 47.
22.
22.2
0.917 0.07
9
3
0.004
2 0.4
2 91.78
8
9
1.96 9.3
33.
33.3 76.03 0.760 0.20
8
6
0.006
3 0.6
3
1
3
8
1.50 7.1
11.
11.1 29.40
9
8
0.002
1 0.2
1
1 0.294 0.36
7.58 36.
11.
11.1 58.30
0.31
3
1
0.002
1 0.2
1
3 0.583
5
21.0
2 100
0.018 100 1.8 100
300
3 1.63

PLOT 1=KEL 1
PLOT 2=KEL.2
PLOT 3=KEL 3

0.2

31

2.50574044
6
1.70675955
4

spesies 2

22.6
1
4.36
3

TOTAL
BA

BA

spesies 1

0.017
9
0.014
7

PLOT 5=Kel 5

PLOT 4=KEL 4
Komposisi abiotik
Faktor yang
diamati
Pengulangan 1
Plot 1
6
Plot 2
Plot 3
Plot 4
Plot 5

6,
2
6,
2
6,
4
6,
2

Ph
Tanah
2
3
6,2 6,6
6,2

6,6

6,6

6,2

6,3

6,2

6,3

Tipe
Tanah
Geluhan
berdebu
Geluhan
berdebu
Geluhan
berdebu
Geluhan
berdebu
Geluhan
berdebu

Kelembaban
tanah
1
2
3
28 21 10

1
30

Suhu
udara
2
29

3
30

1
72

Kelembaban
udara
2
3
77
72

30

30

12,5 31

31

31

66

73

72

28

15

31

36

33

33

65

65

71

24

28

25

32

30

30

66

73

73

25

28

25

31

31

31

71

70

71

3.2 Pembahasan
Hutan Pantai Kering
Tipe ekosistem hutan pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai dengan
kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di daerah
seperti itu pada umumnya jarang tergenang oleh air laut, namun sering terjadi atau terkena
angin kencang dengan embusan garam(Onrizal, 2007).
Spesies-spesies pohon yang pada umumnya terdapat dalam ekosistem hutan pantai
antara lain Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Calophyllum inophyllum, Hibiscus
tiliaceus, Casuarina equisetifolia, dan Pisonia grandis. Selain spesies-spesies pohon tersebut,
temyata kadang-kadang terdapat juga spesies pohon Hernandia peltata, Manilkara kauki, dan
Sterculia foetida. Apabila dilihat perkembangan vegetasi yang ada di daerah pantai (litoral),
maka menurut Onrizal(2007), sering dijumpai dua formasi vegetasi, yaitu formasi Pescaprae
dan formasi Barringtonia.
1. Formasi Pescaprae
Formasi ini terdapat pada tumpukan-tumpukan pasir yang mengalami proses peninggian
di sepanjang pantai, dan hampir terdapat di selumh pantai Indonesia. Komposisi spesies
tumbuhan pada formasi pescaprae di mana saja hampir sama karena spesies tumbuhannya
didominasi oleh Ipomoea pescaprae (katang-katang) salah satu spesies tumbuhan menjalar,
herba rendah yang akarya mampu mengikat pasir. Sebetulnya nama fomlasi pescaprae
diambil dari nama spesies tumbuhan yang dominan itu. Akan tetapi, ada spesies-spesies

