Professional Documents
Culture Documents
030.06.160
030.06.257
Theresia Karina
030.07.096
030.07.282
Yusmiati Tomalima
030.08.032
030.08.054
030.08.080
Dian Ichwani
030.08.113
Hana Amalia
030.08.137
030.08.173
Naskaya Suriadinata
030.08.195
Purnamandala
030.08.235
030.08.258
030.08.276
030.08.296
DAFTAR ISI
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
Bab I
Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Bab II Kasus. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
Bab III Tinjauan Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
Bab IV Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
Bab V Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
Bab VI Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
BAB I
PENDAHULUAN
Otak merupakan organ lunak yang dilindungi rambut, kulit, dan tulang tengkorak
yang melapisinya. Tanpa perlindungan, otak akan mudah mengalami cedera, dan kerusakan.
Selain itu, neuron yangh rusak tidak akan dapat diperbaiki kembali. Cedera kepala sebagian
besar berasal dari akibat langsung dari cedera tersebut, dan sisana berasal dari efek sekunder
dari cedera tersebut. efek-efek tersebut perlu dihindari karena dapat mengakibatkan gangguan
fisik dan mental, bahkan kematian.
BAB II
KASUS
KASUS
Seorang laki-laki usia 20 tahun dibawa temannya ke UGD karena terjatuh dari pohon
setinggi 5 meter. Dari hidungnya keluar cairan mengandung darah. Kepalanya terasa sakit.
Kedua lengan dan tungkai terasa lemah dan baal. 6 jam lalu pasien pingsan selama 5 menit
dan terdapat luka robek di dahi sepanjang 3 cm.
Hasil pemeriksaan : tensi 120/80,nadi 80x / mnt, pernapasan 16 x /mnt, suhu 36
derajat celcius. Pemeriksaan neurologis menunjukkan kesadaran pasien GCS = 15. Kekuatan
kedua lengan dan tungkai semuanya 4. Reflek fisiologis meningkat dan reflek patologis
positif pada keempat ekstremitas. Ditemukan hipestesi dan parestesi setinggi cervical 5
kebawah.
Tidak ada gangguan BAK maupun BAB
Lab : dalam batas normal
Pemeriksaan ct scan kepala menunjukkan fraktur pada dasar tengkorak di fossa anterior.
Pemeriksaan foto cervical tidak menunjukkan kelainan.
Pasien tidak punya uang untuk dilakukan MRI cervical.
Anamnesis
1.
Identitas Lengkap
Nama
:X
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 20 tahun
Alamat
: Jakarta
Pekerjaan
2.
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
3.
Kesadaran
Compos mentis
GCS
: 15
Tanda Vital
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80 x / menit
Suhu
: 36 OC
Pernapasan
: 16 x / menit
Pemeriksaan Neurologis
Refleks pupil
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Foto cervical
Hipotesis
Kemungkinan kelainan yang terjadi:
1.
2.
Komosio Serebri
Karena sempat mengalami pingsan selama 5 menit.
3.
Fraktur cervical
Karena terdapat gejala kedua lengan dan tungkai yang terasa lemah dan baal. Dicurigai
terdapat blockade medulla spinalis pars cervical yang disebabkan fraktur cervical.
Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis:
tetraparesis spastik
comotio cerebri
parastesi
hipestesi
rhinorrhea
Diagnosis topis:
Diagnosis patologis
: trauma
Diagnosis etiologis
: trauma kapitis
Penatalaksanaan
Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada
cedera
Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah
belakang.
Terapi simtomatis :
Antibiotika :
o Cefotaksin
o ceftriaxon
Analgetika :
Novalgin ( 500 mg)
Etampiron
Tramadol
Infus dengan ringer aserin,NaCl
Piracetam ( 4-12 gram) secara intravena untuk metabolism otak
Monitoring :
Tanda vital
Kesadaran
Gejala-gejala penyerta
6B
o breathing (dilihat jalan nafasnya)
o blood (tekanan darah, laboratorium darah rutin)
o brain (kerusakan otak)
o bladder
o bowel
o bone (cegah decubitus,ulkus, kontraktur sendi)
Pasien ini sebaiknya dirawat di rumah sakit karena terdapat gangguan neurologis (paresis) dan
o
o
o
Prognosis
Ad vitam
: Bonam
Ad fungsionam
: Dubia ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur basis cranii adalah fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii
paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital
condylar.
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu
Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan
umumnya tidak diperlukan intervensi.
Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa
kerusakan pada scalp.
Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi
yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.
Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak
dengan
komplikasi
rhinorrhea
dan
otorrhea
cairan
serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid)
Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi
akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan
terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu
fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan
besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak
dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya, cedera yang fatal pada
membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak
dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di
dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak manjadi bantalan
tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan
sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver dengan
kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala
8
Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya dibentuk
oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian depan dari alae
9
minor os sphenoid. Fossa ini menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari
lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral oleh tepi
posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh jugum sphenoidale. Pada fossa
cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian depan, alae minor os sphenoidale yang
dengan bersama-sama pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan strukturstruktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars
sphenoidal.
2.
Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah lateral.
Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus clinoideus anterior,
dan sulcus chiasmatis. Di belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum
sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa ossis temporalis, os parietal
dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk permukaan basal dari lobus
temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat
tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars anterior
dinding lateral fossa media dibentuk oleh alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral
lainnya dibentuk oleh pars squamosa os temporal yang merupakan tempat processus
mastoideus dan mastoid air cells serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous
mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus, incus, dan
stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi satu
sama lain di lateral oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.
3.
Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk
cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae yang
melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars
petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior oleh os occipital.
Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital yaitu foramen
magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus interna terdapat pada bagian
posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral
foramen magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan ke anterior
dari sinus sagitalis superior dan melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus
sigmoideus
Jenis penyebab dan pola fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal yang
penting dalam menentukan cedera yang ada. Tulang tengkorak menebal di daerah glabella,
protuberansia eksternal occipital, processus mastoideus, dan processus angular eksternal dan
disatukan oleh 3 arches pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang tengkorak disusun oleh
10
tulang cancellous (diplo) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina externa (1.5
mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diplo tidak ditemukan pada bagian tulang tengkorak
yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis dan rentan terhadap fraktur.
PATOFISIOLOGI
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi:
fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari
tulang tengkorak
fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar.
Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang
biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii.
Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah
tertentu dari basis cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga
subtipe dari fraktur temporal yaitu:
1.
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os
temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini
dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.
2.
Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.
3.
Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita
(racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan kebocoran cairan serebrospinal
(dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus
cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
11
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin,
dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang
tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah
pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen
Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap
kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada
vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CTscan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes
view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan
suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi
osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan
untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang
belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur
pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm,
dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical
sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya
rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
12
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
DIAGNOSA BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur
dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
Kongenital
Tindakan bedah
PENATALAKSANAAN
Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak
ada cedera
13
Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan
dan belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis
menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera
nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk
cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala
yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian
bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil,
dan kelemahan ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur
ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak
bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit
neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali
kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari
walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada
bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF.
Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu
pada paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulangtulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin
diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran
timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah
mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi
kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.
KOMPLIKASI
Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada fraktur
basis cranii dengan rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang
pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur condyler tulang
occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi. Sebagian besar pasien dengan
fraktur condyler occipital terutama tipe III berada dalam keadaan koma dan disertai dengan
14
cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini juga mungkin datang dengan gangguan-gangguan
nervus cranialis dan hemiplegi atau quadriplegi.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang terkait
dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan keluhan kesulitan phonation
dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum molle (curtain sign), konstriktor
faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan trapezius.
Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga berdampak
terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis facialis yang muncul setelah 23 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan responsif terhadap steroid dengan
prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis yang komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat
fraktur biasanya merupakan gejala dari transection dari nervus dengan prognosis buruk.
Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus
cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion Gasserian /
trigeminal. Isolasi nervus VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur namun akibat
regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat berdampak terhadap nervus III,
IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna, dan berpotensi menyebabkan terjadinya
pseudoaneurisma dan fistel caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera caroticus
dicurigai terjadi pada kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi.
PROGNOSIS
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah
jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian
besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Pembagian Trauma Kepala Menurut GCS
1.
2.
3.
Tulang
Dapat terjadi fraktur. Fraktur bisa terjadi di kranium (fraktur terbuka dan tertutup) dan
basis cranii ( dengan atau tanpa kebocoran LCS )
Meningen
Dapat terjadi perdarahan dan infeksi. Perdarahan berkumpul pada ruang dura, subdural
dan subarakhnoid.
Otak
Dapat terjadi oedem serebri, komosio dan kontusio serebri.
Hemotimpanum
Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi)
rangsangan dan memberikan nilai pada respons tersebut. Respons pasien yang perlu
diperhatikan adalah:
Secara spontan
:4
Atas perintah
:3
Rangsangan nyeri
:2
Tidak bereaksi
:1
Orientasi baik
:5
Jawaban kacau
:4
:3
Mengerang
:2
Tidak bersuara
:1
Reaksi setempat
:5
Menghindar
:4
Fleksi abnormal
:3
Ekstensi
:2
Tidak bereaksi
:1
17
Pada sinus frontalis anterior terdapat nervus olfactorius (penciuman) menekan nervus tersebut
karena trauma hilangnya kemampuan menghidu (anosmia)
Hemiparese
Afasia
Amnesia
Penyakit Parkinson
Epilepsi :
Grandmal
Cerebral palsy
Infeksi : meningitis tranversa
Congenital : spina bifida pars cervical
18
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pada pasien ini yang mengalami fraktur dasar tengkorak akibat trauma kepala dapat
berakibat fatal. Tetapi bila ditangani dengan baik, maka pasien ini dapat terbebas dari
kelumpuhan yang permanen akibat kelainan neurologis dari keadaan fraktur tersebut.
Penutup
Melalui kasus seperti ini, dapat kita pelajari keprofesionalan seorang dokter dalam
menangani pasiennya dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang yang diperlukan dengan lengkap, komprehensif, kontekstual, dan lege artis, serta
menyusun suatu diagnosis yang tepat berdasarkan informasi yang didapat sehingga dapat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis bagi pasien.
Dan dalam kasus ini, dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan
masyarakat, perlu mengenali gejala glaukoma secara dini untuk mencegah terjadinya
kebutaan yang permanen. Selain itu dokter umum juga dituntut dapat menangani kasus
kegawatdaruratan akibat glaukoma.
Ucapan Terima Kasih
Kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan
kemudahan atas terselesaikannya makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada
dosen pembimbing kami yang telah membantu kami dalam proses belajar mengajar. Terima
kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang sudah ikut berpartisipasi dalam
menyelesaikan makalah ini.
19
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI;
2006
2. Kasran, S. Penyakit Saraf dan Cara Pemeriksaan.. Jakarta: Trias Virana; 1999
3. Sidharta, P. Mardjono, M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat; 1998
4. Head Trauma. www.medscape.com
5. Trauma Kapitis. www.harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/21/trauma-kapitis/
6. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM; 2008
20