You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN
Sejak permulaan sejarah peradaban umat manusia, sudah dikenal
hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam
zaman modern hubungan itu disebut sebagai transaksi terapeutik antara dokter dan
penderita, yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai
(konfidential). Timbulnya hubungan tersebut adalah karena pasien itu mencari
pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam hal ini kepada dokter atau
rumah sakit. Hal ini membawa akibat bahwa hubungan pemberian pertolongan ini
mempunyai ciri ciri khas. Karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah
dan tergantung kepada dokternya, Seorang dokter mempunyai kedudukan yang
lebih kuat, yaitu suatu profesi yang darinya banyak diharapkan dapat
menghilangkan penyakit pasien. Namun di dalam kenyataannya tidaklah
demikian, karena kadang kala timbul perbedaan persepsi karena berlainannya
sudut pandang. Dimana dokter dipandang suatu profesi yang dapat membantu
menyelesaikan seluruh persoalan tentang kesehatannya, sehingga pasien akan
berharap banyak atas pertolongannya.1
Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang
masih tergolong muda, terutama bagi khasanah hukum nasional Indonesia.
Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara
mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan,
sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum
seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. Pada kenyataannya
UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat tentang
ketentuan malpraktik kedokteran karena Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia hanya
mengandung pengertian mengenai kesalahan praktik dokter.2

Kata malpraktik sendiri di Indonesia baru pertama kali digunakan dalam


majalah Tempo edisi 25 Oktober 1986. Titik tolak kasus malpraktik yang menjadi
isu nasional ialah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah pada tahun 1981. Pada
kasus yang terjadi di Pati, seorang wanita bernama Rukimini Kartono meninggal
setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri
Pati memvonis dokter Setianingrum bersalah melanggar Pasal 360 KUHP. Dia
dihukum tiga bulan penjara. Setelah menyatakan banding ke tingkat pengadilan
tinggi, putusan Pengadilan Negeri Pati ini diperkuat oleh putusan pengadilan
tinggi. Akan tetapi ia selamat dari sanksi pidana setelah putusan Pengadilan
Negeri Pati ini dikasasi oleh Mahkamah Agung pada tanggal 27 Juni 1984. Kasus
Pati ini sangat menyita perhatian masyarakat pada waktu itu dan menginspirasi
cabang ilmu hukum kesehatan timbul di Indonesia.2
Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan terkait dengan sifat
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari
makna yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan
sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu
perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin
yang salah berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Hubungan antara Dokter dan Pasien
Pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini bertumpu
pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam dokumen maupun
konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas
informasi (the right to information). Kedua hak dasar tersebut bertolak dari
hak atas keperawatan kesehatan (the right to health care) yang merupakan hak
asasi individu (individual human rights). Dokumen internasional yang
menjamin kedua hak tersebut adalah The Universal Declaration of Human
Right tahun 1948, dan The United Nations International Covenant on Civil
and Political right tahun 1966.1
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter
sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed
consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang
akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong
dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang
mungkin terjadi. Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan,
telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.585/Menkes/1989.4
Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan
dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera
mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu
lintas, terjadi bencana alam, maupun karena situasi lain yang menyebabkan
keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang
menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan
seperti

ini

dokter

langsung

melakukan

apa

yang

disebut

dengan

zaakwaarneming sebagai mana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu


suatu bentuk hubungan hukum yang timbul karena adanya persetujuan

tindakan medis terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa


atau keadaan darurat.4
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan
salah satu ciri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian
biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Dari hubungan pasien dengan
dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang
dokter hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala
kemampuannya

memenuhi

isi

perjanjian

itu,

yakni

merawat

atau

menyembuhkan pasien.4
Terjalinnya hubungan hukum antara keduanya ini membentuk hak dan
kewajiban masing-masing pihak, baik dokter maupun pasien.5
1. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi.
Hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi tertuang dalam pasal 50 dan 51
Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
seperti berikut :
1) Pasal 50:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
2) Pasal 51:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau ke dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali


bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Hak dan Kewajiban Pasien
Hak dan kewajiban pasien tertuang dalam pasal 52 dan 53 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 seperti berikut :
1) Pasal 52 :
Pasien dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai
hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapat isi rekam medis.
2) Pasal 53 :
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan;
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Saling memahami antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak
(dokter-pasien), maka hubungan dokter-pasien atas dasar saling percaya itu
bukanlah hubungan kontrak bisnis. Dokter maupun pasien sama-sama
profesional dan proporsional dalam memecahkan permasalahan kesehatan.
Dokter harus selalu berlaku profesional dalam menjalankan profesinya, serta
mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan
tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami aspek
yang terkait dengan pengambilan keputusan medis.5
2.2 Malpraktik Medik
2.2.1 Definisi Malpraktik Medik

Malpraktik dalam bahasa Inggris sendiri berarti Malpractice


yang dapat diartikan wrongdoing atau neglect of duty (dari The
Advance Learners Dictionary of Current English by Hornby Cs. 2nd
edition, Oxford University Press, London).6
Dalam Coulghins Dictionary of Law terdapat perumusan
malpractice yang dikaitkan dengan kesalahan profesi sebagai berikut :
Malpractice is Professional misconduct on the part of a professional
person, such as a physician, dentist, veterinarian. Malpractice may be
the result of ignorance, neglect, or lack of skills of fidelity in the
performance of professional duties; intentional wrongdoing; or illegal
or unethical practice.
Malpraktik adalah kesalahan profesi yang dilakukan oleh seorang
professional seperti dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik bisa
diakibatkan oleh kelalaian atau kurangya keterampilan dalam
pelaksanaan tugas profesional; kesalahan yang disengaja atau praktik
ilegal atau tidak etis.6
Bila kita sekarang menganalisis rumusan malpraktik di atas maka
Couglin merumuskan tiga unsur, pertama intentional wrongdoing
yang mengandung unsur kesengajaan (opzet). Yang kedua adalah unsur
Illegal Practice yang berarti tindakan yang tidak sah atau tindakan
yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum. Ketiga adalah
unsur unethical practice yang berarti tindakan yang tidak etis.6
Dalam perumusan Couglin, antara lain ditonjolkan unsur
kesengajaan/dolus dan dalam perumusan Black ditonjolkan unsur
kelalaian (culpa) sehingga dapat kita bedakan malpraktik sebagai dolus
delict (contoh Abortus Provocatus Kriminalis) dan malpraktik sebagai
culpoos delict (contoh mati karena kelalaian). Dengan demikian ada
malpraktik dolus dan malpraktik culpoos.6
Malpraktik medis menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah
praktik kedoteran yang dilakukan salah atau tidak tepat dan menyalahi
undang-undang atau kode etik. Malpraktik medis menurut J. Guwandi
meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut7:

1) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh


seorang tenaga kesehatan.
2) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban.
3) Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan
Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malpraktik murni dengan
kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai
berikut7 :
1) Pada malpraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara
sadar, dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat
yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya,
walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa
tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku.
2) Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk
menimbulkan akibat. Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
Dengan demikian di dalam malpraktik medis terkandung unsurunsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan di
dalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk
juga delik omissi yang menimbulkan kerugian baik materil maupun
2.2.2

inmateril terhadap pasien.7


Jenis-jenis Malpraktik
1) Malpraktik Etik
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang
dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik
Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No 434/Men Kes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran
Indonesia disusun dengan mempertimbangkan international Code of
Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan
Strukturil UUD 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini
mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban
umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,

kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter


terhadap diri sendiri.7
Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum,
sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran
etik kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh7 :
a. Pelanggaran Etik murni
1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan
jasa dari keluarga sejawat dan dokter gigi.
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya
3. Memuji diri sendiri di hadapan pasien
4. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang
berkesinambungan
5. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
b. Pelanggaran Etikolegal
1.
2.
3.
4.

