You are on page 1of 123

DAYA DUKUNG KELAUTAN DAN PERIKANAN

S e l a t S u n d a - Te l u k To m i n i - Te l u k S a l e h - Te l u k E k a s

Daya Dukung
Kelautan dan Perikanan
Tim Proyek Carrying Capacity Badan Riset Kelautan dan Perikanan
ISBN 979-97572-8-2

BRKP

Badan Riset Kelautan dan Perikanan


Departemen Kelautan dan Perikanan

S e l a t S u n d a - Te l u k To m i n i - Te l u k S a l e h - Te l u k E k a s

Daya Dukung
Kelautan dan Perikanan
Tim Proyek Carrying Capacity Badan Riset Kelautan dan Perikanan
ISBN 979-97572-8-2

Badan Riset Kelautan dan Perikanan


Departemen Kelautan dan Perikanan

SARI
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2003, dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung
perairan guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Untuk memahami kondisi
ekosistem dimana aktifitas penangkapan dan budidaya perikanan berlangsung, diperlukan suatu pendekatan yang dapat
menggambarkan keseluruhan komponen dalam ekositem tersebut. Hal ini berarti diperlukan suatu metodologi yang
dapat menampilkan kondisi hidro-oseanografi, alur perpindahan biomasa dari setiap komponen yang terdapat dalam
ekosistem tersebut, dan melakukan diagnosa terhadap kinerja tiap komponen variabel abiotik, biotik, sosial dan
ekonomi.yang berlangsung dalam suatu daerah perikanan. Untuk itu, pendekatan yang diterapkan adalah Model
Hidrodinamika, Ecopath dan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries).
Kegiatan dilakukan di empat perairan yang berbeda karakter yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk
Ekas. Ruang lingkup dari kegiatan ini dapat dibagi atas tiga bagian yaitu hidro-oseanografi di empat lokasi, potret transfer
biomassa yang berasal dari organisme yang hidup di dalam perairan di tiga lokasi (Selat Sunda, Teluk Saleh dan Teluk
Ekas), serta pengukuran indikator kinerja perikanan untuk komponen sosial ekonomi wilayah di dua lokasi yaitu Selat
Sunda dan Teluk Tomini. Secara garis besar, hasil penelitian dengan menerapkan metode Model Hidrodinamika,
Ecopath dan Rapfish secara simultan di beberapa perairan Indonesia menunjukkan hasil yang sangat memuaskan.
Kata kunci : Daya dukung, Sumberdaya, Perikanan, Indonesia, Hidrodinamika, Ecopath, Rapfish.

ABSTRACT
This research was conducted in 2003, aiming to describe the marine carrying capacity in different ecosystems in
Indonesia. The main objective of this study was to provide the policy makers at each location the information required
to support the development of marine and fisheries sectors. To understand the ecosystem condition where fishing and
aquaculture activities take place, a specific approach is required to describe the ecosystem as a whole. Such approach
consist of a series of methodologies that can reflect various aspects of the ecosystem, which include the hydro
oceanographic components, transfer of biomass, and the performance analysis of biotic, abiotic and economic
components. The corresponding methods that have been used in this study were the Hydrodynamic models,
Ecopath, and Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries).
This study took place in four locations, the Sunda Strait, Tomini Bay, Saleh Bay, and Ekas Bay. Each of the locations
differs in their oceanographic and social-economy characteristics. The results of this study consists of three
components, namely the hydro-oceanography aspects at all four locations, transfer of biomass aspects at three
locations (Sunda Strait, Saleh Bay, and Ekas Bay), and Rapfish approach as a measure of social-economic performance
at two locations, Sunda Strait, and Tomini Bay. In general, by applying all three methods simultaneously the results
revealed beneficial outputs for the advancement in marine and fisheries sectors.
Key words : Marine Carrying Capacity, Fisheries Indonesia, Hydrodynamics, Ecopath, Rapfish

Editor
Agus Supangat
Tonny Wagey
Safri Burhanuddin

Penulis
Hidro-Oseanografi
Irsan S. Brodjonegoro
Widodo Setiyo Pranowo
Semeidi Husrin
Rita Tisiana
Bagus Hendrajana
Erish Widjanarko
Hariyanto Triwibowo
Dirhansyah Conbul

Ecopath
Tukul Rameyo Adi
Ichwan M. Nasution
Dini Purbani
Gunardi Kusumah
Ahmad
Utami R. Kadarwati
Hari Prihatno

Rapfish
Agus Heri Purnomo
Taryono
Zahri Nasution
Tjahyjo Tri Hartono
Nugroho Aji
A. Azizi

Tata Letak
Bagus Hendrajana

Daftar Isi
Sari
Prakata
Pendahuluan
Metodologi
Selat Sunda
Hidro-Oseanografi
Ecopath
Rapfish

Teluk Tomini
Hidro-Oseanografi
Rapfish

Teluk Saleh
Hidro-Oseanografi
Ecopath

Teluk Ekas

3
8
10
16
24
24
33
39

68
68
76

90
90
97

Hidro-Oseanografi
Ecopath

108
108
110

Kesimpulan
Daftar Pustaka

119
120

Prakata

aya dukung suatu perairan merupakan keadaan


yang sangat dinamis karena dipengaruhi oleh
variasi temporal dan spasial faktor-faktor biotik
dan abiotik dari ekosistem perairan tersebut. Pengaruh dari
parameter lingkungan terhadap biota yang hidup, terutama
yang bernilai ekonomis penting di dalam suatu ekosistem,
merupakan dasar penentuan pola pembangunan kelautan
dan perikanan suatu wilayah perairan.
Kajian daya dukung sumberdaya perikanan dan kelautan yang
dilakukan ini merupakan upaya untuk merealisasikan visi dan
misi Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kegiatan dilakukan di empat perairan yang berbeda karakter
yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas.
Ruang lingkup dari kegiatan ini dapat dibagi atas tiga bagian
yaitu hidro-oseanografi di empat lokasi tersebut, potret
transfer biomassa yang berasal dari organisme yang hidup di
dalam perairan tersebut di tiga lokasi (Selat Sunda, Teluk
Saleh dan Teluk Ekas), serta pengukuran indikator kinerja
perikanan untuk komponen sosial ekonomi wilayah di dua
lokasi yaitu Selat Sunda dan Teluk Tomini.
Diharapkan hasil kajian ini dapat dijadikan pedoman
pengambilan keputusan dalam mengembangkan sektor
perikanan dan kelautan.

Jakarta, 23 Februari 2004,


Dr. Agus Supangat

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pendahuluan

ajian mengenai daya dukung suatu perairan di empat


lokasi yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh
dan Teluk Ekas dilaksanakan berdasarkan visi
Departemen Kelautan dan Perikanan, bahwa Ekosistem laut
dan perairan tawar beserta segenap sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya merupakan anugrah Tuhan Yang
Maha Esa yang harus disyukuri, dipelihara kelestariannya, dan
didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan bagi
kesatuan,kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Selain itu kajian ini juga untuk melaksanakan salah satu misi
Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu Pemeliharaan
dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan
perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan. Namun
kenyataan yang dihadapi sekarang adalah bahwa kegiatan
perikanan tangkap mempunyai dampak terhadap ekosistem.
Hal ini terlihat dari fakta bahwa sejumlah biomasa diekstraksi
dari alam yang memiliki hubungan kompleks dalam
pemangsaan antara satu spesies dengan spesies lainnya
(Pauly et al., 2000).
Dengan demikian diharapkan kajian daya dukung ekosistem
suatu perairan dapat memberikan informasi sejauh mana
aktifitas perikanan memberikan dampak terhadap ekosistem.
Hal ini diperlukan untuk menjamin aktifitas perikanan yang
lestari.
Odum (1959) mengatakan bahwa daya dukung dapat
diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk
menampung komponen biotik yang terkandung didalamnya.
Diatas level daya dukung ini, tidak akan terjadi peningkatan
populasi yang berarti. Namun Dhont (1988) menyatakan
bahwa kaitan tersebut salah kaprah karena tidak
memperhitungkan faktor lingkungan dan berbagai faktor
lainnya yang berperan di alam.
Dikatakan oleh Dhont (1988), konsep daya dukung yang
realistik tidak dapat dijelaskan hanya dengan kurva

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

10

pertumbuhan logistik yang mengabaikan sifat-sifat alami


seperti:
! adanya pergerakan spasial (migrasi) spesies dari waktu ke
waktu, dan
! sifat stokastik alam.
Dalam ilmu ekologi terapan, hal ini terkait dengan parameter
K dari kurva pertumbuhan logistik (Logistic Growth Curve)
N
N: Jumlah populasi dari species

tertentu
t : waktu
K: Carrying capacity
t

11

seperti yang tertera dibawah ini.


Dengan kata lain, kondisi suatu sumberdaya tertentu yang
terdapat pada suatu ekosistem alami seperti laut, akan
bervariasi dari tahun ke tahun yang disebabkan adanya
pengaruh faktor-faktor biotik dan abiotik serta pengaruh antar
spesies yang terdapat di dalam ekosistem tersebut. Apabila
suatu ekosistem telah mengalami gejala over-population,
maka akan sulit ekosistem tersebut untuk pulih kembali.
Selanjutnya, Cohen (1995) menyimpulkan bahwa tidak ada
satu angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung
ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia,
karena berbagai variable yang menentukan besarnya daya
dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan selalu
tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh
manusia sendiri.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Berbagai macam ikan yang berhasil diperoleh nelayan di Teluk Saleh.
Hasil ini tidak sebanyak yang biasanya mereka dapatkan. Hal yang
biasa terjadi pada saat musim Barat.

Selaras dengan salah satu tujuan strategis Departemen


Kelautan dan Perikanan yakni pemanfaataan sumberdaya
perikanan dan kelautan yang sesuai dengan daya dukung
perairan, maka perlu untuk melakukan kajian yang dapat
memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan
guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan
kelautan. Hal ini penting dilakukan mengingat informasi
seperti ini mutlak diperlukan untuk kelangsungan
pembangunan perikanan dan kelautan disuatu wilayah. Hasil
kajian daya dukung akan berguna dalam penentuan opsi

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

kebijakan (policy options) yang diperlukan bagi pembuat


kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan,
yakni departemen teknis seperti DKP.
Untuk memahami kondisi ekosistem dimana aktifitas
penangkapan dan budidaya perikanan berlangsung,
diperlukan suatu pendekatan yang dapat menggambarkan
keseluruhan komponen dalam ekositem tersebut. Tentu saja
hal ini memerlukan suatu metodologi yang dapat
menampilkan alur perpindahan biomasa dari setiap
komponen yang terdapat dalam ekosistem tersebut,

12

termasuk untuk kegiatan perikanan. Selanjutnya, dibutuhkan


juga suatu pendekatan yang dapat mengakses informasi

Gambar bawah:
Tampak tiga personil Pusris Wilnon-BRKP sedang mempersiapkan
pemasangan alat pemantau pasang surut (Tide Gauge) dari
atas perahu karet di Teluk Saleh. Alat ini mempunyai fungsi utama
untuk mengetahui ketinggian laut saat pasang surut secara berkala
dalam interval waktu yang telah ditentukansebelumnya.

13

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Tampak pekerja sedang membersihkan jaring yang terdapat pada
Keramba Jaring Apung (KJA) di daerah Gorontalo.

! Level (derajat) kebutuhan dan pemanfaatan sumberdaya


bervariasi untuk setiap individu
! Peranan dari pranata-pranata sosial dan teknologi yang
ada di masyarakat dalam menentukan sampai sejauh mana
pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya berlangsung.
Oleh sebab itu, dengan memasukkan komponen sosial dari
manusia sebagai pelaku pemanfaatan sumberdaya akan
menambah kompleksitas dari kajian yang dilakukan karena
persoalannya adalah bagaimana sumberdaya yang ada dapat
mendukung sejumlah manusia yang hidup didalamnya serta
menjamin untuk dapat memanfaatkannya secara lestari. Hal
ini mengakibatkan nilai-nilai normatif akan menjadi hal
terdepan untuk dijawab demikian pula dengan persoalan
apakah ada suatu angka mutlak yang dapat menjawab
seberapa besar daya dukung suatu perairan.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

14

Metodologi

Metode
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:
a. Deskriptif, yakni menjabarkan kondisi lingkungan di wilayah
tempat penelitian berlangsung. Disamping itu, juga dapat
menampilkan kondisi perikanan dan kelautan yang
berlangsung di wilayah tersebut
b. Analitik, yakni dengan menggunakan data yang telah
terkumpul dan dilakukan analisis dengan menggunakan
metode-metode ilmiah yang lazim digunakan dalam
bidang oseanografi, kelautan dan perikanan
c. Modelling, yang dapat merupakan representasi kondisi
wilayah penelitian sesuai dengan tujuan yang disampaikan
diatas. Pemodelan yang dilakukan ada 3 yaitu:
! Pemodelan hidrodinamika, sebagai representasi
kondisI fisik oseanografi, dengan menggunakan
Software 3DD Suite Model (ASR Ltd, 2001).
! Pemodelan ekosistem, sebagai representasi daya
dukung ekosistem perairan, dengan menggunakan
Software Ecopath with Ecosim version 5 (Puly &
Christensen, 1992). Data pendukung tentang
biologi, fisiologi dan ekologi ikan diperoleh dari
Software Fishbase (FAO, 1998).
! Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries), suatu tehnik
yang memungkinkan proses cepat untuk
menampilkan kondisi perikanan ditinjau dari berbagai
aspek atau dimensi (Pitcher & Preikshot, 2001).
Pengumpulan Data
Data yang dipergunakan untuk analisa dan pemodelan dalam
penelitian ini adalah :
1. Data hasil survei
Pengambilan data survei dilakukan dengan melakukan
pengamatan dan pengukuran/perekaman langsung di
lapangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan input
model Ecopath dan verifikasi terhadap hasil model
hidrodinamika.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

16

2. Data sekunder
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka analisa
selanjutnya adalah dengan mengolah informasi tersebut
sehingga bermanfaat.

= densitas yang nilainya bervariasi terhadap


kedalaman dengan asumsi bahwa percepatan
vertikal diabaikan, maka persamaan Hidrostatik
untuk tekanan pada kedalaman z adalah:

3. Wawancara
Wawancara terhadap para ahli, pengambil kebijakan lokal,
dan pelaku usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
data analisa RAPFISH.
Pemodelan Hidrodinamika
Pemodelan Hidrodinamika disini mengambil peran yang
sangat penting terutama untuk merepresentasikan kondisi fisik
odeanografi seprti yang telah diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya model yang dihasilkan akan digunakan sebagai
parameter tambahan untuk mengetahui kondisi perairan,
tentunya setelah digabung dengan data hasil survey. Dengan
demikian diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih
akurat.
Persamaan pembangun model hidrodinamika yang
menyatakan gerak horisontal suatu fluida inkompresibel yang
berada di permukaan bumi yang berotasi dalam koordinat
kartesian (arah atas menunjukkan positif) adalah:

u
u

+
u
+
v
+
w
fv =

g
P +
AH
+
+
NZ

x
x
z
z

x2
y2

2
2

v
v
v

1
v
v
v
v

u +
v +
w +
fv =
g
AH
+

P +
NZ
+
+

t
x
y
z
y
y

z
z

x
y2

w=
udz
vdz
x
y

dimana:
t
= waktu
u, v
= kecepatan horisontal
w
= kecepatan vertikal
h
= kedalaman
g
= percepatan gravitasi

= tinggi muka laut di atas datum horisontal


f
= parameter coriolis
P
= tekanan
AH
= koefisien viskositas eddy horisontal
NZ
= koefisien viskositas eddy vertikal
17

dimana Patm adalah tekanan atmosfer.


Representasi fisis dari masing-masing suku persamaan
momentum adalah terdiri dari: percepatan lokal; inersia;
coriolis; gradien tekanan akibat variasi tinggi muka air; gradien
tekanan akibat tekanan atmosfer; stress angin dan gesekan
dasar laut; viskositas eddy horisontal. Harga AH bervariasi
secara spasial, namun gradiennya diasumsikan begitu kecil
sehingga suku ini bertindak seperti algoritma penghalus
kecepatan (velocity smoothing algoritm) Persamaan
Momentum. Perubahan tekanan atmosfer tidak dilibatkan
dalam simulasi ini dan oleh karenanya dalam persamaan
momentum, suku ini pun diabaikan.
Skema Numerik
Model 3DD menggunakan Skema Beda Hingga Eksplisit
untuk menyelesaikan Persamaan Momentum dan Konservasi
Massa. Pemecahan persamaan melalui Metoda Beda Hingga
tersebut menggunakan skema staggered grid, yaitu
menempatkan komponen v dan u pada dinding utara dan
selatan. w berlokasi di tengah-tengah dinding atas. Tinggi
muka air menggantikan w di lapisan atas. Solusinya akan
diperoleh dengan Skema Eksplisit Ordo ke-2 dan
Aproksimasi Ordo ke-3 untuk suku-suku inersia yang non
linier.
Skema beda eksplisit ini tergantung pada kriteria stabilitas
Courant-Friedrich-Lewy (CFL) yang membatasi pemilihan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

besarnya langkah waktu atau Dt. Kriteria stabilitas CFL adalah:


Dimana L adalah ukuran sel yang minimum (x atau y), g
percepatan gravitasi bumi dan Hmaks kedalaman maksimum
yang terdapat dalam daerah penelitian.

digunakan merupakan hasil dijitasi dari Peta Batimetri Dinas


Hidro-Oseanografi TNI-AL, Jakarta dapat dilihat pada tabel

Desain Model Hidrodinamika


Desain model hidrodinamika dan data batimetri yang

Tabel Desain Model Hidrodinamika

Parameter

Nilai

Satuan

Number Of X (I) Cells


Number Of Y (J) Cells
X Grid Size
Y Grid Size
Time Step Of Model
First Time Step
Maximum Number Of Time Steps

S. Sunda

m
m
detik
detik
detik

Roughness Length
Effective Depth
Drying Height
Initial Sea Level

95
68
2775
2775
12
1
216000

m
m
m
set by model
corriolis
neglected
m2/detik
%

Latitude
Orientation
Horizontal Eddy Viscosity
Eddy Viscosity Mult Factor
Number Of Steps To Apply
Diffusion Percentage Slip

T. Tomini
132
85
100
100
0.5
1
2592000

T. Saleh

T. Ekas

90
90
100
100
0.3
1
10713600

97
118
15
15
0.25
1
5184000

0.003-0.03
0

0.01
0.3
0.05
99

0.1
0.3
0.05
99

0.001
0.3
0.05
99

0
10
-

0
1
1
1
95

0
0.1
1
1
95

0
1
1
1
95

Tabel Peta Batimetri Dishidros TNI-AL


dan Daerah Domain Model yang digunakan
dalam pemodelan hidrodinamika

No.

Nama Peta Batimetri

Lembar No.

Skala

Tahun Koreksi

1.

Selat Sunda

71

1:200.000

2002

2.

Teluk Tomini
Pulau Sumbawa, Nusa
Tenggara. (untuk Teluk Saleh)
Pulau Lombok, Nusa
Tenggara (untuk Teluk Ekas)

140

1:500.000

2003

294

1:200.000

2003

293

1:200.000

2003

3.
4.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Daerah Domain Model


5o 05' 30" - 6o 51'15" LS dan
104o 20' 00" - 106o 47' 45" BT
117o 20 ' - 118o 05' BT dan
8o 00' - 8o 45' LS
o
116 23,0' - 116o 28,5' BT dan
o
- 8o 55' LS
49,5'

18

dibawah.
Nilai Awal dan Syarat Batas
Syarat batas yang diberikan adalah syarat batas terbuka dan
syarat batas tertutup. Syarat batas yang diterapkan pada
model di batas terbuka adalah elevasi hasil interpolasi
peramalan pasang surut
. Kecepatan yang datang
tegak lurus pada garis pantai yang merupakan syarat batas
tertutup ditentukan sama dengan nol
dan
.
Dengan kata lain garis pantai dianggap merupakan tembok
vertikal yang tidak memungkinkan massa air melewatinya.
Pada daerah domain model diasumsikan ketika dimulai
simulasi dalam keadaan tenang, yang secara matematis
diformulasikan sebagai:

Syarat batas terbuka radiasi didasarkan pada kekekalan massa


air yang diberikan oleh Persamaan kontinuitas. Input yang
digunakan di batas terbuka dalam pemodelan ini adalah
elevasi pasang surut hasil prediksi mengunakan Oritide Global
Tide. Model (ORI.96) yang dibangun oleh Ocean Research
Institute, University of Tokyo, menggunakan 8 Komponen
pasut utama: M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1.
Pemodelan Ekosistem
Ecopath
Model Ecopath yang digunakan dalam kajian ini adalah
pendekatan keseimbangan biomassa (mass-balance
approach) yang pertama kali diperkenalkan oleh Polovina dan
Ow (1983) dan Polovina (1984, 1985). Model ini
mengasumsikan bahwa antara produksi (penambahan) dan
mortalitas (pengurangan) biomassa di dalam suatu ekosistem,
terdapat suatu keseimbangan. Dalam bentuk persamaan
linie
Bi * ( P / B ) i * EE i =
Yi +

j ( B j (Q / B ) j DC ji )
r,
dap
at ditulis :
Dimana Bi and Bj adalah biomassa dari kelompok i dan j.

19

Kelompok j adalah kelompok yang memangsa i. P/B


(production/biomass ratio), ekivalen dengan total laju
mortalitas (Merz and Myers, 1998), sedangkan EEi adalah
fraksi dari produksi yang dikonsumsi atau ditangkap dari
ekosistem yang menjadi objek penelitian, Yi adalah besarnya
perikanan tangkap (Y=F*B; F adalah mortalitas akibat
penangkapan). Q/Bj adalah jumlah yang dikonsumsi per unit
biomassa j, and DCji adalah total kontribusi dalam bentuk
pemangsaan terhadap kelompok i oleh kelompok j
(Christensen, 1995a). Secara umum dalam model Ecopath
diperlukan input awal sebanyak 4 parameter yaitu : biomasa
(B), perbandingan produksi/biomasa (P/B), perbandingan
konsumsi/biomasa (Q/B) dan efisiensi ecothropic (EE). pada
tiap kelompok dalam suatu model.
Harus ditekankan disini bahwa untuk persamaan diatas, tidak
dibutuhkan adanya kondisi equilibrium atau steady state dari
ekosistem yang dipelajari. Yang dibutuhkan adalah bahwa
setelah melewati suatu siklus perubahan biomasa beserta
parameter lainnya, kondisi ekosistem akan kembali ke
keadaan semula (Jarre-Teichmann, 1995; Venier, 1997).
Apabila ada siklus musiman dari parameter seperti biomassa
(B), P/B, Q/B dan/atau komposisi diet dari spesies yang ada
didalam ekosistem tersebut, maka dapat digunakan nilai
integral dengan merata-ratakan data selama periode tersebut
(Walters, 1996).
Model Ecopath didasarkan pada 2 persamaan utama yaitu :
Persamaan pertama mendeskripsikan bagaimana suatu
produksi untuk tiap kelompok dapat dipisahkan menjadi
beberapa komponen :

Produksi = penangkapan + kematian karena pemangsaan


+ akumulasi biomasa + migrasi bersih
+ kematian karena akibat lain

Persamaan kedua mendeskripsikan tentang keseimbangan


energi pada tiap kelompok yaitu :

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar samping:
Proses penghitungan dan klasifikasi
jenis tangkapan yang dilakukan
pada saat survei di Selat Sunda
Gambar bawah:
Perahu nelayan yang biasanya
digunakan untuk menangkap ikan
di perairan dangkal sekitar Labuan
Kabupaten Pandeglang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

20

21

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar samping:
Salah satu bagan milik nelayan disekitar Selat Sunda (Pandeglang)
yang sedang diperbaiki. Bagan ini merupakan bagan permanen
yang ditempatkan ditengah laut. Dari bagan ini biasanya diperoleh
ikan pelagis kecil seperti Teri.

Konsumsi = produksi + respirasi + makanan yang


terasimilasi

Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries)


Pendekatan Rapfish (Rapid appraisal for Fisheries) ini pada
dasarnya diaplikasikan untuk mengukur status kelestarian
sumberdaya perikanan (dalam penelitian ini hanya di perairan
Selat Sunda dan Teluk Tomini). Pendekatan ini dikembangkan
berdasarkan kerangka atau konsep pembangunan
berkelanjutan yang merujuk pada pembangunan perikanan
berkelanjutan sebagaimana faktor- faktornya berada didalam
FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (Pitcher and
Preikshot, 2001).
Dalam analisis tersebut status kelestarian perikanan tangkap
pada perairan Selat Sunda dianalisis berdasarkan enam
dimensi, yaitu: ekologis, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan
kebaharian. Teknik ini memungkinkan dilakukannya diagnosa
terhadap kondisi suatu perikanan berdasarkan hasil
pengukuran beberapa indikator, yang dalam peristilahan
Rapfish dikenal sebagai dimensi, sebagaimana tersebut di atas.
Dalam penelitian masing-masing dimensi terdiri dari berbagai
atribut; misalnya, Dimensi Ekonomi terdiri dari 10 atribut, di
antaranya profitabilitas, sumbangan terhadap GDP; Dimensi
Ekologi terdiri dari 9 atribut, di antaranya status eksploitasi,
ukuran rata-rata ikan yang ditangkap, jangkauan ruaya ikan,
dan sebagainya. Analisis tersebut didasarkan pada skoring
yang dilakukan terhadap enam jenis perikanan tangkap
berdasarkan masing-masing atribut pada dua provinsi
(provinsi Lampung dan provinsi Banten).

atribut. Perhitungan jarak tersebut dilakukan dengan


Minkowski Metric (Nijkamp, 1979 dalam Nijkamp, 1980)
yang dinyatakan dalam Kuadrat Jarak Euclidian (Euclidian
Distance Square). Untuk dapat memetakan dalam satu
dimensi horizontal dilakukan rotasi ordinasi. Hal ini untuk
dapat memplot titik posisi tersebut dalam satu jarak dua
dimensi dalam skala buruk bad (0%) dan baik good
(100%) dalam skor kelestarian sumberdaya perikanan.
Sesuai dengan definisinya, pendekatan ini diterapkan untuk
melaksanakan pengukuran secara cepat. Sehubungan dengan
itu, data-data yang digunakan dalam penelitian ini sedapat
mungkin diperoleh dengan cara/proses yang tidak
memerlukan waktu terlalu banyak. Pengumpulan laporanlaporan terkait atau publikasi ilmiah yang ada, konsultasi ahli,
atau bahkan pengembangan intuisi peneliti dilakukan untuk
memperoleh data yang sedapat mungkin akurat. Dalam hal
ini, satu jenis data yang sama sering perlu diperoleh melalui
pengecekan ulang berdasarkan informasi yag diperoleh dari
berbegai sumber (pendekatan). Verifikasi lapangan, yang
dimaksudkan untuk melakukan observasi langsung dan
melakukan wawancara konfirmasi, termasuk dengan nelayan,
pengolah, atau informan kunci lainnya, dilakukan untuk lebih
meningkatkan akurasi data. Wawancara ini dilakukan dengan
bantuan kuesioner, yang dimaksudkan untuk memandu
enumerator dalam menggali informasi, sehingga langsung
terkait dengan atribut Rapfish.

Berdasar data skoring tersebut kemudian dilakukan analisis


multidimensi dengan menghitung jarak antar masing-masing

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

22

Selat Sunda

erairan Selat Sunda, yaitu selat yang menghubungkan dua


laut yaitu Laut Jawa di bagian utara dan Samudera Hindia di
bagian selatan, dan berada di atas Paparan Sunda pada

posisi 5o 25' LS - 6o 50' LS dan 104o 20' BT - 106o 5' BT.


Selat Sunda yang terletak di bagian utara perairannya cukup
dangkal dengan kedalaman 20 hingga 70 m, sedangkan dibagian
selatan sangat dalam hingga mencapai lebih dari 1500 m. Selat
Sunda bagian selatan merupakan lembah yang dalam yang
membentang dari Samudera Hindia ke Teluk Semangka dan Teluk
Lampung yang berada di bagian barat. Poros Selat Sunda dari
timur laut ke barat daya merupakan aliran utama massa air dari
Laut Jawa ke Samudera Hindia. Karakteristik oseanografi dari selat
ini dipengaruhi oleh Laut Jawa dan Samudera Hindia, tergantung
musim yang berlaku. Faktor lokal, seperti topografi dasar,
konfigurasi pantai dan arah angin bisa juga memiliki kontribusi
terhadap karakteristik oseanografi Selat Sunda.

