You are on page 1of 14

AWAL MULA ROKOK DI INDONESIA

Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan bahwa pada sekitar


1600, rokok telah menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia, khususnya
Jawa. Meskipun tembakau bukan tanaman asli di Jawa. Naskah Jawa, Babad Ing
Sangkala (1601-1602), menyuratkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau
Jawa bersama wafatnya Panembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram. Kala
seda Panembahan syargi ing Kajenar pan anunggal warsa purwa sata, sawoyose
milaning wong ngaudud (Waktu Panembahan wafat di Gedung Kuning adalah
bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah
orang merokok)

petani
cengkeh tempo doeloe
Jika dikaji asal-usul bahasanya, terminologi rokok sebenarnya berasal dari
bahasa Belanda roken yang artinya to smoke (mengeluarkan asap). Tapi,
terminologi tembakau ternyata lebih dekat dengan bahasa Portugis tobaco

ketimbang dengan bahasa Belanda tabak. Karena itulah sejarawan lebih


sepakat menyebut Portugis sebagai pihak yang memperkenalkan tembakau ke
Indonesia, sedangkan Belanda adalah yang memulai secara missal menanam
tembakau di Jawa dan Sumatera.
Dalam kisah lainnya disebutkan bahwa Haji Agus Salim (Dubes RI Pertama
untuk Kerajaan Inggris, yang juga Pahlawan Nasional, ditanya oleh seorang tamu
dalam sebuah jamuan diplomatik di London. What is that thing youre smoking,
Sir? tanya seorang tamu kepada Agus Salim. Pasalnya dari bibir keluar asap
putih tebal dengan aroma khas menusuk bagi mereka yang berada di sekitarnya.
Dengan diplomatis Agus Salim menjawab, is the reason for which the West
conquered the world. Waktu itu Agus Salim memang sedang menghisap rokok
kretek, rokok khas Indonesia yang terkenal karena kombinasi bahan dan rasanya.
Inilah sebuah jawaban diplomatis yang menjadikan tamparan para imperial
Barat. (mengenai kisah rokok Agus Salim ini bisa dilihat di Mark Hanusz, Kretek;
Cultural and Heritage of Indonesias Clove Cigarettes, p.3.)

Haji Agus Salim


Rokok kretek merupakan warisan budaya leluhur bangsa Indonesia. Rokok kretek
adalah rokok yang menggunakan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan
dengan saus cengkeh dan saat dihisap terdengar bunyi kretek-kretek. Rokok
kretek berbeda dengan rokok yang menggunakan tembakau buatan maupun
rokok berbahan menthol (rokoknya orang Barat). Jenis cerutu merupakan simbol
rokok kretek yang luar biasa, semuanya alami tanpa ada campuran apapun, dan
pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih memanfaatkan tangan
pengrajin. Ulasan tentang sejarah rokok kretek di Indonesia bermula dari kota
Kudus, Jawa Tengah.