Pelayanan dokter dibawah standar


Menertibkan surat keterangan palsu
Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter
Abortus provokatus

2) Malpraktik Hukum
Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkait dengan
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggungjawab apabila dapat menginsafi makna
yang kenyataannya dari perbuatannya, dan menginsafi perbuatannya
itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu
untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan
tersebut. 7
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab ini, dalam
menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak perbuatan yang
dilakukan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan
yang dilakukan yaitu berupa dolus (kesengajaan) atau culpa
(kelalaian/kelupaan) serta tidak adanya alasan pemaaf. Mengenai

kelalaian (neglience) mencakup dua hal yaitu karena melakukan


sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau karena tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana,
diatur antara lain dalam: 346, 347, 359, 360, 386 Kitab Undangundang Hukum Pidana. 5,7
Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa
kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan
seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan euthanasia,
menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat
visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan
yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. 7
Sebagai contoh dalam menganalisis apakah perbuatan dokter itu
mengandung tanggung jawab pidana apa tidak, adalah dalam hal
melakukan pembedahan. Persoalan pokok yang perlu dikemukakan
adalah pembedahan dengan indikasi medis. Apakah hal itu dilakukan
dokter terhadap pasien, maka perbuatan dokter tersebut dapat
dibenarkan. Sedangkan jika pembedahan dilakukan tanpa melalui
indikasi medis, maka perbuatan dokter tersebut dipidanakan.7
Seorang dokter akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat
dikategorikan malpraktik sipil antara lain3:
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b) Melakukan

apa

yang

menurut

kesepakatannya

wajib

dilakukan tetapi terlambat melakukannya.


c) Melakukan

apa

yang

menurut

kesepakatannya

wajib

dilakukan tetapi tidak sempurna.

d) Melakukan

apa

yang

menurut

kesepakatannya

tidak

seharusnya dilakukan.
Pertanggungjawaban

malpraktik

perdata

dapat

bersifat

individual atau korporasi serta dapat pula dialihkan pihak lain


berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (dokter) selama dokter
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya3.
Dasar hukum malpraktik sipil adalah transaksi dokter dengan
pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, di mana dokter
bersedia memberikan pelayanan medis kepada pasien dan pasien
bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang
merasa dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang
tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan
kesalahan professional.3
3) Malpraktik Administratif
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter
melanggar hukum tata usaha negara. Contoh tindakan dokter yang
dikategorikan

sebagai

administrative

malpractice

adalah

menjalankan praktik tanpa izin, melakukan tindakan medis yang


tidak sesuai dengan izin yang dimiliki, melakukan praktik dengan
menggunakan izin yang sudah kadaluwarsa dan tidak membuat
rekam medis.7,8 Tindakan administratif dapat berbentuk teguran
(lisan atau tertulis), mutasi, penundaan kenaikan pangkat,
penurunan jabatan, skorsing bahkan sampai pemecatan.4
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan
diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan
pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar
memperoleh

kewenangan,

dimana

tiap-tiap

jenis

lisensi

memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendirisendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang

10

melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun


seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel
namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis
tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat
dianggap telah melakukan administrative malpractice dan dapat
dikenai sanksi administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi
untuk sementara waktu.4
2.2.3

Syarat-syarat Malpraktik
Untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan dokter dalam
menjalankan profesinya tersebut malpraktik atau bukan, Leenen
sebagaimana dikutip oleh Fred Ameln menyebutkan lima kriteria yang
bisa digunakan yaitu2:
1) Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan
dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter yang bertindak
onvoorzichteg (tidak teliti, tidak berhati-hati) maka ia memenuhi
unsur kelalaian.
2) Tindakan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ilmu medik
(volgens de medische standaard). Ukuran medis ini ditentukan
oleh ilmu pengetahuan medis. Pengertian ukuran medis dapat
dirumuskan suatu cara perbuatan medis tertentu dalam suatu
kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu, ukuran
dimana didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam
bidang medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi
suatu kriteria yang sama persis untuk dipakai pada tiap
perbuatan medik karena situasi kondisi dan juga karena reaksi
para pasien berbeda-beda.
3) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian
medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke
medische categorie). Sesuai dengan seorang dokter yang
memiliki kemampuan average atau rata-rata dibandingkan
dengan dokter dari keahlian medik yang sama. Hal ini juga

