You are on page 1of 22

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faringitis Akut

2.1.1

Definisi
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa
faring atau dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya
merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis
akut atau bagian dari influenza (rinofaringitis) (Departemen
Kesehatan, 2007). Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang
disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri
tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise (Vincent, 2004).

2.1.2

Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan
oleh virus (4060%), bakteri (540%), alergi, trauma, iritan, dan
lain-lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.

11

Virus

yaitu

Rhinovirus,

Adenovirus,

Parainfluenza,

Coxsackievirus, Epstein Barr virus, Herpes virus.


-

Bakteri yaitu, Streptococcus hemolyticus group A, Chlamydia,


Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae.

Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita


imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi
makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau
yang memperberat (Departemen Kesehatan, 2007).

2.1.3

Faktor Risiko
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang
berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita
yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013).

2.1.4

Epidemiologi
Setiap tahunnya 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan
kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa
umumnya mengalami 35 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih
sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 1530% kasus faringitis

12

pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang
dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu akibat dari
infeksi Streptococcus hemolyticus group A. Faringitis jarang
terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun (Acerra, 2010).

2.1.5

Klasifikasi Faringitis
2.1.5.1 Faringitis Akut
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein
Barr Virus (EBV), Virus influenza, Coxsachievirus,
Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda
biasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak
faring

dan

tonsil

hiperemis.

Virus

influenza,

Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan


eksudat.
vesikular

Coxsachievirus
di

orofaring

dapat
dan

menimbulkan
lesi

kulit

lesi

berupa

maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan


gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar
virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi
eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran
kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal
dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan
HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri

13

menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak


faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher dan pasien tampak lemah.
b. Faringitis bakterial
Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan
penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan
pada anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita
mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadangkadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang
disertai

batuk.

Pada

pemeriksaan

tampak

tonsil

membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat


eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri
Streptococcus hemolyticus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor
01 maka pasien tidak mengalami faringitis akibat
infeksi Streptococcus hemolyticus group A, bila skor

14

13 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi


Streptococcus hemolyticus group A dan bila skor empat
pasien

memiliki

kemungkinan

50%

terinfeksi

Streptococcus hemolyticus group A (Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan
faring. Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri
tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
sabouroud dextrosa.
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak
orogenital.

2.1.5.2 Faringitis Kronik


a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan
mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa
di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh

15

mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya


batuk yang bereak.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan
rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak
diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda
biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan kering dan
tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering.

2.1.5.3 Faringitis Spesifik


a. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada
infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul
tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu
kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau
inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen
yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis
miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka
tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering
ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring
anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan

16

palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak,


saat ini penyebaraan secara limfogen. Gejala dan tanda
biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena
anoreksi dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang
hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau otalgia serta
pembesaran kelenjar limfa servikal.
b. Faringitis luetika
Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan
infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues di
organ

lain.

Gambaran

klinik

tergantung stadium

penyakitnya. Kelainan stadium primer terdapat pada


lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus
berlangsung akan timbul ulkus pada daerah faring seperti
ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan
pula pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri
tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan,
namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang
menjalar ke arah laring. Kelainan stadium tersier terdapat
pada tonsil dan palatum, jarang ditemukan pada dinding
posterior faring. Pada stadium tersier biasanya terdapat
guma, guma pada dinding posterior faring dapat meluas
ke

vertebra

servikal

dan

apabila

pecah

akan

menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum

17

mole, apabila sembuh akan membentuk jaringan parut


yang dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum
secara

permanen.

Diagnosis

dilakukan

dengan

pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan dosis


tinggi merupakan pilihan utama untuk menyembuhkan
nya (Rusmarjonno dan hermani, 2007).

2.1.6

Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat
secara langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan
respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel,
lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial
bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya
eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau
abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid.
Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding
faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan

18

Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa


faring akibat sekresi nasal (Bailey, 2006; Adam, 2009).
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M
protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur
yang sama dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan
dengan demam reumatik dan kerusakan katub jantung. Selain itu
juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi (Bailey, 2006; Adam, 2009).

FARINGITIS
Demam

Inflamasi

Nyeri

Mukosa
kemerahan
Kesulitan
menelan

Penguapan

Batuk

Sputum
mukosa

Gangguan
nutrisi

Resiko defisit
volume cairan
Droplet

Edema
mukosa

Resiko penularan

Pembersihan jalan
nafas tidak efektif

Gambar 3. Patofisiologi Faringitis Akut


Sumber: (Bailey, 2006; Adam, 2009).