Berdasarkan jenisnya, rokok dibagi dua jenis. Pertama, rokok kretek non-filter,
kretek jenis ini masih terbagi dari yang tingw (kependekan dari bahasa Jawa,
ngelinting dw yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan
tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan
tambahan saus cengkeh. Sedangkan yang kedua adalah kretek dengan filter
berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran
tembakau dan cengkeh.
Namun secara kategorikail, rokok yang dijual atau dibuat di Indonesia
dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:
Pertama adalah rokok tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting dw
yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa
saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus
cengkeh. Rokok ini merupakan arketipe awal dari rokok di dunia. Tradisi melinting
rokok sendiri (roll-your-own) banyak ditemukan di negara-negara Barat sampai
sekarang.
Kedua, adalah rokok klembak menyan. Rokok yang muncul kali pertama di
Cilacap pada 1920 ini diakui memiliki kandungan paling aneh, yakni klembak dan
menyan, yang memiliki asosiasi spiritualnya dengan dunia perdukunan.
Ketiga, sigaret putih mesin (SPM). Dulu, rokok putih dipandang sebagai satusatunya rokok di dunia, sampai akhirnya rokok kretek ditemukan. Rokok buatan
mesin (machine-made) ini isinya menggunakan tembakau jenis Virginia, Burley,
dan Oriental.
Keempat adalah rokok klobot kretek ( KLB ). Rokok ini dibuat dengan tangan
dan merupakan versi orisinal dari rokok kretek produksi Indonesia. Rokok ini
hanya populer di daerah pedesaan Jawa Timut dan Tengah.
Kelima adalah sigaret kretek tangan (SKT). Kategori ini merupakan rokok kretek
pertama di Indonesia yang dilinting dengan tangan dan dikemas secara
komersial. Diperkenalkan kali pertama oleh HM Sampoerna di Surabaya dan Mari
Kangen di Solo, SKT hingga kini dipasarkan dalam versi aslinya yang tidak
menggunakan filter.
Keenam adalah sigaret kretek tangan filter (SKTF). Rokok jenis ini bukanlah
buatan mesin, perekatan filter dilakukan semi-otomatis yakni menggunakan
mesin pelinting tangan (handrolling machines). SKTF kali pertama diperkenalkan
di Kudus pada akhir 1960-an.
Ketujuh adalah sigaret kretek mesin (SKM). SKM bukan hanya berhasil
memproduksi kretek filter secara otomatis namun juga sukses menemukan
solusi bagi problem utama dari rokok cengkih yakni warna kecoklatan pada
kertas pembungkus (efek eugenol stains), yakni melalui sistem double-wrapping
yang hanya yang dimungkinkan berkat kehadiran mesin. SKM hadir kali pertama
di pasar pada 1974. Pembagian kategori ini sesuai dengan yang biasa digunakan
oleh pemerintah. (Lihat Mark Hanusz, Kretek; Cultural and Heritage of
Indonesias Clove Cigarettes, pp.13-18. )
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal-usul yang akurat
tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup di kalangan para pekerja pabrik

rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu
sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada
bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun
reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya
dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. (sebagaimana disunting oleh
Sander L. Gilman and Zhou Xun Smoke: a global history of smoking, 2004)
Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan
modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok
ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini
kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok
obat" ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh.
Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek",
maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek
ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat
terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian
dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga
kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di
tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh
Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek
"Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak
tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.

foto Haji Djamari


Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal
sudah sejak lama. Bahkan sebelum Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya.
Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari
Pati Jawa Tengah yang ingin dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah
seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung. Roro Mendut menjual
rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai
pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.

Dikisahkan kecantikan Rara Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati
Pragola penguasa Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiraguna
("Wiroguno", dalam bahasa Jawa), panglima perang Sultan Agung dari kerajaan
Mataram yang sangat berkuasa saat itu. Namun, Rara Mendut bukanlah wanita
yang lemah. Dia berani menolak keinginan Tumenggung Wiraguna yang ingin
memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan untuk menunjukkan
kecintaannya kepada pemuda lain pilihannya, Pranacitra ("Pronocitro", dalam
bahasa Jawa).
Tumenggung Wiraguna yang murka dan iri kemudian mengharuskan Rara

Mendut untuk membayar pajak kepada kerajaan Mataram. Rara Mendut pun
harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak
tersebut. Sadar akan kecantikannya dan keterpukauan semua orang terutama
kaum lelaki kepadanya, akhirnya dia tiba pada sebuah cara untuk menjual rokok
yang sudah pernah dihisapnya dengan harga mahal kepada siapa saja yang mau
membelinya. Dikisahkan bahwa Rara Mendut dan kekasihnya Pranacitra akhirnya
mati bersama demi cinta mereka.
Erotisme Roro Mendut ketika berjualan rokok lintingannya, dengan lem dari
jilatan lidahnya, menggambarkan telah dikenalnya potensi perempuan dalam
pemasaran, bahkan di zaman kerajaan Jawa abad ke-17. Di samping itu,
penolakan Rara Mendut diperistri oleh Tumenggung Wiraguna yang notabene
adalah seseorang yang kaya dan berkuasa, memperlihatkan adanya sifat
kemandirian perempuan Nusantara yang telah ada, walaupun tidak umum, pada
saat babad tersebut ditulis. Satu hal yang perlu mendapat perhatian dari kisah
Roro Mendut adalah bahwa tidak semua hal dapat diperoleh dengan
mengandalkan kekuasaan.