tumbuhan lainnya yang umumnya terdapat pada formasi pescaprae antara lain Cyperus
penduculatus, Cyperus stoloniferus, Thuarea linvoluta, Spinifex littoralis, Vitex trifolia,
Ishaemum muticum, Euphorbia atoto, Launaca sarmontasa, Fimbristylis sericea, Canavalia
abtusiofolia, Triumfetta repens, Uigna marina, Ipomea carnosa, Ipomoea denticulata, dan
Ipomoea littoralis.
2. Formasi Barringtonia
Disebut formasi Barringtonia karena spesies tumbuhan yang dominan di daerah ini
adalah spesies pohon Barringtonia asiatica. Sebenarnya yang dimaksud ekosistem hutan
pantai adalah formasi Barringtonia ini. Beberapa spesies pohon yang tumbuh di pantai dan
menyusun ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia asiatica, Casuarina equisetifolia,
Terminalia eatappa, Hibiscus tiliaceus, Calophyllum inophyllum, Hernandia peltata,
Sterculia foetida, Manilkara kauki, Cocos nucifera, Crinum asiaticum, Cycas rumphii,
Caesalpinia bonducella, Morinda citrifolia, Oehrocarpus ovalifolius, Taeea leontopetaloides,
Thespesia populnea, Tournefortia argentea, Wedelia biflora, Ximenia americana, Pisonia
grandis, Pluehea indica, Pongamia pinnata, Premna Corymbosa, Premna obtusifolia,
Pemphis acidula, Planchonella obovata, Scaevola taccada, Scaevola frutescens, Desmodium
umbellatum, Dodonaea viscesa, Sophora tomentosa, Erythrina variegata, Guettarda
speciosa, Pandanus bidur, Pandanus tectorius, dan Nephrolepis biserrata.
Pada daerah hutan pantai Baluran kabupaten Situbondo, Jawa Timur terdapat vegetasi
hutan pantai di bagian timur didominasi Pongamia pinnata Merr, Cordia subcordata L,
Calophyllum inophyllum L, Terminalia cattapa L, Premna corymbosa R.et W, Excoecaria
agallocha L, Heritiera littoralis Aiton, Xylocarpus moluccensis Roem dan Cocos nucifera L,
Premna corymbosa R et W, Terminalia cattapa L, Heritiera littoralis Aiton. dan Pemphis
acidula Forst. Meskipun zone ini sering disebut zone Barringtoniatapi jenis Barringtonia
asiatica Kurz hanya sedikit yang bisa ditemukan. Tumbuhan bawah yang berasosiasi adalah
Ipomea pescaprae, Ipomea stolonifera, Canavalia rosea, Bauhinia tomentosa L,
Amorphophallus campanulatus BL, danAllium sp.
Berdasarkan tipe-tipe ekosistem hutan seperti yang telah diuraikan tersebut, tipe hutan
hujan tropis di Indonesia merupakan tipe hutan yang paling luas diprakirakan mencapai 89%
dari luas hutan Indonesia. Tipe ekosistem hutan hujan tropis juga merupakan salah satu
kekayaan sumber daya alam dunia yang diprakirakan memiliki luas seluruhnya 900 juta
hektar. Di samping itu, hutan hujan tropis merupakan hutan tropis yang paling produktif dan

paling tinggi nilainya dari segi volume kayu yang ada maupun dari nilai flora dan fauna yang
beranekaragam. Bahkan menurut hasil penelitian FAO diprakirakan 50% dari semua spesies
flora dan fauna dunia hidup secara alamiah di hutan hujan tropis, sehingga nilai ekosistem
hutan hujan tropis jauh lebih besar dari sekadar suatu plasma nutfah terbesar dunia yang
sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bagi kehidupan
manusia, dan bagi kesejahteraan manusia saat ini dan masa yang akan datang(Kusmana dan
Istomo, 1995).
Hutan Mangrove
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara
laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan
di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung
daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan
pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Mangrove dapat
hidup pada air bersalinitas payau (20-22 ) hingga asin (mencapai 38 ).pH sekitar 7-8,5.
(Irwanto, 2006).
Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Tanaman
dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Kelompok pohon di daerah
mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas
pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang
pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32 LU dan 38 LS.

Gambar. 1. Penyebaran Mangrove di daerah Tropis, Irwanto,2006.