11

terdapat pada rumusan Supreme Court of Canada (1956) dan


Daniel K. Roberts (1987); sebagai dokter yang memiliki
kemampuan rata-rata dibandingkan dengan dokter dari keahlian
medik yang sama. Dalam hal ini, bidang hukum menggunakan
ukuran minimal rata-rata dimana kemampuan didasarkan atas
pendapat para saksi-saksi ahli dari kelompok keahlian yang
sama, misalnya pada kasus dokter umum saksinya dokter umum
pula.
4) Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
Dalam situasi kondisi yang sama, unsur ini tidak terdapat pada
rumusan Supreme Court of Canada tersebut tetapi terdapat pada
rumusan Daniel Roberts pada practising in the same or similar
locality. Dalam situasi dan kondisi yang sama, misalnya praktik
di Puskesmas berbeda dengan di rumah sakit tipe A seperti
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
5) Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan
tujuan konkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het
concreet handelingsdoel). Dengan sarana upaya yang memenuhi
perbandingan yang wajar dibanding dengan tujuan konkret
tindakan medis tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan tindakan
diagnostik, terapeutik, dan dengan peringanan penderita dan
pula dengan tindakan preventif. Dokter harus menjaga adanya
suatu keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang ingin ia
capai dengan tindakan itu. Jika misalnya ada suatu tindakan
diagnostik yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif
ringan

sekali

maka

hal

ini

tidak

memenuhi

prinsip

keseimbangan (diagnostic overskill). Hal ini pun dapat terjadi di


bidang terapi (theraphy overskill) maupun di bidang perawatan
(care overskill). Dokter selalu harus membandingkan tujuan
tindakan mediknya dengan resiko tindakan tersebut dan
berusaha untuk resiko yang terkecil. Dalam unsur ini pun
disebut bahwa ada sarana upaya yang wajar jika dibandingkan
12

dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Pada umumnya


dapat dikatakan bahwa para dokter wajib melakukan perbuatan
medis sesuai dengan tujuan ilmu kedokteran. Tindakan
diagnostik maupun tindakan terapeutik secara nyata ditujukan
pada perbaikan situasi pasien. Unsur ini bisa dikaitkan dengan
defensive medicine, baik dalam bidang diagnostik, terapeutik,
maupun perawatan, yang segalanya dilakukan secara berlebihan
karena takut salah.2
Dalam Tindakan Medik oleh dokter muncul masalah yang kemudian
terkait dengan hukum pidana. Masalah tersebut adalah kelalaian oleh
dokter dalam melaksanakan tindakan medik. Untuk menentukan
kelalaian tersebut, Sofyan Dahlan mengemukakan dengan cara
membuktikan unsur 4 D nya3 :
1. Duty yaitu adanya kewajiban yang timbul dari hubungan
terapetis. Kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu)
atau menurut undang-undang (ius delicto) adalah

kewajiban

dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi serta kewajiban


dokter untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib
memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum
mengambil tindakannya.
2. Dereliction of duty yaitu tidak melaksanakan kewajiban yang
seharusnya

dilaksanakan.

Penentuan

bahwa

adanya

penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The


Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara
kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi
ahli. Namun sering kali pasien mencampur adukkan antara akibat
dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien
yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.
Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan
dahulu bahwa dokter itu telah melakukan breach of duty.
3. Damage yaitu timbulnya kerugian atau kecideraan. Dalam
kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages)
13

termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan


dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian
finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan,
gaji yang tidak diterima
4. Direct Causation yaitu adanya hubungan langsung antara
kecideraan atau kerugian itu dengan kegagalan melaksanakan
kewajiban.

2.3 Kelalaian Medis


Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang
hati-hati menurut ukuran wajar. Kelalaian mencakup 2 (dua) hal, yakni:
Pertama, karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan; atau
Kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.
Kelalaian atau negligence menurut Keeton Medical Negligence The
Standard of Care, 1980 adalah suatu sikap-tindak yang oleh masyarakat
dianggap menimbulkan bahaya secara tidak wajar dan diklasifikasikan
demikian

karena

orang

itu

bisa

membayangkan

atau

seharusnya

membayangkan bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus


menanggung risiko, dan bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya
sehingga seharusnya ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati.9
Menurut Blacks Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai
Negligence is the omission to do something which the reasonable man,
guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated human
affair, would do or the doing of something which a reasonable and prudent
man would not do. Negligence is a failure to use such care as a reasonably
prudent and careful person would use under the similar circumstances; it is
the doing of some act which a person of ordinary prudence would not have
done under the similar circumstances or failure to do what a person of
ordinary prudence would have done under the similar circumstances.
Seorang dokter bisa dinilai bertanggungjawab terhadap professional
negligence apabila sikap atau perbuatannya tidak berdasarkan standar yang

14

umum berlaku pada profesinya, sehingga pasien sampai cedera karena


kelalaiannya.