ilustrasi Roro Mendut

Awal usaha Kretek


Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa Janggalan dengan
nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada
usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia
merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian.
Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun
beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito
pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang
kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang
tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok
klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek,
menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar
tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan
Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang

sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para


kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan
menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia
mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke
tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung
kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan
pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu
menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya
menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label
rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama
ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu
mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan
mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek
resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun
beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di
Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16
perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik
besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M
Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay
(merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan
memproduksi 10 juta batang rokok per hari, tahun 1938. Kemudian untuk
mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda.
Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya,
misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu
untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Disi lain sisi, menurut penelitian/tulisan yang berjudul Nitisemito: Pelopor Industri
Rokok Kretek merupakan salah satu tulisan Biografi seorang tokoh, yang
menitikberatkan pada kajian sejarah industri rokok di Indonesia khususnya di
Kudus. Dengan pendekatan multi dimensional dan penggunaan metode sejarah
kritis maka dihasilkan penulisan ini.
Kudus sebagaimana penelitian yang dilakukan Lance Castle terkenal dengan
jiwa dagangnya, dan ada salah seorang tokoh yang punya semangat dagang
menonjol yang berasal dari kawasan santri di Kudus Kulon yaitu Nitisemito.
Darah pedaganag rupanya telah mengalir dalam dirinya, terutama dari
kakeknya. Lingkungan sekitar menjadikannya semakin intens terlibat dalam
perdagangan.
Walaupun kegagalan demi kegagalan telah menimpa diri Nitisemito, namun

dengan ketekunan dan keuletan dia meraih jenjang kesuksesan dan jenjang
kesuksesan itu adalah pada Industri Rokok Kretek. Dialah pelopor dalam Industri
Rokok Kretek di dunia. Kepeloporannya dalam industri Rokok Kretek ini bahkan
membuat Ratu Wilhelmina terkesima dan menjulukinya De Kretek Konning
(Raja Kretek).

Ambruknya usaha rokok Bal Tiga


Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan di
antara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono
(1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin
mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II pada
tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha
Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan
kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya rokok Minak
Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan
agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho
Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal
Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu
Nitisemito.
Nama merek lainnya mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya: Astrokoro,
555, dan Kaki Tiga. Hal ini mungkin disebabkan karena ketiganya diproduksi oleh
Trio, nama perusahaan awal sebelum akhirnya berubah menjadi Nojorono.
Berbeda dengan perusahaan lain yang umumnya dikuasai oleh satu keluarga
secara turun-temurun, Nojorono dikendalikan secara kolektif oleh lima keluarga
sekaligus. Awalnya adalah Tjoa Kang Hay, yang pernah bekerja untuk
Nitisemito, mengajak saudaranya, Tan Tjiep Siang dan Tan Kong Ping untuk
mendirikan Trio. Setelah itu Kang Hay mencari partner baru di Kudus, yakni Ko
Djie Siong dan Tan Djing Dhay, untuk mendirikan Nojorono.
Pada tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat
memindahkan markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong
meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa
perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe
Bol milik H.A. Ma'roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang
didirikan Oei Wie Gwan.
Inovasi terbesar Nojorono selama ini adalah rokok tahan air di mana ia juga
memiliki hak paten atas temuannya ini. Produk ini dimungkinkan berkat
penggunaan parafin dalam proses produksi rokok. Karena keunggulan water
proof-nya ini, rokok produksi Nojorono sangatlah populer di kalangan pelaut dan

