You are on page 1of 20

EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB
Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Tuberkulosis

anak

merupakan

faktor

penting

di

negara-negara

berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah


4050% dari jumlah seluruh populasi. Sekurang-kurangnya 500.000 anak
menderita TB setiap tahun. 200 anak di dunia meninggal setiap hari
akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB . Beban kasus
TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang
child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan
kasus

TB

anak.

Diperkirakan

banyak

anak

menderita

TB

tidak

mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan


ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan
dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak. Data TB anak di
Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB
pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011
dan

8,2%

pada

menunjukkan

tahun

variasi

2012.

proporsi

Apabila
dari

dilihat

1,8%

data

sampai

per

15,9%.

provinsi,
Hal

ini

menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada


level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4
tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14
tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif
pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,
sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
CARA PENULARAN
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa
maupun anak. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang
di sekitarnya, kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type
TB. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat
penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA

positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada


pasien TB dengan BTA negatif. Pasien TB dengan BTA negatif masih
memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien
TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur
positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan
foto Toraks positif adalah 17%.
PATOGENESIS
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m),
akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman
TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik,
sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan
lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut,
yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan

kompleks

primer

(primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala

penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya


berlangsung selama 48 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang
cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap
TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme

ventil

menyebabkan

(ball-valve

atelektasis.

mechanism).

Kelenjar

yang

Obstruksi

mengalami

total
inflamasi

dapat
dan

nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding


bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 26 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)

dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk

penyebaran

yang

jarang

terjadi

adalah

protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus


perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh,
sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread saat dewasa.

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult


hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ
dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian
hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis
regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama
TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari
luar (eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:


1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan
kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal,
tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut
tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit
menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu

kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas


lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering
digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai
sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah
menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
spesimen.

Spesimen

dapat

berupa

sputum,

induksi

sputum

atau

pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas


tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis
dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat
dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk
mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji
tuberkulin.

Uji

tuberkulin

yang

positif

menandakan

adanya

reaksi

hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal


ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang
masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular
(hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh
pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien
tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut

sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah
dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala
klinis dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah
diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil
foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis
TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di
semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto
toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga
dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto
toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang
TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

Paduan OAT Anak


Prinsip pengobatan TB anak:
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler.
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang

selain

untuk

membunuh

kuman

juga

untuk

mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan


Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap
hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih
sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis
maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid
adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam
jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi
proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi

2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT
untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50
mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg
dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada
tabel berikut.

Efek Samping pengobatan TB Anak


Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan
piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat
diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis
perifer,

apabila

tersedia

piridoksin

10

mg/

hari

direkomendasikan

diberikan pada
bayi yang mendapat ASI eksklusif,
pasien gizi buruk,
anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku
Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai
dari awal.
Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan
risiko terjadinya TB kebal obat.
TB neonatal
Ada 2 istilah pada TB neonatal yang harus dibedakan yaitu :

TB kongenital : terjadi ketika neonatus tertular M tuberculosis saat


dalam rahim melalui penyebaran hematogen lewat vena umbilikal, atau
saat persalinan melalui aspirasi atau meminum cairan amnion atau
sekresi cervicovaginal yang terkontaminasi M tuberculosis. Gejala TB
kongenital biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan dan
mortalitas TB kongenital tinggi.
TB neonatal/TB perinatal : adalah ketika neonatus terinfeksi setelah lahir
dengan terpapar pada kasus TB BTA (+), yaitu biasanya ibu atau kontak
dekat

lain.

patogenesis

Penularan
yang

pascanatal

sama

seperti

terjadi
TB

pada

secara
anak.

droplet

dengan

Seringkali

sulit

membedakan antara TB kongenital dan TB neonatal/perinatal. Neonatus


yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada neonatus
mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda tidak
spesifik, diagnosis sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis.

Alur pengelolaan neonatus dan bayi dari ibu dengan TB aktif


*Catatan
1) Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis dan
mikrobiologis. Bila ibu terdiagnosis TB aktif maka diobati dengan OAT.
Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tetapi ibu harus
memakai masker untuk mencegah penularan TB pada bayinya. Pada ibu
yang sangat infeksius (BTA positif), bayi dipisahkan sampao terjadi
konversi BTA sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap diberikan
ASI yang dipompa. Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang memberikan
ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan. Dosis obat TB yang ditelan
ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis terapeutik bayi.
2) Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), dan
darah v.umbilikalis (Mikrobiologi=BTA & biakan TB).
3) Klinis:

Prematuritas,
berat
lahir
rendah,
distres
pernapasan,
hepatosplenomegali, demam, letargi, toleransi minum buruk, gagal
tumbuh, distensi abdomen.
Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.
4) Pemeriksaan penunjang :
Foto rontgen toraks dan bilas lambung
Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear
discharge, lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA
Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, lakukan
pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan dengan
biopsi hati
5) Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu
dinyatakan tidak infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya
negatif, isoniazid dihentikan dan diberikan BCG pada bayi.

PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK


A. Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian
vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin.
Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program
Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG
efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG
ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester
3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion
maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA
positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik.
Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak
dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan
rujukanuntuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi
BCG. Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri
sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan
reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan
reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu
juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati
temuan kasus sakit TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB,
yang berisiko untuk berkembang jadi sakit TB.
3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi
anak usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
Langkah Pelaksanaan Skrining Kontak
Jika Kasus Indeks adalah dewasa BTA positif
Tentukan berapa jumlah anak yang kontak dengan kasus indeks, sesuai
dengan definisi di atas
Setiap anak yang sudah diidentifikasi, harus dilakukan evaluasi tentang
ada atau tidaknya infeksi dan gejala TB (lihat bab diagnosis)

Jika terdapat gejala sugestif TB, harus dievaluasi untuk kemungkinan


sakit TB (lihat bab diagnosis)
Catat semua anak yang teridentifikasi sebagai kontak TB pada register
TB 01
Gejala utama TB
a. BB turun atau sulit naik
b. Demam menetap > 2 minggu dan atau keringat malam
c. Batuk menetap 3 minggu, non remitting
d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh
e. Fatique, kurang bermain, kurang aktif
f. Diare menetap> 2 minggu
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah
tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko
tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga
diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit
TB.

Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB
(7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan
jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi
TB anak dimulai dari awal
Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu
diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

Hasil akhir pengobatan TB anak


Definisi hasil akhir pengobatan untuk TB anak sama dengan yang dipakai
pada penderita TB dewasa untuk menjaga kesesuaian pelaporan baik
pada kasus TB anak maupun dewasa. Respon terapi pada anak TB paru
BTA negatif, TB paru tanpa pemeriksaan dahak, dan TB ekstra paru dinilai
dengan penilaian secara berkala tiap bulan dengan pencatatan
pencapaian berat badan dan perbaikan gejala klinis. Pada anak dengan TB
paru BTA positif, pemeriksaan dahak harus diulang sesuai dengan jadwal
pemeriksaan ulang pada pasien TB dewasa.

You might also like