Hidro-Oseanografi
Temperatur
Sebaran Temperatur Horizontal
Pada bulan Oktober-November sebaran temperatur horizontal
pada seluruh permukaan Selat Sunda berkisar antara 28,5-29,5oC.
Temperatur yang lebih hangat tercatat di mulut selat dan
temperatur dingin berada dibagian selatan selat. Pada kedalaman
21 m, variasi temperatur masih identik seperti yang tergambar di
permukaan, hanya saja temperatur dingin yang berasal dari
Samudera Hindia mulai terlihat memasuki perairan selat.
Selanjutnya di kedalaman 31 m, temperatur dingin hampir
memenuhi perairan selat dan sebaran ini terpantau hingga di
kedalaman 81 m. Jadi dapat dikatakan bahwa massa air yang
berasal dari Samudera Hindia yang dicirikan dengan temperatur
dingin mulai memasuki perairan selat pada kedalaman 21 m.
Pada bulan Juli (musim timur), temperatur permukaan antara
29,25-29,3oC. Temperatur dingin tercatat di depan Teluk
Lampung sedangkan temperatur yang lebih hangat terpantau di
depan Teluk Semangka. Di kedalaman 5 m, sebaran temperatur

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

24

Gambar samping:
Suasana jual-beli yang terjadi setiap hari di Tempat
Pelelangan Ikan desa Panimbang Kabupaten Pandeglang.
Di sekitar Selat Sunda (bagian Kabupaten Pandeglang)
terdapat sekitar 9 TPI.

temperatur horizontal terlihat bahwa massa air dari


Samudera Hindia mulai memasuki perairan Selat Sunda di
kedalaman 20 m.
Pada bulan Juni (musim timur), sebaran temperatur
permukaan berkisar antara 29,3-29,7oC. Temperatur yang
lebih hangat hampir memenuhi seluruh perairan selat,
sedangkan temperatur yang lebih dingin samar-samar mulai
terlihat di depan Teluk Semangka. Pada kedalaman 5-40 m,
sebaran horisontal temperatur masih identik seperti yang
tergambar di permukaan. Pada kedalaman 60-150 m,
sebaran horizontal temperatur yang lebih dingin yang datang
dari Samudera Hindia lebih mendominasi seluruh perairan
selat.

masih identik seperti yang tergambar di permukaan selat,


hanya lokasi temperatur yang lebih hangat terkosentrasi di
perairan pesisir Banten. Temperatur yang lebih hangat ini
diduga karena pengaruh aktifitas didaratan cukup dominan .
Temperatur yang lebih hangat yang terpantau di perairan
pesisir Banten samar-samar masih terlihat hingga kedalaman
10 m. Selanjutnya pada kedalaman 20-40 m, temperatur
yang lebih dingin yang terpantau di depan Teluk Semangka
makin jelas terlihat dan mulai menyebar ke arah tenggara dan
barat daya. Temperatur yang dingin ini diduga datang dari
Samudera Hindia. Pada kedalaman 60-150 m, temperatur
dingin sudah memenuhi seluruh perairan selat. Dari sebaran
25

Sebaran Vertikal Temperatur


Pada bulan Oktober-November profil melintang
menggambarkan bahwa massa air Laut Jawa yang dicirikan
dengan temperatur yang lebih hangat menempati lapisan
permukaan hingga kedalaman 100 m di kawasan Paparan
Sunda sedangkan massa air Samudera Hindia yang dicirikan
dengan temperatur yang dingin setelah bertemu dengan
lereng dasar laut yang curam akan tenggelam menyusuri
lereng dasar laut tersebut.
Pada bulan Juli (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi
seluruh kawasan Paparan Sunda dari permukaan hingga
kedalaman 100 m. Selanjutnya massa air Samudera Hindia
mulai memasuki kawasan Paparan Sunda dikedalaman kirakira 100 m.
Pada bulan Juni (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi
perairan selat hingga kedalaman 50 m. Pada Kedalaman 50150 m, terlihat terjadi percampuran antara massa air Laut
Jawa dan massa Air Samudera Hindia. Massa air Samudera

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Foto Pulau Sebesi diambil oleh Astronot Amerika Serikat dari pesawat
ulang alik dengan nomor misi ISS002E9175 pada tanggal 12 Juli 2001.
Dari salah satu sudut pulau ini, pada malam hari tampak semburan
warna merah yang berasal dari perut Anak Krakatau.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

26

Gambar samping:
Pemasangan (deployment) alat pengukur
Salinitas, Temperatur dan Kedalaman - CTD.
CTD merupakan salah satu instrumen kelautan
yang paling banyak dipakai dalam survei.
Gambar bawah:
Pemasangan (deployment) alat pengukur
pasang surut, yang biasa disebut Tide Gauge

27

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Hindia yang mengisi perairan Selat Sunda terlihat di

psu. Pada kedalaman 31-81 m, sebaran salinitas masih identik

kedalaman 150 m.

seperti yang tergambar di kedalaman 21 m, dimana salinitas

Salinitas
Sebaran Horizontal Salinitas
Pada bulan Oktober-November sebaran horizontal salinitas
berkisar antara 32,8-33,4 psu. Di kedalaman 21 m, salinitas
tinggi tercatat di perairan pesisir Banten dan salinitas rendah
tercatat di depan Teluk Semangka dengan isohalin 33,075

tinggi mendominasi seluruh perairan selat.


Pada bulan Juli (musim timur), salinitas di permukaan selat
berkisar antara 31,5-32,5 psu. Salinitas rendah berada di
mulut selat dan salinitas tinggi terdapat di depan Teluk
Semangka. Pada kedalaman 5 m, salinitas tinggi yang berasal
dari Samudera Hindia mulai memasuki perairan selat dan

Gambar bawah: Peta batimetri Selat Sunda

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

28

Gambar atas:
Suasana pantai pada saat air laut sedang surut di daerah Anyer.
Tampak morfologi pantai berkarang yang mendominasi sebagian
besar pantai di daerah ini

mulai menyebar kearah tenggara. Salinitas tinggi yang

terpantau mengelilingi gunung api krakatau sedang salinitas

terpantau di depan Teluk Semangka semakin jelas terlihat

tinggi tercatat di seluruh perairan selat. Fenomena ini belum

pada kedalaman 10-40 m, sedangkan di kedalaman 60-150

dapat dijelaskan dalam penelitian ini.

m, salinitas tinggi yang berasal dari Samudera Hindia mulai


mengisi seluruh perairan selat Pada bulan Juni 2002 (musim
timur), salinitas permukaan berkisar antara 28,5-32,5 psu. Di
permukaan ini muncul satu fenomena yaitu salinitas rendah
29

Diharapkan pada studi selanjutnya setelah mengkaji semua


parameter fisika, kimia biologi dan geologi, fenomena ini
dapat dijelaskan dengan lebih komprehensif. Pada kedalaman

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

5 m, salinitas rendah yang mengelilingi gunung api krakatau


samar-samar masih terlihat, dan salinitas tinggi yang berasal
dari Samudera hindia mulai terlihat memasuki perairan selat
dan fenomena ini masih terlihat hingga kedalaman 30 m.
Pada kedalaman 40-150 m, salinitas tinggi yang datang dari
Samudera Hindia sudah mengisi seluruh perairan selat.
Sebaran Vertikal Salinitas
Pada bulan Oktober-November salinitas rendah yang
merupakan ciri dari massa air Laut Jawa terpantau hingga
kedalaman kira-kira 100 m, sedangkan salinitas tinggi yang
diduga datang dari samudera Hindia memasuki perairan selat,
namun setelah membentur lereng dasar laut yang curam
massa air Samudera Hindia tenggelam menyusuri lereng
tersebut.
Pada bulan Juli (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi
perairan Paparan Sunda dari permukaan hingga kedalaman
50 m sedangkan massa air di daerah Samudera Hindia
terpantau di kedalaman 50-1000 m.
Pada bulan Juni (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi
seluruh perairan selat hingga kedalaman 50 m, sedangkan di
perairan Samudera Hindia, massa air Laut Jawa hanya
menempati lapisan tipis yaitu hingga kedalaman 25 m.
Hidrodinamika
Pola hidrodinamika, yaitu pola elevasi muka laut sesaat dan
pola arus yang diakibatkannya, yang merupakan hasil simulasi
model. Pola hidrodinamika sesaat tersebut dicuplik pada
kondisi air pasang surut purnama (saat bulan purnama dan
bulan mati) dan perbani (saat bulan seperempat dan tiga
perempat penuh). Pada masing-masing kondisi dicuplik pada
saat air pasang tinggi, air menuju surut, air surut rendah, dan
air surut menuju pasang. Titik referensi waktu cuplik pasang
surut yang digunakan pada model ini adalah Stasiun Ketapang
Pola Arus Pasut Kondisi Purnama
Pola arus pasut dan elevasi muka air hasil simulasi model pada
kondisi pasut purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai
berikut:

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Saat air menjelang pasang , pola elevasi muka laut di Samudra


Hindia lebih tinggi (sekitar +0,36 m di atas muka laut ratarata) dibandingkan dengan di Laut Jawa (sekitar -0,41 m, di
bawah muka laut rata-rata). Pada kondisi ini, pergerakan arus
sangat kecil namun cenderung mengarah dari Selat Sunda
menuju ke Laut Jawa. Arus maksimum sekitar 0,27 m/detik
terjadi di daerah Bakauhuni.
Saat air pasang, gradien (kemiringan) pola elevasi muka yang
menurun dari arah Samudra Hindia menuju Laut Jawa
semakin bertambah besar, yaitu dengan kisaran sekitar
+0,72 m hingga 0,55 m. Dengan keadaan ini arus semakin
banyak bergerak memasuki Laut Jawa dari arah Samudra
Hindia (ke timur dan timur laut), dengan kecepatan
maksimum sekitar 1,54 m/detik terjadi di sekitar Bakauhuni.
Saat air menjelang surut, pola elevasi muka laut di seluruh
daerah Selat Sunda hampir seragam yaitu berada di sekitar
muka laut rata-rata, yaitu dengan kisaran lebih kurang hanya 0,04 m hingga -0,17 m, kecuali di Teluk Lampung sekitar
0,30 m. Akibat dari keadaan ini maka pola arus dari Selat
Sunda ke Laut Jawa mulai melemah, dengan kecepatan
maksimum 0,99 m/detik di daerah Bakauhuni.
Saat air surut, gradien (kemiringan) elevasi muka laut berbalik
dimana muka laut di Laut Jawa lebih tinggi (sekitar +0,28 m)
dari pada di Samudra Hindia (lebih kurang -0,56 m). Pola
arus juga berbalik arah dari Laut Jawa menuju Selat Sunda
dengan kecepatan maksimum sekitar 1,16 m/detik terjadi di
daerah Bakauhuni.
Pola Arus Pasut Kondisi Perbani
Pola arus pasut dan elevasi muka air hasil simulasi model pada
kondisi pasut perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai
berikut:
Saat air pasang, elevasi muka laut di Samudra Hindia lebih
tinggi (sekitar +0,37 m) dari pada di Laut Jawa (sekitar -0,43
m). Arus bergerak cukup kuat dengan magnitudo maksimum
sebesar 1,05 m/detik di daerah Bakauhuni, dari arah
Samudra Hindia memasuki Laut Jawa. Pola arus ini tidak
30

d
Eelevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi purnama pada:
(A) Menjelang Pasang, (B) Pasang, (C) Menjelang Surut, (D) Surut

d
Pola arus pasut untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi purnama pada:
(A) Menjelang Pasang, (B) Pasang, (C) Menjelang Surut, (D) Surut

31

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

d
Elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi perbani pada:
(A) Pasang, (B) Menjelang Surut, (C) Surut, (D) Menjelang Pasang

d
Pola arus pasut untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi perbani pada:
(A) Pasang, (B) Menjelang Surut, (C) Surut, (D) Menjelang Pasang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

32

berbeda dengan pada kondisi purnama, namun kecepatan


arusnya lebih kecil.
Saat air menjelang surut, elevasi muka laut di seluruh daerah
Selat Sunda hampir sama, yaitu di sekitar muka laut rata-rata,
dengan kisaran sekitar -0,01 m hingga -0,35 m. Pada kondisi
ini, kecepatan arus tetap bergerak dari arah Selat Sunda
menuju Laut Jawa namun dengan kecepatan yang mulai
melemah dengan magnitudo maksimum sekitar 0,94 m/detik
di daerah Bakauhuni. Pola elevasi muka laut dan arus pada
kondisi pasut purnama ini juga tidak berbeda dengan pada
kondisi pasut perbani namun dengan magnitudo yang lebih
kecil.
Saat air surut, pola elevasi muka laut pada kondisi ini mulai
terlihat miring dari arah Laut Jawa (sekitar +0,10 m) ke
Samudra Hindia (sekitar -0,29 m). Dengan demikian pola
arus justru menunjukkan pembalikan arah namun masih
lemah sekali (maksimum sekitar 0,18 m/detik). Pola arus ini
sangat berbeda dengan keadaan pada saat pasut purnama,
baik pada arah maupun magnitudonya.
Saat air menjelang pasang, elevasi muka laut di seluruh
daerah Selat Sunda semakin tinggi (sekitar +0,21 m di Laut
Jawa dan sekitar -0,05 m di Samudra Hindia) menyebabkan
arus berbalik arah, yaitu dari Laut Jawa menuju Samudra
Hindia. Kecepatan maksimum sekitar 0,66 m/detik di daerah
Bakauhuni. Pola arus pada saat ini juga berbeda dengan pada
saat pasut purnama, baik pada pola maupun magnitudonya.

Ecopath
Berdasarkan data primer dan sekunder yang diperoleh
dilapangan, ekosistem di Selat Sunda dapat di kelompokkan
dalam 16 (enam belas) termasuk kelompok detritus. Adapun
data ke-16 kelompok fungsional ini dapat dilihat pada Tabel
disamping;
Input Model dan Balancing Model
Produsen Utama (Primary Producers)
Dalam model ini produsen utama di bagi menjadi empat
kelompok fungsional yaitu fitoplankton; lamun dan mangrove
33

serta terumbu karang. Hasil penelitian biomassa fitoplankton


di tiga stasiun penelitian perairan Selat Sunda, nilai rata-rata
9.524 tonkm-2.
Karena hasil penelitian nilai P/B (production/biomassa) untuk
Selat Sunda tidak ada data, sehingga dicoba meminjam dari
hasil penelitian Buchary et al di Selat Bali dengan nilai P/B
ratio adalah 30.00 tahun-1.
Seagrass (lamun) yang terdapat di Selat Sunda di dominasi
dari jenis Enhalus acoroides, dari hasil penelitian di lapangan
diperoleh nilai biomassa untuk lamun sebesar 0.000192
tonkm-2 dengan menggunakan metode line transek. Karena
tidak adanya data, rasio P/B lamun diambil dari model Laut
Cina Selatan yang dilakukan Pauly dan Christensen (1993),
dengan nilai 11.885 tahun-1.
Mangrove
Hutan mangrove di Selat Sunda didominasi oleh jenis
Avicennia. Dari hasil penelitian diperoleh nilai biomassa
mangrove sebesar 17.925 tonkm-2.

Tabel Ecopath
No
1
2

Kelompok Fungsional
Fitoplankton
Lamun

3
4
5
6

Mangrove
Terumbu karang
Zooplankton
LBS

Pelagis kecil

Pelagis sedang

Ikan Demersal

10
11
12
13
14
15

Makrozoobenthos
Udang & Kepiting
Kelompok Molluska
Cumi-cumi
Ikan Hiu
Burung Laut

Komponen Kelompok
Bacteriastrum;Ceratium;Chaetozeros;Rhizosolenia;
Hemiacilus.
Enhalus acoroides; Cymodocea rotundata;
Syringodium isoetifolium; Thalassia hemprinchii
Avicennia marina
Hard Coral Acropora; Hard Coral non Acropora
Calamida;Bikopleura;Cycloprida;Lucifer; Chaetognatha
Soft coral; Sponge; Zoanthids
Rastrelliger brachysoma;Anodontostoma chacunda;
Selaroides leptolepis;Dussumieria elopsoides
Alectis indicus;Tric hiurus haumela;Pelate quadrilineatus
Apogon quadrifasciatus; Leiognathus equulus
Pentaprion longimanus; Sphyraena sp;
Thryssa hamiltonii; Stolephorus indicus
Fistularia petimba; Scomberomorus guttatus;
Euthynnus sp
Trachyrampus bicoarctatus; Areichthys tomentosus
Scatophagus argus; Ephinephelus sexfasciatus
Upeneussulphureus;Psettodeserumei;Nemipterus hexodon
Nemipterus japonicus; Nemipterus nematophorus
Sufflamenfraenatus;Leiognathuselongates;Secutorruconius
Caranx sp
Crassostrea spp ; Holothuroidea
Portunus spp; Panaeus merguensis; Penaeid post Larvae
Meretrix spp; Anadara spp
Loligo spp
Carcharhinidae
Haliaetus leucogaster

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Salah satu komoditi perikanan tangkap (Tongkol) yang
dijual di Pasar Tradisional desa Panimbang. Di pasar yang
bersebelahan dengan TPI tersebut kebanyakan menjual
ikan segar dan ikan olahan seperti ikan asin, cumi rebus
dan lain-lain.

Gambar samping:
Tampak seorang peneliti dari Pusris Wilnon yang sedang
melakukan analisa vegetasi Mangrove. Hutan Mangrove
dikawasan sekitar Teluk Miskam - Selat Sunda didominasi
oleh genus Avicenia.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

34

Gambar atas:
Ikan Pari yang dijajakan di pasar tradisional merupakan
salah satu dari berbagai macam hasil tangkapan nelayan.

Terumbu Karang
Biomassa dan P/B terumbu karang mengacu pada Sorokin,
(1981), yaitu biomassa coral polyp the Great Barrier Reef
sebesar 500 g.ww.m`.

tahun-1 diambil dari nilai Q/B mesozooplankton di Teluk


Monterey (Olivieri et al, 1993).

Zooplankton
Biomassa untuk kelompok zooplankton dari hasil survei,

LBS (Living Bottom Structure)


Data biomassa LBS di ambil dari Pauly et al. 1996, sebesar

mencapai 1.465 tonkm-2. rasio P/B sebesar 38,0 tahun-1

35

dari penelitian Copepods di Teluk Osaka (Koga 1987),


sedangkan rasio Q/B diperoleh dari rata-rata sebesar 180,0

20 tonkm-2. P/B dan Q/B masing-masing sebesar 1.7 tahun-1

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

dan 4.015 tahun-1 diambil dari hasil penelitian Model coral


reef di Karibia (Opitz, 1996).

Hiu
Untuk Hiu, nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B Selat Sunda
diambil dari hasil penelitian di Teluk Saleh. Nilai Biomassa Hiu

Pelagis Kecil
Nilai biomassa ikan pelagis kecil sebesar 0.687 tonkm-2,

0.240 tonkm-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing


-1

sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 4.891 tahun

0.099 tahun-1 dan 8.93 tahun-1.

dan 12.418 tahun-1 (Hasil Analisis, 2004).

Burung laut
Karena tidak tersedianya data Biomassa, rasio P/B dan Q/B

Pelagis sedang
Nilai biomassa ikan pelagis sedang sebesar 0.236 tonkm-2,

untuk burung laut di Selat Sunda, nilai diambil dari hasil

sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 5.997 tahun-1


dan 13.571 tahun-1 (Hasil Analisis, 2004).

penelitian biomasa dan rasio P/B dari hasil penelitian Jarre et


al., 1991 di Peru (Buchary E et. al.,2001) dengan nilai 0.025
tonkm-2 dan 0.05 tahun-1, sedangkan nilai rasio Q/B

Ikan Demersal
Nilai biomassa ikan demersal 0.0204 tonkm-2, sedangkan
-1

rasio P/B dan Q/B masing-masing 2.564 tahun dan 13.502


tahun-1 (Hasil Analisis, 2004).

diperoleh dari rata-rata nilai Q/B 4 spesies burung dengan


menggunakan formula empiris (Nilsson and Nilsson., 1976)
sebesar 67.67 tahun-1.
Detritus
Biomassa detritus sebesar 10.50 tonkm-2, diperoleh dengan

Makrozoobenthos
Nilai biomassa makrozoobenthos sebesar 2.69 tonkm-2

menggunakan formula empiris Pauly et al (1993) dengan PP

mengacu dari hasil penelitian di Selat Bali (Buchary et al,

= 300 gC/m/tahun dan E = 50 m.

1999); sedangkan nilai rasio P/B dan Q/B diambil dari hasil
penelitian makrobenthos di Teluk Monterey (Olivieri et al,
1993).
Udang dan Kepiting
Nilai biomassa uadang dan kepiting sebesar 0.0029 tonkm-2
diambil dari hasil penelitian di Laut Jawa (Torres et al. 1996);
sedangkan nilai rasio P/B dan Q/B dari hasil model pantai
Brunei (Silvestre et al.,1993).

Hasil Basic Estimation


Hasil terakhir dari input parameter (Biomassa, rasio P/B dan
Q/B) dan balancing model dapat dilihat pada Tabel dibelakang
demikian juga dengan diet matrix-nya, serta diagram dari
trophic level ekosistem Selat Sunda pada Gambar tersebut.
Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa Ekosistem Selat
Sunda terdiri dari lebih empat trophic level, dengan
kelompok Shark (Hiu) berada di level predator teratas

Molluska
Nilai biomassa molluska diambil dari hasil penelitian Benthik

dengan nilai trophic level tinggi yaitu 4.2 dan nilai

Infauna di Selat Bali (Buchary et al.,1999); nilai rasio P/B dan

level rendah ada 10 kelompok fungsional yaitu Fitoplankton,

Q/B diambil dari makrobenthos di Teluk Monterey (Olivieri et

Lamun, Mangrove, Terumbu karang, Zooplankton, LBS,

al, 1993).

Udang & Kepiting, Molluska, Cumi-cumi dan Detritus dan 2

Cumi-cumi
Nilai biomassa, nilai rasio P/B, Q/B cumi-cumi dari hasil
penelitian di Bolinao reef Philippines (Alino, PM et al, 1993).

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

production/consumtion yang rendah 0.011. Untuk trophic

kelompok untuk intermediete trophic level yaitu pelagis kecil,


pelagis sedang, serta 3 kelompok untuk trophic level tinggi
(>3.5) yaitu Ikan Hiu, Ikan Demersal dan Burung Laut.

36

Dari Tabel diatas dapat dilihat nilai Ecotrophic Efisiensi (EE), yaitu jumlah tersedianya makanan pada suatu ekosistem yang dimakan oleh suatu kelompok
dalam tingkatan trophic ekosistem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkatan group dalam trophic level, nilai EE-nya makin kecil. Dari
Tabel dapat dilihat nilai EE untuk kelompok fitoplankton sebesar 0,99 lebih besar dari nilai EE ikan Hiu yang hanya sebesar 0.

37

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

38

Trophic L evel

Lamun

Shrimp & Crab

Mangrove

Makrozoobeenthos

Sm all Pelagics

Coral

Molluska

Burung Laut

Detritus

Cumi -cumi

Diagram skematik kelompok fungsional penyusun ekosistem Selat Sunda yang digunakan dalam pemodelan Ecopath and Ecosim

Phytoplankton

Zooplankton

LBS

Med. Pellagics

Demersal Fish

Shark

Flowchart Model Ekosistem Selat Sunda


Keterangan: B = Biomassa ( tonkm-2 ); P = Produksi (tahun-1); Q = Konsumsi (tahun-1)

Jumlah kelompok fungsional yang banyak dalam tingkatan


trophic level, seperti tingkatan trophic level ke-2 sampai ke-4
menunjukkan tingkat kompetisi yang tinggi dalam
memperoleh makanan pada ekosistem tersebut. Sehingga
dampak dari adanya kegiatan perikanan tangkap harus
diperhitungkan dalam pengelolaan ekosistem Selat Sunda.
Karena, jika kegiatan perikanan tangkap di Selat Sunda
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka
akibatnya sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut
akan terancam keberlanjutannya.

Analisis RAPFISH Perikanan Selat Sunda


Selat Sunda, yang dibatasi oleh provinsi Lampung dan
provinsi Banten merupakan kawasan perairan dengan potensi
produksi yang cukup besar sehingga dapat dipandang sebagai
aset yang penting bagi kedua provinsi yang membatasinya.

39

Berbagai spesies ekonomis, baik dari kelompok pelagis


maupun demersal, terdapat di perairan ini dalam kawasan
tersebut. Namun demikian, potensi perikanan di perairan
Selat Sunda tidak hanya dimanfaatkan oleh nelayan di kedua
provinsi tersebut; bahkan pada perikanan tertentu nelayan
dari luar daerah menunjukkan dominasinya, baik dalam hal
besarnya armada dan ukuran kapal penangkap yang
digunakan, tingkat produksi, maupun skala usaha yang
diterapkan.
Kelompok nelayan yang sering diistilahkan sebagai andon
datang pada musim-musim tertentu untuk melakukan
kegiatan penangkapan di Selat Sunda. Keberadaan nelayan
andon tersebut dari satu sisi dapat dipandang sebagai hal yang
positif karena dapat menghindarkan under-exploitation, tetapi
di sisi lain merupakan sumber masalah yang cukup signifikan
bagi perikanan di Selat Sunda. Salah satu masalah terkait

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

dengan ketimpangan kesejahteraan antara nelayan andon


dengan pendatang. Masalah lain terkait dengan besarnya
kapasitas alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan andon
sehingga di suatu saat dapat menjadi penyebab terjadinya
over-exploitation. Masalah lain terkait dengan registrasi
eksploitasi.
Otonomi daerah yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu
telah menambah kompleksitas permasalahan tersebut di atas.
Sebagai contoh, dengan semangat otonomi daerah, konflik
transparan terjadi antara nelayan andon dengan nelayan lokal,
baik di Lampung maupun di Banten. Meskipun dalam konteks
yang lebih sempit kejadian tersebut dapat berdampak positif
terhadap kelompok nelayan lokal, dalam konteks yang lebih
besar, dengan asumsi bahwa eksploitasi masih berada di
bawah tingkat optimalnya, kejadian tersebut dapat berakibat
pada penurunan benefit agregat yang tergali dari perikanan di
Selat Sunda.
Menimbang besarnya potensi dan kompleksitas perikanan di
Selat Sunda, penelitian yang dimaksudkan untuk melihat
kondisi pada berbagai dimensi ini dipandang perlu untuk
dilaksanakan. Diharapkan, hasil dari penelitian ini dapat
memberikan arah bagi dalam penentuan aspek yang perlu
mendapatkan perhatian lebih besar.