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi
taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat
halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak,
habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Sebagai tambahan, tanaman tersebut
mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed
germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Istilah bakau adalah sebutan bagi
jenis utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun tidak
sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut hutan mangrove
sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau (Irwanto. 2006).
Tipe Vegetasi Mangrove
a)
b)
c)
d)

Menurut Noor et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian antara lain :
Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka.
Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau hingga air tawar.
Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang
jalur hijau mangrove yang sebenarnya.
Jenis pohon yang ada pada plot kami adalah Rhizophora sp. Pohon ini disebut juga
dengan bakau besar, bakau genjah, tinjang, slindur, bakau merah, bakau akik atau bakau
kurap, tergantung spesiesnya. Di dunia terkenal secara umum sebagai red mangrove. Kulit
batangnya berwarna kemerahan terutama bila basah. Pohon ini dapat tumbuh hingga 25 m.
Termasuk dalam famili Rhizophoraceae. Pohon ini banyak terlihat sebagai pohon kecil yang
tumbuh di air laut. Dapat tumbuh dengan toleransi yang cukup terhadap kadar garam mulai
dari yang tawar sampai kadar yang tinggi. Disebut sebagai pohon yang facultative halophyte
yang artinya dapat tumbuh di air asin tetapi tidak terbatas hanya di habitat yang demikian
saja. Pohon kecil yang dapat dijumpai tumbuh sendiri di tempat dangkal berair seringkali
adalah jenis bakau ini. Spesies bakau jenis ini antara lain adalah Rhizopora mucronata,
Rhizopora stylosa, dan Rhizopora apiculata (Noor et al, 1999).

Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan


diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai
ketinggian 5 m dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang.
Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah (Murdiyanto, 2003).

Gambar 4. Rhizophora sp, Onrizal, 2007


Padang Rumput Savana
Luas savana yang semula 10.000 hektar kini tinggal 3.000 hektar. Khusus savana
Bekol yang awalnya seluas 500 hektar menyusut menjadi 300 hektar. Penyusutan savana ini
diikuti berkurangnya populasi hewan, terutama banteng jawa. Areal savana yang merupakan
ciri khas taman nasional di Jawa ini dengan vegetasi klimak api sangat dipengaruhi oleh
aktivitas manusia. Jenis rumput yang umumnya dominan di areal savanna antara lain
Dichantium coricosum, Bracharia mutica, dan Sorgum nitidum, sedangkan jenis semaknya
adalah Eupatoriun odoratumdan Lantana camara. Jenis pohon yang tumbuh di tipe vegetasi
ini adalah jenis yang berduri seperti Acacia leucophloea, serta jenis lain seperti Corypha utan
dan Zizyphus rotundifolius. Sekarang savanna di TN ini banyak diinvasi oleh Acacia
nilotica(Tjitrosoepomo,2002).
Savana ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu savana datar dan savana
bergelombang. Savana datar ; tumbuh diatas tanah hitam alluvial muda yang berbatu-batu
seluas sekitar 1.500 2.000 ha di bagian Tenggara suaka, yaitu sekitar Plalangan dan Bekol.
Savana menjadi habitat banteng jawa (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis),
hingga kerbau liar (Bubalus bubalis).
Namun, savana di Baluran, termasuk Bekol, kini terancam oleh ekspansi akasia.
Pesatnya pertumbuhan akasia di Baluran berawal ketika seringnya kebakaran melanda
Baluran pada akhir tahun 1960-an. Pihak TN Baluran kemudian berinisiatif menanam akasia
yang berfungsi sebagai sekat bakar untuk mencegah api menjalar.
Akasia yang tumbuh berjajar mengelilingi savana berhasil menjadi sekat bakar yang
efektif. Namun, tanaman yang semula kawan ini menjelma menjadi gulma karena
pertumbuhannya invasif dan tak terkendali.
Hutan Evergreen
Hutan hujan tropika termasuk merupakan hutan yang selalu hijau (evergreen forest)
merupakan tipe alami dari vegetasi yang terbentuk dari kondisi lingkungan yang panas dan
lembab khas daerah tropis yang merupakan karunia bagi pertumbuhan tanaman di bumi. Ada

dua hal utama kondisi lingkungan yang sangat menunjang terhadap kehidupan yaitu sinar
matahari dan air yang berlimpah. Suhu dan kelembaban yang tinggi dan konstan, curah hujan
yang tinggi sepanjang tahun, penyinaran matahari yang lama sepanjang hari di daerah ekuator
bersama-sama menciptakan kondisi optimal untuk pertumbuhan tanaman yang. Hutan hujan
tropika (tropical rain forest) memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan,
2002):
1. Iklim selalu basah
2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah
3.

Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dml) dan pada tinggi (s/d
4000 m dml)

4. Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya:

Hutan hujan bawah 2 1000 m dml

Hutan hujan tengah 1000 3000 m dml

Hutan hujan atas 3000 4000 m dml


Hutan Musim
Hutan merupakan suatu ekosistem ekologis yang di dalamnya terjadi hubungan yang
sangat erat antara tumbuhan, satwa dan alam lingkungannya. Tipe-tipe hutan di permukaan
bumi bermacam-macam tergantung pada keadaan lingkungan, terutama iklim. Secara
keseluruhan hutan musim lebih luas daripada hutan hujan tropika. Vegetasinya tidak begitu
lebat seperti hutan tropika basah, meskipun dalam penampakanya lebih bervariasi (Odum,
1993)
Ekosistem mempunyai pohon yang tidak banyak, tetapi tumbuhan bawahnya cukup
rapat.

Pada

ekosistem

ini

tumbuhan

yang

mendominasi

yaitu

tumbuhan

jenis

herba(Partomiharjo, 1986)
Berdasarkan ketinggian tempatnya, hutan musim dibagi menjadi 2 zona, yaitu:
1. Zona bawah, hutan musim bawah dengan ketinggiamn tempat 0-1.000 m dpl. Di Jawa, pohon
yang khas pada hutan ini yaitu: Tectona grandis, Acacia leucoplea, Actinophora fragans.
Sedangkan di Nusa Tenggara jenis pohon yang khas antara lain Eucalyptus alba dan
Santaham album.
2.

Zona atas dengan ketinggian tempat 1.000 4.000 m dpl. Kawasan hutan ini umumnya
terdapat dekat dengan gunung api. Hutan ini terbentuk karena adanya letusan gunung api atau
kebakaran. Jenis pohon yang menjadi ciri khas hutan ini yaitu Casuarina junghuhniana
(Arifin. 1996).

Jenis-jenis vegetasi
Hutan musim merupakan habitat dengan keadaan vegetasi yang terbuka karena
jumlah pohon yang terdapat pada dareh ini sedikit namun mempunyai semak-semak yang
lebat. Struktur dan komposisi vegetasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu flora dan
tempat tumbuh yang berupa situasi iklim dan keadaan tanah(Mueller, et.al., 1974)
Akibat pengaruh iklim, Taman Nasional Baluran mempunyai kondisi fisik alam yang
khas. Kekhasan Taman Nasional Baluran mempengaruhi komposisi jenis vegetasi penyusun
tumbuhan yang ada di dalamnya. Baik berupa bentuk pohon, jenis, struktur penutupan tajuk,
maupun asosiasi dan kompetisi di antar beberapa vegetasi yang terbentuk .
Vegetasi pada hutan musim menunjukkan penampakan yang bervariasi. Vegetasi
hutan musim lebih terbuka dengan pohon pohon yang letaknya berjauhan sehingga tidak ada
persaingan di antara semua tumbuhan untuk mendapatkan cahaya. Batang pokok pohon
cenderung bersifat massif, agak pendek , tajuk biasanya bulat dan besar, dan ketinggian
pohon tidak seberapa jauh dari permukaan tanah. Langit-langit pohon tidak setebal dan
serapat hutan hujan tropic. Cahaya dapat menembus lantai hutan yang menyebabkan lantai
hutan tertutup oleh tumbuhan bawah(Surasana, 1990).
Untuk analisis vegetasi di hutan musim dilakukan sampling data tumbuhan pohon,
semak dan herba. Plot yang digunakan untuk sampling pohon adalah 10m x 10m yang
diulang sebanyak tiga kali dengan posisi berselang seling. Untuk vegetasi semak, plot yang
digunakan 5m x 5m yang diletakkan di dalam plot besar ( 1010 m ), dan diulang sebanyak
tiga kali, sehingga luas area untuk vegetasi semak adalah 150 m. Untuk analisis herba, plot
yang digunakan berukuran ( 1m x 1m) yang diletakkan di tiga tempat pada masing masing
plot besar (10x10m ) sehingga luas area untuk vegetasi herba adalah 9 m sedangkan untuk
pengamatan komunitas hewan, yang diamati adalah hewan infauna, hewan epifauna, hewan
di semak atau di pohon dilakukan secara beating trays, burung, mamalia, reptilia atau
amfibia.
Berdasarkan hasil pengamatan pada masing masing plot diperoleh komposisi dan
keanekaragaman jenis tumbuhan.Untuk habitus pohon, akasia merupakan tumbuhan yang
mendominasi vegetasi dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 91.78%.
Akasia adalah genus dari semak-semak dan pohon yang termasuk dalam subfamili
Mimosoideae dari famili Fabaceae, pertama kali diidentifikasi di Afrika oleh ahli botani
Swedia Carl Linnaeus tahun 1773. Akasia adalah tumbuhan polong, dengan getah dan
daunnya biasanya mempunyai bantalan tannin dalam jumlah besar. Nama umum ini berasal
dari (akakia), nama yang diberikan oleh dokter-ahli botani Yunani awal Pedanius

