Professional Documents
Culture Documents
petani
cengkeh tempo doeloe
Jika dikaji asal-usul bahasanya, terminologi rokok sebenarnya berasal dari
bahasa Belanda roken yang artinya to smoke (mengeluarkan asap). Tapi,
terminologi tembakau ternyata lebih dekat dengan bahasa Portugis tobaco
Berdasarkan jenisnya, rokok dibagi dua jenis. Pertama, rokok kretek non-filter,
kretek jenis ini masih terbagi dari yang tingw (kependekan dari bahasa Jawa,
ngelinting dw yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan
tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan
tambahan saus cengkeh. Sedangkan yang kedua adalah kretek dengan filter
berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran
tembakau dan cengkeh.
Namun secara kategorikail, rokok yang dijual atau dibuat di Indonesia
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:
Pertama adalah rokok tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting dw
yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa
saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus
cengkeh. Rokok ini merupakan arketipe awal dari rokok di dunia. Tradisi melinting
rokok sendiri (roll-your-own) banyak ditemukan di negara-negara Barat sampai
sekarang.
Kedua, adalah rokok klembak menyan. Rokok yang muncul kali pertama di
Cilacap pada 1920 ini diakui memiliki kandungan paling aneh, yakni klembak dan
menyan, yang memiliki asosiasi spiritualnya dengan dunia perdukunan.
Ketiga, sigaret putih mesin (SPM). Dulu, rokok putih dipandang sebagai satusatunya rokok di dunia, sampai akhirnya rokok kretek ditemukan. Rokok buatan
mesin (machine-made) ini isinya menggunakan tembakau jenis Virginia, Burley,
dan Oriental.
Keempat adalah rokok klobot kretek ( KLB ). Rokok ini dibuat dengan tangan
dan merupakan versi orisinal dari rokok kretek produksi Indonesia. Rokok ini
hanya populer di daerah pedesaan Jawa Timut dan Tengah.
Kelima adalah sigaret kretek tangan (SKT). Kategori ini merupakan rokok kretek
pertama di Indonesia yang dilinting dengan tangan dan dikemas secara
komersial. Diperkenalkan kali pertama oleh HM Sampoerna di Surabaya dan Mari
Kangen di Solo, SKT hingga kini dipasarkan dalam versi aslinya yang tidak
menggunakan filter.
Keenam adalah sigaret kretek tangan filter (SKTF). Rokok jenis ini bukanlah
buatan mesin, perekatan filter dilakukan semi-otomatis yakni menggunakan
mesin pelinting tangan (handrolling machines). SKTF kali pertama diperkenalkan
di Kudus pada akhir 1960-an.
Ketujuh adalah sigaret kretek mesin (SKM). SKM bukan hanya berhasil
memproduksi kretek filter secara otomatis namun juga sukses menemukan
solusi bagi problem utama dari rokok cengkih yakni warna kecoklatan pada
kertas pembungkus (efek eugenol stains), yakni melalui sistem double-wrapping
yang hanya yang dimungkinkan berkat kehadiran mesin. SKM hadir kali pertama
di pasar pada 1974. Pembagian kategori ini sesuai dengan yang biasa digunakan
oleh pemerintah. (Lihat Mark Hanusz, Kretek; Cultural and Heritage of
Indonesias Clove Cigarettes, pp.13-18. )
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal-usul yang akurat
tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup di kalangan para pekerja pabrik
rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu
sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada
bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun
reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya
dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. (sebagaimana disunting oleh
Sander L. Gilman and Zhou Xun Smoke: a global history of smoking, 2004)
Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan
modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok
ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini
kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok
obat" ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh.
Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek",
maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek
ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat
terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian
dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga
kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di
tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh
Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek
"Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak
tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Dikisahkan kecantikan Rara Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati
Pragola penguasa Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiraguna
("Wiroguno", dalam bahasa Jawa), panglima perang Sultan Agung dari kerajaan
Mataram yang sangat berkuasa saat itu. Namun, Rara Mendut bukanlah wanita
yang lemah. Dia berani menolak keinginan Tumenggung Wiraguna yang ingin
memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan untuk menunjukkan
kecintaannya kepada pemuda lain pilihannya, Pranacitra ("Pronocitro", dalam
bahasa Jawa).