19

2.1.7

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis
menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia,
demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a.

Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan


gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis.
Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.

b.

Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang


disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai
batuk.

c.

Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri


menelan.

d.

Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering,


gatal dan akhirnya batuk yang berdahak.

e.

Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal


serta mulut berbau.

f.

Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak


berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik.

g.

Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika,


ditanyakan

riwayat

hubungan

seksual

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

(Kementerian

20

2.1.8

Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan

pemeriksaan

penunjang

bila

diperlukan

(Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

2.1.8.1 Anamnesis:
Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang
menginfeksi.

Secara

garis

besar

pasien

faringitis

mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku


dan sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis
mikroorganisme, yaitu:
a.

Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali


dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian
timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea
dan mual.

b.

Faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri


kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk.

c.

Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri


menelan.

d.

Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok


kering, gatal dan akhirnya batuk yang berdahak.

21

e.

Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering


dan tebal serta mulut berbau.

f.

Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada


faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial
non spesifik.

g.

Apabila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis


luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual pasien.

2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik


a.

Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan


tonsil

hiperemis,

eksudat

(virus

influenza,

coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan


eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular

di

orofaring

dan

lesi

kulit

berupa

maculopapular rash.
b.

Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil


membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

c.

Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih


di orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa
faring lainnya hiperemis.

22

d.

Faringitis

kronik

hiperplastik,

pada

pemeriksaan

tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan


lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble
stone).
e.

Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak


mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering.

f.

Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak


granuloma perkijuan pada mukosa faring dan laring.

g.

Faringitis luetika tergantung stadium penyakit.


- Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila
infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring
seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
- Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring
terdapat eritema yang menjalar ke arah laring.
- Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

23

2.1.8.3 Pemeriksaan Penunjang


Faringitis

didiagnosis

dengan

cara

pemeriksaan

tenggorokan (kultur apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur


memiliki sensitivitas 9095% dari diagnosis, sehingga lebih
diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang
diandalkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2005).

Kultur

tenggorokan

merupakan

suatu

metode

yang

dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis


yang disebabkan oleh bakteri Group A Beta-Hemolytic
Streptococcus

(GABHS).

Group

Beta-Hemolytic

Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test


merupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis
karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika
pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk
pasien. Jika hasil yang diperoleh positif maka pengobatan
diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya
negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian
dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test tidak
sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis
bakteri patogen lainnya (Kazzi et al., 2006).

24

Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus


tenggorok dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring
posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan
ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan
diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas
mencapai 9099%. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari sepuluh hari (Vincent, 2004).

2.1.9

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan
penyebabnya.

2.1.9.1 Tujuan Penatalaksanaan


Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran
infeksi serta membatasi komplikasi.

2.1.9.2 Terapi Pokok


Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut,
yaitu:
1.

Istirahat cukup

2.

Minum air putih yang cukup

3.

Berkumur dengan air yang hangat

4.

Pemberian farmakoterapi:
a. Topikal

25

Obat kumur antiseptik


- Menjaga kebersihan mulut
- Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000400.000
2 kali/hari.
- Faringitis

kronik

hiperplastik

terapi

lokal

dengan

melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia


larutan nitras argentin 25%.
b. Oral sistemik
- Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada
infeksi virus dengan dosis 60100 mg/kgBB dibagi dalam
46 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 46 kali pemberian/hari.
- Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin
G benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 610 hari
atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga
diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan
perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi.
Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5
mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.

26

- Faringitis

gonorea,

sefalosporin

generasi

ke-tiga,

Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.


- Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit
hidung dan sinus paranasal harus diobati.
- Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis
atrofi.
- Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan
kaustik sekali sehari selama 35 hari.

Konseling dan Edukasi :


1.

Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh


dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.

2.

Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.

3.

Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan


yang dapat mengiritasi tenggorok.

4.

Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga


kebersihan mulut.

5.

Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur


(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

27

2.1.10

Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media,
epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan
oleh infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat
menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic
shock syndrome, peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan
obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring.
Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada satu dari 400 infeksi
GABHS yang tidak diobati dengan baik (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013).

2.2

Standar Pengobatan Faringitis Akut Menurut Pedoman Pengobatan


Dasar di Puskesmas 2007.

2.2.1 Standar Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007

Penatalaksanaan:
- Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza.
- Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus.
- Untuk demam dan nyeri:

Dewasa
Parasetamol 250 atau 500 mg, 1 2 tablet per oral 4 x
sehari jika diperlukan,

28

atau Ibuprofen, 200 mg 1 2 tablet 4 x sehari jika


diperlukan.