Dioscorides (sekitar 40-90 Masehi) untuk pohon obat A. nilotica dalam bukunya Materia
Medica. Nama ini berasal dari kata bahasa Yunani karena karakteristik tanaman Akasia yang
berduri, (akis, duri). Nama spesies nilotica diberikan oleh Linnaeus dari jajaran pohon
Akasia yang paling terkenal di sepanjang sungai Nil. Akasia juga dikenal sebagai pohon duri,
dalam bahasa Inggris disebut whistling thorns (duri bersiul ) atau Wattles,atau yellow-fever
acacia (akasia demam kuning) dan umbrella acacias (akasia payung)(Soemarwoto,1980).
Sampai dengan tahun 2005, ada diperkirakan sekitar 1.300 spesies akasia di seluruh
dunia, sekitar 960 dari mereka adalah flora asli Australia, dengan sisanya tersebar di daerah
tropis ke daerah hangat dan beriklim sedang dari kedua belahan bumi, termasuk Eropa,
Afrika, Asia selatan, dan Amerika . Namun, genus ini kemudian dibagi menjadi lima, dengan
nama Acacia hanya digunakan untuk spesies Australia, dan sebagian besar spesies di luar
Australia.
Akasia termasuk salah satu tumbuhan mimosaceae. Daun berupa daun majemuk,
memiliki perbungaan (kapitulum, spika, dan racemosa). Buah merupakan buah legum atau
polong. Mimosaceae adalah pohon kecil tingginya 10 sampai 50 ft (3-15,2 m), dan
mempunyai beberapa batang. Daunnya tampak halus, daun bi-pinnately senyawa yang
menyerupai pakis. Pembungaan terjadi pada awal musim panas, ketika karakternya sangat
mencolok, wangi, bunga berwarna merah muda berkembang dalam kelompok-kelompok di
ujung cabang. Buah yang datar, 6 inci (15,2 cm) polong panjang yang berkembang di akhir
musim panas. Mimosa mengganggu semua jenis habitat Tanaman ini umumnya ditemukan di
bidang tua, bank sungai, dan pinggir jalan. Setelah ditanam, mimosa sulit untuk dimusnahkan
karena benih hidup panjang dan kemampuannya untuk kembali tumbuh(Soemarwoto,1980).
Akasia berhabitus pohon, tinggi 15 20 m.batang:tegak,bulat,putih kotor. Dengan
daun Majemuk, berhadapan, menyirip, lonjong, tepi rata, ujung dan pangkal tumpul, panjang
5 20 cm, lebar 1 2 cm, pertulangan menyirip, hijau. Bunga Majemuk, berkelamin dua, di
ketiak daun, kelopak silindris, benang sari silindris, kepala sari bentuk ginjal, mahkota putih,
bentuk seperti kuku, putih. Buah polong, masih muda hijau setelah tua coklat. Biji lonjong,
pipih, coklat. Akar tunggang, putih kotor.
Pada plot semak, Spesimen 39 paling mendominasi dengan INP sebesar 42.2%. Dan
sebagai spesies kodominannya adalah Spesimen 40 dan spesies 8 dengan INP sebesar 11.9%.
Akan tetapi tidak dapat dilakukan penjabaran terhadap kedua spesies tersebut dikarenakan
kurangnya informasi mengenai morfologinya. Padahal pengamatan morfologi sangat penting
dalam menentukan taksonomi tumbuhan tersebut.