Hasil dan Pembahasan


Untuk memberikan "sense" yang lebih baik kepada pembaca
dalam mencermati analisis Rapfish Selat Sunda, berikut adalah
gambaran umum mengenai keadaan perikanan di dua
provinsi yang berbatasan dengan Selat Sunda, Lampung dan
Banten.
Perspektif Lampung
Bagi provinsi Lampung, Selat Sunda merupakan bagian
penting dari wilayah perikanan yang menjadi kewenangannya.
Berdasar UU No 22 Th 1999 tentang pemerintahan daerah,
provinsi ini mendapatkan otoritas pengelolaan wilayah laut
dan pesisir seluas 16.625,3 Km2, yang terdiri atas wilayahwilayah perikanan di pantai timur dan barat, serta Selat

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Sunda. Dengan produktivitas perairan laut sebesar rata-rata


30kg/Ha/tahun, total potensi perairan laut Lampung
termasuk ZEE adalah sebesar 388.000 ton ikan/tahun.
Produksi penangkapan ikan di laut di Lampung pada tahun
2002 baru mencapai 150.849 ton/tahun, jauh di bawah
angka potensinya (Sumber: Data diolah dari Laporan
Tahunan Dinas Kelautan & Perikanan provinsi Lampung,
Tahun 2002). Namun, produksi tersebut tidak diperoleh
secara merata di wilayah-wilayah perairan yang ada. Untuk
itu dicanangkan peningkatan usaha di wilayah dengan
pemanfaatan yang masih rendah untuk membidik target
produksi sebesar 158.897 ton (setara dengan 40.95% dari
potensi) pada tahun 2005 (Anonimous, 2003).
Data-data tersebut menunjukkan besarnya peluang
pengembangan yang dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi, sekaligus mengurangi tekanan pada wilayah
perairan yang telah tereksploitasi cukup berat. Sejauh ini,
terlihat indikasi tentang adanya perhatian dari pemerintah
daerah terhadap kecenderungan ini. Berbagai program dan
kebijakan telah diterapkan untuk mendorong peningkatan
investasi di bidang perikanan. Namun demikian, untuk
mengantisipasi dampak negatif dari pengembangan perikanan
yang telah dicanangkan, pemerintah daerah juga
mempersiapkan dan menerapkan berbagai paket kebijakan
yang sejalan dengan pemikiran antisipatif tersebut.
Kebijakan-kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan
provinsi Lampung.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan
pembangunan perikanan di provinsi Lampung difokuskan
pada dua hal utama, yaitu kebijakan eksploitatif dan kebijakan
pengelolaan. Dalam kelompok kebijakan eksploitatif, terdapat
di antaranya kebijakan-kebijakan yang secara langsung
mendukung pengembangan perikanan tangkap, yang
diimplementasikan dalam bentuk pengembangan penguasaan
IPTEK penangkapan, manajemen operasional pelabuhan,
peningkatan efektivitas alat tangkap, dan pengembangan
sarana prasarana guna mendukung perluasan wilayah
produksi, pemasaran dan pasca panen. Sementara itu, dalam
40

kelompok kebijakan pengelolaan tetrmasuk di antaranya


kebijakan pengembangan pelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya, peningkatan ketaatan penerapan berbagai
aturan dan perijinan. Kebijakan pengelolaan juga menyangkut
pembinaan dan pengawasan manajemen kelembagaan,
penerapan MCS. Salah satu bentuk operasional dari kebijakan
pengelolaan adalah pengembangan Siswasmas (Sistem
Pengawasan oleh Masyarakat).
Besarnya bobot kepentingan yang diberikan oleh Pemda
Lampung pada aspek pengelolaan tercermin pada tingginya
prioritas yang diterapkan pada pelaksanaan kegiatan projek
yang dilaksanakan. Sebagai contoh, pada Tahun 2002,
terdapat 5 kegiatan projek, yang sebagian besar diarahkan
pada tujuan-tujuan pengelolaan. Lebih lanjut, data yang
diperoleh dalam kegiatan penelitian ini menunjukkan bahwa
alokasi dana yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan
yang terkait langsung dengan perikanan tangkap, termasuk di
Selat Sunda adalah sebesar 16%. Selain kegiatan yang terkait
langsung, terdapat pula kegiatan-kegiatan lain yang secara
implisit mencakup kepentingan pengelolaan perikanan Selat
Sunda, misalnya kegiatan pembinaan dan pengembangan,
serta kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan Lampung. Secara keseluruhan, kegiatan yang
terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah
sebesar 41%.
Salah satu contoh kegiatan yang secara tidak langsung terkait
dengan kepentingan pengelolaan Selat Sunda adalah
implementasi kebijakan pengembangan pesisir pantai dan
pulau-pulau kecil, yang mencakup pengawasan, pengendalian
dan pemanfaatan sumberdaya di perairan pesisir Teluk
Lampung, yang merupakan salah satu bagian dari Selat
Sunda. Dalam kebijakan pengembangan pesisir dan pulaupulau kecil tersebut terdapat pula kegiatan operasional yang
ditujukan pada penumbuhan kesadaran nelayan akan
perlunya menjaga kelestarian sumberdaya ikan di Selat Sunda
dan wilayah perairan Lampung lainnya; kebijakan tersebut
diimplementasikan dalam bentuk rangkaian operasi

41

penegakan hukum di laut. Masih dalam kerangka kebijakan


yang sama, dikembangkan usaha pembinaan masyarakat
pantai, yang dikemas dalam paket Siswasmas. Untuk
melengkapi kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah daerah
Lampung juga mengembangkan program pmberdayaan
masyarakat dan rehabilitasi ekosistem pantai/laut, misalnya
melalui pembuatan coral buatan.
Perkembangan dan Permasalahan
Terdapat kecenderungan stagnasi, atau bahkan penurunan
produksi penangkapan laut di Lampung, yang disinyalir terjadi
akibat penurunan stok ikan di beberapa wilayah
penangkapan, termasuk di antaranya Selat Sunda. Gejala
tersebut masih terjadi sampai saat ini; misalnya dalam dua
tahun terakhir, terjadi penurunan produksi penangkapan di
laut sebesar 0.5%, yaitu dari 152 ribu ton pada tahun 2001
menjadi 151 ribu ton pada tahun 2002. Padahal, pada
periode yang sama jumlah rumah tangga nelayan (RTP)
penangkapan ikan laut meningkat sebesar 6.38 %, yaitu dari
10.609 RTP pada tahun 2001 menjadi 11.289 RTP pada
tahun 2002. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa di
sebagian wilayah, carrying capacity telah terdekati atau
bahkan terlampaui. Gejala ini diperkuat lagi oleh data
mengenai produktivitas berbagai alat tangkap, yang berhasil
dihimpun melalui penelitian ini. Laporan-laporan Dinas
Kelautan dan Perikanan provinsi Lampung. menunjukkan
bahwa alat-alat tangkap ikan yang dioperasikan di Selat Sunda
dan perairan Lampung lainnya secara keseluruhan menurun.
Permasalahan lain yang berhasil diidentifikasi pada perikanan
Selat Sunda dari perspektif provinsi Lampung adalah
persaingan antar kelompok nelayan, baik dalam hal wilayah
maupun pasar. Ini terkait dengan kenaikan jumlah unit
penangkapan yang beroperasi di jalur 1 (selebar 3 mil dari
pantai). Besaran masalah ini menjadi lebih nyata karena
sebagian kelompok nelayan tersebut mengoperasikan alat
yang sangat destruktif sehingga mengganggu peluang usaha
bagi kelompok lain; kelompok nelayan yang dianggap
merugikan tersebut adalah misalnya kelompok nelayan
gardan dan nelayan arad, yang secara prinsip beroperasi

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

menyerupai nelayan trawl. Disamping itu, meskipun dalam


frekuensi yang jauh lebih kecil konflik antar nelayan juga
muncul akibat adanya penangkapan ikan menggunakan bahan
peledak dan racun yang dilakukan oleh kelompok nelayan
tertentu, yaitu pada penangkapan ikan karang.
Perspektif Banten
Sumberdaya kelautan merupakan salah satu andalan
peggerak perekonomian provinsi Banten. Garis pantai yang
menghadap Selat Sunda, Samudera Indonesia dan Laut Jawa
sepanjang sekitar 841,13 km menggambarkan besarnya
potensi tersebut. Potensi penangkapan ikan di laut mencapai
angka 60.000 ton. Seperti yang terjadi di Lampung, Selat

Sunda merupakan bagian yang penting pula bagi perikanan


Banten. Mengacu pada panjang pantai, Selat Sunda
memberikan 30% kontribusi terhadap potensi perikanan
Banten sedangkan apabila luas perairan dijadikan rujukan,
Selat Sunda berpeluang menyumbang 50,46% dari total
produksi perikanan untuk wilayah provinsi Banten
(Anonimous, 2003).
Dengan panjang pantai dan luas perairan yang dimiliki,
masing-masing kabupaten tersebut menghasilkan produksi
dan nilai produksi ikan yang cukup besar. Berdasarkan catatan
pada tahun 2002, produksi perikanan laut dari wilayah
provinsi Banten yang menghadap Selat Sunda (Kab.

Gambar bawah:
Suasana pasar tradisional yang setiap harinya bisa dijumpai di desa
Panimbang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

42

Pandeglang, Kab. Serang dan Kota Cilegon) mendominasi


produksi perikanan laut di provinsi tersebut, yaitu dengan
kontribusi sebesar 79,50% (dalam ukuran rupiah, kontribusi
ketiga kabupaten/kota tersebut adalah 71,57%). Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon masing
memproduksi ikan berturut-turut sebanyak 30, 11, 43 ton
dengan nilai produksi berturut-turur sebesar 117, 49 dan
318 milyar rupiah.

Permasalahan Perikanan Tangkap di provinsi Banten


Untuk melihat permasalahan yang terkait dengan Selat Sunda
dalam perspektif provinsi Banten, berikut adalah beberapa
contoh kasus yang terjadi di dua kabupaten terpenting, yaitu
Serang dan Pandeglang:
Permasalahan yang berhasil diidentifikasi di wilayah
Kabupaten Pandeglang terutama terkait dengan dengan
keberadaan nelayan andon. Untuk wilayah Banten, istilah

Gambar bawah:
Tampak suasana Tempat Pelelangan Ikan di Kabupaten Pandeglang

43

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

andon diberikan kepada nelayan dari luar daerah yang pada


musim-musim tertentu menetap di Banten, dan melakukan
penangkapan di perairan Banten. Nelayan andon tersebut
berasal dari berbagai daerah di P Jawa, termasuk Subang,
Indramayu, Rembang, Tuban, Lamongan. Pada umumnya,
nelayan andon tersebut menggunakan kapal purse seine
berukuran besar. Akibatnya, tangkapan nelayan andon
memiliki efentivitas tangkap yang melebihi nelayan lokal.
Ketimpangan tersebut menimbulkan tekanan pada nelayan
lokal, yang berujung pada konflik yang kemudian muncul ke
permukaan. Contoh yang dapat diacu adalah pembakaran
kapal purse seine andon di Sidamukti dan Panimbang,
Kecamatan Labuhan, Kab. Pandeglang.
Sebagian nelayan lokal berpandangan bahwa nelayan andon
merupakan nelayan liar yang tidak mempunyai hak
penangkapan ikan di wilayah nelayan lokal. Observasi
lapangan dalam penelitian ini memberikan konfirmasi tentang
dampak ekonomis dari keberadaan nelayan andon. Sebagai
contoh, sebagian nelayan lokal yang semula mengoperasikan
purse seine (dengan ukuran kecil), saat ini beralih profesi
menjadi palele, yaitu melakukan pembelian ikan di tengah laut
dari kapal purse seine besar miilik nelayan andon. Hasil
wawancara dengan pejabat perikanan, petugas pelelangan
ikan, maupun nelayan memberikan indikasi kuat bahwa
konflik yang terjadi antara nelayan andon dan nelayan lokal
terkait erat dengan euphoria otonomi daerah. Disamping itu,
konflik antar kelompok nelayan tersebut di atas juga
diakibatkan oleh rendahnya kapasitas nelayan lokal dalam hal
permodalan, relatif terhadap nelayan andon. Lebih lanjut,
keterampilan nelayan lokal pun secara rata-rata di bawah
ketrampilan nelayan andon.
Konflik antar kelompok nelayan juga terjadi antara nelayan
arad dan nelayan jaring rajungan. Contoh kasus ini dapat
ditemukan di Ds. Karangantu, Kab Serang. Alat tangkap arad
sebagaimana dioperasikan di wilayah Karangantu dinilai oleh
banyak fihak sebagai trawl dengan kapasitas kecil; namun
demikian, alat ini memiliki kemampuan yang tidak jauh

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

berbeda dengan trawl dan mampu menangkap sebagian


besar jenis ikan yang menjadi target tangkapan nelayan
rajungan. Dengan beroperasinya nelayan arad, nelayan
rajungan hanya mampu menangkap ikan yang tersisa oleh
nelayan arad. Saat ini, frekuensi pulang kosong (tidak
mendapatkan tangkapan) rajungan meningkat tajam.
Konflik antar nelayan juga terjadi antara nelayan payang dan
kelompok nelayan yang melakukan operasi penangkapan di
daerah operasi nelayan payang pada malam hari,
menggunakan alat tangkap yang belum dapat dikonfirmasi
jenisnya. Contoh kasus ini dapat ditemukan di Ds Pasauran,
Kec. Cinangka, Kab Serang (Pasauran terletak di kawasan
wisata Anyer sehingga berbagai alternative pekerjaan relatif
tersedia bagi nelayan). Operasi penangkapan yang dilakukan
pada malam hari ternyata telah mengakibatkan penurunan
hasil tangkapan nelayan payang, yang melakukan kegiatan
penangkapan pada pagi hari. Dalam tiga bulan terakhir ini,
bahkan produksi nelayan payang di wilayah tersebut telah
mendekati nihil. Akibat lebih jauh dari situasi ini adalah bahwa
pada saat ini sebagian nelayan payang tidak lagi
mengoperasikan alat tangkapnya dan beralih profesi ke
bidang pekerjaan lain seperti misalnya tukang ojeg, tukang
kebun, penjual ikan asin, atau pedagang barang-barang
kerajinan tangan kepada wisatawan
Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Dengan berbagai pertimbangan, Kabupaten Pandeglang
menerapkan kebijakan pemberian ijin nelayan andon untuk
melaksanakan penangkapan ikan di wilayah Pandeglang.
Diharapkan, legalisasi penangkapan andon justru akan
membawa dampak positif yang lebih besar, baik dari sudut
pandang optimalisasi pemanfaatan sumberdaya maupun dari
kepentingan pengawasan. Ijin penangkapan tersebut
berbentuk surat keterangan penangkapan andon yang
diterbitkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab
Pandeglang. Disamping surat keterangan tersebut, kapal
andon juga dipersyaratkan mendapatkan surat keterangan
jalan dari syahbandar setempat.

44

Gambar samping:
Industrialisasi yang terjadi di Cilegon ternyata berdampak
terhadap kehidupan di sekitar Selat Sunda. Hal ini tampak
sangat kontras dengan kehidupan nelayan tradisional
(gambar bawah)

45

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Pintu masuk menuju ke Kawasan Wisata Terpadu Tanjung Lesung
yang dikelola oleh Pemda Kabupaten Pandeglang

Surat keterangan yang diberikan kepada nelayan andon,

Dalam rangka memaksimalkan manfaat lokal dari keberadaan

selain menyatakan ijin operasional penangkapan ikan, juga

nelayan andon, beberapa pemerintah kota/kabupaten di

mencantumkan tata tertib penangkapan, yang antara lain

Banten memberlakukan kewajiban pembayaran retribusi hasil

menyatakan bahwa dalam melaksanakan penangkapan ikan di

tangkapan. Sebagai contoh, di Pandeglang, pemerintah

laut, nelayan andon harus memegang komitmen untuk tidak

setempat memberlakukan pengaturan mengenai

melakukan tindakan yang diperkirakan dapat menimbulkan

pemungutan retribusi, yang dikaitkan dengan Perda Nomor 12

kerugian bagi nelayan setempat, mendaratkan ikan hasil

Tahun 2001 tentang Pasar Grossir. Retribusi dipungut sebesar

tangkapan harus dijual ke TPI terdekat, dan memperbarui

4% dari nilai penjualan hasil tangkapan. Retribusi sebesar 4%

surat keterangan setiap 6 bulan. Dengan pembatasan waktu

tersebut dibebankan masing-masing sebesar 2% kepada

6 bulan, diharapkan nelayan andon "dikondisikan" untuk

produsen (penangkap ikan) dan pedagang (bakul).

berusaha "bertingkah laku baik", karena "tindakan buruk" akan

Selanjutnya, 2% dari hasil pemungutan retribusi tersebut

menutup/mengurangi peluang mereka untuk kembali

digunakan untuk mendukung opersional TPI.

mendapatkan hak andon. Dan untuk memberikan jaminan


yang lebih besar terhadap terhindarnya kerugian di kalangan
nelayan setempat, penangkapan juga dibatasi pada jalur
penangkapan di luar wilayah 4 mil dari garis pantai.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Selain menerapkan kebijakan mengenai andon, perikanan di


Banten juga menerapkan beberapa program yang diarahkan
pada perbaikan kondisi sumberdaya laut. Program dimaksud
misalnya kegiatan-kegiatan rehabilitasi ekosistem laut. Salah
46

satu contoh dari kegiatan rehabilitasi yang saat ini tengah


berlangsung adalah transplantasi coral melalui pembuatan
terumbu buatan dari beton (concrete-based artificial reef).
Rehabilitasi ini untuk sementara difokuskan pada perbaikan
habitat-habitat ikan karang. Selain rehabilitasi harang, Dinas
Perikanan Banten juga telah memrogramkan rehabilitasi
mangrove; misalnya di desa Panimbang, Kabupaten
Pandeglang.
Sebagaimana Lampung, Pemda Banten juga menerapkan
kebijakan komplemen yang mengedepankan partisipasi
masyarakat. Misalnya, dalam rangka penertiban dan
pengendalian penggunaan alat dan cara penangkapan ilegal,
Dinas Perikanan menyelenggarakan program Siswasmas.
Dalam pelatihan ini, kepada masyarakat nelayan diberikan
pemahaman arti penting pengendalian dan pengawasan
kegiatan penangkapan dan kesadaran tentang dampak dari

penggunaan cara dan atau bahan terlarang. Termasuk juga


dalam materi pelatian adalah pengetahuan tentang peran
yang dapat dimainkan oleh masyarakat nelayan dalam proses
pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan .

Analisis RAPFISH
Analisis Monte Carlo
Untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinasi,
dilakukan dengan simulasi Monte-Carlo untuk melihat tingkat
gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi (Spence and
Young, 1978 dengan 25 kali iterasi. Dari indikator kestabilan
ini, kita dapat melihat seberapa jauh hasil analisis kita dapat
dipercaya. Gambar dibawah merupakan scatter-plot hasil
simulasi Monte-Carlo, masing-masing untuk dimensi Ekologi,
Ekonomi, Sosial, Teknologi, Etika dan Kebaharian.
Berdasarkan pada keenam gambar tersebut tampak bahwa
hasil analisis ordinasi untuk seluruh dimensi cukup stabil. Hal

Scatter-plot hasil simulasi Monte-Carlo

47

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

ini ditunjukkan oleh sebaran dari nilai analisis ordinasi setiap


jenis perikanan tangkap yang dianalisis cenderung
mengelompok dan berada didalam kisaran nilai anchors.
Analisis Ordinansi
Hasil umum dari analisis ordinansi Rapfish untuk perikanan
Selat Sunda dapat dilihat pada diagram batang, yang
merupakan diagnosa terhadap kondisi perikanan di perairan
tersebut. Hasil tersebut didasarkan atas kinerja beberapa jenis
alat tangkap. Alat-alat tangkap tersebut, jenis nelayan yang
mengoperasikannya, dan basis (lokasi-lokasi) operasinya
dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel Alat Tangkap, Jenis Nelayan, dan Lokasi


Observasi Lapangan.
No

Alat Tangkap

Nelayan

Lokasi

Purse Seine Besar

Andon

Jaring Arad

Lokal

Ds. Panimbang, Kab. Pandeglang, Prop. Banten


Ds. Karangantu, Kab. Serang, Prop. Banten

Payang

Lokal

Ds. Pasauran, Kab. Pandeglang, Prop. Banten

Purse Seine Besar

Andon

Ds. Lempasing, Kota Bandar Lampung, Prop. Lampung

Purse Seine Mini

Lokal

Ds. Lempasing, Kota Bandar Lampung, Prop. Lampung

Bagan

Lokal

Ds. Taraha n, Kab. Lampung Selatan, Prop. Lampung

Gambar disamping juga memperlihatkan


bahwa berdasarkan atribut-atribut yang
diukur untuk berbagai alat tangkap tersebut,
terdapat peluang untuk mempertahankan
keberlanjutan ekologis perikanan di kawasan
Selat Sunda.

Dengan menggunakan skala 0 untuk kinerja ekologis terburuk


dan skala 100 untuk kinerja ekologis terbaik, alat-alat tangkap
yang dioperasikan di selat Sunda dapat diklasifikasikan
berkinerja sedang dari sudut pandang dimensi ekologi,
dimana nilai kinerja ekologis berkisar antara 58.8 s/d 69.8.
Namun demikian, dengan skala yang sama, beberapa
dimensi lain menunjukkan kinerja yang buruk (nilai di bawah
50), sehingga perlu dicermati secara lebih mendalam. Apabila
ditinjau kembali atribut-atribut yang tercakup dalam dimensi
teknologi, dan data yang diperoleh untuk masing-masing
atribut tersebut, skala kinerja moderat dari rata-rata alat
untuk dimensi ekologis kemungkinan terkait dengan data
yang menunjukkan belum adanya indikasi terjadinya
perubahan trophic level dan masih penurunan produktivitas
daman skala geografis yang luas di satu sisi, dan data yang
menunjukkan adanya gejala full fishing di beberapa tempat.
Kepastiannya dapat dilihat pada analisis leverage yang
terdapat pada pembahasan mengenai masing-masing
kelompok perikanan dalam buku ini.
Dimensi-dimensi lain pada umumnya memperlihatkan kinerja
yang kurang baik. Beberapa alat tangkap berkinerja buruk
pada dimensi ekonomi, sosial, dan teknologi; pada dimensi
etika, bahkan seluruh alat tangkap menunjukkan kinerja yang
buruk, yaitu dengan nilai kurang dari 50. Pada dimensi

Diagram batang kinerja berbagai dimensi untuk


berbagai alat tangkap
80
70
60

Ekologi

50
40

Ekonomi
Sosial
Teknologi

30

Etika

20

Kebaharian

10
0
Purse Seine,
Panimbang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Arad,
Karangantu

Payang,
Pasauran

Mini Purse
Seine,
Lempasing

Purse Seine,
Lempasing

Bagan,
Tarahan

48

ekonomi, kinerja sedang ditunjukkan oleh payang, yang


meskipun berdasarkan pemaparan dari laporan ini
menghadapi masalah konflik dengan kelompok alat tangkap
lain. Penjelasan yang paling logis dengan mengaitkannya
dengan ketersediaan alternatif pekerjaan di lokasi tempat
tinggal nelayan payang. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, Desa Pasauran, dimana para nelayan payang
bertempat tinggal termasuk dalam kawasan wisata Anyer;
karenanya, bebeberapa alternatif pekerjaan yang terkait
dengan industri wisata tersedia bagi nelayan. Dengan
demikian, atribut lain dalam dimensi tersebut mendapatkan
imbas positif, sehingga secara agregat, kinerja dimensi
tersebut dapat terangkat.
Keberadaan altenatif pekerjaan di Pasauran juga
berkecenderungan mengangkat kinerja agregat perikanan
payang untuk dimensi etik. Meskipun skala kinerja berada
pada batas sedang-buruk (nilai 50), skala kinerja yang
ditunjukkan perikanan payang tersebut lebih tinggi dari skala
kinerja perikanan dengan jenis alat lain pada dimensi yang
sama. Pada dimensi ini, nilai terendah adalah pada alat arad
yang banyak dioperasikan oleh nelayan di Desa Karangantu,
Banten. Data yang berhasil dihimpun menunjukkan bahwa
beberapa atribut etik tampak sekali benilai sangat buruk pada
perikanan jenis ini; habitat destruction, illegal fishing, dan law
enforcement merupakan beberapa contoh di antaranya.
Seberapa besar peran masing-masing atribut pada setiap
dimensi akan memberikan arah pada pemilihan opsi yang
dapat dipertimbangkan untuk diterapkan untuk meningkatkan
kinerja secara keseluruhan. Berikut ini merupakan tinjauan
lebih lanjut terkait dengan signifikansi dari peran masingmasing atribut, yang dikaitkan dengan permasalahan yang
spesifik di masing-masing perikanan.
Perikanan Andon vs Lokal
Dikotomi andon dan lokal dalam perikanan di Selat Sunda
merupakan suatu hal yang penting untuk dikaji karena
berpotensi memunculkan implikasi yang besar dan luas, baik
dalam konteks sosio-ekonomi nelayan, kelestarian

49

sumberdaya, maupun kredibilitas institusi perikanan yang


terkait.
Keberadaan nelayan andon ini tidak dapat hanya dipandang
sebagai sebentuk tekanan yang membebani keseimbangan
biologi sumberdaya perairan di wilayah tersebut, melainkan
harus pula dilihat sebagai peluang untuk melakukan eksploitasi
yang lebih efisien dibanding dengan membiarkan nelayan
lokal memonopoli hak atas sumberdaya tersebut. Di sisi lain,
nelayan andon tidak dapat diperlakukan sebagai mesin
produksi yang ditargetkan untuk mencetak manfaat netto
terbesar bagi provinsi-provinsi terkait, melainkan perlu pula
diantisipasi dampak negatifnya terhadap sisi sosial, terutama
dalam hal pemerataan kesejahteraan antar kelompok nelayan
dan shareholder lain yang berkepentingan atas perairan
tersebut. Dilihat dari berbagai sisi, termasuk hal-hal
sebagaimana tersebut pada alinea di atas, analisis Rapfish yang
secara khusus membandingkan perikanan andon dan lokal
memberikan hasil seperti dapat dilihat pada tabel yang
terdapat pada halaman samping.

Diagram Radar Analisis Rapfish Perikanan Selat Sunda:


Andon vs Lokal
Ekologi

60
Kebaharian

Ekonomi

30
Purse Seine Andon,
Panimbang
Mini Purse Seine, Lokal,
Lempasing

Purse Seine, Andon,


Lempasing
Etika

Sosial

Teknologi

Keberadaan nelayan andon ini tidak dapat hanya dipandang


sebagai sebentuk tekanan yang membebani keseimbangan
biologi sumberdaya perairan di wilayah tersebut, melainkan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

harus pula dilihat sebagai peluang untuk melakukan eksploitasi


yang lebih efisien dibanding dengan membiarkan nelayan
lokal memonopoli hak atas sumberdaya tersebut. Di sisi lain,
nelayan andon tidak dapat diperlakukan sebagai mesin
produksi yang ditargetkan untuk mencetak manfaat netto
terbesar bagi provinsi-provinsi terkait, melainkan perlu pula
diantisipasi dampak negatifnya terhadap sisi sosial, terutama
dalam hal pemerataan kesejahteraan antar kelompok nelayan
dan shareholder lain yang berkepentingan atas perairan
tersebut. Dilihat dari berbagai sisi, termasuk hal-hal
sebagaimana tersebut pada alenia di atas, analisis Rapfish yang
secara khusus membandingkan perikanan andon dan lokal
memberikan hasil seperti dapat dilihat di Gambar Diagram
Radar pada halaman samping.
Dimensi teknologi
Dibanding dengan nelayan andon, kinerja Mini Purse Seine
yang dioperasikan oleh nelayan lokal di Lempasing, Bandar
Lampung, unggul pada dimensi teknologi dan dimensi sosial.
Pada Tabel dibawah dapat dilihat bahwa skala dimensi
teknologi untuk Mini Purse Seine Lokal adalah 44, lebih tinggi
dari skala yang ditunjukkan oleh Purse Seine Andon, baik
yang berbasis di Panimbang maupun Lempasing. Sementara
itu, untuk dimensi Sosial, Mini Purse Seine Lokal berkinerja
lebih baik dibanding dengan Prurse seine andon yang
berbasis di lokasi yang sama (Lempasing) dan memiliki ukuran
kinerja yang sama dengan Purse Seine Andon yang berbasis

Ekologi

Ekonomi

Sosial

Teknologi

Etika

Kebaharian

Skala kinerja berbagai dimensi Rapfish: Andon vs Lokal

65
60
59

46
46
46

57
56
51

39
44
40

49
47
47

59
57
57

Dimensi
Alat
Purse Seine Andon, Panimbang
Mini Purse Seine Lokal, Lempasing
Purse Seine Andon, Lempasing

di Panimbang.
Dari 10 atribut yang dikaji, hasil skoring yang didasarkan atas

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

data yang berhasil dihimpun mengindikasikan bahwa


keunggulan kinerja dimensi teknologi perikanan lokal tersebut
di atas terkait dengan alat penarik ikan (fish aggregating
devicine, FAD), ukuran kapal dan durasi tangkap, dan
efektivitas tangkap. Analisis leverage menunjukkan bahwa
dalam pembandingan nelayan andon dan lokal, atribut-atribut
gear, gear selectivity, FAD, dan on-board handling, merupakan
atribut yang paling sensitif di antara atribut yang lain.
Interpretasi dari hasil sebagaimana ditunjukkan sebagai
berikut: karena (1) FAD merupakan salah satu skor yang
membedakan kinerja teknologi antara nelayan andon dan
local, dan (2) FAD merupakan atribut yang sensitif, maka hasil
tersebut secara diagnostik mengindikasikan bahwa atribut
FAD merupakan faktor pembeda yang sangat berpengaruh
terhadap tingginya kinerja nelayan lokal relatif terhadap
andon.
Sementara itu, karena baik gear, selectivity, FAD, maupun onboard handling kesemuanya memiliki skor yang cenderung
rendah untuk semua alat dan menunjukkan skala tinggi pada
analisis leverage, maka hasil tersebut memberikan indikasi
bahwa atribut-atribut tersebut telah menyebabkan rendahnya
kinerja kedua jenis perikanan (purse seine andon dan lokal).
Implikasi lebih jauh dari hasil ini adalah bahwa analisis
kebijakan yang lebih mendalam perlu dilakukan terhadap
kondisi dari atribut-atribut tersebut. Berikut ini merupakan
tinjauan terhadap hasil observasi lapang yang dihubungkan
dengan hasil analisis Rapfish tersebut di atas.
Dengan kemampuan permodalan yang rendah, nelayan mini
purse seine lokal terbatasi peluang pengembangan armada,
ukuran kapal, efektivitas, dan jangkauan wilayah
penangkapannya. Panjang rata-rata perahu mini purse seine
ini tidak melebihi 10 meter, jauh lebih kecil dibanding dengan
kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan andon.
Ditambah dengan alat bantu (fish aggregating device, FAD)
yang hanya berupa lampu tekan (petromaks) berjumlah
kurang lebih 10 buah, efektivitas usaha nelayan mini purse
seine lokal ini sangat tidak sepadan dibanding dengan
efektivitas nelayan andon, yang juga mempergunakan lampu
50

Analisis Leverage

berkekuatan hingga ratusan ribu Watt. Rendahnya efektivitas,


daya jelajah, dan kesederhanaan alat bantu yang digunakan
secara umum sangat menekan kemampuan nelayan mini
purse seine lokal untuk melakukan kegiatan eksploitasi
sumberdaya di Selat Sunda.
Dari sudut pandang keberlanjutan perikanan, keterbatasan
kemampuan yang mencirikan perikanan nelayan lokal
tersebut justru bersifat positif. Analisis Rapfish menempatkan
pengoperasian armada yang eksploitatif sebagai suatu aktivitas
yang mempunyai potensi perusakan atau dampak negatif
terhadap sumberdaya. Penggunaan lampu, dan jenis FAD
lain, secara berlebihan sebagaimana penggunaan raturan ribu
Watt lampu penarik ikan pada perikanan purse seine andon
51

jelas termasuk bentuk tindakan yang sangat eksploitatif.


Aplikasi cahaya dengan kekuatan yang sangat besar pada
penangkapan ikan akan memaksakan konsentrasi ikan pada
satu lokasi sehingga besar kemungkinan bahwa secara agregat
- Dalam konteks perikanan yang lebih besar (memandang
perikanan Selat Sunda secara utuh), kegiatan over-exploitatif di
satu lokasi ini akan menyebabkan inefisiensi besar di bagian
perairan Sunda yang lain - akan terjadi tingkat penangkapan
sub-optimal: penangkapan melebihi batas dimana sumberdaya
mampu menanggung.
Hal yang lebih memperburuk keadaan adalah bahwa kondisi
besarnya efektivitas tersebut di atas berada dalam
kecenderungan yang meningkat. Ukuran kapal maupun FAD

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

yang dioperasikan meningkat dari waktu ke waktu.