Anak
Parasetamol diberikan 3 kali sehari jika demam
- di bawah 1 tahun : 60 mg/kali (1/8 tablet)
- 1 - 3 tahun : 60 - 120 mg/kali (1/4 tablet)
- 3 - 6 tahun : 120 - 170 mg/kali (1/3 tablet)
- 6 - 12 tahun : 170 - 300 mg/kali (1/2 tablet)

Obati dengan antibiotik jika diduga ada infeksi :

Dewasa
-Kotrimoksazol 2 tablet dewasa 2 x sehari selama 5 hari
-Amoksisilin 500 mg 3 x sehari selama 5 hari
-Eritromisin 500 mg 3 x sehari selama 5 hari

Anak
-Kotrimoksazol 2 tablet anak 2 x sehari selama 5 hari
-Amoksisilin 30 - 50mg/kgBB perhari selama 5 hari
-Eritromisin 20 40 mg/kgBB perhari selama 5 hari

2.3

Peresepan Obat
Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Lembaran resep

umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran ideal lebar 1012 cm

29

dan panjang 1520 cm (Jas, 2009). Pelayanan resep merupakan kegiatan


meliputi aspek teknis dan non teknis yang harus dikerjakan mulai dari
penerimaan resep, peracikan obat sampai penyerahan obat kepada pasien
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Resep harus mudah dibaca dengan jelas, idealnya resep obat yang
diberikan kepada pasien tidak memiliki kesalahan dan seluruhnya berisi
komponen yang diperlukan pasien (Ambarwati, 2009).
Setiap negara mempunyai ketentuan sendiri tentang informasi apa yang
harus tercantum dalam sebuah resep. Berikut ini prinsip penulisan resep
yang berlaku di Indonesia (Jas, 2009):
1. Obat ditulis dengan nama paten/dagang, generik, resmi atau kimia.
2. Karakteristik nama obat ditulis harus sama dengan yang tercantun
dilabel kemasan.
3. Resep ditulis dengan jelas pada kop resep resmi.
4. Bentuk sediaan dan jumlah obat ditentukan dokter penulis resep.
5. Signatura ditulis dalam singkatan bahasa latin.
6. Pro atau peruntukan dinyatakan umur pasien.

1.

Peresepan Obat Rasional


Peresepan obat rasional adalah peresepan obat yang benar, jelas
dan sesuai dengan kebutuhan pasien serta mempertimbangkan jenis
obat yang diberikan, dosis, lama pemberian dan harga yang
terjangkau

(World

Health

Organization,

2010).

Apabila

30

menyimpang dari ketentuan di atas dapat dikatakan tidak rasional.


Prosesnya adalah mulai dari diagnosis, penentuan dan pemilihan
jenis obat, penyediaan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat,
bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label/etiket
dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita (Pane et al., 2010).

2.

Peresepan Obat Tidak Rasional


Pola peresepan yang menyimpang memiliki peranan besar pada
pengobatan tidak rasional. Hal ini dapat menyebabkan dampak
seperti terjadinya efek yang tidak diinginkan, pengeluaran
pembiayaan yang terlalu banyak, resistensi obat serta kekambuhan
berulang akibat penggunaan obat diluar batas (World Health
Organization, 2010). Peresepan yang tidak rasional dapat
dikelompokkan dalam lima bentuk:
Peresepan berlebihan (over prescribing)
Peresepan yang jumlah, dosis dan lama pemberian obat melebihi
ketentuan, serta peresepan obat-obat yang secara medik tidak atau
kurang diperlukan.
Peresepan boros (extravagant prescribing)
Peresepan dengan obat yang mahal, sedangkan ada alternatif obat
yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama.
Termasuk disini adalah peresepan yang berorientasi ke pengobatan
simptomatik sehingga mengurangi alokasi obat yang lebih vital.

31

Peresepan yang salah (incorrect prescribing)


Pemakaian obat untuk indikasi yang salah, obat yang tidak tepat,
cara pemakaian salah, mengkombinasi dua atau lebih macam obat
yang tak bisa dicampurkan secara farmasetik dan terapetik serta
pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi penderita secara
menyeluruh.
Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Pemberian dua atau lebih kombinasi obat yang sebenarnya cukup
hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk disini adalah
pengobatan terhadap semua gejala yang muncul tanpa mengarah ke
penyakit utamanya.
Peresepan kurang (under prescribing)
Terjadi bila obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis obat tidak
cukup dan lama pemberian obat terlalu pendek waktunya (Kimin,
2008).

You might also like