nelayan.
Pabrik Rokok Bentoel (1931). Diawali dengan historikal pada suatu malam di
Gunung Kawi, di hadapan makam Mbah Djugo, Ong Hok Liong mendapatkan
mimpi bertemu penjual bentoel. Setelah mengkonsultasikannya dengan juru
kunci makam, akhirnya Ong memutuskan untuk menggunakan Bentoel sebagai
nama mereknya. Segera setelah diluncurkan di Malang, merek ini mendapat
sambutan luar biasa. Entah apakah ada hubungannya dengan mimpi tadi.
Semenjak tiba di Malang pada 1910, Ong memang langsung terjun ke bisnis
tembakau dan rokok. Nama perusahaannya waktu itu adalah Strootjesfabriek
Ong Hok Liong. Awalnya ia bergerak di kategori klobot di bawah merek Burung.
Perlahan ia melahirkan kategori lain dengan meluncurkan merek [b]Tresna,
Rawit[/b], dan Spesial.
Bentoel adalah perusahaan yang kali pertama menjalankan peraturan
pemerintah untuk memberikan kursi bagi pelinting yang sebelumnya hanya
duduk di lantai. Pada 1974, perusahaan ini melakukan terobosan lagi dengan
menjadi perusahaan kretek pertama yang mengoperasikan full-automoted
rolling machines di Indonesia. Ia membelinya dari perusahaan Inggris, Molin
Machines, pada 1968. Lahirlah kemudian merek Bentoel Internasional, yang
kini lebih dikenal dengan nama Bentoel Biru merek lokal pertama yang
dipromosikan secara nasional.
Pabrik rokok Djambu Bol (1937). Berdiri sebelum Indonesia medeka, Pabrik
Rokok Jambu Bol sempat terhenti ketika Jepang menginvasi Indonesia pada 1942.
Perusahaan ini menemukan pijakannya kembali pada 1949 dengan memproduksi
rokok kretek paper-wrapped, sebagai pengganti jenis klobot yang diproduksinya
sejak awal.
Berbeda dengan perusahaan lain yang dimiliki oleh warga keturunan Cina,
Djambu Bol adalah perusahaan pribumi terbesar di Indonesia yang pernah
tercatat dalam sejarah. Pendirinya adalah seorang warga Kudus bernama Haji
Roesydi Maroef. Berbeda pula dengan perusahaan lain, Djambu Bol
berkonsentrasi hanya pada pasar luar Jawa, terutama Sumatera Utara yang
mencapai 95% dari pangsa pasarnya. Sampai sekarang Djambu Bol tidak pernah
menggunakan mesin melainkan lebih memilih mempertahankan tradisi rokok
hand-made.
Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10
pekerja. Nama aslinya adalah Djarum Gramophon. Oleh Oei Wie Gwan nama
ini diubah menjadi Djarum pada 1951. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak
Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas
Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas
produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan
mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.
Berbeda dengan perusahaan kretek umumnya, Djarum bukanlah perusahaan

keluarga, pemilik sekarang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun dengan


pendiri pertamanya. Wie Gwan adalah tipikal pengusaha rokok sejati yang selalu
melibatkan diri dalam proses produksi, misalnya dengan mencampur sendiri
tembakau dengan saus. Dua merek pertama perusahaan ini diberi nama Djarum
dan Kotak Ajaib. Awalnya hanya dipasarkan di wilayah Kudus, namun setelah
kedatangan Wie Gwan diekspansi ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Setelah sempat menjadi yang terbesar di 1967, Djarum mulai menjajal pasar luar
negeri pada 1972. Langkah ini mengantarnya menjadi merek kretek paling
populer di luar negeri.
Tiga merek terkenal dari Djarum berikutnya adalah Djarum Filter (1976),
Djarum Super (1981), dan Djarum Cigarillos kretek berbentuk cerutu
pertama di dunia. Untuk yang terakhir ini, Djarum belajar dari Oud Kampen
Cigarillo Factory di Belanda. Pada 1963, Wie Gwan meninggalkan perusahaannya
kepada kedua anaknya, Budi dan Bambang.
Gudang Garam (1958). Dilihat dari tanggal berdirinya, 26 Juni 1958, Gudang
Garam memang termasuk yang paling muda. Namun dari segi volume produksi,
perusahaan ini masih dianggap sebagai yang teratas. Bahkan untuk kategori
klobot kretekini yang banyak orang tidak tahuGudang Garam merupakan
pemimpin pasar.
Gudang Garam didirikan oleh Tjoa Ing Hwie (Surya Wonowidjojo), seorang
perantau kelahiran Cina 15 Agustus 1923. Setibanya di Indonesia, Ing Hwie
bekerja di Cap 93, sebuah perusahaan rokok berdomisili di Jawa Timur. Setelah
keluar dari Cap 93 pada 1956, Ing Hwie kemudian mendirikan perusahaan sendiri
di bawah nama Inghwie.
Mirip dengan Bentoel, nama Gudang Garam juga memiliki dimensi mistis; pada
suatu malam, Ing Hwie bermimpi melihat sebuah gudang yang bediri di seberang
pabrik Cap 93. Sarman, karyawan setianya, mensehatinya untuk memasang
gambar gudang tersebut pada kemasan rokok produksinya. Kita harus
membiarkan dua pintu terbuka, dua lagi setengah terbuka, dan satu tertutup.
Jika semua pintu tertutup, kita akan merasa bahwa segalanya telah tercapai,
kata Sarman. Gudang Garam kini dipimpin oleh anak tertua Ing Hwie, Rachman
Halim.
Kembali merunut masa lalu dimana rokok Minak Djinggo mengalami masa
keemasan dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis kretek menjalar
hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen rokok bermunculan. Di
Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik kretek membuat jenis rokok
klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau, cengkeh dan kemenyan. okok
yang muncul kali pertama di Cilacap pada 1920 ini diakui memiliki kandungan
paling aneh, yakni klembak dan menyan, yang memiliki asosiasi spiritualnya
dengan dunia perdukunan.
Namun yang perlu diketahui juga bahwa persaingan industri rokok masa lalu