Adalah

kewajiban

seorang

dokter

untuk

mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan termasuk apa yang diutarakan oleh Keeton


di atas dan jika karena tertinggal ilmunya sampai menyebabkan pasien
menderita cedera, maka tindakan itu juga bisa termasuk kelalaian.9
Unsur kelalaian sangat berperan dalam menentukan dilakukan atau
tidaknya pidana terhadap seorang dokter dan kelalaian dalam bidang
kedokteran sangat erat kaitannya dengan standar profesi dokter.5 Unsur
kelalaian harus memenuhi pokok-pokok sebagai berikut2 :
1)
2)
3)
4)
5)

Adanya perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang harus dilakukan.


Adanya kewajiban kehati-hatian.
Tidak dijalankannya kewajiban terhadap kehati-hatian tersebut.
Adanya kerugian bagi orang lain.
Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan
perbuatan dengan kerugian
Kelalaian bukan merupakan suatu kejahatan jika kelalaian itu tidak

menyebabkan kerugian, cidera kepada orang lain dan orang tersebut dapat
menerimanya (de minimus non curat lex= hukum tidak mengurusi hal-hal
sepele),

tetapi

jika

kelalaian

itu

mengakibatkan

kerugian

materi,

mencelakakan bahkan sampai merenggut nyawa orang lain maka dapat


diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata ) yang tolak ukurnya adalah
bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dihindarkan dan perbuatanya
dapat dipersalahkan. Kelalaian itu berbentuk2,10 :
a. Malfeasance
Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan
hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut (execution of an
unlawful or improper act).
b. Misfeasance
Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper
performance of an act).
c. Nonfeasance
15

Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk


melakukan (the failure to act when there is a duty to act).
d. Malpractice
Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang suatu
profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan, dan profesi
lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya (negligence or
carelessness of professional person, such as nurse, pharmacist,
physician, accountant, etc).
e. Maltreatment
Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang dilakukan
tidak secera benar atau terampil (improper or unskillful treatement). Hal
ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau secara acuh
(ignorance, neglect, or willfulness).
f. Criminal negligence
Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap
keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu
bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada orang lain (reckless
disregard for the safety of another. It is the willful indifference to an
injury which could follow an act).
2.4 Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Kejadian nyaris cedera (KNC) mengacu pada salah satu definisi dalam
literature safety management sebagai suatu kejadian yang berhubungan
dengan keamanan pasien. KNC diungkapkan sebagai kejadian yang berpotensi
menimbulkan cedera atau kesalahan yang dapat dicegah karena tindakan
segera atau karena kebetulan, dimana hasil akhir pasien tidak cedera. KNC
dapat juga berarti suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission) yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi
karena keberuntungan (misal pasien menerima suatu obat kontra indikasi
tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis

16

lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya


sebelum obat diberikan), peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal
diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotnya).11
Penyebab dari insiden ini meliputi kegagalan teknis (technical failure),
kegagalan manusia (human operator failure) dan kegagalan organisasi
(organizational failure). Kegagalan pada awal kegiatan, sebagai pencetus
adalah manusia, teknikal, kegagalan organisasi atau kombinasi keduanya. Jika
hal ini tidak dapat dicegah maka proses berlanjut pada situasi yang lebih
berbahaya (peningkatan resiko sementara akibat dari kegagalan awal tetapi
tidak menimbulkan akibat aktual), jika keadaan adekuat kondisi dapat kembali
normal. Jika pertahanan tidak adekuat, kegagalan dalam pertahanan seperti
prosedur pencekan ulang (double check procedures), penggantian otomatis
dari peralatan yang siap pakai, atau tim pemecah masalah kurang optimal
dapat berkembang kearah terjadinya insiden. Pengembangan kearah insiden
melalui