Berdasarkan catatan yang dihimpun di tempat-tempat
pendaratan kapal purse seine, panjang rata-rata saat ini
meningkat lebih kurang 10-15% dibanding lima tahun
sebelumnya. Sementara itu, kapasitas lampu yang digunakan
meningkat lebih dari 200%. Sebagai ilustrasi, pada waktuwaktu sebelumnya daya yang dialokasikan untuk menopang
pengoperasian lampu penarik ikan hanya merupakan alokasi
terbatas dari tenaga mesin penggerak kapal; saat ini, sebagian
kapal bahkan menggunakan sebuah mesin penggerak
kendaraan darat (truk) hanya untuk menopang kebutuhan
listrik untuk lampu penarik ikan.
Kecenderungan peningkatan efektivitas tangkap juga terjadi
pada perikanan lokal, yang mengoperasikan alat mini purse
seine; namun demikian, dalam konteks pembandingan
dengan perikanan andon peningkatan tersebut terjadi pada
tingkat yang tidak signifikan. Di Lempasing, hasil wawancara
dengan nelayan menunjukkan adanya beberapa peningkatan
dimaksud. Misalnya, beberapa tahun sebelumnya hanya ada
sekitar 3-5 lampu tekan penarik ikan dalam setiap satu
perahu, saat ini nelayan menggunakan jumlah 2 s/d 3 kali lipat
dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Lepas dari lebih tinggi atau lebih rendahnya kinerja kelompok
perikanan satu dibanding yang lain pada dimensi ini, secara
umum hasil analisis menunjukkan bahwa keduanya berada
pada kisaran nilai di bawah 50 (berdasarkan skala 0-100). Ini
berarti bahwa pada keduanya memerlukan perbaikan yang
diarahkan pada peningkatan kinerja dimensi teknologi. Dalam
hubungannya dengan perbaikan tersebut, hal-hal yang perlu
dijadikan prioritas dapat dilihat pada bagian akhir dari laporan
ini, yang perumusannya akan didasarkan pada hasil analisis
leverage untuk masing-masing dimensi yang dikaji.
Dimensi sosial
Pada dimensi sosial, data skoring menunjukkan bahwa
keunggulan perikanan lokal dibanding dengan perikanan
andon kemungkinan terkait dengan beberapa perbedaan, di
antaranya: konflik antar kelompok nelayan, penyertaan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

kerabat dalam usaha, dan pengaruh nelayan dalam


penerapan kebijakan. Analisis leverage menunjukkan bahwa
dalam pembandingan nelayan andon dan lokal, atribut-atribut
conflict status, fisher's influence, dan new entrants into the
fishery merupakan atribut yang paling sensitif di antara atribut
yang lain.
Senada dengan interpretasi yang diberikan pada pembahasan
mengenai dimensi teknologi, hasil-hasil analisis Rapfish untuk
dimensi sosial dalam konteks pembandingan nelayan purse
seine andon dan lokal adalah secagai berikut: Atribut Fishing
income dan socialization in fishing menunjukkan skor yang
cukup tinggi sehingga berpotensi mengangkat kinerja sosial
secara keseluruhan; namun demikian, atribut conflict status
dan fisher's influence, yang menunjukkan skala tinggi pada
analisis leverage, mempunyai skor yang rendah. Dengan
demikian, skor rendah atribut berpengaruh ini cenderung
mengalahkan skor tinggi pada atribut fishing income dan
socialization in fishing. Hasil dari interaksi antar atribut
dengan skor rata-rata yang berbeda tersebut adalah rata-rata
nilai dimensi sosial yang tidak terlalu tinggi, sebagaimana
ditunjukkan sebelumnya.
Pada dimensi ini, purse seine lokal unggul karena perikanan
ini tidak menimbulkan konflik, sedangkan nelayan andon
harus menghadapi resistensi, yang merupakan sumber konflik
dengan nelayan lain. Seperti telah diungkap pada Bagian
sebelumnya dalam laporan ini, keberadaan nelayan andon
telah menimbulkan masalah sosial dalam perikanan di Selat
Sunda. Di provinsi Banten maupun Lampung, keberadaan
kapal-kapal purse seine andon telah menyebabkan
persaingan tidak seimbang dalam arena penangkapan ikan
pelagis kecil di Selat Sunda. Kesulitan yang dialami oleh
nelayan lokal tersebut pada gilirannya menciptakan
ketimpangan sosial yang kemudian teraktualisasikan kedalam
konflik fisik, sebagaimana kasus pembakaran nelayan andon di
Panimbang (Banten) pada tahun 2000 dan 2002, atau
demonstrasi penentangan pendaratan hasil tangkapan nelayan
andon di Lempasing (Lampung) pada periode yang hampir

52

Gambar samping:
Keadaan sosial-ekonomi pedesaan dan kehidupan yang terasa
semakin berat bagi sebagian masyarakat, tampaknya tidak
mempengaruhi keceriaan anak-anak nelayan di desa Panimbang ini.

bersamaan. Dampak ekonomis dari keberadaan andon di


Banten dapat diindikasikan dengan menghilangnya purse
seine (mini) lokal dari kompetisi usaha di kawasan tersebut.
Dari sisi ini, keberadaan andon menyebabkan turunnya
ukuran kinerja sosial karena ukuran pemerataan (dalam hal ini
adalah antar pengguna sumberdaya) memburuk.
Satu atribut yang mendongkrak kinerja agregat dimensi sosial
dari purse seine Panimbang adalah entrants into the fishery.
Dengan demikian purse seine Panimbang untuk dimensi ini
sama dengan nilai yang diperoleh mini purse seine milik
nelayan lokal. Meskipun hanya merupakan satu-satunya
keunggulan yang dimiliki oleh purse seine Panimbang,
keunggulan tersebut telah cukup berdampak terhadap nilai
yang didapat oleh perikanan tersebut karena keunggulan
tersebut terjadi pada atribut dengan skala tinggi pada analisis
leverage. Observasi lapang menunjukkan bahwa tampaknya
resistensi dari nelayan lokal terhadap perkembangan lebih
lanjut dari purse seine andon.
Dimensi lain
Untuk dimensi lainnya, perikanan purse seine yang
dioperasikan oleh nelayan andon yang berbasis Panimbang,
menunjukkan keunggulan dibandingkan perikanan mini purse
seine yang dioperasikan oleh nelayan lokal, maupun
dibanding sesama perikanan andon yang berbasis di
Lempasing. Dari pengukuran atribut-atribut dimensi ekologi,
tercatat atribut-atribut discarded by catch dan exploitation
status sebagai yang paling berpotensi menyebabkan
perbedaan tersebut. Dalam hal exploitation status, dengan
jangkauan operasi yang terbatas, nelayan mini purse seine
lokal merasakan bahwa sumberdaya dimana mereka telah
tereksploitasi cukup berat; sementara itu, nelayan andon,
dengan jangkauan yang lebih luas memiliki peluang yang lebih
besar untuk menemukan lokasi penangkapan yang tidak

53

terlalu terkuras. Sementara itu, dari sisi discarded by catch,


perbedaan yang ada terjadi sebagai berikut: Pada musimmusim tertentu, di kawasan Selat Sunda terjadi produksi ikan
cekong secara sangat berlimpah. Ikan yang juga dikenal
dengan ikan krismon tersebut mempunyai harga yang relatif
murah dibanding ikan-ikan lain hasil tangkapan purse
seine/mini purse seine. Di Lampung (Lempasing), murahnya
harga ikan ini tidak sampai menyebabkan pembuangan ikan
tersebut ke laut, tetapi di Banten (Panimbang), nelayan sering
merasa perlu membuang kembali hasil tangkapan ikan
cekong tersebut karena tidak ekonomis untuk membawa
ikan tersebut ke darat. Pembuangan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai hal yang dapat dikategorikan untuk skor
tertentu berdasarkan kategori Rapfish, namun demikian tidak
pula merupakan sesuatu yang dapat diabaikan; untuk itu

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

dalam analisis ini, skor yang diberikan adalah 0.5 (berdasarkan


skala 0 - 2.0).
Dari analisis leverage, tercatat 3 atribut mendapatkan skala
tinggi, yaitu size of fish caught, range collapse, dan discarded
by catch. Kedua atribut pertama menunjukkan angka yang
sama rendah pada semua ketiga perikanan sedangkan pada
atribut discarded by-catch angka rendah terutama ditunjukkan
oleh perikanan purse seine Panimbang. Dengan demikian,
penyusunan kebijakan-kebijakan kedepan perlu memberikan
perhatian yang lebih pada pada atribut-atribut tersebut.
Pada dimensi ekonomi ketiga perikanan memperoleh skala

kinerja yang sama, yaitu 46. Analisis leverage menunjukkan


bahwa dalam pembandingan nelayan andon dan lokal,
atribut-atribut marketable right, other income, dan sector
employement, merupakan atribut yang paling sensitif di antara
atribut yang lain. Data yang terkumpul dari kegiatan lapang
menunjukkan bahwa kecuali untuk perikanan payang di
Banten, ketersediaan lapangan pekerjaan alternatif
merupakan hal yang menonjol trerkait dengan dimensi ini.
Meskipun sebagian nelayan memiliki beberapa jenis
ketrampilan yang memungkinkan untuk mereka bekerja di
bidang lain, lapangan kerja tersebut relative tidak tersedia,

Gambar bawah:
Kehidupan sehari-hari seorang nelayan adalah sebuah kehidupan
yang sederhana untuk mencari nafkah dengan mencari ikan.
Biasanya mereka berangkat pada malam atau pagi hari dan kembali
lagi pada keesokannya. Semua ini dilakukan demi sesuap nasi bagi
keluarga dirumah.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

54

Gambar atas:
Keadaan TPI di desa Panimbangjaya sehari-harinya tampak dipenuhi oleh
pembeli baik yang akan dipakai sendiri ataupun pembeli dalam partai
besar untuk kemudian dijual kembali. Beberapa kendaraan pick-up
tampak telah siap mengangkut hasil perikanan dari TPI ini.

atau tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas. Karena,


berdasarkan analisis leverage, atribut ini juga termasuk yang
berpengaruh, maka analisis pengkajian lebih mendalam perlu
dilakukan terhadap atribut ini. Hal-hal seperti pengembangan

55

industri alternative perikanan (misalnya processing)


merupakan hal yang dapat dipertimbangkan.
Kebijakan yang diarahkan pada penanganan atribut other
income melalui pengembangan industri pengolahan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Dengan garis pantai Pandeglang menghadap Selat Sunda sepanjang
182.80km, maka keadaanTPI desa Panimbangjaya selalu
disibukkan oleh celoteh pembeli dan penjual. TPI ini merupakan salah
satu TPI kelas B di Kabupaten Pandeglang yang dikelola oleh KUD.

sebagaimana diusulkan di atas, secara simultan dapat pula


berdampak positif ganda. Dimensi lain seperti discarded catch
pada dimensi lain termasuk salah satunya. Dari pengamatan
lapang, ditemukan baha kegiatan tersebut telah
dikembangkan di wilayah Kabupaten Lampung Selatan,
misalnya industri pengolahan tepung ikan dan penanganan
pasca panen rajungan. Peluang untuk mengembangkan
industri serupa di wilayah-wilayah lain di kedua provinsi yang
berbatasan dengan Selat Sunda tampaknya masih terbuka
lebar karena sejauh ini kegiatan pengolahan masih sangat
terbatas (Eliza, 2000). Dalam hubungannya dengan andon vs

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

lokal, pengembangan pasca panen tersebut juga berpotensi


mengurangi peluang terjadinya konflik antar nelayan;
misalnya, apabila nelayan purse seine mini di Lempasing
dapat mengolah hasil tangkapannya menjadi produk yang
memiliki nilai lebih, dapat diharapkan bahwa resistensi
mereka terhadap pendaratan hasil tangkapan purse seine
andon dapat berkurang karena target dan pangsa pasar
keduanya berbeda.
Di antara ketiga perikanan yang dikaji, tidak ada nilai yang
menonjol untuk dimensi etika; ketiganya berada pada skala

56

dibawah 50. Keadaan ini disebabkan oleh rendahnya


sebagian skor pada atribut-atribut dalam dimensi ini. Analisis
leverage menunjukkan bahwa dalam konteks pembandingan
nelayan andon dan lokal, just management, illegal fishing, dan
discards & wastes merupakan atribut-atribut yang paling
sensitif di antara atribut lainnya. Sebagian arah kebijakan yang
terkait dengan hal ini telah disinggung pada bagian terdahulu,
misal: mengenai pengembangan industri pengolahan. Hal lain
yang harus pula diperhatikan adalah mengenai illegal fishing.
Pada ketiga jenis perikanan, tidak ada perbedeaan signifikan.
Berdasarkan observasi lapang dan konsultasi dengan
stakeholders lokal, beberapa peluang perbaikan yang dapat
diusahakan di antaranya melalui pendataan kapal secara lebih
baik. Saat ini, banyak terjadi, baik untuk kapal purse seine
besar milik nelayan andon, purse seine mini milik nelayan
lokal, ataupun kapal-kapal perikanan lain yang tidak terdata
secara baik. Beberapa kapal ikan yang tidak tercatat dalam
penangkapan di wilayah Selat Sunda tetapi melakukan operasi
penangkapan di wilayah tersebut, beberapa kapal tecatat
memiliki ukuran tertentu tetapi pada kenyataannya memiliki
ukuran yang lebih besar.
Pada dimensi Kebaharian (catatan; Pengukuran dimensi
kebaharian belum pernah dilakukan di negara lain. Namun
demikian, berdasarkan hasil beberapa aplikasi Rapfish di
berbagai kasus yang dilakukan oleh peneliti PRPPSE, dimensi ini
sangat penting karena merupakan akar dari berbagai dimensi
lain yang selama ini diterapkan. Penerapan dimensi Kebaharian
juga dimaksudkan untuk mengakomodasikan aspek khas
Indonesia sebagaimana tertuang dalam statemen misi
Departemen Kelautan dan Perikanan.) tidak tercatat adannya
perbedaan di antara ketiga perikanan yang dikaji. Hal ini
dikarenakan kesamaan subjek dimana atribut yang diuji;
dalam hal ini, skor-skor untuk atribut kebaharian lebih banyak
tergantung pada hal-hal yang terkait dengan pemerintah dan
nelayan dimana basis perikanan tersebut dikaji, tidak pada
nelayan atau pengusaha yang bersangkutan. Analisis leverage
menunjukkan bahwa dalam pembandingan nelayan andon
dan lokal, atribut-atribut appreciation to marine esthetics,

57

satisfaction in maritime jobs, dan appreciation to fisheries


products merupakan atribut yang paling sensitif di antara
atribut yang lain. Sementara itu, data juga menunjukkan
bahwa rata-rata skor untuk berbagai atribut tinggi kecuali
appreciation to marine esthetics. Dengan demikian, perlu
kebijakan konsisten untuk terus mempertahankan skor tinggi
pada sebagian atribut dan perbaikan sebagian lainnya,
terutama appreciation to marine esthetics karena ini
merupakan atribut dengan skala tinggi menurut analisis
leverage. Menyangkut appreciation to marine esthetics,
pendekatan kampanye melalui berbagai cara merupakan
strategi yang teridentifikasi dalam penelitian ini. Pengkajian
yang lebih mendalam perlu dilakukan mengingat bahwa hal
ini terkait dengan banyak aspek, termasuk aspek sosekbud.
Perikanan Banten
Perikanan Selat Sunda perspektif Banten dalam penelitian ini
diwakili oleh perikanan purse seine Panimbang, perikanan
arad di Karangantu, dan perikanan payang yang berbasis di
Pasauran. Satu dari ketiga perikanan ini, yaitu perikanan purse
seine andon Panimbang, yang telah disinggung dalam diskusi
andon vs lokal pada bagian sebelumnya. Satu hal yang
menonjol pada analisis Rapfish perikanan Sunda perspektif
Banten ini adalah adanya skala yang sangat rendah pada
dimensi etika untuk perikanan arad di Karangantu, Kab
Pandeglang.
Selain itu dapat juga dilihat bahwa skor atribut illegal fishing
untuk perikanan arad adalah 2 (dua), yang merupakan skor
terburuk yang dimungkinkan. Skoring buruk ini menyejajarkan
perikanan arad dengan trawl, yang memang dinilai sangat
buruk untuk atribut ini. Pada kenyataannya, demikianlah
adanya; perikanan arad sering sangat sulit untuk menemukan
perbedaan antara arad dengan trawl karena meskipun pada
awalnya didefinisikan berbeda, praktek arad yang ada di
lapangan sering sangat menyerupai apa yang terdapat pada
trawl. Sementara itu, dalam analisis andon vs lokal, telah
ditunjukkan bahwa analisis leverage pada dimensi ini, atributatribut just management, illegal fishing, dan discards & wastes
merupakan atribut-atribut yang paling sensitif di antara atribut

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Alat
Purse Seine,
Panimbang
Arad, Karangantu
Payang, Pasauran

Ekologi

Ekonomi

Sosial

Teknologi

Etika

Kebaharian

65

46

58

39

49

59

67
59

50
57

41
53

39
49

25
50

51
55

Tabel Perbandingan skala kinerja enam dimensi Rapfish: provinsi Banten

yang lain. Dengan demikian, perhatian yang sangat besar


harus diberikan pada masalah keberadaan perikanan arad ini.
Yang juga menonjol (dan menarik) dari hasil analisis ordinansi
rapfish perikanan Banten adalah bahwa meskipun nilai etika
(dan pula teknologi) sangat rendah, ternyata dimensi ekologi
justru menunjukkan penilaian yang tinggi. Berdasarkan angkaangka pada Tabel diatas, secara ekologis tampak bahwa nilainilai rotasi ordinasi horizontal menunjukkan perikanan jaring
arad di Karangantu, Kab. Serang berada pada posisi paling
lestari (67%) sementara perikanan payang berada pada posisi

Diagram Radar Analisis Rapfish Perikanan Selat Sunda:


Banten
Ekologi

60
Kebaharian

Ekonomi

oleh kondisi lingkungan penangkapan yang ada lebih


mendukung bagi perikanan tersebut dibandingkan karena
teknologi yang digunakan. Gambaran tentang status
kelestarian yang terpotret pada tabel tersebut kemungkinan
besar lebih mencerminkan ciri khas yang umum terdapat
pada alat tangkap yang baru dioperasikan. Keadaan ini serupa
dengan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya Rapfish di
tempat lain seperti Indramayu dan Tuban yang telah memiliki
pengalaman mengoperasikan arad, lebih dahulu dari nelayannelayan Selat Sunda. Pada awalnya, pengoperasian alat
tersebut di Tuban dan Indramayu memberikan hasil yang
baik. Pada saat ini, nelayan Tuban dan Indramayu tidak lagi
melanjutkan pengoperasian arad karena setelah kurun waktu
tertentu, pengoperasian alat tersebut menjadi tidak
ekonomis. Dengan demikian, penggambaran kinerja yang
'baik' pada perikanan arad di Serang memerlukan interpretasi
secara hati-hati.

30
Purse Seine Panimbang
Arad, Karangantu

Payang, Pasauran
Etika

Sosial

Teknologi

paling tidak lestari (59%). Sementara nilai rerata tingkat


kelestarian ekologis untuk seluruh perikanan adalah 63%.
Ada indikasi bahwa tingkat kelestarian dimensi ekologi yang
tinggi untuk perikanan jaring arad lebih mungkin disebabkan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Berdasarkan data skoring, tingginya skala kinerja ekologis


perikanan arad tampaknya terkait dengan tingginya skor pada
atribut migratory range dan discarded by catch pada perikanan
ini. Tentang atribut migratory range, wawancara dengan
petugas TPI dan para nelayan mennunjukkan bahwa species
yang tertangkap oleh alat arad rata-rata tidak berruaya sejauh
ikan-ikan yang tertangkap oleh alat lain. Hal ini dalam dimensi
Rapfih dipandang sebagai hal yang positif, sehingga
mengangkat skala dimensi ekologi secara keseluruhan. Atribut
lain yang juga mendongkrak ukuran kinerja dari perikanan
arad adalah discarded by catch: secara kebetulan, alat ini
relatif lebih sedikit menangkap ikan yang bernilai ekonomis
58

Gambar samping:
Peneliti BRKP sedang melakukan penelitian dan pengumpulan
contoh daun Mangrove untuk kemudian dibawa ke Jakarta dan
dilakukan analisa dan klasifikasi yang lebih mendalam

kelestarian perikanan payang ini dari dimensi ekonomi


dibandingkan dengan perikanan lain lebih disebabkan adanya
pendapatan keluarga nelayan diluar kegiatan penangkapan,
yaitu sebagai penjual jasa angkutan (tukang ojeg) atau penjual
barang-barang kerajinan atau buah tangan di daerah wisata
Anyer yang berada dekat dengan tempat tinggal para nelayan.

rendah sebagaimana terjadi pada purse seine, sehingga


discard pun hampir nihil.
Hasil sebagaimana diungkapkan pada dua alinea di atas
menunjukkan perlunya pengkajian yang lebih mendalam
mengenai perlu tidaknya pelarangan atau pemberian ijin
terhadap perikanan arad. Alat ini pernah dilarang, namun saat
ini kembali diperbolehkan. Bagaimanapun, analisis Rapfish ini
diturunkan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF); dengan demikian, meskipun dari satu sisi arad
dipandang sebagai alat yang sangat perlu dilarang
pengoperasiannya, sisi lain menunjukkan hasil yang positif.
Sebaliknya, meskipun dinyatakan bahwa komposisi spesies
yang tertangkap oleh arad tidak memiliki jangkauan ruaya
yang jauh, harus dilihat pula apakah spesies yang tertangkap
tersebut bukan merupakan spesies dengan konsentrasi yang
memusat sehingga keberadaannya di tempat lain tidak terlalu
melimpah sehingga hasil dari analisis Rapfish pada dimensi
ekologi ini perlu interpretasi tambahan.
Pada dimensi ekonomi, tampak bahwa perikanan payang
Pasauran Kab. Serang memiliki status kelestarian yang paling
baik (56.80%) dibandingkan perikanan lainnya yang berkisar
antara 45.85% hingga 52.56%. Relatif tingginya nilai status
59

Untuk perikanan purse seine tampak adanya persamaan nilai


status kelestarian dari dimensi ekonomi mencerminkan
potensi daerah penangkapan (Selat Sunda) bagi jenis alat
tangkap ini. Tidak adanya perbedaan status kelestarian antara
nelayan andon dan nelayan lokal (45.85%) memperlihatkan
kesempatan untuk mendapatkan sumberdaya perikanan
dengan alat tersebut pada saat ini relatif sama. Beberapa hal
yang perlu menjadi catatan atas kondisi ini adalah, pertama
mulai dikeluarkannya surat keterangan andon bagi para
nelayan andon oleh pemerintah setempat (Banten dan
Lampung), dengan pertimbangan penertiban administrasi dan
peningkatan pendapatan daerah (retribusi). Di sisi lain adanya
perijinan ini juga sangat menolong nelayan lokal didalam
menghadapi persaingan mendapatkan sumberdaya perikanan
mengingat kemampuan nelayan andon lebih besar dan sangat
memungkinkan akan menimbulkan ketimpangan dalam
kesempatan mendapatkan sumberdaya perikanan di Selat
Sunda. Ketimpangan pendapatan inilah yang seringkali
merupakan sumber konflik antara nelayan lokal dan nelayan
andun yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. Namun
demikian dengan semakin menurunnya jumlah purse seine
lokal saat ini (di Panimbang tinggal lebih kurang 8 unit)
menunjukkan nelayan lokal saat ini sudah sulit untuk bersaing
dengan nelayan andon.
Pada dimensi sosial dan teknologi, konsistensi antara hasil
analisis dengan alur logika awam terlihat lebih jelas. Logika
awam mengatakan bahwa secara sosial perikanan arad akan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

memperoleh nilai Rapfish yang rendah. Hasil analisis Rapfish


memberikan konfirmasi terhadap logika awam tersebut:
perikanan jaring arad menunjukkan tingkat lestari yang paling
rendah. Rendahnya nilai sosial tersebut terutama terkait
dengan sifat alat tangkap tersebut, yang cenderung destruktif
sehingga seringkali menimbulkan konflik dengan nelayan lain.
Demikian pula pada dimensi teknologi: Sifat eksploitatif yang
tinggi dari alat tangkap jaring arad tercermin pada nilai
kelestarian dimensi teknologinya yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan alat tangkap lain (kecuali dengan purse
seine panimbang). Sebagai catatan, rendahnya nilai purse
seine panimbang dikarenakan daya jelajahnya yang tinggi (bisa

melaut hingga 10 hari).


Tentang dimensi kebaharian, hasil yang diperoleh dari analisis
perikanan Banten di Selat Sunda adalah sebagai berikut:
Kinerja kebaharian menunjukkan nilai yang cukup tinggi,
berkisar dari sedang (50.69% - jaring arad) hingga cukup baik
(65.53% - bagan). Hasil ini dapat dijadikan penumbuhan
optimisme baru, yang dapat mengkompensasi hasil-hasil
kurang baik yang terdapat pada sebagian dimensi lain. Masih
tingginya minat nelayan untuk tetap berusaha di bidang
perikanan/kelautan, yang diperoleh pada analisis Rapfish,
tercermin dari cara mereka memodifikasi alat tangkapnya

Gambar bawah:
Nelayan sedang memasang jaring pukat

Gambar atas:
Sekelompok bagan (tipe tancap) tradisional milik nelayan yang hanya
ditempatkan pada perairan dangkal tepi pantai.
Bagan juga menunjukkan keunggulan pada dimensi ekonomi karena
skala ordinansi 53 yang diperoleh lebih tinggi dari perikanan purse
seine andon dan purse seine lokal

61

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Alat

Ekologi

Ekonomi

Sosial

Teknologi

Etika

Kebaharian

60

48

56

44

47

57

59
70

48
53

52
53

40
52

47
47

57
66

Mini Purse Seine,


Lempasing
Purse Seine, Lempasing
Bagan, Tarahan

Tabel Perbandingan skala kinerja enam dimensi Rapfish: provinsi Lampung

(mencoba untuk beralih ke bagan motor) dalam rangka


mempertahankan usahanya. Dalam konteks dimensi ini, salah
satu koreksi yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan
interpretasi terhadap hasil ini adalah bahwa anak-anak
nelayan pada umumnya tidak menunjukkan minat yang tinggi
untuk tidak melanjutkan usaha orang tuanya.
Perikanan Lampung
Hal yang menonjol dari perikanan Selat Sunda berdasarkan
dari sudut pandang provinsi Lampung adalah bahwa
perikanan bagan menunjukkan kinerja yang lebih baik hampir
di setiap dimensi dibanding jenis perikanan Lampung. Kedua
jenis perikanan lain, yaitu mini purse seine (lokal) dan purse
seine besar (andon) telah didiskusikan, untuk itu bahasan
pada bagian ini difokuskan pada perikanan bagan ini.

Diagram Radar Analisis Rapfish Perikanan Selat Sunda:


Lampung
Ekologi

60
Kebaharian

Ekonomi

30
Mini Purse Seine Lempasing
Purse Seine, Lempasing

Bagan, Tarahan
Etika

Sosial

Teknologi

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Di antara dimensi yang menonjol tersebut adalah dimensi


ekologi, yang ditunjukkan oleh skala = 70 pada tabel diatas.
Data skoring dan hasil analisis leverage mengindikasikan
bahwa tingginya skala kinerja dimensi ekologi pada perikanan
bagan terutama terkait dengan skor tinggi yang diperoleh
perikanan ini pada atribut range collapse. Meskipun menurut
data skoring, terdapat beberapa atribut ekologi perikanan
bagan dengan nilai lebih tinggi dibanding perikanan Lampung
lainnya, hanya range collapse yang berinterseksi dengan hasil
analisis leverage. migratory range, range collapse, catch before
maturity, dan species caught.
Observasi lapang dalam penelitian ini mencatat bahwa
kemungkinan besar hal tersebut berhubungan dengan
pasivitas alat dan jangkauan ruaya ikan yang ditangkap oleh
alat tersebut. Beberapa hal yang teridentifikasi pada observasi
lapang pada alat ini adalah di antaranya: (1) Jenis bagan yang
terdapat di Tarahan sebagian besar merupakan bagan tancap,
yang bersifat tidak aktif dan dioperasikan di perairan tidak jauh
dari garis pantai, (2) Jenis ikan utama yang tertangkap adalah
teri, (3) Kompetisi dengan perikanan jenis lain tidak terlalu
signifikan meskipun kompetisi antar alat sejenis tidak dapat
diabaikan. Hal-hal tersebut sejauh ini telah cukup mampu
menjamin kestabilan perikanan tersebut, sehingga relatif jauh
dari terjadinya penurunan stok pada cakupan geografis yang
luas (range collapse).
Perikanan bagan juga menunjukkan keunggulan pada dimensi
ekonomi. Skala ordinansi 53 yang diperolehnya lebih tinggi
dari perikanan purse seine andon dan purse seine lokal.

62

Gambar atas:
Peneliti dari BRKP sedang mendapatkan keterangan dari
petugas TPI desa Panimbang Kabupaten Pandeglang

Keunggulan ini terutama ditopang oleh adanya pekerjaan


alternatif bagi sebagian besar nelayan. Tarahan, dimana
nelayan bagan berdomisili, terletak tepat di sisi jalur Trans
Sumatera yang sangat sibuk. Dampak dari posisi sedemikian
itu adalah bahwa pergerakan ekonomi di wilayah tersebut
cukup baik; kegiatan-kegiatan usaha di luar perikanan seperti
pelayanan jasa transportasi, perdagangan hasil bumi, dan
perkebunan/pertanian cukup mampu mengurangi tekanan
bagi sumberdaya perikanan. Keunggulan ini setara dengan
kelebihan yang dimiliki oleh perikanan payan di wilayah
Banten, sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya.