juga meliatkan persaingan etnis antar pengusaha rokok. Dimana mencapai


puncaknya ketika pecah kerusuhan di Kudus pada 31 Oktober 1918. Pada
awalnya, industri rokok di Kudus di dominasi kaum pribumi. Belajar dari
kesuksesan mereka, warga keturunan Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak
tersebut. Persaingan yang tinggi inilah yang menjadi sebab terjadinya
kerusuhan. Namun ada arti lain dari peristiwa ini; akibat kerusuhan, sejumlah
pengusaha pribumi berpengaruh diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.
Kemunduran perusahaan pribumi ini menyebabkan persaingan tidak berarti lagi
bagi pengusaha keturunan. (untuk lebih lengkap tentang perisangan etnis ini
lihat, Sigaret Kretek Tonggak Bangsa, 1000 Tahun Nusantara, 2000, Jakarta:
Kompas, p.282.)

Perkembangan Industri rokok di Jawa


Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis
dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren.
Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan
Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui
Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug
Wetan.
Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun
1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek
dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT.
Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin
pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT.
Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu
juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.
Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di
Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik
kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing-masing. Semua
terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula
dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini
masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya deketahui di kalangan pekerja
pabrik rokok di Kudus.

Rokok Kretek Mempersatukan Nusantara dalam Rasa


Dalam ranah sosial, kretek juga memiliki dimensi komunikatif yang kental. Dalam
pola hubungan sosial masyarakat Indonesia, rokok sering kali menjadi simbol
dari sapaan awal antar dua orang. Ia bagaikan jabatan tangan dalam suatu
perkenalan atau pertemuan antar dua orangmenawarkan rokok kepada orang
lain merupakan tradisi umum dalam suatu perjumpaan, dan menolaknya kadang

menyebabkan seseroang tersinggung dan terasing dari komunitasnya.


Sementara bagi si pengisap, rokok mampu memberikan perasaan ekstravaganza
ketika seseorang sedang hening dalam kesendiriannya.
Bisa dikatakan, sejarah kretek adalah sejarah rokok di Indonesia. Kemanapun
Anda berkunjung, di tiap lapak ataupun kios, Anda bisa menemukan kretek.
Kretek adalah produk yang tumbuh dari bumi Nusantara dan menyatukannya
dalam satu ikatan kultural yang kental. Mark Hanusz melukiskan kondisi ini
dalam bukunya yang terkenal, Kretek: The Cultural and Heritage of Indonesias
Clove Cigarettes:
Not only can kretek be seen as a symbol of Indonesia society and culture a
smoke that capture the soul of the nationbut it is also something that brings
Indonesian people togetherIndeed, onbe might even forgiven for saying that
kretek is the lowest common denominator of contemporary Indonesian culture,
more widespread and unifying than even the national language, Bahasa
Indonesia. Kretek is the common thread which ties Indonesian people together in
spite of their historical, cultural, ethnic and religious differences.
Rokok (filter) dan rokok kretek telah menjadi komoditas yang dipasarkan luas di
Indonesia. Sejarah keduanya mungkin tidak datang bersamaan, namun jelas
bahwa yang terakhir mendominasi yang pertama dalam hal skala industrinya.
Walaupun, seperti yang akan kita lihat nanti, rokok putih sempat merajai pasar
rokok di Indonesia dan perusahaan-perusahaan rokok lokal pun memiliki rokok
jenis itu dalam portofolio produknya. Namun, semenjak kretek ditemukan,
akselerasi industri rokok nampak terkonsentrasi penuh pada segmen ini.