proses

pemulihan

(merupakan

pertahanan

informal

dengan

menemukan situasi yang beresiko terjadinya insiden). Hal ini digunakan untuk
menghentikan insiden atau membiarkan insiden menjadi kejadian yang tidak
diharapkan (KTD).11
Terciptanya keselamatan pasien harus didukung dengan sistem pelaporan
yang baik setiap kali insiden terjadi. Faktor penyebab kejadian nyaris cedera
dapat didapatkan jika didukung oleh sistem pelaporan dan dokumentasi yang
baik. Hal ini dapat membantu proses pencegahan dan implementasi untuk
perbaikan tingkat kejadian.11
2.5 Risiko Medik
Risiko medik adalah suatu peristiwa yang tak terduga yang timbul akibat
tindakan seorang tenaga kesehatan

yang diberikan sesuai dengan standar

prosedur medis, kompetensi dan etika yang berlaku. Semua tindakan medik
mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa
yang yang dinamakan risiko. Risiko medik tidak dapat dipersalahkan dan
tidak dapat diminta tanggungjawabnya, asalkan risiko ini merupakan risiko
murni, di mana tidak ada unsur kelalaiannya.12
17

Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja
derajatnya bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik)
hingga yang berat (memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau
bahkan kematian). Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap
kemungkinan risiko dan manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur
yang akan dijalaninya. Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah,
karena sebagian pasien justru akan menolak dilakukan tindakan medik apabila
mengetahui segala risikonya secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter,
meskipun sebelum operasi setiap pasien telah dijelaskan mengenai prosedur
yang akan dilaksanakan, tetapi sangat jarang dokter mendiskusikan
kemungkinan terjadinya risiko akibat kesalahan dalam sistem (system fault).12
Hal ini disebabkan karena di dalam Hukum Medis yang terpenting
bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu,
bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui.
Namun tentunya tidaklah semua tindakan yang tak disengaja termasuk
perumusan risiko medik, karena tindakan kelalaian pun dilakukan tidak
dengan sengaja. Peristiwa yang terjadi itu selain tak terduga, pun merupakan
sesuatu yang tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan mencelakakan dan
dapat membawa malapetaka. Setiap tindakan medik tentunya mempunyai
manfaat yang kita dapatkan, namun juga

selalu ada risiko yang harus

dihadapi.12
2.6 Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik Medik
Dikalangan dokter sendiri dikenal adanya Kode Etik Kedokteran
(Kodeki) yang disahkan berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor: 434/MenKes/SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983. Sebenarnya
tujuan dari Kodeki ini adalah untuk melindungi pasien. Dikenal pula di
kalangan dokter kewajiban mengangkat sumpah sebelum dokter melakukan
praktik setelah lulus dari pendidikan. Hal itu telah dikuatkan dengan
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan disempurnakan pada
Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II.8

18

Keberadaan Kodeki dan Sumpah Dokter lebih berkesan mengikat secara


moral kepada kalangan dokter. Keduanya juga tidak memberikan sanksi yang
jelas kepada para dokter yang melakukan pelanggaran; kalaupun ada hanya
sebatas saksi administratif berupa pencabutan izin praktik (pasal 13,
Peraturan Menteri Kesehatan dengan No.585/MEN.KES/PER/IX/1989
tentang persetujuan tindakan medis).8
Dalam penyelesaian kasus malpraktik, muncul lembaga yang menangani
permasalahan kode etik seperti MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran) yang berada di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Juga
terdapat lembaga MP2EPM (Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika
Pelayanan Medik) yang berada dibawah Departemen Kesehatan ditingkat
Kantor Wilayah.8
Penyelesaian sengketa medik melalui jalur etika diatur dalam Undangundang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Apabila tindakan dokter bertentangan dengan etika dan moral
serta kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) yang telah dibuktikan oleh
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan malpraktik dan
dapat diajukan gugatan hukum. Namun demikian, Undang-undang ini menuai
banyak kritik karena kentalnya nuansa perlindungan kepentingan dokter yang
dicerminkan oleh putusan yang hanya berupa sanksi administrasi.3
Dalam perkembangannya, pengaturan terhadap kasus malpraktik yang
semula diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetap dapat
digunakan dalam menangani kasus pelanggaran terhadap dokter yang melakukan
malpraktik, meskipun telah ada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 dan
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004. Pengenaan terhadap ketentuan dalam
KUHP diperlukan jika dalam undang-undang yang secara khusus tentang
kesehatan atau praktik kedokteran tidak mengaturnya. Penanganan pelanggaran
tersebut pelanggaran dalam KUHP murni karena kriminal, lain halnya jika kasus
yang terjadi di dalam dunia kedokteran karena ada alasan medis. 5
Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi terhadap pelanggaran
etika dan hukum. Pelanggaran etika murni dipertanggungjawabkan pada sidang
MKEK, pelanggaran disiplin dilakukan oleh MKDK, dan pelanggaran dalam
19