63

Nilai tinggi perikanan bagan pada dimensi ekologi dan


ekonomi pada perikanan bagan sebagaimana diuraikan di atas
konsisten dengan hasil yang ada untuk dimensi teknologi.
Sementara perikanan purse seine di bawah 50, perikanan
bagan dengan nilai 52. Selain itu juga terlihat bahwa dimensi
teknologi, perikanan bagan mendapatkan skor rendah pada
atribut on-board handling dan tinggi pada atribut-atribut trip
length, gear, gear selectivity, FAD, vessel size, dan catching
power. Jika dibandingkan dengan hasil analisis leverage, ada
peluang bahwa kinerja agregat dimensi teknologi perikanan
bagan ini menjadi rendah. Namun demikian, ternyata
tingginya skor pada atribut-atribut gear dan gear selectivity

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

memberikan pengaruh yang lebih besar pada tampilan akhir


kinerja tenologi perikanan bagan.
Untuk dimensi etika, skala Rapfish yang ditunjukkan ketiga
perikanan yang mewakili merepresentasikan Lampung tidak
berbeda. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan perbedaan yang
menonjol pada masing-masing atribut-atribut yang dikaji. Sisi
positif maupun negatif pada masing-masing atribut pada ketiga
perikanan tersebut dapat dikatakan berimbang. Untuk itu, hal
yang lebih memerlukan perhatian menyangkut dimensi ini
adalah bahwa untuk ketiganya, skala yang ditunjukkan untuk
kinerja etik adalah dibawah standar, yaitu masing-masing 47.
Dalam hal ini, atribut-atribut yang berpeluang untuk
diperbaiki adalah di antaranya menyangkut konflik peraturan
dan ketergantungan pada perikanan. Sejauh ini, peraturan
yang diberlakukan pada perikanan-perikanan tersebut sering
berbenturan, atau setidaknya cenderung rancu. Misalnya,
peraturan menyangkut nelayan andon: beberapa kebijakan
yang diberlakukan sering tidak konsisten, apakah nelayan
andon diperbolehkan atau dibatasi. Sementara itu, pada
perikanan bagan, terdapat ketidakjelasan apakah nelayan

bagan, ada ketidakjelasan pada peraturan mengenai batasbatas penempatan bagan. Dalam hal ketergantungan, adalah
suatu kenyataan bahwa terutama untuk perikanan purse
seine, ketergantungan terhadap perikanan sedemikian tinggi.
Perbaikan pada hal-hal tersebut akan meningkatkan kinerja
dimensi etik secara keseluruhan untuk perikanan Lampung di
Selat Sunda.

Resume
Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidrooseanografi, ecopath dan rapfish maka dapat diresume
sebagai berikut :
1)

Pola arus pasang surut di Selat Sunda dengan titik


referensi untuk waktu cuplik adalah Stasiun Ketapang
bervariasi sebagai berikut

Saat pasut purnama, terjadi dominasi arus yang


berasal dari Selat Sunda masuk ke Laut Jawa dengan
kecepatan rata-rata sangat besar dengan maksimum
sekitar 1,54 m/detik di daerah Bakauhuni, kecuali
pada saat air surut terendah terjadi arus yang

Gambar bawah:
Suasana perkampungan nelayan di desa Panimbang dengan
berbagai macam perahu yang sedang ditambatkan.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

64

sebaliknya, yaitu dari Laut Jawa menuju Selat Sunda


(kecepatan juga besar, maksimum sekitar 1,16
m/detik).
Saat pasut perbani, terjadi arus bolak-balik dari dan
ke Selat Sunda. Pada waktu air pasang tinggi hingga
air menuju surut arus menuju Laut Jawa dari Selat
Sunda dengan kecepatan yang cukup besar
(maksimum 1.05 m/detik). Fenomena sebaliknya
terjadi pada waktu air surut rendah hingga air
menuju pasang, yaitu arus bergerak lemah menuju
Selat Sunda dari Laut Jawa.
2)

Pola elevasi pasang surut di Selat Sunda dengan titik


referensi untuk waktu cuplik adalah Stasiun Ketapang
bervariasi sebagai berikut

3)

Ekosistem Selat Sunda terdiri dari lebih empat


trophic level, dengan kelompok Shark (Hiu) berada
di level predator teratas dengan nilai trophic level
tinggi yaitu 4.2 dan nilai production/consumtion
yang rendah 0.011. Untuk trophic level rendah ada
10 kelompok fungsional yaitu Fitoplankton, Lamun,
Mangrove, Terumbu karang, Zooplankton, LBS,
Udang & Kepiting, Molluska, Cumi-cumi dan
Detritus dan 2 kelompok untuk intermediete trophic
level yaitu pelagis kecil, pelagis sedang, serta 3
kelompok untuk trophic level tinggi (>3.5) yaitu
Ikan Hiu, Ikan Demersal dan Burung Laut.

4)

Jumlah kelompok fungsional yang banyak dalam


tingkatan trophic level, seperti tingkatan trophic level
ke-2 sampai ke-4 menunjukkan tingkat kompetisi
yang tinggi dalam memperoleh makanan pada
ekosistem tersebut. Sehingga dampak dari adanya
kegiatan perikanan tangkap harus diperhitungkan
dalam pengelolaan ekosistem Selat Sunda. Karena,
jika kegiatan perikanan tangkap di Selat Sunda
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan, maka akibatnya sumberdaya yang ada
pada ekosistem tersebut akan terancam
keberlanjutannya.

5)

Bagi kedua provinsi yang membatasinya, Selat Sunda

Saat purnama, terjadi dominasi elevasi yang lebih


tinggi di Selat Sunda daripada di Laut Jawa, kecuali
pada saat air surut rendah terjadi elevasi yang lebih
tinggi di Laut Jawa daripada di Selat Sunda.
Saat perbani, terjadi perubahan elevasi, yaitu pada
waktu air pasang tinggi hingga air menuju surut
elevasi lebih tinggi di Selat Sunda daripada Laut Jawa.
Fenomena sebaliknya terjadi pada waktu air surut
rendah hingga air menuju pasang, yaitu elevasi lebih
tinggi di Laut Jawa.

65

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

merupakan bagian penting dari wilayah perikanan


yang menjadi kewenangannya. Namun demikian,
pengembagan perikanan di kedua provinsi terhadang
oleh berbagai permasalahan. Di antara
permasalahan yang menonjol adalah yang terkait
dengan adanya ketimpangan antara nelayan lokal
dan pendatang, dimana baik nelayan Banten
maupun Lampung pada umumnya tidak cukup
mampu bersaing dengan nelayan pendatang.
Karenanya, terjadi friksi di antara kepentingan
perikanan lokal dan nelayan pendatang, yang
berakibat pada praktek perikanan yang tidak efisien,
misalnya yang terkait dengan segmentasi wilayah
pemasaran dan penangkapan.
6)

7)

Hasil analisis Rapfish menunjukkan bahwa ada


peluang-peluang untuk menjaga kelestarian ekologis
karena sebagian besar alat yang dioperasikan dalam
penangkapan ikan di Selat Sunda dapat
diklasifikasikan berkinerja 'sedang' menurut kriteria
Rapfish. Tingkat perusakan alat-alat tersebut pada
umumnya masih dalam batas tidak terlalu
membahayakan. Namun demikian, perlu dicatat
bahwa saat ini berkembang penggunaan alat yang
cukup destruktif, misalnya arad. Diharapkan bahwa
perkembangan alat ini tidak akan berlanjut, karena
berdasarkan pengalaman di tempat lain,
pengoperasian arad hanya menguntungkan pada
saat awal operasinya.

baik. Gejala yang dalam sudut pandang Rapfish


dikategorikan mengarah pada adanya konflik regulasi
ini menurunkan kinerja perikanan di beberapa
dimensi, sehingga memungkinkan terjadinya
pengelollan yang tidak baik pada perikanan di Selat
Sunda.
8)

Berbagai hal yang dalam penelitian ini diidentifikasi


sebagai peluang untuk perbaikan adalah di
antaranya: (i) mempertimbangkan kembali
keberadaan alat yang destruktif, misalnya arad, (ii)
pemberdayaan nelayan lokal, (iii) dan pembatasan
investasi yang menjurus pada inefisiensi dan
overeksploitasi, misalnya mengatur penggunaan
FAD, dan (iv) sinkronisasi kebijakan, termasuk
kebijakan perijinan antara pengelola pelabuhan dan
dinas perikanan.

9)

Kebijakan-kebijakan tersebut sebaiknaya


mempertimbangkan faktor-faktor yang tercakup
pada dimensi kebaharian, karena berdasarkan hasil
penelitian ini dimensi tersebut menunjukkan hasil
yang positif.

Berbagai kebijakan telah diterapkan, baik oleh


Pemerintah provinsi Lampung maupun Pemerintah
provinsi Banten. Namun demikian, penelitian ini
menemukan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut
sering tidak terlaksana dengan baik karena berbagai
kendala. Salah satu kendala tersebut adalah yang
terkait dengan desentralisasi, dimana koordinasi
antar dinas perikanan kabupaten dan antara dinas
kabupaten dengan provinsi tidak dapat terjalin secara

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

66

Teluk Tomini

eluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar di


Indonesia dengan luas sekitar 59.500 km. Teluk ini
pada bagian Timur berbatasan dengan Laut Maluku
dan pada bagian Timur Laut berbatasan dengan Laut
Sulawesi. Dalam kawasan teluk ini terhampar pulau-pulau
yang dikenal sebagai gugusan Pulau Togean, merupakan
rumpun pulau besar dan kecil sebanyak 56 (lima puluh
enam) pulau dengan luas total 755,4 km. Koordinat
Kepulauan Togean terletak pada 08'21" - 045'12" Lintang
Selatan dan 12133'21" - 12223'36" Bujur Timur. Teluk
Tomini merupakan perairan yang relatif subur dan memiliki
sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan,
seperti ikan tuna (Thunnus spp.), ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis), ikan-ikan pelagis kecil, ikan karang, dan ikan
demersal. Teluk tersebut terbentang antara Provinsi Sulawesi
Utara, Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah.

Hidro-oseanografi
Temperatur
Temperatur rata-rata permukaan laut perairan Teluk Tomini
sepanjang tahun-nya secara umum mempunyai kisaran 27 30C (BRKP, 2003). Sedangkan hasil simulasi model
hidrodinamika 3 dimensi Ningsih, dkk., (2003)
memperlihatkan sebaran perubahan temperatur permukaan
laut di perairan Teluk Tomini pada bulan Agustus (musim
timur) berkisar lebih dari 1C hingga 3C.
Perubahan temperatur permukaan laut yang besar
merupakan indikasi terjadinya fenomena upwelling.
Fenomena upwelling adalah gerakan massa air secara vertikal
dari lapisan dalam (50 200 meter) ke permukaan laut
akibat adanya divergensi (kekosongan massa) di permukaan.
Daerah upwelling merupakan daerah yang subur karena
gerakan massa air dari lapisan dalam banyak membawa zatzat hara yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton
yang pada gilirannya merupakan makanan zooplankton, yang
berpotensi habitat bagi populasi ikan.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

68

Gambar atas:
Pemrograman CTD (Conductivity, Temperature and Depth) tipe
portable oleh bagian instrumen Pusris Wilnon BRKP. Disaksikan
penduduk lokal dan beberapa mahasiswa Universitas Hang Tuah
Surabaya yang sedang melakukan kerja praktek lapangan.

Menurut Ningsih, dkk., (2003) memperlihatkan bahwa


intensitas daerah upwelling yang ditandai dengan perubahan
temperatur yang membesar, terjadi di perairan sekitar Teluk
Tomini, Kepulauan Togian, serta di perairan utara dan selatan
Gorontalo, intensitasnya semakin menguat. Di beberapa
daerah lain juga terjadi perubahan temperatur yang
membesar atau upwelling, di antaranya adalah di sepanjang
pantai Manado dan Bitung dengan intensitasnya yang cukup
kuat.

IASSHA (2002) pada beberapa titik stasiun di sekitar perairan


Pulau Una (Gugusan Kep. Togean) diketahui bahwa nilai
salinitas dari permukaan ( 33,34 psu) meningkat hingga
kedalaman 100 meter ( 34,60 psu), kemudian sedikit
menurun hingga kedalaman 250 meter ( 34,54 psu). Nilai
salinitas terlihat cenderung konstan ( 34,54 psu) dari
kedalaman 250 meter hingga 800 meter. Kondisi salinitas ini
cukup mendukung untuk dikembangkannya kegiatan
budidaya perikanan di kawasan teluk.

Salinitas
Salinitas rata-rata permukaan laut perairan Teluk Tomini
sepanjang tahun-nya secara umum mempunyai kisaran 32
34 psu (BRKP, 2002). Dimana nilai salinitas di perairan sekitar
mulut teluk lebih tinggi daripada perairan bagian dalam teluk.
Sedangkan berdasarkan pengukuran in situ vertikal oleh

Gelombang
Berdasarkan hasil analisis ketinggian gelombang laut dari data
TOPEX/ERS-2 tahun 2002, gelombang di perairan Teluk
Tomini secara umum tingginya berkisar 1 2 meter (BRKP,
2002). Dimana selama Musim Barat (Desember-Februari),
Musim Peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei), dan Musim

69

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Elevasi

Batas Terbuka Timur

Air Pasang Tertinggi

+250 cm

Air Surut Terendah

-264 cm

Tunggang Maksimum

514 cm

Tabel Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan


Tunggang Maksimum Tahun 2003

Peralihan Timur ke Barat (September-November), tinggi


gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi
gelombang maksimum pada Musim Timur (Juni-Agustus)
adalah sekitar 2 meter.

dalamnya.
Pola Arus Pasut Perbani
Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut
perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut:
Saat air surut memperlihatkan bahwa secara umum arus
bergerak lemah (maksimum 0.07 m/det) masuk dari arah
Laut Maluku menuju perairan dalam teluk. Elevasi minimum
terjadi di sekitar Kepulauan Togean (0.886 m) dan elevasi
maksimum (0.898 m) tersebar di sebelah timur dari perairan

Kondisi tinggi gelombang ekstrim atau lebih tinggi dari tinggi


gelombang rata-rata terjadi pada beberapa hari, yaitu: akhir
bulan Maret (2 5,5 meter), awal bulan Juni (2 3 meter),
awal bulan Agustus (1 3 meter), awal September (2 6
meter), awal Oktober (2 3 meter).
Pasang Surut
Hasil pengamatan prediksi pasang surut menggunakan
Oritide Global Tide Model untuk bulan Oktober 2003
diperoleh bahwa tipe pasut di perairan Teluk Tomini adalah
campuran cenderung harian ganda (Mixed Tide Prevailing
Semi Diurnal). Prediksi tersebut menunjukkan bahwa pada
bulan Oktober 2003 tinggi rata-rata air pasang tertinggi
adalah +250 cm, air surut terendah -264 cm, dengan
tunggang maksimum sekitar 514 cm.
Hidrodinamika
Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa
arus yang memasuki Teluk Tomini berasal dari Laut Maluku
yang terletak di sebelah Timur perairan Teluk Tomini. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa arus bergerak keluar masuk
Teluk Tomini sesuai dengan pola pasang surut yang ada.
Pergerakan masa air di sekitar Kepulauan Togean nampak
lebih dinamis dan mencapai maksimumnya. Hal ini terjadi
karena perairan di Kepulauan Togean memiliki batimetri yang
jauh lebih dangkal dibandingkan daerah sekitarnya dan
terdapat banyak celah sempit di antara pulau-pulau kecil di

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Elevasi Muka Laut 14 Hari di Batas Terbuka Area Model


Teluk Tomini Bagian Timur

teluk (mulut Teluk tomini).


Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara
umum arus dari arah Laut Maluku bergerak menguat
memasuki perairan teluk, sebagian arus datang ini yang
bergerak di sebelah utara perairan teluk bergabung dengan
arus balik di Selatan perairan teluk yang mengarah keluar
teluk dan memasuki perairan Kepulauan Togean. Perairan
Kepulauan Togean menjadi daerah pertemuan arus yang
berasal dari arah Timur, Utara, dan Barat Kepulauan Togean.
Hal ini terjadi diperkirakan akibat elevasi di daerah ini (2.051
m) lebih rendah dari pada daerah sekitarnya (2.089 m).
70

Kecepatan arus mencapai maksimum 0.3 m/det di perairan


Kepulauan Togean, tepatnya di Selat Wadea diamana arus
bergerak dari arah Timur.
Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum
kekuatan arus melemah hampir di seluruh perairan teluk
dengan kecepatan maksimum mencapai 0.05 m/det di sekitar
perairan Kepulauan Togean. Sementara itu, elevasi mencapai
maksimum (2.397 m) di utara dan selatan perairan
Kepulauan Togean, tepatnya di sekitar Tanjung Batuhitam.
Secara umum elevasi perairan di sebalah barat perairan teluk
lebih tinggi di banding elevasi perairan sebelah timur (mulut
teluk) dimana di sini elevasi mencapai nilai minimum (2.391
m).
Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan elevasi di

perairan Kepulauan Togean lebih tinggi daripada daerah


sekitarnya sehingga arus bergerak keluar ke segala arah dan
bergabung dengan arus dari perairan di sekitarnya yang lebih
lemah dan bergerak keluar perairan teluk. Elevasi maksimum
mencapai 1.144 m di sekitar Tanjung Api dan minimum
mencapai 1.134 m di sekitar Tanjung Panjang. Sementara itu,
Kecepatan arus maksimum mencapai 0.3 m/det di Selat
Wadea.
Pola Arus Pasut Kondisi Purnama
Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut
purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut:
Saat air surut memperlihatkan pola pergerakan arus dan
elevasi yang mirip saat surut pada kondisi pasut perbani.
Elevasi maksimum mencapai 0.282 m di perairan sebelah
barat teluk (mulut teluk), dan elevasi minimum mencapai

Batimetri Teluk Tomini

71

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

0.268 m di perairan utara Pulau Walaebahip. Sementara itu,


kecepatan arus maksimum mencapai 0.05 m/det di utara
Tanjung Api dan Selat Wadea.
Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara
umum arus dari arah Laut Maluku bergerak memasuki
perairan teluk, sebagian arus datang ini yang bergerak di
sebelah utara perairan teluk bergabung dengan arus di
Selatan perairan teluk yang mengarah keluar teluk dan
memasuki perairan Kepulauan Togean. Perairan Kepulauan
Togean menjadi daerah pertemuan arus yang berasal dari
arah Timur, Utara, dan Barat Kepulauan Togean. Hal ini
terjadi diperkirakan akibat elevasi di daerah ini (2.010 m)
lebih rendah dari pada daerah sekitarnya (2.016 m).
Kecepatan arus mencapai maksimum 0.35 m/det di perairan
Kepulauan Togean, tepatnya di Selat Wadea dimana arus
bergerak dari arah Timurlaut.
Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum

Gambar bawah:
Tuna adalah salah satu potensi perikanan Teluk Tomini yang
menggiurkan dengan hasil 106.000 ton per tahun, disamping ikan
pelagis kecil menghasilkan sebanyak 379.440 ton/tahun dan ikan
demersal (83.840 ton/tahun).

kekuatan arus melemah hampir di seluruh perairan teluk


dengan kecepatan maksimum mencapai 0.1 m/det di sekitar
perairan Kepulauan Togean. Secara umum elevasi perairan di
sebalah barat perairan teluk lebih tinggi di banding elevasi
perairan sebelah timur (mulut teluk) dimana di sini elevasi
mencapai nilai minimum (2.391 m). Perairan Kepulaun
Togean memperlihatkan karakteristik perairan yang variatif,
elevasi maksimum dan minimum perairan Teluk tomini terjadi
di sini. Elevasi maksimum mencapai 2.73 m di Utara Pulau
Togian dan elevasi minimum mencapai 2.72 m di perairan
Pulau Batudaka.
Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan
pergerakan arus yang lemah di perairan mulut teluk dan
bagian ujung barat perairan teluk. Perbedaan elevasi yang
cukup signifikan terjadi antara perairan Kepulauan Togean
(1.246 m) dan daerah sekitarnya (1.236 m). Hal ini
menyebabkan arus bergerak dari perairan ini ke segala arah
dan terus mendorong massa air sekitarnya ke luar perairan
teluk. Kecepatan arus mencapai maksimum 0.3 m/det di
perairan Kepulauan Togean, tepatnya di Selat Wadea dimana
arus bergerak ke arah Timurlaut.

Ekosistem
Pada tahap awal ini, model yang dihasilkan masih berbentuk
struktur utama (kerangka model) yang akan disimulasikan
untuk pencarian opsi kebijakan dengan memperhatikan
beberapa hal.
Pertama, dari pembagian kelompok fungsional, terlihat pada
tabel di halaman belakang bahwa beberapa kepentingan
utama rencana pengembangan Teluk Tomini telah terkandung
di dalam model EwE. Aspek Perikanan tangkap, khususnya
untuk jenis-jenis Cakalang dan Tuna Ekor Kuning, yang
merupakan komoditi utama Teluk Tomini, sudah dimasukkan
dalam kelompok fungsional. Dari perhitungan sementara
dapat dihitung biomassa ikan Cakalang dan Tuna di perairan
Teluk Tomini sebesar 0.252 tonkm-2.
Aspek lain dari kedua species komersial ini adalah ditengarai

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

72

Gambar Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Tomini saat kondisi perbani pada:
(A) Surut, (B) Menjelang Pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang Surut

Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Teluk Tomini saat kondisi purnama pada:
(A) Surut, (B) Menjelang Pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang Surut

73

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Tabel Komponen Kelompok Ekosistem Teluk Tomini

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

21

22
23
24

Ekosistem Teluk Tomini : Model Framework


Kelompok Fungsional
Komponen Kelompok
Detritus
Phytoplankton
Lamun
Budidaya Seaweed
Euchema spinosum
Seaweed alami
Euchema spinosum, Gracillaria spp.
Herbivorous Zooplankton
Sergestidae, Mysids
Carnivorous Zooplankton
Chaetonagtha, salps
Terumbu Karang
Hard corals
Sponges dan hewan lunak
Sponges, soft corals, sea fans, gorgonians, etc.
Ubur-ubur
Teripang
Sea cucumbers
Hewan benthic epifauna lainnya
Sea stars, sea urchins, crown-of-thorns, abalones? (Haliotis spp.)
Benthic infauna
Molluscs (i.e., bivalves, gastropods, etc.)
Crustaceans
Crabs (Scylla serrata), lobsters
Udang
Penaeus monodon,
Cumi-cumi dan Gurita
Loligo spp., Sepia spp. and Octopus spp.
Tiram Mutiara
Pinctada maxima? P. margaritifera
Cakalang (Anakan & Dewasa)
Katsuwonus pelamis
Yellowfin Tuna (Anakan & Dewasa)
Thunus albacares
T. obesus (bigeye), T. alalunga (albacore), Makair a nigricans, Istiophorus
orientalis, Tetrapturus audax, Makaira indica, Acanthocybium solandri
Pelagis besar lainnya (> 90 cm)
(wahoo), Gymnosarda unicolor, Grammatorcynus bilineatus, Elagatis
bipinnulata (Sunglir),
Euthynus affinis (Eastern Little Tuna) , Caranx spp. (Jack trevallies),
Formio niger (black pomfret), Scomberomorus commersoni (tenggiri),
Medium pelagics (30 - 90 cm)
Trichiurus spp. (layur), Cypselurus spp. (flyingfish), Auxis thazard (Frigate
Tuna)
Rastrelliger kanagurta (kembung), Decapterus sp. (layang), Sardinella
spp. (sardines), Sardinella fimbriata (fringescale sardines), Engraulis spp.
Small pelagics (< 30 cm)
(anchovies), Stolephorus spp. (anchovies), Selaroides spp. (Trevallies),
Hemirhampus spp.,
Hiu
Carcharhinus limbatus, Nebrius ferrugineus,
Pari
Dasyatis kuhlii, Taeniura lymma, Trigonidae

25 Sml. Demersal RA (< 30 cm)

26 Sml. Demersal NRA (< 30 cm)


27 Med. Demersal RA (30-90 cm)
28 Med. Demersal NRA (30-90 cm)
29 Large Demersal RA (> 90 cm)

Cardinal fish (Apogonidae), Squirelfish (Holocentridae), False Reef eels


(Chlopsidae), Dottybacks (Pseudochromidae), Pufferfish
(Tetraodontidae), Porcupine fish (Diodontidae), Fusiliers (Caesionidae),
Butterfly fish (Chaetodontidae), Damselfish (Pomacentridae), Wrasses
(Labridae), Parrotfish (Scaridae), Gobies (Gobiidae),
Polynemus spp., Mugil spp., Siganidae (Rabbitfish), Threadfin & Coral
Breams (Nemipteridae), Ponyfish (Leiognathidae),
Surgeonfish (Acanthuridae), Emperors (Lethrinidae), Goatfish (Mullidae),
Angelfish (Pomacanthidae), Wrasses (Labridae),
Sea catfish (Ariidae)
Moray eels, groupers (Serranidae), snappers (Lutjanidae), Humphead
Wrasses (Cheilinus undulatus), Sphyraenidae (Barracudas),

30 Large Demersal NRA (> 90 cm)


31 Penyu

Green turtle (Chelonia mydas) and Leatherback turtle (Dermochelys


coriaceae)

32 Ikan Paus Baleen


33 Ikan Paus bergigi (Toothed)
34 Burung laut

Haliaetus leucogaster (White Bellied Sea Eagle)

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

74

75

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

T r o p h i c L ev el
1

Phytoplankton

Zooplankton

Cumi -cumi

Cakalang

Small Demersal
RA

Rumput Laut

Detritus

Ubur-ubur

Teripang

Small Pelagics

Large Pelagics

Med. Demersal RA

Terumbu Karang

Spons

Small Demersal
NRA

Lrg Demersal RA

Diagram skematik kelompok fungsional penyusun ekosistem Teluk Tomini

Lamun

Crustacea

Tiram Mutiara

Yellowfin Tuna

Penyu Laut

Burung Laut

Paus dan Lumba-lumba

Benthic Epifauna

Med.
Demersal
NRA

Hiu dan
Pari

bahwa keberadaan jenis-jenis ini di perairan Teluk Tomini


masih dalam stadium pre-adult atau anakan besar. Dengan
demikian hal itu menujukkan bahwa perairan Teluk Tomini
adalah tempat pembesaran (nursery ground) bagi ikan-ikan
Tuna yang bermigrasi dari Samudra Pasifik atau Laut Seram.
Hal lain yang berkaitan dengan aspek penangkapan adalah
manajemen sumberdaya ikan. Diketahui bahwa pada
dasarnya jumlah stok ikan pelagis besar seperti Tuna dan
Marlin sudah menurun secara drastis (Myers dan Worm,
2002, Pauly, et. al. 2001, Wagey, 2003). Artinya, dengan
rencana pemanfaatan sumberdaya ikan di daerah ini, perlu
dipikirkan aspek pengelolaan yang menjamin kelangsungan
kegiatan ini untuk jangka panjang. Salah satu yang diusulkan
adalah dengan adanya pembatasan ijin penangkapan dan
penutupan areal penagkapan yang didedikasikan sepenuhnya
untuk konservasi stok. Opsi-opsi demikian akan terlihat pada
simulasi model ekosistem dengan meggunakan model
Ecosim (Walters, et. Al., 1997). Dengan biomassa cukup
besar yang terkandung didalam perairan Teluk Tomini,
tentunya bahan makanan yang besar pula untuk
mempertahankan kelangsungan hidup.
Kedua, aspek perikanan budidaya, juga demikian dengan
memasukkan aktifitas budidaya rumput laut dan kerang
mutiara. Diperkirakan alur biomassa dalam jumlah kandungan
karbon yang masuk dan keluar dapat diprediksi melalui
jumlah produksi rumput laut secara total dari daerah ini.
Aspek lainnya yang selayaknya mendapat perhatian adalah
keberadaan ekosistem terumbu karang di kepulauan Togian.
Menurut Anonymous (2003) kondisi terumbu karang di
daerah Kep. Togian masih tergolong baik. Selanjutnya, Allen
dan Adrim (2003) menyebutkan ada sedikitnya spesies ikan
karang yang endemik di daerah ini. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan kondisi perairan dan terumbu karang yang
masih baik, kepulauan Togian harus mendapatkan perhatian
untuk menjamin kelestarian dari keragaman hayati ekosistem
terumbu karang. Dapat diusulkan untuk kemudian daerah ini
menjadi salah satu DPL (Daerah Perlindungan Laut). Untuk itu

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

perlu menjaga daerah ini dari kegiatan penangkapan yang


berlebihan dan terutama dari aktifitas penangkapan ikan yang
menggunakan bahan peledak atau racun. Dampak utama dari
kerusakan terumbu karang adalah hilangnya koleksi alami
yang berasal dari ribuan tahun, dan hilangnya sumber devisa
pemerintah setempat melalui kegiatan pariwisata.

Analisis Rapfish Perikanan Teluk Tomini


Pendahuluan
Dilihat dari sudut pandang posisi geografisnya, provinsiprovinsi di sekitar Teluk Tomini, yaitu Sulawesi Tengah,
Gorontalo, dan Sulawesi Utara, sangat berpeluang untuk
mengembangkan ekonomi melalui pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Perairanperairan yang melingkungi provinsi-provinsi ini, yaitu Selat
Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk
Tolo merupakan wilayah perairan dengan cakupan areal yang
cukup luas, dengan sumberdaya yang terbilang sangat subur.
Teluk Tomini menarik perhatian banyak pihak karena selain
kesuburannya juga karena tingkat pemanfaatannya yang masih
rendah, sehingga membuka peluang bagi ketiga provinsi yang
berbatasan dengannya untuk membangun basis
perekonomian di perairan tersebut. Potensi sumberdaya
perikanan di Teluk Tomini adalah sebagai berikut: pelagis
besar (tuna, cakalang, dan sebagainya) 106.000 ton/tahun,
pelagis kecil 379.440 ton/tahun, dan demersal 83.840
ton/tahun, lain-lain 17.970 ton/tahun. Apabila dijumlahkan,
potensi berbagai sumberdaya perikanan yang terkandung
oleh perairan Teluk Tomini mencapai 587.220 ton/tahun.
Dari sisi pemanfaatan, laporan-laporan yang ada menyatakan
bahwa pada umumnya potensi perikanan yang ada di Teluk
Tomini belum tergali secara maksimal. Berdasarkan Laporan
Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi Sulawesi
Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara Tahun 2002,
misalnya, dinyatakan bahwa kecuali sumberdaya pelagis kecil
(Pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil di Teluk Tomini telah
mencapai 89%), sumberdaya perikanan di Teluk Tomini baru
dimanfaatkan kurang dari 50%. Untuk itu, sepintas terlihat
bahwa peluang peningkatan eksploitasi secara besar-besaran
76

masih sangat dimungkinkan.