Rokok adalah Produk Budaya


Rokok, terlepas dari kontroversinya sudah banyak mendatangkan keuntungan
bagi masyarakat maupun negara. daun tembakau selain dihisap atau dikunyah
(susur) ternyata juga berfungsi untuk membersihkan gebyok, melepaskan dari
gigitan lintah dan membersihkan kaca mobil bila hujan. jaman dahulu biji
tembakau digunakan untuk obat sakit kepala. Rokok juga menjadikan iklim
kreativitas desain komunikasi visual menjadi berkembang. iklan-iklan rokok
dikemas menjadi menarik dan provokatif. Kemasan dan merk rokok yang
beragam dan terkadang lucu yang di dalamnya merepresentasikan nilai
kreativitas dan terkandung berbagai unsur estetika, seperti: komposisi, warna,
tipografi, ilustrasi, dan lainnya. desain kemasan generik yang mencontoh
kemasan rokok yang sudah terkenal jamak sekali ditemui di indonesia.
Menurut Drs. Sumbo Tinarbuko, Msn. dosen desain komunikasi visual fakultas
seni rupa dan program pascasarjana ISI Yogyakarta, ada hal menarik dan bernilai
dari sebungkus rokok, lebih dari sekadar untuk dibakar dan dihisap asapnya.
semakin sering saya memburu rokok indie diberbagai tempat, semakin saya
menemukan kenikmatan terkait dengan pola pemikiran dan kreativitas desain

komunikasi visual dari parapengelola industri rokok rumahan yang masih


bertahan. hal lain yang bisa saya temukan adalah aspek antropologi, sosiologi,
ekonomi, dan sosial budaya masyarakat perokok serta pedagang rokok indie di
daerah pinggiran.
Di Magelang kita mengenal dr. Oei Hong Djien, seorang kolektor lukisan dan juga
seorang grader (pekerjaan yang menilai kualitas tembakau). dr. Oei Hong Djien
adalah generasi keempat pemasok tembakau salah satu pabrik rokok terbesar di
indonesia. Dia adalah kolektor penting dalam sejarah seni rupa indonesia. Konon,
ia adalah kolektor besar setelah bung Karno. Di rumahnya terdapat 1.300 karya
para perupa Indonesia. Di kalangan masyarakat seni indonesia, komentarkomentarnya sering dijadikan pertimbangan dalam pasar seni rupa. dr. Oei Hong
Djien adalah suhu bagi para kolektor pemula, beberapa diantaranya adalah Chris
Darmawan seorang arsitek, pemilik Semarang Gallery dan Deddy Irianto, pemilik
Galeri Langgeng di kota Magelang. Kedua orang ini juga seorang kolektor dan
grader tembakau.
Seni Kriya juga memberikan sentuhan artistiknya dalam industri rokok jaman
dulu. Biasanya alat untuk merajang tembakau atau cacak terdapat ukiran-ukiran
tokoh-tokoh pewayangan. Alat pemotong tembakau biasanya terbuat dari kayu
jati atau nangka. Bentuk cacak didaerah satu dengan daerah lainnya tentu
berbeda. Bahkan namanya juga berbeda. Di Jawa Tengah dan Jogja disebut cacak
sedang di Jawa Timur disebut jangka. Parakan dan Wonosobo adalah daerah
penghasil alat pemotong tembakau yang bagus. Di daerah Madura dan
Lumajang alat pemotong tembakau juga terdapat ukiran-ukiran khas madura.
Saat ini rokok juga menjadi bagian dari budaya berkomunikasi masyarakat
indonesia, di warung-warung kopi, di acara kenduri, di kampanye-kampanye
parpol, di ruang-ruang kantor, mereka ngobrol dan menyampaikan unegunegnya sambil merokok. Bagi sebagian orang, merokok membuat mereka
merdeka. Merokok dapat memberikan rasa ketenangan batin dan mendatangkan
inspirasi dalam menunjang proses kreativitas. Setidaknya itu yang dilakukan
pertama kali ketika seorang perokok dalam keadaan bad mood. Dari proses
kreativitas itulah kita bisa menghidupi negara dan keluarga kita. Dan menurut
sebagian besar orang (perokok), merokok itu membuat bahagia.

You might also like