Tumenggung Wiraguna yang murka dan iri kemudian mengharuskan Rara
Mendut untuk membayar pajak kepada kerajaan Mataram. Rara Mendut pun
harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak
tersebut. Sadar akan kecantikannya dan keterpukauan semua orang terutama
kaum lelaki kepadanya, akhirnya dia tiba pada sebuah cara untuk menjual rokok
yang sudah pernah dihisapnya dengan harga mahal kepada siapa saja yang mau
membelinya. Dikisahkan bahwa Rara Mendut dan kekasihnya Pranacitra akhirnya
mati bersama demi cinta mereka.
Erotisme Roro Mendut ketika berjualan rokok lintingannya, dengan lem dari
jilatan lidahnya, menggambarkan telah dikenalnya potensi perempuan dalam
pemasaran, bahkan di zaman kerajaan Jawa abad ke-17. Di samping itu,
penolakan Rara Mendut diperistri oleh Tumenggung Wiraguna yang notabene
adalah seseorang yang kaya dan berkuasa, memperlihatkan adanya sifat
kemandirian perempuan Nusantara yang telah ada, walaupun tidak umum, pada
saat babad tersebut ditulis. Satu hal yang perlu mendapat perhatian dari kisah
Roro Mendut adalah bahwa tidak semua hal dapat diperoleh dengan
mengandalkan kekuasaan.
dengan ketekunan dan keuletan dia meraih jenjang kesuksesan dan jenjang
kesuksesan itu adalah pada Industri Rokok Kretek. Dialah pelopor dalam Industri
Rokok Kretek di dunia. Kepeloporannya dalam industri Rokok Kretek ini bahkan
membuat Ratu Wilhelmina terkesima dan menjulukinya De Kretek Konning
(Raja Kretek).
nelayan.
Pabrik Rokok Bentoel (1931). Diawali dengan historikal pada suatu malam di
Gunung Kawi, di hadapan makam Mbah Djugo, Ong Hok Liong mendapatkan
mimpi bertemu penjual bentoel. Setelah mengkonsultasikannya dengan juru
kunci makam, akhirnya Ong memutuskan untuk menggunakan Bentoel sebagai
nama mereknya. Segera setelah diluncurkan di Malang, merek ini mendapat
sambutan luar biasa. Entah apakah ada hubungannya dengan mimpi tadi.
Semenjak tiba di Malang pada 1910, Ong memang langsung terjun ke bisnis
tembakau dan rokok. Nama perusahaannya waktu itu adalah Strootjesfabriek
Ong Hok Liong. Awalnya ia bergerak di kategori klobot di bawah merek Burung.
Perlahan ia melahirkan kategori lain dengan meluncurkan merek [b]Tresna,
Rawit[/b], dan Spesial.
Bentoel adalah perusahaan yang kali pertama menjalankan peraturan
pemerintah untuk memberikan kursi bagi pelinting yang sebelumnya hanya
duduk di lantai. Pada 1974, perusahaan ini melakukan terobosan lagi dengan
menjadi perusahaan kretek pertama yang mengoperasikan full-automoted
rolling machines di Indonesia. Ia membelinya dari perusahaan Inggris, Molin
Machines, pada 1968. Lahirlah kemudian merek Bentoel Internasional, yang
kini lebih dikenal dengan nama Bentoel Biru merek lokal pertama yang
dipromosikan secara nasional.
Pabrik rokok Djambu Bol (1937). Berdiri sebelum Indonesia medeka, Pabrik
Rokok Jambu Bol sempat terhenti ketika Jepang menginvasi Indonesia pada 1942.
Perusahaan ini menemukan pijakannya kembali pada 1949 dengan memproduksi
rokok kretek paper-wrapped, sebagai pengganti jenis klobot yang diproduksinya
sejak awal.
Berbeda dengan perusahaan lain yang dimiliki oleh warga keturunan Cina,
Djambu Bol adalah perusahaan pribumi terbesar di Indonesia yang pernah
tercatat dalam sejarah. Pendirinya adalah seorang warga Kudus bernama Haji
Roesydi Maroef. Berbeda pula dengan perusahaan lain, Djambu Bol
berkonsentrasi hanya pada pasar luar Jawa, terutama Sumatera Utara yang
mencapai 95% dari pangsa pasarnya. Sampai sekarang Djambu Bol tidak pernah
menggunakan mesin melainkan lebih memilih mempertahankan tradisi rokok
hand-made.
Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10
pekerja. Nama aslinya adalah Djarum Gramophon. Oleh Oei Wie Gwan nama
ini diubah menjadi Djarum pada 1951. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak
Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas
Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas
produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan
mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.
Berbeda dengan perusahaan kretek umumnya, Djarum bukanlah perusahaan