Hasil produksi sebesar itu terdistribusi ke konsumen lokal
sebanyak sekitar 80% dan ke konsumen/pasar antar lain
pulau/daerah/luar negeri sebesar 20%. Tujuan-tujuan
pemasaran di luar negeri mencakup importir-importir
mancanegara, termasuk Jepang, Korea, Taiwan, Filipina,
Singapura, Hongkong, Eropa, dan Amerika.
Lepas dari gambaran positif menyangkut besarnya potensi
dari perikanan Teluk Tomini, kedepan, perencanaan
pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut
harus memperhitungkan segenap aspek yang terkait sehingga

keberlanjutan dari pengembangan tersebut dapat terjaga.


Aspek-aspek tersebut adalah di antaranya aspek ekologis,
aspek sosial, aspek teknologi, dan aspek etika. Penelitian ini
dimaksudkan untuk memberikan "snapshot" yang
menggambarkan keadaan perikanan dilihat dari aspek-aspek
tersebut. Dengan hasil "snapshot" tersebut, pembangunan
yang berjalan timpang, yaitu hanya maju di beberapa aspek
dan ketinggalan di aspek lain, dapat dihindarkan.
Keseimbangan dari aspek-aspek tersebut perlu diusahakan
karena ketertinggalan pada sebagian aspek akan
menyebabkan kemunduran pada aspek yang lain, yang pada
akhirnya secara berantai akal pula menyebabkan kehancuran

Gambar bawah:
Ikan asin yang sedang dijemur merupakan salah satu hasil "sampingan"
nelayan di Gorontalo untuk konsumsi lokal selain ikan segar yang
biasanya untuk keperluan ekspor.

seluruh aspek.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya ekses negatif
dari proses pembangunan yang timpang semakin perlu
dicermati sehubungan dengan adanya isu-isu penting yang
berkembang di provinsi-provinsi ini. Salah satunya adalah
yang terkait dengan program pengembangan perikanan yang
dikemas dalam Etalase Perikanan, yang apabila tidak dikelola
secara baik sejak awal, dapat berkembang menjadi rancangan
yang kontraproduktif. Misalnya, sangat dimungkinkan bahwa
ekspose potensi perikanan dapat berakibat pada eksploitasi
berlebih, dominasi investor/pengusaha asing, dan distribusi
manfaat sumberdaya yang kurang adil antara pelaku lokal dan
luar negeri, yang pada gilirannya akan berdampak negatif
pada aspek sosial: misalnya timbulnya kecemburuan sosial.
Peluang terjadinya gambaran suram seperti itu tidak kecil
karena berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala dari ekses
negatif seperti digambarkan di atas telah terjadi bahkan
sebelum adanya ekspose intensif potensi sumberdaya
perikanan Teluk Tomini; meningkatnya dominasi kapal-kapal
penangkap asing dan masalah 'transhipment' pada beberapa
perikanan telah berkembang dengan laju cukup
mengkhawatirkan.

Diagram layang-layang kinerja perikanan


Sulawesi Utara

Kebaharian

Ekologi
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

Untuk memberikan jaminan yang lebih besar terhadap


tercapainya tujuan pembangunan perikanan di wilayah ini,
memaksimalkan efektivitas kebijakan-kebijakan positif, dan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Sulawesi Utara Handline


Sulawesi Utara Mini Purse seine
Sulawesi Utara Bagan Perahu

Etika

Sosial

Teknologi

Diagram layang-layang kinerja perikanan


Sulawesi Tengah
Ekologi
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

Etika

Beberapa kebijakan telah diterapkan oleh pemerintah


setempat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
pembangunan yang salah arah. Salah satu dari kebijakan
tersebut adalah menyangkut pembatasan tonase kapal yang
beroperasi di Teluk Tomini. Dalam hal ini, hanya kapal-kapal
berbobot mati maksimum 10 GT diijinkan melakukan operasi
penangkapan di perairan tersebut. Kebijakan lain adalah yang
tertuang dalam program-program pengawasan dan
pengendalian kerusakan dan pencemaran ekosistem,
pengembangan peran serta masyarakat, program
pemberdayaan keluarga nelayan, dsb. Kebijakan-kebijakan ini
merupakan sisi positif dari situasi dan kondisi perikanan di
Teluk Tomini.

Ekonomi

Ekonomi

Sosial

Teknologi

Diagram layang-layang kinerja perikanan


Gorontalo
Ekologi
100.00
90.00
80.00
70.00

Kebaharian

60.00
50.00

Ekonomi

40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

Gorontalo Handline
Gorontalo Mini Purse seine
Gorontalo Bagan Perahu
Gorontalo Gillnet Dasar

Etika

Sosial

Teknologi

78

menekan kemungkinan timbulnya ekses negatif, perlu


dilakukan pengkajian tentang situasi dan kondisi perikanan
dipandang dari berbagai aspek dan prediksi dari
perkembangan kinerja dari aspek-aspek tersebut. Dalam
penelitian ini, pengkajian tersebut dilakukan dengan
menggunakan metoda Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries),
suatu metoda cepat yang memungkinkan 'pemotretan' situasi
dan kondisi dengan waktu dengan hasil yang diharapkan
mendekati akurat.
Hasil Analisis Rapfish
Secara garis besar, hasil Rapfish untuk perikanan Teluk Tomini
tergambar pada tiga diagram layang-layang dan grafik
leverage. Diagram-diagram layang-layang tersebut
menunjukkan performa dari masing-masing dimensi untuk
masing-masing perikanan di tiga provinsi yang dikaji. Dimensidimensi tersebut dinyatakan dalam skala 0 (pusat diagram) s/d
100 (kulit diagram). Makin tinggi angka skalanya, makin tinggi
ukuran performa dari dimensi dimaksud. Masing-masing
dimensi terdiri atas berbagai atribut, yang secara bersamasama menentukan nilai dari suatu dimensi.
Sementara itu, leverage menunjukkan seberapa besar
pengaruh dari masing-masing atribut terhadap tinggi
rendahnya nilai dari suatu dimensi. Misalnya, apabila hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai leverage tertinggi untuk
dimensi ekonomi adalah "distribusi manfaat", maka itu berarti
bahwa distribusi manfaat merupakan atribut yang krusial
dalam menentukan tinggi rendahnya kinerja ekonomi.
Implikasi lebih lanjut dari hasil semacam itu adalah bahwa
rekomendasi yang perlu diusulkan adalah perbaikan hal-hal
yang terkait dengan perbaikan distribusi manfaat.
Dari ketiga diagram layang-layang sebagaimana tergambar,
tampak satu hal yang menonjol: baik di provinsi Sulawesi
Tengah, Gorontalo, maupun Sulawesi Utara, nilai untuk
dimensi ekologi pada umumnya tinggi, namun nilai dimensi
teknologi dan ekonomi rendah. Secara logika, resultan dari
rendahnya nilai pada dimensi teknologi (terkait dengan

79

EKOLOGI
Exploitation Status
Recruitment Variability
Change in Trophic Level
Migratory Range
Range Collapse
Size of Fish Caught
Catch before Maturity
Discarded by Catch
Species Caught
Primary Production
EKONOMI
Subsidy
Sector Employment
Profitability
Ownership transfer
Other Income
Marketable Right
Market Destination
Limited Entry
Fisheries in GDP
Average Wage
SOSIAL
Socialization of Fishing
New Entrants into the Fishery
Kin Participation
Fishing Sector
Fishing Income
Fisher Influence
Environmental Knowledge
Education Level
Conflict Status
TEKNOLOGI
Vessel Size
Trip Length
Selective Gear
Pre-sale Processing
Landing Sites
Gear Side Effects
Gear
FADS
Catching Power
ETIKA
Mitigation of Habitat Destruction
Mitigation of Ecosystem Depletion
Law Enforcement
Just Management
Influences in Ethical Formation
Illegal Fishing
Equity in Entry
Discards & wastes
Conflict of Regulation
Alternatives
Adjacency & Reliance
KEBAHARIAN
Appreciation to marine esthetics
Satisfaction to marine related jobs
Supporting regulation
Public participation
Appreciation to maritime
Existence of Connflicting Regulations
Appreciation to fisheries products

1.50
4.90
2.28
6.21
3.28
3.20
3.10
2.89
2.56
2.05
1.53
3.98
0.95
3.58
3.34
4.52
2.00
1.98
1.51
2.64
1.53
2.53
2.21
3.94
3.18
2.98
2.69
4.66
4.21
3.25
1.20
4.22
2.04
2.28
2.28
5.50
5.06
3.32
3.50
3.90
4.05
3.78
3.50
5.07
3.79
4.82
4.32
4.32
4.17
4.84
5.11
2.72
7.43
2.54
1.70
4.29

Hasil Analisis Leverage

penggunaan alat yang ekstraktif) dan tingginya nilai dimensi


ekologi (terkait dengan masih rendahnya tingkat pemanfaatan
sumberdaya) adalah nilai yang tinggi pada dimensi ekonomi
(yang salah satu atributnya adalah profitabilitas). Beberapa
indikator penting seperti profitabilitas usaha dan penghasilan
nelayan memang menunjukkan nilai positif; namun demikian,
beberapa yang lain memberikan pengaruh negatif yang lebih
besar sehingga produk nettonya adalah ukuran kinerja

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Gorontalo merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi gizi
rendah untuk anak kelompok lima tahun ke bawah. Walaupun pada
tahun 2002 terjadi peningkatan angka harapan hidup laki-laki 3%
dan perempuan 5%. Konflik antar nelayan yang berkepanjangan
akan semakin menyuramkan masa depan anak-anak ini.

ekonomi yang lebih rendah.


Daftar atribut yang menonjol yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap tinggi rendahnya kinerja masing-masing
dimensi dapat dilihat pada hasil analisis leverage
Berikut adalah analisis masing-masing dimensi yang
didasarkan atas hasil leveraging:
a. Dimensi ekonomi:
Meskipun sebagian atribut dari dimensi ekonomi
menunjukkan nilai positif yang cukup tinggi, beberapa atribut
lainnya mengindikasikan situasi yang tidak terlalu baik.
Sebagian atribut yang menunjukkan nilai tinggi tersebut adalah
yang terkait dengan tingkat pendapatan nelayan. Misalnya,
untuk provinsi Gorontalo, menurut catatan BPS pendapatan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

perkapita rata-rata nelayan di provinsi tersebut adalah


sebesar Rp 3.8 juta/tahun, sedangkan pendapatan rata-rata
penduduk adalah 2.1 juta/tahun. Satu perkecualian yang perlu
dicatat untuk data mengenai pendapatan ini adalah bahwa
tidak seperti pada perikanan jenis lainnya, hasil wawancara
langsung dan verifikasi lapang menunjukkan bahwa nelayan
gillnet dasar pada umumnya berpenghasilan sangat rendah.
Faktor-faktor yang juga berperan menurunkan penilaian
kinerja dimensi ekonomi adalah total sumbangan sektor
perikanan terhadap PDRB dan komposisi pendapatan.
Berdasarkan data BPS di provinsi-provinsi di Teluk Tomini,
kontribusi perikanan secara total terhadap PDRB adalah jauh
dibawah angka 10%, sehingga dapat diartikan bahwa masingmasing jenis perikanan yang dianalisis menyumbang PDRB
80

Gambar atas:
Sektor budidaya laut dikembangkan dengan beberapa komoditas
unggulan yang kebanyakan menggunakan keramba jaring apung
seperti kakap, kerapu, beronang, kerang-kerangan maupun
rumput laut.

kurang dari nilai tersebut, suatu nilai yang sangat rendah.

yang diperoleh dari sumber-sumber data sekunder tidak

Diperoleh indikasi bahwa nilai sesungguhnya dari PDRB dari

dapat mengesampingkan kenyataan bahwa PDRB perikanan

subsektor perikanan lebih tinggi dari yang tertampilkan dalam

jauh di bawah PDRB dari subsektor lain pada sektor

laporan resmi. Namun demikian, observasi lapang

pertanian, maupun sektor lain, misalnya industri.

menunjukkan bahwa selisih antara nilai sesungguhnya dengan

81

Sementara itu, komposisi pendapatan nelayan dipandang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

kurang baik karena terlalu condong kearah pendapat

Kedua atribut tersebut menunjukkan nilai yang paling tinggi di

dominan bagi para nelayan. Hal ini merupakan kondisi yang

antara atribut-atribut lain. Hasil observasi lapangan

tidak sehat karena mengindikasikan ketergantungan yang

menegaskan pentingnya kedua atribut ini: ketiadaan hak

sangat besar pada sumberdaya perikanan. Seperti normalnya,

pengelolaan/pemanfaatan yang lebih pasti, dan

ketergantungan yang besar akan menyebabkan kerentanan,

terkonsentrasinya penyerapan tenaga kerja pada jenis

dan hal ini berpotensi menimbulkan tekanan terhadap

perikanan tertentu, menyebabkan kecenderungan akan

sumberdaya.

terjadinya ekstraksi sumberdaya secara berlebih.

Analisis leverage lebih lanjut menunjukkan bahwa di antara

b. Dimensi Sosial
Untuk perikanan Teluk Tomini, atribut yang menonjol pada

atribut-atribut yang menonjol pada dimensi ekonomi, atribut


marketable right dan sector employment merupakan dua
atribut yang paling memerlukan perhatian yang serius karena
pengaruhnya yang sangat besar terhadap dimensi ekonomi.

dimensi sosial adalah tingkat pendidikan nelayan dan konflik di


antara nelayan. Tentang atribut pendidikan, secara relatif
tingkat pendidikan nelayan tidak jauh berbeda dengan tingkat
pendidikan rata-rata penduduk lainnya; namun demikian,
Gambar bawah:
Budidaya Kerapu merupakan salah satu yang sedang digalakkan
sebagai komoditas unggulan dalam keramba jaring apung.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

82

secara absolut capaian tingkat pendidikan nelayan mesih perlu

Gorontalo (Kabupaten Pohuwato). Konflik tersebut timbul

ditingkatkan untuk mendongkrak performa kinerja nelayan di

akibat perbedaan kepentingan antara kelompok nelayan yang

Teluk Tomini. Observasi di lapangan menunjukkan bahwa

berbeda. Misalnya, kepentingan sekelompok nelayan

kinerja usaha perikanan sering menjadi rendah karena

penangkap ikan demersal yang menggunakan bom

rekriutmen anak buah kapal pada unit-unit penangkapan

menyebabkan terganggunya kepentingan kelompok nelayan

dilakukan tanpa mempertimbangkan latar belakang

bagan dan kelompok lain di sekitarnya karena pertumbuhan

kemampuan/ketrampilan (skill)-nya. Latar belakang

stok ikan terganggu. Hasil wawancara dengan responden

pendidikan formal yang terbatas memperkuat dampak negatif

yang mewakili nelayan-nelayan bagan menunjukkan bahwa

perekrutan yang tidak mempertimbangkan skill, sehingga

implikasi yang logis dari kondisi seperti ini adalah suatu

banyak unit usaha yang menurun kinerjanya.

urgensi untuk melakukan koordinasi penanganan yang lebih

Mengenai konflik, kasus-kasus menonjol terjadi pada

baik di antara semua yang berkepentingan.

perikanan handline di provinsi Sulawesi Tengah (hampir di

Atribut dimensi sosial lain yang juga menonjol adalah pemain

semua kabupaten) dan perikanan bagan di provinsi

baru dalam perikanan. Seperti umum terjadi pada perikanan-

Gambar bawah:
Tampak salah satu peluang yang tengah ditawarkan dalam
bidang Kelautan dan Perikanan di provinsi Gorontalo yaitu
budidaya kerang mutiara. Di provinsi ini, budidaya kerang
mutiara mencakup areal seluas 3000 Ha.

83

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

perikanan lain di Indonesia, kenaikan jumlah nelayan pada

(pada perikanan pajeko/mini purse seiner), lampu (pada

semua jenis perikanan dalam waktu 10 tahun terakhir sangat

bagan), dan umpan merupakan alat bantu yang umum

tinggi; tidak ada kenaikan di bawah 100 %. Bahkan, di

dipergunakan nelayan Teluk Tomini. Perikanan handline tuna

provinsi Gorontalo, total nelayan meningkat dari hanya

bahkan menggunakan dua jenis FAD sekaligus. Di antara

sekitar 2000 orang pada 10 tahun yang lalu, menjadi 17000

jenis-jenis perikanan yang dikaji, hanya gillnet dasar yang

orang pada tahun 2002. Apabila perkembangan ini terus

mendapatkan nilai positif untuk atribut ini. Alat ini hanya

berlanjut dengan laju yang tidak berkurang, maka

mengandalkan arus untuk menjebak ikan untuk tersangkut

keberlanjutan perikanan ini dapat terancam.


Atribut lain yang juga penting adalah socialization in fishing,
yang merupakan proksi bagi besarnya peluang perikanan
untuk melibatkan calon partisipan secara adil (memiliki
kesempatan yang sama). Dalam hal ini terdata dari kegiatan
lapang bahwa pada umumnya perikanan di Teluk Tomini
melibatkan anggota keluarga atau kerabat dalam jumlah
signifikan. Untuk beberapa kasus, bahkan unit usaha
dijalankan sepenuhnya oleh individu-individu yang masih
terkait hubungan keluarga dekat. Dalam analisis Rapfish, ini
dikategorikan sebagai kondisi yang negatif karena pelibatan
partisipan dari komponen masyarakat yang beragam
berkecenderungan memungkinkan pelestarian sumberdaya

Tabel Leverage of Management Attributes

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00
4.55

Koordinasi program pembangunan

4.95

Potensi konflik antar nelayan

4.64

Mekanisme pengambilan keputusan


Potensi konflik penyelenggara pemerintahan
Penyediaan dana
Penyediaan sarana
Pembagian benefit
Pengawasan illegal fishing

6.00

Asesmen terhadap performa


berbagai pilihan kebijakan
Desentralisasi Pengelolaan
Secara Penuh

60

Marine Protected Area

Otorita Penuh (Independent)

Co-management

Community-based Management

pada jaring; dengan demikian dampaknya terhadap


sumberdaya dapat diklasifikasikan minimal.
d. Dimensi Ekologi
Untuk dimensi ekologi, analisis leverage menunjukkan bahwa
atribut yang paling berpengaruh adalah jangkauan ruaya ikan.
Dalam hal ini terkandung pengertian bahwa migrasi ikan

3.73
3.82

berpotensi menyebabkan masalah yang besar untuk Teluk

3.65
3.74

Tomini. Terlebih lagi, dengan adanya otonomi daerah,

4.07

Pengawasan tangkapan

4.78

Pemeliharaan sumberdaya

4.79

masing-masing wilayah administratif sangat berpeluang untuk


mempraktekkan kebijakan yang tidak paralelel satu sama lain,
sehingga kelangsungan ekonomi yang berbasis pada
perikanan di wlayah ini dapat terancam.

berjalan dengan lebih baik.


c. Dimensi Teknologi
Untuk dimensi teknologi, atribut yang menonjol adalah
penggunaan alat pengumpul/penarik ikan (FAD). Rumpon

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

e. Dimensi Etik
Untuk dimensi etik, atribut yang paling perlu untuk
diperhatikan berdasarkan analisis leverage adalah pengaruh
norma/nilai lokal terhadap baik buruknya pengelolaan

84

Gambar atas:
Dengan sistem armada semut, nelayan tetap di tengah laut dan
segala kebutuhan mereka seperti makanan, BBM dicukupi melalui
Kapal Pamo yang berkekuatan 3 hingga 5 gross ton. Bila satu kapal
yang bertugas mengambil ikan hasil tangkapan nelayan membawa
ikan hasil tangkapan ke tempat Pelelangan Ikan satu kapal lain
mengantar kebutuhan nelayan.

sumberdaya. Berkembang di masyarakat perikanan di wilayah

adalah yang dikelompokkan kedalam hal-hal intrinsik yang ada

ini beberapa nilai lokal, baik yang berpotensi membawa

di masyarakat (misalnya apresiasi terhadap produk Kelautan

dampak positif maupun negatif terhadap kelangsungan

dan Perikanan) dan usaha-usaha yang dilakukan oleh

sumberdaya perikanan. Observasi lapang mendukung hasil

pemerintah, misalnya keberadaan program-program

analisis ini: kebersamaan nelayan-nelayan bagan (terutama di

kebaharian. Dari analisis leverage, tampak bahwa partisipasi

Kabupaten Pohuwato, provinsi Gorontalo) dalam

masyarakat merupakan hal yang sangat berpengaruh.

mengusahakan terciptanya kondisi pengelolaan dan


pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik, telah berhasil
menekan kecenderungan berkembangnya praktek pengeboman
ikan. Tentu saja, hasil positif semacam ini akan sangat terkait
dengan keadaan atribut lain pada dimensi yang lain, misalnya
mengenai migrasi/ruaya ikan. Suatu nilai positif lokal yang
diterapkan di suatu lokasi tidak akan berarti banyak apabila
ikan-ikan yang dikelola beruaya ke tempat-tempat lain dan
mendapatkan perlakuan yang negatif, yang berasal dari nilai
lokal di wilayah lain.
f. Dimensi Kebaharian
Dimensi ini diperkenalkan dalam analisis Rapfish pada
penelitian ini untuk mengakomodasikan misi khusus
Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu yang menyangkut
pengembangan apresiasi kebaharian di kalangan masyakakat.
Termasuk atribut yang dipertimbangkan dalam dimensi ini

85

Lepas dari keragaman maupun keunikan dari hasil yang


diperoleh untuk masing-masing dimensi dan masing-masing
lokasi penelitian, tampak ada benang merah yang mengarah
pada perlunya pengelolaan Teluk Tomini secara bersama.
Dominansi atribut migratory range pada dimensi ekologi,
marketable right pada dimensi ekonomi, atribut conflict status
pada dimensi sosial, FADS pada dimensi teknologi, dan
'public participation' pada dimensi kebaharian, menunjukkan
benang merah dimaksud. Dalam konteks pembangunan
kelembagaan pengelolaan, benang merah ini merupakan
acuan awal yang valid untuk melukiskan gambaran dari apa
yang seharusnya dilakukan di dan diterapkan untuk
sumberdaya Teluk Tomini.
Gambaran arah pengembangan sumberdaya Teluk
Tomini:
Hasil analisis Rapfish ini perlu dioperasionalkan lebih lanjut

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar samping:
Pemandangan sehari-hari di pantai di Teluk Tomini dengan kandungan
kekayaan laut yang luar biasa. Statistik Dinas Perikanan Teluk Tomini
memperlihatkan bahwa daerah ini memiliki potensi perikanan tangkap
sebesar 587.670 ton.

dalam bentuk pembentukan/perumusan kelembagaan yang


diperlukan untuk mengelola Teluk Tomini. Sebagaimana
disebutkan di atas, hasil analisis menunjukkan perlunya suatu
bentuk pengelolaan yang mengedepankan partisipasi
masyarakat dan tidak mengabaikan aspek koordinasi.
Berbagai pihak telah memunculkan berbagai wacana tentang
bentuk-bentuk pengelolaan Teluk Tomini, di antaranya
pembentukan otorita, community based management (CBM),
Co-manajemen, dan marine protected area (MPA), dan kondisi
status quo (pengelolaan secara individual perwilayah
administrasi). Benang merah yang teridentifikasi dalam
penelitian ini telah berhasil mengeliminasi beberapa wacana
yang berkembang, termasuk wacana desentralisasi penuh
dan wacana tersentralisasi oleh suatu kelembagaan otoritas
yang mengabaikan aspek partisipasi. Untuk mengkaji lebih

Gambar bawah:
Salah satu TPI di Kabupaten Boalemo yang menjadi sektor unggulan
perekonomian bidang perikanan dan kelautan. Dengan berbagai jenis
ikan bernilai ekonomis tinggi serta kondisi geografisnya maka tak salah
jika daerah ini dipilih sebagai lokasi utama untuk etalase perikanan.

jauh, berikut adalah analisis lanjutan yang memperbandingkan


bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan, yang didasarkan
pada kondisi provinsi-provinsi di Teluk Tomini.
Telah diperbandingkan berbagai pilihan yang ada ditinjau dari
berbagai kriteria yang dianalisis dengan pendekatan
multidimensional scaling. Dalam hal ini, tampak bahwa
community based management dan desentralisasi terbatas
untuk pengelolaan merupakan dua alternatif yang dapat
dipertimbangkan lebih lanjut sebagai embryo bagi bentuk
kelembagaan pengelolaan yang seharusnya diterapkan di
Teluk Tomini. Namun demikian, hasil ini masih memerlukan
peninjauan ulang dengan memasukkan atribut relevan lain,
yang dapat diperoleh dalam suatu penelitian pelengkap yang
ditujukan untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini. Satu hal
yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penelitian lanjutan
tersebut tidak seharusnya mencakup pilihan yang terlalu
banyak; koridor yang membatasi pilihan tersebut telah
diperoleh dari penelitian ini.
Berdasarkan itu, pilihan-pilihan yang perlu dikaji adalah
misalnya: coordinated responsible community-based
management, yaitu suatu bentuk manajemen masyarakat
yang telah ditingkatkan kualitasnya yang diselenggarakan
secara secara terkoordinasi, atau limited common authority
(otorita bersama terbatas), suatu bentuk forum bersama yang
memiliki otoritas pada hal-hal tertentu yang terkait dengan
pengelolaan perikanan.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

86

Melalui kelembagaan seperti itu, aspek-aspek positif dapat


diperkuat dan sisi negatif diminimalkan. Misalnya, pada model
pertama, aspek partisipasi dari community-based management
dapat diperoleh sedangkan sisi negatifnya (yang terkait
dengan kemungkinan tidak efektifnya pengelolaan masyarakat
di suatu lokasi karena kegagalan manajemen di lokasi lain)
dapat dikurangi melalui koordinasi yang baik. Pada model
kedua, pengelolaan yang terpusat dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya keputusan-keputusan yang
bertentangan karena keputusan tersebut dibuat oleh satu
otoritas yang tunggal; sedangkan istilah terbatas, dimaksudkan
untuk mengeliminasi kemungkinan munculnya ekses negatif
dari pemberian otoritas yang tak terbatas, yang justru dapat
berakibat kontraproduktif.
Apabila model kelembagaan sebagaimana tersebut di atas
dapat dikembangkan dan diimplemenatasikan, kekurangankekurangan sebagaimana tergambar pada analisis leverage

87

dapat diperkecil. Dengan demikian, nilai dari dimensi-dimensi


yang dengan kondisi sekarang tercatat rendah, dapat
dinaikkan. Lebih lanjut, kinerja perikanan dapat membaik
dalam semua aspek (dimensi), sehingga keberlanjutan
ekonomi yang berbasis berairan Teluk Tomini dan kelestarian
sumberdaya pendukungnya dapat terjaga.

RESUME
Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidrooseanografi, ecopath dan rapfish maka dapat diresume
sebagai berikut :
1.

Kondisi arus permukaan pada bulan Oktober di


perairan Teluk Tomini dipengaruhi oleh pola
batimetri perairan dan juga kondisi perairan Laut
Maluku yang merupakan satu-satunya laut terbuka
yang berbatasan langsung dengan Teluk tomini.

2.

Pola arus di perairan Kepulauan Togian lebih dinamis


dibandingkan lokasi lain di perairan teluk karena

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

perairan Kepulauan Togian memiliki batimeteri yang


lebih dangkal dibanding daerah sekitarnya serta
memiliki banyak celah sempit di antara pulaupulanya. Tunggang pasang surut maksimum rata-rata
pada bulan Oktober 2003 hasil prediksi adalah 264250 cm, dengan kondisi rata-rata tunggang pasut
maksimum lebih tinggi terjadi di perairan Kepulauan
Togean.
3.

4.

Kondisi perairan Kepulauan Togian selama simulasi


dijalankan berperan sebgai daerah pertemuan arus
yang masuk dari arah Timur, Utara dan Barat.
Pola pergerakan arus permukaan yang dibangkitkan
oleh pasang surut pada kondisi purnama dan perbani
memperlihatkan kondisi arus yang relatif tenang
hampir di seluruh perairan pada saat kondisi pasang
dan kondisi surut, sedangkan pada selain kondisi
pasang dan kondisi surut, kondisi arus permukaan
cenderung menguat dan lebih dinamis.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

5.

Perairan teluk Tomini dapat menjadi model untuk


pengembangan pembangunan kelautan dalam
berbagai bidang. Pembangunan pariwisata dan
konservasi terumbu karang dapat dikembangkan di
daerah kepulauan Togian. Sedangkan untuk
perikanan tangkap untuk jenis ikan pelagis besar dan
budidaya di lokasi yang terlindung, masih
mungkinkan untuk dikembangkan sesuai dengan
prinsip pemanfaatan sumberdaya yang lestari.

6.

Pengukuran kinerja perikanan Teluk Tomini, yang


menunjukkan beberapa kekurangan,
mengindikasikan adanya urgensi untuk perbaikan.
Perbaikan tersebut perlu dituangkan dalam bentuk
pembentukan kelembagaan pengelolaan yang dapat
mengatasi berbagai masalah sebagaimana
ditunjukkan oleh rendahnya nilai/skor berbagai
atribut pada analisis Rapfish dalam penelitian ini.