Sedangkan pada plot herba, spesies yang paling mendominasi adalah spesies 39
dengan prosentase INP 56.3%. Dan untuk spesies kodominannya adalah spesies 42 dengan
prosentase INP adalah 25.8%.
Dalam setiap ekosistem terdapat komponen abiotik yang menunjang kelangsungan
hidup suatu ekosistem. Diantaranya adalah temperatur, kelembaban udara, pH tanah dan
kelembaban tanah kecepatan dan arah serta kecepatan angin. Pada hutan musim, temperature
yang terukur adalah 29 oC, pH tanah 6,3 kelembaban tanah 30, kelembaban udara 72 dan
kecepatan angin rata-rata 1,98 m/s
Stratifikasi tumbuhan dapat dikatakan lengkap. Terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu
lapisan paling atas terdiri dari pohon Akasia. Lapisan tengah didominasi oleh beberapa jenis
pohon pendek dan semak, seperti dan lapisan bawah adalah kelompok herba. Beberapa
hewan yang bertindak sebagai komsumen muncul dari balik semak seperti semut hitam.
Secara sederhana stratifikasi dari plot yang kami buat di hutan pantai kering TN Baluran
adalah sebagai berikut

Keterangan:
: Herba

: Semak

: Pohon
Siklus Materi dan Aliran Energi
1. Siklus karbon
Pada setiap tingkatan trofik rantai makanan, karbon kembali ke atmosfer atau air
sebagai hasil pernapasan (respirasi). Produsen, herbivora, dan karnivora selalu bernapas dan
menghasilkan gas karbondioksida. Tumbuhan mengeluarkan sekitar sepertujuh dari
keseluruhan CO2 yang terdapat di atmosfer. Meskipun konsentarasi CO2di atmosfer hanya
sekitar 0,03%, namun karbon mengalami siklus yang cepat, sebab tumbuhan mempunyai
kebutuhan yang tinggi akan gas CO2. Walaupun begitu, sejumlah karbon dipindahkan dari
siklus itu dalam waktu yang lebih lama. Hal ini mungkin terjadi karena karbon terkumpul di
dalam kayu dan bahan organik lain yang tahan lama, termasuk batu bara dan minyak bumi.
Perombakan oleh detritivor akhirnya mendaur ulang karbon ke atmosfer sebagai CO2.
2. Siklus Fosfor
Produktivitas ekosistem darat dapat ditingkatkan jika fosfor dalam tanah ditingkatkan.
Peristiwa pelapukan batuan oleh fosfat akan menambah kandungan fosfat di dalam tanah.
Contohnya adalah akibat hujan asam Setelah produsen menggabungkan fosfor ke dalam
bentuk biologis, fosfor dipindahkan ke konsumen dalam bentuk organik. Setelah itu, fosfor
ditambahkan kembali ke tanah melalui ekskresi fosfat oleh hewan dan bekteri penguarai
detritus. Humus dan partikel tanah mengikat fosfat sedemikian rupa, sehingga siklus fosfor
terlokalisir dalam ekosistem.
3. Siklus Nitrogen
Atmosfer mengandung lebih kurang 80% atom nitrogen dalam bentuk gas nitrogen
(N2). Di dalam organisme, nitrogen ditemukan dalam semua asam amino yang merupakan
penyusun protein. Bagi tumbuhan, nitrogen tersedia dalam bentuk amonium (NH 4+) dan nitrat
(NO3-) yang masuk ke dalam tanah melalui air hujan dan pengendapan debu-debu halus atau
butiran lainnya. Beberapa tumbuhan, seperti seperti Bromeliaceaeepifit yang ditemukan di
hutan hujan tropis, memiliki akar udara yang dapat mengambil NH4+ dan NO3- secara
langsung dari atmosfer. Jalur lain penambahan nitrogen dalam ekosistem adalah melalui
fiksasi nitrogen (nitrogen fixation). Fiksasi nitrogen merupakan proses perubahan gas
nitrogen (N2) menjadi mineral yang digunakan untuk mensintesis senyawa organik seperti
asam amino. Nitrogen difi ksasi oleh bakteri Rhizobium, Azotobacter, dan Clostridium yang
hidup bebas dalam tanah.
4. Siklus Air

