Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sejak permulaan sejarah peradaban umat manusia, sudah dikenal
hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam
zaman modern hubungan itu disebut sebagai transaksi terapeutik antara dokter dan
penderita, yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai
(konfidential). Timbulnya hubungan tersebut adalah karena pasien itu mencari
pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam hal ini kepada dokter atau
rumah sakit. Hal ini membawa akibat bahwa hubungan pemberian pertolongan ini
mempunyai ciri ciri khas. Karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah
dan tergantung kepada dokternya, Seorang dokter mempunyai kedudukan yang
lebih kuat, yaitu suatu profesi yang darinya banyak diharapkan dapat
menghilangkan penyakit pasien. Namun di dalam kenyataannya tidaklah
demikian, karena kadang kala timbul perbedaan persepsi karena berlainannya
sudut pandang. Dimana dokter dipandang suatu profesi yang dapat membantu
menyelesaikan seluruh persoalan tentang kesehatannya, sehingga pasien akan
berharap banyak atas pertolongannya.1
Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang
masih tergolong muda, terutama bagi khasanah hukum nasional Indonesia.
Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara
mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan,
sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum
seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. Pada kenyataannya
UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat tentang
ketentuan malpraktik kedokteran karena Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia hanya
mengandung pengertian mengenai kesalahan praktik dokter.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Hubungan antara Dokter dan Pasien
Pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini bertumpu
pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam dokumen maupun
konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas
informasi (the right to information). Kedua hak dasar tersebut bertolak dari
hak atas keperawatan kesehatan (the right to health care) yang merupakan hak
asasi individu (individual human rights). Dokumen internasional yang
menjamin kedua hak tersebut adalah The Universal Declaration of Human
Right tahun 1948, dan The United Nations International Covenant on Civil
and Political right tahun 1966.1
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter
sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed
consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang
akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong
dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang
mungkin terjadi. Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan,
telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.585/Menkes/1989.4
Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan
dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera
mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu
lintas, terjadi bencana alam, maupun karena situasi lain yang menyebabkan
keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang
menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan
seperti
ini
dokter
langsung
melakukan
apa
yang
disebut
dengan
memenuhi
isi
perjanjian
itu,
yakni
merawat
atau
menyembuhkan pasien.4
Terjalinnya hubungan hukum antara keduanya ini membentuk hak dan
kewajiban masing-masing pihak, baik dokter maupun pasien.5
1. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi.
Hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi tertuang dalam pasal 50 dan 51
Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
seperti berikut :
1) Pasal 50:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
2) Pasal 51:
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau ke dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
2) Malpraktik Hukum
Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkait dengan
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggungjawab apabila dapat menginsafi makna
yang kenyataannya dari perbuatannya, dan menginsafi perbuatannya
itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu
untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan
tersebut. 7
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab ini, dalam
menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak perbuatan yang
dilakukan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan
yang dilakukan yaitu berupa dolus (kesengajaan) atau culpa
(kelalaian/kelupaan) serta tidak adanya alasan pemaaf. Mengenai
apa
yang
menurut
kesepakatannya
wajib
apa
yang
menurut
kesepakatannya
wajib
d) Melakukan
apa
yang
menurut
kesepakatannya
tidak
seharusnya dilakukan.
Pertanggungjawaban
malpraktik
perdata
dapat
bersifat
sebagai
administrative
malpractice
adalah
kewenangan,
dimana
tiap-tiap
jenis
lisensi
memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendirisendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang
10
Syarat-syarat Malpraktik
Untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan dokter dalam
menjalankan profesinya tersebut malpraktik atau bukan, Leenen
sebagaimana dikutip oleh Fred Ameln menyebutkan lima kriteria yang
bisa digunakan yaitu2:
1) Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan
dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter yang bertindak
onvoorzichteg (tidak teliti, tidak berhati-hati) maka ia memenuhi
unsur kelalaian.
2) Tindakan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ilmu medik
(volgens de medische standaard). Ukuran medis ini ditentukan
oleh ilmu pengetahuan medis. Pengertian ukuran medis dapat
dirumuskan suatu cara perbuatan medis tertentu dalam suatu
kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu, ukuran
dimana didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam
bidang medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi
suatu kriteria yang sama persis untuk dipakai pada tiap
perbuatan medik karena situasi kondisi dan juga karena reaksi
para pasien berbeda-beda.
3) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian
medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke
medische categorie). Sesuai dengan seorang dokter yang
memiliki kemampuan average atau rata-rata dibandingkan
dengan dokter dari keahlian medik yang sama. Hal ini juga
11
sekali
maka
hal
ini
tidak
memenuhi
prinsip
kewajiban
dilaksanakan.