88

Teluk Saleh

eluk Saleh terletak di Pulau Sumbawa, Nusa


Tenggara Barat, pada posisi 117 - 118 BT dan
8.8 - 8.1 LS, merupakan perairan semi tertutup
dan berhubungan langsung dengan Laut Flores. Perairan ini
merupakan fishing ground bagi nelayan tradisional yang
bermukim di Sumbawa Besar dan sekitarnya serta berfungsi
sebagai lahan budidaya rumput laut dan kerang mutiara.

Hidro-oseanografi
Pemantauan sifat fisik dan kimia air laut di Teluk Saleh secara
detail pernah dilakukan dengan menggunakan kapal
penelitian K/R Baruna Jaya VII (Edward, M. Djen Marasabessy
dan I. Pellupassy, 2001). Parameter kualitas air yang terdiri
dari suhu, salinitas, pH, kecerahan, benda padat terapung,
lapisan minyak, dan bau. Suhu, salinitas, pH, dan kecerahan
langsung diukur dilokasi penelitian (insitu) dengan
menggunakan termometer, salinimeter, kertas pH universal,
sechi disk, sedangkan benda terapung, lapisan minyak secara
visual dan bau secara organoleptik. Adapun hasil dari
penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel dibalik halaman
ini.
Pada tabel tersebut diketahui suhu berkisar antara 27.0 C
sampai 29.05 C, dengan rerata 27.78 C. Sedang salinitas
di perairan Teluk Saleh rata-rata 32.77. Nilai pH sebesar
8.0, dan pH ini relatif sama untuk setiap stasiun pengamatan.
Tingkat kecerahan air laut berkisar antara 6.0 8.0 meter
dengan rata-rata 13.40 meter. Kecerahan ini relatif tinggi,
artinya bahwa tingkat sedimentasi di perairan ini relatif
rendah dan perairan relatif jernih dan sangat mendukung
untuk kehidupan terumbu karang
Hasil pengamatan terhadap benda padat terapung, lapisan
minyak dan bau adalah nihil, artinya bahwa perairan ini relatif
bersih dari sampah-sampah padat terapung seperti kayu,
plastik, karet dan sebagainya.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

90

No

Suhu (oC)

Salinitas

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Rerata

28,0
28,0
27,9
27,5
28,0
28,0
27,0
27,5
27,5
27,9
28,0
27,0
28,0
28,0
27,0
27,0
28,0
29,0
28,0
28,0
28,0
28,0
27.78

33,0
32,0
32,0
32,0
32,0
32,0
32,9
32,8
32,5
32,0
32,9
32,1
32.0
32,0
32,0
32,0
32,0
32,5
32,5
32,0
32,0
32,0
32.77

o/oo

pH
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
8.0

Kecerahan
( meter )
18
17
10
12
11
12
8
13
14
11
14
18
15
14
10
15
14
18
18
6
13.4

Benda
Terapung
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil

Lapisan
Minyak
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil

Bau
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil

Tabel Parameter Fisik dan Kimia Air Laut di Teluk Saleh

Hidrodinamika
Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa

Time Series Boundary - West

elevation - m

Pasang Surut
Berdasarkan pengamatan terhadap hasil prediksi pasang surut
menggunakan Oritide Global Tide Model untuk bulan Oktober
2003 dan peta distribusi tipe pasut Se-Asia Tenggara dari
Wrytki (1961) diperoleh bahwa tipe pasut di perairan Teluk
Saleh adalah campuran cenderung harian ganda (Mixed Semi
Diurnal), lihat gambar disamping. Prediksi tersebut
menunjukkan bahwa pada bulan Oktober 2003 tinggi ratarata air pasang tertinggi adalah +74,56 cm, air surut
terendah 69,12 cm, dengan tunggang maksimum sekitar
143,68 cm (Tabel pada halaman samping).

1.5
1
0.5
0
0

100

200

300

400

500

600

time - h

Gambar Elevasi Muka Laut Teluk Saleh selama 31 Hari


di Batas Terbuka Area Model Bagian Barat

arus yang memasuki Teluk Saleh berasal dari Laut Flores yang
91

700

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa. Massa air tersebut


mengalir melewati dua selat yang masing-masing berada di
Elevasi Muka Air (cm)

sebelah barat daya dan timur Pulau Moyo. Hasil simulasi

Air Pasang Tertinggi

-69,12 hingga -67,68

menunjukkan bahwa arus yang mengalir melewati Selat

Air Surut Terendah

+72,48 hingga +71,68

Tunggang Maksimum

140,16 hingga 143,68

Batahai (sebelah timur dari P. Moyo) lebih dominan


dibandingkan dengan Selat Saleh (sebelah barat daya dari P.

Tabel Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan


Tunggang Maksimum Tahun 2003

Moyo). Hal ini terjadi karena batimetri perairan di Selat


Batahai lebih dalam, sedangkan batimetri perairan di Selat
Saleh jauh lebih landai. Pertemuan dua arus utama yang
berasal dari kedua selat tersebut mengakibatkan terbentuknya

Gambar bawah:
Alat ADP (Acoustic Doppler Profiler) yang merupakan salah satu
instrumen kelautan yang secara berkala memancarkan gelombang
suara ke kolom air dan kemudian dipantulkan kembali sehingga bisa
didapatkan data tentang kecepatan arus air pada kolom tersebut.
Tampak alat tersebut sedang diamati untuk melihat apakah terjadi
kerusakan setelah sempat hilang tersapu badai selama 3 hari.

Selat Batahai

Teluk Sanggar

9090000
P. Sumbawa
9080000

9070000

Selat Saleh
P. Dangar Besar
P. Liang Maya

9060000

TELUK SALEH

P. Ngali
9050000
P. Rakiet

P. Sumbawa
9040000

9030000
560000

570000

580000

100

590000

200

300

600000

400

610000

500

600

700

620000

800

630000

640000

900

Batimetri Perairan Teluk Saleh

93

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Saleh saat kondisi perbani pada:
(A) Menjelang surut, (B) Surut, (C) Menjelang pasang, (D) Pasang

Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Teluk Saleh saat kondisi purnama pada:
(A) Menjelang surut, (B) Surut, (C) Menjelang pasang, (D) Pasang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

94

beberapa arus memutar (eddy) yang terkonsentrasi di bagian

Saat air surut pada kondisi pasut Perbani memperlihatkan

utara perairan. Hal ini mengakibatkan perairan Teluk Saleh

bahwa secara umum elevasi perairan Teluk Saleh bagian

bagian utara jauh lebih dinamis dibandingkan bagian selatan

selatan lebih tinggi dibanding elevasi muka laut bagian utara.

perairan.

Hal ini menimbulkan arus bergerak keluar dari Teluk Saleh

Pola Arus Pasut Kondisi Perbani


Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut
perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut:

melalui kedua selat, dimana kecepatan arus yang melewati


Selat Batahai lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan arus
yang melewati Selat Saleh. Kecepatan arus di Teluk Saleh pun
melemah, sehingga eddy yang terbentuk baik pada saat

Pola arus saat air menjelang surut menunjukkan bahwa arus

menjelang surut kehilangan gaya penggeraknya yang

bergerak memasuki Teluk Saleh dari kedua selat dengan

mengakibatkan kecepatan dan diameter eddy berkurang.

kecepatan relatif rendah (0,5-1 m/detik), dimana arus yang


masuk melewati Selat Batahai memiliki kecepatan yang lebih
tinggi dibandingkan arus yang masuk dari Selat Saleh. Tampak
juga beberapa eddy dengan diameter terbesar mencapai 1
km. Eddy ini terbentuk di zona pertemuan arus yang terletak
tepat di sebelah selatan Pulau Moyo. Terlihat pula bahwa
muka laut perairan bagian selatan Teluk Saleh memiliki
elevasi yang lebih tinggi dibanding muka laut bagian utara.

Saat air menjelang pasang pada kondisi pasut Perbani


memperlihatkan bahwa secara umum elevasi muka laut
perairan Teluk Saleh relatif lebih rendah dibandingkan
perairan sekitarnya. Akibatnya timbul arus berkecepatan tinggi
(~6 m/detik) yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat
Batahai. Terlihat pula adanya arus berkecepatan lebih rendah
yang meninggalkan Teluk Saleh melalui selat tersebut. Di
bagian Selat Saleh, terdapat pula aliran arus yang

Gambar bawah:
Keadaan Tide Gauge dan 'pelampung'nya setelah didera
badai selama hampir satu minggu.

Gambar atas:
Rombongan peneliti dari BRKP sedang berdiskusi dengan Kepala
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumbawa di kantor.

meninggalkan Teluk Saleh dengan kecepatan yang lebih

Teluk Saleh melewati Selat Batahai. Pada selat bagian barat

rendah dibandingkan kecepatan arus yang memasuki Teluk

terlihat adanya arus berkecepatan relatif rendah yang

Saleh melalui Selat Batahai. Kondisi arus ini mengakibatkan

bergerak meninggalkan Teluk Saleh (~2 m/detik). Terlihat

eddy melemah.

penampakan beberapa eddy dengan diameter terbesar

Saat air pasang pada kondisi pasut Perbani memperlihatkan


adanya aliran arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat
Batahai dan meninggalkan Teluk Saleh melalui Selat Saleh.
Elevasi muka air rata-rata meningkat dengan ketinggian yang
hampir seragam di seluruh perairan Teluk Saleh dan eddy
kembali terbentuk dengan baik.

mencapai 1 km. Eddy ini terbentuk di zona pertemuan arus


yang terletak tepat di sebelah selatan Pulau Moyo. Selain itu
terlihat pula bahwa elevasi muka laut perairan Teluk Saleh
memiliki harga yang nyaris seragam (1-1,5 m), sementara
pada daerah terbentuknya eddy timbul zona depresi yang
memiliki elevasi lebih rendah dari perairan sekitarnya (0,5-1
m).

Pola Arus Pasut Kondisi Purnama


Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut
Purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut:
Pola arus saat air menjelang surut menunjukkan adanya arus

harga yang relatif seragam. Hal ini mengakibatkan arus yang

berkecepatan tinggi (~10 m/detik) yang bergerak memasuki

bergerak keluar dari Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Saat air surut pada kondisi pasut Purnama memperlihatkan


bahwa secara umum elevasi perairan Teluk Saleh memiliki

96

arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai

Silvestre et al. 1993 dalam Buchary E. 1999 yang melakukan

memiliki kecepatan yang rendah.

penelitian di pesisir Brunei dengan nilai P/B ratio adalah 135.0

Saat air menjelang pasang pada kondisi pasut Purnama

tahun-1.

memperlihatkan bahwa secara umum elevasi muka laut


perairan Teluk Saleh relatif lebih rendah dibandingkan

Sedangkan Biomassa dan rasio P/B untuk benthic producers

perairan sekitarnya. Akibatnya timbul arus berkecepatan tinggi

diambil dari model Laut Cina Selatan oleh Pauly dan

(~10 m/detik) yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat

Christensen (1993), dengan nilai masing-masing 153.0

Batahai. Terlihat pula adanya arus berkecepatan lebih rendah

tonkm-2 dan 11.885 tahun-1.

yang meninggalkan Teluk Saleh melalui selat tersebut. Di


bagian Selat Saleh, terdapat pula aliran arus yang

Tabel Ecopath

meninggalkan Teluk Saleh dengan kecepatan yang lebih


rendah dibandingkan kecepatan arus yang memasuki Teluk

No

Saleh melalui Selat Batahai yang berakibat eddy melemah.

Fitoplankton

Lamun

Saat air pasang pada kondisi pasut Purnama terlihat adanya

Natural Seaweed

aliran arus berkecepatan tinggi yang memasuki Teluk Saleh

Mangrove

5
6
7
8

Farmed Seaweed
Terumbu Karang
Zooplankton
LBS (Living Bottom Struktur)

Benthic Infauna

memiliki elevasi lebih rendah dari perairan sekitarnya.

10

Pelagis Kecil

Berbeda dari kondisi surutnya, zona depresi yang terbentuk

11

Lemuru

12

Pelagis Sedang

13

Ikan Demersal

14
15
16
17
18

Cakalang
Hiu
Lumba-lumba
Burung Laut
Detritus

melalui Selat Batahai dan arus berkecepatan lebih rendah


yang meninggalkan Teluk Saleh melalui Selat Saleh. Elevasi
muka air rata-rata meningkat dan eddy kembali terbentuk
dengan baik, mengakibatkan timbulnya zona depresi yang

pada saat pasang memiliki luasan yang lebih besar.

Ecopath
Input Model dan Balancing Model Ecopath
Berdasarkan data primer dan sekunder yang di dapat di
lapangan, ekosistem di Teluk Saleh dapat di kelompokkan
dalam 16 (enam belas) termasuk detritus. Adapun data ke-16

Kelompok Fungsional

Komponen Kelompok
Enhalus acoroides; Halodule uninervis;
Cymodocea serrulata; Halophila ovalis
Algae Halimeda;Algae coralline; Algae macro; Algae Tuff.
Rhizophora apiculata; Sonneratia casiolaris
Rhizophora stylosa; Rhizophora mucronata;
Avicennia marina; Aegiceras corniculatum;
Ceriops tagal; Bruguiera gymnorrhiza
Euchema Cottoni
Hard Coral Acropora; Hard Coral non Acropora
Soft coral; Sponge; Zoanthids;
Isognomon ephipum; Strombus canarium; Cerithium
Zonatum; Tellina staurella
Morula fusca; Tectus niloticus; Trohcus niloticus Sea
cucumbar (teripang); Lobster; Crabs; Sea Star (Bintang Laut)
Parupeneus cyclostamus; Selaroides leptolepis; Stolophorus
commersonii; Atule mate; Channa Striata
Sardinella lemuru; S.gibbosa; Sardinella sp;
Sardinella devisi
Rastrelliger kanagurta; Rastrelliger sp;
Sardinella fimbriata; Scomberomorus lysan; Decapterus sp;
Mugil cephlus;
Chanos chanos
Siganus canaliculatus; Casio cuning;
Lutjanus bohar;Epinephelus tauvina;
Epinephelus areolatus; E.sexfasciatus
Cromileptes altivelis; Plectropomus sp
Auxis rochei
Carcharhinus albimarginatus
Stenella longirostris
Haliaetus leucogaster
Terdiri dari partikel dan larutan organik

kelompok ini dapat dilihat pada Tabel disamping.


Produsen Utama (Primary Producers)
Dalam model ini primary producer di bagi menjadi dua
kelompok fungsional yaitu fitoplankton dan benthic producers.
Biomassa (tonkm-2) fitoplankton di Teluk Saleh berdasarkan
estimasi dari produktivitas primer di dapatkan sekitar 11.026
tonkm-2, sedangkan nilai P/B (production/biomassa) untuk
Teluk Saleh tidak ada data, sehingga dicoba meminjam dari

97

Mangrove
Penelitian yang pernah dilakukan oleh LIPI pada tahun 2001
tentang mangrove di Teluk Saleh hanya menghasilkan masingmasing jenis pohon mangrove per Ha lahan, sedangkan data
tentang produksi seresah mangrove tidak ada. Sehingga
dicoba mengambil data tentang produksi seresah mangrove
yang dilakukan oleh Kusmana, 1993 dan Komiyama et al,

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar atas:
Hutan Mangrove merupakan breeding ground yang penting bagi
berbagai satwa seperti ikan, udang dan bahkan burung. Di Sumbawa,
karena keterlibatan masyarakat pesisir untuk melestarikannya hutan
Mangrove seperti diatas pernah mendapatkan bantuan dari GEF
(Small Grants Programme), pada tahun 1997/1998.
.

1980 yang dilakukan di Maluku dan Riau dengan nilai seresah


mangrove jenis Rhizophora apiculata rata-rata 32.790
tonkm-2.
Rumput Laut
Teluk Saleh memiliki potensi lahan yang sangat menunjang
untuk budidaya rumput laut. Masyarakat pesisir di sekitar
Teluk Saleh sering melakukan usaha budidaya rumput laut
jenis Eucheuma cottonii. Dari hasil wawancara dengan
nelayan yang berusaha rumput laut di dapatkan jumlah
Biomassa sekitar 10 tonkm-2, sedangkan untuk nilai P/B
karena data tidak ada, digunakan data hasil penelitian di
Bolinao Reef Philipina yang dilakukan oleh Alino, PM et al
(1993) dengan nila P/B ratio 15.34 tahun-1.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Terumbu Karang
Dari hasil olahan citra luas daerah karang di Teluk Saleh
sekitar 0.244 km. Penelitian LIPI menyebutkan bahwa
persen penutupan karang untuk jenis Hard Coral Non
Acropora sebesar 32.12% dan jenis karang Hard Coral
Acropora sebesar 11.33%. Dari hasil estimasi lewat olahan
Citra Satelit Landsat diperoleh produktivitas primer untuk
karang 0.2499 g c/m/jam. Dari hasil ini estimasi nilai
biomassa untuk karang sebesar 2.9988 tonkm-2.
Zooplankton
Total biomassa dari hasil survei di Laut Cina Selatan oleh
Pauly et al.(1996) yang dilakukan dari bulan November 1974
sampai dengan Juli 1976 diperoleh rata-rata biomassa

98

Gambar samping kiri:


Carcharhinus albimarginatus atau yang biasa disebut sebagai
Silvertip Shark merupakan salah satu permata fauna di
Teluk Saleh. Hiu juga merupakan predator teratasdengan nilai
thropic level 4.40.
Gambar samping kanan:
Suasana slah satu perkampungan nelayan di Teluk Saleh
Gambar bawah:
Keanekaragaman hayati kelautan tampak pada hasil tangkapan
nelayan Teluk Saleh yang dijual di Pasr tradisional ini.

sebesar 3.40 tonkm-2. Rasio P/B sebesar 60.225 tahun-1


mengacu pada penelitian small hervorous copepods yang
dilakukan Greze (1978), sedangkan rasio Q/B diperoleh dari
model ekosistem di Monterey Bay (Olivieri et al. 1993) rata-

survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan


Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan
nelayan lokal dan Fishbase 1998. Nilai Biomassa ikan pelagik

rata sebesar 220 tahun-1.

masing 4.89 tahun-1 dan 14.838 tahun-1.

LBS (Living Bottom Structure)


Nilai biomassa kelompok ini diperoleh dari hasil survey Pauly

reef dengan nilai masing-masing 1.70 tahun-1 dan 4.019

Lemuru
Untuk kelompok lemuru nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B
didapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data
yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun
2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa,
serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan Fishbase

tahun-1.

1998. Nilai Biomassa ikan lemuru 2.423 tonkm-2, sedangkan

et.al 1996 dengan nilai rata-rata antara 19.88 - 20 tonkm-2.


Sedangkan nilai P/B dan rasio Q/B di peroleh dari penelitian
Opitz (1996) yang dilakukan untuk model Caribbean coral

Benthik Infauna
Biomassa untuk kelompok ini diperoleh dari rata-rata
biomassa hasil penelitian LON-LIPI 1977 - 1979 di laut Jawa
dan survey di Laut Cina Selatan sampai Laut Jawa November
1974 Juli 1976 (Pauly et al.1996) dengan nilai biomassa
18.94 tonkm-2. Dan nilai rasio P/B dan Q/B masing-masing
3.00 tahun-1 dan 12.50 tahun-1, diperoleh dari Model Pantai
Brunei (Silvestre et al. 1993).
Pelagik Kecil
Untuk kelompok pelagik kecil, nilai Biomassa, P/B rasio dan
Q/B rasio didapatkan dengan melakukan survey di Teluk
Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

kecil 2.56 tonkm-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-

rasio P/B dan Q/B masing-masing 3.56 tahun-1 dan 21.616


tahun-1.
Pelagik Sedang
Untuk kelompok Pelagik sedang nilai Biomassa, P/B rasio dan
Q/B rasio didapatkan dengan melakukan survey di Teluk
Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil
survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan
Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan
nelayan lokal dan Fishbase 1998. Nilai Biomassa Pelagik
sedang 1.420 tonkm-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B
masing-masing 1.811 tahun-1 dan 10.845 tahun-1.

100

Gambar atas:
Salah satu produksi nelayan di Teluk saleh selain ikan segar, abon
ikan laut dan dendeng ikan adalah rumput laut. Teluk Saleh memiliki

potensi lahan yang sangat menunjang untuk budidaya


rumput laut jenis Eucheuma cottonii.
Ikan Demersal
Untuk kelompok Ikan demersal nilai Biomassa, rasio P/B dan
Q/B di dapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh,
dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey
LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab
Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan
Fishbase 1998. Nilai Biomassa Ikan demersal 1.369 tonkm-2,
sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 1.148 tahun-1
dan 9.977 tahun-1.
Cakalang
Untuk kelompok Cakalang nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B
di dapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan
data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI
tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab
Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan
Software Fishbase 1998. Nilai Biomassa Cakalang 0.671

101

tonkm-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 1.518


tahun-1 dan 9.717 tahun-1.
Hiu
Untuk Hiu nilai Biomassa, P/B rasio dan Q/B di dapatkan
dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di
dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun 2000,
Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta
hasil wawancara dengan nelayan lokal dan software Fishbase
1998. Nilai Biomassa Hiu 0.240 tonkm-2, sedangkan rasio
P/B dan Q/B masing-masing 0.099 tahun-1 dan 8.93 tahun-1.
Burung Laut
Karena tidak tersedianya data Biomassa, rasio P/B dan Q/B
untuk Burung laut di Teluk Saleh, nilai diperoleh dengan
meminjam hasil penelitian biomassa dan rasio P/B dari
biomass of Booby in Peru 60 model (Jarre et al., 1991) dalam
Buchary E et. Al. (2001) dengan nilai 0.025 tonkm-2 dan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Tabel Hasil Running Basic Estimate Ecopath Ekosistem Teluk Saleh

0.05 tahun-1, sedangkan nilai rasio Q/B meminjam dari ratarata nilai Q/B 4 spesies burung dengan estimasi
menggunakan formula empiris (Nilsson and Nilsson., 1976)
sebesar 67.67 tahun-1.
Detritus
Biomassa detritus sebesar 10.50 tonkm-2, diperoleh dari
estimasi menggunakan formula empiris oleh Pauly et al
(1993) dengan PP = 300 gC/m/tahun dan E = 50 m.

Hasil Dari Basic Estimation


Hasil final dari input parameter (Biomassa, P/B dan Q/B
rasio) dan balancing model dapat dilihat pada Tabel diatas,
diet matrix pada Tabel halaman berikutnya demikian juga,
jumlah tangkapan di Teluk Saleh serta diagram dari trophic
level ekosistem Teluk Saleh.
Dari Tabel dapat dilihat nilai Ecotrophic Efisiensi (EE), yaitu
jumlah makanan yang tersedia pada suatu ekosistem yang

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

dimakan oleh suatu kelompok dalam tingkatan trophic


ekosistem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkatan kelompok dalam trophic level, nilai Ecotrophic
Efisiensinya makin kecil. Dari Tabel dapat dilihat pula nilai
Ecotrophic Efisiensi untuk kelompok pelagis kecil sebesar
0.98 lebih besar dari nilai Ecotrophic Efisiensi Hiu yang hanya
sebesar 0.192.
Dari Gambar Flowchart Model Ekosistem Teluk Saleh,
Ekosistem Teluk Saleh lebih dari empat trophic level, dengan
kelompok Hiu berada di level predator teratas dengan nilai
trophic level tinggi yaitu 4.40 dan nilai produksi/konsumsi
yang rendah 0.011. Distribusi dari jumlah kelompok
fungsional pada trophic level relatif merata antara trophic
level rendah (<2.5) dan trophic level intermediet (2.5-3.5).
Untuk trophic level rendah ada 8 kelompok fungsional yaitu
fitoplankton, Produser Benthik, rumput laut natural, budidaya
rumput laut, Mangrove, Terumbu Karang, Zooplankton dan
Detritus) dan 4 kelompok untuk trophic level intermediat
102

Tabel Diet Matrix Kelompok Fungsional Teluk Saleh

Tabel Data Hasil Tangkapan (Catch) di Teluk Saleh Tahun 2001-2002

103

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar Flowchart Model Ekosistem Teluk Saleh


dimana: B = Biomassa (tonkm-2); P = Produksi (tahun-1); Q = Konsumsi (tahun-1)

yaitu LBS, Benthik Infauna, Pelagis Kecil dan Lemuru, serta 6


kelompok untuk trophic level tinggi (>3.5) yaitu Hiu,
Cakalang, Pelagis sedang, Ikan Demersal, Lumba-lumba dan
Burung Laut.
Jumlah kelompok fungsional yang banyak dalam tingkatan
trophic level, seperti tingkatan ke-2 sampai ke-4
menunjukkan tingkat kompetisi yang tinggi dalam
memperoleh makanan pada ekosistem tersebut. Sehingga
dampak dari adanya kegiatan perikanan tangkap harus
diperhitungkan dalam pengelolaan ekosistem Teluk Saleh.
Karena, jika kegiatan perikanan tangkap di Teluk Saleh
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka
akibatnya sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut
akan terancam keberlanjutannya. Dari Gambar diatas juga
dapat diketahui bahwa sumbangan transfer energi terbesar
diberikan oleh Primary Producers, sebesar 19.8 %.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Dari hasil analisis terhadap kegiatan perikanan tangkap di


Teluk Saleh untuk kelompok fungsional pelagis kecil, lemuru,
pelagis sedang, ikan demersal dan cakalang menunjukkan
angka Expectation rate dengan rumus perhitungan (E =
fishing catch/total mortality) yang masih rendah (low
eksploitation) yaitu berkisar antara 0.01 - 0.5. Dengan
demikian dari hasil ini menunjukkan, bahwa kegiatan
perikanan tangkap di Teluk Saleh masih layak untuk
dikembangkan.

RESUME
Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidrooseanografi dan ecopath maka dapat diresumekan sebagai
berikut :
1.

Suhu berkisar antara 27.0 - 29.05 C, dengan rerata


27.78 C, salinitas di perairan Teluk Saleh rata-rata

104

32.77. Nilai pH sebesar 8.0, dan pH ini relatif


sama untuk setiap stasiun pengamatan sedang tingkat
kecerahan air laut berkisar antara 6.0 8.0 meter
dengan rata-rata 13.40 meter. Pengamatan terhadap
benda padat terapung, lapisan minyak dan bau
adalah nihil.
2.

Kondisi arus permukaan pada bulan Oktober di


perairan Teluk Saleh didominasi oleh arus yang
mengalir memasuki Teluk Saleh melewati Selat
Batahai.

3.

Pola arus di bagian utara perairan Teluk Saleh jauh


lebih dinamis dibandingkan pola arus di bagian
selatan yang cenderung stabil selama simulasi
dilakukan.

4.

105

Tunggang pasang surut maksimum rata-rata pada


bulan Oktober 2003 berdasarkan hasil prediksi

adalah 140,16 143,68 cm, dengan kondisi rata-rata


tunggang pasut maksimum lebih tinggi di perairan
Teluk Saleh sebelah timur daripada sebelah barat.
5.

Pola pergerakan arus permukaan yang dibangkitkan


oleh pasang surut pada kondisi purnama secara
umum : pada saat air menjelang surut, arus
memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan
keluar meninggalkan teluk Saleh melalui Selat Saleh.
Saat pasang, aliran arus berkecepatan tinggi yang
berasal dari Selat Batahai menimbulkan eddy yang
terbentuk dengan baik dan terbentuk pula zonazona depresi.

6.

Ekosistem Teluk Saleh terdiri dari 18 kelompok


fungsional

7.

Tingkatan Trophic level Teluk Saleh lebih dari empat


tingkatan, dengan distribusi jumlah kelompok

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

fungsional yang merata pada setiap level.


8.

Sumbangan Transfer Energi terbesar diberikan oleh


kelompok fungsional Primary Producers di trophic
level 1, dengan nilai 19.8 %.

9.

Nilai Expectation rate dari kegiatan perikanan


tangkap di Teluk Saleh berkisar antara 0,01 0,5.

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

106

Teluk Ekas

erairan Teluk Ekas secara administratif berada dalam


dua kabupaten yaitu Lombok Timur dan Lombok
Tengah, provinsi Nusa Tenggara Barat. Terdapat lima
desa di sekitar teluk ini yaitu Desa Awang yang masuk dalam
wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan 4 desa lainnya yaitu
Desa Batu Nampar, Desa Pemongkong (Ekas), Desa Saung
(Sukaraja) dan Desa Ujung masuk dalam wilayah Kabupaten
Lombok Timur.
Teluk Ekas mempunyai luas 5312,68 hektare atau 53,1268
km, meskipun tidak begitu luas tetapi teluk ini memiliki
keunikan tersendiri yaitu berhadapan langsung dengan
Samudera Indonesia tetapi relatif terlindung terhadap
gelombang karena letaknya menjorok ke dalam. Disamping
itu berdekatan juga dengan Selat Alas yang menghubungkan
massa air dari Samudra Indonesia dengan Samudra Pasifik
sehingga teluk ini menampung banyak suplai nutrien untuk
ekosistem pesisir daerah ini. Teluk ini dikelilingi oleh dataran
tinggi serta tebing karang dengan kontur tanah yang terjal dan
tekstur tanah umumnya pasir putih dan sedikit lempung.
Kedalamannya bervariasi dari 0 sampai 70 km.

Hidro-oseanografi
Kondisi berikut ini merupakan hasil survey Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan tahun 2002 dan 2003.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, temperatur di
perairan Teluk Ekas berkisar 25,8 -27,6C, salinitas berkisar
34,4-34, 8 , sedang nilai pH adalah 7.5-8.
Pasang Surut
Berdasarkan pengamatan terhadap hasil prediksi pasang surut
menggunakan Oritide Global Tide Model untuk bulan Januari
2004 dan peta distribusi tipe pasut Se-Asia Tenggara dari
Wrytki (1961) diperoleh bahwa tipe pasut di perairan Teluk
Ekas adalah campuran cenderung harian ganda (mixed tide
prevailing semidiurnal). Hasil prediksi tersebut menunjukkan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

108

Elevasi Muka Air (cm)


Air Pasang Tertinggi

+128,67

Air Surut Terendah

-130,96

Tunggang Maksimum

258,63

Tabel Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan


Tunggang Maksimum Januari Tahun 2004

dengan tunggang maksimum sekitar 258.63 cm.