Air merupakan komponen penting bagi kehidupan. Selain itu, aliran air dalam
ekosistem berperan mentransferzat-zat dalam siklus biogeokimia. Siklus air digerakkan oleh
energi mataharimelalui penguapan (evaporasi) dan terjadinya hujan (presipitasi). Di lautan,
jumlah air yang menguap lebih besardari curah hujan. Kelebihan uap air ini dipindahkan oleh
angin ke daratan. Di atas daratan, persipitasi melebihi evaporasi. Aliran air permukaan danair
tanah dari darat menyeimbangkan aliran uap air dari lautan ke darat.Siklus air memiliki sifat
khas dibandingkan siklus biogeokimiayang lain. Sebagian besar siklus ini terjadi melalui
proses fisik, bukan kimia. Dalam proses-proses tersebut air berbentuk H 2O, sedangkan
didalam fotosintesis terjadi perubahan air secara kimiawi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Hasil studi lapang yang telah dilakukan pada kawasan Taman Nasional Baluran
terdapat 5 macam ekosistem antara lain ekosistem hutan pantai kering, hutan musim,
mangrove, evergreen, dan savana. Namun focus dari kelompok kami adalah hutan musim.
Hutan musim memiliki kelembaban tanah 30%, pH 6,3 kelembaban udara 72%, temperature
udara 29 oC dan kecepatan angin 1.98 m/s.
Sedangkan komponen biotik yang terukur adalah pohon Akasia yang mempunyai INP
91,78%. Semak didominasi oleh spesies 39 dengan INP 42,2%, dengan spesies kodominan
yaitu spesies 40 dan 8 dengan INP sebesar 11,9%. Dan pada habitus herba didominasi oleh
spesies 39 dengan INP sebesar 56,3% dengan spesies 42 sebagai kodominan dengan INP
25,8%.
Stratifikasi tumbuhan dapat dikatakan lengkap. Terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu
lapisan paling atas terdiri dari pohon Akasia. Lapisan tengah didominasi oleh beberapa jenis
pohon pendek dan semak, seperti dan lapisan bawah adalah kelompok herba. Beberapa
hewan yang bertindak sebagai komsumen muncul dari balik semak seperti semut hitam.
DAFTAR PUSTAKA
H.S. Alikodra. 2002. Pengolahan Satwa Liar. Bogor: IPB
Arifin. 1996. Aneka Ragam Hayati. Malang: Citra Press.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Kusmana & Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Murdiyanto, Bambang. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta:


Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Mueller & Steven, 1974. Forest Ecosystem. California: Academic Press. San Diego.
Noor Yus Rusila, M. Khazali, I N.N. Suryadiputra, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove Di
Indonesia. Bogor: Wetlands Internasional.
Odum,E,P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Onrizal, 2007. Pengenalan Vegetasi Mangrove.Departemen Kehutanan. Universitas Sumatera
Utara.
Partomihardja, T. 1989. Check-list of plant species in the Baluran national park, East Java.
Paper Unpublished.
Richard B. Primack dkk.1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Soemarwoto, I. 1980. Biologi Umum I. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi.
Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Surasana, syafeieden. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: FMIPA Biologi ITB.
Tjitrosoepomo,G. 2002. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

You might also like