menjalankan profesi kedokteran (pelanggaran hukum) dipertanggungjawabkan


secara hukum, termasuk pertanggungjawaban pidana. Ini bergantung dari sifat
akibat kerugian yang timbul menurut hukum. Penentu pertanggungjawaban
hukum dalam malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan
menurut hukum. Pembebanan tanggung jawab hukum guna penjaminan
pemulihan hak pihak pasien yang dirugikan pula ditentukan hukum. Sehingga
perlindungan hukum bagi dokter dan pasien haruslah seimbang., karena kedua
belah pihak adalah subyek dalam pelayanan medis. 5

2.6.1

Sistem Pembuktian Kasus Malpraktik Medik


Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat (negara), yaitu positif wettelijk bewijstheorie, conviction
intime, laconvviction raisonnee dan negatef wettelijk. Kalau kesalahan
dokter merupakan kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja
yang tidak memahami profesi ini untuk membuktikannya di pengadilan.9
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice
apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus
merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu
berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian
tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain
dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349,
351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana .4 Perlu
dipahami bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan
harapan pasien merupakan bukti adanya criminal malpractice mengingat
kejadian semacam itu juga dapat merupakan bagian dari risiko tindakan
medis. Kesalahan diagnosis juga tidak boleh secara otomatis dijadikan
ukuran adanya criminal practice sebab banyak faktor yang mempengaruhi
ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang sebagian faktor tersebut berada
di luar kekuasaan dokter. Kedua hal di atas hanya dapat dijadikan
persangkaan yang masih harus dibuktikan unsur-unsur pidananya. Jika

20

terbukti bersalah maka dokter dapat dipidana sesuai jenis tindak pidana
yang dilakukannya.9
Selain itu dokter masih dapat digugat melalui peradilan perdata atas
dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pada malpraktik
perdata pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung
atau tak langsung. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan keempat
unsurnya

secara

langsung,

yang

terdiri

atas

unsur

kewajiban,

menelantarkan kewajiban, rusaknya kesehatan dan adanya hubungan


langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya
kesehatan. Adapun secara tak langsung, yaitu dengan mencari fakta-fakta
yang berdasarkan doktrin res ipsa loquitor dapat membuktikan adanya
kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter
meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin res ipsa loquitor ini sebetulnya
merupakan varian dari doctrine of common knowledge, hanya saja di sini
masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah
fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian
dokter.9
2.6.2

Kendala Pembuktian Kasus Malpraktik Medik


Proses peradilan dalam kasus malpraktik yang menjadikan dokter
sebagai tersangka akan menemui banyak sekali kesulitan. Ketiadaan
undang-undang/peraturan yang mengatur tentang malpraktik sudah
menjadi suatu persolan cukup rumit, sehingga kebanyakan kasus-kasus
tersebut hanya dikenai pasal 359 KUHP. Sebagaimana dapat diduga,
perkembangan kasus kemudian tidak menjurus pada pokok permasalahan
tentang malpraktik itu sendiri.7
Malpraktik Kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana ,
apabila memenuhi syarat syarat tertentu dalam tiga aspek yaitu syarat
dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan medis dan syarat
mengenai hal akibat. Pada dasarnya syarat dalam perlakuan medis adalah
21

perlakuan medis yang menyimpang. Syarat mengenai sikap batin adalah


syarat sengaja atau culpa dalam malpraktik kedokteran. Syarat akibat
adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa
pasien.3

Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis


(Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta
secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli.
Namun sering kali pasien mencampur adukkan antara akibat dan kelalaian.
Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik
belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan
jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan breach of
duty.4

Tuntutan terhadap malpraktik kedokteran seringkali kandas di


tengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu
membela diri dan mempertahankan hak haknya dengan mengemukakan
alasan alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien,
pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam
menghadapi masalah malpraktik kedokteran ini, terutama dari sudut teknis
hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan. Masalahnya
terletak pada belum adanya hukum dan kajian hukum khusus tentang
malpraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan
dan menanggulangi adanya malpraktik kedokteran di Indonesia. Untuk itu
maka perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum pidana yang dapat
dikaitkan dengan kelalaian atau malpraktik kedokteran.3

22

BAB III
PENUTUP
Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan
manusia yang sedang mengharapkan pertolongan pengobatan. Seorang dokter
harus memiliki hati nurani, keluhuran dan kemuliaan dalam menjalankan profesi
sebagai dokter. Etika Kedokteran senidri mempunyai tiga asas pokok yaitu
otonomi, bersifat dan bersikap amal, berbudi baik, serta menjunjung keadilan.
Malpraktik medik adalah praktik kedoteran yang dilakukan salah atau tidak
tepat dan menyalahi undang-undang atau kode etik. Terdapat tiga jenis malpraktik
yaitu, Malpraktik Etik, Malpraktik Hukum, dan Malpraktik Administratif.
Penyelesaian sengketa medik diselesaikan melalui jalur etika dan diatur
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi terhadap
pelanggaran etika dan hukum. Penentu pertanggungjawaban hukum dalam
malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan menurut
hukum.
Tuntutan terhadap malpraktik kedokteran seringkali kandas di tengah jalan
karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan
mempertahankan

hak-haknya

dengan

mengemukakan

alasan-alasan

atas

tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi
(hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam menghadapi masalah malpraktik
kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat
untuk digunakan. Masalahnya terletak pada belum adanya hukum dan kajian

23

hukum khusus tentang malpraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman


dalam menentukan dan menanggulangi adanya malpraktik kedokteran di
Indonesia. Untuk itu maka perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum
pidana yang dapat dikaitkan dengan kelalaian atau malpraktik kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yunanto. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik.
Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. 2009. h.14-23.
2. Kanina C. Skripsi: Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus
Malpraktik. Depok: Fakultas Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan. 2012. h.14
3. Adi P. Tesis: Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka
Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Semarang:
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
2010. h. 16-8, 32
4. Astuti EK. Tesis: Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien dalam
Upaya Pelayanan Medis. Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2003. h. 2-3, 25-8
5. Sujiantoro. Pertanggungjawaban Pidana Malpraktik Dokter. Malang:
Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana. 2011. h.1-9
6. Timotius S. Skripsi: Fungsi dan Peran Informed Consent pada Perjanjian
Medis (Penerapan dalam Praktik Oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam).
Depok: Fakultas Hukum Program Reguler Universitas Indonesia. 2012.
h.6-7, 47-8
7. Sri S. Tesis: Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana di Bidang Medis. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro. 2009. h.47, 57-61
8. Qomaruddin S. Kejahatan Oleh Dokter: Suatu Tinjauan Penegakan Hukum.
Jakarta: Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.2. 2002. h.57-68

24

9. Wahyu W. Dokter, Pasien dan Malpraktik. Jakarta: Balai Pendidikan dan


Latihan Kejaksaan Agung RI. 2014. h.48-9
10. Gladys J. Matinya Orag karena Kelalaian Pelayanan Medik (Criminal
Malpractice) dalam Lex Crimen Vol.III. 2014. h.6-7
11. Yully. Tesis: Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera dan Kejadian
Tidak Diharapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah. Jakarta:
Program

Pasca

Sarjana

Magister

Ilmu

Keperawatan

Universitas

Indonesia.2011.h.26-28
12. Andry. Tesis: Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.
Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kesehatan Universitas
Katolik Soegijapranata. 2008. h.29-31

25

You might also like