Hidrodinamika
Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa
arus yang memasuki Teluk Ekas berasal dari Samudera Hindia
yang terletak di sebelah Selatan Pulau Lombok. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa arus bergerak keluar masuk Teluk Ekas
sesuai dengan pola pasang surut yang ada. Pola sirkulasi di
daerah teluk juga dipengaruhi oleh kondisi batimetrinya,
dimana pada saat surut daerah coral reef (bagian paling ujung
Timurlaut dari teluk) menjadi darat. Fenomena tersebut
sangat jelas terlihat pada kondisi purnama saat air surut dan
efeknya masih tampak hingga saat air menjelang pasang.
Fenomena tersebut pada kondisi perbani juga tampak tetapi
tidak sekuat pada saat kondisi purnama.
Pola Arus Pasut Kondisi Perbani
Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut
perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut:
Saat air surut memperlihatkan bahwa secara umum
kecepatan arus mencapai maksimum 0.01 m/detik di bagian
mulut teluk dan ujung utara teluk, dengan arah menuju keluar
teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana
elevasi bagian utara lebih tinggi (1.233 m) daripada elevasi di
mulut teluk (1.232 m).
Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara

109

umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.01


m/detik di bagian mulut teluk dan ujung utara teluk, dengan
sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sebagian kecil
berbalik arah keluar teluk tepatnya di bagian barat mulut
teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana
elevasi bagian utara lebih rendah (1.134 m) daripada elevasi
di mulut teluk (1.135 m)
Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum
kecepatan arusnya mencapai rata-rata 0.01 m/detik dengan
sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sebagian kecil
berbalik arah keluar teluk tepatnya di bagian barat mulut
teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana

South Boundary
3

2.5

Elevation (m)

bahwa pada bulan Januari 2004 tinggi rata-rata air pasang


tertinggi adalah +74,56 cm, air surut terendah 69,12 cm,

1.5

0.5

0
0

50

100

150

200

250

300

350

Time (s)

Gambar Elevasi Muka Laut Teluk Ekas selama 14 Hari


di Batas Terbuka Area Model Bagian Selatan

elevasi bagian ujung utara lebih rendah (1.969 m) daripada


elevasi di daerah sekitarnya (1.970 m).
Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan bahwa
secara umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.01
m/detik dengan sebagian besar mengarah keluar teluk. Hal ini
terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian
ujung utara lebih tinggi (1.986 m) daripada elevasi di daerah
sekitarnya (1.985 m).
Pola Arus Pasut Kondisi Purnama

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut


purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut:
Saat air surut memperlihatkan bahwa secara umum
kecepatan arus mencapai maksimum 0.01 m/detik di bagian
mulut teluk dan ujung utara teluk, dengan arah menuju keluar
teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana

Gambar bawah:
Teluk Ekas mempunyai keunikan tersendiri yaitu berhadapan
langsung dengan Samudera Indonesia tetapi relatif terlindung
terhadap gelombang karena letaknya menjorok ke dalam.
Namun pada Musim Barat, gelombang yang cukup besar bisa
dengan mudah datang secara tiba-tiba.

Tabel Ecopath

No.

Kelompok Fungsional

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Detritus
Phytoplankton
Benthic Producer
Rumput laut hasil budidaya
Mangrove
Terumbu Karang
Zooplankton
Benthic fauna
Udang Penaid
Chepalopoda

11

Small pelagics (< 30 cm)

12

Ikan Demersal Kecil RA-NH (< 30 cm)

13

Ikan Demersal Kecil RA -H (< 30 cm)

14

Ikan Demersal Kecil NRA (< 30 cm)

15

Ikan Pelagik Besar ( > 30 cm)

16
17

Dolphin
Burung Laut

Komponen Kelompok

Seagrass, Seaweed
Euchema cotomii
Soneratia alba, Avicennia marina

Horny star, Gastropoda


Penaeus monodon
Sepia sp (cuttlefish)
Rastrelliger kanagurta, Decapterus ruselli,
Sardinella lemuru, Chanos chanos,
Trichiurus lepturus, Stolephorus
comersonii, Apogon amboinensis,
Sardinella gibbosas
Lethrinus atkinsoni, Myripristis berndti,
Lethrinus enigmaticus, Pomadasys
maculatus, Caranx melampygus, Gerres
oyena, Caesio cuning, Liza subviridis
Siganus canaliculatus, Oxyurichtyhys spp,
Abudefduf sexfaciatus
Leiognatus splendens, Nemipterus zysron,
Nemiptherus bathybius
Euthynus affinis, Katsuwonus pelamis,
Scombromerus comersonii

diduga karena penumpukkan massa di bagian ujung Timurlaut


teluk.
Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum
kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.01 m/detik
dengan sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sebagian
kecil berbalik arah keluar teluk tepatnya di bagian barat mulut
teluk. Sementara itu terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi
bagian ujung Timurlaut (2.385) dan mulut teluk lebih tinggi
(2.384 m) daripada elevasi di bagian barat (2.382 m).

elevasi bagian utara lebih tinggi (0.740 m) daripada elevasi di


mulut teluk (0.737 m).
Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara
umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.025
m/det di bagian ujung utara teluk, dengan sebagian besar
mengarah masuk ke teluk. Sementara itu terjadi perbedaan
elevasi dimana elevasi bagian utara lebih tinggi (0.689 m)
daripada elevasi di mulut teluk (0.687 m). Hal ini terjadi

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan bahwa


secara umum kecepatan arusnya mencapai rata-rata 0.03
m/detik dengan sebagian besar mengarah keluar teluk. Hal ini
terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian
ujung Timurlaut lebih tinggi (2.222 m) daripada elevasi di
daerah sekitarnya (2.218 m).

Ecopath
Input Model dan Balancing Model Ecopath
Data dan informasi yang digunakan untuk membangun model
ekosistem ini diambil dari beberapa sumber baik dari hasil
110

Peta kedalaman Teluk Ekas

111

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar 6.2 Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Ekas saat kondisi perbani pada:
(A) Surut, (B) Menjelang pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang surut

Gambar Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Teluk Ekas saat kondisi purnama pada:
(A) Surut, (B) Menjelang pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang surut

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

112

Gambar samping:
Rumput laut yang dibudidayakan jenis Eucheuma cottonii yang
merupakan sumber utama Carrageenan. Lombok Timur memproduksi
2.140 ton per tahun.Carrageenan adalah jelly/gum terbuat dari
rumput laut yang mempunyai kegunaan antara lain; gelling agent dan
stabiliser.

publikasi maupun bukan. Data primer yaitu data


penangkapan ikan di perairan Teluk Ekas diperoleh dari hasil
penelitian di lapangan. Berdasarkan data primer dan sekunder
yang di dapat di lapangan, ekosistem di Teluk Ekas dapat di
kelompokkan dalam 17 (tujuh belas) termasuk detritus.
Dalam hal ini terdapat beberapa data dan informasi yang
tidak tersedia untuk beberapa kelompok fungsional sehingga

digunakan data dari ekosistem yang terdekat dengan daerah


studi. Informasi untuk diet composition dari setiap spesies
ikan diperoleh dari database Fishbase (Fishbase 2000),
sedangkan untuk spesies non-ikan diperoleh dari beberapa
model dalam Pauly and Christensen (1993) dan literaturliteratur lainnya. Dilakukan beberapa modifikasi dalam diet
composition untuk mendapatkan keseimbangan model.

Gambar bawah:
Lumba-lumba yang sering tampak di Teluk Ekas sama sekali tidak
dirasakan sebagai pengganggu oleh para nelayan. Bahkan banyak
dilaporkan, nelayan yang kecemplung di laut ditolong lumba-lumba.

dari Gulf of Thailand 10 - 50 m sub model sebesar 200 tahun1

dan dari Brunei sebesar 71,2 tahun-1 (Buchary, 1999).


Produsen Bentik
Kelompok produsen bentik terdiri dari alga (seaweed) dan
lamun (seagrass). Parameter B dan P/B diadopsi dari model
Laut Cina Selatan yaitu 153 tonkm-2 dan 11,885 tahun-1. Dari
data DKP Lombok Timur diketahui bahwa jenis seaweed
yang banyak terdapat di perairan Teluk Ekas adalah sangosango (Gracilaria sp) dan Eucheuma cottonii.
Rumput Laut Hasil Budidaya
Rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma
cottonii, berdasarkan data dari DKP Lotim produksi per tahun
dari budidaya rumput laut 2140 ton. Nilai P/B sebesar
15.340 tahun-1diperoleh dari hasil estimasi P/B di Philipina
(Alino et.al., 1993).
Mangrove
Hutan mangrove yang berada di sekitar perairan Teluk Ekas
adalah seluas 70.478 m2, bagian utara Pantai Ekas : 132397
m2 (Bappeda NTB, 1999). Jenis mangrove yang ada adalah
Sonneratia alba dan Avicennia marina. Dari hasil penelitian di
daerah Maluku, nilai estimasi untuk B adalah 32.779 tonkmGambar atas:
Avicennia marina salah satu jenis mangrove yang terdapat pada
hutan mangrove di daerah Saung (Batunampar) dengan

luas 70.478 m2

Detritus
Parameter input yang diperlukan dalam detritus adalah
biomasa, dimana nilai biomasa yang digunakan diambil dari
model Selat Bali sebesar 10,50 tonkm-2 tahun-1 (Buchary,
et.al., 2002).
Fitoplankton
Biomasa fitoplankton dari hasil penelitian DKP et.al., (2000)
di Teluk Ekas yaitu 3,798 tonkm-2, dimana fitoplankton
didominasi oleh diatom dan dinoflagelata. Nilai untuk P/B
sebesar 135 tahun-1 merupakan hasil estimasi perbandingan

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

.tahun-1dan P/B adalah 4.450 tahun-1.

Terumbu Karang
Berdasarkan hasil penelitian DKP, et.al (2000) pada umumnya
terumbu karang dalam kondisi yang kurang bagus dengan
tutupan karang batu kurang dari 25% berupa koloni karang
foliose Montipora sp dan Porites sp, dijumpai pula karang
masih Galaxea, Pavona, Acropora dan Millepora.
Benthic Fauna
Total biomasa dari kelompok chepalopoda adalah 0.09
tonkm-2 dari model Selat Bali (Buchary et.al., 2002) dan P/B
dari the P/B of meiobenthos di Monteray Bay; 9.0 tahun-1 dan
nilai Q/B adalah 30.0 tahun-1 (Olivieri, et al., 1993).
Udang Penaid
Biomasa P/B dan Q/B dari Penaid shrimp didapatkan dari
model Laut Jawa sebesar 0.556 tonkm-2dan 13 tahun-1dan
70.0 tahun-1 (Buchary, 1999)
114

Tabel Diet Matrix Kelompok Fungsional Teluk Ekas

Tabel Input data yang digunakan dalam model ecopath

115

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gambar Flowchart Model Ekosistem Teluk Ekas


dimana: B = Biomassa (tonkm-2); P = Produksi (tahun-1); Q = Konsumsi (tahun-1)

Chepalopoda
Parameter input B dan P/B didapat dari model Laut Jawa

karena hanya sementara, ikan ini bermigrasi dari Samudera


Indonesia.
Lumba-lumba
Total biomasa lumba-lumba adalah 0.004 tonkm-2 dan P/B

sebesar 0.09 tonkm-2 dan 3.1 tahun-1. (Buchary, 1999). Nilai

adalah 0.02 tahun . dari model Selat Georgia (Martel., et al.,

-1

-1

P/B sebesar 3.1 tahun diperoleh dari kelompok chepalopoda


model Teluk Thailand 10-50 sub model (Pauly and

2002) dan Q/B = 14.07 tahun-1 dari Browder (1993).

Christensen, 1993) dan Q/B sebesar 16.0 tahun-1dari model


Selat Bali (Buchary et.al., 2002).

Burung Laut
Total biomasa burung laut adalah 0.005 tonkm-2 dari model

Kelompok Ikan
Jenis-jenis ikan yang ada di perairaan Teluk Ekas
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok berdasarkan ukuran,
habitat dan tipe makan/pemangsaan dan parameter input B,
P/B dan Q/B. Ikan dengan panjang badan rata-rata lebih kecil
dari 30 cm dikategorikan dalam kelompok small (kecil) dan
yang lebih besar dari 30 cm masuk kategori besar (large).
Sementara itu dolphin mempunyai functional group tersendiri

tahun-1 dari model Selat Bali (Buchary et.al., 2002).

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Kontania. Nilai P/B adalah 0.050 tahun-1 dan Q/B = 67.670

Hasil dan pembahasan


Hasil final dari input parameter (Biomassa, P/B dan Q/B
rasio) dan keseimbangan model Ecopath perairan Teluk Ekas
dapat dilihat pada Tabel dihalaman samping serta Tabel diet
matriks, jumlah, serta flow chart model ekosistem Teluk
Ekas..
116

sistem di perairan sedang dan subtropis, export produksi


Distribusi dari kelompok fungsional dalam trophic level relatif

fitoplanktonnya ke dalam detritus sekitar 50 % atau lebih.

tidak merata dimana trophic level rendah (< 2.5) sebanyak


10 kelompok, intermediate (2.5-3.5) sebanyak 5 kelompok

Tabel menunjukkan estimasi diet matriks untuk komponen-

dan 2 kelompok mempunyai trophic level lebih besar dari

komponen kelompok yang digunakan dalam model. Sebagian

3.5. Lumba-lumba merupakan top predator dalam ekosistem

besar nilai-nilai ini berasal dari studi tingkah laku makan secara

perairan Teluk Ekas. Estimasi nilai EE berkisar antara 0.000

kualitataif yang kemudian diestimasi secara kuantitatif

pada produsen benthik sampai 0.986 untuk kelompok

(beratnya) untuk diet composition. Diet awal ditentukan lebih

pelagik kecil. Dari hasil estimasi tersebut maka dapat diduga

dulu kemudian dilakukan pendekatan dan modifikasi untuk

bahwa pelagik kecil merupakan sebuah komponen

mendekati limit nilai Ecotrophic Efficiensi (EE < 1).

tereksploitasi yang mempunyai pengaruh paling besar


terhadap komponen-komponen kelompok lainnya.

RESUME
Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidro-

Dari tabel sebelumnya terlihat bahwa produktivitas primer

oseanografi dan ecopath di perairan Teluk Ekas maka dapat

perairan termasuk rendah dilihat dari biomassa fitoplankton

diresumekan sebagai berikut :

sebesar 3,798 tonkm-2, sementara nilai EE-nya adalah


0.922 dianggap sebagai nilai yang konservatif untuk
parameter ini. Walsh (1983) menyatakan bahwa sejumlah
117

1.

Suhu berkisar 25,8-27,6 C, salinitas berkisar 34,434, 8 , . Nilai pH sebesar 8.0, dan sedang nilai

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

pH adalah 7.5-8.
2.

2.5) sebanyak 10 grup, intermediate (2.5 - 3.5)


sebanyak 5 grup dan 2 grup mempunyai trophic

Kondisi arus permukaan pada bulan Januari 2004

level lebih besar dari 3.5.

didominasi oleh arus yang mengalir keluar masuk


sesuai dengan pola pasang surut.
3.

7.

perairan Teluk Ekas. Estimasi nilai EE berkisar antara

Kecepatan arus cenderung kuat ketika mendekati

0.000 (produsen benthik) sampai 0.986 (pelagis

bagian Ujung Timurlaut, dan di mulut Teluk Ekas.


4.

Elevasi pasang tertinggi dan surut terendah rata-rata


pada bulan Januari 2004 berdasarkan hasil prediksi

kecil).
8.

komponen-komponen kelompok lainnya.

dengan tunggang maksimum rata-rata 258,63 cm.


Ekosistem Teluk Ekas terdiri dari 17 kelompok
fungsional
6.

Distribusi kelompok fungsinal dalam trophic level

Pelagik kecil merupakan komponen tereksploitasi


yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap

berturut-turut adalah +128.67 dan -130.96 cm,

5.

Dolphin merupakan top predator dalam ekosistem

9.

Produktivitas primernya termasuk rendah dilihat dari


biomassa fioplankton sebesar 3,798 ton/km2,
sementara nilai EE-nya adalah 0.922 dianggap
sebagai nilai yang konservatif.

relatif tidak merata dimana trophic level rendah (<

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

118

6.

Dengan keterbatasan yang ada dalam hal ketersediaan


data, kita dapat mengetahui prioritas penelitian yang akan
dilakukan kedepan, yakni dengan tidak melakukan
pengulangan penelitian bagi sesuatu topik. Lebih baik hal
ini diarahkan untuk mengisi kekosangan dalam
mengestimasi berbagai parameter populasi seperti
biomassa dan kebiasaan makan (feeding habit) dari
berbagai species yang tergolong ekonomis penting.

7.

Estimasi dari paramater populasi seperti yang dipaparkan


dalam kajian ini merupakan standard bagi penggunaan
ecopath apabila akan dilakukan di daerah lain.

8.

Pendekatan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries)


menunjukkan bahwa: 'Aspek teknologi, yang terdiagnosa
berkinerja rendah sehubungan dengan penggunaan caracara penangkapan ekstraktif, pada kondisi ekologis yang
baik, tidak mampu menciptakan kinerja ekonomi yang
baik'.

9.

Meningkatnya intensitas dan kualitas konflik antar alat


tangkap atau kelompok nelayan perlu diwaspadai karena
dapat menjurus pada turunnya kinerja perikanan wilayah
tersebut, yang berarti menempatkan perikanan ini pada
resiko ketidak-berlanjutan yang lebih besar.

10.

Perlunya penyempurnaan kebijakan menyangkut


keberadaan alat yang destruktif, pemberdayaan nelayan
lokal, pembatasan investasi yang menjurus pada inefisiensi
dan overeksploitasi dan, sinkronisasi pengaturan.
termasuk kebijakan perijinan antara pengelola pelabuhan
dan dinas perikanan.

Kesimpulan
1.

2.

3.

Melihat pentingnya peranan oseanografi pada studi-studi


sektor kelautan, kerjasama dan koordinasi antara
penyedia dan pengguna data untuk menghasilkan produk
jasa aplikasi oseanografi yang melibatkan seluruh instansi
dirasakan mendesak untuk direalisasikan.
Dalam rangka memahami interaksi laut dan habitat
didalamnya secara intensif, pengembangan model
matematika yang menggabungkan proses di laut dan
habitatnya perlu untuk lebih ditingkatkan, karena studi ini
di Indonesia masih terbatas.
Dari studi daya dukung perairan di beberapa lokasi
dengan menggunakan metode Ecopath, dipaparkan hasil
yang dapat digunakan untuk studi dinamika populasi ikan
dengan menggunakan pendekatan multi-species
approach. Biomasa yang diestimasi dengan prinsip
keseimbangan biomassa dalam suatu ekosistem
menghasilkan nilai yang bervariasi terhadap masing-masing
kelompok fungsional (functional groups) yang terdapat
dalam suatu ekosistem berdasarkan posisi kelompok
fungsional dalam trophic level. Hasil kajian ini dapat
menjadi bahan acuan bagi pengambil kebijakan perikanan
di Indonesia, terutama dalam hal penentuan jumlah serta
jenis ikan yang ditangkap.

4.

Hasil penelitian dengan menerapkan metode Ecopath


merupakan hal yang pertama kali dilakukan di beberapa
perairan Indonesia secara simultan.

5.

Walaupun dengan keterbatasan data yang ada, telah


dicoba untuk dihasilkan suatu analisis alur biomassa dalam
suatu ekosistem. Hal ini bermanfaat untuk menentukan
pola kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan
yang ada dimasing-masing daerah.

119

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Daftar Pustaka
Alino, P.M., L.T. Mcmanus, J.W. Mcmanus, C.L. Nanola, JR.
M.D. Fortes, G.C. Trono, JR and G.S. Jacinto. 1993. Initial
parameter estimations of a coral reef flat ecosystem in Bolinao,
Pangasinan, Northwestern Philiphines, p.252-258. In V.
Christensen and D. Pauly (eds). Trophic Models of Aquatic
Ecosystem. ICLARM Conf. Proc. 26, 390 p.
Anonymous, 2003. Statistik perikanan tangkap Propinsi
Banten, 2000-2003. Dinas Kelautan dan perikanan Propinsi
Banten. Serang.
Anonymous, 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Lampung tahun 2002. Dinas Kelautan dan
perikanan Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
Anonymous, 2002. Profil Usaha Rumah Tangga Perikanan
Tangkap di Laut Propoinsi Lampung tahun 2002. Kerja sama
BPS Propinsi Lampung dengan Dinas Kelautan dan Perikanan
Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
Anonymous, 2002. Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten
Pandeglang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pandeglang.
Anonymous, 2002. Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten
Serang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang.
Anonymous, 2002. Banten Dalam Angka 2001. Badan Pusat
Statistik Propinsi Banten.
Black, K.P., 2001. Model 3DD Descriptions and User's Guide.
ASR Ltd. Hamilton - New Zealand.
Berlianty, D., 2002. Studi Dinamika Pasang Surut di Selat

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Sunda. Tugas Akhir, Program Studi Oseanografi, Departemen


Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan
Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Birowo, S., Uktolseja, H., 1981. Proceedings of the
Workshop on Coastal Resources Management of Krakatau
and the Sunda Strait Region: Oceanographic Features of
Sunda Strait. LIPI, Jakarta, p. 54-75.
BRKP., 2002. Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia.
Integrasi Data Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset
Kelautan & Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Browder, J.A. 1993. A Pilot Model of The Gulf of Mexico
Continental Shelf. p:279-284. In V. Christensen and D. Pauly
(eds). Trophic Models of Aquatic Ecosystem. ICLARM Conf.
Proc. 26, 390 p.
Buchary, E.A.1999. Evaluating the effect of the 1980 trawl
ban in the Java Sea, Indonesia : An ecosystem-based approach.
Department of Resource Management and Environmental
Studies. The University of British Columbia. M.Sc. thesis.
134 p.
Buchary, E.A., Jackie Alder, Subhat Nurhakim and Tony
Wagey. 2002. The use of ecosystem modelling to investigate
multi-species management stategies for capture fisheries in the
Bali Strait, Indonesia. Fisheries Centre Research Centre
Reports Vol.10(2):24 - 32.
Carey, D. (1993). Development based on carrying capacity: a
strategy for environmental protection. Global Environmental
Change, June, 140-148.
Christensen, V and D. Pauly. 1992. A guide to the ECOPATH
II software system (version 2.1). ICLARM Software 6. 72 p.
Christensen, V., and D. Pauly. 1992. ECOPATH II - A
software for balancing steady-stae models and calculating
network characteristics. Ecol. Model. (61): 169-185
Clarke, A.L. 2002. Assessing the Carrying Capacity of the

120

Florida Keys. Population and Environment. (23): 405 - 418


Cohen, J. (1995). How many people can the Earth support?
New York: Norton.
Dhont, A. 1988. Carrying Capacity: A confusing concept.
Acta Oecologia (9): 337 - 346
Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Universitas
Mataram. 2000. Laporan studi penilaian sumberdaya dan
ekologi di Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur.
Dishidros TNI AL, 1985. Informasi Lingkungan Laut Selat
Sunda, Jakarta
Dislutkan Lampung, 2003. Potensi Lampung Belum Tergarap
Optimal.
http;//www.lampungonline.com/1popertanian/tani210803perikanan.html
Eliza, L. 2000. Industri Pengolahan Perikanan Sebagai Peluang
Investasi. http://www.dkp-banten.go.id/IrLimEliza01.htm
Fitriyanto, M.S., 1993. Penerapan "Model Sarang" (Nested
Model) dalam Studi Hidrodinamika Perairan Pantai Suralaya,
Serang, Jawa Barat. Thesis Pasca Sarjana, Jurusan Fisika,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Hatayama, T., Awaji, T., Akimoto, K., 1996. Tidal Currents in
the Indonesian Seas and Their Effect on Transport and Mixing.
Journal of Geophysical Research, 101, No. C5, American
Geophysical Union, 12353-12373
Harris, J. & Kennedy, S. (1999). Carrying capacity in
agriculture: Global and regional issues. Ecological Economics,
29, 443-461.
Joardar, S. (1996). Carrying capacity based planning for citiesConcept and procedure. SPACE, 11, 7-16.
Kurniawati, N., 2003. Kajian Massa Air dan Dinamika Arus di
Selat Sunda. Tesis Magister, Bidang Khusus Oseanografi,
Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Program
Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

121

McConnell, R. (1995). The human carrying capacity of the


Chesapeake Bay watershed: A preliminary analysis. Population
and Environment, 16, 335-351.
Marshall, S. and M. Elliot. 1998. Environmental influences on
the fish assemblages of the Humber estuary, UK. Estuarine,
Coastal and Shelf Science. (46): 175-184.
Matsumoto, K., 1996. ORI Description dalam A Collection of
Global Ocean Tide Models CD ROM. Jet Propulsion
Laboratory, Physical Oceanography Distributed Active
Archieve Center, NASA, US.
Martel, S.J.D., Alasdair I. Beattie, Carl J. Walters, Tarun
Nayar and Robyn Briese. 2002. Simulating fisheries
management strategis in the Strait of Georgia ecosystem using
Ecopath with Ecosim. Fisheries Centre Research Centre
Reports Vol. 10(2):16 - 23.
Nijkamp, P. 1980. Environmental Policy Analysis, Operational
methods and Models. John Wiley and Sons. New York.
Ningsih, N.S., Berlianty, D., Latief, H., Frida, 2003.,
Penigkatan Informasi Peta Fishing Ground Melalui Integrasi dan
Kalibrasi/Validasi Model 3D Hidrodinamika. Laopran Interim. PS
Oseanografi - ITB dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Olivieri, R.A., A.Cohen aand F.P. Chavez. 1993. An
ecosystem model of Monterey Bay, Caalifornia. p.315-322. In
V.Christensen and D.Pauly (eds) Thropic models of aquatic
ecosystems. ICLARM Conf. Proc. 26.
Pauly, D and V. Christensen. 1993. Stratified models of large
marine ecosystems : A general approach and an application to
The South China Sea p:148-174. In K.Sherman, L.M,
Alexander and B.D. Gold (eds). Large Marine Ecosystem :
stress, mitigation and sustainability. AAAS Press Washington,
DC.
Pauly, D., and V. Christensen. 1995. Primary Production
required to sustain global fisheries. Nature (374): 255-257

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pawlowicz, R., Beardsley, B., Lentz, S., 2002. Classical Tidal


Harmonic Analysis Including Error Estimates in MATLAB using
T_TIDE. Computer and Geosciences, 28, p. 929-937.
Pitcher, T.J. and D. Preikshot, 2001. Rapfish: A Rapid
Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of
Fisheries. Fisheries Research 49 (3):255-270.
Polovina, J.J and M.D. Ow. 1983. An approach to estimating
an ecosystem box model. U.S. Fish. Bull. 83(3):457-460.
Postel, S. (1994). Carrying capacity: the Earth's bottom line. In
L. Mazur (Ed.), Beyond the numbers: A reader on population,
consumption, and the environment (pp. 48-70). Washington,
DC: Island Press.
Pugh, D.T., 1987. Tides, Surges, and Mean Sea-Level: A
Handbook for Engineers and Scientists. John Wiley & Sons Ltd,
Great Britain.
Rivera, P.C., 1997. Hydrodynamics, Sediment Transport, and
Light Extinction Off Cape Bolinao, Philippines. Dissertation, the
Wageningen Agricultural University and the International
Institut for Infrastructural, Hydraulic and Environmental
Engineering, A.A. Balkema Publishers, Rotterdam.

Tangkapan Ikan layang di Perairan bagian Selatan Paparan


Sunda.
Syamsudin, F. 2003. Puncak Musim tangkap Tongkol di Selat
Sunda. http://www.kompas-cetak//0308/13/bahari/488559.
Walsh. J.J., 1983. Death in the sea : enigmatic phytoplankton
losses. Prog. Oceanogaphy 12(1) : 1 - 86.
Wigjokentjana, B., 1990. Studi Numerik Pasang Surut
Komponen M2 di Selat Sunda. Tugas Akhir Sarjana, Jurusan
Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Wiryawan, B., D. Bengen, I. Yulianto, H.A. Susanto, A.K.
Mahdi, M. Ahmad. 2002. Profil Sumberdaya Pulau Sebesi,
Kecamatan Rajabasa, Kab Lampung Selatan. Penerbitan
Khusus Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University
of Rhode Island, 49 hal.
Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southern Asian
Waters. Naga Report Volume 2. Scripps Institution of
Oceanography, San Diego, California.

Schneider, D., Godschalk, D. & Axler, N. (1977). The


carrying capacity concept as a planning tool. Planning Advisory
Service. Report no. 338. Chicago: American Planning
Association.
Silvestre, G., S. Selvanathan and A.H.M. Saleh. 1993.
Preliminary trophic model of coastal fisheries resources of
Brunei Darussalam, South China Sea, p:300-306. In V.
Christensen and D. Pauly (eds). Trophic Models of Aquatic
Ecosystem. ICLARM Conf. Proc. 26, 390 p.
Spence, I and Young, F.W. 1978. Monte Carlo Studies in
Nonmetric Scaling. Phycometrica, 43(1): 75-89.
Suherman dan B. Atmaja, 1999. Variasi Geografis Hasil

DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

122

You might also like