Penentuan
bahwa
adanya
karena
orang
itu
bisa
membayangkan
atau
seharusnya
14
Adalah
kewajiban
seorang
dokter
untuk
mengikuti
menyebabkan kerugian, cidera kepada orang lain dan orang tersebut dapat
menerimanya (de minimus non curat lex= hukum tidak mengurusi hal-hal
sepele),
tetapi
jika
kelalaian
itu
mengakibatkan
kerugian
materi,
16
proses
pemulihan
(merupakan
pertahanan
informal
dengan
menemukan situasi yang beresiko terjadinya insiden). Hal ini digunakan untuk
menghentikan insiden atau membiarkan insiden menjadi kejadian yang tidak
diharapkan (KTD).11
Terciptanya keselamatan pasien harus didukung dengan sistem pelaporan
yang baik setiap kali insiden terjadi. Faktor penyebab kejadian nyaris cedera
dapat didapatkan jika didukung oleh sistem pelaporan dan dokumentasi yang
baik. Hal ini dapat membantu proses pencegahan dan implementasi untuk
perbaikan tingkat kejadian.11
2.5 Risiko Medik
Risiko medik adalah suatu peristiwa yang tak terduga yang timbul akibat
tindakan seorang tenaga kesehatan
prosedur medis, kompetensi dan etika yang berlaku. Semua tindakan medik
mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa
yang yang dinamakan risiko. Risiko medik tidak dapat dipersalahkan dan
tidak dapat diminta tanggungjawabnya, asalkan risiko ini merupakan risiko
murni, di mana tidak ada unsur kelalaiannya.12
17
Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja
derajatnya bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik)
hingga yang berat (memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau
bahkan kematian). Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap
kemungkinan risiko dan manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur
yang akan dijalaninya. Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah,
karena sebagian pasien justru akan menolak dilakukan tindakan medik apabila
mengetahui segala risikonya secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter,
meskipun sebelum operasi setiap pasien telah dijelaskan mengenai prosedur
yang akan dilaksanakan, tetapi sangat jarang dokter mendiskusikan
kemungkinan terjadinya risiko akibat kesalahan dalam sistem (system fault).12
Hal ini disebabkan karena di dalam Hukum Medis yang terpenting
bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu,
bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui.
Namun tentunya tidaklah semua tindakan yang tak disengaja termasuk
perumusan risiko medik, karena tindakan kelalaian pun dilakukan tidak
dengan sengaja. Peristiwa yang terjadi itu selain tak terduga, pun merupakan
sesuatu yang tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan mencelakakan dan
dapat membawa malapetaka. Setiap tindakan medik tentunya mempunyai
manfaat yang kita dapatkan, namun juga
dihadapi.12
2.6 Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik Medik
Dikalangan dokter sendiri dikenal adanya Kode Etik Kedokteran
(Kodeki) yang disahkan berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor: 434/MenKes/SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983. Sebenarnya
tujuan dari Kodeki ini adalah untuk melindungi pasien. Dikenal pula di
kalangan dokter kewajiban mengangkat sumpah sebelum dokter melakukan
praktik setelah lulus dari pendidikan. Hal itu telah dikuatkan dengan
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan disempurnakan pada
Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II.8
18
2.6.1
20
terbukti bersalah maka dokter dapat dipidana sesuai jenis tindak pidana
yang dilakukannya.9
Selain itu dokter masih dapat digugat melalui peradilan perdata atas
dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pada malpraktik
perdata pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung
atau tak langsung. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan keempat
unsurnya
secara
langsung,
yang
terdiri
atas
unsur
kewajiban,
22
BAB III
PENUTUP
Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan
manusia yang sedang mengharapkan pertolongan pengobatan. Seorang dokter
harus memiliki hati nurani, keluhuran dan kemuliaan dalam menjalankan profesi
sebagai dokter. Etika Kedokteran senidri mempunyai tiga asas pokok yaitu
otonomi, bersifat dan bersikap amal, berbudi baik, serta menjunjung keadilan.
Malpraktik medik adalah praktik kedoteran yang dilakukan salah atau tidak
tepat dan menyalahi undang-undang atau kode etik. Terdapat tiga jenis malpraktik
yaitu, Malpraktik Etik, Malpraktik Hukum, dan Malpraktik Administratif.
Penyelesaian sengketa medik diselesaikan melalui jalur etika dan diatur
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi terhadap
pelanggaran etika dan hukum. Penentu pertanggungjawaban hukum dalam
malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan menurut
hukum.
Tuntutan terhadap malpraktik kedokteran seringkali kandas di tengah jalan
karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan
mempertahankan
hak-haknya
dengan
mengemukakan
alasan-alasan
atas
tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi
(hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam menghadapi masalah malpraktik
kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat
untuk digunakan. Masalahnya terletak pada belum adanya hukum dan kajian
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Yunanto. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik.
Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. 2009. h.14-23.
2. Kanina C. Skripsi: Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus
Malpraktik. Depok: Fakultas Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan. 2012. h.14
3. Adi P. Tesis: Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka
Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Semarang:
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
2010. h. 16-8, 32
4. Astuti EK. Tesis: Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien dalam
Upaya Pelayanan Medis. Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2003. h. 2-3, 25-8
5. Sujiantoro. Pertanggungjawaban Pidana Malpraktik Dokter. Malang:
Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana. 2011. h.1-9
6. Timotius S. Skripsi: Fungsi dan Peran Informed Consent pada Perjanjian
Medis (Penerapan dalam Praktik Oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam).
Depok: Fakultas Hukum Program Reguler Universitas Indonesia. 2012.
h.6-7, 47-8
7. Sri S. Tesis: Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Tindak
Pidana di Bidang Medis. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro. 2009. h.47, 57-61
8. Qomaruddin S. Kejahatan Oleh Dokter: Suatu Tinjauan Penegakan Hukum.
Jakarta: Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.2. 2002. h.57-68
24
Pasca
Sarjana
Magister
Ilmu
Keperawatan
Universitas
Indonesia.2011.h.26-28
12. Andry. Tesis: Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.
Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kesehatan Universitas
Katolik Soegijapranata. 2008. h.29-31
25